UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU...

88
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN EKSTRAK PEKAT SUPLEMEN KALSIUM DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) PADA FUNGSI HEPAR DAN GINJAL TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) SKRIPSI Oleh : MAY AYU WULANDARI 135100101111072 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Transcript of UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU...

Page 1: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

i

UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN EKSTRAK

PEKAT SUPLEMEN KALSIUM DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) PADA

FUNGSI HEPAR DAN GINJAL TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

SKRIPSI

Oleh :

MAY AYU WULANDARI

135100101111072

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

Page 2: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

ii

UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN EKSTRAK

PEKAT SUPLEMEN KALSIUM DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) PADA

FUNGSI HEPAR DAN GINJAL TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

Oleh :

MAY AYU WULANDARI

135100101111072

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Teknologi Pertanian

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

Page 3: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

iii

Page 4: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

iv

Page 5: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gresik pada tanggal 13 Mei 1995

dari ayah yang bernama Sutopo dan Ibu Dwi Hartatik.

Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di

SDN Banjarsari II pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke

Sekolah Menengah Pertama di SMPN II Kebomas dengan

tahun kelulusan 2010 dan menyelesaikan Sekolah Menengah

Akhir di SMAN I Kebomas pada tahun 2013. Pada tahun 2017

penulis telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di Universitas Brawijaya

Malang di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. Pada

masa pendidikannya penulis mengikuti Lembaga Kegiatan Mahasiswa di English

for Spesific Purpose sebagai staff edukasi, mengikuti Program Kreatifitas

Mahasiswa, mengikuti Seminar dan Expo Simposium Karya Anak Bangsa secara

berkelompok di tahun 2017 dan mendapatkan penghargaan stand terfavorit,

mengikuti Youngscientists Seminar and Expo International secara berkelompok

dan mendapatkan penghargaan best booth, best poster, dan best prototype.

“Tetaplah bersabar, karena dibalik kesabaran

ada kabar baik yang akan datang,

“Teruslah berjuang, karena ketika kita berada di belakang,

bukan berarti kita kalah,

tetapi kesuksesan memberikan kita kesempatan untuk belajar hal baru”

Page 6: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

vi

Page 7: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

vii

MAY AYU WULANDARI. 135100101111072. Uji Toksisitas Subkronis Serbuk, Ekstrak Air, dan Ekstrak Pekat Suplemen Kalsium Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Pada Fungsi Hepar dan Ginjal Tikus Wistar (Rattus norvegicus). Skripsi. Pembimbing: Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP., M.Sc.

RINGKASAN

Daun kelor memiliki banyak potensi seperti tinggi antioksidan, tinggi kandungan vitamin C, β-karoten, mineral terutama zat besi dan kalsium, tetapi keamanan dalam konsumsi daun kelor juga perlu diperhatikan. Daun kelor (Moringa oleifera) mengandung oksalat sebesar 218 mg/100 gr bahan sehingga jika konsumsi daun kelor berlebihan dapat menyebabkan toksik karena asam oksalat dan kristal kalsium oksalat yang ikut terkonsumsi menyebabkan aberasi mekanik saluran pencernaan dan tubulus yang halus di dalam ginjal, mengikat kalsium yang penting untuk fungsi saraf dan serat-serat otot serta dapat menggores dan merusak sel hepar karena sifatnya yang larut dalam darah. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui spektrum ketoksikan oksalat pada sediaan suplemen serbuk, filtrat cair, ekstrak pekat dosis 1 dan ekstrak pekat dosis 2 daun kelor terhadap kadar enzim alkaline phosphatase (ALP) dalam serum, histopatologi hepar dan histopatologi ginjal.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan 5 perlakuan dan 4 kali ulangan sehingga dibutuhkan sampel sebanyak 20 ekor tikus. 5 perlakuan tersebut yaitu kontrol negative (P0) dengan pemberian diet normal+akuades 2 ml (tanpa suplemen daun kelor), perlakuan 1 (P1) pemberian diet normal + serbuk daun kelor 3,4 gram, perlakuan 2 (P2) pemberian diet normal + filtrat cair daun kelor 5,6 ml, perlakuan 3 (P3) pemberian diet normal + ekstrak pekat daun kelor dosis 1 4,1 ml, dan perlakuan 4 (P4) pemberian diet normal + ekstrak pekat daun kelor dosis 2 8,2 ml.

Data kadar alkali fosfatase dianalisa statistic menggunakan Kruskal Wallis sedangkan data histologi hepar dianalisa secara deskriptif. Diperoleh hasil bahwa perlakuan perbedaan bentuk sediaan suplemen daun kelor tidak berpengaruh nyata terhadap kadar alkali fosfatase serum darah tikus wistar. Kadar alkali fosfatase masing-masing kelompok adalah sebagai berikut : kelompok serbuk 173,75 U/L, ekstrak air 140,5 U/L, ekstrak pekat dosis 1 187,5 U/L, dan ekstrak pekat dosis 2 178,25 U/L,. Kadar alkali fosfatase dari semua kelompok berada pada kisaran normal. Histologi hepar menunjukkan kerusakan yaitu degenerasi parenkimatosa pada kelompok serbuk, dan terjadi degenerasi parenkimatosa, hidropik, dan kolestasis pada kelompok ekstrak pekat dosis 1 dan dosis 2. Histologi ginjal menunjukkan jaringan sel normal pada semua kelompok.

Kata Kunci: Daun Kelor, Ginjal, Hepar, Toksisitas Subkronis

Page 8: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

viii

MAY AYU WULANDARI. 135100101111072. Subchronic Toxicity Determination of Calcium Suplement Made from Drumstick (Moringa oleifera Lam.) Leaves Powder, Water Extract, and Concentrated Extract In Liver and Kidney Function In Wistar Rat. Minor Thesis. Supervisor : Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP., M.Sc.

SUMMARY

Drumstick leaves are potential sources of antioxidants, vitamin C, β-carotene, minerals especially iron and calcium. However, the safety aspect of drumstick leaves consumption also needs to be considered. Drumstick leaves (Moringa oleifera) contain oxalic acid of 218 mg / 100 g on fresh wet basis. Therefore, consumption of drumstick leaves in excessive amount can be harmful. Oxalic acid and crystals of calcium oxalate salt consumed trigger mechanical aberration of gastrointestinal tract and smooth tubules of the kidney. Oxalate can bind calcium which is important for nerve function and muscle fibers. Additionally, this compound can scratch and damage hepatic cells due to its blood-soluble nature. The purpose of this study was to determine the toxicity spectrum of oxalic acid in the preparation of drumstick supplement in the form of powder, water extract and concentrateby means of alkaline phosphatase (ALP) serum concentration, liver and kidney histopathology in Wistar rats

The experimental design used was a Randomized Complete Design consisted of 5 groups of treatmentsdiffering in the form of drumstick leaves supplement given to the rats namely powder, water extract and concentrate. A group of rats with no drumstick leaves supplement given was used as a negative control. Additionally, the drumstick leaves concentrate was given in two levels of doses (dose 1 and dose 2). Therefore, the 5 groups are as follows: (P0) fed with normal diet + 2 ml aquades (with no drumstick leaves supplement), (P1) fed with normal diet + 3,4 grams of drumstick leaf powder, (P2) fed with normal diet + 5,6 ml drumstick leaves water extract, (P3) fed with normal diet + 4,1 ml concentrate of drumstick leaves (dose 1), (P4) fed with normal diet + 8,2 ml concentrate of drumstick leaves (dose 2).All groups were treated for 64 days to induce sub chronic toxicity.

. The results showed that differences in the form of drumstick leaves supplement given to the rats had no significant effect on serum alkali phosphatase concentration . The serum alkali phosphatase level of rats given powder, water extract, concentrate dose 1 and concentrate dose 2 were 173,75 U / L, 140,5 U / L, 187,5 U / L, and 178,25 U / L respectively. Serum alkali phosphatase levels of all groups are within the normal range. Histological observation of the liver indicated mild damage, called parenchymatous degeneration in the powder group, whereas parenchymatous, hydrophic, and cholestatic degeneration occurred in bothdose 1 and dose 2 of the concentrate group. Kidney histology showed normal tissue in all groups.

Keywords : Moringa Leaves, Kidney, Liver, Subchronic Toxicity

Page 9: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul

“Uji Toksisitas Subkronis Serbuk, Ekstrak Air, dan Ekstrak Pekat Suplemen

Kalsium Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Pada Fungsi Hepar dan Ginjal Tikus

Wistar (Rattus norvegicus)” dengan baik. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk

mengetahui spektrum ketoksikan oksalat pada sediaan serbuk, ekstrak air, dan

ekstrak pekat daun kelor terhadap kadar enzim alkaline phosphatase (ALP),

histopatologi hepar dan histopatologi ginjal serta mengetahui dosis sediaan daun

kelor yang dapat dikonsumsi tanpa menimbulkan efek toksik. Terima kasih kepada

semua pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan bagi penulis dalam

penulisan proposal ini, yakni kepada :

1. Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga

dapat menyelesaikan proposal ini.

2. Orang tua yang telah memberikan dukungan baik secara riil maupun

material.

3. Ibu Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP., M.Sc selaku Dosen Pembimbing

skripsi yang memberikan masukan selama penulisan tugas akhir disusun.

4. Ibu Dr. Teti Estiasih, STP., MP., dan Ibu Dr. Ir. Tri Dewanti, M.Kes selaku

dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan.

5. Ibu Dr. Teti Estiasih, STP., MP., selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian.

6. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia

yang telah memberikan dana penelitian melewati Program Kreativitas

Mahasiswa (PKM).

7. Teman-teman THP 2013 yang selalu memberikan dukungan dan

semangat selama menyusun proposal skripsi.

Proposal ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun serta semoga proposal ini bermanfaat bagi

semua pihak.

Malang, 25 Juli 2017

Penulis

Page 10: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

x

DAFTAR ISI

SAMPUL ......................................................................................................... i HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. iii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iv RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN TA ...................................................................... vi RINGKASAN................................................................................................... vii SUMMARY ...................................................................................................... viii KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv

I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 4 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 4 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5 2.1 Toksisitas Tanaman Pangan .............................................................. 5 2.2 Uji Toksisitas Subkronis ...................................................................... 7 2.3 Tanaman Kelor .................................................................................... 8 2.4 Oksalat ................................................................................................ 11

2.4.1 Pengaruh Pengolahan terhadap Kadar oksalat total Serbuk, Ekstrak Air, dan Ekstrak pekat Daun Kelor ............................... 13

2.5 Hepar ................................................................................................... 14 2.5.1 Histologis Hepar ......................................................................... 14 2.5.2 Patologi Hepar ........................................................................... 16 2.5.3 Biotransformasi Obat di Hepar .................................................. 20

2.6 Ginjal ................................................................................................... 21 2.6.1 Histologis Ginjal ......................................................................... 21 2.6.2 Fungsi Ginjal .............................................................................. 22 2.6.3 Toksikologi pada Ginjal .............................................................. 24

2.7 Enzim Alkali Fosfatase (ALP) ............................................................. 26 2.8 Tikus Putih (Rattus norvegicus) .......................................................... 28

III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 31 3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan........................................................ 31 3.2 Populasi dan Sampel .......................................................................... 31 3.3 Variabel Penelitian .............................................................................. 31 3.4 Alat dan Bahan .................................................................................... 32 3.5 Metode Pengumpulan Data ................................................................ 34 3.6 Rancangan Penelitian ......................................................................... 37 3.7 Diagram Alir Penelitian ....................................................................... 39

Page 11: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

xi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 42 4.1 Karakteristik Bahan Baku .................................................................. 42 4.2 Berat badan Tikus Wistar .................................................................. 47 4.3 Konsumsi Pakan Tikus Wistar ........................................................... 49 4.4 Pengamatan Gejala Klinis dan Toksisitas Hewan Coba ................... 50 4.5 Analisa Fungsi Hepar ........................................................................ 52

4.5.1 Alkali Fosfatase .......................................................................... 52 4.5.2 Histopatologi Hepar.................................................................... 57

4.6 Analisa Fungsi Ginjal ......................................................................... 61 4.6.1 Histopatologi Ginjal .................................................................... 61

V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 64 5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 64 5.2 Saran .................................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 65 LAMPIRAN ..................................................................................................... 76

Page 12: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kandungan Nutrisi Daun Kelor per 100 Gram .............................. 11 Tabel 3.1 Dosis Sediaan Suplemen Daun Kelor .......................................... 35 Tabel 3.2 Kriteria Penilaian Gambaran Sel Hepar ....................................... 38 Tabel 4.1 Data Hasil Analisa Rendemen ...................................................... 43 Tabel 4.2 Data Hasil Analisa Kadar Air ........................................................ 44 Tabel 4.3 Data Hasil Analisa Kadar oksalat total ......................................... 45 Tabel 4.4 Kadar Oksalat Total Sediaan Suplemen Daun Kelor ................... 45 Tabel 4.5 Rerata Perubahan Berat Badan Tikus Percobaan di Hari ke 64 . 48 Tabel 4.6 Rerata Konsumsi Pakan Tikus Percobaan setiap Minggu ........... 50 Tabel 4.7 Hasil Pengamatan Gejala Toksik Hewan Coba Selama 64 Hari . 51 Tabel 4.8 Rerata Total Alkali Fosfatase Serum Darah Tikus Wistar ............ 52

Page 13: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Daun Kelor ................................................................................. 9 Gambar 2.2 Struktur Asam Oksalat ............................................................... 11 Gambar 2.3 Struktur Tiga Dimensi Hepar ..................................................... 15 Gambar 2.4 Anatomi Mikroskopik Pembuluh Darah Hepar .......................... 15 Gambar 2.5 Pembengkakan Sel Hepar Disertai Vakuolisasi ........................ 17 Gambar 2.6 Degenerasi Hidropik................................................................... 18 Gambar 2.7 Perlemakan Hepar ..................................................................... 18 Gambar 2.8 Nekrosis Hepar .......................................................................... 19 Gambar 2.9 Korteks Ginjal: Aparatus Jukstaglomerular ............................... 22 Gambar 2.10 Glomerulus Ginjal ....................................................................... 23 Gambar 2.11 Nekrosa (a) & degenerasi hidropis (b) sel epitel tubulus ginjal . 25 Gambar 2.12 Degenerasi Hialin pada Ginjal ................................................... 26 Gambar 2.13 Mekanisme Ekskresi Alkali Fosfatase ....................................... 27 Gambar 2.14 Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus L.) ....................... 29 Gambar 3.1 Diagram Alir Serbuk Daun Kelor................................................ 39 Gambar 3.2 Diagram Alir Ekstrak Air Daun Kelor ......................................... 39 Gambar 3.3 Diagram Alir Ekstrak Pekat Daun Kelor..................................... 40 Gambar 3.4 Diagram Alir Perlakuan Hewan Coba ........................................ 41 Gambar 4.1 Sediaan Suplemen Daun Kelor ................................................. 42 Gambar 4.2 Rerata Total ALP (U/L) Serum Darah Tikus Wistar Jantan ...... 53 Gambar 4.3 Gambaran Histopatologi Sel Hepar Tikus Wistar Jantan .......... 60 Gambar 4.4 Gambaran Histopatologi Sel Ginjal Tikus Wistar Jantan .......... 62

Page 14: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur Analisa......................................................................... 76 Lampiran 2 Perhitungan Dosis....................................................................... 84 Lampiran 3 Kadar Proksimat Susu Pap Produksi Splendid, Malang ............ 86 Lampiran 4 Data Berat Badan Seluruh Kelompok Perlakuan ....................... 87 Lampiran 5 Data Konsumsi Ransum Seluruh Kelompok Perlakuan ............ 89 Lampiran 6 Data Rendemen .......................................................................... 100 Lampiran 7 Data Kadar Air ............................................................................ 101 Lampiran 8 Data Analisis Oksalat .................................................................. 102 Lampiran 9 Data Kadar Alkali Fosfatase ....................................................... 103 Lampiran 10 Referensi Nilai Rujukan Alkali Fosfatase ................................... 104 Lampiran 11 Hasil Uji Statistik Berat Badan Tikus Wistar ............................... 105 Lampiran 12 Hasil Uji Statistik Konsumsi Pakan Tikus Wistar ....................... 108 Lampiran 13 Hasil Uji Statistik Kadar Alkali Fosfatase Serum ....................... 112 Lampiran 14 Kode Etik Hewan Coba............................................................... 115 Lampiran 15 Dokumentasi Kegiatan Penelitian .............................................. 116

Page 15: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daun kelor (Moringa oleifera) di Indonesia dikonsumsi sebagai sayuran

dengan rasa yang khas, memiliki rasa langu dan juga digunakan untuk pakan

ternak karena dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangbiakan ternak

khususnya unggas. Selain dikonsumsi daun kelor juga dijadikan obat-obatan dan

penjernih air. Berdasarkan uji fitokimia, daun kelor (Moringa oleifera) mengandung

tannin, steroid dan triterpenoid, flavonoid, saponin, antarquinon, dan alkaloid

(Kasolo et al., 2010). Potensi yang terkandung dalam daun kelor diantaranya

adalah tinggi kandungan vitamin C, β-karoten, mineral terutama zat besi dan

kalsium (Fuglie, 2001).

Daun kelor memiliki banyak potensi, tetapi keamanan dalam konsumsi

daun kelor juga perlu diperhatikan. Pemanfaatan bahan alam harus

mempertimbangkan banyak hal, beberapa di antaranya adalah ketepatan dosis,

ketepatan waktu dan cara penggunaan (Sari, 2006). Oksalat di dalam daun kelor

berada dalam bentuk oksalat yang tidak larut yaitu kalsium oksalat sebesar 38%

(Radek and Savage, 2008). Menurut Nambaiar and Seshadri (2007) rata-rata

kadar oksalat total pada daun kelor segar yaitu sebesar 218 mg/100g bahan. Dosis

letal asam okslaat pada manusia dewasa adalah sebesar 15-30 gram per hari.

Dosis letal terendah yang pernah dilaporkan adalah 6-8 gram (setelah seseorang

mengkonsumsi sup sorrel) (KBPOM, 2012). Sehingga konsumsi daun kelor secara

berlebihan dapat menyebabkan toksik karena konsumsi asam oksalat dan kristal

kalsium oksalat dalam jumlah yang cukup tinggi menyebabkan aberasi mekanik

saluran pencernaan dan tubulus yang halus di dalam ginjal (Akhtar et al., 2011)

dan membentuk khelat dengan kalsium (Brown, 2000).

Pengujian toksisitas subkronis dilakukan untuk mengetahui efek toksik zat

yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, mengetahui efek toksik setelah

pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu dan

mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas setelah pemaparan

sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu (KBPOM, 2014).

Berdasarkan penelitian Adedapo et al., (2009) pada tikus wistar selama 21

hari menunjukkan bahwa ekstrak air daun kelor pada dosis 400 mg/kg dan 1600

mg / kg dosis ekstrak menyebabkan kenaikan enzim alkaline phosphatase (ALP)

Page 16: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

2

secara signifikan sedangkan untuk histopatologi hepar menunjukkan adanya

degenerasi hepar dan lesi pada testis. Alkali fosfatase (ALP) adalah kelompok

enzim yang bekerja menghidrolisis ester fosfat pada suasana alkali. ALP yang

berada dalam hepar akan diekskresikan ke dalam empedu, jika terjadi kerusakan

atau obstruksi pada hepar dan saluran empedu, maka ditandai dengan aktivitas

ALP yang meningkat (Richterich dan Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011).

Pengujian toksisitas pada penelitian ini dilakukan dengan memberikan

perlakuan pemberian suplemen daun kelor dengan bentuk sediaan yang berbeda-

beda (serbuk, ekstrak air, dan ekstrak pekat). Bentuk sediaan suplemen daun kelor

yang berbeda-beda diduga mengandung oksalat yang berbeda-beda. Pada tikus

wistar diuji histologi hepar dan ginjal serta kadar alkali fosfatase yang

menunjukkan indikator fungsi hepar. Parameter uji toksisitas subkronis pada

penelitian ini adalah dengan melihat efek perbedaan bentuk sediaan suplemen

daun kelor pada organ hepar dan ginjal karena hepar merupakan organ sentral

dalam mentransformasi zat-zat biologis yang mungkin bersifat racun atau yang

tidak dapat diekskresi tubuh dan ginjal merupakan organ yang berperan

mengeluarkan limbah hasil detoksifikasi (Sherwood, 2001; Corwin, 2009; Lu FC,

1995 dalam Nuridayanti, 2011).

Pengujian toksisitas subkronis ini merupakan bagian dari penelitian

bioavailabilitas kalsium dengan 3 jenis sediaan yaitu serbuk, ekstrak air, dan

ekstrak pekat daun kelor. Proses ekstraksi menggunakan pelarut akuades steril

dengan metode maserasi. Pelarut akuades dipilih karena penggunaannya yang

lebih aplikatif untuk masyarakat yang ingin mengembangkan potensi daun kelor

sebagai sumber kalsium. Suplemen daun kelor nantinya diharapkan dapat

mencukupi asupan kalsium harian masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi

yang rendah serta aman dikonsumsi bagi penderita lactose intolerance. Namun,

kandungan oksalat di dalam daun kelor diduga dapat menyebabkan toksik jika

dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama dan berlebihan sehingga dosis dan

bentuk sediaan daun kelor perlu diperhatikan. Daun kelor berupa sediaan serbuk

dan ekstrak pekat diduga besar masih mengandung oksalat yang cukup tinggi

karena kandungan senyawa yang kompleks sehingga pada penelitian ini diamati

tingkat toksisitas sediaan serbuk (3,4 gram), ekstrak air (5,6 ml), ekstrak pekat

dosis 1 (4,1 ml) dan ekstrak pekat dosis 2 (8,2 ml) daun kelor. Diharapkan dengan

penelitian ini konsumsi daun kelor dapat disarankan pada dosis dan bentuk

sediaan yang aman.

Page 17: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

3

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana spektrum toksisitas oksalat pada sediaan serbuk, ekstrak

air, ekstrak pekat dosis 1 dan ekstrak pekat dosis 2 daun kelor terhadap

kadar enzim alkaline phosphatase (ALP), histopatologi hepar dan

histopatologi ginjal?

2. Berapa dosis sediaan daun kelor yang dapat dikonsumsi tanpa

menimbulkan efek toksik?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui spektrum toksisitas oksalat pada sediaan serbuk, filtrat cair,

ekstrak pekat dosis 1 dan ekstrak pekat dosis 2 daun kelor terhadap

kadar enzim alkaline phosphatase (ALP), histopatologi hepar dan

histopatologi ginjal.

2. Mengetahui dosis sediaan daun kelor yang dapat dikonsumsi tanpa

menimbulkan efek toksik.

1.4 Manfaat Penelitian

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang potensi daun kelor

dengan dosis dan sediaan yang sesuai tanpa memberikan efek toksik pada organ

tubuh terutama hepar dan ginjal.

Page 18: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

4

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Toksisitas Tanaman Pangan

Racun adalah zat atau senyawa yang dapat masuk ke dalam tubuh dengan

berbagai cara yang menghambat respon pada sistem biologis sehingga dapat

menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Beberapa jenis

hewan dan tumbuhan, termasuk beberapa jenis tanaman pangan yang ternyata

dapat mengandung racun alami, walaupun dengan kadar yang sangat rendah.

Tanaman pangan seperti sayuran dan buah-buahan memiliki kandungan nutrien,

vitamin, dan mineral yang berguna bagi kesehatan manusia serta merupakan

komponen penting untuk diet sehat. Meskipun demikian, beberapa jenis sayuran

dan buah- buahan dapat mengandung racun alami yang berpotensi

membahayakan kesehatan manusia. Racun alami adalah zat yang secara alami

terdapat pada tumbuhan, dan sebenarnya merupakan salah satu mekanisme dari

tumbuhan tersebut untuk melawan serangan jamur, serangga, serta predator.

Tanaman pangan adalah kelompok tanaman yang biasa dikonsumsi sehari-hari

oleh manusia (Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM, 2010).

Riza dan Tahjadi (2001) menyatakan bahwa racun yang dihasilkan oleh

tanaman merupakan salah satu cara untuk melawan predator maka tidak

mengherankan bila tanaman pangan modern jauh lebih rentan terhadap penyakit.

Kelompok-kelompok racun yang ditemukan pada tanaman pangan, ada beberapa

yang larut lemak dan juga dapat bersifat bioakumulatif. Hal ini berarti bila tanaman

tersebut dikonsumsi maka racunnya akan tersimpan pada jaringan tubuh,

misalnya solanin pada kentang (Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM,

2010).

Kadar racun pada tanaman sangat bervariasi. Hal itu dipengaruhi antara

lain oleh perbedaan keadaan lingkungan tempat tanaman tumbuh (kelembaban,

suhu atau kadar mineral) serta penyakit yang potensial. Varietas yang berbeda

dari spesies tanaman yang sama juga mempengaruhi kadar racun dan nutrien

yang dikandungnya (Samsudin, 2008 dalam Sihombing, 2016).

Sebagian besar racun atau anti nutrisi umumnya diperoleh dari hasil

metabolisme sekunder tanaman. Hasil metabolisme sekunder dibagi dua

berdasarkan berat molekulnya yaitu berat molekul kurang dari 100 dengan contoh

pigmen pinol, antosianin, alkohol, asam-asam alifatik, sterol, terpen, lilin fosfatida,

Page 19: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

5

inositol, asam-asam hidroksi aromatik, glikosida, fenol, alkaloid, ester dan eter.

Metabolit sekunder lainnya adalah yang berat molekulnya tinggi yaitu selulosa,

pektin, gum, resin, karet, tannin dan lignin. Tanaman yang mengandung metabolit

sekunder umumnya mengeluarkannya dengan cara pencucian air hujan (daun dan

kulit), penguapan dari daun (contoh kamfer), ekskresi eksudat pada akar (contoh

alang-alang) dan dekomposisi pada bagian tanaman itu sendiri (Widodo, 2005).

Menurut Hanenson (1980) dalam Sihombing (2016), komponen-

komponen kimia yang dihasilkan tumbuhan terbagi atas alkaloid, polipeptida dan

asam amino, glikosida, asam oksalat, resin, phytotoxin dan mineral lainnya.

1. Alkaloid

Kandungan alkaloid dalam setiap tumbuhan berkisar 5-10% dan efek yang

ditimbulkan hanya dalam dosis kecil. Kadar alkaloid pada tumbuhan berbeda-

beda sesuai kondisi lingkungannya, dan alkaloid tersebar di seluruh bagian

tumbuhan. Efek terkontaminasi alkaloid adalah pupil yang membesar, kulit

terasa panas dan memerah, jantung berdenyut kencang, penglihatan menjadi

gelap dan menyebabkan susah buang air.

2. Polipeptida dan asam amino

Hanya sebagian polipeptida dan asam amino yang bersifat racun. Bila

terkontaminasi polipeptida, hypoglycin, akan menyebabkan reaksi

hypoglycemic.

3. Glikosida

Glikosida adalah salah satu komponen yang dihasilkan melalui proses

hidrolisis, yang biasa disebut aglikon. Glikosida adalah senyawa yang paling

banyak terdapat pada tumbuhan daripada alkaloid. Gejala yang ditimbulkan

apabila terkontaminasi glikosida adalah iritasi pada mulut dan perut, diare

hingga menyebabkan overdosis.

4. Oksalat

Kadar asam oksalat pada tumbuhan tergantung dari tempat tumbuh dan iklim,

yang paling banyak adalah saat akhir musim panas dan musim gugur. Karena

oksalat dihasilkan oleh tumbuhan pada akhir produksi, yang terakumulasi dan

bertambah selama tumbuhan hidup. Gejala yang ditimbulkan adalah mulut

dan kerongkongan terasa terbakar, lidah membengkak hingga menyebabkan

kehilangan suara selama dua hari, dan hingga menyebabkan kematian jika

terhirup.

Page 20: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

6

5. Resin

Resin dan resinoid termasuk ke dalam kelompok asam polycyclic dan penol,

alkohol dan zat-zat netral lainnya yang mempunyai karakteristik fisis tertentu.

Efek keracunan yaitu iritasi langsung terhadap tubuh atau otot tubuh.

Termasuk juga gejala muntah-muntah. Apabila terkontaminasi dengan air

buahnya menyebabkan bengkak dan kulit melepuh.

6. Phytotoxin

Phytotoxin adalah protein kompleks terbesar yang dihasilkan oleh sebagian

kecil tumbuhan dan memiliki tingkat keracunan yang tinggi. Akibat

terkontaminasi adalah iritasi hingga menyebabkan luka berdarah dan

pembengkakan organ tubuh setelah terhirup.

7. Tanin

Tanin adalah senyawa polifenol yang bersifat terhidrolisa dan kental. Senyawa

ini telah dikembangkan oleh tanaman sebagai bentuk pertahanan terhadap

serangan eksternal dari predator yang memiliki rasa sangat pahit atau kelat.

Jika terkonsumsi lebih dari 100 mg bisa menghasilkan masalah pada saluran

pencernaan seperti diare, sakit perut, urin bercampur darah, sakit kepala,

kurang nafsu makan dan lain-lain.

8. Saponin

Saponin adalah glikosida tanaman yang ditandai dengan munculnya busa di

permukaan air bila dicampur atau diaduk, yang telah dikenal serta diakui

sebagai sabun alami dan telah menyebabkan beberapa tanaman seperti

soapwort (Saponaria officinalis) umum digunakan sebagai sabun untuk waktu

yang lama. Saponin ketika dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar

daripada yang diizinkan, senyawa ini menjadi tergolong beracun. Gejala yang

ditimbulkan bagi manusia apabila saponin dikonsumsi secara berlebihan

adalah dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa pencernaan sehingga

menderita muntah-muntah, sakit perut, perdarahan, pusing, maag dan begitu

terkontaminasi ke sistem peredaran darah, senyawa ini dapat merusak ginjal

dan hepar serta mempengaruhi sistem saraf bahkan dapat menghasilkan

serangan jantung.

2.2 Uji Toksisitas Subkronis

Uji toksisitas secara umum bertujuan untuk menentukan dosis suatu

sediaan uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ atau

Page 21: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

7

jaringan, mengidentifikasi hubungan kausatif antara dosis yang diberikan dengan

terjadinya perubahan fisiologis dan morfologi suatu organisme, serta melakukan

monitoring terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap sediaan uji

(Donatus, 2005).

Uji toksisitas subkronis oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek

toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang

diberikan secara oral pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak

lebih dari 10% seluruh umur hewan (KBPOM, 2014). Lama hidup tikus dapat

mencapai umur 3,5 tahun, dengan kecepatan tumbuh 5 g per hari (Malole dan

Pramono, 1989 dalam Pribadi, 2008). Prinsip dari uji toksisitas subkronis oral

adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada

beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90

hari, bila diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek

tertunda atau efek yang bersifat reversibel (KBPOM, 2014).

Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari

untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian

sediaan uji, bila belum melewati periode rigor mortis (kaku) segera diotopsi,dan

organ serta jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir

periode pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi

selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ dan

jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan

histopatologi (KBPOM, 2014).

Pemeriksaan dalam uji toksisitas subkronis dapat melalui pemeriksaan

hematologi, histopatologi ataupun pemeriksaan biokimia klinis tergantung

relevansinya. Pemeriksaan hematologi meliputi: konsentrasi hemoglobin, jumlah

eritrosit (RBC/Red Blood Cell), jumlah leukosit (WBC/White Blood Cell), diferensial

leukosit, hematokrit, jumlah platelet (trombosit), perhitungan tetapan darah dan

penetapan deferensial leukosit (KBPOM, 2014). Pemeriksaan biokimia klinis

menurut Oranization for Economic Cooperation and Development (OECD) (2001)

meliputi: natrium, kalium, glukosa, total-kolesterol, trigliserida, nitrogen urea,

kreatinin, total-protein, albumin, GOT, GPT, total-bilirubin, alkaline fosfatase,

gamma glutamil trans-peptidase, LDH, asam empedu. Menurut WHO (2000),

parameter secara histopatologi yang harus diperiksa sekurang-kurangnya 5 organ

utama yaitu hepar, limpa, jantung, ginjal, paru dan ditambah organ sasaran yang

diketahui secara spesifik (KBPOM, 2014).

Page 22: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

8

Tujuan uji toksisitas subkronis oral adalah untuk memperoleh informasi

adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut; informasi

kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang

dalam jangka waktu tertentu; informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik

(No Observed Adverse Effect Level / NOAEL); dan mempelajari adanya efek

kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (KBPOM, 2014).

2.3 Tanaman Kelor

Tanaman kelor berasal dari kawasan sekitar Himalaya dan India, kemudian

menyebar ke kawasan di sekitarnya hingga ke benua Afrika dan Asia Barat. Di

beberapa negara benua Afrika, seperti Ethiopia, Sudan, Madagaskar, Somalia,

dan Kenya, tanaman kelor digunakan untuk pemulihan tanah yang kering dan

gersang. Hal ini disebabkan karena tanaman kelor mudah tumbuh pada tanah

kering dan gersang. Di Indonesia, tanaman kelor mempunyai nama lokal yaitu

Kelor (Jawa, Sunda, Bali, Lampung), Kerol (Buru), Marangghi (Madura), Moltong

(Flores), Kelo (Gorontalo), Keloro (Bugis), Kawano (Sumba), Ongge (Bima) dan

Hau fo (Timor) (Jonni et al., 2008).

Kelor (Moringa oleifera) merupakan salah satu tanaman yang tumbuh di

dataran rendah maupun dataran tinggi sampai di ketinggian ± 1000 dpl. Kelor

banyak ditanam sebagai pagar di halaman rumah atau ladang. Daun kelor dapat

dipanen setelah tanaman tumbuh 1,5 hingga 2 meter yang biasanya memakan

waktu 3 sampai 6 bulan. Beberapa kelor yang ditanam dengan tujuan budidaya

intensif dipelihara dengan ketinggian kurang dari 1 meter. Pemanenan dilakukan

dengan cara memetik batang daun dari cabang atau dengan memotong

cabangnya dengan jarak 20 sampai 40 cm di atas tanah (Kurniasih, 2014).

Gambaran fisik daun kelor ditampilkan pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Daun Kelor (Mardiana, 2012)

Page 23: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

9

Klasifikasi tanaman kelor menurut Roloff (2009) dalam Nugraha (2013),

yaitu :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Capparales

Famili : Moringaceae

Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera

Ada sekitar 13 (tiga belas) spesies dari moringa dengan famili Moringaceae

yaitu Moringa oleifera, Moringa arborea, Moringa borziana, Moringa concanensis,

Moringa drouhardii, Moringa hildebrandtii, Moringa longituba, Moringa ovalifolia,

Moringa peregrina, Moringa pygmaea, Moringa rivae, Moringa ruspoliana, dan

Moringa stenopetala (Nasir, et al., 1972; UNWFP, 2004 dalam Mahmood et al.,

2010). Perbedaan antara satu spesies dengan lainnya adalah bentuk batang, dan

geografis tempat tumbuh. Di daratan Asia, termasuk India dan Indonesia tanaman

kelor yang tumbuh masuk dalam spesies Moringa oleifera. Hal ini disebabkan ciri-

ciri fisik dan tempat tanaman tumbuh pada suhu dan lingkungan tropis di Benua

Asia (Luthfiyah, 2012).

Manfaat tanaman kelor sudah banyak dibuktikan oleh beberapa penelitian

terdahulu. Kulit akar, batang, daun dan biji tanaman kelor terbukti memiliki

beberapa manfaat dalam pengobatan. Kulit batang tanaman kelor telah terbukti

berkhasiat sebagai penawar racun ular dan kalajengking. Rebusan daun dan

bunga kelor membantu mengatasi radang tenggorokan dan getah kelor digunakan

untuk mengobati penyakit sifilis pada lelaki di Afrika (Fuglie, 2001). Hasil penelitian

Jaiswal et al. (2009) peneliti dari Departemen Kimia Universitas Allahabad India

membuktikan senyawa aktif daun kelor lebih efektif serta jauh lebih aman dalam

penurunan kadar gula darah dibanding obat kimia glipzide (obat kencing manis

yang biasa diresepkan dokter). Penurunan kadar gula darah disebabkan pengaruh

senyawa terpenoid yang menstimulasi sel-sel ß pankreas untuk mengeluarkan

insulin (Radiansah et al., 2013). Manfaat dari biji kelor yang sudah diteliti melalui

program UNDP (United Nations Development Programme), yaitu biji kelor sebagai

bahan koagulasi untuk menjernihkan air secara cepat, murah, dan aman. (Jonni et

al., 2008).

Page 24: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

10

Daun kelor mengandung antioksidan, antikanker, antiinflamasi, dan

antibakteri. Daun kelor juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi ASI.

Hasil penelitian Mutiara (2011) menyatakan bahwa tepung daun kelor dapat

meningkatkan produksi air susu pada tikus putih galur wistar dengan dosis di atas

42 mg/kg karena kandungan senyawa fitosterol. Senyawa-senyawa yang

mempunyai efek laktogogum adalah sterol yang merupakan golongan steroid.

Selain mengandung fitosterol, daun kelor juga merupakan sumber beta karoten,

kalsium, zat besi, potassium, asam amino, thiamin, riboflavin, niasin, vitamin C,

dan vitamin E. Komposisi kimia daun kelor segar menurut USDA (2016) dan

tepung daun kelor menurut Fuglie (2001) dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1. Kandungan Nutrisi Daun Kelor per 100 Gram

Komponen Zat Gizi Daun Segar Tepung Daun Kelor

Air (g) 78,66 7.5 Energi (kcal) 64 205 Protein (g) 9,40 27.1 Lemak (g) 1,40 2.3

Karbohidrat (g) 8,28 38.2 Serat (g) 2 19.2

Kalsium (mg) 185 2003 ß-karoten (mg) 6.78 16.3

Asam askorbat (Vitamin C) (mg) 51,7 17.3

Sumber: USDA (2016); Fuglie (2001)

2.4 Oksalat

Asam oksalat merupakan suatu turunan anhidridat asam karboksilat yang

mempunyai struktur dua molekul asam karboksilat dan digabung menjadi satu

dengan melepaskan molekul air (Ralp et al., 1986 dalam Suwardi, 2011). Asam

oksalat pada tanaman tersimpan dalam dua bentuk yaitu oksalat larut air dan

oksalat tidak larut air. Konsumsi oksalat dalam jumlah tinggi dapat menurunkan

bioavailibilitas kalsium dalam tubuh dan dapat menyebabkan batu ginjal (Noonan

and Savage, 1999). Oksalat terlarut dihasilkan dari pengikatan oksalat pada logam

alkali yang dapat larut dalam air (Liebman, 2002 dalam Suwardi, 2011). Oksalat

tidak terlarut dihasilkan dari persenyawaan kalsium dengan asam oksalat. Manfaat

keberadaan kalsium oksalat adalah pengikat racun oksalat, meregulasi kalsium,

dan sebagai pertahanan diri terhadap herbivora (Franceschi & Nakata, 2005).

Pada tanaman angiospermae, oksalat dalam bentuk asam oksalat maupun kristal

kalsium oksalat, disimpan di dalam vakuola sel (Fahn, 1991). Sturuktur asam

oksalat dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Page 25: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

11

Gambar 2.2 Struktur Asam Oksalat (Vogel, 1985 dalam Suwardi, 2011)

Kelarutan garam oksalat dari logam-logam alkali dan besi (II), adalah larut

dalam air, semua garam oksalat lain tak larut atau sangat sedikit larut dalam air

dan hanya larut dalam asam-asam encer. Beberapa garam oksalat larut dalam

asam pekat dengan cara membentuk oksalat asam atau oksalat kompleks (Vogel,

1985 dalam Suwardi, 2011). Menurut Vogel, 1985 dalam Suwardi (2011) asam

oksalat dalam keadaan murni berupa senyawa :

a. Kristal

b. Larut dalam air (8% pada 10oC)

c. Larut dalam alkohol.

Kelarutan kalsium oksalat dalam air dengan suhu 20°C sebesar 0,67

mg/L atau sebesar 0,000067%. Kristal kalsium oksalat merupakan benda ergastik

yang dapat berdampak negatif bagi tubuh bila di konsumsi berlebih, antara lain

penyebab penyakit asam urat (Tsai et al., 2005) dan batu ginjal (Brown, 2000;

Conte et al., 1990) seperti pada Porang yang dapat merusak saluran sistem

urinaria (Indriyani, 2010). Substansi oksalat terdapat pada makanan pada jumlah

berlebih dapat berakibat tidak baik bagi kesehatan (Conte et al., 1990) karena

bersifat antinutrien yang mempengaruhi tidak tersedianya kalsium yang diperlukan

bagi tubuh manusia dan pada beberapa kasus, hewan ternak dapat teracuni

tumbuhan yang mengandung oksalat (Indriyani, 2011).

Kristal kalsium oksalat dapat merusak sel sehingga kemungkinan dapat

menyebabkan obstruksi, infeksi, dan kerusakan jaringan. Kerusakan sel pada

tahap degenerasi masih bersifat reversible sehingga terdapat kemungkinan sel

dapat kembali normal (Elferink, 1987 dalam Natalia, 2013).

Selain itu, pada jumlah cukup tinggi, asam oksalat dan kristal kalsium

oksalat menyebabkan aberasi mekanik saluran pencernaan dan tubulus yang

halus di dalam ginjal (Akhtar et al., 2011). Bahkan secara kimia, kristal ini dapat

menyerap kalsium yang penting untuk fungsi saraf dan serat-serat otot (Brown,

2000).Oksalat berbentuk jarum akan larut dalam darah dan dapat menggores dan

merusak sel hepar serta bersifat korosif dalam tubuh (Adiwisastra, 1985).

Page 26: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

12

Berdasarkan penelitian oleh Natalia (2013) mengenai toksisitas tepung

glukomanan, pada kelompok dosis 4000 mg/kg bb ditemukan kerusakan berupa

degenerasi hidropik pada sel hepatosit yang merupakan efek jangka panjang dari

pembengkakan sel. Pembengkakan sel menyebabkan sitoplasma dan organel sel

tampak membengkak dan bervakuola akibat akumulasi air dalam jumlah besar.

Degenerasi yang terjadi pada penelitian ini diduga akibat adanya kristal kalsium

oksalat yang menyebabkan sirkulasi darah terganggu sehingga berakibat pada

berkurangnya suplai oksigen. Selain itu, kalsium oksalat yang terabsorbsi dalam

hepar juga menyebabkan kerusakan sel hepatosit berupa degenerasi serta pada

beberapa sel mulai mengalami kematian (nekrosis) dan ditandai dengan adanya

sel kupffer yang semakin banyak pada kelompok dosis 5000 mg/kg bb. hepar

menghasilkan enzim-enzim biotransformasi untuk berbagai macam zat eksogen

dan endogen untuk dieliminasi di dalam tubuh. Proses ini dapat mengaktifkan

Kristal kalsium oksalat menjadi bentuk lebih toksik dan menyebabkan perlukaan

hepar (Natalia, 2013).

2.4.1 Pengaruh Pengolahan terhadap Kadar Oksalat Total Serbuk, Ekstrak Air, dan Ekstrak pekat Daun Kelor

Maserasi adalah proses pembuatan ekstrak yang dilakukan dengan cara

merendam simplisia menggunakan cairan penyari dengan beberapa kali

pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Cairan penyari akan masuk ke

dalam sel melewati dinding sel. Isi sel yang mengandung senyawa bioaktif akan

terlarut dan berdifusi ke dalam cairan penyari karena adanya perbedaan gradien

konsentrasi senyawa akif dengan bahan terlarut lainnya di dalam sel dengan di

luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh

cairan penyari dengan konsentrasi yang lebih rendah. Peristiwa tersebut

berlangsung berulang kali sampai terjadi keseimbangan konsentrasi bahan terlarut

antara larutan di luar dan di dalam sel (Voight, 1994).

Evaporasi merupakan suatu proses penguapan sebagian dari pelarut

sehingga didapatkan larutan zat cair pekat yang konsentrasinya lebih tinggi.

Tujuan dari evaporasi itu sendiri yaitu untuk memekatkan larutan yang terdiri dari

zat terlarut yang tak mudah menguap dan pelarut yang mudah menguap

(Praptiningsih, 1999).

Masyarakat seringkali mengkonsumsi daun kelor sebagai suplemen dalam

bentuk serbuk yang dimasukkan kapsul, direbus dan diolah menjadi teh sehingga

Page 27: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

13

pada penelitian ini digunakan sediaan suplemen daun kelor yang berbeda yaitu

sediaan serbuk, ekstrak air, dan ekstrak pekat dengan tujuan untuk membedakan

sediaan daun kelor yang paling aman dan mengetahui kadar oksalat total yang

ada di dalam beberapa bentuk sediaan suplemen daun kelor. Diduga pada setiap

sediaan memiliki kandungan oksalat yang berbeda. Oksalat di dalam tanaman

tersedia dalam bentuk oksalat terlarut (natrium dan kalium oksalat) dan hanya 10-

20% merupakan kalsium oksalat yang tidak larut terutama dalam sel (Bradbury

and Holloway 1988 dalam Suwasito 2013). Sehingga pada sediaan serbuk akan

mengandung oksalat yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak air daun kelor.

Jenis oksalat pada tanaman digolongkan dalam dua jenis yaitu oksalat larut air

dan oksalat tidak larut air (Purnomo et al., 2012). Sehingga pada sediaan ekstrak

air daun kelor akan mengandung oksalat yang lebih rendah dari serbuk daun kelor

dikarenakan hanya sekitar 0,000067% kalsium oksalat yang larut dalam air

dengan suhu 20°C dan 8% kadar asam oksalat yang larut pada air dengan suhu

10°C (Vogel, 1985 dalam Suwardi, 2011). Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi

secara maserasi pada suhu ruang ±25°C menggunakan akuades steril selama 24

jam. Diduga asam oksalat yang akan larut pada pelarut dengan suhu ±25°C adalah

sekitar ±20%. Sediaan ekstrak pekat daun kelor akan memiliki kadar oksalat total

yang paling rendah dikarenakan ekstrak pekat merupakan ekstrak air yang telah

dilakukan evaporasi sebelumnya dengan menguapkan kadar air sebesar 30% dan

proses penguapan melibatkan panas yang dapat menurunkan kadar oksalat total

dalam ekstrak air.

2.5 Hepar

2.5.1 Histologis Hepar

Hepar merupakan organ sentral dalam metabolisme zat makanan,

sebagian besar obat dan toksikan yang berperan dalam mentransformasi zat-zat

biologis yang mungkin bersifat racun atau yang tidak dapat diekskresi tubuh.

Toksikan melewati proses detoksifikasi ketika masuk ke dalam tubuh tetapi ada

juga yang diaktifkan dan menjadi lebih toksik (Sherwood, 2001; Corwin, 2009; Lu

FC, 1995 dalam Nuridayanti, 2011).

Hepar terbagi atas 4 lobus yaitu lobus kanan, lobus kiri, kuadratus dan

kaudatus. Yang dipisahkan oleh ligamentum fasciformis dan memiliki lapisan

jaringan ikat tipis yang disebut kapsula Glisson. Pada bagian luar sel hepar

tertutupi oleh peritoneum (Sulaiman et al., 2007). Hepatosit merupakan unit

Page 28: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

14

fungsional dari organ hepar. Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral

hepar dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi darah

dan saluran empedu. Sel Kupffer melapisi sinusoid hepar dan merupakan bagian

penting dari sistem retikuloendotelial tubuh. Darah dipasok melalui vena porta dan

arteri hepatica, dan disalurkan melalui vena sentralis, kemudian masuk ke dalam

vena hepatica dan darah akan masuk ke dalam vena cava (Octaviani, 2010).

Anatomi mikroskopik pembuluh darah hepar ditampilkan pada Gambar 2.3 dan 2.4

Gambar 2.3 Struktur Tiga Dimensi Hepar (Putri, 2009)

Gambar 2.4 Anatomi Mikroskopik Pembuluh Darah Hepar (Abbas et al., 2005)

Page 29: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

15

Daerah tempat keluar masuk pembuluh darah pada hepar dikenal dengan

nama hilus atau porta hepatis. Pembuluh yang terdapat pada daerah ini antara lain

vena porta, arteri hepatica propia, dan terdapat duktus hepatikus dextra dan

sinistra. Vena pada hepar yang membawa darah keluar dari hepar menuju vena

cava inferior adalah vena hepatica. Sedangkan pembuluh darah vena porta dan

arteri hepatica mengalir menuju porta hepatica (Sudoyo et al., 2009; Sylvia and

Price, 2006).

Hepar menghasilkan empedu setiap harinya. Empedu penting dalam

proses absorpsi dari lemak pada usus halus. Setelah digunakan untuk membantu

absorpsi lemak, empedu akan di reabsorpsi di ileum dan kembali lagi ke hepar.

Empedu dapat digunakan kembali setelah mengalami konjugasi dan sebagian

akan diubah menjadi bilirubin. Metabolisme lemak yang terjadi di hepar adalah

metabolisme kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan lipoprotein menjadi asam lemak

dan gliserol. Selain itu, hepar memiliki fungsi untuk mempertahankan kadar

glukosa darah selalu dalam kondisi normal. Hepar juga menyimpan glukosa dalam

bentuk glikogen. Metabolisme protein di hepar antara lain adalah albumin dan

faktor pembekuan yang terdiri dari faktor I (fibrinogen), II (prothrombin), V

(proakselerin), VII, (prokonvertin), VIII (plasmokinin), IX (protromboplastin beta),

dan X (protrombinase). Selain metabolisme protein, di dalam hepar juga terjadi

aktivitas degradasi asam amino, yaitu melalui proses deaminasi atau pembuangan

gugus NH2. Hepar memiliki fungsi untuk mensekresikan dan menginaktifkan

aldosteron, glukokortikoid, estrogen, testosteron dan progesteron (Guyton and

Hall, 2008; Cox, 2004).

2.5.2 Patologi Hepar

Beberapa zat kimia dapat menyebabkan kerusakan hepar. Hal ini

disebabkan oleh dosis yang diberikan lebih berperan dibandingkan dengan

konstitusi metabolik (Lee, 2003 dalam Yudha dan Purnawati, 2014). Terdapat

beberapa mekanisme kerusakan sel hepar karena zat kimia. Pertama, jika reaksi

energi tinggi yang melibatkan sitokrom p-450 menyebabkan ikatan kovalen zat

kimia dengan protein intrasel, maka akan terjadi disfungsi intraseluler berupa

hilangnya gradien ion, penurunan kadar ATP, dan disrupsi aktin pada permukaan

hepatosit yang menyebabkan pembengkakan sel dan berakir dengan ruptur sel

(pecah/rusaknya sel). Kedua, disrupsi aktin pada membran kanalikuli dapat

menghalangi aliran bilier. Proses ini akan menyebabkan kolestasis. Kombinasi

Page 30: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

16

kolestasis dengan proses kerusakan intraseluler yang lain akan menyebabkan

akumulasi asam empedu yang berakibat kerusakan lebih lanjut. Ketiga, zat kimia

dengan senyawa kecil dapat berfungsi sebagai hapten. Setelah berikatan dengan

protein akan membentuk kompleks apoprotein yang bersifat imunogenik yang

bermigrasi ke permukaan sel hepatosit dalam bentuk vesikel. Vesikel ini dapat

menginduksi sel T untuk membentuk antibodi (antibody-mediated citotoxicity) atau

menginduksi respon sitotoksik sel T (direct cytotoxic T-cell response) (Lee, 2003;

Navarro dan Senior, 2006 dalam Yudha dan Purnawati, 2014).

Diperlukan pemeriksaan secara rutin pada fungsi hepar karena hepar

berperan dalam mempertahankan hidup dan berperan dalam metabolik tubuh

seperti metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Kerusakan hepar dapat

berupa perlemakan hepar, nekrosis hepar, kolestasis, dan sirosis yang dapat

disebabkan oleh zat toksik yang terakumulasi dalam tubuh (Price and Wilson,

2005; Sacher and McPherson, 2004; Lu FC, 1995 dalam Nuridayanti, 2011).

Kerusakan hepar akibat bahan kimia ditandai dengan lesi awal yaitu lesi

biokimia (Kumar et al., 2007). Hepar akan mengalami perubahan struktur ketika

bereaksi dengan bahan kimia, perubahan struktur tersebut yang dapat dilihat

secara mikroskopis adalah:

1. Degenerasi

Degenerasi dapat terjadi di inti maupun sitoplasma. Beberapa degenerasi

pada inti antara lain (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003) :

a. Inclusion bodies : Inclusion bodies terkadang terdapat pada inti sel hepar

(Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003).

b. Vakuolisasi : Degenarasi inti ini ditandai dengan inti tampak membesar dan

bergelembung, serta kromatinnya jarang, dan tidak eosinofilik (Kumar et

al., 2007; Sarjadi, 2003). Vakuolisasi sel ditunjukkan pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 Pembengkakan sel hepar disertai vakuolisasi; Ket.: 1. Sel yang Mengalami Vakuolisasi; 2. Inti Sel Bergeser ke Tepi (Robbins et al., 2007)

Page 31: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

17

Degenerasi pada sitoplasma :

a. Perlemakan (Steatosis) : Degenerasi yang ditandai dengan adanya

penimbunan lemak pada parenkim hepar, dapat berupa bercak, zonal

atau merata. Pada degenerasi ini terjadi pendesakan inti ke tepi sel

sehingga sel terlihat kosong (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003).

Perlemakan Hepar ditunjukkan pada Gambar 2.7

Gambar 2.7 Perlemakan Hepar (Steatosis) (Atlas of Pathology, 2009)

b. Degenerasi Hidropik : Degenerasi yang terjadi akibat adanya gangguan

pada membran sel sehingga cairan masuk kedalam sitoplasma, yang

menyebabkan terbentuknya vakuola-vakuola kecil sampai besar. Terjadi

akumulasi sel yang rusak tidak dapat menyingkirkan cairan yang masuk

(Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003). Degenerasi hidropik ditunjukkan pada

Gambar 2.6

Gambar 2.6 Degenerasi Hidropik (Octaviani, 2010)

Page 32: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

18

c. Degenerasi Hyalin : Degenerasi yang berat, dan merupakan degenerasi

lanjutan dari degenerasi hidropik. Terjadi akumulasi protein diantara

jaringan ikat (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003).

d. Degenerasi Amiloid : Degenerasi yang berupa terjadinya penimbunan

amiloid pada celah disse, sering terjadi akibat amiloidase primer ataupun

sekunder (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003).

2. Radang

Merupakan suatu reaksi pertahanan tubuh dalam melawan berbagai

kerusakan. Dengan mikroskop tampak dengan sel-sel fagosit berupa

polifmononuklear dan monosit (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003).

3. Fibrosis

Fibrosis terjadi apabila kerusakan sel tanpa regenerasi sel yang cukup.

Kerusakan hepar yang terjadi apabila dilihat secara makroskopis yaitu terjadi

atrofi atau hipertrofi, tergantung kerusakan mikroskopis (Kumar et al., 2007;

Sarjadi, 2003).

4. Nekrosis

Nekrosis adalah proses kematian sel atau jaringan pada organisme hidup. Inti

sel yang mati dapat terlihat lebih kecil, kromatin, dan serabut retikuler menjadi

berlipat-lipat. Inti menjadi lebih padat (piknotik) yang dapat hancur

bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian menjadi eosinofilik

(kariolisis). Sel hepar yang mengalami nekrosis dapat terjadi di area luas

maupun area sempit (Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003). Nekrosis hepar

ditunjukkan pada Gambar 2.8

Gambar 2.8 Nekrosis Hepar (Octaviani, 2010)

Page 33: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

19

Berdasarkan lokasi dan luas area nekrosis dapat dibedakan menjadi berikut

(Kumar et al., 2007; Sarjadi, 2003) :

a. Nekrosis Fokal : Kematian sebuah sel atau kelompok kecil baik didalam

satu lobulus (Kumar et al., 2007).

b. Nekrosis Zonal : Kerusakan sel hepar dalam satu lobus. Dikelompokan

menjadi Nekrosis Sentral, Nekrosis Perifer, dan nekrosis midzonal

(Kumar et al., 2007).

c. Nekrosis Masif : Nekrosis yang terjadi lebih dari satu lobulus atau area

yang luas (Kumar et al., 2007).

Berdasarkan bentuknya nekrosis dapat dibedakan :

a. Nekrosis Koagulitiv : terjadi akibat hilangnya fungsi sel secara mendadak

yang diakibatkan hambatan kerja sebagian besar enzim (Kumar et al.,

2007).

b. Nekrosis likueafaktif : terjadi karena pencairan jaringan akibat enzim

hidrolitik yang dilepaskan mati (Kumar et al., 2007).

c. Nekrosis kaseosa : merupakan bentuk campuran dari nekrosis koagulitiva

dan nekrosis likueafaktif. Secara makroskopik teraba kenyal seperti keju.

Secara mikroskopik terlihat masa amorf yang esonofilik (Kumar et al.,

2007).

Untuk mengukur perubahan mikroskopis sel hepar, maka digunakan

system skoring yang mengacu pada system skoring Manja Roenigk (2009) yang

dipublikasikan pada jurnal Histological Patterns in Drug Induced Liver Diseases

sebagai berikut :

1. Nilai 1 = sel hepar normal. Tampak sel berbentuk polygonal, sitoplasma

berwarna merah homogen, dinding sel berbatas tegas (Roenigk, 2009).

2. Nilai 2 = sel hepar degenerasi parenkimatosa. Pembengkakan sel disertai

sitoplasma keruh dan bergranula (Roenigk, 2009).

3. Nilai 3 = sel hepar degenerasi hidropik. Tampak sel sembab, terdapat

akumulasi cairan dan terdapat banyak vakuola (Roenigk, 2009).

4. Nilai 4 = sel hepar nekrosis. Merupakan kerusakan permanen sel atau

kematian sel (Roenigk, 2009).

2.5.3 Biotransformasi Obat di Hepar

Biotransformasi adalah mekanisme tubuh untuk menginaktivasi dan

mengekresikan zat-zat asing dari tubuh. Bahan asing tersebut dapat berupa bahan

Page 34: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

20

dari alam (xenobiotik) ataupun dibuat manusia secara sintetik. Biotransformasi

terjadi terutama di hepar (Murray, 2000). Pada umumnya biotrasnformasi terjadi

melalui dua reaksi, yaitu reaksi fase I (reaksi perubahan) dan reaksi fase II

(pembentukan konjugat).

1. Reaksi fase I

Terjadi di retikulum endoplasma halus. Keadaan tertentu (beberapa zat

karsinogen), reaksi fase I ini dapat menyebabkan bahan-bahan asing menjadi

lebih aktif atau lebih toksik terhadap tubuh. Reaksi fase I yang penting dalam

biotransformasi adalah reaksi oksidasi (hidroliksasi, pembentukan epoksida,

pembentukan sulfoksida, dealkilasi dan desaminasi), reaksi reduksi (dari

senyawa karbonil, azo atau nitro dan dehalogenasi), metilasi dan desulfurasi

(Murray, 2000; Correia, 2001).

2. Reaksi tipe II

Merangkaikan substrat (bilirubin, metabolit dari xenobiotik, obat - obatan, dan

hormon steroid) pada molekul yang sangat polar dan bermuatan negatif.

Reaksi fase II dikatalisis oleh enzim transferase. Produk yang dihasilkan

berupa konjugat. Konjugat merupakan molekul yang sangat polar dan dapat

larut dalam air, sehingga mudah diekskresi. Konjugat dengan berat molekul >

300 akan dieksresikan melalui sistem bilier, Sedangkan konjugat dengan

berat molekul < 300 diekskresi di ginjal (Correia, 2001).

2.6 Ginjal

2.6.1 Histologis Ginjal

Ginjal tersusun oleh kapsula ginjal yang terdiri dari jaringan penyambung

padat. Korteks merupakan bagian terluar ginjal dan bagian terdalamnya adalah

medulla. Di bagian medulla terdapat banyak nefron, yang terdiri dari korpus

renalis, tubulus proksimalis, tubulus distalis, dan ansa henle. Nefron terdiri atas

sebuah glomerulus dimana cairan tersebut difiltrasi dan sebuah tubulus yang

panjang dimana cairan filtrasi tersebut diubah menjadi urin dalam perjalanan ke

pelvis renalis (Guyton and Hall 1997).

Glomerulus adalah suatu organ epitelio-vaskuler yang disusun sebagai

tempat filtrasi ultra dari plasma. Kapiler glomerulus dilapisi oleh lapisan endotelium

dan terletak pada membran basalis. Tubulus proksimalis dilapisi oleh epitel selapis

kuboid atau silindris. Sel-sel epitel ini mempunyai sitoplasma asidofilik yang

Page 35: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

21

disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam jumlah besar. Tubulus

proksimalis akan berlanjut menjadi ansa henle. Ansa henle adalah suatu struktur

berbentuk U yang terdiri atas ruas tipis desenden, ruas tipis asenden, dan ruas

tebal asenden. Tubulus distalis merupakan bagian akhir dari nefron. Tubulus ini

dilapisi oleh epitel selapis kuboid. Lumen tubulus ini lebih besar karena sel-sel

tubulus distalis lebih gepeng dan lebih kecil dari yang ada di tubulus proksimalis,

maka tampak lebih banyak sel dan inti pada dinding tubulus distalis (Junqueira dan

Carneiro 1997). Histologi korteks ginjal dapat dilihat pada Gambar 2.9

Gambar 2.9 Korteks Ginjal: Aparatus Jukstaglomerular (Eroschenko, 2003 dalam

Octaviani, 2010)

Struktur ginjal dalam keadaan normal mempunyai ciri-ciri, yaitu sel

berbentuk polihedral, inti bundar berwarna jernih, dan terletak di dalam sel,

sitoplasma tampak jernih, lumen dalam keadaan terbuka serta sel epitel yang

terdapat dalam tubulus menempel pada membran basalis (Leeson et al. 1993).

2.6.2 Fungsi Ginjal

Ginjal merupakan organ utama yang berperan dalam menjaga homeostatis

air dan elektrolit. Ginjal juga merupakan organ utama yang terkena efek toksisitas

jika tubuh terpapar zat toksik. Berbagai fungsi ginjal tercermin pada sistem tubuh

kompleks yang berkaitan erat dengan pembuluh darah. Menurut Price and

Page 36: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

22

Lorraine (2006) dalam Juhriyyah (2008) fungsi utama ginjal dibagi menjadi fungsi

ekskresi dan nonekskresi. Fungsi ekskresi ginjal adalah mempertahankan

osmolalitas plasma, mempertahankan volume cairan ekstraseluler dan tekanan

darah, mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu

dalam rentang normal, mempertahankan pH plasma, mengekskresikan produk

akhir nitrogen dari metabolism protein (terutama urea, asam urat, dan kreatinin),

dan bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat. Sedangkan fungsi

non ekskresi ginjal yaitu mensintesis dan mengaktifkan hormon yaitu renin,

eritropoetin, 1,25-dihidroksivitamin D3, prostaglandin, insulin, glucagon,

parathormone, prolactin, hormone pertumbuhan, hormone anti diuretic (ADH),

hormone gastrointestinal, serta degradasi hormone polipeptida. Anatomi ginjal

dapat dilihat pada Gambar 2.10

(a) (b)

Gambar 2.10 Anatomi Ginjal, (a) Struktur Bagian Ginjal (b) Pembuluh Darah Ginjal (Martini and Nath, 2008)

Ginjal melakukan fungsinya yang paling penting dengan cara menyaring

plasma dan memindahkan zat dari filtrat dengan kecepatan yang bervariasi,

bergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya ginjal membuang zat yang tidak

diinginkan dari filtrat dengan mengekskresikannya dalam urin sementara zat yang

dibutuhkan dikembalikan ke dalam darah. Proses pembentukan urin dimulai

dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang mengandung sedikit protein dari kapiler

glomerulus ke kapsula bowman. Kebanyakan zat dalam plasma kecuali protein,

difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam

Page 37: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

23

kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Ketika cairan yang telah difiltrasi

ini meninggalkan kapsula bowman dan mengalir melewati tubulus, cairan ini

mengalami perubahan akibat adanya reabsorpsi air dan zat terlarut spesifik

kembali ke dalam darah atau sekresi zat-zat lain dari kapiler peritubulus ke dalam

tubulus (Guyton and Hall, 2008).

Sebagian besar zat yang harus dibersihkan dari darah terutama produk

akhir metabolism seperti urea, kreatinin, asam urat dan garam-garam asam urat

direabsorpsi sedikit sehingga akan diekskresi dalam jumlah yang besar ke dalam

urin. Zat asing dan obat-obatan tertentu juga direabsorpsi sedikit tetapi juga

disekresi dari darah ke dalam tubulus sehingga laju ekskresinya tinggi. Sebaliknya,

elektrolit seperti ion natrium, klorida dan bikarbonat direabsorpsi dalam jumlah

besar sehingga hanya sejumlah kecil saja yang tampak dalam urin. Zat nutrisi

tertentu seperti asam amino dan glukosa direabsorpsi secara lengkap dari tubulus

dan tidak dalam urin meskipun sejumlah besar zat tersebut difiltrasi oleh kapiler

glomerulus (Guyton and Hall, 2008).

2.6.3 Toksikologi pada Ginjal

Kelompok utama nefrotoksikan adalah logam berat, antibiotik, analgesik,

dan hidrokarbon berhalogen tertentu. Semua bagian nefron secara potensial dapat

dirusak oleh efek toksikan (Octaviani, 2010).

1. Glomerulus

Antibiotik puromisin dapat meningkatkan permeabilitas glomerulus terhadap

protein seperti albumin. Sebaliknya, antibiotik aminoglikosid seperti

gentamisin dan kanamisin mengurangi filtrasi glomerulus, selain

mempengaruhi tubulus ginjal. Perubahan-perubahan patologi yang terjadi

pada glomerulus yaitu atrofi glomerulus, endapan protein pada ruang

Bowman, dan penebalan kapsula Bowman (Octaviani, 2010).

2. Tubulus proksimalis

Pada bagian ini terjadi absorpsi dan sekresi aktif tubulus proksimalis

menyebabkan kadar toksikan pada tubulus proksimalis sering lebih tinggi.

Selain itu, kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimalis lebih tinggi untuk

mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan. Dengan demikian, tempat ini

sering merupakan sasaran efek toksik. Logam berat seperti merkuri, kromium,

kadnium, dan timbal, dapat mengubah fungsi tubulus yang ditandai dengan

glikosuria, aminoasiduria, dan poliuria. Antibiotik tertentu mempengaruhi

Page 38: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

24

filtrasi glomerulus. Streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, dan

amfoterisin-B mempengaruhi tubulus proksimalis. Beberapa obat ini

mengubah komposisi fosfolipid membran, permeabilitas, aktivitas Na+ - K+ -

ATPase, aktivitas adenilat siklase, dan transport K+, Ca2+, dan Mg2+.

Sefaloridin tidak disekresikan dari tubulus proksimalis, tetapi ditumpuk dalam

sel sehingga menyebabkan kerusakan. Hidrokarbon berhalogen seperti

karbon tetraklorida dan khloroform bersifat hepatotoksik. Heksaklorogutadien

merusak pars recta tubulus proksimalis. Bromobenzen dan

heksaklorobutadiena yang bekerja pada tubulus proksimalis bersifat

nefrotoksik. Perubahan patologi yang terjadi dapat berupa nekrosis,

degenerasi hialin, degenerasi hdiropik, dan nefrosa (Octaviani, 2010).

Apoptosis atau nekrosa juga dapat terjadi pada ginjal. Nekrosa merupakan

kematian sel jaringan saat individu masih hidup. Secara mikroskopik terjadi

perubahan intinya, yaitu hilangnya gambaran khromatin, inti tampak lebih padat,

inti sel mengkerut (piknosis), inti terbagi atas fragmen-fragmen, inti sel hancur

(karyoreksis), dan inti tidak lagi mengambil warna banyak karena itu pucat tidak

nyata (karyolisis) (Octaviani, 2010). Gambar histopatologi nekrosa (a) dan

degenerasi hidropis (b) pada sel epitel tubulus ginjal ditampilkan apda Gambar

2.11

Gambar 2.11 Nekrosa (a) dan degenerasi hidropis (b) sel epitel tubulus ginjal (International Society of Nephrology 2010)

Perubahan patologi yang dapat terjadi pada ginjal antara lain nephrosis

(nefrosa), yaitu peradangan pada ginjal akibat gangguan pertukaran zat. Nefrosa

dapat dibagi dalam tubulo-nephrosis dan glomerulo-nephrosis (Ressang 1984

Page 39: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

25

dalam Octaviani, 2010). Tubulo-nephrosis adalah perubahan-perubahan pada

epitel tubulus yang disebabkan karena tubulus selain berfungsi sebagai sekresi

juga mempunyai fungsi resorpsi. Perubahan-perubahan yang terlihat secara

mikroskopik adalah degenerasi epitel hingga nekrosa (Octaviani, 2010). Yang

termasuk di dalam tubulonephrosis antara lain sebagai berikut (Octaviani, 2010):

1. Degenerasi hidropik-vakuoler pada parenkim yang disebabkan oleh

gangguan metabolisme air dan protein dalam sel-sel

2. Nefrosa hipokhloremik yang disebabkan oleh kehilangan khlor yang

berlebihan.

3. Degenerasi hialin yang disebabkan oleh gangguan metabolisme protein pra-

renal. Gambaran mikroskopis degenerasi hialin ditampilkan pada Gambar

2.12

Glomerulo-nephrosis adalah semua perubahan yang bersifat radang di

dalam glomerulus dan disebabkan oleh gangguan pra-renal dan humoral dalam

bentuk disproteinemi (Ressang 1984 dalam Octaviani, 2010). Sel tubulus ginjal

dapat mengalami kerusakan degenerasi yang sifatnya reversible. Sel masih dapat

kembali normal jika intoksikasi toksin dihentikan, tetapi apabila terus berlanjut akan

menyebabkan kematian sel. Secara mikroskopik, degenerasi hidropis tampak

seperti celah kosong dan terkadang terjadi di sekitar nukleus dan bintik-bintik

sitoplasma terdesak ke belakang terhadap perifer dari sel (Jones et al., 2006).

Sedangkan degenerasi hialin terjadi akibat akumulasi protein pada sitoplasma sel

yang berbentuk butiran-butiran eosinofil yang khas. Adanya degenerasi hialin ini

dapat mengindikasikan zat toksik yang lolos dari filter glomerulus. Gambaran

mikroskopis degenerasi hialin ditampilkan pada Gambar 2.12

Gambar 2.12 Degenerasi Hialin pada Ginjal (Octaviani, 2010)

Page 40: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

26

2.7 Enzim Alkali Fosfatase (ALP)

Alkali fosfatase (ALP) adalah kelompok enzim yang bekerja menghidrolisis

ester fosfat pada suasana alkali. Aktivitas ALP tertinggi di dalam tubuh terdapat

dalam hepar, tulang, usus, ginjal, dan plasenta. Normalnya ALP yang berada

dalam hepar akan diekskresikan ke dalam empedu (Richterich and Colombo, 1981

dalam Nuridayanti, 2011). Apa yang diukur dalam darah adalah jumlah ALP yang

dilepaskan dari jaringan tersebut ke dalam darah. Enzim ini bekerja baik pada

kondisi pH basa (pH 10) sehingga enzim ini tidak aktif di dalam darah. ALP bekerja

dengan cara melepaskan fosfor (asam mineral) sehingga menghasilkan sebuah

pH alkali (Kaslow, 2013). Jika terjadi kerusakan atau obstruksi pada hepar dan

saluran empedu, maka ditandai dengan aktivitas ALP yang meningkat (Richterich

and Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011). Mekanisme ekskresi alkali fosfatase

ketika terjadi kerusakan hepar ditampilkan pada Gambar 2.13

Hepar dan saluran Hepar dan saluran empedu empedu normal terjadi kerusakan dan obstruksi

Gambar 2.13 Mekanisme Ekskresi Alkali Fosfatase Ketika Terjadi Kerusakan Hepar

(Kaslow, 2013)

Peningkatan aktivitas ALP di dalam tubuh mempunyai dua makna, yaitu

peningkatan yang terjadi pada keadaan normal dan peningkatan yang

menunjukkan ketidaknormalan tubuh. Peningkatan yang dinilai normal adalah

pada keadaan seperti wanita hamil dan pada anak-anak yang dalam masa

pertumbuhan. Peningkatan ALP yang dianggap tidak normal yaitu pada kelainan

hepatobiliar (obstruksi biliaris), pada alkoholik, sirosis hepar dan metastase tulang

(Richterich and Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011). Sel mukosa pada sistem

empedu dalam hepar merupakan sumber dari alkali fosfatase dimana aliran bebas

empedu akan melalui hepar dan turun ke saluran empedu, kantung empedu

Kanakuli hepar

ALP ALP ALP

Kantung empedu Aliran darah

ALP

ALP

ALP

ALP

Page 41: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

27

bertanggung jawab untuk menjaga kadar normal enzim ALP dalam darah. Ketika

terjadi kerusakan hepar, saluran empedu atau kantung empedu tidak berfungsi

dengan baik atau tersumbat, sehingga enzim ini tidak diekskresikan melalui

empedu melainkan dilepaskan ke dalam aliran darah sehingga kadar serum alkali

fosfatase dapat digunakan untuk mengukur integritas sistem saluran empedu

(hepatobiliaris) dan aliran empedu ke usus halus (Kaslow, 2013). Kadar ALP

mencapai puncak (20 kali normal) terjadi pada sirosis hepar, sedangkan pada

obstruksi biliaris menyebabkan peningkatan sampai sepuluh kali lipat dari normal

(Lawrence et.al., 1996; (Richterich dan Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011).

Prinsip pengukuran alkali fosfatase adalah perubahan p-nitrofenilfosfat

menjadi p-nitrofenol dan fosfat yang dikatalisis oleh alkali fosfatase. p-nitrofenol

yang terbentuk berwarna kuning dalam larutan alkali dan diukur pada panjang

gelombang 405 nm selama 3 menit pada suhu 25°C. Perubahan absorbansi per

satuan waktu sebanding dengan kecepatan disosiasi substrat yang juga

sebanding dengan aktivitas enzim. Alkali fosfatase bekerja optimum pada pH 9,6-

10,0 sehingga digunakan larutan dapar dietanolamin (DEA) pH 9,8 dan digunakan

Mg2+ sebagai kovaktor enzim (Nuridayanti, 2011).

2.8 Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Tikus Putih termasuk hewan nokturnal dan sosial. Salah satu faktor yang

mendukung kelangsungan hidup tikus putih dengan baik jika ditinjau dari segi

lingkungan adalah temperatur dan kelembaban. Temperatur yang baik untuk tikus

putih yaitu 19° C – 23° C dan kelembaban 40-70 % (Wolfenshon dan Lloyd, 2013).

Lebih dari 90% dari semua hewan uji yang digunakan di dalam penelitian adalah

binatang pengerat, terutama mencit (Mus musculus L.) dan tikus (Rattus

norvegicus L.) karena anatomi fisiologi dari organ-organ hewan tersebut sistematis

kerjanya hampir sama dengan fungsi anatomi organ manusia (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988; Maley dan Komasara, 2003). Jenis mencit dan tikus yang

paling umum digunakan adalah jenis albino galur Sprague Dawley dan galur

Wistar (Gambar 2.14). Kedua jenis hewan tersebut sering digunakan sebagai

hewan uji dalam penelitian dan pelatihan medis pada pengelolaan kesehatan gigi,

obesitas, diabetes melitus, dan hipertensi serta digunakan dalam bidang gizi

terutama untuk mempelajari hubungan antara nutrisi dengan penuaan dini (Maley

dan Komasara, 2003).

Page 42: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

28

Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian

yaitu galur Wistar, Sprague dawley, Long-Evans, dan Holdzman (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988). Galur tikus Sprague dawley dan Long-Evans

dikembangkan dari tikus galur Wistar. Tikus Wistar lebih aktif (agresif) daripada

jenis lain seperti tikus Sprague dawley (Sirois, 2005). Tikus putih merupakan strain

albino dari Rattus norvegicus. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan

hasil pembiakkan sesama jenis atau 15 persilangan. Selain Wistar, galur tikus

yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Sprague Dawley. Galur ini

berasal dari peternakan Sprague Dawley, Madison, Wiscoustin (Inglis, 1980).

Gambar 2.14 Tikus Putih Galur Wistar (Rattus norvegicus L.)

Jika dibandingkan dengan tikus betina, tikus jantan lebih banyak

digunakan karena menunjukkan periode pertumbuhan yang lebih lama.

Taksonomi dari tikus putih Rattus norvegicus L. yaitu sebagai berikut (Priyambodo,

1995) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Subfamili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus L.

Tikus laboratorium galur Wistar tumbuh dewasa dengan cepat, tidak

memperlihatkan perkawinan musiman dan lebih cepat berkembang biak, bobot

badan dewasa dapat mencapai 450 g tergantung hormon, genetik, umur, dan jenis

kelamin. Lama hidup tikus Wistar dapat mencapai umur 3,5 tahun, dengan

Page 43: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

29

kecepatan tumbuh 5 g per hari (Malole dan Pramono, 1989 dalam Pribadi, 2008)

sedangkan untuk tikus liar dapat hidup sampai 4-5 tahun. Dua karakteristik yang

membedakan tikus putih dengan binatang percobaan yang lain adalah tikus tidak

dapat memuntahkan makanan karena susunan anatomi esophagus yang menyatu

di perut, serta tikus tidak mempunyai kantung empedu (Smith,1987). Kelebihan

dari tikus putih sebagai binatang percobaan antara lain bersifat omnnivora

(pemakan segala), mempunyai jaringan yang hampir sama dengan manusia dan

kebutuhan gizinya juga hampir sama dengan manusia. Selain itu dari segi ekonomi

harganya murah, ukurannya kecil dan perkembangannya cepat. Tikus percobaan

strain wistar yang dikembangkan secara luas sangat mudah menyesuaikan diri

dengan lingkungannya. Makanan tikus juga mempunyai variasi dalam

susunannya, sebagai contoh komposisinya meliputi: protein 20-25 %, karbohidrat

45-50%, serat 5%. Juga harus mengandung vitamin A, vitamin D, alfa tokoferol,

asam linoleat, thiamin, riboflavin, panthothenat, biotin, serta mineral, phospor,

magnesium, potasium, tembaga, iodin, besi dan timah. Setiap hari seekor tikus

dewasa membutuhkan makanan antara 12-20 gr, serta minum air antara 20-45 ml,

serta mineral, besi sebesar 35 mg/kg (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Page 44: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

30

III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi FTP-UB, Laboratorium

Teknologi Pengolahan Pangan FTP-UB, Laboratorium Biokimia FTP-UB,

Laboratorium Bioteknologi FTP-UB, Laboratorium Patologi Klinik FK-UB dan

Laboratorium Patologi Anatomi FK-UB.

3.2 Populasi dan Sampel

Sampel penelitian diambil secara random dari populasi dengan kriteria

sebagai berikut :

1. Tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan

2. Usia 11-15 minggu

3. Berat badan 150 – 230 gram

4. Kondisi fisik sehat

5. Bergerak aktif dan mau makan

Hewan uji dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan yang terdiri atas 4

kelompok sediaan uji dan 1 kelompok kontrol. Jumlah ulangan perkelompok

mengikuti rumus Federer, yakni : (t-1).(n-1) ≥ 15,

Dimana: t (kelompok perlakuan) = 5

n = jumlah sampel per kelompok perlakuan

Maka: (t-1) (n-1) ≥ 15

(5-1) (n-1) ≥ 15

4n-4 ≥ 15

4n ≥ 18

N ≥ 4,75 ~ 5

Sehingga diperoleh jumlah sampel hewan coba untuk tiap perlakuan

adalah 5 ekor tikus.

3.3 Variabel Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sediaan uji dengan beberapa

tingkatan:

1. Kontrol (K) : diet normal + akuades 2 ml (tanpa suplemen daun kelor)

Page 45: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

31

2. Perlakuan 1 (P1) : diet normal + serbuk daun kelor (3,4 gram/195g bb/hari)

3. Perlakuan 2 (P2) : diet normal + ekstrak air daun kelor (5,6 ml/195g bb/hari)

4. Perlakuan 3 (P3) : diet normal + ekstrak pekat dosis 1 (4,1 ml/195g bb/hari)

5. Perlakuan 4 (P4) : diet normal + ekstrak pekat dosis 1 (8,2 ml/195g bb/hari)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar alkali fosfatase serum

darah tikus, histopatologi hepar dan histopatologi ginjal.

Variabel terkendali merupakan variabel yang dapat dikendalikan oleh

peneliti agar obyek penelitian selalu terkendali secara homogen. Variabel

terkendali dalam penelitian ini antara lain :

1. Jenis tikus

2. Umur tikus

3. Berat badan tikus

4. Jenis kelamin

5. Pemberian pakan tikus

6. Kondisi lingkungan kendang

7. Jenis sediaan daun kelor

8. Cara pemberian sediaan daun kelor

3.4 Alat dan Bahan

3.4.1 Alat dan Bahan Pada Perawatan Tikus

Alat yang digunakan yaitu bak plastik berukuran 45 cm x 35,5 cm x 14,5

cm, tutup kandang dari anyaman kawat dan botol minum tikus 100 ml. Bahan yang

digunakan yaitu sekam (bedding), susu pap dan air minum matang. Susu pap

diperoleh dari toko burung, mamalia dan unggas di Splendid, Malang.

3.4.2 Alat dan Bahan Pada Pembuatan Ransum Sediaan Serbuk Daun Kelor

Alat yang digunakan yaitu timbangan, baskom, mangkuk plastik, Loyang

dan pengering kabinet. Bahan yang digunakan yaitu susu pap, serbuk daun kelor

dan air.

3.4.3 Alat dan Bahan Pada Pembuatan Serbuk Daun Kelor

Alat yang digunakan yaitu Cabinnet dryer automatic, loyang, blender

kering, plastik polypropylene, aluminium foil, timbangan digital, blender dan

ayakan 80 mesh. Bahan yang digunakan yaitu daun kelor segar.

Page 46: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

32

3.4.4 Alat dan Bahan Pada Pembuatan Ekstrak Air Daun Kelor

Alat yang digunakan yaitu erlenmeyer 1 liter, kertas saring Whatmann no.

1, magnetic stirrer, pompa vakum, corong kaca, sentrifus. Bahan yang digunakan

yaitu serbuk daun kelor dan akuades steril.

3.4.5 Alat dan Bahan Pada Pembuatan Ekstrak Pekat Daun Kelor

Alat yang digunakan yaitu vaccum rotary evaporator, timbangan digital, dan

gelas ukur. Bahan yang digunakan yaitu vaselin, ekstrak air daun kelor dan

akuades.

3.4.6 Alat dan Bahan Pada Pembedahan Tikus

Alat yang digunakan yaitu gunting bedah, alas bedah, pinset, kapas, jarum

pentul 4 set, baskom dan penutup. Bahan yang digunakan yaitu sarung tangan

latex, masker, kloroform dan air.

3.4.7 Alat dan Bahan Pada Pembuatan Preparat Histpatologi

Alat yang digunakan yaitu botol organ, mikrotom, slide kaca, dan cover

glass. Bahan yang digunakan yaitu formalin 10%, alcohol 70%, 80% 96% alcohol

absolute, xylol, parafin cair, bahan pengecatan HE, propylene glycol 85%, 100%,

Oil Red O 0,5%, akuades steril, hematoksilin eosin, gelatin jelly 10%.

3.4.8 Alat dan Bahan Pada Analisis Kadar (ALP) Alkali Fosfatase Tikus

Alat yang digunakan untuk analisis (ALP) Alkali Fosfatase yaitu sentrifus

darah, spuit 5 ml, tabung vacutainer, tabung reaksi + rak tabung, pentra C-200,

mikropipet 1000 dan 10 mikroliter, pH meter dan microtube. Bahan yang

digunakan untuk analisis kadar alkali fosfatase yaitu serum darah, dietanolamin

pH 9,8, MgCl2, p-nitrofenilfosfat, aquabidest.

3.4.9 Penilaian Gambaran Sel Hepar

Alat untuk menilai gambaran sel hepar adalah mikroskop cahaya. Bahan

untuk menilai gambaran sel hepar adalah slide preparat hepar.

Page 47: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

33

3.5 Metode Pengumpulan Data

3.5.1 Pembuatan Serbuk Daun kelor

Daun kelor yang digunakan adalah varietas daun kelor putih yang diperoleh

secara acak dari beberapa kebun di daerah Kabupaten Malang yaitu di Pakisaji

dan Perumahan Asrikaton Pakis, Malang. Daun kelor yang digunakan adalah

campuran daun kelor yang muda hingga tua dengan kenampakan hijau muda

hingga hijau segar dan bersih (tidak kuning atau hitam). Daun kelor segar

dikeringkan menggunakan cabinet dryer dengan temperatur bertingkat yaitu 30˚C,

40˚C, 50˚C dan 60˚C selama 1 jam pada masing-masing temperatur pengeringan,

kemudian diblender dan diayak dengan ayakan 80 mesh.

3.5.2 Pembuatan Ekstrak Daun Kelor

Ekstrak daun kelor dibuat dari serbuk daun kelor yang diesktrak secara

maserasi selama 24 jam menggunakan pelarut akuades steril. Hasil maserasi

disaring dengan kain saring, kemudian disentrifus untuk memisahkan endapan

dengan filtrat serta memudahkan penyaringan tahap selanjutnya kemudian

disaring dengan kertas saring (Whatmann no. 1) untuk didapatkan filtrat jernih.

3.5.3 Pembuatan Esktrak Pekat Daun Kelor

Ekstrak pekat daun kelor dibuat dengan proses evaporasi menggunakan

vaccum rotary evaporator untuk menguapkan kadar air sebesar 30%. Evaporasi

dilakukan selama 1,5 jam pada suhu 50-55°C dengan tekanan 100 milibar.

3.5.4 Penentuan Dosis

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian pengujian bioavailabilitas

kalsium sehingga penentuan dosis berdasarkan pada kebutuhan kalsium harian.

Penentuan dosis tidak seperti penentuan dosis senyawa bioaktif yang

mempertimbangkan berat badan masing-masing tikus wistar tetapi ditentukan

berdasarkan berat badan rata-rata tikus wistar di seluruh kelompok perlakuan

karena sediaan daun kelor dalam penelitian ini dimanfaatkan sebagai suplemen

kalsium dan untuk mengetahui keamanan sediaan daun kelor sebagai suplemen

kalsium.

Dosis ditentukan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013,

kalsium pada manusia laki-laki dewasa yaitu sebesar 1100 mg/hari dengan berat

Page 48: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

34

badan 60 kg. Kemudian dihitung dosis perlakuan tikus menggunakan rumus

konversi berat badan yaitu Human Equivalent Dose (FDA, 2005) dalam 60 kg berat

badan manusia ke berat badan rata-rata tikus yaitu 195 gram.

HED (mg/kg) = Animal dose (mg/kg) х Animal Km/Human Km

18,33 mg/kg = Animal dose (mg/kg) x 6/37

AED (mg/kg) = 113,0556 mg/kg = 0,1130556 mg/g

AED (mg/195g) = 22.04583 mg/195 g

Keterangan :

HED : Human Equivalent Dose (mg/kg)

Km : Faktor konversi (tikus: 6; manusia: 37)

Konsumsi kalsium pada tikus wistar berdasarkan Angka Kecukupan Gizi

(AKG) sebesar 22 mg. Berdasarkan kadar kalsium yang terkandung dalam setiap

sediaan suplemen daun kelor dan dosis harian kalsium pada hewan coba (22

mg/195 g) (Lampiran 2), dapat ditentukan dosis suplemen masing-masing sediaan

daun kelor yang ditampilkan pada Tabel 3.1

Tabel 3.1 Dosis Sediaan Suplemen Daun Kelor

Sediaan Suplemen Daun Kelor

Dosis Sediaan Suplemen Daun Kelor

22a 22/8b 22/41c

22.04583333 2.755729167 0.537703252

Serbuk daun kelor 141.7702921 17.72128652 3.457812004

Ekstrak Air Daun Kelor 228.0187511 28.50234388 5.561432953

Ekstrak pekat Daun Kelor Dosis 1

167.6129783 20.95162229 4.088121422

Ekstrak pekat Daun Kelor Dosis 2

335.2259566 41.90324458 8.176242844

a = dosis kalsium 22 mg/195 g pada setiap sediaan; b = dosis kalsium 2,7 mg/195 g pada

setiap sediaan; c = dosis kalsium 0,5 mg/195 g pada setiap sediaan

Volume normal lambung tikus wistar yaitu 3-5 ml/p.o (Ngatidjan, 2006).

Apabila pemberian dosis kalsium sesuai dengan Angka Kecukupan Harian pada

tikus wistar, maka volume pemberiaan sedian suplemen daun kelor sangat tinggi

sehingga dosis kalsium pada setiap sediaan suplemen daun kelor diturunkan 41

kalinya sehingga diperoleh volume sediaan suplemen daun kelor sebesar 3,4

gram/195g bb/hari pada serbuk daun kelor; 5,6 ml/195g bb/hari pada ekstrak air

daun kelor, 4,1 ml/195g bb/hari pada ekstrak pekat daun kelor dosis 1, dan 8,2

ml/195g bb/hari pada ekstrak pekat daun kelor dosis 2.

Page 49: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

35

3.5.5 Adaptasi

Adaptasi tikus dilakukan selama 91 hari dengan pemberian pakan normal

susu pap karena umur tikus pada saat dibeli masih belum mencukupi dan berat

badan masih rendah. Tikus yang diadaptasi berumur 11-15 minggu. Adaptasi

dilakukan sebelum perlakuan pemberian suplemen daun kelor untuk menyamakan

baseline. Selama adaptasi, berat badan tikus ditimbang hingga mencapai berat

yang diharapkan untuk uji toksisitas dan sekam diganti secara berkala setiap

harinya. Tikus kemudian diberikan perlakuan pemberian suplemen daun kelor

dengan bentuk sediaan suplemen daun kelor yang berbeda-beda selama 64 hari.

Pada hari ke 65 tikus dieuthanasia, dibius dan dibedah kemudian dianalisis kadar

alkali fosfatase pada serum darah yang diambil dari jantung, histopatologi hepar

dan histopatologi ginjal.

3.5.6 Intervensi

3.5.6.1 Kelompok Kontrol (tanpa suplemen)

Intervensi pada kelompok kontrol dilakukan dengan pemberian pakan diet

normal yaitu susu pap 20 gram + air minum matang 100 ml dan sonde berupa

akuades sebanyak 4 ml/195g/hari yaitu 2 ml/195g bb pada jam 10.00 dan 2

ml/195g pada jam 13.00 untuk menyamakan stressing antar kelompok perlakuan.

3.5.6.2 Kelompok Suplemen Serbuk Daun Kelor

Intervensi pada kelompok suplemen serbuk dilakukan dengan pemberian

pakan diet normal yaitu air minum dan pelet berupa campuran adonan dari susu

pap yang dihancurkan sebesar 20 gram dan serbuk daun kelor 3,4 gram sehingga

berat total pellet sebesar 24 gram. Kelompok ini juga dilakukan sonde berupa

akuades sebanyak 4 ml/195g/hari yaitu 2 ml/195g pada jam 10.00 dan 2 ml/195g

pada jam 13.00 untuk menyamakan stressing antar kelompok perlakuan. Pelet

suplemen dibentuk menyerupai bentuk asli dari susu pap kemudian dikeringan

dengan kabinet dryer pada suhu 60°C selama 1 jam. Pellet kemudian diberikan

kepada tikus wistar kelompok suplemen serbuk daun kelor secara ad libitum.

3.5.6.3 Kelompok Suplemen Ekstrak Air Daun Kelor

Intervensi pada kelompok suplemen ekstrak air dilakukan dengan

pemberian pakan susu pap 20 gram + air minum matang 100 ml dan sonde ekstrak

Page 50: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

36

air sebesar 5,6 ml/195g /hari dengan 2 kali penyondean yaitu sonde pada pukul

10.00 sebesar 3 ml/195g dan pukul 13.00 sebesar 2,6 ml/195g. Penyondean

dilakukan 2 kali untuk memberikan waktu bagi tikus wistar menyerap sebagian dari

suplemen yang disondekan karena volume lambung tikus per oral 3-5 ml.

3.5.6.4 Kelompok Ekstrak Pekat Dosis 1 Daun Kelor

Intervensi pada kelompok suplemen ekstrak air dilakukan dengan

pemberian pakan susu pap 20 gram + air minum matang 100 ml dan sonde ekstrak

air sebesar 4,1 ml/195g bb/hari dengan 2 kali penyondean yaitu sonde pada pukul

10.00 sebesar 2,1 ml/195g bb dan pukul 13.00 sebesar 2 ml/195g bb.

3.5.6.5 Kelompok Ekstrak Pekat Dosis 2 Daun Kelor

Intervensi pada kelompok suplemen ekstrak air dilakukan dengan

pemberian pakan susu pap 20 gram + air minum matang 100 ml dan sonde ekstrak

air sebesar 8,2 ml/195g bb/hari dengan 2 kali penyondean yaitu sonde pada pukul

10.00 sebesar 4,2 ml/195g bb dan pukul 13.00 sebesar 4 ml/195g bb.

3.5.7 Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan melalui jantung menggunakan

syringe sebanyak 5 ml setelah hewan coba di bedah, darah dimasukkan

vacutainer, lalu dibiarkan mengalami penggumpalan lalu disentrifus untuk

memisahkan serumnya pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Serum

diambil menggunakan mikropipet 10-100 ml dan dimasukkan ke dalam microtube.

Serum kemudian dianalisa kadar alkali fosfatase menggunakan metode automatic

system yang telah distandarisasi oleh International Federation of Clinical

Chemistry and Laboratory Medicine (IFCC) (2006) menggunakan alat Pentra C-

200 (Lampiran 4.2).

3.5.8 Histopatologi

Pengujian histopatologi hepar dan ginjal dilakukan setelah 64 hari

intervensi. Tikus dilakukan pembiusan terlebih dahulu kemudian dibedah dan

diambil organ hepar dan ginjal. Organ hepar kemudian difiksasi dengan larutan

formalin 10% dan dilakukan pewarnaan menggunakan hematoksilin eosin serta

pengamatan dibawah mikroskop yang dilakukan di Laboratorium Anatomi FK UB.

Page 51: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

37

3.6 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan

rancangan eksperimental randomized controlled trial dengan Rancangan

Penelitian RAL (Rancangan Acak Lengkap). Sampel dipilih secara random dari

populasi berupa tikus jantan Rattus norvegicus galur wistar berumur 11-15 minggu

dengan 5 perlakuan dan 5 kali ulangan sehingga dibutuhkan sampel sebanyak 25

ekor tikus. 5 perlakuan tersebut antara lain:

1. Kontrol (K) : diet normal + akuades 2 ml (tanpa suplemen kelor)

2. Perlakuan 1 (P1) : diet normal + serbuk daun kelor (3,4 gram/195g bb/hari)

3. Perlakuan 2 (P2) : diet normal + ekstrak air daun kelor (5,6 ml/195g bb/hari)

4. Perlakuan 3 (P3) : diet normal + ekstrak pekat dosis 1 (4,1 ml/195g bb/hari)

5. Perlakuan 4 (P4) : diet normal + ekstrak pekat dosis 1 (8,2 ml/195g bb/hari)

Tikus dilakukan adaptasi hingga mencapai berat yang diharapkan dan

dilanjutkan perlakuan selama 64 hari. Pembedahan pada tikus dilakukan pasca 64

hari perlakuan. Analisis uji toksisitas dilakukan dengan pengambilan serum darah

tikus melalui jantung untuk dianalisis kadar alkali fosfatase (ALP), pengambilan

organ hepar dan ginjal tikus untuk diamati histopatologinya pada mikroskop

cahaya hingga perbesaran 400x. Pengamatan dilakukan disekitar sinusoid, vena

sentralis dan vena porta. Pembacaan sel berdasarkan kriteria Manja Roenigk

(2009) seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.2, dengan tingkat perubahan sel

normal, degenerasi parenkim, degenerasi hidropik, dan nekrosis (Setyowati,

2010).

Tabel 3.2 Kriteria Penilaian Gambaran Sel Hepar

Nilai Tingkat Perubahan

1 2 3 4

Normal Degenerasi Parenkimatosa

Degenerasi Hidropik Nekrosis

(Maretnowati et al., 2005)

Tahap analisa data dibedakan menjadi dua bagian yaitu analisa data hasil

kadar alkali fosfatase dan analisa hasil histopatologi. Data kadar alkali fosfatase

dilakukan uji normalitas dan homogenitas terlebih dahulu (Lampiran 8). Apabila

data tersebar secara tidak normal maka dilakukan pengujian data menggunakan

Kruskal-Wallis, bila hasil uji menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan maka

dilanjutkan uji Mann Whitney untuk melihat perbedaan masing-masing perlakuan.

Page 52: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

38

Tetapi pada data alkali fosfatase tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

sehingga data tidak dilakukan uji lanjutan. Perubahan histopatologi hepar dan

ginjal diamati secara kualitatif.

1.7 Diagram Alir Penelitian

1.7.1 Pembuatan serbuk daun kelor (modifikasi Soeyono, 2015)

Disortasi

Dicuci bersih dengan air mengalir dan dikeringanginkan

Dikeringkan dengan cabinet dryer suhu bertingkat 30˚C, 40˚C, 50˚C dan 60˚C selama masing-masing 1 jam

Dihancurkan dengan blender kering selama 3 menit

Diayak menggunakan ayakan 80 mesh

Gambar 3.1 Diagram alir pembuatan serbuk daun kelor

1.7.2 Pembuatan ekstrak air daun kelor (modifikasi Mohammedi, 2011)

Dimasukkan ke dalam erlenmeyer 1 liter

Dikocok menggunakan magnetic stirrer hingga tercampur (±30 menit)

Didiamkan di suhu ruang selama 24 jam sampai mengendap

Disaring menggunakan kain saring

Disentrifugasi dengan kecepatan 850 rpm selama 25 menit

Disaring dengan kertas saring (Whatmann no. 1)

Gambar 3.2 Diagram alir pembuatan ekstrak air daun kelor

Daun kelor segar

Serbuk daun kelor

Aquadest steril hingga volume 1 L

Ekstrak air daun kelor

100 gram Serbuk daun kelor

Analisis awal :

- Rendemen

- Kadar air

- Kadar oksalat

total

Analisis akhir : - Rendemen - Kadar oksalat total

Analisis awal :

- Rendemen

- Kadar air

- Kadar oksalat

total

Page 53: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

39

1.7.3 Pembuatan ekstrak pekat daun kelor (modifikasi Chaouche et al., 2012)

Dimasukkan labu ekstraksi

Dipasang satu set alat evaporasi (sebagian labu ekstraksi terendam akuades pada waterbath)

Waterbath dihubungkan dengan sumber listrik

Diatur suhu 50-55°C, waktu 60/180 menit, tekanan 100 mBar, dan kecepatan 65 rpm

Larutan air dibiarkan memisah dengan zat aktif yang sudah ada dalam labu

Gambar 3.3 Diagram alir pembuatan ekstrak pekat kaun Kelor

Esktrak pekat daun kelor

Ekstrak air daun kelor

Analisis akhir :

- Rendemen

- Kadar oksalat total

Page 54: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

40

1.7.4 Uji biologi (in vivo)

Gambar 3.4 Diagram alir uji biologi (in vivo) * 195g = berat badan rata-rata tikus percobaan

Dosis menyesuaikan jumlah asupan kalsium yang memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG, 2013)

- Pengukuran sisa

pakan setiap hari

- Pengukuran berat

badan tiap minggu

- Pengamatan

kondisi fisik dan

perilaku

K Pemberian

diet normal + akuades 4 ml/195g

bb/hari (tanpa suplemen

daun kelor)

P1

Pemberian diet normal + serbuk

daun kelor (3,4

gram/195g bb/hari)*

P2

Pemberian diet normal+ ekstrak air daun kelor

(5,6 ml/195g bb/hari)*

P3

Pemberian diet normal+ ekstrak pekat

daun kelor dosis 1 (4,1

ml/195g bb/hari)*

Pembedahan dan Pengambilan preparat

Adaptasi awal bagi tikus dan penimbangan berat

badan selama 91 hari

Randomisasi tikus ke kelompok

Pengumpulan tikus putih Rattus norvegicus (tikus wistar). Diseleksi sesuai

kriteria inklusi dan ekslusi hingga diperoleh 25 ekor tikus

Intervensi 64 hari

P4

Pemberian diet normal+ ekstrak pekat

daun kelor dosis 2 (8,2

ml/195g bb/hari)*

Pembedahan hari ke 65

Serum darah dari jantung Hepar dan Ginjal

Uji kadar ALP (Alkali Fosfatase) Gambaran histopatologi

Analisis data

Page 55: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

41

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam uji in vivo pada penelitian ini adalah

serbuk daun kelor, ekstrak air daun kelor, dan ekstrak pekat daun kelor. Serbuk

daun kelor diproses dengan pengeringan menggunakan pengering kabinet

dengan suhu bertingkat yaitu 30°C, 40°C, 50°C, dan 60°C masing-masing selama

1 jam (modifikasi Soeyono, 2015). Ekstrak air diproses melalui ekstraksi maserasi

menggunakan akuades steril selama 24 jam. Serbuk daun kelor sebanyak 100

gram dilarutkan dalam akuades steril hingga volume mencapai 1000 ml

(modifikasi Mohammedi, 2011) dan ekstrak pekat diproses melalui evaporasi

menggunakan vaccum rotary evaporator selama 1,5 jam untuk menghilangkan

kadar air sebanyak 30% (modifikasi Chaouche et al., 2012).

Penelitian ini menggunakan sediaan yang berbeda (Gambar 4.1) dengan

tujuan untuk mengetahui bentuk sediaan suplemen daun kelor yang paling aman

untuk dimanfatkan sebagai suplemen tinggi kalsium dengan tingkatan dosis yang

sesuai dengan kebutuhan kalsium harian.

(a) (b) (c) Gambar 4.1 Sediaan Suplemen Daun Kelor : (a) Serbuk Daun Kelor; (b) Ekstrak Air Daun

Kelor; (c) Ekstrak Pekat Daun Kelor

Bahan baku dianalisa rendemen, kadar air dan kadar oksalat total. Data

analisa rendemen ditampilkan pada Tabel 4.1

Page 56: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

42

Tabel 4.1 Data Hasil Analisa Rendemen

Sediaan Rata-rata rendemen (%) ± SD

Serbuk daun kelor (a) 26,92 ± 0.14 Ekstrak air daun kelor (b) 71,83 ± 0,29

Ekstrak pekat daun kelor (c) 69,44 ± 0,96

Keterangan: (a) terhadap daun segar; (b) terhadap berat air + serbuk kelor; (c) ekstrak air daun kelor (Lampiran 6)

Rendemen merupakan hasil akhir dari bahan baku yang telah diproses.

Proses pembuatan serbuk daun kelor menggunakan pemanasan sehingga

menghasilkan persentase rendemen serbuk sebesar 26.92%. Penyusutan berat

ini dikarenakan proses pengeringan menyebabkan kadar air dan komponen larut

air di dalam bahan menguap. Semakin besar panas yang diberikan dan semakin

lama pengeringan akan mengakibatkan berkurangnya kadar air pada bahan

pangan.

Rendemen ekstrak air merupakan berat ekstrak setelah dilakukan ekstraksi

maserasi dibandingkan dengan berat sampel awal ketika melarutkan serbuk ke

dalam akuades sedangkan rendemen ekstrak pekat daun kelor merupakan berat

ekstrak setelah dilakukan proses evaporasi dibandingkan dengan berat sampel

awal pada ekstrak air dengan menghilangkan kadar air sebanyak ±30%. Tujuan

dilakukan perhitungan rendemen adalah untuk mengetahui sifat kelarutan

senyawa terhadap pelarut akuades ketika dilakukan ekstraksi maserasi dan

dilakukan proses evaporasi. Hasil persentase rendemen dari ekstrak air daun kelor

adalah sebesar 71,83%. Ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan

pelarut akuades steril. Tujuan dari pembuatan ekstrak pekat adalah untuk

menguapkan kadar air sebanyak ±30% sehingga menyebabkan rendemen turun

menjadi 69,44%. Rendemen dari ekstrak pekat lebih rendah dibandingkan dengan

ekstrak air dikarenakan proses penguapan kadar air hingga ±30% pada ekstrak

pekat sedangkan pada ekstrak air terjadi pelarutan komponen larut air dari serbuk

daun kelor sehingga menyisakan endapan dan komponen yang tidak larut dalam

air (ampas). Pada penelitian ini dilakukan penguapan ekstrak air untuk

membedakan sediaan daun kelor yang paling aman ditinjau dari kadar oksalat total

dalam berbagai bentuk sediaan suplemen daun kelor. Menurut Bradbury and

Holloway (1988) dalam Suwasito (2013) oksalat yang terkandung dalam tanaman

sebagian besar adalah bentuk oksalat terlarut (natrium dan kalium oksalat) dan

hanya 10-20% merupakan kalsium oksalat yang tidak larut terutama dalam sel.

Kenaikan proporsi kalsium oksalat ini diikuti oleh tanaman yang lewat masak. Jenis

Page 57: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

43

oksalat pada tanaman tersebut dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu oksalat

larut air dan oksalat tidak larut air. Asam oksalat dan garamnya yang larut air dapat

membahayakan karena sifatnya yang toksik. Asam oksalat yang bersifat larut

mudah diserap dalam saluran pencernaan sehingga efek dari terbentuknya garam

oksalat ada dalam sistem tubuh seperti ekskresi dari ginjal. Konsentrasi asam

oksalat dalam dosis tinggi bersifat merusak dan menyebabkan gastroenteritis,

shock, kejang, rendahnya kalsium plasma, tingginya oksalat plasma dan

kerusakan jantung. Efek kronis konsumsi bahan pangan yang mengandung

oksalat adalah terjadinya endapan kristal kalsium oksalat dalam ginjal dan

membentuk batu ginjal (Sutrisno, 2007). Data analisa kadar air ditampilkan pada

Tabel 4.2

Tabel 4.2 Data Hasil Analisa Kadar Air

Sediaan Rata-rata kadar air (%) ± SD Rata-rata kadar air (%)*

Daun kelor segar 79,01 ± 0,19 65,897 Serbuk daun kelor 3,07 ± 0,42 7,136

*Literatur Kadar Air menurut Anwar et al. (2014)

Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat

dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering

(dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar

100%, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100% (Syarif

dan Halid, 1993). Hasil persentase kadar air dari daun kelor segar berdasarkan

berat basah adalah sebesar 79,01%. Menurut Aminah et al. (2015) kadar air pada

daun kelor segar lebih tinggi yaitu sebesar 93% sedangkan menurut Anwar et al.

(2014) kadar air daun kelor segar lebih rendah yaitu sebesar 65.897%. Perbedaan

kadar air antara hasil analisa dengan literatur diduga karena perbedaan varietas

kelor, perbedaan umur daun dimana daun muda lebih tinggi kadar airnya

dibandingkan daun tua, lama penyimpanan daun kelor dan kelembaban

lingkungan penyimpanan. Hasil persentase kadar air pada serbuk daun kelor

sebesar 3,07%. Menurut Anwar et al., (2014) kadar air pada serbuk daun kelor

lebih tinggi yaitu sebesar 7,136%. Perbedaan kadar air antara hasil analisa dengan

literatur diduga karena perbedaan varietas kelor, kadar air awal pada bahan,

perbedaan lama penyimpanan daun kelor, kelembaban lingkungan penyimpanan

dan metode pengeringan yang digunakan. Kadar air serbuk daun kelor telah

menurun signifikan dibandingkan dengan kadar air daun segar karena adanya

proses pengeringan menyebabkan kadar air dari bahan menguap.

Page 58: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

44

Hasil kadar oksalat total dari daun kelor segar adalah sebesar 165,28

mg/100g sedangkan menurut Nambaiar and Seshadri (2007) rata-rata kadar

oksalat total pada daun kelor segar lebih rendah yaitu sebesar 218 mg/100 g

bahan. Perbedaan kadar oksalat total antara hasil analisa dengan literatur diduga

karena perbedaan umur daun yang digunakan (muda dan tua), perbedaan varietas

kelor, tempat tumbuhnya tanaman kelor dimana di dalam literatur menggunakan

tanaman kelor dari India yang memiliki lingkungan sangat panas dan tanah serta

unsur hara berbeda dengan di Indonesia, lama penyimpanan daun kelor, metode

analisa dan kelembaban lingkungan penyimpanan. Data analisa kadar oksalat

total ditampilkan pada Tabel 4.3 sedangkan oksalat yang terkonsumsi oleh tikus

wistar pada setiap sediaan suplemen daun kelor ditampilkan pada Tabel 4.4

Tabel 4.3 Data Hasil Analisa Kadar oksalat total pada Sediaan Suplemen

Sediaan Rata-rata kadar oksalat

total (mg/100g) ± SD Rata-rata kadar oksalat total (mg/100g) ± SD *

Daun kelor segar 165,3 ± 5,6 218±11.3 (a)

Serbuk daun kelor 1987,2 ± 22,6 0,28 (b) Ekstrak air daun kelor 7,9 ± 0,5

Ekstrak pekat daun kelor 1 ± 0,13

*Literatur kadar oksalat total, (a) (Nambaiar and Seshadri, 2007); (b) (Ezeike et al., 2011)

Tabel 4.4 Kadar oksalat total Masing-masing Sediaan Suplemen Daun Kelor dan Jumlah Oksalat yang Terkonsumsi pada Tiap Sediaan Suplemen Daun Kelor

Sediaan suplemen Berat masing-masing

suplemen (g) Kadar oksalat total*

Daun kelor segar - -

Serbuk daun kelor 3,4 gram 67,57 mg/3,4 g Ekstrak air daun kelor 5,66 gram 0,45 mg/5,6 ml

Ekstrak pekat daun kelor 4,2 gram 0,04 mg/4,1 ml

*Kadar oksalat total dihitung berdasarkan berat dari sediaan suplemen daun kelor yang

dikonsumsi

Sediaan serbuk daun kelor memiliki kadar oksalat total paling tinggi diduga

karena tidak adanya proses ekstraksi sehingga pada serbuk daun kelor

mengandung semua jenis oksalat yaitu oksalat terlarut dan tidak terlarut. Hasil

kadar oksalat total pada serbuk daun kelor lebih tinggi dari daun segar yaitu

sebesar 1987,21 mg/100g karena pada proses pengeringan membuat kadar

oksalat total lebih terkonsentrasi. Pengeringan akan meningkatkan efektivitas

kandungan oksalat dikarenakan hilangnya kadar air dalam bahan yang

disebabkan proses karena pengeringan (Noonan and Savage, 1999). Menurut

Ezeike et al., (2011) kadar oksalat total dalam serbuk daun kelor sebesar 0.28 mg.

Page 59: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

45

Perbedaan hasil ini diduga karena metode analisis yang digunakan berbeda

dimana pada pengamatan ini menggunakan metode analisis volumetri. Kenaikan

proporsi kalsium oksalat juga dipengaruhi oleh sampel yang digunakan, dimana

proporsi oksalat pada sampel yang lebih tua akan lebih tinggi (Bradbury and

Holloway 1988 dalam Suwasito 2013).

Kadar oksalat total serbuk daun kelor lebih tinggi dibandingkan dengan

daun segar diduga karena dengan berat yang sama, jumlah padatan serbuk akan

lebih tinggi daripada daun segar sehingga oksalat yang teranalisis pada sampel

yang telah ditimbang lebih banyak dari daun segar.. Hasil kadar oksalat total pada

ekstrak air daun kelor adalah sebesar 7,93%. Hasil ini jauh lebih rendah dari daun

kelor segar dan serbuk daun kelor dikarenakan proses ekstraksi menggunakan

metode maserasi akuades membuat kadar oksalat total tidak terlarut tertinggal di

padatan (ampas). Bentuk oksalat dalam sebagian besar tanaman adalah berupa

oksalat terlarut (natrium dan kalsium oksalat) dan hanya 10-20% merupakan

kalsium oksalat tidak larut, terutama dalam sel (Bradbury and Holloway 1988

dalam Suwasito 2013). Kelarutan asam oksalat dalam air sebesar 8% pada suhu

10°C (Vogel, 1985 dalam Suwardi, 2011). Pada sampel ekstrak pekat

mengandung kadar oksalat total paling rendah, yaitu 1 mg/100 gr. Penurunan

kadar ini diduga karena proses evaporasi pada sediaan ekstrak pekat. Sejumlah

kecil asam organik terdapat dalam tanaman sebagai senyawa antara dalam

metabolisme (Haard dan Chism, 1996 dalam Sitorus et al., 2015). Asam oksalat

(Ergonul dan Nergiz, 2010 dalam Sitorus et al., 2015) merupakan salah satu

contoh asam organik selain asam malat, asam laktat, asam fumarat, asam

piroglutamat (Itoh et al., 1982 dalam Sitorus et al., 2015), asam askorbat, asam

sitrat dan asam tartrat (Nour et al., 2010 dalam Sitorus et al., 2015). Asam organik

terbagi dalam asam non voaltil (asam oksalat, asam malonat, asam glutarat, asam

sitrat, asam laktat, asma suksinat) dan volatil (asam propionate, asam asetat,

asam butirat, asam 3 metil butanoat) (Shukla et al., 2010). Evaporasi dilakukan

menggunakan vaccum rotary evaporator dengan menurunkan tekanan pada labu

penampung pelarut dan memutar labu penampung sampel sehingga pelarut

menguap lebih cepat dibawah titik didihnya dan senyawa terlarut mengendap

(Buchi, 2000). Proses evaporasi ini diduga dapat menguapkan sebagian kecil

asam oksalat dari 7,9 mg/100gram menjadi 1 mg/100gram.

Analisis oksalat dalam penelitian ini menggunakan metode titrasi

permanganometri. Permanganometri merupakan metode titrasi dengan

Page 60: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

46

menggunakan kalium permanganate sebagai titran yang bersifat oksidator kuat.

Titrasi ini didasarkan atas titrasi reduksi dan oksidasi atau redoks (Day, 1999).

Titrasi permanganometri dilakukan dengan bantuan pemanasan (± 70ºC) untuk

mempercepat reaksi. Pada awal reaksi titrasi, warna merah untuk beberapa saat

yang menandakan reaksi berlangsung lambat. Prinsip titrasi permanganometri

adalah reaksi oksidasi reduksi pada suasana asam yang melibatkan elektron

dengan jumlah tertentu. Pemberian H2SO4 bertujuan untuk memberikan suasana

asam untuk mencapai tingkat oksidasi dari KMnO4 yang paling tinggi dan bilangan

oksidasi +7 menjadi +2. Pada pembuatan titran selanjutnya, warna merah hilang

makin cepat karena ion mangan (II) yang terjadi berfungsi sebagai katalis untuk

mempercepat reaksi. Selanjutnya titran dapat ditambahkan lebih cepat sampai titik

akhir titrasi tercapai yaitu sampai pada tetesan dimana warna merah menjadi

warna merah jambu. Pada proses titrasi tidak dibutuhkan indicator lain. Karena

KMnO4 sudah mampu memberikan perubahan warna saat titik akhir titrasi yang

ditandai dengan terbentuknya warna merah muda. Sifat dari KMnO4 ini dikenal

sebagai autoindikator (Harjadi, 1990).

4.2 Berat Badan Tikus Wistar

Pengukuran berat badan merupakan salah satu kriteria pengamatan pada

uji toksisitas subkronis. Pada penelitian ini dilakukan penimbangan berat badan

setiap minggunya harinya untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian sediaan

suplemen daun kelor.

Tabel 4.5 menunjukkan adanya kenaikan berat badan pada seluruh

kelompok terutama kelompok pemberian serbuk daun kelor. Berdasarkan uji

statistik non parametrik dengan Kruskal-Wallis (Lampiran 11) menunjukkan bahwa

perbedaan bentuk sediaan suplemen daun kelor tidak berpengaruh nyata (α =

0,05) antara pemberian sediaan daun kelor terhadap berat badan tikus wistar

jantan. Kenaikan berat badan diduga karena masa pengamatan yang panjang dan

selama 64 hari tikus percobaan terus mengalami pertumbuhan. Kenaikan berat

badan tiap kelompok perlakuan berbeda. Hal ini dikarenakan kondisi stressing

tikus percobaan selama masa perlakuan berbeda akibat penyondean dan

pemberian jenis sediaan yang berbeda. Kenaikan berat badan tertinggi ada pada

perlakuan serbuk daun kelor (61 gram) disusul perlakuan ekstrak air (38 gram),

ekstrak pekat dosis 1 (37 gram), kontrol (35 gram) dan ekstrak pekat dosis 2 (23,5

gram). Perlakuan serbuk memiliki kenaikan berat badan tertinggi diduga karena

Page 61: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

47

pemberian serbuk daun kelor dicampur dengan pakan standar dan sonde hanya

berupa akuades sehingga tikus percobaan lebih menyukai sediaan tersebut,

stressing lebih rendah, dan kandungan nutrisi pada serbuk daun kelor yang masih

kompleks termasuk total nitrogen yang berperan dalam pertumbuhan berat badan.

Selain mengandung fitosterol, daun kelor juga merupakan sumber beta karoten,

kalsium, zat besi, potassium, asam amino, thiamin, riboflavin, niasin, vitamin C,

dan vitamin E (Mutiara, 2011). Hasil pengukuran berat badan tikus percobaan

tercantum pada Tabel 4.5

Tabel 4.5 Rerata Berat Badan Tikus Percobaan Sebelum dan Setelah 64 Hari Pemberian Sediaan Daun Kelor

Perlakuan Sediaan Rerata berat badan tikus (g) Perubahan berat

badan tikus (g) 0 hari 64 hari

Kontrol 176,5 ± 4,12 211,5 ± 17,08 35 Serbuk daun kelor 200,5 ± 2,63 261,5 ± 48,83 61

Ekstrak air daun kelor 215,75 ±15,97 253,75 ± 22,82 38

Ekstrak pekat dosis 1 191,75 ±

11,76 228,75 ± 25,71 37

Ekstrak pekat dosis 2 208,25 ±

33,51 231,75 ± 37,41 23,5

Keterangan : Data merupakan rata-rata berat badan tikus tiap minggunya (Lampiran 2)

Di dalam serbuk daun kelor mengandung energi sebesar 205 kcal; protein

27,1 gram; karbohidrat 38 gram; dan serat 19,2 gram (USDA, 2016). Zat gizi makro

tertinggi pada serbuk daun kelor adalah karbohidrat dimana menurut Almatsier

(2004) karbohidrat berfungsi sebagai sumber energi, 1 gram karbohidrat

menghasilkan 4 kalori, penghemat protein, jika karbohidrat makanan tidak

tercukupi maka protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan 13 energi

dengan mengalahkan fungsi utamanya sebagai zat pembangun. Menurut Irianto

(2006) peran karbohidrat dalam tubuh manusia yaitu sebagai pembentuk

cadangan sumber energi, kelebihan karbohidrat dalam tubuh akan disimpan dalam

bentuk lemak sebagai cadangan sumber energi yang sewaktu-waktu dapat

dipergunakan.

Kenaikan berat badan terendah ada pada pemberian ekstrak pekat dosis 2

daun kelor (23,5 gram). Hal ini diduga karena pemberian sediaan ekstrak pekat

dosis 2 merupakan dosis ekstrak pekat yang paling tinggi dan diberikan secara

sonde sehingga stressing lebih tinggi sehingga nafsu makan cenderung rendah

dibanding kelompok perlakuan lain. Penurunan nafsu makan juga

mengindikasikan terjadinya kelainan pada hepar dan ginjal. Menurut Warianto

(2011) kerusakan ginjal mengakibatkan tubuh tidak dapat mengeluarkan zat-zat

Page 62: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

48

sisa metabolism tubuh. Akibatnya zat tersebut akan menjadi racun dalam tubuh,

hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya nafsu makan serta menyebabkan gagal

ginjal dalam kondisi parah. Perubahan berat badan berkaitan dengan pola

konsumsi pakan tikus percobaan. Namun hasil dari pengamatan ini masih perlu

dikonfirmasi dengan histologi hepar dan ginjal.

4.3 Konsumsi Pakan Tikus Wistar

Perhitungan konsumsi makanan yang merupakan salah satu kriteria

pengamatan pada uji toksisitas subkronis. Pada penelitian ini dilakukan

perhitungan konsumsi pakan setiap harinya untuk mengetahui adanya pengaruh

pemberian sediaan daun kelor.

Pola konsumsi pakan dapat dipengaruhi oleh faktor stressing, berat badan

tikus, adanya akumulasi zat toksik dalam tubuh, serta jenis pemberian sediaan uji.

Pada kelompok kontrol di akhir perlakuan memiliki konsumsi pakan yang paling

rendah (18,41 gram) dikarenakan berat badan dari kelompok kontrol paling rendah

dari kelompok lain sehingga mempengaruhi kapasitas lambung tikus wistar.

Volume normal lambung tikus yaitu 3-5 ml. Jika volume ekstrak melebihi volume

lambung, dapat berakibat dilatasi lambung secara akut yang dapat menyebabkan

robeknya saluran cerna (Ngatidjan, 2006).

Berdasarkan uji statistik non parametrik dengan Kruskal-Wallis (Lampiran

12) menunjukkan bahwa perbedaan bentuk sediaan suplemen daun kelor tidak

berpengaruh nyata (α = 0,05) antara pemberian sediaan daun kelor terhadap

konsumsi pakan tikus wistar jantan. Pada kelompok perlakuan memiliki berat

konsumsi pakan yang sebanding dengan selisih berat badan sedangkan pada

kelompok serbuk memiliki konsumsi pakan yang paling tinggi dikarenakan

pemberian pakan kelompok serbuk tinggi yaitu sebesar 24 gram dari komposisi 20

gram pakan standar, 3,4 gram serbuk daun kelor dan sisanya adalah kadar air

sehingga dapat dikatakan pada pemberian serbuk daun kelor menyisakan sekitar

0,70 gram serbuk atau mengkonsumsi serbuk 2.70 dari total serbuk yang

diberikan. Komponen nutrisi di dalam serbuk daun kelor seperti protein,

karbohidrat, dan serat diduga membuat kenaikan berat badan yang drastis pada

tikus percobaan. Nilai konsumsi pakan tikus percobaan ditampilkan pada Tabel

4.6

Page 63: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

49

Tabel 4.6 Rerata Konsumsi Pakan Tikus Percobaan setiap Minggu setelah Pemberian

Sediaan Daun Kelor

Perlakuan Rerata konsumsi pakan tikus tiap minggu (g)*

Mg-1 Mg-2 Mg-3 Mg-4 Mg-5 Mg-6 Mg-7 Mg-8 Mg-9

Kontrol 17,92 19,45 19,66 17,41 17,97 19,13 18,98 16,66 18,41 Serbuk

daun kelor (3,4 gr)

18,46 19,29 20,10 17,33 16,04 17,83 19,09 17,27 20,70

Ekstrak air daun kelor

(5,6 ml) 19,02 17,54 17,49 17,06 17,65 19,27 19,25 18,60 19,74

Ekstrak pekat dosis 1 (4,1 ml)

19,28 19,51 19,15 19,29 18,18 19,51 19,56 19,57 19,93

Ekstrak pekat dosis 2 (8,2 ml)

17,79 17,40 17,87 18,89 17,76 18,66 18,76 18,56 19,42

*Jumlah pemberian pakan sebanyak 20 gram dan jumlah pemberian pakan serbuk

sebanyak 24 gram

Keterangan : Data merupakan rata-rata konsumsi pakan tikus tiap harinya (Lampiran 3)

Perlakuan ekstrak pekat dosis 2 memiliki konsumsi pakan lebih rendah

(19.42) dibandingkan perlakuan ekstrak pekat dosis 1 (19.93 gram) dan ekstrak

air (19.74 gram). Sama halnya dengan kenaikan berat badan perlakuan ekstrak

pekat dosis 2 lebih rendah dari perlakuan ekstrak pekat dosis 1 (37 gram) dan

ekstrak air (38 gram). Hal ini dikarenakan kapastias lambung tikus wistar terbatas

dan pemberian ekstrak pekat dosis 2 merupakan dosis yang paling tinggi sehingga

tikus percobaan akan merasa kenyang dan memberikan efek tidak enak diperut.

4.4 Pengamatan Gejala Klinis dan Toksisitas Hewan Coba

Pengamatan fisik terhadap gejala-gejala toksik dilakukan selama 64 hari

terhadap semua kelompok. Selama pengamatan 64 hari akibat pemberian sediaan

serbuk daun kelor, ekstrak daun kelor, ekstrak pekat dosis 1 daun kelor dan

ekstrak pekat dosis 2 daun kelor tidak menunjukkan adanya gejala toksik. Tabel

4.7 menunjukkan tidak adanya gejala toksik pada seluruh perlakuan selama 64

hari. Pola konsumsi pakan beberapa tikus wistar cukup banyak (80% dari berat

pakan yang diberikan) namun beberapa tikus wistar dengan berat badan < 200

gram lebih sedikit dalam konsumsi pakan. Hasil pengamatan gejala toksik

ditampilkan pada Tabel 4.7

Page 64: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

50

Tabel 4.7 Hasil Pengamatan Gejala Toksik Hewan Coba Selama 64 hari

Perlakuan sediaan Jumlah

tikus Gejala toksik*

Kontrol 4 Tidak ada gejala toksik Serbuk daun kelor (3,4 gr) 4 Tidak ada gejala toksik

Ekstrak air daun kelor (5,6 ml) 4 Feses di semua ulangan cenderung lembek dihari ke-6

Ekstrak pekat dosis 1 (4,1 ml) 4 Feses di semua ulangan cenderung lembek dihari ke-8, tikus ulangan 3

pincang dihari ke 5-9 perlakuan dan hari selanjutnya kembali normal

Ekstrak pekat dosis 2 (8,2 ml) 4 Feses di semua ulangan cenderung lembek dihari ke-8, tikus ulangan 4 dan 5

pincang dihari ke-7 perlakuan dan hari selanjutnya kembali normal

*Pengamatan fisik dilakukan pada kulit dan bulu, mata, sistem pernafasan, sistem

saluran cerna, pola perilaku (Wahyono et al., 2006).

Perlakuan dengan pemberian serbuk daun kelor 3,4 gram seluruh tikus

memiliki pertumbuhan yang cepat dari hari ke hari dan berat badan yang

cenderung besar daripada perlakuan yang lain. Perlakuan dengan pemberian

serbuk memiliki feses yang lebih banyak dari perlakuan lain dan feses memiliki

kenampakan feses yang hijau gelap, keras tetapi rapuh. Hasil pengamatan ini

diduga karena di dalam serbuk daun kelor masih mengandung komponen tidak

tercerna yaitu serat pangan. Serat makanan dalam serbuk daun kelor cukup tinggi

yaitu sebesar 19,2 gram (USDA, 2016). Serat makanan tidak dicerna di dalam

usus melainkan dimetabolisme oleh bakteri yang berada pada saluran pencernaan

sehingga membuat volume feses bertambah, meningkatkan pengaruh laksatif,

dan melunakkan konsistensi feses. Serat makanan akan menyerap air di dalam

kolon sehingga volume feses lebih besar dan akan merangsang syaraf pada

rektum sehingga menimbulkan keinginan untuk defikasi. Feses yang mengandung

serat akan memiliki kurun waktu antara masuknya makanan dan keluarnya feses

menjadi lebih singkat (Daldiyono et al., 1990).

Tikus dengan perlakuan ekstrak air, ekstrak pekat dosis 1 dan dosis 2

memiliki kenampakan feses yang cenderung lembek, hal ini diduga karena bentuk

sediaan ekstrak air dan ekstrak pekat yang encer dan diberikan dalam jumlah yang

cukup tinggi yaitu masing-masing 5,6 ml; 4,1 ml; dan 8,2 ml membuat konsumsi

cairan dalam lambung tikus wistar lebih besar dari konsumsi pakan. Pengamatan

pada kulit dan bulu, mata, sistem pernafasan, dan tingkah laku menunjukkan pada

seluruh kelompok semua tikus terlihat aktif, sehat dan tidak ada gejala keracunan.

Fenomena ini dapat terjadi karena bahan yang diujikan tidak menyebabkan

Page 65: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

51

potensi toksik dalam jangka waktu pengamatan 64 hari dan dosis yang diberikan

masih dalam taraf normal. Namun pada kelompok ekstrak pekat dosis 1 dan dosis

2 terdapat tikus yang berjalan pincang tetapi dapat kembali normal. Hasil

pengamatan ini diduga karena beberapa hal yaitu tingkah laku tikus yang aktif

hingga menyebabkan kaki terkilir, tersangkut pada pembatas kandang dan

kurangnya hati-hati selama merawat tikus atau memberikan perlakuan. Menurut

Frank (1995) efek toksik pada sifat, organ sasaran serta mekanisme kerjanya

sangat bervariasi. Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera ketika

bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat disebabkan oleh senyawa kaustik,

misalnya pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, dan iritasi gas atau

uap pada saluran nafas. Efek lokal ini menggambarkan kerusakan umum pada sel

sel hidup ditandai dengan munculnya gejala toksik pada hewan coba.

4.5 Analisa Fungsi Hepar

4.5.1 Alkali Fosfatase

Pemeriksaan biokimia klinis pada pengujian toksisitas subkronis menurut

Oranization for Economic Cooperation and Development (OECD) (2001) meliputi:

natrium, kalium, glukosa, total-kolesterol, trigliserida, nitrogen urea, kreatinin, total-

protein, albumin, GOT, GPT, total-bilirubin, alkaline fosfatase, gamma glutamil

trans-peptidase, LDH, asam empedu. Pada penelitian ini menggunakan

pemeriksaan alkali fosfatase sebagai parameter kerusakan hepar dikarenakan

enzim ini lebih stabil karena akan bekerja baik pada kondisi pH basa (pH 10)

sehingga enzim ini tidak aktif di dalam darah (Kaslow, 2013). Berdasarkan

University Animal Care Pathology Service (2014) kadar alkali fosfatase normal

pada tikus putih sebesar 174-589 U/L. Data pengamatan alkali fosfatase (U/L) dari

serum darah tikus wistar jantan yang diberi sediaan serbuk daun kelor, ekstrak air,

ekstrak pekat dosis 1 dan ekstrak pekat dosis 2 ditampilkan pada Tabel 4.8

Tabel 4.8 Rerata Total Alkaline Phosphatase (ALP) Serum Darah Tikus Wistar

Perlakuan ALP (U/L) ± SD

Kontrol 139,50 ± 43,378

Serbuk daun 173,75 ± 46,471

Ekstrak air 140,50 ± 52,855

Ekstrak pekat dosis 1 187,50 ± 31,838

Ekstrak pekat dosis 2 178,25 ± 11,177

Page 66: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

52

139.5

173.8

140.5

187.5178.3

0.0

50.0

100.0

150.0

200.0

250.0

Kontrol Serbuk Ekstrak Air KonsentratDosis 1

KonsentratDosis 2

Kad

ar

Alk

ali

Fo

sfa

tas

e (

U/L

)

Pakan + Perlakuan Sediaan Suplemen Daun Kelor

Semakin tinggi kadar alkali fosfatase dalam serum menunjukkan

kerusakan hepar yang semakin besar. Hasil analisis non parametrik dengan

Kruskal-Wallis (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perbedaan bentuk sediaan

suplemen daun kelor tidak berpengaruh nyata (α = 0,05) antara pemberian

sediaan daun kelor terhadap kadar alkali fosfatase total pada tikus wistar jantan.

Grafik dari akdar alkali fosfatase ditampilkan pada Gambar 4.2

Gambar 4.2 Rerata Total ALP (U/L) Serum Darah Tikus Wistar Jantan yang diberi

Sediaan Serbuk Daun Kelor (3,4 gram), Ekstrak Air (5,6 ml), Ekstrak pekat Dosis 1 (4,1 ml) dan Ekstrak pekat Dosis 2 (8,2 ml) setelah 64 Hari

Tabel 4.8 dan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa kadar alkali fosfatase tikus

jantan pada seluruh kelompok perlakuan memiliki nilai yang normal (139-187 U/L)

dimana nilai rujukan dari alkali fosfatase yaitu 174 – 589 U/L. Hasil kadar alkali

fosfatase dengan perilaku tikus wistar berbanding lurus dimana tidak terdapat

perilaku yang menunjukkan adanya efek toksik dari sediaan suplemen daun kelor

terhadap tikus wistar. Beberapa perlakuan menunjukkan kadar alkali fosfatase

justru dibawah nilai normal. Hal ini diduga karena terjadi penurunan aktivitas alkali

fosfatase di dalam tubuh tikus percobaan. Tingkat enzim alkali fosfatase dalam

darah dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, golongan darah dan kesehatan hepar,

empedu dan tulang. Semakin tua umur tikus wistar aktivitas alkali fosfatase akan

semakin menurun.

Kadar alkali fosfatase jika dibandingkan antar kelompok perlakuan,

kelompok yang memiliki kadar alkali fosfatase paling tinggi adalah pada pemberian

Page 67: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

53

ekstrak pekat dosis 1 yaitu sebesar 187,5 U/L, diikuti kelompok ekstrak pekat dosis

2 178,25 U/L, kelompok serbuk 173,75 U/L dan ekstrak air 140,5 U/L. Ekstrak

pekat dosis 1 memiliki kadar alkali fosfatase yang paling tinggi dan yang paling

rendah adalah pada kelompok pemberian ekstrak air. Kadar alkali fosfatase yang

seharusnya paling tinggi adalah pada kelompok serbuk daun kelor karena kadar

oksalat total paling tinggi ada pada sediaan serbuk daun kelor dan kadar alkali

fosfatase yang paling rendah seharusnya ada pada ekstrak pekat dosis 1

dikarenakan kadar oksalat total yang paling rendah. Selain itu, jika dilihat dari

kadar oksalat yang terkandung dalam tiap sediaan, ekstrak pekat dan ekstrak air

memiliki kandungan oksalat terlarut yang memiliki mekanisme biotransformasi

lebih sederhana karena tanpa proses pengikatan dengan gugus polar pada

molekul intrasel. Sediaan serbuk memiliki kandungan oksalat tak larut akibatnya

mekanisme biotransformasi zat toksik dalam hepar pada sediaan serbuk lebih

kompleks dibandingkan dengan mekanisme biotranformasi asam oksalat

sehingga kemungkinan kadar alkali fosfatase serum pada kelompok serbuk daun

kelor lebih tinggi dari ekstrak air dan ekstrak pekat. Proses oksidasi pada fase 1

mekanisme biotransformasi hepar dapat menyebabkan zat toksik menjadi lebih

aktif. Rendahnya alkali fosfatase pada kelompok serbuk diduga karena berat

badan yang dimiliki setiap kelompok berbeda.

Pada kelompok pemberian serbuk daun kelor memiliki berat badan paling

tinggi sehingga kemampuan tubuh dalam mengekskresi alkali fosfatase akan lebih

tinggi. Selain itu pemberiaan sediaan dicampur dengan pakan dan hanya

dilakukan penyondean dengan akuades 2 ml sehingga stressing kelompok

pemberian serbuk daun kelor berbeda dengan kelompok lain yang diberikan sonde

berupa sediaan ekstrak dan ekstrak pekat. Ketika mengalami stress fisiologis, atau

rangsang patologis,sel bisa beradaptasi mencapai kondisi baru dan

mempertahankan kelangsungan hidupnya. Apabila kemampuan adaptif

berlebihan, sel mengalami jejas berupa degenerasi. Sel akan bersifat reversibel

dalam batas tertentu dan kembali ke kondisi stabil semula. Namun stress yang

berat atau menetap menyebabkan cedera yang ireversibel dan sel yang terkena

akan mengalami robekan membrane plasma dan perubahan inti sel sehingga sel

akan mati atau nekrosis dan kadar alkali fosfatase dalam serum darah yang tinggi

dapat menjadi parameter adanya kerusakan sel pada hepar (Richard et al., 2003).

Kadar alkali fosfatase pada ekstrak pekat 1 paling tinggi diduga karena proses

evaporasi. Beberapa persenyawaan dapat mengalami transformasi metabolik

Page 68: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

54

menjadi senyawa yang reaktif dan toksik terhadap berbagai organ tubuh. Reaksi

toksik mungkin tidak terlihat pada pemaparan dosis yang rendah karena masih

ada mekanisme detoksifikasi lain yang dapat meminimalisir kerusakan dan masih

tersedia cukup kosubstrat endogen (glutation,asam glukuronat, sulfat) untuk

detoksifikasi. Adanya waktu yang semakin lama dan peningkatan dosis obat,

kosubstrat endogen yang terpakai akan lebih cepat daripada regenerasinya.

Akhirnya akan terjadi kekosongan kosubstrat endogen dan akan terjadi

penimbunan suatu metabolit yang toksik dan reaktif, berakibat toksisitas terhadap

organ-organ dan efek toksisitas pada organ hepar akan menyebabkan kenaikan

kadar alkali fosfatase (Katzung, 2009). Kadar alkali fosfatase kelompok ekstrak

pekat yang lebih tinggi dari ekstrak air dan serbuk daun kelor juga diduga karena

komponen senyawa bioaktif pada esktrak air dan serbuk daun kelor lebih tinggi

dari ekstrak pekat daun kelor. Berdasarkan penelitian oleh Waterman et al., (2014)

di dalam ekstrak akuades daun kelor mengandung isotiosianat sebesar 1,66% dan

totoal polifenol sebesar 3,82%. Sedangkan menurut Teixeira et al., (2014)

komponen metabolit sekunder dalam serbuk daun kelor antara lain 20,7 mg/g

tannin; 17 mg/g nitrat; 10,5 mg/g oksalat dan dalam serbuk ekstrak air daun kelor

mengandung 0,0468% total katekin/flavonoid (0,0323% epikatekin). Berdasarkan

penelitian oleh Redha (2010), flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa

fenol yang memiliki sifat antioksidatif serta berperan dalam mencegah kerusakan

sel dan komponen selulernya oleh radikal bebas reaktif. Flavonoid merupakan

senyawa polifenol mempunyai kemampuan untuk menyumbangkan atom hidrogen

kepada senyawa radikal bebas, maka aktivitas antioksidan senyawa polifenol

dapat dihasilkan pada reaksi netralisasi (Handayani et al., 2004). Komponen

fenolik dapat menghambat oksidasi lipid dengan menyumbangkan atom hidrogen

kepada radikal bebas (Septiana dan Ari, 2012). Pada ekstrak pekat telah

mengalami evaporasi dan penguapan pada suhu 50-55°C sehingga

memungkinkan senyawa biaoktif pada ekstrak air akan menguap dan kemampuan

senyawa bioaktif dalam ekstrak pekat untuk mencegah kenaikan kadar alkali

fosfatase dalam serum juga akan berkurang. Komponen bioaktif seperti flavonoid,

tanin, dan fenol rusak pada suhu diatas 50°C karena dapat mengalami perubahan

struktur serta menghasilkan ekstrak yang rendah (Handayani et al., 2016).

Beberapa golongan flavonoid memiliki ikatan glikosida dengan molekul gula.

Ikatan glikosida akan mudah rusak atau putus pada suhu tinggi (Poedjiadi, 1994).

Menurut Budiyanto dan Yulianingsih (2008) waktu ekstraksi yang tepat akan

Page 69: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

55

menghasilkan senyawa yang optimal. Waktu ekstraksi yang terlalu lama akan

menyebabkan ekstrak terhidrolisis, sedangkan waktu ekstraksi yang terlalu singkat

menyebabkan tidak semua senyawa akif terekstrak dari bahan.

Berdasarkan penelitian oleh Adedapo et al., (2009) yang diberikan ekstrak

akuades daun kelor dengan dosis 400 mg/kg, 800 mg/kg dan 1600 mg/kg selama

21 hari pada tikus wistar jantan dengan berat badan 85-130 g menunjukkan hasil

alkali fosfatase sebesar 28 U/L pada kelompok kontrol, 19 U/L pada kelompok

dosis 400 mg/kg, 42,7 U/L pada kelompok dosis 800 mg/kg dan 47,4 U/L pada

kelompok dosis 1600 mg/kg. Perbedaan hasil pada penelitian ini dengan literatur

diduga karena karakterisitik bahan yang berbeda, dosis yang berbeda, waktu

perlakuan yang lebih singkat pada literatur, kondisi stressing hewan coba yang

berbeda serta kandungan senyawa bioaktif di dalam daun kelor yang berbeda

dimana kandungan senyawa bioaktif dapat meminimalisir efek samping yang

merugikan dari daun kelor terutama kandungan oksalat dalam daun kelor.

Efek toksik berdasarkan kadar alkali fosfatase menunjukkan bahwa

pemberian sediaan serbuk daun kelor, ekstrak air, ekstrak pekat dosis 1 dan

ekstrak pekat dosis 2 berada dalam kategori aman dan kadar alkali fosfatase

masih dalam batas normal (174-589 U/L) (Animal Care Pathology Service, 2014).

Hal ini diduga karena kadar oksalat total pada daun kelor relatif rendah dan dosis

sediaan yang diberikan belum mencapai kerusakan fatal pada organ. Kadar

oksalat total sediaan daun kelor pada penelitian ini yaitu sebesar 0,16 gram/100

gram pada daun segar, 1,99 gram/100 gram pada serbuk daun, 0,079 gram/100

gram pada ekstrak air dan 0,001 gram/100 gram pada ekstrak pekat ekstrak air.

Dosis letal asam okslaat pada manusia dewasa adalah sebesar 15-30 gram per

hari. Dosis letal terendah yang pernah dilaporkan adalah 6-8 gram (setelah

seseorang mengkonsumsi sup sorrel). Sedangkan dosis letal terendah melalui

intravena manusia adalah 17 mg/kg (KBPOM, 2012).

Kadar ALP akan mencapai 10 kali dari normal apabila terjadi obstruksi

biliaris dan akan mencapai 20 kali normal apabila terjadi sirosis hepar (Lawrence

et.al., 1996; Richterich dan Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011). Normalnya

ALP yang berada dalam hepar akan diekskresikan ke dalam empedu (Richterich

and Colombo, 1981 dalam Nuridayanti, 2011). Sel mukosa pada sistem empedu

merupakan sumber dari alkali fosfatase dimana aliran bebas empedu akan melalui

hepar dan turun ke saluran empedu, kantung empedu bertanggung jawab untuk

menjaga kadar normal enzim ALP dalam darah. Ketika terjadi kelainan hepar,

Page 70: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

56

saluran empedu atau kantung empedu akan tersumbat, sehingga enzim ini tidak

dapat diekskresikan melalui empedu melainkan dilepaskan ke dalam aliran darah

sehingga kadar serum alkali fosfatase dapat digunakan untuk mengukur integritas

sistem saluran empedu (hepatobiliaris) dan aliran empedu ke usus halus (Kaslow,

2013). Jika terjadi kerusakan atau obstruksi pada hepar dan saluran empedu,

maka ditandai dengan aktivitas ALP yang meningkat (Richterich and Colombo,

1981 dalam Nuridayanti, 2011).

4.5.2 Histopatologi Hepar

Hepar merupakan organ pertama setelah saluran pencernaan yang

terpapar oleh bahan-bahan yang bersifat toksik sehingga paling berpotensi

mengalami kerusakan dikarenakan posisi hepar berada di antara permukaan

absortif dari saluran cerna dan target obat. Sebagian besar toksikan masuk ke

dalam tubuh melalui sistem digesti, setelah diserap kemudian toksikan dibawa

oleh vena porta ke hepar (Natalia, 2013). Pengamatan histopatologi hepar

bertujuan untuk melihat kerusakan sel hepar pada tikus wistar jantan yang

diberikan perlakuan sediaan serbuk daun kelor, ekstrak air, ekstrak pekat dosis 1

dan ekstrak pekat dosis 2.

Jaringan hepar tersusun atas sel-sel hepatosis yang berwarna merah

dengan inti sel berbentuk bulat dan berwarna ungu. Kumpulan sel hepatosit

dipisahkan oleh celah yang disebut sinusoid. Hasil pengamatan histopatologi

hepar adalah sebagai berikut :

a. Kelompok kontrol (tanpa suplemen)

Pada kelompok kontrol tanpa suplemen menunjukkan sel hepatosit yang

normal pada kelompok kontrol. Terlihat dari susunan sel hepatosit yang

normal, tidak adanya pembengkakan (edema) dan teratur dengan inti sel yang

masih terlihat (Gambar 4.3).

b. Kelompok serbuk daun kelor

Sel hepatosit pada kelompok suplemen serbuk daun kelor tersusun normal,

namun ada beberapa sel hepatosit yang mengalami degenerasi

parenkimatosa (Gambar 4.3). Degenerasi parenkimatosa dan hidropik

menyebabkan perubahan morfologi ultrastruktur berupa perubahan

membrane plasma, perubahan mitokondria, dilatasi reticulum endoplasma,

dan perubahan nuclear. Degenerasi parenkimatosa terjadi akibat adanya

kegagalan oksidasi yang menyebabkan tertimbunnya air di dalam sel,

Page 71: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

57

akibatnya transportasi protein yang diproduksi di ribosom terganggu. Hal

tersebut menyebabkan pembengkakan sel dan pengeruhan sitoplasma

dengan munculnya granul-granul dalam sitoplasma akibat endapan protein.

Degenerasi parenkimatosa merupakan degenerasi paling ringan dan bersifat

reversibel (Kumar et al., 2007).

c. Kelompok ekstrak air daun kelor

Pada kelompok suplemen ekstrak air daun kelor menunjukkan sel hepatosit

yang normal. Terlihat dari susunan sel hepatosit yang normal, tidak adanya

pembengkakan (edema) dan teratur dengan inti sel yang masih terlihat

(Gambar 4.3). Berdasarkan penelitian lain oleh Adedapo et al., (2009) dengan

pemberian ekstrak air daun kelor dengan dosis 2000 mg/kg p.o selama 21 hari

pada tikus wistar jantan dengan berat badan 85-130 g menunjukkan kelainan

difusi degenerasi hepatik pada hepar. Dosis yang digunakan pada literatur

lebih besar jika dibandingkan dengan dosis yang digunakan pada penelitian

ini. Dosis pada penelitian ini merupakan dosis kalsium yang terkandung dalam

sediaan suplemen daun kelor berdasarkan angka kecukupan gizi harian yaitu

sebesar 0,5 mg/195 gram bb dalam 5,6 ml ekstrak air sedangkan kadar

oksalat total yang terkandung pada 5,6 ml ekstrak air adalah sebesar 0,45

mg/5,6 ml sehingga pada sediaan suplemen ekstrak air dalam penelitian ini

belum terjadi kerusakan sel.

d. Kelompok ekstrak pekat daun kelor dosis 1

Ekstrak pekat daun kelor dosis 1 terlihat sel hepatosit yang tersusun normal,

namun ada beberapa sel hepatosit yang mengalami degenerasi

parenkimatosa. Sel hepar juga mengalami degenerasi hidropik dan kolestasis

pada kelompok pemberian ekstrak pekat daun kelor dosis 1 (Gambar 4.3).

e. Kelompok ekstrak pekat daun kelor dosis 2

Sel hepatosit kelompok ekstrak pekat daun kelor dosis 2 tersusun normal,

namun ada beberapa sel hepatosit yang mengalami degenerasi

parenkimatosa. Sel hepar juga mengalami degenerasi hidropik dan kolestasis

pada kelompok pemberian ekstrak pekat daun kelor dosis 2 (Gambar 4.3).

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam

duodenum dalam jumlah yang normal. Degenerasi hidropik pada dasarnya

sama dengan degenerasi parenkimatosa dan bersifat reversibel, namun

degenerasi ini lebih berat dibandingkan degenerasi parenkimatosa dimana

tampak vakuola berisi air dalam sitoplasma yang tidak mengandung lemak

Page 72: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

58

atau glikogen. Hal ini disebabkan karena gangguan transport aktif yang

menyebabkan sel tidak mampu memompa ion Na+ keluar sehingga

konsentrasi ion Na+ di dalam sel naik. Proses osmosis menyebabkan influx air

ke dalam sel sehingga terjadi perubahan morfologis yaitu sel menjadi

bengkak atau disebut degenerasi hidropik (Kumar et al., 2007).

Jika dilihat dari oksalat total yang terkonsumsi oleh tikus wistar (Tabel 4.4),

kelompok perlakuan suplemen ekstrak air seharusnya memiliki sel yang rusak

dibandingkan dengan kelompok perlakuan ekstrak pekat karena oksalat yang

terkonsumsi lebih tinggi. Adanya sel yang normal pada perlakuan ekstrak air

diduga karena kandungan senyawa bioaktif pada ekstrak air daun kelor yaitu

flavonoid yang dapat mencegah kerusakan sel dan komponen selulernya oleh

radikal bebas reaktif (Redha, 2010) Sedangkan pada kelompok ekstrak pekat telah

mengalami evaporasi dan penguapan pada suhu 50-55°C sehingga

memungkinkan senyawa biaoktif pada ekstrak air akan menguap dan kemampuan

senyawa bioaktif dalam ekstrak pekat untuk mencegah kerusakan sel juga akan

berkurang. Komponen bioaktif seperti flavonoid, tanin, dan fenol rusak pada suhu

diatas 50°C karena dapat mengalami perubahan struktur serta menghasilkan

ekstrak yang rendah (Handayani et al., 2016).Berdasarkan penelitian oleh Kumala

et al., (2016) ekstrak etanol daun kelor 500mg/200BBtikus dapat berpotensi

sebagai antioksidan dengan menurunkan kadar SGOT, SGPT maupun kadar MDA

adalah dosis 1gr/200gram bb tikus.

Dalam penelitian ini, degenerasi sel diduga terbentuk akibat adanya

kalsium oksalat yang menyebabkan sirkulasi darah terganggu sehingga

menyebabkan berkurangnya suplai oksigen. Ketika kristal oksalat terabsorbsi

dalam hepar, hepar menghasilkan enzim-enzim biotransformasi untuk berbagai

macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi dalam tubuh (Natalia, 2013).

Proses ini diduga dapat mengaktifkan kristal kalsium oksalat menjadi bentuk lebih

toksik dan menyebabkan perlukaan hepar. Menurut Riadi (2006) dalam Juhrryah

(2008), apabila paparan zat toksik pada sel cukup tinggi dan dalam waktu yang

lama, sel akan mencapai suatu titik hingga sel tidak mampu mengkompensasi zat

toksik dan tidak dapat lagi bermetabolsime dan kerusakan yang awalnya bersifat

reversibel menjadi irreversible yaitu kematian sel yang disebut nekrosis. Data hasil

pengamatan ditampilkan pada Gambar 4.3

Page 73: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

59

a. Kelompok kontrol (tanpa suplemen)

kelor menunjukkan sel hepatosit normal

b. Kelompok suplemen serbuk daun kelor menunjukkan sel hepatosit mengalami degenerasi parenkimatosa

c. Kelompok suplemen ekstrak air daun kelor menunjukkan sel hepatosit normal

d. Kelompok suplemen ekstrak pekat daun kelor dosis 1 menunjukkan sel hepatosit mengalami degenerasi parenkimatosa dan kolestasis

e. Kelompok suplemen ekstrak pekat daun kelor dosis 2 menunjukkan sel hepatosit mengalami degenerasi parenkimatosa dan kolestasis

Gambar 4.3 Gambaran Histopatologi Sel Hepar Tikus Wistar Jantan Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE – CV = Central Vena; PV = Portal Vena; AH = Artery Hepatic; BD = Bile Duct S = Sinusoid; K = Kolestasis

Asam oksalat memiliki gugus hidroksil fenolik (-OH) yang memiliki sifat

oksidatif stres yang menimbulkan aktivitas sitotoksik apabila diberikan dalam

jangka waktu yang lama dan dosis yang tinggi (Batova et al., 2010). Gugus

hidroksil fenolik (-OH) berperan penting dalam uncoupling (pemutusan rangkaian)

Page 74: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

60

rantai pernafasan di mitokondria (Kawai et al., 1984 dalam Nirwana, 2015).

Adanya cedera pada mitokondria menyebabkan terjadinya penurunan produksi

ATP sehingga sel mengalami kerusakan karena kondisi sel bergantung pada

metabolisme oksidatif di mitokondria (Kumar et al., 2007). Penambahan atau

pelepasan gugus fungsional (-OH) terjadi pada reaksi biotransformasi obat di

hepar pada fase 1 sehingga dampak sitotoksik asam oksalat diduga dapat terjadi

di hepar (Katzung, 2009).

4.6 Analisa Fungsi Ginjal

4.6.1 Histopatologi Ginjal

Fungsi utama ginjal yaitu mengeluarkan limbah hasil detoksifikasi.

Kegagalan fungsi ginjal dapat terjadi jika organ dirusak oleh bahan yang bersifat

toksik. Pengamatan histopatologi ginjal bertujuan untuk melihat kerusakan

glomerulus pada tikus wistar jantan yang diberikan perlakuan sediaan suplemen

daun kelor, ekstrak air daun kelor, ekstrak pekat daun kelor dosis 1 dan ekstrak

pekat daun kelor dosis 2. Pada pemeriksaan histopatologis ginjal, efek toksik

diamati melalui kenampakan ruang bowman dan glomerulus, sel tubulus ginjal

yang mengalami degenerasi parenkimatosa, degenerasi hidropik atau nekrosis.

Pada tubulus kontortus proksimal yang mengalami degenerasi hidropik akan

tampak vakuola pada sitoplasma dan disekeliling inti selnya, sedangkan pada

tubulus kontortus proksimal yang mengalami nekrosis akan tampak inti sel piknotik

dan sitoplasma sel menggumpal (Kumar et al., 2005). Seluruh kelompok perlakuan

yang diberi suplemen serbuk daun kelor, suplemen ekstrak air daun kelor,

suplemen ekstrak pekat daun kelor dosis 1 dan suplemen ekstrak pekat daun kelor

dosis 2 pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa susunan glomerulus pada seluruh

kelompok adalah normal yang menandakan fungsi filtrasi ginjal masih berlangsung

normal. Komponen dalam unit ginjal seperti glomerulus, ruang bowman dan

capsula bowman masih dapat teramati dengan jelas pada seluruh kelompok

perlakuan. Sel tubulus kontortus proksimal terlihat normal pada semua kelompok

perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan ekstrak pekat daun kelor tidak

bersifat toksik pada sel ginjal atau sel ginjal tidak mengalami kondisi stress yang

berat akibat pemberian sediaan daun kelor (Richard et al.,2003). Zat aktif pada

obat herbal terutama daun kelor umumnya berupa metabolit sekunder sedangkan

satu tanaman dapat menghasilkan beberapa metabolit sekunder sehingga

memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek

Page 75: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

61

tersebut dapat saling mendukung tetapi juga dapat berlawanan atau kontradiksi

(Katno dan Pramono, 2001). Data hasil pengamatan ditunjukkan pada Gambar

4.4.

a. Kelompok kontrol (tanpa suplemen)

menunjukkan ciri glomerulus normal

b. Kelompok serbuk menunjukkan ciri

glomerulus normal

c. Kelompok ekstrak air menunjukkan

ciri glomerulus normal

d. Kelompok ekstrak pekat dosis 1

menunjukkan ciri glomerulus normal

e. Kelompok ekstrak pekat dosis 2

menunjukkan glomerulus normal

Gambar 4.4 Gambaran Histopatologi Sel Ginjal Tikus Wistar Jantan Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE – G = Glomerulus; CP = Capsular space; BC = Capsula Bowman; TKP = Tubulus Kontortus Proksimal; TKD = Tubulus Kontortus Distal

Disatu sisi obat herbal memiliki keunggulan yang berguna untuk

meminimalisir efek samping yang merugikan. Beragamnya bahan kimia aktif yang

terdapat dalam tanaman akan bekerja secara sinergi untuk menghasilkan efek

G

BC BC

CP CP

G BC

G BC

G BC

TKP

TKD G

TKD

TKP

Page 76: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

62

terapeutik yang diharapkan dan efek ini dapat hilang atau dapat menimbulkan efek

merugikan ketika bahan kimia tersebut dimurnikan atau diisolasi (Nirwana, 2015).

Faktor lain yang dapat menunjukkan sel ginjal normal adalah dikarenakan zat

toksik yaitu oksalat telah terjadi biotransformasi di dalam hepar sehingga ketika

ditransportasi menuju ginjal, oksalat lebih mudah diekskresi oleh ginjal. Selain itu,

kristal oksalat di dalam kelor belum terjadi penumpukan yang fatal pada organ

ginjal. Apabila kristal oksalat sudah menumpuk pada organ ginjal, maka sel ginjal

akan menunjukkan terjadinya degenerasi.

Berdasarkan penelitian lain oleh Adedapo et al., (2009) yang diberikan

ekstrak akuades daun kelor dengan dosis 2000 mg/kg p.o selama 21 hari pada

tikus wistar jantan dengan berat badan 85-130 g menunjukkan tidak adanya

kelainan atau lesi pada sel ginjal. Dosis yang digunakan pada literatur lebih besar

jika dibandingkan dengan dosis yang digunakan pada penelitian ini. Penelitian ini

merupakan bagian dari penelitian pengujian bioavailabilitas kalsium sehingga

dosis yang digunakan adalah dosis suplemen kalsium yang dihitung berdasarkan

pada angka kecukupan gizi harian yaitu sebesar 0,5 mg/195 gram bb dalam 5,6

ml ekstrak air sedangkan kadar oksalat total yang terkandung pada 5,6 ml ekstrak

air adalah sebesar 0,45 mg/5,6 ml sehingga pada sediaan suplemen ekstrak air

dalam penelitian ini belum terjadi kerusakan sel.

Ruang bowman pada ginjal dapat mengalami pembengkakan (edema)

dimana terjadi perluasan ruang bowman karena berisi cairan. Pembengkakan

ruang bowman atau ruang yang mengelilingi tubulus dapat mengganggu filtrasi

glomerulus dan reabsorbsi tubulus dengan meningkatkan cairan intertisium.

Pembengkakan dan edema juga dapat menimbulkan kolaps glomerulus sehingga

menyebabkan hipoksia atau kematian nefron dalam keadaan ekstrem (Corwin,

2009). Kalsium oksalat yang terakumulasi dalam tubuh dapat menyebabkan

edema sehingga menyebabkan adanya gangguan sirkulasi darah di ginjal

sehingga terjadi penurunan jumlah tubulus pada glomerulus dan menghambat

proses filtrasi pada glomerulus. Kalsium oksalat juga menyebabkan terjadinya

degenerasi hidropis pada epitel tubuli ginjal. Degenerasi hidropis merupakan

kerusakan membrane sel sehingga tidak mampu memompa natrium dengan baik.

Peningkatan konsentrasi natrium di dalam sel menyebabkan masuknya air ke

dalam sel melalui proses osmosis alami sehingga terjadi pembengkakan sel

(Natalia, 2013). Namun, di dalam penelitian ini tidak diamati terjadinya

ketidaknormalan sel ginjal berdasarkan pemeriksaan biokimia klinis.

Page 77: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

63

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Sediaan daun kelor mengandung asam oksalat yang tergolong rendah,

masing-masing sebesar 165,28 mg/100 gram pada daun segar, 1987,21

mg/100 gram pada serbuk daun kelor, 7.93 mg/100 gram pada ekstrak air

daun kelor, dan 1 mg/100 gram pada ekstrak pekat daun kelor.

2. Berdasarkan konsumsi pakan dan dosis, kadar oksalat total yang

terkonsumsi sebesar 67,57 mg/3,4 g pada kelompok serbuk daun kelor,

0,45 mg/5,6 ml pada kelompok ekstrak air daun kelor, 0,04 mg/4,1 ml

pada kelompok ekstrak pekat daun kelor dosis 1 dan 0,04 mg/4,1 ml pada

kelompok ekstrak pekat daun kelor dosis 2.

3. Efek toksik berdasarkan aktivitas alkali fosfatase masih dalam range

normal (174 – 589 U/L) dengan hasil alkali fosfatase tertinggi pada

kelompok ekstrak pekat dosis 1 yaitu sebesar 187,5 U/L, diikuti kelompok

ekstrak pekat dosis 2 178,25 U/L, kelompok serbuk 173,75 U/L dan

ekstrak air 140,5 U/L.

4. Efek toksisitas berdasarkan histopatologi hepar menunjukkan kerusakan

ringan yang bersifat reversibel yaitu adanya degenerasi parenkimatosa

pada kelompok serbuk, dan terjadi degenerasi parenkimatosa, hidropik,

dan kolestasis pada kelompok ekstrak pekat dosis 1 dan dosis 2.

5. Efek toksisitas berdasarkan histopatologi ginjal menunjukkan fungsi

filtrasi ginjal seluruh kelompok perlakuan masih berlangsung normal.

5.2 Saran

1. Dari aspek teknologi pangan, perlu diteliti teknologi dalam mengurangi

oksalat sehingga mengoptimalkan potensi daun kelor.

2. Perlu dilakukan pengujian komponen lain yang berpotensi sebagai zat

toksik pada daun kelor.

3. Perlu dilakukan pengujian toksisitas subkronis maupun kronis pada

hewan uji betina karena mekanisme tubuh dalam menerima zat toksik

pada hewan jantan dan betina berbeda.

4. Diperlukan pengujian biokimia klinis sebagai parameter kerusakan ginjal

terutama di urin untuk melihat kadar kalsium oksalat yang terekskresi.

Page 78: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

64

DAFTAR PUSTAKA

Adedapo, A., Mogbojuri, O., M., and Emikpe, B., O. 2009. Safety Evaluations of

the Aqueous Extract of the Leaves of Moringa Oleifera In Rats.

Journal of Medicinal Plants Research Vol. 3(8), pp. 586-591

Adiyati PN. 2011. Ragam Jenis Ektoparasit pada Hewan Coba Tikus Putih

(Rattus Norvegicus) Galur Sprague Dawley (Skripsi). Bogor: Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian, Bogor

Akhtar, M., Israr, B., Bhatty, N., dan Ali, A. 2011. Effect of Cooking on Soluble

and Insoluble Oxalates In Selected Pakistani Vegetables and Beans.

International Journal of Food Properties Vol. 14: 241 – 249

Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta

Aminah, S. Rhamdan dan T. Yanis, M. 2015. Kandungan Nutrisi dan Sifat

Fungsional Tanaman Kelor (Moringae oleifera). Buletin Pertanian

Perkotaan 5(2)

Anwar, S. Yulianti, E. Hakim, A. Fasya, A.G. Fauziyah dan B. Muti’ah, R. 2014. Uji

Toksisitas Ekstrak Akuades (Suhu Kamar) dan Akuades Panas

(700C) Daun Kelor (Moringa Oleifera Lamk) terhadap Larva Udang

Artemia Salina Leach. J. ALMCHEMY Vol. 3(1): 84-92

Batova, A., Altomare, D. and Chanatarasriwong, O. 2010. Molecular Cancer

Therapeutics: The Synthetic Caged Garcinia Xanthone CLuvenone

Induce Cewll Stress and Apoptosis and Has Immune Modulatory

Activity. American Association for Cancer Research.

http://mctaacrjournals.org/content/9/11/2869.full. Dilihat 25 Juli 2017

Brown D. 2000. Aroids, Plants of the Arum Family. Timber Press, Portland,

Oregon

Budiyanto, Agus dan Yulianingsih. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi

terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk Siam (Citrus nobilis L).

J.Pascapanen Vol. 5 No.2: 37-44.

http://pascapanen.litbang.pertanian.go.id/assets/media/publikasi/jurnal/j.

Pascapanen.2008_2_5.pdf. Dilihat pada 17 Agustus 2017

Page 79: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

65

Chaouche, T., F. Bekkara, F. Haddouchi and Z. Boucherit. 2012. Antibacterial

Activity of Different Extract of Echiumpycnanthum pomel. Journal of

Chemical and Pharmaceutical Research Vol. 4(1) : 216-220

Conte, A., Genestar, C., dan Grases, F. 1990. Relation Between Calcium Oxalte

Hydrate Form Found In Renal Calculi and Some Urinary Parameters.

Urol Int. 45: 25 – 27.

Correia MA. 2001. Drug biotransformation. In: Katzung BG.Basic and Clinical

pharmacology, 8 th edition. Mc Graw Hill Co, New York

Corwin, J. Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Pendit BU, penerjemah;

Pakaryaningsing, editor.. Terjemahan dari: Handbook of

Pathophysiology. Penerbit Buku Kedoktoran EGC, Jakarta

Cox, C. 2004. Pesticide Factsheet, Boric Acid and Borates. Journal if Pesticide

Reform, Vol. 24 No. 2:10-15.

Daldiyono., Ismail, A., Rani, A.A., Manan, C. dan Sumadibrata, R. 1990. Kanker

Kolon dan Peran Diet Tinggi Serat: Kejadian DI Negara Barat. Gizi

Indonesia Vol. 15(1), 73-75

Day, R.A. dan A.L. Underwood. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.

Terjemahan oleh A.H. Pudjaatmaka. Erlangga. Jakarta

Donatus, I.A., 2005. Toksikologi Dasar Edisi II. Bagian Farmakologi dan Farmasi

Klinik, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta

Ezeike CO, Aguzue O.C. and Thomas, S.A. 2011. Effect Of Brewing Time And

Temperature On The Release Of Manganese And Oxalate From

Lipton Tea And Azadirachta indica(Neem), Phyllanthus amarus And

Moringa oleifera Blended Leaves. J Appl Sci Envir Manag Vol. 15:175-

17

Fahey, J.W. 2005. A Review of the Medical Evidence for Its Nutritional,

Therapeutic, and Prophylactic Properties. Part 1. Trees Life J. 1: 5-15

Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan (alihbahasa oleh Ahmad Soediarto,

Trenggono Koesoemaningrat, dll). Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta

Food and Drug Administration. 2005. Guidance for Industry Estimating the

Maximum Safe Starting Dose In Initial Clinical Trials for Therapeutics

in Adult Healthy Voluntters. Pharmacology and Toxicology, Maryland

USA

Page 80: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

66

Franceschi, V.R. dan P.A. Nakata. 2005. Calcium Oxalate in Plants: Formation

and Function. Annual Review of Plant Biology, 56: 41-71

Frank, C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian

Resiko Edisi II. Penerjemah Edi Nugroho UI-Press, Jakarta

Fuglie, L., J. 2001. The Miracle Tree: Moringa Oleifera: Naatural Nutrition for

the Tropics, (Church World Service, Dakar, 1999). pp: 68. Revised in

2001 and published as The Miracle Tree: The Multiple Attributes of

Moringa

Gartner, J.P. and Hiatt, J.L. 2007. Color Text Book of Histology. 3th ed. Elsevier

Saunders, Philadelphia

Guyton, AC.. and Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Kedokteran. Edisi 7. EGC, Jakarta

Guyton, A. C. and, Hall, John., E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi

11. Editor: Irawati Setiawan. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Guyton, A.C. and Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.

Diterjemahkan oleh Irawati, et al. EGC, Jakarta

Handayani, Hana., Sriherfyna, Feronika Heppy., dan Yunianta. Ekstraksi

Antioksidan Daun Sirsak Metode Ultrasonic Bath (Kajian Rasio

Bahan : Pelarut dan Lama Ekstraksi). Jurnal Pangan dan Agroindustri

Vol. 4 No 1 p.262-272.

http://jpa.ub.ac.id/index.php/jpa/article/viewFile/327/338. DIlihat 17

Agustus 2017

Handayani, T., Sutarno dan A. D. Setyawan. 2004. Analisis Komposisi Nutrisi

Rumput Laut Sargassum Crassifolium J. Agardh. Jurnal Biofarmasi

Vol. 2 No. 2: 45-52. ISSN: 1693-2242. http://biosains.mipa.uns.ac.id/F/

F0202/F020201.pdf. Diakses pada 18 Agustus 2017

Harjadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Penerbit Gramedia, Jakarta

KBPOM. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Uji

Toksisitas Nonklinik secara In Vivo

Indriyani, S. 2011. Pola Pertumbuhan Porang (Amorphophallus muelleri

Blume) dan Pengaruh Lingkungan Terhadap Kandungan Oksalat

dan Glukomannan Umbi. Disertasi. Universitas Airlangga, Surabaya

Inglis, L. K. 1980. Introduction to Laboratory Animal Science and Technology.

Pergamon Press Ltd, Oxford

Page 81: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

67

International Society of Nephrology. 2010. Kidney International.

http://www.nature.com/ki/journal/v71/n11/fig_tab/5002179f1.html. Dilihat

pada 26 Juli 2017

Irianto, Djoko Pekik, 2006. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan

Yogyakarta

Jaiswal, D., Rai, P. K., Kumar, A., Mehta, S., & Watal, G. (2009). Effect Of

Moringa Oleifera Lam Leaves Aqueous Extract Therapy On

Hyperglycemic Rats. Journal of Ethnopharmacology, 123(3), 392-396

Jones TC, Ronald DH, Norval WK. 2006. Veterinary Pathology Edisi ke-6.

Blackwell Publishing. United State of America. Hal 17-79

Jonni, M., S., Sitorus, M., Katharina, dan Nelly. 2008. Cegah Malnutrisi dengan

Kelor. Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Juhrryah, Sri. 2008. Gambaran Histopatologi Organ Hati dan Ginjal Tikus pada

Intoksikasi Akut Insektisida (Metofluthrin, D-Phenothrin, D-

Allethrin) dengan Dosis Bertingkat.

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/3450/

B08sju.pdf?sequence=4. Dilihat 25 Juli 2017.

Junquiera LC and Carneiro J. 1997. Histologi Dasar. Edisi 8. Alih Bahasa Jan

Tambayong. EGC, Jakarta

Junqueira L.C., J.Carneiro and R.O. Kelley. 2007. Histologi Dasar. Edisi ke-5.

Tambayang J., penerjemah. Terjemahan dari Basic Histology. EGC,

Jakarta

Junqueira, L.C. 2007. Persiapan Jaringan untuk Pemeriksaan Mikroskopik.

Histology Dasar: Teks dan Atlas, Edisi 10. EGC, Jakarta

Kaslow, Jeremy. 2013. Alkaline Phosphatase (Article). Dilihat 16 Februari 2017.

http://www.drkaslow.com/html/alkaline_phosphatase.html

Kasolo, J.N., Bimeya, G.S., Ojok, L., Ochieng, J., Okwal-okeng, J.W. 2010.

Phytochemicals and Uses of Moringa oleifera Leaves in Ugandan

Rural Communities. Journal of Medical Plant Research. Vol. 4(9): 753-

757

Katzung, B. G. 2009. Farmakologi Dasar dan Klinik. Ed11. Terjemahan oleh H.

Azwar Agoes et al. 1997. Jakarta. EGC Kiernan JA. 2001. Histological

and Histochemical Methods. 3rd Ed. Toronto. Arnold Pub. Pp. 330-354

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Sentra Informasi Keracunan

Nasional. Pusat Informasi Obat dan Makanan Badan POM RI Tahun

Page 82: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

68

2012 tentang Sodium Oksalat.

http://ik.pom.go.id/v2015/katalog/Sodium%20Oxalate.pdf. Dilihat pada 17

Agustus 2017

Kumala, Noer., Masfufatun., dan Devi, Emilia. 2016. Potensi Ekstrak Daun Kelor

(Moringa oleifera) Sebagai Hepatoprotektor Pada Tikus Putih (Rattus

novergicus) yang Diinduksi Parasetamol Dosis Toksis. Jurnal Ilmiah

Kedokteran Vol. 5 No.1: 58 – 66. http://journal.uwks.ac.id/index.php/jikw/

article/download/6/6. Dilihat 18 Agustus 2017

Kumar, V., Abbas, A. K. and Fausto, N. 2005. Rubbins and Cotran Pathologic

Basic of Disease 7th Edition. Elsevier Inc, Philadelphia

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku ajar patologi 7nd ed, Vol. 2.

Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Kurniasih. 2013. Khasiat dan Manfaat Daun Kelor. Pustaka Baru Press,

Yogyakarta

Leeson CR, Leeson TS, dan Paparo AA. 1993. Atlas Berwarna Histologi.

Binarupa Aksara, Jakarta

Leone, Alessandro., Alberto, Spada., Alberto, Battezzati., Alberto, Schiraldi.,

Junior, Aristi., and Simona, Bertoli. 2015. Cultivation, Genetic,

Ethnopharmacology, Phytochemistry, and Pharmacology of

Moringa oleifera Leaves: An Overview. Int. J. Mol. Sci 16: pp. 12791-

12835

Lu, F.C., 1995, Toksikologi Dasar : Asas, Organ, Sasaran, dan Penilaian

Risiko. diterjemahkan oleh Nugroho, E., Bustami, Z.S., dan Darmansjah,

I., Edisi II, 86- 89,93, UI Press, Jakarta

Luthfiyah, F. 2012. Potensi Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera) Nusa Tenggara

Barat. Media Bina Ilmiah. Mataram

Mahmood, Khawaja., Tahir., Mugal, Tahira., and Haq, Ikram. 2010. Moringa

oleifera: a natural gift-A review. Akhter Saeed Cllege of

Pharmaceutical Sciences, Lahore. J. Pharm. Sci. & Res. Vol.2

No.11,775-781

Maley, K., and Komasara, L. 2003. VET 120 Introduction to Lab Animal Science.

Val Macer, New York

Mardiana, Liana. 2012. Daun Ajaib Tumpas Penyakit. Penebar Swadaya,

Jakarta

Page 83: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

69

Maretnowati N, Widyawaruyanti A, dan Santosa MH. 2005. Uji Toksisitas Akut

dan Subakut Ekstrak Etanol dan Ekstrak Air Kulit Batang

Artocarpus Champeden Spreng dengan Parameter Histopatologi

Hati Mencit. Majalah Farmasi Airlangga 5(3):91-5, Surabaya

Martini, Frederic. and Nath, Judi. 2008. Fundamentals of Anatomy &

Physiology. Pearson Benjamin Cummings Inc, San Francisco

Mohammedi, Z. 2011. Impact of Solvent Extraction Type on Total Polyphenols

Content and Biological Activity From Tamarix aphylla. International

Journal of Pharma and Bio Sciences Vol. 2 (1) : 709-615

Murray R.K. 2007. Metabolism of xenobiotics. In: Murray RK, Graenner DK,

Mayes PA, Rodwell VW. Harper’s Biochemistry, 25 th ed. Mc Graw

Hill Co, New York

Mutiara, Titi. 2011. Uji Efek Pelancar ASI Tepung Daun Kelor (Moringa

oleifera (Lamk)) Pada Tikus Putih Galur Wistar. Laporan Hasil

Penelitian. Bidang ilmu Pertanian, Universitas Brawijaya Malang

Nambiar, V. S. and Seshadri, S. 2007. Selected nutrients and non nutrients in

seventeen common and uncommon green leafy vegetables of

western India. J Ind Dietet Asso Vol. 32(1):22-30

Natalia, Eka., Dessy. 2014. Uji Toksisitas Akut Tepung Glukomanan (A.

Muelleri Blume) Terhadap Nilai Kalium Tikus Wistar. Skripsi. Fakultas

Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang

Ngatidjan, P.S. 2006. Metode laboratorium dan Toksikologi. Bagian

Farmakologi dan Toksikologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah

Mada. Yogyakarta

Nirwana, Galuh. 2015. Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Kulit Manggis

(Garcinia mangostana L.) Terhadap Sel Hepar Tikus (Rattus

norvegicus) Galur Wistar. Skripsi Sarjana. Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya. Malang

Noonan, S.C., dan Savage, G.P. 1999. Oxalic Acid Content of Foods and its

Effect on Human. Asia Pacific J Clin Nutr., 8: 64-74

Nugraha, Aditya. 2013. Bioaktivitas Ekstrak Daun Kelor (Moringa Oleifera)

terhadap Eschericia coli Penyebab Kolibasilosis. Tesis. Program

Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-877-1831746254-

tesis%20aditya%20nugraha.pdf. Dilihat pada 26 Juli 2017

Page 84: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

70

Nuridayanti, Eka. 2011. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Air Rambut Jagung (Zea

mays L.) Ditinjau dari Nilai LD50 dan Pengaruhnya Terhadap Fungsi

Hati dan Ginjal pada Mencit. Skripsi. Fakultas Matematika Dan Ilmu

Pengetahuan Alam Program Studi Ekstensi Departemen Farmasi UI,

Depok

Octaviani, Ria. 2010. Pemeriksaan Toksikopatologi Efek Pemberian Berbagai

Fraksinasi Ekstrak Batang Gatep Pahit (Quassia indica (Gaernt.)

Nooteboom) Pada Organ Hati Dan Ginjal Mencit (Mus musculus).

Fakultas Kedokteran Hewan Institut, Pertanian Bogor Bogor.

http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/60869/1/B10roc.pdf.

Dilihat pada 26 Juli 2017

Oranization for Economic Cooperation and Development, 2001. Guidelines for

Testing of Chemicals, OECD, 407 – 408

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 Tentang Angka

Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia.

http://gizi.depkes.go.id/download/Kebijakan%20Gizi/Tabel% 20AKG.pdf.

Dilihat pada 4 Februari 2017

Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar-dasar Biokimia. UI Press, Jakarta

Pradana, I. 2013. Daun Sakti Penyembuh Segala Penyakit. Cetakan Ketiga.

Octopus Publishing House, Yogyakarta

Pramono, Katno. 2001. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan

Tanaman Obat Tradisional. Tawangmangu: Balai Penelitian Tanaman

Obat Tawangmangu

Praptiningsih, Yulia. 1999. Buku Ajar Teknologi Pengolahan. FTP Universitas

Jember, Jember

PRIBADI, G.A. 2008. Penggunaan Mencit dan Tikus Sebagai Hewan Model

Penelitian Nikotin. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor,

Bogor. https://core.ac.uk/download/pdf/32345697.pdf. Dilihat pada 26 Juli

2017

Purnomo, E. H., R. Ajeng., Purwiyatno., K. Feri. dan Risfaheri. 2012. Reduksi

Oksalat pada Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var.

Sylvestris) dan Aplikasi Pati Walur pada Cookies dan Mie.

http://seafast.ipb.ac.id/publication/journal/reduksi-oksalat&aplikasi-pati-

walur.pdf. Dilihat 5 Juli 2017.

Page 85: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

71

Priyambodo, S. 1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penebar Swadaya,

Jakarta

Putri, Widya N. 2009. Aktivitas Spesifkik Katalase Jaringan Hati Tikus yang

Diinduksi Hipoksia Hipobarik Akut Berulang. Fakultas Kedokteran

niversitas Indonesia, Jakarta. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122797-

S09031fk-Aktivitas%20spesifik-Literatur.pdf

Radek, M., and Savage, G. P. 2008. Oxalates In Some Indian Green Leafy

Vegetables. International Journal of Food Sciences and Nutrition 59: 246-

260. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18335334. Dilihat pada 18

Agustus 2017

Radiansah, Roy., Rahman, Nurdin dan Nuryanti, Siti. 2013. Ekstrak Daun Kelor

(Moringa Oleivera) Sebagai Alternatif Untuk Menurunkan Kadar Gula

Darah Pada Mencit. J. Akad. Kim. 2(2): 54-61.

http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/JAK/article/download/7726/6084

. Dilihat pada 27 Juli 2017

Redha, Abdi. 2010. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif dan Peranannya

dalam Sistem Biologis. Jurnal Belian Vol. 9 No.2: 196-202.

http://repository.polnep.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/144/13-

Abdi.pdf?sequence=1. Dilihat pada 18 Agustus 2017

Richard, N., Michel, M.D., Ramzi, S. and Cotran. 2003. Jejas, Adaptasi dan

Kematian Sel. In: Robins Pathologic Basic of Disease. 7th ed. Alih

Bahasa: Prasetiyo A, Pendit U.B, Priliono T. Vol. 1:3-28. EGC, Jakarta

Riza, V. dan Tahjadi. 2001. Alternatif Pengendalian Hama. PAN Indonesia,

Jakarta

Sari, L., O., R., K. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan

Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, 3(1), 01-07

Sarjadi. 2003. Patologi Umum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

Semarang

Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM. 2010. Racun Alami pada Tanaman

Pangan. Dilihat 25 februari 2017.

www2.pom.go.id/public/siker/desc/produk/racunalamitanaman.pdf

Septiana, A. T. dan A. Asnani. 2012. Kajian Sifat Fisikokimia Ekstrak Rumput

Laut Coklat Sargassum duplicatum Menggunakan Berbagai Pelarut

dan Metode Ekstraksi. Jurnal Agrointek Vol. 6 No.1.

https://www.researchgate.net/publication/236628016_Kajian_Sifat_Fisik

Page 86: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

72

okimia_Ekstrak_Rumput_Laut_Coklat_Sargassum_Duplicatum_menggu

nakan_Berbagai_Pelarut_dan_Metode_Ekstraksi. Dilihat pada 18

Agustus 2017

Setyowati, Wulan. 2010. Uji Toksisitas Akut Monocrotophos Dosis Bertingkat

Per Oral Dilihat dari Gambaran Histopatologi Hepar Mencit BALB/C,

Artikel Penelitian Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro Press, Semarang. Dilihat 14 Februari 2017.

http://eprints.undip.ac.id/23821/1/Wulan_S.pdf

Sihombing, Fransiscus. 2016. Eksplorasi Potensi Tumbuhan Beracun Sebagai

Bahan Biopestisida Di Cagar Alam Dolok Saut (Skripsi). Fakultas

Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Medan. Dilihat 12 Februari 2017.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38903/3/Chapter%20ll.p

df

Sirois, Margi. 2005. Laboratory Animal Medicine: Principles and Procedures.

Elsevier, Overland Park

Smith, J.B. dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan

Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas

Indonesia (UIPress), Jakarta

Soeyono, Agustina. 2015. Optimasi Formula Mie Kering Berbasis Ampok

Tepung Pisang Terfortifikasi Tepung Tempe dan Tepung Daun Kelor

sebagai Makanan Tambahan Ibu Hamil. Skripsi Sarjana. Fakultas

Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Malang

Sudoyo, A.W., Alwi I , Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku ajar ilmu penyakit

dalam jilid 1 edisi V. Interna publishing, Jakarta

Sulaiman, H.A., Lesmana, L.A. dan Noer, H.M.S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Hati Edisi Pertama. Jayaabadi, Jakarta

Suwardi, 2011. Analisa Kadar oksalat total dalam Daun Bayam yang Sudah

Dimasak dengan Metode Spektrofotometri UV. Fakultas Tarbiyah dan

Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru

Suwasito, T. S. 2013. Pengaruh Lama Penggilingan Porang (Amorphophallus

muelleri Blume) dengan Metode Ball Mill Terhadap Sifat Fisik dan

Kimia Tepung Porang. Skripsi. Universitas Brawijaya, Malang

Swarayana, Made., Sudira, Wayan., Berata, Ketut. 2012. Perubahan

Histopatologi Hati Mencit (Mus musculus) yang Diberikan Ekstrak

Page 87: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

73

Daun Ashitaba (Angelica keiskei). Buletin Veteriner Udayana Vol. 4

No.2. Patologi FKH Universitas Udayana, Denpasar, Bali

Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta

Sylvia A., and Price L.M.W. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Edisi 6 Ed. EGC, Jakarta

Teixeira, E.M.B., Carvalho, M.R.B., Neves, V.A., Silva, M.A., and Arantes-Pereira,

L. 2014. Chemical Characteristics and Fractionation of Proteins from

Moringa Oleifera Lam. Leaves. http://www.sciencedirect.com/science/

article/pii/S0308814613014003?via%3Dihub. Journal of Food Chem Vol.

147: 51–54. Dilihat pada 18 Agustus 2017

Tsai, J.Y., Huang, J.K., Wu, T.T., Lee, Y.H. 2005. Comparison Of Oxalate

Content In Foods And Beverages in Taiwan. JTUA. 16: 93-99

Universitatae De Medicina Si Farmaciae. 2009. Atlas of Pathology (2nd Edition).

http://www.pathologyatlas.ro/fattychange-liver-steatosis-pathology.php.

Dilihat 26 Juli 2017

University Animal Care Pathology Service (2014). Normal Clinical Chemistry

Values.

https://uac.arizona.edu/sites/uac/files/reference_value_chart_2014_web

site_2.pdf. Dilihat 7 Juli 2017

USDA (2016). United States Department of Agriculture Agricultural Research

Service National Nutrient Database for Standard Reference Release

28. Dilihat 14 Februari 2017.

https://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/show/2974?fgcd=&manu=

&lfacet=&format=&count=&max=50&offset=&sort=default&order=asc&ql

ookup=moringa&ds=&qt=&qp=&qa=&qn=&q=&ing=

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke-5. Diterjemahkan

oleh: Dr. Soendani Noerono. Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Wahyono, Wahyuono S., Hakim L., dan Arwanda I., 2006, Penentuan Parameter

Spesifik Ekstrak Buah Kemukus (Piper cubeba L.f) Secara KLT-

Densitometri menggunakan Kubebin Sebagai Parameter. Seminar

Nasional Kontribusi Herbal Medicine Dan Akupunktur Dalam Dunia

Kedokteran, Bagian Farmasi Kedokteran UGM dan PEFARDI,

Yogyakarta

Warianto, Chaidar. 2011. Gagal Ginjal. http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-

Indonesia/GagalGinjal_ChaidarWarianto_20.pdf. Dilihat 25 Juli 2017

Page 88: UJI TOKSISITAS SUBKRONIS SERBUK, EKSTRAK AIR, DAN …repository.ub.ac.id/3888/1/MAY AYU WULANDARI.pdf · fungsi hepar dan ginjal tikus wistar (rattus norvegicus) skripsi oleh : may

74

Watermana, Carrie., Chenga, M. Diana., Rojas-Silvaa, Patricio., Pouleva,

Alexander., Dreifusa, Julia., Lilab, M. Ann., and Raskina, Ilya. 2014.

Stable, Water Extractable Isothiocyanates from Moringa oleifera

Leaves Attenuate Inflammation In Vitro. Journal of Phytochemistry.

Vol. 103: 114–122. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC407

1966/pdf/nihms580907.pdf. Diakses pada 18 Agustus 2017

Widodo, W. 2005. Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. UMM Press,

Malang

Wolfensohn, S. and Lloyd, M. 2003. Handbook of Laboratory Animal

Management and Welfare, 3rd ed. Blackwell Publishing, Uinted

Kingdom

Wolrd Health Organization, 2000. General Guidelines for Methodologies on

Research and Evaluation of Traditional Medicine. WHO MD, Swiss

Wulandari, Debin., Masdiana C. Padaga.,dan Herawati. 2012. Kadar

Malondialdehida (MDA) dan Gambaran Histopatologi Organ Hati

pada Hewan Model Tikus (Rattus norvegicus) Hiperkolesterolemia

setelah Terapi Ekstrak Air Benalu Mangga (Dendrophthoe

pentandra L. Miq). Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang

Yudha, Anggara., Adri., dan Purnawati, Ratna., Damma. 2014. Pengaruh

Pemberian Methanil Yellow Peroral Dosis Bertingkat Selama 30 Hari

Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Mencit BALB/C

(Undergraduate thesis) Faculty of Medicine Diponegoro University

Press, Semarang. Dilihat 14 Februari 2017.

http://eprints.undip.ac.id/44459/3/BAB_2.pdf