Tugas Endokrinologi Ayu

19
1. PATOFISIOLOGI INSULIN SECRETAGOGUE DAN SENSITIZER a) Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue) (1) Sulfonilurea Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan sehingga obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes tipe I. Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea yaitu, menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan (stored insulin), menurunkan ambang sekresi insulin, meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk pasien diabetes dewasa dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya.

description

baik

Transcript of Tugas Endokrinologi Ayu

1. PATOFISIOLOGI INSULIN SECRETAGOGUE DAN SENSITIZER

a) Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

(1) Sulfonilurea

Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan

insulin yang tersimpan sehingga obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes tipe I.

Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea yaitu, menstimulasi pelepasan insulin yang

tersimpan (stored insulin), menurunkan ambang sekresi insulin, meningkatkan sekresi

insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini merupakan pilihan untuk

pasien diabetes dewasa dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah

mengalami ketoasidosis sebelumnya. Sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penyakit

hati, ginjal, dan tiroid.

Contoh obat sulfonilurea generasi pertama adalah asetoheksamida, klorpropamida,

tolazamida, dan tolbutamida, sedangkan generasi kedua antara lain gliburida

(glibenklamida), glipizida, glikasida, glimepirida, dan glikuidon. Obat golongan ini semuanya

mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda dalam hal masa kerja, degradasi, dan aktivitas

metabolitnya. Pada pemakaian sulfonilurea, umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah

untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Untuk menghindari resiko hipoglikemia

berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati,

kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja

panjang.

Efek sampingnya yang terpenting adalah hipoglikemia yang dapat terjadi secara

terselubung adakalanya tanpa gejala khas, khususnya pada derivat seperti glibenklamida.

Kadar glukosa darah puasa dimonitor setiap 2 minggu dan HbA1C setiap 3 bulan.

(2) Glinid

Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan

penekanan peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat

yaitu : Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenialanin). Kedua obat ini

diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan di ekskresi secara cepat melalui

hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemi post prandial.

b) Penambah Sensitivitas terhadap Insulin (Insulin Sensitizing)

(1) Biguanid

Biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan menurunkan kadar glukosa darah sampai

normal (euglikemia) serta tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Contoh obat golongan

ini adalah metformin. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada

pemakaian sulfonilurea. Metformin digunakan sebagai terapi tunggal dan terapi kombinasi

dengan sulfonilurea, glinid, thiazolidindione, dan insulin. Metformin dikontraindikasikan

pada laki-laki dengan serum kreatinin > 1,5 mg/dl dan wanita dengan serum kreatinin > 1,4

mg/dl, pasien gangguan hati, congestive heart failure (CHF), asidosis metabolik, dehidrasi

dan pengguna alkohol berlebih.

Mekanisme kerja yang diusulkan baru-baru ini meliputi stimulasi glikolisis secara

langsung dalam jaringan dengan peningkatan eliminasi glukosa dari darah, penurunan

glukoneogenesis hati, melambatkan absorpsi glukosa dari saluran cerna dengan

peningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh eritrosit, dan penurunan kadar

glukagon plasma. Efek sampingnya yang paling sering terjadi berupa gangguan lambung-

usus (mual, anorexia, sakit perut, diare), tetapi umumnya bersifat sementara. Yang lebih

serius adalah asidosis asam laktat dan angiopati luas, terutama pada manula dan insufisiensi

hati atau ginjal. Serum kreatinin dimonitor 17 pada awal penggunaan, kadar glukosa darah

puasa dimonitor setiap 2 minggu dan HbA1C setiap 3 bulan. Dosis efektif maksimum 2g/hari.

(2) Tiazolidindion

Golongan tiazolidindion atau glitazon adalah golongan obat yang juga mempunyai efek

farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Tiazolidindion (rosiglitazon dan

pioglitazon) berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPARγ),

suatu receptor inti di sel otot dan lemak. Reseptor PPARγ terdapat di jaringan target kerja

insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet, dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut

merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin. Golongan ini

mempunyai efek menuruunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.

Efek samping yang paling utama dari tiazolidindion (rosiglitazone dan pioglitazon) adalah

udem, terutama pada pasien hipertensi dan congestive cardiac failure (Walker dan Edward,

2003). Tanda-tanda cairan tubuh yang berlebih, AST dan ALT perlu. Dikontraindikasikan

pada pasien dengan ALT > 2,5 kali di atas nilai normal, penyakit hati, pengguna alkohol

berlebih, penyakit jantung kelas I-IV (memperberat udema).

2. PATOFISIOLOGI TIROIDITIS HASHIMOTO

Merupakan bentuk tiroiditis yang paling sering ditemukan. Adanya pembesaran kelenjar

tiroid yang difus disertai kadar TSHS yang tinggi hampir selalu mengarah kepada Tiroiditis

Hashimoto. Merupakan penyebab utama hipotiroidisme yg sering ditemukan di klinik selain

hipotiroidisme akibat paska terapi I-131 dan hipotiroidisme akibat tiroidektomi.

Merupakan penyakit autoimun yang dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit

autoimun lainnya seperti Reumatoid artritis, SLE, penyakit Addison, bahkan DM Tipe 1.

Bentuk klasik perlangsungan Tiroiditis Hashimoto dapat dibagi 3 tahap :

1. Tahap awal ditemukan tirotoksikosis ringan

2. Menjadi eutiroid

3. Berakhir dengan hipotiroidisme ( paling banyak ditemukan )

Patofisiologi Tiroiditis Hashimoto

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor

penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu

lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.

Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan

data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis

PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi

tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja secara

bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-

lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid,

mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena

interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di

membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.

Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor genetik

dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi tiroid,

ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi pada

proses penyakit ini.

a. Faktor genetik

Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon imun

sepertimajor histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang

mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase),

transporter iodium, TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru

enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4), CD40,

HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR.

Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang

terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi

sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas II pada

permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang

diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan reseptor

(CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen.

CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat

meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4 berasosiasi

dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan

pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe

1, penyakit Addison, dan myasthenia gravis.

Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini

menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial.

Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi

antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic

autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik

dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits

Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus

dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan

dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina.

b. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab

penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan

iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu

reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar

tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteri.

Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan

Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel 2.1 disajikan

beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan

fenotipenya.

Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu

seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama kehamilan dapat

menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus

dan limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin

tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan

pertama yang terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari.

Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid. Hipotiroid lebih

sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium,

dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih

sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman

kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan

dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang

penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau

goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul

autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan

menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut

diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang

pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya

merupakan pula faktor risiko terjadinya PTAI.

Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine, yang

juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun. Defisiensi

selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus

Coxsackie, mungkin karena limfosit T memerlukan selenium.

Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan

radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim

yaituselenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi

hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian

akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan

meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit.

Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain

memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid subklinik akan

menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa

mempengaruhi status hormon tiroid.

Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu

hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek imunosupresif.

Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2,

mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan

memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral

meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu seringkali

didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit Graves. Belum diketahui

apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor stress.

Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI. Ada

tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor pencetus PTAI :

A. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;

B. Induksi molekul MHC kelas II untuk mempresentasikan autoantigen oleh tirosit pada sel T;

C. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T autoreaktif.

Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga

mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T,

meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok

akan meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia

setelah pengobatan dengan iodium radioaktif.

c. Autoantigen dan autoantibodi tiroid

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan fungsi

tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T

yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran sel,

menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja

autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga

autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin,

danthyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid microsomal

antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis tiroid.

Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan

penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas enzimatik

TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas

sebagai petanda(marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid.

Di lain pihak beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik

terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai

hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik.

Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup iodium, penentuan

antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar Tg, karena bila ada antibodi

anti-Tg akan menganggu metode penentuan kadar Tg. Sedangkan di daerah kurang iodium,

penentuan kadar antibodi anti-Tg berguna untuk mendeteksi PTAI pada penderita struma

nodusa dan pemantauan hasil terapi iodida pada struma endemik.

Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi antitiroid, khususnya

terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon Receptor). Misalnya dikenal istilah LATS = Long

Acting Thyroid Stimulator; LATS-P = Long Acting Thyroid Stimulator-Protector;

TSI=Thyrotropin Stimulating Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding Inhibitor

Immunoglobulin; TSBAb =Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan TRAb=Thyrotropin

Receptor Antibody). Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan menjadi :

1. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;

2. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang sintesis

hormon tiroid;

3. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan sel folikel;

4. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang pertumbuhan seluler

(misalnya pada miksedema).

Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi

antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid

besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya.

Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid kedua (second

colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi terhadap

hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap antigen membran otot mata (disebut

sebagaiophthalmic immunoglobulin).

Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi,

keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity. Contohnya konversi menjadi

hipertiroid Graves pada penderita yang sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit

Hashimoto, dan konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita

Graves; beberapa mekanisme mungkin berperan.

d. Mekanisme apoptosis

Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI –

tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+), CD25(+) T regulatory

cells akan merusak(breaks) toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang

akan menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses

apoptosis pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis

pada GD akan mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan

mekanisme apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk respons autotimun berbeda

yang akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves.

e. Peran sitokin

Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat

bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1,

terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan

respon imun langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan

terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3

menghasilkan terutama TGFβ yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari

penyakit autoimun.

Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid dan

menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II, serta

ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan

sitokin,Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan reaksi

inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel

folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi tiroid.

Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-

associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita

dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan memperluas

proses inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas II, Heat

Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan retrobulbar. Sitokin akan

meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu pembentukan sel-sel radang

baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan akumulasi matriks

ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada glycosaminoglycan (GAG) dan

produksi inhibitor metalloproteinase oleh fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di

atas, memodulasi produksi sitokin atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar

dapat dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar diobati.

Penegakkan diagnosis :

Berdasarkan klinis, biasanya dengan keluhan leher membesar tanpa nyeri, rasa tertekan

pada leher, suara parau, perasaan dingin, udema,

Pemeriksaan Fisik, pembesaran tiroid berlangsung difus tapi tidak selalu simetris. Pada

keadaan tidak simetris sering didiagnosis sebagai nodul tiroid.

Pemeriksaan penunjang, ultrasonografi memperlihatkan pembesaran difus dimana derajat

gema tiroid memperlihatkan hipoekoik. 10% penderita tanpa ada pembesaran kelenjar

tiroid dikenal dengan bentuk atrofik, yang merupakan tahap akhir dari tiroiditis hashimoto.

Bentuk atrofik ini akan menyulitkan diagnosis tiroiditis hashimoto oleh karena tanpa adanya

pembesaran kelenjar tiroid.

Pada beberapa kasus awal penyakit dimulai dengan gambaran klinis hipertiroidisme yang

bersifat sementara, hal mana dapat mengacaukan dengan hipertiroidisme graves.

Pemeriksaan laboratorium, kadar TSHS tinggi, kadar otoantibodi spesifik. Antibodi yang

paling baik diperiksa adalah antitiroid peroksidase (anti-TPO) yang positif sekitar 90-95%

tapi di Indonesia tidak ada, sebagai gantinya diperiksa anti-mikrosomal antiboti (AMA),

antibodi lainnya yaitu Anti-tiroglobulin yang tingkat positifnya lebih rendah yaitu 20-50%

Sitologi dengan aspirasi jarum halus memberikan informasi lebih baik dengan ditemukan

infiltrasi limfosit dan ada sel Azkanazy.

Pengobatan

Penyakit Hashimoto dengan goiter tiroid, atau menyebabkan kekurangan hormon

tiroid, memerlukan terapi penggantian hormon tiroid yang bertujuan mengatasi defisiensi

tiroid serta mengecilkan ukuran nodul goiter.

Pengobatan dari hormon tiroid sintetis sepertii levotiroksin (levothroid, Levoxyl, Synthroid).

Levotiroksin sintetis identik dengan tiroksin, versi alami hormon ini dibuat oleh kelenjar

tiroid. Ditujukan pada hipotiroidisme yaitu dengan pemberian levotiroksin pada keadaan

hipotiroidisme sub klinis pemberian levotiroksin dianjurkan bila kadar TSH > 10 uU/mL

Struma kecil dan asimtomatik tidak perlu pengobatan.

Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan tindakan pengangkatan, sebaiknya

operasi ini ditunda karena kelenjar tiroid tersebut dapat mengecil sejalan dengan waktu.

Pemberian tiroksin dapat mempercepat hal tersebut. Disamping itu tiroksin juga dapat

diberikan pada keadaan hipotiroidisme.

Dosis yang tidak adekuat dapat mengakibatkan bertambah besarnya goiter, dan

gejala hipotiroid terus-menerus. Kondisi ini dihubungkan pula dengan peningkatan

kolesterol serum, peningkatan resiko atherosklerosis dan penyakit jantung. Sedangkan

apabila dosis berlebihan, dapat menimbulkan gejala hipertiroid, mengakibatkan kerja

jantung yang berlebihan dan meningkatkan resiko osteoporosis.

Bila terjadi hipertiroidisme dapat diberikan obat antitiroid. Pemberian glukokortikoid

dapat menyebabkan regresi struma dan mengurangi titer antibodi. Tetapi mengingat efek

samping dan kenyataan bahwa aktivitas penyakit dapat kambuh kembali sesudah

pengobatan dihentikan, maka pemakaian obat golongan ini tidak dianjurkan pada keadaan

biasa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe

2 di indonesia, PB. PERKENI. Jakarta 2011

2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta : FKUI

3. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/09/

sulfonylurea_sebagai_pilar_penatalakasanaan_diabetes.pdf