WordPress.com€¦ · Web viewdiharuskan pula menyetor uang jaminan penawaran lelang kepada KPKNL...
Transcript of WordPress.com€¦ · Web viewdiharuskan pula menyetor uang jaminan penawaran lelang kepada KPKNL...
TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI
HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK PERBANKAN
NAMA : ARKISMAN
NIDN :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GRESIK
2012
TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK PERBANKAN
Oleh :
Nama : Arkisman
Nidn :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GRESIK
2012
i
HALAMAN PERSETUJUAN
TESIS INI TELAH DISETUJUIPADA TANGGAL ………………….
Oleh :Pembimbing
Tutiek Retnowati, S.H., M.Hum
Mengetahui,Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Narotama
Dr. Maarten L. Souhoka, S.H., M.S
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Dipertahankan di depan sidang Tim Penguji Program Pascasarjana Universitas
Narotama Surabaya dan dinyatakan diterima untuk memenuhi syarat guna
memperoleh gelas Magister Hukum pada tanggal ………………..
TIM PENGUJI :
1. Ketua : …………………………………….
2. Anggota : …………………………………….
3. Anggota : …………………………………….
iii
RINGKASAN
Pengaturan parate eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada kreditor dalam pemenuhan piutangnya manakala debitor wanprestasi, yakni kreditor dapat menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tanpa harus melalui lembaga peradilan. Hanya saja kemudahan yang dipunyai kreditor tersebut pada kenyataannya tidak dapat dimanfaatkan karena terjadi kerancuan pengaturan mengenai parate eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996), pengaturan Hak Tanggungan di satu sisi diatur bahwa hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (eigen machtige verkoop) lahir karena undang-undang, namun di sisi lain lahir dari perjanjian, sehingga menimbulkan makna ganda atau kabur. Kerancuan pengaturan parate eksekusi tersebut terlihat bilamana dihubungkan antara pasal 6 UUHT yang menyatakan pelaksanaannya melaui lelang umum sedangkan Penjelasan Umum angka 9 yang agar parate eksekusi pelaksanaannya mendasarkan kepada pasal 224 HIR. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah yang perlu dibahas adalah tentang (1) bagaimana pengaturan parate eksekusi dalam Undang-undang Hak Tanggungan (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996), (2) apakah parate eksekusi obyek Hak Tanggungan pada kreditor telah dilakukan sesuai dengan pasal 6 Undang-undang Nomor 4 tahuan 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UUHT). Beranjak dari permasalahan, kemudian dianalisis dan selanjutnya ditarik kesimpulan.
Pengeturan yang mendasar parate eksekusi adalah prinsip perlindungan hukum bagi kreditor bagi hak tanggungan pertama dengan tujuan sebagai sarana untuk mempercepat pelunasan piutang manakala debitor wanprestasi.
Bentuk pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh kreditor dalam prakteknya selama ini adalah masih mengacu kepada eksekusi melalui fiat Pengadilan Negeri atau berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, yang pelaksanaannya didasarkan kepada pasal 224 HIR/258 RBg, dan belum dilaksanakan sesuai ketentuan pasal 6 jo. pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT. Karena hampir semua pihak berpedoman kepada Titel Eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan, sebenarnya sama sekali tidak dapat dijadikan acuan dan bukan pula merupakan suatu aturan yang wajib dipedomani dalam melaksanakan eksekusi atau obyek Hak Tanggungan karena putusan tersebut didasarkan kepada penafsiran yang keliru yang mencampuradukkan anatara pengertian parate eksekusi dengan pengertian eksekusi berdasarkan eksekutorial atau grosse akta hipotik.
iv
ABSTRACT
The purpose of this research to know deeply about several appointments that arrange, about process and barriers in performance of parate eksekusi risk right is done by private bank people in case to take discharge at debtor debts that deny of appointment (wanprestasi). The approximation is done by statute approach method to research of rules that its regulation is very conducive for performance of parate eksekusi, case approach to research "ratio decidendi or reasoning" of a jurisdiction judgment and conceptual approach to find some ideas that produce of means, concepts and principles of law that relevant with news is met, by manufacture of law material is done deductively, that the product is not numbers form, but try to express the principle and rule of law or information in statute to answer the problem of this research.
The right election to sell at own authority (parate eksekusi) risk right as research object, because although this parate eksekusi is main equipment for creditor as the first risk right holder to get ease in case to get discharge of his claim again, as one of appearance of special position as the first risk right holder, bit the buriers still happen in practice, even not performed yet as we hope.
By this research, all of side that connected in process of parate eksekusi performance can be understand about ratio legis of parate eksekusi regulation as meant in Chapter 6 of Statute No. 4 at 1996 about Statute of Risk Right at Land and Things that Connected by Land or before it is ruled in second paragraph of Chapter 1178 of Civil Law Statute Code about beding van eigenmachtige verkoop on hyphotic institution / credietverhand, so the institution of parate eksekusi can be felt really of usefulness actually by economic people and bank institution.
Key word : Parate Executie, Risk Right, and Banking
v
DAFTAR ISI
Halaman Judul .............................................................................................. i
Halaman Persetujuan .................................................................................... ii
Lembar Pengesahan....................................................................................... iii
Ucapan Terimakasih ..................................................................................... iv
Ringkasan ...................................................................................................... vi
Abstract ......................................................................................................... vii
Daftar Isi ....................................................................................................... viii
Daftar Singkatan ........................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Dan Rumusan Masalah ................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 5
E. Kajian Pustaka ......................................................................... 5
F. Metode Penelitian .................................................................... 15
1. Pendekatan Masalah ........................................................... 15
2. Sumber Bahan Hukum ....................................................... 16
3. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum .............................. 17
4. Analisis Bahan Hukum ...................................................... 17
G. Sistematika Penulisan............................................................... 17
vi
BAB II PENGATURAN PARATE EKSEKUSI DALAM UNDANG-
UNDANG HAK TANGGUNGAN................................................ 19
A. Dasar Hukum Parate Eksekusi ................................................. 19
B. Janji Kuasa Menjual ................................................................. 23
C. Pasal 20 UUHT sebagai Dasar Eksekusi Obyek Hak
Tanggungan............................................................................... 29
D. Penjelasan Umum Angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2)
dan (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 ............................. 34
BAB III PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK
TANGGUNGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
HAK TANGGUNGAN ................................................................. 41
A. Sarana Hukum Dan Lembaga Eksekusi dalam Penyelesaian
Kredit Macet ............................................................................ 41
B. Proses Parate Eksekusi Hak Tanggungan ................................ 49
C. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Dalam Praktek ......... 64
BAB IV PENUTUP ...................................................................................... 73
A. Kesimpulan .............................................................................. 73
B. Saran ........................................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
DAFTAR SINGKATAN
APHT = Akta Pemberian Hak Tanggungan
BUPLN = Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
DJKN = Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
KPKNL = Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
MARI = Mahkamah Agung Republik Indonesia
PPAT = Pejabat Pembuat Akta Tanah
PUPN = Panitia Urusan Pituang Negara
SKMH = Surat Kuasa Membebankan Hak
SKMHT = Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan
UUHT = Undang-undang Hak Tanggungan
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dan Rumusan Masalah
Dengan meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada
bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga
dibutuhkan pula kehadiran lembaga jaminan yang kuat dan mampu memberi
kepastian bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.
Dalam penyediaan dana yang dibutuhkan untuk perkembangan
ekonomi dan pembangunan oleh masyarakat banyak, dilakukan oleh bank
sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan, dan menyalurkannya lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit.
Sehingga untuk mencegah terjadinya kerugian karena tidak kembalinya
seluruh atau sebagian dari kredit yang telah disalurkan, bank perlu memberi
perhatian khusus terhadap masalah tersebut.
Mengingat pentingnya kedudukan kredit dalam proses pembangunan,
maka sudah seharusnya kepentingan bank sebagai pemberi kredit, yakni agar
kredit yang disalurkan dibayar kembali, dapat dilindungi melalui suatu
lembaga jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi
semua pihak yang berkepentingan, yaitu suatu lembaga jaminan yang
dikontruksikan dapat menjamin dan memberikan kemudahan pelunasan suatu
tagihan dalam hal debitor tidak membayar utang-utangnya.
1
2
Sebenarnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah memberikan
pengaman kepada kreditor dalam menyalurkan kredit kepada debitor, yakni
dengan memberikan jaminan umum menurut pasal 1131 dan 1132 KUH
Perdata yang menentukan bahwa semua harta kekayaan kebendaan debitor
baik bergerak atau tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang baru akan
ada, menjadi jaminan atas seluruh perikatannya dengan kreditor. Apabila
terjadi wanprestasi, maka seluruh harta benda debitor akan dijual lelang dan
dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor. Namun
oleh karena perlindungan yang berasal dari jaminan umum tersebut dirasakan
masih belum memberikan rasa aman kepada kreditor, sehingga dalam praktek
penyaluran kredit, bank merasa perlu untuk meminta jaminan khusus terutama
yang bersifat kebendaan. Karenanya kehadiran Undang-undang Hak
Tanggungan sebagai pengganti lembaga hipotik dan credietverband sangat
banyak manfaatnya.
Selama ini lembaga hukum yang dapat dipergunakan dan berfungsi
untuk menyelesaikan masalah kredit macet, adalah :
a. Pengadilan Negeri, apabila kredit macet yang terjadi merupakan tagihan-
tagihan dari bank swasta.
b. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN)/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang
(KPKNL), berfungsi untuk menyelesaikan masalah kredit macet yang
merupakan tagihan-tagihan dari bank pemerintah.
3
Pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri selama
ini hanya terhadap tagihan bank, yang oleh pihak kreditor sebelumnya telah
mengajukan permohonan eksekusi terhadap obyek hak tanggungan kepada
Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana hak tanggungan itu berada. Setelah
debitor yang ingkar janji dipanggil dan diberi tenggang waktu untuk
membayar hutangnya dengan sukarela, namun tetap lalai untuk membayar,
maka obyek hak tanggungan disita dengan sita eksekutorial. Jika setelah disita
debitor tetap lalai untuk membayar, maka obyek hak tanggungan tersebut akan
dilelang secara umum.
Proses pelaksanaan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang
dilakukan oleh pihak kreditor, sebenarnya tidaklah sulit. Karena disamping
sertifikat Hak Tanggungan berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak
Tanggungan, dimana pada sertifikat tersebut dibubuhkan irah-irah dengan
kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'', yang
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pemegang Hak Tanggungan pertama
juga mempunyai hak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap obyek Hak
Tanggungan yang dijadikan sebagai jaminan kredit, apabila debitor ingkar
janji. Hal mana didasarkan pada kuasa yang diberikan oleh debitor maupun
oleh undang-undang kepada pihak kreditor.
Berdasarkan pasal 6 UUHT jika debitur cedera janji (wanpretasi)
pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak
tanggungan atas kuasa sendiri melalui pelelangan umum dan pelunasan
piutang diambil dari hasil lelang. Inilah yang disebut parate eksekusi.
4
Kemudian merujuk rumusan pasal 6 UUHT proses eksekusi dapat
dilakukan tanpa campur tangan atau meluai pengadilan. Dengan kata lain
tidak perlu meminta fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, karena hak
dari pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan
atas kekuasaan sendiri adalah hak berdasarkan undang-undang. Jadi tanpa
perjanjian pun hak itu sudah lahir.
Namun dalam praktek, hal tersebut hampir tidak pernah dilaksanakan.
Karena juru lelang kadang kala menolak untuk melakukan penjualan di muka
umum sebelum adanya persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat,
dengan alasan karena melalui titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2).
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah pengaturan parte eksekusi dalam Undang-undang Hak
Tanggungan (Undang-undang No. 4 Tahun 1996)?
b. Apakah parate eksekusi obyek Hak Tanggungan pada kreditor (bank) telah
dilakukan sesuai dengan Pasal 6 Undang-undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (untuk selanjutnya disebut UUHT)?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam melakukan penelitian terhadap
segala permasalahan yang ada, adalah :
5
a. Untuk mengetahui bagaimanakah dasar pengaturan oarate eksekusi dalam
Undang-undang Hak Tanggungan (Undang-undang No. 4 Tahun 1996?
b. Untuk mengetahui pelaksanaan parate eksekusi obyek Hak Tanggungan
pada pemegang hak tanggungan (kreditor), apakah telah dilakukan sesuai
dengan pasal 6 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang beerkaitan dengan
tanah (untuk selanjutnya disebut UUHT)?
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelilian ini :
a. untuk menambah bahan kepustakaan dalam hukum jaminan di Indonesia.
b. untuk dijadikan bahan masukan bagi mereka yang ingin mendalami
persoalan eksekusi terutama eksekusi terhadap Hak Tanggungan.
c. menjadi sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan peraturan perundang-
undangan terutama dalam hal mempercepat proses penyelesaian kredit
macet.
E. Kajian Pustaka
Istilah parate eksekusi secara implisit tidak pernah tertuang dalam
peraturan perundang-undangan. Parate eksekusi dari kata paraat yang berarti
hak itu siap siaga di tangan kreditor untuk menjual benda jaminan di muka
umum atas dasar kekuasaan sendiri.1
1 M. Isnaeni. Hipotik Pesawat Udara di Indonesia. Dharma Muda. Surabaya. 1996
6
Pengaturan parate eksekusi telah ada pada saat berlakunya lembaga
hipotik, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1178 ayat (2) BW, yang isinya :
“Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu dikarenakannya hipotik, dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan di muka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam pasal 1211 BW.”
Kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri atau parate
eksekusi diberikan kalau debitor wanprestasi, maka kreditor bisa
melaksanakan eksekusi obyek jaminan tanpa harus minta fiat dari Ketua
Pengadilan.
Parate eksekusi yang semula diatur di dalam hipotik (pasal 1178 ayat
(2) BW) kemudian tidak dapat dipungkiri diadopsi oleh UUHT, yang dalam
pasal 6 UUHT. Untuk jelasnya substansi pasal 6 UUHT dimaksud adalah :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mangambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Kalau dibandingkan anatara pasal 6 UUHT dengan pasal 1178 ayat (2)
BW ada perbedaan antara parate eksekusi hipotik dengan parate eksekusi Hak
Tanggungan, pada hipotik lahir karena diperjanjikan, sedankan parate
eksekusi Hak Tanggungan lahir karena ditentukan oleh Undang-undang (ex
lege). Kemudian bertolak dari berbagai sumber hukum yang mengatur parate
eksekusi, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa parate eksekusi dalam
Undang-undang Hak Tanggungan adalah pelaksanaan penyelesaian hak tagih
7
kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melaui pelelangan umum,
tanpa didahului fiat Ketua Pengadilan Negeri manakala debitor cidera janji.
Sebagai lembaga jaminan, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Perjanjian jaminan yang melahirkan Hak Tanggungan ini dibuat oleh para
pihak dengan tujuan untuk melengkapi perjanjian pokok yang umumnya
merupakan perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit. Sehingga dapat
ditarik suatu pemahaman, bahwasannya hubungan hukum anatra para pihak
itu dijalin oleh 2 (dua) jenis perjanjian, yakni perjanjian kredit selaku
perjanjian pokok dan perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan
(accessoir).2
Suatu lembaga jaminan yang kuat, dalam Penjelasan Umum Nomor 3
UUHT, Hak Tanggungan mempunyai 4 (empat) ciri pokok, yaitu :
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada
pemegangnya;
b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu
berada;
c. Memenuhi atas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan; dan
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
2 M. Isnaeni. Dalam Herowati Poesoko. Parate Excecutie Obyek Hak Tanggungan. LaksBang PRESSindo. Yogyakarta. 2008. Hal 16
8
Adapun hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan menurut
pasal 4 ayat (1) UUHT adalah (a) hak milik; (b) hak guna usaha; (c) hak guna
bangunan. Selain hak-hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas, hak pakai
atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifat dapat dipindah-tangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
Agar adanya kemudahan dan kepastian hukum terhadap eksekusi Hak
Tanggungan khususnya parate eksekusi apabila debitor cidera janji,
diharapkan dapat direalisasikan secara nyata. Pelaksanaan eksekusi pada Hak
Tanggungan mudah dan pasti merupakan salah satu prinsip dari Hak
Tanggungan yang dijabarkan dalam pasal 20 UUHT, eksekusi Hak
Tanggungan menurut 3 (tiga) ciri, yakni :
1. Hak pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUHT (parate
eksekusi);
2. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2); dan
3. Eksekusi melalui penjaulan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan atas
kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan (pasal 20 ayat (2)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang UUHT).
Ketiga eksekusi yang dimaksud oleh pasal 20 UUHT tentunya
mempunyai pengertian, ciri dan prosedur yang berbeda satu sama lain.
Ketertarikan membahas parate eksekusi dikarenakan, pertama,
lembaga parate eksekusi merupakan lembaga eksekusi di luar pengadilan,
maksudnya eksekusi menyimpang dari prinsip eksekusi yang diatur dalam
9
Hukum Acara Perdata, tentunya prosedurnya lebih cepat dari pada eksekusi
yang diatur menurut Hukum Acara Perdata. Kedua, dalam praktek hukum
parate eksekusi dieleminir oleh Putusan MARI Nomor 3210 K/Pdt/1984,
tanggal 30 Januari 1986. Ketiga, parate eksekusi yang diatur dalam UUHT
terdapat kerancuan.
Kerancuan tersebut dapat dilihat apabila membaca pasal 6 UUHT,
maka menimbulkan kebingunan, sebab penjelasan pasal 6 UUHT memberikan
pemahaman bahwa kewenangan menjual atas kekuasaan sendiri didasarkan
pada janji, sedangkan pasal 6 UUHT memberikan kewenangan menurut
Undang-undang (ex lege).
Adanya perbedaan pengertian tentang kewenangan tersebut
menunjukkan bahwa pembentuk UUHT mempunyai sikap yang tidak
konsisten, yang menyebabkan kebingungan dan kekacauan bagi kreditor pada
khusunya, sehingga menurut Sutan Remy Sjahdeini, penjelasan pasal 6 UUHT
tersebut justru kembali mementahkan harapan perbankan.3
Kemudian kalau dikait antara pasal 6 UUHT dengan pasal 11 ayat (2)
huruf c UUHT, yang menyebutkan : “janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak
Tanggungan apabila debitor ingkar janji”, menimbulkan silang pendapat yang
tiada henti-hentinya, bahwa dapat dikatakan pembentuk UUHT dalam
memberikan kewenangan (hak) pada kreditor pertama tidak konsisten.
3 Sutan Remy Sjahdeini. Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan. Majalah Hukum Nasional No. 2 Tahun 2000. Hal 19-20
10
Dalam rangka pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendri melalui pelelangan umum, manakala debitor cidera janji,
tertuang dalam pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, yang menyatakan : Hak
pemegang Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6. Namun
apabila membaca penjelasan umum angka 9 UUHT kemudian dihubungkan
dengan Penjelasan pasal 14 ayat (2) dan (3). Pemahaman dari kedua
penjelasan tersebut menunjukkan kehendak pembentuk UU melalui penafsiran
otentiknya untuk :
(1) Mengatur pelaksanaan parate eksekusi sebagaimana maksud pasal 224
HIR/258 R.Bg.;
(2) Eksekusi sertifikat Hak Tanggungan melalui tata cara dan dengan
menggunakan lembaha parate eksekusi sesuai dengan Hukum Acara
Perdata.
Pengaturan eksekusi menurut Pasal 224 HIR dan 258 RBg adalah
eksekusi yang ditujukan bagi grosse acte hipotik (sertifikat Hak Tanggungan)
dan grosse acte pengakuan hutang. Kedua grosse acte tersebut dimaksudkan,
memang mempunyai hak eksekutorial, yang berarti mempunyai kekuatan
sebagai suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Maka eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana pelaksanaan suatu
putusan pengadilan yang harus dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan.
Untuk membedakan Hak Tanggungan ini dari bentuk dan jenis
jaminan-jaminan utang yang lain, perlu dipahami asas-asas dari Hak
Tanggungan yang tersebar dan diatur dalam berbagai pasal dari UUHT, asas-
11
asas tersebut diantaranya adalah :
1) Asas droit de preference.
Dari pengertian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 1 UUHT tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Hak
Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu (pemegang Hak Tanggungan) terhadap kreditor-kreditor lain.
Mengenai apa yang dimaksudkan dengan pengertian "kedudukan
yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain"
disebutkan di dalam Penjelasan Umum angka 4 UUHT yang menyebutkan
:
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan urnum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan perundang-urdangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Asas ini adalah asas yang berlaku pula bagi hipotik yang telah digantikan
oleh Hak Tanggungan sepanjang yang menyangkut tanah. Dalam ilmu
hukum asas ini dikenal sebagai droit de preference.4 Keberadaan asas ini
juga ditemukan dalam Penjelasan Pasal 6 dan ketentuan Pasal 20 ayat (1)
UUHT.
2) Asas droit de suite4 Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan
Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hal 17
12
Pasal 7 UUHT menetapkan asas, bahwa Hak Tanggungan tetap
mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek itu berada. Dengan
demikian, Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun obyek Hak
Tanggungan itu beralih/berpindah tarigan kepada pihak lain oleh karena
sebab apapun juga. Ketentuan Pasal 7 UUHT ini "merupakan materialisasi
dari asas yang disebut 'droit de suite' atau `zaakgevolg'. Asas ini juga
merupakan asas yang diambil dari hipotik yang diatur dalam pasal 1163
ayat (2) dan Pasal 1198 KUHPerdata".5 Asas ini memberikan sifat kepada
Hak Tanggungan sebagai hak kebendaan (zakelijkrecht) sebagai hak yang
mutlak, yang dapat dipetahankan terhadap siapapun.
3) Asas spesialitas
Asas ini menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat
dibebankan atas tanah yang dapat ditentukan secara spesifik. Dianutnya
asas spesialitas oleh Hak Tanggungan dapat disimpulkan dari ketentuan
Pasal 8 UUHT yang menentukan :
(1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.6
serta ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e undang-undang tersebut yang
menentukan bahwa di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib 5 Ibid, hal 396 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pustaka Peradilan Jilid XIV, Jakarta,
1996, hal 5-6
13
dicantumkan "uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tangungan".7
Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal di atas
hanya mungkin terpenuhi apabila obyek Hak Tanggungan telah ada dan
secara spesifik dapat ditunjukkan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan. Asas ini dalam hipotik diatur oleh ketentuan Pasal 1174
KUHPerdata.
Menurut Remy Sjandeini "Asas spesialitas tidak berlaku sepanjang
mengenai benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada
dikemudian hari"8, karena wujud dari benda-benda yang berkaitan dengan
tanah itu belum diketahui, dan baru akan ada dikemudian hari.
4) Asas Publisitas
Salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas atau asas
keterbukaan, karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan
merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan
mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. Asas ini di dalam
hipotik diatur dalam Pasal 1179 KUHPerdata.
Pada tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak
Tanggungan kepada kreditor, Hak Tanggungan yang bersangkutan belum
lahir. Hak Tanggungan itu baru lahir pada saat dibukukannya dalam buku
tanah di Kantor Pertanahan. Oleh karenanya kepastian mengenai saat
didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut bukan saja untuk menentukan
kedudukannya yang diutamakan terhadap kreditor lain, melainkan juga
7 Ibid, hal 78 Remu Sjahdeini, Op. cit., hal 43
14
menentukan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditor-kreditor
lain yang juga pemegang Hak Tanggungan, dengan obyek yang sama
sebagai jaminannya.
Mengenai kewajiban didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan
kepada Kantor Pertanahan secara tegas diatur dalam Pasal 13 UUHT.
Dalam pasal itu ditegaskan pula, bahwa tanggal buku tanah Hak
Tanggungan yang bersangkutan adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran tersebut secara
lengkap oleh Kantor Pertanahan, dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari
libur, maka buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja
berikutnya. Hari dan tanggal buku tanah tersebut adalah saat lahirnya Hak
Tanggungan.
Adapun yang dimaksud dengan Bank di dalam tesis ini adalah
bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-undang No. 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-
undang No. 10 Tahun 1998, yaitu "badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak".9
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Perbankan
tersebut di atas, yang dimaksud dengan Bank Umum adalah "bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan
9 Bank Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Jakarta, 2007, hal 9
15
Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran".10 Sedangkan yang dimaksud dengan Bank Perkreditan
Rakyat menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 adalah "bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan
Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran".11
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan undang-undang
(statute approach), pendekatan konsep (concept approach).
Pendekatan undang-undang (statute aproach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Selanjutnya dicoba pula untuk melakukan pendekatan konseptual
(concept approach) yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. "Dengan mempelajari
pandanganpandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti
akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang
dihadapi".12
Penggunaan metode pendekatan demikian didasarkan pada
10 Ibid.11 Ibid.12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal 94-95
16
pertimbangan bahwa spesifikasi penelitian ini adalah penelitihan terhadap
asas dan norma hukum yang terdapat dalam hukum positif. Pendekatan
undang-undang dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang
penormaannya justru sangat kondusif bagi pelaksanaan parate eksekusi.
2. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. "Bahan hukum primer
merupakan bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai
otoritas … terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim".13 Bahan hukum primer dalam hal ini adalah Undang-Undang Hak
Tanggungan (UUHT), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Reglemen
Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement),
Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java
en Madura), Peraturan Perundang-undangan lainnya serta Putusan-putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan bahan hukum
sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan-putusan
pengadilan.
3. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini bahan-bahan hukum yang relevan baik bahan 13 Ibid., hal 141.
17
hukum primer maupaun bahan hukum sekunder dikumpulkan melalui
identifikasi, selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan urutan permasalahan
dalam penelitian ini.
4. Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
baik berupa peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan,
buku-buku teks maupun jurnal-jurnal hukum, dan lain sebagaimya, penulis
uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, dan disajikan dalam penulisan
yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif,
yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum
terhadap masalah konkrit yang dihadapi, dan hasilnya tidaklah dalam
bentuk angka-angka yang memerlukan perhitungan. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa penelitian ini berusaha untuk mengungkap asas
dan norma hukum ataupun informasi-informasi yang terdapat dalam
undang-undang dan diolah dengan langkah berfikir yang sitematis dan
logis untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
Di dalam Tesis ini sistematikanya dibagi dalam 4 (empat) bab. Antara
bab yang satu dengan bab lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, sehingga terdapat gambaran yang menyeluruh dari isi
penulisan tesis ini.
18
Di dalam Bab I tentang pendahuluan, menguraikan tentang Latar
Belakang Dan Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian;
Kajian Pustaka; Metode Penelitian; dan Sistematika Penulisan tesis ini.
Selanjutnya dalam Bab II tentang Pengaturan Praktek Eksekusi dalam
Undang-undang Hak Tanggungan, adalah sebagai jawaban atas permasalahan
yang pertama dan berturut-turut akan dibahas tentang dasar hukum parate
eksekusi; janji kuasa menjual; Pasal 20 UUHT sebagai dasar eksekusi obyek
Hak Tanggungan; Penjelasan Umum Angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat
(2) dan (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996.
Kemudian dalam Bab III tentang Pelaksanaan Eksekusi Hak
Tanggungan Berdasarkan Undang-undang Hak Tanggungan, adalah sebagai
jawaban atas permasalahan yang kedua dan berturut-turut akan dibahas
tentang Sarana Hukum Dan Lembaga Eksekusi Dalam Penyelesaian Kredit
Macet; Proses Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan serta Pelaksanaan
Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Dalam Praktek Perbankan.
Dan terakhir pada Bab IV merupakan bab Penutup yang
menyimpulkan jawaban-jawaban atas permasalahan berdasarkan uraian dalam
bab kedua dan bab ketiga, dengan disertai saran-saran sebagai kelengkapan
penulisan tesis ini.
BAB II
PENGATURAN PARATE EKSEKUSI DALAM
UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN
A. Dasar Hukum Parate Eksekusi
Sebenarnya istilah parate ekskusi secara tersurat tidak pernah tertuang
dalam peraturan perundang-undangan. Istilah parate eksekusi sebagaimana
yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya secara etimologis berasal dari
kata “paraat” artinya siap ditangan, sehingga parate eksekusi dikatakan
sebagai sarana yang siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate eksekusi
mempunyai arti pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan
atau hakim.14
Pengertian parate eksekusi yang diberikan oleh doktrin,15 “kewenangan
untuk menjual atas kekuasaan sendiri atau parate eksekusi, diberikan arti,
bahwa kalau debitor wanprestasi, kreditur dapat melaksanakan eksekusi obyek
jaminan, tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan, tanpa harus mengikuti
aturan main dalam Hukum Acara, untuk itu ada aturan mainnya sendiri. Tidak
perlu ada sita lebih dahulu, tidak perlu melibatkan juru sita dan karenanya
prosedurnya lebih mudah dan biaya lebih mudah.
14 Kamus Hukum Edisi Lengkap, Bahasa Belanda – Indonesia – Ingirs, Aneka, Semarang, 1977, hal. 655
15 Pitlo, 1949, Dalam Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Obyek Tanggungan, LaksBang, 2008, hal. 242
19
20
Sehingga istilah parate eksekusi dapat dikatakan sebagai kewenangan
untuk menjual atas kekuasaan sendiri melaui lembaga pelelangan umum tanpa
melaui fiat Ketua Pengadilan.
Dalam UUHT istilah parate ekskusi secara implicit justru tersurat dan
tersirat, khususnya diatur dalam penjelasan umum angka 9 UUHT, yang
menyebutkan :
“Salah satu cirri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tetnang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate ekskusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 HIR dan pasal 258 R.Bg.”
Penjelasan umum tersebut diatur, maksud pembentuk UUHT
menyatakan meskipun pada dasarnya eksekusi secara umum diatur oleh
Hukum Acara Perdata, namun untuk membuktikan salah satu cirri Hak
Tanggungan terletak pada pelaksanaan eksekusinya adalah mudah dan pasti.
Oleh karena itu secara khusus ketentuan ekskusi Hak Tanggungan diatur
lemabga parate eksekusi.
Pengaturan parate eksekusi dalam UUHT, maka dasar berpijaknya
adalah pada pengaturan mengenai eksekusi Hak Tanggungan, yang diatur
dalam pasal 20 ayat (1) UUHT yang menyatakan :
“ (1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, ataub. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melaui pelelangan umum menurut
21
tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunsan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.”
Jadi pada pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, dinyatakan bahwa apabila
debotor cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual
obyek Hak Tangungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UUHT.
Sedangkan teks yuridis pasal 6 UUHT substansi adalah :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasannya dari hasil penjualan tersebut.”
Esensi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 6 UUHT tersebut,
adalah :
1) Debitor cidera janji;
2) Kreditor pemegang Hak Tangungan pertama diberi hak;
3) Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekhususan sendiri;
4) Syarat penjualan melaui pelelelangan umum;
5) Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
6) Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya sebatas hak tagih.
Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 6 UUHT menunjukkan ada 2
(dua) hal yang penting manakala debitor wanprestasi, yaitu hak dan
pelaksanaan hak bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama.
Kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri pada pasal 6
UUHT seperti halnya dalam pasal 1155 B.W. yang mengatur tentang parate
eksekusi pada obyek gadai telah diberikan ex lege. Hal tersebut jelas berbeda
22
dengan hipotik, hak kreditor pemegang hipotik pertama mempunyai hak
parate eksekusi apabila telah diperjanjikan antara kreditor dengan debitor
selaku pemberi jaminan.
Dapat dipahami tujuan pembentuk UUHT untuk membentuk lembaga
parate eksekusi, selain memberikan sarana yang memang sengaja diadakan
bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan
kembali pelunasan piutangnya dengan cara mudah dan murah, dengan maksud
untuk menerobos formalitas hukum acara, di satu sisi tujuan pembentukan
parate eksekusi secara Undang-undang (ex lege), dengan maksud untuk
memperkuat posisi dari kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama pada
pihak-pihak yang mendapat hak dari padanya.16
Dalam menggunakan pasal 6 UUHT dikarenakan pelaksanaan
penjualan obyek Hak Tanggungan hanya melaui pelelangan umum, tanpa
harus meminta fiat Ketua Pengadilan Negeri. Terutama menunjukkan efisiensi
waktu dibandingkan dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Mengingat kalau prosedur eksekusi
melalui formalitas Hukum Acara, proses yang dilalui memerlukan waktu yang
lama dan rumit prosedurnya. Parate eksekusi lebih murah dibandingkan
dengan pelaksanaan eksekusi menggunakan titel eksekutorial, karena tidak
menanggung biaya untuk mengajukan permohonan penetapan eksekusi
kepada Ketua Pengadilan Negeri. Maka pasal 6 UUHT merupakan dasar
hukum berlakunya parate eksekusi manakala debitor wanprestasi, yang
16 Herowati Poesoko, op.cit., hal. 248
23
dipergunakan sebagai sarana yang sangat baik demi penyesuaian terhadap
kebutuhan ekonomi.
B. Janji Kuasa Menjual
Dalam pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk
memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu,
yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari
perjanjian hutang – piutang.
Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, pemberiannya
haruslah merupakan ikatan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang
menimbulkan hutang – pituang ini dapat dibuat dengan akta dibawah tangan
atau harus dibuat dengan akta otentik, bergantung pada ketentuan hukum yang
mengatur materi perjanjian itu.
Janji-janji untuk memberikan Hak Tangungan sebagai pelunasan
hutang disebut dengan tahap Pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya
Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
yang didahului dengan hutang piutang yang dijamin, dan tahap pendaftaran
oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang
dibebankan.
Sehubungan dengan batasan dalam judul tesis tersebut di atas, yaitu
tentang parate eksekusi Hak Tanggungan dalam praktek perbankan, maka
sekarang akan ditinjau hal-hal apa saja yang dapat dijadikan sebagai dasar
hukum dalam eksekusi yang dilaksanakan sendiri oleh pemegang Hak
Tanggungan (kreditor) tanpa adanya bantuan atau campur tangan pengadilan
24
negeri, melainkan hanya berdasarkan bantuan pejabat lelang atau Kantor
Pelayananan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atau apa yang disebut
dengan parate eksekusi Hak Tanggungan. Sebab, Hak Tanggungan sebagai
salah satu hak jaminan kebendaan dalam rangka pelunasan utang debitor
kepada kreditor, menurut pengamatan kami adalah paling banyak dan paling
populer digunakan dalam dunia perkreditan dewasa ini.
1. Janji Untuk Menjual Atas kekuasaan Sendiri.
Penjualan agunan secara lelang yang merupakan upaya paksa
(represif) sebenarnya selalu dihindari oleh kreditor. Biasanya kreditor
melakukan upaya pendekatan persuasif, misalnya dengan meminta pihak
debitor menjual di bawah tangan atas obyek jaminan, dan hasilnya
digunakan untuk melunasi utangnya, atau upaya restrukturisasi kredit
lainnya. Namun upaya persuasif kadang-kadang tidak dapat dilakukan,
oleh karena itu digunakan pendekatan represif (eksekusi) dengan jalan
obyek jaminan dijual secara lelang.
Hal yang penting untuk dikemukan sehubungan dengan
pembahasan tentang dasar hukum parate eksekusi Hak Tanggungan adalah
adanya janji-janji Hak Tanggungan, yaitu janji-janji yang dapat dan
sekarang selalu diperjanjikan oleh pemegang Hak Tanggungan, yang
memberikan kepada pemegang Hak Tanggungan suatu kemudahan dalam
mengambil pelunasan dan suatu kedudukan yang diutamakan, yang
tentunya sangat menarik dan menguntungkan bagi kreditor/pemegang Hak
Tanggungan.
25
Dari berbagai macam janji-janji Hak Tanggungan yang dapat
diperjanjikan oleh para pihak, penulis akan mengemukakan janji yang
berkaitan dengan parate eksekusi, yaitu "janji untuk menjual atas
kekuasaan sendiri" (beding van eigenmachtig verkoop). Janji seperti itu
diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT yang menyebutkan :
Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain.………………………………………………………………………e. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji.………………………………………………………………………j. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.17
Undang-undang Hak Tanggungan dalam hal ini hanya
mengingatkan saja kepada kreditor/pemegang Hak Tanggungan akan
kemungkinan untuk memperjanjikan janji-janji seperti itu, karena pada
asasnya orang dapat memperjanjikan apa saja, asal tidak bertentangan
dengan undang-undang yang bersifat memaksa, tata krama (kesusilaan)
dan ketertiban umum.
Sebelum berlakunya UUHT yang menggantikan ketentuan
mengenai hipotik sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri ini
telah diatur dalam Pasal 1178 ayat (2) yang berbunyi :
Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama
17 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 7 - 8
26
untuk, pada waktu diberikannya hipotik, dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan di muka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut harus dilakukan menurut cara sebagaimana diatur dalam pasal 1211.18
Dimuatnya janji-janji tersebut dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka
janji-janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga.
Menurut Remy Sjandeini :
Janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT itu bersifat fakultatif dan tidak limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, baik sebagian maupun seluruhnya. Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT.19
Pada prinsipnya seorang pemegang Hak Tanggungan bebas untuk
memperjanjikan klausula ini atau tidak. Tentang harus atau tidaknya
klausula ini diperjanjikan, saat ini bukanlah hal yang perlu dipersoalkan
lagi, karena Akta Pemberian Hak Tanggungan sudah tercetak dan
disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan dijual melalui
Kantor Pos yang format blanko formulirnya dibuat dalam bentuk yang
seragam berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak
Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan, yang di dalamnya sudah
18 Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.19 Remy Sjahdeini, op. cit., hal 45
27
tercetak janji seperti itu, sehingga tidak mungkin lagi ada Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) yang lupa untuk mencantumkannya.
Memang di dalamnya tidak secara tegas menunjuk kepada
ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUHT, akan tetapi intinya adalah sama, yaitu
dimana disebutkan :
• Jika Debitor tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi utangnya, berdasarkan perjanjian utang-piutang tersebut di atas, oleh Pihak Pertama, Pihak Kedua selaku Pemegang Hak Tanggungan Peringkat Pertama dengan akta ini diberi dan menyatakan menerima kewenangan, dan untuk itu kuasa, untuk tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Pihak Pertama :a. menjual atau suruh menjual dihadapan umum secara lelang
Obyek Hak Tanggungan baik seluruhnya maupun sebagian-sebagian;
b. mengatur dan menetapkan waktu, tempat, cara dan syarat-syarat penjualan;
c. menerima uang penjualan, menandatangani dan menyerahkan kwitansi;
d. menyerahkan apa yang dijual itu kepada pembeli yang bersangkutan;
e. mengambil dari uang hasil penjualan itu seluruhnya atau sebagian untuk melunasi utang Debitor tersebut di atas; dan
f. melakukan hal-hal lain yang menurut Undang-Undang dan peraturan hukum yang berlaku diharuskan atau menurut pendapat Pihak Kedua perlu dilakukan dalam rangka melaksanakan kuasa.
………………………………………………………………………• Jika Pihak Kedua mempergunakan kekuasaannya untuk menjual Obyek Hak Tanggungan, Pihak Pertama akan memberikan kesempatan kepada yang berkepentingan untuk melihat Obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan pada waktu yang ditentukan oleh Pihak Kedua dan segera mengosongkan dan menyerahkan Obyek Hak Tanggungan tersebut kepada Pihak Kedua atau pihak yang ditunjuk oleh Pihak Kedua agar selanjutnya dapat menggunakan dalam arti kata yang seluas-luasnya.20
Meskipun dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT tersebut ditetapkan,
bahwa yang boleh memperjanjikan klausula seperti itu hanya pemegang 20 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 81-83
28
Hak Tanggungan yang pertama, namun dalam prakteknya semua
pemegang Hak Tanggungan memperjanjikan klausula seperti itu, karena
aktanya sudah tercetak dalam bentuk yang seragam. Undang-undang tidak
melarang pemegang Hak Tanggungan lainnya untuk memperjanjikan
kewenangan seperti itu, sebab dikemudian hari, karena adanya pergeseran,
ia mungkin akan berkedudukan sebagai pemegang Hak Tanggungan
pertama, yaitu kalau Hak Tanggungan pertama, karena pelunasan akan
menjadi hapus dan pemegang Hak Tanggungan yang di bawahnya akan
bergeser ke atas menjadi yang pertama.
2. Dasar Kewenangan Menjual Berdasarkan Undang-undang.
Pada masa yang lalu memang semua pemegang hipotik selalu
memperjanjikan kuasa ex Pasal 1178 ayat (2) Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, dan tidak pula ada ketentuan undang-undang yang secara
tegas memberikan kewenangan kepada pemegang hipotik untuk menjual
obyek hipotik atas kekuasaan sendiri, dan pemegang hipotik pertama
hanya mempunyai hak seperti itu kalau ia dengan tegas
memperjanjikannya. Karena janji ex Pasal 1178 ayat (2) Kitab
Undang-undang Hukum Perdata tersebut selalu diperjanjikan, “maka ada
yang menyebutnya sebagai `suatu formula tetap dan dapat dikatakan tidak
pernah dilupakan”.21 Sehingga timbul pertanyaan, mengapa hak ini tidak
dianggap sebagai hak yang sudah termasuk di dalam hak hipotik.
Saat ini dengan diberlakukannya UUHT, selain "janji untuk
menjual atas kekuasaan sendiri" berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2)
21 J. Satrio, Parete Eksekusi Sebagai sarana Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal 22
29
diperbolehkan untuk dimuat, bahkan secara baku telah dicantumkan dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 6
undang-undang tersebut telah pula ditegaskan bahwa "Apabila debitor
cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyak Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut".22
C. Pasal 20 UUHT sebagai Dasar Eksekusi Obyek Hak Tanggungan
Salah satu fasilitas atau ciri yang diberikan oleh Undang-undang Hak
Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, maka eksekusinya mudah dan
pasti, hal tersebut dapat dilaksankan jika pemberi hak tanggungan (debitor)
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah diperjanjikan, demikian
disebutkan dalam penjelasan angka 9 UUHT. Adapun mengenai eksekusi
obyek Hak Tanggungan yang diatur dalam pasal 20 UUHT pemegang Hak
Tanggungan diberikan pilihan eksekusi sebagai berikut :
Hak pemegang Hak Tanggungan pertama sebagaimana dimaksud di
atas, telah pula dipertegas kembali di dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang
menyebutkan :
Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
22 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 5
30
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya.23
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 maupun Pasal 20 ayat (1) UUHT
ini sebenarnya tidak saja sejalan dan mempertajam apa yang telah diatur
dalam Pasal 11 ayat (2) atau apa yang diatur sebelumnya dalam Pasal 1178
ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang beding van
eigenmachtige verkoop pada lembaga hipotik/credietverband, tapi juga
bermakna bahwa Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT ini
menghendaki kewenangan kreditor untuk menjual obyek Hak Tanggungan
atas kekuasaan sendiri tersebut, dapat diartikan bukan saja karena
diperjanjikan, melainkan hak atau kewenangan kreditor tersebut ada padanya
karena memang undang-undang sendiri juga memberikan padanya atau
menetapkannya demikian (ex lege).
Menurut Herowati Poesoko :
Dari konsep Rancangan Undang-Undang terlihat adanya kehendak Pembentuk UUHT untuk menjadikan hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri sebagai suatu hak yang timbul karena Undang-Undang, bukan karena janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan.Tetapi kemudian, setelah melalui pembahasan di DPR, terjadi perubahan dengan ditambahkannya janji untuk menjual atas kekuasan sendiri ke dalam rangkaian janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2).24
Terhadap adanya pendapat (sebagaimana juga Herawati Poesoko) yang
23 Ibid, hal 1324 Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi,
Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008, hal 283
31
menyatakan bahwa substansi Penjelasan Pasal 6 UUHT jika dikaitkan dengan
Pasal 11 ayat (2) huruf e dan blanko formulir Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang mencantumkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri
adalah tidak sinkron dengan substansi Pasal 6, oleh karena berdasarkan Pasal
6 UUHT bahwa hak/kewenangan tersebut adalah didasarkan pada ex lege,
sedangkan Penjelasan Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e didasarkan pada
janji, sehingga dianggap membingungkan, mana yang benar, apakah
kewenangan tersebut diberikan secara ex lege atau karena diperjanjikan?,
menurut penulis hal ini sepintas memang terlihat demikian, seolah-olah terjadi
kontradiksi ataupun kerancuan yang menimbulkan inkonsistensi norma yang
berkaitan dengan hak/kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi).
Akan tetapi jika kita amati ketentuan yang dimuat dalam Penjelasan
Pasal 6 UUHT yang menyatakan :
Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan ini lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan."25
maupun Penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf e yang juga menyatakan "Untuk
dipunyainya kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 di dalam Akta
25 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 33
32
Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji ini".26, maka penulis
sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Kartini Muljadi dan Gunaan
Widjaja yang menyatakan bahwa :
Hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk melaksanakan haknya berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut adalah hak yang semata-mata diberikan oleh undang-undang. Walau demikian tidaklah berarti hak tersebut demi hukum ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atas hak atas tanah.27
sehingga jika hal tersebut tidak diperjanjikan lebih dulu, maka
kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama tidaklah mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT,
akan tetapi eksekusinya haruslah dilakukan melalui titel eksekutorial
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) huruf b undang-undang tersebut.
Dari pemahaman ini akhirnya bisa dicermati maksud pembentuk undang-
undang mencantumkan/memberikan alternatif penyelesaian bagi
kreditor/pemegang Hak Tanggungan dalam hal dilakukan eksekusi
sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, apakah dilakukan
melalui Parate Eksekusi atau harus dilakukan melalui titel eksekutorial yang
proses pelaksanaannya harus melalui fiat eksekusi dari pengadilan negeri.
Demi tercapainya suatu kepastian hukum dalam rangka melindungi
kepentingan pemegang Hak Tanggungan pertama sesuai dengan uraian
26 Ibid, hal 3727 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2006
33
pemahaman tersebut di atas, haruslah dipandang bahwa hak/kewenangan
untuk menjual atas kekuasaan sendiri tersebut diperoleh oleh
kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama tidak semata-mata oleh karena
diperjanjikan, tetapi juga karena undang-undang menetapkan demikian
(setelah terlebih dahulu diperjanjikan). Hal ini adalah untuk lebih menekankan
bahwa undang-undang memberikan jaminan dalam aturan yang konkrit
sebagai norma yang mengikat bahwa "hak untuk menjual atas kekuasaan
sendiri" tersebut adalah sarana yang utama bagi kreditor/pemegang Hak
Tanggungan pertama untuk mendapatkan kemudahan dalam rangka
mendapatkan kembali pelunasan piutangnya, yang merupakan salah satu
perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai olehnya sebagai
pemegang Hak Tanggungan pertama.
Untuk tidak menimbulkan multitafsir dalam proses eksekusinya
dikemudian hari, maka "janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri"
sebagaimana telah tercetak secara baku dalam blanko formulir Akta
Pembebanan Hak Tanggungan haruslah tetap dipertahankan ataupun
diperjanjikan oleh pemberi maupun pemegang Hak Tanggungan agar
hak/kewenangan yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT dapat dilaksanakan,
kecuali pihak-pihak dari sejak semula memang menginginkan ataupun
menyepakati lain.
D. Penjelasan Umum Angka 9 Dan Penjelasan Pasal 14 Ayat (2) dan (3)
Undang-undang No. 4 Tahun 1996
34
Dalam Penjelasan Umum angka 9 UUHT menyebutkan salah satu ciri
Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan
eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan
tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku,
dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi
Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga
parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia
yang Diperbarui (Het Herziene lndonesisch Reglement) dan Pasal 258
Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot
Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura).
Sehubungan dengan itu pada sertifikat Hak Tanggungan, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu sertifikat Hak Tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse acte hypotheek, yang untuk eksekusi hypotheek atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan pasal-pasal kedua reglemen tersebut.Agar ada kesatuan pengertian dan kepastian mengenai penggunaan ketentuan-ketentuan tersebut, ditegaskan lebih lanjut dalam Undang-undang ini, bahwa selama belum ada peraturan perundangan-undangan yang mengaturnya, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang diatur dalam kedua Reglemen tersebut, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.28
Apabila Penjelasan Umum angka 9 tersebut dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 6 UUHT yang memberikan hak kepada kreditor/pemegang
28 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 26-27
35
Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, sedangkan Penjelasan Umum
angka 9 mengatur agar parate eksekusi pelaksanaannya didasarkan kepada
Pasal 224 HIR/258 RBg yang sebenarnya ditujukan kepada grosse akta hipotik
dan grosse akta' pengakuan hutang yang mempunyai hak eksekutorial sebagai
suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dimana
eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana pelaksanaan putusan pengadilan
yang harus dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, maka jelas
terlihat bahwa pembentuk undang-undang sendiri juga telah mengulangi
kekeliruan yang terdapat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Agung
dalam putusannya No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, yaitu dengan
mencampuradukkan antara pengertian parate eksekusi dengan pengertian
eksekusi berdasarkan grosse akta/sertifikat Hak Tanggungan dimana
pelaksanaannya memang harus dilakukan menurut ketentuan Pasal 224
HIR/268 RBg. Lantas, apa gunanya orang memperjanjikan parate eksekusi di
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan?, dan apa gunanya ketentuan Pasal 6
dimuat dalamUUHT ?.
Apa yang disebutkan dalam Penjelasan angka 9 UUHT tersebut jelas
tidak saja bertentangan dengan ratio legis dimuatnya ketentuan Pasal 6 dalam
UUHT tersebut, tetapi juga telah menunjukkan sikap inkonsistensi dari
pembentuk undang-undang yang telah memberikan kewenangan kepada
kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, dan keadaan ini
36
akhirnya kembali mementahkan harapan para pelaku ekonomi khususnya
kalangan perbankan. Untuk itu, nampaknya masih diperlukan suatu
pembahasan yang lebih mendalam agar tidak terjadi kerancuan pengaturan
dan penganuliran terhadap lembaga parate eksekusi dalam praktek hukum,
sebab pengaturan parate eksekusi dalam UUHT diharapkan dapat menjadi
tiang pokok bagi lembaga jaminan Hak Tanggungan.
Dalam Pengertian parate eksekusi (hak untuk menjual atas kekuasaan
sendiri) terkandung arti, bahwa kalau debitor wanprestasi, kreditor bisa
melaksanakan eksekusi atas obyek jaminan (Hak Tanggungan) melalui
pelelangan umum, tanpa harus minta fiat dari Ketua Pengadilan Negeri, tanpa
harus mengikuti aturan main dalam hukum acara, tidak perlu ada sita terlebih
dahulu, karena itu prosedurnya lebih mudah dengan biaya yang lebih murah.
Sedangkan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/258 RBg harus dilakukan di
bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dengan mengikuti
hukum acara yang berlaku layaknya eksekusi putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Apabila pelaksanaan parate eksekusi harus melalui dan atas perintah
Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 224 HIR/258 RBg), hal ini jelas menyimpang
dari Pasal 6 UUHT yang merupakan peraturan yang sifatnya substantif. Jadi
seharusnya pembentuk undang-undang tidak mendasarkan pelaksanaan parate
eksekusi pada Pasal 224 HIR/258 RBg seperti yang disebutkan oleh
Penjelasan Umum angka 9 UUHT tersebut.
Kekeliruan pembentuk undang-undang yang telah menyamakan
37
pengertian/prosedur eksekusi berdasarkan parate eksekusi dengan eksekusi
berdasarkan titel eksekutorial (sertifikat Hak Tanggungan) sebagaimana
dimaksud dalam Penjelasan Umum angka 9, ternyata telah diulangi kembali
dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT dengan menyebutkan :
Irah-irah yang dicantumkan pada setifikat Hak Tanggungan dan dalam ketentuan pada ayat ini, dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada setifikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji, siap untuk diseksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melaiui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata.29
Dari kedua penjelasan tersebut, pembentuk undang-undang telah
menafsirkan sama tentang prosedur parate eksekusi dengan prosedur eksekusi
sertifikat Hak Tanggungan, yaitu menggunakan prosedur sesuai dengan
Hukum Acara Perdata. Jadi harus melalui izin dan atas perintah Ketua
Pengadilan Negeri, dan jika debitor benar-benar cidera janji (wanprestasi),
maka pemegang Hak Tanggungan pertama dapat melaksanakan janji untuk
menjual atas kekuasaan sendiri dengan cara menjual lelang obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tapi penjualannya
didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg. Disini pelaksanaan parate
eksekusi mengalami pemaknaan ganda, satu sisi pelaksanaannya langsung
melalui pelelangan umum (Pasal 6 UUHT) tapi di sisi lain harus mendapatkan
fiat dari Ketua Pengadilan Negeri (berdasarkan Pasal 224 HIR/258 RBg).
Sebenarnya jika kita amati ketentuan Pasal 26 yang mengatur tentang
Ketentuan Peralihan UUHT dimana disebutkan "Selama belum ada peraturan
29 Ibid, hal 39
38
perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan
dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak
Tanggungan".30, dan dengan memperhatikan pula penjelasannya yang
menyebutkan :
Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada dalam pasai ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement, Staatsblad 1941-44) Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura, Staatsblad 1927-227).Ketentuan Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse acte hypotheek yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hypotheek, dalam hal Hak Tanggungan adalah sertifikat Hak Tanggungan.Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang belum ada, adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi Hak Tanggungan, sebagai pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hypotheek atas tanah yang tersebut di atas.Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelesan Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam Pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut. Ketentuan hukum acara di atas berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan, dengan penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaarnya.31
di sini pembentuk undang-undang telah memberikan pemahaman yang benar,
bahwa eksekusi Hak Tanggungan yang pelaksanaannya di dasarkan kepada
Pasal 224 HIR/258 RBg adalah eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan
sertifikat Hak Tanggungan (titel eksekutorial), yaitu dilaksanakan dengan
penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya.
Pemahaman inilah yang bersesuaian atau tidak menyimpang dengan apa yang
30 Ibid, hal 1631 Ibid, hal 47-48
39
dimaksud oleh Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT tentang pilihan eksekusi Hak
Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan. Menurut Herowati Poesoko "Aturan yang menyimpang tentunya
bukan untuk digunakan melainkan patut dan layak untuk diabaikan atau
bahkan tidak perlu digunakan sebab dapat menjadi kendala bagi salah satu
tujuan hukum yakni kegunaan (zwekmaszigkeit)".32
Berkenaan dengan hal yang telah dikemukakan di atas, dan agar tidak
lagi ada keraguan dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan
parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT, ada baiknya
diperjelas terlebih dahulu, apakah hal-hal yang dikemukakan atau ditentukan
dalam memori penjelasan suatu undangundang mempunyai sifat mengikat
secara hukum ?, sebab apa yang telah dikemukakan oleh Penjelasan Umum
angka 9 maupun Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT sebagaimana
tersebut diatas, sudah tidak lagi sekedar bersifat menjelaskan, tetapi telah
memberikan ketentuan baru di luar pasal yang dijelaskan.
Menurut Remy Sjandeini :
Memori Penjelasan Undang-undang tidak boleh bertentangan dengan dan tidak boleh memberikan ketentuan tambahan di luar (pasal-pasal dari) undang-undang yang dijelaskannya. …. Memori Penjelasan suatu Undang-undang tidak mengikat secara hukum karena suatu undang-undang berlaku dan mengikat sekalipun seandainya telah dikeluarkan tanpa diikuti Memori Penjelasan. Sebaliknya, suatu Memori Penjelasan dari suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum tanpa adanya undang-undang (yang dijelaskan oleh Memori Penjelasan tersebut).33
Apabila Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 6 UUHT yang telah 32 Herowati Poesoko, op. cit., hal 26433 Remy Sjahdeni, op. cit., hal 55
40
memberikan rumusan norma yang jelas tentang "hak pemegang Hak
Tanggungan pertama untuk menjual dengan kekuasaan sendiri obyek Hak
Tangggungan melalui pelelangan umum (parate eksekusi)" dihubungkan
dengan apa yang telah dikemukakan oleh Remy Sjandeini, maka Penjelasan
Umum angka 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT jelas tidak
dapat dipakai sebagai sandaran terhadap pelaksanaan parate eksekusi Hak
Tanggungan, karena disamping bertentangan dengan ratio legis pengaturan
parate eksekusi, memori penjelasan itu sendiri juga tidak mengikat secara
hukum, sehingga oleh karenanya haruslah diabaikan.
BAB III
PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG HAK TANGGUNGAN
A. Sarana Hukum Dan Lembaga Eksekusi Dalam Penyelesaian Kredit
Macet
Upaya penyelesaian masalah kredit macet umumnya diawali dengan
upaya-upaya dari bank sebagai pihak kreditor antara lain dengan cara
melakukan penagihan secara langsung oleh bank kepada debitor yang
bersangkutan untuk segera melunasi kredit atau utang-utangnya.
Apabila penyelesaian dengan cara tersebut tidak berhasil dilaksanakan,
pada umumnya upaya yang dilakukan oleh bank adalah melalui prosedur
hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat berbagai sarana hukum dan
beberapa lembaga eksekusi yang dapat dipergunakan untuk mempercepat
penyelesaian masalah kredit macet.
Adapun sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat
penyelesaian masalah kredit macet perbankan adalah :
1. Pelaksanaan Pasal 6 UUHT
Dalam pasal 6 UUHT, disebutkan : "Apabila debitor cidera janji,
pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut".34
34 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 5
41
42
Dari ketentuan tersebut di atas, maka dalam pelaksanaan penjualan
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) tidak
memerlukan fiat atau persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat
serta tidak memerlukan grosse akta, namun pelaksanaan pasal dimaksud
harus dilakukan melalui Kantor Lelang Negara atau Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Dalam hal ini kreditor bertindak
sebagai pihak penjual/pemohon lelang.
Sebelum berlakunya UUHT, sebenarnya tentang adanya hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum, juga telah diatur dalam pasal 1178 ayat (2)
KUHPerdata. Menurut ketentuan pasal tersebut bahwa kreditor pemegang
hipotik pertama dapat diberi kuasa untuk menjual barang agunan dimuka
umum untuk melunasi utang pokok atau bunga yang tidak dibayar oleh
debitor sebagaimana mestinya.
Dari uraian di atas, terlihat adanya persamaan antara Pasal 6
UUHT dan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, yaitu dalam hal pengaturan
tentang kewenangan kreditor untuk menjual barang jaminan di muka
umum untuk pelunasan utang apabila debitor ingkar janji. Namun dengan
keluarnya UUHT tersebut, maka ketentuan-ketentuan yang telah ada
sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak berlaku lagi dan
tidak terkecuali ketentuan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata.
43
2. Grosse Akta Pengakuan Utang dan Sertifikat Hak Tanggungan.
Menurut Pasal 224 HIR/258 RBg diperkenankan eksekusi terhadap
perjanjian untuk memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, asal
perjanjian itu berbentuk grosse akta. Tujuan pemanfaatan grosse akta
pengakuan utang dan grosse hipotik adalah untuk memberikan kekuatan
hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap agar langsung dapat dieksekusi.
Di dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT telah pula disebutkan, bahwa
dalam hal debitor cidera janji, selain kepada pemegang Hak Tanggungan
pertama diberikan hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, maka berdasarkan titel eksekutorial
yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan, obyek Hak Tanggungan
juga dapat dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang
ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan
piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada
kreditor-kreditor lainnya. Selama belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya, menurut Pasal 26 UUHT dan penjelasannya,
pelaksanaan eksekusi ini (dengan dasar penyerahan sertifikat Hak
Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya) didasarkan pada Pasal 224
HIR/258 RBg.
Dengan demikian, berdasarkan grosse akta pengakuan utang atau
sertifikat Hak Tanggungan kreditor cukup mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat agar isi dari grosse akta ataupun
44
sertifikat Hak Tanggungan tersebut dapat dilaksanakan. Namun dalam
praktek pengadilan, Ketua Pengadilan Negeri masih harus meneliti
terlebih dahulu apakah debitor masih berutang kepada kreditor. Dalam hal
ternyata debitor tidak lagi mempunyai utang, maka permohonan penetapan
eksekusi akan ditolak.
3. Penjualan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan
Dalam hal penjualan pelelangan umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan harga tertinggi, berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2)
UUHT diberi kemungkinan untuk melakukan eksekusi melalui penjualan
di bawah tangan. Asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan
pemegang Hak Tanggungan.
Pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan ini
memerlukan upaya kreditor melalui pendekatan persuasif dengan meminta
debitor untuk menjual di bawah tangan atas obyek jaminan utang dan
hasilnya digunakan untuk melunasi utangnya kepada kreditor. Menurut A.
T. Hasbullah selaku Direktur Lelang pada Direktorat Jenderal Kekayaan
negara :
Hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT. Namun alternatif ini seringkali cukup berat untuk dilaksanakan karena harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :1. harus ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak
tanggungan;2. penjualan tersebut harus capat menghasilkan harga tertinggi
yang menguntungkan semua pihak;3. satu bulan sebelumnya terlebih dahulu harus diberitahukan
secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan harus
45
diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada yang menyatakan keberatan.35
4. Putusan yang bersifat serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)
Putusan serta merta adalah merupakan suatu proses khusus yang
memungkinkan dapat dilaksanakannya eksekusi sebelum putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut M. Yahya harahap bahwa :
Pasal 180 ayat 1 HIR atau Pasal 191 ayat 1 RBG memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan bending atau kasasi. Terhadap permintaan gugat yang demikian, hakim dapat menjatuhkan putusan yang memuat amar bahwa putusan dapat dilaksanakan lebih dulu, yang lazim disebut 'putusan dapat dieksekusi serta merta'.36
Namun putusan yang bersifat serta merta ini tidaklah diperlukan
terhadap perjanjian kredit yang jaminannya telah dibebani dengan Hak
Tanggungan, hal ini disebabkan karena putusan serta merta ini hanya
dapat dilaksanakan setelah adanya gugatan dari kreditor ke pengadilan
negeri. Sedangkan pada Hak Tanggungan tidak diperlukan adanya suatu
gugatan dalam hal pelaksanaan eksekusinya, karena hanya dengan
berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan yang berkekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap, pemegang Hak Tanggungan dapat langsung mengajukan
permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat.
35 A.T. Hasbullah, “Peran Lelang Dalam Mendukung Penyelesaian Kredit Macet Perbankan”, Makalah Seminar, Balai Lelang Tunjungan, Surabaya, 2008, hal 7
36 Yahya Harahap, op. cit., hal 7
46
Sedangkan lembaga yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan
masalah kredit macet perbankan, adalah :
1. Pengadilan Negeri
Berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945
dan Pasal 10 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, badan peradilan merupakan lembaga yang sah dan
berwenang untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai tindak lanjut dari
Pasal 10 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tersebut, ditetapkan
berbagai peraturan perundang-undangan yang menetapkan batas
yurisdiksi untuk setiap badan peradilan.
Dalam Pasal 50 Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum sebagaimana dirubah dengan Undang-undang No. 8
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum, disebutkan bahwa "Pengadilan Negeri
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertarna".37
Khusus mengenai permasalahan sengketa perkreditan
berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 1986 yurisdiksinya
terrnasuk kewenangan lingkungan badan peradilan umurr. Sehingga
badan peradilan yang secara resmi bertugas menyelesaikan kredit
macet bila disengketakan adalah pengadilan negeri. Namun perlu
diingat, bahwa selama ini pengadilan negeri hanya berwenang untuk
37 Eman Suparman, Kitab Undang-undang Peradilan Umum, Fokusmedia, Bandung, 2004, hal 55
47
menyelesaikan sengketa kredit macet dari bank swasta.
Penyelesaian sengketa kredit macet melalui pengadilan negeri
dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara :
a. Bank menggugat nasabah karena telah melakukan wanprestasi atas
perjanjian kredit yang telah disepakati.
Bank dapat menggugat debitor yang telah wanprestasi
dengan tidak membayar utang pokok maupun bunga kepada
pengadilan negeri. Pengadilan negeri dalam hal ini akan
memproses gugatan tersebut dengan mempertimbangkan bukti
yang ada dan dalil-dalil yang diajukan oleh kedua belah. Apabila
proses pemeriksaan selesai dilakukan, maka pengadilan negeri
akan mengeluarkan putusan yang dilanjutkan dengan sita eksekusi
atas agunan yang diberikan untuk kepentingan pelunasan kredit.
b. Bank meminta penetapan eksekusi terhadap barang agunan debitor
yang telah diikat dengan sempurna
Terhadap barang agunan debitor yang telah diikat secara
sempurna, maka bank dapat langsung mengajukan permohonan
eksekusi barang agunan untuk memperoleh pelunasan piutangnya,
tanpa harus melalui proses gugatan ke pengadilan negeri. Setelah
menerima permohonan, Ketua Pengadilan Negeri akan memeriksa
bukti-bukti yang diajukan, apakah debitor masih berutang kepada
kreditor. Jika ternyata debitor masih berutang, maka permohonan
penetapan eksekusi akan dikabulkan.
48
Dari uraian di atas, maka penyelesaian kredit macet dengan
cara yang kedua adalah penyelesaian yang sesuai dengan ketentuan
Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, karena dalam rangka eksekusi
Hak Tanggungan tidak perlu melalui proses gugatan ke pengadilan
negeri. Kreditor cukup dengan membawa sertifikat Hak
Tanggungan yang memuat irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa" dan langsung mengajukan
permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri.
2. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara (BUPLN)/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL)
Dengan Undang-undang No 49 Prp Tahun 1960, PUPN
bertugas menyelesaikan piutang negara yang telah diserahkan
kepadanya oleh instansi pemerintah atau badan-badan negara.
Pengurusan piutang negara dilakukan PUPN dengan terlebih dahulu
memanggil pihak debitor untuk menyelesaikan kewajibannya. Jika
debitor datang menghadap, maka dijelaskan mengenai tata cara
penyelesaian sengketa dengan membuat Surat Pernyataan Bersama
antara PUPN dan debitor tentang besarnya jumlah utang dan
kesanggupan debitor untuk membayarnya. Surat Pernyataan Bersama
tersebut memuat irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa", sehingga mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau mempunyai
49
titel eksekutorial. Dalam hal debitor tidak bersedia datang menghadap
atau tidak bersedia menandatangani surat pernyataan bersama, maka
PUPN menerbitkan Surat Penetapan Jumlah Piutang Negara secara
sepihak.
Selanjutnya dalam hal surat pernyataan bersama itu tidak
dipenuhi oleh debitor atau berdasarkan Surat Penetapan Jumlah
Piutang Negara, PUPN dapat memaksa debitor untuk membayar
seluruh utang dengan mengeluarkan Surat Paksa, yang dilanjutkan
dengan penyitaan dan pelaksanaan lelang eksekusi. Surat Paksa
dikeluarkan dalam bentuk keputusan Ketua PUPN dengan titel
eksekutorial, sehingga mempunyai kekuatan seperti grosse dari
putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diajukan
banding lagi.
B. Proses Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan.
Pengaturan tentang eksekusi Hak Tanggungan dapat ditemukan
landasan hukumnya dalam ketentuan Pasal 20 UUHT yang menyatakan :
(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek
Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, ataub. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2).Obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya.
(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah
50
tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
(3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum.
(5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.38
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2)
UUHT sebagaimana disebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi atas
obyek jaminan Hak Tanggungan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu :
1. parate eksekusi;
2. titel eksekutorial; dan
3. penjualan di bawah tangan.
Ketiga jenis eksekusi Hak Tanggungan tersebut masing-masing
memiliki prosedur pelaksanan yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Tentang pengertian parate eksekusi sebenarnya dapat ditemukan dalam Pasal
6 UUHT yaitu, "hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut". Akan
tetapi, seperti telah dikemukakan sebelumnya, hak tersebut haruslah terlebih
38 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 13
51
dahulu diperjanjikan oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT atau yang
sebelum berlakunya UUHT diatur dalam ketentuan Pasal 1178 ayat (2)
KUHPerdata.
Dalam melaksanakan kewenangan/hak untuk menjual atas kekuasaan
sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT dan Penjelasannya ada
beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan oleh kreditur, yaitu :
a. Klausula ini harus tegas diperjanjikan dan harus didaftarkan
Pada prinsipnya, seorang kreditor/pemegang Hak Tanggungan
bebas untuk memperjanjikan klausula ini atau tidak. Namun, seperti yang
telah dikemukan sebelumnya, hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk
melaksanakan penjualan obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
tersebut tidaklah dengan sendirinya ada, melainkan harus diperjanjikan
terlebih dahulu oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
atas hak atas tanah. Oleh karena itu janji sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf e yang telah tercetak dalam blanko formulir Akta
Pemberian Hak Tanggungan haruslah tetap dipertahankan/diperjanjikan
oleh para pihak. Selanjutnya Akta Pemberian Hak Tanggungan ini wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, dimana
dalam proses pendaftaran ini PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian
hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan
kepada Kantor Pertanahan.
52
b. Debitor harus cidera janji (wanprestasi).
Kreditor/pemegang Hak Tanggungan pada dasarnya tidak
membutuhkan eksekusi selama debitor memenuhi kewajiban perikatannya
dengan baik. Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tersebut hanya
ditujukan kepada debitor yang cidera janji (wanprestasi) saja.
Apabila debitor tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan,
maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. la dikatakan alpa, lalai
atau cidera janji, atau juga melanggar perjanjian, yaitu apabila ia
melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya atau
bertentangan dengan apa yang telah diperjanjikannya semula.
Cidera janji atau yang disebut dalam bahasa Belanda
"wanprestatie" artinya adalah prestasi yang buruk. Atau dengan kata lain
"tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik
perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul
karena undang-undang".39 Menurut M. Yahya Harahap adapaun pengertian
yang umum tentang wanprestasi adalah :
Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apa bila dia dalam melakukan pelaksanan prestasi perjanjian telah lalai sehingga ‘terlambat’ dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut 'sepatutnya/selayaknya'.40
39 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal 2040 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal 60
53
Dalam hal terjadinya cidera janji (wanprestasi) dalam perjanjian
kredit bank, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan wanprestasi yang
terjadi pada jenis perjanjian lain. Hanya saja pada perjanjian kredit bank,
wanprestasi pada umumnya terjadi karena disebabkan pelunasan kembali
kredit yang diberikan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dalam membicarakan wanprestasi kita tidak bisa terlepas dari
masalah "pernyataan lalai" dan "kelalaian". Tentang hal ini oleh Pasal
1238 KUHPerdata telah memberikan petunjuk dengan menyatakan "Si
berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah
akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah
jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan".41 Adapun yang dimaksud dengan surat
perintah dalam Pasal 1238 KUHPerdata tersebut adalah peringatan resmi
oleh seorang juru sita pengadilan, sedangkan yang dimaksud dengan akta
sejenis adalah suatu tulisan biasa yang tujuannya sama, yakni untuk
memberikan peringatan kepada debitor agar memenuhi prestasi dalam
seketika.
Dengan demikian, dalam hal debitor cidera janji (wanprestasi)
seperti tersebut di atas, undang-undang sebenarnya mewajibkan
kreditor/pemegang Hak Tanggungan untuk memberikan pernyataan lalai
kepada debitor. Akan tetapi kewajiban untuk memberikan pernyataan lalai
itu dapat ditiadakan dengan jalan mengadakan ketentuan dalam perjanjian
yang menyatakan bahwa wanprestasi tersebut cukup dibuktikan dengan 41 Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., hal 269
54
lewatnya waktu yang telah diperjanjikan, seperti waktu pembayaran/
pelunasan kredit.
Dalam prakteknya, menurut J. Satrio :
Kreditur-pemegang-hipotik pada umumnya memperjanjikan dalam perjanjian kreditnya, bahwa `dengan lewatnya waktu (tanggal tertentu) yang telah disepakati bersama untuk pengembalian kredit saja, sudah merupakan bukti yang nyata akan kelalaian debitur, sehingga tak diperlukan adanya somasi, dan dengan sendirinya kredit yang bersangkutan menjadi matang untuk ditagih.42
Jadi pada prinsipnya, dengan berpatokan pada tanggal yang
ditetapkan sebagai batas akhir pengembalian kredit saja sudah bisa
dijadikan pedoman untuk menentukan apakah debitur sudah cidera janji
(wanprestasi) atau belum.
c. Merupakan hak pemegang Hak Tanggungan pertama.
Undang-undang menetapkan bahwa kewenangan untuk menjual
atas kekuasaan sendiri tersebut adalah merupakan hak pemegang Hak
Tanggungan pertama saja. Hal ini dimaksudkan adalah untuk menjaga
agar tidak timbul kesulitan disebabkan adanya sengketa diantara sesama
pemegang Hak Tanggungan dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang
Hak Tanggungan.
Meskipun dalam pasal 11 ayat (2) huruf e ditetapkan bahwa yang
dapat memperjanjikan klausula seperti itu hanya pemegang Hak
Tanggungan pertama saja, narnun dalam prakteknya semua pemegang Hak
Tanggungan memperjanjikan klausula seperti itu, karena disamping sudah
tercetak dalam blanko formulir Akta Pembebanan Hak Tanggungan, 42 J. Satrio, op. cit. hal 24
55
undang-undang sendiri tidak melarang pemegang Hak Tanggungan lain
memperjanjikan kewenangan seperti itu, apalagi ada kemungkinan terjadi
pergeseran kedudukan, dimana Hak Tanggungan pertama oleh karena
pelunasan akan menjadi hapus dan pemegang Hak Tanggungan berikutnya
atau di bawahnya akan bergeser ke atas menjadi yang pertama.
d. Pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
harus melalui pelelangan umum.
Syarat penjualan "melalui pelelangan umum" adalah merupakan
salah satu wujud adanya jaminan, bahwa pelaksanaan hak untuk menjual
atas kekuasaan sendiri itu tidak akan menelantarkan kepentingan yang
lain, dalam hal ini baik kepentingan debitor/pemberi Hak Tanggungan
maupun pihak ketiga sesama kreditor/pemegang Hak Tanggungan. Dasar
pemikiran bahwa harus melalui penjualan dimuka umum atau melaui
lelang, menurut Herowati Poesoko adalah :
dengan penjualan obyek jaminan melalui suatu penjualan lelang secara umum dimaksudkan dapat diharapkan akan diperoleh harga yang wajar atau harga yang lebih tinggi, karena dalam suatu lelang tawaran yang rendah dapat diharapkan akan memancing peserta lelang lain untuk mencoba mendapatkan benda lelang dengan menambah tawaran. lni merupakan salah satu wujud bagi perlindungan hukum kepada pemberi jaminan (debitor).43
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan
(Permenkeu) No. 40/PMK 07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
43 Herowati Poesoko, op. cit. hal 239
56
jo. Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 150/PMK.06/2007
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No.
40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, bahwa lelang
adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran
harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun
untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman
lelang, sedangkan pada Pasal 2 ditegaskan bahwa setiap pelaksanaan
lelang harus dilakukan oleh dan/atau dihadapan Pejabat Lelang kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Adapun yang dimaksud dengan Pejabat Lelang adalah orang yang
khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan melaksanakan penjualan
barang secara lelang, yang terdiri dari Pejabat Lelang Kelas I yang
berkedudukan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) dan berwenang melaksanakan lelang untuk semua jenis lelang,
serta Pejabat Lelang Kelas II yang berkedudukan di Kantor Pejabat Lelang
Kelas II dan hanya berwenang melaksanakan lelang berdasarkan
permintaan Balai Lelang atas jenis lelang Non Eksekusi Sukarela, lelang
aset BUMN/D berbentuk Persero dan lelang aset milik Bank dalam
likuidasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 Permenkeu No. 40/PMK.
07/2006 jo. Permenkeu No. 150/PMK.06/2007 tersebut di atas, bahwa
lelang berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT adalah termasuk jenis Lelang
Eksekusi, yaitu lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan
57
atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundangan-
undangan yang berlaku dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu
penegakan hukum. Dalam pasal ini disebutkan pula bahwa yang termasuk
dalam lelang eksekusi ini adalah : Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak,
Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-undang
Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea
Cukai, Lelang Eksekusi Barang Sitaan Pasal 45 KUHAP, Lelang Eksekusi
Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi
Fiducia dan Lelang Eksekusi Gadai.
Kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama yang bermaksud
melakukan penjualan secara lelang berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT,
langsung mengajukan surat permohonan lelang secara tertulis kepada
Kepala KPKNL disertai dengan dokumen persyaratan lelang tanpa
memerlukan lagi persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan. Dalam hal ini
KPKNL tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan
kepadanya sepanjang dokumen persyaratan lelang sudah lengkap dan telah
memenuhi legalitas subyek dan obyek lelang.
Kreditor sebagai penjual/pemilik barang dapat mengajukan syarat-
syarat lelang tambahan yang dilampirkan dalam surat permohonan lelang
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, antara lain :
a. jadwal penjelasan lelang kepada peserta lelang sebelum pelaksanaan
58
lelang (aanwidjzing);
b. jangka waktu bagi calon pembeli untuk melihat, meneliti secara fisik
barang yang akan dilelang;
c. jangka waktu pembayaran harga lelang;
d. jangka waktu pengambilan/penyerahan barang oleh pembeli
Tempat pelaksanaan lelang harus di wilayah kerja KPKNL tempat
obyek Hak Tanggungan berada. Pengecualian terhadap ketentuan itu
hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari :
a. Direktur Jenderal pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)
atas nama Menteri untuk barang yang berada di luar wilayah Republik
Indonesia;
b. Direktur Jenderal atau Pejabat yang ditunjuk untuk barang yang berada
dalam wilayah antar Kantor Wilayah DJKN; atau
c. Kepala Kantor Wilayah DJKN setempat untuk barang yang berada
dalam wilayah Kantor Wilayah DJKN setempat.
Surat persetujuan sebagairnana dimaksud di atas dilampirkan pada
surat permohonan lelang dan KPKNL dapat mensyaratkan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk menggunakan tempat dan fasilitas
lelang yang disediakan oleh DJKN, sedangkan waktu pelaksanaan lelang
dilakukan pada jam dan hari kerja KPKNL.
Penjualan secara lelang wajib didahului dengan Pengumuman
Lelang yang dilakukan oleh penjual/pemegang Hak Tanggungan melalui
59
surat kabar harian di tempat obyek Hak Tanggungan berada atau ditempat
yang terdekat atau di ibukota propinsi yang bersangkutan dan beredar di
wilayah kerja KPKNL tempat obyek Hak Tanggungan akan dijual sesuai
dengan tiras/oplah yang ditentukan dalam Permenkeu ini, dan harus
dicantumkan dalam halaman utama/reguler dan dilarang dicantumkan
pada halaman suplemen/tambahan/khusus. Dalam hal dipandang perlu,
penjual/pemegang Hak Tanggungan dapat menambah pengumuman lelang
dengan menggunakan media lainnya guna mendapatkan peminat yang
seluas-luasnya. Pengumuman lelang ini dilakukan sebanyak dua kali
dengan tenggang waktu berselang 15 (lima belas) hari. Pengumuman yang
pertama diperkenankan melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum,
dan dapat ditambah melalui media elektronik, namun demikian jika
dikehendaki pengumuman pertama dapat dilakukan dengan surat kabar
harian, sedangkan pengumuman kedua harus melalui surat kabar harian
dan dilakukan berselang 14 (empat betas) hari sebelum hari pelaksanaan
lelang.
Pengumuman lelang atas obyek Hak Tanggungan berdasarkan
ketentuan Pasal 20 ayat (1) Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 jo.
Permenkeu No. 150/PMK.06/2007 tersebut di atas paling sedikit memuat :
a. identitas penjual;
b. hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang;
c. jenis dan jumlah barang;
d. lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya
60
bangunan;
e. jangka waktu melihat obyek yang akan dilelang;
f. uang jaminan penawaran lelang meliputi besaran, jangka waktu, cara
dan tempat penyetoran;
g. jangka waktu pembayaran harga lelang;
h. harga limit (reserve price).
Pengumuman Lelang Ulang dilakukan 1 (satu) kali melalui surat
kabar harian berselang 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan lelang, jika
waktu pelaksanaan lelang ulang dimaksud tidak melebihi 60 (enam puluh)
hari dari pelaksanaan lelang terdahulu, dan jika waktu pelaksanaan lelang
ulang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dari pelaksanaan lelang
terdahulu, maka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20
ayat (1) Permenkeu sebagaimana telah disebut di atas.
Dalam pelaksanaan lelang, lelang pertama harus diikuti oleh paling
sedikit 2 (dua) peserta lelang, sedangkan lelang ulang dapat dilaksanakan
dengan diikuti oleh 1 (satu) orang peserta lelang. Pada setiap pelaksanaan
lelang, penjual wajib menetapkan harga limit berdasarkan pendekatan
penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan, serendah-rendahnya
ditetapkan sama dengan nilai likuidasi (forced sale value) dan bersifat
terbuka/tidak rahasia dan harus dicantumkan dalam pengumuman lelang.
Sedangkan bagi peserta lelang agar dapat menjadi peserta lelang
diharuskan pula menyetor uang jaminan penawaran lelang kepada KPKNL
yang besarnya paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dan paling banyak
61
50 % (lima puluh persen) dari perkiraan harga limit.
Penawaran lelang dilakukan secara langsung, dimana semua
peserta lelang yang sah atau kuasanya (dengan akta notaris) pada saat
mengajukan penawaran harus hadir di tempat pelaksanaan lelang yang
dapat dilakukan dengan cara :
a. lisan, semakin meningkat atau menurun;
b. tertulis;
c. atau tertulis dilanjutkan dengan lisan, dalam hal penawaran tertinggi
belum mencapai harga limit.
Pejabat lelang dapat mensahkan penawar tertinggi sebagai pembeli
apabila penawaran yang diajukan telah mencapai atau melampaui harga
limit. Dalam hal ini Pejabat Lelang, Kreditor/Penjual, Pemandu Lelang,
Pengacara/Advokat, Notaris, PPAT, Pegawai KPKNL dan Debitor yang
terkait langsung dengan proses lelang dilarang menjadi pembeli lelang.
Akan tetapi sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan dibidang perbankan dan pertanahan, Bank sebagai kreditor
dapat membeli agunannya melalui lelang, dengan ketentuan
menyampaikan Surat Pernyataan bahwa pembelian tersebut dilakukan
untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1
(satu) tahun, dan dalam hal jangka waktu tersebut telah terlampaui, bank
dianggap sebagai pembeli.
e. Pelunasan piutang diambil dari hasil penjualan lelang
Pembeli lelang sesuai dengan Permenkeu No. 40/PMK.07/2006 jo.
62
Permenkeu No. 150/ PMK.06/2007 harus sudah melakukan pembayaran
harga lelang secara tunai/cash atau cek/giro dalam waktu paling lambat 3
(tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang kepada Bendaharawan
Penerima KPKNL dan untuk pembayaran ini oleh KPKNL wajib
dibuatkan kwitansi atau tanda bukti pembayaran harga lelang dan
diserahkan kepada pembeli lelang. Selanjutnya penyetoran hasil bersih
lelang kepada kreditor/penjual dilakukan oleh KPKNL paling lambat 3
(tiga) hari kerja setelah pembayaran diterima oleh Bendahara Penerima
KPKNL, sedangkan Bea Lelang dan Pajak Penghasilan (PPh) disetorkan
ke Kas Negara oleh Bendaharawan Penerima KPKNL dalam waktu 1
(satu) hari kerja setelah pembayaran diterima.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (1) UUHT dapat
dipahami bahwa kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama berhak
mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan lelang
obyek Hak Tanggungan lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain.
Dalam hal hasil penjualan lelang lebih besar daripada piutang tersebut
yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya adalah menjadi
hak dan harus diserahkan kepada pemberi Hak Tanggungan. Bahkan
dalam ketentuan Pasal 21 UUHT disebutkan "Apabila pemberi Hak
Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap
berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan
undang-undang ini".44 Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih
memantapkan kedudukan diutamakan pemegang Hak Tanggungan dengan 44 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 45
63
mengecualikan berlakunya akibat kepailitan pemberi Hak Tanggungan
terhadap obyek Hak Tanggungan.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa disamping
parate eksekusi masih ada 2 (dua) cara lagi yang dapat ditempuh oleh
kreditor/pemegang Hak tanggungan untuk mengambil pelunasan
piutangnya dalam hal debitor/pemberi Hak Tanggungan cidera janji, yaitu
eksekusi melalui titel eksekutorial dan penjualan di bawah tangan.
Untuk eksekusi yang menggunakan titel eksekutorial yang terdapat
dalam setifikat Hak Tanggungan (sebelumnya menggunakan grosse akta
hipotik) pelaksanaan penjualan benda jaminan atau obyek Hak
Tanggungan tersebut "tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 224 HIR/258 RBg, yang
prosedur pelaksanaannya memerlukan waktu yang lama".45 karena
memerlukan fiat eksekusi dan Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan
penjualan di bawah tangan, pelaksanaannya harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang
Hak Tanggungan, adanya syarat bagi pemberi dan/atau pemegang Hak
Tanggungan untuk memberitahukan secara tertulis kepada pihak yang
berkepentingan (pemegang Hak Tanggungan kedua, ketiga dan kreditor
lainnya dari pemberi Hak Tanggungan) setidak-tidaknya 1 (satu) bulan
sebelum pelaksanaan penjualan dilakukan dan diumumkan sedikit-dikitnya
dalam 2 (dua) surat kabar harian yang beredar di daerah yang
bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang 45 Herowati Poesoko, op. cit., hal 5
64
menyatakan keberatan.
C. Pelaksanaan Eksekusi Obyek Hak Tanggungan Dalam Praktek
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pelaksanaan eksekusi Hak
Tanggungan didasarkan pada hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk
menjual obyek Hak Tanggungan atau berdasarkan titel eksekutorial yang
terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan, yang pelaksanaannya dilakukan
dengan penjualan obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum untuk
pelunasan hutang debitor.
Dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) UUHT, antara lain disebutkan :
Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan. Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan obyek Hak Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.46
Dari ketentuan di atas, diperoleh ketegasan bahwa setiap eksekusi
harus dilakukan dengan cara penjualan obyek Hak Tanggungan melalui
pelelangan umum, yang hasilnya digunakan untuk pelunasan utang debitor.
Utang yang harus dibayar dari hasil lelang obyek Hak Tanggungan maksimal
adalah sebesar nilai tanggungan yang disebut dalam sertifikat Hak
Tanggungan.
Dalam proses eksekusi Hak Tanggungan pada bank yang terjadi
selama ini dalam praktek apabila debitor ingkar janji dan jalan damai tidak
berhasil ditempuh, maka kreditor tidak perlu melalui proses gugatan di 46 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit. hal 44
65
pengadilan. Akan tetapi kreditor cukup membawa sertifikat Hak Tanggungan
yang memakai irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa" ke pengadilan negeri dan langsung mengajukan permohonan eksekusi
Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana obyek
Hak Tanggungan itu berada.
Setelah menerima permohonan itu, Ketua Pengadilan Negeri akan
memeriksa bukti yang diajukan. Apabila Ketua Pengadilan Negeri
mengabulkan permohonan itu, maka Ketua Pengadilan Negeri akan
menindaklanjuti dengan menerbitkan surat tegoran (aanmaning) agar debibur
dalam waktu 8 (delapan) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 196
HIR/207 RBg segera memenuhi kewajibannya untuk membayar utangnya
secara sukarela. Apabila debitor tetap lalai untuk memenuhi kewajibannya
sesuai jadwal yang ditentukan, atas perintah/penetapan Ketua Pengadilan
Negeri akan dilakukan sita eksekusi terhadap tanah yang menjadi obyek Hak
Tanggungan yang diikuti pula dengan dikeluarkannya Penetapan Lelang.
Selanjutnya Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri akan mengajukan
permohonan lelang kepada KPKNL untuk dijadwalkan lelangnya. Dalam hal
ini yang bertindak sebagai penjual/pemohon lelang adalah pihak
Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri, sementara pihak kreditor sebagai pihak
pemohon eksekusi menunggu hasil pelaksanaan eksekusi (lelang) yang
dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
Uang dari hasil lelang akan dipergunakan untuk membayar utang
debitor, setelah dibayarkan terlebih dahulu biaya-biaya yang diperlukan
66
seperti bea lelang, dan apabila ada kelebihannya, maka sisa uang tersebut akan
dikembalikan kepada pemberi Hak Tanggungan (debitor).
Jadi pada prinsipnya proses eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan
oleh bank selama ini adalah masih mengacu kepada eksekusi melalui fiat
pengadilan negeri atau berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam
sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana juga dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1) huruf b UUHT, yang pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224
HIR/258 RBg, dan bukan atau belum dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 6
jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT.
Eksekusi berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT (parate eksekusi) tidak
atau belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya karena dalam prakteknya
pejabat/juru lelang menolak untuk melaksanakan penjualan di muka umum
atas obyek Hak Tanggungan sebelum ada persetujuan atau fiat eksekusi dari
Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berhubungan erat dengan adanya putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3210 K/Pdt/1084 tanggal 30
Januari 1986 yang telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung
dan menyatakan penjualan lelang berdasarkan parate eksekusi yang telah
dilakukan tanpa melalui Ketua Pengadilan adalah perbuatan melawan hukum
dan lelang yang bersangkutan adalah batal.
Keadaan inilah menurut penulis yang mengakibatkan kreditor/
pemegang Hak tanggungan maupun pejabat/juru lelang tidak mempunyai
kemauan dan keberanian untuk memanfaatkan klausula parate eksekusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT.
67
Dengan diundangkan dan diberlakukannya UUHT pada tanggal 9
April 1996, tentunya akan membawa harapan baru bagi pelaku ekonomi dan
dunia perbankan, sebab kemudahan dan kepastian hukum terhadap eksekusi
Hak Tanggungan khususnya parate eksekusi akan dapat direalisasikan secara
nyata.
Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2) UUHT
tersebut telah diatur adanya 3 (tiga) cara eksekusi yang dapat ditempuh oleh
kreditor/pemegang Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan
bilamana debitor/pemberi Hak Tanggungan cidera janji (wanprestasi), yaitu :
1. Eksekusi berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk
menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
Undang-undang ini (Parate Eksekusi), atau
2. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) undang-
undang ini, dan
3. Eksekusi melalui penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah
tangan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.
Dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b UUHT tersebut,
pembentuk undang-undang telah memberikan perbedaan secara tegas antara
"parate eksekusi" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan "eksekusi
berdasarkan titel eksekutorial" yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
68
(pengganti grosse akta hipotik). Demikian juga dengan Permenkeu No.
40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang jo. Permenkeu
No.150/PMK.06/2007 Tentang Perubahan Atas Permenkeu No.
40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, telah memasukkan
lelang eksekusi Pasal 6 UUHT sebagai salah satu jenis lelang yang masuk
dalam pengertian lelang eksekusi disamping jenis lelang eksekusi lainnya
(Pasal 1 angka 4). Oleh karena itu tidak ada alasan lagi bagi Kantor Lelang
Negara/KPKNL untuk menolak pelaksanaan parate eksekusi yang diajukan
oleh kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama karena adanya putusan
Mahkamah Agung yang menyatakan tidak sah lelang umum yang dilakukan
tanpa adanya fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, karena hal tersebut
telah diatur secara tegas oleh Undang-undang.
Adalah suatu hal yang sulit dimengerti, jika saat ini, setelah
diberlakukannya UUHT atau bahkan sebelumnya, karena "janji untuk menjual
atas kekuasaan sendiri" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1178 Ayat (2)
KUHPerdata, yang pada prinsipnya berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata), Ternyata masih banyak
pihak yang ragu untuk melaksanakan parate eksekusi yang telah diatur secara
tegas di dalamnya dengan alasan adanya putusan Mahkamah Agung
(yurisprudensi) yang tidak sejalan dengannya. Perlu kiranya untuk dipahami,
bahwa walaupun undang-undang dan yurisprudensi adalah sama-sama
merupakan sumber hukum atau sebagai tempat kita mencari dan menemukan
hukum, tapi undang-undang adalah merupakan produk legislatif yang bersifat
69
umum, sehingga setiap orang harus mengakui eksistensinya sebagai undang--
undang yang aturan-aturannya berlaku dan mengikat setiap orang. Sedangkan
yurisprudensi atau putusan pengadilan yang merupakan produk yudikatif,
berisi kaedah atau peraturan hukum, yang hanya mengikat pihak-pihak yang
bersangkutan atau orang-orang tertentu saja, dan tidak mengikat setiap orang
secara umum seperti undang-undang. Bahkan seorang hakim, sesuai dengan
sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak perlu mengikuti putusan-
putusan terdahulu mengenai perkara sejenis, atau dengan kata lain, hakim
tidak terikat pada precedent atau putusan hakim terdahulu mengenai perkara
atau persoalan hukum yang serupa dengan perkara yang akan diputuskannya.
Pendapat ini telah pula bersesuaian dengan pendapat Sudikno
Mertokusumo yang menyatakan :
Dalam sistem kontinental, termasuk sistem peradilan di Indonesia, seperti yang telah disinggung di muka, hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang serupa. Untuk merealisasi asas kesamaan tersebut di atas dalam sistem Kontinental ini hakim diikat oleh undang-undang. Disini hakim berpikir deduktif dari undang-undang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus. Dalam sistem Anglo-saks hakim terikat pada 'precedent' atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputus, Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu apabila ia dihadapkan pada suatu peristiwa. Disini hakim berpikir induktif.47
Kalau terjadi konflik norma hukum yang terdapat pertentangan norma
dari undang-undang, bila dikonstruksikan prosedur pelaksanaan parate
eksekusi adalah melalui pelelengan umum, prosedur tersebut merupakan
eksekusi yang menyimpang dari prinsip eksekusi menurut Hukum Acara
Perdata, pada Penjelasan Umum Angka 9 jo. Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan
47 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005, hal 115
70
(3), yang intinya pelaksanaan parate ekskusi berdasarkan pada Pasal 224
HIR/Pasal 258 R.Bg.
Dalam ilmu hukum kalau terjadi konflik norma dikenal apa yang
disebut dengan azas preferensi, yaitu suatu azas pengutamaan atau azas
mengalahkan. Ada beberapa azas-azas penyelesaian konflik48, adalah :
a. Azas lex posterior (lex posterior derogate legi priori): undang-undang
yang kemudian mengalahkah yang terdahulu.
b. Azas lex specialis (lex specialis deroga legi general): undang-undang
khusus mengalahkan yang umum.
c. Azas lex superior (lex superior deroga legi inferiors): undang-undang
yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.
Dari ketiga azas tersebut yang paling tepat untuk menyelesaikan
konflik norma adalah lex specialis deroga legi general (undang-undang
khusus mengalahkan yang umum). Azas ini merujuk kepada dua peraturan
perundang-undangan yang secara hirarkis mempunyai kedudukan yang sama.
Akan tetapi ruang lingkup materi muatan antara kedua peraturan perundang-
undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus
dari yang lain. Berarti prosedur untuk pelaksanaan penjualan obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) sebagai hak dari kreditor
pemegang Hak Tanggungan pertama, tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan
Negeri.
Tentang adanya ketentuan di dalam Buku II Tentang Pedoman
48 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal 31, dikutip dari P.W. Brouwer, et. Al., Coherence and Conflict in Law, W.E.J. Tjeenk Willink, Kluwer, Zwolle, hal. 217-223
71
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang mengharuskan eksekusi
hipotik dilaksanakan seperti eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap atau dengan kata lain harus mendapat izin terlebih dahulu dari
Ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal ini harus kita pahami bahwa petunjuk ini
hanya berlaku terhadap eksekusi hipotik yang cukup kental dipengaruhi oleh
adanya putusan MARI No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, akan
tetapi tidak demikian halnya terhadap eksekusi Hak Tanggungan yang
dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT, karena Undang-undang
tersebut telah dengan tegas memberikan kewenangan untuk menjual atas
kekuasaan sendiri (parate eksekusi) kepada kreditur/pemegang Hak
Tanggungan pertama.
Dalam Edisi Revisi Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA/007/SK/IV/1994 tanggal 1
April 1994, telah ditegaskan bahwa "Untuk menjaga penyalahgunaan, maka
penjualan lelang, juga berdasarkan pasal 1178 BW (kecuali penjualan lelang
ini dilaksanakan berdasarkan pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan) selalu
baru dapat dilaksanakan setelah ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri".49
Dengan demikian, jelas bisa dipahami bahwa sejak diberlakukan dan
diundangkannya UUHT, Mahkamah Agung sendiri cenderung mengakui akan
eksistensi parate eksekusi sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 UUHT.
Selanjutnya terhadap adanya keraguan sebagian kalangan terutama
49 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrfasi Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahakmah Agung RI, 1997, hal 136
72
pihak pembeli lelang, bahwa pengadilan negeri akan menolak mengeluarkan
perintah pengosongan dalam hal obyek Hak Tanggungan yang telah dilelang
itu tidak dengan suka rela diserahkan dengan alasan karena lelang tersebut
tidak dilakukan melalui pengadilan negeri, keraguan tersebut saat ini tidaklah
cukup beralasan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan parate eksekusi (pasal 6 UUHT) tidak konsisten dengan
prinsip hukum jaminan, sebab terdapat kerancuan pengaturan mengenai
perolehan hak kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, karena di
satu sisi hak itu lahir karena Undang-undang di sisi lain hak tersebut
terlahir secara diperjanjikan, sehingga pengertian parate eksekusi
menimbulkan makna ganda / kabur. Maka satu sisi parate eksekusi
berdasarkan Pasal 16 UUHT yaitu melalui pelelangan umum dan di sisi
lain melalui titel eksekutorial sehingga melalui fiat Ketua Pengadilan
Negeri.
2. Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh
pemegang hak tanggungan dalam prakteknya selama ini adalah masih
mengacu kepada eksekusi melalui fiat pengadilan negeri atau berdasarkan
titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, yang
pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg, dan masih
sedikit dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a
UUHT.
73
74
B. Saran
1. Agar terwujudnya prinsip perlindungan hukum bagi kreditor manakala
debitor wanprestasi, maka diharapkan menggunakan eksekusi berdasarkan
parate eksekusi sesuai yang dimaksudkan dalam pasal 6 UUHT. Agar
tujuan untuk mempercepat pelunasan piutang kreditor, dalam
pengembalian dana pinjaman tersebut.
2. Hendaknya parate eksekusi obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan
sesuai dengan pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, sehingga tidak
melaui fiat Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan Titel Eksekurotial, tetapi
langsung melalui pelelangan umum oleh Balai Lelang Negara.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.
________, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Fuady, Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Hadjon Philipus M. dan Tatiek Sri Djalmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarya, 2005.
Harahap, Yahya M, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, Zahir Trading Co, Medan, 1977.
________, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982.
________, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta, 1991.
________, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan Dan Arbitrase Dan Standar Hukum Eksekusi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2007.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang Panting Serta Hubungan Keentuan Hukum Acara Perdata, Jakarta, 1992.
________, Pustaka Peradilan Jilid 1, Jakarta, 1994.
________, Pedoman Pelaksanaan Tugas can Administrasi Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Proyek Pembinaan 1 eknis Yustisial Mahkamah Agung RI, 1997.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
________, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta, 2006.
Panggabean, H.P, Himpunan Putusan Mahkamah Agung RI Mengenai Perjanjian Kredit Perbankan (Berikur Tanggapan), Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
Poesoko, Herowati, Parate Eksekusi Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2007.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Satrio, J, Hukum Perikatan-perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993.
________, Parate Eksekusi Sebagai Sarala Mengatasi Kredit Macet, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
________, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti Bandung, 1996.
Sjandeini ST. Remy, Hak Tanggungan, asas-asas, ketentuan-ketentuan pokok dan masalah yang dihadapi oleh perbankan (Suatu Kajian mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999.
Sofwan, Sri Soedewi Masychun, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1981.
Subekti, Jaminan Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, 1982.
________, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-uodang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004.
Suparman, Eman, Kitab Undang-undang Per3dilan Umum, Fokusmedia, Bandung, 2004.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene lndonesisch Reglement).
Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fiducia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomcr 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara / Daerah.
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan nasional Nomor 3 Tahun1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku-Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran Hak Tanggungan,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/MK.07/2005 Tentang Balai Lelang.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07,2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 47/KMK.01/1996 Tentang Balai Lelang.
C. MAKALAH / MAJALAH
Bank Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Jakarta, 2007.
Hasbullah, A. T, Peran Lelang Dalam mendukung Penyelesaian Kredit Macet Perbankan, Makalah Seminar, BaIai Lelang Tunjungan, Surabaya, 2008.
Muchsin, H, Mediasi di Pengadilan dan lmplikasi Hukum Lelang Eksekusi, Makalah Seminar, Balai Lelang Tunjungan, Surabaya, 2008.