Tugas Pkn (Isi)
-
Upload
sonya-anggraini -
Category
Documents
-
view
126 -
download
0
Transcript of Tugas Pkn (Isi)
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan
atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat
manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum,
perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan
hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum. Selain itu
Pemikiran tentang Negara Hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari dari usia
Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri dan pemikiran tentang Negara Hukum
merupakan gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu aktual. Ditinjau dari perspektif
historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai Negara
Hukum sudah berkembang semenjak 1800 s.M. Akar terjauh mengenai perkembangan awal
pemikiran Negara Hukum adalah pada masa Yunani kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie
gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi
Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum.
Lahirnya hukum hak asasi manusia internasional tidaklah lepas dari peristiwa-peristiwa
ekonomi politik yang terjadi di benua Eropa dan Amerika yang dimana terjadi berbagai
peristiwa perbudakan, diskriminasi dan pengekangan atas aktivitas politik dan ekonomi
penduduk di dua benua tersebut pada abad XVI-XIX. Selain itu perkembangan konsep
hukum hak asasi manusia internasional juga dipengaruhi oleh akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh peristiwa Perang Dunia I dan II dimana menyebabkan kehancuran dan kesengsaraan
yang luar biasa terhadap penduduk sipil di dunia waktu itu. Untuk mengetahui tonggak-
tonggak peristiwa penting yang menjadi latarbelakang lahirnya konsep hukum hak asasi
manusia internasional mari kita mulai sub bagian ini dengan melakukan aktivitas membaca
bahan bacaan untuk mengidentifikasi tonggak peristiwa-peristiwa ekonomi politik penting
atas perkembangan hukum hak asasi manusia.
1
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN NEGARA HUKUM
Konsep negara hukum yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles lahir beberapa
puluh tahun sebelum Masehi. Pada perkembangan berikutnya kelahiran konsep negara
hukum sesudah Masehi didasarkan pada sistem pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu,
seperti dikemukakan oleh beberapa ahli.
Nicolo Machiavelli (1469-1527)
Seorang sejarawan dan ahli negara telah menulis bukunya yang terkenal “II Prinsipe
(The Prince)” tahun 1513. Machiavelli hidup pada masa intrik-intrik dan peperangan yang
terus-menerus di Florence, di mana pada waktu tata kehidupan berbangsa dan bernegara lebih
mengutamakan kepentingan negara. Tata keamanan dan ketentraman, Di samping keagungan
negara, harus merupakan tujuan negara, supaya Italia menjadi suatu negara nasional. Dalam
usaha untuk mewujudkan cita-cita itu raja harus merasa dirinya tidak terikat oleh norma-
norma agama atau pun norma-norma akhlaq. Raja dianjurkan supaya jangan berjuang dengan
mentaati hukum; raja harus menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti halnya juga
binatang. (S.F Marbun dkk, 2001: 4).
Penguasa menurut Machiavelli, pimpinan negara haruslah mempunyai sifat-sifat seperti
kancil untuk mancari lubang jaring dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala. Raja atau
pimpinan negara harus memiliki sifat-sifat cerdik pandai dan licin ibarat seekor kancil, akan
tetapi harus pula memiliki sifat-sifat yang kejam dan tangan besi ibarat seekor singa; seperti
‘A prince being thus obliged to know well how to act as a beast must imitate the fox and the
lion, for the lion cannot protect himself from traps and the fox cannot defend himself from
wolves. One must therefore be a fox to recognise traps, and a lion to frighten wolves’, (Luigi
Ricci dan E.R.P. Vincent, 1955: 101; R. Kranenburg, 1955: 51). Demikian beberapa anjuran
Machiavelli kepada raja untuk menerapkan absolutisme dalam negara. Maksudnya agar
negara Italia menjadi negara besar yang berkuasa.
Jean Bodin (1530-1596)
Juga menganjurkan absolutisme raja. Raja harus mempunyai hak mutlak membuat
undang-undang bagi rakyatnya yang diperintah. Kedaulatan itu puissance absolute atau
kekuasaan mutlak yang terletak di dalam tangan raja dan tidak dibatasi oleh undang-undang.
Karena yang membuat undang-undang itu raja, maka tidak mungkin pembuatnya diikat oleh
buatannya sendiri. Akan tetapi berlawanan dengan Machiavelli, Jean Bodin mengatakan
2
bahwa raja itu terikat dengan hukum alam. Lebih lanjut Jean Bodin memandang kekuasan
yang terpusat pada negara yang makin lama makin tegas tampak dalam bentuk kekuasaan
raja. Karena itu disimpulkannya, bahwa dasar pemerintah absolut terletak dalam kedaulatan,
yaitu kekuasaan raja yang superior, (Theo Huijber, 1995: 57).
Thomas Hobbes (1588-1679)
Berpendapat bahwa manusia sebelum hidup dalam lingkungan masyarakat bernegara,
hidup dalam alam. Dalam keadaan alami itu manusia mempunyai hak alami yang utama,
yaitu hak utama mempertahankan diri sendiri. Dalam situasi demikian itu manusia
merupakan musuh bagi manusia lainnya dan siap saling menerka seperti serigala, akibatnya
ialah merajalelanya peperangan semuanya melawan semuanya. Namun, dibimbing oleh
akalnya manusia mengerti bahwa bila keadaan yang demikian itu diteruskan, semuanya akan
binasa. Oleh karena itu manusia lalu bergabung memilih penguasa yang menjamin hukum
malalui suatu perjanjian sosial. Dalam teori Hobbes, perjanjian masyarakat tidak dipakai
untuk membangun masyarakat (civitas) melainkan untuk membentuk kekuasaan yang
diserahkan kepada raja. Raja bukan menerima kekuasan dari masyarakat melainkan ia
memperoleh wewenang dan kuasanya kepada raja, maka kekuasaan raja itu mutlak. (Theo
Huijber, 1995: 57)
Dikemukakan di atas beberapa ahli yang secara ekstrim menyatakan pendapatnya untuk
membenarkan sistem pemerintahan yang bersifat absolut guna diterapkan dalam kehidupan
bernegara. Memang apabila ditelusuri lebih jauh pandangan ini, tentu kita akan melihat
bahwa konsepsi mereka dilatarbelakangi oleh adanya situasi negara yang buruk di masa
mereka hidup. Sehingga bagi mereka, negara atau penguasa yang kuat diperlukan untuk
mengatasi peperangan yang terjadi waktu itu.
Perlawanan terhadap kekuasaan yang mutlak dari raja secara konkret dilaksanakan
dengan memperjuangkan sistem konstitusional, yaitu sistem pemerintahan yang berdasarkan
konstitusi. Pemerintahan tidak boleh dilakukan menurut kehendak raja saja, melainkan harus
didasarkan pada hukum konstitusi.
John Locke (1632-1704)
Mengemukakan, kekuasaan raja harus dibatasi oleh suatu “leges fundamentalis”. Namun
perlu dicatat bahwa perjuangan konstitusional yang membatasi kekuasaan raja banyak
dipengaruhi oleh berbagai perkembangan, di antaranya:
1) Reformasi;
2) Renaissance;
3
3) Hukum Kodrat;
4) Timbulnya kaum bourgeoisi beserta aliran Pencerahan Akal (Aufklarung).
Seiring dengan berkembang jaman dan tuntutan masayarakat pada waktu, lahir pula
gagasan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori oleh
pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya absolutisme
dan lahirnya negara hukum.
Di Inggris, perlawanan masyarakat terhadap negara (Monarchi Absolutis) telah lama
berjalan (sebelum John Locke menuliskan teorinya tentang negara dan hukum dalam buku
“Two treatises of civil government”, 1690) terjelma dalam pertikaian terus menerus antara
“King dan Parliament”, yang melahirkan piagam-piagam di mana diakui hak-hak asasi
bangsa Inggris, yaitu:
1) Magna Charta (1215);
2) Petition of Rights (1628);
3) Habeas Corpus Act (1679);
4) Bill of Rights (1689).
Pada umumnya kemenangan ada di pihak masyarakat, monarki absolut tidak dapat
berkembang, sedangkan Parlemen langkah demi langkah membesarkan pengaruhnya. Dalam
karya Locke muncul beberapa prinsip hukum yang berlaku dalam negara hukum modern,
yakni asas yang ada hubungannya dengan organisasi negara hukum. (Theo Huijber, 1995: 79-
83)
Di Prancis, dipelopori antara lain Charles Louis de Scondat, Baron de La Brede et de La
Montesquieu (1688-1775) dan Jean Jacques Rousseau (1746-1827), Renaissance dan
Reformasi berkembang dengan baik. Perjuangan hak-hak asasi manusia di Perancis itu
memuncak dalam revolusi Perancis pada tahun 1789, yang berhasil menetapkan hak-hak
asasi manusia dalam “Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen”, yang pada tahun itu
ditetapkan oleh “Assemblee National” Prancis, dan pada tahun berikutnya dimasukkan ke
dalam Constitution. Sedangkan di Amerika Serikat sebelumnya, yaitu pada tanggal 4 Juli
1776 sudah dirumuskan dalam “Declaration of Independent”. Dengan adanya perlindungan
terhadap hak asasi manusia, maka kekuasaan absolut dari raja lama kelamaan semakin susut
dan bersama-sama dengan itu kebutuhan akan negara hukum makin mantap. (Theo Huijber,
1995: 87-93)
Pada babak sejarah kini, sulit untuk membayangkan negara tidak sebagai negara hukum.
Setiap Negara yang tidak mau dikucilkan dari pergaulan masyarakat internasional menjelang
4
abad XXI setidaknya secara formal akan memaklumkan dirinya sebagai negara hukum.
Dalam negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama
sebagai kesepakatan politik. Hukum juga menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan
segala macam perselisihan, termasuk juga perselisihan politik dalam rangka mencapai
kesepakatan politik tadi. Dengan demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan
politik sektarian dan primordial melainkan kepada cita-cita politik dalam kerangka
kenegaraan. (Budiono Kusumohamidjojo, 2004: 36-37)
Lebih lanjut para ahli yang menganut faham kedaulatan berpendapat bahwa hukum
bukanlah semata-mata apa yang secara formal diundangkan oleh badan legislatif suatu
negara. Hukum (dan kedaulatan sebagai aspeknya) bersumberkan perasaan hukum anggota-
anggota masyarakat. Perasaan hukum adalah sumber dan merupakan pencipta hukum. negara
hanya memberi bentuk pada perasaan ini. Hanya apa yang sesuai dengan perasaan hukum
itulah yang benar-benar merupakan hukum, (F Isjwara, 1974: 99).
Hugo Krabbe sebagai salah seorang ahli yang mempelopori aliran ini berpendapat bahwa
negara seharusnya negara hukum (rechtsstaat) dan setiap tindakan negara harus didasarkan
pada hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan pada hukum. Kalau diperhatikan lebih
jauh ke belakang, konsep kedaulatan yang didasarkan pada hukum ini adalah suatu reaksi atas
prinsip ajaran kedaulatan negara.
5
BAB III
NEGARA HUKUM INDONESIA
Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebutpemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Menurut Sudargo Gautama 3 ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, yakni:
a. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan
Maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh
hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap
penguasa.
b. Azas Legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang
harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
c. Pemisahan Kekuasaan
Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan kekuasaan yaitu
badan yang membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan mengadili harus
terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan.
Secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum bukan
hanya sebagai negara yang mempunyai seperangkat hukum formal. Melainkan negara yang
mendasarkan setiap tindakan baik pemerintah dan rakyatnya berdasarkah hukum. Hukum ada
karena tiga alasan sebagai mana dinyatakan oleh radbruch yakni keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian. Dalam kehidupan negara hukum cita-cita atau tujuan utamanya adalah
mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal ini tergambar dalam pembukaan UUD
1945 yang mencantumkan empat tujuan nasional yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
6
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Negara hukum sama sekali tidak dapat dilepaskan dari konsep negara demokratis. Ralf
Dahrendorf, mengajukan empat syarat bahwa sebuah negara dikatakan sebagai negara hukum
yang demokratis, yaitu, pertama, perwujudan yang nyata atas persamaan status
kewarganegaraan bagi semua peserta dalam proses politik; kedua, kehadiran kelompok-
kelompok kepentingan dan elite di mana tak satupun mampu memonopoli jalan menuju ke
kekuasaan ; ketiga, berlakunya nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan publik;
keempat, menerima perbedaan pendapat dan konflik kepentingan sebagai sesuatu yang tak
terhindarkan dan elemen kreatif dalam kehidupan sosial.
Pernyataan negara hukum dalam konstitusi terdapat pada konstitusi RIS 1949 dan UUDS
1950:
a. UUD RIS 1949 pasal 1 (1): RIS yang merdeka dan berdaulat adalah suatu negara hukum
yang demokrasi dan berbentuk federasi.
b. UUDS 1950 pasal 1 (1): Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah negara
hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan.
Utrech membedakan negara hukum menjadi dua yakni negara hukum formal dan negara
hukum materil. Sebagai negara hukum Indonesia merupakan negara hukum materil dan
negara hukum formal.
Konsep negara hukum sangat terkait dengan kedaulatan rakyat. Dimana rakyat
memegang kedaulatannya melalui sebuah dokumen bernama konstitusi. Hukum bukan hanya
untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa melainkan menjamin
kepentingan bagi semua orang. Sehingga negara tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
negera hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan bukan absolute rechtsstaat.
Miriam Budiardjo mengemukakan sebuah bentuk negara hukum yang demokratis yakni
dengan bentuk demokrasi konstitusional. Demokrasi konstitusional merupakan gagasan
bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganegaranya. Pembatasan-pembatasan
atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, oleh karena itu sering disebut
“pemerintah berdasarkan konstitusi” (constitutional government).
Cita Negara Hukum Indonesia
Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum itu dan pula
7
penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut pendapat saya, kita dapat
merumuskan kembali adanya tiga-belas prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang
berlaku di zaman sekarang. Ketiga-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar- pilar utama
yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut
sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya,
yaitu:
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa
semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif
supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang
sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang
tertinggi. Pengakuan normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang
tercermin dalam perumusan hukum dan/atau
konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku
sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’.Bahkan, dalam
republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang
sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem
pemerintahan presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala
pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui
secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini,
segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui
sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan- tindakan yang bersifat khusus
dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat
kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar
kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok
masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang
dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk
pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau
kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan
kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat
diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.
8
3.Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan
atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan
tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan
administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi
harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normative demikian
nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh
karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijs ermessen’
yang memungkinkan para pejabat tata usaha negara atau administrasi negara
mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’) ataupun peraturan-
peraturan yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan mandiri
dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
4. Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan caramenerapkan
prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal.
Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setia kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk
berkembang menjadi sewenang- wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power
tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus
dibatas dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat
‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbang dan
mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi
kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan
tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang
memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5. Organ-Organ Campuran Yang Bersifat Independen:
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya
pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral,
organisasi tentara, dan organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru
seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman
Nasional (KON), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain sebagainya. Lembaga, badan
atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan
9
eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya
merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun
pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap
penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah
untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat
dipakai untuk menumpang aspirasi pro- demokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk
mengontrol sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan
kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk
kepentingan kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat
penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).
Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam
menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik
karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin
keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan
putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun
legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan
tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran
dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara
oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan
putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidupdi tengah-tengah
masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang- undang atau peraturan
perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan
yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak
memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap
perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi
tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan
dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat
administrasi negara. Pengadilan Tata Usah Negara ini penting disebut tersendiri, karena
dialah yang menjamin agar warganegara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para
10
pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada
pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada
jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat
tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha
negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent
and impartial judiciary’ tersebut di atas.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan
tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern konstitusi dalam
sistem juga lazim mengadopsikan gagasan mahkamahketatanegaraannya, baik dengan
pelembagaannya yang berdiri sendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun
dengan mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung yang sudah ada
sebelumnya. Pentingnya peradilan ataupun mahkamah konstitusi (constitutional court) ini
adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang
kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah
ini diberi fungsi pengujian konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk
lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga
negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan.
Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin
dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya
Negara Hukum modern.
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum
bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi
manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara
Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula
penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan
dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara
yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hakasasi manusia terabaikan
atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi
11
secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum
dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin
peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan nilai-nilai
keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk
kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum
tidak dimaksudkan hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan
menjaminkepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, cita
negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan
‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dalam setiap Negara
Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam
setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannyaberdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum
itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun
yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang
dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam
rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara
Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan bernegara
Indonesia itu. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak
terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan ‘mission driven’, yang didasarkan atas
aturan hukum.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan
dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam
mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta
12
masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan
kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui
parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena
itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena
perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi.
Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan,
pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol
sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien
serta menjamin keadilan dan kebenaran.
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Khusus mengenai cita Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ide
kenegaraan kita tidak dapat dilepaskan pula dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang
merupakan sila pertama dan utama Pancasila. Karena itu, di samping ke-12 ciri atau unsur
yang terkandung dalam gagasan Negara Hukum Modern seperti tersebut di atas, unsur ciri
yang ketigabelas adalah bahwa Negara Hukum Indonesia itu menjunjung tinggi nilai-nilai ke-
Maha Esaan dan ke-Maha Kuasa-an Tuhan. Artinya, diakuinya prinsip supremasi hukum
tidak mengabaikan keyakinan mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa yang
diyakini sebagai sila pertama dan utama dalam Pancasila. Karena itu, pengakuan segenap
bangsa Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi yang terdapat dalam hukum konstitusi di
satu segi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan segenap warga bangsa mengenai prinsip
dan nilai-nilai ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu, dan di pihak lain pengakuan
akan prinsip supremasi hukum itu juga merupakan pengejawantahan atau ekspresi kesadaran
rasional kenegaraan atas keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa yang menyebabkan setiap
manusia Indonesia hanyamemutlakkan Yang Esa dan menisbikan kehidupan antar sesama
warga yang bersifat egaliter dan menjamin persamaan dan penghormatan atas kemajemukan
dalam kehidupan bersama dalam wadah Negara Pancasila.
Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan.
Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak
dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia
menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide
negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950,
kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas.
13
Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1
ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara
hukum yang mengandung 13 ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sebaiknya kita pahami.
14
BAB IV
SEJARAH PERKEMBANGAN HAM
Sebelum dibahas lebih mendalam mengenai hak asasi manusia di Indonesia, terlebih
dahulu kita membahas sekelumit sejarah perkembangan dan perumusan hak asasi manusia di
Dunia. Perkembangan atas pengakuan hak asasi manusia ini berjalan secara perlahan dan
beraneka ragam. Perkembangan tersebut antara lain dapat ditelusuri sebagai berikut.
1. Hak Asasi Manusia di Yunani
Filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM) meletakkan dasar
bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak – hak asasi manusia. Konsepsinya
menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol kepada penguasa yang zalim dan
tidak mengakui nilai – nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles (348-322 SM) mengajarkan
pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya.
2. Hak Asasi Manusia di Inggris
Inggris sering disebut–sebut sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak
asasi manusia. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris.
Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil
disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut :
MAGNA CHARTA
Pada awal abad XII Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana telah diganti oleh Raja
John Lackland yang bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat dan para bangsawan.
Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para
bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang
disebut Magna Charta atau Piagam Agung.
Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan
kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang
pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau
diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan
hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak
tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi
lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa
hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
Isi Magna Charta adalah sebagai berikut :
15
Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan
Gereja Inggris.
Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagi
berikut :
Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk.
Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah.
Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa
perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan
mengoreksi kesalahannya.
PETITION OF RIGHTS
Pada dasarnya Petition of Rights berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak rakyat
beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh para bangsawan kepada raja di depan parlemen
pada tahun 1628. Isinya secara garis besar menuntut hak-hak sebagai berikut :
Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan.
Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya.
Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai.
HOBEAS CORPUS ACT
Hobeas Corpus Act adalah undang- undang yang mengatur tentang penahanan seseorang
dibuat pada tahun 1679. Isinya adalah sebagai berikut :
Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2 hari setelah penahanan.
Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum.
BILL OF RIGHTS
Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima
parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang :
Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen.
Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus seizin parlemen.
Hak warga Negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing .
Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.
3. Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat
16
Pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam,seperti hak
atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property) mengilhami sekaligus menjadi
pegangan bagi rakyat Amerika sewaktu memberontak melawan penguasa Inggris pada tahun
1776. Pemikiran John Locke mengenai hak – hak dasar ini terlihat jelas dalam Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikenal dengan DECLARATION OF
INDEPENDENCE OF THE UNITED STATES.
Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4 Juli 1776, suatu
deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan
pula piagam hak – hak asasi manusia karena mengandung pernyataan “Bahwa sesungguhnya
semua bangsa diciptakan sama derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia
dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati
kebhagiaan.
John Locke menggambarkan keadaan status naturalis, ketika manusia telah memiliki
hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan bersama-sama, hidup lebih maju seperti
yang disebut dengan status civilis, locke berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan
sebagai warga negara hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara.
Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika sebagai negara
yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya,
kendatipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa Rousseau.
Kesemuanya atas jasa presiden Thomas Jefferson presiden Amerika Serikat lainnya yang
terkenal sebagai “pendekar” hak asasi manusia adalah Abraham Lincoln, kemudian
Woodrow Wilson dan Jimmy Carter.
Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya
di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 yakni :
Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).
Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of
religion).
Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Kebebasan- kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan dari kekejaman dan
penindasan melawan fasisme di bawah totalitarisme Hitler (Jerman), Jepang, dan Italia.
Kebebasan – kebebasan tersebut juga merupakan hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk
mencapai perdamaian dan kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan Roosevelt ini pada
17
hakikatnya merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan
mendasar.
4. Hak Asasi Manusia di Prancis
Perjuangan hak asasi manusia di Prancis dirumuskan dalam suatu naskah pada awal
Revolusi Prancis. Perjuangan itu dilakukan untuk melawan kesewenang-wenangan rezim
lama. Naskah tersebut dikenal dengan DECLARATION DES DROITS DE L’HOMME ET
DU CITOYEN yaitu pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga negara. Pernyataan
yang dicetuskan pada tahun 1789 ini mencanangkan hak atas kebebasan, kesamaan, dan
persaudaraan atau kesetiakawanan (liberte, egalite, fraternite).
Lafayette merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia masyarakat Prancis yang
berada di Amerika ketika Revolusi Amerika meletus dan mengakibatkan tersusunnya
Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen. Kemudian di tahun 1791, semua hak-hak
asasi manusia dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi Prancis yang kemudian ditambah
dan diperluas lagi pada tahun 1793 dan 1848. Juga dalam konstitusi tahun 1793 dan 1795.
revolusi ini diprakarsai pemikir – pemikir besar seperti : J.J. Rousseau, Voltaire, serta
Montesquieu. Hak Asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu antara lain :
1) Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka.
2) Manusia mempunyai hak yang sama.
3) Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain.
4) Warga Negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan serta pekerjaan
umum.
5) Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang.
6) Manusia mempunai kemerdekaan agama dan kepercayaan.
7) Manusia merdeka mengeluarkan pikiran.
8) Adanya kemerdekaan surat kabar.
9) Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat.
10) Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
11) Adanya kemerdekaan bekerja,berdagang, dan melaksanakan kerajinan.
12) Adanya kemerdekaan rumah tangga.
13) Adanya kemerdekaan hak milik.
14) Adanya kemedekaan lalu lintas.
15) Adanya hak hidup dan mencari nafkah.
18
5. Hak Asasi Manusia oleh PBB
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak
asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of
human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor
Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang
diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu
berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia
tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil
dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2
negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari
Hak Asasi Manusia.
Universal Declaration of Human Rights antara lain mencantumkan, Bahwa setiap orang
mempunyai Hak :
Hidup
Kemerdekaan dan keamanan badan
Diakui kepribadiannya
Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat
jaminan hokum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak
bersalah kecuali ada bukti yang sah
Masuk dan keluar wilayah suatu Negara
Mendapatkan asylum
Mendapatkan suatu kebangsaan
Mendapatkan hak milik atas benda
Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
Bebas memeluk agama
Mengeluarkan pendapat
Berapat dan berkumpul
Mendapat jaminan sosial
Mendapatkan pekerjaan
Berdagang
Mendapatkan pendidikan
Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
19
Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan
Majelis umum memproklamirkan Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi Manusia itu
sebagai tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa dan menyerukan semua
anggota dan semua bangsa agar memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan hak-
hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan
merupakan perjanjian, namun semua anggota PBB secara moral berkewajiban
menerapkannya.
20
BAB V
HAM DI INDONESIA
Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya
Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara
pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus
memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi
bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan
sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung
dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya
memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak
orang lain.
Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak
memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari
manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia,yakni:
Undang – Undang Dasar 1945
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan
menjadi sebagai berikut :
Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat,
kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak
untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan,
hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai politik.
Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
( rights of legal equality).
21
Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak untuk
memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural
rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan
peradilan.
Secara konkret untuk pertama kali Hak Asasi Manusia dituangkan dalam Piagam Hak
Asasi Manusia sebagai lampiran Ketetapan Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVII/MPR/1998.
22
BAB VI
KESIMPULAN
Konsep negara hukum yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles lahir beberapa
puluh tahun sebelum Masehi. Pada perkembangan berikutnya kelahiran konsep negara
hukum sesudah Masehi didasarkan pada sistem pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu.
Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, maka dalam Perubahan Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau
“Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan
dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima
dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi.
Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip
Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut
pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang
hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya
Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara
pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus
memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi
bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan
sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung
dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya
memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak
orang lain.
23
DAFTAR PUSTAKA
jimly.com
http://fatahilla.blogspot.com
http://kgsc.wordpress.com
emperordeva.wordpress.com
24