Tugas Medlin 3 - 1
-
Upload
lois-yunike -
Category
Documents
-
view
25 -
download
5
description
Transcript of Tugas Medlin 3 - 1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas perayanan kesehatan perorangan
merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam
mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaran pelayanan
kesehatan di rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat
kompleks. Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan yang
beragam, berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
yang berkembang sangat pesat yang perlu diikuti oleh tenaga kesehatan dalam
rangka pemberian pelayanan yang bermutu standar.
Mutu pelayanan di rumah sakit pada saat ini masih belum memadai.
Menurut Wijono ( 1999 ), mutu merupakan gambaran total sifat dari suatu jasa
pelayanan yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memberikan kebutuhan
kepuasan. Mutu dalam pelayanan di rumah sakit berguna untuk mengurangi tingkat
kecacatan atau kesalahan. Manajemen Mutu menurut J.M Juran dan Wijono, 1999
bahwa mutu yang lebih tinggi memungkinkan untuk mengurangi tingkat
kesalahan, mengurangi pekerjaan ulang, mengurangi kegagalan di lapangan,
mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi keharusan memeriksa dan
menguji, meningkatkan hasil kapasitas, memberikan dampak utama pada biaya, dan
biasanya mutu lebih tinggi biaya lebih sedikit
Indikator mutu suatu rumah sakit dilihat juga dari tingkat kejadian yang
menyebabkan pasien cedera. Tidak ada satupun dokter atau petugas kesehatan yang
ingin mencelakakan pasiennya. Oleh karena itu, keselamatan pasien ( Patient Safety
) yang telah menjadi isu global perlu disosialisasikan terus menerus dalam
2
lingkungan rumah sakit. Menurut Mitchell ( 2008 ), perawat merupakan kunci
dalam pengembangan mutu melalui keselamatan pasien.
Institute of Medicine, Amerika Serikat pada tahun 2000 menyatakan bahwa
“ TO ERR IS HUMAN , Building a Safer Health System “. Pada laporan tersebut
dijelaskan bahwa ditemukan kejadian tidak diharapkan sebesar 2,9 % di rumah
sakit Utah dan Colorado dimana 6,6 % diantaranya meninggal. Pada tahun 2004
WHO juga menyatakan adanya adverse event dengan rentang 3,2 – 16,6 % pada
rumah sakit di berbagai negara. Dari penemuan ini WHO mencanangkan World
Alliance for Patient Safety bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan
keselamatan pasien.
Sejak awal tahun 1900, institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu
pada tiga elemen yaitu struktur, proses dan outcome dengan berbagai macam
program regulasi yang berwenang misalnya antara lain penerapan Standar
Pelayanan Rumah Sakit, ISO, Indikator Klinis dan lain sebagainya (Depkes RI,
2006). Standar keselamatan pasien rumah sakit yang saat ini digunakan mengacu
pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Join
Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada
tahun 2002. Enam tujuan penanganan keselamatan pasien menurut Joint
Commission International antara lain: mengidentifikasi pasien dengan benar,
meningkatkan komunikasi secara efektif, meningkatkan keamanan dari high-
alert medications, memastikan benar tempat, benar prosedur, dan benar
pembedahan pasien, mengurangi risiko infeksi dari pekerja kesehatan,
mengurangi risiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien (Lia dan Asep,
2010).
Menurut Agency of Healthcare Research and Quality (2004)
dalam menilai budaya keselamatan pasien di rumah sakit terdapat beberapa aspek
dimensi yang perlu diperhatikan yaitu harapan dan tindakan supervisor/manajer
dalam mempromosikan keselamatan pasien, pembelajaran-peningkatan
3
bekerlanjutan, kerjasama tim dalam unit, keterbukaan komunikasi, umpan balik
terhadap error, respon tidak menyalahkan, staf yang adekuat, persepsi secara
keseluruhan, dukungan manajamenen rumah sakit, kerjasama tim antar unit,
penyerahan dan pemindahan pasien dan frekuensi pelaporan kejadian.
Penting diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada
pasien. Keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal
tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan. Berbagai upaya
dilakukan untuk menurunkan angka kesalahan dan meningaktkan keselamatan
pasien dengan fokus individu bukan pada sistem atau proses. Oleh karena itu
diperlukan komitmen tenaga medis untuk menjaga keselamatan pasien
,kompeten dan etis dalam keperawatan. Keselamatan pasien merupakan suatu
sistem yang sangat dibutuhkan mengingat saat ini banyak pasien yang dalam
penanganannya sangat memprihatikan,dengan adanya sistem ini diharapkan dapat
meminimalisir kesalahan dalam penanganan pasien baik pada pasien UGD, rawat
inap maupun pada pasien poliklinik (PERSI 2006).
Keperawatan merupakan bagian terbesar di suatu rumah sakit.
Keperawatan merupakan kelompok profesi yang paling depan dan terdekat
dengan penderitaan, kesakitan, serta kesengsaraan yang dialami pasien dan
keluarganya. Pelayanan keperawatan memiliki konstribusi yang sangat penting
dalam membangun citra rumah sakit. Craven dan Hirnle (Setiowati, 2010)
mengemukakan bahwa ketidakpedulian akibat keselamatan pasien akan
menyebakan kerugian bagi pasien dan pihak rumah sakit, seperti biaya yang
harus ditanggung pasien menjadi lebih besar, pasien semakin lama dirawat di
rumah sakit dan terjadinya resistensi obat. Kerugian bagi rumah sakit yang harus
dikeluarkan menjadi lebih besar yaitu pada upaya tindakan pencegahan
terhadap kejadian luka tekan, infeksi nosokomial, pasien jatuh dengan cidera,
kesalahan obat yang mengakibatkan cidera.
4
Di Indonesia, laporan insiden keselamatan pasien pada tahun 2007
dilaporkan DKI Jakarta menempati urutan tertinggi yaitu 37,9 % ( KKP-RS, 2008 ).
Data tentang KTD diatas belum mewakili data KTD yang sebenarnya di Indonesia,
jumlah KTD diperkirakan relatif tinggi ( Budiharjo, 2008 ).
Rumah sakit tak hanya menjadi tempat pasien mendapatkan kesembuhan
tetapi juga merupakan tempat berkembangnya berbagai macam penyakit dan
kuman. Mulai tahun 2001, Depkes RI telah memasukkan pengendalian infeksi
nosokomial sebagai salah satu tolok ukur indikator rumah sakit. Bahkan menurut
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691 tahun 2011 tentang Keselamatan
Pasien Rumah Sakit, pengurangan risiko infeksi terkati pelayanan kesehatan
merupakan salah satu sasaran keselamatan pasien.
Pencegahan infeksi nosocomial memerlukan kerja tim yang solid yang
merupakan praktik kolaboratif antar tim kesehatan. Angka kejadian infeksi luka
infus ( phlebitis ) menjadi salah satu jenis infeksi nosokomial. Dari sebuah
penelitian di Portugal 2010 disebutkan bahwa kejadian phlebitis mencapai 11,06 %
dari target 5 %. Derajat phlebitis yang paling banyak terjadi adalah grade 1 sekitar
37 % dan grade 2 sekitar 53,06 %. Pada Permenkes 129 tahun 2008 tentang standar
minimal pelayanan Rumah Sakit disebutkan bahwa standar kejadian phlebitis
adalah <1,5 %. Data statistik yang didapat dari Yayasan Kesehatan mengenai
infeksi nosokomial,phlebitis menempati peringkat pertama infeksi nosokomial di
Indonesia dibandingkan infeksi lainnya yaitu sebanyak 16.435 kejadian phlebitis
dari 588.328 pasien beresiko di Rumah Sakit Umum di Indonesia atau lebih kurang
2,8% dan sebanyak 293 kejadian phlebitis dari 18.800 pasien yang beresiko di
Rumah Sakit khususatau swasta di Indonesia pada tahun 2006 atau lebih kurang
1,5% (Depkes, 2007).
Ciputra Hospital merupakan Rumah Sakit Umum swasta yang mempunyai
visi “ Menjadi Rumah Sakit Pilihan Yang Handal dan Berkualitas “. Ciputra
Hospital mulai beroperasi sejak 1 November 2011. Ciputra Hospital merupakan
5
salah satu rumah sakit yang telah mendapatkan peringkat Memuaskan pada
Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 dari Departemen Kesehatan Republik
Indonesia pada 1 Oktober 2014. Sebagai rumah sakit yang mengedepankan Mutu
dan Keselamatan Pasien, Ciputra Hospital berupaya untuk menurunkan dan
mencegah terjadinya infeksi di rumah sakit. Pemantauan terhadap mutu dan
keselamatan pasien ini dituangkan dalam indikator mutu rumah sakit yang antara
lain adalah indikator sasaran keselamatan pasien dan pencegahan dan pengendalian
infeksi. Berbagai program orientasi dan pelatihan terkait mutu dan keselamatan
pasien dilakukan. Orientasi dan pelatihan mutu dan keselamatan pasien tidak hanya
diberikan kepada tenaga medis, namun kepada seluruh karyawan termasuk tenaga
kontrak.
Kejadian infeksi luka infus atau phlebitis di Ciputra Hospital memang masih
tergolong kecil. Pada tahun 2014 kejadian phlebitis 0,2 %, akan tetapi derajat
phlebitis yang ditemukan sudah sampai pada fase phlebitis derajat 2. Kebijakan
pelaporan phlebitis di Ciputra Hospital dilakukan jika phlebitis sudah masuk pada
derajat 2. Hal ini memungkinkan terjadinya phlebitis derajat 1 yang tidak terlaporkan
mungkin mencapai jumlah yang tidak sedikit. Pada tahun 2015 periode bulan Januari
hingga Mei 2015 saja sudah terjadi 3 kejadian phlebitis derajat 2 disertai ekstravasasi
yang cukup luas, satu diantaranya terjadi di ruang perawatan intensif. Faktor kimiawi
dari penggunaan obat High Alert High Consentration juga dapat berpengaruh besar
terhadap terjadinya phlebitis. Namun demikian kepedulian dan pengetahuan perawat
perlu dipertanggung jawabkan dalam terjadianya phlebitis.
Dari telusur harian dari tim telusur Ciputra Hospital, seringkali ditemukan
kateter intravena sudah melewati batas penggantian atau lebih dari 3x24 jam. Saat
akan melakukan insersi perawat tidak melakukan five moment cuci tangan terutama
sebelum melakukan tindakan invasif. Dari hasil wawancara dengan 10 perawat,
didapatkan 7 dari 10 perawat belum dapat membedakan derajat phlebitis. Sehingga
6
saat phlebitis masih pada derajat 1, kemungkinan besar perawat kurang aware
sehingga phlebitis meningkat menjadi derajat 2.
Penelitian ini dikhususkan pada pasien rawat inap mengingat perawatan
pada pasien rawat inap sangat membutuhkan perhatian yang lebih. Perawat di ruang
rawat inap seringkali berfokus pada tugas rutin. Selain itu penelitian ini juga
ditujukan pada perawat di ruang perawatan intensif terkait pemberian obat-obatan
melalui intravena yang mempunyai konsentrasi pekat. Pasien rawat inap pada
suatu ruangan membutuhkan penanganan jangka panjang yang perlu
keseriusan dari pada tenaga kesehatan untuk menghindari terjadinya
kesalahan penanganan dalam praktiknya (Sumijatun 2007).
Pentingnya penerapan keselamatan pasien dalam mengurangi kejadian
phlebitis sebagaimana yang telah dijelaskan membuat peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai “ Hubungan Penerapan Patient Safety terhadap
Kejadian Phlebitis Di Ruang Rawat Inap Dewasa dan Ruang Intensif Care Rumah
Sakit Ciputra Hospital Citra Raya Tangerang Tahun 2015 “
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang dinyatakan di dalam latar belakang seperti mana
tersebut di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagaimana berikut :
1. Apakah terdapat hubungan penerapan patient safety dengan kejadian phlebitis ?
2. Bagaimana hubungan penerapan standar prosedur operasional pemasangan
kateter intravena dengan kejadian phlebitis ?
3. Apakah terdapat hubungan keterampilan perawat dalam memasng infus dan
kejadian phlebitis ?
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
7
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penerapan
patient safety dan kejadian phlebitis di Ciputra Hospital tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus daripenelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui hubungan penerapan patient safety dan kejadian phlebitis
di Ciputra Hospital tahun 2015.
b. Untuk mengetahui penerapan standar prosedur operasional pemasangan
kateter intravena dengan kejadian phlebitis dan kejadian phlebitis di Ciputra
Hospital tahun 2015
c. Untuk mengetahui hubungan keterampilan perawat dalam memasang
kateter intravena dan kejadian phlebitis di Ciputra Hospital tahun 2015
D. MANFAAT
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk dijadikan bahan
masukan dalam menyusun kebijaksanaan dalam mencegah kejadian phlebitis di
rumah sakit. Selain itu antara manfaat lain yang diharapkan dari penelitian ini
adalah :
1. Bagi penelitian, diharap peneliti dapat menerapkan displin ilmunya di lapangan
khususnya dalam peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
2. Bagi perawat, diharap dapat meningkatkan kepatuhan dalam penerapan patient
safety dan dalam melaksanakan standar prosedur operasieonal pemasangan
kateter intravena untuk mencegah kejadian phlebitis.
3. Bagi rumah sakit, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan untuk
dapat meningkatkan budaya keselamatan dalam rangka mengurangi dan
mencegah kejadian phlebitis.
8
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. KESELAMATAN PASIEN
Menciptakan budaya keselamatan pasien merupakan hal yang sangat
penting. Hal tersebut dikarenakan budaya mengandung dua komponen yaitu nilai
dan keyakinan, dimana nilai mengacu pada sesuatu yang diyakini oleh anggota
organisasi untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, sedangkan
keyakinan mengacu pada sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam
organisasi (Sashkein & Kisher, dalam Tika, 2006). Dengan adanya nilai dan
keyakinan yang berkaitan dengan keselamatan pasien yang ditanamkan pada
setiap anggota organisasi, maka setiap anggota akan mengetahui apa yang
seharusnya dilakukan dalam penerapan keselamatan pasien. Dengan demikian,
perilaku tersebut pada akhirnya menjadi suatu budaya yang tertanam dalam setiap
anggota organisasi berupa perilaku budaya keselamatan pasien.
1. Pengertian
Patient Safety adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi assessmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut
diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
9
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan
yang seharusnya diambil (Depkes RI, 2006)
Safety adalah bebas dari kejadian cedera. Menurut WHO (2009)
menyatakan bahwa keselamatan pasien merupakan tindakan yang
dilakukan oleh individu dan organisasi untuk melindungi pasien dari kerugian
karena efek pelayanan kesehatan. The National Patient Safety
Foundation mendefinisikan bahwa patient safety adalah upaya
menghindarkan, mencegah dan perbaikan dari kasus adverse outcome atau
perlukaan yang disebabkan oleh proses layanan kesehatan.
Menurut IOM keselamatan pasien adalah mengutamakan sistem
pemberian perawatan yang mencegah kesalahan (pencegahan kerugian
pada pasien), belajar dari kesalahan yang terjadi, membangun budaya
keselamatan yang melibatkan para profesional tenaga kesehatan,
manajemen dan pasien. Sedangkan menurut AHRQ keselamatan pasien
didefinisikan sebagai pencegahan bahaya yaitu bebas dari kecelakaan atau
hasil dari perawatan medis.
Definisi keselamatan pasien menurut KKP-RS (Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit) adalah bebasnya pasien dari harm/cedera yang tidak
seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang potensial akan terjadi (penyakit,
cedera fisik/sosial/psikologis, cacat, kematian, dan lain-lain) terkait dengan
pelayanan kesehatan.
2. Prinsip Safety System
Menurut IOM, ada lima prinsip untuk merancang safety system di
organisasi kesehatan, yaitu : (Kohn et al, 2000)
a. Prinsip 1 : provide leadership yang meliputi :
1) Menjadikan patient safety sebagai tujuan utama/prioritas
2) Menjadikan patient safety sebagai tanggungjawab bersama
10
3) Menunjuk/menugaskan seseorang yang bertanggungjawab untuk safety
program
4) Menyediakan sumber daya manusia dan dana untuk analisa error dan
redesign system
5) Mengembangkan mekanisme yang efektif untuk mengidentifikasi ‘unsafe’
dokter
b. Prinsip 2 : memperhatikan keterbatasan manusia dalam perancangan proses
1) Design job for safety
2) Menyederhanakan proses
3) Membuat standard proses
c. Prinsip 3 : mengembangkan tim yang efektif
d. Prinsip 4 : antisipasi untuk kejadian tak terduga dengan pendekatan proaktif, menyediakan antidotum dan training simulasi
e. Prinsip 5 : menciptakan atmosfer ‘learning’
1) Menggunakan simulasi
2) Mendorong pelaporan kejadian
3) Memastikan tidak ada tekanan saat melaporkan kejadian
4) Mengimplementasikan mekanisme umpan balik dan belajar dari kesalahan
3. Tujuan Keselamatan Pasien
Adapun tujuan keselamatan pasien dalam Panduan Keselamatan Pasien Rumah
Sakit, adalah : (Depkes RI, 2006)
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
11
c. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit
d. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan KTD
4. Standar Keselamatan Pasien
Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang disusun mengacu pada “Hospital
Patient Safety Standards” meliputi : (Depkes RI, 2006)
a. Hak pasien
b. Mendidik pasien dan keluarga
c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
d. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
g. Komunikasi merupakan kunci staf untuk mencapai keselamatan pasien
5. Langkah Keselamatan Pasien
Di Indonesia, kegiatan keselamatan pasien sudah dilaksanakan oleh RS
sejak lama namun dalam bentuk elemen-elemennya saja dan bukan merupakan
suatu program yang komprehensif. Misalnya telah dilaksanakannya sistem
pengendalian infeksi nosokomial, sistem K3 (kesehatan dan keselamatan kerja),
manajemen risiko, informed consent, audit medis, review kasus dan evaluasi
berbagai program mutu pelayanan lainnya. Jadi, kegiatan keselamatan pasien
dalam bentuk sistem yang komprehensif memang baru dimulai sejak tahun 2000-an
12
(Lumenta dalam Hamdani, 2007).
Mengacu pada hal tersebut, maka RS harus merancang proses baru atau
memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD dan melakukan
perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Proses
perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi dan tujuan RS, kebutuhan
pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat
dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh
Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit” yaitu : (Depkes RI, 2006)
a. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Ciptakan kepemimpinan
dan budaya yang terbuka dan adil.
b. Pimpin dan dukung staf anda. Bangunlah komitmen dan fokus kuat dan jelas
tentang keselamatan pasien di rumah sakit anda.
c. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Kembangkan sistem dan proses
pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan assessmen hal yang potensial.
d. Kembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf anda agar dengan mudah dapat
melaporkan kejadian/insiden serta RS mengatur pelaporan kepada Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS)
e. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Kembangkan cara-cara komunikasi
yang terbuka dengan pasien
f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien.
g. Dorong staf anda untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar
bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul
h. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien. Gunakan
informasi yang ada tentang kejadian/masalah untuk melakukan perubahan
pada sistem pelayanan.
13
6. Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran keselamatan pasien merupakan syarat untuk diterapkan di
semua rumah sakit yang terakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit.
Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life Saving patient Safety
Solution dari WHO Patient Safety ( 2007 ) yang digunakan juga oleh Komite
Keselamatan Rumah Sakit ( KKPRS PERSI ) dan dari Joint Commision
International ( JCI ).
Sasaran Keselamatan ditujukan untuk mendorong peningkatan secara
khusus dalam keselamatan pasien. Sasarn dari keselamatan pasien menyoroti
area yang bermasalah dalam pelayanan kesehaan yang menguraikan tentang
solusi atas consensus berbasis bukti dan keahlian terhadap permasalahan ini.
Berikut merupakan enam sasaran keselamatan pasien yaitu :
a. Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien
b. Sasaran II : Peningkatan Komunikasi Efektif
c. Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (
High – Alert Medication
d. Sasaran IV : Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat pasien
operasi
e. Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan
Kesehatan
f. Sasaran VI : Pengurangan Risiko Jatuh
Pada Standar Akreditasi Rumah Sakit dinyatakan di beberapa bab yaitu
bab Peningkatan Mutu Dan Keselamatan Pasien ( PMKP ), bab Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi ( PPI ), bab Kualifikasi dan Pendidikan Staff ( KPS ) dan
Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( SKPRS ), bahwa anggota staf klinis
dan non klinis, pekerja kontrak, tenaga sukarela dan mahasiswa / trainee wajib
diberikan orientasi dan pelatihan tentang mutu dan keselamatan pasien serta
14
pencegahan dan pengendalian infeksi. Hal ini bertujuan untuk melibatkan staf-
staf tersebut dalam menggunakan keselamatan pasien dan pengendalian infeksi
dalam kegiatan rutinnya.
7. Insiden Keselamatan Pasien
Pelaporan insiden dianggap penting karena pelaporan akan menjadi awal proses
pembelajaran mencegah kejadian yang sama terulang kembali. ( KKPRS, 2008 )
Dalam Permenkes No. 1691 tahun 2011 disebutkan bahwa insiden keselamatan
pasien adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada
pasien, terdiri dari :
a. Kondisi Potensial Cedera (KPC) adalah kondisi yang sangat berpotensi
untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
b. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) adalah (nearmiss) merupakan suatu
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (ommission) yang dapat
mencederai pasien tetapi cedera serius tidak terjadi, yang disebabkan
karena keberuntungan, pencegahan atau peringanan. Kejadian Tidak Cedera
c. (KTC) adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul
cedera.
d. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) adalah (adverse event) adalah suatu
kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cedera pada pasien
akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil (ommission).
e. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau
cedera yang serius
15
Masalah yang dihadapi dalam pelaporan insiden seringkali menganggap suatu
pelaporan insisden adalah “pekerjaan perawat”. Oleh karena itu laporan sering
disembunyikan/ underreport karena takut disalahkan. Budaya blame culture
seringkali membuat jera karyawan yang ingin melapor.
8. Alur pelaporan Insiden
Rumah sakit juga perlu memperjelas alur pelaporan insiden seperti dijelaskan
pada Panduan Pelaporan Insiden Persi 2008 yaitu :
a. Apabila terjadi suatu insiden di rumah sakit, wajib segera ditindaklanjuti
( dicegah / ditangani ) untuk mengurangi dampak / akibat yang tidak
diharapkan
b. Setelah ditindaklanjuti segera buat laporaninsidennya dengan mengisi
Formulir Pelaporan insiden pada akhir jam kerja / shift kepada Atasan
langsung. Jangan menunda laporan, pelaporan sebaiknya ditulis 2x24 jam.
c. Setelah selesai mengisi laporan, segera serhkan kepada atas langsung
pelapor.
d. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko
terhadap insiden yang dilaporkan.
e. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisa yang akan
dilakukan sebagai berikut :
Grade Biru : Investigasi sederhana oleh atasan langsung, waktu
maksimal 1 minggu
Grade hijau : Investigasi sederhana oleh atasan langsung, waktu
maksimal 2 minggu
Grade kuning : Investigasi komprehensif / RCA oleh tim keselamaan
pasien di RS , waktu maksimal 45 hari
Grade merah : Investigasi komprehensif / RCA oleh tim keselamaan
16
pasien di RS , waktu maksimal 45 hari
f. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi
dan laporan insiden dilaporkan ke Tim Keselamatan Pasien di RS
g. Tim Keselamatan Pasien di RS akan menganalisa kembali hasil investigasi
danlaporan insiden untuk menentukan apakh perlu dilakukan investigasi
lanjutan ( RCA ) dengan melakukan regrading.
h. Untuk grade kuning / merah, Tim Keselamatan Pasien di RS akan
melakukan analisa akar masalah / Root Cause Analysis ( RCA )
i. Setelah melakukan RCA, tim Keselamatan Pasien di RS akan membuat
laporan dan rekomendasi untuk perbaikan seta pembelajaran untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
j. Hasil RCA, rekomendasi dan rencan kerja dilaporkan kepada Direksi.
k. Rekomendasi untuk perbaikan dan pembelajaran diberikanumpan balik
kepada unit terkait.
l. Unit kerja membuat analisa dan trend kejadia di satuan kerjanya masing-
masing.
m. Monitoring dan evaluasi perbaikan oleh tim Keselamatan Pasien di RS.
Pada Standar Akreditasi Rumah Sakit dinyatakan di beberapa bab yaitu bab
Peningkatan Mutu Dan Keselamatan Pasien ( PMKP ), bab Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi ( PPI ), bab Kualifikasi dan Pendidikan Staff ( KPS ) dan
Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit ( SKPRS ), bahwa anggota staf klinis
dan non klinis, pekerja kontrak, tenaga sukarela dan mahasiswa / trainee wajib
diberikan orientasi dan pelatihan tentang mutu dan keselamatan pasien serta
pencegahan dan pengendalian infeksi. Hal ini bertujuan untuk melibatkan staf-staf
tersebut dalam menggunakan keselamatan pasien dan pengendalian infeksi dalam
kegiatan rutinnya.
B. PHLEBITIS
17
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan tenaga
kesehatan di sebagian besar pelayanan kesehatan. Peningkatan biaya untuk
mengatasi infeksi yang berhubungan pelayanan kesehatan atau HAI’s ( Healthcare
Assosiate Infections ) merupakan keprihatinan besar bagi pasien dan tenaga
kesehatan. Infeksi seringkali ditemukan dalam semua bentuk pelayanan kesehatan
termasuk infeksi saluran kemih ( ISK ) terkait pemasangan kateter, infeksi aliran
darah atau blood stream infections dan Ventilator Assosiated Pnemonie atau
pnemoni akibat pemasangan ventilator.
1. Pengertian
Dalam pemberian terapi intravena tidak bisa lepas dari adanya
komplikasi. Komplikasi yang bisa didapatkan dari pemberian terapi
intravena adalah komplikasi sistemik dan komplikasi lokal.
Komplikasi sistemik lebih jarang terjadi tetapi seringkali lebih serius
dibanding komplikasi lokal seperti kelebihan sirkulasi, emboli udara
dan infeksi. Komplikasi lokal dari terapi intravena antara lain
infiltrasi, phlebitis, trombophlebitis, hematoma, dan ekstravasasi
(Potter and Perry, 2005)
Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh
iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan
atau sepanjang vena. Insiden plebitis meningkat sesuai dengan
lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat
yang diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat
kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan
masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth,
2002).
18
Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) phlebitis
merupakan peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang
sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus.
Peradangan didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada
endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada area
tersebut.
2. Klasifikasi Phlebitis
Pengklasifikasian phlebitis didasarkan pada faktor-faktor
penyebabnya. Ada empat kategori penyebab terjadinya phlebitis yaitu kimia,
mekanik, agen infeksi, dan post infus (INS, 2006)
a. Chemical Phlebitis ( Phlebitis Kimia )
Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon
yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang
menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi
akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter
yang digunakan.
PH darah normal terletak antara 7,35 - 7,45 dan cenderung
basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7
yang berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan
konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya
karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi
larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang
biasa digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat
flebitogenik.
Osmolitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan
atau jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang
sehat, konsentrasi plasma manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H20
19
(Sylvia, 1991). Tonisitas suatu larutan tidak hanya
berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga
berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Menurut Imam
Subekti vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan sampai dengan 900
mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah
terjadi kerusakan pada dinding vena perifer seperti phlebitis,
trombophebitis, dan tromboemboli. Pada pemberian jangka lama
harus diberikan melalui vena sentral, karena larutan yang bersifat
hipertonis dengan osmolalitas > 900 mOsm/L, melalui vena sentral
aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak dinding.
Pembagian jenis cairan infus tergantung pada faktor yang
membedakan cairan tersebut, bisa berdasarkan tonisitas suatu larutan,
besar molekul suatu cairan, atau dibedakan pada komposisi atau
kandungan dalam suatu larutan infus (PT Otsuka Indonesia, 2009).
Pembagian cairan infus menurut tonisitas suatu larutan, berdasarkan pada
tekanan osmotik yang terdapat dalam larutan tersebut, antara lain :
1) Larutan isotonik.
Adalah cairan infus yang mempunyai tekanan osmotik sama seperti
cairan tubuh normal. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki
osmolalitas total sebesar 280 - 310 mOsm/L Sebagai contoh : normal
saline (Na Cl0,9%), Ringer Laktat (RL).
Cairan isototonik akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah
dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2006).
2) Larutan hipotonik
Larutan dikatakan hipotonik apabila mempunyai tekanan osmotic lebih
rendah dari cairan tubuh, misalnya : D5%, dan cairan rumatan.
3) Larutan Hipertonik
20
Cairan infus yang memiliki tekanan osmotik lebih tinggi dari plasma
darah disebut hipertonik. Dinding tunika intima akan mengalami
trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang mempunyai
osmolalitas lebih dari 600mOsm/L. Contohnya adalah cairan
manitol.
Berdasarkan besar molekul yang terkandung dalam suatu larutan, cairan
infus dapat dibedakan menjadi :
1) Cairan koloid.
Mempunyai ukuran molekul yang besar, sehingga tidak akan keluar
dari membrane kapiler. Contohnya adalah larutan albumin dan steroid.
2) Cairan kristaloid.
Ukuran molekulnya lebih kecil disbanding cairan koloid. Cairan
ini berfungsi untuk mengisi sejumlah volume cairan kedalam plasma
(volume expander). Misalnya cairan NaCl 0,9% dan RL.
Sedangkan berdasarkan komposisi yang terkandung dalam suatu cairan
infus, dapat dibedakan menjadi :
1) Cairan elektrolit
Cairan ini diberikan untuk memenuhi kebutuhan akan beberapa
elektolit tubuh yang mengalami kekurangan, misalnya NaCl, RL,
Ringer Asetat.
2) Cairan nutrisi
Untuk cairan ini komposisi yang ada dalam larutan diberikan untuk
memberikan dukungan nutrisi (PT Otsuka Indonesia, 2009). Kecepatan
pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab
21
utama kejadian phlebitis. Pada pemberian dengan kecepatan rendah
mengurangi irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan
material katheter juga berperan pada kejadian phlebitis. Bahan kateter
yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin (teflon) mempunyai
resiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari
silikon atau poliuretan (INS,2006).
Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat
yang tidak sempurna diduga juga bisa menyebabkan resiko
terjadinya phlebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan
5 mikron pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan
resiko phlebitis akibat partikel materi yang terbentuk tersebut. (Darmawan,
2008)
b. Mechanical Phlebitis ( Phlebitis mekanik )
Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan
atau penempatan katheter intravena. Penempatan katheter pada
area fleksi lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat
ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan
meyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang
besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena. (The
Centers for Disease Control and Prevention, 2002)
c. Bacterial Phlebitis ( Phlebitis Bakterial )
Phlebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan
dengan adanya kolonisasi bakteri. Berdasarkan laporan dari The
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2002
dalam artikel intravaskuler catheter - related infection in adult
and
22
pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter
infus adalah stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi dengan
epidemic HIV/ AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkanmeningkat.
Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai
predisposisi komplikasi sistemik yaitu septicemia. Faktor-faktor yang
berperan dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain :
1) Tehnik cuci tangan yang tidak baik.
2) Tehnik aseptik yang kurang pada saat penusukan.
3) Tehnik pemasangan katheter yang buruk.
4) Pemasangan yang terlalu lama. (INS, 2002)
Cuci tangan merupakan hal yang penting untuk mencegah
kontaminasi dari petugas kesehatan dalam tindakan pemasangan infus.
Dalam pesan kewaspadaan universal petugas kesehatan yang melakukan
tindakan invansif harus memakai sarung tangan. Meskipun telah
memakai sarung tangan, tehnik cuci tangan yang baik harus tetap dilakukan
dikarenakan adanya kemungkinan sarung tangan robek, dan bakteri mudah
berkembang biak di lingkungan sarung tangan yang basah dan hangat,
terutama sarung tangan yang robek ( CDC, 1989). Tujuan dari cuci tangan
sendiri adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari
permukaan kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara. Cuci
tangan menggunakan sabun biasa dan air, sama efektifnya dengan cuci
tangan menggunakan sabun anti mikroba (Pereira, Lee dan Wade, 1990).
Selama prosedur pemasangan atau penusukan harus
menggunakan tehnik aseptic. Area yang akan dilakukan penusukan harus
dibersihkan dahulu untuk meminimalkan mikroorganisme yang ada, bila
kulit kelihatan kotor harus dibersihkan dahulu dengan sabun dan air sebelum
diberikan larutan antiseptic.
23
Lama pemasangan katheter infus sering dikaitkan dengan
insidensi kejadian phlebitis. May dkk (2005) melaporkan hasil, di mana
mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15
pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang
dipublikasi baru-baru ini oleh Webster disimpulkan bahwa kateter bisa
dibiarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam JIKA tidak ada kontraindikasi.
The Centers for Disease Control and Prevention menganjurkan
penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi
(Darmawan, 2008)
d. Post Infus Phlebitis
Phlebitis post infus juga sering dilaporkan kejadiannya
sebagai akibat pemasangan infus. Phlebitis post infus adalah peradangan
pada vena yang didapatkan 48-96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang
berperan dengan kejadian phlebitis post infus, antara lain :
1) Tehnik pemasangan catheter yang tidak baik.
2) Pada pasien dengan retardasi mental.
3) Kondisi vena yang baik.
4) Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam.
5) Ukuran katheter terlalu besar pada vena yang kecil.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Phlebitis
Terjadinya phlebitis secara khusus dibagi menjadi 2 faktor utama yaitu faktor
Internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi
terjadinya phlebitis adalah :
a. Usia
24
Pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada pasien anak
vena yang kecil dan keadaan yang banyak bergerak dapat mengakibatkan
kateter bergeser dan hal ini yang bisa menyebabkan phlebitis (Perry dan
Potter, 2005).
b. Status nutrisi
Pada pasien dengan gizi buruk mempunyai vena yang tipis sehingga mudah
rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya kurang sehingga jika
terjadi luka mudah terkena infeksi (Perry dan Potter, 2005).
c. Stress
Tubuh berespon terhadap stress dan emosi atau fisik melalui adaptasi imun.
Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak-anak,
konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak-anak yang
mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan
merasa lebih takut terhadap nyeri dan cenderung menghindari perawatan
medis, dengan menghindari pelaksanaan pemasangan infus/berontak saat
dipasang bisa mengakibatkan phlebitis karena pemasangan yang berulang
dan respon imun yang menurun (Wong, 2009 dikutip dari Pate dkk, 1996).
d. Keadaan vena
Vena yang sering terpasang infus mudah mengalami phlebitis (Perry dan
Potter, 2005).
e. Faktor penyakit
Penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya phlebitis,
misalnya pada pasien Diabetes Militus (DM) yang mengalami aterosklerosis
25
akan mengakibatkan aliran darah ke perifer berkurang sehingga jika terdapat
luka mudah mengalami infeksi (Darmawan, 2008).
Sedangkan faktor eksternal yang dapat mendukung terjadinya phlebitis adalah
sebagai berikut :
a. Obat atau cairan (faktor kimiawi)
Osmolaritas dan pH cairan infus yang tinggi selalu diikuti resiko phlebitis.
Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama
pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap phlebitis (Terry,
1995).
b. Lokasi dan lama pemasangan (faktor mekanis)
Phlebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kateter. Pada penempatan
kateter yang baik yang perlu diperhatikan: bahan (resiko tertinggi untuk
phlebitis dimiliki kateter dengan bahan yang terbuat dari polivinil klorida),
ukuran kateter (ukuran kateter harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan
difiksasi dengan baik), lokasi pemasangan (dalam pemasangan diperlukan
skill yang memadai dan pemilihan lokasi perlu diperhatikan dimana kateter
yang dipasang pada daerah lekukan sering mengakibatkan phlebitis bila
pasien banyak gerak), dan lama pemasangan (Terry, 1995). The Centers for
Disease Control and Intravenous Nurses Society menganjurkan penggantian
kateter secara rutin tiap 72-96 jam untuk membatasi potensi terjadinya
phlebitis.
c. Aseptik dressing (faktor bakterial)
Faktor yang berkontribusi terhadap adanya phlebitis bakterial salah satunya
adalah tehnik aseptik dressing yang tidak baik. Pendeteksian dan penilain
phlebitis bisa dilakukan dengan cara melakukan aseptik dressing. Menurut
26
Lee KE (2000) perawatan infus dilakukan tiap 24 jam sekali guna
melakukan pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis akibat infeksi
kuman, sehingga kejadian phlebitis dapat dicegah dan diatasi secara dini.
Daerah insersi pada pemasangan infus merupakan jalan masuk kuman yang
potensial ke dalam tubuh, dengan perawatan infus tiap 24 jam dapat
memutus perkembangbiakan daripada kuman (Zahra, 2010). Menurut
Joanne (1998) phlebitis bisa disebabkan karena timbulnya kontaminasi
mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu. Penggantian
balutan yang jarang dan tidak teratur dilakukan mengakibatkan kurangnya
observasi pada lokasi pemasangan dan pemutusan perkembangbiakan
kuman terjadi lebih lama sehingga kurang perhatian pada gejala awal dari
phlebitis (Terry, 1995). Penggunaan transparent dressing telah
meminimalkan masuknya bakteri pada daerah insersi. Selain itu dengan
penggunaan transparent dressing perawat dapat melihat adanya tanda
phlebitis tanpa harus membuka balutannya.
4. Diagnosa dan Pengenalan Tanda Phlebitis
Phlebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang dilakukan
oleh perawat. Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk kejadian
phlebitis, yaitu :
Tabel VIP Score ( Visual Infusion Phlebitis Score) oleh Andrew Jackson.
Skor Kondisi Luka Infus Kesimpulan Gambar
27
0 Tempat suntikan tampak sehat
Tak ada tanda phlebitis
1 Salah satu dari berikut jelas,
a. Nyeri area penusukan
b. Adanya eritema di area penusukan
Mungkin tanda dini phlebitis
2 Dua dari berikut jelas ;
a. Nyeri area penusukan
b. Eritema
c. Pembengkakan
Stadium dini phlebitis
3 Semua dari berikut jelas ;
a. nyeri sepanjang kanul
b. eritema
c. indurasi
Stadium moderatphlebitis
4 Semua dari berikut jelas ;
a. nyeri sepanjang kanul
b. eritema
c. indurasi
d. venous chord teraba
Stadium lanjut atau awal thrombophlebitis.
INS (Infusion Nursing Society)2006.
28
5. Tindakan Pencegahan Phlebitis
Kejadian phlebitis merupakan hal yang masih lazim terjadi pada
pemberian terapi cairan baik terapi rumatan cairan, pemberian obat
melalui intravena maupun pemberian nutrisi parenteral. Oleh karena itu
sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor - faktor yang berperan dalam
kejadian phlebitis serta pemantauan yang ketat untuk mencegah dan mengatasi
kejadian phlebitis. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya phlebitis yang telah disepakati oleh para ahli, antara lain ;
a. Mencegah phlebitis bacterial
Pedoman yang lazim dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan
tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit.
Untuk pemilihan larutan antisepsis, CDC merekomendasikan
penggunaan chlorhexedine 2%, akan tetapi penggunaan tincture yodium,
iodofor atau alcohol 70% bisa digunakan.
b. Selalu waspada tindakan aseptic
Selalu berprinsip aseptic setiap tindakan yang memberikan manipulasi pada
daerah infus. Studi melaporkan Stopcock (yang digunakan sebagai jalan
pemberian obat, pemberian cairan infus atau pengambilan sampel darah )
merupakan jalan masuk kuman.
c. Rotasi kateter
May dkk (2005) melaporkan hasil pemberian Perifer Parenteral
Nutrition(PPN), di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan
kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis.
Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh
29
Webster dkk disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya
lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease
Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap
72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi.
d. Aseptic Dressing
INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang transparan
sehingga mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus
memanipulasinya. Penggunaan balutan konvensional masih bisa dilakukan,
tetapi kassa steril harus diganti tiap 24 jam.
e. Ketepatan Pemberian
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan
hipertonik diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma
berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi.
Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam.
Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak
campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan
pemberian tinggi (150 - 330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan
kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju
infus yang diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila
terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan
dalam pemberian infus sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan
maintenance atau nutrisi parenteral.
f. Titrable Acidity
Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk
menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak bisa
ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan pada
30
pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena
titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian
makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko phlebitisnya.
g. Heparin dan Hidrokortison
Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1
unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang katheter. Risiko
phlebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal,
kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan
pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan
pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi
kekerapan phlebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau
antimikrobial. Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau
dikombinasi dengan hidrokortison telah mengurangi kekerapan phlebitis,
tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai
dengan pembentukan endapan kalsium.
C. KERANGKA BERPIKIR
Keselamatan pasien (Patient Safety) merupakan salah satu indikator penting
dan tidak dapat dihilangkan untuk menilai mutu suatu rumah sakit. Menurut
Standar Akreditasi Rumah Sakit Tahun 2012 dinyatakan bahwa sasaran
keselamatan pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit dan
menjadi salah satu prioritas kegiatan yang wajib dievaluasi.
Phlebitis merupakan salah satu salah satu infeksi yang dapat terjadi di
rumah sakit. Sasaran kelima dari 6 sasaran keselamatan pasien yaitu pengurangan
risiko infeksi di rumah sakit
Dalam penerapan patient safety kita perlu melibatkan staf sehingga kejadian
phlebitis dapat diminimalisir. Pada Standar Akreditasi Rumah Sakit dinyatakan
31
bahwa anggota staf klinis wajib diberikan orientasi dan pelatihan tentang mutu dan
keselamatan pasien serta pencegahan dan pengendalian infeksi. Hal ini bertujuan
untuk melibatkan staf-staf tersebut dalam menggunakan keselamatan pasien dan
pengendalian infeksi dalam kegiatan rutinnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan penerapan keselamatan pasien
mempunyai hubungan terhadap kejadian phlebitis jika perawat memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai patient safety, mampu memberikan respon
sikap yang positif terhadap penerapan patient safety, serta dapat melaksanakan
praktik dengan menerapkan patient safety.
Kerangka berpikir di atas dapat digambarkan melalui tabel dibawah ini
Input Proses Outcome1. Salah satu
indikator mutu RS Patient Safety
2. Salah Satu Sasaran Patient Safety Pengurangan Risiko Infeksi Rumah Sakit
3. Salah satu infeksi yang terjadi di rumah sakit Phlebitis
KARS 2012 Rumah sakit wajib menerapkan patient safety dengan :1. Memberi
pengetahuan tentang patient safety
2. Mengevaluasi sikap / respon keterlibatan staf ( perawat ) dalam patient safety
3. Mengevaluasi praktik penerapan patient safety
Kejadian Phlebitis dapat diminimalisir dengan menerapkan Patient Safety dalam kegiatan praktik rutin
32
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL
A. KERANGKA KONSEP
Berdasarkan landasan teori yang diuraikan dalam teori terkait, maka peneliti
menentukan kerangka konsep penelitian yaitu variabel independen dan variabel
dependen. Variabel Pada penelitian ini Patient Safety merupakan variabel bebas.
Hal-hal yang akan dikaji untuk melihat hubungan patient safety terhadap kejadian
phlebitis meliputi pengetahuan, sikap dan praktik perawat dalam menerapkan
patient safety.
Variabel-variabel dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan
data interval. Pola hubungan antar variabel dari penelitian ini adalah hubungan
asimetris bivariat. Dengan demikian kerangka konsep dari penelitian ini adalah :
Pengetahuan perawat mengenai patient safety
Sikap perawat dalam merespon patient safetyKEJADIAN PHLEBITIS
33
B. HIPOTESIS
Hipotesis dari penelitian ini adalah jika perawat memiliki pengetahuan,
sikap / respon dan praktik penerapan patient safety yang baik maka kejadian
phlebitis mungkin dapat diminimalisir.
Praktik perawat untuk melaksanakan patient safety
34
C. DEFINISI OPERASIONAL
VARIABEL PENELITIAN
DIMENSI TEORI/KONSEPDEFINISI
OPERASIONALINDIKATOR BUTIR PERNYATAAN
1. PENERAPAN PATIENT SAFETY
Pengetahuan
a. Pengertian Patient Safety
b. 6 Sasaran Patient Safety- Identifikasi pasien
- Komunikasi efektif
- Pengawasan obat
- Ketepatan operasi
Pemahaman responden tentang patient safety.
Sistem pemberian pelayanan pasien dengan lebih aman
Memastikan nama pasienMenyampaikan pesan dengan benarMemberikan obat dengan benarMemastikan operasi dan pasien benar
Pengetahuan- Arti patient
safety- Mengetahui
6 sasaran keselamatan pasien
- Melakukan 6 sasaran keselamatan pasien dengan benar
1. Saya sudah mengikuti sosialisasi patient safety
2. Saya mengetahui keselamatan pasien adalah memberikan asuhan kepada pasien lebih aman
3. Saya mengetahui 6 sasaran keselamatan pasien
4. Saya memastikan nama dan tanggal lahir pasien sebelum melakukan tindakan
5. Saya menginformasikan kepada pasien tindakan yang akan saya lakukan kepada pasien
6. Saya menjelaskan obat yang saya berikan kepada pasien
35
- Pengurangan infeksi ( cuci tangan sesuai five moment )
- Pencegahan pasien jatuh
Menjaga supaya tidak terjadi infeksi pada pasienMenjaga supaya pasien tidak cedera / jatuh
7. Saya memastikan pasien benar sebelum mengantar ke kamar operasi
8. Saya melakukan 6 langkah cuci tangan
9. Saya memasang pagar tempat tidur pasien
Sikap
Langkah keselamatan pasien rumah sakit a. Bangun kesadaran akan
nilai keselamatan pasien. b. Pimpin dan dukung staf
anda. c. Integrasikan aktivitas
pengelolaan risiko.d. Kembangkan sistem
pelaporan.
Reaksi responden dalam keterlibatannya membangun keselamatan pasien
Usaha yang dilakukan rumah sakit untuk membangun keselamatan pasien
Sikap :- Melakukan 6
sasaran keselamatan pasien
- Berpartisipasi dalam program keselamatan pasien
- Ada dukungan pemimpin
- Aktif dalam pelaporan insiden
1. Saya senang telah mendapatkan informasi tenang patient safety
2. Saya berpartisipasi dalam program keselamatan pasien
3. Saya mendapatkan dukungan dari atasa saya dalam melaksanakan patient safety
4. Saya mengetahui risiko yang dapat membahayakan keselamatan pasien
5. Saya melaporkan kejadian terkait keselamatan pasien
36
e. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien.
f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien.
g. Dorong staf anda untuk melakukan analisis akar masalah
h. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.
keselamatan pasien
yang saya lakukan6. Saya melaporkan kejadian
terkait keselamatan pasien yang orang lain lakukan
7. Saya selalu menginformasikan tindakan yang akan saya lakukan terhadap pasien
8. Saya menceritakan kejadian terkait keselamatan pasien
9. Saya mengetahui cara melakukan analisis akar masalah
10. Saya menerapkan keselamatan pasien dalam asuhan yang saya berikan
Praktik
Pelaporan insiden terkait keselamatan pasien
Tindakan perawat dalam menjamin keselamatan pasien
Penyampaian kejadian yang
Praktik :- Kesadaran
melaporkan jika ada kejadian terkait keselamatan
1. Saya membuat laporan ketika ada kejadian keselamatan pasien
2. Saya membuat laporan jika atasan saya meminta saya membuatnya
3. Saya mendapat pujian
37
terkait keselamatan pasien
pasien dari atasan saya jika saya melaporkan kejadian terkait keselamatan pasien
4. Saya membuat laporan insiden lebih dari 24 jam
5. Saya mengetahui alur pelaporan insiden keselamatan pasien
PHLEBITIS Prosedur pemasangan infus
Pengertian Phlebitis Infeksi pada vena akibat penusukan infus
1. Mengetahui cara mengidentifikasi adanya phlebitis
2. Melakukan prosedur pemasangan infus dengan tepat
1. Saya melakukan pengontrolan infus setiap shift
2. Saya mengetahui jika terjadi phlebitis pada pasien yang terpasang infus
3. Saya mengetahui penyebab phlebitis ysang terjadi pada pasien.
4. Saya dapat menilai derajat phlebitis
5. Saya mendokumentasikan jika ditemukan phlebitis
6. Saya melaporkan jika ada phlebitis
Klasifikasi Phlebitis : kimia, mekanik, agen infeksi, dan post infus
Faktor penyebab phlebitis : internal dan eksternal
Derajat phlebitis : 0 - 4
38
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional
analitik karena menganalisa hubungan antar variabel ( Dharma, 2011 ). Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui hubungan anatara variabel bebas ( penerapan
patient safety ) dan variabel terikat ( kejadian phlebitis ).
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional karena pengukuran
variabel bebas dan variabel terikat dilakukan dalam waktu yang sama
( Notoadmojo, 2005 )
B. POPULASI DAN SAMPEL
1. Populasi
Populasi adalah unit dari suatu hasil penelitian yang akan diterapkan.
( Dharma, 2011 ). Populasi dari penelitian ini adalah semua perawat fungsional
yang bertugas di ruang rawat inap dewasa dan ruang perawatan intensif Ciutra
Hospital Tangerang yang berjumlah 45 orang.
2. Sample
Sampel adalah unit yang lebih kecil lagi yaitu sekelompok individu
yang merupakan bagian dari populasi terjangkau tempat peneliti langsung
mengumpulkan data atau melakukan pengamatan/penilaian pada unit ini.
( Dharma, 2011 ). Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total sampling
yaitu total perawat pelaksana yang bertugas di ruang perawatan dewasa dan
ruang perawatan intensif Ciputra Hospital Tangerang dengan kriteria inklusi :
a. Perawat pelaksana di ruang perawatan dewasa dan ruang perawatan intensif
Ciputra Hospital Tangerang.
39
b. Perawat tidak dalam masa cuti
c. Bersedia menjadi responden
d. Masa kerja minimal 1 tahun
Kriteria eksklusinya adalah semua perawat pelaksana di ruang perawatan
dewasa dan ruang perawatan intensif Ciputra Hospital yang masuk kriteria
inklusi tetapi tidak masuk kerja selama penelitian berlangsung.
Penentuan sampel yang akan diobservasi pada saat melakukan
pemasangan infus menggunakan convenience sampling yaitu mengambil
sampel yang kebetulan ditemui selama penelitian berlangsung.
C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di ruang perawatan dewasa dan ruang perawatan
intensif Ciputra Hospital Tangerang pada tahun 2015. Penelitian ini dilakukan
memalui beberapa tahapan yaitu :
1. Tahap persiapan :
a. Penyelesaian administrasi dan perizinan penelitian
b. Penjajagan awal dan melakukan studi pendahuluan
2. Tahap pelaksanaan
Pengumpulan data atau pengisian skala ukur oleh responden dilaksanakan oleh
peneliti sendiri mulai bulan November 2015 sampai dengan Desember 2015 di
ruang perawatan dewasa dan ruang perawatan intensif di Ciputra Hospital
Tangerang.
3. Tahap akhir
Sebelum pengumpulan data kuantitatif, terlebih dahulu dilakukan editing dan
coding data, dilanjutkan entry data, pengolahan data dengan menggunakan
SPSS. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat untuk mengetahui
gambaran variabel independen dan variabl dependen. Analisis bivariat untuk
mengetahui hubungan variabel independen dan variabel dependen.
40
D. ETIKA PENELITIAN
Masalah etika dalam penelitian merupakan masalah yang crusial mengingat
penelitian akan berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etik penelitian
harus diperhatikan karena manusia mempunyai hak azasi. Peneliti mengajukan
permohonan ijin kepada Direktur Ciputra Hospital Tangerang terlebih dahulu,
kemudian setelah mendapatkan persetujuan selanjutnya peneliti melakukan
penelitian dengan menekankan masalah etika meliputi :
1. Informed Consent ( lembar persetujuan peneliti )
Informed consent diberikan kepada sampel penelitian sebelum dilakukan
penelitian. Jika bersedia, sampel peneliti harus menandatangani lembar
persetujuan, tetapi jika menolak peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati
hak-hak sampel penelitian.
2. Anonimity ( tanpa nama )penelitian
Untuk menjaga kerahasiaan , peneliti tidak akan mencantumkan nama sampel
3. Confidentiality ( kerahasiaan )
Peneliti menjamin kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-
masalah lainnya. Semua infomrasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti
E. ALAT PENGUMPUL DATA
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan beberapa metode / cara sesuai
dengan kepentingan dan relevansinya dengan tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian tersebut. Instrumen-instrumen pengumpul data yang digunakan adalah :
1. Kuesioner
a. Kuesioner tentang patient safety
Lembar kuesioner ini digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau
tingkat pemahaman responden terhadap konsep patient safety meliputi
pengertian, sasaran keselamatan pasien, sikap dalam penerapan patient
41
safety serta pelaporan insiden yang tertuang dalam 24 pernyataan. Jawaban
responden terhadap 24 butir pernyataan diberikan skor pada setiap
jawabannya yaitu : Sangat benar : 5; benar : 4; kurang benar : 3; tidak
benar : 2 ; sangat tidak benar : 1.
b. Kuesioner tentang phlebitis
Lembar kuesioner ini digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau
tingkat pemahaman responden terhadap phlebitis dan tindakan yang
dilakukan saat menemukan phlebitis meliputi pengertian, derajat phlebitis,
penyebab phlebitis serta pelaporan phlebitis yang terutang dalam 6
pernyataan. Jawaban responden terhadap 6 butir pernyataan diberikan skor
pada setiap jawabannya yaitu : Sangat benar : 5; benar : 4; kurang benar : 3;
tidak benar : 2 ; sangat tidak benar : 1.
2. Observasi
Lembar observasi yang digunakan untuk menilai ketepatan pelaksanaan
prosedur pemasangan infus adalah menggunakan instrument evaluasi tindakan
keperawatan dari Depkes 2008. Nilai yang diberikan adalah 1 jika perawat
melakukan langkah yang terdapat pada lembar observasi dan 0 jika perawat
tidak melakukan prosedur yang tertera pada lembar observasi.
F. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengisian kuesioner yang
dilakukan dengan memberikan kepada responden serta melakukan observasi pada
perawat yang sedang melakukan proseudr pemasangan infus. Adapun langkah-
langkah pengumpulan data adalah :
1. Peneliti meminta izin untuk melakukan penelitian sesuai judul skripsi kepada
Univesitas Esa Unggul Jakarta.
42
2. Peneliti mendatangi Ciputra Hospital Tangernag sesuai dengan surat ijin
penelitian serta menyerahkan proposal sederhana.
3. Peneliti memberikan penjelsan singkat tentang maksud dan tujuan penelitian
kepada responden penelitian. Bila responden setuju untuk berpartisipasi dalam
kegiatan penelitian selanjutnya diberikan lembar persetujuan penelitan.
4. Setalah mendapatkan persetujuan dari responden, peneliti memberikan
kusesioner pada responden kemudian memberikan penjelasan tentnag cara
pengisian kkuesioner dan diminta untuk memilih jawaban sesuai point yang ada.
5. Pengisian kuesioner dilakukan dengan memberikan kepada responden untuk
diisi.
6. Kuesioner yang telah diisi secara lengkap untuk selanjutnya diserahkan kepada
peneliti.
G. PENGOLAHAN DATA
Data yang sudah terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data yang
bertujuan untuk menghasilkan informasi yang benar sesuai dengan tujuan penelitian
( Arikunto, 2000 ). Adapun langkh-langkahnya sebagai berikut :
1. Editing
Melakukan editing data langkah yang dilakukan adalah menata dan menyusun
semua lembar jawaban skala yang terkumpul berdasarkan nomor skala yang
telah ditentukan. Kemudian memeriksa kembali jawaban responden satu persatu
dengan maksud untuk memastikan bahwa jawaban atau pertimbangan yang
diberikan sesuai dengan perintah dan petunjuk pelaksanaan. Jawaban skala yang
memenuhi persyaratan dipersiapkan untuk dilakukan pemrosesan data pada
langkah berikutnya, sementara data yang tidak memenuhi persyaratan
dimusnahkan untuk kerahasiaan.
43
2. Coding
Pengkodingan data dilakukan dengan maksud untuk memudahkan proses
pengolahan data. Pengkodingan ini adalah mengklasifikasikan jawaban
responden menurut macamnya dengan cara menandai masing-masing jawaban
dengan tanda kode tertentu.
3. Processing
Pemrosesan data atau pengolahan data pada penelitian ini dimulaidengan
tabulating skor atau melakukan entry data kasar dalam bentuktabulasi pada
lembar kertas data. Tujuannya adalah memastikan kesiapan datadengan tepat
sebelum di entry data kedalam program computer.
4. Cleaning data
Cleaning dilakukan pengecekan kembali data yang sudah di entry pada program
komputer dengan maksud untuk mengevaluasi apakah masih ada kesalahan atau
tidak.Tahap selanjutnya adalah dilakukan analisis data, analisis ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan dan pengaruh variabel bebas terhadap variabel
terikat
H. ANALISA
Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan,
sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai
social, akademis dan ilmiah. Analisis yang digunakan adalah :
1. Analisis Univariat
Analisis ini untuk menjelaskan atau mendiskripsikan karakteristik masing-
masing variabel yang diteliti (Nursalam.2002). Analisis ini disajikan dalam
bentuk tabel dengan distribusi frekwensi sebagai informasi untuk
mendiskripsikan semua variabel penelitian yaitu pengetahuan , sikap dan praktik
dalam penerapan patient safety serta pengetahuan terhadap phlebitis.
44
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhubungan atau korelasi (Nursalam.2002). Dalam penelitianini analisa
bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variable independen yaitu
pengetahuan dan sikap dengan variabel dependen yaitu praktik perawat
menerapkan patient safety.
Uji stastistik yang digunakan adalah uji korelasi Spearman-Rank oleh karena
pengujian hubungan variabel independen dan variabel independen menggunakan skala
ordinal.
45