TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

11
171 MAKANAN TRADISIONAL PULU MANDOTI DI ENREKANG TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG Hasmah Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimele (0411) 8651 Pos-el: [email protected] Diterima: 06 April 2020; Direvisi: 06 Mei 2020; Disetujui: 01 Juni 2020 ABSTRACT The purpose of this study is expected to be able to give a cultural picture about culinary of pulu mandoti from various perspectives. The entity, function, serving, and people interest towards pulu mandoti can provide input for the community, entrepreneurs, and the government in Enrekang in developing traditional culinary products. This study uses qualitative research methods. The research location is determined intentionally (purposively) in Enrekang Regency, because the culinary of pulu mandoti was a representation of agrarian culture in Enrekang Regency. The results show that pulu mandoti is a type of local rice and rarely found, in the form of sticky rice. The rice of pulu mandoti has a fragrant aroma and fluffier rice texture. The people in Enrekang process this type of rice into a variety of delicious culinary delights, known as a typical culinary of Enrekang. Pulu Mandoti as a type of local rice in Enrekang has the best quality and the price is also expensive on the market. Keywords: traditional culinary, pulu mandoti, the people of Enrekang. ABSTRAK Tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran budaya tentang kuliner pulu mandoti dari berbagai sudut pandang. Wujud, fungsi, penyajian, dan minat masyarakat terhadap pulu mandoti dapat memberikan masukan bagi masyarakat, usahawan, dan pemerintah di Enrekang dalam pengembangan produk kuliner tradisional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Lokasi penelitian ditetapkan dengan sengaja (purposive) di Kabupaten Enrekang, karena kuliner pulu mandoti merupakan representasi kebudayaan agraris di Kabupaten Enrekang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pulu mandoti merupakan salah satu jenis beras lokal, berupa ketan wangi, yang langka. Beras pulu mandoti memiliki aroma yang wangi dan tekstur nasi yang pulen. Masyarakat Enrekang mengolah jenis beras tersebut menjadi berbagai kuliner yang enak disantap yang dikenal dengan kuliner khas Enrekang. Pulu mandoti sebagai jenis beras lokal Enrekang memiliki kualitas terbaik, harganya pun mahal di pasaran. Kata kunci: kuliner tradisional, pulu mandoti, masyarakat Enrekang. PENDAHULUAN Keadaan lingkungan dan sejarah suatu daerah sangat mempengaruhi nilai-nilai yang berkembang di daerah tersebut. Salah satu yang menjadi ciri spesifik sebuah kelompok manusia adalah makanan. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam, tidak hanya budaya lokal yang terdapat di berbagai daerah di seluruh nusantara (Departemen Pendidikan Nasional, 2001: 23). Banyaknya kebudayaan yang tersebar di pelosok-pelosok Indonesia, menciptakan ragam tradisi yang dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri. Dari banyaknya tradisi yang ada di Indoesia, banyak dari tradisi yang telah bercampur dengan tradisi yang lainnya. Tradisi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris, tradition, seperti kata ection, connection, resolution, atau justification. Dalam bahasa Inggris, sufiks atau akhiran tion pada kata

Transcript of TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

Page 1: TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

171

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

MAKANAN TRADISIONAL PULU MANDOTI DI ENREKANGTRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

Hasmah Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimele (0411) 8651

Pos-el: [email protected]: 06 April 2020; Direvisi: 06 Mei 2020; Disetujui: 01 Juni 2020

ABSTRACTThe purpose of this study is expected to be able to give a cultural picture about culinary of pulu mandoti from various perspectives. The entity, function, serving, and people interest towards pulu mandoti can provide input for the community, entrepreneurs, and the government in Enrekang in developing traditional culinary products. This study uses qualitative research methods. The research location is determined intentionally (purposively) in Enrekang Regency, because the culinary of pulu mandoti was a representation of agrarian culture in Enrekang Regency. The results show that pulu mandoti is a type of local rice and rarely found, in the form of sticky rice. The rice of pulu mandoti has a fragrant aroma and fluffier rice texture. The people in Enrekang process this type of rice into a variety of delicious culinary delights, known as a typical culinary of Enrekang. Pulu Mandoti as a type of local rice in Enrekang has the best quality and the price is also expensive on the market.

Keywords: traditional culinary, pulu mandoti, the people of Enrekang.

ABSTRAKTujuan penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran budaya tentang kuliner pulu mandoti dari berbagai sudut pandang. Wujud, fungsi, penyajian, dan minat masyarakat terhadap pulu mandoti dapat memberikan masukan bagi masyarakat, usahawan, dan pemerintah di Enrekang dalam pengembangan produk kuliner tradisional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Lokasi penelitian ditetapkan dengan sengaja (purposive) di Kabupaten Enrekang, karena kuliner pulu mandoti merupakan representasi kebudayaan agraris di Kabupaten Enrekang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pulu mandoti merupakan salah satu jenis beras lokal, berupa ketan wangi, yang langka. Beras pulu mandoti memiliki aroma yang wangi dan tekstur nasi yang pulen. Masyarakat Enrekang mengolah jenis beras tersebut menjadi berbagai kuliner yang enak disantap yang dikenal dengan kuliner khas Enrekang. Pulu mandoti sebagai jenis beras lokal Enrekang memiliki kualitas terbaik, harganya pun mahal di pasaran.

Kata kunci: kuliner tradisional, pulu mandoti, masyarakat Enrekang.

PENDAHULUAN

Keadaan lingkungan dan sejarah suatu daerah sangat mempengaruhi nilai-nilai yang berkembang di daerah tersebut. Salah satu yang menjadi ciri spesifik sebuah kelompok manusia adalah makanan. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kebudayaan yang beraneka ragam, tidak hanya budaya lokal yang terdapat di berbagai daerah di seluruh nusantara (Departemen Pendidikan Nasional, 2001: 23).

Banyaknya kebudayaan yang tersebar di pelosok-pelosok Indonesia, menciptakan ragam tradisi yang dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri. Dari banyaknya tradisi yang ada di Indoesia, banyak dari tradisi yang telah bercampur dengan tradisi yang lainnya. Tradisi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris, tradition, seperti kata ection, connection, resolution, atau justification. Dalam bahasa Inggris, sufiks atau akhiran tion pada kata

Page 2: TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

172

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

bentuk benih. Namun, tidak sedikit dari benih ini yang mengalami kerusakan terutama pada saat penyimpanan, baik dari segi tekstur, aroma, bahkan kandungannya. Kerusakan-kerusakan ini biasanya terjadi akibat adanya patogen berupa serangan serangga, tungau, burung, dan mikroorganisme seperti cendawan dan bakteri. Beberapa jenis beras aromatik hasil suatu daerah yang terdapat di provinsi Sulawesi Selatan, Enrekang, memproduksi beras pulu mandoti yang memiliki aroma yang wangi dan tekstur nasi yang pulen. Jenis beras ini umumnya hanya bisa diperoleh di Desa Salukanan, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang. Padi ini biasanya disimpan terlebih dahulu dalam bentuk benih. Tempat penyimpanannya disebut lumbung. Justice dan Bass (2002; 112) mengemukakan bahwa dua faktor utama yang berperan dalam penyimpanan benih adalah kadar air benih dan suhu lingkungan simpan. Standar kadar air benih adalah sekitar 14%. Pada kadar air kurang dari 5% viabilitas menurun karena auto oksidasi lemak, sedangkan pada kadar air lebih dari 14% viabilitas menurun pula akibat adanya cendawan. Secara umum, bagi benih ortodoks disarankan untuk menyimpan benih pada suhu ruang dan kadar air rendah agar mempunyai umur simpan yang panjang (Justice dan Bass, 2002; 116). Penyakit padi yang disebabkan oleh mikro organisme merupakan hambatan dalam produksi padi. Lebih dari 60 jenis penyakit diketahui berasosiasi dengan padi, dengan jenis patogen yang beragam seperti virus, bakteri, cendawan, nematoda dan lainnya. Akibat aktifitas patogen-patogen tersebut menyerang tanaman, menyebabkan terjadinya penurunan produksi padi baik kuantitas maupun kualitas. Menurut Sutopo (2004; 78), terdapat beberapa patogen yang menimbulkan penyakit tanaman padi di lapangan yang dapat terbawa benih dan adanya jamur gudang yang dapat menginfeksi benih dalam penyimpanan.

Ada satu jenis padi yang konon hanya bisa tumbuh di dua desa di Indonesia. Desa tersebut adalah Desa Salukanan dan Desa Kendenan, Kecamatan Baraka, Kabupaten

tradition diganti dengan akhiran si sehingga menjadi tradisi. Namun sebenarnya akar kata tradisi atau tradition itu sendiri berasal dari bahasa latin, tradition. Tradition adalah kata benda dari kata kerja trader, yang bermakna menyampaikan, menyerahkan atau mengamankan atau mentransmisikan, atau dengan kata lain tradisi adalah suatu yang ditransmisikan (Sugira Wahid, 2007; 13).

Tradisi di Sulawesi Selatan adalah hasil dari kebudayaan nenek moyang dan hasil dari kreasi manusia dari zaman ke zaman. Tradisi atau kebudayaan di Sulawesi Selatan sangat banyak, sehingga tercipta banyak keanekaragaman dalam tata cara dan ritual pelaksanaan dari tradisi-tradisi yang tersebar di daerah Sulawei Selatan. Banyaknya tradisi-tradisi yang tersebar membuat Sulawesi Selatan sangat kaya akan keanekaragaman kebudayaan. Seperti halnya di daerah Enrekang, keanekaragaman kebudayaan yang membuatnya kaya akan tradisi-tradisi lokal. Salah satunya adalah tradisi kuliner pulu mandoti yang merupakan representasi kebudayaan agraris di Kabupaten Enrekang. Beras merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia. Konsumsi beras Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia sehingga mengakibatkan tinggi pula permintaan beras dalam negeri dan terkadang tidak seimbang dengan pasokan yang tersedia. Beras dijadikan makanan pokok karena kandungan karbohidratnya yang tinggi sehingga dapat berfungsi sebagai sumber energi bagi manusia. Kandungan dari beras dapat diperoleh jika kualitas beras yang dikonsumsi juga baik, karena kualitas beras sangat dipengaruhi oleh kualitas benih yang pada gilirannya akan tumbuh menjadi padi. Benih merupakan bahan tanaman hasil perkembangbiakan tanaman padi secara generatif yang digunakan untuk produksi tanaman. Semakin tingginya konsumsi beras menuntut pemasokan benih yang bermutu semakin tinggi sehingga tidak jarang para petani kesulitan dalam pemenuhannya.

Langkah yang ditempuh untuk mengatasi hal ini yaitu, dilakukan penyimpanan dalam

171—181

Page 3: TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

173

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Enrekang, Sulawesi Selatan. Bagi masyarakat Desa Salukanan dan Kendenan, pulu mandoti dipercaya sebagai wangsit yang didapatkan dari Tuhan. Selain dari dua desa tersebut, pulu mandoti jika ditanam, maka tidak akan menghasilkan beras yang wangi seperti pulu mandoti pada umumnya. Bahkan beberapa petani sering mencoba menanamnya di luar desa tersebut, walaupun tumbuh baik, tapi hasilnya tidak akan sama, karena tidak memiliki aroma wangi.

Pulu mandoti, salah satu beras lokal jenis ketan wangi yang langka ini tumbuh di wilayah pegunungan dengan ketinggian sekira 700 Mdpl. Desa Salukanan dan Desa Kendenan, Kecamatan Baraka, berada sekitar 60 kilometer dari Kota Enrekang, Ibukota Kabupaten Enrekang. Karena keunikan pulu mandoti, beberapa peneliti di Indonesia hingga peneliti dari Jepang pernah mempelajari dan mencoba menanam jenis padi ini di tempat lain, dan hasilnya tetap sama, yaitu tidak beraroma wangi. Para peneliti ini menduga jika beras pulu mandoti memiliki aroma khas yang sangat wangi karena tanah di Desa Kendenan dan Desa Salukanan tersebut memilki unsur hara yang sangat spesifik dan tinggi, sehingga memberi nilai tambah tersendiri.

Beras pulu mandoti hanya bisa dipanen setiap sekali dalam setahun. Adapun cirinya, memiliki warna yang agak kemerahan serta aroma khasnya yang begitu tajam. Karena wanginya, cukup satu liter pulu mandoti dapat memberi aroma yang bisa dicium hingga beberapa meter. Karena itulah, kita harus jeli ketika membelinya agar kita mendapat pulu mandoti yang asli bukan campuran. Biasanya olahan pulu mandoti ini lebih nikmat rasanya jika dibuat sokko’ atau sejenis nasi ketan, apalagi jika dipadu dengan gorengan dangke’ atau sejenis keju yang juga khas Enrekang.

Pengembangan kuliner tradisional sebagai warisan budaya masyarakat di Indonesia mulai tampak ke permukaan sejak sepuluh tahun terakhir, yang dikaitan dengan olahan dengan proses memasak, hasil masakan, dan makanan

khas yang menjadi salah satu identitas daerah. Masing-masing daerah di Indonesia memiliki makanan dan minuman khas yang merupakan ciri pendukung budaya daerah bersangkutan.

Berdasakan latar belakang di atas, maka penulis menganggap penting untuk melakukan penulisan tentang kuliner pulu mandoti. Ada pun permasalahan yang dikaji adalah bagaimana latar belakang pulu mandoti pada masyarakat Enrekang dan bagaimana proses pengolahan dan fungsi pulu mandoti pada masyarakat Enrekang.

Kuliner pada awalnya merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat yang berhubungan dengan pola-pola pengolahan bahan makanan. Secara tradisional, pola-pola pengolahan bahan makanan yang sangat dipengaruhi kondisi alam sekitar, karena kebutuhan makanan manusia diperoleh dari alam sekitar. Berbekal pengalaman dan kemampuan teknologi sederhana, mereka mengolah hasil alam menjadi makanan dan minuman, diolah sedemikian rupa menggunakan alat dan bahan-bahan yang disediakan alam sekitar, sehingga dijumpai adanya makanan (kuliner) tradisional menjadi ciri khas dari suatu etnis dan daerah tertentu.

Menurut Purwodarminto (dalam Marwanti, 2000: 112), tradisional adalah suatu kebiasaan yang sudah turun temurun diwarisi dari nenek moyang sehingga akan sulit diubah, seperti halnya makanan yang dikonsumsi masyarakat pada suatu daerah secara turun temurun. Selanjutnya Marwanti (2000: 112), menjelaskan makanan tradisional mempunyai pengertian suatu makanan rakyat sehari-hari, baik yang berupa makanan selingan, atau sajian khusus yang sudah ada pada zaman nenek moyang dan dilakukan secara turun temurun.

Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa makanan tradisional adalah makanan yang sudah ada sejak dahulu yang diturunkan dari nenek moyang kepada anak cucunya serta merupakan makanan sehari-hari untuk dikonsumsi. Ciri-ciri makanan tradisional menurut Sosrodiningrat (dalam Marwanti,

Makanan Tradisional Pulu Mandoti... Hasmah

Page 4: TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

174

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

2000: 113) sebagai berikut:

1. Resep makanan yang diperoleh secara turun-temurun dari generasi pendahulunya

2. Penggunaan alat tradisional tertentu di dalam pengolahan masakan tersebut (misalnya masakan harus diolah menggunakan tanah liat)

3. Teknik olah masakan merupakan cara pengolahan yang harus dilakukan untuk mendapatkan rasa maupun rupa yang khas dari suatu masakan.

Menurut Foster (2013; 70), makanan adalah yang tumbuh di ladang-ladang, yang berasal dari laut, yang dijual di pasar tradisional maupun di supermarket, dan yang muncul di meja pada waktu makan. Terdapat perbedaan makan dan nutrisi. Nutrisi merupakan bahan-bahan yang dibutuhkan oleh tubuh seperti gizi, protein, lemak, dan sebagainya yang diperlukan oleh tubuh, sedangkan makanan merupakan konsep kebudayaan yang berkaitan dengan selera, kenikmatan, mitos, dan status sosial di masyarakat yang cara memakannya, dan kapan dimakan dipengaruhi oleh budaya yang dimilikinya. Dengan kata lain, penting untuk membedakan antara nutrimen (nutriment) dengan makanan (food). Nutrimen adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya, sedangkan makanan adalah suatu konsep budaya (Foster, 2013; 76) maka jika dilihat melalui kacamata antropologi, makanan bukan semata suatu produk organik dengan kualitas-kualitas biokimia, tetapi makanan dapat dilihat sebagai gejala budaya. Gejala ini dibentuk karena berbagai pandangan hidup masyarakatnya akibat kepercayaan-kepercayaan tertentu yang sudah menjadi kebiasaan dan pola hidup masyarakat.

Menurut Foster (2013; 79) makanan berkaitan dengan masalah kebiasaan, kepercayaan, keyakinan, dan bahkan status sosial dalam masyarakat. Makanan adalah inti kebudayaan, dan inti kebudayaan adalah

sesuatu yang sulit diubah. Selanjutnya, makan bukan saja persoalan kebutuhan biologi atau psikologi manusia melainkan terkait dengan masalah sosial budaya yang ada dalam masyarakat. Menurut Foster dan Anderson (2013; 91), kebiasaan makan dalam antropologi dikatakan sebagai suatu kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan, dan tahyul-tahyul yang berkaitan dengan produksi, persiapan, dan konsumsi makanan – pendeknya, sebagai suatu kategori budaya yang penting.

Makanan juga merupakan suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi dan hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang menyeluruh, oleh sebab itu, kebudayaan ikut berperan dalam menentukan sebuah makanan, artinya layak dan tidaknya untuk dimakan (Foster, 2013; 91). Pada kenyataannya masyarakat masih banyak yang menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan ideologi. Seperti budaya makan, prioritas makan, pola konsumsi dan distribusi, kepercayaan, mitos, dan tahyul yang ada pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam memilih dan menentukan makanan, masyarakat masih dipengaruhi oleh kebudayaan dan ideologi yang ada secara turun temurun.

Lebih lanjut, Foster (2013; 92) juga menjelaskan bahwa kebiasaan makan adalah hal yang sangat menantang untuk diubah di antara semua kebiasaan, karena apa yang kita sukai dan tidak sukai, kepercayaan-kepercayaan kita terhadap apa yang dapat dimakan dan yang tidak dapat dimakan, dan keyakinan-keyakinan tersebut sudah terbentuk sejak usia dini. Di dunia, setiap kebudayaan suku bangsa memiliki makna tertentu tentang makanan dan bahkan menunjukkan status sosial masyarakat tersebut.

Pada hasil penelitin Trisna Kumala Satya Dewi (1995; 121), menjelaskan bahwa masyarakat di Jawa memiliki beberapa makanan yang erat hubungannya dengan upacara ritual. Dalam hal ini, makanan mempunyai arti

171—181

Page 5: TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

175

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

simbolik yang berkaitan dengan fungsi sosial dan keagamaan (religi). Masyarakat Jawa mempercayai bahwa lingkungan hidup itu perlu dilestarikan dengan cara-cara ritual keagamaan yang mengandung nilai kearifan lokal (Purwadi dalam Trisna Kumala Satya Dewi, 1995: 134). Upacara ritual masyarakat yang masih banyak dilaksanakan misalnya seperti bersih desa (merti desa), sedekah bumi, ruwah Rosul, saparan, sadranan dan sebagainya, yang dilaksanakan secara kolektif. Dalam upacara ritual tersebut biasanya disediakan makanan khusus sebagai sajian seperti tumpeng, ambeng, nasi gurih, sekul punar(nasi kuning), jenang abang-putih (dodol merah putih), jajanan pasar dan sebagainya.

Tumpeng berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Jawa, bahkan kini sudah menjadi milik masyarakat Indonesia. Perhelatan dalam masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dengan tumpeng, dengan demikian tumpeng menandai bahwa di tempat tersebut ada hajatan. Makanan yang menjadi pelengkapnya berupa lauk pauk seperti ingkung ayam, tahu tempe, sambal goreng, bandeng, kerupuk, karak dan sebagainya, merupakan ayam yang masih utuh, yang dimasak dengan bumbu-bumbu dapur dan santan yang merupakan bagian terpenting dalam sebuah tumpeng sebagai pelengkap upacara ritual.

Selanjutnya, dari hasil penelitian Nurdin dkk (2011; 61), menjelaskan bahwa masyarakat pertanian memiliki makanan penting dalam melaksanakan ketentuan kepercayaan yang mengandung makna dan nilai tinggi dalam upacara adat. Hal ini menunjukkan bahwa ada jenis-jenis makanan tertentu yang mengandung nilai budaya tinggi bagi masyarakat. Dalam kajian antropologi, ada dua pendekatan dalam mengkaji hubungan makanan dan kebudayaan yakni, pertama, Foster (2013; 99) menyatakan bahwa makanan merupakan unsur budaya, memiliki nilai-nilai ritual, kepercayaan, dan lain sebagainya. Foster (2013: 99) menunjukkan kecenderungan kajiannya pada masalah-masalah makanan karena faktor kebudayaan.

Faktor kebudayaan adalah satu-satunya penyebab tanpa menghubungkannya dengan faktor yang lain. Berbeda dengan pendapat kedua, oleh Jerome, Kandel, dan Pelto (dalam Ritzer, 2010: 43). Mereka melihat bahwa kebiasaan makan sangat dipengaruhi oleh kebutuhan biologis dan psikologis individu. Sementara, faktor-faktor lainnya seperti halnya faktor kebudayaan dan ideologi, lingkungan fisik, lingkungan sosial, organisasi sosial dan teknologi hanya sebagai pelengkap.

Foster (2013: 128) mengatakan bahwa faktor kebudayaan adalah satu-satunya penyebab suatu kebiasaan makan. Pada intinya, kebiasaan makan memiliki permasalahan sosial budaya yang lebih komplek ketimbang sekedar masalah kebutuhan biologis dan psikologis saja. Masyarakat di berbagai penjuru Indonesia mayoritas penduduknya mengkonsumsi nasi, sehingga tidak jarang kita mendengar pernyataan berikut “belum makan jika belum makan nasi”. Hal ini dikarenakan secara psikologis mereka menganggap bahwa jika mereka makan nasi maka mereka sudah makan. Presepsi masyarakat telah sama secara keseluruhan tentang nasi, dengan makan nasi maka akan terpenuhi kebutuhan mereka secara biologis. Biasanya masyarakat lebih mengutamakan nasi dibandingkan dengan sayur atau lauknya. Kemudian makan nasi karena rasanya yang mampu dipadukan dengan jenis lauk apa saja, sehingga nasi juga adalah persoalan selera.

Jika nasi adalah komponen terbanyak ketika makan dan kemudian jenisnya yang mampu dipadupadankan dengan jenis sayur atau lauk apa saja, maka nasi adalah persoalan selera dan rasa, serta kemampuannya mengenyangkan dan ini merujuk kepada nilai sosial budaya makan. Menurut Foster (2013; 126), makanan merupakan konsep kebudayaan yang berkaitan dengan selera, kenikmatan, mitos, dan status sosial di masyarakat yang cara memakannya, dan kapan dimakan, dipengaruhi oleh budaya yang dimilikinya. Maka jenis bahan lain harus mampu diolah seperti nasi. Misalnya pangan lokal yang merupakan hasil produksi lokal

Makanan Tradisional Pulu Mandoti... Hasmah

Page 6: TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

176

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

penduduk yang mampu menggantikan nasi dengan rasa dan fungsi yang tidak berubah. Seperti beras siger (sego tiwul) yang dianggap mengenyangkan dan dapat dipadupadankan dengan jenis sayur atau lauk apa saja.

Para ahli dalam bidang antropologi gizi pada umumnya sependapat bahwa walaupun tidak mudah diubah, namun kebiasaan bersifat dinamis. Hal ini berarti bahwa kebiasaan pangan dapat berubah jika faktor-faktor yang mempengaruhinya diubah dengan sengaja. Ini dikarenakan adanya perubahan pada masyarakat yang menunjukkan bahwa nilai-nilai kebiasaan masyarakat mengalami reduksi. Maka kebiasaan makan akan mengalami perubahan apabila berinteraksi dengan faktor-faktor yang lain terutama faktor kebudayaan dan ideologi.

Betapa pentingnya berbagai nilai sosial kebudayaan yang dilestarikan hingga turun-menurun sebagai warisan nenek moyang dalam setiap kelompok masyarakat agar terpeliharanya tatanan kehidupan yang dicita-citakan. Maka sudah menjadi keputusan yang tepat bagi masyarakat Enrekang untuk memproduksi beras yang banyak dikenal dengan nama pulu mandoti kini mampu bermetamorfosis menjadi beras yang bernilai ekonomi tinggi. Selain nilai ekonomi, pulu mandoti juga sebagai warisan kebudayaan yang harus dilestarikan demi terwujudnya ketahanan pangan di Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan.

Secara teoritis dikotomi pertanian tradisional dan modernisasi sangat sulit memiliki titik temu, karena masing-masing memiliki ciri-ciri yang saling bertentangan. Namun demikian, nilai-nilai tradisional petani di Kabupaten Enrekang banyak yang dapat tetap dipertahankan dan relevan untuk pembangunan pertanian modern. Pembangunan pertanian di Kabupaten Enrekang sangat tepat untuk tetap dipertahankan karena konsep-konsep budaya justru terlahir dari kehidupan harmonisasi petani yaitu budaya agraris. Kebudayaan ini justru menjadi aset nasional untuk pengembangan kepariwisataan. Tanpa petani, maka kebudayaan akan kering dan sulit menjadi

penunjang perkembangan kepariwisataan. Bahkan budaya agraris dapat menjadi wadah atau payung dari seluruh kehidupan sosial masyarakat di Kabupaten Enrekang, termasuk masyarakat industri. Oleh karena itu, langkah awal untuk menuju industrialisasi di Indonesia dilakukan melalui pengembangan Agroindustri, bukan industri berat. Jika agroindustri sukses dilaksanakan dan pertanian menjadi sumber kehidupan yang tangguh bagi sebagian besar masyarakatnya, maka memasuki industri berat yang padat modal akan berlangsung mulus.

Pulu mandoti jika ditanak menyebarkan bau wangi khas dapat tercium dalam radius beberapa meter. Selain untuk dibuat songkolo alias nasi ketan, banyak pedagang beras membeli untuk dijadikan beras pencampur. Satu liter pulu mandoti jika dicampur dengan satu karung – sekitar 40 liter beras biasa, sudah mampu membuat keseluruhan beras biasa tersebut menjadi wangi, menimbulkan selera orang untuk memakannya.

Acara-acara pesta di luar, suguhan masakan pulu mandoti terlihat lebih sering dinikmati dengan menggunakan lauk bakaran ikan kering atau gorengan ikan teri kering. Selain disuguhkan dalam bentuk Songkolo, belum pernah ada upaya untuk mengolah pulu mandoti menjadi tepung untuk kemudian dijadikan bahan baku pembutan kue-kue.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif terhadap data yang diperoleh dari informan di lapangan yang mengetahui dan mengerti tentang permasalahan yang diteliti. Penelitian ini menitikberatkan pada kualitas data dan untuk mengetahui lebih banyak kuliner tradisional. Lokasi Penelitian di lakukan di Kabupaten Enrekang, tepatnya di Kecamatan Baraka, Desa Salukanan dan Desa Kendenan. Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan secara langsung dari informan dengan menggunakan teknik wawancara (interview) dengan berbagai informan dan

171—181

Page 7: TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

177

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

pengamatan (observasi) sedangkan data sekunder diperoleh melalui hasil penelitian, jurnal, arsip, buku.

PEMBAHASAN

Latar Belakang Pulu Mandoti

Menurut informan di Sulukanan, sebuah desa di Kabupaten Enrekang, ada empat jenis padi yang pertama kali dibudidayakan oleh petani, antara lain pare pulu mandoti, pare bulu nyarang, pare tilok, dan jenis pare belanda. Asal-usul munculnya jenis pare pulu mandoti, menurut cerita yang berkembang sebenarnya bervariasi. Namun, pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa pulu mandoti tersebut muncul secara tiba-tiba dan berasal dari langit yang dibawa oleh Towalli dan diwariskan kepada Bolong Ulu (diperkirakan abad ke-17).

Sejarah munculnya pulu mandoti di Salukanan, berawal ketika padi dikembangkan oleh Bolong Ulu, dan saat beras hasil panen dimasak untuk persiapan upacara ritual, ternyata mengeluarkan aroma yang khas (tajam). Pada waktu itu, berkembang pemahaman di kalangan masyarakat bahwa apabila ada aroma yang tajam dan asing, seketika itu mereka lari menjauhi aroma tersebut. Kisah yang lain, yaitu ketika ada seseorang gagal mencuri dalam rumah karena merasakan aroma yang tajam dan asing, yang dianggapnya tuan rumah mempersiapkan sesaji untuk menolak bala.

Kata pulu mandoti berdasarkan etimologi kaidah Bahasa Duri terdiri dari dua kata. Pertama, mang, yakni kata kerja yang berarti melakukan, mengerjakan. Kedua, doti, yakni perlakuan jampi-jampi untuk mempengaruhi akal pikiran orang lain. Sedangkan kata pare dalam hal ini berarti padi. Pulu dapat diartikan sebagai beras yang apabila dimasak akan terasa kenyal dan bergetah. Kata mandoti merupakan lafal masyarakat umum dari kata mangdoti. Keunikan dari pulu mandoti di samping mengeluarkan aroma khas/tajam, juga hanya dapat tumbuh di Desa Salukanan, Dusun Gandeng, Peawan, dan Tantido, serta di Desa

Kendenan, Dusun Kendenan dan Dusun Awo. Di luar lokasi tersebut, beras pulu mandoti tidak akan sama aromanya dengan yang ditanam di habitat aslinya.

Masyarakat di Desa Salukanan dan Desa Kendenan, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, senantiasa menjaga tradisi leluhur mereka yaitu membudidayakan beras ketan lokal yang diwariskan secara turun temurun. Pulu mandoti merupakan salah satu beras lokal jenis ketan wangi yang langka yang hanya dapat tumbuh di wilayah pegunungan setinggi 700 mdpl. Sudah sejak lama banyak yang mengambil bibit padi pulu mandoti untuk dikembangkan di luar wilayah Salukanan dan Kendenan, namun hasilnya tidak beraroma wangi seperti pulu mandoti yang ditanam di desa tersebut. Proses budi daya tanam itu pun masih bersifat tradisional yang berkonsep organik sebagai beras termahal di Indonesia.

Proses Pengolahan Indonesia adalah negara yang

mempunyai banyak ragam budaya dan kuliner dari pelosok negeri hingga kota-kota besar tidak kalah dengan kuliner luar negeri. Salah satu dari berbagai daerah di Indonesia adalah Massenrempulu. Sebuah sebutan untuk Kabupaten Enrekang yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan, mempunyai banyak kuliner unik dan menarik baik dari segi nama maupun cara pembuatannya.

Jika berkunjung ke salah satu tempat, tidak lengkap rasanya bila tidak mencicipi makanan khas dari tempat yang kita kunjungi. Di Massenrempulu, khususnya di wilayah Desa Salukanan, tepatnya di Dusun Gandeng, mempunyai makanan khas. Menurut salah satu informan bahwa, siapa saja yang pernah mencobanya tidak akan bergerak dari tempat duduknya hingga share di media sosial.

Makanan tradisional di Desa Salukanan yakni pangbate atau penyangraian merupakan makan yang terbuat dengan bahan utama padi pulu mandoti. Pangbate merupakan makanan yang hanya ditemukan di Desa Salukanan,

Makanan Tradisional Pulu Mandoti... Hasmah

Page 8: TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

178

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

Dusun Gandeng, Peawan, Bamboling, dan sekitarnya. Pangbate biasa disebut penghilang rasa rindu dengan sokko’ pulu mandoti yang terbuat dari padi pulu mandoti yang baru berusia sekitar lima bulan.

Tempo dulu, makanan ini hanya ditemukan di beberapa rumah karena mengalami penyusutan yang luar biasa dari bahan baku mentahnya. Makanan ini bisa dikatakan langka. Belum bisa diolah secara besar-besaran karena pasokan bahan utama yang kurang. Penyebabnya, beberapa faktor alam, misalnya lahan untuk menanam padi pulu mandoti sangat terbatas serta hama tanaman padi yang banyak.

Selain waktu menunggu padi pulu mandoti yang muda, kita juga harus bersabar menunggu pangbate yang sudah siap saji karena proses yang cukup rumit harus dilalui sebelum siap untuk dimakan. Diikuti penggunaan alat memasak tradisional yang harus sesuai dengan bahan utama yang digunakan dan tradisi adat yang masih kental.

Proses memasak terdiri dari tiga sesi antara lain, pertama, pengambilan padi menggunakan alat tradisional. Masyarakat di Desa Salukanan biasa menyebutnya rangkapan, untuk memisahkan bulir padi pulu mandoti dengan tangkainya. Kedua, menyangrai padi pulu mandoti yang disebut mangba’te. Setelah itu ditumbuk menggunakan lesung dan alu yang terbuat dari kayu hingga kulit padi tidak menempel lagi setelah ditapis. Ketiga, mencampurkan kelapa parut, gula merah yang sudah diiris tipis dengan beras pulu mandoti hingga tercampur rata.

Padi pulu mandoti tidak harus mengambil semuanya, namun hanya yang dibutuhkan saja. Penggunaan alat ini harus dilakukan dengan hati-hati. Alat ini berbeda dengan sabit. Setelah pengambilan padi pulu mandoti harus diikat dengan tali yang terbuat dari serat bambu muda.

Pulu Mandoti kemudian ditumbuk menggunakan lesung panjang yang terbuat dari kayu beserta alu dari bahan kayu Selanjutnya, dialasi menggunakan ta’pian atau alat penapis. Berikutnya ditumbuk lagi menggunakan lesung

yang kecil dengan alu yang lebih ringan hingga tidak ada lagi kulit yang menempel di beras pulu mandoti. Kelapa setengah muda diparut dan mengiris tipis gula merah yang terbuat dari air nira pohon aren. Beras yang sudah bersih atau bebas kulit padi dicampur hingga semua merata dan mengeluarkan aroma khas beras pulu mandoti. Semua rasa tercampur menjadi satu dalam pangbate.

Sebelumnya, tahun 2011 masyarakat Desa Salukanan sering menempatkan pangbate di tapian atau bakul dan dijejer di saladan atau tempat duduk yang terbuat dari bambu. Sebelum memakan pangbate, doa dipimpin oleh kepala dusun. Pangbate yang sudah ada di bakul kemudian disebar di kolong rumah panggung dan siap untuk dimakan bersama-sama. Semua orang sangat menikmati pangbate sampai larut malam.

Tahun 2017, kita masih bisa menemukan acara pangbate di bawah kolong rumah warga di mana tidak ada satu pun yang tidak hadir dalam proses pembuatannya, mulai dari anak kecil hingga orang tua ikut meramaikan. Masyarakat larut dalam kebersamaan yang sangat erat. Membuat rasa dari pangbate sendiri lebih nikmat dan lezat. Masyarakat berbaur, bercengkrama hingga tidak ada yang bisa menghalangi atau pun mengganggu kegembiraan mereka.

Peninggalan leluhur atau pun nenek moyang kita harus dilestarikan dengan mengingat kembali masa-masa dulu serta mempublikasikannya kepada dunia, khususnya masyarakat Indonesia agar mereka tahu bahwa masyarakat Indonesia tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri. Pangbate hanya sebagian dari kuliner tradisional yang harus diwariskan kepada anak cucu sehingga semua masyarakat merasakan betapa nikmatnya masakan Indonesia dibandingakan makanan siap saji yang berasal dari luar negeri. Dan tidak ada kata punah dalam kuliner nusantara Indonesia. Makanan siap saji sama sekali tidak memberikan manfaat yang berarti, jauh dibanding makanan tradisional yang lebih enak dan sehat. Walaupun proses

171—181

Page 9: TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

179

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

pembuatannya jauh lebih lama tapi alangkah lebih baik dibanding makanan siap saji yang lebih berbahaya bagi tubuh manusia.

Pulu mandoti hadir di pesta-pesta hajatan maupun pesta perkawinan warga di Kabupaten Enrekang, sebagai suguhan makanan terutama bagi tamu-tamu kehormatan. Biasanya setelah ditanak, pulu mandoti diulek dengan santan kelapa. Ketika disuguhkan untuk disantap selalu menggunakan taburan kelapa parut. Sedangkan di luar acara-acara pesta, suguhan masakan pulu mandoti terlihat lebih sering dinikmati dengan menggunakan lauk dangke bakar, dangke goreng atau gorengan ikan teri kering. Selain disuguhkan dalam bentuk songkolo, selama ini belum pernah ada upaya untuk mengolah pulu mandoti menjadi tepung untuk kemudian dijadikan bahan baku pembutan kue-kue, kata Kepala Desa Salukanan, Takdir (52 tahun).

Menurut salah seorang informan, sudah berulang kali dilakukan oleh warga Desa Tallang Ura, Kecamatan Curio, yang bertetangga langsung dengan Desa Salukanan, namun hasilnya juga tidak sama. Benih padi pulu mandoti yang ditanam di luar areal Desa Salukanan tetap tumbuh, tapi aroma dan rasanya tidak sama dengan pulu mandoti yang ditanam di Desa Salukanan. Padahal sumber air untuk pengairan sawah-sawah di Desa Tallung Ura dan Desa Salukanan sama, yaitu berasal dari mata air pegunungan Kalo Tombang, Sengka, Orong, Pedallen, dan Kalo Matangon. Tidak heran jika kemudian muncul jenis pulu mandoti-doti yang dalam bentuk butiran fisik berasnya seperti pulu mandoti dan ketika dijual di pasaran umum sering disebut sebagai pulu mandoti. Kepalsuannya baru tampak setelah ditanak, karena pulu mandoti-doti tidak memiliki aroma wangi dan rasa seperti pulu mandoti dari Desa Salukanan.

Sekalipun pulu mandoti harga jualnya mahal dan diminati, namun tidak semua lahan persawahan penduduk Desa Salukanan ditanami ketan yang usia tanamnya 6 bulan dan hanya sekali panen setahun. Oleh karena itu, di bulan Juni sampai Agustus setiap tahun, saat

tanaman padi pulu mandoti baru akan memasuki masa panen, seringkali harga jual pulu mandoti mencapai puncak lantaran stok sudah mulai habis terjual. Bulan Juni hingga Agustus tahun 2018 lalu, harga jual pulu mandoti mencapai Rp 45.000 per liter di Desa Salukanan, penjelasan Takdir (Kepala Desa Salukanan).

Selain demplot alias sawah percontohan untuk penanaman pulu mandoti yang organik, selama ini belum pernah ada bantuan program lain dari pihak Dinas Pertanian tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi terhadap pengembangan dan pelestarian pulu mandoti di Desa Salukanan. Sebenarnya, penanaman padi pulu mandoti awalnya dilakukan secara organik oleh masyarakat di Desa Salukanan. Nanti tahun 80-an, menurut informan Takdir, ketika pihak Dinas Pertanian merekomendasikan penggunaan pupuk untuk penyuburan tanaman, penduduk Desa Salukanan juga ikut menggunakan untuk pemupukan padi pulu mandoti.

Hasil padi pulu mandoti yang ditanam menggunakan pupuk tetap tidak jauh beda seperti ketika tidak menggunakan pupuk, yaitu rata-rata hanya sekitar 4 ton padi setiap hektar. Sebagai beras khas Kabupaten Enrekang, saat ini pihak Dinas Perindustrian Kabupaten Enrekang sedang merancang pemasaran pulu mandoti ke luar daerah dilakukan dalam bentuk kemasan plastik yang berisi 1 kg, 2,5 kg, dan 5 kg.

Fungsi Pulu MandotiDi Kalangan masyarakat, beras yang

mengeluarkan aroma khas dan tajam juga digunakan untuk sarana upacara ritual guna menyerang orang lain, oleh kalangan masyarakat dinamakan doti, yang sangat ditakuti. Berkenaan dengan fakta tersebut, masyarakat setempat memberi nama pulu mandoti.

Dari uraian sejarah tersebut, beras pulu mandoti yang beraroma tajam diartikan dua hal. Pertama, beras pulu mandoti mengeluarkan aroma atau bau yang tajam, berbeda dengan beras yang lain. Kedua, beras pulu mandoti

Makanan Tradisional Pulu Mandoti... Hasmah

Page 10: TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

180

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

digunakan oleh kalangan masyarakat pada saat upacara adat ritual dan digunakan sebagai sarana bahan sesaji untuk menyerang orang lain (doti).

Budi daya menanam padi lokal di Desa Salukanan ini merupakan budi daya yang turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi. Di kalangan masyarakat dahulu kala, beras yang mengeluarkan aroma khas dan tajam tersebut digunakan untuk sarana upacara ritual atau mempersiapkan sesaji untuk menolak bala. Hingga saat ini, beras tersebut masih disajikan dalam acara-acara hajatan dan sebagainya, namun tidak lagi menganggap esensi beras tersebut sebagai penolak marabahaya atau hal yang lain yang berbau mistis. Masyarakat di desa ini tetap melestarikan budaya tersebut.

Pemerintah kabupaten juga sering menjadikan pulu mandoti sebagai suguhan makanan untuk tamu-tamu kehormatan. Biasanya diolah dengan cara dimasak dan diulek dengan santan, ditambahkan lauk pauk berupa dangke atau bundu-bundu sebagai pasangannya. Harga beras pulu mandoti saat ini berkisar antara Rp35.000 hingga Rp55.000/liter.

Berkunjung ke Enrekang, tak lengkap jika anda belum mencoba dua makanan khas daerah ini, dangke dan pulu mandoti. Apalagi, dua makanan ini tidak bisa ditemukan di daerah mana pun, kecuali di Kabupaten Enrekang, Desa Kendenan, dan Desa Salukanan.

Mengenai harga jual pulu mandoti di luar Kabupaten Enrekang, termasuk di Kota Makassar hampir sama atau seringkali lebih rendah dari harga jual di Desa Salukanan. Harap dimaklumi pulu mandoti yang dijual di luar Desa Salukanan, sudah banyak yang dicampur dengan beras lain. Tidak seratus persen asli lagi, sejumlah penduduk yang dihubungi terpisah di Dusun Piawan, dan Dusun Mataring. Dalam hitungan, hanya ada sekitar 300 ton pulu mandoti yang diproduksi desanya setiap tahun. Karena umumnya, sawah-sawah penduduk lebih banyak ditanami padi untuk beras konsumsi. Hanya sekitar sepertiga bagian dari

sawah yang ada di Salukanan yang digunakan untuk pengembangan pulu mandoti.

Langkah pengemasan pulu mandoti tersebut, tentu saja, hanya merupakan promosi produk lokal khas daerah, karena produksi pulu mandoti dari Desa Salukanan saat ini masih belum mampu memenuhi permintaan pasar lokal. Terbukti, dalam waktu-waktu tertentu justru menjadi barang langka, termasuk di tempat asalnya, Desa Salukanan.

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia karena sangat penting untuk menjaga ketersediannya. Perubahan pertanian pada kontes pembangunan adalah sesuatu yang direncanakan untuk menuju implementasi pemerintah dan petani sehingga rencana strategis akan tercapai. Pembangunan pertanian yaitu menjaga kesediaan bahan pangan baik nabati maupun hewani yang sehat bagi masyarakat sehingga tercipta kualitas manusia yang maju dan mandiri, melalui kebijakan-kebijakan dalam perencanaan yang strategis dalam pengembangan pangan di Indonesia. Pangan merupakan bidang yang sangat penting keberadaannya karena dituntut untuk terus berkembang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.

Pulu mandoti mempunyai keunggulan yaitu tidak mudah rusak dibanding dengan bahan pangan lainnya dan merupakan sumber pangan bergizi sehingga dapat menunjang program diversifikasi pangan. Padi merupakan salah satu komuditas yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi karena mampu memberikan pendapatan yang tinggi bagi petani yang mempunyai prospek yang baik dalam pemasaran baik lokal maupun ekspor. Salah satu beras yang mahal yang ada di Indonesia yaitu beras pulu mandoti. Beras ketan pulu mandoti yang lebih khas disebut beras beraroma pulu mandoti merupakan varietas padi lokal yang berniai ekonomi tinggi.

171—181

Page 11: TRADITIONAL FOODS OF PULU MANDOTI IN ENREKANG

181

WALASUJI Volume 11, No. 1, Juni 2020:

PENUTUP

Pulu mandoti, padi khas yang jika dimasak mengeluarkan aroma wangi yang khas. Padi jenis ini konon hanya bisa tumbuh di Desa Salukanan dan Desa Kendenan. Untuk mempertahankan aroma yang khas, serta membuat pulu mandoti tahan lama. Padi jenis ini disimpan di tempat yang disebut landa (lumbung padi ala Desa Kendenan).

Pulu mandoti merupakan nama salah satu jenis beras ketan yang hanya dijumpai di Desa Kendenan dan Desa Salukanan. Keistimewaannya antara lain: saat dimasak, beras ini akan mengeluarkan aroma daun pandan. Istilah pulu mandoti yang diberikan kepada beras ketan ini, konon karena aromanya yang bisa tercium hingga jarak puluhan meter. Keistimewaan lain, karena jika padi jenis ini ditanam di tempat lain, maka aroma yang dimiliki akan berbeda. Biasanya, pulu mandoti disajikan sebagai makanan pokok bersama dangke. Kuliner khas Enrekang lainnya yang juga tidak dimiliki daerah lain.

DAFTAR PUSTAKA

Bartoven Vivit Nurdin, 2011. Pengetahuan Lokal dan Pengetahuan Global: Menggangkat Potensi Budaya. Makalah pada Dialog Budaya Lampung.

Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi. Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka

Dewi, Trisna Kumala Satya. 1995 Fungsi Legenda dalam Naskah Pararaton Episode Ken Angrok Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Surabaya: Fisip Unair.

Foster, George M & Barbara Gallatin Anderson. 2013. Antropologi Kesehatan. Penerjemah Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono, Jakarta: UI Press.

Justice, Oren L dan Bass, Louis N. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Marwanti. 2000. Pengetahuan Masakan Indo-nesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Ritzer, George. (2006). Mengkonsumsi Kehampan di Era Globalisasi. Penerjemah Dra. Lucinda M. Left, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Sugira Wahid, 2007. Manusia Makassar, Makassar:

Makanan Tradisional Pulu Mandoti... Hasmah