TP 1 Patofisiologi Gangguan Multiorgan Pada DM Revisi

28
Patofisiologi Gangguan Multiorgan pada Diabetes Mellitus TINJAUAN PUSTAKA I PATOFISIOLOGI GANGGUAN MULTIORGAN PADA DIABETES MELLITUS Oleh: Meliana Siswanto Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I Pembimbing: dr. Andi Ade Wijaya, Sp.An (K) DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO 1

description

yeaah

Transcript of TP 1 Patofisiologi Gangguan Multiorgan Pada DM Revisi

Patofisiologi Gangguan Multiorgan pada Diabetes Mellitus

Patofisiologi Gangguan Multiorgan pada Diabetes Mellitus

TINJAUAN PUSTAKA I

PATOFISIOLOGI GANGGUAN MULTIORGAN PADA DIABETES MELLITUS

Oleh:Meliana Siswanto

Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Pembimbing:

dr. Andi Ade Wijaya, Sp.An (K)

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO

JAKARTA

2011

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus merupakan kelainan endokrin yang paling sering ditemui pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi. Dua puluh lima sampai lima puluh persen penderita Diabetes Mellitus akan menjalani operasi.1 Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan insidens dan prevalensi DM di berbagai penjuru dunia.2 Sebagai seorang anestesiologis, Diabetes Mellitus merupakan salah satu kelainan sistemik yang akan sering ditemui pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.2 Dalam perjalanan penyakitnya, Diabetes Mellitus dapat menyebabkan beberapa kelainan baik secara akut maupun dalam jangka waktu yang cukup lama dan mencakup beberapa organ sehingga dapat timbul kelainan metabolik maupun gangguan multiorgan yang cukup berbahaya pada penderita diabetes yang akan menjalani operasi.3

Manajemen perioperatif pasien Diabetes Mellitus akan mempengaruhi kondisi pasien selama dan setelah operasi berlangsung. Penilaian preoperatif akan adanya gangguan multiorgan pada pasien Diabetes Mellitus akan mempermudah anestesiologis untuk memperkirakan adanya kesulitan-kesulitan yang dapat timbul selama operasi berlangsung, maupun manajemen anestesia intraoperatif sehingga pasien dapat berada dalam kondisi yang optimal selama intra dan postoperatif. Oleh karena itu, penatalaksanaan Diabetes Mellitus perioperatif akan lebih mudah jika kita mengetahui patofisiologi gangguan multiorgan yang dapat timbul pada Diabetes Mellitus.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Klasifikasi Diabetes MellitusBerdasarkan etiologinya, Diabetes Mellitus diklasifikasikan menjadi :

Diabetes Mellitus tipe 1

Diabetes Mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe lain

Diabetes Mellitus GestasionalDiabetes Mellitus tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas. Pada 95% kasus Diabetes Mellitus tipe 1, kerusakan sel beta pankreas disebabkan oleh proses autoimun, sedangkan 5% sisanya bersifat idiopatik.4 Akibat kerusakan sel beta pankreas ini, terjadi defisiensi insulin absolut sehingga pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 1 lebih rentan terhadap ketoasidosis dan memerlukan terapi insulin pengganti (insulin replacement therapy).4,5 Diabetes Mellitus tipe ini pada umumnya terjadi pada individu dibawah usia 30 tahun, sehingga disebut juga dengan juvenile-onset diabetes.6Bentuk Diabetes Mellitus yang lebih sering dijumpai ialah Diabetes Mellitus tipe 2, yang merupakan kelainan heterogen berkaitan dengan kelainan pada fungsi sel beta pankreas, sehingga menyebabkan terjadinya resistensi insulin.4 Pada Diabetes Mellitus tipe ini terdapat defisiensi insulin relatif, sehingga penderita tidak tergantung pada suplai insulin eksogen. Pelepasan insulin dapat normal atau bahkan meningkat, namun organ targetnya mengalami penurunan sensitivitas terhadap insulin.7 Sebagian besar Diabetes mellitus tipe ini berkaitan dengan obesitas dan pada umumnya terjadi di atas usia 40 tahun. Diabetes Mellitus tipe ini dapat diterapi dengan diet, obat oral ataupun dengan insulin.6Selain itu terdapat Diabetes Mellitus tipe lain yang dapat disebabkan oleh kelainan yang menyebabkan kerusakan pankreas (seperti pankreatitis) sehingga sekresi insulin terganggu, atau peningkatan hormon-hormon counter-regulasi (misalnya sindrom Cushing).6Diabetes Mellitus gestasional terjadi pada 4% wanita hamil dan cenderung mengalami perbaikan setelah partus. Diabetes Mellitus gestasional pada umumnya timbul pada kehamilan trimester kedua dan dipresipitasi oleh kadar hormon-hormon yang meningkat, seperti chorionic somatomammotropin, progesteron, kortisol dan prolaktin, yang memiliki efek counterregulasi anti-insulin.6II. Patofisiologi Gangguan Multiorgan pada Diabetes Mellitus

II.1. Komplikasi AkutKomplikasi akut Diabetes Mellitus merupakan hasil langsung abnormalitas dari kadar glukosa plasma, yaitu berupa keadaan hipoglikemia atau hiperglikemia. Hipoglikemia terjadi akibat ketidakseimbangan antara terapi diabetes mellitus (baik berupa insulin atau agen hipoglikemik oral) dan intake makanan pasien atau aktivitas fisik pasien.8 Hiperglikemia, sebagai tanda utama dari Diabetes Mellitus, terjadi akibat penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel disertai peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati. Pengeluaran glukosa oleh hati meningkat karena proses-proses yang menghasilkan glukosa, yaitu glikogenolisis dan glukoneogenesis berlangsung tanpa hambatan karena tidak adanya insulin. Karena sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin, terjadi kelebihan glukosa ekstrasel, sementara terjadi defisiensi glukosa intrasel.9 Gejala awal hiperglikemia ialah polidipsia (rasa haus berlebihan), poliuria, fatigue, dan penglihatan kabur. Jika tidak dikoreksi, keadaan hiperglikemia dapat berlanjut menjadi ketoasidosis diabetik atau sindrom hiperglikemik hiperosmolar non ketotik. Pada beberapa keadaan, gejala-gejala ketoasidosis diabetik dan hiperglikemik hiperosmolar non ketotik dapat timbul secara bersamaan.8 II.1.1. Hipoglikemia

Hipoglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah 250 mg/dl) dan ketosis (terdapatnya badan keton baik di urine ataupun di darah). Defisiensi insulin absolut atau relatif ini juga diikuti oleh peningkatan hormon-hormon counter-regulasi (seperti glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan kortisol), yang menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh hati (glukoneogenesis) dan katabolisme lemak (lipolisis). Lipolisis menghasilkan substrat untuk produksi badan keton oleh hati. Produksi badan keton ini menyebabkan terjadinya asidosis dan peningkatan anion gap, yang hampir selalu terjadi pada ketoasidosis diabetik.8Defisiensi insulin akut yang mempengaruhi metabolisme glukosa menyebabkan terjadinya kondiusi hiperglikemia. Akumulasi glukosa ekstraseluler ini menyebabkan terjadinya kondisi hiperosmolaritas.7 Ketika kadar glukosa darah meninggi ke tingkat pada saat jumlah glukosa yang difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi, glukosa akan dieksresikan di urine (glukosuria). Adanya glukosa di urine ini akan menimbulkan efek osmotik yang menarik air bersamanya, sehingga menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria dan ekskresi Na+ serta K+ melalui ginjal. Poliuria ini menyebabkan cairan keluar berlebihan dari tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer. Selain itu juga timbul rasa haus berlebihan (polidipsia) yang sebenarnya merupakan mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi. Kegagalan sirkulasi apabila tidak diperbaiki dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian, atau menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat. Penurunan aliran darah ke ginjal juga menyebabkan ekskresi glukosa melalui ginjal berkurang, sehingga semakin memperberat kondisi hiperglikemia tersebut. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik. Sel-sel otak sangat peka terhadap keadaan ini, sehingga dapat timbul gangguan fungsi sistem saraf.7,9Selain itu akibat terjadinya defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan berlebihan). Akan tetapi walaupun terjadi peningkatan pemasukan makanan, berat tubuh menurun secara progresif akibat efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak dan protein. Dalam metabolisme protein, defisiensi insulin menyebabkan terjadinya pergeseran ke arah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot, bersamaan dengan abnormalitas kadar elektrolit, menyebabkan otot rangka melemah dan mengecil sehingga terjadi penurunan berat badan, dan pada anak, terjadi hambatan pertumbuhan secara keseluruhan. Peningkatan penguraian protein ini menyebabkan peningkatan kadar asam amino dalam sirkulasi darah, yang selanjutnya dapat digunakan untuk glukoneogenesis dan memperparah kondisi hiperglikemia yang telah terjadi.4,7,9Dalam metabolisme lemak, defisiensi insulin menyebabkan peningkatan lipolisis, sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak dalam darah yang sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif. Peningkatan penggunaan lemak oleh hati ini menyebabkan pengeluaran berlebihan badan keton (asam asetoasetat, Beta hidroksibutirat, dan aseton) ke dalam darah. Di samping itu, terjadinya peningkatan kadar hormon-homron counter-regulasi seperti glukagon, epinefrin dan kortisol juga menyebabkan peningkatan produksi badan keton. Akumulasi badan-badan keton ini menyebabkan terjadinya asidosis metabolik progresif. Sebagai kompensasi terhadap asidosis metabolik, terjadi peningkatan ventilasi untuk meningkatkan pengeluaran CO2 pembentuk asam. (pernapasan Kussmaul). Ekshalasi salah satu badan keton, yaitu aseton, menyebabkan napas penderita yang mengalami ketoasidosis diabetikum berbau seperti buah. Kondisi asidosis, kelainan kadar elektrolit dan dehidrasi yang terjadi selanjutnya dapat mengganggu fungsi sel saraf, menekan fungsi otak dan dapat menimbulkan terjadinya koma diabetikum dan kematian. 4,7,9

Gambar 1. Patofisiologi Komplikasi Akut Diabetes Mellitus7II.1.3. Hiperglikemik, Hiperosmolar Non Ketotik

Hiperglikemik hiperosmolar non ketotik, seperti ketoasidosis diabetik, menunjukkan kelainan metabolik berupa hiperglikemia akibat defisiensi insulin. Hiperglikemik hiperosmolar non ketotik ditandai oleh hiperglikemia (kadar glukosa > 600 mg/dl), hiperosmolaritas (serum > 320 mOsm/L) dan dehidrasi tanpa disertai oleh ketosis.10 Sindrom ini pada umumnya terjadi pada pasien-pasien usia tua dengan atau tanpa riwayat Diabetes Mellitus tipe 2 dan hampir selalu terkait dengan dehidrasi berat. Poliuria dan polidipsia timbul beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum sindrom tersebut muncul.8 Sama seperti ketoasidosis diabetik, sindrom ini terjadi saat terdapat defisiensi insulin relatif terhadap kebutuhan insulin. Defisiensi insulin ini menyebabkan penurunan penggunaan glukosa oleh otot, lemak dan hati, serta menginduksi hiperglukagonemia dan meningkatkan output glukosa oleh hati sehingga timbul keadaan hiperglikemia yang diikuti oleh glukosuria dan diuresis osmotik serta hilangnya cairan dalam jumlah yang cukup banyak. Adanya insulin dalam sirkulasi darah, walaupun dalam jumlah yang kecil, dapat mencegah lipolisis dari cadangan lemak, sehingga tidak terjadi ketosis dan asidosis metabolik. Oleh karena itu, walaupun perbandingan insulin dan glukagon yang rendah memicu terjadinya ketogenesis di hati, jumlah prekursor asam lemak bebas yang terbatas dari jaringan perifer membatasi produksi badan keton. Jika pasien tidak dapat mempertahankan intake cairan yang adekuat akibat adanya kelainan akut atau kronik, dapat terjadi dehidrasi yang cukup bermakna, sehingga volume plasma akan berkurang, dan akibatnya terjadi insufisiensi ginjal yang selanjutnya membatasi ekskresi glukosa melalui ginjal. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa dan osmolalitas serum.4 Saat osmolalitas serum meningkat melebihi 320-330 mosm/kg, terjadi dehidrasi seluler, termasuk dalam sel-sel neuron otak, sehingga dapat menyebakan terjadinya syok, koma dan bahkan kematian.4,8II.1.4. Asidosis LaktatAsam laktat merupakan hasil akhir dari metabolisme glukosa. Secara normal, sumber utama asam laktat ini ialah eritrosit, otot rangka, dan otak. Asam laktat akan diuptake oleh hati untuk dikonversi menjadi piruvat dan akhirnya kembali menjadi glukosa dalam proses yang memerlukan oksigen. Asidosis laktat terjadi saat asam laktat yang berlebih terakumulasi di dalam darah. Hal ini dapat merupakan akibat dari produksi asam laktat yang berlebih (akibat hipoksia jaringan), menurunnya metabolisme asam laktat oleh hati, atau keduanya, misalnya pada kegagalan sirkulasi).4 Asidosis laktat sering dijumpai pada pasien-pasien yang sakit berat dengan diabetes mellitus Pasien-pasien ini seringkali resisten terhadap insulin akibat penyakit penyerta yang sangat berat. Asidosis laktat ditandai dengan adanya asidosis dan anion gap lebih dari 15 mEq/L, akan tetapi tanpa disertai dengan peningkatan kadar keton dalam plasma. Peningkatan kadar laktat plasma (> 5 mmol/L) perlu dipertimbangkan, terutama jika tidak ditemukan penyebab asidosis lain seperti uremia.8 Kondisi ini perlu dipertimbangkan terutama pada pasien diabetes dengan asidosis, terutama jika pasien tersebut mendapat terapi metformin.4 II.2. Komplikasi kronikDalam perjalanan penyakitnya, Diabetes Mellitus dapat menyebabkan terjadinya beberapa perubahan patologis sehingga terjadi kerusakan dan disfungsi pada sistem multiorgan. Kelainan metabolik akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dalam jangka waktu lama akan menyebabkan terjadinya beberapa perubahan ireversibel pada beberapa organ akibat kondisi hiperglikemia yang ditimbulkan. Kelainan vaskuler merupakan penyebab utama dari gangguan multiorgan ini. Kelainan vaskuler pada penderita Diabetes Mellitus dapat digolongkan menjadi dua, yaitu kelainan mikrovaskuler (retinopati, nefropati) dan makrovaskuler (kelainan arteri koroner, kelainan vaskuler perifer). 4,6,11Komplikasi mikrovaskuler seringkali dihubungkan dengan peningkatan kadar glukosa darah, namun patogenesis kelainan mikrovaskuler akibat diabetes ini masih belum dimengerti. Pada penderita diabetes, ditemukan penebalan membran basal pembuluh darah kecil dan di dalamnya terjadi peningkatan kadar kolagen dan penurunan kadar proteoglikan.6

Salah satu mekanisme biokimia yang diperkirakan berperan dalam patogenesis kelainan mikrovaskuler pada diabetes ialah pembentukan glycated protein ireversibel yang disebut advanced glycosylation end products (AGE). Apabila terdapat dalam konsentrasi tinggi, glukosa dapat bereaksi secara non enzimatis dengan grup amino bebas dari protein untuk membentuk senyawa intermediet yang tidak stabil, yaitu basa Schiff, dan selanjutnya mengalami konformasi internal membentuk glycated protein yang stabil, yang dikenal dengan produk glikosilasi awal (produk Amadori). Reaksi tersebut berperan dalam pembentukan HbA yang terglikosilasi, yang dikenal dengan HbA1c. Pada penderita diabetes, peningkatan glukosa darah memicu peningkatan glikosilasi HbA dalam sel darah merah. Produk glikosilasi awal ini dapat mengalami beberapa reaksi kimia dan penyusunan ulang sehingga membentuk AGE. AGE dapat terikat dengan komponen matriks membran basal. Pada penderita diabetes, baik pembuluh darah besar maupun kecil menunjukkan akumulasi protein plasma secara kontinu. Hal ini diperkirakan akibat akumulasi AGE atau akibat efek akumulasi AGE yang mengikat protein plasma normal lainnya, seperti LDL. Di samping itu, pengikatan AGE dengan reseptor spesifik di makrofag menyebabkan pelepasan sitokin yang selanjutnya mempengaruhi proliferasi dan fungsi sel-sel vaskuler. Reseptor AGE juga terdapat pada sel-sel endotel.6Senyawa AGE ini akan mengikat reseptor-reseptor yang ada di membran sel sehingga memicu deposisi kolagen di membran basal pembuluh darah. Pembentukan jaringan konektif sebagian besar distimulasi oleh TGF (Transforming Growth Factor). Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membran basal dengan permeabilitas yang menurun dan penyempitan lumen pembuluh darah kecil (mikroangiopati).7 Penebalan membran basal selanjutnya terkait dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah terhadap cairan dan protein.11 Mikroangiopati ini terjadi di retina, ginjal, kulit dan otot skelet. Di retina, mikroangiopati dapat menyebabkan retinopati yang dapat menyebabkan kebutaan. Selain itu, perubahan ini juga terjadi di ginjal sehingga terjadi glomerulosklerosis (Kimmelstiel-Wilson) yang dapat menyebabkan proteinuria, penurunan kecepatan filtrasi glomerulus akibat kerusakan glomeruli, hipertensi dan gagal ginjal.7Jalur biokimia lain yang telah dipelajari pada sel saraf penderita diabetes, dan juga terdapat pada sel endotel ialah jalur polyol. Sebagian besar sel mengandung aldose reduktase, enzim yang mengubah aldoheksose seperti glukosa menjadi sorbitol (jalur polyol). Dalam kondisi kadar glukosa darah yang tinggi, subtrat enzim aldose reduktase akan meningkat. Sorbitol yang diproduksi ini tidak dapat melewati membran sel, sehingga konsentrasinya di dalam sel meningkat. Akumulasi sorbitol yang bersifat osmotik aktif dan non-difus akan menyebabkan akumulasi air di dalam sel sehingga sel menjadi membengkak dan mati. Lensa mata dan sel saraf rentan terhadap efek ini karena glukosa dapat melewati sel-sel ini meskipun kadar insulin rendah. Akumulasi sorbitol di lensa mata akan menyebabkan akumulasi air sehingga mengganggu transparansi lensa mata dan menyebabkan timbulnya katarak. Akumulasi sorbitol di sel Schwann dan neuron akan mengurangi konduksi saraf (polineuropati). Hal ini mempengaruhi baik sistem saraf otonom, refleks maupun fungsi sensorik. Untuk menghindari pembengkakan lebih lanjut, sel berkompensasi dengan mengeluarkan myoinositol, sehingga kadar myoinositol intraseluler akan menurun.6,7,11 Hiperglikemia juga berperan secara langsung menurunkan kadar myoinositol intraseluler dengan menghambat uptake myoinositol. Penurunan kadar myoinositol selanjutnya akan mengubah metabolisme inositol fosfat sehingga akan menurunkan aktivitas Na+-K+-ATPase yang dimediasi oleh protein kinase C. Pada sel-sel saraf, efek ini berperan pada penurunan konduksi saraf, sedangkan efek pada pembuluh darah belum diketahui.6

Kelainan makrovaskuler pada Diabetes Mellitus pada prinsipnya merupakan bentuk aterosklerosis yang dipercepat. Hal ini berperan pada terjadinya peningkatan insidens infark miokard, stroke dan gangren diabetik pada penderita diabetes.4,6 Jika dibandingkan dengan aterosklerosis pada populasi umum, penyebab pasti aterosklerosis yang dipercepat pada penderita diabetes masih belum diketahui. Kelainan pada dinding pembuluh darah, trombosit dan faktor pembekuan darah lainnya, sel darah merah, dan metabolisme lipid telah diperkirakan berperan pada proses tersebut. Di samping itu juga terdapat beberapa faktor resiko lain seperti merokok dan hipertensi yang juga penting dalam menentukan perjalanan penyakit tersebut.4

Diabetes Mellitus sendiri diperkirakan menjadi salah satu faktor resiko independen aterosklerosis. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

Pada Diabetes Mellitus, terjadi perubahan komposisi lipoprotein menjadi lebih aterogenik (peningkatan kadar LDL, peningkatan Lp(a), peningkatan oksidasi dan glikosilasi lipoprotein).6 Terjadinya keadaan prokoagulan relatif pada Diabetes Mellitus, termasuk peningkatan kadar beberapa faktor-faktor pembekuan dan agregasi trombosit.6 Hiperglikemia memicu peningkatan pembentukan protein-protein plasma seperti fibrinogen, haptoglobin, 2-makroglobulin, dan faktor-faktor pembekuan V-VII. Hal ini menyebabkan viskositas darah dan tendensi pembekuan darah meningkat, sehingga resiko thrombosis juga meningkat.7 Perubahan proaterogenik pada dinding pembuluh darah yang disebabkan baik oleh efek langsung hiperinsulinemia pada Diabetes Mellitus tipe 2 atau oleh pemberian insulin eksogen pada Diabetes Mellitus tipe 1. Perubahan-perubahan ini antara lain ialah peningkatan proliferasi otot polos , perubahan tonus vasomotor, dan peningkatan pembentukan foam cell, sel-sel yang mengandung kolesterol yang menyebabkan timbulnya lesi aterogenik.6 Perubahan proaterogenik pada dinding pembuluh darah sebagai efek langsung dari keadaan hiperglikemia itu sendiri. Keadaan hiperglikemia akan emmicu deposisi protein yang terglikosilasi seperti yang terjadi pada mikrovaskuler.6Seperti telah dijelaskan di atas, dalam kondisi hiperglikemia, konsentrasi HbA1c meningkat di dalam darah. HbA1c mempunyai afinitas oksigen yang lebih tinggi dibandingkan dengan HbA dan melepaskan oksigen di jaringan perifer lebih sedikit dibandingkan HbA. Di samping itu, defisiensi insulin yang menetap selanjutnya dapat menyebabkan penurunan konsentrasi 2,3-bifosfogliserat (BPG) yang bertindak sebagai regulator alosterik hemoglobin. Akibat penurunan konsentrasi 2,3-BPG ini terjadi penurunan afinitas eritrosit terhadap oksigen.7Pada kondisi defisiensi insulin, sel-sel yang tidak mengambil glukosa dalam jumlah yang cukup akan mengkerut akibat terjadinya hiperosmolaritas ekstrasel. Hal ini juga mengganggu fungsi limfosit yang penting untuk sistem pertahanan tubuh. Oleh karena itu pasien dengan diabetes mellitus lebih rentan terhadap infeksi, misalnya infeksi pada kulit atau ginjal (pyelonefritis). Infeksi ini selanjutnya akan meningkatkan kebutuhan insulin karena infeksi juga menyebabkan peningkatan pelepasan hormon-hormon antagonis insulin.7

Gambar 2. Patofisiologi Komplikasi Kronik Diabetes Mellitus7III. Pertimbangan Anestesia pada Diabetes Mellitus dengan Gangguan Multiorgan

Pada pasien Diabetes Mellitus yang akan menjalani operasi, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan beban operasi itu sendiri maupun adanya gangguan multiorgan yang mungkin terdapat pada pasien tersebut. Respons stress dari beban operasi itu sendiri dapat menyebabkan timbulnya kondisi hiperglikemia.3 Beban operasi akan menimbulkan respons dari tubuh berupa peningkatan tonus simpatis, kadar hormon-hormon hipofisis (seperti kortikotropin dan hormon pertumbuhan), interleukin-1, dan peningkatan kadar plasma norepinefrin dan epinefrin. Epinefrin dan norepinefrin akan menstimulasi glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati serta menghambat uptake glukosa oleh jaringan yang bergantung pada insulin. Pengikatan reseptor dan oleh katekolaminn tersebut juga mempengaruhi metabolisme glukosa. Pada saat intraoperatif dan postoperatif, efek stimulasi reseptor lebih dominan, sehingga menyebabkan supresi sekresi insulin. Adanya penurunan kadar insulin plasma ini bersamaan dengan peningkatan glukoneogenesis dan resistensi insulin akan menyebabkan terjadinya kondisi hiperglikemia dan intoleransi glukosa. Respons tubuh terhadap beban operasi ini bersamaan dengan keadaan pasien yang menjalani puasa preoperatif menyebabkan pasien Diabetes Mellitus lebih rentan terhadap terjadinya hiperglikemia, hipovolemia, osmotik diuresis, ketosis dan perubahan keseimbangan asam-basa tubuh.12 Oleh karena itu pada saat penilaian preoperatif perlu dilakukan evaluasi mengenai adanya riwayat Diabetes Mellitus pada pasien, pengobatan yang telah dan sedang dijalani, adekuat atau tidaknya kontrol kadar glukosa darah, riwayat respon terhadap operasi dan anestesi sebelumnya serta evaluasi kadar glukosa darah dan keadaan metabolik pasien sehingga dapat dilakukan optimalisasi kondisi pasien sebelum dilakukan operasi. Penjadwalan operasi pada pagi hari juga dapat mencegah terjadinya kondisi katabolik dan meminimalisasi resiko hipoglikemia preoperatif.13Sebelum operasi, pasien Diabetes Mellitus harus dalam keadaan kontrol metabolik yang baik. Jika kadar glukosa darah pasien tidak stabil, khususnya jika pernah mengalami hipoglikemia, maka perlu penyesuaian terapi insulin. Pada umumnya, obat antihipoglikemik oral dihentikan 24-48 jam sebelum operasi berlangsung karena adanya resiko hipoglikemia pada pasien yang menjalankan puasa sebelum operasi.3 Akan tetapi, pada obat anti hipoglikemik oral kerja singkat, hal ini tidak perlu dilakukan, karena resiko hipoglikemia lebih rendah pada penggunaan obat anti hipoglikemik oral jenis ini. Metformin harus dihentikan sebelum operasi karena penggunaan metformin terkait dengan asidosis laktat yang berat bila terjadi hipotensi, perfusi yang buruk atau hipoksia. Pasien diabetes dengan ketoasidosis diabetik atau koma hiperosmolar harus diberikan terapi intensif terlebih dahulu sebelum dilakukan operasi kecuali pada operasi emergensi.1Selain itu pada penilaian preoperatif pasien dengan Diabetes Mellitus, juga perlu dinilai ada atau tidaknya komplikasi pada berbagai organ baik melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang seperti EKG, kadar glukosa darah, kadar kreatinin darah dan urinalisis.1 Adanya gangguan multiorgan sebagai komplikasi kronik Diabetes Mellitus yang ditemui pada penilaian preoperatif harus dioptimalisasi sebelum prosedur operasi dilakukan. Begitu juga dengan komplikasi akut hiperglikemia perlu ditatalaksana sebelum operasi dilakukan.3,13Aterosklerosis terjadi lebih dini pada penderita Diabetes Mellitus dibandingkan pasien yang tidak memiliki Diabetes Mellitus. Manifestasi aterosklerosis termasuk kelainan arteri koroner, kelainan pembuluh darah perifer, kelainan serebrovaskuler dan renovaskuler. Insidens infark miokard post operasi dan komplikasinya meningkat pada penderita Diabetes Mellitus.1,13 Penderita Diabetes Mellitus lebih rentan terhadap terjadinya iskemia miokard yang tidak bergejala (silent ischemia myocard) dan ketidakstabilan kardiovaskuler.13 Hiperglikemia akut dan kronik dapat meningkatkan resiko iskemia miokard akibat terjadinya penurunan aliran darah koroner, kemampuan vasodilatasi koroner, gangguan mikrosirkulasi koroner dan terjadinya disfungsi endotel.3 Oleh karena itu pada evaluasi preoperatif perlu dilakukan pemeriksaan EKG dan dianalisa kecepatan, ritme, ada atau tidaknya hipertrofi atrium atau ventrikel, dan tanda-tanda adanya infark miokard yang lama. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan rontgen toraks untuk melihat gambaran paru, ukuran dan posisi jantung serta pembuluh-pembuluh darah besar, derajat kalsifikasi vertebra, serta menilai ada atau tidaknya cairan di rongga dada.12

Pada evaluasi preoperatif sistem muskuloskeletal penderita Diabetes Mellitus, sebaiknya dinilai ada atau tidaknya keterbatasan mobilitas leher yang dapat menyebabkan terjadinya kesulitan laringoskopi dan intubasi.3 Pada penderita Diabetes Mellitus juvenil ditemukan hampir sebanyak 40% kesulitan laringoskopi. Hal ini disebabkan karena pada penderita Diabetes Mellitus dapat terjadi sindrom kekakuan sendi (diabetic stiff joint syndrome) yang mempengaruhi semua sendi-sendi termasuk sendi-sendi pada vertebra servikal dan torakal, sehingga terjadi penurunan mobilitas sendi atlanto-oksipital. Selain evaluasi mobilitas sendi-sendi pada leher, salah satu prediktor sindrom ini ialah adanya prayer sign yaitu ketidakmampuan untuk menyatukan permukaan palmar dari sendi-sendi interfalang.1,12Nefropati diabetikum terjadi pada 40-50% penderita Diabetes Mellitus. Albuminuria pada umumnya menunjukkan penurunan fungsi ginjal.1 Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan BUN (blood urea nitrogen) dapat membantu memperoleh informasi mengenai status hidrasi dan fungsi ginjal. Selain itu juga perlu dinilai kadar elektrolit untuk memperoleh informasi mengenai kondisi metabolik pasien.12 Apabila pada penilaian preoperatif ditemukan adanya nefropati dibetikum, maka perlu diperhatikan status hidrasi pasien, menghindari penggunaan obat-obatan yang nefrotoksik serta menjaga aliran darah ginjal tetap adekuat sebelum dan intraoperatif.3 Infeksi saluran kemih juga sering dijumpai pada penderita Diabetes Mellitus, sehingga pemeriksaan urinalisis dapat membantu memperoleh informasi tentang ada atau tidaknya infeksi, badan keton, protein dan sedimen.12Pasien Diabetes Mellitus juga perlu dinilai adanya neuropati diabetik. Pada pasien dengan neuropati diabetik atau kelainan vaskuler perifer, dapat sudah terjadi iskemia pada saraf perifer, sehingga pasien-pasien ini lebih rentan terhadap trauma akibat tekanan atau regangan. Oleh karena itu pada pasien-pasien ini perlu diperhatikan posisi pasien di kamar operasi untuk mencegah trauma saraf perifer pada pasien.1 Pada pasien dengan neuropati diabetik, kebutuhan anestesi lokal lebih rendah. Kombinasi anestesi lokal dan epinefrin juga dapat meningkatkan resiko iskemia sarag perifer pada pasien ini.13Pasien diabetes dengan neuropati otonom memiliki peningkatan resiko terjadinya hipotensi intraoperatif, painless myocardial ischemia, meningkatnya penggunaan vasopresor dan henti jantung dan napas perioperatif. Fungsi otonom dapat dievaluasi dengan mengukur variasi denyut jantung selama pernapasan, respons denyut jantung pada manuver Valsava dan perubahan orthostatik pada tekanan darah diastolik dan denyut jantung. Neuropati otonom juga merupakan predisposisi terjadinya hipotermia intraoperatif. Neuropati otonom juga menyebabkan gastroparesis sehingga pengosongan lambung lebih lambat pada penderita Diabetes Mellitus dan dapat meningkatkan resiko aspirasi. Dalam hal ini dapat digunakan metoklopramid untuk membantu pengosongan makanan padat dari lambung.1,3,13,14 Pasien diabetes dengan neuropati otonom yang signifikan memberikan respons pernafasan yang tidak adekuat terhadap kondisi hipoksia dan lebih rentan terhadap penggunaan obat-obatan yang memiliki efek depresan. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring jantung dan pernafasan secara kontinu dan cermat selama 24-72 jam postoperatif.13,14BAB III

KESIMPULAN1. Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.2. Diabetes Mellitus diklasifikasikan menjadi Diabetes Mellitus tipe 1, Diabetes Mellitus tipe 2, Diabetes Mellitus tipe lain dan Diabetes Mellitus gestasional.3. Diabetes Mellitus dapat menyebabkan timbulnya komplikasi akut maupun kronik. Komplikasi akut merupakan hasil langsung abnormalitas dari kadar glukosa plasma, berupa hipoglikemia atau hiperglikemia. Hipoglikemia terjadi akibat ketidakseimbangan antara terapi diabetes mellitus dan intake makanan pasien atau aktivitas fisik pasien. Sebaliknya kondisi hiperglikemia dapat berlanjut menjadi ketoasidosis diabetik atau hiperglikemik hiperosmolar non ketotik.

4. Kelainan metabolik akibat Diabetes Mellitus dalam jangka waktu lama akan menyebabkan terjadinya perubahan ireversibel pada beberapa organ. Gangguan multiorgan ini terutama disebabkan oleh adanya kelainan vaskuler yang berupa mikroangiopati dan makroangiopati.

5. Pertimbangan anestesia pada pasien Diabetes Mellitus mencakup evaluasi preoperatif mengenai adanya gangguan multiorgan yang menyertai Diabetes Mellitus dan optimalisasi kadar glukosa darah serta kondisi metabolik pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz JJ, Rosenbaum SH. Anesthesia and the endocrine system. Barash, PG, Cullen BF, Stoelting RK, editor. Clinical anesthesia. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h.1144-8. 2. Perkeni. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia 2006. Jakarta : Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI; 2006. h.3-7.

3. Wall RT. Endocrine disease. Hines RL, Marschall KE, editor. Stoeltings anesthesia and co-existing disease. Edisi ke-5. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2008. h.365-78.

4. Gardner DG, Shoback D. Greenspans basic & clinical endocrinology. Edisi ke-8. San Francisco: McGraw-Hill; 2007. 5. Watkins PJ. ABC of diabetes. Edisi ke-5. London: BMJ Books; 2003. h. 37-46.

6. Feingold KR, Funk JL. Disorders of the endocrine pancreas. McPhee SJ, Lingappa VR, Ganong WF, Lange JD. Pathophysiology of disease, an introduction. Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill; 2006. h.439- 54.7. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. Edisi ke-3. New York: Thieme; 2000. h.286-91.

8. Jones RE, Clement S. Diabetes mellitus. McDermott MT, editor. Endocrine secrets. Edisi ke-4. New York: Elsevier; 2007.

9. Sherwood L. Human physiology: from cells to system. Edisi ke-2. Virginia: West; 1996. 10. Wyckoff J, Abrahamson MJ. Diabetic ketoacidosis and hyperosmolar hyperglycemic state. Kahn CR, Weir GC, King GL, Moses AC, Smith RJ, Jacobson AM, editor. Joslins diabetes mellitus. Edisi ke-14. Boston: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.

11. Chandrasoma P, Taylor CR. Concise pathology. Edisi ke-2. Connecticut: Appleton & Lange; 1995. h.669-77.12. John AD, Sieber FE. Evaluation of the patients with endocrine disease or diabetes mellitus. Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM, editor. Anesthesiology. Edisi ke-1. New York: McGraw-Hill; 2008. h. 173-93.13. Roizen MF, Fleisher LA. Anesthetic implication of concurrent diseases. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener-Kronish JP, Young WL, editor. Millers anesthesia. Edisi ke-7. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2010. h.1067-150. 14. Roizen MF, Enany NM. Diseases of the endocrine system. Fleisher LA, editor. Fleisher: anesthesia and uncommon diseases. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. 15