TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

23
TUGAS KONSELING PENGARUH FARMAKOTERAPI PADA KONDISI MENTAL INDIVIDU DENGAN PENYAKIT TERMINAL (PENGOBATAN PALIATIF, ISU ADIKSI) Disusun oleh : KELOMPOK : MARTINDALE 1. Rifka Husniati G1F011025 2. Desy Damayanti G1F011033 3. Rani Saskia Jeanita G1F011049 4. Ines Nur Hendriani G1F011051 5. Fulki Ghilman Hadiansyah G1F011067 6. Preggi Salvezza Purba G1F011073 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBIDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKUKTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI

description

jb

Transcript of TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

Page 1: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

TUGAS KONSELING

PENGARUH FARMAKOTERAPI PADA KONDISI MENTAL INDIVIDU DENGAN

PENYAKIT TERMINAL (PENGOBATAN PALIATIF, ISU ADIKSI)

Disusun oleh :

KELOMPOK : MARTINDALE

1. Rifka Husniati G1F011025

2. Desy Damayanti G1F011033

3. Rani Saskia Jeanita G1F011049

4. Ines Nur Hendriani G1F011051

5. Fulki Ghilman Hadiansyah G1F011067

6. Preggi Salvezza Purba G1F011073

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBIDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKUKTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN FARMASI

PURWOKERTO

2014

Page 2: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

PENGARUH FARMAKOTERAPI PADA KONDISI MENTAL INDIVIDU DENGAN

PENYAKIT TERMINAL (PENGOBATAN PALIATIF, ISU ADIKSI)

PENDAHULUAN

Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan

melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu

(Carpenito, 1995). Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang

menuju ke arah kematian. Contohnya seperti penyakit jantung, dan kanker. Penyakit terminal

ini dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim medis sudah

give up (menyerah) dan seperti yang di katakan di atas tadi penyakit terminal ini mengarah

kearah kematian. (White, 2002). Pasien dengan kondisi penyakit terminal sulit untuk

disembuhkan dengan farmakoterapi, umumnya pasien diberikan perawatan paliatif.

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan

keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat

mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian

yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual

(KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).

Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi penatalaksanaan nyeri, penatalaksanaan

keluhan fisik lain, asuhan keperawatan, dukungan psikologis, dukungan social, dukungan

kultural dan spiritual, dukungan persiapan dan selama masa dukacita (bereavement).

Perawatan paliatif dilakukan melalui rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan /rawat rumah.

(KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).

Tugas dari perawatan paliatif adalah :

1. Mengatasi gejala fisik berupa nyeri dan gejala lain serta memenuhi kebutuhan fisik dasar

2. Memberikan konseling dan intervensi lain untuk mengatasi masalah psikologis

3. Bersama sumber-sumber lain memberikan bantuan dalam mengatasi kesulitan sosial

4. Memberikan dukungan spiritual sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut

5. Menyediakan Respite Care untuk memberi kesempatan kepada keluarga beristirahat

(Ferrell,2007)

Dengan tindakan tersebut di atas, diharapkan pasien dapat aktif walaupun dengan

keterbatasan dan mampu melayani dirinya sendiri dan memiliki kualitas hidup yang baik

sesuai kondisi yang ada, serta dapat memanfaatkan waktu dengan baik untuk melihat

Page 3: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

hidupnya sebagai anugerah yang bermakna bagi dirinya sendiri dan orang lain dan dapat

mencapai apa yang diinginkannya sebelum waktunya tiba. Bila hal ini dapat tercapai, pada

umumnya pasien memiliki harapan hidup yang lebih panjang dari yang diperkirakan, dan

beban keluarga dapat diringankan (Ferrell,2007).

Kualitas hidup pasien adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan

pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup,

harapan, dan niatnya. Dimensi dari kualitas hidup yaitu gejala fisik, kemampuan fungsional

(aktivitas), kesejahteraan keluarga, spiritual, fungsi sosial, kepuasan terhadap pengobatan

(termasuk masalah keuangan), orientasi masa depan, kehidupan seksual, termasuk gambaran

terhadap diri sendiri, dan fungsi dalam bekerja (White, 2002).

ISI

A. Gambaran kondisi fisik individu dengan penyakit terminal

Gejala fisik selain nyeri, biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit terminal.

Gejala-gejala fisik itu diantaranya: kelelahan, anoreksia, kakeksia, nausea, mual dan muntah,

konstipasi, delirium dan dispnea

1. Kelelahan (Fatigue)

Kata kelelahan menunjukkan keadaan yang berbeda–beda, tetapi semuanya

berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh (Suma’mur P.K.,

1996). Kelelahan (fatigue) adalah rasa capek yang tidak hilang bahkan setelah

istirahat. Istilah kelelahan mengarah pada kondisi melemahnya tenaga untuk

melakukan suatu kegiatan, walaupun itu bukan satu-satunya gejala. Secara umum

gejala kelelahan yang lebih dekat adalah pada pengertian kelelahan fisik atau physical

fatigue dan kelelahan mental atau mental fatigue (A.M. Sugeng Budiono, dkk, 2003).

Menurut Tarwaka (2004) kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh

agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemuliham setelah

istirahat. Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan

kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan

kerja dalam industri. Pembebanan otot secara statispun (static muscular loading) jika

dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan RSI (Repetition

Strain Injuries), yaitu nyeri otot, tulang, tendon, dan lain-lain yang diakibatkan oleh

jenis pekerjaan yang bersifat berulang (repetitive) (Nurmianto, 2003)

Patologis kelelahan dapat muncul dari aspek fisik dan psikologis. Penyebabnya

yaitu konsekuensi langsung dari proses penyakit, seperti berkurangnya oksigen

Page 4: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

sebagai akibat dari anemia atau gagal jantung. Kanker hati atau gagal ginjal, dan

banyak penyakit kronis (termasuk nyeri kronis) dapat menyebabkan kelelahan. Selain

itu, perawatan seperti terapi kanker atau antihipertensi dan terapi jantung dapat

menyebabkan gejala ini. Penyebab psikologis kelelahan termasuk kecemasan dan

depresi. Menentukan tingkat keparahan pasien kelelahan adalah penting. Dokter harus

memperhatikan faktor-faktor yang memperburuk atau meredakan kelelahan, adanya

penyebab yang berpotensi dapat diobati (kecemasan atau depresi, obat bersamaan,

anemia, sakit, infeksi, kanker, gangguan tidur) dan dampak kelelahan pada kegiatan

sehari-hari pasien. (Portenoy, 1999).

2. Anoreksia dan kakeksia

Penyakit sistemik seperti kanker, kegagalan organ kronis, infeksi atau kadang-

kadang AIDS menyebabkan wasting syndrome. Ciri-ciri dari sindrom tersebut adalah

kurangnya nafsu makan (anoreksia) dan penurunan berat badan (cachexia), sering

disertai dengan kelelahan (Nelson, 2000). Anoreksia (Anorexia) berasal dari bahasa

Yunani an– yang artinya “tanpa” dan orexis yang artinya “hasrat untuk”, sehingga

anoreksia memiliki arti tidak memiliki hasrat untuk (makanan) (Nevid dkk, 2003).

Kakeksia adalah sindroma yang kompleks, meliputi keadaan malnutrisi yang ditandai

dengan anoreksia, penurunan berat badan, muscle wasting, lipolisis, kehilangan masa

otot dan protein viseral, nafsu makan menurun, asthenia, depresi, nausea kronik dan

anemia yang menyebabkan distress psikologis, perubahan dalam komposisi tubuh,

gangguan dalam metabolism karbohidrat, lemak dan protein, cairan jaringan,

keseimbangan asam basa, kadar vitamin dan elektrolit (Tisdale, 2005)

Sedikit yang diketahui tentang patogenesis wasting sindrom. Pada kanker, faktor

humoral diuraikan oleh tumor tampaknya terlibat karena cachexia dapat ditransfer

dari cancer-bearing menuju noncancer-bearing hewan di percobaan parabiotik. Hal ini

kemungkinan adanya peningkatan kadar sitokin, terutama interferon dan faktor

nekrosis tumor, berperan dalam perubahan metabolik diamati pada pasien dengan

wasting sindrom (Argiles, 1999). Tidak ada hubungan antara ukuran tumor dan

tingkat cachexia. Meskipun penampilan malnutrisi, wasting sindrom terkait dengan

kanker dan hipermetabolik disebabkan oleh proses penyakit dan biasanya tidak

reversibel dengan perbaikan gizi. Secara lisan atau parenteral diberikan nutrisi sering

menyebabkan peningkatan lemak tubuh, tidak meningkat protein (Torelli, 1999).

Page 5: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

3. Mual dan muntah

Mual dan muntah dapat menjadi gejala yang dapat melemahkan kondisi pasien

secara ekstrem. Identifikasi dari patofisiologi penyebab mual dan muntah pada pasien

dapat menjadi dasar pengobatan farmakologi yang efektif. Penyebab dari mual dan

muntah pada pasien dengan penyakit terminal serta penanggulangannya dapat dilihat

di tabel.

(Ross dan Alexander, 2001).

Page 6: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

4. Konstipasi

Konstipasi sering menjadi penyebab dari mual dan muntah pada pasien penyakit

terminal. Konstipasi dapat diatasi dengan modifikasi salah satu faktor yang penting

dalam pergerakan saluran usus seperti air, motilitas, lubrikasi dan kepadatan intestinal

(Ross dan Alexander, 2001).

5. Delirium

Gangguan kognitif seperti disorientasi, gangguan konsentrasi, atau gangguan

memori sering terlihat pada pasien dengan penyakit lanjut. Bahkan, prevalensi

delirium, yang merupakan sumber utama dari gangguan pada penyakit terminal

diperkirakan mencapai 80% atau lebih selama minggu-minggu terakhir hidup pasien

(Breitbart & Cohen, 2000). Perubahan status mental dapat menjadi sangat

mengganggu pada keluarga pasien, yang mengamati perilaku agitasi, ketakutan yang

terlihat jelas, serta apa yang mereka percaya sebagai nyeri yang tak tertahankan pada

pasien. Delirium sering membutuhkan sedasi yang aktif sampai dengan 25% pada

pasien ( Ross dan Alexander, 2001).

Penyebab umum dari delirium termasuk hipoksia, infeksi, demam, dehidrasi dan

opioid atau efek samping benzodiazepin. Semakin mendekati waktu kematian, dengan

berkurangnya fungsi hati dan ginjal semakin besar kemungkinan bagi pasien untuk

terkena delirium, sementara sebagian lainnya diakibatkan oleh penggunaan obat-

obatan ( Ross dan Alexander, 2001).

Presentasi klinis delirium sering mencakup perilaku dan gejala afektif (misalnya,

gelisah, gangguan tidur, kecemasan, labil atau perubahan ekstrim) dan ditandai oleh

fluktuasi dengan cepat dan berubah (baik meningkat atau menurun) aktivitas

psikomotor, gangguan siklus tidur-bangun, perubahan persepsi (mispersepsi, ilusi,

atau halusinasi), berpikir bingung atau tidak teratur, dan bicara ngawur (Pessin, et al,

2002).

6. Dispnea

Dispnea, yang secara umum diartikan sebagai kesulitan dalam bernafas,

disebutkan terjadi pada pasien dengan kanker (70%), AIDS (11-62 %) dan penyakit

terminal lain. Sebuah studi menyebutkan bahwa dispnea merupakan gejala yang

Page 7: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

paling menyulitkan pada pasien dengan kondisi penyakit terminal. Pada studi tahun

1980-an menemukan bahwa 75% pasien mengalami dispnea, namun hanya 39% yang

memiliki penyakit paru, sementara 24% lainnya tidak memiliki penyebab yang khusus

(Reuben, 1986).

B. Gambaran kondisi psikologis individu dengan penyakit terminal

Penderitaan psikologik merupakan salah satu rintangan yang paling sulit dan paling

berpotensi untuk terjadi keberulangan pada pasien dengan kondisi penyakit terminal. Masalah

psikiatrik yang biasa terjadi pada pasien dengan kondisi ini adalah depresi, kecemasan,

delirium, dan munculnya ide untuk bunuh diri yang semunya dapat muncul selama proses

dari penyakit terminal berlangsung sampai meninggal. Adanya masalah psikiatrik bahkan

dari level yang terendah sampai sedang sudah dapat memberikan efek yang signifikan pada

pasien dengan kondisi penyait terminal. Banyak dari pasien merasa kehilangan makna hidup,

menurunnya kemampuan untuk merasakan kesenangan serta kemampuan untuk

berkomunikasi dan mengekspresikan emosi (Pessin et all, 2002).

1. Depresi

Literatur depresi menunjukkan bahwa kejadian besar depresi pada pasien yang

sakit parah berkisar dari 25 % menjadi 77 %. Pengumpulan data depresi pada pasien

penyakit terminal dimulai dengan pertimbangan faktor risiko yang sudah ada

sebelumnya: riwayat depresi, percobaan bunuh diri sebelumnya, tekanan sosial,

penggunaan obat sebelumnya, atau riwayat keluarga depresi.

Gejala psikologis dan kognitif yang berhubungan dengan depresi meliputi

kesedihan, kecemasan, iritabilitas, rasa tidak berharga, putus asa, ketidakberdayaan,

rasa bersalah dan putus asa, anhedonia, dan kehilangan harga diri. Sementara depresi

juga menyebabkan gejala somatik, akan sulit untuk mengetahui apakah gejala yang

terlihat pada individu pasien terkait dengan depresi atau penyakit yang mendasarinya.

Tanda lain dari depresi pada pasien penyakit terminal adalah rasa sakit

yang tidak menanggapi pengobatan seperti yang diharapkan. Orang-orang tidak bisa

berurusan dengan semua masalah psikologis dan spiritual ketika mereka sedang sakit.

Contoh dari depresi yaitu mungkin berupa penurunan berat badan berlebihan,

penampilan berubah dan lesu.

(Pessin et all, 2002)

Page 8: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

2. Kecemasan

Kecemasan memiliki aspek fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan aspek praktis.

Hal ini dapat hadir sebagai agitasi, insomnia, gelisah, berkeringat, takikardia,

hiperventilasi, gangguan panik, khawatir, atau ketegangan. Seperti depresi,

memisahkan beberapa fisik gejala kecemasan ekstrim dari gejala yang mendasari.

Kecemasan harus dibedakan dari delirium, depresi, gangguan bipolar, efek samping

obat, dan insomnia. Contoh dari kecemasan yaitu perasaan gelisah memikirkan

perjalanan penyakit, merasa tidak bertenaga dan kehilangan kontrol, tidak mengetahui

apa yang akan terjadi, merasa terjadi perubahan kepribadian, kehilangan ingatan,

bingung, depresi, ketakutan dan kecemasan, dan merasa berdosa (Pessin et all, 2002).

3. Bunuh diri

Dokter harus menilai resiko bunuh diri pada semua pasien yang mengalami

depresi. Hal ini terutama penting pada pasien dengan penyakit terminal karena pasien

pada penyakit terminal adalah golongan pasien yang paling mungkin untuk

melakukan bunuh diri, masalah lainnya adalah pembunuhan, terlihat di beberapa

praktik geriatri biasanya pria membunuh istri mereka dan kemudian membunuh diri

sendiri setelah satu atau kedua dari mereka mengalami sakit parah, pada keadaan

seperti ini adanya kurangnya dukungan sosial (Pessin et all, 2002).

Perubahan psikologi menurut Kubler Ross (1969) yaitu :

a. Pengingkaran (denial)

Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran, mereka

gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa.

Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya atau sudah

mengetahuinya dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya

di sini istirahat.” Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan

pada apa yang diterima sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium,

atau lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri

yang mencolok tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk

menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera

berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan.

Page 9: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

b. Kemarahan (anger)

Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah

menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa

bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya.

Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi

sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien

banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja

sama, sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga

mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk

datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).

c. Sikap tawar menawar (bargaining)

Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya

tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan

Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi akan

menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat

sembuh

d. Depresi

Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan pertahanannya

serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang

konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya,

tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu untuk menangis

berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk mengatakan ketakutan akan masa depan,

bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya

penyakit.

e. Penerimaan dan partisipasi

Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan dari kesabatan

yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang

keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada

orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu

memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996).

Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan

menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun

Page 10: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam

teori adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.

C. Pengaruh farmakoterapi pada kondisi individu dengan penyakit terminal

Pada tahun 1986, Badan Kesehatan Sedunia (WHO) mengembangkan model

konseptual 3-langkah untuk memandu penatalaksanaan nyeri. Model ini memberikan

pendekatan yang telah teruji dan sederhana untuk seleksi yang rasional dalam pemberian dan

titrasi analgesik. Saat ini, terdapat konsensus yang menyeluruh mengenai penggunaan terapi

medis dengan model ini untuk seluruh nyeri (Doyle, 2003).

Bergantung pada beratnya nyeri, pemberian terapi dimulai sesuai tingkatan nyeri.

Untuk nyeri ringan (sesuai skala analog numerik 1-3/10) dimulai pada langkah 1. Untuk nyeri

sedang (4-6/10), dimulai pada langkah ke-2. Hal ini dicirikan oleh nyeri yang mempengaruhi

konsentrasi dan waktu tidur. Untuk nyeri berat, berupa nyeri yang mempengaruhi seluruh

aspek dari kehidupan, termasuk fungsi sosial (7-10/10), dimulai pada langkah ke-3. Tidak

perlu untuk melalui semua langkah secara bertahap, pasien dengan nyeri berat mungkin bisa

langsung mendapat terapi opioid langkah ke-3 segera mungkin (Doyle, 2003).

Penanganan yang efektif membutuhkan pengetahuan yang jelas mengenai

farmakologi, akibat yang mungkin ditimbulkan, dan efek yang tidak diinginkan sehubungan

dengan analgesik yang diberikan, dan bagaimana efek ini berbeda dari satu pasien ke pasien

lain (Doyle, 2003).

Page 11: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

(Doyle, 2003)

Psychostimulants, selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan antidepresan

trisiklik adalah pengobatan lini pertama untuk depresi pada pasien dengan penyakit terminal.

Obat antidepresan sangat bermanfaat bagi pasien yang sakit parah dan mungkin tidak dapat

terlibat dalam psikoterapi. Karakteristik dari agen ini dijelaskan dalam tabel 3. Meskipun

berbagai antidepresan baru telah diperkenalkan dalam beberapa tahun terakhir, mereka belum

belum dievaluasi untuk digunakan pada pasien yang sakit parah.

Page 12: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

(Katon W, 1990)

Psychostimulants (dextroamphetamine, methylphenidate, dan pemoline) dapat

digunakan mengatasi depresi pada pasien dengan penyakit terminal karena obat antidepresan

cepat menimbulkan efek. Pada pasien dengan harapan untuk hidup tipis, agen ini dapat

mengurangi penderitaan pasien dan keluarga serta menciptakan peluang bagi mereka untuk

mengatasi tantangan proses sekarat dengan lebih efektif. Bahkan pasien yang sangat lemah

dan lelah mungkin akan mengalami sebuah perbaikan dalam suasana hati dan energi dalam

waktu 24 jam mulai pengobatan (Maguire, 1985).

Namun, obat psychostimulants tidak disarankan untuk pasien dengan penyakit

terminal yang diperkirakan memiliki rentang waktu hidup yang relatif lebih lama; obat

psychostimulants sebaiknya digunakan pada pasien penyakit terminal yang memiliki rentang

waktu dalam minggu atau beberapa bulan untuk hidup. Untuk pasien dengan depresi berat

yang memerlukan perawatan segera dengan tujuan untuk dapat bertahan selama beberapa

bulan atau lebih, sangat disarankan dilakukan perawatan psychostimulant, dengan

menambahkan SSRI setelah pasien memiliki respon terapi. Secara bertahap mengurangi dosis

psychostimulant dan meningkatkan dosis SSRI untuk tingkat terapeutik selama 1-2 minggu.

Page 13: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

Inhibitor reuptake serotonin selektif (fluoxetine, paroxetine, dan sertraline) adalah yang

sering digunakan sebagai firstline agen untuk pengobatan depresi pada pasien yang sakit

parah. Secara umum, paroxetine dan sertraline dapat ditoleransi oleh pasien yang sakit parah

karena mereka memiliki lebih sedikit metabolit aktif, yang dapat menumpuk dan

menyebabkan toksisitas (Lewis, 1995).

Sangatlah tidak mudah bagi seorang dokter untuk mengatakan hal sesungguhnya

kepada pasien yang memasuki stadium terminal. Pada umumnya dokter akan terus berusaha

untuk memperpanjang usia pasien dengan melakukan tindakan-tindakan kausatif atau

tindakan suportif lain. Dokter merahasiakan kepada pasien tentang prognosis dengan maksud

agar pasien terus bersemangat melanjutkan pengobatan yang direncanakan. Sebagian dokter

berpendapat bila pasien tahu kondisi sebenarnya, semangat hidupnya akan menurun, tidak

mau makan, dan sebagainya, sehingga pasien bisa meninggal lebih cepat. Karena itu, segala

upaya dilakukan di rumah sakit agar pasien bertahan hidup. Menurut penelitian, hal ini justru

menambah panjang penderitaan pasien dan keluarganya (Woodruff, 2004).

KESIMPULAN

Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan

melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu

(Carpenito, 1995). Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit

yang menuju ke arah kematian. Penyakit terminal ini dapat dikatakan harapan untuk

hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim medis sudah give up (menyerah) dan

seperti yang di katakan di atas tadi penyakit terminal ini mengarah kearah kematian.

(White, 2002).

Pasien dengan kondisi penyakit terminal sulit untuk disembuhkan dengan

farmakoterapi, umumnya pasien diberikan perawatan paliatif. Perawatan paliatif

adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga

yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat

mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan

penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik,

psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).

Gambaran kondisi fisik individu dengan penyakit terminal diantaranya:

kelelahan, anoreksia, kakeksia, nausea, mual dan muntah, konstipasi, delirium dan

dispnea. Gambaran kondisi psikologis dapat berupa depresi, kecemasan, dan

bunuh diri. Pengaruh farmakoterapi pada pasien dengan harapan untuk hidup

Page 14: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

tipis, dapat mengurangi penderitaan pasien dan keluarga serta menciptakan peluang

bagi mereka untuk mengatasi tantangan proses sekarat dengan lebih efektif. Bahkan

pasien yang sangat lemah dan lelah mungkin akan mengalami sebuah perbaikan

dalam suasana hati dan energi dalam waktu 24 jam mulai pengobatan (Maguire,

1985).

Page 15: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

DAFTAR PUSTAKA

A.M. Sugeng Budiono, dkk. 2003. Bunga Rampai Hiperkes + KK. Semarang: Badan

Penerbit UNDIP

Argiles JM, Lopez-Soriano FJ. The role of cytokines in cancer cachexia. Med Res Rev

1999;19:223-48

Breitbart, W., & Cohen, K. (2000). Delirium in the terminally ill. In H. M. Chochinov & W.

Breitbart (Eds.), Handbookof Psychiatry In Palliative Medicine (pp. 75-90). New

York: Oxford University Press.

Doyle, Hanks and Macdonald, 2003. Oxford Textbook of Palliative Medicine. Oxford

Medical Publications (OUP) 3 rd edn 2003

Ferrell, B.R. & Coyle, N. (Eds.) (2007). Textbook of palliative nursing, 2nd ed. New York,

NY: Oxford University Press

Hudak & Gallo. (1996). Keprawatan kritis vol II. Jakarta : EGC.

Jeffrey ,S.Nevid .,Spencer,A.Rathus &Greene.2003. Psikologi Abnormal Jilid 2 . Edisi

Kelima. Alih Bahasa : Tim Fakultas Universitas Indonesia. Jakarta : Erlangga

Katon W, Sullivan MD. Depression and chronic medical illness. J Clin Psychiatry.

1990;51(Suppl):3-11.

KEPMENKES RI NOMOR: 812/ MENKES/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Perawatan

Palliative, Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Kubler-Ross, E. 1969. On Death and Dying. Routledge.

Lewis-Fernandez R, Kleinman A. Cultural psychiatry. Theoretical, clinical, and research

issues. Psychiatr Clin North Am. 1995;18:433-48.

Maguire P, Hopwood P, Tarrier N, Howell T. Treatment of depression in cancer patients.

Acta Psychiatr Scand Suppl. 1985;320:81-4.

Nelson KA. The cancer-anorexia-cachexia syndrome. Semin Oncol 2000;27:64-8

Nurmianto, Eko. 2003. Ergonomi Konsep Dasar Dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya

Page 16: TUGAS KONSELING Penyakit Terminal (Martindale )

Pessin, Hayley, Barry Rosenfeld, William Breitbart, 2002, Assessing Psychological Distress

Near the End of Life, American Behavioral Scientist, Vol. 46 No. 3, November 2002

357-372, DOI: 10.1177/000276402237769

Portenoy RK, Itri LM. Cancer-related fatigue: guidelines for evaluation and management.

Oncologist 1999;4:1-10.

Reuben DB, Mor V. Dyspnea In Terminally Ill Cancer Patients. Chest 1986;89:234-6.

Ross , Douglas D. dan Carla S. Alexander., 2001, Management of Common Symptoms in

Terminally Ill Patients: Part I. Fatigue, Anorexia, Cachexia, Nausea and Vomiting,

American Family Physician, www.aafp.org/afp, 1 September, 2001/Volume 64,

Number 5.

Ross , Douglas D. dan Carla S. Alexander., 2001, Management of Common Symptoms in

Terminally Ill Patients: Part II. Constipation, Delirium and Dyspnea, American

Family Physician, www.aafp.org/afp, 15 September, 2001 / Volume 64, Number 6.

Suma’mur P.K. 1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. PT. Toko Gunung Agung.

Cetakan ketiga belas. Jakarta. Hal. 82-93

Tarwaka, dkk. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas.

UNISBA PRESS. Cetakan Pertama. Surakarta.

Tisdale MJ. Molecular Pathways Leading to Cancer Cachexia. Physiol. 2005;20:340-8

Torelli GF, Campos AC, Meguid MM. Use of TPN in terminally ill cancer patients. Nutrition

1999; 15:665-7

White,PG, 2002, Word Hospice Palliative Care The Loss of Child Day, Nwe York : Pediatric

Heart

Woodruff Asperula Melbourne 4th edn 2004. Standards for Providing Quality Palliative Care

for all Australians. Palliative Care Australia. Palliative Medicine.