UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

21
UAS KONVERGENSI MEDIA ZAINUN NAJIB 1006695583

Transcript of UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

Page 1: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

UAS KONVERGENSI MEDIAZAINUN NAJIB

1006695583

Page 2: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

Abstrak

Konvergensi dalam media dan pendekatannya disinyalir oleh menjadi sebuah jalan untuk mempelajari sejarah media oleh analisis tentang proses produksi dan penerimaan media di sepanjang abad ke-21 ini. Dalam sebuah konferensi yang digelar di University of Texas pada tanggal 11 hingga 13 Oktober 2007, para sejarahwan media yang terus muncul dan berkembang menemukan banyak isu dan pertanyaan seputar konvergensi yang harus dijawab, seperti posisi sejarah dalam konvergensi sekarang, isu-isu yang hangat dan harus ditulis oleh para sejarahwan media, progres atau kemajuan yang telah dicapai oleh konvergensi, pertanyaan tentang arah konvergensi di masa depan, hingga pertanyaan tentang sasaran dan alasan konvergensi terus dilakukan.

Sejarah konvergensi media ternyata mematikan sebuah asumsi bahwa semua orang dapat dengan mudah menjadi ahli atau peneliti dalam bidang televisi dan film. Konvergensi media dianggap sebagai sebuah konteks yang memaksa para sejarahwan media untuk melihat dan meneliti adanya hubungan antara media—seperti media cetak, film, radio, televisi, dan media baru yang dulunya dilihat sebagai media yang sejarahnya berbeda satu sama lain. Janet Steiger dan Sabine Hake di tahun 2009 di dalam buku mereka yang berjudul “Convergence Media History” mengumpulkan esai-esai dari berbagai penelitian yang dapat menjelaskan dan menjawab pertanyaan tentang sejarah konvergensi. Konvergensi membawa perubahan dan hal baru yang kemudian memunculkan metode baru untuk membuat sebuah film dan sejarah media, subjek baru yang memfokuskan kepada topik film yang belum pernah dijamah, dan pendekatan baru untuk membangun topik-topik tersebut.

Perfilman memasuki Indonesia pada tahun 1900 awal kemudian berkembang menjadi sebuah subjek dan bentuk konvergensi di Indonesia hingga saat ini. Bentuk konvergensi ada pada kepemilikan bioskop sebagai sarana hidupnya perfilman. Sejarah film sendiri menjadi bagian dari paralelitas sejarah media yang kemudian terkonvergensi satu sama lain.

Page 3: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

I. Latar belakang

Kecepatan revolusi teknologi media yang luar biasa diakselerasikan oleh seperangkat fenomena yang disebut sebagai "konvergensi". Sebagaimana fenomena makro lainnya, konvergensi memiliki banyak definisi dan definisi-definisi ini telah menjadi semakin luas dari waktu ke waktu sampai kepada titik dimana tidak ada lagi satu definisi yang benar-benar tepat dan disepakati bersama. Seperti kata Justice Potter Stewart “I can’t define it, but I know it when I see it”. Jim Carroll pun menggunakan analogi konvergensi seperti fenomena seks di kalangan remaja: tidak ada yang tahu pasti apa itu sebenarnya tapi berpikir pasti itu merupakan hal yang hebat; semua orang akan berpikir bahwa orang lain pasti melakukannya; mereka yang mengaku melakukannya mungkin saja hanya membual; beberapa yang menjalankannya tidak menjalankannya dengan baik; merelka yang menjalankannya membutuhkan waktu yang lama untuk melakukkannya dengan benar; dan mereka semua akhirnya akan sadar, bahwa tidak ada cara yang benar-benar ‘tepat’ untuk melakukannya ( Poynterextra. 2002).

Meskipun demikian, dua definisi konvergensi yang sering dijadikan acuan adalah sebagaimana yang dipaparkan oleh Dailey et al. (2005) dan Gordon (2003). Dailey et al. (2005) mengajukan “convergence continuum” atau rangkaian kesatuan konvergensi untuk organisasi berita yang dimulai dengan ‘cross promotion, yang kemudian dilanjutkan dengan ‘cloning’, ‘coopetition’, ‘content sharing’, hingga ‘convergence’ seutuhnya. Di lain pihak, Gordon (2003) mengidentifikasi lima dimensi dari konvergensi, yakni ownership (kepemilikan), tactics (taktik), structure (struktur), information gathering (pengumpulan informasi), dan presentation/storytelling (presentasi). Pembagian dimensi ini menunjukkan bahwa konvergensi media memiliki berbagai jenis dimensi dalam skala luas dan dapat ditemui di berbagai kombinasi aktivitas (Grant dan Wilkinson, 2009).

Meskipun konsep ‘continuum’ yang ditawarkan Dailey et al. (2005) dianggap lebih ilustratif menggambarkan progres organisasi media menuju tahap konvergensi, konsep pembagian dimensi konvergensi sebagaimana yang dikemukakan Gordon (2003) memfasilitasi analisis dari aktivitas konvergensi dalam bentangan yang lebih luas. Para jurnalis memiliki kecenderungan menggunakan istilah “konvergensi” ketika membicarakan teknologi dari industri telekomunikasi, dimana istilah tersebut menggolongkan integrasi teknologidan pemasaran seperangkat teknologi yang berkisar dari teknologi kabel dan nirkabel, serta dari telepon hingga televisi.

Meskipun belum memiliki suatu definisi yang pasti, kita dapat mengenal konvergensi dengan mempelajari dimensi-dimensinya yang berkaitan dengan teknologi, jurnalisme, koordinasi, konten multimedia, kolaborasi, dan konsumsi konten media. Dimensi-dimensi ini sebenarnya belum bisa mencakup pemahaman konvergensi secara mendalam dan menyeluruh mengingat medium atau aplikasi apapun memiliki kesempatan untuk membentuk dimensi baru dalam konvergensi. Akan tetapi, dimensi-dimensi diatas sudah menyediakan kerangka ilustratif yang dapat menganalisis praktek-praktek media.Lebih jauh konvergensi media menuju kedalam sebuah bentuk jamak dimana bentuknya dapat ditemui dan diterjemahkan baik dalam skema bisnis,politik,ataupun kacamata teknologi.

Konvergensi media muncul di Indonesia sebagai sebuah bentuk adaptasi terhadap teknologi yang sudah ada. Pada kontek sejarah bentuk-bentuk media di Indonesia bersifat linier berkembang tidak bersamaan. Dimulai dengan dunia cetak,perfilman,radio,dan yang terakhir televisi. Tapi pada masa kini scholar tidak bisa lagi membuat sejarah media terpisah-pisah satu sama lain. Mereka terkonvergensi dalam sebuah lingkaran perkembangan. Perfilman

Page 4: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

merupakan salah satu bentuk tertua konvergensi di Indonesia. Perkembangannya bahkan menyebabkan konvergensi media dan cultural. Hal ini membuat perfilman Indonesia sebagai sebuah tema khusus dalam konvergensi media dan perkembangannya di Indonesia.

Media berkaitan erat dengan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi yang ditinjau dari segi determinisme teknologi memacu sebuah perkembangan pada peradaban manusia yaitu merubah bentuk bentuk dan fungsi-fungsi dari media. Dalam perspektif sejarah media konvensional terus berbenturan dengan perkembangan teknologi dan konvergensi media itu sendiri sehingga membentuk sebuah simbiosis dan mutasi baru dari perkembangan teknologi.

Film adalah sebuah bentuk media konsumsi manusia. Film berkembang seiring dengan ditemukannya gambar bergerak. Dengan kecepatan tertentu gambar-gambar yang bersifat continue digabungkan dan digerakan dengan kecepatan tertentu membentuk sebuah gambar bergerak yang kemudian dikenal dengan nama film. Perkembangan konvergensi media sendiri biasa kita bahas dalam perspektif televisi,radio,dan koran. Begitu juga dengan film dalam perkembangannya film mengalami bentuk-bentuk spesialisasi,pembedaan platform,pengkhususan audiens tertentu dan itu adalah sifat-sifat dari sebuah konvergensi.

Konvergensi media ternyata tidak bisa dilihat sebagai hal-hal yang terpisah misal kita mengkategorikan perkembangan yang berbeda antara media satu dan media lain. Perkembangan media yang berbeda ternyata menjadi sebuah kesatuan yang membentuk konvergensi media itu sendiri. Film ,televisi,radio,jurnalistik sebuah bentuk media yang berkembang dengan tahapan yang sama. Dalam perspektif sejarah konvergensi media dilihat sebagai penggunaan media konvensional untuk mencapai tahapan efektifitas tertentu dalam produksi dan eksplorasi terhadap bagaimana media konvensional terus bersinggungan dengan teknologi baru.

II. Rumusan masalah

Konvergensi yang kita ketahui hingga saat ini adalah konvergensi yang telah besar dan berkembang hingga berbagai aspek kehidupan. Terutama dalam industri media. Sehingga kita terkadang tidak mengetahui asal dan perkembangan dari konvergensi yang hingga kini telah memasuki berbagai macam media. Segala-galanya telah jelas saat ini dengan adanya perkembangan internet. Tidak terbayangkan sebelumnya pada masa sebelum internet berkembang, bagaimana konvergensi dapat menggeliat masuk dan berkembang. Oleh karena itu kit harus memahami proses sejarah dari konvergensi. Sehingga segala perubahan yang terjadi sejak era sebelum konvergensi muncul hingga saat ini dapat kita ketahui dengan jelas.

Konvergensi media telah berhasil menggabungkan berbagai media konvensional yang bersifat masif dengan teknologi jaringan yang bersifat interaktif. Pada era sebelumnya, kita mungkin mengira bahwa konvergensi terjadi pada media-media tradisional yang bersifat masif tersebut, seperti koran, radio, televisi, dan media baru yang powerful yakni internet. Janet dan Hake (dikutip dari Janet dan Hake dalam Convergence Media History) ingin menyanggah pemahaman tersebut. Bahwa konvergensi tidak terjadi pada tataran media-media besar tersebut. Janet dan Hake menampilkan metode, subjek, dan pendekatan baru dalam menelaah perkembangan konvergensi.

Page 5: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

Konvergensi media di Indonesia bisa dilihat dari perkembangan film dan media cetaknya. Perfilman Indonesia yang sudah berdiri sejak 90an menjadi sebuah bentuk dari konvergensi. Munculnya bentuk konvergensi ini karena permasalahan kepemilikan dan tuntutan efisiensi yang berhubungan dengan mekanisme pasar perfilman.

III. Literature Review

Media berkaitan erat dengan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi yang ditinjau dari segi determinisme teknologi memacu sebuah perkembangan pada peradaban manusia yaitu merubah bentuk bentuk dan fungsi-fungsi dari media. Dalam perspektif sejarah media konvensional terus berbenturan dengan perkembangan teknologi dan konvergensi media itu sendiri sehingga membentuk sebuah simbiosis dan mutasi baru dari perkembangan teknologi.

Film adalah sebuah bentuk media konsumsi manusia. Film berkembang seiring dengan ditemukannya gambar bergerak. Dengan kecepatan tertentu gambar-gambar yang bersifat continue digabungkan dan digerakan dengan kecepatan tertentu membentuk sebuah gambar bergerak yang kemudian dikenal dengan nama film. Perkembangan konvergensi media sendiri biasa kita bahas dalam perspektif televisi,radio,dan koran. Begitu juga dengan film dalam perkembangannya film mengalami bentuk-bentuk spesialisasi,pembedaan platform,pengkhususan audiens tertentu dan itu adalah sifat-sifat dari sebuah konvergensi.

Konvergensi media ternyata tidak bisa dilihat sebagai hal-hal yang terpisah misal kita mengkategorikan perkembangan yang berbeda antara media satu dan media lain. Perkembangan media yang berbeda ternyata menjadi sebuah kesatuan yang membentuk konvergensi media itu sendiri. Film ,televisi,radio,jurnalistik sebuah bentuk media yang berkembang dengan tahapan yang sama. Dalam perspektif sejarah konvergensi media dilihat sebagai penggunaan media konvensional untuk mencapai tahapan efektifitas tertentu dalam produksi dan eksplorasi terhadap bagaimana media konvensional terus bersinggungan dengan teknologi baru.

New metode

Dalam buku Convergence Media History Janet dan Hake mencoba memaparkan bahwa konvergensi media tidak selamanya terjadi pada media media konvensional. Dalam buku ini Janet dan Hake mengumpulkan penelitian berupa esay-esay. Bahwa konvergensi media tidak berlaku pada media konvensional dalam sebuah perspektif tertentu.

Dengan pendekatan baru dan analisis tertentu Janet dan Hake mengambil studi kasus dari beberapa esay tentang kajian film. Kajian pertama adalah analisis dari penelitian Hamid Naficy, yang berkesimpulan bahwa film tumbuh secara vertikal dan horizontal dalam perkembangannya, asimilasinya, dan adaptasinya. Hasil penelitian ini bersambungan dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Marshall McLuhan (1964, 23) “isi dari media apapun selalu media lain”. media lama tidak akan hilang dengan sepenuhnya oleh media baru, melainkan akan berubah dan mengikuti media baru yang ada. Naficy menuliskan hal ini dalam penelitiannya yang kemudian mengenalkan istilah multiplisitas.

Konsep multiplisitas adalah sebuah subjek yang dipaparkan oleh Naficy dimana hal ini disebabkan karena adanya keberaneka ragaman dalam sebuah proyeksi sebuah film. Katakanlah film dengan produksi multilingual,dengan beragam pilihan bahasa sebuah film bisa dikonsumsi oleh semua masyarakat didunia sesuai dengan bahasa mereka,proses ini kemudian berkembang menjadi sebuah pola interaktif antara konsumsi non-aktif penonton dan keaktifan pemahaman terhadap bahasa yang diproduksi oleh film tersebut. Multiplisitas

Page 6: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

sendiri terjadi bukan hanya karena konsumen film dengan bahasanya namun juga pada tahap produksi dimana pembuatan film tentu melibatkan banyak pihak yang multikultural sehingga menimbulkan interaksi multipisitas dibelakang layar.

Konsep multiplisitas dalam film lahir karena bentuk film yang kemudian dikonsumsi dengan berbagai macam cara. Dengan berkembangnya teknologi,media berkembang dengan produksi berbagai macam format. Film berkembang dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi sehingga lahir berbagai format film misal DVD,VCD,MPG dan lain-lain yang bisa dikonsumsi dengan media teknologi yang berbeda.

Keberagaman dalam film juga bisa ditunjukan dengan produksi beberapa film yang mengikutsertakan masyarakat lokal dalam produksinya sehingga terjadi sebuah interaksi multikultural .

Penelitian selanjutnya adalah esai yang ditulis oleh Derek Johnson berjudul Marvel, X-Men, and The Negotiated Process Of Expansion. Dalam paper penelitiannya Derek Johnson memaparkan temuannya terhadap praktik waralaba dan franchise yang terjadi dalam industri film. Produksi film Marvel yang mulanya berasal dan berawal dari komik berhasil menjadi sebuah bentuk ekspansi baru US terhadap negara lain. Produksi film Marvel yang sekarang diakuisisi oleh Disney Coorporation selalu ditunggu oleh penggemar setianya yang berjumlah puluhan ribu tersebar diseluruh dunia mulai dari anak-anak sampai addict yang mengikuti komik marvel dari era ‘80an. Keberhasilan ini menjadikan film sebagai sebuah media yang menggabungkan industri media dan waralaba dan berhasil menjadi sebuah fenomena ekspansi baru bagi US.Bentuk bentuk tersebut mulai dari film Layar lebar,DVD,Toys,Fashion sampai pada perlengkapan rumahtangga yang diproduksi dengan platform Marvel dan Dysney. Kerjasama antara bidang ini menghasilkan rantai keuntungan di seluruh US secara masif, dan penyebaran dari produk secara lebih luas. Dan waralaba ini merupakan cara yang sukses dan diperkenalkan kedalam industri media.

Penelitian lain diungkapkan oleh Chris Cagle yang memakai pemikiran Boeurdieu untuk menawarkan cara berpikir bahawa film sebagai produk industri dan/atau lambang ideologi. Sebagai sebuah produk industri film menggunakan azas-azas ekonomi dan menggunakan perhitungan untung rugi dalam produksinya namun dalam sisi lain film muncul sebagai lambang idiologi yaitu sebuah pernyataan tentang kejadian riil dalam masyarakat secara ekonomi,politik,dan budaya. Contoh dari film sebagai gambaran ideologi dalam masyarakat adalah film pada jaman neo realisme italia. Film yang diprooduksi pada saat itu menggambarkan bentuk kenyataan kekalahan perang di Italia yang berujung pada kemiskinan dan fenomena kemiskinan itu sendiri. Pemikiran Bourdieu (konsep habitus) dipakai untuk menempatkan proses internalisasi, suatu pencocokan antara keadaan obyektif dan pengalaman subjektif. Masalah yang sering terjadi di film adalah ketidak mampuan untuk melihat sebab akibat dalam dunia sosial. Untuk itulah diperlukan adanya kemampuan untuk membedakan keadaan objektif dibanding dengan hanya melakukan perbandingan secara subjektif.

New Subject

Kathryn Fuller-Seeley memaparkan bahwa subjek diskriminasi terhadap kulit hitam di Amerika di internalisasi melalui produksi film. Pada masa itu film diproduksi dengan konsep kulit putih selalu lebih tinggi tingkatan dan berperan sebagai tokoh protagonis berlawanan dengan kulit hitam yang selalu digambarkan sebagai tokoh antagonis. Karena pada masa itu budaya diskriminasi masih kuat film-film tersebut diterima oleh sebagian besar masyarakat. Hegemoni yang terjadi di masyarakat saat itu membentuk sebuah pembenaran atas fenomena

Page 7: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

yang berlangsung bahwa ketidaksetaraan adalah sebuah hal yang patut diterima dan sewajarnya padahal itu merupakan bentuk penindasan dan pemerasan terhadap hak-hak kaum hitam. Masyarakat kaum hitam termajinalkan dalam film dan sebagaimana pengaruh film terhadap masyarakat hal itu menjadi tercermin dalam dunia nyata. Tapi perubahan terjadi ketika kesetaraan gender terus digerakan dan memecah hegemoni yang ada.

Beberapa subjek penelitian lainnya dikemukakan oleh Laura Isabel Serna yang melakukan penelitian pada konteks industri film di Meksiko. Serna ini menunjukkan bagaimana bioskop dan film-film di Meksiko menghadapi tantangan hegemoni film Hollywood dan menjadikan masyarakat berbalik kepada bioskop lokal sehingga mampu menjadi alat nasionalisme Meksiko. Kyle Barnett dalam penelitiannya meneliti interaksi antara musisi, jurnalis, suara insinyur, tenaga penjual rekaman, dan konsumen dalam industri rekaman awal. Penelitian terhadap industri media biasanya lebih ditekankan kepada film, televisi dan radio, sedangkan untuk industri rekaman hanya segelintir orang yang melakukannya. Richard Butsch mengkaji kembali konstruksi sosial, melalui undang-undang federal dan peraturan penyiaran dari tahun 1920 ke tahun 1940-an, untuk menciptakan masyarakat yang informatif. Awalnya radio membedakan derajat masyarakat yang informatif, deliberatif, rasional, dan berpikiran luas, diidentifikasi dengan putih, laki-laki, kelas menengah atau atas (Schudson 1998;. Smith et al, 1994) dan Herbert cossar, Penelitian cossar menemukan bahwa industri- industri film pendek sebagai pengisi waktu diantara waktu produksi bagi studio besar dan sebagai uji teknologi baru.

New approaches

Banyak pendekatan baru dalam sejarah film. Dalam buku Convergence Media History pendekatan-pendekatan itu diteliti oleh beberapa esay. Karl Schoonover meneliti promosi neorealisme Italia dan bagaimana reaksi dari penontonnya melalui perspektif sinema seni Eropa. saat itu diramalkan bahwa sinema Italia akan menjadi ancaman terhadap dominasi Hollywood jika Italia terus memproduksi film provokatif. Ken Feil melakukan penelitian dalam hal perasaan marginal pada kelompok minoritas dan untuk menekankannya dalam budaya mainstream. Leopard meneliti mitos praktik seni otonom dan konseptual binari dengan menelusuri diskursif dan kelembagaan permutasi dari film Stan Brakhage dan Andy Warhol praktek-praktek video dari Bay Area Video Coalition di San Fransisco. Alisa Perren meneliti kompleksitas sejarah televisi dengan berfokus pada populer film-of-the-week-,dan hubungannya dengan budaya spesifik dan budaya jaringan.

Sue Collin menekankan pentingnya “liveness” dalam persona selebriti dan otorita politik selebritas. Antara 1917-1919 Pemerintah AS memakai propaganda yang melibatkan melibatkan perekrutan industri film dan bintang terbesarnya seperti Charles Chaplin, Douglas Fairbanks, Mary Pickford. Dengan menghadirkan para bintang besar ini pemerintah berusaha menarik perhatian publik dan mendapatkan dukungan dalam perang. Para selebritas ini ‘dimanfaatkan’ untuk mendapatkan persepsi positif dari masyarakat mengenai perang dan rasa nasionalisme. Dengan kata lain, keberhasilan pemerintah dengan kampanye propaganda domestik, dapat dipahami sebagai kemampuan untuk meredakan tujuan kebijakan budaya dengan mengundang insan budaya populer.

Karl Schoonover mengkaji promosi neorealisme Italia dan bagaimana reaksi dari penontonnyamelalui perspektif sinema seni Eropa. Pada saat itu diramalkan bahwa sinema Italia akan menjadi ancaman terhadap dominasi Hollywood jika Italia terus memproduksi film provokatif. Neorealisme menawarkan keprihatinan bagi penontonnya.

Page 8: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

Ken Feil bergerak dalam hal perasaan marginal pada kelompok minoritas dan untuk menekankannya dalam budaya mainstream. Kelompok marjinal yang menjadi fokus penelitian Feil adalah  orang-orang yang mendapat label  orang dengan selera buruk, gay, pemuda pemberontak. Pada tahun 1965-an mereka ini dianggap sebagai ancaman dalam mainstream. Biasanya orang-orang seperti ini ruang lingkupnya cenderung dibatasi, dan dilakukan suatu pemarjinalan khusus bagi mereka. Yang mempopulerkan baik-buruknya selera terjadi melalui interaksi dari jumlah selera publik terpinggirkan, yaitu Afrika-Amerika, gay, dan orang-orang muda, tetapi yang terpenting melibatkan anggota bandel dari mainstream yang mengambil "paruh waktu" kepentingan kelompok-kelompok terpinggirkan dan kepekaan (Gans 1999, 110, 123; Taylor 1999, 87-88).

Leopard meneliti kembali mitos praktik seni otonom dan konseptual binari dengan menelusuri diskursif dan kelembagaan permutasi dari film Stan Brakhage dan Andy Warhol praktek-praktek video dari Bay Area Video Coalition di San Fransisco. Kategori "otonomi" tidak menyediakan pemahaman rujukan yang sebagai salah satu yang berkembang secara historis. Pemisahan relatif karya seni dari praksis kehidupan dalam masyarakat borjuis sehingga menjadi berubah menjadi ide (yang salah) bahwa karya seni adalah benar-benar independen di dalam masyarakat.

Sedangkan Alisa Perren meneliti kembali kompleksitas sejarah televisi dengan berfokus pada populer film-of-the-week-, hubungannya dengan budaya spesifik dan budaya jaringan. Pada tahun 1991, diperukan sebuah pertimbangan ulang yang dibuat-untuk-televisi, film dan pentingnya untuk menciptakan  jaringan televisi (2003, 209-230). Studi terfokus pada sarana untuk menilai bagaimana peran televisi budaya dan kelembagaan setelah bergeser dari era klasik ke era digital. studi ini juga menunjukkan sejauh mana MFTs sebagai genre telah menjadi terkait dengan selera budaya. 

IV. Konteks historis Perfilman Indonesia

Indonesia mengenal film sejak abad 19 pada masa penjajahan belanda. Bioskop pertama sudah ada di Indonesia sejak 1900an meskipun masih menggunakan teknologi yang sederhana. Industri film mulai dikenal di Indonesia pada 1920an meskipun produksi film masih menggunakan bahasa melayu dan kurang berjiwa Indonesia. Pada masa itu film diproduksi berdasarkan kacamata asing karena kepemilikan industri masih sebagian besar dipegang oleh Tiong hoa. Menurut catatan sejarah film pertama yang di buat di Indonesia adalah “Loetong Kasaroeng” oleh G. Krueger dan L. Hauveldorp yang dibuat dibandung. Meskipun awalnya industri perfilman Indonesia dipegang oleh kulit putih namun kepemilikannya di akuisis oleh para Tionghoa karena kepemilikan modal. Faktor utama industri film pada masa itu adalah pemilik bioskop,pemodal dan penonton potensial adalah orang-orang cina. Film-film di bioskop pada masa itu dikuasai oleh Hollywood.

Pada masa ini bisa dilihat perkembangan industri perfilman sebenarnya cenderung ke sosioekonomi daripada sosiobudaya karena pembuat film pada masa itu adalah pedagang. Sedangkan aktor Indonesia asli sebenarnya baru muncul pada Tahun 1935 yaitu pasangan pribumi Raden Mochtar dan Rukiah. Pada masa ini film yang diproduksi bersifat cerita cerita rakyat dan tradisional pun menggunakan teknologi yang masih sangat sederhana.

Beralih pada pemerintahan jepang menguasai indonesia, terjadi pemasungan yang luar biasa dimana produksi film yang diperbolehkan di Indonesia hanyalah film propaganda yang

Page 9: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

mengagungkan kehebatan dan manfaat hadirnya jepang di bumi pertiwi, Sementara itu semua film asing dilarang masuk indonesia.

Seiring dengan kemerdekaan, perfilman Indonesia juga ikut berkembang, perusahaan Pasific Corporation Milik Belanda kemudian diubah menjadi pusat perfilman Nasional (PFN) serta lahir pula Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) dan Persatuan Pengusaha Bioskop Indonesia (PPBI) dan juga dimulainya Festival Film Indonesia(FFI). kompetisi film di Indonesia pada mmasa itu tidak seimbang karena dibukanya keran impor sedang landasan film indonesia sendiri belum kuat sehingga film asing menguasai pasaran.Sejak kemerdekaan hingga tahun 1949, para sineas yang lahir berkat terpaan jepang,dengan dijiwai semangat kemerdekaan mulai melakukan berbagai macam kegiatan dibidang perfilman. pada tahun 1948,sekolah film Cine Drama Institut resmi dilahirkan dibawah menteri penerangan.

Kurun waktu berikutnya yaitu masa pemerintahan Republik Indonesia serikat dimana sebagian besar pekerja film berasal dari tenaga terpelajar yang tergabung dalam organisasi seniman film. Film yang mencuat saat itu adalah Darah dan Doa karya Usmar Ismail pada tahun 1950. Sebagian besar isi ffilm saat itu seperti sandiwara pada pendudukan Jepang dilengkapi dialog dan pidato. perilman indonesia era 1926 hingga 1950 pembuatannya disponsori oleh orang cina dan sisanya orang belanda.

Setelah era tersebut hingga 1959 saat Pemerintah Negara Kesatuan RI, film difungsikan sebagai alat perjuangan bangsa mengisi kemerdekaan. pada saat itu sudah mulai ada pendidikan luar negeri untuk orang film untuk bisa bersaing dengan film asing yang masuk ke indonesia. Organisasi profesi perfilman seperti Perfini Persari(pusat persatuan artis film indonesia) dann PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) juga mulai bermunculan. Meski saat itu, ada aturan untuk setiap bioskop kelas 1 di Indonesia memutarr sekurangnya satu judul film Indonesia sekali enam bulan, namun film Indonesia tetap tidak mampu bersaing.

periode berikutnya yaitu Orde Lama, pada tahun 1959 hingga 1966, perfilman mulai dibahas dalam sidang sidang MPRS. Melalui berbagai peraturan pemerintah film diffungsikan sebagai alat revolusi yang vital bagi nation building dan character building dan sebagai alat membentuk serta mengembangkan kebudayaan nasional.

Sejak lahirnya Orde Baru ,terjadi perubahhan pada organisasi pemerintahan struktural yang menangani perfilman yang semula Direktorat Perfilman menjadi Direktorat Perfilman Nasional. Lembaga ini berfungsi untuk memberi bimbingan pada produksi,peredaran,pertunjukan,merencakan pembuatan film berita, dokumenter, penyelenggaraan humas dan mengupayakan peningkatan pengetahuan dikalangan perfilman. Dalam kurun waktu 1970 hingga 80an perfilman Indonesia mengalami masa puncak dilihat dari jumlah produksi. pada tahun 90an Indonesia mengalami krisis karena kalah telak terhadap film impor.

Dalam keterpurukan ini muncul sineas Garin Nugroho yang menghasilkan nafas dan tema baru perfilman indonesia melalui film film nya yang cerdas dan berani melewati batas mainstream yang ada. Film-film yang lebih banyak menang di festival ketimbang mendatangkan keuntungan komersial. sebut saja cinta dalam sepotong roti, bulan tertusuk ilalang atau daun diatas bantal. film-film yang diakui garin sendiri sebagai film seni yang dianggapnya seni perlawanan terhadap Hollywood.

Matinya perfilman Indonesia sangat nampak pada pasca Orde Baru atau Reformasi antara tahun 1998 hingga 2001 dimana jumlah produksi film pertahun hanya berkisar 6-9 film setiap

Page 10: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

tahun. Meskipun bbegitu, dengan kesuksesan petualangan Sherina diikuti dengan Ada Apa Dengan Cinta, perfilman Indonesia menunjukan geliat yang berarti, memunculkan generasi baru kebanyakan berasal dari sekolah film seperti Riri Reza, Mira Lesmana,Nana Achnas, Marseli sumarmo hingga Nia dinata.

V. Peta Industri Perfilman Indonesia

Jauhari, dkk (1992) dalam bukunya “Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia” memetakan perkembangan industri perfilman dan perbioskopan Indonsia dalam beberapa tahap. Pertama, Periode 1900-1942 sebagai periode “Layar Membentang”. Ditandai beberapa tonggak peristiwa penting: Tahun 1900, bioskop pertamakali muncul di Tanah Abang, Batavia (5 Desember 1900) dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu. Pada tahun 1905, ditayangakan film bersuara dengan teknik sederhana. Tahun 1926, Film Indonesia pertama kali diproduksi di Bandung, yaitu film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng produksi NV Java Film. Terang Boelan merupakan film terpopuler pada era tersebut, mencuatkan nama Roekiah dan Raden Mochtar. Akhir tahap ini banyak bioskop tutup karena sedikitnya produksi film nasonal, di samping situasi perang kala itu.

Kedua, Periode 1942-1949 disebut “Tahap Berjuang di Belakang”. Masa ini bercirikan produksi film sebagai alat popaganda politik Jepang. Perbandingan pemutaran film barat–nonbarat di bioskop seimbang. Pada 1942 Nippon Eigha Sha hanya memproduksi 3 film. Tahun 1951 diresmikan Metropole, bioskop megah dan terbesar saat itu. Jumlah bioskop meningkat pesat, sebagian besar dimiliki nonpribumi. Pada 1955 terbentuk Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia.

Ketiga, periode 1950-1962 adalah tahap “pulih kembali”. Ditandai dengan diresmikannya Metropole, bioskop megah dan terbesar saat itu (1951). Pada tahap ini, jumlah bioskop meningkat pesat, sebagian besar dimiliki nonpribumi. Namun unsur dagang lebih kental daripada upaya memajukan perfilman atau mencerdaskan bangsa. Pada 1955, terbentuk Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PPBSI) dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI).

Keempat, Periode 1962-1965 sebagai “Hari-Hari Paling Riuh”. Ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai agen imperialisme Amerika Serikat; pemboikotan, pencopotan reklame, hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu Jumlah bioskop mengalami penurunan sangat drastis akibat gejolak politik. Jika pada tahun 1964 terdapat 700 bioskop, tahun berikutnya, yakni tahun 1965 hanya tinggal 350 bioskop.

Kelima, Periode 1965-1970 adalah “Masa-Masa Sulit”. Gejolak politik G30S PKI yang mewarnai periode ini membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat itu, inflasi yang sangat tinggi melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah dengan kebijakan pemerintah mengadakan senering pada 1966 yang menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Untungnya, membanjirnya film impor memulihkan bisnis perbioskopan dengan meningkatkan minat dan jumlah penonton.

Keenam, Periode 1970-1991 disebut sebagai “Gejolak Teknologi Canggih dan Persaingan”. Saat itu teknologi pembuatan film dan perbioskopan mengalami kemajuan, meski di satu sisi juga mengalami persaingan dengan televisi (TVRI). Tahun 1978 didirikan Sinepleks Jakarta

Page 11: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

Theathre oleh Sudwikatmono dan dibangun Studio 21 pada tahun 1987. Munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan krisis bioskop kecil.[1] Kala itu muncul fenomena pembajakan video tape.

Buku “Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia” yang terbit pada tahun 1992 memetakan tahap perfilman Indonesia hanya sampai periode keenam (s.d tahun 1991). Tentu saja perjalanan perfilman nasional masih terus berlanjut. Penulis menyebut periode selanjutnya: periode Ketujuh, yakni periode 1992-1998 sebagai “Tahap Mati Suri”. Film Indonesia mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Film-film dengan tema seks mendominasi. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi VCD, LD, DVD yang menjadi pesaing baru. Uniknya, bertepatan dengan momentum kematian perfilman nasional itu, lahir UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.

Kedelapan, periode 1998 s.d sekarang disebut sebagai “Tahap Bangkit Kembali”. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama di era ini adalah “Cinta dalam Sepotong Roti” karya Garin Nugroho. Setelah itu muncul Mira Lesmana dengan “Petualangan Sherina”, dan Rudi Sudjarwo dengan “Ada Apa dengan Cinta? (AADC)” yang sukses di pasaran. Hingga saat ini, jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat, meski masih didominasi oleh tema-tema horor dan film remaja. Pada tahun 2005, hadir Blitz Megaplex di dua kota, Jakarta dan Bandung. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film.

VI. Analisis :

Dunia pefilman Indonesia berbeda dengan perkembangan dunia pertelevisian Indonesia. Dunia perfilman muncul sebelum dunia pertelevisian Indonesia lahir. Yang menarik dari perfilman Indonesia sebagai bentuk konvergensi adalah film Indonesia berkembang melalui berbagai dinamika. Perfilman indonesia sempat berkembang menjadi salah satu senjata pemerintah indonesia yaitu melalui propaganda. Adalah tahun 50-80an masa-masa dimana dunia perfilman indonesia terkonvergensi secara kultural dengan menggunakan fungsinya sebagai alat propaganda. Seperti penelitian yang diteliti oleh Sue collin yang menggunakan efek selebritas pada media sebagai alat propaganda. Sue Collin menekankan pentingnya “liveness” dalam persona selebriti dan otorita politik selebritas. Antara 1917-1919 Pemerintah AS memakai propaganda yang melibatkan melibatkan perekrutan industri film dan bintang terbesarnya seperti Charles Chaplin, Douglas Fairbanks, Mary Pickford. Dengan menghadirkan para bintang besar ini pemerintah berusaha menarik perhatian publik dan mendapatkan dukungan dalam perang. Para selebritas ini ‘dimanfaatkan’ untuk mendapatkan persepsi positif dari masyarakat mengenai perang dan rasa nasionalisme. Dengan kata lain, keberhasilan pemerintah dengan kampanye propaganda domestik, dapat dipahami sebagai kemampuan untuk meredakan tujuan kebijakan budaya dengan mengundang insan budaya populer.

Salah satu kasus Indonesia dalam konteks ini adalah film G30spki. alam deretan sinema Indonesia, film-film yang dianggap bersejarah oleh negara bukan hanya hiburan semata. Unsur propaganda dan doktrin penguasa sangat kuat di dalamnya. Terutama film-film yang mengangkat tema heroisme dan militerisme yang berlatar sejarah, seperti Enam Djam di Djogja (1951), Janur Kuning (1979), Serangan Fajar (1981), hingga Penghianatan G 30 S/PKI (1984).

Page 12: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

Menurut Budi Irawanto, kandidat Doktor Kajian Asia Tenggara bidang film di National University of Singapore, film-film itu merupakan bukti hegemoni Orde Baru begitu rapi dan kuat dalam menanamkan jejaknya di masyarakat untuk melanggengkan kekuasaannya. Film Penghianatan G 30 S/PKI adalah salah satu film terbaik dalam menyebar propaganda dan kebencian kepada musuhnya, PKI (Partai Komunis Indonesia) dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), dan itu tertanam dalam benak satu generasi. Kuatnya ingatan masyarakat terhadap film itu dipengaruhi banyak hal. Film itu disiarkan secara nasional sejak 1985 yang diputar setiap 30 September dan wajib ditonton pelajar saat itu. Tayangan film itu dihentikan secara nasional sejak 1998. Kuatnya pesan film itu, menurut Budi, didukung oleh perangkat-perangkat lainnya, seperti penjelasan film yang diteruskan dalam pelajaran pendidikan moral pancasila dan pelajaran sejarah perjuangan bangsa di sekolah.

Analisa yang lebih dalam dibahas dalam buku, 'Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia', karya Katherine E McGregor, film Penghianatan G 30 S/PKI adalah salah satu cara Orde Baru dalam menggambarkan usaha kudeta oleh PKI. Tafsir peristiwa yang digunakan Orde Baru dalam film itu adalah salah satu upaya meyakinkan masyarakat, kudeta itu dilakukan oleh komunis dan bukan pihak militer. Peristiwa itu dijadikan alasan oleh Orde Baru untuk membenarkan tindakannya untuk berkuasa.

Sedangkan menurut Bambang Purwanto, Profesor Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam pengantar buku itu, tiap rezim di Indonesia menggunakan sejarah sebagai topeng untuk mendukung kekuasaannya.

Bila perlu dengan membuat tafsir baru atas mitos-mitos lama atau memproduksi mitos-mitos baru. "... Jika rezim sebelumnya membangun sejarah Indonesia dari benturan antara kolonialisme dan imperialisme dalam melawan nasionalisme Indonesia dengan Soekarno sebagai pusat, maka Orde Baru melihat sejarah Indonesia sebagai hasil dari perjuangan antara pendukung dan penentang Pancasila dengan menempatkan militer sebagai faktor penentu," tulis Bambang mengomentari karya Katherine E. McGregor itu. Dalam Buku itu Katherine E. McGregor mengakui, dia ingin mengungkapkan peran Orde Baru dengan militernya dalam menggambarkan masa lalu Indonesia. Salah satunya dengan media visual, yang dukung oleh buku-buku pelajaran, monumen-monumen, film, hingga diorama yang di pajang dalam museum. Dalam analisa Katherine, pembuatan dan pemaknaan sejarah baru oleh Orde Baru melalui media visual dan film sangat efektif. Hal itu terkait dengan jumlah penduduk Indonesia pada saat itu masih memiliki tingkat buta huruf yang tinggi, maka dengan pembuatan sejarah melalui media visual diharapkan bisa menjangkau seluruh Indonesia.

Analisa itu muncul setelah Katherine membaca dokumen dari Departemen Pertahanan dan Keamanan Pusat sejarah Angkatan Bersenjata Indonesia dalam merancang semua itu. Katherine mengutip Nugroho Notosutanto dalam dokumen itu, "Di dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia, di mana kebiasaan membaca pun masih sedang berkembang, kiranya historio-visualisasi masih agak efektif bagi pengungkapan identitas ABRI."Tidak mengherankan kelanggengan Orde Baru berkuasa dijaga dengan strategi yang rapi. Pengaruh kekuasaan sudah dijaga dengan doktrin yang sudah ditanamkan dalam melalui buku pelajaran, film, museum, monumen, hingga rancangan diorama yang begitu detail. Meski begitu, tidak jarang menggunakan kekerasan. Meski film itu bermuatan politis, namun penggarapannya serius bahkan dalam produksinya mengikutsertakan sutradara kawakan Arifin C. Noer.

Page 13: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

VII. Kesimpulan

Dunia film selalu menjadi bagian dalam perkembangan konvergensi media. Konvergensi media di Indonesia terbentuk dari rangkaian media-media yang terintegrasi sejarahnya. Film mempunyai tempat tersendiri bagi perkembangan konvergensi media di Indonesia karena bentuk film itu sendiri yang merupakan awal mula dari sebuah konvergensi.

Seperti penelitian Sue collin dalam onvergen media history film amerika merupakan bagian dalam konvergensi yang ada dinegara tersebut. Penelitiannya mengenai propaganda menggunakan film sebagai alat pembangkit nasionalisme dan propaganda ternyata terjadi di Indonesia. Film G30SPKI merupakan film propagandis yang menyatukan berbagai elemen visual dan audio dan juga multikultural dalam pembentukannya.

Dengan analisis dan reasoning yang sama akan pengembangan kebudayaan film propaganda di Indonesia terus dipertahankan pada masa orde baru. Sama sepertiyang terjadi di Amerika film propaganda merupakan bagian dari budaya.

Film yang lahir dari pemerintah tersebut digunakan untuk upaya meningkatkan rasa cinta dan nasionalisme secara positif melalui gambaran-gambaran heroik dalam scene yang ada. Hasil dari film propaganda tersebut seperti yang disebutkan Katherine E. McGregor film tersebut berhasil mengambil rakyat indonesia dan menciptakan sebuah sejarah baru tentang kemerdakaan yang diperoleh rakyat indonesia.

Dalam sejarahnya film sebagai bagian dari konvergensi media berkembang melalui berbagai proses dinamika. Mulai dari bagian dari propaganda hingga mengalami masa surut produksi. Dalam hal ini sejarah film di Indonesia juga menyiratkan bahwa perkembangan konvergensi media terlihat jelas pada proses perfilman yaitu berupa konvergensi produksi dan distribusi. Konvergensi teknologi juga ditemukan pada pembuatan film-film yang memakai teknologi jamak dan menghasilkan intregasi dari audio dan visual.

Page 14: UAS Konvergensi Media Zainun Najib 1006695583

Referensi

Staiger, Janet & Hake, Sabine. 2009. Convergence Media History

Grant A. E. & Wilkinson, J. S. (2009). Understanding Media Convergence: The State of the Field, NY:Oxford University Press.

Dwyer, T. (2010). Media Convergence: Issues in Cultural and Media Studies, London: McGraw Hill & Open University Press.

Abel, Richard. 2006. Americanizing the Movies and “Movie-Mad” Audiences, 1910–1914.

Berkeley: University of California Press.

Jacobs, Lewis. 1968. The Rise of the American Film. New York: Teacher College, Columbia

University.