Translate Muara Enim

8
PERBANDINGAN PENGGUNAAN MISOPROSTOL SUBLINGUAL DAN OKSITOSIN INTRAVENA DALAM MENGINDUKSI PERSALINAN PADA WANITA DENGAN KEHAMILAN ATERM Leila Habibi, Shirin Niroomanesh, Laleh Ghadirian Abstrak Tujuan: Pada penelitian ini, efektivitas dari misoprostol sublingual diteliti dan dibandingkan dengan oksitosin (intravena) dalam menginduksi persalinan pada kehamilan aterm. Bahan dan metode: tujuh puluh pasien dipilih menggunakan blocked randomization menjadi kelompok A (n=35. Misoprostol sublingual 25 g setiap empat jam hingga maksimum 5 dosis) dan kelompok B (n=35, infus berkala oksitosin). Hasil: Kala I fase aktif dan keseluruhan fase persalinan lebih singkat pada penggunaan misoprostol dibandingkan dengan oksitosin intravena (p< 0,001) dan tingkat sectio caesaria lebih rendah pada kelompok misoprostol ( p< 0,04) namun kala I fase laten, aspirasi mekonium, hipertonisitas uterus dan skor Apgar ( menit pertama dan kelima) hampir sama pada kedua kelompok. Kesimpulan: misoprostol sublingual lebih baik dibandingkan oksitosin intravena pada induksi persalinan aterm. Kata kunci : misoprostol sublingual, oksitosin, kehamilan aterm, induksi persalinan Pendahuluan Penggiatan persalinan spontan pervaginam (PSPT) dan penurunan sectio caesaria ( SC) merupakan tujuan dari World Health Organization ( WHO) oleh karena kemungkinan adanya infeksi, kebutuhan dilakukannya histerektomi, komplikasi akibat anestesi dan kemungkinan tinggi untuk terjadinya kematian maternal pada SC.

description

jhgvjhvjhvkjbkjb

Transcript of Translate Muara Enim

10PERBANDINGAN PENGGUNAAN MISOPROSTOL SUBLINGUAL DAN OKSITOSIN INTRAVENA DALAM MENGINDUKSI PERSALINANPADA WANITA DENGAN KEHAMILAN ATERM

Leila Habibi, Shirin Niroomanesh, Laleh Ghadirian

AbstrakTujuan: Pada penelitian ini, efektivitas dari misoprostol sublingual diteliti dan dibandingkan dengan oksitosin (intravena) dalam menginduksi persalinan pada kehamilan aterm.Bahan dan metode: tujuh puluh pasien dipilih menggunakan blocked randomization menjadi kelompok A (n=35. Misoprostol sublingual 25 g setiap empat jam hingga maksimum 5 dosis) dan kelompok B (n=35, infus berkala oksitosin).Hasil: Kala I fase aktif dan keseluruhan fase persalinan lebih singkat pada penggunaan misoprostol dibandingkan dengan oksitosin intravena (p< 0,001) dan tingkat sectio caesaria lebih rendah pada kelompok misoprostol ( p< 0,04) namun kala I fase laten, aspirasi mekonium, hipertonisitas uterus dan skor Apgar ( menit pertama dan kelima) hampir sama pada kedua kelompok.Kesimpulan: misoprostol sublingual lebih baik dibandingkan oksitosin intravena pada induksi persalinan aterm.

Kata kunci : misoprostol sublingual, oksitosin, kehamilan aterm, induksi persalinan

PendahuluanPenggiatan persalinan spontan pervaginam (PSPT) dan penurunan sectio caesaria ( SC) merupakan tujuan dari World Health Organization ( WHO) oleh karena kemungkinan adanya infeksi, kebutuhan dilakukannya histerektomi, komplikasi akibat anestesi dan kemungkinan tinggi untuk terjadinya kematian maternal pada SC.Perbaikan proses PSPT, seperti ditemukannya berbagai obatan terbaru dengan komplikasi yang ringan namun paling efektif untuk PSPT, memiliki peranan penting dalam mencapai target tersebut. Namun demikian, perburukan pada kondisi serviks sering terjadi pada induksi persalinan, sehingga sangat berasalan untuk meneliti metode terbaru dalam rangka mematangkan serviks yang efektif pada kontraksi uterus dan induksi persalinan secara bersamaan.Meskipun sala satu obat yang sering digunakan di dalam induksi persalinan adalah oksitosin intravena, obat ini tidak berpengaruh pada serviks, sehingga pada situasi seperti ini, oksitosin bukan merupakan pilihan yang tepat pada induksi. Oleh karena pemberian secara intravena, oksitosin memiliki keterbatasan lain, sehingga diperlukan tenaga medis yang berkompeten untuk memantau infus dalam jangka panjang sehingga beban biaya rumah sakit meningkat.Misoprostol telah disetujui sebagai salah satu sediaan bagi pematangan serviks dan lebih mudah untuk digunakan. Pada dua penelitian yang dikakukan Nigam dan Kidanto yang dirancang untuk membandingkan misoprostol dengan oksitosin dalam induksi persalinan aterm, pada kelompok misoprostol, PSPT lebih sering terjadi dan dengan waktu persalinan yang lebih singkat , secara bermakna.Eftekhary dan kawan-kawan meneliti kasus di Iran dan tidak menemukan perbedaan prevalensi PSPT antara kelompok misoprostol per vaginam dan oksitosin. WHO (2011) merekomendasikan dosis oral misoprostol yang lebih aman dibandingkan misoprostol per vaginam.Secara keseluruhan, penelitian mengenai efek dan komplikasi dari misoprostol, khususnya misoprostol sublingual pada ibu dan janin masih terbatas.Penelitian randomized controlled trial ini dilakukan untuk meneliti efektivitas misoprostol sublingual dalam induksi persalinan, komplikasinya pada ibu dan janin, serta membandingkannya dengan oksitosin intravena pada wanita dengan kehamilan aterm dengan kondisi serviks yang kurang matang.

Alat dan MetodePenelitian RCT ini dilakukan di Rumah Sakit Mirza Khoochak Khan di Tehran pada tahun 2010-2011. Pengumpulan data didasarkan pada check list dari informasi yang dibutuhkan. Besar sampel dihitung berdasarkan statistika dan penelitian sebelumnya 35 pada masing-masing kelompok). Derajat kesalahan alfa dan beta diperkirakan masing-masing sebesar 0,05 dan 0,2.Convenience sampling dilakukan pada wanita hamil yang dirujuk ke rumah sakit ini.Tujuh puluh wanita dengan kehamilan aterm diacak menjadi kelompok misoprostol sublingual atau oksitosin intravena dengan blocking method setelah mendapat persetujuan tertulis. Blinding pada dokter dan pasien tidak mungkin dilakukan oleh karena perbedaan penggunaan obat. Kriteria inklusi meliputi usia kehamilan 37-42 minggu, skor Bishop 4, adanya indikasi untuk induksi persalinan, presentasi kepala, NST reaktif.Kriteria ekslusi meliputi skor Bishop > 4, usia kehamilan < 37 dan > 42, presentasi bukan puncak kepala, intrauterine demise, riwayat pembedahan uterus sebelumnya, oligo atau polihidramnion, intrauterine growth retardation, kehamilan multipel, bukti klinis adanya dekompensasi kardiopulomonal, ketidakseimbangan elektrolit, pre-eklampsia berat/ eklampsia, asma, glukoma, insufisiensi adrenal, kelompok misoprostol sublingual (n=35) (Scarle companay) mendapat 25 g tiap 4 jam hingga maksimum 5 dosis. Pemberian terus dilakukan hingga serviks siap untuk amniotomi, ruptur membran spontan, hingga permulaan fase aktif. Infus intravena oksitosin (Caspian company) 10 U/liter dilakukan dengan loading dose 1 mU/menit dan bila diperlukan dititrasi 1 mU/menit tiap 15 menit hingga persalinan lengkap.Monitoring permanen dilakukan pada kedua kelompok dan contractures dilakukan tiap 15 menit untuk menilai perlu/tidaknya pemberian peningkatan dosis. Hanya pada situasi his indadekuat dan setelah melakukan NST, dosis tambahan misoprostol diberikan. Amniotomi dilakukan ketika fase aktif dimulai (dilatasi serviks > 3 cm) dan membran masih utuh.Penentuan dari lamanya fase laten dan awal mula fase aktif dilakukan melalui pemeriksaan pervaginam. Tanda-tanda vital dicatat mulai dari awal permulaan his hingga satu jam setelah plasenta lahir. Promethazine (25 mg IM) untuk mual dan Phetidine (50 mg IM) sebagai analgetik diberikan bila perlu.Lama fase laten dan fase aktif, induksi hingga lama kelahiran, tipe persalinan, skor Apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, hipertonisitas, penurunan denyut jantung janin dan aspirasi mekonium dicatat.Seluruh analisis didasarkan pada intention to-treat principle, menggunakan SPSS software (version 11) dengan t-test. Nilai P kurang dari 0,05 dikatakan sebagai bermakna.

HasilTujuh puluh orang ikut serta dalam penelitian ini (35 pada masing-masing kelompok). Indikasi terminasi kehamilan meliputi ruptur membran, kehamilan lewat bulan atau hipertensi.Rata-rata umur, berat badan, tinggi badan, usia kehamilan. Jumlah paritas sebelumnya dan skor Bishop hampir sama pada kedua kelompok (p>0,05).Rata-rata lama fase laten hampir sama (p