UJI BIOAKTIFITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAN FRAKSI … · 6. Seluruh mahasiswa Ilmu Kelautan, kusadar...
Transcript of UJI BIOAKTIFITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAN FRAKSI … · 6. Seluruh mahasiswa Ilmu Kelautan, kusadar...
1
UJI BIOAKTIFITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAN
FRAKSI LAMUN DARI KEPULAUAN SPERMONDE,
KOTA MAKASSAR
SKRIPSI
OLEH :
NURFADILAH
L111 09 007
Dr.Ir.Abdul.Haris, M.Si (Pembimbing Utama)
Dr. Muh. Lukman, ST, M.Mr.Sc (Pembimbing Anggota)
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
2
ABSTRAK
NURFADILAH. L 111 09 007. ”uji bioaktifitas antibakteri ekstrak dan fraksi
lamun dari Kepulauan Spermonde, kota Makassar”. Dibimbing oleh Abdul Haris
sebagai pembimbing utama dan Lukman sebagai pembimbing kedua.
Padang lamun merupakan kekayaan sumberdaya laut, salah satu ekosistem
yang terdapat di wilayah pesisir, mampu menghasilkan metabolit sekunder yang
beragam, dan lamun diketahui memiliki kandungan senyawa aktif yang bersifat
antibakteri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi antibakteri
ekstrak dan fraksi lamun yang berasal dari kepulauan Spermonde terhadap
bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
Ekstraksi menggunakan maserasi dengan cara sampel direndam dengan
menggunkan pelarut matanol p.a selama 2x24 jam setelah itu diuapkan hingga
didaptkan ekstrak metanol, kemudia ekstrak diuji difusikan dengan menggunakan
metode bioassay difusi agar dengan konsentrasi 5 mg/ 30µl/ disc, hingga
didapatkan ekstrak yang berpotensi sebagai antibakteri. Ekstrak yang berpontersi
kemudian dilakukan pemisahan senyawa yang terkandung dalam ektrak lamun
dengan menggunakan metode kolom kromatografi.
Hasil uji Bioassay menunjukkan bahwa Ektrak dan fraksi dari ekstrak
lamun yang berasal dari Kepulauan Spermonde memiliki potensi antibakteri
terhadap bakteri S. Aereus (Gram positif) sedangkan bakteri E coli (Gram
negatif) tidak terdapat daya hambat. Jenis lamun pada masing-masing zona
yang mempunyai potensi antibakteri yaitu : zona satu (E. acoroides dan
Halophila ovalis dan zona tiga (Enhalus acoroides , Cymodocea rotundata dan
Halophila ovalis). Berdasarkan hasil uji terhadap fraksi menunjukkan bahwa
lamun E acoroisdes yang bersal dari Zona satu memiliki potensi sebagai
antibakteri. Adapun faraksi yang berpotensi tersebut yaitu fraksi B dan C.
Kata Kunci : Bioaktivitas, antibakteri, Ekstak dan Faraksi lamun, , Kepulauan
Spermonde
3
UJI BIOAKTIFITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAN
FRAKSI LAMUN DARI KEPULAUAN SPERMONDE, KOTA
MAKASSAR
SKRIPSI
NURFADILAH
L 111 09 007
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memenuhi gelar kesarjanaan pada
Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin.
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
4
HALAMAN PENGESAHAN
Judul skripsi : Uji Bioaktifitas Antibakteri Ekstrak Dan Fraksi Lamun Dari
Kepulauan Spermonde, Kota Makassar
Nama : Nurfadilah
No. Pokok : L 111 09 007
Jurusan : Ilmu Kelautan
Laporan telah diperiksa dan disetujui oleh
Pembimbing Utama
Dr. Ir. Abdul. Haris, M.Si
NIP. 19651291992021001
Pembimbing Anggota
Dr. Muh. Lukman, ST, M.Mar.Sc
NIP. 197112061998021001
Mengetahui
Dekan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Prof. Dr. Ir. Hj. Andi Niartiningsih,MP
NIP : 196112011987032000
Ketua Program Studi
Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si
NIP. 196311201993031002
Tanggal lulus : 2013
5
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nurfadilah, putri kedua dari empat bersaudara. Anak
dari pasangan Drs.H. Kandacong dan Hj. Sahniar yang
dilahirkan di Sengkang, Provinsi Sulawesi Selatan pada
tanggal 21 April 1993. Menyelesaikan Sekolah Dasar
Negeri 235 Watalipue pada tahun 2004, Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Sengkang Unggulan
Kab. Wajo pada tahun 2007 dan Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Sengkang
Unggulan Kab. Wajo kelas Akselerasi pada tahun 2009. Penulis diterima
sebagai mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2009 melalui
Jalur Penerimaan Presentasi dan Bakat (JPPB), pada Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan, jurusan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif
pada berbagai organisasi mahasiswa diantaranya yaitu Senat Mahasiswa Ilmu
Kelautan, Marine Science Study Club (MSC) Universitas Hasanuddin. Pada
tahun 2012 penulis mengabdikan diri pada masyarakat dalam program KKN
Profesi di Desa Samaulue, Kecamatan Landrisang, Kabupaten Pinrang. Pada
saat bersamaan Penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang dengan judul
“Identifikasi Besar Butir Sediment Di Desa Waetuo Kecamatan Lanrisang
Kabupaten Pinrang” .
6
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat
dan anugerah-Nya jualah sehingga penelitian dan skripsi ini dapat terselesaikan.
Salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW yang membuka jalan
kebenaran kepada seluruh pengikutnya.
Skripsi yang berjudul ” Uji Bioaktifitas Antibakteri Ekstrak dan Fraksi
Lamun dari Kepulauan Spermonde, Kota Makassar” ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
seluruh pihak yang telah membantu dalam setiap proses penyelesaian tahap
demi tahap dari awal sampai akhir penyusunan skripsi ini, semoga keikhlasan
dan ketulusan hati tetap selalu menjadi prioritas.
Penyusunan skripsi ini tentunya mempunyai kekurangan-kekurangan
baik dalam hal penyampaian informasi maupun dalam hal penulisan ilmiah.
Untuk itu, penulis berharap mendapat masukan berupa saran dan kritikan yang
konstruktif untuk perbaikan mutu dan kualitas keilmuan demi pengembangan
sumber daya manusia di masa yang akan datang.
Makassar, 2013
Nurfadilah
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Teristimewa kepada keluargaku yang penuh dengan kebahagiaan, dan
sayang kepada, Ayahku H. Kandacong, Mama Hj. Sahniar dengan
keihlasannya telah mengasuh sejak lahir, doa-doanya serta atas keikhlasan dan
usaha yang diberikan memperoleh pendidikan yang terbaik, demikian pula
saudara-saudaraku Agustian Pratama, Nurul sa’adah, Firman asani taqwin
karena berkat doa restu, kasih sayangnya dan semangat penulis dapat
menyelesaikan pendidikan ini.
Terkhusus buat “Nenek Hj. Saenab”, nenek yang tiada henti memberikan
doa, cinta dan kasih sayang dalam setiap saat kepada penulis, serta dukungan
doa dan semangat yang tak terhingga kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
Tentunya dalam penyelesaian skripsi ini, tidak terlepas dari bimbingan,
dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Olehnya itu penulis tidak lupa
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Dr.Ir.Abdul.Haris, M.Si selaku Pembimbing I, dan Bapak Dr. Muh. Lukman, ST,
M.Mar.Sc selaku Pembimbing II yang senantiasa memberikan motivasi,
bimbingan, petunjuk dan arahan-arahan dalam penyempurnaan skripsi ini, serta
bantuan dana penelitian dari penelitian .
Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada:
1. Bapak Dr. Ir. M. Farid Samawi, M.Si, ibu Dr. Ir. Arniati, M.Si, dan ibu Dr. Ir.
Rohani, M.Si selaku penguji yang telah memberikan kiritik dan saran berupa
masukan-masukan demi kesempurnaan skripsi penulis.
8
2. Ibu Prof. Dr. Ir., Andi Niartiningsih,MP, sebagai Dekan FIKP-UH, Bapak Dr. Ir.
Amir Hamzah Muhiddin, M.Si sebagai Ketua Jurusan Ilmu Kelautan .
3. Ibu Dr. Inayah Yasir, M.Sc sebagai penasihat akademik, Bapak dan Ibu
Dosen di Jurusan Ilmu Kelautan atas ilmu pengetahuan yang sangat
berharga, serta seluruh staf tata usaha FIKP-UH untuk kelancaran
administrasinya.
4. Teman Seperjuanganku Ekalisdayanti dan Azmi Utami Putri yang telah
menjadi teman seperjuangan dalam melakukan penelitian
5. Teman dan kakak : Nugraha Maulana, Samsu Rizal, Steven, Nur Tri
Handayani, Nurzahraeni, Nur Hikmah, Jumniati ,Muh. Hasbi, Musdalifah,
Satria Oktavianus, Sitti Samsinar, Isak , Suci Rahmadani Artika, dan Andi
Arham yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan ini serta
saudara-saudaraku seluruh mahasiswa kelautan angkatan 2009 yang tidak
dapat dituliskan satu persatu, atas segala bantuan baik moral dan materil.
6. Seluruh mahasiswa Ilmu Kelautan, kusadar ada sebuah cerita yang pernah
terjalin di antara kita, dan terimaksih semua kenangan dan pengalaman
berharga mengenal kalian semua.
7. Teman pondokan, teman SMA dan teman luar terkhusus Samratulangi dan
Wahyuni AR. sudah menjadi saudara saya selama ini dan teman-teman
Sadaam Husain, Muh. Irvan, Rangga dan Muh. Yusman sari. yang juga
banyak membantu saya.
9
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Tujuan Dan Kegunaan ..................................................................... 3
C. Ruang Lingkup ................................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Lamun .............................................................................................. 4
1. Morfologi dan Anatomi ............................................................... 4
2. Ekosistem Padang Lamun ......................................................... 5
3. Lamun dan Potensi Senyawa Aktif ............................................ 6
B. Kandungan Senyawa Antibakteri pada Lamun ................................. 9
1. Senyawa alkaloid ...................................................................... 9
2. Senyawa flavonoid ................................................................... 10
3. Senyawa triterpenoid ................................................................ 12
C. Faktor Lingkungan yang Mempengartuhi Bahan Aktif ...................... 12
1. Kepulauan Spermonde .............................................................. 13
D. Bioindikator Bakteri ......................................................................... 14
1. Escherichia coli ......................................................................... 14
2. Staphylococcus aureus ............................................................. 15
E. Analisis bioaktif pada lamun ............................................................ 16
1. Proses Ekstraksi ....................................................................... 16
2. Metode difusi ............................................................................. 16
3. Kromatografi kolom ................................................................... 17
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................... 19
10
B. Alat dan Bahan ................................................................................ 20
1. Alat dan Bahan Di Lapangan ...................................................... 20
2. Alat dan Bahan di Laboratorium .................................................. 20
a. Alat Penelitian ...................................................................... 20
1) Alat yang Digunakan pada Proses Ekstraksi .................. 20
2) Alat yang Digunakan pada Proses Uji Difusi ................... 20
3) Alat yang Digunakan pada Proses Kromatografi ............ 21
b. Bahan Penelitian .................................................................. 21
C. Analisis Senyawa Bioaktif dan Uji Difusi .......................................... 22
1. Analisis Senyawa Bioaktif ......................................................... 22
a. Pengambilan Sampel Di Lapangan ...................................... 22
b. Ekstraksi lamun ..................................................................... 22
2. Proses Uji Difusi ....................................................................... 23
a. Sterilisasi Peralatan dan Medium ......................................... 23
b. Pembuatan Medium Agar ..................................................... 23
c. Pembuatan Kultur Murni ....................................................... 24
d. Pembuatan Suspensi Mikroba Uji ......................................... 24
e. Pengujian aktifitas Antibakteri dengan Metode Difusi agar .... 25
3. Proses Kromatografi Kolom ...................................................... 26
a. Proses Kromatografi Lapis Tipis .......................................... 27
D. Analisis Data .................................................................................... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Uji Daya Hambat Ekstrak Lamun Terhadap Bakteri Patogen .. 28
1. Zona Hambat Berdasarkan Jenis Lamun .................................. 28
2. Zona Hambat Berdasarkan Lokasi Pengambilan sampel .......... 34
B. Fraksinasi Ekstrak Enhalus acoroides .............................................. 37
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...................................................................................... 43
B. Saran ............................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 44
LAMPIRAN .................................................................................................. 48
11
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Daya hambat ekstrak lamun .................................................................. 29
2. Aktifasi fraksi lamun Enhalus acoroides Terhadap bakteri Escherichia coli dan
Staphylococcus aures ........................................................................... 41
12
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Morfologi lamun secara umum .............................................................. 4
2. Enhalus acoroides ................................................................................ 7
3. Halophila ovalis ..................................................................................... 7
4. Cymodocea rotundata ........................................................................... 8
5. Halodule uninervis ................................................................................ 8
6. Thalassia henprichii .............................................................................. 9
7. Struktur senyawa alkaloid ..................................................................... 10
8. Struktur senyawa flavonoid ................................................................... 11
9. Bentuk koloni Escherichia coli ............................................................... 14
10. Bentuk koloni Staphylococcus aureus ................................................... 15
11. Metode difusi agar yang terdapat zona bening ...................................... 17
12. Kromatografi kolom terbuka .................................................................. 18
13. Peta lokasi pengambilan sampel lamun berdasarkan zona ................... 19
14. Prosedur ektraksi lamun ....................................................................... 23
15. Hasil kultur murni bakteri patogen ......................................................... 24
16. Prosedur pengujian aktifitas antibakteri metode difusi agar ................... 26
17. Persentase daya hambat bakteri S. aureus berdasarkan jenis lamun ... 32
18. Struktur senyawa pada Enhalus acoroides ........................................... 33
19. Rata-rata uji daya hambat ekstrak lamun Enhalus acoroides berdasarkan
zona ..................................................................................................... 35
20. Fraksinasi hasil ekstrak Enhalus acoroides dengan kolom kromatografi 37
21. Hasil fraksi A ......................................................................................... 38
22. Hasil fraksi B ......................................................................................... 38
23. Hasil fraksi C ......................................................................................... 39
24. Hasil fraksi D ......................................................................................... 39
25. Hasil fraksi E ......................................................................................... 40
26. Hasil fraksi F ......................................................................................... 40
13
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Senyawa aktif sangat banyak memiliki manfaat bagi manusia khususnya
dibidang kesehatan, zat antibakteri dimanfaatkan sebagai obat dalam
penyembuhan beberapa penyakit yang disebabkan karena bakteri. Antibakteri
menghambat sintesis dinding sel bakteri atau mengubah struktur (susunan)
dinding sel, kemudian mengganggu fungsi sel membran, dan mempengaruhi
sintesis protein atau metabolisme asam nukleat.
Kandungan senyawa antibakteri dapat ditemukan hampir di setiap
organisme baik yang berasal dari darat maupun dari perairan laut dan tumbuhan
baik itu tumbuhan yang ada di darat maupun tumbuhan yang berada di laut.
Beberapa penelitian sebelumnya telah melakukan pengujian terhadap potensi
antibakteri yang berasal dari organisme yang hidup laut yaitu, Lestari (2000)
menemukan senyawa yang terkandung dalam mikroalga yang berpotensi
sebagai antibakteri, Ali et al. (2012) menemukan potensi lamun Cymodocea
rotundata yang dapat menghamabat pertumbuhan Aegypti larvae. Hasil
penelitian Ravikumar et al. (2008) menunnjukkan bahwa kandungan senyawa
bioaktif pada lamun yang berasal dari perairan selatan India memiliki
kemampuan potensi sebagai antibakteri. Namun penelitian tentang antibakteri
pada lamun yang berasal dari Kepulauan Spermonde belum pernah dilakukan.
Adanya kandungan senyawa aktif pada lamun dapat menghambat
beberapajenis bakteri (Ravikumar et al., 2012). Diketahui jenis bakteri
Staphylococcus dan Escherichia telah menjadi kebal terhadap antibiotika
Menurut Kumala et al. (2007) bakteri Staphylococcus kebal terhadap antibiotik
metisilin sehingga perlunya pengembangan suatu zat yang memiliki kandungan
sebagai antibakteri dengan menggunakan ekstrak dari tanaman laut (lamun).
14
Maka dari itu penelitian mengenai aktivasi ekstrak lamun terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli perlu dilakukan.
Senyawa bioaktif terdapat pada setiap jenis lamun pada lokasi yang berbeda
termasuk di perairan Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan, lamun juga
merupakan ekosistem yang banyak diteliti dan dimanfaatkan (Erftemeijer et al.,
1994). Pada Kepulauan Spermonde tumbuh berbagai jenis lamun yang
penyebarannya, mulai dari perairan yang dekat dengan daratan hingga pada
perairan yang berbatasan dengan selat Makassar. Kamri (2004) menemukan 6
jenis lamun yang ada di Kepulauan Spermonde Kota Makassar, yaitu Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata,
Halodule uninervis dan Siryngodium isoetifolium. Selanjutnya Supriadi et al.
(2012) menemukan jenis tumbuhan, yaitu 8 jenis lamun di pulau Barrang Lompo,
yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea
rotundata, C. serulata, Halodule uninervis, H. pinifolia dan Siringodium
isoetifolium. Sedangkan Haerul et al. (2012) menemukan 7 jenis lamun di pulau
Barrang Lompo yaitu Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata,
Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Halodule uninervis dan H.
pinifolia. Ini menjadi penting karena diketahui bahwa perbedaan jenis lamun dan
kondisi lingkungan yang berbeda dapat menghasilkan senyawa metabolite
sekunder dengan potensi bioaktif yang cenderung lebih banyak (Lozano et al.,
1998).
Lamun yang ada di perairan Spermonde diekstrak kemudian difraksinasi
hingga didapatkan pemisahan senyawa yang terkandung dari beberapa jenis
lamun. Dengan demikian, penelitian mengenai kandungan senyawa bioaktif
yang antibakteri pada beberapa jenis lamun yang ada di perairan Kepulauan
Spermonde menjadi suatu yang esensial.
15
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi antibakteri ekstrak
dan fraksi lamun yang berasal dari kepulauan Spermonde terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, sedangkan kegunaannya adalah
untuk memberikan informasi mengenai potensi senyawa bioaktif lamun
(seagrass) sebagai antibakteri serta kemungkinan pemanfaatannya sebagai
sumber bahan obat.
C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi ekstraksi dan fraksinasi, uji bioktivitas
ekstrak dan fraksinasi beberapa jenis lamun yang berasal dari Kepulauan
Spermonde, Kota Makassar terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli.
16
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Lamun
1. Morfologi dan Anatomi
Morfologi dan anatomi dari beberapa jenis lamun berbeda-beda, sehingga
sangat mempengaruhi potensi dari kandungan senyawa bioaktif yang ada pada
beberapa jenis lamun. Lamun memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang
terendam didasar laut sehingga memiliki jenis kandungan senyawa yang
berbeda-beda pada setiap bagian dari lamun baik itu dari akar, daun dan
rhizomanya (Gambar 1). Menurut Rumiantin (2011) adanya kandungan senyawa
flavonoid dan fenol hidrokuinon pada daun Enhalus acoroides, sedangkan
Elizabeth (2012) menemukan senyawa steroid pada akar enhalus acoroides.
Gambar 1. Morfologi lamun secara umum (Lanyon et al. 1989)
17
Kandungan senyawa pada lamun tidak hanya dipengaruhi dari morfologi
lamun akan tetapi pada organ dan jaringan pada tumbuhan mempengaruhi
konsentrasi dari kandungan senyawa aktifnya. Lamun memiliki jaringan dan
organ yang sama dengan tumbuhan berbunga lainnya, sehingga kandungan
senyawa lamun kemungkinan sama dengan tumbuhan berbunga lainnya yang
ada di daratan.
Semua bagian dari lamun yaitu akar, batang dan daun memiliki tiga jaringan
dasar yang struktur dan fungsinya berbeda, yaitu: (1) epidermis yang membentuk
lapisan panjang pada permukaan tubuh tanaman dan memiliki kutikula pada
dinding luar untuk menyediakan perlindungan mekanis dan membatasi
transpirasi dan aerasi; (2) vascular bundle yang mengandung phloem untuk
translokasi, dan xylem untuk mengangkut air; dan (3) jaringan parenchyma
dengan dinding tipis dan collenchyme tidak berlignin yang responsible untuk
fotosintesis dan menyimpan dan menebalkan dinding berlignin sclerenchyma
sebagai pendukung mekanis (Kuo dan den Hartog, 2006). Jaringan epidermis
dan kutikula yang ada pada lamun merupakan jaringan pelindung bagi lamun
yang memungkinkan adanya kandungan senyawa yang terkandung pada
jaringan tersebut.
2. Ekosistem Padang Lamun
Ekositem padang lamun umumnya di perairan yang terbuka dengan kondisi
perairan yang variatif. Lamun biasanya terdapat dalam jumlah yang melimpah
dan sering membentuk padang yang lebat sehingga memiliki tingkat asosiasi
yang tinggi dari biota lainnya untuk dijadikan sebagai tempat perlindungan dan
habitat bagi biota lain sehingga memungkinkan besarnya asosiasi pada padang
lamun. Dengan kondisi tingkat asosiasi dari padang lamun yang tinggi
menyebabkan lamun akan cenderung untuk mengeluarkan metabolit
18
sekundernya untuk melindungi diri dari grazing ikan-ikan herbivora dan biota-
biota bentik. Kecenderungan metabolit sekunder akan semakin besar jika adanya
ganguan dari lingkungan (Haris et al., 2012).
Tidak hanya dari tingkat asosiasi dari lamun akan tetapi kondisi dari perairan
juga sangat mempengaruhi adanya kandungan senyawa bioaktif yang
terkandung pada lamun, semakin besar pengaruh dari kondisi perairan yang
buruk meyebabkan semakin meningkatnya kandungan senyawa bioaktif pada
lamun. Lamun akan cenderung mengeluarkan metabolit sekundernya untuk
memepertahankan hidup dari kondisi perairan yang buruk (Lozano et al., 1998) .
3. Lamun dan Potensi Senyawa Aktif
Lamun pada umumnya memiliki kandungan senyawa aktif yang berbeda,
tergantung dari morfologi setiap jenis lamun dan kandungan senyawa yang
dimilikinya. Berikut ini adalah jenis lamun beserta kandungan senyawa aktif yang
bersifat sebagai antibakteri :
a) Enhalus acoroides
Enhalus acoroide mempunyai daun rimpang yang tebal, panjang dan lebar
sehingga cenderung memiliki kandungan senyawa aktif yang bersifat sebagai
antibakteri hal ini disebabkan karena adanya ancaman dari epifit (Gambar 2).
Jenis lamun ini juga mempunyai kandungan senyawa yang bersifat sebagai
antibakteri yaitu flavonoid, fenol, tannin, steroid dan saponin yang terdapat pada
semua bagian lamun (Ali et al., 2012).
19
Gambar 2. Enhalus acoroides (http://ian.umces.edu/imagelibrary/)
b) Halophila ovalis
Halophila ovalis mempunyai daun kecil yang memiliki banyak urat daun
(cross veins) (Gambar 3). Selain dari bentuk morfologi lamun Halophila ovalis
juga mempunyai kandungan senyawa yang bersifat sebagai antibakteri yaitu
alkaloid, flavonoid, saponin, steroid, phenol dan tanin yang terdapat pada semua
bagian lamun (Ravikumar et.al., 2008).
Gambar 3. Halophila ovalis (http://ian.umces.edu/imagelibrary)
20
c) Cymodocea rotundata
Cymodocea rotundata mempunyai akar rimpang, berwarna coklat muda dan
putih pada bagian tunasnya, berbuku-buku. Daun berbentuk pita, tepi daun rata
dan ujungnya tumpul. Cymodocea rotundata mempunyai senyawa yang bersifat
sebagai antibakteri yaitu alkaloid, flavonoid, phenol, steroid dan tanin (Gambar 4)
(Anwariyah, 2011).
Gambar 4. Cymodocea rotundata (http://ian.umces.edu/imagelibrary/)
d) Halodule uninervis
Halodule uninervis mempunyai akar yang serabut dengan rizhoma (Gambar
5) yang memiliki potensi yang mengandung senyawa steroid yang mampu
bersifat sebagai antibakteri (Wisespongpand et al., 2005).
Gambar 5. Halodule uninervis (http://ian.umces.edu/imagelibrary/)
21
e) Thalassia hemprichii
Thalassia hemprichii mengandung empat komponen aktif yaitu triterpenoid,
flavonoid dan fenol hidrokoinon yang bersifat sebagai antibakteri selain itu pada
jenis Thalassia hemprichii juga ditemukan senyawa steroid yang bersifat sebagai
antioksidan (Ravikumar et al., 2008) (Gambar 6).
Gambar 6. Thallasia hemprichii (http://www.plantsystematics.org/imgs/)
B. Kandungan Senyawa Bioaktif pada Lamun
Senyawa bioaktif pada lamun yaitu senyawa alkaloid, flavonoid, dan
triterpenoid yang dapat bersifat sebagai antibakteri, dimana senyawa ini mampu
menghambat atau mematikan organisme lain (Ravikumar et al., 2008).
1. Senyawa Alkaloid
Senyawa alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder
yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Darwis (2001),
menyatakan bahwa Alkaloid (Gambar 7) adalah golongan senyawa basa
bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik yang banyak terdapat pada tumbuhan,
termasuk lamun.
22
Gambar 7. Struktur senyawa alkaloid (Darwis, 2001)
Alkaloid pada ekstrak kasar lamun Enhalus acoroides tidak terdapat pada
ekstrak metanol, etil asetat maupun n-heksana. Bioaktif jenis alkaloid ini
umumnya larut pada pelarut organik nonpolar, akan tetapi ada beberapa
kelompok seperti pseudoalkaloid dan protoalkaloid yang larut pada pelarut polar
seperti air. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang
biasanya bersifat basa. Alkaloid biasanya dalam kadar kecil dan harus
dipisahkan dari campuran senyawa yang rumit yang berasal dari bagian
tumbuhan (Lenny, 2006).
2. Senyawa Flavonoid
Senyawa flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol,
oleh karena itu larutan ekstrak yang mengandung komponen flavonoid akan
berubah warna jika diberi larutan basa atau ammonia (Agestia, 2009). Flavonoid
merupakan golongan fenol yang terbesar yang ditemukan di alam (Lenny 2006).
Penelitian Bitam et al. (2010) menemukan kandungan flavonoid pada lamun
Halophila stipulacea.
23
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada
tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan
tingkat tinggi (Angiospermae) adalah flavon dan flavenol dengan C- dan O-
glikosida, isoflavon C- dan O-glikosida, flavenon C- dan C- glikosida. Flavonoid
termasuk senyawa fenolik alam yang berpotensial sebagai antioksidan dan
mempunyai bioaktivitas sebagai obat. Flavonoid mempunyai kerangka dasar
karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene (C6) terikat
pada satu rantai propane (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6.
Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan atau
flavonoid 1,2-diarilpropan atau isofalvonoid dan 1,1-diarilpropan atau
neoflavonoid. Ketiga struktur tersebut dapat dilihat pada Gambar 8 (Agestia,
2009).
Gambar 8. Struktur senyawa flavonoid (a) Flavonoid, (b) Isoflavonoid, (c)
Neoflavonoid (Agestia, 2009).
(a) (b)
(c)
24
3. Senyawa Triterpenoid
Senyawa triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal
dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon
C30 asiklik, yaitu skualena. Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok
senyawa, yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung
(Harborne, 1987). Senyawa tanin merupakan komponen zat organik derivat
polimer glikosida yang terdapat dalam bermacam-macam tumbuhan, terutama
tumbuhan berkeping dua (dikotil). Ekstrak tanin terdiri dari campuran senyawa
polifenol yang sangat kompleks dan biasanya tergabung dengan karbohidrat
rendah (Linggawati et al., 2002).
C. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Bahan Aktif
Faktor lingkungan yang mempengaruhi stabilitas bahan aktif yaitu suhu,
radiasi cahaya, udara (terutama oksigen, karbondioksida dan uap air) dan
kelembaban. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi stabilitas, yaitu : pH
7,0, sifat air dan kondisi biotik, dan keberadaan bahan kimia lain yang
merupakan kontaminan atau dari pencampuran produk yang berbeda secara
aktif dapat mempengaruhi stabilitas sediaan bahan aktif (Akhila, 2007).
Kondisi lingkungan yang buruk berpengaruh terhadap produksi metabolit
sekunder pada organisme. Pada kondisi lingkungan yang buruk lamun akan
mengeluarkan metabolit sekundernya untuk bertahan hidup. Selain kondisi
lingkungan yang buruk produksi metabolit skunder dipengaruhi pula oleh
organisme asosiasi, seperti ancaman predator, makro dan mikroorganisme
patogen, kompetisi ruang dan makanan.
Kandungan senyawa metabolit sekunder itu tidak hanya dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan semata, namun mereka juga dipengaruhi oleh tingkat
asosiasi padang lamun yang tinggi. Ancaman dari biota-biota laut yang hidup
25
pada padang lamun, juga cenderung menghasilkan senyawa bioaktifnya sebagai
bentuk perlindungan diri dari biota laut.
1. Perairan Kepulauan Spermonde
Perairan kepulauan Spermonde dapat dibagi menjadi empat zona, yang
merepresentasi kondisi lingkungan perairan dari kondisi yang buruk hingga
kondisi yang baik. Perairan yang didekat daratan utama pulau Sulawesi
umumnya dapat digolongkan ke dalam zona perairan yang memiliki kualitas air
yang rendah. Hal ini disebabkan karena besarnya luapan daratan utama,
khususnya dari kota Makassar dan sekitarnya. Kondisi perairan sekitar pulau
Lae-Lae yang dekat dengan kota Makassar tergolong dalam kategori tercemar.
Kandungan oksigennya mendekati 6-7 mg/l menurut baku mutu air laut Kepmen
Negara LH No.51 Tahun 2004 untuk DO adalah di atas 5 mg/l tergolong buruk.
Secara umum nilai rata-rata parameter kualitas air di perairan pulau Lae-lae
tidak layak atau tidak mendukung untuk melakukan aktivitas wisata bahari. Pulau
Lae-lae melewati ambang batas kisaran baku mutu air untuk wisata bahari yang
ditetapkan oleh Kepmen Negara LH No.51 Tahun 2004. Kondisi perairan pulau
tersebut disebabkan karena letaknya yang sangat dekat dari mainland Kota
Makassar, sehingga limbah antropogenik sangat mudah masuk ke perairan laut
tersebut (Lamma, 2002).
zona pertama atau zona bagian dalam merupakan zona terdekat dari pantai
daratan utama, dengan kondisi perairan yang rusak akibat adanya pengaruh
dari aktivitas daratan utama dan adanya pabrik-pabrik yang menggangu kondisi
periaran. Dengan kondisi perairan yang tergolong rusak menyebabkan kondisi
ekosistem lamun yang ada pada zona satu terganggu dengan pertumbuhan
lamun yang terhambat. Zona kedua, berjarak kurang lebih 5 km dari daratan
Sulawesi, dengan kondisi ekosistem yang cukup buruk akibat aktivitas dari pulau.
Zona ketiga memiliki ekosistem yang cukup baik dibanding dengan kondisi pulau
26
lainnya, dengan ekosistem lamun yang baik dengan tingkat asosiasi yang tinggi.
Zona keempat atau zona terluar merupakan zona yang sangat jauh dari daratan
utama sehingga jauh dari pengaruh aktivitas dari daratan utama, akan tetapi
kondisi ekosistem pada zona ini tergolong buruk (Hoeksema, 1990).
D. Bioindikator Bakteri
1. Escherichia coli
Escherichia coli adalah bakteri gram negatif yang resisten terhadap
beberapa antibakteri hal ini disebabkan karena tiga lapisan dinding sel pada
bakteri ini, sehingga beberapa senyawa tidak mampu merusak jaringan dari
dinding sel bakteri Escherichia coli (Gambar 9). Bakteri ini yang bersifat patogen
pada manusia yang menyebabkan gangguan pencernaan pada manusia dan
mengganggu sistem kerja dari organ lambung. Bakteri ini sangat merugikan bagi
manusia sehingga perlu adanya senyawa penghambat dari bakteri patogen ini
(Smitgh-Keary,1988; Jawetz et al., 1985 dalam Agung 2010).
Gambar 9. Bentuk Koloni Escherichia coli (Fardiaz, 1993)
27
Klasifikasi Escherichia coli adalah menurut Fardiaz (1993) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Eubacteria
Divisio : Proteobacteria
Classis : Gamma Proteobacteria
Ordo: Enterobacteriales
Familia : Enterobacteriaceae
Genus: Escherichia
Species : Escherichia coli
2. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang memiliki hanya
satu dinding sel sehingga senyawa yang bersifat sebagai antibakteri akan lebih
mudah untuk merusak dinding sel bakteri ini (Gambar 10). Staphylococcus
aureus dapat menyebabkan beberapa macam kerugian yaitu menyebabkan
makanan menjadi beracun, sindrom racun, infeksi kulit dan luka sehigga perlu
diketahui senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri ini (Kunkel,
1999).
Gambar 10. Bentuk koloni Staphylococcus aureus (Fardiaz, 1993)
28
Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Fardiaz (1993) adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Eubacteria
Divisio : Firmicutes
Classis : Bacilli
Ordo: Bacillales
Familia : Staphylococcaceae
Genus: Staphylococcus
Species : Staphylococcus aureus
E. Analisis Bioaktif pada Lamun
1. Proses Ekstraksi
Proses Ekstraksi yang digunakan adalah proses maserasi dimana prinsip
metode ini dilakukan dengan penggunaan ekstrak (sampel) yang direndam
dengan menggunakan pelarut yang bersifat polar kemudian disaring selama dua
hari pada suhu kamar. Dimana prinsip perendamannya yaitu pelarut akan
menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat
aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara zat aktif
di dalam sel dan di luar sel, sehingga larutan yang berdekatan terdesak keluar.
Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan yang diluar dengan larutan yang ada di dalam sel (Efendi, 1986).
2. Metode Difusi
Metode difusi merupakan pengujian aktivitas antibakteri dengan menentukan
kerentangan bakteri terhadap suatu zat yang bersifat sebagai antibakteri. Cara
ini menggunakan kertas saring yang berdiameter 6mm dengan pengujian
dilakukan menggunakan ekstrak, kontrol positif dan kontrol negatif. Dimana pada
ekstrak sampel lamun yang didapatkan diteteskan kembali pada paper disc,
sedangkan untuk kontrol negatif digunakan pelarut metanol yang sama pada
29
saat perendaman sampel lamun hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa
pelarut yang digunakan tidak memberikan pengaruh sebagai antibakteri pada
bakteri patogen dan kontrol positif yang digunakan yaitu kloramfenikol yang
bersifat sebagai antibakteri. Kontrol positif digunakan sebagai tolak acuan pada
penentuan keativan ekstrak sebagai antibakteri. Jika daya hambat ekstrak yang
digunakan melebihi atau mendekati dari nilai kontrol positif maka ekstrak tersebut
berpotensi sebagai antibakteri (Gambar 11).
Gambar 11. Metode difusi agar yang terdapat zona bening (Kunkel, 1999)
Setiap paper disc yang memiliki ekstrak, pelarut dan kloramfenikol
diletakkan di atas medium agar yang telah diinokulasi bakteri uji. Selama masa
inkubasi jika sampel tersebut efektif terhadap mikroba akan terjadi proses difusi
larutan uji ke dalam agar dan membentuk daya hambat (zona bening).
3. Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom adalah suatu metode pemisahan yang didasarkan pada
pemisahan daya adsorbsi suatu adsorben terhadap suatu senyawa. Dimana
30
proses ini sangat tergantung pada eluen yang digunakan jika eluen yang
digunakan sudah baik sehingga akan terjadi pemisahan senyawa pada
kandungan ekstrak lamun yang sempurna. Dengan menggunakan 3 larutan
yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda akan melarutkan beberapa
kandungan senyawa yang berbeda yang terkandung pada ekstrak lamun.
Gambar 12. Kromatografi kolom terbuka (Khopkar, 2003)
Dengan menggunakan kolom kromatografi ekstrak lamun yang akan diujikan
untuk pemisahan senyawa dimasukkan kedalam kolom yang berisikan silica gel
GF 60 yang sudah homogen kemudian secara bertahap dengan menggunakan
eluen yang berbeda akan mengalirkan senyawa yang terkandung pada ekstrak
sehingga akan didapatkan setiap fraksi (Gambar 12).
31
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan pada
bulan Agustus 2012 – Desember 2012. Pengambilan sampel lamun dilakukan
pada 4 zona yaitu zona I yaitu Pulau Lae-Lae besar dan Lae-Lae kecil, zona II
yaitu Pulau Barrang Lompo, Pulau Bonebatang, zona III yaitu Pulau Bone
tambung, Pulau Kodingareng keke, dan zona IV yaitu pulau Langkai dan pulau
Lanjukang (Gambar 13). Identifikasi lamun, ekstraksi, dan uji difusi dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi Laut Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin.
Gambar 13. Peta lokasi pengambilan sampel lamun berdasarkan zonasi (I, II, III , dan IV) di Kepulauan Spermonde, Perairan Kota Makassar.
32
B. Alat dan Bahan
1. Alat dan Bahan di Lapangan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan selam
dasar (snorkling) untuk memudahkan pengambilan sampel, kantong plastik untuk
menyimpan sampel, cool box sebagai tempat pengawetan sampel untuk dibawa
ke laboratorium, kertas label digunakan untuk kode sampel lamun dan skop
untuk mengambil sampel lamun (Lampiran 2).
2. Alat dan Bahan Di Laboratorium
1) Alat yang digunakan pada proses ekstraksi
Alat-alat yang digunakan di laboratorium adalah pisau digunakan untuk
memotong-motong sampel, talenan digunakan untuk alas memotong,
timbangan digital (Electronic Balance Chyo Tipe JP 300) digunakan untuk
menimbang berat sampel, blender digunakan untuk menghaluskan bahan, gelas
ukur digunakan untuk mengukur volume larutan, toples digunakan sebagai
wadah perendaman sampel, corong digunakan untuk memasukkan larutan yang
akan disaring, tabung erlenmeyer digunakan sebagai wadah sampel yang telah
disaring, jirgen kecil digunakan untuk menyimpan sisa metanol p.a. hasil dari
rotavapor sampel hasil dari ekstraksi, rotavapor digunakan untuk mengekstrak
bahan alam
2) Alat yang Digunakan Proses Uji Difusi
Timbangan analitik digunakan untuk menimbang bermacam-macam bahan
dengan ketelitian sampai beberapa angka di belakang koma (minimal 0,1),
spatula digunakan untuk mengaduk larutan hingga tercampur rata, pipet tetes
digunakan untuk mengambil cairan dalam skala tetesan kecil, mikro pipet
digunakan untuk mengambil cairan dalam skala kecil, tabung reaksi digunakan
untuk menumbuhkan organisme, rak tabung reaksi digunakan untuk menyimpan
33
tabung-tabung reaksi, hot plate digunakan untuk memanaskan, stirrer digunakan
untuk mengaduk bahan, autoklaf digunakan untuk sterilisasi basah, laminary air
flow cabinet digunakan untuk mengontrol aktivitas mikroba, cawan petri
digunakan untuk membiakkan (kultivasi) mikroorganisme, paper disc digunakan
untuk kontrol positif dan negatif, vortex digunakan untuk menghomogenkan,
jarum ose digunakan untuk memindahkan biakan untuk ditanam/tumbuhkan ke
media baru, pinset digunakan untuk mengambil bahan yang ukurannya kecil,
jangka sorong/kapiler digunakan untuk untuk menghitung zona hambat dan
botol vial digunakan sebagai wadah.
3) Alat yang digunakan proses kromatografi
Kolom kromatografi digunakan berupa kolom ukuran 300x30 mm untuk
memisahkan setiap senyawa dalam ekstraksi, vial yang digunakan untuk
menyimpan hasil saringan, gelas kaca untuk menyimpan eluen, gelas beker
digunakan sebagai wadah menuangkan eluen ke dalam kolom, penotol untuk
menotolkan ekstrak pada lempeng, gelas ukur untuk mengukur volume dari eluen
yang digunakan dan cheamber digunakan sebagai wadah eluen.
a. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas saring, kertas
label, aluminium foil, metanol p.a., spiritus, akuades, alkohol 70%, n-Heksana,
etil asetat, silica gel GF 60, Nutrient Broth, Nutrient Agar, kapas pembalut, tisu
roll, kertas KLT, sarung tangan, masker, isolat bakteri Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli.
34
C. Analisis Senyawa Bioaktif dan Uji Difusi
1. Analisis Senyawa Bioaktif
a) Pengambilan Sampel di lapangan
Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling) (Lampiran
1). Sampel Lamun dari berbagai jenis dimasukkan ke dalam kantung plastik,
kemudian dimasukkan ke dalam cool box yang berisi es untuk dianalisis
selanjutnya di laboratorium. Identifikasi sampel lamun dilakukan berdasarkan
petunjuk Waycott et al. (2004); Kuo and Den-Hartog (2006).
b) Ekstraksi Lamun
Lamun yang akan diekstrak terlebih dahulu dicuci dengan air mengalir untuk
menghilangkan kotoran, epifit dan pasir. Setelah bersih sampel lamun dijemur di
bawah sinar matahari sampai kering.
Sampel lamun yang sudah kerig dicacah halus kemudian diblender agar
lebih halus. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi selama 2 x 24 jam
pada suhu kamar dengan menggunakan pelarut matanol p.a. Sebanyak 100g
sampel direndam 300ml pelarut hingga sampel terendam dalam toples. Ekstraksi
dilakukan selama 2 hari dan diulang sebanyak dua kali. Kemudian disaring
dengan menggunakan kertas saring whatman terlebih dahulu sebelum
dimaserasi kembali dengan pelarut metanol p.a (Lampiran 3).
Setelah selesai proses ekstraksi, pelarut organik diuapkan secara vakum
dengan menggunakan rotavapor sampai diperoleh ekstrak. Ekstrak kemudian
dimasukkan ke dalam botol vial yang telah diketahui beratnya, setelah pelarut
kering, ekstrak ditimbang beratnya dan disimpan di freezer (-200C) sampai akan
digunakan untuk pengujian, proses ekstraksi dilakukan seperti pada alur bagan
dibawah (Gambar 14).
Secara ringkas diagram alir prosedur penelitian disajikan pada Gambar 14
berikut :
35
-Dipotong kecil-kecil Maserasi dengan metanol p.a 2x
-Dihaluskan/blender
Gambar 14. Prosedur Ekstraksi Lamun
2. Proses Uji Antibakteri dengan Menggunakan Metode Difusi
a) Sterilisasi Peralatan dan Media
Alat-alat yang terbuat dari kaca disterilkan dengan menggunakan oven pada
suhu 1800C selama 2 jam. Alat-alat logam disterilkan dengan cara dipijarkan
menggunakan lampu spiritus, sedangkan untuk alat-alat yang tidak tahan dan
medium pada pemanasan dengan suhu tinggi, disterilkan dalam autoklaf pada
suhu 1210C tekanan 2 atm selama 15 menit.
b) Pembuatan Media Agar
Sebanyak 2,3 gram NA, kemudian dimasukkan ke dalam gelas beker, lalu
ditambahkan dengan akuades 100ml. Campuran diaduk menggunakan hot plate
with magnetic strirrer sampai homogen.
Ampas Filtrat metanol
Lamun Beberapa Jenis Lamun
Diuapkan dengan rotavapor Hasil ekstraksi dalam botol vial
Ekstrak metanol
36
Setelah homogen, medium dimasukkan 20ml ke dalam gelas kaca
(Lampiran 4), lalu dimasukkan ke dalam autoclafe untuk disterilisasi. Kemudian
sinar UV dinyalakan pada laminary selama 15 menit dan blower selama 10
menit, kemudian siapkan medium agar kemudian tuang ke dalam cawan petri.
c) Peremajaan Kultur Murni
Bakteri uji berupa Staphylococcus aureus dan Echerichia coli masing-masing
diambil 1 ose dari media agar yang tersedia secara aseptik, kemudian diinokulasi
dengan cara digoreskan pada medium nutrient agar (NA) selajutnya diinkubasi
pada suhu 370C selama 24 jam (Gambar 15).
Gambar 15. Hasil kultur murni bakteri patogen
d) Pembuatan Suspensi Mikroba Uji
Sebanyak 2 ose bakteri yang sudah diremajakan diambil dari media agar
yang tersedia secara aseptik, lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah
berisi NaCl 0,9% sebanyak 3ml, kemudian di vortex (Brock dan Madigan, 1991).
37
e) Pengujian Aktivitas Antimikroba dengan Metode Difusi Agar
Kedua ekstrak metanol p.a. ditimbang sebanyak 5mg lalu dimasukkan ke
dalam tabung evendof dan dilarutkan sebanyak 30µl dengan pelarutnya.
Selanjutnya dihomogenkan dengan menggunakan vortex dan siap untuk
dilakukan pengujian (Ravikumar et al., 2008).
Hasil pembuatan suspensi mikroba uji diambil sebanyak 200µl suspensi
mikroba uji dicampurkan dalam 20ml media agar yang hangat dan diaduk
perlahan di dalam cawan petri dan dibiarkan memadat.
Kemudian tiap-tiap ekstrak diteteskan sebanyak 30ml pada paper disc yang
berbeda dan kemudian dibiarkan menguap sehingga betul-betul kering kemudian
diletakkan secara hati-hati dan aseptik pada permukaan media yang telah
dihomogenkan dengan mikroba. Kemudian diinkubasikan selama 24 jam.
Sebagai kontrol positif digunakan kloramfenikol, dan pelarutnya sebagai kontrol
negatif.
Setelah masa inkubasi, aktivitas antimikroba ditunjukkan dengan adanya
zona hambat (zona bening/zona halo) disekitar kertas disk dimana hal tersebut
menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan mikroba kemudian diukur
dengan menggunakan jangka sorong seperti alur bagan (Gambar 16).
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan terhadap bakteri patogen, yaitu
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan menggunakan metode
difusi agar (Diffusion Assay). Aktivitas ditunjukkan dengan adanya zona bening
atau halo di sekitar paper disc yang sebelumnya telah ditetesi ekstrak lamun
(Lampiran 5).
38
Gambar 16. Prosedur pengujian aktivitas antibakteri metode difusi agar Fraksinasi Bahan Aktif
3. Proses Kromatografi Kolom
Hasil pengujian ekstrak yang menunjukkan aktivitas antibakteri yang paling
tinggi difraksinasi dengan menggunakan proses kromatografi kolom dengan
ukuran 300 x 30 mm. Fraksinasi dilakukan dengan mengambil 0,5 gram sampel
dilarutkan ke dalam pelarut matanol p.a, diaduk sampai homogen kemudian
ditambahkan silica gel (GF 60) diaduk sampai sampel dan silica gel homogen.
kolom yang akan digunakan dipasang tegak lurus dengan menggunakan
bantuan statif dan klem. Pada bagian dalam kolom masukkan kapas dan kertas
saring agar penyaringan lebih sempurna. Sebagai fase diam (stasionary phase)
di gunakan silica gel GF 60 dengan ukuran 0.063-0.200 mm sebanyak 50 g
(Lampiran 6), sedangkan untuk fase gerak di gunakan pelarut n-heksana, etil
39
asetat dan methanol secara bertingkat dengan pelarut non polar sampai pelarut
polar sehingga di peroleh fraksi yang mengandung senyawa berdasarkan tingkat
kepolaranya.
Komposisi eluen yang digunakan adalah n-heksana, etil asetat dan metano
dengan konsentrasi (100, 90:10, 80:20, 70:30, 60:40, 50:50, 40:60, 30:70, 20:80,
10:90), kemudian hasil dari setiap fraksi ditampung dalam botol vial.
a) Proses Kromatografi Lapis Tipis
Penentuan nilai RF masing-masing fraksi dilakukan kromatografi lapis tipis
(KLT) dengan meneteskan (mentotolkan) eluen pada lempeng KLT, dibiarkan
kering. Selanjutnya dicelup kedalam cheamber KLT yang mengandung eluen n-
hexan dan etil asetat dengan perbandingan 3 :1. Kemudian diamati hingga noda
mencapai batas yang telah ditentukan pada lempeng. Untuk melihat dengan
jelas bentuk dan pola noda pada lempeng KLT dilakukan pengamatan dengan
menggunakan sinar Ultra Violet (UV) dengan panjang gelombang 254 nm dan
366 nm. Selanjutnya masing-masing fraksi yang didapatkan diuji aktivitas
antibakteri dengan metode difusi
D. Analisis Data
Data diameter zona bening disekitar paper dick pada masing-masing ekstrak
dan fraksi lamun dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tabel dan gambar.
Untuk mengetahui perbedaan kemampuan aktivitas antibakteri dari ekstrak dan
fraksi lamun terhadap bakteri uji pada setiap lokasi (berdasarkan zona)
dilakukan dengan Analis Varians (One-Way), dan jika terdapat perbedaan pada
antara lokasi dilakukan uji lanjut dilakukan uji lanjut Tukey. Analisis ini
menggunakan program perangkat lunak SPSS versi 16 (Santoso, 2005).
40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Lamun Terhadap Bakteri Patogen
Berdasarkan hasil uji daya hambat dari ekstrak lamun menunjukkan bahwa
dari dua belas ekstrak yang diperoleh didapatkan sebelas yang mempunyai
kemampuan daya hambat (positif) terhadap bakteri S. aureus, sedangkan untuk
bakteri E.coli tidak mempunyai aktivitas daya hambat (negatif), kemampuan
aktivitas daya hambat lamun terhadap bakteri S. aureus, kemungkinan
disebabkan oleh bakteri ini memiliki satu lapisan dinding sel sehingga molekul
dari luar mudah menembus dinding sel. Selain itu senyawa yang terkandung
antibakteri pada lamun merusak dinding sel dan mempengaruhi integritasnya.
Kerusakan pada dinding sel dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas dan terjadi kebocoran sel yang diikuti dengan keluarnya materi
intraseluler (Roşeanu et al., 2010). Sedangkan terhadap bakteri E.coli tidak
memperlihatkan kemampuan daya hambat hal ini kemungkinan disebabkan
bakteri E. coli memiliki tiga lapisan dinding sel yaitu lipoposakarida, peptidoglikan
dan protein sehingga senyawa yang terkandung pada lamun tidak dapat
merusak dinding sel pada bakteri E. coli (Pelczar, 1958), Selain itu Zuhud et al.
(2001) menyatakan bakteri Gram negatif memiliki sistem seleksi terhadap zat-zat
asing yaitu pada lapisan polisakarida.
1. Daya Hambat Antibakteri Berdasarkan Jenis Lamun
Hasil pengamatan terhadap jenis lamun yang memiliki aktivitas daya hambat
positif terhadap bakteri S.aureus adalah Halophila ovalis (berasal dari Zona I,II,
dan III); Enhalus acoroides (berasal dari zona I, II, III dan IV); Cymodocea
rotundata (zona II), Halodule uninervis (zona II), Thalassia hemprichii (zona II)
(Tabel 1). Adanya daya hambat pada setiap jenis lamun dari zona I hingga zona
41
IV menunjukkan bahwa sebaran lamun yang memiliki daya hambat cukup luas.
Hal ini menunjukkan bahwa metabolit sekunder (flavonoid, triterpenoid dan
steroid) dari semua jenis lamun terbentuk pada semua lokasi penelitian
(Lampiran 6).
Sedangkan jenis lamun yang tidak memiliki daya hambat yaitu Cymodocea
rotundata (berasal dari zona IV). Fenomena ini menunjukkan bahwa daya
hambat spesies Cymodocea rotundata dibatasi oleh sebaran lamun tersebut
pada zona II semata. Hal ini mungkin karena konsentrasi metabolit sekunder
dilamun Cymodocea rotundata pada zona IV sangat kurang sehingga tidak
memberikan efek positif terhadap bakteri S. aureus. Menurut Cowan (1999),
menemukan aktivasi pada jenis lamun Cymodocea rotundata memiliki potensi
sebagai anti Candida albicans. Selain itu, daya hambat negatif pada Cymodocea
rotundata dipengaruhi oleh faktor kondisi perairan pada zona IV yang cukup
bagus sehingga lamun tidak menghasilkan senyawa metabolit sekundernya
(Lampiran 7).
Tabel 1 memperlihatkan bahwa lamun Enhalus acoroides yang berasal dari
zona I memiliki daya hambat yang paling besar. Sedangkan jenis lamun yang
memiliki daya hambat positif bukan berarti secara langsung dapat bersifat
sebagai antibakteri. Untuk menentukan jenis lamun yang bersifat positif sebagai
antibakteri dilihat berdasarkan tolak ukur kontrol positifnya dari uji difusi. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa nilai rata-rata daya hambat kontrol positif adalah
7.23 mm. Ekstrak lamun yang memiliki potensi antibakteri patogen S. aureus
adalah ekstrak lamun Halophila ovalis (Zona I dan III), Enhalus acoroides (Zona I
dan III), Cymodocea rotundata (Zona II), hal ini dimungkinkan oleh konsentrasi
senyawa metabolit sekunder yang tinggi pada jenis lamun tersebut (Racmaniar,
1994).
42
Berdasarkan jenis lamun didapatkan lamun Halophila ovalis dan Enhalus
acoroides memiliki persentasi daya hambat positif yang lebih tinggi dibanding
dengan jenis lamun lainnya, hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari
morfologi lamun dan kandungan senyawa yang terdapat pada lamun (Gambar
17). Pada jenis Enhalus acoroides memiliki morfologi daun yang lebar dan
panjang sehingga epifit akan cederung melekat pada jenis lamun ini, adanya
ancaman dari epifit di perairan menyebabkan Enhalus acoroides cenderung
mengeluarkan senyawa metabolit sekundernya untuk mencegah pelekatan epifit
pada daun lamun. Menurut Rumiantin (2011) adanya kandungan senyawa aktif
yang terkandung pada lamun Enhalus acoroides yang bersifat sebagai
antifouling.
Gambar 17. Persentasi daya hambat bakteri S.aureus berdasarkan jenis lamun. Ket : EA = Enhalus acoroides;CR= Cymodocea rotundata; HU=Halodule uninervis; TH=Thalassia hemprichii; HO=Halophila ovalis
Pada jenis Halophila ovalis hasil analisis statistik uji One-Way Anova
menunjukkan bahwa nilai rata-rata uji daya hambat antibakteri dari lamun
EA CR HU TH HO
S.Aureus 9.05 4.00 2.80 0.60 9.96
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
Day
a h
amb
at (
mm
)
43
Halophila ovalis terhadap beberapa zona yang ada di Kepulauan Spermonde
tidak berbeda nyata (p>0.05) (Lampiran 10), hal ini menunjukkan bahwa faktor
yang mempengaruhi daya hambat positif pada lamun dipengaruhi pada
lingkungan.
Gambar 18. Struktur senyawa pada Enhalus acoroides (Stochmal et al. 2001)
Kandungan senyawa aktif juga sangat mempengaruhi daya hambat
antibakteri pada lamun. Pada jenis lamun Enhalus acoroides memiliki kandungan
senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, dan phenol yang bersifat sebagai
antibakteri (Ali et.al., 2012). Selain itu didapatkan senyawa murni Enhalus
acoroides yang diperoleh dari identifikasi dengan analisis spektroskopi dan
perbandingan dengan data yaitu senyawa luteolin (1) (Stochmal et al. 2001),
apigenin (2) (Shen et al 1993.), luteolin 49-glukuronat (3), luteolin 39-glukuronat
44
(4) (Stochmal et al. 2001), stigmasta-4,22-dien-6b -ol-3-one (5) stigmasta-4,22-
dien-3,6-dion (6), stigmast-22-en-3-satu (7) (Fernandez et al. 1983), stigmasta-
5,22-dien-3-OBD-glucopyranoside (8), daucosterol (9) (Alam et al. 1996),
hexacosyl alkohol (10) dan p-hidroksi-benzaldehida (11) (Amarendra dan Ghosh
1987) (Gambar 18) dan sejumlah steroid dan asam lemak dalam ekstrak EtOH
dari Enhalus acoroides diperoleh 5 steroid (stigmasta-dien 4,22--6b-ol-3-satu,
stigmasta-4 ,22-diena-3 ,6-dion, stigmast-22-en-3- satu, stigmasta-5 ,22-dien-3-
OBD-glucopyranoside, daucosterol).
Sedangkan pada Halophila ovalis mengandung senyawa fenol dan fenolik
yang meliputi flavonol, ydroxylcoumarins, derivatif hydroxycinnamate, flavanols,
flavanon, anthocyanin, proanthocyanidins, hydroxystilbene (Ravikumar et al,
2008). Sedangkan pada jenis Cymodocea rotundata juga memiliki daya hambat
positif meskipun tidak begitu besar hal ini disebabkan karena adanya kandungan
senyawa pada Cymodocea rotundata yaitu senyawa alkaloid, flavonol dan tanin
yang bersifat sebagai antibakteri.
2. Aktivitas Antibakteri Lamun Berdasarkan Daerah Pengambilan Sampel
Daya hambat berdasarkan lokasi pengambilan lamun didapatkan persentasi
pada zona I dan zona III yang lebih tinggi dbanding dengan zona lainnya. Hal ini
disebabkan karena pengaruh dari kondisi lingkungan yang berperan dalam
mempengaruhi reaksi-reaksi biokimia dalam tubuh organisme termasuk lamun,
terutama dalam proses biosintesis metabolit primer maupun metabolit
sekundernya pengaruh zona pada lokasi pengambilan sampel sangat
mempengaruhi besarnya daya hambat antibakteri pada lamun, baik itu pengaruh
biotik dan abiotiknya berdasarkan gradien faktor-faktor dari lingkungan pada
habitatnya.
45
Gambar 19. Rata-rata uji daya hambat ekstrak lamun Enhalus acoroides
berdasarkan zona
Hasil analisis uji One-Way Anova menunjukkan aktivitas daya hambat
antibakteri dari ekstrak Enhalus acoroides terhadap beberapa zona di Kepulauan
Spermonde berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 11). Hal ini menunjukkan adanya
pengaruh zona yang menyebabkan perbedaan keaktifan jenis lamun Enhalus
acoroides pada setiap zona.
Pada zona I yaitu pada pulau Lae-lae kecil dan Lae-lae besar yang memiliki
zona hambat yang paling besar (Gambar 19). Hal tersebut disebabkan karena
kondisi lingkungan pada zona I yang cenderung ekstrim. Menurut Rani et al.
(2004), pulau Lae-Lae merupakan daerah yang pesisir terdekat dengan Kota
Makassar dimana sebelah timur dan selatan pulau perbatasan dengan kota
Makassar, sedangkan sebelah barat berhubungan langsung dengan perairan
lepas selat Makassar. Menurut Lamma (2002) juga mengatakan kondisi perairan
pulau Lae-lae tidak mendukung kehidupan organisme laut dengan baik
disebabkan karena pengaruh limbah antropogenik sangat mudah masuk ke
a
a
b
b
46
perairan laut. Dengan kondisi perairan yang buruk akan menekan lamun untuk
cenderung mengeluarkan metabolit sekundernya untuk mempertahankan hidup
dari lingkungan perairan yang buruk. Ada kecenderungan semakin besar
gangguan biotik dan abiotik di lingkungan organisme tersebut hidup maka
semakin tinggi produksi dan biokativitas metabolit sekunder yang dihasilkan. Hal
tersebut didukung oleh pernyataan Lozano et al. (1998), berdasarkan bukti-bukti
penelitian menjelaskan bahwa variasi kualitatif dan kuantitatif pertahanan kimia
yang dihasilkan oleh suatu organisme dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhi intensitas biokimianya.
Persentasi pada zona III juga cukup besar dibanding dari zona II dan zona IV
sehingga membuktikan bahwa kondisi lingkungan perairan yang baik bukan
berarti kondisi yang aman bagi habitat lamun hal ini disebabkan karena adanya
grazing ikan-ikan herbivora dan biota-biota bentik yang berasosiasi pada padang
lamun yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat daya
hambat lamun untuk menghambat bakteri patogen. Menurut Haris et.al. (2012),
lamun yang mengalami tingkat grazing yang tinggi cenderung mengandung
konsentrasi metabolit sekunder yang tinggi dengan memproduksi metabolit
sekunder bagi lamun sangat penting untuk melindunginya dari grazing. Oleh
karena itu, jika tingkat grazing meningkat, maka laju produksi metabolit sekunder
juga meningkat. Semakin besar tingkat asosiasi pada lamun terhadap organisme
lain, maka pertahanan kimia pada lamun semakin tinggi untuk pencegahan
infeksi yang dapat disebabkan oleh organisme lain (Kensie, 2002).
B. Fraksinasi Ekstrak Enhalus acoroides
Fraksinasi dilakukan terhadap ekstrak Enhalus acoroides sebagai ekstrak
yang memiliki kemampuan daya hambat antibakteri yang paling besar diantara
ekstrak-ekstrak lamun lainnya (Tabel 1). Hasil fraksinasi ekstrak lamun tersebut
diperoleh 6 fraksi (Gambar 20).
47
Gambar 20. Fraksinasi hasil ekstrak Enhalus acoroides dengan kolom
kromatografi
Dari 6 fraksi yang didapatkan, selanjutnya dilakukan uji KLT untuk
memastikan senyawa yang dikandung setiap fraksi berbeda berdasarkan
penunjukan profil noda yang terlihat dibawah sinar UV (254 nm dan 366 nm).
Hasil kromatogram menunjukkan lempeng KLT tanpa UV (A) dan hasil fraksi
tampak pada UV 366 (B) dan UV 254 (C).
Untuk fraksi A masih terdapat banyak noda pada tempat penotolan, namun
hasil pemisahan menunjukkan pola yang siap untuk dilihat dengan UV 254 nm
dan UN 366 nm, pada profil noda UV 366 nm terlihat noda yang berwarna biru
pada Rf 0,96 dan 0,76 sedangkan pada UV 254 profil noda berwarna violet
(ungu) pada Rf 0.84 (Gambar 21).
48
Gambar 21. Hasil Fraksi A. a) Tampak awal; b) Tampak pada UV 366; c)
Tampak pada UV 254
Kromatogram pada fraksi B (Gambar 22) dan C (Gambar 23) yang tampak
pada UV 366 terlihat pemisahan noda yang lebih baik dibandingkan fraksi A
meskipun tidak begitu jelas profil noda pada lempeng terlihat warna merah muda
dan merah muda (violet) sedikit kecoklatan hal tersebut kemungkinan adanya
senyawa triterpenoid dan flavonoid menurut Sulistijowati dan Gunawan (2001)
menyebutkan bahwa golongan senyawa flavonoid di bawah sinar UV 366
menunjukkan noda berwarna merah muda dan golongan senyawa triterpenoid
ditunjukkan dengan terbentuknya bercak noda berwarna merah ungu (violet)
(Listiani et al., 2005), coklat (Rita et al.,2008) dan ungu tua (Bawa, 2009).
Gambar 22. Hasil Fraksi B. a) Tampak awal; b) Tampak pada UV 366; c)
Tampak pada UV 254
49
Gambar 23. Hasil Fraksi C. a) Tampak awal; b) Tampak pada UV 366; c)
Tampak pada UV 254
Pada fraksi D (Gambar 24) dari hasil kromatogram terlihat jelas noda
terpisah sempurna dan daerah totolan fraksi terlihat lebih terang dibandingkan
fraksi C.
Gambar 24. Hasil Fraksi D. a) Tampak awal; b) Tampak pada UV 366; c)
Tampak pada UV 254
50
Sedangkan pada fraksi E (Gambar 25) dan F (Gambar 26) terlihat noda
mulai memudar dengan pemisahan yang kurang sempurna hal tersebut dapat
dikarenakan sistem pelarut (SP) yang digunakan kurang sempurna untuk
menarik noda awal. Menurut Silverstein (1987), faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi harga Rf yaitu struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat
dari penyerap dan derajat aktivitasnya, pelarut dan derajat kemurniannya fase
bergerak.
Gambar 25. Hasil Fraksi E. a) Tampak awal; b) Tampak pada UV 366; c)
Tampak pada UV 254
Gambar 26. Hasil Fraksi F. a) Tampak awal; b) Tampak pada UV 366; c)
Tampak pada UV 254
51
Ke enam fraksi yang didapatkan kemudian dilakukan uji difusi dimana hasil
uji fraksi menunjukkan bahwa fraksi ini memperlihatkan hasil yang positif pada
fraksi B dan C dibandingkan dengan fraksi-fraksi lainnya (Tabel 2). Dari tabel 2.
menunjukkan bahwa zona hambat yang kuat pada fraksi B dan C yaitu 7.68 mm
dan 7.38 mm namun bersifat resisten terhadap bakteri uji Escherichia coli.
Kemungkinan keaktifan fraksi B dan C (Lampiran 9) disebabkan kerena
adanya senyawa aktif yang bersifat sebagai antibakteri. Hal ini membuktikan
bahwa pada frakasi B dan C pada uji KLT sebelumnya ditemukan adanya
kandungan senyawa flavonoid yang terkandung pada fraksi B dan senyawa
triterpenoid pada fraksi C. keaktifan beberapa fraksi ini menunjukkan bahwa
jenis Enhalus acoroides bersifat sebagai antibakteri karena adanya kandungan
senyawa bioaktif yang terkandung.
52
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Ekstrak lamun yang memiliki potensi sebagai antibakteri S.aureus adalah
Halophila ovalis (Zona I, II dan III); Enhalus acoroides (zona I,II, III dan IV);
Cymodocea rotundata (zona II), Holodule uninervis (zona II), Thalassia
hemprichii (zona II), sedangkan ekstrak lamun terhadap bakteri patogen
Escherichia coli tidak menunjukkan adanya aktivitas.
2. Hasil fraksinasi Enhalus acoroides yang berasal dari zona I (Pulau Lae-lae
besar dan Lae-lae kecil) yaitu fraksi B dan C yang memiliki potensi sebagai
antibakteri Staphylococcus aureus, sedangkan terhadap bakteri Escherichia
coli tidak menunjukkan aktivitas antibakteri.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengisolasi senyawa murni
ekstrak dan fraksi yang telah didapatkan pada penelitian ini, selanjutnya
senyawa murni tersebut diuji aktivitas antibakterinya.
53
DAFTAR PUSTAKA
Agestia R, dan Sugrani A. 2009. Materi Pokok Kimia Organik Bahan Alam Laut.
Makasaar. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Hasanuddin.
Akhila JS, Shyamjith, Deepa, Alwar MC. 2007. Acute toxicity studies and determination of median lethal dose. Science 93(7):917-920.
Alam M.S, Chopra, Muhammad, A. dan Niwa, 1996. Oleanen and Stigmasterol Derivatives from Ambroma Agusta. Phytochemistery 41: 1197-1200.
Ali M.S, Ravikumar, S., and Beula. J.M, 2012. Bioactivity of seagrass against the dengue fever mosquito Aedes aegypti larvae . Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine (2012)1-5.
Anwariah, S., 2011. Kandungan Fenol, Komponen Fitokimia dan Aktivitas Antioksidan Lamun Cymodocea rotundata. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Bawa, I.G.A.G. 2009. Isolasi dan Identifikasi Golongan Senyawa Toksik dari Daging Buah pare (Momordica charatial) . Bukit Jimbaran: Jurnal Kimia Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. Jurnal Kimia 3(2). ISSN 1907-9850: 1117-124.
Bitam F, Ciavatta ML, Carborne M, Manzo E, Mollo E, Gavagnin M. 2010. Chemical analysis of flavonoid constituent of the seagrass Halophila stipulacea: first finding of malonylated derivates of marine phanerogams. Biochemical Systematic and Ecology.
Cowan R. 1999. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta : 563, 564.
Darwis S.A. dan Achmad B. 2001. Kimia Organik Bahan Alam Laut. Universitas Terbuka. Jakarta.
Den Hartog C. 1970. "Sea grasses of the world" North Holland Publishing c o . , Amsterdam, London pp. 272 .
Effendi, 1998. Uji Daya Antiinflamasi Fraksi Petroleum Eter, Etil Asetat, dan Fraksi Air Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) pada Tikus Putih, skripsi, Fak. Farmasi UGM, Yogyakarta.
Elizabeth A, Velammd, dan Jamila P, 2012. Phytochemicals of the Seagrass Syringodium isoetifolium and Its Antibacterial and Insecticidal Activiti. Eropean Jurnal of Biological Science 4 (3); 63-67.
Erftemeijer, Johan.S, Marret, J.E, Wim, M.E. 1994. The limited effect of in situ phosphorus and nitrogen additions to seagrass beds on carbonate and terrigenous sedimenk in South Sulawesi, Indonesia. Journal of Exmhnental Marine Bioloav and Ecoloev. 182 (1994) 123-140.
54
Fardiaz S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT. Raja Grafindo Persada;
Jakarta.
Fernandez M., Pedro and Seoane. E., 1983. Constituents of a Hexane Extract of
Phoenix Dactylifera. Phytochemistery 22: 2087-2088.
Harborne JB. 1987. Phytochemical methods. Ed ke-2. New York: Chapman and
Hall.
Haris A, Arniati, Gosalam S., Benny G. 2012. Potensi Antimikroba dan Toksisitas
Ekstrak Lamun dan Bakteri Simbionnya dari Kepulauan Spermonde, Kota
Makassar. Laporan Penelitian. Jurusan Studi Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Haerul A, Inayah Y, dan Supriadi. 2012. Daya Grazing Dan Preferensi Makanan
Bulu Babi Terhadap Berbagai Jenis Lamun Di Perairan Pulau Barrang
Lompo, Makassar. ISBN: 978-979-98802-8-4.
Hoeksema, B.W. 1990. Systematic and Ecology of Mushroom Corals
(Scleractinia-Fungiidae). PhD Thesis Leiden Netherland.
Ian Imange. 2011. http://ian.umces.edu/imagelibrary/displayimage-4630.html. (1
Februari 2013)
Ian Imange. 2011. http://ian.umces.edu/imagelibrary/displayimage-4648.html. (1
Februari 2013)
Ian Imange. 2011. http://ian.umces.edu/imagelibrary/displayimage-topd--65-
4619.html. (1 Februari 2013)
Ian Imange. 2011. http://ian.umces.edu/imagelibrary/displayimage-4626.html. (1
Februari 2013)
Kamri M. 2004. Kajian Ekologi Krustasea yang Berasosiasi pada Padang Lamun Di Perairan Pulau Barrang Lompo Kota Makassar. Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Kumala, S., E. Agustina., dan P. Wahyudi. 2007. Uji Aktivitas Antimikroba Metabolit Sekunder Kapang Endofit Tanaman Trengguli (Cassia Futula L). Jurnal Bahan Alam Indonesia Vol. 6, No. 2 : 46-48.
Kunkel, D. 1999. Staphylococcus. http://thailabonline.com/bacteria6.html. (2 Januari 2013).
Kuo J And C. Den Hartog. 2006. Seagrass Morphology, Anatomy, and Ultrastructure. Di dalam: Anthonyw.D. Larkum, A.D., R.J. Orth, and C.M. Duarte editor. Seagrasses: Biology, Ecologyand Conservation. Published by Springer, The Netherlands.
Kusumawati R., 2008. Jenis dan Kandungan Kimiawi Lamun dan Potensi Pemanfaatannya Di Indonesia. Fakultas Pertanian. Universitas Udayana.
55
Lamma, A. 2002. Pola sebaran sedimen dasar di perairan sekitar muara Sungai Jeneberang Makassar. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Unhas, Makassar.
Lenny S. 2006. Senyawa flavonoida, fenilpropanoida dan alkaloida [karya ilmiah]. Medan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.
Lestari S.A, dan Maggy T.S. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pustaka Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Linggawati A, Muhdarina, Erman, Azman, Midiarty. 2002. Pemanfaatan tannin limbah kayu industri kayu lapis untuk modifikasi resin fenol formaldehid. Jurnal Natur Indonesia 5(1):84-94.
Listiani, L, Fidrianny dan Sukrasno. 2005. Telaah Kandungan Kimia dari daun Kucai (Allium Schoenoprasum L. Liliaceae). Bandung: Jurnal Sekolah Farmasi. ITB.
Lozano, M.B, Farias F.G, Acosta, Gasca A.G, Zavala. 1998. Variatioj of Antimicrobial Activity of Sponge Aplysina fistularis (Pallas, 1766) and Its Relation to Associated Fauna. J.Mar.Biol.Ecol. 223 (1988): 1-18.
Murray H, Wiryowidagdo, dan Halen G. 1990. A large scale extraction technique of artemisinin from Artemisia annua. J.of Natural Products 6 : 1560 -1564.
Nabaing, N. 2006. Uji Bioaktivitas Ekstrak Kasar dan Fraksi Ekstrak Spons Laut Demospongiae Dari Perairan Pulau Lae-lae Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Dan Eschericia coli. Skripsi Program Studi Ilmu Kelautan, FIKP Univesitas Hasanuddin. Makassar.
Oei, J.L, Gary, A.K, Kimberly, P.V, dan Yang, A.F. 2011. Knowledge gaps in tropical Southeast Asian seagrass systems. Estuarine, Coastal and Shelf Science 92; 118-131
Pelczar M.J., Reid RD., 1958. Mikrobiology. Tokyo: McGraw-Hillbook Company Inc.
Plant sytematics. http://www.plantsystematics.org/imgs/sv22/r/.html. (1 Februari 2013)
Rachmaniar, P,. Cabeza, M, Barteoff, G. Garcia. 2004. Reductase Inhibition Activity of Steroids Isolated from Marine Soft Corals. Steroids.
Rani C, Jamaluddin, J., dan Amiruddin. 2004. Pertumbuhan Tahunan Karang Keras Porites lutea Di Kepulauan Spermonde: Hubungannya Dengan Suhu Dan Curah Hujan. Jurnal Torani, Vol. 14(4).
Ravikumar, S., Thajuddin, N, P. Suganthi, S. Jacob Inbaneson and Vinodkumar, 2008. Bioactive potential of seagrass bacteria against human bacterial pathogens. Journal of Environmental Biology 31 387-389 (May 2010).
Rita, W.S., Suirta, I. W dan Sabirin, A. 2008. Isolasi dan Identifikasi Senyawa yang Berpotensi Sebagai Antitumor pada Daging Buah Pare. Bukit
56
Jimbaran: Jurnal Kimia FMIPA Universitas Udayana. Jurnal Kimia 2(1). ISSN 1907-9850: 1-6.
Rumianti O, 2001. Kandungan Fenol, Komponen Fitikimia dan Aktivitas Antioksidan Lamun Enhalus acoroides. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan . Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Santoso, S. 2005. Metodelogi penelitian kuantitatif & kualitatif. Jakarta.
Prestasi pustaka publisher.
Shen C, Chang, Y.S, dan Ho, L.K. 1993. Nuclear Magnetic Resonance Studies of 5,7-dihydroxyflafoids. Phytochemistery 34: 843-845.
Smith dan Keary P.F. 1988. Genetic Elements in Eschericia Coli, Macmillan Molecular Biology Series. London.
Stochmal, A., Piacente, Pizza, , Riccardis, Leitz R, dan Oleszek. 2001. Alfalfa (Medicago sativa L.) Flavonoids. L Apigenin and luteolin gylycosides from aerial parts. J. Agric. Food Chem. 49: 753-758.
Supriadi, Bengen, DG. Hutomo, M. Kaswadji, RF. 2012. Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo Makassar: Kondisi dan Karakteristik Habitat. Maspari Journal, 2012, 4 (2), 148-158.
Wisesspongpand, P., Srisimbat, T., Patarajinda, S., Aryuttaka, C., 2005. Screening of seagrass extracts for antimicrobial activities. Proceedings of 43rd Kasetsart University Annual Confrence, Thailand.
Zuhud, E.A.M, Winiati P.R, Hanny,W.C, Pipi, P.S, 2001, Aktivitas antimikroba ekstrak kedaung (Parkia roxburghii G Don) terhadap bakteri pathogen,Teknol & Indusri Pangan, XII(1): hal. 6-12