U S U L A N
Embed Size (px)
Transcript of U S U L A N

1
U S U L A N
PENYUSUNAN BUKU AJAR
Mata Kuliah
Metode dan Teknik Penelitian Sejarah
Penyusun
Drs. F. Raymond Mawikere, M.Hum., MA. 19580422 198602 1 001
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MAret 2020

2
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan 1.
Daftar Isi 2.
A. Latar Belakang 3.
B. Tujuan 4.
C. Sasaran Pengguna 5.
D. Jadwal 5.
E. Gambaran Materi/Isi Buku Ajar 6.
LAMPIRAN
1. Sertifikat Pekerti/AA 8.
2. Rancangan Pembelajaran 9.
3. Outline Buku Ajar 13.
4. Tim Teknis dan CV Penyusun Utama 14.
5. Rencana Penganggaran 20.
6. Satu Bab Lenbgkap Buku Ajar 21.

3

4
PENYUSUNAN MODUL E-LEARNING MULTIMEDIA
M.K. Metode dan Teknik Penelitian Sejarah
1. Latar Belakang
Sejalan perkembangan sistem pembelajaran yang selalu akan mengejar unsur efektifitas
dan efisiensi maka penerapan teknologi daring dalam sistem perkuliahan sekarang pada dasarnya
masuk dalam skala prioritas. Dengan alasana agar, (1) dapat menghasilkan capaian dalam
berinovasi sosial, (2) dapat merekonstruksi pengetahuan, dan bukan sekedar alih pengetahuan,
(3) dapat memproduksi pengetahuan seperti konsep, model, klasifikasi, purwarupa dan kekayaan
intelektual, (4) dapat mengembangkan, memproduksi aspek aspek tepat guna sebagai sarana
implementasi pengetahuan menjadi realitas, (5) dapat mengembangkan usaha perintis seperti
stat-ups, (6) dapat mengembangkan jejaring komunikasi untuk koordinasi subyek terhadap isu-
isu strategis, (7) dapat ’menjual’ kisah sukses untuk hasil inovasi atau praktik baru, dan (8) dapat
mengembangkan kemandirian (Delapan Karakteristik Utama Universitas 4.0, 2019).
Memperhatikan 8 karakteristik utama yang harus diimplementasikan oleh universitas atau
perguruan tinggi 4.0 sebagai ganti ”mengalihkan ilmu pengetahuan” dalam sistem sebelumnya
dipandang penting untuk dilakukan. Salah satunya adalah dengan mengubah sistem konvensional
terhadap mata-mata kuliah sekarang, mengarahkannnya secara bertahap ke arah sistem daring.
Dalam kaitan itu, dengan memperhatikan, (1) adanya perubahan kebijakan dalam sistem
pendidikan nasional yang mengarah ke sistem daring, dan (2) adanya keuntungan praktis dalam
hal efektifitas dan efisiensi dalam sistem tersebut maka setiap modul pada mata kuliah pun sudah
pada tempatnya menggunakan sistem daring. Karena, sekali lagi, fenomena kekinian yang
sejatinya memang menuntut tindakan demikian.
Meskipun demikian, sulit dipungkiri apabila program daring pada dasarnya akan dapat
mencapai implementasi seperti diharapkan apabila didukung oleh adanya buku ajar terkait.
Dengan kata lain, sebelum masuk pada media daring untuk sebuah mata kuliah alangkah baiknya
didahului oleh adanya buku ajar. Menempatkan buku ajar sebagai ’jalan masuk’ atau ’prasyarat’
masuk ke dalam dunia daring.

5
Dengan latar belakang di atas maka pada tempatnya kegiatan penyusunan buku ajar –
yang kali ini adalah untuk mata kuliah ”Metode dan Teknik Penelitian Sejarah” dipandang
reasonable sekaligus feasible untuk ditindaklanjuti.
2. Tujuan
Secara umum tujuan kegiatan adalah untuk kepentingan pengembangan ilmu karena
selain mencakup adanya perluasan wawasan juga keterbukaaannya terhadap pendalaman melalui
aneka kajian dari berbagai sudut pandang. Secara praktis tujuan penyusunan buku ajar Metode
dan Teknik Penelitian Sejarah ini adalah untuk mempermudah jalannya proses pembelajaran.
Bahwa dengan berpedoman pada panduan teknik penyusunan buku ajar maka urutan yang
sistematis sekaligus memenuhi persyaratan didaktik dan metodik pun akan dapat dihadirkan.
Termasuk dalam kaitan akan dapat dihadirkannya konten atau materi yang komprehensif
sekaligus praktis untuk diimplementasikan dalam program e-learning. Dengan kata lain, secara
khusus tujuan kegiatan adalah untuk mencapai tujuan-tujuan praktis pembelajaran seperti:
1. Mengiplementasikan pergeseran sistem perkuliahan pendidikan tinggi dari yang bersifat
konvensional sebelumnya, yang sebelum menuju ke sistem daring, telah dilengkapi oleh
buku ajar.
2. Menjadikan sistem perkuliahan lebih efektif dan efisien – a.l. berhubung telah
tersedianya modul e-learning pada mata kuliah ini
3. Menyiapkan sistem pembelajaran daring, yang melalui buku ajar akan dapat membantu
perluasan materi perkuliahan menjadi tidak sebatas agar dapat diakses oleh mahasiswa
yang memprogamkannya melainkan pula oleh masyarakat luas.
3. Sasaran Pengguna
Penggunaan buku ajar dalam Mata Kuliah Metode dan Teknik Penelitian Sejarah
diarahkan agar mahasiswa dapat memperoleh pegangan dalam bentuk hard copy. Dengan
adanya buku ajar maka selain ruang dan waktu dalam mengakses materi kuliah akan mudah
dan lebih terarah, juga berhubung unsur efektif dan efisiansi yang akan dapat diperoleh. Pada
dasarnya pula bahwa kegiatan tatap muka akan dapat mengantar perluasan wawasan. Dengan
demikian, ruang diskusi dapat berjalan. Terutama dalam kapasitas memberikan arah terhadap
materi pembelajaran, termasuk dalam kaitan pemecahan masalah atas topik yang diangkat.

6
Dengan tujuan agar pengetahuan dan ketrampilan mengenai metode dan teknik penelitian
sejarah dapat dimiliki, dkuasai mahasiswa maka pembagian sistematika penulisan akan
mengikuti rancangan pembelajaran seperti terdapat dalam modul e-learning.
Meskipun demikian, mengingat luasnya pembahasan maka secara umum materi disusun
dengan metode yang dapat dikembangkan dengan memberikan rujukan pada sejumlah
referensi. Selain tu, mengingat telah ada pula buku ajar dengan konten sama namun berkatagori
dasar msks capaian pembelajaran dalam buku ini diarahkan pada tingkat pemahaman dan
pengembangan lebih lanjut.
Pengembangan terhadap pengetahuan tentang metode dan teknik penelitian sejarah
seperti disebutkan, dilakukan dengan memberikan sumber-sumber referensi, rujukan untuk
memperdalam pengetahuan. Dimaksudkan agar mahasiswa dapat mencari untuk menemukan
informasi tentang metode sejarah sekaligus mampu menerapkannya dalam tataran praktek.
Dengan mengacu pada pandangan di atas maka sasaran pengguna untuk kegiatan ini
adalah:
1. Mahasiswa Strata-1 yang wajib memprogram mata kuliah ini dalam rencana studinya
(KRS)
2. Masyarakat umum, termasuk para policy and decision maker bidang pendidikan
khususnya, bidang pemerintahan pada umumnya.
4. Jadwal
Kegiatan penyusunan mopdul e-learning multimedia ini akan berlangsung selama 7
(tujuh) bulan, antara bulan April hingga September 2020. Dalam bentuk tabel jadwal kegiatan
direncanakan sebagai berikut
No Kegiatan Waktu Pelaksanaan (2020)
April Mei Juni Juli Agust. Sept.
1. Perancangan Bahan Ajar
2. Penyusunan Proposal
3. Pengembangan Bahan
Ajar
4. Penyusunan Bahan Ajar
5. Evaluasi dan Editing
7. Sosialisasi & percetakan
6. Pelaporan

7
5. Gambaran Materi
Buku Ajar ini akan memaparkan kerangka pembelajaran mata kuliah Metode dan Teknik
Penelitian Sejarah, dilanjutkan dengan penjelasan mengenai prosedur ilmiah penyusunan karya
sejarah sebagai ilmu. Proses menyusun sekaligus membentuk konsep dan teori juga akan
diketengahkan. Demikian menyangkut pengertian sejarah sebagai ilmu, persoalan subyektifiktas
dan obyektifitas dalam sejarah, juga tentang generalisasi dalam sejarah.
Hal utama yang akan diketengahkan berikutnya adalah mengenai apa dan bagaimana
pengertian tentang metode dan analis, khususnya dalam implementasi kegiatan penelitian
sejarah. Tahapan mencari sumber sejarah yang dimulai dari analisa, dilanjutkan dengan tahap
kritik dan analisa sumber, kemudian interpretasi, lalu historiografi, akan mengambil porsi cukup
besar dalam pembahasan. Demikian menyangkut aspek-aspek kebahasaan yang melekat pada
narasi dari sebuah kajian kesejarahan.
Bagaimana menyusun kalimat efektif, soal kesatu-paduan alinea, menentukan tema,
topik, maksud; dan kerangka penulisan adalah merupakan bagian lain yang akan dibahas.
Termasuk dalam persoalan-persoalan kecil seperti pungtuasi, melakukan pengutipan, membuat
catatan kaki dan bibkiografi. Pada hakekatnya pula bahwa pembahasan mengenai implementasi
atau praktek penelitian sejarah baik di lapangan maupun di dalam laboratorium adalah yang akan
diutamakan. Demikian menyangkut jalan menuju pemecahan masalah apabila bertemu dengan
kasus kasus tertentu sebagaimana lazim terdapat dalam praktek penelitian sejarah.

8
LAMPIRAN 2.
Rancangan Pembelajaran Mata Kuliah Terkait Selama Satu Semester Tim Pengusul
Mata Kuliah : Metode & Teknik Penelitian Sej. Semester: 2 (Dua); Kode : ; SKS : 2 (2-0)
Program Studi : Ilmu Sejarah Dosen
: Drs. Ferry Raymond Mawikere, M.Hum.MA.
CAPAIAN PEMBELAJARAN:
a. Menguasai dasar-dasar metode dan penelitian sejarah, dari tingkatan pengenalan hingga tingkat lanjut namun tetap dalam koridor
dasar; meliputi prinsip, konsep dan perspektif; rekonstruksi dan kategorisasi, serta unit-unit dalam sejarah; mampu menjelaskan
ilmu sejarah sebagai sebuah pendekatan; apa dan bagaimana pengertian serta rekonstruksinya; memahami subjektifitas dan
objektifitas dalam sejarah; termasuk kemampuan dalam memanfaatkan konsep-konsep dan teori-teori ilmu sosial dalam kajian
sejarah, yang keseluruhannya ini dapat dituangkan dalam metode dan teknik penelitian sejarah
Sub: menguasai secara tertentu metode dan teknik penelitian sejarah dalam tingkatan sederhana; juga dalam kemampuan
menerapkan, merekonstruksi eviden-eviden sejarah.
b. Mampu mencari untuk menemukan masalah ipteks secara terukur (dalam kaitan generalisasi dan kuantifikasi dalam sejarah) baik
melalui prinsip-prinsip pengorganisasian pengetahuan secara sistematis dan terstruktur (metodologis) maupun melalui kearifan-
kearifan sejarah atas aneka gejala dan atau fenomena masa lalu demi kepentingan perspektif masa kini dan masa depan;
Sub: mampu memecahkan masalah ipteks secara sederhana dengan metode “belajar dari masa lalu” (trial and error); termasuk
dalam kemampuannya memetik hikmat dan pembelajaran berdasarkan tinggalan masa lalu melalui teknik penelitian sejarah
c. Mampu mengaplikasikan dasar-dasar metode dan teknik penelitian sejarah, terutama dalam merekonstruksi sejarah; dasar-dasar
metode dan teknik penelitian sejarah yang akan dapat bermuara pada kemanfaatan bagi diri sendiri, masyarakat, termasuk bagi
kepentingan bangsa dan negara;
d. Capaian pembelajaran pada dasarnya adalah merupakan sasaran antara; sedangkan hasil akhirnya akan berkemampuan
menyajikan, menyampaikan saran-saran solutif terhadap berbagai masalah di bidang ipteks – disesuaikan dengan sasaran kajian –
baik secara umum maupun spesifik, sehingga akan dapat digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan.

9
Matriks Pembelajaran :
Min
ggu
Kemampuan akhir
yang diharapkan
Bahan Kajian/Materi
Pembelajaran
Bentuk
Pembela
jaran
Waktu
belajar
(menit)
Deskripsi
Tugas Luaran
Kriteria Penilaian
(Indikator)
Bobo
t
Nilai
(%)
Referens
i
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Menjelaskan tujuan
umum dan khusus
mata kuliah
Pengantar, penjelasan
umum pelaksanaan
perkuliahan
Diskusi 150 Kesepakatan
Dosen dengan
Mahasiswa
2-3 Menjelaskan
pengertian sejarah
yang naratif
(terbatas mengung-
kap fakta tentang apa,
siapa, kapan, dan di
mana); tetapi juga
yang teoretis dan
kritis.
Pengertian sejarah
sebagai cerita atau
narasi; yang mampu
mendeskripsikan fakta
yang terbatas tentang
apa, siapa, kapan dan
di mana, yang belum
merupakan bagian dari
perspektif sejarah
sebagai ilmu
Diskusi
kelompok 300 - Mahasiswa
mendiskusika
n pengertian
sejarah
sebagai cerita
- Diskusi kelas
- Mahasiswa
mengikuti tes
formatif
Hasil tes for-
matif
perorangan
- Keaktifan dalam
diskusi kelompok
- Hasil tes formatif
perorangan
10 9, 10, 12
4-5 Menjelaskan
pengertian sejarah
sebagai ilmu, yang
memiliki kemampuan
mengungkap
berdasarkan fakta
aneka deskripsi
dengan unsur
‘mengapa’ dan
‘bagaimana’
Pengertian sejarah
sebagai ilmu, yang
mampu menerangkan
fakta lebih dari sekedar
tentang unsur apa,
siapa, di mana, dan
kapan; tetapi juga
mampu mengungkap
dalam deskripsi
tentang mengapa dan
bagaimana
Diskusi
kelompok 300 - Mahasiswa
mendiskusika
n
permasalahan
yang sudah
disusun dosen
dalam
kelompok
kecil
- Diskusi kelas
- Mahasiswa
secara
perorangan
menyusun
ringkasan
hasil kajian
berdasarkan
pengertian
sejarah seperti
yang
Ringkasan
hasil kajian
atas materi
tentang
pengertian
sejarah
sebagai ilmu
termasuk
contoh-
contohnya
- Keaktifan dalam
diskusi kelompok
- Kualitas
ringkasan hasil
kajian perorangan
10 2, 6, 9,
11

10
disampaikan/d
icontoh kan
6-7
Menjelaskan tentang
konsep dan perspektif
sejarah; pendekatan
(approach), arti dan
fungsi sejarah
Aneka lingkup
penjalasan tentang
sejarah sebagai ilmu,
skema tentang proses
rekonstruksi sejarah
(sejarah sebagai
konstruk); tentang arti
dan fungsi sejarah
Diskusi
kelompok 300 - Mahasiswa
mendiskusika
n
permasalahan
yang sudah
disusun dosen
dalam
kelompok
kecil
- Diskusi kelas
- Mahasiswa
secara
perorangan
menyusun
skema tentang
proses
rekonstruksi
sejarah
Ringkasan
skema
tentang
proses
rekonstruksi
sejarah
secara
perorangan
- Keaktifan dalam
diskusi kelompok
- Kualitas
ringkasan skema
proses
rekonstruksi
sejarah secara
perorangan
20 2, 3, 4, 5,
11, 12
8-10 Menjelaskan tentang
sistem dan perspektif
historis; struktur logis
penulisan sejarah,
juga tentang masalah
objektivitas dan
subjektivitas
Ikhwal sistem dan
perspektif historis;
struktur logis dan
tentang pemahaman
subjektivitas/objektivit
as dalam penulisan
sejarah
Diskusi
kelompok 450 - Mahasiswa
mendis-
kusikan dan
memberi
contoh
struktur logis
penulisan
sejarah;
membedakan
karya sejarah
objektif dan
subjektif.
- Diskusi kelas
- Mahasiswa
secara
perorangan
mampu
menerapkan
dalam metode
dan teknik
Ringkasan
deskripsi
struktur
logis
penulisan
sejarah
- Keaktifan dalam
diskusi kelompok
- Kualitas
ringkasan tentang
struktur logis
penuilisan sejarah
20 9,10, 11,
13

11
11-
12
Menjelaskan proses
seleksi dan
tipologisasi; tipologi
ilmu sosial, dan
pendekatan
multidimensional
dalam kajian sejarah,
yang dapat dijangkau
oleh metode dan
teknik penelitian
sejarah
Aspek-aspek seleksi
dalam tipologisasi,
tipologi ilmu sosial dan
memenfaatkan
pendekatan
multidimensional
Diskusi kelompok
300 - Mahasiswa
mendiskusika
n
permasalahan
yang disusun
dosen dalam
kelompok
kecil
- Diskusi kelas
- Mahasiswa
presentasikan
beberapa
tipologi ilmu
sosial,
manfaatannya
terhadap
pendekatan
multidimensio
nal secara
kelompok
- Mahasiswa
menyusun
makalah
dalam
kelompok
kecil
Makalah
kelompok
- Keaktifan dalam
diskusi kelompok
- Kemampuan
presentasi dan
diskusi dalam
kelompok
- Kualitas makalah
kelompok
20 2, 9, 10,
11
13-
14
Merumuskan
kausalitas dan multi
kausalitas; juga
tentang transformasi
struktural dalam
sejarah
Pengertian kausalitas
dan multi kausalitas
dalam sejarah; tentang
transformasi struktural.
300 - Mahasiswa
mendiskusika
n
permasalahan
yang sudah
disusun dosen
dalam
kelompok.
- Diskusi kelas
- Mahasiswa
secara
perorangan
menyusun
makalah
Makalah
perorangan
- Keaktifan dalam
diskusi kelompok
- Kualitas makalah
perorangan

12
tentang
kausalitas
dalam sejarah
15-
16
Menjelaskan ikhwal
generalisasi dan
kuantifikasi dalam
sejarah; tentang
proses dan struktur
untuk sejarah
struktural
Generalisasi dan
kuantifikasi (data
statistik atau konversi
data kualitatif menjadi
kuantitatif) untuk
memahami.menyusun
sejarah struktural
Project-
based
learning
300 - Mahasiswa
melaksanakan
survei
historiografis
sesuai dengan
topik yang
sudah
disepakati
secara
kelompok
- Mahasiswa
menyusun
makalah hasil
survei
historiografis
secara
perorangan
Makalah hasil
survey
historiografis
di
perpustakaan-
perpustakaan
- Keaktifan dalam
melaksanakan
survei
historiografis
- Kemampuan
presentasi dan
diskusi dalam
kelompok dan
perorangan
- Kualitas makalah
perorangan
20 8, 9, 12.
Daftar Referensi:
1. Abdullah & Abdulrachman Surjomihardjo, Taufik. 1995. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Gramedia: Jakarta.
2. Antoni, Carlo. 1958. From History to Sosiology. London.
3. Berkhofer Jr., R.F. 1971. A behavioral Approach to Historical Analysis. The Free Press: New York.
4. Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. A.b. Mestika Zed & Zulfami. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
5. Kartodirdjo, Sartono. 2013. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Gramedia: Jakarta.
6. ------------------------. 2012. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Gramedia: Jakarta.
7. Rochmat, Saefur. 2009. Ilmu Sejarah dalam Perspektif Ilmu Sosial. Graha Ilmu: Yogyakarta.
8. Gazalba, Sidi. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Bhratara Karya Aksara: Jakarta.
9. Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah (Terjemahan Nogroho Notosusanto). Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta.
10. Hoegiono dan P.K. Poekwantana. 1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Penerbit Bina Aksara: Jakarta.
11. Mawikere, F. Raymond. 2002. Ilmu Sejarah & Futurologi. Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Unsrat Manado.
12. ------------------------- dan R. Kembuan, F.R., 2016. Pendekatan Sejarah, Bantuan Metodologi untuk Futurologi, LP3 Unsrat
Manado.
13. -------------------------. 2017. Dasar Dasar Teori dan Metodologi Sejarah. LP3 Unsrat MAnado

13
LAMPIRAN 3. OUTLINE BUKU AJAR
Bab 1. Pengantar Umum
Bab 2. Rancangan Pembelajaran:
Mata Kuliah Metode dan Teknik Penelitian Sejarah
Bab 3. Ruang Lingkup, Jenis dan Guna Sejarah
Bab 4. Prosedur Penelitian Sejarah
Bab 5. Azas-Azas Metode Sejarah
Bab 6. Subyektifitas dan Obyektifitas Sejarah
Bab 5. Tentang Teknis Penulisan dan Bahasa
Bab 6. Penutup
Daftar Pustaka

14
LAMPIRAN 4. TIM TEKNIS & CV PENYUSUN UTAMA (KETUA)
A. Tim Teknis
No. Nama Posisi Dlm Tim Tugas
1. Drs. F.R. Mawikere, M.Hum. Ketua Membuat rancangan pembela-
jaran MK.; menyiapkan materi
rekam
2. Roger Allan Kembuan, SS.MA. Anggota Membantu kegiatan lapangan
dan di laboratorium;
menyiapkan materi rekam
rgambar
3. Maryati Sekretariat Membantu pekerjaan terkait hal
teknis dan administrasi
B. Curriculum Vitae Penyusun Utama (Ketua Tim)
1. Nama Lengkap Drs. Ferry Raymond Mawikere, M.Hum. MA.
2. Jabatan Fungsional Lektor Kepala
3. Jabatan Struktural Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unsrat
4. NIP 19580422 198602 1 001
5. NIDN 0022045806
6. Tempat Tanggal Lahir Manado, 22 April 1958
7. Alamat Rumah Jln. Gn. Sibayak No. 217; LIngk. II Pakowa
Manado
8. Nomor Telp 0815 2331 201
9. Alamat Kantor FIB Unsrat Jln. Kampus Unsrat No. 1 Manado
10. Nomor telp / Faks
11. Alamat E-mail [email protected]
12. Lulusan yang telah di hasilkan
13. Mata kuliah yang diampu
1. Bahasa Belanda Sumber I – IV
2. Pengantar Ilmu Sejarah
3. Teori dan Metodologi Sejarah
4. Metode Sejarah
5. Futurologi
6. Pengkajian Sejarah Sulut
7. Sejarah Iptek

15
A. Riwayat Pendidikan
Strata – 1 (Sarjana)
Nama Perguruan Tinggi Universitas Sam Ratulangi Manado
Bidang Ilmu Ilmu Sejarah
Tahun Masuk-Lulus 1979-1985
Judul Skripsi B.W. Lapian: Profil Pejuang Tiga Zaman
Nama Pembimbing Drs. F.E.W. Parengkuan
Drs. L.Th. Manus
Strata – 2 (Magister)
Nama Perguruan Tinggi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Bidang Ilmu Prodi Sejarah Jurusan Humaniora
Tahun Masuk-Lulus 1995 – 1997
Judul Skripsi Sekutu Dalam Seteru: Gerakkan Protes Kristen
Minahasa & Latar Belakang Politik Kolonial Etis
Akhir Abad XIX dan Awal Abad XX
Nama Pembimbing 1. Prof. Dr. Ibrahim Alfian, MA.
2. Dr. Bambang Purwanto, MA.
Strata - 2 (Advanced Masters Program)
Nama Perguruan Tinggi Leiden University Netherlands
Bidang Ilmu History
Tahun Masuk-Lulus 2000 – 2001
Judul Skripsi Trade and Social Change in Minahasa (North
Sulawesi) in the Second Half of The Eighteenth
Century
Nama Pembimbing 1. Prof. Dr. Adrian B. Lapian
2. Dr. David E.F. Henley
B. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No Judul Penelitian Sumber Pembiayaan Alokasi Biaya
1. Ketua Penelliti:
Dari Belantara Pertambangan
Menuju Pembangunan
Berkelanjutan: Sejarah PT.
Newmont Minahasa Raya &
Yayasan Pembangunan
Berkelanjutan Sulawesi Utara.
Yayasan Pembangunan
Berkelanjutan Sulawesi
Utara (YPBSU),
2013/2014
Rp. 350.000.000,-
2. Ketua Peneliti:
Dari Tanah Adat ke Tanah
Negara: Sebuah Studi Sejarah
Riset Dasar Unggulan
Universitas Sam
Ratulangi, 2015
Rp. 35.000.000,-
3. Ketua Peneliti: Dinas Sosial dan Dinas
Pendidikan Nasional

16
Delapan Pahlawan Nasional Asal Daerah Sulawesi Utara
Provinsi Sulawesi Utara, 2016
Rp. 40.000.000,-
4. Ketua Peneliti:
Peranan Golongan Kristen
Minahasa dalam Perjuangan
Kemerdekaan Indonesia
(Sebuah Kajian Sejarah)
Riset Dasar Unggrulan
Universitas Sam
Ratulangi, 2017
Rp. 30.000.000,-
5. Ketua Peneliti:
Dari Pertambangan Rakyat
Hingga Pertambangan Besar
Swasta: Studi Sejarah tentang
Dunia Pertambangan Emas di
Sulawesi Utara
Riset Terapan Unggulan
Universitas Sam
Ratulangi, 2018
Rp. 52.500.000,-
6 Ketua Peneliti:
Globalisasi di Era Kolonial:
Transformasi Sosial Budaya di
Minahasa pada Paruh Kedua
Abad ke-19
Riset Terapan Unggulan
Universitas Sam
Ratulangi, 2018
Rp. 51.000.000,-
C. Pengalaman Penulisan Buku/Artikel Ilmiah dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Buku/Artikel Ilmiah Penerbit/Volume-
Nomor
Tempat/Tahun
Terbit
1. Artikel: “Antara PRRI/Permesta dan
Otonomi Daerah”, dalam: Buku
Prosiding Balai Pelestarian dan Nilai
Tradisional (BPNT) Manado,
Kemendikbud RI.
ISBN: Penerbit Kepel
Yogyakarta
Yogyakarta,
2014
2. Aspek-Aspek Metodologis dalam
Futurologi
ISBN: Lembaga
Pembinaan dan
Pengembangan Unsrat
Manado,
2015
3. Buku: Delapan Pahlawan Nasional
Asal Daerah Sulawesi Utara
ISBN: Dinas Sosial
dan Dinas Pendidikan
Nasional Provinsi
Sulawesi Utara.
Manado,
2016
4. Buku: Bernard Wilhelm Lapian:
Profil Pahlawan Pejuang Tiga Jaman
ISBN; Penerbit LPPM
Unsrat.
Manado,
2017
5. Dari Belantara Pertambangan Menuju
Pembangunan Berkelanjutan: Sejarah
PT. Newmont Minahasa Raya &
Yayasan Pembangunan Berkelanjutan
Sulawesi Utara.
ISBN: Yayasan
Pembangunan
Berkelanjutan
Sulawesi Utara
(YPBSU)
Jakarta,
2018

17
D. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada Pertemuan/Seminar Ilmiah
dalam 5 Tahun Terakhir
No Nama Pertemuan Ilmiah Judul Artikel Ilmiah Waktu dan
Tempat
1. Seminar Balai Pelestarian
Nilai Budaya (BPNB)
Manado.
Pemakalah: Mudahnya
Menata Banjir Tempo Dulu,
Sulitnya Menata Banjir
Sekarang
Formosa Hotel.
Manado, 26
Februari 2013
2. Bedah Buku ‘Mawale
Cultural Center’ dan
Fakultas Ilmu Budaya Unsrat
Pembahas: Bedah Buku
Memerdekakan Tou
Minahasa
Kampus FIB
UnsratManado, 9
Juli 2013
3. Sosialisasi Nilai-Nilai
Kepahlawanan Dinas Sosial
Propinsi Sulawesi Utara
Pemakalah: Generasi Muda
dan Nilai-Nilai Kepahlawa-
nan.
Sahid Kawanua
Hotel Manado, 20
Agustus 2013
4. Sosialisasi Pahlawanku
Idolaku, Dinas Sosial Kota
Manado
Pemakalah: Nilai-Nilai
Kepahlawanan, Generasi
Muda dan Pembangunan
Bangsa.
Sahid Kawanua
Teling Manado, 6
November 2013
5. Seminar dan Pembahasan (I)
Hasil-Hasil Penelitian Balai
Pelestarian Nilai Budaya
(BPNB) Kemendikbud.
Pembahas: Hasil-Hasil
Penelitian Balai Pelestarian
Nilai Budaya (BPNB)
Manado Tahun 2013
Aryaduta Hotel
Manado,
25 November
2013
6. Seminar dan Pembahasan
(II) Hasil-Hasil Penelitian
Balai Pelestarian Nilai
Budaya (BPNB)
Kemendikbud.
Pembahas: Hasil-Hasil
Penelitian Balai Pelestarian
Nilai Budaya (BPNB)
Manado Tahun 2013
Aryaduta Hotel
Manado,
2 Desember 2013
7. Seminar Kesetiakawanan
Sosial. Dinas Sosial Propinsi
Sulut.
Pemakalah: Nilai-Nilai
Kepahlawanan dan
Kesetiakawanan Sosial.
Manado, 5
Desember 2013
8. Temu Tim Pengkaji dan
Peneliti Gelar Pahlawan
Daerah (TP2GD) Propinsi
Sulawesi Utara.
Pembahas: Kepahlawanan
H.V. Worang Menurut Tim
Pengkaji dan Peneliti Gelar
Pahlawan Daerah (TP2GD)
Propinsi Sulawesi Utara.
Aryaduta Hotel
Manado, Maret
2014
9. Diskusi Ilmiah Tentang Tata
Ruang dan Mitigasi Bencana
di Kota Manado, Kerjasama
Panado Post dan Jurusan
Tata Kota Fakultas Teknik
Unsrat.
Pembahas: Banjir di Kota
Manado dan Penataannya.
Fakultas Teknik
Unsrat Manado,
12 Maret 2014
10. Seminar Balai Pelestarian
dan Nilai Budaya (BPNT)
Pemakalah: Pemahaman
Sejarah dan Budaya Untuk
Gran Puri Hotel
Manado, 22 Mei

18
Manado Mitigasi Bencana di Kota Manado
2014
11. Pembekalan Nilai-Nilai
Kepahlawanan oleh Dinas
Sosial Provinsi Sulawesi
Utara
Pemakalah: Guru, Nilai-
Nilai Kepahlawanan dan
Kesetiakawanan Sosial.
Hotel Sahid
Kawanua, 10
November 2015
12. Pembekalan Mahasiswa Baru
di Fakultas Ilmu Budaya
Pemakalah: Pendidikan
Karakter di Lingkungan
Mahasiswa
Teater Hall FIB
Unsrat, Agustus
2016
13. Latihan dan Pembekalan
Mahasiswa B.aru FIB Unsrat
Pemakalah: Latihan
Kepemimpinan dan
Manajemen Mahasiswa
(LKMM) FIB Unsrat
Teater Hall,
Agustus 2017
14. Seminar hasil hasil penelitian
di Balai Pelestarian dan Nilai
Budaya (BPNB) Manado
Pembahas untuk 9 makalah
hasil penelitian
Kantor BPNB
Manado,
Desember 2018
15. The Second International
Conference on Social
Sciences and Humanities
(ICSSH)
Presenter: “Globalization in
the Colonial Era: Social
Cultural Transformation in
Minahasa in the Second Half
of Nineteenth Century”,
Gedung LIPI
Jakarta, 24
Oktober 2018.
16. International Seminar Oral
Tradition in the Industrial
Revolution 4.0 Era
Presenter: “Berkebudayaan
yang Bersahabat di Era
Revolusi Industri 4.0
Kasus Pengalaman Penulis”
Tompaso
Minahasa, 15
Februari 2019
E. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5
Tahun Terakhir
No Judul/Tema/Jenis Rekayasa Sosial
lainnya yang telah diterapkan
Tahun Tempat
Penerapan
Respons
Masyarakat
1. Selaku Wakil Ketua TP2GD (Tim
Peneliti Pengkaji Gelar Pahlawan
di Daerah) Sulawesi Utara
mengusulkan B.W. Lapian menjadi
Pahlawan Nasional
2015 Indonesia Sangat
mendukung
2. Selaku Wakil Ketua TP2GD (Tim
Peneliti Pengkaji Gelar Pahlawan
di Daerah) Sulawesi Utara
mengusulkan B.W. Lapian menjadi
Pahlawan Nasional
2016 Indonesia Sangat
Mendukung
3. Selaku Wakil Ketua TP2GD (Tim
Peneliti Pengkaji Gelar Pahlawan
di Daerah) Sulawesi Utara
mengusulkan Mr. A.A. Maramis
2018 Indonesia Sangat
Mendukung

19
menjadi Pahlawan Nasional
4 Selaku Dekan Fakultas Ilmu
Budaya Unsrat mengusulkan
Unsrat menjadi Pusat Budaya di
Sulawesi Utara
2019 Sulawesi
Utara
Sangat
Mendukung
5. Selaku Wakil Ketua TP2GD (Tim
Peneliti Pengkaji Gelar Pahlawan
di Daerah) Sulawesi Utara
mengusulkan Tuan Imam Bondjol
menjadi Pahlawan Nasional
2019 Indonesia Sangat
Mendukung
Semua data yang saya diisikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan penyusunan modul E-learning Multimedia.
Manado, Maret 2020
Penyusun Utama (Ketua),
Drs. F. Raymond Mawikere, M.Hum., MA.
NIP. 19580422 198602 1 001

20
LAMPIRAN 5. Rencana Penganggaran
RINCIAN ANGGARAN BELANJA
Pembuatan Buku Ajar Mata Kuliah Metode & Teknik Penelitian Sejarah
KEGIATAN VOLUME SATUAN
HARGA
SATUAN
(Rp.)
JUMLAH
(Rp.)
Rapat Persiapan Penyusunan
Rancangan Buku Ajar
1. Konsumsi Makan Minum
2. Kertas HVS A4
3. Ballpoint
4. Spidol
4
1
2
2
dos
rim
bh
bh
35.000
50.000
5.000
7.500
160.000
50.000
10.000
15.000
SUB TOTAL 215.000
Penyusunan Buku Ajar
1. Fotocopi Referensi 6 Buku
2. Penjilidan Bahan Referensi
3. Catridge Canon C
4. Catridge Canon B
5. Konsumsi Makan Minum Tim
4610
6
1
2
4
lbr
buku
bh
bh
dos
250
50.000
300.000
275.000
35.000
1.152.500
300.000
300.000
550.000
140.000
SUB TOTAL 2.442.500
Lanjutan Penyusunan Buku Ajar
1. Konsumsi Makan Minum
2. Kertas HVS A4
3. Flashdisk 16 GB
4
2
1
dos
rim
bh
35.000
50.000
125.000
140.000
100.000
125.000
SUB TOTAL 365.000
Lanjutan Penyusunan Buku Ajar
1. Konsumsi Makan Minum Tim
2. Fotocopi Draft Buku Ajar 4 buku
3. Fotocopi Dummy Buku Ajar 2 buku
4
480
160
dos
lbr
lbr
35.000
250
250
140.000
120.000
40.000
SUB TOTAL 300.000
Sosialisasi Buku Ajar
1. Spanduk
2. Konsumsi Makan Minum
3. Konsumsi Makan Minum Tim
4. Fotocopi Ringkasan 100 x 6
1
100
2
600
bh
dos
dos
lbr
150.000
35.000
35.000
250
150.000
3.500.000
70.000
150.000
SUB TOTAL 3.870.000
Penerbitan Buku 100 Eksemplar
1. Pengurusan ISBN dan Pengiriman
2. Pencetakan Buku Ajar
1
100
paket
buku
500.000
70.000
500.000
7.000.000
SUB TOTAL 7.500.000
Pembuatan Laporan Akhir
1. Laporan Keuangan 3 Buku
2. Penjilidan Laporan Keuangan
3. Konsumsi Tim
310
3
4
lbr
buku
dos
250
30.000
35.000
77.500
90.000
140.000
SUB TOTAL 307.500
TOTAL JUMLAH 15.000.000
(Terbilang : Lima Belas Juta Rupiah)

21
LAMPIRAN 6. KONTEN 1 BAB BAHAN AJAR
BAB 1. PENGANTAR UMUM
Uraian dan penjelasan tentang metode dan teknik penelitian sejarah secara umum akan
dipaparkan dalam bab ini. Segmen yang akan menunjuk pada kondisi bahwa untuk menyusun
karya atau tulisan sejarah, hal demikian dapat dituntun dengan memberikan sejumlah petunjuk
teknis. Di dalamnya akan menyangkut mengenai bagaimana proses menyusun suatu karya
sejarah; meliputi metode, cara, atau teknik penyusunan yang diletakkan dalam sebuah proses.
Terdapat berbagai rambu, atau petunjuk menganai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan;
yang keseluruhannya ini adalah untuk menghasilkan karya sejarah yang bersifat ilmiah dan
kritis. Dalam arti harus dapat diterima karena telah memenuhi unsur-unsur yang disyaratkan
dalam sebuah karya akademik.
Untuk dan dalam kaitan itulah maka pemaparan di sini pertama-tama akan menurunkan
aspek-aspek yang berkaitan dengan guna sejarah. Dimaksudkan sebagai segmen ‘umpan’ untuk
menggairahkan kecintaan generasi muda, terutama mahasiswa, agar selalu dapat tergerak untuk
dapat belajar dari sejarah. Termasuk pendalaman berupa perluasan wawasan atasnya sehingga
akan dapat lebih memberi peluang atau kontribusi terhadap pembagunan kemanusiaan;
membangkitkan kesadaran perorangan maupun masyarakat dalam keterikatannya terhadap
manusia lain, mulai dari komunitas terkecil seperti keluarga sampai yang terbesar seperti bangsa
ini, termasuk dalam pergaulannya dengan bangsa bangsa di dunia.
Perihal ‘pengetahuan’ dan ‘ilmu sejarah’ yang dibahas dalam bab berikutnya
disampaikan untuk mengingatkan bahwa secara umum seluruh ilmu, termasuk pada setiap
rumpunnya, lahir berhubung atau karena adanya pengetahuan-pengetahuan. Dengan kata lain,
seluruh ilmu yang ada sekarang ini pada dasarnya dapat dilahirkan karena adanya pengetahuan-
pengetahuan yang secara sistematis dapat disusun, yang kemudian terbukti mampu menjawab
perubahan jaman, termasuk terhadap pengetahuan sejarah yang kemudian dapat tampil sebagai
ilmu. Pelbagai contoh tentang hal demikian dipaparkan dalam bagian ini, yang selanjutnya akan
mengantar pembahasan pada bab tentang konsep dan teori.
Konsep yang secara sederhana berarti rancangan atau juga pengertian, dimaksudkan
sebagai ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret. Pemahaman diabtrakkan
adalah sebagai yang dituangkan dalam pikiran, atau yang kemudian dituliskan. Karena semua

22
yang kongkret dan telah terjadi adalah merupakan bagian dari sejarah, maka konsep yang sering
diangkat oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan sendirinya telah masuk menjadi bagian
atau lahan dari ilmu sejarah. Sementara istilah teori yang menurut KBBI berarti pendapat
didasarkan pada hasil penelitian dan penemuan yang didukung oleh data, juga oleh argumentasi,
sangat nyata merupakan bagian yang dapat dimanfaatkan guna mengantar, menguatkan sejarah
menjadi sebuah disiplin, menjadi ilmu.
Persoalan sejarah sebagai ilmu yang mengontraskannya dengan sejarah sebagai seni
selanjutnya akan dibahas dalam bagian bab berikutnya. Sekaligus memberikan perbedaan antara
jenis sejarah naratif di satu pihak dengan jenis sejarah analitis. Kalau yang pertama tidak
memerlukan konsep dan teori maka jadilah sebagai sejarah yang naratif – disebut juga sejarah
sebagai seni –, sedangkan terhadap jenis sejarah analitis yang bergerak berdasarkan konsep dan
teori, disebut sejarah sebagai ilmu. Ada kekuatan yang menjadikannya sebagai ilmu karena
sifatnya yang empiris, dapat menemukan keteraturan (generalisasi), dan yang terutama adalah
berhubung dalam kemampuannya bekerjasama dengan ilmu-ilmu lain (disebut sebagai ilmu
bantú), termasuk ilmu-ilmu alam.
Dalam bab berikutnya pembahasan akan merangkum karya dari karya Mawikere
sebelumnya (2017) – dipetik dari beberapa sub bab di dalamnya – yang karena dipandang
penting dan relevan, kembali perlu diangkat. Dimulai dari penjelasan di mana kata sejarah dalam
bahasa Indonesia mulanya berasal dari bahasa Melayu, serapan dari kata syajarah, bahasa Arab,
mengandung arti pohon, keturunan, asal-usul, silsilah, riwayat. Kata ini masuk melalui akulturasi
pada abad ke-13; sedangkan dalam akulturasi dengan bangsa Barat pada abad ke-16 telah
membawa kata historie (Belanda) dan history (Inggris), yang masing-masing bersumber dari
bahasa Yunani, historia yang berarti ilmu. Dalam definisi umum, kata history saat ini bermakna
masa lampau umat manusia.
Dalam perkembangannya, kata sejarah menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
berarti, (1) asal-usul (keturunan) silsilah, (2) kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi
pada masa lampau; riwayat; tambo: cerita sejarah; (3) pengetahuan atau uraian tentang peristiwa
dan kejadian yang benar-benar terjadi dalam masa lampau. Dalam arti seperti ini maka dapat
kemudian didefinisikan bahwa kata sejarah mengandung arti sekitar adanya kejadian-kejadian
atau peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau, yang terkait dengan kehidupan

23
manusia; adalah juga merupakan ilmu karena mempelajari kejadian-kejadian yang dapat disusun
secara sistematis.
Meskipun masa lampau itu adalah merupakan sebuah rangkaian kejadian yang sudah
terlewati, namun masa lampau bukan merupakan suatu kejadian yang sudah berahir, berhenti,
tertutup. Masa lampau pada hakekatnya masih dan akan tetap terbuka, atau berkesinambungan.
Itu sebabnya masa lampau manusia dalam kaitan ini bukan demi masa lampau manusianya saja,
yang oleh karenannya akan dapat dilupakan begitu saja. Hakekat sejarah adalah suatu rangkaian
yang berkesinambungan. Kesinambungan yang bukan hanya dari masa lampau ke masa yang
lebih kemudian, namun termasuk untuk masa yang akan datang; mencari gambaran tentang masa
datang yang dapat digunakan untuk modal bertindak di masa kini sekaligus agar dapat dijadikan
acuan untuk perencanaan di masa mendatang.
Berdasarkan diktum “belajar dari sejarah” saja orang dapat memahami di mana dalam
kenyataannya sejarah itu secara pasti telah mampu memberi banyak pelajaran. Pelajaran yang
secara langsung ataupun tidak, sengaja ataupun tidak sengaja diperoleh melalui pengetahuan-
pengetahuan. Apa yang disebut pengalaman hidup pada dasarnya adalah merupakan kumpulan
dari pengalaman-pengalaman dimaksud. Contoh untuk ini dapat misalnya ditunjukkan di mana
ketika orang tahu bahwa garam itu asin maka melalui pengetahuannya ia akan menggunakan
garam ini untuk mengasinkan yang tawar; akan menggunakan garam secukupnya dalam
mengolah makanan yang dibuatnya. Berdasarkan pengalaman diri atau pengalaman orang lain
orang juga kemudian menjadi tahu bahwa garam ternyata juga dapat digunakan sebagai
pengawet, sehingga telah memunculkan pengetahuan mengawetkan ikan, yang lalu
menghasilkan ikan asin.
Pepatah “rajin pangkal pandai”, dalam contoh lain, sesungguhnya juga merupakan hasil
dari apa yang dapat diperoleh lewat “belajar dari sejarah”. Dari pengalaman sejarah dapat
ditunjukkan bahwa orang itu sejatinya dapat menjadi pandai apabila ia dapat mengisi hidupnya
dengan aktifitas yang rajin. Demikian pula ketika orang menjadi tahu bahwa memukul orang itu
akan mendapat sangsi atau hukuman – sehingga ia kemudian tidak akan melakukan tindakan
memukul itu. Pada dasarnyalah bahwa setelah pengetahuan-pengetahuan dari masa lampau itu
diolah secara sistematis, orang kemudian dapat belajar dari dalamnya tentang banyak hal terkait
kehidupan manusia. Sehingga dari sinilah selanjutnya ia dapat menjadikannya sebagai wahana,
kendaraan atau alat untuk menganalisis masalah-masalah terkait kemanusiaan.

24
Meskipun demikian, perlu pula disampaikan bahwa tidak semua karya sejarah itu
memiliki kemampuan menganalisis. Oleh karenanya muncul perbedaan antara cara kerja
sejarawan yang tidak memanfaatkan teori dan metodologi – disebut sejarah naratif – di satu
pihak, sedangkan di pihak lain, terhadap karya sejarah yang memanfaatkan teori dan metodologi
disebut sejarah analitis (analitical history). Dalam sejarah naratif yang dilakukan penulisnya
adalah hanya sekedar menceritakan, menjelaskan kekjadian dan prosesnya, namun tanpa
menjelaskan persoalan yang mempertanyakan mengapa dan bagaimana sehingga kisah atau
jalannya peristiwa menjadi demikian. Tidak terlihat bagaimana bentuk, pola dan kecenderungan
dapat terjadi dari kisah yang diangkat. Karena tidak diperlukan teori dan metodologi dalam
deskripsinya maka hasilnya pun unik, meletakkan tekanannya pada ideografi sejarah. Secara
umum yang tampak dalam deskripsi sejarah naratif biasanya juga adalah kondisi atau keadaan di
lapangan; melakukan narasi berdasarkan apa yang dilihat.
Jauh lebih berkembang dari kelompok tulisan sejarah naratif adalah jenis tulisan sejarah
yang sudah memanfaatkan teori dan metodologi; yaitu kelompok tulisan yang telah menyertakan
bukan hanya mengenai asal-mulanya (génesis) dan sebab-sebabnya, tetapi juga, berdasarkan
análisis, sudah mampu menghadirkan bagaimana kecenderungan dapat terjadi (trend),
kondisional dan konstektual, serta perubahannya. Dalam kelompok tulisan sejarah seperti ini
biasanya dilakukan dengan mengaitkan masalah-masalah sosial, politik, kultural, dan lainnya
dalam proses sejarah. Memanfaatkan teori-teori dari aneka disiplin ilmu seperti sosiologi,
antropologi, politikologi, psikologi, dan sebagainya.
Penjelasan mengenai pengertian dan pentingnya melakukan proses seleksi dan
tipologisasi dalam ilmu sosial dilatari oleh adanya gejala-gejala sejarah yang menunjukkan
kemiripan. Sebut saja misalnya mengenai sejarah perkotaan, sejarah pedesaan, sejarah
perompakan dan sebagainya. Kategorisasi, penggolongan atau tipologisasi diperlukan karena ada
analisis di dalamnya, sehingga dapat dituangkan secara sistematis; berkemampuan
mengekstrapoasikan berbagai ciri, faktor, unsur-unsur dan lain sebagainya. Karena tipenya
demikian maka aneka konsep dan teori dapat masuk sebagai bahan analisis.
Penggunaan konsep dan teori sebagai batang struktural dalam pendekatan sejarah seperti
ini mengartikan bahwa ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu sangat diperlukan. Penggunaan
pendekatan sosiologi, politikologi, antropologi; bahkan disiplin ilmu yang sifatnya eksakta telah
mengantar pada sebutan pendekatan multidimensional dalam sejarah. Implikasi besar dari

25
perkembangan terhadap disiplin sejarah seperti ini ialah bahwa setiap research design
memerlukan kerangka referensi yang bulat, yaitu memuat alat-alat analitis yang akan
meningkatkan kemampuan untuk menggarap data. Di sini menjadi jelas yang mana pengkajian
sejarah sekali lagi memerlukan teori dan metodologi, sehingga perlu ditegaskan bahwa karena
metodologi maka yang perlu ditampilkan adalah ikhwal menyangkut cara, metode, juga teknik;
di mana keseluruhannya ini perlu disesuaikan dengan permasalahan atau obyek yang akan
digarap. Oleh karena itu menjadi mustahil menentukan suatu model metodologi saja karena pada
dasarnya setiap topik atau tema menuntut metodologi tersendiri. Metodologi sebagai alat, dengan
demikian, perlu disesuaikan dengan obyek yang akan digarap.
Dengan meminjam aneka konsep dan teori dari ilmu-ilmu sosial maka eksplanasi pun
dapat dilakukan; menempatkan struktur sebagai landasan teoretis ke dalam proses. Menyangkut
ikhwal bagaimana menempatkan konsep dan teori dalam kajian sejarah struktural sehingga akan
dapat digunakan menjadi pisau analisis metodologis dalam kajian sejarah kritis, sejatinya sangat
ditentukan oleh keluasan wawasan sejarah, juga pengetahuan yang cukup luas mengenai aneka
konsep dan teori dari ilmu-ilmu sosial, bahkan dari berbagai bidang ilmu lainnya.
Dalam kaitan dengan guna sejarah, hal pertama yang perlu disampaikan yaitu terkait
dengan fenomena di mana pada kalangan generasi muda sekarang pelajaran sejarah itu sering
diabaikan; hal mana dapat terjadi karena terlihat tidak ada manfaat langsung dapat dirasakan.
Sehingga muncul anggapan bahwa mempelajari sejarah itu hanya membuang-buang waktu,
membosankan; menjadi tidak menarik karena dalam proses pembelajaran, metode umum yang
diterapkan adalah hafalan. Dimanakah letak salahnya? Dengan tidak perlu menyalahkan
kurikulum dan metode pembelajaran yang diterapkan selama masa persekolahan, ada baiknya
disampaikan mengenai apa sebetulnya guna dan peran sejarah itu sesungguhnya.
Dalam kenyataannya, sejarah sebagai sebuah peristiwa kemanusiaan tentunya akan
meninggalkan bukti-bukti peristiwa, juga nilai-nilai kemanusiaan. Mempelajari sejarah sejatinya
akan mampu membangkitkan rasa kesadaran masyarakat dalam keterikatannya dengan manusia
lainnya; termasuk pada bangsanya sendiri. Dengan munculnya kesadaran dalam berbangsa
dengan sendirinya setiap individu dapat menerima keragaman sebagai sebuah kenyataan. Adanya
perbedaan tidak akan dipandang sebagai suatu masalah, sebaliknya dapat mengambil hikmat dan
menjadikannya sebagai suatu potensi. Dari jalannya sejarah orang dapat menarik inspirasi demi
inspirasi. Bagaimana orang kemudian dapat meneladani nilai dari kisah epos dan kepahlawanan,

26
termasuk mengambil pelajaran dari kisah-kisah yang penuh tragedi. Untuk apakah semua
inspirasi ini? Jawabannya adalah tentu untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dimasa
mendatang. Selain itu mempelajari sejarah juga akan memupuk kebiasaan berpikir konseptual
dan konstektual, sejalan dengan ruang dan waktu di mana peristiwa itu terjadi. Dengan
mempelaljari sejarah orang menjadi tidak mudah terjebak pada opini, apalagi dengan berita-
berita hoax, hatespeech, karena sudah menjadi terbiasa berpikir kritis, analitis dan rasional, yang
keseluruhannya ini dudukung oleh fakta. Jadi, orang yang mempunyai wawasan sejarah selalu
akan bertolak dari kenyataan demi kenyataan.
Madjid dan Wahjudhi (2014) menyebut bahwa dalam mempelajari sejarah orang tidak
akan mudah terjebak pada opini karena terbiasa berpikir kritis, analitis dan rasional juga
didukung fakta. Dengan menilik peristiwa masa lampau, orang akan menghormati dan senantiasa
memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Akan tetapi, jauh dari persoalan kegunaan sejarah, terdapat pula peran-peran yang dapat
ditunjukkan oleh sejarah. Dalam perannya sebagai pemberi pelajaran misalnya, pengalaman
manusia yang setelah diolah oleh pikiran dan akal akan mampu menarik pelajaran demi pelajaran
dari dalamnya. Itu sebabnya kemudian dapat mencontoh dari keberhasilan-keberhasilan diri
sendiri dan orang lain, atau sekalian pelajaran dari kegagalan demi kegagalan diri sendiri dan
orang lain. Melalui sejarah manusia dapat mengembangkan segenap potensinya namun sekaligus
menghindar dari kesalahan dan atau kegagalan masa lalu.
Seperti disebutkan, melalui sejarah manusia dapat mengembangkan segenap potensinya
sekaligus menghindar dari kesalahan masa lalunya baik dilakukan oleh orang lain maupun oleh
dirinya sendiri. Mempelajari sejarah, oleh karenannya, akan dapat menghindarkan diri dari
kesalahan sebelumnya. Dari sejarah misalnya, orang dapat belajar tentang apa saja yang telah
membuatnya maju; sebaliknya dapat juga belajar dari kejatuhan demi kejatuhan atau segala
sesuatu yang tidak menguntungkan. Tapi orang yang cinta sejarah biasanya juga sangat cinta
dengan kebenaran; akan selalu berjuang mempertahankan kebenaran. Sebaliknya, ia dapat
melawan kemungkaran, kebohongan, kemunafikan, dan sejenisnya. Praktik manipulasi sejarah
bagi para pencinta sejarah, dengan sendirinya akan sangat dihindarkan. Seorang sejarawan
asal Yunani, Cicero mengatakan melalui pesannya yang mana sejarah sesungguhnya adalah guru
kehidupan; dan bahwa sejarawan itu harus menceritakan kebenaran. Penjaga sejarah harus takut
pada kepalsuan dan tidak takut untuk menyatakan, menyampaikan kebenaran, katanya.

27
Dalam Bab 4 ulasan secara khusus mengenai metode, atau yang dalam pemahaman
sederhana dapat berarti cara atau prosedur. Dalam penelitian sejarah metode berarti cara untuk
mendapatkan obyek. Dikatakan juga bahwa metode adalah cara untuk melakukan, mengerjakan
sesuatu dalam sistem yang terencana, teratur, sistematis. Dengan demikian metode dalam
penelitian sejarah berarti erat kaitannya dengan prosedur, proses, atau teknik yang sistematis.
Melakukan penulisan sejarah yang analitis memerlukan metode, metodologi dan teori.
Metodologi sebagai ilmu dan pemikiran tentang metode tidak dapat dipelajari tanpa mengangkat
masalah teoretis dan konseptual. Pendekatan terhadap sejarah hanya akan lebih terjelaskan
apabila mengoperasionalkan bantuan konsep dan teori (Kartodirdjo, 1992).
Pengalaman dan pemahaman sebanyak-banyaknya atau seluas-luasnya tentang masa lalu,
terutama atas aneka gejala ataupun fenomena, adalah merupakan informasi sekaligus data
sejarah, yang untuk memperolehnya diperlukan metode dan teknik tertentu. Dalam kaitan dengan
metodologi sejarah, seluruh informasi sejarah itu masih perlu lagi dianalisis, digeneralisasi, dan
atau dieksplanasikan. Terpenuhinya seluruh tahapan inilah yang disebut metodologi; dan hanya
dengan metodologi sejarah maka selanjutnya akan dapat mengantar pada tahapan kemampuan
sebuah karya sejarah melihat bagaimana kecenderungan-kecenderungan akan terjadi di waktu
mendatang. Selain itui juga akan dapat menjawab perihal kondisi sekarang, terutama yang terkait
dengan pertanyaan, “mengapa kondisinya menjadi seperti sekarang”.
Untuk tiba pada kemampuan demikian maka sifat keajegan yang memungkinkan
dilakukan pengukuran (terukur) adalah merupakan syarat utama; sehingga bukan hanya soal
kecenderungan yang menjadi dapat diraba, tetapi juga memiliki kemampuan melihat, membaca
trend atau progress dari sebuah episode yang ingin dilihat. Jadi, dalam hal ini, yang perlu dilihat
dari apa yang telah terjadi itu adalah berkaitan dengan adanya gambaran pengulangan demi
pengulangan dari kejadian demi kejadian yang ajeg itu, di mana análisis atas pengulangan-
pengulangan itu telah teridentifikasi baik memiliki keteraturan.
Akan tetapi, persyaratan untuk dapat disebut sebagai ilmu sejatiny lebih luas dari itu.
Dari berbagai sumber yang membahas dapat disebutkan bahwa setidaknya terdapat 5 syarat
utama untuk dapat disebut sebagai ilmu – yang dengan sendirinya memiliki metodologi.
1. Empiris, berisi pengetahuan yang dibentuk berdasarkan pengalaman-pengalaman
manusia.

28
2. Mempunyai obyek, yaitu manusia dan alam; yang kemudian telah dipilah menjadi ilmu
humaniora dan ilmu alam atau ilmu pasti (eksakta). Ilmu-ilmu sosial dalam hal ini
menempati posisi tengah karena selain obyeknya manusia, kajiannya yang terstruktur
nyatanya juga telah mendekatkan ilmu ini dengan ilmu pasti.
3. Mempunyai metode, yaitu cara atau teknik yang aplikatif guna mencari kebenaran, atau
minimal meminimalisir terjadinya bias dalam mengungkap kebenaran itu.
4. Sistematis, yakni perihal adanya keteraturan dan logis dalam menyusun rumusan;
sekaligus dapat melihat, menjelaskan rangkaian kausalitas dari suatu kejadian.
5. Teratur dan universal, yakni dimilikinya sifat yang umum, menyeluruh dan teratur; kebe-
naran-kebenarannya teruji sama hasilnya meski ditempatkan dalam ruang waktu berbeda.
Dari kelima syarat di atas, syarat pertama yang harus empiris atau ‘berpengalaman’
pastinya telah menjadi miliknya sejarah. Syarat kedua sebagai yang mempunyai obyek juga
dimiliki oleh sejarah. Syarat ketiga sebagai yang harus mempunyai metode, teknik, atau cara
yang aplikatif, seperti terungkap nanti, juga terdapat di dalamnya. Syarat keempat yang menuntut
perlunya cara kerja dan berpikir sistematis juga dimiliki oleh aliran sejarah kritis. Sedangkan
syarat kelima yang menuntut harus adanya sifat universal dan keteraturan sejatinya juga sangat
jelas dapat digambarkan; terutama dapat terbukti empiris apabila dilihat dari semua kejadian
yang telah terjadi (telah menjadi sejarah). Namun untuk hal ini disiplin sejarah akan lebih banyak
meminjam aneka teori dan konsep dari ilmui-ilmu sosial; mencakup sebanyak-banyaknya aspek
struktural yang lazim digunakan dalam ilmu-ilmu sosiologi, antropologi, politikologi.
Meskipun demikian, yang perlu ditambahkan adalah bahwa kelima syarat demikian
adalah mutlak, sehingga tidak terpenuhi satu saja akan sukar ia disebut sebagai ilmu. Oleh karena
itu, menarik dipertanyakan, dalam posisi apa, di mana, dan dalam kapasitas bagaimanakah
sejarah dapat diantar untuk disebut sebagai ilmu, yang kemudian dapat membantu secara
metodologis dalam kajian-kajiannya? Seperti dapat dilihat nanti, pembahasan lebih lanjut
diharapkan akan dapat menguraikan lebih dari hal itu. Termasuk menyangkut pendekatan sejarah
sebagai unsur ilmiah paling dominan dalam kemampuannya memberikan pemahaman terhadap
masa kini, bahkan dalam jangkauan dimensinya ke masa depan.
Madjid dan Wahyudhi (2014), sebagaimana dikutip Mawikere (2016) kembali
mengatakan bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadikan pengetahuan sebagai ilmu,
antara lain yaitu:

29
1. Obyektif, yaitu bahwa ilmu itu harus memiliki obyek kajian yang terdiri dari satu golongan
masalah yang sama sifak hakikatnya; tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam.
Obyeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya.
Dalam mengkaji obyek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dan
obyek, sehjingga disebut kebenaran obyektif.
2. Metodis, yakni sebagai upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ad acara tertentu untuk
menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari Bahasa Yunani, ‘metodos’, yang berarti
cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya
merujuk pada sebuah metode ilmiah.
3. Sistematis, yaitu mencoba untuk mengetahui dan menjelaskan suatu obyek; bahwa ilmu itu
harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk
suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, sekaligus mampu menjelaskan
rangkaian sebab-akibat menyangkut obyeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis
dalam rangkaian sebab-akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal, dimaksudkan sebagai kebenaran yang hendak dicapai yaitu kebenaran universal
yang bersifat umum, atau tidak bersifat tertentu. Sebagai contoh adalah bahwa semua segitiga
itu memiliki sudut 180 derajat.

30
BAGIAN KEDUA
Ilmu Sosial & Sejarah Struktural
1. Aspek Struktural Sebagai Bagian Metodologi
Dengan kembali kepada ilmu sejarah yang perkembangan metodenya telah mengadopsi
banyak pendekatan ilmu sosial maka studi sejarah kritis telah memperluas wilayah kajiannya.
Ilmu sejarah yang lebih terbuka telah memungkinkan melakukan capaian pada aspek atau
dimensi baru dari aneka gejala sejarah.
Kartodirdjo sebagai sejarawan yang telah membuka wawasan lebih luas atas kajian ini
kembali menyatakan bahwa pada umumnya segi prosesual yang menjadi fokus perhatian dengan
pendekatan ilmu sosial akan dapat digarap aspek prosesualnya. Dari sini selanjutnya akan dapat
dipahami mengenai tidak sedikitnya aspek prosesual yang hanya dapat dimengerti apabila

31
dikaitkan dengan aspek strukturalnya; bahkan dapat dikatakan pula bahwa proses hanya dapat
berjalan dalam kerangka struktural.
Dari contoh yang menjelaskan kenyataan bahwa tindakan atau kelakuan manusia dalam
pergaulannya senantiasa akan mengikuti kebiasaan, adat, atau pola kehidupan, maka akan dapat
ditunjukkan di mana struktur kelakuan yang mantap senantiasa akan melatarbelakangi kelakuan
seseorang melakukan tindakannya. Apabila tidak ada struktur yang melandasinya maka tindakan
itu sukar diramalkan atau ditafsirkan kesamaannya. Jadi, dapat timbul kekalutan sosial, atau
suatu keadaan yang tidak memungkinkan kehidupan bersama berlaku secara teratur dan beradab.
Dengan kata lain, apabila tidak ada struktur yang melandasinya maka ‘bias’ dipastikan akan
terjadi.
Dicontohkan oleh Kartodirdjo tentang sejarah sosial pada masyarakat atau kaum borjuis
pada jaman Renaisance di Italia abad ke-15 dan 16. Mengapa pada masa itu timbul kehidupan
bangsa yang penuh dengan vitalitas dan kreativitas dalam bidang kesenian, politik, perdagangan
dan militer. Hasil kerja para jenius ini sangat luar biasa dan tidak ada taranya. Namun semuanya
itu tentu saja tidak akan dapat diterangkan tanpa menunjuk kepada latar belakang sosialnya,
khususnya pada struktur masyarakatnya.
Dalam masa abad pertengahan sistem feodal membedakan antara tiga golongan sosial,
yakni bangsawan, rohaniawan dan golongan ketiga. Dalam struktur sosial seperti itu tidak ada
tempat bagi kaum pedagang. Oleh karena posisinya itu maka mereka ini termasuk pada golongan
bebas; tidak ada ikatan feodal yang memungkinkan timbulnya inovasi dalam berbagai bidang
kehidupan. Tanpa kondisi sosial semacam itu mutu atau keunggulan sebagai etos peradaban
menjadi tidak dapat dihayati. Jelas di sini mengartikan di mana hanya dengan memahami
struktur masyarakat di sana maka jawaban atas pertanyaan mengapa pada jaman itu terdapat
tidak sedikit jenius dapat terpecahkan. Termasuk dapat terpecahkan atau dapat dilihatnya alasan
kelompok bebas yang pada akhirnya tetap miskin inovasi dan kreativitas.
Menjadi jelas pula di sini di mana aspek struktural pada hakekatnya tidak boleh diabaikan
apabila orang ingin memberi eksplanasi yang tuntas tentang proses-proses sosial. Pengkajian
sejarah struktural tentang kelas menengah di sisi lain juga menjadi sangat menarik seperti halnya
yang dilakukan oleh Barber mengenai kehidupan kaum berjuis di Prancis pada abad ke-18, atau
seperti dilakukan oleh Desai tentang struktur golongan menangah di India.

32
Disebut menarik karena semua golongan inilah yang pada jamannya telah memegang
peranan penting dalam perubahan peradaban. Sekali lagi, yaitu karena golongan ini adalah
sebagai yang memegang peran utama dalam aneka bidang, terutama pada bidang politik. Oleh
karenanya, yang dapat disampaikan kepentingannya dalam kaitan ini yakni bagaimana
melakukan eksplanasinya. Bagaimana memberi gambaran secara terstruktur atau secara ajeg,
sehingga análisis terhadap pengulangan-pengulangannya menjadi dapat digeneralisasikan;
digeneralisasikan untuk dapat dilihat bagaimana trennya.
2. Tentang Struktur & Contohnya
Memberi contoh lain dalam kaitan sejarah sosial, dapat ditunjukkan melalui aneka teori
konflik di mana salah satunya adalah seperti yang tergambar dalam kutipan kajian teoretis
tentang konflik yang dilakukan Mawikere (1997) berikut ini.
Pertama-tama, sebelum tiba pada pembahasan mengenai teori konflik, Bekhofer Jr. dalam
analisisnya tentang perilaku menyatakan pendapat bahwa pada dasarnya setiap individu itu telah
memiliki berbagai penafsiran relatif sama atas situasi dan akibat lebih jauh apabila ia hendak
melakukan tindakan; baik tindakan itu disetujui ataupun tidak oleh kelompoknya. Totalitas untuk
mengarah kepada tindakan kolektif tersebut pada dasarnya dapat berupa tuntutan untuk
mengubah perundang-undangan, gerakan-gerakan sosial, tentang revolusi politik dan sebagainya.
Dalam kaitan teori perilaku demikian, Mawikere dalam mengutip Smelser yang
menekankan pada belief sebagai dasar pergerakan partisipasi orang-orang untuk sebuah episode
gejolak sosial, telah menurunkan sebuah anatomi mencakup:
(1) yang bersifat histeria menghasilkan panik;
(2) yang bersifat pencapaian keinginan melahirkan keranjingan atau tipe tertentu revivalisme
dan semacamnya;
(3) yang bersifat permusuhan akan melahirkan upaya pengkambing-hitaman orang lain atau
tindak kekerasan dan semacamnya;
(4) yang beroriantasi norma melahirkan pergerakan reform dan contra reform;
(5) yang beroriantasi nilai melahirkan revolusi poitik, pergerakkan nacional, dan semacamnya.

33
Dengan melanjutkan bahwa komponen-komponen pokok sebagai tujuan gerakan sosial
itu mencakup, (1) nilai-nilai, (2) norma-norma, (3) mobilisasi motivasi per-seorangan untuk aksi
yang teratur dalam peran-peran kolektivitas, dan (4) fasilitas situasional dan informasi,
ketrampilan, alat-alat dan rintangan dalam mencapai tujuan kongkret, Smelser, sebagaimana
dikutip Mawikere, pada akhirnya telah menyimpulkan di mana gejolak sosial itu dapat terjadi
apabila terdapat sejumlah diterminan, necessary conditions, yang menurutnya mencakup:
1. Kekondusifan situasional (structural conductiveness);
2. Ketegangan struktural (structural strain) yang timbul;
3. Penyebaran keyakinan yang dianut (the spread of generalized belief);
4. Faktor pencetus (the precipitating factor) berupa sesuatu yang dramatik;
5. Mobilisasi untuk mengedakan aksi (mobilization into action);
6. Pengoperasian kontrol sosial (the operation of social control) atau counter determinant yang
mencegah, mengganggu, membelokkan, merintangi gejolak-gejolak itu, dangan cara (a)
mencegah terjadinya episode gejolak sosial, (b) memobilisasi alat-alat negara segera setelah
episode gejolak sosial, (c) memobilisasi alat-alat negara setelah episode gejolak sosial mulai
terjadi.
Keenam butir faktor penentu inilah yang menurut Smelser, sebagaimana dikutip
Mawikere, merupakan pendorong lahirnya sebuah gejolak sosial, yang mana semua itu harus
saling mendukung dan terkait satu terhadap lainnya. Salah satu saja faktor tidaklah cukup,
melainkan harus merupakan kombinasi untuk menciptakan keadaan cukup sufficient bagi
munculnya gejolak sosial.
Relevansi teori perilaku kolektif demikian, menurut Mawikere, tidak terkecuali berlaku
juga di banyak tempat, pada waktu berbeda, termasuk pada kemungkinan atau peluang akan
terjadi apabila semua unsur di atas terpenuhi. Tapi sebaliknya dapat dipastikan pula tidak akan
terjadi apabila terdapat unsur sebagai faktor lain yang dapat membuatnya menyimpang.
Meskipun demikian, apabila teori ini diteruskan maka akan dapat juga terjadi pada
episode gejolak sosial melawan rejim penguasa; yang dalam kajian itu dilukiskan sebagai
perlawanan terhadap penguasa Belanda di jaman kolonial. Kajian Mawikere yang mengadopsi
model konflik sosial seperti ini telah mengurut kejadian-kejadian sama di tempat lain dan pada
kurun waktu berbeda tetapi terbukti telah memperoleh kesamaan dalam aspek strukturalnya.

34
Berangkat dari studi yang dilakukan Fred von Mehden tentang peranan agama dalam
pergerakkan kebangsaan di Asia Tenggara yang menurunkan bahwa dalam kasus Filipina
persamaan agama Katolik antara yang dijajah dengan yang menjajah tidak menjamin hubungan
antara kedua pihak itu baik, Mawikere telah menunjukkan dalam kajiannya sekitar adanya
diktum yang sama. Yaitu bahwa dalam kasus yang terjadi di Minahasa pada abad ke-19,
terangkat kejadian di mana kesamaan agama Kristen antara penduduk dengan pemerintah
kolonialnya ternyata tidak menjamin penduduk yang tertindas tidak akan beroposisi terhadap
penguasanya; termasuk telah pula dapat mementahkan asumsi-asumsi keliru tentang pola
hubungan kekristenan yang sering diangkat bahwa agama Kristen adalah merupakan
perpanjangan tangan dari kolonialisme sehingga yang beragama Kristen itu tidak akan beroposisi
terhadap kolonialisme.
Dengan dapat diangkatnya generalisasi sejarah dalam struktur-struktur seperti contoh di
atas mengartikan bahwa pengulangan sejarah seperti yang telah terjadi itu bagaimanapun akan
kembali dapat terjadi apabila indikator-indikatornya memiliki kesamaan. Meski di sisi lain, yang
selalu perlu juga diingatkan yakni bahwa peristiwa sejarah itu selamanya memang tidak akan
berulang; sedangkan yang berulang itu semata-mata hanya pada aspek-aspek strukturalnya.
Untuk itulah maka segera dapat diurai lebih lanjut bagaimana meletakkan sejarah yang
tidak berulang itu (yaitu berhubung oleh adanya keunikan di dalamnya) di satu sisi dengan
sejarah yang melihat adanya pengulangan atau keteraturan dari segi strukturnya sehingga dapat
digeneralisasikan.
3. Sejarah Konvensional Sebagai Antithese
Apa yang disebut sebagai sejarah konvensional adalah sejarah yang narasinya akan dapat
mengungkap aspek-aspek tentang apa, siapa, kapan, dan di mana. Disebut juga dengan sebutan
“sejarah sebagai kisah”, dalam contoh yang masuk pada kriteria sejarah ini adalah berita-berita
dalam surat kabar, catatan-catatan harian, cerita tentang suatu kejadian, dan sebagainya. Atau
dalam aneka tulisan historiografi yang berisi deskripsi, kisah tentang sesuatu yang di dalamnya
mengungkap jawaban atas apa, siapa, di mana, dan kapan; atau kadang-kadang termasuk juga
menerangkan mengenai bagaimana sesuatu telah terjadi. Setiap kejadian historis model seperti
ini bersifat unik. Artinya memiliki kekhususan, hanya sekali terjadi, atau tidak lagi akan terulang

35
kisah yang sama persis. Di sini yang ditonjolkan adalah detail atas pertanyaan-pertanyaan
demikian. Namun sebaliknya tidak diperhatikan soal bagaimana bentuk, pola, kecenderungan,
atau segi-segi umum lainnya.
Seperti disebutkan, tulisan seperti tersebut dengan sendirinya tergolong unik. Demikian
apabila ditelusuri lebih jauh maka sifatnya pun akan ideografis, atau berhubung interpretasi yang
tertuang adalah deskriptif naratif maka unsur subyektif biasanya melekat di dalamnya. Sebelum
muncul istilah sejarah kritis atau sejarah teoretis, model sejarah seperti ini disebut juga sebagai
sejarah konvensional. Yang digambarkan biasanya adalah narasi proses dari suatu episode.
Meskipun demikian, sejarah konvensional seperti inilah justru yang telah menjadikan suatu
episode sejarah menjadi menarik. Ibaratnya, deskripsi narasinya adalah daging yang kemudian
telah dapat mengisi setiap celah sekaligus membungkus tulang-tulangnya; di mana tulang-tulang
itu sendiri adalah merupakan eviden, fakta, atau peristiwanya.
Karena sifatnya yang demikian, sejarah konven-sional sesungguhnya bisa ditemukan di
mana saja, dilaku-kan oleh siapa saja. Kisah atau cerita tentang terjadinya suatu peristiwa
kecelakaan yang sempat disaksikan lebih dari satu orang misalnya, dapat dengan mudah
diceritakan kembali olah orang atau saksi yang pada saat kejadian ada di situ. Demikian apabila
terdapat dua saksi maka saksi yang kedua juga akan dapat bercerita sama meski sudut pandang
atau jalannya cerita atas kejadian itu dipastikan tidak akan sama persis.
Pemandu wisata pun demikian dalam menyam-paikan cerita pada obyek-obyek wisata
yang dikunjungi. Meski telah berkali-kali mengunjungi obyek-obyek wisata yang sama namun
narasi penyampaiannya sering tidak sama persis. Ada memang uraian logis mengenai proses
perkem-bangan terjadinya suatu peristiwa. Namun biasanya meski narasinya menggunakan fakta
namun yang terurai ini hanya berdasarkan akal sehat, imajinasi, dan biasanya masih ditambah
lagi oleh ketrampilan dalam mengekspresikan diri melalui bahasa yang teratur, atau oleh adanya
pengetahuan terkait proses yang tengah dikisahkan itu. Dengan kata lain, kisahnya menjadi
sangat subyektif; lebih ditentukan oleh pandangan personal dari yang menyampaikannya.
Memberikan beberapa contoh karya sejarah yang subyektif sifatnya dapat ditemukan
pada buku-buku pegangan untuk sekolah-sekolah dasar maupun menengah. Mengambil beberapa
contoh, tidak lepas misalnya dari informasi dari buku sejarah sekolah dasar dan menengah yang
menuliskan sejarah di mana Indonesia itu telah dieksploitasi dan dijajah selama tiga setengah

36
abad oleh kolonialisme Belanda. Durasi tiga setengah abad yang dimaksudkan adalah terhitung
kedatangan pertama seorang pemimpin rombongan kapal dari Belanda bernama Cornelis de
Houtman; yang bersama anak buahnya untuk pertama kali melabuhkan kapal berbendera
Belandanya di Nusantara (Indonesia) pada tahun 1601. Lalu, setelah dihitung sampai
berakhirnya kolonialisme Belanda di tahun 1945, yaitu ketika Indonesia secara sepihak dapat
memproklamasikan diri sebagai bangsa dan negara merdeka maka didapatlah angka yang
durasinya 3,5 abad itu.
Yang perlu disampaikan di sini yaitu bahwa tahun 1601 itu sebetulnya adalah merupakan
tahun dibentuknya sebuah perusahaan kongsi dagang bernama VOC, yang dalam perjalannya ke
Nusantara bermaksud mencari keuntungan besar melalui monopoli dari komoditas rempah-
rempah. Komoditas rempah-rempah yang tidak ada di Eropa dan yang hanya bisa tumbuh di
wilayah beriklim tropis seperti halnya di sini rupanya telah mendorong VOC harus mencarinya
di ‘negeri seberang’, Nusantara. Dengan begitu, yang datang ke sini sebetulnya bukan Belanda
yang tampil sebagai negara yang ingin melakukan ekspansi teritorial. Tapi, sekali lagi, tahun itu
pada dasarnya harus dicatat sebagai tahun di mana untuk pertamakalinya seorang Belanda
bernama de Houtman menjejakkan kakinya di sini. Ekspansi teritorial Belanda atas Nusantara
atau Indonesia sebetulnya baru lengkap justru setelah masuk pada abad ke-20. Karena fakta
menunjukkan masih adanya bagian-bagian lain seperti Aceh, Bali, dan sebagian Kalimantan
yang benar-benar baru bisa dibebaskan pada abad ke-20. SInilah fakta yang kemudian telah
menjadi sulit untuk menyatakan bahwa Belanda telah menjajah Indonesia selama 3,5 abad
sebagaimana yang biasanya lahir dari jenis karya sejarah bersifat konvensional.
Perihal Sumpah Palapa pun kasusnya demikian. Kalau disebutkan bahwa Patih Gajah
Mada dari Kerajaan Mataram pernah mengucapkan sumpah tidak akan memakan buah palapa
sebelum ia dapat menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah Hayam Wuruk – dan ternyata
kemudian ia dapat merasakan buah itu karena usahanya menyatukan seluruh wilayah Nusantara
berhasil – maka hal inipun sempat menimbulkan pertanyaan lanjutan. Apakah benar Gajah Mada
pernah menyatukan seluruh kepulauan Nusantara di bawah taklukannya?
Anggapan yang kadung telah menjadi pengetahuan sejarah di kalangan masyarakat ini;
dan yang nyatanya masih tetap menjadi bagian dari kurikulum sejarah di sekolah-sekolah ini,
meskipun demikian, sesungguhnya masih sangat lemah bila ditinjau berdasarkan kajian sejarah

37
kritis. Lemah karena kegiatan verifikasi dan penelitian lebih jauh memperlihatkan fakta bahwa
terutama pada kepulauan-kepulaluan di Indonesia Timur, sampai sejauh ini belum pernah
terungkap pernah takluk kepada Jawa. Dengan kata lain, dalam sepanjang sejarahnya belum
pernah kantong-kantong besar di wilayah Timur Nusantara ini merasakan sebagai wilayah
vatsalnya Mataram. Tanda ketaklukkan yang pada jaman itu lazim ditandai melalui kesediaan
secara periodik menyerahkan upet atau apapun itui, tidak pernah terjadi. Sehingga pernyataan
atau narasi sejarah tentang keberhasilan Gajah Mada atas sumpahnya itu kemudian kembali perlu
dipertanyakan.
Kedua contoh kisah sejarah yang seolah sudah ‘taken for granted’, atau sudah dapat
diterima kebenar-annya, ternyata dapat menjadi lemah setelah ditinjau berdasarkan pendekatan
sejarah kritis. Sehingga informasi keabsahan kesimpulannya pun dengan mudah menjadi terbuka
untuk dipertanyakan kembali. Itu sebabnya menjadi jelas sekarang di mana sesuatu yang
tampaknya dipolitisir kisahnya namun telah kadung diyakini kebenarannya dari generasi ke
generasi nyatanya dapat menjadi berbeda apabila dipandang dengan menggunakan pendekatan
nalar secara kritis, yang implementasi atasnya menuntut keharusan memenuhi persyaratan-
persyaratan ilmiah.
Kasus-kasus yang masuk dalam tipe penulisan sejarah konvensional seperti contoh di
atas, dalam hubungan ini mengartikan harus ditinggalkan dalam kapasitasnya sebagai alat bantu.
Karena, sekali lagi, tidak ada teori bahkan konsep sebagai unsur struktural yang dapat digunakan
membantu metodologi untuk futurologi.