TRADISI PINGIN PENGANTIN DALAM PANDANGAN HUKUM …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/449/1/Nurul...
Transcript of TRADISI PINGIN PENGANTIN DALAM PANDANGAN HUKUM …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/449/1/Nurul...
TRADISI PINGIN PENGANTIN DALAM
PANDANGAN HUKUM ISLAM
(Study Kasus Ds. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh:
NURUL HIDAYAH
211 11 005
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI‟AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
SALATIGA
2015
vi
MOTTO
“PERTAHANKAN SESUATU YANG HARUS KAMU PERJUANGKAN
SAMPAI KAMU BENAR-BENAR MENDAPATKANNYA”
“JANGAN PERNAH BERHENTI BERMIMPI, KARENA MIMPI MEMBERI ASA
DAN HARAPAN DALAM MENJALANI KEHIDUPAN”
“BELAJAR MENGALAH SAMPAI SEORANGPUN TIDAK BISA
MENGALAHKANMU, BELAJAR MERENDAH SAMPAI TIDAK
SEORANGPUN BISA MERENDAHKANMU”
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan buat :
1. Kedua orang tua saya ayahanda Turmuji dan ibunda Samiyem ynag tidak
pernah henti-hentinya memberikan motifasi kepada saya untuk tetap selalu
menimba ilmu dan do‟anya yang tidak putus-putus mereka panjatkan guna
kesuksesan anaknya.
2. Kedua Kakakku Nurul Inayah dan Nurul Fauziah yang selalu memberikan
semangat dan dorongan moral dan spriritual, dan adikku tercinta Ida
Fauziah yang selalu ada buat saya dalam keadaan apapun.
3. Sahabat-sahabatku Siti nuraini, Irinna Ika Wulandari, Rosalina Ardhiarini
dan kak oelya busromun yang sudah menemani selama 4 tahun ini dan
berjuang bersama dalam keadaan suka dan duka, dan terima kasih bersama
kalian kita bisa mengukir kenangan indah dan kesuksesan bersama
4. Teman-teman seperjuangan yang selalu memberkan dorongan dan
motivasi
vii
5. Bapak Drs. Badwan M.Ag dan Bapak Yusuf Khumaini S.HI.,M.H yang
telah memberikan bimbingan skripsi yang sabar dan teliti yang senantiasa
saya hormati.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulliah penulis panjatkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan beribu-ribu nikmat, berupa nikmat Iman, Islam
Ihksan. Serta yang memberiakn rahmat dan karunia- Nya, sehingga karya
tulis ini bisa diselesaikan dengan baik.
Shalawat berserta salam tak lupa kita lantunkan kepada junjungan
kita yaitu nabi agung nabi akhirul zaman Nabi Muhhammad SAW, yang
memberikan syafa‟atnya diyaumil khiamah kelak dan emoga saja kita
semua mendapatkan syafa‟at dari Beliau.amin.
Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan beberapa pihak.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
banyak dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak, terutama kepada:
1. Rektor IAIN Salatiga bapak Dr. Rahmat Hariyadi M.Pd.
2. Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga Ibu Dra. Siti Zumrotun M.Ag
3. Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah (AS) IAIN Salatiga Bapak
Syukron Ma‟mum S.HI,.M.Si.
4. Bapak Dra. Badwan M.Ag dan Yusuf Khumaini S.H.I,.M.H yang telah
membimbing peneliti dalam penyelesaikan karya tulis ini dengan baik,
penuh kesabaran serta tulus.
5. Masyarakat desa Klalingan kecamatan Klego Kabupaten Boyolali dan
pengantin yang telah bersedeia untuk meluangkan waktunya ntuk
memberikan informasi terkait dengan judul yang penulis teliti.
6. Teman-teman seperjuangan Ahwal Al-Syakhiyyah
ix
Meskipun kegiatan peneliti ini sudah dilakukan secara maksimal,
namun penulis merasa masih banyak kekurangan. Untuk itu saran dan
kritik yang membangun saya harapkan untuk memperbaiki study
selanjutnya.
Ahkirnya semioga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umunya dan masyarakakat desa Klalingan khususnya.
Salatiga, 10 September 2015
x
ABSTRAK Nurul Hidayah. 211 11 005. TRADISI PINGIT PENGANTIN DI TINJAU
PANDANGAN HUKUM ISLAM (Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten
Boyolali). Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Intitut
Agama Islam Negeri. Dosen Pembimbing. Drs. Badwan M.Ag
Kata Kunci : Hukum Islam Dalam Memandang Tradisi Pingitan.
Peneliti ini bertujuan untuk mengetahui; (1) Apa yang di maksud dengan
tradisi pingitan tersebut serta tujuannya?(2) Bagaimana pandangan masyarakat
tentang tradisi pingitan tersebut? (3) Bagaimana pandangan hukum Islam tentang
tradisi pingitan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan metodelogi penelitian kualitatif. Metedo pengumpulan datanya
penyusun menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Peneliti
juga menggunakan pendekatan historis dan fenomenologis untuk memperoleh
data yang akurat (benar dan jelas).
Data yang diperoleh peneliti dari beberapa informan di desa Klalingan
Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali ini adalah tradisi “Pingit pengantin ” tidak
wajib dilaksanakan, dan boleh digunakan untuk menjaga calon pengantin, dan
persiapan diri bagi calaon pengantin dalam menghadapi hari pernikahan.
Dalam kaedah fiqh dijelaskan bahwasanya suatu tradisi
bisa sebagai hujjah yang wajib dikerjakan jika tradisi itu digunakan oleh
kebanyakan orang, tetapi untuk sebagian besar masyarakat desa Klalingan masih
dan akan melestarikan tradisi pingitan tersebut karena tradsi pingitan tersebut
adalah tradisi warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan kepercayan
masyarakat Klalingan terhadap musibah yang didapat apabila tidak melakukan
tradisi pingitan tersebut menjadi salah satu alasan yang kuat bagi masyarakat desa
Klalingan untuk tidak meninggalkan tradisi pingitan tersebut.
Tradisi “pingit pengantin” ini termasuk Urf shahih yakni urf
yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara‟. Atau
kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan
dengan nash (ayat Al-Qur‟an atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR BERLOGO ii
LEMBAR PERSETUJUAN iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN vi
KATA PENGANTAR viii
ABSTRAK x
DAFTAR ISI xi
BAB: 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Fokus Malasah 7
C. Tujuan Penelitian 7
D. Kegunaan Penelitian 7
E. Penegasan Istilah 8
F. Metode Penelitian 9
G. Sistematika Penulisan 13
H. Telaah Pustaka 14
BAB: II KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan 16
2. Prinsip-Prinsip Pernikahan Dalam Islam 17
3. Hukum Melakukan Pernikahan 18
4. Rukun Dan Syarat Pernikahan 19
5. Hikmah Pernikahan 24
B. Adat Istiadat (Al „Urf)
1. Definisi Al-„Urf 25
xii
2. Macam-Macam Al-„Urf 28
3. Syarat-Syarat Al-„Urf 20
4. Legalitas Al-„Urf 32
C. Pingitan
1. Pengertian Pingitan 33
2. Asal Usul Tradisi Pingitan 34
D. Hukum Islam
1. Definisi Hukum Islam 36
2. Tujuan Hukum Islam 37
BAB : III HASIL PENELITIAN
A. Diskripsi Lokasi Penelitian
1. Kondisi Umum Tentang Desa Klalingan 39
2. Letak Geografis dan Batas Administrasi Desa Klalingan 43
3. Kondisi fisik Desa Klego 43
4. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat. 47
BAB: IV ANALISIS
A. Kegiatan Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali
1. Proses Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali. 51
2. Pelaku Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali 51
3. Landasan Masyarakat Des. Klalingan Melakukan Pingitan. 54
B. Pendapat Masyarakat Des. Klalingan Tentang Tradisi Pingit Pengantin. 55
C. Pendapat Ulama‟ Des. Klalingan Boyolali Tentang Tradisi Pingitan
Pengantin. 61
xiii
D. Pandangan Hukum Islam tentang Tradisi Pingitan Penganti Boyolali. 66
E. Analisis
1. Faktor Yang Mendorong Yang Melakukan Tradisi Pingitan Pengantin 67
2. Faktor Penghambat Desa Klalingan Melakukan Tradisi Pingitan. 69
3. Konsep U‟rf Terkait Dengan Tradisi Pingit Pengantin 70
BAB: V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tradisi Pingitan 73
2. Pendapat Ulama Desa Klalingan Tentang Pingitan 74
3. Pandangan Hukum Islam Tentang Tradisi Pingitan 74
B. Saran 75
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Pandangan Islam Pernikahan itu merupakan Sunnah Allah
dan Sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti : menurut qudrat dan iradat Allah
dalam penciptaan alam ini, pada dasarnya Allah menciptakan makhluk ini
dlam bentuk berpasang-pasangan sebagaimana firman Allah dalam surat
Az-Zariyat ayat 49
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah”
Sedangkan sunnah Rasul berarti sesuatu tradisi yang telah
ditertapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. Pada
dasarnya agama Islam itu ada dengan peraturan-peraturan yang di bawa
dengan tujuan agar kehidupan sosial masyarakat menjadi tenteram
(sakinah) baik di dunia dan di ahkhirat, karena Islam mengatur dengan
landasan syari‟at Islam.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Oleh karena itu pengertian perkawinan dalam ajaran agama
Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
2
menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsqan
ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya
merupakan ibadah ( Zainudin, 2006 : 7).
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik
perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah,
pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai
kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan (Departemen
Agama Republik Indonesia . 1999, Hal. 5).
Dalam pengertian lain pernikahan merupakan pintu gerbang untuk
memasuki kehidupan baru yang sah menurut kaca mata agama islam bagi
pria dan wanita. Pernikahan bagi masyarakat jawa sendiri diyakini sebagai
sesuatu yang sakral, sehingga diharapkan dalam menjalaninya cukup
sekali dalam seumur hidup (Sholikhin, 2010 : 180).
Hukum Islam senantiasa menjadi hukum yang berlaku dalam
masyarakat muslim, yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang
berbahagia dan sejahtera sesuai dengan syari‟at Islam. Pada dasarnya
agama Islam ada dengan peraturan yang apabila melanggarnya ataupun
mematuhi peraturan tersebut hukuman dan imbalannya langsung dari sang
Khalik kelak di Ahkirat maupun didunia berupa azab. Semua itu telah
dituliskan pada Al-qur‟an dan Hadits.
Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu
Allah dan atau Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukkalaf yang
3
diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam
(Syarifuddin,2007 : 2).
Kebiasan dan budaya memang tidak pernah lepas dari kehidupan
masyarakat disamping berhubungan dengan orang lain, masyarakat juga
berhubungan dengan namanya budaya.
Hubungan ini tidak dapat dipisahkan karena budaya itu sendiri
tumbuh dan berkembang didalam ruang lingkup kehidupan masyarakat.
Tiap masyarakat pasti punya tradisi atau budaya sendiri-sendiri
(http://pernikahanadat..com/2010/01/pernikahan-adat-betawi.html).
Upacara perkawinan memiliki banyak ragam dan variasi diantara
bangsa, suku satu dan yang lain, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Penggunaan atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan
atau hukum agama tertentu pula. Upacara perkawinan sendiri biasanya
merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara
berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Sedangkan perkawinan secara adat
merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan asli dari
nenek moyang kita yang perlu dilestarikan, agar generasi berikutnya tidak
kehilangan jejak. Upacara perkawinan adat mempunyai nilai luhur dan
suci meskipun diselenggarakan secara sederhana sekali.
Tiap daerah mempunyai upacara tersendiri sesuai dengan adat
istiadat setempat. Ini bisa dikatakan seperti negara kita yang terdiri dari
berbagai suku bangsa dengan adat istiadat dan upacara perkawinan yang
berbeda dengan keunikan masing-masing. (http://bangkusekolah-id.
4
t.com/2012/09/proses-perkawinan-dan-upacara-adat-masyarakat-dalam-
pernikahan.htm)
Tradisi yang ada dimasyarakat yang menurut mereka berasal dari
turun-temurun dari para orangtua mereka dan disampaikan secara lisan
berupa cerita dan bukan secara tulisan yang terkodifikasi. Maka tiap tradisi
sering dan terus bermodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman atau
sesuai dengan selera dari masyarakat yang ada, contoh budaya peringatan
kematian tiga hari dan tujuh hari pada perkembangannya sekarang sering
gabung dengan istilah tiga sekaligus tujuh hari.
Budaya pernikahan ada akad dan walimahan, maka sebelum nikah
ada acara pingitan atau siraman, sesudah akad ada acara lempar pantun
atau cacap-cacapan (budaya Palembang), diwalimahan ada orgen
tunggalan. Sedangkan tradisi yang ada pada masyarakat Jawa dalam hal
perkawinan melalui beberapa tahapan. Biasanya seluruh rangkaian acara
perkawinan berlangsug selama kurang lebih dua bulan, hal ini diperinci
sebagai berikut :
1. Nontoni; Melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim
utusan (wakil) untuk melamar (meminang); Tahapan setelah
nontoni apabila si gadis bersedia dipersunting.
2. Paningset ; Pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap
disertai cincin kawin.
5
3. Pasok Tukon ; Upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si
gadis berupa uang,pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari
sebelum pernikahan.
4. Pingitan ; Calon istri tidak diperbolehkan keluar rumah selama 7
hari atau 40 hari sebelum perkawinan.
5. Tarub ; Mempersiapkan perlengkapan perkawianan termasuk
menghias rumah dengan janur.
6. Siraman ; Upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang
dilanjutkan dengan selamatan.
7. Ijab Kabul (Akad Nikah); Upacara pernikahan dihadapan
penghulu, disertai orang tua atau Wali dan saksi-saksi.
8. Temon (Panggih manten); Saat pertemuan pengantin pria dengan
wanita
9. Ngunduh Mantu (ngunduh temanten) ; Memboyong pengantin
wanita kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat
pengantin pria ((Hilman. 2003 : 3).
Fokus bahasan penulis yaitu tradisi “pingit pengantin”. Tradisi ini
biasanya juga dilakukan oleh sebagian masyarakat Klego. Dalam
menggelar pernikahan biasanya para calon pengantin tidak boleh bertemu
sampai hari acara ijab qobul tersebut, karena dalam kepercayaan
masyarakat Jawa masa-masa menjelang pernikahan adalah masa-masa
yang riskan, untuk itu calon pengantin tidak diperbolehkan untuk bertemu
agar tidak ada bahaya ataupun masalah yang bisa membatalkan perkawinan
6
tersebut, oleh karena itu orang tua “memingit” calon pengantin. Pingit
pengantin ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin untuk
memasuki dunia baru yang dinamakan rumah tangga.
Pingitan adalah proses mempersiapkan diri mempelai untuk
memasuki dunia baru yaitu dunia rumah tangga yang baru. Pengertian
lainnya pingitan adalah calon pengantin wanita tidak boleh bertemu
dengan calon pengantin pria sampai akad nikah ditentukan, dan untuk jarak
waktunya biasanya beragam, ada yang melaksanakan selama 2 bulan, 1
bulan dan 5 hari, yang pada perkembangan selanjutnya hanya cukup tiga
hari saja. Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak
boleh bertemu dengan calon mempelai putra. Seluruh tubuh pengantin
putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa.
Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil
cantik sehingga membuat pangling orang yang menyaksikannya
(http://infopengantin.com/2010/03/rangkaian-upacara-adat-pengantin-
jawa.html)
Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tradisi pingitan yang mana
pingitan termasuk dalam salah satu upacara adat dan merupakan tradisi
yang tidak bisa ditinggalkan dan dipercayai yang dijalani secara turun-
temurun. Karena kepercayaan yang telah mendarah daging pada
masyarakat yang apabila salah satu prosesi upacara perkawinan tersebut
tidak dilaksanakan maka akan ada musibah yang menimpa keluarga
7
mempelai maupun pengantin, untuk itu penulis bermaksud mengkaji tradisi
pingitan pengantin tersebut dengan pandangan hukum Islam. Sehingga
judul yang ditentukan oleh penulis adalah TRADISI PINGIT
PENGANTIN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM (DESA
KLALINGAN, KECAMATAN KLEGO, KABUPATEN BOYOLALI)
B. Fokus Penelitian
Sebagai pokok permasalahan yang berangkat dari latar belakang
masalah, maka penulis mengambil beberapa hal yang dijadikan sebagai
rumusan masalah atau fokus dalam penelitian, adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan tradisi pingitan tersebut?
2. Bagaimana pandangan masyarakat klego tentang tradisi pingitan
tersebut?
3. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang tradisi pingitan?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui makna dari “Pingitan” dan tujuan pingitan pengatin itu
dilakukan.
2. Mengetahui persepsi atau tanggapan dari masyarakat jawa khususnya
masyarakat Klego terhadap tradisi pingitan pengantin?
3. Mengetahui pandangan Hukum Islam tentang tradisi pingitan
tersebut?.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitihan ini antara lain :
8
1. Pembaca bisa memahami dan mengetahui tentang tradisi adat yang ada
di pulau Jawa khususnya tradisi pingitan pengantin.
2. Pembaca dapat mengetahui argument masyarakat kususnya di Desa
Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali tentang
keyakinannya dalam melakukan tradisi pingitan pengantin.
3. Pembaca dapat mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam
terhadap tradisi pingitan pengantin.
E. Penegasan Istilah
Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda
dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah di dalam
judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah :
1. Tradisi
Tradisi dalam kamus bahasa Indonesia adalah ada, kebiasaan
yang diturunkan dari nenek moyang yang dijalankan oleh masyarakat
(Fajri dan Senja:826). Sedangkan yang dimaksuid penulis adalah
kebiasaan pingitan pengantin yang yang diturunkan dari nenek moyang
masyarakat klego dan yang telah menjadi kebiasaan masyarakat jawa
pada umumnya.
2. Pingitan
Pingit, berpingitan : berkurung di dalam rumah tanpa keluar sama
sekali.
Memingit ; mengurung dalam rumah. Pingitan ; Sesuatu yang di
pingit (Fajri dan Senja:655).
9
Sedangkan yang dimaksud oleh penulis adalah mengurung
pengantin putri di dalam rumah dan tidak diperbolehkan bertemu
dengan pengantin pria sampai akad nikah yang ditentukan, dengan
ditentukan waktu pingitannya.
3. Hukum Islam
Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu
Allah dan atau Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukkalaf
yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam
(Syarifuddin,2007 : 2).
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendapat historis.
Karena dalam pendekatan historis ini penulis bisa mengetahui asal
mula kepercayaan masyarakat tentang tradisi pingit pengantin dan apa
itu tradisi pingit menurut masyarakat Klego.
Karena semua itu bisa diketahui dengan penulis harus terjun
langsung kelapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang
dibahas (Mukhtar, 2007:29), sehingga data yang diperoleh bisa
bervariasi, akurat dan lengkap.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitihan Kualitatif
yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak
menggunaka prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya
(Meleong, 2008 :6).
10
2. Kehadiran Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti hadir dalam lokasi guna
memperoleh data. Selain itu penulis juga harus membaur dengan
obyek penelitian dan juga berperan dan berpartisipi dalam seluruh
rangkain kegiatan pingit pengantin, dengan tujuan penulis
mendapatkan data yang akurat. Kehadiran penulis sebagai peneliti
diketahui statusnya sebagai peneliti.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Desa Klalingan Kecamatan Klego
Kabupaten Boyolali. Karena sebagian masyarakat tersebut menganut
tradisi adat jawa pingitan pengantin, dan untuk itu penulis harus terjun
pada lokasi tersebut. Guna mendapatkan data yang relevan dan akurat.
4. Sumber Data
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari proses penelitian,
penulis menggunakan obyek penelitian berupa informan. Sedangkan
untuk mendapatkan informan tersebut penulis harus terjun di Desa
Klailingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali, baik itu masyarakat
biasa maupun ulama‟ setempat. Selain informan yang penting adalah
pengantin wanita yang menjalani pingitan tersebut.
5. Prosedur Pengumpulan Data
a. Observasi
Yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan
dan pencatatan secara langsung dengan sistematika terhadap
11
fenomena-fenomena yang diselidiki (Arikunto, 1987:128). Oleh
karena itu peneliti harus terjun langsung di Desa Klalingan
Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali agar bisa mengamati
fenomena-fenomena dan rangakain kegiatan pingitan yang
dilakukan oleh pengantin wanita dan observasi dalam lingkungan
masyarakat tersebut.
b. Wawancara
Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis
data dengan teknik komunikasi secara langsung
(Winarno,1990:174). Wawancara ini dilakukan dengan acuan
catatan-catatan mengenai pokok masalah yang akan ditanyakan.
Sasaran yang akan diwawancara adalah masyarakat Klego dan
pengantin wanita yang menjalani pingitan di daerah tersebut.
c. Dokumentasi
Mencari data mengenai beberapa hal, baik berupa catatan dan
data dari pemuka adat ataupun rangakaian kegiatan pingitan yang
dikomentasikan oleh pemuka adat ataupun masyarakat setempat.
Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam
memperoleh data.
d. Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu peneliti yang mencari data dari bahan-
bahan tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku-buku,
surat kabar, makalah dan sebagainya.
12
6. Analisis Data
Menganalisa data artinya, menguraikan data, menjelaskan data,
sehingga dari data-data tersebut dapat ditarik pengertian-pengertian
yang kemudian dipahami sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan.
Dalam penelitian ini penulis menentukan bentuk analisa terhadap
data-data tersebut, antara lain dengan metode:
a. Deskriptif
Adalah menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya
tentang situasi yang dialami, satu hubungan, kegiatan, dan
pandangan sikap yang tampak (Winarno, 1985:139).
Mendeskripsikan data yang didapat penulis tentang situasi di
desa Klalingan, kegiatan masyarakat desa Klalingan terutama pada
kegiatan “pingit pengantin”
b. Kualitatif
Adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang
secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia
pada kawasan sendiri berhubungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasa(Meleong, 2003:3).
Penulis menggunakan metode ini untuk memperoleh data
dengan cara membaur dalam masyarakat dan melakukan
pengamatan langsung pada masyarakat Klalingan.
13
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penlitian ini terdiri dari lima bab yang saling
berkaitan yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
BAB 1 : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, penegasan istilah, metedo penelitian dan sistematika
penulisan
BAB II : Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang
pengertian pingitan pengantin, konsep kegiatan dalam masa
pingitan pengantin, pengertian tradisi dan kaedah fiqh yang
menjadi landasan hukum.
BAB III : Bab in desa berisi tentang gambaran umum desa Klalingan,
Kecamatanm Klego Kabupaten Boyolali terdiri dari letak
Geografis, keadaan masyarakat, jumlah penduduk serta struktur
organisasi.
BAB IV : Dalam bab ini berisi analisa mengenai faktor apa saja yang
membuat masyarakat Klego melakukan tradisi Pingitan pada
calon pengantin wanita dan pandangan Hukum Islam tentang
tradisi pingitan pengantin. Menguraikan hasil observasi yang
berisi tentang mitos yang berkembang pada tradisi pingitan
tersebut dan penyajian data tentang gambaran umum masyarakat
Klego terhadap tradisi pingitan. Bab ini diketengahkan untuk
mengetahui nilai-nilai Islam dalam pingitan pengantin.
14
BAB V : Dalam bab ini penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan riwayat hidup penulis
H. Telaah Pustaka
Penelitian tentang tradisi pingitan pengantin dalam pandangan
hukum Islam telah dilakukan oleh Ninik Nirma Zunita mahasiswi
Universitas Islam Negeri( UIN) Malang dalam Skripsinya yang berjudul
Pandangan Masyarakat Terhadap Tradisi Pingitan (Studi Kasus Desa
Maduran, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan). Penelitian tersebut
menjelaskan tentang bagaimana tradisi pingitan dilaksanakan oleh
masyarakat setempat, tata cara pelaksanaan tradisi Pingitan, maksud dan
tujuan masyarakat melaksanakan tradisi pingitan
Dalam skripsi Zunita dapat diambil kesimpulan bahwa tradisi
“pingit pengantin” tidak wajib dilaksanakan, dan boleh digunakan untuk
menjaga calon pengantin, dan persiapan diri bagi calon pengantin menuju
hari pernikahannya. Dalam kaedah fiqh dijelaskan bahwa suatu tradisi bisa
sebagai hujjah yang dikerjakan jika tradisi itu digunakan oleh kebanyakan
orang. Tradisi “pingit pengantin” ini termasuk u‟rf shahih yakni u‟rf yang
baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan denagn syara‟.
Kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat Al-qur‟an atau Hadits), tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat
kepada mereka (Zunita,2011).
15
Dari kajian sebelumnya hanya fokus pada bagaimana tradisi
Pingitan tersebut dilaksankan oleh masyarakat setempat, tata cara
pelaksanaan tradisi Pingitan, maksud dan tujuan masyarakat melaksanakan
tradisi Pingitan, oleh karena itu penulis bermaksud untuk mengkaji lebih
dalam lagi tentang tradisi Pingitan yang ada pada masyarakat Desa
Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali dan lebih fokus pada
hukum Islam. Sehingga kita semua bisa mengetahui bagaimana hukum
Pingitan dalam Islam apakah mubah (dibolehkan) atau justru diharamkan.
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan dalam literatur fiqh berbahasa Arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan za‟aj. Kedua kata ini yang
terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat
dalam Al-quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Kata na-ka-ha banyak
terdapat dalam Al-quran dengan arti kawin. Secara arti kata nikah berarti
bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad yang berarti
mengadakanperjanjian pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari
perkataan nikah lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang
sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini (Muhtar, 1974 :11).
Menurut istilah Hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di
antaranya adalah :
“Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟
untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan
dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”
Abu Yahya Zakariya Al-Anshary mendefinisikan :
“ Nikah menurut istilah syara‟ ialah yang mengandung ketentuan
hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-
kata yang semakna dengannya”(Ghazaly :8).
17
Pengertian lain nikah adalah: Mengumpulkan. Menurut syara‟ artinya :
akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang
telah tertentu) untuk berkumpul (Idris dan Ahmadi, 1994 : 198).
Firman Allah :
“Maka nikahilah wanita-wanita yang kami senangai. “(QS. An-Nisa‟: 3)
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya
dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut :
Pasal 2 : Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mutsaqon ghalizhan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3 : Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari : Perkawinan merupakn salah
satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada
manusia, hewan maupuyn tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara
yang dipilih Allah sebagai jaln bagi manusia untuk beranak-pinak,
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing
pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam memwujudkan
tujuan perkawinan (Ghazaly :11).
2. Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam Islam
Ada beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu
diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia
melaksanakan tugasnya mengabdi kepada Tuhan (Tihami, 2009 :12).
18
a. Pilihan jodoh yang tepat.
b. Pernikahan didahului dengan pinangan.
c. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan
perempuan.
d. Pernikahan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
e. Ada persaksian dalam akad nikah.
f. Pernikahan tidak ditentukan untuk waktu tertentu.
g. Ada kewajiban membayar maskawin/mahar atas suami.
h. Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah.
i. Tanggung jawab pimpinan keluarga pada suami.
j. Ada kewajiban bergaul denganm baik dalam kehidupan rumah tangga
Prinsip-prinsip perkawinan ini sangat penting, karena apabila tidak
terpenuhi prinsip-prinsip tersebut berakibat batal atau tidak sah ( fasid)
nikahnya.
3. Hukum Melakukan Perkawinan
Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan pelakunya. Kalau
pelakunya sudah memerlukan dan mampu yang akan menambah takwa,
yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram,
maka hukumnya wajib. Kalau pelakunya tidak mampu dalam
melaksanakan pernikahan, maksudnya bagi orang yang tahu dirinya tidak
mampu melaksanakan hidup rumah tangga, melaksanakan kewajibannya
lahir batin seperti memberikan nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan
19
kewajiban batin seperti mencampuri isteri, maka hukum nikah menjadi
haram. Nikah disunnahkan bagi orang yang mampu tetapi masih sanggup
mengendalikan diri dari peerbuatan haram. Dalam hal ini lebih baik
daripada membujang. Sedangkan hukum asal dari nikah adalh mubah.
Nikah hukumnya sunnah bagi orang yang memerlukannya. Syarat nikah
berasal dari Al-Qur‟an dan hadits serta( ijma‟ umat) kesepakatan umat
dengan niat yang kuat (Idris dan Ahmadi .1994 : 199).
Firman Allah :
“ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dan hamba-hambanmu yanglelaki
dan hamba-hambamu yang perempuan.” (QS. An-Nuur : 32)
4. Rukun dan Syarat Sah Pernikahan.
a. Rukun Pernikahan.
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas.
1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan
perkawinan.
2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau
wakilnya yang akan menikahkannya.
3) Adanya dua orang saksi.
4) Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali
atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon
pengantin laki-laki.
20
Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat :
Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam,
yaitu :
1) Wali dari pihak perempuan.
2) Mahar (maskawin)
3) Calon pengantin laki-laki.
4) Sighat akad nikah.
Imam Syafi‟i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam,
yaitu:
1) Calon pengantin laki-laki.
2) Calon pengantin perempuan.
3) Wali dari pihak perempuan
4) Dua orang saksi.
5) Sighat akad nikah (Ghazaly,2006 : 48)
Memang ada sedikit perbedaan pendapat dikalangan para
ulama seputar rukun nikah, namun rukun nikah yang dipakai di negara
Indonesia pada umumnya adalah rukun nikah yang disimpulkan dalam
madzhab Syafi‟i
b. Syarat Sahnya Pernikahan
Dasar bagi sahnya perkawinan adalah sudah dipenuhinya
syarat-syarat perkawinan tersebut, sehingganya menghasilkan suatu
perkawinan yang sah dan menimbulkan segala hak dan kewajiban
sebagai suami istri.
21
Pada garis besarnya syarat-syaratsahnya perkawinan itu ada
dua :
1) Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki
yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan
merupakan orang yang haram dinikahi.
2) Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Secara rinci, masing-masing rukun di atas akan dijelaskan
syarat-syaratnya sebagai berikut:
a) Syarat-syarat kedua mempelai.
(1) Syarat- syarat pengantin pria.
Syariat Islam menentukan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para
ulama, yaitu :
(a) Calon suami beragama Islam.
(b) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
(c) Orangnya diketahui dan tertentu.
(d) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin
dengan calon istri.
(e) Calon mempelai laki-laki mengetahui atau
mengenal calon istri serta tahu betul calon istrinya
halal baginya.
(f) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan
perkawinan itu.
22
(g) Tidak sedang melakukan ihram.
(h) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan
calon istri.
(i) Tidak sedang mempunyai istri empat (Ghazali, 2006
: 50)
(2) Syarat-syarat calon pengantin perempuan :
(a) Beragama Islam atau ahli Kitab (wanita muslimah
dengan laki-laki muslim)
(b) Terang bahwa ia wanita, bukan khunsta (banci)
(c) Wanita itu tentu orangnya.
(d) Halal bagi calon suami.
(e) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak
masih dalam masa „iddah.
(f) Tidak dipaksa/ikhtiyar.
(g) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah
(Ghazaly, 2006 : 55)
b) Syarat-syarat Ijab Kabul.
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul
dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau
perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinannya
dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Ijab
dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya,
23
sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau
wakilnya.(Ghazaly, 2006 : 57)
c) Syarat-syarat wali.
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai
perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaknya seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan
adil (tidak fasik). Perkawinan tanpa wali tidak sah.(Ghazaly,
2006 : 59)
d) Syarat-syarat saksi.
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang
laki-laki, muslim,baligh, berakal, melihat dan mendengan serta
mengerti (paham) akan maksud akad nikah.
Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu
adalah sebagai berikut :
(1) Berakal, bukan orang gila.
(2) Baliq, bukan anak-anak.
(3) Merdeka, bukan budak.
(4) Islam.
(5) Kedua orang saksi itu mendengar (Gazaly,2006 :64).
Hikmah adanya saksi adalah untuk kemaslahatan kedua
belah pihak dan masyarakat. Misalnya, salah seorang
mengingkari, hal itu dapat dielakan oleh adanya dua orang
saksi. Juga misalnya apabila terjadi kecurigaan masyarakat,
24
maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap
adanya akad perkawinan dari sepasang suami istri. Di samping
itu, menyangkut pula keturunan apakah benar yang lahir
adalah dari perkawianan suami istri tersebut. Ternyata disini
dua saksi dapat memberikan kesaksiannya.
5. Hikmah Pernikahan
Pada dasarnya nikah dianjurkan oleh Allah SAW karena nikah
mempunyai banyak hikmah bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan
umat manusia. Adapun hikmah pernikahan sebagai berikut :
a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan
keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilaman jalan
keluar tidak dapat memuaskan, maka banyak manusia yang
terguncang jiwanya sehingga akan mengambil jalan yang buruk.
Dengan demikian perkawinan badan menjadi segar, jiwa menjadi
tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, dan perasaan
akan tenang menikmati hal yang halal.
b. Perkawinan adalah jalan untuk memperbanyak keturunan,
melestarikan hidup manusia, serta memelihara nafsu yang oleh
Islam sangat dianjurkan.
c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dalam hidup berumah
tangga dengan anak-anak yang akan menimbulksn rasa cinta,
sayang, dan sikap ramah yang merupakn sifat-sifat baik yang
menyempurnakan akhlak manusia.
25
d. Menyadari tanggung jawab beristeri dang menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawakan seseorang.
e. Ada pembagian tugas, dimana yang satu mengurus dan mengatur
rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja mencari nafkah sesuai
dengan batas-batas tanggung jawab antara suami isteri dalam
menanggani tugas-tugasnya.
f. Dengan perkawinan diantaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara
keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang
memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang (Sabiq:1980
:80)
B. Adat Istiadat (Al-„Urf)
Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek
moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisi telah
ada dan menjadi kebiasaan yang dilani oleh masyarakat saat ini dalam
Hukum Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf.
1. Definisi Al-„Urf
Al-„Urf secara bahasa berarti suatu yang telah dikenal dan
dipandang baik serta dapat diterima akal sehat. Al-„Urf (adat istiadat) yaitu
sesuatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau
perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan
diterima oleh akal mereka (Khalil, 2009 : 167).
26
'Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan
merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun
perbuatan (Khallaf. 2005 : 104)
Definisi Al-„Urf menurut para ulama yaitu :
1) Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa Al-„Urf merupakan:
Sesuatu yang telah menjadi mantap/kuat di dalam jiwa dari segi akal
dan dapat diterima oleh fikiran sehat/baik
(http://www.Wikipedia.Org/wiki/Budaya/Tradisi. diakses pada 22 juni
2008, 4).
2) Menurut Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya yang berjudul Ilmu
Ushul al-Fiqih yaitu : Al-'Urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh
orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, baik itu yang berupa
perkataan, perbuatan ataupun sesuatu yang lazimnya untuk
ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan al-âdah. Sehingga dalam
bahasa ahli syara' disana dijelaskan bahwa antara al-'urf dan al-âdah
tidak terdapat perbedaan (Idem. 1978/1398 : 89).
3) Menurut Al-Jurjaniy yang dikutip oleh Abdul Mudjib dalam bukunya
yang berjudul kaidah-kaidah fiqih, al-„urf adalah : sesuatu (perbuatan
maupun perkataan) yang jiwa merasa tenang ketika mengerjakannya,
karena sejalan dengan akal sehat dan diterima oleh tabi‟at. Al-„Urf
juga merupakan hujjah bahkan lebih cepat untuk dipahami (Mudjib.
1999 : 44).
27
Para Ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan „urf dalam
membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan
hukum syara‟ urf didefinisikan dengan :
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau
perbuatan”
Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa‟ (guru besar
fiqh Islam di Universitas „Amman, Jordania), mengatakan bahwa „urf
merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari „urf .
Adapun adat menurut ulama ushul fiqh adalah :
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan
rasional”
Sedangkan pengertian lain Al-„Adah adalah sesuatu (perbuatan
maupun perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena
dapat dierima oleh akal dan manusia mengulang-ulanginya secara terus-
menerus (Mudjib. 1999 : 44).
Definisi ini menunjukan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan
cara berulang-ulang menurut hukum akal, dinamakan adat. Definis ini juga
menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas yang
menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam
tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makan tertentu, atau permasalhan
28
yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil
pemikiran yang baik dan yang buruk.
2. Macam-macam 'Urf
Dari beberapa persyaratan di atas kita bisa membagi 'urf (adat
kebiasaan) kepada dua bagian yaitu:
1) 'Urf yang fasid (rusak/jelek) Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat
diterima, karena bertentangan dengan nash qath'iy (syara‟). Seperti
kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat
yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena
berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam (Zahrah.
2005 :418).
2) „Urf yang shahih (baik/benar) Ialah 'urf yang saling diketahui orang,
tidak menyalahi dalil syari'at, tidak menghalalkan yang haram dan tidak
membatalkan yang wajib, serta dapat diterima karena tidak
bertentangan dengan syara', 'urf ini juga dipandang sebagai salah satu
sumber pokok hukum Islam. Seperti mengadakan pertunangan sebelum
melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan
dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara (Khallaf. 2005
:105).
'Urf yang shahih dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1) 'Urf 'Aam (kebiasaan yang bersifat umum) Yaitu „Urf yang telah
disepakati masyarakat di seluruh negeri. 'Ulama mazhab Hanafi
menetapkan bahwa 'urf amm dapat mengalahkan qiyas, yang
29
kemudian dinamakan istishna 'urf. 'Urf ini dapat mentakhshis nas
yang am yang bersifat zhanny, bukan yang qath'i (Firdaus. 2004 : 97-
98). 'Urf seperti ini dibenarkan berdasarkan ijma'. Bahkan tergolong
macam ijma' yanng paling kuat karena di dukung, baik oleh kalangan
mujtahid maupun diluar ulama-ulama mujtahid; oleh golongan
sahabat maupun orang yang datang setelahnya. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa 'urf ialah yang diterapkan diseluruh negeri tanpa
memandang kepada kenyataan pada abad-abad yang telah lalu.
2) 'Urf khas (kebiasaan yang bersifat khusus) Yaitu 'urf yang dikenal
berlaku pada suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu,
seperti; „urf yang berhubungan dengan perdagangan, pertanian dan
lain-lain. 'Urf ini tidak boleh berlawanan dengan nash, tetapi boleh
berlawanan dengan qiyas yang illatnya ditemukan tidak melalui jalan
yang qath'i, baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi
jelas dan terangnya. Hukum yanng ditetapkan qiyas zhanny akan
selalu berubah seiring dengan perubahan zaman. Karena itu para
ulama berpendapat bahwa ulama mutaakhirin boleh mengeluarkan
pendapat yang berbeda dari mazhab Mutaqaddimin. Karena dalam
menerapkan dalil qiyas mereka sangat terpengaruh oleh 'urf-'urf yang
berkembang dalam masyarakatnya pada waktu itu.
3. Syarat-Syarat Al-„Urf
30
Mereka yang mengatakan al-„urf adalah hujjah, memberikan syarat-
syarat tertentu dalam menggunakan al-„urf sebagai sumber hukum
diantaranya sebagai berikut :
1) Tidak bertentangan dengan Alquran atau sunnah. Jika seperti kebiasaan
orag minum khamr, riba, berjudi, dan jual beli gharar(ada penipuan)
dan yang lainnya maka tidak boleh diterapkan.
2) Adat kebiasaan tersebut sudah menjadi tradisi dalam setiap muamalah
mereka, atau pada sebagian besarnya. Jika hanya dilakukan dalam
tempo tertentu atau hanya beberapa individu maka hal ini tidak dapat
dijadikan sumber hukum.
3) Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang penentangan terhadap adat
tersebut. Jika adat suatu negeri mendahulukan sebagian mahar dan
menunda sebagiannya, namun kedua calon suami isteri sepakat untuk
membayarnya secara tunai lalu keduanya berselisih pendapat, maka
yang menjadi patokan adalah apa yang sudah disepakati oleh kedua
belah pihak, karena tidak ada arti bagi sebuah adat kebiasaan yang
sudah didahului oleh sebuah kesepakatan untuk menentangnya.
4) Adat istiadat tersebut masih dilakukan oleh orang ketika kejadian itu
berlangsung. Adat lama yang sudah ditinggal orang sebelum
permasalahan muncul tidak dapat digunakan, sama seperti adat yang
baru lahir setelah permasalahannya muncul (Khalil, 2009 : 170)
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
31
1) Adat harus berbentuk dari sebuah perbuatan yang sering dilakukan
orang banyak dengan berbagai latar belakang dan golongan secara terus
menerus, dan dengan kebiasaan ini, ia menjadi sebuah tradisi dan
diterima oleh akal pikiran mereka. Dengan kata lain, kebiasaan tersebut
merupakan adat kolektif dan lebih khusus hanya sekadar adat biasa
karena adat dapat berupa adat individu dan adat kolektif.
2) Adat berbeda dengan ijma‟. Adat kebiasaan lahir dari sebuah kebiasaan
yang sering dilakukan oleh orang yang terdiri dari berbagai status
sosial, sedangkan ijma‟ harus lahir dari kesepakatan para ulama
mujtahid secara khusus dan bukan orang awam. Dikarenakan adat
istiadat berbeda ijma‟ maka legalitas adat terbatas pada orang-orang
yang memang sudah terbiasa dengan hal itu, dan tidak menyebar
kepada orang lain yang tidak pernah melakukan hal tersebut, baik yang
hidup satu zaman dengan mereka atau tidak. Adapun ijma‟ menjadi
hujjah kepda semua orang dengan berbagai golongan yang ada pada
zaman itu atau sesudahnya sampai hari ini.
3) Adat terbagi menjadi dua kategori : ucapan dan perbuatan. Adat berupa
ucapan misalnya adalah penggunaan kata walad hanya untuk anak laki-
laki, padahal secara bahasa mencakup anak laki-laki dan perempuan
dan inilah nahasa yang digunakan Al-qur‟an,
32
“Allah mensyari‟atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu : Bagian
seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”
(QS. An-Nisa‟ (4) :11).
Sedangkan adat yang berupa perbuatan adalah setiap perbuatan yang
sudah biasa dilakukan orang, seperti dalam hal jual beli, mereka cukup
dengan cara mu‟athah (menerima dan memberi) tanpa ada ucapan, juga
kebiasaan orang mendahulukan sebagian mahar dan menunda sisanya
sampai waktu yang disepakati (Khalil, 2009 : 168).
d. Legalitas Al-„Urf
Jumhur fuqaha‟ mengatakan bahwa al-„urf merupakan hujjah dan
dianggap sebagai salah satu sumber hukum syariat. Mereka bersandar pada
dalil-dalil sebagai berikut.
1. Firman Allah SAW :
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
makruf.(QS. Al-A‟raf : 199)
Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya mengamalkan adat sebab jika
tidak wajib Allah tidak menyuruh Rasullah SWT.
2. Hadits Rasulullah SAW, “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka
ia juga baik di sisi Allah”. Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang
dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu juga baik di sisi Allah
dan jika memang begitu maka wajib diamalkan dan dijadikan sandaran
hukum.
33
3. Syariat Islam sangat memperhatikan aspek adat kebiasaan orang Arab
dalam menetapkan hukum. Semua ditetapkan demi mewujudkan
kemaslahatan bagi khalayak ramai, seperti akad dan mewajibkan denda
kepada pembunuhan yang tidak disengaja. Selain itu, Islam juga telah
membatalkan beberapa tradisi buruk yang membahayakan, seperti
mengubur anak perempuan dan menjauhkan kaum wanita dari harta
warisan Islam mengakui keberadaan adat istiadat yang baik.
4. Syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan
memudahkan urusan manusia dan mewajibkan orang untuk
meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi adat kebiasaan mereka
karena sama artinya dengan menjerumuskan mereka ke dalam jurang
kesulitan. Agar mereka tidak terjatuh dalam jurang ini, kita harus
mengakui adat kebiasaan mereka (Khalil. 2009 : 169) sebagaimana
firman Allah SAW :
“Dan Dia sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”.(QS. Al-Hajj (22) :78)
Dan firman Allah SAW :
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu”.(QS. Al-Baqoroh (2) : 185)
C. Pingitan.
1. Pengertian Pingitan
Pingit, berpingitan : berkurung di dalam rumah tanpa sama sekali.
34
Memingit ; menurung dalam rumah. Pingitan ; Sesuatu yang di
pingit (Fajri dan Senja : 655).
Sengkeran atau Pingitan adalah proses mempersiapkan diri
mempelai untuk memasuki sebuah dunia yang bernama rumah tangga.
Dipingit adalah istilah yang diterapkan pada calon pengantin agar tidak
kemana-mana maksudnya adalah agar calon pengatin aman dan segar
bugar. Pada dasarnya pingit pengantin itu sama antara daerah satu
dengan daerah yang lain, namun pada pelaksanaannya saja yang
berbeda.
Menurut ethicalweddings.com pingitan pengantin adalah calon
pengantin putri tidak diperbolehkan keluar rumah atau bertemu calon
pengantin putra sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, yaitu sebelum
acara akad nikah. Kedua mempelai harus tidak saling bertemu dulu.
2. Asal Usul Tradisi Pingitan.
Pendidikan anak perempuan menurut adat-istiadat lebih terikat
kepada lingkungan rumah. Semua kebebasan dan pendidikan yang
dinikmati anak-anak gadis itu berakhir, begitu ia menginjak dewasa dan
menjelang pernikahan. Ukuran dewasa bagi gadis-gadis remaja yang
hidup di daerah tropis sangat cepat, sekitar 10 sampai 12 tahun. Mulai
dipersiapkan untuk kehidupan berkeluarga dengan memasuki dunia
pingitan.
Pingitan adalah dunia wanita, dimana gadis-gadis kecil mulai
belajar bekerja. Bidang pekerjaannya adalah membantu ibu mereka
35
mengasuh dan mengurus adik-adik mereka yang masih kecil, belajar
memasak dan menjahit, serta kecakapan-kecakapan lain yang perlu
dimiliki ibu rumah tangga. Rumah tangga adalah tiang masyarakat,dan
masyarakat adalah tiang Negara, sebab itu setiap wanita harus menjadi
ibu yang baik dan cakap dalam penanganan rumah tangga.
Tradisi pingitan ini sudah ada pada zaman keraton atau zaman
kerajaan Yogyajakarta. Pada zaman keraton Yogyakarta yang dipimpin
Sri Sultan Hamengkubuwono 1, tradisi pingit pengantin sudah ada sejak
zaman nenek moyang mereka dan tradisi ini merupakan tradisi Jawa
asli yang dijadikan sebagai tradisi turun temurun. Pada zaman dahulu
para pendatang dari Yogyakarta dan Solo datang ke Desa Maduran
Kec.Maduran Kab. Lamongan dan membawa tradisi dan bahasa Jawa
halus (krama inggil).
Mereka tinggal berdampingan bersama masyarakat Desa Maduran
dan kemudian mereka menikah dengan masyarakat Desa Maduran
tersebut. Dan disaat pernikahan tersebut semua adat dari Yogyakarta
dan Solo diterapakan di acara pernikahan, sehingga berbagai adat Jawa
itu ada di Desa Maduran dan merupakan tradisi turun temurun yang
wajib dilestarikan sampai sekarang. Maka dari itu Tradisi pingitan lebih
terkenal di Ds. Maduran Kab. Lamongan, karena tradisi ini sebagian
masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sampai sekarang. Tetapi
bukan berarti masyarakat Solo dan Yogyakarta tidak melakukan tradisi
pingitan pengantin, sebagian masyarakat Solo dan Yogyakarta sampai
36
daerah Klaten dan Boyolali masih menggunakan tradisi pingitan
tersebut.(Sumber :http://muthiapriyanti.blogspot.com.2004/04)
D. Hukum Islam
1. Definisi Hukum Islam
Secara etimologis, hukum adalah sebuah kumpulkan aturan,
baik berupa hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, yang
mana sebuah negara atau masyarakat mengaku terikat sebagai anggota
atau subyeknya. Kalau pengertian hukum tersebut dihubungkan
dengan Islam, maka “Hukum Islam” adalah sejumlah aturan yang
bersumber pada wakyu Allah dan Sunnah Rasul-baik yang langsung
maupun yang tidak langsung-yang mengantur tingkah laku manusia
yang diakui dan diyakini serta harus dikerjakan oleh umat Islam. Di
samping itu, hukum Islam juga harus memiliki kekuatan untuk
mengatur, baik secara politis maupun sosial.
Secara terminologis, M. Hasbi ash-Shiddieqy menyebutkan
bahwa hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk
menerapkan syari‟ah atas kebutuhan masyarakat. Sementara itu, An-
Naim menyebutkan bahwa hukum islam mencakup persoalan
keyakinan, ibadah(ritual), etika, dan hukum (Dahlan, 2009 : 92).
Menurut Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam De Legibus
menyatakan hukum adalah akal tertinggi ( the highest reason) yang
ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Ukuran dan unsur yang
37
digunakan dalam perspektif ini adalah aspek perbuatan yang boleh
diperbuat manusia dan aspek perbuatan yang harus doihindari.
Perbuatan manusia, antara yang boleh dilakukan, tidak boleh
dilakukan, merugikan atau tidak merugikan, bertentangan dengan
norma yang ditetapkan oleh negara atau tidak merupakan beberapa
unsur yang menentukan rumusan mengenai hukum. Adapun hukum
Islam biasanya disebut dengan beberapa istilah atau nama yang
masing-masing menggambarkan sisi atau karakteristik tertentu hukum
tersebut (Mustofa dan wahid, 2008 : 1).
Uraian tersebut menunjukan bahwa hukum Islam mencakup
berbagai persoalan hidup manusia, baik yang menyangkut urusan
dunia maupun urusan akhirat.
2. Tujuan Hukum Islam.
Scholten menyebutkan : Tiada hukum tanpa formula, yang
dituntut adalah ucapan hukum berupa penilaian kata mengenai apa
hukum itu, penilaian mana bersandar pada formula-formula umu yang
tersusun dalam kata-kata. Kalau dipelajari dengan seksama ketetapan
Allah dan ketentuan Rasul-Nya yang terdapat di dalam Alquran dan
kitab-kitab hadis yang sahih, kita segera dapat mengetahuio tujuan
hukum Islam. Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum
Islam kebahagian hidup manusia di dunia dan diahkirat kelak, dengan
jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau
menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan
38
kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah
kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual,
dan sosial.(Mustofa dan Wahid. 2008 : 6)
Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini
saja, tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu
Ishaq al Shatibi (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum
Islam , yakni :
1) Memelihara agama.
2) Memelihara jiwa.
3) Memelihara akal.
4) Memelihara keturan.
5) Memelihara harta.
39
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Kondisi Umum Tentang Desa Klalingan
a. Sejarah Desa Klalingan.
Pada zaman dahulu di Indonesia dijajah negara Belanda. Tentara-
tentara Belanda menyerbu di berbagai kota di Indonesia. Melihat hal
tersebut akhirnya Nyi Ageng Serang mengajak rakyatnya bertekad
mengadakan perlawanan terhadap tentara Belanda tersebut dengan
mengguakan senjata sederhana yaitu sebuah bambu runcing. Kemudian
terjadilah sebuah pertempuran yang sangat sengit antara tentara Belanda
dengan rakyat Indonesia dibawah pimpinan Nyi Ageng Serang karena
terlalu lelah akhirnya Nyi ageng Serang beristirahat disebuah tempat. Nyi
Ageng Serang berkata tepat ini kelak akan dinamakan “Klaliangan” yang
berasal dari kata “kaling- kalingan”, yang artinya Belanda tidak akan
pernah melihat karena kaling-kalingan (ketutupan)
Sumber lain menyatakan bahwa zaman dahulu saat masa penjajahan
Belanda Indonesia banyak juga didatangi oleh negara-negara lain dengan
tujuan melakukan perdagangan dan penyiksaan dengan warga negara
Indonesia. Masyarakat kemudian mencari tempat yang aman dari penjajah,
yang kemudian menemukan sebuah Desa yang nampak tertutup bundaran
bening yang disebut dengan kolang kaling. Kemudian sejak saat itu desa
40
tersebut disebut dengan sebutan Klalingan.. (Sumber: Cerita warga Desa
Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
b. Visi dan Misi Desa Klalingan. Adapun visi dan misi dari Desa
Klalingan yaitu sebagai berikut:
1) Visi Desa Klalingan
Terwujudnya masyarakat Desa Klaliangan yang tertib, sehat dan
kondusif dalam tata kehidupan yang demokratis, cerdas, mandiri, kreatif
dan produktif dilandasi oleh akhlak mulia dalam rangka mencapai/menuju
terwujudnya Boyolali Tersenyum (Tertib, Rapi, Sehat, Nyaman untuk
Masyarakat), mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan lahir
batin berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2) Misi Desa Klalingan
a) Untuk menumbuh kembangkan keinginan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari sesuai dengan situasi
dan kondisi Sumber Daya Alam (SDA) Desa Klalingan.
b) Menjadikan Desa Klalingan sebagai Desa (Sentra Pertanian).
Desa yang mampu mewujudkan pertanian yang modern dengan
mengembangkan penggunaan pupuk organik yang ramah
lingkungan.
c) Menjadikan masyarakat Desa Klalingan berbudi pekerti luhur,
tangguh, sehat jasmani dan rokhaninya, cerdas, patriotik,
berdisiplin, kreatif, produktif, berjiwa Iman dan bertaqwa serta
41
demokratis demi terciptanya sumber daya manusia yang
berkualitas.
d) Meningkatkan upaya pemerataan pembangunan disegala bidang
pada semua lapisan masyarakat untuk mewujudkan kemakmuran.
e) Mewujudkan Aparat Pemerintahan Desa yang berfungsi sebagai
pelayan masyarakat yang profesional, berdaya guna, dan berhasil
guna, sehingga terwujud Pemerintahan Desa yang bersih dan
beribawa.
f) Meningkatkan inisiatif perencanaan pembangunan, pemberdayaan
masyarakat dan peran wanita serta generasi muda juga
menegakkan supremasi hukum bagi masyarakat.
g) Meningkatkan persatuan dan kersatuan serta toleransi beragama
demi terwujudnya kedamaian, ketentraman, keamanan,
kenyamanan, dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. (Sumber: Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego,
Kabupaten Boyolali).
42
c. Peta Desa Klego.
Gambar 5. Peta Desa Klego
d. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Aparat Pemerintahan Desa Klalingan.
Adapun susunan organisasi dan tata kerja aparat pemerintahan Desa Klalingan
yaitu sebagai berikut:
Gambar 3.1. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Aparat Pemerintahan Desa
Klalingan
Kepala Dusun : Waryanti
Rukun Tetangga(Rt) 22
: Tasrun
Rukun Tetangga(Rt) 23
: Suhar
Rukun Tetangga (Rt) 24 : Jamhari
Sekertaris Dusun :
Darmawan
43
2. Letak Geografis dan Batas Administrasi Desa Klalingan
Desa Klego memiliki batas wilayah sebagai berikut:
1) Sebelah Utara : Desa Gondang Legi
2) Sebelah Selatan : Desa Kedokan
3) Sebelah Timur : Desa Karanganyar
4) Sebelah Barat : Desa klumpang
(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan,
Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
3. Kondisi fisik Desa Klego
a. Topografi. Kondisi Topografi Desa Klego yang dibagi menjadi tiga Rukun
tetangga (RT). Adapun pembagian wilayahnya dibagi sebagai berikut :
1) Bagian Selatan Rt (Rukun Tetangga) 22.
2) Bagian Tengah Rt (Rukun Tetangga) 23.
3) Bagian Utara Rt (Rukun Tetangga) 24.
Secara keseluruhan wilayah Desa Klalinagn tergolong (dataran rendah
atau dataran tinggi) dengan kemiringan 2-15% dan ketinggian kurang lebih 300
meter di atas permukaan laut.(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
b. Klimatologi. Berdasarkan kondisi iklimnya, Desa Klalinagan dapat
digolongkan sebagai wilayah dengan karakteristik lembab dengan curah hujan
2.000 mm/tahun dan jumlah bulan kering 6 bulan. (Sumber: Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klaliangan, Kecamatan Klego,
Kabupaten Boyolali).
44
c. Hidrologi. Kondisi Hidrologi Desa Klalingan digolongkan kekurangan
sumber mata air. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan untuk kebutuhan
sehari-hari saat musim kemarau, serta kondisi persawahan adalah sawah tadah
hujan. (Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa
Klaliangan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
d. Jenis tanah. Desa Klalingan memiliki jenis tanah yang pada umumnya
termasuk jenis Aluvial, yang jenis tanah ini cukup sesuai untuk kegiatan
pertanian namun masih labil. Sehingga mengakibatkan banyak jalan di Desa
Klalingan yang cepat rusak. (Sumber: Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Desa Kalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
e. Kondisi lingkungan. Desa Klalingan memiliki karakteristik lingkungan
berupa dataran rendah dengan lingkungan basah dan kering. Karakter
lingkungan wilayah ini mempengaruhi jenis usaha pertanian tanaman pangan,
dengan pengembangan pada lingkungan sebagai berikut:
1) Tanah basah yaitu upaya pengembangan usaha pertanian yang betul-betul
modern dengan mengembangkan penggunaan pupuk organik, sehingga
Desa Klalingan mampu memberikan konstribusi terhadap negara dalam
swadaya beras secara nasional.
2) Tanah kering yaitu sangat cocok untuk pengembangan pertaian tanaman
pangan lahan kering khususnya palawija.
Permasalahan lingkungan hidup yang cukup mencolok yaitu dengan
keberadaan peternakan ayam potong dan pengembangan ikan air tawar jenis
lele, yang lokasinya sebagian besar sangat dekat dengan pemukiman penduduk.
45
Meskipun selama ini masalah pengaruh polusi dan lalat masih terkendali,
namun yang perlu perhatian khusus dalam pengendaliannya sehingga benar-
benar tidak akan menggangu masyarakat dan lingkungan sehingga semua
bisatertangani dengan baik.(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
f. Kependudukan. Kependudukan Desa Klalingan dapat dibedakan
berdasarkan usia. Kependudukan desa Klalingan dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 3.1 Kependudukan Desa Klalingan
No Usia/tahun Jumlah
1 0 – 5 90
2 6 – 16 60
3 17 – 25 70
4 26 – 55 85
5 56 ke atas 55
(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa
Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kependudukan
yang paling tinggi adalah kelompok usia 0 sampai 5 tahun yaitu mencapai 90
orang, sedangkan yang paling rendah yaitu usia 56 tahun ke atas yang hanya
terdapat 55 jiwa.
46
g. Penduduk Menurut Mata Pencaharian. Desa Klalingan dapat dibedakan
berdasarkan mata pencaharian. Penduduk menurut mata pencaharian desa
Klalingan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.2 Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah
1 Petani Pemilik Tanah 15
2 Petani Penggarap Tanah 25
3 Buruh Tani 30
4 Nelayan 3
5 Pengrajin/Industri Kecil 3
6 Buruh Industri 15
7 Buruh Bangunan 50
8 Pedagang 30
9 Pengangkutan 15
10 Pegawai Negeri Sipil 26
11 TNI 9
12 Pensiunan (TNI/PNS) 10
47
13 Peternak Sapi 50
14 Peternak Kambing 30
15 Peternak Ayam 49
(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan,
Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
Berdasarkan tabel di atas, maka mata pencaharian desa Klalingan paling
banyak yaitu peternak ayam yang mencapai 2011, sedangkan mata pencaharian
yang terkecil yaitu jenis nelayan yang hanya berjumlah 3 orang.
h. Penduduk menurut pendidikanya. Desa Klalingan dapat dibedakan
berdasarkan pendidikanya. Penduduk menurut pendidiknya desa Klalingan
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.3 Penduduk Menurut Pendidikan
NO
Tingkat Pendidikan
Jumlah
1 SD 100
2 SMP 85
3 SMA (Sederajat) 70
4 Perguruan Tinggi 10
5 Tidak Sekolah 95
48
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pindidikan yang
paling tinggi adalah pendidikan SD yang mencapai 100 orang, dan
pendidikan yang terendah adalah perguruan tinggi dengan jumlah 10 orang,
sedangkan yang tidak mengenal pendidikan lumayan tinggi dengan angka 95
orang, hal ini dapat disimpulkan bahwa di desa Klalingan dalam hal
pendidikan bisa dikatakan tidak begitu maju, dan banyak masyarakat yang
mengabaikan nilai pendidikan.
4. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat.
Kegiatan keagamaan di desa Klalingan tidak begitu padat, hanya
kegiatan belajar mengajar anak-anak yang biasa di sebut dengan TPA
(Taman Pendidikan Anak) yang dilakukan di masjid desa Klalingan
dengan waktu pembelajaran selama dua (2) jam dan jumlah pengajar yang
tidak menentu, kadang ada empat pengajar kadang juga hanya satu
pengajar yang hadir. Kegiatan keagamaan lainnya belum begitu aktif
seperti kegiatan yasinan remaja yang dilaksanakan setiap malam minggu
dan waktunya setelah sholat isya‟ itu juga belum bisa dikatakan maju,
dilihatan dari minat remaja yang mengikutinya yang hanya dihadiri kurang
lebih sepuluh sampai lima belas remaja saja, terkadang jumlah presentase
yang hadir semakin lama semakin berkurang, untuk kegiatan pengajian
atau kegiatan kegamaan yang lainnya bisa dikatakan jarang diadakan.
Melihat dari kondisi keagamaan di desa Klalingan bisa disimpulkan
bahwa masyarakat desa Klalingan minim dalam pengetahuan agama yang
49
membuat tidak ada perbedaan pendapat antara hukum Islam dan hukum
adat yang merekla yakini, contohnya tradisi pingitan pengantin, dibuktikan
dalam kehidupan bermasyarakat penduduk Desa Klalingan tidak
menggambarkan adanya konflik yang berarti dimasyarakat. Mereka hidup
rukun saling berdampingan dalam bermasyarakat. Hal ini terlihat dari sikap
gotong royong masyarakat ketika ada kegiatan di desa misalnya kerja
bakti, kematian dan hajatan pernikahan. Selain itu di desa Klalingan ini
juga ada tradisi Punggahan (tradisi tahlilan di makam desa sebelum bulan
puasa) dan Pudunan (tradisi tahlilan di makam desa sesudah bulan puasa),
dan tradisi mapak tanggal yang dilakukan pada tanggal 1 Muhharam,
dalam kegiatan ini warga berbondong-bondong untuk berkumpul ditempat
yang sudah ditentukan dengan membawa makanan dan warga begadang
sampai pagi ditempat tersebut setelah menyelesaikan do‟a-do‟a yang di
pimpin oleh sesepuh desa. Tradisi ini tetap mereka jalankan walaupun
zaman sudah modern. Hal ini karena masyarakat Desa Klalingan sangat
menghargai warisan para leluhur atau nenek moyang mereka.
Keadaan sosial masyarakat Desa Klalingan yang kental dengan
tradisi Jawa atau adat ini tidak memperngaruhi kadar keIslaman warga,
karena mereka tidak membedakan antara syari‟at dan adat. Dengan begitu
keadaan masyarakat Desa Klalingan ini tidak pernah terjadi kerusuhan,
karena masyarakat Desa Klalingan sangat menjaga kerukunan dan
kesejahteraan dalam bermasyarakat.
50
Di wilayah Desa Klalingan terdiri dari 32 Kepala Keluarga (KK),
dan semuanya beragama Islam. Dibuktikan dengan adanya sarana ibadah
dan sarana pendidikan Islam.
Tabel 3.4 Jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam
No Keterangan Jumlah
1. Jumlah Masjid 2
2. Jumlah Mushola 1
3. Jumlah Majelis Ta‟lim 2
Dari jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam tersebut
terlihat bahwa masyarakat Desa Klalingan banyak yang kurang
pengetahuan tentang agama Islam. Melihat kondisi tersebut masyarakat
Desa Klalingan hanya sedikit memahami tentang keislaman, bisa dikatakan
65% masyarakat Desa Klalingan berstatus Islam KTP saja, walupun
ulama‟ Desa Klalingan telah menyampaikan ceramah, namun beliau
kebanyakan menyampaikan tentang ketauhidan ataupun tentang
peningkatan keimanan dan ketaqwaan secara umum. Adapun materi yang
berkaitan dengan kepercayaan terhadap mitos-mitos dan ketauhidan jarang
disampaikan. Jadi adat yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap mitos
itu terus berlaku, karena kepercayaan masyarakat Desa Klalingan terhadap
tradisi nenek moyang sangat melekat.
51
BAB IV
ANALISIS
B. Kegiatan Pingitan Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali
1. Proses Pingitan Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali.
Saat-saat menjelang perkawinan, di desa Klalingan melakukan
“pingitan” atau “sengkeran” bagi calon mempelai putri selama sepuluh
hari, yang ada pada perkembangan selanjutnya hanya cukup tujuh hari saja.
Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh
bertemu dengan calon mempelai putra.
Biasanya dalam prosesi pingitan seluruh tubuh pengantin putri
dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya
agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik sehingga
membuat pangling orang yang menyaksikannya, akan tetapi di desa
Klalingan mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman,
seperti halnya prosesi perawatan dan puasa yang biasanya dilakukan tujuh
hari sebelum akad dilakukan itu tidak berlaku lagi, namun untuk perawatan
misalnya meminum jamu-jamuan dan puasa dilakukan satu hari sebelum
hari akad dilaksanakan.
2. Pelaku Pingitan Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali.
Saat menjelang pernikah keluarga dari kedua belah mempelai pasti
sangat repot, karena banyak yang harus dipersiapkan antaranya seperti;
undangan, jamuan makanan tamu, dekorasi, tempat resepsi, gaun pengantin
dan lain-lain. Seperti hanya yang dilakukan oleh Roimah 20 tahun warga
Desa Klalingan Rt 24, Rw 05 yang akan meningkah dengan Sumanto
52
Warga Desa Klalingan Rt 22, Rw 05, mereka juga melangsungkan tradisi
pingitan seperti hanya yang dikatakannya dalam wawancara sebagai
berikut :
Calon mempelai wanita
Roimah :“ Saya tidak keberatan untuk melakukan tradisi pingitan,
toh itu hanya 3 (tiga) hari saja, besok setelah itu kan juga akan ketemu
selamanya kok (dengan sedikit senyum malu), kata orang tua saya itu juga
manfaat biar saya dengan mas mantu tidak sering beranten tidak baik mau
meningkah kok malah beramtem terus, selama 3(tiga ) hari ini saya
berpuasa untuk ngeresiki jiwo(bersihin jiwa) itupun juga manut(nurut)
orang tua, dan saya tidak melakukan luluran atau perawatan atau yang
lainnya, hanya diam saja dirumah aja itu udah cukup”
Calon mempelai pria.
Sumanto : “saya manut (nurut) orang tua aja, tradisi pingitan juga
tidak merugikan atau meropotkan, yang penting nurut orang tua aja
karena orang tau yang lebih tahu mana yang baik untuk anaknya.
Melihat dari hasil wawancara kedua calon pengantin kelihatan
bahwa keduanya tidak keberatan dalam melaksanakan tradisi pingit
pengantin dan mereka tidak begitu mengetahui makna dari tradisi tersebut.
Mereka melakukan tradisi itu atas dasar perintah orang tua. Dan yang
mereka tahu dari tradisi ini adalah warisan leluhur yang turun temurun
pada anak cucunya, bahkan mereka tidak tahu bagaimana Islam
53
memandang tradisi ini, yang mereka tahu kalau tradisi ini adalah kegiatan
adat yang harus dilakukan menurut perintah orang tuanya.
Sebelum hari akad nikah dilaksanakan. Kegiatan tradisi pingitan
pengantin yang dilakukan oleh Roimah tidak neko-neko (aneh-aneh) hanya
berias diri dan berkumpul dengan sanak keluarga yang datang untung
menghadiri pernikahannya. Hanya saja calon pengantin tidak boleh untuk
bertemu dulu dengan calon pengantin pria.
Dua (2) hari sebelum hari akad nikah dilaksankan warga Desa
Klalingan sudah berdatangan dirumah calon pengantin untuk membantu
mempersiapkan pernikahan, khusus ibu-ibu diberi amanah atau dipasrahi
untuk memasak didapur biasanya membuat jenang, jadah, wajik dan
sebagainya. Dan untuk bapak-bapak 1 (satu) hari sebelum hari akad nikah
dilaksanakan sambatan (bantu-bantu) usung –usung (mengakat barangdari
tempat satu untuk dipindahkan ketempat lain) ambil peralatan seperti
meja,kursi, gelas, piring, nampan, teko dan lain-lain.
Setelah prosesi pemotretan pengantin ini masa pingitan yang
dilakukan oleh kedua mempelai yaitu Roimah dan Sumanto sudah selesai,
karena sudah melakukan Ijab Qobul. Kemudian kedua mempelai
melanjutkan acara dengan sebutan krumpul, yaitu bertemunya dua
mempelai pengantin dalam rangkaian adat yang harus dilakukakan seperti
ngidah endok (pengijakan telor oleh pengantin pria yang dilakukan pada
waktu prosesi pernikahan, dengan maksud mempelai pria siap memberikan
keturunan), sungkeman (kedua mempelai meminta restu pada kedua orang
54
tua), balang janur ( lempar-lemparan janur yang sudah dikiat kecil yang
dilakukan oleh kedua mempelai dengan tujuan memperkenalkan diri dalam
satu ikatan suami istri )dan lain-lain.
3. Landasan Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten
Boyolali Melakukan Pingitan.
Kepercayaan atas tradisi yang diwarisklan nenek moyang desa
Klalingan sangat melekat pada jiwa masyarakat desa Klalingan, khususnya
pada tradisi pingitan pengantin. Tradisi ini masih dilestarikan oleh
masyarakat desa Klalingan, walaupun ritual dalam pelaksanaannya tidak
sepadat yang dulu lagi. Tradisi pingitan di desa Klalingan untuk sekarang
hanya dilakukan tujuh hari sebelum akad nikah dilaksanakan, dan prosesi
pingitan seperti perawatan tubuh dan puasa hanya dilakukan sehari
sebelum hari akad nikah dilaksanakan tentunya dengan panduan dukun
nikah (orang yang dipercayai dalam mengatur ritual nikah).
Landasan yang membuat masyarakat desa Klalingan tetap untuk
melaksanakn tradisi pingitan tersebut karena mereka sangat menghargai
budaya leluhur, dan mereka mempunyai keyakinan apabila mereka tidak
melakukan tradisi pingitan maka akan mendapatkan musibah, misalnya
batalnya pernikahan atau musibah lainnya yang lebih buruk.
masyarakat Desa Klalingan percaya bahwa tradisi pingitan perlu dilakukan
untuk menjamin keselamatan calon pengantin perempuan dari mara bahaya
yang mungkin mengancamnya di luar sana. Pilihan masyarakat yang lebih
melestarikan budaya dengan melaksanakan tradisi pingitan karena mereka
55
yakin kalau dalam suatu pernikahan dari kedua belah pihak melaksanakan
prosesi tradisi pernikahan khususnya tradisi pingitan yang umumnya ada
pada adat jawa, maka pernikahan akan berjalan dengan sakral dan
mendapatkan restu dari leluhur. Mereka juga meyakini bahwa tradisi ini
banyak manfaatnya.
C. Pendapat Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten
Boyolali Tentang Tradisi Pingit Pengantin.
Tabel 3.5 Daftar Hasil Wawancara dengan warga Desa Klalingan, Klego,
Boyolali
NO
Nama
L/P
Umur
RT/RW
Hasil Wawancara
1. Darmawan L 45 24/05 Pingitan itu Tradisi calon
pengantin yang tidak boleh
bertemu sebelum ijab
qobul,
Tradisi turun temurun yang
harus dilakukan.
2. Supriyanto L 50 24/05 Pingitan adalah tidak
diberbolehkan calon
pengantin ketemu sampai
hari ijab qobulnya. Tradisi
turun temurun dari nenek
moyang, tidak dipaksakan
56
untuk melaksanakan atau
tidak melaksanakan tradisi
pingitan tersebut.
3. Lasimin L 40 24/05 Tradisi calon Pengantin
yang tidak boleh ketemu
sebelum kumprol (acara
resepsi), boleh dilakukan.
4. Jamilatun P 40 24/05 Calon pengantin wanita dan
pria tidak diperboleh
ketemu seebelum hari H
resepsi, tradisi dari nenek
moyang yang lebih baik
dilakukan.
5. Samiyem P 50 24/05 Pingit Pengantin adalah
pengantin wanita dan pria
tidak boleh ketemu 3 hari
sebelum hari ijab qobul,
tradisi ini dari nenek
moyang, kalau disini
tergantung kepercayaan
orang tuanya harus
melakukan pingitan atau
tidak. Kalau menurut ibu
57
Samiyem sendiri tradisi
pingitan harus dilakukan.
6. Satinem P 50 23/05 Menurut ibu Satinem Pingit
pengantin tradisi yang
dilakukan calon pengantin
untuk tidak bertemu tiga (3)
hari sebelu hari pernikahan,
menurut ibu Satinem tradisi
ini tidak harus dilakukan
menurut selera sendiri-
sendiri atau kenyakinan
keluarga, mempelai yakini
gimana. Tetapi ada baiknya
kalau pingitan tradisi
pingitan penmgantin ini
laksnakan.
7. Sri Suhar P 45 23/05 Menurut Sri Suhar tradisi
pingitan pengantin tradisi
berdiam dirumah dan tidak
saling ketemu antara kedua
mempelai sampai batas
waktu yang ditentukan
yaitu hari pernikahan.
58
Beliau beranggapan bahwa
tradisi ini masuk dalm
rangkaian pernikahan jadi
lebih baik dilakukan, yang
diturunkan dari leluhur.
8. Wagiman L 57 22/05 Menurut Wagiman tradisi
pingit pengantin adalah
tradisi yang berasal dari
nenek moyang, yaitu antara
kedua mempelai tidak boleh
ketemu 3 hari sebelum hari
akad nikah dilaksankan,
tidak ada keharusan untuk
melakukan tradisi ini akan
tetapi lebih baik dilakukan
untuk melestarikan tradisi
adat kampung.
Dari hasil observasi dan wawancara pada sebagaian warga Desa Klalingan
yang penulis lakukan. Bisa dilihat masyarakat tidak begitu mengharuskan untuk
melaksanakan tradisi pingitan pengantin tersebut, akan tetapi sebagian besar dari
masyarakat tersebut menganjurkan untuk melakukan tradisi pingitan pengantin
tersebut dengan alasan untuk melestarikan budaya leluhur dan melengkapi prosesi
59
pernikahan agar lebih sakral. Karena diakui pingitan ini banyak manfaatnya bagi
kedua calon pengantin antanya sebagai berikut :
Ini beberapa alasan kenapa tradisi itu dilakukan :
1. Membuat pasangan memiliki rasa rindu yang menggebu saat di hari
pernikahan sehingga mempelai terlihat lebih romantis dll.
2. Memberikan waktu untuk merenung, banyak hal yang harus di persiapkan
bukan hanya financial dan fisik tapi yang terpenting adalah mental.
3. Menghindari godaan syetan pastinya, banyak di luar sana yang menganggap
hubungan badan antara tunangan itu wajar padahal dalam agama islam sudah
jelas itu di haramkan.
4. Menghindari percekcokan, persiapan pernikahan itu rumit banyak dan sangat
menyita waktu dan pertengkaran di masa ini kita calon pasangan dituntut
untuk menyatukan dua pemikiran dari pribadi yang berbeda.
5. Menghindari kegagalan dalam rencana pernikahan, karena terlalu banyak
perselisihan yang terjadi bisa saja pasangan tersebut tidak menemukan titik
temu yang membuat kedua belah pihak akhirnya memutuskan untuk berpisah.
Dalam kenyataan bermasyarakat di Desa Klalingan juga ada yang tidak
melaksanakan pernikahan tanpa ada pingitan, namun itu hanya sebagian kecil
saja. Namun sebagian besar masyarakat Desa Klalinagan lebih memilih
menggunakan pingitan pingantin dalam rangkaian prosesi pernikahan dari mereka
mempertimbangkan manfaat dan madhorot dalam melakukan atau tidak
melakukan pingitan pengantin mereka mempercayai lebih baik melaksanakan
tradisi pingitan pengantin. Seperti dalam kasus pernikahan pasangan Wulan dari
60
warga Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali Rt 05 RW 24
sebagai calon pengantin wanita dan handoko warga desa Blumbang, Kecamatan
Klego, Kabupaten Boyolali sebagai calon pengantin laki-laki, pernikahan mereka
yang kurang 10 hari dari hari akad nikah dilaksankan ahkirnya batal untuk
dilakukan karena adanya cecok atau perbedaan pendapat pada keduanya, hal itu
membuat warga sekitar berpendapat pernikahan yang batal tersebut akibat tidak
dilakukan pingitan pada calon pengantin sehingga mereka sering beda pendapat
serta kemauan yang berbeda dan berahkir pada putusnya acara pernikahan.
Untuk jangka waktu pingitan masyarakat Desa Klalingan bervariasi ada
yang 3 hari, 7 hari dan 10 hari, sebagaimana yang dikatakan bapak Waryanti salah
satu tokoh masyarakat Desa Klalingan sebagai berikut :
“Masyarakat Desa Klalingan dalam melaksanakan tradisi pingitan
pengantin dalam jangka waktu pingitannya berbeda-beda, tergantung dengan
keyakinan sendiri-sendiri, ada yang mealakuan 10 hari ,7 hari bahkan lebih
sedikit yaitu 3 hari dan untuk mengisi hari-hari pingitan ada yang melakukan
luluran dan menghias diri bagi calon pengantin wanita, namun juga ada yang
tidak melakukan apa-apa hanya berdiam diri dirumah saja, dan biasanya selain
kegiatan tersebut calon pengantin juga harus berpuasa dengan tujuan ngeresiki
awak(bersihin jiwa)”
Jadi menurut bapak Waryanti jangka waktu atau jarak pingitan dengan hari
akad nikah resepsi tidak di tentukan, itu semua tergantung selera dan keyakinan
keluarga calon pengantin saja
D. Pendapat Ulama‟ Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali
Tentang Tradisi Pingitan Pengantin.
61
Tabel 3.6 Daftar Hasil Wawancara dengan ulama‟ Desa Klalingan
No Nama RT/RW Tanggapan
1. Jamhari 24/05 Tradisi pingitan pengantin adalah
tradisi yang biasanya dilakukan
oleh calon pengantin, dalam
tradisi kedua pengantin tidak
diperbolehan untuk ketemu
sampai hari Ijab qobul, jangka
waktu pingitan di Desa Klalingan
ini umumnya 3 hari saja. Kegiatan
selama 3 hari ini calon pengantin
hanya mengisi dengan berpuasa
saja. Hukum dalam Islam menurut
beliau boleh, karena tidak
bertentangan dengan syari‟at
Islam.
Menurut beliau wanita dalam
pingitan menunjukkan kemulian
dan kesucian dan pingitan
termasuk tradisi yang bagus
karena banyak manfaatnya. Hanya
saja mayoritas desa Klalingan
62
tidak melihat dari segi agamanya
mereka melakukan tradisi tersebut
semata-mata karena warisan
leluhur yang mereka percayai dan
mereka percaya akan
mendapatkan musibah apabila
tradisi pingit pengantin tidak
dilaksanakan, Musibah yang
dimaksud seperti batalnya
pernikahan. Pemikiran seperti itu
yang dibetulkan , karena pendapat
seperti itu cenderung bisa
menyebabkan seseorang menjadi
syirik.
2. Tasrun 22/05 Tradisi pingitan adalah masa –
masa mempersiapkan diri untuk
menghadapi pernikan, jadi
dimasa-masa tersebut calon
pengantin tidak diperbolehan
untuk bertemu, dengan tujuan
agar tidak ada perbedaan pendapat
antara kedua mempelai yang
63
mengakibatkan percecokan yang
berujung dengan hal-hal yang
tidak baik, misalnya sampai
pembatalan pernikahan, untuk itu
dilaksanakan tradisi pingitan
tersebut. Jangka waktunya kalau
untuk kebiasaan masyarakat Desa
Klalingan 3 hari dan diisi dengan
berpuasa saja. Tradisi ini sudah
ada sejak dulu dari leluhur, karena
tradisi ini sudah membudaya
dalam masyarakat Desa
Klalingan, maka masih
dilestarikan, untuk hukum dalam
Islamnya menurut bapak Tasrun
boleh-boleh saja karena dalam
Islam tidak ada larangannya dan
tidak melanggar syari‟at Islam.
Karena mereka mempercayai atau
mempunyai keyakinan akan
datangnya musibah dari suatu
budaya yang mengandung mitos,
padahal sesungguhnya musibah
64
itu datang dari Allah SAW.
3. Parjo 23/05 Tradisi pingitan itu adalah tradisi
yang pada umumnya dilakukan
oleh calon pengantin, yang
dimaksud dengan pingit adalah
berdiam diri didalam rumah, jadi
calon pengantin harus berdiam
diri didalam rumah dan tidak
boleh bertemu, jangka waktunya
beragam ada 7,10 dan 3 hari.
Sedangkan masyarakat Desa
Klalingan pada umumnya
menggunakan 3 hari saja,
kemudia 3 hari itu di isi dengan
berpuasa. Tujuan pingitan ini
untuk membuat kangen antara
kedua calon pengantin dan
berpuasanya untuk membersihkan
diri agar lebih tenang sehingga
lebih siap dalam menjalankan
resepsi pernikahan dan prosesi
Ijab qobul.
65
Tradisi ini sudah ada sejak dulu
dari leluhur, dalam Islam menurut
bapak Parjo boleh-boleh saja
karena tidak melanggar syari‟at
Islam, bahkan pada rasullulah
para wanita juga dipingit, yaitu
berdiam diri didalam rumah dan
tidak boleh keluara tanpa ada
kaum laki-laki yang
mendampinginya, dan dianjurkan
untuk berpakain yang menutup,
agar terhindar dari mara bahaya.
Dari hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan kepada ulama‟
di Desa Klalingan, mereka berpendapat bahwa tradisi pingitan pengantin dalam
pandangan Islam boleh, bahkan dianjurkan, karena tradisi pingitan pengantin ini
banyak manfaatnya untuk kedua mempelai. Selain itu dalam syari‟at agama tidak
ada hadits atau dalil yang melarangnya. Pendapat ulama ini tidak membuat
masyarakat Desa Klalingan untuk tidak melakukan tradisi ini, karena itu
tergantung selera dan kepercayaan sendiri-sendiri.
Para ulama‟ Desa Klalingan berpendapat sebenarnya masyarakat menjalani
tradisi itu masih berpengaruh dengan keyakinan yang dianut oleh sesepuh mereka.
Seperti yang disampaikan bapak Turmuji Rt 24 ,Rw 05, bahwa masyarakat hanya
66
mengikuti apa yang sudah dilakukan nenek moyang mereka tanpa melihat dari sisi
hukum Islamnya, karena menurutnya adat yang sudah ada harus dilakukan, kalau
tidak dilakukan takutnya kuwalat (durhaka) dengan leluhur. Masyarakat jawa
khususnya masyarakat Desa Klalingan percaya bahwa tradisi pingitan perlu
dilakukan untuk menjamin keselamatan calon pengantin perempuan dari mara
bahaya yang mungkin mengancamnya di luar sana. Para ulama‟ menyebut hal itu
sebagai tathayyur, yaitu mempercayai kepada ucapan-ucapan nenek moyang yang
belum tentu benar.
E. Pandangan Hukum Islam tentang Tradisi Pingitan Penganti di Desa
Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali.
Seperti apa yang Allah jelaskan dalam Al-Qur‟an pada surat Al-Ahzab (33)
“ Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu
dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-
Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya ”.
Hukum pingitan dalam Islam adalah boleh (mubah), karena wanita
dalam pingitan menunjukkan kemuliaan dan kesucian. Terdapat dalam
sejarah dari dulu hingga kemudian. Dalam pingitan malu menjadi hiasan.
Wajarlah bila menjadi primadona dan dambaan. Bukankah Allah ciptakan
67
bidadari surga dalam pingitan. Pingitan sendiri sangat dianjurkan islam dan
itu sudah ada dalam Al-Qur‟an.
Sedangkan Mitos yang berkembang di tradisi ini sangat unik. Dalam
kondisi pingit, orang yang dipingit tidak boleh keluar rumah, dengan
alasannya karena mereka memiliki „darah manis‟ (atau darah manisan kata
orang Banjar). Katanya orang yang mau menikah itu rentan terhadap
marabahaya. Menurut kepercayaan jawa kuno banyak sarap, sawan, dan
sambekala (penyakit yang tidak kelihatan) atau hal yang mencemaskan dan
berbagai halangan sehingga pada sebagian masyarakat, ketika calon
pengantin dipingit, juga dianjurkan minum “ jamu sawanan ” agar
terhindar dari berbagai halangan, kecemasan, dan aneka penyakit.
Kepercayaan seperti itulah yang harus diluruskan, karena musibah itu bisa
datang kapan saja dan dimana saja, serta tidak mengenal usia, bisa pada
anak kecil, orang dewasa ataupun orang lansia, dan dalam Islam tidak
diperbolehkan, karena kepercayaan seperti itu masuk dalam katagori syirik.
Masalah mereka yang mempunyai darah manis itu tergantung
dengan kepercayaan adat saja, yang pasti dalam Islam pingitan
diperbolehkan dengan tujuan menjaga wanita dari mara bahaya seperti
menghindarkan dari nafsu-nafsu kaum pria yang belum bisa mengontrol
diri, bukan musibah yang disebut oleh orang jawa dengan sebutan sarap,
sawan dan sambekalo (penyakit yang tidak kelihatan), mengenai kewatiran
masyarakat yang takut tertimpa musibah termasuk thiyarah yaitu meramal
bernasib sial karena melanggar sesuatu.
68
Masalah puasa yang dilakukan calon pengantin dalam prosesi
pingitan tersebut hukum dalam Islam diperbolehkan dengan catatan
apabila calon pengantin tersebut melakukan puasa dengan niat beribadah
kepada Allah SAW, sedangkan niat puasa itu untuk menghindari musibah
atau kepercayaan lain seperti terhindar dari sawan, sarap dan sambekolo (
penyakit yang tidak kelihatan) dalam Islam tidak diperbolehkan.
Analisis
a. Faktor Yang Mendorong Masyarakat Desa Klalingan, Kecamatan Klego
Kabupaten Boyolali Melakukan Tradisi Pingitan Pengantin.
a. Mayoritas masyarakat desa Klego mempercayai tradisi pingitan
pengantin selain membuat prosesi pernikahan menjadi sakral, tradisi
pingitan pengantin banyak manfaatnya antara lain sebagai berikut :
1) Membuat pasangan memiliki rasa rindu yang menggebu saat di
hari pernikahan sehingga mempelai terlihat lebih romantis dll.
2) Memberikan waktu untuk merenung, banyak hal yang harus di
persiapkan bukan hanya financial dan fisik tapi yang terpenting
adalah mental.
3) Menghindari godaan syetan pastinya,banyak diluar sana yang
menganggap hubungan badan antara tunangan itu wajar
padahal dalam agama islam sudah jelas itu di haramkan.
4) Menghindari percekcokan, persiapan pernikahan itu rumit
banyak dan sangat menyita waktu dan pertengkaran di masa ini
69
kita calon pasangan di tuntut untuk menyelarasakan dua
pemikiran dari pribadi yang berbeda.
5) Menghindari kegagalan dalam rencana pernikahan, karena
terlalu banyak perselisihan yang terjadi bisa saja pasangan
tersebut tidak menemukan titik temu yang membuat kedua
belah pihak akhirnya memutuskan untuk berpisah.
b. Keyakinan yang sangat melekat tentang tradisi pingitan yang mereka
yakini membuat mayoritas desa Klego tetap menjalnkan tradisi
pingitan tersebut, seperti halnya kasus yang terjadi di desa Klego yang
mengakibatkan batalnya nikah yang mereka yakini gara-gara kedua
mempelai tidak melaksanakan pingitan, hal ini bisa dilihat bahwa
kehidupan mereka sangat dipengaruhi mitos-mitos dan kepercayaan
yang belum bisa dijelaskan dengan alasan yang logis. Sebenarnya
yang mereka yakini hanya merupakan warisan turun-temurun yang
terlahir dari proses akulturasi budaya islam dengan warisan animisme
dan dinamisme yang ada pada zaman sebelum Islam masuk ke tanah
Jawa.
c. Mayoritas masyarakat Jawa pada umumnya dan warga desa Klego
pada khususnya melestarikan budaya pingitan pengantin hanya
bersumber dari keyakinan nenek moyang yang diwariskan secara
turun-temurun tanpa mereka mengkaji atau mencari hukum dalam
Islam, apakah bertentangan atau tidak? yang mereka lakukan hanya
melestarikan budaya dari nenek moyang saja.
70
b. Faktor Penghambat Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego
Kabupaten Boyolali Melakukan Tradisi Pingitan.
a. Anggapan sebagian masyarakat tentang budaya pinggitan adalah
budaya kuno, budaya orang tua zaman dahulu, yang sudah tidak
patut dipraktikan pada kehidupan jaman sekarang (modern).
b. Anggapan sebagian remaja yang tidak ingin repot dengan segala
ritual pernikahan termasuk tradisi pingitan.
c. Pendapat ulama desa Klalingan yang menilai tradisi pingitan yang
dilaksanakan di desa Klalingan dan keyakinan masyarakat tentang
tradisi pingitan yang cenderung masuk dalam pemikiran yang
berbau mistik ( hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal
manusia) yang tidak dibolehkan oleh tokoh agama masyarakat
Klalingan.
Faktor-faktor penghambat di atas tetap tidak menjadi pengaruh
besar dalam perubahan keyakinan masyarakat dalam pelaksanaan tradisi
pingitan, karena di desa Klalingan masih banyak dukun manten yang
dianut untuk pelaksanaan pernikahan.
c. Konsep U‟rf Terkait Dengan Tradisi Pingit Pengantin
Telah dijelaskan pada pemaparan sebelumnya bahwa adat adalah
suatu aturan sosial yang sudah ada sejak zaman nenek moyang atau sesuatu
yang dikerjakan dan diucapkan secara berulang-ulang sehingga dianggap
baik dan diterima oleh akal sehat.
71
Kajian adat dalam Islam yaitu, urf Dalam hal ini para ahli Ushul
Fiqh mendefinisikan bahwa adat dan urf itu sama. Hanya saja, ada sedikit
perbedaan diantaranya yaitu u‟rf sebagai tindakan atau ucapan yang
dikenal dan dianggap baik serta diterima oleh akal sehat. Setelah melihat
uraian tersebut bisa dikatakan, sederhananya bahwa adat adalah bahasa
Indonesianya u‟rf . Adat atau u‟rf yang telah diterima dan ditetapkan oleh
masyarakat secara umum bisa dikatakan sebagai suatu hukum yang wajib
di lakukan dan dalam Islampun tidak bertentangan serta diharapkan dengan
adanya ini, akan mendukung pembentukan hukum yang baru.
Tradisi pingit pengantin jika dilihat dari kacamata u‟rf, tradisi ini
masuk dalam kategori u‟rf shahih (baik/benar) yaitu 'urf yang saling
diketahui orang, tidak menyalahi dalil syari'at, tidak menghalalkan yang
haram dan tidak membatalkan yang wajib, serta dapat diterima karena
tidak bertentangan dengan syara', 'urf . Tradisi pingit pengantin bisa
dikatakan u‟rf shahih karena dalam tradisi pingitan digunakan untuk
menjaga calon pengantin dan untuk persiapan diri bagi calon pengantin
menuju hari pernikahannya. Dan selama itu tidak membawa mudharat
kepada mereka. Tradsi pingit pengantin dilihat dari tujuannya ini masuk
dalam kategori u‟rf shahih karena tidak menyalahi syari‟at Islam. Seperti
yang terdapat pada Surat Al-Ahzab ayat 33 dijelaskan bahwa wanita dalam
pingitan menunjukan kemulian dan kesucian. Dalam pingitan calon
pengantin juga dianjurkan untuk berpuasa dengan tujuan mendekatkan diri
72
kepada Allah SAW, dengan begitu kedua mempelai berharap dalam
do‟anya agar dilancarkan pernikahannya.
Kepercayaan masyarakat Klalingan tentang musibah yang
didapatnya karena tidak melakukan tradisi pingitan dan mendapatkan
sarap, sawan, dan sambekala (penyakit yang tidak kelihatan) tersebut
masuk dalam katagori 'Urf yang fasid (rusak/jelek) Ialah 'urf yang tidak
baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash qath'iy
(syara‟). Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau
suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena
berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
Masalah puasa yang dilakukan calon pengantin dalam prosesi
pingitan tersebut hukum dalam Islam diperbolehkan dengan catatan
apabila calon pengantin tersebut melakukan puasa dengan niat beribadah
kepada Allah SAW , sedangkan niat puasa itu untuk menghindari musibah
atau kepercayaan lain seperti terhindar dari sawan, sarap dan sambekolo (
penyakit yang tidak kelihatan) dalam Islam tidak diperbolehkan dan masuk
dalam katagori u‟rf yang fasid, karena bertentangan dengan syara‟, sebab
tujuan puasanya untuk menghindari musibah seperti sarap, sawan dan
sambekala, yang jelas kepercayaan tersebut tidak ada dalam Islam.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tradisi pingitan adalah Pingitan adalah proses mempersiapkan diri
mempelai untuk memasuki sebuah dunia yang bernama rumah tangga.
Dipingit adalah istilah yang diterapkan pada calon pengantin agar tidak
kemana-mana maksudnya adalah agar calon pengatin aman dan segar
bugar. Pada dasarnya pingit pengantin itu sama antara daerah satu dengan
daerah yang lain, namun pada pelaksanaannya saja yang berbeda. Tradisi
pingitan ini bertujuan ; Membuat pasangan memiliki rasa rindu yang
menggebu saat di hari pernikahan sehingga mempelai terlihat lebih
romantic, memberikan waktu untuk merenung, menghindari godaan
syetan, menghindari percekcokan, dan menghindari kegagalan dalam
rencana pernikahan.
2. Pendapat ulama‟ dan masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego
Kabupaten Boyolali tentang Tradisi Pingitan Pengantin.
Para ulama‟ desa Klalingan berpendapat bahwa tradisi pingitan
pengantin dalam pernikahan itu boleh dilakukan bahkan menurut mereka
wanita dalam pingitan menunjukkan kemulian dan kesucian dan pingitan
termasuk tradisi yang bagus karena banyak manfaatnya. Islam tidak ada
larangannya dan tidak melanggar syari‟at Islam kalau tradisi pingitan ini
dilakukan dengan tujuan memuliakan wanita.
74
Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali
percaya bahwa apabila tradisi pingitan pengantin itu tidak dilakukan maka
akan dapat musibah yang mereka sebut dengan sebutan sarap, sawan dan
sambekalo (penyakit yang tidak kelihatan), dan bisa cenderung ada banyak
masalah diantara kedua belah pihak seperti hal nya perbedaan pendapat
yang menyebabkan batalnya pernikahan.
3. Pandangan Hukum Islam tentang tradisi Pingitan Pengantin di Desa
Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali.
Menurut hukum islam pingitan diperbolehkan dengan tujuan
menjaga wanita dari mara bahaya seperti menghindarkan dari nafsu-nafsu
kaum pria yang belum bisa mengontrol diri, sedangkan pemikiran
masyarakat mengenai musibah yang disebut oleh orang jawa dengan
sebutan sarap, sawan dan sambekalo (penyakit yang tidak kelihatan),
dalam hukum Islam tidak diperbolehkan, karena termasuk thiyarah yaitu
meramal bernasib sial karena melanggar sesuatu dan keyakinan seperti itu
melenceng dari hukum syar‟i, karena sesungguhnya musibah itu datangnya
dari Allah SAW saja.
Saran
1. Menurut penulis, sebaiknya masyarakat harus bisa menerapkan tujuan
Islam dalam budaya Jawa khususnya dalam tradisi pingitan pengantin
agar mereka tidak salah dalam menilai dan meyakini tradisi tersebut dan
tetap melakukan tradisi tersebut sesuai dengan ajaran syari‟at Islam.
75
2. Bagi para tokoh agama maupun tokoh masyarakat hendaknya lebih giat
lagi dalam memberikan pengetahuan agama terhadap masyarakat yang
masih mempercayai adanya mitos-mitos warisan leluhur, sehingga bisa
menjalankan tradisi warisan leluhur dan tidak terjerumus dalam mistik
yang cenderung sampai tahapan syirik.
3. Para generasi muda yang saat ini bisa mengakses pengetahuan dengan
mudah terbukti dengan banyakanya kualitas pendidikan pada tiap
wilayah, dan banyaknya teknologi canggih yang bisa memberi wawasan
pada aplikasinya yang khususnya pada aplikasi google, sebaiknya
kemudahan itu dimanfaatkan untuk mencari informasi dan meluruskan
pemahaman masyarakat awam tentang budaya khususnya agar
masyarakat tidak salah pengertian dalam pelaksanakan dan tujuan budaya
Jawa khususnya pada tradisi Pingitan penganti.
Budaya di pulau Jawa ini sangat beragam, khususnya pada tradisi
pernikahan di pulau Jawa khususnya pulau Jawa Tengah banyak prosesi
pernikahan yang harus dijalani calon pengantin, seperti halnya tradisi
pingitan pengantin, kepercayaan yang melekat pada masyarakat Jawa pada
umumnya cenderung kearah mistik yang tentunya dalam Islam keyakinan
seperti itu tidak dibolehkan, untuk itu sebaiknya keyakinan yang yang
condong pada harus diluruskan dengan memperbanyak pengetahuan Islam,
agar kita tidak salah kaprah dalam menilai budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia.1990, Undang-Undang Perkawinan Di
Indonesia, Surabaya: Arkola.
Ali, Zainudin. 2006. Hukum Perdata Islam Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika
Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta : Bina Aksara.
Dahlan, Moh.2009. Epistemologi Hukum Islam. Pustaka Pelajar Offset :
Yogyakarta.
Fajri, Em Zul dan Senja, Ratu Aprilia. tt. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia: Difa
Publiser.
Hilman, Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan
Upacara Adatnya, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti
Idem. 1978/1398. Ilmu Ushul al-Fiqih. (Cet, 12: tt: Al-Nash wa Tauzik,)
Idris, Abdul fatah dan Ahmadi, Abu. 1994. Fiqh Islam Lengkap. PT Rineka Cipta:
Jakarta.
Jumantoro, Totok, dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah
Khalil, Hasan rasyad.2009. TARIKH TASYRI‟ (Sejarah Legislasi Hukum
Islam).Sinar Grafika Offset : Jakarta
Khallaf, Abdul Wahab.2005. Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta.
M. Amirin, tantang, 1990. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta : Rajawali Pers.
Meleong, laxy J.,2003. Metode penelitian kualitatif, Bandung : remaja rosdakarya.
Mudjib, Abdul (1999) Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (Cet, 3; Jakarta: Kalam Mulia
Mukhtar, Erna Widodo, 2007. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif,
Yogyakarta: Avyrous
Mustofa dan Wahid, Abdul. 2008. Hukum Islam Kontemporer. Sinar Grafika :
Malang
Sholikhin Muhammad, 2010. Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Yogyakarta :
NARASI
Sabiq, Sayyid.1978. Fikih Sunnah 3. Bandung : PT Alma‟arif.
Tihami, Prof. Dr. HMA dan Sahrani, Drs. Suhari. 2009. Fikih Munakahat Fikih
Nikah Lengkap. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persad.
Winarno, Surachmad.1990. Pengantar Peneliti Ilmiah Dasar Metode Teknik Edisi
VII, Bandung: CV Tarsito
__________________.1985. Peneliti Ilmiah Dasar Metode Tehnik, Bandung :
Tarsito Bandung
http://muthiapriyanti.blogspot.com.2004/04
http://irchamstechno1993.blogspot.com/2012/07/pingitan-pengantin-di-desa-
maduran.html
http://pernikahanadat.blogspot.com/2010/01/pernikahan-adat-betawi.html
http://infopengantin.blogspot.com/2010/03/rangkaian-upacara-adatpengantin-
jawa.html
http://www.Wikipedia.Org/wiki/Budaya/Tradisi.(diakses pada 22 juni 2008),4
Pengantin saat melakukan pemotretan setelah akad nikah berlangsung
Para warga atau tetangga yang datang untuk membatu memasak guna
mempersiapkan hajat besar pengantin (resepsi)
Calon Pengantin wanita dalam masa pingitan yang berhias diri dan betrdiam diri
dirumah
Rombongan pengantin pria yang datang untuk memberikan seserahan berupa satu
set perabotan rumah.