UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN...
Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN...
UNIVERSITAS INDONESIA
KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK
DI INDONESIA :
MENUJU SISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA DALAM ERA PASCA REFORMASI, 1998-2012
TESIS
RIKA ANGGRAINI
1006737301
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM KENEGARAAN JAKARTA
2013
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK
DI INDONESIA :
MENUJU SISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA DALAM ERA PASCA REFORMASI, 1998-2012
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum (M.H.)
RIKA ANGGRAINI
1006737301
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM KENEGARAAN JAKARTA
2013
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Rika Anggraini
NPM : 1006737301
Tanda Tangan :
Tanggal : 21 Januari 2013
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh : Nama : Rika Anggraini NPM : 1006737301 Program Studi : Magister Hukum Kenegaraan Judul Tesis : Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di
Indonesia : Menuju Sistem Multipartai Sederhana Dalam Era Pasca Reformasi, 1998-2012
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing/ Penguji : Prof. Dr. Satya Arinanto S.H. M.H.
Penguji : Prof. Abdul Bari Azed S.H., M.H.
Penguji : Dr. Tri Hayati S.H., M.H.
Tanggal : 21 Januari 2013
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada
penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikannya. Oleh
karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :
(1) Prof. Dr. Satya Arinanto S.H, M.H selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini;
(2) mama dan aba, mas obi, imam, adek ayu, mbak nanik dan caca atas doa dan
kasih sayang, serta dukungan material dan moral;
(3) my lovely denny yang telah memberikan bantuan, dukungan dan setia
menemani hingga terselesaikannya tesis ini;
(4) sahabat di HTN 2010 yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan
tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu hukum saat ini dan di masa yang akan datang.
Jakarta, 2013
Rika Anggraini
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Rika Anggraini NPM : Magister Hukum Kenegaraan Fakultas : Hukum Jenis Karya : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia : Menuju Sistem Multipartai Sederhana Dalam Era Pasca Reformasi, 1998-2012 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Januari 2013
Yang menyatakan
(Rika Anggraini)
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
ABSTRAK
Nama : Rika Anggraini Program Studi : Hukum Tata Negara Judul : Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia :
Menuju Sistem Multipartai Sederhana Dalam Era Pasca Reformasi, 1998-2012
Tesis ini membahas tentang Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Menuju Sistem Multipartai di Indonesia Pasca Reformasi, dengan tujuan utama untuk mengetahui pengaturan dan dasar pemikiran kebijakan penyederhanaan partai, akibat hukum dalam pelaksanaannya terhadap partai politik dan sistem kepartaian dan batasan-batasannya sehingga tetap sesuai dengan amanat UUD 1945. Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode penelitian hukum normatif, melalui studi kepustakaan, dan membandingkan perundang-undangan yang berlaku dengan permasalahan yang terkait, kemudian dengan asas-asas hukum atau doktrin yang ada, serta memperhatikan praktek yang terjadi sebagai sebuah kajian terhadap sejarah hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan sistem multi partai sederhana sebagai salah satu upaya memperkuat stabilitas sistem pemerintahan presidensiil dan juga untuk mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional, menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai. Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik yaitu melalui persyaratan kualitatif dan kuantitatif pembentukan dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, persyaratan kualitatif dan kuantitatif serta persyaratan ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) bagi partai untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum dan juga persyaratan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) sebagai syarat untuk dapat menempatkan kursi di DPR. Akibat hukum kebijakan penyederhanaan partai politik bagi partai politik adalah : 1) Partai Politik tidak mendapat status badan, 2) Partai Politik tidak dapat menjadi peserta pemilu dan 3). Partai Politik tidak dapat memperoleh kursi di DPR. Meskipun terjadi penurunan jumlah partai politik yang diakui sebagai badan hukum dan parpol yang dapat mengikuti pemilu, namun dari pemilu 2004 sampai 2009, masih menciptakan sistem multipartai ekstrim. Namun demikian, Pemberlakuan kebijakan Parliamentary Threshold telah sedikit menurunkan Nilai ENPP (jumlah efektif partai di Parlemen) yang semula pada tahun 2004 bernilai 7.07 menjadi 6.47. Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945 dan Pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang, namun demikian terdapat prinsip-prinsip yang harus dipedomani dalam pengaturan kebijakan tersebut, yaitu : prinsip demokratis, Rasional dan Non Diskriminatif. Kata Kunci : Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik, Sistem Multipartai Sederhana, Konstitusionalitas.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
ABSTRACT
Name : Rika Anggraini Study Program : Constitutional Law Title : Political Party Simplification Policy in Indonesia :
Towards Moderate Multiparty System, Post-Reform, 1998-2012
This thesis discusses Political Party Simplification Policy Towards Moderate Multiparty System in Indonesia Post-Reform, with main objective figuring out the arrangement and underlining idea at party Simplification, legal implication at its implementation on political parties and party system and its boundaries in keeping in line with the mandate of 1945 Constitution. The research was conducted using the method of normative legal research, literature study, and comparing applicable legislation to the associated problems, then with the principles of existing law or doctrine, and with regard to current practices as a study of the history of law. The results of this study demonstrate that the Political Party Simplification Policy Post-Reform in Indonesia aims to realize a simple multi-party system in an effort to strengthen the stability of the presidential system of government and also to create a political party as a national organization, promoting national integrity and strengthen the parties institutionallity. Manifestation of the simplification policies of political parties is through qualitative and quantitative terms in founding and registrating political parties as a legal entity, as well as qualitative and quantitative threshold requirement of seats (electoral threshold) for the party to take part in the elections and voting threshold requirement (parliamentary threshold) as a requirement to be able to put the seats in Parliament. The legal consequences of simplification policies of political parties are : 1) Political parties do not get the status of the legal body, 2) political parties do not take part in the elections and 3). Political parties can not gain seats in the House. Despite the decline in the number of political parties which are recognized as legal entities and political parties to follow the election, but the election of 2004 to 2009, it still creates extreme multiparty system. However, the policy Parliamentary Threshold enforcement lowered ENPP Value (effective number of parties in parliament) which was originally worth 7.07 in 2004 to 6.47 in 2009. Simplification policy do not conflict with the 1945 Constitution, simplification policy is an implementation of Article 28 of the 1945 Constitution and legal policy options of the former act. However, there are principles that should be followed in setting the policy, namely : democratic principle, rationality and non-discriminatory
Key Words :
Political Party Simplification Policy, Moderate Multiparty System, constitutionality.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii KATA PENGANTAR ............................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................................. v ABSTRAK ................................................................................................................. vi ABSTRACT ............................................................................................................... vii DAFTAR ISI .............................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xii DAFTAR BAGAN .................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 8 1.3. Tujuan ......................................................................................................... 9 1.4. Kerangka Teori............................................................................................ 9
1.4.1. Demokrasi dan Negara Hukum ........................................................ 9 1.4.2. Teori Kedaulatan Rakyat .................................................................. 13 1.4.3. Sistem Kepartaian ............................................................................. 17 1.4.4. Peradilan Konstitusi ......................................................................... 21
1.5. Kerangka Konsep ........................................................................................ 23 1.5.1. Partai Politik ..................................................................................... 23 1.5.2. Sistem Multipartai Sederhana ........................................................... 24 1.5.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik ......................................... 26 1.5.4. Kurun Waktu Pasca Reformasi ......................................................... 28
1.6. Metode Penelitian........................................................................................ 28 1.7. Sistematika Penulisan ................................................................................. 31
BAB II PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN SISTEM
MULTIPARTAI SEDERHANA 2.1. Partai Politik ................................................................................................ 34
2.1.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik ............................................... 34 2.1.2. Fungsi Partai Politik ......................................................................... 36 2.1.3. Klasifikasi Partai Politik ................................................................... 40
2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara ................... 40 2.2.1. Pengaturan Partai Politik dalam Peraturan Perundang-Undangan ... 40 2.2.2. Praktek Pengaturan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai
Negara ............................................................................................... 47 2.2.2.1. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Rusia ........... 48 2.2.2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Republik
Ceko ................................................................................... 49 2.2.2.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Jerman ......... 49 2.2.2.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Negara
Lainnya .............................................................................. 51
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2.2.3. Pedoman dan Prinsip Dasar Pengaturan Partai Politik ..................... 54 2.3. Konsep Sistem Multipartai Sederhana ........................................................ 59 2.4. Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara .............. 64
2.4.1. Sistem Multipartai Sederhana di Rusia ............................................ 65 2.4.2. Sistem Multipartai Sederhana di Republik Ceko ............................. 68 2.4.3. Sistem Multipartai Sederhana di Jerman .......................................... 71
2.5. Analisis Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara 74
BAB III PENGATURAN KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA PASCA
REFORMASI 3.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik dan Kebijakan Penyederhanaan
Partai Politik di Indonesia ........................................................................... 75 3.2. Partai Politik Pada Masa Pasca Reformasi ................................................. 80 3.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Partai
Politik Pasca Reformasi .............................................................................. 82 3.3.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Pendirian dan Pendaftaran
Partai Politik sebagai Badan Hukum ................................................ 83 3.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Pemilihan
Umum Paca Reformasi ............................................................................... 99 3.4.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Partai Politik sebagai
Peserta Pemilu .................................................................................. 99 3.4.2. Persyaratan Electoral Threshold dan Parliamentary Thershold
bagi Partai Politik sebagai Peserta Pemilu ....................................... 102 3.5. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi ......................................... 105
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI
POLITIK DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA
4.1. Tujuan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi. ................................................................................................... 112
4.2. Perwujudan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik ............................... 117 4.2.1. Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik sebagai
Badan Hukum ................................................................................... 117 4.2.2. Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu dan Electoral
Threshold .......................................................................................... 128 4.2.3. Persyaratan Partai Politik untuk Menempatkan Wakilnya di DPR
(Parliamentary Threshold) ................................................................ 132 4.3. Tahapan Kebijakan Penyederhanaan .......................................................... 133 4.4. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap Partai
Politik .......................................................................................................... 135 4.4.1. Partai Politik Tidak Diakui sebagai Badan Hukum .......................... 136 4.4.2. Partai Politik tidak dapat Menjadi Peserta Pemilihan Umum. ......... 141 4.4.3. Partai Politik tidak dapat Menempatkan Wakilnya di DPR ............. 147 4.4.4. Penggabungan Partai Politik ............................................................. 147
4.5. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap pembentukan sistem Multipartai Sederhana .............................................. 149
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB V JUDICIAL REVIEW PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK
5.1. Judicial Review Ketentuan tentang Syarat Minimal Kepengurusan bagi Pendaftaran Partai Politik ............................................................................... 152
5.1.1. Pemohon dan Ketentuan yang diuji .................................................. 152 5.1.2. Pendapat Pemerintah ........................................................................ 153 5.1.3. Pendapat Mahkamah Konstitusi ....................................................... 154
5.2. Judicial Review Ketentuan tentang Electoral Threshold .............................. 155 5.2.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji .................................................... 156 5.2.2. Pendapat Pemerintah ........................................................................... 158 5.2.3. Pendapat DPR ...................................................................................... 159 5.2.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi ...................................... 161
5.3. Judicial Review Ketentuan tentang Persyaratan bagi Partai Politik untuk Mengikuti Pemilu Tahun 2009 ...................................................................... 163 5.3.1. Pemohon .............................................................................................. 163 5.3.2. Alasan/Kerugian Konstitusional Pemohon ......................................... 164 5.3.3. Penjelasan Pemerintah ......................................................................... 166 5.3.4. Pendapat DPR ...................................................................................... 166 5.3.5. Pendapat Mahkamah Konstitusi .......................................................... 167
5.4. Judicial Review Ketentuang tentang Parliamentary Threshold .................... 168 5.4.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji .................................................... 168 5.4.2. Pendapat Pemerintah ........................................................................... 170 5.4.3. Pendapat DPR ...................................................................................... 172 5.4.4. Pendapat Mahkamah Konstitusi .......................................................... 173
5.5. Judicial Review Ketentuan Tentang Kewajiban Partai Politik agar tetap Diakui Sebagai Badan Hukum ....................................................................... 174 5.5.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji .................................................... 174 5.5.2. Alasan/Kerugian Konstitusionalitas Pemohon ................................... 175 5.5.3. Pendapat Pemerintah ........................................................................... 176 5.5.4. Pendapat DPR ...................................................................................... 177 5.5.5. Pendapat Mahkamah Konstitusi .......................................................... 178
5.6. Judicial Review tentang Ketentuan Persyaratan Pendirian Partai Politik ...... 179 5.6.1. Pemohon .............................................................................................. 179 5.6.2. Alasan/Kerugian Konstitusionalitas Pemohon ................................... 179 5.6.3. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi ...................................... 181
5.7. Judicial Review Ketentuan mengenai Syarat Partai Politik sebagai Peserta Pemilu ............................................................................................................ 183 5.7.1. Pemohon .............................................................................................. 183 5.7.2. Alasan/Kerugian Konstitusionalitas Pemohon ................................... 185 5.7.3. Pendapat Pemerintah ........................................................................... 187 5.7.4. Pendapat DPR ...................................................................................... 188 5.7.5. Pendapat Mahkamah Konstitusi .......................................................... 190
5.8. Konstitusionalitas Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik ........................ 195
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.8.1. Pengaturan dan Persyaratan dalam Undang-Undang Partai Politik Merupakan Pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 ..................................... 197
5.8.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik adalah Pilihan Kebijakan (Legal Policy) Pembentuk Undang-Undang........................................ 198
5.9. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik ......... 199 BAB VI PENUTUP
6.1. Simpulan ..................................................................................................... 203 6.2. Saran ............................................................................................................ 205
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 207 A. Buku ..................................................................................................................... 207 B. Artikel .................................................................................................................. 212 C. Majalah Ilmiah ..................................................................................................... 213 D. Surat Kabar........................................................................................................... 213 E. Tesis/Disertasi dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan ................................... 213 F. Kasus Pengadilan ................................................................................................. 214 G. Internet ................................................................................................................. 215 H. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-Undangan ........................................ 218
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perdebatan Normatif : Kelebihan dan Kekurangan Sistem Dwi- Partai dan Sistem Multipartai ............................................................................. 60
Tabel 2.1 Negara dengan E (ENVP) antara 3 sampai 5 ........................................... 64 Tabel 2.2 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2003 di Rusia ................... 65 Tabel 2.3 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2007 di Rusia ................... 66 Tabel 2.4 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2011 di Rusia ................... 67 Tabel 2.5 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1998 di Republik Ceko .... 69 Tabel 2.6 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Republik Ceko .... 69 Tabel 2.7 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2006 di Republik Ceko .... 71 Tabel 2.8 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Republik Jerman 72 Tabel 2.9 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2005 di Republik Jerman 72 Tabel 2.10 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2009 di Republik Jerman
................................................................................................................... 73 Tabel 3.1 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1999 di Indonesia ............ 106 Tabel 3.2 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2004 di Indonesia ............ 109 Tabel 3.3 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2009 di Indonesia ............ 110 Tabel 4.1 Persyaratan/Pembatasan Pembentukan Partai Politik............................... 119 Tabel 4.2 Persyaratan Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum ................ 122 Tabel 4.3 Persyaratan Pendirian Partai Politik di Beberapa Negara ........................ 125 Tabel 4.4 Pengelolaan Keuangan Partai Politik ....................................................... 127 Tabel 4.5 Persyaratan Partai Politik untuk Menjadi Peserta Pemilihan Umum ....... 129 Tabel 4.6 Ketentuan Ambang Batas (Parliamentary Threshold) ............................. 133 Tabel 4.7 Jumlah Partai Politik dan yang Memperoleh Status Badan Hukum ........ 140 Tabel 4.8 Jumlah Partai Politik yang Tidak Lolos Persyaratan Sebagai Peserta
Pemilihan Umum ....................................................................................... 146 Tabel 4.9. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi ..................................... 151
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Rantai Hubungan Warga dan Partai Politik .............................................. 39
Bagan 4.1. Tahapan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik .............. 135
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebijakan penyederhanaan partai politik dalam mewujudkan sistem
multipartai sederhana dapat dilakukan sepanjang kebijakan tersebut
konstitusional, demokratis, rasional dan non diskriminatif. Kebijakan
penyederhanaan partai politik sebagai salah satu upaya untuk menciptakan sistem
kepartaian dan sistem pemerintahan presidensial yang stabil, harus tetap
menghormati hak-hak konstitusional yang dimiliki oleh partai politik. Perwujudan
kebijakan penyederhanaan partai politik dilaksanakan melalui pembatasan-
pembatasan yang diterapkan mulai dari persyaratan pembentukan partai politik
sebagai badan hukum, persyaratan partai politik sebagai peserta pemilihan umum
dan persyaratan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) bagi
partai politik untuk dapat menempatkan wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR).
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa partai politik di satu sisi,
mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap
sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis
antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.1 Menurut
Schattscheider (1942), “political parties created democracy” partai politiklah
yang menciptakan demokrasi, bukan sebaliknya. Partai politik merupakan pilar
atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat
perlembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik
yang demokratis. Derajat perlembagaan partai politik itu sangat menentukan
kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara.2
1 Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta 2006. hal 153. Pentingnya pelembagaan partai politik dikemukakan juga oleh Kenneth Wollack yang menyatakan bahwa Demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan berkelanjutan dengan kapasitas untuk mewakili warga negara dan memberikan pilihan kebijakan yang menunjukkan kemampuan mereka untuk memerintah bagi kepentingan umum. Kenneth Wollack kata pengantar dalam Kenneth Janda. Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical Perspectives. Adopting Party Law. National Democratic Institute For International Affairs.Washington DC. 2005. hal1
2 Jimly Asshiddiqie. “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”. PT
Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta. 2007. hal 710
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai politik merupakan cermin kemerdekaan berserikat (freedom of association)
dan berkumpul (freedom of assembly) sebagai perwujudan adanya kemerdekaan
berfikir dan berpendapat (freedom of thought) serta kebebasan berekspresi
(freedom of expression). Oleh karena itu, kemerdekaan berserikat sangat
dilindungi oleh setiap undang-undang dasar negara demokrasi konstitusional
(constitutional democracy), atau negara hukum yang demokratis (democratische
rechtsstaat).3
Partai politik di Indonesia merupakan bagian dari kehidupan politik
selama kurang lebih seratus tahun.4 Partai politik pertama-tama lahir dalam
zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam
kenyataannya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai mengalami
kesukaran untuk bersatu dan membentuk satu front untuk menghadapi pemerintah
kolonial yang berlangsung sampai pendudukan jepang. Pola kepartaian yang telah
terbentuk di zaman kolonial ini kemudian dilanjutkan menjadi landasan untuk
terbentuknya pola sistem multi partai di zaman kemerdekaan.5 Maklumat
Pemerintah Nomor X Pada 3 November 1945 Tentang Anjuran Pemerintah
Tentang Pembentukan Partai-Partai Politik, merupakan titik awal terbentuknya
sistem multipartai di Indonesia.6
Namun, dalam sejarah, sistem multi partai ini tidaklah disukai karena
Banyaknya partai politik dipandang merupakan salah satu masalah yang
menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan munculnya perpecahan bangsa.
Salah satu peristiwa yang ditunjuk sebagai bukti perpecahan adalah dalam forum
Konstituante yang hingga 1959 tidak dapat menyelesaikan tugasnya membentuk
3 Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Sekretariat Jenderal
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta. 2006. hal 338 4 Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik”. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta. 2010. hal 422. 5 Ibid hal 424. Daniel Dakhidae menyimpulkan bahwa karakter politik diawal kemerdekaan dilingkupi oleh
semangat untuk menegakkan aspirasi rakyat, sebagai respon dari penjajahan terutama fasisme Jepang. (Dhaniel Dakhidae. Partai-partai politik Indonesia: ideologi, strategi, dan program dalam Jurnal Penelitian Politik vol 4 Nomor 1. 2007. hal 52
6 Hanta Yuda HR. Presidensialisme Setengah Hati. Dari Dilema ke Kompromi. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta 2010. hal 101
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
konstitusi. Hal itu terjadi karena perbedaan mendasar tentang dasar negara Islam
dan Pancasila yang tidak menemukan titik temu. Bahkan pada saat diusulkan oleh
pemerintah untuk kembali pada UUD 1945 pun tidak menemukan titik temu
apakah harus dengan perubahan atau tanpa perubahan.7
Pada masa demokrasi Terpimpin, ketidakstabilan pemerintah ini
menimbulkan prinsip penyederhanaan partai dengan mengurangi jumlah partai
politik. Presiden kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959
tanggal 31 Desember 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai.
Penyederhanaan partai politik terulang pada masa orde baru di bawah
kepemimpinan Presiden Soeharto dengan cara yang sedikit banyak radikal, di
muka sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto mengumumkan
sarannya agar partai mengelompokkan diri untuk mempermudah kampanye
pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau dibubarkan
sama sekali.8
Runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, memberi pengaruh terhadap
kehidupan partai politik di Indonesia. Reformasi undang-undang politik, terutama
Undang-Undang tentang Partai Politik, merobohkan batasan tentang jumlah partai
politik dan memperbolehkan pendirian partai-partai baru yang cukup banyak.9
Pada masa pasca reformasi, sejak tahun 2004, sistem partai di Indonesia bergeser
dari sistem multipartai moderat/sederhana ke sistem multipartai ekstrim.10
Kembalinya Sistem multipartai ekstrim di Indonesia pada masa setelah reformasi
dinyatakan pula oleh Herman dalam tesisnya, yaitu bahwa hasil pemilu tahun
7 Adnan Buyung Nasution. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio Legal atas Konstituante. Dalam Muhammad Ali Saafat. Pembubaran Partai Politik. Universitas Indonesia. Jakarta. 2009. hal 133. Badan konstituante disusun berdasarkan hasil Pemilu 1955, dengan empat partai besar penyusunnya yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. badan konstituante bersidang untuk membentuk UUD baru. Namun demikian sidang-sidang selama lima tahun gagal untuk membentuk UUD baru, sehingga Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden Tahun 1959 yang isinya membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945.(M. Nasruddin Anshoriy Ch, Djunaidi Tjakrawerdaya. Rekam jejak dokter pejuang & pelopor kebangkitan nasional. LKIS 2008 hal 114).
8 Miriam Budiardjo. Op cit. 2010. hal 445 9 Chris Maning dan Peter Van Diermen. Indonesia di Tengah Transisi. Aspek-Aspek Sosial
Reformasi dan Krisis. Judul Asli : Indonesia In Transition, Social Aspect of Reformasi and Crisis. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. 2000. hal 314
10 Jungug Choi. Votes, Party Systems and Democracy in Asia. Routledge. 2012 hal 21
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
1999 menghasilkan bentuk sistem multipartai moderat dan berubah menjadi
sistem multipartai ekstrim pada pemilu 2004.11
Seperti yang dikemukakan Scot Mainwarring, Pada kenyataannnya,
kombinasi antara sistem multipartai dan sistem pemerintahan presidential,
merupakan kombinasi yang buruk. Tidak ada dari 31 negara dengan demokrasi
yang stabil mempunyai konfigurasi institusi sistem presidensiil multipartai, hanya
terdapat satu contoh sejarah, yaitu Chili dari tahun 1933 sampai dengan 1973
yang memiliki sistem tersebut.12
Scott mainwarring dalam studinya menyatakan bahwa :13
There are three reasons why this institutional combination is problematic. First, multiparty presidentialism is especially likely to produce immobilizing executive/legislative deadlock, and such can destabilize democracy. Second, multipartism is more likely than bipartism to produce ideological polarization, thereby complicating problems often associated with presidentialims. Finally, the combination of presidentialism and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition building in presidential democracies, with delecterious consequences for democratic stability.
Upaya penyederhanaan partai politik dalam praktik pasca reformasi
dituangkan dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Partai Politik dan
Pemilihan Umum. Pengaturan undang-undang tersebut bertujuan untuk mencapai
sistem multipartai sederhana, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik14, yaitu :
Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana.
11 Herman. Sistem Kepartaian di Indonesia dilihat dari Model Laakso-Taagepera dan Indeks Rae dan Kaitannya dengan Ketahanan Nasional. Program Kajian Strategik Ketahanan Nasional. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta. 2009
12 Scott P Mainwarring. Presidentialism, Multipartism, and Democracy. The Difficult
Combination. Comparative Political Studies. Vol 26 Nomor 2. Sage Publications. 1993. hal 199
13 Ibid. hal 198 14 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Upaya penyederhanaanpun terus berlanjut seiring perubahan Undang-Undang
tentang Partai Politik, berturut-turut sejak Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik.
Akibat hukum diterapkannya berbagai aturan dalam upaya
penyederhanaan partai politik salah satunya adalah tidak lolosnya 13 partai dalam
mengikuti verifikasi partai politik oleh Kementerian Hukum dan HAM sesuai
dengan persyaratan yang diamanatkan oleh undang-undang Nomor 2 tahun
2011.15 Praktek lainnya dalam usaha mengurangi jumlah partai adalah ditentukan
juga persyaratan electoral threshold yaitu keadaan yang harus dipenuhi oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang boleh mengikuti pemilihan
legislatif dan juga pemilihan presiden dan wakil presiden.16 Ketentuan Electoral
Threshold kemudian dirubah dengan kebijakan Parliamentary Threshold.
Sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, polemik tentang penyederhanaan
partai politik kembali mencuat ke permukaan. Materi perdebatan adalah soal
ketentuan Parliamentary Thershold.17
Kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia telah menimbulkan
pro dan kontra. Setiap kebijakan mengenai pembatasan dan penyederhanaan partai
politik hampir dapat dipastikan mendapat perlawanan dari masyarakat terutama
dari pihak partai-partai kecil yang mengalami akibat hukum langsung dari
kebijakan penyederhanaan tersebut. Pada tanggal 25 Mei 2011, sekelompok
masyarakat yang bermaksud hendak mendirikan partai mengajukan judicial
review Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang baru saja disahkan
karena dinilai menghambat dan membatasi hak seseorang untuk mendirikan
15 Kementerian Hukum dan HAM. Menkumham Umumkan Verifikasi Parpol. http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/472-menkumham-umumkan-verifikasi-parpol. [3 Januari 2012].
16 Ibid. hal 451 17 Sunny Ummul Firdaus. Relevansi Parliamentary Threshold terhadap Pelaksanaan Pemilu
yang Demokratis. Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 2 April 2010. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta, hal 93
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai.18 Sikap kontra juga dapat dilihat dengan berbagai judicial review undang-
undang partai politik dan pemilihan umum berkaitan dengan pasal-pasal yang
mengatur tentang pembatasan partai politik. Judicial review tersebut diantaranya
adalah Perkara Nomor 16/PUU-V/2007 yang diajukan oleh sekelompok partai
politik yang menentang pemberlakuan syarat Electoral Threshold dalam
Pemilihan Umum, Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009 yang menentang
pemberlakuan kebijakan Parliamentary Threshold serta Perkara Nomor 35/PUU-
IX/2011 yang diajukan oleh sekelompok orang yang menganggap peryaratan
pembentukan partai telah melanggar hak-hak konstitusional yang dijamin oleh
UUD 1945. Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) merupakan salah satu partai
yang tidak lolos verifikasi partai politik pasca diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik, menyatakan bahwa Peraturan Perundang-Undangan
yang pada dasarnya dibuat oleh koalisi kepentingan-kepentingan politik besar,
memang dimaksudkan untuk menghalangi terbentuknya partai politik baru. Inilah
pertanda betapa demokrasi sesungguhnya telah dibajak oleh kepentingan politik
oligarki yang berupaya untuk terus menguasai politik nasional, dan mengabaikan
hak-hak konstitusional rakyat.19
Kebijakan penyederhanaan partai politik, pada dasarnya, tidaklah boleh
melanggar hak-hak fundamental yang telah diberikan kepada partai politik. Partai
politik haruslah dilindungi sebagai sebuah penyatuan ekspresi dari hak individu-
individu untuk berserikat.20 Menurut Venice Commission, keseimbangan yang
tepat dari perundang-undangan yang mengatur partai politik sebagai aktor publik,
dan penghormatan kepada hak dasar dari partai politik sebagai warga negara,
termasuk haknya untuk berserikat memerlukan undang-undang yang disusun
18 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%2035-PUU-IX 2011%20TELAH%20BACA.pdf [2 Januari 2012]
19 Partai Serikat Rakyat Independen. Pernyataan Partai SRI terkait Hasil Verifikasi
Kemenkumham. http://srimulyani.net/2011 [4 Januari 2012]. 20 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Guidelines On
Political Party Regulation By Osce/Odihr And Venice Commission Adopted by the Venice Commission at its 84th Plenary Session (Venice, 15-16 October 2010). Hal 6
http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29024-e.asp [15 Juli 2012].
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dengan baik. Setiap undang-undang yang terkait dengan partai politik, tidaklah
boleh melanggar hak kebebasan untuk berserikat.21 Venice Commission
kemudian menyatakan bahwa partai politik di mana saja dijamin keberadaannya
oleh prinsip kebebasan berserikat.22
Party Activities Everywhere Are Guaranteed By The Principle Of Freedom Of Association
Sikap kontra dari masyarakat, instrumen hukum internasional dan
kecenderungan pembentukan partai kartel oleh partai yang berkuasa serta jaminan
hak-hak partai politik dalam UUD 1945 seperti yang telah diuraikan di atas, serta
keniscayaan multipartai bagi bangsa Indonesia yang majemuk akan dianalisa
dalam studi ini secara obyektif dengan mempergunakan teori-teori hukum guna
mendapatkan pemahaman bagaimana seharusnya memformulasikan kebijakan
penyederhanaan partai politik. Rambu-rambu yang akan digariskan dalam kajian
ini, diharapkan dapat menjadi masukan dalam menyusun kebijakan
penyederhanaan partai politik untuk mencapai sistem multipartai sederhana dan
juga untuk menciptakan stabilitas pemerintahan presidensiil.
Penelitian lain yang juga membahas tentang penyederhanaan partai politik
yang pernah dilakukan diantaranya adalah tesis Dadang Prayitna yang berjudul
Sistem Multipartai Sederhana : Kajian Terhadap Penerapan Electoral Threshold
dalam Proses Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia.23 namun tesis ini, hanya
menyoroti salah satu cara/perwujudan penyederhanaan partai politik yaitu
melalui kebijakan electoral threshold sebagai syarat partai politik untuk dapat
menjadi peserta pemilihan umum, sedangkan dalam penelitian ini akan mengkaji
cara-cara penyederhanaan partai politik secara menyeluruh mulai sejak pendirian
dan pembentukkan partai, syarat partai sebagai peserta pemilihan umum hingga
syarat partai politik untuk dapat menempatkan wakilnya di parlemen. Kajian ini
21 Ibid 22 Venice Commission. Guidelines on prohibition and dissolution of political parties and
analogous measures. Hal 2 http://www.osce.org/odihr/37820. [2 Juni 2012] 23 Dadang Prayitna. Sistem multi partai sederhana: Kajian terhadap penerapan electoral
threshold dalam proses penyederhanaan partai politik di Indonesia. Universitas Indonesia. Jakarta. 2006
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
juga akan membahas tentang prinsip-prinsip yang dapat dipedomani dalam
menyusun kebijakan penyederhanaan partai politik.
Penyederhanaan partai politik juga menjadi topik dalam skripsi Arif
Permana Putra yang berjudul Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Tahun
1960.24 Fokus penelitiannya adalah Penyederhanaan partai politik di Indonesia
tahun 1960 dan Pengaruh diberlakukannya penyederhanaan partai politik terhadap
stabilitas politik di Indonesia. beberapa kesimpulannya adalah penyederhanaan
pada masa itu merupakan upaya menciptakan stabilitas politik masa demokrasi
terpimpin dan dengan penyederhanaan partai politik, stabilitas terkesan semu,
karena partisipasi kekuatan politik tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Penelitian lain yang juga bersinggungan dengan kebijakan
penyederhanaan partai politik adalah disertasi Muchamad Ali Safa’at yang
berjudul Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum
dan Praktik Pembubaran Partai Politik (1959–2004),25 yang salah satu
kesimpulannya menyatakan bahwa Pengaturan partai politik di masa yang akan
datang bertujuan untuk menjamin dan melindungi kebebasan berserikat, sekaligus
melindungi kostitusi, kedaulatan negara, serta keamanan nasional. Pengaturan
partai politik sebaiknya dibuat dengan menggabungkan unsur-unsur dari
paradigma libertarian, political market, managerial, progressive, dan pluralist.
Pengaturan tersebut diharapkan dapat mewujudkan sistem kepartaian yang sesuai
dengan model demokrasi di Indonesia, yaitu sistem multipartai sederhana dengan
beberapa partai dominan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia
pasca reformasi?
24 Arif Permana Putra. Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Tahun 1960. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.Surakarta. 2009
25 Muchamad Ali Safa’at. Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum
dan Praktik Pembubaran Partai Politik (1959 – 2004). Fakultas Hukum Program Pascasarjana Jakarta. 2009
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2. Bagaimana akibat hukum pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik
pasca reformasi terhadap partai politik dan sistem kepartaian di Indonesia ?
3. Bagaimana konstitusionalitas penyusunan kebijakan penyederhanaan partai
politik di Indonesia?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia
pasca reformasi
2. Mengetahui akibat hukum pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik
pasca reformasi terhadap partai politik dan sistem kepartaian di Indonesia
3. Mengetahui konstitusionalitas penyusunan kebijakan penyederhanaan partai
politik di Indonesia
1.4. Kerangka Teori
Teori yang digunakan untuk menganalisis kebijakan penyederhanaan partai
politik adalah teori tentang kedaulatan rakyat, demokrasi, Teori Negara
Hukum dan teori tentang peradilan konstitusi.
1.4.1. Demokrasi dan Negara Hukum
Demokrasi awalnya ditemukan oleh Bangsa Yunani Kuno, sebagai yang
pertama menemukan ide tentang pembuatan keputusan kolektif dan
mengadopsinya ke dalam sistem pemerintahan. Fenomena demokrasi adalah
dimulai semenjak tahun 1970an, yang muncul sebagai gelombang pasang yang
nyata dari negara-negara yang masa lalunya bersifat otoriter atau totaliter dan
memandang masa depan yang penuh pengharapan26. Gelombang demokrasi
dimulai dari bagian Selatan Eropa (Yunani dan Spanyol), ke Amerika Latin
(Argentina, Chilie, Brazil, dan Uruguay), kemudian ke bagian Timur Eropa
(Polandia, Jerman Timur dan Hongaria) dan Afrika Selatan serta negara-negara
lainnya27.
26 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. 2008. hal 97
27 Ibid 97
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Dalam demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat dan rakyatlah yang
memerintah.28 Hal ini berbeda dengan bentuk pemerintahan lainnya seperti
pemerintahan otoriter maupun komunis, dimana kedaulatan dan kekuasaan berada
di satu orang atau disekelompok kecil orang. Masyarakat yang hidup di alam
demokrasi pada umumnya lebih memiliki kebebasan politik dibanding dengan
sistem pemerintahan lainnya.29 Demokrasi dimaknai juga sebagai pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Seperti pendapat Abraham Lincoln yang
menyatakan bahwa :30
Government of the People, by the people and of the people shall not perish from the earth.
Syarat-syarat negara demokrasi yang dinyatakan oleh Robert Dahl sebagaimana
dikutip oleh Arend Lijpart adalah 31:
1. Kebebasan membentuk dan menjalankan organisasi
2. Kebebasan berekspresi
3. Hak memberikan suara
4. Eligibilitas menduduki jabatan publik
5. Adanya hak para pemimpin politik untuk bersaing secara sehat merebut
dukungan dan suara
6. Tersedianya sumber-sumber informasi alternatif
7. Adanya pemilihan umum yang bebas dan adil
8. Adanya institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada
suara-suara pemilih rakyat dan ekspresi pilihan politik lainnya.
Alex Wolf menyatakan bahwa kondisi ideal dari demokrasi adalah ketika
setiap orang mengambil bagian dalam setiap keputusan tentang hukum dan
kebijakan di suatu negara. Masyarakat mendatangi setiap pertemuan yang teratur
yang membahas setiap kebijakan dan melaksanakan voting sesuai dengan apa
28 Alex Woolf. Democracy. Evan Brothers Limited. London. 2007. Hal 4 29 Ibid. Hal 4 30 Sue Van Der Hok. Op.cit hal 10 31 Ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
yang diinginkan. Hal ini dinamakan direct democracy. Namun, saat ini bentuk
demokrasi langsung tidaklah sering dipraktekan, terutama di negara-negara yang
memiliki jutaan penduduk yang besar dan tidak punya cukup waktu untuk
mengikuti setiap isu-isu politik. Negara demokrasi moderen kemudian
mengadopsi sistem yang dikenal sebagai demokrasi perwakilan (Representative
democracy).32
Dalam demokrasi perwakilan, rakyat memilih perwakilannya untuk
membuat keputusan sesuai dengan kepentingannya. Setiap beberapa tahun,
pemilihan umum diselenggarakan dan rakyat mendapatkan kesempatan untuk
memilih perwakilannya. Calon perwakilan (candidate) pada pemilihan ini
biasanya berasal dari Partai Politik.33
Adam Perzweroski dan Jose Maria Maraval mengemukakan bahwa
Demokrasi yang murni (Pure Democracy) adalah kondisi ideal dimana tidak ada
elemen-elemen yang bersifat oligarki. Kondisi utopis ini tidaklah pernah benar-
benar terwujud dalam kenyataannya. Yang ada adalah demokrasi yang parsial dan
dapat diputarbalikkan. 34
Dalam proses pengambilan keputusan dalam negara demokrasi
mengandung kelemahan yaitu terlalu mengandalkan prinsip suara mayoritas,
padahal mayoritas suara belum tentu mencerminkan kebenaran dan keadilan.
Untuk itu pengambilan keputusan haruslah diimbangi dengan prinsip keadilan,
nomokrasi atau the rule of law (prinsip negara hukum).35
Demokrasi, legitimasi dan Rule of Law adalah tiga komponen penting dari
konsep good governance, Namun demikian, variable-variabel ini tidaklah bisa
berjalan sendiri-sendiri. Pemilu yang bebas dan adil tidak selalu dapat melindungi
32 Alex Wolf. Op cit. hal 5 James Madison, presiden ke empat Amerika Serikat menyatakan bahwa demokrasi langsung (pure democracy) ada dimasyarakat dalam jumlah yang kecil yang berkumpul dan menjalankan pemerintahan dalam orang perorang. Sebagian besar demokrasi berbentuk demokrasi perwakilan (representative democracy), dimana rakyat memilih perwakilannya sesuai dengan kehendaknya (Sue Van Der Hok. Op cit. hal 11)
33 Alex Wolf. Op.cit. Democracy. hal 5 34 Adam Perzweroski dan Jose Mar ia Maraval. Democracy and The Rule of Law. The Press
Syndicate of The University of Cambridge. Cambridge. 2003. hal 37 35 Jimly Asshiddiqie. op.cit (2). hal 146
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
terhadap korupsi dari proses legislatif. Demokrasi mayoritas tidak selalu dapat
melindungi minoritas dari penindasan. Supremasi Yudisial memiliki potensi
untuk membentuk otokrasi elitis serta untuk melindungi kebebasan dasar. Ketiga
variable ini dapat bekerja maksimal membentuk pemerintahan yang ideal hanya
jika ketika ketiga dikerahkan secara bersamaan. Pemerintahan yang ideal tidak
hanya menuntut bahwa ketiga elemen digunakan secara bersamaan, tetapi dengan
proporsi yang seimbang.36
Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat dan negara. Terdapat 12 prinsip-prinsip penting baru
untuk mewujudkan negara hukum sebagai pilar-pilar utama yang menyangga
berdirinya negara hukum yaitu :37
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
2. Persamaan dalam Hukum (Equality Before The Law)
3. Asas Legalitas (Due Process of Law)
4. Pembatasan Kekuasaan
5. Organ-Organ Penunjang yang Independen
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
7. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court)
8. Perlindungan Hak Asasi Manusia
9. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat)
10. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtstaat)
11. Transparansi dan Kontrol Sosial
Perkembangan prinsip negara hukum tersebut dipengaruhi oleh semakin
kuatnya penerimaan paham kedaulatan rakyat dan demokrasi dalam kehidupan
bernegara menggantikan model-model negara tradisional.38 Prinsip-prinsip negara
hukum dan prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dijalankan secara beriringan
36 Thomas M. Franck Democracy, Legitimacy, and the Rule of Law. Abstract. An International Symposium co-sponsored by the Library of Congress and the New York University School of Law March 7-10, 2000. http://www.loc.gov/bicentennial/abstracts_franck.html [3 Juli 2012]
37 Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. PT. Bhuana Ilmu Populer.
Jakarta. 2009. hal 397 38 Ibid hal 398
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum yang demikian dikenal
dengan negara hukum yang demokratis (democratische rechtstaat) atau dalam
bentuk konstisional disebut constitutional democracy. Hukum dibangun dan
ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat,
ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan
semata (machtstaat). Sebaliknya demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum.
Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah
munculnya mobokrasi yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri.39
Menurut Jamil Junejo Demokrasi memiliki arti yang lebih dari sekedar
lembaga perwakilan yang berfungsi efektif. Demokrasi berarti menjunjung tinggi
prinsip-prinsip dasar khususnya rule of law dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Rule of law dan persamaan di depan hukum adalah platform dimana
bangunan demokrasi bertumpu. Menghormati hak asasi manusia sangat penting
bagi berdirinya bangunan demokrasi. Bahkan, terdapat hubungan simbiosis antara
hak asasi dan demokrasi yaitu : hak asasi manusia diperlukan untuk berfungsinya
demokrasi, dan demokrasi yang berfungsi sangat penting untuk menjamin
penikmatan penuh hak asasi manusia.40
1.4.2. Teori Kedaulatan Rakyat
Istilah kedaulatan lazimnya dipahami berasal dari terjemahan kata-kata
seperti sovereignity, soverainette, sovereigniteit, souvereyen, superanus, summa
potestas, maiestas (Majesty) yang diadopsi dari bahasa Jerman, Perancis dan
Belanda yang banyak dipengaruhi oleh Bahasa Latin. Semua perkataan ini
menunjukkan kepada pengertian kekuasaan tertinggi dalam atau dari suatu negara
yang dalam Bahasa Inggris disebut sovereignity (kedaulatan).41 Akan tetapi, akar
kata kedaulatan sendiri berasal dari Bahasa Arab dari akar kata ‘daulat atau
dulatan’ yang dalam makna klasik artinya pergantian atau peredaran. Pengertian
kedaulatan dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai
39 Ibid hal 389 40 Jamil Junejo. Human Rights, Rule of Law and Democracy Training Manual . Center for Peace
and Civil Society. 2010. hal 59 41 Jimly Asshiddiqie. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Gema Insani Press. Jakarta. 1995. Hal 9
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
kekuasaan tertinggi yang di dalamnya sekaligus mengandung dimensi waktu dan
proses peralihannya sebagai fenomena yang bersifa alamiah.42
Paulina Ochoa Espezo, mendefinisikan kedaulatan rakyat sebagai paham
yang memaknai bahwa keinginan rakyat merupakan kekuasaan tertinggi dalam
negara.43
Popular Sovereignity is the contention that the unified will of the people is the supreme authority in the state.
Jauh sebelumnya, masyarakat Yunani Kuno telah dikenal sebagai
masyarakat demokratis pertama, pemerintahannya disebut demokratia yang
berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti aturan.44
Namun sistem tersebut berubah ketika munculnya Peradaban Romawi
yang telah mewariskan hukum dan tertib hukum. Romawi menjelma menjadi
masyarakat militer yang serakah terhadap tanah dan menjadi agen utama dalam
penyebaran bahasa Latin, pemerintahan militer dan sistem hukumnya ke dunia
barat. Negara berbentuk patriarki dimana Raja sebagai Kepala Keluarga.45
Perlawanan rakyat terhadap kekuasaan raja yang mutlak kemudian memunculkan
Teori tentang kedaulatan rakyat.46
Pada tahun 1712-78 Filsuf Perancis Jean Jacques Rosseau
memformulasikan teori tentang kedaulatan rakyat yang merupakan respon secara
radikal terhadap konflik sosial yang terjadi, pembagian dan ketidaksetaraan yang
menjadi karakteristik dan merusak negara-negara Eropa pada pertengahan abad ke
42 Ibid. Hal 11 43 Paulina Ochoa Espezo. The Time of Popular Sovereignity : Process and Democratic State. The
Pennsylvania State University Press. United State Of America. 2011. hal 3 44 Sue Vander Hok. Democracy. ABDO. Publishing Company. Minnesota. 2011. hal 8 45 Hal yang sama terjadi di Rusia sampai tergulingnya Chzar pada tahun 1918, kerajaan
menguasai negara secara mutlak. Kaisar Agustus pada awal abad 31 SM mencanangkan bentuk baru dari pajak, sistem pengadilan yang terpusat dan juga pemerintahan otonomi lokal. Raja menghukum berat para gubernur karena korupsi dan pemerasan serta menghukum sistem pertanian kuno dengan pajak kolektif dan sistem ini diadopsi oleh Raja Perancis dan Czars dan membuat mereka semakin sewenang-wenang.45 Para filsuf kemudian mencari pemahaman untuk mencari pembenaran mengenai kekuasaan raja dan hak-hak manusia. (Ibid. hal 9)
46 Jimly Asshiddiqie. Op.cit (2), hal 145
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
18.47 Teorinya dianggap sebagai pengganti dan penyempurna dari teori-teori
sebelumnya yang dikemukakan oleh Hobes dan Locke yang merupakan pemikir
paham kebebasan dengan melindungi hak-hak individu. John Lock
mengemukakan bahwa manusia terlahir secara bebas, sederajat dan merdeka dan
tidak ada kekuatan politik yang dapat menghilangkan hak-hak kebebasannya
tanpa adanya persetujuan dari individu48.
Men being, as he said, by nature all free, equal and independent, no one can be put out of this estate and subjected the political power of another without his own consent.
Seperti halnya Hobes dan Locke, Rosseau berusaha untuk mencari solusi terhadap
permasalahan teori politik barat tentang ketegangan antara Kebebasan Individual
(individual freedom) dengan kebutuhan akan ketertiban sosial dan kewenangan
kolektif.49 Locke mengajarkan bahwa kekuasaan bersifat terbatas dan bergantung
pada kehendak rakyat, manusia memiliki hak-hak yang dibawa sejak lahir ada
pada saat manusia ada, yaitu hak untuk hidup, kebebasan dan kemakmuran, dan
negara berfungsi untuk melindunginya. Rosseau menyempurnakan teori Locke
dengan menyatakan bahwa manusia membentuk kontrak sosial yang diselesaikan
secara individual dan kolektif, yaitu dengan cara keinginan individu bergabung
menjadi kehendak bersama yang terbaik untuk semua.50 Harold E Rogers
menyatakan bahwa pemikiran Rosseau adalah dasar pemikiran yang
menginspirasi demokrasi modern yaitu hak-hak yang sama dalam kebebasan dan
revolusi Perancis adalah puncak dari runtuhnya kekuasaan yang absolut.51
47 Tudor Jones. Modern Political Thinkers and Ideas : An Historical Introduction. Routledge. New York. 2002. hal 25
48 John Lock The Second Treatise of Government, dalam Satya Arinanto. Politik Hukum I.
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. 2001. hal 3. 49 Ibid hal 25 50 R.S Chaurasia. History of Western Political Thought. Atlantic Publisher and Distributors. New
Delhi. 2001. hal 326 51 Hobes, Locke dan Rosseau merupakan para filsuf tentang Kontrak Sosial (Social Contract),
tetapi hobes lebih unggul tentang konsep pemerintahan yang absolute, locke mendukung pemerintahan liberal yang mempengaruhi revolusi di Amerika dan Italia dan membela revolusi Inggris tahun 1688, locke unggul dalam konsep kedaulatan rakyat (popular sovereignity) yang membawa ke revolusi Perancis dan pemikiran atas Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776. Rosseau unggul dalam konsep kebebasan dan demokrasi dan idenya mempengaruhi refolusi
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pemikiran tentang hak-hak dasar manusia dan kebebasan diadopsi dan
diterima secara global dengan ditetapkannya dalam The Universal Declaration of
Human Rights, oleh United Nation pada 10 Desember 1948 yang merupakan hasil
dari pengalaman Perang Dunia Ke II. Masyarakat internasional berjanji tidak
pernah lagi untuk membiarkan kekejaman dan konflik dan menjamin hak-hak
setiap individu di manapun berada. 52
Artikle 1 The Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa:
All human beings are born free and equal in dignity and rights.They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.
Hak-hak individu dan kebebasan semakin penting dimaknai oleh masyarakat
dunia sebagai hak-hak berpolitik dengan ditetapkannya International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) Pasca perang dunia ke –II. 53
Di Indonesia, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa dari segi internal atau
kedaulatan internal, dapat dikatakan bahwa UUD 1945 menganut paham
kedaulatan yang unik. UUD 1945 menggabungkan konsep kedaulatan rakyat,
kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan secara sekaligus.54 Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 menyatakan bahwa :
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”
Ketentuan ini mencerminkan bahwa UUD 1945 menganut kedaulatan rakyat atau
demokrasi yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar atau
“constitutional democracy”. Sedangkan pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa :
“Negara Indonesia adalah negara hukum”
Perancis, dengan ide-ide Rosseau yang brilian, telah membawa Perancis mengalami revolusi pada tahun 1789. Harold E Rogers op cit. hal 10
52 The United Nations. The Universal Declaration of Human Rights.
http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml [ 23 Juli 2012] 53 Office of The United Nations High Commisioner for Human Rights. International Covenant
on Civil and Political Rights. http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm [23 Juli 2012] 54 Jimly Asshiddiqie. Op.cit (2) hal 149
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Inilah yang dimaksud dengan paham kedaulatan hukum yang pada pokoknya
menganut prinsip supremasi hukum. Hukumlah yang menjadi panglima tertinggi,
bukan politik ataupun ekonomi. Artinya baik konsep kedaulatan rakyat maupun
kedaulatan hukum sama-sama dianut oleh UUD 1945. Lebih lanjut Jimly
Asshiddiqie menjelaskan bahwa kedaulatan Tuhan juga dianut dalam UUD 1945
yang dapat dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945, bahwa perjuangan
kemerdekaan Indonesia dapat berhasil atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa
dan Kemerdekaan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dan dalam Pasal 9 ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 29 ayat
(1) dan (2) serta pada Pasal 28J UUD 1945.55
1.4.3. Sistem Kepartaian
Daniel Caramani mengartikan Sistem Partai sebagai sekumpulan partai
yang bersaing dan bekerja sama dengan tujuan meningkatkan kekuasaannya
dalam mengontrol pemerintahan.56
Party systems are sets of parties that compete and cooperate with the aim of increasing their power in controlling government
Sistem partai menurut William N Chamber adalah pola interaksi antara dua atau
lebih partai politik yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dalam
pemerintahan dan untuk mendapat dukungan dari para pemilih, sehingga
prilakunya perlu diperhitungkan dalam pemerintahan dan pemilihan umum.57
Tipologi sistem partai yang mudah dipahami dan pertama kali
dikemukakan oleh Duverger (1951). Sistem partai terdiri dari sistem partai
tunggal, sistem dua partai dan sistem multi partai. Pembagian ini cukup banyak
mendapat kritik dari para ahli lainnya karena dinilai terlalu sederhana. Beberapa
faktor yang tidak dapat dijelaskan oleh Duverger antara lain adalah bagaimana
internal partai mempengaruhi kompetisi dan kerjasama, ideologi partai dan
55 Ibid 56 Daniele Caramani, Comperative Politic. Oxford University Press. New York. 2008. hal 319 57 William N Chamber dalam Louis Sandy Maisel, Mark D Brewer.Parties and Election in
America : The Electoral Process. Rowman and Littlefield Publishing Group. Maryland. 2010. hal 15
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
kekuatannya.58 klasifikasi sistem partai kemudian berkembang antara tahun 1960-
an sampai dengan 1970an, para ahli mengembangkannya dengan alat analisis
yang brilian.59 klasifikasi sistem partai dikembangkan oleh Blondel (1968) yang
menambahkan sistem dua setengah partai (two and half party system). Sartori
(1966 : 1976) berkontribusi tidak hanya dalam aturan perhitungan, tetapi juga
kunci perbedaan antara plularisme moderat (moderate pluralism) dan pluralisme
terpolarisasi (polarized pluralism) yang merupakan klasifikasi dari Sartori
sebagaimana juga istilah lainnya yaitu multipartai moderat dan multipartai
ekstrim.60 para peneliti partai politik berkonsentrasi pada kesinambungan dan
perubahan dari sistem partai politik, menjauh dari Taksonomi yang direflesikan
tidak hanya pada efektivitas klasifikasi baru, tetapi juga pengembangan penelitan
tentang pengukuran yang mendalam seperti Rae’s (1967) Fraksionalisasi (Fe),
Laakso and Taagepera’s (1979) Effective Number of Political Parties (N or ENEP
and ENPP) dan Molinar (1991) NP.61
Caramani mengemukakan bahwa tiga elemen penting yang membentuk sistem
partai adalah 1). partai apa yang termasuk, 2). berapa banyak partai dan berapa
besarnya serta 3). bagaimana prilaku masing-masing partai tersebut.62
Sistem kepartaian pertama dikemukakan oleh Maurice Duverger yang
digolongkan menjadi tiga, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwipartai dan sistem
banyak partai.63 Dalam negara yang menerapkan bentuk partai tunggal totaliter
terdapat satu partai yang tak hanya memegang kendali atas militer dan
pemerintahan, tetapi juga menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Partai
tunggal totaliter biasanya merupakan partai doktriner dan diterapkan di negara-
58 Luis F. Clemente. Party Systems Stability in Latin America : A Comparative Study. State of University of Newyork. 2009. hal 20
59 steven b wolinetz. Classifying Party Systems: Where Have All the Typologies Gone?. Prepared
for the Annual Meeting of the Canadian Political Science Association. Memorial University of NewfoundlandMonitoba. 2004.hal 1
60 ibid 61 ibid 62 Daniele Caramani, Comperative Politic. Oxford University Press. New York. 2008. hal 319 63 Ibid hal 124
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
negara komunis. Bentuk partai tunggal otoriter bisasnya diterapkan negara-negara
berkembang yang menghadapi masalah integrasi nasional dan keterbelakangan
ekonomi.64
Sistem dua partai bersaing merupakan suatu sistem kepartaian yang di
dalamnya terdapat dua partai bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan
kewenangan memerintah melalui pemilihan umum. Dalam sistem ini terdapat
pembagian tugas di antara kedua partai, yaitu partai yang memenangkan
pemilihan umum menjadi partai yang memerintah, sedangkan partai yang kalah
dalam pemilihan umum berperan sebagai kekuatan oposisi yang loyal. Sebagai
partai yang kalah dalam pemilihan umum, partai ini melakukan kontrol atas partai
yang menang dalam pemilihan umum tetapi partai yang kalah tetap loyal terhadap
sistem politik. Walaupun berupaya keras untuk mengalahkan partai yang berkuasa
tetapi tidak berupaya mengganti sistem politik yang berlaku. Sistem kepartaian ini
biasanya dapat berkembang dengan baik apabila terpenuhi tiga kondisi berikut,
yakni struktur masyarakat relatif homogeny, konsensus nilai (konsensus tentang
prinsip-prinsip dasar menyelenggarakan negara dan tujuan negara yang
fundamental) dan mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang telah
melembaga.65
Sistem multipartai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua
partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang
majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan
dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya
dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri. 66
Klasifikasi sistem partai yang kemudian paling mempengaruhi pemikiran
tentang sistem partai dikemukakan oleh Giovanni Sartori (1976). Sartori
mengemukakan dua elemen penting dari sistem partai yaitu : jumlah partai politik
dan derajat polarisasi dari ideologi. Tipologi sistem partai menurut Sartori terbagi
menjadi empat tipe : sistem dua partai, Pluralisme Moderat (multipartai dengan
64 Ibid hal 125 65 Ibid hal 126 66 Ibid hal 128
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
derajat polarisasi ideologi yang rendah), Pluralisme terpolarisasi (multipartai
dengan derajat polarisasi ideologi yang tinggi), dan pre-dominan (yaitu dimana
partai yang sama secara konsisten memenangi mayoritas kursi).67
Coppedge mengklasifikasikan Sistem partai berdasarkan jumlah partai politik
yang efektif di parlemen (effective numbers of party voters (ENPV)). Yaitu :
sistem dua partai dengan nilai ENPV antara 2 s/d 3, sistem multipartai moderat
(sederhana) dengan nilai ENPV antara 3 s/d 5 dan sistem multipartai ekstrim
dimana nilai ENPV lebih dari 5.68
Pengukuran nilai ENPV atau ENPP dengan menggunakan rumus yang
dikembakan oleh Laakso-Taagepera yaitu :69
Nv = 1/∑n
Nv = Effective Number of Parties Voters (ENPV)
Vi = Perolehan suara setiap parpol peserta pemilu dalam persen
Rumus Laakso dan Taagepera kemudian dimodifikasi menjadi Jumlah Effektif
Parpol di Parlemen dari ENP (The Effective Number of Parties) dirubah menjadi
ENPP (The Effective Number of Parliamentary Parties). Perolehan Suara (vi)
diganti dengan perolehan kursi (Seat Si) dalam persen.70
ENPP = 1/ (∑si)2 = 1 (s1+s2+s3+s4+….Sn)
i = 1
67 Scott P Mainwarring. Rethinking Party Systems in The Third Wave of Democratization : The Case of Brazil. Stanford University Press. Stanford. California. 1999. hal 23
68 Michael Coppedge. The Dynamic Diversity of Latin American Party Systems. Party Politic Vol.
4 No. 4. Pp 547-568. SAGE Publication. London. 1998. http://cm.olemiss.edu hal 562 [28 Februari 2012]
69 Ibid hal 30 70 Ibid hal 30
i
n
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pipit Kartawidjaja dari Landesagentur fuer Struktur und Arbeit (LASA)
Brandenburg GmbH Germany menyatakan bahwa suatu partai politik dapat
dimasukkan ke dalam perhitungan sistem kepartaian jika parpol itu masuk ke
parlemen dan punya potensi untuk berkuasa, berkoalisi atau oposisi, sehingga
dapat mempengaruhi kehidupan kepartaian. Untuk memastikan jumlah parpol
tidak ditentukan berdasarkan hitungan jari, tetapi dengan hitungan matematis
Effective Number of Parliamentary Parties (ENPP). Sehingga dari jumlah hasil
ENPP dapat diketahui Sistem Multikepartaian Dwi-Partai, Moderat/Sederhana,
atau Ekstrim/Ultra. Semakin tinggi ENPP atau makin tidak sederhana sistem
multikepartaian makin luas fragmentasi sistem multikepartaiannya.71
1.4.4. Peradilan Konstitusi
Kajian ini perlu membahas tentang teori Peradilan Konstitusi, dikarenakan
terdapat pembahasan tentang judicial review Undang-Undang Partai Politik dan
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945
yang merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. Keberadaan lembaga
Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraaan.
Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga
Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara
yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri72. Gagasan tentang pengujian
undang-undang yang pertama kali dimunculkan oleh Hans Kelsen73, seorang
berkebangsaan Austria. Pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu
lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi
(MK / Constitusional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Ide
ini lebih dikenal dengan The Kelsenian Model. Ide Hans Kelsen mengenai
pengujian Undang-undang tersebut sejalan dengan gagasan yang pernah
71 Pipit Kartawidjaja. Multikerpartaian Sederhana untuk Pemerintahan yang Kuat. Prasetya Online. 2012. http://prasetya.ub.ac.id/berita/Dr-Pipit-Kartawidjaja-Multikepartaian-Sederhana-untuk-Pemerintahan-yang-Kuat-8330-id.html [diunduh 16 November 2012]
72 Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Kompilasi Ketentuan UUD, UU, dan peraturan di 78
Negara, ( Jakarta : Pusat studi hukum Tata Negara FHUI dan asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 200, hal. 201.
73 Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, cet. III,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 115.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dikemukakan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPK74. Ia mengusulkan,
seharusnya Balai Agung (Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk
membanding Undang-undang. Namun usulan Muhammad Yamin itu disanggah
oleh Soepomo. Ide pengujian Konstitusionalitas undang-undang yang diusulkan
oleh Yamin tersebut tidak diadopsi dalam undang-undang 1945 sebelum
mengalami perubahan pada 1999-2002.
Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi,
pendapat mengenai pentingnya suatu MK muncul kembali. Perubahan UUD 1945
yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, dan supremasi telah beralih dari
supremasi MPR kepada Supremasi Konstitusi.75 Karena perubahan yang
mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan
konstutusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan
sengketa antar lembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling
mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan
itu muncul desakan agar adanya pengujian UU terhadap UUD. Kewenangan
melakukan pengujian UU terhadap UUD diberikan kepada sebuah Mahkamah
tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, adanya MK
yang berdiri sendiri disamping MA menjadi sebuah keniscayaan.
Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan
demokratis, akhirnya ide MK menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24
ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian perubahan ketiga UUD
1945 pada ST MPR 2001 tanggal 9 November 2001. Dengan disahkannya dua
pasal tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk MK dan
menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan
kehakiman tersebut. Dalam pasal 24 ayat (2) hasil perubahan ketiga UUD 1945,
dinyatakan:
74 Koentjoro, “Muhammad Yamin Sang Pengusung Ide Judicial Review,” Konstitusi (Juni 2010) :
47. 75 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, cet. I, (Jakarta : PT Bhuana Ilmu
Populer, 2009), hal. 337.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.”
1.5. Kerangka Konsep
1.5.1. Partai Politik
Secara etimologi, kata partai berasal dari bahasa latin, dari kata “partire”
yang berarti membagi. Kata partai baru dikenal di dalam istilah politik pada abad
ke 17.76 Menurut Edmund Burke Partai adalah sekelompok orang yang bersatu
untuk berjuang secara bersama dalam upaya mewujudkan kepentingan nasional,
dan beberapa prinsip tertentu yang mereka sepakati.77
Party is body of men united, for promoting by their joint endeavours the national interest, upon some particular principle in which they are all agreed. Menurut Miriam Budiardjo, partai politik adalah suatu kelompok
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-
cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik
dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk
melaksanakan programnya.78 Partai politik itu pada pokoknya memiliki
kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting dalam setiap
sistem demokrasi. Partai politik biasa disebut pilar demokrasi, karena memainkan
peranan yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state)
dengan warga negaranya (the citizens).79 Bahkan menurut Schattscheider (1942),
“political parties created democracy” partai politiklah yang menciptakan
demokrasi, bukan sebaliknya.80
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik,
Pengertian Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
76 Giovanni Sartori. Parties and Party Systems. A frame Work for Analysis. Ecpr Press. Colchester. 2005. hal 4
77 Edmund Burke. Thoughts on The Cause of The Present of Discontents. The Gordon Lester Ford
Collection London 1770. hal 110 78 Miriam Budiardjo. op.cit.hal 404 79 Jimly Asshiddiqie. op.cit (2). hal 710 80 Ibid hal 710
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.81
King sebagaimana dikemukakan oleh Alan Ware berpendapat bahwa
Partai politik terdiri dari tiga elemen yang terpisah yaitu : 82 partai dalam
pemilihan umum, partai sebagai organisasi dan partai dalam pemerintahan.
1.5.2. Sistem Multipartai Sederhana
Istilah Sistem Multipartai Sederhana dapat ditemukan dalam Penjelasan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yaitu :
Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional.
Konsepsi mengenai Sistem multipartai sederhana juga terdapat pada
penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parta Politik, yaitu :
Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat.
Konsepsi sistem multipartai sederhana juga terdapat pada penjelasan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum yaitu :
Perubahan-perubahan ini dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana
81 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. LNRI Tahun 2011 Nomor 8 TLN Nomor 5189
82 Anthony King dalam Alan Ware Political Party and Party Systems. Oxford University Press.
1996. hal 6
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun demikian, dalam ke tiga Undang-Undang tersebut, tidaklah
dijabarkan pengertian dari sistem multipartai sederhana yang hendak dituju.
Beberapa tokoh politik menjabarkan maksud dari sistem multipartai sederhana di
berbagai media masa yaitu :
Akbar Tanjung, sebagai Ketua Pembina Partai Golkar menyatakan bahwa : 83
tidak ada cara lain mengefektifkan pemerintahan dalam sistem presidensial saat ini kecuali meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 5 persen. Dengan demikian, jumlah partai menjadi sederhana, yakni sekitar 5 atau 6 partai saja yang lolos ke parlemen. ”Tetap multi-partai, tapi multi-partai sederhana. Agar bisa kompatible dengan sistem presidensial yang kita jalankan,
Arif Wibowo, Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Komisi II DPR RI menyatakan
bahwa :84
Jumlah kekuatan di parlemen yang mengarah pada mayoritas parlemen berbasis multipartai sederhana cukup diisi tiga atau maksimal lima fraksi yang menunjuk fragmentasi politik besar dan ideologik.
Ramlan Surbakti dalam Rapat Pansus RUU tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 pada point sistem multipartai sederhana
menilai bahwa jumlah partai peserta pemilu 2009 masih terlalu banyak sehingga
tidak menggambarkan kekuatan kolektif.85
Pada dasarnya, sistem multipartai sederhana terkait dengan penyederhanaan
jumlah partai politik. dalam dalil pemerintah pengujian Undang-Undang terkait
83 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Sederhanakan Partai Untuk Efektifkan Pemerintahan. KPU dalam Berita. http://mediacenter.kpu.go.id/kpu-dalam-berita/1116-sederhanakan-partai-untuk-efektifkan-pemerintahan.html [diunduh 16 November 2012]
84 Koran Jakarta. RUU Pemilu. Jumlah Fraksi di Parlemen Jangan Terlalu Banyak. Indonesia
Cukup Tiga Partai. http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/76053 [diunduh 16 November 2012]
85 Ramlan Surbakti. Laporan Singkat RDPU Pansus Pemilu.
https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:J0HbPA4pnzwJ:dpr.go.id/complorgans/adhoc/52_lapsing_Lapsing_RDPU_Pansus_Pemilu_dengan_Ramlan_Surbakti_%26_Chusnul_Mar%27iyah.pdf+&hl=en&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESih_SYPsjWKhlYekR6fq5coVGNqNqs7jUl7GYkuQypJt5fUpWldR57qUchAvOvrDt6dYO_VNURHBSV1Oqp95-KxExnKrcGrDCgoNgaUGb0gGgO5JhGpQslLmfwUJQwduD_y8_-e&sig=AHIEtbQcf5nqiMeDhycyscHp-uUUL-CNCA [diunduh 16 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai politik, menyatakan bahwa ketentuan tentang pembatasan partai politik
bertujuan untuk membentuk sistem multipartai sederhana.86
Definisi sistem multipartai sederhana (moderate multiparty system) dikemukakan
oleh para ahli diantaranya adalah :
Sartori mengistilahkan sistem multipartai sederhana (moderate multiparty
system) sebagai Pluralism moderat (moderate pluralism) dicirikan dengan sistem
bipolar dan kompetisi sentripetal. Partai di kedua sisi berkompetisi untuk
memenangkan suara di tengah dengan 3 sampai 5 partai yang relevan. 87 Sistem
multipartai sederhana (moderate multipartism) diartikan sebagaimana
disampaikan oleh Coppedge yaitu sistem partai dengan jumlah partai politik
efektif di dalam parlemen sebanyak 3 sampai dengan 5 partai.88
Caramani mendefinisikan Moderate Multiparty System adalah Jumlah
partai politik terbatas, dibawah 5 partai.89 Pada penelitian ini konsep sistem
multipartai sederhana diartikan sebagai sistem partai dengan jumlah partai politik
efektif di parlemen sebanyak 3 sampai 5 partai.
1.5.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik
Secara umum istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjukkan
prilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok atau suatu
lembaga pemerintah) atau suatu aktor dalam bidang kegiatan tertentu.90
Mustopadjaja mengemukakan bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam
kaitannya dengan kegiatan pemerintah, serta prilaku negara pada umumnya dan
kebijakan itu dituangkan dalam bentuk peraturan.91 Definisi kerja dari kebijakan
adalah keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mengatasi
86 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan 16/PUU-2007/hal 57 87 Steven B. Wolinetz. op.cit hal 6 88 Ibid 89 Daniele caramani. hal 330 90 Budi Winarno. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressindo. Yogyakarta. 2007 hal 16 91 Hanif Nurcholis. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo. 2005. hal
263
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
permasalahan tertentu sebagai keputusan atau untuk mencapai tujuan tertentu,
berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman berprilaku dalam (1)
pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran
atau unit organisasi pelaksanaan kebijakan (2) penerapan atau pelaksanaan dari
suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan unit
organisasi pelaksana atau kelompok sasaran dimaksud.92
Jimly asshiddiqie menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintahan
dapat dijadikan pegangan dan mengikat untuk umum sepanjang dituangkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan tertentu.93 Semua bentuk peraturan
perundang-undangan dan termasuk policy rules (aturan kebijakan) berisi norma
hukum yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general norms) sebagai
keseluruhan legal policy (kebijakan hukum) yang mengandung kebijakan-
kebijakan kenegaraan, pemerintahan dan pembangunan. Legal policy yang
tertinggi dimuat dalam Undang-Undang Dasar. Semua peraturan perundang-
undangan adalah bentuk formal dari legal policy yang tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar. Bahkan pada prinsipnya, semua produk peraturan
perundang-undangan itu berisi kebijakan hukum yang tidak boleh bertentangan
dengan kebijakan hukum yang lebih tinggi sebagaimana tercermin dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.94
Yang dimaksud kebijakan penyederhanaan partai politik dalam penelitian
ini adalah kebijakan hukum di bidang kepartaian untuk menyederhanakan jumlah
partai politik yang dilakukan melalui pembatasan-pembatasan antara lain dengan
penentuan persyaratan pendirian dan pembentukan partai politik, persyaratan
partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu dan persyaratan ambang batas
untuk dapat menempatkan wakil partai di Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mencapai sistem multipartai sederhana yang dituangkan dalam bentuk Undang-
Undang tentang Partai Politik dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
92 Ibid hal 264 93 Jimly Asshiddiqie. Konstitusi Ekonomi. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2010. hal 19 94 Ibid hal 21
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
1.5.4. Kurun Waktu Pasca Reformasi
Era reformasi merujuk pada masa pasca berhentinya Jenderal (Purn.)
Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) Pada tanggal 21 Mei 1998.
Era ini kemudian ditandai dengan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan
yang dipimpin oleh Presiden BJ. Habibie. Sekitar 13 Bulan kemudian
diselenggarakan pemilihan umum pada tahun 1999.95 Masa pasca reformasi juga
ditandai dengan perubahan UUD 1945 pada tahun 1999 sampai dengan tahun
2002.96 Dalam penelitian ini, kurun waktu reformasi dalam pengaturan kebijakan
penyederhanaan partai politik adalah sejak tahun 1999 hingga tahun 2012, yaitu
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang partai politik dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum hingga
berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian terhadap kebijakan penyederhanaan partai
politik untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana dengan tujuan utama
untuk mengetahui esensi dari penyederhanaan partai, akibat hukum dalam
pelaksanaannya terhadap partai politik dan pembentukan sistem kepartaian serta
batasan-batasannya sehingga tetap sesuai dengan amanat UUD 1945. Penelitian
ini dilakukan dengan mempergunakan metode penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum dengan mempergunakan metode normatif dilakukan dengan
membandingkan perundang-undangan yang berlaku dengan permasalahan yang
terkait, kemudian dengan asas-asas hukum atau doktrin yang ada, serta
memperhatikan praktek yang terjadi sebagai sebuah kajian terhadap sejarah
hukum. Penelitian ini bersifat eksplanatoris yang bertujuan menggambarkan
secara lebih jelas dan tepat permasalahan penyederhanaan partai politik dengan
beberapa variable seperti keadaan, gejala dan diagnosis yang terjadi dalam
masyarakat itu sendiri.
Metode penelitian hukum normatif lebih mengutamakan dengan
mempergunakan studi kepustakaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
95 Satya Arinanto. op.cit. hal 57 96 Jimly Asshiddiqie. Op.cit (2). hal 3
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
materi yang dibahas seperti melalui buku, majalah, artikel ilmiah atau jurnal
ilmiah. Studi kepustakaan yang dilakukan dengan menggunakan literatur yang
berasal dari kalangan akademis atau universitas seperti perpustakaan kampus juga
menggunakan literatur yang berasal dari kalangan instansi terkait dengan masalah
yang dibahas. Data diperoleh adalah data yang didapat melalui catatan-catatan
terdokumentasi seperti, buku, jurnal ilmiah, majalah dan disebut sebagai data
sekunder.97
Dalam penelitian ini dapat juga menggunakan alat pengumpulan data lain
sebagai pembanding, yakni wawancara. Dengan mempergunakan data atau
sumber hukum yang diperoleh, selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis
data secara keseluruhan. Pengolahan data adalah kegiatan merapihkan data hasil
pengumpulan data untuk kemudian dianalisis. Dalam kegiatan pengolahan
dilakukan beberapa hal diantaranya meliputi kegiatan-kegiatan editing, koding
dan tabulasi.98
Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang kebijakan
penyederhanaan partai politik pasca reformasi, maka akan dilakukan penelaahan
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
97 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. 2007. hal 12 98 Ibid. hal 72
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
8. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, tentang Pemilihan Umum Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Untuk mengetahui bagaimana esensi dan implikasi hukum kebijakan
penyederhanaan partai politik terhadap partai politik dan pembentukan sistem
kepartaian, maka akan di inventarisir kondisi/gejala partai-partai dan sistem
partai pasca berlakunya undang-undang tersebut dan juga akan dikaji secara
mendalam dasar pemikiran dalam perumusan kebijakan tersebut. Untuk
mengetahui bagaimana kedudukan kebijakan-kebijakan penyederhaan partai
politik dalam perspektif konstitusi, maka dalam penelitian ini akan dianalisa
putusan-putusan judicial review undang-undang yang terkait dengan
penyederhanaan partai politik. Dalam penelitian putusan Mahkamah Konstitusi
dimaksud adalah Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Review Undang-
Undang yang mengatur tentang Penyederhanaan Partai Politik. Analisa putusan
dimaksudkan untuk mengetahui pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap
konstitusionalitas dari kebijakan penyederhanaan partai politik. Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut diantaranya adalah :
1. Putusan Nomor 020/PUU-I/2003
2. Putusan Nomor 16/PUU-V/2007
3. Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008
4. Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009
5. Putusan Nomor 15/PUU-IX/2011
6. Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011
7. Putusan Nomor 52/PUU-/2012
Selain itu, untuk lebih memahami konsep dan subjek penelitian, dilakukan
pula perbandingan pengaturan kebijakan penyederhanaan partai politik dan akibat
hukumnya terhadap partai politik dan pembentukan sistem kepartaian di beberapa
negara lain serta membandingkannya dengan teori-teori hukum yang ada yaitu
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
teori tentang kedaulatan rakyat, demokrasi, konsepsi negara hukum serta teori
peradial konstitusi.
Bentuk hasil penelitian yang sesuai dengan penulisan ilmiah ini adalah
deskriptif analitis berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan
untuk menjelaskan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.99 Selain
peraturan perundang-undangan dan putusan yang merupakan bahan hukum primer
tersebut, dalam penelitian ini juga digunakan bahan hukum sekunder berupa
buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang Hukum Tata Negara, Konstitusi,
Partai politik, Mahkamah Konstitusi dan buku-buku lainnya yang berkaitan
dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini, merupakan data yang telah dijelaskan
dengan berdasarkan teori yang bersifat umum untuk mencapai kesimpulan dan
dapat menentukan saran.
1.7. Sistematika Pelaporan
Penulisan penelitian ini akan diuraikan dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini terdiri dari sub bab Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konsep, dan Metode Penelitian.
Bab II Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Dan Sistem Multipartai
Sederhana di Berbagai Negara
Bab ini terdiri dari Sub Bab Partai Politik (Sejarah Perkembangan Partai Politik
dan Fungsi Partai Politik), Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai
Negara (Pengaturan Partai Politik dalam Peraturan Perundang-Undangan, Praktek
Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara,
Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Rusia, Kebijakan Penyederhanaan
Partai Politik di Republik Ceko, Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di
Jerman, Pedoman dan Prinsip Dasar Pengaturan Partai Politik), Konsep Sistem
Multipartai Sederhana, Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai
99 Bambang Sugono. Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1997. hal 37-38
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Negara (Sistem Multipartai Sederhana di Rusia, Sistem Multipartai Sederhana di
Republik Ceko, Sistem Multipartai Sederhana di Jerman).
Bab III Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Dan Sistem
Kepartaian Di Indonesia Pasca Reformasi
Bab ini terdiri dari Sub Bab Sejarah Perkembangan Partai Politik dan Kebijakan
Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia, Kebijakan Penyederhanaan Partai
dalam Peraturan Mengenai Partai Politik Pasca Reformasi (Persyaratan Kualitatif
dan Kuantitafif Pendirian dan Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum :
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011),
Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Pemilihan Umum
Pasca Reformasi (Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Partai Politik sebagai
Peserta Pemilu : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2012; Persyaratan Electoral Threshold dan Parliamentary Thershold
bagi Partai Politik sebagai Peserta Pemilu : Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1999, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012), Sistem Kepartaian di Indonesia
Pasca Reformasi
Bab IV Analisis Dan Penyusunan Prinsip-Prinsip Kebijakan
Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia
Bab ini terdiri dari Sub Bab Tujuan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai
Politik Pasca Reformasi, Perwujudan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik
(Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik sebagai Badan Hukum,
Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu dan Electoral Threshold,
Persyaratan Partai Politik untuk Menempatkan Wakilnya di DPR (Parliamentary
Threshold), Tahapan Kebijakan Penyederhanaan, Akibat Hukum Kebijakan
Penyederhanaan Partai Politik terhadap Partai Politik (Partai Politik Tidak Diakui
sebagai Badan Hukum, Partai Politik tidak dapat Menjadi Peserta Pemilihan
Umum, Partai Politik tidak dapat Menempatkan Wakilnya di DPR, Penggabungan
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai Politik), Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap
pembentukan sistem Multipartai Sederhana.
Bab V Judicial Review Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur
Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik
Bab ini terdiri dari Sub Bab Judicial Review Ketentuan tentang Syarat Minimal
Kepengurusan bagi Pendaftaran Partai Politik, Judicial Review Ketentuan
tentang Electoral Threshold, Judicial Review Ketentuan tentang Persyaratan bagi
Partai Politik untuk Mengikuti Pemilu Tahun 2009, Judicial Review Ketentuang
tentang Parliamentary Threshold, Judicial Review Ketentuan Tentang Kewajiban
Partai Politik agar tetap Diakui Sebagai Badan Hukum, Judicial Review tentang
Ketentuan Persyaratan Pendirian Partai Politik, Judicial Review Ketentuan
mengenai Syarat Partai Politik sebagai Peserta Pemilu, Konstitusionalitas
Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik.
Bab VI Penutup
Bab ini terdiri dari Sub Bab Simpulan dan Saran
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB II
KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN
SISTEM MULTIPARTAI SEDERHANA
2.1. Partai Politik
2.1.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik
Partai politik sebagai lembaga politik, bukan sesuatu yang dengan
sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga
belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru
dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi
negara dan baru ada di negara moderen.100
Susan Scarrow menuliskan bahwa kemunculan partai politik sebagi salah
satu penemuan pada abad ke-19. Pada saat gelombang pertama negara-negara di
Eropa dan Amerika Utara perlahan-lahan mengalami proses demokratisasi
terutama dengan mentransfer kekuasaan kepada parlemen dan ekspansi partai
politik dalam pemilihan umum yang dibentuk sebagai mekanisme penghubung
utama untuk memfasilitasi proses perwakilan.101
Menurut Lapolambara dan Weiner dalam Ramlan Surbakti, ada tiga teori
yang mencoba menjelaskan asal usul partai politik.102 Pertama, teori kelembagaan
yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik.
Partai politik dibentuk oleh kalangan legislatif dan eksekutif karena ada
kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan)
untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan dari
masyarakat. Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian
muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik
lain ini biasanya dibentuk oleh kelompok kecil pemimpin masyarakat yang sadar
politik berdasarkan penilaian bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak
mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka.
100 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. op.cit. hal 397 101 Ibid. hal 5 102 Joseph Lapalombara dan Myron Weiner. The Origin and Development of Political Parties,
dalam Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Grasindo. Jakarta. 2007. hal 113
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Teori kedua, teori situasi historik yang melihat timbulnya partai politik
sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan
dengan perubahan masyarakat secara luas. Krisis situasi historis terjadi manakalah
suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat
moderen yang berstruktur kompleks. Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan,
seperti pertambahan penduduk karena perbaikan fasilitas kesehatan, perluasan
pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi
media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-
harapan baru dan munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan ini
menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi dan partisipasi.
Artinya, perubahan-perubahan mengakibatkan masyarakat mempertanyakan
prinsip-prinsip yang mendasari legitimasi kewenangan pihak yang memerintah;
menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat sebagai
suatu bangsa dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang semakin besar untuk
ikut serta dalam proses politik.
Untuk mengatasi tiga permasalahan inilah partai politik di bentuk. Partai
politik yang berakar kuat dalam masyarakat diharapkan dapat mengendalikan
pemerintahan sehingga terbentuk semacam pola hubungan kewenangan yang
berlegitimasi antara pemerintah dan masyarakat. Teori ketiga melihat
moderinasasi sosial ekonomi, seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa
media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan,
industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi,
pembentuk berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi melahirkan
suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan
memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut, partai politik merupakan produk logis
dari modernisasi sosial ekonomi.
Partai politik sebagai institusi modern, yang berhubungan erat dengan
parlemen dan pemilihan umum, muncul pertama kali di Eropa dan Amerika
Serikat pada abad ke 19 dan pada akhir abad tersebut kemudian meluas ke hampir
sebagian besar dunia non barat.103 Partai politik sangat dipengaruhi oleh
103 Stefan Eklӧf. Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia. The Indonesia Democratic Party (PDI) and Decline of New Order (1986-1998). Nias Press. Denmark. 2004. hal 26
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
asal/sejarah pembentukkannya.104 Adalah tidak mungkin untuk memahami
perbedaan struktur antara misalnya partai buruh di Inggris dengan Partai Sosialis
di Perancis tanpa mengetahui kondisi saat pembentukkannya.
Menurut Alan Ware, di negara-negara masa kini, sangatlah sulit untuk
dibayangkan adanya politik tanpa partai. Saat ini, hanya ada dua bentuk negara
yang tidak memiliki partai politik. Pertama, negara yang kecil dengan masyarakat
yang tradisional, terutama di Persian gulf, yang masih di kuasai oleh keluarga
yang dominan pada wilayah itu sebelum dunia luar, mengenali mereka sebagai
negara merdeka. Kedua adalah negara dengan rezim yang mengekang keberadaan
partai, yaitu rezim militer atau dengan kekuasaan otoriter yang mendapat
dukungan dari militer.105
2.1.2. Fungsi Partai Politik
Sudah sejak lama para ahli mengemukakan peran penting partai politik
dalam sistem demokrasi perwakilan. Sartori berpendapat bahwa warga negara di
negara-negara demokrasi barat direpresentasikan oleh dan melalui partai.
Sementara Schattschneider menyatakan bahwa demokrasi modern tidaklah
mungkin tanpa adanya partai politik (modern democracy is unthinkable save in
terms of Political Party).106 James Bryce mengatakan bahwa partai politik tak
dapat dihindari dan tidak ada yang dapat menyaksikan bagaimana sistem
pemerintahan perwakilan dapat berjalan tanpa partai politik (Parties are
inevitable : no free country has been without them : and no one has shown how
representative government could work without them).107
104 Maurice Duverger. Political Parties and Their Organisations in Modern State. USA 1959. hal xxiii
105 Alan Ware. Political Parties and Party Systems. Oxford University Press. New York. 1996,
hal 1 106 Anika Gauja. Political Party and Election. Legislating for Representatives Democracy.
Ashgate Publishing Limited. England. 2010. hal 1 107 Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Political Party and Democratic
Linkage. How Party Organize Democracy. Oxford University Press. 2011. hal 3
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Di negara demokrasi, partai politik mempunyai berbagai fungsi, sebagai saranan
komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik dan sarana rekrutment
politik.:108
a. Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Dalam fungsi sebagai sarana komunikasi politik, partai politik berfungsi
untuk melaksanakan agregasi dan artikulasi berbagai kepentingan (pendapat dan
aspirasi) masyarakat. Setelah itu hasil dari agregasi dan artikulasi kepentingan
tersebut dirumuskan menjadi usul kebijakan yang dimasukkan ke dalam program
atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan dan disampaikan
kepada pemerintah melalui partai politik.
Disisi lain, partai politik berfungsi juga untuk memperbincangkan dan
menyebarluaskan rencana-rencana kebijakan pemerintah, sehingga terjadi arus
informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dalam
pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubungan antara pemerintah
dengan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena di
satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok
masyarakat dan di lain pihak pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan
masyarakat
b. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu suatu proses yang
melaluinya sesesorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik
yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas
sosial, suku bangsa, ideologi hak dan kewajiban.
c. Sebagai Sarana Rekrutment Politik
Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik
kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas.
Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas,
karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang
mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan
108 Miriam Budiardjo, op cit hal 405-409
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan
pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk
masuk bursa kepemimpinan nasional.
d. Sebagai Sarana Pengatur Konflik
Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, terutama pada masyarakat
yang heterogen. Peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya
atau sekurang-kurangnya menekan akibat negatifnya seminimal mungkin. Elit
partai dapat menumbuhkan pengertian dan juga memberikan keyakinan kepada
pendukungnya.
Russel J Dalton, David M Farrel dan Ian McAllister menjelaskan bahwa
fungsi partai politik dapat dibagi menjadi tiga level yaitu di antara warga
masyarakat, dalam organisasi-organisasi dan di pemerintahan.109 Di level warga
masyarakat, partai berfungsi untuk menyederhanakan pilihan bagi para pemilih,
dengan fungsi ini partai telah juga mengurangi kompleksitas kebijakan pada
pemerintahan moderen ke sejumlah kecil pilihan-pilihan yang dapat dimengerti
dengan mudah oleh pemilih. Partai politik mendidik para pemilih tentang manfaat
dan ketidakmanfaatan dari pilihan-pilihan kebijakan yang ditawarkan. Diantara
warga masyarakat, partai politik diharapkan akan memobilisasi warga untuk aktif
berperan serta dalam proses politik sehingga dapat menciptakan stabilitas sistem
politik dalam jangka panjang. Dalam level organisasi, partai politik merekrut dan
melatih pemimpin politik yang potensial dan para kandidat yang akan
ditempatkan dalam pemerintahan, memperkenalkan kepada mereka tentang nilai
dan norma dari pemerintahan yang demokratis. Secara organisasi, partai politik
juga mengartikulasi kepentingan-kepentingan politik para pendukungnya. Pararel
dengan perannya sebagai artikulasi kepentingan, partai politik juga berfungsi
dalam agregasi kepentingan, menempatkan kepentingan-kepentingan tersebut ke
dalam bentuk yang komprehensif dan terhubung dan akan menjadi panduan bagi
kebijakan pemerintahan jika dan ketika mereka terpilih menjadi partai di
pemerintahan.110 Pada level pemerintahan, partai politik mengorganisasikan cara
109 Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Political Party and Democratic Linkage. How Party Organize Democracy. op.cit. hal 5
110 Ibid hal 6
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
kerja pemerintahan dengan menciptakan mayoritas suara untuk memenangkan
kebijakannya. Partai politik di pemerintahan memiliki tujuan-tujuan kebijakan
yang komprehensif yang diklaimnya sebagai mandat dari yang diwakili. Partai
politik atau koalisi partai akan mengimplementasikan kebijakan tersebut dan
mengorganisasikan pemerintahan hingga selesai. Mandat para pemilih juga
menjadi legitimasi bagi partai dalam mengimplementasikan kebijakan dan akan
menjadi kontrol untuk menilai kinerja partai/akuntabilitas apakah sesuai dengan
apa yang mereka telah janjikan sebelumnya. Jika partai merupakan oposisi dapat
juga berkontribusi untuk mengevaluasi dan mengkritisi keputusan-keputusan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah.111
Hubungan (Linkage) antara partai dan pemilih dapat digambarkan pada gambar
berikut ini :112
Bagan 1.1 Rantai Hubungan Warga dan Partai Politik
• Penghubung pada Tahap Kampanye (Campaign Linkage) : partai merekrut
calon/kandidat dan menyusun parameter-parameter dari proses pemilihan
umum
• Penghubung pada tahap partisipasi (Participatory Linkage) : partai
mengaktifkan warga masyarakat selama waktu pemilihan dan memobilisasi
mereka untuk memilih
• Penghubung Ideologi (Ideological Linkage) : Partai menginformasikan
kepada pemilih tentang pilihan-pilihan kebijakan dalam pemilihan dan
pemilih akan memilih kebijakan-kebijakan tersebut.
• Penghubung Perwakilan (Representative Linkage) : pemilihan akan
memberikan kesesuaian antara pilihan-pilihan kebijakan dari warga
111 Ibid. hal 5-6 112 Ibid. hal 6
Warga
Kampanye : menyeleksi kandidat membentuk debat mengorganisasikan pemilihan
Partisipasi : memobilisasi pemilih
Ideologi : memberikan
pilihan kebijakan pilihan pemilih
Representatif : pemilihan
menghasilkan pemerintahan
perwakilan
Kebijakan : Partai politik menetapkan
program-program kebijakan bagi
pemilih
Kebijakan
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
masyarakat dengan kebijakan-kebijakan partai yang direpresentasikan dalam
parlemen maupun di pemerintah.
• Penghubung Kebijakan (Policy Linkage) : partai-partai melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang mereka tawarkan dalam pemilihan.
2.1.3. Klasifikasi Partai Politik
Klasifikasi partai politik dapat dilakukan dengan berbagai cara. jika dilihat
dari komposisi dan fungsi keanggotaannya, secara umum dapat dibagi menjadi
dua jenis, yaitu partai massa dan partai kader. Partai Massa mengutamakan
kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu terdiri dari
pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat
untuk bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang
biasanya luas dan agak kabur. kelemahan dari partai massa adalah bahwa masing-
masing aliran atau kelompok yang bernaung di partai massa cenderung untuk
memaksakan kepentingan masing-masing terutama pada saat-saat krisis, sehingga
persatuan menjadi lemah bahkan hilang. Partai kader mementingkan keketatan
organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. pimpinan partai biasanya
menjaga kemurnian doktrin yang dianut dengan jalan mengadakan saringan
terhadap calon anggotanya dan memecat anggota partai yang menyeleweng dari
garis partai yang telah ditetapkan.113
Klasifikasi selanjutnya dapat dilakukan dari segi sifat dan orientasi dalam
hal mana partai-partai dapat dibagi dalam dua jenis yaitu : partai lindungan
(patronage party) dan partai ideologi/partai azas (programmatic party).114
2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Berbagai Negara
2.2.1. Pengaturan Partai Politik dalam Peraturan Perundang-
Undangan
Berbagai kelemahan sistem multipartai, menyebabkan banyak negara
menempuh kebijakan untuk menyederhanakan sistem partai tersebut melalui
persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan
113 Miriam Budiarjo.op.cit hal 166 114 ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tentang Partai Politik. Menurut Venice Commision, peraturan perundang-
undangan yang khusus mengatur tentang partai politik merupakan perkembangan
yang relatif baru, sementara pemahaman tentang pentingnya keberadaan partai
politik telah jauh sebelumnya dipahami dan diterima. Meskipun saat ini sudah
banyak negara yang konstitusi dan perundang-undangannya secara spesifik
mengatur tentang partai politik, namun derajat dari peraturan perundang-
undangan tersebut sangat bervariasi dikarenakan perbedaan tradisi hukum dan
tertib konstitusi.115
Proses pengadopsian partai politik sebagai obyek dalam Undang-Undang
dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu :116
Pertama pada saat semester pertama abad ke 20, tiga negara yaitu Jerman,
Finlandia dan juga Austria yang mengalami demokratisasi menjadi bagian dalam
tahap pertama disusunnya Undang-Undang tentang partai politik. Meskipun
terdapat perbedaan terhadap panjang dan juga detail yang diatur dalam undang-
undang tentang internal organisasi partai politik. Namun semuanya menyadari
perlunya mengatur tentang pendanaan partai politik.
Kedua, fase berikutnya adalah dari kesadaran munculnya undang-undang tentang
partai politik bertepatan dengan awal Huntington 'Third Wave', muncul di
Portugal dan Spanyol. Berbeda dengan fase pertama, undang-undang Partai
politik di sini tujuan utamanya adalah tidak begitu banyak mengatur tentang
pendanaan partai politik, tetapi kebutuhan untuk mengendalikan penciptaan dan
aktivitas partai-partai yang mulai berkembang biak dalam lingkungan demokratis
baru. baik Portugal dan Spanyol sebagian besar ketentuan-ketentuan yang
terkandung dalam pertama hukum berkaitan dengan peraturan partai politik
sebagai organisasi itu sendiri.
Ketiga, fase ketiga dari Undang-Undang tentang Partai politik pasca perang
sangat terkait erat dengan jatuhnya komunisme di Eropa Timur pada awal 90an.
Dalam tahap ini, bertepatan dengan apa yang disebut Fourth Wave of
115 OSCE/ODIHR And Venice Commission. Guidelines On Political Party Regulation. Adopted By The Venice Commission. at its 84th Plenary Session.Venice, 15-16 October 2010. http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDLAD%282010%29024-e.pdf [15 Juli 2012]
116 Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. ‘Party Law in
Comparative Perspective’, Working Paper Series on the Legal Regulation of Political Parties. 2012. hal 5
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Democratization. Hubungan antara dua gelombang ini sangat menjurus bahwa
tidak ada negara demokrasi Eropa Timur yang tidak terpengaruh oleh proses
pengaturan tersebut sejak munculnya Undang-Undang tentang Partai Politik
pertama di Hungaria Tahun 1989. Terlebih dikebanyakan kasus, Undang-Undang
yang mengatur tentang partai politik diperkenalkan ditahun-tahun pertama
terjadinya transisi politik.
Van biezen menyebutkan secara umum Peraturan Perundang-Undangan
tentang Partai Politik sebagai dasar hukum operasional partai politik ditetapkan
dalam konstitusi, undang-undang tentang partai politik, undang-undang tentang
pendanaan partai politik, Undang-undang tentang pemilihan umum dan undang-
undang tentang kampanye dan juga peraturan administrasi, penetapan-penetapan
dan putusan pengadilan.117
Konstitusi memegang posisi istimewa di antara instrumen hukum tentang
partai politik, karena mencerminkan nilai-nilai fundamental dan melegitimasi
aturan politik melalui spesifikasi prosedur yang mendukung pelaksanaan
kekuasaan. Melalui konstitusi, maka dapat diukur posisi partai dalam format
kelembagaan negara. Aturan hukum lainnya yang sebagai dasar pembentuk
undang-undang tentang partai politik lebih menargetkan pada aspek nyata dari
fungsi dan prilaku partai. Undang-undang yang mengatur tentang partai politik
spesifik mengatur tentang internal partai. Beberapa negara mengatur juga tentang
partai dalam undang-undang tentang pemilihan umum serta ada pula yang
mengatur partai politik dalam berbagai bentuk instrumen hukum.118
Wolfgang Muller berpendapat bahwa Jerman adalah negara barat yang
memiliki peraturan perundang-udangan tentang partai politik dengan sangat detail
dan mengikat.119 Muller bahkan mengatakan bahwa Jerman sebagai the heartland
117 Fransje Molenaar. Latin American Regulation of Political Parties. Continuing Trends and breaks with The Past. Working Paper Series on The Legal Regulation of Political Party. No 17. 2012 hal 2
118 Ibid hal 2 119 Kenneth Janda. Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical Perspectives.
Adopting Party Law. National Democratic Institute For International Affairs.Washington DC. 2005. hal 17
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
of Party Law. Peraturan Perundang-Undangan tentang Partai Politik dimulai
pertama kali di Jerman pada tahun 1967.120
Konstitusi Jerman mengatur dan menyebutkan partai politik secara eksplisit dan
detail. Dalam konstitusi Jerman article 21 menyebutkan partai politik sebagai 121:
Political parties participate in the formation of the political will of the people. They may be freely established. Their internal organization must conform to democratic principles. They must publicly account for their assets and for the sources and the use of their funds.
Undang-Undang tentang partai politik mengatur tentang kewajiban dan larangan
yang harus dipatuhi oleh partai politik.122 Richard Katz menyatakan bahwa
undang-undang tentang partai politik mengatur tentang :123
1. Untuk menentukan apa yang dimaksud dengan partai politik
Penentuan ini sering menimbulkan aturan tambahan seperti, siapa yang
memenuhi syarat untuk dipilih, siapa yang memperoleh keuntungan dari
masyarakat (misalnya subsidi, iklan media), siapa yang berpartisipasi dalam
pemerintahan dan bagaimana caranya.
2. Untuk mengatur bentuk aktivitas dari partai politik
Ketentuan ini untuk membatasi peningkatan dan pengeluaran dana,
kampanye, platform partai.
3. Untuk memastikan bentuk yang sesuai dari prilaku dan organisasi partai
Mengatur pemilihan pimpinan partai, kesetaraan gender dan ras.
Undang-Undang tentang Partai Politik memiliki 12 domain pengaturan partai
yaitu :124 (1) Prinsip-prinsip demokratis, (2) Hak-hak dan kebebasan (3) extra-
parliamentary party; (4) electoral party; (5) parliamentary party; (6) governmental
party; (7) aktivitas dan prilaku; (8) identitas dan program; (9) keuangan; (10)
akses media; (11) pengawasan eksternal; and (12) Undang-Undang ke dua
120 Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. Op.cit hal 4 121 Kenneth Janda. Op cit hal 14 122 Ibid Hal 3 123 Ibid 124 Casal-Bértoa, Fernando, Piccio, Daniela Romée, Rashkova, Ekaterina. Op.cit hal 9
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak serta kebebasan meliputi pilihan-pilihan
yang mendefinisikan partai politik dalam kunci prinsip-prinsip dan nilai-nilai
demokrasi atau menyatukan partai-partai dengan hak-hak dan kebebasan
demokratis yang fundamental.
Kenneth Janda mengemukakan empat model Undang-Undang tentang
Partai politik yaitu :125
1. The proscription model
To proscribe, berarti menyatakan illegal atau melanggar hukum (outlaw). Namun
tidak ada dari 159 Undang-Undang tentang partai politik menggunakan kata
Illegal atau outlaw. Negara-negara cenderung menggunakan cara penolakan partai
politik sebagai badan hukum daripada menggunakan istilah melanggar hukum.
Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan tidak menyebutkan partai
politik secara eksplisit dalam konstitusi. Salah satu contoh adalah Konstitusi
Aljazair, article 42 :
political parties cannot be founded on a religious, linguistic, racial, sexual, corporatist or regional basis. They may not resort to partisan propaganda pertainingto these elements and they may not in any way submit to any interest or any foreignparty. No political party may resort to violence or constraint, of whatever nature or form
2. The permission model
To permit, untuk mengizinkan. Model ini mengizinkan keberadaan dan
operasionalisasi partai politik tanpa mengatur secara spesifik tentang keanggotaan
partai, bagaimana partai harus diorganisasikan, bagaimana cara memilih
pemimpin partai dan bagaimana pendanaan organisasi. Model ini adalah model
peraturan partai politik yang minimalis. Sebagai contoh adalah Konstitusi Andora
pada article 26 :
Andorrans have the right freely to create political parties. Their functioning and organization must be democratic and their activities lawful. The suspension of their activities and their dissolution is the responsibility of the judicial organs.
3. The promotional model
To promote, berarti untuk memajukan, mengatur lebih lanjut dan mendorong.
Pemerintah terkadang tidak hanya membentuk undang-undang yang mengatur
125 Kenneth Janda. Op.cit. hal 8
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
aktivitas partai tetapi juga mengatur tentang pembentukannya. Biasanya melalui
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang mendukung keberadaan dan
kelangsungan sejumlah besar partai politik. Sudah lama diketahui bahwa
pemilihan legislative berdasarkan sistem proporsional representative dalam
multimember district menghasilkan partai yang lebih banyak jika dibandingkan
dengan sistem dimana kursi dimenangkan melalui simple voting pluralities in
single-member districts. Bentuk lain adalah dengan pemberian subsidi dan
bantuan pendanaan untuk mendukung partai politik.
Sebagai contoh Konstitusi Colombia Article 109 :
The state will contribute to the financing of the functioning and holding of election campaigns of parties and political bmovements with a legal identity.
4. The protection model
To Protect, untuk melindungi dari kehilangan. Bentuk perlindungan yang paling
ekstrim adalah perlindungan suatu partai untuk menjadi partai tunggal, seperti
yang dilakukan Syria dalam konstitusinya untuk melindungi Partai Ba’th.
The leading party in the society and the state shall be the Socialist Arab Ba’th Party. It shall lead a patriotic and progressive front seeking to unify the resources of the people’s masses and place them at the service of the Arab nation’s goals.
5. The Prescription Model
To prescribe berarti mengeluarkan perintah, mendikte. Pemerintah mendikte
partai melalui Undang-undang tentang kesalahan yang dilakukan partai. Pada
kondisi ekstrim, Prescription model mengizinkan rezim untuk seolah-olah
menyatakan bahwa mereka menganut sistem multipartai, namun pada
kenyataannya mengontrol prilaku dan organisasi partai politik.
Organisasi partai politik dapat dibagi menjadi empat kategori yang setiap
kategorinya memiliki peran yang khusus-yaitu Partai di luar, partai di arena
pemilihan umum, partai di parlemen dan partai dipemerintah. Kategori extra-
parliamentary meliputi ketentuan-ketentuan yang mengatur operasional struktur
internal dari partai politik. Diantara ini adalah peraturan-peraturan yang
dikhususkan ke dalam demokrasi internal partai politik, yang merefer kepada
pemilihan badan partai, akuntabilitas, resolusi partai, konflik dan prosedur untuk
memilih calon/kandidat. Kategori ini juga diatur tentang bentuk-bentuk organisasi
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai, status hukum dan perysaratan pendaftaran dan pembentukan partai politik.
Kategori ke dua adalah partai politik peserta pemilihan umum. Kategori ini
merefleksikan partai politik dalam kompetisi. Prilaku partai-partai dalam
parlemen dalam kaitan dengan legislator local dan regional, partisipasi dalam
komisi parlementer, staff dan formasi kebijakan adalah subjek dalam kategori
partai di parlemen. Disini, semua referensi hukum mengacu pada partai di
parlemen di tetapkan. Terakhir adalah kategori partai dipemerintahan yang
meliputi referensi bagaimanan eksekutif baik ditingkat lokal, regional maupun
nasional di susun. Di bawah kategori aktivitas dan identitas, skema aturan
pendaftaran mensyaratkan pengetatan atau larangan beberapa bentuk prilaku atau
ideologi yang mendasari partai politik.
Banyak peraturan hukum mengandung kondisi yang menghormati hak
asasi manusia, larangan untuk menggunakan kekerasan, penyebaran kebencian
atau penggunaan metode non demokrasi pada partai politik. Sebagai contoh,
Undang-Undang Partai politik di Spanyol melarang partai politik untuk merusak
sendi-sendi demokrasi dan bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi. Beberapa
negara juga mengatur tentang larangan bentuk partai politik dengan dasar etnis,
nasionalis atau agamais. Sementara partai politik tidaklah diikat karena alasan
identitas, ada beberapa larangan untuk menerima dana dari institusi agama
contohnya di Bulgaria. Pengaturan tentang pendanaan partai politik dapat dibagi
menjadi lima sub kategori yaitu : pendanaan public secara langsung, pendanaan
publik tidak langsung, pendanaan pribadi, pengaturan tentang pengeluaran,
pelaporan dan pembuktian. Kategori yang pertama meliputi jumlah, alokasi dan
penggunaan dari pendanaan negara, sementara yang tiga focus pada pembatasan,
transparansi dan penggunaan dari dana masyarakat.
Persyaratan-persyaratan pendirian partai memiliki pengaruh penting
terhadap kompetisi politik dan sistem partai di negara demokrasi.126 Undang-
Undang yang mewajibkan partai politik untuk memenuhi batas
minimum/threshold (misalnya jumlah kandidat dan anggota) telah membatasi
akses masuk ke arena politik.127
126 Anika Gauja. Op.cit hal 14 127 Ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Gauja dalam tulisannya tentang Legislative Regulation, Judicial Politics and the
Cartel Party Model menyimpulkan bahwa aspek-aspek pengaturan dalam
Undang-Undang yang mengatur tentang partai politik khususnya yang mengatur
tentang pendaftaran partai politik dalam pemilu dan akses terhadap suara memiliki
pengaruh dalam pembentukan karakter persaingan politik dan sistem partai dalam
sistem demokrasi. Lebih lanjut Gauja menjelaskan bahwa undang-undang yang
mensyaratkan pembatasan minimum misalnya batasan anggota dan bakal calon,
pembayaran deposit sebagai syarat peserta pemilu serta syarat memperoleh
subsidi memiliki aspek yang sama dengan tesis mengenai partai kartel, yaitu
terdapat prilaku kolusif partai incumbent dalam membatasi atau memperketat
partai politik lainnya untuk memasuki arena politik dan mengambil kekuasaan.128
Gaujah menyatakan sebagai berikut :
Laws that require parties to meet minimum thresholds (for example, candidates, members or signatures) as well as they payment of deposits in order to contest elections and receive state subventions have a particular resonance with aspects of the cartel party thesis that highlight the collusive behaviour of incumbents in limiting or restricting entry to the political arena and the spoils of the state
2.2.2. Praktek Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di
Berbagai Negara
Kebijakan penyederhanaan partai politik banyak dipraktekan di berbagai
negara. venice commission mencatat beberapa negara yang menerapkan
kebijakan penyederhanaan partai politik melalui berbagai persyaratan dan juga
parliamentary threshold di beberapa negara seperti Rusia, Jerman, Republik
Ceko dan juga Turki. Pada studi ini, akan dibahas kebijakan penyederhanaan
partai politik di Rusia, Jerman dan Republik Ceko serta di berbagai negara
lainnya sebagai bahan perbandingan dalam menganalisis kebijakan
penyederhanaan partai politik di Indonesia.
128 Anika Gauja. Legislative Regulation, Judicial Politics and the Cartel.Party Model. Department
of Government and International Relations School of Social and Political Sciences Room 443, Merewether Building The University of Sydney NSW 2006 Australia. 2011.http://sydney.edu.au hal 14. Tesis tentang partai kartel ini dijelaskan oleh Richard S. Katz and Peter Mair (2009) yang menyatakan bahwa partai politik semakin berfungsi seperti kartel, menggunakan sumber daya negara untuk membatasi persaingan politik dan memastikan kesuksesan pemilihan mereka. Richard S. Katz and Peter Mair (2009). The Cartel Party Thesis: A Restatement. Perspectives on Politics, 7. hal 753-766
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2.2.2.1. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Rusia
Berdasarkan article 3.2 Russian Federation Federal Law on
Political Party, persyaratan untuk mendaftar sebagai partai politik adalah :129
a. Partai politik harus memiliki cabang-cabang regional di lebih dari setengah
negara bagian dengan jumlah anggota lebih dari 100, dan minimum anggota
di sisa cabang lainnya tidak kurang dari 50 anggota.
b. Partai politik harus memiliki minimum 10.000 anggota
Pada Tahun 2005, Russian Federation Federal Law on Political Party di
Amandemen, dan berdasarkan article 3.2 persyaratan untuk terdaftar sebagai
partai politik diperberat, yaitu :130
a. Partai politik harus memiliki cabang-cabang regional di lebih dari setengah
negara bagian, dengan jumlah anggota lebih dari 500 tiap cabang dan di
cabang-cabang yang tersisa harus memiliki lebih dari 250 anggota
b. Partai politik harus memiliki lebih dari 50.000 anggota untuk terdaftar.
a political party shall comprise not less than fifty thousand members of political party, understanding that in more than half of the subjects of the Russian Federation a political party shall have its regional branches comprising not less than five hundred members of political party as is envisaged under Item 6 of Article 23 of this federal law. In the remaining regional branches, the membership of each such branch shall be not less than two hundred and fifty members of political party as is provided under Item 6 of Article 23 of this Federal Law;
berdasarkan data dari venice commission, minimum threshold untuk memperoleh
kursi di parlemen rusia sebelum tahun 2007 adalah sebesar 5 %, namun threshold
meningkat menjadi 7 % pada tahun 2007.131
129 http://www.cikrf.ru/eng/law/fz95_en_110701.html diunduh 18 November 2012 130 http://legislationline.org/documents/action/popup/id/4375 diunduh 18 November 2012 131 http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29007-e.pdf [19 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2.2.2.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Republik
Ceko
Berdasarkan Act of Law 424/1991 Coll., on association in political parties
and political movements yang telah diamandemen beberapa kali terakhir tahun
2006132, proposal pendirian partai politik dibuat oleh panitia persiapan pendirian
partai politik yang setidaknya terdiri dari tiga orang yang telah berusia di atas 18
tahun. Selanjutnya petisi pendirian partai politik harus ditandatangani oleh
setidaknya 1000 warga negara yang menginginkan pendirian partai politik
tersebut (article 6.2)
Partai politik yang hendak menjadi peserta pemilu diwajibkan untuk
mendeposit dana sebesar 200,000 crowns ($6,450). Partai politik harus
mendeposit dana tersebut di setiap wilayah pemilihan umum yang akan diikuti.
Sehingga jika suatu partai hendak mengikuti pemilihan umum di delapan wilayah,
maka mereka harus memiliki deposit dana sebesar 1.6 million crowns (c. $51,600)
1.6 million crowns (c. $51,600) untuk dapat mengikuti pemilu di seluruh wilayah.
(article 35.2).133
Ketentuan tentang Parliamentary Threshold diatur pada article 49. 3 Act of Law
247/1995 Coll., on elections to the Parliament of the Czech Republic134. Yang
mengatur bahwa partai politik harus memperoleh 5-4% suara untuk mendapat
kursi, koalisi dua partai harus memperoleh 10 sampai 6 % suara, koalisi tiga
partai harus memperoleh 15 sampai 8% suara dan koalisi empat partai harus
memperoleh 20 sampai 10% suara dari total keseluruhan suara.
2.2.2.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Jerman
Di Jerman, partai politik memiliki status agak ambivalen. Di satu sisi,
mereka adalah organisasi swasta, baik terdaftar atau tidak terdaftar organisasi
yang didirikan berdasarkan peraturan hukum privat. Di sisi lain, mereka adalah
132 http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1991/424.html [19 November 2012] 133 http://www.osce.org/odihr/elections/czech-republic/16147 article 35.2, kemudian dihapus
setelah UU diamandemen http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1995/247.html [19 November 2012]
134 http://www.psp.cz/cgi-bin/eng/docs/laws/1995/247.html [19 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
organisasi publik yang memiliki hak konstitusional tertentu. BL menjamin bahwa
partai politik "dapat bebas didirikan. Tidak Ada ketentuan baik dalam konstitusi
Jerman 1949 (the Basic Law of the Federal Republic of Germany) atau Law on
Political Parties (LPP) yang direvisi tahun 1994, bahwa pembentukan partai
politik tidak memerlukan pendaftaran, sehingga dapat diartikan bahwa partai
politik di Jerman tidak perlu didaftarkan.135
Partai politik yang hendak berpartisipasi dalam pemilihan umum di
Jerman, diharuskan untuk memberitahukan tentang niat mereka ke Federal
Returning Officer sebelum pemilihan, kecuali partai-partai yang telah diwakili
oleh sedikitnya lima perwakilan di Bunderstag atau di Landtag (parlemen negara)
sejak pemilihan terakhir. Pemberitahuan tersebut harus meliputi nama partai dan
ditandatangani oleh setidaknya tiga anggota komite eksekutif nasional partai.
Persyaratan lainnya adalah anggaran dasar partai, program partai dan bukti formal
kepemimpinan.136
Partai politik diminta untuk menyerahkan dokumen-dokumen berikut ke
Federal Returning Officer:137 (a) anggaran dasar partai dan artikel; (b) program
partai, dan (c) nama dan fungsi anggota eksekutif partai dan cabang-cabang
lokalnya. Salinan dokumen-dokumen tersedia untuk publik secara gratis. Untuk
menjadi peserta pemilu, setiap organisasi di Inggris harus terdaftar di Komisi
Pemilihan Umum, jika tidak, mereka hanya dapat mendaftar sebagai calon
independen.138 Berdasarkan section 6.6 Federal Elections Act partai politik
peserta pemilu dapat diikutkan dalam perhitungan kursi apabila memperoleh
sedikitnya 5 % suara dari suara sah atau memenangkan kursi untuk setidaknya
tiga konstituen.139
135 CHAU Pak-kwan. The Regulatory Framework of Political Parties in Germany, the United Kingdom, New Zealand and Singapore. Research and Library Services Division Legislative Council Secretariat.Hong Kong.2004. hal 5
136 Ibid. hal 6 137 Ibid 138 Ibid hal 16 139http://www.bundeswahlleiter.de/en/bundestagswahlen/downloads/rechtsgrundlagen/bundeswahl
gesetz_engl.pdf [19 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2.2.2.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik di Negara
Lainnya
Di banyak negara persyaratan pendirian partai politik pada umumnya
meningkat dalam beberapa tahun terakhir, di sebagian negara partai harus
berhadapan dengan adanya ketentuan tentang penyediaan dana kampanye publik,
dan di sebagian lainnya partai politik harus menghadapi kompleksitas persyaratan
birokrasi yang panjang untuk mendaftarkan secara legal sebagai langkah pertama
untuk mendapatkan akses suara. Proses pendaftaran partai bervariasi lintas
nasional (sebagaimana juga di negara-negara di Amerika) tetapi pada umumnya
persyaratan pendaftaran mencakup persyaratan organisasi harus memberikan
deposit kepada lembaga pemilihan umum, pernyataan tertulis dari prinsip dan
konstitusi partai, peraturan partai, pernyataan tentang struktur organisasi, dan
buku aturan, serta daftar pengurus partai, dan nama-nama dari sejumlah minimum
tertentu dari anggota partai beserta tanda tangan. terkadang ada persyaratan
distribusi regional dan partai perlu mencantumkan jumlah minimum kandidat140
Di Negara Australia, partai politik harus terdaftar untuk mendapatkan
pendanaan berdasarkan the Commonwealth Electoral Act 1918, partai politik
haruslah didirikan berdasarkan konstitusi tertulis, memiliki minimal 500 anggota
donatur atau satu orang yang menjadi anggota parlemen commonwealth. Anggota
partai lain, tidak dapat digunakan oleh partai lainnya untuk mendaftar. Partai
politik diwajibkan untuk menyampaikan laporan tahunan dari sumber
pendanaannya dan laporan keuangan partai diaudit oleh Komisi Pemilihan Umum
Australia.141 Di Meksiko, syarat pendaftaran partai politik adalah dengan
menyerahkan dokumen deklarasi prinsip, program dan kegiatan partai, serta
peraturan internal partai. Memiliki 3000 anggota yang tersebar setidaknya 10 dari
32 entitas federal atau 300 anggota pada setidaknya 100 dari 300 single member
district yang mana negara tersebut dibagi untuk kepentingan pemilihan umum. Di
Kanada, partai didaftarkan dengan menyertakan pengurus partai dan deklarasi
yang ditandatangani minimum 250 anggota.142 Sedangkan di negara Austria,
140 Pippa Norris.op.cit. hal 8 141 Ibid. 142 Ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Spanyol dan Uruguay mensyaratkan memiliki 5000 anggota untuk mendirikan
partai politik.143
Pendaftaran partai politik juga tidak diwajibkan di Inggris. Jika suatu
organisasi hendak mendaftar sebagai partai politik, maka harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut :144
1. formulir aplikasi memberikan rincian nama partai dan setidaknya dua pejabat
partai
2. di mana partai itu harus terdaftar, dan apakah partai akan memiliki unit
akuntan;
3. salinan Konstitusi Partai
4. Skema Keuangan, menunjukkan bagaimana partai memenuhi kebutuhan
pendanaan
5. Biaya sebesar £ 150
Venice Commision berpendapat bahwa Undang-Undang tentang Partai
Politik di Ukraina mengatur persyaratan pendirian partai baru dengan cukup sulit
dan berat. Berdasarkan article 10 Undang-Undang tentang Partai Politik Ukraina
tahun 2010, untuk membentuk partai baru, haruslah didukung oleh 10.000 tanda
tangan dari warga negara Ukraina yang memiliki hak untuk memilih yang
haruslah tersebar di 2-3 distrik atau 2 sampai 3 wilayah administratif Ukraina dan
di Kota Kyiv dan Sevastopol dan 2 sampai 3 distrik di Republik Otonomi
Crimea.145
Dengan demikian meskipun ada beberapa negara yang tidak mengatur
tentang pendirian partai politik secara khusus dalam Undang-Undang tentang
Partai Politik, namun kebanyakan negara mengatur tentang syarat-syarat pendirian
dan pembentukan partai politik dengan tingkatan beratnya persyaratan bervariasi
mencakup syarat minimum anggota, kepengurusan hingga ketersebaran.
143 OSCE/ODIHR AND VENICE COMMISSION. Op.cit (1) .hal 19 144 ibid hal 20 145 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The
Ukrainian Legislation On Political Parties. Adopted By The Venice Commission At Its 51st Plenary Session (Venice, 5-6 July 2002) Hal 3. http://www.venice.coe.int/docs/2002/CDL-AD%282002%29017-e.pdf [15 Juli 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Persyaratan untuk Mengikuti Pemilihan Umum
Dalam permohonan pendaftaran berdasarkan UU Pemilu Kanada tahun
2000, partai politik harus memberikan rincian pemimpin, pejabat partai, agen dan
auditor. Partai juga harus menyediakan nama, alamat dan tanda tangan dari 250
pemilih dan deklarasi pembentukan bahwa mereka adalah anggota partai dan
mendukung aplikasi partai untuk terdaftar. partai juga harus menyerahkan
deklarasi dari pimpinan partai bahwa salah satu tujuan mendasar adalah untuk
berpartisipasi dalam urusan publik dengan mendukung satu atau lebih sebagai
calon anggota dan mendukung pemilihan mereka.146
Penerapan batasan pada jumlah donor dapat memberikan kontribusi bagi
partai atau calon adalah bentuk umum reformasi keuangan partai politik.
Pembatasan kontribusi didasarkan pada prinsip untuk mengurangi disparitas
pengaruh politik antara pendonor besar, pendonor kecil, dan non-donors.
Beberapa negara juga melakukan pembatasan terhadap sumber-sumber
pendanaan. Negara Eropa beberapa, seperti Spanyol dan Perancis, misalnya,
melarang atau membatasi sumbangan perusahaan kepada partai politik. Batas
partai dan kandidat pengeluaran juga umum. Dalam upaya untuk tingkat lapangan
antara partai, pemerintah memberlakukan plafon total pengeluaran, biasanya
dilaksanakan hanya selama masa kampanye.147
Persyaratan nilai parliamentary Threshold dipraktekkan secara beragam di
berbagai negara. Di negara-negara Eropa, PT bervariasi antara 10%-0%. Turki
adalah negara dengan PT tertinggi yaitu sebesar 10%. Rusia sejak 2007,
menerapkan PT 7%, Jerman, Belgia, Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia,
Republik Ceko, dan Slovakia menerapkan PT 5%, sementara negara Austria,
Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia menerapkan PT sebesar 4%, Spanyol,
Yunani, Rumania dan Ukraina menerapkan PT sebesar 3%, Denmark sebesar 2%
dan Belanda 0.67%.148
146Anika Gauja. op.cit hal 6 147 Peter M.Manikas and Laura L. Thornton Political Parties in Asia Promoting Reform and
Combating Corruption in Eight Countries .National Democratic Institute for International Affairs. 2003 hal 12
148 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Report On
Thresholds And Other Features Of Electoral Systems Which Bar Parties From Access To
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Alasan utama untuk memperkenalkan ambang batas adalah untuk
mencegah fragmentasi lebih lanjut dari spektrum politik. Efeknya adalah bahwa
partai-partai kecil memiliki kesulitan untuk memperoleh kursi. Electoral
threshold juga merupakan kendala penting bagi partai minoritas Untuk
menurunkan threshold atau bahkan menghapuskan. Di Serbia partai minoritas
gagal melewati ambang batas 5% pada pemilihan parlemen 2003. Setelah
penghapusan dari ambang batas pada tahun 2004 lima partai minoritas yang
mewakili Hongaria, Bosnia, Albania dan Roma kembali ke Parlemen dalam
pemilu 2007. Di Polandia dan Jerman ambang 5% tidak berlaku untuk partai
minoritas. Pengadilan Eropa tentang Hak Asasi Manusia menyatakan dalam kasus
Yumak dan Sadak v Turki, yang akan diinginkan untuk menurunkan threshold
10% diterapkan untuk Turki untuk memastikan optimal representasi. Venice
commission menyatakan bahwa ambang pemilu tidak boleh mempengaruhi
kemungkinan minoritas nasional untuk diwakili. Penurunan atau bahkan
pencabutan ambang batas untuk partai minoritas dapat dibenarkan.149
2.2.3. Pedoman dan Prinsip Dasar Pengaturan Partai Politik
Hak kebebasan berserikat dan kebebasan berekspresi dan berpendapat
merupakan dasar berfungsinya demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Partai
politik sebagai instrumen dalam menyatukan ekspresi politik haruslah dapat
menikmati hak-hak tersebut secara utuh. Seperti yang telah dirangkum oleh
Venice Commission dalam Pedomannya bersama OSCE/ODHIR :150
Parties have developed as the main vehicle for political participation and contestation by individuals, and have been recognized by the European Court of Human Rights as vital to the functioning of democracy. The Parliamentary Assembly of the Council of Europe has further recognized that political parties
Parliament (II). Adopted by the Council for Democratic Elections at its 32nd meeting. (Venice, 11 March 2010).and by the Venice Commission at its 82nd plenary session. (Venice, 12-13 March 2010).http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29007-e.pdf hal 5 [15 Juli 2012]
149 ibid 150 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The
Law On Political Parties Of The Russian Federation. Adopted by the Council for Democratic Elections at its 40th meeting (Venice, 15 March 2012). and by the Venice Commission at its 90th Plenary Session .(Venice, 16-17 March 2012). http://www.venice.coe.int/docs/2012/CDL-AD%282012%29003-e.pdf [16 Juli 2012] hal 3
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
are “a key element of electoral competition, and a crucial linking mechanism between the individual and the state” by “integrating groups and individuals into the political process…” As required by the Copenhagen Document, paragraph 3, political pluralism, as fostered by competition and opposition parties, is critical to the proper functioning of democracy.”
Menurut Venice Commission tidaklah perlu demokrasi memiliki hukum tertentu
yang mengatur partai politik. Namun, ketika hukum tersebut ada, seharusnya tidak
"terlalu menghambat aktivitas atau hak partai politik". Undang-undang harus,
sebaliknya, memfasilitasi peran partai politik sebagai aktor penting dalam
demokrasi yang berfungsi dan menjamin perlindungan penuh hak-hak mereka.151
Pada prinsipnya hukum harus memperlakukan semua partai secara sama,
bukan membatasi atau diskriminasi untuk atau terhadap jenis tertentu dari partai,
baik karena filsafat politik mereka, prinsip, atau program partai. Partai politik
yang berbeda, kelompok, atau asosiasi harus memiliki hak untuk mengatur dan
kebebasan berpendapat dan berekspresi. Aktivis partai harus bebas untuk menyatu
melalui pertemuan damai dan demonstrasi, pemimpin partai seharusnya bebas
untuk menyebarluaskan dan mempublikasikan pandangan mereka, pengurus partai
harus memiliki otonomi untuk mengelola urusan internal mereka, dan kandidat
harus memiliki hak berkampanye untuk mendapatkan jabatan publik152. Untuk
lebih menyederhanakan perbandingan, tingkat regulasi hukum yang mengatur
partai politik dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe ideal atau kategori analitis
yaitu :153
1. Monopolistik, secara eksplisit peraturan perundang-undangan condong
terhadap partai yang berkuasa, membatasi semua partai oposisi dan gerakan
penentang, untuk menopang rezim represif dan satu partai negara.
2. Kartel, menghormati hak asasi manusia secara umum tetapi tetap saja mereka
membatasi kompetisi partai melalui berbagai praktek pembatasan dirancang
untuk menguntungkan partai mapan di parlemen atau di pemerintahan.
Peraturan ini termasuk persyaratan untuk mendapatkan suara, peraturan yang
151 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).op.cit Hal 4 152 Pippa Norris.Building political parties: Reforming legal regulations and internal
rules.Harvard University Report commissioned by International IDEA 2004.hal 5 153 Ibid .Hal 5
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mengatur alokasi umum pendanaan, dan hak untuk kampanye gratis dan
subsidi negara. Kartel dirancang untuk condong terhadap sumber daya
internal, dengan ambang batas suara yang tinggi dan efektif melindungi
terhadap penantang luar.
3. Terakhir, peraturan yang paling egaliter dirancang untuk memfasilitasi
kompetisi jamak partai di antara beberapa pesaing, dengan akses yang sama
terhadap sumber daya publik dan pembatasan hukum yang minimal pada
partai.
Venice Commission telah menyusun sepuluh prinsip-prinsip yang menjadi
panduan dalam menyusun peraturan perundang-undangan tentang partai politik,
yaitu :154
1. Prinsip hak individu untuk berserikat
Hak seseorang untuk berserikat dan membentuk partai politik harus
sepenuhnya bebas dari pengaruh. Meskipun ada pembatasan terhadap hak
untuk berasosiasi, pembatasan tersebut haruslah disusun secara ketat dan
hanya karena alasan yang meyakinkan pembatasan tersebut dapat dilakukan.
Pembatasan haruslah diatur dalam undang-undang, diperlukan oleh
masyarakat demokrasi, dan bernilai proporsional. Bergabungnya seseorang
dengan partai politik haruslah terjadi secara sukarela dan tidak ada unsure
paksaan bagi seseorang untuk bergabung dalam suatu partai politik
2. Kewajiban negara untuk melindungi hak individu akan kebebasan berserikat.
Ini merupakan tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa perundang-
undangan yang relevan menetapkan mekanisme yang penting untuk
memberikan jaminan kebebasan seseorang untuk berserikat dan mendirikan
partai politik. Lebih lanjut, negara mempunyai tanggung jawab, untuk
menetapkan perundang-undangan untuk melarang interfensi dari pihak-pihak
di luar negara ataupun dari pemerintah sendiri. Ketika terjadi pelanggaran
terhadap hak untuk berserikat, maka negara harus melakukan tindakan
perbaikan yang sesuai untuk menghentikan pelanggaran tersebut.
3. Prinsip Legalitas
154 OSCE/ODIHR And Venice Commission. Op.cit (1).
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Setiap pembatasan terhadap hak individu untuk berserikat dan berekspresi
harus mempunyai landasan yuridis berdasarkan konstitusi ataupun undang-
undang. Pembatasan-pembatasan bukanlah berasal dari kegiatan politik
partisan, namun merupakan keinginan yang sah dari masyarakat demokratik.
Konstitusi dan perundang-undangan haruslah menghormati hak untuk
berserikat yang ada di peraturan-peraturan internasional. Hukum harus jelas
dan tepat, menunjukkan kepada partai politik baik kegiatan apa saja yang
dianggap melanggar hukum dan apa sanksi yang tersedia dalam kasus
pelanggaran. Undang-undang partai politik harus diadopsi secara terbuka,
setelah perdebatan, dan tersedia kesempatan untuk ditinjau publik untuk
memastikan individu dan partai politik menyadari hak mereka dan pembatasan
hak-hak tersebut.
4. Prinsip Proporsionalitas
Pembatasan yang dikenakan pada hak-hak partai politik harus proporsional
secara alami dan efektif untuk mencapai tujuan tertentu mereka. Terutama
dalam hal partai politik, diberikan peran fundamentalnya dalam proses
demokrasi, proporsionalitas harus hati-hati ditimbang dan diterapkan secara
ketat. Sebagaimana dinyatakan di atas, satu-satunya pembatasan dikenakan
harus yang diperlukan dalam suatu masyarakat yang demokratis dan
ditentukan oleh hukum. Jika pembatasan tidak memenuhi kriteria tersebut,
mereka tidak dapat dianggap sebagai proporsional dengan pelanggaran.
Pembubaran partai politik, atau pembatasan pembentukan partai politik,
merupakan sanksi paling ekstrim dan tidak boleh dikenakan kecuali ukuran
tersebut adalah proporsional dan diperlukan dalam masyarakat demokratis.
5. Prinsip Non-Diskriminasi
Peraturan perundang-undangan tentang partai politik haruslah tidak
mendiskriminasi setiap individu atau grup atas dasar apapun, misalnya ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya,
kebangsaan atau asal-usul sosial, kekayaan, kelahiran, orientasi seksual, atau
lain status. Hak individu untuk bebas asosiasi tidak membuatnya dapat
mengharuskan partai politik diminta untuk menerima anggota yang tidak
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
berbagi inti keyakinan dan nilai-nilai. Namun prinsip non-diskriminasi oleh
partai politik dimungkinkan jika dilakukan secara sukarela.
6. Prinsip Perlakuan yang Sama
Semua individu dan kelompok yang berusaha membentuk partai politik
harus dapat memiliki dasar perlakuan yang sama dimata hukum. Tidak ada
individu atau kelompok yang ingin mengasosiasikan sebagai partai politik
harus diuntungkan atau dirugikan dalam usaha ini oleh negara, dan peraturan
tentang partai politik haruslah seragam diterapkan untuk semua partai. Untuk
menghilangkan kesenjangan historis langkah-langkah dapat diambil untuk
menjamin kesempatan yang sama bagi perempuan dan minoritas. Sementara
tindakan khusus yang bertujuan mempromosikan kesetaraan de facto untuk
perempuan dan etnis, ras atau lainnya minoritas mengalami diskriminasi masa
lalu dapat ditetapkan dan tidak boleh dianggap diskriminatif.
7. Prinsip pluralisme politik
Legislasi tentang partai politik harus bertujuan untuk memfasilitasi pluralisme
politik. memfasilitasi warga negara untuk menerima berbagai pandangan
politik, seperti melalui ekspresi platform partai politik, umumnya diakui
sebagai elemen penting dari masyarakat demokrasi. Yang dibuktikan dengan
ayat 3 dari Dokumen Kopenhagen dan komitmen OSCE lain, pluralisme
diperlukan untuk memastikan individu ditawarkan pilihan yang nyata dalam
asosiasi politik mereka. Fungsi peraturan partai politik harus dipertimbangkan
dengan cermat untuk memastikan mereka tidak melanggar atas prinsip
pluralisme politik.
8. Prinsip administrasi yang baik dari perundang-undangan tentang partai politik.
Pelaksanaan undang-undang yang relevan dengan partai politik harus
dilakukan oleh badan yang bebas dan ketidakberpihakan dijamin baik dalam
hukum maupun dalam praktek. Ruang lingkup dan kewenangan badan hukum
harus secara eksplisit ditentukan oleh hukum. Legislasi juga harus memastikan
bahwa badan pelaksana wajib menerapkan hukum secara obyektif dan tidak
sewenang-wenang. Ketepatan waktu merupakan salah satu unsur administrasi
yang baik. Keputusan yang mempengaruhi hak-hak partai politik harus
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dilakukan secara cepat, terutama keputusan-keputusan yang terkait dengan
sensitif waktu, seperti pemilu.
9. Prinsip hak untuk mendapatkan pemulihan atas pelanggaran hak.
Partai politik harus memiliki jalan lain untuk sebuah pemulihan hak yang
efektif. Untuk semua keputusan yang mempengaruhi hak-hak dasar mereka,
termasuk yang berserikat, berekspresi dan berpendapat. Apabila hak tersebut
diberikan kepada individu, mereka umumnya dilaksanakan secara kolektif,
yang membutuhkan bantuan karena untuk dugaan pelanggaran membawa
tidak hanya oleh individu tetapi oleh partai secara keseluruhan. Dalam
penerapan hak-hak ini, partai politik juga harus memperoleh hak atas
perlindungan pengadilan yang adil dan tidak memihak. Ganti rugi yang tepat
dan efektif harus tersedia bagi partai jika setiap pelanggaran yang ditemukan
telah terjadi. Prinsip efektivitas mensyaratkan bahwa beberapa pemulihan
diberikan secepatnya. Pemulihan yang tidak disediakan dalam tepat waktu
tidak cukup untuk memenuhi persyaratan bahwa pemulihan menjadi efektif.
10. Prinsip Akuntabilitas
Partai politik dapat memperoleh hak hukum tertentu, karena terdaftar sebagai
politik partai, yang tidak diberikan kepada organisasi lain. Hal ini terutama
berlaku di bidang keuangan dan akses ke berbagai media selama kampanye
pemilu. Sebagai hasil dari memiliki hak tidak diberikan kepada asosiasi lain,
adalah tepat untuk menempatkan kewajiban tertentu pada partai politik karena
diperoleh status hukum mereka. Kewajiban tersebut dapat berupa
pemberlakuan persyaratan pelaporan atau transparansi dalam pengaturan
keuangan. perundang-undangan harus memberikan rincian khusus mengenai
hak-hak yang relevan dan tanggung jawab yang menyertai didapatkannya
status hukum sebagai partai politik.
2.3. Konsep Sistem Multipartai Sederhana
Di zaman sekarang ini, terutama sejak awal abad ke-20, muncul
kecenderungan bahwa sistem partai tunggal dan sistem dua partai itu semakin
popular. Sebaliknya, sistem multipartai seperti yang banyak diterapkan di
berbagai negara yang menganut sistem kabinet justru banyak menghadapi kritik
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
karena kelemahan-kelemahannya yang kurang menjamin stabilitas. Karena itu
dapat dikatakan bahwa muncul dan berkembangnya sistem partai tunggal dan
sistem dua partai itu, bersamaan dengan semakin kurang populernya sistem
banyak partai, juga menjadi salah satu sebab yang mendorong terjadinya
pergeseran kekuasaan dari parlemen ke pemerintah dalam perkembangan sejarah
abad ke-20.155
Perdebatan normatif tentang kelebihan dan kekurangan dari sistem-sistem partai
dikemukan oleh Daniele Caramani sebagai berikut 156:
Tabel 1.1 Perdebatan Normatif : Kelebihan dan Kekurangan
Sistem Dwi- Partai dan Sistem Multipartai
Sistem Dwi-Partai
Sistem Multipartai
Konotasi Sejarah Positif Sistem Dwi-Partai adalah kasus utama yang tahan terhadap perpecahan demokrasi antara Perang Dunia I dan Perang Dunia Dua : Inggris dan Amerika
Konotasi Sejarah Negatif setelah Perang Dunia I di Italia, Weimar Jerman, Republik Ke II Spanyol dan Republik Ke IV Perancis (1946-56) mengalami Krisis demokrasi
Efektif pemerintahan yang dihasilkan setelah pemilihan adalah pemerintahan yang stabil karena dibentuk oleh partai yang tunggal
Tidak Efektif pembentukan pemerintahan butuh waktu yang panjang setelah pemilihan karena negosiasi antar partai. Koalisi membuat pemerintahan yang tidak stabil
Akuntabel karena hanya ada satu partai di pemerintahan, maka tanggungjawab dapat diidentifikasi dengan mudah
Tidak Akuntabel dikarenakan pemerintahan dibentuk dari banyak partai, maka tanggungjawab menjadi kabur
Alternasi (Pergantian) dua partai utama saling bergantian memegang kekuasaan, perolehan suara mempengaruhi langsung formasi pemerintahan . sedikit peningkatan dapat menyebabkan perubahan pemerintahan.
Tidak Alternasi (tidak ada Pergantian) negosiasi koalisi jauh dari jangkauan pengaruh perolehan suara dan peningkatan perolehan suara tidaklah serta merta diikuti oleh perubahan pemerintahan
Tidak Representatif FPTP dibawah perwakilan minoritas dan di atas perwakilan partai mainstream yang besar dari kiri-kanan
Representatif PR secara fair mrepresentasikan minoritas dari masyarakat dengan ethno-lingusitic dan minoritas agamais
Politik Moderat Politik Ekstrim
155 Jimly Asshiddiqie. op.cit(4). hal 51 156 Daniele Caramani, op cit. hal 331
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Sistem Dwi-Partai
Sistem Multipartai
semua partai utama mempunyai kesempatan untuk memerintah dan menghindari adanya claim yang ekstrim. Membutuhkan perolehan yang besar dari pemilihan
sistem multipartai memungkinkan hadirnya anti sistem partai yang ekstrim. Beberapa tidak memiliki prospek pemerintahan dan tidak ragu-ragu untuk meradikalkan klaim mereka
Tidak Berkelanjutan keputusan dibuat oleh mayoritas dengan strategi yang jelas namun putusan tersebut kemungkinan tidak akan diulangi oleh pemerintah terpilih berikutnya. Legislasi sering dibalikkan
Berkelanjutan keputusan dibuat dari hasil consensus melalui konsultasi. Lebih sulit untuk menemukan strategi yang jelas namun lebih berkelanjutan dalam legislasi.
Sistem multipartai memiliki beberapa keunggulan dibanding sistem partai
lainnya, diantaranya sistem multipartai lebih mewakili keinginan rakyat banyak.
Semakin banyak jumlah partai, maka semakin banyak pilihan bagi pemilih. Selain
itu sistem multipartai adalah bentuk yang lebih baik dalam mewakili kepentingan
minoritas.157
Namun demikian sistem multipartai, menurut para ahli memiliki banyak
kelemahan. Scot Mainwarring menyatakan bahwa kombinasi antara sistem
presidensil dan sistem multi partai membuat demokrasi yang tidak stabil.158
The combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain.
Dari hasil penelitiannya, tidak ada dari 31 negara demokrasi yang stabil
di dunia mempunyai konfigurasi ini dan hanya satu contoh negara dalam sejarah,
yaitu Chili antara 1933 ke 1973 yang mampu stabil dengan sistem presidensil dan
multipartai.159 Kombinasi antara presidensil dan multipartai akan menghasilkan
imobilisasi eksekutif/ legislative deadlock daripada sistem parlementer atau sistem
presidensil-sistem dwi-partai. Presiden dipilih secara independen dan ketika
157 Lowell. Barington. Comparative Politics.Structure and Choices. Wadsworth Cengage Learning. Boston. 2012. hal 264
158 Scott Mainwaring. Op.cit (1) . 1993. hal 199 159 Ibid hal 199
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
pemenang tidak berasal dari partai mayoritas sehingga presiden tidak didukung
mayoritas parlemen.160
Tendensi menuju eksekutif-legislatif deadlock terjadi pada kombinasi
antara sistem presidensil dan multipartai terutama dengan sistem partai dengan
fragmentasi yang tinggi. Presiden sering tidak didukung oleh legislatif yang
mengakibatkan terganggunya stabilitas demokrasi dan pemerintahan yang
efektif.161 Selain itu sistem presidensil menyebabkan sistem multipartai tidak
berfungsi secara baik dikarenakan bangunan koalisi. Dalam sistem multipartai,
koalisi antar partai menjadi penting untuk mendapatkan mayoritas parlemen. Tiga
faktor yang menyebabkan sulitnya dibangun koalisi antar partai dalam sistem
presidensil adalah :162
Pertama, dalam sistem presidensil, presiden (bukan partai) yang
bertanggungjawab untuk membentuk kabinet. Presiden dapat saja membuat
kesepakatan dengan partai-partai yang mendukungnya, namun kesepakatan ini
tidaklah semengikat kesepakatan yang dibuat dalam sistem parlementer. Presiden
lebih bebas merombak kabinet yang menyebabkan lebih mudah kehilangan
dukungan kongres, karena rendahnya ikatan antara presiden ke partai, maka
partai-partai pun akan rendah pula ikatannya kepada presiden.
Kedua, dalam sistem presidensil, komitmen dari para legislator secara individu
untuk mendukung hasil kesepakatan pemimpin partai seringlah tidak konsisten
dan tidak disiplin. Akibatnya tidaklah mungkin untuk digeneralisasi bagaimana
dukungan partai terhadap pemerintahan dalam bentuk dukungan tiap individu
dalam parlemen.
Ketiga, dorongan kepada partai untuk memecah koalisi lebih kuat pada sistem
presidensil dibanding sistem parlementer. Dalam sistem presidensil-multipartai,
pada saat presiden terpilih, para pemimpin partai umumnya merasa perlu untuk
membuat jarak kepada pemerintahan. Dengan menyisakan partner tersembunyi
dalam pemerintahan koalisi, para pemimpin partai merasa takut kehilangan
160 Ibid hal 214 161 Ibid hal 215 162 Ibid hal 220
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
identitasnya, membagi kesalahan yang dibuat pemerintah dan tidak menikmati
prestasi yang dicapai.
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam sub bab sistem kepartaian,
para ahli membagi sistem multipartai menjadi sistem multipartai sederhana
(moderate) dan sistem multipartai ekstrim sebagaimana yang dikemukakan oleh
Sartori. sistem multipartai sederhana terdiri dari 3 sampai 5 partai yang relevan,
sedangkan sistem multipartai terpolarisasi (ekstrim) terdiri dari 6 sampai 8 partai
politik yang relevan.163 Partai politik yang relevan adalah partai yang memperoleh
3% atau lebih di parlemen setelah pemilihan umum.164
Sartori memperhalus kategori sistem multipartai dikarenakan dia
menyadari bahwa kontra terhadap opini Duverger bahwa sistem multipartai
tidaklah sama. sebagian sistem multipartai (pluralisme moderat) berfungsi
layaknya sistem dua partai (dan inilah mengapa disebutkan bahwa sistem ini
adalah sistem bipolar yang dinamis), sementara sistem multipartai lainnya sangat
berbeda dari sistem dua partai. dan dalam pandangan Sartori sistem ini adalah
pluralisme yang terpolarisasi.165
Sartori menemukan bahwa karakteristik struktural dari pluralisme
terpolarisasi dicirikan oleh hadirnya lebih dari lima partai politik yang relevan
dengan derajat polarisasi ideologi yang tinggi, dengan adanya partai anti
pemerintah, dengan hadirnya oposisi bilatelar, dengan kenyataan bahwa oposisi
tidaklah bertanggungjawab.166
Siaroff membagi lagi sistem multipartai moderate menjadi sistem
multipartai moderate dengan satu partai dominan (moderate multiparty with one
dominant party), moderate multiparty with two main parties, moderate multiparty
with a relative balance amongst the parties.167 sistem multi partai cenderung
163 Wen Cheng Wu. Duverger Hypothesis Revisited. Department of Political Science, Soochow University, Taipei . 2001. hal 48. Bagaimanapun juga Wen Cheng Wu mengemukakan bahwa jumlah partai politik bukanlah yang utama, namun jumlah partai yang relevan membentuk ataupun menghambat koalisilah yang perlu untuk dihitung.
164 alan ware. Political Parties and Party Systems. Oxford University Press. 1996. hal 159 165 http://ink.library.smu.edu.sg/cgi/viewcontent.cgi?article=1043&context=soss_research
dunduh 20 november 2012] 166 http://paperroom.ipsa.org/papers/paper_5213.pdf [dunduh 20 november 2012] 167 http://paperroom.ipsa.org/papers/paper_5213.pdf [dunduh 20 november 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
menyerupai dan meniru mekanisme dan karakteristik dari dua partai sistem. Vis-à-
vis sifat dari sistem dua partai, sifat penting yang membedakan sistem multi partai
moderat adalah pemerintah koalisi. Tetapi struktur sistem multi partai moderat
tetap bipolar (bukan segitiga) dan oposisi tetap unilateral (bukan bilateral). Sistem
multi partai moderat dicirikan oleh koalisi alternatif-satu di kanan dan yang lain di
sebelah kiri. Pusat dari sistem ini adalah kosong. Sistem multi partai moderat
kurang relevan anti-sistem partai baik di ekstrim kanan atau ekstrem kiri. Semua
partai berorientasi kepada pemerintahan, sehingga mudah terbentuk koalisi. Dan
koalisi biasanya cukup stabil dan kabinet jarang rusak dan reshuffle.168
Daniel caramanie mengemukakan ciri dari Jumlah partai politik terbatas,
dibawah 5 partai dan arah kompetisi sentripetal, yang berarti partai-partai utama
cenderung menyatu ke arah pusat dari kiri-kanan untuk mendapat dukungan
dalam pemilihan umum. Pada titik pusat, terdapat satu partai kecil atau beberapa
partai yang akan membentuk koalisi ke masing-masing sisi. Peran dari partai-
partai kecil ini amatlah penting, yang akan menentukan kecenderungan koalisi
apakah ke arah kiri atau kanan. Jarak ideologi tidaklah jauh sehingga koalisi
masih memungkinkan. 169
2.4. Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai Negara
Daniel Caramani dalam tulisannya menghimpun negara-negara yang
menganut sistem multipartai sederhana, diantaranya adalah negara-negara pada
tabel berikut ini :
Tabel 2.1 Negara dengan E (ENVP) antara 3 sampai 5170
No Negara Tahun Pemilu ENVP 1 Canada 2006 3.2 2 Czech Republic 2006 3.1 3 Finlandia 2003 4.9 4 Jerman 2005 4.1 5 Irlandia 2002 3.3
168 Wen Cheng Wu. op.cit. hal 48 169 Daniele caramani. hal 330 170 Caramani hal 33
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
6 Belanda 2003 4.8 7 Norwegia 2005 4.6 8 Polandia 2005 4.3 9 russia 2003 3.4 10 Swedia 2002 4.2
dalam studi ini, akan dikaji lebih dalam sistem multipartai sederhana di negara
Rusia, Republik Ceko dan Jerman, agar terdapat kesinambungan antara kebijakan
penyederhanaan partai politik di negara-negara tersebut yang telah dibahas pada
Sub Bab sebelumnya.
2.4.1. Sistem Multipartai Sederhana di Rusia
Pemilu tahun 2003 diikuti oleh lebih dari 24 partai politik, dan
berdasarkan minimum threshold 5 %, maka sebanyak 12 partai politik
memperoleh kursi di Parlemen. Berdasarkan perhitungan Nilai ENPP dengan
rumus dari Laakso dan Tagepera, diperoleh angka ENPP sebesar 3.38 yang berarti
pada pemilu 2003 telah menciptakan Sistem Multipartai Sederhana (Moderate
Multiparty System) di Rusia. Jumlah Partai Efektif di Parlemen 3 sampai 4 Partai.
Partai United Russia berhasil memperoleh kursi terbanyak, yaitu sebesar 49.55%,
diikuti oleh communist party 11.55%, Rodina 8.22% dan Zhirinovsky Bloc 8%.
Tabel 2.2. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2003 di Rusia
No Nama Partai Jumlah Kursi
% Jumlah Kursi (si)
si2
1 United Russia 223 0.496 0.25 2 Communist Party 52 0.116 0.01 3 Zhirinovsky Bloc 36 0.080 0.01 4 Rodina 37 0.082 0.01 5 Yabloko 4 0.009 0.00 6 Union of Rightist Forces 3 0.007 0.00 7 Agrarian Party 2 0.004 0.00 8 Russian Pensioners' Party-Party of
Social Justice 0 - -
9 Party of Russia's Rebirth-Russian Party of Life
3 0.007 0.00
10 People's Party 17 0.038 0.00 11 Unity 0 - - 12 New Course–Automobile Russia 1 0.002 0.00
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No Nama Partai Jumlah Kursi
% Jumlah Kursi (si)
si2
13 For a Holy Russia 0 - - 14 Russian Ecological Party "The Greens" 0 - - 15 Development of Enterprise 1 0.002 0.00 16 Great Russia–Eurasian Union 1 0.002 0.00 17 Genuine Patriots of Russia 0 - - 18 Peace and Unity 0 - - 19 United Russian Party Rus' 0 - - 20 Democratic Party of Russia 0 - - 21 Russian Constitutional Democratic Party 0 - - 22 Union of People for Education and
Science 0 - -
23 People's Republican Party 0 - - 24 Other parties 0 - - 25 Independents 67 0.149 0.02 26 kursi kosong 3 0.007 0.00 Total 450 0.30 ENPP 3.38 Sumber Data diolah dari http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2003171 Pada pemilu tahun 2007, 11 partai politik menjadi peserta dan dengan
threshold 7%, hanya 4 partai politik yang dapat memperoleh kursi di parlemen.
perhitungan nilai ENPP sebesar 1.98 menunjukkan bahwa pemilu tahu 2007 telah
menciptakan sistem satu partai atau multiparty systems with a predominant party
(multipartai dengan satu partai dominan). United Rusia berhasil memperoleh kursi
lebih dari 70%, diikuti oleh Communist Party of the Russian Federation 12.67%,
Liberal Democratic Party of Russia 8.89% dan A Just Russia 8.44%.
Tabel 2.3. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2007 di Rusia
No Nama Partai Jumlah
Kursi
% Jumlah
Kursi (si)
si2
1 United Russia 315 0.700 0.49
2 Communist Party of the Russian
Federation
57 0.127 0.02
171 Wikipedia. Russian legislative election, 2003. http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2003 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No Nama Partai Jumlah
Kursi
% Jumlah
Kursi (si)
si2
3 Liberal Democratic Party of Russia 40 0.089 0.01
4 A Just Russia 38 0.084 0.01
5 Agrarian Party of Russia 0 - -
6 Russian Democratic Party "Yabloko" ( 0 - -
7 Civilian Power 0 - -
8 Union of Rightist Forces 0 - -
9 Patriots of Russia 0 - -
10 Party of Social Justice 0 - -
11 Democratic Party of Russia 0 - -
Total 450 0.52
ENPP 1.92
Sumber Data diolah dari http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2007172
Jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu pada tahun 2011
kembali menurun, pemilu 2011 hanya diikuti oleh 7 partai politik dan 4
diantaranya berhasil memperoleh kursi di parlemen. Perhitungan nilai ENPP
didapat sebesar 2.80 menunjukkan bahwa pemilu 2011 menciptakan sistem
multipartai sederhana dengan 2 sampai 3 partai efektif di parlemen. United Russia
memperoleh 52.89% kursi, Communist Party 20.44%, A just Rusia 14.22%,
Liberal Democratic Party 12.44%. berdasarkan klasifikasi sistem partai Blondel,
sistem kepartaian di rusia juga dapat disebut sistem multipartai dengan 1 partai
dominan yaitu united russia yang memperoleh lebih dari 50% kursi di Parlemen.
Tabel 2.4. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2011 di Rusia
No Nama Partai Jumlah
Kursi
% Jumlah
Kursi (si)
si2
172 Wikipedia. Russian legislative election, 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2007 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No Nama Partai Jumlah
Kursi
% Jumlah
Kursi (si)
si2
1 United Russia 238 0.529 0.28
2 Communist Party 92 0.204 0.04
3 A Just Russia 64 0.142 0.02
4 Liberal Democratic Party 56 0.124 0.02
5 Yabloko 0 - -
6 Patriots of Russia 0 - -
7 Right Cause 0 - -
Total 450 0.36
ENPP 2.80
Sumber Data diolah dari http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2011 173
Dari data di atas, jika dikaitkan dengan kebijakan penyederhanaan partai
politik di rusia, dapat dikatakan bahwa beratnya persyaratan untuk terdaftar
sebagai partai politik yaitu harus mempunyai 50.000 anggota dan tingginya nilai
parliamentary threshold (7%) telah mengakibatkan penurunan jumlah partai
politik peserta pemilu dan juga partai politik yang memperoleh kursi di parlemen
rusia sehingga menciptakan sistem multipartai sederhana dan bahkan pada pemilu
tahun 2007 telah menciptakan sistem 1 partai (predominant party system).
2.4.2. Sistem Multipartai Sederhana di Republik Ceko
pada pemilu tahun 1998, diikuti oleh 13 Partai politik. ketentuan
Parliamentary Thershold sebesar 5% menyebabkan hanya 5 partai politik yang
memperoleh kursi di Parlemen. Czech Social Democratic Party memperoleh 37%
kursi, diikuti dengan Civic Democratic Party 32%, Communist Party of Bohemia
and Moravia 12%, koalisi KDU dan CSL 10%, serta Freedom Union 10%. Nilai
ENPP pemilu tahun 1998 sebesar 3.71 menunjukkan bahwa pemilu 1998 telah
menciptakan sistem multipartai sederhana di Republik Ceko dengan 3 sampai 4
partai efektif di Parlemen.
173 Wikipedia. Russian legislative election, 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/Russian_legislative_election,_2011 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tabel 2.5. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1998 di Republik Ceko
No Partai Perolehan Kursi
% perolehan kursi (si)
si2
1 Czech Social Democratic Party 74 0.37 0.137 2 Civic Democratic Party 63 0.32 0.099 3 Communist Party of Bohemia
and Moravia 24 0.12 0.014
4 KDU-ČSL 20 0.10 0.010 5 Freedom Union 19 0.10 0.009 6 SPR-RSČ 0 - - 7 Pensioners for Life Security 0 - - 8 Democratic Union 0 - - 9 Green Party 0 - - 10 Independents 0 - - 11 Moravian Democratic Party 0 - - 12 Czech National Social Party 0 - - 13 Civic Coalition - Political Club 0 - - total 200 0.270 ENPP 3.710
Sumber Data diolah dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_1998 174 Jumlah peserta pemilu bertambah pada tahun 2002 sebanyak 28 partai dan
hanya 4 partai yang berhasil memperoleh kursi di Parlemen Czech Social
Democratic Party memperoleh 35% kursi, Civic Democratic Party 29% kursi,
Communist Party of Bohemia and Moravia, 21%, dan koalisi KDU-ČSL-US-
DEU 16%. Perhitungan nilai ENPP sebesar 3.67 menunjukkan tidak ada
perubahan sistem partai dari pemilu sebelumnya yaitu 3 sampai 4 partai efektif di
parlemen.
Tabel 2.6. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Republik Ceko
No Partai Perolehan Kursi
% perolehan kursi (si)
si2
1 Czech Social Democratic Party 70 0.35 0.123 2 Civic Democratic Party 58 0.29 0.084
174 Wikipedia. Czech_legislative_election 1998. http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_1998 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No Partai Perolehan Kursi
% perolehan kursi (si)
si2
3 Communist Party of Bohemia and Moravia
41 0.21 0.042
4 KDU-ČSL-US-DEU 31 0.16 0.024 5 Union of Independents 0 - - 6 Green Party 0 - - 7 Republicans of Miroslav Sládek 0 - - 8 Rural Party 0 - - 9 Party for a Secure Life 0 - - 10 Czech National Social Party 0 - - 11 Hope 0 - - 12 Right Bloc 0 - - 13 Civic Democratic Alliance 0 - - 14 Choice for the Future 0 - - 15 Path of Change 0 - - 16 Moravian Democratic Party 0 - - 17 Common Sense Party 0 - - 18 AZSD 0 - - 19 BPS 0 - - 20 Humanist Alliance 0 - - 21 Republicans 0 - - 22 National Democratic Party 0 - - 23 Democratic League 0 - - 24 Czech Right 0 - - 25 Czech Social Democratic
Movement 0 - -
26 Roma Civic Initiative 0 - - 27 Party of Democratic Socialism 0 - - 28 New Movement 0 - - Total 200 0.273 ENPP 3.668
Sumber Data diolah dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2002 175
Pada pemilu tahun 2006, jumlah partai peserta pemilu lebih dari 8 partai
dan lima partai berhasil memperoleh kursi di Parlemen. perhitungan ENPP
sebesar 2.258 menunjukkan pemilu 2006 telah menciptakan sistem multipartai
sederhana dengan 2 sampai 3 partai efektif di parlemen. Civic Democratic Party
175 Wikipedia. Czech Legislative Election. 2002 http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2002 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(ODS) memperoleh 41% kursi, Czech Social Democratic Party (ČSSD) 37%,
Communist Party of Bohemia and Moravia (KSČM) 13% dan Christian and
Democratic Union - Czechoslovak People's Party (KDU-ČSL) 7%.
Tabel 2.7. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2006 di Republik Ceko
No Partai Perolehan Kursi
% perolehan kursi (si)
si2
1 Civic Democratic Party (ODS) 81 0.41
0.164
2 Czech Social Democratic Party (ČSSD) 74 0.37
0.137
3 Communist Party of Bohemia and Moravia (KSČM)
26 0.13
0.137
4 Christian and Democratic Union - Czechoslovak People's Party (KDU-ČSL)
13 0.07
0.004
5 Green Party (SZ) 6 0.03
0.001
6 SNK European Democrats (SNK ED) 0 - - 7 Freedom Union - Democratic Union
(US-DEU) 0 - -
8 Others 0 - - Total 200 0.443 ENPP 2.258
Sumber Data diolah dari : http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2006 176
2.4.3. Sistem Multipartai Sederhana di Jerman
Pemilu tahun 2002 diikuti oleh lebih dari 7 partai politik. 6 partai politik
berhasil melewati thershold 5% dan memperoleh kursi di Parlemen. Social
Democratic Party memperoleh 41.6% kursi, Christian Democratic Union 31.5%,
Christian Social Union 9.6% dan Alliance '90/The Greens 9.1%. berdasarkan
perhitungan diperoleh nilai ENPP sebesar 3.38, sehingga pemilu tahun 2005 di
Jerman telah menciptakan sistem multipartai moderate (sederhana).
176 Wikipedia. Czech Legislative Election. 2002. http://en.wikipedia.org/wiki/Czech_legislative_election,_2006 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tabel 2.8. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2002 di Jerman
No Partai Perolehan Kursi
% perolehan kursi (si)
si2
1 Social Democratic Party 251 0.416 0.17 2 Alliance '90/The Greens 55 0.091 0.01 3 Christian Democratic Union 190 0.315 0.10 4 Christian Social Union 58 0.096 0.01 5 Free Democratic Party (FDP) 47 0.078 0.01 6 Party of Democratic Socialism
(PDS) 2 0.003 0.00
7 all others 0 - - Total 603 0.30 ENPP 3.38 Sumber Data Diolah Dari :
http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2002 177
Pada pemilu tahun 2005 diikuti oleh lebih dari 8 partai politik. 6 partai
politik berhasil memperoleh kursi di parlemen. Social Democratic Party of
Germany memperoleh 36.16% kursi, Christian Democratic Union 29.32%, Free
Democratic Party 9.93%, The Left Party.PDS 8.79. Berdasarkan perhitungan
didapat Nilai ENPP sebesar 4.05, yang dapat diartikan bahwa pemilu 2005
berhasil mempertahankan sistem multipartai sederhana (moderat) di Jerman.
Tabel 2.9 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2005 di Jerman
No Partai Perolehan Kursi
% perolehan kursi (si)
si2
1 Christian Democratic Union 180 0.293159609 0.09 2 Christian Social Union in Bavaria 46 0.074918567 0.01 3 Social Democratic Party of Germany 222 0.361563518 0.13 4 Free Democratic Party 61 0.099348534 0.01 5 The Left Party.PDS 54 0.087947883 0.01 6 Alliance '90/The Greens 51 0.083061889 0.01 7 National Democratic Party of
Germany 0 0 -
8 others 0 0 -
177 Wikipedia. German Federal Election 2002. http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2002 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No Partai Perolehan Kursi
% perolehan kursi (si)
si2
Total 614 0.25 ENPP 4.05 Sumber Data Diolah Dari
http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2005178
Pemilu 2009 juga menciptakan sistem multipartai sederhana, meskipun terjadi
peningkatan Nilai ENPP sebesar 4.83, namun jumlah efektif partai di parlemen
tetap dibawah 5 partai politik.
Tabel 2.10. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2009 di Jerman
No Partai Perolehan Kursi
% perolehan kursi (si)
si2
1 Christian Democratic Union 194 0.311897106 0.10 2 Christian Social Union of Bavaria 45 0.072347267 0.01 3 Social Democratic Party 146 0.234726688 0.06 4 Free Democratic Party 93 0.149517685 0.02 5 The Left 76 0.122186495 0.01 6 Alliance '90/The Greens 68 0.109324759 0.01 7 Pirate Party 0 0 - 8 National Democratic Party 0 0 - 9 Human Environment Animal Welfare 0 0 - 10 The Republicans 0 0 - 11 Ecological Democratic Party 0 0 - 12 Family Party 0 0 - 13 other 0 0 - total 622 0.21 ENPP 4.83
Sumber Data Diolah Dari :
http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2009179
Berdasarkan analisa tentang sistem multipartai di Jerman, dapat dijelaskan
bahwa kebijakan parliamentary threshold sebesar 5 % telah berhasil menmbatasi
178 Wikipedia. German Federal Election 2002. http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2005178 [diunduh 21 November 2012]
179 Wikipedia. German_federal_election,_2009. http://en.wikipedia.org/wiki/German_federal_election,_2009 [diunduh 21 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
jumlah partai yang dapat memperoleh kursi di Parlemen. sistem multipartai
sederhana bertahan dan stabil pada masa tiga periode pemilu yaitu dari tahun
2002, 2005 sampai 2009.
2.5. Analisis Perbandingan Sistem Multipartai Sederhana di Berbagai
Negara
Berdasarkan uraian mengenai sistem multipartai sederhana di beberapa
negara di atas, yaitu di Jerman, Rusia dan Republik Ceko, dapat dianalisa bahwa
Kebijakan threshold 5% di Rusia, berhasil menyaring 50% peserta pemilu masuk
ke parlemen, dan menciptakan sistem multipartai moderat di pemilu 2003,
kenaikan angka threshold menjadi 7% dipemilu tahun 2007 menyebabkan hanya 4
partai yang memperoleh kursi dan menciptakan sistem multipartai dengan satu
partai dominan. sistem partai kemudian berubah kembali pada pemilu 2011
menjadi sistem multipartai sederhana dengan jumlah 4 partai politik di parlemen.
kondisi yang sama juga terjadi di Republik Ceko, dengan angka threshold sebesar
5% telah berhasil mempertahankan sistem multipartai sederhana di tiga pemilu
yaitu pemilu 1998, 2002 dan 2006. Federasi Jerman yang juga menerapkan
threshold sebesar 5% telah dapat mempertahankan sistem multipartai sederhana
pada pemilu 2002, 2005 dan 2009.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB III
PENGATURAN KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK
DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA PASCA REFORMASI
3.1. Sejarah Perkembangan Partai Politik dan Kebijakan Penyederhanaan
Partai Politik di Indonesia
Partai politik sudah dikenal di Indonesia sejak masa perjuangan
kemerdekaan. Partai politik tidaklah menghilang setelah Indonesia mendapatkan
kemerdekaan, namun terus berkembang.180 Munculnya partai politik di Indonesia
sangat lekat dengan meningkatnya Nasionalisme di Hindia Belanda pada masa
sekitar abad 1900. Periode pertama dari pergerakan nasional meningkat sampai
pada pertengahan 1920 yang menunjukkan kepedulian politik di antara bangsa
pribumi, dengan peningkatan permintaan terhadap partisipasi politik pribumi,
termasuk juga seruan kemerdekaan dari Belanda.181 Partai-partai politik pada
masa ini, berdasar pada baik budaya atau persatuan agama atau ideologi sosialis.
Di awal abad ke 20, bagaimanapun juga menunjukkan peningkatan konflik
dan persaingan diantara partai dan pemimpin yang berbeda dari pergerakan
nasionalis. Terdapat pembagian ideologi yang kuat diantara partai-partai
setidaknya pada awal 1920an. Kesepakatan untuk berpisah dari Belanda adalah
sedikit kesepakatan dari kesepakatan mengenai bentuk dan arah ideologi dari
Negara Indonesia Merdeka. Perbedaan ideolgi secara umum diantara para
pemimpin yang konservatif pada partai politik berbasis masa pertama, Sarekat
Islam dan banyak lagi pemimpin yang radikal dari Partai Komunis Indonesia sulit
untuk disatukan.182
180 David Bourchier dan Vedi R Hadiz. Indonesian Politics and Society. A reader. Routledge Curzon. London. 2003. hal 60
181 Stefan Eklof. Op.cit hal 26. Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, op cit. Partai politik
pertama lahir di zaman colonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua organisasi, apakah ia bertujuan social (seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah) atau terang terangan menganut asas politik/agama (seperti sarekat islam dan partai katolik) atau asas politik sekuler (seperti PNI dan PKI) memainkan peran penting dalam berkembangnya pergerakan nasional. Pola kepartaian masa itu menunjukkan keanekaragaman dan pola ini kita hidupkan kembali pada zaman merdeka dalam bentuk sistem multi partai. hal 423
182 Ibid hal 26
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pada tahun 1918 Belanda mendirikan Volksraad yang berfungsi sebagai
badan perwakilan, dan ada beberapa partai serta organisasi yang memanfaatkan
kesempatan itu untuk bergerak melalui badan ini. Pada awalnya partisipasi
organisasi Indonesia sangat terbatas. Pada 1931 waktu diterimanya prinsip
“mayoritas pribumi” dari 60 orang anggota, 30 orang adalah pribumi. Disamping
itu, ada usaha untuk meningkatkan persatuan nasional melalui penggabungan
partai-partai politik dan memperjuangkan Indonesia Berparlemen dan pada tahun
1939 terbentuk Komite Rakyat Indonesia (KRI) yang dibentuk oleh Gabungan
Partai-Partai Beraliran Nasional (GAPI) dan Majelisul Islamil a’laa Indonesia
(MIAI). Namun dalam kenyataannya partai dan organisasi kemasyarakatan
lainnya sulit untuk bersatu yang kemudian menjadi landasan untuk terbentuknya
pola sistem multipartai di zaman kemerdekaan.183 Pola sistem multipartai ini juga
disebabkan oleh kondisi masyarakat yang multi etnis dan multi agama.
Keberagaman ini juga direfleksikan dalam partai-partai politik di Indonesia.184
Pasca kemerdekaan, sejarah politik Indonesia biasanya dibagi menjadi
beberapa periode atau rezim, yaitu : periode demokrasi parlementer atau
dominansi kabinet, yaitu mulai dari masa peralihan kemerdekaan tahun 1949
sampai dengan parlemen kehilangan kewenanganya di tahun 1957, periode
demokrasi terpimpin atau dominansi presidensil, yaitu dimulai sejak dekrit
presiden untuk kembali ke UUD 1945 pada Juli 1959 sampai dengan kejatuhan
Partai Komunis di tahun 1965 dan periode orde baru dari tahun 1965.185 Periode
orde baru berakhir setelah Presiden Suharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998
dan Indonesia memasuki era reformasi.186
Pada saat proklamasi kemerdekaan diumumkan oleh Soekarno-Hatta,
secara formal Indonesia tidak lagi memiliki partai politik. Menjelang akhir
pendudukan Jepang di Indonesia, seluruh kegiatan politik tidak diperbolehkan dan
183 Miriam Budiardjo.op.cit hal 423-424 184 Leo Suryadinata.Political Parties and the 1982 General Election in Indonesia. Institute of
Southeast Asian Studies. Singapore. 1982. hal 1 185 Karl D Jakckson and Lucian W Pye. Political Power and Communications in Indonesia.
University California Press. California 1978. hal 172 186 Kacung Marijan. Sistem Politik Indonesia. Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Kencana
Prenada Media Grup. Jakarta 2010. hal 2
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai-partai yang telah berkembang sejak 1900 dibubarkan.187 Berdirinya partai
politik pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia merupakan jawaban atas
Maklumat Pemerintah Nomor X pada 3 November 1945 yang ditandatangani
oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.188 Sebelumnya Presiden Soekarno
merencanakan untuk membentuk partai tunggal yaitu Partai Nasional Indonesia
yang dimaksudkan agar kekuatan masyarakat tidak terpecah belah, namun rencana
itu ditentang oleh tokoh pergerakan lainnya.189
Maklumat Wakil Presiden itu dikeluarkan setelah ada usul dari Badan
Pekerja KNPI supaya diberikan kepada rakyat seluas-luasnya hak untuk
mendirikan partai politik. Isi dari Maklumat tersebut antara lain yaitu :190
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya
partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran
yang ada dalam masyarakat
2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik telah tersusun sebelum
dilangsungkan pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat pada
Bulan Januari 1946.
Mengikuti Maklumat Pemerintah itu, sejumlah partai politik tumbuh dalam kurun
waktu singkat. Para anggota KNIP pun ikut berlomba mendirikan partai politik.191
Pada masa pemilihan umum pertama tahun 1955, ada lebih dari 30 partai politik
dan hanya empat diantaranya yang dapat berfungsi efektif, yaitu :192 Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang memenangkan 22.3% suara, Masyumi (Partai
Islam Modern) memenangkan 20.9 % suara, Nahdatul Ulama (NU) memperolah
18,4% suara sementara Partai Komunis Indonesia memperoleh 16.4% suara.
187 Ign Ismanto. Pemilihan Presiden secara Langsung 2004 : dokumentasi, analisis, dan kritik. hal 11
188 M. Dzulkifriddin. Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia : peran dan jasa
Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia. PT. Mizan Pustaka. 2010. hal 93. 189 Ign Ismanto. op cit hal 13 190 Mohammad Hatta. Untuk Negeriku. Berjuang dan Dibuang. Sebuah Otobiografi. PT. Kompas
Media Nusantara. Jakarta. 2011. hal 115 191 Ign Ismanto. op.cit. hal 14 192 Leo Suryadinata. op cit hal 1
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Perkembangan selanjutnya adalah adanya suasana perdebatan di
konstituante hasil pemilu 1955 tentang dasar ideologi negara telah membuat
pembuatan Undang-Undang Dasar yang permanen menjadi terbengkalai dan
pemerintah menganggap hal itu sebagai kemacetan konstitusional yang serius.
Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 untuk
kembali ke UUD 1945 dan membubarkan majelis konstituante yang dipilih oleh
rakyat. Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden Sukarno
mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No 7/1959 yang mengatur kehidupan
dan pembubaran partai politik. Penpres itu memberikan hak kepada Presiden
untuk menindak partai politik yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar
negara atau pemimpinnya terlibat pemberontakan atau menolak untuk menindak
anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan.193 Presiden Sukarno
menilai kehidupan kepartaian saat itu dengan segala manuvernya telah
membahayakan persatuan dan keselamatan negara.194
Sesudah dikeluarkannya Penetapan Presiden tersebut, Sukarno kemudian
mengeluarkan Keputusan Presiden No 200/1960 dan Kepres 201/1960 yang
dengan resmi memerintahkan membubarkan Masyumi dan PSI.195 Soekarno,
dalam amanat Presiden pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17
Agustus 1960, menyatakan pembubaran Masjumi dan PSI adalah karena kedua
partai tersebut melanggar ketentuan Pasal 9 Penpres Nomor 7 Tahun 1959.196
Pada tanggal 21 September 1965, Presiden Sukarno kembali membubarkan partai
politik, yaitu Partai Murba dengan Keputusan Presiden No 291 Tahun 1965 yang
menetapkan pembubaran Partai Murba, termasuk cabang-cabang/ranting-
rantingnya di seluruh wilayah Republik Indonesia.197 Disamping itu, untuk
memobilisasi semua kekuatan politik di bawah pengawasan pemerintah. Wadah
193 Tohir Luth. M. Natsir : Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani Press. 1999. hal 51 194 Wawan Tunggul Alam. Demi Bangsaku : Pertentangan Bung Karno vs Bung Hatta. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 2003. hal 284. 195 Tohir Luth. Op cit hal 52 196 Muchamad Ali Safa’at. op cit hal 169 197 Rosihan Anwar. Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-
1965. Yayasan Obor Indonesia. 2006. hal 372
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
yang mendasarkan pada NASAKOM dibentuk pada tahun 1960 dan disebut Front
Nasional. Semua partai dan kelompok organisasi terwakili di dalamnya. Melalui
Front Nasional, PKI berhasil mengembangkan sayapnya dan mempengaruhi
semua aspek kehidupan politik. Pada tahun 1965 gerakan Gestapu PKI
mengakhiri riwayat demokrasi terpimpin.198
Letnan Jenderal Suharto, berbekal Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) pada 12 Maret 1966 membubarkan PKI dan menyatakannya
sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.199 Keputusan Presiden
tentang Pembubaran PKI tersebut kemudian dikukuhkan kedudukannya menjadi
TAP MPRS Nomor XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang, di seluruh Wilayah Negara Republik
Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan setiap Kegiatan untuk
Menyebarkan, Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme,
Leninisme.200
Sebagai pemimpin orde baru, Soeharto mengusahakan dilaksanakannya
pemilihan umum. Tapi baru pada tahun 1971, pemilu berhasil dilaksanakan.201
Pada Pemilu Tahun 1971, pemerintah mengelarkan beberapa kebijakan baru,
diantaranya adalah keharusan bagi para pejabat negara untuk bersikap netral,
diterapkannya stembus accord bagi partai peserta pemilu. Aturan ini
menyebabkan konfigurasi politik berubah, beberapa partai yang sebelumnya
Berjaya pada pemilu 1955 diwajibkan berafiliasi dengan partai lain karena
kekurangan suara. Sejak Pemilu 1971, Golkar mulai mendominasi dunia politik
Indonesia. 202 Golkar semakin Berjaya setelah pemerintah bersama DPR
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
198 Miriam Budiardjo. Op cit hal 442 199 Syamsudin Haris. Partai Parlemen dan Parlemen Lokal di Era Transisi Demokrasi di
Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007. hal 914 200 Samsudin. Mengapa G30S/PKI Gagal? : Suatu Analisis. Yayasan Obor Indonesia. 2004. hal
129. 201 Firmanzah. Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era
Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia. 2007. hal 6 202 J. Kristadi. Who Wants to be The Next President? : A-Z Informasi Politik Dasar dan Pemilu.
Kanisius. 2009 hal 84
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Golongan Karya, peserta pemliu hanya 2 partai dan 1 golongan karya. Kedua
Partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).203 Kebijakan penyederhanaan jumlah partai politik pasca pemilu
1971, dimaksudkan pemerintah untuk menjamin stabilitas politik yang mantap.204
Dengan persuasi yang kuat, akhirnya semua partai politik menyetujui
untuk melaksanakan fusi, sehingga terbentuk Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yang merupakan fusi dari empat partai Islam, yaitu NU, Parmusi, PSII dan
Persi, sedangkan PDI merupakan fusi dari Partai-Partai Nasional, Partai Katolik
dan Partai Kristen Indonesia.205 Peluang politik PPP dan PDI sulit untuk
mengalahkan Golkar, yang memang didesain untuk selalu menjadi pemenang
pemilu dengan melalui tiga jalur yaitu : Jalur A PNS, Jalur B ABRI dan Jalur C
(organisasi masyarakat yang mendukung Golkar).206 Golkarpun selama lima kali
pemilu berturut-turut, yakni pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, hingga tahun 1997
selalu menjadi pemenang dengan jumlah suara yang signifikan. Kondisi ini
berubah ketika pemerintah orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto
digulingkan oleh generasi muda Indonesia, sejak tanggal 21 Mei 1998 yang
merubah orde politik menjadi orde reformasi.207
3.2. Partai Politik pada Masa Pasca Reformasi
Setelah terkungkung oleh sistem kepartaian Orde Baru, yang sangat
ramping, Indonesia mengalami ledakan partai politik luar biasa. Antara akhir Mei
1998 dan Februari 1999, kurang dari 10 bulan, telah lahir 160 partai politik baru.
Ini berarti hampir setiap dua hari lahir satu partai politik baru. Sepeninggal
Soeharto, sistem kepartaian Indonesia pun hiruk pikuk. Partai politik berjumlah
181 buah, dan 148 di antaranya mendaftarkan diri secara resmi ke Departemen
Kehakiman. Departemen Kehakiman kemudian mengesahkan 141 di antaranya.
203 Ibid. hal 85 204 Sulastomo. Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru. Sebuah Memoar. PT.
Kompas Media Nusantara. 2008. hal 200 205 Ibid 206 Ibid 207 J. Kristadi. op cit hal 85
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Dari 141 partai politik ini, 110 mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas untuk ikut
Pemilu 1999, dan setelah melalui proses verifikasi, hanya ada 48 partai politik
yang boleh ikut Pemilu 1999.208
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pada tahun 1999, 2000,
2001 dan 2002, mengharuskan adanya perubahan tatanan dan kelembagaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dalamnya sistem politik.209
Sistem politik Indonesia yang harus dijalankan sesuai UUD 1945 adalah sistem
politik demokrasi berdasarkan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD dan Negara Indonesia adalah
Negara hukum. Dengan demikian tatanan kelembagaan politik, termasuk juga
partai politik harus dijalankan berdasarkan aturan hukum yang demokratis.210
Salah satu prinsip luhur dalam UUD 1945 adalah adanya jaminan
kemerdekaan berserikat sebagai bagian dari hak asasi manusia (Pasal 28, Pasal
28E ayat (2) dan ayat (3) UUD1945). Partai politik adalah salah satu pilar
kemerdekaan berserikat, sehingga pembubarannya hanya dapat dilakukan melalui
mekanisme peradilan, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat
(1) UUD1945). Dalam sistem representative democracy, biasa dimengerti bahwa
partisipasi rakyat yang berdaulat terutama disalurkan melalui pemungutan suara
untuk membentuk lembaga perwakilan. Mekanisme perwakilan ini dianggap
dengan sendirinya efektif untuk maksud menjamin keterwakilan aspirasi atau
kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dalam sistem perwakilan, kedudukan dan
peran partai politik sangat dominan.211 Peranan partai politik tersebut diatur dalam
Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan bahwa
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
208 Eep Saefulloh Fatah. Sebuah Cermin Cembung. Partai-Partai Politik Indonesia : Ideologi, Strategi dan Program. http://majalah.tempointeraktif.com. 1999.
209 Jimly Asshiddiqie. op.cit (4). hal 268 210 Ibid 211 Ibid hal 283.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pentingnya peran dan kedudukan partai politik pasca reformasi diatur pula
dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden. Sesuai dengan Pasal 6A ayat
(2). Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.
Pada masa reformasi, kebijakan pembatasan partai ditiadakan, tetapi sebagai
gantinya diterapkan kebijakan ambang batas (threshold) yang sebenarnya juga
merupakan pembatasan, meskipun tidak secara langsung. Pembatasan dilakukan
dengan membuka peluang kepada semua pihak, semua partai politik untuk
bersaing secara terbuka. Apabila dalam persaingan itu, partai-partai politik yang
bersangkutan tidak dapat mencapai perolehan dukungan yang memadai, maka
keberadaannya didiskualifikasi, baik untuk menjadi peserta pemilu (electoral
threshold) atau pun untuk duduk di kursi keanggotaan lembaga perwakilan rakyat
(parliamentary threshold).212
3.3. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai Partai
Politik Pasca Reformasi
Kebijakan penyederhanaan partai politik sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, sudah berlaku sejak zaman awal kemerdekaan. Di Masa
kepemimpinan Presiden Soekarno selama demokrasi terpimpin dan masa
kepemimpinan Presiden Suharto telah membentuk Undang-Undang yang bersifat
represif terhadap kehidupan partai politik. Partai politik cenderung sangat dibatasi
dan bahkan dibubarkan apabila tidak sesuai dengan kehendak penguasa. Sifat
hukum represif ini dapat dikaitkan dengan rezim otoriter pada waktu itu,
sebagaimana dikemukakan oleh Nonet dan Selznik dalam bukunya Law and
Society in Transition Toward Responsive Law. Karakter hukum tersebut dapat
dibagi menjadi karakter hukum represif (repressive law) dan karakter hukum
responsif (responsive law)213. Menurut Nonet and Zelznik, timbulnya sifat
represif adalah karena apa yang disebut merriam sebagai the poverty of power,
212 Jimly Asshiddiqie. op.cit. hal 3 213 Philipe Nonet dan Philip Selznick. Law and Society in Transition : Toward Responsive Law
dalam Satya Arinanto Politik Hukum 2. Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. 2001. hal 5
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
atau keterbatasan kekuasaan. Kekuasaan itu bergantung pada dukungan alat dan
kepercayaan. Apabila dua hal itu tidak ada, maka kekuasaan akan menggunakan
cara-cara yang represif. Hukum represif adalah berkaitan dengan bentuk rezim
pemerintahan yang totaliter,
In fact, the most extreme manifestations of repressive law occure in the totalitarian superstate of modern times.
Meskipun demikian, politik represif sebenarnya dapat muncul di mana saja dan
kapan saja baik di rezim yang stabil dan kuat bahkan pada lembaga yang liberal
dan rasionalitas tinggi. Represi digunakan apabila tidak ada jalan lain untuk
mengelola ketertiban masyarakat214.
Dengan kata lain timbulnya hukum yang represif adalah karena adanya :
1. Penyatuan yang kuat antara hukum dan politik
2. Kekuasaan pemerintah yang berlebihan
3.3.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitafif Pendirian dan
Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum
3.3.1.1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik merupakan
Undang-Undang pertama pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Undang-Undang ini
menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya dan Undang-Undang Nomro 3 Tahun 1985 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
yang dipandang sudah tidak dapat menampung lagi aspirasi politik yang
berkembang.215
Partai politik, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 diartikan
sebagai setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia
secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik
kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum
214 Ibid 215 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 22. Tambahan Lembaran Negara Nomor. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3809
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
[Pasal 1 ayat (1)]. Persyaratan-persyaratan yang membatasi partai politik dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dapat diuraikan sebagai berikut :
A. Persyaratan Pembentukan Partai Politik
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, untuk membentuk
partai politik, harus dibentuk oleh minimal 50 orang warga negara Republik
Indonesia yang telah berusia 21 tahun sebagaimana dijelaskan pada :
Pasal 2 ayat (1) :
Sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dapat membentuk Partai Politik.
Ketentuan syarat pembentukkan partai politik kemudian diatur dalam pasal 2 ayat
(2) yang menambah syarat asas/ ideologi pembentukan partai yaitu :
mencantumkan Pancasila dalam Anggaran Dasar Partai, Asas atau Ciri, aspirasi
dan program partai tidak bertentangan dengan pancasila, tidak menggunakan
nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera Negara
Republik Indonesia, bendera negara asing, gambar perorangan serta lambang
partai lain.
Pasal 2 ayat (2) :
Partai Politik yang dibentuk sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat: a. mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam anggaran dasar partai; b. asas atau ciri, aspirasi dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan
Pancasila; c. keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara
Republik Indonesia yang telah mempunyai hak pilih d. Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama
dengan lambang negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih, bendera kebangsaan negara asing, gambar perorangan dan nama serta lambang partai lain yang telah ada.
Pada ketentuan Pasal 3 dijelaskan bahwa
pembentukan partai politik tidak boleh membahayakan persaturan dan kesatuan nasional.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Syarat dan prosedur pendirian dan pendaftaran partai diatur dalam Pasal 4 ayat
(1), (2) dan (3) yang mengatur bahwa partai politik didirikan dengan akta notaris
dan kemudian didaftarkan pada Departemen Kehakiman RI. Partai Politik yang
telah memenuhi persyaratan pembentukan sebagaimana dimaksud pada Pasal (2)
dan Pasal (3) kemudian disahkan sebagai badan hukum dan diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 4 ayat (1)
Partai Politik didirikan dengan akte notaris dan didaftarkan pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia
Pasal 4 ayat (2)
Departemen Kehakiman Republik Indonesia hanya dapat menerima pendaftaran pendirian Partai Politik apabila telah memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang ini.
Pasal 4 ayat (3)
Pengesahan pendirian Partai Politik sebagai badan hukum diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.
B. Ketentuan dan Persyaratan Keuangan Partai Politik
Pada Bab VI Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, diatur tentang
Keuangan Partai Politik. Ketentuan mengenai keuangan partai meliputi ketentuan
: 1) mengenai sumber pendanaan, 2) . Bentuk organisasi 3). Besaran maksimal
penerimaan, 4). Laporan Keuangan.
Pada Pasal 12 ayat (1), keuangan partai politik bersumber dari : iuran anggota,
sumbangan dan usaha lain yang sah. Selain itu berdasarkan Pasal 12 ayat (2)
partai politik menerima bantuan tahunan dari anggaran negara dan ditetapkan
berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum sebelumnya dan partai
politik dilarang menerima sumbangan dan bantuan dari pihak asing.
Pasal 12 ayat (1), (2), (3) dan (4) : (1) Keuangan Partai Politik diperoleh dari:
a. iuran anggota; b. sumbangan; c. usaha lain yang sah.
(2) Partai Politik menerima bantuan tahunan dari anggaran negara yang ditetapkan berdasarkan perolehan suara dalam pemilihan umum sebelumnya.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(3) Penetapan mengenai bantuan tahunan sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah.
(4) Partai Politik tidak boleh menerima sumbangan dan bantuan dari pihak asing.
Bentuk organisasi partai dikaitkan dengan keuangan adalah merupakan
organisasi nirlaba (organisasi yang tidak mencari keuntungan financial). Dengan
demikian partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham
suatu badan usaha.
Pasal 13 ayat (1) dan (2) :
(1) Partai Politik merupakan organisasi nirlaba. (2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud ayat (1), Partai Politik dilarang
mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.
Pada Pasal 14 ayat (1), (2), (3), diatur batasan maksimal sumbangan yang
dapat diterima partai politik. Jumlah sumbangan dari setiap orang dibatasi sebesar
Rp.15.000.000 (Lima Belas Juta) dalam setahun. Sedangkan jumlah sumbangan
dari setiap perusahaan atau badan lainnya dibatasi sebesar Rp. 150.000.000
(Seratus Lima Puluh Juta) dalam setahun. Partai politik dapat juga menerima
sumbangan yang berupa barang, namun nilainya disesuaikan dengan sumbangan
berupa uang.
Pasal 14
(1) Jumlah sumbangan dari setiap orang yang dapat diterima oleh Partai Politik sebanyak-banyaknya adalah Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) dalam waktu satu tahun.
(2) Jumlah sumbangan dari setiap perusahaan dan setiap badan lainnya yang dapat diterima oleh Partai Politik sebanyak-banyaknya adalah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dalam waktu satu tahun.
(3) Sumbangan yang berupa barang dinilai menurut nilai pasar yang berlaku dan diperlakukan sama dengan sumbangan yang berupa uang.
Laporan pengelolaan keuangan Partai Politik diatur dalam Pasal 15 ayat (1) dan
(2). Partai politik diwajibkan untuk melapor daftar penyumbang, jumlahnya dan
laporan keuangan yaitu : setiap akhir tahun, 15 hari sebelum dan 30 hari sesudah
pemilihan umum kepada Mahkamah Agung. Laporan Keuangan partai dapat
diaudit oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
C. Larangan, Pengawasan dan Pembubaran Partai Politik
Ketentuan yang berbentuk larangan selain yang sudah diuraikan di atas
diatur pula dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Partai politik
dilarang untuk menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham
Komunisme/Marxisme/ Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan
Pancasila.
Pasal 16 huruf a :
10.1. menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme/ Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila;
Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 17 ayat (1), (2), (3) dan (4) serta Pasal 18
ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 berwenang untuk :
mengawasi, membekukan, membubarkan dan menjatuhkan sanksi administratif
berupa penghentian bantuan anggaran negara kepada partai politik. Selain itu
Mahkamah Agung berwenang mencabut hak partai politik untuk mengikuti
pemilihan umum jika melanggar ketentuan.
Pasal 17 ayat (1), (2), (3) dan (4) (1) Pengawasan atas ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-
undang ini dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2) Dengan kewenangan yang ada padanya, Mahkamah Agung Republik
Indonesia dapat membekukan atau membubarkan suatu Partai Politik jika nyata-nyata melanggar Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 16 undang-undang ini.
(3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan dari Pengurus Pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan.
(4) Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran Partai Politik dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan mengumumkannya dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.
Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) (1) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menjatuhkan sanksi
administratif berupa penghentian bantuan dari anggaran negara apabila suatu Partai Politik nyata-nyata melanggar Pasal 15 undang-undang ini.
(2) Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat mencabut hak suatu Partai Politik untuk ikut pemilihan umum jika nyata-nyata melanggar Pasal 13 dan Pasal 14 undang-undang ini.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(3) Pencabutan hak sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan terlebih dahulu mendengar pertimbangan pengurus pusat Partai Politik yang bersangkutan dan setelah melalui proses peradilan.
3.3.1.2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002216
Pada tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang partai
politik dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2002. Kebijakan tentang penyederhanaan partai mulai dikemukakan
secara eksplisit dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Tujuan
dan Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik adalah melalui
penetapan persyaratan kualitatif maupun kuantitatif, sebagaimana yang dijelaskan
dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002:
“Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional. Mekanisme ini di samping tidak cenderung menampilkan monolitisme, juga akan lebih menumbuhkan suasana demokratis yang memungkinkan partai politik dapat berperan secara optimal. Perwujudan sistem multipartai sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam pembentukan partai maupun dalam penggabungan partai-partai yang ada.”
Ketentuan persyaratan penyederhanaan partai politik berdasarkan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2002 dapat diuraikan sebagai berikut :
A. Persyaratan Pembentukan dan Pendirian Partai Politik
Ketentuan Pembentukan Partai Politik terdapat pada Bab II Pasal 2, Pasal 3 dan
Pasal 4. Pada Pasal 2 ayat (1) dan (2), disyaratkan bahwa partai politik dibentuk
dan didirikan oleh minimal 50 orang WNI yang berusia 21 tahun dengan akta
notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta
kepengurusan di tingkat nasional. Untuk terdaftar sebagai badan hukum di
departemen kehakiman, berdasarkan Pasal 2 ayat (3), Partai politik harus
memenuhi persyaratan yaitu : memiliki akta notaris yang sesuai dengan UUD
1945 dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya, memiliki kepengurusan
216 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
minimal 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah Kabupaten/Kota di tiap
Provinsi bersangkutan dan 25% dari jumlah kecamatan di setiap Kabupaten/Kota
yang bersangkutan, memiliki nama, lambang dan tanda gambar yang tidak sama
dengan nama, lambang dan tanda gambar partai politik lain serta memiliki kantor
tetap.
Pasal 2 ayat (1), (2), (3) : (1) Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris.
(2) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan tingkat nasional.
(3) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat a. memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya;
b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25%(dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan;
c. memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain; dan. mempunyai kantor tetap.
Prosedur pendaftaran partai politik menjadi badan hukum diatur pada pasal 3 ayat
(1), (2) dan (3). Partai politik yang telah memenuhi syarat pembentukan
didaftarkan ke Departemen Kehakiman. Selambat-lambatnya 30 hari setelah
penerimaan pendaftaran Menteri Kehakiman mengesahkan partai politik menjadi
badan hukum dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 3 (1) Departemen Kehakiman menerima pendaftaran pendirian partai politik yang
telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Pengesahan partai politik sebagai badan hukum dilakukan oleh Menteri
Kehakiman selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah penerimaan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Pengesahan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
B. Persyaratan Asas/Ideologi Partai
Berdasarkan pasal 5 ayat (1) dan (2) ditentukan bahwa asas dan ciri partai politik
tidaklah boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pasal 5 (1) Asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Setiap partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai dengan
kehendak dan cita-citanya yang tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan undang-undang.
C. Pengaturan dan Persyaratan Keuangan Partai Politik
Pengaturan tentang Keuangan partai politik diatur dalam Bab IX yang terdiri dari
aspek sumber pendanaan, batasan minimum penerimaan. Mengenai kewajiban
tentang laporan keuangan diatur dalam Pasal 9 huruf h, i dan j. sumber pendanaan
partai berasal dari : iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan
bantuan dari anggaran negara yang diberikan sesuai perolehan kursi di DPR.
Pasal 17 (1) Keuangan partai politik bersumber dari:
a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan dari anggaran negara.
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa uang, barang, fasilitas, peralatan, dan/atau jasa.
(3) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat.
Besaran sumbangan dari anggota dan bukan anggota maksimal Rp. 200.000.000
per tahun. Sumbangan dari perusahaan/badan usaha maksimal Rp. 800.000.000.-
per tahun.
Pasal 18 (1) Sumbangan dari anggota dan bukan anggota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp200.000.000,00(dua ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun.
(2) Sumbangan dari perusahaan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu)tahun.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Terkait dengan keuangan, partai politik diwajibkan untuk membuat pembukuan,
daftar penyumbang, jumlah sumbangan yang bersifat terbuka kepada masyarakat
dan pemerintah. Laporan keuangan dibuat secara berkala per tahun disampaikan
kepada Komisi Pemilihan Umum setelah sebelumnya diaudit oleh akuntan publik.
Partai juga diwajibkan untuk memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan
umum serta wajib menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan
publik kepada KPU selambatnya 6 bulan setelah hari pemungutan suara.
Pasal 9 :
a. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah;
b. membuat laporan keuangan secara berkala satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan Umum setelah diaudit oleh akuntan publik; dan
c. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum dan menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan publik kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan suara.
D. Larangan dan Sanksi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, mengatur larangan dalam Bab tersendiri
yaitu pada Bab X. Materi yang diatur terutama mengenai nama dan lambang
partai, kegiatan partai, sumbangan/penerimaan, larangan mendirikan badan usaha
dan larangan untuk menganut ajaran komunisme/Marxisme-Lenisme.
1. Larangan mengenai Nama dan Lambang Partai
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1), partai politik dilarang menggunakan nama,
lambang atau tanda gambar yang sama dengan : a). bendera atau lambang
negara Republik Indonesia, b). lambang lembaga negara atau lambang
pemerintah, c). nama, bendera atau lambang negara lain dan nama, bendera
atau lambang lembaga/badan internasional, d. nama dan gambar sesorang
serta e). yang mempunyai persamaan dengan partai politik lain.
2. Kegiatan Partai Politik.
Pada pasal 19 ayat (2), partai politik dilarang untuk melakukan kegiatan yang :
a). bertentangan dengan UUD 1945 dan Peraturan Perundang-undangan
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
lainnya, b). membahayakan keutuhan NKRI, c). bertentangan dengan
kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara
lain dalam rangka memelihara ketertiban dunia.
3. Sumber Pendanaan dan Pendirian Badan Usaha
Partai politik berdasarkan Pasal 19 ayat (3) dilarang menerima dan
memberikan sumbangan dari : a). pihak asing, b). pihak manapun tanpa
mencantumkan identitas yang jelas, c). orang/lembaga melebihi batas yang
ditentukan, d). BUMN, BUMD, Badan Usaha Milik Desa, koperasi, yayasan,
LSM, organisasi kemasyarakatan dan organisasi kemanusiaan. Partai politik
dilarang mendirikan badan usaha atau memiliki saham suatu badan usaha
[pasal 19 ayat (4)].
4. Partai politik dilarang menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran
atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme [pasal 19 ayat (5)].
Pelanggaran terhadap larangan dan ketentuan pada pasal-pasal sebagaimana
yang diuraikan di atas akan berakibat dikenakannya sanksi kepada partai
politik berupa :
1. Penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman
jika melanggar pasal 2 dan pasal 5 ayat (1), pasal 19 ayat (1)
2. Sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan
Umum apabila melanggar Pasal 9 huruf h, Pasal 19 ayat (3)
3. Sanksi administratif berupa dihentikan bantuan dari anggaran negara jika
melanggar pasal 9 huruf i dan j,
4. Pembekuan sementara paling lama 1 (satu) tahun oleh pengadilan apabila
melanggar pasal 19 ayat (2)
5. Larangan mengikuti pemilihan umum berikutnya oleh pengadilan jika
melanggar pasal 19 ayat (4).
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
3.3.1.3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008217
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 merupakan pengganti dari Undang
Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang dipandang belum
optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut
peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan
mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern,
sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu
diperbarui. Undang-Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring
dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah
pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai
Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan
gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan
bernegara.218
A. Persyaratan Pembentukan Partai Politik
Pendirian partai politik berdasarkan pasal 2 ayat (1), (2) (3) dan (4). Partai politik
didirikan oleh minimal 50 orang WNI yang berusia 21 tahun dengan akta notaris
yang menyertakan 30% keterwakilan perempuan dan memuat AD dan ART serta
kepengurusan di tingkat pusat. AD partai memuat : asas dan ciri partai, visi dan
misi, nama, lambang dan tanda gambar, tujuan dan fugnsi partai, organisasi,
tempat kedudukan dan pengambilan keputusan, peraturan dan keputusan partai,
pendidikan politik dan keuangan partai.
Pasal 2 (1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh)
orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris.
(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
217 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801.
218 Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. asas dan ciri Partai Politik; b. visi dan misi Partai Politik; c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. tujuan dan fungsi Partai Politik; e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik; g. peraturan dan keputusan Partai Politik; h. pendidikan politik; dan keuangan Partai Politik.
(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3 )disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Pendaftaran dan prosedur penetapan partai politik sebagai badan hukum diatur
pada pasal 3 dan pasal 4. Untuk menjadi badan hukum, partai politik harus
mempunyai akta notaris pendirian, nama dan lambang/tanda gambar yang tidak
sama dengan nama dan lambang partai lain, memiliki kantor tetap dan memiliki
kepengurusan di minimal 60% dari jumlah provinsi, 50% pada kabupaten/kota
provinsi yang bersangkutan dan 25% pada kecamatan di kabupaten/kota yang
bersangkutan dan memiliki rekening atas nama partai.
Pasal 3 (1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan
hukum. (2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai
Politik harus mempunyai: a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan
pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. kantor tetap; d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah
provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan
e. memiliki rekening atas nama Partai Politik.
Prosedur penetapan sebagaimana pasal 4 dilakukan oleh Departemen yang
membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. Departemen menerima
pendaftaran dan memverifikasi yang dilakukan paling lama 45 hari kerja sejak
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
persyaratan lengkap. Pengesahan dilakukan dengan keputusan menteri paling
lama 15 hari kerja sejak proses verifikasi dan dimuat dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
B. Persyaratan dan Pengaturan Asas/Ideologi dan Ciri Partai
Berdasarkan Pasal 9, asas partai tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945. Partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan
kehendak dan cita-cita partai politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945.
C. Pengaturan Keuangan Partai Politik
Mengenai keuangan Partai diatur pada Bab XV pada Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal
36. Sumber keuangan partai dibatasi berasal dari : iuran anggota, sumber
keuangan lain yang sah, bantuan keuangan dari APBN/APBD yang diberikan
secara proporsional sesuai perolehan suara.
Pasal 34 (1) Keuangan Partai Politik bersumber dari:
a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pada Pasal 36 diatur bahwa sumbangan dari anggota partai politik dalam
pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART. Sumbangan yang berasal dari
perseorangan yang bukan dari anggota partai politik dibatasi senilai 1 miliar
rupiah per tahunnya, sedangkan sumbangan dari perusahaan dan Badan Usaha
maksimal empat miliar rupiah pertahun.
D. Larangan dan Sanksi
Larangan yang harus dipatuhi oleh partai politik diatur pada Bab XVI tentang
Larangan, yang meliputi : nama dan lambang partai, kegiatan partai, sumber
pendanaan dan pendirian badan usaha, ajaran Komunisme.
1. Nama dan Lambang Partai
Pasal 40 ayat (1) menyatakan bahwa partai politik dilarang menggunakan
nama dan lambang partai yang sama dengan :
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;
c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;
d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi
terlarang;
e. nama atau gambar seseorang; atau
f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain.
2. Kegiatan Partai
Pasal 40 ayat (2) mengatur tentang larangan partai politik untuk melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan atau melakukan
kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
3. Sumber Pendanaan
Pada Pasal 40 ayat (3) ditentukan bahwa partai politik dilarang untuk
menerima atau memberi sumbangan kepada pihak asing, dari pihak yang tidak
jelas identitasnya, menerima sumbangan melebihi batas yang telah ditentukan
serta menerima sumbangan dari BUMN/BUMD, menggunakan fraksi sebagai
sumber pendanaan.
4. Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu
badan usaha.
5. Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan
ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.
Partai politik yang melanggar ketentuan Pasal Pasal 2, Pasal 3,Pasal 9 ayat
(1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan
pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen. Pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf I (laporan
pertanggungjawaban keuangan) dikenai sanksi administratif berupa penghentian
bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
berkenaan. Partai politik yang melanggar ketentuan pasal 40 (melanggar UUD
1945) dapat dikenakan sanksi berupa pembekuan hingga pembubaran yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
3.3.1.4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011219
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 merupakan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang dipandang perlu untuk
disempurnakan dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem
kepartaian yang efektif sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan penguatan kelembagaan serta
peningkatan fungsi dan peran Partai Politik.
Sistem kepartaian yang hendak dituju adalah sistem multi partai yang sederhana
sebagai salah satu upaya untuk memperkuat dan mengeefektifkan sistem
presidensiil sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011, yaitu :
Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat.
Adapun hal-hal pokok yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah : Persyaratan
Pembentukan Partai, Persyaratan Kepengurusan Partai dan pengelolaan Keuangan
Partai.
A. Persyaratan Pembentukan Partai
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 syarat-syarat
pembentukan partai meliputi : syarat minimum jumlah pendiri yaitu 30 orang
WNI berusia 21 tahun di setiap provinsi. Partai politik didaftarkan oleh minimal
50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai dengan akta notaris yang
219 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Akta notaris dilengkai dengan AD
dan ART dan kepengurusan di tingkat pusat.
Pasal 2
(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. (1a) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)didaftarkan oleh
paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai Politik dengan akta notaris.
(1b) Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain.
(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan PartaiPolitik tingkat pusat.
Prosedur pendaftaran diatur pada pasal 3 ayat (1), yang menyatakan partai politik
didaftarkan pada Kementerian Hukum dan HAM untuk menjadi Badan Hukum
dengan persyaratan sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 3 ayat (2) :
Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;
d. kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan
e. rekening atas nama Partai Politik.
Pada Pasal 4 diatur mengenai prosedur penetapan Partai Politik sebagai badan
Hukum, mulai dari diterimanya pendaftaran, penelitian/verifikasi oleh
Kementerian. Verifikasi dilakukan paling lambat 45 hari kerja sejak diterimanya
dokumen lengkap. Pengesahan partai poltik sebagai badan hukum oleh Keputusan
Menteri paling lama 15 hari sejak berakhirnya proses verifikasi dan diumumkan
dalam Berita Negara NKRI.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
B. Persyaratan Pendanaan
Keuangan Partai Politik diatur pada Pasal 34 ayat (1), Keuangan partai politik
bersumber dari : a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c.
bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah. Berdasarkan Pasal Pasal 34A ayat (1), Partai
Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan
pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kepada Badan Pemeriksa
Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu)
bulan setelah tahun anggaran berakhir.
C. Larangan dan Sanksi
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian.
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i
dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan
diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan.
3.4. Kebijakan Penyederhanaan Partai dalam Peraturan Mengenai
Pemilihan Umum Pasca Reformasi
3.4.1. Persyaratan Kualitatif dan Kuantitatif Partai Politik sebagai
Peserta Pemilu
3.4.1.1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 220
Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi
syarat-syarat: a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang
Partai Politik; b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 jumlah propinsi di Indonesia;
c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi; d.
mengajukan nama dan tanda gambar partai politik. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa:
220 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik; b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia; c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya
di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.
Syarat jumlah pengurus tersebut sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan UU 3
Tahun 1999 adalah untuk menunjukkan bahwa partai politik yang menjadi peserta
Pemilihan Umum betul-betul memiliki jaringan organisasi dan basis keanggotaan
yang representif secara nasional.
3.4.1.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003221
Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat: diakui
keberadaannya sesuai dengan Undang-undang Partai Politik; memiliki pengurus
lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari seluruh jumlah provinsi; c. memiliki
pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di
provinsi yang bersangkutan; d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang
atau sekurang-kurangnya 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan
partai politik, harus mempunyai kantor tetap dan mengajukan nama dan tanda
gambar partai politik kepada KPU. Syarat peserta pemilu sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat: a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang b. Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik; c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari
seluruh jumlah provinsi; d. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b; e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-
kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik;
f. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c
221 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
g. harus mempunyai kantor tetap; h. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
3.4.1.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008222
A. Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu
Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
(1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai
Politik; b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di
provinsi yang bersangkutan; d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000
(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
f. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan
g. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
3.4.1.4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012223
Persyaratan bagi partai politik sebagai peserta pemilu diatur pada Pasal 8 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa :
Pasal 8 ayat (1) : Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.
Pasal 8 ayat (2) :
222 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4836
223 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai
Politik; b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di
kabupaten/kota yang bersangkutan; e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000
(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan
i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.
3.4.2. Persyaratan Electoral Threshold dan Parliamentary Thershold
bagi Partai Politik sebagai Peserta Pemilu
3.4.2.1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 224
Selain mengatur tentang syarat-syarat partai politik untuk menjadi peserta
pemilu, UU 3 Tahun 1999 juga mengatur tentang persyaratan ambang batas
perolehan kursi, jika partai politik hendak mengikuti pemilu berikutnya yaitu,
harus memiliki sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau memiliki minimal 3%
jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2
jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia
berdasarkan hasil Pemilihan Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (3)
yang menyatakan bahwa :
Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½
224 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum.
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum
berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain. [Pasal 39 ayat (4)].
3.4.2.2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003225
Persyaratan bagi parpol untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai
Politik Peserta Pemilu juga diatur dalam mekanisme ambang batas perolehan
kursi, yaitu : memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR; b.
memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar
sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c.
memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang
tersebar di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus: a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR; b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD
Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau
c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan di atas hanya dapat
mengikuti Pemilu berikutnya apabila (Pasal ayat 2 ):
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan
persyaratan peserta pemilu ;
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan persyaratan
peserta pemilu dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah
225 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal
jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan persyaratan
peserta pemilu dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda
gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.
3.4.2.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008226
ET yang dianut dalam UU 3/1999 dan UU 12/2003 kemudian oleh UU
10/2008 diganti dengan kebijakan baru yang terkenal dengan istilah
“Parliamentary Threshold” (disingkat PT) yang tercantum dalam Pasal 202 ayat
(1) UU 10/2008 yang berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi
ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima
perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi DPR.” Melalui kebijakan PT ini, tampaknya
pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) bermaksud menciptakan
sistem kepartaian sederhana melalui pengurangan jumlah Parpol yang dapat
menempatkan wakilnya di DPR, berubah dari cara sebelumnya dengan kebijakan
ET yang bermaksud mengurangi jumlah peserta Pemilu.227
Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR
sebagaimana diatur dalam Pasal 202 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
226 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4836
227 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
3.4.2.4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012228
Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan
suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sebagaimana yang diatur pada Pasal
208.
3.5. Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi
Sistem multi-partai dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia dapat
dikatakan merupakan keniscayaan. Dengan kebebasan berorganisasi (freedom of
association) yang dibuka sangat lebar sejak reformasi, kita tidak mungkin
berharap dapat memiliki jumlah partai politik yang terbatas, seperti 2, 3, 4, atau
hanya 5, kecuali dengan menerapkan prinsip-prinsip yang membatasi jumlah
partai politik itu secara ketat.229 Kemajemukan bangsa Indonesia tidak hanya dari
sisi etnis tetapi juga dari faktor agama. etnis terbesar di Indonesia terdiri dari
40.6% Jawa, Sunda 15%, Madura 3,3% dan cina 3 sampai 4 %. Mayoritas
penduduk beragama Islam yaitu sebesar 86.1%, Kristen 8.7%, Hindu 1.8% dan
Budha 1%.230 Namun demikian, sistem multipartai ekstrim yang terbentuk
memunculkan beberapa permasalahan. Kombinasi yang sulit antara
presidensialisme dan sistem multipartai menjadi realitas politik yang tak
terhindarkan pada masa pasca amandemen konstitusi. Kombinasi yang sulit itu
sudah tampak diantaranya dalam beberapa realitas politik sebagai berikut :
pertama, terpilihnya presiden dengan basis politik minoritas (minority president)
seperti bukan hanya tampak pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono dengan
basis Partai Demokrat (56 dari 550 kursi di DPR), melainkan juga terjadi pada
Presiden Abdurrahman Wahid (PKB 51 dari 500 kursi DPR) dan Presiden
Megawati (PDI Perjuangan 153 kursi dari 500 kursi DPR). Kedua, terbentuknya
228 Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316.
229 Jimly Asshiddiqie. Memperkuat sistem presidensil. op.cit. hal 3 230 Allen Hicken. Political engineering and party regulation in Southeast Asia. United Nations University Press. 2008. hal 71
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
DPR tanpa kekuatan mayoritas. Walaupun memenangkan pemilu legislatif, baik
PDI Perjuangan pada Pemilu 1999 maupun Partai Golkar pada Pemilu 2004 gagal
menjadi partai mayoritas. Ketiga, terciptanya “kohabitasi” atau semacam “kawin-
paksa secara politik antara Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagai akibat
perbedaan basis politik di antara mereka. Ironisnya hal ini tak hanya terjadi pada
era Presiden Abdurrahman Wahid (dan Wakil Presiden Megawati) dan Megawati
(dengan Wakil Presiden Hamzah Haz/PPP), melainkan juga ketika Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono harus berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf
Kalla (Golkar). Perbedaan basis politik antara Presiden dan Wakil Presiden seperti
ini tentu merupakan problematik tersendiri yang berpotensi menjadi kendala
efektivitas pemerintahan.231
Pemilu Tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik. 21 Partai Politik berhasil
memperoleh kursi di DPR. PDI memperoleh kursi terbanyak yaitu sebesar 33.11
% dari Jumlah Keseluruhan kursi, diikuti Golkar 25.97%, PPP 12.55%, PKB
11.04%, PAN 7.36%, dan PBB 2.08%. Herman dalam tesisnya menyimpulkan
bahwa bentuk sistem kepartaian di Indonesia berdasarkan hasil pemilihan umum
1999 dengan menggunakan model laakso-Taagepera (1979) dan klasifikasi
Duverger (1954) dan Coppedge (1999) adalah bentuk kepartaian yang bercorak
multipartai yang moderat dengan ENPP 4.72. 232 hal tersebut dapat diartikan
bahwa jumlah efektif partai politik yang ada di DPR adalah 4 sampai 5 partai
politik.
Tabel 3.1. Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 1999 di Indonesia
No Nama Partai Perolehan
Kursi % Perolehan
Kursi (Si)2
231 AM. Fatwa. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2009. Hal Ixiv. Baca juga pendapat Adnan Buyung Nasution bahwa ketegangan dalam hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden yang berakibat jalan buntu (deadlock) selalu menjadi kemungkinan di Indonesia sekarang. Hal ini disebabkan karena keduanya mempunyai legitimasi yang sama. Kesulitan akan bertambah apabila partai politik pendukung presiden tidak menguasai suara mayoritas dalam parlemen. (Adnan Buyung Nasution. Pikiran dan Gagasan Demokrasi Konstitusional. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2010. hal 119)
232 Herman. op.cit
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No Nama Partai Perolehan
% Perolehan
(Si)2 1 PDIP 153 0.3311688 0.10967279 2 Golkar 120 0.25974026 0.067 3 PPP 58.00 0.12554113 0.016 4 PKB 51.00 0.11038961 0.012 5 PAN 34.00 0.07359307 0.005 6 PBB 13.00 0.02813853 0.001 7 Partai Keadilan 7.00 0.01515152 0.000 8 PKP 4.00 0.00865801 0.000 9 PNU 5.00 0.01082251 0.000 10 PDKB 5.00 0.01082251 0.000 11 PBI 1.00 0.00216450 0.000 12 PDI 2.00 0.00432900 0.000 13 PP 1.00 0.00216450 0.000 14 PDR 1.00 0.00216450 0.000 15 PSII 1.00 0.00216450 0.000 16 PNI Front Marhaenis 1.00 0.00216450 0.000 17 PNI Massa Marhaen 1.00 0.00216450 0.000 18 IPKI 1.00 0.00216450 0.000 19 PKU 1.00 0.00216450 0.000 20 Masyumi 1.00 0.00216450 0.000 21 PKD 1.00 0.00216450 0.000 22 PNI Supeni 0.00 0.00000000 0.000 23 Krisna 0.00 0.00000000 0.000 24 Partai KAMI 0.00 0.00000000 0.000 25 PUI 0.00 0.00000000 0.000 26 PAY 0.00 0.00000000 0.000 27 Partai Republik 0.00 0.00000000 0.000 28 Partai MKGR 0.00 0.00000000 0.000 29 PIB 0.00 0.00000000 0.000 30 Partai SUNI 0.00 0.00000000 0.000 31 PCD 0.00 0.00000000 0.000 32 PSII 1905 0.00 0.00000000 0.000 33 Masyumi Baru 0.00 0.00000000 0.000 34 PNBI 0.00 0.00000000 0.000 35 PUDI 0.00 0.00000000 0.000 36 PBN 0.00 0.00000000 0.000 37 PKM 0.00 0.00000000 0.000 38 PND 0.00 0.00000000 0.000 39 PADI 0.00 0.00000000 0.000 40 PRD 0.00 0.00000000 0.000 41 PPI 0.00 0.00000000 0.000
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No Nama Partai Perolehan
% Perolehan
(Si)2 42 PID 0.00 0.00000000 0.000 43 Murba 0.00 0.00000000 0.000 44 SPSI 0.00 0.00000000 0.000 45 PUMI 0.00 0.00000000 0.000 46 PSP 0.00 0.00000000 0.000 47 PARI 0.00 0.00000000 0.000 48 PILAR 0.00 0.00000000 0.000 Total 462 0.212 ENPP 4.719
Sumber Data Diolah dari :
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. 233
Pemilu Tahun 2004 diikuti oleh 24 Partai politik dan sebanyak 15 partai
memperoleh kursi di DPR. Partai Golkar meraih kursi terbanyak dengan 23%
kursi, diikuti PDIP sebanyak 19.8%, PPP 10.5%, Partai Demokrat 10%, PAN
9.6%, PKB 9.5% dan PKS 8.2%. Hasil pemilu 2004 diketahui berganti menjadi
sistem kepartaian multipartai ekstrim dengan ENPP 7.07. Berdasarkan acuan pada
aspek tipologi numerik (numerical typology) sesungguhnya jumlah partainya
sudah berkurang dari 48 pada tahun 1999 menjadi 24 partai pada tahun 2004,
namun dengan rumusan ENPP (Effective Number of Parliament Parties).
Angkanya justru meningkat.234 Jumlah partai yang efektif di parlemen naik dari
lima partai pada tahun 1999 menjadi tujuh partai pada tahun 2004, sehingga
berdasarkan model laakso (1974) hasil pemilu 1999 menunjukkan sistem lima
partai sedangkan pada pemilu 2004 menunjukkan sistem tujuh partai.235
233 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. hal 41 234 Herman. Op.cit hal 73 235 ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tabel 3.2 Perhitungan Nilai ENPP Hasil Pemilu Tahun 2004 di Indonesia
No. Nama Partai Jumlah Kursi
% Jumlah Kursi (Si)
(Si)2
1 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 1 0.002 0.00 2 Partai Buruh Sosial Demokrat 0 0.00 - 3 Partai Bulan Bintang 11 0.02 0.00 4 Partai Merdeka 0 0.00 - 5 Partai Persatuan Pembangunan 58 0.11 0.01 6 Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 4 0.01 0.00 7 Partai Perhimpunan Indonesia Baru 0 0.00 - 8 Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 0 0.00 - 9 Partai Demokrat 55 0.10 0.01 10 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1 0.00 0.00 11 Partai Penegak Demokrasi Indonesia 1 0.00 0.00 12 Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia 0 0.00 -
13 Partai Amanat Nasional 53 0.10 0.01 14 Partai Karya Peduli Bangsa 2 0.00 0.00 15 Partai Kebangkitan Bangsa 52 0.09 0.01 16 Partai Keadilan Sejahtera 45 0.08 0.01 17 Partai Bintang Reformasi 14 0.03 0.00 18 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 109 0.20 0.04 19 Partai Damai Sejahtera 13 0.02 0.00 20 Partai Golongan Karya 128 0.23 0.05 21 Partai Patriot Pancasila 0 0.00 - 22 Partai Sarikat Indonesia 0 0.00 - 23 Partai Persatuan Daerah 0 0.00 - 24 Partai Pelopor 3 0.01 0.00 Total 550 0.14 ENPP 7.08
Sumber : Komisi Pemilihan Umum236
Pada Pemilu Tahun 2009, diikuti oleh 38 partai politik, pemberlakuan PT
mengakibatkan hanya 9 partai politik yang lolos dan memperoleh kursi di DPR.
Partai Demokrat meraih 26.43% Kursi, diikuti Golongan Karya 18.93%, PDIP
16.79%, PKS 10.18%, PAN 8.21%, PPP 6.79%, PKB 5%, Partai Gerindra 4.64%
236 Komisi Pemilihan Umum.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dan Partai Hanura 3.04%. Model Laakso apabila diterapkan pada pemilu tahun
2009, menunjukkan bahwa : Jumlah partai peserta pemilu 2009 meningkat dari 24
partai menjadi 38 partai politik. dengan rumusan ENPP (Effective Number of
Parliament Parties). Diperoleh angka efektif partai 6.4774652. angka ENPP tahun
2004 sebesar 7.072. meskipun angka efektif partai berkurang, namun dengan
pembulatan jumlah partai yang efektif pada tahun 2009 tetaplah tujuh partai,
sehingga di tahun 2009 Indonesia menunjukkan sistem multipartai ekstrim dengan
jumlah tujuh partai efektif.
Tabel 3.3 Pengukuran ENPP Pemilu Tahun 2009
No. Nama Partai Kursi % Kursi (Si)2
1 Partai Demokrat 148 26.43 0.0698469 2 Partai Golongan Karya 106 18.93 0.0358291 3 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 94 16.79 0.028176 4 Partai Keadilan Sejahtera 57 10.18 0.0103603 5 Partai Amanat Nasional 46 8.21 0.0067474 6 Partai Persatuan Pembangunan 38 6.79 7 Partai Kebangkitan Bangsa 28 5.00 0.0025 8 Partai Gerakan Indonesia Raya 26 4.64 9 Partai Hati Nurani Rakyat 17 3.04 0.0009216 10 Partai Karya Peduli Bangsa 11 Partai Pengusaha Dan Pekerja
Indonesia
12 Partai Peduli Rakyat Nasional 13 Partai Barisan Nasional 14 Partai Keadilan Dan Persatuan
Indonesia
15 Partai Perjuangan Indonesia Baru 16 Partai Kedaulatan 17 Partai Persatuan Daerah 18 Partai Pemuda Indonesia 19 Partai Nasional Indonesia
Marhaenisme
20 Partai Demokrasi Pembaruan 21 Partai Karya Perjuangan 22 Partai Matahari Bangsa 23 Partai Penegak Demokrasi Indonesia
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No. Nama Partai Kursi % Kursi (Si)2 24 Partai Demokrasi Kebangsaan 25 Partai Republika Nusantara 26 Partai Pelopor 27 Partai Damai Sejahtera 28 Partai Nasional Benteng Kerakyatan
Indonesia
29 Partai Bulan Bintang 30 Partai Bintang Reformasi 31 Partai Patriot 32 Partai Kasih Demokrasi Indonesia 33 Partai Indonesia Sejahtera 34 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 35 Partai Merdeka 36 Partai Nahdlatul Ummah Indonesia 37 Partai Sarikat Indonesia 38 Partai Buruh Jumlah 560 3.04 0.1543814 ENPP 6.4774652
Sumber Partai Pemenang dan Perolehan Kursi : www.kpu.co.id
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN
AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP PARTAI POLITIK DAN SISTEM
KEPARTAIAN DI INDONESIA
4.1. Tujuan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca
Reformasi.
Kebijakan penyederhanaan partai politik bukanlah kebijakan yang baru
dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Sebelum reformasi, yaitu sejak
kepemimpinan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, telah melaksanakan
kebijakan penyederhanaan partai politik. Seperti yang telah diuraikan pada Bab I,
Maklumat Pemerintah Nomor X Pada 3 November 1945 Tentang Anjuran
Pemerintah Tentang Pembentukan Partai-Partai Politik yang ditandatangani wakil
presiden Mohammad Hatta, merupakan titik awal terbentuknya sistem multipartai
di Indonesia.237 Namun, dalam sejarah, sistem multi partai ini tidaklah disukai
karena Banyaknya partai politik dipandang merupakan salah satu masalah yang
menyebabkan tidak stabilnya pemerintahan dan munculnya perpecahan bangsa.238
Ketidakstabilan pemerintah ini menjadi alasan bagi Presiden Soekarno
untuk mengeluarkan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 tanggal 31 Desember
1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai yang mengatur kehidupan
dan pembubaran partai politik. Penpres itu memberikan hak kepada Presiden
untuk menindak partai politik yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar
negara atau pemimpinnya terlibat pemberontakan atau menolak untuk menindak
anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan.239 Presiden Sukarno
menilai kehidupan kepartaian saat itu dengan segala manuvernya telah
membahayakan persatuan dan keselamatan negara.240
Sesudah dikeluarkannya Penetapan Presiden tersebut, Sukarno kemudian
mengeluarkan Keputusan Presiden No 200/1960 dan Kepres 201/1960 yang
237 Hanta Yuda HR. op.cit. hal 101 238 Adnan Buyung Nasution. Op.cit. hal 133 239 Tohir Luth. M. Natsir : Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani Press. 1999. Hal 51 240 Wawan Tunggul Alam. Op.cit. hal 284.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dengan resmi memerintahkan membubarkan Masyumi dan PSI.241 Pada tanggal
21 September 1965, Presiden Sukarno kembali membubarkan partai politik, yaitu
Partai Murba dengan Keputusan Presiden No 291 Tahun 1965 yang menetapkan
pembubaran Partai Murba, termasuk cabang-cabang/ranting-rantingnya di seluruh
wilayah Republik Indonesia.242
Kebijakan Penyederhanaan partai politik kemudian terulang pada masa
orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dengan cara yang sedikit
banyak radikal, di muka sepuluh partai termasuk Golkar, Presiden Soeharto
mengumumkan sarannya agar partai mengelompokkan diri untuk mempermudah
kampanye pemilihan umum tanpa partai kehilangan identitas masing-masing atau
dibubarkan sama sekali.243 Suharto kemudian menetapkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, peserta pemliu
hanya 2 partai dan 1 golongan karya. Kedua Partai tersebut adalah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).244
Kebijakan penyederhanaan jumlah partai politik pasca pemilu 1971, dimaksudkan
pemerintah untuk menjamin stabilitas politik yang mantap.245
Setelah terkungkung oleh sistem kepartaian Orde Baru, yang sangat
ramping, Indonesia mengalami ledakan partai politik luar biasa. Antara akhir Mei
1998 dan Februari 1999 pasca runtuhnya orde baru. Pasca reformasi, partai politik
mengalami kebebasan dengan ditetapkannya undang-undang nomor 2 tahun 1999.
Ratusan partai baru berdiri yang semula dibatasi dan dberedel secara paksa hanya
menjadi 2 partai dan satu golongan karya pada zaman presiden soeharto menjadi
bebas. Sebanyak 41 partai lolos menjadi peserta pemilu dan 27 partai mendapat
kursi di DPR. Namun, pengambil kebijakan merasa jumlah partai yang ekstrim
membawa dampak yang tidak baik terhadap sistem politik, sehingga menetapkan
undang-undang tentang partai politik yang baru yaitu undang-undang Nomor 31
241 Tohir Luth. Op cit hal 52 242 Rosihan Anwar. Op.cit . hal 372 243 Miriam Budiardjo. Op cit. 2010. hal 445 244 Ibid. hal 85 245 Sulastomo. Op.cit. hal 200
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tahun 2002 dimana dipandang perlunya penyederhanaan partai. Tujuan
pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik pada masa pasca reformasi
dapat dilihat pada penjelasan dan dasar pemikiran Undang-Undang tentang partai
politik dan juga pemilihan umum yaitu untu membentuk Sistem Multipartai
Sederhana dan memperkuat sistem presidensil.
Penjelasan UU 31 tahun 2002 :246
Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem multipartai sederhana. Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional. Mekanisme ini di samping tidak cenderung menampilkan monolitisme, juga akan lebih menumbuhkan suasana demokratis yang memungkinkan partai politik dapat berperan secara optimal.
Dengan sistem multipartai kekuatan-kekuatan politik akan lebih mudah mencapai
sinergi nasional dan partai dapat lebih mengoptimalkan perannya. Pada penjelasan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dinyatakan bahwa sistem multipartai
sederhana dimaksudkan sebagai salah satu upaya memperkuat sistem presidensil
di Indonesia. sebagaimana yang dinyatakan berikut :
Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat.
Pembentukan sistem multipartai sederhana untuk memperkuat sistem presidensil
juga dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, yang
menyatakan bahwa :
Perubahan-perubahan ini dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.247
246 Republik Indonesia. Penjelasan UU 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik 247 Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah mengenai Kriteria penyusunan daerah pemilihan, ambang batas parlemen (Parliamentary Treshold), sistem Pemilu Proporsional, konversi suara menjadi kursi, penetapan calon terpilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tujuan pembentukan sistem multipartai sederhana untuk memperkuat sistem
presidensil, juga dikemukakan dalam pendapat-pendapat pemerintah dan DPR
dalam pengujian/judicial review Undang-Undang tentang Partai Politik dan
Pemilu. Namun demikian, dalam setiap undang-undang belum dapat dipastikan
sistem multipartai sederhana yang seperti apa yang hendak dituju, Mahkamah
konstitusi dalam putusannya memberikan kritik bahwa pengambil kebijakan
cenderung bereksperimen dan berubah-ubah.
Menurut para ahli, sistem multipartai memang tidaklah cocok apabila disatukan
dengan sistem pemerintahan presidensiil. Salah satunya adalah pendapat dari
Scott Mainwarring, seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa
kombinasi antara sistem presidensil dan sistem multi partai membuat demokrasi
yang tidak stabil.248
The combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain.
Dari hasil penelitiannya, tidak ada dari 31 negara demokrasi yang stabil
di dunia mempunyai konfigurasi ini dan hanya satu contoh negara dalam sejarah,
yaitu Chili antara 1933 ke 1973 yang mampu stabil dengan sistem presidensil dan
multipartai.249 Kombinasi antara presidensil dan multipartai akan menghasilkan
imobilisasi eksekutif/ legislative deadlock daripada sistem parlementer atau sistem
presidensil-sistem dwi-partai. Presiden dipilih secara independen dan ketika
pemenang tidak berasal dari partai mayoritas sehingga presiden tidak didukung
mayoritas parlemen.250
Tendensi menuju eksekutif-legislatif deadlock terjadi pada kombinasi
antara sistem presidensil dan multipartai terutama dengan sistem partai dengan
fragmentasi yang tinggi. Presiden sering tidak didukung oleh legislatif yang
mengakibatkan terganggunya stabilitas demokrasi dan pemerintahan yang
Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak 248 Scott Mainwaring. Op.cit. hal 199 249 Ibid hal 199 250 Ibid hal 214
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
efektif.251 Selain itu sistem presidensil menyebabkan sistem multipartai tidak
berfungsi secara baik dikarenakan bangunan koalisi. Dalam sistem multipartai,
koalisi antar partai menjadi penting untuk mendapatkan mayoritas parlemen. Tiga
faktor yang menyebabkan sulitnya dibangun koalisi antar partai dalam sistem
presidensil adalah :252
Pertama, dalam sistem presidensil, presiden (bukan partai) yang
bertanggungjawab untuk membentuk kabinet. Presiden dapat saja membuat
kesepakatan dengan partai-partai yang mendukungnya, namun kesepakatan ini
tidaklah semengikat kesepakatan yang dibuat dalam sistem parlementer. Presiden
lebih bebas merombak kabinet yang menyebabkan lebih mudah kehilangan
dukungan kongres, karena rendahnya ikatan antara presiden ke partai, maka
partai-partai pun akan rendah pula ikatannya kepada presiden.
Kedua, dalam sistem presidensil, komitmen dari para legislator secara individu
untuk mendukung hasil kesepakatan pemimpin partai seringlah tidak konsisten
dan tidak disiplin. Akibatnya tidaklah mungkin untuk digeneralisasi bagaimana
dukungan partai terhadap pemerintahan dalam bentuk dukungan tiap individu
dalam parlemen.
Ketiga, dorongan kepada partai untuk memecah koalisi lebih kuat pada sistem
presidensil dibanding sistem parlementer. Dalam sistem presidensil-multipartai,
pada saat presiden terpilih, para pemimpin partai umumnya merasa perlu untuk
membuat jarak kepada pemerintahan. Dengan menyisakan partner tersembunyi
dalam pemerintahan koalisi, para pemimpin partai merasa takut kehilangan
identitasnya, membagi kesalahan yang dibuat pemerintah dan tidak menikmati
prestasi yang dicapai.
Perlunya kebijakan penyederhanaan partai politik dikemukakan juga oleh
Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan bahwa pada masa reformasi, keran politik
terbuka lebar, sehingga segala pembatasan terhadap prinsip kebebasan berserikat
ditiadakan. Sesuai dengan jaminan konstitusional mengenai prinsip kebebasan,
semua orang diakui berhak mendirikan partai politik, sehingga berkembang
menjadi sistem politik yang biasa dikenal dengan ‘multi-party system’. Untuk
251 Ibid hal 215 252 Ibid hal 220
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mengatur dan mengarahkan agar kecenderungan dan nafsu orang untuk
mendirikan partai politik menjadi rasional, perlu diadakan pembatasan jumlah
partai politik. Apabila jumlah partai politik tidak dibatasi, maka jumlah yang
terlalu banyak akan menurunkan citra partai itu sendiri secara keseluruhan di mata
rakyat. 253
4.2. Perwujudan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik
Kebijakan penyederhanaan partai politik diwujudkan dalam penetapan
persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif baik dalam pembentukan partai politik
sebagai badan hukum, persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu dan juga
persyaratan ambang batas penempatan wakil partai di DPR. Hal tersebut
sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 yang menyatakan bahwa :
Perwujudan sistem multipartai sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam pembentukan partai maupun dalam penggabungan partai-partai yang ada.”
4.2.1. Persyaratan Pembentukan dan Penetapan Partai Politik sebagai
Badan Hukum
Perubahan Undang-Undang tentang Partai Politik mulai dari sejak
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sampai dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 diikuti pula dengan perubahan persyaratan-persyaratan pembentukan
dan penetapan partai politik sebagai badan hukum. Penetapan partai politik
sebagai badan hukum merupakan salah satu persyaratan kualitatif yang
merupakan perwujudan dari kebijakan penyederhanaan partai politik. Selain itu
syarat kualitatif lainnya adalah partai politik harus memiliki kantor tetap.
Sedangkan wujud pelaksanaan kebijakan penyederhanaan partai politik melalui
penetapan syarat kuantitatif meliputi mempunyai kepengurusan dan memiliki
253 Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Ke Empat UUD Tahun 1945. Makalah disampaikan Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14-18 Juli 2003. hal 40
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dukungan yang kuat dari rakyat serta basis massa yang luas sebagaimana
dijelaskan dalam pendapat pemerintah dalam putusan perkara pengujian undang-
undang nomor 20/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa : 254
Perwujudan sistem multi partai yang sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam pembentukan Partai Politik maupun penggabungan Partai Politik. Yang dimaksud dengan persyaratan kualitatif sebuah Partai Politik yaitu berbadan hukum, artinya dengan berstatus sebagai badan hukum, dengan sendirinya harus memenuhi persyaratan administratif untuk menjadi badan hukum publik, dan bertindak sebagai badan yang transparan kepada public. Di samping merupakan badan hukum publik, juga harus mempunyai kantor yang tetap. Sedangkan persyaratan kuantitatif sebuah Partai Politik yaitu mempunyai kepengurusan dan memiliki dukungan yang kuat dari rakyat serta basis massa yang luas.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, partai politik dibentuk dan
didirikan oleh sekurang-kurangnya 50 orang Warga Negara Indonesia (WNI)
yang telah berusia 21, ketentuan ini tetap berlaku dalam Undang-Undang Nomor
31 tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Syarat minimal jumlah
pendiri partai berubah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Syarat minimal pendiri partai semakin diperberat yaitu 30 orang WNI telah
berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi.
Undang-Undang tentang partai politik juga mengatur tentang batasan
ideologi/asas partai politik. Dari semua Undang-Undang tentang Partai politik,
asas partai adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, selain itu setiap partai
politik dilarang untuk menganut dan menyebarkan aliran Leninisme/komunisme
dan Marxisme. Selain itu Undang-Undang Partai Politik mengatur tentang batasan
nama dan lambang partai, pendirian dengan akta notaris. Persyaratan
kepengurusan partai ditingkat pusat ditetapkan sejak Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002. Syarat kepengurusan kemudian ditambahkan syarat menyertakan
30% keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Ringkasan syarat pembentukan partai
politik dari setiap Undang-Undang disajikan dalam Tabel 4.1.
254 ibid. hal 13
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tabel 4.1 Persyaratan/Pembatasan Pembentukan Partai Politik
No Perysaratan/
batasan UU 2/1999
UU 31/2002 UU 2/2008 UU 2/2011
1 Kriteria dan Jumlah Minimal Pendiri
50 orang WNI berusia 21 tahun
50 orang WNI berusia 21 tahun
50 orang berusia 21 tahun
30 orang WNI telah berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi
2 ideologi/asas dan ciri
Pancasila Pancasila dan UUD 1945
Pancasila dan UUD 1945
Pancasila dan UUD 1945
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
3 Nama dan Lambang partai
dilarang menggunakan : - Nama dan
lambang negara asing
- Bendera NKRI
- Bendera negara asing
- Gambar perorangan
- Lambang partai yang sudah ada
dilarang menggunakan : - Bendera atau
lambang Negara RI
- Lambang pemerintahan
- Nama, bendera, lambang negara lain atau lembagan/badan internasional
- Gambar perorangan
- Lambang partai yang sudah ada
dilarang menggunakan : - Bendera
atau lambang Negara RI
- Lambang pemerintahan
- Nama, bendera, lambang negara lain atau lembagan/badan internasional
- Nama, bendera, symbol gerakan separatis atau organisasi terlarang
- Gambar perorangan
- Lambang partai yang sudah ada
nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan dengan nama, lambang, atau tanda Gambar Politik lain
4 dengan akta notaris
ya ya
ya
ya
6 AD dan ART - ya ya ya 7 Kepengurusa
n - - Kepengurusa
n di tingkat pusat
- Kepengurusan tingkat pusat (menyertakan 30% keterwakilan perempuan)
- Kepengurusan tingkat pusat (menyertakan 30% keterwakilan Perempuan)
Partai politik yang telah terbentuk dengan akta notaris, diwajibkan
mendaftar ke Kementerian yang berwenang menurut Undang-Undang untuk
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
ditetapkan sebagai badan hukum dengan terlebih dahulu memenuhi berbagai
persyaratan. Semua Undang-Undang tentang Partai Politik dari yang pernah
berlaku, mengatur tentang syarat akta notaris pendirian partai serta nama dan
lambang partai sebagai prasyarat pendaftaran partai sebagai badan hukum. Jumlah
minimal pendaftar baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, yaitu
partai politik didaftarkan oleh minimal 50 orang pendiri yang mewakili seluruh
pendiri partai politik. Persyaratan mengenai jumlah minimum kepengurusan
partai baru diatur pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002,
untuk didaftarkan sebagai badan hukum, partai politik harus memenuhi
persyaratan minimal kepengurusan 50% dari jumlah Provinsi, 50% dr jumlah
kabupaten/kota di tiap provinsi yg bersangkutan 25% dari jumlah kecamatan di
tiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Syarat kepengurusan kemudian diperberat
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, terutama syarat kepengurusan di
tingkat provinsi, yang semula minimal 50% dari jumlah provinsi menjadi 60%
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Pasca berlakunya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, syarat kepengurusan semakin diperberat,
menjadi di setiap Provinsi, 75 % dr jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi dan 50
% dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan. Dengan
demikian, setiap partai politik harus memenuhi kepengurusan di 33 provinsi, 373
kabupaten kota, dan 3.311 kecamatan. Pengaturan tentang syarat keputusan ini
dimaksudkan untuk mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat
nasional, menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai
sebagaimana yang dikemukakan dalam opening statement pemerintah dalam
putusan perkara pengujian undang-undang Nomor 15/PUU-IX/2011 bahwa
Pengaturan tentang syarat kepengurusan partai politik dimaksudkan dan adanya
alasan sebagai berikut :255
a. Partai politik adalah organisasi yang sifatnya nasional, maka pendirinya juga bersifat nasional dan kepengurusannya tersebar di seluruh provinsi yang ada di Indonesia.
b. Untuk terciptanya integritas nasional. c. Sebagai bentuk perwujudan-perwujudan jaminan penguatan kemandirian
kelembagaan partai politik itu sendiri.
255 ibid. hal 25
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Syarat pendaftaran lainnya adalah partai politik diwajibkan untuk memiliki kantor
tetap dan memiliki rekening partai. Ringkasan perubahan persyaratan pendaftaran
partai politik sebagai badan hukum disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Persyaratan Pendaftaran Partai Politik sebagai Badan Hukum
No Perysaratan/
batasan UU 2/1999
UU 31/2002 UU2/2008 UU 2/2011
1 akta notaris pendirian
ya ya ya ya
2 Nama Lambang dan Tanda Gambar
3 jumlah pendaftar - - - minimal 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik
4 jumlah Minimal Kepengurusan
- - 50% dari jumlah Provinsi
- 50% dr jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi yg bersangkutan
- 25% dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan
- 60 % dari jumlah Provinsi
- 50% dr jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi yg bersangkutan
- 25% dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan
- Setiap Provinsi
- 75 % dr jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi
- 50 % dari jumlah kecamatan di tiap kabupaten/kota yang bersangkutan
4 Kantor tetap - ya ya ya (pada tingkat
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No Perysaratan/ batasan
UU 2/1999
UU 31/2002 UU2/2008 UU 2/2011
provinsi, kabupaten dan kota) sampai tahap akhir pemilu
5 rekening partai - - ya ya 6 Prosedur
pendaftaran dan pengesahan menjadi badan hukum
- Di Departemen Kehakiman
- Disahkan jika memenuhi syarat pembentukan partai
- Pengesahan diumumkan di berita negara
- Di Departemen Kehakiman
- Pengesahan oleh menteri kehakiman (maksimal 30 hari setelah pendaftaran)
- Pengesahan diumumkan di berita negara
- Departeme hukum dan HAM
- Proses penelitia/verifikasi, 45 hari setelah berkas lengkap
- Pengesahan oleh menteri (maksimal 15 hari setelah proses verifikasi
- Pengesahan diumumkan di berita negara
- Departeme hukum dan HAM
- Proses penelitia/verifikasi, 45 hari setelah berkas lengkap
- Pengesahan oleh menteri (maksimal 15 hari setelah proses verifikasi
- Pengesahan diumumkan di berita negara
Jika dibandingkan dengan pengaturan di negara lain, seperti yang sudah
diuraikan dalam Bab II, ada beberapa negara yang memang tidak mengatur
tentang syarat-syarat pendirian dan pendaftaran partai politik sebagai badan
hukum. Perancis, Swedia dan Irlandia, tidak ada persyaratan bagi partai untuk
mendaftar kepada lembaga yang berwenang sebelum muncul di surat suara. Tapi
di banyak negara persyaratan pendirian partai politik pada umumnya meningkat
dalam beberapa tahun terakhir, di sebagian negara partai harus berhadapan dengan
adanya ketentuan tentang penyediaan dana kampanye publik, dan di sebagian
lainnya partai politik harus menghadapi kompleksitas persyaratan birokrasi yang
panjang untuk mendaftarkan secara legal sebagai langkah pertama untuk
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mendapatkan akses suara. Proses pendaftaran partai bervariasi lintas nasional
(sebagaimana juga di negara-negara di Amerika) tetapi pada umumnya
persyaratan pendaftaran mencakup persyaratan organisasi harus memberikan
deposit kepada lembaga pemilihan umum, pernyataan tertulis dari prinsip dan
konstitusi partai, peraturan partai, pernyataan tentang struktur organisasi, dan
buku aturan, serta daftar pengurus partai, dan nama-nama dari sejumlah minimum
tertentu dari anggota partai beserta tanda tangan. terkadang ada persyaratan
distribusi regional dan partai perlu mencantumkan jumlah minimum kandidat.
Beberapa contoh pengaturan persyaratan pendirian partai politik disajikan pada
Tabel 4.3.256
Di Jerman, partai politik memiliki status agak ambivalen. Di satu sisi,
mereka adalah organisasi swasta, baik terdaftar atau tidak terdaftar organisasi
yang didirikan berdasarkan peraturan hukum privat. Di sisi lain, mereka adalah
organisasi publik yang memiliki hak konstitusional tertentu. BL menjamin bahwa
partai politik "dapat bebas didirikan. Tidak Ada ketentuan baik dalam konstitusi
Jerman 1949 (the Basic Law of the Federal Republic of Germany) atau Law on
Political Parties (LPP) yang direvisi tahun 1994, bahwa pembentukan partai
politik tidak memerlukan pendaftaran, sehingga dapat diartikan bahwa partai
politik di Jerman tidak perlu didaftarkan.257
Pendaftaran partai politik juga tidak diwajibkan di Inggris. Jika suatu
organisasi hendak mendaftar sebagai partai politik, maka harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut :258
1. formulir aplikasi memberikan rincian nama partai dan setidaknya dua pejabat
partai
2. di mana partai itu harus terdaftar, dan apakah partai akan memiliki unit
akuntan;
3. salinan Konstitusi Partai
256 Pippa Norris.op.cit. Hal 8 257 Chau Pak-kwan. Op.cit Hal 5 258 ibid Hal 20
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
4. Skema Keuangan, menunjukkan bagaimana partai memenuhi kebutuhan
pendanaan
5. Biaya sebesar £ 150
Tabel 4.3. Persyaratan Pendirian Partai Politik di Beberapa Negara
No Negara Syarat Umum Minimum anggota dan Kepengurusan
1 Australia didirikan
berdasarkan
konstitusi tertulis
minimal 500 anggota donator atau satu
orang yang menjadi anggota parlemen
commonwealth.
Anggota partai lain, tidak dapat
digunakan oleh partai lainnya untuk
mendaftar
2 Meksiko menyerahkan
dokumen
deklarasi prinsip,
program dan
kegiatan partai,
serta peraturan
internal partai.
Memiliki 3000 anggota yang tersebar
setidaknya 10 dari 32 entitas federal atau
300 anggota pada setidaknya 100 dari
300 single member district yang mana
negara tersebut dibagi untuk
kepentingan pemilihan umum
3 Kanada menyertakan pengurus partai dan
deklarasi yang ditandatangani minimum
250 anggota
4 Austria,
Spanyol
dan
Uruguay
5000 anggota
5 rusia harus memiliki
cabang-cabang di
wilayah lebih
dari setengah
membutuhkan minimal 400 anggota atau
lebih dan di wilayah sisanya
membutuhkan minimal 150 anggota
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No Negara Syarat Umum Minimum anggota dan Kepengurusan
wilayah yang
berada di
Federasi Rusia
6 ukraina 10.000 tanda tangan dari warga negara
Ukraina yang memiliki hak untuk
memilih yang haruslah tersebar di 2-3
distrik atau 2 sampai 3 wilayah
administratif Ukraina dan di Kota Kyiv
dan Sevastopol dan 2 sampai 3 distrik di
Republik Otonomi Crimea.259
Dengan demikian meskipun ada beberapa negara yang tidak mengatur
tentang pendirian partai politik secara khusus dalam Undang-Undang tentang
Partai Politik, namun kebanyakan negara mengatur tentang syarat-syarat pendirian
dan pembentukan partai politik dengan tingkatan beratnya persyaratan bervariasi
mencakup syarat minimum anggota, kepengurusan hingga ketersebaran.
Selain mengatur tentang pembentukan dan pendaftaran partai politik
sebagai badan hukum, Undang-Undang tentang Partai Politik mengatur juga
batasan-batasan mengenai keuangan partai politik yang mencakup sumber
pendanaan, batasan pengeluaran dan penerimaan, laporan keuangan, audit laporan
dan juga rekening partai. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa kebijakan
memberi bantuan kepada partai politik yang dapat memancing dan mendorong
minat orang mendirikan partai dengan harapan dapat memperoleh dana bantuan
dari pemerintah, bertentangan dengan kebutuhan untuk mengendalikan jumlah
partai politik, dan karena itu sebaiknya dihentikan.260
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2002, audit laporan dilaksanakan cukup oleh akuntan publik yang
259 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Opinion On The Ukrainian Legislation On Political Parties Adopted By The Venice Commission At Its 51st Plenary Session (Venice, 5-6 July 2002) Hal 3 260 Jimly Asshiddiqie. Struktur Ketatanegaraan RI. hal 42
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
ditunjuk, namun sejak berlakunya Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, anggaran yang bersumber dari APBD
haruslah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. ringkasan mengenai
pengaturan tentang batasan keuangan partai politik disajikan pada Tabel 4.4
Tabel 4.4. Persyaratan Pengelolaan Keuangan Partai Politik
No Perysaratan/batasan
UU 2/1999
UU 31/2002 UU 2/2008 UU 2/2011
1 sumber pendanaan
- iuran anggota;
- sumbangan; - usaha lain
yang sah. - Bantuan dari
anggaran negara
- Iuran anggota
- Sumbangan yang sah
- Bantuan dari anggaran negara
- Iuran anggota - Sumbangan
yang sah - Bantuan
keuangan dari APBN/APBD
- Iuran anggota - Sumbangan
yang sah - Bantuan
keuangan dari APBN/APBD
2 batas maksimal sumbangan/penerimaan
- 15 juta per orang/tahun
- 150 juta per perusahaan atau badan usaha per tahun
- Dari anggota dan bukan anggota 200 juta per tahun
- 800 juta per perusahaan atau badan usaha per tahun
- Anggota partai, diatur AD dan ART
- Perseorangan bukan anggota partai 1 miliar per tahun
- Empat miliar per perusahaan atau badan usaha per tahun
-
Pembukuan pengelolaan keuangan
ya ya
3 laporan keuangan
setiap akhir tahun dan setiap 15 hari sebelum serta 30 hari sesudah pemilihan umum kepada MAhkamah Agung
satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan Umum
A. Satu tahun sekai kepada pemerintah
B. Satu tahun sekai kepada BPK
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
No Perysaratan/batasan
UU 2/1999
UU 31/2002 UU 2/2008 UU 2/2011
4 audit laporan akuntan
public yang ditunjuk Mahkamah Agung
akuntan public
Anggaran yang bersumber dari anggaran negara di periksa oleh BPK
Anggaran yang bersumber dari anggaran negara di audit oleh BPK paling lambat 1 bulan setelah tahun anggaran berakhir
5 rekening partai
- rekening khusus dana kampanye pemilu
rekening khusus dana kampanye pemilu
-
4.2.2. Persyaratan Partai Politik sebagai Peserta Pemilu dan Electoral
Threshold
Partai politik yang telah berstatus badan hukum, tidak serta merta dapat
menjadi peserta pemilihan umum. Untuk menjadi peserta pemilihan umum, partai
politik diwajibkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum. Pasca reformasi berlaku Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, yang berturut-turut kemudian digantikan
oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 dan terakhir oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Persyaratan Partai
Politik untuk mengikuti pemilu meliputi persyaratan kepengurusan, Kantor tetap,
jumlah minimum anggota dan persyaratan ambang batas, serta persyaratan-
persyaratan lainnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Partai
Politik yang hendak menjadi peserta pemilihan umum, harus memenuhi syarat
kepengurusan lebih dari 1/2 jumlah propinsi di Indonesia; di lebih dari 1/2
(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi yang bersangkutan. Syarat ini
kemudian diperberat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008, menjadi minimal 2/3 dari seluruh jumlah
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
provinsi; minimal 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, syarat kepengurusan
partai politik kembali diperberat menjadi di seluruh provinsi, minimal di 75%
(tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
minimal di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang
bersangkutan.
Untuk mengikuti pemilihan umum berikutnya, partai politik berdasarkan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, harus memenuhi ambang batas (electoral
threshold) 2% dari jumlah kursi DPR atau 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II
di 1/2 jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia.
ketentuan ini diperberat pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
menjadi 3% jumlah kursi DPR; b. 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar
di ½ jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. 4% jumlah kursi DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Namun ketentuan mengenai electoral threshold dihilangkan dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
Ketentuan ini kemudian diganti dengan ketentuan mengenai Parliamentary
Threshold. Ringkasan mengenai syarat partai politik untuk menjadi peserta pemilu
disajikan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Persyaratan Partai Politik untuk Menjadi Peserta Pemilihan Umum
Syarat Peserta Pemilu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
kepengurusan lebih dari 1/2
jumlah propinsi di Indonesia; di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah abupaten/kotamadya di propinsi yang bersangkutan
minimal 2/3 dari seluruh jumlah provinsi; minimal 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
minimal 2/3 jumlah provinsi; di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
di seluruh provinsi, minimal di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; minimal di 50% (lima puluh persen)
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Syarat Peserta Pemilu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan
30% keterwakilan Perempuan
- - ya ya
minimum anggota
- 1.000 orang atau minimum 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik
1.000 orang atau minimum 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik
1.000 orang atau minimum 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik
Nama danTanda Gambar
ya ya ya ya
kantor tetap - ya ya ya rekening dana Kampanye Pemilu
- - - ya
electoral threshold(ambang batas)
2% dari jumlah kursi DPR atau 3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II di 1/2 jumlah propinsi dan di ½ jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia
3% jumlah kursi DPR; b. 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar di ½ jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau c. 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
- -
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai politik yang hendak berpartisipasi dalam pemilihan umum di
Jerman, diharuskan untuk memberitahukan tentang niat mereka ke Federal
Returning Officer sebelum pemilihan, kecuali partai-partai yang telah diwakili
oleh sedikitnya lima perwakilan di Bunderstag atau di Landtag (parlemen negara)
sejak pemilihan terakhir. Pemberitahuan tersebut harus meliputi nama partai dan
ditandatangani oleh setidaknya tiga anggota komite eksekutif nasional partai.
Persyaratan lainnya adalah anggaran dasar partai, program partai dan bukti formal
kepemimpinan.261
Partai politik diminta untuk menyerahkan dokumen-dokumen berikut ke
Federal Returning Officer:262 (a) anggaran dasar partai dan artikel; (b) program
partai, dan (c) nama dan fungsi anggota eksekutif partai dan cabang-cabang
lokalnya. Salinan dokumen-dokumen tersedia untuk publik secara gratis. Untuk
menjadi peserta pemilu, setiap organisasi di Inggris harus terdaftar di Komisi
Pemilihan Umum, jika tidak, mereka hanya dapat mendaftar sebagai calon
independen.263
Dalam permohonan pendaftaran berdasarkan UU Pemilu Kanada tahun 2000,
partai politik harus memberikan rincian pemimpin, pejabat partai, agen dan
auditor. Partai juga harus menyediakan nama, alamat dan tanda tangan dari 250
pemilih dan deklarasi pembentukan bahwa mereka adalah anggota partai dan
mendukung aplikasi partai untuk terdaftar. partai juga harus menyerahkan
deklarasi dari pimpinan partai bahwa salah satu tujuan mendasar adalah untuk
berpartisipasi dalam urusan publik dengan mendukung satu atau lebih sebagai
calon anggota dan mendukung pemilihan mereka.264
The Sustainable Governance Indicators 2009 Project dalam laporannya
tentang Democracy and Electoral Process di 31 negara anggota The Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) mengemukakan bahwa :265
1. Australia
261 Chau Pak-kwan. Op.cit hal 6 262 Ibid 263 Ibid hal 16 264Anika Gauja. op.cit Hal 6 265 Ibid hal 2-
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Sejak 1984, partai-partai politik telah diwajibkan untuk mendaftar kepada AEC
sebelum pencalonan kandidat untuk pemilu. Tidak ada hambatan yang signifikan
untuk pendaftaran, untuk setiap calon potensial atau partai haruslah memenuhi
syarat yaitu partai harus memiliki minimal 500 anggota pemilih yang sah. Sejak
pendaftaran partai harus mengikut aturan tentang pendanaan kampanye pemilu
yang ketat. Calon perseorangan yang tidak terafiliasi dengan partai politik dapat
mencalonkan diri untuk pemilu jika telah berusia 18 tahun atau lebih, memegang
kewarganegaraan Australia dan berada di daftar pemilih.
2. Austria
secara umum pendirian partai politik tidaklah dibatasi, pembatasan. Berdasarkan
Undang-Undang tentang Partai tahun 1975, partai politik harus memiliki aturan
internal Partai dan menyampaikannya kepada Kementerian Dalam Negeri
sehingga dapat diterbitkan dalam brosur berkala. Aturan tentang pembatasan
mendirikan dan mendaftarkan partai dan kandidat, hanya ada dalam Perjanjian
Negara Wina (1955), yaitu larangan pembentukan organisasi fasis dan nasional
sosialis.
3. Denmark
partai-partai sudah memiliki wakil di parlemen otomatis dapat
berpartisipasi dalam pemilihan umum yang baru, sementara partai lain harus
mendapatkan persetujuan dari menteri dalam negeri dengan menyediakan
sejumlah besar tanda tangan pemilih pendukungnya partisipasi. Jumlah tanda
tangan harus setidaknya 1/175 dari pemilih yang berpartisipasi dalam pemilu
sebelumnya, yang dalam prakteknya berjumlah lebih dari 25.000. Kedua, nama
partai yang baru harus mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.
Dengan demikian dapat digambarkan bahwa, pengaturan tentang syarat-syarat
pendaftaran partai politik sebagai peserta pemilu juga bervariasi diatur di berbagai
negara.
4.2.3. Persyaratan Partai Politik untuk Menempatkan Wakilnya di
DPR (Parliamentary Threshold)
Partai politik yang memperoleh suara di pemilu DPR tidak serta merta
dapat menempatkan wakilnya (memperoleh kursi) di DPR. Pasca berlakunya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, Partai Politik harus memperoleh
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
minimum 2.5% suara ditingkat nasional untuk dapat diikutsertakan dalam
perhitungan kursi di DPR. Ketentuan ini semakin diperberat pasca berlakunya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Yaitu menjadi 3 % perolehan suara
nasional.
Tabel 4.6 Ketentuan Ambang Batas (Parliamentary Threshold)
Persyaratan /Batasan
UU 2/1999
UU 31/2002 UU 2/2008 UU 2/2011
Parliamentary Threshold
- - 2.5% 3%
Dalam praktek-praktek di negara lain, sebagaimana telah diuraikan pada
Bab II, Penerapan besaran Parliamentary Threshold bervariasi. Di negara-negara
Eropa, PT bervariasi antara 10%-0%. Turki adalah negara dengan PT tertinggi
yaitu sebesar 10%. Rusia sejak 2007, menerapkan PT 7%, Jerman, Belgia,
Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia, Republik Ceko, dan Slovakia menerapkan
PT 5%, sementara negara Austria, Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia
menerapkan PT sebesar 4%, Spanyol, Yunani, Rumania dan Ukraina menerapkan
PT sebesar 3%, Denmark sebesar 2% dan Belanda 0.67%.266 Dengan demikian,
angka PT di Indonesia masih berada pada PT di negara-negara lain seperti Turki,
Rusia Jerman, Belgia, Estonia, Georgia, Hungaria, Polandia, Republik Ceko, dan
Slovakia Austria, Bulgaria, Italia, Norwegia dan Swedia.
4.3. Tahapan Kebijakan Penyederhanaan
Russel J Dalton, David M Farrel dan Ian McAllister sebagaimana telah
diuraikan dalam Bab II, menjelaskan bahwa fungsi partai politik dapat dibagi
menjadi tiga level yaitu di antara warga masyarakat, organisasi-organisasi dan di
pemerintahan.267 Di level warga masyarakat, partai berfungsi untuk
menyederhanakan pilihan bagi para pemilih. Partai politik mendidik para pemilih
266 European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission). Op.cit hal 5 267 Russell J Dalton, David M Farrell and Ian McAllister. Op.cit hal 5
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tentang manfaat dan ketidakmanfaatan dari pilihan-pilihan kebijakan yang
ditawarkan. Diantara warga masyarakat, partai politik diharapkan akan
memobilisasi warga untuk aktif berperan serta dalam proses politik sehingga
dapat menciptakan stabilitas sistem politik dalam jangka panjang. Dalam level
organisasi, partai politik merekrut dan melatih pemimpin politik yang potensial
dan para kandidat yang akan ditempatkan dalam pemerintahan, memperkenalkan
kepada mereka tentang nilai dan norma dari pemerintahan yang demokratis.
Secara organisasi, partai politik juga mengartikulasi kepentingan-kepentingan
politik para pendukungnya. Pararel dengan perannya sebagai artikulasi
kepentingan, partai politik juga berfungsi untuk agregasi kepentingan,
menempatkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam bentuk yang
komprehensif dan terhubung dan akan menjadi panduan bagi kebijakan
pemerintahan jika dan ketika mereka terpilih menjadi partai di pemerintahan.268
Pada level pemerintahan, partai politik mengorganisasikan cara kerja
pemerintahan dengan menciptakan mayoritas suara untuk memenangkan
kebijakannya. Partai politik di pemerintahan memiliki tujuan-tujuan kebijakan
yang komprehensif yang diklaimnya sebagai mandat dari yang diwakili. Partai
politik atau koalisi partai akan mengimplementasikan kebijakan tersebut dan
mengorganisasikan pemerintahan hingga selesai. Mandat para pemilih juga
menjadi legitimasi bagi partai dalam mengimplementasikan kebijakan dan akan
menjadi kontrol untuk menilai kinerja partai/akuntabilitas apakah sesuai dengan
apa yang mereka telah janjikan sebelumnya. Jika partai merupakan oposisi dapat
juga berkontribusi untuk mengevaluasi dan mengkritisi keputusan-keputusan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah.269 Hubungan (Linkage) antara partai dan
pemilih dapat digambarkan pada gambar pada Bab II.
Berdasarkan UU Pemilu memang partai politik yang telah berstatus
sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak secara serta merta (otomatis)
dapat mengikuti pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan yang
ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi administratif dan verifikasi faktual
268 Ibid hal 6 269 Ibid hal 5-6
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7 UU Pemilu), sehingga eksistensi
partai politik dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilu memang
merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan.270 Hal
tersebut setidaknya yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Perkara Nomor 16/PUU-V/2007 alinea [3.15], huruf d. yang menyatakan bahwa
Bahwa tambahan pula, berdasarkan UU Pemilu memang partai politik yang telah berstatus sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak secara serta merta (otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi administratif dan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7 UU Pemilu), sehingga eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik dalam pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan. Setidaktidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat bebas kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk mengenai persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan ET.
Apabila digambarkan hubungan antara ketentuan yang mengatur tentang
tahapan kebijakan penyederhanaan partai politik dapat digambarkan sebagai
berikut :
Bagan 4.1.
Tahapan Pengaturan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik
4.4. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap
Partai Politik
Vicky Randal menilai bahwa Indonesia telah sukses
mengimplementasikan Undang-Undang tentang Partai Politik. Undang-Undang
dikombinasikan secara baik antara tujuan untuk membentuk partai politik yang
berkarakter organisasi yang bersifat nasional dan ketentuan thershold telah sukses
270 Putusan 16/PUU-V/2007 Hal 82
organisasi/ Partai Politik
Undang-Undang tentang Partai
Politik
Partai Politik sebagai Badan
Hukum
Undang-Undang tentang
Pemilihan Umum
Partai Politik sebagai Peserta
Pemilu
Undang-Undang tentang
Organisasi DPR
Partai Politik dalam
Parlemen/DPR
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
menurunkan jumlah partai politik yang efektif dan meningkatkan kapasitas
geografinya.271
4.4.1. Partai Politik Tidak Diakui sebagai Badan Hukum
Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, banyak
bermunculan partai politik baru karena syarat-syarat untuk mendirikan partai
politik belumlah diatur secara ketat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, telah diatur syarat minimal
jumlah anggota dan kepengurusan (Pasal 2) apabila hendak membentuk dan
mendaftarkan partai politik di Departemen Kehakiman. Akibat hukum tidak
terpenuhinya persyaratan tersebut adalah penolakan pendaftaran sebagai partai
politik oleh Departemen Kehakiman, sehingga partai politik tersebut tidak diakui
sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman sebagaimana dinyatakan
dalam :
pasal 26 ayat (1) :
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman.
Penolakan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum akibat tidak
terpenuhinya persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-undang juga
diatur dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 menyatakan bahwa : Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen.
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 : Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian.
271Vicky Randal. Party regulation in conflict-prone societies: More dangers than opportunities?hal 246
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
148 partai mendaftarkan diri secara resmi ke Departemen Kehakiman.
Departemen Kehakiman kemudian mengesahkan 141 di antaranya. Dari 141
partai politik ini, 110 mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas untuk ikut Pemilu
1999, dan setelah melalui proses verifikasi, hanya ada 48 partai politik yang boleh
ikut Pemilu 1999.272 Hal tersebut menciptakan sistem multipartai yang ekstrim
dan dinilai oleh pengambil kebijakan kurang sesuai dengan sistem pemerintahan
presidensiil di Indonesia. sehingga Undang-Undang tentang Partai Politik
berikutnya mengatur tentang upaya penyederhanaan partai politik untuk mencapai
sistem multipartai sederhana.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik, untuk membentuk partai politik, haruslah memenuhi persyaratan-
persyaratan antara lain yaitu : memiliki akta notaris pendirian partai politik,
kepengurusan di 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada
setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap
kabupaten/kota yang bersangkutan; memiliki nama, lambang, dan tanda gambar
dan mempunyai kantor tetap. Partai politik yang telah memenuhi persyaratan
tersebut, kemudian disahkan oleh departemen kehakiman untuk ditetapkan
sebagai badan hukum. Kementerian Kehakiman melaksanakan tiga tahap
verifikasi untuk menetapkan partai politik yang memenuhi syarat sebagaimana
yang ditetapkan di dalam UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik untuk
menjadi badan hukum. Verifikasi tahap I, tahap II dan tahap III. Sejak departemen
membuka pendaftaran partai politik untuk disesuaikan dengan ketentuan UU No.
31 Tahun 2002 pertengahan tahun 2003, secara keseluruhan ada 112 partai politik
yang mendaftar (dalam 3 angkatan atau gelombang).273 Sebanyak 66 parpol
mendaftar pada tahap ke tiga.274 Verifikasi tahap I dan II meloloskan 18 partai
272 Eep Saefulloh Fatah. Sebuah Cermin Cembung. Partai-Partai Politik Indonesia :Ideologi, Strategi dan Program. http://majalah.tempointeraktif.com 1999.
273 Komisi Pemilihan Umum. Verifikasi Angkatan III Selesai, Secara Keseluruhan Ada 50 Partai
yang Lolos di Depkeh dan HAM . http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5134&Itemid=76 [juli 2012]
274 Tempo Interaktif. Daftar Partai yang Lolos dan Tidak Lolos Verifikasi. 2003.
http://www.tempo.co/read/news/2003/10/04/05519829/null [ 8 juli 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
politik.275 Pada tahap III, sebanyak 32 partai politik. Sehingga total partai politik
yang lolos verifikasi dan ditetapkan sebagai badan hukum sebanyak 50 partai
politik. Dengan demikian implikasi hukum diterapkannya persyaratan pendirian
partai politik pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 adalah sebanyak 62
partai politik tidak dapat ditetapkan sebagai partai politik yang berbadan hukum
dan tidak terdaftar di Kementerian Kehakiman.
Pada tahun 2008, Undang-Undang tentang Partai Politik diganti dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Syarat pendirian
partaipun mengalami perubahan dan semakin diperberat, terutama pada syarat
kepengurusan partai di tingkat provinsi yang semula 50% menjadi 60% dari
jumlah provinsi. Departemen Hukum dan HAM berdasarkan amanat Undang-
Undang menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi
kelengkapan dan kebenaran. Pada Tahun 2008, sebanyak 24 Partai Politik
memperoleh status Badan Hukum dari 115 partai politik yang mendaftarkan diri
ke Departemen Hukum dan HAM.276
Hal yang sama, terjadi juga Pada Tahun 2011, pasca diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Syarat pembentukan partai politik
semakin diperberat. Pasca diberlakukannya ketentuan ini, Setelah melalui proses
verifikasi sejak tanggal 23 September 2011 sampai dengan 25 November 2011,
dari paerol yang mendaftarkan diri untuk memperoleh status badan hukum, yang
lolos verifikasi adalah partai Nasdem yang sesuai dengan keterangan pers
menkumham tanggal 11 November 2011. Sedangkan 13 partai politik lainnya
tidak memenuhi syarat untuk lolos verifikasi dan oleh karena itu tidak
memperoleh status badan hukum sesuai dengan peraturan perundang –undangan
yang berlaku mengenai partai politik. Ketiga belas partai politik yang tidak lolos
275 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. KPU Jelaskan Prosedur Pendaftaran dan Penelitian Kepada Partai Politik yang Telah Lolos Menjadi Badan Hukum. http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5109&Itemid=76 [8 juli 2012]
276 Antara News . Sebanyak 24 Parpol Lolos Verifikasi Depkumham. http://www.antaranews.com/view/?i=1207296006&c=NAS&s= 2008. [8 juli 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
verifikasi tersebut adalah 277: 1. Partai Demokrasi Pancasila (DEPAN), 2. Partai
Independent, 3. Partai Rakyat bangkit, 4. Partai Rakyat Republik (PAKAR), 5.
Partai kekuatan Rakyat Indonesia, 6. Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara
(PKBN), 7. Partai Nasional Republik, 8. Partai Penganut Thariqot Islam Negara
Islam Indonesia, 9. Partai Persatuan Nasional, 10. Partai Republik Perjuangan, 11.
Partai Republik Satu, 12. Partai Satria Piningit, 13. Partai Serikat Rakyat
Independent. Namun pada tanggal 27 Maret 2012, Partai Serikat Rakyat
Independen (SRI) resmi berbadan hukum dengan keluarnya SK Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia M.HH-09.AH.11.01.278 status badan hukum Partai SRI
diperoleh setelah bersinergi dengan Partai Demokrasi Perjuangan Rakyat (PDPR)
yang memang telah berbadan hukum tetapi gagal lolos Pemilu 2009.279
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan penyederhanaan partai politik
telah menyebabkan tidak diakuinya partai-partai politik yang tidak memenuhi
persyaratan Undang-Undang sebagai badan hukum. Dalam prakteknya, akibat ini
tidak serta merta diterima oleh partai politik yang tidak lolos verifikasi untuk
menjadi badan hukum. Beberapa upaya judicial review terhadap Undang-Undang
tentang Partai Politik diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Pada setiap Undang-Undang tentang Partai Politik sebagaimana telah
dijelaskan di atas, diatur sanksi administrasi berupa penolakan bagi partai politik
yang tidak memenuhi persyaratan pendirian dan pendaftaran partai politik sebagai
badan hukum. Kementerian yang berwenang menurut Undang-Undang berwenang
untuk menolak menetapkan partai yang tidak lolos persyaratan sebagai badan
hukum. Ketentuan sanksi administratif berupa penolakan partai politik sebagai
badan hukum diatur pada pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002, Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 , dan pada Pasal 47
ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Dalam prakteknya dari sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 hingga Undang-Undang
277 Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Menkumham Umumkan Verifikasi Parpol. http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/472-menkumham-umumkan-verifikasi-parpol
278 Kompas. Partai SRI Siap Ikuti Pemilu 2014. http://nasional.kompas.com/read/2012/04/08/18123424/Partai.SRI.Siap.Ikuti.Pemilu.2014 [7 juli 2012] 279 ibid
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Nomor 2 Tahun 2011, sejumlah partai politik tidak diakui sebagai partai politik
berbadan hukum dan tidak terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, yang
dapat disajikan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Jumlah Partai yang Memperoleh Status Badan Hukum
No Pasca Berlakunya Undang-Undang
Jumlah Partai Politik % yang mendaftar Ke Kementrian
yang memperoleh Status badan
hukum 1 Nomor 2 Tahun 1999 148 141 95.27 2 Nomor 12 Tahun 2003 112 50 44.64 3 Nomor 2 Tahun 2008 115 24 20.86 4 Nomor 2 Tahun 2011 14 2 14.28
Diolah dari berbagai sumber.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa terjadi penurunan jumlah partai politik
baik yang mendaftar ke Kementerian yang berwenang menurut Undang-Undang
dan jumlah partai politik yang ditetapkan sebagai badan hukum. Pasca berlakunya
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1999 sebanyak 148 partai mendaftar ke
kementerian dan dikarenakan persyaratan yang diatur tidak terlalu ketat, maka
sekitar 141 (95%) partai diterima dan terdaftar di kementerian. Namun pasca
berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, yang mulai mengatur secara
ketat syarat-syarat pendirian dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum,
maka pada prakteknya jumlah partai politik yang mendaftar menurun menjadi 112
partai dan yang memperoleh status badan hukum hanyalah 50 partai saja atau
sekitar 44.64%. semakin diperberatnya persyaratan pendirian dan pendaftaran
partai politik pasca ditetapkannya Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008,
berakibat hukum hanya 24 partai yang dapat memperoleh status badan hukum,
dari 115 partai yang mendaftar ke kementerian dan semakin berkurang pasca
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, hanya 2 partai saja yang
dapat memperoleh status sebagai badan hukum. Dengan demikian, syarat-syarat
pendirian partai dan pendaftaran partai sebagai badan hukum, telah efektif
menurunkan jumlah partai politik di Indonesia.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
4.4.2. Partai Politik tidak dapat Menjadi Peserta Pemilihan Umum.
Partai politik yang telah memperoleh status sebagai badan hukum, tidak
serta merta dapat menjadi peserta pemilihan umum. Berbagai persyaratan untuk
menjadi peserta pemilu harus dipenuhi, dan persyaratan tersebut semakin
diperberat di setiap perubahan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
Berdasarkan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003,
Partai Politik yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), berakibat hukum bahwa partai
politik tersebut tidak dapat menjadi peserta pemilihan umum.
Pasal 39 ayat (1) :
Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilihan Umum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik; b. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia; c. memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya
di propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik.
Pasal 39 ayat (2) : Partai Politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak dapat menjadi Peserta Pemilihan Umum, namun keberadaannya tetap diakui selama partai tersebut melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Partai Politik.
Untuk mengikuti pemilihan umum berikutnya, partai politik berdasarkan Pasal 39
ayat (3) Undang-Undang 3 Tahun 2009 harus memenuhi ambang batas perolehan
kursi, sebanyak 2% dari jumlah kursi DPR atau 3% jumlah kursi DPRD I atau
DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah propinsi dan di ½
jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia.
Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang 3 Tahun 2009 :
Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
(setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum.
Akibat hukum dari berlakunya ketentuan ambang batas perolehan kursi (electoral
threshold) adalah tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali
bergabung dengan partai politik lain sebagaimana diatur pada Pasal 39 ayat (4)
yang menyatakan bahwa :
Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain.
Akibat hukum tidak terpenuhinya syarat-syarat partai untuk menjadi peserta
pemilu juga diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 12 Tahun 2003 yang menyatakan
bahwa :
Partai politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menjadi peserta Pemilu.
Ketentuan electoral threshold dalam UU 12 Tahun 2003, diatur pada pasal 9 ayat
(1) dan akibat hukum tidak terpenuhinya ketentuan tersebut adalah partai politik
masih dapat mengikuti pemilu berikutnya hanya apabila : a). bergabung dengan
Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan electoral threshold, b).
bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan ET dan
selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang
bergabung sehingga memenuhi ET atau c). bergabung dengan partai politik yang
tidak memenuhi ketentuan ET dengan membentuk partai politik baru dengan
nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi ET sebagaimana dinyatakan
pada Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa :
Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila: a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.
Pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Pasal
17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, partai politik dapat ditetapkan
menjadi peserta pemilu apabila telah lulus verifikasi oleh KPU, sehingga partai-
partai yang tidak lulus verifikasi, tidak dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu.
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 :
Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 terdapat ketentuan peralihan yang
mengatur persyaratan partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum
berikutnya, yaitu pada pasal 315 yang menyatakan bahwa :
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.
Pada pasal 316 memuat ketentuan bagi partai yang tidak memenuhi ketentuan
pasal 315 dapat mengikuti pemilu pada tahun 2009 dengan ketentuan :
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda
gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi
perolehan minimal jumlah kursi; atau
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan
nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah
kursi; atau
d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau
e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik
Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pada Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, partai politik dapat
ditetapkan menjadi peserta pemilu apabila telah lulus verifikasi oleh KPU,
sehingga partai-partai yang tidak lulus verifikasi, tidak dapat ditetapkan sebagai
peserta pemilu.
Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 :
Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU.
Pada Pelaksanaannya di pemilu tahun 1999, dari 110 partai politik yang
mendaftarkan diri kepada Tim Sebelas, dan setelah melalui proses verifikasi,
hanya ada 48 partai politik yang boleh ikut Pemilu 1999. Sehingga lebih dari
separoh dari jumlah partai politik (52 partai) yang tidak dapat mengikuti pemilu
karena tidak memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan. Pada Pemilu 2004, dari
50 parpol yang mendaftar ke KPU untuk Pemilu 2004, hanya 24 parpol yang
ditetapkan sebagai peserta pemilu. Itu termasuk enam parpol besar yang bebas
verifikasi karena lolos electoral threshold pada Pemilu 1999.280
Pada pemilu 2009, sebanyak 68 partai politik mendaftar ke KPU sebagai
calon peserta pemilu 2009.281 Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan 18
partai politik dinyatakan lolos verifikasi faktual KPU dan berhak menjadi peserta
280 Okezone.com. 68 Partai Politik Baru Gugur. http://jakarta.okezone.com/read/2008/02/28/1/87368/68-partai-politik-baru-gugur[22 juli 2012]
281 Detiknews. 68 Parpol Sudah Ambil Form di KPU.
http://news.detik.com/read/2008/04/11/165455/922127/10/68-parpol-sudah-ambil-form-di-kpu?nd993303605 [8 September 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pemilu 2009 bersama 16 partai lainnya yang telah memiliki keterwakilan di DPR,
sesuai pasal 315 dan 316 UU No 10 tahun 2008.
Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, KPU membuka
Pendaftaran partai politik (parpol) calon peserta Pemilu 2014 yang dibuka sejak
Jumat, 10 Agustus 2012 lalu, dan resmi ditutup pada 7 September 2012. Hingga,
parpol yang mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), seluruhnya
berjumlah 46 (empat puluh enam) partai .282 Hingga 10 September 2012, telah 12
partai politik ditetapkan tidak memenuhi persyaratan Undang-Undang Pemilu
sehingga tidak dapat menjadi peserta pemilu.
Dengan demikian dapat dkatakan bahwa kebijakan penyederhanaan partai
politik khususnya persyaratan partai politik untuk menjadi peserta pemilu, telah
berakibat tidak lolosnya sejumlah partai politik sehingga tidak dapat menjadi
peserta pemilu.
Pada setiap Undang-Undang tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, diatur persyaratan-perysaratan bagi partai politik untuk
dapat menjadi peserta pemilihan umum, sehingga bagi partai-partai yang tidak
memenuhi persyaratan tersebut, berakibat hukum tidak dapat menjadi peserta
pemilihan umum. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 dan 12 Tahun
2003, diatur persyaratan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan
umum berikutnya harus memenuhi ketentuan ambang batas perolehan kursi,
ketentuan ini berakibat hukum bagi partai-partai plitik yang tidak dapat memenuhi
haruslah bergabung dengan partai politik lain atau membentuk partai baru. Dalam
prakteknya dari sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
hingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, sejumlah partai politik tidak lolos
menjadi peserta pemilihan umum, yang dapat disajikan pada Tabel 4.8
282 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Pendaftaran Parpol Resmi Ditutup, Total 46 Partai Mendaftar Ke KPU.
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7065&Itemid=1 [ 8 September 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tabel 4.8 Jumlah Partai Politik yang Tidak Lolos Persyaratan Sebagai Peserta
Pemilihan Umum
No Periode Pemilu Tahun
Partai Politik % yang mendaftar
KPU peserta pemilu
1 1999 110 48 43.63 2 2004 50 24 48.00 3 2009 68 38 55.88
4 2012 46 sedang dalam tahap verifikasi
Diolah dari berbagai sumber.
Pada Pemilu pertama pasca reformasi, sebanyak 110 partai politik
mendaftar ke KPU, namun hanya sebanyak 48 partai saja yang dapat menjadi
peserta pemilu. Partai politik yang mendaftar untuk menjadi peserta pemilu
semakin berkurang pada pemilu tahun 2009, yaitu hanya 50 partai dan yang
berhasil lolos persyaratan hanya 24 partai dan menjadi peserta pemilu. Pada tahun
2008, memang terjadi kenaikan jumlah partai yang mendaftar ke KPU dari 50
partai di tahun 2003 menjadi 68, hal tersebut dikarenakan terjadinya perubahan
kebijakan yang semula menggunakan ET pada UU 3 tahun 1999 dan uu 12 tahun
2003 menjadi PT sehingga partai yang menjadi peserta pemilu naik dari 24
menjadi 38. Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM, per akhir tahun
2012, jumlah partai politik yang diakui keberadaannya sebagai badan hukum
adalah berjumlah 73 partai politik, namun pada kenyataannya hanya 46 partai
yang mengajukan pendaftaran ke KPU untuk menjadi peserta pemilu karena
beratnya syarat yang telah ditetapkan oleh UU Pemilu.
Sebanyak 16 Partai Politik calon Peserta Pemilu 2014 dinyatakan
memenuhi syarat verifikasi faktual tingkat pusat. Tiga Partai yang semula belum
memenuhi syarat pada verifikasi faktual tahap pertama yakni partai bulan bintang,
partai keadilan sejahtera, dan partai golongan karya, telah dinyatakan memenuhi
syarat.283 adapun 13 parpol yang terlebih dahulu lolos verifikasi faktual tingkat
pusat berikut keterwakilan perempuan dalam kepengurusannya adalah PKBIB,
283 Kompas. 16 Parpol Penuhi Syarat.Peserta Pemilu diumumkan pada 9-11 Januari 2013. Politik dan Hukum. Kompas Edisi Senin 26 November 2012. hal 4
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai Hanura, PPN, PPRN, PArtai Nasdem, PDP, PKB, Partai Demokrat, Partai
Gerindra, PAN, PPP, PKPI, PDI-P.284
4.4.3. Partai Politik tidak dapat Menempatkan Wakilnya di DPR
Ketentuan Parliamentary Threshold yang diterapkan pada Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 telah mengurangi jumlah partai yang dapat
menempatkan wakilnya di DPR karena partai yang tidak memenuhi ketentuan
ambang batas perolehan suara tidak dapat diikutkan dalam penentuan kursi di
DPR sebagaimana yang dinyatakan Pada Pasal 202 ayat 1 UU 10 Tahun 2008
dan Pasal 208 UU 8 Tahun 2012.
Pasal 202 ayat (1) UU 10 Tahun 2008 Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
Pasal 208 UU 8 Tahun 2012 Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Pada Pemilu 2009, perolehan suara dari seluruh 38 parpol peserta pemilu DPR,
sebanyak 9 parpol yang lolos ketentuan ambang batas yaitu Partai Hanura, Partai
Gerindra, PKS, PAN, PKB, Partai Golkar, PPP, PDIP, dan Partai Demokrat
sehingga dapat diikutsertakan dalam pembagian 560 kursi DPR.285
4.4.4. Penggabungan Partai Politik
Hasil dari kebijakan tersebut, pada Pemilu 1999 hanya enam Parpol yang
memenuhi ET dan pada Pemilu 2004 hanya tujuh Parpol yang memenuhi ET,
sedangkan bagi Parpol-Parpol yang tidak memenuhi ET untuk dapat mengikuti
Pemilu berikutnya harus bergabung dengan Parpol lainnya yang memenuhi ET
atau tidak memenuhi ET agar memenuhi ET sesuai dengan ketentuan yang diatur
284 ibid 285 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Buku Saku Pemilu 2009. Hal 40
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6520&Itemid=171 [5 Januari 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dalam UU 12/2003. Pasal 39 ayat 4 menyatakan bahwa partai politik yang tidak
memenuhi ketentuan ambang batas sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (3),
berakibat hukum tidak boleh ikut dalam pemilihan umum kecuali bergabung
dengan partai politik lain. Pasal 39 ayat (3) :
Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua perseratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebut sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum. Pasal 39 ayat (4) : Partai Politik Peserta Pemilihan Umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3), tidak boleh ikut dalam Pemilihan Umum berikutnya, kecuali bergabung dengan partai politik lain.
Pasal 9 ayat (2) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila: a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.
Ketentuan mengenai ambang batas perolehan suara (parliamentary
threshold) nasional sebagai syarat diikutkannya partai politik untuk mendapatkan
kursi di DPR baru diatur sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008, menggantikan kebijakan ET yang diatur pada Undang-Undang sebelumnya.
Akibat hukum dari ketentuan PT adalah bagi partai politik yang tidak memenuhi
ketentuan tersebut, tidak dapat memperoleh kursi di DPR. Pada Pemilu 2009,
perolehan suara dari seluruh 38 parpol peserta pemilu DPR, sebanyak 9 parpol
yang lolos ketentuan ambang batas yaitu Partai Hanura, Partai Gerindra, PKS,
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
PAN, PKB, Partai Golkar, PPP, PDIP, dan Partai Demokrat sehingga dapat
diikutsertakan dalam pembagian 560 kursi DPR.286
Menurut Venice Commission Efek dari penerapan threshold adalah bahwa
partai-partai kecil memiliki kesulitan untuk memperoleh kursi. Electoral
threshold juga merupakan kendala penting bagi partai minoritas Untuk
menurunkan threshold atau bahkan menghapuskan. Di Serbia partai minoritas
gagal melewati ambang batas 5% pada pemilihan parlemen 2003. Setelah
penghapusan dari ambang batas pada tahun 2004 lima partai minoritas yang
mewakili Hongaria, Bosnia, Albania dan Roma kembali ke Parlemen dalam
pemilu 2007. Di Polandia dan Jerman ambang 5% tidak berlaku untuk partai
minoritas. Pengadilan Eropa tentang Hak Asasi Manusia menyatakan dalam
kasus Yumak dan Sadak v Turki, yang akan diinginkan untuk menurunkan
threshold 10% diterapkan untuk Turki untuk memastikan optimal representasi.
Pada tahun 2007 dalam Resolusi nya 1.547 Dewan Majelis Parlemen
Eropa memilih untuk Batas 3%, meskipun dengan reservasi penting bahwa
rekomendasi ini diterapkan untuk demokrasi yang sudah mapan. Ambang ini
tampaknya terlalu rendah, jika kita mengakui pentingnya perbedaan antara
demokrasi yang sudah mapan dan yang kurang mapan di mana sistem kepartaian
masih sedang dibuat. Pada sistem yang pertama, ambang batas 3 sampai 5 %
masih dapat diterima. Dalam negara demokrasi baru, sebaliknya, ambang batas
yang lebih tinggi mungkin dipertimbangkan untuk mendorong pembentukan
sistem partai yang sederhana dan efektif dan tentunya tidak melebihi angka 10%
yang sudah cukup tinggi.287
4.5. Akibat Hukum Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik terhadap
pembentukan sistem Multipartai Sederhana
Perjalanan sistem multipartai di Indonesia disertai karakateristik tersendiri.
Penerapan multipartai di Indonesia disertai dengan tingkat pelembagaan sistem
kepartaian yang rendah. Rendahnya tingkat pelembagaan ini akan berimplikasi
286 KPU. Buku Saku Pemilu 2009. Hal 40 http://www.kpu.go.id/dmdocuments/saku_h.pdf 287 Venice Commission. Report On Thresholds And Other Features Of Electoral Systems Which
Bar Parties From Access To Parliament (II). Maret 2012. hal 12 http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD(2010)007-e.pdf [diunduh 29 November 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
pada sistem multipartai yang cenderung terfragmentasi. Kondisi fragmentasi
politik ini menyebabkan partai politik pemenang pemilu akan sulit mencapai
kekuatan mayoritas tanpa adanya koalisi dalam pemerintahan.288
Pemilu tahun 1999, diikuti oleh 48 partai politik dan sebanyak 24 partai
politik memperoleh kursi di DPR. PDIP memperoleh kursi terbanyak dengan
33.11%, diikuti oleh partai golkar 25.97% kursi di DPR, PPP 12.55%, PKB
11,03%, PAN 7.35%, . Nilai ENPP pemilu tahun 1999 sebesar 4.71 yang dapat
diartikan bahwa sistem partai hasil pemilu 1999 adalah multipartai moderat
(sederhana) dengan 4 sampai 5 partai efektif di parlemen. tidak ada partai yang
mendominasi parlemen, karena tidak ada partai yang memperoleh lebih dari 40%
suara atau berdasarkan kategorisasi Blonde, dapat dikatakan juga bahwa sistem
partai saat itu adalah sistem multipartai dengan tidak ada partai dominan
(multiparty systems without a predominant party).
sistem partai di Indonesia berubah menjadi sistem multipartai ekstrim
(extreme multiparty system) setelah pemilu tahun 2004. pemilu diikuti oleh 24
partai politik dan sebanyak 15 partai memperoleh kursi di DPR. Partai Golongan
Karya memperoleh 23.27% kursi di DPR, diikuti oleh PDIP 19.81%, Partai
Persatuan Pembangunan 10.54%, Partai Demokrat 10%, PAN 9.63%, PKB
9.45%, dan PKS 8.18%. nilai ENPP sebesar 7.07 menunjukkan bahwa jumlah
partai politik yang efektif di DPR lebih dari 7 partai, sehingga sistem partai saat
itu bergeser dari sistem multipartai sederhana (moderat) pada tahun 1999 menjadi
sistem multipartai ekstrim (extreme multiparty system). berdasarkan klasifikasi
Blondel, tidak ada partai yang mendominasi mayoritas suara di DPR (40%)
sehingga sistem partai dapat dikatakan pula sebagai sistem multipartai tanpa ada
partai dominan (multiparty systems without a predominant party).
pada pemilu tahun 2009, masih menciptakan sistem multipartai ekstrim
dengan nilai ENPP 6.47. namun dapat dikatakan bahwa jumlah efektif partai di
parlemen mengalami penurunan menjadi 6 sampai 7 partai politik. pemilu 2009
diikuti oleh 38 partai politik, dan sebanyak 9 partai memperoleh kursi di DPR.
Partai Demokrat memperoleh 26.43% kursi, diikuti oleh partai Golongan Karya
18.93%, PDIP 16.79%, Partai Keadilan Sejahtera 10.18%, PAN 8.21%, PPP
288 Hanta Yuda HR. Presidensialisme. Op cit hal 102
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
6.79%, PKB 5%, Gerindra 4.64% dan Hanura 3.04%. sistem partai dapat
dikatakan juga sebagai sistem multipartai tanpa ada partai dominan yang
memperoleh lebih dari 40% (multiparty systems without a predominant party).
Tabel 4.9 Sistem Kepartaian di Indonesia Pasca Reformasi
No Pemilu Tahun Nilai ENPP Sistem Partai 1 1999 4.71 moderate multiparty 2 2004 7.07 Extreme multiparty 3 2009 6.47 Extreme multiparty
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB V
JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR
TENTANG KEBIJAKAN PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK
5.1. Judicial Review Ketentuan tentang Syarat Minimal Kepengurusan bagi
Pendaftaran Partai Politik.289
5.1.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji
Pemohon adalah Ketua Umum Partai Persatuan Rakyat Indonesia (PPRI)
yang mengajukan permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.290
Pasal yang diujikan salah satunya adalah Pasal 2 ayat (3) sub b, yang dianggap
bertentangan dengan isi Pasal 28 dan pasal-pasal yang terkait dalam Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
Pasal 2 ayat (3) Sub b, menyatakan bahwa :
Partai politik harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat : b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari
jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan;
Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dikarenakan PPRI
merupakan salah satu partai yang tidak dapat memenuhi ketentuan pada Pasal 2
ayat (3) sub b yang mengakibatkan PPRI : 1).Tidak bisa ikut serta sebagai Partai
Politik peserta pemilihan umum, 2) Tidak diakui keberadaannya oleh Departemen
Kehakiman dan HAM.291
289 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor PUU 20/PUU-I/2003. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan020PUUI2003.pdf [2 Juni 2012]
290 Ibid hal 1 291 Ibid hal 4
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.1.2. Pendapat Pemerintah
Pemerintah mengemukakan bahwa Maksud penyusunan Undang-undang
tentang Partai Politik adalah memberikan landasan yang kokoh bagi kaidah-
kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, transparansi,
akuntabilitas, berkeadilan, aspiratif, dan tidak diskriminatif, sehingga terwujud
Partai Politik sebagai aset demokrasi yang mandiri dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang efektif. Sedangkan tujuan penyusunan undang-undang
tentang Partai Politik adalah menumbuhkan dan memperkokoh kemerdekaan
berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat, sebagai upaya untuk
mewujudkan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang kondusif bagi
penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka, bersatu,
berdaulat, demokratis, berdasarkan atas hukum. Selain itu, tujuan pembangunan
kehidupan demokrasi melalui penataan Partai Politik adalah untuk menjamin
jumlah Partai Politik yang dikehendaki bangsa Indonesia dengan tidak menempuh
cara otoriter tetapi juga tidak menempuh cara liberal, melainkan menyepakati
persyaratan jumlah dukungan rakyat kepada Partai Politik sebagai syarat
berperan-serta dalam pemilihan umum. Dengan demikian Partai Politik dapat ikut
berperan serta dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan
sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang padu.292
Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik, dimaksudkan untuk membangun Partai Politik yang berkualitas,
mandiri dan mengakar di masyarakat. Di samping itu, dengan pengaturan tersebut
diharapkan tercipta suatu Partai Politik yang mempunyai kredibilitas dan
ketersebaran kepengurusan di seluruh Indonesia, memiliki dukungan massa yang
kuat, dan bersifat nasional (Indonesia sebagai negara kepulauan dan beragam suku
bangsa serta agama). Dengan persyaratan dan kriteria dimaksud pada saatnya
nanti akan terwujud Partai Politik yang dapat merefleksikan keanekaragaman
suku, bangsa, budaya, dan agama dalam satu wadah dan tujuan demi kepentingan
bangsa dan negara.293
292 Ibid hal 11-12 293 Ibid hal 16
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Selanjutnya esensi pengaturan tersebut bukan merupakan pembatasan dan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tetapi lebih kepada pembelajaran dan
pendewasaan politik bangsa. selain mengatur juga membatasi. Pengaturan dan
pembatasan masih dapat dibenarkan dan sah sepanjang dibuat oleh lembaga yang
berwenang dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Secara formal, suatu
undang-undang sah berlakunya sepanjang telah dibahas oleh DPR dan Presiden
untuk mendapatkan persetujuan bersama. Prosedur ini telah dipenuhi dalam
pembahasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. 294
5.1.3. Pendapat dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Pasal 2 ayat (3) sub b, tidak bertentangan dengan isi Pasal 28 dan pasal-
pasal yang terkait dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pendapat
Mahkamah Konstitusi terkait dengan putusan tersebut adalah sebagai berikut :
Pengaturan dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b ini dimaksudkan untuk membangun
Partai Politik yang berkualitas, mandiri, dan mengakar di masyarakat. Di samping
itu dengan pengaturan tersebut diharapkan partai politik dapat tumbuh dan
berkembang dengan kredibilitas dan didukung oleh ketersebaran kepengurusan di
seluruh Indonesia, serta memiliki dukungan massa yang kuat dan bersifat
nasional. Pengaturan sebagaimana tersebut di atas diperlukan bagi negara yang
tengah berada dalam proses pematangan demokrasi. Dalam keadaan seperti itu,
hukum bukan saja diperlukan sebagai sarana untuk memelihara ketertiban dan
kepastian hukum yang berkeadilan, melainkan harus pula berperan sebagai sarana
pembangunan masyarakat.295
Undang-undang yang mengatur tentang partai politik, yang didalilkan
Pemohon, justru merupakan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna menjamin
agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak mengganggu
kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Dengan demikian, tidak satu
294 Ibid hal 18 295 Ibid hal 35
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
pun dari pasal-pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai pengekangan atau
pembatasan terhadap kebebasan untuk mendirikan partai politik, melainkan hanya
pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga partai
politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum. Demikian
pula, pengaturan tersebut tidak dapat dipandang diskriminatif karena berlaku
terhadap semua partai politik.296
Pengaturan demikian, bahkan juga pembatasan, bukan saja tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar tetapi juga tidak bertentangan prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional sebagaimana terlihat dari
rumusan Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights yang
menyatakan: 297
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society”;
5.2. Judicial Review Ketentuan tentang Electoral Threshold.298
Ketentuan tentang syarat electoral threshold diatur pada Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003. Dalam prakteknya ketentuan ini dan juga ketentuan
persyaratan partai politik sebagai peserta pemilu pernah dimohonkan untuk
dijudicial review oleh lima partai berbasis Islam ke Mahkamah Agung pada tahun
2003.299 Ke lima Partai tersebut adalah DPP PII Masyumi, DPP Partai Nadhatul
Ulama Umat, DPP Partai Kebangkitan Umat, DPP Partai Islam Indonesia, DPP
Partai Al-Islam Sejahtera Indonesia. pasal yang diuji : 300 Pasal 7 ayat (1) butir b,
c, d dan ayat (2) serta ayat (3), tentang syarat minimal kepengurusan partai politik
untuk dapat menjadi peserta partai politik. Pasal 9 ayat (1), tentang syarat
296 Ibid hal 35-36 297 Ibid hal 36 298 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 16/PUU-V/2007.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan16PUUV2007ttg-UUPemilu23102007.pdf [2 Januari 2012]
299 http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=1512&coid=3&caid=21&gid=2 300 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Resume/resumesidangResume%20007PUU2003.pdf
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
electoral treshold untuk mengikuti pemilu berikutnya. Pasal 142 dan 143, tentang
syarat penetapan sebagai peserta pemilu. Pada tanggal 15 Oktober, perkara
pengujian UU ini kemudian dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi.301 namun
demikian, pemohon pada akhirnya menarik kembali permohonannya sehingga
MK mengeluarkan penetapan yang berisi mengabulkan permohonan penarikan
perkara pengujian Undang-Undang tersebut.
5.2.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji
Pemohon merupakan 13 partai politik yang mangajukan Permohonan
Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pemohon adalah partai politik yang tidak memenuhi
ketentuan electoral threshold sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 9 ayat
(1).
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, menyatakan:
(1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus: a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR; b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi
DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau
c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten kota seluruh Indonesia;
Ketentuan Electoral Thershold oleh pemohon dianggap bertentangan dengan
Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, karena pembentuk undang-undang dengan
sewenang-wenang mencabut hak para Pemohon untuk turut serta membangun
demokrasi melalui jalur pemilu oleh partai politik sebagaimana telah dilakukan
sejak pemilu pertama pada tahun 1955. Keikutsertaan partai politik dalam pemilu
bukanlah muncul tiba-tiba dan bukan tanpa dasar hukum. Keberadaan para
Pemohon sendiri telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002.
Oleh karena itu harus dicegah upaya penghilangan hak para Pemohon tersebut
sebagaimana diatur Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. dan juga Terhadap Pasal 28D
301 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/BOOK_BMK1.pdf
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; Bahwa para Pemohon dilindungi oleh Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memperjuangkan untuk memperoleh
perlakuan yang adil dan sama di hadapan hukum. Bahwa para Pemohon adalah
badan hukum yang berbentuk partai politik telah diatur dalam hukum positif serta
telah lama menyelenggarakan kegiatan politik telah diperlakukan tidak adil oleh
Pemerintah dan DPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, sehingga
undang-undang tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Para Pemohon dalam dalilnya juga menyatakan ketentuan Electoral Threshold
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, karena jelas-
jelas pasal tersebut bersifat diskriminatif, sebab partai politik dibatasi
partisipasinya dalam kegiatan pemilu. Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 yang bersifat diskriminatif tersebut secara perlahan mematikan peran serta
dan keberadaan para Pemohon yang menyelenggarakan kegiatan politik, dengan
sendirinya. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
bersifat diskriminatif dan telah bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945;
Kerugian nyata para Pemohon dapat dirinci sebagai berikut:
1. Para Pemohon tidak dapat lagi mengikuti pemilu pada tahun 2009 dan
seterusnya, padahal para Pemohon masih eksis sebagai partai politik, sehingga
para Pemohon tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai partai politik,
untuk mengikuti pemilihan umum dalam menyalurkan aspirasi politik para
anggota dan konstituennya, untuk menempatkan wakil-wakilnya di DPR dan
di DPRD;
2. Para Pemohon akan kehilangan waktu dan biaya yang telah dikeluarkan para
Pemohon dalam rangka mendirikan partai politik;
3. Para Pemohon juga harus melakukan verifikasi ulang apabila harus mengganti
nama partai untuk mendirikan partai politik baru guna dapat mengikuti pemilu
yang akan datang;
Kerugian konstitusional para Pemohon apabila terjadi penggabungan partai politik
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
1. meskipun para Pemohon memiliki ideologi yang sama yaitu Pancasila, tetapi
secara spesifik sangat berbeda-beda, misalnya Partai Bulan Bintang yang
berakar dari Masyumi memperjuangkan Syariat Islam, sedangkan para
Pemohon yang lain tidak satupun yang memperjuangkan Syariat Islam.
Dengan demikian secara konstitusional penggabungan partai politik adalah
sangat merugikan hakhak dasar yang diperjuangkan oleh masing-masing para
Pemohon;
2. apabila para Pemohon bergabung, maka para Pemohon akan kehilangan
pemilihnya masing-masing, karena para Pemohon mempunyai masing-masing
pemilih yang fanatik, dengan penggabungan itu para Pemohon akan
kehilangan identitas dirinya atau perjuangannya tidak akan murni lagi
sebagaimana prinsip dasar awal berdirinya para Pemohon sebagai partai
politik;
5.2.2. Pendapat Pemerintah
Dalam keterangan tertulisnya pemerintah menerangkan bahwa ketentuan
Electoral Threshold, antara lain bertujuan agar terbangun sistem multi partai
sederhana (the multiple simple party system), guna mewujudkan tujuan
kemasyarakatan dan, kenegaraan yang berwawasan kebangsaan agar tercipta
sistem pemerintahan yang stabil, juga ketentuan a quo dapat digunakan sebagai
pengukuran (parameter) legitimasi dukungan public terhadap partai politik, yang
pada gilirannya masyarakat diberikan hak dan/atau kesempatan untuk memilih
partai politik yang memiliki kapabilitas memadai; Disisi lain ketentuan a quo
juga memberikan kesempatan yang sama terhadap partai politik lain (baru) yang
telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Partai
Politik maupun Undang-Undang Pemilu, untuk mengikuti tahapan
penyelenggaraan pemilihan umum guna memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 302
Selain itu, ketentuan yang mengatur tentang batasan suara minimal yang
harus didapat oleh sebuah partai politik (electoral threshold), untuk dapat
302 Ibid hal 57-58
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
megikuti pemilihan umum berikutnya, tidaklah serta merta dianggap sebagai
perlakuan maupun pembatasan yang bersifat diskriminatif sepanjang pembatasan
atau pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik,
kelompok golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan
keyakinan politik [vide Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Masi Manusia, maupun Pasal 2 International Covenant on Civil and
Political Rights]; Sehingga ketentuan yang mengatur tentang batasan suara
minimal yang harus didapat oleh sebuah partai politik (electoral threshold) untuk
dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya, tidak dapat dipandang secara serta
merta dianggap telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan
pilihan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji, kecuali dilakukan secara
sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-
undang (detournement de pouvoir).303
5.2.3. Pendapat DPR
Warga Negara Indonesia memang memiliki kemerdekaan untuk berserikat
dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran sebagaimana diakui dan dijamin dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu media
untuk menyalurkan aspirasi itu adalah membentuk Partai Politik sebagai sarana
yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi. Melalui Partai Politik maka
rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat mengenai arah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat pendelegasian untuk pengaturan
lebih lanjut dengan undang-undang. Jadi undang-undang tersebut, termasuk
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 berfungsi sebagai penjabaran ketentuan
yang bersifat "asas" dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;304
303 Ibid hal 58 304 Ibid hal 63-64
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Hak dasar dalam Undang-Undang Dasar yang dijadikan dasar hukum para
Pemohon, tidak berlaku secara mutlak. Hal ini secara tegas juga diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni:305
a. Pasal 28I ayat (5) yang menyatakan "Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan";
b. Pasal 28J ayat (2) yang menyatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis";
jika dilihat dari tujuan akhir kedua sistem tersebut pada hakikatnya adalah
sama yaitu sebagai penyaring dari banyaknya peminat di satu sisi sedangkan di
sisi lain terbatasnya "kursi/anggota perwakilan" yang telah ditetapkan dalam
undang-undang; Oleh karena itu, "electoral threshold" merupakan ukuran yang
jelas dan rasional terhadap upaya pendewasaan partai politik dan untuk
melaksanakan pendidikan politik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 huruf a
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang berbunyi:
"Partai politik berfungsi sebagai sarana: a. pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadiwarga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara". Electoral threshold yang berlaku pada partai politik untuk dapat mengikuti
pemilu berikutnya, juga berfungsi sebagai sarana bagi rakyat pendukung untuk
mengevaluasi seberapa jauh misi dan visi dari Partai Politik tersebut mendapatkan
apresiasi dan dukungan dari masyarakat luas. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak menutup hak Partai Politik
untuk mengikuti pemilu berikutnya, tetapi mengatur persyaratan yang harus
dipenuhi partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu berikutnya. Banyak
pakar mengemukakan bahwa sistem multipartai mutlak itu tidak compatible
dengan sistem presidensiil. Maka demi kestabilan politik dan partisipasi penuh
305 Ibid hal 64
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dalam pengambilan keputusan politik dari parlemen, upaya penyederhanaan partai
politik secara bertahap tetap harus dilakukan.
5.2.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi
Dalam pertimbangan hukumnya pada alenea [3.15], Mahkamah Konstitusi
menyatakan pendiriannya bahwa Partai politik menempati posisi strategis dalam
kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3)
UUD 1945 berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik”. Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan
undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa
pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-
undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.306
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu tidak
bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, sebagaimana didalilkan oleh para
Pemohon, yakni:307
1. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 27
ayat (1) UUD 1945 tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, karena pasal a quo hanya memuat persyaratan objektif bagi
semua parpol tanpa kecuali apabila ingin mengikuti pemilu berikutnya dan
tidak mengurangi kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan,
bahkan seharusnya para Pemohon sebagai warga negara Indonesia wajib
menjunjung ketentuan tersebut
306 Ibid hal 80
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu
berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara
demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET
yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik
yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undang-
undangnya. Hal yang demikian juga bukan merupakan sesuatu yang
diskriminatif menurut perspektif hak asasi manusia sebagaimana dimaksud
UU HAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
3. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu
berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara
demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET
yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik
yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan
undangundangnya. Hal yang demikian juga bukan merupakan sesuatu yang
diskriminatif menurut perspektif hak asasi manusia sebagaimana dimaksud
UU HAM dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);
Lebih lanjut Mahkamah mengemukakan bahwa berdasarkan UU Pemilu memang
partai politik yang telah berstatus sebagai badan hukum menurut UU Parpol tidak
secara serta merta (otomatis) dapat mengikuti pemilu, karena masih harus
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU Pemilu, seperti verifikasi
administratif dan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (vide Pasal 7
UU Pemilu), sehingga eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik
dalam pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat
dicampuradukkan. Setidaktidaknya, hal itulah yang menjadi kebijakan hukum
(legal policy) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak
bertentangan dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan
mandat bebas kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mengenai persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan
ET.308
Menurut Mahkamah, kebijakan hukum (legal policy) di bidang kepartaian
dan pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti sebagai seleksi alamiah dan
demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai yang hidup kembali di
Indonesia di era reformasi, setelah dianutnya sistem tiga partai pada era Orde
Baru melalui penggabungan partai yang dipaksakan.Dalil para Pemohon yang
menyatakan keharusan untuk bergabung bagi partai politik yang tidak memenuhi
ET sangat sulit misalnya bagi Partai Bulan Bintang (PBB) yang memperjuangkan
syariat Islam secara demokratis dan konstitusional dan bagi Partai Damai
Sejahtera (PDS) yang aspirasinya Kristiani, menurut Mahkamah hal itu tidak ada
kaitannya dengan konstitusionalitas Pasal 9 ayat (1) UU Pemilu. Lagi pula,
berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU Parpol setiap partai politik harus bersifat
terbuka bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi.309
5.3. Judicial Review Ketentuan tentang Persyaratan bagi Partai Politik
untuk Mengikuti Pemilu Tahun 2009
5.3.1. Pemohon
Pemohon adalah Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan
Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai
Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Sarikat Indonesia
(PSI), Partai Merdeka.310
Para pemohon mengajukan perkara permohonan Pengujian Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal yang diuji adalah Pasal 316 huruf d, yang berbunyi :
308 Ibid hal 82 309 Ibid hal 83 310 Mahkamah konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 12/PUU-VI/2008.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN%2012%20Parpol%20Baca%2010%20Juli%202008.pdf hal 1 [2 Juni 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan : d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004
5.3.2. Alasan/Kerugian Konstitusional Pemohon
Kepentingan para Pemohon adalah sebagai partai politik yang selanjutnya akan
mengikuti Pemilihan Umum berikutnya pada tahun 2009, sebagai sarana dalam
memperjuangkan aspirasi politik rakyat dalam menempatkan wakil-wakilnya
dalam parlemen.311 Para pemohon adalah partai politik yang pada pemilu 2004
memperoleh suara kurang dari 3%.312
Menurut pemohon, dengan adanya Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008
yang dirumuskan dan ditetapkan secara sewenang-wenang, dan tidak memberikan
pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil, sehingga menyebabkan hak
konstitusional para Pemohon secara langsung maupun tidak langsung dirugikan,
sebagai berikut:313
Pasal 316 hurud d UU Nomor 10 Tahun 2008 Bertentangan dengan Pasal
1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum, Pasal 28D ayat
(1) sepanjang kalimat “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil”, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,
sepanjang kalimat “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan atas perlakuan yang
diskriminatif itu.314
Menurut para Pemohon, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yaitu “Negara Indonesia adalah negara
hukum”, sebab dalam negara hukum semua warga negara, termasuk pembentuk
undang-undang harus mematuhi hukum, dalam hal ini ketentuan undang-undang
mengenai berlakunya kebijakan electoral threshold yang oleh Mahkamah telah
dinyatakan konstitusional menurut Putusan Nomor 16/PUU-V/ 2007. Selain itu,
311 Ibid hal 10 312 Ibid ha 11 313 Ibid hal 11 314 Ibid hal 17
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dalam negara hukum juga harus menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk
adanya perlakuan yang sama di depan hukum bagi semua warga negara atau
kelompok masyarakat. Dalam hal ini, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 telah
melanggar ketentuan undang-undang mengenai electoral threshold dan juga
memberi perlakuan yang tidak sama kepada partai-partai yang tidak memenuhi
electoral threshold.
Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, sebab pasal a quo telah tidak memberikan perlindungan dan kepastian
hukum yang adil, serta memberikan perlakuan yang tidak sama kepada Parpol-
parpol yang sebetulnya oleh undang-undang telah dinyatakan tidak memenuhi
electoral threshold, hanya karena alasan diperoleh tidaknya kursi di DPR.
Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945, Sebab menurut para Pemohon, Pasal 316 huruf d UU 10/2008 telah
mendiskriminasi Parpol-parpol yang sama-sama tidak memenuhi electoral
threshold, ada Parpol-parpol yang karena mempunyai wakil di DPR, meskipun
hanya satu kursi, langsung dapat mengikuti Pemilu 2009, sedangkan sebaliknya,
para Pemohon, yakni Parpol-parpol yang tidak mempunyai wakil di DPR, kendati
pun perolehan suaranya lebih banyak dari pada Parpol yang memperoleh satu
kursi di DPR, tidak dapat langsung mengikuti Pemilu 2009.
Menurut pemohon, ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun
2008 telah melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ““persyaratan
untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya itu berlaku untuk semua partai politik
setelah melewati kompetisi secara demokratis melalui Pemilu”. Frasa “berlaku
untuk semua partai politik” ternyata tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 316
huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008, karena seharusnya partai-partai politik yang
sama-sama tidak memeuhi ET baik yang mempunyai kursi maupun tidak
mempunyai kursi di DPR harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat
mengikuti Pemilu 2009.315
315 Ibid hal 50
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.3.3. Penjelasan Pemerintah
Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan dan dalil yang
dikemukakan para Pemohon, karena jikalaupun anggapan para Pemohon benar
adanya, dan permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul atau terjadi atas
keberlakuan ketentuan a quo tidaklah dapat dipulihkan atau dengan perkataan lain
dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon maka kerugian konstitusional
yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi sangatlah tidak mungkin, karena
sebagai Parpol yang tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan Pasal 9 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, tetap saja harus memenuhi ketentuan
electoral threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 315 UU 10/2008.316
Ketentuan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah merupakan pilihan
kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji, karena kebijaksanaan yang
demikian adalah merupakan kewenangan pembuat undang-undang itu sendiri
(Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat). Dengan perkataan lain proses
pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, telah memenuhi prosedur
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.317
Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 316 huruf d tidak
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan juga tidak merugikan hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon.
5.3.4. Pendapat DPR
Menurut DPR dalam keterangannya menyatakan bahwa ketentuan Pasal
316 huruf d merupakan ketentuan tambahan dan berupa alternatif serta tidak
mereduksi ketentuan yang telah diatur pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun
316 Ibid hal 97 317 Ibid hal 97
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
2003. Pasal 316 huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
adalah pengaturan tambahan terhadap partai politik yang tidak mencapai 3% dari
jumlah kursi DPR dan tidak memilih untuk bergabung untuk dapat mengikuti
Pemilu 2009. Pengaturan tambahan ini adalah gambaran dari kondisi objektif dan
hasil kristalisasi dari berbagai aspirasi yang berkembang dalam pembahasan RUU
tentang Pemilu.318
5.3.5. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya alinea
[3.10], Pasal 316 huruf d UU 10/2008 mencerminkan pembedaan kedudukan dan
perlakuan (unequal treatment), ketidakadilan (injustice), ketidakpastian hukum
(legal uncertainty), dan bersifat diskriminatif terhadap Parpol-parpol Peserta
Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008, maka
anggapan para Pemohon mengenai adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon sebagai akibat berlakunya Pasal 316 huruf d UU
10/2008 tersebut, menurut Mahkamah beralasan dan berdasar hukum. meskipun
sama-sama tidak memenuhi electoral threshold, namun ada Parpol yang hanya
karena memiliki minimal 1 (satu) kursi di DPR dapat dengan sendirinya
mengikuti Pemilu 2009, sedangkan Parpol lainnya yang tidak memiliki kursi di
DPR, meskipun perolehan suaranya dalam Pemilu 2004 lebih banyak dari pada
partai yang memiliki satu kursi di DPR, tidak dapat dengan sendirinya mengikuti
Pemilu 2009.319
Menurut Mahkamah Konstitusi, Ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008
tidak jelas ratio legis dan konsistensinya sebagai pengaturan masa transisi dari
prinsip electoral threshold ke prinsip parliamentary threshold yang ingin
diwujudkan melalui Pasal 202 UU 10/2008. Parpol-parpol Peserta Pemilu 2004,
baik yang memenuhi ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 maupun yang tidak
memenuhi, sejatinya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai Parpol
Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold, sebagaimana
dimaksud baik oleh Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun oleh Pasal 315 UU
318 Ibid hal 106 319 Ibid hal 118
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
10/2008. Mahkamah Konstitusi kemudian Menyatakan Pasal 316 huruf d
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.320
Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008 justru
menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol
Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold. Perlakuan yang
tidak adil tersebut ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya
memperoleh satu kursi di DPR, kendati perolehan suaranya lebih sedikit dari pada
Parpol yang tidak memiliki kursi di DPR, melenggang dengan sendirinya menjadi
peserta Pemilu 2009, sedangkan Parpol yang perolehan suaranya lebih banyak,
tetapi tidak memperoleh kursi di DPR, justru harus melalui proses panjang untuk
dapat mengikuti Pemilu 2009, yaitu melalui tahap verifikasi administrasi dan
verifikasi faktual oleh KPU. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan undang-
undang, in casu Pasal 316 huruf d UU 10/2008, yang memberikan perlakuan yang
tidak sama kepada mereka yang kedudukannya sama, dalam hal ini Parpol yang
memiliki wakil di DPR dan yang tidak memiliki wakil di DPR, pada hakikatnya
kedudukannya sama, yakni tidak memenuhi electoral threshold baik menurut
Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun menurut Pasal 315 UU 10/2008,
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.321
5.4. Judicial Review Ketentuang tentang Parliamentary Threshold.322
5.4.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji
Pemohon adalah 11 partai politik peserta pemilu tahun 2009, 186 Calon
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Peserta Pemilihan Umum Tahun 2009 dan 306
Anggota Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. Pemohon
320 Ibid hal 128 321 Ibid hal 128-129 322 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkaran Nomor 3/PUU-VII/2009.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_putusan_sidangPUTUSAN3-PUU-VII-2009.pdf [2 Januari 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mengajukan perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar Pasal 202
ayat (1) UU 10/2008 yang menyatakan bahwa :
“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.”
Ketentuan ambang batas perolehan suara yang dirumuskan dalam Pasal
202 ayat (1) Undang-Undang a quo menurut pemohon bertentangan dengan UUD
1945, karena :323
1. Telah terjadi kesewenang-wenangan (willekeur) oleh pembentuk undang-
undang. Pembentuk Undang-Undang merumuskan pasal tersebut dengan tidak
berdasarkan pada prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusi.
2. Ketentuan ambang batas perolehan suara bertentangan dengan asas pemilu
proporsionalitas, keterwakilan dan derajat keterwakilan yang lebih tinggi
sebagaimana tersirat dalam Penjelasan UU 10/2008 Tentang Pemilu.
3. Adanya suara rakyat yang hilang. Hilangnya suara rakyat sama dengan
hilangnya aspirasi pemilih. Hal itu bertentangan dengan jaminan hak asasi
manusia sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi.
Jika ambang batas diberlakukan, maka berdasarkan simulasi Pemilu
legislative 2004 akan terjadi peningkatan suara hangus dari 4,81 % (empat
koma delapan puluh satu perseratus) menjadi 16,52% (enam belas koma lima
puluh dua perseratus). Hasil ini berdasarkan simulasi Pemilu legislatif 2004,
berkursi 550 dan penghitungan suara hangus hanya berdasarkan pada suara
yang tidak terkonversi menjadi kursi. Ketentuan a quo melanggar prinsip
kedaulatan rakyat, yaitu akan menyebabkan hilangnya jutaan suara pemilih
anggota DPR yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak
memenuhi ketentuan PT, yang berarti secara tidak langsung merugikan hak
konstitusional para anggota Partai Politik Peserta Pemilu yang bersangkutan
323 Ibid hal 63
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
sebagai pemilih secara otomatis hangus, yang berarti melanggar prinsip
kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
4. Ketentuan a quo menyebabkan hilangnya kesempatan yang sama bagi warga
negara dalam pemerintahan, karena Calon Anggota Legislatif Partai Politik
yang tidak memenuhi PT meskipun dalam satu Daerah Pemilihan (Dapil)
suaranya lebih besar daripada Calon Anggota Legislatif Partai Politik yang
memenuhi PT, tidak mendapat kursi DPR, sedangkan yang lebih kecil namun
Partai Politiknya memenuhi PT mendapat kursi. Hal tersebut berarti
bertentangan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD
1945.
5. Persyaratan ambang batas perolehan suara menyebabkan partai politik tidak
diikutkan dalam penentuan kursi dan pembagian sisa kursi legislatif, sehingga
bertentangan dengan prinsip representasi dan legitimasi anggota legislative
berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara
Nomor 22 dan 24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008.
5.4.2. Pendapat Pemerintah
Pemerintah dalam persidangan menerangkan bahwa terkait dengan
threshold, baik itu electoral threshold, political parties threshold, maupun local
leaders threshold, Pemerintah sependapat dengan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi, sebagai berikut: 1) Putusan Mahkamah Nomor 16/PUU-V/2007 terkait
dengan persentase electoral threshold 3% bagi Parpol oleh Mahkamah Konstitusi
dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, 2). Putusan Mahkamah Nomor
020/PUU-I/2003 terkait dengan persentase political parties threshold
(kepengurusan 50% di provinsi, 50% dari kabupaten/kota dan 25% kecamatan)
oleh Mahkamah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, 3).324
Menurut Pemerintah pengaturan dalarn pasal-pasal yang diuji dalam
perkara a quo adalah pengaturan yang didelegasikan oleh UUD 1945, dibuat
dengan memperhatikan dan berdasarkan Pasal 28J UUD 1945, merupakan pilihan
kebijakan (legal policy) pembentuk Undang-Undang guna mengatur Pemilu
324 Ibid hal 106-107
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
legislatif Tahun 2009, dan tidak bersifat diskriminatif, selengkapnya diuraikan
sebagai berikut:325
a. Delegasi pada Undang-Undang Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 berbunyi,
"ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-
undang". Mahkamah dalam Putusan Nomor 16/PUUV/2007, menjelaskan
bahwa makna ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
Undang-Undang dalam Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 adalah pembentuk
Undang-Undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
b. Pembatasan berdasarkan Pasal 28J UUD 1945 Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
berbunyi, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis” Pasal-pasal yang diuji dalam
perkara a quo adalah pembatasan atau pengaturan terkait dengan prosedur dan
mekanisme Pemilu serta ditetapkan pula dengan Undang-Undang, bukan
dengan peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden. Pengaturan atau
pembatasan demikian dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dalam Putusan Nomor 010/PUU-III/2005, yang menyatakan pembatasan-
pembatasan dalam bentuk mekanisme dan prosedur dalam pelaksanaan hak-
hak tersebut dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 283 ayat (2)
UUD 1945.
c. Pilihan Kebijakan (Legal Policy) Pasal-pasal yang diuji dalam perkara a quo
seharusnya tidak diajukan pengujian oleh para Pemohon karena ketentuan a
quo merupakan pilihan kebijakan (legal policy) bagi pembentuk Undang-
Undang (DPR bersama Presiden) guna mengatur Pemilu legislatif. Pemerintah
sependapat dengan Mahkamah dalam Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 yang
menegaskan bahwa pilihan kebijakan (legal policy) demikian tidak dapat
dilakukan pengujian oleh Mahkamah. Pembatasan dengan Undang-Undang
325 Ibid hal 107-108
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dibolehkan sepanjang tidak bersifat diskriminatif. Berkaitan dengan
pengertian diskriminasi, Mahkamah dalam Putusan Nomor 06/PUU-III/2005,
menyatakan bahwa pengertian diskriminasi yang dilarang dalam Pasal 27 ayat
(1) dan 28D ayat (3) UUD 1945 tersebut telah dijabarkan lebih jauh dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yakni setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak Iangsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis
kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan
hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan
aspek kehidupan lainnya. Dengan demikian, pembatasan yang diatur dalam
pasal-pasal yang diuji dalam perkara a quo tidak dapat diartikan sebagai
ketentuan yang bersifat diskriminatif, tidak pula diartikan sebagai pelanggaran
terhadap persamaan kedudukan dan kesempatan yang sama bagi warga negara
dalam pemerintahan yang memang dijamin konstitusi. Ketentuan dalam pasal-
pasal tersebut hanya mengatur mekanisme mengenai penentuan perolehan
kursi DPR.
5.4.3. Pendapat DPR
Menurut DPR, ketentuan ambang batas yang tercantum dalam Pasal 202
ayat (1) UU 10/2008, untuk mudahnya disebut parliamentary threshold (PT)
adalah pilihan kebijakan untuk memperkuat sistem presidensiil dan membangun
sistem kepartaian yang sederhana. Pilihan kebijakan PT ini untuk menggantikan
pilihan kebijakan sebelumnya, yaitu electoral threshold (ET) yang dianut dalam
Undang-Undang Pemilu sebelumnya yang ternyata tidak mampu memperkuat
sistem presidensiil dan menciptakan sistem kepartaian sederhana. Sebagai pilihan
kebijakan, kebijakan mengenai PT tidak diskriminatif, karena berlaku untuk
seluruh partai politik peserta Pemilu dan tidak memakai istilah partai politik besar
atau partai politik kecil sebelum Pemilu berlangsung, semuanya diserahkan
kepada rakyat pemilih. Kebijakan PT justru menguntungkan partai politik Peserta
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Pemilu karena telah dijamin untuk dapat ikut Pemilu berikutnya tanpa harus
bergabung atau membentuk partai politik baru sebagaimana ketentuan dalam
kebijakan ET.326
5.4.4. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 202 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tidak bertentangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dalam pertimbangan hukumya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa,
Pasal 22E UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa yang menjadi rambu-rambu
Konstitusi mengenai Pemilu adalah : a) Pemilu dilakukan secara periodik setiap
lima tahun sekali; b) dianutnya asas Pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil; c) tujuan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD,
DPRD, Presiden dan Wakil Presiden; d) peserta Pemilu untuk memilih anggota
DPR dan DPRD adalah partai politik, sedangkan peserta Pemilu untuk memilih
anggota DPD adalah perseorangan; dan e) penyelenggara Pemilu adalah suatu
komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dengan
demikian, ketentuan selebihnya yang berkaitan dengan Pemilu, misalnya tentang
sistem Pemilu, Daerah Pemilihan, syarat-syarat untuk ikut Pemilu, hak pilih, dan
sebagainya, oleh UUD 1945 didelegasikan kepada pembentuk Undang-Undang
untuk mengaturnya dalam Undang-Undang secara bebas sebagai kebijakan hukum
(legal policy) pembentuk Undang-Undang.327
Lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy
bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. Kebijakan seperti ini
diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena
pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-
Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-
pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya
326 Ibid hal 105 327 Ibid hal 127
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang
untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak
bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan
demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang
diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena
ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara
untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara
rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun
di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-
Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi
pelaksanaan hak-hak politik rakyat.328
5.5. Judicial Review Ketentuan Tentang Kewajiban Partai Politik agar tetap
Diakui Sebagai Badan Hukum.329
5.5.1. Pemohon dan Ketentuan yang Diuji
Pemohon adalah 14 partai politik yang terdiri dari Partai Persatuan Daerah
(PPD); Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai
Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI);
Partai Patriot, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia),
Partai Pelopor, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Perjuangan
Indonesia Baru, Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Karya Peduli
Bangsa (PKPB), Partai Merdeka, Partai Indonesia Sejahtera (PIS).330 Pemohon
melakukan pengujian terhadap Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun
2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2008 Tentang Partai Politik.
Pasal 51 ayat (1) menyatakan bahwa :
Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi.
328 Ibid hal 131 329Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 15/PUU-IX/2011.
www.mahkamahkonstitusi.go.id [3 Januari 2012] 330 Ibi hal 2
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.5.2. Alasan/Kerugian Pemohon
Pemohon mendalilkan Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 bertentangan dengan
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon
pada pokoknya mendalilkan dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal
51 ayat (1) UU 2/2011, sebagai partai politik yang telah memiliki kedudukan
badan hukum karena telah memenuhi prosedur pendirian partai politik
sebagaimana disyaratkan oleh ketentuan Undang-Undang yang berlaku
sebelumnya, telah dirugikan hak konstitusionalnya. Kerugian konstitusional
tersebut disebabkan oleh adanya ketentuan baru yang mewajibkan kepada para
Pemohon untuk mengikuti verifikasi dalam tenggang waktu selambat-lambatnya
dua setengah tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum 2014.
Menurut para Pemohon proses verifikasi sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 menimbulkan akibat bahwa meskipun para Pemohon
telah sah sebagai badan hukum apabila tidak lolos dalam proses verifikasi maka
sebagai akibat hukumnya tidak memiliki hak konstitusional sebagai peserta
pemilihan umum. Bahwa menurut para Pemohon adanya frasa “tetap diakui
keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-
Undang ini dengan mengikuti verifikasi” adalah frasa yang tidak jelas maksudnya
sehingga dapat merugikan para Pemohon.
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol di atas membatasi kiprah dari para
Pemohon sebagai partai yang sah dan berbadan hukum, masih saja diwajibkan
untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang yang baru dengan cara akan
dilakukan verifikasi ulang setelah selesai verifikasi ulang dalam batas waktu yang
telah ditentukan, barulah para Pemohon sebagai partai yang sudah berbadan
hukum berdasarkan hukum positif yang berlaku, akan diberikan legalitas kembali
sebagai partai yang berbadan hukum.331
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik, sepanjang menyangkut frasa “dengan kewajiban melakukan penyesuaian
menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi” adalah bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.332
331 Ibid hal 9 332 Ibid hal 11
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.5.3. Pendapat Pemerintah
Ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 diletakkan dalam Bab 20 tentang
Ketentuan Peralihan yang memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-
undangan yang sudah ada, pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai
berlaku. Dengan tujuan agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat
berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum. Pada saat suatu
peraturan perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku, segala hubungan
hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat,
maupun sesudah peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku, tunduk
pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru. 333
Karena itu, menurut pemerintah, keberadaan ketentuan Pasal 51 ayat (1)
UU 2/2011, justru dibuat agar menjamin kepastian hukum tentang keberadaan
seluruh partai politik yang telah berbadan hukum yang tetap diakui keberadaannya
dengan kewajiban untuk melakukan penyesuaian sebagaimana ditentukan oleh
undangundan a quo. 334 Lebih lanjut menurut pemerintah, jika tidak terdapat
ketentuan a quo maka kehendak mewujudkan multipartai sederhana di Indonesia
sebagaimana diinginkan oleh pembentuk undang-undang, yang juga telah sejalan
dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, yang terkait dengan electoral
threshold maupun parliamentary threshold niscaya akan sulit dapat diwujudkan
pemerintah, ketentuan a quo tidak dalam rangka mengurangi atau menghalang-
halangi keinginan setiap orang termasuk para Pemohon untuk membentuk atau
melanjutkan keberadaan partai politik yang telah berbadan hukum tersebut,
sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Juga, ketentuan tersebut merupakan
perwujudan perlakuan yang sama dan setara (equal treatment) baik terhadap
partai politik lama yang telah berbadan hukum maupun terhadap partai politik
baru yang belum berbadan hukum.335
333 Ibid hal 26 334 Ibid hal 26-27 335 Ibid hal 27
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.5.4. Pendapat DPR
Ketentuan yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah
ketentuan peralihan. Terkait dengan hal tersebut, DPR berpandangan bahwa
ketentuan peralihan dari sisi peraturan perundang-undangan merupakan
penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat
peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku. Tujuannnya untuk mengisi
kekosongan hukum agar peraturan perundangundangan tersebut dapat berjalan
lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.336
Demikian halnya mengenai Partai Politik, dengan adanya perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik perlu diatur mengenai keberadaan
Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008. Karena itu, menurut DPR keberadaan Pasal 51
ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 justru dibuat agar menjamin adanya suatu
kepastian hukum tentang keberadaan seluruh Partai Politik yang telah berbadan
hukum yang tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban untuk melakukan
penyesuaian sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang a quo.
DPR berpandangan salah satu bentuk penyesuaian adalah adanya kewajiban
terhadap seluruh partai politik yang berbadan hukum (saat ini berjumlah 74 partai
politik) untuk melakukan verifikasi ulang pada Kementerian Hukum dan HAM.
Sehingga menurut DPR adalah konsekuensi logis karena telah terjadinya
perubahan hukum yang mengamanatkan seluruh partai politik yang berbadan
hukum wajib melakukan penyesuaian sebgaimana ditentukan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011. Selanjutnya menurut DPR, jika tidak terdapat ketentuan a
quo, maka untuk mewujudkan multy party sederhana di Indonesia sebagaimana
diinginkan oleh pembentuk undang-undang.337
336 Ibid hal 38 337 Ibid hal 38
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.5.5. Putusan dan Pendapat Mahkamah Konstitusi
Dalam Amar Putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal
51 ayat (1), Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa ”Verifikasi Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, Pasal 51 ayat (1b), dan Pasal 51 ayat (1c)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah berpendapat bahwa
pengaturan status badan hukum partai politik, baik oleh UU 2/2008 maupun UU
10/2008, telah tepat dan benar. Oleh karena partai politik masih tetap diakui
berstatus badan hukum maka status badan hukum tersebut haruslah tetap
mendapat perlindungan konstitusional oleh Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),
dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.338 Mahkamah sependapat dengan para
Pemohon bahwa adanya frasa ”tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban
melakukan penyesuaian terhadap undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi”
yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 adalah tidak jelas maksudnya.
Dengan adanya kata ”keberadaannya” dalam Pasal a quo menimbulkan
pertanyaan apakah hal ini menyangkut eksistensi partai politik sebagai badan
hukum. Frasa ”kewajiban mengikuti verifikasi” mempunyai akibat hukum
terhadap eksistensi para Pemohon sebagai partai politik yang berbadan hukum,
yaitu apakah hasil verifikasi dapat secara langsung mempengaruhi eksistensi
partai politik dalam hal ini para Pemohon. Artinya, sebagai partai politik para
Pemohon akan kehilangan status badan hukumnya karena tidak lolos verifikasi.
Mahkamah berpendapat bahwa hal yang demikian akan melanggar kepastian
hukum terhadap para Pemohon yang oleh Undang-Undang sebelumnya telah
dijamin keberadaannya sebagai partai politik yang berbadan hukum.339
Pembuat Undang-Undang seharusnya membedakan antara tata cara
pembentukan atau pendirian partai politik dengan aturan tentang syarat-syarat
yang dibebankan kepada partai politik agar sebuah partai politik dapat mengikuti
pemilihan umum, serta ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR.340
338 Ibid hal 48 339 Ibid hal 49 340 Ibid hal 49
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Tata cara pembentukan atau pendirian partai politik adalah tata cara yang harus
dilakukan oleh warga negara yang akan mendirikan partai politik, sehingga partai
politik yang didirikan tersebut mendapatkan status badan hukum. Adapun syarat-
syarat partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum adalah syarat-syarat
yang ditentukan oleh Undang-Undang tersendiri agar partai politik yang telah
berbadan hukum tersebut dapat menjadi peserta pemilu untuk dapat menempatkan
wakilnya di dalam lembaga perwakilan yang harus diraih melalui pemilihan
umum. Mengenai ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR juga diatur
dalam Undang-Undang tersendiri yang antara lain mengatur tentang susunan
organisasi, keanggotaan, tata tertib dan mekanisme pengambilan keputusan, dan
sebagainya. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal
51 ayat (1) UU 2/2011 mencampuradukkan ketiga hal tersebut.
5.6. Judicial Review tentang Ketentuan Persyaratan Pendirian Partai
Politik.341
5.6.1. Pemohon dan Perkara Pengujian
pasal dalam UU 2/2011 yang akan diuji adalah sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1) UU 2/2011 berbunyi, "Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi". Pasal 3 ayat (2) huruf c UU 2/2011 berbunyi, "Untuk menjadi badan hukum sebagaimana imaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan".
5.6.2. Alasan/Kerugian Konstitusional Pemohon
Ketentuan tersebut telah mempersulit Pendirian Pembentukan Partai
Politik Baru Yang dimaksudkan "mempersulit" tersebut dikarenakan persyaratan
sukar dipenuhi, berbiaya tinggi, dan waktu yang tersedia untuk menghadapi
verifikasi sangat singkat. Akibatnya dengan persyaratan-persyaratan yang berat
341 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%2035-PUU-IX-2011%20TELAH%20BACA.pdf [2 Januari 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tersebut mengakibatkan tidak semua orang dapat melaksanakan "haknya untuk
berserikat" (Pasal 28 UUD 1945) dan hak bahwa "Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya" [Pasal 28C ayat (2) UUD 1945].
UU Sengaja Mempersulit demi Penyederhanaan Sistem Kepartaian.342
Para Pemohon berpendapat bahwa setiap partai politik di dalam suatu
sistem yang demokratis dengan sendirinya berkehendak untuk mengikuti
pemilihan umum. Para Pemohon memandang bahwa tindakan itu bukan saja
melawan Pasal 28 UUD 1945 melainkan juga para pembuat seolah-olah hendak
membekukan masyarakat sehingga pada akhirnya partisipasi politik masyarakat
hanya bisa diwakili oleh mereka sendiri (monopoly by law). Membiarkan hal ini
berarti menjadikan partai-partai politik yang ada sekarang, khususnya partai-partai
politik besar, sebagai partai kartel yang akan terus menerus menguasai negara ini. 343 Kondisi kemajemukan Indonesia tampaknya tidak memungkinkan
mewujudkan sistem dwi-partai. Dalam keadaan demikian, maka opsi lain adalah
sebenarnya bentuk presidensialisme itu yang harus diubah; Sungguh pun begitu,
perlu disadari bahwa betapa pun pentingnya tuntutan penyederhanaan sistem
kepartaian tersebut, prinsip ini dalam skala nilai harus tetapditempatkan di bawah
dan bukan di atas kebebasan berserikat yang merupakan hak yangmelekat pada
warga negara. Dengan kata lain, penyederhanaan sistem kepartaian tidak boleh
melumpuhkan kebebasan berserikat (Pasal 28 UUD 1945).
Undang-Undang telah keliru Menerapkan Konsep "bersifat nasional" yang
hanya memaknainya secara geografis sehingga mengharuskan
adanyakepengurusan partai politik di setiap provinsi, di sejumlah kabupaten/kota
dan kecamatan.Padahal, "bersifat nasional" tidak bisa melulu hanya dimaknai
sebagai sebaran geografis diseluruh wilayah negara, tetapi juga bisa dimaknai
sebagai "wilayah kerja" yangdimaksudkan tanpa harus berada di suatu wilayah
342 Ibid hal 6-7 343 Ibid hal 8
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tetapi kegiatan dan hasil kerjanyaterasa pengaruhnya sampai di wlayah tersebut. 344
5.6.3. Pendapat dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah berpendapat bahwa syarat pendirian dan pembentukan partai
politik yaitu didirikan paling sedikit 30 orang dari setiap provinsi merupakan
pilihan kebijakan yang wajar, dan syarat demikian tidaklah berlebihan. Apabila
dasar yang dijadikan perbandingan para Pemohon untuk menilai berat atau
tidaknya dalam pendirian partai politik baru tersebut menggunakan Undang-
Undang Partai Politik yang lama in casu UU 2/2008, maka terlihat persyaratan
pembentukan partai politik baru memang berat, namun menurut Mahkamah,
untuk mendirikan partai politik seharusnya tidak hanya digunakan perbandingan
dengan Undang-Undang Partai Politik yang lama, melainkan juga harus
mempertimbangkan jumlah penduduk yang semakin bertambah. Karena
persyaratan pendirian partai politik baru tersebut menggunakan pertimbangan
bertambahnya penduduk, maka menjadi wajar jika disyaratkan bahwa pendirian
partai politik baru oleh paling sedikit 30 orang pendiri di setiap provinsi. Hal
demikian merupakan jumlah yang relatif sedikit dan sederhana atau setidak-
tidaknya mudah untuk dipenuhi oleh partai politik baru tersebut. Selain itu,
sebagai negative legislator pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak dapat
membentuk norma sebagai pengganti dari norma yang dibatalkan sehingga
apabila pasal tersebut dibatalkan atau dinyatakan inkonstitusional maka akan
terjadi kekosongan hukum. Terlebih lagi berdasarkan pengalaman di masa lalu,
setiap terjadi perubahan Undang-Undang tentang kepartaian selalu pula terjadi
perubahan syarat-syarat pendirian dan pembentukan partai baru. Hal tersebut
dapat dipahami sebagai penyesuaian tingkat perkembangan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;345
Para Pemohon mendalilkan Undang-Undang a quo telah mempersulit
partai politik untuk menjadi badan hukum, Selain itu, menurut para Pemohon
Undang-Undang a quo telah menyamakan persyaratan partai politik menjadi
badan hukum dengan persyaratan partai politik untuk mengikuti Pemilu.
344 Ibid hal 10 345 Ibid hal 20-21
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Penyamaan demikian telah melahirkan pembatasan terhadap pendirian dan
pembentukan partai politik bagi warga negara, padahal hak untuk berserikat dan
berkumpul, serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya dijamin
oleh Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon
tersebut, menurut Mahkamah, partai politik merupakan organisasi politik yang
dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas
dasar persamaan kehendak dan cita-cita dalam memperjuangkan kepentingan
anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Untuk dapat
mengikuti pemilihan umum, partai politik tersebut harus berbadan hukum yang
didaftarkan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.346
Apabila dicermati Undang-Undang Partai Politik yang berlaku sejak
reformasi, pengaturan syarat partai politik untuk dapat menjadi badan hukum
selalu berbeda antara Undang- Undang yang satu dengan Undang-Undang yang
lainnya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 tentang Partai Politik dan UU 2/2008, serta pada n UU 2/2011.347
Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari
pembentuk Undang-Undang di bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat
objektif, dan merupakan upaya alamiah dan demokratis untuk
menyederhanakansistem multipartai di Indonesia. Kebijakan yang demikian itu,
tergambar dalam penjelasan umum UU 2/2011 yang menyatakan:
“Partai Politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang efektif. Penataan dan penyempurnaan Partai Politik diarahkan pada dua hal utama, yaitu, pertama, membentuk sikap dan perilaku Partai Politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsipprinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku Partai Politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi Partai Politik baik fungsi Partai Politik terhadap negara maupun fungsi Partai Politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik. Upaya untuk
346 Ibid hal 22 347 Ibid hal 22
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat”. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah menilai bahwa
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (2) huruf c UU 2/2011 tidak
bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Jika pun pasala quo menetukan aturan yang ketat dalam pembentukan partai
politik baru, haltersebut dimaksudkan untuk penguatan partai politik di tengah
masyarakat karenatujuan dibentuknya partai politik bukan hanya untuk ikut serta
dalam pemilihan umum, tetapi juga untuk: (i) pendidikan politik bagi anggotanya
dan masyarakat luas agarmenjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar
akan hak dan kewajibannyadalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara; (ii) penciptaan iklim yangkondusif serta sebagai perekat persatuan dan
kesatuan bangsa untuk menyejahterakanmasyarakat; (iii) penyerap, penghimpun,
dan penyalur aspirasi politik masyarakatsecara konstitusional dalam merumuskan
dan menetapkan kebijakan negara; (iv)wahana partisipasi politik warga negara;
dan (v) rekrutmen politik dalam prosespengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikankesetaraan dan keadilan gender;348
5.7. Judicial Review Ketentuan mengenai Syarat Partai Politik sebagai
Peserta Pemilu (Putusan Nomor 52/PUU-X/2012)349
5.7.1. Pemohon dan Perkara Pengujian
Pemohon adalah 17 partai politik yaitu Partai Kebangkitan Nasional
Ulama (PKNU), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKPI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Persatuan Nasional
(PPN), Partai Merdeka, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK
Indonesia), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Sarikat Indonesia (PSI),
348 Ibid hal 25 349 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 52/PUU-X/2012.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_52%20PUU%202012-TELAH%20BACA%2029-8-2012.pdf [9 September 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai Kedaulatan, Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Kesatuan Demokrasi
Indonesia (PKDI), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Damai
Sejahtera (PDS), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Republika
Nusantara, Partai Pemuda Indonesia (PPI), mendalilkan sebagai badan hukum
publik (partai politik) yang disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu :
Pasal 8 ayat (1)
Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya;
sepanjang frasa,
“yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional”; Pasal 8 ayat (2)
Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan
sepanjang frasa,
“Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”; Pasal 208 yang menyatakan,
“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” atau setidak-tidaknya sepanjang frasa, “DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota”;
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
22E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal
28D ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2).
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.7.2. Alasan Kerugian Pemohon
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2) sepanjang
frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada
Pemilu sebelumnya atau” serta Pasal 208 UU Pemilu atau setidak-tidaknya Pasal
208 UU Pemilu sepanjang frasa: ..“ DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota“
UU Pemilu jelas akan merugikan setidak-tidaknya potensial merugikan para
Pemohon. Hal ini karena mengatur ketentuan yang sangat tidak adil dan bersifat
diskriminatif yang diberlakukan kepada para Pemohon sebagai partai politik
peserta pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009) yang tidak memenuhi ambang
batas perolehan suara sah secara nasional (ambang batas parlemen atau
parliamentary threshold/PT) dalam kepesertaan Pemilu pada Pemilu berikutnya
(2014), melalui persyaratan-persyaratan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Sebaliknya, sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif hanya
menetapkan partai politik peserta Pemilu pada Pemilu terakhir (Pemilu 2009)
yang memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional secara otomatis
ditetapkan sebagai peserta Pemilu berikutnya (2014) dengan tanpa harus melalui
persyaratan-persyaratan verifikasi faktual yang sangat berat oleh KPU. Para
Pemohon telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya karena diperlakukan sangat
tidak adil dan bersifat diskriminatif, suatu perlakuan yang jelas-jelas bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945.350
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa “yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” dan ayat (2) sepanjang
frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada
Pemilu sebelumnya atau” UU Pemilu jelas menimbulkan ketidakpastian hukum
yang adil (fair legal uncertainty) bagi para Pemohon. Sebab, para Pemohon dari
sebelumnya sudah mendapatkan jaminan untuk menjadi peserta pemilu berikutnya
(Pemilu 2014) sebagaimana ketentuan Pasal ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat
(2) UU Nomor 10 Tahun 2008. Namun demikian, karena sebagai akibat adanya
350 Ibid hal 18
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
perubahan atau penggantian menjadi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2)
UU Pemilu Tahun 2012, maka para Pemohon tidak mendapatkan jaminan
kepastian hukum yang adil (fair legal uncertainty) dalam kepesertaan pemilu
berikutnya (Pemilu 2014).351
Menyimak ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, dapat diperoleh
penjelasan yang tegas bahwa pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih
anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPRD
provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan tersebut membedakan
secara jelas sasaran penggunaan hak pilih, dan sekaligus penegasan terhadap
pemberian hak suara dilakukan dengan tingkat representasi yang berbeda. Sebagai
salah satu wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, suara yang ditujukan ke dalam
kotak suara tertentu, tidak boleh menegasikan dan mereduksi makna pemberian
suara ke kotak suara yang lain. Hal ini berarti masing-masing kotak sebagai
representasi hak suara sebagai hak asasi untuk memilih, memiliki nilai
keterwakilan masing-masing, sehingga tidak mungkin karena tidak mencapai pada
ambang batas tertentu pada kota tertentu menghilangkan representasi pada kotak
yang lain. Tegasnya, representasi keterwakilan pada anggota DPR tidak dapat
mereduksi representasi keterwakilan pada DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Dengan demikian, pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional
sebagaimana dituangkan dalam Pasal 208 UU Pemilu 2012 jelas menciderai asas
demokrasi yang dibangun oleh Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 22E ayat (2) UUD
1945. Selain itu, ketentuan Pasal 208 UU Pemilu 2012 berpotensi mereduksi
kebhinekaan pilihan pemilih, dan sangat potensial membunuh hak rakyat dalam
menentukan representasi mereka di lembaga legislatif pada setiap tingkatan yang
berbeda. Hal itu sekaligus bermakna bahwa pemberlakuan ambang batas parlemen
secara nasional menjadi mesin pembunuh masal kebhinekaan berpolitik
sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Dengan hilangnya kebhinekaan
berpolitik, menjadi ancaman serius dan sangat mungkin partai politik yang secara
tradisional hanya memiliki basis dukungan di daerah tertentu, tetapi karena tidak
351 Ibid hal 31
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
mencapai ambang batas parlemen secara nasional, secara otomatis suara
pemilihnya akan hilang sampai pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.352
5.7.3. Pendapat Pemerintah
Persoalan besaran nilai ambang batas mengikuti pemilu (electoral
threshold/ET) maupun ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT)
merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. PT merupakan tingkat
minimal dukungan yang harus diperoleh partai politik untuk mendapatkan
perwakilan kursi di DPR. Berkaitan dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 mempunyai arti bahwa partai politik yang memenuhi PT
pada Pemilu terakhir dijadikan sebagai ET untuk Pemilu tahun berikutnya. 353
Dengan demikian, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD memberlakukan PT tahun 2009 sebagai
ET tahun 2014 dengan melengkapi persyaratan sebagai diatur pada Pasal 8 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD, Pemerintah berpendapat bahwa peserta pemilu DPR dan
DPRD Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 membolehkan perlakuan khusus dimaksud.
Hal ini berarti, partai politik yang memiliki kursi di DPR tidak perlu diverifikasi
lagi.
Ketentuan pasal a quo dapat menimpa semua partai politik jika yang bersangkutan
tidak lolos angka threshold pada Pemilu yang akan datang. Sebab hasil sebuah
pemilu dimana partai politik memperoleh sejumlah suara yang kemudian dapat
dikonversi menjadi kursi, merupakan indikasi atau parameter utama apakah partai
politik tersebut mendapatkan dukungan rakyat secara signifikan atau tidak. Pemilu
adalah momentum untuk melihat dukungan tersebut. Oleh karena itu, ketentuan
persyaratan tersebut bukan merupakan bentuk diskriminatif penyempurnaan
sistem kepartaian mutlak dilakukan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah
yang efektif dan produktif, serta menciptakan stabilitas politik. Apabila
penyederhanaan partai dapat terwujud, maka akan tercipta iklim pemerintahan
yang kuat, tegas, bersih, berwibawa, bertanggung jawab, dan transparan, sehingga
352 Ibid hal 42 353 Ibid hal 63
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
bangsa Indonesia dapat memanfaatkan seluruh potensinya untuk menjadi bangsa
yang besar, damai, dan bermartabat.354
Pemberlakuan PT secara nasional diharapkan dapat menciptakan sinergitas
program yang dijalankan pemerintah pusat dan daerah. Fakta yang terjadi
sebelumnya sering kali program yang dicanangkan pemerintah pusat tidak sejalan
dengan kebijakan yang ada di daerah. Hal ini disebabkan masing-masing
keterwakilan partai politik di DPR dan DPRD berbeda latar belakangnya
dikarenakan dalam Pemilu Tahun 2009, partai politik yang terwakili di DPR
belum tentu mempunyai keterwakilan di DPRD, begitu juga sebaliknya. Hal ini
sangat memengaruhi sinergitas program pembangunan di pusat dan daerah,
sehingga penyelenggaraan Pemerintah kurang efektif. 355
5.7.4. Pendapat DPR
sebagai sebuah upaya menciptakan sistem presidensiil yang efektif dan
efisien dengan beberapa asas yang harus kita penuhi, maka diatur beberapa
ketentuan yang merupakan penyempurnaan ketentuan sebelumnya yang diatur
dalam UU Nomor 10 Tahun 2008. Untuk diketahui bahwa asas-asas sistem
presidensiil yang dikemukakan Lijphart adalah sebagai berikut:356
1. stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden yang tertentu
(fixed term);
2. pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dianggap lebih legitimate; dan
3. pemisahan kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasisehingga terjadi
perlindungan individu atas tirani pemerintah.
Pembentuk Undang-Undang berupaya untuk mendekatkan agar sistem
presidensiil berlangsung di Indonesia secara lebih baik. Hal itu tercermin dalam
ketentuan Pasal 8 ayat (2) bahwa partai politik yang hendak mengikuti pemilu
harus memenuhi sejumlah persyaratan. Disadari bahwa terdapat frasa “... yang
tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau
partai politik baru” yang sebenarnya merupakan sebuah mekanisme reward and
354 Ibid hal 64 355 Ibid hal 64-65 356 Ibid hal 72
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
punishment bagi setiap partai politik yang akan ikut Pemilu. Disadari pula bahwa
threshold bukan satu-satunya cara untuk menyederhanakan partai politik, namun
threshold juga harus diakui sebagai salah satu cara yang paling banyak digunakan
di berbagai negara untuk membatasi jumlah partai politik yang dapat duduk di
parlemen dan dalam UU Nomor 8 tahun 2012 merupakan salah satu persyaratan
bagi partai politik untuk mengikuti pemilu berikutnya yang tercermin dalam
ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 tahun 2012. Penentuan threshold
merupakan sebuah electoral system engineering guna menciptakan sebuah sistem
Pemilu yang lebih berkualitas. DPR, sebagai lembaga pembentuk undang-undang
memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan itu (open legal policy) yang tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Patut disadari oleh semua parpol bahwa
ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 bukan merupakan ketentuan
diskriminatif tapi justru merupakan persyaratan berat sebuah Parpol untuk bisa
ikut serta pada Pemilu berikutnya dan ketentuan tersebut berlaku bagi semua
Parpol. Sebab sebuah parpol tidak mudah untuk dapat lolos angka PT jika tidak
mendapat dukungan rakyat dalam pemilu. Sebuah parpol tidak cukup hanya
dengan modal loloas syarat administratif untuk ikut pemilu, tetapi syarat
pengakuan dukungan rakyatlah yang terpenting. Hal itu terlihat nyata dalam
syarat lolos PT. 357
Terkait dengan keberatan para Pemohon dengan diberlakukannya
ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) tersebut dianggap merugikan dan bersifat
diskriminatif, dan akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dan perlakuan
yang tidak sama dalam hukum bagi semua partai politik sehingga para Pemohon
akan terhalangi hak-hak konstitusionalnya dalam hal memajukan diri dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, dapat
dijelaskan bahwa sebenarnya ketentuan Pasal a quo berlaku untuk semua partai
politik jika yang bersangkutan tidak lolos angka threshold pada Pemilu yang akan
datang. Sebab, hasil sebuah pemilu di mana partai politik memperoleh sejumlah
suara yang kemudian dapat dikonversi menjadi kursi merupakan indikasi atau
parameter utama apakah partai politik tersebut mendapat dukungan rakyat secara
signifikan atau tidak. Pemilu adalah momentum untuk melihat dukungan tersebut.
357 Ibid hal 72
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Oleh karena itu ketentuan persyaratan tersebut bukan merupakan bentuk
diskriminatif.358
5.7.5. Pertimbangan Hukum dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Menurut Mahkamah semua partai politik yang didirikan di Indonesia
dimaksudkan untuk mengikuti pemilihan umum dan menempatkan wakilnya di
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Fakta terbatasnya jumlah
kursi di lembaga perwakilan akan membatasi pula partai politik yang dapat
menempatkan wakil-wakilnya. Keadaan tersebut pada akhirnya menjadikan
keragaman aspirasi, yang berbanding lurus dengan jumlah partai politik, tidak
dapat terwakili seluruhnya, karena faktanya hanya ada beberapa partai politik saja
yang dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan tersebut. Dengan
demikian, hal yang harus diperhatikan adalah kecilnya dukungan pemilih kepada
partai politik tertentu berkemungkinan menghalangi keterwakilan pemilih yang
bersangkutan di DPR maupun di DPRD. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
menurut Mahkamah, politik hukum berkenaan dengan pembatasan partai politik
adalah suatu kewajaran karena banyaknya jumlah partai politik yang tidak secara
efektif mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga partai politik tersebut tidak
dapat menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan adalah wajar bila partai
politik yang bersangkutan harus menggabungkan diri dengan partai lain yang
sepandangan/sejalan dengannya.359
Dalam membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan mengikuti
pemilihan umum, pembentuk undang-undang tidak melakukan pembatasan
dengan menetapkan jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu, melainkan,
antara lain dengan menentukan syarat-syarat administratif sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 UU 8/2012. Tidak dibatasinya jumlah partai politik sebagai peserta
Pemilu yang akan mengikuti pemilihan umum merupakan perwujudan dari
maksud pembentuk undang-undang dalam mengakomodasi kebebasan warga
negara untuk berserikat dan berkumpul, sekaligus menunjukkan bahwa semua
warga negara memiliki hak yang sama untuk mendirikan atau bergabung dengan
358 Ibid hal 73 359 Ibid hal 87-88
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
partai politik tertentu, tentunya setelah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar pengertian yang
demikian, menurut Mahkamah, tindakan pembentuk undang-undang yang
membatasi jumlah partai politik peserta pemilihan umum dengan tanpa menyebut
jumlah partai peserta Pemilu adalah pilihan kebijakan yang tepat dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945 karena pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh
pembentuk undang-undang melainkan ditentukan sendiri oleh rakyat yang
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya secara alamiah.360
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, Mahkamah
menginventarisasi adanya dua tahapan bagi partai politik untuk dapat mengikuti
pemilihan umum, yaitu tahapan pendirian partai politik dan tahapan keikutsertaan
partai politik dalam pemilihan umum. Tahap pendirian atau pembentukan partai
politik diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Tahap pendaftaran sebagai peserta pemilihan umum diatur dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Dari kedua Undang-Undang yang mengatur tahapan tersebut, menurut
Mahkamah, ada kehendak pembentuk Undang-Undang untuk melakukan
penyederhanaan partai politik. Selain itu, penyederhanaan partai politik dilakukan
dengan menentukan pemenuhan ambang batas perolehan suara (parliamentary
threshold atau PT) pada pemilihan umum sebelumnya sebagai syarat yang harus
dipenuhi oleh partai politik lama untuk mengikuti pemilihan umum [vide Pasal 8
ayat (1) UU 8/2012] dan menentukan bahwa partai politik lama yang tidak
memenuhi ambang batas perolehan suara tersebut serta partai politik baru harus
memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum
[vide Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012].361
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, menurut Mahkamah, tidak
memenuhi asas keadilan bagi partai politik lama karena pada saat verifikasi untuk
360 Ibid hal 88 361 Ibid hal 88-89
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
menjadi peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan administrasi
sudah dipenuhi oleh semua partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009,
sehingga tidak tepat jika partai politik yang pada Pemilihan Umum Tahun 2009
telah dinyatakan memenuhi persyaratan, namun pada pemilihan umum berikutnya
diwajibkan memenuhi syarat ambang batas perolehan suara, atau jika partai
politik bersangkutan tidak memenuhi ambang batas, diwajibkan memenuhi
persyaratan yang berbeda dengan partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun
2009. Ketentuan yang demikian, menurut Mahkamah, tidak memenuhi prinsip
keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda bagi pihak-pihak yang
mengikuti suatu kontestasi yang sama.362
Dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada Pemilihan Umum Tahun
2009 tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai syarat atau
kriteria dalam keikutsertaan partai politik lama sebagai peserta Pemilihan Umum
Tahun 2014. Karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 10/2008
berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 8/2012 yang
menjadi dasar penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2014. Dengan demikian,
meskipun para Pemohon hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi
ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” yang
terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, namun menurut Mahkamah
ketidakadilan tersebut justru terdapat dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1) UU
8/2012. Ketidakadilan juga terdapat pada Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012.
Hal yang terakhir ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak ada penjelasan
dari suatu pasal yang dapat berdiri sendiri, sehingga Penjelasan Pasal 8 ayat (1)
UU 8/2012 harus mengikuti putusan mengenai pasal yang dijelaskannya.363
Pengujian Konstitusionalitas Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012
Setelah mempersandingkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 dengan Pasal 8 UU 8/2012 mengenai persyaratan partai politik menjadi
peserta pemilihan umum, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa syarat yang
harus dipenuhi oleh partai politik untuk mengikuti pemilihan umum legislatif
362 Ibid hal 89 363 Ibid hal 90
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tahun 2009 ternyata berbeda dengan persyaratan untuk pemilihan umum legislatif
tahun 2014. Syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum bagi partai
politiktahun 2014 justru lebih berat bila dibandingkan dengan persyaratan yang
harus dipenuhi oleh partai politik baru dalam pemilihan umum legislatif tahun
2009. Dengan demikian adalah tidak adil apabila partai politik yang telah lolos
menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu diverifikasi lagi
untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014 sebagaimana partai
politik baru, sementara partaipolitik yang tidak memenuhi PT harus mengikuti
verifikasi dengan syarat yang lebih berat. PT sejak awal tidak dimaksudkan
sebagai salah satu syarat untuk menjadi peserta Pemilu berikutnya [vide Pasal 1
angka 27, Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008], tetapi adalah
ambang batas bagi sebuah partai poltik peserta Pemilu untuk mendudukkan
anggotanya di DPR Mahkamah dapat memahami maksud pembentuk Undang-
Undang untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai politik, namun
penyederhanaan tidak dapat dilakukan dengan memberlakukan syarat-syarat yang
berlainan kepada masing-masing partai politik. Memberlakukan syarat yang
berbeda kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan
perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda (unequal treatment)
yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, terhadap semua partai politik
harus diberlakukan persyaratan yang sama untuk satu kontestasi politik atau
pemilihan umum yang sama, yaitu Pemilihan Umum Tahun 2014.
Mahkamah menentukan bahwa untuk mencapai perlakuan yang sama dan
adil itu seluruh partai politik peserta Pemilu tahun 2014 harus mengikuti
verifikasi. Dengan semangat yang sejalan dengan maksud pembentuk undang-
undang, demi penyederhanaan partai politik, menurut Mahkamah, syarat menjadi
peserta pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 harus
diberlakukan kepada semua partai politik yang akan mengikuti Pemilihan Umum
Tahun 2014 tanpa kecuali.
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012 Penjelasannya
bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah. Namun demikian,
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
dari sudut substansi, ketentuan tersebut tidak mengakomodasi semangat persatuan
dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi
politik di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai politik yang
tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR,
namun di daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, partai
politik tersebut memperoleh suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya
kursi di lembaga perwakilan masing-masing daerah
tersebut. Bahkan secara ekstrim dimungkinkan adanya partai politik yang secara
nasional tidak memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal
demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya duduk di DPRD
bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika merunut pada perolehan
suaranya, atau dengan kata lain, calon anggota DPRD yang akhirnya menjadi
anggota DPRD tersebut tidak merepresentasikan suara pemilih di daerahnya.
Politik hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan
Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan kekhasan
aspirasi politik yang beragam di setiap daerah;
Mahkamah juga menilai sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara
bertingkat, masing-masing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota, dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai
politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang
memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat
menduduki kursi DPRD. Hal ini mungkin terjadi jika diasumsikan partai politik
peserta Pemilu berjumlah 30 partai politik dan suara terbagi rata sehingga
maksimal tiap-tiap partai politik peserta Pemilu hanya memperoleh maksimal
3,3% suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu daerah hanya ada satu
partai politik yang memenuhi PT 3,5% sehingga hanya ada satu partai politik
yang menduduki seluruh kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya banyak kursi
yang tidak terisi. Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang
menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang ternyata tidak
tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai politik
yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan dengan konstitusi;
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah,
permohonan Pemohon sepanjang mengenai frasa “DPRD Provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU 8/2012 beralasan hukum. Dengan demikian,
ketentuan PT 3,5% hanya berlaku untuk kursi DPR dan tidak mempunyai akibat
hukum terhadap penentuan/penghitungan perolehan kursi partai politik di DPRD
provinsi maupun di DPRD kabupaten/kota;
5.8. Konstitusionalitas Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik
Peraturan Perundang-Undangan tentang Partai Politik adalah dasar hukum
operasional partai politik yang ditetapkan dalam konstitusi, undang-undang
tentang partai politik, undang-undang tentang pendanaan partai politik, Undang-
undang tentang pemilihan umum dan undang-undang tentang kampanye dan juga
peraturan administrasi, penetapan-penetapan dan putusan pengadilan. Konstitusi
memegang posisi istimewa di antara instrumen hukum tentang partai politik,
karena mencerminkan nilai-nilai fundamental dan melegitimasi aturan politik
melalui spesifikasi prosedur yang mendukung pelaksanaan kekuasaan. Melalui
konstitusi, maka dapat diukur posisi partai dalam format kelembagaan negara. 364
Undang-undang yang mengatur tentang partai politik spesifik mengatur tentang
internal partai. Beberapa negara mengatur juga tentang partai dalam undang-
undang tentang pemilihan umum serta ada pula yang mengatur partai politik
dalam berbagai bentuk instrumen hukum.365
Konstitusi Jerman mengatur dan menyebutkan partai politik secara eksplisit dan
detail. Dalam konstitusi Jerman article 21 menyebutkan partai politik sebagai 366:
Political parties participate in the formation of the political will of the people. They may be freely established. Their internal organization must conform to democratic principles. They must publicly account for their assets and for the sources and the use of their funds.
364 Fransje Molenaar. Latin American Regulation of Political Parties. Continuing Trends and breaks with The Past. Working Paper Series on The Legal Regulation of Political Party. No 17. 2012 hal 2
365 Ibid hal 2 366 Kenneth Janda. Op cit hal 14
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Partai politik memiliki kedudukan yang penting dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia Pasca Reformasi, sehingga Undang-Undang yang
mengatur tentang Parta Politik tidaklah boleh bertentangan dengan hak-hak
konstitusional yang telah diberikan UUD 1945 kepada Partai Politik.
Kedudukan partai politik setidaknya diatur dalam beberapa pasal dalam UUD
1945 yaitu :
Pasal 6A ayat (2) yang menyatakan bahwa :
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan bahwa :
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan bahwa :
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dari beberapa putusan perkara pengujian Undang-Undang yang mengatur
tentang kebijakan penyederhanaan partai politik, beberapa kebijakan dinyatakan
konstitusional, namun demikian terdapat pula kebijakan yang dinyatakan oleh
Mahkamah Konstitusi inkonstitusional dan juga konstitusional bersyarat.
Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi seperti yang telah
diuraikan pada Bab V, dapat dianalisa bahwa kebijakan penyederhanaan partai
politik merupakan kebijakan yang tidak melanggar UUD 1945 dikarenakan
Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan pelaksanaan dari Pasal 28
UUD 1945 dan Pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-
Undang.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
5.8.1. Pengaturan dan Persyaratan dalam Undang-Undang tentang
Partai Politik merupakan Pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum Perkara
Nomor PUU-20/PUU-I/2003, substansi Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor
31 Tahun 2002 yang mengharuskan Partai Politik didaftarkan di Departemen
Kehakiman, Pasal 3 ayat (2) yang mengatur pengesahan partai politik, dan Pasal
23 huruf a, b, c, dan d yang mengatur pengawasan pelaksanaan Undang-undang
partai politik, justru merupakan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna
menjamin agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak
mengganggu kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Pengaturan
bukan bermaksud mengekang kebebasan pendirian partai melainkan merupakan
pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga partai
politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum.367
Syarat-syarat yang membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan
mengikuti pemilihan umum tidak bertentangan dengan UUD 1945, pembentuk
undang-undang tidak melakukan pembatasan dengan menetapkan jumlah partai
politik sebagai peserta Pemilu, melainkan, antara lain dengan menentukan syarat-
syarat administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU 8/2012. Tidak
dibatasinya jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu yang akan mengikuti
pemilihan umum merupakan perwujudan dari maksud pembentuk undang-undang
dalam mengakomodasi kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul,
sekaligus menunjukkan bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama
untuk mendirikan atau bergabung dengan partai politik tertentu, tentunya setelah
memenuhi syarat-syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Atas dasar pengertian yang demikian, menurut Mahkamah, tindakan
pembentuk undang-undang yang membatasi jumlah partai politik peserta
pemilihan umum dengan tanpa menyebut jumlah partai peserta Pemilu adalah
pilihan kebijakan yang tepat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena
367 Putusan PUU-20/PUU-I/2003. hal 35-36
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh pembentuk undang-undang melainkan
ditentukan sendiri oleh rakyat yang memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihannya secara alamiah. 368
5.8.2. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik adalah Pilihan Legal
Policy Pembentuk Undang-Undang
Pada putusan perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
Nomor 16/PUU-V/2007 dalam pertimbangan hukumnya [3.15], Mahkamah
mengemukakan bahwa Partai memang politik menempati posisi strategis dalam
kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3)
UUD 1945 berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik”. Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan
undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa
pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-
undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.369
Berdasarkan ketentuan berbagai Undang-Undang Partai Politik yang pernah
berlaku tersebut, tampak bahwa UU 2/1999 tidak memasukkan adanya
kepengurusan partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan)
sebagai salah satu persyaratan badan hukum sebuah partai politik, sedangkan UU
31/2002, UU 2/2008, dan UU 2/2011 mengharuskan pembentukan kepengurusan
partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) sebagai salah satu
syarat untuk pendirian badan hukum sebuah partai politik, yang selalu
368 52 PUU 2012. Hal 88 369 16/PUU-V/2007 hal 80
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
membedakan jumlah kepengurusan di daerah. Menurut Mahkamah, hal tersebut
merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk Undang-Undang di
bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat objektif, dan merupakan upaya
alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai di
Indonesia.370
5.9. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik
Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan, meskipun menyatakan
bahwa kebijakan penyederhanaan partai politik tidak bertentangan dengan UUD
1945, tidaklah serta merta setiap kebijakan bersifat konstitusional, ada persyaratan
dan batasan yang dinyatakan oleh Mahakamh Konstitusi yaitu prinsip-prinsip
yang harus dipenuhi oleh kebijakan tersebut yaitu : prinsip demokratis, Rasional
dan Non Diskriminatif.
A. Demokratis
Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum
yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah,
kebijakan tentang PT yang terkandung dalam pasal a quo didasarkan atas
Undang-Undang, in casu UU 10/2008, yang dibuat secara demokratis oleh DPR
dan Pemerintah, serta tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan tetap
menjamin hak hidup Parpol Peserta Pemilu serta kesempatan yang sama untuk
mengikuti Pemilu berikutnya.371
B. Konstitusional
Partai politik menempati posisi strategis dalam kehidupan ketatanegaraan
Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD
1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 berbunyi,
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.
370 35/PUU-IX/2011. hal 24 371 3/PUU-VII/2009. hal 128
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan
undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur
dalam undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa
pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-
undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945;372
C. Tidak Bersifat Diskriminatif
Substansi Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 yang
mengharuskan Partai Politik didaftarkan di Departemen Kehakiman, Pasal 3 ayat
(2) yang mengatur pengesahan partai politik, dan Pasal 23 huruf a, b, c, dan d
yang mengatur pengawasan pelaksanaan Undang-undang partai politik tidak
dapat dipandang diskriminatif karena berlaku terhadap semua partai politik. 373
Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal
28I ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu
berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara demokratis
melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET yang menjadi
syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik yang bersangkutan
dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undang-undangnya.374
Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008
menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol
Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold [Pasal 9 ayat (1)
UU 12/2003 juncto Pasal 315 UU 10/2008]. Perlakuan yang tidak adil tersebut
ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya memperoleh satu
kursi di DPR, kendati perolehan suaranya lebih sedikit dari pada Parpol yang
372 16/PUU-V/2007 373 PUU-20/PUU-I/2003 hal 35-36 374 Putusan 16/PUU-V/2007 hal 81-82
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
tidak memiliki kursi di DPR, melenggang dengan sendirinya menjadi peserta
Pemilu 2009; sedangkan Parpol yang perolehan suaranya lebih banyak, tetapi
tidak memperoleh kursi di DPR, justru harus melalui proses panjang untuk dapat
mengikuti Pemilu 2009, yaitu melalui tahap verifikasi administrasi dan verifikasi
faktual oleh KPU. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan undang-undang, in
casu Pasal 316 huruf d UU 10/2008, yang memberikan perlakuan yang tidak sama
kepada mereka yang kedudukannya sama, dalam hal ini Parpol yang memiliki
wakil di DPR dan yang tidak memiliki wakil di DPR, pada hakikatnya
kedudukannya sama, yakni tidak memenuhi electoral threshold baik menurut
Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun menurut Pasal 315 UU 10/2008,
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945.375
Menurut Mahkamah, kebijakan PT dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama
sekali tidak mengabaikan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D
ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena setiap orang, setiap warga negara, dan
setiap Parpol Peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang
sama melalui kompetisi secara demokratis dalam Pemilu. Kemungkinannya
memang
ada yang beruntung dan ada yang tidak beruntung dalam suatu kompetisi yang
bernama Pemilu, namun peluang dan kesempatannya tetap sama376
Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 bersifat diskriminatif dan tidak rasional, sehingga
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang
berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.” Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 202 ayat
(1) UU 10/2008 sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur yang
diskriminatif, karena selain berlaku secara objektif bagi semua Parpol Peserta
Pemilu dan keseluruhan para calon anggota DPR dari Parpol Peserta Pemilu,
tanpa kecuali, juga tidak ada faktorfaktor
375 12/PUU-VI/2008 Hal 128-129 376 3/PUU-VII/2009. hal 129
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
pembedaan ras, agama, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain sebagaimana
dimaksud Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).377
377 3/PUU-VII/2009. hal 129
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
BAB VI
PENUTUP
6.1. Simpulan
1. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi di Indonesia
bertujuan untuk mewujudkan sistem multi partai sederhana sebagai salah satu
upaya memperkuat stabilitas sistem pemerintahan presidensiil dan juga untuk
mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional,
menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai.
Kebijakan penyederhanaan partai politik diatur dalam Undang-Undang
tentang Partai Politik dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum.
Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik dalam Undang-Undang
tentang Partai Politik yaitu melalui persyaratan kualitatif dan kuantitatif
pembentukan dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, sedangkan
dalam Undang-Undang Pemilu Kebijakan Penyederhanaan partai politik
diwujudkan dalam persyaratan kualitatif dan kuantitatif serta persyaratan
ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) bagi partai untuk dapat
menjadi peserta pemilihan umum dan juga persyaratan ambang batas
perolehan suara (parliamentary threshold) sebagai syarat untuk dapat
menempatkan kursi di DPR. Pada prakteknya, persyaratan-persyaratan
sebagai wujud kebijaksanaan penyederhanaan partai politik, semakin
diperberat seiring dengan perubahan Undang-Undang tentang Partai Politik
dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Pasca Reformasi. Partai
politik yang telah berstatus badan hukum, tidak serta merta dapat menjadi
peserta pemilihan umum. Persyaratan Partai Politik untuk mengikuti pemilu
meliputi persyaratan kepengurusan, Kantor tetap, jumlah minimum anggota
dan persyaratan ambang batas perolehan Kursi (electoral threshold) di DPR.
Namun ketentuan mengenai electoral threshold dihilangkan dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008. Ketentuan ini kemudian diganti dengan
ketentuan mengenai Parliamentary Threshold. Yaitu ambang perolehan suara
nasional untuk diikutkan dalam perhitungan perolehan kursi di DPR.
2. Akibat hukum kebijakan penyederhanaan partai politik bagi partai politik
adalah 1) Partai Politik tidak mendapat status badan hukum apabila tidak
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
memenuhi syarat pendirian dan pendaftaran sebagai badan hukum, 2) Partai
Politik tidak dapat menjadi peserta pemilu apabila tidak memenuhi syarat
untuk dapat menjadi peserta pemilu dan 3). Partai Politik tidak dapat
memperoleh kursi di DPR, apabila tidak memenuihi ketentuan ambang batas
perolehan suara (parliamentary threshold). Semakin diperberatnya
persyaratan pendirian dan pendaftaran partai politik berakibat hukum
berkurangnya partai politik yang dapat memperoleh status badan hukum dan
berkurangnya partai politik menjadi peserta pemilu. Pada tahun 2008,
memang terjadi kenaikan jumlah partai yang mendaftar ke KPU untuk
menjadi peserta pemilu, hal tersebut dikarenakan terjadinya perubahan
kebijakan yang semula menggunakan Elecotral Threshold menjadi
Parliamentary Threshold (PT). Diberlakukannya kebijakan PT menyebakan
berkurangnya parpol yang lolos ke DPR. Kebijakan Penyederhanaan Partai
Politik belum optimal membentuk sistem multipartai sederhana. Meskipun
jumlah partai peserta pemilu menurun karena kebijakan persyaratan
mendirikan partai politik, persyaratan mengikuti pemilu dan juga elektoral
threshold, namun jumlah efektif partai di DPR meningkat dari 4 sampai 5
partai di tahun 1999 menjadi lebih dari 7 partai di tahun 2004. Sistem partai
di Indonesia berubah dari multipartai moderat (sederhana) menjadi ekstrim.
Pemilu Tahun 2009, juga menciptakan sistem multipartai ekstrim. Namun
demikian, Pemberlakuan kebijakan PT telah sedikit menurunkan Nilai ENPP
(jumlah efektif partai di Parlemen) yang semula pada tahun 2004 bernilai 7.07
menjadi 6.47, yang berarti jumlah efektif partai menurun menjadi 6 sampai 7
partai efektif di DPR.
3. Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Keharusan partai politik untuk didaftarkan
sebagai badan hukum dengan berbagai persyaratannya merupakan
pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna menjamin agar
penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak mengganggu
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Pengaturan bukan
bermaksud mengekang kebebasan pendirian partai melainkan merupakan
pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga
partai politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum.
Syarat-syarat yang membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan
mengikuti pemilihan umum tidak bertentangan dengan UUD 1945, pembentuk
undang-undang tidak melakukan pembatasan dengan menetapkan jumlah
partai politik sebagai peserta Pemilu, melainkan, antara lain dengan
menentukan syarat-syarat administratif. Partai politik memang menempati
posisi strategis dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Akan tetapi,
implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan undang-undang. Hal
ini berarti bahwa pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal
yang berkenaan dengan pemilihan umum dan partai politik, sepanjang
undang-undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan
UUD 1945, bersifat objektif, dan merupakan upaya alamiah dan demokratis
untuk menyederhanakan sistem multipartai di Indonesia.
6.2. Saran
1. Partai Politik sebagai elemen penting dalam menegakkan demokrasi
memanglah dapat diatur dan dibatasi menurut UUD 1945, karena merupakan
kewenangan yang didelegasikan dan diberi kebebasan bagi pengambil
kebijakan. Namun demikian, pengaturan tersebut memerlukan kehati-hatian
karena dibatasi oleh prinsip-prinsip yang tidak boleh dilanggar karena telah
ditetapkan oleh UUD 1945. Prinsip-prinsip sebagaimana telah dianalisa
sebelumnya adalah prinsip konstitusional, demokrasi, rasional dan non
diskriminatif haruslah tercermin dalam setiap kebijakan penyederhanaan
partai politik.
2. kebijakan penyederhanaan partai politik pada prakteknya belum maksimal
membentuk sistem multipartai sederhana. kebijakan PT yang terbukti dapat
menghambat jumlah partai politik yang efektif di DPR masih dapat
ditingkatkan sampai dengan 5%. Alternatif lain, bahwa kebijakan PT dapat
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
juga diperuntukkan bagi koalisi partai, sebagaimana yang dipraktekan di
Republik Ceko, koalisi dua partai harus memperoleh 10 sampai 6 % suara,
koalisi tiga partai harus memperoleh 15 sampai 8% suara dan koalisi empat
partai harus memperoleh 20 sampai 10% suara dari total keseluruhan suara.
3. Penelitian lebih lanjut dapat difokuskan pada sumber keuangan partai politik,
terutama tentang perlunya pembatasan kebijakan pemberian bantuan
pendanaan kepada partai politik oleh negara yang akan memicu keinginan
untuk membentuk partai baru sehingga tidak sejalan dengan upaya
pembentukan sistem multipartai sederhana. Dibeberapa negara justru
sebaliknya, pendirian partai politik dikenakan pungutan biaya, misalnya di
Inggris atau di Republik Ceko. Dengan pengenaan biaya baik pada saat tahap
pendaftaran sebagai badan hukum ataupun sebagai peserta pemilu diharapkan
akan mengurangi keinginan untuk mendirikan partai-partai baru.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adam Perzweroski dan Jose Mar ia Maraval. Democracy and The Rule of
Law. Cambridge. : The Press Syndicate of The University of Cambridge.
2003
Alam, Wawan Tunggul. Demi Bangsaku : Pertentangan Bung Karno vs Bung
Hatta. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2003
AM. Fatwa. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta : PT
Kompas Media Nusantara. 2009
Anwar, Rosihan. Sukarno, Tentara, PKI : Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara
Politik 1961-1965. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2006
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta :
Pusat Studi Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
2008
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta :
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.
------------------------------, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi”. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. 2007.
------------------------------,. Model-model Pengujian Konstitusional Di Berbagai
Negara, cet. III. Jakarta: Konstitusi Press, 2006
------------------------------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta :
Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.
------------------------------,. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi.
Jakarta : Sinar Grafika. 2011
------------------------------, Islam dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta : Gema Insani
Press. 1995.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
------------------------------, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta : PT.
Bhuana Ilmu Populer. 2009.
------------------------------, Konstitusi Ekonomi. Jakarta : PT. Kompas Media
Nusantara. 2010
Barington, Lowell. Comparative Politics.Structure and Choices. Boston :
Wadsworth Cengage Learning. 2012
Bourchier, David dan Vedi R Hadiz. Indonesian Politics and Society. A reader.
London. : Routledge Curzon. 2003
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik”. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.
2010
Burke, Edmund. Thoughts on The Cause of The Present of Discontents. London :
The Gordon Lester Ford Collection. 1770
Chaurasia, R.S. History of Western Political Thought. New Delhi. : Atlantic
Publisher and Distributors. 2001.
Choi, Jungug. Votes, Party Systems and Democracy in Asia. Routledge. 2012
Dalton, Russell J, David M Farrell and Ian McAllister. Political Party and
Democratic Linkage. How Party Organize Democracy. Oxford University
Press. 2011
David Bourchier dan Vedi R Hadiz. Indonesian Politics and Society. A reader.
Routledge Curzon. London. 2003
Duverger, Maurice. Political Parties and Their Organisations in Modern State.
USA 1959.
Espezo, Paulina Ochoa Espezo. The Time of Popular Sovereignity : Process and
Democratic State. United State of America : The Pennsylvania State
University Press. 2011.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Firmanzah. Mengelola Partai Politik : Komunikasi dan Positioning Ideologi
Politik di Era Demokrasi. Yayasan Obor Indonesia. 2007
Gauja, Anika. Political Party and Election. Legislating for Representatives
Democracy. England : Ashgate Publishing Limited. 2010
Gauja, Anika. Legislative Regulation, Judicial Politics and the Cartel.Party
Model. Australia : Department of Government and International Relations
School of Social and Political Sciences Room 443, Merewether Building
The University of Sydney NSW 2006. 2011
Haris, Syamsudin. Partai Parlemen dan Parlemen Lokal di Era Transisi
Demokrasi di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007.
Hatta, Mohammad. Untuk Negeriku. Berjuang dan Dibuang. Sebuah Otobiografi.
Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara. 2011
Hok, Sue Vander. Democracy. Minnesota : ABDO. Publishing Company. 2011
HR, Hanta Yuda. Presidensialisme Setengah Hati. Dari Dilema ke Kompromi.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 2010
Jakckson, Karl D and Lucian W Pye. Political Power and Communications in
Indonesia. California : University California Press. 1978
Janda, Kenneth. Political Parties And Democracy In Theoretical And Practical
Perspectives. Adopting Party Law. Washington DC : National Democratic
Institute For International Affairs. 2005
J. Kristadi. Who Wants to be The Next President? : A-Z Informasi Politik Dasar
dan Pemilu. Kanisius. 2009
Jones, Tudor. Modern Political Thinkers and Ideas : An Historical Introduction.
New York. Routledge. 2002
Junejo, Jamil. Human Rights, Rule of Law and Democracy Training Manual .
Center for Peace and Civil Society. 2010
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
King, Anthony dalam Alan Ware Political Party and Party Systems. Oxford
University Press. 1996 hal 6
Lapalombara, Joseph dan Myron Weiner. The Origin and Development of
Political Parties, dalam Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta :
Grasindo. 2007
Lock, John. The Second Treatise of Government, dalam Satya Arinanto. Politik
Hukum I. Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. 2001.
Luth, Tohir. M. Natsir : Dakwah dan Pemikirannya. Gema Insani Press. 1999
Maning, Chris dan Peter Van Diermen. Indonesia di Tengah Transisi. Aspek-
Aspek Sosial Reformasi dan Krisis. Judul Asli : Indonesia In Transition,
Social Aspect of Reformasi and Crisis. Singapore : Institute of Southeast
Asian Studies. 2000.
Mainwarring, Scott P. Rethinking Party Systems in The Third Wave of
Democratization : The Case of Brazil. California : Stanford University
Press. Stanford. 1999.
--------------------------------, Presidentialism, Multipartism, and Democracy. The
Difficult Combination. Comparative Political Studies. Vol 26 Nomor 2.
Sage Publications. 1993.
Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia. Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup. 2010
M. Dzulkifriddin. Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia : peran
dan jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia. PT. Mizan
Pustaka. 2010
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
Studi Sosio Legal atas Konstituante. Dalam Muhammad Ali Saafat.
Pembubaran Partai Politik. Jakarta : Universitas Indonesia. 2009.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Nonet, Philipe dan Philip Selznick. Law and Society in Transition : Toward
Responsive Law dalam Satya Arinanto Politik Hukum 2. Jakarta : Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2001.
Nurcholis, Hanif. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Grasindo. 2005
Pak-kwan, Chau. The Regulatory Framework of Political Parties in Germany, the
United Kingdom, New Zealand and Singapore. Hong Kong : Research and
Library Services Division Legislative Council Secretariat..2004
Prayitna, Dadang. Sistem multi partai sederhana: Kajian terhadap penerapan
electoral threshold dalam proses penyederhanaan partai politik di
Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia. 2006
Rogers, Harold E. Jr. The History of Democracy From The Middle East to
Western Civilizations. Bloomington. Author House. 2006
Samsudin. Mengapa G30S/PKI Gagal? : Suatu Analisis. Yayasan Obor
Indonesia. 2004
Sartori, Giovanni Parties and Party Systems. A frame Work for Analysis.
Colchester : Ecpr Press. 2005
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. 2007
Stefan Eklӧf. Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia. The Indonesia
Democratic Party (PDI) and Decline of New Order (1986-1998). Nias
Press. Denmark. 2004
Sugono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
1997
Sulastomo. Hari-hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru. Sebuah
Memoar. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara. 2008
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Suryadinata, Leo. Political Parties and the 1982 General Election in Indonesia.
Singapore : Institute of Southeast Asian Studies. 1982
Ware, Alan. Political Parties and Party Systems. New York : Oxford University
Press. 1996
Woolf, Alex. Democracy. . London : Evan Brothers Limited. 2007
B. Artikel/Makalah
Asshiddiqie, Jimly. Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Ke
Empat UUD Tahun 1945. Makalah disampaikan Seminar Pembangunan
Hukum Nasional Viii Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan
Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14-18 Juli
2003
Franck , Thomas M. Democracy, Legitimacy, and the Rule of Law. Abstract. An
International Symposium co-sponsored by the Library of Congress and the
New York University School of Law March 7-10, 2000
Manikas, Peter M. and Laura L. Thornton Political Parties in Asia Promoting
Reform and Combating Corruption in Eight Countries .National
Democratic Institute for International Affairs. 2003
Molenaar, Fransje. Latin American Regulation of Political Parties. Continuing
Trends and breaks with The Past. Working Paper Series on The Legal
Regulation of Political Party. No 17. 2012
Norris, Pippa. Building political parties: Reforming legal regulations and internal
rules.Harvard University Report commissioned by International IDEA
2004
Pak-kwan, Chau. The Regulatory Framework of Political Parties in Germany, the
United Kingdom, New Zealand and Singapore. Hong Kong : Research and
Library Services Division Legislative Council Secretariat. 2004
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
C. Majalah Ilmiah
Biezen, Ingrid van & Ekaterina R. Rashkova. Breaking The Cartel The
Effect of State Regulation on New Party Entry. Netherlands : Department of
Political Science. Leiden University. 2011
Caramani, Daniele, Comperative Politic. New York: Oxford University Press.
2008
Chamber, William N dalam Louis Sandy Maisel, Mark D Brewer.Parties and
Election in America : The Electoral Process. Maryland: Rowman and
Littlefield Publishing Group. 2010
Clemente, Luis F. Party Systems Stability in Latin America : A Comparative
Study. Newyork : State of University of Newyork. 2009
Firdaus, Sunny Ummul. Relevansi Parliamentary Threshold terhadap
Pelaksanaan Pemilu yang Demokratis. Jakarta : Jurnal Konstitusi Volume
8 Nomor 2 April 2010. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Mainwarring, Scott P. Presidentialism, Multipartism, and Democracy. The
Difficult Combination. Comparative Political Studies. Vol 26 Nomor 2.
Sage Publications. 1993.
The Sustainable Governance Indicators 2009. Democracy. Electoral Process.
Bertelsmann Stiftung. 2009
D. Surat Kabar Kompas. 16 Parpol Penuhi Syarat.Peserta Pemilu diumumkan pada 9-11 Januari
2013. Politik dan Hukum. Kompas Edisi Senin 26 November 2012. hal 4
E. Tesis/Disertasi dan Data/Sumber yang Tidak Diterbitkan
Herman. Sistem Kepartaian di Indonesia dilihat dari Model Laakso-Taagepera
dan Indeks Rae dan Kaitannya dengan Ketahanan Nasional. Program
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Kajian Strategik Ketahanan Nasional. Jakarta : Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia. 2009
Putra, Arif Permana. Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Tahun 1960.
Surakarta : Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret. 2009
Safa’at Muchamad Ali. Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis
Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik (1959 – 2004).
Jakarta : Fakultas Hukum Program Pascasarjana 2009
F. Kasus Pengadilan/Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor PUU
20/PUU-I/2003.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan020PUUI2003.pdf
[2 Juni 2012]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 16/PUU-
V/2007.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan16
PUUV2007ttg-UUPemilu23102007.pdf [2 Januari 2012]
Mahkamah konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkara Nomor 12/PUU-
VI/2008.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_PUTUSAN
%2012%20Parpol%20Baca%2010%20Juli%202008.pdf hal 1 [2 Juni
2012]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Perkaran Nomor 3/PUU-
VII/2009.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_putusan_sida
ngPUTUSAN3-PUU-VII-2009.pdf [2 Januari 2012]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 15/PUU-IX/2011.
www.mahkamahkonstitusi.go.id [3 Januari 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 35/PUU-IX/2011.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%2
035-PUU-IX 2011%20TELAH%20BACA.pdf [2 Januari 2012]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 52/PUU-X/2012.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_52%20PU
U%202012-TELAH%20BACA%2029-8-2012.pdf [9 September 2012]
G. Internet
Antara News . Sebanyak 24 Parpol Lolos Verifikasi Depkumham.
http://www.antaranews.com/view/?i=1207296006&c=NAS&s= 2008. [8
juli 2012]
Coppedge, Michael The Dynamic Diversity of Latin American Party Systems.
Party Politic Vol. 4 No. 4. Pp 547-568. London : SAGE Publication. 1998.
http://cm.olemiss.edu (28 Februari 2012)
Detiknews. 68 Parpol Sudah Ambil Form di KPU.
http://news.detik.com/read/2008/04/11/165455/922127/10/68-parpol-
sudah-ambil-form-di-kpu?nd993303605 [8 September 2012]
Eep Saefulloh Fatah. Sebuah Cermin Cembung. Partai-Partai Politik Indonesia :
Ideologi, Strategi dan Program. http://majalah.tempointeraktif.com. 1999.
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).
Guidelines On Political Party Regulation By Osce/Odihr And Venice
Commission Adopted by the Venice Commission at its 84th Plenary
Session (Venice, 15-16 October 2010). Hal 6
http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29024-e.asp [15
Juli 2012]
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).
Opinion On The Ukrainian Legislation On Political Parties. Adopted By
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
The Venice Commission At Its 51st Plenary Session (Venice, 5-6 July
2002) Hal 3.
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).
Report On Thresholds And Other Features Of Electoral Systems Which Bar
Parties From Access To Parliament (II). Adopted by the Council for
Democratic Elections at its 32nd meeting. (Venice, 11 March 2010).and by
the Venice Commission at its 82nd plenary session. (Venice, 12-13 March
2010).http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDL-AD%282010%29007-
e.pdf hal 5 [15 Juli 2012]
European Commission For Democracy Through Law (Venice Commission).
Opinion On The Law On Political Parties Of The Russian Federation.
Adopted by the Council for Democratic Elections at its 40th meeting
(Venice, 15 March 2012). and by the Venice Commission at its 90th
Plenary Session .(Venice, 16-17 March 2012).
http://www.venice.coe.int/docs/2012/CDL-AD%282012%29003-e.pdf [16
Juli 2012] hal 3
Kementerian Hukum dan HAM. Menkumham Umumkan Verifikasi Parpol.
http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/472-menkumham-
umumkan-verifikasi-parpol. [3 Januari 2012].
Komisi Pemilihan Umum. Verifikasi Angkatan III Selesai, Secara Keseluruhan
Ada 50 Partai yang Lolos di Depkeh dan HAM .
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=513
4&Itemid=76 [juli 2012]
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. KPU Jelaskan Prosedur
Pendaftaran dan Penelitian Kepada Partai Politik yang Telah Lolos
Menjadi Badan Hukum.
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=510
9&Itemid=76 [8 juli 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Pendaftaran Parpol Resmi
Ditutup, Total 46 Partai Mendaftar Ke KPU.
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=706
5&Itemid=1 [ 8 September 2012]
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Buku Saku Pemilu 2009. Hal 40
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=652
0&Itemid=171 [5 Januari 2012]
Kompas. Partai SRI Siap Ikuti Pemilu 2014.
http://nasional.kompas.com/read/2012/04/08/18123424/Partai.SRI.Siap.Iku
ti.Pemilu.2014 [7 juli 2012]
Office of The United Nations High Commisioner for Human Rights.
International Covenant on Civil and Political Rights.
http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm [23 Juli 2012]
OSCE/ODIHR And Venice Commission. Guidelines On Political Party
Regulation. Adopted By The Venice Commission. at its 84th Plenary
Session.Venice, 15-16 October 2010.
http://www.venice.coe.int/docs/2010/CDLAD%282010%29024-e.pdf [15
Juli 2012]
Tempo Interaktif. Daftar Partai yang Lolos dan Tidak Lolos Verifikasi. 2003.
http://www.tempo.co/read/news/2003/10/04/05519829/null [ 8 juli 2012]
The United Nations. The Universal Declaration of Human Rights.
http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml [ 23 Juli 2012]
http://www.sgi-network.org/pdf/SGI09_Democracy_ElectoralProcess.pdf
[14 September 2012] hal 2
Thomas M. Franck Democracy, Legitimacy, and the Rule of Law. Abstract. An
International Symposium co-sponsored by the Library of Congress and the
New York University School of Law March 7-10, 2000.
http://www.loc.gov/bicentennial/abstracts_franck.html [3 Juli 2012]
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Venice Commission. Guidelines on prohibition and dissolution of political parties
and analogous measures. hal 2 http://www.osce.org/odihr/37820. [2 Juni
2012]
Winarno, Budi. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media
Pressindo. 2007
http://www.venice.coe.int/docs/2002/CDL-AD%282002%29017-e.pdf [15
Juli 2012]
H. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai
Politik. Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22. Tambahan Lembaran
Negara Nomor. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3809
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 37.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013
Indonesia Tahun 2008 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor
4836
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 117. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5316.
Kebijakan penyederhanaan..., Rika Anggraini, FH UI, 2013