TUGAS MEDIA PEMBELAJARAN OLEH: SEPTIKA AYU ASSARI A410090245 Universitas Muhammadiyah Surakarta
Tugas Endokrinologi Ayu
-
Upload
ayu-kresnanda -
Category
Documents
-
view
250 -
download
3
description
Transcript of Tugas Endokrinologi Ayu
1. PATOFISIOLOGI INSULIN SECRETAGOGUE DAN SENSITIZER
a) Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
(1) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan
insulin yang tersimpan sehingga obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes tipe I.
Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea yaitu, menstimulasi pelepasan insulin yang
tersimpan (stored insulin), menurunkan ambang sekresi insulin, meningkatkan sekresi
insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk
pasien diabetes dewasa dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah
mengalami ketoasidosis sebelumnya. Sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penyakit
hati, ginjal, dan tiroid.
Contoh obat sulfonilurea generasi pertama adalah asetoheksamida, klorpropamida,
tolazamida, dan tolbutamida, sedangkan generasi kedua antara lain gliburida
(glibenklamida), glipizida, glikasida, glimepirida, dan glikuidon. Obat golongan ini semuanya
mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda dalam hal masa kerja, degradasi, dan aktivitas
metabolitnya. Pada pemakaian sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah
untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Untuk menghindari resiko hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati,
kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.
Efek sampingnya yang terpenting adalah hipoglikemia yang dapat terjadi secara
terselubung adakalanya tanpa gejala khas, khususnya pada derivat seperti glibenklamida.
Kadar glukosa darah puasa dimonitor setiap 2 minggu dan HbA1C setiap 3 bulan.
(2) Glinid
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
yaitu : Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenialanin). Kedua obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan di ekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemi post prandial.
b) Penambah Sensitivitas terhadap Insulin (Insulin Sensitizing)
(1) Biguanid
Biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan menurunkan kadar glukosa darah sampai
normal (euglikemia) serta tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Contoh obat golongan
ini adalah metformin. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada
pemakaian sulfonilurea. Metformin digunakan sebagai terapi tunggal dan terapi kombinasi
dengan sulfonilurea, glinid, thiazolidindione, dan insulin. Metformin dikontraindikasikan
pada laki-laki dengan serum kreatinin > 1,5 mg/dl dan wanita dengan serum kreatinin > 1,4
mg/dl, pasien gangguan hati, congestive heart failure (CHF), asidosis metabolik, dehidrasi
dan pengguna alkohol berlebih.
Mekanisme kerja yang diusulkan baru-baru ini meliputi stimulasi glikolisis secara
langsung dalam jaringan dengan peningkatan eliminasi glukosa dari darah, penurunan
glukoneogenesis hati, melambatkan absorpsi glukosa dari saluran cerna dengan
peningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh eritrosit, dan penurunan kadar
glukagon plasma. Efek sampingnya yang paling sering terjadi berupa gangguan lambung-
usus (mual, anorexia, sakit perut, diare), tetapi umumnya bersifat sementara. Yang lebih
serius adalah asidosis asam laktat dan angiopati luas, terutama pada manula dan insufisiensi
hati atau ginjal. Serum kreatinin dimonitor 17 pada awal penggunaan, kadar glukosa darah
puasa dimonitor setiap 2 minggu dan HbA1C setiap 3 bulan. Dosis efektif maksimum 2g/hari.
(2) Tiazolidindion
Golongan tiazolidindion atau glitazon adalah golongan obat yang juga mempunyai efek
farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Tiazolidindion (rosiglitazon dan
pioglitazon) berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPARγ),
suatu receptor inti di sel otot dan lemak. Reseptor PPARγ terdapat di jaringan target kerja
insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet, dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut
merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin. Golongan ini
mempunyai efek menuruunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Efek samping yang paling utama dari tiazolidindion (rosiglitazone dan pioglitazon) adalah
udem, terutama pada pasien hipertensi dan congestive cardiac failure (Walker dan Edward,
2003). Tanda-tanda cairan tubuh yang berlebih, AST dan ALT perlu. Dikontraindikasikan
pada pasien dengan ALT > 2,5 kali di atas nilai normal, penyakit hati, pengguna alkohol
berlebih, penyakit jantung kelas I-IV (memperberat udema).
2. PATOFISIOLOGI TIROIDITIS HASHIMOTO
Merupakan bentuk tiroiditis yang paling sering ditemukan. Adanya pembesaran kelenjar
tiroid yang difus disertai kadar TSHS yang tinggi hampir selalu mengarah kepada Tiroiditis
Hashimoto. Merupakan penyebab utama hipotiroidisme yg sering ditemukan di klinik selain
hipotiroidisme akibat paska terapi I-131 dan hipotiroidisme akibat tiroidektomi.
Merupakan penyakit autoimun yang dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit
autoimun lainnya seperti Reumatoid artritis, SLE, penyakit Addison, bahkan DM Tipe 1.
Bentuk klasik perlangsungan Tiroiditis Hashimoto dapat dibagi 3 tahap :
1. Tahap awal ditemukan tirotoksikosis ringan
2. Menjadi eutiroid
3. Berakhir dengan hipotiroidisme ( paling banyak ditemukan )
Patofisiologi Tiroiditis Hashimoto
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor
penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu
lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan
data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis
PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi
tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja secara
bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-
lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid,
mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena
interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di
membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.
Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor genetik
dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi tiroid,
ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi pada
proses penyakit ini.
a. Faktor genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon imun
sepertimajor histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang
mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase),
transporter iodium, TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru
enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4), CD40,
HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR.
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang
terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi
sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas II pada
permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang
diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan reseptor
(CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen.
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat
meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4 berasosiasi
dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan
pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe
1, penyakit Addison, dan myasthenia gravis.
Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini
menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial.
Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi
antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic
autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik
dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits
Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus
dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan
dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina.
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab
penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan
iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu
reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar
tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteri.
Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan
Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel 2.1 disajikan
beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan
fenotipenya.
Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu
seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama kehamilan dapat
menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus
dan limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin
tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan
pertama yang terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari.
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid. Hipotiroid lebih
sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium,
dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih
sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman
kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan
dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang
penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau
goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul
autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan
menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut
diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang
pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya
merupakan pula faktor risiko terjadinya PTAI.
Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine, yang
juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun. Defisiensi
selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus
Coxsackie, mungkin karena limfosit T memerlukan selenium.
Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan
radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim
yaituselenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi
hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian
akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan
meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit.
Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain
memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid subklinik akan
menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa
mempengaruhi status hormon tiroid.
Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu
hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek imunosupresif.
Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2,
mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan
memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral
meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu seringkali
didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit Graves. Belum diketahui
apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor stress.
Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI. Ada
tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor pencetus PTAI :
A. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;
B. Induksi molekul MHC kelas II untuk mempresentasikan autoantigen oleh tirosit pada sel T;
C. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T autoreaktif.
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga
mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T,
meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok
akan meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia
setelah pengobatan dengan iodium radioaktif.
c. Autoantigen dan autoantibodi tiroid
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan fungsi
tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T
yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran sel,
menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja
autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga
autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin,
danthyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid microsomal
antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis tiroid.
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan
penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas enzimatik
TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas
sebagai petanda(marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid.
Di lain pihak beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik
terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai
hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik.
Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup iodium, penentuan
antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar Tg, karena bila ada antibodi
anti-Tg akan menganggu metode penentuan kadar Tg. Sedangkan di daerah kurang iodium,
penentuan kadar antibodi anti-Tg berguna untuk mendeteksi PTAI pada penderita struma
nodusa dan pemantauan hasil terapi iodida pada struma endemik.
Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi antitiroid, khususnya
terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon Receptor). Misalnya dikenal istilah LATS = Long
Acting Thyroid Stimulator; LATS-P = Long Acting Thyroid Stimulator-Protector;
TSI=Thyrotropin Stimulating Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding Inhibitor
Immunoglobulin; TSBAb =Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan TRAb=Thyrotropin
Receptor Antibody). Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan menjadi :
1. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;
2. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang sintesis
hormon tiroid;
3. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan sel folikel;
4. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang pertumbuhan seluler
(misalnya pada miksedema).
Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi
antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid
besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya.
Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid kedua (second
colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi terhadap
hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap antigen membran otot mata (disebut
sebagaiophthalmic immunoglobulin).
Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi,
keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity. Contohnya konversi menjadi
hipertiroid Graves pada penderita yang sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit
Hashimoto, dan konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita
Graves; beberapa mekanisme mungkin berperan.
d. Mekanisme apoptosis
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI –
tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+), CD25(+) T regulatory
cells akan merusak(breaks) toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang
akan menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses
apoptosis pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis
pada GD akan mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan
mekanisme apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk respons autotimun berbeda
yang akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves.
e. Peran sitokin
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat
bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1,
terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan
respon imun langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan
terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3
menghasilkan terutama TGFβ yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari
penyakit autoimun.
Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid dan
menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II, serta
ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan
sitokin,Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan reaksi
inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel
folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi tiroid.
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-
associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita
dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan memperluas
proses inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas II, Heat
Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan retrobulbar. Sitokin akan
meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu pembentukan sel-sel radang
baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan akumulasi matriks
ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada glycosaminoglycan (GAG) dan
produksi inhibitor metalloproteinase oleh fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di
atas, memodulasi produksi sitokin atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar
dapat dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar diobati.
Penegakkan diagnosis :
Berdasarkan klinis, biasanya dengan keluhan leher membesar tanpa nyeri, rasa tertekan
pada leher, suara parau, perasaan dingin, udema,
Pemeriksaan Fisik, pembesaran tiroid berlangsung difus tapi tidak selalu simetris. Pada
keadaan tidak simetris sering didiagnosis sebagai nodul tiroid.
Pemeriksaan penunjang, ultrasonografi memperlihatkan pembesaran difus dimana derajat
gema tiroid memperlihatkan hipoekoik. 10% penderita tanpa ada pembesaran kelenjar
tiroid dikenal dengan bentuk atrofik, yang merupakan tahap akhir dari tiroiditis hashimoto.
Bentuk atrofik ini akan menyulitkan diagnosis tiroiditis hashimoto oleh karena tanpa adanya
pembesaran kelenjar tiroid.
Pada beberapa kasus awal penyakit dimulai dengan gambaran klinis hipertiroidisme yang
bersifat sementara, hal mana dapat mengacaukan dengan hipertiroidisme graves.
Pemeriksaan laboratorium, kadar TSHS tinggi, kadar otoantibodi spesifik. Antibodi yang
paling baik diperiksa adalah antitiroid peroksidase (anti-TPO) yang positif sekitar 90-95%
tapi di Indonesia tidak ada, sebagai gantinya diperiksa anti-mikrosomal antiboti (AMA),
antibodi lainnya yaitu Anti-tiroglobulin yang tingkat positifnya lebih rendah yaitu 20-50%
Sitologi dengan aspirasi jarum halus memberikan informasi lebih baik dengan ditemukan
infiltrasi limfosit dan ada sel Azkanazy.
Pengobatan
Penyakit Hashimoto dengan goiter tiroid, atau menyebabkan kekurangan hormon
tiroid, memerlukan terapi penggantian hormon tiroid yang bertujuan mengatasi defisiensi
tiroid serta mengecilkan ukuran nodul goiter.
Pengobatan dari hormon tiroid sintetis sepertii levotiroksin (levothroid, Levoxyl, Synthroid).
Levotiroksin sintetis identik dengan tiroksin, versi alami hormon ini dibuat oleh kelenjar
tiroid. Ditujukan pada hipotiroidisme yaitu dengan pemberian levotiroksin pada keadaan
hipotiroidisme sub klinis pemberian levotiroksin dianjurkan bila kadar TSH > 10 uU/mL
Struma kecil dan asimtomatik tidak perlu pengobatan.
Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan tindakan pengangkatan, sebaiknya
operasi ini ditunda karena kelenjar tiroid tersebut dapat mengecil sejalan dengan waktu.
Pemberian tiroksin dapat mempercepat hal tersebut. Disamping itu tiroksin juga dapat
diberikan pada keadaan hipotiroidisme.
Dosis yang tidak adekuat dapat mengakibatkan bertambah besarnya goiter, dan
gejala hipotiroid terus-menerus. Kondisi ini dihubungkan pula dengan peningkatan
kolesterol serum, peningkatan resiko atherosklerosis dan penyakit jantung. Sedangkan
apabila dosis berlebihan, dapat menimbulkan gejala hipertiroid, mengakibatkan kerja
jantung yang berlebihan dan meningkatkan resiko osteoporosis.
Bila terjadi hipertiroidisme dapat diberikan obat antitiroid. Pemberian glukokortikoid
dapat menyebabkan regresi struma dan mengurangi titer antibodi. Tetapi mengingat efek
samping dan kenyataan bahwa aktivitas penyakit dapat kambuh kembali sesudah
pengobatan dihentikan, maka pemakaian obat golongan ini tidak dianjurkan pada keadaan
biasa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe
2 di indonesia, PB. PERKENI. Jakarta 2011
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta : FKUI
3. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/09/
sulfonylurea_sebagai_pilar_penatalakasanaan_diabetes.pdf