Tugas Makalah HAKI 2
-
Upload
ikbalfahri -
Category
Documents
-
view
41 -
download
7
Transcript of Tugas Makalah HAKI 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam rangka pembangunan di bidang hukum di Indonesia sebagaimana
termaksud dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.IV/MPR/1999 Tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004, serta untuk mendorong dan
melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan
kehidupan bangsa dalam Wahana Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, maka dirasakan perlunya perlindungan hukum
terhadap hak cipta. Perlindungan Hukum tersebut dimaksudkan sebagai upaya
untuk mewujudkan iklim yang lebih baik untuk tumbuh dan berkembangnya
gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra di tengah-tengah
masyarakat Indonesia.
Di Indonesia, Undang-undang yang melindungi karya cipta adalah
Undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, sebagaiman telah di ubah
oleh undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang perubahan Atas Undang-
undang Nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, dan terkhir telah di ubah lagi
dengan undang-undang Nomor 12 tahun 1997 tentang perubahan Atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang hak cipta beserta beberapa peraturan
pelaksanaannya.dan pada tanggal 29 Juli 2002 telah diundangkan Undang-
Undang yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta yang mulai berlaku 12 (dua belas) bulan sejak diundangkan sehingga
karenanya Undang-undnag Hak Cipta yang baru tersebut tidak banyak disinggung
dalam penulisan ini.
1
1.2 Identifikasi Masalah
Bertolak dari apa yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah di
atas, dalam hal ini penuls mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah pengakuan hak cipta ?
2. Apa pengertian dan landasan hukum hak cipta di Indonesia ?
3. Bagaimana pengaturan kerjasasama lisensi ?
4. Bagaimana pengaturan hak dan wewenang menggugat ?
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuannya penulisan makalah ini berdasarkan
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah pengakuan hak cipta
2. Untuk mengetahui apa pengertian dan landasan hukum hak cipta di Indonesia
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kerjasa sama lisensi
4. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hak dan wewenang menggugat
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pengakuan Hak Cipta
Harsono Adisumarto (1990: 1-4) dalam bukunya “Hak Milik Intelektul
Khususnya Hak Cipta” mengemukakan bahwa faktor–faktor yang mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan hak cipta adalah faktor sosial, politik dan
teknologi. Khusus mengenai teknologi dapat diutarakan bahwa setelah di
temukannya mesin cetak oleh J. Guetenberg pada pertengahan abad ke-15, maka
terjadilah perubahan dalam waktu yang pendek serta dengan biaya yang lebih
ringan, sehingga perdagangan buku menjadi meningkat.
Lebih lanjut Harsono mengatakan, dalam abad ke-15 dan sebelumnya,
kelompok yang berhubungan dengan penerbitan dan perdagangan buku termasuk
suatu gilda yang memperoleh kewenangan khusus dari penguasa raja untuk
memperbanyak, mencetak dan memperdagangkan buku.
Dalam akhir abad ke-17 para pedagang dan penulis menentang kekuasaan
yang diperoleh para penerbit dalam penerbitan buku, dan menghendaki dapatnya
ikut serta dan untuk menikmati hasil ciptaannya dalam bentuk buku. Sebagai
akibat ditemukanya mesin cetak yang membawa akibat terjadinya perubahan
masyarakat maka dalam tahun 1709 parlemen Inggris menerbitkan Undang-
undang Anne (The Statute of Anne) yang bertujuan untuk membatasi hak cipta
yang di pegang oleh penerbit dan Undang-undang tersebut dianggap sebagai
Undang-undang Hak Cipta yang pertama.
Lebih lanjut Harsono mengatakan, tidak hanya faktor teknologi yaitu
dengan di temukaknya mesin cetak dan faktor politik dengan usaha penguasa
untuk membatasi kewenangan para penerbit dalam bidang penerbitan dan
perdagangan buku, tetapi faktor sosialpun mendukung terjelmanya hak cipta yang
melekat atas karya tulis para pengarang dan penulis. Dalam Tahun 1690, John
Locke yang di kutip Harsono mengutarakan dalam bukunya Two Treatises on
Civil Government bahwa pengarang atau penulis mempunyai hak dasar
(“natural Right”) atas karya ciptanya.
3
Adapun perkembangan di Belanda dengan Undang-undang tahun 1817,
hak cipta (Kopijregt) tetap berada pada penerbit; baru dengan Undang-undang hak
cipta tahun 1881 hak khusus pencipta (uitsuitendrecht van de maker) sepanjang
mengenai pengumuman dan perbanyakan memperoleh pengakuan formal dan
materiil.
Dalam tahun 1886 terciptalah konvensi Bern untuk perlindungan karya
sastra dan seni, suatu pengaturan yang modern di bidang hak cipta. Kehendak
untuk ikut serta dalam Konvensi Bern, merupakan dorongan bagi Belanda
terciptanya Undang-undang Hak Cipta Tahun 1912 (Auteurswet 1912).
4
2.2 Pengertian dan Landasan Hukum Hak Cipta di Indonesia
Istilah hak cipta di usulkan pertama kalinya oleh Prof. Moh. Syah, SH.
Pada Kongres Kebudayaan di Bandung seperti yang di kutip Saidin, yang
kemudian di terima di kongres itu sebagai pengganti istilah hak pengarang yang
dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak pengarang itu sendiri
merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteures Rechts.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengertian tersebut “kurang luas” karena
istilah hak pengarang itu memberikan kesan “penyempitan” arti, seolah-olah yang
di cakup oleh pengarang itu hanyalan hak dari pengarang saja, atau yang ada
sangkut pautnya dengan karang pengarang. Sedangkan istilah hak cipta itu lebih
luas, dan ia mencakup juga tentang karang mengarang. Lebih jelas batasan
pengertian ini dapat dilihat dalam Pasal 2 UHC 1982, yang di perbaharui dengan
UHC No.7 Tahun 1987, menurutu ketentuan ini, hak cipta adalah hak khusus bagi
pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptannya maupun memberi izin untuk itu, dengan tidak mengurangi pembatasan-
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengakuan secara hukum atas Hak Cipta sesuai karya cipta di Indonesia
boleh dikatakan belum begitu lama dan belum memasyarakat. Keadaan ini di
sebabkan bahwa produk hukum untuk mengakui dan melindungi Hak Cipta
tersebut baru terbit pada tahun 1982, yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta. Pada Tahun 1987 Undang-undang ini diubah menjadi Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 6
tahun 1982 tentang Hak Cipta. Kemudian terjadi lagi perubahan atas Undang-
undang tersebut, dan selanjutnya menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987.
5
Perubahan-perubahan pada Undang-undang tersebut diatas pada dasarnya
di maksudkan sebagai suatu upaya untuk mengakomodasikan dan
mengaktualisasikan seluruh sifat, jenis dan bentuk karya cipta dan hak cipta yang
tampak dinamis dan berkembang terus. Akomodasi dan aktualisasi yang dimaksud
antara lain direalisasikan dengan menetapkan pengertian dan cakupan Karya Cita
dan Hak Cipta atas sesuatu karya cipta.
Harsono Adisumarto (1990:5) mengatakan, rumusan Undang-undang
mengenai pengertian Hak Cipta di dasarkan pada Undang-undang Nomor 6 Tahun
1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah di ubah dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1987 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 6 Tahun
1982 tentang Hak Cipta, disingkat UHC-Indonesia.
Menurut Saidin (1997) : 34-36) dalam bukunya “Aspek Hukum hak
Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)” undang-undang ini di
keluarkan adalah untuk merealisasikan amanah GBHN (tahun 1978) dalam rangka
pembangnunan di bidang hukum, di maksudkan untuk mendorong dan melindungi
pencipta dan hasil karya ciptanya.
Lebih lanjut Saidin menambahkan, dengan keluarnya UHC 1982, yang
diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987 ini secara tegas di nyatakan di cabut
Auteurswet 1912 Stb. No. 600, karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita
hukum nasional. Demikianlah kita lihat tujuan di keluarkannya UHC 1982, yang
diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987, yang pada bagian lain telah pula
menyebutkan hak cipta, Menurut ketentuan ini, hak cipta adalah hak khusus bagi
pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya maupun memberi izin untuk itu, dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam konteks itu, Hutauruk yang di kutip Saidin mengatakan, ada dua
unsur penting yang terkandung dari rumusan pengertian hak cipta yang termuat
dalam Pasal 2 UHC 1982, yang di perbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987 itu,
yaitu :
1. Hak yang dapat di pindahkan . dialihkan kepada pihak lain.
6
2. hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun
tidak dapat di tinggalkan dari padanya (mengumumkan karyanya,
menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama
samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya).
Menyadari bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin
memperluas bentuk dan sifat Hak Cipta, maka Undang-undang Nomor 7 Tahun
1987 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang hak
Cipta di nilai masih kurang memadai untuk mengikuti perkembangan keadaan.
Karena itu Undang-undang tersebut perlu lebih disesuaikan dan atau di ubah, agar
dapat mengimbangi perkembangan keadaan.
Pengganti Undang-undang tersebut adalah Undang-undang Nomor 12
Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor Tahun 1982 tentang
hak cipta sebagaimana telah di ubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1987.
Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan sebagai
berikut :
1. Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang
atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran,
imajinasi, kecekatan, ketrampilan atau keahlian yang dituangkan dalam
bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
2. Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta dalam bentuk yang khas dan
menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan
sastra.
3. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau
orang yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau orang lain yang
menerima lanjut hak dari orang tersebut diatas.
Dari uraian diatas ditarik pokok pemahaman bahwa pencipta suatu karya
dapat terdiri satu orang atau lebih. Karya cipta yang dimaksud meliputi karya
cipta di bidang ilmu pengetahuan, karya cipta di bidang kesenian, dan karya cipta
dibidang sastra. Sedangkan pemegang Hak Cipta bisa yang menciptakan karya itu
sendiri, tetapi bisa juga orang-orang lain yang mendapat hak Cipta tersebut.
7
Pasal 2 Undang-undnag Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan bahwa :
(1) Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaan maupun memberi izin untuk
itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pencipta maupun penerima Hak Cipta atas karya film dan program
komputer memiliki hak untuk memberi izin atau melarang orang lain
yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk
kepentiangan yang bersifat komersial.
(3) Ketentuan mengenai hak untuk memberi izin atau melarang penyewaan
sebagaimana di maksud dalam ayat (2) berlaku pula bagi produser
rekaman suara.
Dari uraian pasal diatas dapat disimpulkan bahwa Hak Cipta adalah hak
khusus yang di peroleh seseorang atau lebih atas karya ciptaannya. Hak khusus ini
dapat juga di peroleh orang yang tidak termasuk orang menciptakan karya
tersebut, namun secara sah mendapat hak khusus di maksud dari orang yang
menciptakan karya tersebut.
Pasal 10A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan sebagai
berikut :
(1) Apabila suatu ciptaan tidak diketahui penciptaannya dan ciptaan itu
belum di terbitkan, maka negara memegang Hak Cipta atas ciptaan
tersebut untuk kepentingan penciptanya.
(2) Apabila suatu ciptaan telah di terbitkan tetapi tidak di ketahui
penciptanya atau pada ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran
penciptanya, maka penerbit memegang Hak Cipta atas ciptaan tersebut
untuk kepentingan penciptanya.
Pasal diatas tampaknya diarahkan untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadi ketidak jelasan Hak Khusus dari Hak Cipta atas sesuatu karya cipta yang
tidak atau belum di ketahui siapa penciptanya. Hal ini memang penting mengingat
tidak sedikit karya cipta yang tidak jelas siapa penciptanya.
8
Selanjutnya dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997
menyebutkan bahwa :
(1) Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang meliputi karya :
a. buku, program komputer, plamfet, susunan perwajahan karya tulis
yang di terbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lainnya yang diwujudkan
dengan cara di ucapkan;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan ilmu pengetahuan;
d. ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk
karawitan, dan rekaman suara;
e. drama, tari (koreografi), pewayangan, pantomin;
f. karya pertunjukan;
g. karya siaran;
h. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,
seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, seni terapan yang
berupa seni kerajinan tangan;
i. arsitektur;
j. peta;
k. seni batik;
l. fotografi;
m. sinematografi;
n. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, dan karya lainnya dari
hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf n dilindungi sebagai ciptaan
tersendiri, dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas ciptaan aslinya.
(3) Dalam perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, akan
tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang
memungkinkanperbanyakan hasil karya itu.
9
Bila di banding dengan materi undang-undang sebelumnya, Pasal 11
Undang-undang Nomor 12 tahun 1997 jauh lebih rinci penjelasanya atas jenis-
jenis Hak Cipta.
Pasal 27A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan sebagai
berikut :
(1) Hak Cipta atas ciptaan yang dipegang atau di laksanakan oleh Negara
berdasarkan :
a. ketentuan pasal 10 ayat (2) huruf b, berlaku tanpa batas waktu;
b. ketentuan pasal 10A ayat (1), berlaku selama 50 (lima puluh) tahun
sejak karya cipta tersebut pertama kali di ketahui umum.
(2) Hak Cipta atas ciptaan yang dilaksanakan oleh penerbit berdasarkan
ketentuan pasal 10A ayat (2) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak
karya cipta tersebut pertama kali di terbitkan.
Pasal 28A Undnag-undang Nomor 12 Tahun 1997 menetapkan bahwa
jangka waktu perlindungan bagi hak pencipta sebagaimana di maksud dalam ;
a. Pasal 24 ayat (1) berlaku tanpa batas waktu; dan b pasal 24 ayat (2) dan ayat(3)
berlaku selama berlangsungnya jangka waktu Hak Cipta atas ciptaan yang
bersangkutan, kecuali untuk pencantuman dan perubahan nama atau nama
samaran penciptanya.
Pasal 28 B Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan:
Tanpa mengurangi hak Pencipta atas jangka waktu perlindungan Hak
Cipta yang dihitung sejak lahirnya suatu ciptaan, penghitungan jangka
waktu perlindungan bagi ciptaan yang dilindungi :
a. selama 25 (dua puluh lima) tahun;
b. selama 50 (lima puluh) tahun;
c. selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh)
tahun setelah pencipta meninggal dunia; di mulai sejak 1 Januari untuk
tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan, di ketahui oleh
umum, diterbitkan, atau setelah pencipta meninggal dunia.
10
2.3 Pengaturan Perjanjian Kerjasama Lisensi
Mengenai Lisensi, Pasal 38A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997
menyatakan sebagai berikut :
(1) Pemegang Hak Cipta berhak memberi lisensi kepada pihak
lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan
perbuatan sebagaimana di maksud dalam pasal 2.
(2) Kecuali jika di perjanjikan lain, maka lingkup lisensi
sebagaimana di maksud dalam ayat (1) meliputi semua
perbuatan sebagaimana di maksud dalam pasal 2, berlangsung
selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Dari penjelasan pasal diatas tampak bahwa urusan lisensi perlu diatur
secara khusus oleh pihak pemberi lisensi kepada pihak yang menerima lisensi.
Pada umumnya pemberian lisensi dari satu pihak kepada pihak lain ini di lakukan
secara tertulis dalam bentuk pasal-pasal perjanjian tertentu, yang di sepakati kedua
belah pihak.
Pasal 38 B Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan, bahwa
kecuali jika perjanjian lain, maka Pemegang Hak Cipta tetap boleh melaksanakan
sendiri atau memberi lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan
perbuatan sebagaimana di maksud dalam pasal 2.
Pasal 38 C Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan sebagai
berikut :
(1) Perjanjian lisensi di larang memuat ketentuan yang langsung maupun
tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian
Indonesia.
(2) Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian
lisensi wajib di catatkan di kantor Hak Cipta.
(3) Permintaan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di tolak oleh Kantor Hak Cipta.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi, termasuk tata cara
pencatatannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
11
Ketentuan pada pasal diatas jelas di maksudkan untuk melindungi warga
negara Indonesia dari cara-cara yang tidak hanya akan merugikan dirinya, tetapi
dapat pula merugikan negara. Hal ini bisa saja terjadi sebagai akibat kekurang
pengertian pihak yang menerima lisensi, karena pihak pemberi lisensi adalah
pihak asing, yang tentu mempunyai kepentingan dan aturan tertentu. Itu sebabnya
perlu di keluarkan Peraturan Pemerintah yang khusus mengatur urusan lisensi ini.
2.4 Pengaturan Hak dan Wewenang Menggugat
Bila terjadi pelanggaran atas suatu Hak Cipta, maka persoalan yang akan
timbul bagi Pencipta atau ahli warisnya adalah bagaimana memperkirakan
pelanggaran Hak Cipta tersebut. Mengenai Hak dan Wewenang Menggugat, pasal
41 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut :
Penyerahan Hak Cipta atas seluruh ciptaan kepada orang atau badan lain tidak
mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat seseorang yang
tanpa persetujuannya :
a. meniadakan nama Pencipta yang tercantum pada ciptaan itu;
b. mencantumkan nama Pencipta pada ciptaannya;
c. mengganti atau mengubah judul ciptaan itu; dan atau
d. mengubah isi ciptaan itu.
Pasal 42 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menjelaskan sebagai berikut :
(1) Pemegang Hak Cipta berhak untuk mengajukan gugatan ganti rugi ke
pengadilan negeri atas pelanggaran atas Hak Ciptanya dan meminta
penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakannya.
(2) Dalam hal terdapat gugatan untuk penyerahan benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka Hakim dapat memerintahkan bahwa
penyerahan itu baru dilaksanakan setelah pemegang Hak Cipta membayar
sejumlah nilai benda yang di serahkan kepada pihak yang beritikad baik.
(3) Pemegang hak Cipta juga berhak untuk meminta kepada pengadilan
negeri agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan
yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah dan penemuan ilmiah
12
lainnya, atau pertunjukan atau pameran karya yang merupakan hasil
pelanggaran Hak Cipta atau dengan cara melanggar Hak Cipta tersebut.
(4) Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya
dilanggar, Hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan
kegiatan pembuatan, perbanyakan, penyiaran, pengedaran dan penjualan
ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
Pasal 43 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan bahwa Hak
Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 tidak berlaku
terhadap benda yang ada dalam tangan seseorang yang tidak memperdagangkan
benda-benda itu dan memperolehnya untuk keperluan sendiri.
Dengan adanya pasal tersebut diatas, maka diperoleh kejelasan dan
kepastian mengenai tidak semua Hak Cipta berlaku atas setiap semua karya
ciptaan. Artinya, Hak Cipta dimaksud ini tidak berlaku terhadap karya-karya yang
ada dalam tangan seseorang yang tidak memperdagangkan karya-karya tersebut
dan memperolehnya untuk keperluan sendiri. Sebagai misal, karya lukisan yang
berada di tangan kolektor.
Selanjutnya pasal 43A Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997
menyatakan bahwa Pencipta atau ahli waris ciptaan dapat mengajukan gugatan
ganti rugi atas pelanggaran ketentuan Pasal 24.
Dengan adanya pasal 34A tersebut, maka setiap Pencipta atau ahli waris
Hak Cipta mempunyai landasan hukum yang jelas untuk melakukan upaya hukum
terhadap pelanggaran atas Hak Ciptanya. Pasal inilah yang tampaknya menjadi
suatu hal yang perlu diperjelas dan dipertegas melalui perubahan peraturan
perundang-undangan, sehingga seseorang Pencipta atau ahli waris Hak Cipta
memperoleh pegangan hukum dalam memperkarakan Hak Ciptanya.
Pasal 43B menyatakan hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud dalam psal 42 tidak mengurangi hak Negara untuk melakukan tuntutan
pidana terhadap pelanggaran Hak Cipta.
Dalam pasal 43C BAB VA tentang Hak-hak yang berkaitan dengan Hak
Cipta menyatakan bahwa :
13
(1) Pelaku memiliki hak khusus untuk memberi izin atau melarang orang lain
yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak dan menyiarkan
rekaman suara dan atau gambar dari pertunjukkannya.
(2) Produser rekaman suara memiliki hak khusus untuk memberi izin atau
melarang orang lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak karya
rekaman suara.
(3) Lembaga penyiaran memiliki hak khusus untuk memberi izin atau
melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak
dan menyiarkan ulang karya siarannya melalui transisi dengan atau tanpa
kabel, atau melalui sistem elektromagnetik lainnya.
Pasal 43 D Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 menyatakan bahwa :
(1) Jangka waktu perlindungan bagi :
a. Pelaku yang menghasilkan karya pertunjukan berlaku selama 50
(lima puluh) tahun sejak karya tersebut diwujudkan atau di
pertunjukan;
b. Prosedur rekaman suara yang menghasilkan karya rekaman
suara berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut
selesai di rekam;
c. Lembaga penyiaran yang menghasilkan karya siaran berlaku
selama 20 (dua puluh) tahun sejak karya siaran tersebut pertama
kali disiarkan.
(2) Penghitungan jangka waktu perlindungan sebagaimana di maksud dalam
ayat (1) dimulai sejak 1 Januari tahun berikutnya setelah :
a. suatu karya pertunjukan selesai di wujudkan atau dipertunjuk-
kan;
b. suatu karya rekaman suara selesai direkam;
c. suatu karya siaran selesai disiarkan untuk pertama kali.
Selanjutnya pada dimensi lain yang dimaksud dengn pemegang hak cipta
Saidin dalam bukunya “Aspek Hukum Kekayaan Intelektual” adalah pencipta
sebagai hak pemilik hak cipta, atau orang yang menerima hak tersebut dari
pencipta atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di atas
14
sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 1 butir (b) UHC 1982, yang diperbaharui
dengan UHC No.7 tahun 1987.
Lebih lanjut Saidin menngutip pendapat Vollmar, menjelaskan bahwa
setiap mahkluk hidup mempunyai apa yang disebut wewenang berhak yaitu
kewenangan untuk membezit (mempunyai) hak-hak dan setiap hak tentu ada
subyek haknya sebagai hak tersebut. Setiap ada hak tentu ada kewajiban. Dan
saidin kembali mengutip pendapat Prof. Mahadi “setiap ada subyek pasti ada
obyek” kedua-duanya tidak lepas satu sama lain, melainkan ada relasi (hubungan)
ada hubungan dengan yang satu dengan yang lain. Dan apabila dihubungkan
dengan hak cipta, maka yang menjadi subyeknya adalah pemegang hak yaitu
pencipta atau orang atau badan hukum yang secara sah memperoleh hak untuk itu.
Yaitu dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, dijadikan milik negara atau dengan
perjanjian, sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 3 UHC 1982, yang
diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987. Sedangkan yang menjadi obyeknya
ialah benda yang dalam hal ini adalah hak cipta, sebagai benda immaterial.
Sedangkan yang dimaksud dengan istilah “dapat” dijadikan milik negara
dari penjelasan perundang-undangan diatas, memberikan arti bahwa peralihan hak
kepada negara itu hanya suatu kemungkinan saja, bukan suatu keharusan dan
untuk itu harus di penuhi beberapa syarat, yaitu:
1. demi kepentingan negara;
2. dengan sepengetahuan pemegangnya;
3. dengan keputusan presiden;
4. atas dasar pertimbangan dewan hak cipta;
5. kepada pemegang hak cipta diberi imbalan penghargaan yang
ditetapkan oleh Presiden.
Jadi jika dilihat persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat hak cipta itu
dijadikan milik negara, maka dapat dikatakan persyaratan hampir sama dengan
tata cara pencabutan hak atas tanah.
15
BAB III
PENUTUP
Dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Tentang hak cipta yang kemudian diubah dan di perbaharui dengan undang-
undang Nomor 7 tahun 1987 dan selanjutanya di perbaharui dengan Undang-
undang Nomor 12 tahun1997 Tentang p
erubahan Atas Undang-undang hak Cipta Nomor 7 Tahun 1987, Indonesia
bertekad untuk menghargai dan melindungi ciptaan ,pencipta dan pemegang hak
cipta atas suatu ciptaan di bidang Ilmu Pengetahuan, Seni dan Sastra. Hal ini bisa
dilihat dari adanya perubahan maupun perbaikan atas perundang-undangan
tersebut, dimana ditetapakan sanksi pidana yang berat bagi para pelaku tindak
pidananya serta di tandatanganinya pula perjanajian perlindungan hukum timbal
balik dengan di keluarkannya Keppres tentang pengesahan persetujuan mengenai
perlindungan hukum secara timbal balik terhadap hak cipta atas karya rekaman
suara antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropah (Keppres No.
17 Tahun 1988), sedangkan perlindungan hukum secara timbal balik terhadap hak
cipta antara Negara Republik Indonesia dengan Amerilka Seriakat (Keppres No.
25 Tahun 1989), Negara Republik Indonesia dengan Australia (Keppres No. 38
Tahun 1993), dan Negara Republik Indonesia dengan Inggris (Keppres No. 56
Tahun 1994).
16
DAFTAR PUSTAKA
Damian, Eddy. Dkk. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung PT. Alumni. 2002
Eddy Damian, Hukum Hak Cipta menurut beberapa Konvensi Internasional, Undang-undang hak cipta 1997 dan perlindungannya terhadap buku serta perjanjian penerbitannya (Bandung : Penerbit Alumni, 1999), halaman 141.
Kansil. Hukum Perusahaan Indonesia. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2002
Purwosatjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia I. Jakarta: Djambatan 2003
Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya bakti,1998), Halaman 19.
17
MAKALAH
H A K C I P T A
Oleh
Abdul Basith Rachman Romario Heipon
Agustho E.Krey Christiani Koirewoa
Aldy Reza Stup Bay Devica Seroirawani
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
2012
18
19