· Web viewTINJAUAN PUSTAKA DIABETES MELLITUS DEFINISI Menurut Ammerican Diabetes Assosiation...
Transcript of · Web viewTINJAUAN PUSTAKA DIABETES MELLITUS DEFINISI Menurut Ammerican Diabetes Assosiation...
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELLITUS
DEFINISI
Menurut Ammerican Diabetes Assosiation (ADA) 2010, diabetes mellitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik yang terjadi Karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya [1]
EPIDEMIOLOGI
Secara epidemiologik, diabetes sering tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau terjadinya
diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas
dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan
adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi
perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara
epidemiologik diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya
obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua
faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan DM tipe 2.[1]
A. Klasifikasi
Tabel klasifikasi etiologis DM
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut:
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relative sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin
DM
Tipe lain
Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pancreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM
DM gestasional
BAGAN PENGELOLAAN DM
MANAJEMENT DM TIPE2
KENDALI GLKOSA:
-Diet /Gaya hidup sehat
- Latihan Jasmani
-Obat/insulin
KELAINAN KOMORBID:
-Dislipidemia
-Hipertensi
-Obesitas
-Peny.Jantung Kororner
PENAPISAN ?PENGELOLAAN KOMPLIKASI:
-Retinopati
-Nefropati
-Neuropati
-Peny.Kardio-vaskular
-Komplikasi lain
ny.
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasaradanya glukosuria .Guna pemantauan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena,
ataupun angka criteria diagnotik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan
untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.Ada perbedaan antara uji diagnostik
DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. [1]
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sebagai
berikut:
Usia > 45 tahun
Usia lebih muda, terutama dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >23 kg/m2,
Kebiasaan tidak aktif
Turunan pertama dari orang tua dengan DM
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat DM
gestasional
Hipertensi (> 140/90)
Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
Menderita polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin
Adanya riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya
Memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu aau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standar.
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan GDPT, sehingga
dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT
merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT
akan berubah menjadi DM, 1/3 lainnya tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya
TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko terjadinya
aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering bertkaitan dengan
penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia.
Tabel. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum Pasti DM DM
Kadar Glukosa
Darah Sewaktu
Plasma vena <100 100-199 > 200
Darah
kapiler
<90 90-199 > 200
Kadar Glukosa
Darah Puasa
Plasma vena <100 100-199 > 126
Darah
kapiler
<90 90-199 >100
Diagnosis DM ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan,
maka pemeriksaan glukosa plasama puasa >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Kedua dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah
dilakukan, mudah diterima oleh pasien dan murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk
diagnosis DM. Ketiga, dengan TTGO. Meskipun TTGO engan beban glukosa 75 gram
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun memiliki keterbatasan tersendiri, karena sulit untuk dilakukan berulang-ulang. [1]
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung hasil yang diperoleh.
TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeiksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma puasa 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl.
GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glikosa plasma
puasa didapatkan antara 100-125 mg/dl.
Kriteria Diagnosis DM:
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl
atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dl
atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dl
Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan toleransi
glukosa
Diagnosis klinis DM akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuri, polidipsi,
polifagi dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang
mungkin dikeluhkan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria serta pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas ada, pemeriksaan glukosa
darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. hasil pemeriksaan
glukosa darah puasa >126 mg/dl juga dijadikan patokan untuk diagnosis DM. Untuk
kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru sekali saja
abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemeriksaan
lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa
>126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes
toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan >200
mg/dl.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO,1994):
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti kebiasaan sehari-hari dengan
karbohidrat yang cukup dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/KgBB (anak-anak)
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu5 menit
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
B. Penatalaksanaan
Tujuan :
1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa
nyaman dan sehat.
2. Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati
maupun neuropati,
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Langkah-langkah penatalaksanaan peenyandang diabetes:
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, meliputi:
Riwayat penyakit
-gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratoris terdahulu termasuk A1c, hasil
pemeriksaan khusus yang telah ada terkait DM
-pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan
-riwayat tumbuh kembang pada pasien anak atau dewasa muda
-pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap
-pengobatan yang sedang dijalani
-riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemi, hipoglikemi)
-riwayat infeksi sebelumnya, terutama riwata infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenitalis
-gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik
-faktor resiko seperti merokok, hipertensi, PJK, obesitas dan riwayat penyakit
keluarga
Pemeriksaan fisik
-pengukutan TB dan BB
-pengukuran tekanan darah
-pemeriksaan funduskopi
-pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
-pemerksaan jantung
-evaluasi nadi secara palpasi maupun engan stetoskop
-pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah termasuk jari
-pemeriksaan kulit dan pemeriksaan neurologis
-tanda-tanda penyakit lain yang apat menimbulkan DM tipe lain.
Evaluasi laboratoris/penunjang lain
-glukosa darah puasa 2 jam post prandial (GD2PP)
-A1c
-profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)
-kreatinin serum
-albuminuri
-keton, sedimen dan protein dalam urin
-eletrokardiogram
-foto sinar-x dada
Tindakan rujukan
-ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut
-konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif
-konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi
-konsultasi dengan edukator diabetes
-konsultasi dengan spesialis kaki, spesialis perilaku atau spesialis lain sesuai
indikasi
2. Evaluasi medis secara berkala
Dilakukan peeriksaan kadar glukosa darah puasa an 2 jam sesudah makan sesuai
dengan kebutuhan
Pemeriksaan A1C dilakukan setiap 3-6 bulan
Setiap satu tahun dilakukan pemeriksaan:
-jasmani lengkap
-mikroalbuminuri
-kreatinin
-albumin/globulin dan ALT
-kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida
-EKG
-foto sinar-x dada
-funduskopi
Pilar utama pengelolaan DM :
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. intervensi farmakologis.
Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan
latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar
glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru
dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin
sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat
segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai
dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila
dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk
itu.
Edukasi
Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah terbentuk
kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal
membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim
kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung
seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi,
pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan:
Makan makanan sehat
Kegiatan jasmani secara teratur
Menggunakan obat-obat diabetes secara aman, teatur dan pada waktu-waktu yang
spesifik
Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai
informasi yang ada
Melakukan perawatan kaki secara berkala
Mengelola diabetes dengan tepat
Dapat menggunakan fasilitas perawatan kesehatan
Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian
masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama
dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi,
dan evaluasi.
Perencanaan makan
Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga tidak
ada satu cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum. Perencanaan
makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Pada saat ini yang dimaksud
dengan karbohidrat adalah gula, tepung dan serat, sedang istilah gula sederhana/simpel,
karbohidrat kompleks dan karbohidrat kerja cepat tidak digunakan lagi.
Penelitian pada orang sehat maupun mereka dengan risiko diabetes mendukung akan
perlunya dimasukannya makanan yang mengandung karbohidrat terutama yang berasal dari
padi-padian, buah-buahan, dan susu rendah lemak dalam menu makanan orang dengan
diabetes. Banyak faktor yang berpengaruh pada respons glikemik makanan, termasuk
didalamnya adalah macam gula: (glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa), bentuk tepung
(amilose, amilopektin dan tepung resisten), cara memasak, proses penyiapan makanan, dan
bentuk makanan serta komponen makanan lainnya (lemak, protein).
Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang berasal dari berbagai bentuk
tepung atau sukrosa, baik langsung maupun 6 minggu kemudian ternyata tidak mengalami
perbedaan repons glikemik, bila jumlah karbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa jumlah total kalori dari makanan lebih penting daripada sumber atau macam
makanannya.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
Karbohidrat: 45-65%
Protein: 10-20%
Lemak: 20-25%
Natrium 6-7 gram
Serat ±25 gram/hari
Pemanis alternative
KEBUTUHAN KALORI
Ada beberapa cara untuk menentukan jmlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes.
Diantaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30
kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa factor seperti: jenis
kelamin, umur ,aktivitas ,beratbadan,dll.
Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi
memanfaatkan rumus Broca, yaitu:
Berat Badan Ideal = 90% x (TB dalam cm-100) x 1kg
Bagi pria dengn tinggi bdan dibawah 160 cm dan wanita dibawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) - 10%
BB Normal : BB ideal ±10%
Kurus : < BBI -10%
Gemuk : >BBI + 10%
Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT).
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT :
BB kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih ≥23,0.
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II >30
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikalikan kebutuhan
kalori basal (30 kcal/kgBB untuk laki-laki; 25 kcal/kgBB untuk wanita).kemudia untuk
pasien diatas 40 tahun dikerunagi 5&,40-59 tahun diikurangi 10%, 60-69 tahun dikurangi
20%. Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktivitas (10-30%); untuk atlet dan
pekerja berat dapat lebih banyak lagi sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam
kegiatannya), koreksi status gizi (bila gemuk, dikurangi; bila kurus, ditambah) dan kalori
yang dibutuhkan menghadapi stres akut (misalnya infeksi, dsb.) sesuai dengan kebutuhan.
Untuk masa pertumbuhan (anak dan dewasa muda) serta ibu hamil diperlukan perhitungan
tersendiri.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3
porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan
ringan (10-15%) di antaranya. Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan dengan
kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien DM yang
mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit
penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak berbeda dengan
orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal.
Untuk kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai
70-75% juga memberikan hasil yang baik.Jumlah kandungan kolesterol <300 mg/hari.
Diusahakan lemak dari sumber asam lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak jenuh.
Jumlah kandungan serat + 25 g/hari. Diutamakan serat larut (soluble fibre).[1]
Pasien DM dengan tekanan darah yang normal masih diperbolehkan mengkonsumsi
garam seperti orang sehat, kecuali bila mengalami hipertensi, harus mengurangi konsumsi
garam. Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Gula sebagai bumbu masakan tetap diizin-
kan. Pada keadaan kadar glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk
mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5% kalori. Untuk mendapatkan kepatuhan ter-
hadap pengaturan makan yang baik, adanya pengetahuan mengenai bahan penukar akan
sangat membantu pasien.
Latihan jasmani
Latihan jasmani mempunyai peran yang sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes
tipe 2. Latihan jasmani dapat memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa dan selain itu dapat pula menurunkan berat badan. Di samping kegiatan
jasmani sehari-hari, dianjurkan juga melakukan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu) selama kurang lebih 30 menit. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah jalan atau
bersepeda santai, bermain golf atau berkebun. Bila hendak mencapai tingkat yang lebih baik
dapat dilakukan kegiatan seperti, dansa, jogging, berenang, bersepeda menanjak atau
mencangkul tanah di kebun, atau dengan cara melakukan kegiatan sebelumnya dengan waktu
yang lebih panjang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur, kondisi sosial
ekonomi, budaya dan status kesegaran jasmaninya.
Obat-obatan
Jika pasien telah menerapkan pengaturan makan dan latihan jasmani yang teratur
namun sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dipertimbangkan penggunaan obat-obat
anti diabetes oral sesuai indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Untuk dapat mencegah
terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baikDM terkendali baik,
apabila kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1c juga ,mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Untuk Pasien berumur lebih dari 60
tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa
(puasa 100-125 mg/dL), dan sesudah makan 145-180 mg/dL. Demikian pula kadar lipid,
tekanan darah , dan lain-lain.[1]
Kriteria Pengendalian DM
Parameter Risiko KV (-) Risiko KV (+)
IMT (kg/m2) 18,5 - < 23 18,5 - <23
TD sistolik (mmHg) <130 <130
TD Diastolik (mmHg) <80 <80
GDP (mg/dL) <100 <100
GD2PP (mmHg) <140 <140
HbA1c (%) <7 <7
Kolesterol LDL <100 <70
Kolesterol HDL Pria >40
Wanita >50
Pria >40
Wanita >50
Trigliserid (mg/dL) <150 <150
Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemi DM Tipe 2
Kegagalan pengendalian glikemi pada DM setelah melakukan perubahan gaya hidup
memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes
atau paling sedikit menghambatnya.
Kasus DM yang paling banyak dijumpai adalah DM tipe 2 yang umumnya mempuyai
latar belakang kelainan yang diawali dengan resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin
masih belum menyebabkan kelainan DM secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pancreas
masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi hiperinsulinemia dan glukosa darah
masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel
beta pancreas, baru akan terjadi DM secara klinis, ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah yang memenuhi kriteria DM.
Dengan dasar pengetahuan ini, dapat diperkirakan bahwa dalam mengelola DM tipe 2,
pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat tergantung pada fase mana diagnosis
DM ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan yang terjadi pada saat tersebut seperti:
Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati
Kenaikan produksi glukosa oleh hati
Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas
Macam-macam obat anti hiperglikemik oral
1. Golongan insulin sensitizing (penghambat glukoneogenesis).
Biguanid
Yang banyak dipakai saat ini adalah metformin. Metformin terdapat dalam
konsentrasi yang tinggi di usus dan hati, tidak dometabolisme, tapi secara cepat
dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut, maka metformin
diberikan 2-3x/hari kecuali dalam bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis
maksimal dapat menurunkan A1c 1-2%. Efek samping yang terjadi adalah asidosis
laktat, dan sebaiknya tidak digunkaan apada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(creatinin >1,3 mg/dl pada perempuan dan >1,5 mg/dl pada laki-laki) atau pada
gangguan fungsi hati dan gagal jantung, serta harus diberikan dengan hati-hati pada
lansia.[2]
Mekanisme kerja. Metformin menurunkan kadar glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa
oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat
absorbsi glukosa di usus seusai makan. Setelah diberikan peroral, metformin akan
mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam
keadaan utuh.[2]
Metformin akan menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak menyebabkan
hipoglikemi, sehingga tidak dinyatakan sebagai obat hipoglikemik, tapi sebagai obat
anti hiperglikemik. Pada pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea, hipoglikemik
bisa terjadi akibat pengaruh sulfonilurea. Pada keadaan tunggal metformin dapat
menurunkan kadar glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada
keadaan basal juga turun. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti
pada penggunaan sulfonilurea.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal
pengelolaan diabetes dan hanya 50% pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat
dikendalikan dengan pengobatan tunggal metformin atau sulfonilurea sampai dosis
maksimal.
Kombinasi insulin dengan metformin dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk
dengan kadar glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan
sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Peneliti lain
ada yang mendapatkan kombinasi insulin dengan metformin lebih baik daripada
hanya insulin saja.
Efek samping gastrointestinal sering ditemukan pada pemakaian awal metformin
dan bisa dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan
diberikan bersamaan dengan makanan.
Disamping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga ber[pengaruh pada
komponen lain resistensi insulin yaitu lipid, tekanan darah dan plasminogen activator
inhibitor (PAI-I).
Penggunaan dalam klinik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan
sebagai kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase
dan glitazone. Efektivitas insulin menurunkan kadar glukosa pada orang gemuk
sebanding dengan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin,
mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid, maka metformin
sebagai monoterapi pada awal pengelolaan DM pada orang gemuk dengan
dislipidemi dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila monoterapi
tidak berhasil, dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.
2. Glitazone (Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga
memiliki efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini dapat
diberikan secara oral, kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat
oral lainnya. Monoterapi dengan glitazon dapat memperbaiki konsentrasi glukosa
darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan A1c 1,4-2,6% dibanding dengan plasebo.
Mekanisme kerja. Glitazon merupakan agonist peroxisome proliferator-activated
receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma
terdapat di dalam jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan
hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid,
diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki
sensitivitas insulin dan memprebaiki glikemia (GLUT-1, GLUT-4, dll) selain itu dapat
mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi insulin, seperti TNF alfa,
leptin, dll.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2
jam dan makanan tidak tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini.
Penggunaan dalam klinik.. Rosiglitazone dan pioglitazon dapat digunakan sebagai
monoterapi maupun kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.
3. Golongan Sekretagok insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemi dengan cara stimulasi sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi sulfonilurea dan glinid.
Sulfonilurea
Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an.
Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan DM dimulai.
Terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan sekresi insulin.
Mekanisme kerja. Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan merangsang
channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat
pada reseptor channel tersebut, maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan
menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi
depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan penyebabkan
peningkatan Ca intrasel, ion Ca akan terikat pada Calmodulin dan menyebabkan
eksositosis granul yang mengandung insulin.
Golongna ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan
insulin yang tersmpan. Karena itu hanay bermanfaat pada pasien yang masih dapat
mengeluarkan insulin.
Untuk mengurangi hipoglikemi terutama pada pasien tua, dipilih obat yang masa
kerjanya paling singkat. Obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak
dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua, hipoglikemi juga sering terjadi pada
pasien gagal ginjal, gangguan fungsi hati berat dan pasien dengan asupan makanan
yang kurang dan jika digunakan bersama obat sulfa.
Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar (36%) daripada
glukosa setelah makan (21%).
Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemi. Bila kadar
glukosa darah sangat tinggi dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih
besar dengan perhatian khusus bahwa beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis
yang jelas dan dalam satu minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa yang cukup
bermakna
Dosis permulaan tergantung pada beratnya hiperglikemi. Bila konsentrasi glukosa
puasa <200 mg/dl sebaiknya dimulai dengan dosis kecil dan dititrasi bertahap setelah
1-2 minggu sehingga tercapai kadar GDP 90-130 mg/dl. Bila GDP >200 mg/dl bisa
diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan ½ jam sebelum
makan karena diserap dengan baik. Pada obat yang diberikan satu kali setiap hari
sebaiknya diberikan saat makan pagi atau saat makan porsi besar.
Kombinasi sulfonilurea dengan insulin lebih baik daripada insulin sendiri dan
dosis insulin yang dibutuhkan pun lebih rendah.
Glinid
Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonilurea. Kerjanya juga
melalui reseptor sulfonilurea, memiliki kemiripan struktur dengan sulfonilurea namun
berbeda efeknya. Repaglinid dan nateglinid keduanya diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati hingga
diberikan 2-3 x/hari. Repaglinid bisa menurunkan kadar glukosa darah puasa mesk
masa paruhnya singkat karena menempel pada reseptor sulfonilurea. Nateglinid
mempunyai masa tinggal yang lebih singkat dan tidak menurunkan kadar glukosa
darah puasa. Keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan kadar
glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Kekuatan untuk
menurunkan kadar A1c tidak begitu kuat. [2]
4. Penghambat alfa glukosida
Obat ini menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga
dapat meurunkan penyerapan glukosa dan menurukan hiperglikemi postprandial.
Obat ini bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak
berpengaruh pada kadar insulin.[2]
Acarbose merupakan penghambat kuat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada
dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan
terjadi hambatan pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan
memperpajang peningkatan glukosa darah postprandial dan mempengaruhi respon
insulin plasma. Ebagai monoterapi tidak dapat merangsang sekresi insuli dan tidak
menyebabkan hipoglikemi. Efek samping pada GI tract seperti meteorismus,
flatulence dan diare.[2]
Penggunaan dalam klinik bisa digunakan sebagai monoterapi atau
kombinasidengan insulin, metformin, glitazone, atau sulfonilurea. Untuk efek
maksimal, obat harus diberikan segera saat makan utama. Monoterapi dengan
acarbose menurunkan rata-rata glukosa postprandial 40-60 mg/dl dan GDP10-20
mg/dl, A1c sebesar 0,5-1%. Dengan terapi kombinasi dengan sulfonilurea, metformin
atau insulin, acarbose bisa menurunkan lebih banyak A1c sebesar 0,3-0,5% dan rata-
rata glukosa post prandial 20-30 mg/dl dari keadaan sebelumnya.[2]
5. DPP-IV inhibitor
Glucagon –like-peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptide yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus.Peptide ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada
makanan yang masuk ke dalam saluran cerna. GLP-1 merupakan perangsangan kuat
penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon.
C. Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus
Pengaruh fisiologis insulin dan indikasi penggunaannya
a. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta dari pulau langerhans pankreas.
Isulin dibentuk dari proinsulin yang kemudian distimulasi terutama oleh peningkatan
kadar glukosa darah.
b. Insulin memiliki beberapa pengaruh terhadap jaringan tubuh yaitu menstimulasi
pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa protein.
Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai
bahan energi. Insulin juga menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel ntuk
digunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel
otot dan hati.
c. Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas sedangkan insulin
eksogen adalah insulin yang disuntikka dan merupakan suatu produk farmasi.
Indikasi diperlukan pada keadaan :
1. Penurunan Berat badan yang cepat
2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3. Ketoasidosis diabetik
4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
7. Stres berat (infeksi sisitemik, operasi besar,IMA, stroke)
8. Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
9. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
10. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.[1]
Tipe-tipe insulin
4 tipe insulin yang diproduksi dikategorikan berdasarkan awal kerja, puncak kerja dan
lama kerjanya:
Sediaan insulin Awal kerja
(jam)
Puncak kerja
(jam)
Lama kerja
Insulin analog, kerja sangat cepat
(ultra-rapid-acting)
Insulin glulisin (Apidra)
Insulin aspart (Novo rapid)
Insulin lispro (Humalog)
0,2-0,5
0,2-0,5
0,2-0,5
0,5-2
0,5-2
0,5-2
Insulin kerja menengah
(intermediate-acting)
NPH Insulatard
Humulin N
1,5-4 4-10
Insulin kerja pendek
(short-acting)
Reguler (Human) Humulin
R/actrapid
0,5-1 2-3
Insulin kerja panjang
(long-acting)
Insulin glargine (lantus)
Insulin detemir (levemir)
1-3
1-3
Tanpa
puncak
Insulin campuran
Kerja cepat dan menengah
70% NPH/30% reguler (Mixtard,
Humulin 70/30)
70% NPH/30% analog rapid
(Novomix)
0,5-1
0,5-1
3-12
3-12
Efek Samping terapi Insulin:
1. Efek samping utama terapi insulin aalah terjadinya hipoglikemia
2. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin. [1]
Penyulit DM :
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
Penyulit akut:
1. Ketoasidosis diabetik
2. Hiperosmolar non ketotik
3. Hipoglikemia
Penyulit menahun:
1. Makroangiopati:
pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner)
pembuluh darah tepi
pembuluh darah otak (stroke)
2. Mikroangiopati:
retinopati diabetik
nefropati diabetik
Neuropati
3. Rentan infeksi, misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan infeksi saluran kemih
4. Kaki diabetik (gabungan sampai dengan 4)
5. Disfungsi Ereksi
PENCEGAHAN DM TIPE2
1. Pencegahan Primer
Upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki factor risiko, yakni yang belum
terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intolerani glukosa.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :
a. Ras dan etnik’
b. Riwayat keluarga dengan diabtes
c. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL> 4000 gram, atau pernah menderita DM
Gestasional
d. Riwyat lahir dengan BBLR, kurang dari 2,5 kg.
Faktor risiko yang bias dimodifikasi :
a. BB lebih (IMT>23 kg/m2)
b. Kurangnya aktivitas fisik
c. Hipertensi (> 140 /90 mmHg)
d. Dislipidemia (HDL <35 mg/dL dan atau TG >250 mg/dL)
e. Diet tak sehat. Yaitu diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan
risiko menderita prediabets/ intoleransi glukosa dan DM tipe 2.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :
a. Penderita PCOS, keadaan klinis yang terkait dengan resistensi insulin
b. Penderita Sindroma Metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT)
atau toleransi glukosa darah puasa terganggu(GDPT).
2. Pencegahan sekunder
Adalah upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya penyukut pada pasien yang
telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan
deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Pencegahan ni terutama
ditujukan untuk pasien baru.
3. Pencegahan Tersier
Ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam
upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi diupayakan sedini
mungkin, sebelum kecacatan menetap. [1]
DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PERKENI
2011.
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
3. A.Aziz Rani,dkk. Panduan Pelayanan Medik.2009.Jakarta : Perhimpunan dokter
SpesialisPenyakit Dalam Indonesia.
.