UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU...
Transcript of UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU...
i
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN EKSTRAK
PEKAT SUPLEMEN KALSIUM DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) PADA
FUNGSI HEPAR DAN GINJAL TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)
SKRIPSI
Oleh :
MAY AYU WULANDARI
135100101111072
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN EKSTRAK
PEKAT SUPLEMEN KALSIUM DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) PADA
FUNGSI HEPAR DAN GINJAL TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)
Oleh :
MAY AYU WULANDARI
135100101111072
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
iii
iv
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gresik pada tanggal 13 Mei 1995
dari ayah yang bernama Sutopo dan Ibu Dwi Hartatik.
Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di
SDN Banjarsari II pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke
Sekolah Menengah Pertama di SMPN II Kebomas dengan
tahun kelulusan 2010 dan menyelesaikan Sekolah Menengah
Akhir di SMAN I Kebomas pada tahun 2013. Pada tahun 2017
penulis telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di Universitas Brawijaya
Malang di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. Pada
masa pendidikannya penulis mengikuti Lembaga Kegiatan Mahasiswa di English
for Spesific Purpose sebagai staff edukasi, mengikuti Program Kreatifitas
Mahasiswa, mengikuti Seminar dan Expo Simposium Karya Anak Bangsa secara
berkelompok di tahun 2017 dan mendapatkan penghargaan stand terfavorit,
mengikuti Youngscientists Seminar and Expo International secara berkelompok
dan mendapatkan penghargaan best booth, best poster, dan best prototype.
“Tetaplah bersabar, karena dibalik kesabaran
ada kabar baik yang akan datang,
“Teruslah berjuang, karena ketika kita berada di belakang,
bukan berarti kita kalah,
tetapi kesuksesan memberikan kita kesempatan untuk belajar hal baru”
vi
vii
MAY AYU WULANDARI. 135100101111072. Uji Toksisitas Subkronis Serbuk, Ekstrak Air, dan Ekstrak Pekat Suplemen Kalsium Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Pada Fungsi Hepar dan Ginjal Tikus Wistar (Rattus norvegicus). Skripsi. Pembimbing: Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP., M.Sc.
RINGKASAN
Daun kelor memiliki banyak potensi seperti tinggi antioksidan, tinggi kandungan vitamin C, β-karoten, mineral terutama zat besi dan kalsium, tetapi keamanan dalam konsumsi daun kelor juga perlu diperhatikan. Daun kelor (Moringa oleifera) mengandung oksalat sebesar 218 mg/100 gr bahan sehingga jika konsumsi daun kelor berlebihan dapat menyebabkan toksik karena asam oksalat dan kristal kalsium oksalat yang ikut terkonsumsi menyebabkan aberasi mekanik saluran pencernaan dan tubulus yang halus di dalam ginjal, mengikat kalsium yang penting untuk fungsi saraf dan serat-serat otot serta dapat menggores dan merusak sel hepar karena sifatnya yang larut dalam darah. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui spektrum ketoksikan oksalat pada sediaan suplemen serbuk, filtrat cair, ekstrak pekat dosis 1 dan ekstrak pekat dosis 2 daun kelor terhadap kadar enzim alkaline phosphatase (ALP) dalam serum, histopatologi hepar dan histopatologi ginjal.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan 5 perlakuan dan 4 kali ulangan sehingga dibutuhkan sampel sebanyak 20 ekor tikus. 5 perlakuan tersebut yaitu kontrol negative (P0) dengan pemberian diet normal+akuades 2 ml (tanpa suplemen daun kelor), perlakuan 1 (P1) pemberian diet normal + serbuk daun kelor 3,4 gram, perlakuan 2 (P2) pemberian diet normal + filtrat cair daun kelor 5,6 ml, perlakuan 3 (P3) pemberian diet normal + ekstrak pekat daun kelor dosis 1 4,1 ml, dan perlakuan 4 (P4) pemberian diet normal + ekstrak pekat daun kelor dosis 2 8,2 ml.
Data kadar alkali fosfatase dianalisa statistic menggunakan Kruskal Wallis sedangkan data histologi hepar dianalisa secara deskriptif. Diperoleh hasil bahwa perlakuan perbedaan bentuk sediaan suplemen daun kelor tidak berpengaruh nyata terhadap kadar alkali fosfatase serum darah tikus wistar. Kadar alkali fosfatase masing-masing kelompok adalah sebagai berikut : kelompok serbuk 173,75 U/L, ekstrak air 140,5 U/L, ekstrak pekat dosis 1 187,5 U/L, dan ekstrak pekat dosis 2 178,25 U/L,. Kadar alkali fosfatase dari semua kelompok berada pada kisaran normal. Histologi hepar menunjukkan kerusakan yaitu degenerasi parenkimatosa pada kelompok serbuk, dan terjadi degenerasi parenkimatosa, hidropik, dan kolestasis pada kelompok ekstrak pekat dosis 1 dan dosis 2. Histologi ginjal menunjukkan jaringan sel normal pada semua kelompok.
Kata Kunci: Daun Kelor, Ginjal, Hepar, Toksisitas Subkronis
viii
MAY AYU WULANDARI. 135100101111072. Subchronic Toxicity Determination of Calcium Suplement Made from Drumstick (Moringa oleifera Lam.) Leaves Powder, Water Extract, and Concentrated Extract In Liver and Kidney Function In Wistar Rat. Minor Thesis. Supervisor : Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP., M.Sc.
SUMMARY
Drumstick leaves are potential sources of antioxidants, vitamin C, β-carotene, minerals especially iron and calcium. However, the safety aspect of drumstick leaves consumption also needs to be considered. Drumstick leaves (Moringa oleifera) contain oxalic acid of 218 mg / 100 g on fresh wet basis. Therefore, consumption of drumstick leaves in excessive amount can be harmful. Oxalic acid and crystals of calcium oxalate salt consumed trigger mechanical aberration of gastrointestinal tract and smooth tubules of the kidney. Oxalate can bind calcium which is important for nerve function and muscle fibers. Additionally, this compound can scratch and damage hepatic cells due to its blood-soluble nature. The purpose of this study was to determine the toxicity spectrum of oxalic acid in the preparation of drumstick supplement in the form of powder, water extract and concentrateby means of alkaline phosphatase (ALP) serum concentration, liver and kidney histopathology in Wistar rats
The experimental design used was a Randomized Complete Design consisted of 5 groups of treatmentsdiffering in the form of drumstick leaves supplement given to the rats namely powder, water extract and concentrate. A group of rats with no drumstick leaves supplement given was used as a negative control. Additionally, the drumstick leaves concentrate was given in two levels of doses (dose 1 and dose 2). Therefore, the 5 groups are as follows: (P0) fed with normal diet + 2 ml aquades (with no drumstick leaves supplement), (P1) fed with normal diet + 3,4 grams of drumstick leaf powder, (P2) fed with normal diet + 5,6 ml drumstick leaves water extract, (P3) fed with normal diet + 4,1 ml concentrate of drumstick leaves (dose 1), (P4) fed with normal diet + 8,2 ml concentrate of drumstick leaves (dose 2).All groups were treated for 64 days to induce sub chronic toxicity.
. The results showed that differences in the form of drumstick leaves supplement given to the rats had no significant effect on serum alkali phosphatase concentration . The serum alkali phosphatase level of rats given powder, water extract, concentrate dose 1 and concentrate dose 2 were 173,75 U / L, 140,5 U / L, 187,5 U / L, and 178,25 U / L respectively. Serum alkali phosphatase levels of all groups are within the normal range. Histological observation of the liver indicated mild damage, called parenchymatous degeneration in the powder group, whereas parenchymatous, hydrophic, and cholestatic degeneration occurred in bothdose 1 and dose 2 of the concentrate group. Kidney histology showed normal tissue in all groups.
Keywords : Moringa Leaves, Kidney, Liver, Subchronic Toxicity
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul
“Uji Toksisitas Subkronis Serbuk, Ekstrak Air, dan Ekstrak Pekat Suplemen
Kalsium Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Pada Fungsi Hepar dan Ginjal Tikus
Wistar (Rattus norvegicus)” dengan baik. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mengetahui spektrum ketoksikan oksalat pada sediaan serbuk, ekstrak air, dan
ekstrak pekat daun kelor terhadap kadar enzim alkaline phosphatase (ALP),
histopatologi hepar dan histopatologi ginjal serta mengetahui dosis sediaan daun
kelor yang dapat dikonsumsi tanpa menimbulkan efek toksik. Terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan bagi penulis dalam
penulisan proposal ini, yakni kepada :
1. Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
dapat menyelesaikan proposal ini.
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan baik secara riil maupun
material.
3. Ibu Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP., M.Sc selaku Dosen Pembimbing
skripsi yang memberikan masukan selama penulisan tugas akhir disusun.
4. Ibu Dr. Teti Estiasih, STP., MP., dan Ibu Dr. Ir. Tri Dewanti, M.Kes selaku
dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan.
5. Ibu Dr. Teti Estiasih, STP., MP., selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian.
6. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
yang telah memberikan dana penelitian melewati Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM).
7. Teman-teman THP 2013 yang selalu memberikan dukungan dan
semangat selama menyusun proposal skripsi.
Proposal ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun serta semoga proposal ini bermanfaat bagi
semua pihak.
Malang, 25 Juli 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
SAMPUL ......................................................................................................... i HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. iii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iv RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN TA ...................................................................... vi RINGKASAN................................................................................................... vii SUMMARY ...................................................................................................... viii KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 4 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 4 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5 2.1 Toksisitas Tanaman Pangan .............................................................. 5 2.2 Uji Toksisitas Subkronis ...................................................................... 7 2.3 Tanaman Kelor .................................................................................... 8 2.4 Oksalat ................................................................................................ 11
2.4.1 Pengaruh Pengolahan terhadap Kadar oksalat total Serbuk, Ekstrak Air, dan Ekstrak pekat Daun Kelor ............................... 13
2.5 Hepar ................................................................................................... 14 2.5.1 Histologis Hepar ......................................................................... 14 2.5.2 Patologi Hepar ........................................................................... 16 2.5.3 Biotransformasi Obat di Hepar .................................................. 20
2.6 Ginjal ................................................................................................... 21 2.6.1 Histologis Ginjal ......................................................................... 21 2.6.2 Fungsi Ginjal .............................................................................. 22 2.6.3 Toksikologi pada Ginjal .............................................................. 24
2.7 Enzim Alkali Fosfatase (ALP) ............................................................. 26 2.8 Tikus Putih (Rattus norvegicus) .......................................................... 28
III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 31 3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan........................................................ 31 3.2 Populasi dan Sampel .......................................................................... 31 3.3 Variabel Penelitian .............................................................................. 31 3.4 Alat dan Bahan .................................................................................... 32 3.5 Metode Pengumpulan Data ................................................................ 34 3.6 Rancangan Penelitian ......................................................................... 37 3.7 Diagram Alir Penelitian ....................................................................... 39
xi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 42 4.1 Karakteristik Bahan Baku .................................................................. 42 4.2 Berat badan Tikus Wistar .................................................................. 47 4.3 Konsumsi Pakan Tikus Wistar ........................................................... 49 4.4 Pengamatan Gejala Klinis dan Toksisitas Hewan Coba ................... 50 4.5 Analisa Fungsi Hepar ........................................................................ 52
4.5.1 Alkali Fosfatase .......................................................................... 52 4.5.2 Histopatologi Hepar.................................................................... 57
4.6 Analisa Fungsi Ginjal ......................................................................... 61 4.6.1 Histopatologi Ginjal .................................................................... 61
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 64 5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 64 5.2 Saran .................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 65 LAMPIRAN ..................................................................................................... 76
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kandungan Nutrisi Daun Kelor per 100 Gram .............................. 11 Tabel 3.1 Dosis Sediaan Suplemen Daun Kelor .......................................... 35 Tabel 3.2 Kriteria Penilaian Gambaran Sel Hepar ....................................... 38 Tabel 4.1 Data Hasil Analisa Rendemen ...................................................... 43 Tabel 4.2 Data Hasil Analisa Kadar Air ........................................................ 44 Tabel 4.3 Data Hasil Analisa Kadar oksalat total ......................................... 45 Tabel 4.4 Kadar Oksalat Total Sediaan Suplemen Daun Kelor ................... 45 Tabel 4.5 Rerata Perubahan Berat Badan Tikus Percobaan di Hari ke 64 . 48 Tabel 4.6 Rerata Konsumsi Pakan Tikus Percobaan setiap Minggu ........... 50 Tabel 4.7 Hasil Pengamatan Gejala Toksik Hewan Coba Selama 64 Hari . 51 Tabel 4.8 Rerata Total Alkali Fosfatase Serum Darah Tikus Wistar ............ 52
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Daun Kelor ................................................................................. 9 Gambar 2.2 Struktur Asam Oksalat ............................................................... 11 Gambar 2.3 Struktur Tiga Dimensi Hepar ..................................................... 15 Gambar 2.4 Anatomi Mikroskopik Pembuluh Darah Hepar .......................... 15 Gambar 2.5 Pembengkakan Sel Hepar Disertai Vakuolisasi ........................ 17 Gambar 2.6 Degenerasi Hidropik................................................................... 18 Gambar 2.7 Perlemakan Hepar ..................................................................... 18 Gambar 2.8 Nekrosis Hepar .......................................................................... 19 Gambar 2.9 Korteks Ginjal: Aparatus Jukstaglomerular ............................... 22 Gambar 2.10 Glomerulus Ginjal ....................................................................... 23 Gambar 2.11 Nekrosa (a) & degenerasi hidropis (b) sel epitel tubulus ginjal . 25 Gambar 2.12 Degenerasi Hialin pada Ginjal ................................................... 26 Gambar 2.13 Mekanisme Ekskresi Alkali Fosfatase ....................................... 27 Gambar 2.14 Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus L.) ....................... 29 Gambar 3.1 Diagram Alir Serbuk Daun Kelor................................................ 39 Gambar 3.2 Diagram Alir Ekstrak Air Daun Kelor ......................................... 39 Gambar 3.3 Diagram Alir Ekstrak Pekat Daun Kelor..................................... 40 Gambar 3.4 Diagram Alir Perlakuan Hewan Coba ........................................ 41 Gambar 4.1 Sediaan Suplemen Daun Kelor ................................................. 42 Gambar 4.2 Rerata Total ALP (U/L) Serum Darah Tikus Wistar Jantan ...... 53 Gambar 4.3 Gambaran Histopatologi Sel Hepar Tikus Wistar Jantan .......... 60 Gambar 4.4 Gambaran Histopatologi Sel Ginjal Tikus Wistar Jantan .......... 62
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Prosedur Analisa......................................................................... 76 Lampiran 2 Perhitungan Dosis....................................................................... 84 Lampiran 3 Kadar Proksimat Susu Pap Produksi Splendid, Malang ............ 86 Lampiran 4 Data Berat Badan Seluruh Kelompok Perlakuan ....................... 87 Lampiran 5 Data Konsumsi Ransum Seluruh Kelompok Perlakuan ............ 89 Lampiran 6 Data Rendemen .......................................................................... 100 Lampiran 7 Data Kadar Air ............................................................................ 101 Lampiran 8 Data Analisis Oksalat .................................................................. 102 Lampiran 9 Data Kadar Alkali Fosfatase ....................................................... 103 Lampiran 10 Referensi Nilai Rujukan Alkali Fosfatase ................................... 104 Lampiran 11 Hasil Uji Statistik Berat Badan Tikus Wistar ............................... 105 Lampiran 12 Hasil Uji Statistik Konsumsi Pakan Tikus Wistar ....................... 108 Lampiran 13 Hasil Uji Statistik Kadar Alkali Fosfatase Serum ....................... 112 Lampiran 14 Kode Etik Hewan Coba............................................................... 115 Lampiran 15 Dokumentasi Kegiatan Penelitian .............................................. 116
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daun kelor (Moringa oleifera) di Indonesia dikonsumsi sebagai sayuran
dengan rasa yang khas, memiliki rasa langu dan juga digunakan untuk pakan
ternak karena dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangbiakan ternak
khususnya unggas. Selain dikonsumsi daun kelor juga dijadikan obat-obatan dan
penjernih air. Berdasarkan uji fitokimia, daun kelor (Moringa oleifera) mengandung
tannin, steroid dan triterpenoid, flavonoid, saponin, antarquinon, dan alkaloid
(Kasolo et al., 2010). Potensi yang terkandung dalam daun kelor diantaranya
adalah tinggi kandungan vitamin C, β-karoten, mineral terutama zat besi dan
kalsium (Fuglie, 2001).
Daun kelor memiliki banyak potensi, tetapi keamanan dalam konsumsi
daun kelor juga perlu diperhatikan. Pemanfaatan bahan alam harus
mempertimbangkan banyak hal, beberapa di antaranya adalah ketepatan dosis,
ketepatan waktu dan cara penggunaan (Sari, 2006). Oksalat di dalam daun kelor
berada dalam bentuk oksalat yang tidak larut yaitu kalsium oksalat sebesar 38%
(Radek and Savage, 2008). Menurut Nambaiar and Seshadri (2007) rata-rata
kadar oksalat total pada daun kelor segar yaitu sebesar 218 mg/100g bahan. Dosis
letal asam okslaat pada manusia dewasa adalah sebesar 15-30 gram per hari.
Dosis letal terendah yang pernah dilaporkan adalah 6-8 gram (setelah seseorang
mengkonsumsi sup sorrel) (KBPOM, 2012). Sehingga konsumsi daun kelor secara
berlebihan dapat menyebabkan toksik karena konsumsi asam oksalat dan kristal
kalsium oksalat dalam jumlah yang cukup tinggi menyebabkan aberasi mekanik
saluran pencernaan dan tubulus yang halus di dalam ginjal (Akhtar et al., 2011)
dan membentuk khelat dengan kalsium (Brown, 2000).
Pengujian toksisitas subkronis dilakukan untuk mengetahui efek toksik zat
yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, mengetahui efek toksik setelah
pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu dan
mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas setelah pemaparan
sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu (KBPOM, 2014).
Berdasarkan penelitian Adedapo et al., (2009) pada tikus wistar selama 21
hari menunjukkan bahwa ekstrak air daun kelor pada dosis 400 mg/kg dan 1600
mg / kg dosis ekstrak menyebabkan kenaikan enzim alkaline phosphatase (ALP)
2
secara signifikan sedangkan untuk histopatologi hepar menunjukkan adanya
degenerasi hepar dan lesi pada testis. Alkali fosfatase (ALP) adalah kelompok
enzim yang bekerja menghidrolisis ester fosfat pada suasana alkali. ALP yang
berada dalam hepar akan diekskresikan ke dalam empedu, jika terjadi kerusakan
atau obstruksi pada hepar dan saluran empedu, maka ditandai dengan aktivitas
ALP yang meningkat (Richterich dan Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011).
Pengujian toksisitas pada penelitian ini dilakukan dengan memberikan
perlakuan pemberian suplemen daun kelor dengan bentuk sediaan yang berbeda-
beda (serbuk, ekstrak air, dan ekstrak pekat). Bentuk sediaan suplemen daun kelor
yang berbeda-beda diduga mengandung oksalat yang berbeda-beda. Pada tikus
wistar diuji histologi hepar dan ginjal serta kadar alkali fosfatase yang
menunjukkan indikator fungsi hepar. Parameter uji toksisitas subkronis pada
penelitian ini adalah dengan melihat efek perbedaan bentuk sediaan suplemen
daun kelor pada organ hepar dan ginjal karena hepar merupakan organ sentral
dalam mentransformasi zat-zat biologis yang mungkin bersifat racun atau yang
tidak dapat diekskresi tubuh dan ginjal merupakan organ yang berperan
mengeluarkan limbah hasil detoksifikasi (Sherwood, 2001; Corwin, 2009; Lu FC,
1995 dalam Nuridayanti, 2011).
Pengujian toksisitas subkronis ini merupakan bagian dari penelitian
bioavailabilitas kalsium dengan 3 jenis sediaan yaitu serbuk, ekstrak air, dan
ekstrak pekat daun kelor. Proses ekstraksi menggunakan pelarut akuades steril
dengan metode maserasi. Pelarut akuades dipilih karena penggunaannya yang
lebih aplikatif untuk masyarakat yang ingin mengembangkan potensi daun kelor
sebagai sumber kalsium. Suplemen daun kelor nantinya diharapkan dapat
mencukupi asupan kalsium harian masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
yang rendah serta aman dikonsumsi bagi penderita lactose intolerance. Namun,
kandungan oksalat di dalam daun kelor diduga dapat menyebabkan toksik jika
dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama dan berlebihan sehingga dosis dan
bentuk sediaan daun kelor perlu diperhatikan. Daun kelor berupa sediaan serbuk
dan ekstrak pekat diduga besar masih mengandung oksalat yang cukup tinggi
karena kandungan senyawa yang kompleks sehingga pada penelitian ini diamati
tingkat toksisitas sediaan serbuk (3,4 gram), ekstrak air (5,6 ml), ekstrak pekat
dosis 1 (4,1 ml) dan ekstrak pekat dosis 2 (8,2 ml) daun kelor. Diharapkan dengan
penelitian ini konsumsi daun kelor dapat disarankan pada dosis dan bentuk
sediaan yang aman.
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana spektrum toksisitas oksalat pada sediaan serbuk, ekstrak
air, ekstrak pekat dosis 1 dan ekstrak pekat dosis 2 daun kelor terhadap
kadar enzim alkaline phosphatase (ALP), histopatologi hepar dan
histopatologi ginjal?
2. Berapa dosis sediaan daun kelor yang dapat dikonsumsi tanpa
menimbulkan efek toksik?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui spektrum toksisitas oksalat pada sediaan serbuk, filtrat cair,
ekstrak pekat dosis 1 dan ekstrak pekat dosis 2 daun kelor terhadap
kadar enzim alkaline phosphatase (ALP), histopatologi hepar dan
histopatologi ginjal.
2. Mengetahui dosis sediaan daun kelor yang dapat dikonsumsi tanpa
menimbulkan efek toksik.
1.4 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang potensi daun kelor
dengan dosis dan sediaan yang sesuai tanpa memberikan efek toksik pada organ
tubuh terutama hepar dan ginjal.
4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toksisitas Tanaman Pangan
Racun adalah zat atau senyawa yang dapat masuk ke dalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respon pada sistem biologis sehingga dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Beberapa jenis
hewan dan tumbuhan, termasuk beberapa jenis tanaman pangan yang ternyata
dapat mengandung racun alami, walaupun dengan kadar yang sangat rendah.
Tanaman pangan seperti sayuran dan buah-buahan memiliki kandungan nutrien,
vitamin, dan mineral yang berguna bagi kesehatan manusia serta merupakan
komponen penting untuk diet sehat. Meskipun demikian, beberapa jenis sayuran
dan buah- buahan dapat mengandung racun alami yang berpotensi
membahayakan kesehatan manusia. Racun alami adalah zat yang secara alami
terdapat pada tumbuhan, dan sebenarnya merupakan salah satu mekanisme dari
tumbuhan tersebut untuk melawan serangan jamur, serangga, serta predator.
Tanaman pangan adalah kelompok tanaman yang biasa dikonsumsi sehari-hari
oleh manusia (Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM, 2010).
Riza dan Tahjadi (2001) menyatakan bahwa racun yang dihasilkan oleh
tanaman merupakan salah satu cara untuk melawan predator maka tidak
mengherankan bila tanaman pangan modern jauh lebih rentan terhadap penyakit.
Kelompok-kelompok racun yang ditemukan pada tanaman pangan, ada beberapa
yang larut lemak dan juga dapat bersifat bioakumulatif. Hal ini berarti bila tanaman
tersebut dikonsumsi maka racunnya akan tersimpan pada jaringan tubuh,
misalnya solanin pada kentang (Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM,
2010).
Kadar racun pada tanaman sangat bervariasi. Hal itu dipengaruhi antara
lain oleh perbedaan keadaan lingkungan tempat tanaman tumbuh (kelembaban,
suhu atau kadar mineral) serta penyakit yang potensial. Varietas yang berbeda
dari spesies tanaman yang sama juga mempengaruhi kadar racun dan nutrien
yang dikandungnya (Samsudin, 2008 dalam Sihombing, 2016).
Sebagian besar racun atau anti nutrisi umumnya diperoleh dari hasil
metabolisme sekunder tanaman. Hasil metabolisme sekunder dibagi dua
berdasarkan berat molekulnya yaitu berat molekul kurang dari 100 dengan contoh
pigmen pinol, antosianin, alkohol, asam-asam alifatik, sterol, terpen, lilin fosfatida,
5
inositol, asam-asam hidroksi aromatik, glikosida, fenol, alkaloid, ester dan eter.
Metabolit sekunder lainnya adalah yang berat molekulnya tinggi yaitu selulosa,
pektin, gum, resin, karet, tannin dan lignin. Tanaman yang mengandung metabolit
sekunder umumnya mengeluarkannya dengan cara pencucian air hujan (daun dan
kulit), penguapan dari daun (contoh kamfer), ekskresi eksudat pada akar (contoh
alang-alang) dan dekomposisi pada bagian tanaman itu sendiri (Widodo, 2005).
Menurut Hanenson (1980) dalam Sihombing (2016), komponen-
komponen kimia yang dihasilkan tumbuhan terbagi atas alkaloid, polipeptida dan
asam amino, glikosida, asam oksalat, resin, phytotoxin dan mineral lainnya.
1. Alkaloid
Kandungan alkaloid dalam setiap tumbuhan berkisar 5-10% dan efek yang
ditimbulkan hanya dalam dosis kecil. Kadar alkaloid pada tumbuhan berbeda-
beda sesuai kondisi lingkungannya, dan alkaloid tersebar di seluruh bagian
tumbuhan. Efek terkontaminasi alkaloid adalah pupil yang membesar, kulit
terasa panas dan memerah, jantung berdenyut kencang, penglihatan menjadi
gelap dan menyebabkan susah buang air.
2. Polipeptida dan asam amino
Hanya sebagian polipeptida dan asam amino yang bersifat racun. Bila
terkontaminasi polipeptida, hypoglycin, akan menyebabkan reaksi
hypoglycemic.
3. Glikosida
Glikosida adalah salah satu komponen yang dihasilkan melalui proses
hidrolisis, yang biasa disebut aglikon. Glikosida adalah senyawa yang paling
banyak terdapat pada tumbuhan daripada alkaloid. Gejala yang ditimbulkan
apabila terkontaminasi glikosida adalah iritasi pada mulut dan perut, diare
hingga menyebabkan overdosis.
4. Oksalat
Kadar asam oksalat pada tumbuhan tergantung dari tempat tumbuh dan iklim,
yang paling banyak adalah saat akhir musim panas dan musim gugur. Karena
oksalat dihasilkan oleh tumbuhan pada akhir produksi, yang terakumulasi dan
bertambah selama tumbuhan hidup. Gejala yang ditimbulkan adalah mulut
dan kerongkongan terasa terbakar, lidah membengkak hingga menyebabkan
kehilangan suara selama dua hari, dan hingga menyebabkan kematian jika
terhirup.
6
5. Resin
Resin dan resinoid termasuk ke dalam kelompok asam polycyclic dan penol,
alkohol dan zat-zat netral lainnya yang mempunyai karakteristik fisis tertentu.
Efek keracunan yaitu iritasi langsung terhadap tubuh atau otot tubuh.
Termasuk juga gejala muntah-muntah. Apabila terkontaminasi dengan air
buahnya menyebabkan bengkak dan kulit melepuh.
6. Phytotoxin
Phytotoxin adalah protein kompleks terbesar yang dihasilkan oleh sebagian
kecil tumbuhan dan memiliki tingkat keracunan yang tinggi. Akibat
terkontaminasi adalah iritasi hingga menyebabkan luka berdarah dan
pembengkakan organ tubuh setelah terhirup.
7. Tanin
Tanin adalah senyawa polifenol yang bersifat terhidrolisa dan kental. Senyawa
ini telah dikembangkan oleh tanaman sebagai bentuk pertahanan terhadap
serangan eksternal dari predator yang memiliki rasa sangat pahit atau kelat.
Jika terkonsumsi lebih dari 100 mg bisa menghasilkan masalah pada saluran
pencernaan seperti diare, sakit perut, urin bercampur darah, sakit kepala,
kurang nafsu makan dan lain-lain.
8. Saponin
Saponin adalah glikosida tanaman yang ditandai dengan munculnya busa di
permukaan air bila dicampur atau diaduk, yang telah dikenal serta diakui
sebagai sabun alami dan telah menyebabkan beberapa tanaman seperti
soapwort (Saponaria officinalis) umum digunakan sebagai sabun untuk waktu
yang lama. Saponin ketika dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar
daripada yang diizinkan, senyawa ini menjadi tergolong beracun. Gejala yang
ditimbulkan bagi manusia apabila saponin dikonsumsi secara berlebihan
adalah dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa pencernaan sehingga
menderita muntah-muntah, sakit perut, perdarahan, pusing, maag dan begitu
terkontaminasi ke sistem peredaran darah, senyawa ini dapat merusak ginjal
dan hepar serta mempengaruhi sistem saraf bahkan dapat menghasilkan
serangan jantung.
2.2 Uji Toksisitas Subkronis
Uji toksisitas secara umum bertujuan untuk menentukan dosis suatu
sediaan uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ atau
7
jaringan, mengidentifikasi hubungan kausatif antara dosis yang diberikan dengan
terjadinya perubahan fisiologis dan morfologi suatu organisme, serta melakukan
monitoring terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap sediaan uji
(Donatus, 2005).
Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang
diberikan secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak
lebih dari 10% seluruh umur hewan (KBPOM, 2014). Lama hidup tikus dapat
mencapai umur 3,5 tahun, dengan kecepatan tumbuh 5 g per hari (Malole dan
Pramono, 1989 dalam Pribadi, 2008). Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral
adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada
beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90
hari, bila diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek
tertunda atau efek yang bersifat reversibel (KBPOM, 2014).
Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari
untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian
sediaan uji, bila belum melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi,dan
organ serta jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir
periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi
selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ dan
jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan
histopatologi (KBPOM, 2014).
Pemeriksaan dalam uji toksisitas subkronis dapat melalui pemeriksaan
hematologi, histopatologi ataupun pemeriksaan biokimia klinis tergantung
relevansinya. Pemeriksaan hematologi meliputi: konsentrasi hemoglobin, jumlah
eritrosit (RBC/Red Blood Cell), jumlah leukosit (WBC/White Blood Cell), diferensial
leukosit, hematokrit, jumlah platelet (trombosit), perhitungan tetapan darah dan
penetapan deferensial leukosit (KBPOM, 2014). Pemeriksaan biokimia klinis
menurut Oranization for Economic Cooperation and Development (OECD) (2001)
meliputi: natrium, kalium, glukosa, total-kolesterol, trigliserida, nitrogen urea,
kreatinin, total-protein, albumin, GOT, GPT, total-bilirubin, alkaline fosfatase,
gamma glutamil trans-peptidase, LDH, asam empedu. Menurut WHO (2000),
parameter secara histopatologi yang harus diperiksa sekurang-kurangnya 5 organ
utama yaitu hepar, limpa, jantung, ginjal, paru dan ditambah organ sasaran yang
diketahui secara spesifik (KBPOM, 2014).
8
Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah untuk memperoleh informasi
adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut; informasi
kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang
dalam jangka waktu tertentu; informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik
(No Observed Adverse Effect Level / NOAEL); dan mempelajari adanya efek
kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (KBPOM, 2014).
2.3 Tanaman Kelor
Tanaman kelor berasal dari kawasan sekitar Himalaya dan India, kemudian
menyebar ke kawasan di sekitarnya hingga ke benua Afrika dan Asia Barat. Di
beberapa negara benua Afrika, seperti Ethiopia, Sudan, Madagaskar, Somalia,
dan Kenya, tanaman kelor digunakan untuk pemulihan tanah yang kering dan
gersang. Hal ini disebabkan karena tanaman kelor mudah tumbuh pada tanah
kering dan gersang. Di Indonesia, tanaman kelor mempunyai nama lokal yaitu
Kelor (Jawa, Sunda, Bali, Lampung), Kerol (Buru), Marangghi (Madura), Moltong
(Flores), Kelo (Gorontalo), Keloro (Bugis), Kawano (Sumba), Ongge (Bima) dan
Hau fo (Timor) (Jonni et al., 2008).
Kelor (Moringa oleifera) merupakan salah satu tanaman yang tumbuh di
dataran rendah maupun dataran tinggi sampai di ketinggian ± 1000 dpl. Kelor
banyak ditanam sebagai pagar di halaman rumah atau ladang. Daun kelor dapat
dipanen setelah tanaman tumbuh 1,5 hingga 2 meter yang biasanya memakan
waktu 3 sampai 6 bulan. Beberapa kelor yang ditanam dengan tujuan budidaya
intensif dipelihara dengan ketinggian kurang dari 1 meter. Pemanenan dilakukan
dengan cara memetik batang daun dari cabang atau dengan memotong
cabangnya dengan jarak 20 sampai 40 cm di atas tanah (Kurniasih, 2014).
Gambaran fisik daun kelor ditampilkan pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Daun Kelor (Mardiana, 2012)
9
Klasifikasi tanaman kelor menurut Roloff (2009) dalam Nugraha (2013),
yaitu :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera
Ada sekitar 13 (tiga belas) spesies dari moringa dengan famili Moringaceae
yaitu Moringa oleifera, Moringa arborea, Moringa borziana, Moringa concanensis,
Moringa drouhardii, Moringa hildebrandtii, Moringa longituba, Moringa ovalifolia,
Moringa peregrina, Moringa pygmaea, Moringa rivae, Moringa ruspoliana, dan
Moringa stenopetala (Nasir, et al., 1972; UNWFP, 2004 dalam Mahmood et al.,
2010). Perbedaan antara satu spesies dengan lainnya adalah bentuk batang, dan
geografis tempat tumbuh. Di daratan Asia, termasuk India dan Indonesia tanaman
kelor yang tumbuh masuk dalam spesies Moringa oleifera. Hal ini disebabkan ciri-
ciri fisik dan tempat tanaman tumbuh pada suhu dan lingkungan tropis di Benua
Asia (Luthfiyah, 2012).
Manfaat tanaman kelor sudah banyak dibuktikan oleh beberapa penelitian
terdahulu. Kulit akar, batang, daun dan biji tanaman kelor terbukti memiliki
beberapa manfaat dalam pengobatan. Kulit batang tanaman kelor telah terbukti
berkhasiat sebagai penawar racun ular dan kalajengking. Rebusan daun dan
bunga kelor membantu mengatasi radang tenggorokan dan getah kelor digunakan
untuk mengobati penyakit sifilis pada lelaki di Afrika (Fuglie, 2001). Hasil penelitian
Jaiswal et al. (2009) peneliti dari Departemen Kimia Universitas Allahabad India
membuktikan senyawa aktif daun kelor lebih efektif serta jauh lebih aman dalam
penurunan kadar gula darah dibanding obat kimia glipzide (obat kencing manis
yang biasa diresepkan dokter). Penurunan kadar gula darah disebabkan pengaruh
senyawa terpenoid yang menstimulasi sel-sel ß pankreas untuk mengeluarkan
insulin (Radiansah et al., 2013). Manfaat dari biji kelor yang sudah diteliti melalui
program UNDP (United Nations Development Programme), yaitu biji kelor sebagai
bahan koagulasi untuk menjernihkan air secara cepat, murah, dan aman. (Jonni et
al., 2008).
10
Daun kelor mengandung antioksidan, antikanker, antiinflamasi, dan
antibakteri. Daun kelor juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi ASI.
Hasil penelitian Mutiara (2011) menyatakan bahwa tepung daun kelor dapat
meningkatkan produksi air susu pada tikus putih galur wistar dengan dosis di atas
42 mg/kg karena kandungan senyawa fitosterol. Senyawa-senyawa yang
mempunyai efek laktogogum adalah sterol yang merupakan golongan steroid.
Selain mengandung fitosterol, daun kelor juga merupakan sumber beta karoten,
kalsium, zat besi, potassium, asam amino, thiamin, riboflavin, niasin, vitamin C,
dan vitamin E. Komposisi kimia daun kelor segar menurut USDA (2016) dan
tepung daun kelor menurut Fuglie (2001) dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1. Kandungan Nutrisi Daun Kelor per 100 Gram
Komponen Zat Gizi Daun Segar Tepung Daun Kelor
Air (g) 78,66 7.5 Energi (kcal) 64 205 Protein (g) 9,40 27.1 Lemak (g) 1,40 2.3
Karbohidrat (g) 8,28 38.2 Serat (g) 2 19.2
Kalsium (mg) 185 2003 ß-karoten (mg) 6.78 16.3
Asam askorbat (Vitamin C) (mg) 51,7 17.3
Sumber: USDA (2016); Fuglie (2001)
2.4 Oksalat
Asam oksalat merupakan suatu turunan anhidridat asam karboksilat yang
mempunyai struktur dua molekul asam karboksilat dan digabung menjadi satu
dengan melepaskan molekul air (Ralp et al., 1986 dalam Suwardi, 2011). Asam
oksalat pada tanaman tersimpan dalam dua bentuk yaitu oksalat larut air dan
oksalat tidak larut air. Konsumsi oksalat dalam jumlah tinggi dapat menurunkan
bioavailibilitas kalsium dalam tubuh dan dapat menyebabkan batu ginjal (Noonan
and Savage, 1999). Oksalat terlarut dihasilkan dari pengikatan oksalat pada logam
alkali yang dapat larut dalam air (Liebman, 2002 dalam Suwardi, 2011). Oksalat
tidak terlarut dihasilkan dari persenyawaan kalsium dengan asam oksalat. Manfaat
keberadaan kalsium oksalat adalah pengikat racun oksalat, meregulasi kalsium,
dan sebagai pertahanan diri terhadap herbivora (Franceschi & Nakata, 2005).
Pada tanaman angiospermae, oksalat dalam bentuk asam oksalat maupun kristal
kalsium oksalat, disimpan di dalam vakuola sel (Fahn, 1991). Sturuktur asam
oksalat dapat dilihat pada Gambar 2.2.
11
Gambar 2.2 Struktur Asam Oksalat (Vogel, 1985 dalam Suwardi, 2011)
Kelarutan garam oksalat dari logam-logam alkali dan besi (II), adalah larut
dalam air, semua garam oksalat lain tak larut atau sangat sedikit larut dalam air
dan hanya larut dalam asam-asam encer. Beberapa garam oksalat larut dalam
asam pekat dengan cara membentuk oksalat asam atau oksalat kompleks (Vogel,
1985 dalam Suwardi, 2011). Menurut Vogel, 1985 dalam Suwardi (2011) asam
oksalat dalam keadaan murni berupa senyawa :
a. Kristal
b. Larut dalam air (8% pada 10oC)
c. Larut dalam alkohol.
Kelarutan kalsium oksalat dalam air dengan suhu 20°C sebesar 0,67
mg/L atau sebesar 0,000067%. Kristal kalsium oksalat merupakan benda ergastik
yang dapat berdampak negatif bagi tubuh bila di konsumsi berlebih, antara lain
penyebab penyakit asam urat (Tsai et al., 2005) dan batu ginjal (Brown, 2000;
Conte et al., 1990) seperti pada Porang yang dapat merusak saluran sistem
urinaria (Indriyani, 2010). Substansi oksalat terdapat pada makanan pada jumlah
berlebih dapat berakibat tidak baik bagi kesehatan (Conte et al., 1990) karena
bersifat antinutrien yang mempengaruhi tidak tersedianya kalsium yang diperlukan
bagi tubuh manusia dan pada beberapa kasus, hewan ternak dapat teracuni
tumbuhan yang mengandung oksalat (Indriyani, 2011).
Kristal kalsium oksalat dapat merusak sel sehingga kemungkinan dapat
menyebabkan obstruksi, infeksi, dan kerusakan jaringan. Kerusakan sel pada
tahap degenerasi masih bersifat reversible sehingga terdapat kemungkinan sel
dapat kembali normal (Elferink, 1987 dalam Natalia, 2013).
Selain itu, pada jumlah cukup tinggi, asam oksalat dan kristal kalsium
oksalat menyebabkan aberasi mekanik saluran pencernaan dan tubulus yang
halus di dalam ginjal (Akhtar et al., 2011). Bahkan secara kimia, kristal ini dapat
menyerap kalsium yang penting untuk fungsi saraf dan serat-serat otot (Brown,
2000).Oksalat berbentuk jarum akan larut dalam darah dan dapat menggores dan
merusak sel hepar serta bersifat korosif dalam tubuh (Adiwisastra, 1985).
12
Berdasarkan penelitian oleh Natalia (2013) mengenai toksisitas tepung
glukomanan, pada kelompok dosis 4000 mg/kg bb ditemukan kerusakan berupa
degenerasi hidropik pada sel hepatosit yang merupakan efek jangka panjang dari
pembengkakan sel. Pembengkakan sel menyebabkan sitoplasma dan organel sel
tampak membengkak dan bervakuola akibat akumulasi air dalam jumlah besar.
Degenerasi yang terjadi pada penelitian ini diduga akibat adanya kristal kalsium
oksalat yang menyebabkan sirkulasi darah terganggu sehingga berakibat pada
berkurangnya suplai oksigen. Selain itu, kalsium oksalat yang terabsorbsi dalam
hepar juga menyebabkan kerusakan sel hepatosit berupa degenerasi serta pada
beberapa sel mulai mengalami kematian (nekrosis) dan ditandai dengan adanya
sel kupffer yang semakin banyak pada kelompok dosis 5000 mg/kg bb. hepar
menghasilkan enzim-enzim biotransformasi untuk berbagai macam zat eksogen
dan endogen untuk dieliminasi di dalam tubuh. Proses ini dapat mengaktifkan
Kristal kalsium oksalat menjadi bentuk lebih toksik dan menyebabkan perlukaan
hepar (Natalia, 2013).
2.4.1 Pengaruh Pengolahan terhadap Kadar Oksalat Total Serbuk, Ekstrak Air, dan Ekstrak pekat Daun Kelor
Maserasi adalah proses pembuatan ekstrak yang dilakukan dengan cara
merendam simplisia menggunakan cairan penyari dengan beberapa kali
pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Cairan penyari akan masuk ke
dalam sel melewati dinding sel. Isi sel yang mengandung senyawa bioaktif akan
terlarut dan berdifusi ke dalam cairan penyari karena adanya perbedaan gradien
konsentrasi senyawa akif dengan bahan terlarut lainnya di dalam sel dengan di
luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh
cairan penyari dengan konsentrasi yang lebih rendah. Peristiwa tersebut
berlangsung berulang kali sampai terjadi keseimbangan konsentrasi bahan terlarut
antara larutan di luar dan di dalam sel (Voight, 1994).
Evaporasi merupakan suatu proses penguapan sebagian dari pelarut
sehingga didapatkan larutan zat cair pekat yang konsentrasinya lebih tinggi.
Tujuan dari evaporasi itu sendiri yaitu untuk memekatkan larutan yang terdiri dari
zat terlarut yang tak mudah menguap dan pelarut yang mudah menguap
(Praptiningsih, 1999).
Masyarakat seringkali mengkonsumsi daun kelor sebagai suplemen dalam
bentuk serbuk yang dimasukkan kapsul, direbus dan diolah menjadi teh sehingga
13
pada penelitian ini digunakan sediaan suplemen daun kelor yang berbeda yaitu
sediaan serbuk, ekstrak air, dan ekstrak pekat dengan tujuan untuk membedakan
sediaan daun kelor yang paling aman dan mengetahui kadar oksalat total yang
ada di dalam beberapa bentuk sediaan suplemen daun kelor. Diduga pada setiap
sediaan memiliki kandungan oksalat yang berbeda. Oksalat di dalam tanaman
tersedia dalam bentuk oksalat terlarut (natrium dan kalium oksalat) dan hanya 10-
20% merupakan kalsium oksalat yang tidak larut terutama dalam sel (Bradbury
and Holloway 1988 dalam Suwasito 2013). Sehingga pada sediaan serbuk akan
mengandung oksalat yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak air daun kelor.
Jenis oksalat pada tanaman digolongkan dalam dua jenis yaitu oksalat larut air
dan oksalat tidak larut air (Purnomo et al., 2012). Sehingga pada sediaan ekstrak
air daun kelor akan mengandung oksalat yang lebih rendah dari serbuk daun kelor
dikarenakan hanya sekitar 0,000067% kalsium oksalat yang larut dalam air
dengan suhu 20°C dan 8% kadar asam oksalat yang larut pada air dengan suhu
10°C (Vogel, 1985 dalam Suwardi, 2011). Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi
secara maserasi pada suhu ruang ±25°C menggunakan akuades steril selama 24
jam. Diduga asam oksalat yang akan larut pada pelarut dengan suhu ±25°C adalah
sekitar ±20%. Sediaan ekstrak pekat daun kelor akan memiliki kadar oksalat total
yang paling rendah dikarenakan ekstrak pekat merupakan ekstrak air yang telah
dilakukan evaporasi sebelumnya dengan menguapkan kadar air sebesar 30% dan
proses penguapan melibatkan panas yang dapat menurunkan kadar oksalat total
dalam ekstrak air.
2.5 Hepar
2.5.1 Histologis Hepar
Hepar merupakan organ sentral dalam metabolisme zat makanan,
sebagian besar obat dan toksikan yang berperan dalam mentransformasi zat-zat
biologis yang mungkin bersifat racun atau yang tidak dapat diekskresi tubuh.
Toksikan melewati proses detoksifikasi ketika masuk ke dalam tubuh tetapi ada
juga yang diaktifkan dan menjadi lebih toksik (Sherwood, 2001; Corwin, 2009; Lu
FC, 1995 dalam Nuridayanti, 2011).
Hepar terbagi atas 4 lobus yaitu lobus kanan, lobus kiri, kuadratus dan
kaudatus. Yang dipisahkan oleh ligamentum fasciformis dan memiliki lapisan
jaringan ikat tipis yang disebut kapsula Glisson. Pada bagian luar sel hepar
tertutupi oleh peritoneum (Sulaiman et al., 2007). Hepatosit merupakan unit
14
fungsional dari organ hepar. Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral
hepar dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi darah
dan saluran empedu. Sel Kupffer melapisi sinusoid hepar dan merupakan bagian
penting dari sistem retikuloendotelial tubuh. Darah dipasok melalui vena porta dan
arteri hepatica, dan disalurkan melalui vena sentralis, kemudian masuk ke dalam
vena hepatica dan darah akan masuk ke dalam vena cava (Octaviani, 2010).
Anatomi mikroskopik pembuluh darah hepar ditampilkan pada Gambar 2.3 dan 2.4
Gambar 2.3 Struktur Tiga Dimensi Hepar (Putri, 2009)
Gambar 2.4 Anatomi Mikroskopik Pembuluh Darah Hepar (Abbas et al., 2005)
15
Daerah tempat keluar masuk pembuluh darah pada hepar dikenal dengan
nama hilus atau porta hepatis. Pembuluh yang terdapat pada daerah ini antara lain
vena porta, arteri hepatica propia, dan terdapat duktus hepatikus dextra dan
sinistra. Vena pada hepar yang membawa darah keluar dari hepar menuju vena
cava inferior adalah vena hepatica. Sedangkan pembuluh darah vena porta dan
arteri hepatica mengalir menuju porta hepatica (Sudoyo et al., 2009; Sylvia and
Price, 2006).
Hepar menghasilkan empedu setiap harinya. Empedu penting dalam
proses absorpsi dari lemak pada usus halus. Setelah digunakan untuk membantu
absorpsi lemak, empedu akan di reabsorpsi di ileum dan kembali lagi ke hepar.
Empedu dapat digunakan kembali setelah mengalami konjugasi dan sebagian
akan diubah menjadi bilirubin. Metabolisme lemak yang terjadi di hepar adalah
metabolisme kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan lipoprotein menjadi asam lemak
dan gliserol. Selain itu, hepar memiliki fungsi untuk mempertahankan kadar
glukosa darah selalu dalam kondisi normal. Hepar juga menyimpan glukosa dalam
bentuk glikogen. Metabolisme protein di hepar antara lain adalah albumin dan
faktor pembekuan yang terdiri dari faktor I (fibrinogen), II (prothrombin), V
(proakselerin), VII, (prokonvertin), VIII (plasmokinin), IX (protromboplastin beta),
dan X (protrombinase). Selain metabolisme protein, di dalam hepar juga terjadi
aktivitas degradasi asam amino, yaitu melalui proses deaminasi atau pembuangan
gugus NH2. Hepar memiliki fungsi untuk mensekresikan dan menginaktifkan
aldosteron, glukokortikoid, estrogen, testosteron dan progesteron (Guyton and
Hall, 2008; Cox, 2004).
2.5.2 Patologi Hepar
Beberapa zat kimia dapat menyebabkan kerusakan hepar. Hal ini
disebabkan oleh dosis yang diberikan lebih berperan dibandingkan dengan
konstitusi metabolik (Lee, 2003 dalam Yudha dan Purnawati, 2014). Terdapat
beberapa mekanisme kerusakan sel hepar karena zat kimia. Pertama, jika reaksi
energi tinggi yang melibatkan sitokrom p-450 menyebabkan ikatan kovalen zat
kimia dengan protein intrasel, maka akan terjadi disfungsi intraseluler berupa
hilangnya gradien ion, penurunan kadar ATP, dan disrupsi aktin pada permukaan
hepatosit yang menyebabkan pembengkakan sel dan berakir dengan ruptur sel
(pecah/rusaknya sel). Kedua, disrupsi aktin pada membran kanalikuli dapat
menghalangi aliran bilier. Proses ini akan menyebabkan kolestasis. Kombinasi
16
kolestasis dengan proses kerusakan intraseluler yang lain akan menyebabkan
akumulasi asam empedu yang berakibat kerusakan lebih lanjut. Ketiga, zat kimia
dengan senyawa kecil dapat berfungsi sebagai hapten. Setelah berikatan dengan
protein akan membentuk kompleks apoprotein yang bersifat imunogenik yang
bermigrasi ke permukaan sel hepatosit dalam bentuk vesikel. Vesikel ini dapat
menginduksi sel T untuk membentuk antibodi (antibody-mediated citotoxicity) atau
menginduksi respon sitotoksik sel T (direct cytotoxic T-cell response) (Lee, 2003;
Navarro dan Senior, 2006 dalam Yudha dan Purnawati, 2014).
Diperlukan pemeriksaan secara rutin pada fungsi hepar karena hepar
berperan dalam mempertahankan hidup dan berperan dalam metabolik tubuh
seperti metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Kerusakan hepar dapat
berupa perlemakan hepar, nekrosis hepar, kolestasis, dan sirosis yang dapat
disebabkan oleh zat toksik yang terakumulasi dalam tubuh (Price and Wilson,
2005; Sacher and McPherson, 2004; Lu FC, 1995 dalam Nuridayanti, 2011).
Kerusakan hepar akibat bahan kimia ditandai dengan lesi awal yaitu lesi
biokimia (Kumar et al., 2007). Hepar akan mengalami perubahan struktur ketika
bereaksi dengan bahan kimia, perubahan struktur tersebut yang dapat dilihat
secara mikroskopis adalah:
1. Degenerasi
Degenerasi dapat terjadi di inti maupun sitoplasma. Beberapa degenerasi
pada inti antara lain (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003) :
a. Inclusion bodies : Inclusion bodies terkadang terdapat pada inti sel hepar
(Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003).
b. Vakuolisasi : Degenarasi inti ini ditandai dengan inti tampak membesar dan
bergelembung, serta kromatinnya jarang, dan tidak eosinofilik (Kumar et
al., 2007; Sarjadi, 2003). Vakuolisasi sel ditunjukkan pada Gambar 2.5
Gambar 2.5 Pembengkakan sel hepar disertai vakuolisasi; Ket.: 1. Sel yang Mengalami Vakuolisasi; 2. Inti Sel Bergeser ke Tepi (Robbins et al., 2007)
17
Degenerasi pada sitoplasma :
a. Perlemakan (Steatosis) : Degenerasi yang ditandai dengan adanya
penimbunan lemak pada parenkim hepar, dapat berupa bercak, zonal
atau merata. Pada degenerasi ini terjadi pendesakan inti ke tepi sel
sehingga sel terlihat kosong (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003).
Perlemakan Hepar ditunjukkan pada Gambar 2.7
Gambar 2.7 Perlemakan Hepar (Steatosis) (Atlas of Pathology, 2009)
b. Degenerasi Hidropik : Degenerasi yang terjadi akibat adanya gangguan
pada membran sel sehingga cairan masuk kedalam sitoplasma, yang
menyebabkan terbentuknya vakuola-vakuola kecil sampai besar. Terjadi
akumulasi sel yang rusak tidak dapat menyingkirkan cairan yang masuk
(Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003). Degenerasi hidropik ditunjukkan pada
Gambar 2.6
Gambar 2.6 Degenerasi Hidropik (Octaviani, 2010)
18
c. Degenerasi Hyalin : Degenerasi yang berat, dan merupakan degenerasi
lanjutan dari degenerasi hidropik. Terjadi akumulasi protein diantara
jaringan ikat (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003).
d. Degenerasi Amiloid : Degenerasi yang berupa terjadinya penimbunan
amiloid pada celah disse, sering terjadi akibat amiloidase primer ataupun
sekunder (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003).
2. Radang
Merupakan suatu reaksi pertahanan tubuh dalam melawan berbagai
kerusakan. Dengan mikroskop tampak dengan sel-sel fagosit berupa
polifmononuklear dan monosit (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003).
3. Fibrosis
Fibrosis terjadi apabila kerusakan sel tanpa regenerasi sel yang cukup.
Kerusakan hepar yang terjadi apabila dilihat secara makroskopis yaitu terjadi
atrofi atau hipertrofi, tergantung kerusakan mikroskopis (Kumar et al., 2007;
Sarjadi, 2003).
4. Nekrosis
Nekrosis adalah proses kematian sel atau jaringan pada organisme hidup. Inti
sel yang mati dapat terlihat lebih kecil, kromatin, dan serabut retikuler menjadi
berlipat-lipat. Inti menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur
bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian menjadi eosinofilik
(kariolisis). Sel hepar yang mengalami nekrosis dapat terjadi di area luas
maupun area sempit (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003). Nekrosis hepar
ditunjukkan pada Gambar 2.8
Gambar 2.8 Nekrosis Hepar (Octaviani, 2010)
19
Berdasarkan lokasi dan luas area nekrosis dapat dibedakan menjadi berikut
(Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003) :
a. Nekrosis Fokal : Kematian sebuah sel atau kelompok kecil baik didalam
satu lobulus (Kumar et al., 2007).
b. Nekrosis Zonal : Kerusakan sel hepar dalam satu lobus. Dikelompokan
menjadi Nekrosis Sentral, Nekrosis Perifer, dan nekrosis midzonal
(Kumar et al., 2007).
c. Nekrosis Masif : Nekrosis yang terjadi lebih dari satu lobulus atau area
yang luas (Kumar et al., 2007).
Berdasarkan bentuknya nekrosis dapat dibedakan :
a. Nekrosis Koagulitiv : terjadi akibat hilangnya fungsi sel secara mendadak
yang diakibatkan hambatan kerja sebagian besar enzim (Kumar et al.,
2007).
b. Nekrosis likueafaktif : terjadi karena pencairan jaringan akibat enzim
hidrolitik yang dilepaskan mati (Kumar et al., 2007).
c. Nekrosis kaseosa : merupakan bentuk campuran dari nekrosis koagulitiva
dan nekrosis likueafaktif. Secara makroskopik teraba kenyal seperti keju.
Secara mikroskopik terlihat masa amorf yang esonofilik (Kumar et al.,
2007).
Untuk mengukur perubahan mikroskopis sel hepar, maka digunakan
system skoring yang mengacu pada system skoring Manja Roenigk (2009) yang
dipublikasikan pada jurnal Histological Patterns in Drug Induced Liver Diseases
sebagai berikut :
1. Nilai 1 = sel hepar normal. Tampak sel berbentuk polygonal, sitoplasma
berwarna merah homogen, dinding sel berbatas tegas (Roenigk, 2009).
2. Nilai 2 = sel hepar degenerasi parenkimatosa. Pembengkakan sel disertai
sitoplasma keruh dan bergranula (Roenigk, 2009).
3. Nilai 3 = sel hepar degenerasi hidropik. Tampak sel sembab, terdapat
akumulasi cairan dan terdapat banyak vakuola (Roenigk, 2009).
4. Nilai 4 = sel hepar nekrosis. Merupakan kerusakan permanen sel atau
kematian sel (Roenigk, 2009).
2.5.3 Biotransformasi Obat di Hepar
Biotransformasi adalah mekanisme tubuh untuk menginaktivasi dan
mengekresikan zat-zat asing dari tubuh. Bahan asing tersebut dapat berupa bahan
20
dari alam (xenobiotik) ataupun dibuat manusia secara sintetik. Biotransformasi
terjadi terutama di hepar (Murray, 2000). Pada umumnya biotrasnformasi terjadi
melalui dua reaksi, yaitu reaksi fase I (reaksi perubahan) dan reaksi fase II
(pembentukan konjugat).
1. Reaksi fase I
Terjadi di retikulum endoplasma halus. Keadaan tertentu (beberapa zat
karsinogen), reaksi fase I ini dapat menyebabkan bahan-bahan asing menjadi
lebih aktif atau lebih toksik terhadap tubuh. Reaksi fase I yang penting dalam
biotransformasi adalah reaksi oksidasi (hidroliksasi, pembentukan epoksida,
pembentukan sulfoksida, dealkilasi dan desaminasi), reaksi reduksi (dari
senyawa karbonil, azo atau nitro dan dehalogenasi), metilasi dan desulfurasi
(Murray, 2000; Correia, 2001).
2. Reaksi tipe II
Merangkaikan substrat (bilirubin, metabolit dari xenobiotik, obat - obatan, dan
hormon steroid) pada molekul yang sangat polar dan bermuatan negatif.
Reaksi fase II dikatalisis oleh enzim transferase. Produk yang dihasilkan
berupa konjugat. Konjugat merupakan molekul yang sangat polar dan dapat
larut dalam air, sehingga mudah diekskresi. Konjugat dengan berat molekul >
300 akan dieksresikan melalui sistem bilier, Sedangkan konjugat dengan
berat molekul < 300 diekskresi di ginjal (Correia, 2001).
2.6 Ginjal
2.6.1 Histologis Ginjal
Ginjal tersusun oleh kapsula ginjal yang terdiri dari jaringan penyambung
padat. Korteks merupakan bagian terluar ginjal dan bagian terdalamnya adalah
medulla. Di bagian medulla terdapat banyak nefron, yang terdiri dari korpus
renalis, tubulus proksimalis, tubulus distalis, dan ansa henle. Nefron terdiri atas
sebuah glomerulus dimana cairan tersebut difiltrasi dan sebuah tubulus yang
panjang dimana cairan filtrasi tersebut diubah menjadi urin dalam perjalanan ke
pelvis renalis (Guyton and Hall 1997).
Glomerulus adalah suatu organ epitelio-vaskuler yang disusun sebagai
tempat filtrasi ultra dari plasma. Kapiler glomerulus dilapisi oleh lapisan endotelium
dan terletak pada membran basalis. Tubulus proksimalis dilapisi oleh epitel selapis
kuboid atau silindris. Sel-sel epitel ini mempunyai sitoplasma asidofilik yang
21
disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam jumlah besar. Tubulus
proksimalis akan berlanjut menjadi ansa henle. Ansa henle adalah suatu struktur
berbentuk U yang terdiri atas ruas tipis desenden, ruas tipis asenden, dan ruas
tebal asenden. Tubulus distalis merupakan bagian akhir dari nefron. Tubulus ini
dilapisi oleh epitel selapis kuboid. Lumen tubulus ini lebih besar karena sel-sel
tubulus distalis lebih gepeng dan lebih kecil dari yang ada di tubulus proksimalis,
maka tampak lebih banyak sel dan inti pada dinding tubulus distalis (Junqueira dan
Carneiro 1997). Histologi korteks ginjal dapat dilihat pada Gambar 2.9
Gambar 2.9 Korteks Ginjal: Aparatus Jukstaglomerular (Eroschenko, 2003 dalam
Octaviani, 2010)
Struktur ginjal dalam keadaan normal mempunyai ciri-ciri, yaitu sel
berbentuk polihedral, inti bundar berwarna jernih, dan terletak di dalam sel,
sitoplasma tampak jernih, lumen dalam keadaan terbuka serta sel epitel yang
terdapat dalam tubulus menempel pada membran basalis (Leeson et al. 1993).
2.6.2 Fungsi Ginjal
Ginjal merupakan organ utama yang berperan dalam menjaga homeostatis
air dan elektrolit. Ginjal juga merupakan organ utama yang terkena efek toksisitas
jika tubuh terpapar zat toksik. Berbagai fungsi ginjal tercermin pada sistem tubuh
kompleks yang berkaitan erat dengan pembuluh darah. Menurut Price and
22
Lorraine (2006) dalam Juhriyyah (2008) fungsi utama ginjal dibagi menjadi fungsi
ekskresi dan nonekskresi. Fungsi ekskresi ginjal adalah mempertahankan
osmolalitas plasma, mempertahankan volume cairan ekstraseluler dan tekanan
darah, mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu
dalam rentang normal, mempertahankan pH plasma, mengekskresikan produk
akhir nitrogen dari metabolism protein (terutama urea, asam urat, dan kreatinin),
dan bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat. Sedangkan fungsi
non ekskresi ginjal yaitu mensintesis dan mengaktifkan hormon yaitu renin,
eritropoetin, 1,25-dihidroksivitamin D3, prostaglandin, insulin, glucagon,
parathormone, prolactin, hormone pertumbuhan, hormone anti diuretic (ADH),
hormone gastrointestinal, serta degradasi hormone polipeptida. Anatomi ginjal
dapat dilihat pada Gambar 2.10
(a) (b)
Gambar 2.10 Anatomi Ginjal, (a) Struktur Bagian Ginjal (b) Pembuluh Darah Ginjal (Martini and Nath, 2008)
Ginjal melakukan fungsinya yang paling penting dengan cara menyaring
plasma dan memindahkan zat dari filtrat dengan kecepatan yang bervariasi,
bergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya ginjal membuang zat yang tidak
diinginkan dari filtrat dengan mengekskresikannya dalam urin sementara zat yang
dibutuhkan dikembalikan ke dalam darah. Proses pembentukan urin dimulai
dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang mengandung sedikit protein dari kapiler
glomerulus ke kapsula bowman. Kebanyakan zat dalam plasma kecuali protein,
difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam
23
kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Ketika cairan yang telah difiltrasi
ini meninggalkan kapsula bowman dan mengalir melewati tubulus, cairan ini
mengalami perubahan akibat adanya reabsorpsi air dan zat terlarut spesifik
kembali ke dalam darah atau sekresi zat-zat lain dari kapiler peritubulus ke dalam
tubulus (Guyton and Hall, 2008).
Sebagian besar zat yang harus dibersihkan dari darah terutama produk
akhir metabolism seperti urea, kreatinin, asam urat dan garam-garam asam urat
direabsorpsi sedikit sehingga akan diekskresi dalam jumlah yang besar ke dalam
urin. Zat asing dan obat-obatan tertentu juga direabsorpsi sedikit tetapi juga
disekresi dari darah ke dalam tubulus sehingga laju ekskresinya tinggi. Sebaliknya,
elektrolit seperti ion natrium, klorida dan bikarbonat direabsorpsi dalam jumlah
besar sehingga hanya sejumlah kecil saja yang tampak dalam urin. Zat nutrisi
tertentu seperti asam amino dan glukosa direabsorpsi secara lengkap dari tubulus
dan tidak dalam urin meskipun sejumlah besar zat tersebut difiltrasi oleh kapiler
glomerulus (Guyton and Hall, 2008).
2.6.3 Toksikologi pada Ginjal
Kelompok utama nefrotoksikan adalah logam berat, antibiotik, analgesik,
dan hidrokarbon berhalogen tertentu. Semua bagian nefron secara potensial dapat
dirusak oleh efek toksikan (Octaviani, 2010).
1. Glomerulus
Antibiotik puromisin dapat meningkatkan permeabilitas glomerulus terhadap
protein seperti albumin. Sebaliknya, antibiotik aminoglikosid seperti
gentamisin dan kanamisin mengurangi filtrasi glomerulus, selain
mempengaruhi tubulus ginjal. Perubahan-perubahan patologi yang terjadi
pada glomerulus yaitu atrofi glomerulus, endapan protein pada ruang
Bowman, dan penebalan kapsula Bowman (Octaviani, 2010).
2. Tubulus proksimalis
Pada bagian ini terjadi absorpsi dan sekresi aktif tubulus proksimalis
menyebabkan kadar toksikan pada tubulus proksimalis sering lebih tinggi.
Selain itu, kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimalis lebih tinggi untuk
mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan. Dengan demikian, tempat ini
sering merupakan sasaran efek toksik. Logam berat seperti merkuri, kromium,
kadnium, dan timbal, dapat mengubah fungsi tubulus yang ditandai dengan
glikosuria, aminoasiduria, dan poliuria. Antibiotik tertentu mempengaruhi
24
filtrasi glomerulus. Streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, dan
amfoterisin-B mempengaruhi tubulus proksimalis. Beberapa obat ini
mengubah komposisi fosfolipid membran, permeabilitas, aktivitas Na+ - K+ -
ATPase, aktivitas adenilat siklase, dan transport K+, Ca2+, dan Mg2+.
Sefaloridin tidak disekresikan dari tubulus proksimalis, tetapi ditumpuk dalam
sel sehingga menyebabkan kerusakan. Hidrokarbon berhalogen seperti
karbon tetraklorida dan khloroform bersifat hepatotoksik. Heksaklorogutadien
merusak pars recta tubulus proksimalis. Bromobenzen dan
heksaklorobutadiena yang bekerja pada tubulus proksimalis bersifat
nefrotoksik. Perubahan patologi yang terjadi dapat berupa nekrosis,
degenerasi hialin, degenerasi hdiropik, dan nefrosa (Octaviani, 2010).
Apoptosis atau nekrosa juga dapat terjadi pada ginjal. Nekrosa merupakan
kematian sel jaringan saat individu masih hidup. Secara mikroskopik terjadi
perubahan intinya, yaitu hilangnya gambaran khromatin, inti tampak lebih padat,
inti sel mengkerut (piknosis), inti terbagi atas fragmen-fragmen, inti sel hancur
(karyoreksis), dan inti tidak lagi mengambil warna banyak karena itu pucat tidak
nyata (karyolisis) (Octaviani, 2010). Gambar histopatologi nekrosa (a) dan
degenerasi hidropis (b) pada sel epitel tubulus ginjal ditampilkan apda Gambar
2.11
Gambar 2.11 Nekrosa (a) dan degenerasi hidropis (b) sel epitel tubulus ginjal (International Society of Nephrology 2010)
Perubahan patologi yang dapat terjadi pada ginjal antara lain nephrosis
(nefrosa), yaitu peradangan pada ginjal akibat gangguan pertukaran zat. Nefrosa
dapat dibagi dalam tubulo-nephrosis dan glomerulo-nephrosis (Ressang 1984
25
dalam Octaviani, 2010). Tubulo-nephrosis adalah perubahan-perubahan pada
epitel tubulus yang disebabkan karena tubulus selain berfungsi sebagai sekresi
juga mempunyai fungsi resorpsi. Perubahan-perubahan yang terlihat secara
mikroskopik adalah degenerasi epitel hingga nekrosa (Octaviani, 2010). Yang
termasuk di dalam tubulonephrosis antara lain sebagai berikut (Octaviani, 2010):
1. Degenerasi hidropik-vakuoler pada parenkim yang disebabkan oleh
gangguan metabolisme air dan protein dalam sel-sel
2. Nefrosa hipokhloremik yang disebabkan oleh kehilangan khlor yang
berlebihan.
3. Degenerasi hialin yang disebabkan oleh gangguan metabolisme protein pra-
renal. Gambaran mikroskopis degenerasi hialin ditampilkan pada Gambar
2.12
Glomerulo-nephrosis adalah semua perubahan yang bersifat radang di
dalam glomerulus dan disebabkan oleh gangguan pra-renal dan humoral dalam
bentuk disproteinemi (Ressang 1984 dalam Octaviani, 2010). Sel tubulus ginjal
dapat mengalami kerusakan degenerasi yang sifatnya reversible. Sel masih dapat
kembali normal jika intoksikasi toksin dihentikan, tetapi apabila terus berlanjut akan
menyebabkan kematian sel. Secara mikroskopik, degenerasi hidropis tampak
seperti celah kosong dan terkadang terjadi di sekitar nukleus dan bintik-bintik
sitoplasma terdesak ke belakang terhadap perifer dari sel (Jones et al., 2006).
Sedangkan degenerasi hialin terjadi akibat akumulasi protein pada sitoplasma sel
yang berbentuk butiran-butiran eosinofil yang khas. Adanya degenerasi hialin ini
dapat mengindikasikan zat toksik yang lolos dari filter glomerulus. Gambaran
mikroskopis degenerasi hialin ditampilkan pada Gambar 2.12
Gambar 2.12 Degenerasi Hialin pada Ginjal (Octaviani, 2010)
26
2.7 Enzim Alkali Fosfatase (ALP)
Alkali fosfatase (ALP) adalah kelompok enzim yang bekerja menghidrolisis
ester fosfat pada suasana alkali. Aktivitas ALP tertinggi di dalam tubuh terdapat
dalam hepar, tulang, usus, ginjal, dan plasenta. Normalnya ALP yang berada
dalam hepar akan diekskresikan ke dalam empedu (Richterich and Colombo, 1981
dalam Nuridayanti, 2011). Apa yang diukur dalam darah adalah jumlah ALP yang
dilepaskan dari jaringan tersebut ke dalam darah. Enzim ini bekerja baik pada
kondisi pH basa (pH 10) sehingga enzim ini tidak aktif di dalam darah. ALP bekerja
dengan cara melepaskan fosfor (asam mineral) sehingga menghasilkan sebuah
pH alkali (Kaslow, 2013). Jika terjadi kerusakan atau obstruksi pada hepar dan
saluran empedu, maka ditandai dengan aktivitas ALP yang meningkat (Richterich
and Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011). Mekanisme ekskresi alkali fosfatase
ketika terjadi kerusakan hepar ditampilkan pada Gambar 2.13
Hepar dan saluran Hepar dan saluran empedu empedu normal terjadi kerusakan dan obstruksi
Gambar 2.13 Mekanisme Ekskresi Alkali Fosfatase Ketika Terjadi Kerusakan Hepar
(Kaslow, 2013)
Peningkatan aktivitas ALP di dalam tubuh mempunyai dua makna, yaitu
peningkatan yang terjadi pada keadaan normal dan peningkatan yang
menunjukkan ketidaknormalan tubuh. Peningkatan yang dinilai normal adalah
pada keadaan seperti wanita hamil dan pada anak-anak yang dalam masa
pertumbuhan. Peningkatan ALP yang dianggap tidak normal yaitu pada kelainan
hepatobiliar (obstruksi biliaris), pada alkoholik, sirosis hepar dan metastase tulang
(Richterich and Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011). Sel mukosa pada sistem
empedu dalam hepar merupakan sumber dari alkali fosfatase dimana aliran bebas
empedu akan melalui hepar dan turun ke saluran empedu, kantung empedu
Kanakuli hepar
ALP ALP ALP
Kantung empedu Aliran darah
ALP
ALP
ALP
ALP
27
bertanggung jawab untuk menjaga kadar normal enzim ALP dalam darah. Ketika
terjadi kerusakan hepar, saluran empedu atau kantung empedu tidak berfungsi
dengan baik atau tersumbat, sehingga enzim ini tidak diekskresikan melalui
empedu melainkan dilepaskan ke dalam aliran darah sehingga kadar serum alkali
fosfatase dapat digunakan untuk mengukur integritas sistem saluran empedu
(hepatobiliaris) dan aliran empedu ke usus halus (Kaslow, 2013). Kadar ALP
mencapai puncak (20 kali normal) terjadi pada sirosis hepar, sedangkan pada
obstruksi biliaris menyebabkan peningkatan sampai sepuluh kali lipat dari normal
(Lawrence et.al., 1996; (Richterich dan Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011).
Prinsip pengukuran alkali fosfatase adalah perubahan p-nitrofenilfosfat
menjadi p-nitrofenol dan fosfat yang dikatalisis oleh alkali fosfatase. p-nitrofenol
yang terbentuk berwarna kuning dalam larutan alkali dan diukur pada panjang
gelombang 405 nm selama 3 menit pada suhu 25°C. Perubahan absorbansi per
satuan waktu sebanding dengan kecepatan disosiasi substrat yang juga
sebanding dengan aktivitas enzim. Alkali fosfatase bekerja optimum pada pH 9,6-
10,0 sehingga digunakan larutan dapar dietanolamin (DEA) pH 9,8 dan digunakan
Mg2+ sebagai kovaktor enzim (Nuridayanti, 2011).
2.8 Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Tikus Putih termasuk hewan nokturnal dan sosial. Salah satu faktor yang
mendukung kelangsungan hidup tikus putih dengan baik jika ditinjau dari segi
lingkungan adalah temperatur dan kelembaban. Temperatur yang baik untuk tikus
putih yaitu 19° C – 23° C dan kelembaban 40-70 % (Wolfenshon dan Lloyd, 2013).
Lebih dari 90% dari semua hewan uji yang digunakan di dalam penelitian adalah
binatang pengerat, terutama mencit (Mus musculus L.) dan tikus (Rattus
norvegicus L.) karena anatomi fisiologi dari organ-organ hewan tersebut sistematis
kerjanya hampir sama dengan fungsi anatomi organ manusia (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988; Maley dan Komasara, 2003). Jenis mencit dan tikus yang
paling umum digunakan adalah jenis albino galur Sprague Dawley dan galur
Wistar (Gambar 2.14). Kedua jenis hewan tersebut sering digunakan sebagai
hewan uji dalam penelitian dan pelatihan medis pada pengelolaan kesehatan gigi,
obesitas, diabetes melitus, dan hipertensi serta digunakan dalam bidang gizi
terutama untuk mempelajari hubungan antara nutrisi dengan penuaan dini (Maley
dan Komasara, 2003).
28
Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian
yaitu galur Wistar, Sprague dawley, Long-Evans, dan Holdzman (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988). Galur tikus Sprague dawley dan Long-Evans
dikembangkan dari tikus galur Wistar. Tikus Wistar lebih aktif (agresif) daripada
jenis lain seperti tikus Sprague dawley (Sirois, 2005). Tikus putih merupakan strain
albino dari Rattus norvegicus. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan
hasil pembiakkan sesama jenis atau 15 persilangan. Selain Wistar, galur tikus
yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Sprague Dawley. Galur ini
berasal dari peternakan Sprague Dawley, Madison, Wiscoustin (Inglis, 1980).
Gambar 2.14 Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus L.)
Jika dibandingkan dengan tikus betina, tikus jantan lebih banyak
digunakan karena menunjukkan periode pertumbuhan yang lebih lama.
Taksonomi dari tikus putih Rattus norvegicus L. yaitu sebagai berikut (Priyambodo,
1995) :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus L.
Tikus laboratorium galur Wistar tumbuh dewasa dengan cepat, tidak
memperlihatkan perkawinan musiman dan lebih cepat berkembang biak, bobot
badan dewasa dapat mencapai 450 g tergantung hormon, genetik, umur, dan jenis
kelamin. Lama hidup tikus Wistar dapat mencapai umur 3,5 tahun, dengan
29
kecepatan tumbuh 5 g per hari (Malole dan Pramono, 1989 dalam Pribadi, 2008)
sedangkan untuk tikus liar dapat hidup sampai 4-5 tahun. Dua karakteristik yang
membedakan tikus putih dengan binatang percobaan yang lain adalah tikus tidak
dapat memuntahkan makanan karena susunan anatomi esophagus yang menyatu
di perut, serta tikus tidak mempunyai kantung empedu (Smith,1987). Kelebihan
dari tikus putih sebagai binatang percobaan antara lain bersifat omnnivora
(pemakan segala), mempunyai jaringan yang hampir sama dengan manusia dan
kebutuhan gizinya juga hampir sama dengan manusia. Selain itu dari segi ekonomi
harganya murah, ukurannya kecil dan perkembangannya cepat. Tikus percobaan
strain wistar yang dikembangkan secara luas sangat mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Makanan tikus juga mempunyai variasi dalam
susunannya, sebagai contoh komposisinya meliputi: protein 20-25 %, karbohidrat
45-50%, serat 5%. Juga harus mengandung vitamin A, vitamin D, alfa tokoferol,
asam linoleat, thiamin, riboflavin, panthothenat, biotin, serta mineral, phospor,
magnesium, potasium, tembaga, iodin, besi dan timah. Setiap hari seekor tikus
dewasa membutuhkan makanan antara 12-20 gr, serta minum air antara 20-45 ml,
serta mineral, besi sebesar 35 mg/kg (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
30
III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi FTP-UB, Laboratorium
Teknologi Pengolahan Pangan FTP-UB, Laboratorium Biokimia FTP-UB,
Laboratorium Bioteknologi FTP-UB, Laboratorium Patologi Klinik FK-UB dan
Laboratorium Patologi Anatomi FK-UB.
3.2 Populasi dan Sampel
Sampel penelitian diambil secara random dari populasi dengan kriteria
sebagai berikut :
1. Tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan
2. Usia 11-15 minggu
3. Berat badan 150 – 230 gram
4. Kondisi fisik sehat
5. Bergerak aktif dan mau makan
Hewan uji dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan yang terdiri atas 4
kelompok sediaan uji dan 1 kelompok kontrol. Jumlah ulangan perkelompok
mengikuti rumus Federer, yakni : (t-1).(n-1) ≥ 15,
Dimana: t (kelompok perlakuan) = 5
n = jumlah sampel per kelompok perlakuan
Maka: (t-1) (n-1) ≥ 15
(5-1) (n-1) ≥ 15
4n-4 ≥ 15
4n ≥ 18
N ≥ 4,75 ~ 5
Sehingga diperoleh jumlah sampel hewan coba untuk tiap perlakuan
adalah 5 ekor tikus.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sediaan uji dengan beberapa
tingkatan:
1. Kontrol (K) : diet normal + akuades 2 ml (tanpa suplemen daun kelor)
31
2. Perlakuan 1 (P1) : diet normal + serbuk daun kelor (3,4 gram/195g bb/hari)
3. Perlakuan 2 (P2) : diet normal + ekstrak air daun kelor (5,6 ml/195g bb/hari)
4. Perlakuan 3 (P3) : diet normal + ekstrak pekat dosis 1 (4,1 ml/195g bb/hari)
5. Perlakuan 4 (P4) : diet normal + ekstrak pekat dosis 1 (8,2 ml/195g bb/hari)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar alkali fosfatase serum
darah tikus, histopatologi hepar dan histopatologi ginjal.
Variabel terkendali merupakan variabel yang dapat dikendalikan oleh
peneliti agar obyek penelitian selalu terkendali secara homogen. Variabel
terkendali dalam penelitian ini antara lain :
1. Jenis tikus
2. Umur tikus
3. Berat badan tikus
4. Jenis kelamin
5. Pemberian pakan tikus
6. Kondisi lingkungan kendang
7. Jenis sediaan daun kelor
8. Cara pemberian sediaan daun kelor
3.4 Alat dan Bahan
3.4.1 Alat dan Bahan Pada Perawatan Tikus
Alat yang digunakan yaitu bak plastik berukuran 45 cm x 35,5 cm x 14,5
cm, tutup kandang dari anyaman kawat dan botol minum tikus 100 ml. Bahan yang
digunakan yaitu sekam (bedding), susu pap dan air minum matang. Susu pap
diperoleh dari toko burung, mamalia dan unggas di Splendid, Malang.
3.4.2 Alat dan Bahan Pada Pembuatan Ransum Sediaan Serbuk Daun Kelor
Alat yang digunakan yaitu timbangan, baskom, mangkuk plastik, Loyang
dan pengering kabinet. Bahan yang digunakan yaitu susu pap, serbuk daun kelor
dan air.
3.4.3 Alat dan Bahan Pada Pembuatan Serbuk Daun Kelor
Alat yang digunakan yaitu Cabinnet dryer automatic, loyang, blender
kering, plastik polypropylene, aluminium foil, timbangan digital, blender dan
ayakan 80 mesh. Bahan yang digunakan yaitu daun kelor segar.
32
3.4.4 Alat dan Bahan Pada Pembuatan Ekstrak Air Daun Kelor
Alat yang digunakan yaitu erlenmeyer 1 liter, kertas saring Whatmann no.
1, magnetic stirrer, pompa vakum, corong kaca, sentrifus. Bahan yang digunakan
yaitu serbuk daun kelor dan akuades steril.
3.4.5 Alat dan Bahan Pada Pembuatan Ekstrak Pekat Daun Kelor
Alat yang digunakan yaitu vaccum rotary evaporator, timbangan digital, dan
gelas ukur. Bahan yang digunakan yaitu vaselin, ekstrak air daun kelor dan
akuades.
3.4.6 Alat dan Bahan Pada Pembedahan Tikus
Alat yang digunakan yaitu gunting bedah, alas bedah, pinset, kapas, jarum
pentul 4 set, baskom dan penutup. Bahan yang digunakan yaitu sarung tangan
latex, masker, kloroform dan air.
3.4.7 Alat dan Bahan Pada Pembuatan Preparat Histpatologi
Alat yang digunakan yaitu botol organ, mikrotom, slide kaca, dan cover
glass. Bahan yang digunakan yaitu formalin 10%, alcohol 70%, 80% 96% alcohol
absolute, xylol, parafin cair, bahan pengecatan HE, propylene glycol 85%, 100%,
Oil Red O 0,5%, akuades steril, hematoksilin eosin, gelatin jelly 10%.
3.4.8 Alat dan Bahan Pada Analisis Kadar (ALP) Alkali Fosfatase Tikus
Alat yang digunakan untuk analisis (ALP) Alkali Fosfatase yaitu sentrifus
darah, spuit 5 ml, tabung vacutainer, tabung reaksi + rak tabung, pentra C-200,
mikropipet 1000 dan 10 mikroliter, pH meter dan microtube. Bahan yang
digunakan untuk analisis kadar alkali fosfatase yaitu serum darah, dietanolamin
pH 9,8, MgCl2, p-nitrofenilfosfat, aquabidest.
3.4.9 Penilaian Gambaran Sel Hepar
Alat untuk menilai gambaran sel hepar adalah mikroskop cahaya. Bahan
untuk menilai gambaran sel hepar adalah slide preparat hepar.
33
3.5 Metode Pengumpulan Data
3.5.1 Pembuatan Serbuk Daun kelor
Daun kelor yang digunakan adalah varietas daun kelor putih yang diperoleh
secara acak dari beberapa kebun di daerah Kabupaten Malang yaitu di Pakisaji
dan Perumahan Asrikaton Pakis, Malang. Daun kelor yang digunakan adalah
campuran daun kelor yang muda hingga tua dengan kenampakan hijau muda
hingga hijau segar dan bersih (tidak kuning atau hitam). Daun kelor segar
dikeringkan menggunakan cabinet dryer dengan temperatur bertingkat yaitu 30˚C,
40˚C, 50˚C dan 60˚C selama 1 jam pada masing-masing temperatur pengeringan,
kemudian diblender dan diayak dengan ayakan 80 mesh.
3.5.2 Pembuatan Ekstrak Daun Kelor
Ekstrak daun kelor dibuat dari serbuk daun kelor yang diesktrak secara
maserasi selama 24 jam menggunakan pelarut akuades steril. Hasil maserasi
disaring dengan kain saring, kemudian disentrifus untuk memisahkan endapan
dengan filtrat serta memudahkan penyaringan tahap selanjutnya kemudian
disaring dengan kertas saring (Whatmann no. 1) untuk didapatkan filtrat jernih.
3.5.3 Pembuatan Esktrak Pekat Daun Kelor
Ekstrak pekat daun kelor dibuat dengan proses evaporasi menggunakan
vaccum rotary evaporator untuk menguapkan kadar air sebesar 30%. Evaporasi
dilakukan selama 1,5 jam pada suhu 50-55°C dengan tekanan 100 milibar.
3.5.4 Penentuan Dosis
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian pengujian bioavailabilitas
kalsium sehingga penentuan dosis berdasarkan pada kebutuhan kalsium harian.
Penentuan dosis tidak seperti penentuan dosis senyawa bioaktif yang
mempertimbangkan berat badan masing-masing tikus wistar tetapi ditentukan
berdasarkan berat badan rata-rata tikus wistar di seluruh kelompok perlakuan
karena sediaan daun kelor dalam penelitian ini dimanfaatkan sebagai suplemen
kalsium dan untuk mengetahui keamanan sediaan daun kelor sebagai suplemen
kalsium.
Dosis ditentukan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013,
kalsium pada manusia laki-laki dewasa yaitu sebesar 1100 mg/hari dengan berat
34
badan 60 kg. Kemudian dihitung dosis perlakuan tikus menggunakan rumus
konversi berat badan yaitu Human Equivalent Dose (FDA, 2005) dalam 60 kg berat
badan manusia ke berat badan rata-rata tikus yaitu 195 gram.
HED (mg/kg) = Animal dose (mg/kg) х Animal Km/Human Km
18,33 mg/kg = Animal dose (mg/kg) x 6/37
AED (mg/kg) = 113,0556 mg/kg = 0,1130556 mg/g
AED (mg/195g) = 22.04583 mg/195 g
Keterangan :
HED : Human Equivalent Dose (mg/kg)
Km : Faktor konversi (tikus: 6; manusia: 37)
Konsumsi kalsium pada tikus wistar berdasarkan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) sebesar 22 mg. Berdasarkan kadar kalsium yang terkandung dalam setiap
sediaan suplemen daun kelor dan dosis harian kalsium pada hewan coba (22
mg/195 g) (Lampiran 2), dapat ditentukan dosis suplemen masing-masing sediaan
daun kelor yang ditampilkan pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Dosis Sediaan Suplemen Daun Kelor
Sediaan Suplemen Daun Kelor
Dosis Sediaan Suplemen Daun Kelor
22a 22/8b 22/41c
22.04583333 2.755729167 0.537703252
Serbuk daun kelor 141.7702921 17.72128652 3.457812004
Ekstrak Air Daun Kelor 228.0187511 28.50234388 5.561432953
Ekstrak pekat Daun Kelor Dosis 1
167.6129783 20.95162229 4.088121422
Ekstrak pekat Daun Kelor Dosis 2
335.2259566 41.90324458 8.176242844
a = dosis kalsium 22 mg/195 g pada setiap sediaan; b = dosis kalsium 2,7 mg/195 g pada
setiap sediaan; c = dosis kalsium 0,5 mg/195 g pada setiap sediaan
Volume normal lambung tikus wistar yaitu 3-5 ml/p.o (Ngatidjan, 2006).
Apabila pemberian dosis kalsium sesuai dengan Angka Kecukupan Harian pada
tikus wistar, maka volume pemberiaan sedian suplemen daun kelor sangat tinggi
sehingga dosis kalsium pada setiap sediaan suplemen daun kelor diturunkan 41
kalinya sehingga diperoleh volume sediaan suplemen daun kelor sebesar 3,4
gram/195g bb/hari pada serbuk daun kelor; 5,6 ml/195g bb/hari pada ekstrak air
daun kelor, 4,1 ml/195g bb/hari pada ekstrak pekat daun kelor dosis 1, dan 8,2
ml/195g bb/hari pada ekstrak pekat daun kelor dosis 2.
35
3.5.5 Adaptasi
Adaptasi tikus dilakukan selama 91 hari dengan pemberian pakan normal
susu pap karena umur tikus pada saat dibeli masih belum mencukupi dan berat
badan masih rendah. Tikus yang diadaptasi berumur 11-15 minggu. Adaptasi
dilakukan sebelum perlakuan pemberian suplemen daun kelor untuk menyamakan
baseline. Selama adaptasi, berat badan tikus ditimbang hingga mencapai berat
yang diharapkan untuk uji toksisitas dan sekam diganti secara berkala setiap
harinya. Tikus kemudian diberikan perlakuan pemberian suplemen daun kelor
dengan bentuk sediaan suplemen daun kelor yang berbeda-beda selama 64 hari.
Pada hari ke 65 tikus dieuthanasia, dibius dan dibedah kemudian dianalisis kadar
alkali fosfatase pada serum darah yang diambil dari jantung, histopatologi hepar
dan histopatologi ginjal.
3.5.6 Intervensi
3.5.6.1 Kelompok Kontrol (tanpa suplemen)
Intervensi pada kelompok kontrol dilakukan dengan pemberian pakan diet
normal yaitu susu pap 20 gram + air minum matang 100 ml dan sonde berupa
akuades sebanyak 4 ml/195g/hari yaitu 2 ml/195g bb pada jam 10.00 dan 2
ml/195g pada jam 13.00 untuk menyamakan stressing antar kelompok perlakuan.
3.5.6.2 Kelompok Suplemen Serbuk Daun Kelor
Intervensi pada kelompok suplemen serbuk dilakukan dengan pemberian
pakan diet normal yaitu air minum dan pelet berupa campuran adonan dari susu
pap yang dihancurkan sebesar 20 gram dan serbuk daun kelor 3,4 gram sehingga
berat total pellet sebesar 24 gram. Kelompok ini juga dilakukan sonde berupa
akuades sebanyak 4 ml/195g/hari yaitu 2 ml/195g pada jam 10.00 dan 2 ml/195g
pada jam 13.00 untuk menyamakan stressing antar kelompok perlakuan. Pelet
suplemen dibentuk menyerupai bentuk asli dari susu pap kemudian dikeringan
dengan kabinet dryer pada suhu 60°C selama 1 jam. Pellet kemudian diberikan
kepada tikus wistar kelompok suplemen serbuk daun kelor secara ad libitum.
3.5.6.3 Kelompok Suplemen Ekstrak Air Daun Kelor
Intervensi pada kelompok suplemen ekstrak air dilakukan dengan
pemberian pakan susu pap 20 gram + air minum matang 100 ml dan sonde ekstrak
36
air sebesar 5,6 ml/195g /hari dengan 2 kali penyondean yaitu sonde pada pukul
10.00 sebesar 3 ml/195g dan pukul 13.00 sebesar 2,6 ml/195g. Penyondean
dilakukan 2 kali untuk memberikan waktu bagi tikus wistar menyerap sebagian dari
suplemen yang disondekan karena volume lambung tikus per oral 3-5 ml.
3.5.6.4 Kelompok Ekstrak Pekat Dosis 1 Daun Kelor
Intervensi pada kelompok suplemen ekstrak air dilakukan dengan
pemberian pakan susu pap 20 gram + air minum matang 100 ml dan sonde ekstrak
air sebesar 4,1 ml/195g bb/hari dengan 2 kali penyondean yaitu sonde pada pukul
10.00 sebesar 2,1 ml/195g bb dan pukul 13.00 sebesar 2 ml/195g bb.
3.5.6.5 Kelompok Ekstrak Pekat Dosis 2 Daun Kelor
Intervensi pada kelompok suplemen ekstrak air dilakukan dengan
pemberian pakan susu pap 20 gram + air minum matang 100 ml dan sonde ekstrak
air sebesar 8,2 ml/195g bb/hari dengan 2 kali penyondean yaitu sonde pada pukul
10.00 sebesar 4,2 ml/195g bb dan pukul 13.00 sebesar 4 ml/195g bb.
3.5.7 Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan melalui jantung menggunakan
syringe sebanyak 5 ml setelah hewan coba di bedah, darah dimasukkan
vacutainer, lalu dibiarkan mengalami penggumpalan lalu disentrifus untuk
memisahkan serumnya pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Serum
diambil menggunakan mikropipet 10-100 ml dan dimasukkan ke dalam microtube.
Serum kemudian dianalisa kadar alkali fosfatase menggunakan metode automatic
system yang telah distandarisasi oleh International Federation of Clinical
Chemistry and Laboratory Medicine (IFCC) (2006) menggunakan alat Pentra C-
200 (Lampiran 4.2).
3.5.8 Histopatologi
Pengujian histopatologi hepar dan ginjal dilakukan setelah 64 hari
intervensi. Tikus dilakukan pembiusan terlebih dahulu kemudian dibedah dan
diambil organ hepar dan ginjal. Organ hepar kemudian difiksasi dengan larutan
formalin 10% dan dilakukan pewarnaan menggunakan hematoksilin eosin serta
pengamatan dibawah mikroskop yang dilakukan di Laboratorium Anatomi FK UB.
37
3.6 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan
rancangan eksperimental randomized controlled trial dengan Rancangan
Penelitian RAL (Rancangan Acak Lengkap). Sampel dipilih secara random dari
populasi berupa tikus jantan Rattus norvegicus galur wistar berumur 11-15 minggu
dengan 5 perlakuan dan 5 kali ulangan sehingga dibutuhkan sampel sebanyak 25
ekor tikus. 5 perlakuan tersebut antara lain:
1. Kontrol (K) : diet normal + akuades 2 ml (tanpa suplemen kelor)
2. Perlakuan 1 (P1) : diet normal + serbuk daun kelor (3,4 gram/195g bb/hari)
3. Perlakuan 2 (P2) : diet normal + ekstrak air daun kelor (5,6 ml/195g bb/hari)
4. Perlakuan 3 (P3) : diet normal + ekstrak pekat dosis 1 (4,1 ml/195g bb/hari)
5. Perlakuan 4 (P4) : diet normal + ekstrak pekat dosis 1 (8,2 ml/195g bb/hari)
Tikus dilakukan adaptasi hingga mencapai berat yang diharapkan dan
dilanjutkan perlakuan selama 64 hari. Pembedahan pada tikus dilakukan pasca 64
hari perlakuan. Analisis uji toksisitas dilakukan dengan pengambilan serum darah
tikus melalui jantung untuk dianalisis kadar alkali fosfatase (ALP), pengambilan
organ hepar dan ginjal tikus untuk diamati histopatologinya pada mikroskop
cahaya hingga perbesaran 400x. Pengamatan dilakukan disekitar sinusoid, vena
sentralis dan vena porta. Pembacaan sel berdasarkan kriteria Manja Roenigk
(2009) seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.2, dengan tingkat perubahan sel
normal, degenerasi parenkim, degenerasi hidropik, dan nekrosis (Setyowati,
2010).
Tabel 3.2 Kriteria Penilaian Gambaran Sel Hepar
Nilai Tingkat Perubahan
1 2 3 4
Normal Degenerasi Parenkimatosa
Degenerasi Hidropik Nekrosis
(Maretnowati et al., 2005)
Tahap analisa data dibedakan menjadi dua bagian yaitu analisa data hasil
kadar alkali fosfatase dan analisa hasil histopatologi. Data kadar alkali fosfatase
dilakukan uji normalitas dan homogenitas terlebih dahulu (Lampiran 8). Apabila
data tersebar secara tidak normal maka dilakukan pengujian data menggunakan
Kruskal-Wallis, bila hasil uji menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan maka
dilanjutkan uji Mann Whitney untuk melihat perbedaan masing-masing perlakuan.
38
Tetapi pada data alkali fosfatase tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
sehingga data tidak dilakukan uji lanjutan. Perubahan histopatologi hepar dan
ginjal diamati secara kualitatif.
1.7 Diagram Alir Penelitian
1.7.1 Pembuatan serbuk daun kelor (modifikasi Soeyono, 2015)
Disortasi
Dicuci bersih dengan air mengalir dan dikeringanginkan
Dikeringkan dengan cabinet dryer suhu bertingkat 30˚C, 40˚C, 50˚C dan 60˚C selama masing-masing 1 jam
Dihancurkan dengan blender kering selama 3 menit
Diayak menggunakan ayakan 80 mesh
Gambar 3.1 Diagram alir pembuatan serbuk daun kelor
1.7.2 Pembuatan ekstrak air daun kelor (modifikasi Mohammedi, 2011)
Dimasukkan ke dalam erlenmeyer 1 liter
Dikocok menggunakan magnetic stirrer hingga tercampur (±30 menit)
Didiamkan di suhu ruang selama 24 jam sampai mengendap
Disaring menggunakan kain saring
Disentrifugasi dengan kecepatan 850 rpm selama 25 menit
Disaring dengan kertas saring (Whatmann no. 1)
Gambar 3.2 Diagram alir pembuatan ekstrak air daun kelor
Daun kelor segar
Serbuk daun kelor
Aquadest steril hingga volume 1 L
Ekstrak air daun kelor
100 gram Serbuk daun kelor
Analisis awal :
- Rendemen
- Kadar air
- Kadar oksalat
total
Analisis akhir : - Rendemen - Kadar oksalat total
Analisis awal :
- Rendemen
- Kadar air
- Kadar oksalat
total
39
1.7.3 Pembuatan ekstrak pekat daun kelor (modifikasi Chaouche et al., 2012)
Dimasukkan labu ekstraksi
Dipasang satu set alat evaporasi (sebagian labu ekstraksi terendam akuades pada waterbath)
Waterbath dihubungkan dengan sumber listrik
Diatur suhu 50-55°C, waktu 60/180 menit, tekanan 100 mBar, dan kecepatan 65 rpm
Larutan air dibiarkan memisah dengan zat aktif yang sudah ada dalam labu
Gambar 3.3 Diagram alir pembuatan ekstrak pekat kaun Kelor
Esktrak pekat daun kelor
Ekstrak air daun kelor
Analisis akhir :
- Rendemen
- Kadar oksalat total
40
1.7.4 Uji biologi (in vivo)
Gambar 3.4 Diagram alir uji biologi (in vivo) * 195g = berat badan rata-rata tikus percobaan
Dosis menyesuaikan jumlah asupan kalsium yang memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG, 2013)
- Pengukuran sisa
pakan setiap hari
- Pengukuran berat
badan tiap minggu
- Pengamatan
kondisi fisik dan
perilaku
K Pemberian
diet normal + akuades 4 ml/195g
bb/hari (tanpa suplemen
daun kelor)
P1
Pemberian diet normal + serbuk
daun kelor (3,4
gram/195g bb/hari)*
P2
Pemberian diet normal+ ekstrak air daun kelor
(5,6 ml/195g bb/hari)*
P3
Pemberian diet normal+ ekstrak pekat
daun kelor dosis 1 (4,1
ml/195g bb/hari)*
Pembedahan dan Pengambilan preparat
Adaptasi awal bagi tikus dan penimbangan berat
badan selama 91 hari
Randomisasi tikus ke kelompok
Pengumpulan tikus putih Rattus norvegicus (tikus wistar). Diseleksi sesuai
kriteria inklusi dan ekslusi hingga diperoleh 25 ekor tikus
Intervensi 64 hari
P4
Pemberian diet normal+ ekstrak pekat
daun kelor dosis 2 (8,2
ml/195g bb/hari)*
Pembedahan hari ke 65
Serum darah dari jantung Hepar dan Ginjal
Uji kadar ALP (Alkali Fosfatase) Gambaran histopatologi
Analisis data
41
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam uji in vivo pada penelitian ini adalah
serbuk daun kelor, ekstrak air daun kelor, dan ekstrak pekat daun kelor. Serbuk
daun kelor diproses dengan pengeringan menggunakan pengering kabinet
dengan suhu bertingkat yaitu 30°C, 40°C, 50°C, dan 60°C masing-masing selama
1 jam (modifikasi Soeyono, 2015). Ekstrak air diproses melalui ekstraksi maserasi
menggunakan akuades steril selama 24 jam. Serbuk daun kelor sebanyak 100
gram dilarutkan dalam akuades steril hingga volume mencapai 1000 ml
(modifikasi Mohammedi, 2011) dan ekstrak pekat diproses melalui evaporasi
menggunakan vaccum rotary evaporator selama 1,5 jam untuk menghilangkan
kadar air sebanyak 30% (modifikasi Chaouche et al., 2012).
Penelitian ini menggunakan sediaan yang berbeda (Gambar 4.1) dengan
tujuan untuk mengetahui bentuk sediaan suplemen daun kelor yang paling aman
untuk dimanfatkan sebagai suplemen tinggi kalsium dengan tingkatan dosis yang
sesuai dengan kebutuhan kalsium harian.
(a) (b) (c) Gambar 4.1 Sediaan Suplemen Daun Kelor : (a) Serbuk Daun Kelor; (b) Ekstrak Air Daun
Kelor; (c) Ekstrak Pekat Daun Kelor
Bahan baku dianalisa rendemen, kadar air dan kadar oksalat total. Data
analisa rendemen ditampilkan pada Tabel 4.1
42
Tabel 4.1 Data Hasil Analisa Rendemen
Sediaan Rata-rata rendemen (%) ± SD
Serbuk daun kelor (a) 26,92 ± 0.14 Ekstrak air daun kelor (b) 71,83 ± 0,29
Ekstrak pekat daun kelor (c) 69,44 ± 0,96
Keterangan: (a) terhadap daun segar; (b) terhadap berat air + serbuk kelor; (c) ekstrak air daun kelor (Lampiran 6)
Rendemen merupakan hasil akhir dari bahan baku yang telah diproses.
Proses pembuatan serbuk daun kelor menggunakan pemanasan sehingga
menghasilkan persentase rendemen serbuk sebesar 26.92%. Penyusutan berat
ini dikarenakan proses pengeringan menyebabkan kadar air dan komponen larut
air di dalam bahan menguap. Semakin besar panas yang diberikan dan semakin
lama pengeringan akan mengakibatkan berkurangnya kadar air pada bahan
pangan.
Rendemen ekstrak air merupakan berat ekstrak setelah dilakukan ekstraksi
maserasi dibandingkan dengan berat sampel awal ketika melarutkan serbuk ke
dalam akuades sedangkan rendemen ekstrak pekat daun kelor merupakan berat
ekstrak setelah dilakukan proses evaporasi dibandingkan dengan berat sampel
awal pada ekstrak air dengan menghilangkan kadar air sebanyak ±30%. Tujuan
dilakukan perhitungan rendemen adalah untuk mengetahui sifat kelarutan
senyawa terhadap pelarut akuades ketika dilakukan ekstraksi maserasi dan
dilakukan proses evaporasi. Hasil persentase rendemen dari ekstrak air daun kelor
adalah sebesar 71,83%. Ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan
pelarut akuades steril. Tujuan dari pembuatan ekstrak pekat adalah untuk
menguapkan kadar air sebanyak ±30% sehingga menyebabkan rendemen turun
menjadi 69,44%. Rendemen dari ekstrak pekat lebih rendah dibandingkan dengan
ekstrak air dikarenakan proses penguapan kadar air hingga ±30% pada ekstrak
pekat sedangkan pada ekstrak air terjadi pelarutan komponen larut air dari serbuk
daun kelor sehingga menyisakan endapan dan komponen yang tidak larut dalam
air (ampas). Pada penelitian ini dilakukan penguapan ekstrak air untuk
membedakan sediaan daun kelor yang paling aman ditinjau dari kadar oksalat total
dalam berbagai bentuk sediaan suplemen daun kelor. Menurut Bradbury and
Holloway (1988) dalam Suwasito (2013) oksalat yang terkandung dalam tanaman
sebagian besar adalah bentuk oksalat terlarut (natrium dan kalium oksalat) dan
hanya 10-20% merupakan kalsium oksalat yang tidak larut terutama dalam sel.
Kenaikan proporsi kalsium oksalat ini diikuti oleh tanaman yang lewat masak. Jenis
43
oksalat pada tanaman tersebut dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu oksalat
larut air dan oksalat tidak larut air. Asam oksalat dan garamnya yang larut air dapat
membahayakan karena sifatnya yang toksik. Asam oksalat yang bersifat larut
mudah diserap dalam saluran pencernaan sehingga efek dari terbentuknya garam
oksalat ada dalam sistem tubuh seperti ekskresi dari ginjal. Konsentrasi asam
oksalat dalam dosis tinggi bersifat merusak dan menyebabkan gastroenteritis,
shock, kejang, rendahnya kalsium plasma, tingginya oksalat plasma dan
kerusakan jantung. Efek kronis konsumsi bahan pangan yang mengandung
oksalat adalah terjadinya endapan kristal kalsium oksalat dalam ginjal dan
membentuk batu ginjal (Sutrisno, 2007). Data analisa kadar air ditampilkan pada
Tabel 4.2
Tabel 4.2 Data Hasil Analisa Kadar Air
Sediaan Rata-rata kadar air (%) ± SD Rata-rata kadar air (%)*
Daun kelor segar 79,01 ± 0,19 65,897 Serbuk daun kelor 3,07 ± 0,42 7,136
*Literatur Kadar Air menurut Anwar et al. (2014)
Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat
dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering
(dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar
100%, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100% (Syarif
dan Halid, 1993). Hasil persentase kadar air dari daun kelor segar berdasarkan
berat basah adalah sebesar 79,01%. Menurut Aminah et al. (2015) kadar air pada
daun kelor segar lebih tinggi yaitu sebesar 93% sedangkan menurut Anwar et al.
(2014) kadar air daun kelor segar lebih rendah yaitu sebesar 65.897%. Perbedaan
kadar air antara hasil analisa dengan literatur diduga karena perbedaan varietas
kelor, perbedaan umur daun dimana daun muda lebih tinggi kadar airnya
dibandingkan daun tua, lama penyimpanan daun kelor dan kelembaban
lingkungan penyimpanan. Hasil persentase kadar air pada serbuk daun kelor
sebesar 3,07%. Menurut Anwar et al., (2014) kadar air pada serbuk daun kelor
lebih tinggi yaitu sebesar 7,136%. Perbedaan kadar air antara hasil analisa dengan
literatur diduga karena perbedaan varietas kelor, kadar air awal pada bahan,
perbedaan lama penyimpanan daun kelor, kelembaban lingkungan penyimpanan
dan metode pengeringan yang digunakan. Kadar air serbuk daun kelor telah
menurun signifikan dibandingkan dengan kadar air daun segar karena adanya
proses pengeringan menyebabkan kadar air dari bahan menguap.
44
Hasil kadar oksalat total dari daun kelor segar adalah sebesar 165,28
mg/100g sedangkan menurut Nambaiar and Seshadri (2007) rata-rata kadar
oksalat total pada daun kelor segar lebih rendah yaitu sebesar 218 mg/100 g
bahan. Perbedaan kadar oksalat total antara hasil analisa dengan literatur diduga
karena perbedaan umur daun yang digunakan (muda dan tua), perbedaan varietas
kelor, tempat tumbuhnya tanaman kelor dimana di dalam literatur menggunakan
tanaman kelor dari India yang memiliki lingkungan sangat panas dan tanah serta
unsur hara berbeda dengan di Indonesia, lama penyimpanan daun kelor, metode
analisa dan kelembaban lingkungan penyimpanan. Data analisa kadar oksalat
total ditampilkan pada Tabel 4.3 sedangkan oksalat yang terkonsumsi oleh tikus
wistar pada setiap sediaan suplemen daun kelor ditampilkan pada Tabel 4.4
Tabel 4.3 Data Hasil Analisa Kadar oksalat total pada Sediaan Suplemen
Sediaan Rata-rata kadar oksalat
total (mg/100g) ± SD Rata-rata kadar oksalat total (mg/100g) ± SD *
Daun kelor segar 165,3 ± 5,6 218±11.3 (a)
Serbuk daun kelor 1987,2 ± 22,6 0,28 (b) Ekstrak air daun kelor 7,9 ± 0,5
Ekstrak pekat daun kelor 1 ± 0,13
*Literatur kadar oksalat total, (a) (Nambaiar and Seshadri, 2007); (b) (Ezeike et al., 2011)
Tabel 4.4 Kadar oksalat total Masing-masing Sediaan Suplemen Daun Kelor dan Jumlah Oksalat yang Terkonsumsi pada Tiap Sediaan Suplemen Daun Kelor
Sediaan suplemen Berat masing-masing
suplemen (g) Kadar oksalat total*
Daun kelor segar - -
Serbuk daun kelor 3,4 gram 67,57 mg/3,4 g Ekstrak air daun kelor 5,66 gram 0,45 mg/5,6 ml
Ekstrak pekat daun kelor 4,2 gram 0,04 mg/4,1 ml
*Kadar oksalat total dihitung berdasarkan berat dari sediaan suplemen daun kelor yang
dikonsumsi
Sediaan serbuk daun kelor memiliki kadar oksalat total paling tinggi diduga
karena tidak adanya proses ekstraksi sehingga pada serbuk daun kelor
mengandung semua jenis oksalat yaitu oksalat terlarut dan tidak terlarut. Hasil
kadar oksalat total pada serbuk daun kelor lebih tinggi dari daun segar yaitu
sebesar 1987,21 mg/100g karena pada proses pengeringan membuat kadar
oksalat total lebih terkonsentrasi. Pengeringan akan meningkatkan efektivitas
kandungan oksalat dikarenakan hilangnya kadar air dalam bahan yang
disebabkan proses karena pengeringan (Noonan and Savage, 1999). Menurut
Ezeike et al., (2011) kadar oksalat total dalam serbuk daun kelor sebesar 0.28 mg.
45
Perbedaan hasil ini diduga karena metode analisis yang digunakan berbeda
dimana pada pengamatan ini menggunakan metode analisis volumetri. Kenaikan
proporsi kalsium oksalat juga dipengaruhi oleh sampel yang digunakan, dimana
proporsi oksalat pada sampel yang lebih tua akan lebih tinggi (Bradbury and
Holloway 1988 dalam Suwasito 2013).
Kadar oksalat total serbuk daun kelor lebih tinggi dibandingkan dengan
daun segar diduga karena dengan berat yang sama, jumlah padatan serbuk akan
lebih tinggi daripada daun segar sehingga oksalat yang teranalisis pada sampel
yang telah ditimbang lebih banyak dari daun segar.. Hasil kadar oksalat total pada
ekstrak air daun kelor adalah sebesar 7,93%. Hasil ini jauh lebih rendah dari daun
kelor segar dan serbuk daun kelor dikarenakan proses ekstraksi menggunakan
metode maserasi akuades membuat kadar oksalat total tidak terlarut tertinggal di
padatan (ampas). Bentuk oksalat dalam sebagian besar tanaman adalah berupa
oksalat terlarut (natrium dan kalsium oksalat) dan hanya 10-20% merupakan
kalsium oksalat tidak larut, terutama dalam sel (Bradbury and Holloway 1988
dalam Suwasito 2013). Kelarutan asam oksalat dalam air sebesar 8% pada suhu
10°C (Vogel, 1985 dalam Suwardi, 2011). Pada sampel ekstrak pekat
mengandung kadar oksalat total paling rendah, yaitu 1 mg/100 gr. Penurunan
kadar ini diduga karena proses evaporasi pada sediaan ekstrak pekat. Sejumlah
kecil asam organik terdapat dalam tanaman sebagai senyawa antara dalam
metabolisme (Haard dan Chism, 1996 dalam Sitorus et al., 2015). Asam oksalat
(Ergonul dan Nergiz, 2010 dalam Sitorus et al., 2015) merupakan salah satu
contoh asam organik selain asam malat, asam laktat, asam fumarat, asam
piroglutamat (Itoh et al., 1982 dalam Sitorus et al., 2015), asam askorbat, asam
sitrat dan asam tartrat (Nour et al., 2010 dalam Sitorus et al., 2015). Asam organik
terbagi dalam asam non voaltil (asam oksalat, asam malonat, asam glutarat, asam
sitrat, asam laktat, asma suksinat) dan volatil (asam propionate, asam asetat,
asam butirat, asam 3 metil butanoat) (Shukla et al., 2010). Evaporasi dilakukan
menggunakan vaccum rotary evaporator dengan menurunkan tekanan pada labu
penampung pelarut dan memutar labu penampung sampel sehingga pelarut
menguap lebih cepat dibawah titik didihnya dan senyawa terlarut mengendap
(Buchi, 2000). Proses evaporasi ini diduga dapat menguapkan sebagian kecil
asam oksalat dari 7,9 mg/100gram menjadi 1 mg/100gram.
Analisis oksalat dalam penelitian ini menggunakan metode titrasi
permanganometri. Permanganometri merupakan metode titrasi dengan
46
menggunakan kalium permanganate sebagai titran yang bersifat oksidator kuat.
Titrasi ini didasarkan atas titrasi reduksi dan oksidasi atau redoks (Day, 1999).
Titrasi permanganometri dilakukan dengan bantuan pemanasan (± 70ºC) untuk
mempercepat reaksi. Pada awal reaksi titrasi, warna merah untuk beberapa saat
yang menandakan reaksi berlangsung lambat. Prinsip titrasi permanganometri
adalah reaksi oksidasi reduksi pada suasana asam yang melibatkan elektron
dengan jumlah tertentu. Pemberian H2SO4 bertujuan untuk memberikan suasana
asam untuk mencapai tingkat oksidasi dari KMnO4 yang paling tinggi dan bilangan
oksidasi +7 menjadi +2. Pada pembuatan titran selanjutnya, warna merah hilang
makin cepat karena ion mangan (II) yang terjadi berfungsi sebagai katalis untuk
mempercepat reaksi. Selanjutnya titran dapat ditambahkan lebih cepat sampai titik
akhir titrasi tercapai yaitu sampai pada tetesan dimana warna merah menjadi
warna merah jambu. Pada proses titrasi tidak dibutuhkan indicator lain. Karena
KMnO4 sudah mampu memberikan perubahan warna saat titik akhir titrasi yang
ditandai dengan terbentuknya warna merah muda. Sifat dari KMnO4 ini dikenal
sebagai autoindikator (Harjadi, 1990).
4.2 Berat Badan Tikus Wistar
Pengukuran berat badan merupakan salah satu kriteria pengamatan pada
uji toksisitas subkronis. Pada penelitian ini dilakukan penimbangan berat badan
setiap minggunya harinya untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian sediaan
suplemen daun kelor.
Tabel 4.5 menunjukkan adanya kenaikan berat badan pada seluruh
kelompok terutama kelompok pemberian serbuk daun kelor. Berdasarkan uji
statistik non parametrik dengan Kruskal-Wallis (Lampiran 11) menunjukkan bahwa
perbedaan bentuk sediaan suplemen daun kelor tidak berpengaruh nyata (α =
0,05) antara pemberian sediaan daun kelor terhadap berat badan tikus wistar
jantan. Kenaikan berat badan diduga karena masa pengamatan yang panjang dan
selama 64 hari tikus percobaan terus mengalami pertumbuhan. Kenaikan berat
badan tiap kelompok perlakuan berbeda. Hal ini dikarenakan kondisi stressing
tikus percobaan selama masa perlakuan berbeda akibat penyondean dan
pemberian jenis sediaan yang berbeda. Kenaikan berat badan tertinggi ada pada
perlakuan serbuk daun kelor (61 gram) disusul perlakuan ekstrak air (38 gram),
ekstrak pekat dosis 1 (37 gram), kontrol (35 gram) dan ekstrak pekat dosis 2 (23,5
gram). Perlakuan serbuk memiliki kenaikan berat badan tertinggi diduga karena
47
pemberian serbuk daun kelor dicampur dengan pakan standar dan sonde hanya
berupa akuades sehingga tikus percobaan lebih menyukai sediaan tersebut,
stressing lebih rendah, dan kandungan nutrisi pada serbuk daun kelor yang masih
kompleks termasuk total nitrogen yang berperan dalam pertumbuhan berat badan.
Selain mengandung fitosterol, daun kelor juga merupakan sumber beta karoten,
kalsium, zat besi, potassium, asam amino, thiamin, riboflavin, niasin, vitamin C,
dan vitamin E (Mutiara, 2011). Hasil pengukuran berat badan tikus percobaan
tercantum pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Rerata Berat Badan Tikus Percobaan Sebelum dan Setelah 64 Hari Pemberian Sediaan Daun Kelor
Perlakuan Sediaan Rerata berat badan tikus (g) Perubahan berat
badan tikus (g) 0 hari 64 hari
Kontrol 176,5 ± 4,12 211,5 ± 17,08 35 Serbuk daun kelor 200,5 ± 2,63 261,5 ± 48,83 61
Ekstrak air daun kelor 215,75 ±15,97 253,75 ± 22,82 38
Ekstrak pekat dosis 1 191,75 ±
11,76 228,75 ± 25,71 37
Ekstrak pekat dosis 2 208,25 ±
33,51 231,75 ± 37,41 23,5
Keterangan : Data merupakan rata-rata berat badan tikus tiap minggunya (Lampiran 2)
Di dalam serbuk daun kelor mengandung energi sebesar 205 kcal; protein
27,1 gram; karbohidrat 38 gram; dan serat 19,2 gram (USDA, 2016). Zat gizi makro
tertinggi pada serbuk daun kelor adalah karbohidrat dimana menurut Almatsier
(2004) karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi, 1 gram karbohidrat
menghasilkan 4 kalori, penghemat protein, jika karbohidrat makanan tidak
tercukupi maka protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan 13 energi
dengan mengalahkan fungsi utamanya sebagai zat pembangun. Menurut Irianto
(2006) peran karbohidrat dalam tubuh manusia yaitu sebagai pembentuk
cadangan sumber energi, kelebihan karbohidrat dalam tubuh akan disimpan dalam
bentuk lemak sebagai cadangan sumber energi yang sewaktu-waktu dapat
dipergunakan.
Kenaikan berat badan terendah ada pada pemberian ekstrak pekat dosis 2
daun kelor (23,5 gram). Hal ini diduga karena pemberian sediaan ekstrak pekat
dosis 2 merupakan dosis ekstrak pekat yang paling tinggi dan diberikan secara
sonde sehingga stressing lebih tinggi sehingga nafsu makan cenderung rendah
dibanding kelompok perlakuan lain. Penurunan nafsu makan juga
mengindikasikan terjadinya kelainan pada hepar dan ginjal. Menurut Warianto
(2011) kerusakan ginjal mengakibatkan tubuh tidak dapat mengeluarkan zat-zat
48
sisa metabolism tubuh. Akibatnya zat tersebut akan menjadi racun dalam tubuh,
hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya nafsu makan serta menyebabkan gagal
ginjal dalam kondisi parah. Perubahan berat badan berkaitan dengan pola
konsumsi pakan tikus percobaan. Namun hasil dari pengamatan ini masih perlu
dikonfirmasi dengan histologi hepar dan ginjal.
4.3 Konsumsi Pakan Tikus Wistar
Perhitungan konsumsi makanan yang merupakan salah satu kriteria
pengamatan pada uji toksisitas subkronis. Pada penelitian ini dilakukan
perhitungan konsumsi pakan setiap harinya untuk mengetahui adanya pengaruh
pemberian sediaan daun kelor.
Pola konsumsi pakan dapat dipengaruhi oleh faktor stressing, berat badan
tikus, adanya akumulasi zat toksik dalam tubuh, serta jenis pemberian sediaan uji.
Pada kelompok kontrol di akhir perlakuan memiliki konsumsi pakan yang paling
rendah (18,41 gram) dikarenakan berat badan dari kelompok kontrol paling rendah
dari kelompok lain sehingga mempengaruhi kapasitas lambung tikus wistar.
Volume normal lambung tikus yaitu 3-5 ml. Jika volume ekstrak melebihi volume
lambung, dapat berakibat dilatasi lambung secara akut yang dapat menyebabkan
robeknya saluran cerna (Ngatidjan, 2006).
Berdasarkan uji statistik non parametrik dengan Kruskal-Wallis (Lampiran
12) menunjukkan bahwa perbedaan bentuk sediaan suplemen daun kelor tidak
berpengaruh nyata (α = 0,05) antara pemberian sediaan daun kelor terhadap
konsumsi pakan tikus wistar jantan. Pada kelompok perlakuan memiliki berat
konsumsi pakan yang sebanding dengan selisih berat badan sedangkan pada
kelompok serbuk memiliki konsumsi pakan yang paling tinggi dikarenakan
pemberian pakan kelompok serbuk tinggi yaitu sebesar 24 gram dari komposisi 20
gram pakan standar, 3,4 gram serbuk daun kelor dan sisanya adalah kadar air
sehingga dapat dikatakan pada pemberian serbuk daun kelor menyisakan sekitar
0,70 gram serbuk atau mengkonsumsi serbuk 2.70 dari total serbuk yang
diberikan. Komponen nutrisi di dalam serbuk daun kelor seperti protein,
karbohidrat, dan serat diduga membuat kenaikan berat badan yang drastis pada
tikus percobaan. Nilai konsumsi pakan tikus percobaan ditampilkan pada Tabel
4.6
49
Tabel 4.6 Rerata Konsumsi Pakan Tikus Percobaan setiap Minggu setelah Pemberian
Sediaan Daun Kelor
Perlakuan Rerata konsumsi pakan tikus tiap minggu (g)*
Mg-1 Mg-2 Mg-3 Mg-4 Mg-5 Mg-6 Mg-7 Mg-8 Mg-9
Kontrol 17,92 19,45 19,66 17,41 17,97 19,13 18,98 16,66 18,41 Serbuk
daun kelor (3,4 gr)
18,46 19,29 20,10 17,33 16,04 17,83 19,09 17,27 20,70
Ekstrak air daun kelor
(5,6 ml) 19,02 17,54 17,49 17,06 17,65 19,27 19,25 18,60 19,74
Ekstrak pekat dosis 1 (4,1 ml)
19,28 19,51 19,15 19,29 18,18 19,51 19,56 19,57 19,93
Ekstrak pekat dosis 2 (8,2 ml)
17,79 17,40 17,87 18,89 17,76 18,66 18,76 18,56 19,42
*Jumlah pemberian pakan sebanyak 20 gram dan jumlah pemberian pakan serbuk
sebanyak 24 gram
Keterangan : Data merupakan rata-rata konsumsi pakan tikus tiap harinya (Lampiran 3)
Perlakuan ekstrak pekat dosis 2 memiliki konsumsi pakan lebih rendah
(19.42) dibandingkan perlakuan ekstrak pekat dosis 1 (19.93 gram) dan ekstrak
air (19.74 gram). Sama halnya dengan kenaikan berat badan perlakuan ekstrak
pekat dosis 2 lebih rendah dari perlakuan ekstrak pekat dosis 1 (37 gram) dan
ekstrak air (38 gram). Hal ini dikarenakan kapastias lambung tikus wistar terbatas
dan pemberian ekstrak pekat dosis 2 merupakan dosis yang paling tinggi sehingga
tikus percobaan akan merasa kenyang dan memberikan efek tidak enak diperut.
4.4 Pengamatan Gejala Klinis dan Toksisitas Hewan Coba
Pengamatan fisik terhadap gejala-gejala toksik dilakukan selama 64 hari
terhadap semua kelompok. Selama pengamatan 64 hari akibat pemberian sediaan
serbuk daun kelor, ekstrak daun kelor, ekstrak pekat dosis 1 daun kelor dan
ekstrak pekat dosis 2 daun kelor tidak menunjukkan adanya gejala toksik. Tabel
4.7 menunjukkan tidak adanya gejala toksik pada seluruh perlakuan selama 64
hari. Pola konsumsi pakan beberapa tikus wistar cukup banyak (80% dari berat
pakan yang diberikan) namun beberapa tikus wistar dengan berat badan < 200
gram lebih sedikit dalam konsumsi pakan. Hasil pengamatan gejala toksik
ditampilkan pada Tabel 4.7
50
Tabel 4.7 Hasil Pengamatan Gejala Toksik Hewan Coba Selama 64 hari
Perlakuan sediaan Jumlah
tikus Gejala toksik*
Kontrol 4 Tidak ada gejala toksik Serbuk daun kelor (3,4 gr) 4 Tidak ada gejala toksik
Ekstrak air daun kelor (5,6 ml) 4 Feses di semua ulangan cenderung lembek dihari ke-6
Ekstrak pekat dosis 1 (4,1 ml) 4 Feses di semua ulangan cenderung lembek dihari ke-8, tikus ulangan 3
pincang dihari ke 5-9 perlakuan dan hari selanjutnya kembali normal
Ekstrak pekat dosis 2 (8,2 ml) 4 Feses di semua ulangan cenderung lembek dihari ke-8, tikus ulangan 4 dan 5
pincang dihari ke-7 perlakuan dan hari selanjutnya kembali normal
*Pengamatan fisik dilakukan pada kulit dan bulu, mata, sistem pernafasan, sistem
saluran cerna, pola perilaku (Wahyono et al., 2006).
Perlakuan dengan pemberian serbuk daun kelor 3,4 gram seluruh tikus
memiliki pertumbuhan yang cepat dari hari ke hari dan berat badan yang
cenderung besar daripada perlakuan yang lain. Perlakuan dengan pemberian
serbuk memiliki feses yang lebih banyak dari perlakuan lain dan feses memiliki
kenampakan feses yang hijau gelap, keras tetapi rapuh. Hasil pengamatan ini
diduga karena di dalam serbuk daun kelor masih mengandung komponen tidak
tercerna yaitu serat pangan. Serat makanan dalam serbuk daun kelor cukup tinggi
yaitu sebesar 19,2 gram (USDA, 2016). Serat makanan tidak dicerna di dalam
usus melainkan dimetabolisme oleh bakteri yang berada pada saluran pencernaan
sehingga membuat volume feses bertambah, meningkatkan pengaruh laksatif,
dan melunakkan konsistensi feses. Serat makanan akan menyerap air di dalam
kolon sehingga volume feses lebih besar dan akan merangsang syaraf pada
rektum sehingga menimbulkan keinginan untuk defikasi. Feses yang mengandung
serat akan memiliki kurun waktu antara masuknya makanan dan keluarnya feses
menjadi lebih singkat (Daldiyono et al., 1990).
Tikus dengan perlakuan ekstrak air, ekstrak pekat dosis 1 dan dosis 2
memiliki kenampakan feses yang cenderung lembek, hal ini diduga karena bentuk
sediaan ekstrak air dan ekstrak pekat yang encer dan diberikan dalam jumlah yang
cukup tinggi yaitu masing-masing 5,6 ml; 4,1 ml; dan 8,2 ml membuat konsumsi
cairan dalam lambung tikus wistar lebih besar dari konsumsi pakan. Pengamatan
pada kulit dan bulu, mata, sistem pernafasan, dan tingkah laku menunjukkan pada
seluruh kelompok semua tikus terlihat aktif, sehat dan tidak ada gejala keracunan.
Fenomena ini dapat terjadi karena bahan yang diujikan tidak menyebabkan
51
potensi toksik dalam jangka waktu pengamatan 64 hari dan dosis yang diberikan
masih dalam taraf normal. Namun pada kelompok ekstrak pekat dosis 1 dan dosis
2 terdapat tikus yang berjalan pincang tetapi dapat kembali normal. Hasil
pengamatan ini diduga karena beberapa hal yaitu tingkah laku tikus yang aktif
hingga menyebabkan kaki terkilir, tersangkut pada pembatas kandang dan
kurangnya hati-hati selama merawat tikus atau memberikan perlakuan. Menurut
Frank (1995) efek toksik pada sifat, organ sasaran serta mekanisme kerjanya
sangat bervariasi. Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera ketika
bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat disebabkan oleh senyawa kaustik,
misalnya pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, dan iritasi gas atau
uap pada saluran nafas. Efek lokal ini menggambarkan kerusakan umum pada sel
sel hidup ditandai dengan munculnya gejala toksik pada hewan coba.
4.5 Analisa Fungsi Hepar
4.5.1 Alkali Fosfatase
Pemeriksaan biokimia klinis pada pengujian toksisitas subkronis menurut
Oranization for Economic Cooperation and Development (OECD) (2001) meliputi:
natrium, kalium, glukosa, total-kolesterol, trigliserida, nitrogen urea, kreatinin, total-
protein, albumin, GOT, GPT, total-bilirubin, alkaline fosfatase, gamma glutamil
trans-peptidase, LDH, asam empedu. Pada penelitian ini menggunakan
pemeriksaan alkali fosfatase sebagai parameter kerusakan hepar dikarenakan
enzim ini lebih stabil karena akan bekerja baik pada kondisi pH basa (pH 10)
sehingga enzim ini tidak aktif di dalam darah (Kaslow, 2013). Berdasarkan
University Animal Care Pathology Service (2014) kadar alkali fosfatase normal
pada tikus putih sebesar 174-589 U/L. Data pengamatan alkali fosfatase (U/L) dari
serum darah tikus wistar jantan yang diberi sediaan serbuk daun kelor, ekstrak air,
ekstrak pekat dosis 1 dan ekstrak pekat dosis 2 ditampilkan pada Tabel 4.8
Tabel 4.8 Rerata Total Alkaline Phosphatase (ALP) Serum Darah Tikus Wistar
Perlakuan ALP (U/L) ± SD
Kontrol 139,50 ± 43,378
Serbuk daun 173,75 ± 46,471
Ekstrak air 140,50 ± 52,855
Ekstrak pekat dosis 1 187,50 ± 31,838
Ekstrak pekat dosis 2 178,25 ± 11,177
52
139.5
173.8
140.5
187.5178.3
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
Kontrol Serbuk Ekstrak Air KonsentratDosis 1
KonsentratDosis 2
Kad
ar
Alk
ali
Fo
sfa
tas
e (
U/L
)
Pakan + Perlakuan Sediaan Suplemen Daun Kelor
Semakin tinggi kadar alkali fosfatase dalam serum menunjukkan
kerusakan hepar yang semakin besar. Hasil analisis non parametrik dengan
Kruskal-Wallis (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perbedaan bentuk sediaan
suplemen daun kelor tidak berpengaruh nyata (α = 0,05) antara pemberian
sediaan daun kelor terhadap kadar alkali fosfatase total pada tikus wistar jantan.
Grafik dari akdar alkali fosfatase ditampilkan pada Gambar 4.2
Gambar 4.2 Rerata Total ALP (U/L) Serum Darah Tikus Wistar Jantan yang diberi
Sediaan Serbuk Daun Kelor (3,4 gram), Ekstrak Air (5,6 ml), Ekstrak pekat Dosis 1 (4,1 ml) dan Ekstrak pekat Dosis 2 (8,2 ml) setelah 64 Hari
Tabel 4.8 dan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa kadar alkali fosfatase tikus
jantan pada seluruh kelompok perlakuan memiliki nilai yang normal (139-187 U/L)
dimana nilai rujukan dari alkali fosfatase yaitu 174 – 589 U/L. Hasil kadar alkali
fosfatase dengan perilaku tikus wistar berbanding lurus dimana tidak terdapat
perilaku yang menunjukkan adanya efek toksik dari sediaan suplemen daun kelor
terhadap tikus wistar. Beberapa perlakuan menunjukkan kadar alkali fosfatase
justru dibawah nilai normal. Hal ini diduga karena terjadi penurunan aktivitas alkali
fosfatase di dalam tubuh tikus percobaan. Tingkat enzim alkali fosfatase dalam
darah dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, golongan darah dan kesehatan hepar,
empedu dan tulang. Semakin tua umur tikus wistar aktivitas alkali fosfatase akan
semakin menurun.
Kadar alkali fosfatase jika dibandingkan antar kelompok perlakuan,
kelompok yang memiliki kadar alkali fosfatase paling tinggi adalah pada pemberian
53
ekstrak pekat dosis 1 yaitu sebesar 187,5 U/L, diikuti kelompok ekstrak pekat dosis
2 178,25 U/L, kelompok serbuk 173,75 U/L dan ekstrak air 140,5 U/L. Ekstrak
pekat dosis 1 memiliki kadar alkali fosfatase yang paling tinggi dan yang paling
rendah adalah pada kelompok pemberian ekstrak air. Kadar alkali fosfatase yang
seharusnya paling tinggi adalah pada kelompok serbuk daun kelor karena kadar
oksalat total paling tinggi ada pada sediaan serbuk daun kelor dan kadar alkali
fosfatase yang paling rendah seharusnya ada pada ekstrak pekat dosis 1
dikarenakan kadar oksalat total yang paling rendah. Selain itu, jika dilihat dari
kadar oksalat yang terkandung dalam tiap sediaan, ekstrak pekat dan ekstrak air
memiliki kandungan oksalat terlarut yang memiliki mekanisme biotransformasi
lebih sederhana karena tanpa proses pengikatan dengan gugus polar pada
molekul intrasel. Sediaan serbuk memiliki kandungan oksalat tak larut akibatnya
mekanisme biotransformasi zat toksik dalam hepar pada sediaan serbuk lebih
kompleks dibandingkan dengan mekanisme biotranformasi asam oksalat
sehingga kemungkinan kadar alkali fosfatase serum pada kelompok serbuk daun
kelor lebih tinggi dari ekstrak air dan ekstrak pekat. Proses oksidasi pada fase 1
mekanisme biotransformasi hepar dapat menyebabkan zat toksik menjadi lebih
aktif. Rendahnya alkali fosfatase pada kelompok serbuk diduga karena berat
badan yang dimiliki setiap kelompok berbeda.
Pada kelompok pemberian serbuk daun kelor memiliki berat badan paling
tinggi sehingga kemampuan tubuh dalam mengekskresi alkali fosfatase akan lebih
tinggi. Selain itu pemberiaan sediaan dicampur dengan pakan dan hanya
dilakukan penyondean dengan akuades 2 ml sehingga stressing kelompok
pemberian serbuk daun kelor berbeda dengan kelompok lain yang diberikan sonde
berupa sediaan ekstrak dan ekstrak pekat. Ketika mengalami stress fisiologis, atau
rangsang patologis,sel bisa beradaptasi mencapai kondisi baru dan
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Apabila kemampuan adaptif
berlebihan, sel mengalami jejas berupa degenerasi. Sel akan bersifat reversibel
dalam batas tertentu dan kembali ke kondisi stabil semula. Namun stress yang
berat atau menetap menyebabkan cedera yang ireversibel dan sel yang terkena
akan mengalami robekan membrane plasma dan perubahan inti sel sehingga sel
akan mati atau nekrosis dan kadar alkali fosfatase dalam serum darah yang tinggi
dapat menjadi parameter adanya kerusakan sel pada hepar (Richard et al., 2003).
Kadar alkali fosfatase pada ekstrak pekat 1 paling tinggi diduga karena proses
evaporasi. Beberapa persenyawaan dapat mengalami transformasi metabolik
54
menjadi senyawa yang reaktif dan toksik terhadap berbagai organ tubuh. Reaksi
toksik mungkin tidak terlihat pada pemaparan dosis yang rendah karena masih
ada mekanisme detoksifikasi lain yang dapat meminimalisir kerusakan dan masih
tersedia cukup kosubstrat endogen (glutation,asam glukuronat, sulfat) untuk
detoksifikasi. Adanya waktu yang semakin lama dan peningkatan dosis obat,
kosubstrat endogen yang terpakai akan lebih cepat daripada regenerasinya.
Akhirnya akan terjadi kekosongan kosubstrat endogen dan akan terjadi
penimbunan suatu metabolit yang toksik dan reaktif, berakibat toksisitas terhadap
organ-organ dan efek toksisitas pada organ hepar akan menyebabkan kenaikan
kadar alkali fosfatase (Katzung, 2009). Kadar alkali fosfatase kelompok ekstrak
pekat yang lebih tinggi dari ekstrak air dan serbuk daun kelor juga diduga karena
komponen senyawa bioaktif pada esktrak air dan serbuk daun kelor lebih tinggi
dari ekstrak pekat daun kelor. Berdasarkan penelitian oleh Waterman et al., (2014)
di dalam ekstrak akuades daun kelor mengandung isotiosianat sebesar 1,66% dan
totoal polifenol sebesar 3,82%. Sedangkan menurut Teixeira et al., (2014)
komponen metabolit sekunder dalam serbuk daun kelor antara lain 20,7 mg/g
tannin; 17 mg/g nitrat; 10,5 mg/g oksalat dan dalam serbuk ekstrak air daun kelor
mengandung 0,0468% total katekin/flavonoid (0,0323% epikatekin). Berdasarkan
penelitian oleh Redha (2010), flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa
fenol yang memiliki sifat antioksidatif serta berperan dalam mencegah kerusakan
sel dan komponen selulernya oleh radikal bebas reaktif. Flavonoid merupakan
senyawa polifenol mempunyai kemampuan untuk menyumbangkan atom hidrogen
kepada senyawa radikal bebas, maka aktivitas antioksidan senyawa polifenol
dapat dihasilkan pada reaksi netralisasi (Handayani et al., 2004). Komponen
fenolik dapat menghambat oksidasi lipid dengan menyumbangkan atom hidrogen
kepada radikal bebas (Septiana dan Ari, 2012). Pada ekstrak pekat telah
mengalami evaporasi dan penguapan pada suhu 50-55°C sehingga
memungkinkan senyawa biaoktif pada ekstrak air akan menguap dan kemampuan
senyawa bioaktif dalam ekstrak pekat untuk mencegah kenaikan kadar alkali
fosfatase dalam serum juga akan berkurang. Komponen bioaktif seperti flavonoid,
tanin, dan fenol rusak pada suhu diatas 50°C karena dapat mengalami perubahan
struktur serta menghasilkan ekstrak yang rendah (Handayani et al., 2016).
Beberapa golongan flavonoid memiliki ikatan glikosida dengan molekul gula.
Ikatan glikosida akan mudah rusak atau putus pada suhu tinggi (Poedjiadi, 1994).
Menurut Budiyanto dan Yulianingsih (2008) waktu ekstraksi yang tepat akan
55
menghasilkan senyawa yang optimal. Waktu ekstraksi yang terlalu lama akan
menyebabkan ekstrak terhidrolisis, sedangkan waktu ekstraksi yang terlalu singkat
menyebabkan tidak semua senyawa akif terekstrak dari bahan.
Berdasarkan penelitian oleh Adedapo et al., (2009) yang diberikan ekstrak
akuades daun kelor dengan dosis 400 mg/kg, 800 mg/kg dan 1600 mg/kg selama
21 hari pada tikus wistar jantan dengan berat badan 85-130 g menunjukkan hasil
alkali fosfatase sebesar 28 U/L pada kelompok kontrol, 19 U/L pada kelompok
dosis 400 mg/kg, 42,7 U/L pada kelompok dosis 800 mg/kg dan 47,4 U/L pada
kelompok dosis 1600 mg/kg. Perbedaan hasil pada penelitian ini dengan literatur
diduga karena karakterisitik bahan yang berbeda, dosis yang berbeda, waktu
perlakuan yang lebih singkat pada literatur, kondisi stressing hewan coba yang
berbeda serta kandungan senyawa bioaktif di dalam daun kelor yang berbeda
dimana kandungan senyawa bioaktif dapat meminimalisir efek samping yang
merugikan dari daun kelor terutama kandungan oksalat dalam daun kelor.
Efek toksik berdasarkan kadar alkali fosfatase menunjukkan bahwa
pemberian sediaan serbuk daun kelor, ekstrak air, ekstrak pekat dosis 1 dan
ekstrak pekat dosis 2 berada dalam kategori aman dan kadar alkali fosfatase
masih dalam batas normal (174-589 U/L) (Animal Care Pathology Service, 2014).
Hal ini diduga karena kadar oksalat total pada daun kelor relatif rendah dan dosis
sediaan yang diberikan belum mencapai kerusakan fatal pada organ. Kadar
oksalat total sediaan daun kelor pada penelitian ini yaitu sebesar 0,16 gram/100
gram pada daun segar, 1,99 gram/100 gram pada serbuk daun, 0,079 gram/100
gram pada ekstrak air dan 0,001 gram/100 gram pada ekstrak pekat ekstrak air.
Dosis letal asam okslaat pada manusia dewasa adalah sebesar 15-30 gram per
hari. Dosis letal terendah yang pernah dilaporkan adalah 6-8 gram (setelah
seseorang mengkonsumsi sup sorrel). Sedangkan dosis letal terendah melalui
intravena manusia adalah 17 mg/kg (KBPOM, 2012).
Kadar ALP akan mencapai 10 kali dari normal apabila terjadi obstruksi
biliaris dan akan mencapai 20 kali normal apabila terjadi sirosis hepar (Lawrence
et.al., 1996; Richterich dan Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011). Normalnya
ALP yang berada dalam hepar akan diekskresikan ke dalam empedu (Richterich
and Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011). Sel mukosa pada sistem empedu
merupakan sumber dari alkali fosfatase dimana aliran bebas empedu akan melalui
hepar dan turun ke saluran empedu, kantung empedu bertanggung jawab untuk
menjaga kadar normal enzim ALP dalam darah. Ketika terjadi kelainan hepar,
56
saluran empedu atau kantung empedu akan tersumbat, sehingga enzim ini tidak
dapat diekskresikan melalui empedu melainkan dilepaskan ke dalam aliran darah
sehingga kadar serum alkali fosfatase dapat digunakan untuk mengukur integritas
sistem saluran empedu (hepatobiliaris) dan aliran empedu ke usus halus (Kaslow,
2013). Jika terjadi kerusakan atau obstruksi pada hepar dan saluran empedu,
maka ditandai dengan aktivitas ALP yang meningkat (Richterich and Colombo,
1981 dalam Nuridayanti, 2011).
4.5.2 Histopatologi Hepar
Hepar merupakan organ pertama setelah saluran pencernaan yang
terpapar oleh bahan-bahan yang bersifat toksik sehingga paling berpotensi
mengalami kerusakan dikarenakan posisi hepar berada di antara permukaan
absortif dari saluran cerna dan target obat. Sebagian besar toksikan masuk ke
dalam tubuh melalui sistem digesti, setelah diserap kemudian toksikan dibawa
oleh vena porta ke hepar (Natalia, 2013). Pengamatan histopatologi hepar
bertujuan untuk melihat kerusakan sel hepar pada tikus wistar jantan yang
diberikan perlakuan sediaan serbuk daun kelor, ekstrak air, ekstrak pekat dosis 1
dan ekstrak pekat dosis 2.
Jaringan hepar tersusun atas sel-sel hepatosis yang berwarna merah
dengan inti sel berbentuk bulat dan berwarna ungu. Kumpulan sel hepatosit
dipisahkan oleh celah yang disebut sinusoid. Hasil pengamatan histopatologi
hepar adalah sebagai berikut :
a. Kelompok kontrol (tanpa suplemen)
Pada kelompok kontrol tanpa suplemen menunjukkan sel hepatosit yang
normal pada kelompok kontrol. Terlihat dari susunan sel hepatosit yang
normal, tidak adanya pembengkakan (edema) dan teratur dengan inti sel yang
masih terlihat (Gambar 4.3).
b. Kelompok serbuk daun kelor
Sel hepatosit pada kelompok suplemen serbuk daun kelor tersusun normal,
namun ada beberapa sel hepatosit yang mengalami degenerasi
parenkimatosa (Gambar 4.3). Degenerasi parenkimatosa dan hidropik
menyebabkan perubahan morfologi ultrastruktur berupa perubahan
membrane plasma, perubahan mitokondria, dilatasi reticulum endoplasma,
dan perubahan nuclear. Degenerasi parenkimatosa terjadi akibat adanya
kegagalan oksidasi yang menyebabkan tertimbunnya air di dalam sel,
57
akibatnya transportasi protein yang diproduksi di ribosom terganggu. Hal
tersebut menyebabkan pembengkakan sel dan pengeruhan sitoplasma
dengan munculnya granul-granul dalam sitoplasma akibat endapan protein.
Degenerasi parenkimatosa merupakan degenerasi paling ringan dan bersifat
reversibel (Kumar et al., 2007).
c. Kelompok ekstrak air daun kelor
Pada kelompok suplemen ekstrak air daun kelor menunjukkan sel hepatosit
yang normal. Terlihat dari susunan sel hepatosit yang normal, tidak adanya
pembengkakan (edema) dan teratur dengan inti sel yang masih terlihat
(Gambar 4.3). Berdasarkan penelitian lain oleh Adedapo et al., (2009) dengan
pemberian ekstrak air daun kelor dengan dosis 2000 mg/kg p.o selama 21 hari
pada tikus wistar jantan dengan berat badan 85-130 g menunjukkan kelainan
difusi degenerasi hepatik pada hepar. Dosis yang digunakan pada literatur
lebih besar jika dibandingkan dengan dosis yang digunakan pada penelitian
ini. Dosis pada penelitian ini merupakan dosis kalsium yang terkandung dalam
sediaan suplemen daun kelor berdasarkan angka kecukupan gizi harian yaitu
sebesar 0,5 mg/195 gram bb dalam 5,6 ml ekstrak air sedangkan kadar
oksalat total yang terkandung pada 5,6 ml ekstrak air adalah sebesar 0,45
mg/5,6 ml sehingga pada sediaan suplemen ekstrak air dalam penelitian ini
belum terjadi kerusakan sel.
d. Kelompok ekstrak pekat daun kelor dosis 1
Ekstrak pekat daun kelor dosis 1 terlihat sel hepatosit yang tersusun normal,
namun ada beberapa sel hepatosit yang mengalami degenerasi
parenkimatosa. Sel hepar juga mengalami degenerasi hidropik dan kolestasis
pada kelompok pemberian ekstrak pekat daun kelor dosis 1 (Gambar 4.3).
e. Kelompok ekstrak pekat daun kelor dosis 2
Sel hepatosit kelompok ekstrak pekat daun kelor dosis 2 tersusun normal,
namun ada beberapa sel hepatosit yang mengalami degenerasi
parenkimatosa. Sel hepar juga mengalami degenerasi hidropik dan kolestasis
pada kelompok pemberian ekstrak pekat daun kelor dosis 2 (Gambar 4.3).
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam
duodenum dalam jumlah yang normal. Degenerasi hidropik pada dasarnya
sama dengan degenerasi parenkimatosa dan bersifat reversibel, namun
degenerasi ini lebih berat dibandingkan degenerasi parenkimatosa dimana
tampak vakuola berisi air dalam sitoplasma yang tidak mengandung lemak
58
atau glikogen. Hal ini disebabkan karena gangguan transport aktif yang
menyebabkan sel tidak mampu memompa ion Na+ keluar sehingga
konsentrasi ion Na+ di dalam sel naik. Proses osmosis menyebabkan influx air
ke dalam sel sehingga terjadi perubahan morfologis yaitu sel menjadi
bengkak atau disebut degenerasi hidropik (Kumar et al., 2007).
Jika dilihat dari oksalat total yang terkonsumsi oleh tikus wistar (Tabel 4.4),
kelompok perlakuan suplemen ekstrak air seharusnya memiliki sel yang rusak
dibandingkan dengan kelompok perlakuan ekstrak pekat karena oksalat yang
terkonsumsi lebih tinggi. Adanya sel yang normal pada perlakuan ekstrak air
diduga karena kandungan senyawa bioaktif pada ekstrak air daun kelor yaitu
flavonoid yang dapat mencegah kerusakan sel dan komponen selulernya oleh
radikal bebas reaktif (Redha, 2010) Sedangkan pada kelompok ekstrak pekat telah
mengalami evaporasi dan penguapan pada suhu 50-55°C sehingga
memungkinkan senyawa biaoktif pada ekstrak air akan menguap dan kemampuan
senyawa bioaktif dalam ekstrak pekat untuk mencegah kerusakan sel juga akan
berkurang. Komponen bioaktif seperti flavonoid, tanin, dan fenol rusak pada suhu
diatas 50°C karena dapat mengalami perubahan struktur serta menghasilkan
ekstrak yang rendah (Handayani et al., 2016).Berdasarkan penelitian oleh Kumala
et al., (2016) ekstrak etanol daun kelor 500mg/200BBtikus dapat berpotensi
sebagai antioksidan dengan menurunkan kadar SGOT, SGPT maupun kadar MDA
adalah dosis 1gr/200gram bb tikus.
Dalam penelitian ini, degenerasi sel diduga terbentuk akibat adanya
kalsium oksalat yang menyebabkan sirkulasi darah terganggu sehingga
menyebabkan berkurangnya suplai oksigen. Ketika kristal oksalat terabsorbsi
dalam hepar, hepar menghasilkan enzim-enzim biotransformasi untuk berbagai
macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi dalam tubuh (Natalia, 2013).
Proses ini diduga dapat mengaktifkan kristal kalsium oksalat menjadi bentuk lebih
toksik dan menyebabkan perlukaan hepar. Menurut Riadi (2006) dalam Juhrryah
(2008), apabila paparan zat toksik pada sel cukup tinggi dan dalam waktu yang
lama, sel akan mencapai suatu titik hingga sel tidak mampu mengkompensasi zat
toksik dan tidak dapat lagi bermetabolsime dan kerusakan yang awalnya bersifat
reversibel menjadi irreversible yaitu kematian sel yang disebut nekrosis. Data hasil
pengamatan ditampilkan pada Gambar 4.3
59
a. Kelompok kontrol (tanpa suplemen)
kelor menunjukkan sel hepatosit normal
b. Kelompok suplemen serbuk daun kelor menunjukkan sel hepatosit mengalami degenerasi parenkimatosa
c. Kelompok suplemen ekstrak air daun kelor menunjukkan sel hepatosit normal
d. Kelompok suplemen ekstrak pekat daun kelor dosis 1 menunjukkan sel hepatosit mengalami degenerasi parenkimatosa dan kolestasis
e. Kelompok suplemen ekstrak pekat daun kelor dosis 2 menunjukkan sel hepatosit mengalami degenerasi parenkimatosa dan kolestasis
Gambar 4.3 Gambaran Histopatologi Sel Hepar Tikus Wistar Jantan Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE – CV = Central Vena; PV = Portal Vena; AH = Artery Hepatic; BD = Bile Duct S = Sinusoid; K = Kolestasis
Asam oksalat memiliki gugus hidroksil fenolik (-OH) yang memiliki sifat
oksidatif stres yang menimbulkan aktivitas sitotoksik apabila diberikan dalam
jangka waktu yang lama dan dosis yang tinggi (Batova et al., 2010). Gugus
hidroksil fenolik (-OH) berperan penting dalam uncoupling (pemutusan rangkaian)
60
rantai pernafasan di mitokondria (Kawai et al., 1984 dalam Nirwana, 2015).
Adanya cedera pada mitokondria menyebabkan terjadinya penurunan produksi
ATP sehingga sel mengalami kerusakan karena kondisi sel bergantung pada
metabolisme oksidatif di mitokondria (Kumar et al., 2007). Penambahan atau
pelepasan gugus fungsional (-OH) terjadi pada reaksi biotransformasi obat di
hepar pada fase 1 sehingga dampak sitotoksik asam oksalat diduga dapat terjadi
di hepar (Katzung, 2009).
4.6 Analisa Fungsi Ginjal
4.6.1 Histopatologi Ginjal
Fungsi utama ginjal yaitu mengeluarkan limbah hasil detoksifikasi.
Kegagalan fungsi ginjal dapat terjadi jika organ dirusak oleh bahan yang bersifat
toksik. Pengamatan histopatologi ginjal bertujuan untuk melihat kerusakan
glomerulus pada tikus wistar jantan yang diberikan perlakuan sediaan suplemen
daun kelor, ekstrak air daun kelor, ekstrak pekat daun kelor dosis 1 dan ekstrak
pekat daun kelor dosis 2. Pada pemeriksaan histopatologis ginjal, efek toksik
diamati melalui kenampakan ruang bowman dan glomerulus, sel tubulus ginjal
yang mengalami degenerasi parenkimatosa, degenerasi hidropik atau nekrosis.
Pada tubulus kontortus proksimal yang mengalami degenerasi hidropik akan
tampak vakuola pada sitoplasma dan disekeliling inti selnya, sedangkan pada
tubulus kontortus proksimal yang mengalami nekrosis akan tampak inti sel piknotik
dan sitoplasma sel menggumpal (Kumar et al., 2005). Seluruh kelompok perlakuan
yang diberi suplemen serbuk daun kelor, suplemen ekstrak air daun kelor,
suplemen ekstrak pekat daun kelor dosis 1 dan suplemen ekstrak pekat daun kelor
dosis 2 pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa susunan glomerulus pada seluruh
kelompok adalah normal yang menandakan fungsi filtrasi ginjal masih berlangsung
normal. Komponen dalam unit ginjal seperti glomerulus, ruang bowman dan
capsula bowman masih dapat teramati dengan jelas pada seluruh kelompok
perlakuan. Sel tubulus kontortus proksimal terlihat normal pada semua kelompok
perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan ekstrak pekat daun kelor tidak
bersifat toksik pada sel ginjal atau sel ginjal tidak mengalami kondisi stress yang
berat akibat pemberian sediaan daun kelor (Richard et al.,2003). Zat aktif pada
obat herbal terutama daun kelor umumnya berupa metabolit sekunder sedangkan
satu tanaman dapat menghasilkan beberapa metabolit sekunder sehingga
memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek
61
tersebut dapat saling mendukung tetapi juga dapat berlawanan atau kontradiksi
(Katno dan Pramono, 2001). Data hasil pengamatan ditunjukkan pada Gambar
4.4.
a. Kelompok kontrol (tanpa suplemen)
menunjukkan ciri glomerulus normal
b. Kelompok serbuk menunjukkan ciri
glomerulus normal
c. Kelompok ekstrak air menunjukkan
ciri glomerulus normal
d. Kelompok ekstrak pekat dosis 1
menunjukkan ciri glomerulus normal
e. Kelompok ekstrak pekat dosis 2
menunjukkan glomerulus normal
Gambar 4.4 Gambaran Histopatologi Sel Ginjal Tikus Wistar Jantan Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE – G = Glomerulus; CP = Capsular space; BC = Capsula Bowman; TKP = Tubulus Kontortus Proksimal; TKD = Tubulus Kontortus Distal
Disatu sisi obat herbal memiliki keunggulan yang berguna untuk
meminimalisir efek samping yang merugikan. Beragamnya bahan kimia aktif yang
terdapat dalam tanaman akan bekerja secara sinergi untuk menghasilkan efek
G
BC BC
CP CP
G BC
G BC
G BC
TKP
TKD G
TKD
TKP
62
terapeutik yang diharapkan dan efek ini dapat hilang atau dapat menimbulkan efek
merugikan ketika bahan kimia tersebut dimurnikan atau diisolasi (Nirwana, 2015).
Faktor lain yang dapat menunjukkan sel ginjal normal adalah dikarenakan zat
toksik yaitu oksalat telah terjadi biotransformasi di dalam hepar sehingga ketika
ditransportasi menuju ginjal, oksalat lebih mudah diekskresi oleh ginjal. Selain itu,
kristal oksalat di dalam kelor belum terjadi penumpukan yang fatal pada organ
ginjal. Apabila kristal oksalat sudah menumpuk pada organ ginjal, maka sel ginjal
akan menunjukkan terjadinya degenerasi.
Berdasarkan penelitian lain oleh Adedapo et al., (2009) yang diberikan
ekstrak akuades daun kelor dengan dosis 2000 mg/kg p.o selama 21 hari pada
tikus wistar jantan dengan berat badan 85-130 g menunjukkan tidak adanya
kelainan atau lesi pada sel ginjal. Dosis yang digunakan pada literatur lebih besar
jika dibandingkan dengan dosis yang digunakan pada penelitian ini. Penelitian ini
merupakan bagian dari penelitian pengujian bioavailabilitas kalsium sehingga
dosis yang digunakan adalah dosis suplemen kalsium yang dihitung berdasarkan
pada angka kecukupan gizi harian yaitu sebesar 0,5 mg/195 gram bb dalam 5,6
ml ekstrak air sedangkan kadar oksalat total yang terkandung pada 5,6 ml ekstrak
air adalah sebesar 0,45 mg/5,6 ml sehingga pada sediaan suplemen ekstrak air
dalam penelitian ini belum terjadi kerusakan sel.
Ruang bowman pada ginjal dapat mengalami pembengkakan (edema)
dimana terjadi perluasan ruang bowman karena berisi cairan. Pembengkakan
ruang bowman atau ruang yang mengelilingi tubulus dapat mengganggu filtrasi
glomerulus dan reabsorbsi tubulus dengan meningkatkan cairan intertisium.
Pembengkakan dan edema juga dapat menimbulkan kolaps glomerulus sehingga
menyebabkan hipoksia atau kematian nefron dalam keadaan ekstrem (Corwin,
2009). Kalsium oksalat yang terakumulasi dalam tubuh dapat menyebabkan
edema sehingga menyebabkan adanya gangguan sirkulasi darah di ginjal
sehingga terjadi penurunan jumlah tubulus pada glomerulus dan menghambat
proses filtrasi pada glomerulus. Kalsium oksalat juga menyebabkan terjadinya
degenerasi hidropis pada epitel tubuli ginjal. Degenerasi hidropis merupakan
kerusakan membrane sel sehingga tidak mampu memompa natrium dengan baik.
Peningkatan konsentrasi natrium di dalam sel menyebabkan masuknya air ke
dalam sel melalui proses osmosis alami sehingga terjadi pembengkakan sel
(Natalia, 2013). Namun, di dalam penelitian ini tidak diamati terjadinya
ketidaknormalan sel ginjal berdasarkan pemeriksaan biokimia klinis.
63
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Sediaan daun kelor mengandung asam oksalat yang tergolong rendah,
masing-masing sebesar 165,28 mg/100 gram pada daun segar, 1987,21
mg/100 gram pada serbuk daun kelor, 7.93 mg/100 gram pada ekstrak air
daun kelor, dan 1 mg/100 gram pada ekstrak pekat daun kelor.
2. Berdasarkan konsumsi pakan dan dosis, kadar oksalat total yang
terkonsumsi sebesar 67,57 mg/3,4 g pada kelompok serbuk daun kelor,
0,45 mg/5,6 ml pada kelompok ekstrak air daun kelor, 0,04 mg/4,1 ml
pada kelompok ekstrak pekat daun kelor dosis 1 dan 0,04 mg/4,1 ml pada
kelompok ekstrak pekat daun kelor dosis 2.
3. Efek toksik berdasarkan aktivitas alkali fosfatase masih dalam range
normal (174 – 589 U/L) dengan hasil alkali fosfatase tertinggi pada
kelompok ekstrak pekat dosis 1 yaitu sebesar 187,5 U/L, diikuti kelompok
ekstrak pekat dosis 2 178,25 U/L, kelompok serbuk 173,75 U/L dan
ekstrak air 140,5 U/L.
4. Efek toksisitas berdasarkan histopatologi hepar menunjukkan kerusakan
ringan yang bersifat reversibel yaitu adanya degenerasi parenkimatosa
pada kelompok serbuk, dan terjadi degenerasi parenkimatosa, hidropik,
dan kolestasis pada kelompok ekstrak pekat dosis 1 dan dosis 2.
5. Efek toksisitas berdasarkan histopatologi ginjal menunjukkan fungsi
filtrasi ginjal seluruh kelompok perlakuan masih berlangsung normal.
5.2 Saran
1. Dari aspek teknologi pangan, perlu diteliti teknologi dalam mengurangi
oksalat sehingga mengoptimalkan potensi daun kelor.
2. Perlu dilakukan pengujian komponen lain yang berpotensi sebagai zat
toksik pada daun kelor.
3. Perlu dilakukan pengujian toksisitas subkronis maupun kronis pada
hewan uji betina karena mekanisme tubuh dalam menerima zat toksik
pada hewan jantan dan betina berbeda.
4. Diperlukan pengujian biokimia klinis sebagai parameter kerusakan ginjal
terutama di urin untuk melihat kadar kalsium oksalat yang terekskresi.
64
DAFTAR PUSTAKA
Adedapo, A., Mogbojuri, O., M., and Emikpe, B., O. 2009. Safety Evaluations of
the Aqueous Extract of the Leaves of Moringa Oleifera In Rats.
Journal of Medicinal Plants Research Vol. 3(8), pp. 586-591
Adiyati PN. 2011. Ragam Jenis Ektoparasit pada Hewan Coba Tikus Putih
(Rattus Norvegicus) Galur Sprague Dawley (Skripsi). Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian, Bogor
Akhtar, M., Israr, B., Bhatty, N., dan Ali, A. 2011. Effect of Cooking on Soluble
and Insoluble Oxalates In Selected Pakistani Vegetables and Beans.
International Journal of Food Properties Vol. 14: 241 – 249
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Aminah, S. Rhamdan dan T. Yanis, M. 2015. Kandungan Nutrisi dan Sifat
Fungsional Tanaman Kelor (Moringae oleifera). Buletin Pertanian
Perkotaan 5(2)
Anwar, S. Yulianti, E. Hakim, A. Fasya, A.G. Fauziyah dan B. Muti’ah, R. 2014. Uji
Toksisitas Ekstrak Akuades (Suhu Kamar) dan Akuades Panas
(700C) Daun Kelor (Moringa Oleifera Lamk) terhadap Larva Udang
Artemia Salina Leach. J. ALMCHEMY Vol. 3(1): 84-92
Batova, A., Altomare, D. and Chanatarasriwong, O. 2010. Molecular Cancer
Therapeutics: The Synthetic Caged Garcinia Xanthone CLuvenone
Induce Cewll Stress and Apoptosis and Has Immune Modulatory
Activity. American Association for Cancer Research.
http://mctaacrjournals.org/content/9/11/2869.full. Dilihat 25 Juli 2017
Brown D. 2000. Aroids, Plants of the Arum Family. Timber Press, Portland,
Oregon
Budiyanto, Agus dan Yulianingsih. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi
terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk Siam (Citrus nobilis L).
J.Pascapanen Vol. 5 No.2: 37-44.
http://pascapanen.litbang.pertanian.go.id/assets/media/publikasi/jurnal/j.
Pascapanen.2008_2_5.pdf. Dilihat pada 17 Agustus 2017
65
Chaouche, T., F. Bekkara, F. Haddouchi and Z. Boucherit. 2012. Antibacterial
Activity of Different Extract of Echiumpycnanthum pomel. Journal of
Chemical and Pharmaceutical Research Vol. 4(1) : 216-220
Conte, A., Genestar, C., dan Grases, F. 1990. Relation Between Calcium Oxalte
Hydrate Form Found In Renal Calculi and Some Urinary Parameters.
Urol Int. 45: 25 – 27.
Correia MA. 2001. Drug biotransformation. In: Katzung BG.Basic and Clinical
pharmacology, 8 th edition. Mc Graw Hill Co, New York
Corwin, J. Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Pendit BU, penerjemah;
Pakaryaningsing, editor.. Terjemahan dari: Handbook of
Pathophysiology. Penerbit Buku Kedoktoran EGC, Jakarta
Cox, C. 2004. Pesticide Factsheet, Boric Acid and Borates. Journal if Pesticide
Reform, Vol. 24 No. 2:10-15.
Daldiyono., Ismail, A., Rani, A.A., Manan, C. dan Sumadibrata, R. 1990. Kanker
Kolon dan Peran Diet Tinggi Serat: Kejadian DI Negara Barat. Gizi
Indonesia Vol. 15(1), 73-75
Day, R.A. dan A.L. Underwood. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.
Terjemahan oleh A.H. Pudjaatmaka. Erlangga. Jakarta
Donatus, I.A., 2005. Toksikologi Dasar Edisi II. Bagian Farmakologi dan Farmasi
Klinik, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta
Ezeike CO, Aguzue O.C. and Thomas, S.A. 2011. Effect Of Brewing Time And
Temperature On The Release Of Manganese And Oxalate From
Lipton Tea And Azadirachta indica(Neem), Phyllanthus amarus And
Moringa oleifera Blended Leaves. J Appl Sci Envir Manag Vol. 15:175-
17
Fahey, J.W. 2005. A Review of the Medical Evidence for Its Nutritional,
Therapeutic, and Prophylactic Properties. Part 1. Trees Life J. 1: 5-15
Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan (alihbahasa oleh Ahmad Soediarto,
Trenggono Koesoemaningrat, dll). Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Food and Drug Administration. 2005. Guidance for Industry Estimating the
Maximum Safe Starting Dose In Initial Clinical Trials for Therapeutics
in Adult Healthy Voluntters. Pharmacology and Toxicology, Maryland
USA
66
Franceschi, V.R. dan P.A. Nakata. 2005. Calcium Oxalate in Plants: Formation
and Function. Annual Review of Plant Biology, 56: 41-71
Frank, C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian
Resiko Edisi II. Penerjemah Edi Nugroho UI-Press, Jakarta
Fuglie, L., J. 2001. The Miracle Tree: Moringa Oleifera: Naatural Nutrition for
the Tropics, (Church World Service, Dakar, 1999). pp: 68. Revised in
2001 and published as The Miracle Tree: The Multiple Attributes of
Moringa
Gartner, J.P. and Hiatt, J.L. 2007. Color Text Book of Histology. 3th ed. Elsevier
Saunders, Philadelphia
Guyton, AC.. and Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Kedokteran. Edisi 7. EGC, Jakarta
Guyton, A. C. and, Hall, John., E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
11. Editor: Irawati Setiawan. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Guyton, A.C. and Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Diterjemahkan oleh Irawati, et al. EGC, Jakarta
Handayani, Hana., Sriherfyna, Feronika Heppy., dan Yunianta. Ekstraksi
Antioksidan Daun Sirsak Metode Ultrasonic Bath (Kajian Rasio
Bahan : Pelarut dan Lama Ekstraksi). Jurnal Pangan dan Agroindustri
Vol. 4 No 1 p.262-272.
http://jpa.ub.ac.id/index.php/jpa/article/viewFile/327/338. DIlihat 17
Agustus 2017
Handayani, T., Sutarno dan A. D. Setyawan. 2004. Analisis Komposisi Nutrisi
Rumput Laut Sargassum Crassifolium J. Agardh. Jurnal Biofarmasi
Vol. 2 No. 2: 45-52. ISSN: 1693-2242. http://biosains.mipa.uns.ac.id/F/
F0202/F020201.pdf. Diakses pada 18 Agustus 2017
Harjadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Penerbit Gramedia, Jakarta
KBPOM. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji
Toksisitas Nonklinik secara In Vivo
Indriyani, S. 2011. Pola Pertumbuhan Porang (Amorphophallus muelleri
Blume) dan Pengaruh Lingkungan Terhadap Kandungan Oksalat
dan Glukomannan Umbi. Disertasi. Universitas Airlangga, Surabaya
Inglis, L. K. 1980. Introduction to Laboratory Animal Science and Technology.
Pergamon Press Ltd, Oxford
67
International Society of Nephrology. 2010. Kidney International.
http://www.nature.com/ki/journal/v71/n11/fig_tab/5002179f1.html. Dilihat
pada 26 Juli 2017
Irianto, Djoko Pekik, 2006. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan
Yogyakarta
Jaiswal, D., Rai, P. K., Kumar, A., Mehta, S., & Watal, G. (2009). Effect Of
Moringa Oleifera Lam Leaves Aqueous Extract Therapy On
Hyperglycemic Rats. Journal of Ethnopharmacology, 123(3), 392-396
Jones TC, Ronald DH, Norval WK. 2006. Veterinary Pathology Edisi ke-6.
Blackwell Publishing. United State of America. Hal 17-79
Jonni, M., S., Sitorus, M., Katharina, dan Nelly. 2008. Cegah Malnutrisi dengan
Kelor. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Juhrryah, Sri. 2008. Gambaran Histopatologi Organ Hati dan Ginjal Tikus pada
Intoksikasi Akut Insektisida (Metofluthrin, D-Phenothrin, D-
Allethrin) dengan Dosis Bertingkat.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/3450/
B08sju.pdf?sequence=4. Dilihat 25 Juli 2017.
Junquiera LC and Carneiro J. 1997. Histologi Dasar. Edisi 8. Alih Bahasa Jan
Tambayong. EGC, Jakarta
Junqueira L.C., J.Carneiro and R.O. Kelley. 2007. Histologi Dasar. Edisi ke-5.
Tambayang J., penerjemah. Terjemahan dari Basic Histology. EGC,
Jakarta
Junqueira, L.C. 2007. Persiapan Jaringan untuk Pemeriksaan Mikroskopik.
Histology Dasar: Teks dan Atlas, Edisi 10. EGC, Jakarta
Kaslow, Jeremy. 2013. Alkaline Phosphatase (Article). Dilihat 16 Februari 2017.
http://www.drkaslow.com/html/alkaline_phosphatase.html
Kasolo, J.N., Bimeya, G.S., Ojok, L., Ochieng, J., Okwal-okeng, J.W. 2010.
Phytochemicals and Uses of Moringa oleifera Leaves in Ugandan
Rural Communities. Journal of Medical Plant Research. Vol. 4(9): 753-
757
Katzung, B. G. 2009. Farmakologi Dasar dan Klinik. Ed11. Terjemahan oleh H.
Azwar Agoes et al. 1997. Jakarta. EGC Kiernan JA. 2001. Histological
and Histochemical Methods. 3rd Ed. Toronto. Arnold Pub. Pp. 330-354
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Sentra Informasi Keracunan
Nasional. Pusat Informasi Obat dan Makanan Badan POM RI Tahun
68
2012 tentang Sodium Oksalat.
http://ik.pom.go.id/v2015/katalog/Sodium%20Oxalate.pdf. Dilihat pada 17
Agustus 2017
Kumala, Noer., Masfufatun., dan Devi, Emilia. 2016. Potensi Ekstrak Daun Kelor
(Moringa oleifera) Sebagai Hepatoprotektor Pada Tikus Putih (Rattus
novergicus) yang Diinduksi Parasetamol Dosis Toksis. Jurnal Ilmiah
Kedokteran Vol. 5 No.1: 58 – 66. http://journal.uwks.ac.id/index.php/jikw/
article/download/6/6. Dilihat 18 Agustus 2017
Kumar, V., Abbas, A. K. and Fausto, N. 2005. Rubbins and Cotran Pathologic
Basic of Disease 7th Edition. Elsevier Inc, Philadelphia
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku ajar patologi 7nd ed, Vol. 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Kurniasih. 2013. Khasiat dan Manfaat Daun Kelor. Pustaka Baru Press,
Yogyakarta
Leeson CR, Leeson TS, dan Paparo AA. 1993. Atlas Berwarna Histologi.
Binarupa Aksara, Jakarta
Leone, Alessandro., Alberto, Spada., Alberto, Battezzati., Alberto, Schiraldi.,
Junior, Aristi., and Simona, Bertoli. 2015. Cultivation, Genetic,
Ethnopharmacology, Phytochemistry, and Pharmacology of
Moringa oleifera Leaves: An Overview. Int. J. Mol. Sci 16: pp. 12791-
12835
Lu, F.C., 1995, Toksikologi Dasar : Asas, Organ, Sasaran, dan Penilaian
Risiko. diterjemahkan oleh Nugroho, E., Bustami, Z.S., dan Darmansjah,
I., Edisi II, 86- 89,93, UI Press, Jakarta
Luthfiyah, F. 2012. Potensi Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Nusa Tenggara
Barat. Media Bina Ilmiah. Mataram
Mahmood, Khawaja., Tahir., Mugal, Tahira., and Haq, Ikram. 2010. Moringa
oleifera: a natural gift-A review. Akhter Saeed Cllege of
Pharmaceutical Sciences, Lahore. J. Pharm. Sci. & Res. Vol.2
No.11,775-781
Maley, K., and Komasara, L. 2003. VET 120 Introduction to Lab Animal Science.
Val Macer, New York
Mardiana, Liana. 2012. Daun Ajaib Tumpas Penyakit. Penebar Swadaya,
Jakarta
69
Maretnowati N, Widyawaruyanti A, dan Santosa MH. 2005. Uji Toksisitas Akut
dan Subakut Ekstrak Etanol dan Ekstrak Air Kulit Batang
Artocarpus Champeden Spreng dengan Parameter Histopatologi
Hati Mencit. Majalah Farmasi Airlangga 5(3):91-5, Surabaya
Martini, Frederic. and Nath, Judi. 2008. Fundamentals of Anatomy &
Physiology. Pearson Benjamin Cummings Inc, San Francisco
Mohammedi, Z. 2011. Impact of Solvent Extraction Type on Total Polyphenols
Content and Biological Activity From Tamarix aphylla. International
Journal of Pharma and Bio Sciences Vol. 2 (1) : 709-615
Murray R.K. 2007. Metabolism of xenobiotics. In: Murray RK, Graenner DK,
Mayes PA, Rodwell VW. Harper’s Biochemistry, 25 th ed. Mc Graw
Hill Co, New York
Mutiara, Titi. 2011. Uji Efek Pelancar ASI Tepung Daun Kelor (Moringa
oleifera (Lamk)) Pada Tikus Putih Galur Wistar. Laporan Hasil
Penelitian. Bidang ilmu Pertanian, Universitas Brawijaya Malang
Nambiar, V. S. and Seshadri, S. 2007. Selected nutrients and non nutrients in
seventeen common and uncommon green leafy vegetables of
western India. J Ind Dietet Asso Vol. 32(1):22-30
Natalia, Eka., Dessy. 2014. Uji Toksisitas Akut Tepung Glukomanan (A.
Muelleri Blume) Terhadap Nilai Kalium Tikus Wistar. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang
Ngatidjan, P.S. 2006. Metode laboratorium dan Toksikologi. Bagian
Farmakologi dan Toksikologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta
Nirwana, Galuh. 2015. Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kulit Manggis
(Garcinia mangostana L.) Terhadap Sel Hepar Tikus (Rattus
norvegicus) Galur Wistar. Skripsi Sarjana. Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. Malang
Noonan, S.C., dan Savage, G.P. 1999. Oxalic Acid Content of Foods and its
Effect on Human. Asia Pacific J Clin Nutr., 8: 64-74
Nugraha, Aditya. 2013. Bioaktivitas Ekstrak Daun Kelor (Moringa Oleifera)
terhadap Eschericia coli Penyebab Kolibasilosis. Tesis. Program
Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-877-1831746254-
tesis%20aditya%20nugraha.pdf. Dilihat pada 26 Juli 2017
70
Nuridayanti, Eka. 2011. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Air Rambut Jagung (Zea
mays L.) Ditinjau dari Nilai LD50 dan Pengaruhnya Terhadap Fungsi
Hati dan Ginjal pada Mencit. Skripsi. Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam Program Studi Ekstensi Departemen Farmasi UI,
Depok
Octaviani, Ria. 2010. Pemeriksaan Toksikopatologi Efek Pemberian Berbagai
Fraksinasi Ekstrak Batang Gatep Pahit (Quassia indica (Gaernt.)
Nooteboom) Pada Organ Hati Dan Ginjal Mencit (Mus musculus).
Fakultas Kedokteran Hewan Institut, Pertanian Bogor Bogor.
http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/60869/1/B10roc.pdf.
Dilihat pada 26 Juli 2017
Oranization for Economic Cooperation and Development, 2001. Guidelines for
Testing of Chemicals, OECD, 407 – 408
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 Tentang Angka
Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia.
http://gizi.depkes.go.id/download/Kebijakan%20Gizi/Tabel% 20AKG.pdf.
Dilihat pada 4 Februari 2017
Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar-dasar Biokimia. UI Press, Jakarta
Pradana, I. 2013. Daun Sakti Penyembuh Segala Penyakit. Cetakan Ketiga.
Octopus Publishing House, Yogyakarta
Pramono, Katno. 2001. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan
Tanaman Obat Tradisional. Tawangmangu: Balai Penelitian Tanaman
Obat Tawangmangu
Praptiningsih, Yulia. 1999. Buku Ajar Teknologi Pengolahan. FTP Universitas
Jember, Jember
PRIBADI, G.A. 2008. Penggunaan Mencit dan Tikus Sebagai Hewan Model
Penelitian Nikotin. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor,
Bogor. https://core.ac.uk/download/pdf/32345697.pdf. Dilihat pada 26 Juli
2017
Purnomo, E. H., R. Ajeng., Purwiyatno., K. Feri. dan Risfaheri. 2012. Reduksi
Oksalat pada Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var.
Sylvestris) dan Aplikasi Pati Walur pada Cookies dan Mie.
http://seafast.ipb.ac.id/publication/journal/reduksi-oksalat&aplikasi-pati-
walur.pdf. Dilihat 5 Juli 2017.
71
Priyambodo, S. 1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penebar Swadaya,
Jakarta
Putri, Widya N. 2009. Aktivitas Spesifkik Katalase Jaringan Hati Tikus yang
Diinduksi Hipoksia Hipobarik Akut Berulang. Fakultas Kedokteran
niversitas Indonesia, Jakarta. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122797-
S09031fk-Aktivitas%20spesifik-Literatur.pdf
Radek, M., and Savage, G. P. 2008. Oxalates In Some Indian Green Leafy
Vegetables. International Journal of Food Sciences and Nutrition 59: 246-
260. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18335334. Dilihat pada 18
Agustus 2017
Radiansah, Roy., Rahman, Nurdin dan Nuryanti, Siti. 2013. Ekstrak Daun Kelor
(Moringa Oleivera) Sebagai Alternatif Untuk Menurunkan Kadar Gula
Darah Pada Mencit. J. Akad. Kim. 2(2): 54-61.
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/JAK/article/download/7726/6084
. Dilihat pada 27 Juli 2017
Redha, Abdi. 2010. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif dan Peranannya
dalam Sistem Biologis. Jurnal Belian Vol. 9 No.2: 196-202.
http://repository.polnep.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/144/13-
Abdi.pdf?sequence=1. Dilihat pada 18 Agustus 2017
Richard, N., Michel, M.D., Ramzi, S. and Cotran. 2003. Jejas, Adaptasi dan
Kematian Sel. In: Robins Pathologic Basic of Disease. 7th ed. Alih
Bahasa: Prasetiyo A, Pendit U.B, Priliono T. Vol. 1:3-28. EGC, Jakarta
Riza, V. dan Tahjadi. 2001. Alternatif Pengendalian Hama. PAN Indonesia,
Jakarta
Sari, L., O., R., K. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan
Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, 3(1), 01-07
Sarjadi. 2003. Patologi Umum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang
Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM. 2010. Racun Alami pada Tanaman
Pangan. Dilihat 25 februari 2017.
www2.pom.go.id/public/siker/desc/produk/racunalamitanaman.pdf
Septiana, A. T. dan A. Asnani. 2012. Kajian Sifat Fisikokimia Ekstrak Rumput
Laut Coklat Sargassum duplicatum Menggunakan Berbagai Pelarut
dan Metode Ekstraksi. Jurnal Agrointek Vol. 6 No.1.
https://www.researchgate.net/publication/236628016_Kajian_Sifat_Fisik
72
okimia_Ekstrak_Rumput_Laut_Coklat_Sargassum_Duplicatum_menggu
nakan_Berbagai_Pelarut_dan_Metode_Ekstraksi. Dilihat pada 18
Agustus 2017
Setyowati, Wulan. 2010. Uji Toksisitas Akut Monocrotophos Dosis Bertingkat
Per Oral Dilihat dari Gambaran Histopatologi Hepar Mencit BALB/C,
Artikel Penelitian Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro Press, Semarang. Dilihat 14 Februari 2017.
http://eprints.undip.ac.id/23821/1/Wulan_S.pdf
Sihombing, Fransiscus. 2016. Eksplorasi Potensi Tumbuhan Beracun Sebagai
Bahan Biopestisida Di Cagar Alam Dolok Saut (Skripsi). Fakultas
Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Medan. Dilihat 12 Februari 2017.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38903/3/Chapter%20ll.p
df
Sirois, Margi. 2005. Laboratory Animal Medicine: Principles and Procedures.
Elsevier, Overland Park
Smith, J.B. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas
Indonesia (UIPress), Jakarta
Soeyono, Agustina. 2015. Optimasi Formula Mie Kering Berbasis Ampok
Tepung Pisang Terfortifikasi Tepung Tempe dan Tepung Daun Kelor
sebagai Makanan Tambahan Ibu Hamil. Skripsi Sarjana. Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Malang
Sudoyo, A.W., Alwi I , Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid 1 edisi V. Interna publishing, Jakarta
Sulaiman, H.A., Lesmana, L.A. dan Noer, H.M.S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Hati Edisi Pertama. Jayaabadi, Jakarta
Suwardi, 2011. Analisa Kadar oksalat total dalam Daun Bayam yang Sudah
Dimasak dengan Metode Spektrofotometri UV. Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru
Suwasito, T. S. 2013. Pengaruh Lama Penggilingan Porang (Amorphophallus
muelleri Blume) dengan Metode Ball Mill Terhadap Sifat Fisik dan
Kimia Tepung Porang. Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang
Swarayana, Made., Sudira, Wayan., Berata, Ketut. 2012. Perubahan
Histopatologi Hati Mencit (Mus musculus) yang Diberikan Ekstrak
73
Daun Ashitaba (Angelica keiskei). Buletin Veteriner Udayana Vol. 4
No.2. Patologi FKH Universitas Udayana, Denpasar, Bali
Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta
Sylvia A., and Price L.M.W. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6 Ed. EGC, Jakarta
Teixeira, E.M.B., Carvalho, M.R.B., Neves, V.A., Silva, M.A., and Arantes-Pereira,
L. 2014. Chemical Characteristics and Fractionation of Proteins from
Moringa Oleifera Lam. Leaves. http://www.sciencedirect.com/science/
article/pii/S0308814613014003?via%3Dihub. Journal of Food Chem Vol.
147: 51–54. Dilihat pada 18 Agustus 2017
Tsai, J.Y., Huang, J.K., Wu, T.T., Lee, Y.H. 2005. Comparison Of Oxalate
Content In Foods And Beverages in Taiwan. JTUA. 16: 93-99
Universitatae De Medicina Si Farmaciae. 2009. Atlas of Pathology (2nd Edition).
http://www.pathologyatlas.ro/fattychange-liver-steatosis-pathology.php.
Dilihat 26 Juli 2017
University Animal Care Pathology Service (2014). Normal Clinical Chemistry
Values.
https://uac.arizona.edu/sites/uac/files/reference_value_chart_2014_web
site_2.pdf. Dilihat 7 Juli 2017
USDA (2016). United States Department of Agriculture Agricultural Research
Service National Nutrient Database for Standard Reference Release
28. Dilihat 14 Februari 2017.
https://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/show/2974?fgcd=&manu=
&lfacet=&format=&count=&max=50&offset=&sort=default&order=asc&ql
ookup=moringa&ds=&qt=&qp=&qa=&qn=&q=&ing=
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke-5. Diterjemahkan
oleh: Dr. Soendani Noerono. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Wahyono, Wahyuono S., Hakim L., dan Arwanda I., 2006, Penentuan Parameter
Spesifik Ekstrak Buah Kemukus (Piper cubeba L.f) Secara KLT-
Densitometri menggunakan Kubebin Sebagai Parameter. Seminar
Nasional Kontribusi Herbal Medicine Dan Akupunktur Dalam Dunia
Kedokteran, Bagian Farmasi Kedokteran UGM dan PEFARDI,
Yogyakarta
Warianto, Chaidar. 2011. Gagal Ginjal. http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-
Indonesia/GagalGinjal_ChaidarWarianto_20.pdf. Dilihat 25 Juli 2017
74
Watermana, Carrie., Chenga, M. Diana., Rojas-Silvaa, Patricio., Pouleva,
Alexander., Dreifusa, Julia., Lilab, M. Ann., and Raskina, Ilya. 2014.
Stable, Water Extractable Isothiocyanates from Moringa oleifera
Leaves Attenuate Inflammation In Vitro. Journal of Phytochemistry.
Vol. 103: 114–122. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC407
1966/pdf/nihms580907.pdf. Diakses pada 18 Agustus 2017
Widodo, W. 2005. Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. UMM Press,
Malang
Wolfensohn, S. and Lloyd, M. 2003. Handbook of Laboratory Animal
Management and Welfare, 3rd ed. Blackwell Publishing, Uinted
Kingdom
Wolrd Health Organization, 2000. General Guidelines for Methodologies on
Research and Evaluation of Traditional Medicine. WHO MD, Swiss
Wulandari, Debin., Masdiana C. Padaga.,dan Herawati. 2012. Kadar
Malondialdehida (MDA) dan Gambaran Histopatologi Organ Hati
pada Hewan Model Tikus (Rattus norvegicus) Hiperkolesterolemia
setelah Terapi Ekstrak Air Benalu Mangga (Dendrophthoe
pentandra L. Miq). Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang
Yudha, Anggara., Adri., dan Purnawati, Ratna., Damma. 2014. Pengaruh
Pemberian Methanil Yellow Peroral Dosis Bertingkat Selama 30 Hari
Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Mencit BALB/C
(Undergraduate thesis) Faculty of Medicine Diponegoro University
Press, Semarang. Dilihat 14 Februari 2017.
http://eprints.undip.ac.id/44459/3/BAB_2.pdf