UJI IN-VITRO SENSITIVITAS ANTIBIOTIK TERHADAP BAKTERI ...
Transcript of UJI IN-VITRO SENSITIVITAS ANTIBIOTIK TERHADAP BAKTERI ...
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
11 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
UJI IN-VITRO SENSITIVITAS ANTIBIOTIK TERHADAP BAKTERI
SALMONELLA TYPHI DI KOTA PALU
Reska Perdana*, Tri Setyawati**
* Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Tadulako
**Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Tadulako
ABSTRACT
Background: Typhoid fever is an acute infectious disease caused by Salmonella typhi.
Salmonella typhi infection resulted in high mortality in patients, especially in some
developing countries such as Indonesia.
purpose: Researching and analyzing the sensitivity of antibiotics against the bacterium
Salmonella typhi in Palu City.
Method: This study is pure experimental research using research design post test only
control group design. Sixteenth with chloramphenicol and sixteenth with Amoxicillin
antibiotic. The testing of antibiotic sensitivity test is done by using the diffusion method
of Kirby-bauer. Interpretation of results is based on inhibition zone formed and
adapted to the standard criteria of the National Committee for Clinical Laboratory
Standards (NCCLS). The number of samples in this study were a total of 32 samples of
antibiotics. The study was conducted at the Laboratory of Health Province Central
Sulawesi.
Result: Antibiotic sensitivity test results against Salmonella typhi bacteria using the
Kirby-Bauer diffusion method showed that the antibiotic chloramphenicol sensitive,
(100%) with a mean inhibition of 23.06 mm; and the antibiotic amoxicillin sensitive,
(100%) with a mean inhibition of 21.13 mm. The study showed a significant difference
between the inhibition formed of chloramphenicol and amoxycillin.
Conclusion: Chloramphenicol and amoxycillin sensitive to the Salmonella typhi
bacteria.
Keywords: Salmonella typhi, chloramphenicol, amoxicillin, antibiotic sensitivity
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
12 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
ABSTRAK
Latar belakang: Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi.
Tujuan penelitian: Meneliti dan menganalisis sensitivitas antibiotik terhadap bakteri
Salmonella typhi di Kota Palu.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni
dengan menggunakan rancangan penelitian post test only control group design. Jumlah
sampel 32, 16 diberi kloramfenikol, dan 16 diberi antibiotik amoksisilin. Pengujian uji
sensitivitas antibiotik dilakukan dengan menggunakan metode difusi Kirby-bauer.
Interpretasi hasil didasarkan pada zona hambat yang terbentuk dan disesuaikan dengan
kriteria standar dari National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS).
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 32 sampel antibiotik. Penelitian
dilakukan di Laboratorium Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah.
Hasil penelitian: Hasil uji sensitivitas antibiotik terhadap bakteri Salmonella typhi
menggunakan metode difusi Kirby-Bauer menunjukkan bahwa antibiotik kloramfenikol
sensitif, (100%) dengan rerata daya hambat sebesar 23,06 mm; dan antibiotik
amoksisilin sensitif, (100%) dengan rerata daya hambat 21,13 mm. Penelitian tersebut
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara daya hambat yang terbentuk dari
kloramfenikol dan amoksisilin.
Kesimpulan : Kloramfenikol dan amoksisilin sensitif terhadap bakteri Salmonella
typhi.
Kata kunci: Salmonella typhi, kloramfenikol, amoksisilin, sensitivitas antibiotik.
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
13 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
PENDAHULUAN
Demam tifoid banyak ditemukan
di Indonesia, baik di perkotaan maupun
pedesaan, masyarakat mampu ataupun
kurang mampu. Penyakit tersebut
berkaitan erat dengan kualitas yang
berasal dari kebersihan pribadi dan
sanitasi lingkungan seperti; kebersihan
makanan dan minuman yang rendah,
kebersihan tempat-tempat umum (rumah
makan, restoran) yang kurang, serta
perilaku masyarakat yang tidak
mendukung untuk hidup sehat.[14]
Demam tifoid merupakan infeksi
sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella enterica serotype Typhi
(Salmonella typhi). Penyakit tersebut
tetap menjadi masalah kesehatan
masyarakat di negara-negara
berkembang. Tahun 2000, perkiraan
bahwa lebih dari 2,16 juta infeksi terjadi
diseluruh dunia, menghasilkan 216,000
kematian, dengan lebih dari 90% angka
kesakitan dan kematian terjadi di Asia.
Demikian juga dari telaah kasus demam
tifoid di rumah sakit besar di Indonesia,
menunjukkan angka kesakitan
cenderung meningkat setiap tahun
dengan rata-rata 500 per 100.000
penduduk. Angka kematian diperkirakan
sekitar 0,6-5% sebagai akibat dari
keterlambatan mendapat pengobatan
serta tingginya biaya pengobatan.[14],[6]
Terapi utama yang dipakai dalam
penanganan demam tifoid adalah
antibiotik Kloramfenikol. Antibiotik lain
seperti Kotrimoksazol, Siprofloksasin,
Ofloksasin, Amoksisilin, dan
Sefalosporin generasi ketiga menjadi
alternatif obat tifoid apabila
Kloramfenikol sebagai lini pertama
sudah tidak lagi efektif.[11]
Resistensi antibiotik maupun
multi-resistensi dari spesies Salmonella
telah meningkat dengan pesat, terutama
di negara-negara berkembang seiring
dengan peningkatan penggunaan
antibiotik secara sembarangan dan tidak
terkontrol. Berbagai serovar dari spesies
Salmonella resisten terhadap antibiotik
konvensional seperti Ampisilin,
Kloramfenikol, Trimethoprim-
Sulfamethoxazole, dan antibiotik yang
lebih baru lainnya (Kuinolon dan
Sefalosporin berspektrum luas)
dilaporkan meningkat frekuensinya
dalam beberapa area di seleruh dunia.[9]
Pola resistensi yang terjadi sangat
tergantung dari pola atau sifat bakteri
dan penggunaan antibiotik dan
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
14 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
penatalaksanaan penyakit serta
kecepatan resistensi bakteri terhadap
antibiotik. Tiap-tiap daerah mempunyai
pola sensitivitas Salmonella yang
berbeda, sehingga perlu dilakukan uji
sensitivitas secara berkala karena pola
sensitivitas bakteri dapat bervariasi pada
waktu dan tempat yang berbeda.[8]
Meneliti pola sensitivitas
antibiotik terhadap suatu bakteri patogen
merupakan hal yang sangat penting
untuk menyesuaikan pengobatan terbaru
dan melihat manfaat dari pengobatan
sebelumnya.[9]
METODE
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian eksperimental murni dengan
menggunakan rancangan penelitian post
test only control group design.
Penelitian dilakukan di Laboratorium
Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah
pada 2015. Pengambilan sampel bakteri,
antibotik beserta prosedur penelitian
dilakukan langsung di Laboratorium
Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah.
Populasi dalam penelitian ini adalah
bakteri Salmonella typhi yang berasal
dari pasien suspek demam tifoid di Kota
Palu. Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan isolat murni
bakteri Salmonella typhi yang berasal
dari pasien dan telah dibiakkan di
Laboratorium Kesehatan Propinsi
Sulawesi Tengah. Perlakuan yang
diberikan yaitu:
Perlakuan 1 : Menempatkan cakram
antibiotik kloramfenikol
pada media pertumbuhan
bakteri Salmonella typhi.
Perlakuan 2 : Menempatkan cakram
antibiotik amoksisilin
pada media pertumbuhan
bakteri Salmonella typhi.
Replikasi sampel bakteri
dilakukan sebanyak 16 kali, sehingga
didapatkan besaran total sampel
antibiotik sebanyak 32 Sampel yang
terdiri dari 16 antibiotik kloramfenikol
dan 16 antibiotik amoksisilin.
HASIL
Pada penelitian ini dilakukan
prosedur uji sensitivitas antibiotik yang
dengan memakai metode difusi agar (tes
Kirby-Bauer). Prosedur pengujian ini
dimulai dengan menempatkan bakteri
Salmonella typhi pada media Mueller-
Hinton agar (MHA), selanjutnya cakram
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
15 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
antibiotik Kloramfenikol dan
Amoksisilin ditanam di setiap
permukaan agar dengan memperhatikan
jarak yang sesuai (tidak terlalu dekat
atau terlalu jauh) lalu dilakukan replikasi
sampel bakteri sebanyak 16 kali.
Berdasarkan jumlah replikasi didapatkan
total 32 sampel antibiotik yang
digunakan (16 Kloramfenikol dan 16
Amoksisilin). Selanjutnya media agar
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24
jam. Setelah 24 jam, kemudian
dilakukan pengamatan langsung dan
pengukuran memakai jangka sorong
pada zona jernih yang terbentuk pada
media agar dan merupakan hasil dari
daya hambat yang diteliti. Hasil
pengukuran didapatkan bahwa setiap
replikasi memiliki hasil sensitif.
Hasil tersebut telah disesuaikan
dengan kriteria standar dari National
Committee for Clinical Laboratory
Standards (NCCLS) dan dengan tingkat
sensitivitas sebesar 100% dari kedua
antibiotik. Diameter rerata yang
terbentuk dari antibiotik Kloramfenikol
sebesar 23,06 mm dan Amoksisilin
sebesar 21,13 mm. Besaran diameter
daya hambat yang terbentuk dan
hasilnya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 4.1 Hasil pengukuran diameter
zona hambat, interpretasi
dan rerata dari uji
sensitivitas antibiotik
metode difusi Kirby-Bauer.
Perbedaan zona hambat yang
terbentuk dari tiap replikasi dapat juga
dilihat melalui grafik dibawah ini.
Grafik 4.1 Grafik perbedaan masing-
masing zona hambat yang
terbentuk dari berbagai
replikasi.
Setelah pengukuran daya hambat
telah selesai dilakukan, kemudian
dilanjutkan dengan melakukan analisis
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
16 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
data. Analisis data diawali dengan
melakukan uji normalitas memakai uji
Shapiro-Wilk dengan nilai kemaknaan
sebesar (p>0,05). Apabila hasil tidak
sesuai dengan standar tersebut, maka
disimpulkan bahwa data tidak memiliki
distribusi yang normal.[15]
Hasil pada uji normalitas
menggunakan uji Shapiro-Wilk,
didapatkan signifikansi (p<0,05) maka
dapat disimpulkan bahwa data tidak
terdistribusi normal. Karena hasil
pengujian data tidak terdistribusi dengan
normal, maka dilakukan uji alternatif
memakai uji non-parametrik yaitu uji
Mann-Whitney.
Tabel 4.2 Tabel perbedaan daya hambat
n
Median p
(minimum-
maksimum)
Daya hambat
antibiotik
Kloramfenikol 16
23,06 (22,0-
24,0) ,000
Daya hambat
antibiotik
Amoksisilin 16
21,00 (20,0-
22,0)
Keterangan :
n : Merupakan jumlah total
subjek dari setiap
kelompok perlakuan.
Median : Nilai tengah dari daya
hambat yang terbentuk.
(minimum-maksimum) : Nilai minimal hingga
maksimal dari tiap daya
hambat yang terbentuk.
p : Nilai signifikan uji Mann-
Whitney.
Berdasarkan pada tabel 4.2 diatas,
didapatkan signifikansi hasil dari uji
alternatif memakai uji Mann-Whitney
adalah (p=0,000) dimana nilai dari
(p<0,05) sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat perbedaan
yang bermakna antara daya hambat dari
antibiotik Kloramfenikol dan antibiotik
Amoksisilin serta menunjukkan bahwa
hipotesis diterima.
DISKUSI
Uji sensitivitas antibiotik yang
digunakan merupakan uji sensitivitas
dengan metode difusi agar (Kirby-
Bauer) memakai media Mueller-Hinton
agar (MHA). Metode difusi agar (disc
diffusion) atau (tes Kirby-Bauer)
merupakan cara pengujian kepekaan
antibiotik dengan meletekkan agen
antimikroba pada media yang telah
ditanami oleh mikroorganisme. Agen
antimikroba tersebut akan berdifusi pada
media yang ditumbuhi oleh bakteri.[17]
Zona jernih pada lapisan agar yang
terbentuk diakibatkan oleh karena
senyawa antimikroba berdifusi ke dalam
lapisan agar dan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme (bakteri)
dan disebut sebagai zona hambat,
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
17 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
sedangkan lapisan agar yang ditumbuhi
mikroorganisme akan tampak keruh.
Senyawa antimikroba bekerja dengan
cara berinteraksi dengan dinding sel
bakteri sehingga mengakibatkan
gangguan permeabilitas pada dinding sel
bakteri dan memudahkan seyawa
antimikroba untuk bisa berdifusi ke
dalam sel bakteri. Difusi yang terjadi
akan mengakibatkan gangguan pada
serangkaian proses pertumbuhan dari
bakteri sehingga menghambat
pertumbuhannya (bakteriostatik)
ataupun memberikan efek lain yaitu
dengan membunuh bakteri
(bakteriosidal). Selain itu, senyawa
antimikroba juga dapat menembus
membran sel dan berinteraksi dengan
material genetik dari bakteri sehingga
bakteri dapat mengalami mutasi.[16]
Hasil yang didapatkan dari
pengukuran zona hambat menunjukkan
bahwa antibiotik Kloramfenikol
memiliki rerata zona hambat sebesar
23,06 mm dan Amoksisilin sebesar
21,13 mm. Hasil tersebut disesuaikan
dengan kritetia standar dari National
Committee for Clinical Laboratory
Standards (NCCLS) untuk kriteria
sensitif, intermediet, ataupun resisten
dari masing-masing obat dan dari hasil
pengukuran didapatkan bahwa setiap
antibiotik Kloramfenikol masuk dalam
kriteria sensitif, dan setiap antibiotik
Amoksisilin masuk dalam kriteria
sensitif dengan persentase sensitivitas
dari kedua antibiotik uji tersebut sebesar
100%.
Dasar penggolongan antibiotik yang
sensitif, intermediet maupun resisten
didasarkan pada antibiotik yang melalui
pengujian laboratorium dan disesuaikan
dengan kriteria standar baku dari
masing-masing jenis antibiotik. Standar
dari tiap antibiotik berbeda terhadap
suatu bakteri tertentu yang diujikan.
Hasil pengujian tersebut kemudian
ditandai dengan huruf “S” dan “I”
(intermediet) sedangkan antibiotik
resisten ditandai dengan huruf “R”.
Sensitif menunjukkan bahwa antibiotik
tersebut memiliki daya hambat yang
lebih besar dari kriteria yang
seharusnya, intermediet berada pada
rentang minimum terendah hingga
mencapai sensitif, dan resisten
menunjukkan daya hambat yang
terbentuk berada jauh dibawah kriteria
yang telah ditentukan.[7]
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
18 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
Data yang terkumpul kemudian
dianalisis menggunakan analisis data
alternatif non-parametrik menggunakan
uji Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney
merupakan uji jenjang untuk dua
populasi atau sampel yang berbeda.
(Sunyoto, 2014)[3]. Uji Mann-Whitney
digunakan apabila uji T-independent
tidak dapat dilakukan. Agar uji T-
independent dapat dilakukan, maka
sebaran data haruslah normal, sehingga
data pada penelitian ini tidak memenuhi
syarat untuk dilakukan pengujian
tersebut. Hasil dari uji Mann-Whitney
didapatkan signifikansi sebesar
(p=0,000) dan memenuhi nilai (p<0,05)
sehingga diartikan bahwa terdapat
perbedaan daya hambat yang bermakna
secara statistik dari kedua antibiotik
Kloramfenikol dan Amoksisilin serta
menunjukkan jika hipotesis telah
diterima.
Sensitivitas antibiotik Kloramfenikol
dan Amoksisilin yang didapatkan pada
penelititan tersebut memiliki respon
yang baik dengan persentase sensitivitas
sebesar 100%. Penelitian tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan pada
penelitian sebelumnya di Indonesia.
Katarnida (2013) dalam penelitiannya
yang dilakukan di Jakarta menjelaskan
bahwa pada uji sensitivitas antibiotik,
hasil kultur dari bakteri Salmonella typhi
menunjukkan respon yang baik terhadap
beberapa antibiotik. Respon tersebut
menunjukkan bahwa ditemukan hasil
sensitif 100% terhadap antibiotik
Amoksisilin, Sefotaksim, Seftriakson,
Kloramfenikol, Gentamisin, Imipenem,
Kanamisin, Asam Nalidiksat, dan
Sulfametoksazol.[10]
Beberapa laporan data
memperlihatkan 80% isolat dari strain
Salmonella typhi yang diambil di
Vietnam menunjukkan hasil resisten
terhadap Kloramfenikol, sedangkan
sampel Salmonella typhi yang berasal
dari India dan Indonesia menunjukkan
tidak ada resistensi.[13]
Penelitian lain yang dilakukan oleh
Juwita (2013) menunjukkan tingkat
sensitivitas antibiotik secara in-vitro
terhadap Salmonella typhi yang
dilakukan di kota Banjarmasin
memberikan hasil bahwa tingkat
sensitivitas antibiotik Kloramfenikol
dengan persentase sebesar 65%, dan
tingkat sensitivitas antibiotik
Amoksisilin sebesar 15% atau telah
masuk dalam kategori resisten.
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
19 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
Penelitian yang dilakukan di Bandung
oleh Mulyana (2009) menunjukkan
bahwa antibiotik Kloramfenikol
memiliki sensitivitas sebesar 99,05%
dan antibiotik Amoksisilin sebesar
99,36%.
Perbedaan tingkat sensitivitas
antibiotik Amoksisilin pada tiap daerah
sangatlah berbeda. Hal tersebut bisa
disebabkan oleh beberapa hal, seperti
kerasionalan dalam penggunaannya dan
kepatuhan penderita dalam meminum
obat. Hal lain yang dapat mempengaruhi
ialah dikarenakan Amoksisilin
merupakan obat pasaran yang sudah
banyak dikenal oleh masyarakat untuk
dikonsumsi pada berbagai macam
penyakit dan juga karena harganya yang
murah dan terjangkau bagi
masyarakat.[8]
Perbedaan persentase hasil uji
sensitivitas antibiotik yang didapatkan
dari masing-masing antibiotik uji
(Kloramfenikol dan Amoksisilin) yang
dilakukan oleh peneliti maupun dari
penelitian-penelitian sebelumnya di tiap
daerah menunjukkan bahwa adanya
keberagaman tingkat sensitivitas suatu
antibiotik terhadap bakteri Salmonella
typhi. Keberagaman tingkat sensitivitas
dapat diakibatkan oleh karena
banyaknya faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat sensitivitas suatu
antibiotik terhadap bakteri Salmonella
typhi. Faktor-faktor tersebut dapat
berupa penggunaan antibiotik dalam
jangka waktu yang lama, penggunaan
yang tidak tepat, kepatuhan pasien
dalam meminum obat, dan masih
banyak lagi baik dari tingkat sel bakteri
maupun dari tingkat ekonomi pasien.[8]
Antibiotik Kloramfenikol sebagai
obat pilihan atau “drug of choice”
memberikan respon yang baik pada
penelitian ini. Sehingga penggunaan
antibiotik Kloramfenikol sebagai “drug
of choice” dapat terus dilanjutkan
dengan tetap memperhatikan efek
samping dari penggunaan obat tersebut.
Hasil tersebut telah sesuai dengan teori
yang ada dan dikemukakan oleh
beberapa penelitian sebelumnya, antara
lain oleh Bajracharya et al (2006) dan
Choudhary et al (2013), yang
menjelaskan bahwa sejak Kloramfenikol
diperkenalkan pada tahun 1948,
Kloramfenikol menjadi obat pilihan
yang digunakan dalam terapi demam
tifoid diseluruh belahan dunia. Terapi
dengan Kloramfenikol, menurunkan
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
20 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
angka kematian akibat demam tifoid
dengan sangat signifikan dan penurunan
durasi demam yang selama 14-28 hari
memendek menjadi 3-5 hari.
Pemendekan demam tersebut sangat
membantu dalam keberhasilan terapi
khususnya bagi kenyamanan pasien.[5],[1]
Hasil uji sensitivitas dari antibiotik
Amoksisilin yang dilakukan pada
penelitian ini memberikan respon yang
baik terhadap bakteri Salmonella typhi,
sehingga penggunaan Amoksisilin
dalam pengobatan penyakit dengan
penyebab bakteri Salmonella typhi dapat
terus dilanjutkan apabila antibiotik
Kloramfenikol sebagai “drug of choice”
tidak dapat digunakan. Hasil penelitian
tersebut sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Kaur (2011) dan
Markose & Parthiban (2012), dimana
mereka menjelaskan bahwa antibiotik
Amoksisilin, memiliki tingkat keasaman
yang stabil dalam tubuh, obat tersebut
merupakan semi-sintetis dari kelas
antibiotik yang disebut Penisilin
(antibiotik beta-laktam) dan telah
terbukti efektif terhadap berbagai jenis
infeksi yang disebabkan oleh bermacam-
macam bakteri gram negatif maupun
bakteri gram positif pada manusia dan
hewan. Amoksisilin dipakai untuk
mengobati berbagai jenis infeksi yang
disebabkan oleh bakteri pada beberapa
lokasi infeksi, seperti infeksi telinga,
infeksi saluran kemih, pneumonia,
gonorrhea, dan E-coli maupun infeksi
salmonella.[4],[2]
Obat-obat lini pertama yang
digunakan dalam pengobatan demam
tifoid adalah Kloramfenikol,
Tiamfenikol, atau Ampisilin/
Amoksisilin. Kloramfenikol masih
merupakan pilihan utama untuk
pengobatan demam tifoid karena efektif
dalam mempercepat penyembuhan,
murah, mudah didapat, dan dapat
diberikan secara oral. Umumnya
perbaikan klinis sudah tampak dalam
waktu 72 jam.[12]
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdaskan dari hasil penelitian di
atas, dapat disimpulkan bahwa antibiotik
Kloramfenikol dan Amoksisilin
memiliki sensitivitas yang tinggi
terhadap bakteri Salmonella typhi
dengan persentase masing-masing
sebesar 100% dan rerata daya hambat
yang terbentuk sebesar 23,06 mm dan
21,13 mm, serta terdapat perbedaan daya
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
21 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
hambat yang nyata secara statistik dari
kedua antibiotik terhadap bakteri
Salmonella typhi. Peneliti sangat
berharap kekurangan pada penelitian
tersebut dapat dperbaiki pada penelitian-
penelitian selanjutnya.
DAFTARPUSTAKA
1. Choudhary, A, et al., 2013.
Antimicrobial susceptibility of
Salmonella enterica serovars in a
tertiary care hospital in southern
India. Indian J Med Res, (137):
800-802.
2. Markose & Parthiban., 2012.
Formulation And Evaluation Of
Dispersible Tablets Of Amoxicillin
Trihydrate And Dicloxacillin
Sodium. IRJP, 2012 3(6).
3. Sunyoto, D., 2014. Analisis Data
Penelitian Kesehatan Dengan SPSS.
Nuha Medika. Yogyakarta.
4. Kaur, S.P, Rao, R., Nanda, S., 2011.
Amoxicillin: A Broad Spectrum
Antibiotic. Int J Pharm Pharm Sci, 3
(3):3037.
5. Bajracharya, B.L, et al., 2006.
Clinical profile and antibiotics
response in typhoid fever.
Kathmandu University Medical
Journal, 4 (13):25-29.
6. Ochiai, R.L, et al., 2008. A study of
typhoid fever in five Asian
countries: disease burden and
implications for controls. Bulletin
of the World Health Organization
2008, (86):260–268.
7. Refdanita., Maksum, R., Nurgani,
A., Endang, P., 2004. Pola
Kepekaan Kuman Terhadap
Antibiotika Di Ruang Rawat Intensif
Rumah Sakit Fatmawati Jakarta
Tahun 2001 – 2002. Makara,
Kesehatan, 8 (2): 41-48.
8. Juwita, S., Hartoyo, E., Budiarti,
L.Y., 2013. Pola Sensitivitas In
Vitro Salmonella typhi Terhadap
Antibiotik Kloramfenikol,
Amoksisilin, Dan Kotrimoksazol Di
Bagian Anak Rsud Ulin
Banjarmasin Periode Mei-
September 2012. Berkala
Kedokteran Vol. 9 No. 1 April
2013.
9. Mijovic, C, et al., 2012. Antibiotic
Susceptibility Of Salmonella Spp.: A
Comparison Of Two Surveys With A
5 Years Interval. Journal of
IMAB,18(1).
10. Katarnida, S.S., Karyanti, M.R.,
Oman, D.M., Katar, Y., 2013. Pola
Sensitivitas Bakteri dan
Penggunaan Antibiotik. Sari
Pediatri, Vol. 15, No. 2, Agustus
2013.
11. Mulyana, Y., 2009. Sensitivitas
Salmonella Sp. Penyebab Demam
Tifoid Terhadap Beberapa
Antibiotik Di Rumah Sakit
Immanuel Bandung. Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran.
Bandung.
12. Rampengan, N.H., 2013. Antibiotik
Terapi Demam Tifoid Tanpa
Komplikasi pada Anak. Sari
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1 Januari 2016
22 Reska Perdana & Tri Setyawati, Uji In-Vitro Sensitivitas Antibiotik ...
Pediatri, Vol. 14, No. 5, Februari
2013.
13. Butler, T., 2011. Treatment of
typhoid fever in the 21st century:
promises and shortcomings. Clin
Microbiol Infect, (17): 959–963.
14. Kemenkes., 2006. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 Tentang
Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid. Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta.
15. Dahlan, M.S., 2013. Statistik Untuk
Kedokteran dan Kesehatan;
Deskriptif, Bivariat, dan
Multivariat, Dilengkapi Aplikasi
dengan menggunakan SPSS, Edisi
5. Salemba Medika. Jakarta.
16. Roihanah S., Sukoso., Andayani S.,
2011. Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Teripang Holothuria sp. Terhadap
Bakteri Vibrio harveyi Secara In
vitro. J. Exp. Life Sci. Vol. 1 No. 2,
2011.
17. Pratiwi, S.T., 2008. Mikrobiologi
Farmasi. Erlangga. Jakarta.