Uas sisi lain

5
Waria, Sebuah Pilihan Hidup Senin, 13 Mei 2013 Sisi Lain Mengungkap Kisah di Balik Berita Edisi 1 Harga : Rp 5.000,- Redaksi Heni Wang Karina Altriyuana Anita D imana.. Dimana.. Dimanaaa.. Lagu dangdut ter- us melantun dari music box yang menggantung di bahu Bella, seorang pengamen waria. Per- lahan ia menyusuri warung demi warung untuk mendapatkan uang ribuan atau bahkan recehan yang diberi- kan orang-orang padanya. Tak jarang ia menggoyangkan tu- buhnya, menari-nari sesuai irama lagu dangdut yang melantun. Terik matahari kala siang itu tak menghalanginya untuk tetap berjalan sambil menebar senyum kepada orang-orang sekitar yang terus saja memperhatikan dirinya. Perlahan bulir kerin- gatnya muncul lalu bercucuran, menggeliat seakan berusaha menghapus make-up yang ia kenakan. Sesekali Bella merogoh tissue di dalam tas kecil yang juga ia gantung dibahunya. Lalu menyeka keringatnya dengan perlahan, agar make-up yang ia kenakan tidak terhapus. Rambut panjangnya terkuncir oleh se- buah ikat rambut berwarna merah muda. Menghalaunya dari deru panas yang kian menyengat. Sebuah jaket coklat mem- balut baju bermodel kemben berwarna pink yang ia pakai. Ia juga mengenakan skinny jeans dengan warna senada (coklat) agar kulitnya tidak bertambah gelap terkena sinar matahari. Kemudian, ia memanggil seorang temannya. Tak lama setelah itu, dari kejauhan nampak seorang yang berpenampi- lan seperti wanita pada umumnya. Perlahan, ia melangkahkan kaki menyebrangi jalan. Jihan, seorang yang juga sama seperti Bella, pengamen waria. Ia menata rambut pendeknya dengan baik, seperti tampak di-blow sebelumnya. Rok mini bertuliskan “AZTEC” yang ia kenakan memamerkan bentuk kakinya yang hitam legam tersengat matahari. Sama seperti Bella, Jihan juga menggantungkan sebuah music box dan tas kecil di bahunya. Panas memang, tapi itulah jam kerja mereka. Saat ma- tahari sedang berada tepat diatas kepala (pukul 12.00), mereka telah siap dengan rambut yang telah ditata, bulu mata yang dilentikkan oleh maskara, bedak yang me- lekat tebal di wajah, pipi yang beroleskan blush-on, alis mata yang ditegaskan dengan pensil alis, dan kelopak mata yang tentu saja diriasi oleh eye-shadow senada. Kemudian, mereka keluar dari rumah tempat mer- eka mengontrak di daerah Angke. Memulai pekerjaan yang telah mereka geluti sejak 20 tahun silam itu. Make- up yang mereka kenakan seakan mencoba menya- markan usia mereka yang sebenarnya. Ya, sudah cu- kup dewasa memang. Kedua waria ini berumur 31 tahun. (Bersambung ke hal 2) “ Setuju, karena waria itu juga manusia, punya hak untuk hidup dan mencari nafkah.” “HAM mereka untuk jadi war- ia. Asalkan jangan merugikan orang yang di sekeliling, misal cemburu sama pasangan terus melakukan penyiksaan.” “ Gak banget ! Karena sampai merelakan perubahan gender.” “Menyalahi aturan.” “Menyalahi kodrat.” PRO vs KONTRA Menapaki Surga Tersembunyi di Kota Hujan Meski letaknya hanya di sudut kecil Kota Bogor, namun desa ini menyim- pan keindahan luar biasa. Halaman 3-4 Semangati Pengidap Kanker Lewat Dandan “Jalani hidup apa adanya, tetap berpikir positif, dan banyak-banyak bersyukur ternyata menjadi kunci utama yang membuat saya bisa terbebas dari kanker tahun lalu.” - Dinda Nawangwulan Pro Kontra

description

Sebuah tabloid berisikan cerita-cerita feature. Dibuat dalam rangka tugas Akhir mata kuliah editing dan produksi media cetak

Transcript of Uas sisi lain

Page 1: Uas sisi lain

Waria, Sebuah Pilihan Hidup

Senin, 13 Mei 2013

Sisi LainMengungkap Kisah di Balik Berita

Edis

i 1

Harga : Rp 5.000,-

R e d a k s iHeni WangKarina AltriyuanaAnita

Dimana.. Dimana.. Dimanaaa.. Lagu dangdut ter-us melantun dari music box yang menggantung di bahu Bella, seorang pengamen waria. Per-lahan ia menyusuri warung demi warung untuk

mendapatkan uang ribuan atau bahkan recehan yang diberi-kan orang-orang padanya. Tak jarang ia menggoyangkan tu-buhnya, menari-nari sesuai irama lagu dangdut yang melantun.

Terik matahari kala siang itu tak menghalanginya untuk tetap berjalan sambil menebar senyum kepada orang-orang sekitar yang terus saja memperhatikan dirinya. Perlahan bulir kerin-gatnya muncul lalu bercucuran, menggeliat seakan berusaha menghapus make-up yang ia kenakan. Sesekali Bella merogoh tissue di dalam tas kecil yang juga ia gantung dibahunya. Lalu menyeka keringatnya dengan perlahan, agar make-up yang ia kenakan tidak terhapus. Rambut panjangnya terkuncir oleh se-buah ikat rambut berwarna merah muda. Menghalaunya dari deru panas yang kian menyengat. Sebuah jaket coklat mem-balut baju bermodel kemben berwarna pink yang ia pakai. Ia juga mengenakan skinny jeans dengan warna senada (coklat)

agar kulitnya tidak bertambah gelap terkena sinar matahari. Kemudian, ia memanggil seorang temannya. Tak lama

setelah itu, dari kejauhan nampak seorang yang berpenampi-lan seperti wanita pada umumnya. Perlahan, ia melangkahkan kaki menyebrangi jalan. Jihan, seorang yang juga sama seperti Bella, pengamen waria. Ia menata rambut pendeknya dengan baik, seperti tampak di-blow sebelumnya. Rok mini bertuliskan “AZTEC” yang ia kenakan memamerkan bentuk kakinya yang hitam legam tersengat matahari. Sama seperti Bella, Jihan juga menggantungkan sebuah music box dan tas kecil di bahunya.

Panas memang, tapi itulah jam kerja mereka. Saat ma-tahari sedang berada tepat diatas kepala (pukul 12.00), mereka telah siap dengan rambut yang telah ditata, bulu mata yang dilentikkan oleh maskara, bedak yang me-lekat tebal di wajah, pipi yang beroleskan blush-on, alis mata yang ditegaskan dengan pensil alis, dan kelopak mata yang tentu saja diriasi oleh eye-shadow senada.

Kemudian, mereka keluar dari rumah tempat mer-eka mengontrak di daerah Angke. Memulai pekerjaan

yang telah mereka geluti sejak 20 tahun silam itu. Make-up yang mereka kenakan seakan mencoba menya-markan usia mereka yang sebenarnya. Ya, sudah cu-kup dewasa memang. Kedua waria ini berumur 31 tahun.

(Bersambung ke hal 2)

“ Setuju, karena waria itu juga manusia, punya hak untuk hidup dan mencari nafkah.”

“HAM mereka untuk jadi war-ia. Asalkan jangan merugikan orang yang di sekeliling, misal cemburu sama pasangan terus melakukan penyiksaan.”

“ Gak banget ! Karena sampai merelakan perubahan gender.”

“Menyalahi aturan.”

“Menyalahi kodrat.”

PRO vs KONTRA

Menapaki Surga Tersembunyi di Kota Hujan

Meski letaknya hanya di sudut kecil Kota Bogor, namun desa ini menyim-pan keindahan luar biasa. Halaman 3-4

Semangati Pengidap Kanker Lewat Dandan

“Jalani hidup apa adanya, tetap berpikir positif, dan banyak-banyak bersyukur ternyata menjadi kunci utama yang membuat saya bisa terbebas dari kanker tahun lalu.” - Dinda Nawangwulan

Pro

Kontra

Page 2: Uas sisi lain

32

Sisi Lain Senin, 13 Mei 2013 Sisi Lain Senin, 13 Mei 2013

mengikuti aturan-aturan. Meskipun demikian, masyarakat Betawi memiliki aturan, etika ataupun rujukan yang dianut, misalnya keya-kinan. Cara pandang Betawi lebih kepada agama, segala sesuatu, hampir bisa dipas-tikan orang Betawi berpikir dan memandang berbagai hal berdasarkan agama, walaupun itu bukan doktrin atau dogma dari seorang raja. Kalaupun adapun kemiripan, bisa saja karena dasar agama yang dianut sama. Se-dangkan untuk hubungan dengan masyara-kat dari kebudayaan lain, masayarakat suku Betawi sangat terbuka.

Di balik makna cerita simbol

Buaya kerap dijadikan simbol oleh Be-tawi. Hal ini dapat dilihat dari roti berben-tuk buaya yang selalu ada di dalam acara lamaran suku Betawi. Dulu nih ye, berawal mula dari pengamatan terhadap tingkah laku buaya yang hanya kawin sekali sepanjang hidupnya, masyarakat Betawi kerap lang-sung menggunakan buaya sebagai simbol adat pernikahan mereka. Dan masyarakat Betawi meyakini hal itu secara turun temu-run. Hal tersebut menunjukkan bahwa buaya sebagai hewan yang panjang umur itu paling setia kepada pasangannya. “Karena umur tersebut, orang Betawi menjadikannya se-bagai “Lambang Kesetiaan” dalam sebuah rumah tangga”, ujarnya.

Contoh lainnya, pada saat membangun rumah, mereka memasang dua tiang guruh yang mengibaratkan kehidupan dan kema-tian. Kemudian di atap rumah masyarakat Betawi terdapat lisplang “gigi belalang” kare-na belalang dianggap sebagai hewan yang rajin dan sabar, dan juga setiap rumah adat

Betawi dihiasi ukiran bunga matahari yang melambangkan siang cerah dan diharapkan si pemilik rumah tidak gelap hati dan pikiran.

Dalam prosesi ngerudat ada acara silat, hal ini juga berhubungan dengan sejarah masyarakat Betawi di zaman dahulu. Menu-rut cerita, dulu ketika akan meminang anak perempuan dari sebuah keluarga, si pria akan diberi syarat oleh keluarga perempuan. Syaratnya yaitu membawa buaya penghuni kali Ciliwung. Kemudian zaman pun berubah, pada saat ini silat tersebut diibaratkan per-tempuran si pria melawan buaya Ciliwung, dan roti buayanya itu sendiri merupakan sim-bol bahwa si pria telah berhasil menangkap buaya tersebut.

Kebudayaan Betawi sendiri merupakan suatu kebudayaan yang berasal dari ber-bagai macam budaya sehingga membuat Budaya Betawi sendiri menjadi budaya yang unik. Meskipun budaya Betawi merupakan budaya asli Jakarta, namun keberadaannya semakin sulit untuk dijumpai. Hal ini dikare-nakan adanya perubahan-perubahan budaya yang terjadi pada budaya Betawi itu sendiri yang berdampak pada mulai hilangnya un-sur-unsur asli budaya Betawi.

Namun saat ini Suku Betawi telah men-galami perubahan terutama dari segi tata cara budayanya, meskipun tidak membuat kebudayaan Betawi itu sendiri hilang. Hal ini terjadi akibat sifat suku budaya yang sangat terbuka sehingga budaya lain dapat masuk dan memengaruhi budaya Betawi itu sendiri, kemudian perubahan ini juga terjadi karena adanya modernisasi teknologi. Nilai-nilai prosesi budaya Betawi yang dulu dianggap sangat sacral kini hanya menjadi sekedar hi-buran. Terlebih lagi, masyarakat betawi kini

banyak yang menikah dengan orang yang berasal dari suku lain sehingga terjadilah proses akulturasi kebudayaan, sehingga membuat kebdayaan Betawi sedikit berbeda dari yang dahulu.

Salah satu perubahan adalah roti buaya, karena sekarang telah ada teknologi oven maka pembuatan roti buaya menjadi lebih mudah sehingga saat ini ada roti buaya yang berukuran kecil. Contoh lain adalah kesenian Gambang Kromong, dahulu Gambang Kro-mong biasa saja, hanya accoustic, tapi kare-na ada teknologi maka Gambang Kromong sekarang menggunakan alat musik modern.

Kemudian perubahan budaya dari segi prosesi dapat dilihat dari prosesi pernika-han Betawi. Dahulu, orang Betawi sangat tabu ketika resepsi pernikahan menikahkan anaknya di luar rumah, rata-rata di dalam. Tapi sekarang karena perubahan, pernika-han dapat dilakukan di taman, di halaman, bahkan di gedung.

Ondel-ondel pun kini mengalami peruba-han. Dahulu ondel-ondel memiliki taring kare-na fungsinya untuk ritual bebegik, yaitu ritual agar sawah panennya bagus. Dulu ondel-ondel juga diarak untuk menolak bala atau bencana. Namun sekarang ondel-ondel tidak lagi untuk kegiatan ritual, tapi lebih kepada hiburan, sehingga ondel-ondel dibuat lebih manis dan menarik. Bahkan ondel-ondel sek-arang ada yang berukuran kecil untuk dijadi-kan souvenir. Perubahan fungsi ondel-ondel itu sendiri juga dipengaruhi oleh perubahan keyakinan yang dianut oleh masyarakat Be-tawi, dari keyakinan yang menganut paham animisme dan dinamisme menjadi menganut agama seperti Islam. (SL/HENI/KARINA/ANITA).

(sambungan halaman 1) Bernyanyi dan menari dengan irama dangdut memang sudah menjadi keseharian mereka. Demi mencari rupiah untuk menyambung hidup, mereka rela mengamen hingga ke Depok. Tidak banyak memang, hasil yang mereka dapat berkisar tiga puluh ribu sampai enam pu-luh ribu rupiah per hari. Hasil ini hanya cukup untuk mereka makan dan membayar kontrakan sebesar dua ratus ribu ru-piah per bulan.

Lelah di wajah perlahan tehapus ketika mereka dimintai berfoto. Keceriaan mulai muncul seiring senyum yang mereka terbitkan dari bibir yang rapih tertutup lipstik. Dengan sigap Bella langsung mengeluarkan tempat bedak berwarna biru dongker dari tas kecilnya, lalu menebalkan bedaknya. Kemu-dian Bella menaruh music box-nya di bawah, sehingga hanya mengenakan tas kecil yang selalu dibawanya.

Berbeda dengan Bella, Jihan hanya tersenyum kecil ke-tika dimintai berfoto. Make-up yang ia kenakan sama sekali belum terlihat luntur atau berantakan. Kemeja kotak-kotak yang membalut baju bermodel kemben berwarna hijau yang ia kenakan, juga masih rapih. Sementara Bella terlihat seperti orang yang sedang salah tingkah, Jihan hanya tersenyum ke-cil dan memasang ekspresi agak datar di wajahnya.

Saat mereka menyadari bahwa mereka lebih senang ber-dandan layaknya seorang wanita, mereka langsung menekuni profesi ini. Bila hujan datang menyergap, mereka berlari untuk berteduh. Hal inilah yang tidak disukai oleh dua sahabat ini. Jika titik-titik air mulai jatuh, mereka harus menghentikan se-jenak pekerjaan mengamen mereka. Ini berarti waktu mereka terbuang dengan sia-sia tanpa menghasilkan uang.

“Alhamdulilah, selama ini kami belum pernah ketangkep sama petugas. Paling kalau dikejar, kami ngumpet,” jawab mereka ketika ditanya mengenai razia yang selama ini sering menjadikan kaum mereka sebagai target sasar.

Berat memang, tapi inilah pilihan hidup yang mereka am-bil. Berjalan mengamen kesana-kemari. Mencoba menulikan telinga saat orang-orang mencemooh mereka. Berpura-pura tidak peduli dengan segala pandangan miring tentang mereka.

Hingga matahari telah tenggelam dan menunjukkan pu-kul 10.00 malam, mereka menyudahi pekerjaan mereka untuk hari itu. Mulai membasuh segala riasan yang melekat. Kemu-dian, mulai beristirahat dan tidur untuk melepas lelah. Tidur sebagai bentuk pelarian mereka dari dunia yang memandang mereka dengan sebelah mata, lari dari hari yang dipenuhi den-gan cemooh orang terhadap mereka ketika mereka tengah menjalani pilihan hidup dan profesi mereka. Mengumpulkan tenaga untuk menjalani beratnya hari esok yang tak jauh ber-beda dengan hari ini.

Waria BerprestasiTak banyak orang yang memandang waria sebagai sosok

yang sederajat dalam masyarakat. Hal ini membuat kaum ini terus memperjuangkan haknya. Salah satunya Yulianus Ret-top Laut (50 tahun), waria yang juga mantan pekerja seks komersial ini telah memperjuangkan HAM kaumnya sejak lama.

Berlatar belakang pendidikan Sarjana Hukum, membuat waria yang lebih akrab disapa Tante Yuli ini, mengabdikan diri sebagai pejuang HAM yang memperjuangkan hak-hak kaum waria. Walaupun keinginannya un-tuk menjadi anggota komnas HAM sempat kandas di tahun 2007, kini ia kembali mencalonkan dirinya sebagai anggota Komnas HAM. “Dengan pendaftaran sebagai calon komisioner Komnas HAM, saya berharap kami bisa hidup di dalam masyarakat dengan layak serta mendapatkan haknya secara normal seperti warga negara Indonesia sewajarnya,” ujarnya.

Tante Yuli yang juga Ketua Waria DKI Jakarta ini menegaskan bahwa walaupun dirinya dan kaum waria yang merupakan kelompok minoritas di tengah masyarakat, namun mereka mampu berprestasi. Bah-kan, menurutnya, di antara mereka banyak yang berpen-didikan S1 hingga S2.

Pandangan sebelah mata yang banyak menghujani mer-eka justru membuat kaum ini berusaha semakin keras un-tuk menunjukkan prestasi mereka. Sebut saja Chenny Han. Waria bernama asli Sui Han Tjong ini berhasil menjadi salah

Kisah Tempo Dulu

BetawiTak

LekangOleh

Zaman“Encang encing nyak

babe, mari ke mari ada Marawis. Yuk kite nonton rame-rame.”

What you have to know:

Kesenian marawis dinyanyikan saat hari raya besar keislaman

Budaya Betawi dikenal sebagai orang yang sederhana

Perubahan budaya Betawi mengikuti perkembangan zaman.

Nilai-nilai prosesi budaya Betawi yang dulu dianggap sangat sakral kini hanya menjadi sekadar hiburan.

satu designer ternama di negeri ini. Sepak terjangnya dalam industi fashion dan make-up memang tidak diragukan lagi. Beberapa publik figur seperti Indi Barens, Agnes Monica, Ti-ara Lestari, hingga penyanyi yang hobi menggunakan riasan nyentrik Melly Goeslow pernah menggunakan jasanya.

Kesuksesan yang diperoleh oleh Perancang Terbaik Alumni Puspitas Martha tahun 2006 ini, tentu bukan hal yang mudah. Banyak liku hidup yang telah dilaluinya. Tidak hanya teman terdekatnya, bahkan ibunya sendiri sempat menentang habis pilihan hidupnya.

Kendati terlahir sebagai laki-laki, tingkah Chenny menun-jukan jika dirinya lebih nyaman bertingkah sebagai perem-puan. Namun pilihan waria kelahiran Jakarta 3 Juli 1963 ini tidak mudah diterima oleh orang sekitarnya. Banyak cacian yang diterimanya. Ejekan sebagai ‘bencong’? Jangan ditan-ya, itu sudah makanan sehari-hari baginya.

Menjalani pilihan hidup sebagai waria merupakan hal yang sulit. Tidak terima dengan ejekan yang terus menghu-jamnya, bahkan waria yang pernah dinobatkan sebagai Mis Waria Sedunia tahun 1992 ini, sempat nekat menegak be-berapa butir pil secara bersamaan. Menurutnya, jika pintu ka-marnya tidak didobrak oleh temannya pada saat itu, mungkin dia sudah tewas.

Selain sukses menyelam dalam industry make-up dan fashion di tanah air, Chenny juga menulis buku, Make-up Mata Sesuai Aura dan Fengshui serta Chenny Han Bridal Gowns.

Pandangan hina yang di-berikan orang pada mereka

justru membuat mereka kian gigih memperjuang-kan persamaan hak kaum heteroseks yang benar-benar normal. Banyak impian yang mereka perjuangkan dengan gigih, di anta-ranya hak untuk hidup dan diterima ditengah masyarakat seperti hak-hak manusia nor-mal lainnya, hak untuk

mendapat pekerjaan, hak untuk tampil, berdandan

dan berpakaian seperti wani-ta sebagaimana yang selama ini

mereka lakukan.

Tak hanya di Indonesia, waria Thailand, Nong Poy juga memiliki berbagai prestasi. “Wani-

ta” transgender kelahiran 1984 ini memiliki tinggi 171 cm, ukuran badan: 33-24-36 dan massa: 48 kg. Jiwa kewani-taannya sudah mulai ia rasakan sejak dia duduk di bang-ku SD. Ia merasa dirinya lebih cocok memiliki tubuh wanita dan dia sudah bermimpi untuk menjadi seorang perem-puan tetapi dihadapan orang tuanya dia bersikap seperti anak laki-laki. Karena dia merasa risih dengan ‘organ’ pri-anya dia melakukan operasi pada saat berumur 17 tahun.

Pada awalnya dia sangat takut akan operasi tersebut, tetapi setelah berkonsultasi dengan banyak dokter akh-irnya dia memutuskan untuk melakukan operasi. Proses operasinya sangat menyakitkan bagi Poy. Dia mengalami sakit yang luar biasa tapi demi cita-citanya menjadi seorang perempuan, dia seakan tidak peduli dengan rasa sakit-nya pada saat itu. Setelah dia berubah menjadi ‘wanita’ rasa sakit itu dianggapnya sebagai bayaran yang setimpal.

Dua tahun pasca operasi, Nong Poy berhasil memenang-kan kontes kecantikan ‘Miss Tiffany‘ saat dia berumur 19 tahun. Pada tahun yang sama, Nong Poy menjadi Miss In-ternational Queen (lady-boy) 2004. Ia semakin dihargai ti-dak semata karena prestasi internasional yang ia raih. Na-mun, kecantikan (wajah) ia peroleh terjadi secara alami pasca operasi dan terapi hormon. Tidak seperti wanita trasgender lainnya, Nong Poy tidak melakukan operasi plas-tik pada wajahnya. Ia hanya melakukan operasi pada tu-buhnya dan menggantikan kelaminnya menjadi wanita.

Oleh karena itu, ia pun dibanjiri orderan sebagai model, bintang iklan, pembawa acara di Thailand. Selain cantik, Nong Poy juga cerdas dan berbakat. Kepintaran dan ke-cantikannya pada akhirnya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Thiland. Setidaknya karena ia telah membawa nama Thailand dalam ajang internasional. (SL/KARINA)

Waria, Sebuah Pilihan Hidup

Jihan dan Bella ketika diminta berfoto di ruko Pasar Lama, Tangerang. Keduanya sudah 20 tahun menjalani profesi sebagai pengamen waria. Duk duk.. bunyi gendang mulai ber-main. Para pemain mulai menyanyi bergerak sesuai irama gendang. Se-

tiap orang menabuh alat musik sambil bernyanyi atau bersholawat. Ada yang menabuh marawis, menabuh hajir, tamborin dan dumbuk. Seni Is-lami ini dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan ulama yang berasal dari Yaman beberapa abad yang lalu. Mengapa dinamakan marawis? Alkisah karena menggunakan alat musik khas yang disebut marawis. Berawal dari Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, alat musik marawis digunakan sebagai alat bantu syiar agama. Saat hari- hari besar keislaman, Marawis selalu dimainkan. Kesenian marawis ini tak lepas dari nilai-nilai religius.

Akan tetapi sekarang ini kita tidak perlu menunggu kesenian marawis ini dimainkan di hari raya keislamaan. Kini, acara hajatan perni-kahan, peresmian gedung, hingga di pusat per-belanjaan, marawis sering dimainkan. Marawis yang ada di setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Jika kita menilik lebih dalam, marawis Betawi ini memiliki ciri khas tersendiri, yakni yang menari dan memainkan marawis adalah pria. Tariannya pun khas memakai gerakan-gerakan silat.

Ya gambaran di atas merupakan salah satu kesenian khas budaya Betawi. Dan sekaligus se-bagai pengatar kita untuk membahas budaya Be-tawi sebagai topik feature sejarah kita kali ini. Be-tawi merupakan suku asli daerah Jakarta. Nama Betawi berasal dari kata “Batavia”, yaitu nama lama Jakarta pada masa Hindia Belanda. Ter-letak di kelurahan srengsengsawah kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, kami pun mencoba pergi ke suatu tempat yang bernama perkampun-gan Betawi. Kami mencari tau dan menelaah leb-ih lanjut tentang bagaimana asal mula Kampung Betawi.

Sesampai di sana, kami disambut hangat oleh pertunjukkan Marawis. Setelah menonton pertunjukkan kami pun menemui narasumber sekaligus pengurus di perkampungan Betawi ini. Sosoknya mirip selebritas dalam negeri yakni Ki-wil. Mukanya yang lonjong, senyumannya yang ceria khas bang Kiwil. Eits, tapi nama aslinya bu-kan Kiwil juga, melainkan bang Indra.

Orang betawi dikenal sebagai orang yang sederhana. Secara sejarah orang betawi tidak diatur oleh tata kehidupan yang berbau adat atau kerajaan sehingga terkesan egaliter-kesetaraan, dan sederhana serta terbuka, tidak teramat

Page 3: Uas sisi lain

54

Sisi Lain Senin, 13 Mei 2013 Sisi Lain Senin, 13 Mei 2013

PerjalananCatatan Perjalanan

Perjalanan

Udara pagi yang sejuk dan matahari yang mulai ter-bit dari ufuk timur menyambut kami, tim Sisi Lain yang tengah bersiap untuk memulai penjelajahan

hari ini. Jam telah menunjukkan pukul 06.30, kami pun me-lajukan kendaraan kami menuju Bogor. Mendengar kata Bo-gor mungkin yang terlintas dalam benak anda adalah Kebun Raya Bogor ataupun Istana Bogor, tapi tahukah anda jika di kota yang terkenal dengan nama kota hujan tersebut terdapat sebuah desa budaya bernama Kampung Sindangbarang?

Beberapa orang pasti akan mengernyitkan dahi jika mendengar kata Sindangbarang. Kampung yang terle-tak di sudut kecil kota Bogor ini memang jarang dikun-jungi oleh masyarakat khususnya masyarakat ibukota.

Jalan menuju Bogor hari ini sangat lenggang, tidak terasa kami sudah sampai di daerah Bogor, kota yang nampak asri dan hijau. Hiruk pikuk kota Bogor tidak jauh berbeda dengan kota Tangerang. Warga sibuk berlalu-lalang di sepanjang jalan. Angkutan umum juga nampak memadati setiap ruas jalan kota yang terkenal dengan kebun rayanya tersebut.

Bermodalkan google map dan sesekali bertanya ke-pada penduduk lokal, kami akhirnya sampai di daerah Sindangbarang. Suasana khas pedesaan langsung ter-pampang di hadapan kami. Hamparan sawah yang mulai menguning, rumah-rumah penduduk yang berderet sepan-jang jalan serta aliran sungai dihiasi batu-batuan menyatu menjadi sebuah pemandangan bak lukisan yang mengun-dang decak kagum dari setiap orang yang melihatnya.

Jalan yang cukup curam dan sulit dilalui kendara-an roda empat tak menyurutkan rasa penasaran kami akan Kampung Budaya Sindangbarang. Setelah melalui perjalanan sejauh lima kilometer dari Kota Bogor kami sampai di kampung kebudayaan suku Sunda tersebut.

Rasa penasaran kami perlahan berubah menjadi kagum saat kami memasuki kawasan Kampung Budaya Sindangba-rang. Sekelompok ibu-ibu menggunakan pakaian adat sunda langsung memainkan alat musik tradisional yaitu angklung saat melihat kedatangan kami. Senyum ramah dan salam untuk kami langsung terlontar dari kelompok ibu-ibu tersebut.

Tidak jauh dari dari gerbang masuk, kami menemukan ru-ang marketing Kampung Budaya Sindangbarang. Di sana kami disambut baik oleh Kang Oman, salah satu pengurus kam-pung budaya tersebut. Beliau memberi kami ijin untuk melihat-lihat kampung yang terletak di kaki Gunung Salak tersebut.

Kawasan kampung budaya ini sebenarnya tidak ter-lalu luas, namun panorama yang dihadirkan begitu cantik. Rumah adat suku sunda yang disebut oleh penduduk lokal sebagai Gado Bangkong berdiri anggun di tepi hamparan rumput hijau. Rumah-rumah adat ini tidak hanya dijadikan sebagai penghias, namun merupakan tempat bermalam bagi para wisatawan yang hendak menginap, tentu den-gan harga yang telah ditetapkan oleh pengurus Kampung

Budaya Sindangbarang. Meskipun terlihat sangat sederhana dari luar, fasilitas yang ada di dalam Gado Bangkong cukup leng-kap, mulai dari, televisi, ruang tamu, tempat tidur, bahkan dis-penser telah disediakan. Harga yang ditawarkan memang cukup mahal yaitu sekitar Rp 600 ribu sampai Rp 1,5 juta rupiah per malam. Namun karena ukuran Gado Bangkong ini luas maka satu Gado Bangkong bisa menampung delapan hingga 15 orang.

Lokasi Kampung Budaya Sindangbarang yang berba-tasan langsung dengan daerah persawahan membuat kami bisa melihat warga yang sedang memanen serta menam-pah beras yang baru dipanen. Sungguh pemandangan yang tidak dapat kita dapatkan di hiruk-pikuknya Kota Jakarta.

Kampung budaya ini seperti dirancang menyerupai kam-pung Sindangbarang pada jaman dahulu. Di sini kami me-lihat tempat alu, yaitu alat untuk menumbuk gabah, dan juga ada tempat penyimpanan padi yang telah dipanen.

Rasa penasaran kami pun muncul saat melihat alu dari dekat, ternyata alu cukup berat. Salah satu dari tim kami langsung kelelahan saat berpura-pura menumbuk gabah.

Saat kami sedang menikmati tenangnya suasana kam-pung budaya ini, tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki diiringi dengan suara anak-anak yang berseman-gat memasuki kawasan kampung budaya. Rupanya hari ini akan ada acara study tour dari SD Penabur, Cibubur.

Kampung Budaya Sindangbarang memang kerap dija-dikan tujuan study tour oleh sekolah-sekolah karena me-miliki nilai sejarah dan budaya sunda yang masih sangat terjaga di era modern sekarang ini. Pengelola kampung budaya pun juga merasa senang menerima sekolah-seko-lah yang ingin melakukan study tour, hal ini dikarenakan acara seperti ini merupakan salah satu cara memperke-nalkan dan menanamkan nilai-nilai kebudayaan sunda pada anak-anak sehingga budaya Sunda akan tetap hidup.

“Ayok-ayok, bikin empat kelompok,” seru Pak Ukat kepada anak-anak SD Penabur. Pak Ukat merupakan salah satu kokolot di Desa Sindangbarang. Kokolot merupakan sebutan bagi orang-orang yang dituakan atau dianggap sebagai tokoh masyarakat.

Anak-anak yang semula ramai langsung berbaris rapi mengikuti instruksi Pak Ukat. Pak Ukat memakai pakaian adat sunda berwarna hitam dilengkapi dengan ikat kepala, benar-benar seperti pakaian pendekar yang ada di legenda-legenda Jawa Barat. Murid-murid SD Penabur dibagi menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok akan melakukan kegiatan yang bergantian melakukan setiap aktivitas yang telah dijadwalkan oleh pengelola kampug budaya. Pembagian kelompok ini di-tujukan agar pembelajaran budaya ini menjadi lebih efektif.

Sepertinya akan menjadi sangat seru jika kami ikut membaur bersama anak-anak yang ternyata masih duduk di kelas empat SD ini. Kami pun kemudian meminta ijin kepada salah satu guru pengawas bernama Ibu Dewi agar diijinkan bergabung dalam acara mereka. Seulas senyum terpancar dari wajah Ibu Dewi, ia merasa sangat senang karena kami mau ikut bergabung.

Dalam acara study tour ini, murid-murid SD Penabur akan belajar memainkan alat-alat musik tradisional dan me-nari tradisional. Tidak hanya itu, Pak Ukat nanti akan men-gajarkan teknik-teknik dasar silat. Para pengelola yang lain pun juga turut berperan dalam mengajarkan sejarah-sejarah yang ada di Kampung Budaya Sindangbarang.

“Itu namanya jenglong, ingat-ingat nanti saya tanya. Ini namanya bonang, kalau yang ini namanya rincik, kalau yang

itu gambang, nah yang itu gong,” jelas Pak Iman, salah satu kokolot di sana. Ia mencoba memperkenalkan nama-nama alat musik yang akan dimainkan oleh murid-murid SD Pena-bur. Semua alat music ini dimainkan dengan cara dipukul.

Suara jenglong, bonang, rincik, gambang, dan gong kini nyaring terdengar dari saung, tempat kami mulai be-lajar bermain alat-alat musik budaya Sunda. Saung ini cu-kup luas dan terbuat dari bambu. Murid-murid SD Pena-bur nampak bersemangat mencoba memainkan alat musik tradisional tersebut. Meskipun suara yang dihasilkan ti-dak sama dengan yang diajarkan oleh Pak Iman namun mereka tetap asyik memukul alat-alat musik tersebut.

Kami dari tim Sisi Lain, tidak mau ketinggalan untuk men-coba memainkan alat musik bernama bonang. Ketukan demi ketukan pun diajarkan oleh Pak Iman , namun memang benar apa kata orang, sesuatu yang terlihat mudah ternyata sulit dilakukan. Alhasil, bukan suara merdu yang terdengar tapi suara ketukan yang tidak tentu arah. Kami pun mencoba berulang kali mengikuti petunjuk Pak Iman dan akhirnya suara yang dihasilkan sudah mulai sesuai dengan yang di-contohkan. Hembusan angin yang sejuk dan harmonisasi suara yang dihasilkan dari seluruh alat musik membuat kami tidak ingin cepat-cepat meninggalkan tempat yang indah ini.

Tak jauh dari saung tempat murid-murid bermain alat musik, nampak murid-murid SD Penabur yang lain sedang belajar menarikan tarian Sunda. Mereka me-rentangkan tangan dan meliuk-liukkan jari mereka.

“Dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, kaki kanannya maju ke depan,” kata pengajar tari sambil memberikan contoh gerakan. Murid-mu-rid SD Penabur nampak kesulitan mengikuti ara-han tarian tersebut, namun mereka tetap berusaha agar gerakan mereka menyerupai petunjuk yang diberikan.

Murid-murid yang sedang belajar menari seak-an diiringi oleh suara musik yang dimainkan oleh mu-rid-murid yang belajar bermain alat musik. Hal ini tentu merupakan pemandangan yang sangat hebat dimana anak-anak belajar dan menikmati kebudayaan Nusantara.

Hari mulai beranjak ke siang, matahari cukup terik meny-

inari Kampung Budaya Sindangbarang hari ini. Namun hal ini tidak menyurutkan semangat murid-murid SD Penabur, seba-liknya mereka tetap menikmati kegiatan-kegiatan mereka di sini.

“Istirahat dulu, nanti setelah makan siang kita lanjut lagi,” seru Pak Ukat kepada seluruh murid- murid SD Penabur.

Murid-murid SD Penabur pun berlari menuju aula tem-pat mereka menaruh tas, mereka pun menikmati bekal y a n g telah mereka bawa dari rumah.Sembari

menunggu anak-anak yang tengah beristira-hat, Pak Ukat duduk di salah satu teras Gado Bangkong. Senyum ramah langsung terli-hat dari wajah Pak Ukat saat melihat kami.

“Sini-sini, duduk aja di sini, panas di luar,” ujar Pak Ukat mempersilahkan kami

untuk duduk di teras Gado Bangkong juga.“Iya, pak, terima kasih,” jawab kami

sambil berjalan mendekat ke arah Pak Ukat.Kami pun mengobrol santai dengan Pak Ukat, beliau ternyata sangat men-

guasai seluk beluk sejarah Sindangba-rang. Pak Ukat mengatakan Sindangbarang merupakan bahasa sunda yang berasal dari dua kata, yaitu Sindang yang berarti ber-henti dan Barang yang berarti urusan atau masalah duniawi. Jadi arti dari Sindangba-rang adalah berhenti dari urusan duniawi dan mengurusi urusan ke atas (Tuhan).

“Ini sih cuma kampung percontohan, ka-lau kampung aslinya sudah sangat berbeda, tidak ada rumah adatnya seperti yang ini,” ujar Pak Ukat sambil menunjuk ke arah Gado Bang-

kong. “Dengan adanya kampung ini kan buda-ya Sunda bisa terus dirawat dan tidak hilang,”lanjut Pak Ukat.

Suasana Kampung Sindangbarang kembali ramai dengan suara murid-murid SD Penabur yang telah se-lesai menyantap makan siang mereka. Ada yang se-dang mencoba bermain enggrang dan bakiak, main-an tradisional yang disediakan di kampung budaya ini serta ada yang berlarian bersama teman-teman mereka.

Pak Ukat pun tersenyum dan berpamitan kepada kami hendak kembali mengajar silat kepada anak-anak SD Penabur.

Kami hanya memperhatikan Pak Ukat dari teras Gado Bangkong, di umurnya yang sepertinya tidak muda lagi, Pak Ukat masih semangat dan mengabdikan dirinya un-tuk mempertahankan budaya desanya.Benar-benar ses-uatu yang harus dicontoh oleh kami, para generasi muda.

Hari mulai menjelang sore, acara study tour SD Penabur pun ditutup dengan tarian tradisional Sunda, yaitu Tari Jaipong. Lenggak-lenggok penari tersebut membuat setiap pasang mata melihat kagum, tak terkecuali murud-murid SD Penabur yang terlihat serius memperhatikan pertunjukkan tersebut.

Jam telah menunjukkan pukul 16.00, murid-murid SD Penabur berbaris rapi untuk kembali ke kendaraan mereka. Mereka terlihat sangat senang karena mendapat pengalaman baru. Canda, tawa mengakhiri acara study tour mereka hari ini.

Jalan-jalan tidak identik dengan hura-hura atau hanya sekedar pergi ke mall. Kita juga dapat mendapatkan jalan-jalan berkualitas dengan pergi ke tempat-tempat berbu-daya seperti Kampung Budaya Sindangbarang ini, tidak hanya kesenangan tapi juga pengalaman serta pengetahuan yang akan di dapat. Kami, tim Sisi Lain pun juga akan kem-bali ke Jakarta dengan membawa kenangan indah dan pengetahuan baru tentang budaya Sunda. (SL/ANITA)

Pak Iman (70), salah satu kokolot Kampung Budaya Sindangbarang tengah mengajarkan anak-anak SD Penabur Cibubur cara bermain alat-alat musik budaya Sunda.

Murid-murid SD Penabur, Cibubur, sedang bermain bakiak, salah satu permainan tradisional. Peta yang menunjukkan jalan ke Kampung Budaya Sindangbarang

Menapaki Surga Tersembunyi di Kota Hujan

Page 4: Uas sisi lain

76

Sisi Lain Senin, 13 Mei 2013 Sisi Lain Senin, 13 Mei 2013

Q :Apa itu Kompas Corner dan apa tujuannya?

A :Sebuah ruang interaktif yang diwujudkan melalui kerjasama Kompas dengan Universitas Multimedia Nusantara. Ruang in-teraktif ini dibuat dalam rangka untuk memajukan proses pem-belajaran serta eksplorasi ilmu bagi mahasiswa dan masyarakat.

Q :Kapan berdirinya? Dan ide dari siapa?

A :Kamis, 2 Mei 2013, bertepatan dengan hari Pendidikan Nasi-onal. Ini hasil kerjasama antara Universitas Multimedia Nusan-tara dengan Kompas.

Q : Kelebihan kompas corner?

A :Tidak hanya berfungsi sebagai meeting point namun Kom-pas Corner akan mengagendakan untuk mendatangkan bintang tamu untuk mengulas tentang bedah buku atau bedah film untuk memperluas wawasan mahasiswa.

Q :Apa harapan ke depannya?

A : Kompas Corner diharapkan menjadi tempat lahirnya kreatifi-tas dan ide – ide segar dari orang yang berkunjung ke dalamnya.

Semoga dengan hadirnya Kompas Corner akan meng – inspir-ing mahasiswa UMN khususnya untuk tidak henti – hentinya berkarya.

Kompas Corner : Lebih Dari Sekadar Ruang Interaktif

Info Baru

Saat itu musim semi mulai datang. Burung menin-tin bertengger pada dahan bunga magnolia ketika bermekaran di atas sungai. Kita bisa menunggu

kehadirannya di sungai yang sepi dan banyak ikannya, atau kalau tidak, kita bisa mengamati dahan dan pohon yang menjulur ke tepi sungai. Sisa sisik ikan yang men-empel pada dahan merupakan jejak yang ditinggalkan pada waktu ia makan ikan.

Burung yang memiliki nama latin Al-cedo Meninting ini berukuran sekitar 15 cm. Punggungnya berwarna biru metalik, tubuh bagian bawah berwarna merah-jingga terang. Penutup telinga berwarna biru men-colok. Iris coklat, paruh kehitaman, dan kak-inya merah. Burung biru yang menawan. Itulah burung menintin.

Tubuhnya yang kecil membuat burung ini bergerak sangat lincah dan cepat saat terbang. Kita dapat menemukannya di India sampai Cina dan Asia Teng-gara, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan, Jawa-Bali dan Lombok.

Menintin jantan dan menintin betinaMenintin jantan mulai mengitari menintin betina sambil

menyanyi nyaring. Pertanda bahwa musim kawin telah tiba. Tak lama kemudian dengan senang hati burung betina ikut berputar-putar sebagai tanda ketertarikan. Lalu dalam waktu singkat mereka sudah menjadi pasangan.

Persembahan hadiah ikan sudah menjadi kewajiban bagi menintin jantan yang telah dijinkan memasuki wilayah menin-tin betina. Pemberian hadiah itu membuat pasangan bertam-bah akrab.

Masa pembuatan sarang pun tiba. Sarangnya unik tidak seperti kebanyakan burung lainnya. Tebing tepi sungai yang sangat curam menjadi pilihannya untuk membuat sarang. Hal ini guna agar sulit dijangkau oleh musuhnya seperti rubah dan ular. Ia mengais-ngais tebing itu dan mulai menggali lubang. Penggalian dilanjutkan oleh burung betina kalau lubang sudah setengah jadi. Dinding tanah dipatuk-patuk dengan paruhnya, lalu dikuakkan membentuk garis tengah pintu masuk sarang-nya kira-kira 6-7 cm, dan dalamnya kira-kira 40-80 cm.

Bunga-bunga dengan kelopak kecil berwarna pink yang terkenal dari negeri Jepang mulai bermekaran. Masa pengera-man telur dimulai. Menintin jantan dan menintin betina bergan-tian mengeraminya. Pengeraman telur yang jumlahnya 5-7 butir itu dilakukan kurang lebih selama 1,5 jam sekali selama 21 hari.

Anak burung yang baru lahir tidak berbulu, matanya masih tertutup, dan tidak berdaya. Beratnya kira-kira 3 gram. Induk menintin menjadi luar biasa sibuk. Ia harus mencari makanan untuk menyuapi 5-7 ekor anaknya.

Sang KingfisherTerik matahari terpancar sangat menyengat. Pertanda

awal musim panas. Air sungai menjadi hangat. Ikan-ikan mulai keluar dari persembunyiannya dan berenang bebas dalam air. Sambil bertengger pada dahan pohon, burung menintin men-gawasi permukaan air. Burung yang memiliki gerakan unik, kepala turun naik saat mencari makan sedang memperhatikan gerak-gerik ikan yang tampak dari permukaan air dengan tata-pannya yang tajam. Ikan karper, killi, dan wader jepang adalah

ikan yang diincar menintin. Kira-kira 4-6 cm besarnya.Tak lama setelah mantap dengan tatapannya, menintin

segera menukik ke dalam air. Menukik bagaikan peluru sen-jata api. Tajam, lurus, dan cepat. Kecepatan pada saat me-

luncur ke permukaan air mencapai 100 km per jam. Ia segera menjepit bagian insang ikan tersebut.

Pada waktu bersamaan, ia segera meren-tangkan sayap untuk mengerem kecepatan. Dalam sekejap mata, ikan itu sudah berada dalam paruhnya. Lalu dengan mengibas-kan sayap, ia mengangkat tubuhnya. Ikan yang menggeliat-geliat ingin membebas-kan diri itu dijepit kuat-kuat dengan paruh-nya. Cara menangkap ikan yang dilakukan

oleh burung menintin benar-benar jitu, ham-pir tidak pernah gagal. Gerakan burung sa-

paan kingfisher ini sangat cepat sehingga tidak bisa diikuti mata. Yang terlihat hanya percikan air

ketika ia meluncur masuk ke air. Inilah yang menjadi sebu-tan ciri khasnya yang gesit menangkap ikan, kingfisher.

Setelah berhasil menangkap mangsanya, ia membawa ikan tangkapannya ke dahan pohon atau batu karang. Ke-mudian kepala ikan dibentur-benturkan ke dahan atau batu. Setelah ikan itu tak berdaya, ia menelannya bulat-bulat. Makanan itu dicerna selama 30 sampai 40 menit, dan tulang-nya dimuntahkan karena tidak bisa dicerna. Tetapi ada kalan-ya ia menelan ikan bulat-bulat. Dalam sehari ia bisa menang-kap 40 sampai 50 ekor ikan. Sebagian dari ikan itu dibawa ke sarang untuk diberikan kepada anak-anaknya.

Menintin MudaSetelah menetas dari telur, pada hari ke-23, induk menin-

tin sudah tidak memberi anaknya makan lagi dan meninggal-kannya. Meski telah meninggalkannya, akan tetapi, sesekali induk menintin suka menengok untuk mengetahui apakah ke-adaan anaknya baik-baik saja, tidak terancam bahaya. Karena tidak mendapatkan makanan lagi dari induknya, berat badan menintin muda mulai menurun.

Anak menintin disebut juga dengan menintin muda. Awal-nya dengan takut-takut, menintin muda memberanikan diri keluar dari sarangnya. Ketika melihat indukya di kejauhan, menintin muda segera menghampirinya. Induknya memamer-kan ikan di paruhnya sambil membimbing anaknya ke tem-pat yang aman. Begitu sampai di tempat induknya berada, ia memperoleh makanan itu. Begitulah cara induk menintin mel-

atih anaknya.

Terkadang makanan masih diberi induk menintin meski menintinnya mereka diberi makan di semak-semak yang aman. Kira-kira 5 atau 6 hari kemudian, menintin muda ini mulai terbang dan sudah berani melancong ke tepi sungai. Di sana ia mengamati dan mempelajari bagaimana cara in-duknya mencari ikan.

Setelah sepuluh hari menintin muda meninggalkan sa-rangnya. Induk mereka mulai mengurangi jatah pemberian makanan. Pengurangan makanan ini menuntut kemandirian menintin muda. Mula-mula anak berlatih menangkap ikan dengan menangkap bunga atau ranting jatuh dalam air, atau mengambil kerikil di dasar sungai. Setelah itu ia belajar me-nyambar serangga seperti capung, larva dan kumbang, kemu-dian dengan paruhnya mangsanya dibawa ke tenggeran atau dahan pepohonan untuk dinikmati.

Namanya juga belajar, mereka juga sering mengalami kegagalan. Akan tetapi karena ketekunannya mempelajari cara penangkapan itu, mereka menjadi terampil. Dalam waktu dua belas hari, mereka sudah menyamai keterampil induknya.

Induk yang dulunya memelihara dan membesarkan mer-eka, tiba-tiba kini menjadi musuh. Induk menintin mengusir semua anaknya dari wilayah kekuasaanya, setelah mereka meninggalkan sarang kira-kira 15 hari. Pada saat itu umur me-nintin muda genap 40 hari. Akibatnya menintin muda terpaksa meninggalkan wilayah yang selama ini mereka diami demi ke-matangan kedewasaan menintin muda.

Ketika daun mulai berguguran dan air sungai menjadi dingin. Menintin muda mulai bersiap untuk melakukan mi-grasi ke daerah selatan. Akan tetapi ada juga menintin yang tidak bermigrasi. Mereka berkumpul di dekat sungai dan rawa yang airnya tidak beku. Di sana mereka berjuang menghadapi musim dingin dengan sekuat tenaga. (SL/HENI)

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) sedang mengerjakan tugas di Kompas Corner. Kompas Corner merupakan bentuk kerja sama Kompas dengan UMN guna menigkatkan pengetahuan mahasiswa.

FasilitasKompas Corner

Pusat Informasi Kompas (PIK)

Komputer

Buku

Majalah

Layar Proyektor

TV

Apapun segala bentuk penunjangan diharapkan dapat membuat kegiatan semakin baik. Dengan kata lain, demi

kelangsungan aktivitas, dibutuhkan fasilitas yang dapat menunjangnya guna mencapai lebih baik. Maka dari itu tak dapat dipungkiri mahasiswa juga membutuhkan fasilitas demi menunjang kelang-sungan aktivitas belajarnya. Dengan demikian kegiatan belajar akan menjadi lebih mudah. Oleh karena itulah Kompas menghadirkan Kompas Corner sebagai bentuk fasilitas yang memberi-kan pelayanan ekstra guna menunjang proses pembelajaran serta eksplorasi ilmu bagi maha-siswa.

Kompas Corner merupakan sebuah ruang interaktif multifungsi yang menyediakan berb-agai macam fasilitas, kemudahan, dan keuntun-gan bagi para mahasiswa. Sekadar bercuap-cu-ap untuk berkumpul dan berbagi informasi dapat dilakukan di dalam ruang publik ini. Di luar itu kita tidak perlu bosan karena terus menerus belajar di dalam ruangan kelas. Namanya juga multifungsi, ruangan ini juga dapat digunakan untuk kegiatan kuliah di luar ruangan kelas. Meeting point un-tuk berkumpul membahas kegiatan kampus dan kegiatan lainnya sangat disarankan dapat di-lakukan di ruangan ini. Misalnya seperti Kompas Corner mengagendakan mendatangkan bintang tamu untuk mengulas tentang bedah buku atau bedah film untuk memperluas wawasan maha-siswa.

Saat ini Kompas Corner hadir di Univer-sitas Multimedia Nusantara dan akan hadir di Universitas-universitas lainnya di Indonesia. Berlokasi di lantai dua gedung new tower Uni-versitas Multimedia Nusantara ini mengusung konsep honeycomb yang santai dan nyaman. Konsep honeycomb yang artinya diibaratkan seperti sarang madu yang diharapkan dapat ber-manfaat bagi seluruh penggunanya. Sehingga diharapkan Kompas Corner dapat menjadi tem-pat lahirnya kreatifitas dan ide – ide segar dari orang yang berkunjung ke dalamnya.Warna rumput hijau yang sintesis dan pencahayaannya dirancang sedemikian rupa sehingga membuat cahaya terlihat pas membuat kita terhipnotis ingin menelaah ke dalam ruangan lebih dalam. Furnitur yang colour full terlihat menarik. Tampak hiasan foto-foto yang dibingkai sedemikian rupa menghiasi dinding-dinding ruangan. Sebuah sa-

rang madu terletak di atas atap ruangan digu-nakan sebagai penerang ruangan. Kemudian buku-buku tersusun rapi di rak- rak kecilnya. Meja- meja dan kursi- kursi kecil diletakkan di tengah-tengah ruangan. Desain lantai yang di-isi dengan rumput sintesis membuat kita dapat duduk di lantai bersantai-santai melepaskan penat. Tentunya dengan tambahan kemuda-han fasilitas-fasilitas yang membuat kita sema-kin dibuat nyaman dan mudah. Ya, sungguh merupakan sebuah ruang interaktif yang nya-man bukan?Kompas Corner juga menjawab atas kebingungan mencari data skripsi selain di perpustakaan. Sebuah Sistem Pusat In-formasi Kompas (PIK) wajib menjadi sumber referensi yang validitasnya terjaga. Berisikan tentang kliping berita, foto, dan artikel – artikel yang pernah dirilis oleh Kompas tidak dapat dipungkiri menjadi landasan fakta yang dinanti – nanti oleh akademisi ataupun peneliti. PIK ini

Kingdom : AnimaliaPhylum : ChordataClass : AvesOrder : CoraciiformesFamily : AlcedinidaeGenus : AlcedoSpescies : A. Menintin

Blue- eared KingfisherScientific classification

Sang Kingfisher, Menukik Bagai Peluru

Matahari mulai memancarkan sinarnya, perlahan salju mulai mencair. Musim dingin baru sajberlalu. Terdengar suara burung memecah ke-

heningan. Burung kecil berwarna biru metalik tampak sedang berjemur di bawah terik sinar matahari dan sesekali terbang di atas permukaan

air. Sebesar ukuran burung gereja kira-kira.

Dengan gerakan cepat, dalam sekejap ikan kecil sudah di paruh menintin.

Induk menintin sedang member makan kepada anaknya

tempat. Hanya sayang saja di kompas korner kita belum dapat pinjam-meminjam buku. Kita dapat membaca bukunya sembari meluruskan kaki di karpet rumput sintetis. Tak heran pen-gunjung yang gemar membaca dapat berlama-lama menghabiskan waktunya di sini. Layar proyektor melengkapi ruangan interaktif ini. Pre-sentasi atau kuliah tamu pun dapat diadakan di sini. Dibuka setiap hari kerja dari jam sepuluh pagi hingga empat sore dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa UMN sebagai target uta-ma. Selebih itu dapat meminta ijin khusus untuk menggunakan Kompas Corner melebihi jam op-erasi. Kompas Corner dibuka untuk umum tanpa dipungut biaya sepeserpun. Tidak heran setiap harinya Kompas Corner selalu penuh dengan ma-hasiswa UMN yang sekedar membaca buku atau mengerjakan tugas mereka. “Sehari bisa 20-40 mahasiswa yang datang. Rata-rata baca buku, ngerjain tugas, menunggu pergantian jam kuliah,” ujar Iip, salah satu penjaga Kompas Corner yang tengah menjaga saat siang itu.Dengan dihadirkan-nya Kompas Corner ini diharapkan dapat menjadi tempat lahirnya kreatifitas dan ide – ide segar dari orang yang berkunjung ke dalamnya. “Semoga dengan hadirnya Kompas Corner akan meng – inspiring mahasiswa UMN khususnya untuk tidak henti – hentinya berkarya.” Imbuh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UMN, Kevin Hartanto.Kare-na masih terbilang baru, Kompas Corner masih memiliki kekurangan-kekurangan. Galih salah satu mahasiswa jurusan Jurnalistik 2011 men-gaku koneksi wi-finya masih kurang dapat diakses karena kurang terjangkaunya jaringan dari luar ru-angan. Semoga diharapkan kedepannya Kompas Corner yang nantinya akan menjadi sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa dalam bidang organisasi dapat dikelola lebih baik lagi. (SL/ HENI)

dapat diakses oleh seluruh mahasiswa den-gan cara menjadi anggota kemudian ber-transaksi sesuai harga yang telah diten-tukan. Koleksi bukunya? Buku-bukunya diupdate sekitar tiga bulan sekali. Buku – buku pilihan Kompas tersedia banyak mulai dari lokal hingga mancanegara. Buku-bukunya tersedia untuk dibaca di

Untuk mengetahui lebih jauh tentang Kompas Corner, Tim Sisi Lain melakukan wawancara eksklusif dengan ketua Badan Executive Mahasiswa, Kevin Hartanto:

Ketua BEM Universitas Multimedia Nusantara, Kevin Hartanto

Tambah Wawasan

Logo Kompas Corner

Page 5: Uas sisi lain

8

Sisi Lain Senin, 13 Mei 2013Inspirasi

Ia tampak sedang mengambil foundation atau alas bedak sebelum memakaikan bedak ke permukaan wajah ses-eorang yang duduk di depannya. Sponge yang terletak di

atas bedak padat diambil olehnya, perlahan ia mengoles ke seluruh permukaan wajah. Kemudian jari telunjuknya me-nyusuri warna-warna yang terletak dalam kotak kecil. Ia me-milih warna mana yang cocok untuk diaplikasikan ke bagian kelopak mata. Terakhir ia membubuhkan blush on sebagai pemanis pipi. Viola! Wanita yang duduk didepannya itu tam-pak cantik sekarang. Dalam sekejap Dinda Nawangwulan menyulapnya bagai permaisuri bak menawan. Dengan riasan di wajahnya membuatnya terlihat menarik. Sekarang tidak ada lagi muka pucat yang menghantui para pasien tersebut.

Melalui sebuah komunitas dan pusat advokasi bagi para pen-derita kanker, Pink Shimmer Inc, Dinda menebarkan optismisme kepada semua pengidap kanker untuk tetap ceria dan berdandan. Tak jarang Dinda terlihat sedang memoles wajah pucat pasien.

Kendati juga mengidap kanker payudara tak mem-

buat Dinda Nawangwulan putus asa. Melalui kecinta-annya mendadani orang, ia mampu membawa sesa-ma pengidap kanker menjadi lebih cantik lewat dandan.

Berawal dari ditemukannya benjolan di sekitar payudara. Saat itu ia merasa seperti ada tulang dalam payudaranya. Kemudian ia pun menceritakan kepada temannya dan me-nyarankannya agar memeriksa ke Yayasan Kanker Indo-nesia (YKI). Kemudian YKI memintanya untuk melakukan USG, mamografi, dan biopsi untuk menentukan apakah ben-jolan yang ada pada payudara berbahaya atau tidak. Tidak langsung mengambil tindakan, Dinda lantas melakukan sec-ond opinion yang ternyata menyebutkan opini yang sama.

Masih untuk tidak berani untuk mengambil tindakan, Dinda bercerita kepada kakak saya. Dan kakak menganjurkan agar diobati secara alternatif dengan cara pijat dan minum-minuman herbal. Dua bulan menjalani pengobatan alternatif, ternyata benjolan di payudara malah bertambah sakit. Akhirnya kami me-

mutuskan untuk berhenti dan memeriksakan diri ke Singapura.“Namanya juga anak muda, dulu zaman kuliah suka mero-

kok, clubbing, tidur malam.” Gambaran pola hidup tidak sehat yang seperti itulah yang akhirnya divonis kanker oleh dokter. Ke-mudian selain itu stress yang berlebihan dan asupan makanan yang tidak sehat juga kerap mengiringnya kepada penyakit ini. Kala itu tahap kankernya stadium satu. Berdasarkan reko-mendasi dokter yang menanganinya, Dinda memutuskan menyetujui operasi pengangkatan sekaligus rekonstruk-si payudara untuk menghindari perawatan kemoterapi.

Akan tetapi ternyata perawatan kemoterapinya tak dapat dihindari. Lantas tak hanya benjolan saja yang kerap dialaminya. Baru saja selesai operasi pengang-katan payudara, dokter menemukan 4 titik kanker lain di kelenjar getah beningnya. Dengan pasrah dan berserah kepada Tuhan, ia menjalankan perawatan kemoterapi.

Melakukan perawatan kemoterapi tak semudah yang

Semangati Pengidap Kanker Lewat Dandan

"Jalani hidup apa adanya, tetap berpikir positif, dan banyak-banyak bersyukur ternyata menjadi kunci utama yang membuat saya bisa terbebas

dari kanker tahun lalu.” - Dinda Nawangwulan

Profil

Lahir : 26 Desember 1985 Profesi : Professional make up artist, founder

Shimmer Inc (komunitas pengidap kanker).

dibayangkan Dinda. Merasa tertekan akan menjalankan kemoterapi untuk pertama kali, ia agak sedikit stress. Dit-ambah lagi melihat pasien lain yang tampak pucat seperti mayat. Dinda pun mencoba meyakinkan diri untuk tidak sep-erti mereka untuk mengrangi rasa ketakutannya terhadap dampak kemoterapi. Sang kakak, Kun Ariani Handanawati (56) pun menemaninya dan menyemangati dengan meny-uruhnya untuk tetap berdandan dan tidak perlu terlihat sakit.

Dengan kepercayaan diri, Dinda tetap menjalankan kemoter-api dengan tambahan kegiatan berdandan. Ya, setiap harinya ia merias wajahnya agar terlihat funky dan segar. Bahkan di saat ia sempat botak ia pun tetap percaya diri (PD) untuk tetap jalan ke mall. Aksinya tersebut didorong semangat oleh dokter. Dok-ter menyuruhnya untuk melakukan apapun yang digemarinya.

“Jalani hidup apa adanya, tetap berpikir positif, dan banyak-banyak bersyukur ternyata menjadi kunci uta-ma yang membuat saya bisa terbebas dari kanker tahun lalu. Jujur, selama saya sakit, saya hanya menjalani hid-up untuk hari ini, tanpa berpikir muluk-muluk dengan ren-cana ke depan nantinya, hanya fokus pada kesembuhan.

Dari situlah ia pun memutuskan untuk mengundur-kan diri dari pekerjaanya. Lalu ia mulai fokus pada make up, dan merintis bisnis sebagai make-up artist, Shim-mer Inc. Bekerja sama dengan fotografer Adi Siagian, Shimmer Inc juga menawarkan fotografi berkonsep.

Dukungan dari orang terdekat kita memang tak per-nah mati. Selain kakak, orang terdekat lainnya adalah sang suami, (alm) Alexander A Abimanyu. Almarhum suaminya-lah yang juga ikut memberi dukungan penuh kepada Dinda. Ia memperlakukannya tidak seperti orang sakit. Mengangkat hidup Dinda hingga kembali punya semangat hidup. Almarhum suami yang mengajarkannya untuk bisa memilah-milah ber-bagai urusan dan mengungkapkan emosi saat sedang ke-

sal. Dan ketika saat Dinda melakukan kemo dengan kondisi botak, ia masih mengajaknya untuk menghabiskan sisa waktu hidupnya bersamanya. Sejak kemo pertama, Dinda mulai berpacaran dengan Alex. Pada 8 Januari 2008 mereka menikah, saat Dinda masih menjalani pengobatan lanjutan.

be Brave, be Pink.

Be brave, be pink, for Indonesia, itulah slogan yang di-angkat Pink Shimmer Inc. Bersama almahrum suaminya Dinda membuat komunitas yang mempersatukan para pen-gidap kanker untuk saling berbagi. Adapun tujuan dari dibentuknya komunitas ini yaitu menyemangati para pen-gidap kanker. ”Pengidap kanker kerap merasa amat ter-puruk, merasa penampilannya jadi buruk, tersisih. Oleh karena itu, penting sekali menyemangati mereka,” jelasnya.

Rumah sakit bukan menjadi satu-satunya tem-pat sesama pengidap kanker untuk bisa saling meny-emangati sesama. Akan tetapi Pink Shimmer Inc men-coba mengajak mereka berbagi di mall sembari ngopi.

Di samping itu komunitas yang bekerja sama den-gan beberapa yayasan kanker, mereka mengampa-nyekan breast cancer awareness dalam berbagai acara amal.

Dalam salah satu acara amal pada Oktober 2010, Dinda merias 12 pengidap dan survivor kanker payudara. Mereka kemudian difoto oleh Adi Siagian dan hasil foto itu kemudian dipamerkan di pusat perbelanjaan Grand Indonesia, Jakarta. Foto-foto itu lalu dilelang sebagai bagian dari kegiatan amal.

”Hasil lelang mungkin masih belum seberapa dibanding mahalnya pengobatan kanker. Namun, melalui acara itu seti-daknya ke-12 perempuan tersebut merasa terdukung secara

mental. Mereka bilang, ternyata senang sekali setelah didanda-ni dan difoto dalam ekspresi yang ceria,” tutur Dinda. (SL/HENI)

Dinda saat menerima donasi dari Wacoal.

Dinda tengah memberikan pengarahan mengenai dandan.

Dinda Nawangwulan, survivor kanker berprestasi.