WACANA IKLAN TELEVISI ROKOK DJARUM 76 VERSI … · Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat...
Transcript of WACANA IKLAN TELEVISI ROKOK DJARUM 76 VERSI … · Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat...
WACANA IKLAN TELEVISI
ROKOK DJARUM 76 VERSI “PENGIN EKSIS”:
ANALISIS TANDA MENURUT ROLAND BARTHES
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Clara Natalia Christina Mitak
NIM: 134114027
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
WACANA IKLAN TELEVISI
ROKOK DJARUM 76 VERSI “PENGIN EKSIS”:
ANALISIS TANDA MENURUT ROLAND BARTHES
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Clara Natalia Christina Mitak
NIM: 134114027
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Juli 2017
Penulis
Clara Natalia Christina Mitak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata
Dharma:
Nama : Clara Natalia Christina Mitak
NIM : 134114027
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Wacana Iklan Televisi
Rokok Djarum 76 Versi “Pengin Eksis”:
Analisis Tanda Menurut Roland Barthes
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan
secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan
royaliti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta,
Pada tanggal, 31 Juli 2017
Yang menyatakan,
Clara Natalia Christina Mitak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN
Kita tertawa bukan karena bahagia,
tetapi kita bahagia karena tertawa
Karya sederhana ini dipersembahkan kepada:
orangtua tercinta,
Bapak Lambertus Mitak dan Ibu Maria Kasilda;
kedua adik terkasih,
Dwiana Faustya Mitak dan Maria Krisaniatri Mitak;
Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma;
serta semua teman terkasih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan
judul “Wacana Iklan Televisi Rokok Djarum 76 Versi “Pengin Eksis”: Analisis
Tanda Menurut Roland Barthes”. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana (S-I) Program Studi Sastra Indonesia di Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari banyak pihak,
skripsi ini tidak akan selesai pada waktunya. Oleh sebab itu, dalam kesempatan
ini, dari hati yang paling dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. P. Ari Subagyo, M. Hum. selaku pembimbing yang telah menyempatkan
diri untuk menilik dan mengarahkan penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
juga ikut mendorong dan menyemangati penulis.
3. Alm. Drs. Hery Antono, M.Hum. yang sempat menjadi pembimbing I dan
memberikan banyak masukan berharga.
4. Segenap dosen Program Studi Sastra Indonesia: Susilawati Endah Peni Adji,
S.S., M.Hum.; Drs, B. Rahmanto, M.Hum.; Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi,
M.Hum.; Drs. F.X. Santosa, M.S.; Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A., serta
dosen-dosen pengampu mata kuliah tertentu yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu.
5. Seluruh staf Sekretariat Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma atas
berbagai pelayanan dalam urusan akademik.
6. Kedua orangtua tercinta, Bapak Lambertus Mitak dan Ibu Maria Kasilda
yang telah memberikan perhatian, dukungan, doa, dan semangat kepada
penulis.
7. Kedua adik, Dwiana Faustya Mitak dan Maria Krisaniatri Mitak yang telah
memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis.
8. Seluruh teman di Prodi Sastra Indonesia, secara khusus angkatan 2013 yang
telah berjuang bersama-sama hingga saat ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
10. Sahabat terbaik, Heronima Rosalia Ate, Theresia Paramita Hardianti,
Lorancia Angela Keo, Fransisca Esti Apriliani, Anna Asi Karwayu, serta
teman-teman lainnya yang selalu menemani penulis baik suka maupun duka.
11. Teman-teman kelompok KKN Alternatif tahun 2015 Universita Sanata
Dharma, Kakak Carlos, Kakak Dorce, Esti, Siska, dan Niko yang telah
memberikan pengalaman berharga.
13. Seluruh keluarga besar UKM Seni Karawitan Universitas Sanata Dharma
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar
berorganisasi dan menabuh gamelan.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini merupakan tanggung jawab
sepenuhnya penulis. Akhir kata, semoga karya ini bermanfaat.
Penulis
Clara Natalia Christina Mitak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRAK
Mitak, Clara Natalia Christina. 2017. “Wacana Iklan Televisi Rokok Djarum
76 Versi “Pengin Eksis”: Analisis Tanda Menurut Roland Barthes”
Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini bertujuan mengungkap makna denotasi, konotasi, dan mitos pada
iklan televisi rokok Djarum 76 versi “pengin eksis” berdasarkan tanda-tanda
visual dan verbalnya. Analisis makna-makna tersebut menggunakan teori tanda
menurut Roland Barthes. Teori tersebut diaplikasikan dengan tujuan
mengungkapkan makna denotasi, konotasi, dan mitos.
Pada tahap pengumpulan data, teknik dasar yang digunakan berupa teknik
sadap dan teknik lanjutan berupa teknik catat. Pada tahap analisis data, teknik
yang digunakan ialah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL) dan penggunaan model
sistem semiologi Roland Barthes. Pada tahap penyajian hasil analisis data,
penyajian secara informal dengan perumusan kata-kata biasa, sedangkan
penyajian formal dengan perumusan tabel dan bagan.
Iklan Djarum 76 versi “Pengin Eksis” terbagi menjadi sembilan adegan.
Berdasarkan tanda-tanda verbal dan visualnya, ditemukan makna denotatif dan
konotatif sebagai berikut. Pada adegan 1, ditemukan makna denotatif dan
konotatif tentang tokoh pria paruh baya dan latar (tempat dan waktu). Pada adegan
2, ditemukan makna denotatif dan konotatif tentang tokoh pria paruh baya dan
lampu emas ajaib. Pada adegan 3 ditemukan makna denotatif dan konotatif
tentang tokoh jn dan penggabungan dua mitos. Pada adegan 4 ditemukan makna
denotatif dan konotatif tentang tokoh jin. Pada adegan 5 ditemukan makna
denotatif dan konotatif tentang tokoh pria paruh baya. Pada adegan 6 ditemukan
makna denotatif dan konotatif tentang tokoh jin. Pada adegan 7 ditemukan makna
denotatif dan konotatif tentang tokoh pria paruh baya. Pada adegan 8 ditemukan
makna denotatif dan konotatif tentang tokoh jin serta pada adegan 9 ditemukan
makna denotatif dan konotatif tentang logo Djarum 76.
Terdapat enam mitos dalam iklan Djarum 76 versi “Pengin Eksis”, yaitu (a)
mengekalkan branding, (b) menunjukkan eksistensi sebagai rokok rakyat, (c)
melestarikan budaya, (d) mengkritik budaya “pengin eksis”, (e) membangun citra
humoris, dan (f) menunjukkan kuasa produsen rokok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
ABSTRACT
Mitak, Clara Natalia Christina. 2017. “Discourse of Television Cigarette
Advertisement of Djarum 76 "Pengin Eksis" Version: An Analysis of
Signs on Roland Barthes”. Thesis. Yogyakarta: Indonesia Literature
Studies, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.
This thesis aims to reveal the meaning of denotation, connotation, and
myths on television cigarette advertisement of Djarum 76 "pengin eksis" version
based on visual and verbal signs. The analysis of these meanings uses the sign
theory according to Roland Barthes. The theory is applied with the aim of
expressing the denotation, connotation, and myth meaning.
At the data collection stage uses tapping techniques and recording
techniques. In the data analysis stage uses Immagiate Constituent Analyzing
(Indonesian: Bagi Unsur Langsung) technique and used Roland Barthes’s
semiological system model. In presentation of data analysis results, at the formal
way uses common word, for informal way used tables and charts.
Djarum 76 cigarette advertisement is divided into nine scenes. The
denotative and connotative meaning are described based on their verbal and visual
signs. In scene 1, there are two the meaning of denotative and connotative about
the middle-aged man character and background (place and time). In scene 2, there
are two meaning of denotative and connotative about the middle-aged man
character and magic gold lamp. In scene 3, there are two meaning of denotative
and connotative about the jinn character and the merging of two myths. In scene
4, that is one meaning of denotative and connotative about jinn character. In
scene 5, there is one meaning of denotative and connotative about middle-aged
man character. In scene 6, there is one meaning of denotative and connotative
about jinn character. In scene 7, there is one meaning of denotative and
connotative about middle-aged man character. In scene 8, there is one meaning of
denotative and connotative about jinn character and in scene 9, there is one
meaning of denotative and connotative about Djarum 76 logo.
For the myth meaning obtained some meaning that are (a) eternize
branding, (b) shows existence as a people's cigarette, (c) preserving culture, (d)
criticizing the culture of "pengin eksis”, (e) building a humorous image, and (f)
showing the power of cigarette producers.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................ v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................... vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
ABSTRAK ............................................................................................................ ix
ABSTRACT .......................................................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ...................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 4
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ................................................................................. 5
1.5 Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 5
1.6 Landasan Teori ................................................................................................ 8
1.6.1 Semiotika Nonverbal dan Visual ............................................................ 8
1.6.2 Teori Tanda menurut Roland Barthes .................................................... 11
1.6.3 Iklan Televisi .......................................................................................... 15
1.7 Metodologi Penelitian ..................................................................................... 16
1.7.1 Pengumpulan Data ................................................................................. 16
1.7.2 Analisis Data .......................................................................................... 16
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data ................................................................ 18
1.8 Sistematika Penyajian ..................................................................................... 18
BAB II MAKNA DENOTATIF DAN KONOTATIF BERDASARKAN
TANDA-TANDA VISUAL DAN VERBAL DARI IKLAN
TELEVISI ROKOK DJARUM 76 VERSI “PENGIN EKSIS”
2.1 Pengantar ......................................................................................................... 19
2.2 Adegan 1 ......................................................................................................... 20
2.2.1 Tokoh Pria Paruh Baya ......................................................................... 21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
2.2.1.1 Usia Pria ................................................................................... 21
2.2.1.2 Penampilan .............................................................................. 22
2.2.1.2.1 Fisik ........................................................................ 22
2.2.1.2.2 Busana .................................................................... 25
2.2.1.3 Tindakan .................................................................................. 28
2.2.2 Latar ...................................................................................................... 29
2.2.2.1 Latar Tempat ........................................................................... 29
2.2.2.1.1 Jawa Tengah ........................................................... 29
2.2.2.1.2 Toko Barang Antik ................................................. 29
2.2.2.1.3 Lingkungan Kelas Menengah ke Bawah ................ 32
2.2.2.2 Latar Waktu ........................................................................... 32
2.3 Adegan 2 ......................................................................................................... 34
2.3.1 Tokoh Pria Paruh Baya ......................................................................... 35
2.3.1.1 Ekspresi ................................................................................... 35
2.3.1.2 Tindakan .................................................................................. 36
2.3.2 Lampu Emas Ajaib ............................................................................... 37
2.3.2.1 Warna Emas ............................................................................ 38
2.3.2.2 Aladin dan Lampu Ajaib ......................................................... 38
2.4 Adegan 3 ......................................................................................................... 40
2.4.1 Tokoh Jin .............................................................................................. 40
2.4.1.1 Usia ......................................................................................... 40
2.4.1.2 Penampilan .............................................................................. 41
2.4.1.2.1 Aksesoris Jawi Jangkep .......................................... 41
2.4.1.2.2 Warna Busana ......................................................... 42
2.4.1.3 Kemunculan ............................................................................ 43
2.4.2 Penggabungan Dua Mitos ..................................................................... 45
2.5 Adegan 4 ......................................................................................................... 46
2.5.1 Tokoh Jin .............................................................................................. 47
2.5.1.1 Tindakan .................................................................................. 47
2.6 Adegan 5 ......................................................................................................... 49
2.6.1 Tokoh Pria Paruh Baya ......................................................................... 50
2.6.1.1 Respon ..................................................................................... 50
2.6.1.1.1 Dampak Televisi ..................................................... 51
2.6.1.1.2 Kepercayaan Masyarakat ........................................ 51
2.7 Adegan 6 ......................................................................................................... 53
2.7.1 Tokoh Jin .............................................................................................. 53
2.7.1.1 Persetujuan .............................................................................. 53
2.8 Adegan 7 ......................................................................................................... 55
2.8.1 Tokoh Pria Paruh Baya ......................................................................... 55
2.8.1.1 Proses ...................................................................................... 55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
2.9 Adegan 8 ......................................................................................................... 57
2.9.1 Tokoh Jin .............................................................................................. 58
2.9.1.1 Tindakan .................................................................................. 58
2.9.1.2 Foto Peringatan ....................................................................... 58
2.9.1.3 Warna Jingga ........................................................................... 60
2.10 Adegan 9 ....................................................................................................... 62
2.10.1 Logo Djarum 76 .................................................................................. 62
BAB III MITOS DALAM IKLAN TELEVISI ROKOK DJARUM 76 VERSI
“PENGIN EKSIS”
3.1 Pengantar ......................................................................................................... 65
3.2 Mengekalkan Branding ................................................................................... 66
3.3 Menunjukkan Eksistensi sebagai Rokok Rakyat ............................................ 69
3.4 Melestarikan Budaya ....................................................................................... 72
3.5 Mengkritik Budaya “Pengin Eksis” ................................................................ 73
3.6 Membangun Citra Humoris ............................................................................ 75
3.7 Menunjukkan Kuasa Produsen Rokok ............................................................ 77
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 81
4.2 Saran ............................................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar 1: Potongan Adegan dalam Iklan Televisi Rokok Djarum
76 versi “Pengin Eksis” .................................................................. 3
Gambar 2: Sistem Semiologis Tingkat Kedua (The Second Order
Semiological System) menurut Barthes (2007: 85) ...................... 13
Gambar 3: Adegan 1 ........................................................................................... 20
Gambar 4: Adegan 2 ........................................................................................... 35
Gambar 5: Adegan 3 ........................................................................................... 40
Gambar 6: Adegan 4 ........................................................................................... 47
Gambar 7: Adegan 5 ........................................................................................... 50
Gambar 8: Adegan 6 ........................................................................................... 53
Gambar 9: Adegan 7 ........................................................................................... 55
Gambar 10: Adegan 8 ......................................................................................... 57
Gambar 11: Adegan 9 ......................................................................................... 62
Tabel 1 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 1 ................................... 33
Tabel 2 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 2 ................................... 39
Tabel 3 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 3 ................................... 46
Tabel 4 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 4 ................................... 49
Tabel 5 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 5 ................................... 52
Tabel 6 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 6 ................................... 54
Tabel 7 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 7 ................................... 57
Tabel 8 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 8 ................................... 61
Tabel 9 Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 9 ................................... 64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Semiotika adalah model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda
dalam masyarakat, hal-hal yang membangun tanda-tanda, dan hukum-hukum
yang mengaturnya. Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan istilah
semiologi. Pada dasarnya, dua istilah ini merupakan istilah untuk bidang keilmuan
yang sama.
Menurut Parmentier (dalam Christomy, 2004: 111), pengikut Peirce acap
kali membedakan semiotik dan semiologi. Mereka menyebut semiotik untuk
aliran Peirce dan semiologi sebagai khas Saussure. Saussure menggunakan istilah
semiologi dengan analogi jelas terhadap istilah lainnya yang berakhir dengan –
logi, seperti psikologi, biologi, antropologi (dari bahasa Yunani logos “kata”,
“kajian”), sementara Peirce memperkenalkan istilah Locke karena ia melihat
semiotika konsisten dengan tradisi sebelumnya atau melihat disiplin ini sebagai
bentuk penelaahan yang berorientasi pada filsafat.
Istilah semiologi juga digunakan untuk menyebut kajian berbahasa
Perancis, sementara semiotika untuk kajian berbahasa Inggris. Menurut Danesi
(2010: 13) keduanya adalah perspektif yang saling melengkapi yang dapat dengan
mudah dipadukan menjadi keseluruhan “ilmu tanda”, betapapun kita ingin
menamainya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Sejak pertengahan abad ke-20, semiotika telah tumbuh menjadi bidang
kajian yang sungguh besar, di antaranya kajian bahasa tubuh, bentuk-bentuk seni,
wacana retoris, komunikasi visual, media, mitos, naratif, bahasa, artefak, isyarat,
kontak mata, pakaian, iklan, makanan, upacara (Danesi, 2010: 6). Iklan salah
satunya, hal yang selama ini akrab dengan kehidupan kita, yang muncul melalui
media baik televisi, radio, koran, dan sebagainya merupakan sekumpulan tanda
yang mengandung pesan, kode, dan makna.
Berdasarkan fenomena di atas, fokus dasar pada studi ini adalah
pandangan terhadap periklanan khususnya iklan televisi sebagai sebuah sistem
yang menciptakan tanda. Objek sasaran dari penelitian ini ialah iklan televisi
rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis”. Teori tanda yang digunakan peneliti ialah
teori tanda yang dikembangkan oleh Roland Barthes.
Alasan peneliti memilih untuk menerapkan teori tanda menurut Roland
Barthes pada iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis” ialah untuk
melihat makna iklan tersebut secara lebih mendalam (tidak hanya dari makna
sebenarnya (denotasi) tetapi juga ke tahap yang lebih lanjut yaitu makna konotasi
hingga ke mitos-mitosnya). Adapun alasan lainnya ialah hal-hal yang membuat
iklan rokok Djarum 76 ini mampu menanamkan persepsi dengan baik di benak
konsumen. Dengan alasan tersebut, penelitian ini akan mengungkapkan makna
denotatif dan konotatif dari iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis”
berdasarkan tanda-tanda visual dan verbalnya (yang dijelaskan pada Bab II) serta
mitos di balik iklan tersebut (yang dijelaskan pada Bab III).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Iklan Djarum 76 versi “pengin eksis” terdiri dari sembilan adegan, yang
menggambarkan parodi kehidupan masyarakat kalangan menengah ke bawah
yang bergelut dengan kehidupan yang serba sulit. Tokoh utamanya memimpikan
perubahan melalui sebuah keajaiban dalam hidupnya sesuai mitos yang beredar
dalam masyarakat yaitu pertolongan dari jin. Salah satu potongan adegan dalam
iklan rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis” dapat dilihat pada Gambar 1 di
bawah ini:
Gambar 1: Potongan Adegan dalam Iklan Televisi Rokok Djarum 76
versi “Pengin Eksis”
Hasil analisis berupa makna denotatif, konotatif, dan mitos berdasarkan
tanda visual (pakaian jin) dan verbal (“Kuberi satu permintaan”) pada Gambar 1,
ialah sebagai berikut: makna denotasi tanda visual menyatakan bahwa jin
mengenakan pakaian adat Jawa Tengah (jawi jangkep) yang berwarna emas serta
merah marun, makna konotasi berupa simbol kemegahan dan kekuasaan,
sedangkan pada tingkat mitos dilihat sebagai bentuk dari pelestarian kebudayaan.
Dari contoh ini, alasan peneliti untuk memaknai iklan rokok Djarum 76 versi
“Pengin Eksis” menjadi jelas. Jadi, melalui tanda-tanda verbal dan visual dalam
iklan tersebut, pemaknaan terhadap posisioning iklan dapat ditelusuri berdasarkan
makna denotasi, konotasi, dan mitos.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Berdasarkan latar belakang masalah itu maka penelitian ini akan
mengungkap makna pada wacana iklan televisi rokok djarum 76 versi “pengin
eksis” dengan teori tanda menurut Roland Barthes.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.2.1 Makna denotatif dan konotatif apakah yang terungkap dari iklan televisi
rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis” berdasarkan tanda-tanda visual
dan verbalnya?
1.2.2 Mitos apakah yang terungkap di balik iklan televisi rokok Djarum 76
versi “Pengin Eksis”?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah :
1.3.1 Mendeskripsikan makna denotatif dan konotatif yang terungkap dari iklan
televisi rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis” berdasarkan tanda-tanda
visual dan verbalnya.
1.3.2 Mendeskripsikan mitos yang terungkap di balik iklan televisi Djarum76
versi “Pengin Eksis”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian berguna untuk memberikan jawaban permasalahan baik
secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis ialah untuk mengembangkan teori
tanda Roland Barthes atau menjadi contoh penerapan teori Roland Barthes dalam
analisis wacana iklan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran terhadap studi ilmu bahasa terutama dalam kajian
semiotika dalam wacana iklan dan memperkaya keilmuan di bidang analisis
tanda.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi
para peneliti yang berminat menganalisis lebih lanjut tentang iklan, tanda, dan
wacana. Diharapkan pula agar penelitian mampu menjadi panduan dalam
menganalisis iklan melalui analisis tanda yang berlapis.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh ini telah banyak penelitian yang mengkaji wacana iklan rokok yang
ada di Indonesia, di antaranya Arlis As Ary (2008), Mirah Hapsari (2013), Wahyu
Dwi Asih dan Helni Mutiarsih Jumhur (2012), Abid Helmy (2012), dan Rangga
Galura Gumelar (tt). Skripsi Arlis berjudul Maksud Ungkapan-Ungkapan yang
Dipergunakan dalam Iklan Rokok di Media Cetak antara Tahun 2006-2007.
Beberapa merek rokok yang ditelitinya, yaitu Sampoerna A Mild, Sampoerna
Exclusive, Star Mild, Gudang Garam Merah, Gudang Garam Filter, Djarum
Coklat 76, dan Sampoerna Hijau. Ia menyimpulkan bahwa maksud ungkapan-
ungkapan yang dipergunakan dalam iklan rokok di media cetak antara tahun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
2006-2007 itu berupa; menarik minat sekaligus mendekatkan diri kepada
konsumen, pada umumnya tidak menggunakan kerangka bahasa Indonesia yang
baik dan benar serta melanggar Ejaan Yang Disempurnakan (EYD),
menggunakan unsur dialek bahasa daerah, menggunakan gaya bahasa hiperbola
dan personifikasi, dan bermaksud untuk menjalin keakraban dengan
konsumennya.
Selanjutnya, studi makna konotasi pada iklan luar ruang rokok produk PT
Djarum oleh Mirah Hapsari pada tahun 2013. Mahasiswa Jurusan Desain, Institut
Seni Indonesia, Yogyakarta ini menggunakan kajian semiotika pada media
billboard produk PT Djarum di wilayah Daerah Isrtimewa Yogyakarta. Ia
menguraikan makna konotasi yang terkandung dalam billboard tersebut.
Kesimpulan yang diambilnya ialah media billboard yang dibuat oleh perusahaan
rokok digunakan sebagai media komunikasi promosi kepada target audience-nya.
Diketahui pula bahwa setiap produk memiliki target audience-nya masing-
masing, sehingga bahasa penyampaian, isi pesan, dan visualisasinya akan
berbeda.
Pada kasus iklan televisi rokok Djarum 76, versi-versi yang telah ditelaah
dan dikaji berupa; Tersesat di Pulau Terpencil, Kawin dengan Mawar Kembang
Desa, Jangkrik, Jin Serakah (Matrealistis), Jin Ketipu, Pengin Kaya Pengin
Ganteng, Sogokan, Dimarahi Istri, Kontes Jin, dan Naik Pangkat (Wakil
Dibuang). Wahyu Dwi Asih dan Helni Mutiarsih Jumhur memilih versi
“Sogokan” sebagai objek penelitian mereka. Keduanya meneliti makna yang
terkandung dalam iklan Djarum 76 versi “Sogokan” ditinjau dari elemen-elemen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
yang terdapat pada iklan. Elemen-elemen tersebut berupa heard word and sound
effect (kata kata yang didengarkan dan efek suara), music (musik), seen word
(kata-kata yang telihat), picture (gambar), colour (warna), dan movement
(gerakan).
Wahyu Dwi Asih dan Helni Mutiarsih Jumhur menyimpulkan bahwa;
pertama, iklan televisi Djarum 76 merupakan iklan kreatif yang berbalut komedi
dan humor sehingga mendapat tempat di masyarakat terlepas dari perundang-
undangan yang dibuat oleh pemerintah. Kedua, iklan tersebut merupakan media
kritik sosial sebab mengangkat fenomena Gayus Tambunan sebagai simbol
kebobrokan sistem dan budaya yang ada di tubuh perangat pemerintah. Ketiga,
iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Sogokan” ini mencerminkan budaya korupsi
pada akhirnya menempatkan masyarakat kecil menjadi korban.
Abid Helmy yang juga memilih versi yang sama berpendapat bahwa
regulasi pemerintah untuk membatasi iklan rokok ternyata tidak mampu
memenjarakan ide dan kreativitas para kreator iklan rokok. Menurutnya, iklan
rokok Djarum 76 termasuk iklan komersil yang kreatif. Penelitiannya
mengungkapkan bahwa iklan ini lebih mengemban misi sosial dibanding dengan
misi komersialnya (terdapat kritik sosial terhadap pemerintah lewat parodi Gayus
Tambunan). Misi sosial itu berupa kritik akan fenomena korupsi. Ia
menambahkan bahwa fenomena tersebut sulit untuk diberantas dan bahkan
mustahil untuk dihilangkan di negeri ini. Wacana Indonesia bebas dari korupsi
merupakan hal yang irasional, tidak masuk akal dan mustahil. Sebaliknya, yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
lebih rasional adalah bahwa praktek korupsi itu tetap diberantas dan ditekan
hingga ke titik terendah dari tingginya praktek korupsi yang terjadi di Indonesia.
Selanjutnya, penerapan teori semiotika oleh Rangga Galura Gumelar pada
iklan televisi Djarum 76 versi “Naik Pangkat”. Ia mengutarakan bahwa iklan
televisi Djarum 76 menjadi iklan yang akan dikenang masyarakat karena konsep
dan tema kritik sosial yang disuguhkan dalam iklannya. Kode-kode yang
digunakan oleh pengiklan kemudian dapat dimaknai dan dijadikan sebagai
perbaikan sistem atau menjadi perhatian masyarakat umumnya. Kode kultural
masih tetap dijaga dengan pakaian adat dan kekuatan mayoritas masyarakat masih
tetap dipegang oleh simbol-simbol Jawa.
Dengan demikian, penelitian terhadap iklan televisi Djarum 76 versi
“Pengin Eksis” merupakan penelitian yang baru dilakukan. Adapun penelitian ini
merupakan pengembangan dan pelengkap kajian terhadap iklan televisi Djarum
76 versi sebelumnya. Penjelasan dan uraian yang akan dilakukan merupakan
jawaban atas pertanyaan dan permasalahan yang belum terpecahkan dalam
penelitian sebelumnya.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Semiotika Nonverbal dan Visual
Scholes (dalam Budiman, 2011: 3) menyebut semiotika____
yang biasanya
didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda____
pada dasarnya merupakan sebuah
studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang
entitas-entitas tertentu sebagai tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Jika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
kita mengikuti pandangan Peirce, semiotika tidak lain daripada sebuah makna lain
bagi logika, yakni “doktrin formal tentang tanda-tanda”; sementara bagi Saussure,
semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji
kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat” (Budiman, 2011: 3).
Sebenarnya, istilah semiotics diperkenalkan oleh Hippocrates (460-377
SM), penemu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala (Danesi, 2010: 7). Gejala,
menurut Hippocrates, merupakan semeion____
bahasa Yunani untuk “penunjuk”
(mark) atau “tanda” (sign) fisik.
Teori tanda pertama yang sebenarnya diperkenalkan oleh Santo Agustinus
(354-430 M) walau ia tidak menggunakan istilah semiotika untuk
mengidentifikasikannya. Ia mendefinisikan tanda alami sebagai tanda yang
ditemukan secara harafiah di alam. Ia membedakan jenis tanda ini dengan tanda
konvensional, yaitu tanda yang dibuat manusia (Danesi, 2010: 11). Dalam teori
semiotika modern saat ini, tanda konvensional dibagi menjadi tanda verbal dan
nonverbal. Jadi, gambar dan isyarat adalah contoh tanda nonverbal, sedangkan
kata dan struktur linguistik lainnya (ekspresi, frasa, dan lain-lain) adalah contoh
tanda verbal. Fokus pada tanda verbal akan tercangkup dalam teori tanda menurut
Roland Barthes, sementara tanda nonverbal akan tercangkup dalam semiotika
nonverbal dan visual di bawah ini.
Menurut Piliang (2012: 299), semiotika adalah sebuah cabang keilmuan
yang memperlihatkan pengaruh semakin penting sejak empat dekade lalu, tidak
saja sebagai metode kajian (decoding), akan tetapi juga metode penciptaan
(encoding). Semiotika telah berkembang menjadi model atau paradigma bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
berbagai bidang keilmuan yang sangat luas yang menciptakan cabang-cabang
semiotika khusus, di antaranya semiotika sastra, semiotika televisi, semiotika
fashion. Semiotika film, dan termasuk semiotika nonverbal serta semiotika visual.
Kedipan mata, isyarat tangan, ekspresi wajah, postur tubuh, dan tindakan
badaniah lainnya merupakan tanda dan kode pada perilaku nonverbal. Perilaku ini
dihasilkan oleh persepsi yang relevan dengan budaya dalam situasi-situasi sosial
tertentu. Danesi (2010: 64) menyebut perilaku semacam ini sebagai sesuatu yang
lebih dari sekadar zat fisik melainkan tanda yang mengomunikasikan sesuatu.
Secara teknis, studi atas tanda-tanda ini diberi nama semiotika nonverbal.
Perilaku nonverbal tampak alamiah karena diperoleh secara osmotik
(tanpa dipikirkan) dalam konteks kultural. Pada kenyataannnya, perilaku ini
sebagaian besar berasal dari kesepakatan menurut sejarah, bukan dari kewajaran
atau tiadanya kewajaran. Pendeknya, nilai-nilai sosial, jenis-jenis pesan yang
dibuat dengan tanda nonverbal selalu melibatkan konotasi, artinya pesan-pesan itu
jarang ditafsirkan sebagai murni sinyal fisik.
Selanjutnya ialah studi tentang tanda visual. Tanda-tanda visual adalah
simbol visual yang bersifat ringkas dan abstrak serta mengarah pada komunikasi
melalui gambar. Studi tanda visual disebut semiotika visual. Semiotika visual
pada dasarnya merupakan salah sebuah bidang studi semiotika yang secara khusus
menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan
melalui sarana indra lihat (visual senses).
Tanda visual dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tanda yang
dikonstruksi dengan sebuah penanda visual, yang artinya dengan penanda yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
dapat dilihat (bukan didengar, disentuh, dikecap, atau dicium). Seperti semua
tanda lainnya, tanda visual dapat dibentuk secara ikonis (wajah-wajah), indeksikal
(anak panah yang menunjukkan arah), dan simbolis (logo iklan).
1.6.2 Teori Tanda menurut Roland Barthes
Teori tanda menurut Roland Barthes merupakan teori yang dikembangan
berdasarkan sistem penandaan (signifiant) oleh Ferdinand de Saussure. Saussure
membagi sistem penandaan menjadi dua bagian, yaitu signifiant (penanda,
bentuk) dan signifié (petanda, makna). Hubungan antara penanda dan petanda
merupakan hubungan langsung, yaitu penanda secara langsung menandai petanda.
Bidang penanda untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi, sedangkan bidang
petanda untuk menjelaskan konsep atau isi. Prinsip Saussure ini menekankan
bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial
yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya
secara kolektif.
Selain itu, aliran strukturalisme pun menekankan pentingnya analisis
sinkronik untuk menjelaskan relasi dan sistem tanda yang diteliti. Saussure pun
menghubungkan konsep sinkronik tersebut dengan “waktu” atau aspek diakronik.
Diakronik mengandaikan kausalitas sebuah keterhubungan. Akan tetapi, konsep
diakronis diberi perhatian lebih banyak justru oleh para pengikutnya yang melihat
strukturalisme terlalu kering jika tertuju pada aspek sinkronis (Christomy, 2004:
112). Semiologie Barthes mengisi kekeringan itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Roland Barthes mengembangkan sebuah model relasi antara apa yang
disebutnya sistem, yaitu perbendaharaan tanda (kata, visual, gambar, benda) dan
sintagma, yaitu cara pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu. Ia
merumuskan sistem penandaan terdiri dari dua lapis, tiga lapis, dan seterusnya,
karena ia percaya masing-masing tanda memiliki beberapa kemungkinan makna
atau hubungan antara ekspresi dan isi terjadi pada manusia lebih dari satu tahap.
Berdasarkan sistem itu, dikembangkanlah dua tingkatan pertandaan (staggered
system), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-
tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Seperti yang ditulis dalam bukunya,
berikut ini:
Juga dalam sebuah teks tertulis, teks membuat kita terus-menerus
membaca suatu message kedua yang terdapat di antara baris-baris kata
message pertama: jika saya membaca judul besar Paus Paulus IV Takut,
judul itu juga ingin mengatakan: jika anda membaca lanjutannya, anda
akan mengetahui kenapa Paus Paulus IV takut (Barthes, 2007: 264).
Barthes menyebut sistem pemaknaan berlapis tersebut dengan sebutan
sistem pemaknaan tataran kedua atau sistem semiologis tingkat kedua (the second
order semiological system), yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada
sebelumnya.
Hubungan yang ditunjukkan jenis tataran kedua yaitu hasil penandaan
pada tahap yang pertama yang menghasilkan makna denotatif (denotative
meaning) akan secara langsung yang menjadi penanda-penanda yang
berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada hasil tataran
signifikasi lapis kedua, Barthes (2007: 85) menyebutnya sebagai makna konotatif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
(conotative meaning). Pada tataran selanjutnya, ia menyebut dengan istilah mitos
(myth). Tingkatan makna menurut Barthes ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2: Sistem Semiologis Tingkat Kedua
(The Second Order Semiological System) menurut Barthes (2007: 85)
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang
menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam
hal ini ialah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti
wajah Soeharto yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya
mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda, yang di dalamnnya beroperasi makna yang tidak eksplisit,
tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).
Ia menciptakan makna-makna lapis kedua yang terbentuk ketika penanda
dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau
keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan kasih sayang atau tanda
tengkorak mengkonotasikan bahaya. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis
kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam
tingkatannya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang
berkaitan dengan mitos. Mitos adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial
(yang sebetulnya arbitrer dan konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.
Mitos atau tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Inilah
sumbangan Barthes yang amat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure,
yang berhenti pada tataran denotatif.
Konotasi dalam kerangka Barthes, identik dengan kerangka ideologi, yang
disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada dalam suatu
periode tertentu. Dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan
tataran kedua yang petandanya dapat memilki beberapa penanda (Budiman dalam
Semiotika Budaya, 2004: 259).
Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian
berkembang menjadi makna denotasi, makna denotasi tersebut akan menjadi
mitos. Misalnya, pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi
“keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi
“keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada
simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi
sebuah konotasi tetapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua.
Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah
mitos.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
1.6.3 Iklan Televisi
Istilah iklan berasal dari bahasa Arab, yaitu I‟lan. Istilah dalam bahasa
Arab ini yang kemudian oleh lidah Indonesia dilafalkan menjadi „iklan‟. Istilah
iklan lebih lazim digunakan dengan alasan semangat anti-Barat, khususnya
Belanda yang menjajah Indonesia saat itu. Menurut Widyatama (2005: 14)
pemilihan istilah dari bahasa Arab juga dipilih karena faktor penyebaran agama
Islam yang begitu pesat dan kebudayaan Arab yang mudah diterima oleh
masyarakat.
Dalam perspektif iklan, cenderung ditekankan pada aspek penyampaian
pesan yang kreatif dan persuasif yang disampaikan melalui media khusus.
Sebagaimana pandangan iklan oleh Klepper yang dikutip oleh Widyatama, bahwa
iklan berasal dari bahasa Latin, ad-vere yang berarti mengoperkan pikiran gagasan
kepada pihak lain. Pengertian ini sama halnya dengan pengertian komunikasi
yang cenderung menekankan sebagai proses penyampaian pesan dari komunikator
kepada komunikan.
Seperti pengertian iklan yang sama dengan pengertian komunikasi, Kasali
(1992: 51) juga mengakui bahwa tujuan iklan pada umumnya mengandung misi
komunikasi. Periklanan adalah suatu komunikasi massa dan harus dibayar untuk
menarik kesadaran, menanamkan informasi, mengembangkan sikap, atau
mengharapkan adanya suatu tindakan yang menguntungkan bagi pengiklan.
Iklan kemudian dirunut menjadi enam prinsip dasar, yaitu adanya pesan
tertentu, dilakukan oleh komunikator (sponsor), dilakukan dengan cara non
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
personal, disampaikan untuk khalayak tertentu, dilakukan dengan cara membayar,
dan mengharapkan dampak tertentu.
1.7 Metododologi Penelitian
Prosedur yang dilakukan oleh penelitian ini berfokus pada iklan televisi
rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis”. Selanjutnya akan dianalisa makna
denotasi, konotasi, dan mitos berdasarkan tanda-tanda verbal dan visual dari
sembilan potongan adegan yang telah dibagi.
1.7.1 Pengumpulan Data
Metode yang digunakan pada tahap pengumpulan data ialah “metode
simak” atau “penyimakan” (Sudaryanto, 2015: 203). Metode simak ialah metode
saat peneliti menyimak atau mengamati penggunaan bahasa dari objek penelitian.
Adapun teknik dasar yang digunakan ialah teknik sadap, sedangkan untuk teknik
lanjutan digunakan teknik catat (Sudaryanto, 2015: 205). Kedua teknik ini
digunakan ketika menyadap penggunaan bahasa objek penelitian kemudian
dilakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klarifikasi.
1.7.2 Analisis Data
Pada analisis data, metode yang digunakan ialah metode agih. Sudaryanto
(2015: 18) mengartikan metode ini sebagai metode yang alat penentunya justru
bagian dari bahasa yang bersangkutan. Dari metode agih ini, teknik dasar yang
digunakan berupa teknik bagi unsur langsung atau teknik BUL. Jadi, cara yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
digunakan pada awal kerja analisis ialah membagi satuan lingual datanya menjadi
beberapa bagian atau unsur; dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang
sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud.
Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama, metode yang digunakan
ialah dengan menangkap sistem signifikasi pada message pertama yang oleh
Barthes (2007: 282) disebut dengan denotasi. Message pertama ini ditangkap
melalui pemahaman secara literal, yaitu dengan melihat sekelompok signifiant-
signifiant yang mengacu kepada suatu korpus signifié-signifié yang juga memadai.
Kemudian, sistem yang pertama (denotasi simpel) menjadi wilayah ekspresi atau
signifiant dari sistem kedua. Signifiant message kedua menjadi konotasi bagi
message yang pertama (Barthes, 2007: 82). Message kedua didapat berdasarkan
penyatuan garis-garis style (figur-figur style, metafora, potongan kalimat,
gabungan kata-kata) yang berasal dari retorika dengan kalimat literal yang telah
diabstraksikan dari message totalnya.
Untuk menjawab rumusan masalah yang kedua, Barthes (2007: 284)
mengatakan bahwa perlunya untuk menjelaskan peran yang dimainkan oleh
message denotasi. Ini berkaitan dengan cara iklan me-natural-kan message kedua,
yaitu cara message pertama menghilangkan finalitas iklan yang sarat kepentingan.
Dengan demikian, motivasi komersialnya ditemukan dengan keadaan yang bukan
ditopengi, tetapi didobel oleh suatu representasi yang jauh lebih luas, sebab
representasi itu mengomunikasikan pembaca dengan tema-tema besar manusia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data yang berupa kaidah penggunaan bahasa disajikan secara
informal dan formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-
kata biasa walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya, sedangkan
penyajian formal adalah perumusan dengan tabel dan bagan (Sudaryanto, 2015:
241)
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini dibagi menjadi empat bab dan sistematikanya dapat dirinci
sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan, yang berfungsi sebagai pengantar. Bab
I terdiri dari delapan sub bab, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
dan sistematika penyajian.
Bab II berisi jawaban atas rumusan masalah yang pertama, yaitu
mengungkap makna denotasi dan konotasi berdasarkan tanda-tanda visual dan
verbal dari iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis”. Bab III
merupakan jawaban akan rumusan masalah yang kedua, yaitu menganalisis mitos
yang terungkap dibalik iklan televisi rokok Djarum76 versi “Pengin Eksis”,
sementara itu Bab IV berisi kesimpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
BAB II
MAKNA DENOTASI DAN KONOTASI BERDASARKAN TANDA-
TANDA VISUAL DAN VERBAL DARI IKLAN TELEVISI DJARUM 76
VERSI “PENGIN EKSIS”
2.1 Pengantar
Roland Barthes (2007: 281) menyebut iklan sebagai sebuah message sebab
iklan mengandung suatu sumber yang mengeluarkannya, yaitu perusahaan yang
menghasilkan produk yang diluncurkan (dan dibanga-banggakan), suatu titik
resepsi-penerimaan, yaitu publiknya, dan suatu saluran transmisi, yang disebut
orang sebagai support iklan itu. Menurutnya, pada satu kalimat iklan
sesungguhnya mengandung dua message.
Message yang pertama dibuat lewat kalimat yang ditangkap dari literasinya,
dengan mengabaikan intensi publisiternya atau tidak akan memperhitungkan
metafora yang terdapat dalam iklan. Dengan kata lain, signifiant-signifiant ini
mengacu kepada suatu korpus signifié-signifié yang juga memadai. Dalam
hubungannya dengan apa yang nyata dan harus “diterjemahkan” oleh langage.
Message yang pertama ini disebut message denotasi atau yang disebut Barthes
(2007: 282) sebagai denotasi simpel.
Message yang kedua berupa hubungan antara signifiant dan signifié, yang di
dalamnnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti
(artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Signifiant message kedua
sesungguhnya dibuat oleh message pertama seutuhnya. Itulah sebabnya message
kedua menjadi konotasi bagi message pertama (Barthes, 2007: 283). Message
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
kedua terbentuk ketika signifiant dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis,
seperti perasaan, emosi, atau keyakinan.
Pemaparan Barthes di atas merupakan hal yang akan dibahas pada bab ini.
Makna denotasi dan konotasi yang akan diungkap akan berdasar pada tanda-tanda
verbal dan visual pada setiap potongan adegan dari iklan televisi rokok Djarum 76
versi “Pengin Eksis”.
2.2 Adegan 1
Potongan Adegan 1 menyajikan beberapa tanda visual di antaranya tokoh
pria paruh baya yang mengenakan pakaian sederhana, ia berada pada sebuah gang,
pada gang tersebut terdapat barang-barang yang berserakan. Selain itu, terdapat
tanda visual telepon umum, gerobak angkringan, motor, dan lainnya yang dekat
tokoh tersebut. Berdasarkan tanda-tanda visual ini, peneliti membaginya menjadi
dua, yaitu (a) tokoh pria paruh baya dan (b) latar. Tanda visual yang disebutkan
dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah:
Gambar 3: Adegan 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
2.2.1 Tokoh Pria Paruh Baya
Sistem penandaan yang menonjol dari tokoh pria paruh baya pada Adegan
1 mencakup: (i) usia, (ii) penampilan, dan (iii) tindakannya.
2.2.1.1 Usia Pria
Melalui visualisasi pria paruh baya pada Gambar 3 dapat ditelusuri makna
konotasi melalui penjabaran kode kebudayaan pada aspek pengetahuan. Aspek
pengetahuan pada penandaan tataran pertama ini berkaitan dengan pemahaman
"kehidupan dimulai pada usia 40". Persoalan makna konotasi pada aspek usia pria
berhubungan dengan alasan dipilihnya tokoh ini sebagai karakter utama dalam
iklan Djarum 76 versi “Pengin Eksis”. Alasan itu berupa tolok ukur dan contoh
akan keputusan apa yang diambil oleh pria paruh baya jika ditawari sebuah
peluang.
Seorang psikolog Amerika bernama Walter B. Pitkin, pada tahun 1932
mengeluarkan buku yang berjudul Life Begins at Forty. Ia mengupas tentang usia
40 tahun dari perspektif Barat yang kental dengan materialisme. Menurutnya, usia
40 merupakan usia saat seseorang telah mencapai golden age yang diukur dari
parameter kasat mata: karier yang telah mapan, pendapatan yang lumayan, status
sosial cukup terpandang, dan harta yang menjulang.
Pertanyaannya sekarang ialah mengapa Djarum 76 menggunakan tokoh pria
paruh baya dengan penampilan tersebut? Hal ini dipicu oleh pernyataan sebagian
orang bahwa usia 40 tahun merupakan usia yang matang secara fisik, emosional,
dan spiritual; sebuah usia saat seseorang akan memperhitungkan secara matang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
tentang hal yang akan dilakukannya dan tidak dari segi lahiriah saja, sebab
kecerdasan akal pada usia ini sedang mencapai puncaknya.
Penjabaran di atas menuntun pada suatu titik bahwa usia, kematangan,
kedewasaan pada diri pria paruh baya digunakan sebagai tolok ukur dan contoh
akan keputusan atau kebijakan yang diambilnya jika ditawari sebuah peluang
(penjelasan ada pada 2.5). Oleh karena itu, ia menjadi tokoh protagonis dalam
iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis”.
2.2.1.2 Penampilan
Pada aspek penampilan, pria paruh baya diidentifikasikan sebagai orang
Indonesia (khususnya pribumi) dan ia berada pada kelas menengah ke bawah.
Selanjutnya sistem penandaan ini akan disajikan menjadi dua sub, yaitu fisik dan
busana.
2.2.1.2.1 Fisik
Pria paruh baya pada Gambar 3 diidentifikasikan sebagai pria berkulit kulit
sawo matang. Kulit sawo matang yang dimilikinya merupakan warna kulit yang
sangat didominasi oleh orang-orang Asia yang tinggal di daerah tropis, tak
terkecuali Indonesia. Dengan kata lain, kulit sawo matang yang dimiliki pria
paruh baya menunjukkan bahwa ia adalah orang Indonesia. Selanjutnya,
penelusuran kode representasi berdasarkan makna denotasi tersebut, didapatlah
pengidentifikasian pria paruh baya sebagai golongan pribumi dan bukan
bangsawan atau warga kota berdasarkan mitos warna kulit yang dikemukakan
Yulianto.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Yulianto dalam bukunya yang berjudul Pesona „Barat‟: Analisis Kritis-
Historis tentang Kesadaran Warna Kulit Indonesia menjabarkan berbagai hal
mengenai sentimen warna kulit. Menurutnya sentimen tersebut dibangun oleh
globalisasi, kapitalisme, kelas, kekuasaan, dan superioritas. Sentimen ini pun
mampu menunjukkan secara signifikan mentalitas rendah diri bangsa Timur dan
keterpesonaan mereka terhadap warna kulit orang Barat. Meskipun penelitian
yang dilakukan oleh Yulianto lebih difokuskan pada keterpesonaan wanita
Indonesia terhadap kulit putih____
dengan mengonsumsi produk pemutih____
pada
poin ini peneliti akan mengaitkannya dengan warna kulit yang dimiliki oleh pria
paruh baya.
Pertama ialah idealisme warna kulit bangsawan. Dalam penelitian Yulianto
(2007: 44-48), idealisme warna kulit keraton Surakarta adalah kuning/kuning
gading____
peneliti mengaitkannya sebagai idealisme warna kulit bangsawan. Hal
ini dibuktikannya berdasarkan penemuan akan idealisme warna kulit orang Jawa
dalam literatur Jawa, yaitu kakawin. Dalam literatur tersebut, kulit yang kekuning-
kuningan disebut kulit indah, sedangkan dalam kecantikan priyayi bisa
dideskripsikan sebagai gelap atau kehitam-hitaman. Dalam visualisasi kulit sawo
matang pria paruh baya, secara jelas menunjukkan bahwa ia bukan berasal dari
golongan bangsawan.
Kedua, idealisme warna kulit orang kota. Melalui pemaparan di muka,
ekpresi keterpesonaan Timur akan warna kulit orang Barat sangat mempengaruhi
orang kota. Yulianto menyimpulkan bahwa standar warna kulit yang awalnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
ialah warna kuning gading/kekuning-kuningan telah bergeser menjadi warna putih
khas orang Barat.
Dapat disimpulkan bahwa pesan-pesan iklan pemutih kulit___
yang bersifat
halus, tak terasa, dan tak terlihat memaksa____
secara pasti menjadi idealisme
warna kulit tunggal Indonesia kontemporer. Dari standar tersebut, diketahuilah
bahwa idealisme warna kulit orang kota ialah putih seperti orang Barat dan
karena kulit pria paruh baya tidak putih berarti ia bukan orang kota.
Adapun pemaparan idealisme kulit ini menunjukan secara pasti bahwa
strategi pemasaran produk pemutih (dalam melokalkan, menggeneralisasikan,
memperdalam atau memperluas gairah keinginan orang Asia terhadap kulit putih)
tidak terjangkau kepada pria paruh baya. Atau dengan kata lain, indroktinasi dan
persuasi akan kulit putih sebagai sebuah keharusan untuk feminitas pun tidak
mampu membuat ras cokelat yang satu ini untuk mengamini pesan tersebut.
Bukti ketiga ialah identifikasi golongan pribumi. Kulit sawo matang yang
dimiliki pria paruh baya (Yulianto menyebut jenis kulit ini dengan ras cokelat)
merupakan bukti kuat bahwa ia dari golongan pribumi ditunjukkan Yulianto
melalui pengutipan perkataan Soekarno dalam biografi yang berjudul Soekarno an
Autobiography As Told to Cindy Adams:
Klub sepak bola adalah pengalaman traumatik bagiku. „Hey kamu kulit
cokelat!...Hey orang kulit cokelat! Bodoh dan miskin … Pribumi …
Inlander … Petani … Hey, kamu lupa pakai sepatu…‟ „Meski anak bule
yang masih kecil pun sudah tahu meludahi kami, inilah hal pertama yang
diajarkan oleh orangtua mereka setelah tidak lagi memakai popok
(Yulianto, 2007: 73).
Jadi, terdapat hubungan yang erat antara tanda visual warna kulit dengan
mitos idealisme warna kulit. Penjabaran mitos ini menuju pada kesimpulan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
pria paruh baya pada Gambar 3. berasal dari golongan pribumi dan bukan
golongan bangsawan atau orang kota.
2.2.1.2.2 Busana
Ibrahim (dalam Barnard, 2009: vi) mengatakan bahwa pakaian atau busana
adalah sesuatu yang erat dengan diri kita. Pakaian menjadi perlambang jiwa.
Pakaian bisa menunjukkan siapa pemakainya. Pakaian yang kita kenakan
membuat pernyataan tentang diri kita. Bahkan jika kita bukan tipe orang yang
peduli soal busana, orang yang bersama dan berinteraksi dengan kita tetap akan
selalu menafsirkan penampilan kita seolah-olah kita sengaja membuat suatu
pesan. Pernyataan ini membawa kita pada fungsi komunikasi dan nonkomunikasi
dari pakaian yang kita kenakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam suasana
formal maupun informal.
Dalam pemilihan busana pria paruh baya pun, sangat mungkin untuk
menunjukkan atau mengonstruksi keanggotaan satu kelas sosial di dalam suatu
masyarakat. Barnard (2009: 89) menguraikan dengan jelas mengenai definisi
peran sosial yang dimiliki seseorang berdasarkan pakaian atau fashion yang
dikenakannya. Busana yang dikenakannya mampu merefleksikan bentuk
organisasi ekonomi tempat ia hidup atau pakaian yang dikenakannya pula
menggambarkan jenis pekerjaan tertentu, posisi, dan nilai atau status sosialnya.
Selain mengonstruksi keanggotaan satu kelas sosial, Prawira dalam bukunya
yang berjudul Warna Sebagai Salah Satu Unsur Seni & Desain mengatakan
bahwa warna dengan kuat dapat mempengaruhi jiwa manusia atau dapat
mempengaruhi emosi manusia. Warna dapat pula menggambarkan suasana hati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
seseorang. Warna mampu mempengaruhi kegiatan fisik dan mental. Selera
terhadap warna tertentu juga menunjukkan bahwa warna mempengaruhi emosi
dan kepribadian seseorang. Melalui warna pun perepresentasian sifat pria paruh
baya dapat diketahui. Setelah ditilik kembali, apa sajakah perepresentasian
tersebut? Perepresentasian ini mencangkup kaos abu-abu, celana jin hitam, dan
sepatu kets kumal.
a. Kaos Abu-abu
Tataran konotasi, kaos abu-abu longgar dapat dinyatakan mendenotasikan
seseorang tidak sedang bekerja dan dalam suasana informal. Selain itu, pemilihan
warna abu-abu pada pria paruh baya menunjukkan berbagai macam sifat.
Pertama-tama representasi yang didapat dari warna abu-abu. Berdasarkan
sifatnya, abu-abu memberikan kesan ketenangan, keteduhan, dan elegan. Prawira
(1989: 61) menjelaskan bahwa warna kelabu dengan berbagai macam tingkatan
melambangkan kesopanan dan kesederhanaan, karena itu seringkali dilambangkan
sebagai orang yang telah berumur dengan kepasifan, kesabaran, dan rendah
hatinya, tetapi juga mempunyai lambang negatif yaitu keragu-raguan, tidak dapat
membedakan mana yang penting dan mana yang kurang penting. Karena sifatnya
yang netral abu-abu juga sering dilambangkan sebagai penengah dalam
pertentangan. Dengan demikian, warna kaos abu-abu yang dikenakan pria paruh
baya menunjukkan kesederhanaan dari pria yang telah berumur dalam
keinformalannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
b. Celana Jins Hitam
Celana jins panjang yang dikenakan pria paruh baya dapat digunakan untuk
menunjukkan kelelakian sebab celana panjang sudah diidentifikasi secara
eksklusif. Penunjukkan kelelakian ini berkaitan dengan pemilihan warna jins yang
dikenakannya.
Berkaitan dengan makna warna hitam, Prawira menggolongkan warna ini ke
dalam golongan warna dingin. Warna hitam menunjukkan karakteristik warna
tua/berat dan warna yang populer di kalangan pria. Ia menyebutkan warna-warna
yang tegas, tua, dan sejuk dengan intensitas kuat menjadi kesukaan dan populer di
antara kaum pria. Warna hitam sendiri memiliki asosiasi pribadi yang kuat, duka
cita, resmi, kematian, keahlian, dan tidak menentu. Asosiasi ini diambil Prawira
dari buku Design in Dress oleh Marian L. David.
Dari pemaknaan di atas, dapat disimpulkan bahwa warna celana yang
dikenakan oleh pria paruh baya dalam Gambar 3 memperlihatkan sosok maskulin
dan suasana kesuraman.
c. Sepatu Kets Kumal
Sepatu kets yang dikenakan pria paruh baya pada Gambar 3 menyiratkan
status sosial yang disandangnya. Sepatu yang terlihat sangat kumal, penampakan
fisik yang kusam, dan merek pada sepatu pun tak kelihatan lagi menunjukkan
dengan jelas bahwa ia bukanlah berasal dari kaum terpandang apalagi kaya. Dapat
dikatakan, melalui sepatu yang dikenakannya pula tercerminlah status dan kelas
masyarakat menengah ke bawah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Dari penjabaran terhadap kaos abu-abu, celana jins hitam, dan sepatu kets
kumal diketahuilah bahwa pria paruh baya digambarkan sebagai tokoh yang
sederhana, maskulin, suram, dan berada pada kelas menengah ke bawah. Jadi,
kesimpulan yang dapat diambil dari perepresentasian tersebut ialah pakaian yang
dikenakan pria paruh baya mengandung pernyataan tentang suasana informal dan
refleksi akan status soial menegah ke bawah.
2.2.1.3 Tindakan
Representasi bahwa pria paruh baya merupakan tuna karya dan berada pada
suasana informal didukung oleh tanda visual lain seperti tempat, waktu, dan
keadaan lingkungan pada Gambar 3. Pada Gambar 3 terlihat bahwa pria paruh
baya sedang berjalan kaki. Jika ia memiliki penghasilan yang baik, ia akan
menggunakan sebuah kendaraan sebagai alat transportasinya. Kedua, lokasi pria
paruh baya pada sebuah gang. Gang ini secara tidak langsung merepresentasikan
kelas menengah ke bawah sebab gang dalam berbagai bentuk mampu
menunjukkan keadaan dan realitas kehidupan masyarakat tertentu. Dengan
kondisi gang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 diketahui bahwa gang
semacam ini banyak ditemui dalam kompleks perumahan rakyat kecil dan bukan
kompleks perumahan elit.
Ketiga, latar waktu (2.2.2) pagi sampai siang hari. Dengan kondisi
lingkungan dan tindakan yang dilakukan oleh pria paruh baya, latar waktu pagi
hingga siang hari menjadi bukti kuat bahwa ia adalah seorang pengangguran. Ia
tidak terlihat bekerja, ia mengenakan pakaian sederhana, ia berada pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
lingkungan biasa pada waktu kerja. Jelaslah dapat didimpulkan bahwa poin-poin
ini mendukung petanda pengangguran dan atau dalam keadaan informal.
2.2.2 Latar
Sistem penandaan pada aspek latar yang menonjol dari Adegan 1 mencakup
latar tempat dan latar waktu.
2.2.2.1 Latar Tempat
Penandaan latar tempat meliputi dua hal, yaitu Jawa Tengah, toko barang
antik, dan lingkungan kelas menengah ke bawah.
2.2.2.1.1 Jawa Tengah
Gambar 3 menunjukkan latar tempat di Indonesia, khususnya di Jawa
Tengah. Tanda visual yang mendukung latar tempat Jawa Tengah ialah tanda
berupa gerobak angkringan yang terletak di sebelah kanan tokoh pria dalam
Gambar 3. Angkringan berasal dari kata nangkring dalam bahasa Jawa yang
berarti duduk santai. Di Indonesia, khususnya di Yoyakarta, angkringan
merupakan sebuah warung makan minimalis atau warung tenda sederhana dengan
waktu operasi mulai sore hingga dini hari. Jadi, tanda visual gerobak angkringan
menjadi bukti akan latar tempat Jawa Tengah.
2.2.2.1.2 Toko Barang Antik
Pada Gambar 3 terdapat banyak sekali barang-barang yang berserakan di
depan sebuah ruko. Barang-barang tersebut berupa keranjang, kardus, televisi,
sepeda, patung totem, kursi, kayu, balok, dan lain-lain. Tiap tanda visual ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
mendukung pemaknaan akan keberadaan toko barang antik. Pembuktian itu dapat
dilihat sebagai berikut;
a. Nama Toko
Pada Gambar 3, terdapat tanda visual papan nama toko di sebelah kiri atas
pria paruh baya. Nama toko tersebut ialah Beny Arts. Kata „Beny‟ menunjukkan
nama orang, sedangkan kata „Arts‟ merupakan kata dalam bahasa Inggris yang
dipahami sebagai „seni‟ dalam bahasa Indonesia. Alasan kesimpulan ini
sederhana, yaitu kata „Beny‟ merupakan ciri khas nama orang dan tidak ditemukan
arti kata tersebut dalam bahasa Indonesia. Berbeda dengan kata tersebut, „Arts‟
secara jelas dipahami sebab ia merupakan kata bahasa Inggris yang mampu dicari
padanannya dalam bahasa Indonesia. Jadi, nama toko Beny Arts dimaknai sebagai
toko yang menjual barang-barang berseni yang dimiliki oleh seseorang yang
bernama Beny.
b. Pesawat Televisi
Tepat di depan toko barang antik, terdapat tanda visual sebuah pesawat
televisi. Melihat modelnya yang jarang digunakan pada generasi sekarang,
diperkirakan tanda visual ini keluaran tahun 1980-an.
c. Pesawat Telepon
Pada tahun 1891, telepon dengan nomor dial pertama kali digunakan oleh
masyarakat. Telepon jenis ini akan bekerja secara otomatis menghubungkan
penelepon ke operator dengan cara menekan nomor dial berdasarkan instruksi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Penampakannnya berupa gagang telepon dengan kabel yang menyambung di
bagian pesawatnya.
d. Patung Totem
Tanda visual patung totem yang merupakan sebuah visualisasi atau figuran
akan benda, hewan, atau manusia yang secara spiritual mewakili sebuah
kelompok dari orang-orang yang berhubungan seperti suku. Patung totem
merupakan sebuah ekspresi religius manusia yang ditemukan dalam hubungan
kelompok. Biasanya patung ini dihadirkan sebagai penolong, pengawas, dan
pembantu sekelompok orang seperti suku, keluarga, atau rumpun tertentu.
e. Keranjang Anyaman dan Kardus
Keranjang anyaman termasuk kerajinan yang paling banyak dimiliki dan
digunakan oleh orang Indonesia. Sudah dari dulu, jika menganyam dari daun
kelapa, lontar, dan sebagainya, menjadi kebiasaan dan tradisi. Selanjutnya ialah,
kardus. Kardus dalam Gambar 3 merupakan bungkusan dari barang-barang antik
yang ada pada toko. Kardus-kardus yang berserakan sebagai tanda bahwa
sebelumnya terdapat barang yang berada di dalamnya. Jadi, tanda visual
keranjang anyaman dan kardus yang terletak di depan toko dapat diidentifikasikan
sebagai wadah penampung.
Dengan demikian, berdasarkan tanda visual nama toko, pesawat televisi,
pesawat telepon, sepeda ontel, patung totem, dan keranjang anyaman serta kardus
yang dianalisis menggunakan kode visual hermeneutik dapat disimpulkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
tanda visual tersebut merupakan indeks dari toko yang menjual barang-barang
antik.
2.2.2.1.3 Lingkungan Kelas Menengah ke Bawah
Penunjuk akan lingkungan kelas menengah ke bawah diperoleh berdasarkan
beberapa tanda visual, antara lain keberadaan telepon umum, sepeda motor Honda
generasi Astrea Prima, dan sepeda kayuh. Ketiga tanda visual ini memiliki kaitan
dengan petanda lingkungan kelas menengah ke bawah sebab mereka mejadi
penanda alat yang digunakan oleh kalangan kelas menengah ke bawah tersebut.
Telepon umum di Indonesia, dari yang koin hingga kartu, merupakan
sejenis alat komunikasi yang populer pada tahun 1983-1999. Pada periode
tersebut, masyarakat yang menggunakan alat komunikasi ini merupakan
masyarakat kelas menengah ke bawah, sebab ia dibandingkan dengan telepon
rumah yang disebut sebagai barang mewah (penanda kelas atas).
Untuk alat transportasi berupa sepeda kayuh dan sepeda motor Honda
generasi Astrea Prima, penunjuk kelas menengah ke bawah diketahui berupa
motor Honda tersebut sebagai penanda kelas menengah dan sepeda kayuh sebagai
penanda kelas ke bawahnya.
2.2.2.2 Latar Waktu
Gambar 3 menunjukkan latar waktu siang hari pada tahun 1988. Pemaknaan
ini berdasarkan tanda visual motor Honda generasi Astrea Prima dan gerobak
angkringan. Motor Honda generasi Astrea Prima merupakan motor keluaran
1988. Ia merupakan versi gubahan minor dari generasi sebelumnya, yaitu Astrea
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Star, sedangkan angkringan merupakan sebuah warung makan minimalis atau
warung tenda sederhana dengan waktu operasi mulai sore hingga dini hari. Karena
terlihat gerobak tersebut belum beroperasi, jelaslah bahwa latar waktunya ialah
siang hari.
Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi
pada Adegan 1 dapat disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 1
No Sub Tanda Denotasi Konotasi
1
Tokoh
Pria
Paruh
Baya
Usia Usia Pria berumur 40 tahunan. Tokoh protagonis
dalam iklan
televisi rokok
Djarum 76 versi
“Pengin Eksis”.
Penampilan Fisik dan
busana
Pria paruh baya yang
berkulit sawo matang
dan mengenakan kaos
abu-abu, celana jins
kehitaman, dan sepatu
kets kumal.
Orang Indonesia
(pribumi), berada
pada kelas
menengah ke
bawah, dan dalam
suasana informal.
Tindakan Berjalan
kaki
Pria paruh baya yang
sedang berjalan di
sebuah gang.
Pengangguran dan
dalam suasana
informal.
2
Latar Tempat
Gerobak
angkringan.
Sebuah warung makan
minimalis atau warung
tenda sederhana dengan
waktu operasi mulai sore
hingga dini hari.
Latar tempat Jawa
Tengah.
Nama toko,
pesawat
televisi,
pesawat
telepon,
patung
totem,
keranjang
anyaman,
serta kardus.
Nama toko berupa Beny
Arts;
Penunjukkan
keberadaan
sebuah toko
barang antik.
Pesawat dengan sistem
penyiaran gambar yang
disertai dengan bunyi
dan (suara) melaui kabel
atau melalui angkasa
dengan menggunakan
alat pengubah cahaya
(gambar) dan bunyi
(suara) menjadi
gelombang listrik dan
mengubahnya kembali
menjadi berkas cahaya
yang dapat dilihat dan
bunyi yang dapat
didengar;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Pesawat dengan listrik
dan kabel untuk
bercakap-cakap antara
dua orang yang
berjauhan.
Patung totem merupakan
sebuah ekspresi religius
manusia yang ditemukan
dalam hubungan
kelompok.
Keranjang anyaman
termasuk kerajinan yang
paling banyak dimiliki
dan digunakan oleh
orang Indonesia.
Telepon
umum,
sepeda
kayuh, dan
sepeda
motor
Honda
generasi
Astrea
Prima.
Telepon umum dari yang
koin hingga kartu
merupakan sejenis alat
komunikasi yang populer
pada tahun 1983-1999;
Lingkungan kelas
menengah ke
bawah.
Sepeda kayuh adalah
kendaraan roda dua,
mempunyai setang,
tempat duduk, dan
sepasang pengayuh yang
digerakkan kaki untuk
menjalankannya; kereta
angin.
Astrea Prima merupakan
generasi motor Honda
yang keluar pada tahun
1988.
Waktu Motor
Honda
generasi
Astrea Prima
Astrea Prima merupakan
generasi motor Honda
yang keluar pada tahun
1988 dan bentuk
gubahan minor dari
generasi sebelumnya
(Astera Star);
Tahun 1988.
Gerobak
angkringan
Sebuah warung makan
minimalis atau warung
tenda sederhana dengan
waktu operasi mulai sore
hingga dini hari.
Siang hari.
2.3. Adegan 2
Potongan Adegan 2 menyajikan beberapa tanda visual dan tanda verbal di
antaranya; tokoh pria paruh baya, lampu emas di atas tumpukkan barang, telepon
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
umum, bangku, dan seruan “Waw”. Tanda-tanda ini menarasikan seorang pria
paruh baya yang berjalan ke arah tumpukan barang demi melihat penampakan
lampu yang berwarna emas. Penemuannya ini diiringi oleh seruan “Waw”
olehnya. Tanda visual dan tanda verbal yang menonjol tersebut kemudian
disajikan menjadi dua, yaitu (a) tokoh pria paruh baya dan (b) lampu emas ajaib.
Tanda visual dan tanda verbal yang disebutkan dapat dilihat pada Gambar 4 di
bawah:
Gambar 4: Adegan 2
2.3.1 Tokoh Pria Paruh Baya
Sistem penandaan yang menonjol dari tokoh pria paruh baya pada Adegan 2
mencakup: (i) ekspresi dan (ii) tindakannya.
2.3.1.1 Ekspresi
Manusia menyampaikan lebih dari dua pertiga pesan-pesan mereka melalui
tubuh. Ekspresi wajah manusia salah satunya. Pada efeknya, ekspresi wajah
merupakan penanda tak sadar universal yang menciptakan tanda wajah tertentu.
Lebih dari segalanya, wajah di seluruh dunia dipandang sebagai tanda Diri.
Persepsi atas wajah sebagai penyedia keberadaan Diri atau persona, demikian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
keberadaan Diri disebut, merasuk dalam semiosfir di seluruh dunia. Inilah
mengapa orang mampu merepresentasikan potret diri seseorang berdasarkan
penanda ekspresi tertentu.
Ekspresi yang ditunjukkan pria paruh baya ialah ekspresi takjub dan riang.
Berdasarkan tanda visual ini, pencarian makna melalui kode hermeneutik terlihat
pada aspek respons yang ditunjukkan dengan tanda verbal yang berbunyi “Waw”.
Persoalan makna konotatif yang terkandung pada seruan tersebut jelas
menandakan bahwa ia menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya.
Ketertarikan tersebut memunculkan sebuah seruan yang secara langsung
melambangkan ketakjuban akan sesuatu yang beharga, indah, dan mahal.
Alasan mengapa peneliti menangkap ekspresi wajah pria paruh baya adalah
ekspresi takjub dan riang ialah karena cara mata, alis, dan mulut saling
berorientasi satu sama lain. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa
pada efeknya, semua ini adalah penanda tak sadar universal yang menciptakan
tanda wajah takjub dan riang. Jadi, ekspresi yang tergambar pada raut wajahnya
menandakan bahwa ia menemukan sesuatu yang beharga, indah, dan mahal.
Adapun tokoh pria paruh baya berada pada posisi tengah, hampir memenuhi
seluruh bidang layar, dan memberikan kesan perhatian yang mendalam. Dengan
ekpresi yang ditunjukannya pula memperkuat posisi tanda visual lampu emas.
2.3.1.2 Tindakan
Mengenai tindakan yang dilakukan pria paruh baya, penelusuran makna
konotatif dapat diketahui melalui tanda-tanda yang ada padanya. Tanda yang
dimaksud ini berupa tanda visual arah yang dituju olehnya, apa yang dilihatnya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
dan kemudian apa yang dilakukannya. Jawaban akan tanda visual yang pertama
ialah ia yang berjalan ke sebuah tumpukkan barang; yang kedua ialah ia melihat
sebuah benda yang berkilau yang ternyata adalah sebuah lampu emas; dan yang
ketiga ialah ia menyentuh lampu emas tersebut.
Berdasarkan makna akan ekspresi dan tindakan dari pria paruh baya pada
Adegan 2 dapat ditarik kesimpulan bahwa ia berada dalam sebuah situasi yang
memoposisikannya sebagai penemu lampu emas lalu dipandangnya sebagai benda
beharga, indah, dan mahal.
2.3.2 Lampu Emas Ajaib
Pada Gambar 4 selain memperlihatkan tanda visual pria paruh baya dan
tanda verbal seruan “Waw”, terdapat pula tanda visual yang sangat penting dalam
Adegan 2 ini. Tanda visual ini berupa penghadiran sebuah lampu emas. Pada kode
kebudayaan, aspek legenda yang diperlihatkan pada Gambar 4 berupa
pemunculan adegan yang mirip dengan cerita Aladin dan Lampu Ajaib. Dalam
cerita tersebut, tokoh utama yaitu Aladin pada suatu kesempatan mampu
menemukan sebuah lampu ajaib yang konon akan mengabulkan tiga permintaan
dari si penemunya. Keberadaan lampu emas ajaib ini sedikit kurangnya mampu
merepresentasikan cerita di atas. Berkaitan dengan hal ini, penyebutan akan lampu
emas sebagai sesuatu yang ajaib dan memiliki kaitan dengan cerita Aladin dan
Lampu Ajaib dapat diuraikan sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
2.3.2.1 Warna Emas
Pada tataran denotasi, lampu yang diperlihatkan dalam Gambar 4
merupakan lampu berwarna emas yang tampak mewah penampilannya.
Penelusuran arti sesunguhnya dari warna emas ialah logam mulia berwarna
kuning yang dapat ditempa dan dibentuk, biasa dibuat perhiasan seperti cincin,
kalung, dan sebagainya. Dalam fungsinya dalam masyarakat, dalam hal ini simbol
kebudayaan, warna emas seringkali dipergunakan untuk ornamen jubah, mahkota,
atau segala sesuatu yang berhubungan dengan simbol kekuasaan, kekaisaran,
kekayaan, dan sebagainya. Di Mesir kuning dan emas adalah lambang matahari.
Prawira (1989: 57) membuktikan bagaimana warna emas menjadi simbol
kebajikan dan kebaikan dalam pertunjukkan wayang di Jawa (berdasarkan
penelitian Yusuf Affendy tentang warna yang berjudul Desain Warna; Susunan
dan Fungsinya). Ia menghubungkan antara warna emas sebagai warna dasar tokoh
pewayangan yang berada di sebelah kanan panggung. Tokoh pewayangan yang
berada pada posisi ini merupakan tokoh-tokoh kebajikan, kebenaran, halus, dan
bijaksana. Sifat penampilan yang direpresentasikan oleh warna ini adalah agung
dan luhur. Tokoh pewayangan yang menggunakan warna ini ialah Arjuna, Pandu,
dan Srikandi. Berdasarkan pemaparan akan makna warna emas, dapat
disimpulkan bahwa warna emas memiliki simbol kekuasaan, kekayaan,
keagungan, dan luhur.
2.3.2.2 Aladin dan Lampu Ajaib
Menyinggung makna warna emas dan cerita Aladin dan Lampu Ajaib,
dalam Adegan 2 belum diperlihatkan secara pasti apakah lampu ini ajaib atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
tidak sebab pemunculan tanda visual lampu emas hanyalah sebuah pengenalan.
Pembuktian akan keajaiban itu akan ditunjukkan pada adegan selanjutnya, namun
untuk sedikit penggambaran akan konteks tersebut, tanda visual lampu dan
berwarna emas menjadi sebuah petunjuk akan keberadaan konflik cerita. Konflik
yang dimunculkan merupakan indeks akan kemalangan yang menghampiri pria
paruh baya. Konflik yang dihadirkan tidak dalam rupa yang buruk, melainkan
hadir dalam kemegahan dan kemewahan sebuah lampu. Kemegahan dan
kemewahan itu pun didukung oleh pemilihan warna emas yang melingkupinya.
Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi
pada Adegan 2 dapat disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 2: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 2
No. Sub Tanda Denotasi Konotasi
1
Tokoh
Pria
Paruh
Baya
Ekspresi
Raut wajah Ekspresi pria paruh baya
yang takjub dan riang.
Penanda tak sadar
universal yang
menandakan bahwa
pria paruh baya
menemukan sesuatu
yang beharga, indah,
dan mahal.
Tindakan Penemuan
lampu
emas
Seorang pria paruh baya
menemukan lampu emas
lalu mengusapnya.
Kepercayaan akan
tahayul (barang yang
memiliki kekuatan
magis).
2
Lampu
Emas
Ajaib
Warna
emas
Warna
emas
Logam mulia berwarna
kuning yang dapat
ditempa dan dibentuk,
biasa dibuat perhiasan
seperti cincin dan
kalung.
Simbol kekuasaan,
kekayaan, keagungan,
dan luhur.
Aladin
dan
lampu
emas
ajaib
Dongeng Cerita rakyat dari negeri
Baghdad, Arab.
Alur menuju konflik
cerita.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
2.4. Adegan 3
Potongan Adegan 2 menyajikan beberapa tanda visual di antaranya; tokoh
pria paruh baya dan tokoh jin yang mengenakan pakaian adat Jawa. Adegan 2
menceritakan kemunculan secara ajaib oleh jin saat pria paruh baya mengusap
lampu emas ajaib. Tanda visual yang menonjol tersebut kemudian disajikan
menjadi dua, yaitu (a) tokoh jin dan (b) penggabungan dua mitos. Tanda visual
dan tanda verbal yang disebutkan dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah:
Gambar 5: Adegan 3
2.4.1 Tokoh Jin
Sistem penandaan pada aspek tokoh jin mencakup: (i) usia, (ii) penampilan,
dan (iii) kemunculannya.
2.4.1.1 Usia
Sama halnya dengan makna usia pria paruh baya (2.2.1.1), tokoh jin juga
berada pada posisi yang sama. Sekilas usia yang ditangkap melalui perawakan jin
ialah sepantaran dengan usia pria paruh baya, yaitu 40 tahun. Usia 40, seperti
yang dijelaskan di muka merupakan usia yang matang secara fisik, emosional, dan
spiritual; sebuah usia saat seseorang akan memperhitungkan secara matang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
tentang hal yang akan dilakukannya dan tidak dari segi lahiriah saja. Jadi, selain
kematangan dan kedewasaan yang direpresentasikan oleh usia 40, peneliti
berpendapat bahwa usia ini menunjukkan betapa sebuah refleksi status, jenis
pekerjaan, dan posisi sangat berpengaruh pada sosok yang ditampilkan. Oleh
karena itu, jin yang berusia 40 tahun merupakan representasi dari kedewasaan,
kematangan, dan kemapanan (yang berbanding terbalik dengan representasi pria
paruh baya).
2.4.1.2 Penampilan
Jin yang muncul secara ajaib dari lampu emas dengan mengenakan pakaian
adat Jawa Tengah ini secara tidak langsung digunakan untuk menunjukkan
kekuatan, kedalaman, dan keyakinan religius dan ketaatan dalam sejumlah cara
yang sangat rumit. Pakaian yang dikenakannya pula ingin menunjukkan jenis
layanan yang diharapkan padanya. Jenis pelayanan dalam konteks ini
berhubungan dengan fungsi penghadiran karakter jin dengan busana yang
dikenakannya. Fungsinya sebagai pengabul permohonan melalui apresiasi
pengenaan pakaian tradisional. Fungsi yang dihadirkan melalui pakaian yang
dikenakan jin akan diuraikan maknanya sebagai berikut:
2.4.1.2.1 Aksesoris Jawi Jangkep
Kelengkapan yang ditunjukkan oleh pengenaan jawi jangkep oleh jin
berupa, baju beskap, blankon, alas kaki cemila, dan kain jarik. Selanjutnya,
dominasi warna yang melekat pada jawi jangkep tersebut ialah merah marun serta
emas. Adapun pemakaian aksesoris di pakaian adat Jawa Tengah yang dikenakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
jin memiliki filosofi tersendiri seperti; blankon, memiliki makna jika seorang pria
harus mempunyai pikiran yang teguh; baju beskap, memiliki makna bahwa
seorang pria harus memperhitungkan segala perbuatan yang dilakukannya; kain
jarik, mengisyaratkan agar seorang pria jangan sampai melakukan sesuatu dengan
keliru.
2.4.1.2.2 Warna Busana
Untuk pemilihan warna yang didominasi oleh warna merah marun/merah
tua dan emas dipengaruhi oleh mitos, kebijaksanaan, sastra dan seni Jawa dalam
kode kebudayaan. Parawira (1989: 54-55) menunjukkan dengan jelas bahwa
dalam buku kesustraan lama, keindahan-keindahan sering dinyatakan dengan
gambaran warna emas (seperti yang ditulis dalam Kitab Ramayana), warna sering
diandaikan dengan permata indah. “(......) bunga teratai yang keemasan, daun-
daun seperti permata safir dan lapis lazuli, pohon-pohon seperti emas menyala
(.....)”.
Makna warna merah tua merupakan karakteristik warna berat, sedangkan
warna kuning keemasan termasuk dalam karakteristik warna hangat. Dalam
pertunjukan wayang di Jawa, warna merah tua dihubungkan dengan lambang
logam berupa perunggu, arah mata angin berupa selatan, sifat penampilan berupa
kasar, bengis, dan pemarah, serta tokoh berupa Rahwana dan Niwatakawaca.
Warna kuning keemasan dihubungkan dengan lambang logam mas, arah mata
angin berupa barat, sifat penampilan berupa agung serta luhur, dan tokoh berupa
Arjuna, Pandu, dan Srikandi (Prawira, 1989: 57).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Perpaduan antara makna warna emas dan warna merah tua di atas kemudian
dapat digabungkan menjadi sebuah visualisasi karakter jahat dan licik yang
dibalut dalam tampilan yang indah dan hangat. Jadi, makna konotasi yang
diperoleh berdasarkan makna jawi jangkep dan warnanya ialah pencerminan
karakter antagonis yang dihadirkan dalam bentuk yang agung.
2.4.1.3 Kemunculan
Kemunculan jin secara tiba-tiba saat pria paruh baya menyentuh lampu emas
ajaib menimbulkan kesan mistis dan ajaib jika ditilik dari aspek legenda dan
pengetahuan pada kode kebudayaan. Pemunculan yang ajaib ini didukung tanda
visual asap.
Menurut KBBI asap adalah uap yang dapat terlihat yang dihasikan dari
pembakaran. Melalui makna denotasi ini dapat ditelusuri makna-makna lain akan
asap. Asap dalam fungsinya dalam masyarakat mampu merepresentasikan banyak
hal. Pertama-tama, asap merupakan indeks kebakaran atau menunjukkan sesuatu
yang terbakar. Jikalau anda melihat kepulan asap dari kejauhan, hal pertama yang
ada dalam benak anda ialah terjadi sebuah kebakaran. Asap menjadi petanda akan
kebakaran. Inilah fungsi asap ditinjau dari sudut rasionalnya.
Kedua, asap digunakan sebagai efek mistis dan gaib pada suatu
pertunjukkan, drama, teater, dan sebagainya. Asap dalam konteks ini biasanya
digunakan oleh para penata panggung untuk menambah efek yang diinginkan.
Efek asap yang ditimbulkan jika dalam pertunjukkan drama akan menimbulkan
kesan ajaib dan misterius. Misalkan saja kemunculan suatu tokoh yang dibarengi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
dengan kepulan asap, hal ini akan menciptakan suasana ketegangan, mistis, dan
horor.
Ketiga, asap sebagai alat komunikasi (sinyal). Sinyal asap merupakan salah
satu dari bentuk komunikasi tertua yang ada di dalam sejarah. Secara umum
sinyal asap digunakan untuk mengirimkan berita, sinyal bahaya, sebagai tanda
darurat atau mengumpulkan orang banyak ke suatu area.
Suku Indian dari Amerika Utara melakukan komunikasi dengan
menggunakan sinyal asap. Perbedaan penanda asap yang diberikan oleh pengirim
memberikan petanda yang berbeda pula kepada penerimanya. Di Roma, di asrama
Kardinal, orang menggunakan sinyal asap untuk mengindikasikan terpilihnya
Paus baru. Perbedaan warna asap mengindikasikan terpilihnya Paus yang baru.
Pengguaan asap oleh tim Search and Rescue (SAR) juga merupakan sinyal
adanya korban. Jika korban dari speedboat terbalik dan dalam kondisi kritis
sempat melempar sinyal asap yang tersedia, tim SAR segera bergerak melakukan
tindakan penyelamatan.
Dari tiga representasi tersebut, agaknya representasi kedua yang lebih
menjawab pemaknaan asap pada Gambar 5 meskipun tak dapat dipungkiri
representasi pertama dan ketiga memiliki keterkaitan dengan gambar tersebut.
Berdasarkan pemaparan akan usia, penampilan, dan kemunculan jin yang
dijelaskan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa jin merupakan
representasi tokoh antagonis yang mapan dan dihadirkan secara mistis dan agung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
2.4.2 Penggabungan Dua Mitos
Selain makna warna pada busana yang dikenakan, terdapat makna lain atas
kode visual hermeneutik yang mempertunjukkan atau menampilkan tokoh jin.
Keberadaan tokoh jin yang berpakaian adat Jawa yang keluar dari lampu ajaib
menjadi mitos dongeng yang dikenal oleh masyarakat luas. Jin yang keluar dari
lampu ajaib merupakan dongeng yang berasal dari negeri Baghdad-Arab, yaitu
Aladin dan Lampu Ajaib. Dongeng dari Timur Tengah itu telah diadaptasi
menjadi tokoh jin yang mengenakan pakaian adat Jawa dan kini dijadikan tokoh
andalan dalam iklan televisi Djarum 76. Dalam tampilan adegan itu pula, ada
upaya untuk menggabungkan atau terdapat bentuk akulturasi mitos global yaitu,
Aladin dan Lampu Ajaib dengan mitos etnik (tradisi) yakni pakaian tradisional,
bahasa daerah (campur kode bahasa Jawa dan Indonesia), dan tentunya latar
tempat yang berada di Indonesia.
Akulturasi antara mitos Timur Tengah dan keetnisan Jawa juga dipilih
berdasarkan semangat anti Barat. Semangat ini ditunjukkan pula melalui
penggabungan kebudayaan yang akrab dengan kebudayaan Indonesia, khususnya
dalam penyebaran agama Islam.
Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara tanda visual tokoh
dengan pengadaptasian mitos jin dalam Gambar 5. Tanda visual tokoh beserta
pengadaptasian mitos dua kebudayaan ini kemudian mengantar pada sebuah
kesimpulan akan asal mula pemilihan karakter jin pada iklan Djarum 76.
Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi
pada Adegan 3 dapat disajikan dalam tabel berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Tabel 3: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 3
No. Sub Tanda Denotasi Konotasi
1
Tokoh Jin Usia Usia Jin yang berusia
40 tahunan.
Tokoh antagonis
dalam iklan
televisi rokok
Djarum 76 versi
“Pengin Eksis”.
Penampilan Aksesoris
jawi
jangkep
Perlengkapan
yang mengikuti
pakaian
tradisional jawa
Tengah (jawi
jangkep).
Pencerminan
karakter antagonis
yang dihadirkan
dalam bentuk
yang agung.
Warna
busana
(emas dan
merah
marun)
Logam mulia
berwarna
kuning yang
dapat ditempa
dan dibentuk
dan warna dasar
yang serupa
dengan warna
darah.
2
Penggabungan
Dua Mitos
Kemunculan Asap Uap yang dapat
terlihat yang
dihasikan dari
pembakaran.
Efek ajaib dan
menimbulkan
kesan mistis dan
ajaib.
Penggabungan
dua mitos
Cerita
Aladin dan
Lampu Ajaib
serta jin
Jawa.
Dongeng yang
berasal dari
negeri Baghdad-
Arab.
Semangat anti
Barat.
2.5. Adegan 4
Potongan Adegan 4 menyajikan beberapa tanda visual dan tanda verbal di
antaranya; Pada tataran denotasi, tanda verbal yang dikatakan oleh jin pada
Gambar 6 di bawah ialah “Kuberi satu permintaan”. Tanda visual yang
mendukung tanda verbal ini ialah acungan jempol yang dilakukan oleh jin kepada
pria paruh baya saat melakukan penawaran tersebut. Tanda visual dan tanda
verbal yang menonjol tersebut kemudian disajikan menjadi dua, yaitu (a) tokoh jin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
dan (b) lampu emas ajaib. Tanda visual dan tanda verbal yang disebutkan dapat
dilihat pada Gambar 6 di bawah:
Gambar 6: Adegan 4
2.5.1 Tokoh Jin
Sistem penandaan yang menjol pada aspek tokoh jin akan tersaji dalam
tindakan.
2.5.1.1 Tindakan
Berdasarkan tanda verbal dan tanda visual pada Gambar 6, pesan dapat
ditangkap melalui bantuan kode hermeneutik dan kode kebudayaan. Kode
heremeneutik terlihat pada aspek artikulasi cara pemberian pertanyaan. Aspek ini
sangat mudah dikenali dari struktur bahasa dengan model kalimat tawaran.
Tawaran jin ini kemudian menuju pada respons atau jawaban oleh tanda visual
pria 40 tahunan yang berada di depannya. Pada kode kebudayaan, aspek yang
dapat ditangkap melalui pengetahuan turun-temurun oleh masyarakat Jawa
mengenai tata kelakuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Pada Gambar 6 disebutkan bahwa terdapat tanda visual berupa ancungan
jempol yang dilakukan oleh jin. Dalam kode kebudayaan, dapat dilihat dari aspek
gerakan bawah sadar dan bersifat kolektif. Aspek ini mencerminkan bahwa hanya
kebiasaan orang Jawa yang akan mengacungkan jempol jika ingin
mempersilahkan mitra bicaranya untuk berbicara. Adapun tanda bahasa tubuh ini
termasuk dalam faktor kesopanan dan penghormatan.
Dalam kehidupan bermasyarakat Jawa apalagi mereka yang masih
mengikuti bahkan menuruti tingkah laku, tata krama, dan perbuatan para
leluhurnya, akan jelas terlihat penggunaan bahasa tubuh dan tindak tutur yang
diperbuatnya. Misalkan saja perwujudan sikap hormat terhadap golongan (kelas
sosial) tertentu. Hal yang diperhatikan ialah tutur bahasa pada waktu berbicara
atau bertemu serta gaya bahasa yang menyertainya.
Kebiasaan Jawa menekankan bahwa saat bertemu pertama-tama
mengucapkan “Sugeng” (apa kabar) dilanjutkan dengan berjabat tangan dan saling
mempersilahkan duduk di tempat duduknya masig-masing. Cara mempersilahkan
duduk dengan badan agak membungkuk atau condong ke depan dan tangan kanan
diacunkan ke arah tempat duduk yang dimaksud. Sewaktu mengacungkan tangan
kanan tersebut, keempat jari tangan yaitu: telunjuk, jari tengah, jari manis, serta
kelingking dilipat seperti menggenggam sesuatu, sedangkan ibu jari diacungkan
menunjukkan arah yang dimaksudkan. Sikap tangan kiri (telapak tangan kiri)
ditempelkan di perut bagian bawah.
Dalam membuka pembicaraan pun, apabila hendak menekankan suatu
pembicaraan atau menggunakan isyarat tangan, maka tangan kanannya digerak-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
gerakan atau diacung-acungkan dan keempat jari terlipat, ibu jari diacungkan,
seperti sikap telapak tangan di atas.
Dengan demikian, berdasarkan kode hermeneutik dan kode kebudayaan
yang dijelaskan pada poin 2.5, tanda yang terdapat pada Gambar 6 bermakna
konotasi tata krama dalam percakapan masyarakat Jawa.
Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi
pada Adegan 4 dapat disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 4
No. Sub Tanda Denotasi Konotasi
1
Tokoh
Jin
Tindakan Acungan
jempol
Gerakan tubuh berupa
acungan jempol.
Tata krama dalam
kebudayaan
masyarakat Jawa.
2.6 Adegan 5
Adegan 5 memperlihatkan beberapa tanda visual dan tanda verbal. Tanda
visual berupa penampakan tokoh pria paruh baya yang memegang lampu emas
dan tokoh jin. Tanda verbal berupa ucapan pria tersebut kepada jin, ”Nah, Jin.
Aku pengin terkenal se-Indonesia. Fotoku eksis dimana-mana”. Berdasarkan
tanda visual dan tanda verbal ini, sistem penandaan tataran kedua akan tersaji
menjadi dua, yaitu (a) tokoh pria paruh baya dan (b) kepercayaan masyarakat.
Tanda visual dan tanda verbal yang disebutkan dapat dilihat pada Gambar 7 di
bawah:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Gambar 7: Adegan 5
2.6.1 Tokoh Pria paruh Baya
Sistem penandaan yang menonjol pada tokoh pria paruh baya berasal dari
aspek respon yang dilakukannya.
2.6.1.1 Respon
Berdasarkan tanda verbal yang diungkapkan sebelumnya, dapat ditangkap
pesannya dengan bantuan kode hermeneutik dan kode kebudayaan. Pada kode
hermeneutik ada pada aspek respons dari tawaran sebelumnya (lihat penjelasan
2.5). Hal itu terlihat dari kalimat “Nah, Jin. Aku pengin terkenal se-Indonesia.
Fotoku eksis dimana-mana”.
Jika dihubungkan kembali dengan poin 2.2.1.1 mengenai usia pria, respons
yang disampaikannya merupakan sebuah refleksi keinginan terpendam yang
berusaha diwujudkan berdasarkan perkembangan zaman saat itu. Keinginannya
ialah berusaha untuk menyamai perkembangan zaman yaitu ingin eksis, terkenal,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
dan fotonya tersebar di mana-mana. Keinginan tersebut merupakan proyeksi dari
dampak televisi serta kepercayaan pria paruh baya terhadap mitos daerah.
2.6.1.1.1 Dampak Televisi
Televisi merupakan sebuah kontrol sosial yang ampuh. Televisi memiliki
satu kekuasaan untuk memastikan bahwa orang-orang dapat melakukan sesuatu
berdasarkan apa yang dicitrakannya. Televisi mampu memastikan seseorang
untuk bergerak mengikuti realitas-realitas yang diproduksi oleh model-model
media. Piliang (2004: 207) menyebut bahwa media menjelma menjadi seakan-
akan sebuah gravitasi, yaitu siapa pun akan berputar mengelilingi titik
sentrumnya, dan patuh terhadap gaya gravitasinya. Lihat saja, perkembangan
handphone dan budaya selfie yang merambah dunia. Bahkan untuk pria 40
tahunan ini, eksis, selfie, dan terkenal merupakan suatu kebutuhan yang patut
diwujudkan dibandingkan kebutuhan akan makan, minum, atau kebutuhan primer
lainnya.
2.6.1.1.2 Kepercayaan Masyarakat
Selain makna konotasi di atas, terdapat sebuah penggambaran sifat manusia
yang tidak ragu-ragu mengungkapkan permintaannnya kepada suatu hal yang
lebih berkuasa dibanding dengannya. Godaan (penawaran) oleh jin, diterima tanpa
keraguan sedikit pun oleh pria 40 tahunan. Ini mencerminkan sebuah pemahaman
pria paruh baya bahwa jin merupakan bentuk “pertolongan” atau “keberuntungan”
atas kehidupannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
“Pertolongan” atau “keberuntungan” itu dapat dijabarkan melalui kode
kebudayaan pada aspek yang bersifat mitos dan bawah sadar. Mitos yang
diperlihatkan ialah kepercayaan akan roh-roh halus yang berada pada tempat-
tempat kediaman penduduk atau sawah, di ladang, di makam-makam, dan tempat-
tempat keramat lainnya yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan istimewa.
Selain mempunyai kekuatan gaib, diyakini terdapat barang-barang keramat
yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib misalnya: keris, tombak, cincin
permata, dll. Untuk itu orang kadang-kadang berusaha memiliki barang-barang
yang berkekuatan gaib itu sebanyak-banyaknya, karena barang-barang itu
dianggap mempunyai pengaruh dalam kehidupan mereka. Ini semua mereka
lakukan ini merupakan tujuan untuk memperoleh keselamatan dan kebahagian
hidupnya. Oleh karena itu, kemunculan jin dari lampu ajaib, ditangkap pria paruh
baya sebagai roh berkekuatan gaib yang mampu mengubah kehidupan dan dapat
mengabulkan segala permintaannya berdasarkan pemahaman yang diperolehnya
dari televisi dan mitos daerah.
Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi
pada Adegan 5 dapat disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 5: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 5
No. Sub Tanda Denotasi Konotasi
1
Tokoh
Pria
Paruh
Baya
Respon Pria paruh baya
berkata, “Nah,
Jin. Aku pengin
terkenal se-
Indonesia.
Fotoku eksis
dimana-mana”.
Seorang pria dewasa
yang ingin terkenal
dan fotonya tersebar di
mana-mana.
Kemunculan jin dari
lampu ajaib,
ditangkap pria paruh
baya sebagai roh
berkekuatan gaib
yang mampu
mengubah kehidupan
dan dapat
mengabulkan segala
permintaannya
berdasarkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
pemahaman yang
diperolehnya dari
televisi dan mitos
daerah.
2.7 Adegan 6
Pada Gambar 8, tokoh jin menunjukkan sebuah tanda kesepakatan melalui
tanda verbal ”Ok. Foto dulu yah?” dan tanda visual raut wajah riang dan gerakan
tangan seperti sedang memotret sesuatu. Selanjutnya berdasarkan tanda visual dan
tanda verbal ini akan tersaji dalam tokoh jin. Tanda visual dan tanda verbal yang
disebutkan dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah:
Gambar 8: Adegan 6
2.7.1 Tokoh Jin
Sistem penandaan pada aspek tokoh jin akan tersaji dalam persetujuan.
2.7.1.1 Persetujuan
Tanda verbal dan tanda visual yang menonjol pada tokoh jin dapat ditelusuri
makna konotatifnya berdasarkan gestikulan____
isyarat sebagai pelengkap bahasa
vokal atau komponen pelengkap komunikasi vokal. Gestikulan pada aspek ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
menunjukkan citra jin yang tak dapat ditunjukkan secara gamblang dalam ujaran,
juga mengenai apa yang tengah dipikirkan oleh jin. Ujaran (tanda verbal) dan
gestikulasi (tanda visual) merupakan suatu sistem komunikasi terintegrasi tunggal,
dan keduanya bekerja sama untuk mengungkapkan makna yang ingin
disampaikan jin.
Berdasarkan penggolongan gestikulan menurut David McNeill (dalam
Danesi, 2010: 82), tanda visual dan tanda verbal pada Gambar 8 digolongkan
sebagai gestikulan ikonis. Gestikulan ini menunjukkan kemiripan antara sumber
acuan atau wilayah acuan dengan sebuah ucapan. Pada efeknya, isyarat ini
merupakan ikon visual dari tindakan yang tengah dibicarakan, dan
mengungkapkan citra ingatan jin sekaligus sudut pandangnya.
Selain itu, representasi yang diperoleh dari tanda verbal dan tanda visual
tersebut ialah pengabulan permintaan yang sulit dengan mudahnya. Hal ini
merepresentasikan sebuah kejanggalan karena jalan ketenaran yang diminta
diberikan secara cuma-cuma tanpa pemberitahuan tantangan, hambatan, dan
konsekuensi yang diperkirakan akan datang.
Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi
pada Adegan 6 dapat disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 6: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 6
No. Sub Tanda Denotasi Konotasi
1
Tokoh Jin Persetujuan Jin berkata, ”Ok.
Foto dulu yah?”.
Jin menyetujui
suatu permintaan
serta meminta
untuk memfoto.
Pengabulan
permintaan pria
paruh baya dengan
mudahnya (suatu
hal yang janggal).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
2.8 Adegan 7
Tampilan Adegan 7 menunjukkan tanda visual proses pemotretan pria paruh
baya. Proses itu diawali dengan penampilan wajah ceria dari pria tersebut, terus
berlanjut pada adegan saat ia berpose seperti sedang merokok. Perubahan air
muka, ekspresi wajah, serta kesegaran kulitnya berubah drastis. Dari yang ceria ke
suram, dari yang segar ke kuyu, hingga nampak tirus dan kusam wajahnya. Dari
tanda yang menonjol ini, kemudian akan diuraikan menjadi tokoh pria paruh baya.
Tanda visual yang disebutkan dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah:
Gambar 9: Adegan 7
2.8.1 Tokoh Pria paruh Baya
Sistem penandaan pada aspek tokoh pria paruh baya akan tersaji menjadi
sub proses. Berikut ini penjelasannya:
2.8.1.1 Proses
Secara keseluruhan, Gambar 9 menunjukkan perubahan yang signifikan.
Proses yang ditujukan oleh Adegan 7 memperlihatkan gambaran secara jelas
bahwa pengabulan permintaan ketenaran dari pria paruh baya terwujud dengan
metode yang tak terpikirkan olehnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Proses yang ditunjukkan di atas didukung dengan baik oleh tanda visual
berupa efek cahaya blitz foto terhadap pria paruh baya pada Gambar 9. Efek ini
menimbulkan kesan dinamis, terlebih lagi perubahan warna pada latar belakang
semakin mendukung keterpaduan ide dan konsep yang ingin didukung dalam
Adegan 7. Ide dan konsep yang dimaksudkan ialah efek dari merokok (bahaya
merokok). Adapun, perubahan warna digunakan pada adegan tersebut bertujuan
untuk memastikan keterbacaan yang maksimum. Warna latar belakang Adegan 7
ingin membuat konsep yang ditampilkan dapat dibaca dengan baik oleh
penontonnya.
Berbicara mengenai perubahan warna latar belakang pada Adegan 7, selain
memberikan kesan dinamis, kombinasi warna (dari terang ke gelap) yang
diberikan mampu menciptakan daya tarik tersendiri dan menyampaikan pesan
sebagai tambahan daya tarik dasar yang ada. Penyampaian pesan itu berkenaan
dengan penawaran persepsi dan dampak. Dari penjelasan tanda visual „proses‟ di
atas, dapat bermakna konotatif pemberitahuan konsekuensi merokok secara
langsung. Pemaknaan semacam ini tidak terlepas dari kode kebudayaan, yaitu
aspek pengetahuan.
Aspek pengetahuan menampilkan fakta akan efek samping dari merokok.
Merokok merupakan tindakan yang dapat membahayakan tubuh. Dengan
merokok kesehatan seseorang dapat terganggu dan memiliki dampak negatif.
Walaupun fakta tersebut ditujukan tanpa menggunakan kiasan ataupun
penggunaan bahasa secara tidak langsung, Djarum 76 sebagai produk rokok itu
sendiri mengerti betul akan bahaya itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi
pada Adegan 7 dapat disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 7: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 7
2.9 Adegan 8
Tanda visual pada Adegan 8 berupa tokoh jin yang duduk selonjor dengan
arah wajah yang sedang menatap foto yang terletak di bawahnya. Foto tersebut
memvisualisasikan seorang pria yang sedang merokok dengan dua tengkorak
putih yang membayanginya. Di samping foto disertai dengan tulisan
„PERINGATAN: MEROKOK MEMBUNUHMU‟ dan angka 18+ dalam
lingkaran. Tanda visual ini didukung oleh tanda verbal ”Hahahaha. Wis yo. Eksis
di mana-mana! Hahahhaa”. Tanda verbal dan tanda visual ini kemudian tersaji
menjadi tokoh jin. Tanda visual dan tanda verbal yang disebutkan dapat dilihat
pada Gambar 10 di bawah:
No. Sub Tanda Denotasi Konotasi
1
Tokoh
Pria
Paruh
Baya
Proses Foto pria yang
sedang
merokok.
Potret seorang pria
yang sedang
melakukan aktivitas
merokok.
Pemberitahuan
konsekuensi merokok
secara langsung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Gambar 10: Adegan 8
2.9.1 Tokoh Jin
Sistem penandaan pada aspek tokoh jin tersaji menjadi tiga, yaitu (i)
tindakan, (ii) foto peringatan, dan (iii) warna jingga.
2.9.1.1 Tindakan
Makna konotatif berdasarkan tanda visual pada Gambar 10 menunjukkan
sebuah konsekuensi akan permintaan ketenaran pria paruh baya. Tanda verbal
”Hahahaha. Wis yo. Eksis di mana-mana! Hahahhaa” dapat ditelusuri maknanya
melalui bantuan kode hermeneutik, kode semantik, dan kode kebudayaan. Kode
hermeneutik berupa aspek artikulasi berbentuk seruan. Aspek ini mudah dikenali
dari struktur bahasa dengan model kalimat seruan meskipun lebih mengarah pada
sindiran. Jawabannya terletak pada foto pria yang menghembuskan rokok dengan
gambar dua tengkorak putih di sampingnya. Jawaban ini juga muncul sebagai
konsekuensi permintaan pria paruh baya sebelumnya.
2.9.1.2 Foto Peringatan
Tanda verbal „PERINGATAN: MEROKOK MEMBUNUHMU‟ pada
Gambar 10 di atas menggunakan komposisi statis. Komposisi hurufnya
memberikan kesan berbahaya, kesan semacam itu timbul sebagai simbol dari
konsekuensi merokok. Jenis huruf yang digunakan ialah Sans Serif untuk
„PERINGATAN: MEROKOK MEMBUNUHMU‟. Menurut Tinarbuko, jenis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
huruf Sans Serif mempunyai karakter garis huruf sama tebal dan tidak berkaki
atau berkait. Keberadaannya sangat mudah dibaca, sehingga target sasaran mudah
memahami pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Jadi, jenis huruf yang
digunakan pada Gambar 10 memberikan makna konotasi tentang sesuatu yang
berbahaya seperti yang tercermin pada gambar yang menyertainya.
Ilustrasi yang menyertai tanda verbal tersebut berupa foto pria yang sedang
merokok dan terdapat gambar dua tengkorak putih di sebelah kanan. Tampilan
ilustrasi semacam itu dimaksudkan untuk mendekatkan keberadaan tanda verbal
„PERINGATAN: MEROKOK MEMBUNUHMU‟ dengan objeknya. Warna putih
pada tengkorak mewakili tengkorak manusia dan secara langsung menunjuk ikon
dan indeks kematian. Dengan demikian, ia lebih bersifat ikonik (representasi dari
kematian) dan indeks (menyebabkan kematian).
Pada kode kebudayaan ada pada aspek yang bersifat kolektif khususnya
simbol. Kode tersebut menunjukkan simbol pembatasan umur yang menyertai
peringatan merokok di atas. Jika diperhatikan, terdapat gambar angka 18+ dalam
lingkaran. Dalam tataran denotasi, gambar ini memiliki makna literal yang hanya
menunjukkan arti dari angka dan tanda yang dipergunakan. Namun dalam
representasi, gambar ini merupakan suatu simbol. Sudah umum diketahui bahwa
simbol ini menunjukkan pembatasan umur. Sebuah simbol yang menunjukkan
pelarangan akan sesuatu terhadap umur tertentu (18 ke bawah) dan pembolehan
terhadap umur tertentu pula (18 ke atas). Jadi, makna konotasi yang dapat
disimpulkan ialah iklan rokok ini hanya diperuntukkan kepada orang yang
berumur 18 tahun ke atas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Berdasarkan kode semantik, Gambar 10 memberikan makna konotasi
kesadaran. Dalam hal ini, tanda-tanda yang ditata pada gambar tersebut
memberikan suatu konotasi kesadaran para penonton, sebab tanda visual dan
verbal yang dijelaskan memaparkan konsekuensi merokok secara langsung.
Larangan merokok yang disuarakan tidak lagi berupa penelitian-penelitian
kedokteran, seperti merokok dapat menyebabkan serangan jantung, kanker,
impotensi, gangguan kehamilan serta janin tetapi berupa pemberitahuan poin
utama bahwa merokok adalah pembunuh.
Pada kode kebudayaan lebih ditunjukkan pada aspek pengetahuan. Tanda
visual dan tanda verbal yang berdampingan memberikan pendidikan dan
pengetahuan tentang segala sesuatu yang bersifat baik-buruk, salah-benar, dan
sehat-sakit.
Dari analisis berdasarkan tanda verbal dan visual dan pemaparan kode-kode
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan erat di antara tanda dan
kode tersebut. Tali hubungan yang erat itu memberikan pesan yang jelas dan
langsung kepada penonton akan bahaya dari merokok.
2.9.1.3 Warna jingga
Seniman-seniman zaman dahulu terikat dengan ketentuan umum dalam hal
penggunaan warna. Penggunaan warna bagi seorang seniman bisa menjadi arah
penemuan jati dirinya sehingga bersifat khas dan memiliki nilai sendiri. Bahari
(2008: 101) mengatakan bahwa pada masa pramodern, warna tidak pernah
mewakili dirinya sendiri, biasanya Ia menjadi simbol atau lambang sesuatu. Sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
halnya dengan pemilihan warna jingga pada Gambar 10, warna jingga pada
gambar tersebut menjadi perwakilan akan produk rokok Djarum 76.
Pada iklan-iklan sebelumnya, warna latar belakang logo Djarum 76 ialah
warna jingga. Prawira (1989: 42-43) menunjukkan secara jelas melalui hasil
percobaan para ahli ilmu jiwa serta peneliti-peneliti bahwa warna jingga memiliki
sifat dan pengaruh positif, agresif, aktif, hangat, segar, menyenangkan,
merangsang, dan bergairah. Warna ini termasuk dalam golongan warna panas
yang terasa seolah-olah maju ke dekat mata dan memberikan kesan jarak yang
lebih pendek.
Meninjau akan hal di atas, penggunaan warna jingga ingin menampilkan
identitas dan identifikasi merek dan citra perusahaan. Adalah penting bahwa citra
yang ditunjukkan di layar harus mudah dikenali. Kemasan dan warna yang
muncul di televisi harus mengingatkan pelanggan pada apa yang telah mereka
lihat di layar, dan ini membantu menciptakan penjualan. Ucapan mungkin kurang
berarti tanpa kenyataan, tetapi dampak visual sangat penting. Warna jingga yang
mendominasi ini digunakan sebagai alat untuk menciptakan identitas merek atau
citra merek yang memerlukan perhatian khusus atau dapat dilihat sebagai suatu
unsur penting yang digunakan untuk membedakan Djarum 76 dengan merek
rokok lainnya.
Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi
pada Adegan 8 dapat disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 8: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 8
No. Sub Tanda Denotasi Konotasi
1 Tokoh
Jin
Tindakan
Jin berkata,
”Hahahaha. Wis
Jin yang sedang
tertawa.
Model kalimat seruan
meskipun lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
yo. Eksis di mana-
mana!
Hahahhaa”.
mengarah pada
sindiran.
Foto
Peringatan
Foto seorang pria
yang sedang
merokok, tulisan
„PERINGATAN:
MEROKOK
MEMBUNUHM
U‟, dan tanda 18+
dalam lingkaran.
Foto seorang
pria merokok
yang dibayangi
oleh dua
tengkorak putih
dan di
sampingnya
tertera
„PERINGATAN
: MEROKOK
MEMBUNUH
MU‟ dan tanda
18+ dalam
lingkaran.
Indeks dan ikon
kematian serta
simbol pembatasan
umur.
Warna
Jingga
Warna Jingga
Warna kuning
kemerah-
merahan:
oranye.
Menampilkan
identitas dan
identifikasi merek
serta citra
perusahaan.
2.10 Adegan 9
Pada Gambar 11 tanda visual sosok jin berlalu dari posisi tengah ke arah
kanan dengan gerakan seperti sedang mendayung perahu. Setelah itu ditampilkan
tanda visual lainnya berupa logo Djarum 76 yang diiringi tanda verbal backsound
“Djarum, Djarum, Djarum. 76”, dan seruan male voice, ”Yang Penting Heppiii”.
Kedua tanda ini, akan tersaji menjadi logo Djarum 76. Tanda verbal dan tanda
visual yang disebutkan dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini:
Gambar 11: Adegan 9
2.10.1 Logo Djarum 76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Berdasarkan tanda visual dan tanda verbal yang ditujukkan sebelumnya,
pencarian makna konotatif dapat diketahui melalui analisis kode hermeneutik.
Pertama-tama, kode hermeneutik berada pada aspek teka-teki yang akhirnya
menuju pada jawaban. Teka-teki yang dimaksudkan berupa tanda visual
penampilan gambar logo Djarum 76. Tanda visual ini mengarah pada sebuah
pertanyaan; gambar apakah ini? Apa maksudnya? Jawaban dapat ditemukan pada
tanda verbal yang mengiringinya yaitu backsound “Djarum, Djarum, Djarum.
76” dan seruan male voice, ”Yang Penting Heppiii” ketika logo Djarum 76
ditampilkan.
Adapun gerakan mendayung yang dilakukan oleh jin menimbulkan kesan
dinamis. Hal ini ditunjang pula dengan efek bergeser ke kanan. Di samping itu,
wajah jin yang ekspresif dan jenaka memperkuat posisi tanda verbal ”Yang
Penting Heppiii” yang menjadi jawaban akan teka-teki sebelumnya.
Dampak dari semakin bergesernya sosok jin ke arah kanan memberikan
kesan keleluasaan atau bidang kosong dalam desain iklan Djarum 76. Hal itu
ditopang dengan penempatan logo Djarum 76 secara menyeluruh. Penempatan
logo pada Gambar 11 mempunyai makna konotatif berupa pengingatan kembali
akan pengiklanan produk rokok Djarum 76. Penampilan logo tersebut makin
diperkuat dengan backsound “Djarum, Djarum, Djarum. 76”, dan seruan male
voice,”Yang Penting Heppii”.
Tanda verbal ”Yang Penting Heppii” merepresentasikan sebuah tindakan
yang melihat segala rintangan, kesusahan, masalah cukup dibawa santai saja dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
heppii saja. Berdasarkan analisis ini, maka dapat disimpulkan bahwa tanda pada
Gambar 11 bermakna pengiklanan produk rokok Djarum 76.
Dengan demikian, tanda verbal berupa backsound “Djarum, Djarum,
Djarum. 76” dan seruan male voice, ”Yang Penting Heppiii” jelas dirancang
untuk menegaskan subteks. Dalam periklanan, bahasa umumnya merupakan
sarana untuk menegaskan, mengacu, atau semata-mata menyatakan makna
subtekstual. Makna subtekstual iklan rokok Djarum 76 versi “pengin eksis”
seperti yang dijelaskan di awal, yaitu sebuah produk yang mampu melihat segala
masalah, kesusahan, dan rintangan dengan santai dan heppiii saja. Selanjutnya,
teknik verbal yang digunakan pengiklan Djarum 76 untuk mewujudkan tujuan
subteks tersebut dan secara lebih umum, untuk memasukkan produk ke dalam
kesadaran sosial, yaitu melalui jingle dan slogan serta metafora.
Jingle dan slogan merupakan teknik yang digunakan untuk meningkatkan
ingatan akan produk. Jingle dan slogan ada pada tanda verbal “Djarum, Djarum,
Djarum. 76”. Metafora adalah teknik verbal yang digunakan untuk menciptakan
pencitraan kuat bagi produk. Teknik verbal metafora terdapat pada tanda verbal
”Yang Penting Heppiii”. Teknik metafora ini mampu menjelaskan bahwa keadaan
”Yang Penting Heppiii” merupakan representasi dari produk rokok Djarum 76.
Oleh karena itu, tanda verbal pada Adegan 9 merupakan penada dalam
menciptakan sistem signifikasi bagi produk Djarum 76, dan karenanya untuk
memahami subteks dalam iklan itu pula.
Jadi, secara keseluruhan, sistem penandaan tataran denotasi dan konotasi
pada Adegan 9 dapat disajikan dalam tabel berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Tabel 9: Penandaan Denotatif dan Konotatif Adegan 9
No. Sub Tanda Denotasi Konotasi
1
Logo Djarum
76
Gambar logo Djarum 76,
backsound “Djarum,
Djarum, Djarum. 76”,
dan seruan male
voice,”Yang Penting
Heppii”.
Merek rokok yang
bernama Djarum 76
beserta logonya.
Rokok Djarum 76
mampu melihat
segala rintangan,
kesusahan, dan
masalah dengan
santai dan heppii.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
BAB III
MITOS DALAM IKLAN TELEVISI ROKOK DJARUM 76
VERSI “PENGIN EKSIS”
3.1 Pengantar
Setiap iklan merupakan sebuah message, yaitu bahwa iklan mengandung
suatu sumber perusahaan yang menghasilkan produk, publik atau masyarakat, dan
saluran transmisi berupa orang yang mendukung iklan itu (Barthes, 2007: 281).
Menurut Barthes, setelah orang menafsirkan message pertama (denotasi) yang
menjadi signifiant simpel bagi message kedua (konotasi), masyarakat dihadapkan
lagi pada situasi ketika orang menerima message dobel-ganda. Message ini
berdenotasi dan berkonotasi.
Barthes (2007: 284) menuturkan bahwa message iklan menawarkan
message pertama yang berguna untuk me-natural-kan message kedua. Jadi, iklan
mengatakan produknya (inilah konotasinya) tetapi ia menceritakan hal lain (inilah
denotasinya). Dengan kata lain, message pertama menghilangkan finalitasnya
yang sarat kepentingan, gratuitas afirmasinya, serta menyingkirkan kekuatan
ancamannya. Dengan demikian, motivasi komersialnya ditemukan dalam
keadaaan bukan ditopengi, tetapi di-dobel oleh suatu representasi yang jauh lebih
luas, sebab representasi itu mengomunikasikan pembaca dengan tema-tema besar
manusia, tema-tema manusia yang menyamakan kenikmatan dengan suatu
kekayaan melimpah ruah atau menyamakan suatu objek dengan kemurnian emas.
Pada Bab III ini akan dibahas mengenai makna konotasi yang lebih luas
pemaknaannya, yaitu mitos. Mitos ini merupakan hasil pembacaan terhadap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
message dobel-ganda atau message yang berdenotasi dan berkonotasi dalam iklan
televisi rokok Djarum 76 versi “pengin eksis”. Selanjutnya, mitos tersebut akan
tersaji dalam beberapa bagian, yaitu (a) mengekalkan branding, (b) menunjukkan
eksistensi sebagai rokok rakyat, (c) melestarikan budaya, (d) mengkritik budaya
“pengin eksis”, (e) membangun citra humoris, dan (f) menunjukkan kuasa
produsen rokok.
3.2 Mengekalkan Branding
Jika diperhatikan, iklan-iklan yang pernah ditayangkan oleh perusahaan
rokok Djarum 76 dari tahun 2009-2014 (mulai dari versi Tersesat di Pulau
Terpencil, Kawin Dengan Mawar Bunga Desa, Jangkrik, Jin Serakah, Jin Ketipu,
Pingin Kaya Pingin Ganteng, Wani Piro, Jin Dikeroyok, Djarum 76 Fil.., Djarum
76 Fil ... Wani Piro, Djarum 76 76 Fil Fil.., Dimarahi Istri, Kontes Jin, Naik
Pangkat, dan Kampanye Jujur) menjadikan tokoh jin yang berpakaian adat Jawa
Tengah sebagai tokoh utama dalam iklan tersebut. Selain itu, alur cerita dari iklan
ini selalu menggunakan alur pengabul permintaan. Dari data ini, dapat
disimpulkan bahwa perusahaan rokok Djarum 76 menggunakan tokoh jin dan
kuasanya sebagai pengekalan merek/branding atau brand recognition. Istilah
brand recognition merupakan suatu istilah yang merujuk pada pengenalan
konsumen akan merek dagang ketika diiklanan. Dalam hal ini, apa yang terlintas
dalam benak konsumen atau konsep apa yang dikenal/diingat oleh konsumen
ketika mendengar nama suatu merek dagang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Tokoh jin dipakai secara terus-menerus karena ia digunakan sebagai alat
pengenal bagi produk rokok Djarum 76. Tokoh jin menjadi tokoh yang diingat
berkenaan dengan merek Djarum itu sendiri. Apalagi pernyataan yang
memperkuat keberadaannya ini berupa kalimat yang lazim digunakannya pada
setiap iklan yaitu “Kuberi satu (atau tiga) permintaan”. Kalimat tawaran ini
menjadi ciri khas tersendiri iklan Djarum 76.
Poin lainnya ialah bentuk penayangan akan kekuatan Timur terhadap
Barat. Poin ini disertakan sebab isu ini digunakan untuk memperlihatkan bahwa di
tengah hiruk-pikuk dan lalu-lalangnya model-model dan konten-konten Barat
dalam iklan Indonesia, Djarum 76 secara pasti dan konsisten menggunakan tokoh
jin Jawa sebagai tokoh kebanggaan mereka_____
atau lebih tepatnya representasi
tokoh kebanggaan Indonesia.
Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab II mengenai representasi tokoh jin
Jawa, terdapat sebuah keteguhan dan kepercayaan akan penggunaan tokoh ini. Hal
ini berkaitan dengan identitas iklan Djarum 76 akan keberadaannya di dunia
periklanan. Selain identitas dan eksistensi, tokoh jin Jawa dihadirkan sebagai
perwakilan Djarum 76 dalam menanggapi persoalan dan fenomena bangsa
Indonesia. Ia hadir sebagai tokoh ajaib nan kocak dalam menanggapi fenomena
yang terjadi___
dalam hal ini fenomena ingin eksis.
Selain menggunakan tokoh jin, tanda verbal “Djarum, Djarum, Djarum,
76” dan “Yang penting heppii” pun mendukung akan pengekalan branding
tersebut. Penyeruan logo Djarum 76 dan jargon “Yang penting heppii” telah ada
pada iklan Djarum 76 versi sebelumnya. Jadi, tidak mengherankan jika tanda-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
tanda verbal (logo dan jargon) serta tanda visual (penghadiran tokoh jin) menjadi
hal yang familiar di telinga konsumen.
Lebih jauh lagi, berdasarkan elemen-elemen yang terdapat dalam iklan
Djarum 76 versi “Pengin Eksis”, didapati sebuah lukisan kenyataan. Tiga elemen
yang oleh Piliang (2010: 280) dijabarkan berupa object, context, text ini saling
mengisi dalam menciptakan ide, gagasan, konsep, atau makna sebuah iklan. Jadi,
object yang berupa merek Djarum 76; context yang berupa jin, pria paruh baya,
dan situasinya; serta text yang berupa tanda verbal tawaran jin, penyeruan logo
dan jargon merupakan refleksi dari realitas sebenarnya atau berangkat dari lukisan
kenyataan.
Disebut sebagai lukisan kenyataan sebab jin yang berperan sebagai
pengekalan branding (dan sangat erat kaitannya dengan kepercayaan
masyarakat___
tahayul) serta pria paruh baya (sebagai representasi kelas menengah)
mempunyai konotasi yang kuat tentang mitos kebiasaan merokok (walaupun
dalam iklan Djarum 76 versi “pengin eksis” tidak secara gamblang
memperlihatkan kebiasaan merokok orang Indonesia).
Sunaryo menjelaskan panjang lebar mengenai rokok dan kebiasaannnya
merupakan warisan budaya yang tercermin dalam adat seperti sesaji yang masih
dilakukan oleh masyarakat pedesaan. Penelitiannya mengemukakan akan
kehadiran rokok kretek yang menjadi bentuk warisan budaya bangsa yang masih
hidup serta menjadi identitas bangsa. Ia menulis sebagai berikut:
Rokok kretek yang tidak hanya berfungsi sebagai barang yang dihisap
untuk penenang dan membangun hubungan sosial, tetapi juga sebagai
bagian dari bahan sesaji yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat
pedesaan pulau Jawa. Demikian juga rokok kretek sebagai bagian dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
upacara slametan dan acara-acara adat merupakan budaya masyarakat
Indonesia, yang menghilangnya bisa saja berdampak pada komponen
budaya lain (Sunaryo, 2013: 11).
Berdasarkan penelitian yang dikemukakan Sunaryo di atas terdapat
hubungan antara realitas dengan retorika media yang tersaji pada iklan televisi
Djarum 76 versi “Pengin Eksis”. Realitasnya merujuk pada penemuan akan
ngudud (bahasa Jawa) yang berarti menghisap rokok dan kebiasaan merokok itu
sendiri dalam masyarakat, sedangkan retorikanya merujuk pada penempatan
tokoh jin sebagai “pemicu penawaran” rokok Djarum 76.
Dengan demikian, iklan Djarum 76 menawarkan sebuah refleksi bahwa
rokok tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat____
baik di Jawa
maupun di daerah lainnya____
karena rokok hidup dalam mitos yang masih
dipegang masyarakat sampai sekarang. Oleh karena itu, jin yang disebut sebagai
alat pengenal merek rokok Djarum 76, menawarkan sebuah cara unik untuk
mendekatkan diri pada konsumen melalui ngudud.
3.3 Menunjukkan Eksistensi sebagai Rokok Rakyat
Rokok rakyat berarti rokok yang sangat dekat dengan rakyat. Dengan
banyaknya merek rokok yang terdapat di Indonesia, Djarum 76 mempertegas
posisinya sebagai rokok yang merakyat. Hal ini didapati berdasarkan karakter
tokoh, lingkungan, gaya bahasa, dan objek-objek lainnya yang ada pada iklannya.
Posisi yang dipertegas ini berhubungan dengan persaingan di antara
produk sejenis di dalam pasar yang sama. Persaingan tersebut dengan pasti
membuat suatu organisasi atau perusahan memutar otak agar dapat tetap eksis dan
dikenal mereknya. Bentuk eksistensi dan pengenalan merek dagang harus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
mencapai dengan apa yang dinamakan sebagai sebuah ciri khas dan keunikan.
Oleh karena itu, keunikan inilah yang oleh rokok Djarum 76 berusaha dibangun
dan dijaga berdasarkan pengenalan merek (3.2) dan konsep pelestarian
kebudayaan (3.4).
Dilihat secara keseluruhan konten dari iklan televisi Djarum 76 versi
“Pengin Eksis”, tampaknya perusahaan rokok ini memfokuskan konsumennya
pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini dilihat dari tempat, bahasa,
gaya hidup, pakaian, bahasa, dan mitos yang diperlihatkan dalam iklan tersebut
mencerminkan hal yang sama pada khalayak kelas menengah ke bawah.
Ketika ingin mengetahui fokus pasar yang dituju, faktor utama yang harus
diamati ialah tokoh seperti apa yang digunakan dalam iklan itu, gaya bahasa yang
digunakan oleh tokoh iklan, dan lingkungan tempat terjadinya iklan. Poin pertama
(siapa) dalam iklan televisi Djarum 76 versi “Pengin Eksis” ialah seorang pria
paruh baya dan sosok jin.
Poin gaya bahasa ialah berupa campur kode antara bahasa Indonesia
dengan bahasa Jawa. Lingkungan tempat terjadinya iklan berupa toko dan ruko-
ruko kecil yang berantakan dan tidak tertata rapi. Dari pendeskripsian tersebut,
interpretasi yang dihasilkan ialah fokus pasar yang dituju oleh rokok Djarum 76
ialah konsumen yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Imam Budhi Sentosa dalam bukunya yang berjudul Ngudud: Cara Orang
Jawa Menikmati Hidup menceritakan bagaimana aktivitas ngudud atau merokok
telah mewarnai kehidupan orang Jawa di berbagai lapisan. Dikonsumsi di ruang
pribadi maupun publik, mulai dari rakyat hingga pejabat, tua muda, si kaya dan si
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
miskin, laki-laki dan perempuan, tak terkecuali para tokoh agama. Ia
menceritakan berdasarkan pengalamannya bahwa rokok merupakan sebuah alat
pengakraban, “menetramkan batin”, “kesehatan jiwa”, obat yang manjur, petunjuk
gaib, dan berbagai “keuntungan” dalam sejumlah kasunyatan di kalangan orang
kecil di Jawa. Pengamatannya mengatakan bahwa dengan rokok murahan
sekalipun, wong cilik di Jawa dapat terus berdiri mandiri dan bertahan dalam
kerasnya hidup seperti yang ditulisnya sebagai berikut:
Misalnya, merokok dapat dijadikan semacam “obat penenang” dalam
mengarungi kehidupan sehari-hari? Dapat mengurangi ketegangan hidup
dan bekerja yang terus berhimpit dari waktu ke waktu? Persis sebagaimana
hasil penelitian laboratorium modern, bahwa kandungan nikotin dalam
tembakau dapat menghilangkan rasa cemas dan depresi secara ringan
sementara (…….). Jika demikian, mungkinkah merokok bagi orang Jawa
mirip peristiwa menikmati suara burung perkutut, minum teh nasgithel
dengan gula batu, nglaras uyon-uyon, memancing di sungai malam-malam.
Yaitu, sebagai upaya menghibur diri, membahagiakan hati, mengendorkan
ketegangan hidup, yang telah menjadi adat tradisi orang Jawa selama ini
(Santosa, 2012: 81-82).
Pernyataan di atas mendeskripsikan secara jelas akan kebiasaan merokok
yang tak dapat dilepas dalam kehidupan kalangan menengah ke bawah di Jawa.
Apalagi konsumsi tembakau Indonesia terbilang unik, mengingat mayoritas
perokok (sekitar 90 persen) mengonsumsi rokok kretek yang merupakan rokok
tradisional yang dibuat dari tembakau, kuncup cengkeh, dan bumbu (saus).
Berangkat dari hal di atas, bentuk eksistensi Djarum 76 di tengah
persaingan pasar diperoleh melalui pemakaian pakaian tradisional dan penjelasan
akan mitos dalam rokok (poin 3.2 tentang mengekalkan branding) membawa kita
pada sebuah kesimpulan bahwa Djarum 76 mengerti dengan pasti akan
berakarnya kebiasaan merokok di kalangan masyarakat. Dengan harapan inilah, ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
memfokuskan citranya yang merakyat dan menawarkan produknya di kalangan
masyarakat ini.
3.4 Melestarikan Budaya
Dengan konsep karakter, bahasa, pakaian, dan budaya yang diemban iklan
televisi Djarum 76, secara tidak langsung merupakan sebuah bentuk pelestarian
kebudayaan indonesia yang dirangkum menjadi sebuah wacana yang humoris
(poin 3.6). Bentuk pelestarian kebudayaan yang diwujudkan oleh iklan televisi
Djarum 76 versi ”Pengin Eksis” ialah pemakaiaan pakaian adat Jawa.
Berdasarkan pakaian dan aksesoris yang digunakan oleh tokoh jin Jawa
dalam iklan versi “Pengin Eksis”, Djarum 76 ingin menunjukkan betapa sebuah
tema tradisional sedemikian rupa dapat dihadirkan di mata konsumen atau
masyarakat sebagai sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.
Berkaitan pula dengan poin penayangan akan kekuatan Timur terhadap
Barat, Djarum 76 menawarkan gagasan bahwa pada hakikatnya untuk
menunjukkan kekuatan atau kemenarikkan produk kepada konsumen tidak perlu
menerapkan nilai-nilai Barat, tetapi dengan melestarikan kebudayaan sendiri,
sudah cukup membuktikan kekuatan akan kesatuan_____
kebanggaan_____
orang
Indonesia terhadap apa yang dimilikinya. Gagasan tersebut hadir sebagai apresiasi
dalam meningkatkan nilai suatu barang atau hal dengan tanpa menggunakan
konsep atau konten kebarat-baratan.
Gagasan di atas pula berangkat dari “bangunan peradaban” yang menurut
Sunaryo merupakan hasil kreasi dan inovasi masyarakat nusantara akan
kedatangan budaya baru (kedatangan kebiasaan merokok). Menurut Imam Budhi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Santosa, kebiasaan ngudud dalam masyarakat menengah ke bawah merupakan
hasil kreativitas, inovasi, dan kecintaan mereka akan budaya tradisional. Ha ini
tentera dalam bukunya berupa:
Sementara rakyat (pribumi), meskipun contoh merokok didapat dari
Belanda serta memperoleh semacam pembenaran dari para raja dan
bangsawan keraton (penguasa tradisional), namun pilihan rokoknya
berbeda. Mereka lebih menyukai rokok dengan bumbu lokal (uwur,
lembak, meenyan, dan belakangan cengkeh), yang akhirnya berkembang
menjadi rokok kretek hingga sekarang (Santosa, 2012: 80).
Dengan demikian, bentuk pelestarian kebudayaan oleh Djarum 76 melalui
iklannya merupakan refleksi dari ralitas yang ada dalam masyarakat.
3.5 Mengkritik Budaya “Pengin Eksis”
Koentjaranigrat dalam Sunaryo (2013: 32) menyatakan bahwa kebudayaan
setidaknya berupa sandwich tiga lapisan elemen dasar sebuah masyarakat, yaitu
kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, selera, dan peraturan; kompleks
aktivitas kelakuan berpola masyarakat, atau ritual dan adat kebiasaan; serta
kompleks fisik atau keberadaan. Jadi, budaya “pengin eksis” merupakan
perpaduan antara kompleks ide-ide yang ditawarkan sejalan dengan
perkembangan teknologi (kamera, medsos) yang kemudian dibarengi aktivitas
masyarakat yang terpola berdasarkan selera mereka terhadap teknologi tersebut.
Berdasarkan fenomena yang ditemui dan bahkan sudah terpola itu,
kemudian memunculkan keinginan untuk eksis, yaitu ingin dikenal dan diakui
banyak orang lewat media sosial, mengunduh foto, dan sebagainya. Fenomena
seperti ini, tidak hanya didapati di kalangan remaja saja, tetapi bahkan anak muda
orang dewasa pun tidak luput dari perhatian. Oleh karena itu, melalui iklan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Djarum 76 versi “pengin eksis”, pria paruh baya (sebagai sosok dewasa) bahkan
memohon agar dirinya dapat terkenal se-Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tanda
verbal berupa respon pria paruh baya akan tawaran pengabulan permohonan oleh
jin, yaitu “Nah, Jin. Aku pengin terkenal se-Indonesia. Fotoku eksis di mana-
mana”.
Kecanggihan dan kemajuan teknologi yang pesat secara tidak langsung
mengubah persepsi dan pandangan orang dalam menghadapi gejala dunia.
Informasi yang dapat dicari dengan mudahnya pada akhirnya menimbulkan efek
dari perkembangan itu. Jadi, budaya pengin eksis muncul berdasarkan hasil
tanggapan masyarakat atau jawaban fenomena dari perkembangan dan kemajuan
teknologi dan pengetahuan tadi.
Selain itu, fenomena ingin eksis pada umumnya merupakan cerminan
kondisi kehidupan di dalam masyarakat konsumer sekarang ini. Sebuah kondisi
yang memusatkan hampir seluruh energi bagi pelayanan hawa nafsu____
nafsu
kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan,
kebugaran, keindahan, kesenangan; sementara hanya menyisakan sedikit ruang
bagi penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan, dan
pencerahan spiritual.
Di dalam masyarakat konsumer dan ekstasi, yang seluruh energi
dipusatkan bagi pembebasan dan pemenuhan hawa nafsu, di dalamnya diskursus
komunikasi tidak lagi ditopang oleh sistem makna dan pesan-pesan, melainkan
oleh sistem bujuk rayu____
sebuah sistem komunikasi yang menjunjung tinggi
kepalsuan, ilusi, penampakan ketimbang makna-makna. Sama halnya dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
fenomena ingin eksis, yang sebelumnya diciptakan untuk menandai sesuatu,
namun lewat tanda-tanda yang tanpa makna semuanya diselimuti oleh
penampakan ilusi, perangkap, parodi, dan simulasi. Semuanya bersatu membentuk
dunia keterpesonaan____
dunia yang dibangun oleh citraan-citraan dan ilusi-ilusi
kekuasaan, kenyamanan, kegairahan, dan eksistensi. Namun, justru dunia
keterpesonaan inilah yang paling mengambil hati masyarakat sekarang.
Pemaparan di atas menuntun kita pada realitas informasi yang ditawarkan
iklan Djarum 76 versi “Pengin Eksis”. Melalui peminjaman pandangan merurut
Piliang (2012: 323), iklan Djarum 76 versi “pengin eksis” menampilkan mirror of
reality, yaitu menceritakan tentang sebuah lukisan kenyataan.
3.6 Membangun Citra Humoris
Dua teknik utama yang membuat iklan begitu kuat disebut pemosisian dan
penciptaan citra. Pemosisian ialah penempatan atau penargetan sebuah produk
bagi orang-orang yang tepat. Menciptakan citra berkaitan dengan membentuk
sebuh “kepribadian” bagi produk itu, sehingga satu tipe produk tertentu dapat
diposisikan untuk populasi pasar tertentu. Danesi (2010 367) mengartikan citra
sebagai tanda yang terbuat dari paduan nama produk, pengemasan, logo, harga,
dan persentasi keseluruhan yang menciptakan sifat yang dapat dikenali dari
produk itu, yang dimaksudkan untuk menarik minat tipe konsumer spesifik.
Baik masyarakat maupun perusahaan rokok mengetahui dengan baik
bahwa rokok merupakan produk yang mampu merusak kesehatan manusia, tetapi
berkaitan dengan keberlangsungan pemroduksian, jumlah permintaan pasar, dan
bisnis yang masih berjalan, mau tidak mau rokok Djarum 76 merasa perlu untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
mengomersialisasikan produknya dengan konsep humor dan merakyat. Konsep
humor dan merakyat ini ditunjukkan Djarum 76 melalui penggunaan campur kode
bahasa Jawa-Indonesia, gaya bahasa ironi jin, yaitu “Hahahaha. Wis yo. Eksis
dimana-mana! Hahahhaa” beserta dialek kental Jawa Tengah-nya.
Berdasarkan pencitraan produk dengan bentuk penyampaian yang
bersahabat, yaitu konten humor, lucu, dan jenaka oleh iklan televisi Djarum 76
versi “Pengin Eksis”, dibangunlah sebuah kesan bahwa produk rokok ini dekat di
hati rakyat Indonesia. Djarum 76 merupakan produk yang sangat mengerti
kesusahan, kesulitan, dan keluh kesah yang dihadapi oleh rakyat. Dari pemilihan
tokoh dan karakter iklan, konsep tradisional yang diemban, dan masalah yang
sedang melekat pada masyarakat Indonesia saat itu____
dalam hal ini budaya pengin
eksis____
disodorkan sebuah realitas bahwa Djarum 76 mampu melihat semua
masalah dengan santai dan senang saja (ada pada logo “Yang Penting Heppii”).
Djarum 76 menanggapai semua masalah dengan candaan dan santai saja.
Jelaslah, gagasan di balik penciptaan citra untuk produk Djarum 76 adalah
untuk berbicara langsung pada tipe-tipe individu tertentu, bukan semua orang,
sehingga para individu ini dapat melihat kepribadian mereka diwakili melalui citra
gaya hidup yang diciptakan iklan untuk produk-produk tertentu. Pencitraan yang
ditunjukkan di atas didukung pula oleh dunia yang ditinggali oleh para konsumen
iklan. Dunia yang serba terbuka dan trasparan dan dunia yang ditandai dengan
lenyapnya batas-batas territorial, seperti batas ontologis antara citra dan realitas,
batas filosofis antara kebenaran dan kepalsuan, dan sebagainya. Berangkat dari
hal tersebut, diketahuilah bahwa Djarum 76 telah menyajikan simulasi, yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
realitas media yang tidak berkaitan dengan realitas yang sesungguhnya____
keadaan
semacam ini disebut Piliang (2012: 326) sebagai sebuah distorsi realitas (hyper-
realiy).
Bukankah yang terjadi di realitas adalah sebaliknya, yaitu bahwa rokok,
berdasarkan penelitian-penelitian kedokteran, justru menjadi sumber utama dari
berbagai penyakit mematikan, seperti paru-paru, serangan jantung, kanker,
impotensi, dan gangguan kehamilan pada perempuan, yang semuanya justru
menjadikan setiap orang lemah, rentan, sakit ketimbang heppii. Iklan ini jelas
memutarbalikan realitas.
Terdapat jurang antara apa yang dilukiskan tentang sebuah produk, dengan
realitas produk itu sesungguhnya. Sama halnya dengan iklan televisi Djarum 76
versi “Pengin Eksis”, ketimbang melakukan sebuah lukisan yang nyata tentang
realitas, permainan tanda iklan ini dilakukan dalam rangka menciptakan citra
palsu produknya melalui kemampuan retorika yang kemudian menjadi rujukan
dalam mengonsumsi sebuah produk itu sendiri.
Dengan demikian, persoalan sosial dan kebudayaan yang diakibatkan oleh
iklan Djarum 76 versi “Pengin Eksis” berkaitan dengan persoalan kredibilitas
informasi, dimana berbaurnya realitas dan simulasi, atau realitas dan ilusi di
dalam komunikasi.
3.7 Menunjukkan Kuasa Produsen Rokok
Industri rokok merupakan industri yang menghidupi lebih dari 10 juta
pekerja dan industri prioritas nasional penyumbang cukai tidak kurang dari 70
triliun rupiah per tahun bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Dengan kata lain, industri rokok merupakan industri yang padat modal, padat
karya, dan memiliki andil besar dalam penerimaan cukai negara.
Sejauh ini, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan terkait
dengan rokok dan industrinya. Di antaranya ialah Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat
Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Peraturan ini antara lain mengatur masalah produksi meliputi uji
kandungan kadar nikotin dan tar, penggunaan bahan tambahan, pengemasan
produk tembakau, dan pencantuman peringatan kesehatan di bungkus rokok.
Selain itu, PP ini juga mengatur peredaran produk tembakau, mulai dari
penjualan, pelarangan iklan dan promosi, serta sponsor produk tembakau. Bunyi
pasal 25 peraturan tersebut ialah, “Setiap orang dilarang menjual Produk
Tembakau: a) menggunakan mesin layan diri; b) kepada anak di bawah usia 18
(delapan belas) tahun; dan c) kepada perempuan hamil”.
Kawasan tanpa rokok juga diatur dalam peraturan di atas. Pasal 50 ayat (1)
menyebutkan kawasan tanpa rokok antara lain fasilitas pelayanan kesehatan,
tempat proses belajar-mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan
umum, tempat kerja, dan tempat umum serta tempat lain yang ditetapkan. Dalam
pasal 27 bahkan disebutkan bahwa iklan rokok diwajibkan tidak menggambarkan
atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat bagi kesehatan.
PP 109 tahun 2012 mulai berjalan efektif pada bulan Juni tahun 2014.
Slogan baru „MEROKOK MEMBUNUHMU‟ adalah salah satu slogan yang
digunakan untuk mengurangi perokok di Indonesia merujuk kepada PP tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Pemerintah telah mengirimkan master file gambar bahaya rokok pada beberapa
perusahaan rokok. Pihak perusahaan rokok tidak boleh mengubah kata-kata
peringatannya (bahaya rokok) tersebut. Meskipun demikian, kebiasaan merokok
tetap saja ditemui dalam masyarakat.
Selain menunjukkan kuasa dalam sektor ekonomi, rokok pun
menunjukkan kuasanya pada sektor budaya. Berdasarkan hasil survei Sunaryo
(2013: 55-124) rokok telah dipandang sebagai tradisi, khususnya ritual dan
upacara adat masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat keberatan jika rokok
dilarang atau dihilangkan. Namun, dalam rangka toleransi dan penghormatan,
sebagian responden menyetujui pelarangan rokok di tempat-tempat umum. Selain
itu, berkenaan dengan bahaya merokok yang berdampak pada kesehatan
dipandang tidak benar. Hal ini disebabkan oleh pernyataan responden bahwa
kehidupan perokok yang lebih sehat hingga usia tua ketimbang orang yang bukan
perokok.
Disebut dengan menunjukkan kuasa produsen rokok karena keberadaan
rokok yang merupakan hal yang berbahaya bagi kesehatan, tidak membuat
pemerintah melarang sepenuhnya peredaran produk ini. Hal ini disebabkan oleh
rokok merupakan alat legitimasi yang menunjukkan kekuasaannya di bidang
perekonomian dan kebudayaan.
Kuasa pada sektor ekonomi dan budaya seperti yang disinggung
sebelumnya merupakan bukti bahwa rokok tidak mampu dihilangkan sepenuhnya.
Di satu sisi, pemerintah memegang buah bara akan bisnis ini (penghasilan cukai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
yang sangat besar), sedangkan di sisi lain, dampak buruk bagi kesehatan juga
menjadi pertimbangan tersendiri.
Jadi, pada pengiklanan rokok Djarum 76 versi “Pengin Eksis”, terdapat
suatu makna tersurat bahwa iklan ini meskipun mengemban visi larangan
merokok, tetap saja konsumen, pemerintah, buruh/karyawan perusahaan rokok,
dan sebagainya membutuhkan mereka. Ironi dan penunjukkan kuasa ini kuat
terlihat pada tindakan karakter jin pada Adegan 8.
Pada adegan 8 mampu menunjukkan sindiran jin terhadap gambar yang
terpampang di bawahnya. Jika persoalan makna konotasi berkaitan dengan
sindiran akan pria paruh baya (atas permintaan ketenaran), pada mitos sindiran
dikaitkan dengan larangan merokok.
Dengan demikian, terdapat sebuah kesadaran dan ideologi dominan yang
terkandung dalam iklan rokok Djarum 76 versi “pengin eksis”. Kesadaran dan
ideologi itu berupa seberbahayanya rokok, dan mau bagaimana pun kampanye
bebas rokok diserukan, rokok akan selalu bertahan, karena pasti ada saja orang
yang membeli produk ini. Dengan alasan ini pula, produk rokok Djarum 76
menunjukkan kuasanya sebagai produsen rokok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penelitian semiotika terhadap iklan televisi rokok Djarum 76 versi “pengin
eksis” dilakukan untuk dua menjawab rumusan masalah. Pertama, makna
denotatif dan konotatif apakah yang terungkap berdasarkan tanda-tanda visual dan
verbal dari iklan televisi rokok Djarum 76 versi “pengin eksis”. Kedua, mitos
apakah yang terungkap di balik iklan televisi rokok Djarum 76 versi “pengin
eksis”? Setelah dilakukan penelitian pada Bab II dan Bab III, diperolehlah
jawaban sebagai berikut:
Pada Bab II, makna denotasi dan konotasi lebih dominan terlihat pada
tokoh pria paruh, tokoh jin, dan produk rokok Djarum 76. Tokoh pria paruh baya
secara keseluruhan merupakan representasi dari kelas menengah ke bawah. Tokoh
jin sebagai representasi kepercayaan atau mitos yang hidup dalam masyarakat,
sementara itu produk rokok Djarum 76 sebagai representasi produk penenang.
Representasi produk rokok Djarum 76 ini berkaitan dengan tawarannya yang
mampu melihat segala masalah, rintangan, dan kesusahan hidup yang mampu
dibawa santai dan heppiii saja.
Pada Bab III, kajian mitos pada iklan rokok Djarum 76 berupa mengekalkan
branding, menunjukkan eksistensi sebagai rokok rakyat, melestarikan budaya,
mengkritik budaya “pengin eksis”, membangun citra humoris, dan menunjukkan
kuasa produsen rokok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Dari hasil penelitian Bab II dan Bab III, peneliti menyimpulkan bahwa
tanda-tanda visual dan verbal yang terdapat pada iklan televisi rokok Djarum 76
versi “Pengin Eksis” mampu mengungkapkan makna yang bertingkat-tingkat,
yaitu makna denotasi, konotasi, dan mitos. Selanjutnya, dari iklan itu pula
terdapat konsep yang dibuat para kreator Djarum 76 dengan bahasa yang
komunikatif. Hal ini merupakan bentuk pendekatan merek rokok Djarum 76
kepada konsumen sekaligus menunjukkan kuasanya sebagai produsen rokok.
Penunjukkan kuasa ini jelas terlihat pada tindakan tertawa jin pada akhir segmen
(Adegan 9). Ini menyiratkan ideologi dominan yang terkandung dalam iklan
tersebut. Meskipun demikian, produk rokok Djarum 76 pun pengin eksis di tengah
masyarakat.
4.2 Saran
Setelah melakukan penelitian ini, penulis akan mengemukakan beberapa
saran kepada peneliti selanjutnya. Penelitian ini menitik beratkan pada pencarian
makna konotasi yang terdapat pada iklan televisi rokok Djarum 76 versi “Pengin
Eksis” dengan menggunakan teori tanda menurut Roland Barthes dan teori
penunjang lainnya. Dengan masih terbukanya berbagai kemungkinan kajian,
penelitian yang baru dapat berupa, penelitian lain pada objek penelitian yang sama
dengan versi yang berbeda, penelitian lain pada objek penelitian yang sama
dengan pendekatan yang berbeda, serta penelitian lain dengan objek penelitian
berbeda dengan menggunakan teori yang sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Daftar Pustaka
Ary, Arlis As. 2008. “Maksud Ungkapan-Ungkapan yang Dipergunakan dalam
Iklan Rokok di Media Cetak antara Tahun 2006-2007”. Skripsi pada
Program Studi sastra Indonesia, Fakultas sastra, Universitas sanata
Dharma, Yogyakarta.
Asih, Wahyu Dwi dan Helni Mutiarsih Jumhur. 2012. “Studi Semiotika Iklan
Djarum 76 Versi “Sogokan” di Media Televisi”. Skripsi pada Program
Studi Manajemen (Manajemen Bisnis Telekomunikasi & Informatika),
Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Telkom .
Bahari, Dr. Nooryan, M. Sn. 2008. Kritik Seni: Wacana Apresiasi dan Kreasi.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Barnard, Malcolm. 2009. Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan
Identitas Sosial, Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender. Jalasutra:
Yogyakarta & Bandung.
Barthes, Roland. 1968. Elements of Semiology. Hill and Wang: New York.
-------. 2007. Petualangan Semiologi. Diterjemahkan oleh Stephanus Answar
Herwinarko. Dari judul asli L‟aventure Sémuologique. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas.
Jalasutra: Yogyakarta.
Budiman, Manneke. 2004. Semiotika dalam Tafsir Sastra: Antara Riffaterre dan
Barthes. Dalam Semiotika Budaya. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas
Indonesia: Depok.
Christomy, T. 2004. Peircean dan Kajian Budaya. Dalam Semiotika Budaya.
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia: Depok.
Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai
Semiotika dan Teori Komunikasi. Jalasutra: Yogyakarta.
-------. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jalasutra: Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Gumelar, Rangga Galura. tt. Analisis Semiotik Iklan Djarum 76 versi Naik
Pangkat. Skripsi pada Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP,
UNTIRTA, Banten. Stable Url:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=381543&val=4028&
title=ANALISIS%20SEMIOTIK%20IKLAN%20DJARUM%2076%20V
ERSI%20NAIK%20PANGKAT. Di-unduh: 11/3/2017, 12.35 WIB.
Hapsari, Minah. 2013. “Studi Makna Konotasi Iklan Luar Ruang Rokok Produk
Pt. Djarum (Kajian Semiotika Iklan Luar Ruang dengan Media Billboard
Produk PT. Djarum di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta)”. Skripsi
pada Program Studi Desain Komunikasi Visual, Jurusan Desain, Fakultas
Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Helmy, Abid. 2012. “Kritik Sosial dalam Iklan Komersial (Analisis Semiotika
pada Iklan Rokok Djarum 76 versi Gayus Tambunan)”. Skripsi pada
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Kasali, Rhenald. 1992. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di
Indonesia. PAU Ekonomi UO: Jakarta.
Madjadikara, Agus S., 2004. Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan.
Bimbingan Praktis Penulisan Naskah Iklan (Copywriting). PT Gramedia
Pusataka Utama: Jakarta.
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Jalasutra: Yogyakarta.
-------. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna.
Jalasutra: Yogyakarta.
Prawira, Sulasmi Darma. 1989. Warna Sebagai Salah Satu Unsur Seni & Desain.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat, Jendral Pendidikan
Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan: Jakarta.
Santosa, Imam Budhi. 2012. Ngudud: Cara Orang Jawa Menikmati Hidup.
Manasuka: Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Duta Wacana
University Press: Yogyakarta.
-------. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Sanata Dharma University Press:
Yogyakarta.
Sunaryo, Thomas. 2013. Kretek: Pusaka Nusantara. Serikat Kerakyatan Indonesia
(SAKTI) dan Center For Law and Order Studies (CLOS).
Tinarbuko, Sumbo. 2012. Semiotika Komunikasi Visual. Jalasutra: Yogyaarta.
Widyatama, Rendra. 2005. Pengantar Periklanan. Buana Pustaka Indonesia:
Jakarta
Yulianto, Vissia Ita. 2007. Pesona „Barat‟: Analisa Kritis-Historis Tentang
Kesadaran Warna Kulit Indonesia. Jalasutra: Yogyakarta.
Sumber online
“Iklan Lucu Djarum 76 - Kumpulan Iklan Lucu Djarum 76 Dari Tahun 2009 -
2014,” Stable URL: https://www.youtube.com/watch?v=UhXiHJ8vfuk.
Di-unduh: 17/10/ 2016, 15:52 WIB.
“Psikologi Warna, Biarkan Warna Berbicara,” Stable URL:
http://mangkoko.com/ruang_baca/psikologi-warna-biarkan-warna-
berbicara. Di-unduh: 6/3/2017, 15.01 WIB.
“Arti dari Setiap Warna-Warna,” Stable URL: http://kaikanika.blogspot.co.id/. Di-
unduh: 6/3/ 2017, 14.46 WIB.
“Arti Warna Abu-Abu,” Stable URL:
http://sendricendecut.blogspot.co.id/2012/03/arti-warna-abu-abu.html. Di-
unduh: 6/3/2017, 14.43 WIB.
“Psikologi dan Arti Warna,” Stable URL:
http://nasional.kompas.com/read/2008/10/09/15551015/psikologi.dan.arti.
warna. Di-unduh: 6/3/2017, 14.39 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
“5 Warna Kulit Ini Punya Keuntungan,” Stable URL:
https://avoskinbeauty.com/blog/5-warna-kulit-ini-punya-keuntungan/.
Di-unduh: 7/3/ 2017, 22: 46 WIB.
“Pakaian Adat dan Rumah Adat Jawa Tengah,” Stable URL:
http://www.brobali.com/2016/08/pakaian-adat-dan-rumah-adat-jawa-
tengah.html. Di-unduh: 8/3/ 2017, 21.19 WIB.
“Sinyal Asap,” Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Sinyal_asap. Di-unduh:
22/3/2017, 14. 32 WIB.
“Ini Dia Sosok Pria yang Jadi Model Bungkus Rokok, Ternyata Kisahnya
Memilukan,” Stable URL: http://bogor.tribunnews.com/2016/07/26/ini-
dia-sosok-pria-yang-jadi-model-bungkus-rokok-ternyata-kisahnya-
memilukan. Di-unduh: 7/6/ 2017, 14.21 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI