VISUM ET REPERTUM SEBAGAI SARANA …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI...
Transcript of VISUM ET REPERTUM SEBAGAI SARANA …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI...
VISUM ET REPERTUM SEBAGAI SARANA PEMBUKTIAN PERKARA
PENGANIAYAAN ANTARA DEWI PERSIK dan JULIA PEREZ (Studi
Kasus No.569/PID.B/2011/PN.JKT.TIM)
SKRIPSI
OLEH :
CHATRINA YOHANA
E1A009211
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
VISUM ET REPERTUM SEBAGAI SARANA PEMBUKTIAN PERKARA
PENGANIAYAAN ANTARA DEWI PERSIK dan JULIA PEREZ (Studi
Kasus No.569/PID.B/2011/PN.JKT.TIM)
SKRIPSI
OLEH :
CHATRINA YOHANA
E1A009211
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama : Chatrina Yohana
NIM : E1A009211
Judul : “Visum Et Repertum Sebagai Sarana Pembuktian
Perkara Penganiayaan Antara Dewi Persik dan Julia Perez (Studi
Kasus No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM) .
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan orang lain.
Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut
diatas, maka saya bersedia dikenai sanksi apapun dari Fakultas.
Purwokerto,10 Desember 2013
Hormat Saya,
Chatrina Yohana
NIM. E1A009211
iv
ABSTRAKSI
Begitu banyak persoalan tindak pidana yang terjadi di sekitar kita,
oleh karena itu di butuhkanlah hukum pidana. Dalam menyelesaikan berbagai
persoalan tindak pidana tersebut, diperlukanlah hukum acara pidana, yang
akan menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Hukum Acara
Pidana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Hukum acara pidana mempunyai tujuan yaitu mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil dengan tujuan mencari
siapakah pelaku yang dapat didakwakan dan meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa pidana telah
dilakukan. Untuk menentukan benar atau tidaknya terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan kepada dirinya, maka diperlukan suatu
pembuktian. Dalam pembuktian, harus sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan
adanya alat bukti yang sah yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP.
Pembuktian tindak pidana penganiayaan di persidangan, pada perkara
No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM yang terjadi di antara Dewi Persik dan Julia
Perez telah terbukti dengan adanya bantuan tenaga ahli yaitu ahli kedokteran.
Keterangan dari dokter dari hasil pemeriksaan tertuang dalam bentuk surat
yang disebut Visum et Repertum. Sesuai dengan isi dari visum et repertum
No.1041/TU.FK/XI/2010, bahwa Dewi Persik mengalami luka-luka lecet
akibat kekerasan tumpul. Telah terbukti bahwa Julia Perez sebagai terdakwa
telah melakukan tindak pidana penganiayaan sesuai dengan Pasal 351 KUHP
dan sesuai dengan isi visum et repertum.
Kata Kunci : Penganiayaan, Visum et Repertum
v
ABSTRACT
Many criminal’s problem happened around us. To solve the problem
in crimal cases, needed the Criminal Procedure Law to make sure who’s the
defendant. According to the Criminal Procedure Law in Indonesia in Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981. The purpose of A Criminal Procedure Law is
to get the truth of the cases and a verdict of the cases to prove that the
criminal has been done. So, needed the authentication. In Authentication,
must comply with the Criminal Procedure Law in Article 183 at least in a
provement must meet a minimum of two (2) valid evidence contained in
Articles 184 Criminal Procedure Law.
Proof of persecution at the trial in cases
No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM that happened between Dewi Persik and
Julia Perez has been proven by medical expert. The Information from the
docter according to the investigation contained in Visum et Repertum.
According to the contents of visum et repertum No.1041/TU.FK/XI/2010,
that Dewi Persik have abrasion because of the violence. It has been proven
that Julia Perez is defendant who has done persecution according to acticle
351 KUHP and visum et repertum.
Key Words : Persecution, Visum et Repertum
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena dengan kasih
karunia dan berkatNya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul “VISUM ET REPERTUM SEBAGAI SARANA
PEMBUKTIAN PERKARA PENGANIAYAAN ANTARA DEWI PERSIK
DAN JULIA PEREZ (Studi Kasus No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM) tersebut
dengan baik.
Penulis menyadari bahwa terselesainya penulisan skripsi ini tidak
terlepas dari bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai
pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bapak Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I
saya, atas kesabaran beliau dalam membimbing serta memberikan masukan,
dorongan dan motivasi kepada penulis.
3. Bapak Dr. Agus Raharjo, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II
saya, yang telah memberikan saran, bimbingan, motivasi dan dorongan
kepada penulis selama proses penyelesaian penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Penilai Skripsi, yang telah
memberikan saran-saran serta evaluasi yang sangat berguna bagi penulis
terkait dengan penyusunan skripsi ini.
5. Pengadilan Negeri Jakarta Timur, atas bantuannya dalam proses penyusunan
skripsi ini.
vii
6. Orang tua penulis (Papa M.Tambunan dan Mama T.Lumban Batu), serta
adik-adik penulis (Michael Martin Tambunan dan Daniel Teguh Tambunan)
yang telah memberikan motivasi, semangat, cinta, dan kasih sayangnya
sebagai orang tua dan adik-adik terkasih, keluarga yang luar biasa
yang telah memberikan saya doa dan nilai-nilai hidup yang sangat
berarti bagi penulis dalam menjalani kehidupan sekarang dan selanjutnya.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, adanya saran yang membangun bagi penulis adalah hal
yang berarti guna penyempurnaan dalam penulisan skripsi ini untuk menjadi lebih
baik. Demikian, harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Terima kasih.
Purwokerto, Desember 2013
Chatrina Yohana
E1A009211
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................. ii
SURAT PERNYATAAN .................................................................... iii
ABSTRAK ........................................................................................ iv
ABSTRACT ...................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................ vi
DAFTAR ISI ..................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Perumusan Masalah............................................................. 9
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 9
D. Kegunaan Penelitian ............................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Hukum Acara Pidana ........................................................... 11
1.1 Pengertian Hukum Acara Pidana ..................................... 11
1.2 Tujuan Hukum Acara Pidana .......................................... 14
1.3 Asas-Asas Dalam Hukum Acara Pidana ........................... 16
2. Pembuktian ........................................................................ 24
2.1 Pengertian Pembuktian ................................................... 24
2.2 Teori-Teori Sistem Pembuktian ....................................... 26
2.3 Alat Bukti ..................................................................... 30
3. Visum et Repertum.............................................................. 37
3.1 Pengertian dan Tujuan Visum Et Repertum ...................... 37
3.2 Peran Visum Et Repertum............................................... 40
3.3 Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum ....................... 42
4. Tindak Pidana Penganiayaan ................................................ 43
ix
BAB III METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan ............................................................. 50
2. Spesifikasi Penelitian........................................................... 50
3. Lokasi Penelitian................................................................. 50
4. Sumber Bahan Hukum ......................................................... 51
5. Metode Pengumpulan Bahan ................................................ 51
6. Metode Penyajian Bahan...................................................... 52
7. Metode Analisis Bahan ........................................................ 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ................................................................... 53
B. Pembahasan........................................................................ 75
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................ 107
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berhubungan satu dengan
yang lain, karena manusia tidak dapat hidup sendiri. Di dalam kehidupan
terdapat norma-norma yang sangat berpengaruh di dalam menentukan
perilaku anggota masyarakat tersebut. Norma-norma tersebut dibuat demi
ketertiban dan keserasian di dalam kehidupan bersama, dan di antara norma-
norma tersebut terdapat norma hukum. Menurut M.H. Tirtaamidjata, S.H.,
bahwa hukum adalah:
“semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.”1
Dan hukum itu memiliki beberapa unsur pokok yang mendasar yaitu:
1. Peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat;
2. Peraturan yang ditetapkan oleh bersama; 3. Peraturan yang bersifat memaksa; 4. Peraturan yang memiliki sanksi yang tegas.
Dengan demikian, keberadaan norma hukum tersebut sudah menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena masyarakat menjadi
tempat bagi dilahirkannya hukum yang bersangkutan. Sehingga dari
terciptalah sebuah istilah di dalam bahasa latin, yakni ubi societas, ubi ius,
1http://arengcilawu.blogspot.com/2013/01/selayang-pandang-hukum.html, diakses pada tanggal 5 September 2013, pukul 14:14 wib.
2
yang artinya adalah “dimana ada masyarakat, disitu ada hukum”. Dan dalam
mempelajari norma hukum tersebut, tidak boleh terlepas dari mempelajari
tentang manusia dan tingkah lakunya di dalam masyarakat.
Ilmu hukum dibagi menjadi dua, yaitu hukum privat dan hukum
publik. Hukum privat lebih mengatur kepentingan perorangan, sedangkan
hukum publik mengatur kepentingan umum.Dalam hal ini, hukum pidana
termasuk hukum publik, dan hukum pidana lebih mempelajari norma-norma
atau aturan-aturan hukum pidana dan pidananya. Tujuan dari mempelajari
hukum pidana tersebut salah satunya adalah agar para petugas hukum dapat
menerapkan aturan-aturan hukum pidana secara tepat dan adil. Serta fungsi
hukum pidana pada umumnya adalah untuk mengatur dan menyelenggarakan
kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban
umum. Oleh karena itu barang siapa yang melanggar ketentuan yang ada
dalam hukum pidana Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan memenuhi unsur-unsur yang
ditetapkan dalam ketentuan tersebut maka dapat dikenai sanksi pidana.2
Dalam kaitannya dengan hukum pidana sendiri, hukum pidana pada
hakekatnyaterbagi menjadi dua, yaitu hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil. Hukum pidana materiil adalah hukum yang memuat peraturan-
peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan
yang berwujud perintah dan larangan-larangan. Dan hukum pidana formil
2Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002, hlm.15.
3
adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana
cara melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materiil atau
peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan suatu perkara
ke muka pengadilan pidana dan bagaimana caranya hakim pidana
memberikan putusan. Keduanya saling berhubungan erat, dalam hal
pengertian di antara keduanya dapat dibedakan, akan tetapi hubungan
diantara keduanya tidak saling dipisahkan.
Dalam hukum pidana berisi aturan-aturan tentang kehidupan
masyarakat yang dibuat dari segi materiil, yaitu mengatur tentang hubungan
hukum antara warganegara dan negara.Oleh karena itu dalam menyelesaikan
berbagai persoalan tindak pidana yang terjadi, diperlukan hukum pidana
formil atau hukum acara pidana, yang akan menentukan siapa yang salah dan
yang benar. Hukum Acara Pidana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 yang dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tujuan dari hukum acara pidana adalah
mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara
pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat, dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan
dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
4
Dan untuk menentukan benar atau tidaknya terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan kepada dirinya, maka diperlukan suatu
pembuktian.Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.3Dalam hukum
acara pidana, pembuktian merupakan titik sentral serta untuk
mencarikebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sebenar-benarnya. Dalam
prosespersidangan terdakwa dapat dikatakan telah melanggar hukum atau
bersalahapabila dapat dibuktikan dengan alat bukti yang sah menurut undang-
undang yang telah ditentukandan dengan keyakinan hakim yang diperoleh
atau ditimbulkan dari alat-alatbukti yang sah menurut undang-undang.Jika
didalam pembuktian, alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak
cukup membuktikan kesalahan terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari
hukuman, tetapi jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan sesuai alat bukti,
terdakwa harus dinyatakan bersalah dan harus dijatuhkan hukuman
pidana.Untuk menentukan terdakwa benar bersalah, alatbukti yang diperlukan
harus lebih dari satu atau sekurang-kurangnya dua alatbukti yang sah menurut
undang-undang. Hal ini dapat dilihat di Pasal 183 KUHAP yang berbunyi :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
3M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar
Grafika, 2002, hlm.273.
5
Menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, maka untuk menentukan salah
atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada
terdakwa harus :
1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
2. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.4
Alat-alat bukti yang sah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP
yang berbunyi :
Alat bukti yang sah ialah :
a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.
Dan terkadang dalam memeriksa dan memperoleh bukti-
buktiseringkali para penegak hukum mengalami kesulitan, dimana kesulitan
tersebut tidak dapat diselesaikan karena berada di luar kemampuannya atau
keahliannya. Oleh karena itu, para penegak hukum sering menggunakan
bantuan seorang ahli, dimana bantuan seorang ahli sangat penting karena
diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materii selengkap-lengkapnya
bagi para penegak hukum tersebut.Permintaan bantuan tenaga ahli ini pada
tahap penyidikan telah diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Terdapat pada
Pasal 120 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :
4Ibid, hlm.259.
6
“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.”
Dan pada tahap pemeriksaan, persidangan diminta bantuan kepada
keterangan ahli yang terdapat pada Pasal 180 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi:
”Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.”
Keterangan ahli sendiri mempunyai pengertian yang terdapat pada
Pasal 1butir 28 KUHAP yang berbunyi :
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memilikikeahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Keterangan ahli mempunyai nilai pembuktian yang dapat digunakan
hakim untuk mengetahui perkara yang kurang diketahui dan dapat digunakan
untuk memperkuat keyakinan hakim dalam memberikan putusan karena
keterangan ahli bersifat subyektif atas apa yang menjadi keahliannya dan
berdasarkan kenyataannya. Salah satunya adalah ilmu kedokteran kehakiman
atau kedokteran forensik.Seperti halnya yang terdapat dalam Pasal 133 ayat
(1) KUHAP yang berbunyi :
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan/ahli lainnya.”
Dalam hal penyidikan, penyidik sangat bergantung kepada ahli
kedokteran kehakiman atau yang sering disebut dengan kedokteran forensik
dalam mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang
7
ditanganinya. Seperti halnya kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan,
penganiayaan, dan pemerkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik
membutuhkan bantuan kedokteran forensik,untuk memberikan keterangan
medis tentang kondisi korban, dan selanjutnya kondisi korban tersebut sangat
berpengaruh bagi penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus pidana
tersebut.
Keterangan dari doktertertuang secara tertulis dalam bentuk surat hasil
pemeriksaan medis yang disebut Visum et Repertum. Dan sebagaimana
dinyatakan dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP merumuskan :
“Keterangan ahli ini dapat juga sesudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabbatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan ole penyidik atau penuntut umum maka pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.” “Definisi visum et repertum yang dikenal di bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yaitu laporan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan tertulis dari pihak yang berwajib mengenai apa yang dilihat/diperiksanya berdasarkan kilmuannya dan berdasarakan sumpah, untuk kepentingan peradilan.”5
Visum et repertum juga dapat digolongkan sebagai alat bukti surat,
karena sesuai dengan definisi diatas yang menyatakan bahwa visum et
repertum adalah laporan tertulis, yaitu sesuai dengan Pasal 187 KUHAP.
Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang merumuskan :
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
5Soerjono Soekanto, Visum Et Repertum Tekhnik Penyusunan dan Pemerian, Jakarta:
Ind-Hill-Co, 1987, hlm.1.
8
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
2. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
3. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
4. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Berdasarkan hal di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur
No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM, dimana isi dari putusan tersebut mengenai
perseteruan yang terjadi di antara dua penyanyi dangdut, yaitu Dewi Persik
dan Julia Perez. Perseteruan ini terjadi ketika mereka sedang melakukan
syuting film Arwah Goyang Kerawang, dalam perseteruan tersebut adanya
tindak penganiayaan yang terjadi yang mengakibatkan Dewi Persik menjadi
korban dan mengalami luka-luka lecet disekitar tubuhnya. Untuk menyelidiki
luka di tubuh Dewi Persik membutuhkan bantuan ahli kedokteran forensik
melalui visum et repertum, untuk mendapatkan bukti bahwa pada diri korban
telah benar terjadi suatu tindak pidana penganiayaan.
Sehubungan dengan peran Visum etRepertum dalam mengungkapkan
suatu perkara penganiayaan, oleh karena itu, penulistertarik untuk meneliti
lebih lanjut dan menuangkannya dalam penelitian hukumdengan judul
“VISUM ETREPERTUM SEBAGAI
SARANAPEMBUKTIANPERKARAPENGANIAYAAN
9
ANTARADEWI PERSIK dan JULIA PEREZ (Studi
KasusNo.569/PID.B/2011/PN.JKT.TIM)”.
B. Rumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan sebagai berikut :
1. Mengapa tindak penganiayaan Dewi Persik dan Julia Perez memerlukan
visum et repertum ?
2. Bagaimana kedudukan dan kekuatan visum et repertum sebagai alat bukti
dalam perkara penganiayaan antara Dewi Persik dan Julia Perez ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian mengenaiVisum et Repertum Sebagai Sarana Pembuktian
Perkara Penganiayaan Antara Dewi Persik dan Julia Perez (Studi Kasus
No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM) ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui alasan diperlukannya visum et repertumdalam tindak
penganiayaan antara Dewi Persik dan Julia Perez.
2. Untuk mengetahui kedudukan dan kekuatan visum et repertum sebagai
alat bukti dalam perkara penganiayaan antara Dewi Persik dan Julia
Perez.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian mengenai Visum et Repertum Sebagai Sarana
Pembuktian Perkara PenganiayaanAntara Dewi Persik dan Julia Perez
(StudiKasusNo.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM)ini mempunyai kegunaan-
kegunaan, yaitu :
10
1. Kegunaan Teoritis
Untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu
hukum yang berkaitan dengan hukum acara pidana khususnya mengenai
alat bukti yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian visum et
repertum.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan salah satu wacana bagi
masyarakat umum tentang kekuatan pembuktian visum et repertum
dalam proses pembuktian perkara pidana danhasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi serta untuk menambah
pengetahuan bagi penegak hukum dan masyarakat.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Hukum Acara Pidana
1.1 Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana dan hukum pidana adalah pasangan yang
tidak dapat dipisahkan dan mempunyai hubungan yang erat.Keduanya
saling melengkapi sehingga jika salah satu tidak ada, lainnya tidak akan
berarti. Apabila hukum acara pidana tidak ada, hukum pidana tidak dapat
dilaksanakan dan akan menjadi hukum yang mati karena tidak ada
pedoman dan perangkat lainnya yang dapat melaksanakannya.Demikian
pula hukum acara pidana tidak dapat berbuat banyak jika tidak ada hukum
pidana. Tidak ada orang yang melakukan perbuatan pidana, berarti tidak
ada orang yang diproses oleh hukum acara pidana.
“Hukum acara pidana berkaitan erat dengan adanya hukum pidana, kedua-duanya merupakan satu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat bagaimana alat-alat perlengkapan negara, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan bertindak guna mencapai tujuan negara mengadakan hukum pidana.”6
Secara umum hukum acara pidana dikenal dengan hukum pidana
formal yang mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alat
kekuasaannya harus bertindak untuk memidana dan menjatuhkan pidana.
Dan mengenai definisi dari hukum acara pidana, memiliki banyak definisi
karena setiap ahli hukum memberikan definisi sendiri-sendiri. Definisi dari
6Martiman Prodjohamidjojo, Teori dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002, hlm. 9.
12
Simons yangdikutip oleh Andi hamzah, yaitu merumuskan hukum pidana
formal (hukumacara pidana) mengatur tentang bagaimana negara melalui
alat-alatnyamelaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan
pidana. Dan menurut Van Bemmelen, memberikan definisi yaitu :
“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut : 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap
sipembuat dan kalau perlu menahannya. 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim danmembawa terdakwa ke depan hakim tersebut.
5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatanitu yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkanpidana atau tindakan tata tertib.
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan
tindakantata tertib.”7
De Bos Kemper menyatakan bahwa hukum acara pidana adalah
sejumlah asas-asas dan peraturan undang-undang yang mengatur bilamana
hukum pidana (materiil) dilanggar, negara mempergunakan haknya untuk
menghukum.8
Menurut Lobby Loqman, seperti yang dikutip oleh Hibnu Nugroho
menyatakan bahwa :
“Hukum acara pidana merupakan ketentuan tertulis tentang pelaksanaan ketentuan hukum pidana. Pelaksanaan ketentuan hukum pidana selalu akan melanggar hak seseorang. Oleh sebab itu harus terdapat ketentuan yang limitatif sejauh mana tindakan-
7Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika,
2010, hlm.6. 8Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit, hlm.10.
13
tindakan yang boleh dilakukan pelaksana hukum dalam melaksanakan ketentuan hukum pidana.”9 Sementara itu menurut Moeljatno yang dikutip oleh Ramelan
mendefinisikan hukum acara pidana adalah :
“bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan yangmenentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana yang ada padasesuatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, apabila ada orang yangdisangka telah melanggar larangan tersebut.”10
Dan Bambang Poernomo memberikan definisi hukum acara pidana
yangdikutip oleh Ramelan, yaitu ilmu hukum acara pidana ialah :
“pengetahuantentang hukum acara dengan segala bentuk danmanifestasinya yangmeliputi berbagai aspek proses penyelenggaraan perkara pidana dalam halterjadi dugaan perbuatan pidana yang diakibatkan oleh pelanggaran hukumpidana.”11
Dikatakan bahwa hukum acara pidana adalah kumpulan peraturan-
peraturan yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagai
berikut:
1. Tindakan apa yang diambil apabila dugaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang;
2. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang, maka perlu diketahui siapa pelakunya, dan cara bagaimana melakukan penyelidikan terhadap pelaku;
3. Apabila telah diketahui pelakunya maka penyelidik perlu menangkap, menahan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan permulaan atau dilakukan penyidikan;
4. Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulkan barang-barang bukti, menggeledah badan atau tempat-tempat yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut;
5. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan
9Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Jakarta: Media Prima Aksara, 2012, hlm.31.
10Ramelan, Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi, Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2006, hlm.3.
11Ibid, hlm.3.
14
oleh polisi, maka berkas perkara diserahkan pada kejaksaan negeri, yang selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.12
Hukum Acara Pidana sendiri yang berlaku di Indonesia adalah
Hukum Acara Pidana yang berdasarkan peraturan yang terdapat
dalamKitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
mulaiberlaku sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981.
1.2 Tujuan Hukum Acara Pidana
Setiap peraturan hukum yang di buat di Indonesia, pasti
mempunyai tujuan tertentu yang hendak ingin dicapai, dan hukum acara
pidana dibuat pada hakekatnya bertujuan untuk mencari dan mendapatkan
kebenaran materiil dan suatu perkara pidana, serta berfungsi untuk
menjalankan atau mempertahankan hukum pidana materiil yang tujuan
akhirnya adalah guna mencapai ketertiban, keamanan, kedamaian,
keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan
petugas-petugas penegak hukum yang handal, jujur,berdisiplin tinggi dan
tidak mudah tergoda oleh janji- janji yangmenggiurkan. Kalau hal tersebut
diabaikan maka akan terjadipenyimpangan-penyimpangan, kolusi dan
manipulasi hukum.13
Tujuandari hukum acara pidana terdapat dalam Penjelasan
Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman
yang menyatakan, bahwa :
12Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana dalam Teori&Praktek, Bandung: Penerbit
Mandar Maju, 2001, hlm.3. 13Ibid, hlm.24.
15
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”14
Dan menurut pendapat R.Soesilo bahwa :
“tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang menacri kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, sampai pada hakim dalam menyelidik menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasar kebenaran, harus mendasarkan hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas selain yang berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak yang cerdas, juga berkepribadian yang tangguh yang kuat mengelakkan dan menolak segala godaan.”15 Van Bemmelen mengemumakakan tiga fungsi pokok hukum acara
pidana yaitu sebagai berikut :
a. Mencari dan menemukan kebenaran. b. Pengambilan putusan oleh hakim. c. Pelaksanaan dari putusan yang telah diambil.16
Dan menurut Mardjono Reksodiputro, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas, bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.17
14Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001, hlm.8. 15R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap Pasal Demi
Pasal, Bogor: Politea,1984, hlm.3. 16Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika,
2010, hlm.8. 17Hibnu Nugroho, Merekonstruksi Sistem Penyidikan Dalam Peradilan Pidana, Jurnal
Hukum Pro Justitia, Volume 26 No.1 Januari, 2008, hlm.19.
16
Menurut Andi Hamzah bahwa :
“tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.”18
1.3 Asas-asas dalam Hukum Acara Pidana
Dalam praktek hukum acara pidana harus didasarkan pada asas
atau prinsip yang dijadikan patokan terciptanya keadilan dan kebenaran
dalam penyelesaian suatu kasus. Asas – asas yang terdapat didalam hukum
acara pidana ialah :
a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan
merupakan salah satu yang dituntut oleh masyarakat ketika
memasuki proses pengadilan, yang menuntut agar masyarakat di
dalam proses pengadilan mendapatkan kemudahan yang
didukung dengan sistem. Dimaksudkan dengan cepat,
sederhana, dan biaya ringan adalah pemeriksaan dan
penyelesaian perkara dilakukan dengan acara efisien dan efektif,
dengan biaya perkara yang terjangkau.Dasar asas peradilan
cepat, sederhana dan biaya ringan ini termuat dalam Undang-
Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu :
Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi :
“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”
dan Pasal 5 ayat (2) berbunyi :
18Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.9.
17
“Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”.
Dalam Penjelasan Umum KUHAP butir 3 huruf e
menyatakan bahwa :
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.”
Terkait dengan pengertian di atas, menurut Bambang
Poernomo, yang dimaksud dengan:
a. Proses peradilan pidana yang dilaksanakan dengan cepat, diartikan menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural agar tercapai efisiensi kerja mulai dari kegiatan penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan akhir dapat selesai dalam waktu yang relatif singkat.
b. Proses peradilan pidana yang sederhana, diartikan bahwa penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu agar pemberkasan perkara dari masing-masing instansi yang berwenang, berjaian dalam suatu kesatuan yang tidak memberikan peluang saluran bekerja secara berbelit-belit (circuit court), dan dari dalam berkas tersebut terungkap pertimbangan serta kesimpulan penerapan hukum yang mudah dimengerti oleh pihak yang berkepentingan.
c. Proses peradilan pidana dengan biaya murah (ringan), diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dan hasil yang diharapkan lebih kecil.19
Dan dalam KUHAP dapat dilihat beberapa ketentuan
sebagai penjabarandari asas peradilan cepat,
19Bambang Poernomo, Pole Dasar, Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan
Penegakan Hukum Pidana, Yogyakarta : Liberty, 1993, hlm.66.
18
Pasal 50 : a. tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat
pemeriksaan penyidik; b. segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik; c. segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; d. segera diadili oleh pengadilan.20
b. Asas Praduga Tak Bersalah atau Presumption of Innocence
Asas praduga tidak bersalah adalah asas yang menyatakan
bahwa setiap orang yang disangka atau disidik, ditangkap,
ditahan, dituntut dan diperiksa di sidang pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah kecuali berdasarkan putusan hakim
dengan bukti sah dan meyakinkan yang menyatakan
kesalahannya dan putusan tersebut telah memiliki kekuatan
hukum tetap. Asas tersebut dapat dilihat didalam Penjelasan
Umum KUHAP butir 3 huruf c menyatakan bahwa :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis
penyidikan dinamakan “prinsip akusator”. Prinsip akusator
menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap
tingkatan pemeriksaan :
a. adalah subyek, bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu
tersangka atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan
20Mohammad Taufik Makarao&Suhasril., Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004, hlm.8.
19
dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan
martabat harga diri.
b. yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator
adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh
tersangka atau terdakwa kearah itulah pemeriksaan ditujukan.
c. Asas Oportunitas
Dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan
khusus yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan
kepada terdakwa dalam perkara pidana ke muka pengadilan
yang disebut Jaksa atau Penuntut Umum. Wewenang dalam
melakukan penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai
monopoli, artinya tidak ada badan lain selain penuntut umum
yang melakukan penuntutan di muka persidangan. Hal ini
disebut dengan dominus. Dominus berasal dari bahasa latin yang
mempunyai arti “pemilik”.Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP
memberikan definisi Jaksa yang berbunyi :
“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Pasal 1 butir 6 huruf b KUHAP memberikan definisi
Penuntut Umum yang berbunyi :
“Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”
20
A.Z. Abidin Farid memberi perumusan tentang asas
oportunitas di dalam buku Andi Hamzah sebagai berikut:
“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”21
d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Asas tersebut diatur dalam Pasal 153 ayat (3) dan (4)
KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 3 yang berbunyi :
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Pasal 4 yang berbunyi :
“tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 2 dan 3 mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”
Andi Hamzah berpendapat bahwa :
“Hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan dibelakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksipun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya. Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi korban memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas memberikan kesaksiannya.”22
21Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.17. 22Ibid, hlm.21.
21
e. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim
Teori dan konsep semua orang diperlakukan sama di depan
hakim (equality before the law) seperti yang dianut oleh Pasal
27 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang
berbunyi :
“Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Maksudya adalah segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya dan semua orang diperlakukan sama di depan
hukum.Dan dijelaskan dalam penjelasan umum butir 3 huruf a
KUHAP yang berbunyi :
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.”
f. Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya
dan Tetap
Dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yaitu :
Pasal 31 yang berbunyi :
“Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang."
Dari Pasal 31 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya
22
terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat
tetap.
g. Asas Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan
Hukum
Dalam Pasal 64-74 KUHAP diatur tentang bantuan hukum,
dimana tersangka atau terdakwa mendapat kebebasan yang
sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu adalah :
1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan;
2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;
3. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu;
4. Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik atau penuntut umum kecuali delik yang menyangkut keamanan Negara;
5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan;
6. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa.23
Dalam asas ini ditegaskan bahwa tersangka atau terdakwa
dijamin hak asasinya sebagai manusia.
h. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitor)
Dalam penyidikan diterapkan asas inkisitoir artinya
pemeriksaan dilakukan tidak dimuka umum. Tersangka adalah
obyek pemeriksaan yang dapat dijerat dengan tindakan-tindakan
yang diperbolehkan menurut hukum acara (seperti penahanan,
23Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan
Masyarakat Jilid 2, Jakarta : Restu Agung, 2006, hlm. 62.
23
penyitaan, pencegahan ke luar negeri) sekalipun kemudian
ternyata tidak cukup bukti.
Dalam pemeriksaan sidang pengadilan diterapkan asas
akusator yaitu terdakwa dipandang sebagai subjek pemeriksaan,
sebagai pihak yang disangka berlawanan dengan pihak penuntut
umum yang mendakwa, kedua belah pihak diberi hak dan
kewajiban yang sama oleh hukum acara.
i. Asas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan
Ketentuan asas ini dapat dilihat dalam Pasal 154 ayat (1)
KUHAP, yang berbunyi :
“Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.”
Dan dalam Pasal 155 ayat (1) KUHAP menyebutkan :
“Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaanya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikam segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya disidang.”
Asas pemeriksaan disidang pengadilan secara langsung
artinya bahwa hakim didalam melakukan pemeriksaan terhadap
terdakwa dan para saksi serta alat bukti dilakukan secara
langsung, berhadapan dengan pihak yang berpekara tanpa
melalui orang lain. Di dalam asas langsung ini terdapat
24
pengecualian, yaitu putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya
terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia.
2. Pembuktian
2.1 Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan bagian yang sangat penting dalam hukum
acara pidana, karena didalam pembuktian akan ditemukan kebenaran dan
dapat menentukan nasib terdakwa. Karena tujuan dari pembuktian itu
sendiri adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil.
Mengenai pengertian pembuktian sendiri, di dalam Kitab Undang- Undang
Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian
pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah
menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai
pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan
tentang arti dari pembuktian, yaitu :
“Pembuktian adalah bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa yang bersalah telah melakukannya sehingga iharus mempertanggung jawabkannya.”24
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undangmembuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur
24Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Cet 3, Jakarta: Djambatan, 2002, hlm.106.
25
alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.”25 “Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.”26 Menurut Hari Sasangka dan Lyli Rosita pengertian tentang hukum
pembuktian adalah :
“Pengertian Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.”27
Pengertian pembuktian juga dikemukakan Leden Marpaung yang
mengatakan bahwa:
“Sebelumnya seseorang diadili oleh pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Untuk menyatakan seseorang melanggar hukum, pengadilan harus dapat menentukan kebenaran diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, bukti dimaksud untuk menentukan kebenaran”.28
Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana antara lain:
1. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang
25M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm.273.
26Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001, hlm.1. 27Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm.10.
28Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan) Bagian Pertama: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm.22-23.
26
dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang.Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan ketentuan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tak bersalah mendapat ganjaran hukuman;
2. Sehubungan dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara “limitatif”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.29
Peranan pembuktian yang begitu sangat penting akan menjadi
kunci dari suatu penyelesaian perkara, karena dengan pembuktian akan
ditentukan salah atau tidaknya terdakwa. Dan hakim didalam memutus
suatu perkara, akan berdasarkan pembuktian yang telah dilakukan dalam
persidangan.
2.2 Teori-teori Sistem Pembuktian
Berbicara mengenai sistem pembuktian ini, maka ada beberapa
macam sistem pembuktian yang digunakan, yaitu :
1) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan
Hakim Semata (Conviction In Time)
Sistem pembuktian conviction in time menganut ajaran
bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang
didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan”
hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau
29M.Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 253.
27
dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada
keyakinan hakim. Dan keyakinan hakim tidak harus timbul atau
didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah
cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau
hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah.
Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif
sekali.
M. Yahya Harahap berpendapat bahwa :
“Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim dapat menarik dan menyimpulkan keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat bukti yang diperiksa dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan terdakwa.”30
Mohammad Taufik Makarao,S.H,M.H dan Drs.Suhasril,S.H
berpendapat bahwa :
“Sistem ini mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.”31
2) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan
Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisone)
30M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi II,
Jakarta : Sinar Grafika, 2001, hlm.256. 31Mohammad Taufik Makarao& Suhasril, Op.Cit, hlm.103.
28
Sistem pembuktian conviction in raisone, “keyakinan
hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan
salah tidaknya terdakwa. Tetapi, pada sistem ini, keyakinan
hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction in
time peran “keyakinan hakim” bebas tanpa batas maka pada
sistem conviction in raisone, keyakinan hakim harus didukung
dengan “alasan-alasan yang jelas”. Dan di dalam putusan-
putusan yang dibuat oleh hakim hakim harus mendasarkan
alasan dan dapat diterima dengan masuk akal. Hakim wajib
menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem conviction in
raisoneini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas
untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijs
bewijstheorie).
3) Sistem atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang
Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie)
Sistem pembuktian positive wettelijk bewijstheorie ini
dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada
undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh
undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama
sekali. Sistem pembuktian positive wettelijk bewijstheorie sangat
mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan
keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan
29
yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di
persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat
bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus
dibebaskan. Dalam praktik peradilannya, sistem pembuktian
lebih mengarah pada sistem pembuktian menurut undang-
undang secara positif. Hal ini disebabkan aspek “keyakinan”
pada Pasal 183 KUHAP tidak diterapkan secara limitatif.32
4) Sistem atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang
Secara Negatif (Negatief Wettelijk)
Sistem pembuktian negatief wettelijkmerupakan teori antara
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif atau
positive wettelijk bewijstheorie dengan sistem pembuktian
keyakinan hakim atau convictionin time, artinya hakim hanya
boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut
didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang.
“Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah ini berarti: wettelijk, berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Dalam sistem pembuktian yang negative alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara
32Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan
Permasalahannya, Bandung: PT. Alumni, 2007, hlm.199.
30
mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang.”33
2.3 Alat Bukti
Dalam pembuktian, agar dapat tercapai kebenaran mutlak
diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum
seseorang. Suatu tindak pidana benar-benar dapat dibuktikan, dengan
adanya bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan menyakinkan. Alat
bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam pasal 184
KUHAP, yang dimaksud dengan alat bukti adalah :
“segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.”34
Beberapa ketentuan hukum acara pidana telah mengatur mengenai
beberapa alat bukti yang sah seperti dalam Pasal 184 KUHAP yang
menyatakan bahwa :
“Alat bukti yang sah ialah:
1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa”.
Berikut ini adalah uraian mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah
menurut KUHAP :
33http://thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/hukum-acara-pidana-analisis-kelebihan-
dan-kelemahan-sistem-pembuktian-negatif-atau-negative-wettelijk-theorie/diakses pada tanggal 14 September 2013, pukul 15.46 wib. 34Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.Cit, hlm.11.
31
1) Keterangan Saksi
Pengertian saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP menyatakan
bahwa :
“saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri.” Berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP yang menyatakan
pengertian keterangan saksi yaitu :
“keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Semua orang dapat menjadi saksi, tetapi ada beberapa pengecualian
mengenai siapa saja yang tidak dapat menjadi saksi, yaitu yang tercantum
di dalam Pasal168 KUHAP :
“Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangan dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi : a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau
kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.”
Syarat sahnya keterangan saksi sebagai alat bukti agar keterangan
yang diberikan seorang saksi dapat bernilai serta memiliki kekuatan
pembuktian, perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi
oleh seorang saksi, yakni sebagai berikut :
a) Wajib disumpah atau berjanji
32
Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP yang
berbunyi :
“Sebelum memberikan keterangan, saksi wajibmengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”
Dan dalam memberikan sumpah, ada pengecualian
dimana dapat memberikan kesaksian tanpa sumpah. Hal ini
terdapat di Pasal 171 KUHAP yang berbunyi :
“Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah : a. anak yang umumnya belum cukup lima belas tahun
dan belum pernah kawin. b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun
kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pada intinya, sumpah dijadikan sebagai penguat untuk
keterangan yang akan diberikan oleh saksi.
b) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti
Menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP disebutkan :
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.”
Keterangan saksi yang dinyatakan di pengadilan harus
sesuai dengan apa yang dilihat saksi sendiri, didengar saksi
sendiri, dan dialami saksi sendiri terhadap peristiwa pidana
tersebut.
c) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan
Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa :
33
“keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.”
Dan Yahya Harahap berpendapat bahwa :
“agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan.”35
d) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup
Dalam Pasal 185 ayat (2) dan (3) mengatur masalah ini,
yang berbunyi :
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.”
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup sama hal
dengan prinsip unus testis nullum testem yang artinya “satu
saksi saja, bukanlah saksi.” Tetapi jika hanya ada satu orang
saksi saja, hal itu bukan berarti tidak sah. Akan menjadi sah
jika nilai pembuktian dari keterangan satu saksi tersebut
didukung dengan alat-alat bukti yang sah dan mempunyai
kekuatan hukum.
e) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri
35 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm.266.
34
Hal ini terdapat dalam Pasal 185 ayat (4) yang
berbunyi:
“Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Keterangan dari beberapa orang saksi yang mempunyai
nilai dan kekuatan pembuktiannya masing-masing dan
keterangan satu sama lain saling menguatkan, maka dapat
dinilai sebagai alat bukti.
Di dalam Pasal 185 ayat (6) memberikan pedoman untuk menilai
keterangan saksi, yaitu :
“Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu; d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.”
2) Keterangan Ahli
Pasal 1 angka 28 KUHAP yang menyatakan pengertian keterangan
ahli, yaitu :
“keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” Dan dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa :
35
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan.” Penjelasan dari Pasal 186 KUHAP ini mengatakan : “keterangan ahliini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.”36 Keterangan ahli sangat dituntut suatu pendidikan formal tertentu,
tetapi ada juga yang meliputi seorang ahli yang berpengalaman di suatu
bidang tanpa pendidikan yang khusus. Ada dua bentuk keterangan ahli,
yaitu :
a. Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk “laporan” atau “visum et repertum.”
b. Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk “keterangan langsung secara lisan” di sidang pengadilan yang dituangkan dalam catatan berita acara persidangan.37
3) Surat
Definisi surat menurut Asser-Anema yang dikutip Andi Hamzah
adalah sebagai berikut :
“surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung anda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.” Ketentuan mengenai alat bukti surat terdapat pada Pasal 187
KUHAP, bahwa:
“surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :
36Mohammad Taufik Makarao & Suhasril, Op.Cit, hlm.124. 37M. Yahya Harahap, Op.Cit , hlm.282.
36
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuatoleh pejabat umum yang berwenang dan yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”
4) Petunjuk
Di dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, mendefinisikan petunjuk
adalah:
“petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satudengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Dan di dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk hanya dapat
diperoleh dari :
a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa.
P.A.F. Lamintang berpendapat mengenai alat bukti petunjuk,
bahwa:
“Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 188 KUHAP tersebut di atas, kiranya orang dapat mengetahui bahwa pembuktian yang didasarkan pada petunjuk-petunjuk di dalam berbagai alat bukti itu tidak mungkin akan diperoleh oleh hakim tanpa mempergunakan suatu redenering atau suatu pemikiran tentang adanya suatu persesuaian antara kenyataan satu dengan
37
kenyataan lain, atau suatu kenyataan dengan tindak pidananya sendiri”. 38
5) Keterangan Terdakwa
Berdasarkan Pasal 189 KUHAP yang menyatakan mengenai alat
buktiketerangan terdakwa berbunyi :
“(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentangperbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untukmembantu menemukan bukti di sidang , asalkan keterangan itu didukungoleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakankepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa iabersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkanharus disertai dengan alat bukti yang lain.”
Keterangan terdakwa hanya untuk menerangkan keadaan diri
sendiri bukan untuk orang lain dan tidak dapat berdiri sendiri, kecuali
dibarengi dengan alat bukti lain.39
3. Visum Et Repertum
3.1 Pengertian dan Tujuan Visum Et Repertum
Visum et repertumsangat berkaitan dengan Ilmu Kedokteran
Forensik karena visum et repertum merupakan salah satu bentuk bantuan
dokter dalam penegakan hukum dan proses peradilan.Visum et repertum
merupakan salah satu alat bukti surat yang biasa digunakan di dalam
38P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Edisi Kesatu, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 428.
39Suharto R.M., Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm.158.
38
proses pembuktian suatu perkara pidana terutama di dalam proses
penyidikan. Dalam kasus-kasus pidana tertentu,penyidik sangat
bergantung terhadap visum et repertum untuk mengungkap lebih jauh
suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Karena dari visum et
repertum yang dilakukan oleh ahli forensik tersebut penyidik dapat
mengetahui kebenaran materiil dari suatu kasus perkara pidana dan
menindaklanjuti kasus tersebut.
Pengertian dari visum et repertum sendiri sebagai alat bukti surat
adalah surat yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan atau dengan
sumpah.
Visum et Repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan.40
Menurut R.Soeparmono menyatakan :
“Visum et Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan atas bukti hidup, mayat, atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan, yang jugamerupakan pendapat dari seorang ahli maupun kesaksian (ahli) secara tertulis sebagaimana yang tertuang dalam bagai pemberitaan (hasil pemeriksaan). Oleh karena itu visum et repertum semata-mata hanya dibuat agar suatu perkara pidana menjadi jelas dan hanya
40H.M.Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang, 2001, hlm.1.
39
berguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan serta diperuntukkan bagi kepentingan peradilan.”41
Dan menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 :
“Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas sumpah khusus, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa.”42
Dalam KUHAP Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak
ditemukan istilah visum et repertum, tetapi dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, visum etrepertum berarti hasil pemeriksaan dokter (di bawah
sumpah) tentang pemeriksaan medis seseorang yang masih hidup atau
sudah menjadi mayat untuk keperluan pemeriksaan pengadilan. Walaupun,
dalam KUHAP tidak ditemukan pengertian dari visum et repertum, tetapi
dalam Pasal 187 huruf (c) KUHAP mengatur tentang visum et repertum
dapat digunakan sebagai alat bukti surat, yang berbunyi :
“Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.”
Keberadaan visum et repertum ternyata selalu dibutuhkan dalam
setiap penyidikan tindak pidana dan hasil visum et repertum itu sendiri
dari dokter ahli mutlak dicantumkan di dalam berkas perkara pidana yang
diselidiki oleh penyidik. Adapun fungsi dari visum et repertum itu sendiri
bagi penyidik adalah memberikan petunjuk mengenai adanya unsur tindak
41R. Soeparmono, Ahli dan Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana,
Semarang : Setia Wacana, 2002, hlm.98. 42http://sigidkirana.blogspot.com/2009/02/visum-et-repertum.html, diakses pada tanggal
21 September 2013, pukul 16.57 wib.
40
pidanadan unsur kesengajaan, perkiraan waktu terjadinya tindak pidana,
juga dapat memberikan hasil pemeriksaan terhadap barang bukti dalam
tindak pidana. Visum et repertum juga berfungsi sebagai bukti permulaan
bagi penyidik untuk melakukan penindakan lainnya dalam mengungkap
suatu kasus tindak pidana dan keberadaan visum et repertum penting untuk
kelengkapanberkas perkara tindak pidana yang dibuat dan diserahkan
penyidik kepada penuntut umum.
Dan tujuan visum et repertum yang dikemumakakan oleh R.
Soeparmono adalah :
“Yakni untuk memberikan kepada hakim (majelis) suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan atau hal sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil putusannya dengan pemberitaan agar hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau keyakinan hakim.”43
Dan kegunaan dari pembuatan visum et repertum adalah :
1. Menentukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana. 2. Dapat memberikan petunjuk apakah perlu diadakan penahanan
terhadap tersangka. 3. Dapat memberikan petunjuk kepada penyidik dalam
melakukan penyidikan. 4. Visum et Repertum dapat berguna pula untuk menentukan
tuduhan apa yang akan dijatuhkan kepada hakim terhadap tersangka. 44
3.2 Peran Visum Et Repertum
Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu
perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana visum et
repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik
43R. Soeparmono, Op.Cit, hlm.100. 44Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta:
Bina Aksara, 1987, hlm.135.
41
yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang dianggap sebagai barang
bukti.Visum et repertum memuat keterangan atau pendapat dokter
mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian
kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum telah menjembatani ilmu
kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et
repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada
seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma
hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa
manusia.Dan peran visum et repertumbagi penyidik sangat penting yaitu
dalam pemeriksaan kasus perkara pidana, yang dibuat oleh dokter ahli atas
permintaan penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seorang manusia
baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, yang termuat
dalam visum et repertumyang akan menentukan langkah bagi penyidik
dalam mengungkapkan kasus tindak pidana guna membuat terang dan
jelas suatu perkara pidana.
H.M. Soerdjatmiko mengatakan mengenai peran visum et repertum
bahwa:
“sebagai suatu keterangan tertulis yang berisi hasil pemeriksaan seorang dokter ahli terhadap barang bukti yang ada dalam suatu perkara pidana, maka Visum et Repertum mempunyai peran sebagai berikut : 1. Sebagai alat bukti yang sah
hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) jo Pasal 187 huruf c.
2. Bukti penahanan tersangka Di dalam suatu perkara yang mengharuskan penyidik melakukan penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik harus mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut. Salah satu bukti adalah akibat tindak pidana yang dilakukan oleh dokter dapat dipakai oleh penyidik sebagai
42
pengganti barang bukti untuk melengkapi surat perintah penahanan tersangka.
3. Sebagai bahan pertimbangan hakim Meskipun bagian kesimpulan visum et repertumtidak mengikat hakim, namun apa yang diuraikan di dalam bagian pemberitaan sebuah visum et repertum adalah merupakan bukti materiil dari sebuah akibat tindak pidana, di samping itu bagian pemberitaan ini adalah dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti yang telah dilihat dan ditemukan oleh dokter. Dengan demikian dapat di pakai sebagai bahan pertimbangan hakim yang sedang menyidangkan perkara tersebut.”45
3.3 Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum
Visum et repertum dibuat dalam rangka upaya penegakan hukum
dan keadilan guna membuat terang dan jelas suatu perkarapidana yang
telah terjadi, khususnya turut berperan dalamproses pembuktian suatu
perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia,dimana visum et
repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaanmedik
yang tertuang didalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat
dianggap sebagai pengganti barang bukti.
Semua yang terkandung didalam Visum et Repertumdapat
mengganti sepenuhnya benda yang diperiksa dan yang menjadi tanda bukti
dalam tindak pidana karena visum et repertum termasuk alat bukti sah,
terdapat di dalam Pasal 184 ayat (1) sub b dan sub c KUHAP. Hal ini juga
ditegaskan oleh Atang Ranoemihardja yang menyatakan “Visum et
Repertum merupakan pengganti sepenuhnya daripada barang bukti
diperiksa, maka oleh karenanya pula Visum et Repertum pada hakekatnya
adalah menjadi alat bukti yang sah.”
45 H.M Soedjatmiko, Op.Cit, hlm.7.
43
Jika dalam berkas perkara pidana tidak ada visum et repertum,
majelis hakim akan menggunakan Pasal 183 KUHAP, kecuali dalam
pemeriksaan acara cepat. Visum et repertum merupakan alat bukti yang
sah, oleh karena itu harus disebutkan serta dipertimbangkan oleh majelis
hakim dalam putusannya.
4. Tindak Pidana Penganiayaan
Pengertian tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah “ strafbaar feit”. Ada beberapa
terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu :
1. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum 2. Peristiwa pidana 3. Perbuatan pidana 4. Tindak pidana. 46
Seorang ahli hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH, yang
berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni
perbuatan pidana adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut.” 47Dan untuk mengetahui adanya
tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai
dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat
yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangansehingga dengan jelas dapat
dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang.Suatu perbuatan dapat
46E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002, hlm.204. 47Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm.54.
44
dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Subjek; 2. Kesalahan; 3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan); 4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-
undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;
5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).48
Dan Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit)adalah:
a. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
b. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld) c. Melawan hukum (onrechtmatig) d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband
staand) e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
(toerekeningsvatoaar person). Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit), yaitu :
Unsur Obyektif :
• Perbuatan orang • Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. • Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan
itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur Subyektif : • Orang yang mampu bertanggung jawab • Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus
dilakukan dengan kesalahan. • Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari
perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.49
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut
“penganiayaan”. Tetapi dalam KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan.
48Adam Chazawi, Op.Cit, hlm. 211. 49http://hasansodikin.blogspot.com/2013/03/unsur-unsur-tindak-pidana.html diakses pada
tanggal 17 Juli 2013, pukul 11.45.
45
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia arti penganiayaan adalah: “perlakuan
yang sewenang-wenang”. Pengertian yang dimuat dalam kamus besar Bahasa
Indonesia adalah pengertian dalam arti luas, yakni yang menyangkut termasuk
“perasaan” atau “bathiniah”. Sedangkan yang dimaksud penganiayaan dalam
hukum pidana adalah menyangkut tubuh manusia.Dibentuknya pengaturan
tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini dutujukan bagi perlindungan
kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan
atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka,
bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan
kematian.
Menurut ilmu pengetahuan (doktrin) pengertian penganiayaan adalah
sebagai berikut :”Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain” dan dalam hukum pidana
penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut:
1. Adanya kesengajaan
2. Adanya perbuatan.
3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni:
a. rasa sakit pada tubuh,
b. luka pada tubuh.
Ada berbagai macam bentuk penganiayaan, dan itu telah dimuat
dalam BAB XX Buku II, Pasal 351s/d 355 adalah sebagai berikut:
1. Penganiayaan Biasa Pasal 351 KUHP
Pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan biasa
sebagai berikut:
46
(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidanadengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lamatujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.
Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum
yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berarti bahwa akibat
suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-
sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu. yang menyebabkan rasa
sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Mengenai tindakan hukum ini
yang akan diberikan kepada yang bersalah untuk menentukan Pasal 351 KUHP
telah mempunyai rumusan dalam penganiayaan biasa dapat dibedakan menjadi:
a. Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat
maupun kematian.
b. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat.
c. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
d. Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.
2. Penganiayaan Ringan Pasal 352 KUHP
Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam Pasal
352 KUHP sebagai berikut:
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang
47
yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak
menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban
tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya.
3. Penganiayaan Berencana Pasal 353 KUHP
Pasal 353 KUHP mengenai penganiyaan berencana
merumuskan sebagaiberikut :
(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatka luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengkibatkankematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Menurut Mr.M.H. Tiirtamidjaja menyatakan arti di rencanakan
lebih dahulu adalah “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun
pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang”.
Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu
sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan
menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat:
a. Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak
dilakukan dalam suasana batin yang tenang.
b. Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk
berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang
waktu yang cukup sehingga dapat digunakan olehnya untuk
berpikir, antara lain:
48
1. Resiko apa yang akan ditanggung.
2. Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat
yang tepat untuk melaksanakannya.
3. Bagaimana cara menghilangkan jejak.
c. Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan
dilakukan dengan suasana hati yang tenang.
4. Penganiayaan Berat Pasal 354 KUHP
Penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 yang
rumusannya adalah sebagai berikut :
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat
disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah
dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga
unsur dari tindak pidana yaitu: perbuatan yang dilarang, akibat yang
menjadi pokok alasan diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu
melanggar hukum. Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan
maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap
perbuatannya, maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat.
Mengenai luka berat disini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka
berat, kita hanya dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan
pada Pasal 90 KUHP sebagai berikut:
Luka berat berarti:
49
= jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
= tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
= kehilangan salah satu pancaindera; = mendapat cacat berat (verminking); = menderita sakit lumpuh; = terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; = gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.
5. Penganiayaan Berat Berencana Pasal 355 KUHP
Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP
yangrumusannya adalah sebagai berikut :
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Penganiayaanberat berencana ini merupakan bentuk gabungan
antara penganiayaan berat (Pasal354 ayat 1) dengan penganiayaan
berencana (Pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan
berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk
penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak/bersama. Oleh
karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur
penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.
50
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan undang-undangan
(Statute Approach)dan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan
undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani,
sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah
menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.50
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini preskripstif yaitu suatu penelitian yang
menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam
melaksanakan aturan hukum, sehingga apa yang senyatanya berhadapan
dengan apa yang seharusnya, agar dapat memberikan rumusan-rumusan
tertentu.51
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian bertempat di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Perpustakaan Pusat Universitas
Jenderal Soedirman, Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
50Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, Prenada Media Group,
2005, hlm.93. 51Ibid, hlm.22.
51
4. Sumber Bahan Hukum
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal- jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.52
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.53
5. Metode Pengumpulan Bahan
Peneliti melakukan pengumpulan bahan sekunder dari studi pustaka
dan studi dokumen. Studi pustaka ini akan menggali berbagai kemungkinan
jawaban permasalahan dalam penelitian ini. Studi dokumen suatu cara
pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen
pemerintah maupun non pemerintah berupa surat keputusan, internet, arsip-
arsip ilmiah, dan putusan pengadilan dan sebagainya. Putusan yang menjadi
52Ibid, hlm.141. 53 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, 2009, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.106.
52
studi dokumen adalah putusan Pengadilan Negeri No. 569/ Pid.B/ 2011/
PN.JKT.TIM.
6. Metode Penyajian Bahan
Penyajian bahan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk uraian
secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang
diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan
pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang
utuh didasarkan pada norma hukum atau kaidah-kaidah hukum serta doktrin
hukum yang relevan dengan pokok permasalahan.
7. Metode Analisis Bahan
Peneliti menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yakni
dengan menjabarkan dan menafsirkan data-data berdasarkan norma, teori-
teori serta doktrin hukum guna menjawab permasalahan yang diajukan.
53
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Identitas Terdakwa
Nama Lengkap : YULI RAHMAWATI alias JULIA PEREZ.
Tempat Lahir : Jakarta.
Umur/Tanggal lahir : 31 tahun/15 Juli 1980.
Jenis Kelamin : Perempuan.
Kebangsaan : Indonesia.
Tempat Tinggal : Jl.Raffles Hills Cluster Spring Land II No.14
Cibubur, Jakarta Timur.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Swasta.
Pendidikan : D-1.
2. Duduk Perkara
Pada hari Jumat, 5 November 2010 sekitar pukul 14.30 wib,
bertempat di Hotel Mega Matra, JL.Matraman Raya No.115
Kel.Palmeriam, Kec.Matraman. Kodya Jakarta Timur. Terdakwa dan saksi
korban, sedang melakukan syuting film ARWAH GOYANG
KERAWANG. Dalam film tersebut, terdakwa berperan sebagai LILIS
yang berprofesi sebagai penari jaipong, dan saksi korban berperan sebagai
NENENG yang berprofesi sama juga yaitu sebagai penari jaipong. Pada
pengambilan scene 16 dimana terdakwa, saksi korban dan saksi lainnya
54
bermain bersama dengan mengikuti dialog yang ada, yaitu terdakwa harus
berjalan dengan muka yang kesal, dan saksi korban akan tampak
mengejarnya, dan saat itu juga saksi korban menarik konde terdakwa,
terdakwa meronta dan ingin melepaskan kondenya, tetapi saksi korban
melempar konde itu di muka terdakwa. Diselingin dengan beberapa dialog,
saksi korban langsung menjenggut terdakwa, dan terdakwa membalasnya
kepada saksi korban. Terdakwa dan saksi korban guling-gulingan di lantai
hingga tidak bisa dikontrol lagi, dan baju mereka sampai robek dan celana
dalam terdakwa dan saksi korban keliatan.
Dua orang saksi yang berada di lokasi syuting langsung
memisahkan mereka agar tidak berlanjut. Tetapi terdakwa dan saksi
korban tidak dapat dipisahkan, mereka tetap saling bergumul, terdakwa
dalam posisi diatas saksi korban, dan saksi korban dalam posisi dibawah.
Terdakwa dengan posisi yang berada diatas tubuh saksi korban, kemudian
langsung memukul dan mencakar saksi korban secara berulang kali,
sehingga saksi korban mengalami luka pada muka sebelah kanan dan leher
sebelah kanan.
3. Dakwaan Penuntut Umum
Penuntut Umum dalam persidangan menghadapkan terdakwa
dengan dakwaan tunggal dan perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP.
4. Pembuktian di Persidangan
Proses pembuktian di persidangan telah didengarkan keterangan berupa:
55
a. Keterangan Saksi-Saksi
1. DEWI MURYA AGUNG (DEWI PERSIK)
Pada syuting film Arwah Goyang Kerawang, dalam scene 16 terdapat
adegan berhantam/fighting antara saksi Dewi Persik dengan terdakwa.
Sebelum syuting dilakukan, terdakwa dan saksi telah diberikan skrip
dan telah diberikan arahan oleh sutradara Helfi Gusmanedi. Sutradara
memberikan arahan bahwa saksi yang menjatuhkan/membanting
terdakwa. Namun, ketika melakukan syuting, justru terdakwa yang
membanting dan mendorong saksi hingga jatuh, lalu terdakwa ikut
menjatuhkan diri untuk menduduki saksi yang jatuh terlentang. Ketika
saksi dalam keadaan jatuh terlentang di lantai, terdakwa menekan dada
saksi dengan lututnya sehingga saksi berontak untuk melepaskan diri,
lalu kemudian terdakwa merubah posisi dengan menunggang saksi.
Pada saat terdakwa menunggang saksi yang dalam keadaan jatuh
terlentang, terdakwa juga mencengkram leher saksi sehingga saksi
merasa sakit dan perih, karena itu saksi berusaha keras untuk
melepaskan diri dari kuncian terdakwa tanpa dilerai oleh siapapun dan
pergumulan sempat terhenti sebentar. Karena terdakwa masih emosi,
maka terjadi lagi pergumulan dan sama-sama terjatuh di lantai, tapi
saksi masih di posisi bagian bawah. Dalam pergumulan kedua, saksi
sempat mendengar teriakan “itu beneran” “itu beneran”, lalu datang
para crew dan bang helfi untuk melerai dengan cara, saksi dan terdakwa
dipegang, tapi saksi korban tidak mendengar aba-aba “cut” dari
sutradara. Dengan adanya kejadian ini, saksi korban mengalami luka
56
cakar di leher dan pipi sebelah kanan dan mengalami luka memar pada
bagian lutut karena terjatuh ketika dibanting oleh terdakwa.
Berdasarkan keterangan saksi tersebut, terdakwa mengatakan ada yang
tidak benar yaitu mengenai arahan sutradara dimana saksi yang
membanting terdakwa, arahan sutradara yang benar yaitu terdakwa
yang membanting saksi.
2. USEP ALIYANA Als UJENG
Saksi adalah asisten dari saksi Dewi Persik. Saksi mendengar bahwa
sebelum syuting, baik terdakwa maupun saksi Dewi Persik diberi
pengarahan oleh sutradara. Pengarahan sutradara tersebut adalah saksi
Dewi Persik menjatuhkan terdakwa dengan cara membanting, namun
ketika syuting dilaksanakan ternyata terdakwa yang membanting saksi
Dewi Persik sehingga saksi Dewi Persik jatuh terlentang, lalu terdakwa
menindih dan menduduki perut saksi Dewi Persik lalu mencakar saksi
Dewi Persik sehingga saksi Dewi Persik meronta-ronta untuk
melepaskan diri. Sebelum syuting scine 16 film Arwah Goyang
Kerawang, saksi Dewi Persik tidak ada luka baik di leher dan pipi.
3. DJUMEIDI TRI NUGROHO Als.DIDIET
Saksi adalah manager dari saksi Dewi Persik. Saksi melihat bahwa pada
adegan scene 16 film Arwah Goyang Kerawang, terdakwa yang
membanting saksi Dewi Persik hingga saksi Dewi Persik jatuh
terlentang, lalu terdakwa menduduki dan mencakar saksi Dewi Persik
hingga saksi Dewi Persik meronta-ronta untuk melepaskan diri. Saksi
Dewi Persik berhasil melepaskan diri, namun tidak lama kemudian
57
terjadi pergumulan kedua yang lokasinya agak bergeser ke pojok
lorong, tetapi saksi tidak tahu siapa yang lebih dahulu memulai
pergumulan yang kedua. Pada pergumulan kedua, posisi saksi Dewi
Persik juga bagian bawah, terdakwa dan saksi Dewi Persik saling
menjambak rambut tapi saksi tidak melihat mereka saling memukul.
Dalam pergumulan itu saksi, melihat saksi Dewi Persik menendang
terdakwa, tapi dibalas oleh terdakwa. Setelah kejadian itu, saksi melihat
saksi Dewi Persik mengalami luka cakar di leher dan pipi sebelah kanan
serta luka memar di lutut akibat terjatuh saat dibanting. Sebelum ada
kejadian ini, saksi Dewi Persiktidak ada luka.
4. HELFI GUSMANEDI
Saksi adalah sutradara film Arwah Goyang Kerawang. Dalam scene
16, sebelum syuting dimulai, terdakwa dan saksi Dewi Persik diberi
skrip untuk dibaca dan diberikan pengarahan oleh saksi. Saksi
mengarahkan dalam adegan fighting nanti, saksi Dewi Persik yang
menjatuhkan terdakwa lalu dilanjutkan dengan pergumulan. Sebelum
syuting, mereka terlebih dahulu melakukan latihan di lorong hotel dan
semuanya berjalan sesuai dengan skenario dan dalam batas toleransi.
Tetapi ketika syuting dilakukan, ternyata terdakwa yang membanting
saksi Dewi Persik hingga jatuh terlentang dan dilanjutkan dengan
pergumulan serta saling jambak. Saat itu saksi menilai itu masih bagian
dalam improvisasi, namun setelah selesai adegan tersebut saksi melihat
saksi Dewi Persik mengalami luka baru pada pipi kanan sebanyak 3
garis dan di leher sebanyak satu garis seperti kena cakar.
58
5. WARSITO
Saksi adalah security Hotel Mega Matra di Jalan Matraman, Jakarta
Timur. Saksi melihat luka yang dialami oleh saksi Dewi Persik pada
lehernya karena pada saat itu, saksi Dewi Persik menyikap bajunya dan
memperlihatkan kepada crew-crewnya.
6. ERLANDO SAPUTRA
Dalam film ini, saksi berperan sebagai suami dari terdakwa. Saksi
melihat terdakwa membanting saksi Dewi Persik selanjutnya saksi
Dewi Persik menendang terdakwa, lalu terdakwa menjambak rambut
saksi Dewi Persik disertai dengan dorong mendorong dada sehingga
adegan fighting tersebut tampak lucu menurut saksi. Setelah selesai
syuting, saksi melihat dari agak jauh, bahwa saksi Dewi Persik terluka
di pipi kanan seperti kena cakar tapi saksi tidak tahu siapa yang
mencakar. Ketika malam hari, saksi melihat jelas luka yang dialami
oleh saksi Dewi Persik, tapi saksi tidak menanya apapun kepada saksi
Dewi Persik. Dan sebelum syuting, saksi melihat bahwa saksi Dewi
Persik tidak ada luka.
7. AGENG ANJARWATI R.N.
Saksi melihat ketika adegan fighting yang disyuting saat itu, mereka
berdua terguling-guling sampai di ujung dekat tembok dalam keadaan
rambut terdakwa dijambak oleh saksi Dewi Persik. Dalam adegan
fighting yang kedua, saksi melihat berawal dari saksi Dewi Persik yang
menendang terdakwa lalu terjadi saling tendang, dan kemudian
terdakwa dan saksi Dewi Persik bergumul berguling-guling dalam
59
keadaan rambut terdakwa dijambak oleh saksi Dewi Persik. Setelah
syuting selesai, saksi melihat saksi Dewi Persik mengalami luka di pipi
kanan dan leher. Dan sebelum syuting dilakukan, saksi Dewi Persik
tidak ada luka baik di leher maupun di pipi kanannya.
8. PASCAL AS AZHAR
Saksi dalam syuting film ini berperan sebagai Aa Eman. Sebelum
syuting dilakukan, saksi tidak tahu dan tidak mendengar arahan dari
sutradara kepada terdakwa dan saksi Dewi Persik. Setelah syuting scene
16 selesai, saksi melihat ada luka di pipi kanan dari saksi Dewi Persik
dan menurut saksi Dewi Persik luka tersebut ada karena dicakar.
Sebelum syuting scene 16 dilakukan, saksi tidak melihat saksi Dewi
Persik ada luka di pipinya.
9. DINDA AYU KENCANA, SP
Dalam film ini, saksi berperan sebagai penari. Pada pergumulan kedua,
dalam syuting adegan fighting tersebut saksi melihat terdakwa dan saksi
Dewi Persik sudah bergumul di ujung lorong. Saksi melihat ada luka
dipipi sebelah kanan dari saksi Dewi Persik, padahal sebelum syuting
scene 16, luka tersebut tidak ada. Dan selesai syuting, saksi melihat
terdakwa berdarah tetapi saksi tidak tahu sebabnya.
10. MUHAMMAD ZAINAL ILMI alias IYOS
Dalam film ini, saksi berperan sebagai asistennya saksi Dewi Persik.
Saksi melihat saksi Dewi Persik terluka pada pipi kanannya tapi saksi
tidak menanyakan dan tidak tahu apa sebabnya, sedangkan kondisi
terdakwa terluka atau tidak, saksi tidak memperhatikan.
60
b. Keterangan Ahli
1. HUBERTUS KNOCH (BERI PRIMA)
Dalam kasus ini, terdakwa menghadirkan seorang saksi ahli dalam
bidang acting. Saksi ahli adalah bintang film laga yang berperan sejak
tahun 1978 sampai dengan tahun 2006 dengan pendidikan terakhir
SMA. Menurut saksi ahli, dalam film laga dan bukan film laga peranan
sutradara berbeda, yaitu dalam film laga selain sutradara ada penata
laga/penata gerak yang mana biasanya sutradara mengikuti arahan dari
penata gerak. Dalam film laga biasanya penata gerak sudah mengatur
adegan yang akan dimainkan tapi bila melampaui arahan dari penata
gerak maka sutradara harus mengatakan “cut” dan adegan yang lebih
tersebut harus dipotong. Dalam pembuatan film laga, sesekali bisa
mencederai lawan main, namun kalau sampai terjadi dan lawan main
cedera tidak masalah. Dan dalam pembuatan film laga, bila ada adegan
yang berbahaya biasanya menggunakan standman/standgirl yang ahli
dibidangnya. Dalam film laga sebetulnya bisa membedakan mana laga
yang menjiwai peran dengan mana laga yang benar-benar emosi
walaupun emosi adalah bagian dari menjiwai peran. Bila ada adegan
laga itu benar-benar emosi maka sutradara harus memberikan aba-aba
“cut” karena dalam film lagapun ada standar acting. Dalam beracting
film laga harus keliatan benar-benar berhantam tapi tidak benar-benar
berhantam, jadi hanya seolah-olah benar-benar berhantam dan disinilah
dibutuhkan seni peran. Saksi ahli pernah mengalami adanya saling
mencaci maki diantara para pemeran tetapi tidak pernah dibawa ke
61
ranah hukum dan pernah juga mengalami patah tulang karena salah
jatuh atau luka karena berhantam tapi tidak pernah dilaporkan ke aparat.
c. Keterangan Terdakwa
Terdakwa diajukan ke persidangan dalam perkara dugaan tindak pidana
penganiayaan. Dalam arahan sutradara untuk scene 16 adalah terdakwa
berlari kelorong agar cepat ganti baju karena suami sudah menunggu di
rumah lalu saksi Dewi Persik menarik sanggul terdakwa ke dinding
sehingga terjadi pertengkaran mulut dan dilanjutkan dengan berhantam
dan adegan berhantam diawali dengan terdakwa yang menjatuhkan
saksi Dewi Persik dengan cara membanting, dilanjutkan dengan
bergumul dengan posisi terdakwa diatas lalu terdakwa menarik kaki
saksi Dewi Persik kearah pintu dimana terdakwa masuk tapi saksi Dewi
Persik meronta-ronta untuk melepaskan diri, lalu mereka bergumul lagi
di ujung lorong dan pada saat itulah baru Aa Eman datang untuk
melerai. Sutradara tidak memberikan arahan untuk saling pukul, saling
menyerang dan saling menjambak, tapi pemeran boleh berimprovisasi.
Dalam scenario, keributan yang terjadi dalam scene 16 karena adanya
persaingan antara terdakwa sebagai penari senior yang lahan menari
jaipongnya di lokasi itu telah diambil alih oleh saksi Dewi Persik
sebagai penari junior. Terdakwa tidak tahu dalam adegan fighting di
scene 16, saksi Dewi Persik mengalami luka. ± ½ jam setelah shuting,
infotaiment berdatangan dan kemudian disusul oleh polisi dari Polsek
Matraman. Kedatangan polisi untuk menginterogasi terdakwa di
ruangan security hotel dan saat itulah terdakwa diberitahu ada
62
pengaduan dari saksi Dewi Persik tentang penganiayaan yang dilakukan
oleh terdakwa terhadap saksi Dewi Persik. Dan pada hari itujuga
terdakwa dan saksi Dewi Persik melanjutkan syuting di halaman parkir
hotel dan pada saat itulah terdakwa melihat saksi Dewi Persik terluka di
pipi kanan. Terdakwa merasa tidak pernah mencakar atau melukai saksi
Dewi Persik ketika syuting scene 16 film Arwah Goyang Kerawang.
Dan untuk shuting scene 16 ini, sutradara mengarahkan terdakwa harus
diatas supaya bisa menarik kakinya saksi Dewi Persik dan bisa
menciptakan suasana seriil mungkin dengan mencekik leher saksi Dewi
Persik. Ketika syuting scene 16, terjadi pengulangan sebanyak 3 kali
sebab juga digunakan untuk latihan/percobaan. Terdakwa menderita
sinusitas yang selalu memegang hidung, jadi terdakwa tidak pernah
membiarkan kukunya panjang, karena jika panjang bisa mengakibatkan
hidungnya terluka. Dan ketika saksi Dewi Persik jatuh dengan posisi
bagian bawah, lutut terdakwa tidak menekan dada saksi Dewi Persik
sebab kaki dan tumit terdakwa bisa menahan semuanya. Dan saat saksi
Dewi Persik menendang terdakwa, terdakwa tidak bereaksi karena
terdakwa mengira masih masuk dalam scenario sebab tidak ada aba-aba
“cut” dari sutradara. Tapi ketika terdakwa melihat sutradara mendekat,
maka terdakwa berusaha untuk melepaskan tangan saksi Dewi Persik
yang menjambak rambut terdakwa.
63
d. Alat Bukti Surat Visum et Repertum
Sesuai Visum et Repertum yang dikeluarkan oleh RSUP Nasional
DR.Cipto Mangunkusumo No. 1041/TU.FK/XI/2010 tertanggal 9
Nopember 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr.Tjetjep Dwidja
Siswaja, SpF NIP.19580302.198911.1.1002.
Hasil Pemeriksaan :
1. Korban datang dalam keadaan sadar, dengan keadaan umum baik,
tampak sakit ringan. Tekanan darah seratus dua puluh perdelapan
puluh milimeter air raksa.
2. Korban mengaku kurang lebih tiga jam sebelum pemeriksaan, pada
saat shuting korban didorong hingga terjatuh, diduduki dan dicakar
di daerah wajah oleh orang yang sudah dikenal sebelumnya.
3. Pada korban ditemukan :
a. Pada pipi kanan, enam sentimeter dari garis pertengahan depan,
empat sentimeter di bawah sudut luar mata, ditemukan tiga buah
luka lecet gores, berwarna merah, nyeri pada penekanan,masing-
masing berukuran sepanjang dua setengah sentimeter, dua
sentimeter dan dua setengah sentimeter.
b. Pada leher sisi kanan, tujuh sentimeter dari garis pertengahan
depan, sembilan sentimeter dibawah cuping telinga. Ditemukan
dua buah luka lecet gores berwarna merah, nyeri pada
penekanan, masing-masing berukuran sepanjang satu setengah
sentimeter dan empat setengah sentimeter.
64
c. Pada lutut kiri ditemukan lukalecet berwarna merah, dikelilingi
sembab nyeri pada penekanan berukuran satu setengah
sentimeter kali satu setengah sentimeter.
d. Pada tulang selangka kanan sisi atas, delapan sentimeter dari
garis pertengahan depan, ditemukan luka lecet gores berwarna
merah, sepanjang dua setengah sentimeter.
e. Pada lengan bawah kiri sisi belakang, sembilan sentimeter
dibawah siku ditemukan memar berwarna ungu, nyeri pada
penekanan berukuran satu sentimeter kali satu setengah
sentimeter.
f. Pada lengan atas kiri sisi depan, sepuluh sentimeter dibawah
puncak bahu terdapat tiga buah luka lecet gores berwarna
merah, nyeri pada penekanan berukuran satu sentimeter kali satu
setengah sentimeter.
4. Terhadap korban dilakukan oembersihan luka, selanjutnya korban
dipulangkan.
Kesimpulan :
Pada pemeriksaan korban perempuan berusia dua puluh lima tahun
ini, ditemukan luka-luka lecet akibat kekerasan tumpul, yang secara
medik tidak memerlukan tindakan dan atau pengobatan. Luka
tersebut tidak menimbulkan penyakit/halangan dalam menjalankan
pekerjaan jabatan/pencaharian.
65
5. Tuntutan Penuntut Umum
Tuntutan pidana penuntut umum terhadap terdakwa yang pada
pokoknya agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang
mengadili perkara ini memutuskan :
1. Menyatakan Terdakwa YULI RAHMAWATI alias JULIA PEREZ
bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur
dalam Pasal 351 (1) KUHP;
2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap YULI RAHMAWATI alias
JULIA PEREZ selama 6 (enam) bulan penjara;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
- 1 (satu) bendel naskah scenario asli (milik sutradara) dan 2 (dua)
bendel copy milik Terdakwa dan saksi Dewi Persik;
- Foto – foto luka Dewi Persik dan hasil visum yang dikeluarkan
RSCM;
- 1 (satu) keping CD adegan scine 16 dari kamera master;
Tetap terlampir dalam berkas perkara;
4. Menyatakan Terdakwa membayar ongkos perkara sebesar Rp.2.000,00
(dua ribu rupiah).
6. Pertimbangan Hukum Hakim
Terdakwa dihadapkan di persidangan Pengadilan Negeri Jakarta
Timur karena didakwa dengan dakwaan tunggal Pasal 351 ayat (1) KUHP;
Menimbang, bahwa rumusan Pasal 351 ayat (1) KUHP berbunyi :
“Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
66
tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,-“,
sehingga apabila Pasal 351 ayat (1) KUHP dicermati ternyata tidak
mencantumkan unsur delik tapi hanya mencantumkan kwalifikasi dari
tindak pidana tersebut; namun oleh yurisprudensi yang telah diterima luas
dalam praktek peradilan di Indonesia mengartikan “penganiayaan” yaitu
sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka;
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur-unsur dari dakwaan
Penuntut Umum Pasal 351 ayat (1) KUHP terdiri dari :
- Unsur dengan sengaja dan
- Unsur menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka;
Yang uraiannya sebagai berikut :
Unsur dengan sengaja :
Menimbang, bahwa berpatokan pada praktek peradilan,
yurisprudensi dan doktrin hukum maka Pasal 351 KUHP termasuk dalam
kategori delik materil dan corak kesengajaan yang terkandung dalam Pasal
351 ayat (1) KUHP terkait dengan perkara ini adalah kesengajaan dengan
sadar akan kemungkinan;
Menimbang, bahwa terungkap fakta dipersidangan antara lain :
- Pada hari Jum’at tanggal 5 Nopember 2010 ± 13.00 WIB – 14.00
WIB (setelah sholat Jum’at) Terdakwa yang berperan sebagai Lilis
dan Dewi Persik yang berperan sebagai Neneng melakukan shuting
film Arwah Goyang Kerawang scine 16 di Hotel Mega Matra,
Jalan Matraman, Jakarta Timur;
67
- Film Arwah Goyang Kerawang scine ke 16 tersebut ada adegan
fighting yang sebelum shuting dilakukan, Terdakwa maupun Dewi
Persik telah diberikan skrip untuk dibaca, dilanjutkan dengan
pengarahan dari sutradara;
Menimbang, bahwa untuk itu unsur dengan sengaja dalam perkara
ini Pengadilan memberi pertimbangan sebagai berikut ;
Menimbang, bahwa diperoleh fakta di persidangan, pada hari
Jum’at tanggal 5 Nopember 2010 ± 13.00 atau pukul 14.00 WIB (setelah
sholat Jum’at) ketika shuting film Arwah Goyang Kerawang scEne ke 16
yang ada adegan fighting/berhantam telah terjadi pergumulan antara
Terdakwa yang berperan sebagai Lilis dengan Dewi Persik yang berperan
sebagai Neneng yang diawali dengan adu mulut lalu Terdakwa
menjatuhkan Dewi Persik ;
Menimbang, bahwa ketika Dewi Persik telah jatuh terlentang,
Terdakwa mengambil posisi diatas lalu menekan/menindih dada Dewi
Persik dengan lututnya (keterangan Dewi Persik didukung dengan
petunjuk berupa gambar CD yang dipertontonkan dipersidangan) namun
karena Dewi Persik berontak sehingga lutut Terdakwa tergelincir sehingga
posisi kaki kiri Terdakwa berubah menjadi menunggang Dewi Persik
dengan posisi kaki kiri Terdakwa bertumpuan di lantai disamping kanan
Dewi Persik dan kaki kanan Terdakwa bertumpuan di lantai disamping kiri
Dewi Persik sedangkan tempat kedudukan (pantat) Terdakwa bertumpuan
di perut Dewi Persik ;
68
Menimbang, bahwa ketika Terdakwa dalam posisi menunggang
Dewi Persik, Terdakwa berusaha keras untuk menggapai leher Dewi
Persik dan mencakar (keterangan Dewi Persik, Usep Aliyana, Djumeidi
Tri Nugroho serta didukung dengan petunjuk berupa gambar CD yang
dipertontonkan di persidangan) ; namun karena Dewi Persik terus berontak
maka Dewi Persik berhasil melepaskan diri dari tunggangan Terdakwa lalu
bangkit berdiri sehingga pergumulan terhenti sejenak (tanpa aba-aba “cut”
dari sutradara) ;
Menimbang, bahwa kemudian terjadi lagi pergumulan lanjutan
yang diawali dengan Dewi Persik menendang kearah Terdakwa lalu terjadi
lagi pergumulan yang terguling-guling di lantai dengan posisi Terdakwa
diatas dan tampak Dewi Persik menjambak rambut Terdakwa ; ketika
Terdakwa dan Dewi Persik sudah berada di pojok lorong, baru sutradara
memberi aba-aba “cut” sehingga Aa Eman datang untuk melerai tapi tidak
berhasil dan akhirnya sutradara (para crew) ikut melerai ;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi Dewi Persik
didukung dengan petunjuk berupa gambar CD yang dipertontonkan oleh
Penuntut Umum dipersidangkan yang tidak dibantah keaslian oleh
Terdakwa dan team penasehat hukumnya serta para saksi, terungkap
secara jelas shuting film Arwah Goyang Kerawang scene ke 16 yang
dilakukan pada hari Jum’at tanggal 5 Nopember 2010 ± pukul 13.00 atau
14.00 WIB (setelah sholat Jum’at) di Hotel Mega Matra Jl.Matraman,
Jakarta Timur, Terdakwa telah membanting Dewi Persik hingga jatuh
terlentang lalu Terdakwa menduduki perut Dewi Persik sambil
69
menekan/menindih dada Dewi Persik dengan lututnya dan bersamaan
dengan itu Terdakwa berusaha menggapai dan mencengkram leher Dewi
Persik dengan tangannya namun karena Dewi Persik berontak maka lutut
Terdakwa tergelincir sehingga posisi Terdakwa berubah menjadi
menunggang Dewi Persik ;
Menimbang, bahwa mengamati adegan fighting dalam film Arwah
Goyang Kerawang scine ke 16 yang dilakukan pada hari Jum’at tanggal 5
Nopember 2010 ± pukul 13.00 atau 14.00 WIB (setelah sholat Jum’at) di
Hotel Mega Matra Jl.Matraman, Jakarta Timur tersebut maka proses psikis
yang terjadi dalam diri Terdakwa yang terekspresi/terungkap sangat emosi
ketika Terdakwa menduduki perut Dewi Persik yang dalam posisi jatuh
terlentang lalu menekan dada Dewii Persik dengan menggunakan lututnya
sambil mempertahankan posisi lututnya dan sambil berusaha keras untuk
menjangkau dan mencengkram leher Dewi Persik, walaupun akhirnya
Dewi Persik berhasil melepaskan diri berkat usaha kerasnya sendiri;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut diatas maka Pengadilan menilai adegan yang melampaui tuntutan
scenario tersebut dilakukan oleh Terdakwa dengan sadar dan dikehendaki
sehingga unsur dengan sengaja terpenuhi ;
Unsur menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka:
Menimbang, bahwa diperoleh fakta dipersidangan antara lain
bahwa sebelum shuting dilakukan tidak terlihat luka yang dialami oleh
Dewi Persik namun setelah pergumulan berhasil dilerai oleh Aa Eman dan
70
sutradara (crew) terlihat Dewi Persik mengalami luka baru di pipi
kananya;
Menimbang, bahwa walaupun para saksi kecuali Dewi Persik, pada
pokoknya menerangkan antara lain bahwa Dewi Persik terlihat lukanya
hanya pada pipi kanan namun keterangan para saksi dinilai proporsional
karena selain luka lecet dipipi kanan, Dewi Persik juga mengalami luka-
luka lecet lainnya tapi pada bagian tubuh yang tertutup busananya ;
Menimbang, bahwa terkait dengan luka-luka lecet yang dialami
oleh Dewi Persik, tercantum dalam visum et repertum dan telah dibacakan
di persidangan ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut diatas, maka terbukti luka-luka lecet yang dialami oleh Dewi
Persik terjadi ketika Dewi Persik melakoni adegan fighting bersama
Terdakwa dalam shuting film Arwah Goyang Kerawang tersebut ;
Menimbang, bahwa Dewi Persik dipersidangan pada pokoknya
antara lain menerangkan bahwa ketika ia (Dewi Persik) jatuh terlentang,
Terdakwa mengunci saksi (Dewi Persik) lalu mencakar muka dan leher
saksi sehingga saksi merasa sakit dan perih ;
Menimbang, bahwa walaupun saksi-saksi lainnya tidak mengetahui
sebab-sebab luka yang dialami oleh Dewi Persik namun saksi-saksi
tersebut menerangkan pada pokoknya antara lain bahwa dalam shuting
71
film Arwah Goyang Kerawang tersebut terlihat Terdakwa mencakar Dewi
Persik ;
Menimbang, bahwa alasan bantahan team penasehat hukum
Terdakwa terkait dengan kuku Terdakwa yang tidak panjang saat
dilakukan shuting, Pengadilan tidak sependapat karena sudah merupakan
hal yang diketahui umum bahwa sifat kuku itu keras dan bentuknya relatif
tipis sehinnga tidak panjangnya kuku seseorang yang kalau dalam perkara
ini maksudnya ialah kukunya Terdakwa tidak berarti tidak bisa melukai
seseorang yang maksudnya dalam perkara ini ialah Dewi Persik, apabila
mencengkram dengan kekuatan tertentu atau mencakar dengan kekerasan
tertentu ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut maka terbukti luka-luka yang dialami oleh Dewi Persik
disebabkan oleh perbuatan Terdakwa ;
Menimbang, bahwa karena sebagai proses psikis yang terjadi
dalam diri terdakwa, maka Pengadilan perlu menyimpulkan kesengajaan
(dengan sadar kemungkinan) dengan mengandalkan kondisi-kondisi
eksternal yang tampak/terungkap ;
Menimbang, bahwa terungkap fakta dipersidangan bahwa
Terdakwa adalah sosok yang sehat fisik, sehat psikis dan sehat akalnya
sehingga sepatutnya Terdakwa menyadari akibat dari perbuatannya.
72
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut diatas maka Pengadilan menilai telah terbukti luka-luka yang
dialami oleh Dewi Persik dilakukan oleh Terdakwa dengan sadar akan
kemungkinan (kemungkinan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka) ;
Menimbang,bahwa dengan demikian unsur menyebabkan perasaan
tidak enak, rasa sakit atau luka terpenuhi ;
Menimbang,bahwa dengan demikian maka semua unsur dari
dakwaan Penuntut Umum terpenuhi yang oleh karenanya Terdakwa harus
dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan
pidana yang didakwakan ;
Menimbang, bahwa dipersidangan tidak ditemukan alasan
penghapus pidana baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang oleh
karena itu Terdakwa harus dihukum yang setimpal dengan kesalahannya ;
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan hukuman terhadap
Terdakwa, Pengadilan perlu mempertimbangkan hal-hal yang
meringankan maupun hal-hal yang memberatkan yaitu :
Hal-hal yang meringankan :
- Luka-luka lecet yang dialami oleh Dewi Persik tidak menghalangi Dewi
Persik (korban) untuk melakukan kegiatan rutinnya sehari-hari ; bahkan
pada hari itu juga Dewi Persik masih bisa melanjutkan shuting untuk film
tersebut ;
73
- Terdakwa telah meminta maaf kepada Dewi Persik ;
- Antara Terdakwa dengan Dewi Persik telah mencapai perdamaian
beberapa kali bahkan ada yang dalam bentuk tertulis dengan melibatkan
publik figur Camelia Malik dan Achmad Dani maupun tokok agama
yaitu Habib ;
- Terdakwa bersikap sopan dipersidangan ;
- Terdakwa belum pernah dihukum ;
- Terdakwa masih muda usia ;
Hal-hal yang memberatkan tidak ada ;
Menimbang, bahwa karena Terdakwa dinyatakan bersalah dan
dihukum maka terhadapnya dibebani pula untuk membayar ongkos
perkara ;
Mengingat Pasal 351 ayat (1) KUHP, Pasal 193 KUHAP serta
ketentuan-ketentuan lainnya yang bersangkutan ;
7. Amar Putusan Pengadilan Negeri
MENGADILI
1. Menyatakan Terdakwa YULI RAHMAWATI alias JULIA PEREZ
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan
pidana PENGANIAYAAN ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) bulan ;
3. Menetapkan agar hukuman tersebut tidak akan dijalankan kecuali
berdasarkan putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap
74
Terdakwa kembali dinyatakan bersalah karena melakukan suatu tindak
pidana dalam tenggang waktu masa percobaan selama 6 (enam) bulan ;
4. Menyatakan barang bukti berupa :
- 1 (satu) bendel naskah scenario asli (milik sutradara) dan 2 (dua)
bendel copy milik Terdakwa dan saksi Dewi Persik ;
- Foto-foto luka Dewi Persik dan hasil visum yang dikeluarkan
RSCM;
- 1 (Satu) keping CD adegan scene 16 dari kamera master;
5. Membebani Terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar
Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).
75
B. Pembahasan
1. Alasan Diperlukannya Visum et Repertum Dalam Tindak
Penganiayaan Antara Dewi Persik dan Julia Perez
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan
pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil
terhadap perkara tersebut. Proses pencarian kebenaran mater iil tersebut
melalui tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari tindakan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk
menentukan lebih lanjut putusan apa yang akan diambil.Putusan yang akan
diambil oleh hakim itu sendiri didasarkan pada kebenaran materiil yang
tepat dan berlaku menurut ketentuan perundang-undangan. Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana
dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan
pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana dit entukan dalam
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal
6 ayat (2) yang menyatakan :
“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.
Dengan adanya ketentuan perundang-undangan tersebut, maka
dalam proses penyelesaian perkara pidana, penegak hukum wajib
mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana
yang ditangani dengan selengkap mungkin. Oleh karena itu,
76
diperlukanlahproses pembuktian. Pembuktian merupakan proses penting
dalam sidang pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidaknya
terdakwa berdasarkan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum.
Dengan adanya pembuktian, hal inilah yang menentukan nasib terdakwa
kedepannya, apakah terdakwa bersalah atau tidak.
Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan
hukum acara pidana (formeel strafrecht/ strafprocessrecht) pada
khususnya, aspek “pembuktian” memegang peranan menentukan untuk
menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh
hakim.Hakim di dalam menjatuhkan suatu putusan, tidak hanya dalam
bentuk pemidanaan, tetapi dapat juga menjatuhkan putusan bebas dan
putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan bebas akan dijatuhkan
oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atau perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Kemudian putusan lepas dari segala tuntutan hukum, akan dijatuhkan oleh
hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana.Dalam hal pembuktian ini pun hak asasi
manusia dari terdakwa dipertaruhkan, karena dilihat dari akibatnya, yaitu
jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan
yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan
hakim, padahal tidak benar, dan terdakwa sudah terlanjur melaksanakan
77
hukumannya. Dalam hal seperti inilah yang harus diperhatikan, untuk
inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran
materiil, yaitu kebenaran yang hakiki atau yang sebenar-benarnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan
mengenai pengertian pembuktian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana hanya memuat jenis-
jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Walaupun dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum
Acara Pidana tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan
tetapi beberapa ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari
pembuktian. M. Yahya Harahap mengemukakan pendapatnya mengenai
pembuktian sebagai berikut:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.”54
Darwan Prinst mengatakan bahwa55:
54M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta : Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2009, hlm. 273.
55Darwin Prinst, Op.Cit. hlm.137.
78
“Pembuktian adalah suatu peristiwa pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya, sehingga terdakwa harus mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut.”
Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan
menempatkan kebenaran materiil dan bukanlah untuk mencari kesalahan
orang lain. Menurut A. Karim Nasution :
“Tujuan dari pembuktian adalah untuk memberikan kepastian yang diperlukan dalam menilai sesuatu hal tertentu mengenai fakta atas penilaian tersebut harus didasarkan.”56 Dengan adanya pembuktian maka hakim meskipun ia tidak melihat
dengan mata kepalanya sendiri kejadian sesungguhnya, dapat
menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga
memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.
Berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, sistem pembuktian
yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang- Undang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian menurut
undang- undang secara negatif (Negatif Wettelijk Bewijstheori) yang
dirumuskan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dengan demikian, untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa
hakim harus memenuhi hal- hal sebagai berikut:
56A. Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana Jilid I, Jakarta :
Pusdiklat Agung, 1975, hlm. 24.
79
a. Dua alat bukti yang sah;
b. Ada keyakinan hakim akan terjadinya tindak pidana dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak
hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak
dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar
kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang
ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil
selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Menurut ketentuan hukum acara pidana, mengenai permintaan
bantuan tenaga ahli diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, yaitu :
a. Pasal 1 butir 28 KUHAP yang berbunyi :
“keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”
b. Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP :
“mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.”
c. Pasal 120 ayat (1) KUHAP :
“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.”
d. Pasal 133 ayat (1) KUHAP :
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan atau mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
80
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.”
Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam
proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka pada tahap penyidikan
bantuan tenaga ahli ini juga mempunyai peran yang cukup penting untuk
membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam
usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam
kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap
keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang
sedang ditanganinya. Keterangan yang diberikan oleh seorang ahli tersebut
adalah keterangan yang diberikan berdasarkan keahlian yang dimilikinya,
diberikan secara jujur dan tidak memihak serta obyektif. Keterangan ahli
ini sangat diperlukan oleh hakim untuk membantu atau memperjelas
penyelesaian suatu perkara pidana yang sedang diperiksa di sidang
pengadilan. Tentang siapakah yang dapat dijadikan sebagai ahli telah
diatur dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, yaitu:
a. Keterangan ahli khusus dokter ahli Kedokteran Kehakiman,
yaitu khusus diperuntukan bagi pemeriksaan korban
penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.
b. Keterangan ahli lainnya, yaitu keterangan ahli
sebagaimanarumusan Pasal 1 butir 28, yaitu mereka yang
secara khususdiperlukan untuk menerangkan sesuatu hal atau
keadaan danmemenuhi syarat.
81
Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan
pemerkosaan merupakan contoh kasus penyidik membutuhkan bantuan
tenaga ahli seperti, dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk
memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya
berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus
tersebut. Dan keterangan ahli mempunyai nilai pembuktian yang dapat
digunakan hakim untuk mengetahui perkara yang kurang diketahui dan
dapat digunakan untuk memperkuat keyakinan hakim dalam memberikan
putusan karena keterangan ahli bersifat subyektif atas apa yang menjadi
keahliannya dan berdasarkan kenyataannya.
Dalam memberikan laporannya mengenai hal-hal yang
diperiksanya, dokter ahli forensik dapat berbentuk lisan yang disampaikan
secara langsung di persidangan dan berbentuk laporan tertulis yang
tertuang di dalam visum et repertum. Atang Ranoemihardja berpendapat :
“Visum et repertum merupakan rencana (verslag) yang diberikan seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan secara objektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya daripadanya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat. Selain daripada itu visum et repertum mungkin dipakai pula sebagai dokumen dengan mana dapat ditanyakan pada dokter lain tentang barang bukti yang telah diperiksa apabila yang bersangkutan (jaksa, hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut.”57
Pembuatan visum et repertum memberikan tugas sepenuhnya
kepada dokter sebagai pelaksana di lapangan untuk membantu hakim
57Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Bandung : Tarsito, 1991, hlm.11.
82
dalam menemukan kebenaran materiil dalam memutuskan perkara pidana.
Ilmu kedokteran forensik dilibatkan untuk dapat memberikan pendapat
berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam pemeriksaan perkara
pidana, terutama menyangkut tubuh manusia atau bagian dari tubuh
manusia. Hal ini diperlukan karena hakim tidak dibekali ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan anatomi tubuh manusia. Dasar hukum mengenai
tindakan dokter dalam memberikan bantuan keahliannya pada
pemeriksaan pidana, adalah ;
a. Pasal 179 ayat (1) KUHAP ;
“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.”
Dalam pengertian bebas visum et repertumadalah keterangan
tertulis dari seorang dokter atas sumpah jabatannya dengan permintaan
tertulis dari pihak yang berwenang, mengenai apa yang dilihat dan/atau
ditemukan pada barang bukti baik orang hidup atau mati untuk
kepentingan peradilan (pro justitia).Sifat dari visum et repertum sangat
berkaitan dengan kenyataan, kondisi saat itu, misalnya keadaan luka pada
tubuh korban, keadaan mayat korban dan sebagainya. Seperti halnya yang
dikatakan oleh Dr.Tjan Han Tjon yang telah dikutip oleh Atang
Ranoemihardja, yaitu :
“Visum et repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (tanda bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut kerusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan
83
nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan Corpus Delicti.”58
Corpus Delicti yang berupa tubuh manusia, dimana tubuh manusia
tersebut mengalami luka-luka yang mungkin saja dapat sembuh,
membusuk atau dapat menimbulkan kematian dalam beberapa waktu.
Keadaan pada tubuh manusia akan selalu berubah, tidak pernah sama
ketika dilakukan pemeriksaan, oleh karena itu agar corpus delicti tersebut
tidak menghilang dan tidak mungkin dapat diajukan pada sidang
pengadilan, maka corpus delicti harus diganti oleh visum et repertum.
Visum et Repertum sangat berperan penting dalam kasus perkara
pidana, terutama perkara kejahatan, itu sangat membantu di dalam
persidangan oleh Hakim, terutama apabila perkara tersebut hanya dijumpai
alat-alat bukti yang amat minim. Berbagai tindak pidana yang memerlukan
visum et repertum sebagaimana dalam KUHP adalah :
a. Pelaku tindak pidana yang menderita kelainan jiwa, yaitu
berkaitan dengan Pasal 44 KUHP;
b. Penentuan umur korban/pelaku tindak pidana;
c. Kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Pasal 284 sampai 290
KUHP, dan Pasal 292 sampai Pasal 294 KUHP;
d. Kejahatan terhadap nyawa yaitu Pasal 338 sampai Pasal 348
KUHP;
e. Kejahatan Penganiayaan, berkaitan dengan Pasal 351 sampai
355 KUHP;
58Atang Ranoemihardja, Op.Cit, hlm.21.
84
f. Perbuatan kelalaian yang menyebabkan mati atau luka orang
lain, yaitu Pasal 359 dan 360 KUHP.
Sesuai dengan surat tuntutan pidana penuntut umum yang dibuat
oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa, bahwa perseteruan antara
dua artis dangdut tersebut, termasuk tindak pidana penganiayaan.
Pengertian dari “penganiayaan” sendiri menurut ilmu pengetahuan
(doktrin) adalah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain” dan dalam hukum
pidana, penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
a. adanya kesengajaan
b. adanya perbuatan
c. adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni rasa sakit
padatubuh dan luka pada tubuh
Unsur-unsur diatas telah memenuhi ketentuan di Pasal 351 ayat (1)
KUHP, dimana terdapatnya tindak pidana penganiayaan yang terjadi di
antara dua artis dangdut tersebut. Perseteruan tersebut bermula ketika
mereka sedang melakukan syuting film “Arwah Goyang Kerawang”.
Dalam perseteruan tersebut Dewi Persik menjadi korban dari tindak
penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa. Unsur dari perbuatan
terdakwa adalah unsur adanya kesengajaan dengan sadar akan
kemungkinan dan unsur menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau
luka.
Unsur adanya kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan dapat
dilihat bahwa terdakwa dalam keadaan sehat fisik, sehat psikis dan sehat
85
akalnya, sehingga seharusnya terdakwa menyadari akan perbuatannya.
Saat terdakwa sedang melakukan adegan fighting dengan saksi korban,
proses psikis yang terjadi dalam diri terdakwa yang sangat jelas
terekspresi/terungkap begitu sangat emosi ketika terdakwa menududuki
perut saksi korban, dimana saksi korban dalam keadaan jatuh terlentang,
dan terdakwa menekan dada saksi korban dengan menggunakan lututnya
dan sambil berusaha keras untuk menjangkau dan mencengkram leher
saksi korban.
Unsur menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka.
Unsur ini dapat dilihat bahwa sebelum syuting di lakukan, saksi korban
tidak mengalami luka-luka di tubuhnya, tetapi setelah syuting dilakukan
terdapat beberapa luka-luka di tubuh saksi korban. Luka-luka saksi korban
terdapat pada pipi kanan, leher sisi kanan, lutut kiri, tulang selangka
kanan, lengan bawah kiri sisi belakang, dan lengan atas kiri sisi depan. Ini
adalah tempat dimana luka-luka tersebut berada.
Akibat dari tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terdakwa,
yaitu adanya luka-luka di tubuh saksi korban. Dan untuk membuktikan
apakah luka-luka di tubuh saksi korban adalah akibat dari terdakwa, maka
diperlukanlah bantuan tenaga ahli yaitu dokter forensik untuk memeriksa
luka-luka tersebut. Sebelum melakukan syuting film “Arwah Goyang
Kerawang” tidak terdapat luka-luka di tubuh saksi korban, tetapi setelah
selesai syuting, tubuh saksi korban mengalami luka-luka. Oleh karena itu,
3 jam dari selesai syuting, saksi korban pergi ke dokter untuk memeriksa
luka-luka tersebut.
86
Dr. Tjetjep Dwidja Siswaja yang bertugas di RSUP Nasional DR.
Cipto Mangunkusumo, yang telah melakukan pemeriksaan terhadap
keadaan saksi korban. Berdasarkan keterangan dokter bahwa pada saat
saksi korban datang, dia dalam keadaan sadar dan dengan keadaan umum
baik, tampak sakit ringan, tekanan darah seratus dua puluh perdelapan
puluh milimeter air raksa. Saksi korban mengaku kurang lebih tiga jam
sebelum pemeriksaan, pada saat syuting telah didorong hingga terjatuh,
diduduki dan dicakar di daerah wajah oleh orang yang dikenal
sebelumnya. Setelah melakukan pemeriksaan, hasilnya dituangkan dalam
visum et repertum No.1041/TU.FK/XI/2010 yang dibuat dan ditandatangi
oleh Dr.Tjetjep Dwidja Siswaja, bahwa saksi korban mengalami luka-luka
lecet akibat kekerasan tumpul. Dan hasil pemeriksaan terhadap tubuh saksi
korban adalah :
a. Pada pipi kanan, enam sentimeter dari garis pertengahan depan, empat sentimeter di bawah sudut luar mata, ditemukan tiga buah luka lecet gores, berwarna merah, nyeri pada penekanan, masing-masing berukuran sepanjang dua setengah sentimeter, dua sentimeter dan dua setengah sentimeter.
b. Pada leher sisi kanan, tujuh sentimeter dari garis pertengahan depan, sembilan sentimeter dibawah cuping telinga, ditemukan dua buah luka lecet gores berwarna merah, nyeri pada penekanan, masing-masing berukuran sepanjang satu setengah sentimeter dan empat setengah sentimeter.
c. Pada lutut kiri ditemukan luka lecet berwarna merah, dikelilingi sembab, nyeri pada penekanan berukuran satu setengah sentimeter kali satu setengah sentimeter.
d. Pada tulang selangka kanan sisi atas, delapan sentimeter dari garis pertengahan depan, ditemukan luka lecet gores berwarna merah, sepanjang dua setengah sentimeter.
e. Pada lengan bawah kiri sisi belakang, sembilan sentimeter dibawah siku ditemukan memar berwarna ungu, nyeri pada penekanan berukuran satu sentimeter kali satu setengah sentimeter.
87
f. Pada lengan atas kiri sisi depan, sepuluh sentimeter dibawah puncak bahu terdapat tiga buah luka lecet gores berwarna merah, nyeri pada penekanan berukuran satu sentimeter kali satu setengah sentimeter.
Luka-luka yang terdapat dalam tubuh saksi korban disebabkan
karena saksi korban dan terdakwa terlibat dalam pergumulan pada saat
melakukan syuting film “Arwah Goyang Kerawang”. Pada saat
itu,terdakwatelah membanting saksi korban, sehingga terdakwa berada di
posisi atas dan saksi korban berada di bawah, terdakwa yang berada di
posisi atas memukul dan mencakar saksi korban berulang kali sehingga
saksi korban mengalami luka pada muka sebelah kanan, leher sebelah
kanan serta mengalami luka memar pada bagian lutut karena terjatuh
ketika dibanting oleh terdakwa.
Untuk membuktikan bahwa luka-luka lecet yang terdapat dalam
tubuh saksi korban adalah benar dari tindakan terdakwa, maka dalam
perkara penganiayaan ini sangat membutuhkan visum et repertum. Visum
et repertumsebagai bukti bahwa benar luka-luka lecet yang dialami oleh
saksi korban adalah hasil dari perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa,
karena sebelum melakukan syuting, tubuh saksi korban tidak mengalami
luka-luka lecet sedikitpun, tetapi setelah melakukan syuting terdapat luka-
luka lecet dalam tubuh saksi korban. Visum et repertumini juga untuk
menambah keyakinan hakim dalam memutus perkara tersebut. Dalam
visum et repertum, terutama untuk perkara penganiayaan mengenal adanya
penentuan derajat luka atau kualifikasi luka. Penentuan derajat luka ini
sangat penting karena dapat menentukan seberapa buruknya luka yang
88
dialami oleh saksi korban danmemegang peranan penting bagi hakim
dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai
dengan rasa keadilan.
Hukum pidana mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda, yaitu :
1. penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara); 2. penganiayaan sedang (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan); 3. penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum
5 tahun).59
Ada beberapa macam penganiayaan dalam KUHP, yaitu:
a. Penganiayaan Biasa - Pasal 351 KUHP;
b. Penganiayaan Ringan - Pasal 352 KUHP;
c. Penganiayaan Berencana - Pasal 353 KUHP;
d. Penganiayaan Berat - Pasal 354 KUHP;
e. Penganiayaan Berat Berencana - Pasal 355 KUHP.
Kasus perkara penganiayaan yang terdapat dalam Putusan
No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM, termasuk dalam penganiayaan biasa,
karena penganiayaan biasa merupakan suatu tindakan hukum yang
bersumber dari sebuah kesengajaan dan menimbulkan rasa nyeri, perasaan
tidak enak dan luka. Dalam kasus ini, saksi korban mengalami rasa nyeri,
perasaan tidak enak dan saksi korban juga mengalami luka-luka pada
tubuhnya. Saksi korban adalah seorang artis hiburan, yang sangat
mementingkan kecantikan pada wajah dan tubuhnya guna menjalankan
tugasnya di dunia hibura, dengan adanya luka-luka pada tubuh saksi koban
dapat menghalangi tugasnya sebagai artis.
59Dedi Afandi, Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan Derajat
Luka, Maj Kedokt Indon, Volume: 60 Nomor: 4, April 2010, hlm.192.
89
Visum et repertum dalam penggunannya juga ada beberapa macam,
yaitu:
a. Visum et Repertum untuk pelaku kelainan jiwa; b. Visum er Repertum tentang umur; c. Visum et Repertum untuk korban hidup; d. Visum et Repertum untuk korban mayat; e. Visum et Repertum korban pemerkosaan atau tindak pidana
kesusilaan; f. Visum et Repertum penggalian mayat.60
Dalam Putusan Perkara No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM, saksi
korban menggunakan visum et repertum untuk korban hidup, yang hanya
perlu pengobatan dan tidak perlu di rawat nginap di Rumah Sakit.Visum et
repertum untuk korban hidup biasanya digunakan untuk hal-hal yang
diakibatkan benda tumpul, benda yang tajam, bahan kimia atau racun, obat
pembasmi cair (basah) atau kering, tembakan senjata api dari jarak dekat
atau jauh, tenggelam, mencoba bunuh diri atau lainnya. Dan visum et
repertum untuk korban hidup, terbagi dalam beberapa jenis, yaitu :
1. Visum seketika adalah visum yang dibuat seketika oleh karena
korban tidak memerlukan tindakan khusus atau perawatan dengan
perkataan lain korban mengalami luka - luka ringan.
2. Visum sementara adalah visum yang dibuat untuk sementara
berhubung korban memerlukan tindakan khusus atau perawatan.
Dalam hal ini dokter membuat visum tentang apa yang dijumpai
pada waktu itu agar penyidik dapat melakukan penyidikan
walaupun visum akhir menyusul kemudian.
60Y.A. Triana Ohoiwutun, Profesi Dokter dan Visum Et Repertum (Penegakan Hukum
dan Permasalahannya) , Malang: Penerbit Dioma, 2006. hlm.34.
90
3. Visum lanjutan adalah visum yang dibuat setelah berakhir masa
perawatan dari korban oleh dokter yang merawatnya yang
sebelumnya telah dibuat visum sementara untuk awal penyidikan.
Visum tersebut dapat lebih dari satu visum tergantung dari dokter
atau rumah sakit yang merawat korban.
Dengan adanya visum et repertumdalam perkara penganiayaan ini
dapat diketahui bahwa benar adanya saksi korban telah mengalami
penganiayaan yang di lakukan oleh terdakwa ketika melakukan syuting
dan hal itu pun didukung dengan adanya CD, dimana tertayang wajah
terdakwa yang sangat emosi ketika lututnya menekan saksi korban dan
ketika terdakwa berusaha menjangkau dan mencengkram leher saksi
korban. Hukum acara pidana juga telah merumuskan peranan visum et
repertum yang bertujuan :
1. Untuk mengganti sepenuhnya barang bukti yang diperiksa.
Visum et repertum merupakan rencana yang diberikan oleh
dokter mengenai apa yang ia lihat dan diketemukan pada waktu
dilakukan pemeriksaan secara objektif, sebagai pengganti
peristiwa yang terjadi dan harus mengganti sepenuhnya barang
bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan
sehingga akhirnya daripadanya dapat ditarik kesimpulan yang
tepat.
2. Selain itu visum et repertum juga digunakan sebagai dokumen
kedokteran. Visum et repertum juga dapat digunakan sebagai
dokumen yang dapat dinyatakan kepada dokter lain tentang
91
barang bukti yang telah diperiksa apabila yang bersangkutan
(Jaksa, Hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut.
Pembuatan visum et repertum sendiri mempunyai kegunaan dan
manfaat bagi upaya penyelesaian perkara pidana, yaitu :
1. Menentukan ada atau tidaknya suatu pidana
Tugas pokok seorang dokter dalam membantu mengusut tindak
pidana terhadap kesehatan dan nyawa manusia ialah pembuatan
visum et repertum sehingga bekerjanya harus objektif dengan
mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan menghubungkannya
satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil
kesimpulan maka oleh karenanya pada waktu memberikan
laporan pemberitaan dari visum et repertum itu harus
sesungguh-sungguhnya dan seobyektifnya tentang apa yang
dilihat dan ditemukannya pada waktu pemeriksaan. Dengan
demikian visum et repertum merupakan kesaksian tertulis. Maka
visum et repertum sebagai pengganti peristiwa terjadi dan harus
dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa
dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya dapat
ditarik kesimpulan yang tepat. Selain daripada itu visum et
repertum mungkin dipakai pula sebagai dokumen dengan mana
dapat dinyatakan pada dokter lain tentang barang bukti yang
telah diperiksa apabila bersangkutan (Jaksa, Hakim).
2. Memberikan petunjuk kepada penyidik dalam melakukan
penyidikan
92
Peran visum et repertum dapat digunakan penyidik untuk
memperoleh keterangan dalam proses penyidikan, karena
seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana sesuai
dengan bukti permulaan yang cukup dapat dilakukan
penangkapan. Setelah adanya penangkapan perbuatan hukum
yang dilakukan oleh polisi adalah melakukan penyidikan, dan
hal ini tentunya polisi juga melakukan perbuatan hukum
kembali dengan cara melakukan penahanan kepada seorang
yang diduga keras melakukan tindak pidana, penahanan yang
dilakukan oleh penyidik terbatas waktunya misalnya untuk
penahan tahap awal polisi dapat melakukan penahanan selama
20 hari dan ditambah kembali oleh jaksa selama 40 hari (Pasal
24 KUHAP). KUHAP tidak ada aturan khusus mengatur
spesifik dan tegas mengatur mengenai perbuatan hukum yang
dilakukan oleh polisi mengenai masa waktu dilakukan
penyidikan terhadap seseorang yang diduga karena melakukan
tindak pidana, sehingga tidak jarang penyidikan yang dilakukan
oleh polisi bisa berbulan-bulan, dan batas waktu penyidikan
logika hukumnya mengikuti masa waktu dilakukan penahanan,
bagaimana kemudian ketika seorang yang diduga karena
melakukan tindak pidana tidak dilakukan upaya penahanan oleh
kepolisian. Tidak ada suatu kepastian hukum dalam proses
penyidikan dalam mengakibatkan bergantungnya suatu
penyidikan yang lamban, dan hal itu kerap kali posisi seseorang
93
yang diduga keras melakukan tindak pidana statusnya terkatung-
katung, dan prosesnya berbulan-bulan. Meskipun tidak jarang
proses penyidikan ini kerap kali sangat cepat tetapi untuk kasus
yang tidak jelas pula. Artinya tidak ada standart yang jelas
dalam KUHAP mengenai waktu masa penyidikan.
3. Visum et repertum dapat berguna pula dalam menentukan
tuduhan apa yang akan diajukan kepada hakim terhadap
terdakwa
Dokter forensik mempunyai tugas untuk memeriksa dan
mengumpulkan berbagai bukti yang berkaitan dengan
pemenuhan unsur-unsur delik seperti yang dinyatakan oleh
undang-undang, dan menyusun laporan visum et repertum.
Maka dari itu keterangan ahli berupa visum et repertum tersebut
menjadi sangat penting dalam pembuktian, sehingga visum et
repertum akan menjadi alat bukti yang sah karena berdasarkan
sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan
peradilan, sehingga akan membantu dalam mengungkap suatu
perkara pidana.61
2. Kedudukan dan Kekuatan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti
Dalam Perkara Penganiayaan Antara Dewi Persik dan Julia Perez
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dalam
61www.ebookf.com/re/repertum-book.pdf, Peran Visum et Repertum Dalam Upaya
Pembuktian dalam Pidana, diakses pada tanggal 3 Oktober 2013 pukul 15.49 WIB.
94
pemeriksaan atas terdakwa, hakim senantiasa berpedoman pada sistem
pembuktian yang tuliskan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurut R.Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah
proses membuktikan dan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalilyang
dikemukan oleh para pihak dalam suatu persengketaan di muka
persidangan.”62
Pembuktian merupakan proses yang terjadi di sidang pengadilan
untuk menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan
dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Tindak pidana benar-
benar dapat dibuktikan, dengan adanya bukti yang sah dan menyakinkan.
Dan membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan
hal-hal yang dapat ditangkap oleh pancaindera, mengutarakan hal-hal
tersebut dan berpikir secara logika, hal ini karena hukum pidana hanya
mengenal pembuktian yang dapat diterima oleh akal sehat berdasarkan
peristiwa yang konkrit. Beberapa ketentuan hukum acara pidana telah
mengatur mengenai beberapa alat bukti yang sah dan meyakinkan seperti
dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa :
62R.Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985, hlm.1.
95
“Alat bukti yang sah ialah:
1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa”.
Pembuktian dalam perkara pidana memerlukan adanya alat bukti
yang sah sesuai dengan isi dari Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dan Hakim
dalam menjatuhkan putusan pidana harus berdasarkan pada Pasal 183
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang intinya mendasarkan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah yang dapat membentuk keyakinan hakim tentang
kesalahan terdakwa. Dan terbentuknya keyakinan hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat
bukti yang dikemumakakan pada proses persidangan.
Dari kelima alat bukti yang sah dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, alat bukti keterangan ahlimempunyai peran untuk
membentuk keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara. Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana tidak memberikan definisi mengenai apa itu ahli atau apa itu
keterangan ahli yang dapat menjadi alat bukti. Pasal 1 butir 28 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana hanya menyebutkan bahwa “keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
96
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan.” Sementara itu tidak disebutkan mengenai
apa itu ahli dan keterangan ahli seperti apa yang dapat dipakai sebagai alat
bukti.Keterangan seorang ahli dibutuhkan dalam rangka membuat terang
suatu tindak pidana.
Keterangan ahli ini urgensinya terlihat jelas sangat dibutuhkan pada
tindak pidana yang menyangkut kejahatan terhadap nyawa dan tubuh. Hal
ini terdapat pada Pasal 133 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidanayang berbunyi:
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan kerangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan/atau ahli lainnya.”
Dalam pemecahan tindak kriminal, ahli-ahli yang banyak
membantu adalah ahli-ahli di bidang ilmu forensik, di antaranya:
1. Ilmu Kedokteran Forensik; 2. Ilmu Kimia Forensik; 3. Ilmu Racun Forensik; 4. Ilmu Fisika Forensik; 5. Psikiatri/Neurologi Forensik
Dalam Putusan Perkara No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM, terdapat
tindak penganiayaan yang terjadi antara terdakwa dan saksi korban, akibat
dari tindak penganiayaan tersebut, tubuh saksi korban terdapat luka-luka
lecet. Dalam menyelesaikan kasus tindak penganiayaan tersebut, aparat
penegak hukum meminta bantuan kepada orang yang memiliki keahlian
khusus sehingga dapat menjawab, memecahkan, serta memperjelas
97
mengenai tindak pidana penganiayaan yang terjadi. Oleh karena itu
bantuan dari seorang ahli diperlukan dalam perkara ini. Bantuan ahli yang
diperlukan dalam kasus ini adalah dokter atau ilmu kedokteran forensik
atau disebut juga ilmu kedokteran kehakiman karena kasus perkara
penganiayaan ini membawa dampak luka-luka pada tubuh seseorang.Dan
sesuai dengan Pasal 179 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi :
“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.”
Dokter dapat memberikan keterangannya baik secara lisan dan
tertulis atau dalam bentuk laporan. Bentuk laporan dari keterangan dokter,
tertuang dalam visum et repertum.Menurut R. Soeparmono :
“visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya.”63
Visum et repertum termasuk kedalam alat bukti surat dan sebagai
pengganti barang bukti(corpus delicti). Visum et repertum merupakan
surat yang dibuat atas sumpah jabatan, yaitu jabatan sebagai seorang
dokter, sehingga surat tersebut mempunyai keotentikan. Sebagaimana
dalam Pasal 184 ayat (1) dan Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka visum et
repertum dalam bingkai alat bukti yang sah menurut undang-undang,
63R. Soeparmono, SH, Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum
Acara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2002, hlm. 98.
98
masuk dalam kategori alat bukti surat.Visum et repertumdapat dikatakan
merupakan sarana utama dalam penyidikan perkara tindak pidana yang
menyebabkan korban manusia, baik hidup maupun mati karena dengan
adanya visum et repertum dapat mengetahui sebab-sebab suatu luka pada
tubuh seseorang.
Secara khusus visum et repertum tidak pernah dicantumkan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sebagaimana salah satu alat bukti yang sah, namun
visum et repertum sudah menjadi bagian dari keterangan ahli dan
keterangan ahli itu sendiri harus memberikan pendapat yang didasarkan
atas keilmuan atau keahlian khusus mengenai suatu hal untuk kepentingan
pemeriksaan.Visum et repertummerupakan sarana utama dalam penyidikan
perkara tindak pidana yang menyebabkan korban manusia, baik hidup
maupun mati.
Pada proses pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, jika Hakim
mengalami keraguan terhadap visum et repertum, Hakim dapat memanggil
dokter pembuat visum et repertum ke sidang pengadilan untuk
menjelaskan dan mempertanggungjawabkan visum et repertum tersebut.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 180 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
berbunyi :
“Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketus sidang dapat minta
99
keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.” Dengan demikian visum et repertum telah menjadi penghubung
antara ilmu kedokteran dan ilmu hukum,sehingga dengan membaca visum
et repertum bisa dipertimbangkan dan diterapkan sesuai dengan norma
hukum menyangkut tubuh atau jiwa seseorang dan Jaksa Penuntut Umum
serta Hakim dapat membayangkan bagaimana keadaan barang bukti pada
saat terjadinya peristiwa pidana. Kedudukan visum et repertum dalam
suatu proses peradilan adalah sebagai salah satu alat bukti yang sah
sebagaimana yang tertulis di Pasal 184Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam
bukunya, Soeparmono mengatakankedudukan visum et repertum di dalam
hukum pembuktian dalam proses acara pidana, dapat berkedudukan
sebagai:
a. Alat bukti surat (Pasal 184 ayat (1) huruf c jo. 187 huruf c KUHAP); Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP :“surat” Pasal 187 huruf c KUHAP : “surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.”
b. Keterangan ahli (Pasal 1. Stb 1937-350 jo. Pasal 184 ayat (1)
huruf b KUHAP Pasal 1. Stb 1937-350 : “Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran di Negeri Belanda ataupun di Indonesia, merupakan alat bukti yang syah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisikan keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang diperiksa.” Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP : “keterangan ahli”64
64Ibid, hlm. 98.
100
Nilai visum et repertum hanya merupakan kejelasan dan dasar-
dasar bagi Hakim untuk menambah keyakinannya dalam membuat
putusan, dan hakim tidak wajib mengikuti pendapat dokter yang membuat
visum et repertumtersebut. Bagi pengadilan, bantuan dari seorang ahli jika
digabung bersama-sama dengan alat bukti lainnya, akan berangkaian dan
bersesuaian satu dengan yang lain dan bermanfaat bagi terbuktinya
pemenuhan unsur-unsur tindak pidana disertai dengan keyakinan hakim.
Pada kasus perkara No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM, hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap terdakwa menjadikan visum et
repertumsebagai pertimbangan, dengan bunyi :
“Menimbang, bahwa terkait dengan luka-luka lecet yang dialami
oleh Dewi Persik, tercantum dalam visum et repertum dan telah
dibacakan di persidangan.”
Dan dalam kasus perkara No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM ini
menjadikan visum et repertum sebagai alat bukti surat yang sah, karena
visum et repertum dibacakan dalam sidang pengadilan tanpa menghadirkan
saksi ahli. Dalam sidang pengadilan perkara pidana, visum et
repertumakan mempunyai daya bukti jika isi dari visum et repertum
tersebut dibacakan dimuka sidang pengadilan, apabila tidak maka visum et
repertumtersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Hal ini karena
visum et repertum dibuat dengan sumpah jabatan. Adanya sumpah jabatan
dalam pembuatan visum et repertum merupakan syarat mutlak, karena jika
visum et repertum tersebut dibuat tanpa dasar sumpah jabatan maka dapat
101
dikatakan tidak mempunyai bobot sebagai alat bukti. Dengan adanya
sumpah ini barulah visum et repertum merupakan dan mempunyai
kekuatan sebagaimana alat bukti yang sah.65
Sebagaialat bukti yang sah atau sebagai keterangan yang dapat
menguatkan keyakinan hakim, visum et repertumharus memenuhi syarat
formil dan syarat meteriilnya terlebih dahulu, syarat-syarat tersebut
adalah:
1. Syarat Formil : Alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 huruf c KUHAP merupakan alat bukti yang sempurna karena bentuk surat dibentuk secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peratutan perundang-undangan.
2. Syarat Materiil : Substansi yang tercantum dalam visum et repertum sesuai dengan fakta yang diperiksa oleh seorang ahli.66
Visum et Repertum juga merupakan alat bukti yang sekaligus
menyentuh dua alat bukti yang sah, yaitu :
a. Sebagai alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli,
b. Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum juga menyentuh alat bukti surat. Alasannya ketentuan Pasal 187 huruf c telah menentukan salah satu alat bukti surat yakni : “Surat keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.”67
Adanya tindak penganiayaan yang terjadi antara terdakwa dan saksi
korban dikuatkan dengan visum et repertum yang dikeluarkan oleh RSUP
Nasional DR.Cipto Mangunkusumo No.1041/TU.FK/XI/2010 yang dibuat
65Atang Ranoenihardja, Op.Cit, hlm.20. 66Sofwan Dahlan, Ilmu Kedokteran Forensik, Semarang : Sinar HS, 1990, hlm.63. 67M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta :
Sinar Grafika, 2000, hlm.282.
102
dan ditandatangani oleh Dr.Tjetjep Dwidja Siswaja, SpF yang berisi
mengenai keadaan tubuh saksi korban setelah mengalami penganiayaan
dari terdakwa ketika melakukan syuting.Dan hasil pemeriksaan terhadap
tubuh saksi korban adalah :
a. Pada pipi kanan, enam sentimeter dari garis pertengahan depan, empat sentimeter di bawah sudut luar mata, ditemukan tiga buah luka lecet gores, berwarna merah, nyeri pada penekanan, masing-masing berukuran sepanjang dua setengah sentimeter, dua sentimeter dan dua setengah sentimeter.
b. Pada leher sisi kanan, tujuh sentimeter dari garis pertengahan depan, sembilan sentimeter dibawah cuping telinga, ditemukan dua buah luka lecet gores berwarna merah, nyeri pada penekanan, masing-masing berukuran sepanjang satu setengah sentimeter dan empat setengah sentimeter.
c. Pada lutut kiri ditemukan luka lecet berwarna merah, dikelilingi sembab, nyeri pada penekanan berukuran satu setengah sentimeter kali satu setengah sentimeter.
d. Pada tulang selangka kanan sisi atas, delapan sentimeter dari garis pertengahan depan, ditemukan luka lecet gores berwarna merah, sepanjang dua setengah sentimeter.
e. Pada lengan bawah kiri sisi belakang, sembilan sentimeter dibawah siku ditemukan memar berwarna ungu, nyeri pada penekanan berukuran satu sentimeter kali satu setengah sentimeter.
f. Pada lengan atas kiri sisi depan, sepuluh sentimeter dibawah puncak bahu terdapat tiga buah luka lecet gores berwarna merah, nyeri pada penekanan berukuran satu sentimeter kali satu setengah sentimeter.
Visum et repertum dibuat dan dibutuhkan didalam rangka upaya
penegakan hukum dan keadilan, pemakai visum et repertum adalah
perangkat penegak hukum, yang didalam tulisan ini dibatasi pada pihak
penyidik sebagai instansi pertama yang memerlukan visum et
repertumguna membuat terang dan jelas suatu perkara pidana yang telah
terjadi, khususnya visum et repertum ini turut berperan dalam proses
103
pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia,
dimana visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil
pemeriksaan medik yang tertuang didalam bagian pemberitaan, yang
karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.Di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang berhak mengajukan prosedur pengeluaran
visum et repertum antara lain :
a.Pasal 7 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana : “Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang : mendatangkan orang ahli
yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara.”
b. Pasal 120 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana : “Dalam hal
penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang
ahliatau orang yang memiliki keahlian khusus.”
c. Pasal 133 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana : “Dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
104
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”
Dari ketentuan pasal-pasal diatas, dapat disimpulkan bahwa yang
dapat mengajukan prosedur pengeluaran visum et repertum adalah
penyidik. Visum et repertum dibuat agar suatu perkara pidana menjadi
jelas dan hanya berguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan
serta diperuntukkan bagi kepentingan peradilan. Dengan demikian visum
et repertum tidaklah dibuat/diterbitkan untuk kepentingan lain. Karena
tujuan visum et repertum adalah untuk memberikan kepada Hakim suatu
kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan
sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan agar Hakim dapat
mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta
tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan Hakim.
Kekuatan pembuktian visum et repertum pada kasus penganiayaan
di mata hakim pada hakikatnya berperan amat penting dalam
mempengaruhi keputusan hakim. Karena visum et repertum yang dapat
membuktikan ada atau tidaknya unsur-unsur penganiayaan. Seperti halnya
dalam Putusan Perkara No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM, Hakim
menjatuhkan putusan terhadap terdakwa sesuai dengan melihat hasil dari
visum et repertum, dimana hasil dari visum et repertum tersebut
menunjukkan bahwa benar luka-luka lecet yang terdapat di tubuh saksi
korban merupakan akibat dari tindak pidana penganiayaan dan visum et
repertum tersebut didukung dengan adanya foto-foto dari luka-luka lecet
105
saksi korban yang dilakukan oleh terdakwa pada saat melakukan adegan
syuting.
Visum et repertum maupun kesaksian seorang ahli,bersifat bebas
dan tidak mengikat hakim untuk menggunakannya apabila bertentangan
dengan keyakinan hakim, karena sesuai dengan sistem pembuktian yang
dianut oleh negara kita yaitu sitem pembuktian negatif bahwa selain alat
bukti juga harus disertai keyakinan hakim. Jadi haruslah dikembalikan
kepada keyakinan hakim sesuai dengan ilmu pengetahuannya.Kekuatan
pembuktian visum et repertum dapat dibedakan menjadi :
a. Visum Et Repertum termasuk alat bukti surat, sebab merupakan
keterangan ahli yang tertulis di luar persidangan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP yang berbunyi
“Surat keterangan dari seorang ahli memuat pendapat
berdasarkan kejadian mengenai hal atau suatu keadaan yang
diminta secara resmi dari padanya.
b. Visum Et Repertum adalah laporan dari dokter ahli yang dibuat
berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat, dikemukakan atas
benda hidup atau benda mati atau pun barang bukti lain,
kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan
yang sebaik-baiknya. Atas dasar itu selanjutnya diambil
kesimpulan yang juga merupakan pendapat dari seorang ahli
maupun kesaksian (ahli) secara tertulis sebagaimana yang
tertuang dalam pemberitahuan.
106
c. Visum Et Repertum dapat menjadi bukti keterangan ahli
berdasarkan ketentuan pemerintah tanggal 22 Mei 1937 dalam
Lembaran Negara 1937 (Staatblad 1937 No.350) Pasal 1
menyatakan bahwa “Visum Et Repertum dari dokter-dokter
yang dibuat atas nama sumpah jabatan yang diikrarkan pada
waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di Negeri Belanda
atau Indonesia atau sumpah khusus, sebagaimana yang
dimaksud Pasal 2 mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara
pidana sejauh mana itu mengandung keterangan tentang apa
yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa.
107
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta telaah terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.569/Pid.B/2011/PN.JKT.TIM,
maka penulis dapat merumuskan simpulan sebagai berikut :
1. Alasan diperlukannya Visum et Repertum dalam tindak pidana
penganiayaan antara Dewi Persik dan Julia Perez, karena :
a. Salah satu alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP dan
visum et repertum termasuk kedalam alat bukti surat dan sebagai
pengganti barang bukti (corpus delicti).
b. Merupakan barang bukti yang berupa tubuh seseorang, bentuknya
berupa laporan tertulis atau keterangan tertulis yang dibuat oleh
dokter ahli mengenai apa yang dilihat dan apa yang diketemukan
pada tubuh yang diperiksanya.
c. Dapat dibuktikan bahwa tindakan terdakwa termasuk tindak pidana
penganiayaan sesuai dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP.
2. Kedudukan visum et repertumdalam perkara tindak pidana penganiayaan
antara Dewi Persik dan Julia Perez adalah sebagai salah satu alat bukti
surat yang sah sebagaimana yang tertulis di Pasal 184 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.Kekuatan pembuktian visum at repertum pada kasus penganiayaan
108
tersebut di mata hakim pada hakikatnya berperan amat penting dalam
mempengaruhi keputusan hakim. Dengan adanya visum et repertum,
dapat membuktikan benar adanya tindak penganiayaan yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Abdussalam. 2006. Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat Jilid 2. Jakarta : Restu Agung.
Afandi, Dedi. 2010. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan
Penentuan Derajat Luka, Maj Kedokt Indon, Volume: 60 Nomor: 4. Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Chazawi, Adam.2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Dahlan, Sofwan. 1990. Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang : Sinar HS. Hamzah, Andi.2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Ghalia
Indonesia. ______. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta : Sinar
Grafika. Harahap,M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika.
______. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi II, Jakarta : Sinar Grafika.
______. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta:
Sinar Grafika. ______. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
______. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika.
Kanter, E.Y. & S.R.Sianturi. 2002. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia
dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.
Lamintang, P.A.F. & Theo Lamintang. 2010. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Edisi Kesatu, Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.
Mahmud, Peter Marzuki. 2005. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, Prenada
Media Group. Makarao, Mohammad Taufik & Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam
Teori dan Praktek. Jakarta : Ghalia Indonesia. Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan
& Penyidikan) Bagian Pertama: Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Moeljatno. 1987. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara. Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan
Permasalahannya. Bandung: PT. Alumni.
Nasution,A.Karim. 1975. Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana Jilid I. Jakarta : Pusdiklat Agung.
Nugroho, Hibnu. 2008. Merekonstruksi Sistem Penyidikan Dalam Peradilan Pidana. Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 26 No.1 Januari.
______. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.
Jakarta: Media Prima Aksara. Ohoiwutun, Y.A.Triana. 2006. Profesi Dokter dan Visum Et Repertum
(Penegakan Hukum dan Permasalahannya). Malang: Penerbit Dioma. Poernomo, Bambang. 1993. Pole Dasar, Teori-Asas Umum Hukum Acara
Pidana dan Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta : Liberty. Prakoso, Djoko & I Ketut Murtika. 1987. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran
Kehakiman. Jakarta: Bina Aksara. Prinst, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Cet 3. Jakarta:
Djambatan. Prodjohamidjojo, Martiman. 2002. Teori dan Teknik Membuat Surat
Dakwaan. Jakarta : Ghalia Indonesia. Ramelan. 2006. Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi. Jakarta:
Sumber Ilmu Jaya. R.M.Suharto. 2004. Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Cetakan kedua,
Jakarta: Sinar Grafika.
Ranoemihardja,Atang. 1991. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Bandung :
Tarsito. Salam, Moch.Faisal. 2001. Hukum Acara Pidana dalam Teori & Praktek.
Bandung: Penerbit Mandar Maju. Sasangka, Hari & Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana. Bandung: Mandar Maju. Soedjatmiko, H.M. 2001. Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang. Soekanto, Soerjono. 1987. Visum Et Repertum Tekhnik Penyusunan dan
Pemerian. Jakarta : Ind-Hill-Co. Soeparmono,R. 2002. Ahli dan Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum
Acara Pidana. Semarang : Setia Wacana. ______. 2002. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum
Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju. Soesilo,R.1984. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea. Subekti. 2001. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramitha. Subekti,R. 1985. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
________, Undang-Undang Dasar 1945.
________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).
________, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
C. Sumber Lain
http://arengcilawu.blogspot.com/2013/01/selayang-pandang-hukum.html, diakses pada tanggal 5 September 2013, pukul 14:14 wib.
http://thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/hukum-acara-pidana-analisis kelebihan-dan-kelemahan-sistem-pembuktian-negatif-atau-negative-wettelijk-theorie/ diakses pada tanggal 14 September 2013, pukul 15.46 wib.
http://sigidkirana.blogspot.com/2009/02/visum-et-repertum.html,diakses pada
tanggal 21 September 2013, pukul 16.57 wib. http://hasansodikin.blogspot.com/2013/03/unsur-unsur-tindak-pidana.html
diakses pada tanggal 17 Juli 2013, pukul 11.45 wib. www.ebookf.com/re/repertum-book.pdf, Peran Visum et Repertum Dalam
Upaya Pembuktian dalam Pidana, diakses pada tanggal 3 Oktober 2013 pukul 15.49 wib.