tugas kardio

download tugas kardio

of 23

description

just upload for share. cjdjdhfhhfhfbsbsbsbbvbdbvbbvbvbvbvbvbbdhdhvbvbvbhdhdhvbbsbsb ebvbbshshah hehfjejfhehhfhfbbqhdbdbdbfhdbfhdbfhdbfhdbfwhebfehfbehfbdbbbvfnhrhbbvbvhfbshsjsjsdjhdjj ejfjdjgjsjsjsjsjsjsjsj bsjfaefjkejfajkwhfahguiaui hewighaiwf hwribhiu ii hwirv

Transcript of tugas kardio

TERAPI NSAID (NON STEROID ANTI INFLAMMATORY DRUGS) PADA PENYAKIT JANTUNG KORONERDefinisi NSAIDNSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) atau obat anti inflamasi non steroid (AINS)adalah suatu kelompok obat yang berfungsi sebagai anti inflamasi, analgetik dan antipiretik.NSAIDmerupakan obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimiawi. Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Obat golongan NSAID dinyatakan sebagai obat anti inflamasi non steroid, karena ada obat golongan steroid yang juga berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat golongan steroid bekerja di sistem yang lebih tinggi dibanding NSAID, yaitu menghambat konversi fosfolipid menjadi asam arakhidonat melalui penghambatan terhadap enzim fosfolipase. Hal ini dapat dilihat di gambar 1.1,2Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs). Contoh obatnya antara lain: aspirin, parasetamol, ibuprofen, ketoprofen, naproksen, asam mefenamat, piroksikam, diklofenak, indometasin.1

Mekanisme Kerja

Gambar 1. Biosintesis prostaglandin

Sebagian besar efek terapi dan efek samping NSAID berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Pada saat sel mengalami kerusakan, maka akan dilepaskan beberapa mediator kimia. Di antara mediator inflamasi, prostaglandin adalah mediator dengan peran terpenting. Enzim yang dilepaskan saat ada rangsang mekanik maupun kimia adalah prostaglandin endoperoksida sintase (PGHS) atau siklo oksigenase (COX) yang memiliki dua sisi katalitik. Sisi yang pertama adalah sisi aktif siklo oksigenase, yang akan mengubah asam arakhidonat menjadi endoperoksid PGG2. Sisi yang lainnya adalah sisi aktif peroksidase, yang akan mengubah PGG2 menjadi endoperoksid lain yaitu PGH2. PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk PGs, prostasiklin dan tromboksan A2, yang ketiganya merupakan mediator utama proses inflamasi. COX terdiri atas dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2.1,2,3Golongan obat ini menghambat enzim siklo oksigenase (COX) sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat dengan cara berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak ada. Inhibisi biosintesis prostaglandin oleh aspirin menyebabkan asetilasi yang irreversibel di sisi aktif siklo okigenase, sedangkan sisi aktif peroksidase tidak terpengaruh. Berlawanan dengan aksi aspirin yang irreversibel, NSAID lainya seperti ibuproven atau indometasin menyebabkan penghambatan terhadap COX baik reversibel maupun irreversibel melalui kompetisi dengan substrat, yaitu asam arakhidonat.1,4

Perbandingan COX-1 dan COX-2COX-1 memiliki fungsi fisiologis, mengaktivasi produksi prostasiklin, dimana saat prostasiklin dilepaskan oleh endotel vaskular, maka berfungsi sebagai anti trombogenik, dan jika dilepaskan oleh mukosa lambung bersifat sitoprotektif. COX-1 di trombosit, yang dapat menginduksi produksi tromboksan A2, menyebabkan agregasi trombosit yang mencegah terjadinya perdarahan yang semestinya tidak terjadi. COX-1 berfungsi dalam menginduksi sintesis prostaglandin yang berperan dalam mengatur aktivitas sel normal. Konsentrasinya stabil, dan hanya sedikit meningkat sebagai respon terhadap stimulasi hormon atau faktor pertumbuhan. Normalnya, sedikit atau bahkan tidak ditemukan COX-2 pada sel istirahat, akan tetapi bisa meningkat drastis setelah terpajan oleh bakteri lipopolisakarida, sitokin atau faktor pertumbuhan. meskipun COX-2 dapat ditemukan juga di otak dan ginjal. Induksi COX-2 menghasilkan PGF2 yang menyebabkan terjadinya kontraksi uterus pada akhir kehamilan sebagai awal terjadinya persalinan.1,2,5

Penghambat COX-1 dan COX-2Masing-masing NSAID menunjukkan potensi yang berbeda-beda dalam menghambat COX-1 dibandingkan COX-2. Hal inilah yang menjelaskan adanya variasi dalam timbulnya efek samping NSAID pada dosis sebagai anti inflamasi. Obat yang potensinya rendah dalam menghambat COX-1, yang berarti memiliki rasio aktivitas COX-2/ COX-1 lebih rendah, akan mempunyai efek sebagai anti inflamasi dengan efek samping lebih rendah pada lambung dan ginjal. Piroksikam dan indometasin memiliki toksisitas tertinggi terhadap saluran gastrointestinal. Kedua obat ini memiliki potensi hambat COX-1 yang lebih tinggi daripada menghambat COX-2. Dari penelitian epidemiologi yang membandingkan rasio COX-2/ COX-1, terdapat korelasi setara antara efek samping gastrointestinal dengan rasio COX-2/ COX-1. Semakin besar rasio COX-2/ COX-1, maka semakin besar pula efek samping gastrointestinalnya. Aspirin memiliki selektivitas sangat tinggi terhadap COX-1 daripada COX-2, sehingga efek terhadap gastrointestinal relatif lebih tinggi.1,2,5,6

Tabel1 berikutmenunjukkan rasio COX-2/ COX-1 pada beberapa NSAID;Tabel 1. Rasio COX-2/COX-1 pada NSAID

NSAIDCOX-2COX-1COX-2/COX-1

Tolmetin70.04175

Aspirin500.3166

Ibuprofen15115

Asetaminofen202.77.4

Diklofenak0.350.50.7

Naproksen1.32.20.6

Celecoxib0.341.20.3

Refecoxib0.84630.013

Inhibitor COX-2 selektif diperkenalkan pada tahun 1999. NSAID selektif menghambat COX-2 yang pertama kali diperkenalkan adalah celecoxib dan rofecoxib. Lumiracoxib memiliki struktur yang berbeda dengan coxib lainnya, tidak menyebabkan efek samping pada kardiovaskuler dan komplikasi gastrointestinal yang rendah. Insiden serangan jantung yang lebih tinggi menjadi faktor risiko semua inhibitor COX-2 selektif. Tahun 2004, rofecoxib ditarik dari pasaran. Valdecoxib selain menyebabkan infark miokard juga dapat menyebabkanskin rash. Valdecoxib dan parecoxib dihubungkan dengan insiden penyakit jantung.1Parasetamol termasuk kelompok obat yang dikenal memiliki aktivitas sebagai analgesik antipiretik, termasuk juga prekursornya yaitu fenasetin, aminopiron dan dipiron. Banyak dari obat ini yang tidak ada di pasaran karena toksisitasnya terhadap leukosit, tetapi dipiron masih digunakan di beberapa negara. Parasetamol menghambat lemah baik COX-1 maupun COX-2 dan berdasarkan penelitian diketahui bahwa mekanisme kerjanya melalui penghambatan terhadap COX-3, yaitu derivat dari COX-1, yang kerjanya hanya di sistem saraf pusat.

Efek FarmakodinamikSemua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, analgesik dan anti inflamasi, dengan derajat yang berbeda-beda. Misalya parasetamol bersifat anti piretik dan analgesik tetapi sifat anti inflamasinya sangat rendah.1,6,7Efek analgesikObat ini hanya efektif terhdap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang seperti sakit kepala, mialgia, atralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opiat, tetapi bedanya NSAID tidak menimbulkan efek ketagihan dan tidak menimbulkan efek sentral yang merugikan.Efek AntipiretikObat ini hanya menurunkan suhu badan hanya pada saaat demam. Tidak semuanya bersifat sebagai anti piretik karena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Fenilbutazon dan anti reumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik.Efek Anti inflamasiNSAID terutama yang baru, lebih banyak dimanfaatkan sebagai anti inflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal, seperti artritis reumatoid, osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan musculoskeletal ini.

Efek SampingEfek samping yag paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat. Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung adalah: (1) iritasi yang bersifat lokal yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan; (2) iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Kedua prostaglandin ini banyak ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parenteral.1,6,7Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan. Efek ini dimanfaatkan untuk terapi profilaksis trombo-emboli. Obat yang digunakansebagai terapi profilaksis trombo-emboli dari golongan ini adalah aspirin.Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal, terutama PGE2, berperan dalam gangguan homeostasis ginjal. Pada orang normal tidak banyak mempengaruhi fungsi ginjal. Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas. Mekanisme ini bukan suatu reaksi imunologik tetapi akibat tergesernya metabolisme asam arakhidonat ke arah jalur lipoksigenase yang menghasilkan leukotrien. Kelebihan leukotrien inilah yang mendasari terjadinya gejala tersebut.6,7

Terapi NSAID pada penyakit jantung coroner Apakah Anda pernah mendengar rumor mengenai penggunaan obat penahan rasa nyeri dengan hubungannya dengan kesehatan jantung?NSAID merupakan obat untuk mengurangi rasa nyeri dan inflamasi. Obat ini digunakan secara luas di seluruh dunia untuk mengatasi nyeri yang akut maupun yang kronik seperti pada artritis. Salah satu contoh obat NSAID adalah aspirin, namun efek obat ini terhadap jantung berbeda dibandingkan obat lain di golongan yang sama. Ibuprofen atau naproxen telah digunakan sejak lama untuk mengurangi nyeri dan obat ini terbukti aman.Namun perlu diwaspadai meningkatnya risiko perdarahan, gangguan ginjal dan pengaruh negatif terhadap jantung pada penggunaan NSAID jangka lama.8Beberapa contoh NSAID adalah ibuprofen, naproxen, ketoprofen, fenoprofen, oxaprozin, indometasin, diklofenak, etodolak, nabumeton, piroksikam, meloksikam, asam mefenamat, meklofenamat, celecoxib. Penelitian Danish menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan ibuprofen dan diklofenak dengan meningkatnya risiko penyakit jantung dan stroke. Penelitian ini dipublikasikan olehAHA (American Heart Association),dan menemukan bahwa terdapat peningkatan risiko 29% terjadinya stroke yang fatal maupun tidak fatal pada penderita yang mengkonsumsi ibuprofen dibandingkan penderita yang tidak mengkonsumsi NSAID.8Diklofenak dikatakan meningkatkan risiko penyakit jantung yang fatal sebesar 91%. Obat ini dijual bebas di seluruh dunia, kecuali Amerika Serikat. Rofecoxib berhubungan dengan peningkatan risiko sebesar 66% kejadian peyakit jantung yang fatal. Merck & Co kemudian menarik obat ini pada tahun 2004 karena alasan tidak amannya obat ini terhadap kesehatan jantung dan sampai saat ini tidak mengeluarkannya lagi.8Lalu bagaimana dengan jutaan pasien yang membutuhkan obat NSAID?Sangat dianjurkan untuk menggunakan dosis NSAID serendah mungkin dalam jangka waktu sesingkat mungkin. Jika nyeri yang dirasakan ringan, sangat disarankan untuk menggunakan pengobatan cara lain dalam mengatasi rasa nyeri tersebut, sebelum menggunakan NSAID. Selalu untuk mengkonsultasikan keadaan sakit Anda kepada dokter apalagi jika nyeri yang Anda rasakan tidak kunjung membaik. Penggunaan NSAID jangka lama dengan dosis tinggi dapat mengakibatkan gangguan organ lain.8

Sebuah studi dipublikasikan pada bulan Mei 2009 dalamCirculation: Cardiovascular Quality and Outcomes, dikerjakan oleh grup yang dipimpinDr. Wayne Ray(Vanderbilt University School of Medicine, Nashville, TN).Dijelaskan bahwa keamanan NSAIDs terhadap kardiovaskular sangatlah kontroversial, dengan beberapa studi menunjukkan peningkatan resiko kardiovaskular dikaitkan dengan COX-2 inhibitor yang baru dan beberapa NSAIDs tradisional, dan isu ini sangat penting untuk pasien dengan penyakit jantung koroner, dimana ambang resiko untuk terjadinya serangan jantung meningkat. Sebagai tambahan, banyak dari pasien ini mengkonsumsi aspirin dosis rendah, yang dapat berinteraksi dengan NSAID.9Karena terbatasnya data mengenai keamanan kardiovaskular akibat NSAID pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, maka dilakukan studi kohort retrospektif pada 48,566 pasien yang dirawat di rumah sakit akibat infark miokard (MI), revaskularisasi, ataupun angina tidak stabil yang tercatat pada tiga basis data --Tennessee's expanded Medicaid program, Saskatchewan Health databases in Canada, danthe United Kingdom's General Practice Research Database selama tahun 1999 dan 2004. Pemberian obat di luar RS didapatkan melalui catatan farmasi dan dokter. Hasil akhir studi primer adalah penyakit jantung koroner serius, didefinisikan sebagai MI ataupun kematian akibat penyakit jantung kororner (PJK). Hasil akhir sekunder berupa penyakit kardiovaskuler serius (MI atau stroke) dan kematian oleh sebab apapun. Analisis direncanakan terhadap NSAID yang palin sering diresepkan yaitu naproxen, ibuprofen, diclofenac, celecoxib, dan rofecoxib. Hasil keamanan kardiovaskular terbaik ditunjukkan oleh naproxen, dinyatakan dengan incidence rate ratio (IRR) paling rendah untuk penyakit kardiovaskular dibanding pengguna non-NSAID. Sebaliknya, terlihat resiko kardiovaskular meningkat pada penggunaan NSAID jenis lain.9

Incidence Rate Ratios (IRRs) for Serious CV Disease or Serious CV Disease and Death for Users of Various NSAIDS vs Non-NSAID UsersDrugIRR (serious CV disease)IRR (serious CV disease/death)

Naproxen0.880.91

Ibuprofen1.181.14

Diclofenac1.271.38

Celecoxib1.030.99

Rofecoxib1.191.07

Hasil lainnya menunjukkan pengguna diclofenac memiliki resiko 50% lebih besar terhadap MI, stroke, ataupun kematian sebab apapun dibandingkan pengguna naproxen. Penulis mengemukakan diclofenac digunakan secara luas di luar US dan telah dijadikan obat referensi dalam beberapaCOX-2-inhibitor outcome trials, dan peningkatan resiko ini terjadi pada penggunaan pada dosis rendah, sedang ( 200 mg/d) dan rofecoxib (> 25 mg/d) memiliki resiko PJK serius yang lebih tinggi.9Secara relatif terhadap non pengguna NSAID, PJK serius meningkat pada penggunaan jangka pendek ibuprofen, diclofenac, celecoxib, dan rofecoxib, tapi tidak untuk naproxen. Penulis juga menyatakan studinya berlawanan denganpost hoc analysisdariAPPROVEtrial data, yang menyatakan tidak ada resiko untuk penggunaan kurang dari 18 bulan. Tapi studinya sejalan denganVICTORtrial, dimana rofecoxib meningkatkan resiko setelah penggunaan rerata selama 7.4 bulan. Penulis menyatakan temuan dari studi mereka membuktikan setidaknya salah satu mekanisme peningkatan resiko kardiovaskular bersifat akut.9

Pada jurnal ilmiah kedokteran oleh Thomas Eko P PENGGUNAAN COXIB DALAM TATA LAKSANA NYERI NOSISEPTIFPenemuan coxib (inhibitor selektif siklo-oksigenase-2) merupakan terobosan baru dalam terapi nyeri. Coxib menjanjikan efikasi yang sama dengan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) tradisional dengan efek samping lebih ringan terhadap lambung dan platelet. 1-3 Keunggulan coxib dalam mengurangi terjadinya perdarahan dan perforasi ulkus peptikum tidak diragukan lagi. Keuntungan lain dari Coxib adalah dapat dipakai pada keadaan dimana pemakaian OAINS tradisional merupakan kontra indikasi seperti pada nyeri akibat trauma dan prosedur pembedahan. Efek samping coxib pada sistem kardiovaskular (KV) menimbulkan perdebatan yang hangat di kalangan para ahli. Dari meta-analisis yang melibatkan pasien dalam jumlah besar ternyata rofecoxib meningkatkan risiko kejadian infark miokard dan kematian akibat serangan jantung, sedangkan celecoxib dan etoricoxib tidak. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara celecoxib dan etoricoxib dengan plasebo dan OAINS tradisional.10Data penelitian tentang keamanan coxib pada sistem serebrovaskular masih terbatas. Dari hasil penelitian yang telah ada saat ini disimpulkan bahwa celecoxib lebih aman daripada rofecoxib dan antara satu coxib dan Coxib yang lain berbeda potensinya untuk meningkatkan risiko stroke iskemik, hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan sifat farmakologis masing-masing coxib. Terdapat perbedaan selektivitas antara Coxib yang satu dengan coxib lain (celecoxib, rofecoxib, etoricoxib). Celecoxib mempunyai risiko yang lebih rendah secara bermakna terhadap kejadian hipertensi dan retensi cairan dibandingkan dengan rofecoxib, etoricoxibdan OAINS non selektif. Ada kecenderungan peningkatan rasio odds risiko KV dan serebrovaskular dengan tingginya dosis dan lama pemakaian obat. Perlu pertimbangan yang bijak dalam pemilihan OAINS meliputi aspek efektivitas, adanya penyakit penyerta, keamanan pada gastrointestinal, KV, serebrovaskular dan ginjal serta kemampuan ekonomi pasien.10

Mekanisme Kerja CoxibAsam arakidonat yang dihasilkan membran fosfolipid diubah oleh enzim siklo- oksigenase (COX) menjadi prostanoid. Mediator inflamasi utama adalah PGE2 dan prostasiklin (PGI2) yang merupakan produk dari aktivasi enzim COX-2. Pada awal tahun 1990-an ditemukan 2 jenis enzim siklo-oksigenase, yaitu siklo-oksigenase-1 (COX-1) dan siklo-oksigenase-2 (COX-2). Enzim COX-1 bersifat konstitusif dan merupakan house keeping enzyme yang mempunyai fungsi fisiologik atau homeostasis. Aktivasi COX-1 akan menghasilkan prostaglandin yang mengatur fungsi fisiologis penting seperti sitoprotektif pada mukosa lambung, memelihara fungsi tubular ginjal dan platelet. Penghambatan terhadap aktivitas COX-1 akan menimbulkan efek samping seperti mudahnya terjadi perdarahan, gastrotoksisitas, dan nefrotoksisitas; sedangkan enzim COX-2 terdapat dalam jumlah sangat terbatas dalam keadaan basal tetapi penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa COX-2 juga merupakan enzim konstitusif pada otak, trakea, ginjal, ovarium, uterus, dan endotel.10Prostasiklin memegang peranan penting pada fungsi homeostasis endotel pembuluh darah dengan merangsang vasodilatasi, fibrinolisis, dan menghambat aktivasi platelet. Dalam keadaan normal terjadi keseimbangan antara aktivitas tromboksan A2 (TXA2) dalam platelet dan prostasiklin dalam endotel. TXA2 menyebabkan agregasi trombosit, vasokontriksi pembuluh darah dan proliferasi otot polos, sedangkan prostasiklin menghambat agregasi trombosit dan proliferasi otot polos serta menyebabkan vasodilatasi. OAINS tradisional menghambat COX-1 sehingga produksi TXA2 menurun dan juga menghambat COX-2 yang memproduksi prostasiklin. Coxib tidak mempengaruhi produksi TXA2 (yang spesifik terhadap COX-1) tetapi menghambat produksi prostasiklin dalam endotel sehingga hal ini diduga sebagai penyebab efek samping trombogenik berupa infark miokard, hipertensi, dan stroke (Gambar 1).10

Ekspresi COX-2 meningkat selama proses keradangan akut sebagai respon terhadap rangsangan sitokin dan mitogenik. Peningkatan ini terjadi baik di medula spinalis maupun korteks sehingga dapat meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, baik melalui mekanisme sentral maupun perifer. Penghambatan terhadap COX-2 menyebabkan reaksi tersebut tidak terjadi. Pemberian penghambat COX-2 tidak menekan produksi PGE2 di lambung dan mempengaruhi fungsi trombosit (yang spesifik untuk COX-1) sehingga tidak terjadi efek samping pada gastrointestinal dan terjadi perdarahan.10Mekanisme kerja utama dari coxib (selektif COX-2 inhibitor) adalah menghambat biosintesis prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi (Gambar 1), sedangkan OAINS tradisional menghambat kedua enzim COX-1 dan COX-2. Secara rasional diharapkan penghambatan aktivitas COX-2 akan mengurangi nyeri dan inflamasi dengan efek samping pada gastrointestinal yang minimal.10

Keamanan Coxib Pada Sistem KardiovaskularKeamanan suatu OAINS berkaitan dengan efek samping yang ditimbulkan, baik akut maupun kronik. Efek samping yang paling sering dari OAINS adalah gangguan pada sistem gastrointestinal bagian atas, efek toksis pada jantung, otak, dan ginjal. Secara khusus di bahas tentang keamanan pada system kardiovaskuler.Meskipun keamanan coxib pada gastrointestinal sudah tidak diragukan lagi tetapi keamanan coxib pada sistem KV masih menimbulkan perdebatan yang hangat di kalangan para ahli. Penarikan rofecoxib (Vioxx ) dari peredarannya di seluruh dunia secara sukarela oleh Merck pada 30 September 2004 menjadi isu yang menarik. Dalam keadaan normal terjadi keseimbangan antara aktivitas TXA2 dalam platelet dan prostasiklin dalam endotel. TXA2 menyebabkan agregasi trombosit, vasokontriksi pembuluh darah, dan proliferasi otot polos; sedangkan prostasiklin menghambat agregasi trombosit dan proliferasi otot polos serta menyebabkan vasodilatasi. OAINS tradisional menghambat COX-1 sehingga produksi TXA2 menurun dan juga menghambat COX-2 yang memproduksi prostasiklin.10Coxib tidak mempengaruhi produksi TXA2 (yang spesifik terhadap COX-1) tetapi coxib menghambat produksi prostasiklin dalam endotel sehingga hal ini diduga sebagai penyebab efek samping trombogenik berupa infark miokard, hipertensi, dan stroke (Gambar 1). Pada studi VIGOR yang merupakan randomized controled Trial (RCT) didapatkan peningkatan kejadian tromboemboli dan infark miokard akut 5 x lipat pada kelompok rofecoxibdibandingkan kelompok naproxen. Pasien yang memakai aspirin dikeluarkan dari studi ini. Terjadi silang pendapat dari para ahli pada waktu itu, satu kelompok menduga bahwa peningkatan kejadian itu karena efek kardio-protektif dari naproxen, tetapi ternyata pada penelitian-penelitian selanjutnya dugaan ini tidak terbukti, sedangkan kelompok lain menduga peningkatan kejadian itu karena efek samping jahat dari rofecoxib dan ternyata dugaan kedua inilah yang benar.10Studi CLASS pada 8.059 pasien OA (80%) dan AR (20%) yang mendapat terapi celecoxib2 X 400 mg dibandingkan dengan ibuprofen 3 x 800 mg atau diklofenak 2 x 75 mg sehari ternyata tidak terdapat peningkatan kejadian KV pada kelompok celecoxib dibandingkan dengan OAINS tradisional. Risikorelatif (RR) celecoxibdibandingkan OAINS adalah 1,1 baik pada pasien yang memakai aspirin atau tidak memakai aspirin (masing-masing IK 95% 0,7 sampai 1,6 dan 0,6 sampai 1,9). Insiden yang berhubungan dengan komplikasi KV seperti hipertensi, gagal jantung kongestif dan udem malahan lebih rendah secara bermakna pada kelompok celecoxib, baik pada yang memakai aspirin maupun tanpa aspirin. Studi APPROVe (The Adenomatous Polyp Prevention on Vioxx) yang dilakukan oleh Mukherjee dkk dihentikan lebih awal karena peningkatan RR rofecoxib terhadap KV sebanyak 1,96 kali dibandingkan dengan plasebo setelah 18 bulan pengobatan. Penelitian nested case-control oleh Hippisley-Cox 28 yang membandingkan risiko infark miokard pada pasien yang memakai penghambat selektif COX-2 dengan OAINS tradisional dilakukan pada 9.218 pasien yang didiagnosis pertama kali sebagai infark miokard selama periode penelitian 4 tahun dengan 86.349 pasien sebagai kontrol. Ternyata didapatkan peningkatan risiko infark miokard yang dihubungkan dengan pemakaian rofecoxib, diklofenak, dan ibuprofen, tidak didapatkan peningkatan risiko KV yang bermakna pada kelompok celecoxib, juga tidak didapatkan penurunan risiko KV pada pemakaian naproxen.10Penelitian untuk mengetahui risiko kematian dan kekambuhan pasien gagal jantung kongestif berusia > 65 tahun yang memakai celecoxib, rofecoxib dan OAINS tradisional dilakukan secara kohort retrospektif pada 2.256 pasien selama 2 tahun. Penelitian tersebut mendapatkan hasil risiko kematian dan kekambuhan gagal jantung kongestif lebih tinggi pada kelompok OAINS tradisional dan rofecoxib dibandingkan dengan celecoxib[masing-masing dengan hazard ratio1,26 (IK 95% 1,00 sampai1,57) dan 1,27 ( IK 95% 1,09 sampai 1,49 )]. Kesimpulannya celecoxib nampaknya lebih aman daripada rofecoxib dan OAINS tradisional pada pasien berusia lanjut yang menderita gagal jantung kongestif. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok OAINS dan coxibdan antara kedua kelompok coxib.10Studi TARGET (Therapeutic Arthritis Research Gastrointestinal Event Trial) yang melibatkan 18.325 pasien OA, pasien dibagi secara acak menjadi kelompok yang mendapat lumiracoxib400 mg perhari, naproxen2 x 500 mg/hari atau ibuprofen 3 x 800 mg perhari. Hasilnya ternyata tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian vaskular (infark miokard, stroke, dan kematian akibat KV). McGettigan dkk melakukan meta-analisis dengan memakai data base elektronik (1985-2006), naskah lengkap pertemuan ilmiah, riset epidemiologi, dan studi kepustakaan yang berhubungan dengan peningkatan risiko KV akibat pemakaian OAINS. Dari 7.086 judul hanya 17 kasus-kontrol dan 6 studi kohort yang memenuhi kriteria. Hasil yang didapat adalah Rofecoxib dengan dosis < = 25 mg/hari mempunyai RR = 1,33 ( IK 95% 1,00 sampai 1,79) sedangkan pada dosis > 25 mg/hari RR = 2,19 (IK 95% 1,64 sampai 2,91), risiko ini meningkat selama bulan pertama pengobatan. celecoxib tidak berhubungan dengan peningkatan risiko KV dengan RR= 1,06 ( IK 95% 0,91sampai 1,23), sedangkan di antara OAINS tradisional ternyata diklofenak mempunyai risiko tertinggi dengan RR = 1,40 (IK 95% 1,16 sampai 1,70); OAINS lainnya angkanya mendekati 1. 10Kesimpulan meta-analisis ini adalah rofecoxib meningkatkan risiko KV terutama pada dosis > 25 mg/hari, sedangkan celecoxibtidak, juga dipertanyakan keamanan OAINS tradisional diklofenak. Meta-analisis yang dilakukan oleh White dkk yang melibatkan 7.062 pasien yang memakai celecoxib200-800 mg/hari selama 1.268 pasien-tahun dibandingkan dengan 4.057 pasien yang mendapat plasebo selama 585 pasien-tahun dan 19.773 pasien yang diobati dengan celecoxib 200-800 mg/hari selama 5.651 pasien-tahun dibandingkan 13.990 pasien yang diobati dengan OAINS tradisional (diklofenak, ibuprofen, naproxen, ketoprofen dan loxoprofen)selama 4.386 pasien-tahun. End point yang dipakai adalah infark miokard, stroke non-fatal, dan kematian KV dengan memakai kriteria Antiplatelet Trialists Collaboration. Didapatkan hasil bahwa insiden kombinasi kejadian KV tidak berbeda secara bermakna antara kelompok pasien yang diobati dengan celecoxib dibandingkan dengan plasebo dan antara celecoxib dengan OAINS tradisional. Angka kejadian tersebut hampir sama antara data yang adjudicated dan non-adjudicated. Kesimpulan dari meta-analisis ini adalah celecoxib tidak meningkatkan risiko KV dibandingkan dengan plasebo dan OAINS tradisional.10

KESIMPULANPenyakit Jantung koroner adalah penyakit jantung yang menyangkut gangguan dari pembuluh darah koroner yang dalam mengenal dan menanganinya membutuhkan perhatian serta pengenalan dari faktor resiko yang ada pada penderita serta tindakan yang segera dapat diambil terhadap penderita tersebut dalamwaktu yang singkat agar tidak terjadi komplikasi yang dapat membawa akibatyang tidak di inginkan. Dengan memperhatikan berbagai aspek yang berkaitan infark miokard dapat ditanggulangi sehingga terhindar dari komplikasi yang lebih buruk. Berbagai jenis pengobatan sudah dikembangkan sampai saat ini, hanya penggunaannya perlu mendapat perhatian sesuai dengan subset klinik yang dihadapi. Penggunaan obat-obat serta tindakan medis yang ada saat ini diharapkan dapat memperpanjang umur penderita PJK.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wisudanti D. Farmakologi Dasar Obat Golongan NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drugs). [cited 2014 July]. Available from URL : http://www.doktermuslimah.com/2013/02/obat-golongan-nsaid-non-steroidal-anti.html 2. Bahri AD. Patofisilogi dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner. e-USU Respiratory. Univ. Sumatera Utara. 2004. pg.1-83. Bahri AD. Penyakit Jantung Koroner dan Hipertensi. e-USU Respiratory. Univ. Sumatera Utara. 2004. pg.1-74. Candir N, Ozan H, dkk. Anatomical Risk Factors of Coronary Heart Disease. Departments of Anatomy and 1Cardiology, Glhane Military Medical School, Ankara. 20095. Buja M. The Pathobiology of Acute Coronary Syndromes in: Clinical Implications and Central Role of the Mitochondria. Texas Heart Institute Journal. Tex Heart Inst J 2013;40(3):221-86. Wulandari DS. Journal Reading ST-Elevation Myocardial Infarction. Lab. IPD Fak. Kedokteran UNBRAW. Malang. 20117. Amin. Seluk Beluk obat NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drugs). In Kardiovaskular. InternisMag. 20128. Amin. NSAID dan Penyakit Jantung: Sebuah Kontroversi?. In Kardiovaskular. InternisMag. 20129. Ray W. Circulation: Cardiovascular Quality and Outcomes. Vanderbilt University School of Medicine, Nashville, TN. Jurnal Kardiologi Indonesia. Vol. 30, No. 1. 200910. Eko TP. Penggunaan Coxib dalam Tata Laksana Nyeri Nosiseptif. Jurnal Ilmiah Kedokteran. Medicina. 2012;43:23-30

20