Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan...
Transcript of Warta Hak Asasi Manusia - balitbangham.go.idpendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan...
PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DAN KEKERASAN TERHADAP ANAK
Pemenuhan Hak Partisipasi Anakdalam Pembangunan
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
HumanisWarta Hak Asasi Manusia
VOLUME 1 TAHUN XI JULI 2015 ISSN 1412-3916
PELANTIKAN PEJABAT ESELON IDI LINGKUNGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM
TAHUN 2015
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAMKementerian Hukum dan HAM RIJl. HR. Rasuna Said Kav. 4-5 Kuningan, Jakarta Selatan
www.balitbangham.go.id ©2015 - Humas dan Informasi
Foto: Erfina
Foto: Erfina
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 1
HumanisWarta Hak Asasi Manusia
Daftar IsiHalaman
Surat Pembaca 2
Buah Bibir Meramu Keberhasilan Sistem Penal 3
OpiniPerspektif HAM dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Adat) Melalui Sektor Pariwisata 6
Hak-Hak Narapidana Ditinjau dari Perspektif HAM 10
Pemenuhan Hak Partisipasi Anak dalam Pembangunan 15
Teori Pemidanaan (Hukuman) dalam Pandangan Hukum 19
FokusImplementasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 dalam Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak ditinjau dariPerspektif HAM 22
Hak Hidup Pengungsi Bangla-desh dan Etnis Rohingya dalam Perspektif HAM di Aceh 27
Upaya Penghapusan Diskrimi-nasi dan Kekerasan terhadap Anak Perempuan 32 Agenda 36
Apa dan Siapa 40
Dari RedaksiPelindung
Menteri Hukum dan HAMRepublik Indonesia
PengarahY. Ambeg Paramarta, S.H., M.Si.
Penanggung JawabChairani Idha K.
RedakturSamuel Purba,S.H., M.Hum.Trisasi Dwi Handahyni, S.H.
RR. Risma Indriyani, S.H., M.Hum.Djoko Pudjiraharjo, S.H., M.Hum
Redaktur PelaksanaDrs. Halasan Pardede
Penyunting/EditorSabir R, Bc.KN., S.Sos.
Daryono, S.H.
Desain Grafis dan FotograferAgus Priyatna, A.Md.
Maria Erfina Oktaviani, S.I.P.
SekretariatSyafril M., S.Sos.Tri Wantustri, S.H.
PenerbitBadan Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan Hak Asasi Manusia
Alamat RedaksiJl. HR. Rasuna Said Kav. 4-5,
Kuningan-Jakarta Selatan, Telp. 021-2525165, Fax. 2526438website:www.balitbangham.go.id
Redaksi menerima tulisan, artikel, karikatur, yang berkaitan dengan HAM.
Redaksi berhak mengedit tanpa mengubah substansi. Surat dikirim ke redaksi Humanis atau melalui email :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada diri manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap warga negara. Namun realita kehidupan di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya diskriminasi, penyiksaan, pengabaian atas hak-hak masyarakat, perdagangan anak dan perempuan, kekerasan terhadap anak perempuan dan berbagai jenis pelanggaran HAM lainnya merupakan kejadian yang semakin marak terjadi. Menyikapi beragam pelanggaran HAM tersebut, pada edisi kali ini redaksi menyajikan beragam topik kajian tentang HAM dari sudut pandang yang beragam pula, di antaranya terkait dengan kesejahteraan masyarakat adat, tentang hak-hak narapidana, pemenuhan hak anak dalam pembangunan, penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, hak pengungsi dan upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap anak perempuan. Harapan redaksi, melalui sudut pandang penanggulangan pelanggaran HAM dalam edisi ini, pembaca mendapatkan tambahan pengetahuan dan pemahaman tentang HAM.
Foto Cover: http://kidzedge.com/recent-issues/empowering-children/
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 20152
SURAT PEMBACA
Pendidikan HAM pada Sekolah Dasar
Redaksi yang terhormat ,
Kesadaran akan nilai Hak Asasi Manusia pada
dasarnya tidak pernah didapat dengan sendirinya,
tetapi melalui proses yang bertahap, baik melalui
pendidikan formal maupun yang lahir dari lingkungan
keluarga sendiri. Melalui surat pembaca, saya ingin
menyumbangkan saran untuk Majalah HUMANIS
bahwa pendidikan HAM seharusnya sudah dimulai
dari tingkat Sekolah Dasar. Dalam hal ini, Badan
Penelitian dan Pengembangan HAM mungkin dapat
menerbitkan majalah mengenai HAM di samping
kurikulum PPKN yang sudah ada untuk tingkat
Sekolah Dasar dan selanjutnya, sehingga anak
didik akan mendapat gambaran yang utuh mengenai
HAM sejak dini. Diharapkan dengan meningkatnya
pemahaman HAM tawuran antarpelajar maupun
mahasiwa dapat diminimalisir.
Dina Suhandi
Jl. Garuda Raya Bekasi
Sdr. Dina
Di Bekasi
Terima kasih atas surat Anda. Redaksi menyambut
baik pandangan Saudara akan pentingnya
pendidikan Hak Asasi Manusia sejak dini, yaitu dari
tingkat Sekolah Dasar, mengingat pembentukan
karakter manusia berada pada tingkat pendidikan
Sekolah Dasar, sehingga diharapkan kelak menjadi
manusia yang berbudi pekerti yang baik, dengan
menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak
Asasi Manusia.
Pemetaan Permasalahan HAM di Indonesia
Redaksi yang terhormat,
Dalam kesempatan ini saya sebagai pembaca
Majalah HUMANIS mempunyai harapan yang sangat
besar dalam perkembangan HAM di Indonesia.
Berkaitan dengan itu, saya berharap majalah
HUMANIS bisa menyampaikan pemberitaan tentang
kemajuan HAM di Indonesia secara konkrit.
Untuk itu mungkin dapat ditampilkan juga dengan
pemetaan permasalahan HAM yang terjadi di bumi
Indonesia.
Dengan demikian saya sebagai pembaca dapat
mengetahui dan memperoleh informasi yang baik
dan valid serta pada umumnya masyarakat luas pun
dapat mengetahuinya.
Fajar
Jl. Korma Tangerang (Islamic)
Sdr. Fajar
Di Tangerang
Terima kasih atas harapan yang Saudara utarakan
kepada Redaksi HUMANIS. Redaksi dengan segala
keterbatasan akan tetap terus berusaha mencari
data yang valid, akurat dan terkini yang berhubungan
dengan permasalahan HAM dan laporan kemajuan
permasalahan HAM di Indonesia. Hal ini tidak dapat
dengan mudah diperoleh serta membutuhkan waktu
yang tidak singkat. Oleh karena itu, mudah-mudahan
suatu saat Redaksi dapat menyampaikannya dengan
baik dalam bentuk cetakan. Untuk sementara ini,
Saudara dapat membuka website Badan Penelitian
dan Pengembangan HAM yang sudah menampilkan
permasalahan HAM di setiap provinsi.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 3
BUAH BIBIR
Kelebihan kapasitas
narapidana, penyalahgunaan
dan gembong narkoba,
serta inkapasitas staf telah
diindikasikan oleh banyak pihak
sebagai problematika layanan
pemasyarakatan kontemporer.
Berangkat dari temuan yang
dipublikasikan tentang berbagai
pelanggaran di beberapa
lembaga pemasyarakatan
(lapas) selama dua tahun
terakhir, khususnya hal yang
terkait kasus narkoba, sebagian
besar masalah yang mengakar
ini kerap dianggap sebagai
kegagalan institusional tunggal
ketimbang ‘ketidakharmonisan’
secara struktural. ‘Struktural’
dalam hal ini untuk menyatakan
bahwa pemasyarakatan perlu
diletakkan pada dua aspek, di
satu sisi sebagai mekanisme sah
negara untuk menghukum dan
di sisi lainnya sebagai otoritas
negara untuk memperbaiki pelaku
kriminal.
Dari perspektif yang
lebih luas, hukuman melalui
Meramu Keberfungsian Sistem Penal
Harison Citrawan*
penahanan (incarceration) dan
kebijakan pengendalian kejahatan
merupakan konsep yang terjalin
yang patut dilihat dalam sistem
pidana secara keseluruhan. Oleh
karena itu, dalam mengupas
pemasyarakatan paling baik
dilakukan dalam bingkai sistem
peradilan pidana nasional yang
terpadu; yang ternyata perspektif
terhadap hilir sistem ini, yakni
pemasyarakatan, masih sangat
kurang.
Pertama, jika kita
menempatkan premis dasar
kebutuhan untuk memperbaiki
sistem peradilan pidana nasional
yang terpadu maka gagasan
terhadap pemberdayaan atau
penguatan aparat penegak
hukum harus linier dengan visi
reformasi sistem pemasyarakatan.
Sebagaimana paradigma hari
ini antar-aparat sistem peradilan
yang cenderung bekerja sendiri-
sendiri ketimbang bahu-membahu
secara bersama, kebijakan hukum
pidana nasional harus mampu
memastikan bahwa semua
institusi pemangku kepentingan,
yaitu: pengadilan, kepolisian,
kejaksaan, hingga lembaga
pemasyarakatan, bekerja pada
arah yang sama.
Kedua, sebuah arah
bersama yang didasarkan pada
premis pertama perlu disandarkan
pada kebijakan pengendalian
kejahatan nasional. Sampai saat
ini, kebijakan tersebut belum
digali secara serius oleh setiap
lembaga hukum; sementara itu
fakta bahwa forum Dilkumjakpol
(yang terdiri Pengadilan Negeri,
Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Kepolisian dan
Kejaksaan) tampak masih ‘samar-
samar’ secara kelembagaan.
Oleh karena itu, visi hukum terkait
pengendalian kejahatan (crime
control) merupakan kebutuhan
genting di antara lembaga-
lembaga sistem peradilan pidana
terpadu.
Mengingat dua basis di
atas, lembaga pemasyarakatan
sebagai tempat penahanan
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 20154
BUAH BIBIR
para pelaku kriminal menjalani
hukuman mereka harus
secara konsekuen dibina
atau dibentuk kembali dalam
konteks pencegahan kejahatan
masa depan. Keberfungsian
kekuasaan pemidanaan, seperti
Foucault berpendapat, “is that
distributed throughout the social
space, legible like an open
book, operating by a permanent
recodification of the mind of the
citizens, eliminating crime by
those obstacles placed before
the idea of a crime, and acting
invisibly and uselessly on the
‘soft fibres of the brain’.”
Sementara kelebihan
kapasitas dianggap sebagai
masalah utama saat ini di
hampir seluruh lembaga
pemasyarakatan, solusi
proaktif dan jangka panjang
membutuhkan visi yang lebih
komprehensif dengan tidak
menempatkan kelebihan
kapasitas tersebut sebagai
fenomena kelembagaan yang
terpisah. Dalam sudut pandang
sistem peradilan pidana terpadu,
fenomena tersebut harus dilihat
sebagai masalah dari sistem
secara keseluruhan.
Patut diakui, belum ada data
yang komprehensif mengenai
efektivitas sistem peradilan pidana
terpadu di Indonesia, khususnya
dalam memulihkan dan memperbaiki
kelakuan buruk kriminal menjadi
masyarakat yang mulia (noble
society); contoh praktisnya ialah kita
sulit menemukan tingkat residivis di
negeri ini selama dekade terakhir.
Meskipun demikian, mengingat
jumlah narapidana yang sangat
besar di hampir semua fasilitas
pemasyarakatan di Indonesia,
dan masih meningkat sampai saat
ini, dapat diasumsikan bahwa kita
sangat memerlukan kebijakan
nasional dalam mengendalikan
kejahatan.
Melalui sebuah studi dari
Sistem Penjara Amerika Serikat,
Lynch menyampaikan bahwa,
“raising the rate of incarceration is
unlikely to lower crime if crime is
caused by factors that incarceration
does not or cannot address.” Jika
kita mengambil contoh penjahat
penyalahgunaan dan pengedar obat
di Indonesia, yang tidak diragukan
lagi berkembang pesat di sebagian
besar lembaga pemasyarakatan,
maka kita akan sampai pada
sebuah kesimpulan bahwa hukum
dan penerapan hukum itu sendiri
belum dipadukan secara kongruen
dengan kebijakan penghukuman.
Menghukum pelaku kriminal
melalui penahanan mungkin
memberikan efek jera di tengah
masyarakat, tetapi kondisi
‘over-punishment’ saat ini
justru menumpahkan masalah
yang lebih kompleks baik di
dalam maupun di luar lembaga
pemasyarakatan. Akibatnya,
lembaga pemasyarakatan
bagaimanapun tampak gagal
dalam berfungsi sebagai sebuah
sistem yang, sebagaimana Lynch
menjelaskan, “. . . has a crime
suppression effect, or one that
reduces the level of crime in
society.”
Tanpa visi mengendalikan
kejahatan secara nasional, kita
mungkin akan menghadapi
masalah-masalah lama yang
sama di masing-masing institusi
peradilan pidana. Terlepas dari
kenyataan bahwa penguatan
sistem peradilan pidana
terpadu nasional, terutama
dengan menegaskan posisi
pemasyarakatan sebagai
bagian integral dari sistem,
telah ditetapkan oleh Badan
Perencanaan Pembangunan
Nasional sebagai prioritas
pemerintah dalam lima tahun ke
depan, maka akan menjadi sia-sia
jika tidak didukung oleh kemauan
politik yang kuat, termasuk politik
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 5
BUAH BIBIR
legislasi.
Sebagaimana pandangan
kita terkait penegakan hukum
sebagian besar merujuk pada
proses ajudikasi, dari sudut
pandang sistem yang terintegrasi
maka strategi harus merujuk pada
mekanisme penegakan hukum
dari perspektif yang lebih besar
untuk menyertakan proses post-
ajudikasi. Langkah-langkah saat ini
meliputi revisi KUHP dan KUHAP,
hingga perubahan terhadap UU
Pemasyarakatan semoga akan
menjadi langkah besar berikutnya
untuk menjamin kehadiran negara
dalam kehidupan publik.
Akhirnya, keberhasilan sistem
hukum dalam suatu masyarakat
tidak ditentukan semata-mata
oleh jumlah undang-undang
berlaku, maupun seberapa
banyak jumlah penjara dibangun,
ataupun kuantitas aparat penegak
hukum dengan pendapat yang
tinggi; tetapi lebih kepada tingkat
kepatuhan dan kesesuaian warga
negara terhadap hukum.
===
*Penulis adalah Fungsional Peneliti
Pertama pada Bidang Studi Hukum
dan Pengadilan di Puslitbang
Transformasi Konflik Balitbang HAM
Gambar: Google
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 20156
OPINI
Inti dari pembangunan,
khususnya pembangunan
ekonomi adalah menaikkan
tingkat kesejahteraan hidup
masyarakat, yang umumnya
dikaitkan dengan kenaikan
tingkat pendapatan individu dan
masyarakat, atau bangsa dalam
konteks lebih umumnya. Korelasi
antara pendapatan dan tingkat
kemiskinan dapat dirumuskan
dalam teori ukuran kemiskinan
Foster-Greer-Thorbecke (1984),
yakni sub-group monicity.
Aksioma ini menyatakan jika
pendapatan di suatu sub-group
berubah maka ukuran kemiskinan
sub-group dan ukuran kemiskinan
keseluruhan juga berubah. Hal
ini dikenal juga dengan istilah
efek tetesan ke bawah (trickle
down effect) atau dampak
ganda pembangunan (multiplier-
effect). Konsep pembangunan
berbasis pendapatan (trickle
down effect) ini yang dijadikan
acuan oleh pemerintah Indonesia
Perspektif HAM dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Adat) Melalui Sektor Pariwisata
Rahjanto*
untuk mengentaskan kemiskinan.
Namun konsep yang digunakan
sebagai acuan dalam kebijakan
sosial berbasis pendapatan di
banyak negara kesejahteraan
(welfare state) termasuk Indonesia,
tidak bisa menjelaskan fenomena
meningkatnya jumlah penduduk
miskin di satu sisi dan meningkatnya
jumlah orang kaya di sisi lain
namun tidak berdampak terhadap
pengurangan jumlah penduduk
miskin. Hal ini dikarenakan konsep
pembangunan berbasis pendapatan
tidak mempunyai arah dan visi
jangka panjang bagi peningkatan
dan perubahan yang bermakna
bagi manusia. Hal ini diperkuat
oleh kajian Sherraden (2006)) yang
memperlihatkan kebijakan sosial
yang hanya melandaskan diri pada
pendapatan dan pola konsumsi
masyarakat sebagai indikator
keberhasilan pengentasan
kemiskinan terbukti tidak berhasil
mengentaskan kemiskinan di
berbagai negara yang menganut
asas welfare state.1
Dalam bidang pembangunan
pariwisata, konsep yang
digunakan merujuk pada
pembangunan berbasis
pendapatan. Hal ini terlihat di kota-
kota yang menjadi tujuan wisata
di Indonesia. Di Bali, sepanjang
jalan Pantai Kuta penuh dengan
klub, diskotik dan kafe yang
merupakan produk impor dari
luar daerah. Di Yogyakarta,
pembangunan pariwisata
dilakukan dengan membangun
mal dan pusat perbelanjaan bagi
wisatawan. Ini mengindikasikan
bahwa pembangunan pariwisata
cenderung mengabaikan
potensi dan aset utama, yakni
kekayaan budaya dan nilai-
nilai lokal masyarakat yang
seharusnya menjadi selling point
1 Cecep Rukendi dan Bra Baskoro, ‘Pembangunan Pariwisata Berbasis Aset dalam rangka Memerangi Kemiskinan di Indonesia’ dalam Henky Hermantaro, (et.all), Pariwisata Mengikis Kemiskinan, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, 2010, hal. 52-53.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 7
OPINI
dari pembangunan pariwisata
Indonesia.2
Konsep pembangunan pariwisata
yang lainnya adalah pembangunan
pariwisata berbasis aset yang
relatif baru di Indonesia. Konsep
ini mengacu pada pendapat
Sherraden (2006), Yunus (2007),
de Soto (2006) dan Cohen (1984).
Konsep ini berperan sebagai
usaha pengentasan kemiskinan
karena dampak sektor pariwisata
secara positif yakni meningkatkan
pendapatan masyarakat yang
mendorong pada akumulasi aset.
Secara sederhana, pembangunan
pariwisata berbasis aset adalah
pembangunan sosial, politik
dan ekonomi yang mendorong
pemerataan pendapatan dan
akumulasi aset pada masyarakat
lokal (adat – pen.) dan pemerintah
daerah dengan menjadikan
pariwisata sebagai core business
yang sesuai dengan potensi dan
aset yang dimiliki. Hal ini dicirikan
oleh kepemilikan dan akses
masyarakat lokal (adat-pen.)
terhadap sumber daya ekonomi
pariwisata, dikembangkannya
social entrepreneur masyarakat
lokal (adat-pen.) dalam
pembangunan pariwisata, adanya
akses dana bagi masyarakat.3
2 Ibid., hal. 56.3 Ibid., hlm. 57.
Contohnya adalah pembangunan
pariwisata di Pulau Kura-Kura
(Turtle Island) seluas 500 hektar
di Kepulauan Fiji oleh Richard
Evanson pada tahun 1972.4 Saat
dibeli oleh Evanson, pulau tersebut
tidak berpenghuni dan mengalami
degradasi akibat terlalu lama
diabaikan. Tumbuhan dan hewan
telah musnah, erosi tanah dan
ekosistem termasuk hutan bakau,
batu karang dan pantai telah rusak.
Dengan kerja keras dan partisipasi
aktif penduduk lokal yang
diberdayakan oleh Evanson, pada
tahun 1980 resort tersebut dibuka
dengan visi “to provide a genuine
and loving Fijian experience for
carring people, and to be a vital
resource to our community.”
Pulau Kura-Kura melaksanakan
berbagai program dan aktivitas
yang inovatif berdasarkan
lingkungan dan komunitas untuk
memenuhi visi tersebut, termasuk
menanam lebih dari satu juta
pohon dari tempat perawatan di
pulau tersebut. Vegetasi tumbuh
memenuhi permukaan pulau lebih
dari 10% s.d. 82% termasuk pohon
buah. Hal ini mencegah erosi dan
menyediakan habitat untuk burung
dan kehidupan liar yang sekarang
kaya keberagamannya. Indikator
4 Ibid., 57-58.
kunci: jumlah pohon yang telah
ditanam dan persentase jumlah
vegetasi alami. Staf lokal diberikan
pelatihan manajemen lingkungan
dan rehabilitasi, pemasaran hasil
kebun, pekerjaan bangunan yang
sulit dan juga pekerjaan dalam
operasional resort. Indikator
kunci: persentase pertumbuhan
produksi lokal dan persentase
staf yang telah diberikan pelatihan
keahlian kunci. Selain itu Pulau
Kura-Kura telah meningkatkan
kualitas peralatan kesehatan yang
tersedia melalui provisi sumber
peralatan kesehatan, termasuk
merespon kebutaan epidemik
yang disebabkan oleh katarak
dan diabetes. Saat ini lebih dari
11.000 orang Fiji telah diperiksa
matanya, lebih dari 9.000 pasang
kacamata telah diberikan secara
cuma-cuma, lebih dari 1.000
operasi telah dilakukan (terutama
katarak) dan 20 cangkok kornea.
Pulau Kura-Kura juga mengelola
klinik kesehatan lainnya:
dermatologi, kesehatan wanita
dan klinik gigi yang menyediakan
jasa spesialis. Contoh ini
menunjukkan bagaimana bisnis
pariwisata singular mampu
memberi kontribusi yang
signifikan dalam hal kesehatan
dan kenyamanan komunitas
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 20158
OPINI
lokal, seperti restorasi ekologi
yang signifikan dan pengerjaan
konservasi. Pulau Kura-Kura
menyediakan pendanaan di
bawah program usaha sosial,
mengeluarkan USD 1 juta
dalam program pembangunan
tiga resort. Pulau Kura-Kura
memainkan peranan aktif dalam
pemasaran dan manajemen
resort, serta peran yang proaktif
dalam transfer pengetahuan.
Resort tersebut secara langsung
dan tidak langsung menciptakan
lebih dari 100 kesempatan kerja
baru. Bunga dari pinjaman lunak
untuk mendirikan bisnis ini akan
dibayarkan dari keuntungan
pembangunan resort.5
Di Indonesia, konsep tersebut
pernah dilakukan melalui
program desa wisata, wisata
budaya, atau desa cagar wisata,
namun konsep tersebut kurang
berhasil karena sifatnya top-
down, tanpa ada pemberdayaan
masyarakat lokal dan tanpa ada
pemetaan aset yang dimiliki
oleh daerah wisata. Hal ini
berbeda dengan Pulau Kura-
Kura (Fiji) dan TOMM (Australia).
Di kedua obyek wisata ini,
5 United Nations – World Tourism Organization, Indicators of Sustainable Development for Tourism Destinations: A Guidebook, Madrid, Spain: World Tourism Organization, 2004, pp. 100.
pembangunan pariwisata dimulai
dengan pemetaan aset dan potensi
yang dimiliki daerah, kemudian
diaplikasikan dalam visi dan misi
serta program kerja. Langkah
selanjutnya adalah penyebaran
informasi ke masyarakat lokal dan
melakukan pemberdayaan secara
aktif dalam pembangunan obyek
wisata. Di TOMM (Australia),
masyarakat lokal memiliki saham
dalam resort tersebut. Hal yang
sama terjadi di Pulau Kura-Kura,
masyarakat lokal diberdayakan dan
diberi pelatihan untuk dapat menjadi
pegawai di resort. Secara berkala,
Pulau Kura-Kura juga berperan
aktif meningkatkan kesehatan
masyarakat lokal daerahnya.6
Kegagalan pembangunan destinasi
pariwisata terkadang disebabkan
oleh produk pariwisata yang tidak
mempunyai akar di masyarakat
setempat, kadang produk tersebut
diimpor dari luar hanya untuk
memenuhi selera wisatawan
mancanegara agar datang.
Pernahkah terlintas di pikiran kita
mengapa orang Amerika Serikat,
Inggris, Prancis, dan sebagainya
datang ke Bali? Bukankah di daerah
mereka juga terdapat banyak pantai
yang indah? Jika dikaji lebih dalam,
ternyata yang menjadi tujuan mereka
6 Cecep Rukendi dan Bra Baskoro, Op. Cit., hal. 60.
adalah melihat kebudayaan
Bali yang terkenal eksotik dan
unik (Rukendi, 2006), yang
merupakan laboratorium hidup
kebudayaan Hindu yang berada
dengan kebudayaan mereka.
Apabila Bali tidak menawarkan
nilai tambah budayanya, mungkin
daya tarik wisatawan datang
ke Bali tidak akan sebesar ini.
Hal ini membuktikan bahwa
pembangunan pariwisata harus
didasarkan pemahaman potensi
dan aset yang dimiliki oleh
daerah wisata. Tanpa pemetaan
yang komprehensif maka produk
pariwisata akan kurang berhasil
dalam menarik partisipasi
masyarakat lokal dan minat
wisman untuk datang.7
Kekayaan flora, fauna, alam,
kemajemukan cultural heritage
dan wisata bahari di Indonesia,
semua merupakan aset yang
apabila dikembangkan secara
optimal dapat menjadi solusi
bagi pengembangan pariwisata
dan pengentasan kemiskinan di
Indonesia. Malaysia adalah bukti
nyata negara yang memanfaatkan
aset secara optimal untuk
pengembangan pariwisata
sebagai pendapatan utama
negara. Sudah saatnya Indonesia
menyusun kembali pembangunan
7 Ibid., hal. 60-61.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 9
OPINI
pariwisata sebelumnya, seperti
pariwisata kerakyatan atau
pariwisata berbasis masyarakat.
Namun konsep-konsep tersebut
seringkali masih terbatas
pada konsep pemberdayaan
masyarakat dengan kenaikan
pendapatan sebagai tolok ukur
keberhasilannya.8
8 Ibid., hal. 62.
Tabel
Perbedaan Pembangunan Pariwisata Berbasis Pendapatan dengan AsetPembangunan Berbasis
PendapatanPembangunan Berbasis Aset
Pengertian
Pembangunan pariwisata yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendasarkan pada pembangunan destinasi wisata yang dapat menarik wisatawan, terutama mancanegara
Pembangunan pariwisata yang bertujuan untuk mendorong terciptanya akumulasi aset dan investasi masyarakat dengan pembangunan destinasi wisata yang sejalan dengan potensi dan aset ekonomi yang ada di masyarakat
Tujuan Jangka Pendek dan Menengah Jangka Menengah dan Panjang
Perilaku IndividuKonsumtif, Boros, Tidak mempunyai perencanan dalam pembangunan pariwisata
Hemat, mempunyai perencanaan dalam pembangunan pariwisata
Sumber Penghasilan
Pendapatan tergantung kepada besar-kecilnya jumlah wisatawan yang datang ke destinasi wisata. Jika, yang datang sedikit maka pendapatannya sedikit. Begitupula sebaliknya
Sumber ekonomi destinasi wisata, Aset, investasi, besar-kecil wisatawan yang datang merupakan pendapatan tambahan yang menunjang potensi ekonomi masyarakat
Partisipasi Masyarakat
Kurang terlibat dalam perencanaan dan pembangunan pariwisata.
Terlibat secara aktif dalam proses pembangunan pariwisata. Bahkan dibeberapa destinasi wisata, masyarakat local mempunyai saham di destinasi itu, sehingga mendukung bagi peningkatan partisipasi destinasi wisata
Perencanaan dan Pelaksaan Pembangunan
Top down. Kebijakan ditentukan oleh sekelompok orang yang mempunyai kepentingan terhadap pembangunan destinasi wisata tersebut
Bottom Up. Kebijakan ditentukan berdasarkan partisipasi masyarakat dan potensi serta asset yang telah ada atau memungkinkan dikembangan sebagai sumber daya ekonomi sekaligus destinasi wisata.
Titik Fokus Pembangunan Pariwisata
Terpusat pada destinasi wisata tertentu, yang dapat menarik kunjungan wisatawan, terutama mancanegara. Destinasi wisata yang dibangun lebih disesuaikan dengan trend yang ada.
Terpusat pada potensi dan aset yang ada di masyarakat, terutama merupakan sumber daya ekonomi masyarakat yang sekaligus dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata. bisnis dan ekonomi yang merupakan basis ekonomi sebuah masyarakat
Pemberdayaan Ekonomi Pariwisata
Terpusat pada sektor-sektor tertentu. Kurang mendukung pengembangan bisnis yang merupakan basis ekonomi sebuah masyarakat
Mendukung pengembangan bisnis dan ekonomi yang merupakan basis ekonomi sebuah masyarakat
Makro Ekonomi Peningkatan pendapatan dan konsumsi masyarakat
Stabilitas fiskal, tabungan dan investasi
Sumber: Cecep Rukendi dan Bra Baskoro, 2010.
--ooOoo--
Daftar Pustaka
Hermantaro, Henky, (et.all),
Pariwisata Mengikis
Kemiskinan, Jakarta:
Pusat Penelitian
dan Pengembangan
Kepariwisataan, 2010.
*) Penulis adalah Fungsional Peneliti Tingkat Pertama Bidang Studi Hukum dan Pengadilan pada Puslitbang Hak-Hak Sipil dan Politik Balitbang HAM
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201510
OPINI
L e m b a g a
pemasyarakatan (lapas) di
Indonesia masih menjadi sorotan
publik karena kerap mengalami
permasalahan gangguan
keamanan dan ketertiban,
di antaranya kerusuhan dan
kaburnya narapidana. Pada 11
Juli 2013 terjadi kerusuhan dan
pembakaran di Lapas Tanjung
Gusta dan pada 16 Februari
2014 terjadi kerusuhan dan
pembakaran di Lapas Klas II
A Lhokseumawe. Gangguan
lainnya berupa pelarian,
perkelahian narapidana dan
penggunaan obat terlarang
(narkotika).
Kriminolog dari
Universitas Indonesia, Iqrak
Sulhin, menyebutkan tiga faktor
penyebab gangguan keamanan
dan ketertiban di dalam lapas1:
1 Kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Bisa Jadi By Design, diunduh dari http://news.okezone.com/read/2013/08/20/62/ 852609/ kerusuhan-di-Lembaga Pemasyarakatan , Selasa, 20 Agustus 2013.
Hak-Hak NarapidanaDitinjau Dari Perspektif HAM
Gunawan*
(1) buruknya kondisi lapas karena
kelebihan kapasitas; (2) lemahnya
kemampuan lapas untuk memenuhi
hak-hak dasar narapidana; (3)
terciptanya budaya penjara
yang memungkinkan memiliki
posisi tawar: hubungan informal
narapidana dan petugas, kedua
belah pihak saling memanfaatkan
kondisi yang dapat mendatangkan
keuntungan.
Jika dilihat dari tiga faktor
tersebut, dapat diilustrasikan bahwa
kapasitas lapas yang tidak cukup
menampung narapidana akhirnya
mengakibatkan keterbatasan
kuantitas petugas pengamanan
lapas. Idealnya rasio petugas
pengamanan dengan narapidana
di lapas adalah satu orang petugas
pengamanan menangani 25
narapidana. Namun hampir semua
lapas di Indonesia belum dapat
memenuhi rasio perbandingan
petugas dan narapidana yang
ideal2.
2 “Keruwetan Kehidupan di Dunia” diunduh dari http://hukum.kompasiana.com/2013
Apabila kapasitas lapas
tidak mampu menampung jumlah
narapidana, besar kemungkinan
akan mempengaruhi lapas
dalam memenuhi hak-hak
narapidana serta mempengaruhi
ketidakmaksimalan petugas
keamanan dalam memberikan
pembinaan bagi narapidana.
Indonesia sebagai negara
yang telah mengakomodir
International Convenant on
Economic Social Culture Rights
(ICESCR) maupun International
Convenant on Civil Politic Rights
(ICCPR) dituntut untuk melakukan
implementasi nilai-nilai HAM
dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Lapas
harus mengakomodir nilai-
nilai HAM dalam pelaksanaan
kegiatannya. Dengan demikian,
perspektif HAM menjadi hal yang
relevan untuk melihat penerapan
hak-hak narapidana di lapas.
/05 /17 /keruwetan-d i -Lembaga Pemasyarakatan-dan-keruwetan-kehidupan-di-dunia-560914.html, Kamis, 20 Februari 2014
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 11
OPINI
Dalam Pasal 10 Ayat
(1) ICCPR, “Setiap orang yang
dirampas kebebasannya wajib
diperlakukan secara manusiawi
dan dengan menghormati
martabat yang melekat pada
diri manusia”. Ketentuan
tersebut mengisyaratkan bahwa
kehilangan kemerdekaan
merupakan satu-satunya
penderitaan yang dikenakan
terhadap narapidana. Mereka
harus tetap diperlakukan secara
manusiawi dan dihormati
martabatnya sebagai manusia.
Pasal 26 ICCPR menyatakan
“Semua orang berkedudukan
sama di hadapan hukum dan
berhak atas perlindungan hukum
yang sama tanpa diskriminasi
apapun”. Dalam pemenuhan
hak-hak narapidana sebagai
konsekuensi penerapan hukum
tidak dibenarkan adanya perlakuan
diskriminasi.
Fenomena gangguan
keamanan dan ketertiban di
lapas ini penting sebagai bahan
pertimbangan dalam perumusan
kebijakan mengenai pelaksanaan
HAM oleh negara terhadap
narapidana. Hal ini menunjukkan
kesungguhan pemerintah dalam
memenuhi tiga kewajiban negara
(three layers of state) berupa
penghormatan, pemenuhan dan
perlindungan HAM.
Pemerintah telah mengatur
hak-hak bagi narapidana melalui
Pasal 14 Ayat (1) UU No.12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan.
Hak-hak tersebut berkaitan
dengan hak ekonomi, sosial, dan
budaya serta hak sipil dan politik,
mencakup:
a. Melakukan ibadah sesuai
dengan agama atau
kepercayaannya;
b. Mendapat perawatan baik
rohani maupun jasmani;
c. Mendapatkan pendidikan dan
pengajaran;
d. Mendapatkan pelayanan
kesehatan dan makan yang
layak;
e. Menyampaikan keluhan;
f. Mendapatkan bahan bacaan
dan mengikuti siaran
media massa lainnya yang
tidak dilarang;
g. Mendapatkan upah atau
premi atas pekerjaan
yang dilakukan;
h. Menerima kunjungan
keluarga, penasehat hukum,
atau orang tertentu lainnya;
i. Mendapatkan pengurangan
masa pidana;
j. Mendapatkan kesempatan
berasimilasi ternasuk cuti
mengunjungi keluarga;
k. Mendapatkan pembebasan
bersyarat;
l. Mendapatkan cuti menjelang
bebas;
m. Mendapatkan hak-hak
narapidana sesuai dengan
peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Hak-hak narapidana
dalam tataran instrumen
nasional diatur dalam Pasal 14
Ayat (1) UU No.12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan yang
pelaksanaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No.32 Tahun 1999
tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan. Peraturan
tersebut kemudian diubah dengan
Peraturan Pemerintah No.28
Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah No.32
Tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan
dan Peraturan Pemerintah No.99
Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah
No.32 Tahun 1999 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan.
Adapun pengertian
narapidana menurut UU
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201512
OPINI
No.12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan adalah:
“Narapidana adalah terpidana
yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di lapas.
Sedangkan terpidana adalah
seseorang yang dipidana
berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.”
Hilang kemerdekaan
tidak menjadikan HAM yang
melekat pada diri narapidana
hilang sehingga ia diperlakukan
semena-mena oleh pihak lain.
Narapidana, seperti halnya
manusia lain, merupakan entitas
berhak menikmati hak-haknya.
Berkenaan dengan hak-hak
narapidana dalam perspektif
HAM, maka dapat sekiranya
dijelaskan hak-hak narapidana
dikaitkan dengan prinsip-rinsip
HAM sebagaimana tersebut:
U n i v e r s a l i t y
dimaksudkan bahwa semua
orang dilahirkan merdeka,
mempunyai martabat dan hak-
hak yang sama (Pasal 1 DUHAM)
termasuk narapidana sebagai
manusia.
I n a l i e n a b i l i t y
dimaksudkan bahwa HAM adalah
mutlak, tidak boleh diambil kecuali
dalam situasi tertentu dan sesuai
dengan proses hukum. Narapidana
memiliki keterbatasan dalam hak
bergerak namun tidak memiliki
keterbatasan dalam pemenuhan
hak-hak lainnya seperti hak atas
kesehatan, hak mendapatkan
remisi, dan sebagainya.
Interdependent dan
indivisible dimaksudkan bahwa
HAM baik hak sipil dan politik, sosial,
budaya dan ekonomi, semuanya
inheren, menyatu sebagai bagian
dari harkat-martabat manusia
yang tak terpisahkan. Hal tersebut
sebagaimana hak yang dimiliki
oleh narapidana, bahwasanya hak-
hak yang terkandung dalam Pasal
14 Ayat (1) UU No.12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan terdiri dari
hak-hak sipil dan politik serta hak-
hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Equal and non
discriminatory dimaksudkan
bahwa HAM melarang diskriminasi
atas dasar jenis kelamin, ras,
warna kulit dan sebagainya.
Prinsip non-diskriminasi dilengkapi
dengan prinsip kesetaraan, dan
untuk itulah HAM dikatakan
universal sebagaimana tertuang
dalam Pasal 1 DUHAM. Seburuk-
buruknya narapidana tidak berarti
ia harus mendapatkan perlakuan
diskriminasi.
Both right and obligation
dimaksudkan dalam hukum
internasional, negara-negara
diharapkan untuk menghormati
dan menjamin hak-hak para
individu. Badan-badan PBB
yang membentuk perjanjian
HAM PBB telah mengadopsi
tripartie typology kewajiban
negara terhadap HAM, yakni
negara wajib menghormati (to
respect), memenuhi (to fulfil)
dan melindungi (to protect)
HAM. To respect berarti negara
berkewajiban untuk menghindari
tindakan intervensi terhadap
HAM yang dapat berakibat pada
pelanggaran HAM itu sendiri.
To fulfil mengandung arti bahwa
negara mempunyai kewajiban
untuk mengambil tindakan-
tindakan legislatif, administratif,
peradilan, dan praktis
(kebijakan) yang diperlukan
untuk memastikan bahwa
HAM dilaksanakan sebesar
mungkin. Sedangkan to protect
berarti negara dituntut untuk
melakukan aksi-aksi yang positif
untuk menghindari terjadinya
pelanggaran HAM3.
Negara sebagai Pemangku 3 What are Human Rights? Diunduh
dari situs resmi Office of the High Commissioner for Human Rights, United Nations, http://www.ohchr.org/en/issues/pages/whatarehumanrights.aspx, Rabu, 5 Maret 2014.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 13
OPINI
Kewajiban dalam Menerapkan
Hak Narapidana
Peran lapas sangat penting
dalam hal menghormati HAM
narapidana melalui pembinaan
terutama yang hukuman
pidananya cukup lama, karena
sekalipun telah diusahakan
berbagai hal dalam rangka
pembinaan narapidana, namun
ternyata dampak psikologis akibat
pidana penjara masih nampak
dan memerlukan pemikiran yang
tuntas.
Seorang narapidana tidak
hanya dipidana secara fisik tetapi
juga secara psikologis. Hukuman
pidana penjara secara psikologis
merupakan beban berat bagi
narapidana. Berbagai dampak
psikologis dan hilangnya beberapa
hak, antara lain:4
a. Lose of personaling. Seorang
narapidana selama dipidana
akan kehilangan kepribadian
diri, identitas diri akibat
peraturan dan tata cara di
lapas.
b. Lose of security. Pengawasan
setiap saat, narapidana akan
ragu dalam bertindak, kurang
percaya diri, dan tidak mampu
mengambil keputusan secara
baik.
4 CI. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan 1995, hal.80.
c. Lose of liberty. Hilangnya
kemerdekaan individual seperti
berpendapat dan sebagainya.
d. Lose of personal
communication. Hilangnya
kebebasan berkomunikasi.
e. Lose of good and service.
Hilangnya pelayanan
menyebabkan narapidana
kehilangan affection, kasih
sayang yang biasanya didapat
di rumah.
f. Lose of heterosexual. Hilangnya
penyaluran nafsu seks yang
terpendam sehingga akan
terjadi abnormalitas seksual
(homoseks).
g. Lose of prestige. Narapidana
akan kehilangan dirinya, seperti
kamar tidur (sel) yang hanya
berpintu terali besi.
h. Lose of believe. Karena hukum
yang dijalani narapidana cukup
lama maka ia akan kehilangan
rasa percaya diri, seperti
kurang memiliki stabilitas jiwa
yang mantap.
i. Lose of creativity. Narapidana
akan terampas kreativitasnya,
ide-idenya, bahkan impian dan
cita-citanya.
Pembinaan di lapas ditujukan
agar selama masa pembinaan
dan setelah selesai menjalankan
pidananya para narapidana dapat:
a. Berhasil memantapkan kembali
harga diri dan kepercayaan
dirinya serta bersikap optimis
akan masa depannya.
b. Memperoleh pengetahuan,
minimal keterampilan untuk
bekal mampu hidup mandiri dan
berpartisipasi dalam kegiatan
pembangunan nasional.
c. Berhasil menjadi manusia
yang patuh hukum yang
tercermin pada sikap dan
perilaku yang tertib, disiplin
serta mampu menggalang rasa
kesetiakawanan nasional.
d. Memiliki jiwa dan semangat
pengabdian terhadap bangsa
dan negara.
Pembinaan narapidana
tidak hanya dilakukan oleh
petugas pemasyarakatan saja,
tapi juga diperlukan bantuan
berbagai pihak. Prinsip-prinsip
dasar pembinaan harus berjalan
seiring, searah dan selaras
untuk mencapai tujuan. Prinsip
itu adalah kemauan atau hasrat
narapidana untuk membina
sendiri, keterlibatan keluarga
dalam membina anggota
keluarganya yang menjadi
narapidana dan keterlibatan
masyarakat untuk ikut serta
membina narapidana dan peran
masyarakat serta pemerintah
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201514
OPINI
dalam membina narapidana
Sebagai bagian dari
masyarakat, narapidana perlu
mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh dari berbagai
lapisan masyarakat agar para
narapidana itu dapat menikmati
hidup bermasyarakat yang
tenteram5. Peran dari lapas yang
bertugas membina narapidana
adalah membekali mereka
dengan pengertian norma-norma
kehidupan serta melibatkan
dalam kegiatan sosial yang dapat
menumbuhkan rasa percaya diri
dalam kehidupan bermasyarakat,
agar mereka sanggup hidup
mandiri. Narapidana itu harus
mempunyai daya tahan, dalam
arti harus mampu hidup bersaing
dengan masyarakat tanpa
melakukan kejahatan lagi.
Kesimpulan
HAM menentukan bahwa
setiap individu berhak untuk
mendapatkan kebebasan secara
pribadi, termasuk hak bergerak.
Namun apabila terdapat individu
yang dianggap membahayakan
keamanan nasional dan
ketertiban umum, kesehatan atau
moral masyarakat, atau hak-
hak dan kebebasan dari orang
5 Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Pemidanaan di Indonesia, Binacipta, 1992, hal 70.
lain, maka hak atas kebebasan
individu tersebut harus dibatasi6.
Walau demikan, seorang individu
yang dibatasi atau dirampas
kebebasannya, ia tetap wajib
diperlakukan secara manusiawi
dan dengan menghormati
martabat yang melekat pada diri
manusia7. Perlakuan manusiawi
dan penghormatan atas martabat
semua individu yang dirampas
kemerdekaannya adalah standar
dasar penerapan universal,
dan harus selalu diterapkan
tanpa diskriminasi sebagaimana
ditentukan oleh pasal 2 ayat (1)
ICCPR8.
Narapidana merupakan
individu yang sebagian haknya
dibatasi, khususnya hak
mendapatkan kebebasan, namun
narapidana tetap dapat menikmati
hak-hak lainnya tanpa diskriminasi.
Penerapan hak-hak narapidana
di lapas sangat erat kaitannya
dengan bagaimana niat negara/
pemerintah untuk menegakan
HAM. Indonesia tentunya tidak akan
berdiam dengan penerapan HAM
khususnya bagi narapidana, karena
sesuai dengan ketentuan dalam
ICCPR dikatakan bahwa sebagai
negara yang telah meratifikasi dan
6 Pasal 12 ayat (3) ICCPR7 Pasal 10 ayat (1) ICCPR8 Komentar Umum nomor 9 tentang Pasal
10 ICCPR
telah mengundangkan ke dalam
hukum nasionalnya, Indonesia
berkomitmen menerapkan
hak-hak masyarakat termasuk
narapidana untuk selanjutnya
dilaporkan ke PBB. Adanya sikap
pamrih dari beberapa narapidana
terhadap pentingnya berkelakuan
dan bersifat baik perlu ditekankan
kembali sehingga dapat
memupuk kesadaran diri bahwa
berbuat baik tidak selalu diikuti
dengan diberikannya “hadiah”
berupa pengurangan masa
pidana. Pembinaan mental dan
spiritual serta moralitas akan
menjadi modal utama dalam
pembekalan bagi narapidana
selanjutnya. Kerjasama yang
sinergi antaraparat penegak
hukum dan beberapa instansi
terkait juga berperan besar
dalam upaya penerapan hak
narapidana.
*) Penulis adalah Kepala Subbidang Publikasi Hasil Penelitian pada Bidang Pengembangan Puslitbang Hak-Hak Kelompok Khusus Balitbang HAM
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 15
OPINI
Pemenuhan Hak Partisipasi Anak
dalam Pembangunan
Insan Firdaus*
Dalam suatu negara yang
demokratis dan menjunjung Hak
Asasi Manusia (HAM), partisipasi
merupakan suatu pengakuan
negara akan pentingnya
keberadaan dan peran serta
rakyat dalam pembangunan.
Di era keterbukaan, hak atas
partisipasi bukan hanya ditujukan
dan domain bagi orang dewasa
saja, anak-anak juga diberikan
hak yang sama dan memiliki
kesempatan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan. Tentunya
bentuk partisipasi anak tidak
sepenuhnya sama dengan
orang dewasa. Penggunaan
hak partisipasi anak disesuaikan
dengan kematangan umur, mental
dan kemampuan berpikir anak
serta terbatas pada hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan
pemenuhan hak anak.
Begitu pentingnya hak
partisipasi anak, maka dalam
Konvensi Hak Anak (Convention
on the Right of the Child) hak
partisipasi merupakan salah
satu dari empat hak dasar anak
yang harus dipenuhi. Dengan
diberikannya hak partisipasi
bagi anak dalam pembangunan
menempatkan anak sebagai pihak
yang harus diikutsertakan dalam
proses pembangunan sehingga
hasil-hasil pembangunan benar-
benar berpihak, memberi manfaat
dan berguna bagi anak.
Secara hukum, hak
partisipasi anak diatur dalam Pasal
10 Undang Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak yang berbunyi, “Setiap anak
berhak menyatakan dan didengar
pendapatnya, menerima, mencari,
dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai
kesusilaan dan kepatutan”.
Pasal 24 memerintahkan
pada negara dan pemerintah
untuk menjamin agar anak dapat
berpartisipasi dalam pembangunan
dan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan, “Negara dan
pemerintah menjamin anak untuk
dapat mempergunakan haknya
dalam menyampaikan pendapat
sesuai dengan usia dan tingkat
kecerdasan anak.”
Hak partisipasi anak akan
lebih efektif apabila disalurkan
melalui suatu perkumpulan,
kelompok atau forum sehingga
aspirasi atau suara anak tersebut
bisa mewakili kepentingan
anak secara luas berkaitan
dengan pemenuhan hak-
hak anak. Dengan disalurkan
melalui kelompok-kelompok
akan memudahkan pihak yang
berkewajiban dan bertanggung
jawab terhadap pemenuhan
hak anak dalam menampung
dan menentukan skala prioritas
pemenuhan hak anak yang harus
segera dilaksanakan sesuai
dengan aspirasi, suara dan
pendapat anak.
Selama ini partisipasi
anak di berbagai daerah kurang
mendapat perhatian, mungkin
disebabkan oleh kekeliruan
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201516
OPINI
pemahaman bahwa cara
berpikir anak yang belum
matang sehingga tidak perlu
dipertimbangkan, dan dianggap
belum mampu ikut serta dalam
pembangunan. Padahal yang
justru perlu didengar pendapatnya
adalah anak, berkenaan masa
depan bangsa dan negara yang
akan mereka jalani nantinya1.
Sebagai upaya
pemenuhan hak partisipasi
anak, maka dibentuk Forum
Anak sebagai media, wadah dan
pranata pemenuhan hak anak
untuk menyampaikan pendapat
dan aspirasi anak. Forum Anak
adalah organisasi atau lembaga
sosial yang digunakan sebagai
wadah partisipasi bagi anak
yang belum berusia 18 tahun
dimana anggotanya merupakan
perwakilan dari kelompok anak
atau kelompok kegiatan anak
yang dikelola oleh anak-anak
dan dibina oleh pemerintah
sebagai media untuk mendengar
dan memenuhi aspirasi, suara,
pendapat, keinginan dan
kebutuhan anak dalam proses
pembangunan.
Peran Forum Anak dalam 1 Pedoman Pengembangan Forum
Anak. Jakarta: Deputi Tumbuh Kem-bang Anak Kementerian Pember-dayaan Perempuan dan Perlindun-gan Anak, 2013.
Pembangunan Daerah
Pembentukan Forum
Anak merupakan langkah konkrit
setelah adanya pemahaman yang
memadai tentang makna, arti
penting dan urgensi partisipasi
anak dalam pembangunan. Forum
Anak merupakan ruang bagi
anak untuk berpartisipasi dalam
menuntut pemenuhan hak-hak
anak. Forum Anak diperlukan
karena suara, aspirasi, kebutuhan
dan kepentingan anak perlu
menjadi bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan
dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam setiap proses
pembangunan nasional.
Keberadaan Forum Anak
dalam proses pembangunan daerah
mempunyai peranan strategis
dalam rangka merencanakan
pembangunan yang berpihak pada
pemenuhan dan perlindungan
hak-hak anak, melalui pelibatan
Forum Anak pada Musyawarah
Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang)2. Forum Anak
berperan sebagai perwakilan anak-
anak yang akan menyampaikan
aspirasi, kebutuhan, kepentingan
dan berbagai permasalahan anak
yang perlu mendapat respon dalam
perencanaan pembangunan.
Aspirasi tersebut diperlukan untuk
2 Ibid.hal 2
memastikan bahwa hak-hak
anak terpenuhi, misalnya hak
mendapatkan akta kelahiran,
hak bermain, hak memanfaatkan
waktu luang, hak mendapatkan
informasi yang layak dan lain-
lain.
Pembentukan Forum
Anak Daerah tidak hanya untuk
memenuhi hak partisipasi
anak saja, tetapi juga sebagai
jembatan komunikasi antara
anak-anak dan pemerintah
dalam rangka penghormatan,
pemenuhan dan perlindungan
hak-hak anak lainnya. Di satu
sisi, melalui forum ini anak-anak
dapat menyampaikan berbagai
hal mengenai hak-hak anak yang
belum terpenuhi atau terjadinya
pelanggaran HAM terhadap anak.
Di sisi lain, negara dan pemerintah
dapat mengetahui tentang
aspirasi, masukan dan hak-hak
anak yang belum terpenuhi atau
pelanggaran HAM yang terjadi,
sehingga pemerintah dapat
menentukan kebijakan, program
dan kegiatan pembangunan
yang akan dilakukan untuk
memberikan perlindungan
terhadap pemenuhan hak-hak
anak.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 17
OPINI
Fungsi Forum Anak Peran dan KewenanganForum Anak
1) Memantau pemenuhan hak anak dan pelaksanaan kewajiban anak;
2) Sosialisasi hak dan kewajiban anak di lingkungan teman sebaya anak;
3) Menyuarakan aspirasi anak;
4) Melibatkan diri dalam proses pengambilan keputusan;
5) Mendorong anak-anak aktif mengembangkan potensinya
1) Memutuskan kegiatan mana yang bermanfaat atau tidak bermanfaat untuk anak;
2) Menentukan cara atau metode dalam menyuarakan aspirasi anak;
3) Menjadi lembaga yang mewakili suara, aspirasi, kebutuhan, kepentingan dan kekhawatiran anak;
4) Memberikan pendapat bila terjadi kasus kekerasan terhadap anak, diminta maupun tidak diminta;
5) Mewakili anak di berbagai tingkatan forum anak.
Pemenuhan hak atas
partisipasi anak juga merupakan
salah satu indikator kabupaten/kota
layak anak, dimana pemerintah
kabupaten/kota berkewajiban
untuk memberi ruang bagi anak-
anak mengeluarkan pendapat dan
berpartisipasi aktif pada proses
pembangunan.
Peran pemerintah
khususnya pemerintah daerah
diperlukan dalam meningkatkan
partisipasi anak melalui Forum
Anak, sebagaimana diatur dalam
lampiran Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 4 tahun 2011
Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Kebijakan Partisipasi Anak Dalam
pembangunan, yaitu:
a. Menyusun dan menetapkan
kebijakan provinsi, kabupaten
dan kota.
b. Melakukan sosialisasi dan
advokasi pada SKPD atau
lembaga tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
c. Memfasilitasi pengembangan
kebijakan partisipasi anak.
d. Menyiapkan dana dan
dukungan sumberdaya
lainnya.
e. Mengembangkan jaringan
tingkat provinsi, kabupaten
dan kota.
f. Menyediakan sekretariat forum
anak provinsi, kabupaten dan
kota.
Permasalahan yang Dihadapi
dalam Pengembangan Forum
Anak
Pada umunya Forum Anak
Daerah mengalami beberapa
hambatan dalam melaksanakan
peran dan fungsinya, baik yang
bersifat kelembagaan, ekonomi
sosial budaya, sumber daya
manusia dan sarana prasarana
pendukung, antara lain:
1. Secara kelembagaan,
Forum Anak daerah kurang
mendapatkan perhatian
secara penuh oleh stakeholder
di daerah dan masih terdapat
pimpinan stakeholder yang
belum memahami dan
memanfaatkan peran dan
fungsi forum anak dalam
pembangunan.
2. Forum anak belum
diikutsertakan dalam
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201518
OPINI
musyawarah perencanaan
pembangunan. Hal ini
menyebabkan tidak
tersalurkannya aspirasi dan
masukan dari Forum Anak
tentang pemenuhan hak-hak
anak dalam pembangunan
daerah.
3. Dukungan anggaran dan
sarana prasarana yang
minim dari Pemerintah
Daerah menyebabkan
terhambatnya pelaksanaan
peran dan fungsi Forum
Anak dalam berpartisipasi.
4. Peranan masyarakat yang
belum optimal. Masyarakat
belum mengenal dan
memberdayakan peranan
forum anak dalam kehidupan
sehari-hari terutama dalam
perlindungan hak anak.
Kesimpulan
Pemenuhan hak partisipasi
anak dalam pembangunan
merupakan tanggung jawab
pemerintah sebagai pemegang
kewajiban pemenuhan HAM.
Keterlibatan anak dalam memberi
masukan dan partispasinya dalam
pembangunan khususnya melalui
keikutsertaan Forum Anak daerah
di musyawarah perencanaan
pembangunan akan berdampak
pada hasil pembangunan yang
berpihak pada kepentingan dan
pemenuhan hak anak. Oleh karena
itu diperlukan kesadaran dari setiap
stakeholder untuk memahami dan
membuat kebijakan-kebijakan
yang mendukung terpenuhinya
hak partisipasi anak dalam
pembangunan.
=====
Daftar Pustaka
Pedoman Pengembangan Forum
Anak. Jakarta: Deputi Tum-
buh Kembang Anak Kemen-
terian Pemberdayaan Per-
empuan dan Perlindungan
Anak, 2013.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
*Penulis adalah Fungsional Peneliti Pertama Bidang Studi Hukum dan Pengadilan pada Puslitbang Hak-hak Kelompok Khusus Balitbang HAM
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 19
FOKUS
Banyak kejahatan dapat
diketahui dari korbannya. Dalam
beberapa kasus, kejahatan
terhadap manusia baik dari
kondisi fisik maupun jiwa yang
terluka terlihat pada korban.
Begitu pula pada kasus kejahatan
terhadap harta benda yang dicuri
atau dirusak. Hal ini menyebabkan
apa yang disebut dengan istilah
tuduhan terhadap pelaku. Korban
mengekspresikan permusuhan
terhadap orang yang membuatnya
terluka melalui cara yang sah
di dalam masyarakat. Yang
dimaksud korban di sini bukan
hanya pribadi korban tetapi juga
melibatkan keluarga korban, serta
masyarakat pada umumnya yang
tidak suka terhadap perbuatan
pelaku kejahatan. Setelah itu
munculah rasa cemas dari
masyarakat dan korban mengingat
perbuatan yang dilakukan dan
terjadi pada mereka berpotensi
untuk dilakukan dan terjadi pada
orang lain. Jika dia berpendapat
adanya norma pembalasan adalah
sesuatu yang sangat fundamental
bagi interaksi manusia,
permusuhan antara jumlah korban
dengan pelanggar atau pelaku
kejahatan adalah rintangan untuk
menghilangkan hukuman kepada
pelaku kejahatan dari kehidupan
sosial. Perbandingan antara orang
yang merasa dirugikan terhadap
perbuatan pelanggar memang
jauh. Studi empiris menunjukan
keberagaman perasaan bagi
korban kejahatan. Serta beragam
reaksi yang disampaikan sebagai
pembalasan terhadap perbuatan
yang dilakukan oleh pelanggar.
Fungsi hukuman adalah
mengakomodasi seluruh keinginan
masyarakat yang merupakan wujud
reaksi sosial. Walaupun beragam
ukuran dan bentuk yang diinginkan
namun hukuman harus ada dan
persamakan sebagai wujud untuk
menjaga keseimbangan dalam
masyarakat. Kasus pencurian
akan memiliki reaksi berbeda
dengan pembunuhan. Walaupun
kasus sama tetapi reaksi mungkin
saja berbeda. Misalnya jika ada
kasus pemerkosaan tentu reaksi
masyarakat berbeda pendapat
terhadap penghukuman juga
berbeda. Seorang wanita akan
berpendapat pelaku pemerkosaan
harus dibunuh, tetapi pihak laki-
laki akan berpendapat pelakunya
dihukum penjara.
Pemidanaan secara
sederhana dapat diartikan dengan
penghukuman. Penghukuman
yang dimaksud berkaitan dengan
penjatuhan pidana dan alasan-
alasan pembenar (justification)
dijatuhkannya pidana terhadap
seseorang yang dengan
putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (incracht
van gewijsde) dinyatakan secara
sah dan meyakinkan terbukti
melakukan tindak pidana. Hak
penjatuhan pidana dan alasan
pembenar penjatuhan pidana
serta pelaksanaannya tersebut
berada penuh di tangan negara.
Secara garis besar,
teori pemidanaan terbagi dua
Teori Pemidanaan (Hukuman)
dalam Pandangan Hukum
Syafril Mallombasang*
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201520
FOKUS
dan dari penggabungan kedua
teori pemidanaan tersebut lahir
satu teori pemidanaan lainnya.
Adapun tiga teori pemidanaan
yang dijadikan alasan pembenar
penjatuhan pidana :
1. Teori Absolut atau Teori
Pembalasan (vergeldings
theorien),
2. Teori Relatif atau Teori
Tujuan (doeltheorien),
3. Teori Gabungan
(verenigingstheorien).
1. Teori Absolut atau Teori
Pembalasan (vergeldings
theorien).
Teori ini juga dikenal dengan
Teori Mutlak ataupun Teori
Imbalan, lahir pada akhir abad
ke-18. Menurut Teori Absolut
ini, setiap kejahatan harus
diikuti dengan pidana —tidak
boleh tidak— tanpa tawar-
menawar. Seseorang mendapat
pidana karena telah melakukan
kejahatan1. Pemberian pidana
di sini ditujukan sebagai bentuk
pembalasan terhadap orang
yang telah melakukan kejahatan.
Ada banyak filsuf dan dan ahli
hukum pidana yang menganut
teori ini, di antaranya ialah
Immanuel Kant, Hegel, Herbart,
Stahl, JJ Rousseau. Dari banyak
1 Wirjono Prodjodikoro, loc.cit.
pendapat ahli tersebut, penulis
tertarik dengan pendapat yang
disampaikan Hegel mengenai
argumennya terhadap hukuman bila
dikolerasikan dengan Teori Absolut.
Di mana hukuman dipandang dari
sisi imbalan sehingga hukuman
merupakan dialectische vergelding.2
Dalam teori ini, pidana dapat
disimpulkan sebagai bentuk
pembalasan yang diberikan
oleh negara yang bertujuan
menderitakan penjahat akibat
perbuatannya. Tujuan pemidanaan
sebagai pembalasan pada
umumnya dapat menimbulkan rasa
puas bagi orang, yang dengan jalan
menjatuhkan pidana yang setimpal
dengan perbuatan yang telah
dilakukan3.
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan
(doeltheorien).
Lahirnya teori ini menurut penulis
merupakan suatu bentuk negasi
terhadap Teori Absolut, walaupun
secara historis teori ini bukanlah
suatu bentuk penyempurnaan
dari Teori Absolut, yang hanya
menekankan pada pembalasan
dalam penjatuhan hukuman
terhadap penjahat. Teori yang
2 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hal. 105..
3 Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988, hal. 47.
juga dikenal dengan nama
Teori Nisbi ini menjadikan dasar
penjatuhan hukuman pada tujuan
dan maksud hukuman sehingga
ditemukan manfaat dari suatu
penghukuman (nut van destraf).
Teori ini berprinsip penjatuhan
pidana guna menyelenggarakan
tertib masyarakat yang
bertujuan membentuk suatu
prevensi kejahatan. Wujud
pidana ini berbeda-beda:
menakutkan, memperbaiki, atau
membinasakan. Lalu dibedakan
prevensi umum dan khusus.
Prevensi umum menghendaki
agar orang-orang pada umumnya
tidak melakukan delik4.
Feurbach sebagai salah satu filsuf
penganut aliran ini berpendapat
pencegahan tidak usah dilakukan
dengan siksaan tetapi cukup
dengan memberikan peraturan
yang sedemikian rupa sehingga
setelah orang membaca itu akan
membatalkan niat jahatnya5.
Selain dengan pemberian
ancaman hukuman, prevensi
umum (general preventie) juga
dilakukan dengan cara penjatuhan
hukuman dan pelaksanaan
hukuman (eksekusi). Eksekusi
yang dimaksud dilangsungkan
4 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal. 34.
5 Djoko Prakoso, loc. cit.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 21
FOKUS
dengan cara-cara yang kejam
agar khalayak umum takut dan
tidak melakukan hal yang serupa
yang dilakukan oleh si penjahat.
Pada prevensi khusus, tujuan
pemidanaan ditujukan kepada
pribadi si penjahat agar ia tidak
lagi mengulangi perbuatan yang
dilakukannya. Van Hamel dalam
hal ini menunjukkan bahwa
prevensi khusus dari suatu pidana
ialah:
1. Pidana harus memuat suatu
unsur menakutkan supaya
mencegah penjahat yang
mempunyai kesempatan untuk
tidak melakukan niat buruknya.
2. Pidana harus mempunyai unsur
memperbaiki si terpidana.
3. Pidana mempunyai unsur
membinasakan penjahat yang
tidak mungkin diperbaiki.
4. Tujuan satu-satunya pidana
ialah mempertahankan tertib
hukum.6
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa dalam
Teori Relatif negara dalam
kedudukannya sebagai pelindung
masyarakat menekankan
penegakkan hukum dengan cara-
cara preventif guna menegakkan
tertib hukum dalam masyarakat.
3. Teori Gabungan
(verenigingstheorien)
6 Andi Hamzah, hal. 36.
Teori Gabungan merupakan
suatu bentuk kombinasi dari
Teori Absolut dan Teori Relatif
yang menggabungkan sudut
pembalasan dan pertahanan
tertib hukum masyarakat. Dalam
teori ini, unsur pembalasan
maupun pertahanan tertib hukum
masyarakat tidaklah dapat
diabaikan antara satu dengan
yang lainnya.
Berdasarkan penekanan atau
sudut dominan dalam peleburan
kedua teori tersebut ke dalam
bentuk Teori Gabungan, teori
ini dibedakan menjadikan tiga
bentuk yaitu, Teori Gabungan
yang menitikberatkan unsur
pembalasan, Teori Gabungan
yang menitikberatkan pertahanan
tertib masyarakat, dan Teori
Gabungan yang memposisikan
seimbang antara pembalasan dan
pertahanan tertib masyarakat.
Menurut Wirjono Prodjodikoro,
bagi pembentuk undang-undang
hukum pidana, bagi para jaksa
dan hakim tidak perlu memilih
salah satu dari ketiga macam teori
hukum pidana tersebut dalam
menunaikan tugas7. Dengan
demikian menjadi penting bagi
para pembuat undang-undang
hukum pidana untuk tidak saja
memiliki pengetahuan dan
7 Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hal. 29.
pemahaman yang lengkap
termasuk aspek hukum dan hak
asasi manusia, lebih dari itu dapat
mengedepankan kebijaksanaan
yang bersifat melampaui batasan
waktu dalam keberlakuan undang-
undang tersebut.
--oOo—
Daftar Pustaka
Cressey, and Sutherland (disadur oleh Sudjono D), The Control of Crime Hukuman dalam Perkembangan Hukum Pidana, Bandung: Tarsito, 1974.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Rineka Cipta, 1994.
Marpaung, Leden. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008,.
Soetikno, Filsafat Hukum Bagian I, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2008.
*Penulis adalah Pengolah Data Aplikasi
dan database pada Subbagian Hubungan
Masyarakat dan Protokol Bagian
Hubungan Masyarakat dan Informasi,
Sekretariat Balitbang HAM
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201522
FOKUS
Implementasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 dalam
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
ditinjau dari Perspektif HAM
Sabir*
Sebagian besar negara
mencantumkan permasalahan
hak-hak dasar ke dalam
konstitusinya, termasuk
Indonesia dengan UUD-nya.
Masalah perlindungan akan
selalu terkait dengan penegakan
hukum karena perlindungan
merupakan salah satu bagian
dari tujuan penegakan hukum.
Negara ini adalah negara yang
berdasar atas hukum, maka
perlindungan HAM merupakan
tujuan penegakan hukum secara
konsisten1.
Salah satu bidang HAM
yang menjadi perhatian baik di
dunia internasional maupun di
Indonesia adalah hak anak. Saat
ini, kondisi ideal yang diperlukan
untuk melindungi hak-hak anak
belum mampu diwujudkan negara.
Anak mempunyai hak asasi,
sebagaimana yang dimiliki orang
dewasa, namun pemberitaan
1 Olivia Riska, “ Perlindungan dan Hak-Hak Pekerja Anak” diarsipkan pada <http://ajrc-aceh.org/wp-content/uploads/2009/05/pia-makalah.pdf> [07/07/10]
mengenai hak-hak anak tidak
segencar pemberitaan hak-hak
orang dewasa atau isu gender yang
menyangkut hak perempuan. Tidak
banyak pihak melakukan langkah-
langkah konkret perlindungan hak
anak, padahal anak merupakan
gambaran dan cermin masa depan,
aset keluarga, agama, bangsa dan
negara.
Anak dapat bermakna sosial
(kehormatan harkat dan martabat
keluarga tergantung pada sikap
dan perilaku anak), budaya (anak
merupakan harta/kekayaan yang
harus dijaga, sekaligus lambang
kesuburan dalam keluarga),
politik (anak adalah penerus trah
atau suku masyarakat tertentu),
ekonomi (anggapan masyarakat
Jawa khususnya ada adagium
”banyak anak banyak rejeki,
sehingga ’mengkaryakan’ anak
dapat menambah penghasilan atau
rejeki”), hukum (anak mempunyai
posisi dan kedudukan strategis di
depan hukum, tidak hanya sebagai
penerus dan ahli waris keluarga,
namun juga bagian dari subyek
hukum dengan segala hak dan
kewajibannya yang mendapat
jaminan hukum)2. Dunia anak
adalah dunia sorga, di mana
anak menikmati hari-harinya
dengan keceriaan bermain dan
bersekolah. Mereka bergerak
bebas, mengembangkan potensi
dalam kasih orangtua dan
bimbingan guru. Namun tidak
semua anak bisa menikmati dunia
sorga tersebut. Dunia bermain
dan belajar menjadi kemewahan
bagi sebagian anak karena
terpaksa harus bekerja3. Krisis
ekonomi sejak pertengahan 1997
dan berlanjut hingga kini telah
menyebabkan tingkat pendapatan
penduduk menurun. Dampaknya
adalah meningkatnya penduduk
miskin yang diiringi dengan
meningkatnya pekerja anak baik
yang berusia 5-9 tahun atau 10-
14 tahun4.
2 Fifik Wiryani, “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Anak”, 11:2 Legality Jurnal Ilmiah Hukum (2004)
3 Ibid.4 Ibid.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 23
FOKUS
Organisasi Perburuhan
Internasional (International Labour
Organization/ILO) bersama
dengan Badan Pusat Statistik
(BPS) mengadakan survei
tentang pekerja anak di Indonesia
mencakup semua pekerja
anak berusia 5–12 tahun tanpa
memperhatikan jam kerja merek,
pekerja anak berusia 13–14 tahun
yang bekerja lebih dari 15 jam/
minggu dan pekerja anak usia 15–
17 tahun yang bekerja lebih dari
40 jam/minggu. Temuan utama
dari survei tersebut adalah:5
1. Jumlah keseluruhan anak
berusia 5–17 tahun ±58,8 juta:
4,05 juta (6,9%) di antaranya
termasuk kategori anak
yang bekerja. Dari jumlah
keseluruhan anak yang
bekerja, 1,76 juta (43,3%)
merupakan pekerja anak.
2. Dari jumlah pekerja anak
berusia 5–17 tahun, sebanyak
48,1 juta (81,8%) bersekolah;
24,3 juta (41,2%) terlibat
dalam pekerjaan rumah; dan
6,7 juta (11,4%) tergolong
sebagai ‘idle’, yaitu tidak
bersekolah, tidak membantu
di rumah dan tidak bekerja.
3. Sekitar 50% pekerja anak 5 ILO–BPS, “Keluarkan Data Nasional
Mengenai Pekerja Anak di Indonesia”, 2010, <http://bravo.ilo.org/jakarta/info/public/pr/lang--en/contLang--id/WCMS_122351/index.htm> [03/06/10]
bekerja sedikitnya 21 jam/
minggu dan 25% bekerja 12
jam/minggu. Secara rata-
rata, anak bekerja 25,7 jam/
minggu, sementara mereka
yang tergolong pekerja anak
bekerja 35,1 jam/minggu.
Sekitar 20,7% dari anak yang
bekerja itu bekerja pada
kondisi berbahaya, misalnya
lebih dari 40 jam/minggu.
4. Anak yang bekerja umumnya:
masih sekolah; bekerja tanpa
dibayar sebagai anggota
keluarga; terlibat dalam
bidang pekerjaan pertanian,
jasa dan manufaktur.
Jenis pekerjaan terburuk
semakin marak ditemukan:
dilacurkan, diperdagangkan,
bekerja di pertambangan, anak
jermal dan lain-lain. Pada tahun
1990-an muncul isu anak jalanan
(anjal) dan tahun 1996 muncul
isu perdagangan anak (child
trafficking) untuk dilacurkan,
pembantu rumah tangga anak dan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
anak lainnya6.
Anak yang bekerja
umumnya berada dalam posisi
rentan untuk dieksploitasi,
khususnya oleh orang dewasa
atau sistem yang memperoleh
6 Yoga Utami (et al), “Pekerja Anak di India”, 2002, Jakarta: Kerjasama JARAK dan ACILS
keuntungan dari tenaga kerja.
Berbagai studi menunjukkan
bahwa pekerja anak umumnya
rentan terhadap eksploitasi
ekonomi. Di sektor industri formal,
mereka berada dalam kondisi jam
kerja panjang, berupah rendah,
menghadapi risiko kecelakaan
kerja dan gangguan kesehatan,
atau menjadi sasaran pelecehan
dan kesewenang-wenangan
orang dewasa. Misalnya pekerja
anak dalam dunia hiburan
(entertainment) baik sebagai
penyanyi, artis dan lain-lain
pekerja di sektor informal seperti
di sektor industri rumah tangga7.
Berdasarkan penelitian
Sidik Sunaryo (1999) tentang pola
hubungan antara pekerja industri
rumah tangga keramik dengan
majikan di Kota Malang dan
Kabupaten Malang menunjukkan
banyak pekerja anak yang tidak
mendapatkan jaminan haknya
sebagai pekerja, seperti jam kerja
dan jam istirahat yang disamakan
dengan pekerja dewasa tetapi
upahnya jauh lebih rendah dari
pekerja dewasa (upah yang
diterima anak sekitar 40%-50%
dari upah pekerja dewasa dalam
jenis pekerjaan yang sama,
yakni sebagai penghalus hasil
cetakan keramik sebelum proses
7 Fifik Wiryani, Op.cit.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201524
FOKUS
finishing)8.
Pekerja anak merupakan
rantai ”lingkaran setan”,
tidak hanya disebabkan
oleh kemiskinan, tetapi juga
menyebabkan ”pemiskinan”,
Anak-anak yang bekerja dan
tidak mengecap pendidikan
akan hidup dalam kemiskinan
di kemudian hari, begitu pula
dengan generasi berikutnya.
Juan Somavia, Direktur Jenderal
ILO mengatakan:”Kerja berat bukanlah jenis pekerjaan yang pantas untuk anak. Pekerjaan tersebut selain tidak memberikan pengalaman berharga, juga bukan merupakan praktik kerja sambil sekolah yang berguna untuk meningkatkan kehidupan anak-anak saat ini dan di masa yang akan datang. Pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak dalam bentuk terburuknya adalah kesewenang-wenangan, p e n g e k s p l o i t a s i a n generasi muda yang naif, lugu, lemah, rapuh dan labil demi keuntungan
pribadi orang dewasa”.
8 Ibid
Instrumen HAM dalam
Penghapusan Pekerjaan Terburuk
untuk Anak
Indonesia telah meratifikasi
instrumen internasional Konvensi
Hak Anak (Conventions on the
Rights of the Childs, 1989) dengan
Keputusan Presiden No.36 Tahun
1990, kemudian dikukuhkan dalam
UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Salah satu isu
yang banyak mendapat tanggapan
masyarakat internasioanl dalam
konvensi hak anak adalah mengenai
anak-anak yang memerlukan
perlindungan khusus, misalnya
mereka yang bekerja dalam situasi
berbahaya.
Indonesia juga telah
meratifikasi Konvensi ILO 182
Tahun 1999 mengenai Pelarangan
dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak melalui UU
No.1 Tahun 2000. Sebagai dasar
pelaksanaannya, pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan
Keputusan Presiden No.12 Tahun
2001 tentang Pembentukan Komite
Aksi Nasional (KAN) Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak, ditindaklanjuti dengan
Keputusan Presiden No.59 Tahun
2002 tentang Rencana Aksi
Nasional (RAN) sebagai acuan
dari pedoman KAN dalam
operasionalisasinya.
Dengan diratikasinya
konvensi tersebut, secara
hukum, negara berkewajiban
melindungi anak dari bentuk-
bentuk pekerjaan terburuk.
Kenyataannya, negara masih
belum mampu memenuhi
kewajibannya untuk melindungi
hak-hak anak. Salah satu
permasalahan yang masih terjadi
adalah keberadaan pekerja anak.
Bekerja juga membawa dampak
buruk bagi anak-anak, baik
secara fisik maupun psikis.
Menghormati hak
anak sama halnya dengan
menghormati HAM. Smith
bahkan menguatkan bahwa
secara sempurna, keseluruhan
instrumen HAM internasional
justru berada pada “jantung”
hak-hak anak. Sayangnya, fakta
menunjukkan anak termasuk
bagian dari kelompok yang
rentan pada kekerasan. Usia dan
faktor kematangan psikologis dan
mental membuatnya kerap kali
terpinggirkan dalam pengambilan
kebijakan9.
Lahirnya konvensi PBB 9 Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi
HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2008, hlm 223 – 224
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 25
FOKUS
tentang anak, International
Convention on the Rights of
the Child (1989) merupakan
bukti normatif tentang visi dan
paradigma baru perlindungan
terhadap anak. Konsideransi
ketentuan ini menyatakan bahwa
pembinaan kesejahteraan anak
termasuk pemberian kesempatan
untuk mengembangkan haknya,
pelaksanaannya tidak saja
merupakan tanggung jawab
orangtua, keluarga, dan negara
melainkan diperlukan pula
kerjasama internasional.
Bentuk komitmen pada
perlindungan anak semakin
menemukan momentumnya
dengan lahirnya beberapa
ketentuan internasional: Optional
Protocol to the Convention on the
Rightd of the Child on the Sale
of Children, Child Prostitution
and Child Pornography, Optional
Protocol to the Convention on
the Rights of the Child on the
Involvement of Children in Armed
Conflict; Minimum Age Convention,
1973 (No.138); dan Worst Forms
of Child Labour Convention, 1999
(No.182).
Secara yuridis, Indonesia
memiliki seperangkat perundang-
undangan untuk menjamin hak-
hak anak dan mengurangi dampak
bekerja dari anak: UUD 1945,
UU No.39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM), Ratifikasi Konvensi
ILO No.138 menjadi UU No.20
Tahun 1999 tentang Usia Minimum
Untuk Diperbolehkan Bekerja,
Ratifikasi Konvensi ILO No.182
menjadi UU No. 1 Tahun 2000
tentang Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-
Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk
Anak, UU No.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, dan
UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Dalam Pasal 2 ayat (1)
Konvensi ILO No.138 tentang Usia
Minimum Untuk Diperbolehkan
Bekerja disebutkan bahwa
“Untuk pekerjaan-pekerjaan
yang membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral anak
harus diupayakan tidak boleh
kurang dari 18 (delapan belas)
tahun, kecuali untuk pekerjaan
ringan tidak boleh kurang dari
16 (enam belas) tahun.” Hal ini
ditegaskan lebih lanjut dalam
lampiran UU No.20 Tahun 1999
tentang Pengesahan Konvensi
ILO No.138 bahwa pemerintah
menyatakan usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja adalah 15
(lima belas) tahun.
Dengan meratifikasi
Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999
tentang Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-
Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk
Anak melalui UU No.1 Tahun
2000 pada bulan Maret 2000,
Pemerintah Indonesia dalam hal
ini sebagai pelaksana undang-
undang, secara resmi terikat
untuk segera mengambil tindakan
dalam rangka penghapusan
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk
untuk anak baik dalam peraturan
perundang-undangan dan juga
implementasinya.
Perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan
sejahtera10. Berbagai pelanggaran
terhadap hak-hak anak yang
masih sering terjadi tercermin dari
masih adanya anak-anak yang
mengalami kekerasan, eksplotasi
dan diskriminasi. Masalah pekerja
anak merupakan isu sosial yang
10 Ibid, hlm. 233
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201526
FOKUS
sukar dipecahkan dan cukup
memprihatinkan karena terkait
dengan aspek sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat11.
Harapan bagi Penghapusan
Pekerjaan Terburuk bagi Anak
di Indonesia
Perlindungan anak
semestinya tetap berpedoman
pada upaya holistik menjadikan
anak sebagai manusia yang patut
mendapat perhatian yang baik.
Dalam konteks ini, Abdul Hakim
Garuda Nusantara (mantan Ketua
Komnas HAM), mengatakan
bahwa masalahnya tidak semata-
mata bisa didekati secara yuridis,
tetapi perlu pendekatan yang
lebih luas, yaitu ekonomi, sosial
dan budaya. Sejalan dengan itu,
Shanti Dellyana mengatakan
bahwa perlindungan anak
merupakan satu usaha yang
mengadakan kondisi di mana
setiap anak dapat melaksanakan
hak dan kewajibannya12.
Langkah konkret
yang diharapkan adalah
membangun kesamaan persepsi
dan pemahaman di antara
stakeholders, seperti pemerintah,
pengusaha, agen pekerja, 11 Ibid, hlm. 23412 Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi
HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2008, hlm 226
maupun orang tua, bahwa anak
bukanlah pekerja sebagaimana
orang dewasa yang telah memiliki
tanggung jawab penuh. Anak
adalah bagian masa depan yang
memiliki kebutuhan khusus dan
memiliki kerentanan yang menjadi
tanggung jawab orang dewasa
untuk melindungi, menghormati
dan memenuhi hak anak tersebut
dengan mengedepankan
kepentingan terbaik bagi anak.
Pemerintah diharapkan
bertindak secara aktif melakukan
upaya-upaya yang bersifat
menjadi jalan keluar dari realitas
tersebut, bukan hanya melakukan
pemantauan dan pelarangan bagi
mereka. Para pengusaha dapat
memberikan jenis pekerjaan yang
memang aman untuk pekerja
anak-anak tersebut sehingga
mereka tetap dapat berkontribusi
secara ekonomi bagi keluarganya.
Di tingkat grassroot kepedulian
sesama anggota masyarakat di
lingkungan perlu diwujudkan lebih
real terhadap keberadaan pekerja
anak-anak dari keluarga-keluraga
yang memerlukan intervensi
ekonomi. Bila semua pihak mau
bergerak secara bersinergi maka
permasalahan ekonomi yang
melekat pada pekerja anak-anak
dapat teratasi secara optimal, yang
pada akhirnya menghilangkan
adanya pekerja anak-anak
tersebut. Semoga.
--ooOoo—
Daftar Pustaka:Fifik Wiryani, “Perlindungan
Hukum Bagi Pekerja Anak”, 11:2 Legality Jurnal Ilmiah Hukum (2004)
Yoga Utami (et al), “Pekerja Anak di India”, 2002, Jakarta: Kerjasama JARAK dan ACILS
Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2008, hlm 223 – 224
Olivia Riska, “ Perlindungan dan Hak-Hak Pekerja Anak” <http://ajrc-aceh.org/wp-content/uploads/2009/05/pia-makalah.pdf> [07/07/10]
ILO – BPS, “Keluarkan Data Nasional Mengenai Pekerja Anak di Indonesia”, 2010, <http://bravo.ilo.org/jakarta/info/public/pr/l ang - -en /con tLang- - i d /WCMS_122351/index.htm> [03/06/10]
*Penulis adalah Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat dan Protokol pada Bagian Hubungan Masyarakat dan Informasi Balitbang HAM
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 27
FOKUS
Hak Hidup Pengungsi Bangladesh dan Etnis Rohingya
dalam Perspektif HAM di Aceh
Hidayat*
Indonesia merupakan
salah satu negara tujuan dan
persinggahan pengungsi dari
negara lain. Menurut data
Kementerian Luar Negeri,
sejumlah 11.941 pengungsi
menempati wilayah Indonesia
(Maret 2015). Sebagai negara
yang tidak menandatangani
Konvensi Pengungsi 1951,
Indonesia memiliki keterbatasan
akses untuk bertindak terhadap
para pengungsi, salah satunya
adalah tidak adanya otoritas
untuk menetapkan status para
pengungsi. Para pengungsi
tersebut menunggu penetapan
status pengungsi dari UNHCR
(United Nations High Commissioner
for Refugee) sebagai organisasi
yang memiliki otoritas untuk
menetapkan status pengungsi1.
1 UNHCR berdiri berdasarkan Resolusi Majelis Umum 319A (IV) tanggal 3 Desember 1949. UNHCR dibentuk pada 1 Januari 1951 sebagai organ pendamping bagi Majelis Umum, yang pada awalnya bertugas untuk jangka waktu 3 tahun. Sebelum UNHCR, lembaga ini bernama International Refugees Organization (IRO). Footnote diambil dari Majda el Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (PT RajaGrafindo Persada, 2008) footnote
Mereka berada di Indonesia untuk
menunggu verifikasi dari UNHCR
dan penempatan ke negara
ketiga. Meski demikian, pada
Mei 2015 Indonesia mendapat
apresiasi dari publik dunia atas
tindakan terhadap pengungsi
Bangladesh dan Etnis Rohingya
yang merapat di wilayah perairan
Aceh. Pemerintah Indonesia
memberikan penyediaan tempat
tinggal, makanan dan obat-obatan.
Khusus untuk kasus pengungsi,
negara-negara di dunia harus
melindungi HAM, baik warga
negara itu sendiri maupun warga
negara lain sebagai sesama
manusia dan sesama bagian dari
warga dunia2.
Prinsip negara-negara nomor 122, hal. 288.
2 Salah satu contoh kasus yang berhubungan dengan ketenteraman hidup manusia sebagai sesama anggota warga dunia adalah kasus pengungsi yang akan menjadi fokus dalam proposal penelitian ini. Fact Sheet No. 20 Human Rights and Refugees menyebutkan “the refugee situation has become a classic example of the interdependence of the international community. It fully demonstrates how the problems of one country can have immediate consequences for other countries. It is also an example of interdependence between issues.”
di dunia untuk memberikan
perlindungan HAM kepada
pengungsi terdapat dalam
Konvensi PBB tentang Pengungsi
Tahun 1951 atau Convention
Relating to the Status of
Refugee3. Konvensi tersebut
efektif sejak 22 April 19544.
Konvensi tentang pengungsi
mendefinisikan pengungsi
sebagai seseorang yang
dikarenakan oleh ketakutan yang
beralasan akan penganiayaan,
yang disebabkan oleh alasan
ras, agama, kebangsaan,
keanggotaan kelompok sosial
tertentu dan keanggotaan partai
politik tertentu, berada di luar
negara kebangsaannya dan tidak
menginginkan perlindungan dari
negara tersebut5. Definisi tersebut
memberikan pemahaman bahwa
pengungsi merupakan orang-3 United Nations, Human Rights;
A Compilation of International Instruments, Vol. 1 (Second Part) (New York : United Nations, 2002), hal. 629-642.
4 Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal. 290.
5 Pengungsi, http://www.unhcr.or.id/id/siapa-yang-kami-bantu/pengungsi, diakses pada 11 Juni 2015.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201528
FOKUS
orang yang meninggalkan
negara asalnya karena berbagai
alasan yang disebutkan di
atas, terpaksa meninggalkan
negara asalnya serta tidak
mendapatkan perlindungan dari
negara asalnya. Oleh karena itu,
sebagai anggota warga dunia,
perlindungan terhadap pengungsi
menjadi tanggung jawab bersama
komunitas internasional.
Format perlindungan HAM bagi
pengungsi tidak lain adalah
bentuk keinginan bersama
untuk memosisikan mereka
sebagaimana laiknya manusia
yang bermartabat6. Kondisi
yang menyebabkan terjadinya
pengungsian bukan merupakan
alasan negara lain untuk
mengabaikan atau melakukan
pembiaran pemenuhan HAM.
Meskipun bukan merupakan
warga negaranya, pengungsi
merupakan anggota warga dunia
yang harus dipenuhi HAM-nya.
Pemenuhan HAM
pengungsi harus memberikan
jaminan kepastian perlindungan
hak dan kebebasan asasi. Selain
pemenuhan hak-hak dasar
sebagai manusia, pemenuhan
hak asasi terkait kondisi
khusus pengungsi pun harus
terpenuhi, yaitu jaminan untuk 6 Majda el Muhtaj, op.cit., hal. 289.
tidak dikembalikan ke negara asal
tempat ia mendapati ancaman
karena alasan ras, rumpun bangsa,
keanggotaan dalam kelompok
sosial tertentu atau pandangan
politiknya7. Salah satu prinsip yang
dianut Konvensi Pengungsi 1951
adalah prinsip non-refoulment (tidak
melakukan pemulangan) dan prinsip
non-expulsion (tidak melakukan
pengusiran). Nilai-nilai prinsip
non-refoulment dan prinsip non-
expulsion dituangkan dalam Pasal
33 Ayat (1) Konvensi Pengungsi
Tahun 1951 yang diterjemahkan
sebagai berikut :
Tidak satupun dari negara-negara yang mengadakan perjanjian akan mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilyah-wilayah dimana kehidupan dan kebebasannya akan terancam oleh karena suku, agama, kebangsaan, keanggotaan pada
kelompok sosial.
Dengan demikian para
pengungsi dibebaskan dari
kewajiban untuk melengkapi
dokumen keimigrasian dan
dianggap tidak pernah melakukan
pelanggaran administrasi imigrasi. 7 Koesparmono Irsan, Pengungsi Internal
dan Hukum Hak Asasi Manusia, (Jakarta : Komnas HAM RI, 2007), hal. 3.
Negara yang menandatangani
Konvensi Pengungsi 1951
memiliki kewajiban untuk tidak
memulangkan pengungsi yang
memasuki wilayah negaranya.
Pengecualian terhadap
penerimaan pengungsi hanya
dapat dilakukan apabila ternyata
pengungsi yang memasuki
wilyah teritorial negara penerima
merupakan ancaman serius
terhadap keamanan negara,
dimana ia dinyatakan oleh putusan
pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap sebagai terpidana8.
Konvensi 1951 dapat
dianggap sebagai pencetus
perkembangan hukum HAM
karena merupakan instrumen
yuridis internasional pertama yang
mentransformasikan ketentuan-
ketentuan tertentu dalam
DUHAM untuk kategori orang
tertentu. Tindakan ini dilanjutkan
oleh komunitas internasional
dengan membuat instrumen-
instrumen yuridis internasional
lain untuk menuangkan
keseluruhan prinsip atau prinsip
tertentu dalam DUHAM yang
berlaku bagi semua orang atau
kategori orang tertentu ke dalam
instrumen internasional yang
mengikat secara hukum, yang
8 Lihat Pasal 33 Ayat (2) Konvensi Pengungsi 1951.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 29
FOKUS
bersifat komprehensif, tematis
atau yang besasaran kategori
orang tertentu9. Meski demikian,
Konvensi Pengungsi 1951
menitikberatkan jangka waktu
keberlakuannya untuk peristiwa
pengungsian yang terjadi sebelum
tahun 1951 yang merupakan
pengungsi Eropa10. Konvensi
Pengungsi tidak bisa berperan
banyak mengatasi persoalan dan
problematika pengungsi pasca
tahun 195111. Penyataan ini
dijelaskan dalam Pasal 1 huruf (b)
Konvensi Pengungsi 1951 yang
berbunyi12:9 Majda el Muhtaj, op.cit., hal. 292,
yang diambil dari Enny Soeprapto, “Implementasi Prinsip-Prinsip Humaniter dalam Penanganan Masalah Pengungsi dan Internally Displaced Persons (IDPs),” makalah disampaikan pada Penataran Tingkat Lanjut Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (Advanced Course on International Humanitarian Law and Human Rights), Surabaya, 7–11 Oktober 2002.
10 Lihat Pasal 1 huruf (b) Konvensi Pengungsi 1951.
11 Konvensi Pengungsi 1951 menurut Enny Soeprapto memberlakukan pengaturan yang bersifat mundur ke belakang (backward looking). Konvensi pengungsi tidak bisa berperan banyak mengatasi persoalan dan problematika pengungsi pasca tahun 1951. Ketika itu ada ribuan orang dari Hungaria meninggalkan negara mereka pada tahun 1956 sebagai akibat perlawanan rakyat terhadap “penundukan” Uni Soviet dan penindasan brutal oleh pasukan Uni Soviet terhadap perlawanan itu, masuk ke berbagai negara di Eropa Barat untuk mencari keselamatan. Permasalahan yang timbul kemudian adalah orang-orang Hungaria yang berpindah ke negara di Eropa Barat tersebut tidak dapat ditangani dengan konvensi pengungsi karena terjadi di Tahun 1956.
12 Pasal 1 Huruf (b) Konvensi Pengungsi
For the purposes of this Convention , the words “events occurring before 1 January 1951” in article 1, Section A, shall be understood to mean either (A) “events occurring in Europe before 1 January 1951” ; or (b) events occuring in Europe or elsewhere before 1 January 1951; “ and each contracting state shall make a declaration at the time of signature, ratification, or accession, specifying which of these meanings it applies fot the purpose of its obligations
under this Convention.
Banyaknya peristiwa
pengungsian pasca 1951
mendasari perubahan Konvensi
Pengungsi Tahun 1951 ke
dalam Protokol mengenai
Status Pengungsi 1967 (The
Protocol Relating to the Status of
Refugees)13.
Di Indonesia, terminologi
pengungsi berdasarkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia dimaknai
sebagai orang yang pergi
menghindarkan (menyingkirkan)
diri dari bahaya atau
menyelamatkan diri (ke tempat
yang dirasa aman)14. Hukum positif 1951.
13 United Nations, op.cit., hal. 634-646. 14 Istilah pengungsi dalam Bahasa
Inggris dikenal dengan refugees dan IDPs (Internally Displaced Persons). Kata refugees diterjemahkan sebagai
Indonesia yang pertama kali
mengatur mengenai pengungsi
adalah UU No. 37 Tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri.
Pengungsi diatur dalam Pasal
25 s.d. 27 UU Hubungan Luar
Negeri. Namun permasalahan
yang timbul adalah tidak ada
Keputusan Presiden yang
menindaklanjuti ketentuan Pasal
25 s.d. 27 UU Hubungan Luar
Negeri tersebut15. Pengaturan
pengungsi kemudian diatur lebih
lanjut dalam Keputusan Presiden
RI No. 3 Tahun 2001 tentang
Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana
dan Penangangan Pengungsi.
Keputusan Presiden No. 3 Tahun
2001 mengatur penanganan
pengungsi, yaitu upaya
pelayanan dan perlindungan
kemanusiaan terhadap pengungsi
yang timbul akibat konflik, baik
sosial maupun politik yang
terjadi pada suatu daerah, yang
meliputi kegiatan pencegahan, pengungsi eksternal, yaitu pengungsi yang berpindah tempat ke wilayah teritorial Negara lain. Sedangkan IDPs diterjemahkan sebagai pengungsi yang berpindah wilayah namun masih dalam wilayah teritorial suatu Negara. Istilah ini jamak digunakan PBB dan UNHCR di tahun 1975. Majda el Muhtaj, op.cit., hlm. 294-295.
15 Indonesia Perlu Ratifikasi Konvensi tentang Pengungsi, http://www.hukumon l ine .com/ber i ta /baca /l t 4 f 3 5 1 a a c c 4 a 7 0 / i n d o n e s i a -perlu-ratifikasi-konvensi-tentang-pengungsi, diakses pada 13 Juni 2015.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201530
FOKUS
tanggap darurat, penampungan,
pemindahan dan pengembalian
atau relokasi pengungsi. Seiring
perkembangan situasi sosial
politik, Keputusan Presiden No.
3 Tahun 2001 diubah menjadi
Keputusan Presiden No. 11 Tahun
2001 tentang Perubahan atas
Keputusan Presiden No. 3 Tahun
2001 tentang Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan
Bencana dan Penanganan
Pengungsi. Pengaturan
pengungsi dalam hukum positif
Indonesia selanjutnya ditemui
dalam UU No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan
Bencana. Pengungsi dalam UU
Penanggulangan bencana berarti
orang atau kelompok orang yang
terpaksa atau dipaksa keluar dari
tempat tinggalnya untuk jangka
waktu yang belum pasti sebagai
akibat dampak buruk bencana16.
Menurut Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) ada dua manfaat
utama ratifikasi konvensi dan
protokol tentang pengungsi: (1)
pemerintah dapat menentukan
sendiri status para pengungsi
dan pencari suaka, sehingga
pemerintah dapat terlibat dan 16 Republic Indonesia, Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 1 Nomor 20. LN Tahun 2007 Nomor 66, TLN No. 4723.
berkontribusi langsung dalam
penanganan masalah pengungsi
sesuai kepentingan nasional;
(2) pemerintah dimungkinkan
mendapat bantuan internasional
terkait penguatan kapasitas nasional
dalam penanganan pengungsi
dan pencari suaka17. Pemerintah
Indonesia akan lebih mudah
mendapatkan bantuan dari negara
lain untuk memberikan pemenuhan
hak bagi para pengungsi. Meskipun
pemerintah Indonesia belum
meratifikasi Konvensi Pengungsi
Tahun 1951 dan Protokol tentang
Pengungsi 1967, tidak berarti
pemerintah Indonesia dapat
menolak atau memulangkan
pengungsi yang memasuki
wilayah teritorialnya. Pemerintah
Indonesia terikat dengan prinsip
non-refoulment yang terdapat
dalam Pasal 14 Ayat (1) DUHAM,
Konvensi Anti Penyiksaan (CAT)
dan Konvensi tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik (ICCPR) yang sudah
diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun
2005. Pemulangan para pengungsi
berarti pembiaran terhadap
penyiksaan dan pelanggaran hak
sipil dan politik yang mungkin
terjadi di daerah asalnya, sehingga
jelas melanggar konvensi tentang
penyiksaan dan konvensi tentang
hak sipil dan politik. Selain itu, prinsip
17 Ibid.
non-refoulment merupakan ius
cogen atau norma dasar hukum
internasional. Sebagaimana
yang ditentukan dalam Konvensi
Wina 1969, norma dasar yang
sudah diakui oleh masyarakat
internasional menjadi hukum
internasional yang seharusnya
tidak boleh dilanggar oleh negara
manapun di belahan dunia.
Pada medio tahun 2015,
terjadi kasus pengungsian yang
melibatkan wilayah teritorial
Indonesia. Pengungsi dari Ras
Rohingya negara Myanmar dan
Bangladesh merapat di pantai
Aceh. Para pengungsi sempat
terombang-ambing di perairan
Aceh selama kurang lebih 4
bulan sebelum ditemukan oleh
nelayan-nelayan di perairan
Aceh. Gelombang pengungsian
Etnis Rohingya sebenarnya
sudah berlangsung sejak lama.
Setidaknya dalam 3 tahun
terakhir UNHCR mencatat
sejumlah 120.000 Etnis Rohingya
telah meninggalkan Myanmar
dengan menggunakan kapal.
Di awal tahun 2015 tercatat
sebanyak 25.000 Etnis Rohingya
mengungsi dari Myanmar.
Apresiasi datang dari
publik internasional lantaran
tindakan pemerintah Indonesia
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 31
FOKUS
yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Walaupun tidak ada
dasar hukum yang mengharuskan
pemerintah Indonesia
bertanggung jawab terhadap para
pengungsi, Indonesia menampung
para pengungsi tersebut di
wilayahnya. Pemerintah Indonesia
menerapkan nilai-nilai hak
hidup sebagai hak asasi yang
paling mendasar bagi diri setiap
manusia. Hak hidup merupakan
non-derogable rights atau hak-
hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. Jika tidak
ada hak untuk hidup maka tidak
ada pokok persoalan dalam HAM
lainnya. Hak hidup diatur dalam
Pasal 3 DUHAM yang merumuskan
bahwa setiap orang mempunyai
hak atas kehidupan, kemerdekaan
dan keselamatannya. Ketentuan
hak hidup diatur pula dalam Pasal
6 Ayat (1) Konvensi Hak Sipil
dan Politik (ICCPR). Pasal 6 ayat
1 ICCPR menyatakan, “Setiap
manusia melekat hak untuk
hidup. Hak ini harus dilindungi
oleh hukum. Tidak seorangpun
insan manusia yang secara
gegabah boleh dirampas hak
kehidupannya.”
Perumusan hak hidup di
Indonesia tertuang dalam UUD
1945 dalam Pasal 28 A yang
menyebutkan “Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak
untuk mempertahankan hidup dan
kehidupannya.” Kemudian dalam
Pasal 28 (I) UUD RI 1945 disebutkan
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum dan hak
untuk tidak dituntut berdasarkan
hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.” Prinsip ini menjadi dasar
pemerintah Indonesia dalam
menerima dan memperlakukan
para pengungsi Etnis Rohingya.
Pemerintah Indonesia melalui
Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, Kementerian Sosial
dan pemerintah daerah Aceh
memberikan bantuan makanan dan
tempat tinggal serta pengobatan.
Pemerintah Indonesia
berkomitmen untuk tetap
membantu para pengungsi
asal Rohingya Myanmar dan
Bangladesh. Dalam waktu dekat
lokasi para pengungsi yang saat ini
ditampung di Provinsi Aceh akan
dipisahkan dengan pemukiman
masyarakat setempat. Pemerintah
daerah di Aceh akan membuat
shelter penampungan bagi
pengungsi untuk memudahkan
pengawasan yang dibuat di
daerah Aceh Timur, Aceh Utara
dan Lhokseumawe.
Pemerintah tengah
menyiapkan draft Peraturan
Presiden (Perpres) terkait
penanganan pengungsi imigran
yang terdampar di Indonesia.
Perpres tersebut salah satunya
akan mengatur mekanisme
penyediaan anggaran bagi
pemerintah daerah yang
ditugaskan mengurus para
pengungsi. Ke depannya, Perpres
tersebut akan menjadi payung
hukum bagi pemerintah dalam
menangani pengungsi, serta
membongkar upaya perdagangan
dan penyelundupan manusia.
Hal lain yang menjadi
catatan yaitu kepedulian beberapa
negara yang tergabung dalam
Perhimpunan Negara-negara Asia
Tenggara (ASEAN) menyatakan
diri siap membantu Indonesia
untuk menyediakan tempat
penampungan para pengungsi
asal Rohingya Myanmar. Di
antara negara-negara itu adalah
Filipina dan Kamboja.
*Penulis adalah Peneliti pada Puslitbang Hak-Hak Ekosob Balitbang HAM
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201532
FOKUS
Diskriminasi terhadap
anak perempuan masih banyak
dijumpai meskipun Indonesia
telah mengikatkan diri dengan
meratifikasi instrumen hukum
HAM internasional1, mengatur
jaminan hak asasi dalam
peraturan perundang-undangan
dan program yang dicanangkan.
Kegagalan penghapusan
tindakan diskriminasi terhadap
anak perempuan disebabkan
karena upaya yang dilakukan
sebatas mengatur jaminan
penikmatan HAM dalam
peraturan perundang-undangan
dan kebijakan tanpa diikuti 1 Konvenan Hak Sipil dan Hak Politik
(1966) diratifikasi UU No.12/2005; Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966) diratifikasi UU No.11/2005; Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (1965) diratifikasi UU No.29/1999; Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) diratifikasi UU No.7/1994; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat (1984) diratifikasi UU No.5/1998; Konvensi Hak Anak (1989) diratifikasi Keppres No.36/1990; Konvensi ILO 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk diratifikasi UU No 1/2000 .
Upaya Penghapusan Diskriminasi dan
Kekerasan terhadap Anak Perempuan
Yose Rizal Triarto*
implementasi, monitoring dan
evaluasi, penegakan hukum dan
penganggaran. Di sisi lain, upaya
tranformasi norma-norma universal
HAM ke dalam hukum domestik
mereduksi secara substansi
semangat yang menjiwai instrumen
Hukum Internasional HAM.
Berdasar sumber di atas
maka terdapat fenomena berikut:
a. Wilayah potensi diskriminasi
terhadap anak perempuan
tidak hanya pada level
pemerintah pusat, namun
pada level pemerintah daerah
seiring dengan otonomi
daerah. Potensi ini dilakukan
oleh aparat pemerintah daerah
melalui kebijakan publik yang
ditetapkannya.
b. Politik HAM yang
ditetapkan pemerintah tidak
memprioritaskan sumber daya
yang ada untuk pemenuhan
hak asasi anak khususnya anak
perempuan.
c. Pemerintah gagal merespon
isu-isu spesifik yang dialami
masyarakat.
d. Pemerintah gagal
melaksanakan kewajibannya
untuk menghapus tradisi
yang mendiskriminasi anak
perempuan (harmful tradition
against girl-child)2.
Negara Belum Merespon Isu-
Isu Spesifik Terkait dengan
Diskriminasi terhadap Anak
Perempuan
K e t i d a k b e r p i h a k a n
pemerintah dalam merespon isu-
isu spesifik yang dialami oleh
anak perempuan nampak dari
ketiadaan undang-undang yang
mengatur hal-hal berikut:
a. Kewajiban institusi
pendidikan untuk menjamin
hak anak perempuan yang 2 Kewajiban ini dicantumkan dalam
Pasal 5 huruf a CEDAW yang menyatakan bahwa negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat;(a) untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapal penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan;
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 33
FOKUS
hamil dan/telah menikah tetap
dapat melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
b. Penanganan, pelayanan dan
fasilitas aborsi yang aman
bagi anak perempuan.
c. Larangan praktik sunat bagi
anak perempuan (female
genital mutilation/cutting).
d. Larangan mempekerjakan
anak perempuan sebagai
pekerja rumah tangga (PRT)
dan perlindungan hukum bagi
PRT.
e. Larangan perdagangan
anak, perlindungan dan
penanganan khusus terhadap
anak korban perdagangan.
f. Penghapusan praktik
perhambaan yang sampai
saat ini masih ditemui dan
menjadi bagian dari budaya
masyarakat Sumba3 .
g. Penghapusan praktik
kekerasan dengan alasan
dan cara apapun yang
3 Praktek budaya perhambaan di Sumba Timur dapat di kategorikan dalam pelayanan dimana karena adat istiadat, kelompok yang di sebut “ata” atau “anak-anak dalam rumah” terikat untuk hidup dan bekerja di atas tanah milik marambanya dan memberikan pelayanan yang telah ditentukan kepada maramba tersebut baik dengan imbalan atau tidak, dan para ata atau “anak-anak dalam rumah” tersebut tidak bebas untuk merubah statusnya. Antarini Arna, et.al, Laporan Penelitian, Kekerasan Terhadap Anak Berbasis Budaya di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, UNICEF dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Timur, 2007
menurunkan martabat
kemanusiaan anak.
h. Penghapusan terhadap praktik
budaya yang berpotensi
melanggar hak anak.
Dampak Ketidakberpihakan
Kebijakan Publik terhadap Anak
Perempuan
1. Pendidikan
Anak perempuan yang hamil
dan/telah menikah tidak dapat
melanjutkan sekolah ke jenjang
yang lebih tinggi. Kondisi
ini menyumbang tingginya
angka anak perempuan putus
sekolah. Data Departemen
Pendidikan memperlihatkan
kesenjangan gender yang
signifikan antara jumlah anak
laki-laki dan perempuan yang
putus sekolah di tingkat SD
maupun SLTP. Kemungkinan
anak perempuan untuk putus
sekolah lebih besar. Di SD,
dari 10 anak yang putus
sekolah: 6 di antaranya anak
perempuan dan 4 lainnya
anak laki-laki. Demikian
halnya di SLTP, kesenjangan
gender antara murid laki-
laki dan perempuan yang
putus sekolah yaitu 7 anak
perempuan dibandingkan 3
anak laki-laki (Departemen
Pendidikan Nasional, 2002)4.
2. Kesehatan
Ketiadaan perlindungan
hukum bagi anak perempuan
yang melakukan aborsi dan
tidak tersedianya fasilitas
aborsi yang aman berakibat
mereka melakukan aborsi
secara terselebung tanpa ada
jaminan terhadap kualitas
layanan yang diberikan.
Padahal angka aborsi di
Inonesia mencapai 750.000–
1.000.000 kejadian per tahun.
Antara 40%–50% (sebagian
besar adalah aborsi yang
tidak aman) dilakukan
oleh remaja perempuan5.
Sementara itu, ketiadaan
larangan praktik sunat
terhadap anak perempuan
berakibat di berbagai wilayah
di Indonesia praktik-praktik
tersebut masih dilakukan.
Survey di Yogyakarta dan
Madura (2002) menunjukkan
tingginya pravelansi female
genital cutting. Di Yogyakarta
terdapat 43,5% dan di
Madura 94,7%. Hasil survey
menunjukkan indikasi bahwa
4 Lembar Fakta UNICEF: Pendidikan untuk Anak Perempuan Indonesia
5 PKBI, Kebutuhan akan Informasi dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja: Laporan Need Assessment di Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon dan Tasikmalaya, PKBI, UNPF dan BKKBN, 2001, hal. 8.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201534
FOKUS
di Yogyakarta masyarakat
yang masih memaknai tradisi
ini berdasarkan alasan
agama mencapai 31%,
sementara itu di Madura
menunjukkan 79,3%6.
3. Perlindungan Hukum
PRT di Indonesia tidak
dianggap sebagai pekerja
dan tidak termasuk dalam
peraturan ketenagakerjaan
nasional yang menjamin
hak-hak dasar di bidang
ketenagakerjaan seperti
upah minimum, upah lembur,
8 jam kerja/hari dan 40 jam
kerja/minggu, satu hari libur
dalam seminggu, liburan,
dan jaminan sosial bagi
pekerja di sektor formal.
Pengecualian dari hak-hak di
atas yang dialami oleh PRT
menyebabkan tidak adanya
perlindungan setara bagi
mereka di mata hukum; hal
ini berdampak diskriminatif
terhadap perempuan dan
anak-anak yang merupakan
mayoritas terbesar pekerja
rumah tangga. Menurut ILO,
saat ini ada 2,6 juta PRT
di Indonesia: sedikitnya
6 Muhajir Darwin, et.al,. Male and Female Genital Cutting: Konteks, Makna dan Keberlangsungan Praktik dalam Masyarakat Yogyakarta dan Madura, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, tanpa tahun, hal. 13-15.
688.132, sebagian besar
adalah anak-anak perempuan
di bawah usia 18 tahun
adalah PRT-anak7. Upaya
penghapusan praktik-praktik
perhambaan yang berdampak
pada terjadinya kekerasan
fisik sudah semestinya diubah
melalui aturan hukum. Di
Sumba, kekerasan fisik karena
praktik perhambaan dialami
oleh anak-anak terutama
golongan atas karena kondisi
subordinasi orang tuanya
dikarenakan status sosialnya.
Anak-anak golongan ata
mengalami kekerasan ganda,
yakni yang dilakukan oleh
orang tuanya dan maramba
serta keluarga maramba
lainnya8. Sementara ketiadaan
undang-undang yang mengatur
7 Human Rights Watch, Selalu Siap Disuruh Pelecehan dan Eksploitasi terhadap Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia, Vol. 17, No.7 (C), Juni 2005, hal. 10.
8 Hukum HAM Internasional secara konsisten tetap melarang perbudakan dan praktek yang menyerupai perbudakan. Statuta Roma untuk Pengadilan Pidana Internasional yang di adopsi PBB pada tahun 1998 memasukkan praktek memperbudak sebagai salah satu kategori Kejahatan Kemanusiaan. Pasal 7 C Statuta Roma tahun 1978 menjelaskan bahwa yang disebut memperbudak adalah ”tindakan penguasaan atas diri seseorang berdasarkan hak kepemilikan, termasuk tindakan penguasaan untuk memperjual-belikan manusia terutama perempuan dan anak-anak.”. Antarini Arna, et.al,. Laporan Penelitian, Kekerasan Terhadap Anak Berbasis Budaya di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, UNICEF dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Nusa Tenggara Timur, 2007.
tindak pidana perdagangan
anak memicu kenaikan
angka perdangangan anak.
Di Indonesia, diperkirakan
30% pekerja seks komersil
wanita berumur <18 tahun.
Bahkan ada beberapa yang
masih berumur 10 tahun.
Diperkirakan pula ada
40.000–70.000 anak menjadi
korban eksploitasi seks
dan sekitar 100.000 anak
diperdagangkan tiap tahun9.
Rekomendasi
Tindakan diskriminasi
yang masih terjadi dan dialami
oleh anak perempuan seharusnya
direspon oleh pemerintah melalui
upaya berikut:
a. Memastikan peraturan
p e r u n d a n g - u n d a n g a n
(legislative policy) secara
penuh berkesesuaian
dengan prinsip norma-norma
HAM universal. Peraturan
perundang-undangan yang
perlu segera direvisi meliputi:
1) UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan
Anak karena berbasis
sekterian (pendekatan
agama), khususnya
9 Lembar Fakta UNICEF: Eksploitasi Seks Komersil dan Perdagangan Anak.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 35
FOKUS
yang menyangkut dan
mengatur permasalahan
kuasa asuh, perwalian,
pengasuhan dan adopsi
anak.
2) UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan
karena UU ini sangat
minim mengatur tentang
pemenuhan hak anak
atas derajat kesehatan
yang optimal. Hak anak
atas kesehatan diatur
dalam Pasal 4 dan Pasal
17. Pasal-pasal tersebut
tidak secara eksplisit
mengatur hak anak
atas fasilitas kesehatan
dan layanan kesehatan
reproduksi termasuk
hak anak perempuan
untuk melakukan aborsi
yang aman.
3) UU No. 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan
Nasional belum
mengatur hak anak
perempuan yang hamil
dan/menikah untuk
melanjutkan pendidikan
dan kewajiban institusi
pendidikan untuk
membuka akses dan
perlakuan khusus bagi
mereka. Di samping
itu larangan praktek
penghukuman fisik
(corporal punishment)
dan pendisiplinan
dengan kekerasan di
sekolah semestinya
juga diatur dalam revisi
tersebut.
4) UU No.13/2003 tentang
Ketenagakerjaan belum
mengatur perlindungan
hukum bagi PRT
dan larangan untuk
mempekerjakan anak
sebagai PRT.
5) Peningkatan landasan
hukum ratifikasi
Konvensi Hak Anak
berdasarkan Keppres
36 Tahun 1990 menjadi
UU karena tidak dapat
menjadi rujukan hukum.
6) Meninjau kembali
perda yang mengatur
dan membatasi
perempuan termasuk
anak perempuan untuk
m e n g e k s p r e s i k a n
hak asasi mereka
berbasis syariah melalui
executive review.
b. Menerbitkan kebijakan di
bidang pendidikan yang
menjamin agar setiap anak
perempuan yang hamil dan
atau telah menikah dapat
melanjutkan pendidikannya
ke jenjang yang lebih tinggi
berdasarkan kepentingan
terbaik bagi anak perempuan.
c. Mendorong adanya
mekanisme penanganan dan
pendekatan khusus anak
korban perdagangan orang.
d. Meningkatkan akses layanan
fasilitas bagi anak perempuan
yang akan melakukan aborsi
yang aman dan memberikan
perlindungan hukum terhadap
tindakan aborsi tersebut.
e. Menghapus praktik-praktik
budaya dan ritualitas agama
yang mengancam integritas,
kehormatan, dan martabat
anak perempuan seperti:
budaya ngenger merupakan
ancaman terhadap PRT Anak;
female genital cutting yang
mengancam hak reproduksi
perempuan; dan perhambaan
di Sumba.
f. Mengalokasikan anggaran
secara khusus untuk
menjamin pemenuhan hak
asasi anak perempuan.
*) Penulis adalah seorang pemerhati dan penggiat HAM berdomisili di Yogyakarta.
Bertempat di Aula Balitbang
HAM, Bagian Kepegawaian
mengadakan diskusi untuk
membekali pengetahuan dan
keterampilan kepada peneliti,
dengan tema "Pengembangan
Jabatan Fungsional Peneliti
di Lingkungan Balitbang
HAM" (2/7) sehingga dapat
mewujudkan peneliti yang
berkualitas dan profesional.
Perkembangan IPTEK saat ini
sangat pesat, sehingga perlu
adanya dukungan hasil litbang
yang dapat digunakan untuk
kepentingan masyarakat. Peran
serta pejabat fungsional yang
ada saat ini belum seperti yang
diharapkan. Jumlah jabatan
fungsional, khususnya jumlah
peneliti yang masih sedikit
dengan ruang lingkup kerja
yang semakin luas, yang
menyebabkan pelaksanaan
litbang di bidang HAM
belum maksimal. Diskusi
ini menitikberatkan pada Metodologi Penelitian
(lanjutan). Lilis Mulyani
(LIPI) memaparkan teknik:
Wawancara, Analisa Data,
Mengkonstruksi Argumen dan
Analisa Wacana.
Humanis Volume 1 Tahun XI36
AGENDA
Focus Group Discussion Penyusunan Buku Pedoman HAMPenanganan Tenaga Kerja Indonesia yang Dideportasi
Pengembangan Jabatan Fungsional Peneliti
Pemerintah daerah merupakan
pihak yang paling berperan
dalam melakukan perlindungan
WNI yang dideportasi. Hak-
hak deportan dalam hal
penampungan, pelayanan
kesehatan, transportasi
pemulangan ke daerah asal
dapat dituntut oleh deportan
saat penanganan deportasi
kepada pemerintah daerah.
Pola penanganan perlindungan
diatur melalui Peraturan
Presiden RI No.45 Tahun 2013
tentang Koordinasi Pemulangan
Tenaga Kerja Indonesia yang
diselenggarakan dan menjadi
tanggung jawab instansi
pemerintah sesuai dengan tugas
dan fungsi masing-masing.
Dalam rangka melindungi hak-
hak deportan, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hak-hak
Sipil dan Politik mengadakan
Focus Group Disscussion (FGD)
Penyusunan Buku Pedoman
HAM Penanganan Tenaga Kerja
Indonesia yang Dideportasi di
Wilayah Perbatasan yang
diselenggarakan di Aula Kantor
Wilayah Kementerian Hukum
dan HAM Provinsi Sumatera
Utara (9/4). Buku pedoman
ini selayaknya menjadi jalan
keluar bagi SKPD sebagai
pemangku kepentingan terkait
kendala koordinasi di level
provinsi dan nasional. Buku
pedoman difokuskan dan
berisikan penanganan TKI
yang dideportasi dari wilayah
perbatasan.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 37
AGENDA
Seminar Nasional
Kebijakan Perlindungan Pembela HAM di Indonesia
Evaluasi Perlindungan Hukum dan HAMBagi Perempuan Korban Tindak Kekerasan
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hak-
hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Badan Penelitian
dan Pengembangan HAM
bekerja sama dengan The Asia
Foundation menyelenggarakan
Seminar Nasional Kebijakan
Perlindungan Pembela HAM di
Indonesia bertempat di Hotel JS
Luwansa, Jakarta (8/7). Pembela
HAM merupakan entitas yang
selama ini dikenal kritis terhadap
pemerintah sebagai upaya
memastikan negara melakukan
tindakan yang diperlukan bagi
pemenuhan HAM. Gerakannya
yang kritis dan seringkali dianggap
tidak sejalan dengan agenda
pemerintah, membuat Pembela
HAM seringkali dianggap bukan
sebagai pilar dalam demokrasi
dan pemenuhan HAM, tetapi
sebagai musuh keamanan
nasional yang perlu disingkirkan.
Jaminan perlindungan hukum
bagi para penggiat/pembela
HAM menjadi agenda mendesak
negeri ini dan itu harus mulai
dari revisi/perubahan terhadap
substansi UU No.39 Tahun
1999 tentang HAM kemudian
memasukkan aturan tentang
hak perlindungan bagi pembela
HAM dalam salah satu BAB-nya.
Dalam merumuskan kebijakan
tentang pembela HAM harus
mempertimbangkan kepentingan
nasional, misalnya saja dalam
memberikan sosialisasi atau
diseminasi tentang HAM yang
berupa kampanye HAM, pembela
HAM tidak merugikan kepentingan
umum dan pemerintah.
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hak-hak
Kelompok Khusus melaksanakan
kegiatan Focus Group Discussion
(FGD) kajian evaluasi perlindungan
hukum dan HAM bagi perempuan
korban tindak kekerasan di
Provinsi Jawa Timur (26/5-29/5).
Kekerasan terhadap perempuan
merupakan salah satu bentuk
pelanggaran HAM yang dapat
terjadi dalam rumah, lingkungan
kerja maupun di masyarakat.
Sayangnya, sebagian besar
masyarakat belum memandang
keadaan tersebut sebagai wujud
diskriminasi terhadap perempuan
dan menyadari bahwa konsekuensi
dari diskriminasi tersebut adalah
banyaknya terjadi kekerasan
terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan
masih menjadi salah satu
pekerjaan rumah bagi seluruh
pemerintah daerah di Indonesia.
Kondisi ini tentunya perlu menjadi
perhatian bersama karena
sesungguhnya pemerintah pusat
dan pemerintah daerah telah
melakukan berbagai upaya untuk
meminimalisir terjadinya kasus
kekerasan terhadap perempuan.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201538
AGENDA
Focus Group Discussion Pedoman HAM
Penanganan Tenaga Kerja Indonesia yang Dideportasi
Workshop Proses Pengangkatan Anak
dalam Upaya Perlindungan Hak Identitas Anak
Minimnya pendidikan Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) di sektor
informal menjadi salah satu
kendala yang dialami TKI di luar
negeri. Akibatnya, mereka tidak
tahu identitas mereka dipalsukan
di paspor, tidak paham isi kontrak
dan tidak dapat menyesuaikan
diri. Dalam hal terjadi deportasi
besar-besaran melalui wilayah
perbatasan, UU No.39 Tahun 2004
Pasal 73 ayat (3) menyatakan
Perwakilan Republik Indonesia,
Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah bekerja
sama mengurus kepulangan TKI
sampai ke daerah asal TKI. Pola
penanganan perlindungan diatur
melalui Perpres RI No.45 Tahun 2013
tentang Koordinasi Pemulangan
TKI, yang diselenggarakan dan
menjadi tanggung jawab instansi
pemerintah sesuai dengan
tusinya. Untuk melindungi hak
deportan, perlu disusun pedoman
penanganan WNI yang dideportasi
di wilayah perbatasan yang
dapat dijadikan pedoman baik
oleh Satgas, LSM maupun TKI
sebagai bentuk perlindungan
HAM dalam melindungi TKI
yang dideportasi. Tujuan FGD ini
adalah memberikan pemahaman
tentang perlindungan HAM
bagi WNI, khususnya TKI yang
bermasalah, hingga tersusunnya
rumusan kebijakan terkait
dalam upaya penanganan WNI
yang dideportasi di Provinsi
Kalimantan Timur. Kegiatan
ini dilaksanakan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Hak-hak Sipil dan Politik (1/4) di
Kanwil Kementerian Hukum dan
HAM Provinsi Kalimantan Timur.
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hak-hak
Kelompok Khusus melaksanakan
workshop tentang Proses
Pengangkatan Anak dalam
Upaya Perlindungan Hak
Identitas Anak di Indonesia
bertempat di Aula Kantor Wilayah
Kemenkumham Provinsi Kepulauan
Riau (30/7). Proses pengangkatan
anak memiliki korelasi dengan
3 sistem hukum yang berlaku
di Indonesia. Masyarakat perlu
mengetahui ketiga sistem hukum
ini sehingga paham prosedur mana
yang diberlakukan ketika mereka
melakukan proses pengangkatan
anak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No.23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang No.3 Tahun 2006
tentang perubahan atas UU No.7
Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Dengan mengikuti
prosedur pengangkatan anak,
calon anak angkat, termasuk anak
yang memerlukan perlindungan
khusus, dapat memperoleh
orang tua angkat yang dapat
memberikan pemenuhan
kebutuhan dasar dan terpenuhi
hak-haknya secara bertanggung
jawab.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 2015 39
AGENDA
Pengembangan Mekanisme Peringatan Dini Gangguan
Keamanan dan Ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan
Skenario gangguan keamanan dan
ketertiban di Lapas dapat diuraikan
ke dalam 5 dimensi: konteks,
kebutuhan, kapasitas, aktor dan
konflik. Berdasarkan 5 dimensi di
atas, tingginya kasus pelarian dari
penjara di Aceh disebabkan oleh
kondisi sarana dan prasarana
yang tidak mendukung untuk
standar lapas (kondisi tempik dan
kawat yang memudahkan warga
binaaan melarikan diri), kualitas
sumber daya manusia dan rasa
tanggung jawab petugas yang
minim sehingga mudah diajak
bekerja sama dengan warga
binaan, serta ketiadaan buku blok
dan buku roling warga binaan
yang berguna untuk mengetahui
jumlah napi dan penempatan napi
pada sel tahanan. Berdasarkan
kasus di atas, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Transformasi
Konflik melaksanakan Focus
Group Discussion tentang
Pengembangan Mekanisme
Peringatan Dini Gangguan
Keamanan dan Ketertiban di
Lembaga Pemasyarakatan di
Provinsi Aceh (11/6). Untuk
selanjutnya, diperlukan adanya
pola penanganan ketertiban
dan keamanan yang baku
dan seragam sehingga dapat
diterapkan di seluruh lapas.
Adat semakin lama semakin hilang
atau rusak. "Perkembangan
Indonesia terlalu cepat tanpa
memandang bagaimana Indonesia
Merdeka," ujar Aleta Baun yang
sering disapa dengan Mama Aleta
saat diwawancarai oleh tim peneliti
Puslitbang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, yang sedang
melakukan penelitian tentang
Perlindungan Hak Berkebudayaan
Bagi Masyarakat Adat di provinsi
Penelitian Perlindungan Hak Berkebudayaanbagi Masyarakat Adat
Nusa Tenggara Timur (11/5).
Mama Aleta menceritakan
perjuangannya dalam upaya
penyelesaian kasus pertambangan
Batu Marmerdi Mollo Kabupaten
Timor Tengah Selatan. Salah satu
alasan dari penolakan ini karena di
wilayah tersebut memiliki batu
nama, kayu nama dan air nama,
bahkan marga orang Timorpun
diambil dari batu. Batu disakralkan
karena sebelum ada agama masuk
di Indonesia, masyarakat selalu
sembahyang di batu. Adanya
penambangan batu marmer
menyebabkan masyarakat adat
kehilangan hak-haknya dalam
melakukan aktivitas ekonomi,
sosial dan budaya (ekosob) yang
dalam penelitian disebut sebagai
hak berkebudayaan.
Kegiatan Penelitian Perlindungan
Hak Berkebudayaan bagi
Masyarakat Adat yang dilakukan
di tiga provinsi (Maluku, NTT dan
Sulawesi Selatan) diharapkan
dapat menggali informasi
mengenai hambatan masyarakat
adat dalam menjalankan aktivitas
ekosob (hak berkebudayaan)
dan upaya perlindungan yang
telah dilakukan oleh pemerintah
dalam mengatasi permasalahan
tersebut.
Humanis Volume 1 Tahun XI Juli 201540
APA DAN SIAPA
Samuel Purba, S.H., M.Hum.
RIWAYAT JABATAN1998 Kepala Rumah Tahanan Negara Klas IIB Lubuk
Pakam, Sumatera Utara2004 Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Lubuk
Pakam, Sumatera Utara2005 Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Binjai,
Sumatera Utara2011 Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan,
Sumatera Utara2011 Kepala Divisi Pemasyarakatan pada Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi D.I. Yogyakarta.
2011 Inspektur Wilayah pada unit Inspektur Jenderal Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta
2012 Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kalimantan Tengah
2013 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak Sipil dan Politik Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI
2015 Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Maluku Utara
BIODATANama Samuel Purba, S.H., M.Hum. Tempat/Tanggal Lahir Haranggaol, 27 Juli 1956Pekerjaan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak Sipil dan PolitikPangkat Pembina Utama Muda (IV/c)Status Kawin, 1 anakPENDIDIKAN1986 Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta2005 Universitas Sumatera Utara
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN JABATAN1998 Adum2002 Kepemimpinan Tingkat III2009 Kepemimpinan Tingkat II2000 Rapat Kerja Teknis Pemasyarakatan2003 Rapat Kerja Teknis Pemasyarakatan2004 Diklat Kesamaptaan2009 Bimtek HAM bagi Kepala UPT Pemasyarakatan Se-Sumatera2011 Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Se-Indonesia
Samuel Purba, S.H., M.Hum. lahir 27 Juli 1956 di Haranggaol. Memulai karirnya sebagi Pegawai Negeri Sipil pada Maret 1980 ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang (Jakarta). Menyelesaikan pendidikan S1 Hukum di Universitas 17 Agustus 1945 (Jakarta) dan S2 di Universitas Sumatera Utara. Beliau pernah menjabat sebagai Kepala Rumah Tahanan Negara Klas IIB Lubuk Pakam (Sumatera Utara), Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Lubuk Pakam (Sumatera Utara), Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Binjai (Sumatera Utara), Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan (Sumatera Utara), Kepala Divisi Pemasyarakatan pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM D.I. Yogyakarta, Inspektur Wilayah pada unit Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM (Jakarta), Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan
Tengah. Beliau kemudian dipercaya untuk menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak Sipil dan Politik pada Badan Penelitian dan Pengembangan HAM (Balitbang HAM) Kementerian Hukum dan HAM RI terhitung sejak tahun 2013. Pada akhir Agustus 2015, beliau resmi dilantik sebagai Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Maluku Utara. Selamat mengemban tugas baru di Maluku Utara, Pak!
Humanis Volume 1 Tahun VIII Juli 2012 41
Samuel Purba S.H., M.Hum. menjadi pembicara dalam acara Rapat Koordinasi Teknis Penyusunan Anggaran Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Bersama dengan Kepala Badan, Sekretaris Badan dan para Kepala Pusat Litbang Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia dalam pembukaan Rapat Koordinasi Teknis 2015
Foto bersama dengan seluruh pegawai di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak Sipil dan Politik Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia
Selamat mengemban tugas baru di Kanwil Maluku Utara, Bapak Samuel!
APA DAN SIAPA
Foto: Daryono
Foto: Daryono
Foto: Sabir