UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL ...
-
Upload
vuongtuyen -
Category
Documents
-
view
251 -
download
11
Transcript of UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL ...
UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
FITRIANA
NIM : 1111048000079
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI I L M U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/ 2015 M
i
UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
FITRIANA
NIM : 1111048000079
PEMBIMBING
DWI PUTRI CAHYAWATI, S.H., M.H
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI I L M U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan telah tercantum sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya asli saya atau
jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 April 2015
iv
ABSTRAK
FITRIANA, NIM 1111048000079, “UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN
ARBITRASE NASIONAL (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XII/2014)”. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program
Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. viii + 85 halaman + 77 hal lampiran.
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah upaya pembatalan putusan arbitrase
berdasarkan UU No.30 Tahun 1999. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan UU No.30 Tahun 1999, untuk
mengetahui pertimbangan hukum putusan Mahkamah Kontitusi No.15/PUU-
XII/2014 atas pengujian penjelasan pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 dan untuk
mengetahui akibat hukum atas lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
upaya pembatalan putusan arbitrase. Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu
mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase serta mengacu pada putusan
Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014. Pendekatan masalah yang digunakan
yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus
(case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan tertier.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitan
kepustakaan (library research). Hasil dari penenlitian ini adalah pertama, mengenai
mekanisme pembatalan arbitrase berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 sebagaimana
telah diatur dalam Ps.70 s.d Ps.72 yaitu para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan ke Pengadilan Negeri, dengan alasan pembatalan yang terdapat pada
Ps.70 yang bersifat limitatif dan atas putusan PN terhadap permohonan pembatalan
putusan arbitrase dapat dilakukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung
dengan putusan yang bersifat final dan binding. Kedua, pertimbangan hukum pada
putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014 terhadap pengujian penjelasan
pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 adalah bahwa pasal 70 sudah cukup jelas (expressis
verbis), dan penjelasan pasal 70 telah mengubah norma pasal, menimbulkan norma
baru dan multitafsir sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum dan bertentangan
dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketiga, akibat hukum atas lahirnya putusan
MK No.15/PUU-XII/2014 adalah dalam hal mengajukan permohonan pembatalan
putusan arbitrase atas adanya unsur pembatalan dalam pasal 70 tidak perlu
dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan, sebagaimana ketentuan
penjelasan pasal 70 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan amar putusan
MK No.15/PUU-XII/2014.
Kata Kunci: Putusan Arbitrase, Pembatalan, Pasal 70, Mahkamah Konstitusi.
Dosen Pembimbing: Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H
Daftar Pustaka : Tahun 1987 – Tahun 2012
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim...
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Berkat rahmat, nikmat serta
anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Upaya
Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)”. Sholawat serta salam penulis sampaikan
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari
zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin
tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr.
Asep Saepudin Jahar, MA,.
2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Bapak Dr. Djawahir Hejjaziey, S.H.,MA, MH. dan Bapak Arip Purkon,
SHI., MA.
3. Pembimbing Skripsi penulis, ibu Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H. Terimakasih
atas waktu, arahan dan kritik serta saran yang diberikan.
4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan yang sangat bermanfaat kepada penulis, khususnya kepada Bapak
Nur Rohim Yunus, LLM dan Andi Syafrani, SH., MCCL. yang telah
memberikan arahan terhadap skripsi penulis.
5. Kepada staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Ahmad dan Ibunda Euis Hamidah,
terimakasih atas segala doa dan kasih sayang, motivasi, perhatian dan bantuan
yang telah dicurahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. kepada
Kedua Kakak tercinta Yuni Mega Rahayu, S.E dan Nur Rianti A.md terimakasih
atas segala support, kasih sayang dan doa yang kalian berikan.
7. Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011. Khususnya Sahabat-sahabatku
tercinta Neysa Sabila, Verina Pradita, Citra Chandrika Gita Putri, Clara Fenty
Zahara, Lidia Asrida dan Syahirah Banun dan teman-teman seperjuangan
konsentrasi hukum bisnis yang telah sama sama berjuang dan saling memberikan
motivasi serta semangat dalam menyelesaikan studi demi meraih cita-cita.
8. Kepada Sahabat-sahabatku tersayang Amaliah, Fitria Tanzila, Sindy Pariamanda,
Tuti Purwaningsih, Serta Gusti Anugrah, Eko, Rudy dan Rano yang telah
memberikan support dan semangat tiada henti kepada penulis dalam
menyelesaikan studi yang penulis tempuh.
9. Semua Pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan pihak-pihak yang telah
mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, untuk itu
penulis haturkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Sekian dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 15 April 2015
Fitriana
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan Masalah dan Permusan Masalah .......................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6
D. Tinjauan (Riview) Studi Terdahulu .......................................... 8
E. Kerangka Konseptual ............................................................... 10
F. Metode Penelitian ..................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 15
BAB II : TINJAUAN UMUM ARBITRASE
A. Pengertian Arbitrase ................................................................. 18
B. Sumber Hukum Arbitrase ........................................................ 20
C. Asas-asas Dalam Arbitrase ...................................................... 24
D. Keunggulan dan Kelemahasan Arbitrase ................................. 27
E. Jenis-Jenis Arbitrase ................................................................. 30
F. Perjanjian Arbitrase .................................................................. 32
G. Kewenangan Arbitrase ............................................................. 35
viii
BAB III : PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
A. Jenis Putusan Arbitrase ............................................................ 39
B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase ................................................ 40
C. Pembatalan Putusan Arbitrase ................................................. 45
BAB IV :UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL
(ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.
15/PUU-XII/2014)
A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014
1. Posisi Kasus ....................................................................... 53
2. Pertimbangan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
No.15/PUU-XII/2014 ......................................................... 59
3. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014
............................................................................................. 65
B. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-
XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase .......... 75
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 80
B. Saran ......................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 85
LAMPIRAN
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada kegiatan perdagangan, tak jarang timbul suatu konflik atau sengketa
dengan bentuk yang beraneka ragam. Sengketa pada dasarnya, hal yang harus
dihindari, karena akibat yang akan ditimbulkan. Sehingga, dalam hubungan
kerjasama perdagangan harus diantisipasi kemungkinan-kemungkinan timbulnya
suatu sengketa. Sebelum timbulnya sengketa, langkah terlebih dahulu yang dapat
dilakukan yaitu dengan membuat suatu perjanjian atau memasukan suatu klausul
penyelesaian sengketa dengan memilih upaya yang akan ditempuh sesuai
kesepakatan bersama melalui pengadilan atau luar pengadilan.1 Upaya penyelesaian
sengketa yang dapat ditempuh selain melalui pengadilan yakni melalui jalur non
litigasi atau di luar pengadilan yaitu melalui mediasi, negosiasi, dan konsiliasi serta
arbitrase.
Penyelesaian sengketa melalui litigasi di pengadilan, cenderung dapat
menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time
consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum.2 Untuk itu penggunaan
1 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2012), h.54.
2 Frans hendra Winarta, Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia dan
Internasional (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011), h.9.
2
mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan mulai di minati oleh pelaku
usaha bidang perdagangan, khususnya mekanisme penyelesaian melalui arbitrase.
Arbitrase merupakan sebuah pilihan alternatif penyelesaian sengketa yang
paling menarik, khususnya bagi kalangan atau pihak dalam kegiatan perdagangan
kerena arbitrase dinilai sebagai suatu penyelesaian sengketa yang independen dan
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan.
Arbitrase pada umumnya merupakan pemeriksaan suatu sengketa yang
dilakukan secara judisial, walaupun disederhanakan seperti yang dikehendaki oleh
para pihak yang bersengketa, dalam pemecahannya didasarkan kepada bukti-bukti
yang diajukan oleh para pihak tersebut.3 Sebagai alternatif penyelesaian sengketa
arbitrase menawarkan beberapa kelebihan di banding ranah pengadilan yaitu
penyelesaian yang relatif lebih cepat, sifat kerahasiaan sengketa terjamin dan para
pihak memiliki kebebasan untuk memilih hakimnya (arbiter) yang netral dan ahli
mengenai pokok sengketa yang dihadapi para pihak serta tentunya dengan biaya
terukur.4
Pada penyelesaian melalui arbitrase, para pihak harus menyatakan dalam
perjanjian yang memuat klausul bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa yang
terjadi atau akan terjadi di antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan
3 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa (APS),
(Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), h.12
4 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, h.59.
3
suatu perjanjian yang tertulis yang telah disepakati para pihak. Dengan begitu
penyelesaian sengketa yang timbul merupakan kewenangan dari arbitrase.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dan Pengadilan tetap mempunyai
keterkaitan. Dalam hal ini, keterkaitan atau peranan pengadilan dalam penyelesaian
sengketa melalui arbitrase disebut dalam beberapa pasal, sebagai bentuk memperkuat
proses arbitrase sampai pelaksanaan putusan arbitrase. Dalam hal pelaksanaan
putusan arbitrase nasional, putusan arbitrase wajib diserahkan dan didaftarkan ke
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan
di ucapkan, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan.
Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (binding), sehingga tidak dapat
diajukan upaya hukum banding dan kasasi. Namun, terhadap putusan Arbitrase dapat
diajukan upaya pembatalan putusan arbitrase apabila mengandung unsur-unsur, yang
telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi :
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
pemohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung unsur-
unsur antara lain sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa
Selanjutnya penjelasan pasal 70 mengenai unsur pembatalan putusan
arbitrase, yang berbunyi :
4
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. alasan-alasan pembohonan
pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut
terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan
sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak
permohonan.”
Dengan demikian, Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan ruang dalam upaya pembatalan
putusan arbitrase yang didasarkan atas terpenuhinya Pasal 70 serta penjelasan pasal
70. Persyaratan pembatalan putusan arbitrase yang tertuang dalam Pasal 70 beserta
Pejelasannya sebenarnya harus dipandang dalam satu kesatuan, hal tersebut dilakukan
untuk membatasi secara tegas agar putusan arbitrase tidak dengan mudah dibatalkan.5
Namun dalam perkembangannya, mengenai penjelasan pasal 70 Undang-
Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
telah diajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi oleh pemohon yaitu
Ir.Darma Ambiar, M.M., Direktur PT Minerina Cipta Guna sebagai pihak pemohon
I, dan Drs.Sujana Sulaeman, Direktur utama PT. Bangun Bumi Bersatu sebagai
pihak pemohon II. Dalam hal ini kedua pemohon mempersoalkan penjelasan pasal 70
Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa karena dianggap rancu karena mengandung norma baru dan selanjutnya,
menurut pemohon karena disebabkan oleh penjelasan tersebut, norma pokok Pasal 70
sendiri menjadi tidak operasional dan menghalangi hak hukum pemohon memperoleh
5 Media Indonesia, Pembatalan Putusan Arbitrase Munculkan Kesangsian, Artikel diakses
Pada 4 Februari 2015 dari http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/3333/Pembatalan-Putusan-
Arbitrase-Munculkan-Kesangsian/2014/08/27
5
keadilan dengan mengajukan pembatalan putusan arbitarase.6 Atas permohonan uji
materil penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang telah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi,
kemudian lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014
menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
yang membahas mengenai mekanisme dari upaya pembatalan putusan arbitrase
berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pertimbangan hukum hakim majelis Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan No. 15/PUU-XII/2014 dan akibat hukum putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase,
sehingga penulis tuangkan dalam bentuk penelitian skripsi dengan judul “Upaya
Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 15/PUU-XII/2014).”
6 Hukum Online, MK Perjelas Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Dihapusnya,
Penjelasan Pasal 70 AAPS tidak ada lagi hambatan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atas
putusan arbritase Artikel di akses 5 Februari 2015 dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54623aa3a6d07/mk-perjelas-alasan-pembatalan-putusan-
arbitrase.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan pada penelitian ini terarah dan tidak meluas maka
penulis hanya memfokuskan pembahasan pada substansi pengaturan hukum yang
terkait dengan pembatalan putusan arbitrase pada Undang-undang No.30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang penulis jelaskan dalam latar belakang
masalah, penulis merumuskan permasalahan ke dalam beberapa pertanyaan,
sebagai berikut:
a. Bagaimana mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-
undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa?
b. Bagaimana pertimbangan hukum dalam putusan nomor 15/PUU-XII/2014?
c. Bagaimana akibat hukum atas putusan Mahkamah konstitusi Nomor 15/PUU-
XII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, berikut penjelasan tujuan dan manfaat
dari penelitian ini :
7
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diketengahkan oleh penulis,
maka tujuan penulisan pada penelitian ini yakni sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan
Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi
No. 15/PUU-XII/2014.
c. Untuk mengetahui akibat hukum setelah lahirnya putusan Mahkamah
konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan
arbitrase.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan penelitian ini, dibedakan menjadi dua,
yakni :
a. Manfaat Teoritis
Manfaat dari hasil penelitian ini secara teoritis, diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam Ilmu Hukum, khususnya dalam Hukum Bisnis yang
berkaitan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
b. Manfaat Praktis
Manfaat dari hasil penelitian ini secara praktik, diharapkan dapat menambah
wawasan dan pengetahuan serta dapat menambah bahan rujukan bagi
mahasiswa dalam memahami upaya pembatalan putusan arbitrase.
8
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, penulis melakukan
pelusuran kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, berikut kajian
terdahulu yang penulis temukan:
1. Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro 2005, yang
disusun oleh Abdul Wahid, SH., dengan judul “Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase”, pada penelitian ini membahas mengenai
mekanisme penyelesaian sengeketa melalui arbitrase dan pada penelitian ini juga
menelaah mengenai mekanisme penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase
dari pengaturan dalam peraturan perundang-undangan maupun aturan prosedural
(rules) arbitrase institusional, menelaah pada penerapan dari berbagai kasus-kasus
arbitrase. Berbeda dengan penelitian penulis yang membahas mengenai
mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase nasional berdasarkan Undang-
undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dan Akibat Hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-
XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.
2. Tesis Fakultas Pascasarjana, Program studi kajian ilmu kepolisian, Universitas
Indonesia Jakarta Juni 2011, yang disusun oleh Arman, SIK., dengan judul
“Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan Arbitrase Di Pengadilan
Negeri Indonesia Dalam Hal Adanya Dugaan Pemalsuan Dikaitkan dengan
Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, pada penelitian membahas pada
permasalahan utamanya mengenai kasus arbitrase antara PT. Krakatau Steel dan
9
International Piping Product (IPP) dan meneliti penerapan Undang-undang No.30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya
dalam hal pembatalan putusan arbitrase karena adanya dugaan pemalsuan
dokumen. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas
mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang
No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan
khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-
XII/2014 dengan meneliti dasar dari putusan tersebut yaitu pertimbangan hukum
hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya
putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014.
3. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta 2014, yang disusun oleh Atiek AF’Idata dengan judul
“Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Putusan Mahkamah
Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012), pada penelitian ini membahas peraturan
mengenai pembatalan putusan arbitrase Internasional serta praktek beracara yang
dilakukan oleh lembaga peradilan di Indonesia terutama terkait hukum acara
arbitrase asing. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas
mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang
No.30 Tahu 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan
khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-
XII/2014 dengan meneliti dasar dari putusan tersebut yaitu pertimbangan hukum
10
hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya
putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014.
E. Kerangka Konseptual
Suatu kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.7 Dalam
kerangka konseptual ini dituangkan beberapa konsepsi atau pengertian yang
digunakan sebagai dasar dari penelitian hukum. berikut kerangka konsepsi yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini :
1. Alternatif Penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli. (Pasal 1 angka 10 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
APS)
2. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. (pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan APS)
3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI PRESS, 2010), h. 132.
11
timbulnnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa. (pasal 1 angka 3 UU No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan APS)
4. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
atau yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase. (Pasal 1 angka 7 UU No.30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan APS)
5. Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga
dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbulnya sengketa. (pasal 1 angka 8 UU No.30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan APS).
6. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik
Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang
menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan
arbitrase international. (pasal 1 angka 9 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan APS).
7. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi
tempat tinggal termohon. (pasal 1 angka 4 UU No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan APS).
12
F. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.8 Selanjutnya,
langkah-langkah yang diambil dalam suatu penelitian hukum harus jelas serta ada
pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan
tidak terkendali.9 berikut uraian mengenai metode penelitian yang akan penulis
gunakan:
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah yuridis normatif, yaitu
penelitian di fokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif.10 Pada penelitian ini, penulis mengacu pada norma
hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, berkaitan dengan
pembatalan putusan arbitrase nasional serta mengacu pada putusan Mahkamah
Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014.
2. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian hukum memiliki beberapa pendekatan yaitu pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan komparatif
8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum h. 43.
9 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia) h.
294
10 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. h.295
13
(comparative approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).11
Pendekatan-pendekatan masalah tersebut digunakan tujuannya untuk mendapatkan
informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti.
Pendekatan masalah yang akan penulis gunakan yakni pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan perundang-undangan merupakan suatu pendekatan yang melakukan
pengkajian peraturan perundang-undangan yang menjadi tema sentral penelitian,12
dalam penelitian ini peraturan yang menjadi tema sentral penelitian adalah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya, pendekatan kasus (case approach) yang
penulis gunakan yaitu mengacu pada pendekatan kasus pada putusan Mahkamah
Kontitusi No.15/PUU-XII/2014.
3. Bahan Hukum
Pada penelitian hukum normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau
data sekunder,13 yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum primer merupakan bahan hukum
yang bersifat autoritatif artinya yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005)
h.133.
12 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. h. 295
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum h. 5.
14
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.14 Dalam penelitian ini bahan
hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Putusan MK
No.15/PUU-XII/2014 dan peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan
pembatalan putusan arbitrase.
b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan
terdiri dari buku-buku, artikel-artikel dalam jurnal dan karya ilmiah lainnya.
yang berkaitan dengan Arbitrase .
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,15 contohnya adalah
kamus hukum, indeks artikel, ensiklopedia yang berkaitan dengan Arbitrase.
4. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
penelitan kepustakaan (library research) dengan melakukan penelusuran untuk
mencari bahan-bahan hukum yang relevan yang dapat terdiri dari literatur
kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan sumber
lainnya.
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.181.
15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. h. 5.
15
5. Pengolahan dan analisis bahan hukum
Adapun bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder yang telah diperoleh melalui penelitian kepustakaan serta peraturan
perundang-undangan penulis uraikan dan hubungkan, sehingga disajikan dalam
penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Kemudian, cara pengolahan bahan hukum dilakukan dilakukan secara
deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum
terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
6. Teknik Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta, tahun 2012.16
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah skripsi yang
berjudul “Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014), Maka dirasa perlu untuk
menguraikan kedalam sistematika penulisan sebagai gambaran singkat skripsi, yakni
sebagai berikut :
16
Tim Penyusun FSH, Pedoman penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jamian
Mutu (PPJM), 2012). h. 11- 46.
16
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pertama ini penjelasannya meliputi, latar belakang
masalah, Pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kerangka konseptual, tinjauan (review) kajian terdahulu,
dan metode penelitian serta sistematika penelitian. Dengan demikian
pada bab I ini merupakan gambaran kecil pada proses menelaah
penelitian hukum.
BAB II TINJAUAN UMUM ARBITRASE
Dalam bab Kedua ini akan dibahas mengenai tinjauan umum arbitrase
yakni dengan membahas pengertian arbitrase, sumber hukum arbitrase,
asas-asas dalam arbitrase, keunggulan dan kelemahan arbitrase, jenis-
jenis arbitrase, dan perjanjian arbitrase serta kewenangan arbitrase.
BAB III PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Dalam bab ketiga akan dibahas mengenai jenis putusan arbitrase,
pelaksanaan putusan arbitrase dan pembatalan putusan arbitrase
berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
BAB IV UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE (ANALISIS
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 15/PUU-XII/2014)
17
Dalam bab keempat ini akan dipaparkan hasil penelitian yakni, bagian
pertama, menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-
XII/2014 yang terdiri dari posisi kasus, pertimbangan hukum dan amar
putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 dan analisis
putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014. Bagian kedua,
mengetahui akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-
XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.
BAB V PENUTUP
Dalam bab kelima merupakan bab penutup berisi tentang kesimpulan
dan saran atas hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM ARBITRASE
A. Pengertian Arbitrase
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, definisi arbitrase pada pasal 1 ayat berbunyi:
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa”.
Mengenai arbitrase para ahli hukum juga memberikan definisinya, yakni
sebagai berikut:
Pertama, menurut Subekti arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan
bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau
para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.17
Kedua, Abdulkadir Muhammad, memberikan definisi arbitrase adalah suatu
badan peradilan swasta diluar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus
dalam dunia perusahaan.18
17
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1987), h.1
18 Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong. Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana,2008). h. 202
19
Ketiga, Sudikno Mertokusumo memberikan definisi yaitu arbitrase adalah
suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan
para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang
wasit atau arbiter.19
Keempat, menurut Priyatna Abdurrasyid, arbitrase merupakan suatu
tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat
antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau
beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan
final dan mengikat.20
Kelima, menurut Meria Utama, dalam bukunya hukum ekonomi internasional
memberika definisi arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada
pihak ketiga yang netral.21
Keenam, Gunawan Widjaja mendefinsikan arbitrase merupakan suatu
perjanjian yang melibatkan dua pihak yang saling bersengketa untuk mecari
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.22
Dengan merujuk pada definisi diatas, arbitrase merupakan suatu upaya
penyelesaian sengketa di luar badan peradilan, yang dapat ditempuh oleh para pihak
19
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia
PustakaUtama, 2006) h. 25, mengutip sudikno mertokusumo, mengenal hukum: suatu pengantar
(yogyakarta: penerbit Liberty), h. 144
20 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS); Suatu
Pengantar (Jakarta: PT.Fikahati Aneska, 2011), h.61
21 Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, h.58
22 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan Persoalan
Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai (Jakarta:Kencana, 2008), h. 182
20
yang bersengketa berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat sebelum atau setelah
terjadinya sengketa, dan dalam proses penyelesaiannya ditengahi oleh pihak ketiga
yaitu arbiter.
B. Sumber Hukum Arbitrase
Sumber hukum yang mengatur keberadaan arbitrase dalam sistem tata hukum
Indonesia, yaitu bertitik tolak pada pasal 377 Herzien Inlandsch Reglement (HIR)
atau Pasal 705 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), yang berbunyi: “Jika orang
Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh
juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi
bangsa eropa.”
Pasal ini menegaskan mengenai kebolehan pihak-pihak yang bersengketa
untuk: 23
1. Menyelesaikan sengketa melalui “juru pisah” atau arbitrase;
2. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk
“keputusan”;
3. Untuk itu, baik para pihak maupun arbitrator atau arbiter, wajib tunduk menuruti
peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan eropa
Dengan demikian, berdasarkan pasal 377 HIR/705 RBG memberikan ruang
kepada para pihak untuk dapat membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di
luar jalur kekuasaan pengadilan, apabila menghendakinya dengan begitu penyelesaian
23
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan
prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma
No.1 Tahun 1990, (Jakarta: Sinar Grafika,2006). h.1
21
dan keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim
dikenal dengan nama arbitrase.24
Pada pasal 377/705 RBG yang merupakan landasan dari penyelesaian
arbitrase ini tidak memberikan aturan lebih lanjut mengenai arbitrase, hanya dalam
pasal tersebut menyebutkan “maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan
yang berlaku bagi bangsa eropa”. Maka selanjutnya mengikuti aturan yang mengatur
golongan penduduk eropa, yakni kitab undang-undang hukum acara perdata
(Reglement op de Bergerlijk rechsvordering atau RV), arbitrase diatur pada buku
ketiga tentang aneka acara.
Mengenai arbitrase, undang-undang hukum acara perdata (Reglement op de
Bergerlijk rechsvordering atau RV) mengaturnya dalam lima bagian pokok:25
1. Bagian pertama (615-623 Rv): persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbitrator
atau arbiter.
2. Bagian kedua (624-630 Rv): pemeriksaan di muka badan arbitrase
3. Bagian ketiga (631-640 Rv): putusan arbitrase
4. Bagian keempat (641-647 Rv): upaya-upaya terhadap putusan arbitrase.
5. Bagian kelima (647-651 Rv): berakhirnya Acara-acara arbitrase
Kebolehan penyelesaian sengketa diluar pengadilan juga termaktub dalam
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, undang-undang
tersebut mengatur mengenai penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu
yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya
24
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan
prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma
No.1 Tahun 1990, h.2
25 Yahya Harahap, h.2.
22
dilingkup peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha
negara dan oleh Mahkamah Konstitusi. Dan mengenai kebolehan penyelesaian
sengketa melalui arbitrase termaktub dalam pasal 58 yang berbunyi: “Upaya
penyelesaian sengketa perdata dapat dilaksanakan melalui arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa.”.
Mengenai arbitrase, Indonesia telah lama membahas tentang perubahan
pedoman arbitrase yang sesuai dan dapat diterima, baik secara nasional dan
internasional serta perlunya pelembagaan alternatif penyelesaian sengketa, maka
melalui perangkat perundang-undangan pada tanggal 12 Agustus 1999 pemerintah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.26
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 5, objek sengketa arbitrase hanya sengketa
dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa dan
sengketa yang dapat diselesaikan melalui perdamaian. Dalam undang-undang ini
pun diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa ke dalam beberapa jenis yaitu
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Selanjutnya, pengaturan mengenai arbitrase asing di Indonesia dapat dilihat
dengan disahkannya UU No.3 Tahun 1968 yang merupakan persetujuan atas
26
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional (Jakarta: Sinar Grafika,2011), h.7
23
Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar negara dan Warga Negara Asing
Mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes
Between States and national of Other States/ (ICSID)). Tujuan menetapkan
persetujuan ratifikasi atas konvensi tersebut untuk mendorong dan membina
perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Sebab dengan
diakui konvensi tersebut oleh Pemeritah Indonesia sedikit banyak akan memberikan
banyak keyakinan kepada pihak pemodal asing bahwa sengketa yang timbul kelak
dapat dibawa ke forum arbitrase. 27
Pengaturan lain mengenai keberlakuan arbitrase asing ialah Keputusan
Presiden (Keppres) No.34 Tahun 1981. Keppres ini mengatur tentang pengesahan
Covention on the Recognition and Enforment of Foreign Arbitral Award yang lazim
disebut Konvensi New York 1958. Dengan berlakunya Keppres ini Indonesia telah
mengikatkan diri dengan suatu kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi
pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing di Indonesia namun tidak
terlepas dengan asas resiprositas, dengan kata lain pelaksanaan putusan arbitrase
asing di Indonesia didasarkan atas asas ikatan “bilateral” atau “multilateral”.
Selanjutnya, pada tanggal 1 maret 1990 telah berlaku Peraturan Mahkamah Agung
No.1 Tahun 1999 (Selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 1990). Perma No. 1
Tahun 1999 mengatur tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang bertujuan
27
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan
prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma
No.1 Tahun 1990, h.5
24
untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase asing.
C. Asas-asas dalam Arbitrase
Berikut ini merupakan asas-asas umum dalam arbitrase, yaitu antara lain:28
1. Asas final dan mengikat (binding)
Asas final dan mengikat (binding) terhadap putusan arbitrase, jelas diatur
pada pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada bab VI mengenai pelaksanaan putusan
arbitrase, yang menyatakan: “putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak” dan dalam ketentuan pasal 68
ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa: “terhadap putusan ketua
pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang
mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat
diajukan banding atau kasasi”.
Menurut asas ini, putusan dari arbitrase tidak dapat diganggu gugat
walaupun oleh pengadilan, karena dalam putusan arbitrase tidak dapat dilakukan
upaya banding dan kasasi. Di sini pengadilan hanya berfungsi sebagai eksekutor,
yang hanya meneliti apakah ada pelanggaran atas asas-asas tersebut, maka
pengadilan dapat menolak pemberian eksekutor.
28
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS. Pengadilan – Persoalan
Kompetensi (Absolut) Yang Tidak Pernah Selesai, h.188.
25
2. Asas resiprositas
Asas ini tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruf a, Undang-undang
No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia. Asas ini mempunyai arti adanya ikatan
hubungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lain dimana dalam
hubungan tersebut antara negara sama-sama mengakui putusan arbitrase negara,
begitu juga sebaliknya. Menurut asas resiprositas tidak semua putusan arbitrase
asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement), hanya terbatas pada
putusan yang diambil di negara asing yang mempuyai ikatan bilateral dengan
Indonesia dan terkait bersama dengan negara Indonesia dalam suatu konvensi
internasional.29
3. Asas ketertiban umum
Asas ketertiban umum tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruh c,
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang menentukan bahwa putusan arbitrase internasional
hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada ketentuan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum. Asas ini mempunyai arti, bahwa apabila
ada putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia,
permintaan eksekusinya dapat ditolak.
29
Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, (Jakarta: BPHN- KEMENKUMHAM RI,
2010), h.20
26
4. Asas separabilitas
Dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh, para pihak dapat memasukan
perjanjian arbitrase yang berupa klasula arbitrase, yang merupakan bagian dari
perjanjian tersebut atau merupakan perjanjian yang terpisah dari perjanjian pokok.
Apabila perjanjian arbitrase menjadi bagian dari perjanjian, maka hal ini sering
disebut klausul arbitrase.
Asas separabilitas atau lebih dikenal dengan severable clause ini,
mempunyai arti bahwa dalam suatu perjanjian, jika ada salah satu perikatan
dalam perjanjian tersebut batal, maka pembatalan tersebut tidak mengakibatkan
perikatan yang lain menjadi batal. Penerapan asas ini pada perjanjian arbitrase
artinya jika perjanjian pokok tersebut berakhir atau batal, klausul atau pasal
mengenai arbitrase masih tetap eksis.30
Mengenai perjanjian arbitrase Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah mengatur dalam
pasal 10 Tentang suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh
keadaan, yaitu :
a. Meninggalnya salah satu pihak
b. Bangkrutnya salah satu pihak
c. Novasi
d. Insolvensi salah satu pihak
e. Pewarisan
f. Berlakunya Syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
30
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia
PustakaUtama, 2006), h. 25.
27
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak
ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase
tersebut; atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Jadi, apabila suatu perjanjian pokok batal, tidak menjadikan klausul
arbitrase yang ada didalam perjanjian pokok tersebut ikut batal namun klasul
arbitrase harus tetap dilaksanakan. Karena klausul arbitrase adalah independen
terhadap pemenuhan kewajiban atau perikatan lain dalam perjanjian tersebut dan
karenanya berlakulah asas separabilitas terhadapnya.31
D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Upaya hukum dalam penyelesaian sengketa, para pihak dengan menimbang
keunggulan dan kelemahan suatu jalur yang akan ditempuhnya agar terakomodir
keinginan-keinginan para pihak. Dalam hal ini akan dibahas mengenai keunggulan
dan kelemahan arbitrase. Berikut penjelasan keunggulan dan kelemahan arbitrase,
menurut pendapat para ahli:32
1. Menurut Subekti, untuk dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa
lewat arbitrase atau perwasitan mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa
dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli dan secara rahasia.
2. HMN Purwosutjipto, memberikan pendapat mengenai arti penting peradilan wasit
(arbitrase) yaitu
31
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan Persoalan
Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai. h.43
32 Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online. h.24
28
a. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat
b. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan,
yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
c. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
d. Putusan Peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui
tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia
inilah yang dikehendaki oleh para pihak.
3. Gatot Sumartono, memberikan kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa melalui
arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi, sebagai berikut:33
a. Lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga
menghemat waktu, biaya, dan tenaga;
b. Dilakukan oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar
dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakannya,
sehingga hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan
c. Kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak
terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.
4. Frans Hendra Winarta, memberikan pedapat bahwa lembaga arbitrase mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum, yaitu sebagai berikut:34
a. Sidang arbitrase tertutup untuk umum, sehingga kerahasiaan sengketa para
pihak terjamin.
b. Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan adminstratif dapat
dihindari.
c. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut keyakinan
mempunyai pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil serta latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan.
33
Gatot sumartono Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT
Gramedia PustakaUtama, 2006) h. 13.
34 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional. h. 62-63.
29
d. Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase
didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win solution terhadap pihak
yang bersengketa.
e. Pilihan hukum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak.
f. Putusan arbitrase mengikat para pihak (Final and binding) dangan melalui
tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan.
g. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena
berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
h. Di dalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan
perdamaian diantara para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan keunggulan yang dikemukaan oleh para ahli, maka penyelesaian
melalui arbitrase lebih disukai dan semakin dipertimbangkan selain melalui badan
peradilan. Namun selain memiliki keunggulan, Penyelesaian sengketa melalui
arbitrase juga memiliki kelemahan yaitu:35
1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan
keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.
2. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka
diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan
arbitrase tersebut.
3. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing masih
menjadi hal yang sulit.
4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-
perusahaan besar. Oleh karena itu untuk, mempertemukan kehendak para pihak
yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.
5. Tidak adanya legal precendence atau keterikatan terhadap putusan arbitrase
sebelumnya.36
35
Frans Hendra Winarta, h.63
36 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. h.15
30
E. Jenis-Jenis Arbitrase
Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar peradilan. Dalam Hal ini
arbitrase mempunyai dua jenis yaitu arbitrase ad hoc (arbitrase Volunter) dan
arbitrase institusional. Yang dimaksud dengan jenis arbitrase adalah macam-macam
arbitrase yang diakui eksistensinya dan kewenangannya untuk memeriksa dan
memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian.37
Berikut penjelasannya dari kedua jenis arbitrase :38
1. Abitrase ad hoc (arbitrase volunter)
Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter merupakan arbitrase yang
dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan
tertentu.39 Arbitrase ad hoc pada dasarnya dibentuk setelah sengketa timbul, dan
akan berakhir apabila sudah selesai dan diputuskannya sengketa. Penyelesaian
melalui arbitrase ad hoc, pada umumnya ditentukan berdasarkan perjanjian yang
menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang
disepakati oleh para pihak, untuk itu perlu disebutkan dalam klausul arbitrase.40
Sebuah arbitrase ad hoc pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan
37
Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan
prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma
No.1 Tahun 1990, h.104
38 Elsi Kartika Sari dan Advendi simangunsong, Hukum dalam ekonomi. h. 204
39 Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan
prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma
No.1 Tahun 1990, h.105
40 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia h.27
31
yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, yakni Misal Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
UNCITRAL Arbitration rules dan ICC Rules.
2. Arbitrase institusional
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 8 yang dimaksud dengan
lembaga arbitrase adalah: “Badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengeta tertentu; Lembaga tersebut juga
dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal yang timbul sengketa”
Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga permanen yang dikelola
oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan
sendiri.41 Badan atau lembaga dalam arbitrase institusional ini tetap berdiri,
meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.42 Arbitrase
institusional dapat ditempuh sebagai penyelesaian sengketa apabila para pihak
sepakat dan menuangkannya ke dalam perjanjian dalam hal penyelesaian
sengketa.
Arbitrase institusional, ada yang bersifat nasional dan internasional yaitu
suatu badan atau lembaga arbitrase yang berbeda ruang lingkup keberadaannya
serta yuridiksinya. Arbitrase institusional yang bersifat nasional, misalnya Badan
41
Gatot Soemartono, h.27.
42 Meria utama, Hukum Ekonomi Internsional, h.59
32
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan
Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) di Indonesia, Nederlands
Arbitrage Institut di Belanda, dan The Japan Commercial Arbitration
Association di Jepang. Selanjutnya Contoh dari Arbitrase institusional yang
bersifat internasional, yakni Court Arbitration of the international chamber of
commerce (ICC), The International Centre For Settlement of Investment
Disputes (ICSID).
Badan atau lembaga arbitrase institusional yang bersifat nasional dan
internasional tersebut memiliki peraturan dan sistem arbitrase sendiri, jadi para
pihak terikat segala pengaturan arbitrase, dari mulai biaya, pemilihan arbiter,
prosedur serta tata cara pelaksanaan arbitrase dan lainnya.
F. Perjanjian Arbitrase
Kebolehan para pihak dalam menentukan penyelesaian suatu sengketa yang
timbul maupun yang akan timbul melalui arbitrase didasari pada pasal 7 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Dalam menentukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, harus didasari
kesepakatan para pihak yang dituangkan secara tertulis melalui suatu perjanjian yakni
perjanjian arbitrase. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 3 yang dimaksud
Perjanjian Arbitrase adalah : “suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang
33
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya
sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbulnya sengketa.”
Pada dasarnya perjanjian arbitrase adalah sebuah ikatan dan kesepakatan di
antara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari
perjanjian melalui mekanisme arbitrase dan mengenyampingkan penyelesaian
melalui badan peradilan.43
Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi
pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut “klausul arbitrase”,
merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok. meskipun
keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak
mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian.
Jadi, pada prinsipnya kontrak arbitrase merupakan suatu kontrak tambahan
(accesoir), tetapi ada beberapa sifat yang menyebabkan sifatnya sebagai accesoir
tersebut tidak diikuti secara penuh, yaitu jika perjanjian pokok batal maka kontrak
arbitrase tidak menjadi batal (Pasal 10 huruf h Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Perjanjian arbitrase
terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Klausul arbitrase atau clause compromissoire (Pactum De Compromittendo)
43
Yahya Harahap, h.62
34
Klausul arbitrase merupakan suatu ketentuan yang tercantum di dalam
perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang timbul
di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian atau kontrak tersebut akan
diserahkan pada arbitrase untuk diputuskan.44 Dapat diketahui bahwa klausul
arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang timbul di masa
yang akan datang.
Dalam klausul arbitrase para pihak bebas menentukan sesuai kesepakatan
dengan menunjuk sebuah badan arbitrase tertentu, lokasi arbitrase berlangsung,
hukum dan aturan-aturan yang akan digunakan, kualifikasi para arbiter dan
bahasa yang dipakai dalam proses arbitrase.45
Jadi, pactum de compromittendo atau klausul arbitrase yang tercantum
dalam perjanjian pokok pada dasarnya dibuat untuk penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul dimasa mendatang atau dibuat sebelum adanya suatu sengketa
dengan dilengkapi semua hal yang terkait penyelesaian sengketa yang akan
ditempuh sesuai kesepakatan para pihak.
2. Akta Kompromis
Akta kompromis adalah suatu kesepakatan di antara para pihak yang telah
terlibat dalam suatu sengketa, untuk mengajukan sengketa mereka agar
44
Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006) h.32
45 Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. h.32
35
diputuskan oleh arbitrase.46 Akta kompromis pada dasarnya sebuah perjanjian
arbitrase yang dibuat setelah timbulnya perselisihan antara para pihak dalam
sebuah perjanjian tertulis yang telah ditandatangani oleh para pihak atau dibuat
dalam bentuk akta notaris. Mengenai akta kompromis telah diatur dalam pasal 9
ayat 1 s.d 4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, berdasarkan ayat 3 mengenai persyaratan
dalam hal pembuatan akta kompromis harus memuat :
a. Masalah yang dipersengketakan;
b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. Nama lengkap sekretaris;
f. Jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung
segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui
arbitrase;
Persyaratan dalam hal pembuatan akta kompromis ini, bersifat wajib dan
jika tidak dipenuhi akan batal demi hukum berdasarkan pasal 9 ayat 4 Undang-
undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
G. Kewenangan Arbitrase
Kewenangan arbitrase pada dasarnya lahir dari suatu perjanjian arbitrase
yang dibuat oleh para pihak sehingga menghapuskan kewenangan dari pengadilan
untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau yang sengketa yang timbul dari
46
Gatot soemartono, h. 32
36
perjanjian yang memuat klasusula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum
ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.47 Hal tersebut senada dengan
pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.”
Mengenai objek sengketa arbitrase, dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 5
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yang berbunyi:
Pasal 5 ayat (1): “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa”.
Pasal 5 ayat (2): “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
tidak dapat diadakan perdamaian”
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.48 Jadi,
suatu sengketa bidang perdagangan, dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan
suatu sengketa yang dapat diadakannya perdamaian, dapat diselesaikan melalui
arbitrase jika telah disepakati melalui perjanjian arbitrase yang mereka buat. Dengan
demikian telah lahir kewenangan arbitrase dan menghapuskan kewenangan
pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.
47
Gunawan Widjaja, h. 117
48 Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, h. 22.
37
Namun, dalam penyelesaian melalui arbitrase, pengadilan mempunyai
beberapa keterkaitan yakni dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mencantumkan
beberapa keterkaitan serta peranan pengadilan untuk memperkuat proses arbitrase
dari awal proses arbitrase dimulai sampai pelaksanaan putusan arbitrase.49
Keterkaitan diawali dengan kewenangan arbitrase dengan penegasan
pengadilan wajib menolak dan tidak turut campur dalam penyelesaian sengketa,
yang termaktub dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan dalam proses
Pemilihan arbiter khususnya untuk arbitrase ad hoc yang diatur dalam pasal 13 ayat
(1) dan pasal 15 ayat (4), serta diatur pula pada pasal Pasal 22 Sampai dengan Pasal
25 untuk arbitase ad hoc mengenai hak ingkar. Peranan lain dari pengadilan dalam
arbitrase yaitu pengadilan merupakan tempat pendaftaran putusan arbitrase dalam
rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional yang dinyatakan dalam pasal 59 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dan khusus untuk pelaksanaan putusan arbitrase internasional,
tempat pendaftaran pelaksanaan putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketengahkan bahwa kewenangan arbitrase
dilandasi oleh pada perjanjian arbitrase dengan objek sengketa bidang perdagangan.
49
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa – Arbitrase Nasional Indonesia &
Internasional, ( Jakarta: Sinar Grafika,2011) h.65.
38
Dengan adanya perjanjian arbitrase tersebut menghapus kewenangan pengadilan,
namun penyelesaian arbitrase tetap terkait dengan pengadilan dalam hal pelaksanaan
atau pengeksekusian dari putusan arbitrase.
39
BAB III
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
A. Jenis Putusan Arbitrase
Putusan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dibedakan atas
putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional. Undang-Undang No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak
merumuskan definisi putusan arbitrase nasional, namun hanya memberikan definisi
terhadap putusan arbitrase internasional pada pasal 1 angka 9, yang berbunyi:
“Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan
oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum
Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap
sebagai suatu putusan arbitrase international”
Dari rumusan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan
arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional digunakan faktor
tertorial.50 Senada dengan pendapat Gatot sumartono, bahwa putusan arbitrase yang
dapat dikategorikan sebagai putusan arbitrase internasional, jika diputuskan diluar
wilayah dari negara yang diminta pengakuan (recognition) dan eksekusi
(enforcement), ia pun menambahkan bahwa ciri selanjutnya mengenai putusan
arbitrase internasional adalah penggunaan pilihan hukum dalam proses penyelesaian
50
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan
prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma
No.1 Tahun 1990, (Jakarta: Sinar Grafika,2006). h.336
40
sengketa melalui arbitrase. Artinya apabila para pihak menggunakan hukum asing
sebagai dasar penyelesaian sengketa, walaupun putusannya dijatuhkan di wilayah
hukum Indonesia, putusan tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional.51
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa yang menjadi ciri putusan arbitrase
internasional didasarkan pada faktor wilayah atau territory dan penggunaan pilihan
hukum dalam proses arbitrase. Sehingga dapat dikatakan bahwa, putusan arbitrase
nasional adalah putusan arbitrase yang diputuskan oleh jenis arbitrase ad hoc maupun
institusional yang dijatuhkan di wilayah hukum Indonesia dan mempergunakan
hukum yang berlaku di Indonesia.
B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, dapat dilaksanakan sesuai dari jenis
putusan arbitrase yaitu putusan arbitrase nasional atau arbitrase internasional, yang
akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional
Pada pelaksanaan putusan arbitrase nasional, para pihak harus memenuhi
apa yang telah diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi:
a. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
panitera pengadilan negeri.
51
Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, h. 70
41
b. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian
akhir atau di pinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri dan
arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut
merupakan akta pendaftaran.
c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli
pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada
panitera pengadilan negeri.
d. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
e. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaram
dibebankan kepada para pihak.
Jadi, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan harus memenuhi pasal 59
yakni dengan mendaftarkan putusan arbitrase berupa lembar asli atau salinan
otentik, dalam waktu paling 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan
diucapkan, kepada panitera pengadilan negeri.
Putusan arbitrase pada dasarnya harus dilakukan secara sukarela, namun
jika tidak putusan dilaksanakan berdasarkan peritah ketua pengadilan negeri atas
permohonan salah satu pihak sebagaimana yang disebutkan pada pasal 61, namun
dengan memenuhi pasal 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi:
1. Perintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi
didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
2. Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih
dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan pasal 4 dan
Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum.
3. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak
permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua
Pengadilan Negeri tersebut tdak terbuka upaya hukum apa pun.
42
4. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan
dari putusan arbitrase.
Pelaksanan putusan arbitrase yang didasarkan atas permohonan salah satu
pihak agar dapat dapat dieksekusi atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, Pada
permohonan tersebut, harus diperiksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi kriteria, sebagai berikut:52
1. Para pihak menyutujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan
melalui arbitrase.
2. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam
suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
3. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan.
4. Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak
bertentangan dengan kesusilan dan ketertiban umum.
Jika permohonan memenuhi ketentuan tersebut, perintah Ketua
Pengadilan dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara
perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun,
apabila pada putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan-ketentuan pasal 62 ayat
(2), Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan pelaksanaan eksekusi,
atas penolakan yang menjadi putusan Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat
dilakukan upaya hukum apapun.
52
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia dan
Internasional. h. 71.
43
2. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional
Semua pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di Indonesia
didasarkan pada ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pada
perkembangannya Indonesia telah meratifikasi konvensi New York dan telah
mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 1981 dan diterbitkannya Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan
Nomor 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
Sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958, dan selanjutnya
mengenai pengaturan tentang pelaksanaan arbitarase internasional di Indonesia
terdapat di dalam pasal 65 s.d pasal 69 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.53
Kewenangan untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Permohonan pelaksanaan dapat dilakukan setelah putusan arbitrase internasional
diserahkan dan didaftarkan ke Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan
disertai dengan hal-hal yang tercantum dalam pasal 67 angka (2) yang bersifat
administratif. Tetapi sebelum itu perlu diketahui syarat-syarat yang diperlukan
atas putusan arbitrase internasional, untuk dapat diakui dan dilaksanakan di
Indonesia sesuai pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi, sebagai berikut:
53
Tim pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, (Jakarta: BPHN- KEMENKUMHAM RI,
2010), h.27
44
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai
pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf
a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf
a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang
tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf
a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu
pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh
eksekuatur dari mahkamah Agung Republik Indonesia yang
selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Setelah didaftarkannya putusan arbitrase Internasional kepada Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, selanjutnya dapat diajukan permohonan
pelaksanaan arbitrase internasional ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Atas
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan
putusan arbitrase Internasional tidak dapat ajukan upaya hukum banding atau
kasasi. Namun, apabila permohonan pelaksanaaan di tolak untuk diakui dan
dilaksanakan, terbuka upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung dengan jangka
waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari untuk mempertimbangkan dan
memutuskan sejak permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
Namun, eksekusi terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional di
Indonesia sering kali dapat penolakan dari pengadilan sehingga putusan arbitrase
masih sulit untuk dilaksanakan di Indonesia, walaupun Undang-Undang No.30
45
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur
dengan tegas. Menurut M. Husseyn Umar, yang merupakan wakil ketua Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Masalah utama yang sering dipersoalkan
dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sehingga mendapat penolakan
dari pengadilan adalah dengan adanya alasan bahwa putusan bertentangan dengan
public policy atau ketertiban umum, namun menurutnya penerapan kriteria
tersebut secara konkret tidak selalui jelas dan menimbulkan suatu ketidakpastian
hukum.54
Sehingga Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia internasional
mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional dan memberikan kesan
umum bahwa Indonesia masih merupakan “an arbitration unfriendly country”
dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional di
Indonesia.
C. Pembatalan Putusan Arbitrase
Pada dasarnya putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, atau merupakan
putusan pada tingkat terakhir serta mengikat para pihak sehingga tidak dapat diajukan
upaya hukum apapun. Namun menurut Yahya Harahap, mengenai putusan arbitrase
yang bersifat final dan mengikat tersebut, terdapat pengecualian atas alasan yang
sangat eksepsional sehingga dapat diajukan perlawanan atau plea dalam bentuk
54
M. Husseyn Umar, Pokok-pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di
Indonesia, artikel diakses 25 April 2015
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok-masalah-pelaksanaan-
putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-br-oleh-m-husseyn-umar-.
46
permintaan annulment atau pembatalan putusan,55
hal tersebut senada dengan
pernyataan dari Bambang Sutiyoso dalam bukunya penyelesaian sengketa bisnis,
bahwa pada putusan arbitrase dapat dilakukan pembatalan jika terdapat hal-hal yang
bersifat luar biasa.56
Akibat dari adanya pembatalan putusan arbitrase adalah putusan
tersebut sudah dianggap lenyap secara keseluruhan wujud fisik maupun nilai
yuridisnya, atau seolah-olah sengketa tersebut belum pernah diproses dan diputus dan
secara mutlak putusan arbitrase tersebut dianggap belum pernah ada.57
Mengenai pembatalan putusan arbitrase, tentunya tak semudah yang dikira
karena harus memenuhi unsur-unsur yang dianggap patut untuk dijadikan alasan
terhadap pembatalan. Menurut ketentuan Reglement of de rechtsvordering,
Staatsblaad 1847:52 (R.V) yang berlaku, sebelum berlakunya Undang-undang No.30
Tahun1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang merupakan
pedoman beracara bagi pemeriksaan sengketa melalui lembaga arbitrase di Indonesia,
alasan-alasan yang dapat dipakai oleh para pihak untuk mengajukkan bantahan atau
perlawanan terhadap putusan arbitrase lebih bervariasi. Menurut pasal 643 R.v.,
putusan arbitrase hanya dapat dilawan atau dibantah sebagai tidak sah dalam hal-hal
sebagai berikut :58
55
Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan
prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma
No.1 Tahun 1990, h.277.
56 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006) h. 141.
57 Yahya Harahap, h.332.
58 BANI, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 (Jakarta: BANI
Arbitration Center (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), 2009)). h.14-15
47
1. Apabila putusan itu telah diberikan melewati batas-batas persetujuan;
2. Apabila putusan itu diberikan berdasarkan suatu persetujuan yang batal atau telah
lewat waktunya;
3. Apabila putusan itu telah diberikan oleh sejumlah arbiter yang tidak berwenang
memutus tanpa hadirnya arbiter-arbiter yang lain;
4. Apabila dalam putusan telah diputus tentang hal-hal yang tidak telah dituntut atau
putusan telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut;
5. Apabila putusan arbiter itu mengandung putusan-putusan yang satu sama lain
bertentangan:
6. Apabila para arbiter telah melalaikan untuk memberikan putusan tentang satu atau
beberapa hal yang menurut persetujuan telah diajukan kepada mereka untuk
diputus;
7. Apabila para wasit telah melanggar formalitas-formalitas hukum acara yang harus
diturut atas ancaman kebatalan; tetapi ini hanya berlaku apabila menurut
ketentuan-ketentuan yang tegas dimuat dalam persetujuan, para arbiter diwajibkan
mengikuti hukum acara biasa yang berlaku di muka pengadilan;
8. Apabila telah diberikan keputusan berdasarkan surat-surat yang setelah keputusan
itu diberikan, diakui sebagai palsu atau telah dinyatakan sebagai palsu;
9. Apabila, setelah putusan diberikan, surat-surat yang menentukan, yang dahulu
disembunyikan oleh para pihak, ditemukan lagi.
10. Apabila putusan kemudian diketahui bahwa putusan tersebut didasarkan pada
kecurangan atau itikad jahat, yang dilakukan selama berjalannya pemeriksaan.
Sedangkan setelah adanya Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengenai pembatalan putusan
arbitrase hanya dapat diajukan, jika putusan arbitrase diduga mengandung unsur-
unsur yang telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi sebagai berikut:
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
pemohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung unsur-
unsur antara lain sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa
48
Selanjutnya penjelasan Pasal 70 mengenai unsur pembatalan putusan
arbitrase, yang berbunyi :
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. alasan-alasan pembohonan
pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut
terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan
sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak
permohonan”
Upaya untuk dapat membatalkan putusan arbitrase di Indonesia menurut
Munir Fuady Hanya terbatas pada Pasal 70 Undang-undang No.30 Tahun 1999,59
yang menurut Ramlan ginting, Pasal 70 tersebut bersifat alternatif, artinya masing-
masing alasan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan pembatalan putusan
arbitrase.60
Namun masih terjadi ketidakseragaman pemahaman pasal 70 dalam
prakteknya, menurut Gatot Sumartono ketidakseragaman pemahaman penafsiran
pasal 70, akibat dari rumusan kata “antara lain” dalam Pasal 70 tersebut sehingga
banyak dimanfaatkan oleh pengacara dan hakim untuk mencari-cari (tambahan)
alasan bagi pembatalan putusan arbitrase, dengan pencampuradukan berbagai alasan,
akhirnya sulit dibedakan antara alasan-alasan yang seharusnya digunakan untuk
menolak “mengakui dan melaksanakan” putusan arbitrase (Misal: alasan
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum) dan alasan-alasan untuk
59
Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesian Sengketa Bisnis), (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000) h.112
60 Ramlan ginting, Transaksi binis dan Perbankan Internasional (Jakarta: Salemba Empat,
2007) h.176
49
membatalkan putusan arbitrase. Dengan kata lain, frasa “antara lain” menimbulkan
penafsiran bahwa atas unsur-unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase tidak
terbatas hanya pada ketiga unsur yang tercantum dalam pasal 70, artinya putusan
arbitrase dapat dibatalkan dengan unsur diluar pasal 70 tersebut. Atas kemungkinan
pembatalan putusan arbitrase di luar pasal 70 juga disampaikan oleh Hikmahanto
Juwana yang menyebut bahwa berdasar dari kewenangan prosedur pengambilan
putusan yang antara lain dalam proses pemilihan arbiter hingga pemberlakuan hukum
yang dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa, lazim dipergunakan
sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.61
Selanjutnya, menurut Priyatna
Abdurrasyid, Pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan atas putusan dengan
kewenangan yang berlebihan (dalam hal ini putusan dapat dikesampingkan) dan
sebagian yuridiksi yang berlebihan.62
Penafsiran yang berbeda timbul tidak hanya
dari kata “antara lain” tapi berasal kata “dapat” dalam pasal 70, Menurut Erman
Rajagukguk kata “dapat” tersebut dapat diartikan bahwa para pihak tidak wajib
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan karena
kata dapat sendiri mengandung makna tidak memaksa atau imperatif sehingga
terhadap hak para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase
61
Hikmahanto Juwana, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan
Nasional, Jurnal hukum Bisnis, Vol.21, Oktober-November 2002. h.68
62 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa (APS),
(Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), h.122
50
nasional yang telah ditentukan oleh pasal 70 dapat dikesampingkan, dasarnya adalah
pasal 1338 KUH Perdata.63
Selain ketidakseragaman penafsiran pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 70 tersebut pun
tidak menyebut dan menjelaskan apakah pembatalan putusan arbitrase tersebut
berlaku pula terhadap putusan arbitrase internasional. Namun, mengenai pembatalan
putusan arbitrase internasional, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
menegaskan bahwa pasal V New York Convention 1958 yang telah diratifikasi
Indonesia melalui Keputusan Presiden No.34 Tahun 1998 telah menyebut syarat-
syarat penolakan atas putusan arbitrase internasional. Adapun pembatalan putusan
arbitrase internasional merupakan kewenangan negara dimana putusan arbitrase itu
dijatuhkan termasuk beberapa pilihan hukum yang disepakati para pihak dan arbiter.64
Sehingga, dapat diketahui bahwa putusan arbitrase internasional yang dapat
dibatalkan di Indonesia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, adalah putusan
arbitrase yang dijatuhkan di wilayah indonesia.
Selanjutnya, mengenai mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase yang
telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
63
Erman Rajagukguk, Arbitrase & Kepastian Hukum, artikel diakses pada tanggal 17 April
2015 dari http://nasional.sindonews.com/read/990424/18/arbitrase-kepastian-hukum-1429235310/1
64 Hukum Online, Pengadilan Tak Bisa Batalkan Putusan Arbitrase Internsional .Artikel
diakses pada tanggal 12 April 2015 dari
http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt553641aea376d/pengadilan-tak-bisa-batalkan-putusan-
arbitrase-internasional
51
Alternatif Penyelesaian Sengketa pada bab VII pada pasal 70 s.d pasal 72 tentang
Pembatalan Putusan Arbitrase, akan diuraikan sebagai berikut:
1. Memenuhi alasan pembatalan menurut Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang selengkapnya berbunyi:
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur antara lain sebagai berikut :
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Mengenai unsur-unsur pembatalan pasal 70, menurut penjelasan pasal 70
tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang
menetapkan terbukti atau tidaknya alasan yang menjadi dasar pembatalan dapat
digunakan menjadi dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau
menolak permohonan. Terhadap penjelasan pasal 70 tersebut, telah diajukan
pengujian materil di Mahkamah Konstitusi, dan merupakan objek analisis dalam
penelitian ini, dan penjelasan pasal 70 oleh Mahkamah Kontitusi yang pada
putusannya bersifat final dan binding telah dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 dan penjelasan pasal 70 telah dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
52
2. Mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara
tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh)
hari terhitung sejaak hari penyerahan dan pendaftaran ptusan arbitrase kepada
Panitera Pengadilan Negeri.
3. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diajukan.
4. Apabila permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Pengadilan Negeri
menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan
arbitrase.
5. Terhadap putusan pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke
Mahkamah Agung yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir. permohonan
banding dilakukan hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan
pada ketiga alasan pembatalan pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
6. Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan serta memutuskan permohonan
banding atas putusan pembatalan arbitrase yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan
Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding
tersebut, diterima oleh Mahkamah Agung.
53
BAB IV
UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
(ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 15/PUU-XII/2014)
A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014
1. Posisi Kasus
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 diawali
ketika pada tanggal 6 Februari 2014, diajukan perkara pengujian Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh
pemohon pertama yaitu Ir. Darma Ambiar, M.M. Pemohon adalah Direktur PT.
Minerina Cipta Guna (PT.MCG) dan pemohon kedua yaitu Drs. Sujana
Sulaeman. Pemohon adalah Direktur PT. Bangun Bumi Bersatu (PT.BBB).65
Objek permohonan yang diajukan oleh pemohon adalah penjelasan pasal
70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yang selengkapnya berbunyi:
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan
dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa
alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan
pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar oertimbangan bagi hakim
untuk mengabulkan atau menolak permohonan”
65
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.1.
54
Dengan adanya penjelan pasal 70, para pemohon yang dalam kedudukan
hukum (legal standing) sebagai perorangan warga negara Indonesia berdasarkan
bukti KTP dan sebagai direksi dar PT. Minerina Cipta Guna serta dan direksi PT.
Bangun Bumi Bersatu berpotensi atau setidaknya akan mengalami kerugian
konstitusional. Kerugian tersebut akan dialami oleh para pemohon dengan alasan
bahwa, pemohon merupakan pihak yang telah bersengketa di Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) dan telah diputus dengan putusan perkara No.
443/I/ARB-BANI/2012, selanjutnya pemohon mengajukan permohonan
pembatalan putusan arbitrase di Bani ke Pengadilan Negeri Bandung dan Telah
diputus dengan register perkara No.57/Pdt/PPN-BDG/2013. Kemudian atas
Putusan PN Bandung telah diajukan banding oleh BANI dan PT.PLN Distribusi
Jawa Barat dan banten (DJBB) yang masih di proses di Mahkamah Agung, saat
diajukannya permohonan uji materiil penjelasan pasal 70 Undang-undang No.30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan salah
satu alasan banding yang diajukan pemohon banding di Mahkamah Agung adalah
terkait dengan penjelasan pasal 70 tersebut.66
Hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 yang telah
dirugikan dengan adanya penjelasan pasal 70 adalah Pasal 27 ayat (1) dan Pasal
28D ayat 1 yang berbunyi:
66
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.4.
55
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pada pokok permohonan, pemohon berpendapat bahwa penjelasan pasal
70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa mengandung norma baru atau perubahan terselubung yang
bertentangan dengan substansi pokok pasalnya. Bahwa norma dan ketentuan
Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa berbunyi: “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur...”, sedangkan penjelasan pasal tersebut berbunyi:
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang sudah didaftarkan dipengadilan. alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan
dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa
alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan
pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim
untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”
Bahwa redaksi yang dipakai oleh batang tubuh pasal 70 Undang-Undang
No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
adalah kata “diduga”, sedangkan penjelasan pasalnya menggunakan kata-kata
“harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”. Yang berarti bukan lagi
dugaan, melainkan sudah terbukti dan menurut pemohon klausul yang tertuang
dalam penjelasan pasal 70 tersebut mengenai pembuktian dengan putusan
56
pengadilan merupakan sebuah norma baru yang berbeda, dan bahkan
bertentangan, atau semacam sebuah perubahan yang terselubung dari norma yang
terkandung di dalam substansi dan pokok isi pasal 70 yang dijelaskannya;
sehingga penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa telah membuat adanya ketidakpastian hukum
bagi para pemohon karena telah menimbulkan norma baru dan membuat
ketentuan yang berbeda dengan batang tubuh pasal yang dijelaskannya atau
setidaknya telah memuat perubahan terselubung dari substansi dan isi norma
pokok yang dituangkan oleh pasal yang dijelaskan.
Selanjutnya, pemohon menjelaskan bahwa penjelasan pasal 70 Undang-
Undang No. 30 tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
tidak operasional dan menghalangi hak hukum pencari keadilan. Pelaksanaan
ketentuan pasal 70 Undang-Undang No. 30 tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa tidak berdiri sendiri, melainkan harus dikaitkan dengan
batasan waktu yang sangat sempit dan limitatif yang dituangkan di dalam
ketentuan pasal 71 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yakni hanya dalam jangka waktu paling lambat
30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada
Panitera Pengadilan Negeri. Sehingga, jika diharuskan adanya alasan dengan
bukti sebuah putusan pengadilan untuk mengajukan permohonan pembatalan
putusan arbitrase, maka menurut pemohon hampir bisa dipastikan tidak akan
57
pernah ada perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dapat
memenuhi ketentuan tersebut, sebagaimana tercermin dalam banyak putusan
Pengadian Negeri dan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan
putusan arbitrase dengan alasan ketentuan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang
No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Selanjutnya menurut pemohon faktanya, dalam sistem hukum dinegara manapun,
hampir dipastikan bahwa tidak ada proses hukum dugaan pidana yang meliputi
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan yang dapat
memutus perkara dugaan pidana dalam waktu hanya 30 hari (kalender). Sehingga
ketentuan pasal 70 dan penjelasannya dikaitkan dengan pasal 71 tidak dapat
dilaksanakan, membuat kebingungan dan ketidakpastian hukum serta justru
menghalangi hak para pencari keadilan untuk menggunakan haknya yang telah
diberikan sendiri oleh Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tentang 1999 Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terkait dengan pembatalan putusan
arbitrase.
Sehingga menurut pemohon penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30
tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menciptakan
kerancuan dan pertentangan hukum. Akibat adanya perbedaan norma antara
substansi pokok atau norma verbatim pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang
1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan yang terkandung
dalam penjelasanya, para pencari keadilan mengalami ketidakpastian hukum
karena perbedaan pandangan hakim dalam memutus perkara yang terkait dengan
58
pembatalan putusan arbitrase tersebut, selanjutnya menurut pemohon adanya
kerancuan dan ketidakpastian hukum untuk melaksanakan sesuatu yang
sebenarnya diberikan haknya sendiri oleh undang-undang, namun dinegasikan
sendiri pula secara implisit melalui penjelasan, bukan redaksi langsung dari
undang-undangnya. Tegasnya, di satu sisi Undang-Undang No.30 Tahun 1999
Teentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan pintu
untuk para pencari keadilan membatalkan Putusan Arbitrase yang diduga
memenuhi unsur-unsur yang dapat membatalkan putusan yang terdapat pada pasal
70, tetapi di sisi lain justru pintu itu ditutup sendiri oleh penjelasan pasal.
Kesimpulan yang diuraikan pemohon pada pokok permohonan atas
pengujian penjelasan pasal 70 sehingga dapat menimbulkan kerugian
konstitusional pemohon, yaitu:
1. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tentang 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa mengandung norma baru atau perubahan
terselubung yang bertentangan dengan substansi pokok pasalnya.
2. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tentang 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak operasional dan menghalangi hak
hukum pencari keadilan.
3. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tentang 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-undang No.30 Tentang 1999
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menciptakan kerancuan dan
pertentangan hukum.
59
Sehingga para pemohon meminta Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
untuk memutuskan:67
1. Mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya;
2. Menyatakan penjelasan pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan UUD 1945;
3. Menyatakan penjelasan pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
2. Pertimbangan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-
XII/2014
Atas pengujian konstitusionalitas penjelasan pasal 70 Undang-Undang 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap
Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama
permohonan para pemohon, keterangan dari Presiden, keterangan DPR,
keterangan pihak terkait, bukti-bukti surat/tulisan dan ahli yang diajukan oleh
para pemohon dan Presiden, serta kesimpulan tertulis para pemohon dan presiden
sebagaimana yang termuat pada bagian duduk perkara pada putusan Mahkamah
Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, maka Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki
bebarapa pertimbangan, antara lain sebagai berikut:
67
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.16.
60
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi atas pengujian penjelasan pasal 70
Undang-Undang 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa terhadap UUD NRI 1945
Berdasarkan pasal 24 ayat 1 UUD 1945, pasal 10 ayat 1 huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan pasal 29 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan
konstitusional mahkamah adalah mengadili pada tingkat tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD 1945 dan permohonan pemohon adalah untuk menguji
konstitusionalitas undang-undang, in casu penjelasan pasal 70 Undang-
Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk
mengadili permohonan.
2. Kedudukan hukum (legal standing) para pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo.
Menimbang bahwa pemohon I dan pemohon II adalah perseorangan
warga Indonesia yang masing-masing adalah direktur PT. Bangun Bumi
Bersatu (PT.BBB) dan PT. Minerna Cipta Guna (PT.MCG), yang merupakan
perusahaan yang bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
61
pemohon dalam permohonan pembatalan putusan arbitrase di PN Bandung,
Termohon banding di MA dengan salah satu alasan banding yang diajukan
pemohon banding adalah terkait dengan penjelasan pasal 70 tersebut sehingga
mengalami, atau setidaknya potensial mengalami kerugian konstitusional
dengan adanya penjelasan pasal 70 Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, karena menimbulkan norma
baru yang bertentangan dengan substansi yang terkandung dalam pasal 70
Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, sehingga tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana dijamin
dalam pasal 27 ayat 1 dan pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Maka menurut
Mahkamah, para pemohon mempunyai hak konstitusional yang dirugikan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian
tersebut bersifat potensial, dan terdapat hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya norma undang-undang
yang dimohonkan pengujian. Sehingga terdapat kemungkinan apabila
permohonan dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan
tidak akan terjadi. Dengan demikian menurut mahkamah, para pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan
a quo;
62
3. Pertimbangan mahkamah terhadap pokok permohonan
Mengenai pokok permohonan para pemohon, mahkamah memberikan
pendapat sebagai berikut:68
a. Menurut mahkamah dalil para pemohon bahwa penjelasan tersebut
menambah norma baru dan menimbulkan ketidakpastian hukum, terbukti
menurut hukum. Pokok permasalahan dalam pengujian konstitusional
tersebut adalah kata “diduga” dalam Pasal 70 Undang-Undang 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dalam
penjelasannya mempergunakan frasa “harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan”. Kata “diduga” menurut Mahkamah memberikan pengertian
hukum mengenai kaidah bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan
putusan arbitrase. Adapun frasa “harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan” yang terdapat dalam penjelasan pasal tersebut memberikan
pengertian hukum bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan
putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya alasan yang dimaksud
dalam pasal tersebut, telah dibuktikan dengan putusan pengadilan.
Menurut Mahkamah penjelasan pasal tersebut mengubah norma pasal dan
menimbulkan norma baru. Norma dalam pasal hanya mensyaratkan
adanya dugaan yang bersifat a priori dari pemohon sedangkan dalam
68
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014. h.72
63
penjelasan mengubah makna dugaan menjadi sesuatu yang pasti
berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori.
b. Menurut mahkamah, pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang 1999
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut sudah cukup jelas
(expressis verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru
menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal tersebut. Paling tidak
multi tafsir, yaitu:69
1) Bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkan apakah alasan pengajuan
permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih dahulu sebagai
syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau
2) Bahwa alasan pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang
pengadilan mengenai permohonan pembatalan.
Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi
terjadinya ketidakpastian hukum. Sehingga menimbulkan ketidakadilan.
Selain itu menurut Mahkamah, manakala tafsir yang pertama yang
dipergunakan, berarti pemohon dalam mengajukan permohonan
pembatalan tersebut akan berhadapan dengan dua proses pengadilan.
Implikasinya, akan memakan waktu yang tidak sesuai dengan prinsip
arbitrase yang cepat sebagaimana dimaksud, antara ain, dalam Pasal 71
Undang-undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
69
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.74-75
64
Penyelesaian Sengketa yang menyatakan: “Permohonan pembatalan
putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran
putusan arbitrase Kepada panitera Pengadilan Negeri”. Apabila harus
menempuh dua proses pengadilan, maka tidak mungkin jangka waktu 30
(tiga puluh) hari tersebut dapat dipenuhi.
Berdasarkan seluruh pertimbang hukum di atas, Mahkamah berpendapat
bahwa penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Dengan demikian permohonan para pemohonan beralasan menurut hukum.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas,
Mahkamah berkesimpulan sebagai berikut:
1. Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
2. Para pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
3. Pokok permohonan para pemohon beralasan menurut hukum
Selanjutnya atas dasar uraian pertimbangan hukum maka Mahkamah
Konstitusi memberikan putusan yang tertuang dalam Amar Putusan, yang
menyatakan: 70
1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya;
a. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara
70
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.76
65
Republik Indonesia Tahun 1999 No.138, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3872) Bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 No.138, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat
c. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
3. Analisis putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014
a. Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian penjelasan pasal 70
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa terhadap UUD 1945.
Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 dan terdapat pula dalam
Pasal 10 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang mahkamah
Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang salah satunya mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Pada putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 yang pada
objek permohonannya untuk melakukan pengujian penjelasan pasal 70
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa terhadap UUD 1945, yaitu khususnya terhadap Pasal
27 (1) dan 28D (1) UUD 1945 yang menurut pemohon pasal tersebut
66
mengandung hak konstitusonal pemohon yang diberikan oleh UUD 1945
telah dirugikan akibat berlakunya penjelasan pasal 70 tersebut.
Selanjutnya pemohon telah menguraikan penjelasan pasal 70 yang
dianggap telah melanggar hak konstitusional yang terdapat dalam UUD 1945.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada pasal 51 ayat (3) UU No.24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa dalam permohonannya, pemohon
wajib menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Selanjutnya berdasarkan yurisprudensi pada Putusan Perkara No.005/PUU-
III/2005,71
penjelasan merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan
satu kesatuan dengan Undang-Undang yang bersangkutan, oleh karena itu
penjelasan pasal 70 dapat diajukan sebagai objek permohonan dalam
pengujian materil ke Mahkamah Kontitusi. Karena dalam praktek, Menurut
Jimly Asshiddiqqie sering ditemukan kenyataan bahwa materi yang
dipermasalahkan oleh pemohon bukanlah norma yang terdapat dalam Pasal
undang-undang, melainkan dalam lampiran undang-undang.72
Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang menguji penjelasan pasal 70 yang merupakan satu kesatuan atas
71
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-III/2005 Perkara Pengujian
Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-undang dasar
1945. Dalam putusan ini yang dipermasalahkan mengenai Penjelasan Pasal 59 (1) terhadap UUD 1945.
h.29
72 Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. (Jakarta: Konstitusi Press,
2006) h. 52
67
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian terhadap Undang-undang Dasar NRI 1945.
b. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon lebih tepat sebagai badan
hukum privat.
Pemohon atau pihak yang mengajukan permohonan perkara konstitusi
diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka benar-benar memiliki
kedudukan hukum atau legal standing, sehingga permohonan yang
diajukannya dapat diperiksa, diadili dan diputus sebagaimana mestinya oleh
Mahkamah Konstitusi dengan memenuhi persyaratan formal sebagaimana
yang ditentukan Undang-undang maupun syarat materiil berupa kerugian hak
atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang
sedang dipersoalkan.73
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, menentukan bahwa:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang yaitu (a) perorangan warga Indonesia; (b) kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diiatur dalam undang-undang; (c) badan hukum
publik atau privat atau (d) Lembaga Negara.
Selajutnya, penjelasan pasal 51 ayat (1), memperjelas bahwa:
“yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945”, dan “Yang dimaksud
dengan perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama”.
73
Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.. h. 69
68
Dengan demikian. dapat diketahui bahwa setiap pemohon harus
memenuhi kriteria dalam mengajukan permohonan perkara konstitusi:74
1. Salah satu dari ke empat kelompok subjek hukum, yang tercantum
pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
2. Subjek hukum tersebut mempunyai hak-hak atau kewenangan-
kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945
3. Hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan memang telah
dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang-undang atau bagian
dari undang-undang yang dipersoalkan tersebut.
4. Adanya atau timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti
mempunyai hubungan kausal (causal verband) dengan berlakuanya
undang-undang tersebut.
5. Apabila permohonan yang bersangkutan memang dapat dipulihkan
kembali dengan dibatalkannya undang-undang yang dimaksud.
Dalam putusan Mahkamah Konsitusi No.15/PUU-XII/2014,
kedudukan hukum (legal standing) para pemohon sebagai perorangan warga
negara Indonesia berdasarkan bukti KTP dan sebagai direksi PT. Minerina
Cipta Guna serta dan direksi PT. Bangun Bumi Bersatu berpotensi atau
setidaknya akan mengalami kerugian konstitusional. Kerugian tersebut akan
dialami oleh para pemohon dengan alasan bahwa, pemohon merupakan pihak
yang telah bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan
telah diputus dengan putusan perkara No. 443/I/ARB-BANI/2012, selanjutnya
pemohon mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase BANI ke
Pengadilan Negeri Bandung dan telah diputus dengan register perkara
74
Jimly Asshiddiqqie, h.70
69
No.57/Pdt/PPN-BDG/2013. Kemudian atas putusan PN Bandung telah
diajukan banding oleh BANI dan PT.PLN Distribusi Jawa Barat dan banten
(DJBB) yang masih di proses di Mahkamah Agung, saat diajukannya
permohonan uji materiil penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan salah
satu alasan banding yang diajukan pemohon banding di Mahkamah Agung
adalah terkait dengan penjelasan pasal 70 tersebut.
Sebagai perorangan warga Indonesia dan sebagai direksi Pt.BBB dan
PT.MCG para pemohon mengatakan bahwa penjelasan pasal 70 Undang-
Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa telah merugikan hak konstitusionalnya, yang tercantum dalam
pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945. Memang benar bahwa,
perorangan warga Indonesia merupakan salah satu subjek hukum yang yang
tercantum pasal 51 ayat (1) Undang-undang No.24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, dan pemohon selanjutnya dapat menerangkan haknya
yang telah disediakan oleh UUD 1945 yaitu pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1)
UUD 1945 berpotensial dapat dipastikan akan terjadi akibat dari berlakunya
penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun, menurut penulis lebih tepat bahwa
kedudukan hukum (legal standing) dari para pemohon adalah sebagai
perusahaaan (badan hukum privat), jika menelaah pada alasan-alasan yang
diberikan pemohon atas kerugian konstitusionalnya yang terlibat adalah
70
perusahaan, khususnya PT.MCG dan PT.BBB dan pemohon sebagai direksi
dari perusahaan tersebut. Kerena menurut I Dewa Gede Palguna yang
merupakan salah seorang majelis hakim Mahkamah Konstitusi, sengketa
arbitrase itu melibatkan perusahaan bukan perseorangan, maka akan lebih
baik jika kedudukan hukum yang mengajukan permohonan terhadap Undang-
undang arbitrase adalah perusahaan (badan hukum), saran tersebut
dikemukakan dalam sidang perdana pengujian pasal 67 ayat (1) dan pasal 71
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa di gedung Mahkamah kontitusi.75
c. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menimbulkan ketidakpatian hukum.
Sebelum penulis menganalisis ke dalam pokok permohonan, terlebih
dahulu disajikan selengkapnya isi batang tubuh pasal 70 dan isi penjelasan
pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, sebagai berikut:
Isi norma pada batang tubuh pasal 70 menyatakan bahwa:
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur antara lain sebagai berikut :
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu
75
Hukum Online, Hilangnya Hak Pembatalan Putusan, UU Arbitrase Di Gugat. Artikel di
akses pada tanggal 12 April 2015.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d0f15bc29f1/hilangkan-hak-pembatalan-putusan--uu-
arbitrase-digugat
71
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Kemudian, Pasal 70 mempunyai Penjelasan yang menyatakan
bahwa:
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap
putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan negeri.
Alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus
dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan
menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti,
putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan
bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Menurut penulis, pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanya mengatur
mengenai tiga unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase yang bersifat
limitatif, tetapi disisi lain pada penjelasan pasal 70 menentukan bahwa unsur-
unsur yang ada pasal 70 tersebut harus dibuktikan dengan adanya putusan
pengadilan, justru pembuktian dengan menggunakan putusan pengadilan
menjadi kontradiktif sebab putusan pengadilan mengandung unsur kepastian,
dan bukan merupakan suatu penjelasan pasal melainkan berubah menjadi
ketentuan normatif baru yang tak selaras dan sesuai dengan maksud dan arti
dari substansi pokok ketentuan normatif yang diatur didalam pasal yang
dijelaskan. Dengan begitu penjelasan pasal 70 menimbulkan norma baru atas
pasal 70 tersebut yang seharusnya hanya menjelaskan mengenai alasan
pembatalan yang ada pada batang tubuh pasal 70 Undang-Undang No.30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
72
Dengan begitu penulis, setuju dengan pendapat mahkamah bahwa
dalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan yang bersifat apriori dari
pemohon sedangkan dalam penjelasan mengubah makna dugaan menjadi
sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori,
sehingga penjelasan pasal 70 menimbulkan norma baru dan menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Berdasarkan lampiran II Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan peraturan perundang-undangan, pada angka 176 tentang
penjelasan menyatakan bahwa penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi
pembentukan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh.
oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat
atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan
contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang
tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang
dimaksud.
Lebih lanjut, angka 186 menyatakan bahwa rumusan penjelasan pasal
demi pasal harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh
2. Tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang
ada dalam batang tubuh
3. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam
batang tubuh
4. Tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa atau pengertian yang telah
dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
73
5. tidak memuat rumusan pendelegasian.
Selanjutnya, penulis sependapat dengan Mahkamah bahwa rumusan
pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa telah jelas (expresis verbis), dengan mengatur ketiga
unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase. Tetapi penjelasan pasal
yang menyatakan unsur-unsur tersebut agar dibuktikan dengan putusan
pengadilan, justru menimbulkan multitafsir, dengan timbul dua tafsir bahwa
unsur-unsur pasal 70 tersebut diperiksa dan diputus lebih dahulu oleh
pengadilan yang berbeda atau diperiksa dan diputus pengadilan tempat
diajukannya permohonan pembatalan.
Lebih lanjut bahwa, pasal 70 sendiri terkait dengan limitasi/batasan
waktu yang diatur dalam pasal 71, yang mengatur bahwa permohonan
pembatalan harus diajukan paling lama setelah 30 (tiga puluh) hari sejak
pendaftaran putusan arbitrase di PN. Timbul pertanyaan apakah
dimungkinkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas dugaan
unsur pembatalan yang bernafaskan pidana yang harus melalui proses pidana
yang telah kita ketahui bersama harus melewati proses penyelidikan,
penyidikan hingga proses pemeriksaan di pengadilan dapat diputus dalam
jangka waktu 30 (hari)? Sementara azas peradilan cepat, sederhana dan biaya
ringan tidak relevan dalam segi praktek pada masa sekarang ini. dan perlu
diingat bahwa arbitrase sendiri merupakan sebuah alternatif penyelesaian
74
sengketa di luar peradilan, arbitrase dipilih mengingat kelemahan-kelamahan
yang ada pada badan peradilan salah satunya adalah time consuming.
Akibatnya di dalam praktik, timbul ketidakseragaman putusan Pengadilan
Negeri, dalam mempertimbangkan wajib atau tidaknya disertakan putusan
pengadilan. Dengan contoh, perkara PT. krakatau Steel melawan International
Piping Product, Inc. di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pertimbangan
hakim pada putusan tersebut menyatakan bahwa alasan-alasan permohonan
pembatalan putusan arbitrase cukup dituangkan dalam putusan hakim yang
memeriksa perkara permohonan tersebut.76
Secara nyata ketentuan pasal 70 dan penjelasan pasal 70 dikaitkan
dengan pasal 71 tidak dapat dilaksanakan, selain itu membuat para pihak
kebingungan atas ketidakpastian hukum pada pengaturan hukum mengenai
pembatalan putusan arbitrase dan justru menghalangi hak para pencari
keadilan untuk menggunakan haknya yang sudah diberikan sendiri oleh
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 khususnya pada pasal 70 terkait dengan
pembatalan putusan arbitrase.
Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa penjelasan pasal 70
mengandung norma baru dan multitafsir sehingga menimbulkan ketidakadilan
dan ketidakpastian hukum.
76
Hukum Online, beberapa kelemahan ketentuan pembatalan putusan arbitrase. Artikel
diakses pada 11 April 2015, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9134/beberapa-kelemahan-
ketentuan-pembatalan-putusan-arbitrase .
75
B. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 terhadap
upaya pembatalan putusan arbitrase
Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum.77
Dalam penelitian ini, akibat hukum yang dimaksud adalah akibat hukum yang
ditimbulkan oleh lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014
terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase di Indonesia.
Upaya pembatalan terhadap putusan arbitrase yang bersifat final dan
mengikat, menurut Yahya Harahap ada pengecualian atas alasan yang sangat
eksepsional sehingga dapat diajukan perlawanan atau plea dalam bentuk annulment
atau pembatalan.78
Ketentuan pembatalan putusan arbitrase di Indonesia termaktub
dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa pada pasal 70 dan pasal tersebut telah menentukan bahwa
putusan arbitrase hanya dapat diajukan permohonan pembatalan apabila mengandung
unsur-unsur: unsur pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksanaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; unsur
kedua setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; atau unsur ketiga putusan diambil dari hasil tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa dan
77
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,2009), h.296.
78 Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan
prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL
Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma
No.1 Tahun 1990,h. 277.
76
menurut penjelasan pasal 70 tersebut ketiga unsur pembatalan putusan arbitrase harus
dibuktikan melalui putusan pengadilan.
Selanjutnya, putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014 yang
bersifat final dan mengikat (binding), menyatakan bahwa penjelasan pasal 70
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga
bertentangan dengan Pasal 27(1) dan 28D (1) Undang-Undang Dasar 1945, dan
menyatakan pula bahwa penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014
terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase sesuai dengan ketentuan pasal 70
menjadi jelas, karna tidak ada hambatan terhadap upaya pembatalan putusan yang
memang diberikan oleh undang-undang, selain dalam pasal 70 Undang-Undang
No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya
mengatur mengenai alasan pembatalan. Sehingga dalam hal mengajukan permohonan
pembatalan putusan arbitrase atas unsur-unsur pembatalan yang tercantum dalam
pasal 70 tersebut tidak harus dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan,
yang dapat diajukan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan dan
menolak permohonan pembatalan yang merupakan ketentuan penjelasan pasal 70.
Akibat hukum selanjutnya menurut penulis atas dicabutnya penjelasan pasal
70 tersebut, terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS
77
harus dibuat serta diterbitkannya peraturan pelaksana undang-undang yaitu Peraturan
Pemerintah, khususnya terhadap ketentuan lebih lanjut terhadap pembatalan putusan
arbitrase. Mengingat telah dicabutnya penjelasan pasal yang menimbulkan norma
baru serta multitasir, maka pasal 70 dianggap cukup jelas dan berdiri sendiri. Namun
terhadap pasal 70 yang mengandung unsur pidana, penulis berkesimpulan bahwa
harus dibuatnya peraturan pelaksana untuk diatur lebih lanjut mengenai mekanisme
upaya pembatalan putusan arbitrase.
Menurut Maria Farida Indrati S, dalam bukunya “Ilmu Perundang-undangan;
Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan” apabila suatu ketentuan dalam undang-undang
memerlukan pengaturan lebih lanjut, sedangkan di dalam ketentuan tersebut tidak
menyebutkan secara tegas untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah, maka Presiden
dapat membentuk Peraturan Pemerintah sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan
lebih lanjut dari undang-undang tersebut.79
Pelaksanaan ketentuan dalam undang-undang yang dengan tegas
memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah dilandasi suatu kenyataan,
sebagaimana ketentuan dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan delegasi
kepada setiap Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan undang-undang, berikut
bunyi pasal 5 ayat (2) UUD 1945: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah
untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
79
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan (Jenis,Fungsi, Materi Muatan).
(Yogyakarta: Kanisius, 2007). h.222.
78
Artinya dengan ketentuan dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945 tersebut menjadi
dasar hukum bagi Presiden untuk menerbitkan Peraturan pemerintah sebagai tindak
lanjut penjelasan dan penjabaran dalam ketentuan pasal 70 Undang-Undang No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sehingga
memberikan kepastian hukum bagi para pihak bersengketa yang ingin menyelesaikan
permasalahannya melalui jalan arbitrase, selain itu pula dapat memberikan kejelasan
para pihak di saat ingin menempuh upaya membatalkan putusan Arbitrase.
Arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa perdagangan diluar
pengadilan yang bertujuan mencapai keadilan, sehingga terwujud perdamaian antar
pihak yang bersengketa. Sehingga sistem arbitrase perlu dipertahankan, sebagaimana
firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat (9) dikatakan:
ن هما فإن ب غت إحداها على وإن طائفتان من المؤمنني اق تت لوا فأصلحوا ب ي تفيء إل أمر الل ن هما الخرى ف قاتلوا الت ت بغي حت فإن فاءت فأصلحوا ب ي
ب المقسطني بالعدل وأقسطوا .إن الل ي
“ Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap
(golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga
golongan itu kembali (kepada perintah Allah SWT) maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah SWT mencintai
orang-orang yang berlaku adil.
79
Selain itu, dalil arbitrase dalam menengahi sengketa perdagangan demi
tercapainya perdamaian antar pihak yang bersengketa, diperkuat oleh firman Allah
SWT dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat (114) :
ر ف كثري من نواهم إل من أمر بصدقة أو معروف أو إصلح ب ني الناس ل خي لك ابتغاء مرضات الل فسوف ن ؤتيه أجرا عظيما ﴿ ﴾١١١ومن ي فعل ذ
“ Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali
pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat
kebaikan, atau mengadakan perdamaian antara manusia. Barangsiapa berbuat
demikian karena mencapai keridhaan Allah SWT maka kelak kami akan memberinya
pahala yang besar”.
Dengan demikian, pengaturan hukum arbitrase di Indonesia harus diperjelas
agar berjalan efektif, efisien dan dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak yang
ingin menyelesaikan perselisihan melalui jalur arbitrase.
80
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis dapat memberikan
kesimpulan dan saran, sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. Mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-Undang No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur
pada bab VII pada pasal 70 sampai dengan pasal 72 mengenai pembatalan
putusan arbitrase yaitu memenuhi alasan pembatalan menurut pasal 70 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yaitu pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. Kedua, setelah
putusan diambil dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh
pihak lawan ditemukan atau ketiga putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Adapun unsur-
unsur pembatalan dalam pasal 70, menurut penjelasan pasal 70 tersebut harus
dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang menetapkan
terbukti atau tidaknya alasan yang menjadi dasar pembatalan dapat digunakan
menjadi dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak
permohonan. Terhadap penjelasan pasal 70 tersebut, telah diajukan pengujian
materil di Mahkamah Konstitusi, dan penjelasan pasal tersebut telah dinyatakan
81
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014.
Setelah pemohon pembatalan memenuhi pasal 70 tersebut, pemohon dapat
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, secara tertulis kepada
Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri. Apabila permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri
menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan
arbitrase. Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan
banding ke Mahkamah Agung yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir.
Permohonan banding dilakukan hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase
yang didasarkan pada ketiga alasan pembatalan pasal 70 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2. Adapun pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi putusan No.15/PUU-
XII/2014 adalah pertama, penjelasan pasal 70 tersebut mengubah norma pasal
dan menimbulkan norma baru. Karena norma dalam pasal hanya mensyaratkan
adanya dugaan sedangkan dalam penjelasan mengubah makna dugaan menjadi
sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan. Kedua, pasal 70 tersebut
sudah cukup jelas (expressis verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru
menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal 70, yaitu terdapat dua tafsir
apakah sebelum mengajukan permohonan pembatalan, pemohon harus
mengajukan salah satu alasan tersebut ke pengadilan untuk memperoleh putusan
82
dan dengan alasan yang telah diputuskan pengadilan tersebut menjadikan syarat
untuk pengajuan pembatalan atau syarat alasan yang masih menjadi dugaan
pemohon tersebut harus dibuktikannya dalam proses pembuktian permohonan di
pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan. Sehingga menurut
pertimbangan hukum mahkamah, penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah
mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
3. Akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014
terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase sesuai dengan ketentuan pasal 70
menjadi jelas, karena tidak ada hambatan terhadap upaya pembatalan putusan
yang memang diberikan oleh undang-undang, selain dalam pasal 70 Undang-
Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa hanya mengatur mengenai alasan pembatalan. Sehingga dalam hal
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase atas unsur-unsur
pembatalan yang tercantum dalam pasal 70 tersebut, tidak harus dibuktikan
terlebih dahulu melalui putusan pengadilan. Artinya dasar pertimbangan Hakim
dalam mengabulkan dan menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak
lagi didasarkan pada putusan pengadilan sebagaimana ketentuan penjelasan pasal
70 tersebut.
Akibat hukum selanjutnya menurut penulis atas dicabutnya penjelasan
pasal 70 tersebut, terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
83
harus dibuat serta diterbitkannya peraturan pelaksana undang-undang yaitu
Peraturan Pemerintah, khususnya terhadap ketentuan lebih lanjut terhadap
pembatalan putusan arbitrase. Mengingat telah dicabutnya penjelasan pasal yang
menimbulkan norma baru serta multitasir, maka pasal 70 dianggap cukup jelas
dan berdiri sendiri. Namun terhadap pasal 70 yang mengandung unsur pidana,
penulis berkesimpulan bahwa harus dibuatnya peraturan pelaksana untuk diatur
lebih lanjut mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase.
B. Saran
Dapat dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau dibuat suatu peraturan pelaksana.
Mengenai ketentuan lebih lanjut terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 dan
penjabaran secara terperinci atas mekanisme pembatalan putusan arbitrase. Saran
tersebut penulis sampaikan mengingat undang-undang tersebut merupakan payung
hukum dari terselenggaranya penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Namun, ketentuan lebih lanjut mengenai Undang-Undang No.30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, tetap memperhatikan
jangka waktu penyelesaian sengketa. Karena sebagai salah satu alternatif
penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh arbitrase adalah proses penyelesaian
sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat, selain dari biaya terukur, ditengahi oleh
arbiter yang ahli dan sifat kerahasian dalam proses penyelesaian sengketa.
Selanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah kewenangan pengadilan. Karena telah
84
telah diketahui bahwa pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase serta pengadilam tidak boleh ikut
campur di dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.
Adapun yang dimaksud adalah mempertimbangkan ulang terhahap sengketa arbitrase
yang telah diputuskan oleh majelis arbiter.
85
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Suci:
Al Quran dan Terjemahan
Buku:
Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa
(APS). Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011.
Asshiddiqqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi
Press, 2006.
Fuady, Munir. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesian Sengketa Bisnis). Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000.
Ginting, Ramlan. Transaksi binis dan Perbankan Internasional. Jakarta: Salemba
Empat, 2007.
Harahap, Yahya. Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan
dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of
Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma
No.1 Tahun 1990. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang:
Bayumedia Publishing, 2007.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan (Jenis,Fungsi, Materi Muatan).
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Juwana, Hikmahanto, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan
Nasional, Jurnal hukum Bisnis, Vol.21, Oktober-November 2002.
86
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005.
Sari, Elsi Kartika dan Advendi simangunsong, Hukum dalam ekonomi. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana, 2008.
Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
PustakaUtama, 2006.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:UI PRESS, 2010.
Soeroso, R Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,2009.
Subekti, R. Arbitrase Perdagangan. Bandung: Bina Cipta, 1987.
Sutiyoso, Bambang. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Yogyakarta: Citra Media, 2006.
Tim Penyusun FSH, Pedoman penulisan Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan
Jaminan Mutu (PPJM), 2012.
Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online. Jakarta: BPHN-
KEMENKUMHAM RI, 2010.
Utama, Meria. Hukum Ekonomi Internasional. Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2012.
Widjaja, Gunawan. Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan
Persoalan Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai.
Jakarta:Kencana, 2008.
Winarta, Frans hendra. Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia
dan Internasional. Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011.
BANI, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Jakarta: BANI
Arbitration Center (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) 2009.
87
Putusan :
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014
Putusan No.005/PUU-III/2005 (Yurisprudensi)
Peraturan perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Website :
Hukum Online, MK Perjelas Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Dihapusnya,
Penjelasan Pasal 70 AAPS tidak ada lagi hambatan bagi pihak-pihak
yang merasa dirugikan atas putusan arbritase. Artikel di Akses pada
tanggal 5 Februari 2015, dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54623aa3a6d07/mk-
perjelas-alasan-pembatalan-putusan-arbitrase.
Hukum Online, Pengadilan Tak Bisa Batalkan Putusan Arbitrase Internsional
Artikel diakses pada tanggal 12 April 2015, dari
88
http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt553641aea376d/pengadilan-tak-
bisa-batalkan-putusan-arbitrase-internasional
Hukum Online, Hilangnya Hak Pembatalan Putusan, UU Arbitrase Di Gugat.
Artikel di akses pada tanggal 12 April 2015, dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d0f15bc29f1/hilangkan-
hak-pembatalan-putusan-uu-arbitrase-digugat
Hukum Online, Beberapa Kelemahan Ketentuan Pembatalan Putusan arbitrase.
Artikel diakses pada 11 April 2015, dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9134/beberapa-
kelemahan-ketentuan-pembatalan-putusan-arbitrase .
Media Indonesia, Pembatalan Putusan Arbitrase Munculkan Kesangsian. Artikel
diakses Pada tanggal 10 Februari 2015 dari
http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/3333/Pembatalan-
Putusan-Arbitrase-Munculkan-Kesangsian/2014/08/27.
Rajagukguk, Erman. Arbitrase & Kepastian Hukum, artikel diakses pada tanggal 17
April 2015, dari
http://nasional.sindonews.com/read/990424/18/arbitrase-kepastian-
hukum-1429235310/1
Umar, Muhammad Husseyn. Pokok-pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional di Indonesia, artikel diakses pada tanggal 25 April 2015
dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok
-masalah-pelaksanaan-putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-br-
oleh-m-husseyn-umar-
PUTUSAN Nomor 15/PUU-XII/2014
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] 1. Nama : Ir. Darma Ambiar, M.M.
Pekerjaan : Direktur PT. Minerina Cipta Guna
Alamat : Graha Purna Karya Komplek Gedung Antam, Jalan
TB. Simatupang Nomor 1, Jakarta,12530
sebagai -------------------------------------------------------------- Pemohon I; 2. Nama : Drs. Sujana Sulaeman Pekerjaan : Direktur Utama PT. Bangun Bumi Bersatu
Alamat : Jalan Tebet Barat Raya, Nomor 55-56, RT 014, RW
04, Tebet Barat, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan
sebagai ------------------------------------------------------------- Pemohon II;
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 002/SK/ZiA/II/2014
tertanggal 5 Februari 2014 memberi kuasa kepada Andi Syafrani, S.H., MCCL., H.Irfan Zidny, S.H., S.Ag. M.Si., Rivaldi, S.H., Yupen Hadi, S.H., Muhammad Ali Fernandez, S.HI., advokat/konsultan hukum yang tergabung dalam ZiA &
Partners Law Firm, beralamat di Gedung Darul Marfu, Lantai 3, Jalan H.
Zainuddin, Nomor 43, Radio Dalam, Gandaria Selatan, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas
nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan para Pemohon;
Mendengar keterangan para Pemohon;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
2 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
Membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Mendengar keterangan Pihak Terkait, Badan Arbitrase Nasional
Indonesia;
Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon dan Presiden;
Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;
Membaca kesimpulan para Pemohon dan Presiden;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan
bertanggal 6 Februari 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 6 Februari 2014
berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 43/PAN.MK/2014 dan
telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 15/PUU-
XII/2014 pada tanggal 18 Februari 2014, yang diperbaiki dengan perbaikan
permohonan bertanggal 14 Maret 2014 dan diterima Kepaniteraan Mahkamah
pada tanggal 14 Maret 2014, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai
berikut:
A. KEWENANGAN MAHKAMAH
1. Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan Mahkamah
adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
2. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945) menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
3 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”.
3. Bahwa objek Permohonan ini adalah Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (UUAAPS) yang selengkapnya berbunyi:
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa
alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan
pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim
untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”
4. Bahwa berdasarkan yurisprudensi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi
sebelumnya, antara lain Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 dan Nomor
011/PUU-III/2005, serta sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Penjelasan Undang-Undang merupakan bagian yang tak terpisahkan dan
satu kesatuan dengan Undang-Undang, maka Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk mengadili dan memutus Permohonan ini;
5. Bahwa dengan demikian permohonan para Pemohon termasuk ke dalam
salah satu kewenangan mengadili Mahkamah Konstitusi yaitu tentang
menguji materil Undang-Undang terhadap UUD 1945.
B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 beserta penjelasannya menyatakan:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; d. lembaga
negara”;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
4 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
2. Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 telah menentukan 5 (lima)
syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003, sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. hak dan/atau kewenangan tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian kontitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi;
3. Bahwa para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia
berdasarkan bukti KTP dan sebagai direksi dari PT. BBB dan PT. MCG
berpotensi atau setidaknya akan mengalami kerugian konstitusionalnya
sebagaimana telah dialami oleh banyak orang/pihak lainnya terkait dengan
norma dan ketentuan Penjelasan Pasal 70 UUAPS yang diujikan dalam
Permohonan ini. Adapun alasan-alasan kerugian konstitusional tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Bahwa para Pemohon adalah pihak yang telah bersengketa di Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan telah diputus dengan Putusan
perkara Nomor 443/I/ARB-BANI/2012;
b. Bahwa para Pemohon kemudian mengajukan Permohonan Pembatalan
Putusan Arbitrase di BANI tersebut ke Pengadilan Negeri Bandung dan
telah diputus dengan register perkara Nomor 157/Pdt/PN-BDG/2013;
c. Bahwa terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut, telah
diajukan Banding oleh BANI dan PT. PLN Distribusi Jawa Barat dan
Banten (DJBB) yang masih dalam proses di Mahkamah Agung;
d. Bahwa salah satu alasan banding yang diajukan oleh para Pemohon
Banding di Mahkamah Agung adalah terkait dengan Penjelasan Pasal 70
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
5 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
UUAAPS yang menurut para Pemohon permohonan ini bertentangan
dengan isi dan norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 70
UUAAPS yang karenanya membuat adanya ketidakpastian hukum dalam
proses hukum terkait dengan Permohonan Pembatalan Putusan
Arbitrase yang telah diajukan oleh para Pemohon Permohonan ini, yang
selengkapnya akan diuraikan dalam Pokok Permohonan ini;
e. Bahwa norma dan ketentuan Pasal 70 UUAAPS berbunyi: “Terhadap
Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:...”. Sedangkan Penjelasan Pasal tersebut berbunyi: “Permohonan
pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah
didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang
disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.
Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti
atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai
dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak
permohonan.” Bahwa redaksi yang dipakai oleh batang tubuh Pasal 70
UUAAPS adalah kata “diduga”, sedangkan Penjelasan Pasalnya
menggunakan kata-kata “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”, yang berarti bukan lagi dugaan, melainkan sudah terbukti;
f. Bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 70 UUAAPS a quo tidak berdiri
sendiri, melainkan harus dikaitkan dengan batasan waktu yang sangat
sempit dan limitatif yang ditentukan di dalam ketentuan Pasal 71
UUAAPS, yakni hanya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari
terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sehingga, jika diharuskan adanya
alasan dengan bukti sebuah putusan pengadilan untuk mengajukan
permohonan pembatalan putusan arbitrase, maka hampir bisa dipastikan bahwa tidak akan pernah ada perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dapat memenuhi ketentuan tersebut, sebagaimana tercermin dalam banyak putusan Pengadilan
Negeri dan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan
putusan arbitrase dengan alasan ketentuan Penjelasan Pasal 70
UUAAPS. Padahal faktanya, dalam sistem hukum di negara manapun,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
6 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
hampir dipastikan bahwa tidak ada proses hukum dugaan pidana yang
meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
pengadilan yang dapat memutus perkara dugaan pidana dalam waktu
hanya 30 hari (kalender);
g. Bahwa oleh karena Penjelasan Pasal 70 UUAAPS menurut para
Pemohon bertentangan dengan substansi dan norma yang terkandung di
dalam redaksi pasalnya sendiri, maka menurut para Pemohon
Penjelasan Pasal 70 UUAAPS telah merugikan hak konstitusional para
Pemohon;
4. Bahwa sebagai warga negara Republik Indonesia, para Pemohon memiliki
hak-hak konstitusional antara lain seperti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”.
5. Bahwa sebagai warga negara Republik Indonesia, para Pemohon juga
berhak secara konstitusional mendapat jaminan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti yang diatur dalam
Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum.”
6. Bahwa dengan demikian para Pemohon memiliki hak konstitusional dalam
mengajukan permohonan ini yaitu melakukan Permohonan Uji Materil
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yaitu Pasal 70 dan Penjelasannya terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1);
C. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa apa yang tertuang di dalam poin A dan B di atas merupakan satu
kesatuan dan bagian yang tak terpisahkan dengan poin C tentang Pokok
Permohonan ini;
2. Bahwa para Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Konstitusionalitas
Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS) yang
selengkapnya berbunyi:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
7 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase
yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan
pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut
terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan
sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak
permohonan.”
3. Bahwa Penjelasan Pasal 70 UUAAPS a quo telah membuat adanya
ketidakpastian hukum bagi para Pemohon karena menimbulkan norma baru
dan memuat ketentuan yang berbeda dengan batang tubuh pasal yang
dijelaskannya atau setidaknya telah memuat perubahan terselubung dari
substansi dan isi norma pokok yang dituangkan oleh Pasal yang
dijelaskannya;
4. Bahwa norma dan ketentuan Pasal 70 UUAAPS selengkapnya berbunyi:
“Terhadap Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b) setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; atau c) putusan diambil dari hasil tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”
5. Bahwa oleh karena terdapat perbedaan norma atau memunculkan norma
baru atau perubahan terselubung, maka ketentuan Pasal 70 UUAAPS dan
Penjelasannya telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
6. Bahwa selengkapnya alasan pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal
70 UUAAPS tersebut adalah sebagai berikut:
A. PENJELASAN PASAL 70 UUAPS MENGANDUNG NORMA BARU ATAU PERUBAHAN TERSELUBUNG YANG BERTENTANGAN DENGAN SUBSTANSI POKOK PASALNYA. A.1. Bahwa sebagaimana telah dikutip di muka, batang tubuh Pasal 70
UUAAPS secara verbatim menggunakan kata “diduga” sebagai dasar
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
8 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
alasan pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase,
sedangkan penjelasan pasalnya menggunakan klausula “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”;
A.2. Bahwa kata “diduga” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia secara
harfiah berarti “sangkaan” atau “perkiraan”, yakni sesuatu yang belum
pasti ada atau terjadi tetapi masih dalam proses untuk kepastian, atau
singkatnya masih bersifat asumsi. Arti ini sangat jauh berbeda dan
bertolak belakang dengan maksud yang dikandung dalam klausula
redaksi “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” yang
merupakan penjelasan dari kata “diduga” yang dimaksud dalam Pasal
70 UU AAPS a quo karena sebuah putusan pengadilan berisi tentang
pertimbangan fakta-fakta yang sudah mengalami proses pengujian
pembuktian baik dalam rangka verifikasi ataupun falsifikasi;
A.3. Bahwa klausula yang tertuang dalam Penjelasan Pasal 70 UU AAPS
mengenai pembuktian dengan putusan pengadilan merupakan sebuah
norma baru yang berbeda, dan bahkan bertentangan, atau semacam
sebuah perubahan yang terselubung dari norma yang terkandung di
dalam substansi dan pokok isi Pasal 70 UU AAPS yang dijelaskannya;
A.4. Bahwa sebagaimana termuat dalam pertimbangan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 dinyatakan bahwa:
“sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan
perundang-undangan, yang juga diakui mengikat secara hukum,
penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat
dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat
substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan.
Lagi pula kebiasaan ini ternyata telah pula dituangkan dengan jelas
dalam Lampiran [vide Pasal 44 ayat (2)] UU Nomor 10 Tahun 2004 yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004 (kini UU Nomor 12 Tahun 2011, Pemohon) tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang antara lain menentukan:
1. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan
perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh
karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut
norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
9 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh
mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
2. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk
membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu hindari membuat
rumusan norma di bagian penjelasan;
3. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan
terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang
bersangkutan;
A.5. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Penjelasan Pasal 70 UU AAPS bukan
dan tidak berfungsi sebagai penjelasan yang memberikan tambahan
pengertian atau keterangan dari Pasal 70 UU AAPS, melainkan berubah
menjadi ketentuan normatif baru yang tidak selaras dan sesuai dengan
maksud dan arti dari substansi pokok ketentuan normatif yang diatur di
dalam pasal yang dijelaskannya;
B. PENJELASAN PASAL 70 UU AAPS TIDAK OPERASIONAL DAN MENGHALANGI HAK HUKUM PENCARI KEADILAN. B.1. Bahwa ketentuan tentang permohonan pembatalan putusan arbitrase
yang diatur di dalam UUAAPS ditentukan limitasi waktunya sebagaimana
diatur di dalam Pasal 71 yang berbunyi: “Permohonan pembatalan
putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran
putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”;
B.2. Bahwa jika Pasal 71 UU AAPS dikaitkan dengan ketentuan Pasal 70 dan
Penjelasannya, maka secara normatif pengajuan permohonan
pembatalan putusan arbitase ke Pengadilan Negeri harus memenuhi
kualifikasi: a) memenuhi salah satu dari tiga alasan yang ditentukan; b)
harus disertai bukti adanya putusan pengadilan terkait dengan salah satu
alasan tersebut; dan c) harus diajukan dalam waktu paling lambat 30 hari
sejak penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase ke Panitera
Pengadilan Negeri. Waktu pendaftaran putusan arbitrase ke Panitera
Pengadilan Negeri adalah paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan
(vide Pasal 59 UU AAPS);
Sehingga, jika ditotal, maka batas waktu maksimal yang dimiliki pihak
yang ingin mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ke
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
10 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pengadilan Negeri adalah 60 hari, jika pelaksana arbitrase (in casu BANI)
mengambil batas maksimal untuk pendaftaran putusan ke Panitera
Pengadilan Negeri;
Pertanyaan yang muncul terkait dengan norma-norma pasal-pasal di atas
adalah apakah dalam jangka waktu 60 hari (dengan asumsi waktu
maksimal) akan dimungkinkan adanya sebuah putusan pengadilan yang
dapat memutus dan berkekuatan hukum tetap dalam dugaan tindak
pidana terkait putusan arbitrase yang telah diputuskan? Dalam praktik
proses perkara pidana yang meliputi penyelidikan, penyidikan, hingga
pemeriksaan di pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
(mungkin sampai dengan kasasi), apakah dapat diselesaikan dalam
jangka waktu 30 hari (atau katakanlah paling lama 60 hari) untuk
memenuhi persyaratan yang ditentukan pasal-pasal di atas? Pertanyaan
inilah yang muncul dalam proses di Pengadilan Negeri sebagai judex
factie dalam kasus yang dialami oleh para Pemohon terkait dengan
pelaksanaan atau operasionalisasi ketentuan Pasal 70, Penjelasan Pasal
70, dan Pasal 71 UUAAPS sebagaimana tertuang dalam pertimbangan
Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 157/Pdt.G/2013/PN.BDG
hal 74-75 sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam praktik proses perkara pidana mulai dari
penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di persidangan hingga perkara
diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap tidak
mungkin dilaksanakan hanya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, apalagi
proses perkaranya melalui banding hingga kasasi:
Menimbang, bahwa Majelis berpendapat bahwa bukankah kata-kata yang
tercantum dalam Pasal 70 UUAAPS adalah kata “...diduga...” yang berarti
belum pasti keberadaannya, mengapa dalam Penjelasan Pasalnya
mengharuskan adanya putusan pengadilan yang nota bene sebagaimana
telah dipertimbangkan di atas harus diartikan sebagai putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap?;
Menimbang, bahwa Penjelasan dari pasal-pasal yang bersangkutan
(Pasal 70 dan Pasal 71 UUAPS) seharusnya berfungsi untuk
memperjelas atau mempertegas, namun karena tidak sejalan yang dapat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
11 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
menghambat hak dari pihak pencari keadilan, maka manakah yang harus
dipertahankan dan mana yang harus dikesampingkan?”
B.3. Bahwa berdasarkan uraian di atas, secara nyata ketentuan Pasal 70 dan
Penjelasannya dikaitkan dengan Pasal 71 tidak dapat dilaksanakan,
membuat kebingungan dan ketidakpastian hukum, serta justru
menghalangi hak para pencari keadilan untuk menggunakan haknya
yang telah diberikan sendiri oleh UU AAPS terkait dengan pembatalan
putusan arbitrase;
C. PENJELASAN PASAL 70 UU AAPS MENCIPTAKAN KERANCUAN DAN PERTENTANGAN HUKUM C.1. Bahwa akibat adanya perbedaan norma antara substansi pokok atau
norma verbatim Pasal 70 UU AAPS dengan yang terkandung dalam
penjelasannya, para pencari keadilan mengalami ketidakpastian hukum
karena perbedaan pandangan hakim dalam memutus perkara yang
terkait dengan pembatalan putusan arbitrase ini;
Bahwa pandangan hakim-hakim progresif yang mencoba memahami dan
mencari solusi pertentangan norma yang terkandung di dalam Pasal 70
dan penjelasannya tersebut dengan berpegang teguh pada norma
eksplisit Pasal 70 sering dibatalkan pada tingkat banding di Mahkamah
Agung dengan alasan teknis dan tidak realistis yakni pembuktian harus
dengan putusan pengadilan sebagaimana tertuang dalam Penjelasan
Pasal 70 UU AAPS, meski tanpa memerhatikan aspek waktu yang
terbatas yang ditentukan dalam Pasal 71 UU AAPS;
Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
855 K/PDT.SUS/2008 bertanggal 21 Januari 2008, Putusan Nomor 729
K/PDT.SUS/2008 bertanggal 30 Maret 2009, Putusan Nomor 16
PK/Pdt.Sus/2010 bertanggal 25 Mei 2010, dan Putusan Nomor 182
K/Pdt.Sus-Arbt/2013 bertanggal 18 Juli 2013;
Akan tetapi, terdapat pula putusan Mahkamah Agung lainnya yang tidak
mempertimbangkan Pasal 70 UU AAPS dan Penjelasannya sebagai
dasar hukum penerimaan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana
tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 03/Arb.Btl/2005
bertanggal 17 Mei 2005;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
12 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
C.2. Bahwa dari fakta-fakta putusan di atas terlihat bahwa pada dasarnya
sebagian besar hakim di level judex factie dan judex yuris telah berupaya
menerobos pertentangan norma Pasal 70 UU AAPS dengan
Penjelasannya melalui upaya penafsiran literlek/harfiah kata “diduga”
dan pemahaman persoalan faktual penegakan dan pelaksanaan hukum
dalam ranah pidana yang tidak mungkin diselesaikan dalam batas waktu
yang ditetapkan UU AAPS, untuk memberikan rasa keadilan bagi para
pencari keadilan. Akan tetapi, upaya tersebut masih terasa sulit dan
berhadapan dengan tembok hukum Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang
membelenggu dan tidak realistis;
C.3. Bahwa akibat hukum yang muncul dan dirasakan oleh para pencari
keadilan terkait dengan masalah ini adalah adanya kerancuan dan
ketidakpastian hukum untuk melaksanakan sesuatu yang sebenarnya
diberikan haknya sendiri oleh Undang-Undang, namun dinegasikan
sendiri pula secara implisit melalui penjelasan, bukan redaksi langsung
dari Undang-Undangnya. Tegasnya, di satu sisi UU AAPS memberikan
pintu untuk para pencari keadilan membatalkan Putusan Arbitrase yang
diduga memenuhi unsur-unsur yang dapat membatalkannya, tetapi di sisi
lain justru pintu itu ditutup sendiri oleh Penjelasannya;
7. Bahwa ketiga alasan di atas telah secara nyata bertentangan dengan
Konstitusi, khususnya mengenai adanya hak jaminan kepastian hukum
(rechtszekerheid) yang adil (vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) bagi para
Pemohon sebagai warga negara;
8. Bahwa asas kepastian hukum (rechtszekerheid) yang dijamin Konstitusi
tersebut, yang dalam bahasa lainnya dikenal dengan istilah legal certainty
(non-American) atau legal indeterminacy (American), menyaratkan “that all
law be sufficiently precise to allow the person –if need be, with appropriate
advice- to foresee, to a degree that is reasonable in the circumstance, the
consequences which a given action may entail”. Berdasarkan pada syarat
tersebut, Hukum Uni Eropa telah menggariskan 5 aspek yang menjadi indikator prinsip kepastian hukum, yakni: 1) laws and decisions must be made public (hukum dan putusan hakim harus dibuat secara publik); 2) laws and decisions must be definite and clear (hukum dan putusan hakim harus
terbatas dan jelas); 3) decisions of court must be binding (putusan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
13 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
pengadilan harus mengikat); 4) limitations on recroactivity of laws and decisions must be imposed (batasan terhadap keberlakuansurut hukum
dan putusan harus ditegakkan); dan 5) legitimate expectations must be protected (harapan-harapan yang sah harus dilindungi). (James R. Maxeiner, “Some Realism About Legal Certainty in The Globalization of the
Rule of Law”, 31 Houston Journal of International Law 27, 2008-2009);
Bahwa indikator prinsip kepastian hukum di atas pada dasarnya mengacu
pada indikator hukum yang baik (internal morality) yang dijelaskan oleh Lon Fuller, yakni: 1) the generality of law (keumuman hukum); 2) the demands
that laws are published (hukum diumumkan secara luas); 3) that laws are not
retroactive (hukum tidak berlaku surut); 4) the clarity of laws (kejelasan
hukum); 5) the consistency of laws (kepaduan hukum); 6) the demands that
the laws do not impose duties that are impossible to perform (hukum tidak
mengatur hal yang mustahil dilaksanakan); 7) that laws are not changed
frequently (hukum tidak gampang berubah); dan 8) the demand that
governmental action is in accordance with the general laws which are laid
down beforehand (tindakan hukum pemerintah sesuai dengan hukum umum
yang ditetapkan) (Lon Fuller, The Morality of Law, Yale University Press,
1973, hal. 262 dikutip dari Patricia Popelier, “Legal Certainty and Principles
of Proper Law Making”, 2 European Journal of Law Reform 321, 2000);
Bahwa keseluruhan indikator prinsip kepastian hukum di atas harus
dicerminkan dalam setiap tindakan hukum yang setidaknya mencakup tiga
aspek: pembuatan hukum (law making), penemuan hukum dan pembuatan
putusan (law finding and judicial lawmaking), dan penerapan hukum (law
applying) (James R. Maxeiner, “Some Realism About Legal Certainty in The
Globalization of the Rule of Law”, 31 Houston Journal of International Law 27,
2008-2009; dan James R. Maxeiner, “Legal Certainty: A European
Alternative to American Legal Indeterminacy?”, 15 Tulane Journal of
International & Comparative Law 541, 2006-2007);
9. Bahwa ketiga alasan hukum yang disampaikan para Pemohon mengenai
pembatalan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS di atas secara eksplisit telah
bertentangan dengan beberapa indikator prinsip kepastian hukum yang
dijamin Konstitusi, yakni:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
14 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
A. Adanya norma yang berbeda dengan norma pokok batang tubuh Pasal
70 UU AAPS atau bahkan munculnya norma baru dalam Penjelasan
Pasal 70 UU AAPS secara prinsip bertentangan dengan indikator laws
and decisions must be definite and clear/wet van duidelijke. Dualisme
norma dalam satu pasal ini membuat arti dari Pasal 70 UU AAPS menjadi
vague (kabur) atau unclear (tidak jelas), manakah yang harus dipakai,
apakah norma batang tubuh (diduga) atau norma penjelasan (harus dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap)? Dengan
mengacu kepada konsep Lon Fuller, maka Pasal 70 UU AAPS
mengandung ketidakkonsistenan arti dan pengertian, yang berarti telah
melanggar prinsip the consistency of laws/wet van consistente;
B. Ketentuan Pasal 70 UU AAPS tidak operasional dan menjamin hak
hukum para Pemohon dalam kaitannya hak untuk dapat mengajukan
klaim pembatalan putusan arbitrase (in casu BANI) bertentangan dengan
indikator legitimate expectations must be protected atau the demands
that the laws do not impose duties that are impossible to perform.
Upaya hukum para Pemohon sebagai pihak yang merasa keberatan
terhadap Putusan Arbitrase untuk mencari jalan berupa permohonan
pembatalan putusan (a legitimate expectation) adalah sebuah upaya
yang harus dilindungi oleh hukum (must be protected). Inilah yang
terkandung secara jelas dalam syarat utama prinsip kepastian hukum,
yakni syarat foreseeability dari sebuah hukum. Hukum harus mampu
menggaransi sebuah tindakan yang baik untuk dapat dilaksanakan dan
setiap warga negara dapat memprediksikan sebuah tindakan berikut
akibatnya dalam sebuah kerangka hukum yang jelas.
Ketentuan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 71 telah menghalangi sifat foreseeability hukum karena
jelas mengandung sesuatu yang mustahil (impossible) dilaksanakan.
Karenanya ketentuan Penjelasan Pasal 70 secara nyata telah melanggar
prinsip kepastian hukum yang dijamin Konstitusi;
C. Dengan munculnya keragaman jenis putusan pengadilan mengenai
perkara pembatalan putusan arbitrase akibat adanya dualisme norma
dalam satu pasal (batang tubuh dan penjelasan), prinsip kepastian
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
15 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
hukum dengan indikator the consistency of laws atau laws and decisions
must be definite and clear telah dilanggar.
10. Bahwa pelanggaran prinsip kepastian hukum yang telah terjadi terkait
dengan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang dimohonkan di sini telah
merasuk tidak saja pada level pembuatan hukum (law making), tapi telah
merugikan banyak pihak, khususnya para Pemohon kelak, karena telah
masuk ke level putusan pengadilan (judicial lawmaking) dan penerapan
hukum mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitase (law applying);
11. Bahwa berdasarkan uraian di atas, secara jelas, telah terjadi pertentangan
dan inkonsistensi antara substansi isi dan kata Pasal 70 UUAAPS dengan
penjelasannya yang telah mengakibatkan perbedaan dalam putusan-
putusan hakim dan menciptakan ketidakpastian hukum. Bahwa terkait
dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memutus perbedaan
antara substansi pasal dengan penjelasannya dengan menyatakan
penjelasan yang bertentangan tersebut inkonsitusional sebagaimana
tercermin dalam pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005:
“Menimbang bahwa terjadinya pertentangan antara substansi pasal dari
suatu undang-undang dan penjelasannya yang nyata-nyata mengandung
inskonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda, dan menyebabkan
keragu-raguan dalam pelaksanaanya. Adanya keragu-raguan dalam
implementasi suatu undang-undang akan memunculkan ketidakpastian
hukum dalam praktik. Keadaan demikian dapat menimbulkan pelanggaran
terhadap hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum.” Ketidakpastian hukum demikian tidak sesuai
dengan semangat untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara
tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dimana
kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan;”
Dan demikian juga sebagaimana dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam
Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 yang berbunyi:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
16 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
“Penjelasan tersebut di atas semakin menunjukkan adanya pengaturan
yang tidak proporsional yang menimbulkan ketidakpastian hukum (legal
uncertainty, rechtsonzekerheid). Syarat pengunduran diri bagi calon yang
sedang menjabat (incumbent) sebagaimana diatur Pasal 58 huruf q UU
12/2008 menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty,
rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide
Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama
(unequal treatment) antar-sesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5)
huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;”
12. Bahwa para Pemohon sebagai pencari keadilan di negara hukum ini yang
masih berperkara terkait dengan pembatalan putusan arbitrase dalam
tingkat banding dan juga mungkin banyak warga negara lainnya, khususnya
para pebisnis yang menggunakan mekanisme Arbitrase sebagai model
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berpotensi dirugikan hak
konstitusionalnya yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 akibat
adanya ketidakpastian hukum karena adanya Penjelasan Pasal 70
UUAAPS a quo;
13. Bahwa oleh karenanya, beralasan secara hukum bagi Mahkamah Konstitusi
untuk mengabulkan permohonan para Pemohon, yakni menyatakan
Penjelasan Pasal 70 UUAAPS bertentangan dengan UUD 1945 dan
menyatakannya tidak mengikat secara hukum;
D. PETITUM Bahwa berdasarkan uraian, alasan, dan fakta hukum di atas, para Pemohon
memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan:
1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon seluruhnya;
2. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan
UUD 1945;
3. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
17 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau jika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat lain, mohon
putusan seadil-adilnya.
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para
Pemohon mengajukan bukti-bukti surat atau tertulis, yang diberi tanda bukti P-1
sampai dengan bukti P-14 sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Ir. Darma
Ambiar;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Drs. Sujana
Sulaeman;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Akta Pendirian PT. Minerina Cipta Guna.
4. Bukti P-4 : Fotokopi Akta Pendirian PT. Bangun Bumi Bersatu;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Akta No.11 Perjanjian Kerjasama Operasi
tentang Pemanfaatan dan Pengembangan PLTM Cikotok
antara PT. Minerina Cipta Guna dan PT. Bangun Bumi
Bersatu, bertanggal 24 Juli 2008;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) Nomor 443/I/ARB-BANI/2012;
7. Bukti P-7 : Fotokopi Putusan Sela dan Akhir Pengadilan Negeri
bandung dengan Nomor Register Perkara: 157/Pdt/PN-
BDG/2013.
8. Bukti P-8 : Fotokopi Memori Banding Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Bandung Perkara: 157/Pdt/PN-BDG/2013.
9. Bukti P-9 : Fotokopi Memori Banding PT.PLN Distribusi Jawa Barat
dan Banten terhadap Putusan pengadilan Negeri
Bandung perkara: Perkara: 157/Pdt/PN-BDG/2013.
10. Bukti P-10 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, beserta
Penjelasannya.
11. Bukti P-11 : Fotokopi Relaas Pemberitahuan Pernyataan Kasasi
Penyerahan Salinan Memori banding Nomor:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
18 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
157/PDT/G/2013/PN.BDG, bertanggal 27 Januari 2014
ditujukan kepada Drs. Sujana Sulaeman sebagai
Termohon Kasasi.
12. Bukti P-12 : Fotokopi Relaas Pemberitahuan Pernyataan Kasasi
Penyerahan Salinan Memori Banding Nomor:
157/PDT/G/2013/PN.BDG, bertanggal 27 Januari 2014
ditujukan kepada Ir. Darma Ambiar, M.M., sebagai
Termohon Kasasi.
13. Bukti P-13 : Fotokopi Kontra Memori Banding atas Memori Banding
terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor
157/PDT/G/2013.
14. Bukti P-14 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Nomor
855K/Pdt.Sus/208.
Putusan ini menggunakan dasar hukum Penjelasan Pasal
70 UU AAPS sebagai dasar menolak permohonan kasasi
dalam perkara Permohonan Pembatalan Putusan
Arbitrase.
Selain itu, para Pemohon juga mengajukan dua orang ahli yang
didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 30 April 2014
yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
1. Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H
• Dalam beberapa persidangan yang telah diselenggarakan sebelumnya
telah dikemukakan berbagai alasan yang bersifat yuridis, historis,
sosiologis, dan komparatif terkait permohonan ini.
• Untuk menganalisis permasalahan ini dari pelbagai perspektif hukum, saya
akan memfokuskan pada beberapa hal sebagai berikut:
• Dalam pokok permohonannya pihak Pemohon antara lain berargumentasi
bahwa Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan sebagai berikut:
"Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang telah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan
pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan
tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
19 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan
atau menolak permohonan"; dipandang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (atau yang
selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), khususnya Pasal 28D ayat (1)
yang menyatakan sebagai berikut: "Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum".
• Padahal, ketentuan Pasal 70 dari UU Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan
bahwa terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur sebagai berikut: (a) surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan
palsu; (b) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau (c) putusan
diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
• Berkaitan dengan 3 (tiga) persyaratan yang terdapat dalam Pasal 70 UU
Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, sebagai perbandingan, Pasal 643
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering)
mencantumkan unsur-unsur yang lebih banyak sebagai persyaratan
pembatalan putusan arbitrase, yang mencakup 10 (sepuluh) hal sebagai
berikut: (a) bila putusan arbitrase diambil di luar batas lingkup perjanjian
arbitrase yang bersangkutan; (b) bila putusan didasarkan atas perjanjian
arbitrase yang tidak berharga atau telah gugur; (c) bila putusan dijatuhkan
oleh arbitrase yang tidak berwenang menjatuhkan keputusan di luar
kehadiran yang lain; (d) bila diputuskan tentang sesuatu yang tidak dituntut
atau telah diberikan melebihi dari yang dituntut; (e) bila putusan
mengandung hal-hal yang bertentangan satu dengan yang lain; (f) bila
para arbiter lalai memutus satu atau beberapa hal yang seharusnya
diputuskan sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian arbitrase; (g) bila
melanggar bentuk acara yang telah ditetapkan dengan ancaman
kebatalan; tetapi hanya apabila diperjanjikan dengan tegas bahwa para
arbiter wajib memenuhi ketentuan acara biasa; (h) bila diputus
berdasarkan dokumen-dokumen yang setelah ada putusan, diakui sebagai
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
20 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
palsu atau dinyatakan palsu; (i) bila setelah adanya putusan, ditemukan
dokumen-dokumen yang menentukan yang disembunyikan oleh salah satu
pihak; dan (j) bila putusan berdasarkan adanya penipuan atau tujuan
muslihat yang kemudian diketahui dalam acara pemeriksaan.
• Tidaklah jelas latar belakang politik hukum yang menyebabkan mengapa
Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut akhirnya hanya
mencantumkan 3 (tiga) dari 10 (sepuluh) persyaratan pembatalan
sebagaimana tercantum di dalam Pasal 643 RV.8 Ketiga persyaratan
tersebut juga terkait dengan hal-hal yang lebih bernafaskan (ketentuan)
pidana.
• Dalam praktiknya, seringkali unsur-unsur yang terdapat di dalam ketentuan
Pasal 643 RV9 tersebut digunakan oleh pihak yang kalah dalam suatu
putusan arbitrase untuk sekadar dapat mengulur-ulur kesempatan untuk
memenuhi kewajiban. Hal ini antara lain dikarenakan bahwa dalam
Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa ketiga
alasan tersebut adalah "antara lain", dengan demikian dapat ditafsirkan
bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase masih dapat diajukan
berdasarkan alasan-alasan lain, antara lain ketujuh alasan lain
sebagaimana tercantum dalam Pasal 643 RV.11
• Alasan-alasan lain sebagaimana dimaksud dapat berupa alasan
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, yang sebenarnya
merupakan alasan untuk tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan
arbitrase. Selama ini ada penafsiran bahwa frasa "antara lain" dalam
Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 1999 menjadikan substansi dan
norma yang tercantum dalam Pasal 70 tersebut menjadi tidak bersifat
limitatif; namun demikian, dalam kenyataannya, putusan-putusan
Mahkamah Agung menunjukkan bahwa syarat-syarat permohonan
pembatalan tersebut bersifat limitatif.
• Salah satu permasalahan yang kerap dikemukakan adalah apakah syarat-
syarat pembatalan dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut
juga berlaku terhadap suatu putusan arbitrase internasional? Di kalangan
para ahli hukum ada yang berpendapat bahwa suatu putusan arbitrase
internasional tidak dapat dibatalkan, namun dapat tidak dilaksanakan atau
ditolak dalam hal putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
21 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagaimana diatur dalam Pasal 66 huruf c UU Nomor 30 Tahun 1999.
• Permasalahan lain dalam materi muatan UU Nomor 30 Tahun 1999
tersebut adalah tidak adanya ketentuan tentang hukum acara tentang
prosedur pengajuan permohonan pembatalan. Dalam praktiknya
permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan sebagai suatu
gugatan perdata terhadap arbiter-arbiter atau lembaga arbitrase yang
bersangkutan; padahal, sesuai dengan tujuannya, sebenarnya cukup
dimintakan penetapan tentang pembatalan dari Pengadilan Negeri, kecuali
apabila arbiter atau para arbiter melakukan suatu kesalahan terhadap
pihak yang menunjuknya.
• Kita tidak dapat mengingkari pentingnya eksistensi UU Nomor 30 Tahun
1999 dalam perkembangan hukum alternatif penyelesaian sengketa dan
arbitrase di Indonesia. Namun demikian dalam perkembangannya kita
menemukan berbagai hal yang tidak jelas pengaturannya dalam UU ini,
misalnya pengaturan yang terkait dengan batas-batas keterlibatan
lembaga pengadilan. Di samping hal itu juga ada beberapa permasalahan
lain seperti: penerapan ketentuan tentang kompetensi absolut, hak ingkar,
prosedur pembatalan, dan pelaksanaan putusan arbitrase (termasuk
putusan arbitrase internasional) agar hak setiap orang untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 dapat terpenuhi.
• Kita berharap seyogyanya Mahkamah Agung sebagai salah satu puncak
peradilan di Indonesia dapat memberikan arahan-arahan mengenai
berbagai permasalahan tersebut; namun pada kenyataannya,
sebagaimana telah diuraikan juga dalam perbaikan permohonan dari
Pemohon, banyak Putusan Mahkamah Agung sendiri terkait hal ini yang
isinya justru saling bertentangan. Hal ini semakin menimbulkan
ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya semakin menyulitkan bagi
setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
• Ketidakjelasan dan ketidaklengkapan perumusan ketentuan Pasal 70 UU
Nomor 30 Tahun 1999 ternyata juga diikuti dengan ketidakkonsistenan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
22 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
dalam perumusan ketentuan Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun
1999 tersebut. Hal ini mengakibatkan bahwa pelaksanaan ketentuan
mengenai hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, baik di
lingkungan pengadilan maupun di luar pengadilan.
• Mahkamah Konstitusi sendiri melalui beberapa putusannya, antara lain,
Putusan Perkara Nomor 005/PUU-III/2005 dan Nomor 017/PUU-VI/2008,
yang kemudian juga ditegaskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, telah memutuskan bahwa
adanya pertentangan antara materi muatan pasal dan penjelasannya,
yang nyata-nyata mengandung inkonsistensi yang melahirkan interprestasi
ganda, dan menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya, akan
memunculkan ketidakpastian hukum dalam praktik. Keadaan demikian
dapat menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketidakpastian
hukum demikian juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara
tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dimana
kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan.
• Berdasarkan berbagai uraian tersebut di muka, saya berpendapat bahwa
Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 bertentangan dengan
UUD 1945.
2. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum Para Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Konstitusionalitas
Penjelasan Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS) yang selengkapnya berbunyi:
"Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan".
Adapun norma dalam ketentuan Pasal 70 UU AAPS selengkapnya berbunyi:
"Terhadap Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai benkut:a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b] setelah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
23 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c) putusan diambil dari hasil tipu muslihatyang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa."
Ketentuan Pasal 70 UUAAPS menggunakan kata "diduga", sedangkan
pada Penjelasan Pasalnya menggunakan frasa "harus dibuktikan dengan
putusan pengadilan." Frase pada Penjelasan Pasal mengandung arti bahwa
alasan-alasan permohonan pembatalan bukan lagi didasarkan pada dugaan,
melainkan pada alasan-alasan yang harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan.
Penjelasan Pasal 70 UU AAPS a quo telah membuat adanya
ketidakpastian hukum bagi para Pemohon setidaknya karena tiga alasan:
a. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS mengandung norma baru atau perubahan
terselubung yang bertentangan dengan substansi pokok pasalnya
Mengacu pada pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-1II/2005 yang menyatakan bahwa:
"sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan
perundang-undangan, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan
berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal
dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama
sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Lagi pula kebiasaan ini
ternyata telah pula dituangkan dengan jelas dalam Lampiran [vide Pasal 44
ayat (2)] UU Nomor 10 Tahun 2004 yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (kini UU Nomor 12 Tahun
2011. Pemohon) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang antara lain menentukan:
1. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan
perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh
karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut
norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan
sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh
mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan;
2. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat
peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu hindari membuat rumusan norma
di bagian penjelasan;
3. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
24 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang
bersangkutan;
Dengan mengacu pada pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, maka Penjelasan Pasal 70 UU AAPS telah menimbulkan norma
baru dan memuat ketentuan yang berbeda dengan batang tubuh pasal yang
dijelaskannya atau setidaknya telah memuat perubahan terselubung dari
substansi dan isi norma pokok yang dituangkan dalam pasal yang
dijelaskannya.
b. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS tidak operasional dan menghalangi hak
hukum pencari keadilan.
UU AAPS menentukan ketentuan limitasi waktu permohonan
pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur pada Pasal 71 yang
berbunyi:
"Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh] hari terhitung sejak hari penyerahan
dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri".
Dengan batasan waktu yang sangat sempit dan limitatif tersebut, yakni
hanya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak hari
penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan
Negeri, maka hampir dapat dipastikan bahwa tidak akan pernah ada
perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dapat memenuhi
ketentuan tersebut. Hal itu tercermin dalam banyak putusan Pengadilan
Negeri dan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan
putusan arbitrase dengan alasan adanya ketentuan Penjelasan Pasal 70
UUAAPS.
c. Penjelasan Pasal 70 UUAAPS menciptakan kerancuan dan pertentangan
hukum
Akibat dari adanya perbedaan norma antara materi muatan atau norma
verbatim Pasal 70 UUAAPS dan yang terkandung dalam penjelasannya,
maka para pencari keadilan mengalami ketidakpastian hukum karena
perbedaan pandangan hakim dalam memutus perkara yang terkait dengan
pembatalan putusan arbitrase itu.
Sebagian besar hakim di level judex factie dan judex juris telah
berupaya menerobos pertentangan horma Pasal 70 UUAAPS dengan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
25 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Penjelasannya melalui upaya penafsiran letterlijk/hai'fiah kata "diduga" dan
pemahaman persoalan faktual penegakan dan pelaksanaan hukum dalam
ranah pidana yang tidak mungkin diselesaikan dalam batas waktu yang
ditetapkan UUAAPS dengan tujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi
para pencari keadilan, Akan tetapi, upaya tersebut masih terasa sulit dan
berhadapan dengan tembok hukum Penjelasan Pasal 70 UUAAPS yang
membelenggu dan tidak realistis;
Berdasarkan ketiga alasan tersebut, maka ketentuan Pasal 70 UUAAPS
dan Penjelasannya telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang
bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."
Berkaitan dengan kepastian hukum, Professor Barry E. Hawk dan
Nathalie Denaeijer dalam The Development of Articles 81 and 82: Legal
Certainty (2000) mengatakan bahwa di bawah hukum Uni Eropa kepastian
hukum (legal certainty/legaI determinacy) mengandung dua pengertian pokok,
yakni predictability of outcome and legal consequences of violation
(prediktabilitas hasil dan akibat hukum dari pelanggaran).
Kedua pengertian itu pada dasarnya memberikan jaminan akan adanya
stabilitas sistem hukum, sehingga setiap warga negara dapat merencanakan
semua aktivitasnya dan dapat meramal hasilnya berdasarkan aturan hukum
yang tersedia. Dalam ungkapan Franz Neumann dalam The Rule of Law:
Political Theory and the Legal System in Modern Society (1986:182), kepastian
hukum terkait dengan gagasan Rechtsstaat yang menghendaki agar aturan
hukum "must be predictable and calculable" (harus dapat diramal dan dapat
dihitung) sehingga setiap warga negara dapat merancang kegiatannya sehari-
hari dan dapat meramal serta menghitung hasil yang akan diperolehnya.
Dalam kehidupan ekonomi, aturan hukum yang predictable dan calculable
akan memberikan kemudahan bagi para pelaku ekonomi untuk merancang
kegiatan-kegiatan ekonominya dan memperoleh hasil ekonomi secara efektif
dan efisien.
Dalam kaitan dengan norma dalam suatu undang-undang, kepastian
hukum menghendaki adanya konsistensi internal (internal consistency) di
dalam undang-undang tersebut. Dalam ungkapan Jurgen Habermas dalam
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
26 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Between Facts and Norms (1997:198),"... the principle of legal certainty
demands decisions that can be consistently rendered within the framework of
the existing legal order. An existing law is the product of an opaque web of
past decision by the legislature and the judiciary ..." (Prinsip kepastian hukum
membutuhkan keputusan-keputusan yang dapat diperoleh secara konsisten
dalam kerangka tata hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku adalah produk
dari sebuah jaringan keputusan masa lain yang tidak transparan oleh legislatif
dan peradilan). Artinya, kepastian hukum harus disediakan oleh aturan hukum,
baik produk legislatif maupun yudisial, yang di dalamnya terdapat norma-
norma yang tersusun secara konsisten atau tidak bertentangan satu sama lain,
sekalipun harus diakui bahwa aturan-aturan hukum tersebut merupakan
produk legislatif dan yudisial yang tidak sepenuhnya transparan.
Berdasarkan pemahaman atas makna kepastian hukum tersebut, maka
adanya perbedaan antara kata "dugaan" pada ketentuan Pasal 70 UU AAPS
dan frasa "harus dibuktikan dengan putusan pengadilan" pada bagian
Penjelasan Pasal 70 UU AAPS menunjukkan tidak adanya konsistensi internal
di dalam UU AAPS yang diperlukan untuk menjamin kepastian hukum.
Inkonsistensi internal itu juga menunjukkan bahwa Penjelasan Pasal 70 UU
AAPS telah mengandung rumusan norma baru yang menghasilkan perubahan
norma secara terselubung dan menimbulkan ketidakjelasan norma yang
terkadung dalam Pasal 70 UU AAPS.
Tidak adanya kepastian hukum dalam UU AAPS itu akan berimplikasi
pada berkurangnya kemampuan UU AAPS untuk menjamin warga negara
dapat memprediksi dan dapat mengkalkulasi hasil dan akibat hukum manakala
hendak melakukan permohonan pembatalan arbitrase yang harus ditempuh
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Artinya,
Penjelasan Pasal 70 UU AAPS telah menimbulkan kesulitan bagi warga
negara sebagai pencari keadilan untuk memperoleh keadilan. Secara spesifik
dalam konteks kehidupan ekonomi, ketidakpastian hukum yang menimbulkan
hilangnya kemampuan untuk memprediksi dan mengkalkulasi hasil dan akibat
hukum itu juga akan menimbulkan kerugian secara ekonomi dan fmansial yang
pada akhirnya akan menghambat aktivitas perekonomian masyarakat. Dengan
demikian, secara yuridis ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
27 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Penjelasan Pasal 70 UU AAPS telah menyulitkan bagi para pencari keadilan
sekaligus juga menghambat aktivitas ekonomi masyarakat.
Akhirnya, dalam konteks pengujian UU AAPS terhadap UUD 1945, adanya
ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh Penjelasan Pasal 70 UU APPS
menunjukkan bahwa Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang a quo bertentangan
dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan hak bagi setiap
orang untuk memperoleh kepastian hukum.
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden
menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 14 April 2014, dan
keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 April
2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang merasa
dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan
berlakunya Penjelasan Pasal 70 UU AAPS. Kerugian Konstitusional yang
dimaksud adalah adanya ketidakpastian hukum dalam proses hukum terkait
dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang telah diajukan oleh
Para Pemohon ke Pengadilan Negeri Bandung (Perkara Nomor
157/PdUPN- BDG/2013);
2. Bahwa adanya norma yang berbeda dengan norma pokok batang tubuh
Pasal 70 UU a quo atau bahkan munculnya norma baru dalam Penjelasan
Pasal 70 UU a quo secara prinsip bertentangan dan ketidak konsistenan
dalam pengertiannya;
3. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS tidak operasional dan menghalangi
hak hukum pencari keadilan;
4. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS menciptakan kerancuan, pertentangan dan
ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan norma.
II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
28 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang
dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal
51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewengan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi RI telah memberikan pengertian dan
batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat
(1) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(vide putusan Nomor 006/PUU-111/2005 dan putusan-putusan berikutnya),
harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
29 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Sehubungan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon,
Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pemohon adalah salah satu pihak dalam suatu perjanjian dalam bidang
perdagangan yang sedang bersengketa dengan mitranya, di mana para pihak
telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui proses arbitrase yang
memiliki otoritas dan jurisdiksi terhadap sengketanya yang tidak bisa
dicampuri oleh pihak manapun tanpa kehendak/izin dari pihak-pihak yang
bersengketa.
2. Pemohon dalam positanya tidak dapat membuktikan adanya pelanggaran
terhadap kerugian hak konstitusionalnya yang mana bagi pemohon baik
secara aktual dan spesifik akan berpotensi terjadi menurut penalaran yang
wajar dalam UU a quo.
Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan Para
Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 70 UU
AAPS. Selain itu, apakah terdapat kerugian konstitusional Para Pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-
undang yang dimohonkan untuk diuji. Sehingga ketentuan a quo tidak
bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini
tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal
standing) dan adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Namun demikian Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia
Ketua/Majelis hakim konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak, sebagaimana
yang ditentukan oteh Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
30 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Konstitusi terdahulu (vide putusan Nomor 006/PUU-111/2005 dan Putusan Nomor
11/PUU-V/2007).
III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Sehubungan dengan anggapan Para Pemohon dalam permohonannya yang
menyatakan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang menyatakan :
Penjelasan Pasal 70 :
"Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembataJan yang disebut dalam Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan . Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan"
Ketentuan tersebut oleh Para Pemohon dianggap bertentangan dengan:
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945:
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastias hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum".
Adapun Pasal 70 UU AAPS yang menyatakan:
"Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ;atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa” Sebelum Pemerintah memberikan keterangannya terhadap materi muatan
yang dimohonkan untuk diuji oleh Para Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu
menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
A. Latar Belakang Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan
dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Di dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter
hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
31 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Selama ini yang dipakai sebagai
dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal
651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad
1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene
lndonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara
Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,
Staatsblad 1927:227).
Selain itu, UU AAPS juga mengatur secara khusus tata cara pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional atas dasar asas timbal balik tidak saja
putusan-putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat
dilaksanakan di Indonesia, tetapi juga putusan arbitrase Indonesia yang
melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri.
B. Pengertian Menurut UU AAPS, Pasal 1 ayat (1): "Arbitrase merupakan cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pad a perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa". Dengan
demikian Arbitrase diartikan sebagai suatu proses di mana para pihak menunjuk,
umumnya dengan suka rela, orang ketiga atau arbiter yang dipilih oleh mereka
untuk menyelesaikan sengketanya berdasarkan bukti-bukti dan argumentasi yang
disampaikan di Majelis Arbitrase atau melalui proses di luar jurisdiksi pengadilan.
Objek dari arbitrase adalah mendapatkan penyelesaian yang adil oleh Majelis yang
tidak berpihak tanpa penundaan atau biaya yang tidak perlu, dan para pihak
seharusnya bebas untuk sepakat bagaimana sengketa tersebut diselesaikan,
dengan hanya batasan bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan
publik. Arbitrase merupakan suatu cara konsesus oleh lembaga pengambil
keputusan di luar pemerintahan yang menghasilkan putusan yang definitif dan
mengikat yang dapat ditegakkan melalui pengadilan nasional.
Penyelesaian Sengketa dalam bidang perdata melalui arbitrase tersebut
didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam suatu Perjanjian
Arbitrase, yang memiliki empat ciri hak, yaitu:
a) Mereka berdaulat;
b) Mereka memiliki otoritas;
c) Mereka mempunyai jurisdiksi terhadap sengketanya; dan
d) Masing-masing independen tidak bisa dicampuri oleh pihak manapun tanpa
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
32 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
kehendak/izinnya.
Kesepakatan tentang tata cara penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase
tersebut dapat dituangkan sebagai salah satu pasal ("Klausula Arbitrase") dalam
Perjanjian atau dibuat tersendiri setelah timbul sengketa ("Akta Kompromis"). Agar
Perjanjian Arbitrase atau Akta Kompromis tersebut menjadi efektif, maka perjanjian
untuk berarbitrase harus jelas dan tegas (unequivocal) serta tertulis. Perjanjian
tersebut mempunyai 4 (empat) fungsi yang esensial, yakni:
a) Untuk menghasilkan konsekuensi yang diperintahkan (mandatory
consequences) bagi para pihak;
b) Untuk mencegah intervensi dari Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa
para pihak (sekurang-kurangnya sebelum putusan dijatuhkan ;
c) Untuk memberdayakan arbiter dalam penyelesaian sengketa; dan
d) Untuk menetapkan prosedur dalam menyelesaikan sengketa.
Dalam melaksanakan perjanjian arbitrase tersebut berlaku asas hukum "Pacta
Sunt Servanda" sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
(BW), yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Para pihak dapat menetapkan
hukum yang mengatur sengketa atau menyerahkannya kepada putusan
arbiter.
Dengan demikian, para pihak dalam Perjanjian Arbitrase tersebut wajib
menerima putusan yang diambil oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase sebagai
sesuatu yang resmi, final dan mengikat para pihak. Ketidakpatuhan terhadap
Keputusan Arbiter atau Majelis Arbiter, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono) merupakan
suatu pengingkaran terhadap keadilan dan kepastian hukum.
Segera setelah putusan dijatuhkan dan pihak yang kalah tidak mau mentaati
secara sukarela, maka pihak yang menang dapat minta kepada pengadilan untuk
menegakkannya. Pengadilan akan membatasinya semata-mata pada
pengendalian formal dan verifikasi keberadaan perjanjian arbitrase, termasuk
apakah penunjukan arbiter telah dilakukan menurut perjanjian dan putusan telah
memenuhi persyaratan formal yang ditetapkan dalam undang-undang .
Dengan demikian, maka Perjanjian Arbitrase tersebut merupakan suatu
kesepakatan para pihak tentang tata cara penyelesaian sengketa perdata melalui
"Lembaga Arbitrase" yang diinginkan bersama. Pengadilan Negeri tidak
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
33 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
berwenang untuk mengadili sengketa yang telah terikat Perjanjian Arbitrase.
Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI telah mengakui bahwa Arbitrase
sebagai "Extra Judicial' yang lahir dari Perjanjian Arbitrase mempunyai akibat
hukum (legal effect) yang memberi kewenangan mutlak (absolute) kepada Majelis
Arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian
berdasar asas hukum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yaitu "Semua
perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang- undang berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya".
C. Tujuan Arbitrase Penggunaan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa telah lama dikenal di
semua masyarakat di dunia dan sistem hukum termasuk dalam hukum adat di
Indonesia. Secara tradisional bentuk yang digunakan adalah konsiliasi diantara
para pihak yang bertujuan hidup bersama dalam masyarakat kecil. Arbitrase dipilih
untuk hubungan pribadi para pihak, dan putusan tidak ditegakkan oleh pengadilan.
Namun, dengan makin terbukanya masyarakat, pengakuan arbitrase yang lebih
formal tumbuh paralel dengan sistem hukum.
Di Indonesia, arbitrase juga mempunyai sejarah lama sejak sebelum Perang
Dunia II, tetapi jarang dipergunakan karena kurang dimengerti manfaat dan tata
caranya. Sampai dengan Agustus 1999, proses berarbritase di Indonesia diatur
berdasarkan Burgelijke Reglement of de Rechtsvordering ('RV') yang dilandasi
pada ketentuan-ketentuan "kebebasan berkontrak" (freedom of contract) dalam
KUHPerdata. Berdasarkan RV, penegakan putusan dilaksanakan dengan cara
yang sama sebagai putusan pengadilan, termasuk eksekusi barang-barang milik
pihak yang kalah. Peraturan hanya menetapkan putusan-putusan arbitrase yang
dijatuhkan di dalam negeri, sedangkan untuk putusan-putusan yang dijatuhkan di
luar negeri tidak dapat dieksekusi di Indonesia.
Alasan mengapa arbitrase komersial makin populer adalah karena hasiI
arbitrase lebih dapat diperkirakan (predictable) tertutup dan dihindarinya publisitas,
serta fleksibel, tidak terlalu formal dan biaya yang lebih terukur/pasti dari pada
proses pengadilan. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya perdagangan
dunia dan kebijakan pasar bebas. Dalam perdagangan internasional, pengaturan
baru di luar negara seperti lembaga-lembaga ekonomi multilateral, adanya
standar-standar hukum supranasional dan badan-badan bukan pemerintahan
yang dipimpin oleh pasar modal serta multilateral corporations telah memberikan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
34 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
kontribusi yang signifikan dalam pertumbuhan arbitrase sebagai satu cara-cara
menyelesaikan sengketa komersial yang mempunyai sifat internasional dan
mengabaikan berbagai tes dan standar yang ditetapkan dalam sistem hukum
nasional.
Dengan demikian, Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang a quo
merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang
didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua
sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa
mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang
bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.
Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para
pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses
penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding
kasasi maupun peninjauan kembali. Hal ini untuk menjaga agar penyelesaian
sengketa melalui arbitrase tidak menjadi berlarut-larut.
Arbitrase dapat dilaksanakan institusional atau ad hoc. Arbitrase institutional
dilaksanakan dengan bantuan suatu lembaga arbitrase, di mana para pihak
sepakat akan menggunakan aturan dari lembaga arbitrase tersebut, seperti
misalnya International Chamber of Commerce (ICC) dan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI). Dalam arbitrase ad hoc para pihak dapat bersepakat untuk
menggunakan seperangkat aturan yang dibuatnya sendiri, aturan atau prosedur
dari salah satu lembaga arbitrase tertentu atau aturan tertentu yang tidak terkait
dengan suatu lembaga aribtrase seperti aturan UNCITRAL Arbitration Rules, yang
diterbitkan oleh The United Nations Commission on International Trade Law.
Karena tidak ada institusi yang melakukan administrasi acara, permasalahan
sering timbul dalam arbitrase ad hoc jika satu pihak menolak untuk menunjuk
seorang arbiter atau jika para pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan dalam
memilih ketua. Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai pemilihan/penunjukan arbiter Pasal 13 UU AAPS mengamanatkan
bahwa para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk menunjuk arbiter atau majelis arbitrase dalam rangka penyelesaian
sengketa para pihak.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
35 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
D. Keuntungan dari Arbitrase Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif ;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai
masalah yang disengketakan ,jujur dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbiter merupakan putusan akhir yang mengikat para pihak dan
f. dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung
dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab
di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses
arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat
kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian
penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi,
terutama untuk kontrak bisnis bersifat intemasional.
E. Pelaksanaan Putusan Arbitrase
1. Putusan Arbitrase Nasional Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 – Pasal 64
UU No. 30 Tahun 1999. Pada dasamya para pihak harus melaksanakan
putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan
pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada
kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan
lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau
kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
setelah putusan arbitase diucapkan.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti
putusan yang mempunyai kekekuatan hukum tetap), sehingga Ketua
Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan
dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
36 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap
putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Berdasar Pasal 62 UU AAPS, sebelum memberi perintah pelaksanaan,
Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi
Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum. Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat
menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua
Pengadilan Negeri tersebut tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Internasional Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 UU a quo memberi kewenangan kepada
PN Jakarta Pusat untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan
Putusan Arbitrase lntemasional, yang menurut Pasal 1 butir (9) adalah putusan
yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar
wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan suatu lembaga
aribtrase atau perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia
dianggap sebagai putusan arbitrase internasional
3. Pembatalan Putusan Pasal 70 UU a quo, menetapkan bahwa permohonan pembatalan putusan
arbitrase hanya dapat dikabulkan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur ditemukannya surat atau dokumen dalam
pemeriksaan palsu atau, disembunyikan dan putusan diambil dari hasil tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. Permohonan pembatalan hanya
dapat diajukan terhadap putusan yang sudah didaftarkan di pengadilan dan
alasan-alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan.
Alasan pembatalan dalam UU AAPS berbeda dengan UNCITRAL Model
Law, yang menyatakan bahwa pembatalan meliputi (Pasal 34):
a) Satu atau para pihak tidak cakap (Incapacity);
b) Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau
proses arbitrase atau tidak dapat mempresentasikan perkaranya.
c) Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase,
atau berisi putusan-putusan diluar kewenangan arbitrase;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
37 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
d) Penunjukan majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan
kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang; atau
e) Pengadilan menemukan bahwa pokok perkara dalam sengketa tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundang-undangan di
Negara tersebut atau putusan bertentangan dengan ketertiban umum
(public policy) dari negara tersebut.
Sementara banyak negara telah membatasi hak untuk banding, namun
demikian hak banding tersebut tetap merupakan ancaman terhadap putusan
arbitrase. Hak banding tersebut telah menghambat eksekusi dan penyelesaian
sengketa. Di sisi lain, hak untuk banding merupakan stimulus bagi para arbiter
untuk bekerja dengan penuh kehati-hatian dan wajar sehingga arbiter
senantiasa harus beritikad baik dalam menyelesaikan sengketa.
F. Asas Itikad Baik dalam Berarbitrase Arbitrase adalah suatu perjanjian yang dinegosiasikan, disepakati dan
dijalankan; karenanya itikad baik menjadi pusat dalam arbitrase. Sebagai
dipersyaratkan dalam konvensi-konvesi lnternasional dan Undang-Undang, para
pihak dalam arbitrase, termasuk kuasa, arbiter, lembaga arbitrase dan para pihak
yang bersengketa harus beritikad baik ketika memasuki proses arbitrase.
Misalnya, kuasa atau pengacara para pihak tidak menutup kemungkinan untuk
perdamaian dengan cara-cara menunda sidang. Para kuasa atau pengacara
tersebut seyogyanya selalu berkomunikasi dengan kliennya untuk menjajagi
kemungkinan tercapainya penyelesaian segera setelah mengetahui bahwa
pembahasan menuju perdamaian mengenai kasus cukup memberikan harapan.
Dalam setiap arbitrase. tugas dan kewajiban harus dilaksanakan dengan
standar itikad baik dan penyikapan secara penuh (full disclosure). Hal ini berarti
bahwa para pihak dari awal bersedia membahas kepentingannya masing-masing .
Mereka mengerjakannya dengan cara-cara yang efektif dan tidak membuang-
buang waktu, wajar (reasonable) dan menujukkan proaktif keinginan untuk
menyelesaikan sengketa.
Tanpa itikad baik, keunggulan arbitrase dalam penyelesaian sengketa menjadi
tidak efektif atau hilang. Untuk arbiter, itikad baik berarti tidak bersedia menjadi
arbiter jika jadwal yang bersangkutan penuh dan bersedia mengungkapkan
kemungkinan adanya benturan kepentingan (conflict of interest). Karena itu arbiter
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
38 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebelum dan selama proses harus melakukan introspeksi mengenai sikapnya
sehingga tidak mejatuhkan putusan yang bias. Ketidakberpihakan dan kebebasan
dari seorang arbiter merupakan hal yang esensial dalam pemeriksaan. Dalam
premise tersebut, itikad baik mengharuskan para arbiter bertindak wajar, untuk
melindungi ekspektasi yang berasal dari perjanjiannya.
Hal yang juga cukup relevan tentang itikad baik dalam arbitrase adalah hak
banding atas putusan yang dijatuhkan. Kesepakatan menyelesaikan sengketa
melalui abitrase pada hakekatnya bersedia menerima putusan arbitrase sebagai
putusan terakhir (finaL dari para arbiter, karena itu pengajuan banding kepada
pengadilan untuk membatalkan putusan dapat dipandang sebagai suatu tindakan
yang tidak beritikad baik, selain melanggar cita-cita hukum yang didambakan
tetapi tidak selalu seiring, yaitu asas-asas manfaat, keadilan dan kepastian hukum.
Selanjutnya terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Penjelasan Pasal
70 UU a quo tidak konsisten, tidak operasional dan menimbulkan kerancuan,
Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana dikatakan oleh Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, SH dalam
tulisannya yang berjudul "Perihal Undang-Undang", norma atau kaidah merupakan
nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk kata aturan yang berisi kebolehan, anjuran
atau perintah, dan bahwa dengan demikian norma hukum yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang timbul dari hukum yang
berlaku.
Bahwa suatu norma yang telah ditetapkan kadang-kadang diperlukan
penjelasan lebih lanjut agar pembentuk Undang-Undang dapat menyampaikan apa
yang dimaksud dari norma tersebut sebagai keterangan resmi dari norma yang
ditetapkan tersebut. Seperti yang ditetapkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan bahwa Penjelasan adalah
tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu
dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap
kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat
disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma
dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari
norma yang dimaksud.(vide Pasal 176 UU No. 12 Tahun 2011).
Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 70 UU AAPS yang menyatakan
"Putusan Arbitrase hanya dapat dibatalkan dalam hal adanya dokumen yang
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
39 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
diduga palsu atau dipalsukan atau tipu muslihat" adalah norma yang harus
dipenuhi sebagai syarat dapat dibatalkannya suatu putusan arbitrase.
Sedangkan Penjelasan Pasal 70 yang menjelaskan bahwa atas dugaan yang
telah ditetapkan dalam batang tubuhnya harus dibuktikan melalui putusan
pengadilan" adalah putusan pengadilan yang berwenang mengadili pemalsuan
atau tipu muslihat". Hal ini terkait dengan kepastian hukum dan keadilan dalam arti
bahwa seseorang baru dapat dinyatakan bersalah dalam hukum setelah
pembuktian. Sebaliknya jika Penjelasan Pasal 70 dianggap bertentangan dengan
normanya sebagaimana dimaksud oleh Para Pemohon, maka Pasal 70 UU a quo
akan kehilangan penafsirannya, sehingga bagi pihak yang memenangkan perkara
arbitrase akan menghilangkan hak-hak konstitusional dan tidak akan mendapatkan
manfaat, keadilan dan kepastian hukum dalam melakukan eksekusi putusan
arbitrase.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, Penjelasan Pasal 70 UU AAPS bukan
menjadi normatif baru dan telah selaras dan sesuai dengan maksud dan arti dari
substansi pokok ketentuan normatif yang diatur dalam Pasal 70 AAPS dan bahwa
dengan demkian penjelasan Pasal 70 sudah berfungsi sebagai penjelasan yang
memberikan tambahan pengertian atau keterangan dari Pasal 70 UU AAPS.
Terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap dengan terlalu lamanya
waktu untuk membuktikan dugaan tersebut ke Pengadilan sehingga menjadi
adanya ketidakpastian hukum, Pemerintah memberikan keterangannya sebagai
berikut:
Bahwa dalam pembuktian pengadilan terhadap adanya unsur unsur
sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan 70 UU a quo dibutuhkan waktu yang
lama untuk mendapatkan putusan akhir untuk membuktikan adanya
dokumen/fakta palsu atau dipalsukan dalam rangka pembatalan putusan arbitrase
itu merupakan teknis pengadilan, yang tidak sesuai dengan asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pemalsuan dokumen dan tipu muslihat masuk ranah hukum pidana, yang
penegakannya dijalankan oleh aparat penegak hukum dan prosesnya untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan dan
menegakkan norma hukum pidana beserta segala nilai yang ada di belakang
norma tersebut (total enforcement), yang dibatasi oleh "area of no enforcement'
melalui hukum acara pidana atau ketentuan khusus lain, untuk menjaga
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
40 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
keseimbangan antara kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan
individu (full enforcement).
Bahwa sebenarnya Dalam hal permohonan pembatalan putusan arbitrase,
pada dasarnya para pihak yang bersengketa mempunyai waktu sekitar 60 (enam
puluh) hari sejak putusan arbitrase dibacakan untuk mengajukan pembatalan
berdasar adanya dokumen palsu atau tipu muslihat, yaitu 30 (tiga puluh) hari untuk
pendaftaran putusan dan 30 (tiga puluh) hari untuk pendaftaran permohonan
pembatalan. Pembuktian pemalsuan dokumen atau tipu muslihat seharusnya
dapat dilakukan secara sederhana dan tidak seharusnya memakan waktu lama.
Banyak contoh tentang peradilan cepat itu; antara lain dalam perkara-perkara di
Pengadilan Niaga, di mana dengan pembuktian sederhana Hakim di Pengadilan
Niaga sudah harus menjatuhkan putusan selama kurang dari 30 hari.
Bahwa dibatasinya waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan
ada kaitan erat dengan kesepakatan bersama para pihak bahwa putusan arbitrase
merupakan putusan akhir dan mengikat para pihak dalam rangka memberikan
manfaat, keadilan, dan kepastian hukum kepada para pihak, termasuk pihak yang
telah memenangkan perkara arbitrase.
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hal-hal diatas, Pemerintah dalam keterangannya dapat
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Pengajuan pembatalan putusan arbitrase sering tidak dilandasi pada "itikad
baik" yang merupakan asas pokok dalam suatu perjanjian karena arbitrase
merupakan kesepakatan para pihak dalam cara menyelesaikan sengketa
yang didasari atas asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum,
maka para pihak yang berkontrak diminta untuk mau menerima putusan
yang dibuat oleh para arbiter yang telah ditunjuknya sendiri. Peran
pengadilan hanya untuk penegakan hukum agar putusan arbitrase ditaati
para pihak.
2. Adanya praktik peradilan yang bertentangan dengan prinsip peradilan
Sederhana, Cepat dan Biaya ringan tersebut sering di latarbelakangi oleh
berbagai faktor, antara lain para pengacara yang tidak selalu secara
professional bertindak demi klien yang mempercayakan perkara kepadanya
dan para pencari keadilan sendiri yang tidak melihat proses Pengadilan itu
sebagai cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
41 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagai sarana untuk memenangkan perkaranya dengan cara apapun. Hal
ini mencerminkan perilaku yang tidak beritikad baik, yang dalam hal
pembatalan putusan arbitrase adalah pihak yang tidak mau mengakui
kekalahan dengan mengingkari kesepakatan, bahwa putusan arbitrase
adalah final dan mengikat. Dengan demikian, perilaku yang menunda-nunda
eksekusi putusan arbitrase akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang
akan menghilangkan hak konstitusional pihak lawannya untuk mendapatkan
manfaat, keadilan dan kepastian hukum dari suatu putusan arbitrase yang
telah disepakati para pihak yang bersengketa sebagai putusan final dan
mengikat.
3. Bahwa dengan demikian, gugatan Pemohon bahwa terdapat perbedaan
norma atau adanya norma baru atau perubahan terselubung dalam
Penjelasan Pasal 70 tidak terbukti dan patut ditolak.
Berdasarkan kesimpulan diatas, Pemerintah berpendapat jika Penjelasan
Pasal 70 UU AAPS dianggap tidak mempunyai hukum mengikat, maka Pasal 70
UU a quo akan kehilangan tafsir resmi terhadap normanya dan akan menimbulkan
ketidakpastian hukum kepada pihak-pihak yang berhak mendapatkan keadilan dan
manfaat dari putusan arbitrase berdasarkan hak-hak konstitusionalnya, sehingga
Pemerintah berpendapat dari hasil kesimpulan tersebut Pemohon dalam
permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan
hukum (legal standing) dan adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara
bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
V. PETITUM Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Terhadap Undang-Undang Dasar
1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Pemohon tidak memiliki Kedudukan hukum (legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan. Para Pemohon tidak dapat diterima (niet
onvankelijk verklaard);
3. Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
42 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak
bertentangan dengan Pasal 280 ayat (1) Undang-Undang Oasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, Presiden mengajukan dua orang ahli yang didengarkan
keterangannya di Persidangan Mahkamah pada tanggal 26 Agustus 2014, pada
pokoknya sebagai berikut:
1. Prof. Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M 1. Keterangan ahli (affidavit) ini saya buat atas permintaan Pemerintah
Republik Indonesia cq. Kementerian Kehakiman melalui Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) yang menjadi salah satu pihak atau minimal
yang ikut terkait dengan adanya permohonan pengujian Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
2. Keterangan ahli ini saya buat dalam kapasitas saya sebagai sarjana yang
telah cukup lama mempelajari arbitrase. Minat lama saya kepada arbitrase
antara lain tegambar ketika pertama kali menerbitkan buku berjudul
Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers) pada tahun
1991 dan juga menerbitkan buku berjudul: Dasar-dasar, Prinsip dan
Filosofi Arbitrase (Bandung: Keni Media) pada tahun 2014.
3. Permasalahan hukum yang dimintakan kepada saya terkait dengan
Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ("UU") Penjelasan Pasal
70 UU berbunyi:
"Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan."
4. Keterangan berupa Pendapat hukum yang saya buat di bawah ini lebih
menitik-beratkan pada prinsip arbitrase.
I. Prinsip Arbitrase: Non Intervensi Pengadilan 5. Salah satu prinsip universal arbitrase yang penting adalah prinsip non-
intervensi pengadilan. Prinsip ini menyatakan bahwa pengadilan harus
sedapat mungkin tidak menyampuri sengketa yang para pihak telah terikat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
43 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
pada suatu perjanjian arbitrase. Prinsip ini bersifat universal. Prinsip ini
dalam hukum nasional tampak dalam Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase.
6. Pasal 3 UU Arbitrase menyatakan: "Pengadilan Negeri tidak berwenang
untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase."
Pasal 11 UU Arbitrase berbunyi:
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
7. Dalam hukum arbitrase internasional, prinsip ini termuat dalam Article II
ayat (3) Konvensi New York 1958. Article II (3) Convention berbunyi:
"The court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed."
8. Terjemahan Pasal 11 ayat (3) Konvensi berbunyi:
"Pengadilan dari suatu negara peserta Konvensi ini, ketika dimintakan menyelesaikan sengketa yang para pihaknya telah terikat dalam suatu perjanjian arbitrase, wajib merujuk para pihak untuk menyelesaikan sengketanya ke arbitrase, kecuali Pengadilan memutuskan bahwa perjanjian arbitrase yang mengikat para pihak tersebut adalah batal demi hukum, tak bisa dijalankan atau tidak dapat dilaksanakan."
9. Prinsip non-intervensi pengadilan menurut pendapat saya, harus juga
diterapkan pada aspek pembatalan putusan arbitrase. Pengadilan harus
sedapat-dapatnya menjaga jarak untuk tidak menyampuri sengketa para
pihak yang telah terikat pada arbitrase termasuk mengeluarkan putusan
yang membatalkan putusan arbitrase.
10. Dewasa ini masih terdengar pandangan dari pengusaha luar negeri baliwa
negeri Indonesia dipandang sebagai "unfriendly country” untuk arbitrase.
Istilah "unfriendly country” di sini mengacu kepada pemahaman mereka
bahwa negeri Indonesia tidak ramah (unfriendly) terhadap arbitrase.
Alasan sejatinya, putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat,
temyata dibatalkan. Pembatalan suatu putusan arbitrase melukai perasaan
suatu pihak yang telah beritikad baik di dalam menyelesaikan sengketanya
di arbitrase.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
44 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
11. Menurut Yang Mulia Hakim Agung Bismar Siregar, putusan arbitrase
adalah mahkota seorang arbiter. Karena itu, pembatalan suatu putusan
arbitrase sejatinya melukai pula perasaan seorang arbiter yang memutus
sengketa arbitrase.
12. Dari perspektif arbitrase, pembatalan suatu putusan arbitrase, apalagi
putusan arbitrase asing, sangat mengundang perhatian dan mengundang
keingintahuan mendalam terhadap alasan-alasan pembatalan atau
mengapa suatu putusan arbitrase dibatalkan.
II. Prinsip Final dan Mengikat Putusan Arbitrase 13. Putusan arbitrase adalah putusan yang dikeluarkan oleh majelis arbitrase
atau seorang arbiter. Prinsip universal yang berlaku terhadapnya adalah
putusan yang bersifat final dan mengikat. Final artinya paling akhir.
Mengikat artinya para pihak yang bersengketa terikat secara hukum untuk
melaksanakan putusan arbitrase.
14. Sifat final dan mengikat putusan arbitrase secara hukum tidaklah dapat
diajukan perlawanan. Tetapi prinsip universal memberi kelonggaran
terhadap prinsip final dan mengikat ini. Putusan arbitrase berdasarkan
Konvensi New York 1958 dan Model Arbitration Law UNCITRAL 1985
dapat dimintakan penolakan pelaksanaannya. Penolakan pelaksanaan
putusan ini karena adanya aturan dasar yang dilanggar, misalnya
kepentingan umum (public policy).
15. Dalam UU, suatu putusan arbitrase dimungkinkan pembatalan. Meskipun
ketentuan UU berbeda dengan Konvensi New York 1958 dan Model
Arbitration Law UNCITRAL, menurut hemat saya, berdasarkan dua prinsip
di atas, yaitu prinsip non-intervensi pengadilan dan prinsip final dan
mengikat putusan arbitrase, pembatalan ini haruslah sangat hati-hati
dilakukan.
16. Alasannya, pertama, pembatalan hanya dapat dilakukan apabila ada hal-
hal yang sifatnya sangat teramat fundamental telah dilanggar oleh suatu
arbitrase. Kedua, pembatalan menimbulkan atau melahirkan dampak
negatif yang sangat teramat fiindamental pula. Pembatalan putusan
arbitrase hanya akan melahirkan kesangsian bahkan keraguan
masyarakat (di dalam dan luar negeri) terhadap arbitrase di Indonesia.
17. Berdasarkan prinsip-prinsip arbitrase di atas, ketentuan dalam UU
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
45 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Arbitrase khususnya Pasal 70 beserta penjelasannya haruslah dipandang
sebagai suatu ketentuan yang harus membatasi dengan tegas agar
putusan arbitrase tidak dengan mudah dibatalkan.
2. Prof. Dr. Mieke Komar, S.H., M.CL 1. Keterangan ahli ini, saya buat atas permintaan Pemerintah cq
Kementerian Kehakiman melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) yang ikut terkait dengan adanya permohonan pengujian Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif
Penyelesaian Sengketa, khususnya terhadap Penjelasan Pasal 70 .
2. Keterangan ahli ini, saya buat dalam kapasitas saya sebagai akademisi
yaitu dosen/Guru Besar (emeritus) Universitas Padjadjaran, yang di
samping mengajar dalam Hukum Internasional, Hukum Kontrak
Internasional, dll. (sejak 1967-2011 sebagai dosen/GB tetap), sebagai GB
(em) 2011-sekarang), juga sebagai Mantan Hakim Agung Rl (2003-2012),
anggota kamar Perdata Khusus, serta sebagai pemerhati tentang
perkembangan hukum Arbitrage nasional dan internasional.
3. Adapun petitum pihak Pemohon, pada pokoknya memohon Majelis
Mahkamah Konstitusi untuk:
- Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
- Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain atas
perkara a quo mohon diberikan putusan yang seadil -adilnya (ex aequo et
bono)
4. Pertimbangan Mahkamah Agung. dalam berbagai putusan dapat
menunjukkan arah penyelesaian Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999
beserta Penjelasannya. Terlebih putusan-putusan Mahkamah Agung
sebagai badan Peradilan yang tertinggi merupakan yurisprudensi tentang
penerapan hukum dalam keadaan riil, yang menjadi pegangan atau
pedoman bagi badan-badan peradilan di bawahnya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
46 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
"Bahwa pembatalan putusan BANI harus memenuhi syarat syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa, yang telah dirinci secara
limitatif sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu,
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa."
Dengan memperhatikan Penjelasan atas Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999
berbunyi:
"Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase
yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan
yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.
Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau
tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
- Putusan Nomor 01/Arb.Btl/2006, MA menguatkan putusan Pengadilan
Negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase a quo
dengan pertimbangan bahwa alasan alasan pembatalan adalah
bertentangan dengan isi Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 dan
Penjelasannya; alasan alasan Pasal 70 telah ditentukan secara limitatif.
- Putusan MA Nomor /855K/lPdt.Sus/2008 yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri, bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase
a quo adalah prematur sebab harus dibuktikan lewat putusan pengadilan
terlebih dahulu tipu muslihat/kebohongan (bukan hanya tafsir dari salah satu
pihak), lihat Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999, dan Penjelasannya.
- Putusan MA Nomor 729K/PDT.SUS/2008, menegaskan, bahwa alasan-
alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal 70 UU Nomor 30
Tahun 1999 tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan (dalam
perkara pidana) dan seterusnya permohonan pembatalan harus dinyatakan
tidak dapat diterima (N-O).
- Putusan MA Nomor 109 K/PDT.SUS/2010, yang pada pokoknya menolak
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
47 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
permohonan pembatalan putusan arbitrase sebab adanya tipu muslihat
yang dilakukan oleh Termohon Banding dalam perkara a quo tidak dapat
dibuktikan adanya unsur tipu muslihat dan tidak disertai dengan bukti
berupa putusan pidana yang menyatakan telah terjadi tipu muslihat yang
dilakukan oleh Termohon Banding, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70
UU Nomor 30 Tahun 1999.
5. Beberapa cuplikan putusan (dari sekian banyak putusan MA Rl) di atas
mempertegas, bahwa isi dari Pasal 70 UU 30 Tahun 1999 harus dibaca dan
diterapkan bersamaan dengan Penjelasannya. Alasan- alasan pembatalan
dalam Pasal 70 mengandung unsur Pidana, dan Penjelasannya memuat
uraian atau penjabaran lebih lanjut dari norma dalam Pasal 70, yaitu bahwa
alasan alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan (pidana).
Adalah tidak tepat untuk berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 70 di atas
mengandung norma baru seperti didalilkan Pemohon.
Perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase berada dalam ranah Hukum
Perdata, tetapi unsur unsur Pasal 70 tersebut harus diperiksa oleh peradilan
pidana, sebab peradilan perdata tidak berwenang untuk memeriksa dan
memutuskan perkara yang diduga berisi unsur-unsur pidana.
6. Menurut hemat kami kedudukan Penjelasan pada UU Nomor 30 Tahun
1999 tidak bertentangan dengan pertimbangan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005, UU Nomor 10 Tahun 2004 dalam
Lampiran butir nomor 148-155, UU ini telah disempumakan oleh UU Nomor
12 Tahun 2011.
7. Lain dari pada itu, apabila Penjelasan dicabut dan dianggap bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 70 akan berdiri sendiri,
tetap akan menghasilkan kerancuan dalam penyelesaiannya di peradilan
perdata, yang akan bertentangan dengan Hukum Acara Indonesia
8. Suatu kenyataan bahwa ketentuan pembatasan waktu seperti yang diatur
dalam Pasal 71 UU Nomor 30 Tahun 1999, yaitu, "Permohonan pembatalan
putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan
arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri", menghambat bagi
penerapan isi Pasal 70 beserta Penjelasan sebagaimana mestinya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
48 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
9. Apakah menghapus/mencabut baik Pasal 70 beserta Penjelasannya
merupakan jawabannya, di samping merupakan tuntutan ultra petitum, juga
perlu dipertanyakan apakah absennya upaya permohonan pembatalan
dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak bertentangan dengan perintah,
maksud dan tujuan dari Pasal 28D UUD 1945?
Mengacu pada hukum Internasional yang mengikat Rl, yaitu Konvensi
Internasional tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing,
yang telah diratifikasi oleh Rl pada tahun 1985, mengatur tentang Pembatalan
putusan arbitrase asing dalam Pasal V (l) (e) (pengertian "set aside" sama
dengan "to annul" atau membatalkan), yaitu berkaitan dengan hak suatu negara
anggota untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan putusan (asing), Butir (e):
putusan belum mengikat para pihak atau telah dibatalkan (set aside) atau
ditangguhkan oleh badan yang berwenang dari negara di mana, atau
berdasarkan hukum mana, putusan tersebut dibuat; ((e) the award has not yet
become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a
competent authority of the country in which, or under the law of which, that
award was made) Contoh, putusan arbitrase Indonesia yang diputuskan di
Indonesia dapat dibatalkan di Indonesia atau menurut hukum Indonesia.
Konvensi Internasional ini tidak menetapkan syarat syarat pembatalan
suatu putusan arbitrase asing. Dengan demikian, kewenangan menentukan
syarat-syarat pembatalan suatu putusan arbitrase, baik putusan arbitrase asing
maupun domestik adalah wewenang penuh negara anggota yang bersangkutan.
Menggaris bawahi isi Keterangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) tertanggal 30 April 2014, butir 4) Pasal 34 UNCITRAL Model Law, yang
berisi alasan alasan pembatalan putusan arbitrase (set aside) yaitu apabila:
a. Satu atau para pihak tidak cakap (incapacity)
b. Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau
proses arbitrase atau tidak dapat mempresentasikan perkaranya
c. Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase atau
berisi putusan-putusan di luar kewenangan arbitrase
d. Penunjukan majelis arbitrase- atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan
kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang atau
e. Pengadilan menemukan bahwa pokok perkara dalam sengketa tidak dapat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
49 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundang-undangan di
Negara tersebut atau putusan bertentangan dengan ketentuan umum
(public policy) dari negara tersebut.
f. Diketahui secara luas, bahwa isi UNCITRAL Model Law telah diadopsi oleh
banyak negara, termasuk negara negara tetangga kita. Sekalipun Rl belum
mengadopsi aturan UNCITRAL Model Law tersebut, namun demikian butir-
butir diatas dapat menjadi acuan bagi aturan tentang pembatalan putusan
domestik maupun asing.
Kesimpulan 1. Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak dapat dipisahkan dari
Pasal 70 UU Nomor 30, 1994; Penjelasan tidak memuat norma baru tetapi
memuat penjabaran lebih lanjut dari norma dalam Pasal 70 UU Nomor 30
Tahun 1999.
2. Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 mempertegas bahwa syarat-
syarat pembatalan dalam Pasal 70 masuk ke ranah pidana (pengadilan
pidana), dan harus dibuktikan terlebih dahulu dengan putusan pengadilan
pidana, seperti dipertimbangkan Mahkamah Agung dalam berpuluh-puluh
putusannya.
3. Dibatalkan Penjelasan Pasal 70 memberikan ketidak pastian, terutama dapat
dianggap bahwa pengadilan (perdata) memiliki wewenang untuk memeriksa
unsur unsur pidana yang terkait dengan permohonan pembatalan tersebut. Hal
mana sangat bertentangan dengan hukum acara Indonesia.
4. Pasal 70 beserta Penjelasan tidak bertentangan dengan UU Dasar 1945,
namun demikian terkait dengan persyaratan dalam Pasal 71 UU Nomor 30
Tahun 1999 menimbulkan suatu ketidakpastian.
5. Mekanisme pembatalan putusan Arbitrase harus diatur dalam suatu Undang
Undang tentang Arbitrase, untuk menguatkan hak warganegara sesuai dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat
diterapkan secara efektif.
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan
Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 September 2014, yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
50 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
A. KETENTUAN UU ARBITRASE YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD 1945
Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas
Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, yang berbunyi sebagai berikut:
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan” Para Pemohon beranggapan Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
B. POKOK PERMOHONAN Para Pemohon dalam permohonannya yang pada pokoknya
menyatakan sebagai berikut: 1. Para Pemohon dalam Permohonannya berpendapat berlakunya Penjelasan
Pasal 70 UU Arbitrase telah mengakibatkan atau setidaknya berpotensi
mengakibatkan kerugian konstitusional yaitu ketidakpastian hukum dalam
proses hukum terkait dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase
yang telah diajukan oleh para Pemohon ke Pengadilan Negeri Bandung
(Perkara Nomor 157/Pdt/PN-BDG/2013), karena bersifat tidak operasional
dan menghalangi hak hukum pencari keadilan.
2. Bahwa adanya norma yang berbeda dengan norma pokok batang tubuh
Pasal 70 Undang Undang a quo atau bahkan munculnya norma baru dalam
Penjelasan Pasal 70 Undang Undang a quo secara prinsip bertentangan
dan ketidakkonsistenan dalam pengertiannya, sehingga menciptakan
kerancuan, pertentangan dan ketidakpastian hukum karena adanya
perbedaan norma.
C. KETERANGAN DPR RI I. Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Mengenai kedudukan hukum para Pemohon a quo, DPR
berpandangn bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih
dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
51 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, DPR
menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak
sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
II. Pengujian UU Arbitrase Terhadap pandangan-pandangan para Pemohon dalam Permohonan
a quo, DPR memberikan keterangan sebagai berikut:
1. Mekanisme penyelesaian sengketa perdata khususnya dalam bidang
perdagangan (yang meliputi antara lain perniagaan, perbankkan,
keuangan, industri, penanaman modal dan Hak atas Kekayaan
Intelektual) selain dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan
umum juga dapat diselesaikan melalui jalur diluar peradilan umum yang
dikenal dengan lembaga arbitrase. Lembaga arbitrase mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum yaitu antara
lain:
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural
dan administratif;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun
langsung dapat dilaksanakan.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
52 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
2. Mekanisme penyelesaian sengketa perdata khususnya bidang
perdagangan melalui Arbitrase telah diatur dalam UU Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang
Undang a quo merupakan pengganti dari peraturan yang terdapat
dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering)
yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia perdagangan
sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat
internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non
sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata
(Reglement op de Rechtvordering).
3. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase secara jelas telah
menyebutkan bahwa "Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa". Berdasarkan ketentuan tersebut arbitrase merupakan
suatu proses di mana pihak-pihak yang bersengketa menunjuk, orang
ketiga atau arbiter yang dipilih oleh mereka untuk menyelesaikan
sengketanya berdasarkan bukti-bukti dan argumentasi yang
disampaikan di Majelis Arbitrase atau melalui proses di luar jurisdiksi
pengadilan. Dengan demikian Arbitrase dapat diartikan merupakan
suatu cara konsesus oleh lembaga pengambil keputusan di luar
pemerintahan yang menghasilkan putusan yang definitif dan mengikat
yang dapat ditegakkan melalui pengadilan nasional.
4. Putusan arbitrase merupakan putusan yang bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat para pihak yang
bersengketa (vide Pasal 60 UU Arbitrase). Dalam hal setelah putusan
arbitrase dijatuhkan, ada pihak yang tidak mau mentaati secara
sukarela, maka putusan arbitrase dapat dilaksanakan berdasarkan
perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohon salah satu pihak yang
bersengketa (vide Pasal 61).
5. Meskipun Putusan Arbitrase bersifat final dan mengikat, namun untuk
melindungi kepentingan hukum pihak-pihak yang beritikat baik dalam
penyelesaian sengketa melalui lembaga abitrase, maka dalam
ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase diatur secara tegas bahwa Putusan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
53 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Arbitrase dengan syarat-syarat tertentu dapat dibatalkan melalui
pengajuan permohonan pembatalan kepada pengadilan negeri.
Permohonan pembatalan Putusan Arbitrase tersebut hanya dapat
dikabulkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak.
6. Dalam penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase disebutkan bahwa Alasan-
alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini (Pasal 70)
harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Penjelasan Pasal 70
a quo adalah merupakan penjabaran atau uraian lebih lanjut dari norma
yang tertuang dalam batang tubuh dan merupakan kelaziman dalam
penyusunan Undang Undang agar uraian norma menjadi lebih jelas dan
tidak menimbulkan penafsiran ganda. Hal mengenai penjelasan dalam
perumusan Undang Undang tercantum dalam Lampiran II angka 176
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang menyebutkan bahwa penjelasan merupakan tafsir resmi
pembentuk Undang Undang yang hanya memuat uraian terhadap kata,
frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat
disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas
norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya
ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
7. Ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase mengatur persyaratan dapat
dibatalkannya Putusan arbitrase yaitu dalam hal adanya dokumen yang
diajukan dalam pemeriksaan diakui palsu atau dinyatakan dipalsukan
dan adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Ketentuan persyaratan tersebut adalah norma yang harus dipenuhi
sebagai syarat dapat dibatalkannya suatu putusan arbitrase. Kemudian
dalam penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase diuraikan atau dijabarkan lebih
lanjut bahwa persyaratan dapat dibatalkannya putusan arbitrase
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
54 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagaimana ditetapkan Pasal 70 Undang Undang a quo harus
dibuktikan melalui putusan pengadilan”.
8. Penjelasan Pasal 70 sebagaimana diuraikan diatas merupakan
penafsiran resmi pembentuk Undang Undang untuk menguraikan atau
menjabarkan lebih lanjut mengenai norma persyaratan-persyaratan
untuk membatalkan putusan arbitrase yang ada dalam batang tubuh
(Pasal 70 Undang Undang a quo). Penjabaran atau uraian lebih lanjut
dari norma yang tercantum dalam Pasal 70 Undang Undang a quo
adalah salah satu pihak yang mengajukan pembatalan putusan
arbitrase dengan dasar adanya dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan diakui palsu atau dinyatakan dipalsukan dan adanya tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak, maka demi kepastian
hukum dan keadilan kedua persyaratan tersebut harus dibuktikan
terlebih dahulu melalui putusan pengadilan. Hal tersebut untuk
memberikan kepastian hukum bahwa adanya dokumen palsu dan
adanya tipu muslihat yang dijadikan dasar untuk pembatasan putusan
arbitrase adalah benar menurut hukum dan dapat dibuktikan sehingga
dapat dijadikan dasar untuk membatalkan Putusan arbitrase.
9. Berdasarkan uraian di atas, DPR berpendapat penjelasan Pasal 70 UU
Arbitrase, telah selajan dan sesuai dengan maksud dan arti dari
substansi pokok ketentuan normatif yang diatur dalam Pasal 70 UU
Arbitrase, dengan demkian penjelasan Pasal 70 sudah berfungsi
sebagai penjelasan yang memberikan tambahan pengertian atau
keterangan dari Pasal 70 UU Arbitrase.
10. Terhadap dalil para Pemohon yang menganggap dengan terlalu
lamanya waktu untuk membuktikan dugaan tersebut ke Pengadilan
sehingga menjadi adanya ketidakpastian hukum, DPR berpendapat
bahwa pembuktian pengadilan terhadap adanya unsur-unsur
sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 70 Undang Undang
a quo yang mebutuhkan waktu untuk mendapatkan putusan akhir
untuk membuktikan adanya dokumen/fakta palsu atau dipalsukan dalam
rangka pembatalan putusan arbitrase itu merupakan teknis pengadilan,
harus dilaksanakan berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat dan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
55 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
biaya ringan. Oleh karenannya hal tersebut bukan persoalan
konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma.
11. Dalam hal permohonan pembatalan putusan arbitrase, Pasal 71 dan
Pasal 72 UU Arbitrase sudah mengatur secara jelas dan tegas batasan
waktu pengajuan permohonan pembatalan dan batasan waktu bagi
pengadilan untuk memberi putusan mengenai pembatalan tersebut yaitu
para pihak yang bersengketa mempunyai waktu sekitar 60 (enam puluh)
hari sejak putusan arbitrase dibacakan untuk mengajukan permohonan
pembatalan kepada pengadilan negeri dan pengadilan sudah harus
menjatuhkan putusan selama kurang dari 30 hari.
12. Berdasar uraian-uraian di atas DPR berpendapat, Penjelasan Pasal 70
UU Arbitrase dirumuskan untuk memperjelas ketentuan norma Pasal 70
Undang Undang a quo, sehingga dapat lebih memberikan kepastian
hukum terhadap pelaksanaan putusan arbitrase dan memberikan
perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang bersengketa dalam lembaga
arbitrase, oleh karenannya tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.
Demikian keterangan DPR RI ini kami sampaikan untuk menjadi
bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, memutus, dan mengadili perkara a quo dan dapat memberikan
putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak
bertentangan dengan UUD 1945;
2. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tetap
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait
Badan Arbitrase Nasional Indonesia, telah memberikan keterangan di persidangan
Mahkamah pada tanggal 30 April 2014, yang pada pokoknya menerangkan
sebagai berikut:
1. Tentang BANI BANI adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang
berhubungan dengan arbitrase, mediasi, dan bentuk-bentuk lain dari
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
56 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada tahun 1977
atas prakarsa tiga pakar hukum terkemuka, yaitu Almarhum Prof. Soebekti
S.H., dan Haryono Tjitrosoebono S.H., dan Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, dan
dikelola dan diawasi oleh dewan pengurus dan dewan penasehat yang terdiri
dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. BANI berkedudukan di Jakarta
dengan perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia termasuk Surabaya,
Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan, Batam.
Adapun BANI sebagai lembaga arbitrase adalah sesuai dengan
ketentuan umum Pasal 1 butir 8 Undang-Undang AAPS yang menyatakan
bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat diselenggarakan melalui
lembaga arbitrase, yaitu badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.
Selanjutnya Pasal 1 butir 9 juga mengakui putusan arbitrase
internasional, yaitu putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau
arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan
suatu lembaga arbitrase atau perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk
bertindak secara otonomi dan independen dalam menegakkan hukum dan
keadilan, BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri, termasuk
batasan waktu di mana majelis arbitrase harus memberikan putusan. Aturan ini
dipergunakan dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di
Indonesia. Pada saat ini lebih dari 100 arbiter berlatar belakang berbagai
profesi, 7% di antaranya adalah arbiter asing terdaftar di BANI.
2. Pengertian tentang Arbitrase. 1) Menurut Prof. R. Soebekti Mantan Ketua Mahkamah Agung, arbitrase
adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim dan
para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada
dan menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang
mereka pilih atau mereka tunjuk. Sebagai salah satu cara penyelesaian
sengketa hukum di luar pengadilan, forum arbitrase telah lama dikenal
dalam sistem hukum di Indonesia. Kaidah umum tentang arbitrase telah
merupakan bagian dari hukum acara perdata yang berlaku pada Raad Van
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
57 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Justitie yaitu RV 1847 Nomor 52 juncto S. 1849 Nomor 67 dan Pasal 377
HIR 1941-1944.
2) Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan antara lain bahwa penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase
tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai
kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi (eksekutoar) dari pengadilan.
3) Sengketa yang dapat disengketakan melalui arbitrase adalah hanya
sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh
para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka dan
berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang AAPS penyelesaian
sengketa melalui arbitrase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah
perdagangan.
4) Putusan arbitrase adalah bersifat mandiri, final dan mengikat, final and
binding atau seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
sehingga ketua pengadilan negeri tidak lagi diperkenankan memeriksa
alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase tersebut. Sesuai ketentuan
Pasal 3 Undang-Undang AAPS, pengadilan negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum
banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, hal ini untuk menjaga agar
penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menjadi berlarut-larut.
5) Yurisprudensi TAP Mahkamah Agung telah mengakui bahwa arbitrase
sebagai ekstra yudisial yang lahir dari perjanjian arbitrase mempunya akibat
hukum (legal effect) yang memberikan kewenangan mutlak (absolute) pada
majelis arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari
perjanjian berdasarkan atas hukum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata,
yaitu semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan Undang Undang berlaku
sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya. Dalam
melaksanakan perjanjian arbitrase tersebut berlaku asas hukum Pacta Sunt
Servanda, dimana para pihak dapat menetapkan hukum yang mengatur
sengketa atau menyerahkannya pada putusan arbiter. Dengan demikian
para pihak dalam perjanjian arbitrase tersebut wajib menerima putusan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
58 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
yang diambil oleh arbiter atau majelis arbitrase sebagai sesuatu yang resmi,
final, dan mengikat para pihak.
6) Abitrase dapat dilaksanakan institusional, dimana proses dilaksanakan
dengan bantuan suatu lembaga arbitrase dengan menggunakan aturan dari
lembaga arbitrase tersebut, seperti misalnya International Court of
Arbitration dari International Chamber Of Commerce (ICC) Singapore
International Arbitration Centre (SIAC), Kuala Lumpur Regional Arbitration
Centre (KLRAC), dan Badan Arbitration National Indonesia (BANI).
Arbitrase juga dapat dilaksanakan secara ad hoc dimana para pihak dapat
bersepakat untuk menggunakan seperangkat aturan yang dibuatnya sendiri,
aturan atau prosedur dari salah satu lembaga arbitrase tertentu, atau aturan
tertentu yang tidak terkait dengan suatu lembaga arbitrase, seperti aturan
unsitral, arbitration rules yang diterbitkan oleh United Nations Commission
on International Trade Law di Indonesia mengenai arbitrase ad hoc.
3. Pelaksanaan Putusan Abitrase.
1) Dalam Undang-Undang AAPS pelaksanaan putusan arbitrase diatur dalam
Pasal 59, dan Pasal 64, untuk putusan arbitrase nasional, dan Pasal 65,
dan Pasal 69 yang memberikan kewenangan kepada PN Jakarta Pusat
untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan
secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya
putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan
pengadilan negeri dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau
salinan otentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke
panitera pengadilan negeri dalam waktu 30 hari setelah putusan arbitrase
diucapkan.
2) Karena putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final, dan mengikat
ketua pengadilan negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan
memeriksa yang dimiliki ketua pengadilan negeri terbatas pada
pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang
dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Menurut Pasal 62 UU AAPS,
sebelum memberi perintah pelaksanaan ketua pengadilan memeriksa
dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 secara
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
59 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
tidak bertentangan atau kesusilaan dan ketertiban umum. Bila tidak
memenuhi maka ketua pengadilan negeri dapat menolak pelaksanaan
eksekusi, dan terhadap putusan ketua pengadilan tersebut tidak terbuka
upaya hukum apapun.
3) Pasal 70 UU AAPS menetapkan bahwa permohonan pembatalan putusan
arbitrase hanya dapat dikabulkan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur ditemukannya surat atau dokumen dalam
pemeriksaan palsu, atau disembunyikan, dan putusan diambil dari hasil tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. Dalam penjelasan Pasal 70
ini ditegaskan bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan
terhadap putusan yang sudah didaftarkan dipengadilan, dan alasan-alasan
permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.
4) Berbeda dengan UU AAPS, UNCITRAL Model Law tidak mengenal
pembatalan, tetapi Pasal 34 UNCITRAL Model Law menyatakan bahwa
putusan arbitrase dapat di kesampingkan (setting a side) apabila.
a. Satu atau para pihak tidak cakap (incapability).
b. Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau
proses arbitrase, atau tidak mempresentasikan perkaranya.
c. Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase atau
berisi putusan-putusan di luar kewenangan arbitrase.
d. Penunjukan majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai
dengan kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang Undang atau.
e. Pengadilan menemukan bahwa pihak pokok perkara dalam sengketa
tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundang-
undangan di negara tersebut atau putusan bertentangan dengan
ketertiban umum (public policy) dari negara tersebut.
Ketentuan sebagaimana disebutkan dalam UNCITRAL Model Law tersebut
sama dengan ketentuan yang termuat dalam hukum arbitrase nasional di banyak
negara, antara lain Australia, Kanada, Cina, Hongkong, Singapura, Malaysia,
Filipina, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand. Demikian pula dalam Pasal 36
Konvensi New York Tahun 1958 mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing telah digunakan istilah refusal atau penolakan, Indonesia
meratifikasi Konvensi New York dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
60 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
1981. Perlu dicatat bahwa apa pun alasan dari penolakan atau penyampingan
setting a side, suatu pembuktian tetap diperlukan.
Tanggapan terhadap pertanyaan Majelis Hakim. Bahwa dalam persidangan
tanggal 14 April 2014, Majelis Hakim Konstitusi mengajukan pertanyaan berkaitan
dengan Pasal 70 Undang-Undang AAPS yang mengatur pembatalan putusan
arbitrase dan atas pertanyaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Bahwa Pasal 70 AAPS menyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase dapat
diajukan permohonan pembatalannya oleh para pihak, yakni jika putusan
dimaksud.
a. Mengandung unsur-unsur adanya surat atau dokumen yang diakui atau
dinyatakan palsu.
b. Adanya dokumen yang disembunyikan, dan,
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat.
Rincian unsur-unsur tersebut sebagai suatu bentuk perlindungan hukum
bagi pihak yang terlibat dalam proses arbitrase yang memiliki dugaan bahwa
putusan yang telah dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbiter tersebut
mengandung unsur-unsur pemalsuan, penyembunyian fakta, dokumen, dan
adanya unsur tipu muslihat.
2. Bahwa dalam melaksanakan arbitrase, BANI telah menerbitkan kebutuhan
prosedural (prosedural regulation) yang mengatur proses arbitrase yang
diselenggarakan oleh BANI bagi yang menunjuk BANI. Selain ruang lingkup
dan ketentuan-ketentuan umum. Peraturan prosedural BANI memuat proses
arbitrase yang umum berlaku di peradilan umum prosedur pembentukan
majelis arbitrase, termasuk penunjukan, penolakan, pengingkaran, dan
penggantian arbiter, pemeriksaan arbitrase, bahasa pemeriksaan, dan
dokumen bukti, dan persidangan, bobot pembuktian, pemeriksaan saksi-saksi,
dan ahli, dan putusan, dan pendaftaran putusan di pengadilan negeri.
3. Bentuk prosedural BANI memberikan kesempatan seluas-luasnya dengan
memberikan waktu khusus kepada para pihak untuk memeriksa bukti-bukti dan
saksi-saksi dan/atau ahli yang diajukan olehnya dan olehnya dan pihak lawan
dan bahwa pemeriksaan dokumen juga meliputi keaslian dokumen, demikian
pula dengan pemeriksaan para saksi dan ahli dalam persidangan yang
semuanya disumpah menurut agama atau kepercayaan masing-masing dan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
61 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
diharuskan menyampaikan keterangan tertulis (affidavit) sebelum
pemeriksaan.
4. Bahwa tipu muslihat merupakan salah satu tindak pidana atau kejahatan
terhadap harta benda yang di dalam KUHP diatur dalam Bab XXV Pasal 378
sampai 395. Bahwa dengan demikian pembuktiannya masuk dalam ranah
hukum pidana.
5. Bahwa UU AAPS menetapkan putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Pasal 60). Dengan demikian
kesepakatan para pihak menyelesaikan sengketa melalui arbitrase pada
hakikatnya berarti bahwa para pihak bersedia menerima putusan arbitrase
sebagai putusan terakhir (final) dari para arbiter dan mengikat para pihak yang
berlandaskan pada asas pacta sunt servanda. Dalam hal para pihak tidak
melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela. Putusan dapat dilaksanakan
berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri (PN) atas permohonan salah
satu pihak yang bersengketa (Pasal 61). Untuk itu putusan arbitrase harus
didaftarkan oleh arbiter kepada panitera pengadilan negeri dalam waktu paling
lama 30 hari sejak tanggal putusan diucapkan (Pasal 59). Ketua PN tidak
memeriksa alasan atau memperimbangkan dalam putusan arbitrase (Pasal 62
butir 4). Eksekusi putusan arbitrase dapat ditolak oleh pengadilan negeri untuk
dilaksanakan hanya dalam hal putusan arbitrase melanggar kesusilaan dan
ketertiban umum.
6. Pasal 71 Undang-Undang AAPS mengisyaratkan permohonan pembatalan
putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30
hari terhitung sejak dari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada panitera pengadilan negeri. Selanjutnya, Pasal 59 ayat (1) Undang-
Undang AAPS menentukan bahwa dalam waktu paling lama 30 hari sejak
tanggal putusan ditetapkan, lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera
pengadilan negeri. Jadi, maksimum waktu yang yang disediakan untuk
memperoleh putusan pengadilan negeri tersebut adalah 60 hari.
Bahwa memang jangka waktu itu sering dianggap tidak cukup atau
ketentuan ini sulit untuk dapat dijalankan sebagaimana dinyatakan oleh
Pemohon dalam Perkara Nomor 15/PUU-XII/2014. Namun, hal tersebut
semata-mata merupakan teknik pengadilan dan sering merupakan taktik
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
62 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
penundaan persidangan yang dilakukan oleh para pengacara dan bahwa
pengadilan cepat dapat dibuktikan dapat dilakukan dalam perkara-perkara
kepailitan.
7. Ketentuan Pasal 70 dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
mengatur bahwa terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan
permohonan yang harus diajukan secara tertulis dan bahwa ketentuan ini
dapat diartikan bahwa bentuk pengajuan pembatalannya berupa suatu surat
permohonan. Dan bahwa dengan demikian, tunduk pada yurisdiksi voluntair
yang menurut Yahya Harahap (Mantan Hakim Agung), ciri khas permohonan
atau gugatan voluntair adalah masalah yang diajukan dalam permohonan
tersebut bersifat kepentingan sepihak semata. Atau permasalahan yang
dimohonkan kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa
dengan pihak lain, atau tidak ada orang lain, atau pihak ketiga yang ditarik
sebagai lawan, tetapi bersifat ex parte.
8. Tentang pemeriksaan atas adanya pemalsuan dokumen, hanya dapat diajukan
dalam bentuk gugatan bukan voluntair dan disidangkan oleh majelis hakim.
Sehingga jelas bahwa Pasal 70 dan Penjelasan Pasal 70 saling melengkapi
proses yang harus diikuti untuk membatalkan putusan arbitrase. Atau
penjelasan Pasal 70 bukan merupakan norma baru. Penjelasan dalam Pasal
70 pada hakikatnya bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum dan
keadilan. Dalam arti bahwa adanya pemalsuan atau pun tipu muslihat harus
dibuktikan melalui gugatan di pengadilan. Sebaliknya, penghapusan
penjelasan Pasal 70, sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon
akan menghilangkan hak-hak konstitusional pihak yang memenangkan
perkara arbitrase untuk mendapatkan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum
dalam melakukan eksekusi putusan arbitrase. Bahwa dibutuhkan waktu yang
lama untuk mendapatkan putusan akhir untuk membuktikan adanya dokumen,
atau fakta palsu, atau dipalsukan dalam rangka pembatalan putusan arbitrase
itu merupakan teknik pengadilan dan tidak sesuai dengan asas peradilan
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
9. Pasal 72 butir 3 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pembatalan
ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak
permohonan diajukan oleh ketua pengadilan negeri. Dan bahwa dengan
demikian, sudah sepatutnya dan selayaknya bukti-bukti adanya dokumen
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
63 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
palsu atau tipu muslihat yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sudah
terbukti sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
10. Adanya praktik peradilan yang bertentangan dengan prinsip peradilan
sederhana, cepat, dan biaya ringan tersebut, sering dilatarbelakangi oleh
berbagai faktor. Antara lain, para pengacara yang tidak secara profesional
bertindak demi klien yang mempercayakan perkara kepadanya dan para
pencari keadilan sendiri yang tidak melihat proses pengadilan itu sebagai cara
untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sebagai sarana
untuk memenangkan perkaranya dengan cara apa pun. Ini mencerminkan
perilaku yang tidak beriktikad baik, yang dalam upaya pembatalan putusan
arbitrase adalah pihak yang tidak mau mengakui kekalahan dengan
mengingkari kesepakatan bahwa putusan arbitrase adalah final dan mengikat.
Dengan demikian, perilaku yang menunda-nunda eksekusi putusan arbitrase
akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghilangkan hak
konstitusional pihak lawannya untuk mendapatkan manfaat, keadilan, dan
kepastian hukum dari suatu putusan arbitrase yang telah disepakati para pihak
yang bersengketa sebagai putusan final dan mengikat.
11. Pengajuan pembatalan putusan sering tidak dilandasi dengan iktikad baik yang
merupakan asas pokok dari suatu perjanjian bahwa arbitrase merupakan
kesepakan para pihak dalam cara menyelesaikan sengketa yang didasari atas
asas pacta sunt servanda dan cita-cita hukum yaitu kemanfaatan, keadilan,
dan kepastian hukum. Oleh karena itu, para pihak yang berkontrak diminta
untuk mau menerima putusan yang dibuat oleh arbiter yang telah ditujukannya
sendiri. Pengadilan hanya untuk menegakkan hukum agar putusan arbitrase
ditaati para pihak. Selanjutnya bahwa dibatasinya waktu untuk mengadakan
permohonan pembatalan putusan berkaitan erat dengan kesepakatan
bersama para pihak bahwa putusan arbitrase merupakan putusan akhir dan
mengikat para pihak dalam rangka melindungi hak konstitusional para pihak
yang mendapatkan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum, baik pihak yang
memenangkan maupun yang dikalahkan dalam perkara arbitrase.
Kedudukan Hukum, Legal Standing Pemohon 1. Pemohon dalam perkara di Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUUXII/2014
adalah pemilik PT. Minerina Cipta Guna (PT MCC), dan PT. Bangun Bumi
Bersatu, (PT. BBB), yang merupakan salah satu pihak dalam suatu perjanjian
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
64 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
dalam bidang perdagangan yang sedang bersengketa dengan mitranya, di
mana para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa dalam Perkara
Nomor 433/I/ARB.BANI/2012. Melalui proses arbitrase yang memiliki otoritas
dan yurisprudensi terhadap sengketanya yang tidak bisa dicampuri oleh pihak
manapun tanpa kehendak/izin dari pihak-pihak manapun yang bersengketa.
2. Bahwa Majelis Arbitrase yang memeriksa dan memutus Perkara Nomor
443/I/ARB.BANI/2012 terdiri dari M. Husseyn Umar, S.H., sebagai ketua
majelis dan Dr. Ir. Madjedi Hasan, M.Pe. M.Ph., dan Prof. Dr. Ahmad Ramli,
S.H., M.H. sebagai Anggota Majelis. Dan bahwa setelah melalui pemeriksaan
bukti-bukti berupa dokumen, saksi-saksi, dan para ahli yang diajukan oleh para
pihak dalam persidangan, majelis arbitrase pada tanggal 8 November
2012/2013 memutuskan menolak sebagian permohonan Pemohon yang
diajukan dalam persidangan arbitrase.
3. Bahwa setelah putusan arbitrase a quo dibacakan pada tanggal 8 Februari
2013 dan didaftarkan di pengadilan negeri di Bandung pada tanggal 4 Mei
2013, Pemohon kemudian mengajukan permohonan pembatalan putusan
arbitrase a quo di PN Bandung, di mana Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Bandung kemudian memutuskan menerima permohonan Pemohon agar
membatalkan Putusan Arbitrase BANI a quo dan mengadili sendiri yang
merupakan lawan Pemohon dalam perkara arbitrase a quo.
4. Bahwa dalam Putusan PN Bandung a quo, BANI dan lawan Pemohon dalam
perkara arbitrase, sesuai ketentuan Pasal 70 Undang-Undang AAPS kemudian
mengajukan banding ke Mahkamah Agung yang sampai pernyataan ini dibuat
sampai dalam proses dan belum ada putusan.
5. Bahwa Pemohon yang diajukan oleh Pemohon pada Mahkama Konstitusi
untuk menyatakan bahwa penjelasan Pasal 70 Undang-Undang AAPS telah
menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian
hukum, pada hakikatnya merupakan upaya yang beritikad buruk dari Pemohon
untuk membatalkan Putusan Majelis Arbitrase BANI yang sedang dalam
pemeriksaan banding oleh Mahkamah Agung.
6. Bahwa untuk menggugat pelanggaran hak konstitusional, kiranya perlu
dipertanyakan kepentingan para Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional dirugikan atas
berlakunya ketentuan tentang pelaksanaan Pasal 70 Undang-Undang AAPS
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
65 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
dan juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penilaian yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan apakah ada
hubungan sebabakibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
ketentuan penjelasan Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji?
7. Berdasarkan hal tersebut, BANI berpendapat bahwa Pemohon tidak
memenuhi 3 persyaratan untuk menggugat yang harus dipenuhi di Mahkamah
Konstitusi yaitu.
a. Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan
Pemohon yang dilindungi secara hukum dan bersifat spesifik.
b. Ketentuan aktual dalam suatu kontroversi yang bukan bersifat potensial dan
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya suatu
Undang-Undang. Dan kemudian, dengan diberikannya putusan yang
diharapkan akan merugikan dan dihindarkan untuk dipulihkan.
8. Tidak dipenuhinya hal-hal tersebut di atas BANI berpendapat bahwa Pemohon
dalam permohonannya tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon peninjauan konstitusional
terhadap materi dalam suatu undang-undang, sehingga adalah tepat jika
Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon
tidak dapat diterima.
Kesimpulan 1. Pemohon dalam permohonannya tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak
yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon peninjauan
konstitusional terhadap materi dalam suatu Undang Undang dan bahwa
adalah tepat jika yang Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
2. Putusan arbitrase bersumber pada kesepakatan para pihak yang berlandaskan
pada asas pacta sunt servanda untuk menyelesaikan sengketa diantara pihak
melalui majelis arbitrase yang ditunjuk sendiri dan putusannya merupakan
putusan akhir dan mengikat. Dengan demikian penjelasan Pasal 70 UU AAPS
yang menyatakan bahwa alasan permohonan membatalkan harus dibuktikan
dengan putusan pengadilan negeri dalam waktu 30 hari sejak pendaftaran
putusan sudah sesuai dengan asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian
hukum.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
66 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
3. Penghapusan Penjelasan Pasal 70 akan menghilangkan kepastian hukum
atas putusan arbitrase dan bahwa dengan demikian akan mengingkari hak-hak
konstitusional pihak yang benar yang memenangkan perkara untuk
memperoleh manfaat dan keadilan hukum dari putusan arbitrase yang bersifat
final dan mengikat berdasarkan pada asas pacta sunt servanda, yang dapat
diartikan bahwa para pihak menjamin akan lansung melaksanakan putusan
arbitrase tersebut dan bahwa dengan demikin Majelis Konstitusi tidak
sewajarnya dan sepatutnya menolak, mengabulkan permohonan penghapusan
Penjelasan Pasal 70.
4. Penghapusan Penjelasan Pasal 70 juga mengingkari penerapan asas
pengadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang merupakan salah satu hal
yang dituntut pihak ketika memasuki proses peradilan dan merupakan salah
satu asas menyelenggarakan kekuasaan kehakiman sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan bahwa dengan sederhana dalam hal ini
dimaksudkan agar pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan
cara yang efisien dengan tetap tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari
kebenaran dan keadilan.
[2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan yang
disampaikan oleh para Pemohon dan Presiden yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah masing-masing pada tanggal 4 September 2014 dan 10 September
2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya;
[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian
konstitusionalitas Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
67 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Republik Indonesia Nomor 3872, selanjutnya disebut UU 30/1999) terhadap Pasal
27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo.
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya
disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk menguji
konstitusionalitas Undang-Undang, in casu Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999
terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk
mengadili permohonan a quo;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
68 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005
bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20
September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
69 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon I dan Pemohon II adalah perseorangan
warga negara Indonesia yang masing-masing adalah Direktur PT. Bangun Bumi
Bersatu (PT. BBB) dan PT. Minerina Cipta Guna (PT. MCG), yang merupakan
perusahaan yang bersengketa di Badan Arbitrase Indonesia (BANI) yang
mengalami, atau setidaknya potensial mengalami kerugian konstitusional dengan
adanya Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999, karena menimbulkan norma baru yang
bertentangan dengan substansi yang terkandung dalam Pasal 70 UU 30/1999,
sehingga tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal
27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
[3.8] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK,
dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum, serta dalil
Pemohon yang menganggap dirugikan akibat ketidakpastian hukum dengan tidak
selarasnya ketentuan dalam Pasal 70 dengan Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999,
maka menurut Mahkamah, para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian
tersebut bersifat potensial, dan terdapat hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian dimaksud dengan berlakunya norma Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian, sehingga terdapat kemungkinan apabila permohonan
dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan terjadi.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, para Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan para Pemohon dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
70 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pokok Permohonan
[3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan sebagaimana dimaksud oleh para
Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999
yang selengkapnya menyatakan, “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan
terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan
tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan
sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak
permohonan”, sedangkan Pasal 70 UU 30/1999 menyatakan, “Terhadap putusan
arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan
tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”
Dengan adanya Penjelasan tersebut menurut para Pemohon mengakibatkan
norma dalam pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang adil,
sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, yang menyatakan:
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
[3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil permohonannya para
Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-14, yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 19 Maret
2014;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
71 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
[3.12] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil permohonannya para
Pemohon mengajukan dua orang ahli, Prof. Satya Arinanto dan Dr. Aidul Fitriciada
Azhari, S.H., M.Hum., yang didengarkan keterangannya di persidangan
Mahkamah pada tanggal 30 April 2014;
[3.13] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden
pada pokoknya mengemukakan bahwa Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 tidak
bertentangan dengan substansi Pasal 70 UU 30/1999, sehingga tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Justru jika Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999
dianggap tidak mempunyai kekuatan mengikat, maka Pasal 70 UU 30/1999 akan
kehilangan tafsir resmi terhadap normanya, dan akan menimbulkan ketidakpastian
hukum. Selain itu Presiden juga mengajukan dua orang ahli, Prof. Dr. Huala Adolf
S.H., L.LM., dan Prof. Dr. Mieke Komar S.H., M.CL., yang didengarkan
keterangannya pada persidangan Mahkamah tanggal 26 Agustus 2014
[3.14] Menimbang bahwa Mahkamah menerima keterangan tertulis DPR pada
pokoknya menerangkan bahwa Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 dirumuskan
untuk memperjelas ketentuan norma Pasal 70 UU 30/1999, sehingga dapat lebih
memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan putusan arbitrase dan bagi pihak-
pihak yang bersengketa dalam lembaga arbitrase.
[3.15] Menimbang bahwa, Badan Arbitrase Indonesia sebagai Pihak Terkait,
memberikan keterangan di persidangan Mahkamah tanggal 30 April 2014 yang
pada pokoknya menerangkan bahwa putusan arbitrase bersumber dari
kesepakatan para pihak yang berlandaskan asas pacta sunt servanda melalui
majelis arbitrase yang ditunjuk sendiri oleh para pihak. Penghapusan Penjelasan
Pasal 70 UU 30/1999 akan menghilangkan kepastian hukum atas putusan
arbitrase dan akan mengingkari hak-hak konstitusional pihak yang benar dan
memenangkan perkara arbitrase, juga mengingkari penerapan asas pengadilan
sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
[3.16] Menimbang bahwa, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama
permohonan para Pemohon, keterangan dari Presiden, keterangan DPR,
keterangan Pihak Terkait, bukti-bukti surat/tulisan dan ahli yang diajukan oleh para
Pemohon dan Presiden, serta kesimpulan tertulis para Pemohon dan Presiden
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
72 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah
berpendapat sebagai berikut:
Pendapat Mahkamah
[3.17] Menimbang bahwa untuk mempertimbangkan pokok permohonan para
Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu perlu mengemukakan hal-hal sebagai
berikut:
Bahwa penyelesaian sengketa perdata, yaitu sengketa hukum yang
menyangkut hubungan hukum antarorang dalam pengertian perseorangan,
khususnya dalam bisnis atau perdagangan, sesungguhnya menjadi urusan mereka
yang terlibat di dalamnya. Meskipun demikian, negara sebagai organisasi
kekuasaan yang dibentuk guna melayani masyarakat dalam memberikan
perlindungan hukum di dalamnya membentuk kekuasaan kehakiman. Di dalam
kekuasaan kehakiman tersebut ditetapkan pengadilan sebagai institusi pelakunya
yang disediakan oleh negara supaya menjadi pihak ketiga yang independen dan
imparsial memberikan pelayanan untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Bahwa dalam hal sengketa tersebut adalah sengketa hukum di bidang
keperdataan sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya penyelesaian tersebut
menjadi urusan mereka yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, untuk
penyelesaiannya para pihak dapat mengajukan ke pengadilan yang berwenang
yang disediakan oleh negara guna melayani mereka. Dalam memberikan
pelayanan, sebelum menyelesaikan sengketa, pengadilan akan bersungguh-
sungguh berusaha supaya mereka dapat menyelesaikan dengan cara perdamaian.
Baru apabila hal tersebut tidak tercapai maka pengadilan akan menyelesaikan
sengketa dimaksud dengan menegakkan hukum dan keadilan [vide Pasal 24 UUD
1945];
Bahwa oleh karena penyelesaian sengketa tersebut adalah urusan mereka
yang terlibat di dalamnya maka dalam penyelesaian sengketa tersebut selain
mengajukan ke pengadilan, mereka dapat pula mengadakan perjanjian, baik
sebelum atau setelah terjadi sengketa, untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian penyelesaian sengketa yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa [vide Pasal 1 angka1 UU
30/1999]. Bahwa dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase para pihak dapat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
73 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
mengajukan permohonan pendapat hukum atau putusan [vide Pasal 52 UU
30/1999];
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka penyelesaian sengketa,
diajukan kepada lembaga apapun – pengadilan atau arbitrase – sesungguhnya
lembaga dimaksud adalah pihak ketiga yang mendapat kepercayaan dari para
pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, selain lembaga dimaksud harus
independen dan imparsial, para pihak yang bersengketa dalam proses
penyelesaian tersebut harus sungguh-sungguh, terbuka, tulus dan jujur. Tiadanya
hal tersebut pada salah satu dari kedua belah pihak, sehingga merugikan pihak
lain maka pihak lain tersebut harus diberi kesempatan untuk mengajukan
pembatalan kepada pengadilan yang berwenang. Terkait dengan hal tersebut
Pasal 70 UU 30/1999 mengatur, yang pada pokoknya bahwa terhadap putusan
arbitrase salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan ke
pengadilan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur ketidakjujuran,
yaitu a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil
ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak
lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Penjelasan pasal tersebut menyatakan,
pada pokoknya, bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap
putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan permohonan
pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan. Putusan pengadilan mengenai terbukti atau tidak terbuktinya alasan
permohonan pembatalan putusan arbitrase menjadi dasar pertimbangan bagi
hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Terhadap penjelasan pasal
tersebut para Pemohon mengajukan pengujian konstitusional dengan alasan
sebagaimana diuraikan di atas;
[3.18] Menimbang bahwa terhadap permohonan tersebut Mahkamah
mempertimbangkan, bahwa pasal a quo di dalamnya mengandung norma, pada
pokoknya, bahwa terhadap putusan arbitrase dapat diajukan permohonan
pembatalan manakala ada dugaan mengenai terjadinya salah satu atau beberapa
alasan tertentu sebagaimana telah diuraikan di atas. Pokok permasalahan dalam
pengujian konstitusional tersebut adalah kata “diduga” dalam Pasal 70 UU
30/1999 yang dalam Penjelasannya mempergunakan frasa “harus dibuktikan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
74 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
dengan putusan pengadilan”. Kata “diduga” menurut Mahkamah memberikan
pengertian hukum mengenai kaidah bahwa syarat pengajuan permohonan
pembatalan putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya dugaan pemohon
yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase mengenai terjadinya
alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut. Dugaan pemohon bersifat
hipotetis, subjektif, sepihak, dan a priori. Adapun frasa “harus dibuktikan dengan
putusan pengadilan” yang terdapat dalam Penjelasan pasal tersebut memberikan
pengertian hukum bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan
arbitrase, salah satunya adalah adanya alasan yang dimaksud dalam pasal
tersebut, telah dibuktikan dengan putusan pengadilan, bahkan apabila syarat
tersebut memang harus demikian seharusnya ditambah “yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”, sehingga seharusnya selengkapnya menjadi “harus
dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap”. Menurut hukum akan menjadi masalah bila putusan belum memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Frasa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”
merupakan pengetahuan yang tidak lagi bersifat hipotetis, subjektif, sepihak, dan
apriori, karena telah diverifikasi melalui proses pembuktian. Jadi, menurut hukum
pengetahuan tersebut telah dibuktikan, sehingga bersifat posteriori. Hanya oleh
karena putusan tersebut adalah putusan pengadilan yang didasarkan pada proses
verifikasi oleh pengadilan pula maka mesti tersedia upaya hukum dan oleh karena
itu pula putusan tersebut mestinya harus sudah final. Menurut Mahkamah
Penjelasan tersebut mengubah norma pasal dan menimbulkan norma baru. Norma
dalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan yang bersifat apriori dari
pemohon sedangkan dalam Penjelasan mengubah makna dugaan menjadi
sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon bahwa penjelasan
tersebut menambah norma baru dan menimbulkan ketidakpastian hukum, terbukti
menurut hukum;
[3.19] Menimbang bahwa, dengan adanya penjelasan dimaksud apakah
pasal tersebut menjadi multi tafsir sebagaimana didalilkan para Pemohon,
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Menurut Mahkamah,
pasal tersebut sudah cukup jelas (expressis verbis), sehingga tidak perlu
ditafsirkan. Yang justru menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal tersebut.
Paling tidak multi tafsirnya adalah, (i) bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
75 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
apakah alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih
dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau (ii) bahwa alasan
pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan
pembatalan. Dengan perkataan lain, apakah sebelum mengajukan permohonan
pembatalan, pemohon harus mengajukan salah satu alasan tersebut ke
pengadilan untuk memperoleh putusan dan dengan alasan yang telah diputuskan
pengadilan tersebut menjadikan syarat untuk pengajuan pembatalan. Atau, syarat
alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut harus dibuktikannya dalam
proses pembuktian permohonan di pengadilan tempat diajukannya permohonan
pembatalan. Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi terjadinya
ketidakpastian hukum, sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu, manakala
tafsir yang pertama yang dipergunakan, berarti pemohon dalam mengajukan
permohonan pembatalan tersebut akan berhadapan dengan dua proses
pengadilan. Implikasinya, akan memakan waktu yang tidak sesuai dengan prinsip
arbitrase yang cepat sebagaimana dimaksud, antara lain, dalam Pasal 71 UU
30/1999 yang menyatakan, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus
diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri”. Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, maka tidak
mungkin jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dapat dipenuhi;
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di
atas, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 telah mengakibatkan
ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon beralasan
menurut hukum;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
76 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1. Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, Anwar Usman, dan Aswanto, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua puluh tiga, bulan Oktober, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal sebelas,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
77 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
bulan November, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 15.28 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, Anwar Usman, dan Aswanto, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, serta Pihak Terkait Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Hamdan Zoelva
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Arief Hidayat
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
Wahiduddin Adams
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Aswanto
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Yunita Rhamadani
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]