Penghargaan Ucapan terima kasih kepada penyelia utama, Prof ...
UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id filependidikan dan bimbingannya sejak awal proses kuliah....
Transcript of UCAPAN TERIMA KASIH - sinta.unud.ac.id filependidikan dan bimbingannya sejak awal proses kuliah....
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Sesanti angayu bagia, atas asung kertha waranugraha Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar doktor (Dr.) pada Program Pendidikan
Doktor (S3) Kajian Budaya Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Terwujudnya disertasi ini atas dorongan, bimbingan, bantuan dan kerja sama
berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis
menyampaikan penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Bapak Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U. selaku promotor dengan
penuh perhatian, semangat, bimbingan dan saran dalam menyelesaikan disertasi ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. I
Wayan Ardika, M.A. selaku Ko-promotor I dan Bapak Dr. Putu Sukardja, M. Si. selaku
Ko-promotor II yang telah meluangkan waktunya dengan penuh perhatian dan
kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.
dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas
Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana yang saat ini dijabat oleh Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi,
atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program
Doktor pada program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan
terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, atas ijin yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor. Pada kesempatan ini,
penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dra. Anak Agung Ayu Rai
Wahyuni, M.Si Ketua Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana dan teman-teman staf pengajar di Program Studi Ilmu Sejarah atas
motivasinya dalam menyelesaikan program Doktor. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada sahabat Dr. Nyoman Wijaya, M. Hum. atas segala bantuan yang
diberikan dalam proses penyelesaian desertasi ini. Ungkapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Ketua Program S 3 Kajian Budaya Prof. Dr. A.A.B. Wirawan, S.U.
dan Sekretaris S 3 Kajian Budaya Dr. Putu Sukarja, M.Si serta seluruh staf pengajar
vi
pada Program S3 Kajian Budaya Universitas Udayana, atas pemberian fasilitas
pendidikan dan bimbingannya sejak awal proses kuliah. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada para pegawai/staf Program S3 Kajian Budaya atas segala bantuan
fasilitas dan informasi yang sangat berharga dalam menyelesaikan studi ini.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada tim penguji
disertasi ini, yaitu Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U. , Prof. Dr. I Wayan Ardika,
M.A. , Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A. , Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S. Prof.
Dr. I Wayan Cika, M. S. Dr. Putu Sukardja, M. Si., Dr. Ni Made Wiasti, M. Hum., Dr, I
Ketut Setiawan, M. Hum., yang telah memberikan masukan, kritik dan saran bagi
proses penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Ditjen
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI di Jakarta yang sejak tahun
awal kuliah (2005/2006) berkenan menyediakan dana BPPS serta dana Hibah Penelitian
Mahasiswa Doktor tahun 2010 untuk studi di Program Pendidikan Doktor (S3) kajian
Budaya Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua guru-guru dan para dosen
yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan telah membentuk kepribadian penulis,
yaitu guru-guru di Sekolah Dasar 1 Peguyangan, Sekolah Menengah Pertama
Dwijendra Denpasar, Sekolah Pendidikan Guru Negeri Denpasar, para dosen Jurusan
Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan
Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada, Program Doktor S 3 Kajian Budaya Universitas Udayana,
Secara khusus penulis menyampaikan juga penghargaan dan terima kasih
setulus-tulusnya kepada para narasumber atau informan, antara lain Ni Made Sri
Sutharmi, Ketut Tresnawati Bulan, S.H. , Ni Nengah Rasmini, Yuhal Wahidah, Siti
Ulfah, Ni Ketut Mertiasih, Sekretaris DPRD Kabupaten Jembrana beserta staf dan
informan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Kepada Agus. Sri
Lestari, dan Ariani penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan yang
kalian berikan dalam penyelesaian disertasi ini.
Ucapan terima kasih penulis panjatkan kepada mendiang Ibunda (Ni Ketut
Adnyadi), mendiang Ayahnda ( I Made Sarbayasa), mendiang Nenek (Ni Wayan Rineh)
dan mendiang Kakek (I Made Rantim) dan keluarga besar Ibunda di Banjar Batur
vii
Peguyangan, yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, dalam memberikan dasar-
dasar berpikir logis dan suasana demokratis, sehingga tercipta lahan yang baik untuk
berkembangnya kreativitas. Kepada kakak dan adik-adik penulis, Ni Wayan Suyatri, I
Ketut Sarjana, S.H., Dr. Ni Wayan Sartini, M. Hum., dan I Made Sutarmaja juga
diucapkan terima kasih banyak atas dorongan dan selalu mengingatkan agar penulis
segera menyelesaikan studi. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada istri
tercinta Dra. Ni Made Arditi beserta seluruh keluarga besar di Banjar Negari Singapadu
Gianyar serta kedua ananda tersayang Ni Wayan Rainy Priadarsini S., SS.,M.Hub.Int
dan I Made Adhi Permana S.,ST dengan penuh pengertian memberikan dukungan moril
untuk penulisan disertasi ini.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan
rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian
disertasi ini. Mengingat keterbatasan pengetahuan, wawasan dan pengalaman penulis,
karya ini tentu masih banyak memiliki kelemahan yang harus diperbaiki. Namun, dalam
kesederhanaan disertasi ini semoga masih dapat memberikan manfaat dalam menambah
khasanah perkembangan ilmu pengetahuan (cultural studies) di Indonesia.
Denpasar, Agustus 2016
Penulis
viii
ABSTRAK
Sejak era reformasi persaingan untuk memperebutkan posisi sebagai anggotalegislatif lebih terbuka. Pada Pemilu Tahun 2009 keterwakilan perempuan di LembagaLegislatif Kabupaten Jembrana sudah mencapai 20%, walaupun belum memenuhi target30 % namun upaya kaum perempuan berjuang untuk memperebutkan posisi sebagaianggota legislatif patut dihargai sebagai upaya mempercepat kesetaraan gender dalambidang politik.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskrisikan 1) Bentuk-bentukpergulatan politik perempuan di Lembaga Legislatif Kabupaten Jembrana. 2) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pergulatan politik perempuan di lembaga legislatifKabupaten Jembrana 3) Implikasi dan makna pergulatan politik perempuan di lembagalegislatif Kabupaten Jembrana. Dengan menggunakan teori kritis dan metode deskriptifkualitatif penelitian dilakukan di DPRD Kabupaten Jembrana. Data diperoleh denganobservasi dan wawancara mendalam.
Hasil penelitian ini pertama, ada ketidaksesuaian antara modal budaya yangdimiliki oleh perempuan dengan ranah politik yang mereka pilih sehingga merekabelum mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Kedua, pergulatanpolitik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana dipengaruhi olehberbagai faktor, seperti politik, budaya, sosial, ekonomi dan globalisasi. Ketiga,implikasi dari pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif dapat dijelaskanmelalui analisis teori-teori feminis kontemporer, seperti analisis feminisme kultural,analisis fenomenologis dan eksistensial, dan analisis institusional. Dengan bantuananalisis teori-teori feminis tersebut dapat dipahami bahwa para legislator perempuan diLembaga Legislatif Kabupaten Jembrana belum mampu memperjuangkan kesetaraandan keadilan gender bagi masyarakat Jembrana; sedangkan makna yang tampak adalahmakna partisipasi, kesetaraan, dan harga diri.
Simpulan penelitian, kaum perempuan sudah berusaha melakukan berbagaipergulatan politik di lembaga legislatif, namun dalam kenyataannya perjuangan yangdilakukan masih jauh kalah daripada politikus laki-laki. Hal ini berhubungan denganhabitus kolektif perempuan yang terbentuk melalui interaksi mereka dengan strukturobjektif masyarakat Bali yang dapat dilihat dalam realitas sosial politik, budaya, sosialekonomi, realitas globalisasi. Posisi perempuan sebagai kelompok minoritas danimperior di lembaga legislatif berimplikasi terhadap belum berhasilnya perjuanganmereka untuk mencapai kesetaraan gender bagi masyarakat Jembrana.
Temuan penting penelitian, pertama, keberhasilan perempuan duduk di lembagalegislatif Kabupaten Jembrana yang telah mencapai angka 20 persen ditentukan olehkesempatan untuk mengisi kuota dan pengaruh orang-orang terdekat seperti suami.Perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender dalam kancah legislatif merupakanpseudo gender, gender yang semu. Kedua, keterbatasan modal (ekonomi, sosial,budaya, dan simbolik) berimplikasi kepada jabatan atau kedudukan yang diperoleh diberbagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jembrana.
ix
Ketiga, penilaian anggota masyarakat biasa terhadap legislator perempuan ditentukanberdasarkan sumbangan yang diberikan, sedangkan tokoh masyarakat menilaiberdasarkan kinerja.
Kata kunci: pergulatan politik, legislatif, reformasi, kesetaraan gender, modal budaya
x
ABSTRACT
Since the reform era, competition in legislative elections has become more open.In the 2009 regional election, women representation in the Regional RepresentativeCouncil of Jembrana Regency reached 20%. Despite the fact that it did not reach thetarget of 30%, the efforts made by woman candidates to compete in the legislativeelection should be taken into account as an attempt to accelerate gender equality inpolitics.
The aims of this study are to understand and describe: 1) the forms of women’spolitical struggles in the Regional Representative Council of Jembrana Regency; 2)factors that influence women’s political struggles in the Regional RepresentativeCouncil of Jembrana; and 3) implications and meaning of women’s political struggles inthe Regional Representative Council of Jembrana. Using critical theory and thedescriptive-qualitative method, this research was conducted in the RegionalRepresentative Council of Jembrana Regency. The data in this study were obtainedthrough observations and in-depth interviews.
The results of this study are: first, there is an incompatibility between thecultural capital possessed by the women and the political arena which they have chosen,causing them to be unable to carry out their tasks and functions optimally. Second, thewomen’s political struggles in the Regional Representative Council of Jembrana areinfluenced by various factors such as politic, cultural, social, economic, andglobalization factors. Third, the implications of the Balinese women’s political strugglesin the legislative body can be explained by the analyses of contemporary feministtheories such as cultural feminism analysis, phenomenological and existential analysis,and institutional analysis. With the help of the analyses of feminist theories, it wasfound out that female legislators in Jembrana Regency have not been able to fight forgender equality and justice for the people of Jembrana; meanwhile the meaningsperceived are participation, equality and dignity.
The conclusions of this research are that the women have been trying to do avariety of political struggles in the legislative body, but in reality their struggles havenot been able to outweigh the power of male politicians. This is related to women’scollective habitus formed through their interactions with the objective structure ofBalinese people which can be seen in socio-political, cultural, and socio-economic, andglobalization reality. The women’s position as a minority and inferior group in thelegislative body results in their inability to achieve gender equality for the people ofJembrana.
The key findings of the study, first, the success of women to reach 20% positionin Regional Representative Council in Jembrana is determined by the support of theirclosest people, especially husband, even it will open more opportunities to get the targetof 30%. The struggling process to achieve gender equality in the legislative arena is a
xi
pseudo gender. Second, the lack of capital (economic, social, cultural, and symbolic)has implications to get position in different working unit in Legislative Council inJembrana. Third, the assessment given by local community to the women legislator isbased on the donations given, while community leaders asses based on performances.
Keywords: political struggles, legislative, reform, gender equality, cultural capital
xii
RINGKASAN
PERGULATAN POLITIK PEREMPUANDI LEMBAGA LEGISLATIF KABUPATEN JEMBRANA
PADA ERA REFORMASI
Perkembangan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif kabupaten/kota di
Bali hasil pemilu tahun 2009 memperlihatkan fenomena menarik khususnya di
Kabupaten Jembrana. Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif Kabupaten
Jembrana mengalami peningkatan yang paling tinggi dibandingkan dengan kabupaten
lain yakni dari dua orang perempuan hasil pemilu tahun 2004 menjadi enam orang
pada hasil pemilu tahun 2009. Persentase perempuan yang duduk dalam lembaga
legislatif Kabupaten Jembrana sudah mencapai 20 persen, persentase yang cukup tinggi
dibandingkan dengan kabupaten kota yang lainnya di Bali.
Representasi perempuan di legislatif Kabupaten Jembrana paling tinggi
dibandingkan dengan kabupaten kota lainnya di Bali walaupun belum mencapai 30 %.
Mereka sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan, baik secara internal maupun
eksternal, di dalam maupun di luar gedung DPRD, namun dalam kenyataannya
perjuangan yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dibebankan
kepada mereka, sesuai dengan aspirasi konstuennya, tetap saja peran politik yang dapat
mereka mainkan masih jauh kalah daripada politisi laki-laki. Dengan latar belakang di
atas maka perlu dilakukan penelitian melalui tiga pertanyaan sebagai berikut: (1)
bagaimana bentuk-bentuk pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana pada era reformasi? (2) faktor-faktor apa yang mempengaruhi
pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana? dan (3) apa
implikasi dan makna pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten
Jembrana terhadap perjuangan kesetaraan gender?
Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan pendekatan
interdisipliner sebagai salah satu ciri kajian budaya. Lokasi penelitian di Lembaga
Legislatif Kabupaten Jembrana. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi,
wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan melalui metode
deskriptif kualitatif dan interpretatif dengan menggunakan konsep dan teori. Konsep
xiii
pergulatan yakni suatu proses interaksi yang masih dan akan terus terjadi antara
perempuan dan dunia politik. Dalam proses ini terjadi suatu model yang dalam kajian
budaya disebut dengan kontestasi, resistensi, dan konvergensi (M. Nurkhoiron, 2005:
50). Sedangkan teori-teori yang digunakan adalah teori konstruktivisme generatif, teori
wacana relasi kuasa dan pengetahuan, teori hegemoni, dan teori posfeminisme.
Ada tiga hasil penelitian disertasi ini. Pertama, adanya hubungan antara habitus
kolektif perempuan dalam masyarakat dengan posisinya sebagai kelompok minoritas
dalam lembaga DPRD Kabupaten Jembrana. Ada ketidaksesuaian antara modal yang
dimiliki oleh perempuan dengan ranah politik yang mereka pilih dalam praktik sosial
politik di lembaga legislatif. Oleh karena itu sekalipun sudah berusaha melakukan
berbagai pergulatan, baik secara internal maupun eksternal, di dalam maupun di luar
gedung DPRD, namun dalam kenyataannya dibandingkan dengan anggota DPRD laki-
laki partisipasi mereka jauh lebih rendah sehingga belum mampu menjalankan
fungsinya secara optimal terutama yang menyangkut kedudukan dan fungsi perempuan
dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Keterbatasan modal budaya,
ekonomi, sosial dan simbolik yang dimiliki berpengaruh terhadap posisi jabatan
strategis yang berhasil diperoleh di lembaga legislatif.
Hasil penelitian yang kedua, belum optimalnya peranan anggota DPRD
perempuan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor penyebab itu ditemukan
dalam habitus kolektif perempuan Bali yang terbentuk melalui interaksi mereka dengan
struktur obyektif masyarakat Bali yang dapat dilihat dari realitas sosial politik, realitas
budaya, realitas sosial ekonomi, dan realitas globalisasi. Melalui realitas tersebut dapat
dipahami bahwa habitus kolektif perempuan menjadi salah satu penghambat bagi para
legislator perempuan untuk menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Realitas yang
dimaksud di antaranya adalah pertama, faktor politik, secara internal ada tiga penyebab
mengapa kaum perempuan enggan terjun dalam bidang politik yakni a) politik adalah
bidang kaum laki-laki yang identik dengan kekerasan sehingga tidak cocok bagi kaum
perempuan; b) kaum perempuan kurang maksimal memanfaatkan potensi dirinya untuk
aktif dalam bidang politik bahkan ada kecenderungan kaum perempuan lebih banyak
bergelut dalam urusan domestik; c) kaum perempuan kurang percaya diri, sehingga
xiv
secara mental kurang siap untuk memangku jabatan-jabatan politis yang menentukan
kehidupan masyarakat.
Kedua, faktor budaya. Perjuangan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan
dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan khususnya dalam bidang politik
telah dilakukan sejak lama. Namun demikian isu gender dalam bidang politik masih
tampak dalam kehidupan masyarakat yang berimplikasi terhadap peranan kaum
perempuan jauh lebih rendah dari kaum laki-laki dalam bidang politik. Hal ini tidak
lepas dari pengaruh ideologi patriarki yaitu suatu paham yang memberikan kekuasaan
kepada laki-laki. Di Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilinial merupakan lahan
yang subur bagi berkembangnya ideologi patriarki yang menempatkan kedudukan laki-
laki jauh lebih tinggi dan penting dari kaum perempuan sehingga terjadi hubungan yang
sub-ordinatif. Di samping itu dalam realitas kehidupan, perempuan menjalankan peran
ganda, yakni peran reproduktif dan peran produktif. Peran ganda inilah merupakan salah
satu kendala dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai anggota dewan. Dari segi
kapital budaya khususnya pendidikan, tingkat pendidikan anggota legislatif perempuan
rata-rata tamatan SMA sederajat, hanya satu S-1, dan satu orang tamatan D-3. Secara
umum tingkat pendidikan seseorang akan menentukan kualifikasi dalam menjalankan
profesi di bidangnya.
Ketiga, faktor sosial ekonomi. Perubahan orientasi politik masyarakat
Indonesia khususnya di Bali memperlihatkan kecenderungan ke arah pragmatis yang
menjadikan modal ekonomi memegang peranan sentral dalam perebutan kekuasaan.
Hal ini disebabkan oleh globalisasi yang telah merasuk ke dalam berbagai sektor
kehidupan khususnya dalam kehidupan politik. Para pelaku politik dituntut untuk
bertindak lebih rasional dalam berhadapan dengan masyarakat yang sudah semakin
kritis dan memandang arena politik sebagai tempat untuk memperoleh keuntungan.
Arena politik disamakan dengan pasar; ada yang berperan sebagai produsen dan ada
pula yang berperan sebagai konsumen. Para kontestan politik merupakan produsen
politik dituntut untuk menghasilkan produk-produk yang menarik bagi konsumen dalam
hal ini masyarakat pemilih. Transaksi antara produsen dan konsumen dalam kancah
politik inilah yang menimbulkan pasar politik.
xv
Keempat, faktor globalisasi. Globalisasi membawa berbagai macam pengaruh,
seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada era komunikasi sebagian besar
masyarakat sangat tergantung kepada teknologi satelit dan teknologi komputer.
Teknologi komputer merupakan kebutuhan utama dalam upaya menjaga peningkatan
volume kecepatan dan jarak untuk memperoleh sumber-sumber informasi yang
diperlukan. Menurut Sennett (2006) seperti dikutip oleh Haryatmoko (2010: 254)
revolusi teknologi informasi melahirkan logika waktu pendek. Media elektronik dan
komputer memungkinkan informasi dan pertukarannya dalam waktu singkat dan cepat
seperti kecepatan cahaya. Tersedianya informasi secara instan mengakibatkan
masyarakat tidak lagi toleran terhadap kelambatan dan penantian yang lama. Logika
waktu pendek menjadi prinsip kehidupan, artinya untuk bisa bersaing dan bertahan
hidup prinsip pengorganisasian kerja harus menekankan pada tepat waktu, ringkas,
luwes dan menguntungkan.
Pada era globalisasi perkembangan teknologi pengelolaan tubuh dan teknologi
domestik membawa implikasi terhadap kondisi ekonomi kaum perempuan khususnya di
Bali. Kedua jenis teknologi tersebut sangat kuat pengaruhnya bagi kehidupan kaum
perempuan. Teknologi lain yang juga menarik perhatian kaum perempuan adalah
teknologi sektor domestik, seperti kemajuan dalam bidang teknologi alat-alat rumah
tangga dan peralatan dapur. Penggunaan berbagai peralatan rumah tangga/dapur yang
serba modern di satu sisi dapat memberikan kenyamanan, kenikmatan, keindahan,
kemoderenan atau sebagai status simbul sosial sehingga kaum perempuan menjadi
betah tinggal di rumah. Namun, di sisi lain kaum perempuan dituntut untuk
mengeluarkan banyak waktu dan tenaga untuk merawat dan menjaga barang-barang
perlengkapan rumah tangganya.
Berdasarkan kenyataan yang telah diungkapkan di atas sesungguhnya kaum
perempuan telah mengalami dominasi dan hegemoni berganda yang melibatkan laki-
laki, media massa/pasar yang dikendalikan oleh negara-negara kapitalis global yang
menawarkan berbagai produk kebutuhan, baik berupa alat-alat dan barang kecantikan
serta alat-alat rumah tangga yang serba modern. Kaum perempuan mengeluarkan
banyak uang untuk membeli aneka ragam barang yang dapat mendatangkan kenikmatan
sehingga basis ekonominya menjadi lemah. Basis ekonomi yang lemah akan
xvi
menyulitkan kaum perempuan untuk dapat bersaing dalam dunia politik praktis yang
membutuhkan dukungan kapital ekonomi yang besar.
Hasil penelitian yang ketiga adalah implikasi pergulatan politik perempuan di
lembaga legislatif Kabupaten Jembrana dalam perspektif gender dapat dijelaskan
melalui analisis teori-teori feminis kontemporer, seperti analisis feminisme kultural,
analisis fenomenologis dan eksistensial, dan analisis institusional. Dengan bantuan
analisis teori-teori feminis tersebut dapat dipahami bahwa para legislator perempuan di
Lembaga Legislatif Kabupaten Jembrana belum mampu memperjuangkan kesetaraan
dan keadilan gender bagi masyarakat Jembrana. Sedangkan makna yang dapat dipetik
dari pergulatan politik perempuan Bali di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana adalah
makna partisipasi dan mobilisasi, makna kesetaraan, dan makna harga diri.
Kesimpulan penelitian, pertama, kaum perempuan sudah berusaha melakukan
berbagai pergulatan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana, baik secara internal
maupun eksternal, namun dalam kenyataannya perjuangan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan-tujuan politik yang dibebankan kepada mereka, sesuai dengan aspirasi
konstuennya, masih jauh kalah daripada politisi laki-laki. Kedua, adanya hubungan
antara habitus kolektif perempuan dalam masyarakat dengan posisinya sebagai
kelompok minoritas di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana. Habitus kolektif
perempuan yang terbentuk melalui interaksi mereka dengan struktur objektif
masyarakat Bali dapat dilihat dalam realitas sosial politik, budaya, sosial ekonomi,
realitas globalisasi. Ketiga, posisi perempuan sebagai kelompok minoritas dan imperior
di hadapan legislator laki-laki di Kabupaten Jembrana berimplikasi terhadap belum
berhasilnya perjuangan mereka untuk mencapai kesetaraan gender.
Temuan penting penelitian adalah pertama, perjuangan kaum perempuan di
Kabupaten Jembrana untuk memperebutkan kursi di lembaga legislatif pada pemilu
tahun 2009 telah berhasil menempatkan enam orang wakil dari berbagai partai politik,
dua orang dari Partai Demokrat, satu orang dari Partai Persatuan Pembangunan, satu
orang dari Partai Kebangkitan Bangsa, dan satu orang dari Partai Indonesia Baru, satu
orang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Hal ini menunjukkan jumlah
peningkatan yang cukup signifikan dan telah mencapai angka 20 persen. Tiga partai
politik yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai
xvii
Indonesia Baru hanya diwakili oleh perempuan, artinya perempuan berhasil
menyingkirkan calon legislatif laki-laki. Keberhasilan enam orang perempuan
menduduki kursi di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana tidak semata-mata
ditentukan oleh kapabilitas yang dimiliki, namun lebih banyak ditentukan oleh
kesempatan yang terbuka bagi kaum perempuan untuk mengisi kuota yang dibutuhkan
oleh Partai Politik; pengaruh orang-orang terdekat, di antaranya pengaruh dari suami.
Berdasarkan hasil penelitian anggota legislatif perempuan diperoleh data yang suaminya
mantan kepala desa dua orang, istri pengusaha satu orang, istri anggota Komisi
Pemilihan Umum satu orang, dan istri pejabat di Pemda Kabupaten Jembrana satu
orang. Hal ini juga memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberhasilan
anggota legislatif perempuan untuk melenggang ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Jembrana. Modal simbolik, seperti prestise, status, dan otoritas,
jabatan, gelar, status tinggi, nama besar keluarga yang dimiliki oleh sang suami
mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk mengantarkan keterpilihan istri-istrinya
menjadi anggota legislatif. Perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender dalam kancah
legislatif merupakan pseudo gender, gender yang semu atau gender palsu.
Temuan kedua, keterbatasan modal seperti modal ekonomi, sosial, budaya, dan
simbolik yang dimiliki oleh anggota legislatif perempuan di Kabupaten Jembrana
mempengaruhi pergulatan politiknya di lembaga legislatif untuk memperjuangkan
kepentingan konstituennya. Dari sisi ekonomi secara umum dalam sistem kekeluargaan
di Bali modal ekonomi lebih dominan dikuasai oleh laki-laki, tanpa bantuan modal
ekonomi dari suami sulit bagi perempuan untuk bertarung dalam hajatan pemilihan
umum legislatif. Modal sosial yang dimiliki juga sangat terbatas seperti pengalaman
berorganisasi yang pernah dilakukan sangat terbatas, baik pengalaman dalam bidang
organisasi sosial kemasyarakatan maupun dalam bidang politik. Demikian juga halnya
dengan modal budaya dan modal simbolik, sebagian besar legislator perempuan di
Kabupaten Jembrana jebolan Sekolah Menengah Atas, satu lulusan D-3 dan satu orang
tamatan S-1. Keterbatasan modal yang dikuasai oleh kaum perempuan yang duduk
dalam lembaga legislatif di Kabupaten Jembrana berimplikasi kepada jabatan atau
kedudukan yang diperoleh di berbagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten Jembrana. Tidak ada seorang pun anggota legislatif perempuan yang
xviii
berhasil merebut posisi strategis seperti ketua, wakil ketua baik di fraksi maupun di alat
kelengkapan dewan bahkan alat kelengkapan dewan seperti Badan Anggaran, Badan
Kehormatan tidak ada satu pun anggota legislatif perempuan yang menempati posisi
tersebut. Demikian juga di dalam anggota Komisi, dari tiga komisi yang ada
perempuan lebih banyak berada di Komisi A yakni berjumlah empat orang, Komisi B
ada dua orang; sedangkan Komisi C yang membidangi masalah pembangunan tidak ada
anggota perempuan. Penempatan jabatan strategis di dalam kelengkapan dewan
merupakan hak partai politik melalui fraksi yang ada di lembaga legislatif. Kader-kader
partai politik yang memegang jabatan strategis di partai politik yang berhasil menjadi
anggota legislatif akan menempati jabatan strategis terutama jabatan yang dipandang
sebagai jabatan “basah” yang tujuannya untuk menggalang dana bagi partai.
Temuan ketiga, penilaian masyarakat terhadap kinerja anggota legislatif
khususnya legislator perempuan dapat dipilah menjadi dua, yakni penilaian anggota
masyarakat biasa dan dari tokoh-tokoh masyarakat. Anggota masyarakat menilai
anggota legislatif perempuan telah memperjuangkan konstituennya karena dilihat dari
bantuan yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat, sedangkan tokoh
masyarakat menilai keberhasilan anggota legislatif perempuan dari kinerjanya terutama
keberhasilannya dalam menemukan permasalahan yang ada di masyarakat dan ikut
menawarkan alternatif pemecahannya. Hal ini masih jarang dilakukan sehingga
intensitas hubungan antara anggota dewan dengan konstituennya belum berjalan
maksimal.
Berdasarkan simpulan di atas ada beberapa saran yang disampaikan. Pertama,
pemerintah, partai politik, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi
hendaknya bekerja sama menyusun program-program yang responsif gender dan
memberikan pendidikan politik yang memadai untuk memberdayakan kaum perempuan
dalam berbagai sektor kehidupan khususnya dalam bidang politik. Kedua, DPRD harus
menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat merasa terpanggil untuk
menyalurkan aspirasinya melalui berbagai media yang ada. Selama ini masih terkesan
bahwa masyarakat khususnya dari kalangan perempuan enggan untuk menyampaikan
aspirasinya karena masih terbatasnya media yang ada sebagai arena untuk
berkomunikasi dengan para wakilnya khususnya anggota DPRD perempuan. Oleh
xix
karena itulah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat menyampaikan asiprasi maka
anggota DPRD perempuan perlu melakukan 1) forum-forum dialog dengan Lembaga
Swadaya Masyarakat yang peduli terhadap permasalahan perempuan. LSM ini biasanya
sangat memahami kondisi dan permasalahan perempuan yang ada di wilayahnya. Dari
dialog tersebut akan menghasilkan masukan dan aspirasi masyarakat yang
sesungguhnya. Jangan menganggap LSM sebagai pengganggu kemapanan atau sebagai
musuh, jadikan LSM sebagai mitra kerja. 2) Anggota DPRD hendaknya selalu
mentradisikan dengar pendapat, setiap kebijakan atau keputusan yang akan dikeluarkan
terlebih dahulu harus melakukan hearing dengan masyarakat atau konstituennya
sehingga keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan tidak mendapat tentangan atau
resistensi dari masyarakat. 3) Sebagai wakil rakyat, anggota DPRD tidak boleh menjauh
dengan rakyat, sebaliknya mereka harus selalu dekat dengan rakyat. Anggota DPRD
harus sadar bahwa dia merupakan wakil rakyat, oleh karena itu harus selalu
memperjuangkan aspirasi masyarakat. Partisipasi masyarakat harus didukung dan
dikembangkan dengan demikian akan terwujud demokrasi di tingkat lokal.
Ketiga, anggota DPRD perempuan hendaknya bersikap asertif, artinya bersikap
tegas, sopan dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pendapatnya. Kepribadian
yang asertif adalah kepribadian yang tanggap dan peka dalam menjawab realitas
kekinian. Perempuan yang tidak tanggap akan mengalami kendala dalam berkompetisi.
Sikap asertif didukung oleh enam hal, yakni berani, berlatih bertanya dan berpendapat,
mencari dan mengolah informasi, tanggung jawab, empati, dan analisis diri.
xx
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM………………………………………………....... ii
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………… iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI............................................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH...……………………………………………..... vi
ABSTRAK...…………………………………………………………….......... ix
ABSTRACT...................................................................................................... xi
RINGKASAN DISERTASI.……………………………………………...... xiii
DAFTAR ISI………………………………………………………………... xxi
DAFTAR TABEL...................................................................................... xxvi
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. xxvii
DAFTAR SINGKATAN............................................................................. xviii
GLOSARIUM............................................................................................... xxix
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xxxii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………… 12
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………. 13
1.3.1 Tujuan Umum …………………………………. 13
1.3.2 Tujuan Khusus …………………………………. 14
1.4 Manfaat Penelitian………………………………………… 14
xxi
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN
MODEL PENELITIAN…………………………………………… 16
2.1 Kajian Pustaka………………………………………………….... 16
2.2 Konsep……………………………………………………… 32
2.2.1 Pergulatan Politik…………………………………. 33
2.2.2 Perempuan …...…………………………………… 35
2.2.3 Lembaga Legislatif……………………………….. 37
2.2.4 Era Reformasi…………………………………….. 37
2.3 Landasan Teori……………………………………………. 40
2.3.1 Teori Strukturalisme Generatif…………………… 41
2.3.2 Teori Wacana Relasi Kuasa dan Pengetahuan…… 46
2.3.3 Teori Posfeminisme……………………………….. 48
2.3.4 Teori Hegemoni…………………………………… 54
2.4 Model Penelitian…………………………………………… 58
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………… 63
3.1 Rancangan Penelitian………………………………………. 63
3.2 Lokasi Penelitian……………………………………............. 66
3.3 Jenis dan Sumber Data……………………………………… 67
3.4 Teknik Penentuan Informan………………………………... 68
3.5 Instrumen Penelitian………………………………………... 69
3.6 Teknik Pengumpulan Data………………………….............. 70
3.7 Teknik Analisis Data……………………………………….. 71
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data……………………… 72
BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN..................... 74
4.1 Kondisi Geografis.………………………….............................. 74
xxii
4.2 Kondisi Penduduk...................................................................... 81
4.3 Kondisi Sosial Politik Masyarakat............................................. 84
4.4 Pergulatan Perempuan Bali Dalam Sejarah................................. 89
BAB V BENTUK-BENTUK PERGULATAN POLITIK PEREMPUAN DI
DPRD KABUPATEN JEMBRANA............................................ 103
5.1 Rezim Wacana Dalam Sejarah Politik Indonesia....................... 106
5.1.1 Kedudukan Kaum Perempuan Dalam Fraksi…………….... 116
5.1.2 Posisi Pimpinan Sebagai Jabatan Strategis.............................. 122
5.1.3 Kedudukan Legislator Perempuan Dalam Badan Musyawarah.. 126
5.1.4 Kedudukan Perempuan Dalam Komisi…………………....... 128
5.1.4.1 Komisi A............................................................................... 130
5.1.4.2 Komisi B............................................................................... 142
5.1.4.3 Komisi C............................................................................... 147
5.1.5 Kedudukan Perempuan Dalam Badan Legislasi Daerah......... 152
5.1.6 Kedudukan Perempuan Dalam Badan Anggaran.................... 164
5.1.7 Kedudukan Perempuan Dalam Badan Kehormatan................ 169
5.1.8 Kedudukan Perempuan Dalam Panitia Khusus...................... 174
5.2 Pergulatan Politik Perempuan Di Luar Lembaga Legislatif..... 177
5.2.1 Reses Sebagai Instrumen Relasi Anggota Dewan dengan
Konstituen........................................................................... 179
5.2.1.1 Bidang Infrastruktur............................................................ 182
5.2.1.2 Bidang Sosial Budaya.......................................................... 188
5.2.1.3 Bantuan Sosial..................................................................... 192
5.2.1.4 Bidang Kesehatan................................................................. 193
5.2.1.5 Bidang Administrasi Kependudukan................................... 196
xxiii
5.2.1.6 Bidang Pertanian dan Peternakan......................................... 198
5.2.1.7 Bidang Pendidikan................................................................ 200
5.2.2 Kunjungan Kerja Dalam Daerah dan Luar Daerah..................... 207
5.2.3 Konsultasi/Koordinasi sebagai Upaya Meningkatkan
Kinerja DPRD.......................................................................... 211
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
PERGULATAN POLITIK PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF
KABUPATEN JEMBRANA............................................................... 215
6.1 Habitus Kolektif Perempuan Bali ………....................................... 216
6.2 Faktor Struktur Objektif…………………………………….......... 218
6.2.1 Realitas Sosial Politik …………………………………………. 221
6.2.2 Realitas Budaya.……………………………………………....... 244
6.2.3 Realitas Sosial Ekonomi.............................................................. 254
6.2.4 Realitas Globalisasi..................................................................... 261
BAB VII IMPLIKASI DAN MAKNA PERGULATAN POLITIK PEREMPUAN
DI LEMBAGA LEGISLATIF BAGI PERGERAKAN
KESETARAAN GENDER DI KABUPATEN JEMBRANA...... 266
7.1 Implikasi Pergulatan Politik Perempuan Terhadap Pergerakan
Kesetaraan Gender di Kabupaten Jembrana............................... 267
7.1.1 Dalam Bidang Sosial........................................... …………….. 268
7.1.2 Dalam Bidang Politik........................................... …................. 275
7.1.3 Dalam Bidang Ekonomi........................................... …............. 281
7.2 Makna Pergulatan Politik Perempuan pada Lembaga
Legislatif dalam Perspektif Gender………………….................... 296
7.2.1 Makna Partisipasi dan Mobilisasi............................................. 298
xxiv
7.2.2 Makna Kesetaraan.................................................................... 306
7.2.3 Makna Harga Diri.................................................................... 324
BAB VIII PENUTUP ……………………………………....................... 335
8.1 Simpulan.......................................................................... …….... 335
8.2 Temuan Penelitian.......................................................................... 337
8.3 Saran................................................................................ ….…... 340
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..….. 343
LAMPIRAN………………………………………………………...….… 357
xxv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Proporsi Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota BerdasarkanJenis Kelamin Hasil Pemilu Tahun 1999, 2004, dan 2009……………..7
Tabel 4.1 Jumlah Kecamatan, Desa, dan Kelurahan di KabupatenJembrana……………………………………………………………….76
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kabupaten Jembrana diperinci Per-Kecamatan…82
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kabupaten Jembrana Berdasarkan Agama……..83
Tabel 4.4 Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2009 di Kabupaten Jembrana…85
Tabel 5.1 Fraksi-Fraksi di DPRD Kabupaten Jembrana Periode 2009-2014…118
xxvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Peta Pulau Bali………….………………………………………74
Gambar 4.2 Peta Kabupaten Jembrana……………………………………....75
xxvii
DAFTAR SINGKATAN
ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
BDL : Bali Darma Laksana
BK : Badan Kehormatan
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPR-GR : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong
IPU : International Parlemet Union
KPU : Komisi Pemilihan Umum
LKP Lembaga Kursus dan Pelatihan
MVS : Meisjes Vervolgschool
NVS : Normaal Vervolgschool
PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa
PBS : Putri Bali Sadar
PGGD : Persatoean Goeroe-Goeroe Denpasar
PKS : Partai Keadilan Sejahtera
PWI : Persatuan Perempuan Indonesia
RIS : Rebublik Indonesia Serikat
SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah
UU : Undang-Undang.
xxviii
GLOSARIUM
alangkahi karang hulu : perkawinan perempuan dari triwangsa dengangolongan jaba
amada-mada sang ratu : menyamai raja
asumundung : perkawinan perempuan dari golongan brahmanadan ksatriya dengan laki-laki golongan di bawahnya
awig-awig : aturan tertulis di Desa Adat
ayahan muani : pekerjaan untuk laki-laki
ayahan luh : pekerjaan untuk perempuan
banjar : organisasi sosial tradisional orang Bali
belengih : cengeng, sering menangis
beli : sebutan untuk kakak laki-laki dalammasyarakat Bali
dadia :pengelompokan masyarakat berdasarkan keturunan,nama pura keluarga yang masih ada hubungankeluarga.
huwelijks recht : adat perkawinan
luh : sebutan untuk perempuan Bali
luh luwih : perempuan sempurna
karya : upacara suci umat Hindu.
krama istri : warga desa adat perempuan
kawitan : asal-usul keturunan suatu kelompok masyarakat
luh pawakan tanah : perempuan dilambangkan sebagai tanahmancak : berhias
madarma swaka : berkunjung untuk mendapat dukungansecara santun
xxix
madana punia : menyumbang dengan suka rela
manak : melahirkan anak
manak salah : perempuan yang melahirkan anak kembar laki-lakidan perempuan
masimakrama : silahturahmi
memanesi : menimbulkan kekacauan
mepadik : dipinang
muani pawakan bibit : laki-laki dilambangkan sebagai penghasil benih
ngalih pangkat : mencari jabatan
pradana : hubungan kekeluargaan dari garis keturunanPerempuan
prebekel :jabatan setingkat kepala desa
purusa : Hubungan kekeluargaan dari garis keturunan laki-laki
puri : pusat kerajaan, tempat tinggal rajadan keluarganya
pura : tempat suci bagi umat Hindu
pemelastian : upacara pembersihan bagi umat Hindu
pengempon : kelompok warga yang mempunyai kewajibanuntuk melaksanakan tugas-tugas di suatu pura.
pusung tagel : sanggul rambut perempuan Bali
putrika : proses perubahan status seorangperempuan menjadi laki-laki
sangkepan : pertemuan warga masyarakat di Bali
schoolopziener : pengawas sekolah
xxx
seka : organisasi sosial yang bergerak dalam lapangankehidupan tertentu
sentana : anak/keturunan
setra : kuburan
soroh : kelompok-kelompok warga berdasarkan keturunan
subak : organisasi pengairan dalam bidang pertaniandi Bali
swanita : telur perempuan
tatadan : bekal hidup dari orang tua kepada anak perempuan
tempek : kelompok masyarakat berdasarkan wilayah tempatTinggal dalam suatu banjar.
triwangsa : sebutan untuk tiga golongan brahmana, ksatriya,wesia
tunggalan sanggah : satu kuil keluarga
xxxi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar Informan……………………………………………. 357
2. Daftar Pertanyaan………………………………………….. 360
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara normatif saat ini sesungguhnya tidak ada perbedaan perlakuan
berdasarkan jenis kelamin bagi setiap warga negara untuk berperan dalam
kancah politik. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dan berbagai
kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah tidak membedakan akses
antara laki-laki dan perempuan untuk berperan dalam bidang politik. Undang-
Undang Dasar 1945 (pasal 27) memberikan kedudukan yang sama bagi setiap
warga negara Indonesia di hadapan hukum dan pemerintahan, memberikan hak
yang sama atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta tanggung jawab
yang sama pula dalam usaha pembelaan negara, tanpa membedakan antara
warga negara laki-laki dan perempuan. Pada tahun 1952 Indonesia meratifikasi
Konvensi PBB mengenai hak politik perempuan ( UN Convention on Political
Rights of Women) melalui UU No. 68 Tahun 1968. Undang-undang ini
memberikan perempuan untuk memilih dan dipilih dalam lembaga legislatif
negara.
Ratifikasi Pemerintah Republik Indonesia atas Konvensi PBB tentang
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Woman) melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984, menunjukkan komitmen yang kuat dari Pemerintah RI
untuk menghapus segala pembedaan perlakuan antara kaum laki-laki dan kaum
2
perempuan. Pengesahan terhadap Konvensi Wanita mengandung makna
bahwa negara Indonesia mengakui adanya diskriminasi, mengutuk diskriminasi,
negara bersepakat menghapus diskriminasi dengan segala cara yang tepat tanpa
ditunda-tunda, dan aparat negara dari pusat sampai daerah dituntut untuk ikut
bertanggungjawab dalam usaha menghapus diskriminasi (Ariani, 2005).
Menurut pasal 1 Konvensi Wanita pengertian diskriminasi terhadap wanita
sebagai berikut:
Diskriminasi terhadap wanita berarti setiap pembedaan, pengucilan, ataupembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruhatau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatanatau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya olehwanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antarapria dan wanita.
Dalam upaya untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan
pemerintah Republik Indonesia menerbitkan dua peraturan penting yang dapat
digunakan dalam mengkaji hak-hak perempuan. Pertama, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berkaitan dengan hak asasi
perempuan dalam bidang profesi pasal 49 ayat 1 menyatakan bahwa wanita
berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi
sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Kedua, instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender yang isinya
Presiden menginstruksikan kepada para Menteri, kepada Lembaga Pemerintah
Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara,
Panglima Tentara Nasional Indonesia, Bupati/Walikota, untuk mengarusutamaan
gender ke dalam semua proses pembangunan nasional. Tujuan pengarusutamaan
3
gender adalah menarik permasalahan perempuan ke dalam arus utama
pembangunan bangsa dan masyarakat sebagai warga negara yang mempunyai
hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki (Pusat Kajian Wanita dan
Gender, 2004: x).
Untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang politik praktis,
pemerintah telah mengeluarkan berbagai produk perundang-undangan. Dalam
undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-
undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan
perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk
di dalam parlemen. Dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, bahkan
disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan
pada kepengurusan parpol tingkat pusat merupakan salah satu persyaratan parpol
untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dalam Pasal 53 UU disebutkan bahwa
daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen
keterwakilan perempuan (Undang-Undang No. 10 Tahun 2008: 8, 31).
Ketetapan atas UU tersebut di atas sudah ada sejak awal tahun 2004 lalu,
yang didasarkan UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang secara khusus
termaktub di pasal 65 ayat 1 tertulis Tata Cara Pencalonan Anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada ayat 1 disebutkan setiap
Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Pada ayat 2,
setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-
4
banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada
setiap Daerah Pemilihan. Pada ayat 3, dinyatakan, pengajuan calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan calon anggota DPR
disampaikan kepada KPU; calon anggota DPRD Provinsi disampaikan kepada
KPU Provinsi yang bersangkutan; dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota
disampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Menanggapi undang-undang tersebut, Guru besar Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Wayan P. Windia mengatakan, bahwa perempuan dalam
kehidupan sehari-hari selama ini sudah terbiasa bergelut dengan dunia politik,
tanpa mengenyampingkan perannya dalam kehidupan keluarga maupun Desa
Adat. Hal itu terkait dengan ketentuan undang-undang telah memberikan ruang
kepada mereka untuk terjun dalam dunia politik, yang selama ini didominasi
para pria. Dalam ketentuan undang-undang itu disebutkan, setiap partai politik
yang bertarung dalam pemilu harus menyediakan kuota 30 persen untuk
perempuan sebagai calon legislatif (caleg). Peluang tersebut di atas mulai
dimanfaatkan secara maksimal, bahkan terkesan parpol "memaksa" perempuan
Bali untuk ikut dalam pertarungan merebut kursi di DPRD kabupaten/kota,
provinsi maupun DPR-RI (AntaraNews.com/ diakses 9 Oktober 2015).
Sekalipun ada kesan “dipaksa,” namun dengan adanya peluang tersebut di
atas, beberapa tahun ke depan kaum perempuan akan bisa menduduki jabatan
strategis bukan hanya dalam sektor swasta, tetapi juga di bidang politik,
pemerintah. Hal itu disebabkan karena mereka memiliki keunggulan antara lain
5
berupa penampilan, kemampuan intelektual, komunikasi serta keaktifan dalam
organisasi kemasyarakatan. Ditambah lagi dengan latar belakang pendidikan
perguruan tinggi, dan kesadaran tentang etos kerja yang kuat, maka modal
perempuan untuk bersaing di pentas politik menjadi semakin kuat. Dengan
demikian, pada akhirnya mereka akan bisa duduk sejajar dengan kaum laki-laki
dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat (AntaraNews.com/ diakses 9
Oktober 2015).
Wayan P. Windia mendasari pendapatnya itu dengan pengalaman dan
kenyataan selama ini, bahwa perempuan sanggup melakoni semua bidang
pekerjaan yang produktif secara profesional. Sekali pun pada kenyataan pada
periode sebelumnya (pemilu 2004), kuota tersebut belum terpenuhi, namun
mereka tidaklah gagal pada Pemilu-Pemilu sebelumnya. Berbeda dengan
kondisi sebelumnya, pada Pemilu 2009 sekitar 28 caleg perempuan lintas parpol
berhasil menembus kursi wakil rakyat, 4 orang di antaranya ke DPRD Bali dan
24 orang di DPRD Kabupaten/kota (AntaraNews.com/ diakses 9 Oktober 2015).
Keempat perempuan yang lolos ke kursi DPRD Bali hasil Pemilu 2009 tersebut
adalah, satu, Hening Puspita Rini dari PDIP daerah pemilihan Kabupaten
Bangli; dua, Tutik Kusuma Wardhani (Partai Demokrat) daerah pemilihan
Kabupaten Buleleng; tiga, Ni Made Sumiati (PDIP) daerah pemilihan
Kabupaten Karangsem; empat, dan Utami Dewi Suryadi (Partai Demokrat)
daerah pemilihan kota Denpasar. Mengingat jumlahnya hanya empat orang,
seperti dikatakan oleh Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI)
6
Provinsi Bali Dewa Ayu Sri Wigunawati, kuota untuk perempuan di DPRD itu
hanya tercapai 7,5%. (AntaraNews.com/ diakses 9 Oktober 2015).
Sekalipun belum mencapai kuota, namun jumlah tersebut menunjukkan
adanya peningkatan partisipasi perempuan Bali dalam politik, sebab pada pemilu
1999, tidak ada satu pun yang duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Bali.
Akan tetapi jika dibandingkan dengan tiga kali pemilu sebelumnya (1997, 1992,
dan 1987), terjadi kemerosotan, sebab pada periode tersebut anggota perempuan
dalam DPRD Provinsi Bali, masing-masing mencapai lima orang. Akan tetapi
masih seimbang dengan anggota perempuan DPRD Bali hasil 1982. Jumlah ini
50% lebih tinggi dari hasil pemilu tahun 1977 dan 1971, yang hanya
menghasilkan dua orang anggota perempuan dalam DPRD Bali ( DPRD
Provinsi Bali, KPU Provinsi Bali).
Fenomena tersebut di atas sangat menarik jika ditinjau dari sudut
pandang Cultural Studies. Daya tariknya terletak pada masih relatif besarnya
peran habitus kolektif masyarakat Bali, bahwa tujuan hidup perempuan adalah
hidup berkeluarga, mendampingi suami dan membesarkan anak-anak. Sekalipun
demikian, diwakili oleh Wayan P. Windia, kaum laki-laki masih memberikan
harapan dan bahkan sanjungan terhadap kemampuan perempuan Bali dalam
dunia politik. Akan tetapi fakta sejarah menunjukkan, sanjungan dan harapan
tersebut tidak mencapai sasaran karena salah seorang dari anggota perempuan
DPRD Bali tersebut, Hening Puspita Rini, terbukti secara sah melakukan
korupsi, sehingga dikenakan hukuman penjara selama 1,5 tahun
(Antaranews.com diakses 9 Oktober 2014).
7
Salah satu tolok ukur yang sering digunakan untuk mengukur partisipasi
laki-laki dan perempuan dalam perumusan kebijakan publik adalah keterlibatan
laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif. Sekalipun belum ada
publikasi mengenai data kuantitatif partisipasi laki-laki dan perempuan dalam
proses penjaringan dan pencalonan anggota legislatif di Provinsi Bali, namun
hasil dari proses politik tersebut dapat diketahui dari proporsi keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota dan Provinsi Bali
berdasarkan jenis kelamin hasil Pemilu 1999, 2004 dan 2009 seperti terlihat
dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1.1 Proporsi Anggota DPRD di Provinsi, Kabupaten/Kota BerdasarkanJenisKelamin Hasil Pemilu 1999, 2004 dan 2009 (persen)
KABUPATEN/
KOTA/
PROVINSI
HASIL PEMILU 1999 HASIL PEMILU 2004 HASIL PEMILU 2009
L
(%)
P
(%)
JML
(%)
L
(%)
P
(%)
JML
(%)
L
(%)
P
(%)
JML
(%)
BULELENG
JEMBRANA
TABANAN
BADUNG
DENPASAR
GIANYAR
BANGLI
KLUNGKUNG
KARANGASEM
BALI
44 (97,78)
30 (100,00)
35 (100,00)
33 (94,29)
40 (100,00)
35 (100,00)
25 (100,00)
22 (91,67)
34 (97,15)
55 (100,00)
1(2,22)
0 (0)
0 (0)
2 (5,71)
0 (0)
0 (0)
0 (0)
2 (8,33)
1 (2,85)
0 (0)
45 (100,00)
30 (100,00)
35 (100,00)
35 (100,00)
40 (100,00)
35 (100,00)
25 (100,00)
24 (100,00)
35 (100,00)
55 (100,00)
43 (95,56)
28 (93,33)
38 (95,00)
39 (97,50)
42 (93,33)
39 (97,50)
28 (93,33)
25 (100,00)
33 (94,28)
51 (92,72)
2 (4,44)
2 (6,67)
2 (5,00)
1 (2,50)
3 (6,67)
1 (2,50)
2 (6,67)
0 (0)
2 (5,72)
4 (7,28)
45 (100,00)
30 (100,00)
40 (100,00)
40 (100,00)
45 (100,00)
40 (100,00)
30 (100,00)
25 (100,00)
35 (100,00)
55 (100,00)
41 (91,11)
24 (80,00)
38 (95,00)
39 (97,50)
44 (97,78)
37 (92,50)
37 (92,50)
22 (88,00)
38 (95,00)
51 (92,72)
4 (8,89)
6 (20,00)
2 (5,00)
1 (2,5)
1 (2,22)
3 (7,50)
3 (7,50)
3 (12,00)
2 (5,00)
4 (7,28)
45 (100,00)
30 (100,00)
40 (100,00)
40 (100,00)
45 (100,00)
40 (100,00)
40 (100,00)
25 (100,00)
40 (100,00)
55 (100,00)
JUMLAH 353 (98,32) 6 (1,68) 359(100,00)
366 (95,06) 19(4,94)
385(100,00)
372(93,00)
28 (7,00) 400(100,00)
Sumber: Bali dalam Angka,2003; KPU Provinsi Bali,2004: KPUProvinsi Bali 2009
8
Data yang tercatat pada dokumen Bali dalam Angka (2003), KPU
Provinsi Bali (2004), dan KPU Provinsi Bali (2009) menunjukkan bahwa
keterwakilan perempuan dalam keanggotaan DPRD hasil dari tiga Pemilu
tersebut jauh lebih sedikit daripada laki-laki. Hasil Pemilu 1999 secara
keseluruhan dominasi laki-laki dalam keanggotaan DPRD sangat menonjol, dari
359 jumlah anggota DPRD di seluruh Bali hanya 6 orang anggota DPRD
perempuan, bahkan pada sebagian besar kabupaten/kota (Jembrana, Tabanan,
Denpasar, Gianyar dan Bangli) sama sekali tidak ada anggota DPRD
perempuan; demikian juga keanggotaan DPRD Provinsi Bali. Ketimpangan
gender yang terjadi dalam hasil Pemilu 1999 sangat tinggi dengan perbandingan
98,32 % anggota dewan laki-laki dan 1,68 % anggota dewan perempuan. Pada
hasil Pemilu 2004 walaupun telah terjadi peningkatan partisipasi perempuan
dalam keanggotaan legislatif, secara keseluruhan ketimpangan gender masih
sangat tajam. Dari 385 jumlah anggota DPRD kabupaten/kota/provinsi hanya
terdapat 19 orang anggota perempuan, artinya ketimpangan gender juga masih
sangat tinggi dengan perbandingan 95,06 % anggota dewan laki-laki dan 4,94 %
anggota dewan perempuan.
Dalam menghadapi pemilu 2009 berbagai kelompok masyarakat yang
peduli terhadap politik perempuan berupaya untuk meningkatkan keterwakilan
perempuan dalam legislatif. Hal ini tercermin dalam perubahan yang terjadi
dalam Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu. Dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu dan Undang-Undang No. 2
9
tahun 2008 tentang partai politik telah mengakomodasi masukan reformatif dari
masyarakat sipil untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga
legislatif. Dalam undang-undang partai politik terdapat perubahan mendasar dari
undang-undang sebelumnya, seperti syarat pembentukan partai politik
menyertakan 30% keterwakilan perempuan; kepengurusan partai politik
menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan; partai politik
melakukan pendidikan politik bagi masyarakat dengan memperhatikan keadilan
dan kesetaraan gender. Dalam Undang-Undang pemilu terdapat ketentuan yang
memberi peluang kepada perempuan, seperti daftar calon legislatif yang
diajukan oleh partai politik memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan;
dalam daftar bakal calon, setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-
kurangnya 1 (satu) bakal calon perempuan; KPU akan mengumumkan
persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik
di media massa.
Ketentuan yang telah disebutkan di atas memberikan harapan baru
kepada perempuan untuk meningkatkan keterwakilannya di lembaga legislatif.
Harapan untuk meningkatkan keterwakilan secara signifikan dalam lembaga
legislatif provinsi maupun kabupaten/kota di Bali menjadi buyar dengan
keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Desember 2008 yang
menetapkan bahwa pemilihan anggota legislatif ditentukan oleh suara terbanyak
dalam satu daerah pemilihan. Hasil pemilu 2009 menunjukkan terjadi
peningkatan jumlah keterwakilan perempuan walaupun jauh dari harapan yang
ideal yakni 30%. Perempuan baru dapat merebut 28 kursi dari 400 kursi yang
10
tersedia di lembaga legislatif provinsi dan kabupaten/kota seluruh Bali, artinya
keterwakilan perempuan baru mencapai 7%, sedangkan laki-lakinya
menempatkan wakilnya sebanyak 372 orang atau 93 %.
Dilihat dari sudut pandang Cultural Studies, uraian tersebut di atas
memperlihatkan adanya dominasi laki-laki dalam kesertaan perempuan di dunia
politik, yang oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai kekerasan simbolis atau
kekerasan yang tidak kasat mata. Akan tetapi, perempuan yang merupakan
korban dari kekerasan simbolis tersebut tidak pernah melihat atau
merasakannya, bahkan justru dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar.
Hal itu sejalan dengan ketika perempuan menganggap tinggal di rumah untuk
mengurus anak –anak dan rumah tangga sebagai sesuatu yang sudah semestinya
(Haryatmoko. 2003: 12).
Sementara pada diri perempuan Bali, selain hal yang disebutkan di atas,
mereka juga mengalami kekerasan simbolis melalui modus organisasi sosial
(struktur kelas sosial dan lembaga-lembaga) yang mengontrol kaum perempuan
dan menempatkannya sebagai subordinasi laki-laki dalam setiap lini kehidupan,
termasuk pula di dalamnya praktik keagamaan, terutama tradisi-tradisi, hukum
(awig-awig atauran desa adat), sistem kekeluargaan (perkawinan dan
perwarisan), dan media (norma-norma ketaksetaraan yang tersusun rapi dalam
lontar-lontar) (Nyoman Wijaya, 2004: 54-67).
Pada umumnya hubungan sosiokultural antara laki-laki dan perempuan
dalam masyarakat Bali memperlihatkan hubungan yang subordinatif, artinya
kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal ini merupakan dampak
11
dari ideologi patriarki yang mengutamakan laki-laki dalam segala lini kehidupan
( Shiva dan Mies, 2005). Ideologi patriarki tidak saja menempatkan perempuan
sebagai kelas bawah dalam struktur sosial masyarakat Bali nanum juga
menempatkan laki-laki sebagai penguasa dalam rumah tangga. Hal ini tercermin
dalam kedudukan laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Posisi laki-laki sebagai
kelas atas sangat terkait dengan pelabelan yang diberikan kepada laki-laki
sebagai mahluk yang aktif/kreatif, rasional/pikiran, dan makluk budaya.
Sebaliknya perempuan adalah pasif, emisional, dan makluk alamiah/natural.
Gagasan perempuan memiliki karakteristik emosional tercermin dalam istilah
luh yang artinya air mata. Menurut budaya Bali perempuan adalah luh, belengih,
cengeng atau emosional sehingga tidak layak sebagai pemimpin, sedangkan laki-
laki memiliki karaskteristik aktif, kreatif, rasional, dan pecipta budaya sehingga
sangat cocok sebagai pemimpin (Atmadja, 2008: 6).
Hubungan gender yang telah diuraikan di atas memperlihatkan laki-laki
menjadi pemilik kuasa yang menentukan arah wacana pengetahuan masyarakat.
Hubungan laki-laki dan perempuan dikonstruksi berdasarkan hubungan
dominasi-subordinasi, sehingga memberikan laki-laki peluang untuk mengontrol
perempuan, baik yang menyangkut dirinya sendiri, kelembagaan, simbolik,
maupun yang berkaitan dengan materi. Bentuk relasi ini bekerja dalam sistem
sosial sehingga melahirkan identitas gender yang membedakan laki-laki dan
perempuan (Foucault, 2000).
Adanya dominasi laki-laki tersebut akhirnya mempengaruhi kinerja
perempuan dalam politik seperti yang terlihat di DPRD Jembrana. Persentase
12
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana belum
memenuhi kuota 30 %. Partisipasi laki-laki tampak masih begitu kuat. Apabila
dicermati perkembangan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif
kabupaten/kota di Bali hasil pemilu tahun 2009 ada fenomena menarik
khususnya di Kabupaten Jembrana. Keterwakilan perempuan di lembaga
legislatif Kabupaten Jembrana mengalami peningkatan yang paling tinggi
dibandingkan dengan kabupaten lain yakni dari 2 orang perempuan hasil pemilu
tahun 2004 menjadi 6 orang hasil pemilu tahun 2009. Enam orang yang berhasil
menduduki kursi legislatif berasal dari berbagai partai politik yaitu Yuhal
Waidah dari Partai Persatuan Pembangunan, Ni Ketut Mertiasih dari Partai
Indonesia Baru, Siti Ulfa dari Partai Kebangkitan Bangsa, Ni Made Sri Sutharmi
dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ketut Tresnawiti Bulan dan Ni
Nengah Rasmini dari Partai Demokrat. Tiga partai politik, yakni Partai
Persatuan Pembangunan, Partai Indonesia Baru, dan Partai Kebangkitan Bangsa
hanya diwakili oleh perempuan, artinya perempuan berhasil mengalahkan calon
laki-laki. Persentase perempuan yang duduk dalam lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana sudah mencapai 20%, persentase yang cukup tinggi
dibandingkan dengan kabupaten kota yang lainnya di Bali.
Representasi perempuan di legislatif Kabupaten Jembrana paling tinggi
dibandingkan dengan kabupaten kota lainnya di Bali walaupun belum mencapai
30%. Mereka sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan, baik secara
internal maupun eksternal, di dalam maupun di luar gedung DPRD, namun
dalam kenyataannya perjuangan yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan
13
politik yang dibebankan kepada mereka, sesuai dengan aspirasi konstuennya,
tetap saja peran politik yang dapat mereka mainkan masih jauh kalah daripada
politikus laki-laki. Pergulatan bukanlah suatu konsep yang sudah dimengerti
(baku) dalam dunia akademik, sehingga bisa dijelaskan dalam berbagai cara.
Oleh karena dalam studi ini, dengan mengacu pada pendapat tim peneliti
Yayasan Interseksi, pergulatan diartikan suatu proses interaksi yang masih dan
akan terus terjadi antara perempuan dan dunia politik. Dalam proses ini muncul
suatu model yang dalam Cultural Studies disebut dengan kontestasi, resistensi,
dan konvergensi (M. Nurkhoiron, 2005 : 50).
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan tersebut di atas memperlihat adanya hubungan saling
terkait antara habitus kolektif perempuan dalam masyarakat dengan posisinya
sebagai kelompok minoritas dalam lembaga DPRD Kabupaten Jembrana. Ada
ketidaksesuaian antara modal budaya yang dimiliki oleh perempuan dengan
ranah politik yang mereka pilih dalam praktik sosial politik di lembaga legislatif.
Sekalipun sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan, baik secara internal
maupun eksternal, di dalam maupun di luar gedung DPRD, dalam kenyataannya
partisipasi mereka jauh lebih rendah dari pada anggota DPRD laki-laki sehingga
belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal, terutama yang
menyangkut kedudukan dan fungsi perempuan dalam kehidupan politik, sosial,
ekonomi, dan budaya dalam masyarakat. Akan tetapi hal ini baru merupakan
simpulan sementara. Agar dapat menjadi sebuah simpulan, maka perlu
dilakukan penelitian melalui tiga pertanyaan sebagai berikut:
14
4. Bagaimana bentuk-bentuk pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana pada era reformasi ?
5. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pergulatan politik perempuan di lembaga
legislatif Kabupaten Jembrana pada era Reformasi ?
6. Apa implikasi dan makna pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana terhadap perjuangan kesetaraan gender ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam studi ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami pergulatan perempuan
dalam dunia politik khususnya dalam lembaga legislatif di Kabupaten Jembrana.
Dalam pergulatan tersebut, sekalipun persentase keterwakilan perempuan di
lembaga legislatif Kabupaten Jembrana belum memenuhi kuota 30% namun
harapan masyarakat cukup besar terutama dalam menentukan berbagai kebijakan
yang mempunyai implikasi terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat
khususnya bagi kaum perempuan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Di samping tujuan umum seperti yang telah diungkapkan di atas, penelitian ini
juga mempunyai tujuan khusus yaitu:
15
1. Menjelaskan bentuk-bentuk pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana pada era reformasi.
2. Mengungkapkan dan mendeskripsikan secara mendalam faktor-faktor yang
mempengaruhi pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten
Jembrana pada era reformasi.
3. Menjelaskan implikasi dan makna pergulatan politik yang dilakukan oleh
perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana pada era reformasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian tentu mempunyai harapan yang jelas dan terarah, sehingga
hasil yang diperoleh dari penelitian itu akan bermanfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis. Hasil penelitian tentang aktivitas perempuan dalam
dunia politik diharapkan akan bermanfaat:
1) Manfaat teoretis; yakni menambah khasanah pengetahuan tentang
perempuan khususnya di Bali yang selama ini belum mendapat perhatian
yang memadai dari para peneliti khususnya dalam bidang ilmu sosial
budaya.
2) Manfaat praktis; yakni dengan memahami pergulatan perempuan dalam
dunia politik khususnya dalam lembaga legislatif, akan dapat digunakan
oleh lembaga pemerintah dan instansi terkait untuk menyusun suatu strategi
yang lebih baik bagi perjuangan kaum perempuan di masa yang akan datang.