Trauma Maksilofasial

32
trauma maksilofasial BAB I PENDAHULUAN Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. 1 Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin. 1 Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah, mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau mengetahui seseorang yang memiliki. 1

Transcript of Trauma Maksilofasial

Page 1: Trauma Maksilofasial

trauma maksilofasial

BAB I

PENDAHULUAN

            Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan

lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,

kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering

mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,

hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan

perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.1

                Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya

kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka

terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%

kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien

dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat

mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat

dan secepat mungkin. 1

Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah,

mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau mengetahui

seseorang yang memiliki.1

Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat

dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik.

Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka

jaringan lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada

rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut  terjadi mungkin disebabkan adanya

komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran yang menurun tidak mampu

melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi.1

Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan tindakan darurat

pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial (wajah).

Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter umum  hanya

mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan

Page 2: Trauma Maksilofasial

dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena

itu, para dokter umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma Life Support)

yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang  mengalami kegawatdaruratan.1

Prinsip-prinsip untuk mengobati patah tulang wajah adalah sama seperti untuk patah

lengan atau kaki. Bagian-bagian dari tulang harus berbaris (dikurangi) dan ditahan dalam posisi

cukup lama untuk memungkinkan mereka waktu untuk menyembuhkan. Ini mungkin

membutuhkan enam minggu atau lebih tergantung pada usia pasien dan kompleksitas fraktur itu.2

Menghindari cedera merupakan hal yang terbaik, ahli bedah mulut dan maksilofasial

menganjurkan penggunaan sabuk pengaman mobil, penjaga pelindung mulut, dan masker yang

tepat dan helm untuk semua orang yang berpartisipasi dalam kegiatan atletik di tingkat

manapun.2

Page 3: Trauma Maksilofasial

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

 2.1 Definisi Trauma Maksilofasial

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan

sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan

keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi

jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang

kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang

maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak 

antara lain :

1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.

2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.

3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.

4. Cedera kelopak mata.

5. Cedera telinga.

6. Cedera hidung.3,4

2.2 Anatomi Maksilofasial

Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir

dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai

90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara

baik dalam membentuk wajah manusia.1

Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas,

di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut.

Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le

Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks

nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah

maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang

bawah.1

Page 4: Trauma Maksilofasial

Gambar 1. Anatomi Maksilofasial.

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.

Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan

rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita).3

a. Bagian hidung terdiri atas :

Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata. Os Nasal

(tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelahatas. Dan Os Konka nasal (tulang karang

hidung), letaknya di dalam ronggahidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat

rongga hidung) adalahsambungan dari tulang tapis yang tegak.3,4

b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :

Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua tulang kiri

dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiridari dua dua buah tulang kiri dan kanan.

Os Mandibularis atau tulang rahangbawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan

yang kemudian bersatudi pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus

coracoids tempat melekatnya otot.3,4

Page 5: Trauma Maksilofasial

Facial danger zones (Zona bahaya wajah)

Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi

di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan

dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut

dengan facial danger  zone.3,6

Gambar 2. Facial Danger Zones

2.3 Epidemiologi

Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari

seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur

mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85

%, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini

terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di

tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%.

Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda

motor.1,4

Page 6: Trauma Maksilofasial

2.4 Etiologi Trauma Maksilofasial

Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh

kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang paling

umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang paling sering

adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan rekreasi.

Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface,

terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain dari

trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-

anak dan orang tua.1,3,4

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat

inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya.

Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak

disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).3,4

Berikut ini tabel etiologi trauma maksilofasial :

Penyebab  pada orang

dewasa

Persentase (%)

Kecelakaan  lalu lintas 40-45

Penganiayaan / berkelahi 10-15

Olahraga 5-10

Jatuh 5

Lain-lain 5-10

Penyebab  pada orang Persentase (%)

Page 7: Trauma Maksilofasial

anak

Kecelakaan  lalu lintas 10-15

Penganiayaan / berkelahi 5-10

Olahraga (termasuk naik

sepeda)

50-65

Jatuh 5-10

2.5  Klasifikasi Trauma Maksilofasial

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras

wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma

benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada

perkelahian.3

2.5.1 Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.

Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3,5

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab:

a. Ekskoriasi

b. Luka sayat, luka robek , luka bacok.

c. Luka bakar

d. Luka tembak

2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan

3. Dikaitkan dengan unit estetik

Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

Page 8: Trauma Maksilofasial

Gambar 3. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan

penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis

Langer

2.5.2 Trauma jaringan keras wajah

Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam

hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada

jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3

1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.a

a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan

alveolus.

b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula

Page 9: Trauma Maksilofasial

Gambar 4. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B.

Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis

Gambar 5. Fraktur pada daerah mandibula : A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D.

Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis

2. Berdasarkan Tipe fraktur :9

a. Fraktur simpel

• Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus,

korpus dan mandibula yang tidak bergigi.

• Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu

keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.

b. Fraktur kompoun

• Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.

Page 10: Trauma Maksilofasial

• Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur

kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah

dapat meluas dengan sobekan pada kulit.

c. Fraktur komunisi

• Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang

mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.

• Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang

dan jaringan lunak.

d. Fraktur patologis

• keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis,

tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur

spontan.

3. Perluasan tulang yang terlibat 3,9

1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.

2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )

4 . Konfigurasi ( garis fraktur ) 7,9

1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.

2. Oblique ( miring )

3. Spiral (berputar)

4. Komunisi (remuk)

5. Hubungan antar Fragmen 3

1. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat

2. Undisplacement, bisa terjadi berupa :

a. Angulasi / bersudut

b. Distraksi

c. Kontraksi

Page 11: Trauma Maksilofasial

d. Rotasi / berputar

e. Impaksi / tertanam

Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah : 8

a. Dento alveolar

b. Prosesus kondiloideus

c. Prosesus koronoideus

d. Angulus mandibula

e. Ramus mandibula

f. Korpus mandibula

g. Midline / simfisis menti

h. Lateral ke midline dalam regio insisivus

6.  Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :5,9

a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)

b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III

c. Fraktur segmental mandibula

Gambar 6. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior) (B). I Le Fort I, II

Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital)

Page 12: Trauma Maksilofasial

2.6 Patofisiologi Trauma Maksilofasial1

Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan

dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan

yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan

sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera

yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang

wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal

memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah

semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.1

Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat  dari pukulan berat pada dahi. Bagian anterior dan /

atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika

dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.

Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi

atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital,

tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian

terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris

adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.

Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.7

Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang

ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau

saluran nasofrontal.1,7

Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat

mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.1

Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang dari

trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal,

Page 13: Trauma Maksilofasial

zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis

fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata

serentak yang umum.

Patah tulang rahang atas : ini dikelompokkan sebagai Le Fort I, II, atau III.9

  Fraktur Le Fort I adalah fraktur rahang horizontal di aspek inferior rahang atas dan memisahkan

proses alveolar dan langit-langit keras dari seluruh rahang atas. Fraktur meluas melalui sepertiga

bagian bawah septum dan termasuk sinus maksilaris dinding lateralis memperluas ke tulang

palatina dan piring pterygoideus.

  Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung dan memperluas melalui tulang

lacrimalis; ke bawah melalui jahitan zygomaticomaxillary; terus posterior dan lateral melalui

rahang atas, bawah zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus.

  Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan dari semua tulang wajah dari

dasar tengkorak dengan fraktur simultan dari zygoma, rahang, dan tulang hidung. Garis fraktur

meluas melalui tulang ethmoid posterolaterally, orbit, dan jahitan pterygomaxillary ke fosa

sphenopalatina.9

Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan

leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma

langsung.8

Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau

dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang

bawah.1

Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera

pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.1

Page 14: Trauma Maksilofasial

2.7  Manifestasi Klinis

Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :

         Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur

mandibula.

         Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.

                  Rasa nyeri pada sisi fraktur.

                  Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.

         Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.

         Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran.

         Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.

         Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan.

         Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus

alveolaris.

         Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola

mata dan penurunan visus.3,10

2.8 Diagnosis

2.8.1 Anamnesa 1

Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah

masa lalu, merupakan hal yang paling terakhir, dan peristiwa seputar cedera. Aspek yang perlu

dipertimbangkan adalah sebagai berikut: bagaimana mekanisme cedera? Apakah pasien

kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status mental? Jika demikian, untuk berapa

lama? Apakah gangguan penglihatan, kilatan cahaya, fotofobia, diplopia, pandangan kabur,

nyeri, atau perubahan dengan gerakan mata? Apakah pasien mengalami tinnitus atau vertigo?

Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung? Apakah pasien memiliki manifestasi

berdarah atau yang jelas-cairan dari hidung atau telinga? Apakah pasien mengalami kesulitan

membuka atau menutup mulut? Apakah ada rasa sakit atau kejang otot? Apakah pasien dapat

menggigit tanpa rasa sakit, dan pasien merasa seperti kedudukan gigi tidak normal? Apakah

daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah?

Page 15: Trauma Maksilofasial

2.8.2 Pemeriksaan Fisik1,3

A. Inspeksi

 Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :

         Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.

         Luka tembus.

         Asimetris atau tidak.

         Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.

         Otorrhea / Rhinorrheaf. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.

                  Cedera kelopak mata.

         Ecchymosis, epistaksisi.

         Defisit pendengaran.

         Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas

B. Palpasi

1.      Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang,

luka, dan perdarahan, Periksa luka terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir,

batu kerikil.

2.      Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya

aspirasi.

3.      Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital,

tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal,

temporal, dan rahang atas.

4.      Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol lemak dari

kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil,

bentuk,dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.

5.              Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis.

6.      Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.

7.              Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema.

8.      Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks

nasoethmoidal.

Page 16: Trauma Maksilofasial

9.      Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital

medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks

nasoethmoidal yang retak.

10.  Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika

"tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial.

11.  Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk

kelembutan dan krepitasi.

12.  Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa,

fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea cairan cerebrospinal.

13.       Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran

timpani, hemotympanum, perforasi, atauecchymosis daerah mastoid (Battle sign).

14.  Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba

mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.

15.  Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung.

16.  Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau

III.

17.  Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan pendarahan intraoral,

air mata, atau adanya krepitasi.

18.  Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak,

pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.

19.  Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri,

kelainan bentuk, atau ecchymosis.

20.  Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara

pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.

21.  Periksa paresthesia atau anestesi saraf.3

2.9 Pemeriksaan Penunjang3

1. Wajah Bagian Atas :

         CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).

         CT-scan aksial koronal.

         Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray kepala

Page 17: Trauma Maksilofasial

2. Wajah Bagian Tengah :

         CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).

         CT scan aksial koronal.

         Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior

(Caldwells), Submentovertek (Jughandles).

3. Wajah Bagian Bawah :

         CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.

         Panoramic X-ray.

         Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :

- Posteroanterior (Caldwells).

- Posisi lateral (Schedell).

- Posisi towne.

Page 18: Trauma Maksilofasial

Gambar 7. Pemeriksaan Radiologi

Page 19: Trauma Maksilofasial

2.10 Penatalaksanaan3

Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial yaitu meliputi :

1. Periksa kesadaran pasien.

2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :

         Apakah asimetris atau tidak.

                  Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.

3. Apakah ada Hematoma :

a. Fraktur Zygomatikus

         Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secaracepat sebagai permukaan yang

bersambungan secara seragam.

         Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma, nyeri

tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.

b.Fraktur nasal

                  Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat kearah medial.

c. Fraktur Orbita

         Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?

         Apakah sejajar atau bergeser ?

         Apakah pasien bisa melihat ?

         Apakah dijumpai diplopia ? Hal ini karena :

o   Pergeseran orbita

o   Pergeseran bola mata

o   Paralisis saraf ke VI

o   Edema 

d. Fraktur pada wajah  dan tulang kepala.

         Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan, deformitas,    iregularitas dan

krepitasi.

         Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung,pada fraktur Le Fort tipe II atau

III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang

tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur. 

e. Cedera saraf 

Page 20: Trauma Maksilofasial

         Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas). 

f. Cedera gigi

         Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga disekitarnya.

2.11 Prosedur penatalaksanaan kegawatdaruratan trauma maksilofacial.11

Pada pasien dengan trauma hebat atau multiple trauma akan dievaluasi dan ditangani

secara sistematis, di titik beratkan pada penentuan prioritas tindakan berdasarkan atas riwayat

terjadinya kecelakaan dan derajat beratnya trauma.

1. Apakah Pasien dapat bernapas ?

Jika sulit : Ada obstruksi.  Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak.

2.Curiga adanya Fraktur Mandibula. 

Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan tarik tulang

wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan depan memperbaiki jalan napas dan

sirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yang

besar jika fraktur terjepit dan jika reduksi tidak berhasil lakukan Tracheostomi.

Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan forcep khusus (Rowes) atau

forcep bergerigi tajam yang kuat dan goyangkan. 

3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakang

Lakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya,dan secara lembut tarik kearah depan,

lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah

satu sisi

4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan

Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepalapada salah satu ujung sisi dan dahinya

ditopang dengan pembalut di antara pegangan.

5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk 

Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan membaik dengan cepat ketika ia melakukannya.

Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah. Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu. 

6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah

Hisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebalyang sejenis ke satu sisi.

Page 21: Trauma Maksilofasial

Jika terjadi perdarahan : Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit

gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep perdarahan yang hebat.

Tampon post nasal selalu dapat menghentikan perdarahan. Jika perlu gunakan jahitan hemostasis

sementara.

Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial :

a.               Memperbaiki jalan napas.

b.      Mengontrol perdarahan.

c.               Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna.

d.      Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma

7. Pemeriksaan Intra Oral. 

Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah adanya 

floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti :

         Mandibular floating.

         Maxillar floating.

         Zygomaticum floating

Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari struktur

tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti adanya floating, berarti

ada kerusakan atau fraktur pada tulang tersebut.3

Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut

tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga tindakan resusitasi

yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana untuk mengembalikan

pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif dan untuk memperbaiki

efek yang merugikan lainnya dari trauma maksilofasial. Tindakan pertama yang dilakukan ialah

tindakan Primary Survey yang meliputi pemeriksaan vital sign secara cermat, efisien dan cepat.

Kegagalan dalam melakukan salah satu tindakan ini dengan baik dapat berakibat fatal.11

Jadi secara umum dapat disimpulkan, penderita trauma maksilofasial dapat dibagi dalam 2 

kelompok  :

1. Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil, misalnya dipukul atau

ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area terapi biasa pada ruang gawat darurat.

Page 22: Trauma Maksilofasial

2. Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul berat, misalnya

penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus

diterapi di tempat perawatan kritis pada instalasi gawat darurat :

1.Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area  diikuti dengan

teknik ATLS

2.Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher.

a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika penderita perlu

melakukannya.

b. Jaw trush dan chin lift.

c. Traksi lidah : Dengan jari, O-slik suture atau dengan handuk 

3. Endotrakel intubasi :  oral intubasi sadar atau RSI atau krikotiroidotomi

4. Berikan oksigenasi yang adekuat .

5.Monitor tanda vital setiap 5 ± 10 menit, EKG, cek pulse oximetry.

6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk  pengantian cairan.

7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum /elektrolit / kreatinin.

8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.

a. Penekanan langsung. Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan.

b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron). Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selama 5 ±

10  menit.3,11

Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam menangani trauma dan

luka pada wajah :

1.  Asepsis.

2. Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing.

3. Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa sesudah dijahit.

4. Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari pinggir luka.

5. Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik.

6. Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan teliti.

7. Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah dijahit. Benang hanya

berfungsi sebagai pemegang

Page 23: Trauma Maksilofasial

8. Eksposure, luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena penyembuhan dan

perawatan luka lebih baik, kecuali ditakutkan ada perdarahan di bawah luka yang harus ditekan

(pressure)