library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2013-2... · Web viewHa: Terdapat...
Transcript of library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2013-2... · Web viewHa: Terdapat...
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Kepuasan Kerja
2.1.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja
(Shamima Tasnim 2006; dalam Uzma Rashid & Sadia Rashid 2011)
mendefinisikan kepuasan kerja adalah hal perasaan seseorang atau keadaan pikiran
sehubungan dengan lingkungan kerja. Dengan kata sederhana, itu adalah sejauh mana
orang merasa baik tentang pekerjaan mereka yang mereka lakukan. Kepuasan kerja
adalah penting untuk karyawan, pengusaha dan peneliti yang mempelajari organisasi,
karena memungkinkan peneliti dan pengusaha untuk menganalisis berbagai aspek dari
kepuasan kerja dalam organisasi dan mengembangkan cara-cara untuk meningkatkan
aspek-aspek tersebut. kepuasan pekerjaan signifikan bagi semua orang yang tertarik
dalam evaluasi subjektif dari kondisi kerja organisasi seperti tanggung jawab, berbagai
tugas, prestasi, kebutuhan komunikasi, dan kemajuan karir. Karena kepuasan kerja
adalah sangat disebabkan oleh kondisi seperti itu.
Menurut (Hasibuan, M., 2007) kepuasan kerja adalah sikap emosional yang
menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Kepuasan kerja (Job Satisfaction)
karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan
kedisiplinan karyawan meningkat. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan,
dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati baik didalam pekerjaan, maupun diluar
pekerjaan. Kepuasan kerja didalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati
dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan,
peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik. Karyawan lebih suka menikmati
13
14
kepuasan kerja didalam pekerjaan, karena akan lebih mengutamakan pekerjaannya dari
pada balas jasa walaupun balas jasa itu penting.
(Robbins & Judge, 2009) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positif
tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut.
Sehubungan dengan itu, (Noe, et, all 2006) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
perasaan yang menyenangkan sebagai hasil dari persepsi bahwa pekerjaannya memenuhi
nilai-nilai pekerjaan yang penting. Selanjutnya (Kinicki & Krietner 2005)
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai respon sikap atau emosi terhadap berbagai segi
pekerjaan seseorang.
Definisi ini memberi arti bahwa kepuasan kerja bukan suatu konsep tunggal.
Lebih dari itu, seseorang dapat secara relatif dipuaskan dengan satu aspek pekerjaannya
dan dibuat tidak puas dengan satu atau berbagai aspek pekerjaan lainnya.
Kepuasan kerja adalah signifikansi yang luas untuk peneliti, karena
mempengaruhi sebagian besar anggota organisasi, karena sebagian besar orang
menghabiskan sebagian besar hidup mereka didalam pekerjaan (Okpara et al . , 2005;
dalam Uzma Rashid & Sadia Rashid 2011), pemahaman tentang faktor-faktor yang
terlibat dalam kepuasan kerja sangat penting untuk meningkatkan kebahagiaan pekerja
di tempat kerja. (Lise & Judge, 2004; dalam Uzma Rashid & Sadia Rashid 2011)
penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang bahagia adalah karyawan yang merasa
puas terhadap pekerjaannya, namun bahagia yang bersifat sementara itu terjadi karena
karyawan tidak produktif, maka keberhasilan organisasi tergantung pada kepuasan
tenaga kerja mereka.
Dari beberapa pernyataan para ahli diatas, maka dapat disimpulkan kepuasan
kerja adalah suatu sikap individu terhadap pekerjaan yang dilakukan, dimana sikap yang
dimiliki dari masing-masing karyawan sesuai dengan keinginan mereka, dan karyawan
akan memiliki perasaan atau keadaan pikiran yang sehubungan dengan lingkungan kerja
mereka, Maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya. Karyawan yang
memiliki kepuasan kerja yang tinggi, akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaan.
Hal tersebut akan membuat perusahaan atau lembaga kepuasan kerja dapat berhasil
melaksanakan rencana mereka dan mencapai apa yang dituju.
15
2.1.1.2 Indikator Kepuasan Kerja
(Judge & Sari , 2004:dalam Mehvish Ali, Khansa Hayat, Nosheen Sarwat,&
Javeria Ashfaq Qureshi 2011) indikator kepuasan kerja yaitu:
1. Gaji atau Upah: Jumlah dan rasa keadilannya.
2. Promosi: Peluang dan rasa keadilan untuk mendapatkan promosi.
3. Manfaat: Memperoleh pengembangan karier dan pencapaian tujuan organisasi.
4. Rekan kerja: Rekan kerja yang menyenangkan dan kompeten.
5. Kondisi kerja: Tugas itu sendiri dapat dinikmati atau tidak.
6. Supervisor: Keadilan dan kompetensi penugasan manajerial oleh penyedia.
7. Keamanan: Mendapatkan suasana kerja yang sesuai dengan lingkungan
pekerjaan, serta fasilitas yang memadai.
8. Budaya organisasi: Kebijakan, prosedur, dan aturan.
9. Kesempatan pertumbuhan: Berbagai informasi di dalam organisasi (verbal
maupun nonverbal).
Robbins, S. P., & Judge, T. A., (2007) dalam bukunya yang berjudul “Perilaku
Organisasi” mengajukan empat variabel yang mampu mempengaruhi kepuasan kerja
seseorang, yaitu:
1. Pekerjaan menantang secara mental.
2. Penghargaan yang memadai.
3. Kondisi kerja yang mendukung.
4. Kolega yang mendukung.
Pekerjaan yang menantang secara mental - pekerja cenderung memiliki
pekerjaan dengan memberikan kesempatan mereka menggunakan keahlian dan
kemampuan serta menawarkan variasi tugas, kebebasan, dan umpan balik
tentang bagaimana pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan yang kurang
menantang cenderung membosankan, sementara pekerjaan yang terlalu
menantang cenderung membuat frustasi dan rasa gagal. Di bawah kondisi
moderat-menantang, sebagian besar pekerja akan mengalami kepuasan.
Reward yang memadai – kecenderungan pekerja dalam menginginkan sistem
penghasilan dan kebijakan promosi yang diyakini adil, tidak mendua, dan sejalan
16
dengan harapannya. Saat pekerja menganggap bahwa penghasilan yang diterima
setimpal dengan tuntunan pekerjaan, tingkat keahlian, dan sama berlakunya bagi
pekerja lain, maka kepuasan akan muncul.
Kondisi kerja yang mendukung – perhatian pekerja pada lingkungan kerja,
baik kenyamanan ataupun fasilitas yang memungkinkan mereka melakukan
pekerjaan secara baik.
Kolega yang mendukung – pekerja selain bekerja, juga mencari kehidupan
sosial. Tidak mengejutkan bahwa dukungan rekan kerja mampu meningkatkan
kepuasan kerja dari seorang pekerja. Perilaku atasan juga sangat mempengaruhi
kepuasan kerja seseorang. Studi membuktikan bahwa kepuasan kerja meningkat
ketika supervisor dianggap bersahabat dan mau memahami, serta melontarkan
pujian untuk kinerja yang bagus, mendengarkan pendapat pekerja, dan
menunjukkan minat personal terhadap mereka.
2.1.1.3 Cara Peningkatan Kepuasan Kerja
(Schultz, 1982: dalam Uzma Rashid & Sadia Rashid 2011) memberikan
pedoman khusus untuk mengimplementasikan faktor motivasi yang mungkin membantu
memecahkan masalah dan meningkatkan kepuasan kerja pada diri karyawan:
1. Sifat dari pekerjaan orang tersebut: memahami tiap-tiap pekerjaan dari masing-
masing karyawan, dan merancang serta membuat pekerjaan menjadi lebih baik
dan menantang.
2. Rasa prestasi: meningkatkan prestasi dengan tugas organisasi dan kegiatan yang
diambil dari pertimbangan karyawan, dengan menetapkan tujuan yang lebih
tinggi.
3. Tanggung jawab: memberikan tanggung jawab positif kepada karyawan agar
membuat mereka merasa diakui dan membawa kepuasan intern yang mengarah
ke peningkatan efisiensi organisasi.
4. Pengembangan pribadi dan pertumbuhan: memberikan kesempatan untuk
kemajuan karyawan dalam akademisi, serta memberikan kesempatan untuk
promosi dan pembangunan dalam organisasi atau bidang pekerjaan.
17
5. Pengakuan untuk pekerjaan yang baik: lebih dari sekedar membuat gaji yang
baik yang merupakan kesempatan untuk memotivasi karyawan, agar
menghasilkan kinerja dan kepuasan kerja yang tinggi.
6. Umpan balik: memberikan peningkatan, berupa pengembangan karir yang
berkontribusi langsung terhadap kepuasan kerja dan berbagai macam
penghargaan atas pekerjaan, serta kenaikan gaji.
2.1.2 Komitmen Organisasi
2.1.2.1 Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi merupakan perasaan tanggung jawab yang dimiliki
karyawan terhadap misi organisasi. Komitmen organisasi didefinisikan sebagai suatu
ikatan emosional antara karyawan dengan organisasi, dan merupakan pengaruh dari
perlakuan yang dilakukan karyawan bagi organisasi (Amernic & Aranya 2010: dalam
Javeria Ashfaq Qureshi, Khansa Hayat, Mehwish Ali, & Nosheen Sarwat 2011).
(Irving dan Taylor: dalam Bansal 2004) mendefinisikan komitmen kerja sebagai
kekuatan yang mengikat pada suatu tindakan seseorang, yang memiliki relevansi dengan
satu sasaran atau lebih.
Mowday (1982) dalam Sopiah (2008: 155) komitmen kerja sebagai istilah lain
dari komitmen organisasional. Komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku
penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan
sebagai anggota organisasi.
Dari beberapa pernyataan para ahli diatas maka dapat disimpulkan komitmen
kerja organisasi adalah suatu sikap karyawan dimana karyawan memiliki keinginan
untuk mengikatkan diri dengan organisasinya atau perusahaannya dan karyawan yakin
dan nyaman akan organisasi tempat ia bekerja. Karyawan yang memiliki komitmen
dengan organisasi maka biasanya akan menetap lama di dalam organisasi itu karena
merasa terikat dengan organisasi.
18
2.1.2.2 Indikator Komitmen Organisasi
(Karim dan Noor , 2006) indikator komitmen organisasi, yaitu :
1. Keinginan untuk tetap berada dalam organisasi.
2. Kemauan untuk mengerahkan upaya besar atas namanya untuk mendapatkan
kepercayaan.
3. Penerimaan atas tujuan organisasi.
(Cut Zurnali, 2010) mengemukakan bahwa komitmen organisasi merupakan
sebuah keadaan psikologi yang mengkarakteristikkan hubungan karyawan dengan
organisasi atau implikasinya yang mempengaruhi apakah karyawan akan tetap bertahan
dalam organisasi atau tidak, yang teridentifikasi dalam tiga komponen, yaitu:
1. Komitmen afektif (Affective Commitment), yaitu dimana keterlibatan
emosional seseorang pada organisasinya berupa perasaan cinta pada
organisasi. Komitmen afektif seseorang akan menjadi lebih kuat bila
pengalamannya dalam suatu organisasi konsisten dengan harapan-harapan
dan memuaskan kebutuhan dasarnya.
2. Komitmen berkelanjutan (Continuance Commitment), yaitu persepsi
seseorang atas biaya dan resiko dengan meninggalkan organisasi saat ini.
Artinya, terdapat dua aspek pada komitmen berkelanjutan, yaitu melibatkan
pengorbanan pribadi apabila meninggalkan organisasi, dan ketiadaan
alternatif yang tersedia bagi orang tersebut.
3. Komitmen normatif (Normative Commitment), yaitu sebuah dimensi moral
yang didasarkan pada perasaan wajib dan tanggung jawab pada organisasi
yang mempekerjakannya.
2.1.2.3 Cara Peningkatan Komitmen Organisasi
Dessler dalam Luthans (2006;250) memberikan pedoman khusus untuk
mengimplementasikan faktor pengaruh individu yang mungkin membantu memecahkan
masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan:
1. Berkomitmen pada nilai manusia: membuat aturan tertulis, memperkerjakan
manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.
19
2. Memperjelas dan mengkomunikasikan misi anda: memperjelas misi dan
ideologi, berkharisma, menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai,
menekankan orientasi berdasarkan nilai dan pelatihan, membentuk tradisi.
3. Menjamin keadilan organisasi: memiliki prosedur penyampaian keluhan yang
komprehensif, menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif.
4. Menciptakan rasa komunitas: membangun homogenitas berdasarkan nilai,
keadilan, menekankan kerja sama, saling mendukung, kerja tim, dan berkumpul
bersama.
5. Mendukung perkembangan karyawan: melakukan aktualisasi, memberikan
pekerjaan menantang pada tahun pertama, memajukkan dan memberdayakan,
mempromosikan dari dalam, menyediakan aktivitas perkembangan,
menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.
2.1.3 Perilaku Kewarganegaraan Organisasi (Organizational Citizenship Behavior)
2.1.3.1 Pengertian Organizational Citizenship Behavior
Perilaku Kewarganegaraan Organisasi "OCB" adalah perilaku khusus individu
dalam organisasi. Perilaku Kewarganegaraan Organisasi bukanlah sesuatu yang penting
bagi setiap karyawan, itu bukan bagian dari peran karyawan, tetapi itu merupakan
kegiatan ekstra dari karyawan yang tergantung pada atasan dan hubungan karyawan
(Elizabeth Wolfe Morrison 1994: dalam Mehvish Ali, Khansa Hayat, Nosheen Sarwat,
& Javeria Ashfaq Qureshi 2011).
(Moorman, Blakely, & Niehoff 1988: dalam Mehvish Ali, Khansa Hayat,
Nosheen Sarwat, & Javeria Ashfaq Qureshi 2011) mendefinisikan perilaku
kewarganegaraan organisasi bukanlah sesuatu yang harus dilakukan dari salah satu di
organisasi karena itu adalah kegiatan ekstra dari karyawan untuk organisasi mereka.
Karyawan dalam suatu organisasi atau lembaga yang terlibat dalam perilaku
kewarganegaraan organisasi lebih dihormati dan lebih baik dalam organisasi. Hal ini
menunjukkan bahwa ketika setiap orang yang melakukan perilaku kewarganegaraan
dalam organisasi menunjukkan bahwa orang-orang tersebut sangat penting bagi
organisasi, karena mereka lebih produktif untuk organisasi daripada karyawan lainnya.
20
Perilaku Kewarganegaraan Organisasi memberikan kontribusi yang besar dalam
masalah pekerjaan dalam bidang manajemen, Namun itu tidak terlalu produktif dalam
penerimaan di suatu lembaga atau perusahaan, karena efek yang ada di dalam perilaku
organisasi itu memiliki efek yang sangat kecil untuk perilaku eksternal, Jika pendidikan
dalam suatu lembaga atau perusahaan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan
kepuasan kerja karyawan dengan peran dan pekerjaan mereka daripada keinginan yang
memotivasi mereka untuk meningkatkan kegiatan mereka. (Mackenzie, Podsakoff &
belenggu 1993: dalam Mehvish Ali, Khansa Hayat, Nosheen Sarwat, & Javeria Ashfaq
Qureshi 2011).
Kumar et al. (2009) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang
memberikan kontribusi pada terciptanya efektifitas organisasi dan tidak berkaitan
langsung dengan sistem reward organisasi.
Organ et al. (2006:8) menggambarkan OCB sebagai perilaku individual
yangbersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat
penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan (agregat)
meningkatkan efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan
sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran, atau
deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi,
melainkan sebagai pilihan personal.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa perilaku yang didasari oleh keinginan
pribadi yang dilakukan di luar tugas formalnya dan tidak berkaitan langsung atau secara
eksplisit dengan sistem pemberian penghargaan dan memberi kontribusi pada
peningkatan fungsi efektif suatu organisasi.
2.1.3.2 Indikator Organizational Citizenship Behavior
Menurut (Organ et al. 2006) indikator Organizational Citizenship Behavior,
yaitu :
1. Kerjasama tim (Altruism), memberikan pertolongan kepada rekan kerja yang
bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.
2. Disiplin dalam bekerja (Conscientiousness), perilaku sukarela yang bukan
merupakan kewajiban atau tugas pegawai.
21
3. Tidak mengeluh dalam bekerja (Sportmanship), kemauan untuk bertoleransi
tanpa mengeluh dan tidak membesar-besarkan permasalahan di luar proporsinya.
4. Menjaga citra perusahaan (Courtessy), menghargai dan memperhatikan orang
lain.
5. Profesional dalam menggunakan aset (Civic Virtue), meningkatkan kualitas
bidang pekerjaan yang ditekuni, seperti keterlibatan dalam fungsi-fungsi
organisasi dan memberikan perhatian terhadap pertemuan-pertemuan yang
dianggap penting.
2.1.3.3 Cara Peningkatan Organizational Citizenship Behavior
Menurut Gunawan (2011) ada beberapa manfaat dari OCB antara lain :
1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja,
a. Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat penyelesaian
tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan
tersebut.
b. Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan
karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja
atau kelompok.
2. OCB meningkatkan produktivitas manajer,
a. Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer
mendapatkan saran dan atau umpan balik yang berharga dari karyawan
tersebut, untuk meningkatkan efektivitas unit kerja.
b. Karyawan yang sopan, yang menghindari terjadinya konflik dengan rekan
kerja, akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen.
3. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara
keseluruhan,
a. Jika karyawan saling tolong menolong dalam menyelesaikan masalah dalam
suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya
manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti
membuat perencanaan.
22
b. Karyawan yang menampilkan concentioussness yang tinggi hanya
membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat
mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti
lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang
lebih penting.
c. Karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan
melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya
untuk keperluan tersebut.
d. Karyawan yang menampilkan perilaku sportmanship akan sangat menolong
manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan
keluhan-keluhan kecil karyawan.
4. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara
fungsi kelompok,
a. Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat,
moril (morale), dan kerekatan (cohesiveness) kelompok, sehingga
anggota kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi dan
waktu untuk pemeliharaan fungsi kelompok.
b. Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja
akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang
dihabiskan untuk menyelesaikan konflik manajemen berkurang.
5. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan
kelompok kerja,
a. Menampilkan perilaku civic virtue (seperti menghadiri dan berpartisipasi
aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi
diantara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan
efektivitas dan efisiensi kelompok.
b. Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling memberi informasi
tentang pekerjaan dengan anggota dari tim lain) akan menghindari
munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk
diselesaikan.
23
6. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan
karyawan terbaik,
a. Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan kerekatan serta
perasaan saling memiliki diantara anggota kelompok, sehingga akan
meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan
mempertahankan karyawan yang baik.
b. Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku
sportmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-
permasalahan kecil), akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada
perusahaan.
7. OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi,
a. Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang
mempunyai beban kerja berat sehingga akan meningkatkan stabilitas dari
kinerja unit kerja.
b. Karyawan yang conseientiuous cenderung mempertahankan tingkat
kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas
pada kinerja unit kerja.
8. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan
lingkungan,
a. Karyawan yang mempunyai hubungan dekat dengan pasar dengan
sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di lingkungan
dan memberi saran tentang bagaimana merespons perubahan tersebut,
sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat.
b. Karyawan yang secara aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuan-
pertemuan di perusahaan akan membantu menyebarkan informasi yang
penting dan harus diketahui oleh perusahaan.
24
2.1.4 Kinerja Karyawan
2.1.4.1 Pengertian Kinerja Karyawan
Kinerja karyawan berarti seberapa baik kemampuan yang dilakukan karyawan,
dibandingkan dengan tugas-tugas yang telah ditugaskan, dan kemudian dievaluasi.
Kinerja karyawan tergantung pada sikap pemimpin dan ditingkatkan ketika pemimpin
bebas untuk menangani isu-isu khusus yang timbul dari para pekerja (Schmid, 2006:
dalam Javeria Ashfaq Qureshi, Khansa Hayat, Mehwish Ali, & Nosheen Sarwat 2011).
(Rodwell, Kienzle & Shadur, 1998: dalam Javeria Ashfaq Qureshi, Khansa
Hayat, Mehwish Ali, & Nosheen Sarwat 2011) mengungkapkan, komunikasi merupakan
elemen yang secara tidak langsung mempengaruhi kinerja karyawan dalam suatu
organisasi. Komunikasi bukan akar untuk meningkatkan kinerja, tetapi itu adalah dasar
dari metode lain, seperti kerja tim dan cara berpikir karyawan yang merupakan dasar
langsung kunci untuk meningkatkan kinerja.
Kinerja juga meningkat dengan memberikan asumsi bahwa pentingnya pendapat
dari para karyawan. Motivasi kinerja karyawan meningkat ketika pemimpin mereka
memberi mereka kesempatan untuk menyuarakan pandangan mereka dan
mengkomunikasikan saran mereka. Karena karyawan mempelajari keterampilan penting
dan pengalaman dari satu sama lain dan komitmen untuk meningkatkan kinerja (Huang ,
iun , Liu & Gong 2010).
Dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan merupakan suatu proses dimana
karyawan menjadi hal utama yang terlibat dalam proses peningkatan kinerja perusahaan.
Kinerja karyawan merupakan kemampuan yang dilakukan karyawan atas tugas-tugasnya
di dalam perusahaan, yang bergantung pada sikap seorang pemimpin dan tingkat
komunikasi untuk meningkatkan cara berpikir karyawan, yang menjadi motivasi mereka
untuk mempelajari keterampilan penting guna meningkatkan kinerja perusahaan.
25
2.1.4.2 Indikator Kinerja Karyawan
(Rivai & Veithzal, 2005: 324) indikator kinerja karyawan, yaitu :
1. Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode,
teknik, dan peralatan yang digunakan untuk melaksanakan tugas serta
pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya.
2. Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas
perusahaan dan penyesuaian bidang gerak dari unit masing-masing ke bidang
operasional perusahaan secara menyeluruh. Pada intinya setiap individu atau
karyawan pada setiap perusahaan memahami tugas, fungsi serta
tanggungjawabnya sebagai seorang karyawan.
3. Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemapuan untuk bekerja
sama dengan orang lain, memotivasi karyawan, melakukan negosiasi, dan lain-
lain.
(Anwar Prabu Mangkunegara, 2005: 18-19) menyebutkan aspek-aspek standar
kinerja yang terdiri dari:
1. Aspek Kuantitatif, meliputi:
- Proses kerja dan kondisi kerja.
- Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan.
- Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan.
- Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja.
2. Aspek Kualitatif, meliputi:
- Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan.
- Tingkat kemampuan dalam bekerja.
- Kemampuan menganalisis data atau informasi, kemampuan atau kegagalan
menggunakan mesin atau peralatan.
- Kemampuan mengevaluasi (keluhan konsumen).
26
2.1.4.3 Cara Peningkatan Kinerja Karyawan
(Schmid, 2006: dalam Javeria Ashfaq Qureshi, Khansa Hayat, Mehwish Ali, &
Nosheen Sarwat 2011) memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sikap
pemimpin yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan kinerja
pada diri karyawan :
1. Menangani isu-isu khusus yang timbul dari karyawan.
2. Memberikan apresiasi berupa penghargaan dan kesempatan untuk umpan
balik dari karyawan, agar karyawan merasa dihargai dan puas atas
pekerjaannya.
3. Menjadi pemimpin yang memiliki keterampilan, sesuai dengan standar
kinerja, dan berbeda dengan asosiasi lain.
4. Membimbing lingkungan kerja yang positif untuk meningkatkan kinerja
organisasi.
5. Meningkatkan motivasi karyawan dengan memberikan kesempatan bagi
karyawan untuk menyuarakan pandangan mereka, dan mengkomunikasikan
saran mereka.
2.2 Kajian Penelitian Terdahulu
Untuk melakukan penelitian ini, maka dilakukan penelusuran lebih lanjut dari
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Berikut ini
adalah penelitian terdahulu :
1. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Morrison, 1994: dalam Mehvish
Ali, Khansa Hayat, Nosheen Sarwat, & Javeria Ashfaq Qureshi 2011) tentang
“Job Attitudes as a predictor of employee performance Evidence from Public
Sector of Pakistan” mengatakan bahwa komitmen afektif memiliki dampak
yang kuat pada Organizational Citizenship Behavior (OCB), karyawan yang
memiliki komitmen dengan organisasi dan pekerjaan dalam organisasi
mereka, maka mereka cenderung lebih suka terlibat dalam Organizational
Citizenship Behavior (OCB) (membantu dan suara).
27
2. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Yahaya, Arshad, Ismail, Yaelam,
Zakaria, 2009) tentang “Job Attitudes as a predictor of employee
performance Evidence from Public Sector of Pakistan” mengatakan bahwa
karyawan yang bekerja di organisasi sektor publik memiliki tingkat kepuasan
kerja yang tinggi, karena mereka memuaskan kebutuhan dan keinginan
mereka sendiri. Dan sebaliknya, kurangnya kondisi lingkungan kerja yang
baik untuk mereka, akan menyebabkan karyawan menjadi kurang kompatibel
untuk mendapatkan omset di dalam perusahaan.
3. Hasil penelitian yang telah dilakukan (Moser, Galais, 2007) tentang "Impact
of Job Satisfaction and Organizational Commitment on Employee
Performance, Evidence from Pakistan” menghasilkan kesimpulan bahwa,
dengan meningkatkan kepemilikan kesempatan kerja, ada dampak moderat
kepuasan kerja yang meningkat terhadap kinerja karyawan.
2.3 Kerangka Pemikiran
KOMITMEN ORGANISASI
OCB
KEPUASAN KERJA
KINERJA KARYAWAN
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
28
2.4 Hipotesis
Menurut Sekaran (2006 : 135), Hipotesis bisa didefinisikan sebagai hubungan
yang diperkirakan secara logis di antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam
bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hubungan tersebut dapat diperkirakan berdasarkan
jaringan asosiasi yang ditetapkan dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi
penelitian.
Dengan menguji hipotesis dan menegaskan perkiraan hubungan, diharapkan
bahwa solusi dapat ditemukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
Dari kerangka berpikir dan tinjauan pustaka diatas, dapat dirumuskan hipotesis
atau dugaan sementara terhadap variabel-variabel penelitian yang digunakan sebagai
berikut :
Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:
Untuk T-1:
Ho: Tidak terdapat pengaruh antara kepuasan kerja terhadap Organizational
Citizenship Behavior (OCB).
Ha: Terdapat pengaruh antara kepuasan kerja terhadap Organizational
Citizenship Behavior (OCB).
Untuk T-2:
Ho: Tidak terdapat pengaruh antara komitmen organisasi terhadap
Organizational Citizenship Behavior (OCB).
Ha: Terdapat pengaruh antara komitmen organisasi terhadap Organizational
Citizenship Behavior (OCB).
Untuk T-3:
Ho: Tidak terdapat pengaruh secara simultan antara kepuasan kerja dan
komitmen organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB).
Ha: Terdapat pengaruh secara simultan antara kepuasan kerja dan komitmen
organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB).
29
Untuk T-4
Ho: Tidak terdapat pengaruh antara kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan.
Ha: Terdapat pengaruh antara kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan.
Untuk T-5:
Ho: Tidak terdapat pengaruh antara komitmen organisasi terhadap kinerja
karyawan.
Ha: Terdapat pengaruh antara komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan.
Untuk T-6:
Ho: Tidak terdapat pengaruh antara Organizational Citizenship Behavior
(OCB) terhadap kinerja karyawan.
Ha: Terdapat pengaruh antara Organizational Citizenship Behavior (OCB)
terhadap kinerja karyawan.
Untuk T-7:
Ho: Tidak terdapat pengaruh antara kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan
melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB).
Ha: Terdapat pengaruh antara kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan
melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB).
Untuk T-8:
Ho: Tidak terdapat pengaruh antara komitmen organisasi terhadap kinerja
karyawan melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB).
Ha: Terdapat pengaruh antara komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan
melalui Organizational Citizenship Behavior (OCB).
Untuk T-9:
Ho: Tidak terdapat pengaruh secara simultan kepuasan kerja, komitmen
organisasi dan Organizational Citizenship Behavior (OCB) terhadap kinerja
karyawan.
Ha: Terdapat pengaruh secara simultan kepuasan kerja, komitmen organisasi dan
Organizational Citizenship Behavior (OCB) terhadap kinerja karyawan.
30