Trauma Maxillofacial

58
PENATALAKSANAAN PARIPURNA TRAUMA MAXILLOFACIAL Penanganan trauma pada wajah dapat menjadi sulit. Tujuan terapi dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, mengembalikan bentuk asli wajah agar sedekat mungkin seperti semula dan tetap memperhatikan fungsi estetika. Kedua, fungsi dari tulang-tulang wajah dan jaringan lunaknya (soft tissue) harus dipulihkan. Tujuan akhirnya adalah meminimalisasi periode disabilitas. PENDAHULUAN Mekanisme Trauma Penyebab tersering dari trauma maxillofacial adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Penyebab lainnya antara lain perkelahian, kecelakaan sepeda motor atau sepeda, kecelakaan industri, dan kecelakaan olahraga. Pola dari perlukaan jaringan lunak (soft tissue) biasanya terletak pada daerah T, yang meliputi dahi, area periorbita, hidung, bibir dan dagu. Lim et. al. menemukan dari pengamatannya, bahwa lebih dari 50% korban kecelakaan kendaraan bermotor mengalami trauma pada kepala dan tulang leher bersamaan dengan trauma pada wajah. Faktor-faktor yang berperan adalah penggunaan alkohol dan obat-obatan serta masalah emosional. Trauma Lain Yang Berhubungan 1

description

referat trauma maxillofacial

Transcript of Trauma Maxillofacial

Page 1: Trauma Maxillofacial

PENATALAKSANAAN PARIPURNA TRAUMA MAXILLOFACIAL

Penanganan trauma pada wajah dapat menjadi sulit. Tujuan terapi dapat dibagi menjadi tiga.

Pertama, mengembalikan bentuk asli wajah agar sedekat mungkin seperti semula dan tetap

memperhatikan fungsi estetika. Kedua, fungsi dari tulang-tulang wajah dan jaringan lunaknya

(soft tissue) harus dipulihkan. Tujuan akhirnya adalah meminimalisasi periode disabilitas.

PENDAHULUAN

Mekanisme Trauma

Penyebab tersering dari trauma maxillofacial adalah kecelakaan kendaraan bermotor. Penyebab

lainnya antara lain perkelahian, kecelakaan sepeda motor atau sepeda, kecelakaan industri, dan

kecelakaan olahraga.

Pola dari perlukaan jaringan lunak (soft tissue) biasanya terletak pada daerah T, yang

meliputi dahi, area periorbita, hidung, bibir dan dagu. Lim et. al. menemukan dari

pengamatannya, bahwa lebih dari 50% korban kecelakaan kendaraan bermotor mengalami

trauma pada kepala dan tulang leher bersamaan dengan trauma pada wajah. Faktor-faktor yang

berperan adalah penggunaan alkohol dan obat-obatan serta masalah emosional.

Trauma Lain Yang Berhubungan

Sebagaimana halnya dengan semua pasien trauma, korban dengan trauma wajah harus diperiksa

menyeluruh untuk menyingkirkan adanya luka-luka lainnya. Pemeriksaan fisik yang menyeluruh

dan pemeriksaan penunjang lainnya sangat penting. Hal ini termasuk pemeriksaan jalan napas,

mencari adanya sumber-sumber perdarahan, dan mendiagnosa adanya trauma pada otak dan

servikal.

Jalan Nafas (Airway)

Ancaman terjadinya asfiksia semakin besar dengan trauma yang luas pada mandibula atau

midfasial. Rongga mulut dan saluran hidung harus dibersihkan dari benda asing, gigi yang patah,

atau bekuan darah yang dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan. Fraktur mandibula yang tidak

stabil dapat mendorong lidah ke posterior dan menghalangi jalan napas. Pasien seperti ini

1

Page 2: Trauma Maxillofacial

biasanya akan lebih senang untuk duduk. Hal ini dapat dilakukan jika dengan duduk tidak akan

menyebabkan trauma lainnya bertambah parah. Traksi rahang dan lidah ke anterior dan

penempatan oropharyngeal airway merupakan alternatif lain jika pasien tidak dapat duduk atau

dalam posisi telungkup. Pasien dengan perdarahan masif atau fraktur tulang hidung, maksila dan

mandibula dengan akibat edema soft tissue sangat riskan mangalami asfiksia. Intubasi

endotracheal atau pembebasan jalan nafas darurat lainnya seperti krikotiroidotomi diindikasikan,

khususnya pada pasien dengan trauma kepala dan reflek-reflek yang menurun.

Untuk fiksasi pada fraktur maksila dan mandibula, intubasi yang biasanya digunakan

adalah nasotracheal. Namun, intubasi orotracheal masih dapat digunakan bahkan pada kasus-

kasus dimana maxillomandibular fixation (MMF) diperlukan jika tube dapat diletakkan pada

celah antara gigi atau dibelakang molar terakhir. Teknik lainnya, dengan meletakkan tube di

sepanjang dasar mulut dengan insisi di daerah submental. Trakeostomi diindikasikan untuk

pasien dengan fraktur panfasial atau jika pemasangan endotracheal tube (ETT) akan

mengganggu jalannya operasi perbaikan, atau dengan trauma kepala atau dada yang tidak dapat

melindungi jalan napas mereka.

Perdarahan

Patah tulang displaced dan robekan pada wajah dapat menyebabkan kehilangan darah yang

banyak. Perdarahan yang mengancam jiwa ditemukan pada 5% fraktur maxilla tipe Le Fort.

Tujuh puluh persen dari perdarahan ini bersumber dari a. maxillari interna dan cabang-

cabangnya. Jika sumber perdarahan terletak superfisial, penekanan lokal, tampon atau ligasi

dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan. Reduksi temporer fraktur dapat

memperlambat perdarahan dari garis fraktur. Untuk perdarahan dari anterior hidung, tampon

hidung dapat digunakan untuk menghentikan sementara perdarahannya. Jika perdarahan

berhenti, tampon dapat dikeluarkan dalam waktu 2-3 hari. Perdarahan posterior biasanya

bersumber dari a. maxillari interna. Daerah ini sulit untuk dijangkau dan dikendalikan. Untuk

penanganannya digunakan kateter Foley yang dipasang pada tiap-tiap lubang hidung, dan

balonnya dikembangkan sekitar 30-50 ml ditambah dengan pemasangan tampon disebelah

anterior dari balon. Komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan ini ialah nekrosis palatum atau

columella.

2

Page 3: Trauma Maxillofacial

Metode lainnya yang juga digunakan untuk mengendalikan perdarahan adalah

menggunakan dressing kompresi eksrternal atau Barton bandages yang mengelilingi kepala.

Tehnik ini sekarang sudah ditinggalkan dan jarang dilakukan. Untuk pasien yang perdarahannya

tidak dapat berhenti dengan tehnik-konservatif, embolisasi dengan tehnik radiografi merupakan

langkah selanjutnya. Namun tindakan ini memiliki komplikasi seperti palsi N. fasialis, nekrosis

lidah, dan stroke.

Trauma Otak

Ketika pasien dengan patah tulang wajah bersamaan dengan adanya trauma kepala, fokus

penatalaksanaan ditujukan untuk meminimalkan terjadinya iskemia sekunder karena edema otak,

lesi massa, dan hipothermi. Pasien dengan trauma kepala digolongkan berdasarkan Glasgow

Coma Scale (GCS). Sistem penggolongan ini penting dalam meramalkan prognosis, dan pasien

dengan GCS 3 memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk bertahan hidup. Prognosis juga

diperburuk dengan meningkatnya usia, penurunan tekanan darah arterial, hipertensi intrakranial,

dan posisi tubuh yang abnormal. Harus diingat bahwa, walaupun pasien berada dalam keadaan

koma, terapi pembedahan terhadap trauma fasial tidak merupakan suatu kontraindikasi. Pasien

dapat dimonitor tekanan intrakranialnya selama operasi.

Trauma Servikal

Pasien dengan trauma multipel, khususnya dengan trauma pada kepala dan wajah, harus

dianggap mengalami trauma medulla spinalis sampai terbukti sebaliknya. Diperkirakan sekitar

10% pasien dengan trauma wajah juga menderita trauma servikal. Sebaliknya 18 % pasien

dengan trauma servikal juga dengan trauma pada wajah. Fraktur mandibula dihubungkan secara

spesifik dengan trauma vertebra servikalis bagian atas (C1-2). Penelitian menunjukkan bahwa

trauma servikal ini sering diabaikan. Oleh karenanya, sangat penting untuk melakukan

penatalaksanaan pada pasien multitrauma seperti ini dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi.

Timing Intervensi Pembedahan

Pada penatalaksanaan pasien dengan multitrauma, trauma yang mengancam nyawa mendapatkan

prioritas utama untuk mengoptimalkan survival. Setelah pasien distabilkan dan pasien dapat

mentoleransi pembedahan, trauma pada wajah dan fraktur yang ada harus diterapi secepatnya.

Hal ini akan mengoptimalkan estetika hasil, fungsi, dan membuat fiksasi terhadap fraktur

3

Page 4: Trauma Maxillofacial

menjadi lebih mudah. Pasien lainnya mungkin tidak dapat dilakukan operasi karena luka yang

lebih dalam dan memerlukan terapi definitif. Robekan yang ada pada wajah pasien seperti ini

harus ditutup, dan fraktur yang ada secara kasar direduksi, dan bahkan bila perlu dipasang

maxillomandibular fixation (MMF). Kebanyakan dari ahli bedah akan memilih untuk menunggu

sampai edema menghilang, sebelum melakukan operasi pada tulang-tulang wajah. Pada kasus

apa saja, tidak direkomendasikan menunggu lebih lama dari dua minggu postrauma sebelum

dilakukan fiksasi tulang untuk menghindari terjadinya malunion, kontraksi jaringan, dan jaringan

parut.

Evaluasi Diagnostik Pasien Dengan Trauma Wajah

Diagnosis trauma wajah didasarkan atas pemeriksaan fisik menyeluruh dan penunjang

radiologis. Walaupun ada berbagai proyeksi foto wajah dan kepala, semua informasi yang

dibutuhkan dapat diperoleh dari CT-scan irisan coronal, axial dan sagital. Satu-satunya gambaran

radiologis yang dibenarkan adalah foto panorex mandibula dan tampak gigi.

Diagnosis trauma wajah lebih sulit pada anak-anak dan orang tua. Walaupun hanya

terlihat luka kecil seperti abrasi atau memar, bisa saja terjadi fraktur tulang. Pengobatan terhadap

robekan wajah tidak boleh ditunda dan bahkan dapat dilakukan di unit gawat darurat. Laserasi

dan luka-luka lain yang ada harus banyak diirigasi, dibersihkan,dan ditutup lapis demi lapis

untuk memperoleh hasil yang baik.

Tanda dan gejala dari trauma facial termasuk nyeri, krepitus, paralise dari saraf motorik

spesifik, hipo atau hiperestesia, gangguan tajam penglihatan, diplopia, maloklusi gigi, deformitas

wajah atau asimetri, robekan, memar, perdarahan, edema, ekimosis, dan kesulitan bernafas.

Pemeriksaan harus dimulai dengan inspeksi terhadap adanya asimetri wajah dan deformitas.

Dilanjutkan dengan palpasi terhadap penonjolan tulang yaitu: os frontalis, rima orbita superior,

lateral, inferior dan medial, os nasal, arkus zygomaticus, eminentia malaris, maxillaris, tepi

mandibula, proc. alveolaris pada maxilla dan mandibula.

Pemeriksaan dan palpasi pada daerah periorbita harus dilakukan untuk memeriksa adanya

nyeri tekan, defek kontur, dan krepitus. Mungkin dapat ditemukan adanya dystopia (kedua bola

mata tidak dalam kedudukan yang sejajar), enophtalmus, proptosis, atau diplopia, yang

4

Page 5: Trauma Maxillofacial

kesemuanya mengindikasikan adanya fraktur orbita, zygomaticum, atau maxillaris. Diperlukan

konsultasi ke bagian mata pada pasien dengan trauma di daerah tersebut.

Pemeriksaan hidung meliputi pemeriksaan intranasal untuk mencari adanya robekan atau

hematoma. Pemeriksaan eksternal meliputi pemeriksaan terhadap dorsum nasi, untuk mencari

adanya deformitas, deviasi, kolaps os nasi atau instabilitas, dan robekan.

Pada pasien yang sadar, otot-otot wajah (N VII) dan fungsi lidah (N XII) dapat dengan

mudah diperiksa. Pada pasien yang tidak sadar, evaluasi awal nervus kranialis menjadi tidak

mungkin. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan serial selang beberapa hari untuk memeriksa

fungsi saraf kranialis, saat pasien telah sadar dan kooperatif.

Pada pemeriksaan fungsi mengunyah, arkus dentis maksila dan mandibula diperiksa

untuk mencari adanya ketidakteraturan tulang, robekan, gigi yang goyah, hematom,

pembengkakan, krepitus, dan nyeri tekan atau goyang. Penutupan antar gigi geligi dan hubungan

antar mahkota gigi juga diperiksa, dan mungkin merupakan satu-satunya bukti adanya fraktur.

Trismus juga didapatkan pada fraktur maxillaris, mandibula, dan zygomaticum.

Pemeriksaan gigi yang hati-hati dilakukan untuk mencari adanya gigi yang berlubang, patah atau

lepas. Pada fraktur condyler dan subcondyler, menempatkan satu jari pada lubang telinga dan jari

lainnya pada caput condyler, memungkinkan pemeriksa untuk merasakan pergerakan rahang atau

krepitus. Sebagai tambahan, dapat pula ditemukan adanya darah atau cairan yang keluar dari

lubang telinga, yang dapat menunjukkan adanya laserasi, fraktur fossa kranialis media dengan

akibat kebocoran liquor, atau dislokasi condyler. Perdarahan dari hidung dapat menunjukkan

adanya trauma os nasi, fraktur Le Fort, fraktur orbital dan nasoethmoidale, atau fraktur fossa

cranii anterior. Pemeriksaan mobilitas maksila juga dilakukan untuk menentukan ada tidaknya

fraktur Le Fort. Akhirnya, adanya rhinorea karena kebocoran cerebrospinal fluid (CSF), dapat

dilihat pada keadaan fraktur basis anterior dan media, atau fraktur cribriform plate.

Pada pemeriksaan neurosensoris, mungkin ditemukan adanya hipoestesia atau anesthesia

pada distribusi salah satu cabang dari saraf trigeminal (N V). Hal ini menunjukkan adanya

fraktur yang terletak disepanjang tulang yang dilalui oleh saraf tersebut atau trauma yang

diakibatkan oleh laserasi jaringan lunak. Saraf ini bisa saja robek atau hanya mengalami kontusi,

yang dapat diduga dari adanya neuropraxia. Saraf yang mengalami neuropraxia umumnya dapat

5

Page 6: Trauma Maxillofacial

pulih kembali. Cabang-cabang saraf ini berjalan melalui foramina, yang merupakan bagian

lemah dari tulang, sehingga ketika terjadi fraktur, dapat merusak saraf tersebut.

Imaging

Dengan ketersediaan kualitas dan resolusi gambar yang ada saat ini. CT scan telah menggantikan

peran foto polos biasa dalam membantu menegakkan diagnosis trauma maxillofacial. CT scan

kraniofasial meliputi irisan aksial, koronal dan sagital dengan tulang dan jaringan sebagai

jendelanya (soft tissue dan bone window). Pemeriksaan ini harus terlebih dahulu dilakukan

sebelum tindakan pembedahan. Jendela tulang (bone window) memungkinkan untuk secara

akurat melihat adanya fraktur. Proyeksi khusus semisal apek orbital, memungkinkan pembesaran

gambaran di daerah ini.

TRAUMA JARINGAN LUNAK

Etiopatogenesis

Penyebab terbanyak perlukaan jaringan lunak pada wajah adalah kecelakaan kendaraan

bermotor. Perlukaan ini meliputi: laserasi, abrasi, memar dan avulsi. Pendekatan terapi dan

komplikasi yang mungkin terjadi, sering tergantung dari jenis perlukaan. Oleh karenanya, mutlak

diperlukan deskripsi luka yang akurat. Secara kasar, 25 % dari laserasi wajah, juga diikuti oleh

adanya fraktur. Pengetahuan tentang anatomi wajah akan membantu evaluasi trauma soft tissue

yang potensial melibatkan saluran air liur, Nn kranialis V dan VII, otot-otot dan pembuluh darah

besar.

Anatomi

Penatalaksanaan trauma jaringan lunak memerlukan pengetahuan yang menyeluruh mengenai

anatomi wajah. Dari luar ke dalam berturut-turut: kulit, jaringan subkutan, superficial

musculoaponeurotic system (SMAS), jaringan areolar halus, dan mukosa. Memahami hal ini

akan membantu mengidentifikasi struktur yang terlibat dan memastikan luka-luka yang ada telah

ditutup dengan baik.

6

Page 7: Trauma Maxillofacial

Nervus fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stylomastoideus, memasuki

kelenjar parotis, berjalan pada sisi lateral wajah, ke dalam menuju otot-otot mimik wajah, dan

menginervasinya pada permukaan sebelah dalam. Perkecualian pada inervasi sisi dalam ini

adalah pada m. buccinators, levator labii superioris, orbicularis oris, dan depressor angularis oris.

Kelenjar parotis terletak pada sisi lateral dari wajah dari arkus zygomatikus di superior,

sampai angulus mandibula di inferior, dan telinga di posteriornya dan pertengahan pipi sebagai

batas anteriornya. Saluran kelenjar parotis berjalan sepanjang garis melintang, mulai dari tragus

sampai ke pertengahan bibir atas dan bermuara ke rongga mulut, dan melalui duktus Stensen,

berlawanan dengan molar kedua maksila. Duktus ini sering berjalan bersamaan dengan cabang

buccal dari N. fasialis dan sering terjadi keduanya terluka bersamaan pada saat terjadinya laserasi

pada sisi lateral dari wajah.

Suplai darah berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna- facial, maxillaris interna,

dan temporalis superfisialis. Pada daerah basis cranii, cabang-cabang dari V. Jugularis Interna

dan sirkulasi intrakranial memiliki komunikasi tanpa katup.

Pembuluh limfe bermuara ke posterior dan lateral. Jaringan yang terlepas dapat

menghambat drainase limfa, yang sering mengakibatkan lymphedema. Kelainan kontur wajah

dapat terjadi sebagai akibat deformitas oleh karena adanya bulging jaringan lunak.

Gambar 1. Anatomi maxillofacial

7

Page 8: Trauma Maxillofacial

Gambar 2. Vaskularisasi

Diagnosis

Sebelum pemeriksaan trauma fasial, terapi awal dari pasien dengan trauma wajah difokuskan

pada manajemen kondisi yang mengancam jiwa. Setelah dilakukan pemeriksaan awal ini,

pemeriksaan terhadap trauma wajah dapat dilakukan. Pemeriksaan harus dilakukan menyeluruh

dan teliti serta sistematis untuk menghindari adanya trauma yang terlewatkan. Pemeriksaan dapat

dimulai dari vertek dan berlanjut ke kaudal dari puncak kulit kepala sampai dasar leher.

Tujuan dilaksanakannya pemeriksaan luka pada jaringan lunak adalah untuk

mengidentifikasi kerusakan yang terjadi dan keberadaan benda-benda asing. Ujung struktur yang

terpotong, jika diisolasi dapat dibuat untuk bisa diperbaiki di kemudian hari. Benda-benda asing

dapat menyebabkan risiko terjadinya infeksi bertambah karena jumlah inokulum yang diperlukan

menjadi berkurang dari 105 menjadi 102 per gram jaringan.

Perdarahan yang terjadi dikontrol terlebih dahulu dengan penekanan (kompresi), namun

pada akhirnya harus diligasi secara hati-hati. Tehnik hemostasis dengan menggunakan kauter,

harus berhati-hati, karena berisiko merusak saraf, lemak atau otot di sekelilingnya. Jika

perdarahan berlangsung lama, maka penyelidikan lebih lanjut dengan arteriografi diperlukan.

8

Page 9: Trauma Maxillofacial

Hemostasis yang buruk dapat berakibat terjadinya hematoma. Seperti hematoma di derah

lain dari tubuh. Hematoma yang terjadi di daerah wajah merupakan daerah yang tanpa

vaskularisasi, sulit dicapai oleh antibiotik dan sel darah putih. Biasanya hematoma akan hilang

sendiri, namun memerlukan waktu yang agak lama. Waktu ini dapat dipersingkat dengan

meletakkan pemanas dengan kehangatan dan kelembaban yang cukup, dimulai dari hari ke-3

setelah trauma. Terkadang hematoma terlokalisir dan dianggap sesuai untuk evakuasi. Proses ini

dilakukan dengan anestesi umum, dengan ujung suction dimasukkan ke daerah hematom melalui

insisi. Pasien harus diingatkan tentang risiko terjadinya hiperpigmentasi ketika hematom terpapar

sinar matahari.

Anestesi umum atau lokal khususnya diperlukan sewaktu proses pemeriksaan pada pasien

pediatri. Dokumentasi imaging yang cukup baik dalam hal kualitas dan kuantitas, juga

diperlukan dalam pemeriksaan untuk menunjang diagnosis dan bagi pasien, untuk mengetahui

luasnya luka dan efektivitas pengobatan yang dilakukan.

Kontaminasi tergantung dari waktu yang terlewat setelah terjadinya trauma. Semakin

lama jarak waktu antara terjadinya perlukaan dan saat pembersihan luka, maka akan semakin

besar pula risiko kontaminasi. Semakin lama waktunya, maka diperlukan tindakan pembersihan

yang lebih agresif seperti misalnya, debridemen, irigasi tekanan tinggi, dan scrubbing

(menyikat).

Permukaan kulit yang terkontaminasi, harus dibersihkan dari benda-benda asing.

Dermabrasi superfisial yang terjadi berisiko untuk meluas sampai ke lapisan lebih dalam dan

menyebabkan jaringan parut hipertrofi yang menonjol. Sisi luka yang koyak dan mati harus di

eksisi tajam. Biasanya dengan melakukan 1-2mm eksisi pada tepi luka, sudah mencukupi untuk

mengubah luka traumatik menjadi luka eksisi bedah yang akan menghasilkan penyembuhan dan

tampilan kosmetik yang lebih baik. Eksisi yang sangat konservatif direkomendasikan pada

daerah-daerah kritis seperti: palpebra, alis, cuping hidung dan vermillion border. Pertimbangan

pemberian imunisasi tetanus pada semua trauma facial juga diperlukan, oleh karena potensi

kontaminasi pada luka. Dengan adanya kontaminasi yang jelas dan tanpa riwayat imunisasi

sebelumnya, maka direkomendasikan untuk diberikan injeksi 250 IU tetanus Ig, bersamaan

dengan 0,5 ml vaksin tetanus. Imunisasi diselesaikan dengan dua booster tambahan pada interval

bulanan.

9

Page 10: Trauma Maxillofacial

JENIS - JENIS TRAUMA JARINGAN LUNAK WAJAH DAN

PENATALAKSANAANNYA

Laserasi

Hal yang paling penting untuk diingat dalam memperbaiki luka robekan pada wajah adalah

eksisi tepi marginal luka dan penutupan berlapis. Luka dengan tepi tidak teratur, hancur dan

mengandung jaringan mati diubah menjadi lurus dengan insisi yang akan meningkatkan

kosmetik pada waktu penutupan dan juga mengurangi risiko terjadinya infeksi. Tahapan dasar

dalam penutupan luka meliputi perbaikan struktur-struktur yang lebih dalam terlebih dahulu

yaitu; tulang, kelenjar, duktus dan saraf. Diikuti dengan aproksimasi terhadap otot, lemak,

dermis dan epidermis. Penggunaan jahitan dengan benang halus yang dapat diserap hendaknya

cukup kuat untuk mempertahankan penyatuan kulit setelah jahitan kulit dilepaskan pada hari ke-

3 dan ke-5. Pengangkatan jahitan lebih dini, yaitu pada hari ke-5 dan ke-7 post operasi,

mencegah terbentuknya bekas jahitan dan jaringan parut. Dokter harus selalu menginformasikan

kepada pasien atau anggota keluarganya bahwa, mungkin akan diperlukan rekonstruksi ulang

dikemudian hari.

Luka Gigitan

Luka gigitan binatang atau manusia sering dijumpai. Point penting yang harus diingat adalah (a)

kemungkinan terjadinya kontaminasi yang tinggi oleh karena flora oral yang banyak, dan (b)

penggunaan antibiotika sistemik merupakan terapi standar. Irigasi yang banyak dan eksisi tajam

dari tepi luka yang terkontaminasi, selanjutnya diikuti dengan pemberian profilaktik antibiotika

dengan Penicillin untuk mencegah potensi infeksi dari Pasteurella multocida dari gigitan kucing,

dan antibiotika spektrum luas untuk gigitan manusia (gram +, gram -, bakteri aerob dan anaerob).

Wajah adalah salah satunya daerah yang dipertimbangkan untuk penutupan luka secara primer,

namun debridemen dan irigasi harus menyeluruh.

Trauma Nervus Fasialis Dan Otot

Inspeksi yang dikombinasikan dengan pemeriksaan fisik, mungkin menunjukkan adanya robekan

dari nervus facialis. Pada daerah di sebelah distal dari garis yang ditarik secara vertikal dari

kantus lateral, memiliki percabangan-percabangan dan komunikasi saraf yang luas, sehingga

10

Page 11: Trauma Maxillofacial

mengurangi terjadinya defisit fungsional saraf ketika terjadinya luka pada daerah ini. Walaupun

demikian, jika ditemukan luka, maka hendaknya ujung saraf yang terpotong harus diisolasi dan

disambungkan dengan tehnik microsurgery dalam waktu 72 jam.

Penyambungan otot akan memungkinkan regenerasi saraf pada taraf tertentu melalui

neurotisasi. Selain itu, keseimbangan dan aktivitas pergerakan otot-otot wajah akan lebih baik

dipulihkan dengan penyatuan otot-otot.

Trauma Nervus Trigeminus

Saraf sensoris pada wajah memiliki percabangan yang luas, yang menimbulkan pertanyaan

apakah mutlak diperlukan suatu perbaikan. Perkecualian dibuat jika laserasi saraf terjadi

berdekatan dengan foramen-foramen tengkorak (supraorbital, infraorbital, dan mental).

Umumnya, seseorang melakukan perbaikan saraf sensoris, dengan maksud untuk mencegah

terbentuknya neuroma yang menyakitkan.

Trauma Kelenjar Parotis

Bukti adanya trauma pada duktus parotideus bisa dikonfirmasi dengan melakukan irigasi

retrograde pada duktus Stensen, walaupun untuk melihat ekstravasasi cairan yang menuju ke

luka. Perbaikan pada duktus diikuti dengan perbaikan pada tulang. Duktus parotideus berjalan

sepanjang garis tengah ketiga dari tragus ke titik tengah bibir bagian atas. Saraf fasial cabang

buccalis terletak sangat dekat dengan duktus parotideus pada daerah tersebut.

Perbaikan pada duktus parotideus meliputi dilatasi pada orifisium intraoral dengan

lakrimal dilator, yaitu insersi tube kecil silikon ke ujung duktus yang berfungsi sebagai stent dan

menjahit ujung duktus diatas tube silikon dengan benang 8.0 yang tidak diabsorbsi. Tehnik

microsurgery dapat digunakan. Ligasi duktus parotideus tidak direkomendasikan untuk dua

alasan. Pertama, adanya pertimbangan dapat terjadinya pembengkakan kelenjar dengan atropi

sekunder dan yang kedua, munculnya infeksi kronis yang memerlukan dilakukannya

parotidectomy. Sebaliknya, kerusakan terhadap kelenjar atau pembuluh darah submandibular

dapat diatasi dengan ligasi pembuluh. Eksisi kelenjar merupakan pilihan lain untuk trauma

kelenjar submandibular.

11

Page 12: Trauma Maxillofacial

Trauma Kelopak Mata

Sebelum kelopak mata diperbaiki, inspeksi dan pemeriksaan bola mata yang teliti adalah hal

yang terpenting. Hal ini harus didahulukan daripada perbaikan jaringan lunak. Konjungtiva,

tarsal, septal, levator, dan orbicularis oris dapat diperbaiki dengan menggunakan benang yang

dapat diabsorbsi. Terjadinya ptosis akibat gangguan pada levator jika tidak dilakukan perbaikan.

Dalam penutupan lapisan eksternal, menjarit dengan mengikat bola mata untuk menghindari

iritasi kornea dan konjungtiva.

Kecacatan kelopak mata dapat ditutupi dengan mobilisasi kelopak dan lateral

canthotomy. Hal tersebut melepas sisa kelopak bawah untuk mobilisasi medial. Penutupan kulit

dilakukan dengan penjaritan yang hati-hati. Ketepatan alignment of gray line, batas kelopak

internal, dan silia merupakan hal yang krusial untuk estetika dan reparasi fungsional. Dalam

menutup kecacatan kelopak mata, potensial untuk terjadinya ektropion sehingga harus

diwaspadai. Ektropion dapat terjadi bila kelopak mata berkontraksi terhadap jaringan parut dan

sklera bisa terlihat. Teknik untuk mencegah komplikasi tersebut adalah berhati-hati dan haruslah

sangat cermat serta teliti dalam menutup semua lapisan anatomi setelah lingkaran orbita inferior

terpapar yang dapat dilakukan dengan tehnik Frost sutura (gambar 3) pada margin kelopak mata

selama 24 sampai 48 jam untuk mempertahankan panjang kelopak yang tepat. Adanya perawatan

dan campur tangan dari ahli bedah plastik dapat membantu memberikan hasil akhir yang

optimal.

Gambar 3. Frost suture

12

Page 13: Trauma Maxillofacial

Trauma Sistem Lakrimal

Trauma pada daerah kantus medial dapat menyebabkan kerusakan pada kanalikuli lakrimale atau

kantungnya. Hal ini dapat dinilai dengan kanulasi punktum pada pemeriksaan lakrimale. Adanya

laserasi dibuktikan dengan pemeriksaan visualisasi pada luka. Jika terdapat trauma, punktum

dikanulasi dengan tube Crawford yang terpasang melalui hidung dan dibiarkan selama 4 minggu.

Jika kanulasi tidak mungkin dilakukan, tetap dilakukan perbaikan pada laserasi. Perlu

dilakukannya dacryocystorhinostomy jika terjadi epifora.

Laserasi Nasal

Karena letaknya menonjol, hidung biasanya disertai dengan trauma jaringan lunak yang lainnya

pada wajah. Untuk mempertahankan kontur nasal diperlukan penanganan terpisah terhadap

kecacatan pada kulit, kartilage, dan mukosa membrane dan debridemen sebaiknya dilakukan

minimal. Mukosa nasal direparasi dengan chromic suture. Sedangkan kartilage direparasi dengan

monofilament suture. Untuk kulit juga direparasi dengan monofilament suture dengan eversi

yang baik dari tepi kulit. Avulsi jaringan lunak dapat direkonstruksi dengan flap lokal atau

regional untuk memperbaiki mukosa, tulang rangka, dan kulit eksternal. Penggunaan cartilage

graft terkadang diperlukan. Adanya hematom septum sebaiknya dievakuasi untuk mencegah

perforasi septum yang potensial.

Laserasi Bibir

Reparasi jaringan lunak wajah yang didiskusikan pada hal ini mempunyai pokok-pokok yang

harus diperhatikan yaitu penutupan lapisan dan penjajaran tepi yang tetap. Tidak dimanapun

pada wajah, perhatian terhadap rinciannya lebih penting daripada margin vermilion bibir. Kulit,

orbikularis oris, dan mukosa seharusnya dijajarkan dan direparasi dengan tepat, khususnya pada

pars orbikularis oris (anyaman tebal otot orbikularis) disebelah bawah dari vermilion bibir.

Vermilion sebaiknya diberi tanda dengan methylene blue sebelum pemberian anastesi lokal,

yang dapat mengubah petunjuk. Walaupun posisi vermilion yang tepat sangatlah penting, satu

hal yang perlu diingat bahwa perkiraan otot orbikularis membentuk penjajaran vermilion. Seperti

pernyataan sebelumnya, debridemen pada daerah bibir sebaiknya diminimalkan, khususnya pada

area Cupid bow (simpul). Bisa terjadi kelainan bentuk yang tidak dapat dikoreksi.

13

Page 14: Trauma Maxillofacial

Trauma Alis

Seperti pada robekan bibir, trauma pada alis harus diterapi dengan debridemen yang minimal.

Ketebalan alis bervariasi menurut panjangnya. Adanya reseksi yang dilakukan akan

menyebabkan timbulnya deformitas alis yang berupa terpotongnya sebagian alis. Deformitas

demikian hanya dapat diperbaiki dengan transplantasi alis. Penyambungan luka yang dilakukan

harus memperhatikan adanya trauma pada N. Supraorbital.

Trauma Daun Telinga

Seperti trauma yang terjadi pada hidung, penonjolan aurikula akan menyebabkan sering terjadi

trauma. Sering terjadi pula terbentuk hematoma. Hematoma yang terjadi harus dievakuasi dan

dicegah supaya tidak terjadi lagi. Bisa juga dilakukan pemasangan drain selama 24 jam untuk

mengurangi pembentukan hematoma. Hematoma yang tidak dievakuasi dapat menyebabkan

deformitas berupa fibrosis dan “cauliflower ear”. Apabila terjadi avulsi jaringan, maka jaringan

ini dibungkus dengan gaas steril yang telah dibasahi saline steril, kemudian ditempatkan dalam

kantong plastik, sebelum ditaruh dalam wadah berisi es. Jika luka yang terjadi sampai ke liang

telinga, laserasi yang terjadi diperbaiki dan kanalis diberikan penyangga (stent) untuk mencegah

stenosis.

Avulsi Jaringan

Trauma avulsi atau kehilangan jaringan yang menyebabkan penutupan primer tidak dapat

dilakukan, dapat terjadi. Luka besar ini dapat diperbaiki dengan undermining local, flap lokal

atau skin graft. Daerah dengan vaskularisasi yang jelek dapat ditutup dengan penutupan primer

tertunda.

TRAUMA PADA TULANG WAJAH

Fraktur Sinus Frontalis

Epidemiologi

Fraktur sinus frontalis relatif jarang sebagai kelanjutan trauma fasial, sekitar 5-15% dari fraktur

fasial. Pada umumnya, 60% cedera pada sinus frontalis meliputi trauma pada lapisan anterior

14

Page 15: Trauma Maxillofacial

dan posterior. Fraktur pada lapisan anterior terjadi pada 33% kasus, dan sisanya terjadi pada

lapisan posterior.

Anatomi

Sepasang sinus frontalis tidak berisi udara hingga berusia 2 tahun. Sinus frontalis secara

radiografi baru dapat terlihat berisi udara setelah usia 8 tahun Pneumatisasi tidak terjadi hingga

berusia 15 tahun, dengan maksimal ekspansi tidak tercapai sampai usia 19 tahun. Struktur sinus

frontalis dibatasi pada bagian anterior dengan lapisan anterior dan bagian posterior dengan

lapisan posterior, bagian superior oleh dasar fossa cranii anterior, bagian inferior oleh atap orbita,

dan pada bagian medial oleh septum intersinus.

Jika terdapat cedera sangat penting dilakukan identifikasi terhadap frontonasal duct

(FND). Sebab struktur tersebut merupakan bagian yang paling anterior dan superior dari

komplek ethmoidale anterior, yang berperan utama dalam pengaliran sinus frontalis menuju

meatus media. Batas-batasnya adalah processus uncinatus pada bagian anterior, anterior

ethmoidale air cells pada bagian posterior, bagian medial dari middle turbinate pada medial, dan

lamina papyracea atau suprainfudibular plate pada bagian lateral.

Arteri yang mensuplai sinus frontalis berasal dari arteri supraorbital, supratrochlear, dan

ethmoidale anterior. Sedangkan sistem vena terbagi menjadi vena superfisial dan profunda.

Aliran vena superfisial melewati vena angular, sedangkan vena profunda menuju sistem vena

subdural melalui foramina Breschet. Aliran limfe mengikuti meningeal dan limfe rongga hidung.

Kompleksitas dari sistem-sistem tersebut berisiko untuk terjadinya meningitis atau abses otak

setelah terjadinya fraktur sinus frontalis walau tidak adanya fraktur dinding posterior.

Diagnosis

Setiap laserasi, hematoma, atau ekimosis dari daerah dahi dan regio glabella, harus diwaspadai

untuk kemungkinan terjadinya fraktur. Dapat terjadi ekimosis subkonjungtival dan adanya

kebocoran liquor dari hidung. Jika dicurigai adanya kebocoran liquor, uji halo atau analisa

laboratorium dari cairan yang diambil dari hidung untuk deteksi beta-2 transferin, dapat

digunakan untuk mengenali liquor. Sebagai tambahan, seluruh daerah harus dipalpasi untuk

mencari adanya ketidakteraturan tulang (mis, deppresi, krepitus), dengan perhatian ditujukan

pada rima orbitalis superior. Dapat terjadi anesthesia pada disribusi dari nervus supraorbital.

Pembengkakan yang terjadi dapat mengaburkan adanya depresi pada beberapa hari pertama

15

Page 16: Trauma Maxillofacial

setelah trauma. Dalam mendiagnosis fraktur sinus frontalis tidak cukup dengan pemeriksaan fisik

yang baik namun diperlukan pemeriksaan tambahan imaging.

Analisis Radiografi

Untuk penilaian pada trauma sinus frontalis, pemeriksaan imaging yang utama adalah CT-scan

irisan axial dan coronal. Evaluasi lengkapt meliputi penentuan terlibatnya dinding anterior dan

posterior, ada tidaknya fraktur displaced, dan trauma pada intrakranial atau FND. Tidak

berfungsinya duktus ditunjukkan dengan adanya air-fluid level pada sinus frontalis.

Patognomonis FND pada CT meliputi adanya fraktur komplek ethmoidale anterior dan fraktur

dasar sinus frontalis. Pada fraktur yang kecil tidak selalu dapat diidentifikasi dengan radiografi,

terutama nondisplaced.

Penatalaksanaan

Pilihan terapi yang ada meliputi bedah dan non bedah. Adanya fraktur pada tabula anterior,

posterior, dan FND mengindikasikan perlunya intervensi bedah yang harus dilakukan paling

tidak dalam minggu-minggu pertama. Terapi dini menurunkan insiden komplikasi jangka

panjang.

Adapun indikasi dilakukannya intervensi bedah yaitu depresi pada tabula anterior,

keterlibatan FND pada pemeriksaan radiografi, teridentifikasi obstruksi FND dengan

ditemukannya persisten air-fluid level atau terbentuknya mucocele, fraktur displaced pada tabula

posterior yang yang kemungkinan mencederai duramater, dan adanya kebocoran CSF tanpa

resolusi setelah hari ke 4 hingga ke 7. Pada fraktur yang nondisplaced dan simpel linear

seringkali tidak memerlukan pembedahan.

Fraktur Dinding Anterior

Intervensi pembedahan untuk fraktur dinding anterior ditentukan oleh derajat displacement

tulang dan kominutif begitu pula dengan lokasi fraktur (mis. fraktur rima supraorbital). Fraktur

dinding anterior yang nondisplaced diterapi secara konservatif, dengan pemberian antibiotika

selama 7 hari dan dilakukan follow up dengan CT-scan lanjutan setelah 12 bulan. Perhatian

ditujukan kepada ada tidaknya infeksi lanjut dan pembentukan mucocele, yang memerlukan

follow up jangka panjang.

Biasanya, gangguan fungsi estetika yang disebabkan oleh adanya depresi tabula anterior,

memerlukan perbaikan dengan pembedahan untuk mengembalikan kontur dari dahi. Eksposure

16

Page 17: Trauma Maxillofacial

yang baik dari lapangan operasi sangat diperlukan untuk menjamin kontur tulang yang baik.

Tujuannya adalah untuk mengembalikan kontur yang tepat agar tidak mengganggu fungsi

kosmetis dari os frontal dan derah fronto-orbital. Bone graft mungkin diperlukan jika terjadi

fraktur kominutif atau kontaminasi pada tulang yang patah.

Fraktur Dinding Posterior

Fraktur dinding posterior yang terisolasi jarang terjadi. Fraktur dinding posterior biasanya

disertai juga dengan fraktur dinding anterior. Jika fraktur dinding posterior adalah nondisplaced,

adanya kerusakan FND dan/atau kebocoran liquor mengarahkan dilakukannya intervensi

pembedahan. Fraktur nondisplaced tanpa kebocoran liquor diterapi secara konservatif dengan

pengawasan ketat. Rhinorrhea liquor, jika ada, dapat diterapi awal dengan elevasi kepala 30

derajat, dan pasien diharuskan tirah baring total. Jika kebocoran terjadi melebihi 4 hari, drainase

spinal dapat dipertimbangkan untuk mempercepat resolusi.

Pembedahan diperlukan pada fraktur dinding posterior dengan displaced yang bermakna,

fraktur kominutif, atau fraktur yang nondisplaced dengan kebocoran liquor yang persisten.

Tatalaksana terdiri dari kranialisasi dari sinus frontal. Prosedur ini melibatkan pengangkatan dari

keseluruhan dinding posterior diikuti dengan perbaikan robekan dura oleh ahli bedah saraf.

Fraktur Duktus Frontonasal

Pentingnya mengidentifikasi fraktur FND pada trauma sinus frontal tidak boleh terlalu

ditekankan sebagai indikasi absolut pembedahan. Lebih jauh, oleh karena trauma FND

menyertai sekitar 55% dari keseluruhan fraktur sinus frontal, maka diperlukan kemampuan untuk

mengenali FND trauma baik secara radiologis maupun intraoperatif.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi setelah terjadinya fraktur sinus frontalis yaitu deformitas kontur

sehingga tidak estetika, infeksi, terbentuknya mucocele, trauma intrakranial, kebocoran CSF, dan

cedera pada mata.

Fraktur Orbita

Anatomi

Orbita (lekuk mata) terbentuk dari maxilla, zygomaticum, ethmoidale, os frontal, os lacrimale,

ala major dan minor osiss sphenoidalis, dan os palatinum. Rongga orbita seperti “cone”, namun

17

Page 18: Trauma Maxillofacial

batas-batasnya jelas baik dinding medial, lateral, superior, dan inferior (gambar 4). Dinding

superior cukup tipis namun jarang terjadi fraktur pada regio tersebut sebab adanya proteksi dari

os frontal dan sinus dan rima orbita yang tebal. Anak-anak predisposisi terjadi fraktur atap

karena craniumnya lebih besar dan sinus frontal tidak terdapat udara. Dinding lateral dibentuk

oleh os frontal, zygomatikum, dan ala major osiss sphenoidalis, sehingga dinding lateral menjadi

kuat dan jarang terjadi fraktur. Yang umum terjadi adalah fraktur zygomatikum, dimana zygoma

berartikulasi dengan ala major osiss sphenoidalis.

Dinding inferior relatif lemah dan rentan terjadi fraktur. Sama halnya dengan dinding

medial yang lemah dibentuk dari os lacrimale dan lamina papyracea dari ethmoidale yang tipis.

Pada regio tersebut, sakus lacrimale dapat menglami trauma. Begitu juga, tendon kantus medial

dapat mengalami avulsi atau disrupsi.

Gambar 4. Anatomi os orbita

Biomekanika Trauma

Mekanisme terjadinya fraktur pada dasar dan dinding medial, melalui transmisi kekuatan

langsung pada rima orbita dan transmisi kekuatan dari bola mata dan isi orbita yang lainnya

(gambar 5).18

Page 19: Trauma Maxillofacial

Gambar 5. Blowout fraktur

Evaluasi Klinis

Gejala klinis fraktur blowout yang paling umum adalah diplopia dan enopthalmos. Selain itu,

dapat ditemukan terjadinya epistaksis, emfisema orbita yang dapat menyebabkan oklusi arteri

retina, neuropati trauma optikal, kebutaan retrobulbar, dan hipo- atau anatesia pada distribusi

persarafan infraorbita. Darah dapat berakumulasi pada sinus maxillaris dan menyebabkan

epistaksis.

Emery, dkk mengobservasi diplopia pada fraktur blowout, bahwa terjadi perbaikan dalam

15 hari pada 55% pasien dan persisten pada 27%. Diplopia terjadi akibat adanya restriksi

pergerakan okuli. Bermanifestasi pada penglihatan sentral, yang sangat bermasalah atau pada

pandangan perifer. Penyebab mekanis diplopia adalah restriksi pergerakan akibat

terperangkapnya isi intraorbita (otot rektus, ligament Lockwood, lemak periorbita, atau kapsula

Tenon) oleh fraktur, yang dapat dibuktikan dengan tes forced duction, yaitu gagalnya bola mata

untuk bergerak pada arah yang ditentukan. Namun tes tersebut tidak selalu akurat pada keadaan

akut. Penyebab nonmekanis diplopia akibat cedera pada otot ekstraokuli, cedera saraf pada otot

ekstraokuli, edema, dan hematoma.

Enopthalmus diukur dari perbedaan antara permukaan kornea dan rima orbita lateral.

Pada pemeriksaan didapatkan pseudoptosis dan sulkus superior diatas kelopak mata bagian atas.

Enopthalmus dapat dinilai secara objektif menggunakan Herthel exophthalmometer, yang

bermakna jika terdapat perbedaan 3 mm antara kedua mata.

19

Page 20: Trauma Maxillofacial

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada mata seperti tajam penglihatan (visual acuity),

reaktivasi pupil, pergerakan mata, lapang pandang, tekanan intraokuli (TIO), dan fundoskopi.

Tes forced duction dengan anastesi topikal dapat dilakukan sebelum pemeriksaan seperti diatas

dilakukan. Jika adanya pergerakan mata yang abnormal dapat disimpulkan adanya cedera pada

otot okuli atau pada saraf 3, 4, atau 6.

Evaluasi radiografi sangatlah penting dengan CT-scan irisan axial dan coronal. CT-scan

adalah gold standar untuk diagnosis fraktur blowout dan pemeriksaan radiografi lainnya kadang

tidak dibutuhkan. Pada CT-scan dapat dilihat karakteristik fraktur dan visualisasi adanya cedera

pada soft tissue seperti otot ekstraokuli. Pada irisan sagittal dapat dilihat adanya hubungan antara

fraktur dan axis dari bola mata, dimana pada fraktur blowout hubungan tersebut berpengaruh

pada pasien yang predisposisi terjadi enopthalmos. Volume orbita dapat diperkirakan dengan

CT-scan. Jika terdapat defek >1 cm2 pada dasar orbita direkomendasikan untuk dilakukan

pembedahan.

Tatalaksana

Indikasi dilakukan pembedahan pada fraktur orbita jika terdapat enopthalmos > 2mm, diplopia

yang persisten (>2 minggu), terbukti adanya penjeratan soft tissue pada CT-scan atau tes forced

duction, ditemukan defek pada dasar orbita yang besar (>1 cm2), dan hipoglobus yang bermakna.

Insisi yang digunakan saat ini melalui insisi transkonjungtiva, subsiliari, dan subtarsal.

Dasar orbita dapat dicapai dengan pendekatan Caldwell-Luc, yaitu insisi pada gingivobuccal atas

dan menilai dasar orbita dengan antrotomy maxillaris. Selain itu bisa menggunakan endoskopi.

Insisi transkonjungtiva tidak meninggalkan jaringan parut tetapi bisa terjadi pemendekan kelopak

mata bagian bawah dan enteropion.

Metode primer untuk memfiksasi fraktur dasar orbita adalah rekonstruksi dasar pada

tulang atau menggunakan material alloplastik. Material graft autogenous antara lain split

cranium membranous bone, iliac bone, split rib, kartilage, dan fasia lata, yang memiliki risiko

infeksi rendah namun dapat diserap. Sedangkan implan alloplastik seperti titanium mesh,

polymer yang dapat dan atau tidak terabsorbsi, Teflon, Supramyd, Silastic, Gelfilm, dan lain-

lainnya, yang memberi keuntungan tidak menyebabkan morbiditas pada donor dibandingkan

dengan graft autogenous.

20

Page 21: Trauma Maxillofacial

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi, tidak tumbuhnya vaskularitas, persisten diplopia,

persisten enopthalmos, retraksi pada kelopak mata bawah, dan superior orbital fissure syndrome

(SOFS).

Infeksi terjadi karena pemasangan implan yang memiliki pseudokapsul, seperti silikon

atau Teflon, yang juga mencegah tumbuhnya vaskularisasi. Selain itu, high-density porous

polyethylene (MedPor2) dan coralline hidroxyapatite juga menyebabkan terhambatnya

vaskularisasi.

Persistensi diplopia setelah terapi pembedahan akibat adanya tidak komplitnya pelepasan

jaringan lunak yang terperangkap, adanya adesi antara jaringan lunak dengan graft rekontruksi.

Tes forced duction dapat dilakukan pada akhir pembedahan untuk menyingkirkan adanya residu

atau terjeratnya yang baru. Jika tes telah dilakukan, postoperative diplopia diakibatkan karena

adanya edema atau neuropraxia dan dapat diterapi dengan konservatif. Neuropraxia dapat

menghilang dalam beberapa bulan.

Persistensi enopthalmos postoperative dipengaruhi oleh kontraktur jaringan parut,

hilangnya ligamen penyokong, atropi lemak, dan pemilihan waktu untuk perbaikan. Pemilihan

waktu sangatlah berperan penting karena perbaikan yang terlamabat menyebabkan lebih banyak

terbentuknya fibrosis pada otot ekstraokuli sehingga membatasi kemampuan mata untuk

berdimensi anteroposterior.

Terjadinya retraksi pada kelopak mata bawah akibat adanya jaringan parut pada kelopak

terhadap rima orbita. Untuk pencegahannya dapat dilakukan Frost suture pada regio siliari dari

kelopak mata bawah yang diikat hingga dahi selama 24 sampai 48 jam.

Perluasan fraktur hingga fissura superior orbita dan adanya cedera pada saraf pusat III,

IV, V1, dan VI dapat menyebabkan komplikasi superior orbital fissure syndrome (SOFS). SOFS

memberikan gejala seperti opthalmoplegi, proptosis, ptosis kelopak mata atas, penurunan sensasi

pada distribusi persarafan VI, dan pupil dilatasi. Pada mata yang sakit biasanya tidak ada respon

terhadap cahaya dan mata kontralateral terdapat reflek konsensuil. Pada SOFS dilakukan terapi

konservatif.

21

Page 22: Trauma Maxillofacial

Fraktur Nasal

Secara terstruktur hidung dapat dibagi menjadi 3 ruangan yaitu atas, tengah, dan bawah. Pada

bagian atas terdiri dari os nasal, ujung atas septum, os ethmoidale, dan vomer. Bagian tengah

terbentuk dari kartilage lateral atas, septum, dan processus frontal maxillaries. Sedangkan bagian

bawah terdiri dari batas septum bawah dan kartilage lateral bawah. Klasifikasi fraktur nasal oleh

Stranc dan Robertson yaitu akibat tubrukan frontal dan lateral. Cedera pada tubrukan frontal

lebih menyebabkan kerusakan septum yang harus dilakukan perbaikan dan melibatkan komplek

nasoorbitoethmoid (NOE).

Diagnosis fraktur nasal berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang sepeti X-

ray kadang tidak diperlukan. Adanya CT-scan untuk menilai cedera lainnya dapat dipakai

pelengkap pemeriksaan. Sebelum melakukan pemeriksaan intranasal dilakukan vasokontriksi

mukosa dengan obat topikal. Septal hematoma harus dilakukan drainase untuk mencegah

resorpsi kartilage dan deformitas saddle nose.

Kebanyakan ahli bedah melakukan reduksi tertutup pada fraktur nasal, reduksi terbuka

dilakukan pada laserasi yang luas. Reduksi dilakukan pada 2 jam pertama sebelum terjadinya

pembengkakan atau secara defintif dalam 2 minggu trauma setelah edema berkurang. Reduksi

dilakukan dengan sedasi melalui intravena dan lokal anastesi atau dengan anastesi umum, seperti

cocaine pledget (40%). Fragmen yang terdepresi dilakukan elevasi dan reposisi septum

menggunakan elevator berujung tumpul atau scalpel handle.

Jika postoperasi fragmen tidak stabil, hidung dibungkus dengan impregnasi-antibiotik

untuk beberapa hari. Pemasangan splint eksternal juga dilakukan selama 1 minggu untuk

mencegah hidung terkena trauma yang lainnya. Jika terdapat banyak manipulai pada septum

dapat digunakan splint intranasal. Dikemudian hari pasien mungkin akan memerlukan

dilakukannya operasi rhinoplasty. Dalam suatu penelitian didapatkan sekitar 107 pasien dengan

reduksi nasal tertutup, 70% terjadi deviasi dan 50% mengalami pernafasan yang abnormal.

Fraktur Nasoorbitoethmoidale

Anatomi

Komplek nasoorbitoethmoid (NOE) memiliki batas anatomi yang jelas. Bagian anterior dibatasi

processus nasalis, proc. frontalis maxilla, dan spina os frontalis. Bagian inferior dibatasi oleh

22

Page 23: Trauma Maxillofacial

labirin ethmoidale batas bawah, dan bagian lateral dibatasi oleh lamina papyraceae dan fossa

lacrimale. Pembuluh darah terjadi robekan pada fraktur NOE, meninggalkan foramina

ethmoidale anterior dan posterior pada lamina papyraceae batas atas. Lamina papyraceae adalah

tulang yang sangat tipis yang terletak dibelakang fossa lacrimale. Fraktur pada NOE terjadi

akibat pukulan pada pangkal hidung. Jika terdapat fraktur os nasal pada pangkal hidung biasanya

komplek NOE juga mengalami fraktur.

Diagnosis

Pasien datang dengan keadaan hidung atas datar dan bengkak di regio kantus medial. Telekantus

tertutupi oleh pembengkakan. Pada palpasi didapatkan krepitasi dan hilangnya penyangga

hidung atas. Dilakukan pemeriksaan pada tendon cantus medial dengan menggenggam kelopak

mata bawah dan secara hati-hati menarik lateral. Curiga gangguan bila tendon cantus medial

tidak dapat ditarik.

Klasifikasi

Markowitz, dkk mengklasifikasi fraktur NOE menjadi tiga tipe. Fraktur tipe I meliputi satu

segmen fraktur. Tipe II yaitu segmen sentral kominutif dan tipe III adanya avulsi tendon cantus

medial. Klasifikasi ini digunakan ahli bedah untuk stratifikasi terapi.

Gambar 6. Fraktur NOE

23

Page 24: Trauma Maxillofacial

Tatalaksana

Pendekatan “open sky” atau insisi transversal melewati pangkal hidung tidak lagi

direkomendasikan. Fraktur tipe I mengharuskan stabilisasi segmen tulang untuk melokalisir

ulang tendon cantus medial dan difiksasi dengan fiksasi miniplate. Pada tipe II dan III

mengharuskan transnasal canthopexy. Tipe II memerlukan fiksasi dengan interfragmen wire atau

miniplate dan menyambung plate ke os frontalis, rima orbita, dan maxilla tipe Le Fort I. Pada

tipe III, tendon cantus dirobek untuk reduksi karena fragmen fraktur kecil, kemudian tendon

cantus direkatkan kembali dengan transnasal wire dan jarak reduksi tulang intercantal sebaiknya

5 hingga 7 mm lebih sedikit dari jarak soft tissue pada masing-masing sisi.

Sistem lacrimale mungkin juga mengalami cedera atau laserasi pada fraktur NOE,

sehingga perlu diperbaiki. Orbita internal dapat direkontruksi dengan menempatkan bone graft

dibelakang rima orbita.

Komplikasi

Fraktur NOE dapat merusak sistem lacrimale akibat adanya obstruksi langsung atau avulsi

pompa otot tendon-orbicularis okuli pada 20 % pasien. Pada obstruksi yang persisten atau

dakriosistitis dapat dilakukan dacryocystorhinostomy atau conjunctivodacryocystorhinostomy.

Postraumatik telecantus tampak peningkatan jarak intercantal, pangkal hidung yang datar,

dan disfungsi system lakrimal. Secara klinis terlihat palpebra terbuka sempit atau terbatas dan

terdapai epifora.

Fraktur Zygomatikum

Anatomi

Os zygomaticum memberikan penonjolan pada pipi, yang berartikulasi dengan maxillaris, ala

major ossis sphenoidalis, os frontalis, dan os temporalis. Os zygomaticum memiliki permukaan

lateral atau malar dan orbita medial. Pada os zygomaticum melekat otot-otot masseter,

temporalis, zygomaticus, dan superior quadrates labii. Otot masseter melekat pada batas inferior

dari arkus zygomaticum dan paling predominan terjadi deformitas pada fraktur zygomaticum.

Pada batas superior melekat fasia temporalis.

24

Page 25: Trauma Maxillofacial

Ungley dan Suggit, 1944 menciptakan istilah tripod untuk menyebut fraktur pada os

zygomaticum. Namun berdasarkan anatomi yang benar, zygomaticum disebut sebagai pentapod

sebab memiliki lima artikulasio.

Diagnosis

Pasien dengan fraktur zygomaticomaxillary complex (ZMC) sering mengeluh mati rasa pada

daerah persarafan infraorbita dan sering terlihat edema periorbita. Palpasi pada rima infraorbita

atau jahitan frontozygomaticum dapat dilakukan jika bengkak telah berkurang. Daerah malar

juga terlihat tertekan atau mengalami depresi dibadingkan bagian yang kontralateral. Tampak

sekunder trismus yang mengenai os zygomaticum pada processus coronoideus.

Kunci dari pemeriksaan fraktur ZMC adalah dilakukannya pemeriksaan okuli dengan

hati-hati. Dapat terjadi enopthalmos jika volume orbita meningkat, yang dapat dibuktikan dengan

membandingkan kornea tampak basal. Pemeriksaan dapat menyebabkan diplopia. Hipoglobus

atau pergeseran bola mata inferior dapat terjadi. Pemeriksaan penunjang dengan X-ray masih

kontroversi.

Gambar 7. Fraktur ZMC

Tatalaksana

Pada fraktur nondisplaced biasanya dengan nonoperatif sedangkan pada fraktur displaced

dilakukan pembedahan. Pasien dengan fraktur nondisplaced perlu diobservasi ketat, diet lunak,

25

Page 26: Trauma Maxillofacial

dan melindungi regio malar selama 6 minggu, terutama saat tidur. Pada fraktur malar displaced

diperlukan pendekatan multiple dalam melakukan fiksasi.

Komplikasi

Menurut Barclay, sekitar 10% pasien mengalami diplopia dan persisten pada setengah dari

pasien (5%). Permanen diplopia sering disebabkan karena terjeratnya otot rectus inferior jika

dasar orbita terkena. Selain itu, juga disebabkan karena cedera pada otot atau saraf ekstraokuli

dan adanya otot yang mengalami jaringan parut pada fragmen tulang. Jika persisten selama 4-6

minggu, diindikasikan untuk dilakukannya rebalancing otot ekstraokuli.

Komplikasi yang lainnya meliputi terjadinya enopthalmos pada 33% pasien dengan

fraktur os zygomaticum, mati rasa pada daerah pipi dan bibir bagian atas (24%), bradikardi,

mual, dan sinkop.

FRAKTUR MAXILLARIS

Pendahuluan

Maxillaris telah dianggap sebagai “clinical keystone of the face” oleh karena maksila

menghubungkan basis kranii pada mandibulae inferior. Metode awal fiksasi, terdiri dari eksternal

fiksasi, internal wiring, dan tehnik suspensi. Pada tahun 1970, Ferraro dan Berggren

memperkenalkan rigid internal fiksasi dengan bone graft untuk memperbaiki fraktur fasial

komplek yang menjadi standar pelayanan. Prinsip perbaikan adalah reparasi fase awal tunggal,

reduksi anatomi yang akurat, rigid fiksasi, eksposur luas pada fraktur, bone graft autogenous

dengan segera. Menurut Manson, Hoopes, dan Su maxillaris terbentuk dari 3 pilar vertikal, yaitu

nasomaxillaris, zygomaticomaxillaris, dan pterigomaxillaris.

Pilar tersebut menahan stress vertikal saat terjadinya trauma. Kekuatan perpendicular

dapat menyebabkan maxillaris menjadi tidak nyambung. Manson dkk, menjelaskan bahwa pilar

horizontal terdiri atas frontal bar, rima infraorbital, arkus zygomaticum, dan corpus mandibulae.

Lebarnya midfasial dan proyeknya ditentukan oleh pilar horizontal dan komplek NOE, arkus

maxillarisdan palatum. Tidak seperti mandibula, pilar dari midfasial relatif tipis dan rapuh.

26

Page 27: Trauma Maxillofacial

Epidemiologi

Sekitar 40 % fraktur pada wajah meliputi midfasial, yang merupakan 1/3 dari kasus, tidak

termasuk fraktur nasal. Fraktur pada wajah menunjukkan bahwa fraktur Le Fort II umumnya

lebih banyak daripada Le Fort I, namun Le Fort I lebih umum dari Le Fort III. Menurut Steidler

dkk, adapun trauma-trauma yang menyertai adalah kepala (51%), dada (12%), dan trauma

abdomen (5%). Poon dkk, melaporkan 55% angka insiden trauma okuli atau orbita disertai

dengan trauma midfasial. Trauma spine sevikal ditemukan sekitar 12-18 %.

Biomekanis

Nahum mengungkapkan mengenai kerentanan tulang-tulang wajah terhadap kekuatan tubrukan

yaitu wanita mempunyai toleransi yang lebih rendah daripada pria, pembungkus jaringan lunak

membantu meredam beberapa energi tubrukan, os nasal lebih fragil diikuti dengan arkus

zygomaticum, maxillaris lebih sensitif untuk melokalisasi trauma horizontal, mandibula kurang

peka terhadap gaya lateral daripada fontal. Fraktur-fraktur berkekuatan tinggi ditemukan pada os

frontalis, maxillaris, dan mandibulae anterior. Sedangkan fraktur-fraktur berkekuatan rendah

ditemukan pada os nasal, zygomaticum, sinus frontal, dan regio nasoethmoid. Yang menarik

untuk diketahui bahwa tabrakan berkekuatan 30 mil per jam akan melebihi toleransi tubrukan

pada sebagian besar tulang-tulang wajah.

Evaluasi Klinis

Pada fraktur Le Fort I, kita dapat melihat adanya edema pada midfasial dan pasien biasanya

mengeluh nyeri dan nyeri tekan pada area tersebut. Tipe fraktur ini terjadi pada maxillaris dan

palatum menjadi terapung. Fraktur Le Fort II terjadi sepanjang orbita dan regio nasoetmoidale

yang memisahkan midfasial. Pada fraktur Le Fort III memisahkan wajah dari cranium yang

diperluas hingga dinding lateral orbita. Kebanyakan fraktur midfasial komplek, terdiri dari

kombinasi lebih dari satu tipe fraktur dibandingkan satu kategori khusus. Pada fraktur Le Fort II

dan Le Fort III secara klinis dapat dilihat adanya ekimosis periorbital dan subkonjuntival, edema

dan memperlebar wajah serta terjadi maloklusi. Gejala klinis tersebut sering disebut sebagai

“panda facies”. Sebaiknya dilakukan palpasi pada maxillaris dengan posisi tangan yang satunya

pada maxillaris anterior dan yang satunya lagi pada pangkal hidung. Pada fraktur Le Fort I,

27

Page 28: Trauma Maxillofacial

terjadi pergerakan dari maxillaris bawah dan palatum tetapi pangkal hidung tidak. Sedangkan

pada fraktur Le Fort II terjadi pergerakan pangkal hidung dan fraktur akan terasa pada rima

infraorbital. Begitu juga pada fraktur Le Fort III terjadi pergerakan pangkal hidung dan lateral

rima orbita.

Gambar 8. Le Fort I, II, III

Penatalaksanaan

Setelah jalan nafas (airway) aman dan trauma yang potensial mengancam nyawa teratasi, tujuan

terapi selanjutnya adalah untuk menentukan oklusi pretrauma, mempertahankan fungsi

28

Page 29: Trauma Maxillofacial

mengunyah, tinggi dan lebar wajah serta mampunya untuk berkomunikasi. Rima orbita inferior

dapat dicapai melalui insisi transkonjungtival, subsiliari, atau subtarsal. Pemilihan insisi tersebut

tergantung pada pilihan ahli bedah yang sebaiknya dengan tidak melukai saraf infraorbital.

Fraktur nasoetmoidale dapat terlihat melalui insisi koronal atau laserasi trauma kulit. Insisi

lateral canthotomy atau insisi blepharoplasty luas bagian atas lateral dapat digunakan untuk

menilai fraktur pada garis sutura zygomaticofrontalis. Trauma tersebut juga dapat ditemukan

melalui insisi koronal yang juga dapat dilakukan untuk trauma yang lainnya. Dahulu,

penatalaksanaan fraktur midfasial terdiri dari MMF dan suspensi kraniofasial. Namun saat ini,

penatalaksanaan utama meliputi rigid fiksasi. Fiksasi dengan plate harus mencegah enam

pergerakan yang berbeda, yang terdiri dari tiga gerakan translasional dan tiga gerakan rotasional

sepanjang sumbu x, y, dan z. unttuk mencegah terjadinya rotasi, plate harus memfiksasi fraktur

pada tiga titik yang tidak berada pada satu garis. Kompresi tulang tidak dibutuhkan untuk

penyembuhan dan celah yang kecil (< 5 mm) masih dapat diterima. Paling tidak dua screw

sebaiknya diletakkan pada tiap sisi fraktur dan tulang akan mulai menyembuh dengan tulang

langsung berunion. Fraktur pilar kominutif sebaiknya dilakukan bone graft. Menurut Manson,

midfasial sebaiknya distabilkan dengan MMF pada mandibula sebelum dilakukannya fiksasi

plate terhadap midfasial, yang akan menjamin terjadinya oklusi pretauma dan mencegah

terjadinya retrusi midfasial.

Hendrickson menjabarkan enam tipe fraktur palatal: tipe I yaitu anterior dan

posterolateral alveolar; tipe II yaitu sagital; tipe III yaitu parasagital; tipe IV yaitu para alveolar;

tipe V yaitu komplek, tipe VI yaitu tranversal. Thornton dan Hollier merasa bahwa fraktur

dengan orientasi anterior-posterior dan tanpa kominutif sebaiknya dilkukan fiksasi internal.

Sebaliknya, pada fraktur komplek atau kominutif sebaiknya dilakukan splint palatum. Perawatan

yang dilakukan tidak untuk devaskularisasi buccal, gingival, atau mukosa palatum selama

dilakukannya proses pembedahan. Kadang-kadang, insisi ginggivobuccal harus berorientasi

secara vertikal pada garis dengan laserasi traumatik. Pada kubah palatum, insisi yang dilakukan

sebaiknya secara longitudinal langsung dan terlokalisasi sentral untuk mencegah terjadinya

trauma pada arteri palatum yang lebih besar, yang berjalan di sebelah anteroposterior diatas

mukoperiosteum palatum. Untuk fraktur alveolar, reduksi tertutup dan immobilisasi selama 4

hingga 6 minggu sudah mencukupi. Dengan reduksi yang adekuat, arkus gigi, kubah palatum,

29

Page 30: Trauma Maxillofacial

dan empat dinding penopang anterior vertikal dapat direduksi dan distabilkan. Splint intraoral

juga berguna untuk menambahkan stabilisasi palatum setelah direduksi dan difiksasi.

Fraktur midfasial komplek biasanya disebabkan oleh mekanisme berkecepatan tinggi

seperti luka tembak atau tabrakan kendaraan bermotor. Fraktur-fraktur yang terjadi biasanya

kominutif dan tidak stabil. GCS yang rendah bukan suatu kontraindikasi untuk dilakukannya

intervensi penmbedahan kecuali jika prognosis sangatlah buruk. Tekanan intrakranial harus

dimonitor dan sebaiknya terjaga pada tekanan < 25 mmHg.

Untuk penatalaksanaan fraktur midfasial komplek yang adekuat, diagnostik imaging

sebaiknya digunakan untuk menghasilkan konfigurasi fraktur tiga dimensi. Marciani dan Gonty

menguraikan garis besar prinsip penatalaksanaan yang baik yaitu meliputi perbaikan definitif

awal, perbaikan anatomi trauma NOE, pemaparan luas fraktur, dan fiksasi stabil pada semua

bidang. Pollock dan Gruss merekomendasikan urutan langkah-langkah untuk penatalaksanaan

fraktur midfasial komplek. Stabilisasi pertama pada mandibula dan beberapa fraktur dengan rigid

fiksasi. Penempatan maksila haruslah teroklusi dengan tepat dalam berhubungan dengan

mandibula dan penstabilisasian dengan arch bars-palang. Fraktur zygomatikum dan beberapa

fragmen yang mungkin mengganggu reduksi fragmen maxillaris haruslah direduksi dan

dilakukan pemasangan plate. Dinding penopang maxillaris direduksi dan dilakukan rigid fiksasi

dengan miniplate. Komplek NOE dilakukan rekontruksi dan tendon cantus medial diikat kembali

jika ada indikasi. Fraktur nasal direduksi dan beberapa pemisah nasofrontalis juga direduksi. Os

frontalis dan fraktur sinus juga diterapi. Laserasi fasial dan avulsi jaringan lunak haruslah

diperbaiki.

Setelah dilakukan fiksasi, MMF dilepaskan kecuali kalau stabilisasi tulang sangatlah sulit

untuk mendapatkannya karena fraktur kominutif atau komplek. Pelepasan MMF mempermudah

penanganan jalan nafas (airway) dan menyingkirkan kebutuhan untuk trakeostomi.

Fraktur Pada Anak

Pada anak yang berumur < 5 tahun, fraktur fasial relatif jarang terjadi (< 1 % dari trauma fasial).

Saat anak-anak mulai masuk sekolah, insiden meningkat terus hingga usia dewasa muda. Fraktur

fasial ini terjadi lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Parker dan Lehman

mengemukakan adanya perbedaan distribusi anatomi fraktur fasial pada anak dibandingkan

30

Page 31: Trauma Maxillofacial

orang dewasa. Pada bayi yang baru lahir mempunyai volume tulang wajah yang lebih kecil bila

dihubungkan dengan kranium. Sutura kranial tidaklah menyatu dan tulangnya masih lunak.

Anak-anak berumur 6 dan 12 tahun memiliki mixed yang temporer dan pertumbuhan gigi yang

permanen. Oleh karena itu, fraktur midfasial jarang terjadi.

Penilaian terhadap fraktur midfasial pada anak seringkali memerlukan sedasi dan

terkadang bahkan menggunakan anastesi umum. Penggunaan foto polos pada anak-anak kurang

berguna dibandingkan pada orang dewasa dan untuk mengevaluasi biasanya dibutuhkan CT-

scan. Anak-anak cenderung muntah dan teraspirasi dari distensi lambung sehingga jalan nafas

(airway) haruslah dinilai dan diamankan secara awal dan cepat. Fraktur dengan displace

minimal, penatalaksanaannya tanpa dilakukan operasi. Pada fraktur kominutif atau displace

sebaiknya dilakukan penatalaksanaan yang terbaik dan tepat guna sebab penyembuhan tulang

pada anak lebih cepat daripada pada orang dewasa. MMF atau fiksasi dengan bahan logam

ditempatkan tidak berdekatan dengan tunas gigi untuk mencegah kerusakan pertumbuhan gigi.

MMF dikerjakan dengan splint acrylic dan piriformis aperture atau circumandibular wire.

Setelah plate dan screw terfiksasi, beberapa penulis merekomendasikan pengambilan kembali

bahan logam setelah fraktur menyembuh. Beberapa klinisi, lebih memilih untuk menggunakan

splint atau sistem non rigid untuk perbaikan fraktur.

Komplikasi

Pasien dengan fraktur midfasial seringkali mengeluh mati rasa dan parastesi pada distribusi saraf

infraorbital. Hal tersebut merupakan masalah persarafan yang umum terjadi pada trauma fasial,

yang khususnya pasti terjadi pada trauma fasial dengan fraktur zygomaticum. Permasalahan pada

okuli juga umum terjadi dari 17 % hingga 55 %, yang meliputi diplopia, enopthalmos, kebutaan,

pandangan kabur, telecanthus, dan epifora. Menurut literatur, insiden kebutaan adalah 1 %.

Rinorhea CSF juga relatif umum terjadi pada fraktur fasial yang berat. Menurut

penelitian dari Morgan, angka insidennya adalah 35 %. Dalam penelitiannya tersebut, rinorhea

akan menghilang pada hari ke lima pada 66 % pasien dan tetap ada > 10 hari pada 13 % pasien.

Pembedahan pada dura merupakan indikasi jika penyaliran berakhir > 2 minggu atau tetap ada

dengan penempatan drain lumbar.

31

Page 32: Trauma Maxillofacial

Infeksi relatif jarang terjadi pada fraktur fasial. Meningitis pernah ditemukan pada 1 dari

240 pasien menurut penelitian yang dilakukan oleh Steidler. Sedangkan sinusitis juga pernah

ditemukan pada 1,7 % pasien. Pada pembedahan, fiksasi dengan bahan logam bisa menjadi

terinfeksi, menonjol, terpapar, dan berpindah dari posisi yang diharapkan. Sebuah penelitian

retrospektif terhadap 1,112 fraktur menunjukkan bahwa 12 % insiden komplikasi memerlukan

pengambilan kembali bahan logam. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian antibiotik

preoperasi, penempatan bahan logam yang adekuat dan tepat, dan pencakupan jaringan lunak

yang baik. Adapun komplikasi yang lain yaitu terjadinya maloklusi pada fraktur mandibular.

Dibutuhkan perhatian yang teliti dan berhati-hati terhadap hubungan oklusi sebelum memfiksasi

dapat meminimalkan permasalahan maloklusi.

FRAKTUR MANDIBULAR

Epidemiologi

Fraktur mandibula merupakan trauma yang umum terjadi dikarenakan penonjolan tulang

mandibula dan rentannya terhadap trauma eksternal. Lebih dari setengah fraktur mandibula

disebabkan karena penyerangan. Tabrakan kendaraan bermotor juga penyebab trauma mandibula

dalam jumlah yang bermakna. Fraktur mandibula terjadi pada corpus, angulus, condylus, ramus,

symphisis, processus alveolaris, dan processus coronoideus.

Anatomi

Mandibula adalah tulang yang berbentuk-U panjang dengan beberapa bagian menopang gigi dan

ada yang tidak menopang gigi. Pada bagian yang menopang gigi memiliki karakteristik batas

anterior yang tebal dan padat menyokong processus alveolaris. Mandibula terbagi menjadi

symphysis (mentalis), corpus, angulus, vertikal ramus, processus coronoideus, dan prosesus

condylaris. Tempat-tempat perlekatan untuk otot-otot mengunyah yaitu angulus mandibularis,

ramus, pocessus coronoideus dan processus condylaris yang berartikulasi dengan cranium pada

temporomandibular joint (TMJ). Sendi ini menekan discus fibrosa yang terletak antara condilus

mandibula dan fossa temporalis.

32

Page 33: Trauma Maxillofacial

Penyedia darah untuk mandibula berasal dari arteri alveolar inferior, yang merupakan

cabang dari arteri maxillaris dan dari perlekatan otot yang melewati cabang-cabang arteri-arteri

periosteal. Arteri masuk ke foramen mandibular dan keluar ke foramen mentalis, begitu juga

dengan saraf alveolar inferior dan saraf mentalis. Saraf alveolar inferior menginervasi mandibula

dan gigi-gigi pada mandibular.

Kunci dalam penatalaksanaan trauma mandibular adalah menjaga hubungan untuk oklusi

mandibular dan gigi pada maxillaris. Klasifikasi Angle menstratifikasi menjadi hubungan yang

normal dan abnormal. Klasifikasi tersebut berdasarkan adanya hubungan cuspis buccal mesial

dari molar pertama maxillaris terhadap sulcus buccal mesial dari molar pertama mandibular.

Kelas I atau oklusi normal adalah pada satu tempat cuspis buccal mesial terletak di atas sulcus

buccal mesial. Kelas II atau oklusi distal adalah cuspis mesial terletak sebelah anterior dari

sulcus buccal mesial sehingga terlihat suatu retrusi atau mandibula seperti kurang maju.

Sedangkan kelas III atau disebut maloklusi adalah adanya suatu protrusi dan cuspis buccal

mesial terletak sebelah posrerior dari sulcus. Suatu oklusi lateral abnormal yang disebut sebagai

crossbite atau laterognathism atau tidak adanya kontak dimanapun sebaiknya dikemukakan.

Hubungan tersebut sangatlah penting untuk dikemukakan baik pre dan postoperasi sehingga

oklusi dentis yang sebelumnya dapat ditentukan.

Gambar 9. Anatomi mandibulae

33

Page 34: Trauma Maxillofacial

Gambar 10. Klasifikasi Angle kelas I, II, III

Biomekanika

Dalam perkembangan mandibular yang normal, tulang mandibula seharusnya memiliki jaringan

lunak dan terbungkus otot yang adekuat. Jika tidak, dapat menyebabkan terjadi perubahan

bentuk. Secara umum, gaya regang predominan di sepanjang alveolus dan superior border,

sedangkan gaya tekan predominan pada inferior border. Gaya tersebut mempengaruhi

pergesaran tempat dan stabilisasi pola fraktur yang berbeda.

TMJ berfungsi selain sebagai engsel juga mentranslasikan. Awal mandibula terbuka,

condylaris berotasi seperti engsel. Semakin lebar terbuka, condylar bergerak anterior dan inferior

sepanjang fossa temporalis.

Tipe penyembuhan tulang pada fraktur mandibular tergantung pada kontak tulang dan

derajat pergerakan. Penyembuhan tulang primer terdiri dari pembentukan tulang langsung tanpa

disertai diferensiasi dari jaringan lunak dan kartilage, sehingga tidak terbentuk kalus. Tipe

penyembuhan ini hanya terjadi pada stabilitas absolute pada tempat yang fraktur sama halnya

dengan fiksasi rigid plate dan screw. Penyembuhan yang kedua terjadi melalui beberapa staging

yaitu adanya resopsi tulang, pembentukan kalus, dan difrensiasi sel osteogenik menjadi

osteoblast dan chondroblast yang akan membentuk kartilage, yang pada akhirnya kartilage akan

digantikan oleh tulang. Tipe penyembuhan tulang ini tidaklah lambat dan terjadi pada fraktur

yang tidak stabil seperti pada MMF atau fiksasi dengan wire.

34

Page 35: Trauma Maxillofacial

Klasifikasi Fraktur

Klasifikasi fraktur pada mandibula yaitu terbuka dan tertutup, displaced dan nondisplaced, linear

atau kominutif, dan komplit atau inkomplit. Pada fraktur terbuka terdapat hubungan dengan

lingkungan walau robekan terjadi pada mukosa atau kulit dan adanya hubungan dengan rongga

gigi secara klinis dan radiografi. Fraktur yang terjadi mungkin displaced atau undisplaced

tergantung pada tingkat kominutif dan orientasi fraktur berkenaan dengan otot pengunyah.

Kontraksi otot dan perjalanan trauma bertanggung jawab terhadap pergeseran tempat. Sebagai

contoh, otot pterygoid lateral bertanggung jawab terhadap pergeseran komponen superior fraktur

subcondylaris anterior dan medial.

Evaluasi Klinis

Gambaran klinis dari trauma mandibular meliputi nyeri, nyeri tekan, trismus, maloklusi, edema,

parestesi, anastesi, ekimosis, dan perdarahan. Penilaian fungsi dengan melihat pembukaan gigi

dan penyimpangan lateral. Saat membuka mulut, adanya protrusi dan deviasi dagu

mengindikasikan translasi yang terbatas dari condylaris ipsilateral yang mungkin dikarenakan

adanya fraktur condylaris. TMJ akan terpalpasi pada area prearicularis melewati kanalis auditori

eksternal. Pada pemeriksaan intraoral, dicari dan dibuktikan apakah terdapat fraktur, avulsi, atau

gigi yang goyang. Maloklusi juga harus diperiksa, dibuktikan dan dibandingkan terhadap oklusi

pretrauma. Maloklusi tidaklah selalu akibat dari trauma dan seringkali terjadi pada populasi

umum. Oklusi pretrauma diperkirakan dengan membandingkan permukaan yang rata dari gigi

pada maxillaris dan mandibula. Terkadang model dentis diperlukan untuk menentukan oklusi

pretrauma.

Penatalaksanaan

Sasaran penatalaksanaan dari fraktur mandibula adalah untuk mencapai reduksi dan stabilisasi

secara anatomi, menentukan oklusi pretrauma, mengembalikan tinggi wajah dan proyeksi, dan

mencapai keseimbangan kontur dan simetris wajah. Penatalaksanaan tanpa operasi diindikasikan

bila fraktur yang terjadi non atau minimal displaced, range of motion (ROM) dari mandibular

masih normal, dan oklusi pretrauma dapat dipertahankan. Pasien dibatasi hanya makan diet cair

35

Page 36: Trauma Maxillofacial

atau lunak selama 30 hari. Membuka mulut harus dibatasi dan tetap menjaga higienis mulut yang

baik.

Fraktur Mandibular Pada Anak

Fraktur mandibula terjadi sebanyak 50 % dari fraktur wajah pada anak-anak. Penyebab yang

paling sering adalah karena tabrakan kendaraan bermotor. Mandibula pada anak-anak masih

relatif lemah karena kurangnya kandungan tulang selama gigi yang tidak erupsi berkembang.

Bagaimanapun juga, fraktur mandibula cenderung menjadi inkomplit dan minimal displaced

karena mandibula sedikit mengandung tulang kortikal dan lebih elastis. Pada anak yang berusia

kurang dari 10 tahun, fraktur condylaris rmerupakan dua pertiga dari fraktur mandibular.

Berbedanya penatalaksanaan fraktur pada anak-anak karena adanya pergantian dan gigi yang

tidak erupsi. Kebanyakan penatalaksanaan fraktur dengan reduksi tertutup, juga karena

penyembuhan fraktur pada anak-anak lebih cepat dan risiko tergangunya pertumbuhan

mandibula dengan adanya intervensi pembedahan. Stabilisasi dapat tercapai dengan MMF atau

lingual splint. Diperlukan perawatan yang terlatih dalam mempergunakan MMF wire pada anak-

anak karena giginya dapat terekstraksi pada pemasangan wire yang rapat dan ketat. Fraktur

condylaris dan subcondylar secara khusus dapat diterapi tanpa operasi karena adanya risiko

ankilosis dan retardasi pertumbuhan. Sebaliknya, pada fraktur kominutif atau displaced

memerlukan pemasangan ORIF pada populasi anak-anak.

Pasien yang Ompong

Tatalaksana fraktur pada pasien yang ompong merupakan suatu tantangan karena tidak adanya

gigi yang menopang MMF; mandibula yang ompong secara primer terbuat dari tulang kortikal

dan memiliki potensial yang kecil untuk perbaikan; krista alveolar mengalami atropi dan

fragmennya dengan mudah terjadi pergeseran oleh tarikan otot; pasien yang ompong biasanya

orang lanjut usia dan terdapat komorbid yang lainnya. Stabilisasi fraktur dapat dicapai dengan

menggunakan gigi palsu, Gunning splint, atau fiksasi eksternal seperti aplikasi Morris. Thornton

dan Hollier menganjurkan penggunaan rigid fiksasi dengan plate dan screw karena dapat

menyingkirkan kebutuhan pemakaian splint yang dapat mempercepat penyembuhan dan

memperpendek waktu kecacatan dan tentunya mendapatkan fungsi yang lebih baik.

36

Page 37: Trauma Maxillofacial

Perawatan Post Operatif dan Komplikasi

Pasien dengan MMF sebaiknya tidak dilakukan extubasi sampai mata terbuka. Sebelum

melakukan extubasi sebaiknya dilakukan aspirasi lambung untuk mencegah terjadinya aspirasi.

Pemberian antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan luka pada wajah yang terbuka. Pada

pasien dengan MMF diinstruksikan untuk mendapatkan dan mempertahankan nutrisi yang baik

dengan diet tinggi protein dan makanan cair, sebab jika nutrisinya buruk dapat menurunkan berat

badan yang bermakna. MMF dipertahankan minimal 3 minggu postoperasi.

Komplikasi yang paling sering pada fraktur mandibula adalah terjadinya maloklusi,

infeksi, malunion, nonunion, perlukaan pada saraf, dan terpaparnya plate. Angka insiden

nonunion sekitar 3,2 % dan terjadi paling sering pada corpus mandibula. Penyebabnya meliputi

tidak adekuatnya penjajaran dan stabilisasi fraktur, interposisi jaringan, hilangnya tulang

segmental, infeksi, dan tidak benarnya pemasangan plate. Selan itu, pasien dengan alkohol dan

kecanduan obat berisiko tinggi terjadinya fraktur. Penatalaksanaan pada fraktur nonunion adalah

menghilangkan gigi yang terinfeksi, debridemen fraktur, dan rigid internal fiksasi dengan atau

tanpa bone graft.

Pada 56 % pasien terdapat defisit saraf sensoris alveolar inferior dan persisten pada 19 %

pasien. Maloklusi biasanya terjadi disebabkan karena buruknya penempatan plate fiksasi yang

menghasilkan reduksi tulang dan pergerakan gigi yang tidak tepat.

KESIMPULAN

Tentunya penatalaksanaan pasien dengan trauma maxillofacial tidak hanya memerlukan

pendekatan tim tetapi juga pengertian tentang anatomi dan mekanisme trauma yang terlibat.

Perhatian primer yang pertama kali diperlukan adalah mengatasi trauma yang mengancam

nyawa. Walaupun kebanyakan trauma maxillofacial tidak mengancam nyawa, namun trauma ini

dapat menyebabkan kecacatan yang bermakna dan hilangnya fungsional.

37