Vol . 33 No. 2, Desember 20 11 ISSN 0126 - bblm.go.id 33 No 2 Tahun 2011.pdf · PLTG sintetis dari...
Transcript of Vol . 33 No. 2, Desember 20 11 ISSN 0126 - bblm.go.id 33 No 2 Tahun 2011.pdf · PLTG sintetis dari...
Vol. 33 No. 2, Desember 2011 ISSN 0126 – 3463
METAL INDONESIA Vol. 33 No. 2, Desember 2011 i
METAL INDONESIA merupakan
wadah untuk menyampaikan hasil
penelitian dan pengembangan berupa
informasi teknik dan argumentasi guna
membentuk interaksi antar lembaga,
universitas, industri terutama sektor
logam mesin dan konsumen sebagai
salah satu upaya menciptakan iklim
sektor industri yang andal.
Pengutipan dari METAL INDONESIA
dapat dilakukan secara bebas dengan
menyebut sumbernya dan mengirim
kutipan tersebut ke METAL
INDONESIA.
METAL INDONESIA diterbitkan oleh
Balai Besar Logam Mesin (BBLM) /
Metal Industries Development Centre
(MIDC)
Terbit 2 (dua) kali setahun, bulan Juni
dan Desember.
Alamat Redaksi/Tata Usaha
METAL INDONESIA
JL. SANGKURIANG No. 12
BANDUNG 40135
Telp. (022) 2503172 – 2504107
Fax.(022) 2503978
E-mail :
PENGANTAR REDAKSI
Alhamdulillah, Jurnal Metal Indonesia (MI)
Vol. 33 No. 2, Desember 2011 kebanggaan
kita dapat tetap terbit mengunjungi pembaca
sekalian. Pada penerbitan ini, kami tampilkan 7
(tujuh) makalah hasil karya ilmiah dari para
peneliti Metal Industries Development
(MIDC/BBLM), Balai Besar Bahan dan Barang
Teknik (B4T), dan Perekayasa Kementerian
Perindustrian Pusat Jakarta. Makalah pertama
pembuatan alternator permanen magnet putaran
rendah untuk pembangkit listrik kapasitas 5
KW. Makalah kedua menampilkan pembuatan
prototip twin screw untuk mengolah algae
menjadi biodiesel. Makalah ketiga membahas
penelitian proses pembuatan konsentrat dan
ingot tembaga dari batuan mineral Cu sebagai
substitusi impor. Makalah keempat membahas
pengendalian matriks austenit-martensit melalui
proses perlakuan panas pada besi cor putih
chromium tinggi untuk material bola pelumat.
Makalah kelima menampilkan pembahasan
pengaruh variasi rapat arus dan waktu
pencelupan pada pelapisan seng yang
dikonversikan dengan khromat hijau pada AISI
1005. Makalah keenam adalah kajian potensi
PLTG sintetis dari proses gasifikasi batubara.
Sementara itu pembahasan mengenai penelitian
proses reduksi bijih besi langsung dengan
batubara ditampilkan sebagai makalah penutup.
Redaksi METAL INDONESIA mengucapkan
terima kasih khususnya kepada Ir. Sardjono
selaku Kepala BBLM/MIDC, serta kepada Dr.
Ir. Taufiq Rochim, Ir. M. Furqon MM, Ir. Hafid
Abdullah MT., Kuntari Adi Suhardjo, M.Sc.
dan Prof. Dr. Ir. Bambang Sunendar, M.Sc
sebagai Mitra Bestari yang telah memberikan
petunjuk bimbingan dan saran-saran
perbaikannya.
Semoga ketujuh makalah yang disajikan dapat
memenuhi harapan para pembaca sebagai salah
satu sumber informasi yang dapat memberikan
kontribusi dalam membangun teknologi logam
dan mesin di Indonesia, serta hasilnya bisa
dimanfaatkan oleh dunia usaha.
BALAI BESAR LOGAM DAN MESIN
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
ISSN 0126 – 3463
ii METAL INDONESIA Vol. 33 No.2, Desember 2011
METAL INDONESIA Vol. 33 No. 2, Desember 2011
DAFTAR ISI
Halaman
Pengantar Redaksi i
Daftar Isi ii
1. Pembuatan Alternator Permanen Magnet Putaran Rendah untuk
Pembangkit Listrik Kapasitas 5 KW, Luky Krisnadi
62 - 71
2. Pembuatan Prototip Twin Screw Untuk Mengolah Algae Menjadi
Biodiesel, Agus Suherman
72 - 82
3. Penelitian Proses Pembuatan Konsentrat dan Ingot Tembaga Dari
Batuan Mineral Cu sebagai Substitusi Impor, Adin A. Hermansyah,
Hafid dan Kosasih
83 - 93
4. Pengendalian Matriks Austenit-Martensit Melalui Proses Perlakuan
Panas pada Besi Cor Putih Chromium Tinggi untuk Material Bola
Pelumat, Mochamad Furqon dan Dony Sugiyama
94 - 99
5. Pengaruh Variasi Rapat Arus dan Waktu Pencelupan pada
Pelapisan Seng yang Dikonversikan dengan Khromat Hijau pada
AISI 1005, Eva Afrilinda
100 - 112
6. Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Gas Sintetis dari Proses
Gasifikasi Batu Bara (PLTBb), Achmad Sjaifudin dan Sonny Djatnika
113 – 127
7. Penelitian Proses Reduksi Bijih Besi Langsung dengan Batubara,
Rachmat
128 - 138
ISSN 0126 - 3463
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 62
PEMBUATAN ALTERNATOR PERMANEN MAGNET PUTARAN RENDAH
UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK KAPASITAS 5 KW
Luky Krisnadi
1
1Metal Industries Development Centre (MIDC) - Kementerian Perindustrian
Jl. Sangkuriang No. 12 Bandung 40135
E-mail : [email protected]
Abstrak
Telah dilakukan pembuatan alternator permanen magnet putaran rendah untuk
pembangkit listrik kapasitas 5 KW. Tujuannya adalah untuk mendapatkan energi terbaharukan
karena selama ini pembangkit listrik skala kecil umumnya menggunakan alternator standar yang
tersedia dipasaran, yaitu alternator yang berasal dari kendaraan bermotor. Untuk sampai
menghasilkan energi listrik, alternator ini membutuhkan putaran poros rotor yang tinggi ( 1500
rpm). Kendalanya yang ditemui dilapangan sumber energi yang dipakai sebagai penggerak
alternator, misalnya energi angin dan air biasanya putaran yang dihasilkan cukup rendah ( 300
- 800 rpm). Oleh karena itu untuk menaikan putaran menjadi lebih tinggi diperlukan tambahan
transmisi. Hal ini menyebabkan efisiensi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik menjadi
rendah dan biayanya menjadi tinggi. Untuk itu diperlukan alternator permanen magnet yang
dapat menghasilkan energi listrik dengan putaran rendah.
Kata kunci : alternator, permanen magnet, transmisi, putaran poros rotor
Abstract
The manufacturing of 5 kw low speed permanent magnet alternator has been done. This
research is aimed at getting renewable energy because of during time for energy electric
generator of small scale generally used market available standard alternator, there are which
come from automotive. To produced energy electric, this alternator needed rotor shaft rotation
high speed ( 1500 rpms). Barriers in the field are used as energy source is only has very low
speed ( 300 - 800 rpm). It would make a problem to increase the speed that could decrease
power efficiency of the turbine caused by adding a transmission unit and could raise cost pro-
duction. For that reason this research have to be done to create a low speed alternator that
could produce electric energy by couple with mini turbine that only has low speed shaft rota-
tion.
Key words : alternator, permanent magnet, transmission, rotor shift rotation
63 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
PENDAHULUAN
Alternator adalah merupakan
suatu perangkat yang dapat mengubah
energi gerak putar (rotasi) menjadi energi
listrik. Secara garis besar, alternator
memiliki 2 komponen utama, yaitu stator
dan rotor yang menentukan jenis dan
karakteristik alternator. Pada umumnya
alternator yang ada saat ini mempunyai
karakteristik tertentu khususnya pada
kecepatan putaran poros yang tinggi (±
1600 rpm). Hal ini dikarenakan desain awal
dari alternator tersebut diperuntukan untuk
digerakan oleh penggerak motor bakar dan
sejenisnya, sehingga apabila akan
digunakan sebagai pembangkit tenaga
listrik dengan sumber penggerak lain
seperti angin dan air. Maka pada poros
utamanya perlu dihubungkan dengan
perangkat transmisi guna menaikan
kecepatan putaran porosnya sesuai dengan
besarnya kecepatan putaran poros alternator
yang dianjurkan. Hal ini akan sangat
berpengaruh pada efisiensi dari pembangkit
listrik itu sendiri selain biaya produksi yang
cukup tinggi.
Berdasarkan permasalahan
tersebut di atas, penelitian ini perlu
dilakukan pada sebuah alternator yang
dapat beroperasi pada kecepatan putaran
poros yang rendah ( 300-800 rpm),
dengan sumber eksitasi permanen magnet
(permanent magnet exciter). Dengan
harapan dapat dimanfaatkan untuk
membantu program pemerintah mengenai
pengembangan energi alternatif yang
terbarukan.
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini dilakukan sebagai
tindak lanjut kegiatan penelitian
sebelumnya dari Balai Besar Logam Mesin
(BBLM) Bandung, yaitu :
1. Pembuatan kincir air 1 KW untuk
kebutuhan pembangkit listrik di
pedesaan (Firman dan Hafid dkk, 2006).
Pada penelitian tersebut masih
digunakan alternator yang ada dipasaran
dengan kebutuhan kecepatan putar poros
tinggi (1.500 rpm) sehingga
memerlukan unit transmisi. Sementara
tegangan keluarannya sebesar 12 volt
DC sehingga memerlukan unit inverter
dan storage battery.
2. Pembuatan kincir angin horizontal
kapasitas 1 KW dengan kecepatan angin
rendah untuk penyediaan energi listrik
skala kecil (Firman dan Hafid dkk,
2008). Pada penelitian ini juga masih
digunakan alternator yang ada dipasaran
dengan kebutuhan kecepatan putar poros
tinggi (1500 rpm) sehingga memerlukan
unit transmisi. Sementara tegangan
keluarannya sebesar 12 volt DC
sehingga memerlukan unit inverter dan
storage battery.
Alternator biasa yang tersedia
dipasaran mempunyai kebutuhan kecepatan
putar poros yang tinggi (1500 rpm).
Berdasarkan analisa hasil kegiatan
penelitian tersebut diatas, maka perlu
diadakannya penelitian lanjutan mengenai
alternator dengan kecepatan putar poros
yang rendah dan mempunyai tegangan
keluaran sebesar 220 volt, sehingga tidak
memerlukan lagi unit transmisi yang dapat
menurunkan efisiensi, unit inverter dan
storage battery, sehingga ongkos produksi
dapat di tekan jauh lebih rendah.
Selama ini pembangkit listrik
umumnya menggunakan alternator yang
memerlukan kecepatan putaran poros yang
tinggi, hal ini dikarenakan beberapa hal,
yaitu :
1. Penentuan akan jenis penggerak
mulanya, dimana pada umumnya saat ini
penggerak mulanya banyak
menggunakan motor bakar yang
mempunyai kecepatan putar poros tinggi
(± 1600 – 2400 rpm).
2. Untuk alternator yang mempunyai
tegangan keluaran AC, dibatasi oleh
frekuensi dari tegangan keluarannya
yaitu sebesar 50-60 Hz, sehingga dari
segi design apabila kecepatan putar
poros alternator semakin tinggi, maka
semakin sedikit jumlah pasangan kutub
magnet yang diperlukan, sehingga
diameter dari stator akan semakin kecil
sesuai dengan jumlah pasangan kutub
magnet yang diperlukan, begitu pun
sebaliknya.
Seiring dengan perkembangan
zaman, keperluan bahan bakar yang berasal
dari fosil semakin meningkat, sedangkan di
sisi lain cadangan dari sumber bahan bakar
fosil semakin menipis, sehingga beberapa
tahun belakangan ini telah dimulai
pemanfaatan sumber energi baru dan
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 64
terbarukan. Salah satunya adalah pemanfaatan sumber energi angin dan air.
Adapun salah satu pemanfaatan
dari pada sumber energi tersebut adalah
sebagai pembangkit listrik. Dari hasil studi
kepustakaan disimpulkan bahwa
penggunaan alternator untuk pembangkit
listrik dapat dilihat pada Gambar 1 diagram
alir pembangkitan listrik.
Dari diagram alir diatas dapat kita
lihat bahwa untuk pemanfaatan sumber
energi alam (dalam hal ini air dan angin)
sebagai pembangkit listrik, dapat
dikategorikan menjadi dua (2) kelompok,
yaitu :
1. Pembangkit listrik dengan
menggunakan alternator yang
memerlukan kecepatan putar poros
tinggi, dimana untuk sumber energi air
memerlukan sebuah bendungan/dam
irigasi yang berfungsi untuk
meningkatkan daya dan kecepatan
alirnya sehingga dapat memutarkan
poros alternator sesuai dengan
kecepatan putar poros yang diperlukan
oleh alternator itu sendiri. Begitu pula
dengan pemanfaatan sumber energi
angin memerlukan suatu peningkat
putaran (gear box). Hal ini
mengakibatkan efisiensi rendah dan
biaya tinggi.
Gambar 1. Diagram alir pembangkit listrik
Sumber peng-
gerak
Motor Bakar Alami
Air Angin - Alternator
putaran tinggi
(±1600 rpm)
Matahari
- - Solar Cell
- - Battery Bank
- - Inverter
High Speed
Alternator
Bendungan Gear Box
High Speed
Alternator
Low Speed Al-
ternator
65 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
2. Berbeda dengan pembangkit listrik
dengan menggunakan alternator yang
memerlukan kecepatan putar poros
rendah tidak memerlukan piranti
peningkat daya dan kecepatan.
Alternator tesebut langsung dikopel ke
poros utama (dirrect drive). Sehingga
dari segi efisiensi akan jauh lebih baik
dan juga dari segi biaya akan jauh lebih
murah.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan sifat masalahnya
penelitian ini dikategorikan pada penelitian
eksperimental untuk merancang dan
membuat generator permanen magnet yang
beroperasi pada :
- Putaran rotor : ± 375 rpm,
- Tegangan keluaran : 220 V
- Frekuensi : 50 Hz
- Jumlah fasa : 1 fasa
- Kapasitas daya : 5 KVA
Dengan sasaran sebagai sumber
tegangan pada pembangkit listrik kincir
angin maupun air. Secara garis besar,
generator memiliki 2 komponen utama,
yaitu : (1) stator dan (2) rotor yang
menentukan jenis dan karakteristik
generator. Kalkulasi dari tegangan yang
dihasilkan dapat dihitung dengan sebuah
persamaan tegangan. Lebih jelasnya
ditunjukkan pada Gambar 2-4.
1. Stator
Stator terbuat dari beberapa coil atau
kumparan dari kawat tembaga yang
dilapisi oleh bahan isolator. Jumlah
kumparan menentukan tegangan yang
bisa dikeluarkan oleh generator tersebut.
Gambar 2. Konsep generator permanen magnet
Gambar 3. Stator
2. Rotor
Rotor terbuat dari besi karbon yang
ditempatkan magnet permanen (NdFeB)
pada permukaannya. Pada generator ini
terdapat 2 buah rotor yang mengapit
stator dengan polaritas medan magnet
yang berlawanan sehingga fluks magnet
yang melewati kumparan bisa diperkuat.
Antara 2 rotor tersebuat disambungkan
dengan poros yang kemudian poros
inilah yang diputar oleh tenaga
penggerak, baik itu kincir angin atau air.
Gambar 4. Rotor
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 66
3. Tegangan Induksi
Generator permanen magnet ini di de-
sain untuk bekerja pada putaran rendah
± 375 rpm dengan frekwensi tegangan
50 Hz. Tegangan induksi yang
dihasilkan oleh generator ini 220 V, 1
fasa, 5 KVA, dapat dihitung dengan per-
samaan :
Erms = (1)
= x N xf x Φmax x .
Keterangan :
Erms = Tegangan induksi (Volt)
N = Jumlah lilitan per kumparan
ƒ = Frekwensi (Hz)
= P x n
120
Dimana :
P = Jumlah pasangan kutub magnet
n = Putaran Rotor (rpm)
Φmax = Fluks magnet (Wb)
Ns = Jumlah kumparan
Nph = Jumlah fasa
Φmax = Amagn . Bmax (2)
Keterangan :
Amagn = Area magnet
Bmax =Densitas fluks maksimum
Pembuatan alternator permanen
magnet dan uji kinerja dilaksanakan pada
tahun 2009 di studio engineering dan
workshop pemesinan dan pengelasan
BBLM/MIDC Kementerian Perindustrian
Bandung. Langkah-langkah tahapan metode
penelitian yang dilakukan adalah sebagai
berikut :
1. Bahan-bahan yang digunakan :
a. Komponen fabrikasi : plate (SS 41),
plate (dura)l, plate strip (SS 41), pipa
(SS 41), round bar (SS 41), resin +
hardener, wax, resin coat, plywood,
plate (aluminium), siku 30 (SS 41),
siku 50 (SS 41), pipa Ø 4” (SS 41).
b. Komponen standar : permanent
magnet type NdFeB (0.44 kg), AWG
wire #13 (1.96 mm), AWG wire #15
(1.58 mm), AWG wire #8 (3.43 mm),
AWG wire #11 (2.44 mm), as drad M
10, baut M10x50, mur M 10, spring
dan plate washer, bearing:
Ø35xØ72x17, circle clip poros : Ø
35, circle clip dalam : Ø 72, kabel
NYAF hitam Ø1.5, kabel NYAF me-
rah Ø1.5, baut M8x50, mur M8,
selotip kertas dan listrik, heat shrink
Ø 2,5 mm, cable ties.
2. Peralatan yang digunakan : tang ampere
AC/DC, infra red thermo gun, obeng,
kunci pas, clamp C sedang, gergaji
tangan listrik, stabilizer 5 kw 220 volt,
bor tangan listrik, kuas.
a. Pemesinan : mesin bubut, mesin
milling, mesin bor duduk, mesin
gerinda.
3. Tahapan kerja
a. Persiapan pekerjaan, meliputi : sur-
vey lapangan dan konsultasi dengan
nara sumber, membuat jadwal
pelaksanaan kegiatan, menyediakan
kebutuhan bahan-bahan dan tenaga
kerja yang digunakan, membuat uru-
tan proses pengerjaan, menentukan
bengkel dan fasilitas yang diperlukan.
b. Pelaksanaan pekerjaan, meliputi :
perencanaan pembutan alternator
permanen magnet, proses enginering,
pembuatan prototip permanen
magnet dan uji kinerja.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Teknologi Pembuatan Alterntor
Permanen Magnet
1. Pembuatan Rotor
Untuk proses pembuatan bagian rotor
berdasarkan perhitungan yang telah dil-
akukan seperti tertulis sebelumnya, per-
lu juga diperhatikan kesesuaian bentuk
dan posisinya terhadap stator dan hous-
ingnya., dikarenakan alternator ini
menggunakan dua (2) buah disc rotor
yang mengapit stator sehingga kon-
struksinya harus benar-benar rigid dan
presisi.
Langkah pertama yaitu pembuatan bagi-
an poros dari pada rotor, sesuai dari
hasil perhitungan dan perancangan yang
sesuai dengan peruntukannya maka ben-
tuk dari poros rotor tersebut dapat dilihat
seperti pada Gambar 5 dibawah ini.
67 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Gambar 5. Poros rotor
Selanjutnya untuk bagian piringan rotor
kita memerlukan dua (2) buah keping
piringan sesuai dengan hasil perhitungan
sebelumnya, bagian ini di buat dari
lembaran besi yang kemudian dilakukan
proses pemesinan yang hasilnya dapat
dilihat seperti Gambar 6 dibawah ini.
Gambar 6. Piringan rotor (rotor disc)
Setelah pembuatan piringan rotor selesai
tinggal dilakukan penempelan permanen
magnet sesuai pola kutubnya, untuk
membantu dalam penempatan permanen
magnet ini perlu dibuat satu alat Bantu
yang terbuat dari kayu Plywood yang
telah dibentuk sedemikian rupa sesuai
dengan pola yang telah ditentukan
sebelumnya, seperti terlihat pada
Gambar 7..
Gambar 7. Alat bantu pola magnet
Pada saat penempatan permanen magnet,
mula-mula alat bantu tersebut di tempelkan
pada piringan rotor, dengan catatan harus
benar-benar simetris terhadap piringan
rotornya. Kemudian satu persatu permanent
magnetnya ditempelkan sesuai dengan pola
dan polarisasinya dengan bantuan lem
khusus, setelah permanen magnetnya
terpasang semua, maka tinggal dilakukan
pengecoran dengan menggunakan resin,
seperti terlihat pada Gambar 8-9 dibawah
ini.
Gambar 8. Piringan rotor yang telah
dipasangi permanen magnet
Gambar 9. Piringan rotor yang telah di cor
Langkah selanjutnya yaitu menggabungkan
(assembly) dari kedua buah piringan rotor
dengan porosnya, seperti pada Gambar 10
berikut ini,
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 68
Gambar 10. Perangkat rotor (rotor assembly)
Sangat perlu diperhatikan dalam
perangkaian kedua buah piringan rotor
terhadap porosnya, agar dilakukan dengan
hati-hati, hal ini dikarenakan daya tarik
magnet antar piringan rotor yang sangat
kuat, sehingga bisa berdampak serius bila
terjadi kecelakaan terjepitnya jari atau
bagian tubuh lainnya.
2. Pembuatan Stator
Dalam pembuatannya mula mula diper-
lukan pola untuk membentuk gulungan
(Coil) dengan bentuk yang telah dis-
esuaikan, seperti Gambar 11 dibawah
ini.
Gambar 11. Pola gulungan kawat (coil)
Setelah pola gulungan tersedia maka
proses penggulungan kawat (wekle)
dapat mulai dilakukan, hasil dari
penggulungan kawat tersebut dapat
dilihat pada Gambar 12 berikut ini.
Gambar 12. Proses penggulungan dan
hasil gulungan kawat (coil)
Apabila semua gulungan kawat sudah
selesai dibuat, maka tinggal dilakukan
perangkaian antar gulungan kawat
tersebut sesuai dengan polarisasinya dan
dilakukan pengkawatan secara seri.
Untuk proses ini diperlukan lagi suatu
pola guna membantu penentuan dan
pengaturan posisi gulungan kawat (coil).
Seperti Gambar 13 dibawah.
Gambar 13. Pola penempatan gulungan
kawat (coil)
Setelah pola untuk penyusunan
gulungan kawat tersedia, maka tinggal
dilakukan penempatan gulungan-
gulungan kawat sesuai polarisasinya dan
dihubungkan secara seri dengan
melakukan penyolderan dalam antar
ujung ujung kawatnya, seperti Gambar
14 dibawah ini,
69 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Gambar 14. Penempatan gulungan kawat (coil)
Langkah selanjutnya adalah melakukan
pengecoran kumparan yang telas
disusun tadi dengan menggunakan
epoxy resin yang sebelumnya dilapisi
oleh serat fiber untuk memperkuat
keeping stator itu sendiri, langkah
langkah praktisnya dapat dipelajari
seperti Gambar 15 di bawah ini.
Gambar 15. Urutan pengecoran kumparan stator
Lama proses pengeringan dari epoxy
resin tersebut membutuhkan waktu
minimal 4 jam, sebaiknya didiamkan
dulu selama satu hari supaya resinnya
benar benar kering sehingga pada saat
pelepasan dari cetakan tidak mengalami
kerusakan. Setelah benar benar kering
baru cetakan dapat dilepaskan sehingga
didapat bentuk dari stator seperti
Gambar 16 di bawah ini.
Gambar 16. Stator
3. Pembuatan housing
Pada langkah selanjutnya yaitu
pembuatan rumah (housing) dari pada
alternator itu sendiri, untuk
konstruksinya terdiri dari dua buah
piringan penutup samping (Side Cover
Disc) yang masing-masing mempunyai
rumah bantalan peluru (bearing) , yang
kemudian akan digabungkan dengan
menggunakan beberapa poros
penyangga yang panjangnya sesuai
dengan lebar piringan rotor, selain itu
juga di perlukan sebuah bagian penutup
selubung (Round Cover) yang terbuat
dari lempengan pelat melingkar, dan
sepasang dudukan yang terbuat dari
pelat tebal berbentuk siku yang
berfungsi sebagai dudukan penyangga
dari pada generator permanen magnet
itu sendiri. Semua bagian tersebut
diatas, dibuat sedemikian rupa sesuai
dengan ukuran dan desain yang telah
ditentukan sebelumnya.
4. Assembling
Setelah semua bagian- bagian dari gen-
erator permanen magnet ini dibuat,
maka langkah selanjutnya adalah
melakukan proses perangkaian kese-
luruhan komponen, dengan langkah-
langkah sebagai berikut :
Masukan perangkat rotor (Rotor
assy) pada salah satu penutup
samping, dimana porosnya diposisi-
kan pada bearingnya.
Sisipkan stator diantara dua sisi
piringan rotor (Rotor disc), kemudian
atur celah udara (air gap) sesuai yang
telah ditentukan.
Pasang bagian penutup samping
lainnya.
Pasang bagian dudukan/kaki di kedua
sisi.
Sambungkan kabel-kabel dari stator
ke terminal-terminal sumber
tegangan sesuai dengan jalurnya.
Setelah semua terpasang, kencangkan
semua baut dan mur.
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan
pada Gambar 17 proses assembling
berikut ini :
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 70
Gambar 17. Proses assembling
Uji Kinerja (Performance Test)
Untuk pengujian kinerja alternator
permanen magnet putaran rendah ini,
dilakukan dengan cara uji bangku (bench
test) mengunakan mesin bubut sebagai
penggerak mula untuk alternator tersebut,
dengan kondisi pengujian pada putaran
poros dan beban bertahap.
Pengujian dilakukan dengan
perubahan kecepatan putar poros bertahap
sesuai dengan kemampuan mesin bubut
yang akan digunakan, dengan beban tiruan
(dummy load) yang digunakan adalah
lampu pijar dan pemanas air (water heater)
sesuai dengan kemampuan dari alternator
tersebut.
Gambar 18. Pengujian dan Pengambilan data
1. Pengambilan Data Awal
Sebelum dilakukan pengujian, perlu
dilakukan pengambilan data awal yang
berguna sebagai data referensi
pembanding atas kondisi sebelum dan
sesudah alternator tersebut diuji.
Adapun parameter pengambilan data
awal yang diperlukan adalah
sebagaimana tertera di Tabel 1 bawah
ini.
Tabel 1. Data awal
No Parameter Satuan
1. Ambient temp. 24 oC
2. Resistansi stator 9.6 Ω
3. Stator temp. 24 oC
4. Rotor temp. 24 oC
5. Rotor remanence 13.0 Gauss
2. Pengambilan Data Pengujian
Tujuan dari pengujian alternator
permanen magnet ini adalah untuk
mengetahui sejauh mana kinerja atau
kemampuan kerja alternator permanen
magnet yang di buat secara empiris
untuk diteliti sejauh mana keidealan
hasil perancangan dan perhitungan yang
telah dilakukan dan diwujudkan dalam
bentuk prototype. Pada Pengujian ini
dilakukan pengujian kinerja alternator
dengan hanya menggunakan 1 (satu)
buah gulungan saja (single coil test)
yang selanjutnya dapat dikonversikan
sesuai dengan desain awal. Adapun
data-data yang dihasilkan dari pengujian
alternator permanen magnet ini dapat
dilihat seperti ditunjukkan pada Tabel 2
data hasil uji (lampiran).
71 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Tabel 2. Data hasil uji
Pengambilan Data PGM 5000
No Putaran
(rpm)
Tanpa Beban Dengan Beban
Tegangan
(V)
Frekuensi
(Hz)
Tegangan
(V)
Arus (A) Frekuensi
(Hz)
Temp. (oC)
1 0 0 0 0 0 0 24
2 50 20.9 7 19.7 9 7 24
3 100 36.9 15 34.5 15 15 24
4 150 43 21 40.5 17.5 21 24.5
5 200 64.5 27 63 20.6 27 24.5
6 250 112 34 100 22.4 34 24.5
7 300 160.8 40 160 25 40 25
8 350 220 48 210 27.3 48 25
9 400 230 50 225 29.1 50 25
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Telah dilakukan pembutan prototipe
alternator permanen magnet putaran
rendah dengan spesifikasi (a) putaran
rotor : ± 375 rpm, (b) tegangan keluaran
: 220 V, (c) frekuensi : 50 Hz,
(d) jumlah fasa : 1 fasa, (e) kapasitas
daya : 5 KVA
2. Berdasarkan pengujian kinerja pada
generator permanen magnet secara uji
bangku (bench test), diperoleh hasil
output sesuai yang diharapkan baik dari
segi perhitungan dan juga desain.
3. Alternator permanen magnet dapat
digunakan langsung sebagai sumber
pembangkitan listrik
baik dengan menggunakan sumber gerak
air maupun angin, tanpa menggunakan
lagi perangkat untuk mereduksi putaran,
melainkan langsung terkopel pada
porosnya. Hal ini dapat mengurangi
biaya produksi dan rugi-rugi daya dari
sumber penggerak yang akan
dipergunakan.
4. Untuk mengetahui sejauh mana kinerja
dan keandalan generator permanen
magnet perlu lebih lanjut dilakukan
pengujian bangku (bench test) maupun
pengujian langsung di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Firman dan Hafid, 2008, Pembuatan
Kincir Angin Horizontal Dengan
Kecepatan Angin Rendah Untuk
Penyediaan Energi Listrik Skala
Kecil”, Majalah Ilmiah Metal
Indonesia, ISSN 0126-3463, Vol.
030/2008, Bandung, hal 3-16.
2. Firman, Hafid dkk, 2006, Pembuatan
Kincir Air Kapasitas 1 KW Untuk
Kebutuhan Pembangkit Listrik
Pedesaan, Majalah Ilmiah Metal
Indonesia, ISSN 0126-3463, Vol.
030/2008, Bandung, hal 3-12.
3. M. Kostenko and L. Piotrovsky. 2005,
Electrical Machines One and Two
Parts. Peace Publisher. Moscow.
4. John D. Kraus. 2003, Electro – Mag-
netics.
5. Dasar-dasar Pengelolaan Pemeli-
haraan dan Perawatan Motor Listrik.
POLMAN – Bandung.
6. S. E. Skaar, O. Krovel, R. Nilssen and
H. Erstad. Slotless, Toroidal wound,
Axially-magnetized Permanent Magnet
Generator for small Wind turbine Sys-
tems. Dept. of Electrical Power Engi-
neering. Norwegian University of Sci-
ence and Technology.
7. Tom Chalko, 2005, Optimizing a Per-
manent Magnet Alternator for micro-
hydro application. Scientific E Re-
search. Mt Best. Australia. Dec, 2005
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 72
ISSN 0126 - 3463
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 72
PEMBUATAN PROTOTIPE TWIN SCREW UNTUK
MENGOLAH ALGAE MENJADI BIODIESEL
Agus Suherman
1
1Metal Industries Development Centre (MIDC) - Kementerian Perindustrian
Jl. Sangkuriang No. 12 Bandung 40135
E-mail : agus [email protected]
Abstrak
Penelitian bahan bakar biofuel (biodiesel) yang bertujuan mensubstitusi bahan bakar
minyak merupakan langkah strategis di saat ini, karena akhir-akhir ini subsidi BBM dan
pencemaran lingkungan terus meningkat, serta cadangan minyak bumi yang terus berkurang.
Berangkat dari beberapa faktor yang diuraikan di atas, adalah momentum tepat untuk mengkaji
sumber alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan biofuel. Pemilihan
bahan baku mikroalgae merupakan pilihan yang terbaik karena cadangan persediaan yang cukup
melimpah di muka bumi ini. Pembuatan biofuel berbahan baku mikro algae memerlukan
beberapa tahapan proses sebelum mendapatkan output bahan bakar biofuel. Satu diantaranya,
adalah alat untuk mengekstrak minyak yang terkandung dalam sel mikroalgae, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan untuk diproses lebih lanjut menjadi biofuel. Beberapa metode
dikembangkan guna mengekstrak kandungan minyak, namun metode mekanis, dengan
menggunakan alat screw atau expeller, merupakan solusi yang praktis bagi pengembangan skala
industri. Karenanya studi kajian pada metode mekanis terus dikembangkan, agar mendapatkan
hasil berupa alat ekstrak (dalam hal ini twin screw) yang efektif dan ekonomis.
Kata kunci : twin screw, compress, mikro algae, dewatering, conveying.
Abstract
Research biofuels (biodiesel), which aims to substitute fuel oil is a strategic step today,
because lately the fuel subsidy and increasing environmental pollution, as well as petroleum
reserves are dwindling. Departing from some of the factors described above, is the right
momentum to examine alternative sources that can be utilized as raw material for manufacture
of biofuel. Mikroalgae raw material selection are the best choices because inventory reserves
are quite abundant in the earth. Making biofuels made from raw mikroalgae requires several
stages of the process before getting the output of biofuel. One of them, is a tool to extract the oil
contained in the cell mikroalgae, so it can be used as material for further processing into
biofuel. Several methods were developed to extract the oil content, but the mechanical method,
using a tool or a screw expeller, is a practical solution for the development of industrial scale.
Therefore assessment study on mechanical methods being developed, in order to obtain the
effective and economical results of the extract tool (in this case the twin screw).
Key words : twin screw, compress, mikro algae, dewatering, conveying.
PENDAHULUAN
Menipisnya cadangan persediaan
minyak bumi yang digunakan sebagai
bahan bakar bagi kebutuhan umat manusia.
Menjadikan biofuel sebagai bahan bakar
alternatif. Dari beberapa bahan dasar
pembuatan biofuel seperti : jarak pagar,
minyak kelapa, mikro algae, maka mikro
algae merupakan bahan yang paling
diunggulkan, karena cadangan yang cukup
banyak, titik cair yang rendah sehingga
tidak mudah membeku pada suhu rendah.
Mikro algae memerlukan beberapa proses
perlakuan khusus sebelum akhirnya
menghasilkan biofuel. Suatu proses awal
dan penting adalah mengeluarkan/memeras
minyak yang terkandung dalam mikro
algae. Agar proses efektif dan aplikatif
diperlukan alat yang disebut extractor atau
yang lebih dikenal dengan expeller berupa
twin screw.
Twin screw adalah salah satu
metode yang digunakan untuk mengekstrak
minyak dari bahan mikro algae. Prinsip
kerja dari alat ini mengantarkan (conveying)
73 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
bahan yang masuk, mengkompress
(compress) dan dewatering.
Berdasarkan permasalahan tersebut
di atas, maka perlu dilakukan penelitian
perancangan dan pembuatan prototip alat
tersebut diatas.
METODA PENELITIAN
Penelitian perancangan dan
pembuatan prototip twin screw untuk
mengolah alge menjadi biodiesel
dilaksanakan pada tahun 2009 di seksi
pemesinan dan pengelasan BBLM/MIDC
Kementerian Perindustrian Bandung.
Bahan-bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
a. Motor reducer
b. Motor listrik
c. Bahan mikro algae
d. Stainless steel tipe 304 (plate, round bar
& pipa)
e. Bronze
f. Baja SS 45
g. Baja profil
h. Screen stainless steel
Mesin dan peralatan yang
digunakan :
a. Pemesinan : mesin bubut, mesin milling,
mesin bor duduk, mesin gerinda, mesin
gergaji, mesin ukur otomatis.
b. Pengelasan : las acetelin dan
transformer, transformer 17 – 20 KW,
Las Tungsten Inert Gas, mesin tekuk
c. Pengerjaan plat : gunting, plat,
bending/tekuk plat, catok, gergaji, bor
tangan dan gerinda tangan.
d. Kerja bangku : bor dan gerinda tangan,
gergaji besi, kikir, bangku kerja, paku,
ragam, mistar, mesin poles, amplas,
palu, ragum, mistar/alat ukur dan lain-
lain.
Langkah-langkah tahapan metode
penelitian yang dilakukan adalah sebagai
berikut :
a. Studi literatur untuk menentukan ciri-
ciri, keunggulan dan kelemahan, sifat
fisik dan kimiawi mikro algae, dalam
kaitan dengan pemanfaatannya sebagai
bahan bakar alternatif.
b. Survey lapangan ke lokasi yang
merupakan tempat cadangan bahan
mikro algae dan survey ke perusahaan
yang memiliki alat twin screw untuk
mendapatkan data pengamatan praktis,
konstruksi, sistem kerja alat tersebut.
c. Perancangan dan pembuatan gambar
kerja, merencanakan sistem
pengkondisisan awal (preconditioning
sistem) yang akan menyesuaikan
tekanan yang diperlukan agar minyak
dapat dikeluarkan dari mikro algae.
d. Proses engineering, melakukan analisa
dan perhitungan untuk menentukan
spesifikasi teknik jenis material
subsistem/komponen yang dipilih.
Melakukan analisa dan perhitungan
untuk menentukan spesifikasi teknik
agar alat twin screw berfungsi.
e. Pembuatan prototip sesuai dengan
analisa dan perhitungan.
f. Uji coba dan evaluasi penggunaan twin
screw.
g. Pembuatan laporan : dari hasil kegiatan
berdasarkan data hasil penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil kepustakaan, mikro algae
umumnya memiliki komposisi kimia:
protein, karbohidrat, fatty acid (lipids) dan
nucleid acid. Ada beberapa jenis mikro
algae yang 40 % dari massanya berupa fatty
acids. Komponen inilah yang akan
diekstrak dan dapat dirubah menjadi
biofuel. Lebih jelasnya ditunjukkan pada
Tabel (lampiran 1).
Beberapa metoda yang dikenal
untuk mengeluarkan minyak dari bahan
mikro algae. metode ini pada prinsipnya
adalah memecahkan dinding sel, sehingga
komponen minyak akan keluar.
Beragam metode yang digunakan untuk
mengekstrak minyak dari mikro algae,
adalah :
1. Expeller (Screw)
Metoda yang digunakan adalah
mengepress bahan alga yang telah
dihilangkan kandungan airnya. Dengan
alat ini, hasil ekstraksi dapat mencapai
70-75% minyak yang terkandung pada
bahan mikro algae.
2. Hexane solvent oil extraction
Metoda ini menggunakan larutan kimia
seperti heksana, benzena dan eter.
Larutan heksana dapat digunakan secara
langsung mengekstrak minyak dari
bahan mikroalgae. Umumnya metoda ini
digabungkan dengan expeller. Minyak
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 74
hasil proses expeller, kemudian
dilakukan proses hexane solvent,
sehingga hasil ekstraksi meningkat.
3. Supercritical fluid extraction
Dengan menggunakan CO2 yang
dicairkan di bawah tekanan normal
kemudian dipanaskan sampai mencapai
titik kesetimbangan antara fase cair dan
gas. Pencairan fluida inilah yang
bertindak sebagai larutan yang akan
mengekstraksi minyak dari mikro algae.
4. Osmotic shock
Dengan menggunakan tekanan osmosis ,
tekanan osmosis dalam sel akan
berkurang sehingga sel akan pecah dan
komponen di dalam sel akan keluar.
5. Ultrasonic assisted extraction
Pada reaktor ultrasonik, gelombang
ultrasonik digunakan untuk membuat
gelembung kavitasi pada material
larutan. Ketika gelembung pecah dekat
dengan dinding sel maka akan terbentuk
gelombang kejut dan pancaran cairan
yang akan membuat dinding sel pecah.
Pecahnya dinding sel akan membuat
komponen di dalam sel keluar.
Dari metode-metode yang
disebutkan di atas, Expeller berupa twin
screw merupakan metode yang paling
popular untuk dibuat dalam skala produksi
dibandingkan metode lainnya karena
beberapa faktor berikut ; biaya cukup
murah, pengoperasian cukup sederhana,
pengoperasian dapat dalam kondisi
kontinyu dan mudah dalam perawatan.
Twin screw memiliki 3 fungsi yaitu ;
conveying, compressing dan dewatering.
Fungsi conveying/menghantarkan
bahan mikroalgae dari hopper (media
pemasukan bahan) ke bagian screw. Bahan
yang masuk ke dalam bagian ulir (screw)
mengalami proses penekanan yang
menyebabkan minyak keluar dari sel,
bagian pengeluaran berfungsi sebagai
dewatering, memisahkan cairan (minyak)
dengan padatan.
Screw press merupakan helical
screw (ulir helix) yang dipasangkan pada
poros konus (conical shaft).dengan posisi
seperti berikut, bagian konis yang
berdiameter lebih kecil berada dekat bagian
pemasukan, sedangkan bagian konis yang
berdiameter lebih besar berada dekat bagian
pengeluaran (discharge end). Poros Di
support dengan bantalan (bearings). Poros
berputar dalam dinding silinder. Dengan
bantuan Motor listrik, putaran poros
menyebabkan screw (ulir) mendorong
bahan algae dari hopper, bergerak masuk ke
ulir menuju bagian pengeluaran (discharge
end), Dengan semakin kecilnya ruang
antara taper screw dengan dinding silinder
maka bahan algae akan mengalami
penekanan (compressing), pada daerah
pengeluaran (discharge end) jarak antara
taper screw dengan dinding silinder kecil,
pada saat bahan melewati bagian ini
tekanan semakin besar. Proses compressing
menyebabkan dinding sel algae pecah
sehingga komponen minyak oli) akan ke
luar. Minyak yang dihasilkan akan keluar
melalui screen (perforation) dinding
silinder, sedangkan padatannya akan keluar
melalui bagian pengeluaran (discharge
end).
Perancangan Twin screw
Dalam kegiatan perancangan dan
pembuatan twin screw ini akan digunakan
design sebagai berikut :
Gambar 1. Gambar perancangan twin screw
Beberapa bagian utama adalah : (1) motor
listrik, (2) motor reducer, (3) Unit twin
screw housing, (4) vacuum tank, (5)
mounting, (7) vacuum pump, (8) transfer
chain, (9) witch on-off, (10) V.Belt, (11)
Electric panel.
Proses yang terjadi pada rancangan
ini dibagi menjadi 2 utama yaitu :
75 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
1. Proses ekstraksi, terjadi pada unit
ekstraktor. Unit ekstraktor ini terdiri dari
: motor listrik 2.2 KW, pump, pressure
regulator, relay valve, nozzle.
Pada proses ini bahan alga dihisap
dengan pompa bertekanan tinggi dengan
didukung oleh valve regulator untuk
menghasilkan daya tekan yang cukup
besar yaitu mencapai 80 bar.
Dengan tekanan ini diharapkan algae
dapat pecah atau terekstraksi.
2. Proses transfering separator, yaitu proses
pemilahan dari hasil ekstraksi.
Bagian unit transfering regulator yaitu :
motor listrik 2.2 KW, motor reducer,
Twin screw, filter, vacuum, pressure
regulator.
Pada unit transfering separator ini akan
terjadi proses transfer, tekan, pemilahan
algae dan output cairan dengan ampas.
Output transfering menjadi 2 bagian
yaitu :
1. Out put cairan algae dilakukan oleh
sistem vacuum.
2. Output ampas dilakukan dengan
adanya supplay algae oleh twin
screw.
Gambar 2. Unit transfering seperator dan skematik Output ampas
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 76
Spesifikasi umum Twin screw
Twin screw yang dirancang merujuk pada
prinsip berikut ini, bahan mikro algae di
masukkan ke dalam hopper, kemudian
motor listrik 2.5 HP dengan putaran 1430
rpm secara kontinyu berputar. Daya rotasi
dari motor ditransmisikan ke motor reducer
dengan pulley, motor reducer selanjutnya
mentransmisikan daya ke poros twin screw
melalui rantai, sehingga dapat memutar
poros twin screw pada kecepatan kira kira
29 rpm menyebabkan bahan mikro algae
masuk ke dalam bagian mesin, ulir
menghantarkan bahan menuju bagian
ujung taper, dengan adanya gaya reaksi dari
bagian output berupa pressure regulator
memiliki efek menekan (press) bahan. Pada
daerah ujung clearance / gap antara
berkisar 0.01 mm, sehingga saat bahan
melewati, minyak akan keluar terhisap oleh
vacuum seluruhnya, minyak yang keluar
dialirkan ke luar melalui lubang lubang
yang ada pada dinding silinder dan filter,
sedangkan bahan padatan keluar melalui
ujung chamber cage setelah mencapai
tekanan tertentu yang diatur oleh pressure
regulator.
Gambar 3. Twin screw
Tabel 1. Gaya twin screw
Gaya motor
Data spesifikasi motor :
Daya : 2.2 Kw (3HP)
Putaran : 1430 rpm
Berdasarkan data di atas, dapat dikalkulasi
besaran torsi yang dihasilkan, dengan
menggunakan perhitungan sebagai berikut :
P = τ. ω (1)
Dimana :
P = daya motor
τ = torsi (N.m)
ω = kecepatan rotasi (rad/detik)
P = 3 HP = 735 x 3 = 2.205 watt
ω = (2.π.N) /60
= (2x3.14x1430)/ 60 = 149.673 rad/detik
Torsi yang didapat ,
τ. = P / ω
τ = 2.205 / 149.673 = 14.73 N.m
dari data di atas dapat diperoleh gaya pada
pulley motor, pada design twin screw ini,
pulley yang digunakan pada motor
berdiameter 80 mm, maka :
τ = F. R
F = τ / R
R = 80 / 2 = 40 mm = 0.04 m
F = 14.73 / 0.04 = 368.25 N
Gaya motor yang terjadi sebesar 368.25
Newton.
Gaya Twin screw
Gaya yang dihasilkan pada bagian twin
screw, dipengaruhi oleh reduksi putaran
dengan motor reducer dari motor hingga
expeller dengan beberapa tingkat reduksi.
Kondisi awal
Putaran motor = 1430 rpm
Gaya motor = 368.25 Newton
Dengan mekanisme reduksi,
Varian putaran dari motor hingga twin
screw.
Motor Input reducer Output reducer Twinscrew
RPM 1430 715 23 29
Diameter Pulley (mm)/gear 80 150 33 (gear) 26 (gear)
77 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Data awal
Gaya motor = 368.25 Newton
Rasio reducer = 1:30
Dengan menggunakan perbandingan pulley
atau gear.
Transformasi gaya dari motor ke input
reducer
Gaya input reducer = 368.25 x (150/80)
= 690.46 N
Transformasi dari input ke output
reducer
Gaya output reducer = 690.46 X (30)
= 2713.8 N
Transformasi dari output reducer ke
expeller
Gaya Expeller = 2713.8 X (33/26)
= 3444.4 N
Dengan demikian pada Kondisi akhir
didapat data sebagai berikut
Putaran twin screw = 29 rpm
gaya twin screw = 3444.4 Newton
Tekanan Twin screw
Tekanan terjadi pada twin screw
dipengaruhi oleh besarnya Luas penampang
transfer dan gaya.
Data design twin screw
Ø twin screw = 81 mmN Ø tinggi alur twin
screw = 87 mm
Luas penampang twins crew untuk
penekanan
Area twin screw transfer =
Area tinggi alur – Area twin screw
= (π.87 2 /4) – (π.81
2 /4)
= 6433.65 – 5150.385
= 1282.8 mm2
Tekanan yang terjadi pada twin screw
sebagai berikut : P = F / A
P = 3444.4 / 1282.8 = 2.685 N/mm2
Analisa Ekonomi
1. Fasilitas Bengkel
Pembuatan alat ekstraksi algae menjadi
biodiesel menggunakan sistem twin
screw ini dikerjakan dengan perhitungan
dan toleransi yang tinggi. Hal ini
diperlukan karena media yang diolah
oleh mesin/alat ini berukuran sangat
kecil yaitu dalam unit micron.
Pengerjaan untuk pembuatan alat ini
dapat dilakukan oleh bengkel-bengkel
dengan fasilitas mesin yang memadai
seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Mesin dan peralatan tersebut dapat
membuat mesin press expeller sekitar 10
unit perbulan.
Tabel 2. spesifikasi alat/mesin untuk
pembuatan mesin press expeller
No. Alat/Mesin Spesifikasi
Teknis Jumlah
1. Bubut
Diameter 250
mm, Jarak center
800 mm, Motor
3 HP
1 Unit dan
kelengkapan
2. Universal miling
machine / Frais
Ukuran meja
800 x 240 mm
Motor 3 HP
1 Unit dan
kelengkapan
3. Gerinda Motor 0.5 HP 1 Unit
4. Bor Motor 1 HP 1 Unit dan
kelengkapan
5. Electric welding
equipment
Transformer 17
Kw
2 Unit dan
kelengkapan
6. Gergaji Motor 1 HP
1 Unit dan 1
roll mata
gergaji
7. Potong dan tekuk Tebal 3 mm @ 1Unit
8. Alat-alat kerja
bangku
1 Set
selengkapnya
9. Alat ukur
otomatis/CMM
Ketelitian 1
mikron 1 Unit
2. SDM dan Perkiraan Waktu Pengerjaan
Kebutuhan tenaga kerja dan perkiraan
waktu pengerjaan dalam pembuatan
prototype mesin pengolah algae dengan
menggunakan twin screw ini dapat
dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 78
Tabel. 2. Kebutuhan operator dan waktu
pengerjaan
No. Proses Operasi Jumlah
Orang
Waktu
Pengerjaan
(Jam)
1. Pemotongan 1 16
2. Pengelasan
2
welder,
1 helper
64
3. Pembubutan 1 56
4. Pengeboran 1 16
5. Penggerindaan 1 16
6. Milling & Jigbor 2 32
7. Kerja bangku & cat 3 72
8. Perakitan 2 24
Jumlah 15 296
Catatan : Waktu kerja 8 Jam/hari/orang
3. Fasilitas Ruang Bangunan
Fasilitas ruangan dibutuhkan untuk
penempatan mesin-mesin kerja,
pelaksanaan operasi/kerja, material
handling, gudang bahan baku dan
barang jadi serta kelonggaran-
kelonggaran (spacing) untuk operasi
dapat diperinci seperti ditunjukkan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Luas lantai yang diperlukan untuk
pengerjaan
No. Jenis / Tempat
Operasi
Luas yang
Dibutuhkan
(m2)
1. Pemesinan 50
2. Pengelasan 50
3. Pemotongan 15
4. Kerja Bangku 25
5. Perakitan 20
6. Gudang Bahan Baku 30
7. Pengecatan 15
8. Barang Jadi 50
9. Kelonggaran ± 25% 65
Jumlah Luas Bangunan 320
4. Fasilitas Energi
Energi yang dibutuhkan untuk
pembuatan mesin press expeller ini yang
terutama untuk menggerakkan motor
listrik pada mesin-mesin. Untuk
menggerakkan motor-motor listrik
dibutuhkan energi listrik dengan
perincian sebagai berikut :
- 1 buah mesin bubut = 2,2 Kw
- 1 buah mesin frais = 2,2 Kw
- 1 buah mesin bor = 1 Kw
- 1 buah mesin gergaji = 1 Kw
- 1 buah mesin gerinda = 0.5 Kw
- 2 buah transformer las= 34 Kw
- CMM, gerinda tangan dll = 1,5 Kw
Jumlah = 42,4Kw
Untuk penerangan ruang pabrik dan
gudang diperkirakan sebesar 2,2 Kw.
Sumber energi tersebut dapat
menggunakan sumber PLN atau diesel
genset, tergantung dari tersedianya
sumber energi setempat serta
perhitungan ekonomisnya.
5. Perkiraan kebutuhan modal dan biaya
produksi
Jumlah modal investasi diperkirakan
sebagai berikut ;
a. Modal tetap/fixed assets :
Tanah 500 m2
= Rp. 100.000.000
Bangunan 320 m2 = Rp. 300.000.000
Mesin dan peralatan
produksi = Rp. 350.000.000
Peralatan kantor dan
fasilitas lain = Rp. 20.000.000
Alat-alat angkutan /
transportasi = Rp. 65.000.000
Lain-lain ± 10 % = Rp. 63.500.000 +
Jumlah = Rp.898.500.000
b. Modal berputar/modal kerja
Perputaran modal kerja diperkirakan terjadi
dalam 4 bulan sekali, sehingga untuk modal
kerja diperkirakan sebesar :
Bahan baku
(4 Bulan) = Rp.500.000.000
Operator
(4 bulan, 15 orang) = Rp. 120.000.000
Tenaga kurir
(4 bulan, 3 orang) = Rp. 12.000.000
Bunga pinjaman = Rp. 34.000.000
Pemeliharaan /
maintenance ± 5 % = Rp. 17.500.000
Biaya tak
terduga 20% = Rp 134.700.000+
= Rp.808.200.000
Jumlah modal yang dibutuhkan (a + b)
= Rp.1.710.000.000,-
79 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Kebutuhan modal sebesar Rp.
1.700.000.000,- memerlukan
pinjaman/kredit yang besarnya
tergantung dari tersedianya modal
sendiri (equity contribution). Dalam hal
ini diperkirakan besarnya equity adalah
sebesar 60% atau ± Rp.
1.020.000.000,- modal ini utamanya
untuk menutupi semua modal tetap,
sedang sisa dari equity dipakai untuk
modal berputar namun tidak dapat
menutupi modal berputar, dengan modal
tersebut maka dibutuhkan kredit sebesar
Rp. 680.000.000,- yang masuk dalam
katagori pinjaman jangka panjang (6
tahun) dengan bunga 15% pertahun .
6. Biaya Produksi
Biaya produksi pertahun untuk kapasitas
produksi 10 unit twinscrew pengolah
algae perbulan dapat diperkirakan
sebagai berikut:
a. Variable Cost (biaya tidak tetap)
Bahan baku = Rp. 125.000.000
Operator = Rp. 30.000.000
Tenaga kurir = Rp. 3.000.000
Lain-lain ± 10% = Rp. 15.800.000
= Rp. 173.800.000
b. Fixed Cost (biaya tetap)
Penyusutan
bangunan 5 % = Rp. 15.000.000
Penyusutan
mesin 10 % = Rp. 35.000.000
Pinjaman &
bunga modal = Rp. 18.000.000
Maintenance 15%
(Fixed Asset-
tanpa tanah) = Rp. 120.000.000
Lain-lain 10 % = Rp. 18.800.000
= Rp.206.800.000
Jumlah biaya produksi perbulan adalah
(a+b) = Rp.3.806.000
Biaya produksi per unit dapat dihitung
sebagai berikut :
Biaya material langsung
= Rp.12.500.000
Overhead material 20 %
= Rp. 2.500.000
Tenaga kerja/operator
= Rp. 3.300.000
Factory overhead-50 %
upah tenaga kerja = Rp.1.650.000 +
Jumlah biaya produksi
per unit = Rp.19.950.000
Perhitungan harga per unit.
Biaya produksi = Rp.19.950.000
Biaya administrasi
dan penjualan 20 % = Rp. 3.990.000
Garansi after-
sales service 10 % = Rp. 2.394.000
Keuntungan 20 % = Rp. 5.266.800
Pajak 11 % = Rp. 3.476.088
Harga twin screw/unit =Rp.35.076.888
Jadi harga jual dibulatkan menjadi
Rp.36.000.000.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Prototipe alat twin screw pengolah algae
yang dibuat dapat beroperasi, proses yang
terjadi pada alat ini yaitu ekstraksi algae,
transfer pemilahan, pengepressan dan
vacuum.
Saran
1. Tenaga ahli diharapkan memiliki
kapabilitas di bidang proses manufaktur,
khusus dibidang algae.
2. Pada komponen screw, harus dibuatkan
sepresisi mungkin harus bernilai 0.002
mm atau minimal suaian pas. Sehingga
proses pengepresan dan transfer berjalan
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Becker. 1994. Chemical Compotition.
2. Danielo,Oliviero. May 2005. "An Algae
Based Fuel" Biofutur, No. 255.
3. Graham,Algaen and Wilcox. 2007
4. John Sheehan, Terri Dunahay, John
Benemann and Paul Roessler, “A Look
Back at the U.S. Department of Energy's
Aquatic Species Program-Bio-diesel
from Algae, Closeout Report", July
1998, NREL/TP-580-24 190
5. LaMonica,Martin. May 20, 2005. "Start-
up drills for oil in algae". News.com.
6. Vunjak-Novakovic, Gordana, 2005.
et.al. "Air-Lift Bioreactors for Algal
Growth on Flue Gas: Mathematical
Modeling and Pilot-Plant Studies," Ind.
Eng. Chem. Res., Vol. 44, No. 16.,
published on the web 6/28/2005.
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 80
Lampiran
Tabel.1. Chemical composition of algae expressed on a dry matter basis
81 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Gambar 4. Assembling unit twin screw
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 82
Gambar 5. Alat ekstraksi algae model twin screw.
83 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
PENELITIAN PROSES PEMBUATAN KONSENTRAT DAN INGOT
TEMBAGA DARI BATUAN MINERAL CU SEBAGAI SUBSTITUSI IMPOR
Adid A. Hermansyah1, Hafid
2 dan Kosasih
1
1Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T) dan
2Balai Besar Logam Mesin (BBLM),
Kementerian Perindustrian, Jl. Sangkuriang No. 14 Bandung 40135
E-mail : [email protected]
Abstrak
Telah dilakukan penelitian proses pembuatan konsentrat dan ingot tembaga dari batuan
mineral Cu sebagai substitusi impor. Tujuannya adalah untuk menghasilkan produk substitusi
impor dari bahan baku paduan tembaga yang berasal dari dalam negeri. Metode penelitian yang
dilakukan, meliputi : (1) proses pembuatan konsentrat, yaitu ; penghalusan batu Cu (crusher),
perendaman dengan asam sulfat (H2SO4) dan pelarutan dengan serbuk Zn, (2) proses pembuatan
ingot, yaitu ; dibakar pada tungku non ferro (proses peleburan) dan cairan logam non ferro di
cetak sesuai ukuran yang dikehendaki. Berdasarkan hasil percobaan diketahui bahwa komposisi
konsentrat maupun ingot tembaga di dominasi oleh Cu-Pb (98,7%-1,05%), kekerasan yang
dimiliki ingot tembaga adalah 62,28Hv (melebihi kekerasan pada standar tembaga murni : 20-
40 Hv). Hasil pengujian SEM dan EDS menunjukkan adanya lapisan matrix tembaga yang
cukup rapat dan menyatu, dimana unsur Pb menyelip pada matrix Cu. Diharapkan teknologi
proses pembuatan produk dari paduan tembaga dapat diproduksi oleh Industri Kecil dan
Menengah penambangan di indonesi untuk meningkatkan nilai tambah mineral paduan lokal.
Kata kunci : konsentrat, ingot tembaga, tungku non ferro.
Abstrak
Research on the manufacturing process of concentrates and ingots of Copper from Cu
mineralized rocks as import substitution has been done the aims to produce import substitute
products from raw materials from copper alloys in domestic. The research method was then,
consist of: (1) the manufacturing concentrates process, namely Cu smoothing stone (crusher),
soaking in sulfuric acid (H2SO4) and dilution with Zn powder, (2) ingot-making process, that is
burned on non-ferrous furnace (melting process) and liquid non-ferrous metals in print
according to the desired size. Based on the results of the experimental trial the composition of
concentrates and ingots of copper is dominated by Cu-Pb (98.7% -1.05%), the hardness of
copper ingots is 62.28 Hv (hardness exceeds the standards of pure copper: Hv 20-40) . The
result of SEM and EDS showed the presence of a layer of copper matrix is quite tight and
together, where the elements of Pb slip the matrix Cu. We hope that the products manufacturing
process technology of copper alloys can be produced by SMEs mining in Indonesia to
developing the added value of local mineral alloy.
Key words : concentrat, copper ingots, non ferrous furnace
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang
mempunyai kekayaan sumber daya alam
(SDA) melimpah, salah satu potensi SDA
untuk dimanfaatkan adalah sumber daya
mineral logam. Merupakan bahan baku
yang sangat dibutuhkan baik secara
langsung maupun tidak langsung bagi
berbagai macam industri manufaktur
berbasis logam. Pada Tabel 1(1)
diperlihatkan 9 (sembilan) jenis komoditi
mineral logam. Dimana tembaga (copper)
dengan simbol kimia Cu mempunyai
cadangan deposit yang cukup besar.
Didapat dari batuan yang mengandung
unsur Cu 10-20%. Batuan mineral Cu ini
terbagi beberapa jenis diantaranya :
Chalcocite, Digenite, Chalcopyrite, Bornite,
Cuprite, Malachite, dll. Dari berbagai jenis
mineral logam, tembaga mempunyai
karakteristik yang berbeda khususnya kadar
Cu yang dimilikinya.
Tembaga adalah salah satu logam
non ferro yang dapat dibuat untuk berbagai
jenis penggunaan karena mempunyai sifat-
sifat(2)
: (1) tahan korosi, (2) daya hantar
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 84
listrik dan panas yang baik, (3) kemampuan
berubah bentuk secara plastis sehingga
mudah dibentuk dengan baik, (4)
kemampuan memantulkan cahaya, (5)
tahanan listriknya bertambah besar kalau
suhunya semakin tinggi. Paduan tembaga
yang lazim adalah material kuningan (Cu-
Zn) dan material perunggu (Cu-Sn).
Aplikasi penggunaan dari kedua
jenis paduan material tersebut mempunyai
spektrum yang sangat luas pada bidang
industri, yaitu : mulai industri konstruksi,
komponen listrik, komponen kapal, asesoris
pada kendaraan bermotor dan lain
sebagainya yang sangat dibutuhkan oleh
Indonesia.
Penambangan tembaga di Indonesia
terdapat di Papua (Irja), Sumatera Utara,
Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya di
Indonesia. Pertambangan adalah industri
yang mengolah SDA dengan mengambil
dan memproses bahan tambang untuk
menghasilkan berbagai produk akhir yang
dibutuhkan industri. Pemilihan penelitian
paduan material Cu didasarkan
pertimbangan usaha untuk meningkatkan
nilai tambah mineral paduan lokal. Hal ini
akan memberikan efek langsung pengaruh
proses substitusi produk impor dengan
memberdayakan industri kecil dan
menengah (IKM) sebagai produsennya.
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Memberikan kemampuan untuk
menghasilkan suatu produk dari paduan
tembaga yang dapat menjadi produk
substitusi impor di dalam negeri.
2. Menumbuhkan wirausaha baru dan
peningkatan kemampuan IKM
penambangan melalui kerjasama
penelitian dengan Balai Besar Bahan
dan Barang Teknik (B4T) Kementerian
Perindustrian untuk menghasilkan
produk paduan Cu.
Berdasarkan permasalahan tersebut
di atas sebagai upaya terobosan untuk
mengatasi masalah ketergantungan industri
manufaktur logam dalam negeri terhadap
bahan baku impor. Maka dilakukan
penelitian ini dengan tujuan adalah untuk
menghasilkan produk substitusi impor dari
bahan baku paduan tembaga yang berasal
dari dalam negeri. Produk ini juga
diharapkan akan mampu dibuat oleh IKM
penambangan di Indonesia.
Tabel 1. Sumber daya mineral logam Indonesia
tahun 2008
No Komoditi Sumber Daya awal Th 2008
(Ton)
Cadangan awal Th 2008
(Ton)
1 Nikel 1.650.418.000,00 585.209.103,00
2 Timah 622.626,93 406.103,50
3 Bauksit 648.879.260,00 83.952.415,00
4 Tembaga 68.960.881,20 33.257.388,43
5 Emas
Primer
4.162,55 3.393,59
6 Emas alluvial
123,00 2.866,60
7 Perak 505.151,07 23.026,84
8 Pasir
Besi
267.337.519,30 4.732.000,00
9 Mangan 10.583.756,98 32.703.889,00
LANDASAN TEORI
Unsur Tembaga (Cu) dari batuan
mineral
Sebaran deposit mineral tembaga
yang ditemukan didaerah Jawa Barat cukup
berpotensi, adapun mineral tembaga (Cu)
tersebut berada dalam bentuk :
a. Endapan Sulfida Primer, yaitu :
Kalkopirit [Cu Fe S2], kalkosit (Cu2S),
Bornit (Cu5 FeS4), Kovelit (CuS) dan
Energit (Cu3 AS S4).
b. Deposit oksida : Krisovola (Cu Si3.
H2O), Malasit [Cu2(OH)2CO3], dan
azumit [Cu3(OH)2(CO3)2].
Kedua jenis mineral tersebut
merupakan mineral dalam bentuk bijih
sulfida yang mendekati dalam permukaan
bumi. Didalam daerah oksida dengan
kandungan oksigen dalam bentuk cairan
oksida tembaga, pelepasan garam
(pelepasan carbonat dan sulfat), dan silikat.
Pada daerah lebih dalam lagi yaitu daerah
sementasi, larutan tembaga dari garam-
garam tersebut ditransformasi kedalam
sulfide tembaga dengan fasa kedua
(kalkosit dan kovelite) kejadian ini
termasuk tembaga dengan kemurnian yang
tinggi.
85 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Sistem penambangan batuan mineral
tembaga (Cu)
Pada sistem ini pertama-tama harus
diketahui defosit dari jumlah mineral
batuan Cu, apakah cukup efisien atau tidak
untuk dilakukan penambangan. Kadar Cu
yang produktif harus di atas 7%, sehingga
akan merupakan potensial untuk diolah.
Adapun metoda penambangan terdiri dari :
1. Penambangan pada permukaan (oven pit
surface)
2. Penambangan didalam permukaan tanah
(underground mining)
3. Penambangan dengan larutan ditempat
(in situ leaching mining)
Dari Keempat sistem penambangan tersebut
dari batuan Cu yang diperoleh adalah
menggunakan penambangan pada
permukaan tanah dengan kapasitas dan
perlatan yang sederhana dan dikerjakan
oleh masyarakat setempat. Untuk
meningkatkan kapasitas dan perlengkapan
yang modern diperlukan ada uluran tangan
dari pemerintah.
Sifat Fisik Mineral Tembaga (Cu)
Beberapa sifat dari logam tembaga
bergantung pada derajat kemurnian dan
sumber logam. Variasi sifat tersebut
disebabkan oleh antara lain :
a. Kelas pada tembaga ditentukan oleh
kandungan oksigen didalam tanah,
dioksidasi tembaga, oksigen bebas pada
tembaga.
b. Kandungan pada kemurnian yang
nativasi, seperti arsenic atau sebagai
penambahan seperti fosfor yang
berbentuk larutan padat atau fasa yang
terpisah pada batas butir.
c. Perlakuan thermal dan mekanik pada
logam, dimana logam timah hitam
berstatus sebagai tembaga Cor, tembaga
rol panas, tembaga pengerjaan dingin,
tembaga anil, dan tembaga sintering.
Sifat lain yang berbeda yaitu
disebabkan oleh deteksi dalam kisi-kisi
Kristal, sifat tersebut antara lain :
a. Bergantung sedikit pada deteksi kisi
Kristal, seperti sifat kalori dan
thermodinamik, dan karakteristik
magnetis dan haklirisme.
b. Bergantung banyak pada deteksi seperti
konduktivitas listrik dan thermal, sifat
plastik, phenomena kinetik dan tahan
terhadap korosi.
Sifat Kimiawi Mineral Tembaga (Cu)
Dalam tabel periodik tembaga
ditempatkan pada periodik keempat (4) dan
sebagai subgroup I B bersama-sama dengan
perak dan emas. Tembaga secara rutin
memiliki suhu rendah dan lebih stabil,
tetapi diatas suhu 800 oC tembaga akan
mencolok yang signifikan untuk proses
pyrometalurgi, kondisi oksidasi +3 dan +4
yang mana melengkapi dalam beberapa
kondisi senyawa.
Distribusi pada 29 elektron adalah
IS2,2S
2, 2P
C 3S
2 3P
6 3d 4S
2. Dari
konfigurasi electron ini (Ar) 3 d10
4S1
diperoleh tembaga dan ion (Cu+) dengan 18
elektron pada shel logam.
Karakteristik tembaga diudara
kering pada suhu kamar perlahan-lahan
membentuk lapisan protektif yaitu tembaga
oksida (CuO2) yang sifatnya melindungi
dari serangan korosi. Pada suhu peleburan
maka oksida-oksida tersebut akan
merupakan scale atau terak.
Logam Bukan Besi (Non Ferrous) Dalam keadaan murni, logam
bukan besi (timah putih, tembaga, nikel,
aluminium) memiliki sifat yang sangat
baik, seperti : daya tahan terhadap korosi
yang tinggi, daya hantar listrik yang baik
dan mudah untuk dibentuk. Logam
tembaga(4)
adalah termasuk logam non
ferrous yang dalam penggunaannya bisa
berupa logam tembaga murni atau
campuran/paduan dengan unsur logam lain.
Diperoleh dari tambang yang dimurnikan
dengan cara elektrolisa dan dilebur dalam
dapur untuk menjadi bahan atau produk
atau komponen tertentu.
Dalam penggunaannya sebagai bahan :
1. Tembaga murni (99,998%) :
Untuk peralatan listrik, elektronika,
komponen mesin, hiasan, alat rumah
tangga dll.
2. Tembaga paduan (Cu alloy) yang
dikelompokkan :
a. Kuningan
Adalah logam yang merupakan paduan
unsur Cu-Zn. Karakteristik logam
kuningan adalah :
Unsur paduan utamanya : Zn (seng)
dengan kadar sampai 40%
Sifat : kuat, keras, mudah dibentuk
Titik lebur : 905-1083 oC
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 86
Jenis kuningan ada 8 golongan
(gilding metal – muntz metal) 5-40%
Zn
Penggunaan : alat listrik, komponen
mesin, alat rumah tangga, hiasan, dll.
Kuningan merupakan paduan Cu-Zn.
b. Perunggu
Adalah logam yang unsur utamanya
adalah tembaga kemudian ditambah
unsur paduan yang biasanya lebih dari
jenis logam kemudian diproses didalam
dapur lebur sehingga menjadi jenis
perunggu dan didominasi dengan warna
kuning.
Karakteristik logam perunggu adalah :
Paduan Cu+Sn = perunggu timah
putih (Sn maks = 30%)
Paduan Cu+Al = perunggu
aluminium (Al maks = 14%)
Untuk menambah sifat fisis/mekanis
ditambahkan unsur : Zn, Pb.
Penggunaan : komponen mesin, alat
listrik, alat rumah tangga, hiasan,
medali, dll.
Pembuatan produk : dilakukan
dengan cara pengecoran dan atau
tempa panas.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada
tahun 2011 di Laboratorium Bahan Balai
Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T)
Kementerian Perindustrian Bandung.
Urutan prosedur kegiatan laboratorium
pembuatan konsentrat dan ingot tembaga
dari mineral tembaga ditunjukkan pada
Gambar 1.
Metode penelitian dilakukan melalui
pendekatan laboratorium untuk meneliti
ingot tembaga (Cu) yang disertai dengan
pengujian-pengujian sebagai berikut :
1. Komposisi kimia :
Untuk mengetahui unsur apa saja yang
terkandung pada batuan Cu maupun
pada ingot tembaga (Cu), yang nantinya
akan di konversi dengan standar.
Adapun cara uji komposisi kimia ada
dua cara yaitu : (a) cara basah (wet
analysis), (b) cara kering (spectro
meter).
2. Pengujian mekanik :
Didalam pengujian mekanik ada dua
cara yaitu uji tarik dan uji keras, ingot
tembaga ini perlu dilakukan pengujian
tersebut untuk mengetahui sejauh mana
kualitas ingot tersebut sesuai dengan
spesifikasi tembaga murni.
3. Pemeriksaan mikroskopis :
Tujuannya untuk mengetahui struktur
apa yang dimiliki oleh material tersebut,
sehingga dapat diidentifikasi butirannya
maupun fasa-fasa yang terjadi.
Selanjutnya data hasil pengujian
tersebut di atas dikumpulkan dan
dianalisis.
Gambar 1. Diagram alir pembuatan
konsentrat dan ingot tembaga
HASIL DAN PEMBAHASAN
Teknologi Proses
Material
Material yang digunakan sebagai
sampel adalah batuan yang diambil dari
daerah Tasikmalaya Jawa Barat. Sebaran
deposit mineral tembaga yang ditemukan di
sekitar Jawa Barat harus diketahui defosit
dari jumlah mineral batuan Cu apakah
Batuan Cu (malasit)
Komposisi kimia
bahan Cu
Penghalusan batu Cu
(Stone crusher bertahap)
Perendaman dengan H2SO4 dan polimer
Larutan CuSO4
Reaksi antara CuSO4 skrap baja
Konsentrat Cu
Peleburan konsentrat Cu
Ingot tembaga (Cu) murni
Pengujian
Mulai
Hasil dan pembahasan
Kesimpulan dan saran
Selesai
87 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
cukup potensial sehingga efisien untuk
dilakukan penambangan. Untuk layak
ditambang kadar Cu dari batuan minimal
harus di atas 7% sehingga mempunyai nilai
untuk diolah. Adapun mineral tembaga
(Cu) yang ada di daerah Tasikmalaya
tersebut berada dalam bentuk(2)
:
1. Endapan Sulfida Primer, yaitu :
Kalkopirit [Cu Fe S2], Kalkosit (Cu2S),
Bornit (Cu5 FeS4), Kovelit (CuS) dan
Energit (Cu3 AS S4).
2. Deposit oksida : Krisovola (Cu Si3.
H2O), Malasit [Cu2(OH)2CO3], dan
azumit [Cu3(OH)2(CO3)2].
Kedua jenis mineral tersebut
merupakan mineral dalam bentuk biji
sulfida yang mendekati permukaan bumi.
Didalam daerah oksida dengan kandungan
oksigen dalam bentuk cairan oksida
tembaga, pelepasan garam (pelepasan
carbonat dan sulfat), dan silikat. Pada
daerah lebih dalam lagi yaitu daerah
sementasi, larutan tembaga dari garam-
garam tersebut ditransformasi kedalam
sulfida tembaga dengan fasa kedua
(kalkosit dan kovelite) kejadian ini
termasuk tembaga dengan kemurnian yang
tinggi.
Material yang digunakan pada
penelitian ini adalah ingot tembaga murni
hasil proses hidro metalurgi yang melalui
proses perendaman larutan kimia HCl dan
proses Extrasi dengan menggunakan meja
getar (shaking table). Material ingot dipakai
untuk bahan penukar panas dalam
memanfaatkan hantaran listrik dan
panasnya yang baik. Tembaga murni
banyak dipengaruhi oleh :
1. Pengaruh oksigen
Diagram fasa untuk sistim Cu – O
jumlah larutan padat maksimum dari O
pada titik entektik 1065oC, adalah
1,008%. Sedangkan tembaga ulet
mengandung sampai 0,04% O terdiri
dari struktur berfasa ganda dengan Cu
dan Cu2O.
Cu2O merupakan fasa berbentuk
piringan diharapkan memberikan
pengaruh yang baik terhadap sifat-sifat
mekanik, tetapi kalau jumlah banyak
akan menyulitkan dalam pengerjaan
dingin, jadi lebih baik mengontrol kadar
oksigen agar rendah walaupun untuk
tembaga ulet
2. Pengaruh hidrogen
Tembaga cair mengabsorb hydrogen
bersama-sama oksigen. Banyak H2 yang
terkandung membentuk gas pada waktu
pendinginan. Kalau pencairan tembaga
dilakukan pada atmosfir yang lembab
terjadi desosiasi H2O pada permukaan
tembaga cair. Jumlah Hidrogen yang
larut didalam tembaga Cair sebanding
lurus dengan akar 2 dari konsentrasi
hydrogen, dan hydrogen masuk kedalam
tembaga dalam keadaan atom.
Dalam keadaan padat kelarutan
hydrogen menurun banyak, tetapi
hydrogen dengan banyak yang dapat
larut dalam keadaan padat terkandung H
sebanyak ½ - 1/3 O.
H dalam tembaga yang mengandung O
bereaksi dengan Cu2O membentuk H2O,
yang bias lagi tinggal didalam kisi atom
dan membentuk gelembung-gelembung
yang mengakibatkan berbagai cacat
dalam batas butir. Jadi tembaga liat
mengandung O yang cukup tinggi
menjadi getas, karena pemanasan dalam
atmosfir tereduksi, hal ini sering
dinamakan penyakit hydrogen. Untuk
keadaan tersebut dapat dipergunakan
tembaga ulet kecuali tembaga deoksidasi
tembaga bebas hydrogen atau tembaga
deoksidasi fosfor.
3. Pengaruh deoksidasi
Fosfor sering dipergunakan untuk
deoksidasi Cu, karena kegetasan yang
disebabkan hydrogen merupakan
kerugian, maka tembaga deoksidasi
fosfor dipergunakan untuk pengelasan
dan penyolderan. Jumlah fosfor tersisa
adalah 0,004-0,040 % yang mengurangi
konduktivitas listrik.
Sebagai tambahan Ca B6 dan Li
digunakan juga untuk deoksidasi.
Karena Li efektif untuk deoksidasi dan
untuk dihidrogenisasi tanpa
menyebabkan penurunan hantaran
listrik, maka dengan maksud yang sama
dapat digunakan juga bagi tembaga
bebas oksigen. Tembaga bebas oksigen
dan hydrogen digunakan untuk katoda
tabung Sinar X dan magnetron.
Penghalusan Batuan (Stone Crusher)
Bongkahan batuan Cu yang didapat
dari hasil tambang daerah Tasikmalaya
Jawa Barat adalah jenis malasite dan
calcofirite. Selanjutnya material tersebut
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 88
dipecah dan dikeringkan, digerus dan
diayak sampai lolos ukuran ayakan 100-200
mesh untuk kemudian dipakai sebagai
material uji. Penghalusan batuan dengan
menggunakan pemecah batu (Stone
Crusher) secara bertahap didapat ukuran
batu yang halus yaitu sekitar 100-200 mesh.
Dari ketiga item tersebut diaduk
sampai merata dalam sebuah bejana, supaya
larutan cepat mengendap diberi polimer
atau serbuk Zn, dengan menghasilkan
larutan tembaga sulfat (CuSO4) sebagai
awal proses.
Komposisi Bahan Cu
Dari serbuk mineral oksida dari batuan
malasite dengan kehalusan 200 mesh
ditemukan komposisi kimia bahan, seperti
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia bahan Cu
dari batuan malasit
No Oksida Jumlah
(%)
1 Silika (SiO2) 64,830
2 Titanium (TiO2) 0,255
3 Alumina (Al2O3) 10,720
4 Besi Oksida (Fe2O3) 5,960
5 Kalsium Oksida (CaO) 2,200
6 Magnesia (MgO) 0,347
7 Natrium Oksida (Na2O) 0,347
8 Sulfida (SO2) 0,486
9 Kupro Oksida (CuO) 6,690
10 Lithium Oksida (LiO) 5,260
11 Kalium Oksida (K2O) 1,490
Perendaman dengan Asam Sulfat
(H2SO4).
Sebagaiman kita butuhkan didalam
penelitian ini, yaitu unsur tembaga (Cu)
dari bahan batuan malasit ini relatif kecil
bila dibandingkan dengan unsur lainnya,
seperti : silica Titania dan besi oksida.
Dengan sedikitnya akan mempengaruhi
terhadap kapasitas produksi, khususnya
pada jumlah persentase efektifnya. Idealnya
adalah harus mencapai 15% keatas yang
nantinya akan mencapai persentase
produksi yang optimal.
Dari persentase tembaga yang
diteliti untuk mencapai produksi optimal,
maka larutan asam sulfat harus dilakukan
proses daur ulang supaya pengotor tidak
terbawa ke dalam larutan tembaga Sulfat
(CuSO4), dengan tujuan supaya lebih
ekonomis, dan selain itu dibantu dengan
pelarutan yang sangat cepat dengan
mencampurkan Polimer kedalam larutan
tersebut.
Dari proses daur ulang beberapa
kali, dimana larutan tembaga sulfat akan
terpisah dari lumpur sebagai pengotor, jadi
dengan persentase tembaga (CuO) yang
relatif kecil akan lebih ekonomis.
Dengan terbentuknya larutan
tembaga sulfat (CuSO4) dari lumpur hasil
pengendapan, maka larutan tembaga sulfat
(CuSO4) dipindahkan ke bejana lain yang
terpisah dari lumpurnya. Dengan
pengambilan larutan tembaga sulfat
(CuSO4) yang berwarna biru yang
merupakan cikal bakal tembaga serbuk.
Pelarutan dengan serbuk Zn atau Besi
Setelah didapat larutan tembaga
sulfat lalu diberi serbuk Zn atau besi,
dengan tujuan untuk mendapatkan tembaga
serbuk dan larutan bereaksi dengan Fe
membentuk besi sulfat (FeSO4) maka
serbuk tembaga (Cu) mengendap, maka
endapan tersebut yang diperlukan untuk
dijadikan bahan konsentrat tembaga.
Konsentrat Tembaga (Cu)
Konsentrat Tembaga (Cu)
merupakan hasil dari pengolahan batu Cu
yang akan kita perlukan untuk dilakukan
peleburan dengan tungku non ferro
(Gambar 2) yang menghasilkan ingot
tembaga (Cu).
Peleburan Konsentrat Tembaga (Cu)
Peleburan konsentrat tembaga (Cu)
yang dipadukan dengan Zn atau Sn
menggunakan tungku non ferro yang di
desain dengan kapasitas lebur sekitar 60 kg.
Dihasilkan ingot tembaga (Cu) dengan
kemurnian mencapai sekitar 94%. Bahan
bakar yang digunakan adalah solar dengan
penghembus udara yang digunakan oleh
motor listrik. Lebih jelasnya tungku non
ferro dapat dilihat pada Gambar 2, dengan
spesifikasi teknis sebagai berikut :
Tinggi : 1100 mm
Diameter : 772 mm
Berat : 100 kg
Kapasitas : 60-100 kg
Daya motor : 3 PK
Konsumsi bahan bakar : 15 liter/jam
89 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Gambar 2. Tungku non ferro.
Keterangan :
(1) crucible, (2) cover, (3) sprayer,
(4) body, (5) blower, (6) handle
Ingot Tembaga (Cu)
Ingot Tembaga (Cu) merupakan
hasil akhir didalam pengolahan batuan
tembaga (Cu) yang kita harapkan. Dari
hasil peleburan masih terbawa slag (terak)
yang berupa oksida besi dan sekaligus akan
menurunkan kualitas dari kemurnian ingot
Cu, maka diperlukan ketelitian dari
pembuatan konsentrat, dan peleburan
konsentrat, serta pembersihan slag (terak).
Komposisi Kimia Konsentrat Cu
Dari proses pelarutan tembaga
sulfat dan baja skrap akan menghasilkan
serbuk tembaga dengan komposisi, seperti
ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil komposisi kimia
konsentrat/Ingot Cu
No Unsur Hasil
konsentrat/Ingot Cu
1 Silika (SiO2) 0,0706
2 Mangan (Mn) < 0,00010
3 Phosfor ( P ) 0,00039
4 Sulfur (S ) 0,00040
5 Khrom (Cr) 0,00036
6 Nikel (Ni) < 0,00020
7 Tembaga (Cu) 98,7
8 Aluminium (Al) < 0,00050
9 Besi ( Fe) 0,0012
10 Timah (Sn) 0,0016
11 Timbal (Pb) 1,05
12 Seng (Zn) < 0,00010
13 Arsen (As) 0,0710
14 Bismut (Bi) 0,0378
15 Berilium (Be) 0,0252
Catatan : Metode uji :spectro emisi
Salah satu unsur yang diperlukan
dalam penelitian ini adalah tembaga (Cu),
dari hasil pengujian tembaga didapat 98,7%
(Tabel 3).
Dengan menghasilkan konsentrat
Cu atau ingot Cu dengan kadar 98% itu
menunjukkan proses hydrometalurgi ini
cukup baik, tetapi bila ingin lebih sempurna
menjadi lebih murni dengan kadar 99 -
99,9% maka pengotornya harus dihilangkan
dengan melalui proses peleburan yang
tertutup dari lingkungan atmosfir.
Tetapi dengan kadar tembaga
98,7% ini juga masih memenuhi kriteria
tembaga murni kelas III (harus melalui
proses pemurnian), sebagai produk tembaga
murni (ingot) dapat dilihat pada Gambar 3.
Hasil Pengujian
1. Hasil Foto Visual Produk Cu.
Pada pemeriksaan foto visual produk
ingot Cu, seperti ditunjukkan pada
Gambar 3 menunjukkan hasil yang
optimal walaupun hanya dikerjakan
dengan peralatan yang sederhana.
Secara visual produk ingot Cu ini cukup
mulus, tetapi kalau dilihat secara makro
maupun mikro masih banyak pori-pori
akibat dari pengotor yang terbawa, jadi
kemurniannya pun masih harus
dilakukan proses lanjut.
Dengan pengotor atau oksida lainnya
akan menurunkan sifat tembaga murni,
sehingga akan mengalami getas dan
materialnya tidak elastis sebagaimana
fungsinya tembaga murni. Hal demikian
perlu dilakukan peleburan yang lebih
sempurna guna menghilangkan pengotor
atau oksida berupa slag.
Gambar 3. Produk ingot tembaga
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 90
2. Hasil Uji Keras
Sebagaimana telah diungkapkan diatas
bahwa kekerasan suatu logam
ditentukan oleh komposisi dan
perlakuan panas (heat treatment). Pada
produk ingot Cu memiliki kekerasan
vickers sebagai berikut :
Tabel 4. Hasil uji Keras vickers ingot Cu
No/Uji KC Hasil uji keras Vickers
1/15 Kgm/mm2
1 66,5
2 68,1
3 58,5
4 58,5
5 54,8
Rata-rata 62,28
Berdasarkan standar kekerasan tembaga
murni masih jauh dengan tembaga hasil
penelitian karena masih dipengaruhi
oleh : (a) hydrogen, (b) oksigen, (c)
deoksidasi
Ketiga faktor yang mempengaruhi
tersebut berlangsung pada waktu
pelaburan, jadi diperlukan tungku yang
tidak langsung kontak dengan atmosfir
sesuai dengan desain pada Gambar 2.
Yaitu tungku non ferro.
Pada penelitian ini hasil kekerasan
memiliki rata-rata 62,28 HV, sedangkan
kekerasan standar tembaga murni
memiliki 20-40 HV. Dengan demikian
perlu diperhatikan beberapa faktor yang
mempengaruhi kekerasan tersebut,
khususnya oksida-oksida dan pengotor
yang terbawa bersama-sama dengan
konsentrat tembaga. Didalam proses
filtrasi diperlukan mesin filter press,
sehingga kemungkinan kemurnian dari
konsentrat Cu dan ingot Cu akan dicapai
dengan oftimal.
3. Hasil Pemeriksaan Metalografis
Pada pemeriksaan metalografis telah
menunjukkan Struktur mikro tembaga
dengan paduan yang cukup dominan
sebagai ilustrasi dapat dilihat pada
Gambar 4.
Potasium Dichromat 125 X
Gambar 4a. Struktur mikro ingot Cu
Potasium Dichromat 500 X
Gambar 4b. Struktur mikro ingot Cu
Dari kedua gambar Struktur mikro
ingot Cu dengan pembesaran masing-
masing adalah 125 x dan 500x, dengan
matrik tembaga menunjukan jaringan
timbal (Pb) yang merupakan batas butir, hal
ini timbal (Pb) tidak solid pada waktu
terjadi peleburan sedangkan titik cair Pb
lebih rendah dibanding tembaga (Cu), jadi
diperlukan waktu peleburan yang cukup
lama. Karena ada Pb akan menurunkan sifat
keuletan tembaga.
4. Hasil Pemeriksaan SEM & EDS
Pada pemeriksaan SEM terlihat adanya
matrik tembaga dengan unsur Pb yang
menggumpal, hal ini jelas kedua unsur
ini Cu + Pb merupakan unsur yang
paling dominan. Dengan demikian
batuan malasit mayoritas dihuni oleh
kedua unsur tersebut dan disertai dengan
silica. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Gambar 6. Scanning Electrons
Microscope (SEM).
Pada pemeriksaan Energy Dispersed
Spectrometry (EDS) dari enam spot
menunjukkan unsur yang dominan yaitu
tembaga dan Pb. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Kimia Secara EDS
Uji ke-
Hasil Uji EDS
Tembaga (Cu)
%
Timbal (Pb)
%
1 96,32 2,23
2 96,88 2,05
3 97,21 1,48
4 96,40 2,13
5 97,74 1,33
6 98,02 1,42
Unsur Cu dan Pb cukup punya andil
didalam batuan malasit, dan kedua unsur
Gumpalan Pb
Matrix Cu
Pb.yang menggumpal
pada batas butir
91 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
tersebut saling mengikat merupakan
kesatuan yang cukup rapat, tapi jeleknya Pb
bisa menjadi substitusi didalam cacat
dislokasi.
Gambar 5. Komposisi ingot tembaga secara
EDS
Analisis Aspek Ekonomi
Bahan baku dan SDM untuk
pembuatan konsentrat dan ingot tembaga
dari batuan mineral Cu tersedia di di daerah
Tasikmalaya Jawa Barat. Teknologi proses
yang digunakan adalah Teknologi Tepat
Guna (TTG) karena IKM penambangan
dengan bantuan bimbingan dan supervisi
peneliti akan mampu melaksanakan,
memelihara dan mengembangkannya
dengan tidak merusak lingkungan hidup.
TTG adalah jenis-jenis teknologi
yang dikembangkan dan diaplikasikan
untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang meliputi 3 (tiga) kriteria
persyaratan, yaitu :
1. Kriteria teknis, memperhatikan dan
menjaga tata kelestarian lingkungan
hidup, pemanfaatan secara maksimal
bahan baku lokal untuk kelancaran
produksi, ketersediaan sarana
transportasi yang secara teknis efektif
dan efisien, mudah dalam perawatan
dan operasi serta relatif aman dan
fleksibel terhadap perubahan kondisi.
2. Kriteria ekonomis, adanya kebutuhan
akan modal dan devisa minimum,
efektivitas penggunaan modal,
keuntungan yang dapat kembali ke
produsen, dan jenis usaha kooperatif
yang kesemuanya mendorong
tumbuhnya industri lokal.
3. Kriteria sosial budaya, memanfaatkan
keterampilan yang sudah ada,
menjamin perluasan lapangan kerja,
menekan pergeseran tenaga kerja,
menghindari konflik sosial dan budaya,
serta meningkatkan pendapatan yang
merata.
Pemasaran produk relatif mudah
karena sangat dibutuhkan yang selama ini
masih di impor. Untuk membuat suatu unit
usaha dibutuhkan modal/investasi yang
besarnya tergantung dari kapasitas produksi
yang diinginkan. Besarnya modal/investasi
yang diperlukan adalah sebagai berikut :
1. Permodalan :
a. Modal tetap :
- Mesin dan peralatan (mesin
crusher, genset/dompeng,
timbangan, drum fiber, mixer,
mesin filter press, bak plastik,
tungku non ferro, mesin putar
centrifugal, masker gas, helm
keselamatan, sepatu keselamatan) =
Rp 250.250.000
- Tanah (200 tumbak @ 14 m2) 2.800
m2 = Rp 200.000.000
- Bangunan (50 tumbak@ 14 m2) 700
m2 = Rp 100.000.000
Jumlah modal tetap = Rp
550.250.000
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 92
b. Modal kerja/tahun :
- Batuan Cu (untuk menghasilkan
tembaga/ingot) = Rp 23.040.000
- Tenaga kerja = Rp 660.000.000
- Ongkos over head (Pemeliharaan,
penyusutan, listrik, bunga pinjaman,
administrasi dan umum) = Rp
25.000.000
Jumlah modal kerja = Rp
708.040.000
Jadi jumlah modal investasi yang
diperlukan (modal tetap + modal
kerja) = Rp 1.258.290.000
2. Harga pokok produksi (HPP) :
= Total biaya modal kerja : volume
produksi
= Rp 708.040.000 : 100.800 kg/tahun
= Rp 7.100/kg
3. Perhitungan keuntungan
a. Total pendapatan usaha : hasil
penjualan
= 100.800 kg x Rp 80.000
= Rp 8.064.000.000/tahun
b. Total biaya pengeluaran =
Rp 708.040.000
c. Keuntungan kotor :
Total pendapatan usaha – total biaya
(a-b) = Rp 7.355.960.000
4. Pajak :
35% x keuntungan kotor
= Rp 2.574.586.000
5. Keuntungan bersih :
Keuntungan kotor – pajak
= Rp 4.781.374.000
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa keuntungan bersih dalam periode
1 (satu) tahun adalah sebesar Rp
4.781.374.000.
6. Perhitungan Batas Rugi Laba
Prosentase pada
batas rugi laba : Biaya tetap
= x 100 %
Hasil penjualan - biaya variabel
25.000.000
= x 100%
8.064.000.000 – 683.040.000
= 0,34%
Nilai pada batas rugi laba :
= 0,34% x Rp. 8.064.000.000
= Rp 27.417.600
Kapasitas pada batas rugi laba :
Produk dari paduan tembaga :
= 0,34% x 100.800 kg/tahun
= 343 kg
7. Perhitungan Benefit Cost Ratio (BCR)
8.064.000.000 (benefit)
= x 100 %
708.040.000 (cost)
= 1.138,92%
(BCR > 1) (baik)
Berdasarkan besarnya nilai proyek BCR
lebih dari 1 (satu), maka pendirian pabrik
sangat layak untuk didirikan karena secara
ekonomis menguntungkan.
93 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, maka di dapat beberapa
kesimpulan dan saran sebagai berikut :
Kesimpulan
1. Komposisi bahan batuan malasit
mengandung unsur/senyawa tembaga
(CuO) adalah 6,69%, jadi harus
dilakukan proses filtrasi yang berulang-
ulang supaya menunjukkan proses
produksi yang efisien.
2. Komposisi konsentrat maupun ingot Cu
di dominisasi oleh Cu – Pb (98,7% -
1,05%).
3. Visualisasi produk ingot cukup
sempurna, tetapi kekakuan cukup tinggi
dan disertai adanya lubang pori-pori
(porositas) bila dilihat secara makro dan
mikro photo.
4. Kekerasan yang dimiliki pada ingot
tembaga adalah 62,28 Hv, melebihi
kekerasan pada standar tembaga murni
(20-40 Hv).
5. Pemeriksaan secara mikroskofis adalah
memiliki matrix tembaga (Cu), dengan
batas butir timbale (Pb) yang disertai
adanya Pb terdisosiasi.
6. Pemeriksaan SEM & EDS
menunjukkan adanya lapisan matrix
tembaga yang cukup rapat dan menyatu.
Dimana unsur Pb terlihat sebagai
intertisi atau menyelip pada matrik Cu.
7. Dari segi ekonomis, pembuatan
konsentrat dan ingot tembaga dari
batuan mineral Cu menguntungkan
karena dengan harga jual Rp. 80.000/kg
dan kapasitas produksi 100.800
kg/tahun diperoleh keuntungan bersih
sebesar Rp 4.781.374.00.
Saran
1. Untuk menanggulangi agar tidak terjadi
pada proses pencampuran antara
H2SO4+ air + serbuk malasit, kurang
efisien dalam memproduksi larutan
tembaga sulfat maka dibutuhkan alat
filtrasi yang memadai seperti filter
press.
2. Untuk menghasilkan ingot tembaga
murni yang sempurna dibutuhkan
tungku non ferro yang dikondisikan
supaya tidak terjadi absorpsi lingkungan
atmosfir.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hafid, Tatang, A.Wahid, 2009, Penelitian
pembuatan produk impeler pompa dari Cu
Based dengan teknologi investment casting,
Jurnal Metal Indonesia Vol.31 No.2
Desember 2009, ISSN 0126-3463,
Akreditasi No:226/AU1/P2MBI/08/2009,
BBLM/MIDC, Kementerian Perindustrian,
hal.79.
2. Anonim, 2008, Neraca Sumber Daya
Mineral Tahun 2008, Pusat Sumber Daya
Geologi, Bandung.
3. Darmono Hariadi, 2007, Peningkatan Mutu
Produk Industri Kecil Pengecoran Logam
Sebagai Persyaratan SNI, Baristand Industri
Surabaya Departemen Perindustrian,
Surabaya.
4. Lili Satari, 2007, Manajemen Teknologi,
Diktat Pasca Sarjana Teknik dan
Manajemen Industri, UNPAS, Bandung.
5. A. Butts, COPPER, 2004, The science and
Technology of the metal, its alloys and
compounds, reinhold Publ. Co. New York.
6. R.P. Ehrlich, 2000, Copper ini Metallurgy,
Symposium of the metallurgical society,
Denver, Co.
7. M.J. Jones (ED), 2005, Copper Metallurgy
– Practice and theory, Symposium of the
institution of Mining and Metallurgy,
Brussels.
8. M.J. Jones (ED), 2001, Advances in
Extractive Metallurgy and Refining,
Symposium of the institution of mining and
Mettallurgy, London.
9. J.C. Yannopoulos, J.C. Agarwal (Eds),
2006, : Extractive Mettallurgy of Copper,
Vol I Pyrometallurgy and electrolytic
refining, The Metallurgy Society of AIME,
New York, Ny, AIME Annual Meeting Las
Vegas.
10. ASM Metal Hand book , 2005, Metal of
Microstructure Vol 7,8 th Edition American
Society For Metal
ISSN 0126 - 3463
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 94
PENGENDALIAN MATRIKS AUSTENIT - MARTENSIT MELALUI
PROSES PERLAKUAN PANAS PADA BESI COR PUTIH CHROMIUM
TINGGI UNTUK MATERIAL BOLA PELUMAT
Mochamad Furqon
1 dan Doni Sugiyana
1
1Perekayasa bidang Metalugi, Kementerian Perindustrian, Jakarta
E-mail : [email protected]
Abstrak
Besi cor putih chromium tinggi merupakan bahan yang memiliki sifat ketahanan
keausan tinggi dan pembuatannya relatif murah. Pemakaiannya terutama untuk komponen
mesin/alat yang bergesekan misalnya bola pelumat untuk industri semen, industri
pertambangan, industri logam dan pembangkit listrik tenaga uap. Pada penelitian ini telah
dilakukan pengembangan proses perlakuan panas besi cor putih chromium tinggi, dengan
komposisi utama C: 3,12% dan Cr : 23,84%. Proses perlakuan panas mampu mengendalikan
struktur mikro matrik austenit dan martensit sehingga mendapatkan sifat-sifat kekerasan,
ketahanan keausan dan kekuatan impact optimum. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa
kekerasan dan kekuatan keausan pada matriks struktur mikro campuran austenit dan martensit
lebih tinggi dibandingkan pada struktur mikro matriks martensit penuh.
Kata kunci : besi cor putih chrom tinggi, bola pelumat, austenit, martensit, ketahanan keausan.
Abstract
High chromium white cast iron is material with superior wear resistance and relatively
low production cost. Its application particularly for wearing machine component, for instance:
grinding ball cement industry, mining industry, metallurgy and steam electric power
generation. In this study, development heat treatment process for high chromium white cast iron
has been carried out, with main chemical composition C : 3,12% and Cr : 23,84%.
Development heat treatment process was able to control microstructure of austenit and
martensit matrix to get optimum hardness, wear resistance and impact strength properties. The
results indicate that hardness and wear resistance obtained from the microstructure matrix
contain combination of austenit and martensit were higher than that of fully martensit.
Key words : high chrom white cast iron, grinding ball, austenite, martensit, wear resistance.
95 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
PENDAHULUAN
Bola pelumat merupakan salah
satu komponen utama pada mesin
penghancur pada industri semen,
pertambangan dan mineral, industri logam
dan pembangkit tenaga listrik uap.
Kebutuhan bola pelumat di dalam negeri
dewasa ini lebih dari 95% masih harus di
impor dari luar negeri. Kebutuhannya
cenderung semakin meningkat seiring
dengan pertumbuhan industri
pertambangan, industri semen dan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)(1).
Beberapa industri pengecoran
sudah mencoba memproduksi bola pelumat
untuk industri semen dan tambang emas
dari bahan besi cor putih chromium tinggi.
Sampai saat ini belum terdapat industri
yang dapat memenuhi persyaratan yang
ditentukan industri pemakai, terutama
persyaratan kekuatan keausan dan kekuatan
impact. Sebenarnya proses pengerjaan
pengecoran dan perlakuan panas telah
dilakukan mengikuti persyaratan standar,
serta telah memenuhi persyaratan
komposisi kimia dan kekerasan.
Berdasarkan kenyataan di lapangan,
penelitian ini dilakukan dengan tujuan
dapat memperoleh material dengan
memenuhi standar persyaratan yang selama
ini belum dapat dipenuhi. Diharapkan
masalah tersebut diatas dapat diatasi,
sehingga kebutuhan bola pelumat bisa
dipenuhi oleh industri dalam negeri.
TINJAUAN PUSTAKA
Besi Cor Putih Chromium Tinggi
Besi cor putih chromium tinggi
merupakan material yang cocok digunakan
pada lingkungan operasi gesekan, seperti :
bola pelumat, roll, crusher, pompa lumpur
mineral dan lai-lain. Hal ini disebabkan
karena sifat keras dan ketahanan keausan
tinggi dan biaya pembuatannya relatif
murah dibandingkan dengan jenis material
lain. Bergantung dari komposisi kimia
peleburan, mekanisme pembekuan besi cor
putih chrom tinggi, akan dimulai dengan
pembentukan fasa primer. Untuk besi cor
hypoeutektik akan terbentuk fasa austenit,
sedangkan pada besi cor hypereutektik akan
terbentuk karbida M7C3. Kemudian
pembekuan diakhiri dengan pembentuk fasa
eutektik. Besi cor putih chromium tinggi
karbida (Cr,Fe)7C3 dengan kristal
heksagonal akan tumbuh menjadi bentuk
batang dan tajam, oleh karena itu karbida
terbentuk secara kontinu didalam jaringan
sel eutektik(2,3,4)
.
Saat pembekuan, sel eutektik
berorientasi tegak lurus terhadap
permukaan cetakan pada daerah kolumnar,
tetapi berorientasi acak pada daerah yang
tidak beraturan. Matriks hasil cor (as cast)
tempat karbida berada adalah austenit
metastabil karena posisi Martensit Start
(MS) berada pada suhu di bawah suhu
kamar. Berdasarkan kondisi tersebut matrik
austenit dapat ditingkatkan kekerasannya
dan ketahanan keausannya melalui
pemanasan austenisasi (sekitar 1.000-1.020 oC). Proses pemanasan tersebut dapat
menurunkan kandungan Cr dan C pada
austenit melalui presipitasi carbida
sekunder. Akibat penurunan Cr dan C
tersebut akan diperoleh peningkatan suhu
Martensit Start (MS). Oleh karena itu
selama pendinginan sebagian matrik
austenit bertransformasi menjadi martensit,
sedangkan sisa austenit dapat diturunkan
melalui pemanasan pada suhu subkritis
sekitar 500oC.(4,5)
Morphologi dan volume fraksi karbida
Morfologi karbida dan volume
fraksi karbida sangat menentukan sifat-sifat
material terutama kekerasan daan
ketahanan keausan. Peningkatan volume
karbida 30-40% sangat meningkatkan
ketahanan ausnya. Batas tertinggi fraksi
volume karbida untuk meningkatkan
ketahanan keausan tergantung dari kondisi
operasi dilapangan. Pengendalian
morphologi anisotropy eutektik karbida
pada daerah kolumnar juga menentukan
ketahanan keausan material. Orientasi
pembekuan memanjang atau melintang dari
pembekuan tidak banyak memberikan
penaruh ketahanan keausan pada besi cor
putih. Namun pada orientasi dan ketebalan
karbida sangat penting pada gesekan yang
berbagai arah dan kondisi tegangan rendah
atau tegangan gesek tinggi. Demikian juga
jika orientasi karbida acak pada daerah
coran tidak beraturan, ketahanan ausnya
setara dengan karbida bentuk batang sejajar
dengan permukaan gesek(6)
.
Berdasarkan uraian diatas, fasa
matrik pada ketahanan keausan, sangat
tergantung dari penghancurnya, maka fasa
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 96
matrik yang baik dipergunakan adalah
austenit. Sebaliknya untuk material yang
dihaluskan lebih rendah kekerasannya,
maka material yang digunakan adalah
matrik fasa martensit. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut, pada matriks
austenit ketika terjadi gesekan terjadi proses
regangan pada permukaan yang dapat
mendorong terjadinya transformasi austenit
menjadi martensit. Oleh karena itu untuk
bola pelumat industri semen, penghalusan
batu bara di PLTU sebaiknya dipilih
material dengan fasa matrik austenit.
Sebagaimana telah diketahui bahwa matrik
austenit memiliki kekuatan impact yang
tinggi dibandingkan fasa martensit,
sehingga apabila ingin diperoleh kekuatan
impact yang optimum, maka perlu
direncanakan rasio fraksi austenit dan
martensit. Berdasarkan hal tersebut, industri
yang mencoba membuat bola pelumat
dengan sasaran matriks martensit pada
umumnya tidak dapat memenuhi
persyaratan kekuatan impact yang
ditetapkan(4,7,8)
.
METODE PENELITIAN
Material
Besi cor putih chromium tinggi
yang digunakan pada penelitian ini,
memiliki komposisi kimia seperti pada
Tabel 1. Bentuk dan ukuran sampel coran
dan sampel uji dapat dilihat pada Gambar
1-2. Tabel 1. Komposisi kimia besi
cor putih chrom tinggi
No Unsur Komposisi (%)
1 C 3,12
2 Cr 23,8
3 Ni 0,26
4 Mn 0,92
5 Si 0,48
6 S 0,03
7 P 0,04
Gambar 1. Bentuk dan ukuran sampel coran
Gambar 2. Bentuk dan ukuran sampel uji
Peralatan
Peralatan perlakuan panas yang
digunakan adalah tungku perlakuan panas
listrik tipe kamar dengan lingkungan
atmosfir tungku gas nitrogen dengan suhu
maksimum 1.200 oC. Proses perlakuan
panas yang dilakukan pada penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Proses perlakuan panas
No
Sampel
As Cast dan Proses Perlakuan
Panas
1 Tanpa proses perlakuan panas (as
cast)
2
Austenisasi 1.020 oC, holding time 2
jam, pendinginan cepat (quenching)
media oli. Tempering 450 oC
holding time 2 jam.
3 Pemanasan suhu kritis 550 oC
4 Austenisasi 1.020
oC, holding time 2
jam, pendinginan udara
5
Austenisasi 1.020 oC, holding time 2
jam, pendinginan cepat udara
hembus. Tempering 450 oC holding
time 2 jam.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji
1. Hasil Uji Kekerasan, Laju Keausan dan
Kekuatan Impact
Hasil uji kekerasan, laju keausan dan
kekuatan impact ditunjukkan pada Tabel
3, 4 dan 5. Dari hasil uji tersebut ,
sebagai bahan perbandingan data hasil
uji dibuat dalam bentuk grafik pada
Gambar 3. Berdasarkan Tabel 3, 4 dan 5
serta Gambar 3, kekerasan sampel
paling tinggi (780 Hv) diperoleh pada
sampel no.4, yang merupakan sampel
97 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
yang mengalami proses austenisasi dan
pendinginan udara. Hasil uji laju
keausan paling tinggi (23,52 gram/20
menit) diperoleh pada sampel no.2, yang
merupakan sampel yang mengalami
austenisasi dan pendinginan cepat
(quenching) pada media oli. Laju
keausan paling rendah diperoleh pada
sampel no.4 dengan laju sebesar 10,71
gram/20 menit. Hasil uji kekuatan
impact menunjukkan hasil tertinggi pada
sampel no.2, sedangkan nilai terendah
ada pada sampel uji no. 3 dan hampir
sama dengan sampel no. 1.
Tabel 3. Hasil uji kekerasan
No
Sam
pel
Hasil Uji Kekerasan
1 2 3 Rata-
rata
1 596 584 596 592
2 662 668 654 662
3 582 586 582 583
4 782 768 764 771
5 706 712 708 707
Tabel 4. Hasil uji laju keausan
No
Sampel
Hasil uji laju keausan
Laju keausan
(gr/20min)
Laju keausan
standar
1 18,34 0,124
2 23,52 0,159
3 20,30 0,137
4 10,71 0,072
5 19,88 0,134 Keterangan :
Pengujian sesuai ASTM A514, laju keausan standar
adalah kehilangan berat sampel uji dibagi berat kehilangan berat standar.
Tabel 5. Hasil uji kekuatan impact
No Sampel Hasil uji kekuatan impact
(Joule)
1 226
2 104
3 234
4 162
5 144
Gambar 3. Perbandingan hasil uji kekerasan,
laju keausan dan kekuatan impact
2. Hasil uji struktur mikro
Hasil uji struktur mikro sampel uji dapat
dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 4. Pada
Gambar 4 diperlihatkan gambar struktur
mikro sampel as cast dan hasil
perlakuan panas. Struktur mikro sampel
as cast pada Gambar 4a. Struktur mikro
terdiri dari karbida eutektik M7C3,
kelihatan berwarna putih terang dan
matriks austenit primer dengan volume
fraksi austenit sekitar 72%. Struktur
martensit berada pada sekeliling
karbida.
Pada sampel no. 2 (Gambar 4c) yaitu
sampel yang mengalami austenisasi
pada suhu 1.02 oC dan penahanan waktu
2 jam kemudian di quenching pada
media oli, struktur mikro terdiri dari
matriks martensit sekitar 98%, austenit
sisa 2%. Karbida eutektik dan karbida
sekunder pada matriks martensit.
Sampel uji no. 3 (Gambar 4c)
merupakan sampel as cast yang
dipanaskan pada suhu sub kritis 550 oC.
Struktur mikro relatif sama dengan
sampel as cast dan tidak mengalami
perubahan berarti. Sampel uji no. 4,
sampel yang sudah mengalami proses
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 98
austenisasi pada suhu 1.020 oC,
memiliki struktur mikro martensit
primer, yang terbentuk selama
pendinginan di udara. Jumlah sisa
austenit pada matriks sekitar 34%.
Sampel uji no.5 adalah sampel yang
mengalami proses kering pada suhu 550 oC. Memiliki matriks martensit sekitar
94% dan sisa austenit 6%. Karbida
terdiri dari eutektik dan karbida
sekunder.
Tabel 6. Hasil uji struktur mikro
No
Sampel Matriks Karbida
1 Austenit : 72%
Martensit : 28%
Karbida eutektik
M7C3
2 Austenit : 2%
Martensit : 98%
Karbida eutektik
M7C3
Karbida sekunder
3 Austenit : 74%
Martensit : 26%
Karbida eutektik
M7C3
4 Austenit : 34%
Martensit : 66%
Karbida eutektik
M7C3
Karbida sekunder
5 Austenit : 6%
Martensit : 94%
Karbida eutektik
M7C3
Karbida sekunder
Gambar 4. Hasil uji struktur mikro sampel uji
(pembesaran 500 X)
Pembahasan
Berdasarkan hasil uji kekerasan,
laju keausan dan kekuatan impact pada
Tabel 3, 4, dan 5, nampak jelas bahwa
matriks struktur mikro material sangat
menentukan pada kekerasan, laju keausan
dan kekuatan impact. Secara umum sampel
1, 3 dan 4 yang memiliki jumlah matriks
austenit tinggi menunjukkan laju keausan
lebih rendah atau ketahanan aus lebih tinggi
dibandingkan sampel dengan matriks
martensit lebih besar (sampel 2 dan 5).
Namun demikian, dari ketiga sampel
dengan austenit tinggi, kekerasan dan
ketahanan aus paling tinggi diperoleh pada
sampel no. 4 karena sisa austenit dari
proses perlakuan panas yang metastabil
dapat bertransformasi menjadi keras. Pada
saat terjadi deformasi plastis dan gesekan,
maka selain sifat tahan aus tinggi, salah
satu sifat lain dari matriks austenit adalah
sifat ketangguhan lebih baik dibandingkan
martensit(4,7,8)
.
Deformasi plastis tanpa patah pada
austenit lebih tinggi untuk gaya normal dan
tangensial, yang ditimbulkan oleh partikel
gesek. Seperti dapat dilihat pada goresan
struktur mikro contoh uji, matriks austenit
membentuk daerah tumbukan tanpa patah
sepanjang sudut celah gesekan. Garis slip
yang semakin panjang dari goresan
menggambarkan deformasi semakin besar.
Proses deformasi plastis yang disertai
gesekan memberikan matriks untuk
menerima energi mekanik oleh volume
besar sehingga kerusakan per unit volume
lebih kecil. Di lain pihak, energi mekanik
selama proses gesekan pada matriks
martensit diterima oleh volume lebih kecil,
oleh karena itu matriks martensit memilki
ketangguhan lebih kecil dibandingkan
austenit. Kondisi ini mengakibatkan
kerusakan pada daerah yang berbatasan
dengan sudut gesekan, lebih tinggi pada
sampel dengan matriks martensit(2,5)
.
Sifat lain yang melekat pada fasa
austenit besi cor chromium tinggi pada
suhu kamar adalah metastabil. Deformasi
plastis dari permukaan gesekan oleh
partikel gesek mengakibatkan terjadinya
transformasi fasa matriks dari austenit
menjadi martensit. Transformasi fasa
tersebut dapat memberikan pengaruh pada
peningkatan kekuatan gesekan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
reaksi pada matriks austenit besi cor
chromium tinggi ditimbulkan oleh gaya
99 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
yang timbul selama proses gesekan yang
meliputi tahapan sebagai berikut (2,5)
:
a. Deformasi plastis matriks yang
membentuk celah gesekan oleh geseran
mikro dan garis slip yang semakin
panjang.
b. Pengerasan regangan dari austenit
karena deformasi plastis.
c. Transformasi fasa austenit menjadi
martensi dari deformasi plastis yang
berkelanjutan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Besi cor chromium tinggi merupakan
bahan untuk bola pelumat yang
memiliki struktur mikro campuran
matriks austenit dan martensit lebih baik
dibandingkan dengan matriks martensit
penuh.
2. Kondisi tersebut diperoleh melalui
fenomena pengerasan regangan karena
deformasi plastis yang berkelanjutan
dari gesekan selama operasi.
3. Orientasi karbida eutektik sangat
menentukan ketahanan keausan besi cor
putih chromium tinggi. Sumbu panjang
karbida sejajar permukaan gesek atau
orientasi acak pada daerah tidak
beraturan dapat meningkatkan
ketahanan keausan.
Saran
Berdasarkan hasil pengujian kekerasan
yang paling tinggi, laju keausan yang paling
kecil dan kekuatan impact yang cukup baik,
maka proses perlakuan panas yang
disarankan untuk diaplikasikan pada bola
pelumat dari bahan besi cor putih
chromium tinggi adalah berdasarkan hasil
pada sampel no. 4 yaitu melalui proses
austenisasi pada suhu 1.020 oC dan
pendinginan di udara. Keuntungan lain dari
proses ini adalah biaya pengoperasiannya
lebih rendah dan tahapan proses yang lebih
mudah.
DAFTAR PUSTAKA
1. ASM, 2001, Metals Handbook:
Casting, ASM International
Committee.
2. Durman, R.W., 2009, The application
of alloyed white iron in crushing,
grinding process, British Foundryment
Vol. 69 No. 6 pp.141 – 169.
3. Horpe, W.R. & Chicco, B., 2005, The
Fe rich corner of metastable C – Cr –
Fe liquids surface, Metal Transaction
Vol. 16A, pp. 1541 – 1549.
4. ASM, 2004, Metals Handbook: Heat
Treatment, ASM International
Committee.
5. Doganing, O.N. & Hawk, J.A., 2007,
Effect of retained austenite on white
cast iron, Transaction of the American
Foundryment Society, AFS, Illinnois.
6. Matsubasa, K. & Matsuda, O.,2005,
Eutectic solidification of high Cr cast
iron, mechanisme growth, ATS
Transaction Vol. 89, pp. 175 – 194.
7. Turenne, S. & Lavallee, F., 2009,
Matrix microstructure on the abrassion
wear resistance of high chromium
white cast iron, J. Matrix Sci., Vol. 24,
pp. 205 – 211.
8. Zumgahv, K.H. & Eldis, G.T., 2009,
Abrasive wear of white cast iron, Wear
Material Vol. 64 pp. 175 – 194.
9. Powell, G.L.F., 2009, Morphology of
eutectic M3C and M7C3 in white iron
casting, Metal Forum, Vol. 3 pp. 37 –
46.
10. Bereza, J.M., 2004, Wear and impact
resistance white cast iron, British
Foundryments, pp. 205 – 211.
11. Lin, H. & Qingde, Z., 2007, Behavior
of 28% chromium white cast iron in
abrassion and corrossion abrassion
wear, Wear Materials ASME.
12. Gunlach, R.B., 2002, Metals
Handbook: Heat treating of high alloy
iron, ASM (2002).
ISSN 0126 - 3463
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 100
PENGARUH VARIASI RAPAT ARUS DAN WAKTU PENCELUPAN
PADA PELAPISAN SENG YANG DIKONVERSIKAN DENGAN
KHROMAT HIJAU PADA AISI 1005
Eva Afrilinda
2
1Balai Besar Logam dan Mesin (BBLM/MIDC), Kementrian Perindustrian
Jl. Sangkuriang No. 12 Bandung 40135
Email : [email protected]
Abstrak
Pelapisan seng yang dikonversikan khromat hijau dengan material dasar baja AISI 1005
memiliki tujuan untuk memisahkan kontak langsung antara logam dasar dengan lingkungannya
agar tidak terjadi korosi, memiliki daya lekat yang baik dan hasil lapisan (warna/tampak rupa
dan ketebalannya) yang baik. Pada proses lapis listrik seng yang dikonversikan dengan khromat
hijau ini, penyusun memvariasikan rapat arus dan waktu pencelupan. Rapat arus yang
divariasikan yaitu : 1 A/dm2, 2 A/dm
2 dan 3 A/dm
2 sedangkan waktu pencelupan yang
divariasikan yaitu : 5 menit, 10 menit dan 15 menit dengan temperatur konstan yaitu antara 25
ºC -35 ºC dan pH larutan seng 9,9. Tahap lapisan seng yang dikonversikan dengan khromat
hijau pada material dasar baja AISI 1005 secara garis besar sebagai berikut : (1) proses
pengerjaan pendahuluan yaitu, cuci lemak dan cuci asam, (2) proses pelapisan seng, (3) proses
pengerjaan akhir yaitu, celup activating, celup khromat hijau dan pengeringan. Dari hasil
pengujian didapatkan ketebalan maksimum sebesar 10,8 μm dan ketebalan minimum sebesar 2
μm, sehingga kondisi operasi optimum pelapisan seng yang dikonversikan dengan khromat
hijau yaitu pada kondisi rapat arus 2 A/dm2 dengan waktu pencelupan 15 menit.
Kata kunci : pelapisan seng, khromat hijau, rapat arus, waktu pencelupan dan baja AISI 1005
Abstrak
Zinc Electroplating converted with green chromate on steel base material AISI 1005 is
purposed to separate direct contact between base material and the environtment to prevent
corrosion, good adhesion and have a good visual coating (colours and thickness). This research
used variation of current density and dip time. The Variety of current density are : 1 A/dm2, 2
A/dm2 dan 3 A/dm
2 and variety of dip time are : 5 minutes, 10 minutes and 15 minutes with
constan temprature between 25º C -35 º C and pH of zinc solution 9,9. Zinc Elektroplating
conversion with green chromate on steel base material AISI 1005, generaly has methods as
following below : (1) preparation process, as : fat rinse and acid rinse, (2) electoplating
process, (3) finishing process, as: dip in activating, dip in green chromate and drying. Based on
research, the maximum thickness result obtained in 10,8μm and minimum in 2 μm, so the
optimum condition of zinc electroplating conversion with green chromate on steel base material
AISI 1005 achieved in condition current density 2 A/dm2 with dip time 15 minutes.
Key words : zinc electroplating, green chromate, current density, dip time and steel base
material AISI 1005
101 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
PENDAHULUAN
Pelapisan seng merupakan suatu
proses pelapisan dengan menggunakan arus
listrik searah yang didasari prinsip kerja
elektrolisa dan dilengkapi katoda dan anoda.
Pelapisan seng yang dikonversikan dengan
khromat hijau ini diharapkan menghasilkan
daya tahan korosi yang lebih tinggi dan
menghasilkan tampak rupa yang lebih indah
dan biasanya produk yang dihasilkan salah
satunya dapat digunakan sebagai dekoratif.
Logam seng sangat efektif apabila digunakan
sebagai bahan pelapis sesuai dengan
karakteristiknya, yaitu : (1) bersifat anodis
yang baik, (2) biaya operasinya rendah, (3) bila
dikonversikan dengan khromat, tampak rupa
akan lebih indah, (4) kekerasannya cukup baik.
Parameter yang digunakan pada penelitian ini
yaitu rapat arus dan waktu pencelupan.
Tujuan dari penelitian ini untuk
mendapatkan kondisi optimum dari proses
pelapisan seng yang dikonversikan dengan
khromat hijau pada material dasar AISI 1005,
dengan cara memvariasikan rapat arus dan
waktu pencelupannya. Peneliti hanya
membatasi penelitian menggunakan material
AISI 1005 ukuran : (50 x 40 x 1) mm dan
besaran yang divariasikan yaitu rapat arus : 1
A/dm2, 2 A/dm
2 dan 3 A/dm
2 dan waktu
pencelupan : 5 menit, 10 menit dan 15 menit.
Metoda penelitian yang dilakukan
penyusun dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Mempelajari teori dasar tentang pelapisan
dan faktor-faktor yang berpengaruh dimana
merupakan dasar dari penelitian yang
dilakukan.
2. Menentukan material dasar, larutan dan
proses pelapisan yang digunakan beserta
pengujiannya.
3. Melakukan proses pelapisan sesuai dengan
prosedur yang telah ditentukan beserta
pengujiannya.
4. Melakukan pengamatan, pembahasan data
yang dihasilkan dan menyimpulkan hasil
yang didapatkan serta memberi saran jika
diperlukan.
TINJAUAN PUSTAKA
Material dasar
Baja karbon memilki bermacam unsur
paduan, dimana unsur paduan yang paling
penting adalah Besi (Fe) dan Karbon (C).
Disamping itu juga ada unsur paduan lain
seperti : Silikon (Si), Mangan (Mn), Sulfur (S),
Phospor (P), dalam jumlah yang lebih kecil.
Sifat-sifat baja karbon sangat dipengaruhi oleh
kadar karbon yang dikandungnya. Oleh karena
itu baja karbon dapat diklasifikasikan
berdasarkan kadar karbon yang dikandungnya
yaitu :
1. Baja karbon rendah, dengan prosentase
kadar karbon kurang dari 0,25% karbon
2. Baja karbon medium dengan prosentase
kadar karbon antara 0,25%-0,5% karbon
3. Baja karbon tinggi, dengan prosentase
kadar karbon antara 0,5%-1,7% karbon
Material dasar yang digunakan dalam
penelitian ini adalah AISI 1005 dengan kadar
karbon 0,033% yang artinya material tersebut
termasuk klasifikasi baja karbon rendah.
Alasan digunakan material ini dalam penelitian
proses pelapisan seng (Zn) yang dikonversikan
dengan khromat hijau yaitu :
1. Material yang biasa digunakan dalam
proses pelapisan seng (Zn) yang
dikonversikan dengan khromat hijau adalah
baja karbon rendah, karena dengan
pelapisan ini diharapkan menghasilkan
daya tahan korosi yang lebih tinggi dan
menghasilkan tampak rupa yang lebih
indah, dimana produk yang dihasilkan
dapat digunakan sebagai dekoratif
2. Mahal dan sulitnya mendapatkan baja
karbon tinggi dipasaran
Pelapisan listrik seng (Zn)
1. Pengertian proses lapis listrik
(Electroplating)
Pelapisan seng pada logam besi atau baja
bertujuan untuk melindungi logam tersebut
dari korosi, memperbaiki tampak rupa dan
membentuk lapisan dasar untuk proses
selanjutnya. Sebagai logam pelapis, lapisan
seng lebih besifat anodis terhadap logam
dasar terutama besi atau baja, disamping itu
logam seng lebih reaktif terhadap
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 102
lingkungan daripada logam dasar besi atau
baja.
Berdasarkan sifat elektrokimia tersebut
diatas, ternyata logam seng sangat efektif,
bila digunakan sebagai bahan pelapis sesuai
karakteristiknya yaitu : (a) bersifat anodis
yang baik, (b) biaya operasi rendah, (c) bila
dikonversikan dengan khromat tampak rupa
akan lebih indah.
Lapis listrik adalah suatu proses
pengendapan zat atau ion-ion logam pada
elektroda negatif (katoda) dengan cara
elektrolisa menggunakan arus listrik searah
(DC). Endapan yang terjadi pada proses ini
karena adanya ion-ion bermuatan listrik
berpindah dari suatu elektroda melalui
larutan elektrolit dimana hasilnya akan
mengendap pada elektroda negatif (katoda)
dan bersifat adhesif pada logam dasarnya.
Selama proses pengendapan atau deposit
berlangsung terjadi reaksi kimia pada
elektroda dan larutan elektrolit baik reaksi
reduksi maupun reaksi oksidasi, yang
diharapkan berlangsung terus menerus
menuju arah tertentu secara tetap. Untuk itu
diperlukan arus listrik searah dan tegangan
yang konstan.
Prinsip dasar proses lapis listrik
berdasarkan hukum faraday yang
menyatakan :
a. Jumlah zat-zat atau unsur-unsur yang
terbentuk dan terbebas pada elektroda
selama proses elektrolisa sebanding
dengan jumlah arus listrik yang
mengalir dalam larutan elektrolit.
b. Jumlah zat-zat yang dihasilkan oleh arus
listrik yang sama selama elektrolisa
sebanding dengan berat eqivalen
masing-masing zat tersebut.
Pernyataan faraday tersebut diatas dapat
ditulis dengan rumus seperti berikut ini :
B = F
eTI .. (1)
Dimana :
B = berat zat yang terbentuk (gram)
I = jumlah arus yang mengalir (ampere)
T = waktu (detik)
e = berat equivalen zat dibebaskan (berat
atom suatu unsur dibagi valensi unsur
tersebut)
F = jumlah arus yang diperlukan untuk
membebaskan sejumlah gram equivalen
sejumlah suatu zat
1F = 96500 Coulomb, yaitu jumlah arus
listrik yang diperlukan untuk
membebaskan 1 grek suatu zat.
Hukum Faraday sangat erat kaitannya
dengan efisiensi arus yang terjadi pada
proses pelapisan secara listrik. Efisiensi
arus adalah perbandingan berat endapan
yang terjadi dengan berat endapan secara
teoritis dan dinyatakan dalam persen.
η = teoritissecaramengalir yang Arus
sebenarnyamengalir yang Arus
x 100% (2)
Efisiensi arus rata-rata untuk berbagai jenis
larutan dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah
ini.
Tabel 1. Efisiensi arus rata-rata berbagai
jenis larutan pelapisan logam
Jenis larutan Efisiensi arus (%)
Cadmium (oxide) 85-95
Chromium 12-16
Emas 70-85
Zinc (acid) 97-99
Zinc (cyanid) 85-90
Nickel 94-98
Tegangan yang diinginkan dalam proses
lapis listrik adalah konstan, maksudnya
tegangan tidak akan berubah atau
terpengaruh oleh besar kecilnya arus yang
terpakai.
I = R
V (3)
Dimana :
I = Banyaknya arus (ampere)
V= Tegangan (volt)
R= Tahanan (ohm)
Sehingga untuk memvariabelkan ampere,
yang divariabelkan hanya tahanannya saja
103 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
sedangkan tegangannya tetap. Besarnya
rapat arus yang digunakan untuk
mendapatkan lapisan dari suatu logam perlu
diketahui efisiensi katoda, begitu pula
untuk mendapatkan perkiraan tebal lapisan.
Pada Tabel 2 dibawah ini diperlihatkan
tentang hasil perhitungan waktu pelapisan
dan tebal.
Tabel 2. Tebal lapisan yang dihasilkan
metode lapis listrik
Bahan/
Larutan
Efisiensi
Katoda
Amp.J/in2
untuk
mengendapkan
0,0001 in pada
efisiensi 100%
Faktor (F) Rapat arus
(Amp/in2)
Kuningan 50 1,95 0,027 0,035
Kadmium 96 9,73 0,07 0,18
Kromium 14 51,8 2,57 2,5
Tembaga 98 17,8 0,126 0,21
Emas 95 6,2 0,045 0,04
Nikel 95 19 0,193 0,25
Seng 98 14,3 0,0101 0,21
Ketebalan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
T = 1000 x F
A) : (C x H (4)
Dimana :
T = Tebal lapisan dalam (mm)
H = Waktu pelapisan (jam0
C = Rapat arus (ampere/dm2)
A = Luas permukaan (dm2)
F = Faktor
2. Prinsip dasar proses lapis listrik seng (Zn)
Pada prinsipnya lapis listrik seng
merupakan rangkaian dari : arus listrik,
anoda, katoda dan larutan elektrolit.
Apabila anoda dan katoda dimasukkan ke
dalam larutan elektrolit yang dialiri arus
listrik searah, anoda dihubungkan ke kutub
positif dan katoda dihubungkan ke kutub
negatif. Sehingga pada anoda dan katoda
akan terdapat potensial yang berbeda.
Dari kejadian tersebut logam seng akan
terurai ke dalam larutan elektrolit yang juga
mengandung ion-ion seng. Kemudian
dengan adanya perbedaan arus listrik dan
perbedaan potensial tersebut, maka melalui
larutan elektrolit ion-ion Zn2+
akan terbawa
dan mengendap pada permukaan katoda
atau benda kerja.
Dengan demikian disini terjadi reaksi:
ZnO Zn2+
+ O2¯
Katoda : Zn2+
+ 2e- Zn
Anoda : Zn Zn2+
+ 2e-
3. Rangkaian media lapis listrik
a. Larutan elektrolit
Suatu proses lapis listrik memerlukan
larutan elektrolit sebagai media agar
proes tersebut berlangsung. Larutan
tersebut dapat dibuat dari larutan asam,
basa dan garam. Untuk tiap jenis
pelapisan larutan elektrolit yang
digunakan berbeda-beda tergantung
pada sifat-sifat lapisan yang akan
dicapai, jenis material yang dilapis dan
kemampuan daya hantar listrik tiap
larutan. Untuk suatu larutan elektrolit
harga R adalah :
R = A
L (5)
Dimana :
Ρ = tahanan jenis elektrolit (ohm.m)
L = Jarak antar elektroda (m)
A = luas penampang larutan (m)
R = Tahanan elektrolit (ohm)
b. Anoda
Pada proses lapis listrik, anoda
merupakan kutub positif dimana akan
terjadi reaksi -reaksi anodik. Anoda
terbagi empat macam, yaitu :
- Anoda terlarut (Soluble anode)
Merupakan jenis anoda yang ikut larut
pada proses lapis listrik, dimana selain
berfungsi sebagai penghantar arus
listrik juga berfungsi sebagai pensuplai
bahan baku pelapis. Beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam memilih
anoda terlarut diantaranya : jenis
larutan elektrolit yang dipakai, bentuk
anoda dan kemurnian anoda.
- Anoda tidak larut (Unsoluble anode)
Merupakan jenis anoda yang tidak ikut
larut pada proses lapis listrik terjadi,
dimana anoda ini hanya dipakai
sebagai penghantar arus saja
(Conductor of Current) dan anoda
jenis ini tidak mudah terkikis larutan
dengan atau tanpa aliran listrik. Tujuan
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 104
dipakainya anoda tidak larut untuk
mencegah terbentuknya ion logam
yang berlebihan dalam larutan dan
memelihara keseragaman jarak antara
anoda dan katoda. Kerugian
penggunaan anoda tidak larut yaitu
cenderung teroksidasi unsur-unsur
tertentu dari anoda tersebut ke dalam
larutan. Oleh karena itu anoda jenis ini
tidak dapat digunakan dalam larutan
yang mengandun bahan-bahan organik
atau cyanide
- Katoda
Pada proses lapis listrik, katoda
merupakan kutub negatif yang dapat
diartikan sebagai benda kerja yang
akan dilapis. Ion-ion logam akan
mengendap membentuk lapisan pada
permukaan katoda yang menimbulkan
reaksi-reaksi katodik. Oleh karena itu
jarak antara anoda dan katoda harus
diatur sedemikian rupa sehingga
lapisan yang terbentuk relatif sama
ketebalannya.
- Arus listrik
Umumnya arus listrik yang digunakan
dalam proses pelapisan listrik adalah
arus listrik yang digunakan bersumber
dari PLN merupakan tegangan tinggi,
maka sebelum disearahkan terlebih
dahulu diturunkan tegangannya dengan
menggunakan trafo. Biasanya arus
yang digunakan dapat divariasikan
sesuai dengan luas penampang yang
akan dilapis.
4. Proses lapis listrik seng (Zn)
a. Proses pengerjaan persiapan
pendahuluan (Pre treatment)
Sebelum proses lapis listrik dilakukan,
permukaan benda kerja yang akan
dilapis harus dalam keadaan yang benar-
benar bersih, bebas dari semua pengotor
organik, anorganik atau oksida dan
untuk mendapatkan kondisi fisik
permukaan yang lebih baik serta aktif.
Pengerjaan pendahuluan ini mutlak
dilakukan untuk mendapatkann hasil
lapisan yang baik sesuai dengan yang
diinginkan. Secara umum pengerjaan
penduhuluan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
- Pembersihan secara mekanik
Proses ini bertujuan untuk
membersihkan oksida, geram dan
menghilangkan goresan-goresan serta
memperhalus permukaan benda kerja
yang biasanya dilakukan pemolesan
- Pembersihan dengan pelarut organik
(solvent)
proses ini bertujuan untuk
membersihkan lemak, minyak dan
pengotor-pengotor lainnya dengan
menggunakan pelarut organik.
Pembersihannya dibagi dua macam
yaitu : proses pembersihan dengan
vapour degreasing adalah suatu proses
pembersihan menggunakan pelarut
yang tidak mudah terbakar dan proses
pembersihan pada temperatur kamar
dengan cara diusap atau dipoles.
- Pembersihan dengan alkalin (alkalin
degreasing)
proses ini bertujuan untuk
membersihkan benda kerja dari lemak
atau minyak yang menempel, karena
akan mengurangi kontak antara lapisan
dengan logam dasar atau benda kerja.
Pencucian dengan alkalin ini
digolongkan dalam dua cara yaitu :
Cara biasa (alkaline degreasing)
Dengan cara merendam benda kerja
dalam larutan alkalin pada keadaan
panas selama 5-10 menit atau
disesuaikan dengan kondisi
permukaan benda kerja.
Cara elektro (electrolitic degreasing)
Dengan menggunakan arus listrik
dan katoda dipakai dengan
lempengan karbon. Bila benda kerja
yang akan dibersihkan dan
ditempatkan pada arus listrik positif,
maka proses disebut anoda
degreasing begitu pula sebaliknya.
Pencucian dengan asam (picling)
Proses ini bertujuan membersihkan
permukaan benda kerja dari oksida atau
karat dan sejenisnya secara kimia
melalui perendaman larutan asam.
Larutan asam ini terbuat dari
105 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
pencampuran air bersih dengan asam
antara lain : Asam sulfat (H2SO4), Asam
floride (HF) dan Asam khlorida (HCl).
b. Parameter yang berpengaruh pada
pelapisan listrik seng (Zn)
- Rapat arus (current density)
Rapat arus menyatakan jumlah arus
listrik perluas unit elektroda. Pada
proses lapis listrik, rapat arus yang
diperhitungkan ialah rapat arus katoda
yaitu banyaknya arus yang diperlukan
untuk mendapatkan atom-atom logam
pada tiap satuan luas benda yang akan
dilapis. Rapat arus dapat diatur, makin
tinggi rapat arus maka makin tinggi
pula kecepatan pelapisan. Tetapi
apabila menggunakan rapat arus yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan
lapisan kasar, bersisik dan terbakar
atau hitam.
- Tegangan (voltage)
Tegangan yang digunakan dalam lapis
listrik harus konstan, sehingga yang
divariabelkan hanya rapat arus saja.
Maksudnya adalah bila luas
permukaan benda kerja bervariasi,
maka rapat aruslah yang divariasikan
sesuai dengan ketentuan sedangkan
tegangannya tetap.
- Temperatur
Temperatur larutan dapat
mempengaruhi hasil lapisan, dimana
pada temperatur tinggi daya larut
bertambah besar dan terjadi
penguraian garam logam yang
menjadikan tingginya konduktivitas
dan mobilitas ion logam tetapi
viskositasnya berkurang. Sehingga
menyebabkan endapan ion logam pada
katoda akan lebih cepat sirkulasinya.
Peristiwa ini dapat menyebabkan hasil
lapisan menjadi kasar, tetapi
keuntungannya akan mengurangi
terserapnya gas hidrogen dalam
lapisan, menurunkan tegangan dan
mengurangi kerapuhan.
- pH larutan
pH dipakai untuk menentukan derajat
keasaman suatu larutan elektrolit
dalam operasi lapis listrik. Tujuannya
menentukan derajat keasaman ini
adalah untuk mengecek kemampuan
dari larutan dalam menghasilkan
lapisan yang lebih baik.
- Waktu operasi
Lamanya waktu operasi menentukan
banyaknya endapan yang terbentuk,
sehingga semakin lama waktu operasi
yang digunakan maka semakin tebal
lapisan yang dihasilkan. Hal ini
disesuaikan dengan hukum Faraday
yang menyatakan jumlah endapan
logam yang terbentuk sebanding
dengan jumlah arus yang diberikan
dikalikan dengan lamanya waktu
operasi.
c. Proses pengerjaan akhir (Post
Treatment)
Benda kerja yang telah dilakukan
proses lapis listrik, biasanya dibilas
kemudian dikeringkan. Biasanya
proses lanjutan benda kerja dapat
dipasifkan atau diberi lapis pelindung
khromat atau lapis lindung transparan
yaitu laquar.
Proses pelapisan seng (Zn) yang
dikonversikan dengan khromat hijau
1. Pengertian khromatisasi
Pada dasarnya proses pelapisan khromat
merupakan prroses pengendapan logam
secara kimia. Tujuan proses lapis listrik
seng yang dikonversikan dengan khromat
hijau adalah meningkatkan daya tahan
terhadap korosi, memberikan lapisan
berwarna lebih indah, berfungsi sebagai
lapisan pasivating dan mendapatkan lapisan
yang sifat konduktifitas listriknya tinggi.
Apabila logam yang dilapis seng
dicelupkan ke dalam larutan yang
mengandung chromic acid (CrO3) dan acid
(asam), maka pada permukaan lapisan seng
akan terbentuk lapisan baru yang disebut
lapisan khromat (chromic film). Endapan
tersebut terbentuk, karena adanya paduan
chromic acid dengan chromium hydroxida
[Cr(OH)3] yang mana chromium hydroxida
terjadi akibat adanya reduksi chromic acid
dengan hydrogen yang terdapat pada
larutan.
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 106
Banyaknya ion-ion chromium hexavalen
(Cr6+
) yang terikat dan ketebalan lapisan
akan menentukan sifat-sifat lapisan
misalnya daya tahan karat, kekuatan
lapisan, sifat dan warna lapisan. Kelemahan
utama lapisan khromat adalah apabila
dipanaskan diatas temperatur 350º C, maka
lapisan akan pecah membentuk bubuk-
bubuk chromium oxida (CrO3) dan
akhirnya lapisan akan berangsur-angsur
hilang.
2. Prinsip kerja khromatisasi
Proses khromat merupakan lanjutan dari
proses pelapisan seng yang dikonversikan
dengan cara kimia yaitu dengan
mencelupkan atau merendamkan barang
yang akan dilapis dengan waktu pencelupan
dan temperatur larutan disesuaikan macam
khromat yang akan dikehendaki, reaksi
proses khromat yang terjadi :
Zn + H2SO4 ZnSO4 + 2H+
H2Cr2O7+3 H+ Cr(OH)3+ H2CrO4
2Cr(OH)3+H2CrO4 Cr(OH)3Cr(OH)CrO4
+2 H2O Cr2O3CrO3nH2O
3. Kondisi operasi khromatisasi
Pada proses khromatosasi larutan yang
digunakan harus ditentukan terlebih dahulu,
hal ini mengingat adanya perbedaan
kondisi, komposisi maupun konsentrasi dari
setiap jenis larutan.
Pemeriksaan pH (derajat keasasaman)
larutan dengan alat yang disebut pH meter,
apabila belum memenuhi pH larutan yang
diinginkan maka larutan tersebut
ditambahkan sodium hydroksid (NaOH =
30%) sedikit demi sedikit hingga mencapai
pH yang disyaratkan. Tetapi apabila pH
larutan yang terbentuk melebihi pH yang
disyaratkan maka ditambahkan asam sulfat
(H2SO4 = 98%) sedikit demi sedikit hingga
pH yang disyaratkan.
4. Proses khromatisasi
Rangkaian proses yang khromat secara
keseluruhan adalah :
a. Pencelupan dengan asam nitrat
(activating)
Pencelupan dengan asam nitrat (HNO3)
bertujuan mengembalikan kondisi
permukaan benda kerja menjadi lebih
baik, sehingga didapatkan permukaan
yang lebih aktif sewaktu pelapisan
khromat. Larutan ini dibuat dari 0,5% x
volume dengan waktu pencelupan max 5
detik.
b. Proses khromatisasi
Proses pembentukan lapisan khromat
dengan mencelupan logam yang akan
dilapis dengan waktu pencelupan 10-20
detik sambil digerak-gerakkan.
Penggerakkan ini bertujuan untuk
mendapatkan lapisan khromat yang
merata.
c. Pembilasan
Suatu proses yang bertujuan untuk
menetralisir permukaan benda kerja dari
sisa-sisa proses sebelumnya, agar
didapatkan hasil yang baik untuk proses
selanjutnya. Pembilasan ini sebaiknya
tidak menggunakan air panas yang
melebihi temperatur 85 ºC, karena akan
menghasilkan lapisan yang memiliki
daya tahan korosinya rendah walaupun
tampak rupa lapisannya lebih indah dan
terang.
d. Pengeringan
Pengeringan adalah proses pengerjaan
akhir yang dapat dilakukan diruangan
terbuka maupun tertutup. Temperatur
pengeringan sebaiknya berkisar 60-
70ºC.
METODA PENELITIAN
Tahapan metodologi penelitian yang
dilakukan lebih jelasnya dapat dilihat pada
skema Gambar 1 berikut ini.
107 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Gambar 1. Skema penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengujian
1. Pengujian komposisi kimia
Dilakukan dengan menggunakan alat
spektrometer dengan prinsip kerja sebagai
berikut :
Elektroda yang ada pada alat uji
ditembakkan ke material yang akan
diketahui jenis dan kadar unsurnya dalam
keadaan vakum. Kemudian percikan api
yang dihasilkan dari proses penembakkan
tersebut memancarkan cahaya polikromatik
yang dipantulkan melalui sebuah prisma
menjadi cahaya monokromtik. Sinar
tersebut ditangkap oleh detektor kemudian
dideteksi, bahwa panjang gelombang
menunjukkan jenis unsur yang terdapat
pada material uji dan intensitasnya
menunjukkkan kadar unsur yang terdapat
didalamnya. Kemudian data yang telah
dihasilkan masukkan ke dalam CPU setelah
itu masuk printer.
Pengujian dilakukan oleh alat spektrometer
dengan komposisi, seperti ditunjukkan pada
Tabel 3. Dari hasil pengujian komposisi
tersebut, termasuk AISI 1005.
Kandungan kadar karbon yang dihasilkan
sebesar 0,0033% karbon.
Tabel 3. Hasil pengujian komposisi kimia
Unsur Standar
AISI 1005 Hasil Pengujian
C ≤ 0,06 0,033
Si ≤ 0,01 0,042
Mn ≤ 0,35 0,187
P ≤ 0,04 0,0008
S ≤ 0,05 0,0002
Mo - 0,010
Al - 0,120
Co - 0,013
Cu - 0,017
Nb - 0,0012
Ni - 0,015
Sn - 0,003
Fe Sisa Sisa
2. Pemeriksaan visual
Dilakukan untuk menentukan tingkat
kecermelangan, ketidakberaturan warna,
lapisan suram, noda-noda, terkelupasnya
lapisan dan tingkat kehalusan suatu lapisan.
Dari hasil pemeriksaan permukaan lapisan
dapat diketahui apakah tampak rupa
material yang dilapis sesuai dengan yang
diinginkan atau tidak yang dibandingkan
dengan standar.
Pemeriksaan visual pelapisan seng yang
dikonversikan dengan khromat hijau dan
diamati langsung dengan mata. Data hasil
pemeriksaan visual dapat dilihat seperti
pada Tabel 4.
Pengujian visual pada pelappisan listrik
seng yang dikonversikan dengan kromat
hijau diamati langsung dengan mata,
meliputi kerataan warna dan kehalusan
permukaan yang dihasilkan. Dari pengujian
visual ini beberapa spesimen memiliki
tampak rupa yang kurang baik, hal ini bisa
disebabkan rapat arus yang digunakan
terlalu kecil 1 (A/dm2) atau terlalu besar (3
A/dm2) sehinngga warna lapisan tidak
merata, buram dan kehitaman. Hal lain
yang juga mempengaruhinya adalah waktu
pelapisan seng dan waktu pewarnaannya.
Apabila terlalu cepat atau terlalu lama maka
tampak rupa lapisan yang dihasilkan kurang
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 108
baik atau tidak memenuhi standar
sedangkan untuk rapat arus dan waktu
operasi yang optimum menghasilkan
tampak rupa lapisan sesuai dengan standar.
Tabel 4. data hasil pemeriksaan visual
Waktu
(menit)
Rapat
Arus
(A/dm2)
Kode
Spesimen Keterangan
5 1 1A K
2 1B B
3 1C B
10 1 2A B
2 2B B
3 2C B
15 1 3A B
2 3B K
3 3C K Keterangan : B = Baik (Sesuai dengan standar /dibandingkan dengan
pembanding)
K = Kurang baik (Tidak sesuai dengan standar)
Gambar 2. Material AISI 1005 sebelum dilapis
Gambar 3. Hasil pelapisan yang baik
Gambar 4. Hasil pelapisan yang kurang baik
3. Pengujian daya lekat
Dilakukan dengan cara membengkokan
atau menekuk spesimen hasil pelapisan
yang tebalnya 1 mm membentuk sudut
180º, sesuai dengan standar ASTM E-290.
Apabila permukaan lapisan tidak terkelupas
maka daya lekatnya dikatakan baik, tetapi
apabila pemukaan lapisan terkelupas maka
dikatakan daya lekatnya kurang baik. Dari
pengujian yang dilakukan didapat hasil
seperti pada Tabel 5.
Pengujian daya lekat yang dilakukan pada
semua kondisi operasi menghasilkan daya
lekat lapisan yang baik. Ini artinya rapat
arus dan waktu operasi yang digunakan
pada proses pelapisan menghasilkan adhesi
yang kuat antara logam dasar dengan
lapisan yang dihasilkan, sehingga semua
spesimen memiliki kualitas lapisan yang
baik.
Tabel 5. Data hasil pengujian bengkok
Spesimen Hasil Pengujian
1A Baik
2A Baik
3A Baik
1B Baik
2B Baik
3B Baik
1C Baik
2C Baik
3C Baik
109 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Gambar 5. Lapisan yang memiliki daya lekat baik (spesimen no 3C)
Gambar 6. Lapisan yang memiliki daya lekat
kurang baik (spesimen no 1A)
4. Pengujian ketebalan
Pengujian ini termasuk metoda tanpa
merusak dengan prosedurnya sebagai
berikut :
a. Kalibrasi dengan menggunakan logam
dasar hingga angka menunjukkan nol.
b. Kalibrasi ulang dengan film untuk
memperkirakan ketebalan lapisan.
c. Kalibrasi ulang menggunakan logam
dasar untuk pengecekan angka nol.
d. Hitung ketebalan dengan menyentuh
probe pada permukaan benda kerja
sesuai dengan permukaan kalibrasi.
e. Ketebalan dapat dinyatakan jika angka
yang ditujukkan telah konstan.
f. Untuk permukaan yang kasar lebih dari
3 μm, pengujian dilakukan dibeberapa
titik dan hasil ketebalan dengan
pendekatan matematik menggunakan
harga rata-rata. Kesalahan pengukuran
dalam pengujian ini dapat ditimbulkan
oleh :
- Adanya benda asing pada permukaan
lapisan atau alat peraba(probe)
- Posisi probe tidak tepat
- Permukaan lapisan kotor
- Penggunaan probe terlalu tepi.
Hasil pengujian ketebalan menggunakan
alat uji Coating Thickness Gauge dapat
dilihat pada Tabel 6.
Dari alat tersebut diperoleh ketebalan
optimum yaitu pada kondisi operasi
dengan rapat arus 2 A/dm2 dan waktu
pencelupan 10 menit. Karena pada kondisi
tersebut spesimen ini memiliki hasil yang
baik untuk semua pengujian yang
dilakukan. Semakin tinggi arus yang
digunakan dengan waktu pelapisan
semakin lama, maka dihasilkan ketebalan
lapisan yang semakin tinggi. Hal ini sesuai
dengan hukum Faraday, dimana waktu
operasi dan rapat arus berbanding. Artinya
pada spesimen dengan kondisi operasi
rapat arus 1 A/dm2 dan waktu pencelupan
5 menit memiliki ketebalan minimum,
sehingga semakin kecil rapat arus dan
waktu operasi maka semakin sedikit
lapisan yang terbentuk. Hal ini dapat
ditunjukkan oleh kuva hubungan antara
waktu, rapat arus dan ketebalan. Kualitas
lapisan tidak mutlak ditentukan dari
ketebalan lapisan yang dihasilkan, berarti
semakin tebal material tidak menjamin
dapat menghasilkan kondisi optimum.
Tabel 6. Data hasil pengujian ketebalan
Spesimen Waktu Ketebalan
rata-rata (μm)
1A 5 2
2A 10 3,3
3A 15 4,3
1B 5 3,5
2B 10 4,8
3B 15 5,8
1C 5 8
2C 10 9,5
3C 15 10,8
5. Pengujian Korosi
Pengujian menggunakan alat semprot
kabut garam untuk melihat ketahanan
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 110
korosi lapisan yang terbentuk dengan
kondisi sesuai dengan standar ASTM B
117-90 :
- Kandungan NaCl dalam larutan : 5%
- pH larutan : 5
- Temperatur : 35º C
- Waktu pengujian : 36 jam
- Luas permukaan kontak : 20 cm2
- Satuan perhitungan : mdd
Semakin tinggi rapat arus, waktu operasi
dan tebal lapisan yang terbentuk maka
semakin rendah laju korosinya.ini berarti
ketahanan korosi hasil lapisan sangant
berpengaruh pada ketebalan lapisan yang
dihasilkan, hal ini dapat dilihat pada kuva
hubungan antara waktu, rapat arus dan laju
korosi.
Maka dapat disimpulkan bahwa laju korosi
minumum terjadi pada kondisi rapat arus 2
A/dm2 dengan waktu operasi 15 menit,
rapat arus 3 A/dm2 dengan waktu operasi
10 menit dan rapat arus 3 A/dm2 dengan
waktu operasi 15 menit sedangkan yang
memiliki laju korosi maksimum terjadi
pada kondisi rapat arus 1 A/dm2 dengan
waktu pelapisan 5 menit.
Tabel 7. Data hasil pengujian semprot kabut garam
Spesimen Berat awal
(gram)
Berat akhir
(gram)
Selisih berat
(gram)
Laju korosi
(mdd)
1A 13,619 13,612 0,007 23,33
2A 13,530 13,525 0,005 16,67
3A 13,449 13,447 0,002 6,67
1B 13,445 13,443 0,002 6,67
2B 13,614 13,613 0,001 3,33
3B 13,478 13,478 0 0,00
1C 13,496 13,495 0,001 3,33
2C 13,467 13,467 0 0,00
3C 13,586 13,586 0 0,00
Gambar 7. lapisan yang memiliki daya tahan korosi
baik (spesimen no 3C)
Gambar 8. Lapisan yang memiliki daya tahan
korosi kurang baik (Spesimen no. 1A)
6. Pemeriksaan struktur mikro/metalografi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui struktur mikro lapisan yang
terbentuk menggunakan alat Microscope
Metaphot, VMB-UW-04, 523041. Dengan
pembesaran didapat berdasarkan
pendekatan sebagai berikut :
Pembesaran = Obyektif x Okuler
x Faktor Kamera x Pembesaran photo
= 40 x 5 x 1 x 3
= 600x
Larutan etsa yang digunakan yaitu Nital
2% dengan komposisi larutan sebagai
berikut : 2 ml HNO3 didalam 100 ml
etanol/metanol (95%).
111 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Gambar 9. Struktur mikro material dasar,
lapisan seng yang dikonversikan dengan
kromat hijau (spesimen no 3C, 600x, Nital 2%)
Gambar 10. Struktur mikro material dasar, lapisan
seng yang dikonversikan dengan kromat hijau
(spesimen no 1A, 600x, Nital 2%)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat
secara mikro ketebalan lapisan yang
terbentuk. Dari hasil pemeriksaan struktur
mikro menunjukkan adanya beberapa
lapisan, yaitu resin pada bagian pertama,
ketebalan lapisan yang dihasilkan pada
lapisan kedua dan yang terakhir material
dasarnya terdapat fasa perlit untuk area
yang lebih gelap dan fasa ferrit pada area
yang lebih terang.
Pada pelapisan listrik seng yang
dikonversikan dengan khromat hijau ini
digunakan larutan cyanida. Larutan ini
digunakan karena memiliki beberapa
keuntungan sebegai berikut :
1. Daya lapis dan kemampuan mencegah
korosi lebih baik serta biaya operasi
lebih murah.
2. larutan memiliki throwing power dan
covering power yang baik.
3. Komposisi larutan akan selalu stabil
dalam kondisi operasi yang berbeda-
beda.
Parameter lain mempengaruhi proses lapis
listrik seng yaitu ;
Rapat Arus (Current Density)
Rapat arus menyatakan jumlah arus
listrik perluas unit elektroda. Pada proses
lapis listrik, rapat arus yang
diperhitungkan ialah rapat arus katoda
yaitu banyaknya arus yang diperlukan
untuk mendapatkan atom-atom logam
pada tiap satuan luas benda yang akan
dilapis. Rapat arus dapat diatur, makin
tinggi rapat arus maka makin meningkat
pula kecepatan pelapisan. Tetapi apabila
rapat arusnya terlalu tinggi akan
menyebabkan lapisan kasar, bersisik dan
terbakar atau hitam.
Waktu Operasi (Current Density)
Lamanya waktu operasi menentukan
banyaknya endapan yang terbentuk,
sehingga semakin lama waktu operasi
yang digunakan maka semakin tebal
lapisan yang dihasilkan. Hal ini
disesuaikan dengan hukum faraday
menyatakan jumlah endapan logam yang
terbentuk sebanding dengan jumlah arus
yang diberikan dikalikan dengan
lamanya waktu operasi.
Proses Pembentukan Lapisan Khromat
Hijau
Pada dasarnya proses pelapisan khromat
merupakan proses pengendapan logam secara
kimia. Apabila logam yang dilapis seng
dicelupkan ke dalam larutan yang mengandung
chromic acid (CrO3) dan acid (asam), maka
pada permukaan lapisan seng akan terbentuk
lapisan baru yang disebut lapisan khromat
(Chromic Film). Endapan tersebut terbentuk,
karena adanya paduan chromic acid dengan
chromium hydroxida [Cr(OH)3] yang mana
chromium hydroxida terjadi akibat adanya
reduksi chromic acid dengan hydrogen yang
terdapat pada larutan.
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 112
Reaksi proses khromat yang terjadi :
Zn + H2SO4 ZnSO4 + 2H+
H2Cr2O7 + 3 H+ Cr(OH)3 + H2CrO4
2Cr(OH)3+H2CrO4 Cr(OH)3Cr(OH)CrO4
+2H2O Cr2O3CrO3nH2O
Banyaknya ion-ion chromium hexavalen (Cr6+
)
yang terikat dan ketebalan lapisan akan
menentukan sifat-sifat lapisan misalnya daya
tahan karat, kekuatan lapisan, sifat dan warna
lapisan.
KESIMPULAN SARAN
1. Berdasarkan semua proses pengujian yang
dilakukan didapatkan hasil pengujian
sebagai berikut :
a. Komposisi kimia diketahui material
termasuk ke dalam standar AISI 1005
b. Pengujian daya lekat didapatkan kondisi
lapisan yang baik pada semua kondisi
operasi
c. Pengujian ketebalan didapatkan
ketebalan yang maksimum pada kondisi
3 A/dm2 dengan waktu 15 menit sebesar
10,8 μm dan ketebalan yang minimum
pada kondisi 1 A/dm2 dengan waktu 5
menit etebalan minimum sebesar 2 μm
d. Pengujian korosi didapatkan laju korosi
maksimum terjadi pada kondisi rapat
arus 1 A/dm2 dengan waktu pencelupan
5 menit sebesar 23,33 mdd dan laju
korosi minimum terjadi pada kondisi
rapat arus 2 A/dm2 dengan waktu
pencelupan 15 menit, rapat arus 3 A/dm2
dengan waktu pencelupan 10 menit dan
rapat arus 3 A/dm2 denga waktu
pencelupan 15 menit sebesar 0 mdd
e. Metalografi didapatkan lapisan awal
yaitu resin, ketebalan lapisan seng yang
dikonversikan khromat hijau dan
material dasarnya erdapat fasa perlit
untuk area yang lebih gelap dan fasa
ferrit pada area yang lebih terang.
2. Kondisi operasi pelapisan seng yang
dikonversikan dengan khromat hijau yang
optimum adalah sebagai berikut :
a. Rapat arus : 2 A/dm2
b. Waktu celup : 15 menit
c. Temperatur : 25 C
3. Perlu dilakukan penentuan standar kondisi
operasi untuk material yang lebih luas
atau lebih penampangnya sehingga dapat
digunakan sebagai acuan dalam
penentuan laju korosinya
4. Sebaiknya digunakan bahan kimia yang
lebih ramah lingkungan untuk
meminimalisasi limbah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Azhar A Saleh, 2000, Pelapisan Seng
Secara Listrik Yang Dikonversikan
Dengan Khromat. Balai Besar Logam
Mesin, Bandung.
2. Azhar A Saleh, 2000, Teknik Pelapisan
Dengan Cara Listrik. Balai Besar Logam
Mesin, Bandung.
3. Frederick A Lewenhien, 2003, Modern
Electroplating. Jhon Wiley Sons Inc
London.
4. JICA, 2008, Practical Electroplating.
Diktat kursus metal finishing, by Mooto
Hayashi and Takeo Mitsumura.
5. Nobuyuki Hata, 2009, Standard and
Testing Method of Plating. Sansi Filter
Mfg.Co.Ltd.
6. Verlag Stahlschlussel Wegst, KG
Stahlschlussel.
ISSN 0126 - 3463
113 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
POTENSI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS SINTETIS
DARI PROSES GASIFIKASI BATUBARA (PLTBb)
Achmad Sjaifudin T
1 dan Sonny Djatnika
2
1Perekayasa bidang Metalugi, Kementerian Perindustrian, Jakarta
2Tenaga Ahli Material & Konsultan Free Lance MIDC, Bandung
E-mail : achmad [email protected]
Abstrak
Pembangkit Listrik Tenaga Batubara gasifikasi (PLTBb) adalah salah satu alternatif
dalam penyediaan listrik di dalam negeri. Penggunaan gasifikasi batubara bertujuan
meningkatkan efisiensi dan kebersihan pembakarannya dibandingkan proses pembakaran
langsung. Reaktor gasifikasi merupakan teknologi batubara bersih. Walau pun kebersihannya
tidaklah sebaik teknologi alternatif bersih lainnya, namun dibandingkan dengan pembakaran
langsung batubara konvensional, teknologi ini masih jauh lebih unggul. Efisiensi akan jauh
meningkat bila sebuah reaktor gasifikasi digabungkan dengan sebuah rangkaian PLTG dan
PLTU yang terintergrasi. Produk reaktor gasifikasi yang berupa gas sintetis dilewatkan melalui
rangkaian penangkap gas-gas dan partikulat beracun dan/atau tidak menguntungkan, sehingga
hasil pembakaran gas sintetis relatif lebih bersih. Gas sintetis digunakan untuk PLTG. Sisa
panas pembakaran kemudian digunakan untuk pemanasan ketel yang uap-nya digunakan untuk
menjalankan turbin uap. Rangkaian ini dinamakan Siklus Kombinasi Gasifikasi Terintegrasi
(Integrated Gasification Combined Cycle, IGCC). Apabila PLTU secara teoritis hanya memiliki
efisiensi 35%, sedang pada praktiknya hanya antara 18-24%, maka teknologi IGCC saat ini
sudah dapat mencapai di atas 42%. Oleh karena itu, teknologi IGCC ini menjadi suatu tantangan
teknologi di masa mendatang, terutama dalam pencegahan dampak lingkungannya, yaitu
mengurangi atau menangkap gas-gas buang khususnya CO2 dan CO dari hasil pembakaran. Hal
yang menarik lainnya adalah masih tersedianya cadangan batubara di dalam negeri sampai 50
tahun mendatang.
Kata kunci : Pembangkit listrik, batubara, gasifikasi, gas sintetis, efisiensi.
Abstract
PLTBb or Power Plant-Coal Gasification (PLTBb) is one of the alternatives to supply
of electricity in the country. The used coal gasification is to improve efficiency and cleanliness
compare to the direct combustion process. Gasification reactor is clean coal technology.
Eventhough it is not so clean to other clean alternative technologies, however the technology of
CCT is still far superior compared to the direct combustion of conventional coal. Efficiency
will be much improved if a gasification reactor coupled with a series of integrated gas-power
plant (PLTG) and coal-power plant (PLTU). Product gasification reactor in the form of
synthetic gas is passed through a series of gas and toxic/waste particulates catcher, thus the
result of combustion is relatively clean. Next, synthetic gas will be used for PLTG. Residual
heat of combustion is then performed for heating boilers used to run steam turbines. The series
is called Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC). If the plant is theoretically only has
an efficiency of 35%, while in practice only between 18-24%, as a matter of fact the IGCC
technology is now able to reach above 42%. Applying the IGCC technology is becoming a
technological challenge in the future, particularly for prevention of environmental impact, i.e.
to reduce gas emission or catching of CO2 and CO gases resulted from combustion. There is an
interesting thing that the availability of coal deposits is available until 50 years.
Key words : power plant, coal, gasification, synthetic gas, efficiency.
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 114
PENDAHULUAN
Seperti umumnya daerah-daerah
di Indonesia, pasokan listrik merupakan
kebutuhan yang sudah mendasar bagi
kehidupan manusia di jaman modern ini,
yang umumnya masih merupakan harapan.
Ironisnya, di berbagai provinsi yang kaya
akan sumber daya alam contohnya Provinsi
Kalimantan Timur sebagai sumber
penghasil bahan bakar fosil dan deposit
batu bara sangat besar dan berkualitas
nyata-nyatanya kehidupan masyarakatnya
juga masih dalam tahap mendambakan
pasokan listrik. Dari sisi sumber bahan
bakar dan cadangan keuangan di Provinsi
Kalimantan Timur ini sebetulnya sangat
memungkinkan pendirian pembangkit
tenaga listrik yang memadai, bukan hanya
bagi kepentingan masyarakat, tetapi untuk
kemudahan industri dan investasi di masa
mendatang.
Untuk wilayah seperti Provinsi
Kalimantan Timur, dengan penyebaran
masyarakat dan kegiatannya yang sangat
luas, sentralisasi pembangkit dan transmisi
menjadi sangat mahal. Gagasan
desentralisasi pembangkit mungkin
merupakan solusi, dimana hal ini
memungkinkan berdasarkan penyebaran
penduduknya, sehingga pembangkit dapat
direncanakan mulai dari besaran 200 watt
sampai dengan hanya 25 MW saja. Jenis
pembangkit yang mungkin adalah kincir
angin, sel surya, termal surya, mikro-hidro,
mesin gas, mesin uap, mesin BBM dan
sebagainya. Kadang-kadang untuk suatu ibu
kota kabupaten saja membutuhkan hanya 1
MW. Umumnya, di sejumlah pemukiman
tingkat desa atau di sekitar kota, masyarakat
menggunakan genset diesel yang dikelola
sendiri, bahkan untuk penerangan kota
digunakan genset diesel dan gas yang
dikelola oleh PT. PLN (Persero).
Sejumlah kawasan industri besar
memanfaatkan turbin gas dan/atau turbin
uap sampai beberapa unit pararel masing-
masing sampai 22 MW atau lebih. Dampak
isu lingkungan dan kenaikan harga BBM
dan gas dunia yang melampui US$ 60 per
barel BBM menyebabkan kenaikan biaya
produksi dan kesulitan dalam pemasaran
produk. Kuranglah bijak bagi suatu industri
untuk melakukan penghematan, yang
artinya menurunkan daya guna investasi.
Gagasan menggunakan sumber bahan baku
alternatif dan teknologi yang berwawasan
lingkungan dapat merupakan solusi yang
dapat merubah kebijakan pemerintah lokal
dan pusat. Gagasan ini telah banyak
diterapkan juga di negara-negara maju sejak
40 tahun yang lalu.
Gasifikasi batubara merupakan
proses pembakaran batubara menjadi
produk utama gas yang yang lebih ramah
lingkungan dibandingkan teknologi
pembakaran batubara langsung. Sebenarnya
teknologi ini pada dasarnya bukanlah
teknologi baru, melainkan suatu teknologi
yang dikembangkan sejak tahun 1840-an.
Pada tahun 1920-an, produk gas
dikonversikan menjadi bahan bakar
minyak, terutama minyak diesel, yang
dikenal dengan proses pencairan Fischer-
Tropsch (FTL). Namun pesatnya laju
pertumbuhan teknologi pemboran dan
pemrosesan minyak bumi pada awal abad
ini, menyebabkan harga produk minyak
bumi menjadi yang sangat kompetitif,
sehingga menghambat pertumbuhan FTL.
Saat ini pengembangan FTL dengan
menerapkan teknologi yang lebih maju dan
dikenal sebagai teknologi “coal-to-liquids”
(CTL). Dengan batasan harga minyak bumi
di atas US$ 40 – US$ 60 per barel, CTL
kemudian kembali menjadi sangat
kompetitif. Minyak diesel CTL merupakan
senyawaan hidrokarbon non-aromatik, yang
memberikan dampak positif dibandingkan
minyak diesel aromatik dari minyak bumi.
Teknologi yang menjadi dasar yang
ditawarkan adalah proses gasifikasi. Proses
ini diyakini selain meningkatkan efisiensi
dan efektifitas bahan bakar, juga
memberikan solusi bagi lingkungan.
Berbagai jenis bahan bakar dapat
digunakan, mulai dari biomasa (kayu lunak,
sampah industri perkayuan, serta sampah
pertanian dan perkebunan), sampah
perkotaan, sampah industri pengilangan
BBM, gambut, batubara berbagai peringkat,
dan banyak lagi.
Berdasarkan hasil penelaahan awal
di berbagai lokasi, kajian pustaka serta
kunjungan ke sejumlah manufaktur
peralatan. Beberapa gagasan yang mungkin
ditawarkan, semua berbasis kepada bahan
baku batubara, untuk menghasilkan energi
listrik dalam suatu Pembangkit Listrik
Tenaga Batubara Gasifikasi (PLTBb),
antara lain :
115 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
1. Perancangan peralatan pembangkit baru
relatif lebih sederhana, dimana alur
proses lebih mudah disusun. Konsep
sederhananya adalah alur penyiapan
batubara, reaktor gasifikasi,
pembersihan gas mentah, turbin uap
dan/atau turbin gas, mesin gas, atau
mesin diesel.
2. Modifikasi pembangkit yang sedang
beroperasi
Perancangan peralatan pembangkit yang
sedang beroperasi kadang-kadang tidak
sederhana, terutama untuk PLTD dan
PLTG. Kendalanya terletak pada lokasi
yang saat ini ditempati, menyangkut
pada luasan lahan tersedia dan legalitas
transportasi batubara dari tambang atau
pelabuhan bongkar muat ke lokasi.
Namun berbagai sistem dapat
dikembangkan dengan sejumlah biaya
operasional yang menjadi lebih mahal
walau pada modal investasi yang lebih
murah.
PASOKAN BATUBARA
Batubara dan Pemanfaatannya
Batubara merupakan salah satu
bahan galian industri yang mudah dijumpai
di banyak tempat di Indonesia, terutama di
Pulau Sumatera dan di Pulau Kalimantan.
Sebagian besar batubara di Indonesia
dihasilkan oleh Pulau Sumatera (> 56%).
Namun secara kualitas, dalam hal nilai
kalori dan kandungan belerang, batubara
Kalimantan merupakan jenis yang banyak
dicari untuk pembangkit listrik. Saat ini
sebagian besar produksi batubara
digunakan untuk kegiatan pembangkit
listrik dan energi uap.
Endapan batubara sebenarnya
merupakan bahan masa-bio berubah sifat
menjadi endapan geologis. Seperti halnya
masa-bio, batubara terbentuk dari susunan
senyawaan karbohidrat, lignin, protein dan
sejumlah senyawaan organik lainnya (50-70
% volume), serta sejumlah mineral
anorganik. Kualitas batubara ditentukan
oleh potensi kegunaannya berdasarkan sifat
fisis dan kimiawinya, dinyatakan dalam
derajat coalification (rank), yaitu pada
kandungan air, unsur hilang pijar, karbon-
padat dan abu, serta kandar unsur-unsur
kimiawi pembentuknya, seperti karbon,
oksigen, hidrogen, nitrogen, sulfur, tanah-
jarang dan unsur tambahan lainnya.
Analisis kimia batubara biasanya
berdasarkan “adb” (air dried basis), yang
kemudian dirubah menjadi besaran “dmmf”
(dry mineral matter free).
Batubara untuk Pembangkit Listrik
Pro dan kontra penggunaan
batubara untuk pembangkit listrik dan
energi uap saat ini memang terus bergulir.
Batubara, seperti halnya bahan bakar fosil
lain, menghasilkan gas CO2 pada saat
pembakaran yang dapat meningkatkan
dampak negatif rumah kaca dan pemanasan
global. Para ahli energi terus
mengembangkan teknologi energi dan
berupaya mendapatkan jenis energi
alternatif baru dan atau melakukan
memperbaiki pemrosesan batubara agar
dapat menurunkan dampak negatif tersebut.
Walaupun dampak negatif tersebut masih
ada, namun batubara sebagai bahan baku
energi masih tetap merupakan bahan yang
bernilai ekonomis, baik dipandang dari sisi
biaya investasi dan/atau pun dari sisi biaya
proses produksi energi. Dalam pemanfaatan
batubara, dikenal tiga proses yang
digunakan:
1. Pembakaran langsung, yaitu batubara
bongkah atau tepung dibakar langsung
untuk menghasilkan panas yang
kemudian digunakan untuk proses atau
pembangkit listrik.
2. Pirolisis, yaitu batubara dipanaskan di
dalam ruang bakar tanpa adanya
pasokan udara atau oksigen. Cara ini
dipakai untuk produksi bahan bakar gas
(dahulu dialirkankan melalui pemipaan
sebagai gas kota) dan produk bahan
bakar kokas padat.
3. Gasifikasi, yaitu proses pembakaran
batubara dengan oleh oksidan dan
menghasilkan gas sintetis yang
merupakan bahan baku industri pupuk
kimia, untuk bahan bakar proses uap
panas dan pembangkit listrik, atau bahan
baku untuk produksi bahan bakar cair
sintetis (diesel atau bensin).
4. Hidrogenasi, yaitu menyuntikkan
hidrogen ke dalam endapan batubara di
perut bumi.
Sebagai bahan bakar untuk
pembangkitan listrik, batubara masih
merupakan bahan yang mudah didapat dan
murah. Bahan bakar cair yang dihasilkan
merupakan BBM yang paling bersih
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 116
dibandingkan BBM lainnya. Selain itu
dengan proses gasifikasi, gas batubara dan
dampak lingkungannya relatif lebih kecil
dibandingkan batubara padat.
ANALISIS PASAR
Pada saat ini, Indonesia masih
sangat kekurangan akan pasokan listrik.
Tingginya harga listrik bukan karena biaya
pembangkitan. Data hingga awal tahun
2008, pembangktian listrik skala menengah
dan besar, di atas 10 MW, biaya listrik
umumnya masih di bawah US$ 0,05 per
kWh. Sedikit saja yang ada dalam selang
US$ 0,05 – US$ 0,10 per kWh. Yang
menyebabkan biaya listrik negara menjadi
mahal adalah transmisi serta subsidi bagi
pembangkit listrik skala kecil dan mikro.
Umumnya skala kecil dan mikro, selain
berupa PLTMH juga berupa PLTD. Saat
harga BBM dunia mencapai hampir US$
100 per barel, perkiraan harga listrik PLTD
terhubung dengan jaringan adalah hampir di
antara US$ 0,25 – US$ 0,30. Harga jual
listrik jaringan PLN masih pada harga di
bawah US$ 0,07 per kWh. Perkiraan harga
listrik PLTD lokal atau milik bukan-
pemerintah hampir US$ 0,20. Hal ini
disebabkan karena kemampuan
pembangkitan mesin diesel (efisiensi
tinggi) hanya sekitar 4,5 – 4,8 kWh per
liter-diesel dan harga diesel industri US$
0,7 per liter. Harga diesel untuk daerah-
daerah tertentu bahkan jauh lebih mahal,
akibatnya biaya pembangkitan dapat
mencapai US$ 0,30 per kWh.
1. Energi Listrik
Rencana pemerintah untuk menambah
pasokan listrik terhubung jaringan dari
hampir 20.000 MW menjadi 30.000
MW pada tahun 2011 bukan berarti
dapat mengurangi subsidi, baik secara
penuh atau sebagian, namun dapat
menambah beban subsidi walaupun
dengan pendapatan yang mungkin
bertambah. Tampaknya, penurunan
biaya listrik mudah dicapai bila
penambahan daya nasional tidak disertai
dengan penambahan panjang jaringan
yang sebanding, atau dengan kata lain,
pembangunan pembangkit dilakukan
setempat, sesuai ukurannya, tanpa
membutuhkan SUTT dan SUTET,
cukup hanya dengan jaringan tegangan
rendah.
PLTBb proses gasifikasi dapat
menghasilkan listrik dengan harga lebih
murah dibandingkan PLTD, dapat
dibuat skala mikro dan kecil dan sesuai
untuk kebutuhan daerah-daerah yang
potensial konsumen listrik seperti
pertambangan, pengolahan hasil hutan,
pengolahan hasil bumi dan sebagainya.
Peluang pasar kebutuhan listrik nasional
10.000 MW bukanlah kecil dan mudah
dicapai dalam waktu singkat, terutama
dalam pembangunan jaringan.
Pembangunan PLTBb tidak lagi
memerlukan kajian pasar yang
mendalam, karena kebutuhan ini akan
semakin meningkat. PLTBb sesuai
untuk daerah-daerah dengan luasa
terbatas, atau untuk industri-industri
yang kebutuhan listriknya menengah
sampai besar. Nilai ekonomi optimal
PLTBb terletak di atas 5,0 MW, namun
pada besaran di bawah itu tidak berarti
tidak ekonomis. Seandainya, konsumen
memutuskan untuk membangun PLTBb
dengan kapasitas lebih besar dari
kebutuhannya, maka akan diperoleh
manfaat ganda, yaitu mendapatkan
listrik dengan harga murah dan
mendapatkan keuntungan dari penjualan
listrik ke jaringan PLN, walau dengan
harga tidak terlalu tinggi.
2. Terak (Slag), Abuter dan Tar
Terak suatu bahan “inert”, merupakan
produk-samping gasifikasi. Terak basah
atau terak kering (abuter) dapat dijual ke
pasar berbeda bergantung kepada cara
pemrosesannya. Abuter merupakan
bahan pozolan (bersifat semen) ringan
yang dapat digunakan sebagai bahan
campuran atau menggantikan perlit-
muai (bahan ringan untuk konstruksi
bangunan), dengan harga di antara US$
15 - 150/MT. Terak basah dan terak
kering dapat digunakan sebagai :
a. Agregat beton,
b. Agregat konstruksi jalan,
c. Material pengisi struktur,
d. Isian tanah urugan,
e. Material anti-slip untuk jalan dan
jalan bebas hambatan,
f. “Blasting grit”, genteng dan
sebagainya.
Tar digunakan untuk kebutuhan mulai
dari sebagai pengawet kayu sampai
dengan bahan aspal jalan. Industri dan
117 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
manufaktur pun banyak menggunakan
tar dan/atau turunannya.
3. Belerang (Sulfur)
Merupakan unsur yang tidak diinginkan
dalam banyak penggunaan batubara.
Dalam proses gasifikasi, belerang
dibuang dari gas mentah dalam bentuk
yang paling banyak sebagai H2S. Bila
pertimbangan teknis dan analisis
ekonomi memungkinkan untuk
memanfaatkan produk-samping
belerang, misalnya menggunakan
batubara berkadar belerang tinggi yang
berharga murah, maka perlu
penambahan reaktor penangkap H2S.
Harga belerang bergantung kepada
kebutuhan dan permintaan pasar
regional, namun senyawaan sulfat tetap
merupakan produk berharga.
Penggunaan belerang termasuk untuk
pembuatan: (a) pulp dan kertas, (b)
pemurnian kilang minyak bumi, (c)
kimiawi pertanian, (d) obat-obatan, (e)
pupuk fosfatis, (f) isolator listrik, (g)
vulkanisasi karet, dan (h) asam sulfat.
Asam sulfat digunakan di seluruh dunia
di berbagai industri pupuk dan
manufaktur. Asam sulfat merupakan
asam mineral yang paling luas
penggunaannya dan paling banyak
dikonsumsi sebagai kmiawi anorganik
untuk meiningkatkan nilai tambah
berbagai produk.
4. Bahan Bakar Minyak Sintetis (BBMS)
Produk lain yang dikembangkan dari
produk gas GS adalah BBMS. BBMS
berasal dari GS mentah modifikasi.
BBMS memiliki kualitas yang lebih
baik untuk unjuk kerja dan dampaknya
terhadap lingkungan.
TEKNOLOGI DAN RANCANGAN
PLTBb
Gasifikasi dan PLTBb
1. Proses gasifikasi umum
Pada proses gasifikasi, bahan masukan
berkarbon (batubara, kayu, sampah kota,
sampah pertanian, sampah plastik dan
sebagian besar masa-bio) dirubah
menjadi produk gas. Umumnya
pemrosesan dilakukan pada temperatur
dan tekanan tinggi dengan
mengendalikan jumlah oksigen. Oksigen
dapat berasal dari udara, gas oksigen
murni atau dari uap air. Gas yang
dihasilkan disebut sebagai “syngas” (gas
sintetis, disingkat GS). GS merupakan
campuran dengan kandungan sebagian
besar gas CO dan H2, serta sejumlah gas
lainnya CXHY, CO2, SOX dan NOX.
Jumlah panas yang dapat dimanfaatkan
dari pembakaran GS adalah 50% lebih
besar dibandingkan panas pemnbakaran
langsung bahan masukan berkarbon.
2. Proses gasifikasi batubara
Ditemukan pada tahun 1840-an di Eropa
yang digunakan untuk kebutuhan bahan
bakar gas pada umumnya. Gasifikasi
batubara menawarkan satu dari banyak
cara yang terbaik dan bersih dalam
konversi batubara menjadi listrik, gas
hidrogen dan produk energi berharga
lainnya. Gasifikasi batubara telah
berhasil diterapkan di sejumlah negara
maju dan merupakan teknologi
pembangkitan listrik berbasis batubara
di masa depan.
Berbeda dengan pembakaran batubara
langsung, gasifikasi merupakan suatu
proses kimia termal yang menguraikan
batubara menjadi senyawaan kimia
pokoknya. Pada proses gasifikasi
mutakhir, batubara secara khusus
direaksikan dengan uap air panas dan
udara atau oksigen yang terkendali
dalam suasana temperatur dan tekanan
tinggi. Di dalam kondisi tersebut,
molekul karbon dam batubara terurai
sesuai dengan reaksi kimianya menjadi
suatu campuran monoksida karbon
(CO), hidrogen (H2) dan senyawaan gas
lainnya.
Pada saat ini, gasifikasi merupakan salah
satu cara untuk menghasilkan
pembakaran bersih hidrogen untuk
kendaraan dan pembangkit daya
berbasis sel bahan bakar di masa depan.
Hidrogen dan produk gas batubara
lainnya juga dapat digunakan sebagai
bahan bakar PLTU, atau bahkan sebagai
bahan baku kimiawi untuk berbagai
kebutuhan komersial lainya.
Campuran gas batubara dan karakteristik
masing-masing gas akan menentukan
parameter proses gasifikasi seperti
temperatur dan jenis pengoksidasi yang
digunakan apakah itu udara (oksigen
dan nitrogen), uap air atau oksigen
murni.
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 118
Gasifikasi pada temperatur rendah, 700-
1.000oC akan menghasilkan banyak
hidrokarbon, sehingga sesuai untuk
PLTU atau IGCC, serta dengan
pembersihan gas yang baik sesuai untuk
PLTD. Proses gasifikasi ini
memungkinkan kilang gasifikasi
dibangun dekat dengan pembangkit,
atau dapat pula disimpan setelah
diproses menjadi tar dan dikirim dalam
tangki ke pembangkit di lokasi lain.
Gasifikasi pada temperatur tinggi,
1.200-1.600 oC akan menghasilkan
banyak GS seperti CO dan H2 serta
sedikit hidrokarbon, yang dapat
digunakan untuk sintesisasi rantai
hidrokarbon yang lebih panjang menjadi
pengganti BBMS diesel. Proses ini akan
berjalan baik bila komposisi GS pada
perbandingan CO terhadap H2 adalah 1 :
2.
Gasifikasi diklasifikasikan pula oleh
besar nilai pemanasan (HV) dan jenis
reaktor sebagai kelas gas yang
dihasilkan, yaitu: gasifikasi panas tinggi
(> 33.000 J/m3), gasifikasi panas
menengah (9.000 - 19.000 J/m3) dan
gasifikasi panas rendah (< 9.000 J/m3).
Sistem utama gasifikasi terdiri dari
operasi perlakuan awal batubara,
gasifikasi batubara, pembersihan gas
mentah dan pengkondisian gas.
Prinsipnya, seluruh jenis batubara dapat
digasifikasi bila diperlakukan awal
dengan baik, termasuk cara pulverisasi
dan/atau pembriketan. Dengan
pembriketan, kandungan batubara akan
lebih homogen, selain itu jenis bahan
pengikat dapat dipilih untuk
mengendalikan kebasahan terak.
Batubara berkadar air tinggi harus
dikeringkan terlebih dahulu.
Pembriketan batubara digunakan untuk
menggantikan batubara bongkahan,
sehingga lebih homogen secara
komposisi dan fisis. Umumnya
bongkahan batubara digunakan pada
gasifikasi proses “moving bed” dan
“fluidized bed”, sedangkan batubara
pulverisasi untuk gasifikasi proses
“entrained flow”. Reaktor dapat
bertekanan atau hanya atmosferis,
dengan metoda pembuangan abu kering
atau terak basah.
Seluruh cara dan metoda proses akan
mengeluarkan emisi yang sama, namun
pada produk gas campuran dengan
komposisi yang berbeda.
Pada proses gasifikasi, uap air
disuntikan ke batubara di dalam reaktor
besama-sama dengan hembusan udara
(untuk gasifikasi panas rendah), atau
bersama-sama dengan oksigen (untuk
gasifikasi panas tinggi), atau campuran
udara dan oksigen (untuk gasifikasi
panas menengah).
Produk gas mentah merupakan produk
gasifikasi panas rendah sampai
menengah, mengandung berbagai
konsentrasi CO, CO2, H2, H2S, CXHYOZ,
N2, H2O dan partikulat. Paling tidak, ada
empat pemroses-murnian dan
pengkondisian gas untuk pembakaran di
dalam mesin bakar, yaitu proses filtrasi
partikulat, pemisahan tar dan minyak,
pemisahan senyawaan gas asam, serta
proses pendinginan kejut dan/atau
pendinginan normal.
3. Unit pembangkit listrik berbahan bakar
gas
Dapat digunakan berbagai pemilihan
pembangkit energi listrik, dengan alur
seperti pada sketsa pada Gambar 1.
Unit-unit pembangkit listrik yang
digunakan antara lain :
a. Mesin diesel, yaitu menggunakan
GS yang telah dibersihkan dari
senyawaan yang tidak diinginkan,
kemudian dikonversikan langsung
menjadi minyak diesel di dalam
konverter gas-diesel (normal
dan/atau beban puncak). Harga
mesin ini relatif murah dan dengan
tambahan konverter, namun
dibutuhkan pengendalian yang
cermat dalam penyiapan batubara
dan pengoperasian reaktor
gasifikasi.
119 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
MESINBRIKET
REAKTORGASIFIKASI
MESINDIESEL
KETELUAP
MESINGAS
TURBINGAS
TURBINUAP
batu-bara
airudara/
oksigen
briket
CHP IGCC
energilistrik
energilistrik
energilistrik
energilistrik
energiuap
terak/abuter
sulfur
bahan lain
b. Mesin gas, yaitu menggunakan GS
yang telah dibersihkan dari
senyawaan yang tidak diinginkan
dengan MN (kandungan metana,
methane number) > 50 (50 %-
volume). Sejumlah manufaktur
mesin menawarkan pada MN > 30.
Jenis mesin ini berharga cukup
mahal untuk ukuran di atas 1.000
kW, namun umumnya memang
diperuntukan untuk jenis gas alam,
gas petrol, atau gas-bio.
Gambar 1. Sketsa alur proses pembangkitan listrik dari berbagai jenis pembangkit.
c. Turbin gas, yaitu menggunakan GS
yang telah dibersihkan dari
senyawaan yang tidak diinginkan
langsung memutar turbin pada
temperatur tinggi. Alur proses
PLTG relatif sederhana dan
membutuhkan peralatan pendingin
gas buang, namun spesifikasi
material turbin gas sangat tinggi
antara lain terbuat dari logam super-
alloys (mirip dengan turbin pesawat
jet) yang harganya relatif mahal.
Turbin gas yang berukuran mesin
relatif kecil saja akan mampu
memutar generator pembangkit
listrik pada putaran yang sangat
tinggi (sekitar 100.000 rpm),
sehingga mampu menghasilkan daya
yang sangat besar.
d. Turbin uap, cukup menggunakan GS
mentah untuk menguapkan air
dalam ketel uap (boiler), kemudian
uap air di bawah 200 oC digunakan
untuk memutar turbin uap.
Keharusan adanya ketel uap
bertekanan tinggi menyebabkan
PLTU menjadikan kebutuhan lahan
yang lebih luas dibandingkan jenis
pembangkit lainnya, sehingga sering
harga tubin uap dan ketel menjadi
lebih mahal dibandingkan turbin
uap, hanya saja pemeliharaannya
relatif tidak sesulit turbin gas dan
lebih murah. Sejumlah PLTU
memanfaatkan uap air sebagian
untuk turbin uap dan sisa daya uap
untuk kebutuhan proses lainnya
(CHP). Turbin uap dapat pula
dipasang bersama dengan turbin gas
(IGCC), dimana gas buang dari
turbin gas dimanfaatkan untuk ketel
uap dan turbin uap. Turbin uap
dapat juga berdiri sendiri, uap
dipasok dari blok grafit kristalin
(portable thermal storage). Blok ini
merupakan unit penyimpan termal
bertemperatur tinggi, dimana
temperatur tinggi dapat diperoleh
dari reaktor gasifikasi, PLTG,
termal surya, panel surya, kincir air,
kincir angin, panas bumi, jaringan
PLN dan sebagainya, yang mungkin
berada cukup jauh dari PLTU.
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 120
e. Sel hidrogen, yaitu menggunakan
gas hidrogen, dimana GS yang telah
dimurnikan, termasuk injeksi uap air
ke dalam GS kasar untuk mereduksi
jumlah gas CO. Model sel hidrogen
digunakan untuk otomotif dan
pembangkit linstrik skala mikro
sampai kecil. Teknologi ini masih
sangat baru dan hasilnya belum
nampak handal, sehingga untuk
sementara belum dijadikan pilihan.
4. Manfaat lingkungan
Dibandingkan dengan pembakaran
langsung batubara, gasifikasi akan
memberikan dampak lebih baik dalam
menekan emisi SOx, NOx dan partikulat
ke tingkat yang sangat rendah. Belerang
dalam batubara misalnya, dapat diproses
menjadi asam sulfat (baik dalam bentuk
cair maupun padat) dan dapat dijual
secara komersial.
Dalam pembangkit IGCC, GS yang
dihasilkan merupakan bahan bakar
bebas nitrogen. Proses pelewatan GS ke
dalam larutan penangkap nitrogen akan
menurunkan emisi NOx ke tingkat di
bawah 15 ppm . Proses SCR (Selective
Catalytic Reduction) digunakan untuk
mencapai tingkat yang lebih rendah lagi,
bila dipersyaratkan emisi pembakaran
sama dengan oleh gas alam cair. Cara ini
menekan emisi NOx sampai di bawah 2
ppm, dan lebih efektif digunakan
terhadap GS dibandingkan terhadap
bahan bakar lainnya, bahkan sehingga
sering dijumpai, proses SCR-ganda
dapat menekan emisi Nox sampai nilai
di bawah 1.000 ppb, serta sangat efektif
dalam menekan polusi merkuri, logam
berat dan unsur pengotor lainnya.
Gasifikasi batubara juga menghasilkan
gas CO2 sangat rendah, dimana CO2
dituding sebagai penyebab efek rumah
kaca. Jika pada gasifikasi batubara ini
diharuskan kadar CO2 lebih rendah lagi,
maka harus ditambahkan oksigen ke
dalam udara hembus, atau bahkan
oksigen menggantikan udara seluruhnya.
5. Manfaat efisiensi
Efisiensi akan tercapai oleh manfaat
lainnya dalam gasifikasi batubara. Pada
PLTU, panas yang dihasilkan dari
pembakaran batubara digunakan untuk
mendidihkan air di dalam ketel uap
bertekanan, dan uap yang dihasilkan
digunakan untuk mengerakkan
pembangkit turbin-uap. Umumnya
hanya sepertiga dari energi batubara
yang terkonversi menjadi energi listrik,
sisanya hilang menjadi panas buang.
Efisiensi suatu PLTU terbaik adalah 30-
35% saja.
PLTBb sering digunakan untuk
memberikan tugas ganda dari gas yang
dihasilkannya. Pertama, gas batubara
yang telah bebas dari unsur pengotor,
digunakan untuk turbin gas (seperti
halnya gas alam). Kedua, gas buang dari
turbin gas kemudian dimanfaatkan untuk
ketel uap yang digunakan untuk
pembangkitan turbin-uap. Kedua turbin
ini merupakan sumber pembangkitan
listrik ganda, disebut sebagai IGCC,
mampu menaikan efisiensi 50% dalam
mengkonversikan energi batubara
menjadi energi listrik terpakai. Konsep
gasifikasi di masa mendatang bahkan
dimungkinkan untuk mencapai efisiensi
sampai 80% dengan memanfaatkan
hibrida sel bahan bakar dengan turbin
gas.
Semakin tinggi efisiensi pemanfaatan
gasifikasi batubara dapat diartikan
sebagai potensi menekan emisi CO2 dan
dampak rumah kaca (pemanasan global)
sampai 40% atau lebih dibandingkan
PLTU konvensional. Tujuan-tujuan
tersebut di atas serta pemanfaatkan
produk-produk gasifikasi lainnya
menyebabkan proses gasifikasi batubara
merupakan teknologi pembangkit energi
listrik masa depan yang cukup
menjanjikan.
6. Manfaat lain gasifikasi batubara:
Diversifikasi produk likuifaksi
Dalam banyak aplikasi, produk GS
batubara juga digunakan langsung untuk
pembangkit listrik mesin bakar skala
kecil sampai besar. Beberapa contoh
pembangkit listrik ini adalah mesin gas
alam dan diesel. Perkembangan
teknologi beberapa tahun terakhir
bahkan melakukan proses likuifaksi
batubara, yaitu produk gasifikasi
batubara yang berupa hidro-karbon cair,
terutama minyak diesel. Proses ini
dikenal dengan nama asalnya Synthesis
Gas-to-Liquids Fischer-Tropsch (FTL),
121 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
teknologi Jerman yang sudah cukup tua
tersebut dikembangkan terus sampai
beberapa tahun terakhir dengan nama
Coal-to-Liquids (CTL). Teknologi ini
merupakan produksi bahan bakar yang
tidak digunakan langsung serta lebih
memungkinkan untuk kemudahan
penyimpanan dan transportasi. BBMS
diesel yang dihasilkan merupakan BBM
non-aromatis yang disebut-sebut lebih
ramah lingkungan dibandingkan dengan
diesel aromatis dari kilang kondensat
minyak bumi.
Contoh pemanfaatan gasifikasi langsung
telah dilakukan oleh sejumlah PLTD,
antara lain oleh PLN dan BPPT di
wilayah Cirebon, Jawa Barat, dengan
ukuran pembangkit 250 kW. Contoh
lainnya, gasifikasi dan likuifaksi
dikembangkan oleh pemerintah negara
bagian Victorian, Australia. Di negara
ini, terdapat cadangan batubara 62
milyar ton. Jenis batubara pada
umumnya adalah lignit kualitas dan
nilai-kalori rendah (brown coal), kadar
air sampai 60% dan kadar oksigen.
Batubara diproses menjadi diesel
bermutu baik. Dibutuhkan 1,2 ton bahan
batubara untuk mendapatkan sekitar 1
barel (sekitar 200 liter) diesel. Saat ini
produksi batubara Victorian mencapai
65 juta ton per tahun, sekitar 30 sampai
40 juta ton direncanakan untuk konversi
CTL. Investasi yang direncanakan
sebesar AU$5 milyar untuk produksi
60.000 barel per hari. Nilai ekonomis
proses pada harga minyak dunia di atas
US$ 62 per barel.
Contoh lainnya ada di daerah aliran
sungai Montana - AS, untuk produksi
4.400 kilo-liter per hari BBMS. Total
biaya US$ 2,0-milyar, teritegrasi dengan
PLTBb IGCC 300 MW. Kilang dan
produk BBMS akan menghasilkan 3,5-
juta ton CO2 per tahun. Untuk kegiatan
ini harusnya kilang tersebut melakukan
kompensasi pemeliharaan seluas
700.000 hektar hutan alam berdasarkan
Protokol Kyoto. Keberadaannya dekat
dengan sungai karena membutuhkan
pasokan air lebih dari 22 juta liter per
hari.
Masih di Montara, rencana pengemba
ngan skala PLTBb 3.200 MW di
kemudian hari akan menimbulkan
dampak negatif 8.000.000 tph CO2,
4.000 tph SOx, 5.000 tph CO, 2.200 tph
NOx, 95 tph senyawaan uap organik dan
85 tph HAP. Tahap ini masih dalam
kajian.
Simulasi Model PLTBb
1. Model pengembangan PLTD
Model ini kurang fleksibel. Banyak
faktor ketergantungannya terutama
lokasi dan luasan lahan yang tersedia.
Lokasi akan berpengarug terhadap
legalitas pemasokan batubara dan
bongkar muatnya. Selain itu, konverter
ECU gas-diesel ukuran di atas 30 kW
masih jarang dijumpai. Keuntungannya
adalah pemotongan investasi akibat
pembangkit dan instalasi kabel yang
telah terpasang.
2. Model PLTBb rancangan dasar
Model ini akan lebih fleksibel, lebih
mudah dalam pemilihan lokasi untuk
menghindari kendala legalitas
pemasokan batubara dan bongkar
muatnya. Peralatannya banyak dijual
walaupun harganya relatif mahal
dibandingkan mesin diesel. Dalam
kajian ini model ini digunakan sebagai
patokan Rancangan Dasar, dengan
penggunaan bahan batubara low-rank
briket dengan bahan imbuh pengikat
butiran sebagai slag conditioner.
3. Parameter Ekonomi
Perkiraan modal investasi untuk PLTBb
adalah US$ 1.000 per kW terpasang,
berdasarkan kepada harga umum untuk
pembangkit listrik antara US$ 900 –
US$ 1.500 per kW terpasang. Nilai kurs
patokan sementara adalah Rp 10.000 per
US$. Sesuai dengan tujuannya sebagai
pembangkit listrik, maka matriks utama
adalah harga produk adalah Rp/kWh,
yaitu besar listrik yang dihasilkan dari
generator pembangkit dengan
pengukuran kWh-meter yang dipasang
di sistem PLTBb. Besar kehilangan daya
akibat distribusi dan penyambungan ke
jaringan tidak dihitung. Efisiensi
jaringan adalah perbandingan besarnya
daya kWh yang diterima oleh konsumen
(kWh-nyata) terhadap kWh yang tercatat
ditransmisikan dari sistem PLTBb
(kWh-ambang).
a. Modal investasi
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 122
Modal investasi adalah modal
pembangunan PLTBb, termasuk
mesin, peralatan, konstruksi, pajak
pembelian, jasa perencana dengan
besar perkiraan lumpsum harga
pasaran pembangkit Rp 20 milyar
untuk 2,000 kW bersih. Total modal
investasi merupakan asumsi modal
investasi PLTBb ditambah dengan
modal kerja produksi listrik selama
tiga bulan, yaitu untuk pembelian
batubara dan bahan imbuh lainnya,
over-head termasuk depresiasi, jasa
konsultan, biaya personal dan
sebagainya. Total modal investasi
diasumsikan 100% pinjaman (full
loan) dengan bunga (rate) 12%.
Dana cadangan pembangunan
(contingency) 10% tidak masuk ke
dalam perhitungan analisis ekonomi.
Demikian pula dengan dana
cadangan proses dan modal kerja
10%.
b. Kapasitas produksi
Kapasitas produksi dihitung
berdasarkan kapasitas pembangkit
listrik terpasang. Pada unit
pembangkit (generator) 2 x 1.000
kW, model 220/380 VAC; 50 Hz;
300 - 1200 rpm :
Produksi daya = 2 x 1.000 kW
x 24 jam/hari x 80% (eff)
= 40.000 kWh/hari
= 40.000 kWh/hari x 30 hari/bulan
= 1.200.000 kWh/bulan
= 1.200 MWh/bulan
Besaran merupana kapasitas produksi
optimistis, “over“ produksi 10%
diabaikan.
c. Nilai produksi
Produksi daya = 1.200 MWh/bulan
Penggunaan untuk PLTBb sendiri
(10%) = 120 MWh/bulan
Daya layak jual = 1.080 MWh/bulan
Harga jual optimistis
= Rp 700.000 /MWh
4. Parameter Proses
Perkiraan berbagai jenis batubara
merupakan bahan kering udara (adb)
dengan analisis komposisi laboratorium
Proximate dan Ultimate (dmmf). Alur
proses yang digunakan adalah :
Reaktor gasifikasi lapisan bergerak,
menggunakan bahan bongkah atau
briket.
a. Pembangkit tunggal turbin uap,
dengan proses tertutup, sehingga
uap dapat dimanfaatkan ulang ke
bentuk air dengan kehilangan
diasumsikan maksimum 50%.
b. Air dapat dipasok dari kondensat
keluaran turbin uap dan/atau air
segar (demin), yang dianggap
hilang menjadi produk GS.
c. Perkiraan harga turbin uap dan uap
terpadu adalah US$ 550 ribu per
MW terpasang.
d. Mesin briket US$ 50 ribu per MW.
e. Reaktor gasifikasi US$ 150 ribu per
MW.
f. Peralatan lain seperti panel kontrol,
pompa, perendam gas yang
diinginkan dan sebagainya, serta
biaya instalasi dan jasa konsultasi
mencapai US$ 250 ribu per MW.
g. Biaya lahan dan pematangan lahan,
demaga/shelter bongkar muat, dan
bangunan tidak termasuk dalam
biaya modal investasi.
h. Semakin besar skala pembangkit,
biaya per MW PLTBb akan
menjadi lebih rendah.
i. Konversi termal dan efisiensi
teoritis.
Pada analisis parameter proses,
pemilihan Rancangan Dasar gasifikasi,
digunakan bahan batubara briket.
Batubara briket memiliki nilai efisiensi
terhadap harga beli yang terbaik,
walau pada proses pembriketannya
dapat saja terjadi kehilangan 50% berat
(dari berat hasil penambangan
langsung, dengan dasar VM dan kadar
air sampai 70%). Pada proses
pembriketan, kehilangan diperkirakan
dari:
Bertambah panjangnya alur proses,
sehingga kemungkinan terjadi
kehilangan saat pengangkutan,
lamanya waktu pengerjaan dan
penyimpanan dalam alur proses
(air dried),
proses penepungan (grinding) dan
pembuangan material yang tak
diinginkan,
penambahan bahan imbuh briket
menyebabkan penurunan persen
berat relatif dan sebagainya.
Manfaat dari pembriketan adalah:
123 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Menaikkan kekuatan mekanis
bahan, serta bahan bebas dari debu
awal.
Penepungan dapat menurunkan
kadar merkuri, sulfur dan bahan
logam lainnya sampai 50% dari
kadar total, karena umumnya
material tersebut sebagai
senyawaan kimiawi besi. Saat
bahan tepung ditransfer ke mesin
briket, butiran sentyawaan besi
halus tersebut akan terambil oleh
magnetic drum yang terpasang
pada sabuk konveyor.
Persyaratan kekeringan bahan
tercapai saat di dalam mixer, karena
aksi dalam mixer menimbulkan
panas yang dapat mempercepat
pengeringan.
Mixer akan menaikkan
homogenitas kandungan bahan
briket dan kualitas kadar bahan
lebih mudah diatur.
Penambahan bahan imbuh lainnya
dapat direncanakan untuk
memperbaiki sifat terak, menaikkan
sifat kekuatan panas, serta
membuat bahan berpori halus
sehingga luas permukaan bahan
bertambah yang dapat
meningkatkan kemampuan proses
gasifikasi.
Proses pembriketan hanya
dimaksudkan untuk proses gasifikasi
pada reaktor lapisan bergerak,
sehingga parameter model lebih pasti
pada jenis reaktor ini. Untuk
meningkatkan kecepatan gasifikasi
pada skala ini dipilih ruang bakar
ganda (double stage), sehingga terak
yang terbentuk adalah terak kering
sampai abuter.
ANALISIS FINANSIAL
Analisis finansial dilakukan untuk
mengkaji awal PLTBb kapasitas terpasang
2.000 kW. Cara ini diambil sebagai dasar
kebijakan terhadap kebutuhan yang lebih
spesifik. Sejumlah peralatan yang sesuai
akan bergantung kepada pasokan jenis
batubara dan ketersediaan alat yang
mungkin dibeli dan dipasang di lokasi.
Dasar yang digunakan adalah setaraan
material yang masuk dan keluar dari proses
PLTBb.
1. Metodologi
Analisis finansial berkaitan dengan
informasi dan data dari berbagai sumber,
antara lain asumsi-asumsi harga bahan
umum, modal investasi, biaya
operasional dan pemeliharaan dan harga
jual-tetap. Adanya perubahan dari
harga-harga variabel akan berpengaruh
sebanding dengan harga jual, sehingga
model I/O proses akan selalu konstan.
Beberapa asumsi yang dibutuhkan untuk
analisis sensitifitas adalah sebagai
berikut:
Dana cadangan investasi 10% yang
belum dicantumkan.
Dana cadangan modal kerja dan
biaya operasional 10% yang juga
belum dicantumkan.
Pajak penjualan listrik, PPn 10%
yang belum dicantumkan, karena
untuk masalah energi yang
berwawasan lingkungan dan
pemenuhan kebutuhan nasional,
dianggap memperoleh
keringan/bebas pajak.
Waktu konstruksi paling lama 10
(sepuluh) bulan.
Usia (depresiasi) peralatan minimal
10 tahun dengan sistem flat.
100% pendanaan berbasis
kredit/pinjaman dengan bunga 12%
per tahun.
Model ini dapat dijadikan basis untuk
menghitung perkiraan titik-balik modal
pada bunga bank 12%. Nilai ini dapat
pula dibandingkan dengan harga
pembangkitan listrik dengan BBM
diesel pada ukuran yang sama. Sebagai
ukuran untung-rugi investasi, maka
hanya potensi penjualan energi listrik
sajalah yang relevan digunakan.
2. Hasil Analisis Model
Dengan berbagai asumsi harga dan
kapasitas produksi, serta asumsi bunga
12%, model PLTBb rancangan baru
dengan berbagai bahan batubara dapat
dilihat pada Tabel 3. Titik balik modal
terendah diperoleh untuk briket
batubara, yaitu dalam waktu antara 9 -
10 tahun, pada harga asumsi Rp 700.000
per MWh, serta seluruh model input
dibuat konstan.
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 124
Alasan menuntukan harga jual Rp
700/kWh adalah sulit dijelaskan, karena
hanya berdasar pada patokan dari harga
jual PLN untuk kebutuhan rumah tangga
(Rx). Sebenarnya, bagi kebutuhan
komersial dan industri, walau harga
nampaknya lebih murah, namun adanya
faktor pengali beban normal (base load)
dan harga dengan faktor beban puncak
(peak load), menjadikan pembayaran
pemakain menjadi berlipat ganda. Untuk
penggunaan besaran daya fleksibel,
pelanggan kommersial dan industri
diberikan dengan perhitungan biaya
terbaik pada program Multiguna dengan
tarif Rp 1.380 /kWh.
3. Model Sensitifitas
Analisis sensitifitas harusnya diterapkan
terhadap model pendanaan untuk
sejumlah parameter ekonomis dan
operasional. Biaya-biaya jasa dan
konstruksi untuk model pendanaan
seperti diuraikan di atas hanyalah berupa
asumsi dasar, namun diharapkan cukup
memenuhi untuk model ini, dimana bila
terjadi penyimpangan pada parameter-
parameter tersebut besarnya masih di
dalam batas suaian yang masih
diijinkan. Pengabaian dana cadangan,
dana cadangan operasional dan biaya
percobaan dan pegoperasian awal sistem
hanya dimungkinkan untuk PLTBb
skala seperti ini, namun tidak diterapkan
untuk skala menegah sampai skala
besar. Analisis model dilakukan pada
besaran I/O yang tetap sejak awal
operasi dan seterusnya. Perbandingan
efisiensi harga bahan briket : bitumen
low-VM adalah 62,18/420 : 40,09/180
per kg, atau 3 : 2. Briket 50% lebih baik.
4. CO2 Sequestration
Perancangan CO2 sequestration-ready
plant, yaitu teknologi pemusnahan gas
CO2 akan menjadi keharusan di masa
mendatang, terutama bila kadar CO2
tidak dapat dianggap kecil. Tujuannya
adalah untuk mengurangi dampak
pengaruh terhadap pemanasan global.
CO2 sequestration dapat dilakukan
secara geologis, botanis atau kelautan.
Biasanya secara penghilangan dilakukan
dengan penyuntikan gas CO2 ke lapisan
batubara atau kapur (geologis), atau ke
tambak tanaman ganggang hijau
(botanis), atau langsung ke dalam lautan
(kedalaman ribuan meter). Cara-cara ini
membutuhkan kompresor, pemipaan dan
energi yang harganya relatif mahal.
Untuk skala PLTBb kecil dan mikro,
CO2 sequestration umumnya dilakukan
secara pemrosesan kimiawi dan/atau
fisis yang terpadu.
KESESUAIAN LINGKUNGAN Tujuan pemrosean gasifikasi, selain
untuk meningkatan efisiensi pemanfaatan
batubara untuk pembangkitan energi, juga
untuk tujuan menurunkan dampak negatif
terhadap masalah-masalah lingkungan.
Berbagai parameter teknis perlu
diperhatikan agar proyek dan pelaksanaan
PLTBb dapat mencapai tujuan tersebut.
Berbagai kajian rinci dibutuhkan untuk
memenuhi perijinan Pemerintah Daerah
dan/atau Pemerintah Pusat, seperti dari
induk atau suku dinas
Kementrian/Departemen Pertambangan dan
Energi, Lingkungan Hidup, Bappenas,
Perindustrian dan sebagainya, mengenai
hal-hal antara lain:
Konstruksi dan operasi PLTBb pada
reaktor gasifikasi, pembangkit tenaga
listrik dan mesin/peralatan lainnya.
Transportasi pengiriman batubara, lokasi
pembongkaran dan penyimpanan.
Jaringan transmisi milik PT. PLN atau
rencana pembuatan transmisi baru untuk
kebutuhan lokal.
Konstruksi untuk pasokan air dan
pembuangan air limbah.
Selain dibutuhkan kajian Amdal apabila
peraturan mengharuskannya karena skala
PLTBb yang cukup besar, demi
kenyamanan pengoperasiannya, untuk skala
yang kecil pun sebaiknya dilakukan kajian
mengenai dampak lingkungan karena hal
ini akan memberikan data yang dapat
memenuhi kebutuhan operasional.
1. Emisi Udara
Tingkat buangan emisi polutan yang
diijinkan untuk setiap daerah dapat saja
berbeda. Hal ini bergantung kepada
Peraturan Daerah setempat yang
ditetapkan berdasarkan sudah seberapa
tingginya kondisi polusi di wilayah
tersebut, serta sasaran apa yang harus
dicapai di masa mendatang.
a. Emisi produk reaktor gasifikasi
125 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Informasi hasil pengujian
pembakaran GS dari beberapa
reaktor gasifikasi produksi
sejumlah manufaktur lokal mudah
diperoleh. Beberapa pengertian
terhadap besaran akan lebih mudah
disesuaikan, misalkan tentang PM-
10 (Particulate Matter), VOC
(Volatile organic Compound) dan
opacity.
Emisi harus sudah diasumsikan
bahwa peralatan pengendali kadar-
kadar parikulat, merkuri, timbal dan
hidrogen sulfida sudah merupakan
bagian terpadu dengan sistem
PLTBb, sehingga besarannya dapat
diabaikan terhadap HAP luasan
wilayah lokal.
b. Perijinan
Perijinan pemerintah daerah atau
pusat harus diperoleh terlebih
dahulu, terutama untuk seberapa
besar emisi yang dihasilkan oleh
sistem sehingga Dasar Perencanaan
reaktor gasifikasi dapat
disesuaikan. Peralatan lain seperti
pembangkit listrik lebih bersifat
umum, artinya emisi yang
dihasilkan bergantung kepada
tingkat kebersihan GS yang
diperoleh. Namun dimungkinkan
pula untuk dilakukan penyesuaian
unjuk kerja dan hasil emisinya.
Untuk mendapatkan perijinan
tersebut maka, maka bila
diwajibkan membuat Amdal ada
beberapa hal termasuk dalam
analisis, antara lain :
Spesifikasi peralatan harus
memenuhi tingkat teknologi
pengendalian yang terbaik, sesuai
dengan kondisi lingkungan dan
ekonomi di wilayah tersebut.
Cukup data mengenai kondisi dan
kualitas udara setempat paling
tidak empat bulan sebelum
pembangunan PLTBb, dan juga
setelah pembangunan.
Cukup data metereologi setempat,
baik rinci atau hanya umum.
Analisis dampak terhadap tanah,
tanaman dan hal-hal yang
mungkin terjadi akibat
pembangunan PLTBb, langsung
atau tidak langsung.
2. Padatan dan Limbah Berbahaya
PLTBb akan menghasilkan sejumlah
padatan dan limbah padat, baik selama
pembangunan konstruksi maupun
setelah beroperasi. Perlu penanganan
dan penyimpanan terpisah antara bahan
tidak-berbahaya dan berbahaya.
Limbah tidak berbahaya antara lain:
Sisa-sisa bahan konstruksi (potongan
bahan konstruksi, kemasan dan
sebagainya).
Terak batubara dari reaktor
gasifikasi.
Abuter (abu terbang) dari reaktor
gasifikasi
Sulfur
Katalis bekas dari berbagai
pengolahan air.
Penjualan sejumlah limbah padat yang
dapat didaur-ulang sangat
memungkinkan. Terak dan abuter
digunakan sebagai bahan agregat beton
dan bahan bagunan lain, selama tidak
mengandung kadar merkuri. Pilihan
lainnya adalah sebagai bahan urugan
tanah, dan bila kadar merkuri di atas
batas ambang, terak dan abuetr sebelum
digunakan sebagai urugan harus
dipendam dahulu dalam bentukan beton.
Limbah sulfur, asam sulfat dan katalis
dapat digunakan sebagai bahan
tambahan unsur hara dalam proses
produksi pupuk tanaman.
Limbah potensial berbahaya lainnya
adalah antara lain:
Limbah elemen dan media filter,
karbon mengandung merkuri
(cukup berbahaya).
Limbah katalis (berbahaya).
Logam, garam dan lumpur dari
pengolahan air dan tower
pendingin, demikian pula dengan
senyawaan amina yang digunakan
untuk menangkap CO2 (potensi
berbahaya).
Seluruh limbah berbahaya
membutuhkan penanganan dan
pembuangan secara penuh ke sarana
yang sesuai dengan undang-undang dan
peraturan yang berlaku.
3. Air Baku dan Air Limbah
PLTBb membuthkan air baku dan juga
menghasilkan air limbah dan limbah
cairan. Untuk itu diperlukan ijin
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 126
Pemerintah Daerah (dapat berupa
Amdal):
Pasokan air untuk proses gasifikasi,
paling tidak 0,5 m3 per 3 MWh atau
sekitar 3 m3 per hari per Megawatt
pembangkit terpasang. Air yang
digunakan adalah air bersih atau air
sulingan (demin).
Pembuangan air limbah haruslah
melalui pengolahan (PAL) untuk
dapat dibuang ke saluran umum.
Pasokan dan buangan air pendingin,
bila sistem pendinginannya terbuka,
membutuhkan dan membuang paling
sedikit 6 m3 per hari per Megawatt
pembangkit terpasang.
Jumlah kebutuhan air total untuk
seluruh PLTBb berikut kebutuhan
operasional dan personal lainnya
diperkirakan paling sedikit 12 m3 per
hari per Megawatt pembangkit
terpasang.
4. Kebutuhan Lahan
Kebutuhan lahan bergantung kepada
besaran PLTBb secara konstruktif yang
akan dibangun, termasuk prasarana
bongkar muat batubara, serta luasan
lahan lainnya untuk keperluan
pencegahan dampak lingkungan dan
budaya masyarakat setempat, serta segi
keamanan dari tindak pidana.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pembangkit listrik gas sintetis ini
merupakan konsep teknologi yang sudah
banyak diterapkan di banyak negara
yang memiliki cadangan atau
kemudahan impor batubara. Hal yang
menarik adalah minimalnya dampak
lingkungan yang ditimbulkan. proses
gasifikasi dapat menghasilkan gas
sintetis yang lebih bersih dibandingkan
proses pembakaran langsung, sehingga
secara signifikan hanya ada CO2, CO
dan uap air pada produk gas buang
proses. Apalagi apabila pada proses
pembangkitan, adanya penambahan
perangkat pembakar gas CO dan
penangkap CO2.
2. Dari sisi ekonomis, jenis pembangkit
IGCC ini menggunakan bahan bakar
fosil batubara yang relatif lebih murah
dibandingkan bahan bakar minyak dan
gas alam. Bahkan dapat menggunakan
jenis batubara kualitas rendah sekali pun
(lignit dan bitumen). Di masa depan,
bahan bakar batubara dapat digantikan
oleh masa-bio dan limbah masa-bio
pertanian, yang benar-benar merupakan
renewable resources. Pada saat harga
minyak dunia berada di sekitar
US$200/barrel, harga batubara kualitas
rendah pun akan meningkat.
3. Dibandingkan dengan biaya investasi
PLTU dan PLTG, pembangkit listrik gas
sintetis relatif sedikit lebih mahal, serta
mempersyaratkan cadangan air lebih
banyak. Namun dibandingkan dengan
PLTP, PLTA, PLTN dan jenis
pembangkit bersih berwawasan
lingkungan lainnya, biaya investasi
pembangkit ini masih relatif jauh lebih
murah. Kontroversi bahan bakar
batubara yang tidak ramah lingkungan
bisa ditepis dengan memanfaatkan
konsep teknologi ini. Walaupun tidak
mengurangi kebenaran akan semakin
menipisnya cadangannya di alam. Tetapi
untuk alternatif kesejahteraan
masyarakat, teknologi ini dapat menjadi
alternatif yang tidak dapat diabaikan dan
tidak punya pilihan lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Albert J. Forney, Stanley J. Gasior,
William P. Haynes and Sidney Katell,
April 1970, A Proses To Make High-
BTU Gas From Coal, U.S. Departement
Of The Interior, Bureau of Mines Coal
Gasification Program, Technical
Progress Report – 24.
2. D. Yogi Goswami, 1986, Alternative
Energy in Agriculture : Biomass
Gasification, Vol. II, Ed., CRC Press,
pgs. 83-102.
3. J.P. Hoffman, 1992, Oxygen-coal in-
bath smelting reduction-a future process
for the production of iron and stainless
steel? J. S. At,. Inst. Min. Metall., vol.
92, no. 8/9, Aug/Sep. pp. 253-273.
4. EPA SITE Technology Capsule, April
1995, Texaco Gasification Process,
Environmental Protection Agency, EPA
540/R-94/514a.
5. Jared P. Ciferno and John J. Marano,
June 2002, Benchmarking Biomass
Gasification Technologies for Fuels,
Chemicals and Hydrogen Production,
U.S. Department of Energy (US DoE),
127 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
National Energy Technology Laboratory
(NETL).
6. Jay A. Ratafia-Brown, Lynn M.
Manfredo, Jeff W. Hoffmann, Massood
Ramezan and Gary J. Stiegel, 2002, An
Environmental Assessment Of IGCC
Power Systems, Science Applications
International Corporation - U.S.
DOE/National Energy Technology
Laboratory, Presented at the Nineteenth
Annual Pittsburgh Coal Conference,
September 23 – 27.
7. Prenma consulting, 2005, Gasification
Process: Waste Energy Chain, Proactive
Energy Management SPRL, Brussel –
Belgium.
8. Engineering Subject Centre staff, July
2005, Education for Sustainable
Development, Briefing Papers, Energy
and Energy Systems Edition. ISBN
190480442X, Published by The Higher
Education Academy - Engineering
Subject Centre.
9. Samir Succar, Jeffery B. Greenblatt,
Robert H. Williams, 2006, Comparing
Coal IGCC with CCS and Wind-CAES
Baseload Power Options in a Carbon-
Constrained World, Conference
Proceedings, Fifth Annual Conference
on Carbon Capture and Sequestration-
DOE/NETL, May 8– 11.
10. The National Bioenergy Center, March
2007, Cellulosic Ethanol - Research
Advances, National Renewable Energy
Laboratory (NREL): NREL/BR-510-
40742.
11. [email protected], April
2007, Fact Sheet: Clean Coal Power
Plants (IGCC), No New Coal Plants
Network,
www.energyjustice.net/coal/igcc/ .
12. Roland Schenkel, 2008, Europe’s
Response: Promoting International
Research on Clean Energy
Technologies, Joint Research Centre,
European Commission.
13. Chan S Park, 2008, Baseline Technical
And Economic Assesment Of A Small
Scale Steam Hydrogasification Process
With Fischer-Tropsch Liquids Facility,
International Pittsburgh Coal
Conference 2008, Center for
Environmental Research and
Technology, University of California,
Riverside, Pittsburgh, PA, USA
September 29 – October 2.
14. Arun SK Raju, 2008, Steam
Hydrogasification Of Coal Wood
Mixtures In A Batch Reactor,
International Pittsburgh Coal
Conference 2008, Center for
Environmental Research and
Technology, University of California,
Riverside, Pittsburgh, PA, USA
September 29 – October 2.
15. Wabash River Energy Ltd. 2008,
Wabash River Coal Gasification
Repowering Project Final Technical
Report (PDF), The U.S. Department of
Energy/Office of Fossil Energy/National
Energy Technology
Laboratory/Morgantown, West Virginia.
Retrieved.
16. Schon, Samuel C., and Arthur A. Small
III, 2008, Climate change and the
potential of coal gasification."Geotimes
51.9 (Sept 2006): Expanded Academic
ASAP. Gale. University of Washington.
published on October.
17. IGCC Working Group, April 2009,
Feedback and Future Directions, Chair
Mr Ross Willims, Australia Asia-Pacific
Partnership, Cleaner Fossil Energy
Taskforce, Seoul - Korea.
18. Sarah Parsons, 2010, New Gasification
Process More Efficiently Converts
Biomass to Biofuels, via
©Inhabitat.com.
19. Omega Thermal Technologies, Inc.,
2010, Synthetic Fuels, Infrormation
Sheet.
20. Dietmar Keller, 2011, IGCC/CCS power
plant, RWE Information sheet on
European research into low-emission
coal-based power generation.
ISSN 0126 - 3463
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 128
PENELITIAN PROSES REDUKSI BIJIH BESI LANGSUNG DENGAN
BATUBARA
Rachmat
1
1Metal Industries Development Centre (MIDC) - Kementerian Perindustrian
Jl. Sangkuriang No. 12 Bandung 40135
E-mail : [email protected]
Abstrak
Telah dilakukan penelitian proses reduksi bijih besi langsung dengan batubara.
Tujuannya adalah untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk komposit pasir
besi dengan batubara sebagai reduktor sehingga menghasilkan spons iron. Metode penelitian
yang dilakukan, meliputi : (1) pembuatan alat bantu atau magnetic separator dan granular, (2)
proses reduksi (sintering), (3) karakterisasi produk reduksi, (4) proses peleburan, (5)
karakterisasi produk leburan. Hasil penelitian membuktikan bahwa dengan suhu reduksi
1.100oC dan 1.200
oC menghasilkan intensitas Fe yang cukup besar sedangkan pada suhu 1.000
oC tidak terlalu berpengaruh terbentuknya Fe. Dengan telah dikuasainya teknologi proses
reduksi bijih besi dengan batubara, maka diharapkan dapat menghasilkan spons iron yang
selama ini menjadi masalah yang dihadapi industri besi dan baja nasional.
Kata kunci : proses reduksi bijih besi, batubara, besi spon.
Abstract
Research on the iron ore direct reduction process with coal has been done. The aim is
to study the factors that affect the shape of composite sand iron with coal as a reductant to
produce sponge iron. Methods of research conducted, include: (1) creation tool or a magnetic
separator and granular, (2) the reduction process (sintering), (3) characterization of the
reduction product, (4) the melting process, (5) characterization of the reduction product. The
research proves that the temperature reduction 1.100oC and 1.200
oC produce substantial Fe
intensity while at a temperature of 1000° C does not significantly affect the formation of Fe.
Having mastered the technology of iron ore reduction process with coal, it is expected to
produce sponge iron which has been a problem faced by the national iron and steel industry.
Key words : reduction process of iron ore, coal, iron sponge.
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki potensi sumber
daya alam yang melimpah sebagai bahan
tambang, di ekspor dalam keadaan mentah
tanpa melalui proses peningkatan nilai
tambah secara berarti. Dilain pihak industri
di dalam negeri termasuk industri baja
sering mengalami kesulitan pasokan/impor
bahan baku/penunjang yang bahan dasarnya
sebenarnya terdapat di Indonesia.
Pasir besi merupakan salah satu
sumber bahan baku pembuatan besi cor dan
baja, namun pasir besi yang berlimpah di
Indonesia belum dapat dimamfaatkan
secara optimal. Bahkan belum ada industri
di Indonesia yang mengolah pasir besi
menjadi besi cor dan baja. Pada umumnya
pasir besi tidak lepas dari kandungan Titan
di dalamnya. Hal ini mengakibatkan perlu
teknologi yang spesifik dalam
pengolahannya karena pasir ini
mengandung ilminet.
Berdasarkan hasil analisa
petrografi, bijih besi Indonesia pada
umumnya mengandung Magnetik (Fe3O4),
Hematit (Fe2O3) dan llmenit (FeTiO3).
Proses reduksi langsung dalam
bentuk komsentrat pasir besi dengan
batubara sebagai reduktor merupakan
alternatif proses yang potensial untuk
dikembangkan. baik bijih besi maupun
batubara, relatif lebih longgar dibandingkan
dengan proses-proses konvensional yang
ada di dunia saat ini. Dengan teknologi
direct reduction, terbuka peluang untuk
memanfaatkan bahan baku lokal yang
129 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
paling potensial di tinjau dari jumlah
cadangannya, yaitu bijih besi laterit dan
pasir besi serta batubara jenis non-coking
coal.
Tujuan kegiatan penelitian ini
secara umum adalah suatu usaha
pendahuluan untuk :
1. Memahami mekanisme proses reduksi
dengan reduktor batu bara.
2. Mempelajari faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi reduktor batu
bara pada proses reduksi.
3. Menentukan kondisi optimal proses
reduksi secara Metoda Volumetri
4. Mempelajari kinetika reaksi heterogen.
5. BBLM dapat menguasai proses reduksi
bijih besi langsung dengan batu bara dan
sekaligus menguasai pembuatan spons
iron.
6. Menjadi salah satu solusi bagi berbagai
permasalahan yang dihadapi industri
besi dan baja nasional
Hasil yang diharapkan dari
penelitian ini adalah :
1. Dalam rangka pemanfaatan pasir besi
lokal dan bahan bakar kualitas rendah
cooking coal, lignite dsb) yang tidak
sesuai untuk persyaratan dapur tinggi,
antara lain dapat menghasilkan produk
antara untuk proses pembuatan baja atau
dapat pula menghasilkan produk besi
dengan kadar karbon rendah.
2. Penguasaan pemisahan pasir besi
dengan pengotor.
3. Penguasaan pembuatan pelet
4. Penguasaan proses sintering bijih besi
langsung dengan batubara.
5. Penguasaan proses peleburan dari mulai
charging, proses peleburan dan
pengujian di depan dapur dan
penuangan
6. Memberikan imformasi kepada pembaca
mengenai pengaruh perbandingan
komposisi, waktu dan temperatur
reduksi terhadap persen metalisasi besi
spons hasil reduksi langsung bijih besi
dengan pereduktor batubara.
7. Data parameter proses yang diperlukan
dalam pembuatan spons iron yang
mampu dikembangkan lebih lanjut
untuk proses secara massal.
LANDASAN TEORI
Mereduksi (Sintering)
Mereduksi metal-oksida adalah
suatu usaha untuk memperoleh metal murni
dari konsentratnya dengan cara
menghilangkan oksigen yang terikat
didalam kisi kristalnya melalui pereduktor
yang memiliki afinitas terhadap oksigen
lebih tinggi dibandingkan dengan metal
tersebut. Reduksi terhadap konsentrat bijih
besi secara komersial dilakukan
menggunakan reduktor gas CO dan H2.
konsentrat bijih besi umumnya berbentuk
hematite (Fe2O3), magnetite (Fe2O4),
wustite (FeO), ferrous carbonat (FeCO3)
atau titano magnetite (FeTiO3). Selanjutnya
CO dan H2 akan mengikat oksigen yang ada
pada bijih membentuk CO2 atau H2O dan
menghasilkan logam besi.
Masalah-masalah termodinamika
dan kinetik yang menyertai proses reduksi
bijih besi oksida ini adalah menyangkut
mungkin tidaknya direduksi oleh
pereduktor pada temperatur dan tekanan gas
reduktor tertentu, dan jumlah panas yang
harus diberikan untuk memulai reaksi
reduksi. Secara kinetika yang perlu
mendapat perhatian yakni kecepatan reaksi
menghasilkan besi. Kecepatan reaksi
ditentukan oleh luas permukaan reaksi,
difusivitas gas reduktor dan gas hasil
reaksinya pada bijih, porous atau tidaknya
produk reaksi, konsentrasi gas reduktor, dan
suhu.
Pengotor dalam proses reduksi bijih
besi oksida terutama ditinjau dari perilaku
pengotor tersebut dalam menurunkan
keaktifan bijih dan batubara dalam proses
reduksi pada tekanan atmosfer ruang dan
suhu proses tertentu serta jumlah panas
efektif yang diperlukan untuk memulai
reaksi reduksi. Selain itu adalah
kemungkinan pengotor membentuk larutan
padat atau terlarut dalam produk yang
dihasilkan
Reaksi yang melibatkan fasa padat
dan gas (reaksi heterogen) dan
menghasilkan suatu lapisan produk yang
membatasi reaktan, maka kehadiran lapisan
produk ini mempengaruhi laju ini sangat
menentukan laju reaksi melalui diffusivitas
gas pada lapisan produk padat. Tekanan gas
reduktor yang relatif tinggi memberikan
peningkatan kecepatan reaksi.
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 130
Termodinamika Sistem Fe - C – O
Kesetimbangan Fe-C-O dalam
proses ini adalah kesetimbangan antara Fe,
Fe oksida sebagai konsentrat, dan C sebagai
reduktor, serta gas-gas O2 CO, dan CO2
yang ada dalam kesetimbangan. Yang
termasuk dalam Fe oksida adalah hematite,
magnetite, wustite, dan berada dalam
kesetimbangan dengan Fe, C, CO, dan CO2,
C, CO, dan CO2 membentuk kesetimbangan
yang dinyatakan dalam reaksi berikut :
CO2 + C 2CO (1)
Konsentrat kesetimbangannya :
K (C) = p2(CO)/{p(CO2)aC} (2)
Untuk temperatur 600 0K sampai 1200
0C
memiliki nilai :
Log K( C ) = 9,11 – 8840 T oK (3)
Untuk p(CO) + p(CO2) = atm,
kemungkinan untuk mereduksi Fe – Oksida
dengan campuran CO dan CO2 sebagai
fungsi dari temperatur, diberikan oleh
diagram pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Bauer-Glaessner
untuk Ptotal 1 ATM
Dari Gambar 1 diketahui bahwa
pada suhu di atas 710 oC, seluruh Fe-
Oksida direduksi menjadi Fe dengan
campuran gas CO dan CO2, dengan tekanan
total 1 atm yang berkesetimbangan dengan
karbon. Pada suhu lebih rendah, komposisi
gas CO dan CO2 berubah (konsentrasi CO2
semakin besar). Dan reduksi hanya
menghasilkan wustite. Pada suhu dibawah
500oC reaksi deposisi karbon terjadi.
Dari Gambar 1 dapat pula diketahui
bahwa reduksi megnetite wustite
memerlukan gas CO yang paling sedikit,
karena kesetimbangan reaksi pada
temperatur kira-kira 680 oC terjadi pada 60
% CO2, dibandingkan dengan reduksi
wustite menjadi besi (±700 oC) yang
berkesetimbangan dengan hampir 40%
CO2. Pada diagram tersebut, tidak terlihat
reduksi hematite menjadi magnetite, yang
seharusnya berada di sebelah sisi kanan
garis magnetite-wustite, dengan harga
kesetimbangan CO2 yang sangat tinggi.
Dengan demikian, efektifitas terbanyak
penggunaan CO untuk mereduksi dari yang
terkecil sampai yang terbesar adalah :
reduksi hematite menjadi magnetite,
reduksi magnetite menjadi wustite, dan
reduksi wustite menjadi besi.
Jika reduksi dilangsungkan
dibawah temperatur-temperatur
kesetimbangan reaksi boudourd akan terjadi
dekomposisi karbon dan membentuk Fe3C
(besi karbida) didalam besi yang dihasilkan.
Pada temperatur lebih tinggi akan terjadi
perubahan besi (ferrite) menjadi besi-
(austenite)
Tahapan-tahapan untuk reduksi Fe-
oksida dengan gas CO pada temperature di
atas 5700C adalah sebagai berikut :
Fe2O3 Fe3O4 FeO Fe
Reaksi tahapan-tahapan di atas adalah
sebagai berikut :
1. 3Fe2O3 + CO 2Fe3O4 + CO2
∆GT = - 12470 – 9,8 T kal/mol ...(4)
2. Fe2O3 + CO 3FeO + CO2
∆GT = 8462 – 9,63 T kal/mol ....(5)
3. FeO + CO Fe + CO2
∆GT = - 3147 + 4,14 T kal/mol (6)
Pada suhu dibawah 570 0C, wustite
bersifat metastabil sehingga terjadi reaksi
langsung magnetite menjadi besi :
4. ½ Fe2O4 + CO ¾ Fe + CO2
∆GT = - 247 + 0,71 T kal/mol .... (7)
Pengaruh Unsur Pengotor
Pengotor dalam proses reduksi ini
berasal dari konsentrat dan batubara.
Pengotor adalah mineral-mineral atau unsur
yang tidak diperlukan dalam proses reduksi.
Pengotor-pengotor konsentrat tersebut
adalah : SiO2, AL2O3, MgO, dan CaO.
Sedangkan pengotor-pengotor batu bara
adalah : SiO2, MgO, AL2O3, TiO2, P2O5,
dll.
Pengotor-pengotor dalam proses
reduksi mengakibatkan penurunan
keaktifan besi oksida dan karbon (batubara)
dan merubah komposisi gas CO/CO2 dalam
131 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
reaksi reduksi tersebut, sehingga konstanta
kesetimbangan berubah dari keadaan
idealnya pada suatu temperatur. Penurunan
keaktifan besi-oksida ini disebabkan
asosiasi pengotor dengan besi oksida.
Asosiasi pengotor dalam partikel bijih
berbentuk :
1. Dua phasa yang terlepas
2. Phasa berbeda dalam bentuk campuran
kristal
3. Phasa yang sama
Adanya pengotor menyebabkan
penurunan keaktifan besi-oksida dalam
partikelnya. Secara termodinamika, adanya
pengotor menyebabkan selalu terdapat
mineral yang tidak dapat diubah menjadi
metalnya dalam proses reduksi.
Pengotor-pengotor juga
mempengaruhi pemakaian panas reaksi,
yaitu memerlukan panas yang diberikan
untuk proses reduksi karena pengotor-
pengotor tersebut memiliki kapasitas panas
masing-masing.
Secara kinetika, pengotor yang
berada didalam partikel akan membentuk
abu dan bersama-sama dengan produk
reaksi mempengaruhi difusitas gas reduktor
yang masuk kedalam partikel bijih. Jika abu
tersebut porous, maka laju reaksi tidak
dipengaruhi oleh difusi gas. Tetapi jika
tidak porous, maka laju reaksi dipengaruhi
oleh difusi gas.
METODOLOGI PENELITIAN
Kegiatan Laborarorium
1. Bahan-bahan yang digunakan
a. Pasir besi jenis ilmenit dari daerah
Sukabumi Jawa Barat (Tabel 1).
b. Batubara sebagai bahan pereduktor
dari daerah Kalimantan Selatan
(Tabel 2).
2. Peralalatan yang digunakan
a. Magnetic separator
b. Granurator
c. Neraca timbangan
d. Ayakan (ukuran 100, 150, dan 200
mesh)
e. Burning furnace (Tungku pembakar)
f. Pengering (oven)
g. Thermocouple Pt-Rh
h. Induction Furnace
i. Lumpang Agate
Tabel 1. Komposisi kimia head
sampel bijih besi Ilmenit
No Unsur %
1 Fe Total 62,6
2 Fe++
14,2
3 V2O5 0,5
4 TiO2 15,77
5 P 0,098
6 S 0,04
7 SiO2 1,5
8 MgO 2,2
9 Al2O3 2,50
10 CaO 0,50
11 K2O 0,48
12 NgO 0,13
Tabel 2. Spesifikasi batubara
Analisa Parameter Presentase
(%)
Analisa proksimat H2O 19,1
Abu 2,16
Zat terbang 40,65
Fixed 38,09
Carbon 0,11
S 55,3
C 4,2
H 0,6
N 18,53
O
Nilai Kalori : 5745
Kkal/kg
Gambar 2. Magnetic separator
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 132
Gambar 3. Granulator
Gambar 4. Lumpang agate
Gambar 5. Neraca timbangan
Gambar 6. Ayakan
Gambar 7. Pengering (oven)
Gambar 8. Burning furnace
Gambar 9. Induction furnace
Gambar 10. Heating furnace
133 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Prosedur Percobaan
1. Tahapan persiapan
a. Prosedur untuk analisa kimia,
meliputi :
Ayak 1 kg consentrat dengan
ayakkan berukuran : ( 4, 12, 45,
70, 100) mesh.
Timbang berat consentrat
Gerus consentrat tersebut dengan
menggunakan lumpang agate
sampai consentrat berukuran 200
mesh sebanyak 25-30 gram.
Analisa kandungan consentrat
tersebut.
b. Prosedur preparasi consentrat,
meliputi :
Bijih besi kode contoh I-A terdapat
dalam karung dengan berat 42 kg
konsentrasi tersebut berukuran
homogen sehingga tidak diperlukan
pengecilan ukuran sebelum proses
reduksi.
Seluruh pasir besi dikeluarkan
dari karung dan disaring
menggunakan Ayakkan untuk
memisahkan kotoran.
Pasir besi kemudian dimasukkan
kedalam hopper yang berada
diatas mesin magnetic separator.
Kemudian hidupkan mesin
magnetic separator tsb sehingga
memisahkan antara consentrat
dengan pengotornya.
Hasil pemisahan yang didapat
adalah
- Consentrat = 23 kg
- Pengotor = 19 kg
Sehingga didapat bijih besi murni
54%
c. Prosedur pembuatan pellet
(peletizing)
Periksalah mesin mixer, granulator
dan peralatannya dengan sempurna
serta tak lupa memakai alat
keselamatan kerja.
Siapkan konsentrat, batubara, batu
kapur, bentonit, yang telah di
tentukan nisbah komposisinya dan
air secukupnya.
Masukkan bahan tadi untuk
dicampurkan kedalam mesin mixer
dan hidupkan selama kurang lebih
5 menit
Kemudian masukkan bahan yang
telah dimixer tersebut semuanya
kedalam mesin granulator untuk
pembuatan pellet terjadi dengan
sendirinya.
Penambahan air harus dilakukan
agar pembuatan pelet sempurna.
d.Prosedur dehidrasi pellet
Dilakukan didalam oven, temperatur
operasi sekitar 200 0C, terlebih
dahulu ditetapkan waktu tinggal
konsentrat didalam oven.
Pelet diletakkan kedalam cawan
dan dimasukkan kedalam oven
Operasikan oven dan diset pada
temperatur 50 0C
Tiap periode waktu 60 menit,
naikkan temperatur 50 0C sampai
mencapai pada temperatur 200 0C
selama 24 jam untuk
menghilangkan ikatan air
kristalinnya.
Lakukan langkah-langkah diatas
untuk semua proses dehidrasi
pelet
2. Proses reduksi (Sintering)
Dilakukan di dalam tungku pembakaran,
dengan prosedur sebagai berikut :
Periksalah tungku pembakaran dan
peralatannya dengan seksama
Masukkan pellet yang telah
didehidrasi kedalam cawan
Letakkan pada ruang pembakaran
dan turunkan kembali penutupnya.
Nyalakan tungku pembakaran pada
suhu yang telah ditentukan,
bersamaan dengannya, burner
menyala.
Suhu acuan didapat dalam periode
waktu tertentu, jika suhu telah
tercapai, tandai waktu (jam
pengamatan) waktu tinggal proses
sintering 45 menit.
Jika waktu telah tercapai, matikan
tungku pembakaran, naikkan kembali
penutupnya, keluarkan produk reaksi
dari tungku pembakaran dan
tampung dalam wadah yang bersih.
Analisa kandungan Fe o dan Fe total
untuk memperoleh metalisasi.
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 134
3. Karakterisasi produk reduksi
Karakteristik produk reaksi meliputi satu
hal yaitu : analisa kimia basah.
Dilakukan di laboratorium kimia Balai
Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T),
Jalan Sangkuriang No 14 Bandung dan
untuk pengujian Slag dilakukan di
Laboratorium Pusat Survey Geologi
Bandung.
Pemilihan Variabel Operasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi
konsumsi batubara adalah jumlah batubara
yang ditambahkan, jenis batubara, dan suhu
operasi. Lebih jelasnya diuraikan pada
paparan di bawah ini.
1. Jumlah Batubara (Fe/C)
Mengingat pengaruh pengotor terhadap
keaktifan masing-masing padatan pada
percobaan ini yaitu mengubah
komposisi gas reduktor dari
kesetimbangan termodinamiknya.
Nisbah yang dioperasikan adalah 8%,
10%, 12%.
2. Suhu operasi
Dipilih di atas 815 0C karena proses
gasifikasi batubara terjadi signifikan
hanya pada suhu diatas 815 0C
(E,Sanwani, 1997), Selain itu juga suhu
dibatasi dengan kemampuan alat yakni
1.200 0C, suhu yang dioperasikan adalah
: 1.000 0C, 1.100
0C, 1.200
0C.
3. Waktu Reduksi
Untuk mengetahui pengaruh nisbah
Fe/C dan suhu terhadap persen
metalisasi, maka proses reduksi
dilakukan dengan waktu yang sama.
waktu optimum reaksi diperoleh dari
percobaan pendahuluan menggunakan
tungku pembakar, dimana pada selang
tersebut persen metalisasi yang
diperoleh optimum dan kenaikan persen
metalisasi pada selang tersebut tidak
signifikan.
4. Jenis Batubara
Batubara yang dipergunakan hanya satu
jenis sehingga variasi jenis batubara
tidak dioperasikan. Batubara yang
digunakan adalah jenis batubara yang
banyak terdapat di Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Percobaan
1. Dehidrasi pelet
Dehidrasi pelet ditujukkan guna
menentukan waktu dehidrasi terhadap
contoh awal. Tabel 3 berikut merupakan
hasil dehidrasi contoh yang ditimbang
per waktu :
Tabel 3. Berat dehidrasi awal per waktu
No Waktu
(menit) Berat (gram)
1 0 60
2 30 57
3 60 56,5
4 75 56
5 90 55
6 105 53.1
7 120 53.1
2. Analisa kimia hasil proses reduksi
Untuk lebih jelasnya dapat ditunjukkan
pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Analisa kimia hasil proses reduksi
Temperatur
(oC)
Nisbah
Fe/C
%
% Fe %
Metalisasi
1.000
8
10
12
51,30
50,69
48,84
81,94
80,97
78,01
1.100
8
10
12
52,46
53,11
53,09
83,80
84,84
84,80
1.200
8
10
12
51,93
50,04
50,75
82,95
79,93
81,07
3.Hasil Peleburan
Percobaan peleburan terhadap hasil-hasil
uji reduksi dilakukan di dalam dapur
induksi, karena keterbatasan alat, simulasi
injeksi gas nitrogen hanya dapat
dilakukan sampai permukaan cairan
logam saja, tidak bisa mencapai cairan
terak.
Kondisi-kondisi pada percobaan
peleburan sebagai berikut :
Peleburan 1
- Berat pellet llmenit hasil reduksi : 33 kg
- Berat fluks kapur (CaO) 2% : 66 gram
Pada kondisi-kondisi peleburan no 1 di
atas diperoleh logam kasar (pig iron)
seberat 29 kg, dan terak (slag) seberat 4
135 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
kg. sehingga di dapat logam besi sekitar
89%.
Pig iron yang diperoleh dianalisis dengan
alat emission spectrometer Shimadzu,
hasilnya ditampilkan pada Tabel 5 dan
juga analisa kimia terak ditampilkan pada
Tabel 6.
Gambar 11. Ingot (produk peleburan)
Gambar 12. Slag (limbah peleburan)
Tabel .5. Komposisi kimia pig iron
Unsur /
Senyawa %
Unsur/
Senyawa %
Fe 96,73 V 0,010
C 2,051 Ti 0,035
Si 0,228 Nb 0,000
Mn 0,111 Sn 0,007
Cr 0,050 V 0,093
Ni 0.006 Mg 0,000
Mo 0,000 Cu 0,665
Pembahasan Teknologi Proses
1. Sifat Kimia Bahan Baku
Berdasarkan hasil analisis kimia (Tabel
2) diketahui bahwa konsentrat
mengandung unsur-unsur pengotor.
Pengotor yang paling dominan berurutan
mulai yang terbesar adalah SiO2, Al2O3,
V2O5, TiO2, MgO dan CaO. Unsur-unsur
tersebut selain berpengaruh buruk
terhadap proses reduksi karena secara
termodinamika berdasarkan keaktifan
consentrat dan batu bara untuk
mengubah komposisi gas CO/CO2 pada
proses reduksi sehingga harga konstanta
tetapan kesetimbangan reaksi berubah
dari idealnya.
Adanya unsur-unsur pengotor dalam
consentrat inkonvensional tersebut
mungkin dalam hal tertentu dapat
memberikan dampak positif terhadap
komposisi baja yang dihasilkan. Sebagai
contoh, dewasa ini di Jepang sedang
dikembangkan logam Titanium untuk
tujuan pembuatan logam khusus.
Dengan melihat consentrat yang
mengandung unsur tersebut dalam
jumlah yang cukup tinggi, membuka
peluang pemamfaatan pasir besi ini
sebagai bahan baku pembuatan besi baja
dan sekaligus pengembangan
diversifikasi produk-produk logam lain.
2. Proses reduksi
Proses reduksi langsung (direct
reduction) bijih besi didefenisikan
sebagai pengambilan/pengurangan
sebagian besar kandungan oksigen
dalam bijih tersebut sehingga hampir
seluruhnya yang tertinggal adalah logam
besi serta merupakan pemanasan awal
bijih sebelum dilebur. Sedangkan proses
peleburan (smelting) merupakan proses
reduksi lanjutan dengan menggunakan
reduktor serta tahap dimana terjadi
pemisahan fasa logam dan fasa terak,
proses peleburan dilakukan
menggunakan induction furnace.
3. Pengaruh temperatur reduksi
Reduksi dengan perubahan temperatur
dilakukan pada temperatur 1.000 oC,
1.100 oC, dan 1.200
oC. Hasil reduksi
menunjukkan Adanya kecenderungan
metalisasi yang makin naik walaupun
relatif tidak significan terutama pada
temperatur 1.000 oC dan 1.200
oC. Pada
temperatur 1.100 oC, gas CO yang
terbentuk oleh reaksi antara C dalam
batubara dengan oksigen akan stabil
pada temperatur tersebut sehingga reaksi
reduksi lebih mudah berlangsung.
Dengan didapatnya kestabilan pada
temperatur ini, reaksi-reaksi reduksi,
khususnya reaksi bijih besi akan
semakin cepat. Oksida-oksida lainnya
seperti A12O3 dan SiO2 sampai
temperatur 1100OC belum akan
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 136
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
900 1000 1100 1200 1300
Temperatur
% M
eta
lisasi...
.
Fe/C=8%
Fe/C=10%
Fe/C=12%
Line 4
Line 5
tereduksi. selanjutnya diikuti oleh besi
yang tereduksi di atas temperatur 900 oC. Sedangkan Titanium akan tereduksi
pada temperatur yang lebih tinggi (R.
Binudi, 1999). Dari Gambar 13, persen
metalisasi tertinggi diperoleh pada
temperatur 1100 oC yakni sebesar
84,84% dengan nisbah Fe/C=10%.
Gambar 13. Grafik pengaruh temperatur
terhadap % metalisasi
4. Pengaruh komposisi bahan pereduksi
batubara
Penambahan reduktor batubara
berhubungan dengan ketersediaan unsur
carbon yang berguna membentuk gas
CO dengan unsur carbon yang berguna
membentuk gas CO dengan unsur
oksigen yang ada dalam bijih. Dengan
adanya udara, bahan pereduksi batubara
pada temperatur diatas 600 oC akan
berubah menjadi CO, yang berguna
untuk mereduksi besi oksida yang ada
dalam konsentrat.
Dari Gambar 13. terlihat persen
metalisasi optimum diperoleh pada
temperatur 1.1000C dengan nisbah Fe/C
= 10%, baik untuk Temperatur 1.0000C,
1.1000C, dan 1.200
0C dari grafik juga
terlihat kecenderungan persen metalisasi
menurun untuk nisbah Fe/C = 12, Fe/C
= 8 dan Fe/C = 10 akibat dari gas CO
terbentuk Belum sempurna atau
komposisi gas C2 > gas CO. Hal ini
disebabkan unsur carbon yang
membentuk gas CO sudah habis
tergasifikasi sehingga masih ada besi
oksida yang Belum tereduksi atau
Belum tereduksi sempurna. Agar proses
reduksi berjalan sempurna menurut
diagram Bauer-Glaessner pada
temperatur diatas 800 oC, komposisi
CO/(CO + CO2) > 80 %. Selain itu gas
CO yang dihasilkan selain dipakai untuk
mereduksi besi oksida juga dipakai
mereduksi unsur lain seperti nikel dan
khrom.
Menambahkan terus batubara selain
akan memperkecil jumlah bijih besi juga
akan menghasilkan abu batubara yang
lebih banyak yang selanjutnya akan
menghalangi gas reduktor untuk kontak
dengan bijih sehingga persen metalisasi
akan menurun, hal ini ditunjukkan pada
nisbah Fe/C = 12% pada temperatur
10000C. Seperti diketahui dari analisa
ultimat dan proksimat batubara yang
digunakan merupakan batubara yang
banyak mengandung pengotor-pengotor
sehingga pada proses gasifikasi akan
dihasilkan abu batubara.
Gambar 14. Grafik pengaruh Fe/C
terhadap % metalisasi
5. Pengaruh waktu reduksi
Waktu reduksi yang makin lama
memberikan kesempatan gas CO untuk
menembus bagian atau lapisan partikel
besi oksida yang paling dalam. Dengan
demikian, gas CO dapat mereduksi besi
oksida dengan sempurna.
Hubungan antara waktu lamanya reduksi
dengan persen metalisasi diperlihatkan
pada Gambar 15.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa
persen metalisasi meningkat dengan
bertambah lamanya waktu reduksi
sampai ke tingkat tertentu dimana harga
persen metalisasi mulai menurun. Dari
15 – 30 menit kenaikan persen
0
20
40
60
80
100
0 1 2 3 5
Nisbah Fe/C
% M
eta
lisa
si .
1000oC
1100oC
1200oC
137 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
metalisasi tidak significan (dapat
dikatakan tetap), tetapi dari 30 – 45
menit, persen metalisasi mengalami
kenaikan. Mulai dari menit 45, harga
persen metalisasi menurun. Hal ini
mungkin disebabkan oleh terjadinya
oksidasi kembali logam besi menjadi
oksidanya.
Gambar 15. Grafik pengaruh waktu terhadap
% metalisasi
6.Proses Peleburan
Peleburan terhadap hasil reduksi, seperti
diuraikan sebelumnya, menunjukkan
masuknya unsur-unsur seperti Ni, Cr,
dan Mn ke dalam pig iron. Dari 33kg
pellet hasil reduksi yang dilebur ternyata
berat pig iron yang diperoleh adalah
seberat 29 kg (89%) sedangkan terak
yang dihasilkan adalah 4 kg (11%). Ini
menunjukkan sudah optimalnya proses
reduksi dan peleburannya sendiri.
Pig iron yang didapat menurut standar
termasuk jenis kadar karbon tinggi dan
masih mengandung unsur belerang dan
posfor yang relatif tinggi. Oleh karena
itu pig iron yang dihasilkan
memungkinkan dipakai sebagai bahan
baku pengecoran besi namun belum bisa
dipakai sebagai bahan baku baja, kecuali
dilakukan pemurnian selanjutnya.
Analisa Ekonomi Faktor utama yang paling penting
didalam mengkaji suatu proses adalah biaya
produksi, suatu proses bernilai positif dan
memiliki efesiensi yang tinggi apabila
dalam proses produksinya mampu
menghasilkan produksi yang tinggi dan
biaya yang relatif lebih murah. Kedua
faktor di atas yaitu biaya dan produksi
merupakan hal yang paling mudah dilihat
dan diuji.
Menimbang faktor-faktor tersebut
di atas, di dalam hal penelitian reduksi bijih
besi dengan batubara, proses reduksinya
yaitu dengan proses reduksi langsung.
Pada Tabel 7-10 (terlampir)
diuraikan biaya produksi untuk pembuatan
ingot dari bahan baku pasir besi sebanyak
per 500 kg ditinjau dari segi biaya operasi
yang dipakai dan biaya investasi mengacu
pada standar harga yang ada.
Dari uraian di atas terlihat bahwa
keuntungan perusaan mendapatkan 1.030
per kg dari harga jual Rp. 6.000 yang ada
dipasaran.
Teknologi proses benefisiasi
Proses peningkatan kadar Fe
(benefisiasi) adalah melalui metode
pemisahan dengan Magnetic Separator,
perlu diketahui dahulu besarnya komposisi
Fe2O3 dan Fe3O4 didalam pasir besi halus,
apabila pasir besi bersifat magnet kuat atau
hampir 100% mengandung Fe3O4 maka
pemisahan dengan magnetic separator dapat
langsung di lakukan, agar material-material
non magnet dapat dipisahkan dari besi
magnetic. Apabila pasir besi banyak
mengandung besi Hematie (Fe2O3), maka
pasir besi halus tersebut perlu dilakukan
proses roasting terlebih dahulu sehingga
Fe2O3 dapat diubah menjadi Fe3O4 yang
bersifat magnetic, setelah dilakukan
magnetic separation akan dihasilkan pasir
besi halus dengan kadar Fe sekitar 60 – 62
%.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat
diambil dari hasil penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Pasir besi lokal dapat direduksi
menghasilkan besi sponge dengan
menggunakan batubara sebagai
reduktor.
2. Pemisahan secara magnetik separator
yang dilakukan terhadap head sampel
pasir besi, menunjukkan adanya
peningkatan kadar Fe dari 49 %
menjadi 58 % dan tingginya nilai
perolehan besi.
METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011 138
3. Metalisasi hasil reduksi tertinggi
mencapai 84,84% pada temperatur
1100 0C dan nisbah Fe/C 10% dengan
waktu 45 menit.
4. Kereaktifan batubara dan tingkat
reduksi bijih menentukan karakteristik
grafik persen metalisasi terhadap
temperature dan nisbah Fe/C.
semangkin tinggi temperature maka
semangkin tinggi persen metalisasi
yang dihasilkan.
5. Berdasarkan hasil premodelan kinetika
diperoleh bahwa pengendali reaksi
proses ini dikendalikan oleh mekanisme
difusi lapisan produk.
6. Jenis pig iron yang diperoleh adalah
kadar sejenis dengan besi karbon tinggi
yang dapat dipakai untuk bahan baku
pengecoran.
Saran
1. Penelitian reduksi langsung bijih besi
dengan reduktor batubara memerlukan
pengerjaan yang lebih representatif,
salah satunya teknologi proses
pengolahan pasir besi ini memerlukan
peralatan khusus karena terak yang
terbentuk memiliki kandungan titanium
yang tinggi dapat merusak dinding
tungku.
2. Hal lain yang perlu dipikirkan yakni
bijih besi ikutan seperti bijih timah
dikenal dengan sebutan ilmenit (FeTiO3)
merupakan bijih besi yang terdiri dari
oksida besi dan titan, teknologi
pengolahan ilmenit menjadi produk
bijih besi dan titanium oksida sampai
saat ini hanya terdapat di Australia,
karena di Australia ilmenit betul-betul
murni ilmenit sedangkan di Indonesia
bercampur Xenotine, Zeratine dan lain-
lain.
3. Penelitian pemanfaatan pasir besi local
perlu terus dilakukan secara terpadu
dengan memperlihatkan perkembangan
diversifikasi produk-produk baja
dipasaran.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bainudi R., 1999, Undang, A.H.,
Susanto, Kuswara, Reduksi Bijih Besi
Laterit dalam Pelet dengan Reduktor
Batubara Tanpa Bentonit, Prosiding
Pemaparan Hasil Litbang Ilmu
Pengetahuan Teknik, Bandung, hal. 509-
514.
2. Fienman, J., 1999, Direct Reduction and
Smelting Processes, Iron making
Volume, The AISE Steel Foundation,
Pittsburgh, hal. 743-744, 746-747, 762-
763.
3. Gupta, R.C., S.N., 2001, Composite Pre-
Reduced Pellet Quality as Affected by
Reduction Reativity, ISIJ International
Vol. 41, hal. S9-S12.
4. Kasai, E., Kitajima, T., Kawaguchi, T.,
Nakamura, T., 2000, Carbothermic
Reduction of Iron Oxide and Coal
Composite in Packed Bed Combustion
Process, Minprex, hal. 499-507.
5. Levensipiel, O., 1999, Chemical
Reaction Engineering, Jhon Willey &
Sons Inc., New York, hal. 566-586.
6. Purwanto, H., T., Takahasi, R., Yogi, J.,
Lowering of Grinding and Enhancement
of Agglomerate Srength by Dehydration
Laterite Ore, ISIJ International Vol. 42,
2002, haal. 243-247.
7. Sanwani, E., Sudarsono, A., Sule, D.,
1997, Diklat Pemanfaatan Batubara
(Coal Utilization), ITB, Bandung.
8. Shin, S., Sahajwalla, V., Kang, T., Lu,
L., 2000, Properties and Reactivity of
Coal Chars for COREX Process,
Minprex, hal. 587-595.
9. Yudawinata, K., dan Sunarya, Y., 1996,
“Sumberdaya Logam dan Paduan Besi
di Indonesia untuk Menunjang Industri
Besi Baja, Prosiding Kolokium
Pertambangan, Bandung.
10. Yusuf, dan Arif, A., 1996, ”Endapan :
Laterit Sebagai Cadangan Besi-Baja
Indonesia, Simposium Nasional Besi-
Baja, ITB, 14-15 Oktober.
11. Yusuf, R., Karakteristik Reduksi
Langsung Campuran Bijih Laterit dan
Pasir Besi dalam Komposit Bijih Besi-
Batubara, Buletin Tekmira No. 26,
Bandung, September, 2002.
12. Prosiding Seminar Nasional Besi Baja (
SNBB 2009 )
139 METAL INDONESIA Vol.33 No.2, Desember 2011
Tabel 6. Komposisi Kimia Terak
% Fe
Total
%
TiO2
%
SiO2
%
MnO
%
Al2O3 % CaO % Cr % Ni %MgO %Co
3,30 13,26 27,19 2,66 7,42 1,01 0,470 0,0083 3,09 O,0226
Tabel 7. Biaya bahan baku
No. Satuan Kadar (%) Berat (kg) Harga / kg Harga jual
per hari
Harga jual 1
tahun
1. Bahan baku 500
2. Komposisi
3. Pig iron 50 % 250 6.000 1.500.000 450.000.000
Total 1.500.000 450.000.000
Tabel 8. Biaya Peralatan
Biaya
No. Alat Total
1. Peralatan utility 150.000.000
2. Total peralatan mesin 150.000.000
Total Investasi 300.000.000
Tabel 9. Biaya operasional
No. Kebutuhan dana Harga/kg Kebutuhan Biaya per hari Biaya per tahun
1. Bahan baku (kg) 350 50 % 175.000 52.500.000
2. Bahan kimia Floating 500 10 % 60 18.000.000
3. Listrik (kVA) 125 kVA 500.000 12.500.000
4. Gaji orang 85.000.000
5. Administrasi (ATK
dsb)
500.000 12.500.000
6. Lain-lain 15.000.000
Total biaya operasional 195.500.000
Tabel 10. Hasil perhitungan ekonomi harga jual/kg dalam 1 tahun
1. Biaya operasional 195.500.000 1.303
2. Biaya investasi 3 tahun 100.000.000 667
3. Biaya produksi 295.500.000 1.970
4. Harga penjualan per tahun 450.000.000 3.000
5. Keuntungan perusahaan 154.500.000 1.030