V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Tabel 2). Jika dibandingkan dengan hutan konservasi lainnya, nilai indeks...

26
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan total panjang transek sepanjang 2 km. Pemilihan Hulu Sungai Plangai sebagai lokasi transek didasarkan pada banyaknya jejak tapir yang ditemukan di sekitar sungai dibandingkan dengan sungai lainnya seperti Sungai Lengayang. Hulu sungai Plangai yang menjadi lokasi pengamatan merupakan sumber air tetap yang dapat digunakan tapir karena sungai tersebut mengalir sepanjang tahun tanpa dipengaruhi musim. Pengaruh musim terhadap hulu sungai Plangai yaitu pada jumlah debit air. Aliran air hulu sungai Plangai pada tiga lokasi pengamatan mengalir tenang (tidak deras) dengan kedalaman sungai berkisar 10-50cm seperti terlihat pada Gambar 12. Gambar 12 Kondisi hulu sungai Plangai. Hasil analisis vegetasi ditemukan sebanyak 50 jenis vegetasi (Lampiran 1) baik berupa semai, pancang, tiang, maupun pohon yang mana pada masing- masing tingkat vegetasi tersebut memiliki jumlah jenis yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 13.

Transcript of V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Tabel 2). Jika dibandingkan dengan hutan konservasi lainnya, nilai indeks...

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Vegetasi

5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai

Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak

lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan total panjang transek sepanjang 2 km.

Pemilihan Hulu Sungai Plangai sebagai lokasi transek didasarkan pada banyaknya

jejak tapir yang ditemukan di sekitar sungai dibandingkan dengan sungai lainnya

seperti Sungai Lengayang. Hulu sungai Plangai yang menjadi lokasi pengamatan

merupakan sumber air tetap yang dapat digunakan tapir karena sungai tersebut

mengalir sepanjang tahun tanpa dipengaruhi musim. Pengaruh musim terhadap

hulu sungai Plangai yaitu pada jumlah debit air. Aliran air hulu sungai Plangai

pada tiga lokasi pengamatan mengalir tenang (tidak deras) dengan kedalaman

sungai berkisar 10-50cm seperti terlihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Kondisi hulu sungai Plangai.

Hasil analisis vegetasi ditemukan sebanyak 50 jenis vegetasi (Lampiran 1)

baik berupa semai, pancang, tiang, maupun pohon yang mana pada masing-

masing tingkat vegetasi tersebut memiliki jumlah jenis yang berbeda seperti

terlihat pada Gambar 13.

b

s

m

(

8

P

p

d

s

m

s

m

j

P

k

b

k

s

Rakh

bagi tapir be

struktur ve

menunjukan

(Syzigium sp

81,75 ind/ha

Pada tingka

paling tingg

ditemukan d

Tapir

semai dan

makan tapir

sungai. Ber

memiliki ke

jenis ini jug

Pada tingkat

kerapatan se

banyak ditem

Kean

keanekaraga

seluruh tingk

0

10

20

30

40

50

60

Gam

hmat (1999)

erupa rimbun

getasi yang

n pada daera

p.) memilik

a dan lebih

at tiang, jeni

gi dengan

dengan nilai

r termasuk j

pancang seb

r menyukai

dasarkan ha

erapatan pali

a yang palin

t pancang je

ebesar 904 i

mukan denga

nekaragaman

aman Shano

kat vegetasi

21

Semai

mbar 13 Diag

menyatakan

nan pohon y

g lebih rap

ah pinggiran

i kerapatan

banyak dit

is Jambu-jam

nilai kerapa

frekuensi se

jenis satwa

bagai pakan

daerah yang

asil analisis

ing tinggi de

ng banyak d

enis Plangeh

ind/ha dan j

an nilai frek

n jenis v

on-Wiener,

di lokasi pe

37

Pancang

gram jumlah

n bahwa ted

yang berdaun

pat dan be

n sungai (rip

paling tingg

emukan den

mbu (Syzigi

atan sebesa

ebesar 0,51.

browser da

n. Dalam k

g dekat deng

vegetasi p

engan nilai k

ditemukan de

memiliki ke

enis Jambu-

kuensi sebesa

vegetasi d

dimana nil

enelitian ber

28

Tiang

h jenis veget

duhan (therm

n lebar dan

eragam. Ha

parian), jeni

gi dengan n

ngan nilai fr

ium sp.) jug

ar 104 ind/h

an menyukai

kemudahan b

gan perairan

ada tingkat

kerapatan se

engan nilai f

erapatan pal

-jambu (Syzi

ar 0,63.

ditunjukan

lai indeks k

rada pada ki

32

Pohon

asi.

mal cover) y

semak beluk

asil analisis

s pohon Jam

nilai kerapat

frekuensi seb

ga memiliki

ha dan leb

i vegetasi pa

bergerak da

n seperti da

semai, jen

ebesar 4850

frekuensi seb

ing tinggi de

igium sp.) y

oleh nila

keanekaraga

isaran angka

50

Total

30

yang cocok

kar dengan

s vegetasi

mbu-jambu

tan sebesar

besar 0,56.

i kerapatan

bih banyak

ada tingkat

an mencari

erah aliran

is Plangeh

ind/ha dan

besar 0,50.

engan nilai

yang paling

ai indeks

aman pada

a 1,93–2,27

31

(Tabel 2). Jika dibandingkan dengan hutan konservasi lainnya, nilai indeks

keanekaragaman yang diperoleh tergolong sedang. Lestari (2006) memperoleh

nilai indeks keanekaragaman vegetasi di Taman Nasional Way Kambas sebesar

2,18 hingga 3,27. Menurut Soerianegara (1996), keanekaragaman jenis di suatu

daerah tidak hanya dipengaruhi oleh banyaknya jenis saja melainkan juga

dipengaruhi oleh banyaknya individu dari setiap jenis tersebut. Disamping itu,

hingga saat ini belum diketahui mengenai ukuran tinggi rendahnya indeks

keanekaragaman di suatu daerah. Namun di Indonesia, berdasarkan perhitungan

pada berbagai tipe hutan diketahui bahwa nilai indeks keanekaragaman Shanon-

Wiener sebesar >3,5 menunjukan keanekaragaman vegetasi tinggi.

Seluruh vegetasi juga tidak menyebar secara merata ditunjukan dengan

nilai indeks kemerataan yang tidak terlalu tinggi. Nilai indeks kemerataan yang

semakin mendekati nilai 1 menunjukan penyebaran vegetasi yang semakin

merata.

Tabel 2 Indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan daerah aliran sungai

Rendahnya keanekaragaman dan kemerataaan vegetasi daerah aliran

sungai pada lokasi penelitian dapat dipengaruhi oleh letak plot contoh yang berada

ketinggian 1300–1600 mdpl dan termasuk dalam kelas hutan hujan pegunungan

bawah. Keanekaragaman jenis vegetasi sangat dipengaruhi oleh faktor ketinggian

dan iklim pada suatu wilayah karena setiap vegetasi memiliki tingkat adaptasi

yang berbeda tergantung pada berbagai hal diantaranya dua faktor tersebut.

Semakin jauh dari tepi sungai maka tingkat elevasi juga semakin tinggi dan

kondisi lantai hutan semakin ditutupi oleh lumut-lumutan. Lumut tersebut tidak

hanya menutupi lantai hutan namun juga menutupi batang tiang dan pohon.

Kondisi lumut yang cukup tebal pada lantai hutan memberikan persaingan dalam

memperoleh tempat untuk tumbuh terhadap anakan pohon (semai) dan tumbuhan

bawah.

No. Tingkat Indeks Keanekaragaman (H’)

Indeks Kemerataan (E)

1 Semai 1,93 0,63 2 Pancang 2,20 0,61 3 Tiang 2,27 0,68 4 Pohon 2,27 0,66

32

5.1.2. Kondisi Habitat Tiap Transek

Pengambilan data vegetasi dilakukan pada tiga lokasi yang berbeda

dengan panjang masing-masing transek adalah 700 meter untuk Jalur 1, 600 meter

untuk Jalur 2, dan 700 meter untuk Jalur 3. Masing-masing transek memiliki nilai

indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks kekayaan jenis yang

berbeda seperti dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, dan indeks kemerataan tiap transek

No Transek Tingkat Indeks

Keanekaragaman(H’)

Indeks Kekayaan

(DMg)

Indeks Kemerataan

(E)

Jumlah Temuan

PerjumpaanTapir

Bentuk Temuan

PerjumpaanTapir

1. Jalur 1

Semai 1,44 2,08 0,58

3 Kotoran (2) Tapak (1)

Pancang 1,51 1,91 0,61

Tiang 1,51 2,06 0,63

Pohon 1,42 2,06 0,54

2. Jalur 2

Semai 1,45 2,48 0,55

2 Tapak (2) Pancang 1,47 3,56 0,52 Tiang 1,66 2,54 0,65 Pohon 1,78 2,83 0,61

3. Jalur 3

Semai 1,88 2,59 0,71

4 Kotoran (2) Tapak(2)

Pancang 2,47 4,90 0,75

Tiang 2,54 4,97 0,80

Pohon 2,44 4,71 0,73

Indeks kesamaan jenis vegetasi dan dendogram menunjukan seberapa

kesamaan antar komunitas vegetasi antar transek (Tabel 4 dan Gambar 14).

Tabel 4 Indeks kesamaan jenis vegetasi tiap transek

Transek 1 Transek 2 Transek 3 Transek 1 1 0,46 0,38 Transek 2 1 0,38 Transek 3 1

33

Gambar 14 Dendrogram kesamaan jenis vegetasi antar jalur.

Transek 1 dan transek 2 memiliki nilai indeks kesamaan tertinggi sebesar

0,46 artinya kedua transek tersebut memiliki kesamaan komunitas jenis vegetasi

tertinggi dibandingkan terhadap transek 3. Hal ini dapat terjadi karena jarak antar

transek 1 dan transek 2 cukup dekat yaitu hanya berkisar antara 100 meter hingga

200 meter memotong hulu sungai Plangai dengan arah yang berlawanan.

Meskipun demikian, perbedaan nilai indeks kesamaan vegetasi tidak bernilai

cukup besar karena kondisi habitat ketiga transek tersebut sama yaitu mewakili

satu tipe habitat hutan hujan pegunungan bawah yang belum terganggu. Dilihat

dari nilai indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, dan indeks kemerataan dari

transek 1 hingga transek 3 menunjukan peningkatan nilai indeks. Begitu juga

dengan penemuan tapir secara tidak langsung berupa tapak dan kotoran

menunjukan penambahan tingkat pertemuan yaitu 3 temuan pada transek 1 , 2

temuan pada transek 2, dan 4 temuan pada transek 3.

Pada seluruh jalur, jarak antara tepi sungai dan punggungan gunung cukup

dekat sehingga pada jarak 100 hingga 300 meter dari tepi sungai pada seluruh

transek telah ditemukan jalur satwa pada punggungan gunung. Jalur satwa

tersebut diindikasi sebagai jalur satwa aktif terlihat dari bukaan jalur akibat

pergerakan/perpindahan satwa. Jalur tersebut cukup lurus mengikuti punggungan

gunung dan memiliki kelerengan curam pada kiri kanannya. Tapir termasuk satwa

yang menggunakan jalur tesebut karena ditemukan tapak dan kotoran tapir pada

jalur-jalur satwa tersebut. Menurut Rakhmat (1999), dalam melakukan gerak

berpindah, tapir cenderung berjalan lurus dalam jalan utamanya namun apabila

dalam perjalananya tapir menemukan tumbuhan pakannya maka aktivitas gerak

berpindah akan diselingi dengan aktivitas makan.

0,3 0,4 0,5

Jalur 1

Jalur 2

Jalur 3

0,38 0,46

34

Berbeda dengan jalur pada punggungan gunung, pada jarak 100 hingga

300 meter dari tepi sungai tidak ditemukan jalur satwa yang tetap. Tumbuhan

bawah dan semai juga terlihat lebih rapat. Mekipun demikian tetap ditemukan

temuan tapak dan kotoran tapir dan satwa lainnya dengan pola yang tidak

beraturan. Jenis pohon yang tumbuh pada daerah ini juga lebih beragam

dibandingkan dengan daerah punggungan gunung yang cenderung lebih

mengelompok dan didominasi pada jenis tertentu saja.

5.2. Komponen dalam Pemodelan Kesesuaian Habitat Tapir

5.2.1. Ketinggian Tempat

Tapir ditemukan diberbagai ketinggian pada semua habitat dari dataran

rendah yaitu pada hutan payau dengan ketinggian 50 m dpl hingga hutan dataran

tinggi dengan ketinggian 2.400 m dpl (Holden et al. 2003). Santiapillai dan

Ramono (1990) mengatakan bahwa tapir dapat ditemukan pada berbagai tipe

hutan Sumatera seperti hutan rawa, hutan dataran rendah, hutan perbukitan, dan

hutan pegunungan bawah.

Hasil analisis peta diketahui lokasi penelitian berada pada ketinggian 545–

2.011 m dpl. Oleh karena itu berdasarkan ketinggian tempat, lokasi penelitian

dibedakan menjadi tiga tipe hutan yaitu tipe hutan dataran rendah dan perbukitan

(lowland and hill forest) dengan ketinggian 0-600 m dpl, hutan pegunungan

bawah (sub-montana forest) dengan ketinggian 600-1.500 m dpl dan hutan

pegunungan (montana forest) dengan ketinggian >1.500 m dpl. Luas masing-

masing tipe hutan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas tiap kelas ketinggian

No Kelas Ketinggian (m pdl) Tipe Hutan Luas (Ha) 1 0 - 600 Dataran rendah dan perbukitan 41,58 2 600 – 1.500 Pegunungan bawah 20.918,43 3 >1.500 Pegunungan 6.222,33

Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian

terhadap ketinggian tempat, tapir lebih banyak ditemukan pada hutan pegunungan

bawah (35 jejak) dan hutan pegunungan (36 jejak). Hal ini dikarenakan lokasi

penelitian lebih didominasi oleh kedua tipe hutan tersebut dibandingkan dengan

35

hutan dataran rendah dan hutan perbukitan. Kondisi hutan dataran rendah dan

perbukitan pada lokasi penelitian umumnya telah banyak berubah fungsi menjadi

lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman manusia. Peta ketinggian pada

lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 15.

5.2.2. Kemiringan Lereng

Jaya (2002) mendefinisikan kemiringan lereng atau slope merupakan

ukuran kemiringan dari suatu permukaan yang dapat dinyatakan dalam derajat

atau persen. Menurut Novarino et al. (2005), tapir lebih menyukai daerah yang

datar dan basah dibandingkan dengan daerah yang kering dan memiliki topografi

dan kemiringan yang curam.

Pengelompokan kelas kemiringan lereng didasarkan pada tabel kriteria

penetapan hutan lindung menurut SK Menteri Pertanian No.

837/Kpts/Um/II/1980. Luas masing-masing kelas kemiringan lereng dapat dilihat

pada Tabel 6.

Tabel 6 Luas tiap kelas kemiringan lereng

No Kemiringan Lereng (%) Kategori Kelas Kemiringan Lereng Luas (Ha)

1 0 - 8 Datar 458,19 2 8 – 15 Landai 1.501,47 3 15 – 25 Agak Curam 4.692,06 4 25 – 40 Curam 10.571,47 5 >40 Sangat Curam 9.958,95

Hasil identifikasi jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian terhadap

kemiringan lereng, tapir lebih banyak ditemukan pada daerah yang agak curam

(19 jejak). Temuan tapir juga banyak ditemukan pada daerah curam (17 jejak),

sangat curam (17 jejak), dan landai (15 jejak). Temuan jejak tapir sangat sedikit

ditemukan pada kelerengan datar (3 jejak) karena pada lokasi penelitian sangat

sedikit daerah yang kemiringan lerengnya datar.

Peta kemiringan lereng pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar

16.

36

Gambar 15 Peta Ketinggian.

37

Gambar 16 Peta kemiringan lereng.

38

5.2.3. Jarak dengan Sungai

TNKS mempunyai peran hidrologi yang penting dalam menyediakan air

untuk wilayah sekitarnya karena TNKS cukup banyak dialiri oleh sungai-sungai

besar. Terdapat beberapa sungai besar yang mengalir pada lokasi penelitian,

diantaranya Sungai Lengayang, Sungai Plangai dan Sungai Belantik. Sungai-

sungai besar di daerah ini lebih kenal dengan sebutan “batang” sehingga

sebutannya menjadi Batang Lengayang, Batang Plangai, dan Batang Belantik.

Selain dialiri oleh sungai besar, lokasi penelitian juga banyak dialiri oleh anak-

anak sungai (sungai kecil) yang mengalir sepanjang tahun.

Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup. Alikodra (1990)

menyebutkan salah satu faktor pembatas yang sangat penting bagi kehiudpan

satwaliar adalah air. Berdasarkan penelitian Rakhmat (1999) tapir lebih sering

menggunakan air sungai untuk keperluan sebagai air minum dan mandi meskipun

kebutuhan akan air juga didapat oleh tapir dari vegetasi pakannya terutama dari

pucuk daun dan ranting muda. Dari segi ketergantungan terhadap air, tapir

dikategorikan sebagai binatang water dependent species, artinya binatang yang

memerlukan air untuk penghancuran makannya dan memerlukan air setiap hari

untuk berkubang/mandi

Pada penelitian kali ini, pembagian kelas jarak dengan sungai dibagi

menjadi 5 kelas dengan jarak antar kelas sebesar 250 m. Luas masing-masing

kelas jarak dengan sungai dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Luas tiap kelas jarak dengan sungai

No Jarak dengan Sungai (m) Luas (Ha) 1 0 - 250 19.168,74 2 250 – 500 6.899,94 3 500 – 750 971,73 4 750 – 1.000 129,42 5 >1.000 12,51

Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian

terhadap jarak dengan sungai, hampir seluruh jejak (68 jejak) berada di jarak 0–

500 m dari sungai yaitu 31 jejak pada jarak 0-250 m dan 37 jejak pada jarak 250-

500 m. Hanya 1 jejak yang berada pada jarak 500–750 m dan 2 jejak yang berada

39

pada jarak 750–1.000 m. Tidak ditemukan jejak tapir yang berada pada jarak lebih

dari 1.000 m. Peta jarak dengan sungai dapat dilihat pada Gambar 17.

5.2.4. Jarak dengan Jalan

Menurut Pinard et al. (1996) diacu dalam Meijaard et al. (2007) jalan,

jalan sarad, dan hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain memberikan

dampak terhadap satwaliar selain dampaknya terhadap habitat, dengan isu

utamanya adalah berkurangnya konektivitas hutan, penurunan luas habitat, dan

peningkatan aksesibilitas yang meningkatkan tekanan perburuan, serta

menghambat regenerasi hutan. Rakmat (1999) mengatakan bahwa pembukaan

jalan makin memberikan kemudahan bagi peladang berpindah untuk membuka

ladangnya yang akan memutuskan jalur jelajah tapir dan mengancam

kelangsungan hidup tapir karena tapir dianggap sebagai perusak ladang/hama.

Pada penelitian kali ini, pembagian kelas jarak dengan jalan dibagi

menjadi 5 kelas dengan jarak antar kelas sebesar 500 m. Luas masing-masing

kelas jarak dengan jalan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Luas tiap kelas jarak dengan jalan

No Jarak dengan Jalan (m) Luas (Ha) 1 0 - 500 100,98 2 500 – 1.000 176,49 3 1.000 – 1.500 275,04 4 1.500 – 2.000 469,17 5 >2.000 26.160,66

Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian

terhadap jarak dengan jalan, seluruh jejak berada di jarak lebih dari 2.000 m dari

jalan. Jalan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu berupa jalan raya aspal yang

biasa digunakan oleh manusia sebagai akses transportasi. Kondisi jarak jalan

dengan kawasan hutan memang cukup jauh karena jalan tidak berbatasan

langsung dengan hutan. Pada kiri dan kanan jalan lebih didominasi dengan

persawahan, perkebunan, dan lahan terbangun. Namun terdapat jalan yang telah

masuk dalam kawasan TNKS dan terdapat bukaan lahan pada kiri kanan jalan

tersebut. Peta jarak dengan jalan dapat dilihat pada Gambar 18.

40

Gambar 17 Peta jarak dengan sungai.

41

Gambar 18 Peta jarak dengan jalan.

42

5.2.5. Jarak dengan Tepi Hutan

Berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi Citra Landsat TM tahun

2008 pada wilayah lokasi penelitian dan sekitarnya, diperoleh 7 jenis penutupan

lahan berupa hutan, kebun, semak, ladang, sawah, lahan terbuka, dan badan air.

Tutupan lahan berupa hutan mendominasi tutupan lahan pada lokasi penelitian

seperti dapat dilihat pada Gambar 19. Meskipun demikian terdapat semak, kebun

dan lahan terbuka pada daerah yang seharusnya berupa hutan dan masuk dalam

kawasan TNKS. Semak dan lahan terbuka dapat terjadi akibat proses alami

contohnya seperti akibat tumbangnya pohon dan proses erosi akibat kemiringan

lereng yang sangat curam sehingga pada daerah tersebut didominasi oleh semak.

Namun faktor gangguan manusia akibat pembukaan lahan hutan lebih besar

pengaruhnya dilihat dari bukaan lahan hutan pada daerah tepi-tepi hutan yang

berubah fungsi menjadi kebun.

Menurut Rakhmat (1999), tekanan terhadap habitat dan kelangsungan

hidup tapir oleh kegiatan manusia berupa kegiatan perkebunan dan perladangan

merupakan ancaman yang sangat serius karena tapir dianggap sebagai satwa hama

yang merusak tanaman. Ketika dalam pola jelajahnya (90-100 hari) tapir kembali

ke tempat semula yang keadaannya telah berubah fungsi menjadi kebun atau

ladang, maka tapir akan cenderung merusak tanaman. Karena hal ini tapir lebih

dianggap sebagai hama dan kelangsungan hidupnya akan terancam karena pihak

pemilik perkebunan atau peladang akan berusaha untuk memusnahkan tapir

dengan berbagai cara termasuk meracun dan menembak. Menurut Santiapilai dan

Ramono (1990), terdapat beberapa catatan yang menunjukan keberadaan tapir di

kebun sawit, selain itu tapir juga terlihat melintasi pemukiman penduduk ataupun

pemukiman petugas di HPH.

Pada penelitian kali ini, pembagian kelas jarak dengan tepi hutan dibagi

menjadi 5 kelas dengan jarak antar kelas sebesar 250 m. Luas masing-masing

kelas jarak dengan jalan dapat dilihat pada Tabel 9.

43

Gambar 19 Peta tutupan lahan.

44

Tabel 9 Luas tiap kelas jarak dengan tepi hutan

No Jarak dengan Tepi Hutan (m) Luas (Ha) 1 0 - 250 4.913,46 2 250 – 500 2.982,96 3 500 – 750 2.522,43 4 750 – 1.000 2.584,17 5 >1.000 14.179,32

Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian

terhadap jarak dengan tepi hutan, sebanyak 27 titik berada di jarak lebih dari

1.000 m dan jejak lainnya tersebar dengan jumlah jejak lebih sedikit pada masing-

masing kelas yaitu 14 jejak pada jarak 0–250 m, 15 jejak pada jarak 250–500 m, 6

jejak pada jarak 500–750 m, dan 9 jejak pada jarak 750–1.000 m. Peta jarak

dengan tepi hutan dapat dilihat pada Gambar 20.

5.2.6. Nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

Indeks vegetasi digunakan untuk mengukur biomassa atau intensitas

vegetasi di permukaan bumi dengan pengukuran kuantitatif berdasarkan digital

number dari data penginderaan jauh (Tampubulon et al. 2009). Salah satu metode

umum yang digunakan untuk menghitung indeks vegetasi adalah NDVI

(Normalized Difference Vegetation Index). Nilai NDVI menggambarkan

penutupan vegetasi di atas permukaan tanah dengan nilai kecerahan yang berbeda-

beda diperoleh dari penerimaan gelombang elektromagnetik merah (red) dan infra

merah dekat (near IR). Nilai NDVI -1–0 menunjukan tutupan lahan berupa badan

air (air ataupun es), nilai 0–0,1 menunjukan tanah terbuka, dan nilai >0,1

menunjukan vegetasi (Anonim 2002).

Tapir merupakan satwa yang memerlukan biomassa vegetasi tinggi dilihat

dari kebutuhannya akan kerapatan tajuk untuk bernaung dan ketersediaan

tumbuhan bawah, semai, dan pancang untuk pakannya. Hasil analisis regresi

antara NDVI dan kerapatan vegetasi diperoleh persamaan sebagai berikut:

Y = 0,629 + (1,24x10-7)X

Keterangan : Y = NDVI

X = Kerapatan total vegetasi (ind/ha)

45

Gambar 20 Peta jarak dengan tepi hutan.

46

Nilai probabilitas yang diperoleh dari persamaan tersebut bernilai >0,05

yakni sebesar 0,933 dengan demikian model persamaan tidak signifikan sehingga

model tidak dapat diterima. Nilai koefisien korelasi (r) yang dihasilkan analisis

regresi sebesar 0,033. Hal ini menunjukan bahwa kerapatan vegetasi memiliki

hubungan korelasi yang positif namun tidak kuat terhadap nilai NDVI. Lemahnya

keeratan hubungan antara kerapatan vegetasi dan nilai NDVI juga ditunjukan oleh

nilai koefisien determinan (R square) yang sangat kecil yaitu bernilai 0,1%.

Semakin kecil nilai koefisien determinan maka data semakin menyebar menjauhi

garis linier seperti terlihat pada Gambar 21. Lemahnya keeratan hubungan antara

kerapatan vegetasi dan nilai NDVI dapat terjadi karena nilai NDVI yang

dihasilkan dari analisis peta dipengaruhi oleh faktor lain salah satunya faktor

kemiringan lereng. Kemiringan lereng dapat menyebabkan perbedaan digital

number yang diterima oleh satelit khususnya untuk penerimaan gelombang

elektromagnetik merah (red) dan infra merah dekat (near infrared).

Gambar 21 Diagram pencar nilai yang diamati antara kerapatan vegetasi dan nilai NDVI.

Dengan demikian pada penelitian kali ini, pembagian kelas nilai NDVI

dibagi menjadi 3 kelas dengan luas masing-masing kelas nilai NDVI dapat dilihat

pada Tabel 10.

Kerapatan total vegetasi30000.0025000.0020000.0015000.0010000.005000.00

0.68

0.66

0.64

0.62

0.60

0.58

NDVI

47

Tabel 10 Luas tiap kelas nilai NDVI

No Nilai NDVI Luas (Ha) 1 -1 - 0,25 291,33 2 0,25 – 0,5 823,75 3 0,5 – 1 26.065,26

Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian

terhadap nilai NDVI, sebanyak 64 jejak berada di rentang nilai NDVI 0,5–1.

Hanya 6 jejak yang berada direntang 0,25–0,5 dan hanya 1 jejak yang mempunyai

nilai kurang dari 0,25. Peta nilai NDVI dapat dilihat pada Gambar 22.

5.3. Model Kesesuaian Habitat

Penentuan bobot untuk mendapatkan model kesesuaian habitat tapir

diperoleh dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal

Component Analysis / PCA) berdasarkan hasil analisis spasial 71 jejak tapir

terhadap 6 variabel habitat tapir yang diteliti meliputi ketinggian, kemiringan

lereng, jarak dengan sungai, jarak dengan jalan, jarak dengan tepi hutan, dan nilai

NDVI (Lampiran 3). PCA akan menghasilkan komponen utama sesuai dengan

jumlah variabel yang digunakan namun banyaknya komponen utama yang

dijelaskan tergantung pada jumlah keragaman kumulatif yang dapat dijelaskan.

Menurut Timm (1975) diacu dalam Paraira (1999), jumlah komponen utama yang

dapat digunakan dianggap cukup mewakili jika keragaman kumulatifnya

mencapai 70%-80%.

Dari hasil PCA diperoleh 6 komponen utama dengan keragaman total

seperti dapat dilihat pada Tabel 11. Komponen utama yang dapat digunakan yaitu

3 komponen utama pertama dengan nilai keragaman kumulatif mencapai

72,924%.

Tabel 11 Total keragaman yang dijelaskan

Komponen Akar Ciri

Total % Keragaman % Kumulatif 1 2,015 33,583 33,583 2 1,233 20,552 54,135 3 1,127 18,790 72,924

48

Gambar 22 Peta Nilai NDVI.

49

Komponen Akar Ciri

Total % Keragaman % Kumulatif 4 0,717 11,951 84,876 5 0,523 8,710 93,586 6 0,385 6,414 100,000

Hasil analisis tersebut kemudian digunakan untuk menetapkan bobot

masing-masing variabel. Keeratan hubungan antara keenam variabel habitat

dengan komponen utama dapat dilihat dari vektor ciri dari PCA yang disajikan

dalam Tabel 12.

Tabel 12 Vektor ciri PCA

Variabel Komponen Utama

1 2 3 Ketinggian -0,260 0,697 -0,503 Kemiringan Lereng 0,582 0,342 0,403 Jarak dengan Sungai 0,542 0,573 0,281 Jarak dengan Jalan 0,846 -0,105 0,032 Jarak dengan Tepi Hutan 0,630 -0,509 -0,357 Nilai NDVI -0,451 -0,179 0,710

Bobot masing-masing variabel untuk mendapatkan model kesesuaian

habitat tapir diperoleh dari nilai vektor ciri PCA masing-masing variabel yang

mempunyai nilai positif tertinggi terhadap komponen utama yang dihasilkan.

Hasil diatas menunjukan bahwa variabel kemiringan lereng, jarak dengan jalan,

dan jarak dengan tepi hutan mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap

komponen utama pertama. Sedangkan variabel ketinggian dan jarak dengan

sungai mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen kedua. Dan

terakhir variabel nilai NDVI mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap

komponen utama ketiga. Dengan demikian besarnya bobot masing-masing

variabel kesesuaian habitat dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Bobot masing-masing variabel

No Variabel Nilai bobot 1 Kemiringan Lereng 2,015 2 Jarak dengan Jalan 2,015 3 Jarak dengan Tepi Hutan 2,015 4 Ketinggian 1,233 5 Jarak dengan Sungai 1,233 6 Nilai NDVI 1,127

50

Dari nilai bobot tersebut maka dapat diketahui model Kesesuian Habitat

Tapir dengan persamaan sebagai berikut :

Y = (1,233 x Fk1) + (2,015 x Fk2) + (1,233 x Fk3) + (2,015 x Fk4) + (2,015 x

Fk5) + (1,127 x Fk6)

Keterangan : Y = Kesesuaian Habitat Tapir

Fk1 = Faktor Ketinggian

Fk2 = Faktor Kemiringan Lereng

Fk3 = Faktor Jarak dengan Sungai

Fk4 = Faktor Jarak dengan Jalan

Fk5 = Faktor Jarak dengan Tepi Hutan

Fk6 = Faktor nilai NDVI

5.4. Peta Kesesuaian Habitat Tapir

Untuk menghitung nilai Kelas Kesesuaian Habitat Tapir dengan

menggunakan model persamaan di atas, dilakukan proses tumpang tindih

(overlay) terhadap masing-masing variabel habitat yang digunakan. Sebelum

melakukan proses tersebut, terlebih dahulu dilakukan proses pengkelasan (class)

yaitu pengkelasan tiap variabel habitat untuk dilakukan pengharkatan

(scoring/skor) tiap kelas dari masing-masing variabel. Dimana nilai skor dari tiap

kelas dalam satu variabel berbeda antara satu dengan yang lain seperti dapat

dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Skor tiap variabel

Variabel Kelas Skor

Ketinggian (mdpl) 0 - 600 3 600 – 1.500 2 >1.500 1

Kelerengan (%)

0 – 8 5 8 – 15 4 15 – 25 3 25 – 40 2 >40 1

Jarak dengan sungai (m)

0 - 250 5 250 - 500 4 500 - 750 3 750 – 1.000 2 1.000 – 1.250 1

51

Variabel Kelas Skor

Jarak dengan jalan (m)

>2000 5 1.500 – 2.000 4 1.000 – 1.500 3 500 – 1.000 2 0 - 500 1

Jarak dengan tepi hutan (m)

>1.000 5 750 – 1.000 4 500 - 750 3 250 - 500 2 0 - 250 1

Nilai NDVI > 0,5 3 0,25 – 0,5 2 -1 – 0,25 1

Hasil analisis spasial dengan metode pembobotan, pengkelasan (class),

pengharkatan/skoring (scoring), dan tumpang tindih (overlay) menghasilkan nilai

piksel terendah adalah 16,824 dan tertinggi 43,47. Dengan standar deviasi sebesar

4,265; rata-rata sebesar 32,557 dan median sebesar 33,621. Untuk menentukan

kelas kesesuaian habitat tapir terlebih dahulu dicari nilai selang antar kelas

kesesuaian, yaitu dengan membagi rata selisih antara nilai piksel tertinggi dan

nilai piksel terendah dengan jumlah kelas kesesuian habitat. Dalam penelitian kali

ini, kelas kesesuaian habitat tapir dibagi menjadi tiga kelas yaitu kesesuaian

rendah, kesesuaian sedang, dan kesesuaian tinggi. Nilai skor dan luas masing-

masing kelas kesesuaian habitat tapir dapat dilihat pada Tabel 15. Dan peta

kesesuaian habitat tapir dapat dilihat pada Gambar 22.

Selang 43,47 16,824

3 8,882

Tabel 15 Skor dan luas tiap kelas kesesuaian habitat

Kelas Skor Luas (Ha) Persentase Kesesuaian rendah 16,824 – 25,706 1.979,73 7,28% Kesesuaian sedang 25,706 – 34,588 15.638,76 57,54% Kesesuaian tinggi > 34,588 9.563,85 35,18%

Daerah kelas kesesuaian rendah didominasi oleh kelas ketinggian 600-

1.500 m dpl berupa hutan pegunungan bawah, kemiringan lereng yang sangat

curam (>40%), jarak dari sungai 0-250 m, jarak dari jalan lebih dari 2.000 m,

jarak dari tepi hutan 0–250 m, dan nilai NDVI lebih dari 0,5. Daerah kelas

52

Gambar 23 Peta kesesuaian habitat Tapir.

53

kesesuaian sedang didominasi oleh kelas ketinggian 600-1.500 m dpl berupa hutan

pegunungan bawah, kemiringan lereng yang sangat curam (>40%), jarak dari sungai 0-

250 m, jarak dari jalan lebih dari 2.000 m, jarak dari tepi hutan lebih dari 2.000 m, dan

nilai NDVI lebih dari 0,5. Daerah kelas kesesuaian tinggi didominasi oleh kelas

ketinggian 600-1.500 m dpl berupa hutan pegunungan bawah, kemiringan lereng yang

curam (25-40%), jarak dari sungai 0-250 m, seluruhnya berada pada jarak dari jalan

lebih dari 2.000 m, jarak dari tepi hutan lebih dari 2.000 m, dan nilai NDVI lebih dari

0,5.

Dilihat dari peta kesesuaian habitat tapir yang dihasilkan, batas kawasan TNKS

termasuk pada daerah kesesuaian sedang. Hal ini menunjukan daearah tersebut memiliki

potensi sebagai daerah yang sesuai untuk wilayah jelajah tapir meskipun ketika

pengamatan tidak ditemukan jejak tapir pada daerah tersebut. Bentuk tutupan lahan

pada daerah batas kawasan TNKS lebih banyak berupa kebun dan semak. Hal ini akan

mengancam kelestarian tapir mengingat tapir dianggap sebagai satwa hama oleh

masyarakat.

5.5. Validasi Model

Validasi model dilakukan untuk menerima model yang telah dibangun dengan

tingkat kepercayaan tinggi (lebih dari 85%) pada kelas kesesuaian sedang dan tinggi.

Validasi model kesesuaian habitat tapir menggunakan 35 jejak tapir pada saat survei

lokasi penelitian. Nilai validasi diperoleh dengan membagi banyaknya jejak tapir pada

suatu kelas kesesuaian terhadap total jejak tapir yang ditemukan. Hasil validasi tiap

kelas kesesuaian habitat tapir dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Validasi tiap kelas kesesuaian habitat tapir

Kelas Kesesuaian Jumlah Jejak Tapir Validasi (%) Kesesuaian rendah 0 0 Kesesuaian sedang 20 57,14 Kesesuaian tinggi 15 42,86

Hasil validasi menunjukan model kesesuaian habitat tapir dapat diterima 100%

pada kelas kesesuaian sedang dan tinggi. Artinya model yang dibangun cukup

representatif untuk menunjukan daerah kesesuaian habitat tapir dengan kelas kesesuaian

sedang dan kesesuaian tinggi. Namun demikian, dilihat dari tingginya nilai validasi

54

pada kelas kesesuaian sedang dibandingkan pada kelas kesesuaian tinggi menunjukan

model yang dibangun belum memberikan hasil yang optimal, artinya terdapat

komponen habitat lain yang mempengaruhi kesesuaian habitat tapir selain dari enam

komponen habitat yang digunakan untuk membangun model. Hal ini dapat disebabkan

karena komponen habitat yang digunakan dalam membangun model belum mewakili

komponen habitat yang sensitif sangat diperlukan oleh tapir karena komponen habitat

yang digunakan dalam membangun model lebih banyak berupa komponen abiotik yang

bersifat struktural seperti faktor ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari jalan, dan

jarak dari tepi hutan.

Kesesuaian habitat tapir dipengaruhi oleh komponen habitat biotik yang bersifat

fungsional seperti ketersediaan pakan, sesapan (salt lick), teduhan, dan lindungan.

Faktor jarak dengan sungai dan nilai NDVI belum cukup mewakili komponen habitat

biotik yang bersifat fungsional dalam membangun model kesesuaian habitat tapir.

Kebutuhan tapir akan pakan, teduhan, dan lindungan belum dapat diwakili oleh nilai

NDVI karena nilai NDVI yang dihasilkan pada penelitian kali ini sangat dipengaruhi

oleh kemiringan lereng dan kurang sesuai diterapkan untuk daerah penelitian yang

kemiringan lerengnya sangat bervariasi. Ditjen PHKA (Inpress) mengatakan bahwa

faktor penting yang sangat berperan bagi kelestarian tapir adalah keberadaan sesapan

untuk memenuhi kebutuhan unsur mikro bagi tapir dan dalam memenuhi kebutuhannya

tersebut tapir terkadang melakukan perjalanan yang jauh. Untuk membangun model

kesesuaian habitat tapir dengan tingkat kesesuaian tinggi, maka sangat diperlukan

informasi spasial mengenai pakan, teduhan, lindungan, dan keberadaan sesapan. Namun

untuk memperoleh informasi tersebut dibutuhkan waktu pengamatan yang cukup lama.