TRANSFORMASI SISTEM PENILAIAN KINERJA...
Transcript of TRANSFORMASI SISTEM PENILAIAN KINERJA...
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 147
TRANSFORMASI SISTEM PENILAIAN KINERJA PELAYANAN
PUBLIK DIDAERAH
Abdul Muis Peneliti Madya Pusat Inovasi Tata Pemerintahan
PENDAHULUAN
Sejak runtuhnya Pemerintahan Orde Baru, birokrasi pemerintah
melakukan berbagai perubahan yang signifikan, yang sering diterjemahkan
sebagai reformasi di berbagai aspek pemerintahan, tuntutan reformasi
menghendaki agar birokrasi pemerintahan menjadi lebih efektif dan efisien,
terhapusnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam lingkup birokrasi serta
memberikan pelayanan publik yang cepat, adil dan akurat.
Berbagai kebijakan pun direformasi guna memenuhi tuntunan
masyarakat tersebut. Bahkan salah satu inovasi dari pemerintah adalah
diluncurkannya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
memberikan peluang bagi Pemerintah daerah untuk mengelola daerah
beserta kekayaan alamnya secara mandiri dan otonom, dimana dalam
perjalanannya kebijakan tersebut diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Paling tidak terdapat beberapa faktor yang berperan kuat dalam
mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah tersebut, antara lain :
Pertama, faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan
politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang
dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi
terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat
korupsi dan rantai birokrasi yang panjang. Dampak dari reformasi tersebut
Bunga Rampai Administrasi Publik
148 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
nampaknya belum membawa perubahan terhadap kinerja pelayanan publik.
Masyarakat sebagai konsumen dari berbagai aktivitas birokrasi pemerintah
baik pusat maupun daerah masih mengeluh akan banyak hal seperti;
masih kuatnya dugaan KKN, masih bertele-telenya jalur birokrasi dan juga
masih lemahnya motivasi Pegawai Negeri Sipil untuk mau berubah.
Pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi pun masih terkesan tidak
berubah seperti: angkutan transportasi yang masih saja berdesakan, listrik
yang masih saja digilir pemadamannya atau pelayanan pembuatan KTP
yang masih dipungli oleh petugas.
Namun demikian, sejak diimplementasikannya kebijakan
desentralisasi dan kebijakan pelayanan publik terdapat beberapa daerah
yang melakukan berbagai inovasi dalam peningkatan pelayanan publik,
misalnya penerapan pelayanan satu pintu di Kabupaten Sragen Jawa
Tengah atau inovasi yang dilakukan Kabupaten Jembrana dalam
mengefisienkan birokrasi pernerintahan. Terkait dengan situasi ini, terdapat
hal yang menarik untuk dikaji dari Pemerintah Daerah di era Otonomi
Daerah khususnya mengenai seberapa efisien dan efektif penyelenggaraan
pelayanan publik dari pemerintah daerah harus ditentukan, namun
demikian lebih banyak daerah yang kualitas pelayanannya tidak
menunjukkan peningkatan yang signifikan, dari hasil telaahan yang pernah
dilakukan oleh Ombusmand salah satu faktor penting penyebab rendahnya
kualitas pelayanan publik adalah sistem penilaian kinerja pelayanan publik
yang dibangun selama masih bersifat parsial, belum menyeluruh dan
terintegrasi. Tulisan singkat ini akan mencoba merumuskan sistem
penilaian kinerja pelayanan publik, dimana diharapkan dapat menjadi
bahan masukan bagi penyempurnaan kebijakan pelayanan dimasa yang
akan datang.
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 149
DEFiNISI PELAYANAN PUBLIK
Terdapat sejumlah definisi mengenai Pelayanan Publik. Lonsdale dan
Enyedi misalnya, mengartikan service sebagai assisting or benefiting
individuals through making useful things available to them. Sedangkan
public service diberi makna sebagai something made available to the whole
of population, and it involves things which people can not normally provide
for themselves i.e. people must pact collectively (Lonsdale and Enyedi, 1991
dalam Zauhar, 2001). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelayanan
publik merupakan suatu upaya membantu atau memberi manfaat kepada
publik melalui penyediaan barang dan atau jasa yang diperlukan oleh
mereka (Zauhar, 2001).
Mengingat sektor publik sangat terkait dengan keberadaan
pemerintah, maka pelayanan publik juga dapat disamakan dengan
terminologi pelayanan pemerintah (government service) yang diartikan
sebagai pemberian pelayanan oleh agen pemerintah melalui pegawainya
(the delivery of a service by a goverment agency using its own employees
(Savas, 1987 dalam Zauhar, 2001).
Merujuk kepada definisi di atas, yang dimaksud dengan Pelayanan
Publik adalah semua barang dan jasa publik (public goods and services)
yang diatur dan diselenggarakan oleh pemerintah kepada warga negara,
pengertian ini juga senada dengan pengertian pelayanan publik yang
dirumuskan dalam UU Nomokr 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik,
definisi ini digunakan dalam rangka membedakan dengan barang dan jasa
publik yang diselenggarakan oleh swasta meskipun penganggarannyarannya
dilakukan oleh pemerintah.
Dari sisi konstitusi, pelayanan publik merupakan salah satu tujuan
utama dibentuknya Negara yakni bagaimana mewujudkan kebahagiaan bagi
masyarakarnya. dalam konteks Indonesia, tujuan dari dibentuknva
pemerintahan negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam
Bunga Rampai Administrasi Publik
150 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
pembukaan UUD 1945 diantaranya adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pelayanan
publik merupakan konkretisasi dari pelaksanaan tugas Negara untuk
memberikan pelayanan kepada warga negaranya, pemerintah sebagai
penyelenggara negara berkewajiban untuk mensejahterakan warganya.
Karenanya, pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah harus
bersitat partisipatif, dalam pengertian memberikan akses kepada
masyarakat untuk mengajukan sejumlah masukan, keluhan dan keberatan
kepada instansi pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan tersebut,
nilai-nilai partisipatif tersebut juga telah dirumuskan dalam UU Nomor 25
Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, diantaranya keikursertaan
masyarakat dalam merumuskan Standar Pelayanan.
Pelayanan publik menyangkut dua aktor penting yaitu pemerintah
sebagai penyedia barang atau jasa, dan warga sebagai pengguna barang
atau jasa. Pelayanan publik merupakan bentuk pelayanan dari pemerintah
yang diberikan kepada warga masyarakat. Dalam hal ini barang dan jasa
yang disediakan oleh pemerintah dapat berupa barang dan jasa seperti
transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Bidang yang disediakan
oleh pemerintah merupakan bidang yang esensial bagi masyarakat dalam
menjalankan kehidupannya sehari-hari. Warga sebagai pelanggan tentu
dapat mengoreksi berbagai pelayanan yang ada dan telah diberikan oleh
Pemerintah. Hal ini terkait dengan persoalan mendasar yakni bagaimana
memenuhi kebutuhan pelanggan. Adalah merupakan suatu hal yang wajar
dalam setiap organisasi apabila ada tuntutan untuk memenuhi dan
memberi pelayanan kepada pelanggan. Kualitas pelayanan dan kepuasan
pelanggan sangat diutamakan mengingat keduanya mempunyai pengaruh
yang besar kepada keberlangsungan dan berkembangnya misi suatu
organisasi.
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 151
Kondisi tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari permintaan
pelayanan jasa publik yang akan selalu meningkat baik kualitas maupun
kuantitas, seiring dengan hertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya
kesejahteraan masyarakat dan perubahan lingkungan yang terus bertambah.
Karenanya, guna memenuhi tuntutan tersebut, kesiapan dan kemampuan
aparatur perlu semakin ditingkatkan agar tak terjadi kesenjangan antara
tuntutan dan harapan masyarakat di satu sisi dan kemampuan aparatur
dalam pelaksanaan fungsi pelayanan sisi lain. Untuk
menghilangkan/mengurangi kesenjangan ini para aparatur harus memiliki
kemampuan profesional yang tinggi dan secara terus menerus mengikuti
perkemhangan yang terjadi di masyarakat. Untuk mengantisipasi keadaan
seperti itu birokrasi publik harus disiapkan secara sistematis, dengan
menciptakan sistem kelembagaan aparatur, sistem kepegawaian serta
mekanisme ketatalaksanaan yang baik dan terpadu, sehingga pada
gilirannya aparatur mampu dan siap dalam menghadapi tuntutan pengguna
jasa publik yang semakin meningkat.
Pelaksanaan pelayanan publik juga berkaitan erat dengan moral dan
etika birokrasi publik. Raining mengatakan ... the public bureaucracy stands
in need of ethical sensittvity in order to serve the public interest, birokrasi
publik perlu memiliki kepekaan etika untuk bisa melayani publik dengan
baik. Karenanya, semangat kerja birokrasi yang berorientasi pada pelayanan
publik harus menjadi pedoman kerjanya. (Zauhar, 2001)
Dengan menggunakan etika semacam itu sins of services kesalahan
dalam pelayanan seperti apatis (apathy), menolak berurusan (brush off),
dingin (coldness), memandang rendah (condesclusiofi), bekerja secara
mekanis (robotisme) ketat kepada prosedur (role book) dan pingpong (round
a round) tidak dijumpai dalam organisasi pelayanan publik. (Zauhar, 2001).
Mengingat semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi, maka
pelayanan publik yang diberikan pemerintah dewasa ini perlu diarahkan
Bunga Rampai Administrasi Publik
152 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
pada pemberdayaan masyarakat dan bukan untuk menyuburkan
ketergantungan. Hal ini terkait dengan situasi dimana sumber-sumber
publik semakin langka keberadaannya sehingga perlu dikembangkan
pemberdayaan di kalangan masyarakat dan aparatur agar dapat
mengurangi beban pemerintah dalam pelayanan publik (Zauhar, 2001). Hal
ini sejalan dengan pandangan Thoha bahwa ".... Peran dan posisi birokrasi
dalam pelaksanaan pelayanan publik harus diubah. Peran yang selama ini
suka mengatur dan minta dilayani, menjadi suka melayani, suka
mendengarkan tuntutan, kebutuhan dan harapan-harapan masyarakat
(Thoha, 1999 dalam Zauhar, 2001).
PERANAN PEMERINTAH DALAM PELAYANAN PUBLIK
Keterlibatan Pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik melalui
beragam variasinya disebabkan oleh sejumlah alasan. Alasan yang paling
klasik adalah akibat ketidak sempurnaan berlakunya teori pasar. Pasar
tidak dapat bekerja secara sempurna jika terjadi economic of scale,
monopoli dan ketimpangan informasi mengenai harga serta tidak dapat
memberi pelayanan dengan baik dan efisien manakala jenis pelayanannya
termasuk kedalam kategori public goods and services, yaitu barang dan jasa
yang dapat dinikmati oleh setiap orang pada saat yang bersamaan (non
rivalry) tanpa melihat peran sertanya dalam penyediaan barang tersebut
(non excludability) (Zauhar, 2001).
Selain itu, adanya eksternalitas yaitu manfaat dan kerugian dari suatu
kegiatan produksi tak diperhitungkan dalam penetapan harga juga menjadi
penyehab kenapa mekanisme pasar tak dapat berjalan secara efisien. Jika
mekanisme pasar tak dapat berjalan dengan baik, dimana suatu pelayanan
dapat dinikmati oleh semua orang tanpa kecuali, maka sudah pasti tidak
akan ada pelaku bisnis/ekonomi yang tertarik untuk menyelenggarakan
pelayanan publik. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran hirokrasi publik
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 153
sangat diperlukan untuk membetulkan mekanisme pasar dan menghalangi
mekanisme pasar yang merugikan publik. (Zauhar, 2001).
Pertimhangan lain yang sering dipakai sebagai justifikasi keterlibatan
birokrasi publik dalam pelayanan publik adalah pertimhangan politik.
Pertimbangan ini dipakai untuk menghindari kemungkinan masyarakat
dirugikan oleh penyelenggaraan pelayanan di pasar bebas yang acapkali
kepentingannya berbenturan dengan kepentingan publik. (Zauhar, 2001).
Dengan melihat pada aspek transaksi, Ouchi (1980) mengidentifikasi
adanya 4 variahel yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk menentukan
apakah organisasi pelayanan publik dikelola oleh swasta atau negara
(organisasi publik). Empat variabel yang dimaksud adalab jenis dan
karakterisrik pelayanan, persyaratan informasi, persyaratan normarif dan
tingkat kepercayaan organisasi jaringan. (Zauhar, 2001).
Jenis dan karakteristik pelayanan adalah derajat kesulitan dalam
mengukur kualitas pelayanan. Semakin sulit melakukan pengukuran
terhadap pelayanan maka organisasi publik semakin berperan di dalamnya,
dan semakin mudah pengukuran, organisasi swasta yang cocok untuk
pelayanan publik. Dalam situasi dimana pengukuran kualitas sulit dilakukan
maka birokrasi publiklah yang harus melakukan pemantauan. Sebab selain
pemantauan ini memerlukan biaya yang tinggi, dalam kondisi seperti ini
birokrasi publiklah yang dapat bekerja secara lebih efektif. Dengan demikian
maka pengawasan lebih dapat dilakukan dengan mudah. Sebaliknya dalam
situasi dimana pengukuran kualitas pelayanan publik mudah dilakukan,
maka mekanisme pasar yang lebih cocok karena kualitas pelayanannya
mudah diukur maka pemerintah juga lebih mudah memantau apakah
pelayanan sektor swasta sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan tanpa
merugikan masyarakat. (Zauhar. 2001).
Informasi mengenai harga pelayanan merupakan variabel kedua yang
mempengaruhi efektivitas pelayanan publik, apakah dilakukan sektor
Bunga Rampai Administrasi Publik
154 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
swasta atau birokrasi publik. Dalam situasi dimana informasi mengenai
harga pelayanan tidak tersedia maka sektor swasta kesulitan untuk
menentukan atau menghitung rugi labanya. Dalam situasi semacam itu
maka birokrasi publik menjadi alrernatif yang lebih baik dalam melakukan
pelayanan publik. Namun pada sisi lain birokrasi publik harus ditunjang
dengan pengukuran pemerintah. Sebab tanpa adanya pengukuran,
dikhawatirkan birokrasi publik tak dapat berjalan dengan baik. Pada sisi lain
sektor swasta akan bisa beroperasi dengan lebih baik, dan menjadi
alternatif pilihan dalam menyelenggarakan pelayanan publik manakala
informasi mengenai harga tersedia. (Zauhar, 2001).
Persyaratan normatif yang dituntut oleh organisasi swasta dan
birokrasi publik untuk bisa beroperasi dengan baik berbeda antara yang
satu dengan yang lain. Untuk bisa beroperasi dengan baik birokrasi publik
harus mempunyai acceptance of authority. Tanpa ada aturan main yang
jelas birokrasi publik tak mungkin akan dapat berjalan dengan baik. Pada
sisi lain organisasi swasta tidak terlalu membutuhkan acceptance of
authonty. la akan berjalan dengan baik kalau ada kebutuhan timbal balik
antara penjual dan pembeli. Secara otomatis produsen barang dan jasa
pelayanan akan memproduksinya manakala ada konsumen yang
membutuhkan yang kemudian akan diikuti oleh adanya transaksi. (Zauhar,
2001).
Variabel terakhir yang perlu diperhatikan adalah tingkat kepercayaan
anggota jaringan organisasi. Dalam lingkungan birokrasi publik, seluruh
kegiatan akan bisa berjalan jika sesama anggotanya saling mengenal. la
tidak akan berjalan kalau seandainya antar anggota jaringan tak saling
mengenal. Lain halnya dengan organisasi swasta. Dalam organisasi ini
transaksi bisa saja berjalan tanpa harus adanya saling kenal di antara
anggota jaringan penjual dan pembeli. (Zauhar, 2001).
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 155
Keempat variabel pokok itulah yang dapat dipakai sebagai kerangka
acuan di dalam menentukan apakah barang dan jasa dalam pelayanan
publik diserahkan kepada swasta atau dikelola oleh birokrasi publik. Dalam
situasi dimana penilaian terhadap barang dan jasa bersifat sederhana,
informasi tentang harga tersedia, kepercayaan anggota jaringan rendah dan
secara normatif ada kebutuhan timbal balik, maka organisasi swasta yang
lebih cocok. Sebaliknya, dalam situasi dimana sulit melakukan penilaian
terhadap barang dan sulit memperoleh informasi harga, tingkat
kepercayaan anggota jaringan tinggi dan secara normatif ada acceptance of
authority, birokrasi publiklah yang lehih tepat untuk mengelola pelayanan
publik.
PERMASALAHAN TERKAIT PERAN PEMERINTAH DALAM PENYEDIAAN
PELAYANAN PUBLIK
Kondisi terkini dalam penyediaan pelayanan publik, ditandai dengan
adanya transformasi sebagai akibat dari penyesuaian terhadap konteks
global yang dikarakteristikan dengan ideologi pasar, demonisasi negara
kesejahteraan, tumbuhnya rezim neoliberal, penyeharan kebijakan yang
lebih pro pasar serta mengikisnya pelayanan publik dari sisi ruang lingkup,
peranan, kapasitas, dan komitmennya (Haque, 1999). Kondisi ini menurut
Haque (1999) menumbuhkan aliansi antar negara dan pasar sehingga
menyebabkan munculnya hubungan kerjasama yang lebih intim antara
birokrasi publik dan perusahaan swasta di satu sisi sementara di sisi lainnya
terjadi pelemahan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat biasa.
Dengan kata lain, menurut Hague (1999), telah terjadi perubahan pola
hubungan antara warga negara dengan administrasi publik (pemerintah)
yang ditandai dengan semakin meluasnya kemitraan antara pemerintah
dengan swasta (public-private partnership) serta semakin menurunnya
pelayanan berbasis kesejahteraan (welfare-based service) untuk
Bunga Rampai Administrasi Publik
156 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
masyarakat biasa. Kondisi ini ditandai dengan diadopsinya rezim neoliberal
berbasis pasar oleh banyak negara termasuk di Indonesia yang
mempengaruhi varian dari bentuk reformasi administrasi yang dilakukannya
dengan nama pemerintahan yang berwirausaha, manajemen baru sektor
publik, serta penguatan pendekatan untuk bersikap sebagaimana seorang
usahawan (Hague, 1999). Pendekatan yang semacam itu, menurut Hague
(1996) menumbuhkan sejumlah tantangan dalam penyediaan pelayanan
publik terkait dengan legitimasi pelayanan publik, etika pelayanan publik,
serta motivasi pelayanan publik. Selain itu, menurut Hague (1999)
pandangan tersebut juga telah mengubah birokrasi publik, mempengaruhi
sifat dan komposisi jasa-jasa yang diberikan sektor publik kepada
masyarakat sekaligus menyebabkan transformasi pola hubungan antara
pemerintah dengan masyarakat. (Prasojo, Maksum, Kurniawan, 2006).
Terkait dengan keberadaan masyarakat (warga) beserta hak dan
kewajibannya, maka selama ini secara tradisional dari perspektif politik
dikenal 5 (lima) bentuk, dimensi dan variasi dan apa yang dimaksud dengan
hak-hak dasar seorang warga (Hague, 1999). Pertama, dari pandangan
konservatif klasik yang menginterpretasikan warga dalam istilah "kebajikan
warga" sebagai kesetiaan, kepemilikan terhadap properti serta pengorbanan
masyarakat terlradap negara. Kedua, tradisi liberal memberikan penekanan
kepada kontrak hukum antara warga dan negara yang berdampak kepada
harus patuhnya masyarakat terhadap pemerintah serta pemerintah yang
harus dapat menjamin pemenuhan hak dasar masyarakat, seperti hak
individu dan akses yang sama terhadap hak atas hukum dan hak untuk
memilih. Ketiga, perspektif dari kaum republik dan komunitas menyoroti
kepada identitas warga dengan komunitasnya serta mendahulukan
kepentingan komunitas diatas otonomi individu. Keempat, tradisi radikal
(marxist) mengkritik kewargaan berdasarkan kepemilikan terhadap properti
yang menyebabkan ketidakadilan serta mempertimbangkan kelompok
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 157
borjuis sebagai fenomena sementara yang harus digantikan melalui sebuah
revolusi social. Kelima, perspektif post modern yang berseberangan dengan
universalitas, dimana menurut perspektif ini pandangan hegemonik dari
kewargaan cenderung menindas identitas khusus yang dihasilkan dari sifat
lokal, plural dan episodik manusia dan masyarakat. Perkembangan
selanjutnya, hak masyarakat ini berkembang menjadi hak social akan
kesejahteraan dan keamanan yang harus dijamin oleh Pemerintah rerkait
dengan masalah pendidikan, kesehatan, pennnahan dan transportasi
(Hague, 1999). Intinya adalah, bahwa warga masyarakat memiliki sejumlah
hak yang harus dipenuhi oleh Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dalam
mencapai kesejahteraan dan harga dirinya sebagai manusia. (Prasojo,
Maksum, Kurniawan, 2006).
Dalam konteks tersebut, sektor publik khususnya di negara
berkembang menjadi agen utama dalam mengentaskan kemiskinan,
menumhuhkan lapangan pekerjaan, menajamkan pembangunan bangsa,
menyediakan pelayanan pendidikan dan kesehatan, meredistrihusikan
pendapatan, serta melaksanakan kebijakan pembangunan (Hague, 1999).
Adalah tugas pemerintah dalam menjamin kesejahteraan dari semua warga
masyarakat, atau dengan kata lain, hubungan antara warga dengan
birokrasi publik menjadi terpusat kepada masyarakat (people-centered)
(Hague, 1999). Namun demikian, perkembangan yang terjadi dalam dua
dekade terakhir, model hubungan warga dengan hirokrasi ini telah berubah
menjadi lebih diarahkan secara regresif, dalam artian berkurangnya secara
signifikan hak sosial dari masyarakat (Hague, 1999, Prasojo. Maksum,
Kurniawan, 2006). Pola hubungan yang baru antara warga dengan birokrasi
tersebut menurut Haque (1999) membawa implikasi terhadap 5 (lima) hal
yakni (1) redefinisi kewargaan/masyarakat dalam pelayanan publik; (2)
transformasi etika administrasi yang mempengaruhi masyarakat; (3) transisi
dalam perilaku dan motivasi hirokrasi terhadap masyarakat; (4) perubahan
Bunga Rampai Administrasi Publik
158 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
peran dan kapasitas pelayanan publik dalam melayani masyarakat; serta (5)
restrukturisasi hak masyarakat terhadap pelayanan publik. (Prasojo,
Maksum, Kurniawan, 2006).
Redefinisi kewargaan/masyarakat dalam pelayanan publik harus
dilakukan mengingat sebelumnya pelayanan publik dituntut untuk dapat
melayani semua kelas dan kelompok masyarakat tanpa terkecuali
khususnya kelas yang terpinggirkan biasanya ditinggalkan oleh sektor
swasta dalam mekanisme pasar (Haque, 1999). Namun demikian, seiring
dengan diadopsinya pendekatan berorientasi pasar menyebabkan
masyarakat diredefinisilkan sebagai konsumen atau klien dan karenanya
memiliki implikasi terhadap pola hubungan antara pemerintah dengan
masyarakat (Haque, 1999). Dalam pola hubungan yang baru tersebut
melibatkan adanya transaksi keuangan antara masyarakat dengan
pemerintah dalam proses penyediaan pelayanan publik (Haque, 1999).
Karenanya menurut Haque (1999), kondisi yang semacam ini khususnya di
negara-berkembang dapat merugikan bagi kelompok masyarakat miskin
yang tidak memiliki kapasitas keuangan sebagai konsumen atau pengguna
pelayanan. (Prasojo, Maksum, Kurniawan, 2006).
Akibat lain dari pendekatan berorientasi pasar terhadap penyediaan
pelayanan publik adalah terjadinya transformasi standar etika pelayanan
publik selama ini seperti akuntabilitas, keterwakilan, netralitas, daya
tanggap, integritas, kesetaraan, pertanggungjawaban, ketidakberpihakan,
serta kebaikan dan keadilan yang digantikan dengan nilai-nilai pasar seperti
efisiensi, produktivitas, kompetisi, dan pencarian keuntungan (Haque,
1999). Terkait hal ini, Lawton (2005 menyebutkan 7 (tujuh) dimensi yang
berubah dalam penyampaian pelayanan publik, yaitu: (1) pergeseran
menuju penyebaran, (2) pergeseran menuju kompetisi yang lebih besar; (3)
peningkatan tekanan pada manajemen gaya swasta, (4) tekanan yang besar
pada disiplin dan penghematan dalam penggunaan sumberdaya, (5)
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 159
penekanan pada manajemen yang lebih terbuka, (6) peningkatan
penggunaan standar pengukuran formal yang eksplisit dari kinerja, serta (7)
penekanan yang besar pada pengawasan keluaran (output). (Prasojo,
Maksum, Kurniawan, 2006).
Adapun transisi dalam perilaku dan motivasi birokrasi terhadap
masyarakat terjadi sebagai akibat dari adanya pergeseran perhatian
pegawai negeri dari kepentingan masyarakat kepada sasaran organisasi
seperti produktivitas dan efisiensi (Hague, 1999). Atau dengan kata lain,
pegawal negeri akan lebih responsif terhadap konsumen (yang mampu
membayar) sementara menjadi lebih apatis terhadap kebutuhan dari
masyarakat berpenghasilan rendah (Hague, 1999). (Prasojo, Maksum,
Kurniawan, 2006).
Sementara itu, peruhahan peran dan kapasitas pelayanan publik
dalam melayani masyarakat terjadi akibat semakin pasifnya pemerintah
dalam menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat (Hague, 1999).
Dampaknya kemudian menurut Hague (1999) terjadi perubahan pola
hubungan masyarakat dan pemerintah dalam 2 (dua) hal lebih memfasilitasi
daripada mengarahkan atau dengan kata lain "menyetir" daripada
"mendayung", serta menurunnya kapasitas dari sektor publik dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat akibat adanya kebijakan
privatisasi, penghematan, dan pemotongan anggaran. Melemahnya
kemampuan dari sektor publik ini menyebabkan mereka tidak mampu
melayani kebutuhan dasar masyarakat, khususnya apabila mayoritas
Warga masyarakat sangat menggantungkan diri terhadap sektor publik
untuk pelayanan-pelayanan dasar yang dihutuhkannya. (Prasojo, Maksum,
Kurniawan, 2006).
Pada akhirnya, implikasi-implikasi di atas membawa dampak juga
terhadap restrukturisasi hak masyarakat terhadap pelayanan publik, dimana
hak masyarakat akan pelayanan publik dasar yang harus disediakan oleh
Bunga Rampai Administrasi Publik
160 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
pemerintah menjadi berkurang. Hal ini, lehih jauh oleh Hague (2001)
disebut sebagai berkurangnya derajat "ke-publik-an" dimana aspek "ke-
publik-an" ini dipengaruhi oleh 5 (lima) dimensi yakni (1) tingkat perbedaan
dengan swasta. (2) ruang lingkup dan komposisi dari penerima pelayanan,
(3) besaran dan intensitas dari peranan terhadap sosial-ekonomi, (4) derajat
akuntabilitas publik, serta (5) tingkat kepercayaan publik. Sebagai akibatnya,
dalam penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah terjadi pengikisan
perbedaan antara publik dengan swasta; menyempitnya komposisi dari
penerima pelayanan; melemahnya peranan sektor publik; munculnya
masalah akuntabilitas publik; serta meningkatnya tantangan terhadap
kepercayaan publik dalam pelayanan publik (Haque, 2001), (Prasojo,
Maksum, Kurniawan, 2006).
Dampak yang ditimbulkan dari perubahan-perubahan di atas adalah
terjadinya krisis identitas pada sektor publik; berkurangnya kepercayaan
publik terhadap pemerintah sehingga menyebabkan kurangnya legitimasi
publik; serta restrukturisasi hubungan masyarakat dengan pemerintah
dalam penyediaan pelayanan publik (Haque, 2001). (Prasojo, Maksum,
Kurniawan, 2006). Untuk mengatasi dan menyikapi terhadap kondisi-kondisi
di atas, Haque (1999 dan 2001) menyarankan sejumlah hal untuk
dilakukan oleh sektor publik, yakni: (Prasojo, Maksum, Kurniawan, 2006).
1. Membangun kembali identitas yang kuat herdasarkan prinsip demokrasi
dari hak masyarakat melalui penentuan sifat dan tingkatan peranan
sektor publik atas dasar kriteria yang obyektif dan tidak atas dasar
asumsi yang bias pasar bahwa sektor publik tidak efisien, efektif
dibandingkan dengan sektor swasta,
2. Memikirkan kembali penggunaan prinsip-prinsip dan pendekatan sektor
swasta dalam sektor publik melalui kajian kritis dan debat,
3. Memenuhi kebutuhan untuk mengerti dan melindungi warga negara
berdasarkan norma administrasi negara dengan menilai kembali
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 161
rasionalitas pemikiran bahwa reformasi berpusat kepada pasar dapat
meningkatkan basis kepemilikan, menjamin alokasi yang lebih baik serta
memfasilitasi kapitalisme populis. Dengan kata lain, negara harus
mempertimbangkan kembali dampak reformasi terhadap masyarakat
menengah bawah dengan menunaikan kembali peran aktif negara
kepada orang miskin,
4. Mendesain kembali ukuran akuntabilitas yang saat ini ada dan
memperkenalkan metode baru,
5. Mencari pendekatan yang lebih obyektif untuk menilai dan
menginterpretasikan pelayanan publik yang ditawarkan kepada publik
khususnya oleh pejabat politik terpilih,
6. Mempertimbangkan kontekstual dari faktor ekonomi dan politik dalam
mendesain dan meluncurkan sektor publik yang dipengaruhi pasar, serta
7. Mengevaluasi faktor maupun kekuatan utama di tingkat nasional
maupun internasional dalam mengarahkan reformasi yang berpusat
pasar tersebut.
KINERJA PELAYANAN PUBLIK
Negara dan sistem pemerintahan menjadi tumpuan pelayanan warga
negara dalam memperoleh jaminan atas hak-haknya, karenanya
peningkatan kualitas pelayanan (quality of service) akan semakin penting
(Zauhar, 2001).Davidow (dalam Lovelock, 1988) menyebutkan bahwa
pelayanan adalah hal-hal yang jika diterapkan terhadap suatu produk akan
meningkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan (service is those thing
which when added to a product,increase its utility or value to the customer).
Lebih lanjut Lovelock (1988) menyebutkan bahwa pelayanan yang baik
memburuhkan instruktur pelayanan yang sangat baik pula. Hal yang paling
penting adalah membuat setiap orang dalam organisasi berfokus pada
kualitas. (Zauhar, 2001).
Bunga Rampai Administrasi Publik
162 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
Crosby, Lehtimen dan Wyckoff (dalam Lovelock, 1988) mendefinisikan
kualitas pelayanan sebagai berikut "Penyesuaian terhadap perincian-
perincian (conformance to specification) dimana kualitas ini dipandang
sebagai derajat keunggulan yang ingin dicapai, dilakukannya kontrol terus
menerus dalam mencapai keunggulan tersebut dalam rangka memenuhi
kebutuhan pengguna jasa". (Zauhar, 2001).
Pelayanan merupakan respons terhadap kebutuhan manajerial yang
hanya akan terpenuhi kalau pengguna jasa itu mendapatkan produk yang
mereka inginkan (Lovelock,1988). Jika demikian halnya maka apa yang
menjadi perumpamaan bahwa pembeli adalah raja (the customer is always
right) menjadi sangat penting dan menjadi konsep yang mendasar bagi
peningkatan manajemen pelayanan.
Sejalan dengan pemikiran di atas, menurut Kotler (1995), kepuasan
pelanggan terhadap suatu barang atau jasa dipengaruhi oleh tingkat
perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau basil) yang
dirasakannya dilengkapi pengharapan. Karna tentunya seseorang akan
merasa puas bila tercukupi rasa pengharapan terhadap sesuatu. Ada 4
(empat) metode untuk mengukur kepuasan pelanggan menurut Kotler:
pertama, sistem keluhan dan saran (melalui kotak surat, surat pembaca, dll),
kedua, survei kepuasan pelanggan di unit pelayanan, ketiga belanja siluman,
dengan cara belanja untuk mengukur pelayanan tertentu dan keempat
analisa kehilangan, untuk mengukur kecepatan dan keakuratan pelayanan
kehilangan.
Selain itu, Tjiptono (2000) menyebutkan bahwa kualitas memiliki
hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan
suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan hubungan yang
kuat dengan perusahaan/ organisasi. Dalam jangka panjang, ikatan seperti
ini memungkin-kan perusahaan/organisasi untuk memahami dengan
seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka.
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 163
Dengan demikian perusahaan/organisasi dapat meningkatkan
kepuasan pelanggan dengan cara memaksimumkan pengalaman pelanggan
yang menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman
pelanggan yang kurang menyenangkan. Pada gilirannya kepuasan
pelanggan dapat menciptakan kesetiaan atau loyalitas pelanggan kepada
perusahaan/organisasi yang memberikan kualitas yang memuaskan.
Perusahaan/organisasi juga dapat meningkatkan pangsa pasarnya
memenuhi pemenuhan kualitas yang bersifat customer-driven. Hal ini akan
memberikan keunggulan harga dan customer value. Customer value
merupakan kombinasi dari manfaat dan pengorbanan yang terjadi apabila
pelanggan menggunakan suatu barang atau jasa guna memenuhi
kebutuhan tertentu. Bila kualitas yang dihasilkan superior dan pangsa pasar
yang dimiliki besar, maka profitabilitasnya terjamin. Jadi, ada kaitan yang
erat antara kualitas dan profirahilitas.
Terkait dengan kondisi di atas, menurut Zeithamal, Parasuraman dan
Berry (1990), harapan konsumen terhadap kualitas pelayanan sangat
dipengaruhi oleh informasi yang diperoleh dari mulut ke mulut, kebutuhan
konsumen itu sendiri, pengalaman masa lain dalam mengonsumsi susai
produk hingga pada komunikasi eksternal melalui iklan. Betuk pelayanan
yang maksimal merupakan kepuasan bagi pelanggan. Sehingga, tuntutan
rerhadap kepuasan merupakan hal yang lumrah. Zeithamal, Parasuraman
dan Berry juga menyatakan bahwa dalam menilai kualitas Jasa/pelayanan,
terdapat sepuluh ukuran kualitas jasa/ pelayanan, yaitu :1) Tangible
nyata/berwujud); 2)Reliability (keandalan); 3) Responsiveness (Cepat
ranggap); 4) Competence (kompetensi); 5) Access (kemudahan); 6)
Courtesy (keramahan); 7) Communication (komunikasi); 8)
Credibility (kepercayaan); 9 Security (keamanan); 10)
Understanding the Customer (Pemahaman pelanggan).
Bunga Rampai Administrasi Publik
164 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
Dimensi Kualitas Pelayanan Publik menurut Zeithamal, Parasuraman dan
Berry kemudian disederhanakan menjadi :
1. tangible (bukti fisik); menyangkut kesiapan dari sarana dan pra sarana
pendukung seperti sarana fisik, komputerisasi, adanya ruang tunggu
dan lainnya.
2. reliability (reliabilitas): menyangkut kemampuan dan keandalan amok
menyediakan pelayanan yang terpercaya terhadap konsumen, termasuk
memberikan layanan akurat sejak pertama kali tanpa membuat
kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu
yang disepakati.
3. responsiveness (daya tanggap); kesanggupan untuk membantu dan
menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat serta tanggap terhadap
keinginan konsumen.
4. Assurance (jaminan); kemampuan dengan keramahan, sopan santun
pegawai dalam meyakinkan kepercayaan konsumen dcngan tujuan pula
menumbuhkan kepercaya-an pelanggan dan menciptakan rasa aman
bagi para konsumen.
5. emphaty (empati); memahami masalah para pelanggan dan bertindak
demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personal
kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.
Sementara itu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, juga telah
mengatur tentang azas pelayanan publik meliputi : a) Kepentingan umum; b)
Kepastian hukum; c) Kesamaan hak; d) Keseimbangan hak dan kewajiban;
e) Keprofesionalan; f) Partisipatif; g) Persamaan perlakuan/tidak
diskriminasi; h) Keterbukaan; i) Akuntabilitas; j) Fasilitas dan perlakuan
khusus bagi kelompok rentan; k) Ketepatan waktu; dan l) Kecepatan,
kemudahan dan keterjangkauan.
Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah selama ini
belum menunjukkan kinerja yang baik, berdasarkan data-data yang
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 165
terhimpun di Ombudsman tahun 2012, pemerintah kabupaten dan kota
menempati peringkat pemberi pelayanan terburuk dengan jumlah 669
pengaduan masyarakat, peringkat kedua adalah Kepolisian Republik
Indonesia dengan jumlah pengaduan 365, keluhan tertinggi pada kepolisian
adalah berturut turut 39,6% di Polres, 23,2% di Polda dan 17% di Polsek,
pelayanan yang lamban merupakan keluhan dari para pelapor. Peringkat ke
tiga layanan terburuk adalah Kementerian, peringkat terburuk tingkat
kementerian yang memberikan pelayanan publik adalah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (28,2%) mayoritas pengaduan terkait dengan
penerimaan siswa baru, peringkat kedua adalah Kemenkum dan HAM
(20,6%) mayoritas pengaduan terkait dengan rekruitmen Calon Pegawai
Negeri Sipil, dan disusul dengan Kementerian Agama sebesar (8,5%)
dengan pengaduan terbanyak berkaitan dengan pengangkatan guru honorer
dan sertifikasi ijazah, serta sejumlah calon haji yang diperalat pihak agen
perjalanan fiktif. Posisi keempat, instansi pemberi pelayanan terburuk
ditempati oleh Badan Pertanahan Nasional, dengan jumlah pengaduan 161,
pengaduan terbanyak berkaitan dengan prosedur yang berbelit-belit dan
praktek pungutan liar, sedangkan peringkat kelima adalah institusi
peradilan dengan jumlah pengaduan sebanyak 147.
Sedangkan berdasarkan catatan ICW, buruknya pelayanan publik
sebagian besar didaerah tercermin dari banyaknya praktek korupsi yang
terjadi di daerah yang semakin lama semakin tidak terkendali, pada tahun
2010 kasus korupsi yang terjadi didaerah mencapai 448 kasus, pada tahun
2011 terdapat 436 kasus korupsi dengan 1.053 tersangka, dan pada
pertengahan tahun 2012 kasus korupsi di daerah telah mencapai 285
kasus dengan jumlah tersangka 597 tersangka.
Buruknya kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah
baik pusat maupun daerah juga tercermin dari hasil penilaian lembaga
internasional finance corportion (Sri Wahyu Wijayanti : 2012) dimana hasil
Bunga Rampai Administrasi Publik
166 | Lembaga Administrasi Negara, 2014
penilaian yang dilakukan oleh lembaga tersebut selalu menempatkan
peringkat Indonesia pada urutan rendah dalam hal kemudahan melakukan
bisnis.
TRANSFORMASI SISTEM PENILAIAN KINERJA PELAYANAN PUBLIK
Dengan memperhatikan kinerja pelayanan publik yang telah
digambarkan di atas, dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan di
masa yang akan datang, perlu dirumuskan strategi dasar yang berkaitan
dengan sistem penilaian kinerja pelayanan publik, baik dilihat dari aspek
kelembagaan, sumberdaya manusia maupun aspek ketatalaksanaan, yang
dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Perlu dirumuskan secara jelas “pelayanan dasar” yang wajib diberikan
oleh masing-masing unit kerja, yang akan dijadikan tolak ukur
keberhasilan pelaksanaan pelayanan, dari perumusan pelayanan dasar
inilah dikembangkan standar pelayanan minimalnya, yang dituangkan
dalan rencana kerja pemerintah, mulai dari rencana kerja lima tahunan,
sampai pada rencana kerja tahunan;
2) Secara kelembagaan, perlu dirumuskan secara tegas dalam kebijakan
yang mengikat semua instansi pemerintah secara berjenjang mulai dari
instansi pusat sampai instansi pemerintah daerah tentang adanya
unit kerja yang secara fungsional mempunyai tugas sebagai “institusi
evaluator pelayanan”; dimana dalam kebijakan tersebut diatur secara
jelas kewenangan dan mekanisme kerja dari masing-masing unit kerja
evaluator tersebut;
3) Langkah selanjutnya, setelah ditentukan kelembagaan yang secara
fungsional melakukan penilaian kinerja pelayanan publik perlu diikuti
dengan penunjukan jabatan fungsional pemantau dan penilai
pelayanan publik;
Bunga Rampai Administrasi Publik
Lembaga Administrasi Negara, 2014 | 167
4) Dan terakhir dari rangkaian aktifitas peningkatan sistem penilaian
kinerja pelayanan publik adalah membangun pedoman evaluasi kinerja
pelayanan publik yang memuat aspek-aspek kebijakan pelayanan dan
model-model pengukuran pelayanan publik yang telah diterapkan pada
instansi pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;
Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik;
Kotler, Philip, 1995, Manajemen Pemasaran, Buku Satu, Edisi Kedelapan,
Jakarta : Salemba Empat;
Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan, 2006,
Desentralisasi & Pemerintahan Daerah : Antara Model Demokrasi
Lokal & Efisiensi Struktural, Depok : Departemen Ilmu Admnistrasi
FISIP UI;
Zauhar, Soesilo, 2001, Admiinistrasi Pelayanan Publik : Sebuah
Perbincangan Awal, Jurnal Administrasi Negara, Vol. 1 Nomor 2,
2001;
Zeithaml, V.A, A. Parasuraman dan L.L. Berry, 1990, Delivering Quality
Service : Balancing Costumer Perceptions and Expectations.
Bunga rampai Administrasi Publik : Reformasi Administrasi Pemerintahan
dan Pelayanan Publik, LAN, 2012.
Bunga Rampai Administrasi Publik
168 | Lembaga Administrasi Negara, 2014