UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN...

233
UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA : MENUJU SISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA DALAM ERA PASCA REFORMASI, 1998-2012 TESIS RIKA ANGGRAINI 1006737301 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM KENEGARAAN JAKARTA 2013 Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN...

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

UNIVERSITAS INDONESIA

KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK

DI INDONESIA :

MENUJU SISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA DALAM ERA PASCA REFORMASI, 1998-2012

TESIS

RIKA ANGGRAINI

1006737301

FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

KEKHUSUSAN HUKUM KENEGARAAN JAKARTA

2013

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

UNIVERSITAS INDONESIA

KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK

DI INDONESIA :

MENUJU SISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA DALAM ERA PASCA REFORMASI, 1998-2012

TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Hukum (M.H.)

RIKA ANGGRAINI

1006737301

FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

KEKHUSUSAN HUKUM KENEGARAAN JAKARTA

2013

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Rika Anggraini

NPM : 1006737301

Tanda Tangan :

Tanggal : 21 Januari 2013

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh : Nama : Rika Anggraini NPM : 1006737301 Program Studi : Magister Hukum Kenegaraan Judul Tesis : Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di

Indonesia : Menuju Sistem Multipartai Sederhana Dalam Era Pasca Reformasi, 1998-2012

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing/ Penguji : Prof. Dr. Satya Arinanto S.H. M.H.

Penguji : Prof. Abdul Bari Azed S.H., M.H.

Penguji : Dr. Tri Hayati S.H., M.H.

Tanggal : 21 Januari 2013

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada

penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikannya. Oleh

karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

(1) Prof. Dr. Satya Arinanto S.H, M.H selaku dosen pembimbing yang telah

menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam

penyusunan tesis ini;

(2) mama dan aba, mas obi, imam, adek ayu, mbak nanik dan caca atas doa dan

kasih sayang, serta dukungan material dan moral;

(3) my lovely denny yang telah memberikan bantuan, dukungan dan setia

menemani hingga terselesaikannya tesis ini;

(4) sahabat di HTN 2010 yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan

tesis ini.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua

pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi

pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Jakarta, 2013

Rika Anggraini

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Rika Anggraini NPM : Magister Hukum Kenegaraan Fakultas : Hukum Jenis Karya : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia : Menuju Sistem Multipartai Sederhana Dalam Era Pasca Reformasi, 1998-2012 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 21 Januari 2013

Yang menyatakan

(Rika Anggraini)

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

ABSTRAK

Nama : Rika Anggraini Program Studi : Hukum Tata Negara Judul : Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia :

Menuju Sistem Multipartai Sederhana Dalam Era Pasca Reformasi, 1998-2012

Tesis ini membahas tentang Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Menuju Sistem Multipartai di Indonesia Pasca Reformasi, dengan tujuan utama untuk mengetahui pengaturan dan dasar pemikiran kebijakan penyederhanaan partai, akibat hukum dalam pelaksanaannya terhadap partai politik dan sistem kepartaian dan batasan-batasannya sehingga tetap sesuai dengan amanat UUD 1945. Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode penelitian hukum normatif, melalui studi kepustakaan, dan membandingkan perundang-undangan yang berlaku dengan permasalahan yang terkait, kemudian dengan asas-asas hukum atau doktrin yang ada, serta memperhatikan praktek yang terjadi sebagai sebuah kajian terhadap sejarah hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan sistem multi partai sederhana sebagai salah satu upaya memperkuat stabilitas sistem pemerintahan presidensiil dan juga untuk mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional, menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai. Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik yaitu melalui persyaratan kualitatif dan kuantitatif pembentukan dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, persyaratan kualitatif dan kuantitatif serta persyaratan ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) bagi partai untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum dan juga persyaratan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) sebagai syarat untuk dapat menempatkan kursi di DPR. Akibat hukum kebijakan penyederhanaan partai politik bagi partai politik adalah : 1) Partai Politik tidak mendapat status badan, 2) Partai Politik tidak dapat menjadi peserta pemilu dan 3). Partai Politik tidak dapat memperoleh kursi di DPR. Meskipun terjadi penurunan jumlah partai politik yang diakui sebagai badan hukum dan parpol yang dapat mengikuti pemilu, namun dari pemilu 2004 sampai 2009, masih menciptakan sistem multipartai ekstrim. Namun demikian, Pemberlakuan kebijakan Parliamentary Threshold telah sedikit menurunkan Nilai ENPP (jumlah efektif partai di Parlemen) yang semula pada tahun 2004 bernilai 7.07 menjadi 6.47. Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945 dan Pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang, namun demikian terdapat prinsip-prinsip yang harus dipedomani dalam pengaturan kebijakan tersebut, yaitu : prinsip demokratis, Rasional dan Non Diskriminatif. Kata Kunci : Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik, Sistem Multipartai Sederhana, Konstitusionalitas.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

ABSTRACT

Name : Rika Anggraini Study Program : Constitutional Law Title : Political Party Simplification Policy in Indonesia :

Towards Moderate Multiparty System, Post-Reform, 1998-2012

This thesis discusses Political Party Simplification Policy Towards Moderate Multiparty System in Indonesia Post-Reform, with main objective figuring out the arrangement and underlining idea at party Simplification, legal implication at its implementation on political parties and party system and its boundaries in keeping in line with the mandate of 1945 Constitution. The research was conducted using the method of normative legal research, literature study, and comparing applicable legislation to the associated problems, then with the principles of existing law or doctrine, and with regard to current practices as a study of the history of law. The results of this study demonstrate that the Political Party Simplification Policy Post-Reform in Indonesia aims to realize a simple multi-party system in an effort to strengthen the stability of the presidential system of government and also to create a political party as a national organization, promoting national integrity and strengthen the parties institutionallity. Manifestation of the simplification policies of political parties is through qualitative and quantitative terms in founding and registrating political parties as a legal entity, as well as qualitative and quantitative threshold requirement of seats (electoral threshold) for the party to take part in the elections and voting threshold requirement (parliamentary threshold) as a requirement to be able to put the seats in Parliament. The legal consequences of simplification policies of political parties are : 1) Political parties do not get the status of the legal body, 2) political parties do not take part in the elections and 3). Political parties can not gain seats in the House. Despite the decline in the number of political parties which are recognized as legal entities and political parties to follow the election, but the election of 2004 to 2009, it still creates extreme multiparty system. However, the policy Parliamentary Threshold enforcement lowered ENPP Value (effective number of parties in parliament) which was originally worth 7.07 in 2004 to 6.47 in 2009. Simplification policy do not conflict with the 1945 Constitution, simplification policy is an implementation of Article 28 of the 1945 Constitution and legal policy options of the former act. However, there are principles that should be followed in setting the policy, namely : democratic principle, rationality and non-discriminatory

Key Words :

Political Party Simplification Policy, Moderate Multiparty System, constitutionality.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii KATA PENGANTAR ............................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................................. v ABSTRAK ................................................................................................................. vi ABSTRACT ............................................................................................................... vii DAFTAR ISI .............................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xii DAFTAR BAGAN .................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 8 1.3. Tujuan ......................................................................................................... 9 1.4. Kerangka Teori............................................................................................ 9

1.4.1. Demokrasi dan Negara Hukum ........................................................ 9 1.4.2. Teori Kedaulatan Rakyat .................................................................. 13 1.4.3. Sistem Kepartaian ............................................................................. 17 1.4.4. Peradilan Konstitusi ......................................................................... 21

1.5. Kerangka Konsep ........................................................................................ 23 1.5.1. Partai Politik ..................................................................................... 23 1.5.2. Sistem Multipartai Sederhana ........................................................... 24 1.5.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik ......................................... 26 1.5.4. Kurun Waktu Pasca Reformasi ......................................................... 28

1.6. Metode Penelitian........................................................................................ 28 1.7. Sistematika Penulisan ................................................................................. 31

BAB II PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN SISTEM

MULTIPARTAI SEDERHANA 2.1. Partai Politik ................................................................................................ 34

2.1.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik ............................................... 34 2.1.2. Fungsi Partai Politik ......................................................................... 36 2.1.3. Klasifikasi Partai Politik ................................................................... 40

2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara ................... 40 2.2.1. Pengaturan Partai Politik dalam Peraturan Perundang-Undangan ... 40 2.2.2. Praktek Pengaturan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai

Negara ............................................................................................... 47 2.2.2.1. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Rusia ........... 48 2.2.2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Republik

Ceko ................................................................................... 49 2.2.2.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Jerman ......... 49 2.2.2.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Negara

Lainnya .............................................................................. 51

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

2.2.3. Pedoman dan Prinsip Dasar Pengaturan Partai Politik ..................... 54 2.3. Konsep Sistem Multipartai Sederhana ........................................................ 59 2.4. Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara .............. 64

2.4.1. Sistem Multipartai Sederhana di Rusia ............................................ 65 2.4.2. Sistem Multipartai Sederhana di Republik Ceko ............................. 68 2.4.3. Sistem Multipartai Sederhana di Jerman .......................................... 71

2.5. Analisis Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara 74

BAB III PENGATURAN KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA PASCA

REFORMASI 3.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik dan Kebijakan Penyederhanaan

Partai Politik di Indonesia ........................................................................... 75 3.2. Partai Politik Pada Masa Pasca Reformasi ................................................. 80 3.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Partai

Politik Pasca Reformasi .............................................................................. 82 3.3.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Pendirian dan Pendaftaran

Partai Politik sebagai Badan Hukum ................................................ 83 3.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Pemilihan

Umum Paca Reformasi ............................................................................... 99 3.4.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Partai Politik sebagai

Peserta Pemilu .................................................................................. 99 3.4.2. Persyaratan Electoral Threshold dan Parliamentary Thershold

bagi Partai Politik sebagai Peserta Pemilu ....................................... 102 3.5. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi ......................................... 105

BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI

POLITIK DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA

4.1. Tujuan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi. ................................................................................................... 112

4.2. Perwujudan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik ............................... 117 4.2.1. Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik sebagai

Badan Hukum ................................................................................... 117 4.2.2. Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu dan Electoral

Threshold .......................................................................................... 128 4.2.3. Persyaratan Partai Politik untuk Menempatkan Wakilnya di DPR

(Parliamentary Threshold) ................................................................ 132 4.3. Tahapan Kebijakan Penyederhanaan .......................................................... 133 4.4. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap Partai

Politik .......................................................................................................... 135 4.4.1. Partai Politik Tidak Diakui sebagai Badan Hukum .......................... 136 4.4.2. Partai Politik tidak dapat Menjadi Peserta Pemilihan Umum. ......... 141 4.4.3. Partai Politik tidak dapat Menempatkan Wakilnya di DPR ............. 147 4.4.4. Penggabungan Partai Politik ............................................................. 147

4.5. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap pembentukan sistem Multipartai Sederhana .............................................. 149

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

BAB V JUDICIAL REVIEW PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK

5.1. Judicial Review Ketentuan tentang Syarat Minimal Kepengurusan bagi Pendaftaran Partai Politik ............................................................................... 152

5.1.1. Pemohon dan Ketentuan yang diuji .................................................. 152 5.1.2. Pendapat Pemerintah ........................................................................ 153 5.1.3. Pendapat Mahkamah Konstitusi ....................................................... 154

5.2. Judicial Review Ketentuan tentang Electoral Threshold .............................. 155 5.2.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji .................................................... 156 5.2.2. Pendapat Pemerintah ........................................................................... 158 5.2.3. Pendapat DPR ...................................................................................... 159 5.2.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi ...................................... 161

5.3. Judicial Review Ketentuan tentang Persyaratan bagi Partai Politik untuk Mengikuti Pemilu Tahun 2009 ...................................................................... 163 5.3.1. Pemohon .............................................................................................. 163 5.3.2. Alasan/Kerugian Konstitusional Pemohon ......................................... 164 5.3.3. Penjelasan Pemerintah ......................................................................... 166 5.3.4. Pendapat DPR ...................................................................................... 166 5.3.5. Pendapat Mahkamah Konstitusi .......................................................... 167

5.4. Judicial Review Ketentuang tentang Parliamentary Threshold .................... 168 5.4.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji .................................................... 168 5.4.2. Pendapat Pemerintah ........................................................................... 170 5.4.3. Pendapat DPR ...................................................................................... 172 5.4.4. Pendapat Mahkamah Konstitusi .......................................................... 173

5.5. Judicial Review Ketentuan Tentang Kewajiban Partai Politik agar tetap Diakui Sebagai Badan Hukum ....................................................................... 174 5.5.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji .................................................... 174 5.5.2. Alasan/Kerugian Konstitusionalitas Pemohon ................................... 175 5.5.3. Pendapat Pemerintah ........................................................................... 176 5.5.4. Pendapat DPR ...................................................................................... 177 5.5.5. Pendapat Mahkamah Konstitusi .......................................................... 178

5.6. Judicial Review tentang Ketentuan Persyaratan Pendirian Partai Politik ...... 179 5.6.1. Pemohon .............................................................................................. 179 5.6.2. Alasan/Kerugian Konstitusionalitas Pemohon ................................... 179 5.6.3. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi ...................................... 181

5.7. Judicial Review Ketentuan mengenai Syarat Partai Politik sebagai Peserta Pemilu ............................................................................................................ 183 5.7.1. Pemohon .............................................................................................. 183 5.7.2. Alasan/Kerugian Konstitusionalitas Pemohon ................................... 185 5.7.3. Pendapat Pemerintah ........................................................................... 187 5.7.4. Pendapat DPR ...................................................................................... 188 5.7.5. Pendapat Mahkamah Konstitusi .......................................................... 190

5.8. Konstitusionalitas Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik ........................ 195

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

5.8.1. Pengaturan dan Persyaratan dalam Undang-Undang Partai Politik Merupakan Pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 ..................................... 197

5.8.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik adalah Pilihan Kebijakan (Legal Policy) Pembentuk Undang-Undang........................................ 198

5.9. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik ......... 199 BAB VI PENUTUP

6.1. Simpulan ..................................................................................................... 203 6.2. Saran ............................................................................................................ 205

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 207 A. Buku ..................................................................................................................... 207 B. Artikel .................................................................................................................. 212 C. Majalah Ilmiah ..................................................................................................... 213 D. Surat Kabar........................................................................................................... 213 E. Tesis/Disertasi dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan ................................... 213 F. Kasus Pengadilan ................................................................................................. 214 G. Internet ................................................................................................................. 215 H. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-Undangan ........................................ 218

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perdebatan Normatif : Kelebihan dan Kekurangan Sistem Dwi- Partai dan Sistem Multipartai ............................................................................. 60

Tabel 2.1 Negara dengan E (ENVP) antara 3 sampai 5 ........................................... 64 Tabel 2.2 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2003 di Rusia ................... 65 Tabel 2.3 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2007 di Rusia ................... 66 Tabel 2.4 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2011 di Rusia ................... 67 Tabel 2.5 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1998 di Republik Ceko .... 69 Tabel 2.6 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Republik Ceko .... 69 Tabel 2.7 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2006 di Republik Ceko .... 71 Tabel 2.8 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Republik Jerman 72 Tabel 2.9 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2005 di Republik Jerman 72 Tabel 2.10 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2009 di Republik Jerman

................................................................................................................... 73 Tabel 3.1 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1999 di Indonesia ............ 106 Tabel 3.2 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2004 di Indonesia ............ 109 Tabel 3.3 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2009 di Indonesia ............ 110 Tabel 4.1 Persyaratan/Pembatasan Pembentukan Partai Politik............................... 119 Tabel 4.2 Persyaratan Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum ................ 122 Tabel 4.3 Persyaratan Pendirian Partai Politik di Beberapa Negara ........................ 125 Tabel 4.4 Pengelolaan Keuangan Partai Politik ....................................................... 127 Tabel 4.5 Persyaratan Partai Politik untuk Menjadi Peserta Pemilihan Umum ....... 129 Tabel 4.6 Ketentuan Ambang Batas (Parliamentary Threshold) ............................. 133 Tabel 4.7 Jumlah Partai Politik dan yang Memperoleh Status Badan Hukum ........ 140 Tabel 4.8 Jumlah Partai Politik yang Tidak Lolos Persyaratan Sebagai Peserta

Pemilihan Umum ....................................................................................... 146 Tabel 4.9. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi ..................................... 151

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Rantai Hubungan Warga dan Partai Politik .............................................. 39

Bagan 4.1. Tahapan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik .............. 135

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan penyederhanaan partai politik dalam mewujudkan sistem

multipartai sederhana dapat dilakukan sepanjang kebijakan tersebut

konstitusional, demokratis, rasional dan non diskriminatif. Kebijakan

penyederhanaan partai politik sebagai salah satu upaya untuk menciptakan sistem

kepartaian dan sistem pemerintahan presidensial yang stabil, harus tetap

menghormati hak-hak konstitusional yang dimiliki oleh partai politik. Perwujudan

kebijakan penyederhanaan partai politik dilaksanakan melalui pembatasan-

pembatasan yang diterapkan mulai dari persyaratan pembentukan partai politik

sebagai badan hukum, persyaratan partai politik sebagai peserta pemilihan umum

dan persyaratan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) bagi

partai politik untuk dapat menempatkan wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR).

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa partai politik di satu sisi,

mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap

sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis

antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.1 Menurut

Schattscheider (1942), “political parties created democracy” partai politiklah

yang menciptakan demokrasi, bukan sebaliknya. Partai politik merupakan pilar

atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat

perlembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik

yang demokratis. Derajat perlembagaan partai politik itu sangat menentukan

kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara.2

1 Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta 2006. hal 153. Pentingnya pelembagaan partai politik dikemukakan juga oleh Kenneth Wollack yang menyatakan bahwa Demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan berkelanjutan dengan kapasitas untuk mewakili warga negara dan memberikan pilihan kebijakan yang menunjukkan kemampuan mereka untuk memerintah bagi kepentingan umum. Kenneth Wollack kata pengantar dalam Kenneth Janda. Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical Perspectives. Adopting Party Law. National Democratic Institute For International Affairs.Washington DC. 2005. hal1

2 Jimly Asshiddiqie. “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”. PT

Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta. 2007. hal 710

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Partai politik merupakan cermin kemerdekaan berserikat (freedom of association)

dan berkumpul (freedom of assembly) sebagai perwujudan adanya kemerdekaan

berfikir dan berpendapat (freedom of thought) serta kebebasan berekspresi

(freedom of expression). Oleh karena itu, kemerdekaan berserikat sangat

dilindungi oleh setiap undang-undang dasar negara demokrasi konstitusional

(constitutional democracy), atau negara hukum yang demokratis (democratische

rechtsstaat).3

Partai politik di Indonesia merupakan bagian dari kehidupan politik

selama kurang lebih seratus tahun.4 Partai politik pertama-tama lahir dalam

zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam

kenyataannya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai mengalami

kesukaran untuk bersatu dan membentuk satu front untuk menghadapi pemerintah

kolonial yang berlangsung sampai pendudukan jepang. Pola kepartaian yang telah

terbentuk di zaman kolonial ini kemudian dilanjutkan menjadi landasan untuk

terbentuknya pola sistem multi partai di zaman kemerdekaan.5 Maklumat

Pemerintah Nomor X Pada 3 November 1945 Tentang Anjuran Pemerintah

Tentang Pembentukan Partai-Partai Politik, merupakan titik awal terbentuknya

sistem multipartai di Indonesia.6

Namun, dalam sejarah, sistem multi partai ini tidaklah disukai karena

Banyaknya partai politik dipandang merupakan salah satu masalah yang

menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan munculnya perpecahan bangsa.

Salah satu peristiwa yang ditunjuk sebagai bukti perpecahan adalah dalam forum

Konstituante yang hingga 1959 tidak dapat menyelesaikan tugasnya membentuk

3 Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Sekretariat Jenderal

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta. 2006. hal 338 4 Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik”. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta. 2010. hal 422. 5 Ibid hal 424. Daniel Dakhidae menyimpulkan bahwa karakter politik diawal kemerdekaan dilingkupi oleh

semangat untuk menegakkan aspirasi rakyat, sebagai respon dari penjajahan terutama fasisme Jepang. (Dhaniel Dakhidae. Partai-partai politik Indonesia: ideologi, strategi, dan program dalam Jurnal Penelitian Politik vol 4 Nomor 1. 2007. hal 52

6 Hanta Yuda HR. Presidensialisme Setengah Hati. Dari Dilema ke Kompromi. PT Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta 2010. hal 101

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

konstitusi. Hal itu terjadi karena perbedaan mendasar tentang dasar negara Islam

dan Pancasila yang tidak menemukan titik temu. Bahkan pada saat diusulkan oleh

pemerintah untuk kembali pada UUD 1945 pun tidak menemukan titik temu

apakah harus dengan perubahan atau tanpa perubahan.7

Pada masa demokrasi Terpimpin, ketidakstabilan pemerintah ini

menimbulkan prinsip penyederhanaan partai dengan mengurangi jumlah partai

politik. Presiden kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959

tanggal 31 Desember 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai.

Penyederhanaan partai politik terulang pada masa orde baru di bawah

kepemimpinan Presiden Soeharto dengan cara yang sedikit banyak radikal, di

muka sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto mengumumkan

sarannya agar partai mengelompokkan diri untuk mempermudah kampanye

pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan

sama sekali.8

Runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, memberi pengaruh terhadap

kehidupan partai politik di Indonesia. Reformasi undang-undang politik, terutama

Undang-Undang tentang Partai Politik, merobohkan batasan tentang jumlah partai

politik dan memperbolehkan pendirian partai-partai baru yang cukup banyak.9

Pada masa pasca reformasi, sejak tahun 2004, sistem partai di Indonesia bergeser

dari sistem multipartai moderat/sederhana ke sistem multipartai ekstrim.10

Kembalinya Sistem multipartai ekstrim di Indonesia pada masa setelah reformasi

dinyatakan pula oleh Herman dalam tesisnya, yaitu bahwa hasil pemilu tahun

7 Adnan Buyung Nasution. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante. Dalam Muhammad Ali Saafat. Pembubaran Partai Politik. Universitas Indonesia. Jakarta. 2009. hal 133. Badan konstituante disusun berdasarkan hasil Pemilu 1955, dengan empat partai besar penyusunnya yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. badan konstituante bersidang untuk membentuk UUD baru. Namun demikian sidang-sidang selama lima tahun gagal untuk membentuk UUD baru, sehingga Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden Tahun 1959 yang isinya membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945.(M. Nasruddin Anshoriy Ch, Djunaidi Tjakrawerdaya. Rekam jejak dokter pejuang & pelopor kebangkitan nasional. LKIS 2008 hal 114).

8 Miriam Budiardjo. Op cit. 2010. hal 445 9 Chris Maning dan Peter Van Diermen. Indonesia di Tengah Transisi. Aspek-Aspek Sosial

Reformasi dan Krisis. Judul Asli : Indonesia In Transition, Social Aspect of Reformasi and Crisis. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. 2000. hal 314

10 Jungug Choi. Votes, Party Systems and Democracy in Asia. Routledge. 2012 hal 21

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

1999 menghasilkan bentuk sistem multipartai moderat dan berubah menjadi

sistem multipartai ekstrim pada pemilu 2004.11

Seperti yang dikemukakan Scot Mainwarring, Pada kenyataannnya,

kombinasi antara sistem multipartai dan sistem pemerintahan presidential,

merupakan kombinasi yang buruk. Tidak ada dari 31 negara dengan demokrasi

yang stabil mempunyai konfigurasi institusi sistem presidensiil multipartai, hanya

terdapat satu contoh sejarah, yaitu Chili dari tahun 1933 sampai dengan 1973

yang memiliki sistem tersebut.12

Scott mainwarring dalam studinya menyatakan bahwa :13

There are three reasons why this institutional combination is problematic. First, multiparty presidentialism is especially likely to produce immobilizing executive/legislative deadlock, and such can destabilize democracy. Second, multipartism is more likely than bipartism to produce ideological polarization, thereby complicating problems often associated with presidentialims. Finally, the combination of presidentialism and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition building in presidential democracies, with delecterious consequences for democratic stability.

Upaya penyederhanaan partai politik dalam praktik pasca reformasi

dituangkan dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Partai Politik dan

Pemilihan Umum. Pengaturan undang-undang tersebut bertujuan untuk mencapai

sistem multipartai sederhana, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik14, yaitu :

Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana.

11 Herman. Sistem Kepartaian di Indonesia dilihat dari Model Laakso-Taagepera dan Indeks Rae dan Kaitannya dengan Ketahanan Nasional. Program Kajian Strategik Ketahanan Nasional. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta. 2009

12 Scott P Mainwarring. Presidentialism, Multipartism, and Democracy. The Difficult

Combination. Comparative Political Studies. Vol 26 Nomor 2. Sage Publications. 1993. hal 199

13 Ibid. hal 198 14 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Upaya penyederhanaanpun terus berlanjut seiring perubahan Undang-Undang

tentang Partai Politik, berturut-turut sejak Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik.

Akibat hukum diterapkannya berbagai aturan dalam upaya

penyederhanaan partai politik salah satunya adalah tidak lolosnya 13 partai dalam

mengikuti verifikasi partai politik oleh Kementerian Hukum dan HAM sesuai

dengan persyaratan yang diamanatkan oleh undang-undang Nomor 2 tahun

2011.15 Praktek lainnya dalam usaha mengurangi jumlah partai adalah ditentukan

juga persyaratan electoral threshold yaitu keadaan yang harus dipenuhi oleh

partai politik atau gabungan partai politik yang boleh mengikuti pemilihan

legislatif dan juga pemilihan presiden dan wakil presiden.16 Ketentuan Electoral

Threshold kemudian dirubah dengan kebijakan Parliamentary Threshold.

Sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, polemik tentang penyederhanaan

partai politik kembali mencuat ke permukaan. Materi perdebatan adalah soal

ketentuan Parliamentary Thershold.17

Kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia telah menimbulkan

pro dan kontra. Setiap kebijakan mengenai pembatasan dan penyederhanaan partai

politik hampir dapat dipastikan mendapat perlawanan dari masyarakat terutama

dari pihak partai-partai kecil yang mengalami akibat hukum langsung dari

kebijakan penyederhanaan tersebut. Pada tanggal 25 Mei 2011, sekelompok

masyarakat yang bermaksud hendak mendirikan partai mengajukan judicial

review Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang baru saja disahkan

karena dinilai menghambat dan membatasi hak seseorang untuk mendirikan

15 Kementerian Hukum dan HAM. Menkumham Umumkan Verifikasi Parpol. http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/472-menkumham-umumkan-verifikasi-parpol. [3 Januari 2012].

16 Ibid. hal 451 17 Sunny Ummul Firdaus. Relevansi Parliamentary Threshold terhadap Pelaksanaan Pemilu

yang Demokratis. Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 2 April 2010. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta, hal 93

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

partai.18 Sikap kontra juga dapat dilihat dengan berbagai judicial review undang-

undang partai politik dan pemilihan umum berkaitan dengan pasal-pasal yang

mengatur tentang pembatasan partai politik. Judicial review tersebut diantaranya

adalah Perkara Nomor 16/PUU-V/2007 yang diajukan oleh sekelompok partai

politik yang menentang pemberlakuan syarat Electoral Threshold dalam

Pemilihan Umum, Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009 yang menentang

pemberlakuan kebijakan Parliamentary Threshold serta Perkara Nomor 35/PUU-

IX/2011 yang diajukan oleh sekelompok orang yang menganggap peryaratan

pembentukan partai telah melanggar hak-hak konstitusional yang dijamin oleh

UUD 1945. Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) merupakan salah satu partai

yang tidak lolos verifikasi partai politik pasca diberlakukannya Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2008 tentang Partai Politik, menyatakan bahwa Peraturan Perundang-Undangan

yang pada dasarnya dibuat oleh koalisi kepentingan-kepentingan politik besar,

memang dimaksudkan untuk menghalangi terbentuknya partai politik baru. Inilah

pertanda betapa demokrasi sesungguhnya telah dibajak oleh kepentingan politik

oligarki yang berupaya untuk terus menguasai politik nasional, dan mengabaikan

hak-hak konstitusional rakyat.19

Kebijakan penyederhanaan partai politik, pada dasarnya, tidaklah boleh

melanggar hak-hak fundamental yang telah diberikan kepada partai politik. Partai

politik haruslah dilindungi sebagai sebuah penyatuan ekspresi dari hak individu-

individu untuk berserikat.20 Menurut Venice Commission, keseimbangan yang

tepat dari perundang-undangan yang mengatur partai politik sebagai aktor publik,

dan penghormatan kepada hak dasar dari partai politik sebagai warga negara,

termasuk haknya untuk berserikat memerlukan undang-undang yang disusun

18 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%2035-PUU-IX 2011%20TELAH%20BACA.pdf [2 Januari 2012]

19 Partai Serikat Rakyat Independen. Pernyataan Partai SRI terkait Hasil Verifikasi

Kemenkumham. http://srimulyani.net/2011 [4 Januari 2012]. 20 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Guidelines On

Political Party Regulation By Osce/Odihr And Venice Commission Adopted by the Venice Commission at its 84th Plenary Session (Venice, 15-16 October 2010). Hal 6

http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29024-e.asp [15 Juli 2012].

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dengan baik. Setiap undang-undang yang terkait dengan partai politik, tidaklah

boleh melanggar hak kebebasan untuk berserikat.21 Venice Commission

kemudian menyatakan bahwa partai politik di mana saja dijamin keberadaannya

oleh prinsip kebebasan berserikat.22

Party Activities Everywhere Are Guaranteed By The Principle Of Freedom Of Association

Sikap kontra dari masyarakat, instrumen hukum internasional dan

kecenderungan pembentukan partai kartel oleh partai yang berkuasa serta jaminan

hak-hak partai politik dalam UUD 1945 seperti yang telah diuraikan di atas, serta

keniscayaan multipartai bagi bangsa Indonesia yang majemuk akan dianalisa

dalam studi ini secara obyektif dengan mempergunakan teori-teori hukum guna

mendapatkan pemahaman bagaimana seharusnya memformulasikan kebijakan

penyederhanaan partai politik. Rambu-rambu yang akan digariskan dalam kajian

ini, diharapkan dapat menjadi masukan dalam menyusun kebijakan

penyederhanaan partai politik untuk mencapai sistem multipartai sederhana dan

juga untuk menciptakan stabilitas pemerintahan presidensiil.

Penelitian lain yang juga membahas tentang penyederhanaan partai politik

yang pernah dilakukan diantaranya adalah tesis Dadang Prayitna yang berjudul

Sistem Multipartai Sederhana : Kajian Terhadap Penerapan Electoral Threshold

dalam Proses Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia.23 namun tesis ini, hanya

menyoroti salah satu cara/perwujudan penyederhanaan partai politik yaitu

melalui kebijakan electoral threshold sebagai syarat partai politik untuk dapat

menjadi peserta pemilihan umum, sedangkan dalam penelitian ini akan mengkaji

cara-cara penyederhanaan partai politik secara menyeluruh mulai sejak pendirian

dan pembentukkan partai, syarat partai sebagai peserta pemilihan umum hingga

syarat partai politik untuk dapat menempatkan wakilnya di parlemen. Kajian ini

21 Ibid 22 Venice Commission. Guidelines on prohibition and dissolution of political parties and

analogous measures. Hal 2 http://www.osce.org/odihr/37820. [2 Juni 2012] 23 Dadang Prayitna. Sistem multi partai sederhana: Kajian terhadap penerapan electoral

threshold dalam proses penyederhanaan partai politik di Indonesia. Universitas Indonesia. Jakarta. 2006

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

juga akan membahas tentang prinsip-prinsip yang dapat dipedomani dalam

menyusun kebijakan penyederhanaan partai politik.

Penyederhanaan partai politik juga menjadi topik dalam skripsi Arif

Permana Putra yang berjudul Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Tahun

1960.24 Fokus penelitiannya adalah Penyederhanaan partai politik di Indonesia

tahun 1960 dan Pengaruh diberlakukannya penyederhanaan partai politik terhadap

stabilitas politik di Indonesia. beberapa kesimpulannya adalah penyederhanaan

pada masa itu merupakan upaya menciptakan stabilitas politik masa demokrasi

terpimpin dan dengan penyederhanaan partai politik, stabilitas terkesan semu,

karena partisipasi kekuatan politik tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Penelitian lain yang juga bersinggungan dengan kebijakan

penyederhanaan partai politik adalah disertasi Muchamad Ali Safa’at yang

berjudul Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum

dan Praktik Pembubaran Partai Politik (1959–2004),25 yang salah satu

kesimpulannya menyatakan bahwa Pengaturan partai politik di masa yang akan

datang bertujuan untuk menjamin dan melindungi kebebasan berserikat, sekaligus

melindungi kostitusi, kedaulatan negara, serta keamanan nasional. Pengaturan

partai politik sebaiknya dibuat dengan menggabungkan unsur-unsur dari

paradigma libertarian, political market, managerial, progressive, dan pluralist.

Pengaturan tersebut diharapkan dapat mewujudkan sistem kepartaian yang sesuai

dengan model demokrasi di Indonesia, yaitu sistem multipartai sederhana dengan

beberapa partai dominan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka pokok

permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia

pasca reformasi?

24 Arif Permana Putra. Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Tahun 1960. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.Surakarta. 2009

25 Muchamad Ali Safa’at. Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum

dan Praktik Pembubaran Partai Politik (1959 – 2004). Fakultas Hukum Program Pascasarjana Jakarta. 2009

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

2. Bagaimana akibat hukum pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik

pasca reformasi terhadap partai politik dan sistem kepartaian di Indonesia ?

3. Bagaimana konstitusionalitas penyusunan kebijakan penyederhanaan partai

politik di Indonesia?

1.3. Tujuan

1. Mengetahui pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia

pasca reformasi

2. Mengetahui akibat hukum pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik

pasca reformasi terhadap partai politik dan sistem kepartaian di Indonesia

3. Mengetahui konstitusionalitas penyusunan kebijakan penyederhanaan partai

politik di Indonesia

1.4. Kerangka Teori

Teori yang digunakan untuk menganalisis kebijakan penyederhanaan partai

politik adalah teori tentang kedaulatan rakyat, demokrasi, Teori Negara

Hukum dan teori tentang peradilan konstitusi.

1.4.1. Demokrasi dan Negara Hukum

Demokrasi awalnya ditemukan oleh Bangsa Yunani Kuno, sebagai yang

pertama menemukan ide tentang pembuatan keputusan kolektif dan

mengadopsinya ke dalam sistem pemerintahan. Fenomena demokrasi adalah

dimulai semenjak tahun 1970an, yang muncul sebagai gelombang pasang yang

nyata dari negara-negara yang masa lalunya bersifat otoriter atau totaliter dan

memandang masa depan yang penuh pengharapan26. Gelombang demokrasi

dimulai dari bagian Selatan Eropa (Yunani dan Spanyol), ke Amerika Latin

(Argentina, Chilie, Brazil, dan Uruguay), kemudian ke bagian Timur Eropa

(Polandia, Jerman Timur dan Hongaria) dan Afrika Selatan serta negara-negara

lainnya27.

26 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. 2008. hal 97

27 Ibid 97

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Dalam demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat dan rakyatlah yang

memerintah.28 Hal ini berbeda dengan bentuk pemerintahan lainnya seperti

pemerintahan otoriter maupun komunis, dimana kedaulatan dan kekuasaan berada

di satu orang atau disekelompok kecil orang. Masyarakat yang hidup di alam

demokrasi pada umumnya lebih memiliki kebebasan politik dibanding dengan

sistem pemerintahan lainnya.29 Demokrasi dimaknai juga sebagai pemerintahan

dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Seperti pendapat Abraham Lincoln yang

menyatakan bahwa :30

Government of the People, by the people and of the people shall not perish from the earth.

Syarat-syarat negara demokrasi yang dinyatakan oleh Robert Dahl sebagaimana

dikutip oleh Arend Lijpart adalah 31:

1. Kebebasan membentuk dan menjalankan organisasi

2. Kebebasan berekspresi

3. Hak memberikan suara

4. Eligibilitas menduduki jabatan publik

5. Adanya hak para pemimpin politik untuk bersaing secara sehat merebut

dukungan dan suara

6. Tersedianya sumber-sumber informasi alternatif

7. Adanya pemilihan umum yang bebas dan adil

8. Adanya institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada

suara-suara pemilih rakyat dan ekspresi pilihan politik lainnya.

Alex Wolf menyatakan bahwa kondisi ideal dari demokrasi adalah ketika

setiap orang mengambil bagian dalam setiap keputusan tentang hukum dan

kebijakan di suatu negara. Masyarakat mendatangi setiap pertemuan yang teratur

yang membahas setiap kebijakan dan melaksanakan voting sesuai dengan apa

28 Alex Woolf. Democracy. Evan Brothers Limited. London. 2007. Hal 4 29 Ibid. Hal 4 30 Sue Van Der Hok. Op.cit hal 10 31 Ibid

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

yang diinginkan. Hal ini dinamakan direct democracy. Namun, saat ini bentuk

demokrasi langsung tidaklah sering dipraktekan, terutama di negara-negara yang

memiliki jutaan penduduk yang besar dan tidak punya cukup waktu untuk

mengikuti setiap isu-isu politik. Negara demokrasi moderen kemudian

mengadopsi sistem yang dikenal sebagai demokrasi perwakilan (Representative

democracy).32

Dalam demokrasi perwakilan, rakyat memilih perwakilannya untuk

membuat keputusan sesuai dengan kepentingannya. Setiap beberapa tahun,

pemilihan umum diselenggarakan dan rakyat mendapatkan kesempatan untuk

memilih perwakilannya. Calon perwakilan (candidate) pada pemilihan ini

biasanya berasal dari Partai Politik.33

Adam Perzweroski dan Jose Maria Maraval mengemukakan bahwa

Demokrasi yang murni (Pure Democracy) adalah kondisi ideal dimana tidak ada

elemen-elemen yang bersifat oligarki. Kondisi utopis ini tidaklah pernah benar-

benar terwujud dalam kenyataannya. Yang ada adalah demokrasi yang parsial dan

dapat diputarbalikkan. 34

Dalam proses pengambilan keputusan dalam negara demokrasi

mengandung kelemahan yaitu terlalu mengandalkan prinsip suara mayoritas,

padahal mayoritas suara belum tentu mencerminkan kebenaran dan keadilan.

Untuk itu pengambilan keputusan haruslah diimbangi dengan prinsip keadilan,

nomokrasi atau the rule of law (prinsip negara hukum).35

Demokrasi, legitimasi dan Rule of Law adalah tiga komponen penting dari

konsep good governance, Namun demikian, variable-variabel ini tidaklah bisa

berjalan sendiri-sendiri. Pemilu yang bebas dan adil tidak selalu dapat melindungi

32 Alex Wolf. Op cit. hal 5 James Madison, presiden ke empat Amerika Serikat menyatakan bahwa demokrasi langsung (pure democracy) ada dimasyarakat dalam jumlah yang kecil yang berkumpul dan menjalankan pemerintahan dalam orang perorang. Sebagian besar demokrasi berbentuk demokrasi perwakilan (representative democracy), dimana rakyat memilih perwakilannya sesuai dengan kehendaknya (Sue Van Der Hok. Op cit. hal 11)

33 Alex Wolf. Op.cit. Democracy. hal 5 34 Adam Perzweroski dan Jose Mar ia Maraval. Democracy and The Rule of Law. The Press

Syndicate of The University of Cambridge. Cambridge. 2003. hal 37 35 Jimly Asshiddiqie. op.cit (2). hal 146

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

terhadap korupsi dari proses legislatif. Demokrasi mayoritas tidak selalu dapat

melindungi minoritas dari penindasan. Supremasi Yudisial memiliki potensi

untuk membentuk otokrasi elitis serta untuk melindungi kebebasan dasar. Ketiga

variable ini dapat bekerja maksimal membentuk pemerintahan yang ideal hanya

jika ketika ketiga dikerahkan secara bersamaan. Pemerintahan yang ideal tidak

hanya menuntut bahwa ketiga elemen digunakan secara bersamaan, tetapi dengan

proporsi yang seimbang.36

Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan

perkembangan masyarakat dan negara. Terdapat 12 prinsip-prinsip penting baru

untuk mewujudkan negara hukum sebagai pilar-pilar utama yang menyangga

berdirinya negara hukum yaitu :37

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

2. Persamaan dalam Hukum (Equality Before The Law)

3. Asas Legalitas (Due Process of Law)

4. Pembatasan Kekuasaan

5. Organ-Organ Penunjang yang Independen

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak

7. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court)

8. Perlindungan Hak Asasi Manusia

9. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat)

10. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare

Rechtstaat)

11. Transparansi dan Kontrol Sosial

Perkembangan prinsip negara hukum tersebut dipengaruhi oleh semakin

kuatnya penerimaan paham kedaulatan rakyat dan demokrasi dalam kehidupan

bernegara menggantikan model-model negara tradisional.38 Prinsip-prinsip negara

hukum dan prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dijalankan secara beriringan

36 Thomas M. Franck Democracy, Legitimacy, and the Rule of Law. Abstract. An International Symposium co-sponsored by the Library of Congress and the New York University School of Law March 7-10, 2000. http://www.loc.gov/bicentennial/abstracts_franck.html [3 Juli 2012]

37 Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. PT. Bhuana Ilmu Populer.

Jakarta. 2009. hal 397 38 Ibid hal 398

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum yang demikian dikenal

dengan negara hukum yang demokratis (democratische rechtstaat) atau dalam

bentuk konstisional disebut constitutional democracy. Hukum dibangun dan

ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat,

ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan

semata (machtstaat). Sebaliknya demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum.

Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah

munculnya mobokrasi yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri.39

Menurut Jamil Junejo Demokrasi memiliki arti yang lebih dari sekedar

lembaga perwakilan yang berfungsi efektif. Demokrasi berarti menjunjung tinggi

prinsip-prinsip dasar khususnya rule of law dan penghormatan terhadap hak asasi

manusia. Rule of law dan persamaan di depan hukum adalah platform dimana

bangunan demokrasi bertumpu. Menghormati hak asasi manusia sangat penting

bagi berdirinya bangunan demokrasi. Bahkan, terdapat hubungan simbiosis antara

hak asasi dan demokrasi yaitu : hak asasi manusia diperlukan untuk berfungsinya

demokrasi, dan demokrasi yang berfungsi sangat penting untuk menjamin

penikmatan penuh hak asasi manusia.40

1.4.2. Teori Kedaulatan Rakyat

Istilah kedaulatan lazimnya dipahami berasal dari terjemahan kata-kata

seperti sovereignity, soverainette, sovereigniteit, souvereyen, superanus, summa

potestas, maiestas (Majesty) yang diadopsi dari bahasa Jerman, Perancis dan

Belanda yang banyak dipengaruhi oleh Bahasa Latin. Semua perkataan ini

menunjukkan kepada pengertian kekuasaan tertinggi dalam atau dari suatu negara

yang dalam Bahasa Inggris disebut sovereignity (kedaulatan).41 Akan tetapi, akar

kata kedaulatan sendiri berasal dari Bahasa Arab dari akar kata ‘daulat atau

dulatan’ yang dalam makna klasik artinya pergantian atau peredaran. Pengertian

kedaulatan dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai

39 Ibid hal 389 40 Jamil Junejo. Human Rights, Rule of Law and Democracy Training Manual . Center for Peace

and Civil Society. 2010. hal 59 41 Jimly Asshiddiqie. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Gema Insani Press. Jakarta. 1995. Hal 9

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

kekuasaan tertinggi yang di dalamnya sekaligus mengandung dimensi waktu dan

proses peralihannya sebagai fenomena yang bersifa alamiah.42

Paulina Ochoa Espezo, mendefinisikan kedaulatan rakyat sebagai paham

yang memaknai bahwa keinginan rakyat merupakan kekuasaan tertinggi dalam

negara.43

Popular Sovereignity is the contention that the unified will of the people is the supreme authority in the state.

Jauh sebelumnya, masyarakat Yunani Kuno telah dikenal sebagai

masyarakat demokratis pertama, pemerintahannya disebut demokratia yang

berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti aturan.44

Namun sistem tersebut berubah ketika munculnya Peradaban Romawi

yang telah mewariskan hukum dan tertib hukum. Romawi menjelma menjadi

masyarakat militer yang serakah terhadap tanah dan menjadi agen utama dalam

penyebaran bahasa Latin, pemerintahan militer dan sistem hukumnya ke dunia

barat. Negara berbentuk patriarki dimana Raja sebagai Kepala Keluarga.45

Perlawanan rakyat terhadap kekuasaan raja yang mutlak kemudian memunculkan

Teori tentang kedaulatan rakyat.46

Pada tahun 1712-78 Filsuf Perancis Jean Jacques Rosseau

memformulasikan teori tentang kedaulatan rakyat yang merupakan respon secara

radikal terhadap konflik sosial yang terjadi, pembagian dan ketidaksetaraan yang

menjadi karakteristik dan merusak negara-negara Eropa pada pertengahan abad ke

42 Ibid. Hal 11 43 Paulina Ochoa Espezo. The Time of Popular Sovereignity : Process and Democratic State. The

Pennsylvania State University Press. United State Of America. 2011. hal 3 44 Sue Vander Hok. Democracy. ABDO. Publishing Company. Minnesota. 2011. hal 8 45 Hal yang sama terjadi di Rusia sampai tergulingnya Chzar pada tahun 1918, kerajaan

menguasai negara secara mutlak. Kaisar Agustus pada awal abad 31 SM mencanangkan bentuk baru dari pajak, sistem pengadilan yang terpusat dan juga pemerintahan otonomi lokal. Raja menghukum berat para gubernur karena korupsi dan pemerasan serta menghukum sistem pertanian kuno dengan pajak kolektif dan sistem ini diadopsi oleh Raja Perancis dan Czars dan membuat mereka semakin sewenang-wenang.45 Para filsuf kemudian mencari pemahaman untuk mencari pembenaran mengenai kekuasaan raja dan hak-hak manusia. (Ibid. hal 9)

46 Jimly Asshiddiqie. Op.cit (2), hal 145

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

18.47 Teorinya dianggap sebagai pengganti dan penyempurna dari teori-teori

sebelumnya yang dikemukakan oleh Hobes dan Locke yang merupakan pemikir

paham kebebasan dengan melindungi hak-hak individu. John Lock

mengemukakan bahwa manusia terlahir secara bebas, sederajat dan merdeka dan

tidak ada kekuatan politik yang dapat menghilangkan hak-hak kebebasannya

tanpa adanya persetujuan dari individu48.

Men being, as he said, by nature all free, equal and independent, no one can be put out of this estate and subjected the political power of another without his own consent.

Seperti halnya Hobes dan Locke, Rosseau berusaha untuk mencari solusi terhadap

permasalahan teori politik barat tentang ketegangan antara Kebebasan Individual

(individual freedom) dengan kebutuhan akan ketertiban sosial dan kewenangan

kolektif.49 Locke mengajarkan bahwa kekuasaan bersifat terbatas dan bergantung

pada kehendak rakyat, manusia memiliki hak-hak yang dibawa sejak lahir ada

pada saat manusia ada, yaitu hak untuk hidup, kebebasan dan kemakmuran, dan

negara berfungsi untuk melindunginya. Rosseau menyempurnakan teori Locke

dengan menyatakan bahwa manusia membentuk kontrak sosial yang diselesaikan

secara individual dan kolektif, yaitu dengan cara keinginan individu bergabung

menjadi kehendak bersama yang terbaik untuk semua.50 Harold E Rogers

menyatakan bahwa pemikiran Rosseau adalah dasar pemikiran yang

menginspirasi demokrasi modern yaitu hak-hak yang sama dalam kebebasan dan

revolusi Perancis adalah puncak dari runtuhnya kekuasaan yang absolut.51

47 Tudor Jones. Modern Political Thinkers and Ideas : An Historical Introduction. Routledge. New York. 2002. hal 25

48 John Lock The Second Treatise of Government, dalam Satya Arinanto. Politik Hukum I.

Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. 2001. hal 3. 49 Ibid hal 25 50 R.S Chaurasia. History of Western Political Thought. Atlantic Publisher and Distributors. New

Delhi. 2001. hal 326 51 Hobes, Locke dan Rosseau merupakan para filsuf tentang Kontrak Sosial (Social Contract),

tetapi hobes lebih unggul tentang konsep pemerintahan yang absolute, locke mendukung pemerintahan liberal yang mempengaruhi revolusi di Amerika dan Italia dan membela revolusi Inggris tahun 1688, locke unggul dalam konsep kedaulatan rakyat (popular sovereignity) yang membawa ke revolusi Perancis dan pemikiran atas Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776. Rosseau unggul dalam konsep kebebasan dan demokrasi dan idenya mempengaruhi refolusi

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Pemikiran tentang hak-hak dasar manusia dan kebebasan diadopsi dan

diterima secara global dengan ditetapkannya dalam The Universal Declaration of

Human Rights, oleh United Nation pada 10 Desember 1948 yang merupakan hasil

dari pengalaman Perang Dunia Ke II. Masyarakat internasional berjanji tidak

pernah lagi untuk membiarkan kekejaman dan konflik dan menjamin hak-hak

setiap individu di manapun berada. 52

Artikle 1 The Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa:

All human beings are born free and equal in dignity and rights.They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.

Hak-hak individu dan kebebasan semakin penting dimaknai oleh masyarakat

dunia sebagai hak-hak berpolitik dengan ditetapkannya International Covenant on

Civil and Political Rights (ICCPR) Pasca perang dunia ke –II. 53

Di Indonesia, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa dari segi internal atau

kedaulatan internal, dapat dikatakan bahwa UUD 1945 menganut paham

kedaulatan yang unik. UUD 1945 menggabungkan konsep kedaulatan rakyat,

kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan secara sekaligus.54 Pasal 1 ayat (2)

UUD 1945 menyatakan bahwa :

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”

Ketentuan ini mencerminkan bahwa UUD 1945 menganut kedaulatan rakyat atau

demokrasi yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar atau

“constitutional democracy”. Sedangkan pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa :

“Negara Indonesia adalah negara hukum”

Perancis, dengan ide-ide Rosseau yang brilian, telah membawa Perancis mengalami revolusi pada tahun 1789. Harold E Rogers op cit. hal 10

52 The United Nations. The Universal Declaration of Human Rights.

http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml [ 23 Juli 2012] 53 Office of The United Nations High Commisioner for Human Rights. International Covenant

on Civil and Political Rights. http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm [23 Juli 2012] 54 Jimly Asshiddiqie. Op.cit (2) hal 149

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Inilah yang dimaksud dengan paham kedaulatan hukum yang pada pokoknya

menganut prinsip supremasi hukum. Hukumlah yang menjadi panglima tertinggi,

bukan politik ataupun ekonomi. Artinya baik konsep kedaulatan rakyat maupun

kedaulatan hukum sama-sama dianut oleh UUD 1945. Lebih lanjut Jimly

Asshiddiqie menjelaskan bahwa kedaulatan Tuhan juga dianut dalam UUD 1945

yang dapat dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945, bahwa perjuangan

kemerdekaan Indonesia dapat berhasil atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa

dan Kemerdekaan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa dan dalam Pasal 9 ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 29 ayat

(1) dan (2) serta pada Pasal 28J UUD 1945.55

1.4.3. Sistem Kepartaian

Daniel Caramani mengartikan Sistem Partai sebagai sekumpulan partai

yang bersaing dan bekerja sama dengan tujuan meningkatkan kekuasaannya

dalam mengontrol pemerintahan.56

Party systems are sets of parties that compete and cooperate with the aim of increasing their power in controlling government

Sistem partai menurut William N Chamber adalah pola interaksi antara dua atau

lebih partai politik yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dalam

pemerintahan dan untuk mendapat dukungan dari para pemilih, sehingga

prilakunya perlu diperhitungkan dalam pemerintahan dan pemilihan umum.57

Tipologi sistem partai yang mudah dipahami dan pertama kali

dikemukakan oleh Duverger (1951). Sistem partai terdiri dari sistem partai

tunggal, sistem dua partai dan sistem multi partai. Pembagian ini cukup banyak

mendapat kritik dari para ahli lainnya karena dinilai terlalu sederhana. Beberapa

faktor yang tidak dapat dijelaskan oleh Duverger antara lain adalah bagaimana

internal partai mempengaruhi kompetisi dan kerjasama, ideologi partai dan

55 Ibid 56 Daniele Caramani, Comperative Politic. Oxford University Press. New York. 2008. hal 319 57 William N Chamber dalam Louis Sandy Maisel, Mark D Brewer.Parties and Election in

America : The Electoral Process. Rowman and Littlefield Publishing Group. Maryland. 2010. hal 15

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

kekuatannya.58 klasifikasi sistem partai kemudian berkembang antara tahun 1960-

an sampai dengan 1970an, para ahli mengembangkannya dengan alat analisis

yang brilian.59 klasifikasi sistem partai dikembangkan oleh Blondel (1968) yang

menambahkan sistem dua setengah partai (two and half party system). Sartori

(1966 : 1976) berkontribusi tidak hanya dalam aturan perhitungan, tetapi juga

kunci perbedaan antara plularisme moderat (moderate pluralism) dan pluralisme

terpolarisasi (polarized pluralism) yang merupakan klasifikasi dari Sartori

sebagaimana juga istilah lainnya yaitu multipartai moderat dan multipartai

ekstrim.60 para peneliti partai politik berkonsentrasi pada kesinambungan dan

perubahan dari sistem partai politik, menjauh dari Taksonomi yang direflesikan

tidak hanya pada efektivitas klasifikasi baru, tetapi juga pengembangan penelitan

tentang pengukuran yang mendalam seperti Rae’s (1967) Fraksionalisasi (Fe),

Laakso and Taagepera’s (1979) Effective Number of Political Parties (N or ENEP

and ENPP) dan Molinar (1991) NP.61

Caramani mengemukakan bahwa tiga elemen penting yang membentuk sistem

partai adalah 1). partai apa yang termasuk, 2). berapa banyak partai dan berapa

besarnya serta 3). bagaimana prilaku masing-masing partai tersebut.62

Sistem kepartaian pertama dikemukakan oleh Maurice Duverger yang

digolongkan menjadi tiga, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwipartai dan sistem

banyak partai.63 Dalam negara yang menerapkan bentuk partai tunggal totaliter

terdapat satu partai yang tak hanya memegang kendali atas militer dan

pemerintahan, tetapi juga menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Partai

tunggal totaliter biasanya merupakan partai doktriner dan diterapkan di negara-

58 Luis F. Clemente. Party Systems Stability in Latin America : A Comparative Study. State of University of Newyork. 2009. hal 20

59 steven b wolinetz. Classifying Party Systems: Where Have All the Typologies Gone?. Prepared

for the Annual Meeting of the Canadian Political Science Association. Memorial University of NewfoundlandMonitoba. 2004.hal 1

60 ibid 61 ibid 62 Daniele Caramani, Comperative Politic. Oxford University Press. New York. 2008. hal 319 63 Ibid hal 124

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

negara komunis. Bentuk partai tunggal otoriter bisasnya diterapkan negara-negara

berkembang yang menghadapi masalah integrasi nasional dan keterbelakangan

ekonomi.64

Sistem dua partai bersaing merupakan suatu sistem kepartaian yang di

dalamnya terdapat dua partai bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan

kewenangan memerintah melalui pemilihan umum. Dalam sistem ini terdapat

pembagian tugas di antara kedua partai, yaitu partai yang memenangkan

pemilihan umum menjadi partai yang memerintah, sedangkan partai yang kalah

dalam pemilihan umum berperan sebagai kekuatan oposisi yang loyal. Sebagai

partai yang kalah dalam pemilihan umum, partai ini melakukan kontrol atas partai

yang menang dalam pemilihan umum tetapi partai yang kalah tetap loyal terhadap

sistem politik. Walaupun berupaya keras untuk mengalahkan partai yang berkuasa

tetapi tidak berupaya mengganti sistem politik yang berlaku. Sistem kepartaian ini

biasanya dapat berkembang dengan baik apabila terpenuhi tiga kondisi berikut,

yakni struktur masyarakat relatif homogeny, konsensus nilai (konsensus tentang

prinsip-prinsip dasar menyelenggarakan negara dan tujuan negara yang

fundamental) dan mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang telah

melembaga.65

Sistem multipartai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua

partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang

majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan

dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya

dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri. 66

Klasifikasi sistem partai yang kemudian paling mempengaruhi pemikiran

tentang sistem partai dikemukakan oleh Giovanni Sartori (1976). Sartori

mengemukakan dua elemen penting dari sistem partai yaitu : jumlah partai politik

dan derajat polarisasi dari ideologi. Tipologi sistem partai menurut Sartori terbagi

menjadi empat tipe : sistem dua partai, Pluralisme Moderat (multipartai dengan

64 Ibid hal 125 65 Ibid hal 126 66 Ibid hal 128

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

derajat polarisasi ideologi yang rendah), Pluralisme terpolarisasi (multipartai

dengan derajat polarisasi ideologi yang tinggi), dan pre-dominan (yaitu dimana

partai yang sama secara konsisten memenangi mayoritas kursi).67

Coppedge mengklasifikasikan Sistem partai berdasarkan jumlah partai politik

yang efektif di parlemen (effective numbers of party voters (ENPV)). Yaitu :

sistem dua partai dengan nilai ENPV antara 2 s/d 3, sistem multipartai moderat

(sederhana) dengan nilai ENPV antara 3 s/d 5 dan sistem multipartai ekstrim

dimana nilai ENPV lebih dari 5.68

Pengukuran nilai ENPV atau ENPP dengan menggunakan rumus yang

dikembakan oleh Laakso-Taagepera yaitu :69

Nv = 1/∑n

Nv = Effective Number of Parties Voters (ENPV)

Vi = Perolehan suara setiap parpol peserta pemilu dalam persen

Rumus Laakso dan Taagepera kemudian dimodifikasi menjadi Jumlah Effektif

Parpol di Parlemen dari ENP (The Effective Number of Parties) dirubah menjadi

ENPP (The Effective Number of Parliamentary Parties). Perolehan Suara (vi)

diganti dengan perolehan kursi (Seat Si) dalam persen.70

ENPP = 1/ (∑si)2 = 1 (s1+s2+s3+s4+….Sn)

i = 1

67 Scott P Mainwarring. Rethinking Party Systems in The Third Wave of Democratization : The Case of Brazil. Stanford University Press. Stanford. California. 1999. hal 23

68 Michael Coppedge. The Dynamic Diversity of Latin American Party Systems. Party Politic Vol.

4 No. 4. Pp 547-568. SAGE Publication. London. 1998. http://cm.olemiss.edu hal 562 [28 Februari 2012]

69 Ibid hal 30 70 Ibid hal 30

i

n

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Pipit Kartawidjaja dari Landesagentur fuer Struktur und Arbeit (LASA)

Brandenburg GmbH Germany menyatakan bahwa suatu partai politik dapat

dimasukkan ke dalam perhitungan sistem kepartaian jika parpol itu masuk ke

parlemen dan punya potensi untuk berkuasa, berkoalisi atau oposisi, sehingga

dapat mempengaruhi kehidupan kepartaian. Untuk memastikan jumlah parpol

tidak ditentukan berdasarkan hitungan jari, tetapi dengan hitungan matematis

Effective Number of Parliamentary Parties (ENPP). Sehingga dari jumlah hasil

ENPP dapat diketahui Sistem Multikepartaian Dwi-Partai, Moderat/Sederhana,

atau Ekstrim/Ultra. Semakin tinggi ENPP atau makin tidak sederhana sistem

multikepartaian makin luas fragmentasi sistem multikepartaiannya.71

1.4.4. Peradilan Konstitusi

Kajian ini perlu membahas tentang teori Peradilan Konstitusi, dikarenakan

terdapat pembahasan tentang judicial review Undang-Undang Partai Politik dan

Undang-Undang tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945

yang merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. Keberadaan lembaga

Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraaan.

Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga

Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara

yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri72. Gagasan tentang pengujian

undang-undang yang pertama kali dimunculkan oleh Hans Kelsen73, seorang

berkebangsaan Austria. Pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu

lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi

(MK / Constitusional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Ide

ini lebih dikenal dengan The Kelsenian Model. Ide Hans Kelsen mengenai

pengujian Undang-undang tersebut sejalan dengan gagasan yang pernah

71 Pipit Kartawidjaja. Multikerpartaian Sederhana untuk Pemerintahan yang Kuat. Prasetya Online. 2012. http://prasetya.ub.ac.id/berita/Dr-Pipit-Kartawidjaja-Multikepartaian-Sederhana-untuk-Pemerintahan-yang-Kuat-8330-id.html [diunduh 16 November 2012]

72 Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Kompilasi Ketentuan UUD, UU, dan peraturan di 78

Negara, ( Jakarta : Pusat studi hukum Tata Negara FHUI dan asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 200, hal. 201.

73 Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, cet. III,

(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 115.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dikemukakan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPK74. Ia mengusulkan,

seharusnya Balai Agung (Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk

membanding Undang-undang. Namun usulan Muhammad Yamin itu disanggah

oleh Soepomo. Ide pengujian Konstitusionalitas undang-undang yang diusulkan

oleh Yamin tersebut tidak diadopsi dalam undang-undang 1945 sebelum

mengalami perubahan pada 1999-2002.

Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi,

pendapat mengenai pentingnya suatu MK muncul kembali. Perubahan UUD 1945

yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi

berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, dan supremasi telah beralih dari

supremasi MPR kepada Supremasi Konstitusi.75 Karena perubahan yang

mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan

konstutusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan

sengketa antar lembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling

mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan

itu muncul desakan agar adanya pengujian UU terhadap UUD. Kewenangan

melakukan pengujian UU terhadap UUD diberikan kepada sebuah Mahkamah

tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, adanya MK

yang berdiri sendiri disamping MA menjadi sebuah keniscayaan.

Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan

demokratis, akhirnya ide MK menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24

ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian perubahan ketiga UUD

1945 pada ST MPR 2001 tanggal 9 November 2001. Dengan disahkannya dua

pasal tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk MK dan

menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan

kehakiman tersebut. Dalam pasal 24 ayat (2) hasil perubahan ketiga UUD 1945,

dinyatakan:

74 Koentjoro, “Muhammad Yamin Sang Pengusung Ide Judicial Review,” Konstitusi (Juni 2010) :

47. 75 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, cet. I, (Jakarta : PT Bhuana Ilmu

Populer, 2009), hal. 337.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.”

1.5. Kerangka Konsep

1.5.1. Partai Politik

Secara etimologi, kata partai berasal dari bahasa latin, dari kata “partire”

yang berarti membagi. Kata partai baru dikenal di dalam istilah politik pada abad

ke 17.76 Menurut Edmund Burke Partai adalah sekelompok orang yang bersatu

untuk berjuang secara bersama dalam upaya mewujudkan kepentingan nasional,

dan beberapa prinsip tertentu yang mereka sepakati.77

Party is body of men united, for promoting by their joint endeavours the national interest, upon some particular principle in which they are all agreed. Menurut Miriam Budiardjo, partai politik adalah suatu kelompok

terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-

cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik

dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk

melaksanakan programnya.78 Partai politik itu pada pokoknya memiliki

kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting dalam setiap

sistem demokrasi. Partai politik biasa disebut pilar demokrasi, karena memainkan

peranan yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state)

dengan warga negaranya (the citizens).79 Bahkan menurut Schattscheider (1942),

“political parties created democracy” partai politiklah yang menciptakan

demokrasi, bukan sebaliknya.80

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik,

Pengertian Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk

76 Giovanni Sartori. Parties and Party Systems. A frame Work for Analysis. Ecpr Press. Colchester. 2005. hal 4

77 Edmund Burke. Thoughts on The Cause of The Present of Discontents. The Gordon Lester Ford

Collection London 1770. hal 110 78 Miriam Budiardjo. op.cit.hal 404 79 Jimly Asshiddiqie. op.cit (2). hal 710 80 Ibid hal 710

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan

kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik

anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.81

King sebagaimana dikemukakan oleh Alan Ware berpendapat bahwa

Partai politik terdiri dari tiga elemen yang terpisah yaitu : 82 partai dalam

pemilihan umum, partai sebagai organisasi dan partai dalam pemerintahan.

1.5.2. Sistem Multipartai Sederhana

Istilah Sistem Multipartai Sederhana dapat ditemukan dalam Penjelasan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yaitu :

Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional.

Konsepsi mengenai Sistem multipartai sederhana juga terdapat pada

penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parta Politik, yaitu :

Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat.

Konsepsi sistem multipartai sederhana juga terdapat pada penjelasan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum yaitu :

Perubahan-perubahan ini dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana

81 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. LNRI Tahun 2011 Nomor 8 TLN Nomor 5189

82 Anthony King dalam Alan Ware Political Party and Party Systems. Oxford University Press.

1996. hal 6

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Namun demikian, dalam ke tiga Undang-Undang tersebut, tidaklah

dijabarkan pengertian dari sistem multipartai sederhana yang hendak dituju.

Beberapa tokoh politik menjabarkan maksud dari sistem multipartai sederhana di

berbagai media masa yaitu :

Akbar Tanjung, sebagai Ketua Pembina Partai Golkar menyatakan bahwa : 83

tidak ada cara lain mengefektifkan pemerintahan dalam sistem presidensial saat ini kecuali meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 5 persen. Dengan demikian, jumlah partai menjadi sederhana, yakni sekitar 5 atau 6 partai saja yang lolos ke parlemen. ”Tetap multi-partai, tapi multi-partai sederhana. Agar bisa kompatible dengan sistem presidensial yang kita jalankan,

Arif Wibowo, Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Komisi II DPR RI menyatakan

bahwa :84

Jumlah kekuatan di parlemen yang mengarah pada mayoritas parlemen berbasis multipartai sederhana cukup diisi tiga atau maksimal lima fraksi yang menunjuk fragmentasi politik besar dan ideologik.

Ramlan Surbakti dalam Rapat Pansus RUU tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 pada point sistem multipartai sederhana

menilai bahwa jumlah partai peserta pemilu 2009 masih terlalu banyak sehingga

tidak menggambarkan kekuatan kolektif.85

Pada dasarnya, sistem multipartai sederhana terkait dengan penyederhanaan

jumlah partai politik. dalam dalil pemerintah pengujian Undang-Undang terkait

83 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Sederhanakan Partai Untuk Efektifkan Pemerintahan. KPU dalam Berita. http://mediacenter.kpu.go.id/kpu-dalam-berita/1116-sederhanakan-partai-untuk-efektifkan-pemerintahan.html [diunduh 16 November 2012]

84 Koran Jakarta. RUU Pemilu. Jumlah Fraksi di Parlemen Jangan Terlalu Banyak. Indonesia

Cukup Tiga Partai. http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/76053 [diunduh 16 November 2012]

85 Ramlan Surbakti. Laporan Singkat RDPU Pansus Pemilu.

https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:J0HbPA4pnzwJ:dpr.go.id/complorgans/adhoc/52_lapsing_Lapsing_RDPU_Pansus_Pemilu_dengan_Ramlan_Surbakti_%26_Chusnul_Mar%27iyah.pdf+&hl=en&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESih_SYPsjWKhlYekR6fq5coVGNqNqs7jUl7GYkuQypJt5fUpWldR57qUchAvOvrDt6dYO_VNURHBSV1Oqp95-KxExnKrcGrDCgoNgaUGb0gGgO5JhGpQslLmfwUJQwduD_y8_-e&sig=AHIEtbQcf5nqiMeDhycyscHp-uUUL-CNCA [diunduh 16 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

partai politik, menyatakan bahwa ketentuan tentang pembatasan partai politik

bertujuan untuk membentuk sistem multipartai sederhana.86

Definisi sistem multipartai sederhana (moderate multiparty system) dikemukakan

oleh para ahli diantaranya adalah :

Sartori mengistilahkan sistem multipartai sederhana (moderate multiparty

system) sebagai Pluralism moderat (moderate pluralism) dicirikan dengan sistem

bipolar dan kompetisi sentripetal. Partai di kedua sisi berkompetisi untuk

memenangkan suara di tengah dengan 3 sampai 5 partai yang relevan. 87 Sistem

multipartai sederhana (moderate multipartism) diartikan sebagaimana

disampaikan oleh Coppedge yaitu sistem partai dengan jumlah partai politik

efektif di dalam parlemen sebanyak 3 sampai dengan 5 partai.88

Caramani mendefinisikan Moderate Multiparty System adalah Jumlah

partai politik terbatas, dibawah 5 partai.89 Pada penelitian ini konsep sistem

multipartai sederhana diartikan sebagai sistem partai dengan jumlah partai politik

efektif di parlemen sebanyak 3 sampai 5 partai.

1.5.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik

Secara umum istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjukkan

prilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok atau suatu

lembaga pemerintah) atau suatu aktor dalam bidang kegiatan tertentu.90

Mustopadjaja mengemukakan bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam

kaitannya dengan kegiatan pemerintah, serta prilaku negara pada umumnya dan

kebijakan itu dituangkan dalam bentuk peraturan.91 Definisi kerja dari kebijakan

adalah keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi

86 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan 16/PUU-2007/hal 57 87 Steven B. Wolinetz. op.cit hal 6 88 Ibid 89 Daniele caramani. hal 330 90 Budi Winarno. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressindo. Yogyakarta. 2007 hal 16 91 Hanif Nurcholis. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo. 2005. hal

263

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

permasalahan tertentu sebagai keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu,

berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman berprilaku dalam (1)

pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran

atau unit organisasi pelaksanaan kebijakan (2) penerapan atau pelaksanaan dari

suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan unit

organisasi pelaksana atau kelompok sasaran dimaksud.92

Jimly asshiddiqie menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintahan

dapat dijadikan pegangan dan mengikat untuk umum sepanjang dituangkan dalam

bentuk peraturan perundang-undangan tertentu.93 Semua bentuk peraturan

perundang-undangan dan termasuk policy rules (aturan kebijakan) berisi norma

hukum yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general norms) sebagai

keseluruhan legal policy (kebijakan hukum) yang mengandung kebijakan-

kebijakan kenegaraan, pemerintahan dan pembangunan. Legal policy yang

tertinggi dimuat dalam Undang-Undang Dasar. Semua peraturan perundang-

undangan adalah bentuk formal dari legal policy yang tidak boleh bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar. Bahkan pada prinsipnya, semua produk peraturan

perundang-undangan itu berisi kebijakan hukum yang tidak boleh bertentangan

dengan kebijakan hukum yang lebih tinggi sebagaimana tercermin dalam

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.94

Yang dimaksud kebijakan penyederhanaan partai politik dalam penelitian

ini adalah kebijakan hukum di bidang kepartaian untuk menyederhanakan jumlah

partai politik yang dilakukan melalui pembatasan-pembatasan antara lain dengan

penentuan persyaratan pendirian dan pembentukan partai politik, persyaratan

partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu dan persyaratan ambang batas

untuk dapat menempatkan wakil partai di Dewan Perwakilan Rakyat untuk

mencapai sistem multipartai sederhana yang dituangkan dalam bentuk Undang-

Undang tentang Partai Politik dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.

92 Ibid hal 264 93 Jimly Asshiddiqie. Konstitusi Ekonomi. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2010. hal 19 94 Ibid hal 21

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

1.5.4. Kurun Waktu Pasca Reformasi

Era reformasi merujuk pada masa pasca berhentinya Jenderal (Purn.)

Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) Pada tanggal 21 Mei 1998.

Era ini kemudian ditandai dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan

yang dipimpin oleh Presiden BJ. Habibie. Sekitar 13 Bulan kemudian

diselenggarakan pemilihan umum pada tahun 1999.95 Masa pasca reformasi juga

ditandai dengan perubahan UUD 1945 pada tahun 1999 sampai dengan tahun

2002.96 Dalam penelitian ini, kurun waktu reformasi dalam pengaturan kebijakan

penyederhanaan partai politik adalah sejak tahun 1999 hingga tahun 2012, yaitu

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang partai politik dan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum hingga

berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian terhadap kebijakan penyederhanaan partai

politik untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana dengan tujuan utama

untuk mengetahui esensi dari penyederhanaan partai, akibat hukum dalam

pelaksanaannya terhadap partai politik dan pembentukan sistem kepartaian serta

batasan-batasannya sehingga tetap sesuai dengan amanat UUD 1945. Penelitian

ini dilakukan dengan mempergunakan metode penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum dengan mempergunakan metode normatif dilakukan dengan

membandingkan perundang-undangan yang berlaku dengan permasalahan yang

terkait, kemudian dengan asas-asas hukum atau doktrin yang ada, serta

memperhatikan praktek yang terjadi sebagai sebuah kajian terhadap sejarah

hukum. Penelitian ini bersifat eksplanatoris yang bertujuan menggambarkan

secara lebih jelas dan tepat permasalahan penyederhanaan partai politik dengan

beberapa variable seperti keadaan, gejala dan diagnosis yang terjadi dalam

masyarakat itu sendiri.

Metode penelitian hukum normatif lebih mengutamakan dengan

mempergunakan studi kepustakaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

95 Satya Arinanto. op.cit. hal 57 96 Jimly Asshiddiqie. Op.cit (2). hal 3

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

materi yang dibahas seperti melalui buku, majalah, artikel ilmiah atau jurnal

ilmiah. Studi kepustakaan yang dilakukan dengan menggunakan literatur yang

berasal dari kalangan akademis atau universitas seperti perpustakaan kampus juga

menggunakan literatur yang berasal dari kalangan instansi terkait dengan masalah

yang dibahas. Data diperoleh adalah data yang didapat melalui catatan-catatan

terdokumentasi seperti, buku, jurnal ilmiah, majalah dan disebut sebagai data

sekunder.97

Dalam penelitian ini dapat juga menggunakan alat pengumpulan data lain

sebagai pembanding, yakni wawancara. Dengan mempergunakan data atau

sumber hukum yang diperoleh, selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis

data secara keseluruhan. Pengolahan data adalah kegiatan merapihkan data hasil

pengumpulan data untuk kemudian dianalisis. Dalam kegiatan pengolahan

dilakukan beberapa hal diantaranya meliputi kegiatan-kegiatan editing, koding

dan tabulasi.98

Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang kebijakan

penyederhanaan partai politik pasca reformasi, maka akan dilakukan penelaahan

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini diantaranya

adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum

6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah

97 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. 2007. hal 12 98 Ibid. hal 72

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah

8. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, tentang Pemilihan Umum Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Untuk mengetahui bagaimana esensi dan implikasi hukum kebijakan

penyederhanaan partai politik terhadap partai politik dan pembentukan sistem

kepartaian, maka akan di inventarisir kondisi/gejala partai-partai dan sistem

partai pasca berlakunya undang-undang tersebut dan juga akan dikaji secara

mendalam dasar pemikiran dalam perumusan kebijakan tersebut. Untuk

mengetahui bagaimana kedudukan kebijakan-kebijakan penyederhaan partai

politik dalam perspektif konstitusi, maka dalam penelitian ini akan dianalisa

putusan-putusan judicial review undang-undang yang terkait dengan

penyederhanaan partai politik. Dalam penelitian putusan Mahkamah Konstitusi

dimaksud adalah Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Undang-

Undang yang mengatur tentang Penyederhanaan Partai Politik. Analisa putusan

dimaksudkan untuk mengetahui pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap

konstitusionalitas dari kebijakan penyederhanaan partai politik. Putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut diantaranya adalah :

1. Putusan Nomor 020/PUU-I/2003

2. Putusan Nomor 16/PUU-V/2007

3. Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008

4. Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009

5. Putusan Nomor 15/PUU-IX/2011

6. Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011

7. Putusan Nomor 52/PUU-/2012

Selain itu, untuk lebih memahami konsep dan subjek penelitian, dilakukan

pula perbandingan pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik dan akibat

hukumnya terhadap partai politik dan pembentukan sistem kepartaian di beberapa

negara lain serta membandingkannya dengan teori-teori hukum yang ada yaitu

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

teori tentang kedaulatan rakyat, demokrasi, konsepsi negara hukum serta teori

peradial konstitusi.

Bentuk hasil penelitian yang sesuai dengan penulisan ilmiah ini adalah

deskriptif analitis berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan

untuk menjelaskan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.99 Selain

peraturan perundang-undangan dan putusan yang merupakan bahan hukum primer

tersebut, dalam penelitian ini juga digunakan bahan hukum sekunder berupa

buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang Hukum Tata Negara, Konstitusi,

Partai politik, Mahkamah Konstitusi dan buku-buku lainnya yang berkaitan

dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini, merupakan data yang telah dijelaskan

dengan berdasarkan teori yang bersifat umum untuk mencapai kesimpulan dan

dapat menentukan saran.

1.7. Sistematika Pelaporan

Penulisan penelitian ini akan diuraikan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini terdiri dari sub bab Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah,

Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konsep, dan Metode Penelitian.

Bab II Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Dan Sistem Multipartai

Sederhana di Berbagai Negara

Bab ini terdiri dari Sub Bab Partai Politik (Sejarah Perkembangan Partai Politik

dan Fungsi Partai Politik), Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai

Negara (Pengaturan Partai Politik dalam Peraturan Perundang-Undangan, Praktek

Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara,

Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Rusia, Kebijakan Penyederhanaan

Partai Politik di Republik Ceko, Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di

Jerman, Pedoman dan Prinsip Dasar Pengaturan Partai Politik), Konsep Sistem

Multipartai Sederhana, Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai

99 Bambang Sugono. Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1997. hal 37-38

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Negara (Sistem Multipartai Sederhana di Rusia, Sistem Multipartai Sederhana di

Republik Ceko, Sistem Multipartai Sederhana di Jerman).

Bab III Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Dan Sistem

Kepartaian Di Indonesia Pasca Reformasi

Bab ini terdiri dari Sub Bab Sejarah Perkembangan Partai Politik dan Kebijakan

Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia, Kebijakan Penyederhanaan Partai

dalam Peraturan Mengenai Partai Politik Pasca Reformasi (Persyaratan Kualitatif

dan Kuantitafif Pendirian dan Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum :

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002,

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011),

Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Pemilihan Umum

Pasca Reformasi (Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Partai Politik sebagai

Peserta Pemilu : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2012; Persyaratan Electoral Threshold dan Parliamentary Thershold

bagi Partai Politik sebagai Peserta Pemilu : Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1999, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012), Sistem Kepartaian di Indonesia

Pasca Reformasi

Bab IV Analisis Dan Penyusunan Prinsip-Prinsip Kebijakan

Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia

Bab ini terdiri dari Sub Bab Tujuan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai

Politik Pasca Reformasi, Perwujudan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik

(Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik sebagai Badan Hukum,

Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu dan Electoral Threshold,

Persyaratan Partai Politik untuk Menempatkan Wakilnya di DPR (Parliamentary

Threshold), Tahapan Kebijakan Penyederhanaan, Akibat Hukum Kebijakan

Penyederhanaan Partai Politik terhadap Partai Politik (Partai Politik Tidak Diakui

sebagai Badan Hukum, Partai Politik tidak dapat Menjadi Peserta Pemilihan

Umum, Partai Politik tidak dapat Menempatkan Wakilnya di DPR, Penggabungan

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Partai Politik), Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap

pembentukan sistem Multipartai Sederhana.

Bab V Judicial Review Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur

Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik

Bab ini terdiri dari Sub Bab Judicial Review Ketentuan tentang Syarat Minimal

Kepengurusan bagi Pendaftaran Partai Politik, Judicial Review Ketentuan

tentang Electoral Threshold, Judicial Review Ketentuan tentang Persyaratan bagi

Partai Politik untuk Mengikuti Pemilu Tahun 2009, Judicial Review Ketentuang

tentang Parliamentary Threshold, Judicial Review Ketentuan Tentang Kewajiban

Partai Politik agar tetap Diakui Sebagai Badan Hukum, Judicial Review tentang

Ketentuan Persyaratan Pendirian Partai Politik, Judicial Review Ketentuan

mengenai Syarat Partai Politik sebagai Peserta Pemilu, Konstitusionalitas

Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik.

Bab VI Penutup

Bab ini terdiri dari Sub Bab Simpulan dan Saran

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

BAB II

KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN

SISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA

2.1. Partai Politik

2.1.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik

Partai politik sebagai lembaga politik, bukan sesuatu yang dengan

sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga

belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru

dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi

negara dan baru ada di negara moderen.100

Susan Scarrow menuliskan bahwa kemunculan partai politik sebagi salah

satu penemuan pada abad ke-19. Pada saat gelombang pertama negara-negara di

Eropa dan Amerika Utara perlahan-lahan mengalami proses demokratisasi

terutama dengan mentransfer kekuasaan kepada parlemen dan ekspansi partai

politik dalam pemilihan umum yang dibentuk sebagai mekanisme penghubung

utama untuk memfasilitasi proses perwakilan.101

Menurut Lapolambara dan Weiner dalam Ramlan Surbakti, ada tiga teori

yang mencoba menjelaskan asal usul partai politik.102 Pertama, teori kelembagaan

yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik.

Partai politik dibentuk oleh kalangan legislatif dan eksekutif karena ada

kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan)

untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan dari

masyarakat. Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian

muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik

lain ini biasanya dibentuk oleh kelompok kecil pemimpin masyarakat yang sadar

politik berdasarkan penilaian bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak

mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka.

100 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. op.cit. hal 397 101 Ibid. hal 5 102 Joseph Lapalombara dan Myron Weiner. The Origin and Development of Political Parties,

dalam Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Grasindo. Jakarta. 2007. hal 113

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Teori kedua, teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik

sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan

dengan perubahan masyarakat secara luas. Krisis situasi historis terjadi manakalah

suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat

moderen yang berstruktur kompleks. Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan,

seperti pertambahan penduduk karena perbaikan fasilitas kesehatan, perluasan

pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi

media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-

harapan baru dan munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan ini

menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi dan partisipasi.

Artinya, perubahan-perubahan mengakibatkan masyarakat mempertanyakan

prinsip-prinsip yang mendasari legitimasi kewenangan pihak yang memerintah;

menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat sebagai

suatu bangsa dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang semakin besar untuk

ikut serta dalam proses politik.

Untuk mengatasi tiga permasalahan inilah partai politik di bentuk. Partai

politik yang berakar kuat dalam masyarakat diharapkan dapat mengendalikan

pemerintahan sehingga terbentuk semacam pola hubungan kewenangan yang

berlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat. Teori ketiga melihat

moderinasasi sosial ekonomi, seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa

media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan,

industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi,

pembentuk berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi melahirkan

suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan

memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut, partai politik merupakan produk logis

dari modernisasi sosial ekonomi.

Partai politik sebagai institusi modern, yang berhubungan erat dengan

parlemen dan pemilihan umum, muncul pertama kali di Eropa dan Amerika

Serikat pada abad ke 19 dan pada akhir abad tersebut kemudian meluas ke hampir

sebagian besar dunia non barat.103 Partai politik sangat dipengaruhi oleh

103 Stefan Eklӧf. Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia. The Indonesia Democratic Party (PDI) and Decline of New Order (1986-1998). Nias Press. Denmark. 2004. hal 26

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

asal/sejarah pembentukkannya.104 Adalah tidak mungkin untuk memahami

perbedaan struktur antara misalnya partai buruh di Inggris dengan Partai Sosialis

di Perancis tanpa mengetahui kondisi saat pembentukkannya.

Menurut Alan Ware, di negara-negara masa kini, sangatlah sulit untuk

dibayangkan adanya politik tanpa partai. Saat ini, hanya ada dua bentuk negara

yang tidak memiliki partai politik. Pertama, negara yang kecil dengan masyarakat

yang tradisional, terutama di Persian gulf, yang masih di kuasai oleh keluarga

yang dominan pada wilayah itu sebelum dunia luar, mengenali mereka sebagai

negara merdeka. Kedua adalah negara dengan rezim yang mengekang keberadaan

partai, yaitu rezim militer atau dengan kekuasaan otoriter yang mendapat

dukungan dari militer.105

2.1.2. Fungsi Partai Politik

Sudah sejak lama para ahli mengemukakan peran penting partai politik

dalam sistem demokrasi perwakilan. Sartori berpendapat bahwa warga negara di

negara-negara demokrasi barat direpresentasikan oleh dan melalui partai.

Sementara Schattschneider menyatakan bahwa demokrasi modern tidaklah

mungkin tanpa adanya partai politik (modern democracy is unthinkable save in

terms of Political Party).106 James Bryce mengatakan bahwa partai politik tak

dapat dihindari dan tidak ada yang dapat menyaksikan bagaimana sistem

pemerintahan perwakilan dapat berjalan tanpa partai politik (Parties are

inevitable : no free country has been without them : and no one has shown how

representative government could work without them).107

104 Maurice Duverger. Political Parties and Their Organisations in Modern State. USA 1959. hal xxiii

105 Alan Ware. Political Parties and Party Systems. Oxford University Press. New York. 1996,

hal 1 106 Anika Gauja. Political Party and Election. Legislating for Representatives Democracy.

Ashgate Publishing Limited. England. 2010. hal 1 107 Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Political Party and Democratic

Linkage. How Party Organize Democracy. Oxford University Press. 2011. hal 3

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Di negara demokrasi, partai politik mempunyai berbagai fungsi, sebagai saranan

komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik dan sarana rekrutment

politik.:108

a. Sebagai Sarana Komunikasi Politik

Dalam fungsi sebagai sarana komunikasi politik, partai politik berfungsi

untuk melaksanakan agregasi dan artikulasi berbagai kepentingan (pendapat dan

aspirasi) masyarakat. Setelah itu hasil dari agregasi dan artikulasi kepentingan

tersebut dirumuskan menjadi usul kebijakan yang dimasukkan ke dalam program

atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan dan disampaikan

kepada pemerintah melalui partai politik.

Disisi lain, partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan

menyebarluaskan rencana-rencana kebijakan pemerintah, sehingga terjadi arus

informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dalam

pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubungan antara pemerintah

dengan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena di

satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok

masyarakat dan di lain pihak pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan

masyarakat

b. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik

Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu suatu proses yang

melaluinya sesesorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik

yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas

sosial, suku bangsa, ideologi hak dan kewajiban.

c. Sebagai Sarana Rekrutment Politik

Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik

kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas.

Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas,

karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang

mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan

108 Miriam Budiardjo, op cit hal 405-409

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan

pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk

masuk bursa kepemimpinan nasional.

d. Sebagai Sarana Pengatur Konflik

Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, terutama pada masyarakat

yang heterogen. Peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya

atau sekurang-kurangnya menekan akibat negatifnya seminimal mungkin. Elit

partai dapat menumbuhkan pengertian dan juga memberikan keyakinan kepada

pendukungnya.

Russel J Dalton, David M Farrel dan Ian McAllister menjelaskan bahwa

fungsi partai politik dapat dibagi menjadi tiga level yaitu di antara warga

masyarakat, dalam organisasi-organisasi dan di pemerintahan.109 Di level warga

masyarakat, partai berfungsi untuk menyederhanakan pilihan bagi para pemilih,

dengan fungsi ini partai telah juga mengurangi kompleksitas kebijakan pada

pemerintahan moderen ke sejumlah kecil pilihan-pilihan yang dapat dimengerti

dengan mudah oleh pemilih. Partai politik mendidik para pemilih tentang manfaat

dan ketidakmanfaatan dari pilihan-pilihan kebijakan yang ditawarkan. Diantara

warga masyarakat, partai politik diharapkan akan memobilisasi warga untuk aktif

berperan serta dalam proses politik sehingga dapat menciptakan stabilitas sistem

politik dalam jangka panjang. Dalam level organisasi, partai politik merekrut dan

melatih pemimpin politik yang potensial dan para kandidat yang akan

ditempatkan dalam pemerintahan, memperkenalkan kepada mereka tentang nilai

dan norma dari pemerintahan yang demokratis. Secara organisasi, partai politik

juga mengartikulasi kepentingan-kepentingan politik para pendukungnya. Pararel

dengan perannya sebagai artikulasi kepentingan, partai politik juga berfungsi

dalam agregasi kepentingan, menempatkan kepentingan-kepentingan tersebut ke

dalam bentuk yang komprehensif dan terhubung dan akan menjadi panduan bagi

kebijakan pemerintahan jika dan ketika mereka terpilih menjadi partai di

pemerintahan.110 Pada level pemerintahan, partai politik mengorganisasikan cara

109 Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Political Party and Democratic Linkage. How Party Organize Democracy. op.cit. hal 5

110 Ibid hal 6

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

kerja pemerintahan dengan menciptakan mayoritas suara untuk memenangkan

kebijakannya. Partai politik di pemerintahan memiliki tujuan-tujuan kebijakan

yang komprehensif yang diklaimnya sebagai mandat dari yang diwakili. Partai

politik atau koalisi partai akan mengimplementasikan kebijakan tersebut dan

mengorganisasikan pemerintahan hingga selesai. Mandat para pemilih juga

menjadi legitimasi bagi partai dalam mengimplementasikan kebijakan dan akan

menjadi kontrol untuk menilai kinerja partai/akuntabilitas apakah sesuai dengan

apa yang mereka telah janjikan sebelumnya. Jika partai merupakan oposisi dapat

juga berkontribusi untuk mengevaluasi dan mengkritisi keputusan-keputusan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah.111

Hubungan (Linkage) antara partai dan pemilih dapat digambarkan pada gambar

berikut ini :112

Bagan 1.1 Rantai Hubungan Warga dan Partai Politik

• Penghubung pada Tahap Kampanye (Campaign Linkage) : partai merekrut

calon/kandidat dan menyusun parameter-parameter dari proses pemilihan

umum

• Penghubung pada tahap partisipasi (Participatory Linkage) : partai

mengaktifkan warga masyarakat selama waktu pemilihan dan memobilisasi

mereka untuk memilih

• Penghubung Ideologi (Ideological Linkage) : Partai menginformasikan

kepada pemilih tentang pilihan-pilihan kebijakan dalam pemilihan dan

pemilih akan memilih kebijakan-kebijakan tersebut.

• Penghubung Perwakilan (Representative Linkage) : pemilihan akan

memberikan kesesuaian antara pilihan-pilihan kebijakan dari warga

111 Ibid. hal 5-6 112 Ibid. hal 6

Warga

Kampanye : menyeleksi kandidat membentuk debat mengorganisasikan pemilihan

Partisipasi : memobilisasi pemilih

Ideologi : memberikan

pilihan kebijakan pilihan pemilih

Representatif : pemilihan

menghasilkan pemerintahan

perwakilan

Kebijakan : Partai politik menetapkan

program-program kebijakan bagi

pemilih

Kebijakan

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

masyarakat dengan kebijakan-kebijakan partai yang direpresentasikan dalam

parlemen maupun di pemerintah.

• Penghubung Kebijakan (Policy Linkage) : partai-partai melaksanakan

kebijakan-kebijakan yang mereka tawarkan dalam pemilihan.

2.1.3. Klasifikasi Partai Politik

Klasifikasi partai politik dapat dilakukan dengan berbagai cara. jika dilihat

dari komposisi dan fungsi keanggotaannya, secara umum dapat dibagi menjadi

dua jenis, yaitu partai massa dan partai kader. Partai Massa mengutamakan

kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu terdiri dari

pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat

untuk bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang

biasanya luas dan agak kabur. kelemahan dari partai massa adalah bahwa masing-

masing aliran atau kelompok yang bernaung di partai massa cenderung untuk

memaksakan kepentingan masing-masing terutama pada saat-saat krisis, sehingga

persatuan menjadi lemah bahkan hilang. Partai kader mementingkan keketatan

organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. pimpinan partai biasanya

menjaga kemurnian doktrin yang dianut dengan jalan mengadakan saringan

terhadap calon anggotanya dan memecat anggota partai yang menyeleweng dari

garis partai yang telah ditetapkan.113

Klasifikasi selanjutnya dapat dilakukan dari segi sifat dan orientasi dalam

hal mana partai-partai dapat dibagi dalam dua jenis yaitu : partai lindungan

(patronage party) dan partai ideologi/partai azas (programmatic party).114

2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara

2.2.1. Pengaturan Partai Politik dalam Peraturan Perundang-

Undangan

Berbagai kelemahan sistem multipartai, menyebabkan banyak negara

menempuh kebijakan untuk menyederhanakan sistem partai tersebut melalui

persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan

113 Miriam Budiarjo.op.cit hal 166 114 ibid

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

tentang Partai Politik. Menurut Venice Commision, peraturan perundang-

undangan yang khusus mengatur tentang partai politik merupakan perkembangan

yang relatif baru, sementara pemahaman tentang pentingnya keberadaan partai

politik telah jauh sebelumnya dipahami dan diterima. Meskipun saat ini sudah

banyak negara yang konstitusi dan perundang-undangannya secara spesifik

mengatur tentang partai politik, namun derajat dari peraturan perundang-

undangan tersebut sangat bervariasi dikarenakan perbedaan tradisi hukum dan

tertib konstitusi.115

Proses pengadopsian partai politik sebagai obyek dalam Undang-Undang

dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu :116

Pertama pada saat semester pertama abad ke 20, tiga negara yaitu Jerman,

Finlandia dan juga Austria yang mengalami demokratisasi menjadi bagian dalam

tahap pertama disusunnya Undang-Undang tentang partai politik. Meskipun

terdapat perbedaan terhadap panjang dan juga detail yang diatur dalam undang-

undang tentang internal organisasi partai politik. Namun semuanya menyadari

perlunya mengatur tentang pendanaan partai politik.

Kedua, fase berikutnya adalah dari kesadaran munculnya undang-undang tentang

partai politik bertepatan dengan awal Huntington 'Third Wave', muncul di

Portugal dan Spanyol. Berbeda dengan fase pertama, undang-undang Partai

politik di sini tujuan utamanya adalah tidak begitu banyak mengatur tentang

pendanaan partai politik, tetapi kebutuhan untuk mengendalikan penciptaan dan

aktivitas partai-partai yang mulai berkembang biak dalam lingkungan demokratis

baru. baik Portugal dan Spanyol sebagian besar ketentuan-ketentuan yang

terkandung dalam pertama hukum berkaitan dengan peraturan partai politik

sebagai organisasi itu sendiri.

Ketiga, fase ketiga dari Undang-Undang tentang Partai politik pasca perang

sangat terkait erat dengan jatuhnya komunisme di Eropa Timur pada awal 90an.

Dalam tahap ini, bertepatan dengan apa yang disebut Fourth Wave of

115 OSCE/ODIHR And Venice Commission. Guidelines On Political Party Regulation. Adopted By The Venice Commission. at its 84th Plenary Session.Venice, 15-16 October 2010. http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDLAD%282010%29024-e.pdf [15 Juli 2012]

116 Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. ‘Party Law in

Comparative Perspective’, Working Paper Series on the Legal Regulation of Political Parties. 2012. hal 5

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Democratization. Hubungan antara dua gelombang ini sangat menjurus bahwa

tidak ada negara demokrasi Eropa Timur yang tidak terpengaruh oleh proses

pengaturan tersebut sejak munculnya Undang-Undang tentang Partai Politik

pertama di Hungaria Tahun 1989. Terlebih dikebanyakan kasus, Undang-Undang

yang mengatur tentang partai politik diperkenalkan ditahun-tahun pertama

terjadinya transisi politik.

Van biezen menyebutkan secara umum Peraturan Perundang-Undangan

tentang Partai Politik sebagai dasar hukum operasional partai politik ditetapkan

dalam konstitusi, undang-undang tentang partai politik, undang-undang tentang

pendanaan partai politik, Undang-undang tentang pemilihan umum dan undang-

undang tentang kampanye dan juga peraturan administrasi, penetapan-penetapan

dan putusan pengadilan.117

Konstitusi memegang posisi istimewa di antara instrumen hukum tentang

partai politik, karena mencerminkan nilai-nilai fundamental dan melegitimasi

aturan politik melalui spesifikasi prosedur yang mendukung pelaksanaan

kekuasaan. Melalui konstitusi, maka dapat diukur posisi partai dalam format

kelembagaan negara. Aturan hukum lainnya yang sebagai dasar pembentuk

undang-undang tentang partai politik lebih menargetkan pada aspek nyata dari

fungsi dan prilaku partai. Undang-undang yang mengatur tentang partai politik

spesifik mengatur tentang internal partai. Beberapa negara mengatur juga tentang

partai dalam undang-undang tentang pemilihan umum serta ada pula yang

mengatur partai politik dalam berbagai bentuk instrumen hukum.118

Wolfgang Muller berpendapat bahwa Jerman adalah negara barat yang

memiliki peraturan perundang-udangan tentang partai politik dengan sangat detail

dan mengikat.119 Muller bahkan mengatakan bahwa Jerman sebagai the heartland

117 Fransje Molenaar. Latin American Regulation of Political Parties. Continuing Trends and breaks with The Past. Working Paper Series on The Legal Regulation of Political Party. No 17. 2012 hal 2

118 Ibid hal 2 119 Kenneth Janda. Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical Perspectives.

Adopting Party Law. National Democratic Institute For International Affairs.Washington DC. 2005. hal 17

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

of Party Law. Peraturan Perundang-Undangan tentang Partai Politik dimulai

pertama kali di Jerman pada tahun 1967.120

Konstitusi Jerman mengatur dan menyebutkan partai politik secara eksplisit dan

detail. Dalam konstitusi Jerman article 21 menyebutkan partai politik sebagai 121:

Political parties participate in the formation of the political will of the people. They may be freely established. Their internal organization must conform to democratic principles. They must publicly account for their assets and for the sources and the use of their funds.

Undang-Undang tentang partai politik mengatur tentang kewajiban dan larangan

yang harus dipatuhi oleh partai politik.122 Richard Katz menyatakan bahwa

undang-undang tentang partai politik mengatur tentang :123

1. Untuk menentukan apa yang dimaksud dengan partai politik

Penentuan ini sering menimbulkan aturan tambahan seperti, siapa yang

memenuhi syarat untuk dipilih, siapa yang memperoleh keuntungan dari

masyarakat (misalnya subsidi, iklan media), siapa yang berpartisipasi dalam

pemerintahan dan bagaimana caranya.

2. Untuk mengatur bentuk aktivitas dari partai politik

Ketentuan ini untuk membatasi peningkatan dan pengeluaran dana,

kampanye, platform partai.

3. Untuk memastikan bentuk yang sesuai dari prilaku dan organisasi partai

Mengatur pemilihan pimpinan partai, kesetaraan gender dan ras.

Undang-Undang tentang Partai Politik memiliki 12 domain pengaturan partai

yaitu :124 (1) Prinsip-prinsip demokratis, (2) Hak-hak dan kebebasan (3) extra-

parliamentary party; (4) electoral party; (5) parliamentary party; (6) governmental

party; (7) aktivitas dan prilaku; (8) identitas dan program; (9) keuangan; (10)

akses media; (11) pengawasan eksternal; and (12) Undang-Undang ke dua

120 Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. Op.cit hal 4 121 Kenneth Janda. Op cit hal 14 122 Ibid Hal 3 123 Ibid 124 Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. Op.cit hal 9

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak serta kebebasan meliputi pilihan-pilihan

yang mendefinisikan partai politik dalam kunci prinsip-prinsip dan nilai-nilai

demokrasi atau menyatukan partai-partai dengan hak-hak dan kebebasan

demokratis yang fundamental.

Kenneth Janda mengemukakan empat model Undang-Undang tentang

Partai politik yaitu :125

1. The proscription model

To proscribe, berarti menyatakan illegal atau melanggar hukum (outlaw). Namun

tidak ada dari 159 Undang-Undang tentang partai politik menggunakan kata

Illegal atau outlaw. Negara-negara cenderung menggunakan cara penolakan partai

politik sebagai badan hukum daripada menggunakan istilah melanggar hukum.

Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan tidak menyebutkan partai

politik secara eksplisit dalam konstitusi. Salah satu contoh adalah Konstitusi

Aljazair, article 42 :

political parties cannot be founded on a religious, linguistic, racial, sexual, corporatist or regional basis. They may not resort to partisan propaganda pertainingto these elements and they may not in any way submit to any interest or any foreignparty. No political party may resort to violence or constraint, of whatever nature or form

2. The permission model

To permit, untuk mengizinkan. Model ini mengizinkan keberadaan dan

operasionalisasi partai politik tanpa mengatur secara spesifik tentang keanggotaan

partai, bagaimana partai harus diorganisasikan, bagaimana cara memilih

pemimpin partai dan bagaimana pendanaan organisasi. Model ini adalah model

peraturan partai politik yang minimalis. Sebagai contoh adalah Konstitusi Andora

pada article 26 :

Andorrans have the right freely to create political parties. Their functioning and organization must be democratic and their activities lawful. The suspension of their activities and their dissolution is the responsibility of the judicial organs.

3. The promotional model

To promote, berarti untuk memajukan, mengatur lebih lanjut dan mendorong.

Pemerintah terkadang tidak hanya membentuk undang-undang yang mengatur

125 Kenneth Janda. Op.cit. hal 8

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

aktivitas partai tetapi juga mengatur tentang pembentukannya. Biasanya melalui

Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang mendukung keberadaan dan

kelangsungan sejumlah besar partai politik. Sudah lama diketahui bahwa

pemilihan legislative berdasarkan sistem proporsional representative dalam

multimember district menghasilkan partai yang lebih banyak jika dibandingkan

dengan sistem dimana kursi dimenangkan melalui simple voting pluralities in

single-member districts. Bentuk lain adalah dengan pemberian subsidi dan

bantuan pendanaan untuk mendukung partai politik.

Sebagai contoh Konstitusi Colombia Article 109 :

The state will contribute to the financing of the functioning and holding of election campaigns of parties and political bmovements with a legal identity.

4. The protection model

To Protect, untuk melindungi dari kehilangan. Bentuk perlindungan yang paling

ekstrim adalah perlindungan suatu partai untuk menjadi partai tunggal, seperti

yang dilakukan Syria dalam konstitusinya untuk melindungi Partai Ba’th.

The leading party in the society and the state shall be the Socialist Arab Ba’th Party. It shall lead a patriotic and progressive front seeking to unify the resources of the people’s masses and place them at the service of the Arab nation’s goals.

5. The Prescription Model

To prescribe berarti mengeluarkan perintah, mendikte. Pemerintah mendikte

partai melalui Undang-undang tentang kesalahan yang dilakukan partai. Pada

kondisi ekstrim, Prescription model mengizinkan rezim untuk seolah-olah

menyatakan bahwa mereka menganut sistem multipartai, namun pada

kenyataannya mengontrol prilaku dan organisasi partai politik.

Organisasi partai politik dapat dibagi menjadi empat kategori yang setiap

kategorinya memiliki peran yang khusus-yaitu Partai di luar, partai di arena

pemilihan umum, partai di parlemen dan partai dipemerintah. Kategori extra-

parliamentary meliputi ketentuan-ketentuan yang mengatur operasional struktur

internal dari partai politik. Diantara ini adalah peraturan-peraturan yang

dikhususkan ke dalam demokrasi internal partai politik, yang merefer kepada

pemilihan badan partai, akuntabilitas, resolusi partai, konflik dan prosedur untuk

memilih calon/kandidat. Kategori ini juga diatur tentang bentuk-bentuk organisasi

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

partai, status hukum dan perysaratan pendaftaran dan pembentukan partai politik.

Kategori ke dua adalah partai politik peserta pemilihan umum. Kategori ini

merefleksikan partai politik dalam kompetisi. Prilaku partai-partai dalam

parlemen dalam kaitan dengan legislator local dan regional, partisipasi dalam

komisi parlementer, staff dan formasi kebijakan adalah subjek dalam kategori

partai di parlemen. Disini, semua referensi hukum mengacu pada partai di

parlemen di tetapkan. Terakhir adalah kategori partai dipemerintahan yang

meliputi referensi bagaimanan eksekutif baik ditingkat lokal, regional maupun

nasional di susun. Di bawah kategori aktivitas dan identitas, skema aturan

pendaftaran mensyaratkan pengetatan atau larangan beberapa bentuk prilaku atau

ideologi yang mendasari partai politik.

Banyak peraturan hukum mengandung kondisi yang menghormati hak

asasi manusia, larangan untuk menggunakan kekerasan, penyebaran kebencian

atau penggunaan metode non demokrasi pada partai politik. Sebagai contoh,

Undang-Undang Partai politik di Spanyol melarang partai politik untuk merusak

sendi-sendi demokrasi dan bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi. Beberapa

negara juga mengatur tentang larangan bentuk partai politik dengan dasar etnis,

nasionalis atau agamais. Sementara partai politik tidaklah diikat karena alasan

identitas, ada beberapa larangan untuk menerima dana dari institusi agama

contohnya di Bulgaria. Pengaturan tentang pendanaan partai politik dapat dibagi

menjadi lima sub kategori yaitu : pendanaan public secara langsung, pendanaan

publik tidak langsung, pendanaan pribadi, pengaturan tentang pengeluaran,

pelaporan dan pembuktian. Kategori yang pertama meliputi jumlah, alokasi dan

penggunaan dari pendanaan negara, sementara yang tiga focus pada pembatasan,

transparansi dan penggunaan dari dana masyarakat.

Persyaratan-persyaratan pendirian partai memiliki pengaruh penting

terhadap kompetisi politik dan sistem partai di negara demokrasi.126 Undang-

Undang yang mewajibkan partai politik untuk memenuhi batas

minimum/threshold (misalnya jumlah kandidat dan anggota) telah membatasi

akses masuk ke arena politik.127

126 Anika Gauja. Op.cit hal 14 127 Ibid

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Gauja dalam tulisannya tentang Legislative Regulation, Judicial Politics and the

Cartel Party Model menyimpulkan bahwa aspek-aspek pengaturan dalam

Undang-Undang yang mengatur tentang partai politik khususnya yang mengatur

tentang pendaftaran partai politik dalam pemilu dan akses terhadap suara memiliki

pengaruh dalam pembentukan karakter persaingan politik dan sistem partai dalam

sistem demokrasi. Lebih lanjut Gauja menjelaskan bahwa undang-undang yang

mensyaratkan pembatasan minimum misalnya batasan anggota dan bakal calon,

pembayaran deposit sebagai syarat peserta pemilu serta syarat memperoleh

subsidi memiliki aspek yang sama dengan tesis mengenai partai kartel, yaitu

terdapat prilaku kolusif partai incumbent dalam membatasi atau memperketat

partai politik lainnya untuk memasuki arena politik dan mengambil kekuasaan.128

Gaujah menyatakan sebagai berikut :

Laws that require parties to meet minimum thresholds (for example, candidates, members or signatures) as well as they payment of deposits in order to contest elections and receive state subventions have a particular resonance with aspects of the cartel party thesis that highlight the collusive behaviour of incumbents in limiting or restricting entry to the political arena and the spoils of the state

2.2.2. Praktek Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di

Berbagai Negara

Kebijakan penyederhanaan partai politik banyak dipraktekan di berbagai

negara. venice commission mencatat beberapa negara yang menerapkan

kebijakan penyederhanaan partai politik melalui berbagai persyaratan dan juga

parliamentary threshold di beberapa negara seperti Rusia, Jerman, Republik

Ceko dan juga Turki. Pada studi ini, akan dibahas kebijakan penyederhanaan

partai politik di Rusia, Jerman dan Republik Ceko serta di berbagai negara

lainnya sebagai bahan perbandingan dalam menganalisis kebijakan

penyederhanaan partai politik di Indonesia.

128 Anika Gauja. Legislative Regulation, Judicial Politics and the Cartel.Party Model. Department

of Government and International Relations School of Social and Political Sciences Room 443, Merewether Building The University of Sydney NSW 2006 Australia. 2011.http://sydney.edu.au hal 14. Tesis tentang partai kartel ini dijelaskan oleh Richard S. Katz and Peter Mair (2009) yang menyatakan bahwa partai politik semakin berfungsi seperti kartel, menggunakan sumber daya negara untuk membatasi persaingan politik dan memastikan kesuksesan pemilihan mereka. Richard S. Katz and Peter Mair (2009). The Cartel Party Thesis: A Restatement. Perspectives on Politics, 7. hal 753-766

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

2.2.2.1. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Rusia

Berdasarkan article 3.2 Russian Federation Federal Law on

Political Party, persyaratan untuk mendaftar sebagai partai politik adalah :129

a. Partai politik harus memiliki cabang-cabang regional di lebih dari setengah

negara bagian dengan jumlah anggota lebih dari 100, dan minimum anggota

di sisa cabang lainnya tidak kurang dari 50 anggota.

b. Partai politik harus memiliki minimum 10.000 anggota

Pada Tahun 2005, Russian Federation Federal Law on Political Party di

Amandemen, dan berdasarkan article 3.2 persyaratan untuk terdaftar sebagai

partai politik diperberat, yaitu :130

a. Partai politik harus memiliki cabang-cabang regional di lebih dari setengah

negara bagian, dengan jumlah anggota lebih dari 500 tiap cabang dan di

cabang-cabang yang tersisa harus memiliki lebih dari 250 anggota

b. Partai politik harus memiliki lebih dari 50.000 anggota untuk terdaftar.

a political party shall comprise not less than fifty thousand members of political party, understanding that in more than half of the subjects of the Russian Federation a political party shall have its regional branches comprising not less than five hundred members of political party as is envisaged under Item 6 of Article 23 of this federal law. In the remaining regional branches, the membership of each such branch shall be not less than two hundred and fifty members of political party as is provided under Item 6 of Article 23 of this Federal Law;

berdasarkan data dari venice commission, minimum threshold untuk memperoleh

kursi di parlemen rusia sebelum tahun 2007 adalah sebesar 5 %, namun threshold

meningkat menjadi 7 % pada tahun 2007.131

129 http://www.cikrf.ru/eng/law/fz95_en_110701.html diunduh 18 November 2012 130 http://legislationline.org/documents/action/popup/id/4375 diunduh 18 November 2012 131 http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29007-e.pdf [19 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

2.2.2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Republik

Ceko

Berdasarkan Act of Law 424/1991 Coll., on association in political parties

and political movements yang telah diamandemen beberapa kali terakhir tahun

2006132, proposal pendirian partai politik dibuat oleh panitia persiapan pendirian

partai politik yang setidaknya terdiri dari tiga orang yang telah berusia di atas 18

tahun. Selanjutnya petisi pendirian partai politik harus ditandatangani oleh

setidaknya 1000 warga negara yang menginginkan pendirian partai politik

tersebut (article 6.2)

Partai politik yang hendak menjadi peserta pemilu diwajibkan untuk

mendeposit dana sebesar 200,000 crowns ($6,450). Partai politik harus

mendeposit dana tersebut di setiap wilayah pemilihan umum yang akan diikuti.

Sehingga jika suatu partai hendak mengikuti pemilihan umum di delapan wilayah,

maka mereka harus memiliki deposit dana sebesar 1.6 million crowns (c. $51,600)

1.6 million crowns (c. $51,600) untuk dapat mengikuti pemilu di seluruh wilayah.

(article 35.2).133

Ketentuan tentang Parliamentary Threshold diatur pada article 49. 3 Act of Law

247/1995 Coll., on elections to the Parliament of the Czech Republic134. Yang

mengatur bahwa partai politik harus memperoleh 5-4% suara untuk mendapat

kursi, koalisi dua partai harus memperoleh 10 sampai 6 % suara, koalisi tiga

partai harus memperoleh 15 sampai 8% suara dan koalisi empat partai harus

memperoleh 20 sampai 10% suara dari total keseluruhan suara.

2.2.2.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Jerman

Di Jerman, partai politik memiliki status agak ambivalen. Di satu sisi,

mereka adalah organisasi swasta, baik terdaftar atau tidak terdaftar organisasi

yang didirikan berdasarkan peraturan hukum privat. Di sisi lain, mereka adalah

132 http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1991/424.html [19 November 2012] 133 http://www.osce.org/odihr/elections/czech-republic/16147 article 35.2, kemudian dihapus

setelah UU diamandemen http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1995/247.html [19 November 2012]

134 http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1995/247.html [19 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

organisasi publik yang memiliki hak konstitusional tertentu. BL menjamin bahwa

partai politik "dapat bebas didirikan. Tidak Ada ketentuan baik dalam konstitusi

Jerman 1949 (the Basic Law of the Federal Republic of Germany) atau Law on

Political Parties (LPP) yang direvisi tahun 1994, bahwa pembentukan partai

politik tidak memerlukan pendaftaran, sehingga dapat diartikan bahwa partai

politik di Jerman tidak perlu didaftarkan.135

Partai politik yang hendak berpartisipasi dalam pemilihan umum di

Jerman, diharuskan untuk memberitahukan tentang niat mereka ke Federal

Returning Officer sebelum pemilihan, kecuali partai-partai yang telah diwakili

oleh sedikitnya lima perwakilan di Bunderstag atau di Landtag (parlemen negara)

sejak pemilihan terakhir. Pemberitahuan tersebut harus meliputi nama partai dan

ditandatangani oleh setidaknya tiga anggota komite eksekutif nasional partai.

Persyaratan lainnya adalah anggaran dasar partai, program partai dan bukti formal

kepemimpinan.136

Partai politik diminta untuk menyerahkan dokumen-dokumen berikut ke

Federal Returning Officer:137 (a) anggaran dasar partai dan artikel; (b) program

partai, dan (c) nama dan fungsi anggota eksekutif partai dan cabang-cabang

lokalnya. Salinan dokumen-dokumen tersedia untuk publik secara gratis. Untuk

menjadi peserta pemilu, setiap organisasi di Inggris harus terdaftar di Komisi

Pemilihan Umum, jika tidak, mereka hanya dapat mendaftar sebagai calon

independen.138 Berdasarkan section 6.6 Federal Elections Act partai politik

peserta pemilu dapat diikutkan dalam perhitungan kursi apabila memperoleh

sedikitnya 5 % suara dari suara sah atau memenangkan kursi untuk setidaknya

tiga konstituen.139

135 CHAU Pak-kwan. The Regulatory Framework of Political Parties in Germany, the United Kingdom, New Zealand and Singapore. Research and Library Services Division Legislative Council Secretariat.Hong Kong.2004. hal 5

136 Ibid. hal 6 137 Ibid 138 Ibid hal 16 139http://www.bundeswahlleiter.de/en/bundestagswahlen/downloads/rechtsgrundlagen/bundeswahl

gesetz_engl.pdf [19 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

2.2.2.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Negara

Lainnya

Di banyak negara persyaratan pendirian partai politik pada umumnya

meningkat dalam beberapa tahun terakhir, di sebagian negara partai harus

berhadapan dengan adanya ketentuan tentang penyediaan dana kampanye publik,

dan di sebagian lainnya partai politik harus menghadapi kompleksitas persyaratan

birokrasi yang panjang untuk mendaftarkan secara legal sebagai langkah pertama

untuk mendapatkan akses suara. Proses pendaftaran partai bervariasi lintas

nasional (sebagaimana juga di negara-negara di Amerika) tetapi pada umumnya

persyaratan pendaftaran mencakup persyaratan organisasi harus memberikan

deposit kepada lembaga pemilihan umum, pernyataan tertulis dari prinsip dan

konstitusi partai, peraturan partai, pernyataan tentang struktur organisasi, dan

buku aturan, serta daftar pengurus partai, dan nama-nama dari sejumlah minimum

tertentu dari anggota partai beserta tanda tangan. terkadang ada persyaratan

distribusi regional dan partai perlu mencantumkan jumlah minimum kandidat140

Di Negara Australia, partai politik harus terdaftar untuk mendapatkan

pendanaan berdasarkan the Commonwealth Electoral Act 1918, partai politik

haruslah didirikan berdasarkan konstitusi tertulis, memiliki minimal 500 anggota

donatur atau satu orang yang menjadi anggota parlemen commonwealth. Anggota

partai lain, tidak dapat digunakan oleh partai lainnya untuk mendaftar. Partai

politik diwajibkan untuk menyampaikan laporan tahunan dari sumber

pendanaannya dan laporan keuangan partai diaudit oleh Komisi Pemilihan Umum

Australia.141 Di Meksiko, syarat pendaftaran partai politik adalah dengan

menyerahkan dokumen deklarasi prinsip, program dan kegiatan partai, serta

peraturan internal partai. Memiliki 3000 anggota yang tersebar setidaknya 10 dari

32 entitas federal atau 300 anggota pada setidaknya 100 dari 300 single member

district yang mana negara tersebut dibagi untuk kepentingan pemilihan umum. Di

Kanada, partai didaftarkan dengan menyertakan pengurus partai dan deklarasi

yang ditandatangani minimum 250 anggota.142 Sedangkan di negara Austria,

140 Pippa Norris.op.cit. hal 8 141 Ibid. 142 Ibid

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Spanyol dan Uruguay mensyaratkan memiliki 5000 anggota untuk mendirikan

partai politik.143

Pendaftaran partai politik juga tidak diwajibkan di Inggris. Jika suatu

organisasi hendak mendaftar sebagai partai politik, maka harus memenuhi

ketentuan sebagai berikut :144

1. formulir aplikasi memberikan rincian nama partai dan setidaknya dua pejabat

partai

2. di mana partai itu harus terdaftar, dan apakah partai akan memiliki unit

akuntan;

3. salinan Konstitusi Partai

4. Skema Keuangan, menunjukkan bagaimana partai memenuhi kebutuhan

pendanaan

5. Biaya sebesar £ 150

Venice Commision berpendapat bahwa Undang-Undang tentang Partai

Politik di Ukraina mengatur persyaratan pendirian partai baru dengan cukup sulit

dan berat. Berdasarkan article 10 Undang-Undang tentang Partai Politik Ukraina

tahun 2010, untuk membentuk partai baru, haruslah didukung oleh 10.000 tanda

tangan dari warga negara Ukraina yang memiliki hak untuk memilih yang

haruslah tersebar di 2-3 distrik atau 2 sampai 3 wilayah administratif Ukraina dan

di Kota Kyiv dan Sevastopol dan 2 sampai 3 distrik di Republik Otonomi

Crimea.145

Dengan demikian meskipun ada beberapa negara yang tidak mengatur

tentang pendirian partai politik secara khusus dalam Undang-Undang tentang

Partai Politik, namun kebanyakan negara mengatur tentang syarat-syarat pendirian

dan pembentukan partai politik dengan tingkatan beratnya persyaratan bervariasi

mencakup syarat minimum anggota, kepengurusan hingga ketersebaran.

143 OSCE/ODIHR AND VENICE COMMISSION. Op.cit (1) .hal 19 144 ibid hal 20 145 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The

Ukrainian Legislation On Political Parties. Adopted By The Venice Commission At Its 51st Plenary Session (Venice, 5-6 July 2002) Hal 3. http://www.venice.coe.int/docs/2002/CDL-AD%282002%29017-e.pdf [15 Juli 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Persyaratan untuk Mengikuti Pemilihan Umum

Dalam permohonan pendaftaran berdasarkan UU Pemilu Kanada tahun

2000, partai politik harus memberikan rincian pemimpin, pejabat partai, agen dan

auditor. Partai juga harus menyediakan nama, alamat dan tanda tangan dari 250

pemilih dan deklarasi pembentukan bahwa mereka adalah anggota partai dan

mendukung aplikasi partai untuk terdaftar. partai juga harus menyerahkan

deklarasi dari pimpinan partai bahwa salah satu tujuan mendasar adalah untuk

berpartisipasi dalam urusan publik dengan mendukung satu atau lebih sebagai

calon anggota dan mendukung pemilihan mereka.146

Penerapan batasan pada jumlah donor dapat memberikan kontribusi bagi

partai atau calon adalah bentuk umum reformasi keuangan partai politik.

Pembatasan kontribusi didasarkan pada prinsip untuk mengurangi disparitas

pengaruh politik antara pendonor besar, pendonor kecil, dan non-donors.

Beberapa negara juga melakukan pembatasan terhadap sumber-sumber

pendanaan. Negara Eropa beberapa, seperti Spanyol dan Perancis, misalnya,

melarang atau membatasi sumbangan perusahaan kepada partai politik. Batas

partai dan kandidat pengeluaran juga umum. Dalam upaya untuk tingkat lapangan

antara partai, pemerintah memberlakukan plafon total pengeluaran, biasanya

dilaksanakan hanya selama masa kampanye.147

Persyaratan nilai parliamentary Threshold dipraktekkan secara beragam di

berbagai negara. Di negara-negara Eropa, PT bervariasi antara 10%-0%. Turki

adalah negara dengan PT tertinggi yaitu sebesar 10%. Rusia sejak 2007,

menerapkan PT 7%, Jerman, Belgia, Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia,

Republik Ceko, dan Slovakia menerapkan PT 5%, sementara negara Austria,

Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia menerapkan PT sebesar 4%, Spanyol,

Yunani, Rumania dan Ukraina menerapkan PT sebesar 3%, Denmark sebesar 2%

dan Belanda 0.67%.148

146Anika Gauja. op.cit hal 6 147 Peter M.Manikas and Laura L. Thornton Political Parties in Asia Promoting Reform and

Combating Corruption in Eight Countries .National Democratic Institute for International Affairs. 2003 hal 12

148 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Report On

Thresholds And Other Features Of Electoral Systems Which Bar Parties From Access To

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Alasan utama untuk memperkenalkan ambang batas adalah untuk

mencegah fragmentasi lebih lanjut dari spektrum politik. Efeknya adalah bahwa

partai-partai kecil memiliki kesulitan untuk memperoleh kursi. Electoral

threshold juga merupakan kendala penting bagi partai minoritas Untuk

menurunkan threshold atau bahkan menghapuskan. Di Serbia partai minoritas

gagal melewati ambang batas 5% pada pemilihan parlemen 2003. Setelah

penghapusan dari ambang batas pada tahun 2004 lima partai minoritas yang

mewakili Hongaria, Bosnia, Albania dan Roma kembali ke Parlemen dalam

pemilu 2007. Di Polandia dan Jerman ambang 5% tidak berlaku untuk partai

minoritas. Pengadilan Eropa tentang Hak Asasi Manusia menyatakan dalam kasus

Yumak dan Sadak v Turki, yang akan diinginkan untuk menurunkan threshold

10% diterapkan untuk Turki untuk memastikan optimal representasi. Venice

commission menyatakan bahwa ambang pemilu tidak boleh mempengaruhi

kemungkinan minoritas nasional untuk diwakili. Penurunan atau bahkan

pencabutan ambang batas untuk partai minoritas dapat dibenarkan.149

2.2.3. Pedoman dan Prinsip Dasar Pengaturan Partai Politik

Hak kebebasan berserikat dan kebebasan berekspresi dan berpendapat

merupakan dasar berfungsinya demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Partai

politik sebagai instrumen dalam menyatukan ekspresi politik haruslah dapat

menikmati hak-hak tersebut secara utuh. Seperti yang telah dirangkum oleh

Venice Commission dalam Pedomannya bersama OSCE/ODHIR :150

Parties have developed as the main vehicle for political participation and contestation by individuals, and have been recognized by the European Court of Human Rights as vital to the functioning of democracy. The Parliamentary Assembly of the Council of Europe has further recognized that political parties

Parliament (II). Adopted by the Council for Democratic Elections at its 32nd meeting. (Venice, 11 March 2010).and by the Venice Commission at its 82nd plenary session. (Venice, 12-13 March 2010).http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29007-e.pdf hal 5 [15 Juli 2012]

149 ibid 150 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The

Law On Political Parties Of The Russian Federation. Adopted by the Council for Democratic Elections at its 40th meeting (Venice, 15 March 2012). and by the Venice Commission at its 90th Plenary Session .(Venice, 16-17 March 2012). http://www.venice.coe.int/docs/2012/CDL-AD%282012%29003-e.pdf [16 Juli 2012] hal 3

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

are “a key element of electoral competition, and a crucial linking mechanism between the individual and the state” by “integrating groups and individuals into the political process…” As required by the Copenhagen Document, paragraph 3, political pluralism, as fostered by competition and opposition parties, is critical to the proper functioning of democracy.”

Menurut Venice Commission tidaklah perlu demokrasi memiliki hukum tertentu

yang mengatur partai politik. Namun, ketika hukum tersebut ada, seharusnya tidak

"terlalu menghambat aktivitas atau hak partai politik". Undang-undang harus,

sebaliknya, memfasilitasi peran partai politik sebagai aktor penting dalam

demokrasi yang berfungsi dan menjamin perlindungan penuh hak-hak mereka.151

Pada prinsipnya hukum harus memperlakukan semua partai secara sama,

bukan membatasi atau diskriminasi untuk atau terhadap jenis tertentu dari partai,

baik karena filsafat politik mereka, prinsip, atau program partai. Partai politik

yang berbeda, kelompok, atau asosiasi harus memiliki hak untuk mengatur dan

kebebasan berpendapat dan berekspresi. Aktivis partai harus bebas untuk menyatu

melalui pertemuan damai dan demonstrasi, pemimpin partai seharusnya bebas

untuk menyebarluaskan dan mempublikasikan pandangan mereka, pengurus partai

harus memiliki otonomi untuk mengelola urusan internal mereka, dan kandidat

harus memiliki hak berkampanye untuk mendapatkan jabatan publik152. Untuk

lebih menyederhanakan perbandingan, tingkat regulasi hukum yang mengatur

partai politik dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe ideal atau kategori analitis

yaitu :153

1. Monopolistik, secara eksplisit peraturan perundang-undangan condong

terhadap partai yang berkuasa, membatasi semua partai oposisi dan gerakan

penentang, untuk menopang rezim represif dan satu partai negara.

2. Kartel, menghormati hak asasi manusia secara umum tetapi tetap saja mereka

membatasi kompetisi partai melalui berbagai praktek pembatasan dirancang

untuk menguntungkan partai mapan di parlemen atau di pemerintahan.

Peraturan ini termasuk persyaratan untuk mendapatkan suara, peraturan yang

151 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).op.cit Hal 4 152 Pippa Norris.Building political parties: Reforming legal regulations and internal

rules.Harvard University Report commissioned by International IDEA 2004.hal 5 153 Ibid .Hal 5

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

mengatur alokasi umum pendanaan, dan hak untuk kampanye gratis dan

subsidi negara. Kartel dirancang untuk condong terhadap sumber daya

internal, dengan ambang batas suara yang tinggi dan efektif melindungi

terhadap penantang luar.

3. Terakhir, peraturan yang paling egaliter dirancang untuk memfasilitasi

kompetisi jamak partai di antara beberapa pesaing, dengan akses yang sama

terhadap sumber daya publik dan pembatasan hukum yang minimal pada

partai.

Venice Commission telah menyusun sepuluh prinsip-prinsip yang menjadi

panduan dalam menyusun peraturan perundang-undangan tentang partai politik,

yaitu :154

1. Prinsip hak individu untuk berserikat

Hak seseorang untuk berserikat dan membentuk partai politik harus

sepenuhnya bebas dari pengaruh. Meskipun ada pembatasan terhadap hak

untuk berasosiasi, pembatasan tersebut haruslah disusun secara ketat dan

hanya karena alasan yang meyakinkan pembatasan tersebut dapat dilakukan.

Pembatasan haruslah diatur dalam undang-undang, diperlukan oleh

masyarakat demokrasi, dan bernilai proporsional. Bergabungnya seseorang

dengan partai politik haruslah terjadi secara sukarela dan tidak ada unsure

paksaan bagi seseorang untuk bergabung dalam suatu partai politik

2. Kewajiban negara untuk melindungi hak individu akan kebebasan berserikat.

Ini merupakan tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa perundang-

undangan yang relevan menetapkan mekanisme yang penting untuk

memberikan jaminan kebebasan seseorang untuk berserikat dan mendirikan

partai politik. Lebih lanjut, negara mempunyai tanggung jawab, untuk

menetapkan perundang-undangan untuk melarang interfensi dari pihak-pihak

di luar negara ataupun dari pemerintah sendiri. Ketika terjadi pelanggaran

terhadap hak untuk berserikat, maka negara harus melakukan tindakan

perbaikan yang sesuai untuk menghentikan pelanggaran tersebut.

3. Prinsip Legalitas

154 OSCE/ODIHR And Venice Commission. Op.cit (1).

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Setiap pembatasan terhadap hak individu untuk berserikat dan berekspresi

harus mempunyai landasan yuridis berdasarkan konstitusi ataupun undang-

undang. Pembatasan-pembatasan bukanlah berasal dari kegiatan politik

partisan, namun merupakan keinginan yang sah dari masyarakat demokratik.

Konstitusi dan perundang-undangan haruslah menghormati hak untuk

berserikat yang ada di peraturan-peraturan internasional. Hukum harus jelas

dan tepat, menunjukkan kepada partai politik baik kegiatan apa saja yang

dianggap melanggar hukum dan apa sanksi yang tersedia dalam kasus

pelanggaran. Undang-undang partai politik harus diadopsi secara terbuka,

setelah perdebatan, dan tersedia kesempatan untuk ditinjau publik untuk

memastikan individu dan partai politik menyadari hak mereka dan pembatasan

hak-hak tersebut.

4. Prinsip Proporsionalitas

Pembatasan yang dikenakan pada hak-hak partai politik harus proporsional

secara alami dan efektif untuk mencapai tujuan tertentu mereka. Terutama

dalam hal partai politik, diberikan peran fundamentalnya dalam proses

demokrasi, proporsionalitas harus hati-hati ditimbang dan diterapkan secara

ketat. Sebagaimana dinyatakan di atas, satu-satunya pembatasan dikenakan

harus yang diperlukan dalam suatu masyarakat yang demokratis dan

ditentukan oleh hukum. Jika pembatasan tidak memenuhi kriteria tersebut,

mereka tidak dapat dianggap sebagai proporsional dengan pelanggaran.

Pembubaran partai politik, atau pembatasan pembentukan partai politik,

merupakan sanksi paling ekstrim dan tidak boleh dikenakan kecuali ukuran

tersebut adalah proporsional dan diperlukan dalam masyarakat demokratis.

5. Prinsip Non-Diskriminasi

Peraturan perundang-undangan tentang partai politik haruslah tidak

mendiskriminasi setiap individu atau grup atas dasar apapun, misalnya ras,

warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya,

kebangsaan atau asal-usul sosial, kekayaan, kelahiran, orientasi seksual, atau

lain status. Hak individu untuk bebas asosiasi tidak membuatnya dapat

mengharuskan partai politik diminta untuk menerima anggota yang tidak

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

berbagi inti keyakinan dan nilai-nilai. Namun prinsip non-diskriminasi oleh

partai politik dimungkinkan jika dilakukan secara sukarela.

6. Prinsip Perlakuan yang Sama

Semua individu dan kelompok yang berusaha membentuk partai politik

harus dapat memiliki dasar perlakuan yang sama dimata hukum. Tidak ada

individu atau kelompok yang ingin mengasosiasikan sebagai partai politik

harus diuntungkan atau dirugikan dalam usaha ini oleh negara, dan peraturan

tentang partai politik haruslah seragam diterapkan untuk semua partai. Untuk

menghilangkan kesenjangan historis langkah-langkah dapat diambil untuk

menjamin kesempatan yang sama bagi perempuan dan minoritas. Sementara

tindakan khusus yang bertujuan mempromosikan kesetaraan de facto untuk

perempuan dan etnis, ras atau lainnya minoritas mengalami diskriminasi masa

lalu dapat ditetapkan dan tidak boleh dianggap diskriminatif.

7. Prinsip pluralisme politik

Legislasi tentang partai politik harus bertujuan untuk memfasilitasi pluralisme

politik. memfasilitasi warga negara untuk menerima berbagai pandangan

politik, seperti melalui ekspresi platform partai politik, umumnya diakui

sebagai elemen penting dari masyarakat demokrasi. Yang dibuktikan dengan

ayat 3 dari Dokumen Kopenhagen dan komitmen OSCE lain, pluralisme

diperlukan untuk memastikan individu ditawarkan pilihan yang nyata dalam

asosiasi politik mereka. Fungsi peraturan partai politik harus dipertimbangkan

dengan cermat untuk memastikan mereka tidak melanggar atas prinsip

pluralisme politik.

8. Prinsip administrasi yang baik dari perundang-undangan tentang partai politik.

Pelaksanaan undang-undang yang relevan dengan partai politik harus

dilakukan oleh badan yang bebas dan ketidakberpihakan dijamin baik dalam

hukum maupun dalam praktek. Ruang lingkup dan kewenangan badan hukum

harus secara eksplisit ditentukan oleh hukum. Legislasi juga harus memastikan

bahwa badan pelaksana wajib menerapkan hukum secara obyektif dan tidak

sewenang-wenang. Ketepatan waktu merupakan salah satu unsur administrasi

yang baik. Keputusan yang mempengaruhi hak-hak partai politik harus

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dilakukan secara cepat, terutama keputusan-keputusan yang terkait dengan

sensitif waktu, seperti pemilu.

9. Prinsip hak untuk mendapatkan pemulihan atas pelanggaran hak.

Partai politik harus memiliki jalan lain untuk sebuah pemulihan hak yang

efektif. Untuk semua keputusan yang mempengaruhi hak-hak dasar mereka,

termasuk yang berserikat, berekspresi dan berpendapat. Apabila hak tersebut

diberikan kepada individu, mereka umumnya dilaksanakan secara kolektif,

yang membutuhkan bantuan karena untuk dugaan pelanggaran membawa

tidak hanya oleh individu tetapi oleh partai secara keseluruhan. Dalam

penerapan hak-hak ini, partai politik juga harus memperoleh hak atas

perlindungan pengadilan yang adil dan tidak memihak. Ganti rugi yang tepat

dan efektif harus tersedia bagi partai jika setiap pelanggaran yang ditemukan

telah terjadi. Prinsip efektivitas mensyaratkan bahwa beberapa pemulihan

diberikan secepatnya. Pemulihan yang tidak disediakan dalam tepat waktu

tidak cukup untuk memenuhi persyaratan bahwa pemulihan menjadi efektif.

10. Prinsip Akuntabilitas

Partai politik dapat memperoleh hak hukum tertentu, karena terdaftar sebagai

politik partai, yang tidak diberikan kepada organisasi lain. Hal ini terutama

berlaku di bidang keuangan dan akses ke berbagai media selama kampanye

pemilu. Sebagai hasil dari memiliki hak tidak diberikan kepada asosiasi lain,

adalah tepat untuk menempatkan kewajiban tertentu pada partai politik karena

diperoleh status hukum mereka. Kewajiban tersebut dapat berupa

pemberlakuan persyaratan pelaporan atau transparansi dalam pengaturan

keuangan. perundang-undangan harus memberikan rincian khusus mengenai

hak-hak yang relevan dan tanggung jawab yang menyertai didapatkannya

status hukum sebagai partai politik.

2.3. Konsep Sistem Multipartai Sederhana

Di zaman sekarang ini, terutama sejak awal abad ke-20, muncul

kecenderungan bahwa sistem partai tunggal dan sistem dua partai itu semakin

popular. Sebaliknya, sistem multipartai seperti yang banyak diterapkan di

berbagai negara yang menganut sistem kabinet justru banyak menghadapi kritik

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

karena kelemahan-kelemahannya yang kurang menjamin stabilitas. Karena itu

dapat dikatakan bahwa muncul dan berkembangnya sistem partai tunggal dan

sistem dua partai itu, bersamaan dengan semakin kurang populernya sistem

banyak partai, juga menjadi salah satu sebab yang mendorong terjadinya

pergeseran kekuasaan dari parlemen ke pemerintah dalam perkembangan sejarah

abad ke-20.155

Perdebatan normatif tentang kelebihan dan kekurangan dari sistem-sistem partai

dikemukan oleh Daniele Caramani sebagai berikut 156:

Tabel 1.1 Perdebatan Normatif : Kelebihan dan Kekurangan

Sistem Dwi- Partai dan Sistem Multipartai

Sistem Dwi-Partai

Sistem Multipartai

Konotasi Sejarah Positif Sistem Dwi-Partai adalah kasus utama yang tahan terhadap perpecahan demokrasi antara Perang Dunia I dan Perang Dunia Dua : Inggris dan Amerika

Konotasi Sejarah Negatif setelah Perang Dunia I di Italia, Weimar Jerman, Republik Ke II Spanyol dan Republik Ke IV Perancis (1946-56) mengalami Krisis demokrasi

Efektif pemerintahan yang dihasilkan setelah pemilihan adalah pemerintahan yang stabil karena dibentuk oleh partai yang tunggal

Tidak Efektif pembentukan pemerintahan butuh waktu yang panjang setelah pemilihan karena negosiasi antar partai. Koalisi membuat pemerintahan yang tidak stabil

Akuntabel karena hanya ada satu partai di pemerintahan, maka tanggungjawab dapat diidentifikasi dengan mudah

Tidak Akuntabel dikarenakan pemerintahan dibentuk dari banyak partai, maka tanggungjawab menjadi kabur

Alternasi (Pergantian) dua partai utama saling bergantian memegang kekuasaan, perolehan suara mempengaruhi langsung formasi pemerintahan . sedikit peningkatan dapat menyebabkan perubahan pemerintahan.

Tidak Alternasi (tidak ada Pergantian) negosiasi koalisi jauh dari jangkauan pengaruh perolehan suara dan peningkatan perolehan suara tidaklah serta merta diikuti oleh perubahan pemerintahan

Tidak Representatif FPTP dibawah perwakilan minoritas dan di atas perwakilan partai mainstream yang besar dari kiri-kanan

Representatif PR secara fair mrepresentasikan minoritas dari masyarakat dengan ethno-lingusitic dan minoritas agamais

Politik Moderat Politik Ekstrim

155 Jimly Asshiddiqie. op.cit(4). hal 51 156 Daniele Caramani, op cit. hal 331

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Sistem Dwi-Partai

Sistem Multipartai

semua partai utama mempunyai kesempatan untuk memerintah dan menghindari adanya claim yang ekstrim. Membutuhkan perolehan yang besar dari pemilihan

sistem multipartai memungkinkan hadirnya anti sistem partai yang ekstrim. Beberapa tidak memiliki prospek pemerintahan dan tidak ragu-ragu untuk meradikalkan klaim mereka

Tidak Berkelanjutan keputusan dibuat oleh mayoritas dengan strategi yang jelas namun putusan tersebut kemungkinan tidak akan diulangi oleh pemerintah terpilih berikutnya. Legislasi sering dibalikkan

Berkelanjutan keputusan dibuat dari hasil consensus melalui konsultasi. Lebih sulit untuk menemukan strategi yang jelas namun lebih berkelanjutan dalam legislasi.

Sistem multipartai memiliki beberapa keunggulan dibanding sistem partai

lainnya, diantaranya sistem multipartai lebih mewakili keinginan rakyat banyak.

Semakin banyak jumlah partai, maka semakin banyak pilihan bagi pemilih. Selain

itu sistem multipartai adalah bentuk yang lebih baik dalam mewakili kepentingan

minoritas.157

Namun demikian sistem multipartai, menurut para ahli memiliki banyak

kelemahan. Scot Mainwarring menyatakan bahwa kombinasi antara sistem

presidensil dan sistem multi partai membuat demokrasi yang tidak stabil.158

The combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain.

Dari hasil penelitiannya, tidak ada dari 31 negara demokrasi yang stabil

di dunia mempunyai konfigurasi ini dan hanya satu contoh negara dalam sejarah,

yaitu Chili antara 1933 ke 1973 yang mampu stabil dengan sistem presidensil dan

multipartai.159 Kombinasi antara presidensil dan multipartai akan menghasilkan

imobilisasi eksekutif/ legislative deadlock daripada sistem parlementer atau sistem

presidensil-sistem dwi-partai. Presiden dipilih secara independen dan ketika

157 Lowell. Barington. Comparative Politics.Structure and Choices. Wadsworth Cengage Learning. Boston. 2012. hal 264

158 Scott Mainwaring. Op.cit (1) . 1993. hal 199 159 Ibid hal 199

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

pemenang tidak berasal dari partai mayoritas sehingga presiden tidak didukung

mayoritas parlemen.160

Tendensi menuju eksekutif-legislatif deadlock terjadi pada kombinasi

antara sistem presidensil dan multipartai terutama dengan sistem partai dengan

fragmentasi yang tinggi. Presiden sering tidak didukung oleh legislatif yang

mengakibatkan terganggunya stabilitas demokrasi dan pemerintahan yang

efektif.161 Selain itu sistem presidensil menyebabkan sistem multipartai tidak

berfungsi secara baik dikarenakan bangunan koalisi. Dalam sistem multipartai,

koalisi antar partai menjadi penting untuk mendapatkan mayoritas parlemen. Tiga

faktor yang menyebabkan sulitnya dibangun koalisi antar partai dalam sistem

presidensil adalah :162

Pertama, dalam sistem presidensil, presiden (bukan partai) yang

bertanggungjawab untuk membentuk kabinet. Presiden dapat saja membuat

kesepakatan dengan partai-partai yang mendukungnya, namun kesepakatan ini

tidaklah semengikat kesepakatan yang dibuat dalam sistem parlementer. Presiden

lebih bebas merombak kabinet yang menyebabkan lebih mudah kehilangan

dukungan kongres, karena rendahnya ikatan antara presiden ke partai, maka

partai-partai pun akan rendah pula ikatannya kepada presiden.

Kedua, dalam sistem presidensil, komitmen dari para legislator secara individu

untuk mendukung hasil kesepakatan pemimpin partai seringlah tidak konsisten

dan tidak disiplin. Akibatnya tidaklah mungkin untuk digeneralisasi bagaimana

dukungan partai terhadap pemerintahan dalam bentuk dukungan tiap individu

dalam parlemen.

Ketiga, dorongan kepada partai untuk memecah koalisi lebih kuat pada sistem

presidensil dibanding sistem parlementer. Dalam sistem presidensil-multipartai,

pada saat presiden terpilih, para pemimpin partai umumnya merasa perlu untuk

membuat jarak kepada pemerintahan. Dengan menyisakan partner tersembunyi

dalam pemerintahan koalisi, para pemimpin partai merasa takut kehilangan

160 Ibid hal 214 161 Ibid hal 215 162 Ibid hal 220

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

identitasnya, membagi kesalahan yang dibuat pemerintah dan tidak menikmati

prestasi yang dicapai.

Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam sub bab sistem kepartaian,

para ahli membagi sistem multipartai menjadi sistem multipartai sederhana

(moderate) dan sistem multipartai ekstrim sebagaimana yang dikemukakan oleh

Sartori. sistem multipartai sederhana terdiri dari 3 sampai 5 partai yang relevan,

sedangkan sistem multipartai terpolarisasi (ekstrim) terdiri dari 6 sampai 8 partai

politik yang relevan.163 Partai politik yang relevan adalah partai yang memperoleh

3% atau lebih di parlemen setelah pemilihan umum.164

Sartori memperhalus kategori sistem multipartai dikarenakan dia

menyadari bahwa kontra terhadap opini Duverger bahwa sistem multipartai

tidaklah sama. sebagian sistem multipartai (pluralisme moderat) berfungsi

layaknya sistem dua partai (dan inilah mengapa disebutkan bahwa sistem ini

adalah sistem bipolar yang dinamis), sementara sistem multipartai lainnya sangat

berbeda dari sistem dua partai. dan dalam pandangan Sartori sistem ini adalah

pluralisme yang terpolarisasi.165

Sartori menemukan bahwa karakteristik struktural dari pluralisme

terpolarisasi dicirikan oleh hadirnya lebih dari lima partai politik yang relevan

dengan derajat polarisasi ideologi yang tinggi, dengan adanya partai anti

pemerintah, dengan hadirnya oposisi bilatelar, dengan kenyataan bahwa oposisi

tidaklah bertanggungjawab.166

Siaroff membagi lagi sistem multipartai moderate menjadi sistem

multipartai moderate dengan satu partai dominan (moderate multiparty with one

dominant party), moderate multiparty with two main parties, moderate multiparty

with a relative balance amongst the parties.167 sistem multi partai cenderung

163 Wen Cheng Wu. Duverger Hypothesis Revisited. Department of Political Science, Soochow University, Taipei . 2001. hal 48. Bagaimanapun juga Wen Cheng Wu mengemukakan bahwa jumlah partai politik bukanlah yang utama, namun jumlah partai yang relevan membentuk ataupun menghambat koalisilah yang perlu untuk dihitung.

164 alan ware. Political Parties and Party Systems. Oxford University Press. 1996. hal 159 165 http://ink.library.smu.edu.sg/cgi/viewcontent.cgi?article=1043&context=soss_research

dunduh 20 november 2012] 166 http://paperroom.ipsa.org/papers/paper_5213.pdf [dunduh 20 november 2012] 167 http://paperroom.ipsa.org/papers/paper_5213.pdf [dunduh 20 november 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

menyerupai dan meniru mekanisme dan karakteristik dari dua partai sistem. Vis-à-

vis sifat dari sistem dua partai, sifat penting yang membedakan sistem multi partai

moderat adalah pemerintah koalisi. Tetapi struktur sistem multi partai moderat

tetap bipolar (bukan segitiga) dan oposisi tetap unilateral (bukan bilateral). Sistem

multi partai moderat dicirikan oleh koalisi alternatif-satu di kanan dan yang lain di

sebelah kiri. Pusat dari sistem ini adalah kosong. Sistem multi partai moderat

kurang relevan anti-sistem partai baik di ekstrim kanan atau ekstrem kiri. Semua

partai berorientasi kepada pemerintahan, sehingga mudah terbentuk koalisi. Dan

koalisi biasanya cukup stabil dan kabinet jarang rusak dan reshuffle.168

Daniel caramanie mengemukakan ciri dari Jumlah partai politik terbatas,

dibawah 5 partai dan arah kompetisi sentripetal, yang berarti partai-partai utama

cenderung menyatu ke arah pusat dari kiri-kanan untuk mendapat dukungan

dalam pemilihan umum. Pada titik pusat, terdapat satu partai kecil atau beberapa

partai yang akan membentuk koalisi ke masing-masing sisi. Peran dari partai-

partai kecil ini amatlah penting, yang akan menentukan kecenderungan koalisi

apakah ke arah kiri atau kanan. Jarak ideologi tidaklah jauh sehingga koalisi

masih memungkinkan. 169

2.4. Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara

Daniel Caramani dalam tulisannya menghimpun negara-negara yang

menganut sistem multipartai sederhana, diantaranya adalah negara-negara pada

tabel berikut ini :

Tabel 2.1 Negara dengan E (ENVP) antara 3 sampai 5170

No Negara Tahun Pemilu ENVP 1 Canada 2006 3.2 2 Czech Republic 2006 3.1 3 Finlandia 2003 4.9 4 Jerman 2005 4.1 5 Irlandia 2002 3.3

168 Wen Cheng Wu. op.cit. hal 48 169 Daniele caramani. hal 330 170 Caramani hal 33

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

6 Belanda 2003 4.8 7 Norwegia 2005 4.6 8 Polandia 2005 4.3 9 russia 2003 3.4 10 Swedia 2002 4.2

dalam studi ini, akan dikaji lebih dalam sistem multipartai sederhana di negara

Rusia, Republik Ceko dan Jerman, agar terdapat kesinambungan antara kebijakan

penyederhanaan partai politik di negara-negara tersebut yang telah dibahas pada

Sub Bab sebelumnya.

2.4.1. Sistem Multipartai Sederhana di Rusia

Pemilu tahun 2003 diikuti oleh lebih dari 24 partai politik, dan

berdasarkan minimum threshold 5 %, maka sebanyak 12 partai politik

memperoleh kursi di Parlemen. Berdasarkan perhitungan Nilai ENPP dengan

rumus dari Laakso dan Tagepera, diperoleh angka ENPP sebesar 3.38 yang berarti

pada pemilu 2003 telah menciptakan Sistem Multipartai Sederhana (Moderate

Multiparty System) di Rusia. Jumlah Partai Efektif di Parlemen 3 sampai 4 Partai.

Partai United Russia berhasil memperoleh kursi terbanyak, yaitu sebesar 49.55%,

diikuti oleh communist party 11.55%, Rodina 8.22% dan Zhirinovsky Bloc 8%.

Tabel 2.2. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2003 di Rusia

No Nama Partai Jumlah Kursi

% Jumlah Kursi (si)

si2

1 United Russia 223 0.496 0.25 2 Communist Party 52 0.116 0.01 3 Zhirinovsky Bloc 36 0.080 0.01 4 Rodina 37 0.082 0.01 5 Yabloko 4 0.009 0.00 6 Union of Rightist Forces 3 0.007 0.00 7 Agrarian Party 2 0.004 0.00 8 Russian Pensioners' Party-Party of

Social Justice 0 - -

9 Party of Russia's Rebirth-Russian Party of Life

3 0.007 0.00

10 People's Party 17 0.038 0.00 11 Unity 0 - - 12 New Course–Automobile Russia 1 0.002 0.00

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

No Nama Partai Jumlah Kursi

% Jumlah Kursi (si)

si2

13 For a Holy Russia 0 - - 14 Russian Ecological Party "The Greens" 0 - - 15 Development of Enterprise 1 0.002 0.00 16 Great Russia–Eurasian Union 1 0.002 0.00 17 Genuine Patriots of Russia 0 - - 18 Peace and Unity 0 - - 19 United Russian Party Rus' 0 - - 20 Democratic Party of Russia 0 - - 21 Russian Constitutional Democratic Party 0 - - 22 Union of People for Education and

Science 0 - -

23 People's Republican Party 0 - - 24 Other parties 0 - - 25 Independents 67 0.149 0.02 26 kursi kosong 3 0.007 0.00 Total 450 0.30 ENPP 3.38 Sumber Data diolah dari http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2003171 Pada pemilu tahun 2007, 11 partai politik menjadi peserta dan dengan

threshold 7%, hanya 4 partai politik yang dapat memperoleh kursi di parlemen.

perhitungan nilai ENPP sebesar 1.98 menunjukkan bahwa pemilu tahu 2007 telah

menciptakan sistem satu partai atau multiparty systems with a predominant party

(multipartai dengan satu partai dominan). United Rusia berhasil memperoleh kursi

lebih dari 70%, diikuti oleh Communist Party of the Russian Federation 12.67%,

Liberal Democratic Party of Russia 8.89% dan A Just Russia 8.44%.

Tabel 2.3. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2007 di Rusia

No Nama Partai Jumlah

Kursi

% Jumlah

Kursi (si)

si2

1 United Russia 315 0.700 0.49

2 Communist Party of the Russian

Federation

57 0.127 0.02

171 Wikipedia. Russian legislative election, 2003. http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2003 [diunduh 21 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

No Nama Partai Jumlah

Kursi

% Jumlah

Kursi (si)

si2

3 Liberal Democratic Party of Russia 40 0.089 0.01

4 A Just Russia 38 0.084 0.01

5 Agrarian Party of Russia 0 - -

6 Russian Democratic Party "Yabloko" ( 0 - -

7 Civilian Power 0 - -

8 Union of Rightist Forces 0 - -

9 Patriots of Russia 0 - -

10 Party of Social Justice 0 - -

11 Democratic Party of Russia 0 - -

Total 450 0.52

ENPP 1.92

Sumber Data diolah dari http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2007172

Jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu pada tahun 2011

kembali menurun, pemilu 2011 hanya diikuti oleh 7 partai politik dan 4

diantaranya berhasil memperoleh kursi di parlemen. Perhitungan nilai ENPP

didapat sebesar 2.80 menunjukkan bahwa pemilu 2011 menciptakan sistem

multipartai sederhana dengan 2 sampai 3 partai efektif di parlemen. United Russia

memperoleh 52.89% kursi, Communist Party 20.44%, A just Rusia 14.22%,

Liberal Democratic Party 12.44%. berdasarkan klasifikasi sistem partai Blondel,

sistem kepartaian di rusia juga dapat disebut sistem multipartai dengan 1 partai

dominan yaitu united russia yang memperoleh lebih dari 50% kursi di Parlemen.

Tabel 2.4. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2011 di Rusia

No Nama Partai Jumlah

Kursi

% Jumlah

Kursi (si)

si2

172 Wikipedia. Russian legislative election, 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2007 [diunduh 21 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

No Nama Partai Jumlah

Kursi

% Jumlah

Kursi (si)

si2

1 United Russia 238 0.529 0.28

2 Communist Party 92 0.204 0.04

3 A Just Russia 64 0.142 0.02

4 Liberal Democratic Party 56 0.124 0.02

5 Yabloko 0 - -

6 Patriots of Russia 0 - -

7 Right Cause 0 - -

Total 450 0.36

ENPP 2.80

Sumber Data diolah dari http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2011 173

Dari data di atas, jika dikaitkan dengan kebijakan penyederhanaan partai

politik di rusia, dapat dikatakan bahwa beratnya persyaratan untuk terdaftar

sebagai partai politik yaitu harus mempunyai 50.000 anggota dan tingginya nilai

parliamentary threshold (7%) telah mengakibatkan penurunan jumlah partai

politik peserta pemilu dan juga partai politik yang memperoleh kursi di parlemen

rusia sehingga menciptakan sistem multipartai sederhana dan bahkan pada pemilu

tahun 2007 telah menciptakan sistem 1 partai (predominant party system).

2.4.2. Sistem Multipartai Sederhana di Republik Ceko

pada pemilu tahun 1998, diikuti oleh 13 Partai politik. ketentuan

Parliamentary Thershold sebesar 5% menyebabkan hanya 5 partai politik yang

memperoleh kursi di Parlemen. Czech Social Democratic Party memperoleh 37%

kursi, diikuti dengan Civic Democratic Party 32%, Communist Party of Bohemia

and Moravia 12%, koalisi KDU dan CSL 10%, serta Freedom Union 10%. Nilai

ENPP pemilu tahun 1998 sebesar 3.71 menunjukkan bahwa pemilu 1998 telah

menciptakan sistem multipartai sederhana di Republik Ceko dengan 3 sampai 4

partai efektif di Parlemen.

173 Wikipedia. Russian legislative election, 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2011 [diunduh 21 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Tabel 2.5. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1998 di Republik Ceko

No Partai Perolehan Kursi

% perolehan kursi (si)

si2

1 Czech Social Democratic Party 74 0.37 0.137 2 Civic Democratic Party 63 0.32 0.099 3 Communist Party of Bohemia

and Moravia 24 0.12 0.014

4 KDU-ČSL 20 0.10 0.010 5 Freedom Union 19 0.10 0.009 6 SPR-RSČ 0 - - 7 Pensioners for Life Security 0 - - 8 Democratic Union 0 - - 9 Green Party 0 - - 10 Independents 0 - - 11 Moravian Democratic Party 0 - - 12 Czech National Social Party 0 - - 13 Civic Coalition - Political Club 0 - - total 200 0.270 ENPP 3.710

Sumber Data diolah dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_1998 174 Jumlah peserta pemilu bertambah pada tahun 2002 sebanyak 28 partai dan

hanya 4 partai yang berhasil memperoleh kursi di Parlemen Czech Social

Democratic Party memperoleh 35% kursi, Civic Democratic Party 29% kursi,

Communist Party of Bohemia and Moravia, 21%, dan koalisi KDU-ČSL-US-

DEU 16%. Perhitungan nilai ENPP sebesar 3.67 menunjukkan tidak ada

perubahan sistem partai dari pemilu sebelumnya yaitu 3 sampai 4 partai efektif di

parlemen.

Tabel 2.6. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Republik Ceko

No Partai Perolehan Kursi

% perolehan kursi (si)

si2

1 Czech Social Democratic Party 70 0.35 0.123 2 Civic Democratic Party 58 0.29 0.084

174 Wikipedia. Czech_legislative_election 1998. http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_1998 [diunduh 21 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

No Partai Perolehan Kursi

% perolehan kursi (si)

si2

3 Communist Party of Bohemia and Moravia

41 0.21 0.042

4 KDU-ČSL-US-DEU 31 0.16 0.024 5 Union of Independents 0 - - 6 Green Party 0 - - 7 Republicans of Miroslav Sládek 0 - - 8 Rural Party 0 - - 9 Party for a Secure Life 0 - - 10 Czech National Social Party 0 - - 11 Hope 0 - - 12 Right Bloc 0 - - 13 Civic Democratic Alliance 0 - - 14 Choice for the Future 0 - - 15 Path of Change 0 - - 16 Moravian Democratic Party 0 - - 17 Common Sense Party 0 - - 18 AZSD 0 - - 19 BPS 0 - - 20 Humanist Alliance 0 - - 21 Republicans 0 - - 22 National Democratic Party 0 - - 23 Democratic League 0 - - 24 Czech Right 0 - - 25 Czech Social Democratic

Movement 0 - -

26 Roma Civic Initiative 0 - - 27 Party of Democratic Socialism 0 - - 28 New Movement 0 - - Total 200 0.273 ENPP 3.668

Sumber Data diolah dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2002 175

Pada pemilu tahun 2006, jumlah partai peserta pemilu lebih dari 8 partai

dan lima partai berhasil memperoleh kursi di Parlemen. perhitungan ENPP

sebesar 2.258 menunjukkan pemilu 2006 telah menciptakan sistem multipartai

sederhana dengan 2 sampai 3 partai efektif di parlemen. Civic Democratic Party

175 Wikipedia. Czech Legislative Election. 2002 http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2002 [diunduh 21 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

(ODS) memperoleh 41% kursi, Czech Social Democratic Party (ČSSD) 37%,

Communist Party of Bohemia and Moravia (KSČM) 13% dan Christian and

Democratic Union - Czechoslovak People's Party (KDU-ČSL) 7%.

Tabel 2.7. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2006 di Republik Ceko

No Partai Perolehan Kursi

% perolehan kursi (si)

si2

1 Civic Democratic Party (ODS) 81 0.41

0.164

2 Czech Social Democratic Party (ČSSD) 74 0.37

0.137

3 Communist Party of Bohemia and Moravia (KSČM)

26 0.13

0.137

4 Christian and Democratic Union - Czechoslovak People's Party (KDU-ČSL)

13 0.07

0.004

5 Green Party (SZ) 6 0.03

0.001

6 SNK European Democrats (SNK ED) 0 - - 7 Freedom Union - Democratic Union

(US-DEU) 0 - -

8 Others 0 - - Total 200 0.443 ENPP 2.258

Sumber Data diolah dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2006 176

2.4.3. Sistem Multipartai Sederhana di Jerman

Pemilu tahun 2002 diikuti oleh lebih dari 7 partai politik. 6 partai politik

berhasil melewati thershold 5% dan memperoleh kursi di Parlemen. Social

Democratic Party memperoleh 41.6% kursi, Christian Democratic Union 31.5%,

Christian Social Union 9.6% dan Alliance '90/The Greens 9.1%. berdasarkan

perhitungan diperoleh nilai ENPP sebesar 3.38, sehingga pemilu tahun 2005 di

Jerman telah menciptakan sistem multipartai moderate (sederhana).

176 Wikipedia. Czech Legislative Election. 2002. http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2006 [diunduh 21 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Tabel 2.8. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Jerman

No Partai Perolehan Kursi

% perolehan kursi (si)

si2

1 Social Democratic Party 251 0.416 0.17 2 Alliance '90/The Greens 55 0.091 0.01 3 Christian Democratic Union 190 0.315 0.10 4 Christian Social Union 58 0.096 0.01 5 Free Democratic Party (FDP) 47 0.078 0.01 6 Party of Democratic Socialism

(PDS) 2 0.003 0.00

7 all others 0 - - Total 603 0.30 ENPP 3.38 Sumber Data Diolah Dari :

http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2002 177

Pada pemilu tahun 2005 diikuti oleh lebih dari 8 partai politik. 6 partai

politik berhasil memperoleh kursi di parlemen. Social Democratic Party of

Germany memperoleh 36.16% kursi, Christian Democratic Union 29.32%, Free

Democratic Party 9.93%, The Left Party.PDS 8.79. Berdasarkan perhitungan

didapat Nilai ENPP sebesar 4.05, yang dapat diartikan bahwa pemilu 2005

berhasil mempertahankan sistem multipartai sederhana (moderat) di Jerman.

Tabel 2.9 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2005 di Jerman

No Partai Perolehan Kursi

% perolehan kursi (si)

si2

1 Christian Democratic Union 180 0.293159609 0.09 2 Christian Social Union in Bavaria 46 0.074918567 0.01 3 Social Democratic Party of Germany 222 0.361563518 0.13 4 Free Democratic Party 61 0.099348534 0.01 5 The Left Party.PDS 54 0.087947883 0.01 6 Alliance '90/The Greens 51 0.083061889 0.01 7 National Democratic Party of

Germany 0 0 -

8 others 0 0 -

177 Wikipedia. German Federal Election 2002. http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2002 [diunduh 21 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

No Partai Perolehan Kursi

% perolehan kursi (si)

si2

Total 614 0.25 ENPP 4.05 Sumber Data Diolah Dari

http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2005178

Pemilu 2009 juga menciptakan sistem multipartai sederhana, meskipun terjadi

peningkatan Nilai ENPP sebesar 4.83, namun jumlah efektif partai di parlemen

tetap dibawah 5 partai politik.

Tabel 2.10. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2009 di Jerman

No Partai Perolehan Kursi

% perolehan kursi (si)

si2

1 Christian Democratic Union 194 0.311897106 0.10 2 Christian Social Union of Bavaria 45 0.072347267 0.01 3 Social Democratic Party 146 0.234726688 0.06 4 Free Democratic Party 93 0.149517685 0.02 5 The Left 76 0.122186495 0.01 6 Alliance '90/The Greens 68 0.109324759 0.01 7 Pirate Party 0 0 - 8 National Democratic Party 0 0 - 9 Human Environment Animal Welfare 0 0 - 10 The Republicans 0 0 - 11 Ecological Democratic Party 0 0 - 12 Family Party 0 0 - 13 other 0 0 - total 622 0.21 ENPP 4.83

Sumber Data Diolah Dari :

http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2009179

Berdasarkan analisa tentang sistem multipartai di Jerman, dapat dijelaskan

bahwa kebijakan parliamentary threshold sebesar 5 % telah berhasil menmbatasi

178 Wikipedia. German Federal Election 2002. http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2005178 [diunduh 21 November 2012]

179 Wikipedia. German_federal_election,_2009. http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2009 [diunduh 21 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

jumlah partai yang dapat memperoleh kursi di Parlemen. sistem multipartai

sederhana bertahan dan stabil pada masa tiga periode pemilu yaitu dari tahun

2002, 2005 sampai 2009.

2.5. Analisis Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai

Negara

Berdasarkan uraian mengenai sistem multipartai sederhana di beberapa

negara di atas, yaitu di Jerman, Rusia dan Republik Ceko, dapat dianalisa bahwa

Kebijakan threshold 5% di Rusia, berhasil menyaring 50% peserta pemilu masuk

ke parlemen, dan menciptakan sistem multipartai moderat di pemilu 2003,

kenaikan angka threshold menjadi 7% dipemilu tahun 2007 menyebabkan hanya 4

partai yang memperoleh kursi dan menciptakan sistem multipartai dengan satu

partai dominan. sistem partai kemudian berubah kembali pada pemilu 2011

menjadi sistem multipartai sederhana dengan jumlah 4 partai politik di parlemen.

kondisi yang sama juga terjadi di Republik Ceko, dengan angka threshold sebesar

5% telah berhasil mempertahankan sistem multipartai sederhana di tiga pemilu

yaitu pemilu 1998, 2002 dan 2006. Federasi Jerman yang juga menerapkan

threshold sebesar 5% telah dapat mempertahankan sistem multipartai sederhana

pada pemilu 2002, 2005 dan 2009.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

BAB III

PENGATURAN KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK

DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA PASCA REFORMASI

3.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik dan Kebijakan Penyederhanaan

Partai Politik di Indonesia

Partai politik sudah dikenal di Indonesia sejak masa perjuangan

kemerdekaan. Partai politik tidaklah menghilang setelah Indonesia mendapatkan

kemerdekaan, namun terus berkembang.180 Munculnya partai politik di Indonesia

sangat lekat dengan meningkatnya Nasionalisme di Hindia Belanda pada masa

sekitar abad 1900. Periode pertama dari pergerakan nasional meningkat sampai

pada pertengahan 1920 yang menunjukkan kepedulian politik di antara bangsa

pribumi, dengan peningkatan permintaan terhadap partisipasi politik pribumi,

termasuk juga seruan kemerdekaan dari Belanda.181 Partai-partai politik pada

masa ini, berdasar pada baik budaya atau persatuan agama atau ideologi sosialis.

Di awal abad ke 20, bagaimanapun juga menunjukkan peningkatan konflik

dan persaingan diantara partai dan pemimpin yang berbeda dari pergerakan

nasionalis. Terdapat pembagian ideologi yang kuat diantara partai-partai

setidaknya pada awal 1920an. Kesepakatan untuk berpisah dari Belanda adalah

sedikit kesepakatan dari kesepakatan mengenai bentuk dan arah ideologi dari

Negara Indonesia Merdeka. Perbedaan ideolgi secara umum diantara para

pemimpin yang konservatif pada partai politik berbasis masa pertama, Sarekat

Islam dan banyak lagi pemimpin yang radikal dari Partai Komunis Indonesia sulit

untuk disatukan.182

180 David Bourchier dan Vedi R Hadiz. Indonesian Politics and Society. A reader. Routledge Curzon. London. 2003. hal 60

181 Stefan Eklof. Op.cit hal 26. Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, op cit. Partai politik

pertama lahir di zaman colonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua organisasi, apakah ia bertujuan social (seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah) atau terang terangan menganut asas politik/agama (seperti sarekat islam dan partai katolik) atau asas politik sekuler (seperti PNI dan PKI) memainkan peran penting dalam berkembangnya pergerakan nasional. Pola kepartaian masa itu menunjukkan keanekaragaman dan pola ini kita hidupkan kembali pada zaman merdeka dalam bentuk sistem multi partai. hal 423

182 Ibid hal 26

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Pada tahun 1918 Belanda mendirikan Volksraad yang berfungsi sebagai

badan perwakilan, dan ada beberapa partai serta organisasi yang memanfaatkan

kesempatan itu untuk bergerak melalui badan ini. Pada awalnya partisipasi

organisasi Indonesia sangat terbatas. Pada 1931 waktu diterimanya prinsip

“mayoritas pribumi” dari 60 orang anggota, 30 orang adalah pribumi. Disamping

itu, ada usaha untuk meningkatkan persatuan nasional melalui penggabungan

partai-partai politik dan memperjuangkan Indonesia Berparlemen dan pada tahun

1939 terbentuk Komite Rakyat Indonesia (KRI) yang dibentuk oleh Gabungan

Partai-Partai Beraliran Nasional (GAPI) dan Majelisul Islamil a’laa Indonesia

(MIAI). Namun dalam kenyataannya partai dan organisasi kemasyarakatan

lainnya sulit untuk bersatu yang kemudian menjadi landasan untuk terbentuknya

pola sistem multipartai di zaman kemerdekaan.183 Pola sistem multipartai ini juga

disebabkan oleh kondisi masyarakat yang multi etnis dan multi agama.

Keberagaman ini juga direfleksikan dalam partai-partai politik di Indonesia.184

Pasca kemerdekaan, sejarah politik Indonesia biasanya dibagi menjadi

beberapa periode atau rezim, yaitu : periode demokrasi parlementer atau

dominansi kabinet, yaitu mulai dari masa peralihan kemerdekaan tahun 1949

sampai dengan parlemen kehilangan kewenanganya di tahun 1957, periode

demokrasi terpimpin atau dominansi presidensil, yaitu dimulai sejak dekrit

presiden untuk kembali ke UUD 1945 pada Juli 1959 sampai dengan kejatuhan

Partai Komunis di tahun 1965 dan periode orde baru dari tahun 1965.185 Periode

orde baru berakhir setelah Presiden Suharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998

dan Indonesia memasuki era reformasi.186

Pada saat proklamasi kemerdekaan diumumkan oleh Soekarno-Hatta,

secara formal Indonesia tidak lagi memiliki partai politik. Menjelang akhir

pendudukan Jepang di Indonesia, seluruh kegiatan politik tidak diperbolehkan dan

183 Miriam Budiardjo.op.cit hal 423-424 184 Leo Suryadinata.Political Parties and the 1982 General Election in Indonesia. Institute of

Southeast Asian Studies. Singapore. 1982. hal 1 185 Karl D Jakckson and Lucian W Pye. Political Power and Communications in Indonesia.

University California Press. California 1978. hal 172 186 Kacung Marijan. Sistem Politik Indonesia. Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Kencana

Prenada Media Grup. Jakarta 2010. hal 2

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

partai-partai yang telah berkembang sejak 1900 dibubarkan.187 Berdirinya partai

politik pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia merupakan jawaban atas

Maklumat Pemerintah Nomor X pada 3 November 1945 yang ditandatangani

oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.188 Sebelumnya Presiden Soekarno

merencanakan untuk membentuk partai tunggal yaitu Partai Nasional Indonesia

yang dimaksudkan agar kekuatan masyarakat tidak terpecah belah, namun rencana

itu ditentang oleh tokoh pergerakan lainnya.189

Maklumat Wakil Presiden itu dikeluarkan setelah ada usul dari Badan

Pekerja KNPI supaya diberikan kepada rakyat seluas-luasnya hak untuk

mendirikan partai politik. Isi dari Maklumat tersebut antara lain yaitu :190

1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya

partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran

yang ada dalam masyarakat

2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik telah tersusun sebelum

dilangsungkan pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat pada

Bulan Januari 1946.

Mengikuti Maklumat Pemerintah itu, sejumlah partai politik tumbuh dalam kurun

waktu singkat. Para anggota KNIP pun ikut berlomba mendirikan partai politik.191

Pada masa pemilihan umum pertama tahun 1955, ada lebih dari 30 partai politik

dan hanya empat diantaranya yang dapat berfungsi efektif, yaitu :192 Partai

Nasional Indonesia (PNI) yang memenangkan 22.3% suara, Masyumi (Partai

Islam Modern) memenangkan 20.9 % suara, Nahdatul Ulama (NU) memperolah

18,4% suara sementara Partai Komunis Indonesia memperoleh 16.4% suara.

187 Ign Ismanto. Pemilihan Presiden secara Langsung 2004 : dokumentasi, analisis, dan kritik. hal 11

188 M. Dzulkifriddin. Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia : peran dan jasa

Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia. PT. Mizan Pustaka. 2010. hal 93. 189 Ign Ismanto. op cit hal 13 190 Mohammad Hatta. Untuk Negeriku. Berjuang dan Dibuang. Sebuah Otobiografi. PT. Kompas

Media Nusantara. Jakarta. 2011. hal 115 191 Ign Ismanto. op.cit. hal 14 192 Leo Suryadinata. op cit hal 1

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Perkembangan selanjutnya adalah adanya suasana perdebatan di

konstituante hasil pemilu 1955 tentang dasar ideologi negara telah membuat

pembuatan Undang-Undang Dasar yang permanen menjadi terbengkalai dan

pemerintah menganggap hal itu sebagai kemacetan konstitusional yang serius.

Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 untuk

kembali ke UUD 1945 dan membubarkan majelis konstituante yang dipilih oleh

rakyat. Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden Sukarno

mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No 7/1959 yang mengatur kehidupan

dan pembubaran partai politik. Penpres itu memberikan hak kepada Presiden

untuk menindak partai politik yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar

negara atau pemimpinnya terlibat pemberontakan atau menolak untuk menindak

anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan.193 Presiden Sukarno

menilai kehidupan kepartaian saat itu dengan segala manuvernya telah

membahayakan persatuan dan keselamatan negara.194

Sesudah dikeluarkannya Penetapan Presiden tersebut, Sukarno kemudian

mengeluarkan Keputusan Presiden No 200/1960 dan Kepres 201/1960 yang

dengan resmi memerintahkan membubarkan Masyumi dan PSI.195 Soekarno,

dalam amanat Presiden pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17

Agustus 1960, menyatakan pembubaran Masjumi dan PSI adalah karena kedua

partai tersebut melanggar ketentuan Pasal 9 Penpres Nomor 7 Tahun 1959.196

Pada tanggal 21 September 1965, Presiden Sukarno kembali membubarkan partai

politik, yaitu Partai Murba dengan Keputusan Presiden No 291 Tahun 1965 yang

menetapkan pembubaran Partai Murba, termasuk cabang-cabang/ranting-

rantingnya di seluruh wilayah Republik Indonesia.197 Disamping itu, untuk

memobilisasi semua kekuatan politik di bawah pengawasan pemerintah. Wadah

193 Tohir Luth. M. Natsir : Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani Press. 1999. hal 51 194 Wawan Tunggul Alam. Demi Bangsaku : Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta. Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta. 2003. hal 284. 195 Tohir Luth. Op cit hal 52 196 Muchamad Ali Safa’at. op cit hal 169 197 Rosihan Anwar. Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-

1965. Yayasan Obor Indonesia. 2006. hal 372

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

yang mendasarkan pada NASAKOM dibentuk pada tahun 1960 dan disebut Front

Nasional. Semua partai dan kelompok organisasi terwakili di dalamnya. Melalui

Front Nasional, PKI berhasil mengembangkan sayapnya dan mempengaruhi

semua aspek kehidupan politik. Pada tahun 1965 gerakan Gestapu PKI

mengakhiri riwayat demokrasi terpimpin.198

Letnan Jenderal Suharto, berbekal Surat Perintah 11 Maret 1966

(Supersemar) pada 12 Maret 1966 membubarkan PKI dan menyatakannya

sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.199 Keputusan Presiden

tentang Pembubaran PKI tersebut kemudian dikukuhkan kedudukannya menjadi

TAP MPRS Nomor XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,

Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang, di seluruh Wilayah Negara Republik

Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan setiap Kegiatan untuk

Menyebarkan, Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme,

Leninisme.200

Sebagai pemimpin orde baru, Soeharto mengusahakan dilaksanakannya

pemilihan umum. Tapi baru pada tahun 1971, pemilu berhasil dilaksanakan.201

Pada Pemilu Tahun 1971, pemerintah mengelarkan beberapa kebijakan baru,

diantaranya adalah keharusan bagi para pejabat negara untuk bersikap netral,

diterapkannya stembus accord bagi partai peserta pemilu. Aturan ini

menyebabkan konfigurasi politik berubah, beberapa partai yang sebelumnya

Berjaya pada pemilu 1955 diwajibkan berafiliasi dengan partai lain karena

kekurangan suara. Sejak Pemilu 1971, Golkar mulai mendominasi dunia politik

Indonesia. 202 Golkar semakin Berjaya setelah pemerintah bersama DPR

mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan

198 Miriam Budiardjo. Op cit hal 442 199 Syamsudin Haris. Partai Parlemen dan Parlemen Lokal di Era Transisi Demokrasi di

Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007. hal 914 200 Samsudin. Mengapa G30S/PKI Gagal? : Suatu Analisis. Yayasan Obor Indonesia. 2004. hal

129. 201 Firmanzah. Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era

Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia. 2007. hal 6 202 J. Kristadi. Who Wants to be The Next President? : A-Z Informasi Politik Dasar dan Pemilu.

Kanisius. 2009 hal 84

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Golongan Karya, peserta pemliu hanya 2 partai dan 1 golongan karya. Kedua

Partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi

Indonesia (PDI).203 Kebijakan penyederhanaan jumlah partai politik pasca pemilu

1971, dimaksudkan pemerintah untuk menjamin stabilitas politik yang mantap.204

Dengan persuasi yang kuat, akhirnya semua partai politik menyetujui

untuk melaksanakan fusi, sehingga terbentuk Partai Persatuan Pembangunan

(PPP) yang merupakan fusi dari empat partai Islam, yaitu NU, Parmusi, PSII dan

Persi, sedangkan PDI merupakan fusi dari Partai-Partai Nasional, Partai Katolik

dan Partai Kristen Indonesia.205 Peluang politik PPP dan PDI sulit untuk

mengalahkan Golkar, yang memang didesain untuk selalu menjadi pemenang

pemilu dengan melalui tiga jalur yaitu : Jalur A PNS, Jalur B ABRI dan Jalur C

(organisasi masyarakat yang mendukung Golkar).206 Golkarpun selama lima kali

pemilu berturut-turut, yakni pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, hingga tahun 1997

selalu menjadi pemenang dengan jumlah suara yang signifikan. Kondisi ini

berubah ketika pemerintah orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto

digulingkan oleh generasi muda Indonesia, sejak tanggal 21 Mei 1998 yang

merubah orde politik menjadi orde reformasi.207

3.2. Partai Politik pada Masa Pasca Reformasi

Setelah terkungkung oleh sistem kepartaian Orde Baru, yang sangat

ramping, Indonesia mengalami ledakan partai politik luar biasa. Antara akhir Mei

1998 dan Februari 1999, kurang dari 10 bulan, telah lahir 160 partai politik baru.

Ini berarti hampir setiap dua hari lahir satu partai politik baru. Sepeninggal

Soeharto, sistem kepartaian Indonesia pun hiruk pikuk. Partai politik berjumlah

181 buah, dan 148 di antaranya mendaftarkan diri secara resmi ke Departemen

Kehakiman. Departemen Kehakiman kemudian mengesahkan 141 di antaranya.

203 Ibid. hal 85 204 Sulastomo. Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru. Sebuah Memoar. PT.

Kompas Media Nusantara. 2008. hal 200 205 Ibid 206 Ibid 207 J. Kristadi. op cit hal 85

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Dari 141 partai politik ini, 110 mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas untuk ikut

Pemilu 1999, dan setelah melalui proses verifikasi, hanya ada 48 partai politik

yang boleh ikut Pemilu 1999.208

Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pada tahun 1999, 2000,

2001 dan 2002, mengharuskan adanya perubahan tatanan dan kelembagaan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dalamnya sistem politik.209

Sistem politik Indonesia yang harus dijalankan sesuai UUD 1945 adalah sistem

politik demokrasi berdasarkan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1

ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di

tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD dan Negara Indonesia adalah

Negara hukum. Dengan demikian tatanan kelembagaan politik, termasuk juga

partai politik harus dijalankan berdasarkan aturan hukum yang demokratis.210

Salah satu prinsip luhur dalam UUD 1945 adalah adanya jaminan

kemerdekaan berserikat sebagai bagian dari hak asasi manusia (Pasal 28, Pasal

28E ayat (2) dan ayat (3) UUD1945). Partai politik adalah salah satu pilar

kemerdekaan berserikat, sehingga pembubarannya hanya dapat dilakukan melalui

mekanisme peradilan, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat

(1) UUD1945). Dalam sistem representative democracy, biasa dimengerti bahwa

partisipasi rakyat yang berdaulat terutama disalurkan melalui pemungutan suara

untuk membentuk lembaga perwakilan. Mekanisme perwakilan ini dianggap

dengan sendirinya efektif untuk maksud menjamin keterwakilan aspirasi atau

kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dalam sistem perwakilan, kedudukan dan

peran partai politik sangat dominan.211 Peranan partai politik tersebut diatur dalam

Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan bahwa

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

208 Eep Saefulloh Fatah. Sebuah Cermin Cembung. Partai-Partai Politik Indonesia : Ideologi, Strategi dan Program. http://majalah.tempointeraktif.com. 1999.

209 Jimly Asshiddiqie. op.cit (4). hal 268 210 Ibid 211 Ibid hal 283.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Pentingnya peran dan kedudukan partai politik pasca reformasi diatur pula

dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden. Sesuai dengan Pasal 6A ayat

(2). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau

gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan

umum.

Pada masa reformasi, kebijakan pembatasan partai ditiadakan, tetapi sebagai

gantinya diterapkan kebijakan ambang batas (threshold) yang sebenarnya juga

merupakan pembatasan, meskipun tidak secara langsung. Pembatasan dilakukan

dengan membuka peluang kepada semua pihak, semua partai politik untuk

bersaing secara terbuka. Apabila dalam persaingan itu, partai-partai politik yang

bersangkutan tidak dapat mencapai perolehan dukungan yang memadai, maka

keberadaannya didiskualifikasi, baik untuk menjadi peserta pemilu (electoral

threshold) atau pun untuk duduk di kursi keanggotaan lembaga perwakilan rakyat

(parliamentary threshold).212

3.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Partai

Politik Pasca Reformasi

Kebijakan penyederhanaan partai politik sebagaimana telah diuraikan

sebelumnya, sudah berlaku sejak zaman awal kemerdekaan. Di Masa

kepemimpinan Presiden Soekarno selama demokrasi terpimpin dan masa

kepemimpinan Presiden Suharto telah membentuk Undang-Undang yang bersifat

represif terhadap kehidupan partai politik. Partai politik cenderung sangat dibatasi

dan bahkan dibubarkan apabila tidak sesuai dengan kehendak penguasa. Sifat

hukum represif ini dapat dikaitkan dengan rezim otoriter pada waktu itu,

sebagaimana dikemukakan oleh Nonet dan Selznik dalam bukunya Law and

Society in Transition Toward Responsive Law. Karakter hukum tersebut dapat

dibagi menjadi karakter hukum represif (repressive law) dan karakter hukum

responsif (responsive law)213. Menurut Nonet and Zelznik, timbulnya sifat

represif adalah karena apa yang disebut merriam sebagai the poverty of power,

212 Jimly Asshiddiqie. op.cit. hal 3 213 Philipe Nonet dan Philip Selznick. Law and Society in Transition : Toward Responsive Law

dalam Satya Arinanto Politik Hukum 2. Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. 2001. hal 5

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

atau keterbatasan kekuasaan. Kekuasaan itu bergantung pada dukungan alat dan

kepercayaan. Apabila dua hal itu tidak ada, maka kekuasaan akan menggunakan

cara-cara yang represif. Hukum represif adalah berkaitan dengan bentuk rezim

pemerintahan yang totaliter,

In fact, the most extreme manifestations of repressive law occure in the totalitarian superstate of modern times.

Meskipun demikian, politik represif sebenarnya dapat muncul di mana saja dan

kapan saja baik di rezim yang stabil dan kuat bahkan pada lembaga yang liberal

dan rasionalitas tinggi. Represi digunakan apabila tidak ada jalan lain untuk

mengelola ketertiban masyarakat214.

Dengan kata lain timbulnya hukum yang represif adalah karena adanya :

1. Penyatuan yang kuat antara hukum dan politik

2. Kekuasaan pemerintah yang berlebihan

3.3.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitafif Pendirian dan

Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum

3.3.1.1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik merupakan

Undang-Undang pertama pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Undang-Undang ini

menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan

Golongan Karya dan Undang-Undang Nomro 3 Tahun 1985 tentang Perubahan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya

yang dipandang sudah tidak dapat menampung lagi aspirasi politik yang

berkembang.215

Partai politik, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 diartikan

sebagai setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia

secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik

kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum

214 Ibid 215 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Lembaran

Negara Tahun 1999 Nomor 22. Tambahan Lembaran Negara Nomor. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3809

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

[Pasal 1 ayat (1)]. Persyaratan-persyaratan yang membatasi partai politik dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dapat diuraikan sebagai berikut :

A. Persyaratan Pembentukan Partai Politik

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, untuk membentuk

partai politik, harus dibentuk oleh minimal 50 orang warga negara Republik

Indonesia yang telah berusia 21 tahun sebagaimana dijelaskan pada :

Pasal 2 ayat (1) :

Sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik.

Ketentuan syarat pembentukkan partai politik kemudian diatur dalam pasal 2 ayat

(2) yang menambah syarat asas/ ideologi pembentukan partai yaitu :

mencantumkan Pancasila dalam Anggaran Dasar Partai, Asas atau Ciri, aspirasi

dan program partai tidak bertentangan dengan pancasila, tidak menggunakan

nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera Negara

Republik Indonesia, bendera negara asing, gambar perorangan serta lambang

partai lain.

Pasal 2 ayat (2) :

Partai Politik yang dibentuk sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat: a. mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan

Republik Indonesia dalam anggaran dasar partai; b. asas atau ciri, aspirasi dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan

Pancasila; c. keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara

Republik Indonesia yang telah mempunyai hak pilih d. Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama

dengan lambang negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih, bendera kebangsaan negara asing, gambar perorangan dan nama serta lambang partai lain yang telah ada.

Pada ketentuan Pasal 3 dijelaskan bahwa

pembentukan partai politik tidak boleh membahayakan persaturan dan kesatuan nasional.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Syarat dan prosedur pendirian dan pendaftaran partai diatur dalam Pasal 4 ayat

(1), (2) dan (3) yang mengatur bahwa partai politik didirikan dengan akta notaris

dan kemudian didaftarkan pada Departemen Kehakiman RI. Partai Politik yang

telah memenuhi persyaratan pembentukan sebagaimana dimaksud pada Pasal (2)

dan Pasal (3) kemudian disahkan sebagai badan hukum dan diumumkan dalam

Berita Negara Republik Indonesia.

Pasal 4 ayat (1)

Partai Politik didirikan dengan akte notaris dan didaftarkan pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia

Pasal 4 ayat (2)

Departemen Kehakiman Republik Indonesia hanya dapat menerima pendaftaran pendirian Partai Politik apabila telah memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang ini.

Pasal 4 ayat (3)

Pengesahan pendirian Partai Politik sebagai badan hukum diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

B. Ketentuan dan Persyaratan Keuangan Partai Politik

Pada Bab VI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, diatur tentang

Keuangan Partai Politik. Ketentuan mengenai keuangan partai meliputi ketentuan

: 1) mengenai sumber pendanaan, 2) . Bentuk organisasi 3). Besaran maksimal

penerimaan, 4). Laporan Keuangan.

Pada Pasal 12 ayat (1), keuangan partai politik bersumber dari : iuran anggota,

sumbangan dan usaha lain yang sah. Selain itu berdasarkan Pasal 12 ayat (2)

partai politik menerima bantuan tahunan dari anggaran negara dan ditetapkan

berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum sebelumnya dan partai

politik dilarang menerima sumbangan dan bantuan dari pihak asing.

Pasal 12 ayat (1), (2), (3) dan (4) : (1) Keuangan Partai Politik diperoleh dari:

a. iuran anggota; b. sumbangan; c. usaha lain yang sah.

(2) Partai Politik menerima bantuan tahunan dari anggaran negara yang ditetapkan berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum sebelumnya.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

(3) Penetapan mengenai bantuan tahunan sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah.

(4) Partai Politik tidak boleh menerima sumbangan dan bantuan dari pihak asing.

Bentuk organisasi partai dikaitkan dengan keuangan adalah merupakan

organisasi nirlaba (organisasi yang tidak mencari keuntungan financial). Dengan

demikian partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham

suatu badan usaha.

Pasal 13 ayat (1) dan (2) :

(1) Partai Politik merupakan organisasi nirlaba. (2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud ayat (1), Partai Politik dilarang

mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

Pada Pasal 14 ayat (1), (2), (3), diatur batasan maksimal sumbangan yang

dapat diterima partai politik. Jumlah sumbangan dari setiap orang dibatasi sebesar

Rp.15.000.000 (Lima Belas Juta) dalam setahun. Sedangkan jumlah sumbangan

dari setiap perusahaan atau badan lainnya dibatasi sebesar Rp. 150.000.000

(Seratus Lima Puluh Juta) dalam setahun. Partai politik dapat juga menerima

sumbangan yang berupa barang, namun nilainya disesuaikan dengan sumbangan

berupa uang.

Pasal 14

(1) Jumlah sumbangan dari setiap orang yang dapat diterima oleh Partai Politik sebanyak-banyaknya adalah Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) dalam waktu satu tahun.

(2) Jumlah sumbangan dari setiap perusahaan dan setiap badan lainnya yang dapat diterima oleh Partai Politik sebanyak-banyaknya adalah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dalam waktu satu tahun.

(3) Sumbangan yang berupa barang dinilai menurut nilai pasar yang berlaku dan diperlakukan sama dengan sumbangan yang berupa uang.

Laporan pengelolaan keuangan Partai Politik diatur dalam Pasal 15 ayat (1) dan

(2). Partai politik diwajibkan untuk melapor daftar penyumbang, jumlahnya dan

laporan keuangan yaitu : setiap akhir tahun, 15 hari sebelum dan 30 hari sesudah

pemilihan umum kepada Mahkamah Agung. Laporan Keuangan partai dapat

diaudit oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

C. Larangan, Pengawasan dan Pembubaran Partai Politik

Ketentuan yang berbentuk larangan selain yang sudah diuraikan di atas

diatur pula dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Partai politik

dilarang untuk menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham

Komunisme/Marxisme/ Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan

Pancasila.

Pasal 16 huruf a :

10.1. menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme/ Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila;

Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 17 ayat (1), (2), (3) dan (4) serta Pasal 18

ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 berwenang untuk :

mengawasi, membekukan, membubarkan dan menjatuhkan sanksi administratif

berupa penghentian bantuan anggaran negara kepada partai politik. Selain itu

Mahkamah Agung berwenang mencabut hak partai politik untuk mengikuti

pemilihan umum jika melanggar ketentuan.

Pasal 17 ayat (1), (2), (3) dan (4) (1) Pengawasan atas ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-

undang ini dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2) Dengan kewenangan yang ada padanya, Mahkamah Agung Republik

Indonesia dapat membekukan atau membubarkan suatu Partai Politik jika nyata-nyata melanggar Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 16 undang-undang ini.

(3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan dari Pengurus Pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan.

(4) Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran Partai Politik dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) (1) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menjatuhkan sanksi

administratif berupa penghentian bantuan dari anggaran negara apabila suatu Partai Politik nyata-nyata melanggar Pasal 15 undang-undang ini.

(2) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat mencabut hak suatu Partai Politik untuk ikut pemilihan umum jika nyata-nyata melanggar Pasal 13 dan Pasal 14 undang-undang ini.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

(3) Pencabutan hak sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar pertimbangan pengurus pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan.

3.3.1.2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002216

Pada tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang partai

politik dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2002. Kebijakan tentang penyederhanaan partai mulai dikemukakan

secara eksplisit dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Tujuan

dan Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik adalah melalui

penetapan persyaratan kualitatif maupun kuantitatif, sebagaimana yang dijelaskan

dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002:

“Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional. Mekanisme ini di samping tidak cenderung menampilkan monolitisme, juga akan lebih menumbuhkan suasana demokratis yang memungkinkan partai politik dapat berperan secara optimal. Perwujudan sistem multipartai sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam pembentukan partai maupun dalam penggabungan partai-partai yang ada.”

Ketentuan persyaratan penyederhanaan partai politik berdasarkan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2002 dapat diuraikan sebagai berikut :

A. Persyaratan Pembentukan dan Pendirian Partai Politik

Ketentuan Pembentukan Partai Politik terdapat pada Bab II Pasal 2, Pasal 3 dan

Pasal 4. Pada Pasal 2 ayat (1) dan (2), disyaratkan bahwa partai politik dibentuk

dan didirikan oleh minimal 50 orang WNI yang berusia 21 tahun dengan akta

notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta

kepengurusan di tingkat nasional. Untuk terdaftar sebagai badan hukum di

departemen kehakiman, berdasarkan Pasal 2 ayat (3), Partai politik harus

memenuhi persyaratan yaitu : memiliki akta notaris yang sesuai dengan UUD

1945 dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya, memiliki kepengurusan

216 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

minimal 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah Kabupaten/Kota di tiap

Provinsi bersangkutan dan 25% dari jumlah kecamatan di setiap Kabupaten/Kota

yang bersangkutan, memiliki nama, lambang dan tanda gambar yang tidak sama

dengan nama, lambang dan tanda gambar partai politik lain serta memiliki kantor

tetap.

Pasal 2 ayat (1), (2), (3) : (1) Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima

puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris.

(2) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan tingkat nasional.

(3) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat a. memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya;

b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25%(dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan;

c. memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain; dan. mempunyai kantor tetap.

Prosedur pendaftaran partai politik menjadi badan hukum diatur pada pasal 3 ayat

(1), (2) dan (3). Partai politik yang telah memenuhi syarat pembentukan

didaftarkan ke Departemen Kehakiman. Selambat-lambatnya 30 hari setelah

penerimaan pendaftaran Menteri Kehakiman mengesahkan partai politik menjadi

badan hukum dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Pasal 3 (1) Departemen Kehakiman menerima pendaftaran pendirian partai politik yang

telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Pengesahan partai politik sebagai badan hukum dilakukan oleh Menteri

Kehakiman selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah penerimaan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(3) Pengesahan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

B. Persyaratan Asas/Ideologi Partai

Berdasarkan pasal 5 ayat (1) dan (2) ditentukan bahwa asas dan ciri partai politik

tidaklah boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Pasal 5 (1) Asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Setiap partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai dengan

kehendak dan cita-citanya yang tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan undang-undang.

C. Pengaturan dan Persyaratan Keuangan Partai Politik

Pengaturan tentang Keuangan partai politik diatur dalam Bab IX yang terdiri dari

aspek sumber pendanaan, batasan minimum penerimaan. Mengenai kewajiban

tentang laporan keuangan diatur dalam Pasal 9 huruf h, i dan j. sumber pendanaan

partai berasal dari : iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan

bantuan dari anggaran negara yang diberikan sesuai perolehan kursi di DPR.

Pasal 17 (1) Keuangan partai politik bersumber dari:

a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan dari anggaran negara.

(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa uang, barang, fasilitas, peralatan, dan/atau jasa.

(3) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat.

Besaran sumbangan dari anggota dan bukan anggota maksimal Rp. 200.000.000

per tahun. Sumbangan dari perusahaan/badan usaha maksimal Rp. 800.000.000.-

per tahun.

Pasal 18 (1) Sumbangan dari anggota dan bukan anggota sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun.

(2) Sumbangan dari perusahaan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu)tahun.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Terkait dengan keuangan, partai politik diwajibkan untuk membuat pembukuan,

daftar penyumbang, jumlah sumbangan yang bersifat terbuka kepada masyarakat

dan pemerintah. Laporan keuangan dibuat secara berkala per tahun disampaikan

kepada Komisi Pemilihan Umum setelah sebelumnya diaudit oleh akuntan publik.

Partai juga diwajibkan untuk memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan

umum serta wajib menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan

publik kepada KPU selambatnya 6 bulan setelah hari pemungutan suara.

Pasal 9 :

a. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah;

b. membuat laporan keuangan secara berkala satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan Umum setelah diaudit oleh akuntan publik; dan

c. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum dan menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan publik kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan suara.

D. Larangan dan Sanksi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, mengatur larangan dalam Bab tersendiri

yaitu pada Bab X. Materi yang diatur terutama mengenai nama dan lambang

partai, kegiatan partai, sumbangan/penerimaan, larangan mendirikan badan usaha

dan larangan untuk menganut ajaran komunisme/Marxisme-Lenisme.

1. Larangan mengenai Nama dan Lambang Partai

Berdasarkan Pasal 19 ayat (1), partai politik dilarang menggunakan nama,

lambang atau tanda gambar yang sama dengan : a). bendera atau lambang

negara Republik Indonesia, b). lambang lembaga negara atau lambang

pemerintah, c). nama, bendera atau lambang negara lain dan nama, bendera

atau lambang lembaga/badan internasional, d. nama dan gambar sesorang

serta e). yang mempunyai persamaan dengan partai politik lain.

2. Kegiatan Partai Politik.

Pada pasal 19 ayat (2), partai politik dilarang untuk melakukan kegiatan yang :

a). bertentangan dengan UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

lainnya, b). membahayakan keutuhan NKRI, c). bertentangan dengan

kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara

lain dalam rangka memelihara ketertiban dunia.

3. Sumber Pendanaan dan Pendirian Badan Usaha

Partai politik berdasarkan Pasal 19 ayat (3) dilarang menerima dan

memberikan sumbangan dari : a). pihak asing, b). pihak manapun tanpa

mencantumkan identitas yang jelas, c). orang/lembaga melebihi batas yang

ditentukan, d). BUMN, BUMD, Badan Usaha Milik Desa, koperasi, yayasan,

LSM, organisasi kemasyarakatan dan organisasi kemanusiaan. Partai politik

dilarang mendirikan badan usaha atau memiliki saham suatu badan usaha

[pasal 19 ayat (4)].

4. Partai politik dilarang menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran

atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme [pasal 19 ayat (5)].

Pelanggaran terhadap larangan dan ketentuan pada pasal-pasal sebagaimana

yang diuraikan di atas akan berakibat dikenakannya sanksi kepada partai

politik berupa :

1. Penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman

jika melanggar pasal 2 dan pasal 5 ayat (1), pasal 19 ayat (1)

2. Sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan

Umum apabila melanggar Pasal 9 huruf h, Pasal 19 ayat (3)

3. Sanksi administratif berupa dihentikan bantuan dari anggaran negara jika

melanggar pasal 9 huruf i dan j,

4. Pembekuan sementara paling lama 1 (satu) tahun oleh pengadilan apabila

melanggar pasal 19 ayat (2)

5. Larangan mengikuti pemilihan umum berikutnya oleh pengadilan jika

melanggar pasal 19 ayat (4).

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

3.3.1.3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008217

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 merupakan pengganti dari Undang

Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang dipandang belum

optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut

peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan

mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern,

sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu

diperbarui. Undang-Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring

dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah

pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai

Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan

akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan

gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan

bernegara.218

A. Persyaratan Pembentukan Partai Politik

Pendirian partai politik berdasarkan pasal 2 ayat (1), (2) (3) dan (4). Partai politik

didirikan oleh minimal 50 orang WNI yang berusia 21 tahun dengan akta notaris

yang menyertakan 30% keterwakilan perempuan dan memuat AD dan ART serta

kepengurusan di tingkat pusat. AD partai memuat : asas dan ciri partai, visi dan

misi, nama, lambang dan tanda gambar, tujuan dan fugnsi partai, organisasi,

tempat kedudukan dan pengambilan keputusan, peraturan dan keputusan partai,

pendidikan politik dan keuangan partai.

Pasal 2 (1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh)

orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris.

(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.

217 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801.

218 Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 108: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

(4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. asas dan ciri Partai Politik; b. visi dan misi Partai Politik; c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. tujuan dan fungsi Partai Politik; e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik; g. peraturan dan keputusan Partai Politik; h. pendidikan politik; dan keuangan Partai Politik.

(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3 )disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Pendaftaran dan prosedur penetapan partai politik sebagai badan hukum diatur

pada pasal 3 dan pasal 4. Untuk menjadi badan hukum, partai politik harus

mempunyai akta notaris pendirian, nama dan lambang/tanda gambar yang tidak

sama dengan nama dan lambang partai lain, memiliki kantor tetap dan memiliki

kepengurusan di minimal 60% dari jumlah provinsi, 50% pada kabupaten/kota

provinsi yang bersangkutan dan 25% pada kecamatan di kabupaten/kota yang

bersangkutan dan memiliki rekening atas nama partai.

Pasal 3 (1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan

hukum. (2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai

Politik harus mempunyai: a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan

pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c. kantor tetap; d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah

provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan

e. memiliki rekening atas nama Partai Politik.

Prosedur penetapan sebagaimana pasal 4 dilakukan oleh Departemen yang

membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. Departemen menerima

pendaftaran dan memverifikasi yang dilakukan paling lama 45 hari kerja sejak

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 109: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

persyaratan lengkap. Pengesahan dilakukan dengan keputusan menteri paling

lama 15 hari kerja sejak proses verifikasi dan dimuat dalam Berita Negara

Republik Indonesia.

B. Persyaratan dan Pengaturan Asas/Ideologi dan Ciri Partai

Berdasarkan Pasal 9, asas partai tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan

UUD 1945. Partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan

kehendak dan cita-cita partai politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila

dan UUD 1945.

C. Pengaturan Keuangan Partai Politik

Mengenai keuangan Partai diatur pada Bab XV pada Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal

36. Sumber keuangan partai dibatasi berasal dari : iuran anggota, sumber

keuangan lain yang sah, bantuan keuangan dari APBN/APBD yang diberikan

secara proporsional sesuai perolehan suara.

Pasal 34 (1) Keuangan Partai Politik bersumber dari:

a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pada Pasal 36 diatur bahwa sumbangan dari anggota partai politik dalam

pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART. Sumbangan yang berasal dari

perseorangan yang bukan dari anggota partai politik dibatasi senilai 1 miliar

rupiah per tahunnya, sedangkan sumbangan dari perusahaan dan Badan Usaha

maksimal empat miliar rupiah pertahun.

D. Larangan dan Sanksi

Larangan yang harus dipatuhi oleh partai politik diatur pada Bab XVI tentang

Larangan, yang meliputi : nama dan lambang partai, kegiatan partai, sumber

pendanaan dan pendirian badan usaha, ajaran Komunisme.

1. Nama dan Lambang Partai

Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa partai politik dilarang menggunakan

nama dan lambang partai yang sama dengan :

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 110: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;

b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;

c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;

d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi

terlarang;

e. nama atau gambar seseorang; atau

f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain.

2. Kegiatan Partai

Pasal 40 ayat (2) mengatur tentang larangan partai politik untuk melakukan

kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan atau melakukan

kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

3. Sumber Pendanaan

Pada Pasal 40 ayat (3) ditentukan bahwa partai politik dilarang untuk

menerima atau memberi sumbangan kepada pihak asing, dari pihak yang tidak

jelas identitasnya, menerima sumbangan melebihi batas yang telah ditentukan

serta menerima sumbangan dari BUMN/BUMD, menggunakan fraksi sebagai

sumber pendanaan.

4. Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu

badan usaha.

5. Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan

ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.

Partai politik yang melanggar ketentuan Pasal Pasal 2, Pasal 3,Pasal 9 ayat

(1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan

pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen. Pelanggaran

terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf I (laporan

pertanggungjawaban keuangan) dikenai sanksi administratif berupa penghentian

bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 111: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

berkenaan. Partai politik yang melanggar ketentuan pasal 40 (melanggar UUD

1945) dapat dikenakan sanksi berupa pembekuan hingga pembubaran yang

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

3.3.1.4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011219

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 merupakan perubahan atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang dipandang perlu untuk

disempurnakan dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem

kepartaian yang efektif sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan penguatan kelembagaan serta

peningkatan fungsi dan peran Partai Politik.

Sistem kepartaian yang hendak dituju adalah sistem multi partai yang sederhana

sebagai salah satu upaya untuk memperkuat dan mengeefektifkan sistem

presidensiil sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2011, yaitu :

Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat.

Adapun hal-hal pokok yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah : Persyaratan

Pembentukan Partai, Persyaratan Kepengurusan Partai dan pengelolaan Keuangan

Partai.

A. Persyaratan Pembentukan Partai

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 syarat-syarat

pembentukan partai meliputi : syarat minimum jumlah pendiri yaitu 30 orang

WNI berusia 21 tahun di setiap provinsi. Partai politik didaftarkan oleh minimal

50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai dengan akta notaris yang

219 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 112: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Akta notaris dilengkai dengan AD

dan ART dan kepengurusan di tingkat pusat.

Pasal 2

(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. (1a) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)didaftarkan oleh

paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai Politik dengan akta notaris.

(1b) Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain.

(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan PartaiPolitik tingkat pusat.

Prosedur pendaftaran diatur pada pasal 3 ayat (1), yang menyatakan partai politik

didaftarkan pada Kementerian Hukum dan HAM untuk menjadi Badan Hukum

dengan persyaratan sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 3 ayat (2) :

Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada

pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;

d. kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan

e. rekening atas nama Partai Politik.

Pada Pasal 4 diatur mengenai prosedur penetapan Partai Politik sebagai badan

Hukum, mulai dari diterimanya pendaftaran, penelitian/verifikasi oleh

Kementerian. Verifikasi dilakukan paling lambat 45 hari kerja sejak diterimanya

dokumen lengkap. Pengesahan partai poltik sebagai badan hukum oleh Keputusan

Menteri paling lama 15 hari sejak berakhirnya proses verifikasi dan diumumkan

dalam Berita Negara NKRI.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 113: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

B. Persyaratan Pendanaan

Keuangan Partai Politik diatur pada Pasal 34 ayat (1), Keuangan partai politik

bersumber dari : a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c.

bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah. Berdasarkan Pasal Pasal 34A ayat (1), Partai

Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan

pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kepada Badan Pemeriksa

Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu)

bulan setelah tahun anggaran berakhir.

C. Larangan dan Sanksi

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,

Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa

penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian.

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i

dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan

diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan.

3.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai

Pemilihan Umum Pasca Reformasi

3.4.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Partai Politik sebagai

Peserta Pemilu

3.4.1.1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 220

Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi

syarat-syarat: a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang

Partai Politik; b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 jumlah propinsi di Indonesia;

c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi; d.

mengajukan nama dan tanda gambar partai politik. Sebagaimana diatur dalam

Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa:

220 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 114: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik; b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia; c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya

di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.

Syarat jumlah pengurus tersebut sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan UU 3

Tahun 1999 adalah untuk menunjukkan bahwa partai politik yang menjadi peserta

Pemilihan Umum betul-betul memiliki jaringan organisasi dan basis keanggotaan

yang representif secara nasional.

3.4.1.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003221

Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat: diakui

keberadaannya sesuai dengan Undang-undang Partai Politik; memiliki pengurus

lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari seluruh jumlah provinsi; c. memiliki

pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di

provinsi yang bersangkutan; d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang

atau sekurang-kurangnya 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan

partai politik, harus mempunyai kantor tetap dan mengajukan nama dan tanda

gambar partai politik kepada KPU. Syarat peserta pemilu sebagaimana diatur

dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat: a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang b. Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik; c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari

seluruh jumlah provinsi; d. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari

jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b; e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-

kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik;

f. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c

221 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 115: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

g. harus mempunyai kantor tetap; h. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

3.4.1.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008222

A. Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu

Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan

sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai

Politik; b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di

provinsi yang bersangkutan; d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)

keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000

(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan

g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

3.4.1.4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012223

Persyaratan bagi partai politik sebagai peserta pemilu diatur pada Pasal 8 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa :

Pasal 8 ayat (1) : Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.

Pasal 8 ayat (2) :

222 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4836

223 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 116: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai

Politik; b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah

kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di

kabupaten/kota yang bersangkutan; e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan

perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000

(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;

g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan

i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.

3.4.2. Persyaratan Electoral Threshold dan Parliamentary Thershold

bagi Partai Politik sebagai Peserta Pemilu

3.4.2.1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 224

Selain mengatur tentang syarat-syarat partai politik untuk menjadi peserta

pemilu, UU 3 Tahun 1999 juga mengatur tentang persyaratan ambang batas

perolehan kursi, jika partai politik hendak mengikuti pemilu berikutnya yaitu,

harus memiliki sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau memiliki minimal 3%

jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2

jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia

berdasarkan hasil Pemilihan Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (3)

yang menyatakan bahwa :

Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½

224 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 117: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum.

Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum

berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain. [Pasal 39 ayat (4)].

3.4.2.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003225

Persyaratan bagi parpol untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai

Politik Peserta Pemilu juga diatur dalam mekanisme ambang batas perolehan

kursi, yaitu : memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR; b.

memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar

sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c.

memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang

tersebar di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia sebagaimana

diatur dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus: a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR; b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD

Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau

c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan di atas hanya dapat

mengikuti Pemilu berikutnya apabila (Pasal ayat 2 ):

a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan

persyaratan peserta pemilu ;

b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan persyaratan

peserta pemilu dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah

225 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 118: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal

jumlah kursi; atau

c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan persyaratan

peserta pemilu dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda

gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

3.4.2.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008226

ET yang dianut dalam UU 3/1999 dan UU 12/2003 kemudian oleh UU

10/2008 diganti dengan kebijakan baru yang terkenal dengan istilah

“Parliamentary Threshold” (disingkat PT) yang tercantum dalam Pasal 202 ayat

(1) UU 10/2008 yang berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi

ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima

perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam

penentuan perolehan kursi DPR.” Melalui kebijakan PT ini, tampaknya

pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) bermaksud menciptakan

sistem kepartaian sederhana melalui pengurangan jumlah Parpol yang dapat

menempatkan wakilnya di DPR, berubah dari cara sebelumnya dengan kebijakan

ET yang bermaksud mengurangi jumlah peserta Pemilu.227

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara

sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah

secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR

sebagaimana diatur dalam Pasal 202 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

226 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4836

227 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 119: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

3.4.2.4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012228

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan

suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah

secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sebagaimana yang diatur pada Pasal

208.

3.5. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi

Sistem multi-partai dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia dapat

dikatakan merupakan keniscayaan. Dengan kebebasan berorganisasi (freedom of

association) yang dibuka sangat lebar sejak reformasi, kita tidak mungkin

berharap dapat memiliki jumlah partai politik yang terbatas, seperti 2, 3, 4, atau

hanya 5, kecuali dengan menerapkan prinsip-prinsip yang membatasi jumlah

partai politik itu secara ketat.229 Kemajemukan bangsa Indonesia tidak hanya dari

sisi etnis tetapi juga dari faktor agama. etnis terbesar di Indonesia terdiri dari

40.6% Jawa, Sunda 15%, Madura 3,3% dan cina 3 sampai 4 %. Mayoritas

penduduk beragama Islam yaitu sebesar 86.1%, Kristen 8.7%, Hindu 1.8% dan

Budha 1%.230 Namun demikian, sistem multipartai ekstrim yang terbentuk

memunculkan beberapa permasalahan. Kombinasi yang sulit antara

presidensialisme dan sistem multipartai menjadi realitas politik yang tak

terhindarkan pada masa pasca amandemen konstitusi. Kombinasi yang sulit itu

sudah tampak diantaranya dalam beberapa realitas politik sebagai berikut :

pertama, terpilihnya presiden dengan basis politik minoritas (minority president)

seperti bukan hanya tampak pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono dengan

basis Partai Demokrat (56 dari 550 kursi di DPR), melainkan juga terjadi pada

Presiden Abdurrahman Wahid (PKB 51 dari 500 kursi DPR) dan Presiden

Megawati (PDI Perjuangan 153 kursi dari 500 kursi DPR). Kedua, terbentuknya

228 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316.

229 Jimly Asshiddiqie. Memperkuat sistem presidensil. op.cit. hal 3 230 Allen Hicken. Political engineering and party regulation in Southeast Asia. United Nations University Press. 2008. hal 71

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 120: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

DPR tanpa kekuatan mayoritas. Walaupun memenangkan pemilu legislatif, baik

PDI Perjuangan pada Pemilu 1999 maupun Partai Golkar pada Pemilu 2004 gagal

menjadi partai mayoritas. Ketiga, terciptanya “kohabitasi” atau semacam “kawin-

paksa secara politik antara Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagai akibat

perbedaan basis politik di antara mereka. Ironisnya hal ini tak hanya terjadi pada

era Presiden Abdurrahman Wahid (dan Wakil Presiden Megawati) dan Megawati

(dengan Wakil Presiden Hamzah Haz/PPP), melainkan juga ketika Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono harus berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf

Kalla (Golkar). Perbedaan basis politik antara Presiden dan Wakil Presiden seperti

ini tentu merupakan problematik tersendiri yang berpotensi menjadi kendala

efektivitas pemerintahan.231

Pemilu Tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik. 21 Partai Politik berhasil

memperoleh kursi di DPR. PDI memperoleh kursi terbanyak yaitu sebesar 33.11

% dari Jumlah Keseluruhan kursi, diikuti Golkar 25.97%, PPP 12.55%, PKB

11.04%, PAN 7.36%, dan PBB 2.08%. Herman dalam tesisnya menyimpulkan

bahwa bentuk sistem kepartaian di Indonesia berdasarkan hasil pemilihan umum

1999 dengan menggunakan model laakso-Taagepera (1979) dan klasifikasi

Duverger (1954) dan Coppedge (1999) adalah bentuk kepartaian yang bercorak

multipartai yang moderat dengan ENPP 4.72. 232 hal tersebut dapat diartikan

bahwa jumlah efektif partai politik yang ada di DPR adalah 4 sampai 5 partai

politik.

Tabel 3.1. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1999 di Indonesia

No Nama Partai Perolehan

Kursi % Perolehan

Kursi (Si)2

231 AM. Fatwa. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2009. Hal Ixiv. Baca juga pendapat Adnan Buyung Nasution bahwa ketegangan dalam hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden yang berakibat jalan buntu (deadlock) selalu menjadi kemungkinan di Indonesia sekarang. Hal ini disebabkan karena keduanya mempunyai legitimasi yang sama. Kesulitan akan bertambah apabila partai politik pendukung presiden tidak menguasai suara mayoritas dalam parlemen. (Adnan Buyung Nasution. Pikiran dan Gagasan Demokrasi Konstitusional. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2010. hal 119)

232 Herman. op.cit

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 121: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

No Nama Partai Perolehan

% Perolehan

(Si)2 1 PDIP 153 0.3311688 0.10967279 2 Golkar 120 0.25974026 0.067 3 PPP 58.00 0.12554113 0.016 4 PKB 51.00 0.11038961 0.012 5 PAN 34.00 0.07359307 0.005 6 PBB 13.00 0.02813853 0.001 7 Partai Keadilan 7.00 0.01515152 0.000 8 PKP 4.00 0.00865801 0.000 9 PNU 5.00 0.01082251 0.000 10 PDKB 5.00 0.01082251 0.000 11 PBI 1.00 0.00216450 0.000 12 PDI 2.00 0.00432900 0.000 13 PP 1.00 0.00216450 0.000 14 PDR 1.00 0.00216450 0.000 15 PSII 1.00 0.00216450 0.000 16 PNI Front Marhaenis 1.00 0.00216450 0.000 17 PNI Massa Marhaen 1.00 0.00216450 0.000 18 IPKI 1.00 0.00216450 0.000 19 PKU 1.00 0.00216450 0.000 20 Masyumi 1.00 0.00216450 0.000 21 PKD 1.00 0.00216450 0.000 22 PNI Supeni 0.00 0.00000000 0.000 23 Krisna 0.00 0.00000000 0.000 24 Partai KAMI 0.00 0.00000000 0.000 25 PUI 0.00 0.00000000 0.000 26 PAY 0.00 0.00000000 0.000 27 Partai Republik 0.00 0.00000000 0.000 28 Partai MKGR 0.00 0.00000000 0.000 29 PIB 0.00 0.00000000 0.000 30 Partai SUNI 0.00 0.00000000 0.000 31 PCD 0.00 0.00000000 0.000 32 PSII 1905 0.00 0.00000000 0.000 33 Masyumi Baru 0.00 0.00000000 0.000 34 PNBI 0.00 0.00000000 0.000 35 PUDI 0.00 0.00000000 0.000 36 PBN 0.00 0.00000000 0.000 37 PKM 0.00 0.00000000 0.000 38 PND 0.00 0.00000000 0.000 39 PADI 0.00 0.00000000 0.000 40 PRD 0.00 0.00000000 0.000 41 PPI 0.00 0.00000000 0.000

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 122: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

No Nama Partai Perolehan

% Perolehan

(Si)2 42 PID 0.00 0.00000000 0.000 43 Murba 0.00 0.00000000 0.000 44 SPSI 0.00 0.00000000 0.000 45 PUMI 0.00 0.00000000 0.000 46 PSP 0.00 0.00000000 0.000 47 PARI 0.00 0.00000000 0.000 48 PILAR 0.00 0.00000000 0.000 Total 462 0.212 ENPP 4.719

Sumber Data Diolah dari :

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. 233

Pemilu Tahun 2004 diikuti oleh 24 Partai politik dan sebanyak 15 partai

memperoleh kursi di DPR. Partai Golkar meraih kursi terbanyak dengan 23%

kursi, diikuti PDIP sebanyak 19.8%, PPP 10.5%, Partai Demokrat 10%, PAN

9.6%, PKB 9.5% dan PKS 8.2%. Hasil pemilu 2004 diketahui berganti menjadi

sistem kepartaian multipartai ekstrim dengan ENPP 7.07. Berdasarkan acuan pada

aspek tipologi numerik (numerical typology) sesungguhnya jumlah partainya

sudah berkurang dari 48 pada tahun 1999 menjadi 24 partai pada tahun 2004,

namun dengan rumusan ENPP (Effective Number of Parliament Parties).

Angkanya justru meningkat.234 Jumlah partai yang efektif di parlemen naik dari

lima partai pada tahun 1999 menjadi tujuh partai pada tahun 2004, sehingga

berdasarkan model laakso (1974) hasil pemilu 1999 menunjukkan sistem lima

partai sedangkan pada pemilu 2004 menunjukkan sistem tujuh partai.235

233 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. hal 41 234 Herman. Op.cit hal 73 235 ibid

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 123: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Tabel 3.2 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2004 di Indonesia

No. Nama Partai Jumlah Kursi

% Jumlah Kursi (Si)

(Si)2

1 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 1 0.002 0.00 2 Partai Buruh Sosial Demokrat 0 0.00 - 3 Partai Bulan Bintang 11 0.02 0.00 4 Partai Merdeka 0 0.00 - 5 Partai Persatuan Pembangunan 58 0.11 0.01 6 Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 4 0.01 0.00 7 Partai Perhimpunan Indonesia Baru 0 0.00 - 8 Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 0 0.00 - 9 Partai Demokrat 55 0.10 0.01 10 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1 0.00 0.00 11 Partai Penegak Demokrasi Indonesia 1 0.00 0.00 12 Partai Persatuan Nahdlatul Ummah

Indonesia 0 0.00 -

13 Partai Amanat Nasional 53 0.10 0.01 14 Partai Karya Peduli Bangsa 2 0.00 0.00 15 Partai Kebangkitan Bangsa 52 0.09 0.01 16 Partai Keadilan Sejahtera 45 0.08 0.01 17 Partai Bintang Reformasi 14 0.03 0.00 18 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 109 0.20 0.04 19 Partai Damai Sejahtera 13 0.02 0.00 20 Partai Golongan Karya 128 0.23 0.05 21 Partai Patriot Pancasila 0 0.00 - 22 Partai Sarikat Indonesia 0 0.00 - 23 Partai Persatuan Daerah 0 0.00 - 24 Partai Pelopor 3 0.01 0.00 Total 550 0.14 ENPP 7.08

Sumber : Komisi Pemilihan Umum236

Pada Pemilu Tahun 2009, diikuti oleh 38 partai politik, pemberlakuan PT

mengakibatkan hanya 9 partai politik yang lolos dan memperoleh kursi di DPR.

Partai Demokrat meraih 26.43% Kursi, diikuti Golongan Karya 18.93%, PDIP

16.79%, PKS 10.18%, PAN 8.21%, PPP 6.79%, PKB 5%, Partai Gerindra 4.64%

236 Komisi Pemilihan Umum.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 124: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dan Partai Hanura 3.04%. Model Laakso apabila diterapkan pada pemilu tahun

2009, menunjukkan bahwa : Jumlah partai peserta pemilu 2009 meningkat dari 24

partai menjadi 38 partai politik. dengan rumusan ENPP (Effective Number of

Parliament Parties). Diperoleh angka efektif partai 6.4774652. angka ENPP tahun

2004 sebesar 7.072. meskipun angka efektif partai berkurang, namun dengan

pembulatan jumlah partai yang efektif pada tahun 2009 tetaplah tujuh partai,

sehingga di tahun 2009 Indonesia menunjukkan sistem multipartai ekstrim dengan

jumlah tujuh partai efektif.

Tabel 3.3 Pengukuran ENPP Pemilu Tahun 2009

No. Nama Partai Kursi % Kursi (Si)2

1 Partai Demokrat 148 26.43 0.0698469 2 Partai Golongan Karya 106 18.93 0.0358291 3 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 94 16.79 0.028176 4 Partai Keadilan Sejahtera 57 10.18 0.0103603 5 Partai Amanat Nasional 46 8.21 0.0067474 6 Partai Persatuan Pembangunan 38 6.79 7 Partai Kebangkitan Bangsa 28 5.00 0.0025 8 Partai Gerakan Indonesia Raya 26 4.64 9 Partai Hati Nurani Rakyat 17 3.04 0.0009216 10 Partai Karya Peduli Bangsa 11 Partai Pengusaha Dan Pekerja

Indonesia

12 Partai Peduli Rakyat Nasional 13 Partai Barisan Nasional 14 Partai Keadilan Dan Persatuan

Indonesia

15 Partai Perjuangan Indonesia Baru 16 Partai Kedaulatan 17 Partai Persatuan Daerah 18 Partai Pemuda Indonesia 19 Partai Nasional Indonesia

Marhaenisme

20 Partai Demokrasi Pembaruan 21 Partai Karya Perjuangan 22 Partai Matahari Bangsa 23 Partai Penegak Demokrasi Indonesia

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 125: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

No. Nama Partai Kursi % Kursi (Si)2 24 Partai Demokrasi Kebangsaan 25 Partai Republika Nusantara 26 Partai Pelopor 27 Partai Damai Sejahtera 28 Partai Nasional Benteng Kerakyatan

Indonesia

29 Partai Bulan Bintang 30 Partai Bintang Reformasi 31 Partai Patriot 32 Partai Kasih Demokrasi Indonesia 33 Partai Indonesia Sejahtera 34 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 35 Partai Merdeka 36 Partai Nahdlatul Ummah Indonesia 37 Partai Sarikat Indonesia 38 Partai Buruh Jumlah 560 3.04 0.1543814 ENPP 6.4774652

Sumber Partai Pemenang dan Perolehan Kursi : www.kpu.co.id

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 126: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

BAB IV

ANALISIS KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN

AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP PARTAI POLITIK DAN SISTEM

KEPARTAIAN DI INDONESIA

4.1. Tujuan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca

Reformasi.

Kebijakan penyederhanaan partai politik bukanlah kebijakan yang baru

dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Sebelum reformasi, yaitu sejak

kepemimpinan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, telah melaksanakan

kebijakan penyederhanaan partai politik. Seperti yang telah diuraikan pada Bab I,

Maklumat Pemerintah Nomor X Pada 3 November 1945 Tentang Anjuran

Pemerintah Tentang Pembentukan Partai-Partai Politik yang ditandatangani wakil

presiden Mohammad Hatta, merupakan titik awal terbentuknya sistem multipartai

di Indonesia.237 Namun, dalam sejarah, sistem multi partai ini tidaklah disukai

karena Banyaknya partai politik dipandang merupakan salah satu masalah yang

menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan munculnya perpecahan bangsa.238

Ketidakstabilan pemerintah ini menjadi alasan bagi Presiden Soekarno

untuk mengeluarkan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember

1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai yang mengatur kehidupan

dan pembubaran partai politik. Penpres itu memberikan hak kepada Presiden

untuk menindak partai politik yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar

negara atau pemimpinnya terlibat pemberontakan atau menolak untuk menindak

anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan.239 Presiden Sukarno

menilai kehidupan kepartaian saat itu dengan segala manuvernya telah

membahayakan persatuan dan keselamatan negara.240

Sesudah dikeluarkannya Penetapan Presiden tersebut, Sukarno kemudian

mengeluarkan Keputusan Presiden No 200/1960 dan Kepres 201/1960 yang

237 Hanta Yuda HR. op.cit. hal 101 238 Adnan Buyung Nasution. Op.cit. hal 133 239 Tohir Luth. M. Natsir : Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani Press. 1999. Hal 51 240 Wawan Tunggul Alam. Op.cit. hal 284.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 127: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dengan resmi memerintahkan membubarkan Masyumi dan PSI.241 Pada tanggal

21 September 1965, Presiden Sukarno kembali membubarkan partai politik, yaitu

Partai Murba dengan Keputusan Presiden No 291 Tahun 1965 yang menetapkan

pembubaran Partai Murba, termasuk cabang-cabang/ranting-rantingnya di seluruh

wilayah Republik Indonesia.242

Kebijakan Penyederhanaan partai politik kemudian terulang pada masa

orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dengan cara yang sedikit

banyak radikal, di muka sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto

mengumumkan sarannya agar partai mengelompokkan diri untuk mempermudah

kampanye pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau

dibubarkan sama sekali.243 Suharto kemudian menetapkan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, peserta pemliu

hanya 2 partai dan 1 golongan karya. Kedua Partai tersebut adalah Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).244

Kebijakan penyederhanaan jumlah partai politik pasca pemilu 1971, dimaksudkan

pemerintah untuk menjamin stabilitas politik yang mantap.245

Setelah terkungkung oleh sistem kepartaian Orde Baru, yang sangat

ramping, Indonesia mengalami ledakan partai politik luar biasa. Antara akhir Mei

1998 dan Februari 1999 pasca runtuhnya orde baru. Pasca reformasi, partai politik

mengalami kebebasan dengan ditetapkannya undang-undang nomor 2 tahun 1999.

Ratusan partai baru berdiri yang semula dibatasi dan dberedel secara paksa hanya

menjadi 2 partai dan satu golongan karya pada zaman presiden soeharto menjadi

bebas. Sebanyak 41 partai lolos menjadi peserta pemilu dan 27 partai mendapat

kursi di DPR. Namun, pengambil kebijakan merasa jumlah partai yang ekstrim

membawa dampak yang tidak baik terhadap sistem politik, sehingga menetapkan

undang-undang tentang partai politik yang baru yaitu undang-undang Nomor 31

241 Tohir Luth. Op cit hal 52 242 Rosihan Anwar. Op.cit . hal 372 243 Miriam Budiardjo. Op cit. 2010. hal 445 244 Ibid. hal 85 245 Sulastomo. Op.cit. hal 200

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 128: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

tahun 2002 dimana dipandang perlunya penyederhanaan partai. Tujuan

pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik pada masa pasca reformasi

dapat dilihat pada penjelasan dan dasar pemikiran Undang-Undang tentang partai

politik dan juga pemilihan umum yaitu untu membentuk Sistem Multipartai

Sederhana dan memperkuat sistem presidensil.

Penjelasan UU 31 tahun 2002 :246

Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional. Mekanisme ini di samping tidak cenderung menampilkan monolitisme, juga akan lebih menumbuhkan suasana demokratis yang memungkinkan partai politik dapat berperan secara optimal.

Dengan sistem multipartai kekuatan-kekuatan politik akan lebih mudah mencapai

sinergi nasional dan partai dapat lebih mengoptimalkan perannya. Pada penjelasan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dinyatakan bahwa sistem multipartai

sederhana dimaksudkan sebagai salah satu upaya memperkuat sistem presidensil

di Indonesia. sebagaimana yang dinyatakan berikut :

Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat.

Pembentukan sistem multipartai sederhana untuk memperkuat sistem presidensil

juga dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, yang

menyatakan bahwa :

Perubahan-perubahan ini dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.247

246 Republik Indonesia. Penjelasan UU 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik 247 Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah mengenai Kriteria penyusunan daerah pemilihan, ambang batas parlemen (Parliamentary Treshold), sistem Pemilu Proporsional, konversi suara menjadi kursi, penetapan calon terpilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 129: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Tujuan pembentukan sistem multipartai sederhana untuk memperkuat sistem

presidensil, juga dikemukakan dalam pendapat-pendapat pemerintah dan DPR

dalam pengujian/judicial review Undang-Undang tentang Partai Politik dan

Pemilu. Namun demikian, dalam setiap undang-undang belum dapat dipastikan

sistem multipartai sederhana yang seperti apa yang hendak dituju, Mahkamah

konstitusi dalam putusannya memberikan kritik bahwa pengambil kebijakan

cenderung bereksperimen dan berubah-ubah.

Menurut para ahli, sistem multipartai memang tidaklah cocok apabila disatukan

dengan sistem pemerintahan presidensiil. Salah satunya adalah pendapat dari

Scott Mainwarring, seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa

kombinasi antara sistem presidensil dan sistem multi partai membuat demokrasi

yang tidak stabil.248

The combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain.

Dari hasil penelitiannya, tidak ada dari 31 negara demokrasi yang stabil

di dunia mempunyai konfigurasi ini dan hanya satu contoh negara dalam sejarah,

yaitu Chili antara 1933 ke 1973 yang mampu stabil dengan sistem presidensil dan

multipartai.249 Kombinasi antara presidensil dan multipartai akan menghasilkan

imobilisasi eksekutif/ legislative deadlock daripada sistem parlementer atau sistem

presidensil-sistem dwi-partai. Presiden dipilih secara independen dan ketika

pemenang tidak berasal dari partai mayoritas sehingga presiden tidak didukung

mayoritas parlemen.250

Tendensi menuju eksekutif-legislatif deadlock terjadi pada kombinasi

antara sistem presidensil dan multipartai terutama dengan sistem partai dengan

fragmentasi yang tinggi. Presiden sering tidak didukung oleh legislatif yang

mengakibatkan terganggunya stabilitas demokrasi dan pemerintahan yang

Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak 248 Scott Mainwaring. Op.cit. hal 199 249 Ibid hal 199 250 Ibid hal 214

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 130: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

efektif.251 Selain itu sistem presidensil menyebabkan sistem multipartai tidak

berfungsi secara baik dikarenakan bangunan koalisi. Dalam sistem multipartai,

koalisi antar partai menjadi penting untuk mendapatkan mayoritas parlemen. Tiga

faktor yang menyebabkan sulitnya dibangun koalisi antar partai dalam sistem

presidensil adalah :252

Pertama, dalam sistem presidensil, presiden (bukan partai) yang

bertanggungjawab untuk membentuk kabinet. Presiden dapat saja membuat

kesepakatan dengan partai-partai yang mendukungnya, namun kesepakatan ini

tidaklah semengikat kesepakatan yang dibuat dalam sistem parlementer. Presiden

lebih bebas merombak kabinet yang menyebabkan lebih mudah kehilangan

dukungan kongres, karena rendahnya ikatan antara presiden ke partai, maka

partai-partai pun akan rendah pula ikatannya kepada presiden.

Kedua, dalam sistem presidensil, komitmen dari para legislator secara individu

untuk mendukung hasil kesepakatan pemimpin partai seringlah tidak konsisten

dan tidak disiplin. Akibatnya tidaklah mungkin untuk digeneralisasi bagaimana

dukungan partai terhadap pemerintahan dalam bentuk dukungan tiap individu

dalam parlemen.

Ketiga, dorongan kepada partai untuk memecah koalisi lebih kuat pada sistem

presidensil dibanding sistem parlementer. Dalam sistem presidensil-multipartai,

pada saat presiden terpilih, para pemimpin partai umumnya merasa perlu untuk

membuat jarak kepada pemerintahan. Dengan menyisakan partner tersembunyi

dalam pemerintahan koalisi, para pemimpin partai merasa takut kehilangan

identitasnya, membagi kesalahan yang dibuat pemerintah dan tidak menikmati

prestasi yang dicapai.

Perlunya kebijakan penyederhanaan partai politik dikemukakan juga oleh

Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan bahwa pada masa reformasi, keran politik

terbuka lebar, sehingga segala pembatasan terhadap prinsip kebebasan berserikat

ditiadakan. Sesuai dengan jaminan konstitusional mengenai prinsip kebebasan,

semua orang diakui berhak mendirikan partai politik, sehingga berkembang

menjadi sistem politik yang biasa dikenal dengan ‘multi-party system’. Untuk

251 Ibid hal 215 252 Ibid hal 220

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 131: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

mengatur dan mengarahkan agar kecenderungan dan nafsu orang untuk

mendirikan partai politik menjadi rasional, perlu diadakan pembatasan jumlah

partai politik. Apabila jumlah partai politik tidak dibatasi, maka jumlah yang

terlalu banyak akan menurunkan citra partai itu sendiri secara keseluruhan di mata

rakyat. 253

4.2. Perwujudan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik

Kebijakan penyederhanaan partai politik diwujudkan dalam penetapan

persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif baik dalam pembentukan partai politik

sebagai badan hukum, persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu dan juga

persyaratan ambang batas penempatan wakil partai di DPR. Hal tersebut

sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2002 yang menyatakan bahwa :

Perwujudan sistem multipartai sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam pembentukan partai maupun dalam penggabungan partai-partai yang ada.”

4.2.1. Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik sebagai

Badan Hukum

Perubahan Undang-Undang tentang Partai Politik mulai dari sejak

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002,

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sampai dengan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2011 diikuti pula dengan perubahan persyaratan-persyaratan pembentukan

dan penetapan partai politik sebagai badan hukum. Penetapan partai politik

sebagai badan hukum merupakan salah satu persyaratan kualitatif yang

merupakan perwujudan dari kebijakan penyederhanaan partai politik. Selain itu

syarat kualitatif lainnya adalah partai politik harus memiliki kantor tetap.

Sedangkan wujud pelaksanaan kebijakan penyederhanaan partai politik melalui

penetapan syarat kuantitatif meliputi mempunyai kepengurusan dan memiliki

253 Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Ke Empat UUD Tahun 1945. Makalah disampaikan Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14-18 Juli 2003. hal 40

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 132: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dukungan yang kuat dari rakyat serta basis massa yang luas sebagaimana

dijelaskan dalam pendapat pemerintah dalam putusan perkara pengujian undang-

undang nomor 20/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa : 254

Perwujudan sistem multi partai yang sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam pembentukan Partai Politik maupun penggabungan Partai Politik. Yang dimaksud dengan persyaratan kualitatif sebuah Partai Politik yaitu berbadan hukum, artinya dengan berstatus sebagai badan hukum, dengan sendirinya harus memenuhi persyaratan administratif untuk menjadi badan hukum publik, dan bertindak sebagai badan yang transparan kepada public. Di samping merupakan badan hukum publik, juga harus mempunyai kantor yang tetap. Sedangkan persyaratan kuantitatif sebuah Partai Politik yaitu mempunyai kepengurusan dan memiliki dukungan yang kuat dari rakyat serta basis massa yang luas.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, partai politik dibentuk dan

didirikan oleh sekurang-kurangnya 50 orang Warga Negara Indonesia (WNI)

yang telah berusia 21, ketentuan ini tetap berlaku dalam Undang-Undang Nomor

31 tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Syarat minimal jumlah

pendiri partai berubah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.

Syarat minimal pendiri partai semakin diperberat yaitu 30 orang WNI telah

berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi.

Undang-Undang tentang partai politik juga mengatur tentang batasan

ideologi/asas partai politik. Dari semua Undang-Undang tentang Partai politik,

asas partai adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, selain itu setiap partai

politik dilarang untuk menganut dan menyebarkan aliran Leninisme/komunisme

dan Marxisme. Selain itu Undang-Undang Partai Politik mengatur tentang batasan

nama dan lambang partai, pendirian dengan akta notaris. Persyaratan

kepengurusan partai ditingkat pusat ditetapkan sejak Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2002. Syarat kepengurusan kemudian ditambahkan syarat menyertakan

30% keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Ringkasan syarat pembentukan partai

politik dari setiap Undang-Undang disajikan dalam Tabel 4.1.

254 ibid. hal 13

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 133: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Tabel 4.1 Persyaratan/Pembatasan Pembentukan Partai Politik

No Perysaratan/

batasan UU 2/1999

UU 31/2002 UU 2/2008 UU 2/2011

1 Kriteria dan Jumlah Minimal Pendiri

50 orang WNI berusia 21 tahun

50 orang WNI berusia 21 tahun

50 orang berusia 21 tahun

30 orang WNI telah berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi

2 ideologi/asas dan ciri

Pancasila Pancasila dan UUD 1945

Pancasila dan UUD 1945

Pancasila dan UUD 1945

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 134: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

3 Nama dan Lambang partai

dilarang menggunakan : - Nama dan

lambang negara asing

- Bendera NKRI

- Bendera negara asing

- Gambar perorangan

- Lambang partai yang sudah ada

dilarang menggunakan : - Bendera atau

lambang Negara RI

- Lambang pemerintahan

- Nama, bendera, lambang negara lain atau lembagan/badan internasional

- Gambar perorangan

- Lambang partai yang sudah ada

dilarang menggunakan : - Bendera

atau lambang Negara RI

- Lambang pemerintahan

- Nama, bendera, lambang negara lain atau lembagan/badan internasional

- Nama, bendera, symbol gerakan separatis atau organisasi terlarang

- Gambar perorangan

- Lambang partai yang sudah ada

nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan dengan nama, lambang, atau tanda Gambar Politik lain

4 dengan akta notaris

ya ya

ya

ya

6 AD dan ART - ya ya ya 7 Kepengurusa

n - - Kepengurusa

n di tingkat pusat

- Kepengurusan tingkat pusat (menyertakan 30% keterwakilan perempuan)

- Kepengurusan tingkat pusat (menyertakan 30% keterwakilan Perempuan)

Partai politik yang telah terbentuk dengan akta notaris, diwajibkan

mendaftar ke Kementerian yang berwenang menurut Undang-Undang untuk

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 135: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

ditetapkan sebagai badan hukum dengan terlebih dahulu memenuhi berbagai

persyaratan. Semua Undang-Undang tentang Partai Politik dari yang pernah

berlaku, mengatur tentang syarat akta notaris pendirian partai serta nama dan

lambang partai sebagai prasyarat pendaftaran partai sebagai badan hukum. Jumlah

minimal pendaftar baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, yaitu

partai politik didaftarkan oleh minimal 50 orang pendiri yang mewakili seluruh

pendiri partai politik. Persyaratan mengenai jumlah minimum kepengurusan

partai baru diatur pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002,

untuk didaftarkan sebagai badan hukum, partai politik harus memenuhi

persyaratan minimal kepengurusan 50% dari jumlah Provinsi, 50% dr jumlah

kabupaten/kota di tiap provinsi yg bersangkutan 25% dari jumlah kecamatan di

tiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Syarat kepengurusan kemudian diperberat

dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, terutama syarat kepengurusan di

tingkat provinsi, yang semula minimal 50% dari jumlah provinsi menjadi 60%

setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Pasca berlakunya

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, syarat kepengurusan semakin diperberat,

menjadi di setiap Provinsi, 75 % dr jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi dan 50

% dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Dengan

demikian, setiap partai politik harus memenuhi kepengurusan di 33 provinsi, 373

kabupaten kota, dan 3.311 kecamatan. Pengaturan tentang syarat keputusan ini

dimaksudkan untuk mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat

nasional, menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai

sebagaimana yang dikemukakan dalam opening statement pemerintah dalam

putusan perkara pengujian undang-undang Nomor 15/PUU-IX/2011 bahwa

Pengaturan tentang syarat kepengurusan partai politik dimaksudkan dan adanya

alasan sebagai berikut :255

a. Partai politik adalah organisasi yang sifatnya nasional, maka pendirinya juga bersifat nasional dan kepengurusannya tersebar di seluruh provinsi yang ada di Indonesia.

b. Untuk terciptanya integritas nasional. c. Sebagai bentuk perwujudan-perwujudan jaminan penguatan kemandirian

kelembagaan partai politik itu sendiri.

255 ibid. hal 25

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 136: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Syarat pendaftaran lainnya adalah partai politik diwajibkan untuk memiliki kantor

tetap dan memiliki rekening partai. Ringkasan perubahan persyaratan pendaftaran

partai politik sebagai badan hukum disajikan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Persyaratan Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum

No Perysaratan/

batasan UU 2/1999

UU 31/2002 UU2/2008 UU 2/2011

1 akta notaris pendirian

ya ya ya ya

2 Nama Lambang dan Tanda Gambar

3 jumlah pendaftar - - - minimal 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik

4 jumlah Minimal Kepengurusan

- - 50% dari jumlah Provinsi

- 50% dr jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi yg bersangkutan

- 25% dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan

- 60 % dari jumlah Provinsi

- 50% dr jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi yg bersangkutan

- 25% dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan

- Setiap Provinsi

- 75 % dr jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi

- 50 % dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan

4 Kantor tetap - ya ya ya (pada tingkat

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 137: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

No Perysaratan/ batasan

UU 2/1999

UU 31/2002 UU2/2008 UU 2/2011

provinsi, kabupaten dan kota) sampai tahap akhir pemilu

5 rekening partai - - ya ya 6 Prosedur

pendaftaran dan pengesahan menjadi badan hukum

- Di Departemen Kehakiman

- Disahkan jika memenuhi syarat pembentukan partai

- Pengesahan diumumkan di berita negara

- Di Departemen Kehakiman

- Pengesahan oleh menteri kehakiman (maksimal 30 hari setelah pendaftaran)

- Pengesahan diumumkan di berita negara

- Departeme hukum dan HAM

- Proses penelitia/verifikasi, 45 hari setelah berkas lengkap

- Pengesahan oleh menteri (maksimal 15 hari setelah proses verifikasi

- Pengesahan diumumkan di berita negara

- Departeme hukum dan HAM

- Proses penelitia/verifikasi, 45 hari setelah berkas lengkap

- Pengesahan oleh menteri (maksimal 15 hari setelah proses verifikasi

- Pengesahan diumumkan di berita negara

Jika dibandingkan dengan pengaturan di negara lain, seperti yang sudah

diuraikan dalam Bab II, ada beberapa negara yang memang tidak mengatur

tentang syarat-syarat pendirian dan pendaftaran partai politik sebagai badan

hukum. Perancis, Swedia dan Irlandia, tidak ada persyaratan bagi partai untuk

mendaftar kepada lembaga yang berwenang sebelum muncul di surat suara. Tapi

di banyak negara persyaratan pendirian partai politik pada umumnya meningkat

dalam beberapa tahun terakhir, di sebagian negara partai harus berhadapan dengan

adanya ketentuan tentang penyediaan dana kampanye publik, dan di sebagian

lainnya partai politik harus menghadapi kompleksitas persyaratan birokrasi yang

panjang untuk mendaftarkan secara legal sebagai langkah pertama untuk

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 138: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

mendapatkan akses suara. Proses pendaftaran partai bervariasi lintas nasional

(sebagaimana juga di negara-negara di Amerika) tetapi pada umumnya

persyaratan pendaftaran mencakup persyaratan organisasi harus memberikan

deposit kepada lembaga pemilihan umum, pernyataan tertulis dari prinsip dan

konstitusi partai, peraturan partai, pernyataan tentang struktur organisasi, dan

buku aturan, serta daftar pengurus partai, dan nama-nama dari sejumlah minimum

tertentu dari anggota partai beserta tanda tangan. terkadang ada persyaratan

distribusi regional dan partai perlu mencantumkan jumlah minimum kandidat.

Beberapa contoh pengaturan persyaratan pendirian partai politik disajikan pada

Tabel 4.3.256

Di Jerman, partai politik memiliki status agak ambivalen. Di satu sisi,

mereka adalah organisasi swasta, baik terdaftar atau tidak terdaftar organisasi

yang didirikan berdasarkan peraturan hukum privat. Di sisi lain, mereka adalah

organisasi publik yang memiliki hak konstitusional tertentu. BL menjamin bahwa

partai politik "dapat bebas didirikan. Tidak Ada ketentuan baik dalam konstitusi

Jerman 1949 (the Basic Law of the Federal Republic of Germany) atau Law on

Political Parties (LPP) yang direvisi tahun 1994, bahwa pembentukan partai

politik tidak memerlukan pendaftaran, sehingga dapat diartikan bahwa partai

politik di Jerman tidak perlu didaftarkan.257

Pendaftaran partai politik juga tidak diwajibkan di Inggris. Jika suatu

organisasi hendak mendaftar sebagai partai politik, maka harus memenuhi

ketentuan sebagai berikut :258

1. formulir aplikasi memberikan rincian nama partai dan setidaknya dua pejabat

partai

2. di mana partai itu harus terdaftar, dan apakah partai akan memiliki unit

akuntan;

3. salinan Konstitusi Partai

256 Pippa Norris.op.cit. Hal 8 257 Chau Pak-kwan. Op.cit Hal 5 258 ibid Hal 20

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 139: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

4. Skema Keuangan, menunjukkan bagaimana partai memenuhi kebutuhan

pendanaan

5. Biaya sebesar £ 150

Tabel 4.3. Persyaratan Pendirian Partai Politik di Beberapa Negara

No Negara Syarat Umum Minimum anggota dan Kepengurusan

1 Australia didirikan

berdasarkan

konstitusi tertulis

minimal 500 anggota donator atau satu

orang yang menjadi anggota parlemen

commonwealth.

Anggota partai lain, tidak dapat

digunakan oleh partai lainnya untuk

mendaftar

2 Meksiko menyerahkan

dokumen

deklarasi prinsip,

program dan

kegiatan partai,

serta peraturan

internal partai.

Memiliki 3000 anggota yang tersebar

setidaknya 10 dari 32 entitas federal atau

300 anggota pada setidaknya 100 dari

300 single member district yang mana

negara tersebut dibagi untuk

kepentingan pemilihan umum

3 Kanada menyertakan pengurus partai dan

deklarasi yang ditandatangani minimum

250 anggota

4 Austria,

Spanyol

dan

Uruguay

5000 anggota

5 rusia harus memiliki

cabang-cabang di

wilayah lebih

dari setengah

membutuhkan minimal 400 anggota atau

lebih dan di wilayah sisanya

membutuhkan minimal 150 anggota

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 140: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

No Negara Syarat Umum Minimum anggota dan Kepengurusan

wilayah yang

berada di

Federasi Rusia

6 ukraina 10.000 tanda tangan dari warga negara

Ukraina yang memiliki hak untuk

memilih yang haruslah tersebar di 2-3

distrik atau 2 sampai 3 wilayah

administratif Ukraina dan di Kota Kyiv

dan Sevastopol dan 2 sampai 3 distrik di

Republik Otonomi Crimea.259

Dengan demikian meskipun ada beberapa negara yang tidak mengatur

tentang pendirian partai politik secara khusus dalam Undang-Undang tentang

Partai Politik, namun kebanyakan negara mengatur tentang syarat-syarat pendirian

dan pembentukan partai politik dengan tingkatan beratnya persyaratan bervariasi

mencakup syarat minimum anggota, kepengurusan hingga ketersebaran.

Selain mengatur tentang pembentukan dan pendaftaran partai politik

sebagai badan hukum, Undang-Undang tentang Partai Politik mengatur juga

batasan-batasan mengenai keuangan partai politik yang mencakup sumber

pendanaan, batasan pengeluaran dan penerimaan, laporan keuangan, audit laporan

dan juga rekening partai. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa kebijakan

memberi bantuan kepada partai politik yang dapat memancing dan mendorong

minat orang mendirikan partai dengan harapan dapat memperoleh dana bantuan

dari pemerintah, bertentangan dengan kebutuhan untuk mengendalikan jumlah

partai politik, dan karena itu sebaiknya dihentikan.260

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2002, audit laporan dilaksanakan cukup oleh akuntan publik yang

259 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The Ukrainian Legislation On Political Parties Adopted By The Venice Commission At Its 51st Plenary Session (Venice, 5-6 July 2002) Hal 3 260 Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan RI. hal 42

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 141: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

ditunjuk, namun sejak berlakunya Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 dan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, anggaran yang bersumber dari APBD

haruslah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. ringkasan mengenai

pengaturan tentang batasan keuangan partai politik disajikan pada Tabel 4.4

Tabel 4.4. Persyaratan Pengelolaan Keuangan Partai Politik

No Perysaratan/batasan

UU 2/1999

UU 31/2002 UU 2/2008 UU 2/2011

1 sumber pendanaan

- iuran anggota;

- sumbangan; - usaha lain

yang sah. - Bantuan dari

anggaran negara

- Iuran anggota

- Sumbangan yang sah

- Bantuan dari anggaran negara

- Iuran anggota - Sumbangan

yang sah - Bantuan

keuangan dari APBN/APBD

- Iuran anggota - Sumbangan

yang sah - Bantuan

keuangan dari APBN/APBD

2 batas maksimal sumbangan/penerimaan

- 15 juta per orang/tahun

- 150 juta per perusahaan atau badan usaha per tahun

- Dari anggota dan bukan anggota 200 juta per tahun

- 800 juta per perusahaan atau badan usaha per tahun

- Anggota partai, diatur AD dan ART

- Perseorangan bukan anggota partai 1 miliar per tahun

- Empat miliar per perusahaan atau badan usaha per tahun

-

Pembukuan pengelolaan keuangan

ya ya

3 laporan keuangan

setiap akhir tahun dan setiap 15 hari sebelum serta 30 hari sesudah pemilihan umum kepada MAhkamah Agung

satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan Umum

A. Satu tahun sekai kepada pemerintah

B. Satu tahun sekai kepada BPK

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 142: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

No Perysaratan/batasan

UU 2/1999

UU 31/2002 UU 2/2008 UU 2/2011

4 audit laporan akuntan

public yang ditunjuk Mahkamah Agung

akuntan public

Anggaran yang bersumber dari anggaran negara di periksa oleh BPK

Anggaran yang bersumber dari anggaran negara di audit oleh BPK paling lambat 1 bulan setelah tahun anggaran berakhir

5 rekening partai

- rekening khusus dana kampanye pemilu

rekening khusus dana kampanye pemilu

-

4.2.2. Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu dan Electoral

Threshold

Partai politik yang telah berstatus badan hukum, tidak serta merta dapat

menjadi peserta pemilihan umum. Untuk menjadi peserta pemilihan umum, partai

politik diwajibkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang

tentang Pemilihan Umum. Pasca reformasi berlaku Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, yang berturut-turut kemudian digantikan

oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008 dan terakhir oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Persyaratan Partai

Politik untuk mengikuti pemilu meliputi persyaratan kepengurusan, Kantor tetap,

jumlah minimum anggota dan persyaratan ambang batas, serta persyaratan-

persyaratan lainnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Partai

Politik yang hendak menjadi peserta pemilihan umum, harus memenuhi syarat

kepengurusan lebih dari 1/2 jumlah propinsi di Indonesia; di lebih dari 1/2

(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi yang bersangkutan. Syarat ini

kemudian diperberat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2008, menjadi minimal 2/3 dari seluruh jumlah

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 143: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

provinsi; minimal 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.

Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, syarat kepengurusan

partai politik kembali diperberat menjadi di seluruh provinsi, minimal di 75%

(tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

minimal di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang

bersangkutan.

Untuk mengikuti pemilihan umum berikutnya, partai politik berdasarkan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, harus memenuhi ambang batas (electoral

threshold) 2% dari jumlah kursi DPR atau 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II

di 1/2 jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia.

ketentuan ini diperberat pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003

menjadi 3% jumlah kursi DPR; b. 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar

di ½ jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. 4% jumlah kursi DPRD

Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Namun ketentuan mengenai electoral threshold dihilangkan dalam Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

Ketentuan ini kemudian diganti dengan ketentuan mengenai Parliamentary

Threshold. Ringkasan mengenai syarat partai politik untuk menjadi peserta pemilu

disajikan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Persyaratan Partai Politik untuk Menjadi Peserta Pemilihan Umum

Syarat Peserta Pemilu

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

kepengurusan lebih dari 1/2

jumlah propinsi di Indonesia; di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah abupaten/kotamadya di propinsi yang bersangkutan

minimal 2/3 dari seluruh jumlah provinsi; minimal 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan

minimal 2/3 jumlah provinsi; di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan

di seluruh provinsi, minimal di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; minimal di 50% (lima puluh persen)

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 144: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Syarat Peserta Pemilu

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan

30% keterwakilan Perempuan

- - ya ya

minimum anggota

- 1.000 orang atau minimum 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik

1.000 orang atau minimum 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik

1.000 orang atau minimum 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik

Nama danTanda Gambar

ya ya ya ya

kantor tetap - ya ya ya rekening dana Kampanye Pemilu

- - - ya

electoral threshold(ambang batas)

2% dari jumlah kursi DPR atau 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II di 1/2 jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia

3% jumlah kursi DPR; b. 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar di ½ jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.

- -

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 145: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Partai politik yang hendak berpartisipasi dalam pemilihan umum di

Jerman, diharuskan untuk memberitahukan tentang niat mereka ke Federal

Returning Officer sebelum pemilihan, kecuali partai-partai yang telah diwakili

oleh sedikitnya lima perwakilan di Bunderstag atau di Landtag (parlemen negara)

sejak pemilihan terakhir. Pemberitahuan tersebut harus meliputi nama partai dan

ditandatangani oleh setidaknya tiga anggota komite eksekutif nasional partai.

Persyaratan lainnya adalah anggaran dasar partai, program partai dan bukti formal

kepemimpinan.261

Partai politik diminta untuk menyerahkan dokumen-dokumen berikut ke

Federal Returning Officer:262 (a) anggaran dasar partai dan artikel; (b) program

partai, dan (c) nama dan fungsi anggota eksekutif partai dan cabang-cabang

lokalnya. Salinan dokumen-dokumen tersedia untuk publik secara gratis. Untuk

menjadi peserta pemilu, setiap organisasi di Inggris harus terdaftar di Komisi

Pemilihan Umum, jika tidak, mereka hanya dapat mendaftar sebagai calon

independen.263

Dalam permohonan pendaftaran berdasarkan UU Pemilu Kanada tahun 2000,

partai politik harus memberikan rincian pemimpin, pejabat partai, agen dan

auditor. Partai juga harus menyediakan nama, alamat dan tanda tangan dari 250

pemilih dan deklarasi pembentukan bahwa mereka adalah anggota partai dan

mendukung aplikasi partai untuk terdaftar. partai juga harus menyerahkan

deklarasi dari pimpinan partai bahwa salah satu tujuan mendasar adalah untuk

berpartisipasi dalam urusan publik dengan mendukung satu atau lebih sebagai

calon anggota dan mendukung pemilihan mereka.264

The Sustainable Governance Indicators 2009 Project dalam laporannya

tentang Democracy and Electoral Process di 31 negara anggota The Organization

for Economic Cooperation and Development (OECD) mengemukakan bahwa :265

1. Australia

261 Chau Pak-kwan. Op.cit hal 6 262 Ibid 263 Ibid hal 16 264Anika Gauja. op.cit Hal 6 265 Ibid hal 2-

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 146: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Sejak 1984, partai-partai politik telah diwajibkan untuk mendaftar kepada AEC

sebelum pencalonan kandidat untuk pemilu. Tidak ada hambatan yang signifikan

untuk pendaftaran, untuk setiap calon potensial atau partai haruslah memenuhi

syarat yaitu partai harus memiliki minimal 500 anggota pemilih yang sah. Sejak

pendaftaran partai harus mengikut aturan tentang pendanaan kampanye pemilu

yang ketat. Calon perseorangan yang tidak terafiliasi dengan partai politik dapat

mencalonkan diri untuk pemilu jika telah berusia 18 tahun atau lebih, memegang

kewarganegaraan Australia dan berada di daftar pemilih.

2. Austria

secara umum pendirian partai politik tidaklah dibatasi, pembatasan. Berdasarkan

Undang-Undang tentang Partai tahun 1975, partai politik harus memiliki aturan

internal Partai dan menyampaikannya kepada Kementerian Dalam Negeri

sehingga dapat diterbitkan dalam brosur berkala. Aturan tentang pembatasan

mendirikan dan mendaftarkan partai dan kandidat, hanya ada dalam Perjanjian

Negara Wina (1955), yaitu larangan pembentukan organisasi fasis dan nasional

sosialis.

3. Denmark

partai-partai sudah memiliki wakil di parlemen otomatis dapat

berpartisipasi dalam pemilihan umum yang baru, sementara partai lain harus

mendapatkan persetujuan dari menteri dalam negeri dengan menyediakan

sejumlah besar tanda tangan pemilih pendukungnya partisipasi. Jumlah tanda

tangan harus setidaknya 1/175 dari pemilih yang berpartisipasi dalam pemilu

sebelumnya, yang dalam prakteknya berjumlah lebih dari 25.000. Kedua, nama

partai yang baru harus mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.

Dengan demikian dapat digambarkan bahwa, pengaturan tentang syarat-syarat

pendaftaran partai politik sebagai peserta pemilu juga bervariasi diatur di berbagai

negara.

4.2.3. Persyaratan Partai Politik untuk Menempatkan Wakilnya di

DPR (Parliamentary Threshold)

Partai politik yang memperoleh suara di pemilu DPR tidak serta merta

dapat menempatkan wakilnya (memperoleh kursi) di DPR. Pasca berlakunya

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Partai Politik harus memperoleh

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 147: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

minimum 2.5% suara ditingkat nasional untuk dapat diikutsertakan dalam

perhitungan kursi di DPR. Ketentuan ini semakin diperberat pasca berlakunya

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Yaitu menjadi 3 % perolehan suara

nasional.

Tabel 4.6 Ketentuan Ambang Batas (Parliamentary Threshold)

Persyaratan /Batasan

UU 2/1999

UU 31/2002 UU 2/2008 UU 2/2011

Parliamentary Threshold

- - 2.5% 3%

Dalam praktek-praktek di negara lain, sebagaimana telah diuraikan pada

Bab II, Penerapan besaran Parliamentary Threshold bervariasi. Di negara-negara

Eropa, PT bervariasi antara 10%-0%. Turki adalah negara dengan PT tertinggi

yaitu sebesar 10%. Rusia sejak 2007, menerapkan PT 7%, Jerman, Belgia,

Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia, Republik Ceko, dan Slovakia menerapkan

PT 5%, sementara negara Austria, Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia

menerapkan PT sebesar 4%, Spanyol, Yunani, Rumania dan Ukraina menerapkan

PT sebesar 3%, Denmark sebesar 2% dan Belanda 0.67%.266 Dengan demikian,

angka PT di Indonesia masih berada pada PT di negara-negara lain seperti Turki,

Rusia Jerman, Belgia, Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia, Republik Ceko, dan

Slovakia Austria, Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia.

4.3. Tahapan Kebijakan Penyederhanaan

Russel J Dalton, David M Farrel dan Ian McAllister sebagaimana telah

diuraikan dalam Bab II, menjelaskan bahwa fungsi partai politik dapat dibagi

menjadi tiga level yaitu di antara warga masyarakat, organisasi-organisasi dan di

pemerintahan.267 Di level warga masyarakat, partai berfungsi untuk

menyederhanakan pilihan bagi para pemilih. Partai politik mendidik para pemilih

266 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Op.cit hal 5 267 Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Op.cit hal 5

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 148: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

tentang manfaat dan ketidakmanfaatan dari pilihan-pilihan kebijakan yang

ditawarkan. Diantara warga masyarakat, partai politik diharapkan akan

memobilisasi warga untuk aktif berperan serta dalam proses politik sehingga

dapat menciptakan stabilitas sistem politik dalam jangka panjang. Dalam level

organisasi, partai politik merekrut dan melatih pemimpin politik yang potensial

dan para kandidat yang akan ditempatkan dalam pemerintahan, memperkenalkan

kepada mereka tentang nilai dan norma dari pemerintahan yang demokratis.

Secara organisasi, partai politik juga mengartikulasi kepentingan-kepentingan

politik para pendukungnya. Pararel dengan perannya sebagai artikulasi

kepentingan, partai politik juga berfungsi untuk agregasi kepentingan,

menempatkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam bentuk yang

komprehensif dan terhubung dan akan menjadi panduan bagi kebijakan

pemerintahan jika dan ketika mereka terpilih menjadi partai di pemerintahan.268

Pada level pemerintahan, partai politik mengorganisasikan cara kerja

pemerintahan dengan menciptakan mayoritas suara untuk memenangkan

kebijakannya. Partai politik di pemerintahan memiliki tujuan-tujuan kebijakan

yang komprehensif yang diklaimnya sebagai mandat dari yang diwakili. Partai

politik atau koalisi partai akan mengimplementasikan kebijakan tersebut dan

mengorganisasikan pemerintahan hingga selesai. Mandat para pemilih juga

menjadi legitimasi bagi partai dalam mengimplementasikan kebijakan dan akan

menjadi kontrol untuk menilai kinerja partai/akuntabilitas apakah sesuai dengan

apa yang mereka telah janjikan sebelumnya. Jika partai merupakan oposisi dapat

juga berkontribusi untuk mengevaluasi dan mengkritisi keputusan-keputusan yang

telah ditetapkan oleh pemerintah.269 Hubungan (Linkage) antara partai dan

pemilih dapat digambarkan pada gambar pada Bab II.

Berdasarkan UU Pemilu memang partai politik yang telah berstatus

sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak secara serta merta (otomatis)

dapat mengikuti pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan yang

ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi administratif dan verifikasi faktual

268 Ibid hal 6 269 Ibid hal 5-6

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 149: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7 UU Pemilu), sehingga eksistensi

partai politik dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilu memang

merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan.270 Hal

tersebut setidaknya yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan

Perkara Nomor 16/PUU-V/2007 alinea [3.15], huruf d. yang menyatakan bahwa

Bahwa tambahan pula, berdasarkan UU Pemilu memang partai politik yang telah berstatus sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak secara serta merta (otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi administratif dan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7 UU Pemilu), sehingga eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan. Setidaktidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat bebas kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk mengenai persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan ET.

Apabila digambarkan hubungan antara ketentuan yang mengatur tentang

tahapan kebijakan penyederhanaan partai politik dapat digambarkan sebagai

berikut :

Bagan 4.1.

Tahapan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik

4.4. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap

Partai Politik

Vicky Randal menilai bahwa Indonesia telah sukses

mengimplementasikan Undang-Undang tentang Partai Politik. Undang-Undang

dikombinasikan secara baik antara tujuan untuk membentuk partai politik yang

berkarakter organisasi yang bersifat nasional dan ketentuan thershold telah sukses

270 Putusan 16/PUU-V/2007 Hal 82

organisasi/ Partai Politik

Undang-Undang tentang Partai

Politik

Partai Politik sebagai Badan

Hukum

Undang-Undang tentang

Pemilihan Umum

Partai Politik sebagai Peserta

Pemilu

Undang-Undang tentang

Organisasi DPR

Partai Politik dalam

Parlemen/DPR

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 150: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

menurunkan jumlah partai politik yang efektif dan meningkatkan kapasitas

geografinya.271

4.4.1. Partai Politik Tidak Diakui sebagai Badan Hukum

Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, banyak

bermunculan partai politik baru karena syarat-syarat untuk mendirikan partai

politik belumlah diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, telah diatur syarat minimal

jumlah anggota dan kepengurusan (Pasal 2) apabila hendak membentuk dan

mendaftarkan partai politik di Departemen Kehakiman. Akibat hukum tidak

terpenuhinya persyaratan tersebut adalah penolakan pendaftaran sebagai partai

politik oleh Departemen Kehakiman, sehingga partai politik tersebut tidak diakui

sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman sebagaimana dinyatakan

dalam :

pasal 26 ayat (1) :

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman.

Penolakan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum akibat tidak

terpenuhinya persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-undang juga

diatur dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.

Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 menyatakan bahwa : Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen.

Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 : Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian.

271Vicky Randal. Party regulation in conflict-prone societies: More dangers than opportunities?hal 246

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 151: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

148 partai mendaftarkan diri secara resmi ke Departemen Kehakiman.

Departemen Kehakiman kemudian mengesahkan 141 di antaranya. Dari 141

partai politik ini, 110 mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas untuk ikut Pemilu

1999, dan setelah melalui proses verifikasi, hanya ada 48 partai politik yang boleh

ikut Pemilu 1999.272 Hal tersebut menciptakan sistem multipartai yang ekstrim

dan dinilai oleh pengambil kebijakan kurang sesuai dengan sistem pemerintahan

presidensiil di Indonesia. sehingga Undang-Undang tentang Partai Politik

berikutnya mengatur tentang upaya penyederhanaan partai politik untuk mencapai

sistem multipartai sederhana.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai

Politik, untuk membentuk partai politik, haruslah memenuhi persyaratan-

persyaratan antara lain yaitu : memiliki akta notaris pendirian partai politik,

kepengurusan di 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada

setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap

kabupaten/kota yang bersangkutan; memiliki nama, lambang, dan tanda gambar

dan mempunyai kantor tetap. Partai politik yang telah memenuhi persyaratan

tersebut, kemudian disahkan oleh departemen kehakiman untuk ditetapkan

sebagai badan hukum. Kementerian Kehakiman melaksanakan tiga tahap

verifikasi untuk menetapkan partai politik yang memenuhi syarat sebagaimana

yang ditetapkan di dalam UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik untuk

menjadi badan hukum. Verifikasi tahap I, tahap II dan tahap III. Sejak departemen

membuka pendaftaran partai politik untuk disesuaikan dengan ketentuan UU No.

31 Tahun 2002 pertengahan tahun 2003, secara keseluruhan ada 112 partai politik

yang mendaftar (dalam 3 angkatan atau gelombang).273 Sebanyak 66 parpol

mendaftar pada tahap ke tiga.274 Verifikasi tahap I dan II meloloskan 18 partai

272 Eep Saefulloh Fatah. Sebuah Cermin Cembung. Partai-Partai Politik Indonesia :Ideologi, Strategi dan Program. http://majalah.tempointeraktif.com 1999.

273 Komisi Pemilihan Umum. Verifikasi Angkatan III Selesai, Secara Keseluruhan Ada 50 Partai

yang Lolos di Depkeh dan HAM . http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5134&Itemid=76 [juli 2012]

274 Tempo Interaktif. Daftar Partai yang Lolos dan Tidak Lolos Verifikasi. 2003.

http://www.tempo.co/read/news/2003/10/04/05519829/null [ 8 juli 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 152: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

politik.275 Pada tahap III, sebanyak 32 partai politik. Sehingga total partai politik

yang lolos verifikasi dan ditetapkan sebagai badan hukum sebanyak 50 partai

politik. Dengan demikian implikasi hukum diterapkannya persyaratan pendirian

partai politik pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 adalah sebanyak 62

partai politik tidak dapat ditetapkan sebagai partai politik yang berbadan hukum

dan tidak terdaftar di Kementerian Kehakiman.

Pada tahun 2008, Undang-Undang tentang Partai Politik diganti dengan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Syarat pendirian

partaipun mengalami perubahan dan semakin diperberat, terutama pada syarat

kepengurusan partai di tingkat provinsi yang semula 50% menjadi 60% dari

jumlah provinsi. Departemen Hukum dan HAM berdasarkan amanat Undang-

Undang menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi

kelengkapan dan kebenaran. Pada Tahun 2008, sebanyak 24 Partai Politik

memperoleh status Badan Hukum dari 115 partai politik yang mendaftarkan diri

ke Departemen Hukum dan HAM.276

Hal yang sama, terjadi juga Pada Tahun 2011, pasca diberlakukannya

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Syarat pembentukan partai politik

semakin diperberat. Pasca diberlakukannya ketentuan ini, Setelah melalui proses

verifikasi sejak tanggal 23 September 2011 sampai dengan 25 November 2011,

dari paerol yang mendaftarkan diri untuk memperoleh status badan hukum, yang

lolos verifikasi adalah partai Nasdem yang sesuai dengan keterangan pers

menkumham tanggal 11 November 2011. Sedangkan 13 partai politik lainnya

tidak memenuhi syarat untuk lolos verifikasi dan oleh karena itu tidak

memperoleh status badan hukum sesuai dengan peraturan perundang –undangan

yang berlaku mengenai partai politik. Ketiga belas partai politik yang tidak lolos

275 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. KPU Jelaskan Prosedur Pendaftaran dan Penelitian Kepada Partai Politik yang Telah Lolos Menjadi Badan Hukum. http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5109&Itemid=76 [8 juli 2012]

276 Antara News . Sebanyak 24 Parpol Lolos Verifikasi Depkumham. http://www.antaranews.com/view/?i=1207296006&c=NAS&s= 2008. [8 juli 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 153: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

verifikasi tersebut adalah 277: 1. Partai Demokrasi Pancasila (DEPAN), 2. Partai

Independent, 3. Partai Rakyat bangkit, 4. Partai Rakyat Republik (PAKAR), 5.

Partai kekuatan Rakyat Indonesia, 6. Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara

(PKBN), 7. Partai Nasional Republik, 8. Partai Penganut Thariqot Islam Negara

Islam Indonesia, 9. Partai Persatuan Nasional, 10. Partai Republik Perjuangan, 11.

Partai Republik Satu, 12. Partai Satria Piningit, 13. Partai Serikat Rakyat

Independent. Namun pada tanggal 27 Maret 2012, Partai Serikat Rakyat

Independen (SRI) resmi berbadan hukum dengan keluarnya SK Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia M.HH-09.AH.11.01.278 status badan hukum Partai SRI

diperoleh setelah bersinergi dengan Partai Demokrasi Perjuangan Rakyat (PDPR)

yang memang telah berbadan hukum tetapi gagal lolos Pemilu 2009.279

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan penyederhanaan partai politik

telah menyebabkan tidak diakuinya partai-partai politik yang tidak memenuhi

persyaratan Undang-Undang sebagai badan hukum. Dalam prakteknya, akibat ini

tidak serta merta diterima oleh partai politik yang tidak lolos verifikasi untuk

menjadi badan hukum. Beberapa upaya judicial review terhadap Undang-Undang

tentang Partai Politik diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Pada setiap Undang-Undang tentang Partai Politik sebagaimana telah

dijelaskan di atas, diatur sanksi administrasi berupa penolakan bagi partai politik

yang tidak memenuhi persyaratan pendirian dan pendaftaran partai politik sebagai

badan hukum. Kementerian yang berwenang menurut Undang-Undang berwenang

untuk menolak menetapkan partai yang tidak lolos persyaratan sebagai badan

hukum. Ketentuan sanksi administratif berupa penolakan partai politik sebagai

badan hukum diatur pada pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2002, Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 , dan pada Pasal 47

ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Dalam prakteknya dari sejak

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 hingga Undang-Undang

277 Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Menkumham Umumkan Verifikasi Parpol. http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/472-menkumham-umumkan-verifikasi-parpol

278 Kompas. Partai SRI Siap Ikuti Pemilu 2014. http://nasional.kompas.com/read/2012/04/08/18123424/Partai.SRI.Siap.Ikuti.Pemilu.2014 [7 juli 2012] 279 ibid

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 154: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Nomor 2 Tahun 2011, sejumlah partai politik tidak diakui sebagai partai politik

berbadan hukum dan tidak terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, yang

dapat disajikan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Jumlah Partai yang Memperoleh Status Badan Hukum

No Pasca Berlakunya Undang-Undang

Jumlah Partai Politik % yang mendaftar Ke Kementrian

yang memperoleh Status badan

hukum 1 Nomor 2 Tahun 1999 148 141 95.27 2 Nomor 12 Tahun 2003 112 50 44.64 3 Nomor 2 Tahun 2008 115 24 20.86 4 Nomor 2 Tahun 2011 14 2 14.28

Diolah dari berbagai sumber.

Dari tabel di atas, terlihat bahwa terjadi penurunan jumlah partai politik

baik yang mendaftar ke Kementerian yang berwenang menurut Undang-Undang

dan jumlah partai politik yang ditetapkan sebagai badan hukum. Pasca berlakunya

Undang-Undang Nomor 2 tahun 1999 sebanyak 148 partai mendaftar ke

kementerian dan dikarenakan persyaratan yang diatur tidak terlalu ketat, maka

sekitar 141 (95%) partai diterima dan terdaftar di kementerian. Namun pasca

berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yang mulai mengatur secara

ketat syarat-syarat pendirian dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum,

maka pada prakteknya jumlah partai politik yang mendaftar menurun menjadi 112

partai dan yang memperoleh status badan hukum hanyalah 50 partai saja atau

sekitar 44.64%. semakin diperberatnya persyaratan pendirian dan pendaftaran

partai politik pasca ditetapkannya Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008,

berakibat hukum hanya 24 partai yang dapat memperoleh status badan hukum,

dari 115 partai yang mendaftar ke kementerian dan semakin berkurang pasca

ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, hanya 2 partai saja yang

dapat memperoleh status sebagai badan hukum. Dengan demikian, syarat-syarat

pendirian partai dan pendaftaran partai sebagai badan hukum, telah efektif

menurunkan jumlah partai politik di Indonesia.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 155: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

4.4.2. Partai Politik tidak dapat Menjadi Peserta Pemilihan Umum.

Partai politik yang telah memperoleh status sebagai badan hukum, tidak

serta merta dapat menjadi peserta pemilihan umum. Berbagai persyaratan untuk

menjadi peserta pemilu harus dipenuhi, dan persyaratan tersebut semakin

diperberat di setiap perubahan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003,

Partai Politik yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu

sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), berakibat hukum bahwa partai

politik tersebut tidak dapat menjadi peserta pemilihan umum.

Pasal 39 ayat (1) :

Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik; b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia; c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya

di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.

Pasal 39 ayat (2) : Partai Politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak dapat menjadi Peserta Pemilihan Umum, namun keberadaannya tetap diakui selama partai tersebut melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Partai Politik.

Untuk mengikuti pemilihan umum berikutnya, partai politik berdasarkan Pasal 39

ayat (3) Undang-Undang 3 Tahun 2009 harus memenuhi ambang batas perolehan

kursi, sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau 3% jumlah kursi DPRD I atau

DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah propinsi dan di ½

jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia.

Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang 3 Tahun 2009 :

Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 156: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum.

Akibat hukum dari berlakunya ketentuan ambang batas perolehan kursi (electoral

threshold) adalah tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali

bergabung dengan partai politik lain sebagaimana diatur pada Pasal 39 ayat (4)

yang menyatakan bahwa :

Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain.

Akibat hukum tidak terpenuhinya syarat-syarat partai untuk menjadi peserta

pemilu juga diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 12 Tahun 2003 yang menyatakan

bahwa :

Partai politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menjadi peserta Pemilu.

Ketentuan electoral threshold dalam UU 12 Tahun 2003, diatur pada pasal 9 ayat

(1) dan akibat hukum tidak terpenuhinya ketentuan tersebut adalah partai politik

masih dapat mengikuti pemilu berikutnya hanya apabila : a). bergabung dengan

Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan electoral threshold, b).

bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan ET dan

selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang

bergabung sehingga memenuhi ET atau c). bergabung dengan partai politik yang

tidak memenuhi ketentuan ET dengan membentuk partai politik baru dengan

nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi ET sebagaimana dinyatakan

pada Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa :

Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila: a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 157: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau

c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

Pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Pasal

17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, partai politik dapat ditetapkan

menjadi peserta pemilu apabila telah lulus verifikasi oleh KPU, sehingga partai-

partai yang tidak lulus verifikasi, tidak dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu.

Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 :

Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 terdapat ketentuan peralihan yang

mengatur persyaratan partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum

berikutnya, yaitu pada pasal 315 yang menyatakan bahwa :

Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.

Pada pasal 316 memuat ketentuan bagi partai yang tidak memenuhi ketentuan

pasal 315 dapat mengikuti pemilu pada tahun 2009 dengan ketentuan :

a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau

b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda

gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi

perolehan minimal jumlah kursi; atau

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 158: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan

nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah

kursi; atau

d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau

e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik

Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Pada Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, partai politik dapat

ditetapkan menjadi peserta pemilu apabila telah lulus verifikasi oleh KPU,

sehingga partai-partai yang tidak lulus verifikasi, tidak dapat ditetapkan sebagai

peserta pemilu.

Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 :

Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.

Pada Pelaksanaannya di pemilu tahun 1999, dari 110 partai politik yang

mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas, dan setelah melalui proses verifikasi,

hanya ada 48 partai politik yang boleh ikut Pemilu 1999. Sehingga lebih dari

separoh dari jumlah partai politik (52 partai) yang tidak dapat mengikuti pemilu

karena tidak memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan. Pada Pemilu 2004, dari

50 parpol yang mendaftar ke KPU untuk Pemilu 2004, hanya 24 parpol yang

ditetapkan sebagai peserta pemilu. Itu termasuk enam parpol besar yang bebas

verifikasi karena lolos electoral threshold pada Pemilu 1999.280

Pada pemilu 2009, sebanyak 68 partai politik mendaftar ke KPU sebagai

calon peserta pemilu 2009.281 Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan 18

partai politik dinyatakan lolos verifikasi faktual KPU dan berhak menjadi peserta

280 Okezone.com. 68 Partai Politik Baru Gugur. http://jakarta.okezone.com/read/2008/02/28/1/87368/68-partai-politik-baru-gugur[22 juli 2012]

281 Detiknews. 68 Parpol Sudah Ambil Form di KPU.

http://news.detik.com/read/2008/04/11/165455/922127/10/68-parpol-sudah-ambil-form-di-kpu?nd993303605 [8 September 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 159: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Pemilu 2009 bersama 16 partai lainnya yang telah memiliki keterwakilan di DPR,

sesuai pasal 315 dan 316 UU No 10 tahun 2008.

Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, KPU membuka

Pendaftaran partai politik (parpol) calon peserta Pemilu 2014 yang dibuka sejak

Jumat, 10 Agustus 2012 lalu, dan resmi ditutup pada 7 September 2012. Hingga,

parpol yang mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), seluruhnya

berjumlah 46 (empat puluh enam) partai .282 Hingga 10 September 2012, telah 12

partai politik ditetapkan tidak memenuhi persyaratan Undang-Undang Pemilu

sehingga tidak dapat menjadi peserta pemilu.

Dengan demikian dapat dkatakan bahwa kebijakan penyederhanaan partai

politik khususnya persyaratan partai politik untuk menjadi peserta pemilu, telah

berakibat tidak lolosnya sejumlah partai politik sehingga tidak dapat menjadi

peserta pemilu.

Pada setiap Undang-Undang tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya, diatur persyaratan-perysaratan bagi partai politik untuk

dapat menjadi peserta pemilihan umum, sehingga bagi partai-partai yang tidak

memenuhi persyaratan tersebut, berakibat hukum tidak dapat menjadi peserta

pemilihan umum. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 dan 12 Tahun

2003, diatur persyaratan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan

umum berikutnya harus memenuhi ketentuan ambang batas perolehan kursi,

ketentuan ini berakibat hukum bagi partai-partai plitik yang tidak dapat memenuhi

haruslah bergabung dengan partai politik lain atau membentuk partai baru. Dalam

prakteknya dari sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999

hingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, sejumlah partai politik tidak lolos

menjadi peserta pemilihan umum, yang dapat disajikan pada Tabel 4.8

282 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Pendaftaran Parpol Resmi Ditutup, Total 46 Partai Mendaftar Ke KPU.

http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7065&Itemid=1 [ 8 September 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 160: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Tabel 4.8 Jumlah Partai Politik yang Tidak Lolos Persyaratan Sebagai Peserta

Pemilihan Umum

No Periode Pemilu Tahun

Partai Politik % yang mendaftar

KPU peserta pemilu

1 1999 110 48 43.63 2 2004 50 24 48.00 3 2009 68 38 55.88

4 2012 46 sedang dalam tahap verifikasi

Diolah dari berbagai sumber.

Pada Pemilu pertama pasca reformasi, sebanyak 110 partai politik

mendaftar ke KPU, namun hanya sebanyak 48 partai saja yang dapat menjadi

peserta pemilu. Partai politik yang mendaftar untuk menjadi peserta pemilu

semakin berkurang pada pemilu tahun 2009, yaitu hanya 50 partai dan yang

berhasil lolos persyaratan hanya 24 partai dan menjadi peserta pemilu. Pada tahun

2008, memang terjadi kenaikan jumlah partai yang mendaftar ke KPU dari 50

partai di tahun 2003 menjadi 68, hal tersebut dikarenakan terjadinya perubahan

kebijakan yang semula menggunakan ET pada UU 3 tahun 1999 dan uu 12 tahun

2003 menjadi PT sehingga partai yang menjadi peserta pemilu naik dari 24

menjadi 38. Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM, per akhir tahun

2012, jumlah partai politik yang diakui keberadaannya sebagai badan hukum

adalah berjumlah 73 partai politik, namun pada kenyataannya hanya 46 partai

yang mengajukan pendaftaran ke KPU untuk menjadi peserta pemilu karena

beratnya syarat yang telah ditetapkan oleh UU Pemilu.

Sebanyak 16 Partai Politik calon Peserta Pemilu 2014 dinyatakan

memenuhi syarat verifikasi faktual tingkat pusat. Tiga Partai yang semula belum

memenuhi syarat pada verifikasi faktual tahap pertama yakni partai bulan bintang,

partai keadilan sejahtera, dan partai golongan karya, telah dinyatakan memenuhi

syarat.283 adapun 13 parpol yang terlebih dahulu lolos verifikasi faktual tingkat

pusat berikut keterwakilan perempuan dalam kepengurusannya adalah PKBIB,

283 Kompas. 16 Parpol Penuhi Syarat.Peserta Pemilu diumumkan pada 9-11 Januari 2013. Politik dan Hukum. Kompas Edisi Senin 26 November 2012. hal 4

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 161: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

partai Hanura, PPN, PPRN, PArtai Nasdem, PDP, PKB, Partai Demokrat, Partai

Gerindra, PAN, PPP, PKPI, PDI-P.284

4.4.3. Partai Politik tidak dapat Menempatkan Wakilnya di DPR

Ketentuan Parliamentary Threshold yang diterapkan pada Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2008 telah mengurangi jumlah partai yang dapat

menempatkan wakilnya di DPR karena partai yang tidak memenuhi ketentuan

ambang batas perolehan suara tidak dapat diikutkan dalam penentuan kursi di

DPR sebagaimana yang dinyatakan Pada Pasal 202 ayat 1 UU 10 Tahun 2008

dan Pasal 208 UU 8 Tahun 2012.

Pasal 202 ayat (1) UU 10 Tahun 2008 Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

Pasal 208 UU 8 Tahun 2012 Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pada Pemilu 2009, perolehan suara dari seluruh 38 parpol peserta pemilu DPR,

sebanyak 9 parpol yang lolos ketentuan ambang batas yaitu Partai Hanura, Partai

Gerindra, PKS, PAN, PKB, Partai Golkar, PPP, PDIP, dan Partai Demokrat

sehingga dapat diikutsertakan dalam pembagian 560 kursi DPR.285

4.4.4. Penggabungan Partai Politik

Hasil dari kebijakan tersebut, pada Pemilu 1999 hanya enam Parpol yang

memenuhi ET dan pada Pemilu 2004 hanya tujuh Parpol yang memenuhi ET,

sedangkan bagi Parpol-Parpol yang tidak memenuhi ET untuk dapat mengikuti

Pemilu berikutnya harus bergabung dengan Parpol lainnya yang memenuhi ET

atau tidak memenuhi ET agar memenuhi ET sesuai dengan ketentuan yang diatur

284 ibid 285 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Buku Saku Pemilu 2009. Hal 40

http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6520&Itemid=171 [5 Januari 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 162: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dalam UU 12/2003. Pasal 39 ayat 4 menyatakan bahwa partai politik yang tidak

memenuhi ketentuan ambang batas sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (3),

berakibat hukum tidak boleh ikut dalam pemilihan umum kecuali bergabung

dengan partai politik lain. Pasal 39 ayat (3) :

Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum. Pasal 39 ayat (4) : Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain.

Pasal 9 ayat (2) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila: a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau

c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

Ketentuan mengenai ambang batas perolehan suara (parliamentary

threshold) nasional sebagai syarat diikutkannya partai politik untuk mendapatkan

kursi di DPR baru diatur sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008, menggantikan kebijakan ET yang diatur pada Undang-Undang sebelumnya.

Akibat hukum dari ketentuan PT adalah bagi partai politik yang tidak memenuhi

ketentuan tersebut, tidak dapat memperoleh kursi di DPR. Pada Pemilu 2009,

perolehan suara dari seluruh 38 parpol peserta pemilu DPR, sebanyak 9 parpol

yang lolos ketentuan ambang batas yaitu Partai Hanura, Partai Gerindra, PKS,

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 163: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

PAN, PKB, Partai Golkar, PPP, PDIP, dan Partai Demokrat sehingga dapat

diikutsertakan dalam pembagian 560 kursi DPR.286

Menurut Venice Commission Efek dari penerapan threshold adalah bahwa

partai-partai kecil memiliki kesulitan untuk memperoleh kursi. Electoral

threshold juga merupakan kendala penting bagi partai minoritas Untuk

menurunkan threshold atau bahkan menghapuskan. Di Serbia partai minoritas

gagal melewati ambang batas 5% pada pemilihan parlemen 2003. Setelah

penghapusan dari ambang batas pada tahun 2004 lima partai minoritas yang

mewakili Hongaria, Bosnia, Albania dan Roma kembali ke Parlemen dalam

pemilu 2007. Di Polandia dan Jerman ambang 5% tidak berlaku untuk partai

minoritas. Pengadilan Eropa tentang Hak Asasi Manusia menyatakan dalam

kasus Yumak dan Sadak v Turki, yang akan diinginkan untuk menurunkan

threshold 10% diterapkan untuk Turki untuk memastikan optimal representasi.

Pada tahun 2007 dalam Resolusi nya 1.547 Dewan Majelis Parlemen

Eropa memilih untuk Batas 3%, meskipun dengan reservasi penting bahwa

rekomendasi ini diterapkan untuk demokrasi yang sudah mapan. Ambang ini

tampaknya terlalu rendah, jika kita mengakui pentingnya perbedaan antara

demokrasi yang sudah mapan dan yang kurang mapan di mana sistem kepartaian

masih sedang dibuat. Pada sistem yang pertama, ambang batas 3 sampai 5 %

masih dapat diterima. Dalam negara demokrasi baru, sebaliknya, ambang batas

yang lebih tinggi mungkin dipertimbangkan untuk mendorong pembentukan

sistem partai yang sederhana dan efektif dan tentunya tidak melebihi angka 10%

yang sudah cukup tinggi.287

4.5. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap

pembentukan sistem Multipartai Sederhana

Perjalanan sistem multipartai di Indonesia disertai karakateristik tersendiri.

Penerapan multipartai di Indonesia disertai dengan tingkat pelembagaan sistem

kepartaian yang rendah. Rendahnya tingkat pelembagaan ini akan berimplikasi

286 KPU. Buku Saku Pemilu 2009. Hal 40 http://www.kpu.go.id/dmdocuments/saku_h.pdf 287 Venice Commission. Report On Thresholds And Other Features Of Electoral Systems Which

Bar Parties From Access To Parliament (II). Maret 2012. hal 12 http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD(2010)007-e.pdf [diunduh 29 November 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 164: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

pada sistem multipartai yang cenderung terfragmentasi. Kondisi fragmentasi

politik ini menyebabkan partai politik pemenang pemilu akan sulit mencapai

kekuatan mayoritas tanpa adanya koalisi dalam pemerintahan.288

Pemilu tahun 1999, diikuti oleh 48 partai politik dan sebanyak 24 partai

politik memperoleh kursi di DPR. PDIP memperoleh kursi terbanyak dengan

33.11%, diikuti oleh partai golkar 25.97% kursi di DPR, PPP 12.55%, PKB

11,03%, PAN 7.35%, . Nilai ENPP pemilu tahun 1999 sebesar 4.71 yang dapat

diartikan bahwa sistem partai hasil pemilu 1999 adalah multipartai moderat

(sederhana) dengan 4 sampai 5 partai efektif di parlemen. tidak ada partai yang

mendominasi parlemen, karena tidak ada partai yang memperoleh lebih dari 40%

suara atau berdasarkan kategorisasi Blonde, dapat dikatakan juga bahwa sistem

partai saat itu adalah sistem multipartai dengan tidak ada partai dominan

(multiparty systems without a predominant party).

sistem partai di Indonesia berubah menjadi sistem multipartai ekstrim

(extreme multiparty system) setelah pemilu tahun 2004. pemilu diikuti oleh 24

partai politik dan sebanyak 15 partai memperoleh kursi di DPR. Partai Golongan

Karya memperoleh 23.27% kursi di DPR, diikuti oleh PDIP 19.81%, Partai

Persatuan Pembangunan 10.54%, Partai Demokrat 10%, PAN 9.63%, PKB

9.45%, dan PKS 8.18%. nilai ENPP sebesar 7.07 menunjukkan bahwa jumlah

partai politik yang efektif di DPR lebih dari 7 partai, sehingga sistem partai saat

itu bergeser dari sistem multipartai sederhana (moderat) pada tahun 1999 menjadi

sistem multipartai ekstrim (extreme multiparty system). berdasarkan klasifikasi

Blondel, tidak ada partai yang mendominasi mayoritas suara di DPR (40%)

sehingga sistem partai dapat dikatakan pula sebagai sistem multipartai tanpa ada

partai dominan (multiparty systems without a predominant party).

pada pemilu tahun 2009, masih menciptakan sistem multipartai ekstrim

dengan nilai ENPP 6.47. namun dapat dikatakan bahwa jumlah efektif partai di

parlemen mengalami penurunan menjadi 6 sampai 7 partai politik. pemilu 2009

diikuti oleh 38 partai politik, dan sebanyak 9 partai memperoleh kursi di DPR.

Partai Demokrat memperoleh 26.43% kursi, diikuti oleh partai Golongan Karya

18.93%, PDIP 16.79%, Partai Keadilan Sejahtera 10.18%, PAN 8.21%, PPP

288 Hanta Yuda HR. Presidensialisme. Op cit hal 102

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 165: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

6.79%, PKB 5%, Gerindra 4.64% dan Hanura 3.04%. sistem partai dapat

dikatakan juga sebagai sistem multipartai tanpa ada partai dominan yang

memperoleh lebih dari 40% (multiparty systems without a predominant party).

Tabel 4.9 Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi

No Pemilu Tahun Nilai ENPP Sistem Partai 1 1999 4.71 moderate multiparty 2 2004 7.07 Extreme multiparty 3 2009 6.47 Extreme multiparty

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 166: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

BAB V

JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR

TENTANG KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK

5.1. Judicial Review Ketentuan tentang Syarat Minimal Kepengurusan bagi

Pendaftaran Partai Politik.289

5.1.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji

Pemohon adalah Ketua Umum Partai Persatuan Rakyat Indonesia (PPRI)

yang mengajukan permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.290

Pasal yang diujikan salah satunya adalah Pasal 2 ayat (3) sub b, yang dianggap

bertentangan dengan isi Pasal 28 dan pasal-pasal yang terkait dalam Undang-

Undang Dasar Tahun 1945.

Pasal 2 ayat (3) Sub b, menyatakan bahwa :

Partai politik harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat : b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari

jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan;

Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dikarenakan PPRI

merupakan salah satu partai yang tidak dapat memenuhi ketentuan pada Pasal 2

ayat (3) sub b yang mengakibatkan PPRI : 1).Tidak bisa ikut serta sebagai Partai

Politik peserta pemilihan umum, 2) Tidak diakui keberadaannya oleh Departemen

Kehakiman dan HAM.291

289 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor PUU 20/PUU-I/2003. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan020PUUI2003.pdf [2 Juni 2012]

290 Ibid hal 1 291 Ibid hal 4

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 167: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

5.1.2. Pendapat Pemerintah

Pemerintah mengemukakan bahwa Maksud penyusunan Undang-undang

tentang Partai Politik adalah memberikan landasan yang kokoh bagi kaidah-

kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, transparansi,

akuntabilitas, berkeadilan, aspiratif, dan tidak diskriminatif, sehingga terwujud

Partai Politik sebagai aset demokrasi yang mandiri dalam rangka mewujudkan

pemerintahan yang efektif. Sedangkan tujuan penyusunan undang-undang

tentang Partai Politik adalah menumbuhkan dan memperkokoh kemerdekaan

berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat, sebagai upaya untuk

mewujudkan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang kondusif bagi

penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka, bersatu,

berdaulat, demokratis, berdasarkan atas hukum. Selain itu, tujuan pembangunan

kehidupan demokrasi melalui penataan Partai Politik adalah untuk menjamin

jumlah Partai Politik yang dikehendaki bangsa Indonesia dengan tidak menempuh

cara otoriter tetapi juga tidak menempuh cara liberal, melainkan menyepakati

persyaratan jumlah dukungan rakyat kepada Partai Politik sebagai syarat

berperan-serta dalam pemilihan umum. Dengan demikian Partai Politik dapat ikut

berperan serta dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan

sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang padu.292

Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang

Partai Politik, dimaksudkan untuk membangun Partai Politik yang berkualitas,

mandiri dan mengakar di masyarakat. Di samping itu, dengan pengaturan tersebut

diharapkan tercipta suatu Partai Politik yang mempunyai kredibilitas dan

ketersebaran kepengurusan di seluruh Indonesia, memiliki dukungan massa yang

kuat, dan bersifat nasional (Indonesia sebagai negara kepulauan dan beragam suku

bangsa serta agama). Dengan persyaratan dan kriteria dimaksud pada saatnya

nanti akan terwujud Partai Politik yang dapat merefleksikan keanekaragaman

suku, bangsa, budaya, dan agama dalam satu wadah dan tujuan demi kepentingan

bangsa dan negara.293

292 Ibid hal 11-12 293 Ibid hal 16

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 168: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Selanjutnya esensi pengaturan tersebut bukan merupakan pembatasan dan

pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tetapi lebih kepada pembelajaran dan

pendewasaan politik bangsa. selain mengatur juga membatasi. Pengaturan dan

pembatasan masih dapat dibenarkan dan sah sepanjang dibuat oleh lembaga yang

berwenang dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Secara formal, suatu

undang-undang sah berlakunya sepanjang telah dibahas oleh DPR dan Presiden

untuk mendapatkan persetujuan bersama. Prosedur ini telah dipenuhi dalam

pembahasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. 294

5.1.3. Pendapat dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Pasal 2 ayat (3) sub b, tidak bertentangan dengan isi Pasal 28 dan pasal-

pasal yang terkait dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pendapat

Mahkamah Konstitusi terkait dengan putusan tersebut adalah sebagai berikut :

Pengaturan dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b ini dimaksudkan untuk membangun

Partai Politik yang berkualitas, mandiri, dan mengakar di masyarakat. Di samping

itu dengan pengaturan tersebut diharapkan partai politik dapat tumbuh dan

berkembang dengan kredibilitas dan didukung oleh ketersebaran kepengurusan di

seluruh Indonesia, serta memiliki dukungan massa yang kuat dan bersifat

nasional. Pengaturan sebagaimana tersebut di atas diperlukan bagi negara yang

tengah berada dalam proses pematangan demokrasi. Dalam keadaan seperti itu,

hukum bukan saja diperlukan sebagai sarana untuk memelihara ketertiban dan

kepastian hukum yang berkeadilan, melainkan harus pula berperan sebagai sarana

pembangunan masyarakat.295

Undang-undang yang mengatur tentang partai politik, yang didalilkan

Pemohon, justru merupakan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat

dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya

ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna menjamin

agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak mengganggu

kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Dengan demikian, tidak satu

294 Ibid hal 18 295 Ibid hal 35

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 169: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

pun dari pasal-pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai pengekangan atau

pembatasan terhadap kebebasan untuk mendirikan partai politik, melainkan hanya

pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga partai

politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum. Demikian

pula, pengaturan tersebut tidak dapat dipandang diskriminatif karena berlaku

terhadap semua partai politik.296

Pengaturan demikian, bahkan juga pembatasan, bukan saja tidak bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar tetapi juga tidak bertentangan prinsip-prinsip

hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional sebagaimana terlihat dari

rumusan Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights yang

menyatakan: 297

“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society”;

5.2. Judicial Review Ketentuan tentang Electoral Threshold.298

Ketentuan tentang syarat electoral threshold diatur pada Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2003. Dalam prakteknya ketentuan ini dan juga ketentuan

persyaratan partai politik sebagai peserta pemilu pernah dimohonkan untuk

dijudicial review oleh lima partai berbasis Islam ke Mahkamah Agung pada tahun

2003.299 Ke lima Partai tersebut adalah DPP PII Masyumi, DPP Partai Nadhatul

Ulama Umat, DPP Partai Kebangkitan Umat, DPP Partai Islam Indonesia, DPP

Partai Al-Islam Sejahtera Indonesia. pasal yang diuji : 300 Pasal 7 ayat (1) butir b,

c, d dan ayat (2) serta ayat (3), tentang syarat minimal kepengurusan partai politik

untuk dapat menjadi peserta partai politik. Pasal 9 ayat (1), tentang syarat

296 Ibid hal 35-36 297 Ibid hal 36 298 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 16/PUU-V/2007.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan16PUUV2007ttg-UUPemilu23102007.pdf [2 Januari 2012]

299 http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=1512&coid=3&caid=21&gid=2 300 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Resume/resumesidangResume%20007PUU2003.pdf

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 170: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

electoral treshold untuk mengikuti pemilu berikutnya. Pasal 142 dan 143, tentang

syarat penetapan sebagai peserta pemilu. Pada tanggal 15 Oktober, perkara

pengujian UU ini kemudian dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi.301 namun

demikian, pemohon pada akhirnya menarik kembali permohonannya sehingga

MK mengeluarkan penetapan yang berisi mengabulkan permohonan penarikan

perkara pengujian Undang-Undang tersebut.

5.2.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji

Pemohon merupakan 13 partai politik yang mangajukan Permohonan

Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Pemohon adalah partai politik yang tidak memenuhi

ketentuan electoral threshold sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 9 ayat

(1).

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, menyatakan:

(1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus: a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR; b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi

DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau

c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten kota seluruh Indonesia;

Ketentuan Electoral Thershold oleh pemohon dianggap bertentangan dengan

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, karena pembentuk undang-undang dengan

sewenang-wenang mencabut hak para Pemohon untuk turut serta membangun

demokrasi melalui jalur pemilu oleh partai politik sebagaimana telah dilakukan

sejak pemilu pertama pada tahun 1955. Keikutsertaan partai politik dalam pemilu

bukanlah muncul tiba-tiba dan bukan tanpa dasar hukum. Keberadaan para

Pemohon sendiri telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002.

Oleh karena itu harus dicegah upaya penghilangan hak para Pemohon tersebut

sebagaimana diatur Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. dan juga Terhadap Pasal 28D

301 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/BOOK_BMK1.pdf

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 171: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Bahwa para Pemohon dilindungi oleh Pasal

28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memperjuangkan untuk memperoleh

perlakuan yang adil dan sama di hadapan hukum. Bahwa para Pemohon adalah

badan hukum yang berbentuk partai politik telah diatur dalam hukum positif serta

telah lama menyelenggarakan kegiatan politik telah diperlakukan tidak adil oleh

Pemerintah dan DPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, sehingga

undang-undang tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Para Pemohon dalam dalilnya juga menyatakan ketentuan Electoral Threshold

bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, karena jelas-

jelas pasal tersebut bersifat diskriminatif, sebab partai politik dibatasi

partisipasinya dalam kegiatan pemilu. Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2003 yang bersifat diskriminatif tersebut secara perlahan mematikan peran serta

dan keberadaan para Pemohon yang menyelenggarakan kegiatan politik, dengan

sendirinya. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003

bersifat diskriminatif dan telah bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-

Undang Dasar 1945;

Kerugian nyata para Pemohon dapat dirinci sebagai berikut:

1. Para Pemohon tidak dapat lagi mengikuti pemilu pada tahun 2009 dan

seterusnya, padahal para Pemohon masih eksis sebagai partai politik, sehingga

para Pemohon tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai partai politik,

untuk mengikuti pemilihan umum dalam menyalurkan aspirasi politik para

anggota dan konstituennya, untuk menempatkan wakil-wakilnya di DPR dan

di DPRD;

2. Para Pemohon akan kehilangan waktu dan biaya yang telah dikeluarkan para

Pemohon dalam rangka mendirikan partai politik;

3. Para Pemohon juga harus melakukan verifikasi ulang apabila harus mengganti

nama partai untuk mendirikan partai politik baru guna dapat mengikuti pemilu

yang akan datang;

Kerugian konstitusional para Pemohon apabila terjadi penggabungan partai politik

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 172: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

1. meskipun para Pemohon memiliki ideologi yang sama yaitu Pancasila, tetapi

secara spesifik sangat berbeda-beda, misalnya Partai Bulan Bintang yang

berakar dari Masyumi memperjuangkan Syariat Islam, sedangkan para

Pemohon yang lain tidak satupun yang memperjuangkan Syariat Islam.

Dengan demikian secara konstitusional penggabungan partai politik adalah

sangat merugikan hakhak dasar yang diperjuangkan oleh masing-masing para

Pemohon;

2. apabila para Pemohon bergabung, maka para Pemohon akan kehilangan

pemilihnya masing-masing, karena para Pemohon mempunyai masing-masing

pemilih yang fanatik, dengan penggabungan itu para Pemohon akan

kehilangan identitas dirinya atau perjuangannya tidak akan murni lagi

sebagaimana prinsip dasar awal berdirinya para Pemohon sebagai partai

politik;

5.2.2. Pendapat Pemerintah

Dalam keterangan tertulisnya pemerintah menerangkan bahwa ketentuan

Electoral Threshold, antara lain bertujuan agar terbangun sistem multi partai

sederhana (the multiple simple party system), guna mewujudkan tujuan

kemasyarakatan dan, kenegaraan yang berwawasan kebangsaan agar tercipta

sistem pemerintahan yang stabil, juga ketentuan a quo dapat digunakan sebagai

pengukuran (parameter) legitimasi dukungan public terhadap partai politik, yang

pada gilirannya masyarakat diberikan hak dan/atau kesempatan untuk memilih

partai politik yang memiliki kapabilitas memadai; Disisi lain ketentuan a quo

juga memberikan kesempatan yang sama terhadap partai politik lain (baru) yang

telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Partai

Politik maupun Undang-Undang Pemilu, untuk mengikuti tahapan

penyelenggaraan pemilihan umum guna memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 302

Selain itu, ketentuan yang mengatur tentang batasan suara minimal yang

harus didapat oleh sebuah partai politik (electoral threshold), untuk dapat

302 Ibid hal 57-58

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 173: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

megikuti pemilihan umum berikutnya, tidaklah serta merta dianggap sebagai

perlakuan maupun pembatasan yang bersifat diskriminatif sepanjang pembatasan

atau pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik,

kelompok golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan

keyakinan politik [vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Masi Manusia, maupun Pasal 2 International Covenant on Civil and

Political Rights]; Sehingga ketentuan yang mengatur tentang batasan suara

minimal yang harus didapat oleh sebuah partai politik (electoral threshold) untuk

dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya, tidak dapat dipandang secara serta

merta dianggap telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan

pilihan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji, kecuali dilakukan secara

sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-

undang (detournement de pouvoir).303

5.2.3. Pendapat DPR

Warga Negara Indonesia memang memiliki kemerdekaan untuk berserikat

dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran sebagaimana diakui dan dijamin dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu media

untuk menyalurkan aspirasi itu adalah membentuk Partai Politik sebagai sarana

yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi. Melalui Partai Politik maka

rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat mengenai arah

kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat pendelegasian untuk pengaturan

lebih lanjut dengan undang-undang. Jadi undang-undang tersebut, termasuk

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 berfungsi sebagai penjabaran ketentuan

yang bersifat "asas" dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;304

303 Ibid hal 58 304 Ibid hal 63-64

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 174: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Hak dasar dalam Undang-Undang Dasar yang dijadikan dasar hukum para

Pemohon, tidak berlaku secara mutlak. Hal ini secara tegas juga diatur dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni:305

a. Pasal 28I ayat (5) yang menyatakan "Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan";

b. Pasal 28J ayat (2) yang menyatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis";

jika dilihat dari tujuan akhir kedua sistem tersebut pada hakikatnya adalah

sama yaitu sebagai penyaring dari banyaknya peminat di satu sisi sedangkan di

sisi lain terbatasnya "kursi/anggota perwakilan" yang telah ditetapkan dalam

undang-undang; Oleh karena itu, "electoral threshold" merupakan ukuran yang

jelas dan rasional terhadap upaya pendewasaan partai politik dan untuk

melaksanakan pendidikan politik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 huruf a

Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang berbunyi:

"Partai politik berfungsi sebagai sarana: a. pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadiwarga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara". Electoral threshold yang berlaku pada partai politik untuk dapat mengikuti

pemilu berikutnya, juga berfungsi sebagai sarana bagi rakyat pendukung untuk

mengevaluasi seberapa jauh misi dan visi dari Partai Politik tersebut mendapatkan

apresiasi dan dukungan dari masyarakat luas. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat

(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak menutup hak Partai Politik

untuk mengikuti pemilu berikutnya, tetapi mengatur persyaratan yang harus

dipenuhi partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu berikutnya. Banyak

pakar mengemukakan bahwa sistem multipartai mutlak itu tidak compatible

dengan sistem presidensiil. Maka demi kestabilan politik dan partisipasi penuh

305 Ibid hal 64

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 175: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dalam pengambilan keputusan politik dari parlemen, upaya penyederhanaan partai

politik secara bertahap tetap harus dilakukan.

5.2.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi

Dalam pertimbangan hukumnya pada alenea [3.15], Mahkamah Konstitusi

menyatakan pendiriannya bahwa Partai politik menempati posisi strategis dalam

kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan

Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil

Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta

pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3)

UUD 1945 berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai

politik”. Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan

undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata

cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam

undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang

pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa

pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan

pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-

undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.306

Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu tidak

bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh para

Pemohon, yakni:307

1. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 27

ayat (1) UUD 1945 tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan, karena pasal a quo hanya memuat persyaratan objektif bagi

semua parpol tanpa kecuali apabila ingin mengikuti pemilu berikutnya dan

tidak mengurangi kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan,

bahkan seharusnya para Pemohon sebagai warga negara Indonesia wajib

menjunjung ketentuan tersebut

306 Ibid hal 80

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 176: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

2. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28I

ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu

berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara

demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET

yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik

yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undang-

undangnya. Hal yang demikian juga bukan merupakan sesuatu yang

diskriminatif menurut perspektif hak asasi manusia sebagaimana dimaksud

UU HAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

3. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28I

ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu

berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara

demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET

yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik

yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan

undangundangnya. Hal yang demikian juga bukan merupakan sesuatu yang

diskriminatif menurut perspektif hak asasi manusia sebagaimana dimaksud

UU HAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);

Lebih lanjut Mahkamah mengemukakan bahwa berdasarkan UU Pemilu memang

partai politik yang telah berstatus sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak

secara serta merta (otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus

memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi

administratif dan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7

UU Pemilu), sehingga eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik

dalam pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat

dicampuradukkan. Setidaktidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan hukum

(legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak

bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan

mandat bebas kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 177: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

mengenai persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan

ET.308

Menurut Mahkamah, kebijakan hukum (legal policy) di bidang kepartaian

dan pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti sebagai seleksi alamiah dan

demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai yang hidup kembali di

Indonesia di era reformasi, setelah dianutnya sistem tiga partai pada era Orde

Baru melalui penggabungan partai yang dipaksakan.Dalil para Pemohon yang

menyatakan keharusan untuk bergabung bagi partai politik yang tidak memenuhi

ET sangat sulit misalnya bagi Partai Bulan Bintang (PBB) yang memperjuangkan

syariat Islam secara demokratis dan konstitusional dan bagi Partai Damai

Sejahtera (PDS) yang aspirasinya Kristiani, menurut Mahkamah hal itu tidak ada

kaitannya dengan konstitusionalitas Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu. Lagi pula,

berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU Parpol setiap partai politik harus bersifat

terbuka bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi.309

5.3. Judicial Review Ketentuan tentang Persyaratan bagi Partai Politik

untuk Mengikuti Pemilu Tahun 2009

5.3.1. Pemohon

Pemohon adalah Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan

Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai

Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Sarikat Indonesia

(PSI), Partai Merdeka.310

Para pemohon mengajukan perkara permohonan Pengujian Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal yang diuji adalah Pasal 316 huruf d, yang berbunyi :

308 Ibid hal 82 309 Ibid hal 83 310 Mahkamah konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 12/PUU-VI/2008.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%2012%20Parpol%20Baca%2010%20Juli%202008.pdf hal 1 [2 Juni 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 178: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan : d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004

5.3.2. Alasan/Kerugian Konstitusional Pemohon

Kepentingan para Pemohon adalah sebagai partai politik yang selanjutnya akan

mengikuti Pemilihan Umum berikutnya pada tahun 2009, sebagai sarana dalam

memperjuangkan aspirasi politik rakyat dalam menempatkan wakil-wakilnya

dalam parlemen.311 Para pemohon adalah partai politik yang pada pemilu 2004

memperoleh suara kurang dari 3%.312

Menurut pemohon, dengan adanya Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008

yang dirumuskan dan ditetapkan secara sewenang-wenang, dan tidak memberikan

pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil, sehingga menyebabkan hak

konstitusional para Pemohon secara langsung maupun tidak langsung dirugikan,

sebagai berikut:313

Pasal 316 hurud d UU Nomor 10 Tahun 2008 Bertentangan dengan Pasal

1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum, Pasal 28D ayat

(1) sepanjang kalimat “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil”, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,

sepanjang kalimat “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif

atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan atas perlakuan yang

diskriminatif itu.314

Menurut para Pemohon, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan

dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yaitu “Negara Indonesia adalah negara

hukum”, sebab dalam negara hukum semua warga negara, termasuk pembentuk

undang-undang harus mematuhi hukum, dalam hal ini ketentuan undang-undang

mengenai berlakunya kebijakan electoral threshold yang oleh Mahkamah telah

dinyatakan konstitusional menurut Putusan Nomor 16/PUU-V/ 2007. Selain itu,

311 Ibid hal 10 312 Ibid ha 11 313 Ibid hal 11 314 Ibid hal 17

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 179: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dalam negara hukum juga harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk

adanya perlakuan yang sama di depan hukum bagi semua warga negara atau

kelompok masyarakat. Dalam hal ini, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 telah

melanggar ketentuan undang-undang mengenai electoral threshold dan juga

memberi perlakuan yang tidak sama kepada partai-partai yang tidak memenuhi

electoral threshold.

Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)

UUD 1945, sebab pasal a quo telah tidak memberikan perlindungan dan kepastian

hukum yang adil, serta memberikan perlakuan yang tidak sama kepada Parpol-

parpol yang sebetulnya oleh undang-undang telah dinyatakan tidak memenuhi

electoral threshold, hanya karena alasan diperoleh tidaknya kursi di DPR.

Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2)

UUD 1945, Sebab menurut para Pemohon, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 telah

mendiskriminasi Parpol-parpol yang sama-sama tidak memenuhi electoral

threshold, ada Parpol-parpol yang karena mempunyai wakil di DPR, meskipun

hanya satu kursi, langsung dapat mengikuti Pemilu 2009, sedangkan sebaliknya,

para Pemohon, yakni Parpol-parpol yang tidak mempunyai wakil di DPR, kendati

pun perolehan suaranya lebih banyak dari pada Parpol yang memperoleh satu

kursi di DPR, tidak dapat langsung mengikuti Pemilu 2009.

Menurut pemohon, ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun

2008 telah melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ““persyaratan

untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya itu berlaku untuk semua partai politik

setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui Pemilu”. Frasa “berlaku

untuk semua partai politik” ternyata tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 316

huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008, karena seharusnya partai-partai politik yang

sama-sama tidak memeuhi ET baik yang mempunyai kursi maupun tidak

mempunyai kursi di DPR harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat

mengikuti Pemilu 2009.315

315 Ibid hal 50

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 180: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

5.3.3. Penjelasan Pemerintah

Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan dan dalil yang

dikemukakan para Pemohon, karena jikalaupun anggapan para Pemohon benar

adanya, dan permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka

kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul atau terjadi atas

keberlakuan ketentuan a quo tidaklah dapat dipulihkan atau dengan perkataan lain

dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon maka kerugian konstitusional

yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi sangatlah tidak mungkin, karena

sebagai Parpol yang tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan Pasal 9 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, tetap saja harus memenuhi ketentuan

electoral threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 315 UU 10/2008.316

Ketentuan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah merupakan pilihan

kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji, karena kebijaksanaan yang

demikian adalah merupakan kewenangan pembuat undang-undang itu sendiri

(Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat). Dengan perkataan lain proses

pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, telah memenuhi prosedur

sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.317

Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 316 huruf d tidak

bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan

konstitusional para Pemohon.

5.3.4. Pendapat DPR

Menurut DPR dalam keterangannya menyatakan bahwa ketentuan Pasal

316 huruf d merupakan ketentuan tambahan dan berupa alternatif serta tidak

mereduksi ketentuan yang telah diatur pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun

316 Ibid hal 97 317 Ibid hal 97

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 181: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

2003. Pasal 316 huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008

adalah pengaturan tambahan terhadap partai politik yang tidak mencapai 3% dari

jumlah kursi DPR dan tidak memilih untuk bergabung untuk dapat mengikuti

Pemilu 2009. Pengaturan tambahan ini adalah gambaran dari kondisi objektif dan

hasil kristalisasi dari berbagai aspirasi yang berkembang dalam pembahasan RUU

tentang Pemilu.318

5.3.5. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi

Menurut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya alinea

[3.10], Pasal 316 huruf d UU 10/2008 mencerminkan pembedaan kedudukan dan

perlakuan (unequal treatment), ketidakadilan (injustice), ketidakpastian hukum

(legal uncertainty), dan bersifat diskriminatif terhadap Parpol-parpol Peserta

Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008, maka

anggapan para Pemohon mengenai adanya kerugian hak dan/atau kewenangan

konstitusional para Pemohon sebagai akibat berlakunya Pasal 316 huruf d UU

10/2008 tersebut, menurut Mahkamah beralasan dan berdasar hukum. meskipun

sama-sama tidak memenuhi electoral threshold, namun ada Parpol yang hanya

karena memiliki minimal 1 (satu) kursi di DPR dapat dengan sendirinya

mengikuti Pemilu 2009, sedangkan Parpol lainnya yang tidak memiliki kursi di

DPR, meskipun perolehan suaranya dalam Pemilu 2004 lebih banyak dari pada

partai yang memiliki satu kursi di DPR, tidak dapat dengan sendirinya mengikuti

Pemilu 2009.319

Menurut Mahkamah Konstitusi, Ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008

tidak jelas ratio legis dan konsistensinya sebagai pengaturan masa transisi dari

prinsip electoral threshold ke prinsip parliamentary threshold yang ingin

diwujudkan melalui Pasal 202 UU 10/2008. Parpol-parpol Peserta Pemilu 2004,

baik yang memenuhi ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 maupun yang tidak

memenuhi, sejatinya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai Parpol

Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold, sebagaimana

dimaksud baik oleh Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun oleh Pasal 315 UU

318 Ibid hal 106 319 Ibid hal 118

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 182: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

10/2008. Mahkamah Konstitusi kemudian Menyatakan Pasal 316 huruf d

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.320

Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008 justru

menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol

Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold. Perlakuan yang

tidak adil tersebut ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya

memperoleh satu kursi di DPR, kendati perolehan suaranya lebih sedikit dari pada

Parpol yang tidak memiliki kursi di DPR, melenggang dengan sendirinya menjadi

peserta Pemilu 2009, sedangkan Parpol yang perolehan suaranya lebih banyak,

tetapi tidak memperoleh kursi di DPR, justru harus melalui proses panjang untuk

dapat mengikuti Pemilu 2009, yaitu melalui tahap verifikasi administrasi dan

verifikasi faktual oleh KPU. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan undang-

undang, in casu Pasal 316 huruf d UU 10/2008, yang memberikan perlakuan yang

tidak sama kepada mereka yang kedudukannya sama, dalam hal ini Parpol yang

memiliki wakil di DPR dan yang tidak memiliki wakil di DPR, pada hakikatnya

kedudukannya sama, yakni tidak memenuhi electoral threshold baik menurut

Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun menurut Pasal 315 UU 10/2008,

bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2)

UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat.321

5.4. Judicial Review Ketentuang tentang Parliamentary Threshold.322

5.4.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji

Pemohon adalah 11 partai politik peserta pemilu tahun 2009, 186 Calon

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Peserta Pemilihan Umum Tahun 2009 dan 306

Anggota Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. Pemohon

320 Ibid hal 128 321 Ibid hal 128-129 322 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkaran Nomor 3/PUU-VII/2009.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_putusan_sidangPUTUSAN3-PUU-VII-2009.pdf [2 Januari 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 183: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

mengajukan perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar Pasal 202

ayat (1) UU 10/2008 yang menyatakan bahwa :

“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.”

Ketentuan ambang batas perolehan suara yang dirumuskan dalam Pasal

202 ayat (1) Undang-Undang a quo menurut pemohon bertentangan dengan UUD

1945, karena :323

1. Telah terjadi kesewenang-wenangan (willekeur) oleh pembentuk undang-

undang. Pembentuk Undang-Undang merumuskan pasal tersebut dengan tidak

berdasarkan pada prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusi.

2. Ketentuan ambang batas perolehan suara bertentangan dengan asas pemilu

proporsionalitas, keterwakilan dan derajat keterwakilan yang lebih tinggi

sebagaimana tersirat dalam Penjelasan UU 10/2008 Tentang Pemilu.

3. Adanya suara rakyat yang hilang. Hilangnya suara rakyat sama dengan

hilangnya aspirasi pemilih. Hal itu bertentangan dengan jaminan hak asasi

manusia sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi.

Jika ambang batas diberlakukan, maka berdasarkan simulasi Pemilu

legislative 2004 akan terjadi peningkatan suara hangus dari 4,81 % (empat

koma delapan puluh satu perseratus) menjadi 16,52% (enam belas koma lima

puluh dua perseratus). Hasil ini berdasarkan simulasi Pemilu legislatif 2004,

berkursi 550 dan penghitungan suara hangus hanya berdasarkan pada suara

yang tidak terkonversi menjadi kursi. Ketentuan a quo melanggar prinsip

kedaulatan rakyat, yaitu akan menyebabkan hilangnya jutaan suara pemilih

anggota DPR yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak

memenuhi ketentuan PT, yang berarti secara tidak langsung merugikan hak

konstitusional para anggota Partai Politik Peserta Pemilu yang bersangkutan

323 Ibid hal 63

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 184: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

sebagai pemilih secara otomatis hangus, yang berarti melanggar prinsip

kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

4. Ketentuan a quo menyebabkan hilangnya kesempatan yang sama bagi warga

negara dalam pemerintahan, karena Calon Anggota Legislatif Partai Politik

yang tidak memenuhi PT meskipun dalam satu Daerah Pemilihan (Dapil)

suaranya lebih besar daripada Calon Anggota Legislatif Partai Politik yang

memenuhi PT, tidak mendapat kursi DPR, sedangkan yang lebih kecil namun

Partai Politiknya memenuhi PT mendapat kursi. Hal tersebut berarti

bertentangan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD

1945.

5. Persyaratan ambang batas perolehan suara menyebabkan partai politik tidak

diikutkan dalam penentuan kursi dan pembagian sisa kursi legislatif, sehingga

bertentangan dengan prinsip representasi dan legitimasi anggota legislative

berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara

Nomor 22 dan 24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008.

5.4.2. Pendapat Pemerintah

Pemerintah dalam persidangan menerangkan bahwa terkait dengan

threshold, baik itu electoral threshold, political parties threshold, maupun local

leaders threshold, Pemerintah sependapat dengan putusan-putusan Mahkamah

Konstitusi, sebagai berikut: 1) Putusan Mahkamah Nomor 16/PUU-V/2007 terkait

dengan persentase electoral threshold 3% bagi Parpol oleh Mahkamah Konstitusi

dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, 2). Putusan Mahkamah Nomor

020/PUU-I/2003 terkait dengan persentase political parties threshold

(kepengurusan 50% di provinsi, 50% dari kabupaten/kota dan 25% kecamatan)

oleh Mahkamah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, 3).324

Menurut Pemerintah pengaturan dalarn pasal-pasal yang diuji dalam

perkara a quo adalah pengaturan yang didelegasikan oleh UUD 1945, dibuat

dengan memperhatikan dan berdasarkan Pasal 28J UUD 1945, merupakan pilihan

kebijakan (legal policy) pembentuk Undang-Undang guna mengatur Pemilu

324 Ibid hal 106-107

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 185: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

legislatif Tahun 2009, dan tidak bersifat diskriminatif, selengkapnya diuraikan

sebagai berikut:325

a. Delegasi pada Undang-Undang Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 berbunyi,

"ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-

undang". Mahkamah dalam Putusan Nomor 16/PUUV/2007, menjelaskan

bahwa makna ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan

Undang-Undang dalam Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 adalah pembentuk

Undang-Undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan

pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

b. Pembatasan berdasarkan Pasal 28J UUD 1945 Pasal 28J ayat (2) UUD 1945

berbunyi, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib

tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak

dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis” Pasal-pasal yang diuji dalam

perkara a quo adalah pembatasan atau pengaturan terkait dengan prosedur dan

mekanisme Pemilu serta ditetapkan pula dengan Undang-Undang, bukan

dengan peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden. Pengaturan atau

pembatasan demikian dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana

dalam Putusan Nomor 010/PUU-III/2005, yang menyatakan pembatasan-

pembatasan dalam bentuk mekanisme dan prosedur dalam pelaksanaan hak-

hak tersebut dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 283 ayat (2)

UUD 1945.

c. Pilihan Kebijakan (Legal Policy) Pasal-pasal yang diuji dalam perkara a quo

seharusnya tidak diajukan pengujian oleh para Pemohon karena ketentuan a

quo merupakan pilihan kebijakan (legal policy) bagi pembentuk Undang-

Undang (DPR bersama Presiden) guna mengatur Pemilu legislatif. Pemerintah

sependapat dengan Mahkamah dalam Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 yang

menegaskan bahwa pilihan kebijakan (legal policy) demikian tidak dapat

dilakukan pengujian oleh Mahkamah. Pembatasan dengan Undang-Undang

325 Ibid hal 107-108

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 186: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dibolehkan sepanjang tidak bersifat diskriminatif. Berkaitan dengan

pengertian diskriminasi, Mahkamah dalam Putusan Nomor 06/PUU-III/2005,

menyatakan bahwa pengertian diskriminasi yang dilarang dalam Pasal 27 ayat

(1) dan 28D ayat (3) UUD 1945 tersebut telah dijabarkan lebih jauh dalam

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, yakni setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung

ataupun tak Iangsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama,

suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis

kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,

penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan

hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual

maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan

aspek kehidupan lainnya. Dengan demikian, pembatasan yang diatur dalam

pasal-pasal yang diuji dalam perkara a quo tidak dapat diartikan sebagai

ketentuan yang bersifat diskriminatif, tidak pula diartikan sebagai pelanggaran

terhadap persamaan kedudukan dan kesempatan yang sama bagi warga negara

dalam pemerintahan yang memang dijamin konstitusi. Ketentuan dalam pasal-

pasal tersebut hanya mengatur mekanisme mengenai penentuan perolehan

kursi DPR.

5.4.3. Pendapat DPR

Menurut DPR, ketentuan ambang batas yang tercantum dalam Pasal 202

ayat (1) UU 10/2008, untuk mudahnya disebut parliamentary threshold (PT)

adalah pilihan kebijakan untuk memperkuat sistem presidensiil dan membangun

sistem kepartaian yang sederhana. Pilihan kebijakan PT ini untuk menggantikan

pilihan kebijakan sebelumnya, yaitu electoral threshold (ET) yang dianut dalam

Undang-Undang Pemilu sebelumnya yang ternyata tidak mampu memperkuat

sistem presidensiil dan menciptakan sistem kepartaian sederhana. Sebagai pilihan

kebijakan, kebijakan mengenai PT tidak diskriminatif, karena berlaku untuk

seluruh partai politik peserta Pemilu dan tidak memakai istilah partai politik besar

atau partai politik kecil sebelum Pemilu berlangsung, semuanya diserahkan

kepada rakyat pemilih. Kebijakan PT justru menguntungkan partai politik Peserta

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 187: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Pemilu karena telah dijamin untuk dapat ikut Pemilu berikutnya tanpa harus

bergabung atau membentuk partai politik baru sebagaimana ketentuan dalam

kebijakan ET.326

5.4.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 202 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah tidak bertentangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Dalam pertimbangan hukumya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa,

Pasal 22E UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa yang menjadi rambu-rambu

Konstitusi mengenai Pemilu adalah : a) Pemilu dilakukan secara periodik setiap

lima tahun sekali; b) dianutnya asas Pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil; c) tujuan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD,

DPRD, Presiden dan Wakil Presiden; d) peserta Pemilu untuk memilih anggota

DPR dan DPRD adalah partai politik, sedangkan peserta Pemilu untuk memilih

anggota DPD adalah perseorangan; dan e) penyelenggara Pemilu adalah suatu

komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dengan

demikian, ketentuan selebihnya yang berkaitan dengan Pemilu, misalnya tentang

sistem Pemilu, Daerah Pemilihan, syarat-syarat untuk ikut Pemilu, hak pilih, dan

sebagainya, oleh UUD 1945 didelegasikan kepada pembentuk Undang-Undang

untuk mengaturnya dalam Undang-Undang secara bebas sebagai kebijakan hukum

(legal policy) pembentuk Undang-Undang.327

Lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy

bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. Kebijakan seperti ini

diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena

pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-

Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-

pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya

326 Ibid hal 105 327 Ibid hal 127

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 188: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang

untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak

bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan

demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang

diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena

ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara

untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara

rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun

di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-

Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi

pelaksanaan hak-hak politik rakyat.328

5.5. Judicial Review Ketentuan Tentang Kewajiban Partai Politik agar tetap

Diakui Sebagai Badan Hukum.329

5.5.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji

Pemohon adalah 14 partai politik yang terdiri dari Partai Persatuan Daerah

(PPD); Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai

Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI);

Partai Patriot, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia),

Partai Pelopor, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Perjuangan

Indonesia Baru, Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Karya Peduli

Bangsa (PKPB), Partai Merdeka, Partai Indonesia Sejahtera (PIS).330 Pemohon

melakukan pengujian terhadap Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun

2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2008 Tentang Partai Politik.

Pasal 51 ayat (1) menyatakan bahwa :

Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi.

328 Ibid hal 131 329Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 15/PUU-IX/2011.

www.mahkamahkonstitusi.go.id [3 Januari 2012] 330 Ibi hal 2

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 189: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

5.5.2. Alasan/Kerugian Pemohon

Pemohon mendalilkan Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 bertentangan dengan

Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon

pada pokoknya mendalilkan dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal

51 ayat (1) UU 2/2011, sebagai partai politik yang telah memiliki kedudukan

badan hukum karena telah memenuhi prosedur pendirian partai politik

sebagaimana disyaratkan oleh ketentuan Undang-Undang yang berlaku

sebelumnya, telah dirugikan hak konstitusionalnya. Kerugian konstitusional

tersebut disebabkan oleh adanya ketentuan baru yang mewajibkan kepada para

Pemohon untuk mengikuti verifikasi dalam tenggang waktu selambat-lambatnya

dua setengah tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum 2014.

Menurut para Pemohon proses verifikasi sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 menimbulkan akibat bahwa meskipun para Pemohon

telah sah sebagai badan hukum apabila tidak lolos dalam proses verifikasi maka

sebagai akibat hukumnya tidak memiliki hak konstitusional sebagai peserta

pemilihan umum. Bahwa menurut para Pemohon adanya frasa “tetap diakui

keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-

Undang ini dengan mengikuti verifikasi” adalah frasa yang tidak jelas maksudnya

sehingga dapat merugikan para Pemohon.

Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol di atas membatasi kiprah dari para

Pemohon sebagai partai yang sah dan berbadan hukum, masih saja diwajibkan

untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang yang baru dengan cara akan

dilakukan verifikasi ulang setelah selesai verifikasi ulang dalam batas waktu yang

telah ditentukan, barulah para Pemohon sebagai partai yang sudah berbadan

hukum berdasarkan hukum positif yang berlaku, akan diberikan legalitas kembali

sebagai partai yang berbadan hukum.331

Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai

Politik, sepanjang menyangkut frasa “dengan kewajiban melakukan penyesuaian

menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi” adalah bertentangan

dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.332

331 Ibid hal 9 332 Ibid hal 11

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 190: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

5.5.3. Pendapat Pemerintah

Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 diletakkan dalam Bab 20 tentang

Ketentuan Peralihan yang memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-

undangan yang sudah ada, pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai

berlaku. Dengan tujuan agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat

berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum. Pada saat suatu

peraturan perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan

hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat,

maupun sesudah peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku, tunduk

pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru. 333

Karena itu, menurut pemerintah, keberadaan ketentuan Pasal 51 ayat (1)

UU 2/2011, justru dibuat agar menjamin kepastian hukum tentang keberadaan

seluruh partai politik yang telah berbadan hukum yang tetap diakui keberadaannya

dengan kewajiban untuk melakukan penyesuaian sebagaimana ditentukan oleh

undangundan a quo. 334 Lebih lanjut menurut pemerintah, jika tidak terdapat

ketentuan a quo maka kehendak mewujudkan multipartai sederhana di Indonesia

sebagaimana diinginkan oleh pembentuk undang-undang, yang juga telah sejalan

dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, yang terkait dengan electoral

threshold maupun parliamentary threshold niscaya akan sulit dapat diwujudkan

pemerintah, ketentuan a quo tidak dalam rangka mengurangi atau menghalang-

halangi keinginan setiap orang termasuk para Pemohon untuk membentuk atau

melanjutkan keberadaan partai politik yang telah berbadan hukum tersebut,

sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Juga, ketentuan tersebut merupakan

perwujudan perlakuan yang sama dan setara (equal treatment) baik terhadap

partai politik lama yang telah berbadan hukum maupun terhadap partai politik

baru yang belum berbadan hukum.335

333 Ibid hal 26 334 Ibid hal 26-27 335 Ibid hal 27

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 191: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

5.5.4. Pendapat DPR

Ketentuan yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah

ketentuan peralihan. Terkait dengan hal tersebut, DPR berpandangan bahwa

ketentuan peralihan dari sisi peraturan perundang-undangan merupakan

penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat

peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku. Tujuannnya untuk mengisi

kekosongan hukum agar peraturan perundangundangan tersebut dapat berjalan

lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.336

Demikian halnya mengenai Partai Politik, dengan adanya perubahan

terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik perlu diatur mengenai keberadaan

Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008. Karena itu, menurut DPR keberadaan Pasal 51

ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 justru dibuat agar menjamin adanya suatu

kepastian hukum tentang keberadaan seluruh Partai Politik yang telah berbadan

hukum yang tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban untuk melakukan

penyesuaian sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang a quo.

DPR berpandangan salah satu bentuk penyesuaian adalah adanya kewajiban

terhadap seluruh partai politik yang berbadan hukum (saat ini berjumlah 74 partai

politik) untuk melakukan verifikasi ulang pada Kementerian Hukum dan HAM.

Sehingga menurut DPR adalah konsekuensi logis karena telah terjadinya

perubahan hukum yang mengamanatkan seluruh partai politik yang berbadan

hukum wajib melakukan penyesuaian sebgaimana ditentukan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2011. Selanjutnya menurut DPR, jika tidak terdapat ketentuan a

quo, maka untuk mewujudkan multy party sederhana di Indonesia sebagaimana

diinginkan oleh pembentuk undang-undang.337

336 Ibid hal 38 337 Ibid hal 38

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 192: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

5.5.5. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi

Dalam Amar Putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal

51 ayat (1), Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa ”Verifikasi Partai Politik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, Pasal 51 ayat (1b), dan Pasal 51 ayat (1c)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah berpendapat bahwa

pengaturan status badan hukum partai politik, baik oleh UU 2/2008 maupun UU

10/2008, telah tepat dan benar. Oleh karena partai politik masih tetap diakui

berstatus badan hukum maka status badan hukum tersebut haruslah tetap

mendapat perlindungan konstitusional oleh Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),

dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.338 Mahkamah sependapat dengan para

Pemohon bahwa adanya frasa ”tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban

melakukan penyesuaian terhadap undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi”

yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 adalah tidak jelas maksudnya.

Dengan adanya kata ”keberadaannya” dalam Pasal a quo menimbulkan

pertanyaan apakah hal ini menyangkut eksistensi partai politik sebagai badan

hukum. Frasa ”kewajiban mengikuti verifikasi” mempunyai akibat hukum

terhadap eksistensi para Pemohon sebagai partai politik yang berbadan hukum,

yaitu apakah hasil verifikasi dapat secara langsung mempengaruhi eksistensi

partai politik dalam hal ini para Pemohon. Artinya, sebagai partai politik para

Pemohon akan kehilangan status badan hukumnya karena tidak lolos verifikasi.

Mahkamah berpendapat bahwa hal yang demikian akan melanggar kepastian

hukum terhadap para Pemohon yang oleh Undang-Undang sebelumnya telah

dijamin keberadaannya sebagai partai politik yang berbadan hukum.339

Pembuat Undang-Undang seharusnya membedakan antara tata cara

pembentukan atau pendirian partai politik dengan aturan tentang syarat-syarat

yang dibebankan kepada partai politik agar sebuah partai politik dapat mengikuti

pemilihan umum, serta ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR.340

338 Ibid hal 48 339 Ibid hal 49 340 Ibid hal 49

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 193: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Tata cara pembentukan atau pendirian partai politik adalah tata cara yang harus

dilakukan oleh warga negara yang akan mendirikan partai politik, sehingga partai

politik yang didirikan tersebut mendapatkan status badan hukum. Adapun syarat-

syarat partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum adalah syarat-syarat

yang ditentukan oleh Undang-Undang tersendiri agar partai politik yang telah

berbadan hukum tersebut dapat menjadi peserta pemilu untuk dapat menempatkan

wakilnya di dalam lembaga perwakilan yang harus diraih melalui pemilihan

umum. Mengenai ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR juga diatur

dalam Undang-Undang tersendiri yang antara lain mengatur tentang susunan

organisasi, keanggotaan, tata tertib dan mekanisme pengambilan keputusan, dan

sebagainya. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal

51 ayat (1) UU 2/2011 mencampuradukkan ketiga hal tersebut.

5.6. Judicial Review tentang Ketentuan Persyaratan Pendirian Partai

Politik.341

5.6.1. Pemohon dan Perkara Pengujian

pasal dalam UU 2/2011 yang akan diuji adalah sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (1) UU 2/2011 berbunyi, "Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi". Pasal 3 ayat (2) huruf c UU 2/2011 berbunyi, "Untuk menjadi badan hukum sebagaimana imaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan".

5.6.2. Alasan/Kerugian Konstitusional Pemohon

Ketentuan tersebut telah mempersulit Pendirian Pembentukan Partai

Politik Baru Yang dimaksudkan "mempersulit" tersebut dikarenakan persyaratan

sukar dipenuhi, berbiaya tinggi, dan waktu yang tersedia untuk menghadapi

verifikasi sangat singkat. Akibatnya dengan persyaratan-persyaratan yang berat

341 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%2035-PUU-IX-2011%20TELAH%20BACA.pdf [2 Januari 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 194: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

tersebut mengakibatkan tidak semua orang dapat melaksanakan "haknya untuk

berserikat" (Pasal 28 UUD 1945) dan hak bahwa "Setiap orang berhak untuk

memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya" [Pasal 28C ayat (2) UUD 1945].

UU Sengaja Mempersulit demi Penyederhanaan Sistem Kepartaian.342

Para Pemohon berpendapat bahwa setiap partai politik di dalam suatu

sistem yang demokratis dengan sendirinya berkehendak untuk mengikuti

pemilihan umum. Para Pemohon memandang bahwa tindakan itu bukan saja

melawan Pasal 28 UUD 1945 melainkan juga para pembuat seolah-olah hendak

membekukan masyarakat sehingga pada akhirnya partisipasi politik masyarakat

hanya bisa diwakili oleh mereka sendiri (monopoly by law). Membiarkan hal ini

berarti menjadikan partai-partai politik yang ada sekarang, khususnya partai-partai

politik besar, sebagai partai kartel yang akan terus menerus menguasai negara ini. 343 Kondisi kemajemukan Indonesia tampaknya tidak memungkinkan

mewujudkan sistem dwi-partai. Dalam keadaan demikian, maka opsi lain adalah

sebenarnya bentuk presidensialisme itu yang harus diubah; Sungguh pun begitu,

perlu disadari bahwa betapa pun pentingnya tuntutan penyederhanaan sistem

kepartaian tersebut, prinsip ini dalam skala nilai harus tetapditempatkan di bawah

dan bukan di atas kebebasan berserikat yang merupakan hak yangmelekat pada

warga negara. Dengan kata lain, penyederhanaan sistem kepartaian tidak boleh

melumpuhkan kebebasan berserikat (Pasal 28 UUD 1945).

Undang-Undang telah keliru Menerapkan Konsep "bersifat nasional" yang

hanya memaknainya secara geografis sehingga mengharuskan

adanyakepengurusan partai politik di setiap provinsi, di sejumlah kabupaten/kota

dan kecamatan.Padahal, "bersifat nasional" tidak bisa melulu hanya dimaknai

sebagai sebaran geografis diseluruh wilayah negara, tetapi juga bisa dimaknai

sebagai "wilayah kerja" yangdimaksudkan tanpa harus berada di suatu wilayah

342 Ibid hal 6-7 343 Ibid hal 8

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 195: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

tetapi kegiatan dan hasil kerjanyaterasa pengaruhnya sampai di wlayah tersebut. 344

5.6.3. Pendapat dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah berpendapat bahwa syarat pendirian dan pembentukan partai

politik yaitu didirikan paling sedikit 30 orang dari setiap provinsi merupakan

pilihan kebijakan yang wajar, dan syarat demikian tidaklah berlebihan. Apabila

dasar yang dijadikan perbandingan para Pemohon untuk menilai berat atau

tidaknya dalam pendirian partai politik baru tersebut menggunakan Undang-

Undang Partai Politik yang lama in casu UU 2/2008, maka terlihat persyaratan

pembentukan partai politik baru memang berat, namun menurut Mahkamah,

untuk mendirikan partai politik seharusnya tidak hanya digunakan perbandingan

dengan Undang-Undang Partai Politik yang lama, melainkan juga harus

mempertimbangkan jumlah penduduk yang semakin bertambah. Karena

persyaratan pendirian partai politik baru tersebut menggunakan pertimbangan

bertambahnya penduduk, maka menjadi wajar jika disyaratkan bahwa pendirian

partai politik baru oleh paling sedikit 30 orang pendiri di setiap provinsi. Hal

demikian merupakan jumlah yang relatif sedikit dan sederhana atau setidak-

tidaknya mudah untuk dipenuhi oleh partai politik baru tersebut. Selain itu,

sebagai negative legislator pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak dapat

membentuk norma sebagai pengganti dari norma yang dibatalkan sehingga

apabila pasal tersebut dibatalkan atau dinyatakan inkonstitusional maka akan

terjadi kekosongan hukum. Terlebih lagi berdasarkan pengalaman di masa lalu,

setiap terjadi perubahan Undang-Undang tentang kepartaian selalu pula terjadi

perubahan syarat-syarat pendirian dan pembentukan partai baru. Hal tersebut

dapat dipahami sebagai penyesuaian tingkat perkembangan bangsa dan negara.

Oleh karena itu, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;345

Para Pemohon mendalilkan Undang-Undang a quo telah mempersulit

partai politik untuk menjadi badan hukum, Selain itu, menurut para Pemohon

Undang-Undang a quo telah menyamakan persyaratan partai politik menjadi

badan hukum dengan persyaratan partai politik untuk mengikuti Pemilu.

344 Ibid hal 10 345 Ibid hal 20-21

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 196: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Penyamaan demikian telah melahirkan pembatasan terhadap pendirian dan

pembentukan partai politik bagi warga negara, padahal hak untuk berserikat dan

berkumpul, serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya

secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya dijamin

oleh Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon

tersebut, menurut Mahkamah, partai politik merupakan organisasi politik yang

dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas

dasar persamaan kehendak dan cita-cita dalam memperjuangkan kepentingan

anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Untuk dapat

mengikuti pemilihan umum, partai politik tersebut harus berbadan hukum yang

didaftarkan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.346

Apabila dicermati Undang-Undang Partai Politik yang berlaku sejak

reformasi, pengaturan syarat partai politik untuk dapat menjadi badan hukum

selalu berbeda antara Undang- Undang yang satu dengan Undang-Undang yang

lainnya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2002 tentang Partai Politik dan UU 2/2008, serta pada n UU 2/2011.347

Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari

pembentuk Undang-Undang di bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat

objektif, dan merupakan upaya alamiah dan demokratis untuk

menyederhanakansistem multipartai di Indonesia. Kebijakan yang demikian itu,

tergambar dalam penjelasan umum UU 2/2011 yang menyatakan:

“Partai Politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang efektif. Penataan dan penyempurnaan Partai Politik diarahkan pada dua hal utama, yaitu, pertama, membentuk sikap dan perilaku Partai Politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsipprinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku Partai Politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi Partai Politik baik fungsi Partai Politik terhadap negara maupun fungsi Partai Politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik. Upaya untuk

346 Ibid hal 22 347 Ibid hal 22

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 197: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat”. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah menilai bahwa

ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (2) huruf c UU 2/2011 tidak

bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.

Jika pun pasala quo menetukan aturan yang ketat dalam pembentukan partai

politik baru, haltersebut dimaksudkan untuk penguatan partai politik di tengah

masyarakat karenatujuan dibentuknya partai politik bukan hanya untuk ikut serta

dalam pemilihan umum, tetapi juga untuk: (i) pendidikan politik bagi anggotanya

dan masyarakat luas agarmenjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar

akan hak dan kewajibannyadalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara; (ii) penciptaan iklim yangkondusif serta sebagai perekat persatuan dan

kesatuan bangsa untuk menyejahterakanmasyarakat; (iii) penyerap, penghimpun,

dan penyalur aspirasi politik masyarakatsecara konstitusional dalam merumuskan

dan menetapkan kebijakan negara; (iv)wahana partisipasi politik warga negara;

dan (v) rekrutmen politik dalam prosespengisian jabatan politik melalui

mekanisme demokrasi dengan memperhatikankesetaraan dan keadilan gender;348

5.7. Judicial Review Ketentuan mengenai Syarat Partai Politik sebagai

Peserta Pemilu (Putusan Nomor 52/PUU-X/2012)349

5.7.1. Pemohon dan Perkara Pengujian

Pemohon adalah 17 partai politik yaitu Partai Kebangkitan Nasional

Ulama (PKNU), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan

Indonesia (PKPI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Persatuan Nasional

(PPN), Partai Merdeka, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK

Indonesia), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Sarikat Indonesia (PSI),

348 Ibid hal 25 349 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 52/PUU-X/2012.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_52%20PUU%202012-TELAH%20BACA%2029-8-2012.pdf [9 September 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 198: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Partai Kedaulatan, Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Kesatuan Demokrasi

Indonesia (PKDI), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Damai

Sejahtera (PDS), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Republika

Nusantara, Partai Pemuda Indonesia (PPI), mendalilkan sebagai badan hukum

publik (partai politik) yang disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu :

Pasal 8 ayat (1)

Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya;

sepanjang frasa,

“yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional”; Pasal 8 ayat (2)

Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan

sepanjang frasa,

“Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”; Pasal 208 yang menyatakan,

“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” atau setidak-tidaknya sepanjang frasa, “DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota”;

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal

22E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal

28D ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2).

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 199: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

5.7.2. Alasan Kerugian Pemohon

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas

perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2) sepanjang

frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada

Pemilu sebelumnya atau” serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-tidaknya Pasal

208 UU Pemilu sepanjang frasa: ..“ DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota“

UU Pemilu jelas akan merugikan setidak-tidaknya potensial merugikan para

Pemohon. Hal ini karena mengatur ketentuan yang sangat tidak adil dan bersifat

diskriminatif yang diberlakukan kepada para Pemohon sebagai partai politik

peserta pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009) yang tidak memenuhi ambang

batas perolehan suara sah secara nasional (ambang batas parlemen atau

parliamentary threshold/PT) dalam kepesertaan Pemilu pada Pemilu berikutnya

(2014), melalui persyaratan-persyaratan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan

Umum (KPU). Sebaliknya, sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif hanya

menetapkan partai politik peserta Pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009)

yang memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional secara otomatis

ditetapkan sebagai peserta Pemilu berikutnya (2014) dengan tanpa harus melalui

persyaratan-persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU. Para

Pemohon telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya karena diperlakukan sangat

tidak adil dan bersifat diskriminatif, suatu perlakuan yang jelas-jelas bertentangan

dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I

ayat (2) UUD 1945.350

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas

perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2) sepanjang

frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada

Pemilu sebelumnya atau” UU Pemilu jelas menimbulkan ketidakpastian hukum

yang adil (fair legal uncertainty) bagi para Pemohon. Sebab, para Pemohon dari

sebelumnya sudah mendapatkan jaminan untuk menjadi peserta pemilu berikutnya

(Pemilu 2014) sebagaimana ketentuan Pasal ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat

(2) UU Nomor 10 Tahun 2008. Namun demikian, karena sebagai akibat adanya

350 Ibid hal 18

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 200: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

perubahan atau penggantian menjadi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2)

UU Pemilu Tahun 2012, maka para Pemohon tidak mendapatkan jaminan

kepastian hukum yang adil (fair legal uncertainty) dalam kepesertaan pemilu

berikutnya (Pemilu 2014).351

Menyimak ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, dapat diperoleh

penjelasan yang tegas bahwa pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih

anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPRD

provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan tersebut membedakan

secara jelas sasaran penggunaan hak pilih, dan sekaligus penegasan terhadap

pemberian hak suara dilakukan dengan tingkat representasi yang berbeda. Sebagai

salah satu wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, suara yang ditujukan ke dalam

kotak suara tertentu, tidak boleh menegasikan dan mereduksi makna pemberian

suara ke kotak suara yang lain. Hal ini berarti masing-masing kotak sebagai

representasi hak suara sebagai hak asasi untuk memilih, memiliki nilai

keterwakilan masing-masing, sehingga tidak mungkin karena tidak mencapai pada

ambang batas tertentu pada kota tertentu menghilangkan representasi pada kotak

yang lain. Tegasnya, representasi keterwakilan pada anggota DPR tidak dapat

mereduksi representasi keterwakilan pada DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Dengan demikian, pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional

sebagaimana dituangkan dalam Pasal 208 UU Pemilu 2012 jelas menciderai asas

demokrasi yang dibangun oleh Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 22E ayat (2) UUD

1945. Selain itu, ketentuan Pasal 208 UU Pemilu 2012 berpotensi mereduksi

kebhinekaan pilihan pemilih, dan sangat potensial membunuh hak rakyat dalam

menentukan representasi mereka di lembaga legislatif pada setiap tingkatan yang

berbeda. Hal itu sekaligus bermakna bahwa pemberlakuan ambang batas parlemen

secara nasional menjadi mesin pembunuh masal kebhinekaan berpolitik

sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Dengan hilangnya kebhinekaan

berpolitik, menjadi ancaman serius dan sangat mungkin partai politik yang secara

tradisional hanya memiliki basis dukungan di daerah tertentu, tetapi karena tidak

351 Ibid hal 31

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 201: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

mencapai ambang batas parlemen secara nasional, secara otomatis suara

pemilihnya akan hilang sampai pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.352

5.7.3. Pendapat Pemerintah

Persoalan besaran nilai ambang batas mengikuti pemilu (electoral

threshold/ET) maupun ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT)

merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. PT merupakan tingkat

minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan

perwakilan kursi di DPR. Berkaitan dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2012 mempunyai arti bahwa partai politik yang memenuhi PT

pada Pemilu terakhir dijadikan sebagai ET untuk Pemilu tahun berikutnya. 353

Dengan demikian, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD memberlakukan PT tahun 2009 sebagai

ET tahun 2014 dengan melengkapi persyaratan sebagai diatur pada Pasal 8 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR, DPD, dan DPRD, Pemerintah berpendapat bahwa peserta pemilu DPR dan

DPRD Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 membolehkan perlakuan khusus dimaksud.

Hal ini berarti, partai politik yang memiliki kursi di DPR tidak perlu diverifikasi

lagi.

Ketentuan pasal a quo dapat menimpa semua partai politik jika yang bersangkutan

tidak lolos angka threshold pada Pemilu yang akan datang. Sebab hasil sebuah

pemilu dimana partai politik memperoleh sejumlah suara yang kemudian dapat

dikonversi menjadi kursi, merupakan indikasi atau parameter utama apakah partai

politik tersebut mendapatkan dukungan rakyat secara signifikan atau tidak. Pemilu

adalah momentum untuk melihat dukungan tersebut. Oleh karena itu, ketentuan

persyaratan tersebut bukan merupakan bentuk diskriminatif penyempurnaan

sistem kepartaian mutlak dilakukan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah

yang efektif dan produktif, serta menciptakan stabilitas politik. Apabila

penyederhanaan partai dapat terwujud, maka akan tercipta iklim pemerintahan

yang kuat, tegas, bersih, berwibawa, bertanggung jawab, dan transparan, sehingga

352 Ibid hal 42 353 Ibid hal 63

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 202: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

bangsa Indonesia dapat memanfaatkan seluruh potensinya untuk menjadi bangsa

yang besar, damai, dan bermartabat.354

Pemberlakuan PT secara nasional diharapkan dapat menciptakan sinergitas

program yang dijalankan pemerintah pusat dan daerah. Fakta yang terjadi

sebelumnya sering kali program yang dicanangkan pemerintah pusat tidak sejalan

dengan kebijakan yang ada di daerah. Hal ini disebabkan masing-masing

keterwakilan partai politik di DPR dan DPRD berbeda latar belakangnya

dikarenakan dalam Pemilu Tahun 2009, partai politik yang terwakili di DPR

belum tentu mempunyai keterwakilan di DPRD, begitu juga sebaliknya. Hal ini

sangat memengaruhi sinergitas program pembangunan di pusat dan daerah,

sehingga penyelenggaraan Pemerintah kurang efektif. 355

5.7.4. Pendapat DPR

sebagai sebuah upaya menciptakan sistem presidensiil yang efektif dan

efisien dengan beberapa asas yang harus kita penuhi, maka diatur beberapa

ketentuan yang merupakan penyempurnaan ketentuan sebelumnya yang diatur

dalam UU Nomor 10 Tahun 2008. Untuk diketahui bahwa asas-asas sistem

presidensiil yang dikemukakan Lijphart adalah sebagai berikut:356

1. stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden yang tertentu

(fixed term);

2. pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dianggap lebih legitimate; dan

3. pemisahan kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasisehingga terjadi

perlindungan individu atas tirani pemerintah.

Pembentuk Undang-Undang berupaya untuk mendekatkan agar sistem

presidensiil berlangsung di Indonesia secara lebih baik. Hal itu tercermin dalam

ketentuan Pasal 8 ayat (2) bahwa partai politik yang hendak mengikuti pemilu

harus memenuhi sejumlah persyaratan. Disadari bahwa terdapat frasa “... yang

tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau

partai politik baru” yang sebenarnya merupakan sebuah mekanisme reward and

354 Ibid hal 64 355 Ibid hal 64-65 356 Ibid hal 72

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 203: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

punishment bagi setiap partai politik yang akan ikut Pemilu. Disadari pula bahwa

threshold bukan satu-satunya cara untuk menyederhanakan partai politik, namun

threshold juga harus diakui sebagai salah satu cara yang paling banyak digunakan

di berbagai negara untuk membatasi jumlah partai politik yang dapat duduk di

parlemen dan dalam UU Nomor 8 tahun 2012 merupakan salah satu persyaratan

bagi partai politik untuk mengikuti pemilu berikutnya yang tercermin dalam

ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 tahun 2012. Penentuan threshold

merupakan sebuah electoral system engineering guna menciptakan sebuah sistem

Pemilu yang lebih berkualitas. DPR, sebagai lembaga pembentuk undang-undang

memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan itu (open legal policy) yang tidak

bertentangan dengan UUD 1945. Patut disadari oleh semua parpol bahwa

ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 bukan merupakan ketentuan

diskriminatif tapi justru merupakan persyaratan berat sebuah Parpol untuk bisa

ikut serta pada Pemilu berikutnya dan ketentuan tersebut berlaku bagi semua

Parpol. Sebab sebuah parpol tidak mudah untuk dapat lolos angka PT jika tidak

mendapat dukungan rakyat dalam pemilu. Sebuah parpol tidak cukup hanya

dengan modal loloas syarat administratif untuk ikut pemilu, tetapi syarat

pengakuan dukungan rakyatlah yang terpenting. Hal itu terlihat nyata dalam

syarat lolos PT. 357

Terkait dengan keberatan para Pemohon dengan diberlakukannya

ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) tersebut dianggap merugikan dan bersifat

diskriminatif, dan akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dan perlakuan

yang tidak sama dalam hukum bagi semua partai politik sehingga para Pemohon

akan terhalangi hak-hak konstitusionalnya dalam hal memajukan diri dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, dapat

dijelaskan bahwa sebenarnya ketentuan Pasal a quo berlaku untuk semua partai

politik jika yang bersangkutan tidak lolos angka threshold pada Pemilu yang akan

datang. Sebab, hasil sebuah pemilu di mana partai politik memperoleh sejumlah

suara yang kemudian dapat dikonversi menjadi kursi merupakan indikasi atau

parameter utama apakah partai politik tersebut mendapat dukungan rakyat secara

signifikan atau tidak. Pemilu adalah momentum untuk melihat dukungan tersebut.

357 Ibid hal 72

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 204: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Oleh karena itu ketentuan persyaratan tersebut bukan merupakan bentuk

diskriminatif.358

5.7.5. Pertimbangan Hukum dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Menurut Mahkamah semua partai politik yang didirikan di Indonesia

dimaksudkan untuk mengikuti pemilihan umum dan menempatkan wakilnya di

DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Fakta terbatasnya jumlah

kursi di lembaga perwakilan akan membatasi pula partai politik yang dapat

menempatkan wakil-wakilnya. Keadaan tersebut pada akhirnya menjadikan

keragaman aspirasi, yang berbanding lurus dengan jumlah partai politik, tidak

dapat terwakili seluruhnya, karena faktanya hanya ada beberapa partai politik saja

yang dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan tersebut. Dengan

demikian, hal yang harus diperhatikan adalah kecilnya dukungan pemilih kepada

partai politik tertentu berkemungkinan menghalangi keterwakilan pemilih yang

bersangkutan di DPR maupun di DPRD. Berdasarkan pertimbangan tersebut,

menurut Mahkamah, politik hukum berkenaan dengan pembatasan partai politik

adalah suatu kewajaran karena banyaknya jumlah partai politik yang tidak secara

efektif mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga partai politik tersebut tidak

dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan adalah wajar bila partai

politik yang bersangkutan harus menggabungkan diri dengan partai lain yang

sepandangan/sejalan dengannya.359

Dalam membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan mengikuti

pemilihan umum, pembentuk undang-undang tidak melakukan pembatasan

dengan menetapkan jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu, melainkan,

antara lain dengan menentukan syarat-syarat administratif sebagaimana diatur

dalam Pasal 8 UU 8/2012. Tidak dibatasinya jumlah partai politik sebagai peserta

Pemilu yang akan mengikuti pemilihan umum merupakan perwujudan dari

maksud pembentuk undang-undang dalam mengakomodasi kebebasan warga

negara untuk berserikat dan berkumpul, sekaligus menunjukkan bahwa semua

warga negara memiliki hak yang sama untuk mendirikan atau bergabung dengan

358 Ibid hal 73 359 Ibid hal 87-88

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 205: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

partai politik tertentu, tentunya setelah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar pengertian yang

demikian, menurut Mahkamah, tindakan pembentuk undang-undang yang

membatasi jumlah partai politik peserta pemilihan umum dengan tanpa menyebut

jumlah partai peserta Pemilu adalah pilihan kebijakan yang tepat dan tidak

bertentangan dengan UUD 1945 karena pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh

pembentuk undang-undang melainkan ditentukan sendiri oleh rakyat yang

memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya secara alamiah.360

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, Mahkamah

menginventarisasi adanya dua tahapan bagi partai politik untuk dapat mengikuti

pemilihan umum, yaitu tahapan pendirian partai politik dan tahapan keikutsertaan

partai politik dalam pemilihan umum. Tahap pendirian atau pembentukan partai

politik diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Tahap pendaftaran sebagai peserta pemilihan umum diatur dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Dari kedua Undang-Undang yang mengatur tahapan tersebut, menurut

Mahkamah, ada kehendak pembentuk Undang-Undang untuk melakukan

penyederhanaan partai politik. Selain itu, penyederhanaan partai politik dilakukan

dengan menentukan pemenuhan ambang batas perolehan suara (parliamentary

threshold atau PT) pada pemilihan umum sebelumnya sebagai syarat yang harus

dipenuhi oleh partai politik lama untuk mengikuti pemilihan umum [vide Pasal 8

ayat (1) UU 8/2012] dan menentukan bahwa partai politik lama yang tidak

memenuhi ambang batas perolehan suara tersebut serta partai politik baru harus

memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum

[vide Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012].361

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, menurut Mahkamah, tidak

memenuhi asas keadilan bagi partai politik lama karena pada saat verifikasi untuk

360 Ibid hal 88 361 Ibid hal 88-89

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 206: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

menjadi peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan administrasi

sudah dipenuhi oleh semua partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009,

sehingga tidak tepat jika partai politik yang pada Pemilihan Umum Tahun 2009

telah dinyatakan memenuhi persyaratan, namun pada pemilihan umum berikutnya

diwajibkan memenuhi syarat ambang batas perolehan suara, atau jika partai

politik bersangkutan tidak memenuhi ambang batas, diwajibkan memenuhi

persyaratan yang berbeda dengan partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun

2009. Ketentuan yang demikian, menurut Mahkamah, tidak memenuhi prinsip

keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda bagi pihak-pihak yang

mengikuti suatu kontestasi yang sama.362

Dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada Pemilihan Umum Tahun

2009 tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai syarat atau

kriteria dalam keikutsertaan partai politik lama sebagai peserta Pemilihan Umum

Tahun 2014. Karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 10/2008

berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 8/2012 yang

menjadi dasar penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2014. Dengan demikian,

meskipun para Pemohon hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi

ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” yang

terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, namun menurut Mahkamah

ketidakadilan tersebut justru terdapat dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1) UU

8/2012. Ketidakadilan juga terdapat pada Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012.

Hal yang terakhir ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak ada penjelasan

dari suatu pasal yang dapat berdiri sendiri, sehingga Penjelasan Pasal 8 ayat (1)

UU 8/2012 harus mengikuti putusan mengenai pasal yang dijelaskannya.363

Pengujian Konstitusionalitas Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012

Setelah mempersandingkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008 dengan Pasal 8 UU 8/2012 mengenai persyaratan partai politik menjadi

peserta pemilihan umum, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa syarat yang

harus dipenuhi oleh partai politik untuk mengikuti pemilihan umum legislatif

362 Ibid hal 89 363 Ibid hal 90

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 207: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

tahun 2009 ternyata berbeda dengan persyaratan untuk pemilihan umum legislatif

tahun 2014. Syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum bagi partai

politiktahun 2014 justru lebih berat bila dibandingkan dengan persyaratan yang

harus dipenuhi oleh partai politik baru dalam pemilihan umum legislatif tahun

2009. Dengan demikian adalah tidak adil apabila partai politik yang telah lolos

menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu diverifikasi lagi

untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014 sebagaimana partai

politik baru, sementara partaipolitik yang tidak memenuhi PT harus mengikuti

verifikasi dengan syarat yang lebih berat. PT sejak awal tidak dimaksudkan

sebagai salah satu syarat untuk menjadi peserta Pemilu berikutnya [vide Pasal 1

angka 27, Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008], tetapi adalah

ambang batas bagi sebuah partai poltik peserta Pemilu untuk mendudukkan

anggotanya di DPR Mahkamah dapat memahami maksud pembentuk Undang-

Undang untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai politik, namun

penyederhanaan tidak dapat dilakukan dengan memberlakukan syarat-syarat yang

berlainan kepada masing-masing partai politik. Memberlakukan syarat yang

berbeda kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan

perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda (unequal treatment)

yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3)

UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, terhadap semua partai politik

harus diberlakukan persyaratan yang sama untuk satu kontestasi politik atau

pemilihan umum yang sama, yaitu Pemilihan Umum Tahun 2014.

Mahkamah menentukan bahwa untuk mencapai perlakuan yang sama dan

adil itu seluruh partai politik peserta Pemilu tahun 2014 harus mengikuti

verifikasi. Dengan semangat yang sejalan dengan maksud pembentuk undang-

undang, demi penyederhanaan partai politik, menurut Mahkamah, syarat menjadi

peserta pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 harus

diberlakukan kepada semua partai politik yang akan mengikuti Pemilihan Umum

Tahun 2014 tanpa kecuali.

Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012 Penjelasannya

bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah. Namun demikian,

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 208: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

dari sudut substansi, ketentuan tersebut tidak mengakomodasi semangat persatuan

dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi

politik di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai politik yang

tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR,

namun di daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, partai

politik tersebut memperoleh suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya

kursi di lembaga perwakilan masing-masing daerah

tersebut. Bahkan secara ekstrim dimungkinkan adanya partai politik yang secara

nasional tidak memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal

demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya duduk di DPRD

bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika merunut pada perolehan

suaranya, atau dengan kata lain, calon anggota DPRD yang akhirnya menjadi

anggota DPRD tersebut tidak merepresentasikan suara pemilih di daerahnya.

Politik hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan

Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan kekhasan

aspirasi politik yang beragam di setiap daerah;

Mahkamah juga menilai sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara

bertingkat, masing-masing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota, dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai

politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang

memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat

menduduki kursi DPRD. Hal ini mungkin terjadi jika diasumsikan partai politik

peserta Pemilu berjumlah 30 partai politik dan suara terbagi rata sehingga

maksimal tiap-tiap partai politik peserta Pemilu hanya memperoleh maksimal

3,3% suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu daerah hanya ada satu

partai politik yang memenuhi PT 3,5% sehingga hanya ada satu partai politik

yang menduduki seluruh kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya banyak kursi

yang tidak terisi. Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang

menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang ternyata tidak

tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai politik

yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan dengan konstitusi;

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 209: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah,

permohonan Pemohon sepanjang mengenai frasa “DPRD Provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU 8/2012 beralasan hukum. Dengan demikian,

ketentuan PT 3,5% hanya berlaku untuk kursi DPR dan tidak mempunyai akibat

hukum terhadap penentuan/penghitungan perolehan kursi partai politik di DPRD

provinsi maupun di DPRD kabupaten/kota;

5.8. Konstitusionalitas Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik

Peraturan Perundang-Undangan tentang Partai Politik adalah dasar hukum

operasional partai politik yang ditetapkan dalam konstitusi, undang-undang

tentang partai politik, undang-undang tentang pendanaan partai politik, Undang-

undang tentang pemilihan umum dan undang-undang tentang kampanye dan juga

peraturan administrasi, penetapan-penetapan dan putusan pengadilan. Konstitusi

memegang posisi istimewa di antara instrumen hukum tentang partai politik,

karena mencerminkan nilai-nilai fundamental dan melegitimasi aturan politik

melalui spesifikasi prosedur yang mendukung pelaksanaan kekuasaan. Melalui

konstitusi, maka dapat diukur posisi partai dalam format kelembagaan negara. 364

Undang-undang yang mengatur tentang partai politik spesifik mengatur tentang

internal partai. Beberapa negara mengatur juga tentang partai dalam undang-

undang tentang pemilihan umum serta ada pula yang mengatur partai politik

dalam berbagai bentuk instrumen hukum.365

Konstitusi Jerman mengatur dan menyebutkan partai politik secara eksplisit dan

detail. Dalam konstitusi Jerman article 21 menyebutkan partai politik sebagai 366:

Political parties participate in the formation of the political will of the people. They may be freely established. Their internal organization must conform to democratic principles. They must publicly account for their assets and for the sources and the use of their funds.

364 Fransje Molenaar. Latin American Regulation of Political Parties. Continuing Trends and breaks with The Past. Working Paper Series on The Legal Regulation of Political Party. No 17. 2012 hal 2

365 Ibid hal 2 366 Kenneth Janda. Op cit hal 14

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 210: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Partai politik memiliki kedudukan yang penting dalam struktur

ketatanegaraan Indonesia Pasca Reformasi, sehingga Undang-Undang yang

mengatur tentang Parta Politik tidaklah boleh bertentangan dengan hak-hak

konstitusional yang telah diberikan UUD 1945 kepada Partai Politik.

Kedudukan partai politik setidaknya diatur dalam beberapa pasal dalam UUD

1945 yaitu :

Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa :

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan bahwa :

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan bahwa :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dari beberapa putusan perkara pengujian Undang-Undang yang mengatur

tentang kebijakan penyederhanaan partai politik, beberapa kebijakan dinyatakan

konstitusional, namun demikian terdapat pula kebijakan yang dinyatakan oleh

Mahkamah Konstitusi inkonstitusional dan juga konstitusional bersyarat.

Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi seperti yang telah

diuraikan pada Bab V, dapat dianalisa bahwa kebijakan penyederhanaan partai

politik merupakan kebijakan yang tidak melanggar UUD 1945 dikarenakan

Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan pelaksanaan dari Pasal 28

UUD 1945 dan Pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-

Undang.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 211: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

5.8.1. Pengaturan dan Persyaratan dalam Undang-Undang tentang

Partai Politik merupakan Pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945

Menurut Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum Perkara

Nomor PUU-20/PUU-I/2003, substansi Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor

31 Tahun 2002 yang mengharuskan Partai Politik didaftarkan di Departemen

Kehakiman, Pasal 3 ayat (2) yang mengatur pengesahan partai politik, dan Pasal

23 huruf a, b, c, dan d yang mengatur pengawasan pelaksanaan Undang-undang

partai politik, justru merupakan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan

berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan

sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna

menjamin agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak

mengganggu kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Pengaturan

bukan bermaksud mengekang kebebasan pendirian partai melainkan merupakan

pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga partai

politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum.367

Syarat-syarat yang membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan

mengikuti pemilihan umum tidak bertentangan dengan UUD 1945, pembentuk

undang-undang tidak melakukan pembatasan dengan menetapkan jumlah partai

politik sebagai peserta Pemilu, melainkan, antara lain dengan menentukan syarat-

syarat administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU 8/2012. Tidak

dibatasinya jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu yang akan mengikuti

pemilihan umum merupakan perwujudan dari maksud pembentuk undang-undang

dalam mengakomodasi kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul,

sekaligus menunjukkan bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama

untuk mendirikan atau bergabung dengan partai politik tertentu, tentunya setelah

memenuhi syarat-syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Atas dasar pengertian yang demikian, menurut Mahkamah, tindakan

pembentuk undang-undang yang membatasi jumlah partai politik peserta

pemilihan umum dengan tanpa menyebut jumlah partai peserta Pemilu adalah

pilihan kebijakan yang tepat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena

367 Putusan PUU-20/PUU-I/2003. hal 35-36

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 212: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh pembentuk undang-undang melainkan

ditentukan sendiri oleh rakyat yang memiliki kebebasan untuk menentukan

pilihannya secara alamiah. 368

5.8.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik adalah Pilihan Legal

Policy Pembentuk Undang-Undang

Pada putusan perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945

Nomor 16/PUU-V/2007 dalam pertimbangan hukumnya [3.15], Mahkamah

mengemukakan bahwa Partai memang politik menempati posisi strategis dalam

kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan

Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil

Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta

pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3)

UUD 1945 berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai

politik”. Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan

undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata

cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam

undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang

pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa

pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan

pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-

undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.369

Berdasarkan ketentuan berbagai Undang-Undang Partai Politik yang pernah

berlaku tersebut, tampak bahwa UU 2/1999 tidak memasukkan adanya

kepengurusan partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan)

sebagai salah satu persyaratan badan hukum sebuah partai politik, sedangkan UU

31/2002, UU 2/2008, dan UU 2/2011 mengharuskan pembentukan kepengurusan

partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) sebagai salah satu

syarat untuk pendirian badan hukum sebuah partai politik, yang selalu

368 52 PUU 2012. Hal 88 369 16/PUU-V/2007 hal 80

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 213: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

membedakan jumlah kepengurusan di daerah. Menurut Mahkamah, hal tersebut

merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk Undang-Undang di

bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat objektif, dan merupakan upaya

alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai di

Indonesia.370

5.9. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik

Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan, meskipun menyatakan

bahwa kebijakan penyederhanaan partai politik tidak bertentangan dengan UUD

1945, tidaklah serta merta setiap kebijakan bersifat konstitusional, ada persyaratan

dan batasan yang dinyatakan oleh Mahakamh Konstitusi yaitu prinsip-prinsip

yang harus dipenuhi oleh kebijakan tersebut yaitu : prinsip demokratis, Rasional

dan Non Diskriminatif.

A. Demokratis

Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum

yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah,

kebijakan tentang PT yang terkandung dalam pasal a quo didasarkan atas

Undang-Undang, in casu UU 10/2008, yang dibuat secara demokratis oleh DPR

dan Pemerintah, serta tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan tetap

menjamin hak hidup Parpol Peserta Pemilu serta kesempatan yang sama untuk

mengikuti Pemilu berikutnya.371

B. Konstitusional

Partai politik menempati posisi strategis dalam kehidupan ketatanegaraan

Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD

1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh

partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum

pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 berbunyi,

“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.

370 35/PUU-IX/2011. hal 24 371 3/PUU-VII/2009. hal 128

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 214: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan

undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata

cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur

dalam undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut

tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa

pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan

pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-

undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945;372

C. Tidak Bersifat Diskriminatif

Substansi Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 yang

mengharuskan Partai Politik didaftarkan di Departemen Kehakiman, Pasal 3 ayat

(2) yang mengatur pengesahan partai politik, dan Pasal 23 huruf a, b, c, dan d

yang mengatur pengawasan pelaksanaan Undang-undang partai politik tidak

dapat dipandang diskriminatif karena berlaku terhadap semua partai politik. 373

Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal

28I ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu

berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara demokratis

melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET yang menjadi

syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik yang bersangkutan

dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undang-undangnya.374

Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008

menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol

Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold [Pasal 9 ayat (1)

UU 12/2003 juncto Pasal 315 UU 10/2008]. Perlakuan yang tidak adil tersebut

ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya memperoleh satu

kursi di DPR, kendati perolehan suaranya lebih sedikit dari pada Parpol yang

372 16/PUU-V/2007 373 PUU-20/PUU-I/2003 hal 35-36 374 Putusan 16/PUU-V/2007 hal 81-82

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 215: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

tidak memiliki kursi di DPR, melenggang dengan sendirinya menjadi peserta

Pemilu 2009; sedangkan Parpol yang perolehan suaranya lebih banyak, tetapi

tidak memperoleh kursi di DPR, justru harus melalui proses panjang untuk dapat

mengikuti Pemilu 2009, yaitu melalui tahap verifikasi administrasi dan verifikasi

faktual oleh KPU. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan undang-undang, in

casu Pasal 316 huruf d UU 10/2008, yang memberikan perlakuan yang tidak sama

kepada mereka yang kedudukannya sama, dalam hal ini Parpol yang memiliki

wakil di DPR dan yang tidak memiliki wakil di DPR, pada hakikatnya

kedudukannya sama, yakni tidak memenuhi electoral threshold baik menurut

Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun menurut Pasal 315 UU 10/2008,

bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2)

UUD 1945.375

Menurut Mahkamah, kebijakan PT dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama

sekali tidak mengabaikan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D

ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena setiap orang, setiap warga negara, dan

setiap Parpol Peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang

sama melalui kompetisi secara demokratis dalam Pemilu. Kemungkinannya

memang

ada yang beruntung dan ada yang tidak beruntung dalam suatu kompetisi yang

bernama Pemilu, namun peluang dan kesempatannya tetap sama376

Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 bersifat diskriminatif dan tidak rasional, sehingga

bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang

berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan

berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

itu.” Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 202 ayat

(1) UU 10/2008 sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur yang

diskriminatif, karena selain berlaku secara objektif bagi semua Parpol Peserta

Pemilu dan keseluruhan para calon anggota DPR dari Parpol Peserta Pemilu,

tanpa kecuali, juga tidak ada faktorfaktor

375 12/PUU-VI/2008 Hal 128-129 376 3/PUU-VII/2009. hal 129

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 216: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

pembedaan ras, agama, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain sebagaimana

dimaksud Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).377

377 3/PUU-VII/2009. hal 129

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 217: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

BAB VI

PENUTUP

6.1. Simpulan

1. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi di Indonesia

bertujuan untuk mewujudkan sistem multi partai sederhana sebagai salah satu

upaya memperkuat stabilitas sistem pemerintahan presidensiil dan juga untuk

mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional,

menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai.

Kebijakan penyederhanaan partai politik diatur dalam Undang-Undang

tentang Partai Politik dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.

Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik dalam Undang-Undang

tentang Partai Politik yaitu melalui persyaratan kualitatif dan kuantitatif

pembentukan dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, sedangkan

dalam Undang-Undang Pemilu Kebijakan Penyederhanaan partai politik

diwujudkan dalam persyaratan kualitatif dan kuantitatif serta persyaratan

ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) bagi partai untuk dapat

menjadi peserta pemilihan umum dan juga persyaratan ambang batas

perolehan suara (parliamentary threshold) sebagai syarat untuk dapat

menempatkan kursi di DPR. Pada prakteknya, persyaratan-persyaratan

sebagai wujud kebijaksanaan penyederhanaan partai politik, semakin

diperberat seiring dengan perubahan Undang-Undang tentang Partai Politik

dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Pasca Reformasi. Partai

politik yang telah berstatus badan hukum, tidak serta merta dapat menjadi

peserta pemilihan umum. Persyaratan Partai Politik untuk mengikuti pemilu

meliputi persyaratan kepengurusan, Kantor tetap, jumlah minimum anggota

dan persyaratan ambang batas perolehan Kursi (electoral threshold) di DPR.

Namun ketentuan mengenai electoral threshold dihilangkan dalam Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2008. Ketentuan ini kemudian diganti dengan

ketentuan mengenai Parliamentary Threshold. Yaitu ambang perolehan suara

nasional untuk diikutkan dalam perhitungan perolehan kursi di DPR.

2. Akibat hukum kebijakan penyederhanaan partai politik bagi partai politik

adalah 1) Partai Politik tidak mendapat status badan hukum apabila tidak

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 218: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

memenuhi syarat pendirian dan pendaftaran sebagai badan hukum, 2) Partai

Politik tidak dapat menjadi peserta pemilu apabila tidak memenuhi syarat

untuk dapat menjadi peserta pemilu dan 3). Partai Politik tidak dapat

memperoleh kursi di DPR, apabila tidak memenuihi ketentuan ambang batas

perolehan suara (parliamentary threshold). Semakin diperberatnya

persyaratan pendirian dan pendaftaran partai politik berakibat hukum

berkurangnya partai politik yang dapat memperoleh status badan hukum dan

berkurangnya partai politik menjadi peserta pemilu. Pada tahun 2008,

memang terjadi kenaikan jumlah partai yang mendaftar ke KPU untuk

menjadi peserta pemilu, hal tersebut dikarenakan terjadinya perubahan

kebijakan yang semula menggunakan Elecotral Threshold menjadi

Parliamentary Threshold (PT). Diberlakukannya kebijakan PT menyebakan

berkurangnya parpol yang lolos ke DPR. Kebijakan Penyederhanaan Partai

Politik belum optimal membentuk sistem multipartai sederhana. Meskipun

jumlah partai peserta pemilu menurun karena kebijakan persyaratan

mendirikan partai politik, persyaratan mengikuti pemilu dan juga elektoral

threshold, namun jumlah efektif partai di DPR meningkat dari 4 sampai 5

partai di tahun 1999 menjadi lebih dari 7 partai di tahun 2004. Sistem partai

di Indonesia berubah dari multipartai moderat (sederhana) menjadi ekstrim.

Pemilu Tahun 2009, juga menciptakan sistem multipartai ekstrim. Namun

demikian, Pemberlakuan kebijakan PT telah sedikit menurunkan Nilai ENPP

(jumlah efektif partai di Parlemen) yang semula pada tahun 2004 bernilai 7.07

menjadi 6.47, yang berarti jumlah efektif partai menurun menjadi 6 sampai 7

partai efektif di DPR.

3. Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang tidak

bertentangan dengan UUD 1945. Keharusan partai politik untuk didaftarkan

sebagai badan hukum dengan berbagai persyaratannya merupakan

pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul,

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan

dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna menjamin agar

penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak mengganggu

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 219: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Pengaturan bukan

bermaksud mengekang kebebasan pendirian partai melainkan merupakan

pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga

partai politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum.

Syarat-syarat yang membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan

mengikuti pemilihan umum tidak bertentangan dengan UUD 1945, pembentuk

undang-undang tidak melakukan pembatasan dengan menetapkan jumlah

partai politik sebagai peserta Pemilu, melainkan, antara lain dengan

menentukan syarat-syarat administratif. Partai politik memang menempati

posisi strategis dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Akan tetapi,

implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan undang-undang. Hal

ini berarti bahwa pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal

yang berkenaan dengan pemilihan umum dan partai politik, sepanjang

undang-undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan

UUD 1945, bersifat objektif, dan merupakan upaya alamiah dan demokratis

untuk menyederhanakan sistem multipartai di Indonesia.

6.2. Saran

1. Partai Politik sebagai elemen penting dalam menegakkan demokrasi

memanglah dapat diatur dan dibatasi menurut UUD 1945, karena merupakan

kewenangan yang didelegasikan dan diberi kebebasan bagi pengambil

kebijakan. Namun demikian, pengaturan tersebut memerlukan kehati-hatian

karena dibatasi oleh prinsip-prinsip yang tidak boleh dilanggar karena telah

ditetapkan oleh UUD 1945. Prinsip-prinsip sebagaimana telah dianalisa

sebelumnya adalah prinsip konstitusional, demokrasi, rasional dan non

diskriminatif haruslah tercermin dalam setiap kebijakan penyederhanaan

partai politik.

2. kebijakan penyederhanaan partai politik pada prakteknya belum maksimal

membentuk sistem multipartai sederhana. kebijakan PT yang terbukti dapat

menghambat jumlah partai politik yang efektif di DPR masih dapat

ditingkatkan sampai dengan 5%. Alternatif lain, bahwa kebijakan PT dapat

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 220: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

juga diperuntukkan bagi koalisi partai, sebagaimana yang dipraktekan di

Republik Ceko, koalisi dua partai harus memperoleh 10 sampai 6 % suara,

koalisi tiga partai harus memperoleh 15 sampai 8% suara dan koalisi empat

partai harus memperoleh 20 sampai 10% suara dari total keseluruhan suara.

3. Penelitian lebih lanjut dapat difokuskan pada sumber keuangan partai politik,

terutama tentang perlunya pembatasan kebijakan pemberian bantuan

pendanaan kepada partai politik oleh negara yang akan memicu keinginan

untuk membentuk partai baru sehingga tidak sejalan dengan upaya

pembentukan sistem multipartai sederhana. Dibeberapa negara justru

sebaliknya, pendirian partai politik dikenakan pungutan biaya, misalnya di

Inggris atau di Republik Ceko. Dengan pengenaan biaya baik pada saat tahap

pendaftaran sebagai badan hukum ataupun sebagai peserta pemilu diharapkan

akan mengurangi keinginan untuk mendirikan partai-partai baru.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 221: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adam Perzweroski dan Jose Mar ia Maraval. Democracy and The Rule of

Law. Cambridge. : The Press Syndicate of The University of Cambridge.

2003

Alam, Wawan Tunggul. Demi Bangsaku : Pertentangan Bung Karno vs Bung

Hatta. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2003

AM. Fatwa. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta : PT

Kompas Media Nusantara. 2009

Anwar, Rosihan. Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara

Politik 1961-1965. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2006

Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta :

Pusat Studi Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

2008

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta :

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.

------------------------------, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi”. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. 2007.

------------------------------,. Model-model Pengujian Konstitusional Di Berbagai

Negara, cet. III. Jakarta: Konstitusi Press, 2006

------------------------------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta :

Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.

------------------------------,. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi.

Jakarta : Sinar Grafika. 2011

------------------------------, Islam dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta : Gema Insani

Press. 1995.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 222: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

------------------------------, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta : PT.

Bhuana Ilmu Populer. 2009.

------------------------------, Konstitusi Ekonomi. Jakarta : PT. Kompas Media

Nusantara. 2010

Barington, Lowell. Comparative Politics.Structure and Choices. Boston :

Wadsworth Cengage Learning. 2012

Bourchier, David dan Vedi R Hadiz. Indonesian Politics and Society. A reader.

London. : Routledge Curzon. 2003

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik”. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.

2010

Burke, Edmund. Thoughts on The Cause of The Present of Discontents. London :

The Gordon Lester Ford Collection. 1770

Chaurasia, R.S. History of Western Political Thought. New Delhi. : Atlantic

Publisher and Distributors. 2001.

Choi, Jungug. Votes, Party Systems and Democracy in Asia. Routledge. 2012

Dalton, Russell J, David M Farrell and Ian McAllister. Political Party and

Democratic Linkage. How Party Organize Democracy. Oxford University

Press. 2011

David Bourchier dan Vedi R Hadiz. Indonesian Politics and Society. A reader.

Routledge Curzon. London. 2003

Duverger, Maurice. Political Parties and Their Organisations in Modern State.

USA 1959.

Espezo, Paulina Ochoa Espezo. The Time of Popular Sovereignity : Process and

Democratic State. United State of America : The Pennsylvania State

University Press. 2011.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 223: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Firmanzah. Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan Positioning Ideologi

Politik di Era Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia. 2007

Gauja, Anika. Political Party and Election. Legislating for Representatives

Democracy. England : Ashgate Publishing Limited. 2010

Gauja, Anika. Legislative Regulation, Judicial Politics and the Cartel.Party

Model. Australia : Department of Government and International Relations

School of Social and Political Sciences Room 443, Merewether Building

The University of Sydney NSW 2006. 2011

Haris, Syamsudin. Partai Parlemen dan Parlemen Lokal di Era Transisi

Demokrasi di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007.

Hatta, Mohammad. Untuk Negeriku. Berjuang dan Dibuang. Sebuah Otobiografi.

Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara. 2011

Hok, Sue Vander. Democracy. Minnesota : ABDO. Publishing Company. 2011

HR, Hanta Yuda. Presidensialisme Setengah Hati. Dari Dilema ke Kompromi.

Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2010

Jakckson, Karl D and Lucian W Pye. Political Power and Communications in

Indonesia. California : University California Press. 1978

Janda, Kenneth. Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical

Perspectives. Adopting Party Law. Washington DC : National Democratic

Institute For International Affairs. 2005

J. Kristadi. Who Wants to be The Next President? : A-Z Informasi Politik Dasar

dan Pemilu. Kanisius. 2009

Jones, Tudor. Modern Political Thinkers and Ideas : An Historical Introduction.

New York. Routledge. 2002

Junejo, Jamil. Human Rights, Rule of Law and Democracy Training Manual .

Center for Peace and Civil Society. 2010

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 224: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

King, Anthony dalam Alan Ware Political Party and Party Systems. Oxford

University Press. 1996 hal 6

Lapalombara, Joseph dan Myron Weiner. The Origin and Development of

Political Parties, dalam Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta :

Grasindo. 2007

Lock, John. The Second Treatise of Government, dalam Satya Arinanto. Politik

Hukum I. Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia. 2001.

Luth, Tohir. M. Natsir : Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani Press. 1999

Maning, Chris dan Peter Van Diermen. Indonesia di Tengah Transisi. Aspek-

Aspek Sosial Reformasi dan Krisis. Judul Asli : Indonesia In Transition,

Social Aspect of Reformasi and Crisis. Singapore : Institute of Southeast

Asian Studies. 2000.

Mainwarring, Scott P. Rethinking Party Systems in The Third Wave of

Democratization : The Case of Brazil. California : Stanford University

Press. Stanford. 1999.

--------------------------------, Presidentialism, Multipartism, and Democracy. The

Difficult Combination. Comparative Political Studies. Vol 26 Nomor 2.

Sage Publications. 1993.

Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia. Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde

Baru. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup. 2010

M. Dzulkifriddin. Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia : peran

dan jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia. PT. Mizan

Pustaka. 2010

Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:

Studi Sosio Legal atas Konstituante. Dalam Muhammad Ali Saafat.

Pembubaran Partai Politik. Jakarta : Universitas Indonesia. 2009.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 225: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Nonet, Philipe dan Philip Selznick. Law and Society in Transition : Toward

Responsive Law dalam Satya Arinanto Politik Hukum 2. Jakarta : Program

Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2001.

Nurcholis, Hanif. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah.

Grasindo. 2005

Pak-kwan, Chau. The Regulatory Framework of Political Parties in Germany, the

United Kingdom, New Zealand and Singapore. Hong Kong : Research and

Library Services Division Legislative Council Secretariat..2004

Prayitna, Dadang. Sistem multi partai sederhana: Kajian terhadap penerapan

electoral threshold dalam proses penyederhanaan partai politik di

Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia. 2006

Rogers, Harold E. Jr. The History of Democracy From The Middle East to

Western Civilizations. Bloomington. Author House. 2006

Samsudin. Mengapa G30S/PKI Gagal? : Suatu Analisis. Yayasan Obor

Indonesia. 2004

Sartori, Giovanni Parties and Party Systems. A frame Work for Analysis.

Colchester : Ecpr Press. 2005

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. 2007

Stefan Eklӧf. Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia. The Indonesia

Democratic Party (PDI) and Decline of New Order (1986-1998). Nias

Press. Denmark. 2004

Sugono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

1997

Sulastomo. Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru. Sebuah

Memoar. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara. 2008

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 226: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Suryadinata, Leo. Political Parties and the 1982 General Election in Indonesia.

Singapore : Institute of Southeast Asian Studies. 1982

Ware, Alan. Political Parties and Party Systems. New York : Oxford University

Press. 1996

Woolf, Alex. Democracy. . London : Evan Brothers Limited. 2007

B. Artikel/Makalah

Asshiddiqie, Jimly. Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Ke

Empat UUD Tahun 1945. Makalah disampaikan Seminar Pembangunan

Hukum Nasional Viii Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan

Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14-18 Juli

2003

Franck , Thomas M. Democracy, Legitimacy, and the Rule of Law. Abstract. An

International Symposium co-sponsored by the Library of Congress and the

New York University School of Law March 7-10, 2000

Manikas, Peter M. and Laura L. Thornton Political Parties in Asia Promoting

Reform and Combating Corruption in Eight Countries .National

Democratic Institute for International Affairs. 2003

Molenaar, Fransje. Latin American Regulation of Political Parties. Continuing

Trends and breaks with The Past. Working Paper Series on The Legal

Regulation of Political Party. No 17. 2012

Norris, Pippa. Building political parties: Reforming legal regulations and internal

rules.Harvard University Report commissioned by International IDEA

2004

Pak-kwan, Chau. The Regulatory Framework of Political Parties in Germany, the

United Kingdom, New Zealand and Singapore. Hong Kong : Research and

Library Services Division Legislative Council Secretariat. 2004

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 227: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

C. Majalah Ilmiah

Biezen, Ingrid van & Ekaterina R. Rashkova. Breaking The Cartel The

Effect of State Regulation on New Party Entry. Netherlands : Department of

Political Science. Leiden University. 2011

Caramani, Daniele, Comperative Politic. New York: Oxford University Press.

2008

Chamber, William N dalam Louis Sandy Maisel, Mark D Brewer.Parties and

Election in America : The Electoral Process. Maryland: Rowman and

Littlefield Publishing Group. 2010

Clemente, Luis F. Party Systems Stability in Latin America : A Comparative

Study. Newyork : State of University of Newyork. 2009

Firdaus, Sunny Ummul. Relevansi Parliamentary Threshold terhadap

Pelaksanaan Pemilu yang Demokratis. Jakarta : Jurnal Konstitusi Volume

8 Nomor 2 April 2010. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Mainwarring, Scott P. Presidentialism, Multipartism, and Democracy. The

Difficult Combination. Comparative Political Studies. Vol 26 Nomor 2.

Sage Publications. 1993.

The Sustainable Governance Indicators 2009. Democracy. Electoral Process.

Bertelsmann Stiftung. 2009

D. Surat Kabar Kompas. 16 Parpol Penuhi Syarat.Peserta Pemilu diumumkan pada 9-11 Januari

2013. Politik dan Hukum. Kompas Edisi Senin 26 November 2012. hal 4

E. Tesis/Disertasi dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan

Herman. Sistem Kepartaian di Indonesia dilihat dari Model Laakso-Taagepera

dan Indeks Rae dan Kaitannya dengan Ketahanan Nasional. Program

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 228: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Kajian Strategik Ketahanan Nasional. Jakarta : Program Pasca Sarjana

Universitas Indonesia. 2009

Putra, Arif Permana. Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Tahun 1960.

Surakarta : Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

Maret. 2009

Safa’at Muchamad Ali. Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis

Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik (1959 – 2004).

Jakarta : Fakultas Hukum Program Pascasarjana 2009

F. Kasus Pengadilan/Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor PUU

20/PUU-I/2003.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan020PUUI2003.pdf

[2 Juni 2012]

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 16/PUU-

V/2007.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan16

PUUV2007ttg-UUPemilu23102007.pdf [2 Januari 2012]

Mahkamah konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 12/PUU-

VI/2008.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN

%2012%20Parpol%20Baca%2010%20Juli%202008.pdf hal 1 [2 Juni

2012]

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkaran Nomor 3/PUU-

VII/2009.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_putusan_sida

ngPUTUSAN3-PUU-VII-2009.pdf [2 Januari 2012]

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 15/PUU-IX/2011.

www.mahkamahkonstitusi.go.id [3 Januari 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 229: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%2

035-PUU-IX 2011%20TELAH%20BACA.pdf [2 Januari 2012]

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 52/PUU-X/2012.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_52%20PU

U%202012-TELAH%20BACA%2029-8-2012.pdf [9 September 2012]

G. Internet

Antara News . Sebanyak 24 Parpol Lolos Verifikasi Depkumham.

http://www.antaranews.com/view/?i=1207296006&c=NAS&s= 2008. [8

juli 2012]

Coppedge, Michael The Dynamic Diversity of Latin American Party Systems.

Party Politic Vol. 4 No. 4. Pp 547-568. London : SAGE Publication. 1998.

http://cm.olemiss.edu (28 Februari 2012)

Detiknews. 68 Parpol Sudah Ambil Form di KPU.

http://news.detik.com/read/2008/04/11/165455/922127/10/68-parpol-

sudah-ambil-form-di-kpu?nd993303605 [8 September 2012]

Eep Saefulloh Fatah. Sebuah Cermin Cembung. Partai-Partai Politik Indonesia :

Ideologi, Strategi dan Program. http://majalah.tempointeraktif.com. 1999.

European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).

Guidelines On Political Party Regulation By Osce/Odihr And Venice

Commission Adopted by the Venice Commission at its 84th Plenary

Session (Venice, 15-16 October 2010). Hal 6

http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29024-e.asp [15

Juli 2012]

European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).

Opinion On The Ukrainian Legislation On Political Parties. Adopted By

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 230: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

The Venice Commission At Its 51st Plenary Session (Venice, 5-6 July

2002) Hal 3.

European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).

Report On Thresholds And Other Features Of Electoral Systems Which Bar

Parties From Access To Parliament (II). Adopted by the Council for

Democratic Elections at its 32nd meeting. (Venice, 11 March 2010).and by

the Venice Commission at its 82nd plenary session. (Venice, 12-13 March

2010).http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29007-

e.pdf hal 5 [15 Juli 2012]

European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).

Opinion On The Law On Political Parties Of The Russian Federation.

Adopted by the Council for Democratic Elections at its 40th meeting

(Venice, 15 March 2012). and by the Venice Commission at its 90th

Plenary Session .(Venice, 16-17 March 2012).

http://www.venice.coe.int/docs/2012/CDL-AD%282012%29003-e.pdf [16

Juli 2012] hal 3

Kementerian Hukum dan HAM. Menkumham Umumkan Verifikasi Parpol.

http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/472-menkumham-

umumkan-verifikasi-parpol. [3 Januari 2012].

Komisi Pemilihan Umum. Verifikasi Angkatan III Selesai, Secara Keseluruhan

Ada 50 Partai yang Lolos di Depkeh dan HAM .

http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=513

4&Itemid=76 [juli 2012]

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. KPU Jelaskan Prosedur

Pendaftaran dan Penelitian Kepada Partai Politik yang Telah Lolos

Menjadi Badan Hukum.

http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=510

9&Itemid=76 [8 juli 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 231: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Pendaftaran Parpol Resmi

Ditutup, Total 46 Partai Mendaftar Ke KPU.

http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=706

5&Itemid=1 [ 8 September 2012]

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Buku Saku Pemilu 2009. Hal 40

http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=652

0&Itemid=171 [5 Januari 2012]

Kompas. Partai SRI Siap Ikuti Pemilu 2014.

http://nasional.kompas.com/read/2012/04/08/18123424/Partai.SRI.Siap.Iku

ti.Pemilu.2014 [7 juli 2012]

Office of The United Nations High Commisioner for Human Rights.

International Covenant on Civil and Political Rights.

http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm [23 Juli 2012]

OSCE/ODIHR And Venice Commission. Guidelines On Political Party

Regulation. Adopted By The Venice Commission. at its 84th Plenary

Session.Venice, 15-16 October 2010.

http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDLAD%282010%29024-e.pdf [15

Juli 2012]

Tempo Interaktif. Daftar Partai yang Lolos dan Tidak Lolos Verifikasi. 2003.

http://www.tempo.co/read/news/2003/10/04/05519829/null [ 8 juli 2012]

The United Nations. The Universal Declaration of Human Rights.

http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml [ 23 Juli 2012]

http://www.sgi-network.org/pdf/SGI09_Democracy_ElectoralProcess.pdf

[14 September 2012] hal 2

Thomas M. Franck Democracy, Legitimacy, and the Rule of Law. Abstract. An

International Symposium co-sponsored by the Library of Congress and the

New York University School of Law March 7-10, 2000.

http://www.loc.gov/bicentennial/abstracts_franck.html [3 Juli 2012]

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 232: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Venice Commission. Guidelines on prohibition and dissolution of political parties

and analogous measures. hal 2 http://www.osce.org/odihr/37820. [2 Juni

2012]

Winarno, Budi. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media

Pressindo. 2007

http://www.venice.coe.int/docs/2002/CDL-AD%282002%29017-e.pdf [15

Juli 2012]

H. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai

Politik. Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22. Tambahan Lembaran

Negara Nomor. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3809

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan

Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai

Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 Nomor 37.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2. Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013

Page 233: UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334879-T33015-Rika Anggraini.pdf · pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor

4836

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8. Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5316.

Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013