Ui Mukositis
-
Upload
intansarifnosaa -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of Ui Mukositis
-
8/18/2019 Ui Mukositis
1/164
UNIVERSITAS INDONESIA
UJI KLINIS RANDOMISASI : PENGARUH PERAWATAN
MULUT MENGGUNAKAN MADU TERHADAP PERUBAHAN
STADIUM MUKOSITIS PADA ANAK KANKER
DI RS KANKER DHARMAIS JAKARTA
TESIS
NURHIDAYATUN
1006800983
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
PEMINATAN KEPERAWATAN ANAK
DEPOK
JULI, 2012
-
8/18/2019 Ui Mukositis
2/164
UNIVERSITAS INDONESIA
UJI KLINIS RANDOMISASI : PENGARUH PERAWATAN
MULUT MENGGUNAKAN MADU TERHADAP PERUBAHAN
STADIUM MUKOSITIS PADA ANAK KANKER
DI RS KANKER DHARMAIS JAKARTA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Pada
Program Magister Ilmu Keperawatan Peminatan Keperawatan Anak
NURHIDAYATUN
1006800983
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
PEMINATAN KEPERAWATAN ANAK
DEPOK
JULI, 2012
-
8/18/2019 Ui Mukositis
3/164
-
8/18/2019 Ui Mukositis
4/164
-
8/18/2019 Ui Mukositis
5/164
-
8/18/2019 Ui Mukositis
6/164
-
8/18/2019 Ui Mukositis
7/164
ABSTRAK
Nama : Nurhidayatun
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Anak Fakultas Ilmu Keperawatan
Judul :Uji Klinis Randomisasi : Pengaruh Perawatan MulutMenggunakan Madu Terhadap Perubahan Stadium Mukositis
Pada Anak Kanker Di RS Kanker Dharmais Jakarta
Mukositis sebagai efek samping dari pemberian kemoterapi dan radioterapi, dan
merupakan respon peradangan sel epitel mukosa meliputi peradangan mulut,
esophagus, dan saluran pencernaan (Eilers & Million, 2011). Penelitian ini adalah
penelitian uji klinis randomisasi menggunakan desain double blind dengan
kelompok kontrol, pre dan post test untuk mengidentifikasi perbandingan larutan
madu dengan klorhexidine 0,12% terhadap stadium mukositis. Hasil penelitian pada 23 responden yang diambil secara Consecutive sampling dengan
randomisasi, didapatkan ada perbedaan yang signifikan terhadap proporsi
stadium mukositis sebelum dan sesudah perawatan mulut pada larutan madu
(p=0,000) dan klorhexidine 0,12% (p=0,005). Perbandingan perbedaan proporsi
stadium mukositis pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi tidak
signifikan (p=0,413), hasil uji klinis didapatkan bahwa dengan penggunaan madu
sebagai larutan untuk perawatan mulut pada anak dengan kanker yang mengalami
mukositis dapat menurunkan stadium mukositis sebesar 75%. Disimpulkan
larutan madu secara uji statistik dan uji klinis dapat menurunkan stadium
mukositis, dan proporsi penurunan stadium mukositis pada madu lebih besar
daripada kelompok klorhexidine. Disarankan secara ekonomis madu dapat
digunakan untuk perawatan mulut pada anak dengan kanker yang mengalami
mukositis.
Kata kunci: kanker, madu, perawatan mulut, stadium mukositis
-
8/18/2019 Ui Mukositis
8/164
ABSTRACT
Name : Nurhidayatun
Study Program : Post Graduate of Pediatric Nursing Science Faculty
Title :Randomized Clinical Trials : Effect of Oral Care Uses Of Honeyto Changes Mucositis Stage in Pediatric Cancer at Dharmais’s
Hospital
Mucositis as a side effect of chemotherapy and radiotherapy, and a mucosal
epithelial cell inflammatory responses includes inflammation of the mouth,
esophagus, and gastrointestinal tract (Eilers & Million, 2011). The study was a
randomized clinical trial, study design using a double-blind with the control
group, pre and post test to identify the mead comparison with 0.12%
chlorhexidine. Results of the study on 23 respondents taken Consecutive
sampling with randomization, showed no significant difference to the proportionof mucositis stadium before and after oral treatment in a solution of honey (p =
0.000) and chlorhexidine 0.12% (p = 0.005). Comparison of differences in the
proportion of stage mucositis in the control group and intervention group was not
significant (p = 0.413), the results of clinical trials found that the use of honey as
a solution for oral care in children with cancer who experience stage mucositis
mucositis can lower by 75%. Concluded mead in statistical tests and clinical trials
to reduce mucositis stage, and the proportion of stage decline in honey mucositis
greater than chlorhexidine group. Economically advisable honey can be used for
oral care in children with cancer who experience mucositis.
Key words: cancer, honey, oral care, mucositis stage
-
8/18/2019 Ui Mukositis
9/164
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala ridho dan limpahan rahmat-NYA
peneliti dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul “Uji Klinis
Perubahan Stadium Mukositis Pada Anak Kanker Di RS Kanker Dharmais
Jakarta”
Dalam penyusunan tesis ini, peneliti banyak mendapatkan bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak. Peneliti mengucapkan rasa hormat dan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1.
Allenidekania, S.Kp., M.Sc, selaku pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, arahan, motivasi serta dukungan yang sangat besar dalam
penyelesaian tesis ini.
2. Elfi Syahreni, M.Kep., Sp.Kep.An, selaku pembimbing II yang juga telah
memberikan bimbingan, arahan, motivasi serta dukungan yang sangat besar
dalam penyelesaian tesis ini.
3. Dewi Irawaty, MA., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
4. Astuti Yuni Nursasi, MN, selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultaas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
5. Direktur RS Kanker Dharmais Jakarta, yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian di RS Kanker Dharmais Jakarta.
6. dr. Anki Tririni, Sp.A, selaku pembimbing di RS Kanker Dharmais dalam
proses pengumpulan data penelitian.
7.
Ns. Lukitowati, S.Kep, selaku Kepala Ruang Perawatan Anak yang telahmemberikan bantuan dalam proses pengumpulan data peneltian ini.
8. Nur Ratna Yanti, S.Far., Apt, yang telah memberikan masukan, dan
dukungan dalam penyelesaian tesis ini
9.
Asisten peneliti yang telah bekerjasama dan membantu dalam pelaksanaan
penelitian ini.
-
8/18/2019 Ui Mukositis
10/164
10. Agung Budiman dan G.A Hanis, yang telah berusaha memahami dan
memberikan doa, kasih sayang, dukungan dan motivasi dalam penyelesaian
tesis ini.
11.
Hj. Sumiyati, H. Achmad Sofyan, H.Emen Djamaludin dan Ibu Ijun Juinah
yang telah memberikan doa, dukungan dan motivasi dalam penyelesaian tesis
ini.
12. Seluruh Dosen Pengajar Program Magister Keperawatan Universitas
Indonesia, khususnya kekhususan Keperawatan Anak dan Staf Akademik
yang telah mendukung proses belajar mengajar.
13. Rekan-rekan kekhususan anak yang saling memberikan dukungan, motivasi
dan semangat dalam penyelesaian tesis ini.
14.
Teman-teman sejawat di RSUP Fatmawati, yang telah memberikan perhatian
dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya untuk semua
kebaikan yang telah diberikan dan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat
bagi kemajuan keperawatan, khususnya keperawatan anak di Indonesia.
Depok, Juli 2012
Penulis
-
8/18/2019 Ui Mukositis
11/164
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................................... v
ABSTRAK ................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ xDAFTAR TABEL ........................................................................................ xii
DAFTAR SKEMA ....................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xv
BAB 1 : PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2.
Rumusan Masalah ................................................................................. 12
1.3. Tujuan ................................................................................................... 13
1.4.
Manfaat ................................................................................................. 13
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 15
2.1 Kanker Pada Anak ................................................................................. 15
2.1.1 Kanker ........................................................................................ 15
2.1.2 Jenis Kanker Pada Anak ............................................................. 15
25
26
2.1.3 Penatalaksanaan Kanker Anak .................................................... 20
2.2
Mukositis ...............................................................................................
2.2.1 Anatomi Fisiologi Membran Mukosa ........................................ 25
2.2.2 Penyebab Mukositis ....................................................................
2.2.3 Patofisiologi Mukositis .............................................................. 27
2.2.4 Stadium Mukositis ...................................................................... 29
2.2.5
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Mukositis ....................... 302.2.6 Penatalaksanaan Mukositis ......................................................... 32
2.2.7
Dampak Mukositis Pada Anak ................................................... 34
2.2.8 Instrumen Untuk Mengkaji Mukositis ........................................ 36
2.3 Perawatan Mulut ................................................................................... 38
2.3.1 Definisi dan Tujuan Perawatan Mulut ........................................ 38
2.3.2 Frekuensi Perawatan Mulut ........................................................ 38
2.3.3 Pelaksanaan Perawatan Mulut Dasar pada Anak Dengan Kanker 39
2.3.4 Khlorheksidin ............................................................................. 40
2.4 Penggunaan Madu dalam Penanganan Mukositis ................................. 41
2.4.1 Madu .......................................................................................... 41
-
8/18/2019 Ui Mukositis
12/164
2.5
2.6
BA
3.3
BAB 4 : M
4.2 61
4.5
4.7
4.9
4.11
BA
5.2
.3 Implikasi Hasil Penelitian ..................................................................... 110
2.4.2 Karakteristik fisik Madu ............................................................. 42
2.4.3 Jenis-jenis Madu ......................................................................... 43
2.4.4 Komposisi Madu ........................................................................ 44
2.4.5 Efek Terapeutik Madu ................................................................ 45
2.4.6
Pengaruh Madu terhadap Mukositis ........................................... 48Aplikasi Teori Konservasi Pada Anak Dengan Kanker Yang Mengalami
Mukositis .............................................................................................. 50
Kerangka Teori Penelitian .................................................................... 52
B 3 : KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI
OPERASIONAL ......................................................................................... 53
3.1
Kerangka Konsep .................................................................................. 53
3.2 Hipotesis ................................................................................................ 55
Definisi Operasional ............................................................................. 56
ETODOLOGI PENELITIAN ................................................. 594.1 Desain Penelitian ................................................................................... 59
Populasi Dan Sampel ............................................................................
4.2.1 Populasi ...................................................................................... 61
4.2.2
Sampel ........................................................................................ 61
4.2.3 Jumlah Sampel ............................................................................ 62
4.3 Tempat Penelitian ................................................................................. 65
4.4 Waktu Penelitian ................................................................................... 65
Etika Penelitian ..................................................................................... 65
4.6 Alat Pengumpulan Data ........................................................................ 68
Prosedur Pengumpulan Data ................................................................. 68
4.8
Instrumen Penelitian ............................................................................. 72
Validitas dan Reliabilitas Instrumen ..................................................... 73
4.10
Pengolahan Data ................................................................................... 74
Analisis data .......................................................................................... 75
B 5 : HASIL PENELITIAN ................................................................. 79
5.1 Analisis Univariat ................................................................................ 80
Analisis Bivariat .................................................................................. 84
5.3. Uji Klinis ............................................................................................. 91
BAB 6 : PEMBAHASAN .......................................................................... 936.1 Interpretasi dan Diskusi ....................................................................... 94
6.2 Keterbatasan Penelitian ....................................................................... 110
6
BAB 7 : SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 113
7.1 Simpulan ............................................................................................... 113
7.2 Saran ..................................................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
8/18/2019 Ui Mukositis
13/164
Je
i
m
Kelompok Intervensi ............................................... 89
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Antineoplastik yang bersifat toksik terhadap membran mukosa . 31
Tabel 2.2. Rata-rata Komposisi madu .......................................................... 44
Tabel 4.1. Uji Homogenitas .......................................................................... 76
Tabel 4.2. Analisis Variabel Dependen dan Variabel Independen ............... 75
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ...................................... 80
0Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ....................... 8
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Perawatan Mulut .. 81
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi, Jenis Kanker,
Pemberian Kemoterapi, Pemberian Radioterapi, dan Kombinasi
Kemoradioterapi ........................................................................... 82
Tabel 5.5 Proporsi Stadium Mukositis Hari Pertama (T1), Hari Ketiga (T2) dan
Hari Keenam (T3) Intervensi Pada Kelompok Kontrol dan Kelompok
Intervensi ...................................................................................... 83
Tabel 5.6 Uji Homogenitas Responden Berdasarkan Usia ........................... 85
Tabel 5.7 Hasil Uji Homogenitas Responden Berdasarkan Status Gizi, nis
Kanker, Pemberian Kemoterapi, dan Pemberian Radioterapi ..... 86
Tabel 5.8 Kontribusi Usia, Status Gizi, Jenis Kanker, Pemberian Kemoterap dan
Pemberian Radioterapi, Terhadap Perubahan Stadium Mukositis 86
Tabel 5.9 Perbedaan Proporsi Stadium Mukositis Hari Pertama (T1), Hari Ketiga
(T2) dan Hari Keenam (T3) intervensi Antara Kelompok Kontrol dan
Kelompok Intervensi .................................................................... 87
Tabel 5.10 Perbedaan Proporsi Penurunan Stadium Mukositis Hari Pertama (T1),
Hari Ketiga (T2) dan Hari Keenam (T3) intervensi Pada Kelo pok
Kontrol dan
-
8/18/2019 Ui Mukositis
14/164
abel 5.11 Perbedaan Proporsi Penurunan Stadium Mukositis Hari Pertama (T1)
dan Hari Ketiga (T2) Intervensi Pada Responden yang Drop Out
Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi ............................. 90
Tabel 5.12 Kesembuhan Stadium Mukositis Pada Kelompok Kontrol danKelompok Intervens ..................................... 91
DAFTAR SKEMA
kema 3.1. Kerangka Konsep penelitian ...................................................... 55
T
i ................................
Skema 2.1. Kerangka teoritis penelitian ....................................................... 53
S
Skema 4.1 Desain penelitian ....................................................................... 61
Skema 4.2. Alur Penelitian ........................................................................... 64
Skema 5.1. Alur Hasil Penelitian ................................................................. 79
-
8/18/2019 Ui Mukositis
15/164
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Mukosa mulut .......................................................................... 25
Gambar 2.2. Fase Mukositis ......................................................................... 29
-
8/18/2019 Ui Mukositis
16/164
D
Lamp ran 3 : Protokol perawatan mulut menggunakan madu
piran 4 : Protokol perawatan mulut menggunakan khlorhexidine
piran 4 : Kuesioner data umum responden
piran 5 : Skala stadium mukositis
piran 6 : Lembar observasi perawatan mulut
piran 7 : Grafik BMI menurut WHO
piran 8 : Surat Permohonan Ijin Uji Instrumen Penelitian
piran 9 : Surat Permohonan Ijin Penelitian
piran 10 : Surat Ijin Penelitian
piran 11 : Surat Keterangan Lolos Kaji Etik
piran 12 : Alat dan Bahan Penelitian
piran 13 : Perubahan Stadium Mukositis
piran 14 : Daftar Riwayat Hidup
AFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Penjelasan penelitian
Lampiran 2 : Lembar persetujuan menjadi responden
i
Lam
Lam
Lam
Lam
Lam
Lam
Lam
Lam
Lam
Lam
Lam
Lam
-
8/18/2019 Ui Mukositis
17/164
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kanker merupakan penyakit kronik yang diakibatkan oleh rusaknya mekanisme
pengaturan metabolisme sel, sehingga sel-sel berubah fungsinya dan menjadi
ganas (Price & Wilson, 2005). Penyebab kanker sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, tetapi dapat dicetuskan oleh faktor internal maupun eksternal (Otto,
2001). Faktor internal yang mempengaruhi kanker adalah terjadinya mutasi gen
( American Cancer Society, 2008), sedangkan faktor eksternal yang
mempengaruhi kanker adalah terjadinya infeksi, terpapar radiasi, maupun
mengkonsumsi zat kimia tertentu yang bersifat karsinogen.
Kanker merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak di seluruh dunia,
yang terjadi setelah anak melewati usia infant (Hockenberry & Wilson, 2009).
Menurut laporan International Agency for Research on Cancer (IARC) pada
tahun 2008 diperkirakan 7,6 juta orang di dunia meninggal karena kanker atau
sekitar 13% dari semua penyebab kematian, dan 70% kematian akibat kanker
terjadi di negara berpenghasilan rendah, dan sekitar 96 ribu terjadi pada anak usia
0-14 tahun, sedangkan menurut World Health Organization (WHO) (2011) angka
kematian akibat kanker di seluruh dunia diprediksikan akan terus meningkat
dengan perkiraan sekitar 12 juta di tahun 2030.
Insidensi kanker pada anak setiap tahun semakin meningkat. Pada tahun 2008
insidensi kanker di dunia yaitu 12,6 juta, dan diperkirakan akan terus meningkatmenjadi 15,5 juta di tahun 2030 (WHO, 2011). Menurut IARC (2008)
menyebutkan bahwa 1 dari 600 anak akan menderita kanker sebelum umur 16
tahun, kanker pada anak diperkirakan mencapai 1% dari jumlah penyakit kanker
secara keseluruhan (IARC, 2008). Insiden kanker pada anak-anak di dunia pada
tahun 2008 adalah sebesar 175 ribu, leukemia sebesar 30%, kanker otak dan saraf
sistem sebesar 12,3%, non-Hodgkin limfoma sebesar 10,7%, tumor wilms sebesar
5,3% , Hodgkin limfoma sebesar 4,2%, kanker hati sebesar 2,1% (IARC, 2008).
-
8/18/2019 Ui Mukositis
18/164
2
Di Indonesia insidensi kanker pada anak usia 0-14 tahun dijumpai sekitar 2,5%
dari insidensi secara keseluruhan kanker pada semua usia, insidensi leukemia
sebesar 44,8%, kanker otak dan sistem saraf sebesar 9,7%, non-Hodgkin limfoma
sebesar 7,5%, tumor wilms sebesar 3,7% (IARC, 2008). Sementara insidensi
kanker pada anak di RS Kanker Dharmais pada tahun 2010 sebanyak 63 kasus,
dengan insidensi leukemia sebesar 50%, limfoma sebesar 14,2%, retinoblastoma
sebesar 6,3%, wilms tumor sebesar 4,7%, osteosarkoma sebesar 4,7%,
neuroblastoma sebesar 1,6%, rabdomiosarkoma sebesar 1,6%, dan kanker yang
lainnya sebesar 14,2%.
Pada tahun 2008 penyebab kematian akibat kanker pada anak-anak di dunia
paling banyak disebabkan oleh leukemia yaitu sebesar 33,7%, sementara kanker
otak sebesar 13%, kanker non-Hodgkin limfoma 12,8%, dan yang paling sedikit
karena kanker laring yaitu sebesar 6,7% (IARC, 2008). Di Indonesia kematian
pada anak-anak akibat kanker paling banyak disebabkan oleh leukemia sebesar
54% dan yang paling sedikit disebabkan oleh kanker kulit yaitu 0,02% (IARC,
2008).
Kanker pada anak dapat disembuhkan bila terdeteksi secara dini, serta menjalani
pengobatan serta perawatan dengan baik. menurut WHO 30% kanker dapat
dicegah (WHO, 2011). Kanker dapat dikurangi dan dikendalikan dengan
menerapkan strategi untuk pencegahan, deteksi dini dan manajemen yang baik
dan tepat pada pasien dengan kanker (WHO, 2011). Strategi pencegahan yang
dapat dilakukan adalah dengan cara mengkonsumsi makanan yang bergizi,
menghindari makanan yang mengandung karsinogen, serta meminimalkan paparan radiasi. Sementara deteksi dini yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan skrining kanker saat sel-sel kanker belum mengalami penyebaran.
Manajemen penanganan salah satunya adalah dengan cara segera menangani
kanker sebelum sel-sel kanker menyebar ke seluruh tubuh (Lanszkowsky, 2005).
-
8/18/2019 Ui Mukositis
19/164
3
Penanganan kanker pada anak adalah dengan melakukan operasi atau
pembedahan, kemoterapi dan radioterapi, atau gabungan antara kemoterapi dan
radioterapi, selain itu dukungan psikososial juga dibutuhkan pada pasien dengan
kanker (Otto, 2001; Tomlinson & Kline, 2005; Hockenberry & Wilson, 2009).
Terapi yang diberikan pada pasien kanker bertujuan untuk menyembuhkan
penyakit atau memperpanjang umur, serta meningkatkan kualitas hidupnya
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Prinsip kerja dari kemoterapi adalah membunuh sel-sel kanker yang berkembang
dengan cepat, namun kemoterapi juga menimbulkan efek negatif yaitu selain
membunuh sel-sel kanker juga membunuh sel-sel yang sehat. Efek negatif atau
efek samping pemberian kemoterapi diantaranya mual-muntah, anoreksia,
mielosupresi (menekan produksi darah), kelelahan, rambut rontok dan sariawan
atau mukositis (Otto, 2001, Tomlinson & Kline, 2005; Roe, 2011). Pemberian
radioterapi juga diketahui menimbulkan beberapa efek samping diantaranya
berupa perubahan pada kulit atau mukosa mulut (Tomlinson & Kline, 2005; Otto,
2001), selain itu transplantasi stem sel atau transplantasi sumsum tulang pada
pasien kanker juga menimbulkan efek samping yaitu mual, muntah, diare,
anoreksia, mukositis, parotitis, eritema kulit, dan infeksi (Tomlinson & Kline,
2005; Otto, 2001).
Mukositis sebagai efek samping dari pemberian kemoterapi dan radioterapi
muncul sejak tahun 1980 (Naidu, Ramana, Rani, Mohan, Suman & Roy, 2004).
Mukositis merupakan respon peradangan sel epitel mukosa meliputi peradangan
mulut (stomatitis), esophagus, dan saluran pencernaan (Eilers & Million, 2011).Stomatitis merupakan manifestasi mukositis yang paling sering terjadi pada 40%
pasien yang menjalani kemoterapi (Karagozoglu & Ulusoy, 2004; Caplinger,
Royse & Martens, 2010). Penyebab mukositis adalah pemakaian gigi palsu,
trauma pada rongga mulut seperti tergigit, kurangnya menjaga kebersihan mulut,
merokok, keganasan hematologi (leukemia), infeksi virus jamur dan bakteri,
pasien yang mengalami dehidrasi, alkhohol, juga pasien yang menjalani
pengobatan tertentu (O’Brien, 2009). Mukositis juga timbul akibat pemberian
-
8/18/2019 Ui Mukositis
20/164
4
kemoterapi, antihipertensi, psikotropika, antibiotik, diuretik, antispasmodik,
antikolinergik, antihistamin, dekongestan, steroid, antidepresan, dan opiat
(O’Brien, 2009; Hilton, 2004).
Trotti, et al. (2003) mempelajari lebih dari 6.000 pasien dengan karsinoma sel
skuamosa pada kepala dan leher yang menerima radioterapi dengan atau tanpa
kemoterapi. Insiden keseluruhan mukositis adalah sekitar 80% hingga 100%, dan
25% -45% mengalami mukositis stadium 3 atau 4, sedangkan insidensi mukositis
pada pasien yang menjalani transplantasi stem sel sebanyak 75% -100%, dengan
prosentase yang mengalami mukositis stadium 3 atau 4 sebanyak 25 % - 60%,
dan insidensi mukositis pada pasien tumor dan myelosupresi sebanyak 5% - 40%
dengan prosentase mukositis stadium 3 atau 4 sebanyak 5% - 15%. Menurut
Rubenstein, et al. (2004) pasien yang menjalani kemoterapi 100% beresiko
mengalami mukositis, sedangkan menurut Naidu, Ramana, Rani, Mohan, Suman
dan Roy (2004) insidensi mukositis sekitar 40% pada pasien yang menjalani
kemoterapi standar.
Sifat dan derajat mukositis bervariasi sesuai dengan pengobatan yang diberikan,
baik radioterapi atau kemoterapi sebagai modalitas independen atau dalam
kombinasi (Scardina, Pisano & Messina, 2010). Insidens mukositis dipengaruhi
oleh jenis dan dosis terapi antineoplastik yang diberikan, dan juga dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang berhubungan seperti umur, status gizi, kesehatan mulut,
jenis kanker dan penyakit penyerta (Naidu, Ramana, Rani, Mohan, Suman & Roy,
2004; Tierney, 2006).
Menurut Santoso (2011) derajat keparahan mukositis pada pasien yang menjalani
kemoterapi bergantung dari jenis protokol kemoterapi, yaitu kemoretapi resiko
standar atau kemoterapi resiko tinggi. Mukositis lebih sering terjadi pada mukosa
tidak berkeratin dibandingkan dengan mukosa berkeratin, sehingga kejadian
mukositis pada kemoterapi resiko standar lebih sering dan lebih berat
dibandingkan kemoterapi resiko tinggi. Pada kemoterapi yang menggunakan 5-
Fluorouracil sering menimbulkan efek samping berupa mukositis (Chang,
-
8/18/2019 Ui Mukositis
21/164
5
Molassiotis, Chan & Lee, 2007; Harris, Eilers, Harriman, Cashavelly & Maxwell,
2008).
Pada pasien yang menjalani transplantasi sumsum tulang dan kemoterapi dosis
tinggi beresiko mengalami mukositis sebesar 76% (Naidu, Ramana, Rani,
Mohan, Suman & Roy, 2004) atau sebesar 80% (Rubenstein et al., 2004)
mengalami mukositis. Sementara pada pasien kanker kepala dan leher yang
menjalani radioterapi beresiko mengalami mukositis sebesar 60%, dan lebih dari
90% mukositis terjadi pada pasien yang menerima kemoterapi dan radioterapi
secara bersamaan (Naidu et al., 2004; Tierney, 2006). Pada penelitian cross
sectional yang dilakukan Kamarudin (2009) di RSUP H. Adam Malik Medan
menunjukkan bahwa dari 67 pasien yang mendapatkan kemoterapi sebesar 63 %
mengalami mukositis pada mulut, xerostomia sebesar 93%, kandidiasis sebesar
24%, perdarahan sebesar 12%, dan gangguan pengecapan sebesar 19%.
Anak-anak beresiko sangat tinggi mengalami mukositis mulut dibandingkan
orang dewasa. Insidensi mukositis akibat kemoterapi pada anak mencapai 52%
sampai 80% (Cheng & Chang, 2003; Chaimberg & Cravero, 2004). Sedangkan
menurut Whelan, et al. (2002) insidensi mukositis pada pasien anak yang
menjalani transplantasi sumsum tulang belakang adalah sebesar 53 %, bahkan
mencapai 70% - 90%. Penelitian lain menyebutkan pada pasien anak yang
menjalani transplantasi sumsum tulang dan terapar radiasi penuh mengalami
mukositis oral stadium 3 atau 4 sekitar 42%, dan sekitar 33% mengalami
mukositis gastrointestinal stadium 3 atau 4 (Paterson, 2005). Menurut Fadda,
Campus, dan Lugliè (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dari 337 pasien anak kanker yang mendapatkan kemoterapi akylating sebanyak 241 atau
72% mengalami mukositis.
Gejala mukositis diantaranya timbulnya rasa sakit, ulserasi, perdarahan, mulut
kering, serta kesulitan bicara (Trotti et al., 2003; Naidu et al., 2004; Eilers &
Eipstein, 2004; Tierney, 2006; Harris et al., 2008; Oestrilcher, 2008; Sierarcki et
al., 2009; Deeken & Weiner, 2010; Caplinger, Royse & Martens, 2010).
-
8/18/2019 Ui Mukositis
22/164
6
Mukositis juga menyebabkan ketidaknyamanan pada mulut, ketidakmampuan
untuk mentoleransi makanan atau cairan (disfagia) (Trotti et al., 2003; Eilers &
Eipstein, 2004; Naidu et al., 2004; Sierarcki et al., 2009; Deeken & Weiner,2010),
sampai akhirnya mengalami penurunan status gizi (Tierney, 2006; Oestrilcher,
2008; Sierarcki et al., 2009; Deeken & Weiner,2010; Caplinger, Royse &
Martens, 2010).
Mukositis dapat menimbulkan dampak fisik, psikologis dan ekonomi (Sierarcki et
al., 2009; Silverman, 2006). Dampak fisik yang ditimbulkan diantaranya infeksi
lokal dan sistemik (Tierney, 2006; Harris et al., 2008; Oestrilcher, 2008: Deeken
& Weiner,2010). Infeksi tersebut dapat menyebabkan penundaan terhadap terapi
yang diberikan pada pasien kanker, memperlama hari perawatan, yang akhirnya
menyebabkan peningkatan biaya perawatan (Elting et al., 2003; Trotti, et al.,
2003; Eilers, 2004; Tierney, 2006; Sierarcki et al., 2009; Caplinger, Royse &
Martens, 2010), mempengaruhi kualitas hidup pasien (Eilers, 2004; Tierney,
2006; Moore, Roach, Deveney & Sweedman, 2009) dan meningkatkan mortalitas
(Rubenstein et al., 2004).
Mukositis juga menimbulkan dampak psikologis, rasa nyeri saat makan maupun
berbicara, menyebabkan anak menjadi rewel, malas berbicara, serta takut
terhadap lingkungan di sekitarnya (Trotti et.al., 2003). Kesulitan berbicara yang
dialami anak dengan mukositis dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak,
terutama anak usia toodler yang sedang mengembangkan kemampuan bahasanya
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Mukositis dan pengobatannya dapat menyebabkan dampak ekonomi secara
signifikan (Silverman, 2006). Biaya yang dikeluarkan meningkat untuk
pengobatan, termasuk dalam beberapa kasus rawat inap atau kunjungan di ruang
gawat darurat untuk mengatasi komplikasi atau situasi yang membahayakan jiwa.
Penelitian retrospektif di Amerika Serikat pada pasien yang menerima terapi
myelosuppressive dengan atau tanpa terapi radiasi, melaporkan bahwa rata-rata
biaya pengobatan pasien tanpa mukositis oral sekitar $ 3.893, sebaliknya, angka
-
8/18/2019 Ui Mukositis
23/164
7
ini hampir dua kali lipat yaitu $ 6.618 pada pasien yang mengalami mukositis
stadium 1 atau 2, dan sebesar $ 9.458 pada pasien yang mengalami mukositis
stadium 3 atau 4 (Elting et al., 2003).
Mukositis dapat diatasi dan dikurangi dengan berbagai upaya, diantaranya dengan
mencegah, mengevaluasi, dan mengobati mukositis, cara yang lakukan adalah
dengan studi literatur maupun penelitian untuk membuat pedoman penanganan
mukositis (Rubenstein et al., 2004; Chang, Molassiotis, Chan & Lee, 2007;
Scardina, Pisano & Messina, 2010). Cara untuk mengurangi mukositis yang
efektif tetapi data tidak cukup memadai dan tidak terbukti signifikan secara
statistik adalah penggunaan Allopurinol (Karagozoglu & Ulusoy, 2004; Mori et
al., 2006), Amifostine (Bensadoun, Schubert, Lalla & Keefe, 2006), anti inflamasi
(Shih et al., 2002), anti mikroba (Scully, Sonis & Diz, 2006), Benzydamine HCl
(Worthington, Clarkson & Eden, 2004), Flurbiprofen (Bensadoun, Schubert, Lalla
& Keefe, 2006), Granulocyte-Colony Stimulating Factor-(G-CSF) yang diberikan
secara subkutan (Mcaleese, Bishop, A’Her & Henk, 2006), injeksi Imunoglobulin
(Karagozoglu & Ulusoy, 2004), L-Alanyl-L-Glutamin (Jantunen, Kuittinen &
Nousiainen, 2002; Laitao et al, 2007), Low-Level Laser Therapy (LLLT) (Wong
& Wilder-Smith, 2002; Kuhn et al., 2008), Pilokarpin (Worthington, Clarkson &
Eden, 2004), Povidone-iodine (oral) (Epstein et al., 2001), Tetrakain (Stokman,
Spijkervet, Burlage & Roodenburg, 2005), dan pemberian zinc (Ertekin, Koc,
Karslioglu & Sezen, 2004).
Cara mengurangi dan mengatasi mukositis yang tidak direkomendasikan pada
pasien dewasa adalah penggunaan klorheksidin yang mengandung alkhohol, GM-CSF kumur, dan sukralfat (Harris et al., 2008). Sedangkan menurut The United
Kingdom Children’s Cancer Study Group (UKCCSG) dan The Pediatric
Oncology Nurse Forum (PONF) tahun 2006, penanganan mukositis yang tidak
direkomendasikan adalah pemberian benzydamine, klorheksidin, sukralfat,
tetrachlorodecaoxide, lidokain solution, dipenhidramin hidrokloride dan suspense
aluminium hydroxide. Klorheksidin tidak direkomendasikan untuk mengurangi
mukositis karena tidak terbukti efektif dalam mengurangi keparahan mukositis
-
8/18/2019 Ui Mukositis
24/164
8
secara signifikan (Harris et al., 2008). Selain itu menurut Multinational
Association of Supportive Care in Cancer (MASCC) (2005) klorheksidin
mengandung alkhohol, dan pemberian klorheksidin juga menimbulkan rasa tidak
nyaman pada mulut, dan perubahan rasa (Samaranayake et al., 1988; Foote et al.,
1994; MASCC, 2005), sehingga tidak efektif diberikan pada pasien kanker anak
yang mengalami mukositis.
Cara yang direkomendasikan dan terbukti efektif untuk mengurangi mukositis
pada pasien dewasa adalah perawatan mulut (Rubenstein et al., 2004; Chang,
Molassiotis, Chan & Lee, 2007) dengan penggunaan cryotherapy (Karagozoglu &
Ulusoy, 2004; Eilers, 2004; Harris et al., 2008), palifermin (Harris et al., 2008;
Sonis, 2010, Vadhan-Raj et al., 2010), serta penggunaan madu sebagai perawatan
mulut (Molan, 2001; Mottalebnejad et al., 2008; Rashad, Al-Gezawy, El-Gezawy
& Azzaz, 2009; Baliga & Uppal, 2010; Brady et al., 2011). Sementara
penanganan mukositis pada anak dengan kanker menurut UKCCSG-PONF
(2006) adalah dengan perawatan mulut, pemberian analgesik, pemberian vitamin
E, immunoglobulin, allopurinol kumur (hanya untuk yang mendapatkan 5-FU),
asam folat (hanya yang mendapat terapi methotrexate). Sedangkan menurut
penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayah (2011) perawatan mulut dengan
larutan madu terbukti efektif untuk mengurangi mukositis pada anak dengan
kanker yang mendapatkan kemoterapi.
Perawatan mulut dapat membantu untuk meminimalkan efek mukositis oral pada
pasien kanker, dengan cara mengurangi jumlah flora mikroba, mengurangi rasa
sakit dan perdarahan, serta mencegah infeksi (Rubenstein et al., 2004; Eilers,2004; Chang, Molassiotis, Chan & Lee, 2007). Pemberian cryotherapy juga dapat
mengurangi mukositis, cryotherapy adalah penggunaan chip es atau air es untuk
mencegah mukositis oral, cryotherapy menyebabkan terjadinya vasokonstriksi,
sehingga dapat menurunkan terpaparnya sel mukosa dari agen mukotoxik
(Worthington, Clarkson & Eden, 2007; Gori et al, 2007; Eilers, 2004;
Karagozoglu & Ulusoy, 2004). Menurut Fischer (2003) dalam Harris et al.,
(2008) cryotherapy tidak diindikasikan dengan kemoterapi agen seperti
-
8/18/2019 Ui Mukositis
25/164
9
oxaliplatin, yang diketahui menyebabkan potensi masalah dengan paparan
dingin.
Pemberian palifermin juga dapat mengurangi mukositis dengan cara menstimulasi
pertumbuhan keratinosit yang merangsang pertumbuhan sel-sel epitel mukosa
(Stiff et al., 2006; Harris et al., 2008; Sonis, 2010, Vadhan-Raj et al, 2010).
Namun pemberian palifermin menimbulkan efek samping yang ringan sampai
berat, berupa pruritus, eritema, batuk, edema, putih pada lapisan mulut atau lidah,
rhinitis, atralgia, mati rasa dan paresthesia, yang menyebabkan penghentian
pemberian palifermin (MASCC, 2005), selain menimbulkan efek samping
pemberian palifermin membutuhkan biaya yang cukup tinggi (Harris et al., 2008).
Penelitian yang menggunakan madu dalam mengurangi mukositis telah
dilakukan, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Baliga dan Uppal
(2010) yang membandingkan madu dengan lignocaine yang dilakukan pada
pasien yang menjalani terapi radiasi, pada mukosa mulutnya diolesi madu,
hasilnya menunjukkan hanya 1 dari 20 pasien yang mengalami mukositis, hal ini
menunjukkan madu sangat efektif mengurangi keparahan mukositis dengan
statistik (p
-
8/18/2019 Ui Mukositis
26/164
10
Bardy, et al. (2011) pada 131 pasien kanker kepala dan leher yang menjalani
radioterapi, melaporkan bahwa penggunaan madu manuka aktif sebanyak 20 ml
untuk perawatan mulut yang dilakukan sebanyak 4 kali sehari selama 6 minggu
(kelompok intervensi) dan 20 ml golden sirup (kelompok kontrol), madu terbukti
efektif mengurangi mukositis, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara
madu dan golden sirup dalam menurunkan mukositis.
Penelitian kuasi eksperimen yang dilakukan oleh Nurhidayah (2011) yang
menggunakan larutan madu dalam melakukan perawatan mulut pada pasien
kanker anak yang menjalani kemoterapi, skor mukositis di evaluasi menggunakan
Oral Assessment Guide, hasil analisis menggunakan uji independent t-test dan
analysis of covarian, menunjukkan terdapat penurunan yang signifikan pada
rerata skor mukositis setelah intervensi pada kelompok intervensi (p
-
8/18/2019 Ui Mukositis
27/164
11
Stewart, Dachs & Graber, 2009; Shadkam, Mozaffari-Khosravi & Mozayan,
2010).
Menurut Harris, Schwartz, Ustjanauskas, Ohri-Vachaspati dan Brownell (2010)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak-anak lebih menyukai rasa manis,
hal ini terbukti sebesar 86% sampai 95% dari 91 anak lebih menyukai cereal yang
mengandung gula 3 kali lebih tinggi. Rasa manis memicu jalur rasa nyaman yang
sama di otak, sehingga rasa manis menimbulkan rasa nyaman pada anak. Madu
merupakan jenis makanan yang mempunyai rasa yang manis karena kandungan
karbohidrat didalamnya (Suranto, 2007), sehingga penggunaan madu dalam
perawatan mulut untuk anak-anak akan lebih mudah diterima oleh anak-anak
dibandingkan dengan jenis yang lain, seperti betadin kumur, klorheksidin, nistatin
yang menimbulkan rasa tidak nyaman dimulut.
Rumah Sakit Kanker Dharmais merupakan rumah sakit rujukan untuk pasien-
pasien kanker, termasuk pasien kanker anak. Menurut studi pendahuluan yang
dilakukan pada Januari 2012 di Rumah Sakit Kanker Dharmais perawatan mulut
yang dilakukan untuk mencegah dan mengatasi mukositis pada pasien kanker
anak adalah menggunakan klorhexidin manis, sebelum dilakukan perawatan
mulut terlebih dahulu pasien dilakukan pengkajian rongga mulut menggunakan
format Oral Assessment Guide yang sudah dikembangkan oleh RS Kanker
Dharmais, yang meliputi mukosa mulut dan gigi, bibir, lidah, gigi dan
susunannya, saliva, mengunyah atau menelan. Data yang didapatkan saat
observasi didapatkan 5 dari 12 anak kanker yang menjalani terapi di RS Kanker
Dharmais mengalami mukositis.
Protokol perawatan mulut pada pasien kanker yang mengalami mukositis di RS
Kanker Dharmais yaitu pada mukositis ringan dilakukan perawatan mulut setiap 4
jam sekali, sedangkan pada mukositis sedang dilakukan perawatan mulut setiap 2-
4 jam sekali, dan mukositis berat dilakukan perawatan mulut setiap 2 jam sekali.
Pengkajian rongga mulut dilakukan kembali setiap 2 hari sekali, hasilnya
menunjukkan bahwa pada mukositis sedang berat membutuhkan waktu
-
8/18/2019 Ui Mukositis
28/164
12
penyembuhan yang lebih lama dibandingkan mukositis ringan (SOP RS
Dharmais, 2012).
Beberapa penelitian menggunakan madu dalam perawatan mulut sebagai upaya
preventif untuk mencegah terjadinya mukositis pada pasien anak dengan kanker
telah dilakukan, sementara penggunaan madu dalam perawatan mulut dalam
upaya kuratif atau untuk mengobati mukositis pada pasien anak dengan kanker
belum dilakukan, selain itu di Rumah Sakit Kanker Dharmais penggunaan madu
sebagai perawatan mulut pada pasien anak dengan kanker belum dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
Mukositis merupakan respon peradangan sel epitel mukosa meliputi peradangan
mulut (stomatitis), esophagus, dan saluran pencernaan, mukositis juga merupakan
efek samping dari pemberian kemoterapi dan radioterapi pada pasien kanker.
Berbagai upaya perawat dilakukan untuk mencegah dan menangani mukositis
pada anak yang mengalami kanker. Tindakan keperawatan yang bisa dilakukan
oleh perawat secara mandiri diantaranya melakukan perawatan mulut. Tindakan
perawatan mulut menggunakan madu diketahui efektif untuk mencegah mukositis
pada anak kanker yang mendapatkan kemoterapi, namun sebaliknya perawatan
mulut menggunakan madu belum dibuktikan efektif pada kasus mukositis
stadium lanjut pada anak dengan kanker. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk
mengetahui pengaruh perawatan mulut menggunakan madu terhadap perubahan
stadium mukositis pada anak kanker di RS Kanker Dharmais Jakarta.
-
8/18/2019 Ui Mukositis
29/164
13
1.3. Tujuan
1.3.1.
Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh perawatan mulut menggunakan madu terhadap perubahan
stadium mukositis pada anak kanker Di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1. Teridentifikasinya gambaran karakteristik anak yang mengalami
mukositis (usia, jenis kelamin, status gizi, jenis kanker, pemberian
kemoterapi, dan pemberian radioterapi).
1.3.2.2. Teridentifikasinya perbedaan proporsi stadium mukositis sebelum
dilakukan tindakan perawatan mulut pada kelompok kontrol dan
kelompok intervensi.
1.3.2.3. Teridentifikasinya perbedaan proporsi stadium mukositis sesudah
dilakukan tindakan perawatan mulut pada kelompok kontrol dan
kelompok intervensi.
1.3.2.4.
Teridentifikasinya perbedaan penurunan proporsi stadium mukositis
antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebelum dan sesudah
intervensi.
1.3.2.5.
Teridentifikasinya kontribusi karakteristik anak (usia, status gizi, jenis
kanker, pemberian kemoterapi, pemberian radioterapi dan kombinasi
kemoterapi radioterapi) terhadap pengaruh tindakan keperawatan
perawatan mulut menggunakan madu pada stadium mukositis.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1.
Manfaat aplikasiHasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada anak, terutama untuk tindakan perawatan mulut, khususnya
pada anak penderita kanker yang mengalami mukositis. Memberikan teknik
inovatif pada perawat dalam mengatasi masalah mukositis akibat terapi yang
diberikan pada anak penderita kanker. Memberikan masukan dalam membuat
standar operasional prosedur perawatan mulut pada pasien anak penderita kanker.
-
8/18/2019 Ui Mukositis
30/164
14
1.4.2. Manfaat keilmuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
dalam praktik keperawatan tentang tindakan perawatan mulut, serta memberikan
gambaran dan informasi tentang pengaruh penggunaan madu terhadap penurunan
stadium mukositis pada anak penderita kanker.
1.4.3. Manfaat metodologi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penelitian
selanjutnya untuk mengetahui pengamalan anak dengan kanker yang
mendapatkan perawatan mulut menggunakan madu.
-
8/18/2019 Ui Mukositis
31/164
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kanker Pada Anak
2.1.1. Kanker
Kanker dalam bahasa medis biasa disebut karsinoma yaitu sekelompok penyakit
yang ditandai oleh pertumbuhan dan perkembangan sel-sel yang tidak terkontrol
dan tidak normal (Price & Wilson, 2005). Kanker juga didefinisikan sebagai
pertumbuhan jaringan baru yang bersifat ganas dengan massa abnormal, tidak
berfungsi normal, dan motilitas abnormal, atau disebut juga neoplasma maligna
(Otto, 2001). Menurut National Cancer Institute (NCI) tahun 2011 kanker adalah
istilah yang digunakan untuk penyakit di mana sel-sel abnormal membelah tanpa
kontrol dan mampu menyerang jaringan lain. Sel-sel kanker dapat menyebar ke
bagian lain dari tubuh melalui darah dan sistem getah bening.
Sampai saai ini penyebab kanker secara pasti belum bisa dipastikan (Otto, 2001),
tetapi kanker dapat dicetuskan oleh faktor eksternal dan faktor internal yang
memicu terjadinya proses karsinogenesis (proses pembentukan kanker). Faktor
eksternal dapat berupa infeksi, radiasi, zat kimia tertentu, dan juga konsumsi
tembakau, sedangkan faktor internal dapat berupa mutasi gen (baik yang
diturunkan maupun akibat metabolisme), hormon dan kondisi sistem imun
( American Cancer Society, 2008).
2.1.2. Jenis Kanker Pada Anak
Jenis kanker pada anak berbeda dengan jenis kanker pada orang dewasa, jeniskanker pada anak mempunyai karakteristik tertentu. Jenis kanker pada anak dibagi
menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu leukemia dan tumor solid (Tomlinson &
Kline, 2005).
-
8/18/2019 Ui Mukositis
32/164
16
Leukemia adalah Acut Lymphoblastic Leukemia (ALL), Acut Myeloid Leukemia
(AML), Chronic Myeloid Leukemia (CML), Juvenile Myelomonocytic Leukemia,
Langerhans Cell Histiocytosis. Akut Lymphoblastic Leukemia (ALL) merupakan
jenis kanker yang sering terjadi pada anak (Tomlinson & Kline, 2005). Tanda dan
gejala yang timbul berhubungan dengan infiltrasi sumsum tulang dan organ lain
yang terkena sebagai dampak proliferasi sel limfoblastik adalah anemia yang
menyebabkan pucat, kelelahan, takikardi, dispnea, kadang-kadang disertai gagal
jantung kongestif; neutropenia yang merupakan penyebab demam, ulserasi
mukosa bukal, dan infeksi; trombositopenia penyebab dari petekie, purpura dan
perdarahan (Tomlinson & Kline, 2005; Lanszkowsky, 2005).
Akut Myeloid Leukemia (AML) mempunyai kesamaan dengan ALL, AML
merupakan keganasan pada darah yang disebabkan oleh sarcoma granulocytic
atau myeloblastoma, yang ditandai oleh pucat, kelelahan, kelemahan, petekie,
demam, infeksi, sakit tenggorokan, limfadenopati, lesi pada kulit, nyeri, mual,
muntah (Tomlinson & Kline, 2005; Lanszkowsky, 2005; Otto, 2001). Penanganan
AML adalah dengan pemberian kemoterapi, tetapi transplantasi stem sel alogenik
juga dapat diberikan pada keadaan remisi (Tomlinson & Kline, 2005;
Lanszkowsky, 2005).
Chronic Myeloid Leukemia (CML) disebut juga sebagai fase kronis leukemia.
Fase ini umumnya terjadi resistensi terhadap pengobatan yang diberikan. Tanda
dan gejala CML dapat bervariasi tergantung pada tahap penyakit ini telah
mencapai metastase. Fase kronis memiliki onset lebih spesifik antara minggu ke
bulan, dengan keluhan kelelahan, anoreksia, penurunan berat badan, dan keringat berlebihan. Pengobatan pada anak-anak dengan CML adalah alogenik
transplantasi sumsum tulang, pengobatan ini memberikan tingkat kualitas hidup
yang lebih baik. Pengobatan lain yang menunjukkan hasil yang baik adalah
pemberian kombinasi interferon dan sitarabin untuk anak-anak dengan
Philadelphia kromosom-positif CML (Tomlinson & Kline, 2005).
-
8/18/2019 Ui Mukositis
33/164
Jenis kanker yang lain adalah tumor solid, meliputi Hodgkin limfoma, Non
Hodgkin limfoma, Ewing Sarkoma, Osteosarkoma, Tumor Liver, Neuroblastoma,
Tumor Wilms, Retinoblastoma, Rhabdomiosarkoma, non Rhabdomiosarkoma,
Tumor Germ Cell, dan Tumor Rare (Tomlinson & Kline, 2010). Hodgkin
limfoma adalah tumor ganas pada sistem retikuloendotelial dan limfatik, yang
memiliki pola penyebaran melalui nodus yang berdekatan (Tomlinson & Kline,
2005; Lanszkowsky, 2005; Otto, 2001), sering terjadi pada pasien dengan sistem
kekebalan tubuh yang abnormal (Tomlinson & Kline, 2005).
Tanda gejala Hodgkin limfoma yang umum adalah limfadenopati tanpa rasa sakit.
Pada pemeriksaan fisik kelenjar getah bening biasanya digambarkan sebagai tegas
dan kenyal, dan mungkin sensitif atau menyakitkan jika telah diperbesar dengan
cepat (Tomlinson & Kline, 2005; Lanszkowsky, 2005; Otto, 2001). Terapi yang
paling utama diberikan pada Hodgkin limfoma adalah kemoterapi dan radioterapi.
Pembedahan yang dilakukan adalah hanya untuk mendapatkan biopsi jaringan
(Tomlinson & Kline, 2005).
Non Hodgkin Limfoma (NHL) merupakan kanker pada kelenjar getah bening
yang berasal dari sistem imun sel limfosit (Tomlinson & Kline, 2005). Gambaran
klinis pada NHL adalah massa intrabdomen dan intratorakal, disertai efusi pleura,
nyeri, disfagia, sesak nafas, pembengkakan daerah leher, muka dan sekitar leher,
pembesaran kelenjar limfe (Tomlinson & Kline, 2005; Permono dkk., 2006).
Radioterapi umumnya bukan merupakan bagian dari protokol penanganan NHL,
tetapi radioterapi profilaksis secara umum telah terbukti memiliki keuntungan
pada di susunan saraf pusat atau terbatas stadium penyakit dan tidak digunakandalam multi agen rejimen kemoterapi, kemoterapi didasarkan pada imunofenotipe
limfoma (Tomlinson & Kline, 2005).
Ewing Sarkoma merupakan tumor yang terdiri dari sekelompok neoplasma yang
dapat timbul dalam jaringan tulang dan ikat (Tomllinson & Kline, 2005). Anak
biasanya datang dengan gejala yang disebabkan oleh tumor primer, nyeri dan
pembengkakan, teraba massa. Tujuan pengobatan ewing sarkoma ini adalah untuk
-
8/18/2019 Ui Mukositis
34/164
menyembuhkan penyakit, mempertahankan fungsi organ, dan meminimalkan
gejala sisa. Kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan semua dapat digunakan
dalam mengobati keganasan ini. Kemoterapi diberikan untuk mengecilkan tumor,
sedangkan pembedahan atau radioterapi diberikan untuk membangun kontrol
lokal, yang kemudian diikuti oleh masa pemeliharaan kemoterapi.
Osteosarkoma adalah kanker pada tulang yang diperkirakan timbul karena
pembentukan sel mesenkim tulang, yang ditandai dengan diproduksinya osteoid
(Tomlinson & Kline, 2005; Otto, 2001). Tanda gejala yang biasa pada penderita
osteosarkoma adalah nyeri pada tulang, jaringan lunak bengkak di daerah yang
terkena, ada massa, vaskularisasi lebih pada massa dan penurunan rentang gerak
pada anggota badan yang terkena (Tomlinson & Kline, 2005; Otto, 2001;
Lanszkowsky, 2005). Biasanya kemoterapi diberikan selama 2-3 bulan sebelum
kontrol bedah lokal. Kontrol lokal terdiri dari tiga pilihan yaitu, amputasi, Limb
salvage, dan Rotationplasty (Tomlinson & Kline, 2005; Otto, 2001).
Tumor hati atau yang paling sering terjadi adalah hepatoblastoma dan karsinoma
hepatoseluler. Tanda dan gejala penyakit ini meliputi massa pada perut,
penurunan berat badan, anoreksia, mual muntah, gagal tumbuh, osteopenia berat,
dan anemia (Tomlinson & Kline, 2005). Pengobatan yang dilakukan adalah
dengan pembedahan, kemoterapi sering memainkan peran yang besar pada pasca
operasi, transplantasi hati juga mungkin dapat dipilih untuk penanganan kanker
hati, tetapi pemberian radioterapi pada tumor hati masih kontroversial (Tomlinson
& Kline, 2005).
Neuroblastoma adalah suatu jenis kanker saraf yang dapat menunjukkan gejala
yang bervariasi, tergantung dari lokasinya (Permono dkk., 2006; Tomlinson &
Kline, 2005; Otto, 2001). Gejala klinis yang timbul selain dipengaruhi oleh lokasi,
dipengaruhi juga oleh ada tidaknya metastase. Gejala klasik yang sering muncul
adalah proptosis dan ekomose periorbital akibat infiltrasi tumor ke tulang
periorbita, penyebaran ke tulang dan sumsum tulang menimbulkan gejala nyeri
tulang, anemia, perdarahan, peningkatan resiko infeksi, penyebaran ke kulit
-
8/18/2019 Ui Mukositis
35/164
menyebabkan warna kebiruan pada nodul subkutan (Permono dkk., 2006;
Tomlinson & Kline, 2005; Otto, 2001; Lanszkowsky, 2005). Terapi yang
diberikan disesuaikan dengan stadium neuroblastoma. Pembedahan, kemoterapi,
radioterapi, transplantasi autologous stem sel, imunoterapi, dan terapi biologi
semua dapat diberikan pada kasus neuroblastoma (Tomlinson & Kline, 2005;
Otto, 2001; Permono dkk., 2006).
Tumor wilms adalah tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari metanefrons
(Permono dkk., 2006). Tumor wilms berasal dari proliferasi patologik blastema
metanefron akibat tidak adanya stimulasi yang normal dari duktus metanefron
yang menghasilkan tubuli dan gromeruli yang berdiferensiasi baik. Gejala klinik
pada tumor wilms adalah adanya massa dalam perut, hematuri, hipertensi, anemia,
penurunan berat badan, infeksi saluran kemih, demam, malaise, anoreksia dan
dapat pula disertai nyeri perut (Tomlinson, & Kline, 2005; Otto, 2001; Permono
dkk., 2006). Terapi modalitas tumor wilms adalah pembedahan, kemoterapi, dan
radioterapi. Pembedahan merupakan pengobatan utama dari tumor wilms yang
bertujuan untuk mengangkat tumor atau memperkecil massa tumor ginjal
(Tomlinson & Kline, 2005; Lanszkowsky, 2005; Permono dkk., 2006).
Retinoblastoma adalah tumor endoocular pada anak yang mengenal saraf
embrionik retina (Tomlinson & Kline, 2005; Lanszkowsky, 2005; Permono dkk.,
2006). Gejala retinoblastoma adalah tumor di intraocular, dengan keluhan
leukocoria, strabismus, mata merah, nyeri mata yang sering disertai glukoma, dan
visus yang menurun (Permono dkk., 2006). Pengobatan retinoblastoma yang harus
diperhatikan adalah pengobatan lokal untuk jenis intraocular, dan pengobatansistemik untuk jenis ekstraokular, regional, dan metastase. Jenis terapi yang
diberikan adalah pembedahan enukleasi, external beam radiotherapy, radioterapi
plaque, kryo dan fotokoagulasi, serta kemoterapi (Tomlinson & Kline, 2005;
Lanszkowsky, 2005; Otto, 2001).
-
8/18/2019 Ui Mukositis
36/164
Rabdomiosarkoma ialah kanker jaringan lunak yang paling sering pada anak
dengan derajat keganasan tinggi, yang diperkirakan timbul dari sel-sel
mesenkimal primitif yang kemudian menjadi otot lurik, dapat dijumpai dimana
saja didalam tubuh (Permono dkk., 2006; Tomlinson & Kline, 2005;
Lanszkowsky, 2005; Otto, 2001). Terapi yang diberikan pada kanker ini adalah
pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi, pemberian terapi tergantung pada
lokasi dan besarnya tumor.
2.1.3. Penatalaksanaan Kanker Anak
Secara umum pengobatan kanker terdiri dari pengobatan bedah, radioterapi, dan
kemoterapi, karena prevalensi leukemia dan limfoma pada anak cukup tinggi,
maka kemoterapi menjadi urutan utama (Permono dkk., 2006). Kemoterapi adalah
penggunaan obat-obat sitotoksik yang diberikan untuk pasien kanker (Otto, 2001).
Kemoterapi kanker pada anak saat ini mempunyai peranan yang sangat penting,
karena telah berhasil menaikkan angka kesembuhan (Permono dkk, 2006).
Kemoterapi dapat diberikan pada pasien kanker hematologi (leukemia) maupun
tumor solid (Catane et al., 2006). Pemberian kemoterapi yang saat ini digunakan
secara klinis mempunyai efek sitostatik dengan cara mempengaruhi sintesis dan
fungsi DNA (Otto, 2001). Titik tangkap obat kemoterapi terhadap sel tumor dapat
dibagi menjadi 12 titik tangkap, terutama peran dalam menghambat atau merusak
siklus sel kanker (Permono dkk., 2006).
Menurut National Cancer Institute (NCI) tahun 2011, jenis sitostatika
berdasarkan mekanisme kerjanya dibagi menjadi 6 macam yaitu alkylating agen,
antimetabolit, inhibitor mitosis, topoisomerase inhibitor, antibiotika sitostatika,dan golongan sitostatika lain (miscellaneous). Alkylating agen merupakan obat
antitumor yang paling banyak digunakan. Obat ini bekerja dengan cross-linking
DNA melalui ikatan gugus alkyl secara kovalen mencegah terjadinya replikasi
DNA pada semua fase siklus sel. Jenis sitostatika alkylating agen terbagi menjadi
3 kelompok, yaitu: 1). Kelompok klasik: Busulfan; Chlorambucil;
Cyclophisphamide; Ifasfamide; Mechlorethamine; Melphalan; Thiotepa. 2).
-
8/18/2019 Ui Mukositis
37/164
Kelompok nitrosurea: Carmustine (BCNU); Lomustine (CCNU). 3). Kelompok
platinum compound: Carboplatin; dan Cisplatin.
Jenis sitostatika yang kedua adalah antimetabolit. Efek sitotoksik golongan ini
terjadi pada jalur biokimiawi pada fase S dari siklus sel. Menurut Otto (2001)
sebagian antisitostatika bekerja sebagai analog nukleosid (purin dan pirimidin)
DNA atau RNA sehingga menghambat sintesis asam nukleat, dan jenis yang lain
adalah analog dengan urea yang bekerja menghambat enzim pada biosintesis
nukleotida. Jenis sitostatika antimetabolit terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu: 1).
Analog Pirimidin: Cytarabine; 5 Fluorouracil (5-FU), Gemcitabine,
Capecitabine; Floxuridine. 2). Analog Purin : Cladribine; Fludarabine;
Mercaptopurine (6-MP); Thioguanine; Pentostatin. 3). Analog Urea:
Hydroxyurea. 4). Analog asam folat: Methotrexate.
Inhibitor mitosis merupakan jenis sitostatika yang ketiga. Inhibitor mitosis bekerja
dengan cara menghambat pembentukan mikrotubulus melalui pengikatan tubulin,
sehingga mitosis terhenti pada fase M dari suklus sel. Jenis sitostatika ini yaitu:
Taxane, Docetaxel, Paclitaxel, Vinca Alkaloid, Vinblast, Vincristine, dan
Vinorelbine. Sementara jenis Topoisomerase inhibitor adalah sitostatika yang
bekerja dengan cara menghambat enzim topoisomerase I dan II yang diperlukan
untuk perbaikan rantai tunggal dan rantai ganda DNA yang rusak selama proses
transkripsi dan replikasi. Jenis sitostatika Topoisomerase inhibitor, yaitu:
Topoisomerase inhibitor I, Etoposide, Teniposide, Topoisomerase inhibitor II,
dan Topotecane.
Sedangkan jenis sitostatika antibiotika bekerja dengan cara interkalasi diantara
basa-basa DNA pada fase S dan G2 siklus sel sehingga menghambat biosintesis
DNA. Jenis sitostatika antibiotika antitumor, yaitu : Bleomycin, Dactinomycin
(actinomycin-D), Daunarubicin, Doxorubicin, Idarubicin, Mitomycin, dan
Mitoxantrone. Golongan sitostatika lain (miscellaneous). Mekanisme kerja
sitostatika golongan ini belum pasti di ketahui. Jenis sitostatika miscellaneous,
yaitu: Procarbazine, Anthracycline, Altretamine, L-asparaginase.
-
8/18/2019 Ui Mukositis
38/164
Pemberian kemoterapi dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi,
pemberian kemoterapi kombinasi mempunyai keberhasilan yang lebih tinggi
(Otto, 2001). Kemoterapi juga sebagai tambahan terapi yang disebut kemoterapi
ajuvan, yaitu kemoterapi yang diberikan sebagai tambahan dari pengobatan
utama, misalnya pada tumor wilms, terapi utama adalah pembedahan, pasca
pembedahan diberikan kemoterapi ajuvan. Pemberian kemoterapi ajuvan dapat
membunuh sel kanker yang tersisa sewaktu operasi, dan sel-sel mikrometastasis
yang tidak kelihatan secara klinis. Pada beberapa kondisi kemoterapi dapat
diberikan sebelum pembedahan misalnya pada retinoblastoma atau tumor wilms,
yang bertujuan untuk mengecilkan volume tumor, dan secepatnya menangkal
mikrometastasis. Pemberian kemoterapi menimbulkan efek samping berupa
alopesia, anorexia, konstipasi, sistitis, diare, kelemahan, leukopenia,
trombositopenia, anemia, mual muntah dan mukositis, (Otto, 2001).
Penatalaksanaan kanker yang lain adalah radioterapi. Radioterapi menyebabkan
kerusakan sel-sel, terutama kerusakan pada DNA, dengan cara menghambat
pembelahan sel. Radioterapi dapat menyebabkan kerusakan DNA dalam sel, dan
memicu penangkapan siklus sel dan apoptosis sel melalui interaksi antara gen
yang penting dan jalur sinyalnya (Otto, 2001). Radioterapi dapat membahayakan
sel-sel normal di area sekitar tumor. Semua radiasi memancarkan energi radiasi,
baik dalam bentuk gelombang dan partikel. Radioterapi memiliki tiga peran utama
dalam pengobatan kanker anak yaitu pengobatan dengan tujuan kuratif,
pengobatan paliatif, dan pengobatan ditujukan untuk mengendalikan gejala
(Tomlinson & Kline, 2005).
Radioterapi umumnya dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyebaran sel-
sel kanker (Permono dkk, 2006). Berhasil tidaknya radioterapi tergantung dari
banyak faktor antara lain sensitivitas sel kanker terhadap radiasi, efek samping
yang timbul, pengalaman radioterapis serta penderita yang kooperatif. Radioterapi
umumnya dilakukan apabila secara lokal-regional pembedahan tidak menjamin
penyembuhan atau bilamana pembedahan radikal akan mengganggu struktur serta
fungsi dari organ yang bersangkutan (Tomlinson & Kline, 2005).
-
8/18/2019 Ui Mukositis
39/164
Efek samping dari radioterapi secara langsung berhubungan dengan jumlah
radiasi yang diterima dan lokasi lapangan, usia anak (anak-anak muda lebih rentan
terhadap efek samping) dan kemoterapi ajuvan. Efek samping dapat berupa akut,
sub akut dan akhir. Efek samping akut biasanya terjadi dalam beberapa minggu
pertama yang berupa perubahan kulit atau mukosa mulut. Efek samping sub akut
dapat terjadi minggu sampai bulan setelah menyelesaikan pengobatan. Risiko
tumor sekunder juga efek akhir yang signifikan dari radioterapi (Tomlinson &
Kline, 2005; Otto, 2001).
Pembedahan merupakan terapi yang penting yang dipilih untuk penanganan pada
tumor ganas (Otto, 2001). Pembedahan adalah aspek yang penting dari terapi pada
pasien dengan kanker, yang berpotensi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
(Catane et al., 2006). Tehnik pembedahan yang dilakukan pada anak dengan
kanker meliputi biopsi, debulking yaitu pengangkatan massa tumor ketika tidak
mungkin untuk diangkat seluruhnya (Tomlinson & Kline, 2005; Otto, 2001).
Pembedahan paliatif dapat dilakukan untuk meringankan gejala yang disebabkan
oleh tumor, misalnya rasa sakit dan pendarahan (Catane et al., 2006).
Keadaan infeksi dapat menunda untuk dilakukannya pembedahan (Tomlinson &
Kline, 2005; Otto, 2001). Cara pembedahan yang dilakukan pada anak dengan
kanker tidak hanya satu prosedur pembedahan. Pembedahan yang dilakukan tidak
selalu memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan dalam arti penyembuhan,
misalnya pada penderita juga mengalami metastase, resiko operasi lebih besar
daripada kankernya dan penderita yang beresiko mengalami kecacatan setelah
operasi. Pada umumnya pembedahan dilakukan pada penderita-penderita dengantumor primer yang masih dini atau pengobatan paliatif dekompresif (Tomlinson &
Kline, 2005; Catane et al., 2006).
Transplantasi stem sel dan sumsum tulang belakang merupakan terapi modalitas
yang dilakukan untuk pengobatan kanker (Lanszkowsky, 2005), sedangkan
menurut Tomlinson dan Kline (2005) transplantasi stem sel merupakan
pengobatan yang penting untuk anak-anak dengan keganasan agresif dalam remisi
-
8/18/2019 Ui Mukositis
40/164
pertama atau mereka yang memiliki penyakit berulang. Transplantasi sumsum
tulang yang sudah dilakukan untuk penanganan anak-anak yang menderita ALL
atau AML (Hockenberry & Wilson, 2009). Tujuan dari transplantasi stem sel
adalah untuk menggantikan sel yang sakit atau rusak (Tomlinson, & Kline, 2005;
Lanszkowsky, 2005). Pada umumnya transplantasi yang sering dilakukan adalah
transplantasi alogenik.
Tipe transplantasi ada 3 macam yaitu ; alogenik, autologous, dan synegenic. Pada
umumnya transplantasi yang sering dilakukan adalah transplantasi alogenik
(Tomlinson & Kline, 2005). Human leukosit antigen (HLA) merupakan
serangkaian kompleks protein pada permukaan leukosit manusia yang digunakan
untuk mengidentifikasi perbandingan donor (Tomlinson & Kline, 2005; Otto,
2001; Lanzkowsky, 2005). Evaluasi medis dari donor sumsum tulang meliputi:
pemeriksaan fisik, hitung darah lengkap, profil biokimia, antibody
Cytomegalovirus (CMV), profil virus Epstein-Barr (EBV), titer antibodi herpes,
Human T-lymphotropic antibodi Virus (HTLV), profil virus Human
immunodeficiency (HIV), dan Hepatitis (Lanszkowsky, 2005). Setelah
transplantasi stem sel, pasien akan mengalami immunodeficiency, yang
menimbulkan efek berupa penekanan sumsum tulang, mual, muntah, diare,
anoreksia, mukositis, parotitis, eritema kulit, infeksi, sindrom kebocoran kapiler,
ginjal akut, insufisiensi, veno-oklusif penyakit, dan kejang (Tomlinson & Kline,
2005; Otto, 2001).
Terapi gen juga merupakan penanganan kanker, terapi gen disebut juga
mentransfer gen, yaitu adalah pendekatan untuk mengubah dasar genetik dari sel-
sel normal atau kanker dalam rangka untuk mengubah fungsi mereka (Tomlinson
& Kline, 2005). Terapi gen juga didefinisikan sebagai transfer materi genetik,
termasuk DNA komplementer, gen penuh, RNA, atau oligonukleotida, ke dalam
sel somatik atau germline.
-
8/18/2019 Ui Mukositis
41/164
25
Menurut
dengan 1
penekan t
mencega
menerima
National
0.000 gen.
mor. Gen-
penyakit
pengobata
ancer Inst
. Gen yang
gen yang d
genetik
intensif y
itute (2004
melindung
imanipulas
serta men
ng tidak
) manusia
i terhadap
dapat me
ngkatkan
ungkin (T
mempuny
kanker dis
bantu mel
kemampua
mlinson &
50.000 s
but sebaga
wan kank
n tubuh
Kline, 200
mpai
i gen
r dan
ntuk
).
2.2. Mukositis
Mukositis
dengan p
Mukositis
peradang
Million,
peradang
sebagai e
Sedangka
inflamasi
2.2.1.
An
Mukosa
Mukosa o
dalam. P
tengah ter
kelenjar,
(McCorkl
didefinisi
embentuka
juga me
n mulut (
007; Otto,
n dan uls
ek sampin
menurut
pada muko
tomi Fisio
ral merup
ral terdiri d
mbentuk l
diri dari la
sedangkan
e, Grant, F
an sebag
n pseudo
rupakan r
stomatitis),
2001). Se
erasi oral
dari kem
Tomlinso
sa oral.
ogi Memb
kan pelin
ari tiga lap
apisan lua
ina propi
lapisan su
ank-Stomb
ambar 2.1.
i peradan
embran (
spon pera
esophagu
angkan m
mukosa d
terapi dan
n dan Kl
an Mukos
ung yang
san yaitu l
adalah se
, fibrous y
bmukosa
org & Bair
ukosa mulut
an dan ul
cardina,
dangan se
, dan sal
nurut Son
n submuk
pengobata
ne (2005)
mengham
pisan luar,
l epitel sk
ng berisi
alam sang
, 1996).
(D’Olimpio
serasi dari
isano &
l epitel
ran pence
s (2004),
sa, yang
n radiotera
mukositi
mukosa
essina, 2
ukosa me
naan (Eil
ukositis a
biasanya t
pi untuk k
adalah
ulut
010).
liputi
rs &
dalah
erjadi
nker.
roses
at invasi
lapisan te
amosa, se
embuluh d
at bervari
ikroorgan
gah, dan la
dangkan la
arah, nervu
si ketebal
isme.
pisan
pisan
s dan
nnya
Adams 2008)
-
8/18/2019 Ui Mukositis
42/164
Lamina propia dan sel epitel dipisahkan oleh membran basal. Membran basal
berdiferensiasi menjadi berbagai sel epitel skuamosa. Sel-sel ini memiliki masa
hidup diperkirakan 3 sampai 5 hari. Sel epitel skuamosa pada mukosa oral akan
mengalami pergantian setiap 7 sampai 14 hari. Tetapi ketika waktu penggantian
lebih lama akan mengakibatkan ulserasi, sehingga fungsi membran mukosa
sebagai pelindung mekanis terhadap organisme eksogen dan endogen berbahaya
menjadi terganggu, sehingga menyebabkan mukosa mudah terinfeksi (Otto, 2001;
McCorkle, Grant, Frank-Stomborg & Baird, 1996). Didalam mulut yang normal
terdapat juga flora normal yaitu bakteri gram positif, bakteri gram negatif dan
jamur, yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan organisme pathogen,
tetapi ketika terjadi gangguan terhadap flora normal tersebut mengakibatkan
organisme patogen mudah menginfeksi (Otto, 2001)
2.2.2. Penyebab Mukositis
Menurut Tomlinson dan Kline (2005) mukositis disebabkan oleh iatrogenik,
bakteri, virus dan jamur. Penyebab iatrogenik adalah mukositis yang disebabkan
karena pemberian kemoterapi, yang mengakibatkan komplikasi pada mulut
berupa langsung karena efek stomatotoksik dari obat-obat antineoplasma yang
menyebabkan mukositis, dan juga efek tidak langsung yang berupa mielosupresi
yang mengakibatkan perdarahan dan infeksi pada mulut (Tomlinson & Kline,
2005; UKCCSG-PONF, 2006).
Selain iatrogenik, mukositis juga disebabkan oleh mikroorganisme, yaitu bakteri,
virus, dan jamur (Tomlinson & Kline, 2005). Bakteri yang sering menyebabkan
mukositis pada pasien anak dengan kanker adalah bakteri anaerob gram negatif,Klebseilla, Enterobacter, Serratia, Proteus dan Escherichia coli (Tomlinson &
Kline, 2005). Pada penelitian yang dilakukan oleh Mottallebnejad, et al. (2008)
pada pasien yang mengalami mukositis dilakukan kultur, dan hasil dari kultur
tersebut ditemukan beberapa jenis bakteri yaitu Pseudomonas aeruginosa,
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
-
8/18/2019 Ui Mukositis
43/164
Sedangkan virus yang menyebabkan mukositis diantaranya Herpes simplex,
Cytomegalovirus, Varicella zoster , dan Epstein Barr virus. Menurut UKCCSG-
PONF (2006) bahwa virus yang menyebabkan mukositis pada anak dengan
kanker disebabkan oleh herpes simplex virus (HSV) sekitar 80%, dan Candida
albicans adalah jenis jamur yang sering menyebabkan mukositis (Tomlinson &
Kline, 2005; UKCCSG-PONF, 2006).
2.2.3. Patofisiologi Mukositis
Patofisiologi mukositis tidak dijelaskan secara penuh, tetapi dapat dibagi menjadi
2 (dua) yaitu mukositis langsung dan mukositis tidak langsung (Tomlinson &
Kline, 2010). Mukositis langsung terjadi pada sel-sel epitel mukosa mulut yang
mangalami perubahan, dan melalui mekanisme toksisitas langsung pada sel-sel
mukosa. Kemoterapi dan radioterapi mempengaruhi kematangan dan
pertumbuhan sel-sel epitel mukosa mulut sehingga menyebabkan perubahan pada
mukosa yang normal dan kematian sel. Mukositis ini bisanya terjadi pada hari ke
7 sampai 14 (Otto, 2001; McCorkle, Grant, Frank-Stomborg & Baird, 1996).
Mukositis tidak langsung disebabkan oleh invasi langsung dari bakteri gram
negatif dan jamur. Mukositis ini terjadi melalui mekanisme tidak langsung pada
sumsum tulang yang menyebabkan granulositopenia sehingga mempermudah
terjadinya infeksi dan perdarahan pada mukosa (McCorkle, Grant, Frank-
Stomborg & Baird, 1996). Lapisan mukosa rongga mulut yang diyakini
sebelumnya akan sangat rentan terhadap kerusakan selama menjalani terapi
kanker, dikarenakan sebagian besar perawatan untuk kanker tidak dapat
membedakan antara sel-sel sehat dan sel kanker. Kemoterapi juga biasanyamenyebabkan pembelahan pada sel seperti sel mukosa mulut dan tenggorokan,
sehingga sel menjadi rusak selama pengobatan (Sonis, 2007).
Mukositis terbagi menjadi 4 fase, yaitu fase inflamasi, fase epitel, fase ulserasi
dan fase penyembuhan. Fase yang pertama adalah fase inflamasi, pada fase ini sel
epitel, endothelial dan jaringan konektif dalam mukosa mulut terkena radikal
bebas, sehingga memacu respon inflamasi dengan pengeluaran sitokinin,
-
8/18/2019 Ui Mukositis
44/164
interleukin IB, prostaglandin, dan faktor nekrosis tumor (TNF). Mediator-
mediator inflamasi ini menyebabkan kerusakan secara langsung maupun tidak
langsung pada mukosa mulut dengan meningkatkan permeabilitas membran
(Scardina, Pisano & Messina, 2010; Sieracki et al., 2009).
Pada fase kedua atau fase epitel terjadi penghambatan pembelahan sel epitel pada
mukosa mulut, menyebabkan sel-sel epitel berkurang dan tidak segera diganti
oleh sel epitel yang baru, hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan epitel, epitel
menjadi atrofi dan terjadi eritema karena peningkatan vaskularisasi. Pada fase ini
pasien mengalami kesulitan bicara dan menelan, dan ketika mengunyah makanan
dapat menyebabkan ulserasi (Scardina, Pisano & Messina, 2010; Sonis, 2004).
Sedangkan pada fase ulserasi, dimana kerusakan epitel menyebabkan eksudasi
dan pembentukan pseudomembran. Pada fase ini terjadi kolonisasi mikroba pada
permukaan mukosa yang rusak, hal ini dapat diperburuk oleh keadaan netropenia
(Scardina, Pisano & Messina, 2010; Sonis, 2004). Pada fase ini luka pada mukosa
menembus epitel sampai lapisan submukosa yang menyebabkan rasa nyeri dan
mengalami disfungsi.
Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan, dimana terjadi pembentukan sel-sel
epitel yang baru, fase ini biasanya terjadi pada hari ke 12-16, tetapi tergantung
oleh beberapa faktor yaitu tingkat proliferasi epitel, pembentukan kembali flora
normal, tidak adanya faktor yang mengganggu penyembuhan luka, infeksi dan
iritasi mekanis (Sonis, 2004).
Gambar 2.2. Fase Mukositis (Sonis,2004)
-
8/18/2019 Ui Mukositis
45/164
2.2.4. Stadium Mukositis
Stadium mukositis merupakan penilaian tingkat keparahan dari mukositis.
Penilaian tingkatan keparahan diklasifikasikan menurut WHO (World Health
Organization), RTOG ( Radiation Therapy Oncology Group), WCCNR (Western
Consortium for Cancer Nursing Research) dan NCI ( National Cancer Institute).
Stadium mukositis terdiri dari stadium 0 sampai stadium 4 (Sonis et al., 2004).
Menurut WHO (2004) stadium mukositis dinilai dari stadium 1 sampai stadium 4,
yaitu: stadium 1 terjadi ulser tetapi tidak ada rasa sakit, eritema dan ada rasa
sensitif yang ringan; stadium 2 terdapat ulser, eritema, dan rasa nyeri, tidak terjadi
kesulitan makan; stadium 3 ulserasi, mengalami kesulitan memakan makanan
padat; dan stadium 4 timbul gejala yang berat sehingga perlu nutrisi enteral atau
parenteral (Scardina, Pisano, Messina, 2010; Sonis et al., 2004).
Penilaian stadium mukositis menurut RTOG sama dengan menurut WHO yaitu
dinilai dari stadium 1 sampai 4, dengan karakteristik stadium 1 terdapat ulserasi
pada mukosa, stadium 2 luas lesi < 1, 5 cm dan tidak berdekatan. Stadium 3 luas
lesi > 1,5 cm dengan jarak berdekatan, dan stadium 4 telah terjadi nekrosis
jaringan, ulserasi yang dalam, dan terjadi perdarahan (Troti et al., 2000).
sedangkan stadium mukositis menurut WCCNR dinilai dari stadium 1 sampai 3,
stadium 1 terdapat lesi 1-4 buah warna agak merah dapat disertai perdarahan atau
tidak, stadium 2 jumlah lesi > 4 warna merah disertai perdarahan spontan, stadium
3 lesi melebar dan warna sangat merah dan disertai perdarahan spontan (Sonis et
al., 2004; WCCNR, 1998).
Derajat mukositis berdasarkan National Institute Cancer stadium mukositis dinilai
dari stadium 1 sampai 4. Stadium 1 terdapat ulkus , eritema, dan ada nyeri ringan.
Stadium 2 terdapat eritema, edema, terdapat ulkus yang menimbulkan rasa nyeri,
dan masih mampu untuk makan. Stadium 3 tanda gejala stadium 2 ditambah
dengan ketidakmampuan untuk makan, dan stadium 4 tanda gejala stadium 3 dan
memerlukan nutrisi enteral atau parenteral (Scardina, Pisano, Messina, 2010,
Sonis et al., 2004; NCI, 1999).
-
8/18/2019 Ui Mukositis
46/164
2.2.5. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Mukositis
Faktor yang mempengaruhi mukositis diantaranya adalah usia, status gizi, jenis
kanker, pemberian kemoterapi, dan pemberian radioterapi. Menurut Beck (1999)
dalam Eilers (2004) pada anak-anak dan lansia mempunyai resiko lebih tinggi
mengalami mukositis dibandingkan dengan kelompok usia yang lainnya. Pada
anak-anak sel-sel epitel pada membran mukosa lebih sensitif mengalami
toksisitas, dan keganasan hematologi mengakibatkan mielosupresi yang
mempengaruhi terjadinya mukositis. Sedangkan pada lansia diketahui mengalami
penurunan pertumbuhan sel yang baru, dan berkaitan dengan fungsi ginjal.
Status gizi juga mempengaruhi terjadinya mukositis, pada asupan tinggi glukosa
atau protein, dan malnutrisi kekurangan protein menyebabkan terjadinya
peningkatan sakit gigi, dan mempunyai kontribusi terhadap terjadinya dehidrasi
yang menyebabkan iritasi dan penurunan pertumbuhan sel-sel epitel mukosa
(Eilers, 2004). Indikator status gizi memberikan gambaran tentang keadaan
keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh, yang ditandai
oleh pertumbuhan fisik berupa ukuran tubuh yaitu berat badan, tinggi badan dan
yang lainnya. Status gizi ditentukan berdasarkan Body Massa Index (BMI)
menurut usia yang berdasarkan grafik z-score WHO (2007). Status gizi dibagi
menjadi 5 kriteria yaitu sangat kurus pada persentil
-
8/18/2019 Ui Mukositis
47/164
terutama jenis kemoterapi yang bersifat toksik terhadap mukosa seperti dalam
Tabel 2.1. Komplikasi pada mulut dari pemberian kemoterapi adalah mukositis,
nyeri, mulut kering (xerostomia), infeksi pada mukosa dan gigi, penurunan asupan
cairan dan makanan, serta penurunan rasa (Eilers, 2004)
Tabel 2.1. Antineoplastik yang bersifat
toksik terhadap membran mukosa
Antimetebolite ComptothecinsCapecitabine irinotecan
Cytosine arabinoside topotecanFludarabine
Fluorouracil Miscellaneous Gemcitabine hydroxyureaMercaptopurine procarbazine
MethotrexateThioguanine Alkylating agents Trimetrexate busulfan
carboplatinPlant Alkaloids chlorambucilEtoposide cisplatinTeniposide cyclophosphamide
Vinblastine ifosfamideVincristine melphalan
Vinorelbine
TaxanesAntibiotics docetaxelBleomicyn paclitaxel
DactinomycinDaunorubicn Ablative Doses
Doxorubicin all antineoplasticEpirubicin
IdarubicinMitomycinMitoxantronePlicamycin
Sumber: Otto, 2001
Pemberian radioterapi juga dapat mengakibatkan mudah terjadinya iritasi pada
membran mukosa (Otto, 2001), yang akhirnya menyebabkan mukositis, mulut
kering, infeksi, dan penurunan rasa. Mulut kering mungkin akan dapat
berlangsung lama (Eilers, 2004). Pancaran elektron dari radioterapi menyebabkan
membran mukosa yang awalnya lembut menjadi rapuh, sehingga terjadi ulser,
eritema dan edema pada mukosa, pseudomembran tampak keputih-putihan,
perdarahan juga muncul pada mukositis berat. Radioterapi pada kepala dan leher
mempunyai resiko lebih tinggi untuk mengalami mukositis (Otto, 2001).
-
8/18/2019 Ui Mukositis
48/164
2.2.6. Penatalaksanaan Mukositis
Dalam menangani mukositis dapat diberikan terapi farmakologis maupun
nonfarmakologis. Pemberian terapi farmakologis berupa pemberian obat-obatan.
Obat-obatan yang diberikan adalah obat untuk mengatasi penyebab mukositis,
seperti obat antibakteri, antiinflamasi, anti jamur, maupun obat yang digunakan
untuk mengatasi nyeri yang ditimbulkan oleh mukositis, atau dapat juga diberikan
terapi obat-obatan yang dapat membantu percepatan pertumbuhan jaringan. Obat-
obat antibakteri yang diberikan pada pasien dengan mukositis biasanya diberikan
antibiotik seperti polimyxin, tobramycin, amphotericin B, cotrimoxazole,
gentamicin dan protegrin (Donnelly et al., 2003; UKCCSG-PONF, 2006),
pemberian antibiotik ini bertujuan untuk melawan bakteri yang menyebabkan
mukositis.
Obat antifungal yang diberikan pada anak dengan kanker yang mengalami
mukositis, diantaranya flukonazole, ketokonazole, mikonazole, itranazole, dan
nistatin (UKCCSG-PONF, 2006), Sedangkan pemberian antiinflamasi berguna
untuk menekan peradangan yang terjadi pada mukositis, obat antiinflamasi yang
diberikan pada pasien dengan mukositis adalah pemberian allopurinol, predison
atau kortikosteroid lainnya (Kwong, 2004; UKCCSG-PONF, 2006), dan obat
antivirus yang diberikan untuk menangani mukositis adalah asiklovir (UKCCSG-
PONF, 2006.
Selain pemberian antimikroba, pada mukositis juga diberikan obat-obatan yang
berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan jaringan, sehingga jaringan yang
baru cepat tumbuh, obat-obatan yang diberikan untuk mempercepat pertumbuhan jaringan adalah granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF),
granulocyte colony stimulating factor (G-CSF), palifermin, zinc, vitamin E dan L-
alanyn L-Glutamin (Harris et al, 2008; UKCSSG-PONF, 2006; McCorkle, Grant,
Frank-Stomborg & Baird, 1996). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Stiff, et al. (2006) dan Vadhan-Raj, et al. (2010) palifermin terbukti dapat
mempercepat pertumbuhan jaringan baru dengan diproduksinya keratin, sehingga
-
8/18/2019 Ui Mukositis
49/164
palifermin direkomendasikan untuk menangani mukositis (Harris et al., 2008;
UKCSSG-PONF, 2006).
Mukositis sering menimbulkan rasa nyeri, sehingga diperlukan analgesik,
analgesik yang diberikan bergantung pada skala nyeri yang dialami pasien. Pada
skala nyeri yang ringan jenis analgesik adalah analgesik jenis nonsteroid
antiinflamasi agen, sedangkan pada nyeri yang hebat dapat diberikan analgesik
jenis opiat atau narkotik (UKCSSG-PONF, 2006; Tomlinson & Kline, 2005;
McCorkle, Grant, Frank-Stomborg & Baird, 1996) atau pemberian polyvalent
intramuskular immunoglobulin (UKCSSG-PONF, 2006). Selain itu untuk
mengurangi nyeri dapat pula diberikan anesteri lokal seperti lidocain solution,
dyclonine hydrochloride, cocaine solution, aluminium hydroxide suspension
(UKCSSG-PONF, 2006; McCorkle, Grant, Frank-Stomborg & Baird, 1996; Otto,
2001).
Terapi non farmakologis pada mukositis yang dilakukan adalah dengan
melakukan perawatan mulut. Perawatan mulut merupakan cara terbaik untuk
menjaga kesehatan, integritas, dan fungsi mulut. Menurut Cheng (2003) dalam
Tomlinson, & Kline (2005) perawatan mulut dapat mengurangi insidensi dan
keparahan mukositis, dan menurut Rogers (2001) agen kumur yang digunakan
yang tidak menyebabkan iritasi mekanik adalah normal saline dan sodium
bikarbonat (Tomlinson, & Kline, 2005), atau bisa menggunakan kombinasi
keduanya (Otto, 2001). Perawatan mulut yang dianjurkan pada anak adalah
dengan berkumur-kumur minimal empat kali sehari (Tomlinson, & Kline, 2005),
atau melakukan perawatan mulut minimal setelah makan dan sebelum tidur, dansetiap 2 jam sekali bila sudah mengalami mukositis (Otto, 2001).
Perawatan mulut dengan menyikat gigi sebaiknya menggunakan sikat gigi yang
berbulu lembut, dan dilakukan selama kondisi mulut pasien memungkinkan
(Tomlinson & Kline, 2005), sedangkan bila jumlah leukosit kurang dari
1000/mm3, juml