Tugas Bussiness Ethic and Good Governance Untuk 25agustus2012
-
Upload
kristine-sianipar-m-h -
Category
Documents
-
view
367 -
download
2
Transcript of Tugas Bussiness Ethic and Good Governance Untuk 25agustus2012
TUGAS BUSSINESS ETHIC and GOOD GOVERNANCE :
STAKEHOLDER THEORY, CORPORATE GOVERNANCE and PUBLIC MANAGEMENT: WHAT CAN THE HISTORY of STATE-RUN ENTERPRISES TEACH US in the POST-ENRON ERA?
Dosen : Dr. Jeffry, SE, Ak., MM
Nama : Kristine Melva Hakim Sianipar
NIM : 55111120095
Magister Manajemen
Universitas Mercu Buana
2012
BAB I
LATAR BELAKANG
Penerapan corporate governance didasarkan pada teori agensi. Teori
agensi menjelaskan hubungan antara manajemen dengan pemilik. Manajemen
sebagai agen, secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan
para pemilik (principal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi
sesuai dengan kontrak. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda
di dalam perusahaan, dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau
mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki sehingga munculah
informasi asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) yang
dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba
(earnings management) dalam rangka menyesatkan pemilik (pemegang saham)
mengenai kinerja ekonomi perusahaan.
Salah satu pihak yang merupakan bagian terpenting dari terlaksananya
konsep GCG adalah dewan komisaris yang terdiri dari komisaris independen.
Dewan komisaris merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan karena
dewan komisaris bertanggungjawab untuk mengawasi manajemen, sedangkan
manajemen bertanggungjawab untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing
perusahaan, sehingga dewan komisaris dapat mengawasi segala tindakan
manajemen dalam mengelola perusahaan termasuk kemungkinan manajemen
melakukan manjemen laba.
Corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi
peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja
manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan
mendasarkan pada kerangka peraturan. Konsep corporate governance diajukan
demi tercapainya pengelolaan perusahaan yang lebih transparan bagi semua
pengguna laporan keuangan. Bila konsep ini diterapkan dengan baik maka
diharapkan pertumbuhan ekonomi akan terus menanjak seiring dengan
transparansi pengelolaan perusahaan yang makin baik dan nantinya
menguntungkan banyak pihak.
stakeholder adalah suatu kelompok atau individu yang memiliki
kepentingan yang juga dapat mempengaruhi jalannya operasional perusahaan. Jika
dicermati secara substansial kedua pendapat diatas, memiliki orientasi konsep
yang sama yaitu menyangkut masalah kelangsungan hidup (going concern)
perusahaan. Berbeda dengan perspektif teori keagenan yang hanya berorientasi
kepada maksimalisasi kepentingan masing-masing pihak (Prinsipal dan agen),
stakeholder theory secara filosofis menghubungkan faktor-faktor eksternal yang
sangat berhubungan erat dengan pencapaian tujuan perusahaan.
Sistem corporate governance memberikan perlindungan efektif bagi
pemegang saham dan kreditor sehingga mereka yakin akan memperoleh return
atas investasinya dengan benar. Corporate governance juga membantu
menciptakan lingkungan kondusif demi terciptanya pertumbuhan yang efisien dan
sustainable di sektor korporat. Corporate governance dapat didefinisikan sebagai
susunan aturan yang menentukan hubungan antara pemegang saham, manajer,
kreditor, pemerintah, karyawan, dan stakeholder internal dan eksternal yang lain
sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya.Atau dengan kata lain GCG merupakan
sistem yang mampu memberikan perlindungan dan jaminan hak kepada
stakeholders, termasuk di dalamnya adalah shareholders, lenders, employees,
executives, government, customers dan stakeholders yang lain.
Manajemen selaku pengelola perusahaan memiliki informasi tentang
perusahaan lebih banyak dan lebih dahulu daripada pemegang saham sehingga
terjadi asimetri informasi yang memungkinkan manajemen melakukan praktek
akuntansi dengan orientasi pada laba untuk mencapai suatu kinerja tertentu.
Konflik keagenan yang mengakibatkan adanya oportunistik manajemen yang akan
mengakibatkan laba yang dilaporkan semu, sehingga akan menyebabkan nilai
perusahaan berkurang dimasa yang akan datang ( Heath and Norman, 2004).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Keagenan
Pemegang saham sebagai pihak prinsipal mengadakan kontrak untuk
memaksimalkan kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas yang selalu
meningkat. Masalah keagenan muncul karena adanya oportunistik dari agen yaitu
perilaku manajemen untuk memaksimumkan kesejahteraan sendiri yang
berlawanan dengan kepentingan prinsipal. Manajer memiliki dorongan untuk
memilih dan menerapkan metoda akuntansi yang dapat memperlihatkan reaksi
pasarnya yang baik untuk tujuan mendapatkan bonus prinsipal.
Teori keagenan menjelaskan bagaimana cara terbaik dalam mengatur
hubungan antara pemilik perusahaan (stakeholder dan kreditur) dalam hal
mendelegasikan tugas atau pekerjaan kepada agen atau dewan. Stakeholder
memilih dewan komisaris yang kemudian menggaji manajemen sebagai agen
mereka dalam menjalankan aktivitas bisnis dari hari ke hari. Teori keagenan ini
muncul akibat para stakeholder mengalami kesulitan didalam memverifikasi apa
yang sesungguhnya dikerjakan manajemen sebagai agen mereka.
2.2 Teori Stakeholder
Stakeholder adalah suatu kelompok atau individu yang memiliki
kepentingan dan dapat pula mempengaruhi jalannya operasional perusahaan.
Berdasarkan konsep tersebut, maka orientasinya adalah menyangkut masalah
kelangsungan hidup (going concern) perusahaan. Berbeda dengan perspektif teori
keagenan (agency theory) yang hanya berorientasi kepada maksimalisasi
kepentingan masing-masing pihak (Prinsipal dan agen), stakeholder theory secara
filosofis menghubungkan faktor-faktor eksternal yang sangat berhubungan erat
dengan pencapaian tujuan perusahaan.
Beberapa literature menekankan 4 (empat) hal yang menjadi isu-isu krusial
dalam ruang lingkup stakeholder saat ini, yaitu:
1. Regulasi Pemerintah (Govermental Regulation), yaitu peraturan-peraturan
yang dikeluarkan pemerintah menjadi aspek penting yang harus diperhatikan
oleh perusahaan. Beberapa contoh termasuk dalam regulasi pemerintah ini
adalah ijin operasional perusahaan, analisis dan standar dampak lingkungan,
peraturan tentang tenaga kerja perbutuhan dan lainnya.
2. Kelompok Masyarakat (Community), kelompok masyarakat adalah elemen
konsumen yang akan mengkonsumsi hasil produksi dari perusahaan.
Kelompok lain yang dapat dikategorikan bagian dari masyarakat adalah
institusi pendidikan yang selalu merespon secara kajian akademis jika terjadi
sesuatu hal di dunia usaha terutama yang merugikan masyarakat umum demi
kepentingan dan tujuan kelompok tertentu.
3. Organisasi Lingkungan (Environmental Organization), dewasa ini telah
menjadi salah satu kekuatan kontrol sosial yang dapat mengawasi aktivitas
perusahaan. Orientasi organisasi lingkungan secara umum adalah menghindari
eksploitasi yang berlebihan terhadap lingkungan hidup untuk kepentingan
perusahaan (profit).
4. Media Massa (Mass Media) dalam lingkungan bisnis saat ini memiliki peran
yang sangat dominan dalam membentuk opini masyarakat terhadap suatu
aktivitas perusahaan. Media menyediakan informasi bagi perusahaan dan dapat
pula sebagai alat publikasi dan sosiaialisasi yang digunakan oleh perusahaan
untuk dapat membangun kepercayaan (image) publik tentang aktivitas-aktivitas
sosial yang dijalankan perusahaan (Maksum, 2005).
2.3 Corporate Governance
Corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi
peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja
manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan
mendasarkan pada kerangka peraturan. Konsep corporate governance diajukan
demi tercapainya pengelolaan perusahaan yang lebih transparan bagi semua
pengguna laporan keuangan.
Corporate governance menurut OECD (Organisation for Economic Co-
operation and Development) yaitu cara-cara manajemen perusahaan (yaitu para
direktur) bertanggung jawab kepada pemiliknya (yakni pemegang saham). Para
pengambil keputusan atas nama perusahaan agar dapat dipertanggungjawabkan,
menurut tingkatan yang berbeda pada pihak lain yang dipengaruhi oleh keputusan
tersebut, termasuk perusahaan itu sendiri, para pemegang saham, kreditur dan para
publik penanam modal.
Tujuan utama corporate governance seperti yang dinyatakan dalam OECD
adalah: (1) Untuk mengurangi kesenjangan (gap) antara pihak-pihak yang
memiliki kepentingan dalam suatu perusahaan (pemegang saham mayoritas dan
pemegang saham lainnya), (2) Meningkatkan kepercayaan bagi para investor
dalam melakukan investasi, (3) Mengurangi biaya modal (cost of capital). (4)
Meyakinkan kepada semua pihak atas komitmen legal dalam pengelolaan
perusahaan, (5) Menciptakan nilai bagi perusahaan termasuk hubungan antara
para stakeholders (kreditur, investor, karyawan perusahaan, bondholders,
pemerintah dan shareholders).
Di Indonesia, Code Of Good Corporate Governance yang diterbitkan oleh
Komite Nasional Corporate Governance berisi 5 prinsip yang harus dilakukan
oleh setiap perusahaan, yaitu:
1. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu Pengungkapan yang akurat dan
tepat waktu serta transparansi mengenai semua hal yang penting bagi kinerja
perusahaan, kepemilikan, serta para pemegang kepentingan.
2. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif.
3. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan
perundangan yang berlaku.
4. Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola
secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari
pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan
yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di
dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta
peraturan perundangan yang berlaku. (www.bapepam.go.id)
Penerapan Good Corporate Governance (GCG) telah menjadi fokus utama
dalam pengembangan iklim usaha di Indonesia terutama dalam rangka mendorong
pertumbuhan ekonomi. Perbaikan dan pengembangan corporate governance terus
dilakukan, mengingat posisi Indonesia dalam bidang ini masih sangat
memprihatinkan. Survey tahun 1999 yang dilakukan PricewaterhouseCoopers
dengan responden investor institusional di Singapura menunjukkan bahwa praktek
corporate governance di Indonesia masih sangat rendah. Sementara hasil survey
Corporate Governance Watch 2007 yang dikeluarkan oleh CLSA Asia-Pasific
Markets suatu investment group independen di Hong Kong, menempatkan
Indonesia pada posisi terendah bersama Philipina dari 11 pasar Asia yang
disurvey, dengan kelemahannya pada peraturan, praktik, penegakkan, akuntansi,
budaya governance dan lingkungan politik.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menunjang dan mewujudkan GCG.
Pada tahun 1999 Pemerintah membentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate
governance (KNKCG) yang kemudian pada November 2004 berganti nama
menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), yang lingkup
tugasnya lebih luas tidak hanya membuat kebijakan governance di sektor
korporasi tetapi juga di sektor publik. Komite ini memiliki fungsi untuk
memprakarsai pengembangan tata kelola yang baik sekaligus memantau
perbaikan tata kelola perusahaan di Indonesia. Pada tahun 2001 KNKCG telah
berhasil menerbitkan pedoman praktik GCG (Code of Good Corporate
Governance). Swasta juga berperan dalam mengembangkan corporate
governance ini, dengan membentuk organisasi non-pemerintah seperti Forum for
Corporate Governance for Indonesia (FCGI) pada tahun 2000, The Indonesian
Institute for Corporate governance (IICG), Corporate Leadership Development in
Indonesia (CLDI), dan Indonesian Institute of Independent Commissioners (IIIC).
Pemerintah harus memperkuat ketentuan hukum yang melindungi kepentingan
pemegang saham dan meningkatkan penegakan hukum dan peraturan tersebut.
Demikian juga perusahaan harus memperbaiki corporate governance-nya.
Berkaitan dengan corporate governance perusahaan publik di Indonesia
paling tidak terdapat dua peraturan yang terkait, yaitu undang-undang perseroan
dan undang-undang di pasar modal.
Struktur dewan di Indonesia menurut FCGI mengacu pada sistem two tier
system (Model Continental European) seperti yang diterapkan di negara Jerman,
Jepang, Belanda, karena sistem hukum Indonesia berasal dari sistem hukum
Belanda. Pada two tier system ini, perusahaan mempunyai dua dewan yang
terpisah, yaitu Dewan Pengawas atau Dewan Komisaris (Board of
Commissioners) dan Dewan Manajemen atau Dewan Direksi (Board of
Directors). Perbedaannya dengan sistem one-tier adalah pada sistem one-tier
hanya memiliki satu dewan (board of director-BOD) yang terdiri dari dua organ,
yaitu Chief Executive Officer (CEO) yang bertanggung jawab untuk mengelola
perusahaan dan chairman yang merupakan direksi non-eksekutif yang
bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan perusahaan.
Undang-undang perusahaan di Indonesia (perseroan terbatas) yang diatur
dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1995
sebagaimana telah diganti dengan UU Nomor 40 tahun 2007, merupakan
kerangka hukum corporate governance yang paling penting di Indonesia (FCGI).
Direksi dan komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS). Dengan demikian, dewan direksi maupun dewan komisaris
bertanggung jawab langsung pada RUPS.
Selain tunduk pada undang-undang perseroan, juga tunduk pada Undang-
undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal serta peraturan-peraturan terkait
yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) serta otoritas terkait seperti BEI. Bapepam telah mengeluarkan
berbagai peraturan yang terkait dengan corporate governance seperti peraturan
yang mengharuskan perusahaan publik untuk memiliki direktur dan komisaris
yang indipenden, peraturan tentang tanggung jawab dewan direksi dan komisaris
independen, peraturan bahwa perusahaan harus mengungkapkan informasi yang
material melalui laporan tahunan dan laporan keuangan kepada pemegang saham
dan kepada Bapepam secara tepat waktu, akurat, dapat dimengerti dan obyektif.
Selain itu, perusahaan harus mengambil inisiatif untuk tidak hanya
mengungkapkan materi-materi yang diwajibkan oleh peraturan, tetapi juga
materimateri yang penting yang berguna bagi investor, pemegang saham, kreditur
dan stakeholder lainnya untuk mengambil keputusan.
2.4 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)
The World Business Council for Sustainable Development mendefinisikan
CSR sebagai komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga
karyawan, komunitas lokal, dan komunitas secara keseluruhan dalam rangka
meningkatkan kualitas kehidupan. Sankat dan Clement (2002) dalam Rudito dan
Famiola (2007) mendefinisikan CSR sebagai komitmen usaha untuk bertindak
secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas
hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas luas.
Secara umum, CSR dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat melalui peningkatan kemampuan
manusia sebagai individu untuk beradaptasi dengan keadaan sosial yang ada,
menikmati, memanfaatkan, dan memelihara lingkungan hidup yang ada.
CSR merupakan salah satu wujud partisipasi dunia usaha dalam
pembangunan berkelanjutan untuk mengembangkan program kepedulian
perusahaan kepada masyarakat sekitar melalui penciptaan dan pemeliharaan
keseimbangan antara mencetak keuntungan, fungsi-fungsi sosial, dan
pemeliharaan lingkungan hidup. Dengan perkataan lain, CSR dikembangkan
dengan koridor Tri Bottom Line (3BL) yang mencakup sosial, ekonomi, dan
lingkungan.
2.5 Implementasi CSR di Indonesia
Tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan, pertumbuhan ekonomi,
dan kesejahteraan sosial masyarakat bukan hanya menjadi tanggung jawab
perusahaan besar saja, meskipun pada dasarnya mayoritas perusahaan yang
melakukan CSR adalah perusahaan besar. Dengan perkataan lain, perusahaan
kecil pun harus bertanggung jawab melakukan CSR. Di Indonesia, pelaksanaan
CSR sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan Chief Executive Officer (CEO)
sehingga kebijakan CSR tidak secara otomatis akan sesuai dengan visi dan misi
perusahaan. Jika CEO memiliki kesadaran akan tanggung jawab sosial yang
tinggi, maka kemungkinan besar CSR akan dapat dilaksanakan dengan baik,
sebaliknya jika CEO tidak memiliki kesadaran tentang hal tersebut pelaksanaan
CSR hanya sekedar simbolis untuk menjaga dan mendongkrak citra perusahaan di
mata karyawan dan di mata masyarakat.
Lemahnya Undang-Undang (UU) yang mengatur kegiatan CSR di
Indonesia mengakibatkan tidak sedikit pelanggaran-pelanggaran terjadi dan
mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup yang ada. Sebagai contoh UU Nomor
23 tahun 1997 Pasal 41 ayat 1 tentang pengelolaan lingkungan hidup menyatakan
“Barang siapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima
ratus juta rupiah.” Pengaturan pencemaran lingkungan hidup tidak langsung
mengikat sebagai tanggung jawab pidana mutlak, dan tidak menimbulkan efek
jera bagi para pelaku tindakan ilegal yang merugikan masyarakat dan
menimbulkan kerusakan lingkungan.
Kasus kerusakan lingkungan di lokasi penambangan timah inkonvensional
di pantai Pulau Bangka-Belitung dan tidak dapat ditentukan siapakah pihak yang
bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi karena kegiatan penambangan.
dilakukan oleh penambangan rakyat tak berizin yang mengejar setoran pada PT.
Timah Tbk. Sebagai akibat penambangan inkonvensional tersebut terjadi
pencemaran air permukaan laut dan perairan umum, lahan menjadi tandus, terjadi
abrasi pantai, dan kerusakan laut (Ambadar, 2008). Selain itu ada juga konflik
antara PT Freeport Indonesia dengan rakyat Papua. Bencana kerusakan
lingkungan hidup dan komunitas lain yang ditimbulkan adalah jebolnya Danau
Wanagon hingga tiga kali (20 Juni 1998; 20-21 Maret 2000; 4 Mei 2000) akibat
pembuangan limbah yang sangat besar kapasitasnya dan tidak sesuai dengan daya
dukung lingkungan. Kasus PT Newmont Minahasa Raya, kasus Lumpur panas
Sidoarjo yang diakibatkan kelalaian PT Lapindo Brantas, kasus perusahaan
tambang minyak dan gas bumi, Unicoal (perusahaan Amerika Serikat), kasus PT
Kelian Equatorial Mining pada komunitas Dayak, kasus suku Dayak dengan
perusahaan tambang emas milik Australia (Aurora Gold), dan kasus pencemaran
air raksa yang mengancam kehidupan 1,8juta jiwa penduduk Kalimantan Tengah
yang merupakan kasus suku Dayak vs Minamata. Kasus – kasus tersebut adalah
gambaran fenomena kegagalan CSR yang muncul di Indonesia.
Selain itu ada juga beberapa penerapan CSR yang berhasil dilakukan
perusahaan di Indonesia. Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dapat
dijelaskan melalui berbagai bentuk aktivitas perusahaan seperti program
pembangunan, pengembangan, pelayanan, atau pemberdayaan komunitas.
Meskipun kegiatan tersebut tampak sederhana akan tetapi memberi dampak
positif yang dapat dirasakan masyarakat. Sebagai contohnya adalah program
pembinaan tukang roti dan pedagang martabak gerobak yang dilakukan oleh PT.
Bogasari merupakan program pemberdayaan masyarakat yang didasarkan pada
strategi marketing dan sebagai media promosi yang efektif bagi para produsen
bahan baku. Program ini merupakan wujud nyata kepedulian dan peran
perusahaan-perusahaan dalam mengembangkan kemampuan sosial dan
meningkatkan perekonomian masyarakat. PT. Indocement Tunggal Prakasa, Tbk.
Dalam rangka pelaksanaan CSR perusahaan ini melakukan kegiatan Program
Clean Development Mechanism (CDM), kerjasama antara negara maju dan
negara berkembang dalam penandatanganan Protokol Kyoto untuk menurunkan
emisi gas rumah kaca untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang
melibatkan beberapa pihak seperti kementrian lingkungan hidup yang
bertanggung jawab dalam pengadaan aturan untuk pemanfaatan BBMA, pihak
akademisi dari Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung sebagai pihak
yang bertanggung jawab memantau efek proses dengan pemanfaatan BBMA
secara berkelanjutan.
Ada juga PT. HM Sampoerna yang melakukan program Mitra Produksi
Sampoerna (MPS) dengan perusahaan kecil dan menengah, koperasi, dan pondok
pesantren untuk menjadi mitra produksi perusahaan sejak 1994 dan telah
melahirkan sebanyak 25 MPS. MPS dirancang dengan pendekatan saling
menguntungkan (win-win approach). Manfaat utama yang dirasakan komunitas
adalah penyerapan tenaga kerja, transfer teknologi, dan menghidupkan ekonomi
pedesaan (de-urbanisasi).
PT Kaltim Prima Coal menunjukkan citranya sebagai perusahaan yang
peduli terhadap komunitas sekitarnya melalui kesuksesannya dalam menjalankan
program baik di bidang lingkungan, ekonomi, maupun sosial sehingga menerima
penghargaan sebagai The Most Outstanding Recognition Awards dalam CSR
Awards 2005 yang diselenggarakan oleh Surindo bekerjasama dengan CFD
(Corporate Forum For Community Development, majalah SWA dan Mark Plus).
Salah satu prinsip utama dalam menjamin keberhasilan pelaksanaan CSR
adalah adanya komunikasi yang benar. Hal ini memberikan makna bahwa setiap
kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai wujud pelaksanaan tanggung
jawab sosial harus disosialisasikan kepada masyarakat sekitar untuk mendapatkan
umpan balik dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar
BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
3.1 Kesimpulan
Corporate governance merupakan mekanisme pengendalian untuk
mengatur dan mengelolah bisnis dengan maksud untuk meningkatkan
kemakmuran dan akuntabilitas perusahaan yang tujuan akhirnya untuk
mewujudkan shareholder value serta membantu menciptakan lingkungan
kondusif demi terciptanya pertumbuhan yang efisien dan sustainable di sektor
korporat yang berdasarkan Transparency, Accountability, Responsibility,
Independency, Fairness di dalam penerapannya dalam mengambil keputusan dan
yang mampu memberikan perlindungan dan jaminan hak hak mereka baik dalam
perusahaan swasta maupun BUMN.
3.2 Saran
Untuk mendukung dan menjamin tercapainya tujuan pelaksanaan CSR dan
mencapai keseimbangan yang efektif antara lingkungan dan pembangunan
diperlukan pengaturan yang baik (good governance) yang melibatkan pemerintah
sebagai salah satu pelaku dalam sistem pengaturan serta kesadaran perusahaan
(shareholders, lenders, employees, executives, customers dan stakeholders yang
lain) dan rasa memiliki terhadap lingkungan dan komunitas sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Ambadar, J., 2008. Corporate Social Responsibility dalam Praktik di Indonesia. Edisi 1, Penerbit Elex Media Computindo
Heath, J. and W. Norman. 2004. Stakeholder Theory, Corporate Governance and Public Management: What can the History of State-Run Enterprise Teach Us in the Post-Enron Era?.Journal of Business Ethics 53 : 247-265. Kluwer Academic Publisher. Netherlands.
Kimber, D. and P. Lipton. 2005.Corporate Governance and Business Ethics in the Asia-Pacific Region. Business and Society Vol 44 No 2 : 178-210. Sage Publicstion.
Maksum, A. (2005), Tinjauan atas Good Corporate Governance di Indonesia, http://www.usu.ac.id.
OECD, (2004), OECD Principles of Corporate Governance.
Roshima Said, Yuserrie Hj Zainuddin and Hasnah Haron. 2009. The Relationship between Corporate social Responsibility Disclosure and Corporate Governance Characteristics in Malaysian Public Listed Companies. SOCIAL RESPONSIBILITY JOURNAL Vol 5 N0.2 : 212-226. Emerald Group Publishing Limited.
Rudito, B. dan Famiola, M., 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia. Edisi 1. Penerbit Rekayasa Bisnis. Jakarta.
Thomsen, S. 2004. Corporate Values and Corporate Governance. Corporate Governance Vol 4 No 4 : 29-48. Emerald Group Publishing limited.
www.bapepam.go.id