UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH · dan legitimasi sebuah institusi, semisal institusi...
Transcript of UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH · dan legitimasi sebuah institusi, semisal institusi...
KEDUDUKAN JAKSA AGUNG
DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN INDONESIA DAN ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi)
DI SUSUN OLEH:
A. IRFAN HABIBI 103045228170
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2010 M / 1432 H
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... v
BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Batasan dan Perumusan Masalah ........................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 9
E. Kerangka Teori ..................................................................................... 12
F. Metode Penelitian ................................................................................. 14
1. Jenis Penelitian ............................................................................... 14
2. Sifat Penelitian ............................................................................... 14
3. Pengumpulan Data ......................................................................... 15
4. Analisis Data .................................................................................. 15
5. Pendekatan Masalah ........................................................................ 16
G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 17
BAB II : KEDUDUKAN DAN FUNGSI JAKSA AGUNG
DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGERA ............................... 19
A. Latar Belakang Historis ........................................................................ 19
a.1 Kejaksaan Agung Sebelum Reformasi ........................................... 19
a.2 Kedudukan Jaksa Agung di Masa Reformasi ................................ 23
B. Tugas dan Kewenangan Kejaksaan Agung .......................................... 24
C. Pandangan islam tentang institusi kejaksaan ........ ……………………28
c.1. Pada Masa Nabi Muhammad SAW ............................................... 30
c.2. Masa Khulafa al-Rasyidin .............................................................. 31
c.3. Masa Daulah Umayyah ................................................................. 32
c.4. Masa Daulah Abbasiyah ................................................................ 33
BAB III : LEGALITAS KEPEMIMPINAN JAKSA AGUNG MENURUT
HUKUM TATA NEGARA ..................................................................... 37
A. Legalitas dan Kewenangan ................................................................... 39
B. Struktur dan Fungsi Legalitas Menurut Konstitusi .............................. 42
C. Tugas dan Kewenangan Lembaga Peradilan dalam Hukum Tata
Negara Islam ........................................................................................ 45
c.1. Wilayatul Mazhalim ...................................................................... 45
c.2. Wilayatul Hisbah ........................................................................... 50
BAB IV: ANALISIS ATAS LEGITIMASI, FUNGSI DUALISME
KEWENANGAN DAN KEDUDUKAN JAKSA AGUNG DALAM
PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA INDONESIA DAN
ISLAM ...................................................................................................... 52
A. Pengertian umum Legitimasi ............................................................. 52
B. Legitimasi Kekuasaan ........................................................................ 54
C. Analisis Tentang Legitimasi dan Kewenangan
dalam Penegakan Hukum ................................................................... 55
D. Analisis atas Kedudukan dan Posisi Jaksa Agung
dalam Sistem Presidensial di Bawah UUD 1945 ............................... 60
d.1 Kejaksaan di Amerika dan Philipina ............................................ 68
d.2 Kedudukan Kejaksaan dalam UU No. 15 Tahun 1961 ................ 74
d.3 Kedudukan Kejaksaan dalam UU No. 5 Tahun 1991 .................. 78
d.4 Kedudukan Kejaksaan dalam UU No. 16 Tahun 2004 ................ 81
E. Masalah Dualisme Kewenangan Kejaksaan? ..................................... 86
F. Kedudukan Jaksa Agung dalam Perspektif
Hukum Ketatanegaraan Islam ............................................................ 89
BAB V : PENUTUP ............................................................................................... 95
A. Kesimpulan ....................................................................................... 95
B. Saran dan Kritik ................................................................................ 96
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 97
LAMPIRAN ................................................................................................................. 99
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرمحن الرحيم
Puji syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunianya penulis
dapat merampungkan skripsi. Penulis menyadari, skripsi yang saya tulis ini bukan
merupakan sesuatu yang instan. Tapi hasil dari suatu proses yang relatif panjang,
menyita segenap tenaga dan fikiran. Penulisan skripsi ini saya lakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana syariah dari
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang pasti, tanpa
segenap motivasi, kesabaran, kerja keras, dan do’a – mustahil saya sanggup untuk
menjalani tahap demi tahap dalam kehidupan akademik saya di kampus tercinta.
Dengan segala kerendahan hati, ucapan terima kasih yang tak terhingga,
saya berikan kepada :
1. Ibunda tersayang atas kesabarannya menunggu tanggung jawab yang
harus diselesaikan anaknya yang tampan.
2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. Asmawi. M,Ag dan Afwan Faizin. M,A selaku Ketua dan Sekertaris
Jurusan Fakultas Syariah dan Hukum yang banyak membantu dan
mengayomi saya.
4. H. Zubir Laini. SH dan Dr.H.M. Nurul Irfan. M,Ag Dosen Pembimbing
yang telah banyak memberikan masukan dan arahan.
5. Dr.A. Sudirman Abbas. M.A dah Afwan Faizin. M.A selaku penguji
sidang skripsi yang baik hati.
6. Seluruh staff dan pegawai perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Prof. Dr Yusril Ihza Mahendra atas kesempatannya meluangkan waktu
untuk berdiskusi tentang tema skripsi yang akan saya tulis.
8. Jurhum Lantong juru bicara Yusril atas jasanya yang telah
mempertemukan saya dengan Prof. Yusril.
9. Kakak dan Teteh yang tak lelah memberikan semangat dan
menyisihkan APBK (anggaran pengeluaran belanja keluarga) selama
masa studi saya.
10. Rena Ilhami kekasih yang setia menunggu, mendukung dan
mengingatkan saya untuk segera merampungkan skripsi ini.
11. Kanda Lukman Hakim, Bung Sigit, Om Miming, Om Guswin, Bung
Ebot, Julmansyah alias Ujang yang selalu memberikan sindiran-sindiran
dan kritikan yang membangun penulis agar tetap konsisten pada nilai-
nilai perjuangan.
12. Kawan-kawan LINK (lintasan kalam), kawan-kawan Cordova dan
kawan-kawan lainnya yang tak mungkin penulis ungkapkan satu
persatu.
Sekali lagi penulis ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang
mendukung, membantu, memberikan semangat dan arahan sehingga penulis dapat
merampungkan skripsi ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan. Amîn yâ rabbal alamîn.
Ciputat, 22 Februari 2011
Penulis,
A. Irfan Habibi
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya pergunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 Februari 2011
Ahmad. Irfan Habibi
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Kedudukan Jaksa Agung dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia dan Islam telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 22 Februari 2011.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana program Strata Satu (S1) pada Jurusan Siyasah Syariyyah.
Jakarta, 22 Februari 2011
Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 1955 0505 1982031012
Panitia Ujian Munaqasyah:
Ketua : Dr. Asmawi M.Ag. (…………………….) NIP. 197210101997031008 Sekretaris : Afwan Faizin, M.A. (…………………….) NIP. 150326890 Pembimbing I : H. Zubir Laini, SH. (……………….……) NIP. 150009273 Pembimbing II : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. (…………………….) NIP. 197308022003121001 Penguji I : Dr. A. Sudirman Abbas, MA. (…………………….) NIP. 150294051 Penguji II : Afwan Faizin, M.A. (……………….……) NIP. 150326890
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memasuki sepuluh tahun reformasi, Indonesia seolah tak pernah henti
diterpa badai. Dari mulai badai krisis ekonomi, bencana alam, dan masalah
legitimasi kepemimpinan, serta masalah kedudukan sebuah institusi penegak
hukum semisal Kejaksaan Agung.
Tuntutan akan pentingnya kesadaran hukum dan Hak Asasi Manusia mau
tak mau membuat negara harus mampu menyediakan lembaga atau institusi yang
memiliki kedudukan kuat sebagai elemen penegakan hukum dan HAM. Namun,
keberadaan institusi penegak hukum sendiri kerap terhambat, selain oleh proses
delegitimasi kekuasaan, hal lain yang juga jadi masalah adalah sering terjadinya
praktek penegakan hukum yang tebang pilih dan sewenang-wenang. Entah, karena
interest politik maupun mentalitas para penegaknya yang tidak memegang teguh
cita-cita yang diemban sebuah institusi, atau karena sistem ketatanegaraan kita
yang lemah hingga memberi celah tangan-tangan jahil yang lazim
mempermainkan hukum sebagai dagangan kasus.
Potret buram dunia hukum kita semakin terang terlihat dalam beberapa
kasus hukum yang belakangan tampil kepermukaan, seperti skandal Bank
Century, mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan, serta beberapa kasus lainnya
yang melibatkan pejabat, politisi dan sejumlah aparat penegak hukum. Hal ini
jelas sangat mencoreng wajah penegakan hukum kita, dan tentu saja seamakin
mencoreng legitimasi institusi penegak hukum kita dewasa ini.
Mencuatnya beragam gugatan, seperti gugatan atas pemilihan Presiden dan
wakil Presiden lalu, berikut menghangatnya gugatan soal legalitas Jaksa Agung,
Hendarman Supandji, yang dilontarkan Yusril Ihza Mahendra. Seolah
memperlihatkan celah hukum dan ketatanegaraan kita yang masih rapuh.
Pada saat yang sama tuntutan atas kesadaran hukum semakin meningkat,
seiring dengan desakan masyarakat atas penegakan hukum yang berkeadilan
dengan bertolak dari konteks sosio-kultur masyarakat setempat. Kaidah-kaidah
hukum dan ketatanegaraan inilah yang kemudian membuat sendi-sendi kekuasaan
politik mulai goyah.
Di Indonesia, pasca tumbangnya rezim Orde Baru, memang riak-riak
kebebasan dan segudang masalah belum sepenuhnya dapat di atasi dengan baik.
Apalagi format berbangsa dan bernegara kita sangat tercermin oleh tertib
administrasi negara.
Celah hukum dan ketatanegaraan ini tentu saja terkait dengan kedudukan
dan legitimasi sebuah institusi, semisal institusi kejaksaan agung, baik secara
hukum maupun politik. Sebab dalam struktur dan kewenangan terletak legitimasi
yang mau tak mau disandang oleh baik kepemimpinan politik maupun birokrat.
Tanpa alat legitimasi, kekuasaan institusi akan menjadi tumpul. Bahkan tak kuasa
melakukan apa-apa. Terlebih ini sesuatu yang sangat prinsipil.
Sistem hukum dan ketatanegaraan kita selama ini memang merupakan
adopsi baik dari hukum positif maupun hukum Islam, belum sepenuhnya
terintegrasi dengan baik sesuai konteks sosio-kultural masyarakat.
Sebagai negara sedang berkembang, pemerintah Indonesia tentu saja
memiliki tugas yang tidak mudah terkait penegakan hukum dan perbaikan
ketatanegaraan. Sebab bagaimana pun tertib sosial tidak mungkin tanpa tertib
hukum dan ketatanegaraan. Produk hukum kita sendiri tidak hanya bersandar
semata dari hukum positif (postitif legality), tapi juga harus bertolak dari hukum
Islam. Sebab mayoritas masyarakat kita yang menganut Islam. Tidak hanya di
situ, Indonesia juga dikenal memiliki keragaman kultural dan ekspresi-ekpresi
sosial yang pluralistik. Oleh karena itu konvergensi hukum positif, Islam dan
keterkaitannya dengan sosio-kultural menjadi penting untuk diintegrasikan dalam
kehidupan berbangsa dan benegara yang berlandaskan pada penegakan hukum
yang seadil-adilnya. Hal ini jelas tercermin dalam pikiran-pikiran politik, hukum
dan ketatanegaraan sosok pemikir Islam setelah Muhammad Natsir, yakni Yusril
Ihza Mahendra.
Reformasi dibidang hukum di atas, mau tak mau meniscayakan adanya
perubahan dasar-dasar ketatanegaraan, baik bersifat struktural maupun kultural.
Dasar-dasar kenegaraan dan masyarakatan tersebut, menurut Soerjono Seokanto,1
paling sedikit mencakup: (1) agama, (2) filsafat, (3) ideologi, (4) ilmu
1 Soerjono Soekanto, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum," Analisis
Pendidikan. No.02, Tahun ke-IV (1983), hlm. 37
pengetahuan, dan (5) teknologi. Dengan demikian, pembangunan Hukum Islam di
Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Penjabaran Hukum Islam ke dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan
Indonesia.
2. Penciptaan serta menyusun kembali lembaga-lembaga hukum baru.
3. Mengupayakan tentang bagaimana hukum tadi dapat dijalankan
dengan efektif.
4. Serta mendasarkan legitimasi baik hukum maupun politik pada tata
kelola pemerintahan yang baik dan legal2
Sifat khas permasalahan di bidang hukum dan ketatanegaraan tersebut
terletak pada upaya pemetaan kembali sistem hukum, baik dalam konteks struktur
logis hukum maupun dalam konteks sarana bagi perencanaan masyarakat ideal.
Lebih dari itu, terciptanya suatu sistem hukum dan tata negara yang sesuai
dengan keadaan sekarang, ataupun dalam menghadapi perkembangan di masa
yang akan datang merupakan kebutuhan lain yang akan terus mendorong
permasalahan di atas.
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka penulis berupaya
menelusuri jejak hukum dan tata negara yang paralel dengan legitimasi politik
maupun hukum dalam sebuah negara. Upaya-upaya ke arah tata kelola kenegaraan
berdasarkan legitimasi tersebut, tentu saja mesti melibatkan beberapa komponen
yang mesti diperhitungkan dengan matang dan cermat, atau yang biasa dikenal
2 Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, (Jakarta : Departemen Agama
R.I., 1985), hlm. 2.
dengan istilah “Tri Darma Hukum”, yaitu: (1) komponen perangkat hukum, (2)
komponen penegak hukum, dan (3) komponen kesadaran hukum.3
Dengan memperhitungkan setiap komponen hukum di atas, Maka secara
menyeluruh pembahasan diharapakan menjadi lebih komprehensif. Namun,
membatasi pembahasan terkait komponen penegak hukum dan ketatanegaraan
bukan berarti menganggap komponen-komponen hukum yang lainnya kurang
penting.
Dalam tulisan ini, komponen penegak hukum terkait “legitimasi
kepemimpinan” ditempatkan sebagai tema-sentral pembahasan, sambil berusaha
melihat kaitannya dengan komponen-komponen lainnya.
Secara intrinsik, perangkat hukum dan ketatanegaraan harus merefleksikan
pembuatnya, yaitu mereka yang mempunyai peluang untuk melaksanakan serta
mengawasi kekuasaan, “rulling-class are rulling idea” demikian bila merujuk pada
adagium tokoh marxis Antonio Gramsci. Sebab, perangkat hukum, sampai tingkat
tertentu, dikondisikan oleh situasi politik yang berlaku, dalam hal ini pemegang
kekuasaan. Dengan kata lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel S. Lev,4
penegakannya tergantung dari kekuatan dan kekuasaan politik. Sementara di
pihak lain, kondisi tersebut juga ditentukan oleh berbagai kekuatan lainnya,
seperti sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
3 Deden Effendi, Kompleksitas Hakim… 4 Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia: Studi tentang Landasan Politik
Lembaga-Lembaga Hukum, alih bahasa H. Zaini Ahmad Noeh, (Jakarta: PT Intermasa, 1980), hlm. 16.
Berkenaan dengan ini, maka “Kedudukan Jaksa Agung” sebagai salah satu
institusi penegak hukum akan menjadi tema sentral dalam pembahasan ini. Sebab,
baik secara filosofis maupun praktis kedudukan dan legitimasi penegakan hukum
merupakan pintu masuk baik bagi penegakan hukum maupun tata kelola
kenegaraan.5
Kita juga mafhum, pada hakikatnya, bagaimanapun hukum didefinisikan,
sebagai salah satu produk budaya dan politik. Dalam hal ini hukum merupakan
hasil konkritisasi manusia atas nilai-nilai agama dan budaya dalam mengatur
kehidupan manusia itu sendiri.6 Dengan demikian, hukum dapat dijumpai dalam
berbagai lambang atau simbol.
Dalam kasus keabsahan jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang
belakangan berkembang pada uji materi Undang-undang kejaksaan di Mahkamah
Konstitusi (MK) misalnya, ini bagian dari celah hukum yang mau tak mau harus
dicari jalan keluarnya. Sebab, bagaimana pun posisinya erat terkait dengan
kedudukan sebuah institusi penegakan hukum yang tak lain berada pada
Kejaksaan Agung. Karena hal ini bukan sekadar persoalan kewenangan, tapi juga
legitimasi kepemimpinan pejabat di sautu institusi.
Permohonan uji materi dari mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza
Mahendra terkait masa tugas Jaksa Agung juga akan berakibat fatal pada wibawa
pemerintahan maupun institusi Kejaksaan Agung. Terlebih setelah Mahkamah
5 Soerjono Soekanto, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum," Analisis
Pendidikan, hlm. 40. 6 T. M. Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan Hukum Acara Islam (Bandung: PT Al-Maarif,
1964), hlm. 30
Konstitusi memutuskan untuk memberhentikan karena tidak ada perpanjangan
dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus tersebut menjadi preseden buruk
bagi penegakan hukum. Artinya, bahwa hal itu cerminan dari keteledoran negara
dalam hal ini presiden dalam menegakkan sistem ketatanegaraan.
Konstitusionalitas penafsiran Pasal 19 dan Pasal 22 UU Kejaksaan
dihubungkan dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1
dan 28 D ayat (1) UUD 1945 yang diajukan Yusril Ihza Mahendra. Adalah cermin
dari lemahnya sistem hukum dan ketatanegaraan kita. Terlebih, ini bukan sekadar
masalah administrasi hukum semata. Lebih dari itu juga terkait dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia.
Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan menyatakan Jaksa Agung diangkat dan
diberhentikan Presiden. Sementara Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan dijelaskan
bahwa Jaksa Agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena
meninggal dunia, mengundurkan diri, atas permintaan sendiri, sakit jasmani dan
rohani, serta berakhir masa jabatannya. Ketentuan itu tak membatasi masa jabatan
Jaksa Agung.
Menurut Yusril Ihza Mahendra Jaksa Agung Hendarman Supandji, bila
bertolak pada argumen di atas adalah illegal. Dengan demikian seluruh keputusan
yang ia perbuat juga batal demi hukum.
Pakar Hukum Tata Negara yang juga pemikir Islam ini berpendapat bahwa
jabatan Jaksa Agung harus juga dikaitkan dengan periode jabatan kabinet. Jika
tidak, lanjutnya, jabatan yang disandang Hendarman seolah-olah tidak ada batasan
masa jabatannya. Hendarman bahkan bisa menjadi Jaksa Agung seumur hidup.
(Sumber: Berbagai sumber media cetak maupun online)
Dalam konteks inilah penulis melihat, contoh kasus ini menarik untuk
dikaji, sebab ini tak hanya memperlihatkan dimensi dari lemahnya hukum
administrasi negara. Lebih dari itu terkait dengan legitimasi kepemimpinan yang
akan berakibat fatal bagi tatanan hukum dan ketatanegaraan kita. Sehingga
penting untuk mengkaji secara lebih dalam persoalan “Legitimasi
Kepemimpinan” dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah penyusun paparkan di atas,
penyusun mengambil batasan dan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan dan fungsi Kejaksaan Agung dalam konsep
ketatanegaraan Indonesia dan Islam?
2. Usaha-usaha apakah yang harus dilakukan agar tidak terjadi
kesimpangsiuran dalam penyelenggaraan kenegaraan, terutama terkait
penegakan hukum yang dimandatkan pada undang-undang terhadap
intitusi Kejaksaan Agung?
3. Bagaimana Persamaan dan perbedaan kedudukan Kejaksaan Agung dalam
perspektif ketatanegaraan Indonesia dan Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulisan skripsi ini bertujuan:
a. Menjelaskan duduk perkara Kedudukan dan Legitimasi kepemimpinan
dalam konteks konstitusi dan sistem ketatanegaraan Indonesia dan
Islam.
b. Menjelaskan persamaan dan perbedaan kedudukan institusi Kejaksaan
Agung dalam perspektif ketatanegaraan dalam Islam dan Indonesia.
c. Menjelaskan usaha-usaha yang harus dilakukan agar peran dan
kedudukan institusi kejaksaan agung dapat seoptimal mungkin dalam
menegakkan hukum di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendasar agar
dapat di peroleh manfaat dari penelitian tersebut, yaitu:
a. Secara akademik
Penulisan ini diharapkan dapat menciptakan suasana yang favourabel
bagi pengembangan ilmu hukum dan ketatanegaraan, baik dalam arti
sebagai suatu sarana pengendalian masyarakat maupun dalam arti
sebagai sarana penyelenggaraan negara.
b. Secara praktis
Untuk menyumbangkan hasil pemikiran tentang hukum dan
ketatanegaraan Indonesia terutama dalam yang memiliki kaitan dengan
Hukum dan ketatanegaran Islam dan Barat.
D. Tinjauan Pustaka
Studi mendalam mengenai “Kedudukan Jaksa Agung” memungkinkan
kita memahami seluk beluk institusi penegakan hukum baik secara historis
maupun konteks sosial politik. Terlebih dalam konteks ketatanegaraan Indonesia
dan Islam sebagai sebuah rujukan berbangsa dan bernegara. Hal ini selain untuk
menunjukan banyaknya celah hukum dan tata kelola kebijakan serta kewenangan
negara. Kedudukan dan legitimasi Kejaksaan Agung juga bisa menjadi salah satu
alat ukur dalam menjalankan perintah dan tugas sebagaimana diamanatkan UUD
1945.
Dengan begitu apa yang disebut institusi negara yang memiliki aparatur
yang akan bekerja sesuai sistem, bukan berlandaskan semata kekuasaan yang
sewenang-wenang. Sebab, tanpa alat pijak itu akan terjadi pengelolaan negara
yang keliru dan cenderung semaunya.
Selain itu tidak dapat dinafikan, aspek aspek hukum yang terkandung baik
dalam Islam maupun kebudayaan barat tetap memiliki korelasinya dengan konteks
berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia.
Wahyu Affandi dalam bukunya menjelaskan bahwa penegak hukum tidak
hanya harus mampu mengatur hukum, melainkan dituntut pula untuk
mendisplinkan diri supaya mematuhi hukum, dan adalah sulit untuk dibayangkan
berhasilnya usaha untuk menegakkan hukum serta untuk menciptakan kepastian
hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat apabila penegak hukum
itu sendiri baik dalam tindakannya maupun tingkah lakunya sehari-hari selalu
mengabaikan hukum.7
Ahkyar, juga mengemukakan pendapat dalam tulisannya yang berjudul
Implementasi Kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi, bahwa selain adanya
berbagai kebebasan, juga ditambah aturan tentang tingkah laku dan kegiatan para
hakim/jaksa, yaitu, semacam code of conduct. Aturan tentang tingkah laku atau
code conduct itu penting, sebab merupakan aturan yang mengatur tingkah laku
para hakim supaya memungkinkan para hakim/jaksa bersifat responsif terhadap
harapan dari masyarakat dan melaksanakan secara konkrit pengaturan yang
menggambarkan Who watches the watchmen itu.8
Dari telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, penelitian ini
memiliki perbedaan dengan penelitian atau karya sebelumnya. Perbedaaanya
terletak pada pembahasan kedudukan jaksa agung. Secara spesifik dalam
penelitian skripsi ini akan terlihat perbedaaanya terkait dengan batasan dan posisi
Jaksa Agung sesuai dengan hasil uji materi Mahkamah Agung 2010. Setelah
7 Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum. (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 7 8 Ahyar, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi: Himpunan Karya
Tulis Bidang Hukum (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Dept. Kehakiman RI, 1999), hlm. 295
sebelumnya, konstitusionalitas penafsiran Pasal 19 dan Pasal 22 UU Kejaksaan
dihubungkan dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1
dan 28 D ayat (1) UUD 1945 yang diajukan Yusril Ihza mahendra.
Selain itu, Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan menyatakan Jaksa Agung
diangkat dan diberhentikan Presiden. Sementara Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan
dijelaskan bahwa Jaksa Agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atas permintaan sendiri, sakit
jasmani dan rohani, serta berakhir masa jabatannya. Ketentuan itu tak membatasi
masa jabatan Jaksa Agung. Inilah salah satu pembahasan yang mutakhir yang jadi
bagian penting pembahasan, dari karya-karya yang telah ada sebelumnya.
E. Kerangka Teori
Dalam sistem negara hukum, Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memiliki asas keadilan, kebenaran,
ketertiban, dan kepastian hukum. Hal ini terkait dengan sistem penyelenggaraan
hukum dan ketatanegaraan yang selaras dalam usaha mewujudkan suasana
perikehidupan yang aman, tentram, dan tertib seperti yang diamanatkan dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya
lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan yaitu negara yang
memiliki legitimasi kepemimpinan yang solid dan tertata secara konstitusional.
Kini, setelah munculnya, sengketa hukum dan ketatanegaraan yang
memunculkan celah hukum dan ketatanegaraan lembaga-lembaga hukum semisal
Pengadilan menjadi lambang kekuasaan.9
Sebagai contoh, hal ini juga tercermin dalam hukum Islam, yang
mengaskan bahwa seorang hakim boleh menangani kasus yang berkaitan baik itu
menyangkut Haqqul Lillah (hak-hak yang menyangkut urusan langsung dengan
Allah) maupun Haqqul Adami' (hak-hak yang menyangkut urusan dengan
manusia). Mereka juga sepakat bahwa keputusan dari seorang hakim tidak dapat
menghalalkan sesuatu yang haram dan sebaliknya, mengharamkan sesuatu yang
halal.10
Di samping itu, dari berbagai literatur fikih dan ushul fiqh dapat
disimpulkan, bahwa tugas pokok seorang hakim sebagai institusi yang memiliki
legitimasi kekuasaan dalam penegakan hukum adalah, menetapkan hukum syara'
pada suatu perkara secara mengikat untuk menyelesaikan sengketa dalam setiap
gugatan, termasuk perkara legalitas seseorang dalam menentukan kewenangan.
Batasan tersebut menyangkut dengan tugas pokok seorang hakim. Dalam sejarah
peradilan Islam, tugas hakim dalam perkembangannya di samping tugas pokok
tersebut, pernah diberi kewenangan tambahan yang bukan menyelesaikan suatu
perkara kenegaraan. Umpamanya, menikahkan wanita yang tidak punya wali,
pengurusan baitulmal, mengangkat pengawas anak yatim, dan pernah pula sebagai
9 Mohammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia,dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, alih bahasa Rochman Achwan, cet.I (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 208.
10 Ibnu Rusyd al-Khafid, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hlm. 378.
pemimpin perang. Dari batasan itu dapat dipahami bahwa pada diri seorang
hakim/jaksa harus terdapat dua kemampuan, yaitu kemampuan untuk menguasai
hukum yang berkaitan dengan ijtihad istimbaty, dan kemampuan untuk
menerapkannya.11
Hukum dan masyarakat mempunyai hubungan yang bersifat timbal-balik,
“dialektis”. Hukum memberikan penilaian terhadap masyarakat mengenai
kedudukan yang mereka tempati, juga mengarahkan mengenai apa yang
seharusnya mereka lakukan dalam kedudukan tertentu tersebut. Akan tetapi, agar
penilaian tersebut efektif, hukum membutuhkan dasar-dasar sosial. Apabila dasar-
dasar sosial tersebut berubah (diubah), karena merupakan salah satu aspek budaya
yang oleh karenanya bersifat “fana”, maka perubahan di dalam sistem
penilaianpun seringkali terjadi.
Terjadinya ketimpangan antara ukuran yang diusulkan dengan kenyataan
yang dihadapi di dalam pergaulan masyarakat dapat diartikan sebagai masalah
sosial dan ketatanegaraan.
Dengan demikian, penegakkan hukum juga bagian dari implementasi
keadilan dalam sistem ketatanegaraan sebuah bangsa atau masyarakat dan negara.
Suatu sistem yang didisain oleh manusia dalam mengatur hidup dan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Meskipun demikian, tidak ada hukum yang tegak dalam
arti kata yang sebenarnya, kecuali serangkaian peranan para penegak hukum dan
legitimasi kepemimpinan yang digunakan seadil-adilnya. Sehingga garis-
11 H. Satria Efendi M. Zein, "Ijtihad dan Hakim Pengadilan Agama." Mimbar Hukum :
Aktualisasi Hukum Islam, No. 10 Tahun. IV ( 1993), hlm. 43.
kontinum sistem hukum dan ketatanegaraan yang menghubungkan antara
kepastian hukum dan ketertiban berbangsa dan bernegara.
F. Metode Penelitian
Tehnik penulisan yang digunakan dalam pembuatan skripsi ini mengacu
pada buku Pedoman Akademik 2007-2008 yang diterbitkan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta12
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber
kepustakaan berupa data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan
dengan pembahasan dan membantu pemahaman.
2. Sifat Penelitian
Penelitian bersifat Deskriptif Analitik. Deskriptik adalah metode yang
menggunakan pencarian fakta dengan metode intrepretasi yang tepat, sedang
analisis adalah menguraikan sesuatu dengan cermat dan terarah.13 Dengan
menggunakan metode ini, diharapkan kedudukan “Kejaksaan Agung” akan
tergambarkan dengan jelas.
12 Pedoman Akademik 2007-2008, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13 Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 63.
3. Pengumpulan Data
Penelitian dalam penulisan skripsi ini jenisnya adalah penelitian
kepustakaan, maka pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan buku-
buku serta artikel yang relevan dengan pembahasan. Data primer yaitu buku-
buku yang ada kaitannya langsung dengan masalah yang akan dibahas, seperti
Legitimasi, Hukum, Tata Negara, konstitusi, UUD 1945, Undang-undang
Republik Indonesia Nomor : 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung,
Undang-undang dasar 1945 hasil perubahan atau amandemen Ketiga yang
disahkan pada 9 November tentang pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK),
serta kitab undang-undang lainnya yang relevan membahas soal legitimasi
kepemimpinan, baik di tingkat institusi maupun negara. Sedang data sekunder
yaitu studi-studi yang relevan dengan pembahasan dan membantu pemahaman
dalam penulisan ini.
4. Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan
metode deskriptif analitis dan diinterpretasikan dengan pendekatan yang telah
ditentukan. Adapun kerangka berfikir yang digunakan adalah:
a. Induksi, yaitu mengamati dan mempelajari data yang telah diperoleh yang
masih bersifat kongkrit dan berdiri sendiri untuk ditarik pada generalisasi
yang bersifat umum. Artinya, penyusun berusaha memaparkan
“Kedudukan Kejaksaan Agung” dalam perspektif ketatanegaraan
Indonesia dan Islam, kemudian melakukan analisa sedemikian rupa
sehingga menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.
b. Deduksi, yaitu bertitik tolak dari kaidah-kaidah yang bersifat umum
kemudian dianalisa berdasarkan data yang bersifat khusus. Artinya,
ketentuan-ketentuan umum tetang “Kedudukan Kejaksaan Agung” sesuai
dengan kaidah-kaidah hukum dan tata negara dalam konteks sosial politik
yang ada.
5. Pendekatan Masalah
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
pendekatan
a. Yuridis, yaitu pendekatan dari segi hukum atau peraturan-peraturan
yang tertulis, semisal UU Kejaksaan Agung dan kementrian negara,
UU penyelenggaraan negara dan ketentuan lain terkait ketatanegaraan
Indonesia.
b. Normatif, yaitu pendekatan melalui norma-norma yang terdapat dalam
ajaran Islam (al-Qur'an dan hadis), terutama yang berkaitan dengan
Legitimasi Kepemimpinan” sebagai pembenar dan pemberi norma
terhadap masalah yang menjadi bahasan, sehingga diperoleh
kesimpulan bahwa sesuatu itu boleh atau selaras atau tidak dengan
ketentuan syari'at.
G. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan isi penelitian ini terdiri dari lima bab. Untuk lebih
mudahnya penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua memberikan ulasan tentang Pengertian Kejaksaan Agung
dalam Perspektif Ilmu Ketatanegaraan Islam dan Indonesia, Kedudukan dan
fungsi Kejaksaan Agung dalam penegakan hukum, Tugas-tugas Pokok Jaksa
Agung, Unsur-unsur Legitimasi Institusi, Tujuan dan Manfaat Kejaksaan Agung
Bab ketiga dikhususkan untuk menjelaskan Legalitas dan Kewenangan
pemimpin lembaga dan negara, Struktur legalitas menurut Konstitusi Negara, UU
Kejaksaan Agung, Yudisial Review dan aspek sosial politik di dalamnya.
Penjelasan ini dimaksudkan untuk mengetahui posisi hukum dan ketatanegaraan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bab keempat merupakan inti atau substansi dari keseluruhan penelitian
(skripsi) ini. Bab ini membahas tentang Analisis Atas Signifikansi Legalitas dan
Kewenangan dalam Penegakan Hukum, Analisis Atas Legalitas dan Kewenangan
Penegakan hukum dalam sebuah institusi (Kejagung), Analisis Hukum Tata
Negara Islam dan Barat, dan Anlisis Penulis.
Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih jauh kerangka
hukum dan sistem ketatanegaraan Indonesia dalam kaitannya dengan sistem
ketatanagaraan islam dan barat dan alternatif pemecahannya.
Bab kelima memuat beberapa kesimpulan dan saran-saran sebagai penutup
sekaligus bab terakhir dalam penulisan skripsi ini.
Demikianlah sistematika dan garis besar pembahasan yang akan penyusun
tulis dalam penulisan skripsi serta untuk memudahkan pemahaman terhadap
keseluruhan isi skripsi ini.
BAB II
KEDUDUKAN DAN FUNGSI JAKSA AGUNG DALAM PERSPEKTIF
HUKUM TATA NEGERA
A. Latar Belakang Historis
a.i. Kejaksaan Agung Sebelum Reformasi
Menurut catatan histories istilah Kejaksaan Agung (Kejaksaan)
sebenarnya sudah ada sejak lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada
zaman kerajaan Hindu-Jawa, di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan
Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa saat itu mengacu
pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan, terutama merujuk pada mereka
yang memiliki kewenangan dalam penegakan hukum. Istilah-istilah ini berasal
dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.
Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa
‘dhyaksa’ adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat
Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim
yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang
pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang ‘adhyaksa’, yakni hakim
tertinggi yang memimpin dan mengawasi para ‘dhyaksa’ tadi.
Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang
mengatakan bahwa ‘Dhyaksa’ atau lebih popular dengan ‘Adhyaksa’ adalah
pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van
Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih
terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.14
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan
jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang
memiliki kewenangan untuk memberi perintah pada pegawai-pegawainya
dalam berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang
Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan
Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) dibawah perintah langsung dari
Residen/Asisten Residen.
Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai
perpanjangan tangan Belanda belaka. Dalam artian ia merupakan perpanjangan
dari kekuasaan pemerintah saat itu. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan
pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain:
1) Mempertahankan segala peraturan Negara
2) Melakukan penuntutan segala tindak pidana
3) Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang
4) Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam
menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang
terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
14 Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
(Jakarta: Gramedia, 2005), hal.5-15
Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara
resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman
pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu
Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada
pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan
agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan
negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki
kekuasaan untuk:
1) Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran
2) Menuntut Perkara
3) Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
4) Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Pada saat Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan
dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2
Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk
badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku.
Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua
hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam
struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen
Kehakiman.15
Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika
secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem
pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik
Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring
dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan,
organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai
perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta
bentuk negara dan sistem pemerintahan.
Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar
pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-
Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan
RI. Undang-Undang ini menegaskan bahwa:
Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.
15 Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, hal.135-
150
Pada masa Orde Baru kemudian mengalami perkembangan baru yang
menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang
Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan
mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang
didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20
November 1991.
a. 2. Kedudukan Kejaksaan Agung di Masa Reformasi
Pada masa Reformasi di tengah gencarnya berbagai sorotan terhadap
pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya
dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Memasuki masa reformasi Undang-
undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-undang ini
disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan
eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, maupun pihak lainnya.
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal
2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan
lain berdasarkan undang-undang”. Dalam situasi ini posisi atau kedudukan
Kejaksaan bertindak sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),
mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi
Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke
Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara
Pidana.
Di samping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga
merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive
ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini
dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI
sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan.
Mengacu pada UU tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang
diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini
tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas
dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam
melaksanakan tugas profesionalnya.
B. Tugas dan Kewenangan
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur
tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu:
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang
1) Melakukan penuntutan;
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
4) Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
1) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2) Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
3) Pengamanan peredaran barang cetakan;
4) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara;
5) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6) Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa
Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa
di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena
bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang
dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.
Sementara Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut
menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-
undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan
undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan
badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.
Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan
pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.
Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan
hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggung jawab.
Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini
mestinya dipandang positif sebagai mitra kejaksaan dalam memerangi korupsi.
Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana
korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami oleh Kejaksaan,
namun juga oleh Kepolisian RI serta badan-badan lainnya. Kendala tersebut
antara lain:
1) Modus operandi yang tergolong canggih.
2) Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau teman-temannya.
3) Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan
berbagai peraturan.
4) Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan.
5) Manajemen sumber daya manusia.
6) Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak hukum
yang ada).
7) Sarana dan prasarana yang belum memadai.
8) Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan
serta pembakaran rumah penegak hukum.
Komitmen pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan
pembentukan berbagai lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat
sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Lama. Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi yang lama yaitu UU No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang
bergigi sehingga diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini diatur
pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang
lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan UU ini juga
dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak
adanya Aturan Peralihan dalam UU tersebut. Polemik tentang kewenangan
jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa
diselesaikan oleh UU ini.
Akhirnya, UU No. 30 Tahun 2002 dalam penjelasannya secara tegas
menyatakan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar biasa melalui
pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan luas,
independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan
pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai
extraordinary crime .16
Karena itu, UU No. 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan
pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara untuk penuntutannya, diajukan
oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang terdiri dari
Ketua dan 4 Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat bidang,
yakni Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan internal dan
Pengaduan masyarakat.
Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan
penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian dan
Kejaksaan RI. Sementara khusus untuk penuntutan, tenaga yang diambil adalah
16 Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, hal.102-
160. Baca juga, Yusril Ihza Mahendra, ”Kedudukan Kejaksaan dan posisi jaksa dalam sistem presidensial di Bawah UUD 1945,” Blog Yusril, 2010
pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan
fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan.
C. Pandangan Islam Tentang Institusi Kejaksaan
Dalam literatur studi hukum Islam sebenarnya institusi kejaksaan belum
eksplisit di atur sebagaimana institusi kejaksaan agung saat ini. Utamanya di
negera-negara sekuler. Peranan lembaga peradilan lebih tercakup ke dalam dua
wilayah yakni; Wilayatul Mazhalim dan Wilayatuh Hisbah. Kedua institusi ini
mememiliki fungsi penegakan sekaligus pengawasan. Wilayatul Mazhalim
secara umum didefinisikan sebagai institusi hukum yang berfungsi mengawasi
jalannya sistem peradilan. Wilayah Mazhalim juga bisa diartikan sebagai suatu
kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi daripada kekuasaan
hakim dan kekuasaan muhtasib.
Lembaga ini berfungsi memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke
dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara
penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim
ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebagian dari perkara-perkara
yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh
seseorang yang teraniaya dan sebagiannya pula tidak memerlukan pengaduan
dari yang bersangkutan, tetapi memang jadi wewenang lembaga ini untuk
memeriksanya.17
Sementara itu, lembaga atau wilayatul hisbah dapat dimengerti sebagai
wilayah hisbah merupakan salah satu lembaga dari lembaga peradilan yang
kewenangannya terpusat pada tempat-tempat transaksi sebagaimana terlihat
dalam sejarah Daulah Umayyah dan Abbasiyah, bahkan pada masa Nabi SAW.
Secara historis dalam hukum ketatanegaraan dan sistem peradilan yang
ada sejak munculnya Islam, wilayah atau institusi peradilan tersebut sebenarnya
telah mencakup nilai-nilai sebagaimana dianut pada institusi saat ini, seperti
munculnya lembaga kepolisian, kejaksaan maupun kehakiman. Hanya saja
proses institusionalisasinya mengalami perkembangan lebih modern seperti saat
ini.
Historisitas itu bisa dilihat jika kita misalnya melihat bagaimana dari
masa ke masa dalam lintasan sejarah Islam proses institusionalisasi peradilan
Islam berlangsung.
c.1. Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Di masa Nabi Muhammad SAW, misalnya kita melihat satu hal yang
dilakukan oleh Nabi SAW di Madinah —setelah hijrah dari Makkah ke
Madinah— adalah upayanya untuk mempererat persaudaraan antara kaum
17 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan hukum acara Islam, (Yogyakarta: PT. Al-
Ma’arif, 1964), hal.77-85
Muhajirin dan Anshar dengan mengeluarkan shahifah yang dikenal dengan
shahifah al-rasul yang berisi tentang; Pertama, pentingnya pernyataan persatuan
bersama antara kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
berhubungan dan berjuang bersama mereka; Kedua, orang-orang yang berlaku
zalim atau mengadakan permusuhan di antara orang mukmin, harus sama-sama
diatasi walaupun keluarga sendiri; Ketiga, orang Yahudi saling membantu
dengan orang mukmin dalam menghadapi musuh, dan bebas menjalankan
agamanya masing-masing; Keempat, orang-orang yang bertetangga seperti satu
jiwa dan tidak boleh untuk saling berbuat dosa; Kelima, orang-orang yang
bermukim di Madinah berstatus aman kecuali yang berlaku zalim dan dosa.
Beberapa poin di atas tentu menjadi agenda hukum dan ketatanegaraan
yang penting pada masa kepimimpinan Muhammad SAW, terlebih sengketa
antar komunal dan ketentuan hukum saat itu selalu berkecamuk dalam tata
sosial masyarakat saat itu. Dengan keluarnya shahifah al-rasul itu, sekaligus
mengindikan suatu kondisi yang mencerminkan telah berdirinya satu daulah
Rasul, sebagaimana terlihat dalam penyusunan strategi dalam menghadapi
musuh (orang-orang Quraisy).
Sementara, kondisi peradilan pada masa ini, sudah terlihat dengan
adanya sahabat yang diutus oleh Nabi SAW untuk menjadi qadhi, seperti
Muadz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn alKhaththab di
Madinah. Namun demikian, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan
persoalan diberikan kepada shahabat (qadhi), Akan tetapi, apabila terjadi
ketidakpuasan terhadap putusan tersebut, boleh mengajukan keputusan kembali
kepada Nabi SAW. Melalui beberapa wilayah hukum sebagaimana di atas telah
disinggung.
Di masa ini Wilayatul Hisbah pada masa ini sebagai suatu lembaga yang
belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya praktek-praktek yang mengarah
pada kewenangan hisbah yang dilakukan sendiri oleh Nabi SAW, seperti
ketika Nabi SAW berjalan-jalan di pasar Madinah dan melewati penjual
makanan, kemudian Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam setumpukan
gandum dan menemukan bagian gandum yang basah, Nabi SAW kemudian
bersabda: “Bahwa barangsiapa yang menipu umatnya maka bukan termasuk
umatnya”.
c.2. Masa Khulafa al-Rasyidin
Sementara setelah Nabi SAW wafat, kewenangan sebagai pemimpin
masyarakat (negara) digantikan oleh Abu Bakar, Umar Ibn al Khaththab,
Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Ali Thalib. Secara umum kondisi peradilan pada
masa ini tidak banyak mengalami perubahan. Hanya pada masa Umar Ibn
alKhaththab dan Ali Ibn Abi Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada
qadhi yang diangkat. Begitu juga dengan lembaga hisbah dan lembaga lainnya,
pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan, artinya muhtasib masih
dipegang sendiri oleh khalifah.
c.3. Masa Daulah Umayyah
Adapun di masa kepemimpinan Bani Umayyah, yaitu setelah Ali Ibn
Abi Thalib wafat, kekhalifahan digantikan oleh Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalib.
Di masa ini gejolak politik dan perdebatan telah membuat pemerintahan goyah
dan dukungan masyarakat terhadap kepemimpinannya terus berkurang.
Akibatnya, kekhalifahan kemudian diserahkan kepada Mu’awiyah Ibn Abi
Sufyan. Pada masa inilah imperium Bani Umayyah dmulai dari 661 – 750 M.
Adapun keberadaban peradilan pada masa ini memiliki keistimewaan –
terpisah dengan kekuasaan pemerintah- dengan adanya penentuan qadhi yang
dipilih khalifah, dengan berbagai kewenangan yang dimiliki sebagai mana
diatur dalam undang-undang saat itu. Di antaranya kewenangan memutus
perkara kecuali dalam bidang hudud. Pelaksanaan peradilan itu sendiri
sesungguhnya masih sama dengan peradilan pada masa Khalifah al-Rasyidin.
Adapun Wilayah Hisbah (muhtasib) pada masa ini tidak melembaga dan
diangkat oleh khalifah dan lembaga disebut Shahib al-Sauq.
Joeseph Schacht dalam “An Introduction to Islamic law” menjelaskan
bahwa wilayah hisbah sebenarnya diadopsi dari lembaga peradilan di masa
Bizantium yang fungsinya merupakan bagian dari peradilan, yaitu spector of
market. Apa yang dikatakan oleh Schacht itu sesungguhnya tidak atau belum
dapat diterima sepenuhnya oleh kalangan Muslim. Sebab, antara wilayah
hisbah dengan spector of market memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat
tajam. Sementara, spector of market hanya bertugas untuk mengumpulkan
bayaran wajib para pedagang (collective obligation) atau pajak jualan.
Sementara, wilayatul Hisbah memiliki kewenangan yang lebih dari sekedar itu.
Dilihat dari segi berdirinya pun tidak dapat diterima karena hisbah sudah ada
pada masa Rasul walaupun dalam bentuk embrio, sedangkan terbentuk sebagai
lembaga terjadi pada masa Umayyah setelah melalui proses sejarah.18
Dalam konteks ini, wilayah hisbah pada periode ini sudah menjadi satu
lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur
dan mengontrol masyarakat dari perbuatan perbuatan yang tidak sesuai dengan
syariat Islam.
c.4. Masa Daulah Abbasiyah
Pasca runtuhnya Dinasti Umayyah, kemudian kekuasaan di\gantikan
oleh Dinasti Abbasiyah. Kekusaan Abbasiyyah diperkirakan berlangsung dari
kurun waktu 750 M – 1225 M (132 H – 656 H). Dimasa inilah kejayaan umat
Islam terlihat, tak heran bila pada masa Dinasti ini kerap disebut sebagai zaman
keemasan Islam. Hal itu ditandai oleh kemajuan dalam segala bidang, termasuk
dalam lembaga peradilan. Diferensiasi kemajuan institusi hukum dan sistem
peradilan itu terletak pada pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan yang
dikepalai oleh qadhi al-qudhah yang berkedudukan di ibukota, dengan
kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan
Islam.
Begitu juga dengan lembaga hisbah sudah terlaksana dengan baik,
lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk
memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayah qadha. Hal
18 Joeseph Schacht , An Introduction to Islamic law, (London: Clarendon Paperbacks,
1983), hal. 153.167
ini dijelaskan oleh Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim
peradilan menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk
mengakomodasi dan muhtasib. Artinya, keberadaan lembaga ini pada periode
Abbasiyah sudah melembaga seperti lembaga pemerintahan lainnya, yang
secara struktural berada di bawah lembaga peradilan (qadha).
Jadi, meski secara eksplisit institusi kejaksaan itu tidak eksplisit
sebagaimana saat ini, tapi jugas fungsinya sebagai lembaga penyidik
sebenarnya telah ada saat itu. Namun, memang belum terinstitusionaliasi secara
spesifik. Namun, semangatnya sebenarnya sudah ada. Ini jelas terlihat, jika kita
melihat, baik lembaga kehakiman (Qadhi) maupun kejaksaan yang sering
disebut dalam struktur pemerintahan pada umunya (negara modern). Dalam
pemerintahan Islam masing-masing lembaga negara, termasuk lembaga
penegak hukum seperti peradilan (al-qodhi) dan departemen keamanan dalam
negeri, yang di dalamnya ada satuan kepolisian (syurthah), memiliki fungsi
masing-masing yang tidak tumpang tindih. Peradilan adalah lembaga negara
yang menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat.
Peradilan atau institusi peradilan pada umumnya bertugas
menyelesaikan perselisihan di antara anggota masyarakat, mencegah hal-hal
yang dapat membahayakan hak-hak jamaah, atau mengatasi perselisihan yang
terjadi antara rakyat dan seseorang yang duduk dalam struktur pemerintahan;
baik ia seorang penguasa atau pegawai negeri, Khalifah ataupun selain
Khalifah.
Departemen Keamanan Dalam Negeri—termasuk di dalamnya satuan
kepolisian—bertindak mencegah tindak kejahatan dengan mewaspadai,
menjaga dan melakukan patroli. Kemudian menerapkan hukuman-hukuman
yang telah diputuskan qâdhî (hakim) terhadap orang yang melakukan
pelanggaran atas harta, jiwa atau kehormatan. Semua itu dilakukan oleh satuan
kepolisian (syurthah). Polisi diberi tugas untuk menjaga sistem, mengelola
keamanan dalam negeri dan melaksanakan seluruh aspek implementatif.
Polisi berperan sebagai kekuatan implementatif yang dibutuhkan oleh
penguasa untuk menerapkan syariah, menjaga sistem dan melindungi
keamanan; termasuk melakukan kegiatan patroli. Meski dalam Islam, tidak ada
institusi kejaksaan. Namun, fungsinya menyatu dalam proses hukum di
pengadilan. Dengan demikian, tentu perselisihan antara lembaga penegak
hukum dapat dihindari, selain tentunya akan terjadi efisiensi.
Ini tentu akan sedikit berbeda jika dibandingkan dengan konsep negara
sekuler atau negara modern (nation state). Di Indonesia misalnya, kasus
korupsi, sebuah kasus kewenangan penyidikannya bisa ditangani oleh 3
lembaga: Polri, Kejaksaan dan KPK. Konsekuensi dari tumpang tindihnya
wewenang akan memunculkan dua ekses, yakni perselisihan atau sebaliknya,
‘perselingkuhan’ antarlembaga penegak hukum. Sebagai contoh ‘perselisihan’
jaksa dengan hakim biasanya dilakukan dengan cara jaksa secara sengaja
membuat dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga dengan demikian
terdakwa divonis be bas oleh hakim. Namun, tentu ini implikasi negative yang
muncul, selain tentu saja dalam sejarah Islam sistem peradilannya juga
memiliki kelemahan tertentu, seperti tumpang tindihnya kekuasaan qadhi dan
khalifah.
BAB III
LEGALITAS KEPEMIMPINAN JAKSA AGUNG MENURUT HUKUM
TATA NEGARA
Ketika gelombang deras tuntutan serta harapan besar dari masyarakat
atas penegakan hukum yang adil yang berhembus sejak reformasi. Asa pun kian
membuncah ketika justru praktik hukum berbalik ke arah praktik hukum yang
masih tebang pilih. Belakangan citra institusi penegak hukum bahkan tercoreng
oleh ulah oknum penegak hukum yang bersekongkol dengan para mafia kasus.
Apatisme pun kian merebak di tengah potret hukum yang dapat dengan mudah
dipertontonkan oleh aparat penegak hukum.
Dari segudang masalah yang diemban, dan belum masksimalnya fungsi
penuntutan dan penegakan hukum itu, posisi kejaksaan agung semakin terjepit
oleh desakan banyak kalangan terkait legalitas masa jabatan Jaksa Agung
Hendarman Supandji yang ditiupkan oleh mantan Menteri Sekertaris Negara era
Kabinet Indonesia Bersatu jilid I, yang juga sedang tersangkut masalah hukum,
yakni Yusril Ihza Mahendra. Penetapannya sebagai tersangka kasus Sistem
Administrasi Badan Hukum menjadi pemicu. Pasalnya, mantan Mensesneg yang
juga ahli hukum tata negara itu merasa diadili dan ditetapkan sebagai tersangka
dengan bukti yang lebih, apalagi ini dinilainya sarat politik. Yusril pun meradang
seraya melawan kesewenangan. Akibatnya, posisi legalitas jaksa agung pun
masuk ke meja uji Mahkamah Konstitusi.
Permohonan uji materi dari mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza
Mahendra terkait masa tugas Jaksa Agung juga akan berakibat fatal pada wibawa
pemerintahan maupun institusi Kejaksaan Agung. Terlebih setelah Mahkamah
Konstitusi memutuskan untuk memberhentikan karena tidak ada perpanjangan
dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus tersebut menjadi preseden buruk
bagi penegakan hukum. Artinya, bahwa hal itu cerminan dari keteledoran negara
dalam hal ini presiden dalam menegakkan sistem ketatanegaraan.
Konstitusionalitas penafsiran Pasal 19 dan Pasal 22 UU Kejaksaan
dihubungkan dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1
dan 28 D ayat (1) UUD 1945 yang diajukan Yusril Ihza mahendra. Adalah cermin
dari lemahnya sistem hukum dan ketatanegaraan kita. Terlebih, ini bukan sekadar
masalah administrasi hukum semata. Lebih dari itu juga terkait dengan sistem
ketatanegaraan Indonesia.
Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan menyatakan Jaksa Agung diangkat dan
diberhentikan Presiden. Sementara Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan dijelaskan
bahwa Jaksa Agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena
meninggal dunia, mengundurkan diri, atas permintaan sendiri, sakit jasmani dan
rohani, serta berakhir masa jabatannya. Ketentuan itu tak membatasi masa jabatan
Jaksa Agung. 19
19 Yusril Ihza Mahendra, ”Kedudukan Kejaksaan dan posisi jaksa dalam sistem
presidensial di Bawah UUD 1945,” Blog Yusril, 2010
Menurut Yusril Ihza Mahendra Jaksa Agung Hendarman Supandji, bila
bertolak pada argumen di atas adalah illegal. Dengan demikian seluruh keputusan
yang ia perbuat juga batal demi hukum.
Pakar Hukum Tata Negara yang juga pemikir Islam ini berpendapat bahwa
jabatan Jaksa Agung harus juga dikaitkan dengan periode jabatan kabinet. Jika
tidak, lanjutnya, jabatan yang disandang Hendarman seolah-olah tidak ada batasan
masa jabatannya. Hendarman bahkan bisa menjadi Jaksa Agung seumur hidup.
20(Sumber: Berbagai sumber media cetak maupun online)
Dan setelah melalui uji materi yang panjang, akhirnya penantian publik
terjawab. Setelah Mahkamah Konstitusi atas putusannya yang mengabulkan
sebagian permohonan uji materi Pasal 22 Ayat 1 huruf D Undang Undang
Kejaksaan. Konsekuensinya, Hendarman Supandji wajib melepas jabatan Jaksa
Agung. Pasal 22 Ayat 1 huruf D dinilai tak memberi kepastian hukum dan harus
dilakukan legislative review.
A. Legalitas dan Kewenangan
Berdasarkan putusan MK, masa jabatan Jaksa Agung telah berakhir
bersamaan masa jabatan presiden satu periode, Oktober 2009. Sikap ‘berani’
Mahkamah Konstitusi ini sebenarnya banyak ditentang kalangan istana atau
pembantu presiden. Sebut saja misalnya, Mensesneg Sudi Silalahi menganggap
Jaksa Agung Hendarman tetap sah, karena tak ada kata tak sah dalam putusan
20 Kompas.com, Inilah.com, detik.com, dll, 2010, hal.1. (Headline)
MK. Sudi bahkan menyatakan MK tak berhak memberhentikan jaksa agung,
karena wewenang penuh presiden. Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar dan
staf khusus Presiden bidang hukum Denny Indrayana, status Jaksa Agung
bukanlah anggota kabinet. Sehingga tidak perlu pengangkatan kembali oleh
presiden setiap pergantian kabinet. Denny berkilah bila jabatan Jaksa Agung
berbeda dari jabatan menteri. Sebab ia sama posisinya dengan Kapolri dan
Panglima TNI.
Namun, terlepas penulis mencoba menganalisis permasalahan ini dengan
mengutip pendapat ahli-ahli hukum. Permasalahan ini bermula ketika aktor
pemeran Laksamana Cheng Ho yang juga mantan Menteri Hukum dan HAM,
Yusril Ihza Mahendra ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek
Sistem Administrasi Badan Hukum Depkum HAM. Sebenarnya Yusril mau
mengungkap semua ‘borok’ kasus ini tapi beliau khawatir nanti, kasus ini akan
seperti kasus yang menimpa pada Susno Duaji, yang berakhir sampai penjara.
Orang sekaliber Yusril saja takut melaporkan atau mengungkap kasus
korupsi apalagi rakyat jelata yang tak mengenal hukum. Kasus ini jelas
membuktikan sistem ketatanegaraan kita yang masih menyisakan celah dan
lubang yang masih harus dibenahi, akibat praktik politik yang masih jauh dari
kemampuan pejabat menginterpretasikan amanat Undang-undang dasar 1945.
terutama terkait pasal di atas yang mengatur masa jabatan. Artinya segala
kewenangan dan tuga jaksa agung bila bertolak dari hukum yang ketat akan batal
jika legalitas jaksa agung bermasalah. Karena itu timpang tindih antara legalitas
dan kewenangan akan menjadi sangat rentan oleh praktik penyalahgunaan
kewenangan.
Tugas dan kewenangan Kejaksaan di atas secara institusional memang
telah diatur dalam undang-undang sebagaimana telah diurai sebelumnya, terkait
kedudukan dan fungsi Kejaksaan. Namun, jika legalitas pimpinannya bermasalah
akan menyisakan celah hukum, karena kewenangan untuk merekomendasikan
apakah sebuah kasus layak atau tidak disidangkan ada pada dipundak pimpinan
kejaksaan agung. Jadi, meski independensi lembaga kejaksaan secara normative
tertera dalam undang-undang tetap saja unsure legitimasi politik dan kekuasaan
tetap mengikat, sebab jaksa agung juga dipilih oleh presiden berdasarkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat RI,. Jadi kewenangannya juga sarat dengan
komitmen politik penguasa untuk menegakkan keadilan.
Disinilah terletak jurang antara tugas dan keweangan, dan dipihak lain
legalitas jabatan. Prinsipnya, sebagaimana diatur dalam kedudukan dan tugas,
serta fungsinya kejaksaan agung memang memiliki hak untuk menuntut dan
menetapkan sebuah kasus itu layak atau tidak untuk diadili. Namun, tak dapat
dipungkiri kalau intervensi kekuasaan tetap ada. Artinya, ketika legalitas
bermasalah putusan sebelumnya semestinya juga gugur, sebab posisinya yang
illegal sebagai pimpinan jaksa agung. Yusril Ihza Mahendra, misalnya menilai
putusan MK sebenarnya lebih sebagai jalan tengan yang bijak, dan tidak berlaku
surut. Namun, menurutnya bila merujuk ke asas legal strick putusan sebelumnya
secara otomatis gugur. Itu artinya, apa-apa yang telah diputuskan Hendarman saat
menjabat jaksa agung yang sudah melewati masa jabatannya akan gugur. Namun,
masalah gejolak social akan muncul jika itu diberlakukan. Berepa koruptor yang
akan menggugat serta kasus hukum lainnya yang harus disidangkan ulang, atau
setidaknya muncul tuntutan balik bagi mereka yang telah dirugikan oleh kebijakan
Hendarman Supandji.
B. Struktur dan Fungsi Legalitas Menurut Konstitusi
Sementara itu, sejatinya baik Kejaksaan, jaksa, Jaksa Agung. Ketiganya
terkait, tetapi memiliki pengertian berbeda. Kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (Pasal 24
Ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 41 UU Kekuasaan Kehakiman 2004), tetapi
Kejaksaan bukan lembaga yudikatif dan jaksa bukan hakim. Kejaksaan yang
dipimpin oleh Jaksa Agung jelas berada di dalam ”rezim” kekuasaan kehakiman.21
Praktik ketatanegaraan di sini menunjukkan bahwa kontrol kekuasaan dan
keinginan kalangan Kejaksaan sering menempatkan Jaksa Agung sebagai menteri
atau setingkat menteri. Meski Jaksa Agung sering dimenterikan, Kejaksaan bukan
kementerian. Kedudukan Jaksa Agung sebagai pejabat negara tak serta-merta
menempatkannya sebagai anggota kabinet. Perekrutan dan pemberhentiannya tak
dapat disamakan dengan anggota kabinet.
Kedudukan Kejaksaan yang lain dari yang lain ini memungkinkan fungsi
Kejaksaan meluas dan menciut. Maka, fungsi pokok Kejaksaan selaku lembaga
21 Tim Visimedia, “Kitab Undang-Undang 1945,” Visimedia, 2009
pemerintahan: melaksanakan kekuasaan negara bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan Pasal 2 UU Kejaksaan 2004.
Karena jaksa menjalankan fungsi penuntutan, atas nama prinsip negara
hukum: fungsi itu harus dijalankan secara merdeka. Independensi Kejaksaan ini
makin menguatkan kedudukannya di ranah kekuasaan kehakiman sehingga UU
Kejaksaan 2004 menegaskan kedudukan Jaksa Agung sebagai pejabat negara
(bukan dimenterikan).
Namun, disayangkan, independensi kelembagaan ini tak disertai penerapan
independensi personal karena tanggung jawab fungsional perseorangan jaksa
ditundukkan kepada hierarki atau garis komando yang dikemas dalam konsep
sentralistik berbahasa Belanda: een en ondeelbaar. Padahal, UU Kejaksaan
menegaskan jaksa sebagai jabatan fungsional pegawai negeri sipil di bidang
penuntutan.
Penerapan konsep Jaksa Agung sebagai pejabat negara dan jaksa sebagai
suatu jabatan fungsional PNS ini mewarnai perdebatan tentang legalitas Jaksa
Agung Hendarman. Ia diangkat sebagai Jaksa Agung bersamaan dengan kocok
ulang Kabinet Indonesia Bersatu I pada 2007. Hendarman menggantikan
Abdurrahman Saleh dari kalangan nonkarier (Partai Bulan Bintang).
Hendarman adalah jaksa karier meski Pasal 20 UU Kejaksaan 2004 tak
mengharuskan Jaksa Agung dari kalangan jaksa karier ataupun rentang batas usia
tertentu (Pasal 9 mengharuskan pengangkatan jaksa fungsional dalam rentang
batas usia tertentu dan Pasal 12 menetapkan pensiun jaksa pada usia 62.
Kedudukan Hendarman sebagai jaksa karier ini mengundang pendapat keliru
sejumlah petinggi hukum bahwa ia harus berhenti sebagai Jaksa Agung di usia 62.
Terlahir Januari 1947, Hendarman memang pensiun sebagai jaksa
fungsional pada Januari 2009. Ternyata jabatan fungsionalnya sebagai PNS jaksa
tidak (perlu) diperpanjang seperti Panglima TNI. Ia tetap menjabat Jaksa Agung,
juga tak diberhentikan bersamaan pembubaran KIB-1 atau dilantik kembali
bersama anggota KIB-2 pada Oktober 2009. Tak ada yang mempersoalkannya
sampai Yusril menyerang balik Hendarman.
Dalam pandangan akhirnya, MK berkesimpulan bila Jaksa Agung ilegal.
Para hakim konstitusi yang dipimpin Moh. Mahfud MD mengabulkan sebagian
gugatan Yusril atas jabatan Jaksa Agung. Mahkamah memberi empat alternatif
dalam pertimbangannya. Pertama, berdasarkan periodisasi kabinet atau presiden.
Kedua, periode masa waktu tertentu fixed, ditambah masa jabatan politik. Ketiga,
memasuki masa pensiun. Dan, terakhir diskresi presiden atau pejabat yang
mengangkatnya.22
Lalu, jika putusan MK berlaku surut, apakah seluruh kinerja, keputusan,
dan kebijakan Jaksa Agung sejak Oktober tahun lalu, potensial menuai masalah
besar akibat status ilegalnya? Meski legalitas Hendarman Supandji sebagai Jaksa
Agung illegal, sebagaimana yang dikatakan Mahfudz MD, penetapan status
tersangka oleh Kajaksaan Agung kepada Yusril Ihza Mahendra tetap sah. Sebab
22 Dokumen ini tertuang dalam lampiran keputusan Mahkamah Konstitusi, terkait uji
materi Yusril yang akhirnya membuat Hendarman Supandji harus mundur. (2010), terlampir.
penetapan tersebut jadi wewenang Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus) yang diangkat oleh Presiden RI.
Kasus ini juga menjadi ‘tamparan’ besar bagi Presiden SBY. Bagaimana
tidak, kenapa presiden beserta para pembantunya bisa teledor dalam Administrasi
Negara?
C. Tugas dan Kewenangan Lembaga Peradilan dalam Hukum Tata Negara
Islam
Syariat Islam atau hukum Islam memerlukan lembaga untuk
penegakannya. Karena tanpa lembaga (alqadha) tersebut, hukum-hukum itu tidak
dapat diterapkan. Dalam sistem pemerintah Islam, kewenangan peradilan (al-
qadha) terbagi ke dalam tiga
wilayah, yaitu wilayah mazhalim, wilayah qadha, dan wilayah hisbah.
Disini penulis akan lebih menitik beratkan pada pembahasan kedua wilayah, yakni
wilayatul mazhalim dan wilayatul hisbah.
Sekurang-kurangnya ada beberapa fungsi dan kedudukan hakim di luar
jabatannya sebagai penegak keadilan, yakni :
c.1. Wilayatul Mazhalim
Wilayatul Mazhalim adalah lembaga yang melindungi masyarakat dari
berbagai bentuk penganiayaan penindasan maupun permusuhan dari badan-badan
pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Lembaga ini timbul karena hakim
tidak mempunyai wewenang untuk menangani hal-hal tersebut. Sebab terhadap
hal-hal tersebut hanya khalifah atau para pembesar negara yang ditunjuk oleh
khalifah sajalah yang berwenag menanganinya.
Asal usul lembaga ini berasal dari persia. Para Kaisar Persia yang pertama
kali mempraktekkannya. Menjelang islam muncul lembaga yang demikian ini
pernah muncul dan dipraktekkan oleh bangsa Quraisy dalam bentuk pakta al
Fudhul (al Hilf al Fudhul ) dalam islam lembaga nazarul mazalim baru uncul pada
masa kekuasaan Ummayah, tepatnya pada masa Khalifah Abdul Malik bin
Marwan. Segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh
lembaga pemerintah waktu itu ditangani langsung oleh khlaifah.
Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut
dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang
wakil yang disebut Qadhi al Mazhalim atau Shahib al mazhalim. Pemegang
jabatan ini sendiri tidak mesti seorang hakim, memang hakim lebih didahulukan
karena pemahamannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum.
Namun khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa,
amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap masyarakat sehingga
kebrobokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat lembaga ini
kadang kala adalah seorang mentri peperangan.
Jadi, Wilayah Mazhalim bisa dimengerti sebagai suatu wilayah kekuasaan
dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi daripada kekuasaan hakim dan
kekuasaan muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk
ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini sekurang-kurangnya memiliki
tugas; Pertama, mengawasi penegakan hukum yang dijalankan oleh khalifah/wali
terhadap warga negara , pegawai perpajakan/ departemen tertentu, Jika mereka
menyalahgunakan wewenangnya. Kedua, mengawasi terhadap distribusi bantuan
pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan , keterlambatan atau mungkin
tidak sampainya bantuan tersebut. Ketiga, membantu qadhi melaksanakan
keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan. Keempat, mengawasi atau
menjaga keberlangsungan praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan
barang hasil curian pada orang yang berhak.
Lembaga mazhalim ini telah terkenal sejak zaman dahulu. Kekuasaan ini
terkenal dalam kalangan bangsa Persia dan dalam kalangan bangsa Arab di zaman
Jahiliyah. Di masa Rasulullah SAW masih hidup, maka Rasul sendiri yang
menyelesaikan segala rupa pengaduan terhadap kezaliman para pejabat. Para
Khulafaurrasyidin tidak mengadakan lembaga ini, karena anggota-anggota
masyarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama.
Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi di antara mereka dapat diselesaikan oleh
pengadilan biasa.
Akan tetapi di akhir zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib beliau merasa
perlu mempergunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-
pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat zalim. Tetapi Ali belum lagi
menentukan hari-hari yang tertentu untuk meneliti perkara-perkara ini. Permulaan
khalifah yang sengaja mengadakan waktu-waktu tertentu untuk memperhatikan
pengaduan-pengaduan rakyat kepada para pejabat ialah Abdul Malik bin Marwan.
Di dalam memutuskan perkara, Abdul Malik bin Marwan berpegang pada
pendapat para hakimnya dan ahli-ahli fiqihnya. Umar bin Abdul Aziz adalah
seorang khalifah yang mempertahankan kebenaran dan membela rakyat dari
kezaliman. Oleh karenanya beliau mengembalikan harta-harta rakyat yang diambil
oleh Bani Umayyah secara zalim. Pada pemerintahan Bani Abbasiyah yang
pertama sekali mempelopori dan melaksanakan Wilayatul Mazhalim ini adalah
Al-Mahdi.
Prof. Dr. Tengku Hasbi Ash-Shiddiqe menyatakan bahwa di dalam risalah
Al-Kharaj, Abu Yusuf menganjurkan kepada Khalifah Harun Al-Rasyid supaya
mengadakn sidang-sidang untuk memeriksa pengaduan-pengaduan rakyat
terhadap para pejabat, sebab kerapkali para khalifah dahulu menyerahkan tugas ini
kepada wazir-wazir dan kepala daerah atau hakim-hakim.
Mereka menentukan hari-hari tertentu untuk menerima pengaduan rakyat
terhadap para pejabat negara. Pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara
kezaliman, pada masa itu dilakukan di masjid-masjid. Akan tetapi penguasa yang
mengetahui sidang mazhalim ini dilengkapi dengan bermacam-macam aparat agar
pengadilannya mempunyai kewibawaan yang penuh dan dapat melaksanakan
putusan-putusannya.
Al-Mawardy di dalam Al-Ahkamus Sulthaniyah menerangkan bahwa
perkara-perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, yaitu :
1. Penganiayaan para penguasa, baik terhadap perorangan maupun terhadap
golongan.
2. Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat
dan harta-harta kekayaan negara yang lain.
3. Mengontrol/mengawasi keadaan para pejabat.
4. Pengaduan yang diajukan oleh tentara yang digaji lantaran gaji mereka
dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya.
5. Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh
penguasa-penguasa yang zhalim.
6. Memperhatikan harta-harta wakaf.
7. Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh
hakim-hakim sendiri, lantaran orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah
orang-orang yang tinggi derajatnya.
8. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang
tak dapat dilaksanakan oleh petugas-petugas hisbah.
9. Memelihara hak-hak Allah, yaitu ibadat-ibadat yang nyata sepertu Jumat, Hari
Raya, Haji dan Jihad.
10. Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di antara pihak-
pihak yang bersangkutan.
Lembaga Mazhalim sebagaimana tersebut di atas dilengkapi dengan
kelengkapan-kelengkapan sebagai berikut :
1. Pegawa-pegawai yang merupakan pegawai dan penjaga yang akan bertindak
terhadap seseorang yang membangkang di dalam masa pemeriksaan.
2. Hakim-hakim yang pandai untuk ditanya pendapatnya tentang jalannya
pemeriksaan (Saksi Ahli Penulis).
3. Ahli-ahli fiqh untuk ditanyakan pendapatnya di dalam masalah itu (Saksi Ahli
Penulis).
4. Panitera untuk mencatat segala keterangan yang diberikan oleh masing-
masing pihak.
5. Saksi untuk dipergunakan di masa-masa persidangan, sebagai orang yang
diminta persaksiannya untuk menyaksikan putusan-putusan yang diberikan
oleh ketua pengadilan mazhalim.23
c.2. Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah pejabat yang memegang lembaga ini disebut
Muhtasib, bukan merupakan lembaga atau badan peradilan dalam pengertian
rinci seperti halnya badan peradilan biasa atau nazarul mazhalim. Akan tetapi
lembaga ini merupakan lembaga keagamaan murni yang didasarkan pada
seruan untuk melaksanakan kebajikan dan meninggalkan perbuatan yang
mungkar. Pengertian mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran
itu oleh lembaga hisbah diterjemhakan menjadi “kewajiban-kewajiban praktis
yang sesuai dengan kepentingan umum kaum muslimin”.
Sementara itu. Tugas dari lembaga hisbah secara umum adalah,
pertama, memberi bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat
mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas hisbah. Tugas
hakim, ialah memutuskan perkara atas pertengkaran-pertengkaran yang
dikemukakan kepadanya dan mengharuskan orang yang kalah mengembalikan
23 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan hukum acara Islam, (Yogyakarta: PT. Al-
Ma’arif, 1964), hal.77-80
hak orang yang menang. Adapun, mustasbih bertugas untuk mengawasi
berlaku tidaknya undang-undang umum dan adab kesusilaan yang tidak boleh
dilanggar siapapun.24
Tugas praktis lembaga ini antara lain :
1. Menangani persoalan yang berkaitan dengan pengurangan timbangan dan
ukuran.
2. Menangani persoalan penyembunyian atau penipuan barang/harga jual
barang tersebut.
3. Memaksa orang yang berhutang untuk membayuar hutangnya jika ia
mengulur-ulur pembayaran padahal ia mampu membayar.
4. Mengawasi para guru agar tidak memukul atau berlaku kasar terhdap anak
didiknya.
5. Mengawasi binatang ternak/tunggangan untuk tidak membawa beban
melebihi kapasitasnya.
6. Menghukum orang yang suka menghina / kata kotor agar tercipta suasana
harmoni dalam masyarakat.25
Dari penjelasan di atas, terlihat signifikansi peran dan kedudukan sistem
perdilan Islam. Hal itu tentu ditujukan untuk terbentuknya sebuah tatanan
masyarakat yang adil dan madani.
24 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan hukum acara Islam, hal. 80-81 25 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan hukum acara Islam, hal. 83-84
BAB IV
ANALISIS ATAS LEGITIMASI, FUNGSI DUALISME KEWENANGAN
DAN KEDUDUKAN JAKSA AGUNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM
TATA NEGARA INDONESIA DAN ISLAM
A. Pengertian Umum Legitimasi
Sebuah kepemimpinan atau jabatan tertentu, tak terkecuali tanpa
legitimasi akan hampa bahkan sarat manipulasi dan tindakan kesewenangan.
Dalam aspek penegakan hukum unsur legitimasi sangat penting sebab ia
merupakan komitmen social dan politik. Seseorang tak dapat melakukan tindakan
apapun atas yang lain tanpa ada kewenangan. Contoh kecilnya, seorang polisi
gadungan yang tak memiliki SK atau surat perintah apapun tak dapat dengan
mudah menangkap apalagi menjebloskan orang ke penjara tanpa ada legitimasi
yang menempel padanya. Karena itu unsur legitimasi sangat penting dan
signifikan dalam menjalankan tugas pemerintahan, bila tidak sebuah jabatan akan
seperti layaknya preman yang melakukan pungutan liar atau memeras dimana-
mana. Karena itu penulis menganggap penting melihat hubungan legitimasi dan
kewenangan.
Kewenangan saja tak cukup, bila tidak ada legitimasi dari masyarakat.
Dan legitimasi akan sarat muatan politik tanpa kewenangan yang jelas diatur
dalam undang-undang. Jadi keduanya saling bertaut erat dan melengkapi untuk
tujuan tertib penegakan hukum dan administrasi negara, ruhnya tentu saja harus
bersumber dari nilai-nilai keadilan yang diambil dari ieologi, filsafat, budaya dan
ajaran agama.
Legitimasi (bahasa Inggris: legitimize ejaan Inggris) adalah kualitas
hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan,[1] dapat pula
diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan,
keputusan atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Dalam konteks
legitimasi, maka hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih
ditentukan adalah keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak kebijakan
yang diambil oleh sang pemimpin. 26
Sedangkan Legitimasi tradisional mengenai seberapa jauh masyarakat
mau menerima kewenangan, keputusan atau kebijaksaan yang diambil pemimpin
dalam lingkup tradisional, seperti dalam kehidupan keraton yang seluruh
masyarakatnya terikat akan kewenagan yang dipegang oleh pimpinan mereka dan
juga karena hal tersebut dapat menimbulkan gejolak dalam nurani mereka bahwa
mereka adalah bawahan yang selalu menjadi alas dari pemimpinnya.
Legitimasi dapat diperoleh dengan berbagai cara yang dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori yakni secara simbolis, prosedural atau
material (Ramlan Surbakti, 1992), sedangkan Max Weber mendefinisikan tiga
sumber untuk memperoleh legitimasi adalah tradisional, kharisma dan
legal/rasional.
26 Wikipedia Google.com, “Legitimasi”
Dari cara dan sumber perolehan tersebut lahirlah beberapa tipe legitimasi
yaitu: legitimasi tradisional, legitimasi ideologi, legitimasi kualitas pribadi
(Khrisma), legitimasi prosedural dan legitimasi instrumental.27
Unsur-unsur legitimasi inilah yang kemudian terus berkembang lalu
tertuang dalam bentuk undang-undang yang mengikat sehingga penyelenggaraan
negara benar-benar tertib administrasi. Sehingga dalam perkembangan demokrasi
modern unsur-unsur tersebut menjelma dalam kesadaran social dan politik,
dengan ciri demokrasi. Meski tentu saja selalu saja ada celah legitimasi yang
dapat dimanipulasi seiring dengan perkembangan zaman. Tapi, setidaknya unsur-
unsur tersebut menjadi framework untuk melaksanakan tugas dan kewenangan
sebuah jabatan, tak terkecuali kejaksaan agung sebagai salah satu pilar penegakan
hukum.
B. Legitimasi Kekuasaan
Sementara itu, dalam perspektif kekuasaan legitimasi juga dapat
bermakna yang berbeda: "kekuasaan" didefinisikan sebagai "kemampuan untuk
mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak dilakukan",
akan tetapi "kewenangan" ini akan mengacu pada klaim legitimasi, pembenaran
dan hak untuk melakukan kekuasaan.
27 Sebagai perbandingan, argumentasi Max Weber dapat menjadi rujukan terutama bagaimana tipe-tipe legitimasi itu memiliki kerangka rasionalitasnya tersendiri. Baik itu bersifat tradisional, charisma, maupun instrumental. Lihat, Tom Cambell, “Tujuh Teori Sosial,” (terj: F. Budi Hardiman), Kanisius, 1994, hal. 230-256)
Sebagai contoh masyarakat boleh jadi memiliki kekuatan untuk
menghukum para kriminal dengan hukuman mati tanpa sebuah peradilan
sedangkan orang-orang yang beradab percaya pada aturan hukum dan
perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya dalam suatu pengadilan
yang menurut ketentuan hukum yang dapat memiliki kewenangan untuk
memerintahkan sebuah hukuman mati.
Dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, kekuasaan telah dijadikan subjek
penelitian dalam berbagai empiris pengaturan, keluarga (kewenangan orangtua),
kelompok-kelompok kecil (kewenangan kepemimpinan informal), dalam
organisasi seperti sekolah, tentara, industri dan birokrat (birokrasi dalam
organisasi pemerintah) dan masyarakat luas atau organisasi inklusif, mulai dari
masyarakat yang paling primitif sampai dengan negara, bangsa-bangsa modern
atau organisasi (kewenangan politik).
C. Analisis Tentang Legitimasi dan Kewenangan dalam Penegakan Hukum
Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan
kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi, dan fase.
Berangkat dari masalah kompleksitas hukum tersebut, sudah sejak dulu,
hukum senantiasa menarik perhatian dan menjadi wacana yang tidak henti-
hentinya diperdebatkan dikalangan cendikiawan. Kompleksitas hukum
menyebabkan hukum itu dapat dipelajari dari bebagai sudut pandang. Lahirnya
berbagai disiplin hukum disamping filsafat hukum, dan ilmu hukum, seperti teori
hukum, sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, perbandingan
hukum, logika hukum, psikologi hukum, dan yang kini sedang tumbuh adalah
politik hukum adalah bukti yang tidak dapat dibantahkan dari kebenaran
pernyataan di atas.
Pada tataran empiris politik hukum telah digunakan oleh Moh. Mahfud
M.D. sebagai pendekatan dalam memahami relasi antara hukum dan politik. Dari
karya ilmiahnya Mahfud mencoba menghadirkan sebuah pendekatan yang
berbeda dalam memahami sebuah fenomena hukum. Dalam hal ini, berbeda
dengan pendekatan klasik yang melihat hukum dari sisi yuridis normatif an sich,
Mahfud melihat hukum dari sisi yuridis sosio-politis, yaitu menghadirkan sistem
politik sebagai variable yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum.
Berdasarkan hasil penelitiannya, mahfud berkesimpulan bahwa suatu proses dan
konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap
suatu produk hukum yang kemudian dilahirkan. Dalam Negara yang konfigurasi
politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik,
sedangkan dinegara yang konfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya
berkarakter ortodoks atau konservatif atau elitis .
Bila diperhatikan secara seksama, Mahfud menggunakan asumsi bahwa
ada keterkaitan yang erat antara hukum dan politik yang menekankan pada aspek
keterkaitan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum. Dari hasil
penelitiannya bahwa konfigurasi politik sangat mempengaruhi karakter produk
hukum.
Gagasan Negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi
dan keadilan sosial sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik
Indonesia merupakan penolakan yang tegas terhadap setiap bentuk pemerintahan
otoriter yang biasanya menindas hak-hak asasi rakyat, dan sekaligus pula gagasan
Negara hukum tersebut diatas merupakan pernyataan yang tidak menghendaki
adanya struktur sosial yang timpang yang menjadi sumber utama ketidakadilan
sosial. Oleh karena itu suatu Negara hukum yang demikian itu hanya mungkin
dapat terwujud antara lain dengan adanya : (1) suatu sistem pemerintahan yang
didasarkan atas kedaulatan rakyat.
Bentuk-bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara moderen
biasanya dilakukan melalui pemilihan umum guna memilih wakil-wakil rakyat
yang akan duduk didalam badan perwakilan rakyat (parlemen) dan presiden.
Pemilihan umum tersebut tentunya harus dilakukan secara langsung, bebas,
rahasia, jujur dan adil, dimana para warga Negara yang telah memenuhi syarat-
syarat yang telah disepakati bersama dapat menggunakan hak pilihnya secara
bebas tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Dalam konteks politik Indonesia
dewasa ini pemilihan umum diadakan satu kali dalam lima tahun. (2) adanya
peran serta yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga Negara untuk
turut serta mengawasi pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan
oleh pemerintah. (3) bahwa tindakan-tindakan pemerintah harus senantiasa
didasarkan atas hukum positif yang berlaku. Pemerintah tidak dapat melakukan
tindakan-tindakan secara sewenang-wenang yang tidak mengindahkan ketentuan-
ketentuan hukum baik yang diatur didalam undang-undang dasar maupun yang
diatur dalam undang-undang (produk legislatif yang merupakan produk politik).
(3) adanya peradilan yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan
tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh
eks`ekutif. lembaga peradilan inilah yang bertanggung jawab untuk mengawasi
sejauh mana alat-alat Negara dalam menjalankan peranan mereka benar-benar
mentaati ketentuan-ketentuan hukum positif yang berlaku. Dalam konteks ini
anggota-anggota masyarakat atau para warga Negara harus senantiasa berhak
untuk menguji keabsahan tindakan-tindakan pemerintah atau alat-alat negara di
depan lembaga peradilan tersebut.28
Dalam kaitannya dengan hal-hal tersebut di atas, proses pelaksanaan
pemilu dalam suatu negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi
dan keadilan sosial, salah satu hal yang paling penting adalah pada aspek
penegakan aturan pemilu. Belajar dari pengalaman pemilu Indonesia sebelumnya,
Pemilu mendatang, dimungkinkan akan banyak terjadi pelanggaran. Mengingat
jumlah kontestan pemilu yang lebih banyak maupun tingkat apresiasi konstituen
yang secara tidak langsung telah terpolarisasi ke dalam politik aliran. Hal ini dapat
berakibat pada berkurangnya dukungan terhadap hasil pemilu.
Untuk mengantisipasi munculnya kondisi demikian, maka
penyempurnaan instrumen pengawas dan lembaga penyelesaian pelanggaran
merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu maka Pemilu harus memberikan
ruang secara khusus untuk membahas masalah Pengawasan, Penegakan Hukum
28 Mahfud MD, Dasar-dasar Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, (Rineka Cipta,
2001), hal. 5-50
dan Pemantauan Pemilu. Dalam hal pengawasan, teknis pelaksanaannya
diserahkan pada kewenangan KPU sebagai penyelenggara. Kemampuan KPU
untuk mengawasi dirinya sendiri merupakan satu keraguan yang muncul dalam
benak masyarakat pada umumnya dan secara khusus adalah para peserta pemilu
itu sendiri.
Persoalan bagaimana penegakan hukum memberikan tugas kepada
pengadilan hanya dalam lingkup peradilan umum. Tetapi mengenai bentuk dan
bagaimana kaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, tidak memberi
jawaban tegas.
Begitu pula dalam hal pemantauan, seyogyanya UU Pemilu memberikan
penjelasan mengenai seberapa jauh kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga
pemantau pemilu terutama kaitannya dengan masalah ketika terjadi pelanggaran
yang dilakukan oleh para peserta pemilu. Padahal persoalan penegakan hukum
seharusnya diatur secara tuntas di dalam Undang-undang sendiri. Hal ini untuk
menghindari adanya penumpukan kewenangan pada salah satu lembaga yang
berkait dengan pelaksanaan pemilu.
Mahkamah Agung merupakan lembaga pengadilan tingkat banding dan
terakhir. Tetapi dalam perubahan UUD ada lembaga baru yang bernama
Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk memutus perselisihan
tentang hasil pemilu dan pembubaran suatu partai politik. Karena itu
menempatkan MA sebagai lembaga Pengadilan tingkat banding dipandang kurang
tepat. MA seharusnya ditempatkan sebagai lembaga pengadilan tingkat Kasasi
dan Peninjauan Kembali. Sebaik apapun peraturan diciptakan, tanpa ada aturan
mengenai penegakannya, maka akan sia-sia karena hanya akan memenuhi ruang
perpustakaan hukum belaka.
Merealisasikan ide keadilan dalam kehidupan masyarakat, restorasi dan
rehabilitasi kondisi sosial, dan melindungi korban dan pelaku dari penderitaan
yang eksesif adalah tujuan dari penegakan hukum pada umumnya. Dalam
Pengadilan Pemilu ini ditambahkan pertimbangan tentang signifikansi pemilu dan
hasil pemilu terhadap kelangsungan kehidupan bernegara. Dengan demikian
masalah pengadilan pemilu merupakan hal yang penting untuk mendapatkan
perhatian dalam sistem peradilan di Indonesia, seperti halnya persoalan kepailitan
yang diselesaikan di Peradilan Niaga.29
D. Analisis atas Kedudukan dan posisi Jaksa Agung dalam Sistem Presidensial
di Bawah UUD 1945
Dalam pembahasan paling akhir, penulis mencoba kembali
mengelaborasi soal kedudukan dan posisi kejaksaan agung dalam sistem
presidensial yang saat ini sedang diterapkan. Penulis mengambil dan mengutip
salah satu uraian panjang dari Yusril Ihza Mahendra yang juga merupakan salah
satu pakar hukum tata negara Indonesia saat ini.
Seperti sudah disinggung di bab-bab sebelumnya, bahwa hampir di setiap
negara modern (nation state) yang ada di dunia ini memiliki sebuah institusi
29 Mahfud MD, Dasar-dasar Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, hal. 60-120
penegak hukum yang disebut dengan istilah ”kejaksaan”. Istilah ini tentu saja
mempunyai tugas utama melakukan penuntutan dalam perkara pidana ke
pengadilan. Istilah ”jaksa” atau ”kejaksaan” sebagai institusi dalam bahasa
Indonesia, menurut Yusril tidaklah mudah untuk dipersamakan dengan istilah
yang sama dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris dibedakan antara
”attorney general” dengan ”public prosecutor”. Istilah pertama diartikan sebagai
”jaksa agung” dalam bahasa Indonesia, sedang yang kedua diartikan sebagai
”penuntut umum”. Demikian pula dalam Bahasa Belanda, dibedakan antara
”officer van justitie” untuk istilah ”jaksa” dan ”openbaar aanklager” untuk
”penuntut umum”. Sementara dalam Bahasa Melayu Malaysia digunakan istilah
”peguam negara” untuk jaksa, dan ”pendakwa raya” untuk ”penuntut umum”,
yang kesemuanya berada di bawah Jabatan Peguam Negara. Jabatan ini adalah
semacam Direktorat Jenderal di bawah Kementerian Dalam Negeri.30
Dalam latar belakang berdiri atau dinelanya istilah kejaksaan sebagai
institusi penuntut, namun dalam perjalannya setelah kita telah merdeka dan
memiliki UUD yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dan telah
menjadi Jaksa Agung, namun di awal kemerdekaan itu, kita belumlah mempunyai
peraturan perundang-undangan sendiri yang mengatur kedudukan, tugas dan
kewenangan kejaksaan.
Untuk mengatasi kevakuman hukum inilah, maka Pemerintah kita tetap
menggunakan peraturan-peraturan lama yang diwariskan oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Dasar hukum menggunakan peraturan warisan kolonial itu ialah
30 Yusril Ihza Mahendra, “Posisi dan Kedudukan Kejaksaan Agung”, (makalah) 2010
ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa ”segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.31
Kejaksaan adalah badan negara (staatsorgan) yang sudah ada sebelum
kita merdeka, demikian pula aturan-aturannya. Jadi, menurut Yusril, Kejaksaan
Agung RI, pada dasarnya meneruskan apa yang telah ada diatur di dalam
Indische Staatsregeling, yakni semacam undang-undang dasar negeri jajahan,
Hindia Belanda, yang menempatkan Kejaksaan Agung berdampingan dengan
Mahkamah Agung. Sementara secara administratif, baik kejaksaan maupun
pengadilan berada di bawah Kementerian Kehakiman. Itulah sebabnya, dalam
rapat PPKI (Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 19 Agustus,
Professor Soepomo melaporkan bahwa ruang lingkup tugas Kementerian
Kehakiman yang akan dibentuk ialah menangani hal-hal administrasi pengadilan,
kejaksaan, penjara, nikah, talak dan rujuk serta penanganan masalah wakaf dan
zakat. Sedangkan landasan hukum bagi Kejaksaan untuk menjalankan tugas dan
wewenangnya, seperti yang telah disnggung di atas, sepenuhnya didasarkan pada
Herzeine Indonesich Reglement (HIR) yang diperluas dengan Regering
Reglement Stb 1922 No 522. HIR kemudian dirubah menjadi RIB (Reglemen
Indonesia Yang Diperbaharui).
Ketentuan-ketentuan di dalam Indische Staatsregeling yang mengatur
kedudukan Kejaksaan, pada dasarnya adalah sama dengan ketentuan-ketentuan di
dalam UUD Negeri Belanda. Negeri Belanda menganut sistem pemerintahan
31 Yusril Ihza Mahendra, “Posisi dan Kedudukan ..”
Parlementer. Secara teori, konstitusi Belanda memang memisahkan tugas badan
eksekutif dengan badan yudikatif. Namun dalam tradisi di Negeri Belanda, semua
hakim dan jaksa, adalah pegawai negeri. Secara struktural organisasi, personil dan
keuangan baik jaksa maupun pengadilan berada di bawah Ministrie van Justititie
(Kementerian Kehakiman). Namun secara fungsional dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya di bidang yudikatif, jaksa dan hakim adalah independen.
Namun, menurut Yusril terdapat kerancuan kedudukan kejaksaan dalam
sistem Belanda, yakni berada di antara dua sisi, antara eksekutif dan yudikatif.
Namun, meski demikian pola yang sama dengan Belanda ini, justru kita teruskan
bukan saja berdasarkan Indische Staatsregeling, tetapi juga kita teruskan ketika
kita mengundangkan UU No 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kedudukan
Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan.
Dalam hukum tatanegara Belanda, Jaksa Agung diangkat oleh Perdana
Menteri atas usul Menteri Kehakiman. Calon Jaksa Agung diambil dari pejabat
karir berdasarkan kecakapan, pengalaman dan kemampuan. Jabatan Jaksa Agung
bukanlah jabatan politik. Oleh karena tugas jaksa terkait langsung dengan
pengadilan, maka dalam tradisi Belanda, Jaksa Agung disebut sebagai ”Jaksa
Agung (Hoofd Officer van Justitie) pada Mahkamah Agung (Hooge Raad)”. Pola
seperti ini, diikuti dengan konsisten di Hindia Belanda, dan terus dipraktikkan
sampai tahun 1958, ketika Perdana Menteri Juanda mulai merintis jalan untuk
melepaskan keterkaitan kejaksaan dengan pengadilan, dan mulai menempatkan
kejaksaan sebagai institusi yang sepenuhnya berada di bawah eksekutif. Dalam
UU Republik Indonesia Serikat (RIS) No 1 Tahun 1950 tentang Susunan,
Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, pola penempatan
Jaksa Agung di Mahkamah Agung tetap dilanjutkan. Pasal 2 UU itu mengatakan
”Pada Mahkamah Agung adalah seorang Jaksa Agung dan dua orang Jaksa Agung
Muda”. Sedikit perubahan terjadi para proses rekruitmen Jaksa Agung dan Jaksa
Agung Muda, yang dalam tradisi Belanda diangkat oleh Perdana Menteri atas usul
Menteri Kehakiman, dalam undang-undang ini diangkat oleh Presiden, yang
dalam praktiknya dilakukan atas usul Perdana Menteri. Sebagaimana kita
maklumi, Konstitusi Republik Indonesia Serikat menganut sistem Parlementer.
Keberadaan kejaksaan yang rancu antara eksekutif dan yudikatif ini, baru
berakhir pada tahun 1959, ketika UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
Menurut Yusril, meskipun Jaksa Agung pertama, telah dilantik dilantik
tanggal 19 Agustus 1945, namun institusi ini belumlah dapat bekerja secara
normal, akibat situasi revolusi dan perang kemerdekaan yang berlangsung hingga
akhir tahun 1949. Kejaksaan baru dapat berbenah diri setelah terbentuknya
kembali Negara Kesatuan RI menggantikan Republik Indonesia Serikat, pada
tanggal 17 Agustus 1950. Pemerintah Negara Kesatuan yang baru ini dipimpin
oleh Mohammad Natsir sebagai Perdana Menterinya. Salah satu program
Kabinet Natsir ialah ”mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan
pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang bulat”. Badan-badan
yudikatif, yang keadaannya tidak menentu selama Perang Kemerdekaan, kembali
dikonsolidasikan Natsir.
Untuk mewujudan programnya ”menyempurnakan susunanan
pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang bulat” itu, Natsir
mengangkat Mr. Wongsonegoro–Ketua Partai Indonesia Raya dan dikenal sebagai
tokoh kebatinan Jawa–menjadi Menteri Kehakiman. PM Natsir, kemudian
mengusulkan kepada Presiden untuk mengangkat Mr. Soeprapto menjadi Jaksa
Agung pada Mahkamah Agung RI, pada tanggal 28 Desember 1950. Natsir juga
membenahi badan-badan peradilan dan mengajukan ke nama-nama calon hakim
agung ke DPR, yang akhirnya menyepakati untuk mengangkat Dr. Mr. Wirjono
Prodjodikuro menjadi Ketua Mahkamah Agung. Inilah awal Kejaksaan dan
badan-badan peradilan bekerja secara normal dalam sejarah ketatanegaraan RI.
Mr. Soeprapto lah yang meletakkan dasar-dasar Kejaksaan yang tetap dikenang
sampai sekarang, sehingga patungnya didirikan di depan Gedung Kejaksaan
Agung RI di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Soeprapto mulai membenahi struktur organisasi kejaksaan baik di pusat
maupun di daerah, dalam suasana baru, yakni terbentuknya kembali Negara
Kesatuan RI. Menyadari kekurangan-kekurangan pengaturan tentang tugas dan
wewenang Kejaksaan untuk melakukan penyidikan lanjutan sebagaimana diatur
dalam RIB, Jaksa Agung Mr. Soeprapto membentuk sebuah Direktorat di bawah
Kejaksaan Agung, yang dinamakan dengan Djawatan Reserse Pusat (DRP) yang
bertugas melakukan pemantauan, analisis dan penghimpunan informasi, yang
meliputi berbagai kegiatan dalam masyarakat, yakni politik, agama, aliran
kepercayaan dan luar negeri. Secara umum, terkesan bahwa kewenangan DRP
hampir sama dengan kewenangan Politiek Inlichten Dienst (PID), yakni badan
intelejen kolonial Belanda yang tugasnya memantau kegiatan-kegiatan yang
berpotensi subversif dan dapat mengancam stabilitas keamanan pemerintah
Kolonial.
Dengan informasi intelejen yang dihimpun direktorat ini, Kejaksaan
memang mampu bekerja secara efektif memberantas penyelundupan, yang
dilakukan oleh perwira-perwira Angkatan Darat, serta mengungkap
persekongkolan politik yang dilakukan Sultan Hamid II, Sultan Pontianak yang
dikenal pro-Belanda, dengan Kapten Westerling yang melakukan genosida di
Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Kejaksaan berhasil mengungkap
persekongkolan itu, dan mendakwa Sultan Hamid ke pengadilan, yang pernah
diangkat menjadi menteri dalam Kabinet RIS. Kewenangan intelejen Kejaksaan
yang begitu besar, dan keberaniannya mendakwa para plitisi , perwira militer serta
mendakwa Asa Bafagih, seorang wartawan terkemuka, menyebabkan institusi
kejaksaan tidak disenangi termasuk oleh Presiden Sukarno dan kepala Staf
Angkatan Darat Kolonel Abdul Haris Nasution. Mr. Soeprapto berkeinginan
menjadikan Kejaksaan sebagai institutsi negara yang independen, bebas dari
campur tangan manapun dalam menjalankan tugasnya.
Perdana Menteri Natsir yang dikenal jujur dan bersih, setuju dengan
tindakan Mr. Soeprapto. Namun Kabinet Natsir memerintah tidak terlalu lama.
Ketika sistem pemerintahan parlementer dianggap gagal menjelang akhir tahun
1950, Presiden Sukarno dengan dukungan militer, berusaha untuk membangun
sistem pemerintahan yang lebih sentralistik dengan pemusatan kekuasaan di
tangan Presiden. Ketidakberhasilan Konstituante menyusun UUD yang baru,
terjadinya pergolakan-pergolakan di daerah yang memuncak dengan berdirinya
PRRI dan Permesta, semakin mempercepat proses pemusatan kekuasaan ini.
Usaha Soeprapto menegakkan hukum kandas. Dia dianggap terlalu ”Belanda”
dalam menjalankan tugas dan tidak berjiwa revolusioner seperti diinginkan
Sukarno. Dia diberhentikan menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Di bawah UUD 1945 yang didekritkan, keinginan untuk membangun
pemerintahan yang sentralistik makin terbuka. Slogan Sukarno bahwa ”Revolusi
Belum Selesai” mengharuskan adanya sebuah pemerintahan yang kuat agar
mampu mendayagunakan semua institusi negara untuk menjadi kekuatan
revolusi. Hanya seminggu sesudah dekrit, 13 Juli 1959, Presiden Sukarno
membentuk kabinet baru yang bercorak Presidensial yang dinamakan dengan
Kabinet Kerja I. Dalam kabinet ini, Presiden Sukarno mengangkat Mr. Gatot
Tarunamihardja sebagai Menteri/Jaksa Agung. Inilah pertama kalinya terjadi
pergeseran kedudukan kejaksaan dan posisi Jaksa Agung, yang dulunya rancu
karena mengikuti tradisi Belanda, menjadi lebih tegas: Kejaksaan adalah bagian
dari ranah eksekutif. Jaksa Agung adalah anggota kabinet dengan sebutan
Menteri/Jaksa Agung.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa sejak era Mohammad Natsir sampai
tahun 1959, Kejaksaan dapat tumbuh mandiri menjalankan tugas dan
kewenangannya yang semata-mata didasarkan atas peraturan-peraturan kolonial
yang sudah usang. Kedudukan Kejaksaan di masa itu berada di antara dua sisi,
antara eksekutif dan yudikatif, sebagaimana dipraktikkan dalam tradisi
Parlementer di Negeri Belanda. Namun kerancuan kedudukan itu tidaklah
mengurangi independensi jaksa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Mungkin faktor individu Suprapto dan para jaksa yang lain di masa itu, yang
membuat independensi itu tetap berjalan. Sebelum kita menelaah bagaimanakah
kedudukan kejaksaan dalam UUD 1945 yang menganut sistem Presidensial, maka
kita akan melihat lebih dulu bagaimana kedudukan Jaksa di dua negara yang
menganut sistem itu, yakni Amerika Serikat dan Philipina.
d.1 Kejaksaan Di Amerika dan Philipina
Kalau kita membandingkan tugas dan wewenang jaksa di dua negara
yang juga menganut sistem pemerintahan Presidensial, yakni Amerika Serikat
dan Philipina, maka nampaklah bahwa tugas dan kewenangan kejaksaan kita
yang kita warisi sejak zaman Hindia Belanda dulu, jauh lebih luas
dibandingkan dengan kedua negara ini. Di Amerika maupun di Philipina,
kejaksaan adalah semata-mata penuntut umum (public prosecutor) yang pada
tingkat pusat (federal di Amerika Serikat) dan (nasional di Philipina) berada
di bawah Department of Justice (Departemen Kehakiman). Jadi letak institusi
kejaksaan, tidaklah rancu berada pada dua sisi sebagaimana dalam sistem
parlementer di Belanda, tetapi tegas berada di dalam ranah dalam ranah
kekuasaan eksekutif. Di Amerika Serikat, pemimpin Department of Justice
disebut dengan istilah ”Attorney General”, yang diangkat Presiden dengan
konsultasi kepada Kongres. Bagi orang di luar Amerika Serikat, penyebutan
Attorney General ini dapat menimbulkan kerancuan seolah-olah di adalah
Jaksa Agung Amerika Serikat. Padahal Attorney General di Amerika Serikat
itu adalah sama dengan Menteri Kehakiman di Indonesia. Sementara di
Philipina, Kepala Department of Justice itu disebut dengan istilah ”Secretary
of Justice”. Di Philipina, istilah ”menteri” (minister) tidak dikenal. Sama
halnya dengan di Amerika, Kepala sebuah Departemen umumya disebut
sebagai ”Seccretary” dan bukan ”minister”.32
Public Prosecutor di Amerika Serikat dan Philipina samasekali tidak
mempunyai kewenangan intelejen dan penyidikan. Kedua kewenangan ini
untuk jenis-jenis kejahatan tertentu di Amerika Serikat diserahkan kepada
FBI (Federal Bureau of Investigation) dan selenihnya diserahkan kepada
polisi lokal. Sementara FBI dan Public Prosecutor berada di bawah
Department of Justice. Di Philipina, penyidikan atas hampir semua kejahatan
diserahkan kepada NBI (National Bureau of Investigation), yang berada di
bawah Department of Justice. Demikian pula Public Prosecutor Philipina,
juga berada di bawah Department of Justice. Jadi, baik kewenangan
penyidikan oleh FBI dan NBI, maupun kewenangan penuntutan oleh Public
Prosecutor, semuanya berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, dan bukan
yudikatif. Di Philipina istilah Attorney General sama sekali tidak dikenal.
Istilah ”Attorney” digunakan untuk menyebut Advokat profesional yang
bekerja sebagai ”lawyer” swasta.
Di Amerika Serikat dan Philipina, Public Prosecutor akan menuntut
seseorang tersangka pelaku kejahatan ke pengadilan dengan mengatas
namakan seluruh rakyat Amerika dan seluruh rakyat Philipina. Pada tingat
32 Yusril Ihza Mahendra, “Posisi dan Kedudukan Kejaksaan Agung”, (makalah) 2010
daerah, jaksa wilayah akan menuntunya atas nama seluruh rakyat di negara
bagian (di Amerika) dan atas nama seluruh rakyat di provinsi (di Philipina).
Mengapa jaksa (public prosecutor) yang menjadi bagian dari eksekutif yang
menuntut, dan mengapa mereka mengatas-namakan seluruh rakyat? Ini
didasarkan pada filosofi mereka bahwa tiap kejahatan yang dilakukan, apapun
jenisnya, adalah perbuatan yang melawan dan merugikan seluruh rakyat.
Rakyat diwakili oleh eksekutif, yang Presidennya pada tingkat federal–dan
Gubernur pada tingkat wilayah – dipilih langsung oleh rakyat. Sementara
penyelenggara badan-badan yudikatif, termasuk pada hakim di Amerika dan
Philipina, bukanlah dipilih langsung oleh rakyat, karena itu mereka tidak
berhak mengambil tindakan apapun atas nama rakyat. Sebab itulah, dalam
sistem Presidensial, tidak mungkin Kejaksaan akan berada di bawah ranah
yudikatif.
Kejaksaan di bawah UUD 1945
Pertanyaannya sekarang, dalam ranah kekuasaan manakah kejaksaan
– dengan kewenangan yang lebih luas daripada di Amerika Serikat dan
Philipina – itu berada dalam sistem pemerintahan Presidensial di bawah
UUD 1945? Di dalam UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945, kita tidak menemukan satu katapun yang menyebut institusi kejaksaan,
baik dalam Batang Tubuh maupun Penjelasannya. Demikian pula setelah
UUD 1945 mengalami empat kali perubahan di Era Reformasi. Di dalam
Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara 1950 yang
menganut sistem pemerintahan Parlementer, kata kejaksaan juga tidak kita
temukan, kecuali kata ”Jaksa Agung pada Mahkamah Agung” (Pasal 106
UUD Sementara 1950), tetapi hanya dalam konteks pejabat tinggi negara
yang hanya dapat diadili oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan pertama
dan terakhir kalau mereka didakwa dalam perkara pidana. Ketentuan ini
hanya mengatur ”forum previlegiatum” yang samasekali tidak ada
hubungannya dengan kedudukan kejaksaan dalam ranah kekuasaan negara.
Karena tidak ada satu katapun di dalam UUD 1945 yang
menyebutkan tentang Kejaksaan, maka wajar saja jika para akademisi dan
politisi, me-reka-reka di manakah tempat yang sesuai bagi isntitusi ini.
Menurut Yusril, sebagian akademisi berpendapat bahwa kejaksaan adalah
lembaga penegak hukum dan karena itu seharusnya berada dalam ranah
kekuasaan yudikatif. Sementara dalam UUD 1945 sebelum perubahan,
hanya ada dua pasal saja yang mengatur badan yudikatif ini, yakni ketentuan
dalam Bab IX tentang ”Kekuasaan Kehakiman”. Pasal 24 dibawah Bab IX
itu mengatakan ”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang” (Ayat 1).
”Susunan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang” (Ayat
2). Sementara Pasal 25 mengatakan ”Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk
diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”. Sedangkan
penjelasan atas kedua pasal ini mengatakan ”Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
Pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-
undang tentang kedudukannya para hakim”.
Kalau disimak pikiran para penyusun UUD 1945 di zaman
pendudukan Jepang itu, rumusan tentang kekuasaan kehakiman ini nampak
didominasi oleh pikiran-pikiran Mr. Muhammad Yamin, seorang jurist
tamatan Rechts Hooge School, yang memang banyak dipengaruhi oleh sistem
yudikatif di Negeri Belanda. Fokus perhatiannya adalah kemerdekaan badan-
badan peradilan, dalam konteks pengadilan, bukan keseluruhan sistem yang
terkait dalam penyelenggaraan proses peradilan, seperti yang dikenal dalam
teori Criminal Justice System yang muncul belakangan. Dalam pikiran
Yamin, institusi kejaksaan ialah apa yang dikenal pada masa itu, baik
dipraktikkan di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Karena itu, dalam
keseluruhan proses pembahasan UUD 1945 tidak ada ruang untuk membahas
kedudukan kejaksaan. Bahkan kepolisian – yang sebagian tugas dan
kewenangannya juga berkaitan dengan peradilan, juga tidak disinggung
dalam UUD 1945 sebelum perubahan.33
Sayangnya pikiran-pikiran untuk mempertegas kedudukan
Kejaksaan dalam sistem Presidensial UUD 1945, baru muncul tatkala terjadi
ketegangan politik antara Presiden Sukarno, Parlemen, militer dan politisi
akibat tindakan-tindakan Jaksa Agung Soeprapto, yang terkenal gigih
membangun institusi Kejaksaan yang mandiri dan independen dalam
melaksanakan tugas, kendatipun hanya bermodal HIR dan RIB. Politik
kemudian mulai mempengaruhi Kejaksaan, terutama ketika Mr. Djody
Gondokusumo dari PRN (Partai Rakyat Nasional) menjadi Menteri
33 Tim Visimedia, “Kitab Undang-Undang 1945,” Visimedia, 2009
Kehakiman dalam Kabinet Djuanda Kartawiguna dan berupaya untuk
melakukan PRNisasi institusi kejaksaan.
Dalam suasana politik yang kisruh setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959, Presiden Sukarno berkeinginan untuk memusatkan kekuasaan pada
tangan Presiden, dengan dukungan militer dan partai-partai politik
pendukungnya. Suasana Revolusi kembali digelorakan, sehingga segala organ
negara, semua kekuatan dihimpun dan disatukan untuk mencapai tujuan
Revolusi. Dalam suasana yang penuh curiga, para akademisi berpendapat
bahwa UU Kejaksaan yang hendak disusun itu, tidak lain adalah untuk
memperkokoh hasrat Presiden Sukarno untuk memusatkan kekuasaan di
tangan dirinya. Sukarno memang tidak begitu perduli dengan teori trias
politika, karena keinginannya untuk menghimpun semua kekuatan
revolusioner menghadapi kolonialisme dan imprerialisme. Namun di sisi lain,
kita harus pula menghargai sebuah upaya untuk menata ulang institusi
kejaksaan, untuk tidak lagi mengikuti tradisi kolonial Belanda yang rancu,
tetapi benar-benar didasarkan pada konstitusi kita sendiri, UUD 1945, yang
ketika itu baru didekritkan untuk berlaku kembali. Itulah sebabnya, maka
pada tanggal 22 Juli 1960, Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan
Presiden No 204 Tahun 1960, yang secara tegas memisahkan Kejaksaan dari
Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung, dan menjadikanya sebagai
suatu institusi yang berdiri sendiri dan merupakan bagian langsung dari
kabinet. Inilah landasan hukum pertama yang menempatkan Kejaksaan
sepenuhnya sebagai bagian dari ranah kekuasaan eksekutif.
d.2 Kedudukan Kejaksaan Dalam UU No 15 Tahun 1961
Dalam suasana revolusioner yang dibangun Presiden Sukarno pasca
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden segera menata ulang lembaga-lembaga
dan institusi pemerintahan untuk diseuaikan dengan keadaan yang baru. DPR
lama hasil Pemilu 1955 dibubarkan, dan dibentuk DPR baru yang seluruh
anggotanya diangkat. Kabinet Presidensial yang langsung dimpimpin
Presiden juga dibentuk hanya dua minggu setelah dekrit. Setahun kemudian,
Pemerintah dan DPR mensahkan UU Kejaksaan yang pertama dalam sejarah
kemerdekaan kita, yakni UU No 15 Tahun 1961 (LN 1961 No 254) tentang
Pokok-Pokok Kejaksaaan RI. Dalam UU ini disebutkan bahwa kejaksaan
bukan saja ”alat negara penegak hukum”, tetapi dalam konteks penyelesaian
Revolusi, kejaksaan adalah ”alat revolusi”, yang tugas utamanya adalah
sebagai ”penuntut umum”.
Secara khusus, dalam konsideran ini, Pemerintah dan DPR setuju
mengatakan bahwa Kejaksaan bukanlah ”alat pemerintah”, tetapi ”alat
negara”. Namun dalam merumuskan UU No 15 tentang Kejaksaan ini,
Presiden dan DPR rupanya tidak menggunakan ketentuan Bab IX Pasal 24
dan Pasal 25 UUD 1945 yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman
dalam konsideran mengingatnya. Ini secara implisit menggambarkan bahwa
Presiden dan DPR sejak awal tidaklah memandang Kejaksaan sebagai organ
yang terletak dalam ranah yudikatif, sebagaimana Presiden telah mengangkat
Menteri/Jaksa Agung sebagai anggota kabinet. Pasal yang digunakan justru
adalah Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan ”segala warganegara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya”.
Konsisten dengan pendirian bahwa institusi kejaksaan bukanlah
bagian dari organ kekuasaan yudikatif, , maka ketentuan Pasal 5 huruf a UU
ini mengatakan ”Penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan
oleh Menteri”. Kalau Kejaksaan adalah sebuah departemen pemerintahan
yang dipimpin Menteri, maka dengan sendirinya wewenang untuk
mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung dalam sistem pemerintahan
Presidensial adalah Presiden. Ketentuan ini, sebenarnya hanyalah legitimasi
atas apa yang telah dilakukan oleh Presiden dalam mengangkat Jaksa Agung
sebagai menteri anggota kabinet dua tahun sebelumnya. Namun ketentuan ini,
sekaligus pula menghapuskan ketentuan-ketentuan dalam Indische
Staatsregeling, HIR dan RIB. Jaksa Agung tidak lagi diangkat oleh Menteri
Kehakiman dengan persetujuan Perdana Menteri, tetapi langsung diangkat
oleh Presiden.
Tugas dan kewenangan kejaksaan yang diberikan oleh UU No 15
Tahun 1961, jauh lebih luas dari apa yang diatur di dalam HIR dan RIB.
Tugas Jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagai
penuntut umum. Namun dalam menjalankan tugas utamanya itu, Jaksa selain
diberi wewenang untuk melakukan penyidikan lanjutan seperti diatur dalam
HIR, juga melakukan tugas koordinasi semua penyidik berdasarkan hukum
acara yang berlaku, termasuk melakukan pengawasan terhadap ”aliran-aliran
kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara” serta
melaksanakan tugas-tugas lain ”yang diberikan kepadanya oleh suatu
peraturan negara”.
Dalam menyelesaikan perkara pidana, Jaksa diberi kewenangan
untuk mengadakan penggeledahan badan dan tempat-tempat yang dipandang
perlu dan mengambil tindakan-tindakan lain yang dipandang perlu sesuai
hukum acara yang berlaku. Jaksa juga diberikan kewenangan untuk meminta
”Kepala Kantor Pos, Telekomunikasi dan lain-lain kantor perhubungan”
untuk membuat catatan-adanya surat-surat dan lain-lain benda yang dikirim
pada seseorang yang patut diduga terlibat dalam suatu tindak pidana. Jaksa
berhak untuk meminta supaya surat dan benda-benda tersebut ditahan.
Dengan tugas-tugas tambahan seperti ini, semakin tegas tidak mungkin
institusi kejaksaan akan berada di dalam ranah kekuasaan yudikatif.
Ketika kekuasaan Presiden Sukarno runtuh di tahun 1967,
pemerintah baru di bawah Pejabat Presiden, dan kemudian Presiden Suharto
UU Kejaksaan No 15 Tahun 1961 ini terus berlaku selama tiga puluh tahun
lamanya, tanpa perubahan. Namun demikian, dalam praktiknya, Kejaksaan
Agung tidak lagi disebut sebagai Departemen Kejaksaan Agung dan Jaksa
Agung tidak disebut pula sebagai Menteri Jaksa Agung. Institusi ini secara
faktual disebut sebagai Kejaksaan Agung yang dipimpin oleh seorang Jaksa
Agung. Namun kewenangan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung,
sepenuhnya tetap berada di tangan Presiden. UU No 15 Tahun 1961 tidak
secara spesifik menyebutkan berapa lama Jaksa Agung akan memegang
jabatannya. Namun setelah Pemilihan Umum 1971, Presiden Suharto
memulai sebuah konvensi ketatanegaraan, yakni Jaksa Agung selalu diangkat
di awal Kabinet dan berakhir masa jabatannya dengan berakhirnya masa bakti
kabinet itu.
Jaksa Agung yang disebut sebagai Menteri di dalam UU No 15
Tahun 1961 tidak lagi disebut demikian, namun sebagai bagian dari kabinet,
Jaksa Agung diberi kedudukan setingkat menteri negara. Dalam
perkembangan pelaksanaan UU No 15 tahun 1961, wewenang Kejaksaan
untuk melakukan penyidikan tambahan dalam perkara pidana, dihapuskan
dengan berlakunya UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
mencabut ketentuan-ketentuan di dalam HIR dan RIB. Namun, dengan
munculnya berbagai undang-undang tindak pidana, yang sering disebut
sebagai undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus dan tertentu,
seperti UU Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan HAM. Dalam kedua
undang-undang ini, kewenangan Jaksa untuk menyidik dikembalikan lagi,
bukan lagi melakukan penyidikan tambahan seperti diatur HIR dan RIB,
tetapi bertindak sebagai satu-satunya penyidik.
UU No 15 Tahun 1961 memang memberi peluang untuk untuk
memperluas tugas dan kewenangan Kejaksaan, karena kejaksaan dapat
melaksanakan tugas-tugas khusus yang lain yang diberikan oleh suatu
peraturan negara (Pasal 2 ayat 4). Tugas dan kewenangan Jaksa melakukan
penyidikan, sebagaimana telah saya kemukakan sebelum ini, jelaslah bukan
tugas suatu organ dalam ranah kekuasaan kehakiman. Tindakan penyidikan
akan selalu diikuti oleh penggeledahan, penyitaan, penahanan dan bahkan
belakangan dengan UU No 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, Jaksa Agung
juga diberi kewenangan pencekalan terhadap seseorang yang diduga terlibat
dalam suatu tindak pidana. Tindakan-tindakan seperti ini, jelas tidak mungkin
dilakukan oleh organ yang berada dalam ranah kekuasaan kehakiman.
d.3 Kedudukan Kejaksaan Dalam UU No 5 Tahun 1991
Berbeda dengan UU No 15 Tahun 1961 yang dalam konsideransnya
menyebut Kejaksaan adalah ”alat negara” dan juga ”alat revolusi”, UU No 5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam konsiderannya
tidak lagi menyebut kejaksaan sebagai ”alat negara” tetapi menyebutnya
sebagai ”lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan dalam tatanan susunan kekuasaan badan-badan penegak
hukum dan keadilan”. Jadi telah terjadi pergeseran cukup penting dalam
memandang kedudukan institusi Kejaksaan, dari ”alat negara” menjadi
”lembaga pemerintahan”. Penegasan ini, lebih mempertajam dari rumusan
UU No 15 Tahun 1961, yang menempatkan Kejaksaan sepenuhnya berada
dalam ranah eksekutif.
Selanjutnya dikatakan bahwa Jaksa Agung adalah pimpinan dan
penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang mengendalikan pelaksanaan tugas
dan wewenang kejaksaan” (Pasal 18 ayat 1). Istilah Departemen Kejaksaan
dan Menteri sebagai penyelenggaranya sebagaimana diatur di dalam UU No
15 Tahun 1961 dihapuskan. Jaksa Agung sendiri ”diangkat dan diberhentikan
oleh serta bertanggungjawab kepada Presiden” (Pasal 19). Penegasan bahwa
pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah kewenangan Presiden,
serta pertanggungjawabannya kepada Presiden, sekali lagi mempertegas
bahwa kejaksaan adalah sepenuhnya berada di bawah ranah kekuasaan
eksekutif. Penegasan ini adalah sejalan pula dengan konsideran mengingat
yang digunakan dalam penyusunan undang-undang ini, yakni sebagaimana
UU No 15 Tahun 1961 tidaklah menjadikan ketentuan Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar pembentukannya. Undang-undang ini,
selain menggunakan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD
1945, malah menjadikan UU No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana sebagai konsideran mengingatnya.
Sebagaimana ketentuan dalam UU No 15 Tahun 1961, UU No 5
Tahun 1991 ini juga tidak mengatur tentang masa jabatan Jaksa Agung. Hal
yang sama sebenarnya juga tidak ada di dalam hukum tatanegara Belanda dan
ketentuan-ketentuan di dalam HIR dan RIB, karena Jaksa Agung adalah jaksa
karier yang akan pensiun pada usia tertentu, atau setiap saat dia dapat
diberhentikan oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Perdana Menteri.
Dalam UU No 5 Tahun 1991 tidak ada pula pembatasan apakah Jaksa Agung
diangkat dari Jaksa karier, ataukah pengangkatan itu bersifat politik. Kedua-
duanya dapat dilakukan oleh Presiden, berdasarkan pertimbangan subyektif
Presiden sendiri. Namun konvensi ketatenegaraan yang telah berlangsung
sejak tahun 1971, yakni Jaksa Agung selalu diangkat dan diberhentikan
Presiden pada awal dan akhir masa bakti kabinet terus berlangsung. Konvensi
itu terus diikuti sesudah Presiden Suharto menyatakan berhenti dari
jabatannya sebagai Presiden pada tanggal 21 Maret 1998. Pengangkatan dan
pemberhentian Jaksa Agung di awal dan diakhir masa bakti kabinet, diikuti
juga selama UU No 5 Tahun 1991 ini berlaku, yakni di bawah Presiden BJ
Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Konvensi adalah
hukum dasar yang tidak tertulis, namun terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara.
Sedikit ”pengecualian” memang terjadi pada masa Presiden Suharto
berhenti, beliau, dengan inisiatifnya sendiri menyatakan bahwa Kabinet
Pembangunan VII yang dipimpinnya demisioner. Dengan pernyataan
demisioner – hal yang tidak pernah dipraktikkan di manapun juga di dunia ini
dalam sistem pemerintahan Presidensial – maka para menteri sebenarnya
tidaklah otomatis berhenti, sampai diberhentikan dan dilantik menteri-menteri
baru oleh Presiden penggantinya, yang sebelumnya menjabat sebagai
Presiden. Presiden Habibie mengumumkan pembentukan Kabinet Reformasi
Pembangunan pada tanggal 23 Maret 1998 dengan memberhentikan para
menteri Kabinet Pembangunan VII dan mengangkat menteri-menteri dan
pejabat setingkat menteri yang baru, tetapi ketika itu Presiden Habibie tidak
memberhentikan Jaksa Agung Sudjono Chanafiah Atmonegoro.
Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa keberadaan Atmonegoro
tetap sah sebagai Jaksa Agung dengan status demisioner – karena Presiden
Suharto tidak membubarkan kabinet, melainkan menyatakannya demosioner,
sampai Presiden Habibie mengangkat kembali yang bersangkutan sebagai
Jaksa Agung dalam kabinet Reformasi Pembangunan, atau menggantinya
dengan orang lain. Dalam kenyataannya pada tanggal 17 Juni 1998, Presiden
Habibie memberhentikan Atmonegoro dan mengangkat Andi Muhammad
Ghalib sebagai Jaksa Agung. Andi Ghalib diberhentikan sementara dari
jabatannya tanggal 14 Juni 1999. Presiden Habibie kemudian mengangkat
Wakil Jaksa Agung Ismudjoko sebagai Jaksa Agung ad interim sampai
berakhirnya masa jabatan Presiden Habibie tanggal 20 Oktober 1999.
d.4 Kedudukan Kejaksaan Dalam UU Nomor 16 Tahun 2004
UU No 5 Tahun 1991 ini berlaku terus sampai kita memasuki era
reformasi. Perubahan terhadap UU ini baru terjadi pada masa pemerintahan
Presiden Megawati, yakni pada tahun 2004, ketika seluruh proses perubahan
UUD 1945 telah selesai. Di era Pemerintahan Presiden Megawati, baik DPR
maupun Pemerintah sama-sama berkeinginan untuk melakukan perubahan
atas UU No 5 Tahun 1991. Namun karena RUU yang berasal dari Badan
Legislasi DPR masuk lebih dahulu, yakni tanggal 25 Oktober 2002, maka
RUU inilah yang dijadikan pembahasan. Sementara RUU yang berasal dari
Pemerintah dijadikan sebagai sandingan dan dimasukkan ke dalam Daftar
Isian Masalah (DIM).
Rumusan pasal-pasal dalam bab IX UUD 1945 tentang ”Kekuasaan
Kehakiman” yang melatarbelakangi penyusunan dan pembahasan RUU ini
menurut Yusril memang mengalami perubahan cukup besar jika
dibandingkan dengan rumusan sebelumnya. Setelah perubahan, ketentuan IX
Pasal 24 ayat (1) berbunyi ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan”. Ayat (2) ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan peradilan agama, lingkungan militer
dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi”.
Ayat (3) ”Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang”.
Kalau kita membaca seluruh ketentuan di dalam Bab IX ini,
sebagaimana juga dalam keseluruhan teks UUD 1945 setelah perubahan,
niscaya kita tidak akan menemukan kata ”kejaksaan” disebutkan di dalamnya.
Kata ”polisi” yang sebelumnya juga tidak ada, setelah perubahan
mendapatkan tempat yang khusus diatur dalam Bab XII tentang Pertahanan
Negara (Pasal 30 ayat 4 dan 5). Oleh karena kata kejaksaan tidak terdapat
dalam UUD 1945 setelah perubahan, maka reka-rekaan akademis dan politis
untuk menempatkan kedudukan Kejaksaan kembali terjadi. Di kalangan
aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selalu berkeinginan agar
lembaga-lembaga penegak hukum ”independen”, sudah barangtentu tidak
menginginkan Kejaksaan berada di bawah ranah eksekutif. Sebagian
akademisi berpendapat sama. Mereka berpendapat sudah seharusnya institusi
kejaksaan ditempatkan ke dalam ranah kekuasaan yudikatif sebagaimana
bunyi Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
Di Badan Legislasi DPR, para politisi bekerja merumuskan
amandemen UU No 5 Tahun 1991 untuk menempatkan Kejaksaan sebagai
lembaga independen. Usul Inisiatif DPR atas perubahan UU No 5 Tahun
1991 akhirnya diterima oleh Rapat Paripurna DPR dan dikirimkan oleh DPR
kepada Presiden tanggal 25 Oktober 2002. Sementara itu, di kalangan
Pemerintah juga dilakukan upaya yang sama, yakni ingin merubah
keseluruhan UU No 5 Tahun 1991 dan membentuk UU Kejaksaan yang baru,
bukan sekedar perubahan parsial seperti inisiatif DPR. Perbedaan prinsipil
antara RUU inisiatif DPR dengan Pemerintah ialah dalam menafsirkan
ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 dalam kaitannya dengan kedudukan
Kejaksaan serta proses rekruitmen Jaksa Agung dan masa jabatan Jaksa
Agung. Sedangkan persamaannya, kedua pihak sama-sama ingin
menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bekerja
secara independen, lepas dari pengaruh.
Bagi DPR ketentuan Pasal 24 ayat (3) haruslah ditafsirkan bahwa
Kejaksaan adalah ”lembaga penegak hukum yang melaksanakan kekuasaan
negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak
mananpun”. Jadi DPR ingin agar lembaga ini terpisah dari ranah kekuasaan
eksekutif dan sepenuhnya menjadi mandiri dan independen. Oleh karena itu,
dalam hal rekruitment Jaksa Agung, DPR mengusulkan agar pengangkatan
dan pemberhentian Jaksa Agung ”diresmikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Calon Jaksa Agung diajukan oleh
Presiden kepada DPR untuk disetujui oleh DPR. Setelah seorang calon
disetujui, maka Presiden kemudian meresmikan calon itu menjadi Jaksa
Agung. Jaksa Agung adalah pejabat negara (Pasal 19). Masa jabatan Jaksa
Agung dibatasi selama 5 tahun (Pasal 19D).
Pemerintah sebaliknya berkeinginan mempertahankan kedudukan
Kejaksaan sebagai ”lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan” namun dilakukan secara ”independen dalam
tata susunan kekuasaan badan penegak hukum dan keadilan”. Jadi,
Pemerintah tidak berkeinginan agar Kejaksaan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan itu, keluar dari ranah eksekutif. Jaksa Agung
adalah pejabat negara, tetapi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal
21). Namun mereka yang dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah Wakil
Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda. Dengan demikian, Pemerintah ingin
Jaksa Agung diangkat dari pejabat karier untuk mengokohkan
profesionalisme Kejaksaan. Oleh karena Jaksa Agung diangkat dan
diberhentikan Presiden, maka sebagaimana dalam UU No 5 tahun 1991, tidak
diatur batas masa jabatan Jaksa Agung. Pemerintah berpendapat bahwa
konvensi ketatanegaraan-lah yang akan membatasi masa jabatan Jaksa Agung
itu, sehingga tidak perlu dimasukkan ke dalam rumusan suatu pasal dalam
RUU ini.
Pembahasan RUU ini dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat.
Sebagian besar fraksi-fraksi DPR menarik usulan mereka tentang Jaksa
Agung yang independen dan dikeluarkan dari ranah eksekutif. Mereka juga
menarik usulan agar Jaksa Agung dipilih DPR dan diresmikan oleh Presiden.
Pemerintah dan DPR akhirnya sama-sama menyepakati bahwa Jaksa Agung
tetaplah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,
karena dalam sistem Presidensial, Kejaksaan Agung memang berada di
bawah ranah eksekutif, maka menjadi kewenangan Presidenlah untuk
mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung. DPR juga sepakat untuk
menarik usulannya tentang pembatasan masa jabatan Jaksa Agung selama 5
tahun. Karena, seperti dikatakan oleh M Tahir Saimima dari Fraksi PPP,
Jaksa Agung itu biasanya adalah pejabat setingkat menteri. Jadi sebagaimana
menteri-menteri, mereka diangkat diawal masa jabatan Presiden dan
diberhentikan ketika masa jabatan Presiden berakhir.
Apakah dengan tetap mempertahankan kedudukan Kejaksaan dalam
ranah eksekutif tidak bertentangan dengan rumusan Pasal 24 ayat (3) UUD
1945 setelah perubahan? Menurut Yusril semua itu tergantung pada
penafsiran kita atas seluruh ketentuan dalam BAB IX UUD 1945 yang
membicarakan kekuasaan Kehakiman dalam konteks Peradilan.
”Kekuasaan Kehakiman” adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Sementara lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman itu disebutkan secara
limitatif yakni ”dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan yang berada di bawahnya…dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
(Pasal 24 ayat 1 dan 2). Sementara ”badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.34
E. Masalah Dualisme Kewenangan Kejaksaan?
Dari uraian panjang lebar di atas, Yusril berkesimpulan bahwa
kedudukan Kejaksaan dalam sistem Parlementer Belanda, sebagaimana juga
diikuti di Hindia Belanda, sampai kita merdeka hingga tahun 1959, kedudukan
Kejaksaan adalah mendua. Secara organisasi, personil dan keuangan institusi ini
berada di bawah Kementerian Kehakiman, namun secara fungsional, lembaga ini
bekerja dalam penyelenggaraan badan-badan peradilan, sehingga Jaksa Agung
disebut sebagai Jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Namun dalam praktiknya
di Negeri Belanda, maupun di Indonesia sebagaimana ditunjukkan Jaksa Agung
Soeprapto, institusi ini dapat bekerja secara mandiri dan independen, tidak tunduk
pada pengaruh kekuasaan eksekutif maupun yudikatif. Faktor individu, rupanya
mempengaruhi efektifikas sebuah sistem ketika dia berjalan dalam kenyataan.
Pada semua negara yang menganut sistem Pemerintahan Presidensial,
khususnya di Amerika Serikat dan Philipina, Kejaksaan semata-mata menjalankan
tugas sebagai penuntut umum (Public Prosecutor). Tugas melakukan penyidikan
atas perkara-perkara pidana dilakukan oleh badan yang terpisah, yakni Federal
Bureau of Investigation dan National Bureau of Investigation. Namun kedua
34 Yusril Ihza Mahendra, “Posisi dan Kedudukan Kejaksaan Agung”, (makalah) 2010
institusi ini sama-sama berada di bawah Department of Justice. Jadi, di Amerika
dan Philipina yang menganut sistem Presidensial itu, Kejaksaan berada dalam
ranah eksekutif, bukan ranah yudikatif.
Di negara kita, yang juga menganut sistem Presidensial di bawah UUD
1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan, dalam tiga Undang-Undang
tentang Kejaksaan yang pernah ada (UU No 15 Tahun 1961; UU No 5 Tahun
1991 dan UU No 16 Tahun 2004), semuanya mengatur bahwa Kejaksaan adalah
lembaga pemerintah, yang juga berada di dalam ranah kekuasaan eksekutif. Tugas
utama kejaksaan sebagai institusi yang berwenang melakukan penuntutan, di
manapun di dunia ini memang tidak pernah dikategorikan sebagai tindakan
yudikatif dan selalu menjadi tindakan eksekutif. Apalagi Kejaksaan kita
mempunyai tugas-tugas lain seperti penyidikan dan pengawasan yang lazim
dikategorikan sebagai tindakan ekskutif. Sejak Kejaksaan sepenuhnya
ditempatkan di dalam ranah eksekutif di bawah UUD 1945 setelah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, maka Jaksa Agung selalu menjadi menjadi anggota kabinet,
baik dengan status menteri atau pejabat setingkat menteri.
Semua undang-undang Kejaksaan yang pernah ada di bawah UUD
1945 tidak ada yang mengatur berapa lamakah jabatan Jaksa Agung. Karena dia
berstatus menteri atau pejabat setingkat menteri yang menjadi anggota kabinet,
maka praktik ketatanegaraan menunjukkan kepada kita bahwa masa jabatan Jaksa
Agung adalah sama dengan masa jabatan Presiden dan kabinet yang dibentuknya.
Tidak ada kebingungan terhadap masalah ini sepanjang sejarah ketatanegaraan RI,
kecuali kasus Hendarman Supandji di masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Timpang tinding posisi Kejaksaan di era presidensial ini juga
berimplikasi pada kewenangan dan tugas atau fungsi jaksa sebagai fungsi
penuntutan di satu sisi dan penyidikan di sisi lainnya. Pada saat yang sama
lembaga lainnya seperti kepolisian juga memiliki fungsi penyidikan. Tumpang
tindih keenangan ini semakin meruncing di tengah kemunculan lembaga adhock
yang dibentuk presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dibentuknya
lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satgas Mafia hukum.
Akibatnya, lembaga atau institusi hukum saling berebut “jatah” tugas atau
kewenangan dalam penegakan hukum. Kondisi ini diperparah oleh belum jelasnya
perundang-undangan kita tentang fungsi dan garis tugas yang jelas antar lembaga
penegak hukum.
Jadi dualisme inilah yang hingga kini belum diatasi. Termasuk ketika
penulis berdiskusi dengan Yusril Ihza Mahendra, dalam kesempatan silaturrahmi,
Lebaran Idul Adha, ahli hukum tata negara itu pun sedang mengkaji kejelasan
tugas dan wewenang tersebut. Menurutnya perlu ada semacam yudisial review
yang serius terkait kejelasan dan fungsi dualisme yang melanda institusi
kejaksaan.
Karena itu pelajaran rumah Indonesia ke depan untuk pemberantasan
korupsi dan tindak criminal lainnya, mau tak mau harus menyentuh aspek legal
formal, serta distingsi tugas dan kewenangan yang jelas. Ini tentu saja
membutuhkan pembahasan yang komprehensif di tengah kehausan masyarakat
akan rasa keadilan.
F. Kedudukan Jaksa Agung dalam Perspektif Hukum Ketatanegaraan Islam
Dalam sejarahnya posisi dan kedudukan jaksa agung atau kejaksaan
agung sebagai lembaga penyidik atau penuntut juga memiliki kedudukan penting
dalam penegakan hukum, selain yang lebih popular adalah hakim atau qadi. Posisi
kejaksaan agung memang dalam ayat atau hadist memang tak eksplisit
diungkapkan, sebagaimana hakim atau qadi. Hal tersebut terlihat jelas dalam ayat
ayat yang secara khusus menyinggung soal hukum dalam kaitannya dengan
keadilan.
# sŒ Î)uρ Ο çFôϑs3ym t⎦ ÷⎫ t/ Ĩ$̈Ζ9$# βr& (#θ ßϑä3øtrB ÉΑô‰yèø9 $$Î/ 4 ¨βÎ) ©!$# $−Κ ÏèÏΡ / ä3Ýà Ïètƒ ÿ⎯Ïμ Î/ 3 ¨βÎ) ©! $# tβ%x. $Jè‹Ïÿxœ
# ZÅÁ t/ ∩∈∇∪
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S: an-Nisa/4: 58)
Tapi, meskipun ayat-ayat di atas tidak spesifik menyebut istilah jaksa
agung sebagai salah satu penegak hokum. Namun, sesuai perkembangan zaman,
perangkat atau institusi penegakhukumdibentuk agar perintah
penegakanhukumdan keadilan secara procedural dapat berjalan dengan maksimal,
sesuai tujuan-tujuan di atas. Karena itu, peran seorang penegakhukumatau institusi
perlu dibentuk dengan menganut pada nilai-nilai di atas. Dalam
perkembangannya, selain hakim/qadi, kedudukan jaksa agung pun sebenarnya
sama pentingnya. Bahkan ia bagian dari unsur-unsur penegakan hukumtersebut.
¨βÎ) ©! $# ããΒù' tƒ ÉΑô‰yèø9 $$ Î/ Ç⎯≈ |¡ôm M}$# uρ Ç› !$ tGƒÎ)uρ “ÏŒ 4†n1 öà)ø9 $# 4‘ sS÷Ζ tƒuρ Ç⎯tã Ï™!$t±ósxø9 $# Ìx6Ψ ßϑø9 $# uρ Ä© øö t7 ø9$# uρ 4
öΝ ä3Ýà Ïètƒ öΝà6̄= yès9 šχρ ã©. x‹s? ∩®⊃∪
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S: an-Nahl/16: 90)
Dalam hukum Islam, para ulama sepakat bahwa seorang hakim boleh
menangani kasus yang berkaitan baik itu menyangkut Haqqul Lillah (hak-hak
yang menyangkut urusan langsung dengan Allah) maupun Haqqul Adami' (hak-
hak yang menyangkut urusan dengan manusia). Mereka juga sepakat bahwa
keputusan dari seorang hakim tidak dapat menghalalkan sesuatu yang haram dan
sebaliknya, mengharamkan sesuatu yang halal.35
Di samping itu, dari berbagai literatur fikih dapat disimpulkan, bahwa
tugas pokok seorang hakim adalah, menetapkan hukum syara' pada suatu perkara
secara mengikat untuk menyelesaikan sengketa. Batasan tersebut menyangkut
35 Ibnu Rusyd al-Khafid, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1995), hlm. 378.
dengan tugas pokok seorang hakim. Dalam sejarah peradilan Islam, tugas hakim
dalam perkembangannya di samping tugas pokok tersebut, pernah diberi
kewenangan tambahan yang bukan menyelesaikan suatu perkara. Umpamanya,
menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengurusan Baitul-mal, mengangkat
pengawas anak yatim, dan pernah pula sebagai pemimpin perang. Dari batasan itu
cepat dipahami bahwa pada diri seorang hakim harus terdapat dua kemampuan,
yaitu kemampuan untuk menguasai hukum yang berkaitan dengan ijtihad
istimbati, dan kemampuan untuk menerapkannya.36
Sementara posisi hakim sendiri tak mungkin memutuskan perkara tanpa
ada elemen atau fungsi penuntutan dan penyidikan seperti jaksa agung. Karena
itu, pungsi jaksa agung meski secara eksplisit tidak tertera dalam al-qur’an dan
hadist, ia merupakan bagian integral dalam proses penegakan hukum yang adil.
Hukum dan masyarakat mempunyai hubungan yang bersifat timbal-
balik, “dialektis”. Hukum juga memberikan penilaian terhadap masyarakat
mengenai kedudukan yang mereka tempati. Selain itu ia mengarahkan pada apa
yang seharusnya mereka lakukan dalam kedudukan tertentu, semisal jaksa agung.
Akan tetapi, agar penilaian tersebut efektif, hukum membutuhkan dasar-dasar
sosial dan ketentuan tata kelola kenegaraan. Apabila dasar-dasar sosial tersebut
berubah (diubah), karena merupakan salah satu aspek budaya yang oleh karenanya
bersifat “fana”, maka perubahan di dalam sistem penilaian pun seringkali terjadi.
36 Satria Efendi M. Zein, "Ijtihad dan Hakim Pengadilan Agama." Mimbar Hukum :
Aktualisasi Hukum Islam, No. 10 Tahun. IV ( 1993), hlm. 43.
Terjadinya ketimpangan antara ukuran, kewenangan, legalitas yang
diusulkan dengan kenyataan yang dihadapi di dalam pergaulan masyarakat dapat
diartikan sebagai masalah social, jika itu bersifat timpang tindih. Dengan
demikian, langsung atau secara tidak langsung, dalam beberapa hal penting,
masalah sosial tersebut berhubungan dengan peran yang dilakonkan oleh baik
Hakim Pengadilan Agama maupun jaksa agung yang bertugas untuk melakukan
penyidikan dan penuntutan, serta penegakan hukum yang pad akhirnya harus
mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Pada posisi itu kejaksaan agung dalam
sistem ketata negaraan Islam memiliki peran dan kedudukan penting dan spesifik
sebagai lembaga yang berwenang melakukan penuntutan dan penyidikan setiap
kasus. Meski peranannya terintegrasi dengan sistem pengadilan pada umumnya.
Sementara posisi hakim Pengadilan Agama memberi bentuk terhadap hubungan-
hubungan sosial dan menentukan prosedur yang harus ditempuh dalam mencapai
tujuan-tujuan yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, dapat dikatakan,
bahwa peranan Hakim Pengadilan Agama adalah memelihara keselarasan
fungsional dari komponen-komponen hukum lainnya. Sementara kejaksaan agung
berfungsi sebagai lembaga yang menerima delik aduan dan melakukan penuntutan
setelah melalui penyidikan yang matang atas setiap kasus yang muncul.
Penegakan hukum merupakan salah satu lembaga yang didisain oleh
manusia dalam mengatur hidup dan kehidupannya, sebab teks al-qur’an dan hadist
tidak eksplisit mengaturnya. Namun demikian, tidak ada hukum yang tegak dalam
arti kata yang sebenarnya, kecuali serangkaian peranan para penegak hukum yang
dibuat manusia termasuk lembaga kejaksaan agung untuk menegaknya. Dalam
satu garis-kontinum teks al-qur’an dan hadist bisa menjadi sumber inspirasi bagi
tegaknya hukum dan pranata social, hal itu dimaksudkan agar manusia mampu
membangun peran dan kedudukan penegak hukum yang langsung terhubung
antara kepastian hukum dan ketertiban hukum. Sebagai praksis dari ide tentang
keadilan sebagaimana banyak di singgung dalam teks-teks keagamaan.
Dengan demikian, peranan jaksa juga hakim dalam upaya penegakan
dan pembangunan Hukum Islam berarti suatu gambaran dan penjelasan umum
mengenai masalah dasar dan posisi-relatif yang dimiliki masing-masing terkait
peran dan fungsi yang dimainkan sesuai ketetapan hukum dan ketatanegaraan
yang berlaku.
Dalam kasus Indonesia, pengaruh tata negara Islam atas hukum
Indonesia sebenarnya dapat dilacak dari akar sejara. Kita semua tahu, bahwa
sepanjang sejarah hukum di Indonesia, nampak jelas bahwa sejak berabad-abad
yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat Islam di negeri ini. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan
yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab oleh
seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang
menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban
mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah.
Selain itu, organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku
himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum
Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqaha, dan kaum Muhammadiyah
mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal
Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya,
mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada
sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan hadis. Dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota
masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek
hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka
jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada
kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam
diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula
pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan
ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Dari berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau
kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang
hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di
negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai
simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.37
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para
kadi, juga jaksa yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau
37 Yusril Ihza Mahendra, “Posisi dan Kedudukan Kejaksaan Agung”, (makalah) 2010
ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan
ajaran dan hukum Islam.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keterangan dan uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis
berkesimpulan, bahwa secara historis sebenarnya kedudukan dan fungsi lembaga
kejaksaan agung memiliki basis legitimasinya yang kuat baik dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia maupun dalam ketatanegaraan Islam. Meski pun dalam
arti yang spesifik dalam sistem ketatanegaraan Islam tidak eksplisit ditegaskan
keberadaan institusi kejagung. Namun tugas dan fungsinya, sebenarnya melekat
sebagaimana dalam konsep Wilayatul Mazhalim maupun Wilayatul Hisbah.
Dalam perkembangannnya, latar belakang historis tersebut mengalami
perubahan yang signifikan. Terutama sejak produk hukum memasuki era negara
modern (nation state). Dimana hukum positif kemudian menegaskan pentingnya
fungsi maupun lembaga kejaksaan sebagai salah satu pilar penuntutan atas kasus-
kasus hukum yang ada. Namun, tentu saja posisi institusi ini tak lepas dari sistem
politik yang ada. Tugas atau kewenangan serta legalitasnya juga diatur dalam
undang-undang, berikut batasannya. Kasus Hendarman Supandji, telah menjadi
pelajaran baru di Indonesia, terutama pasca keputusan Mahkamah Konstitusi
terkait masa jabatannya, sebagaimana di atas telah disinggung. Dengan demikian,
batasan jabatan dan kewenangan juga sangat ditentukan oleh proses politik dan
hukum sebagaimana diatur dalam UUD 45.
Kekuatan undang-undang dan kewenangan serta batasan jabatan juga
erat terkait dengan sejauhmana kewenangan sebuah lembaga itu dijalankan.
Selain, tentu saja terdapat kesimpulan kalau independensi Kejagung juga bias
kepentingan politik. Sebab, tak bisa ditampik kalau lembaga ini lahir dari rahim
kekuasaan. Sehingga sangat bergantung pada suasana kekuasaan. Tapi, jika
pemegang kekuasaan dalam hal ini presiden punya komitmen moral dan hukum
yang kuat. Maka kejaksaan agung juga akan menjadi lembaga yang kuat, tentu
dengan didukung kualitas sumebrdaya manusia yang memiliki komitmen moral
juga pengetahuan hukum yang komprehensif.
B. Saran dan Kritik
Sebagai sebuah saran, penulis setidaknya melihat masih adanya jurang
posisi yang tegas, serta fungsi dualisme yang masih timpang tindih, antara satu
institusi dengan institusi penegak hukum lainnya. Karena itu lembaga ini ke depan
harus kembali bebenah diri dan berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum
lainnya seperti kepolisian dan KPK, agar penegakan dan kewenangan tidak
tumpang tindih, antara satu dan lainnya. Apalagi jika terjadi rivalitas, tentu hal ini
akan mencoreng lembaga penegak hukum.
Karena itu sedikit krtik juga layak untuk dilontarkan untuk lembaga ini
agar lebih professional dan akuntabel dalam menyelesaikan kasus. Menghindari
tebang pilih, dan tindak kesewenangan dalam proses penegakan huku. Sebab
penegakan hukum juga harus dibarengi dengan kemampuan melihat bagaimana
nilai-nilai keadilan bisa dituju.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya Affandi Wahyu, Hakim dan Penegakan Hukum. (Bandung: Alumni, 1981) Ahyar, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Dalam Era Reformasi: Himpunan
Karya Tulis Bidang Hukum (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Dept. Kehakiman RI, 1999)
Ash-Shiddiqi, T. M. Hasbi, Peradilan Hukum Acara Islam, Bandung: PT Al-Maarif, 1964.
al-Khafid, Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995)
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Setjen Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.
Cambell, Tom, “Tujuh Teori Sosial,” (terj: F. Budi Hardiman), Kanisius, 1994. Daud, Ali Mohammad, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia,dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, alih bahasa Rochman Achwan, cet.I (Jakarta: LP3ES, 1988) Effendi, Deden, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, (Jakarta : Departemen
Agama R.I., 1985) Efendi Satria, M. Zein, "Ijtihad dan Hakim Pengadilan Agama." Mimbar Hukum
: Aktualisasi Hukum Islam, No. 10 Tahun. IV ( 1993) Effendy, Marwan, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum,
(Gramedia, 2005) Lev, Daniel S., Peradilan Agama di Indonesia: Studi tentang Landasan Politik
Lembaga-Lembaga Hukum, alih bahasa H. Zaini Ahmad Noeh, Jakarta: PT Intermasa, 1980.
Mahfud MD, Dasar-dasar Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, (Rineka Cipta, 2001)
Mahendra, Yusril Ihza, ”Kedudukan Kejaksaan dan posisi jaksa dalam sistem presidensial di Bawah UUD 1945,” Blog Yusril, 2010
Mahendra, Yusril Ihza, “Posisi dan Kedudukan Kejaksaan Agung”, (makalah) 2010
Nazir, Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.
Novianto, Kholid. Era Baru Indonesia: sosialisasi pemikiran Amien Rais, Hamzah Haz, Matori Abdul Djalil, Nur Mahmudi, Yusril Ihza Mahendra, Perpustakaan CSIS.
Ranadireksa, Hendarmin, Amandemen UUD 45 Menuju Konstitusi yang Berkedauatan Rakyat, Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2002.
Tim Visimedia, “Kitab Undang-Undang 1945,” Schacht, Joeseph , An Introduction to Islamic law, (London: Clarendon
Paperbacks, 1983) Soekanto, Soerjono, "Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum," Analisis
Pendidikan. No.02, Tahun ke-II. Wikipedia Google.com, “Legitimasi” Kompas.com, Inilah.com, detik.com, dll, 2010
Lampiran
Putusan Lengkap Mahkamah Konstitusi Soal Jaksa Agung (1)
Politikindonesia - PUTUSAN Nomor 49/PUU-VIII/2010
1. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] Yusril Ihza Mahendra, usia 54 tahun, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Jalan Karang Asem Utara Nomor 32, Kuningan, Jakarta Selatan; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon; [1.3] Membaca permohonan dari Pemohon; Mendengar keterangan dari Pemohon; Mendengar keterangan dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah; Membaca keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah; Membaca keterangan tertulis saksi dari Pemohon; Membaca kesimpulan dari Pemohon; Memeriksa bukti-bukti dari Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 6 Juli 2010 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 9 Juli 2010 dengan registrasi Perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Juli 2010, menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi 1. Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (“MK”) melakukan pengujian terhadap Pasal 22 ayat (1) huruf d Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU No. 16 Tahun 2004); 2. Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi(”UU MK”), bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,...” Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK antara lain menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final”: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, …” 3. Selain itu, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika
terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme Pengujian Undang-Undang; 4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang ini. II. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK mengatur bahwa: a. “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: Perorangan warga negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga negara. Selanjutnya Penjelasan Pasal 51 ayat (1) menyatakan: Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia (Bukti P- 3) sebagaimana dimaksud Pasal 52 ayat (1) huruf a UU MK yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU No. 16 Tahun 2004”) yang mengatur, (1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: d. berakhir masa jabatannya; 3. Bahwa Pemohon merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak konstitusional yang dijamin konstitusi untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam naungan Negara hukum
sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 4. Bahwa pada saat mengajukan Permohonan ini, Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, dan kemudian dipanggil menghadap untuk diperiksa berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan atas nama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-79/F.2/ Fd.1/06/2010 tanggal 24 Juni 2010, melanggar Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 12 huruf i UU Nomor 31 Tahun 2009 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001; 5. Bahwa berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/Fd.1/06/2010,tanggal 24 Juni 2010, Pemohon telah dipanggil sebagai Tersangka sesuai dengan Surat Panggilan Nomor SPT-1170/F.2/Fd.1/06/2010; (Bukti P- 4) 6. Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010, Pemohon telah dicegah untuk meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia selama 1 (satu) tahun; 7. Bahwa sebagai warga negara yang baik Pemohon mematuhi hukum sepanjang pelaksanaan dan norma hukum yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri serta sesuai dengan asas negara hukum serta asas kepastian hukum dan keadilan. Faktanya, akibat penerapan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan RI yang tidak sejalan dengan asas negara hukum dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum, telah membuat Pemohon dirugikan hak-hak konstitusionalnya. 8. Bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Jaksa Agung dan perintah penyidikannya didasarkan atas Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan atas nama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang diangkat oleh Presiden atas usul seorang Jaksa Agung yang memiliki ketidakjelasan legalitas penerapan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang multi-tafsir. Demikian pula halnya Keputusan untuk mencegah Pemohon bepergian meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia,yang menurut ketentuan Pasal 35 huruf f UU Nomor 16 Tahun 2004 adalah kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Agung. Sementara Jaksa Agung yang mengambil keputusan itu adalah seorang Jaksa Agung yang tidak memiliki kejelasan legalitas, akibat penerapan yang multi tafsir terhadap atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan; 9. Bahwa Pasal 19 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Jaksa Agung adalah pejabat negara. Sedangkan Pasal 19 ayat (2) UU No. 16 Tahun
2004 menyebutkan bahwa pejabat yang berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung adalah Presiden; 10. Bahwa menurut Pasal 24 ayat (1), Jaksa Agung Muda diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung; sedangkan para Direktur di Kejaksaan Agung diangkat oleh Jaksa Agung; 11. Bahwa sesuai dengan Surat Edaran Nomor SE-004/A/JA/09/2008 tentang Pengendalian Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, dalam tahap penyidikan,penuntutan, upaya hukum, “…. dengan nilai kerugian keuangan negara atau perekonomian negara diatas Rp. 10 milyar atau karena sifatnya menarik perhatian masyarakat yang berskala Nasional atau Internasional atrau karena hal tertentu, pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh Kejaksaan Agung”. (Bukti P- 5). 12. Bahwa Jaksa Agung berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 adalah “Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas,dan wewenang kejaksaan”; 13. Bahwa menurut Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang menjadi objek perkara, Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: … “berakhir masa jabatannya”; 14. Bahwa berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 187 Tahun 2004, tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung dimasukkan menjadi anggota kabinet dengan kedudukan setingkat menteri Negara. Keputusan Presiden ini diterbitkan pada tanggal 20 Oktober 2004. Tugas Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), sesuai dengan masa jabatan Presiden adalah 5 (lima) tahun. Maka, dengan sendirinya tugas KIB berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009; (Bukti P-6) 15. Bahwa kemudian Jaksa Agung Hendarman Supandji, S.H.CN, telah diangkat menjadi Jaksa Agung “Kabinet Indonesia Bersatu” berdasarkan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007, “dengan kedudukan setingkat Menteri Negara”; menggantikan Abdul Rachman Saleh yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya; (Bukti P-7) 16. Bahwa Keppres Nomor 31/P Tahun 2007, sebagaimana tercantum dalam konsideran menimbang huruf a, terkait dengan Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, yang dibentuk pada tanggal 20 Oktober 2004. Dalam konsideran huruf a Keppres Nomor 187/M
Tahun 2004, disebutkan bahwa H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla adalah Presiden terpilih untuk masa jabatan 2004 – 2009. Dalam konsideran huruf b, dikatakan bahwa untuk melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan negara, dipandang perlu untuk “membentuk dan mengangkat Menteri Negara Kabinet Indonesia Bersatu”. Dengan demikian, maka tugas Kabinet Indonesia Bersatu, sesuai dengan jabatan Presiden selama 5 tahun,dengan sendirinya berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009; 17. Bahwa dengan demikian, maka kedudukan Hendarman Supandji, S.H.CN, sebagai Jaksa Agung Rapublik Indonesia, yang menggantikan Abdul Rachman Saleh, berakhir pula dengan berakhirnya masa Jabatan Presiden Republik Indonesia dan berakhirnya masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu yang membantunya, yakni pada tanggal 20 Oktober 2009; 18. Bahwa pada tanggal 20 Oktober 2009, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono telah dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada hari yang sama,Presiden telah membentuk Kabinet Indonesia Bersatu II untuk masa bakti 2009-2014. Namun dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono ini, sampai dimajukannya permohonan a quo, Hendarman Supandji, S.H, CN tidak pernah diangkat kembali sebagai Jaksa Agung melalui Keputusan Presiden, baik menjadi anggota kabinet dengan status setingkat menteri Negara, maupun sebagai Jaksa Agung sebagai pejabat negara,sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Kejaksaan RI. Rakyat tidak pernah pula mendengar atau menyaksikan langsung maupun tidak langsung, Hendarman Supandji dilantik oleh Presiden menjadi Jaksa Agung dan mengangkat sumpah jabatan dalam suatu upacara pelantikan sebagaimana lazimnya pelantikan seorang pejabat negara. Dengan demikian, kedudukan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung tidaklah memiliki landasan hukum,meskipun secara de facto dia menjalankan segala tugas dan kewenangan seolah-olah seorang Jaksa Agung yang sah; 19.Bahwa meskipun tidak memiliki landasan hukum atas jabatannya, Hendarman Supandji, S.H., CN, telah bertindak seolah-olah Jaksa Agung Republik Indonesia yang sah, dan telah melakukan tindakan-tindakan hukum dan/atau mengambil keputusan-keputusan serta membuat surat perintah jabatan, termasuk namun tidak terbatas pada mengusulkan kepada Presiden untuk mengangkat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) M. Amari, yang dilantik setelah tanggal 20 Oktober 2009 menggantikan Marwan Effendi. Oleh karena pengusulan pengangkatan Jampidsus oleh Presiden dilakukan oleh Jaksa Agung yang tidak
memiliki landasan hukum, maka Keputusan Presiden yang mengangkat Jampidus M Amari itu mengandung cacat hukum; 20.Bahwa adanya jabatan Jaksa Agung yang tidak memiliki landasan hukum – dan dengan demikian tidak sah menurut hukum – yang telah menerbitkan keputusan-keputusan, penetepan, perintah jabatan dan kebijakan yang membawa akibat hukum yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung yang telah berakhir masa jabatannya akibat kekeliruan menafsirkan dan menerapkan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang multi-tafsir, telah memberikan ketidakpastian hukum dan mencederai jaminan perlindungan atas hukum yang adil terhadap diri Pemohon; 21. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya,berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: a.adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b.hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c.kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Dengan demikian maka ada lima syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Syarat pertama adalah kualifikasi Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia,untuk bertindak sebagai pemohon sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Syarat kedua dengan berlakunya suatu undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon dirugikan. Syarat ketiga, kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik. Syarat keempat kerugian tersebut timbul akibat berlakunya
undang-undang yang dimohon. Syarat kelima, kerugian konstitusional tersebut tidak akan terjadi lagi kalau permohonan ini dikabulkan. Bahwa uraian di atas membuktikan, Pemohon (perseorangan warga negara Indonesia) memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan Pengujian Undang-Undang ini. Bahwa berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas, maka Pemohon sebagai warga negara Indonesia, benar-benar telah dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU No. 16 Tahun 2004”), karena masa jabatannya telah berakhir. Akhirnya, apabila permohonan pengujian terhadap ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU No. 16 Tahun 2004”) dikabulkan, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tidak lagi dirugikan. Dengan demikian, syarat kedudukan hukum (legal standing) Pemohon telah sesuai dan memenuhi ketentuan yang berlaku.
Putusan Lengkap Mahkamah Konstitusi Soal Jaksa Agung (2)
Politikindonesia - PUTUSAN Nomor 49/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA (SAMBUNGAN BAGIAN 2) II. Alasan-alasan Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 22 ayat (1)d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU No. 16 Tahun 2004”) A. PEMOHON BERHAK ATAS PENGAKUAN, JAMINAN, PERLINDUNGAN, DAN KEPASTIAN HUKUM YANG ADIL DALAM NEGARA HUKUM.
22. Bahwa sejak dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Perubahan pokok dilakukan pada diakuinya hak-hak asasi manusia, termasuk adanya kesamaan di dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil; 23. Bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, serta berthak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; 24. Bahwa negara Republik Indonesia, sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah negara hukum; 25. Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 26. Bahwa secara yuridis Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat bagi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1), menyediakan instrumen berupa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, di mana dinyatakan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Norma konstitusi di atas mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku bagi seluruh manusia secara universal. Dalam kualifikasi yang sama, setiap manusia, termasuk di dalamnya Pemohon; Namun pada kenyataannya, undang-undang tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum tidak ada yang khusus, karena seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya kepastian hukum yang adil; 27. Pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud di atas juga mencakup pengakuan, jaminan, dan perlindungan atas asas-asas hukum yang berlaku universal. Salah satu asas hukum yang diakui eksistensinya dalam sistem hukum Indonesia adalah perlindungan
dari tindakan semena-mena dari pejabat yang kedudukannya tidak sah: B. PASAL 22 AYAT (1) HURUF D UU NOMOR 16 TAHUN 2004 MENIMBULKAN KETIDAKPASTIAN HUKUM KARENA TIDAK MEMBERIKAN KEJELASAN BATAS MASA JABATAN JAKSA AGUNG 28. Bahwa menurut UU Nomor 16 Tahun 2004, Pasal 22 (1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani terus menerus; d. berakhir masa jabatannya e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; 29. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e UU Nomor 16 Tahun 2004 telah memberikan kejelasan kapan Jaksa Agung akan diberhentikan dengan hormat. Namun lain halnya dengan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 yang menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum karena di dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tidak diatur masa jabatan Jaksa Agung. Jikapun ada, maka yang diatur adalah batas pensiun jaksa, yakni 62 (enam puluh dua) tahun sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004. Tetapi karena Jaksa Agung adalah “pejabat Negara” sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004, maka ketentuan usia pensiun jaksa tidaklah berlaku bagi Jaksa Agung; 30. Bahwa dengan kenyataan seperti itu, Pasal 22 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 pada akhirnya tidak menentukan secara tegas batas waktu masa jabatan Jaksa Agung. Pasal tersebut dapat ditafsirkan jika tidak meninggal dunia, tidak mengajukan permintaan untuk berhenti, tidak sakit jasmani atau rohani terus menerus, tetap memenuhi syarat sebagai Jaksa Agung, maka seorang Jaksa Agung tidak dapat diberhentikan oleh Presiden, karena UU tidak mengatur kapan akhir masa jabatannya. Keadaan ini berpotensi menjadikan seorang Jaksa Agung akan memangku jabatan seumur hidup. Kekhawatiran seperti ini sebenarnya memang telah dikemukakan oleh salah satu fraksi di DPR dalam penyampaian kata akhir pembahasan RUU itu, yakni oleh Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia. Juru
bicara fraksi ini, H.A Hamid Mappa mengatakan: ”Jabatan Jaksa Agung adalah ’political appointee’, bukan jabatan karier. Jaksa Agung bisa berasal dari jaksa karier dan bisa dari luar institusi kejakasaan; tetapi yang jelas itu adalah jabatan politik. Itulah posisi Jaksa Agung dalam paradigma demokrasi dan sistem presidensil bukan paradigma birokrasi. Karena yang bersangkutan adalah ’political appointee’, maka Jaksa Agung dapat diberhentikan oleh Presiden kapan saja, kalau dianggap tidak mampu menjalankan tugas. Oleh karena itu apa yang disebutkan dalam Pasal 22 ayat [1 huruf] d tentang pemberhentian Jaksa Agung tidaklah tepat, karena dapat diartikan bahwa Jaksa Agung tidak dapat diberhentikan sewaktu-waktu. Pasal 22 ayat (1) huruf d tidaklah sesuai dengan pemahaman system building khususnya tentang political appointee. Kalau para menteri dapat diberhentikan sewaktu-waktu bila dianggap tidak mampu atau melakukan penyimpangan maka hal yang sama juga harus berlaku bagi Jaksa Agung”. (Proses Pembahasan Rancangan UU tentang Kejaksaan RI, Sekretariat Jenderal DPR-RI, tanpa tahun, halaman 776) (Bukti P- 8). 31. Bahwa dalam sejarah pembentukan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, pembahasan masa jabatan Jaksa Agung memang terkait dengan kedudukan Jaksa Agung, yang dalam RUU inisiatif DPR atas usul Badan Legislasi – semula berjudul ”RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia” -- dikelompokkan ke dalam ranah ”kekuasaan kehakiman”, yakni sebagai ”salah satu lembaga penegak hukum yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan” dan ”melaksanakan fungsinya secara mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya, untuk melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan”. Dengan demikian, kedudukan Kejaksaan bukan lagi dalam ranah ”kekuasaan pemerintahan”, seperti dianut oleh UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI. Presiden, ketika itu juga mengajukan RUU yang sama kepada DPR. Namun karena RUU DPR datang lebih dahulu, maka menurut Peraturan Tata Tertib DPR, RUU yang datang lebih dahulu harus dijadikan sebagai pokok bahasan, sementara RUU yang datang kemudian dijadikan sebagai persandingan. Dalam RUU yang diajukan Presiden, kedudukan Jaksa Agung tetap sama dengan UU Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991, yakni kejaksaan ditempatkan dalam ranah ”kekuasaan pemerintahan”. Karena, dalam RUU inisiatif DPR kedudukan kejaksaan bukan lagi berada dalam ranah pemerintahan, maka membawa konsekuensi pada proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung. Pasal 19 ayat (2) RUU inisiatif DPR mengatakan ”Pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung diresmikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sementara calon Jaksa Agung diajukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR [Pasal 19 ayat (3)]. Dalam konteks seperti ini, maka inisiatif DPR kemudian membatasi masa jabatan Jaksa Agung selama 5
(lima) tahun [Pasal 19D ayat (1)]. Namun dalam perkembangan pembahasan atas RUU ini, ternyata fraksi-fraksi DPR berbeda pendapat dengan RUU inisiatif mereka sendiri dalam hal apakah Kejaksaan berada dalam ranah ”kekuasaan kehakiman” ataukah ranah ”kekuasaan pemerintahan”. Anggota Fraksi Partai Golkar (Andi Mattalata, M. Akil Mochtar dan Agun Gunanjar) dan Fraksi Persatuan Daulatul Ummah (Sayuti Rahawarin) cenderung mempertahankannya dalam ranah ”kekuasaan kehakiman”, sehingga mereka menginginkan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung memerlukan persetujuan DPR. Namun mayoritas fraksi-fraksi berbendapat lain. V.B Da Costa dari FPDI mengatakan bahwa pengangkatan Jaksa Agung tidak perlu persetujuan DPR ”cukup Presiden saja” . (hal. 592). H.M. Tahir Saimima dari FPP mengatakan ”Jaksa Agung itu adalah jabatan setingkat menteri yang merupakan pembantu daripada Presiden. Karena itu menurut hemat kami adalah jelas dan rasional kepada Presiden untuk untuk menentukan” (hal. 594). Setelah semua fraksi mengemukakan pendapatnya, Ketua Rapat menyimpulkan ”Jadi Bapak/Ibu, saya kira kita sudah bisa ketok palu kalau rumusannya seperti ini [pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung] tanpa ke DPR lagi. Jadi tidak bicara karier dan non karier, diserahkan kepada Presiden dan tidak melalui DPR”. Setelah itu, Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, Prof. Dr. A Gani Abdullah membacakan rumusan yang disepakati Pemerintah dan DPR ”Ayat (2) rumusannya: Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Selesai itu ayat (2). Oleh karena Jaksa Agung disepakati DPR dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, maka usul DPR agar masa jabatan Jaksa Agung dibatasi 5 (lima tahun), diusulkan Pemerintah untuk dihapus dan hal ini sebelumnya telah dikemukakan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) usulan Pemerintah. Meskipun telah disetujui rapat, namun wakil Pemerintah meminta waktu untuk menyampaikan ikhwal kedudukan Jaksa Agung, termasuk masa jabatannya, kepada Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman dan HAM untuk mengkonsultasikannya dengan Presiden (hal. 603-607). Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung melaporkan dan mendiskusikan hal ini dengan Presiden Megawati dengan menjelaskan posisi Jaksa Agung dalam sejarah ketatanegaraan RI. Presiden memberi arahan untuk menyetujui bahwa kejaksaan adalah ”lembaga pemerintahan”. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai pejabat negara, bisa berasal dari karier dan bisa juga non karier,terserah Presiden. Presiden juga menegaskan bahwa posisi Jaksa Agung yang seharusnya dimuat dalam RUU yang sedang dibahas adalah sama seperti posisi M.A Rachman ketika itu, yakni menjadi anggota kabinet,dengan kedudukan setingkat menteri negara. Masa jabatan Jaksa Agung tidak perlu diatur dalam UU, karena kalau diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, maka posisinya sama seperti halnya pengangkatan dan pemberhentian menteri. Hasil konsultasi ini, kemudian disampaikan kepada Dirjen Peraturan
Perundang-Undangan dan Pejabat Eselon I Kejaksaan Agung, yang mewakili Pemerintah dalam Rapat Panja RUU Kejaksaan, untuk dikemukakan baik dalam Rapat Panja maupun dalam forum lobby, ketika membahas beberapa masalah yang dipending, termasuk masa jabatan Jaksa Agung. Setelah konsultasi dengan Presiden ini, Dirjen Peraturan Perundang-Undangan menyampaikan dalam Rapat Panitia Kerja (Panja). Sehubungan dengan masa jabatan Jaksa Agung ini, Dirjen mengatakan” Kemudian halaman 11: ”Jaksa Agung diangkat untuk masa jabatan lima tahun”. Ini belum sepakat, karena ada kaitannya dengan perlu tidaknya [pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung] dengan persetujuan DPR maka tidak perlu masa jabatan. Tapi kalau dengan persetujuan DPR perlu masa jabatan. Itu bedanya di situ. Kalau Pemerintah, konsisten dengan yang tadi, bahwa kalau tidak dengan persetujuan DPR maka [pasal yang mengatur masa jabatan Jaksa Agung] dihapus. Ini belum disepakati. Dan ini akan dibahas dalam Tim Perumus dan melaporkannya kepada Panja”. Panja akhirnya menyepakati bahwa rumusan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung sepenuhnya diserahkan kepada Presiden. Dengan demikian, masa jabatan Jaksa Agung lima tahun dihapuskan.Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, H. Azhar Muchlis, dalam laporannya ke Rapat Paipurna untuk pengesahan RUU ini mengatakan antara lain ”Jaksa Agung adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal ini tidak berubah dari ketentuan undang-undang lama [UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI], walau sebelumnya DPR mengusulkan agar pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung harus melalui persetujuan DPR, begitu pula pertanggungjawabannya”. (hal. 773) 32. Pemerintah, yang diwakili Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra dan Jaksa Agung M.A Rachman yang juga mengajukan RUU tentang Kejaksaan, memang sejak semula mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 1991 khusus mengenai penempatan kejaksaan ke dalam ranah “kekuasaan pemerintahan”, dengan konsekuensi pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung sepenuhnya ada di tangan Presiden. Sebagaimana halnya pengaturan di dalam UU Nomor 5 Tahun 1991, masa jabatan Jaksa Agung memang tidak diatur, berdasarkan anggapan, bahwa hal ini sudah diketahui dan telah berkembang dalam praktik ketatanegaraan sejak tahun 1959 – pelaksanaan kongkritnya baru dimulai tahun 1961, dengan diangkatnya “Menteri Jaksa Agung” oleh Presiden Sukarno. Pada masa pemerintahan Presiden Suharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman
Wahid dan Presiden Megawati, Jaksa Agung selalu menjadi anggota kabinet dengan kedudukan setingkat menteri negara. Masa jabatan Jaksa Agung berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dan berakhirnya masa bakti kabinet yang dibentuknya. Keadaan yang telah berlangsung terus-menerus semenjak tahun 1961 hingga dibahasnya RUU Kejaksaan tahun 2004, telah dapat dianggap sebagai konvensi ketatanegaraan yang dalam praktek diterima dan diakui; 33. Bahwa konvensi ketatanegaraan seperti di atas secara konsisten juga diikuti oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyon ketika membentuk Kabinet Indonesia Bersatu (KIB I), yang masa baktinya adalah terhitung tanggal 20 Oktober 2004 sampai 20 Oktober 2009. Abdul Rachman Saleh diangkat menjadi Jaksa Agung RI dan menjadi anggota kabinet dengan ”kedudukan setingkat menteri negara”. Baik Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 yang mengangkat Abdul Rachman Saleh, maupun Keppres Nomor 31/P 2007 yang memberhentikannya dengan hormat dan mengangkat Hendarman Supandji sebagai penggantinya, kedudukan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung adalah sama, yakni ”setingkat menteri negara”. Baik Keppres Nomor 187 Tahun 2004 maupun Keppres Nomor 31/P Tahun 2007 pengangkatan Jaksa Agung dituangkan dalam diktum yang sama dalam diktum pengangkatan para menteri negara lainnya; 34. Bahwa dengan demikian, maka tafsiran yang benar dan konstitusional atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 dihubungkan dengan Pasal 1 dan Pasal 28D ayat (1) adalah tafsir yang menyatakan bahwa Presiden mengangkat Jaksa Agung dan menyesuaikan masa jabatan Jaksa Agung sesuai dengan masa bakti kabinet, yang juga bersamaan dengan masa jabatan Presiden. Atau jikapun terdapat tafsir lain dengan menyatakan Jaksa Agung harus berada di luar kabinet --- seperti umpamanya setelah berlakunya UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara --- maka Presiden dalam menerbitkan Keppres Pengangkatan Jaksa Agung, haruslah mencantumkan secara tegas berapa lama masa jabatan Jaksa Agung yang diangkat tersebut. Cara seperti ini dapat mengatasi kelemahan rumusan kelemahan UU Nomor 16 Tahun 2004 yang tidak membatasi masa jabatan Jaksa Agung, dan dapat melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 secara konstitusional dalam konteks sebuah negara hukum dan demokrasi. Dengan cara seperti itu, Presiden memiliki peluang untuk memberhentikan seorang yang menjabat Jaksa Agung dan menggantinya dengan pejabat yang baru, sebagai ”pergantian antar waktu” sampai berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung yang digantikannya.
35. Bahwa dalam negara hukum yang demokratis segala jabatan negara haruslah dibatasi jangka waktunya. Bahkan terhadap jabatan Presiden secara tegas diatur oleh Pasal 7 UUD 1945, untuk waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Pembatasan masa jabatan Presiden untuk dua kali masa jabatan saja setelah perubahan UUD 1945, dilakukan untuk mencegah terjadinya kediktatoran terselubung dengan menggunakan celah multi tafsir yang ada dalam pasal yang mengatur masa jabatan Presiden sebelumnya. Kalaulah masa jabatan Presiden telah dibatasi, tidaklah mungkin akan ada Jaksa Agung yang dapat memegang jabatannya seumur hidup, karena ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 yang multi-tafsir. C. DAPAT SESEORANG YANG MENDUDUKI JABATAN JAKSA AGUNG TANPA SURAT PENGANGKATAN OLEH PRESIDEN AKIBAT KESALAHAN TAFSIR PASAL 22 AYAT (1) UU NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN. 36. Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 dinyatakan: Menimbang: a. bahwa Komisi Pemilihan Umum berdasarkan Surat Keputusan Nomor 98/SK/KPU/Tahun 2004 tanggal 4 Oktober 2004, telah menetapkan H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2004 - 2009,… b. bahwa untuk melaksanakan sebaik-baiknya tugas Presiden di dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara, dipandang perlu membentuk dan mengangkat Menteri Negara Kebinet Indonesia Bersatu. 37. Bahwa berdasarkan Keppres Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, yang dibentuk pada tanggal 20 Oktober 2004, Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh, S.H.,M.H telah diangkat sebagai Jaksa Agung dengan kedudukan setingkat Menteri Negara; 38. Bahwa kemudian Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kala melakukan penggantian (reshuffle cabinet) melalui Keppres Nomor 31/P Tahun 2007. Dalam konsideran menimbang huruf a, Keppres tersebut dinyatakan,
“bahwa untuk lebih meningkatkan efektifitas pelaksanaan tugas Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara dalam upaya mewujudkan tujuan nasional, dipandang perlu melakukan penataan dan penggantian beberapa Menteri Negara dan Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu yang telah diangkat dengan Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005”. Dalam diktum Kedua dinyatakan, “Mengangkat sebagai Menteri Negara dan Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu, terhitung mulai saat pelantikan masing-masing: ….. 7. Sdr. Hendarman Supandji, S.H., CN, Jaksa Agung dengan kedudukan setingkat Menteri Negara. (vide Bukti P-8). 39. Bahwa masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu (periode 2004-2009, yang lebih dikenal sebagai KIB I) telah berakhir pada tanggl 20 Oktober 2009 bersamaan dengan berakhirnya masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla; 40. Bahwa konsideran Keppres Nomor 83/P Tahun 2009, menyatakan, “bahwa berhubung masa jabatan Presiden Republik Indonesia Periode 2004 – 2009 berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009, dipandang perlu membubarkan Kabinet Indonesia Bersatu dan memberhentikan para Menteri Negara dari jabatannya masing-masing”. Bahwa dalam diktum Pertama Keppres Nomor 84/P Tahun 2009 tersebut juga ditegaskan, “Membubarkan Kabinet Indonesia Bersatu dan memberhentikan dengan hormat dari jabatan Menteri Negara, masing-masing….”, tetapi dalam diktum Keppres tersebut tidak dicantumkan pemberhentian Hendarman Supandji, S.H., CN sebagai Jaksa Agung, meskipun dia adalah anggota kabinet dengan kedudukan setingkat menteri negara. (Bukti P-9). Padahal sebagai anggota kabinet dan sebagai pejabat setingkat Menteri Negara, masa jabatannya berakhir sesuai dengan masa bakti kabinet. Adalah suatu kelalaian dan kesalahan menurut hukum, jika Hendarman Supandji tidak diberhentikan dengan hormat dari jabatannya padahal telah “berakhir masa jabatannya” berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004; 41. Bahwa kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan Boediono sebagai Wakilnya (SBY-Boediono) membentuk Kabinet yang dinamakan Kabinet Indonesia Bersatu II dengan Keppres Nomor 84/P Tahun 2009, yang menyatakan, a. bahwa Komisi Pemilihan Umum dengan Keputusan Nomor
373/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 18 Agustus 2009 telah menetapkan Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. Dr. Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pemilu Tahun 2009 periode 2009 – 2014…….; b. bahwa untuk melaksanakan sebaik-baiknya tugas Presiden di dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka mewujudkan tujuan nasional, dipandang perlu membentuk dan mengangkat Menteri Negara Kabinet Indonesia Bersatu II periode 2009 – 2014; Bahwa Keppres Nomor 84/P Tahun 2009 tersebut tidak menyebutkan adanya pengangkatan Hendarman Supandji, S.H., CN, sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia; (Bukti P-10). Di samping itu, sampai dimajukannya permohonan aquo, tidak pernah ada Keputusan Presiden yang mengangkat Hendarman Supandji menjadi Jaksa Agung, sekiranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkeinginan agar yang bersangkutan tetap menduduki jabatan itu sebagaimana di dalam KIB I, meskipun tidak berkedudukan “pejabat setingkat menteri Negara” dan berada di luar kabinet. Dengan demikian, satu-satunya Keppres pengangkatan Hendarman Supandji menjadi Jaksa Agung, adalah Keppres Nomor 31/P Tahun 2004 tanggal 7 Mei 2007 dalam kaitannya dengan KIB I yang sudah dibubarkan melalui Keppres Nomor 83/P Tahun 2009 tanggal 20 Oktober 2009; 42. Bahwa berdasarkan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009, yang telah membubarkan Kabinet Indonesia Bersatu yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004, karena berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia Periode 2004 – 2009 pada tanggal 20 Oktober 2009, maka berakhir pula masa jabatan Hendarman Supandji, S.H., CN, selaku Jaksa Agung dengan kedudukan setingkat Menteri Negara berdasarkan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007. Hal tersebut sesuai pula dengan konvensi ketatanegaran yang telah berlangsung sejak tahun 1961 bahwa masa jabatan Jaksa Agung adalah mengikuti masa bakti suatu kabinet; 43. Bahwa Kabinet Indonesia Bersatu (KIB I, 2004-2009) berbeda dengan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II, 2009-2014). KIB dibentuk oleh pemerintahan SBY-JK sementara KIB II dibentuk oleh pemerintahan SBY-Boediono. Bahwa kedua pejabat ini, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, adalah Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang baru, hasil Pemilihan Umum Presiden Tahun 2009. Kedua pasangan ini telah dilantik dan mengucapkan sumpah jabatan di hadapan MPR-RI tanggal 20 Oktober 2009, sesuai ketentuan Pasal 9 UUD 1945. Pemerintahan SBY-Boediono berbeda dengan Pemerintahan SBY-JK, karena dalam Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden yang dipilih adalah Pasangan Calon Presiden dan bukan hanya memilih seorang Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945. Karena itu, seorang pejabat negara yang kewenangan pengangkatan dan pemberhentiannya sepenuhnya ada ditangan Presiden – tanpa dapat dicampuri-tangani oleh lembaga lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat -- maka pejabat itu haruslah diberhentikan oleh Presiden di akhir masa jabatannya. Selain itu, suatu jabatan dalam pemerintahan haruslah memiliki dasar hukum pengangkatannya sesuai dengan prinsip hukum administrasi negara. Keppres Nomor 31/P Tahun 2007 yang menjadi dasar pengangkatan Hendarman dengan masa jabatan sampai tanggal 20 Oktober 2009, telah berakhir sejalan dengan berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB I, 2004-2009). Sementara itu, dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II, 2009-2014) yang dibentuk melalui Keppres Nomor 84/P Tahun 2009 sama sekali tidak mengangkat Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung dengan kedudukan setingkat menteri negara, ataupun langsung diangkat sebagai Menteri Jaksa Agung, sebagaimana dilakukan Presiden Sukarno pada tahun 1961. Juga tidak ada Keppres yang mengangkatnya kalau Hendarman Supandji kalau Presiden, dengan memperhatikan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementeraian Negara, ingin menempatkan Jaksa Agung sebagai pejabat negara di luar KIB II. Dengan demikian, maka kedudukan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung setelah tanggal 20 Oktober 2009 adalah tidak memiliki landasan hukum. 44. Bahwa kerancuan jabatan Jaksa Agung ini adalah akibat dari ketentuan yang multi tafsir dari Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan RI. Pemohon, dengan argumentasi-argumentasi yang dikemukakan di atas telah menunjukkan bahwa jabatan Hendarman Supandji telah berakhir demi hukum pada tanggal 20 Oktober 2009. Sejak itu tidak ada Keputusan Presiden yang menunjukkan bahwa Hendarman Supandji diangkat kembali menjadi Jaksa Agung pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, sehingga kedudukan Hendarman Supandji yang sejak 20 Oktober 2009 bertindak seolah-olah dia adalah jaksa Agung yang sah, sesungguhnya tidak memiliki dasar hukum, dan karena itu adalah tidak sah. Sementara Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dalam pernyataan kepada media, mengatakan bahwa kedudukan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung adalah sah, karena belum pernah diberhentikan oleh Presiden. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Staf Khusus Presiden Denny Indrayana. Sementara Hendarman Supandji sendiri dalam keterangan pers mengakui adanya perbedaan pendapat antara Pemohon dengan Menteri Sekretaris Negara mengenai keabsahan dirinya. Untuk memutuskan pendapat mana yang benar, menurut Hendarman, haruslah diputus oleh pengadilan. Polling yang diselenggarakan oleh salah satu media online
menunjukkan bahwa di kalangan rakyat memang terdapat perbedaan pendapat tentang keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung. Semua fakta yang diungkapkan ini, menunjukkan bahwa telah nyata adanya ketidakpastian hukum mengenai keabsahan kedudukan Hendarman sebagai Jaksa Agung, karena sifat multi tafsir dari Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan; 45. Andaikata pendapat Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan pendapat Staf Khusus Presiden Denny Indrayana seperti dikemukakan di atas adalah benar, maka pendapat itu memberi peluang kepada Hendarman Supandji untuk menjadi Jaksa Agung seumur hidup, karena Presiden tidak mempunyai alasan hukum untuk memberhentikannya, sepanjang yang bersangkutan tidak meninggal dunia, tidak sakit terus-menerus, tidak minta berhenti dari jabatannya, dan masih tetap memenuhi syarat-syarat untuk menjalankan tugas sebagai Jaksa Agung, sebagaimana dikemukakan oleh Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004. Peluang seperti ini, secara nyata bertentangan dengan asas negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. D. JAKSA AGUNG TANPA DASAR PENGANGKATAN TELAH MELAKUKAN TINDAKAN-TINDAKAN HUKUM 46. Bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004, dinyatakan, “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kemudian pada ayat (3) dinyatakan, “Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan”; 47. Bahwa Jaksa Agung berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 adalah “pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan”.Bahwa dalam Pasal 35 dinyatakan, “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang: a. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan; 48. Bahwa sesuai dengan Surat Edaran Nomor SE-004/A/JA/09/2008 tentang Pengendalian Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, dalam tahap penyidikan,penuntutan, upaya hukum, “…. dengan nilai kerugian keuangan negara atau perekonomian negara di atas Rp. 10 milyar atau karena sifatnya menarik perhatian masyarakat yang berskala Nasional atau Internasional atau
karena hal tertentu, pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh Kejaksaan Agung”; 49. Bahwa dalam perkara di mana Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka yang penyidikannya dilakukan oleh Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia, sebagaimana diberitakan oleh banyak Surat Kabar, mengani kerugian negara lebih dari Rp. 10 milyar dan menarik perhatian masyarakat karena selalu diberitakan oleh Surat Kabar nasional maupun TV secara nasional; (Bukti P-11). 50. Bahwa secara faktual perkara yang sekarang Pemohon menjadi tersangkanya adalah ditangani langsung oleh Kejaksaan Agung, dan mengingat Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggungjawab tertinggi Kejaksaan, maka dalam praktik pada Kejaksaan Agung, penetapan seseorang menjadi tersangka adalah kewenangan Jaksa Agung dan bukan kewenangan penyidik sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidik akan bertindak seperti itu setelah adanya keputusan Jaksa Agung menyatakan seseorang menjadi tersangka. Bahkan lebih jauh daripada itu, sepanjang pengetahuan dan pengalaman Pemohon menjadi Menteri Sekretaris Negara dalam KIB I, beberapa kali Hendarman Supandji datang menghadap ataupun menulis surat meminta “petunjuk” kepada Presiden SBY jika yang bersangkutan ingin menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam perkara tindak pidana kurupsi. Permintaan “petunjuk” ini dilakukan dalam konteks kedudukan Hendarman Supandji yang secara struktural dalam kabinet adalah “bawahan” Presiden. Kalaupun ada penyidik yang bertindak menyatakan seseorang menjadi tersangka, maka tindakan itu harus dilakukan dengan persetujuan Jaksa Agung, atau sekurang-kurangnya atas sepengetahuan Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggungjawab tertinggi Kejaksaan Agung. Surat Perintah Penyidikan yang diterbitkan terhadap Pemohon, secara faktual dilakukan oleh Direktur Penyidikan atas nama Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/Fd.1/06/2010 tanggal 24 Juni 2010. Penetapan Pemohon sebagai Tersangka tersebut seandainya benar – quod non- hanya dilakukan oleh Direktur Penyidikan atas nama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, namun berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1), ayat (3) dan Pasal 35 a UU Nomor 16 Tahun 2004, penetapan sebagai tersangka tersebut pada hakikatnya dilakukan oleh Jaksa Agung; 51. Bahwa berdasarkan uraian di atas, penetapan Pemohon sebagai Tersangka dalam perkara Korupsi, baik langsung maupun tidak langsung adalah dilakukan oleh “Jaksa Agung Hendarman Supandji, S.H., CN”, yang tidak memiliki landasan hukum dalam pengangkatannya, atau dengan kata lain adalah pejabat
yang tidah sah. Demikian pula Surat Perintah Penyidikan yang ditanda-tangani oleh Direktur Penyidikan atas nama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, yang pejabatnya, M. Amari, SH telah diangkat Presiden berdasarkan usul Jaksa Agung yang tidak sah, maka Keppres pengangkatan M. Amari SH tersebut mengandung cacat hukum, sehingga tidak sah pula. Meskipun tindakan tersebut Nampak seolah-olah sesuai dengan tugas pokok Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan –dan penyidikan untuk kasus tindak pidana khusus tertentu– karena Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan termasuk mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan. Namun karena tindakan itu dilakukan oleh pejabat-pejabat yang tidak sah, maka demi hukum, tindakan tersebut menjadi tidak sah pula; 52. Bahwa selain menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tindak pidana korupsi, Jaksa Agung yang telah berakhir masa jabatannya tersebut juga telah menetapkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang pencegahan Pemohon untuk bepergian meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia selama 1 (satu) tahun, terhitung sejak tanggal 25 Juni 2010 sesuai Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/2010; (Bukti P- 12). 53. Bahwa meskipun penetapan pencegahan Pemohon untuk meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 35 huruf f dan Pasal 11 ayat (1) huruf c UU Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan Pasal 135 huruf f UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, namun karena penetapan tersebut telah dilakukan oleh Jaksa Agung yang tidak sah, maka Surat Keputusan tersebut adalah tidak sah pula; E. PASAL 22 AYAT (1) HURUF D UU KEJAKSAAN MERUGIKAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON. 54. Bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 telah membuka peluang bagi orang yang “mengaku dan atau menyebut diri” sebagai Jaksa Agung untuk tetap melaksanakan fungsi sebagai Jaksa Agung meskipun jabatannya telah berakhir, karena adanya ketidak kejelasan dan ketidak kepastian masa jabatan Jaksa Agung yang dapat ditafsirkan sesuai kebutuhan penafsir; 55. Bahwa dikarenakan tidak adanya rumusan yang jelas dan tegas terhadap masa
jabatan Jaksa Agung dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia, telah menimbulkan multi-tafsir dan berpotensi menimbulkan tafsir yang inkonstitusional, oleh karenanya maka Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan asas negara hukum, dan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
Putusan Lengkap Mahkamah Konstitusi Soal Jaksa Agung (3)
Politikindonesia - PUTUSAN Nomor 49/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA (Sambungan Bagian 3) 56. Uraian tersebut di atas membuktikan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang merupakan hak asasi, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 57. Bahwa pada dasarnya ketentuan Pasal 28 UU 1945, adalah memberikan perlindungan kepada warga negara dari perlakuan oleh warga negara yang lain dan juga dari negara. Misalnya Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan, ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Rumusan Pasal 28 mengandung norma konstitusi yang dapat membatasi hak seseorang dan negara (melalui undang-undang), namun pembatasan tersebut dilakukan dengan syarat-syarat yang sifatnya terbatas, yaitu “dengan maksud semata-mata untuk menjamin … dan untuk memenuhi tuntutan yang adil …”.
Dengan perkataan lain, konstitusi membatasi hak-hak tertentu dari warga negara (sepanjang pembatasan itu dilakukan melalui undang-undang) dan pembatasannya harus dilakukan secara proporsional sesuai dengan tujuan atau kepentingan lain yang hendak dilindungi oleh undang-undang. 58. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah maka pasal a quo merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap jabatan Jaksa Agung yang sangat terhormat. Dengan perumusan Pasal yang demikian, maka Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 a quo, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan jabatan seperti yang terjadi pada Pemohon; 59. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 a quo, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi untuk melanggar hukum, karena seseorang yang merasa dan tetap menganggap dirinya sebagai Jaksa Agung dapat menyalahgunakan jabatan tersebut untuk berbuat dan atau mengambil keputusan seolah-olah telah bertindak sesuai dengan hukum; 60. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tersebut, jika digunakan dengan ditafsirkan secara salah berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum yang adil; 61. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tersebut telah merugikan Pemohon secara aktual, karena: (1) Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Agung Republik Indonesia; (2) Pemohon telah kehilangan kebebasannya karena telah dicegah untuk meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia oleh Jaksa Agung Republik Indonesia; (3) Pemohon telah kehilangan hak untuk bekerja, melakukan berbagai kegiatan dan berkomunikasi secara layak dan manusiawi, karena pemohon telah bersatus sebagai tersangka tindak pidana korupsi yang sedikit-banyaknya menimbulkan kesan yang kurang baik di mata masyarakat awam yang kurang memahami asas praduga tak bersalah;
(4) Pemohon telah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan pada tanggal 1 Juli 2010 pada waktu hendak meninggalkan kantor Kejaksaan Agung Republik Indonesia; (5) Pemohon telah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, karena adanya pembatasan yang tidak patut untuk untuk meninggalkan halaman gedung Kejaksaan Agung pada tanggal 1 Juli 2009; 62. Bahwa politik legislasi sejak terjadinya perubahan UUD 1945, pada hakekatnya adalah memberikan penghormatan yang layak terhadap hak asasi manusia, meskipun secara nyata masih terdapat pengabaian hak-hak tertentu oleh lembaga tertentu sebagai pemegang kewenangan yang dapat menginterpretasikan ketentuan tertentu. Sehingga undang-undang acap-kali dapat diinterpretasikan sendiri dengan merugikan kepentingan rakyat, pencari keadilan dan kebenaran dan tidak berpihak pada kepentingan penghormatan hak asasi manusia; 63. Bahwa oleh karena itu, adalah merupakan suatu conditio sine qua non bagi penghormatan hak asasi manusia, untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang mengandung “cacat ” yang dapat ditafsirkan semau-maunya sesuai dengan kepentingan pemegang otoritas tertentu yang berwenang menerapkan ketentuan undang-undang tersebut; 64. Bahwa dalam Penjelasan Umum UU Nomor 16 Tahun 2004 dinyatakan: “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. …… Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Bahwa untuk melindungi hak asasi Pemohon tidak terus dilanggar dan melahirkan adanya ketidak-pastian hukum, maka putusan provisi dalam perkara Pemohon dalam menguji UU Nomor 16 Tahun 2004 terhadap UUD 1945 adalah sangat mendesak untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi Pemohon apabila norma hukum diterapkan, sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan, padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional hak Pemohon apabila tetap menjadi tersangka berdasarkan Keputusan dan atau penggunaan kewenangan pejabat yang tidak sah atau pejabat yang telah berakhir masa jabatannya. 65. Bahwa dengan melihat fakta tersebut di atas, maka sudah menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjalankan tugas yang diembannya, yang diamanatkan kepadanya oleh UUD 1945. Sesuai dengan semangat amanat UUD 1945 kepada MK, MK adalah the guardian of the Constitution dan the final interpreter of the Constitution. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 mengandung sifat multi tafsir, yang jika ditafsirkan dengan cara tertentu akan membuatnya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. F. PASAL 22 AYAT (1) HURUF D UU KEJAKSAAN MENJADI INKONSTITUSIONAL JIKA TIDAK MEMILIKI PENAFSIRAN YANG PASTI. 66. Bahwa sebagaimana uraian di atas, karena tidak ada ketentuan dalam UU Kejaksaan sendiri mengenai kapankah “berakhirnya masa jabatan” Jaksa Agung, maka Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menimbulkan multi-tafsir; 67. Bahwa akibat perbedaan penafsiran terhadap pasal a quo, telah terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945 sebagaimana diuraikan di atas; 68. Bahwa Pemohon juga menyadari, disatu sisi apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dapat terjadi kekosongan hukum (wetsvacuum) mengenai salah satu alasan pemberhentian Jaksa Agung. 69. Oleh karena itu untuk mengatasi kekosongan hukum (wetsvacuum) tersebut, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat memberikan tafsir
atas Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004, agar menjadi konstitusional dan memberikan batasan penafsiran agar tidak terjadi inkonstitusionalitas. 70. Dengan demikian, Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan adalah conditionally unconstitutional (inkonstitusional bersyarat) jika ditafsirkan bahwa masa jabatan Jaksa Agung yang diangkat Presiden tidak perlu dibatasi, sehingga membuka peluang menjadi Jaksa Agung seumur hidup. Untuk mencegah Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menjadi conditionally unconstitutional, maka pasal tersebut harus ditafsirkan bahwa ketika Presiden mengangkatnya, maka batas masa jabatan Jaksa Agung haruslah ditentukan dengan pasti. Kalau Jaksa Agung itu dijadikan sebagai anggota kabinet dan kedudukannya adalah setingkat Menteri Negara, sebagaimana konvensi ketatanegaraan sejak tahun 1961, maka masa jabatan Jaksa Agung itu akan berakhir demi hukum, bersamaan dengan masa jabatan Presiden dan masa bakti dabinet yang dibentuknya. Kalau Jaksa Agung itu diangkat oleh Presiden sebagai pejabat Negara yang bukan menjadi anggota kabinet dan tidak berkedudukan setingkat menteri Negara,maka dalam Keputusan Presiden tentang pengangkatannya haruslah dibatasi masa jabatan Jaksa Agung tersebut, bisa sama dengan masa jabatan Presiden tersebut, atau kurang dari itu, namun tidak dapat melebihi batas masa jabatan Presiden tersebut, karena kalau ini dilakukan akan menyulitkan dan mengurangi kewenangan Presiden berikutnya untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung. IV. Kesimpulan 1. Bahwa Pemohon mempunyai legal standing dalam perkara pengajuan permohonan ini; 2. Bahwa berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung, sesuai dengan konvensi ketatanegaraan yang berlangsung sejak tahun 1961, bersamaan dengan pengangkatan seluruh Menteri anggota Kabinet, karena Jaksa Agung adalah bagian dari Kabinet dengan kedudukan setingkat Menteri Negara, sehingga masa jabatan Jaksa Agung adalah mengikuti masa bakti satu kabinet. Jika kabinet dibubarkan, maka demi hukum, seluruh anggotanya secara otomatis “bubar” pula. 3. Bahwa tafsir yang benar dan konstitusional atas ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 dihubungkan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) adalah tafsir yang menyatakan bahwa masa jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan masa bakti kabinet, atau jika Jaksa Agung berada di luar kabinet, maka dalam surat pengangkatannya Presiden haruslah
mencantumkan secara tegas batas waktu seseorang yang diangkat menjadi Jaksa Agung itu akan memangku jabatannya, selama-lamanya sama dengan masa jabatan Presiden yang bersangkutan. 4. Bahwa Hendarman Supandji berdasarkan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007, telah diangkat sebagai Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu dengan kedudukan setingkat Menteri Negara; 5. Bahwa berdasarkan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009, Kabinet Indonesia Bersatu yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 telah dibubarkan karena berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia Periode 2004 – 2009 berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009; Bahwa Hendarman Supandji tidak disebutkan sebagai Jaksa Agung dengan kedudukan pejabat setingkat menteri yang diberhentikan dalam Keppres Nomor 83/P Tahun 2009, bukan saja bertentangan dengan konsideran Keppres dan Diktum Keppres itu sendiri, tetapi juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d dan Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 6. Bahwa sesuai dengan Keppres Nomor 84/P Tahun 2009, telah dibentuk Kabinet Indonesia Bersatu II periode 2009 – 2014, namun Hendarman Supandji, S.H., CN, tidak di angkat sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia dalam Kepres tersebut. Juga tidak ada Keppres lain yang menunjukkan bahwa Hendarman Supandji diangkat kembali sebagai Jaksa Agung yang bukan menjadi anggota kabinet dengan status pejabat setingkat Menteri Negara. 7. Bahwa secara faktual Hendarman Supandji, S.H., CN, meskipun tanpa pengangkatan berdasarkan Keputusan Presiden sebagai Jaksa Agung setelah tanggal 20 Oktober 2009, namun yang bersangkutan tetap menjalankan tugas dan fungsi Jaksa Agung Republik Indonesia; 8. Bahwa dengan demikian maka Hendarman Supandji, S.H., CN dalam menjalan tugas pokok dan fungsi sebagai Jaksa Agung tidak berdasarkan atas hukum; 9. Bahwa sesuai dengan UU Nomor 16 Tahun 2004, Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan termasuk mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan;
10. Bahwa sesuai dengan Surat Edaran Nomor SE-004/A/JA/09/2008 tentang Pengendalian Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, perkara dugaan korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara atau perekonomian negara diatas Rp. 10 milyar atau karena sifatnya menarik perhatian masyarakat yang berskala Nasional atau Internasional atau karena hal tertentu, pengendalian penanganan perkara dilakukan oleh Kejaksaan Agung; 11. Bahwa Pemohon selaku warga negara Indonesia telah ditetapkan sebagai tersangka dan dicegah untuk bepergian meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia, oleh orang yang tidak mempunyai hak untuk menyebut diri sebagai Jaksa Agung, karena masa jabatannya telah berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkat Jaksa Agung tersebut; 12. Bahwa Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional, karena Pemohon telah kehilangan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 13. Bahwa Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan keputusan yang tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum; 14. Bahwa berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang pencegahan dalam perkara pidana terhadap Pemohon, terhitung sejak tanggal 25 Juni 2010 sesuai Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/2010, Pemohon telah dicegah untuk pergi keluar negeri selama satu tahun; 15. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 a quo, berpotensi untuk menghilangkan adanya kepastian hukum, karena seseorang yang “mengaku dan/atau merasa” tetap memegang jabatan sebagai Jaksa Agung dapat membuat keputusan dan kebijakan atas nama Jaksa Agung Republik Indonesia, meskipun masa jabatannya telah berakhir; 16. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tersebut, berpotensi menjadi preseden buruk sehingga menghilangkan hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat, bagi orang telah ditetapkan secara semena-mena menjadi tersangka; 17. Bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tersebut telah merugikan Pemohon secara aktual, karena:
1. Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia; 2. Pemohon telah kehilangan kebebasannya karena telah dicekal oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia; 3. Pemohon telah kehilangan hak untuk menjalani kehidupan yang layak secara manusiawi serta berkomunikasi secara layak dan manusiawi; 4. Pemohon telah mengalami intimidasi pada tanggal 1 Juli 2010 pada waktu hendak meninggalkan kantor Kejaksaan Agung Republik Indonesia; 5. Pemohon telah mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, karena adanya pembatasan yang tidak patut untuk untuk meninggalkan halaman gedung Kejaksaan Agung pada tanggal 1 Juli 2009; 6. Pemohon telah dicegah untuk bepergian keluar negeri berdasarkan Keputusan dari pejabat yang tidak sah sejak tanggal 25 Juni 2010. 18. Bahwa politik legislasi sejak terjadinya perubahan UUD 1945, pada hakekatnya adalah memberikan penghormatan yang layak terhadap hak asasi manusia, meskipun secara nyata masih terdapat pengabaian hak-hak tertentu oleh lembaga tertentu sebagai pemegang kewenangan yang dapat menginterpretasikan ketentuan tertentu. Sehingga undang-undang acap-kali dapat diinterpretasikan dengan merugikan kepentingan rakyat dan tidak berpihak pada kepentingan penghormatan hak asasi manusia; 19. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 a quo merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini hak saksi dan korban. Dengan perumusan pasal yang demikian, maka Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. V. Provisi 1. Bahwa mengingat Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah tidak berlaku surut, maka untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional Pemohon (dengan cara memeriksa Pemohon sebagai Tersangka dan mencegah Pemohon), Pemohon, bepergian ke
luar wilayah Negara RI, Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela yang memerintahkan Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk menghentikan, atau setidak-tidaknya menunda penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Pemohon sebagai Tersangka dan mencabut, atau sekurang-kurangnya menunda pelaksanaan Surat Keputusan yang melarang Pemohon bepergian ke luar negeri; 2. Bahwa Mahkamah sudah pernah memutuskan putusan provisi ini dalam perkara Pengujian Undang-Undang dengan Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, yang Pemohon anggap sebagai jurisprudensi untuk mengatasi kekurangan dan kekosongan hukum berkenaan tidak adanya pengaturan tentang putusan provisi dalam perkara Pengujian Undang-Undang. Pemohon menyadari bahwa putusan provisi menurut ketentuan yang tersurat dalam Pasal 63 UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”, adalah dalam kaitannya dengan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. 3. Adalah benar bahwa pemeriksaan perkara pengujian undang-undang sebagaimana dikatakan dalam keterangan pers Ketua Mahkamah Konstitusi baru-baru ini adalah bersifat abstrak, yakni menguji pasal tertentu dari suatu undang-undang dengan pasal tertentu dari UUD 1945, namun patut disadari bahwa subjek hukum pemohon yang mengajukan perkara pengujian undang-undang berkewajiban untuk mendalilkan bahwa telah ada hak konstitusionalnya yang bersifat kongkrit dan faktual yang dilanggar dengan berlakunya suatu undang-undang. Dengan cara itulah subjek hukum itu baru dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang. Tanpa bukti kongkrit dan faktual seperti itu, maka subjek hukum tidaklah memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang. Karena itu tidaklah sepadan dan sebanding, jika permohonan yang wajib dibuktikan telah ada kerugian hak konstituional, yang berarti perkara dimulai dengan kasus yang nyata dan faktual terjadi, namun proses pemeriksaan pengujian justru mengabaikannya dan memandang perkara sebagai semata-mata bersifat abstrak. Kemudian dengan cara pandang abstrak seperti itu, Mahkamah Konstitusi tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk memberikan putusan provisi dalam perkara Pengujian Undang-Undang. Kekosongan pengaturan mengenai putusan provisi, selain bertentangan dengan norma dasar keadilan yang justru harus menjiwai perumusan
norma-norma hukum, tetapi juga mengandung corak pembiaran bagi aparatur negara dan/atau aparatur pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang melanggar dan merugikan hak konstitusional seseorang yang dijamin oleh UUD dengan cara menerapkan dan/atau menafsirkan suatu ketentuan undang-undang. Sementara norma undang-undang itu sedang diuji untuk memastikan apakah norma undang-undang itu bertentangan dengan UUD atau tidak. Atau sekurang-kurangnya sedang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir final agar norma undang-undang tidak bertentangan dengan norma Konstitusi. Karena itu, Pemohon berpendapat bahwa sudah sepantasnya, Mahkamah Konstitusi memperluas jusrisprudensi mengenai dikabulkannya permohonan provisi sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, terutama terhadap kasus-kasus kongkrit dan faktual yang dialami oleh seseorang – yang membuatnya memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang -- yang berkaitan langsung dengan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. 4. Berdasarkan argumentasi di atas, maka adalah sangat tepat apabila Mahkamah memerintahkan untuk menghentikan sementara tindakan yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka, serta tindakan lanjutannya yang terkait dengan itu seperti mencegah bepergian ke luar negeri, menahan, menggeledah, menyita dan seterusnya yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia, karena keabsahan pejabatnya, dalam hal ini Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, yang aturan hukumnya kini sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi, sampai adanya putusan mahkamah mengenai perkara ini. 5. Bahwa secara kongkrit Pemohon telah dicegah untuk pergi keluar negeri selama satu tahun berdasarkan “perintah jabatan” yang tidak berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan bukti yang sah menurut hukum, sehingga pencegahan tersebut adalah merupakan perbuatan melawan hukum; 6. Bahwa Permohonan provisi ini penting untuk diajukan oleh Pemohon, agar Pemohon mendapatkan jaminan kepastian hukum atas proses yang sedang dijalani Pemohon, sebab Kejaksaan Agung Republik Indonesia terus melakukan tindakan-tindakan hukum dengan tetap berpedoman pada norma yang sedang diuji, maka hak konstitusional Pemohon secara terus menerus dilanggar secara sengaja. 7. Bahwa Pemohon mengajukan permohonan perkara Pengujian Undang-Undang kepada Mahkamah Konstitusi tanpa menggunakan kuasa hukum, berdasarkan pertimbangan bahwa secara historis Pemohon adalah subjek yang terlibat secara langsung dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU tentang Kejaksaan RI
yang kini menjadi UU Nomor 16 Tahun 2004, sehingga memahami suasana kebatinan dalam proses pembahasan RUU tersebut sebelum disahkan menjadi UU. Pemohon ingin mengutip pernyataan saudara Andi Mattalata, dalam kata akhir mini Fraksi Partai Golkar yang tetap menyatakan ketidakpuasannya atas materi yang telah dibahas dalam RUU Kejaksaan. Juru Bicara dan sekaligus Ketua Fraksi Partai Golkar itu mengatakan: “Dengan ungkapan-ungkapan perasaan [tidak puas] itulah kami menganggap apa yang telah kami perjuangkan selama ini mudah-mudahan dalam pelaksanaannya nanti dapat terwujud dengan baik. Apalagi kami melihat duet Pemerintah yang ada di sini, Menteri Kehakiman [dan HAM], Pak Jaksa Agung, melambangkan semangat pengabdian yang cukup tinggi. Di mata Bapak berdua kami titipkan pelaksanaan undang-undang ini. Rizqi minallah dan Jabatan minallah, tapi minimal sekarang Pak Yusril masih Menteri Kehakiman [dan HAM] dan Pak Rachman masih Jaksa Agung. Kalau undang-undang ini disahkan, Bapak masih punya kemampuan dan kesempatan untuk merealisir bukan hanya yang tertulis tetapi semangat yang melatar-belakangi undang-undang ini”. 8. Selain daripada itu, adalah fakta bahwa Hendarman Supandji yang mengaku sebagai Jaksa Agung yang sah, telah mengajak saya untuk memperdebatkan keabsahan dirinya di forum pengadilan, dan karena itulah, saya mengajukan permohonan ini tanpa kuasa hukum. Mudah-mudahan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akan mengambil inistiatif untuk memanggil yang bersangkutan sebagai pihak terkait dalam perkara ini, karena sebagaimana telah diketahui umum bahwa Presiden telah menunjuk Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar sebagai kuasa hukumnya. Adalah menjadi tidak fair dan tidak wajar, kalau keabsahan seorang Jaksa Agung, Pemohon persoalkan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perkara Pengujian UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, tetap memiliki kebebasan untuk menggunakan segala wewenang yang diatur dalam hukum acara, termasuk untuk melakukan penahanan, penggeledahan dan penyitaan, yang bukan mustahil akan menyalahgunakan kewenangan itu untuk menyita berbagai dokumen terkait dengan perkara pengujian undang-undang ini, tetapi dimanipulasi seolah-olah barang bukti perkara tindak pidana korupsi yang dipersangkakan kepada Pemohon. Tindakan seperti itu, kalau terjadi, dapat mengganggu kelancaran proses pemeriksaan perkara di Mahkamah Konstitusi yang berkewajiban memutus perkara ini dalam waktu terbatas, yakni dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari lamanya. Dengan semua argumen dan alasan-alasan yang dikemukakan diatas, Pemohon memohon dengan segala hormat kepada Majelis Hakim Konstitusi, dengan segala
kebijaksanaan dan pengalaman yang dimilinya, kiranya berkenan untuk mengabulkan permohonan provisi ini.
Putusan Lengkap Mahkamah Konstitusi Soal Jaksa Agung (4)
Politikindonesia - PUTUSAN Nomor 49/PUU-VIII/2010 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA (Sambungan Bagian 4) VI. Petitum Bahwa dari seluruh dalil-dalil yang diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini Pemohon mohon kepada para Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk kiranya berkenan memberikan putusan sebagai berikut: Dalam Provisi: 1. Menerima permohonan Provisi Pemohon; 2.Memerintahkan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk menghentikan, atau sekurang-kurangnya menunda penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/Fd.1/06/2010 tanggal 24 Juni 2010, melanggar Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 12 huruf i UU Nomor 31 Tahun 2009 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001; setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap; 3. Memerintahkan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk mencabut, atau sekurang-kurangnya menunda berlakunya Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/2010 tentang Pencegahan dalam perkara pidana sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
Dalam Pokok Perkara: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dan masa jabatan anggota kabinet; 3. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dalam satu periode dan masa jabatan anggota kabinet; 4. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) diartikan bahwa masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet; 5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat atau tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-13, sebagai berikut: 1. Bukti P–1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 2. Bukti P–2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Bukti P–3 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon. 4. Bukti P–4 : Fotokopi Surat Panggilan Tersangka dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor SPT 1170/F.2/Fd.1/06/2010 tanggal 25 Juni 2010. 5. Bukti P–5 : Fotokopi Surat Edaran Nomor SE-004/A/JA/09/2008 tentang Pengendalian Penanganan Perkara Tindak Pdana Korupsi. 6. Bukti P–6 : Fotokopi Keputusan Presien Nomor 187/M Tahun 2004. 7. Bukti P–7 : Fotokopi Keputusan Presien Nomor 331/P Tahun 2007. 8. Bukti P–8 : Fotokopi Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal DPR-RI, Tanpa tahun, Halaman 776 dst. 9. Bukti P–9 : Fotokopi Keputusan Presien Nomor 83/P Tahun 2009. 10. Bukti P–10 : Fotokopi Keputusan Presien Nomor 84/P Tahun 2009. 11. Bukti P–11 : Fotokopi Surat Kabar. 12. Bukti P–12 : Fotokopi Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Inonesia Nomor KEP-212/D/Dsp.3/06/2010. 13. Bukti P-13 : Fotokopi Pernyataan di dalam persidangan dalam bentuk tertulis. Untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon juga mengajukan 5 (lima) orang ahli yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 12 Agustus 2010 dan 24 Agustus 2010, yang menerangkan hal-hal pada pokoknya sebagai berikut: 1. Ahli Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL. Maksud dari klausul ”berakhir masa jabatannya” pada Pasal 22 huruf d UU 16/2004 adalah: (i) ada masa jabatan Jaksa Agung; (ii) masa jabatan Jaksa Agung terbatas, bukan satu jabatan yang tidak terbatas; (iii) sesuai dengan prinsip negara hukum mengenai jabatan, tidak boleh masa jabatan didasarkan diskresi seseorang. Semua harus ditafsirkan menurut ketentuan hukum yang pasti;
Masa jabatan Jaksa Agung bukan jabatan seumur hidup, maka jabatan itu akan berakhir pada waktu tertentu; Jaksa Agung adalah Jaksa dan Penuntut Umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; Berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan, Jaksa akan berakhir masa jabatannya pada usia 62 tahun dengan hak pensiun. Sehingga Jaksa Agung sebagai Jaksa menurut undang-undang wajib pensiun pada usia 62 tahun. Kalau Jaksa Agung diperlakukan sebagai anggota kabinet, maka Jaksa Agung akan berhenti bersama-sama anggota kabinet yang lain. Kejaksaan adalah badan pemerintahan. Dengan demikian pimpinannya juga adalah pimpinan dari suatu badan pemerintahan, dan ditafsirkan bahwa yang dimaksud badan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif; Berdasarkan ajaran mengenai kekuasaan eksekutif ada dua kekuasaan eksekutif, yaitu eksekutif yang diatur hukum tata negara artinya semua tindakan-tindakan yang bersifat staatsrecht dan eksekutif yang pelaksanaan tugasnya berlaku atau sebagai pejabat administrasi negara dan karena itu semua tindakan-tindakannya diatur oleh hukum administrasi negara administratief recht dan semua tindakannya bersifat administratiefsrechtelijk; Jaksa Agung dalam menjalankan fungsi staatsrechtelijk yang bersifat staatsrechtelijk als staatsrecht bukan merupakan fungsi ketatanegaraan, namun fungsi administrasi di mana Jaksa Agung bertindak atas nama negara tetapi dalam bidang administrasi negara, sehingga Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan Presiden semata-mata menjalankan fungsi administrasi negara, sebagai pejabat administrasi negara. Karena itu, Jaksa Agung harus tunduk pada semua kaidah-kaidah hukum administrasi negara. 2. Ahli Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. Jaksa Agung adalah jabatan publik di bawah Presiden. Jabatan Jaksa Agung adalah bagian kekuasaan pemerintahan negara, di bawah Presiden, sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, bahwasanya Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Kekuasaan Pemerintahan adalah la puissance executrice. Jabatan Jaksa Agung
berada dalam Iingkup kekuasaan eksekutif. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menetapkan, bahwa Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan. Pasal 2 ayat (1) UU 16/2004 menetapkan, bahwa Kejaksaan, selanjutnya disebut Kejaksaan, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam pada itu, dalam kaitan fungsi kejaksaan di bawah Jaksa Agung, yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Fungsi Kejaksaan, di bawah Jaksa Agung, dalam kaitan kekuasaan kehakiman, merupakan fungsi kekuasaan yang dilaksanakan secara merdeka, sebagaimana kekuasaan merdeka yang melekat pada kekuasaan kehakiman, menurut Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004 menetapkan, bahwa Kejaksaan di bawah Jaksa Agung, selaku lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan Iainnya dilaksanakan secara merdeka. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004, menyatakan, yang dimaksud "secara merdeka" dalam ketentuan ini adalah melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Dalam kaitan Kejaksaan di bawah Jaksa Agung, melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya dimaksud, maka tidak dapat kiranya diintervensi atau dipengaruhi oleh Presiden. Demikian penting jabatan Jaksa Agung selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin serta mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan maka jabatan publik yang diemban Jaksa Agung harus absah dan tidak boleh bercacat hukum (juridische gebreken); Jabatan Jaksa Agung, menurut Pasal 19 UU 16/2004, adalah pejabat negara, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 22 ayat (1) UU 16/2004, menetapkan, Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. Meninggal dunia; b. Permintaan sendiri; c. Sakit jasmani atau rohani terus-menerus; d. Berakhir masa jabatannya; e. Tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
Jaksa Agung adalah publieke ambt atau jabatan publik. J. H. A. Logemann dalam bukunya Over De Theorie van Een Stelling Staatsrecht, Percetakan 'Saksama', Jakarta, 1954, merumuskan het ambt atau jabatan adalah kring van vaste werkzaamheden in het verband van de staat (= lingkungan kerja tetap yang diadakan dalam kaitan negara). Tiap jabatan (het ambt) adalah wujud lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang berhubungan dengan negara. Bagi Logemann, negara adalah organisasi jabatan. De staat is ambtenorganisatie, kata Logemann (1954:88). Baginya, het ambt is persoon, het ambt als persoon. Het ambt atau jabatan adalah persoon, pribadi hukum, badan hukum publik, memiliki fungsi dan kewenangan, sebagaimana Iayaknya een persoon, een rechtspersoon, een publieke rechtspersoon. Het ambt atau jabatan tidak dapat melaksanakan dirinya sendiri, tidak dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya. Oleh karena itu, het ambt atau jabatan diwakili oleh pemegang jabatan atau ambtsdrager. 'Het ambt wordt vertegenwoordigd door de ambtsdrager', kata Logemann (1954, opcit: 90). 'De persoon van het ambt behoeft vertegenwoordiging ; het is de ambtsdrager die als zodaning optreedt. Hij handelt in kwaliteit op naam van het ambt (Pribadi jabatan, atau badan hukum publik, memerlukan perwakilan; pemegang jabatan itulah yang bertindak dan berkedudukan demikian. Pemegang jabatan bertindak atas nama jabatan).' (1954, op cit : 134); Het ambt atau jabatan bersifat tetap, duurzaam, langgeng sedangkan pemegang jabatan datang dan pergi silih berganti. Jabatan Jaksa Agung RI kini diwakili oleh manusia pribadi, een natuurlijke persoon, bernama Hendarman Supandji, S.H., C.N., sebelumnya diwakili Abdul Rachman Saleh, S.H., M.H. Ambtsdrager atau pemegang jabatan yang mengisi dan mewakili jabatan Jaksa Agung pada ketikanya diberhentikan dengan hormat antara lain karena berakhir masa jabatannya, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004; Tidak demikian halnya dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang masa jabatannya tak kunjung berakhir. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 187 Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, Jaksa Agung dimasukkan menjadi anggota kabinet dengan kedudukan setingkat menteri negara. Keputusan Presiden bertanggal 20 Oktober 2004. Tugas Kabinet Indonesia Bersatu, sesuai masa jabatan Presiden adalah 5 (lima) tahun. Maka
dengan sendirinya tugas kabinet berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009; Jaksa Agung Hendarman Supandji diangkat menjadi Jaksa Agung dalam Kabinet Indonesia Bersatu, berdasarkan Keppres Nomor 311P Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007, dengan kedudukan setingkat Menteri Negara, menggantikan Abdul Rachman Saleh yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya; Hal dimaksud berarti kedudukan Hendarman Supandji selaku Jaksa Agung yang menggantikan Abdul Rachman Saleh, berakhir pula dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dan berakhirnya masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu pada tanggal 20 Oktober 2009; Pada tanggal 20 Oktober 2009, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.Pada hari yang sama, Presiden membentuk Kabinet Indonesia Bersatu II untuk masa bakti 2009-2014; Hendarman Supandji tidak diangkat kembali sebagai Jaksa Agung berdasarkan Kepres, balk menjadi anggota kabinet (KIB II) dengan status setingkat menteri negara maupun sebagai Jaksa Agung sebagai Pejabat Negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004. Hendarman Supandji ternyata telah mewakili jabatan (het ambt) Jaksa Agung secara terus menerus,dengan masa jabatan yang tak kunjung berakhir; UU 16/2004 –secara expressis verbis- tidak menetapkan berapa lama masa jabatan Jaksa Agung atau kapan berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung. Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 mengandung multi tafsir atau polyinterpretabel yang pada gilirannya mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechsonzekerheid). Masa jabatan Jaksa Agung tidak dibatasi, artinya terdapat kecenderungan keberadaan masa jabatan otoritas publik yang tanpa batas di republik ini; Berapa lama seseorang ambtsdrager atau pemegang jabatan mewakili het ambt atau jabatan? Kapan masa jabatan seseorang ambstdrager atau pemegang jabatan berakhir demi hukum (van rechswege)? Pasal 7 UUD 1945 menetapkan, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Tidak demikian halnya dengan masa jabatan Jaksa Agung mengenai pembatasan waktu;
Multi tafsir atau polyinterpretabel di seputar masa jabatan Jaksa Agung dimaksud mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) di kalangan para warga (burgers), utamanya bagi para pencari keadilan (justitiabelen) yang menjalani proses pemeriksaan dan penuntutan Jaksa di bawah Jaksa Agung; Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menetapkan setiap orang berhak atas pengakuan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; Sudah saatnya Mahkamah Konstitusi mengakhiri multi tafsir (polyinterpretabel). Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, bahwa frasa "Berakhirnya masa jabatan" Jaksa Agung adalah bersamaan dengan berakhirnya masa bakti suatu kabinet, yang di dalamnya termasuk Jaksa Agung selaku anggota kabinet, berkedudukan setingkat menteri negara. 3. Ahli Dr. Andi Muhammad Asrun, S.H., M.H. Suatu jabatan publik diadakan dalam rangka kepentingan menjalankan satu organisasi negara, dengan segenap variasi tingkatan jabatan dan masa jabatan. Pada tingkatan pelaksana organisasi negara tersebut, maka pemangku jabatan public pada tingkatan pelaksana berada dalam kerangka jenjang karir dan masa pemangkuan jabatan yang sifatnya bervariatif pada organisasi tersebut; Pada jabatan negara, maka pimpinan tertinggi pada organisasi negara diangkat berdasarkan kategori sebagai "political appointed" oleh kepala pemerintahan atau "publicly political selected" oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pengangkatan pemimpin organisasi negara berdasarkan "politically appointed" dapat dilihat sebagai contohnya adalah pengangkatan Jaksa Agung di Indonesia. Dalam perspektif Hukum Tata Negara, organisasi jabatan publik dan pejabat publik merupakan instrumen kekuasaan negara yang dijalankan dalam kerangka semangat konstitusi negara. Pengaturan kekuasaan negara dan organisasi negara di Indonesia diatur dalam UUD 1945. Manifestasi adanya pengaturan kekuasan negara dan organisasi negara merupakan salah satu pilar cita negara hukum (rechstaats) sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum"; Sekalipun tidak diatur secara eksplisit, Kejaksaan juga merupakan lembaga negara yang menjalankan kekuasaan negara dalam rangka penegakan hukum. Bahkan Kejaksaan sebagai suatu lembaga negara menjadi sangat penting keberadaannya
karena penyelenggaraan kewenangannya berkaitan dengan tindakan-tindakan yang berpotensi merampas kemerdekaan atau mengurangi hak asasi warganegara. Oleh karena itu Kejaksaan sebagai institusi dan Jaksa Agung dalam kapasitas sebagai pemimpin tertinggi Kejaksaan harus diatur sebuah dalam undang-undang, termasuk di dalamnya kejelasan masa jabatan seorang Jaksa Agung agar memiliki legalitas segenap tindakannya diambil lembaga kejaksaan dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara; Pengangkatan Jaksa Agung, termasuk Jaksa Agung Hendarman Supanji didasarkan pada sebuah surat keputusan Presiden, di mana lazimnya dalam konvensi ketatanegaraan Indonesia pengangkatan tersebut dilakukan umumnya bersamaan dengan pengangkatan anggota Kabinet. Dalam kaitan Jaksa Agung Hendarman Supanji, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengangkat Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung yang menggantikan Abdul Rahman Saleh berdasarkan Keppres Nomor 31/P Tahun 2007. Dalam Keppres Nomor 31/P Tahun 2007 disebutkan "Sdr. Hendarman Supandji, S.H.,C.N. – Jaksa Agung dengan kedudukan setingkat Menteri Negara" dalam Kabinet Indonesia Bersatu; Dalam praktek ketatanegaraaan (konvensi), pengangkatan Jaksa Agung sebagai pejabat negara setingkat menteri ataupun sebagai anggota kabinet berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota kabinet lainnya. Dalam konteks masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji tidak jelas kapan lagi Presiden SBY mengangkat Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung, karena Hendarman Supanji tidak termasuk dalam Keppres Nomor 83/P Tahun 2009 yang menjadi dasar hukum pengangkatan para anggota cabinet dan pejabat negara setingkat menteri. Di dalam bagian menimbang "Keppres Nomor 83/P Tahun 2009" disebutkan bahwa "bahwa berhubung masa jabatan Presiden Republik Indonesia Periode 2004-2009 berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009, dipandang perlu membubarkan Kabinet Indonesia Bersatu dan memberhentikan pada Menteri Negara dari jabatannya masing-masing". Pengujian konstitusionalitas Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 terhadap UUD 1945 sesungguhnya merupakan persoalan fundamental terkait dengan batas masa jabatan Jaksa Agung, di mana dikatakan "(1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: (d) berakhir masa jabatannya; Dalam bagian Penjelasan pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 dikatakan "cukup jelas". Penjelasan Pasal 22 ayat (1) a quo sungguh tidak jelas bilamana dikaitkan dengan kontrovesi "masa jabatan Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung," karena tidak jelas "kapan berakhir legalitas jabatan Hendraman Supanji sebagai
Jaksa Agung sejalan dengan telah berakhirnya masa jabatan Kabinet Indonesia Bersatu", lebih lagi Hendraman Supanji tidak lagi diangkat sebagai Jaksa Agung bilamana dikaitkan dengan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009; Ketidakjelasan legalitas jabatan Hendarman Supanji sungguh merupakan persoalan serius terkait status hukum/legalitas dari tindakan Hendarman Supanji baik dalam kapasitas pribadi hukum sebagai"Jaksa Agung" dan maupun sebagai pemimpin tertinggi lembaga Kejaksaan. 4. Ahli Dr. Margarito Kamis Awal organisasi Kejaksaan diciptakan, Kejaksaan tidak pernah dimaksudkan sebagai bagian dari kekuasaan yudikatif. Jaksa melaksanakan fungsi yang secara umum dipersepsikan berhimpitan atau berdekatan dengan kekuasaan yudikatif; Tidak ada kekuasaan yudikatif yang kerja atau fungsinya menuntut orang. Yudikatif meletakkan hukum dan menentukan hukum perselisihan; Kejaksaan Agung dalam konteks negara hukum demokratis dan tata negara bukan bagian dari kekuasaan yudikatif dan tidak pernah berkarakter ganda; Bukan negara hukum yang demokratis atau bukan negara hukum kalau tidak ada pembatasan kewenangan atau tidak ada pembatasan masa jabatan; Pada tanggal 22 Juli 1960, Kejaksaan Agung dengan resmi dinyatakan sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif dalam rapat kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Pada tanggal 30 Juli 1960, dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 204 Tahun 1960 dan menyatakan bahwa sejak tanggal 22 Juli 1960, Kejaksaan Agung bagian menjadi Departemen Kementerian dan bagian dari kekuasaan eksekutif; Oleh karena setiap dalam kerangka negara hukum yang demokratis, jabatan itu memiliki masa dan pembatasan masa jabatan. Hal tersebut dalam kerangka negara hukum sebagai antitesa atau merupakan koreksi terhadap praktik negara-negara absolut atau pelaksanaan kekuasaan secara absolut; Masa jabatan Jaksa Agung adalah 5 tahun yang ditentukan sejak pelantikan, karena jelas Jaksa Agung itu menjadi bagian dari Pemerintah dan diangkat bersamaan dengan Menteri-Menteri menjadi pembantu Presiden. Hitungan 5 tahun karena mengikuti masa jabatan Presiden. Patokan tersebut adalah masa jabatan Presiden yang analoginya sama dengan masa jabatan Menteri;
Konsep merdeka dalam Jaksa yang merdeka adalah dalam urusan tuntut menuntut yang dalam tanda petik berkenaan atau berkaitan dalam konsep UUD yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan merdeka. 5. Ahli Prof. H. A. S Natabaya, S.H., L.L.M. Prof. Logemann dalam bukunya Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht mengatakan, “in zijn sociale verschijningsvorm is de staat organisatie, een verband van functies. Met functie is dan bedoeld; een omschreven werkkring in verband van het gehel. Zijn heet, met betrekking tot de staat, ambt. De staat is ambtenorganisatie”; Negara adalah organisasi jabatan. Dalam membahas mengenai masalah jabatan terdapat beberapa persoalan. Persoalan tersebut paling berkaitan cara menempati jabatan, bezetting van het ambt; Sebagai subjek hukum tata negara positif, ambt adalah pribadi, tetapi dia tidak bisa melakukan perbuatan tanpa ada orang yang mewakilinya. Itulah yang disebut dengan amtsdrager, pemangku jabatan; Dalam hukum tata negara positif Indonesia, banyak dikenal cara menempati jabatan, yaitu dengan cara penunjukan, dengan cara pengangkatan atau cara lain yang diatur dalam hukum positif, dan juga cara-cara seperti turun temurun dalam suatu kerajaan; Ada beberapa cara kehilangan jabatan yang disebut dengan ambt verlies. Hukum positif atau hukum tata negara positif mengatur kaidah-kaidah cara berakhirnya satu jabatan, antara lain berhenti atau bedankt, pemberhentian atau ontslag atau berakhirnya masa jabatan aflopen van de ambtstermijn. Masalah dalam permohonan a quo adalah berakhirnya masa jabatan, ada aflopen van de ambtstermijn; Terdapat kehilangan persyaratan menurut hukum atau verlies van wettelijke vereisten. Artinya, orang itu juga bisa hilang jabatannya itu sebagai amtsdrager apabila dia melanggar ketentuan undang-undang; Dalam Pasal 19 UU 16/2004 menentukan, “Jaksa Agung adalah pejabat negara, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Berartiperolehan jabatan adalah dengan pengangkatan atau penunjukan oleh Presiden dan mengenai
aflopen diatur dalam Pasal 22 yang menyatakan, “Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatan karena, (a) meninggal dunia, (b) permintaan sendiri, (c) sakit jasmani dan rohani terus menerus, (d) berakhir masa jabatannya”; Tidak ada masa jabatan yang diatur oleh UU 16/2004. Menurut beginselen van behoorlijke regelgeving (asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik) yang diambil alih oleh Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, setiap undang-undang itu harus mempunyai beberapa asas, antara lain menggenai: asas mengenai kejelasan tujuan, asas mengenai organisasi yang tepat (de juiste orgaan), dan juga asas mengenai dapat dilaksanakan (uitvoerbaarheid), dan het zekerheid beginsel, artinya undang-undang itu harus mengatur adanya kepastian hukum, kalau tidak ada kepastian hukum maka dia itu bertentangan dengan beginselen van behoorlijke regelgeving tersebut; Sejalan dengan hal tersebut, dalam pemerintahan yang baik juga harus memakai asas-asas mengenai pemerintahan yang baik algemene beginselen van behoorlijke bestuur. Dalam rangka good governance harus juga asas-asas ini diterapkan dan kepastian hukum rechtszekerheid, legal certainty dan hal tersebut ditentukan dalam Pasal 28 UUD 1945; Dalam Keppres Nomor 187/M/2004 berbunyi, “(a) menimbang, bahwa Komisi Pemilihan Umum berdasar Surat Keputusan Nomor 98/SK/KPU/2004 tanggal 4 Oktober 2004 telah menetapkan H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. M. Yusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih untuk Periode 2004 sampai 2009 dan Presiden dan Wakil Presiden telah mengucapkan sumpah dan dilantik di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2004.” Artinya, masa berlaku Keppres terhadap orang-orang yang disebutkan dalam Keppres adalah 2004 sampai dengan 2009. Dalam Keppres yang menjadi Jaksa Agung dengan kedudukan Setingkat Menteri Negara adalah Abdul Rahman Saleh, tetapi di dalam Keppres Nomor 31/P/2007 dalam menimbangnya mengatakan, “Bahwa untuk lebih meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara dan upaya mewujudkan tujuan nasional dipandang perlu melakukan penataan dan penggantian beberapa Menteri Negara dan Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu yang telah diangkat Keputusan Presiden Nomor 187/M/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 20/P/2005.” Tetap ada penunjukan ke Keppres 187/M/2004 yang berarti ada masa berlaku 2004 sampai 2009. Dalam Keppres tersebut diberhentikanlah Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan digantikan oleh Hendraman Supandji, S.H., Jaksa Agung dengan kedudukan sebagai Menteri. Artinya, Hendraman Supandji hanya melaksanakan kewenangan
atau sebagai amtsdrager sisa dari pada apa yang telah dilakukan oleh amtsdrager Abdul Rahman Saleh, maka masa jabatan Hendarman Supandji harus berakhir juga pada tahun 2009; Setelah 2009, dibentuklah kabinet dan sebelumnya ada pemberhentian lebih dahulu, yaitu Keppres Nomor 83/P/2009 dimana tidak terdapat pemberhentian atau ambt verlies ambtlosen bagi Hendarman Supandji. Secara peraturan perundang-undangan maka masa jabatannya adalah habis pada tahun 2009 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan; Pemohon dapat meminta penafsiran atas undang-undang, karena salah satu kewenangan dari Mahkamah adalah sebagai the sole interpreter of Constitution (penafsir tunggal konstitusi). Selain itu, Pemohon mengajukan Saksi Prof. Erman Rajagukguk, S.H., L.L.M., Ph.D yang membuat keterangan affidavit di hadapan Evawani Alissa Chairil Anwar, S.H., M.Kn, Notaris yang berkedudukan di Kota Bekasi, yang pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut: Saksi adalah Wakil Sekertaris Kabinet sejak 13 Desember 1998 sampai dengan Februari 2005, ketika struktur Sekertaris Negara dan Sekertaris Kabinet diperbaharui dan pada saat jabatan Wakil Sekertaris Kabinet ditiadakan; Bahwa tugas-tugas Wakil Sekertaris Kabinet dimasa itu antara lain mempersiapkan Rancangan Keputusan Presiden tentang pengangkatan pejabat-pejabat Negara termasuk mempersiapkan Rancangan Keputusan Presiden tentang pembentukan dan/atau reshuffle Kabinet; Jaksa Agung Republik Indonesia selalu diangkat oleh Presiden diawal pembentukan kabinet dan jabatan itu berakhir bersamaan denga berakhirnya masa bakti kabinet yang disesuaikan dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama 5 (lima) tahun; Pengangkatan Jaksa Agung selalu dimuat di dalam Keputusan Presiden tentang pembentukan dan/atau reshuffle kabinet, demikian pula pemberhentian Jaksa Agung dilakukan bersama-sama dengan pemberhentian seluruh anggota kabinet; Selama saksi menjabat sebagai Wakil Sekertaris Kabinet, penghadap mengetahui beberapa fakta tentang pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung, sebagai berikut:
Pada masa Presiden B.J Habibie, beliau mengganti Jaksa Agung Sudjono Chanafiah Atmonegoro dengan Andi Muhammad Ghalib pada 17 Juni 1998, kemudian Andi Muhammad Ghalib diberhentikan sementara dari jabatannya dan Jaksa Agung secara ad interim dijabat oleh Wakil Jaksa Agung Ismudjoko. Baik jabatan Andi Muhammad Ghalib,maupun Ismudjoko berakhir bersamaan dengan masa jabatan B.J Habibie tanggal 20 Oktober 1999; Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, belia mengangkat Marzuki Darussman menjadi Jaksa Agung dengan kedudukan pejabat setingkat Menteri Negara dan pengangkatan itu dituangkan dalam satu Keputusan Presiden tentang pembentukan kabinet. Di tengah jalan Marzuki Darussman diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dan digantikan oleh Baharuddin Loppa sampai kabinet bubar. Pada waktu Majelis Permusyawaratan Rakyat memberhentikan Presiden dan menetapkan Wakil Presiden Megawati menjadi Presiden, Presiden Megawati mengangkat M.A Rachman menjadi Jaksa Agung Kabinet Gotong Royong dengan kedudukkan pejabat setingkat Menteri Negara. Pengangkatan itu dituangkan dalam Keputusan Presiden tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong. Jabatan M.A Rachman berakhir bersamaan dengan bubarnya Kabinet Gotong Royong dan berakhirnya masa jabatan Presiden Megawati; Pada waktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla, Saksi mengetahui dan ikut serta dalam proses penyiapan Keputusan Presiden Nomor 187/M/Tahun 2004 tertanggal 20 Oktober 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Abdul Rahman Saleh menjadi Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu dengan kedudukan pejabat setingkat Menteri Negara, di dalam Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tersebut. Inilah terakhir kali penghadap turut serta dalam mempersiapkan Keputusan Presiden tentang pembentukan, reshuffle dan pembubaran kabinet. Setelah itu, saksi tidak ikut serta lagi dalam kegiatan tersebut; [2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 6 Agustus 2010 telah didengar keterangan Pemerintah yang selanjutnya memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 9 Agustus 2010 sebagai berikut: Pokok Permohonan
a. Bahwa Pemohon pada saat mengajukan permohonan telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/Fd.1/06/2010, tanggal 24 Juni 2010, dengan sangkaan melanggar ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menurut Pemohon penetapannya dilakukan berdasarkan perintah jabatan atau sekurang-kurangnya persetujuan dari pejabat yang secara hierarkhis dalam jajaran birokrasi Kejaksaan Agung yang berada di atasnya, yang memiliki ketidakjelasan legalitas penerapan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo; b. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo telah membuka peluang bagi orang yang "mengaku dan atau menyebut diri" sebagai Jaksa Agung untuk tetap melaksanakan fungsi sebagai Jaksa Agung meskipun jabatannya sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007 pengangkatannya telah berakhir, disisi lain Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia nyata-nyata tidak mengatur masa jabatan Jaksa Agung, sehingga masa jabatan Jaksa Agung dapat ditafsirkan sesuai dengan selera dan keinginan penafsir; c. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan a quo juga telah merugikan secara aktual atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Agung sebagai berikut: 1. Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kejaksaan Agung RI; 2. Pemohon telah kehilangan kebebasannya karena telah dicegah oleh Kejaksaan Agung RI; 3. Pemohon telah kehilangan hak untuk bekerja dan bergerak dengan bebas dan leluasa karena terbelenggu oleh status Pemohon sebagai tersangka dalam suatu tindak pidana; 4. Pemohon telah mengalami intimidasi pada tanggal 1 Juli 2010 pada waktu hendak meninggalkan kantor Kejaksaan Agung RI; 5. Pemohon telah mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dan tidak
manusiawi, karena adanya pembatasan yang tidak patut, yaitu dengan cara menggembok (mengunci) pintu keluar masuk halaman Kejaksaan Agung pada tanggal 1 Juli 2010, yang dipertontonkan oleh berbagai media elektronik dan cetak, yang dapat digolongkan sebagai perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat seseorang di muka umum; d. Singkatnya menurut Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan multi tafsir dan berpotensi menimbulkan tafsir yang inkonstitusional, juga ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukurn, karena itu menurut Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum Pemerintah menyampaikan penjelasan atas permohonan pengujian ketentuan tersebut di atas, Pemerintah perlu menyampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa Pemerintah pada dasarnya menghargai upaya (hukum) yang dilakukan oleh Pemohon, termasuk mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang a quo, agar proses penegakan hukum dapat berjalan secara egaliter, profesional, transparan, akuntabel dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum yang berkeadilan. 2. Bahwa sesuai dengan maksud permohonan Pemohon sebagaimana terdaftar pada registrasi Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tanggal 9 Juli 2010 dengan perbaikan tanggal 26 Juli 2010, adalah permohonan pengujian konstitusionalitas (judicial review, contitutional review) keberlakuan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Pemerintah akan focus untuk memberikan penjelasan tentang materi muatan norma yang berkaitan dengan permohonan pengujian tersebut. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, maka agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum dalam permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih
dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang duji; c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Jika memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon dalam permohonan ini memiliki kualifikasi atau bertindak selaku perorangan warga negara Indonesia, yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan atas berlakunya undang-undang a quo atau anggapan kerugian tersebut sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian tersebut. Bahwa dari seluruh uraian permohonan Pemohon, undang-undang yang dimohonkan pengujian adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia [in casu Pasal 22 ayat (1) huruf d], sedangkan anggapan telah terjadi kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon menurut Pemerintah adalah karena berlakunya dan/atau sebagai akibat berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (in casu penerapan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 12 huruf i). Sehingga menurut Pemerintah, terdapat kerancuan (missleading) dalam mengkonstruksikan anggapan adanya kerugian konstitusional dimaksud, karena sebagaimana telah disinggung di atas, menurut Pemerintah kerugian yang dialami oleh Pemohon adalah berkaitan dengan berlakunya undang-undang a quo atau anggapan kerugian tersebut sebagai akibat berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan perkataan lain menurut Pemerintah berkaitan dengan penerapan norma/implementasi maupun dalam rangka proses penegakan hukum atas dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi yang antara lain diduga melibatkan Pemohon, yang pelaksanaanya/penerapannya mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sehingga menurut Pemerintah, jika setiap orang (termasuk Pemohon) keberatan/tidak setuju ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian dilakukan
tindakan penahanan, penggeledahan maupun penyitaan oleh penyidik (dalam hal ini oleh Kejaksaan), karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum, menyimpangi fakta-fakta yuridis atau dianggap tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku (KUHAP), maka adalah tepat jika para pihak melakukan upaya hukum, misalnya melalui lembaga pra peradilan, dan pada saat pemeriksaan dan pembuktian di Pengadilan itulah setiap orang (termasuk Pemohon) dapat memberikan klarifikasi, melakukan pembelaan maupun mengajukan saksi dan/atau saksi ahli yang dapat menguntungkan/meringankan Pemohon, yang pada gilirannya diharapkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri dapat memberikan putusan apakah tindakan hukum penyidik tersebut telah sesuai atau tidak dengan hukum acara yang berlaku (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah permasalahan yang terjadi terhadap Pemohon adalah tidak terkait dengan masaiah konstitusionalitas keberlakuan materi muatan norma undang-undang a quo yang dimohonkan untuk diuji tersebut, akan tetapi berkaitan dengan penerapan/implementasi norma undang-undang a quo. Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak dalam permohonan Pengujian Undang-Undang a quo, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). Terhadap anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan: Pasal 22: Ayat (1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. Meninggal dunia; b. Permintaan sendiri; c. Sakit jasmani atau rohani terus menerus;
d. Berakhir masa jabatannya; e. Tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Ayat (2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (I) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Ketentuan di atas oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan: Pasal 1 ayat (3): " Negara Indonesia adalah negara hukum". Pasal 28D ayat (1): "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". Pemerintah dapat menyampaikan penjelasan sebagai berikut: Bahwa untuk menjelaskan konstitusionalitas keberlakuan materi muatan norma undang-undang yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, kiranya dapat kategorikan dalam dua isu hukum yang berbeda, yaitu sebagai berikut: 1. Bahwa Penetapan Pemohon sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-79/F.2/Fd.1/06/2010 tanggal 24 Juni 2010, dengan sangkaan melanggar ketentuan Pasal 2, Pasa! 3, dan Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan adanya surat panggilan kepada Pemohon sebagai tersangka Nomor SPT 1170/F.2/Fd.1/06/2010, apakah berkaitan dengan masalah konstitusionalitas yang dapat merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin oleh konstitusi? Bahwa mencermati fakta hukum tersebut di atas, menurut Pemerintah adalah berkaitan dengan rezim hukum pidana maupun penegakan hukum pidana. Bahwa salah satu asas yang mendasari hukum pidana adalah praduga tidak bersalah (presumption of innocence), yaitu seseorang harus dinyatakan tidak bersalah kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Seseorang tidak dapat ditetapkan sebagai tersangka kecuali berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP). Bahwa dalam penegakan hukum pidana seseorang ditetapkan sebagai tersangka dilakukan oleh penyidik (Kepolisian dan Kejaksaan dalam tindak pidana tertentu), apabila berdasarkan bukti permulaan yang cukup yaitu berdasarkan minimum dua alat bukti yang sah seseorang diduga telah melakukan tindak pidana. Sedangkan alat bukti yang sah berdasarkan ketentua Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Bahwa dalam proses penetapan seseorang menjadi tersangka murni dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup yaitu minimum berdasarkan dua alat bukti yang sah bahwa seseorang diduga telah melakukan tindak pidana. Pihak yang dapat menyatukan seseorang sebagai tersangka adalah penyidik. Menurut Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan Jaksa diberi wewenang untuk melakukan penyidikan dalam perkara tindak pidana tertentu, yaitu tindak pidana korupsi [vide Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia]. Berdasarkan uralan tersebut di atas menurut Pemerintah, penetapan Pemohon menjadi tersangka oleh penyidik karena diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dengan sangkaan sebagaimana tersebut di atas, adalah dalam rangka melaksanakan perintah undang-undang guna proses penegakan hukum, dan hal demikian dapat terjadi dan/atau berlaku terhadap setiap orang tanpa kecuali (equality before the law), kecuali jika dalam pelaksanaanya telah melanggar
prinsip-prinsip due process of law dan menegasikan hak-hak Pemohon sebagaimana dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang mengatur tentang kedudukan Jaksa Agung sebagai pejabat negara, dan mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian dengan hormat Jaksa Agung, apakah berkaitan dengan masalah konstitusionalitas yang dapat merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin oleh konstitusi? Bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan yang harus bebas, merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun pengaruh kekuasaan lainnya. Bahwa undang-undang a quo memberikan penegasan kembali bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dengan berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa undang-undang a quo dimaksudkan untuk mengatur tentang kedudukan Kejaksaan, susunan kejaksaan, tugas dan wewenang Kejaksaan, sampai pada pengaturan secara khusus tentang Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan, kedudukan Jaksa Agung sebagai pejabat negara, pengangkatan Jaksa Agung dan pemberhentian dengan hormat Jaksa Agung oleh Presiden. Dengan demikian menurut Pemerintah, karena undang-undang a quo mengatur hal-hal tersebut di atas, maka jikalaupun terdapat anggapan undang-undang a quo atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan dianggap pula merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional seseorang, maka yang dapat mengajukan pengujian undang-undang a quo adalah para pihak (stakeholder) sebagai pemangku kepentingan undang-undang a quo, walaupun tidak tertutup kemungkinan setiap orang dapat melakukan pengujian terhadap tugas dan kewenangan kejaksaan tersebut (misalnya terhadap kewenangan Kejaksaan untuk melakukan pengawasan peredaran barang cetakan, yang saat inl sedang dimohonkan untuk diuji di
Mahkamah Konstitusi, vide perkara Nomor 6, 13 dan 20/PUU-VII/2010). Lebih lanjut, karena ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut adalah berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung merupakan ranah tindakan administratif, sehingga menurut pemerintah, fakta hukum yang demikian tidak berkaitan dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan materi muatan norma undang-undang a quo yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon. Selain itu menurut Pemerintah harus dibedakan antara Jaksa Agung sebagai pejabat negara yang pengangkatan dan pemberhentiannya oleh Presiden dengan Jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan (pidana) yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya Jaksa Agung setiap waktu/dalam waktu tertentu dapat diganti/diberhentikan oleh Presiden, sedangkan Jaksa sebagai Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung dibatasi oleh ketentuan pensiun yaltu telah mencapai usia 62 (enam puluh dua) tahun, kecuali terdapat alasan lain yang dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan dengan tidak hormat. Juga, jikalaupun anggapan Pemohon tersebut beralasan dan permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka menurut Pemerintah: 1. Status penetapan Pemohon sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi tidaklah secara otomatis (serta merta) menjadi gugur/batal demi hukum, karena anggapan telah terjadinya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon karena berlakunya dan/atau akibat keberlakuan ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon adalah berlakunya ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang intinya berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian (dengan hormat) Jaksa Agung oleh Presiden; 2. Seluruh tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Agung, dari mulai penetapan seseorang menjadi tersangka, melakukan penangkapan, penahanan dan penggeledahan terhadap setiap orang (termasuk Pemohon) yang dianggap telah melakukan tindak pidana tertentu (korupsi) adalah sah dan mengikat, karena sifat putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan mengikat
dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum (sesuai ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) atau putusan tersebut bersifat non retroaktif (prospektif) dan bukan bersifat retroaktif. 3. Dapat menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan penegakan hukum, khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi yang telah disidik oleh Kejaksan antara Oktober 2009 sampai dengan diajukannnya permohonan ini, karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat dan berlaku untuk keseluruhan (erga omnes), dan bukan bersifat individual terhadap para pihak saja yang mengajukan permohonan pengujian. Dengan perkataan lain, tindakan aparat penegak hukum (dalam hal ini penyidik Kejaksaan) untuk menetapkan setiap orang (termasuk Pemohon dalam permohonan ini) menjadi tersangka atas dugaan telah melakukan tindak pidana tertentu (korupsi) adalah dalam rangka melaksanakan perintah undang-undang (sebagal penerapan/implementasi norma undang-undang tersebut), kecuali dalam penerapannya dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) atau melampaui kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku (detournement de pavoir), maka hal demikian dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum maupun dapat dianggap telah menegasikan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil maupun perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin pelaksanaan dan penegakannya oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari uraian tersebut di atas menurut Pemerintah, tindakan hukum pro justicia penyidik Kejaksaan Agung sebagaimana telah diuraikan diatas, adalah dalam rangka law inforcement guna mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum (rule of law) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maupun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.