Umk-coating Gel Aloe Vera
description
Transcript of Umk-coating Gel Aloe Vera
USULAN MASALAH KHUSUS
KAJIAN APLIKASI COATING GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.)
PADA BUAH SALAK PONDOH (Sallaca edulis Reinw.)
Oleh:
NUR RAHMAWATI
F34080004
2012
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN APLIKASI COATING GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.)
PADA BUAH SALAK PONDOH (Sallaca edulis Reinw.)
Oleh:
NUR RAHMAWATI
F34080004
USULAN MASALAH KHUSUS
sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan
PENELITIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Bogor, Februari 2012
Disetujui,
Pembimbing Akademik
Ir. Sugiarto, M.SiNIP. 19690518 199403 1 002
I. JUDUL KAJIAN APLIKASI COATING GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) PADA BUAH SALAK
PONDOH (Sallaca edulis Reinw.)
II. PERSONALIAII.1.Pelaksana : Nur Rahmawati (F34080004)
Mahasiswi Tingkat Akhir Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
II.2.Pembimbing : Ir. Sugiarto, M.Si
Staf Pengajar Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
III.PENDAHULUANIII.1. Latar Belakang
Salah satu buah yang diminati masyarakat Indonesia adalah salak, terutama salak pondoh
yang memiliki rasa manis yang khas. Bahkan kini, buah salak berkembang menjadi komoditas
ekspor. Salak pondoh (Sallaca edulis Reinw.) merupakan salah satu buah unggulan daerah
Banjarnegara, Jawa Tengah. Salak pondoh ini memiliki potensi yang sangat baik untuk agribisnis
dan agroindustri. Salak pondoh banyak diusahakan sebagai salah satu komoditi buah-buahan yang
sedang dikembangkan, dimana produksi salak mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada
tahun 2004 produksi salak nasional mencapai 800.975 ton dan meningkat menjadi 805.879 ton
pada tahun 2007. Oleh karena itu salak tetap mendapat prioritas dikembangkan secara agribisnis
terutama di daerah sentra produksi (Dirjen Hortikultura 2010).
Buah salak mempunyai sifat mudah rusak (perishable) dan berumur simpan pendek, hal
ini didukung oleh iklim tropis yang panas dan lembab menyebabkan daya simpan buah salak
segar akan sangat berkurang. Umumnya buah salak segar hanya dapat bertahan disimpan selama
± 12 hari pada suhu kamar. Kadar air yang cukup tinggi yaitu sebesar 78% dan kandungan
karbohidrat sebesar 20.9 % menyebabkan salak lebih mudah busuk jika disimpan pada suhu ruang
(Depkes RI 2000).
Untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan di sektor produksi perlu diimbangi dengan
kemajuan di sektor pascapanen yaitu penanganan pascapanen. Hal ini mengingat bahwa buah
salak, sebagaimana halnya produk biologis lainnya bersifat mudah rusak. Pengaruh lingkungan
yang tidak menguntungkan selama penyimpanan akan menyebabkan kualitas buah salak menurun
cepat sehingga umur simpannya menjadi pendek. Salah satu cara untuk memperpanjang umur
simpan buah segar adalah perlakuan dengan melapisi buah tersebut dengan pelapisan (coating).
Menurut Baldwin et al. (1995), komposisi pelapisan (coating) yang tepat dapat berfungsi sebagai
penahan (barrier) yang baik terhadap oksigen (O2), karbon dioksida (CO2) dan uap air (H2O),
sehingga bila diaplikasikan pada produk buah segar dapat mempertahankan kesegaran dan
mencegah terjadinya kerusakan.
Aloe vera merupakan salah satu tanaman yang memiliki bahan aktif sebagai anti mikroba
dan anti jamur. Gel lidah buaya berpotensi untuk diaplikasikan dalam teknologi edible coating,
karena gel tersebut terdiri dari polisakarida yang mampu menghambat transfer gas CO2 dan O 2,
serta mengandung banyak komponen fungsional yang mampu menghambat kerusakan produk
pasca panen yang berfungsi sebagai antimikroba (Dweck dan Reynold, 1999). Oleh karena itu
sangat baik untuk mengkaji aplikasi dari coating gel lidah buaya pada buah salak, mengingat lidah
buaya yang dapat berfungsi sebagai anti mikroba dan anti jamur serta mengandung polisakarida
yang dapat menghambat transfer gas CO2 dan O2 sehingga dapat memperpanjang umur simpan.
III.2.Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi coating gel lidah buaya
terhadap mutu dan umur simpan dari buah salak pondoh.
III.3.Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah menentukan formulasi coating gel lidah baya yang
tepat dan pengaruhnya tehadap mutu dan umur simpan (shelf life) dari buah salak pondoh.
III.4.Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Menambah pengetahuan tentang coating (pelapis) dan pengaruh pengaplikasiannya pada
buah salak pondoh.
2. Bagi peneliti lanjutan
Sebagai sumber informasi dan dapat dikembangkan ke penelitian selanjutnya yaitu untuk
mengetahui perlakuan lain yang dapat dilakukan untuk menjaga mutu dan memperpanjang
umur simpan dari buah salak pondoh, atau pun dengan perlakuan yang sama dilihat
pengaruhnya terhadap buah lainnya.
3. Bagi masyarakat
Sebagai sumber informasi untuk menambah pengetahuan tentang cara menjaga mutu dan
memperpanjang umur simpan buah salak pondoh, sehingga dapat diterapkan langsung oleh
petani ataupun pengusaha pengekspor salak.
IV. TINJAUAN PUSTAKA4.1. Buah Salak Pondoh
Tanaman salak termasuk suku pinang-pinangan, ordo Spadiceflorae, famili Palmaceae
dengan beberapa spesies Salacca conferta, Salacca adulis, Salacca affinis, Salacca globoscans,
dan Salacca wulliciana (Sudibyo, 1974). Menurut Suter (1988), panjang buah salak berkisar
antara 4,46-6,13 cm, diameter 4,28-5,67 cm, dan berat buah berkisar antara 34,79-83,47 g.
Variasi panjang, diameter, dan berat buah salak dipengaruhi oleh kultivar serta letak buah salak
pada tandannya. Tanaman salak pondoh merupakan tanaman berumah dua, sehingga dapat
diketemukan tanaman jantan dan tanaman betina. Bunga jantan tersusun seperti genteng,
bertangkai dan berwarna coklat kemerah-merahan. Sedangkan bunga betina tersusun dari 1-3
bulir, bertangkai panjang dan mekar sekitar 1-3 hari. Perakaran salak pondoh terdiri dari akar
serabut, yang sebagian besar berada di dalam tanah dan sebagian lagi muncul dipermukaan
tanah.
Perkembangan akar salak pondoh dipengaruhi oleh cara pengolahan tanah, pemupukan,
tekstur tanah, sifat fisik dan kimia tanah, air tanah, lapisan bawah tanah, dan lain-lain.
Sedangkan batang salak pondoh termasuk pendek dan hampir tidak kelihatan secara jelas, karena
selain ruas-ruasnya padat juga tertutup oleh pelepah daun yang tumbuhnya memanjang
(Hieronymus Budi Santoso, 1990). Kriteria buah yang sudah siap dipanan dapat ditentukan
melalui umur buah atau dengan memperhatikan penampakan buah. Umur panen buah salak
pondoh adalah sekitar 5,5-6 bulan, sedangkan bila melihat dari penampakan buahnya, salak
pondoh yang siap dipanen memiliki warna kulit buah bersih dan mengilap, bila dipegang terasa
empuk dan kulitnya tidak keras serta beraroma khas (Widji Anarsis, 1996).
Buah salak terdiri dari tiga bagian, yaitu kulit buah, daging buah yang diselubungi selaput
tipis dan biji. Setiap buah salak pondoh memiliki satu biji, berwarna coklat kehitam-hitaman,
keras, dan pada biji terdapat sisi cembung dan sisi datar (Hieronymus Budi Santoso, 1990). Buah
salak pondoh muda rasanya manis dan gurih, sedangkan buah salak pondoh tua rasanya manis,
gurih, dan masir. Ketebalan daging buahnya antara 0,8 cm sampai 1,5 cm, dan warna daging
buahnya putih kapur (Rahmat Rukmana, 1999).
Gambar 1. Salak Pondoh (Niam, 2009)
Komposisi kimia daging buah salak berubah dengan semakin meningkatnya umur buah
dan bervariasi menurut varietasnya. Salak pondoh mempunyai kandungan kimiawi yang relatif
konstan pada umur 5 bulan sesudah penyerbukan. Pada saat ini kadar gulanya mencapai nilai
tertinggi, sedangkan kadar asam dan taninnya adalah terendah. Menurut penelitian Sabari (1986),
kandungan total gula salak pondoh sebesar 23,30 %, kandungan total asam sebesar 0,32% dan
kandungan tannin sebesar 0,08 %. Buah salak pondoh mengandung vitamin-vitamin dan mineral
yang diperlukan oleh tubuh manusia. Komposisi zat gizi yang terdapat dalam buah salak pondoh
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Zat Gizi Buah Salak Pondoh dalam 100 gram
Kandungan Gizi Jumlah
Energi (kalori) 77
Protein (g) 0,4
Lemak (g) 0
Karbohidrat (g) 20,9
Kalsium (mg) 28
Fosfor (mg) 18
Zat besi (mg) 4,2
Vitamin B1 (mg) 0,04
Vitamin C (mg) 2
Air (g) 78
(Sumber: Departemen Kesehatan RI, 2000)
4.2 Fisiologi Pasca Panen Buah
Buah-buahan yang berada dipohon melangsungkan hidupnya dengan melakukan
pernafasan (respirasi), ternyata setelah buah dipetik (panen) juga masih melangsungkan proses
respirasi. Respirasi adalah proses biologis dimana oksigen diserap untuk digunakan pada proses
pembakaran yang menghasilkan energi dan diikuti oleh pengeluran sisa pembakaran dalam
bentuk CO2 dan air (Phan et al. 1986). Reaksi kimia sederhana untuk respirasi adalah sebagai
berikut :
C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + energi
Laju respirasi merupakan indeks untuk menentukan umur simpan buah-buahan setelah
dipanen. Besarnya laju respirasi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal seperti : tingkat perkembangan organ, susunan kimia jaringan, ukuran
produk, adanya pelapisan alami dan jenis jaringan, sedangkan faktor eksternal antara lain : suhu,
penggunaan etilen, ketersedian oksigen dan karbondioksida, senyawa pengatur pertumbuhan dan
adanya luka pada buah (Phan et al. 1986).
Menurut Phan et al. (1986) di dalam Pantastico (1986), besar kecilnya respirasi pada
buah dan sayuran dapat diukur dengan cara menentukan jumlah substrat yang hilang, oksigen
yang diserap, karbondioksida yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan dan energi yang timbul.
Untuk menentukan laju respirasi, cara yang umum digunakan adalah dengan pengukuran laju
penggunaan O2 atau dengan penentuan laju pengeluaran CO2. Berdasarkan pola respirasinya,
buah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu buah klimakterik dan buah non-klimakterik.
Buah klimakterik mengalami kenaikan CO2 secara mendadak dan mengalami
penurunan dengan cepat setelah proses pematangan terjadi, sedangkan buah non-klimakterik
tidak terjadi kenaikan CO2 dan diikuti dengan penurunan CO2 dengan cepat. Klimakterik
ditandai dengan adanya proses waktu pematangan yang cepat dan peningkatan respirasi yang
mencolok serta perubahan warna, citarasa dan teksturnya (Rhodes 1970). Menurut Rhodes
(1970), pada awal perkembangan buah, kandungan pati meningkat terus dan setelah mencapai
maksimum, makin tua buah kandungan pati makin menurun. Penurunannya disebabkan oleh
perubahan pati menjadi gula yang digunakan untuk kegiatan respirasi.
4.3 Coating (Pelapis)
Coating merupakan salah satu metode memperpanjang umur simpan dari produk
pertanian, mengurangi penurunan kualitas dan kehilangan hasil. Coating juga memberikan efek
yang hampir sama dengan penyimpanan modified atmospher. Coating pada buah dan sayuran
berprospek untuk dapat memperbaiki kualitas tampilan dan umur simpan buah atau sayuran serta
memberikan tahanan terhadap gas (O2 dan CO2) dan uap air (Nussinovitch, 1997).
Komponen atau bahan dasar pembuatan coating adalah hidrokoloid (polisakarida dan
protein), lipid atau lemak dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid). Masing-masing jenis
pelapis tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan sehingga harus dikombinasikan dengan
bahan lain. Coating yang terbuat dari bahan hidrokoloid sangat baik sebagai barir terhadap O 2,
dan CO2, sedangkan coating dari lipid baik untuk mempertahankan kehilangan uap air (Krochta
et al.,1994). Menurut Valverde (2005), selain sebagai barier terhadap gas dan air, edible coating
juga dapat mengurangi penggunaan atau limbah kemasan karena sifatnya yang biodegradable
serta dapat memperlambat kerusakan dan meningkatkan keamanan dari kontaminasi
mikroorganisme selama proses, penanganan dan penyimpanan buah dan sayuran.
Coating dapat diaplikasikan ke buah dan sayuran dengan cara dicelup, disemprot dan
dituang. Cara pengaplikasian coating tergantung dari bentuk, ukuran dan sifat dari produk yang
ingin dilapisi (Nussinovitch, 1997). Untuk mempertahankan konsistensi larutan coating perlu
penambahan filler seperti : CMC dan gliserol. CMC ditambahkan untuk meningkatkan
kestabilan dan viskositas larutan. CMC merupakan polimer selulosa eter yang larut dalam air dan
memiliki kemampuan untuk mengikat air sehingga molekul-molekul air terperangkap dalam
struktur gel yang dibentuk CMC (Fardiaz,1987). Sedangkan gliserol digunakan sebagai
plasticizer. Menurut Fennema (1985), penambahan plasticizer berfungsi untuk mengurangi
kerapuhan/keretakan, meningkatkan fleksibilitas film, menghaluskan dan mempertipis hasil film
yang terbentuk.Penelitian Valverde et al. (2006) yang menggunakan gel lidah buaya untuk
melapisi buah anggur crimson, berhasil memperpanjang umur simpan buah anggur dari 7 hari
menjadi 35 hari. Martinez-Romero et al. (2006) juga telah melakukan penelitian menggunakan
gel lidah buaya untuk melapisi buah cherry dan berhasil memperpanjang unur simpannya sampai
16 hari.
4.4. Lidah Buaya
Lidah buaya (Aloe vera L) khususnya dari varietas barbadensis dan sinensis adalah
tanaman di daerah tropis dan sub-tropis yang sejak zaman dahulu dikenal sebagai tanaman obat
atau master healing plant. Lidah buaya (Aloe vera) merupakan tanaman asli Afrika terutama
Mediterania. Lidah buaya sering dijuluki dengan “The Miracle Plant”. Tanaman tersebut dapat
tumbuh di daerah panas maupun dingin, dataran tinggi maupun rendah. Daya adaptasinya yang
tinggi dan kegunaan tanaman ini menyebabkan banyak orang membawanya ke seluruh pelosok
dunia termasuk Indonesia (Astawan, 2008).
Aloe vera L. Memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang
lebar, berdaging tebal, tidak bertulang, mengandung getah, permukaan pelepah daun dilapisi
lilin, bersifat sukulen, berat rata-rata per pelepah adalah sekitar 0.5-1 kg dan tinggi 45-50 cm.
Produktivitas tanaman lidah buaya di Kalimantan mencapai 6-7 ton per hektar setiap kali panen.
Masa panen lidah buaya sekitar 10-12 bulan setelah tanam, sehingga dalam satu tahun tanaman
ini dapat dipanen sebanyak 4 kali (3 bulan sekali). Secara sistematis lidah buaya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Lilliopsida
Ordo : Asparagales
Famili : Asphodelaceae
Genus : Aloe
Spesies : vera Gambar 2. Aloe vera L.
Pelepah tanaman lidah buaya terdiri dari beberapa bagian utama, yaitu mucilage gel dan
exudate (lendir) (Yaron, 1991). Menurut Henry (1979), unsur utama dari cairan lidah buaya
adalah aloin, emodin, resin, gum dan unsur lainnya seperti minyak atsiri. Berikut merupakan
gambar tanaman lidah buaya.Gambar 1. Lidah buaya varietas sinensis Dari segi kandungan
nutrisi, gel atau lendir, daun lidah buaya mengandung beberapa mineral seperti : kalsium (Ca),
magnesium (Mg), kalium (K), sodium (Na), besi (Fe), zinc (Zn), dan kromium (Cr). Beberapa
unsur vitamin dan mineral tersebut dapat berfungsi sebagai pembentuk antioksidan alami, seperti
vitamin C, vitamin E, vitamin A, magnesium, dan zinc. Antioksidan ini berguna untuk mencegah
penuaan dini, seranganjantung, dan berbagai penyakit degeneratif (Astawan,2008).
Gel lidah buaya memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antijamur, meningkatkan aliran
darah ke daerah yang terluka, dan menstimulasi fibroblast, yaitu sel-sel kulit yang bertanggung
jawab untuk penyembuhan luka. Publikasi pada American Podiatric Medical Association
menunjukkan bahwa pemberian gel lidah buaya pada hewan percobaan, baik dengan cara
diminum maupun dioleskan pada permukaan kulit, dapat mempercepat penyembuhan luka.
Dalam lendir lidah buaya terkandung zat lignin yang mampu menembus dan meresap ke dalam
kulit. Lendir ini akan menahan hilangnya cairan tubuh dari permukaan kulit (Astawan,2008).
Lidah buaya selain tanaman yang bermanfaat bagi kesehatan manusia ternyata memiliki
kemampuan lain yang dapat dimanfaatkan untuk memperpanjang umur simpan buah dan
sayuran. Gel lidah buaya ini tidak berwarna dan berbau, tidak mempengaruhi rasa atau rupa dari
buah, aman digunakan, alami serta aman bagi lingkungan. Gel lidah buaya yang terdiri dari
polisakarida, berperan menghalangi kelembaban dan oksigen yang dapat mempercepat
pembusukan makanan. Gel ini juga mengandung antibiotik dan anti cendawan yang berpotensi
memperlambat atau menghalangi mikroorganisme yang mengakibatkan keracunan makanan
pada manusia (Anonim, 2007). Gel lidah buaya berpotensi untuk diaplikasikan dalam teknologi
edible coating, karena gel tersebut terdiri dari polisakarida yang mampu menghambat transfer
gas CO2 dan O2, serta mengandung banyak komponen fungsional yang mampu menghambat
kerusakan produk pasca panen yang berfungsi sebagai antimikroba (Dweck dan Reynold, 1999).
V. METODOLOGI PENELITIAN5.1. Bahan dan Alat
Pada penelitian ini akan digunakan bahan utama berupa salak pondoh yang berasal dari
daerah Banjarnegara dan daun lidah buaya varietas sinensis berumur satu tahun yang akan
diperoleh dari daerah Ciampea Bogor. Bahan lain yang diperlukan adalah plastik PE berukuran 1
Kg, plastik PP berukuran 1 Kg, asam sitrat 10%, CMC (Carboxy Methyl Cellulose), pati,
maltodekstrin, asam askorbat, gliserol, indikator pp, NaOH 0.1 N, pati 1 %, Iod 0.01 N, dan
akuades. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain adalah blender (penghancur), saringan,
pemanas (kompor gas), ruang pendingin, sealer, timbangan, refraktometer, cawan aluminium,
labu ukur, labu erlenmeyer, gelas piala, dan alat-alat lainnya.
5.2. Metode Penelitian
Berikut ini merupakan diagram alur penelitian yang akan dilaksanakan:
Penyimpanan suhu ruang dan suhu AC, serta Pengujian terhadap beberapa parameter:
1. Susut Bobot, Kekerasan, Warna2. Kadar Vitamin C3. Kadar Total Asam4. Kadar Total Padatan Terlarut5. Pengujian Organoleptik
Perlakuan 5: Salak ditransportasikan dengan pendingin dan tanpa pendingin
Perlakuan 4: Salak dikemas pada plastik PE dan plastik PP dengan tanpa lubang, plastik berukuran 1 Kg
Perlakuan 3: Aplikasi coating dengan gel lidah buaya, filler berbeda (CMC, pati, dan maltodekstrin 1 %)
Perlakuan 2: Aplikasi Precooling dan Aplikasi tanpa Precooling
Perlakuan 1: Salak, Tk. Kematangan 80 % dan 90%
Penelitian akan dilakuan beberapa tahap yang terdiri atas:
a. Tahap 1 (Persiapan Sampel)
Sampel yang digunakan adalah salak pondoh dengan dua tingkat kematangan yang
berbeda yaitu kematangan 80% dan 90%. Dalam penentuan kematangan buah salak,
sebelum buah salak dipanen maka diamati waktu terjadinya penyerbukan bunga hingga
buah salak dipetik. Salak yang dipetik terlebih dahulu dianggap memiliki kematangan
yang lebih rendah (80%), sedangkan yang dipetik kemudian maka dianggap memiliki
kematangan yang lebih tinggi (90%), umumnya salak dipanen 6 bulan setelah
penyerbukan. Perbedaan tingkat kematangan merupakan salah satu perlakuan yang
diamati sehingga diketahui pengaruh umur panen buah salak terhadap mutu setelah
penanganan pascapanen.
b. Tahap 2 (Aplikasi Precooling)
Sampel yang baru saja dipanen, selanjutnya diberi perlakuan kedua yaitu aplikasi dengan
dan tanpa precooling. Pada aplikasi precooling, salak yang baru saja dipanen
ditempatkan pada wadah untuk kemudian ditiupkan udara dingin selama 12 jam,
sedangkan pada perlakuan tanpa precooling salak yang baru dipanen langsung diberi
perlakuan selanjutnya.
c. Tahap 3 (Aplikasi Coating)
Perlakuan selanjutnya adalah aplikasi dari coating dengan gel lidah buaya. Aplikasi
coating dilakukan dengan teknik penyemprotan (spray) langsung pada buah salak. Pada
perlakuan coating diberi tiga perlakuan yaitu perbedaan bahan filler gel lidah buaya
yang digunakan, yaitu CMC, pati, dan maltodekstrin. Berikut ini merupakan diagram alir
dari pembuatan gel lidah buaya.
Gel lidah buaya
Penghancuran dengan blender
Pembilasan dengan air
Perendaman dalam larutan asam sitrat 10% (b/v)
Sortasi dan pencucian
Salak
Penyimpanan Suhu dingin 14-20 oC
Salak Pondoh
Pengemasan (PP, PE, Curah) masing-masing 500 g
Pengamatan (Susut Bobot,% kerusakan, Kadar Vitamin C, Kadar Total Asam, Kadar Total
Padatan Terlarut)
Pelapisan dengan larutan pelapis gel lidah buaya (konsentrasi 1:2, 1:1, dan 3:2)
Sortasi
Prosedur pembuatan larutan edible coating dari gel lidah buaya (Aloe vera L.) ini
telah dilakukan oleh Lestari (2008) dan merupakan modifikasi dari Mardiana (2008).
Tahap pertama pembuatan edible coating dari lidah buaya adalah sortasi pelepah lidah
buaya berdasarka penamkan fisik, yaitu tingkat kematangan, ada tidaknya kotoran atau
penyakit, serta kerusakan fisik pada jaringan luar daun. Tahap kedua dari pembuatan
larutan edible coating adalah pencucian dengan air matang, utnuk menghilangkan
kotoran yang menempel pada permukaan daun. Pelepah lidah buaya kemudian direndam
dalam larutan asam sitrat 10%, untuk mengurangi cemaran mikroba pada permukaan
daun (Barroso, et al., 2005). Penggunaan asam sitrat dilakukan untuk menghindari
penggunaan klorin.
Tahap selanjutnya adalah trimming dan filleting, yaitu menghilangkan bagian-
bagian kulit lidah buaya, bagian pangkal, ujung, serta kedua sisi yang berduri. Tahap ini
dilakukan untuk memperoleh gel lidah buaya yang bersih serta untuk menghilangkan
yellow sap (getah kuning) dari lidah buaya. Yellow sap perlu dihilangkan karena dapat
meyebabkan gel lidah buaya menjadi berwarna kuning, berbau tidak sedap, serta bersifat
laksatif. Selanjutnya dilakukan pencucian menggunakan air matang untuk
menghilangkan yellow sap (getah kuning). Potongan lidah buaya hasil trimming dan
filleting kemudian dihancurkan menggunakan blender selama 2 menit. Proses
penghancuran yang terlalu lama akan menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan
enzimatis dalam gel. Hasil dari proses penghancuran disaring sehingga cairan lidah
buaya terpisah dari ampasnya.
Masing-masing cairan lidah buaya selanjutnya dipanaskan samapai pada suhu
75oC dengan ditambahkan larutan CMC atau pati atau maltodekstrin denga konsentrasi
1% b/b dan gliserol 0.5 % b/b. Selain itu ditambahkan pula Kalium sorbat 0,05% b/b
untuk menekan pertumbuhan kapang dan tidak mempengaruhi cita rasa makanan pada
tingkat penambahan yang diperbolehkan, yaitu sampai 0,3% berat bahan (Medikasari,
2000). Sebelum aplikasi coating, gel yang telah dibuat dikarakterisasi pH, kekentalan,
dan warna.
d. Tahap 4 (Aplikasi Kemasan Plastik)
Salak yang telah dilapisi dengan gel lidah buaya dikemas dalam plastik dan direkatkan
dengan sealer, pada tahap ini diberikan perlakuan bahan kemasan plastik tanpa lubang
yang digunakan. Plastik yang digunakan merupakan plastik PE dan plastik PP berukuran
1 Kg. Sebelum dikemas pada plastik, salak ditimbang masing-masing 0.5 Kg.
e. Tahap 5 (Simulasi transportasi)
Salak yang telah dikemas, siap untuk ditransportasikan ke tujuan. Saat transportasi, salak
diberikan perlakun berupa suhu ruang dan suhu dingin.
f. Tahap 6 (Simulasi Display)
Selanjutnya pada tahap akhir, setelah salak sampai tujuan. Salak disimpan (simulasi
display). Salak disimpan pada suhu ruang dan pada suhu ac (15-20 oC) dan dilakukan
pengujian per dua hari sampai salak tidak layak pajang. Pengujian yang dilakukan adalah
Susut Bobot, Kekerasan, Warna, Kadar Vitamin C, Kadar Total Asam, Kadar Total
Padatan Terlarut, dan Pengujian Organoleptik.
Berikut ini merupakan metode pengujian yang akan dilaksanakan :
1. Susut Bobot (AOAC, 1995)
Pengukuran susut bobot dilakukan secara gravimetri, yaitu membandingkan selisih bobot
sebelum penyimpanan dengan sesudah penyimpanan. Kehilangan bobot selama
penyimpanan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
% susut bobot =[( bobot awal-bobot akhir)/ bobot awal] x 100%
2. Warna BuahPengukuran perubahan warna dilakukan dengan menggunakan alat kolorimeter. Bahan uji diletakkan tepat di bawah sensor cahaya, ditekan tombol enter, kemudian di baca nilai L, a dan b-nya.
3. Kekerasan Buah (Gardjito, 2003)Uji kekerasan buah dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer. Bahan uji diletakkan tepat di bawah jarum. Sebelumnya dipastikan bahwa jarum penunjuk telah menunjukkan angka nol. Buah ditusuk dengan menekan tuas selama ± 10 detik, dilepaskan dan dibaca nilai yang tertera. Kekerasan buah dinyatakan dalam satuan mm per detik dengan berat beban yang dinyatan dalam gram.
4. Kadar Air (Gardjito, 2003)
Pengukuran kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode oven.
Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator.
kemudian ditimbang. Sejumlah sampel ditimbang dalam cawan. Selanjutnya cawan yang
telah berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dan dipasang pada suhu 105°C.
Pemanasan dilakukan selama 24 jam, kemudian didinginkan dengan desikator dan
ditimbang kembali. Pekerjaan dihentikan bila sudah didapat berat yang konstan. Menurut
Winarno (1993) kadar air dapat dihitung dengan rumus:
Kadar Air (%berat basah) = Kehilangan berat (g)/Berat sampel (g) × 100%
5. Total Padatan Terlarut (AOAC, 1984)
Jumlah padatan terlarut dihitung menggunakan refraktometer. Ambil sedikit bahan yang
akan diukur total padatan terlarutnya dan teteskan pada alat. Kemudian ukur nilai total
padatan terlarutnya yang berada diantara batas terang dan batas gelap dengan satuan obrix.
6. Total Asam (AOAC, 1999)
Sebanyak 100 gram bahan yang sudah dihancurkan dalam blender. Kemudian
dimasukkan dalam labu ukur 250 ml, encerkan sampai tanda tera dengan menambah air
destilata yang digunakan sebagai pembilas blender, selanjutnya disaring menggunakan
kertas saring. Filtrat sebanyak 25 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambah
indikator pp sebanyak 3 tetes, kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai
timbul warna merah muda yang stabil. Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai NaOH 0.1
N per 100 g bahan. Total asam tertitrasi dihitung dengan rumus :
Total asam = ml NaOH x N NaOH x fp
N : Normalitas Larutan NaOH
fp : faktor pengencer
BE : Bobot ekuivalen asam oksalat
7. Kandungan Vitamin C (Gardjito, 2003)
Sebanyak 100 gram bahan yang sudah dihancurkan dalam blender. Kemudian
dimasukkan dalam labu ukur 250 ml, encerkan sampai tanda tera dengan menambah air
destilata yang digunakan sebagai pembilas blender, selanjutnya disaring menggunakan
kertas saring. Filtrat yang diperoleh sebanyak 25 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer,
ditambahkan 2-3 tetes pati 1%, kemudian dititrasi dengan larutan iod 0,01 N sampai
timbul perubahan warna yang stabil (biru ungu). Setiap ml iod sebanding dengan 0,88 mg
asam askorbat.
Asam askorbat mg g bahan = ml iod x N x x fp
fp : faktor pengencer
8. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik dengan 10 orang panelis, dimana
pengujian dilakukan terhadap penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa. Analisis data
menggunakan uji modus, median dan uji Freadmen.
VI. PELAKSANAAN PENELITIANPenelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari 2012 sampai dengan April 2012 di
Laboratorium Departemen TIN FATETA IPB. Tabel dibawah ini menggambarkan jadwal kegiatan.
Tabel 2. Rencana Jadwal Penelitian
Kegiatan
Bulan
Februari Maret April Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Studi Pustaka
Persiapan Pembuatan Coating
Perlakuan tahap 1 s.d. tahap 5
Penelitian tahap 6
Penyusunan Laporan
VII. ANGGARAN PENELITIANPenelitian ini membutuhkan dana seperti tergambar pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Anggaran Penelitian
N
oUraian Kegiatan Jumlah
Biaya/ Harga Satuan
(Rp)Total (Rp)
1.
Bahan Utama
- Salak
- Lidah Buaya
1000 Kg
100 Kg
2000
8000
2,000,000
800,000
2.
Pengujian
- Total asam
- Kadar Vit.C
- Uji Orgnoleptik
24
24
24
20,000
20,000
15,000
480,000
480,000
360,000
3. Penunjang (Deposit sewa laboratorium) 1 130,000 130,000
6. Kebutuhan pelaporan
a. Print 60 x 5 x 1 500 150,000
b. Jilid Hard Cover 5 20,000 100,000
TOTAL PENGELUARAN 4,500,000
DAFTAR PUSTAKAAOAC. 1984. Methods of Analysis. Association of official Analytical Chemist, Washington D. C.
AOAC. 1999.Official Methods of Analysis of AOAC International, 16th ed. AOAC International,
Meryland,USA.
Baldwin, E.A., M.O. Nisperos-Carriedo an R.A. Baker. 1995. Edible Coatings for Lightly Processed
Fruits and Vegetables. Hort. Science, 30 (1) :35-38.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1989. Bhratara, Jakarta.
Dirjen Hortikultura. 2010. Agribisnis Salak. http : Dirhort.com. [5 Februari 2012].
Fardiaz, S., Ratih D. dan Slamet B. 1987. Bahan Tambahan Kimiawi. PAU. IPB. Bogor.
Gardjito, M. dan Agung Setya Wardana. 2003. Hortikultura Teknik Analisis Pasca Panen. Penerbit Trans Media Mitra Printika, Yogyakarta.
Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker, INC. New york and Basel.
Kader, A.A. 1999. Carambola (Star fruit). Produce Facts. Perishable Handling Quarterly UC. Davis, No. 93, Davis CA, pp 19-20.
Kartasapoetra. A. G. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta. Jakarta.
Mardiana, Kiki. 2008. Aplikasi Coating gel Lidah Buaya pada Belimbing. Skripsi, Fateta, TIN IPB.
Krochta, J. M., E. A. Baldwin, dan M. O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company, New York, NY.
Krochta, J.M. 1992. Control of Massa Transfer in Foods with Edible Coatings and Films. Di dalam Singh, R.P. and M.A. Wirakartakusumah (eds). Advances in Food Engineering. CRP Press : Boca Raton, FL pp 517-538.
Lestari, Citra. 2008. Aplikasi Coating gel Lidah Buaya pada Strawberry. Skripsi. Fateta, ITP, IPB.
Nussinovitch, A. 1997. Gum Technologi in The Food and Other Industries. Blackie Academic and Professional. London.
Pantastico, E.B., A.K. Matto, dan V.T. Phan. 1986. Respirasi dan Puncak Respirasi. Didalam : Fisiologi Pasca Panen. Gadjah Mada University Press. Jakarta.
Phan, C.T., E.B. Pantastico, K.Ogata dan K. Chachin. 1986. Respirasi dan Puncak Respirasi. Di dalam Pantastico, E. B. Fisiologi Pasca Panen, Penangan, dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran Tropika dan Subtropika. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Rhodes, M.J.C. 1970. The Climacteric and Ripening of Fruit. In A.C. Hulme ed. The Biochemistry of Their Product. Vol 1. Academic Press, London and New York.
Santoso, B., D. Saputra, dan Pambayun, R. 2004. Kajian Teknologi Edible Coating dari Pati dan Aplikasinya Untuk Pengemas Primer Lempok Durian. Jurnal Teknol dan Industri Pangan XV (3).
Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Valverde, J. M., Valero D., Domingo M., Fabian G., Salvador C., Maria Serrano. 2006. Novel Edible Coating Based on Aloe Vera Gel To Maintain Table Grape Quality and Safety . Journal of Agricultural and Food Chemistry. 53:7807-7813.