TINJAUAN YURIDIS PENGAKUAN UTANG DALAM PERJANJIAN …
Transcript of TINJAUAN YURIDIS PENGAKUAN UTANG DALAM PERJANJIAN …
TINJAUAN YURIDIS PENGAKUAN UTANG DALAM
PERJANJIAN KREDIT TANPA AGUNAN
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ROSTANOP SURYA MAULANA
NIM : 11150480000185
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
i
TINJAUAN YURIDIS PENGAKUAN UTANG DALAM PERJANJIAN
KREDIT TANPA AGUNAN
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ROSTANOP SURYA MAULANA
NIM : 11150480000185
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
ii
TINJAUAN YURIDIS PENGAKUAN UTANG DALAM
PERJANJIAN KREDIT TANPA AGUNAN
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Rostanop Surya Maulana
NIM:11150480000185
Pembimbing:
Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.NIP. 19670203 201411 1 001
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS PENGAKUAN UTANG DALAM
PERJANJIAN KREDIT TANPA AGUNAN (Analisis Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1664 K/Pdt/2014)” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 18 Juli 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada
Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, Juli 2019
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.
NIP. 19760807 200312 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( .................)
NIP. 19670203 201411 1 001
2. Sekretaris : Dr. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. ( .................)
NIP.19650908 199503 1 001
3. Pembimbing : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. ( .................)NIP. 19670203 201411 1 001
4. Penguji I : Dr. Nahrowi, S.H., M.H. ( .................)
NIP. 197302151999031002
5. Penguji II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. ( .................)
NIP. -
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini plagiat, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Juli 2019
Rostanop Surya Maulana
v
ABSTRAK
Rostanop Surya Maulana. NIM 11150480000185. TINJAUANYURIDIS PENGAKUAN UTANG DALAM PERJANJIAN KREDITTANPA AGUNAN (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1664K/Pdt/2014). Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, FakultasSyariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Studi ini dilakukan untuk menjelaskan dari segi hukum mengenaipengakuan utang dari debitur dalam perjanjian pembiayaan konsumen di PT.Adira Dinamika Multi Finance, yang menyatakan debitur melakukan wanprestasiterhadap kreditur dari perjanjian kredit tanpa agunan. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui pertimbangan hakim dalam penyelesaian kasus debiturwanprestasi pada perjanjian kredit tanpa agunan antara PT. Adira Dinamika MultiFinance dengan Daniel Sahertina. Mengenai Perjanjian pembiayaan yangdisepakati dan dibuat kedua belah pihak telah melahirkan adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, namun debitur tidakmemenuhi kewajibannya seperti dalam perjanjian berdasarkan fakta yangdiuraikan di pengadilan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Undang-Undang, atau disebutjuga dengan (Statute Approach), pendekatan dengan memandang hukum sebagaisebuah aturan yang dilakukan melalui semua peraturan perundang-undangan yangbersangkutan dengan isu hukum yang terjadi, dan juga menggunakan pendekatankasus (Case Approach) yang memberikan sudut pandang analisa mengenaipenerapan-penerapan dari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalampraktek hukum. Pada kasus debitur yang melakukan wanprestasi pada perjanjiankredit tanpa agunan di PT. Adira Dinamika Multi Finance, peneliti melakukananalisa hukum terhadap pertimbangan hakim untuk memutus perkara yangdidasarkan pada putusan yang dilakukan oleh hakim sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena seperti yang terdapat dalam adagium hukumyang berbunyi de rechter is bounche de la loi artinya hakim harus menyuarakanapa yang diinginkan oleh undang-undang.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Putusan Mahkamah AgungNomor 1664 K/Pdt/2014 yaitu kasus antara PT. Adira Dinamika Multi Financesebagai kreditur (Termohon Kasasi/Penggugat) melawan Daniel Sahertina sebagaidebitur (Pemohon Kasasi/Tergugat). Apabila terjadi kelalaian dalam perjanjiankredit dalam pembiayaan konsumen merupakan tanggung jawab kreditur dandebitur dalam pelaksanaan perjanjian.
Kata Kunci: Tinjauan Yuridis, Pengakuan Utang, Perjanjian Kredit TanpaAgunan
Pembimbing : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.Daftar Pustaka : Tahun 1986 Sampai Tahun 2017.
vi
KATA PENGANTAR
حِیْمِ حْمَنِ الرَّ بسِْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّ
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya dan telah memberikan kemudahan sehingga peneliti mampu
menyelesaikan skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS PENGAKUAN
UTANG DALAM PERJANJIAN KREDIT TANPA AGUNAN (Analisis Putusan
Mahkamah Agung Nomor 326 K/Pdt/2014)”. Shalawat dan salam tak lupa
peneliti curahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, dan para
sahabatnya.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini dapat diselesaikan tentunya berkat bimbingan, arahan,
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini peneliti
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Pembimbing skripsi yang telah
bersedia dengan sabar meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan, arahan, dukungan, dan masukan sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Abdullah, S.H., M.H. Penasehat Akademik yang selalu
menasehati dan membimbing Peneliti.
5. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Pimpinan Pusat Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
vii
6. Pihak-Pihak yang pernah terlibat dalam proses akademis dan non
akademis dengan peneliti selama menempuh jenjang strata 1 di
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca
serta pihak-pihak yang memerlukannya.
Wassalamu’alaikum, Wr.Wb.
Jakarta, 18 Juli 2019
Rostanop Surya Maulana
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR......................................................................................... vi
DAFTAR ISI........................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 6
D. Metode Penelitian........................................................................ 7
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 10
BAB II PERJANJIAN KREDIT TANPA AGUNAN ................................. 12
A. Kerangka Konseptual .................................................................. 12
1. Perjanjian ............................................................................. 12
2. Unsur-unsur Perjanjian ........................................................ 14
3. Syarat Sahnya Perjanjian ..................................................... 15
4. Asas-asas dalam Perjanjian.................................................. 19
5. Bentuk dan Isi Perjanjian ..................................................... 25
6. Berakhirnya Perjanjian......................................................... 30
B. Perjanjian Pembiayaan Konsumen.............................................. 31
1. Perjanjian Pembiayaan Konsumen....................................... 31
2. Bentuk Perjanjian Pembiayaan Konsumen .......................... 36
3. Para Pihak dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen.......... 36
C. Pengakuan Utang Perjanjian Kredit ............................................ 37
1. Kredit ................................................................................... 37
ix
2. Perjanjian Kredit Tanpa Agunan.......................................... 38
3. Pengakuan Utang ................................................................. 40
4. Wanprestasi .......................................................................... 41
D. Putusan Pengadilan ..................................................................... 47
1. Jenis Putusan Hakim ............................................................ 47
2. Kerangka Putusan dan Dasar Pertimbangan ........................ 48
E. Kerangka Teori............................................................................ 50
1. Teori Tanggung jawab ......................................................... 50
F. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu............................................ 53
BAB III PERUSAHAAN PEMBIAYAAN KONSUMEN........................... 55
A. Perusahaan Pembiayaan Konsumen PT Adira Dinamika Multi
Finance ........................................................................................ 55
B. Permasalahan Perjanjian Kredit Tanpa Agunan antara Karyawan
dengan PT. Adira Dinamika Multi Finance ................................ 59
BAB IV ANALISIS PERKARA PERJANJIAN KREDIT TANPA
AGUNAN .......................................................................................... 63
A. Analisis Yuridis Tentang Pengakuan Utang Dalam Perjanjian
Kredit tanpa Agunan antara PT. Adira Dinamika Multi Finance
dengan Karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance............... 63
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014 Tentang
Tanggung Jawab saat terjadi Wanprestasi Dalam Perjanjian
Kredit Tanpa Agunan PT. Adira Dinamika Multi Finance
Terhadap Pengakuan Utang Karyawan....................................... 70
BAB V PENUTUP......................................................................................... 95
A. Kesimpulan ................................................................................. 95
B. Rekomendasi ............................................................................... 95
x
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 99
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendirian suatu usaha atau mengembangkan suatu usaha memerlukan
suatu modal kerja. Dalam mendapatkan modal kerja tersebut ada berbagai cara
yang dapat kita ditempuh, salah satunya adalah dengan meminjam kepada
pihak lain. Hubungan pinjam meminjam tersebut dapat dilakukan dengan
kesepakatan antara peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur) yang
dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH
Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, sedangkan R. Subekti
mengatakan suatu perjanjian adalah peristiwa dimana seorang berjanji kepada
orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu
hal.1
Perjanjian tersebut bisa berupa perjanjian lisan atau dalam bentuk
perjanjian tertulis yang juga dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau
dengan akta notaris. Perjanjian utang piutang dalam KUH Perdata dapat
diidentikkan dengan perjanjian pinjam meminjam yaitu merupakan perjanjian
pinjam meminjam barang berupa uang dengan ketentuan yang meminjam akan
mengganti dengan jumlah nilai yang sama seperti pada saat ia meminjam
Pinjam meminjam yang disebutkan dalam Pasal 1754 KUH Perdata yaitu
pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dengan dari macam dan keadaan yang
sama pula.2
1 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1989), h.1
2 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1995), h.20
2
Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam
kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran.
Hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam-meminjam uang
sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan
kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya.
Melihat dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan pinjam-meminjam
uang sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat saat ini.
Bila ditinjau dari sudut perkembangan perekonomian nasional dan
internasional akan dapat diketahui betapa besar peranan yang terkait dengan
kegiatan pinjam-meminjam uang pada saat ini. Berbagai lembaga keuangan,
seperti salah satunya Perusahaan Finance, yang telah membantu dalam
pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan
pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit tanpa jaminan/agunan. Kredit
tanpa jaminan/agunan merupakan salah satu produk pinjaman yang
memberikan fasilitas kredit tanpa membebankan calon nasabah untuk
mempersiapkan suatu aset untuk dijadikan jaminan atas pinjaman tersebut.
Calon nasabah tidak perlu memberikan jaminan keputusan pemberian kredit
berdasarkan pada riwayat kredit dari pemohon kredit secara pribadi. Dalam
penggunaannya, ada beberapa manfaat yang sering dimanfaatkan dari KTA.
Salah satunya adalah untuk kebutuhan konsumsi, itu pun masih bersifat luas
dan bermacam-macam. Dalam hal ini, kemampuan dari nasabah untuk
melaksanakan kewajiban pembayaran kembali atau melunasi pinjaman adalah
pengganti jaminan.3
Permasalahan mengenai penggunaan jasa ini muncul, misalnya pada
perusahaan yang baru didirikan, yang belum memiliki aset untuk dijadikan
jaminan (collateral) bagi pinjaman yang akan diperoleh dari bank. Bisa juga
perorangan yang sedang membutuhkan modal besar untuk mengembangkan
usahanya atau untuk kebutuhan konsumtif. Untuk mengatasi masalah ini, dapat
3 Winne Fauza Primadewi, Tesis: Tinjauan Yuridis Terhadap Pemberian Kredit TanpaAgunan Untuk Perorangan, (Depok: UI, 2012), h.01
3
digunakan fasilitas Kredit Tanpa Jaminan atau Kredit Tanpa Agunan (KTA)
sebagai alternatif perkreditan, karena dalam kredit tanpa jaminan pengusaha
tidak perlu menyediakan jaminan. Munculnya fasilitas kredit tanpa jaminan ini
merupakan suatu alternatif yang menarik bagi pengusaha maupun perseorangan
tetapi banyak orang yang belum mengetahuinya. Salah satu keuntungan dari
kredit tanpa jaminan adalah memberikan kesempatan kepada nasabah untuk
dapat menikmati fasilitas kredit dana tunai tanpa menjaminkan barang-
barangnya. Diharapkan dengan adanya fasilitas kredit tanpa jaminan ini, selain
untuk menambah pilihan pembiayaan usaha (sebagai alternatif selain fasilitas
kredit bank pada umumnya dan fasilitas pembiayaan leasing) juga ditujukan
untuk mendorong industri perkreditan di Indonesia.
Namun dalam pelaksanaan, kredit tanpa jaminan yang diberikan oleh bank
tidak selalu sesuai dengan perjanjian seiring terjadinya hal atau kejadian diluar
perkiraan masing-masing pihak, sehingga timbul permasalahan-permasalahan
atau pelanggaran dalam perjanjian kredit tanpa jaminan ini, baik oleh penerima
kredit maupun pemberi kredit. Permasalahan jaminan ini diatur dalam Pasal
1131 KUH Perdata yang membahas piutang-piutang yang diistimewakan yang
berbunyi: “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik
yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-
perikatan perorangan debitur itu”.
Dalam Pasal 1131 KUH Perdata tersebut dapat dikenakan kepada pihak
debitur yang melakukan wanprestasi atau ingkar janji tanpa perlu
pemberitahuan dari awal perjanjian diantara para pihak. Oleh karena dalam
kredit tanpa jaminan tidak adanya jaminan yang ditetapkan sebelumnya oleh
Perusahaan Finance, jadi apabila sewaktu-waktu debitur wanprestasi, maka
berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata semua harta kekayaan debiturlah yang
akan dieksekusi. Selain itu debitur tidak tahu barang-barang mana saja yang
akan dieksekusi, terlebih lagi jika sebagian barang-barang milik debitur telah
dijaminkan kepada kreditur yang lain. Hal ini sangatlah merugikan debitur
karena tidak diperjanjikan sebelumnya dan tidak diketahui secara umum oleh
debitur, karena tidak dikemukakan secara transparan oleh Perusahaan Finance.
4
Secara perlindungan hukum konsumen, pasal ini menimbulkan ketidakpastian
hukum bagi nasabah kredit tanpa jaminan yang melakukan wanprestasi.
PT. Adira Dinamika Multi Finance merupakan salah satu perusahaan
pembiayaan konsumen bidang otomotif di seluruh Indonesia yang mendukung
berbagai produk pembiayaan konsumen. Adapun salah satu kegiatan usahanya
khusus dibidang pembiayaan tunai, yang salah satunya berfokus pada
pemberian Kredit Tanpa Agunan/Jaminan. Artinya perusahaan pembiayaan
memberikan produk pinjaman fasilitas kredit tanpa membebankan calon
nasabah untuk mempersiapkan suatu aset untuk dijadikan jaminan atas
pinjaman tersebut.
Dalam kasus ini, PT. Adira Dinamika Multi Finance sebagai perusahaan
pembiayaan konsumen telah memberikan pinjaman kredit lunak tanpa
jaminan/agunan kepada karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance sebesar
Rp 75.000.000 dengan jangka waktu kredit selama 60 bulan dengan angsuran
setiap bulannya sebesar Rp 1.250.000 dilakukan dengan cara potong gaji dari
karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance.
Permasalahannya adalah ketika angsuran yang dilakukan setiap bulan oleh
karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance, sudah tidak berjalan lagi secara
efektif karena karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance tidak lagi menjadi
karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance, sehingga pembayaran angsuran
atas pinjaman tersebut tidak lagi dilakukan.
Bahwa dalam perjanjian/pengakuan utang yang ditanda tangani antara PT.
Adira Dinamika Multi Finance dengan Karyawan tersebut disebutkan secara
jelas yaitu: Atas utang tersebut di atas, apabila saya mengundurkan diri atau
diputuskan hubungan kerja dari perusahaan/meninggal dunia maka saya/ahli
waris saya bersedia membayar lunas seluruh utang yang masih tersisa paling
lambat 2 minggu sebelum resign atau dipotong langsung dari gaji dan
insentif/bonus/uang pisah pada bulan yang bersangkutan. Jika sampai dengan
batas waktu yang telah ditentukan, saya/ahli waris bersedia menghadapi
tuntutan dari perusahaan sesuai dengan hukum dan perundang-undangan
yang berlaku. Dilihat dari perjanjian yang telah ditandatangani tersebut, bahwa
5
pambayaran utang dapat dilakukan dengan dipotong langsung dari gaji dan
insentif/bonus/uang pisah.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah paparkan di atas,
maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan
Yuridis Pengakuan Utang Dalam Perjanjian Kredit Tanpa Agunan
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada penjabaran yang telah di uraikan di dalam latar
belakang maka identifikasi masalah meliputi:
a. Pengaturan dalam Perjanjian Kredit Tanpa Agunan antara PT. Adira
Dinamika Multi Finance dengan Karyawan dalam pengakuan utang.
b. Tinjauan Hukum dari Perjanjian Kredit Tanpa Agunan.
c. Maksud dan Tujuan Perjanjian Kredit Tanpa Agunan diberlakukan.
2. Pembatasan Masalah
Demi menghindari adanya perbedaan penafsiran dan meluasnya
penelitian ini, maka peneliti membuat pembatasan mengenai masalah yang
akan dibahas demi mencapai hasil yang diharapkan dan lebih terarahnya
penulisan. Maka pembahasan ini berfokus pada satu titik permasalahan,
peneliti ingin menganalisis masalah secara keilmuan dari tinjauan yuridis
perjanjian kredit tanpa agunan dalam pengakuan utang antara PT. Adira
Dinamika Multi Finance sebagai perusahaan pembiayaan/finance dengan
karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance sebagai pemilik utang.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
perjanjian kredit tanpa agunan yang di dalamnya terdapat pengakuan utang
oleh karyawan telah diselesaikan. Namun, belum ada tanggung jawab dari
peminjam utang. Oleh karena itu, perjanjian kredit tanpa agunan ini mejadi
landasan hukum dalam penyelesaian pengakuan utang. Maka, perumusan
6
masalah secara khusus, sehingga dari permasalahan utama tersebut lahirlah
pertanyaan penelitian ini, yaitu:
a. Bagaimana Analisis Yuridis Pengakuan Utang dari Debitur yang
Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Tanpa Agunan di PT. Adira
Dinamika Mult Finance ?
b. Bagaimana Analisis Dasar Pertimbangan Hakim dalam perkara
Wanprestasi Perjanjian Kredit Tanpa Agunan pada Putusan Pengadilan
Nomor 1664 K/Pdt/2014 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan peneliti dalam
melakukan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui analisis secara terperinci, detail dan lengkap mengenai
penyelesaian permasalahan dalam perjanjian kredit tanpa agunan serta
mengkaji dan menganalisis pengaturan perjanjian kredit tanpa agunan
terhadap pengakuan utang.
b. Untuk mengetahui secara jelas cara penyelesaian hukum dalam
perjanjian kredit tanpa agunan serta pelaksanaan perjanjian dilapangan
sesuai atau tidak dengan ketentuan penyelenggaraan yang tertera dalam
Undang-Undang dan peraturan terkait.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan juga para
akademisi dan masyarakat luas.
a. Manfaat Teoritis,
Untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan dalam
hukum perjanjian serta terkait dengan masalah yang sama.
b. Manfaat Praktis
Yakni, diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan peneliti dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke
7
dalam masyarakat nantinya dan penelitian ini diharapkan dapat
membantu pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.
c. Manfaat Bagi Masyarakat Umum
1) Masyarakat mengetahui hukum perjanjian yang dibuat dan harus
dilaksanakan sesuai dengan isi perjanjian tersebut.
2) Masyarakat mengetahui tanggung jawab dari kedua belah pihak baik
pemilik utang maupun peminjam utang.
3) Masyarakat dapat lebih berhati-hati dalam melakukan perjanjian
kredit dengan pelaku usaha.
4) Masyarakat dapat melakukan upaya hukum saat adanya pihak yang
dirugikan dalam perjanjian.
D. Metode Penelitian
Penelitian Hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.4
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum ini peneliti menggunakan pendekatan
Undang-Undang, atau disebut juga dengan (Statute Approach), yaitu
pendekatan dengan memandang hukum sebagai sebuah aturan yang
dilakukan melalui semua peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dengan isu hukum yang terjadi, dan juga menggunakan pendekatan kasus
(Case Approach) yang memberikan penerapan-penerapan dari norma-norma
atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Pada pendekatan
kasus yang dilakukan peneliti adalah melalui ratio decidendi yaitu alasan
hukum yang digunakan hakim untuk memutuskan perkara. Dalam hal ini
peneliti akan menganalisa kasus wanprestasi dari debitur dalam perjanjian
kredit tanpa agunan yang sudah berkekuatan hukum tetap pada putusan
Mahkamah Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014.
4 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke-7, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016),h.18
8
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum yang bersifat pemaparan yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan tertentu dan pada saat
tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum
tertentu yang terjadi dalam masyarakat.5 Dalam hal ini tipe penelitian
hukum ini bertujuan untuk menggambarkan secara jelas, terperinci, dan
sistematis mengenai aspek hukum serta pertimbangan hakim dalam
menentukan keputusan hakim dalam perjanjian kredit tanpa agunan.
3. Sumber Data
Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh peneliti secara
tidak langsung melalui media perantara dan melalui studi kepustakaan
dengn cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-
undangan, buku-buku, kamus, dan literature lain yang berkenaan dengan
permasalahan yang akan dibahas. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan 3 bahan hukum sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang paling mendasar
mengacu dan bersumber pada peraturan perundang-undangan, catatan-
catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim.6 Dalam penelitian ini, bahan hukum primer
yang digunakan peneliti adalah
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
3) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga
Pembiayaan.
4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.01/2006 Tentang
Perusahaan Pembiayaan.
5) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014.
5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Pres, Jakarta, 1986), h.63
6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet-IV (Jakarta: Kencana, 2010), h.141
9
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum kedua setelah bahan hukum
primer yang diperoleh dari pendapat sarjana hukum, buku-buku hasil
karya para sarjana dan ahli hukum, skripsi, tesis, jurnal-jurnal hukum,
makalah, artikel-artikel ilmiah hukum, dan dokumen lain yang berkaitan
dengan penelitian, guna memberikan penjelasan lebih lanjut dan
mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
c. Bahan hukum Tersier dapat berupa publikasi non hukum yang memuat
data-data yang berkaitan dengan tema penelitian ini serta memberikan
petunjuk atau penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder.
Bersumber dari kamus hukum, internet, indeks kumulatif serta
ensiklopedia.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data
dengan data sekunder dan data primer. Sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan (library research), yaitu merupakan bentuk
pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca buku literature,
mengumpulkan, membaca dokumen yang berhubungan dengan obyek
penelitian, dan mengutip dari data-data sekunder yang meliputi peraturan
perundang-undangan, dokumen dan bahan kepustakaan lain dari buku-
buku referensi, jurnal-jurnal ilmiah, arsip, hasil penelitian ilmiah,
peraturan perundang-undangan, laporan penelitian, teori-teori, media
masa seperti koran, internet dan bahan kepustakaan lainnya yang relevan
dengan masalah yang akan diteliti.7
b. Studi Dokumen
Studi Dokumen ini merupakan pengkajian informasi tertulis mengenai
hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi boleh diketahui
oleh pihak tertentu, dalam hal ini peneliti mengkaji Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014.
5. Teknik Pengolahan Data
7 Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2002), h.103
10
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengolahan data
yang tersusun secara runtut dan sistematis, sehingga peneliti akan lebih
mudah dalam melakukan analisis dan menarik kesimpulan dari pembahasan
masalah yang diteliti sesuai dengan data dan bahan hukum.
6. Teknik Analisis Bahan Data
Dari semua bahan hukum yang sudah terkumpul, baik bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier akan
dianalisis secara deskriptif, dengan logika deduktif. Bahan hukum tersebut
akan diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis.
Pendeskripsian dilakukan untuk menentukan isi atau makna bahan hukum
disesuaikan dengan topik permasalahan yang ada. Data yang sudah ada akan
diolah dan dianalisis secara deduktif, yang selanjutnya dikaitkan dengan
norma-norma hukum, doktrin-doktrin hukum dan teori ilmu hukum yang
ada. Penelitian secara kualitatif ini mengacu pada norma hukum yang
terdapat pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta
norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.8
7. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi
ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat dalam
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika ini merupakan gambaran dari penelitian agar memudahkan
dalam mempelajari seluruh isinya. Penelitian ini dibahas dan diuraikan menjadi
5 (lima) bab, adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan dalam penelitian skripsi memuat secara keseluruhan
yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam bab-
bab. Penjelasan-penjelasan itu ada dalam latar belakang masalah,
8 Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,... h.103
11
identifikasi pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Bab ini memuat kajian pustaka yang terbagi dalam beberapa sub
bab, yang menguraikan kerangka konseptual, serta teori hukum
yang terkait dengan penelitian ini, tinjauan pustaka yang
membahas tentang perjanjian kredit tanpa agunan dan tinjauan
(review) kajian terdahulu yang membahas mengenai perjanjian
kredit.
BAB III Bab ini memuat perkara wanprestasi yang ditinjau secara yuridis
pada perjanjian kredit tanpa agunan, permasalahan dari lalainya
debitur dalam memenuhi prestasi perjanjian dengan PT. Adira
Dinamika Multi Finance sebagai perusahaan pembiayaan
konsumen.
BAB IV Bab ini akan dibahas mengenai analisa yuridis dalam hal
wanprestasi yang dilakukan oleh debitur terhadap kreditur dalam
perjanjian kredit tanpa agunan dan dasar pertimbangan hakim
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014.
BAB V Bab ini berisikan kesimpulan yang diambil dari uraian/deskripsi
yang menjawab masalah berdasarkan analisis yang dilakukan, serta
rekomendasi.
12
BAB II
PERJANJIAN KREDIT TANPA AGUNAN
A. Kerangka Konseptual Perjanjian
1. Perjanjian
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata “overeenkomst”,
overeenkomst dilihat dari segi bahasa berasal dari kata kerja yaitu
“overeenkomen” yang artinya setuju atau sepakat.1 Kemudian,
“overeenkomst” diterjemahkan oleh para sarjana dalam dua istilah, yaitu
perjanjian dan persetujuan, yang pada hakekatnya merupakan pengertian
yang sama dari hal yang sama-sama terjadi atas dasar kata sepakat dari
masing-masing pihak.2 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan istilah
perjanjian, untuk memperjelas adanya syarat sahnya perjanjian dimana salah
satunya adalah persetujuan atau kesepakatan. Perjanjian berdasarkan
definisi yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.3
Sebenarnya batasan dari Pasal 1313 KUH Perdata tentang perjanjian
tersebut menurut para sarjana hukum perdata kurang lengkap dan terlalu
luas sehingga banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun
kelemahan tersebut dapat diperinci:
a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja
Disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Jadi jelas
nampak tanpa adanya konsensus/kesepakatan antara kedua belah pihak
yang membuat perjanjian.
1 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1987), h. 2
2 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) I, (Bandung: Citra Aditya,1992), h. 3
3 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2009),h. 41
13
b. Kata perbuatan mencakup juga konsensus/kesepakatan.
Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan:
1) melaksanakan tugas tanpa kuasa
2) perbuatan melawan hukum
Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan/perbuatan yang
tidak mengandung adanya konsensus, juga perbuatan itu sendiri
pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada
dalam rumusan tersebut adalah perbuatan hukum. Untuk mendapatkan
definisi yang lebih jelas tentang perjanjian, maka digunakan doktrin atau
pendapat para sarjana hukum lainnya. Adapun pengertian perjanjian
menurut para sarjana adalah sebagai berikut:
a. Menurut Rutten, rumusan perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata
mengandung beberapa kelemahan. Karena hanya mengatur perjanjian
sepihak dan juga sangat luas karena istilah perbuatan yang dipakai akan
mencakup juga perbuatan melawan hukum.4
b. Menurut R. Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu
hubungan hukum mengenai harta benda antara kedua belah pihak, dalam
mana satu pihak berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.5
c. R. Subekti yang menyatakan, bahwa suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa
ini timbul suatu hubungan perikatan.6
d. Abdul Kadir Muhammad merumuskan definisi Perjanjian bahwa
perjanjian adalah suatu persetujuan di mana dua orang atau lebih saling
4 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan Perikatan yang lahir dari perjanjiandan dari Undang-Undang, (Bandung : Mandar Maju, 1994), h. 46
5 4.R. Wiryono Projodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, 1993),h. 9
6 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1987), h. 1
14
mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta
kekayaan.7
Dengan mempelajari pendapat-pendapat mengenai pengertian
perjanjian pada umumnya maka peneliti akan memilih pengertian perjanjian
menurut Abdul Kadir Muhammad yang mencerminkan apa yang dimaksud
dengan perjanjian, yaitu suatu persetujuan di mana dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan
harta kekayaan.
2. Unsur-Unsur Perjanjian
Suatu perjanjian, mengandung beberapa unsur, yaitu:8
a. Unsur essensialia, adalah perjanjian yang mutlak selalu harus ada dalam
unsur perjanjian. Unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut
perjanjian tidak mungkin ada atau lahir, misalnya: dalam perjanjian jual
beli, yang mutlak harus ada yaitu barang dan harga.
b. Unsur naturalia, adalah unsur perjanjian oleh Undang-Undang diatur,
tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti, jadi unsur ini
melekat pada perjanjian, misalnya: kewajiban penjual untuk menanggung
biaya penyerahan dan kewajiban penjual untuk menanggung biaya
penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata). Hal itu dapat disimpangi oleh
para pihak dengan menentukan lain dalam isi perjanjian.
c. Unsur accidentalia, adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para
pihak. Undang-Undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut,
misalnya: dalam jual beli sebidang tanah tetapi tidak dengan pohon yang
tumbuh di atasnya.
Namun, menurut J. Satrio, bahwa unsur-unsur perjanjian secara garis
besarnya ada dua yaitu unsur essensialia dan yang bukan unsur essensialia.
7 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), h. 78
8 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1, (Bandung: Citra Aditya,1992), h. 17-58
15
Unsur yang bukan essensialia dibagi menjadi unsur naturalia dan
accidentalia.9
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 KUH Perdata menetapkan bahwa ada empat syarat yang
menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian, keempat syarat tersebut
bersifat mutlak sehingga harus dipenuhi oleh para pihak yang melakukan
perjanjian agar perjanjian yang mereka buat sah secara hukum. Keempat
syarat seperti yang dimaksudkan pada Pasal 1320 KUH Perdata adalah
sebagai berikut:10
a. Kesepakatan
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan syarat sahnya perjanjian yang
pertama yaitu sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya,
maksudnya adalah para pihak yang mengadakan perjanjian setuju
mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang telah
dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki pihak yang lainnya.
Menurut J. Satrio, Orang dikatakan telah memberikan persetujuan
atau sepakatnya (toesteming), jika orang memang menghendaki apa yang
disepakati. Jika demikian, sepakat itu sendiri merupakan pertemuan
antara dua pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki
pihak yang lain.
Menurut R. Subekti, kesepakatan berarti penyesuaian kehendak.
Artinya kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau
keinginan yang disimpan dalam hati tidak mungkin diketahui oleh pihak
yang lain, apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada
dibawah ancaman atau sedang diancam dengan kekerasan baik melalui
jasmani maupun rohani.11
9 J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Perjanjian Pada Umumnya) 1,... h. 57
10 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet-Ketujuh, (Jakarta: Intermasa, 1982), h. 17
11 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1,.... h. 246
16
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf
tentang apa yang menjadi pokok dari apa yang telah diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek
perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.
Kekhilafan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu
tidak khilaf mengenai hal-hal itu, ia tidak memberi persetujuan.12 Dalam
perjanjian atau kesepakatan juga tidak boleh ada unsur penipuan.
Menurut Undang-undang tindakan menipu ini adalah dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, dengan memberikan keterangan palsu dan
tidak benar kepada pihak lawan dengan membujuk agar menyetujui
kesepakatan (Pasal 1323 KUH Perdata).13
Walaupun ada perjanjian yang cacat dalam kesepakatan yang
mengandung unsur-unsur di atas, maka perjanjian ini tetap mengikat para
pihak sebelum dibatalkan oleh hakim atas dasar permohonan pembatalan
dari pihak yang memiliki hak untuk meminta pembatalan. Namun, pada
perkembangannya ada yurisprudensi yang mengatur alasan untuk
menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yakni
penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan terdiri atas dua unsur
yaitu: sangat merugikan salah satu pihak (dari segi isinya) dan
penyalahgunaan kesempatan oleh pihak yang lain pada saat terjadinya
perjanjian (dari segi terjadinya). Penyalahgunaan dibagi menjadi dua
yakni penyalahgunaan psikologi dan penyalahgunaan keadaan
ekonomi.14
b. Kecakapan
Untuk sahnya perjanjian juga diperlukan kecakapan para pihak.
Menurut KUH Perdata orang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan
hukum adalah apabila ia sudah dewasa dan cakap bertindak. Yang
12 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1....,h. 188-189
13 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1...., h. 26
14 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Cet. 1, (Bandung:Alumni, 1992), h. 183-184
17
dimaksud dewasa adalah orang yang sudah berusia 21 Tahun keatas atau
orang yang belum genap 21 Tahun tetapi pernah menikah sebelumnya,
hal ini sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 39 dan
40 Undang-Undang Jabatan Notaris 18 Tahun untuk penghadapan dan 18
Tahun untuk saksi. Orang yang cakap bertindak hukum adalah orang
yang tidak diletakkan dibawah pengampuan. Menurut Pasal 1330 KUH
Perdata, orang yang tidak cakap melakukan perjanjian adalah:15
1) Orang yang belum dewasa.
2) Mereka yang di bawah pengampuan.
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-
Undang dan pada umumnya semua orang pada siapa Undang-Undang
telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.
Bagi mereka yang dikatakan sebagai orang yang tidak cakap hukum,
dalam melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh walinya.
Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata bahwa seorang perempuan
yang bersuami dikatakan tidak berlaku lagi setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 pada Pasal 31 Ayat (2) yang
menyatakan bahwa hak seorang istri dianggap sama dengan hak
suaminya, maka sejak saat itu perempuan yang bersuami dapat
melakukan perbuatan hukum, serta sudah diperbolehkan menghadap di
pengadilan tanpa seizin suami.16
c. Suatu Hal Tertentu
Dalam membuat suatu perjanjian objek perjanjian itu harus tertentu
atau setidak-tidaknya dapat ditentukan jenis barang tersebut. Hal ini
sebagaimana yang ditentukan Pasal 1333 KUH Perdata yang menyatakan
“suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang
paling sedikit ditentukan jenisnya.17
15 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet-Ketujuh, (Jakarta: Intermasa, 1982), h. 17
16 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1,.... h. 279
17 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1,... h. 293
18
Bahwa objek perjanjian tidak itu tidak harus secara individu tertentu,
tetapi cukup bahwa jenisnya ditentukan. Hal ini tidak berarti bahwa
perjanjian sudah memenuhi syarat jika jenis objek perjanjiannya saja
yang sudah ditentukan. Ketentuan tersebut harus ditafsirkan bahwa objek
perjanjian harus tertentu, sekalipun masing-masing objek tidak harus
secara individual tertentu.18
Objek perjanjian merupakan prestasi yang menjadi pokok perjanjian
itu sendiri. Oleh karena itu objek perjanjian adalah prestasi, maka objek
perjanjian ini dapat berupa memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, dan
tidak melakukan sesuatu sama sekali. Dengan demikian, maka objek
perjanjian tidak selalu berupa benda (zaak). Penggunaan istilah Zaak
hanya cocok untuk perjanjian yang prestasinya adalah untuk memberikan
sesuatu. Itulah sebabnya, bahwa lebih cocok jika diartikan objek
perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian.19
Perikatan berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata adalah Perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu. Prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit
ditentukan jenisnya (Pasal 1333 Ayat (1) KUH Perdata). Jika objeknya
tidak tertentu maka bagaimana orang dapat menuntut pemenuhan haknya
dan melunasi kewajibannya. Jadi suatu hal tertentu harus mencakup:20
1) Jenis Zaak harus tertentu;
2) Jumlahnya dapat ditentukan (dikemudian hari).
d. Sebab yang Halal
Menurut J. Satrio, suatu perjanjian tanpa sebab yang halal akan
berakibat bahwa isi perjanjian harus tertentu (dapat ditentukan), isinya
juga harus halal (tidak terlarang), sebab isi perjanjian itulah yang akan
dilaksanakan. Para pihak mengadakan perjanjian dengan maksud untuk
18 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1,... h. 293
19 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1,... h. 294
20 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1,... h. 293
19
melaksanakan isi perjanjian tersebut dan berdasarkan Pasal 1320 jo Pasal
1337 KUH Perdata isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.21
Berdasarkan keempat syarat tersebut di atas dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Dua syarat yang
pertama adalah yang disebut syarat subjektif. Karena merupakan syarat
yang menyangkut subjek perjanjian.22 Apabila suatu perjanjian
mengandung cacat yang disebabkan karena tidak dipenuhinya syarat
subjektif tersebut, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jadi perjanjian
yang dibuat tetap mengikat para pihak, selama tidak dibatalkan. Jadi
perjanjian yang dibuat tetap mengikat para pihak, selama tidak dibatalkan
atau dinyatakan batal oleh hukum atas permintaan salah satu pihak.
Adapun pihak yang berhak untuk meminta pembatalan adalah pihak yang
tidak cakap atau tidak sepakat.23
Untuk dua syarat terakhir adalah yang dinamakan dengan syarat
objektif, karena merupakan syarat yang menyangkut objek dari perbuatan
yang diperjanjikan. Tidak terpenuhinya salah satu syarat objektif
tersebut, maka perjanjian dapat dinyatakan batal demi hukum atau batal
dengan sendirinya (neng) sehingga tidak perlu adanya pembatalan dari
hakim, karena perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak
pernah terjadi.24
4. Asas-asas dalam Perjanjian
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan
dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Asas hukum berbeda
dengan kaedah hukum atau peraturan hukum konkrit. Asas hukum hanyalah
21 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1, (Bandung: Citra Aditya,1992), h. 305-306
22 Subekti, Hukum Perjanjian,... h.17
23 Subekti, Hukum Perjanjian,... h. 20
24 Subekti, Hukum Perjanjian,... h. 20
20
merupakan dasar-dasar yang umum atau sebagai petunjuk bagi hukum yang
berlaku.
Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum merupakan pikiran dasar
yang umum yang sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan
yang konkrit yang terdapat dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang
menjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat
umum dalam peraturan konkrit tersebut.25
Adapun asas-asas hukum yang perlu diperhatikan dalam membuat dan
melaksanakan perjanjian adalah sebagai berikut:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam sistem hukum nasional Indonesia, asas ini diimplementasikan
pada hukum perjanjian sebagaimana diatur di dalam Pasal 1338 KUH
Perdata yang menentukan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan
perjanjian dengan siapa yang dikehendakinya dan bebas menentukan isi
perjanjian yang akan dilakukan. Berdasarkan prinsip asas inilah maka
Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka.
Asas kebebasan berkontak pada prinsipnya sebagai sarana hukum
yang digunakan subjek hukum untuk memperoleh hak kebendaan dan
mengalihkan hak kebendaan demi pemenuhan kebutuhan diri pribadi
subjek hukum. Dalam KUH Perdata yang menganut sistem continental
kebebasan untuk melakukan kontrak dan menentukan isi kontrak dapat
dilihat dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata.
Menurut Mariam Darus Badrul Zaman, “Kebebasan berkontrak
adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian.
Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran dari
hak asasi manusia”. Sejalan dengan itu Abdul Kadir Muhammad juga
menyatakan bahwa “Asas ini mempunyai arti bahwa orang boleh
mengadakan perjanjian tentang apa saja, walaupun belum atau tidak
25 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,(Yogyakarta: Liberty,2008), h. 97
21
diatur dalam UndangUndang. Asas ini sering disebut “Asas Kebebasan
Berkontrak” (Freedom of making contract).26
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu
sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu
pula. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kebebasan individu
memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Asas kebebasan
berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup
sebagai berikut:27
1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian;
3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang
dibuatnya;
4) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
5) Kebebasan untuk menentukan syarat-syarat suatu perjanjian termasuk
kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-
Undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh Pasal -Pasal
KUHPerdata terhadap asas kebebasan berkontrak ini yang membuat
asas ini merupakan asas yang tidak tak terbatas, antara lain Pasal 1320
Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (4): Pasal 1332, Pasal 1337 dan Pasal
1338 Ayat (3) KUH Perdata.
Ketentuan Pasal 1320 Ayat (1) tersebut memberikan petunjuk
bahwa hukum perjanjian di kuasai oleh asas konsensualisme.
Ketentuan Pasal 1320 Ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian
bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian di
26 Septarina Budiwati, Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perspektif PendekatanFilosofis, Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Epistimologi Hukum, UniversitasMuhammadiyah Surakarta, 2015, h. 279
27 Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi ParaPihak dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), h. 10
22
batasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan
berkontrak di batasi oleh asas konsensualisme.
Dari Pasal 1320 Ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa
kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh
kecakapannya. Bagi seseorang yang menurut Undang-Undang tidak
cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai
kebebasan untuk membuat perjanjian.
Pasal 1320 Ayat (4) jo, Pasal 1337 menentukan bahwa para pihak
tidak bebas untuk membuat yang menyangkut causa yang dilarang
oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau
bertentangan dengan ketertiban umum adalah tidak sah.
Pasal 1332 memberikan arah mengenai kebebasan para pihak
untuk membuat perjanjian sepanjang yang menyangkut objek
perjanjian. Menurut Pasal 1332 tersebut adalah tidak bebas untuk
memperjanjikan setiap barang apapun. Menurut Pasal tersebut hanya
barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis saja yang dapat
dijadikan objek perjanjian.
b. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian.
Konsensualisme berasal dari istilah asing, yaitu Consensus, yang berarti
setuju atau sepakat.28 Asas ini sangat penting dalam membuat suatu
perjanjian, karena suatu perjanjian dikatakan ada sejak tercapainya
kesepakatan. Sehingga dengan kesepakatan atau dengan adanya kata
sepakat ini dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan
telah tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki
oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.29 Selain itu,
dengan adanya kesepakatan atau setelah terjadinya kata sepakat, maka
28 Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi ParaPihak dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia,.... h. 15
29 M. Muhtarom, Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam PembuatanKontrak, Universitas Muhammadiyah Surakarta, h. 51
23
perjanjian tersebut telah mempunyai akibat hukum yaitu timbulnya hak
dan kewajiban. Dengan kata lain maksud dari konsensualisme adalah
“membuat perjanjian cukup dengan kata sepakat antara pihak-pihak
mengenai pokok-pokok perjanjian”.
Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat secara
lisan saja dan dapat pula dituangkan dalam bentuk tulisan yakni berupa
akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti. Perjanjian yang dibuat secara
lisan saja didasarkan pada asas bahwa “manusia itu dapat dipegang
mulutnya”, yang artinya manusia dapat dipercaya atas kata-kata yang
diucapkannya.
Terhadap asas konsensualisme ada pengecualian, yaitu apabila suatu
perjanjian memerlukan formalitas atau suatu bentuk perjanjian yang
memerlukan bentuk tertentu yang lazimnya tertulis agar perjanjian
tersebut dianggap sah. Perjanjian dianggap batal karena tidak
terpenuhinya formalitas tersebut.30
c. Asas Pacta Sun Servanda
Asas Pacta Sun Servanda diberi arti sebagai pactatum, yang berarti
sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya.31 Asas ini dapat diartikan sebagai asas mengikatnya
perjanjian, karena perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat
pihak-pihak yang telah bersepakat membuatnya sebagai Undang-Undang.
Asas Pacta sun Servanda berlaku dalam pelaksanaan perjanjian Pasal
1338 Ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa “semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang
membuatnya”, jadi pernyataan yang dibuat para pihak mengikat bagi
mereka asalkan perjanjian itu dibuat secara sah, dalam artian bahwa
30 Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi ParaPihak dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia,... h. 16
31 M. Muhtarom, Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam PembuatanKontrak, Universitas Muhammadiyah Surakarta, h. 52
24
perjanjian yang dibuat itu telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian.
Berdasarkan kata ”berlaku sebagai Undang-Undang” ini berarti
mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Sebagaimana halnya
Undang-Undang juga mengikat orang terhadap siapa Undang –Undang
berlaku sehingga dengan membuat suatu perjanjian seolah-olah para
pihak menetapkan Undang-Undang bagi mereka sendiri.
Kata “bagi mereka sendiri” karena memang sifatnya lain dengan
Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang yang
sifatnya mengikat secara umum. Dengan kata lain tidak mengikat pihak
ketiga yang berada diluar perjanjian.32
Berkaitan dengan asas Pacta Sun Servanda ini maka Pasal 1338 Ayat
(2) KUH Perdata yang berbunyi “persetujuan-persetujuan itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu”.
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari “janji itu mengikat”. Dalam hal
ini para pihak tidak dapat menarik diri dari akibat-akibat perjanjian yang
telah dibuatnya secara sepihak.
Menurut J. Satrio, secara sepihak disini berarti tanpa sepakat dari
pihak lainnya secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa perjanjian dapat
dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak. Dalam hal demikian
sebenarnya para pihak mengadakan dan menciptakan suatu perjanjian
baru yang isinya merubah, menambah, mengakhiri perjanjian lama,
artinya perikatan yang telah ada lahir dari perejanjian yang dibuat
sebelumnya hapus dengan perjanjian yang baru.33
d. Asas Itikad Baik
32 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya,(Bandung: Alumni, 2000), h. 58
33 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1, (Bandung: Citra Aditya,1992), h. 361
25
Asas ini merupakan asas dalam melaksanakan perjanjian, hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan
bahwa “persetujuan-persetujuan ini harus dilaksanakan dengan iktikad
baik”. Setiap orang dalam melaksanakan perjanjian harus didasarkan
pada iktikad baik yang dapat ditafsirkan bahwa perjanjian harus
dilaksanakan sesuai dengan kepatutan dan kepantasan.
Asas ini diberikan penafsiran bahwa suatu perjanjian itu harus sesuai
dengan kepatutan dan kepantasan, karena iktikad baik adalah suatu
pengertian yang abstrak dan kalaupun pada akhirnya orang mengerti apa
yang dinamakan iktikad baik, maka orang masih sulit merumuskannya.34
A. Qiram Syamsudin Meliala membedakan iktikad baik ini menjadi
dua, yaitu iktikad baik subjektif dan iktikad baik objektif. Iktikad baik
subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan
perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang
pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan iktikad baik dalam
pengertian objektif adalah bahwa perjanjian itu harus didasarkan pada
norma kepatutan atau apa yang dirasakan sesuai yang patut dalam
masyarakat.35
5. Bentuk dan Isi Perjanjian
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract dapat
disimpulkan bahwa bentuk dan isi perjanjian merupakan kebebasan
berkontrak para pihak. Apabila dipelajari Pasal -Pasal dalam KUH Perdata
ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukan bebas mutlak. Ada beberapa
pembatasan yang diberikan oleh Pasal -Pasal KUH Perdata terhadap asas ini
yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak tak terbatas, antara lain
Pasal 1320 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (4), Pasal 1332, Pasal 1337 dan
Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata.
34 J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) 1,... h. 365
35 Meliala A. Qiram Syamsudin, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian BesertaPerkembangannya, Cet-Pertama, (Yogyakarta: Liberty, 1985), h. 19
26
Ketentuan Pasal 1320 Ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa
hukum perjanjian di kuasai oleh asas konsensualisme. Ketentuan Pasal 1320
KUH Perdata Ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa
kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat
pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh
asas konsensualisme.
Dari Pasal 1320 KUH Perdata Ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa
kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya.
Bagi seseorang yang menurut Undang-Undang tidak cakap untuk membuat
perjanjian, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat
perjanjian.
Pasal 1332 KUH Perdata memberikan arah mengenai kebebasan para
pihak untuk membuat perjanjian sepanjang yang menyangkut objek
perjanjian. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata tersebut adalah tidak bebas
untuk memperjanjikan setiap barang apapun. Menurut Pasal tersebut, hanya
barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis saja yang dapat dijadikan
objek perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia
meliputi ruang lingkup sebagai berikut:36
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian;
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang
akan dibuatnya;
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-
Undang yang bersifat opsional (aanyullend optional).
36 Hasanudin Rahman, Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis, Contract Drafting,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 15-16
27
Dalam praktek bisnis belum terdapat keseragaman mengenai istilah
yang dipergunakan untuk perjanjian baku, ada yang menyebutnya dengan
istilah perjanjian standar, kontrak standar atau perjanjian adhesi. Di dalam
pustaka hukum ada beberapa istilah bahasa Inggris yang dipakai untuk
perjanjian baku tersebut yaitu“Standardized Agreement”, “pad contract”
dan “contract of adhesion”.37
Dengan melihat kenyataan bahwa bargaining position konsumen pada
prakteknya jauh di bawah para pelaku usaha maka Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai
perjanjian baku dan/atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen
atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen tidak memberikan definisi tentang perjanjian baku,
tetapi merumuskan klausula baku sebagai:
“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenihi oleh konsumen”.38
Mengenai batasan perjanjian Baku Sutan Remy Sjahdeini menyatakan
“Perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya
sudah dibakukan oleh pemakainnya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang merundingkan atau meminta perubahan”.39
Sementara itu Menurut Mariam Darus Badrulzaman, mengemukakan
bahwa :
“Perjanjian baku adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat
eksenorasi dan dituangkan dalam bentuk formulir”.40
37 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang BagiPara Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993),h. 66
38 Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PTGramedia Pustaka Utama, 2001), h. 54
39 Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,.... h. 66
28
Sluijter mengatakan perjanjian baku bukan perjanjian, sebab kedudukan
pengusaha itu (yang berhadapan dengan konsumen) adalah seperti
pembentuk Undang-Undang swasta (legio particuliere wetgever). Pitlo
menyatakan bahwa perjanjian baku sebagai perjanjian paksa
(dwangcontract).41 Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut:
“Perjanjian baku adalah konsep perjanjian tertulis yang disusun tanpa
membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah
perjanjian tidak terbatas yang sifatnya tertentu”.42 Drooglever Fortujin,
merumuskan dengan:
“Perjanjian yang bagian pentingnya dituangkan dalam susunan
perjanjian”.43
Berdasarkan rumusan pengertian di atas tampak bahwa perjanjian baku
sudah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak yang umumnya
mempunyai kedudukan ekonomi lebih tinggi/kuat (pelaku usaha, dalam hal
ini perusahaan pembiayaan sebagai kreditur) dibandingkan pihak lain
(konsumen sebagai kreditur). Secara singkat dapat dikatakan bahwa
perjanjian baku mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:44
a. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh produsen yang posisinya relatif
lebih kuat dari konsumen.
Apabila dalam suatu perjanjian kedudukan para pihak tidak
seimbang, maka pihak yang memiliki posisi kuat biasanya menggunakan
kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam
perjanjian baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau
dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak
40 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya,(Bandung: Alumni, 2000), h. 47-48
41 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya diIndonesia, (Bandung: Alumni, 1981), h. 95
42 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Alumni, 2014),h. 47
43 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis,.....h. 47
44 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, (Jakarta: PT. Alumni, 2014), h. 47
29
ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi perjanjian
dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat yaitu
produsen/pelaku usaha.
b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.
Dalam hal ini, pelaku usaha cenderung berdalih pada kurang
mengertinya konsumen akan permasalahan hukum atau tidak semua
konsumen memahami inti-inti dari perjanjian.
c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan masal
Perjanjian disini ialah naskah perjanjian keseluruhan dan dokumen
bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku, kata-kata atau kalimat
pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku dibuat
secara tertulis berupa akta otentik atau akta dibawah tangan. Format dari
pada perjanjian baku mengenai model, rumusan dan ukurannya sudah
ditentukan dibakukan, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat
dengan cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa
blangko naskah perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat
syarat-syarat baku.
Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh
kebutuhan karena adanya kebutuhan yang mendorong untuk
memiliki/memperoleh suatu barang dan jasa maka konsumen mau atau
tidak harus menerima seluruh dari isi perjanjian yang ditawarkan oleh
pelaku usaha.
Rumusan perjanjian baku harus menghindari unsur-unsur sebagai
berikut:45
a. Unsur-Unsur yang akan mengakibatkan timbulnya itikad buruk salah satu
pihak;
b. Unsur-Unsur yang dapat menimbulkan terjadinya pemaksaan yang
disebabkan adanya ketidak seimbangan kepentingan diantara para pihak
yang terlibat;
45 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 2008), h. 387
30
c. Unsur-Unsur syarat-syarat atau klausula-klausula yang hanya
menguntungkan salah satu pihak saja;
d. Unsur-Unsur risiko akibat perjanjian yang dibuat tidak boleh hanya
dibebankan salah satu pihak saja;
e. Unsur-Unsur pembatasan hak dalam menggunakan upaya hukum.
Dengan penggunaan perjanjian baku ini, maka pengusaha akan
memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga dan waktu.
Sehubungan dengan sifat massal dan kolektif, perjanjian baku “Vera
Bolger”, menamakannya sebagai “take it or leave it contract”. Jika debitur
menyetujui salah satu syarat-syarat, maka debitur mungkin hanya bersikap
menerima atau tidak menerimanya sama sekali, kemungkinan untuk
mengadakan perubahan itu sama sekali tidak ada.46 Selain pembatasan-
pembatasan yang datangnya dari Negara berupa peraturan-peraturan
perundang-undangan dan dari pengadilan, sejak beberapa tahun terakhir ini
asas kebebasan berkontrak juga telah mendapat pembatasan dari
dikenalkannya dan diberlakukannya perjanjian-perjanjian baku dalam dunia
bisnis. Begitu kuatnya pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak
sebagai akibat digunakannya perjanjian-perjanjian baku dalam dunia bisnis
oleh salah satu pihak, sehingga bagi pihak lainnya kebebasan yang tinggal
hanyalah berupa pilihan antara menerima atau menolak (take it or leave it)
syarat-syarat perjanjian baku yang disodorkan kepadanya itu. Eksistensi dan
ruang lingkup asas kebebasan berkontrak sebagai akibat penggunaan
perjanjian-perjanjian baku dalam dunia bisnis.47
6. Berakhirnya Perjanjian
Pada umumnya suatu perjanjian itu berakhir apabila tujuan dari suatu
perjanjian tersebut telah tercapai dan masing-masing pihak dalam perjanjian
telah saling memenuhi prestasi yang diperjanjikan, sebagaimana yang
mereka kehendaki bersama dalam mengadakan perjanjian tersebut.
46 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (standard),... h. 46
47 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang BagiPara Pihak,.... h. 67
31
Disamping cara berakhirnya perjanjian seperti yang disebutkan di atas,
masih terdapat beberapa cara yang lainnya yang dapat mengakhiri
perjanjian, yaitu:48
a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalnya perjanjian yang
berlaku untuk waktu tertentu, sehingga apabila jangka waktu telah selesai
maka perjanjian itu dengan sendirinya berakhir. Misalnya pada perjanjian
sewa menyewa yang diatur dalam Pasal 1570 KUH Perdata.
b. Undang-Undang menentukan batas waktu berlakunya perjanjian,
misalnya pejanjian jual beli dengan hak membeli kembali, dimana hak
untuk membeli kembali boleh diperjanjikan lebih dari lima tahun. Jika
diperjanjikan lebih lama maka jangka waktu diperpendek sampai lima
tahun. Hal ini sesuai dengan Pasal 1520 KUH Perdata.
c. Para pihak atau Undang-Undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan berakhir atau hapus,
misalnya dalam perjanjian perburuhan, apabila buruh meninggal dunia
maka perjanjian perburuhan antara majikan dengan buruh tersebut hapus
atau berakhir. Sesuai dengan Pasal 1603 KUH Perdata.
d. Pernyataan menghentikan perjanjian (opzergging). Opzergging dapat
dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Opzergging
terdapat pada perjanjian yang bersifat sementara, misalnya perjanjian-
perjanjian pemberian kuasa yang diatur dalam Pasal 1817 KUH Perdata.
e. Perjanjian yang hapus atau berakhir karena putusan hakim, apabila ada
tulisan dari salah satu pihak untuk mengakhiri perjanjian.
f. Apabila tujuan perjanjian yang diadakan telah tercapai
g. Perjanjian berakhir karena adanya persetujuan dari para pihak
(herroping). Bahwa perjanjian itu juga dapat berakhir apabila para pihak
setuju untuk mengakhirinya, sebab dianggap tidak perlu lagi
melanjutkannya. Misalnya dalam Pasal 1571 KUH Perdata mengenai
perjanjian sewa-menyewa.
48 R. Setiawan, Hukum Perjanjian,... h. 69
32
B. Perjanjian Pembiayaan Konsumen
1. Pengertian Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Pranata Hukum “Pembiayaan Konsumen” dipakai sebagai terjemahan
dari istilah “Consumer Finance”. Pembiayaan konsumen ini tidak lain dari
sejenis kredit konsumsi (Consumer Credit). Hanya saja, jika pembiayaan
konsumen dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara kredit
konsumsi diberikan oleh bank.49
Pembiayaan konsumen merupakan salah satu lembaga pembiayaan
yang dilakukan oleh suatu perusahaan finansial (consumer finance
company). Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh
konsumen.50
Pembiayaan konsumen adalah suatu pinjaman atau kredit yang
diberikan oleh suatu perusahaan kepada debitur untuk pembelian barang dan
jasa yang akan langsung dikonsumsi oleh konsumen, dan bukan untuk
tujuan produksi ataupun distribusi.51
Perusahaan yang memberikan pembiayaan di atas disebut perusahaan
pembiayaan konsumen atau consumer finance company. Perusahaan
pembiayaan konsumen dapat didirikan oleh suatu institusi nonbank maupun
oleh bank, tetapi pada dasarnya antara bank yang mendirikan dengan
perusahaan pembiayaan konsumen yang didirikan merupakan suatu badan
usaha yang terpisah satu dengan yang lainnya.52
Pengertian dari Perusahaan Pembiayaan diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan,
49 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), 2014,h. 162
50 Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), h. 114
51 Y. Sri Susilo, Sigit Triandru dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta:Salemba Empat, 2000), h. 149
52 Khotbul Umam, Hukum Lembaga Pembiayaan Hak dan Kewajiban NasabahPengguna Jasa Lembaga Pembiayaan ,(Sleman: Pustaka Yustisia, 2010), h. 36
33
dalam Pasal 1 huruf (b) dikatakan bahwa Perusahaan Pembiayaan adalah
badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus
didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
Lembaga Pembiayaan. Lembaga pembiayaan yang berkembang saat ini
seperti:
a. Lembaga pembiayaan poyek (project finance).
b. Lembaga Pembiayaan Modal Ventura (ventura capital).
c. Lembaga pembiayaan sewa guna usaha (leasing).
d. Lembaga pembiayaan anjak piutang (factoring).
e. Lembaga pembiayan konsumen (consumer finance).
f. Lembaga pembiayaan kartu kredit (credit card).
g. Lembaga pembiayaan usaha kecil.
Lembaga pembiayaan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun
2009. Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud Lembaga Pembiayaan
adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal. Sedangkan yang dimaksud dengan
perusahaan pembiayaan adalah badan usaha usaha yang khusus didirikan
untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan
Konsumen, dan/atau Usaha Kartu Kredit.
Perusahaan pembiayaan merupakan badan usaha yang melaksanakan
kegiatan usaha dari lembaga pembiayaan. Selain Perusahaan Pembiayaan,
bank dan lembaga keuangan bukan bank juga merupakan badan hukum
yang melaksanakan aktivitas dari lembaga pembiayaan yaitu:
a. Sewa Guna Usaha;
b. Modal Ventura;
c. Perdagangan Surat Berharga;
d. Anjak Piutang;
e. Usaha Kartu Kredit;
f. Pembiayaan Konsumen.
Pengertian Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat (7) adalah kegiatan
34
pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen
dengan pembayaran secara angsuran. Kegiatan pembiayaan konsumen
dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk pengadaan barang
berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.
Kebutuhan konsumen yang dimaksud meliputi antara lain:
a. Pembiayaan kendaraan bermotor
b. Pembiayaan alat-alat rumah tangga
c. Pembiayaan barang-barang elektronik
d. Pembiayaan perumahan
Lembaga pembiayaan menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah
badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal. Lembaga Pembiayaan meliputi:
a. Perusahaan Pembiayaan, adalah badan usaha yang khusus didirikan
untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan
Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit.
b. Perusahaan Modal Ventura, adalah badan usaha yang melakukan usaha
pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang
menerima bantuan pembiayaan (investee Company) untuk jangka waktu
tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian
obligasi konversi, dan atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil
usaha.
c. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, adalah badan usaha yang didirikan
khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana
pada proyek infrastruktur.53
d. Hubungan hak dan kewajiban, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen
wajib membiayai harga pembelian yang diperlukan konsumen dan
membayarnya secara tunai kepada pemasok. Konsumen wajib membayar
secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen, dan pemasok
wajib menyerahkan barang kepada konsumen;
53 Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Pembiayaan, diakses 10 Mei 2019, Pukul 00.36WIB. https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/Pages/Lembaga-Pembiayaan.aspx
35
e. Jaminan, yaitu terdiri atas jaminan utama jaminan pokok, dan jaminan
tambahan. Jaminan utama berupa kepercayaan terhadap konsumen
(debitur) bahwa konsumen dapat dipercaya untuk membayar
angsurannya sampai selesai. Jaminan pokok secara fidusia berupa barang
yang dibiayai oleh perusahaan pembiayaan konsumen dimana semua
dokumen kepemilikan barang dikuasai oleh perusahaan pembiayaan
konsumen (fiduciary transfer of ownership) sampai angsuran terakhir
dilunasi. Adapun jaminan tambahan berupa pengakuan utang
(promissory notes) dari konsumen.54
Perusahaan pembiayaan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa keuangan
Nomor 29/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Pembiayaan, pengertian perusahaan pembiayaan dalam Pasal 1 adalah
badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang
dan/atau jasa.
Atas dasar kepemilikannya, perusahaan pembiayaan konsumen dapat
dibedakan menjadi tiga:
a. Perusahaan pembiayaan konsumen yang merupakan anak perusahaan
dari pemasok barang dan jasa yang akan dibeli oleh debitur;
b. Perusahaan pembiayaan konsumen yang merupakan satu grup usaha
dengan pemasok barang dan jasa yang akan dibeli oleh debitur;
c. Perusahaan pembiayaan konsumen yang tidak mempunyai kaitan
kepemilikan dengan pemasok barang dan jasa yang akan dibeli oleh
debitur.55
Karakteristik dari pembiayaan konsumen yang membedakan
pembiayaan lainnya yaitu:
a. Sasaran pembiayaan jelas, yaitu konsumen yang membutuhkan barang-
barang konsumsi;
54 Abdulkadir Muhammadd dan Rilda Murdiati, Segi Hukum Lembaga Keuangan danPembiayaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 246
55 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan,.... h. 36
36
b. Objek pembiayaan berupa barang-barang untuk kebutuhan atau konsumsi
konsumen;
c. Besarnya pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan
konsumen kepada masing-masing konsumen relatif kecil, meliputi:
d. Resiko pembiayaan relatif aman karena pembiayaan tersebar pada
banyak kosumen;
e. Pembayaran kembali oleh konsumen kepada perusahaan pembiayaan
konsumen dilakukan secara berkala atau angsuran.56
2. Bentuk Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Di dalam praktek perjanjian konsumen umumnya dibuat dalam bentuk
perjanjian baku atau disebut juga perjanjian standar (standard contract,
standar segremeent). Menurut Purwahid Patrik perjanjian baku adalah
“suatu perjanjian yang di dalamnya terdapat syarat-syarat tertentu yang
dibuat oleh salah satu pihak”.57
Di dalam praktek perjanjian konsumen umumnya dibuat dalam bentuk
perjanjian baku atau disebut juga perjanjian baku atau disebut juga
perjanjian standar (standard contract, standar segremeent). Selanjutnya J.
Satrio merumuskan perjanjian standar sebagai perjanjian tertulis, yang
bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu, yang mengandung
syarat-syarat baku, yang oleh salah satu pihak kemudian disodorkan kepada
pihak lain untuk disetujui.58
Ciri dari perjanjian standar adalah adanya sifat uniform atau
keseragaman dari syarat-syarat perjanjian untuk semua perjanjian untuk
sifat yang sama. Perjanjian baku (standard) ini dianggap mengikat setelah
56 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 97
57 Purwahid Patrik, “Peranan Perjanjian Baku dalam Masyarakat”, Makalah dalamSeminar Masalah Standar Kontrak dalam Perjanjian Kredit, Surabaya, 11 Desember 1993, h. 1
58 J. Satrio, “Beberapa Segi Hukum Standarisasi Perjanjian Kredit”, Seminar MasalahStandar Kontrak dalam Perjanjian Kredit, Surabaya, 11 Desember 1993, h. 1
37
ada kesepakatan antara kedua belah pihak dan masing-masing pihak
menandatangani perjanjian tersebut.59
3. Para Pihak dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen terdapat 3 (tiga) pihak yaitu:
a. Pihak Perusahaan Pembiayaan
Pihak perusahaan pembiayaan adalah pihak yang menyediakan dana bagi
kepentingan konsumen. Perusahaan pembiayaan konsumen ini sesuai
dengan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998 harus berbentuk
badan hukum berupa Perseroan Terbatas atau Koperasi. Dalam transaksi
pembiayaan konsumen, perusahaan pembiayaan konsumen
berkedudukan sebagai kreditur, yaitu pihak pemberi biaya kepada
konsumen.
b. Pihak Dealer/Supplier
Pihak dealer/supplier adalah penjual, yaitu pihak yang menjual atau
menyediakan barang yang dibutuhkan konsumen dalam rangka
pembiayaan konsumen. Barang-barang yang disediakan pemasok adalah
barang konsumsi. Pembayaran atas harga barang-barang yang dibutuhkan
konsumen tersebut dibiayai atau dilakukan oleh perusahaan pembiayaan
konsumen kepada pemasok.
c. Pihak Konsumen
Pihak konsumen adalah pihak yang membeli barang yang dananya
disediakan oleh perusahaan pembiayaan konsumen. Konsumen dapat
berupa perseorangan maupun badan usaha. Dalam transaksi pembiayaan
konsumen, konsumen berkedudukan sebagai debitur, yaitu pihak
penerima dana dari perusahaan pembiayaan konsumen selaku kreditur.
C. Pengakuan Utang Perjanjian Kredit
1. Kredit
59 Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Jaminan Fidusia, Diakses 10Mei 2019, Pukul 00.57 WIB, http:/eprints.ums.ac.id/29114/7/NASKAH_PUBLIKASI.pdf, h. 8-9
38
Pengertian Kredit berasal dari bahasa romawi “credere” yang artinya
kepercayaan atau kredo yang artinya saya percaya.60
M. Jakile mengemukakan bahwa: “Kredit adalah suatu ukuran kemampuan
seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai
ganti dari janjinya untuk membayar kembali utangnya pada tanggal
tertentu”.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa dalam definisi kredit tersebut
melahirkan 4 elemen yang penting, yaitu:61
a. Tidak seperti hibah, transaksi kredit mensyaratkan debitur dan pemberi
kredit untuk saling tukar menukar sesuatu yang bernilai ekonomis.
b. Tidak seperti pembelian secara kontan, transaksi kredit mensyaratkan
debitur untuk membayar kembali kewajibannya pada suatu waktu
dibelakang hari.
c. Tidak seperti hibah maupun pembelian secara tunai, transaksi kredit akan
terjadi sampai pemberi kredit bersedia mengambil resiko bahwa
pinjamannya mungkin tidak dibayar.
d. Saat ia bersedia menanggung resiko, bila pemberi kredit menaruh
kepercayaan terhadap pinjaman. Resiko dapat dikurangi dengan meminta
kepada peminjam untuk menjamin pinjaman yang diinginkan, meskipun
sama sekali tidak dapat dicegah semua resiko kredit.
Pengertian Kredit menurut Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan.
2. Perjanjian Kredit Tanpa Agunan
Menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Perbankan:
“ Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepatan pinjam-meminjam
60 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1991), h. 23
61 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank,... h. 25
39
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”.
Dari isi pasal diatas, peneliti menggaris bawahi adanya hal-hal pokok
yang harus dipenuhi dalam perjanjian kredit yaitu persetujuan atau
kesepakatan, kewajiban pihak peminjam, adanya waktu tertentu, dan
pemberian bunga.
Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis oleh para pihak
atau seseorang yang ingin mendapatkan kredit memulai langkahnya dengan
mengajukan permohonan kredit kepada perusahaan yang biasanya telah
menyediakan formulir tertentu yang berisikan persyaratan-persyaratan yang
harus diisi oleh pemohon kredit. Setelah semua persyaratan yang berkenaan
dengan permohonan kredit tersebut terpenuhi, maka selanjutnya perusahaan
akan menganalisis permohonan tersebut berdasarkan prinsip 5C dalam
perkreditan yang sudah lazim digunakan. Hal tersebut dilakukan untuk
menentukan apakah permohonan kredit tersebut dapat disetujui atau tidak.
Kelima prinsip tersebut adalah:62
a. Character (kepribadian)
Melalui pengalaman dilapangan, kepribadian seseorang dapat diketahui
melalui gaya bicara, tempramen, kebiasaan sehari-hari, gaya hidup,
pergaulan dan track record dengan rekan-rekan bisnisnya.
b. Capacity (kemampuan)
Adanya sumber pembayaran, kemudian dilihat bagaimana prediksi
keberhasilan calon debitur dalam merealisasi rencana yang telah
ditetapkan sesuai dengan budget yang diajukan dalam rangka pengajuan
kredit. Kemampuan laba calon debitur dapat dilihat dari performance
tahun lalu, sekarang dan akan datang.
c. Capital (permodalan)
62 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1996), h. 237-238
40
Modal merupakan hal yang sangat penting dalam kredit, karena biasanya
perusahaan mensyaratkan berapa maksimum pinjaman yang wajar
disbanding dengan total modal yang dimiliki debitur.
d. Condition of Economic (kondisi ekonomi)
Faktor ekonomi sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup usaha
setiap calon debitur, sebelum mengetahui secara mendalam mengenai
bisnis calon debitur.
e. Collateral (jaminan)
Jaminan utama pinjaman adalah kelayakan dari usaha itu sendiri
sedangkan jaminan tambahan ada dua yaitu jaminan material dan non
material. Untuk menghindari terjadinya pemalsuan bukti pemilikan,
maka sebelum dilakukan pengikatan harus diteliti mengenai status
yuridisnya bukti pemilikan dan orang yang menjaminkan. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari gugatan oleh pemilik jaminan yang sah.
3. Pengakuan Utang
Pengakuan Utang adalah surat berharga (blanket lien) yang diterbitkan
untuk mengikat secara hukum seluruh jaminan Debitur bagi kepentingan
Kreditur. Dalam Pasal 1 Angka 10, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
menyatakan bahwa Surat Berharga adalah Surat Pengakuan Utang, wesel,
saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan
lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim
diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.63
Secara yuridis, dua jenis Surat Pengakuan Utang yang digunakan Bank:
a. Surat Pengakuan Utang Bank di Bawah Tangan
Yang dimaksud Surat Pengakuan Utang di bawah tangan adalah
Surat Pengakuan Utang yang dibuat oleh Bank (Kreditur) dan
nasabahnya (Debitur) yang dibuat oleh para pihak, tanpa Notaris.
b. Surat Pengakuan Utang Notariil
63 Karmila Sari Sukarno, Pujiyono, “Penghapusan Legalisasi Surat Pengakuan UtangDalam Perjanjian Kredit Perbankan”, (Surakarta: Cv. Indotama Solo, 2016), h. 134
41
Pada dasarnya, perjanjian kredit dalam pemberian kredit Bank
merupakan salah satu instrumen utang yang penting, yang dari sisi
kepentingan Kreditur seharusnya dapat dieksekusi terhadap kewajiban
pembayaran guna pelunasan utang yang wajib dibayar oleh Debitur
kepada Kreditur. Baik dengan atau tanpa putusan pengadilan sebagai
perintah melaksanakan kewajiban pelunasan utang Debitur.
4. Wanprestasi
Perikatan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, wanprestasi yang
berarti prestasi buruk. Menurut Prof. Subekti SH, wanprestasi adalah:
“Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya,
maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Ia alpa atau “lalai” atau ingkar
janji. Ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang
tidak boleh dilakukannya”.64
Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda
“wanprestatie”. Wan berarti buruk atau jelek dan prestatie berarti
kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Jadi,
wanprestasi adalah prestasi yang buruk atau jelek. Secara umum artinya
tidak memenuhi kewajban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik
perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul
karena Undang-Undang.65
Menurut Sri Soedwi Masjchoen Sofwan, wanpretasi yaitu hal dimana
tidak memenuhi suatu perutangan (perikatan). Wanprestasi memiliki dua
macam sifat yaitu pertama-tama dapat terdiri atas hal bahwa prestasi itu
tidak dilakukan tetapi tidak secara sepatutnya. Kemudian prestasi itu tidak
dilakukan pada waktu yang tepat.66
64 Subekti, Hukum Perjanjian,.... h. 45
65 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian,.... h. 20
66 Sri Soedwi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Benda,(Yogyakarta: Liberty,2004), h. 11
42
Menurut J. Satrio, wanprestasi yaitu kalau debitor tidak memenuhi
janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan semuanya itu
dapat dipersalahkan kepadanya.67
Sementara menurut M. Yahya Harahap, wanprestasi yaitu
melaksanakan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan
tidak menurut selayaknya. Menurutnya, seorang debitor disebutkan dan
berada dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalam melakukan
pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadual
waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut
sepatutnya/selayaknya.68
Secara lebih spesifik Meijers menyatakan bahwa wanprestasi adalah
perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian.
Wanprestasi adalah konsep perikatan karena perjanjian. Wanprestasi itu
bersumber dari perjanjian. Dalam praktik di negeri Belanda, gugatan dengan
kualifikasi wanprestasi harus berdasar pada tidak dipenuhinya suatu
perjanjian.69
Menurut Munir Fuady pengertian wanprestasi, yang kadang-kadang
disebut juga dengan istilah “cidera janji”, adalah kebalikan dari pengertian
prestasi. Dalam bahasa inggris untuk wanprestasi ini sering disebut dengan
“default” atau “nonfulfillment” atau “breach of contract”. Yang
dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya suatu prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya yang telah disepakati bersama, seperti yang tersebut
dalam kontrak yang bersangkutan.70
Bentuk-bentuk dari wanprestasi adalah:
a. Debitur Sama Sekali Tidak Berprestasi.
67 J. Satrio, Hukum Perikatan,... h. 122
68 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 60
69 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum,(Jakarta: Pasca Sarjana FH UI, 2003),h. 43-46
70 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012), h. 17
43
Dalam hal ini debitur sama sekali tidak memberikan pretasinya. Hal
itu bisa disebabkan karena debitur memang tidak mau berprestasi atau
bisa juga disebabkan karena memang kreditur objektif tidak mungkin
berprestasi lagi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk
berprestasi. Pada peristiwa yang pertama memang kreditur tidak bisa lagi
berprestasi, sekalipun ia mau.
b. Debitur Keliru Berprestasi
Di sini debitur memang dalam pemikirannya telah memberikan
prestasinya, tetapi dalam kenyataannya, yang diterima kreditur lain
daripada yang diperjanjikan. Kreditur membeli bawang putih, ternyata
yang dikirim bawang merah. Dalam hal ini demikian kita tetap
beranggapan bahwa debitur tidak berprestasi. Jadi dalam kelompok ini (
tidak berprestasi) termasuk “penyerahan yang tidak sebagaimana
mestinya” dalam arti tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.71
c. Debitur Terlambat Berprestasi
Di sini debitur berprestasi, objek prestasinya betul, tetapi tidak
sebagaimana diperjanjikan. Sebagaimana sudah disebutkan di atas,
debitur digolongkan ke dalam kelompok “terlambat berprestasi” kalau
objek prestasinya masih berguna bagi kreditur. Orang yang terlambat
berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai atau mora.72
Debitur dalam hal ini memenuhi prestasi tidak sebagaimana mestinya
atau keliru dalam memenuhi prestasinya.
Akibat wanprestasi dari debitur maka debitur harus:
a. Mengganti kerugian.
b. Benda yang menjadi objek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur.
c. Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat
meminta pembatalan (pemutusan) perjanjian.
71 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global,.... h. 128
72 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global,.... h. 133
44
Beberapa hal yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur atas dasar
wanprestasi, yaitu:73
a. Meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur;
b. Menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUH
Perdata)
c. Menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin jika kerugian karena
keterlambatan;
d. Menuntut pembatalan perjanjian;
e. Menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti
rugi harus berupa pembayaran denda.
Dalam menghadapi debitur yang wanprestasi tersebut kreditur dapat
menuntut salah satu dari 5 kemungkinan sebagai berikut:74
a. Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian.
b. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
c. Dapat menuntut penggantian kerugian.
d. Dapat menuntut pembatalan dan pengganti kerugian.
e. Dapat menuntut pemenuhan dan penggantian kerugian.
Dalam hubungannya dengan akibat wanprestasi, yaitu masalah ganti
kerugian Subekti menyatakan bahwa:
“Ganti kerugian sering diperinci dalam tiga unsur yaitu: biaya, rugi, dan
bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau per ongkosan yang nyata-nyata
sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Rugi adalah satu kerugian karena
kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh
kelalaian si debitur. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur”.75
73 Firman Floranta Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, (Bandung: CV. MandarMaju, 2014), h. 63
74 Subekti, Hukum Perjanjian,.... h. 53
75 Subekti, Hukum Perjanjian,.... h. 47
45
Pada dasarnya ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur
hanyalah kerugian yang berupa sejumlah uang, oleh karena itu bentuk atau
wujud dari penggantian kerugian tersebut juga harus berbentuk uang.76
R. Setiawan menentukan ukuran ganti rugi, yaitu sebagai berikut:
a. Ukuran obyektif, yaitu harus diteliti berapa kerugian pada umumnya dari
seorang kreditur dalam keadaan yang sama seperti kreditur yang
bersangkutan.
b. Keuntungan yang akan diperoleh disebabkan karena adanya perbuatan
wanprestasi.77
Lebih lanjut mengenai ganti kerugian akibat wanprestasi Abdulkadir
Muhammad, menyatakan bahwa haruslah ada suatu teguran baik teguran
secara tertulis, dengan surat perintah atau dengan akta sejenis.78
Penjelasan tersebut pada dasarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 1243 KUH
Perdata, yaitu:
“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perjanjian barulah mulai diwajibkan apabila si debitur setelah dinyatakan
lalai memenuhi kewajibannya, masih tetap melalaikannya atau jika sesuatu
yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat
tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka Undang-Undang
menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam
keadaan lalai (ingebreke stelling).79
Pasal 1238 KUH Perdata:
“Lembaga pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk
sampai kepada sesuatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji”.
76 Hartono Hadi Suprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,(Yogyakarta: Liberty, 1984), h. 45
77 R. Setiawan, Hukum,.... h. 18
78 Abdukadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1981), h. 22
79 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Alumni, 2014),h. 10
46
Pasal 1238 KUH Perdata:
“Yang berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demikian perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi.
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur
dengan debitur. Dalam restatement of the law of contracts (Amerika
Serikat), wanprestasi atau breach of contracts dibedakan menjadi dua
macam, yaitu total breachts dan partial breachts. Total breachts artinya
pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan partial
breachts artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan.
Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan
somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan
sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak
diindahkannya maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan.
Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau
tidak.80
Wanprestasi atau breach of contract merupakan salah satu sebab
sehingga berjalannya kontrak menjadi terhenti. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan wanprestasi adalah salah satu pihak atau lebih tidak
melaksanakan prestasinya sesuai dengan kontrak.81
Dalam melaksanakan prestasi tersebut, ada kalanya debitor tidak dapat
melaksanakan prestasi atau kewajibannya. Ada penghalang ketika debitor
melaksanakan prestasi dimaksud. Tidak terpenuhinya kewajiban itu ada dua
kemungkinan alasannya yaitu:
80 Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: SinarGrafika, 2003), h. 98-99
81 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti), 2002, h. 45
47
a. Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun karena
kelalaian.
b. Karena keadaan memaksa (force majeure, overmacht), sesuatu yang
terjadi di luar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah.
Apabila tidak terpenuhinya kewajiban prestasi disebabkan oleh
kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian, dan
kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa
debitur melakukan wanprestasi. Istilah lain dari wanprestasi dalam bahasa
Indonesia adalah cidera janji atau ingkar janji.
Wanprestasi atau cidera janji adalah suatu kondisi dimana debitur tidak
melaksanakan kewajiban yang ditentukan di dalam perikatan, khususnya
perjanjian (kewajiban kontraktual). Wanprestasi dapat juga terjadi di mana
debitur tidak melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-
Undang.
D. Putusan Pengadilan
1. Jenis Putusan Hakim
Putusan Deklarator, Putusan Constitutief dan Putusan Condemnatoir
adalah jenis putusan hakim ditinjau dari sifatnya.
a. Putusan deklarator atau deklaratif (declatoir vonnis) adalah pernyataan
hakim yang tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan itu
merupakan penjelasan atau penetapan tentang sesuatu hak atau title
maupun status dan pernyataan itu dicantumkan dalam amar atau diktum
putusan. Karakteristik putusan declaratoir: berbentuk penetapan atau
beschiking, berbunyi "menyatakan", tidak memerlukan eksekusi, tidak
merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya
memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada.
b. Putusan constitutief (constitutief vonnis) adalah putusan yang
memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu
keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru.
48
Karakteristik putusan constitutief: selalu berkenaan dengan status hukum
seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain,tidak memerlukan
eksekusi. Diterangkan dalam bentuk putusan berbunyi "menetapkan"
atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian langsung dnegan
pokok perkara, keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
c. Putusan condemnatoir adalah putusan yang memuat amar yang
menghukum salah satu pihak yang berperkara. Putusan yang bersifat
kondemnator merupakan bagian yang tidak terpisah dari amar deklaratif
atau konstitutif.82
Karakteristik dari putusan condemnatoir: Terdapat pada perkara
kontentius, Bunyi putusan "menghukum" dan memerlukan eksekusi.
Apabila pihak terhukum tidak melaksanakan isi putusan dengan suka
rela, maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan
paksa oleh pengadilan yang memutusnya. Dapat dieksekusi setelah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar
bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun
ada upaya hukum (putusan serta merta). Putusan condemnatoir dapat
berupa menyerahkan sesuatu, melakukan suatu perbuatan tertentu,
menghentikan suatu perbuatan/keadaan tertentu, membayar sejumlah
uang, atau mengosongkan tanah/bangunan.
Ketiga bentuk putusan tersebut di atas termasuk dalam putusan akhir,
dan dari ketiga bentuk putusan tersebut yang memerlukan pelaksanaan
putusan (eksekusi) hanyalah putusan akhir yang bersifat condemnatoir.
Sedangkan putusan yang lain, yaitu constitutief dan declaratoir, hanya
mempunyai kekuatan mengikat.
2. Kerangka Putusan dan Dasar Pertimbangan
Yudha Bhakti Ardiwisastra menjelaskan bahwa apabila pengertian
hukum diartikan secara terbatas sebagai keputusan penguasa dan dalam arti
82 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt58ed9048160ee/arti-putusan-deklarator--putusan-constitutief-dan-putusan-condemnatoir, diakses 22 Juli 2019, 21:12.
49
yang lebih terbatas lagi sebagai keputusan hakim (Pengadilan) yang menjadi
pokok masalah adalah tugas dan kewajiban hakim dalam menemukan apa
yang dapat menjadi hukum, sehingga melalui keputusannya hakim dapat
dianggap sebagai salah satu faktor pembentuk hukum.
Selanjutnya Yudha Bhakti Ardhiwisastra menyatakan bahwa jadi tugas
penting dari hakim ialah menyesuaikan Undang-Undang dengan hal-hal
nyata di masyarakat. Apabila Undang-Undang tidak dapat dijalankan
menurut arti katanya hakim harus menafsirkannya. Dengan lain perkataan
apabila Undang-Undang tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga
ia dapat membuat suatu keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud
yaitu mencapai kepastian hukum. Karena itu orang dapat mengatakan
bahwa menafsirkan Undang-Undang adalah kewajiban hukum dari Hakim.83
Putusan pada dasarnya merupakan proses ilmiah dengan Majelis Hakim
sebagai poros utamanya. Majelis Hakim memegang peranan sentral dalam
membuat putusan atas memutus sengketa yang sedang ditanganinya.
Implementasi hukum dalam putusan Majelis Hakim mengacu pada kerangka
pikir tertentu yang dibangun secara sistematik. Doktrin atau teori hukum
(legal theory) memegang peranan penting dalam membimbing Majelis
Hakim menyusun putusan yang berkualitas dan mampu mengakomodir
tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.84 Ketika
Hakim memeriksa dan mengadili perkara agar dapat melahirkan suatu
putusan yang adil, yang berkepastian hukum dan bermanfaat.
Dalam suatu putusan, pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari
putusan. Pertimbangan hukum berisi analisis, argumentasi, pendapat atau
kesimpulan hukum dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara. Dalam
pertimbangan hukum tersebut dikemukakan analisis yang jelas berdasarkan
Undang-Undang pembuktian tentang:
83 Yudha Bhakti Ardiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni,2000, h. 9
84 Achmad Ali, “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence), Cet-ketiga, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 213
50
a. Apakah alat bukti yang diajukan Penggugat dan Tergugat memenuhi
syarat formil dan materil.
b. Alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian.
c. Dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti.
a. Sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak.85
Selanjutnya diikuti dengan analisis, hukum apa yang diterapkan
menyelesaikan perkara tersebut. Bertitik tolak dari analisis itu,
pertimbangan melakukan argumentasi yang objektif dan rasional, pihak
mana yang mampu membuktikan dalil gugat atau dalil bantahan sesuai
dengan ketentuan hukum yang diterapkan. Dari hasil argumentasi itulah
Majelis Hakim menjelaskan pendapatnya apa saja yang terbukti dan yang
tidak, dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan
penyelesaian perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan.86
Pasal 50 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman berbunyi:
”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan
Majelis Hakim harus mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat,
kesimpulan hukum, dan harus pula memuat alasan dan dasar putusan, juga
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
E. Kerangka Teori
Teori Tanggung Jawab Hukum
85 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), h.809
86 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional,.... h. 809
51
Hans Kelsen menguraikan teori tentang pertanggungjawaban dalam
hukum yaitu suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum
(responsibility) adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang
dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu
adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang
berlawanan. Normalnya, dalam suatu kasus sanksi dikenakan terhadap pelaku
(deliquent) adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut
harus bertanggung jawab.87
Menurut Hans Kelsen kewajiban hukum tidak lain merupakan norma
hukum positif yang memerintahkan perilaku seorang individu dengan
menetapkan sanksi atas perilaku yang sebaliknya.88 Seorang individu secara
hukum diwajibkan untuk berperilaku dengan cara tertentu, Individu yang
dikenakan sanksi dikatakan bertanggungjawab atau secara hukum
bertanggungjawab atas pelanggaran.
Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa: ”Kegagalan untuk
melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan
(negligence) dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari
kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena
mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang
membahayakan." Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggung jawab
terdiri dari:89
1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertangung jawab
terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;
2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu
bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;
87 Hans Kelsen, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, terjemahan Jimly Asshiddiqie dkk,Cet-Kedua, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h. 56
88 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, (Bandung:Nusamedia, 2014), h. 132
89 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien dkk, (Bandung: NusaMedia, 2014), h. 140
52
3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;
4. Pertanggung jawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak
sengaja dan tidak diperkirakan.
Menurut Munir Fuady, Indonesia sebagai penganut sistem hukum Eropa
Kontinental mengenal macam-macam tanggung jawab hukum adalah sebagai
berikut :
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian,
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUH Perdata;
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas
ditemukan dalam Pasal 1376 KUH Perdata.
Sanksi keperdataan adalah sanksi yang dijatuhkan terhadap kesalahan yang
terjadi karena wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad)90. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu
perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur yaitu adanya
suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari
pihak pelaku, adanya kerugian bagi korban, adanya hubungan kausal antara
perbuatan dengan kerugian.91
Selain pengenaan sanksi keperdataan yang dijatuhkan terhadap pihak yang
melakukan perbuatan melawan hukum, menurut Philipus M. Hadjon tanggung
jawab administrasi yang meliputi paksaan pemerintah (bestuurdwang),
penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin,
90 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalamPembuatan Akta,(Bandung: Mandar Maju, 2011), h. 195
91 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung: CitraAditya Bakti, 2002), h. 10
53
pembayaran, subsidi), pengenaan denda administratif, pengenaan uang paksa
oleh pemerintah (dwangsom).92
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pengakuan Utang
Oleh Perusahaan Pembiayaan/Finance Dalam Perjanjian Kredit Tanpa
Agunan” yang diketahui berdasarkan penelusuran atas hasil-hasil penelitian
hukum, khususnya di Lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, belum pernah dilakukan. Namun
demikian terdapat beberapa judul penelitian yang terkait dengan judul skripsi
penulis melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya, yaitu:
1. Winne Fauza Primadewi, dengan judul tesis Tinjauan Yuridis Terhadap
Pemberian Kredit Tanpa Agunan Untuk Perorangan (Studi Kasus Pada
Bank Mandiri). Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Depok Tahun 2012.
Dalam skripsi ini dengan skripsi peneliti terdapat adanya persamaan
perbedaan. Persamaannya adalah dalam skripsi diatas terdapat sebuah
perjanjian kredit tanpa agunan yang sama dengan skripsi penulis namun
dikaitkan dengan permasalahan yang berbeda. Perbedaannya adalah skripsi
diatas membahas perjanjian kredit tanpa agunan yang dilakukan di Bank.
Sedangkan peneliti, membahas perjanjian kredit tanpa agunan yang dilakukan
di Perusahaan Pembiayaan Finance.
2. Gustav Romli Sianipar, dengan judul skripsi Wanprestasi Debitur Dalam
Perjanjian Pembiayaan Konsumen Pada Perusahaan PT. Adira Finance di
Kota Singkawang
Perbedaannya dan persamaannya dengan skripsi peneliti adalah
persamaannya penelitian ini menggunakan objek yang sama yakni di
perusahaan PT. Adira Finance, perbedaannya skripsi ini membahas secara
langsung permasalahan wanprestasi yang dilakukan oleh debitur berdasarkan
92 Philipus M. Hadjon (et,all), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:Gajah Mada University Press, 2015), h. 237
54
kasus dilapangan dari perlakuan debitur secara langsung, sedangkan peneliti,
membahas permasalahan wanprestasi dari debitur yang dianalisa menurut
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk menilai putusan
hakim serta pertimbangannya dalam menyelesaikan perkara perjanjian kredit
tanpa agunan di pengadilan.
55
BAB III
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN KONSUMEN
A. Profil Perusahaan Pembiayaan PT Adira Dinamika Multi Finance
1. Sejarah Singkat PT Adira Dinamika Multi Finance
PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk atau Adira Finance didirikan
pada tahun 1990 berdasarkan Akta Pendirian Nomor 131 tanggal 13
November 1990, dibuat di hadapan Misahardi Wilamarta, S.H., Notaris di
Jakarta, dan telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik
Indonesia berdasarkan Surat Keputusannya Nomor C2-19.HT.01.01.TH.91,
dan didaftarkan dalam register untuk maksud itu yang berada di Kantor
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di bawah Nomor
34/Not.1991/PN.JKT.SEL pada tanggal 14 Januari 1991, serta diumumkan
dalam Tambahan Nomor 421 Berita Negara Republik Indonesia Nomor 12
tanggal 8 Februari 1991.
Sejak awal, PT Adira Dinamika Multi Finance telah berkomitmen
untuk menjadi perusahaan yang terbaik dan terkemuka di sektor pembiayaan
yang melayani pembiayaan beragam merek, baik untuk sepeda motor
maupun mobil, baru maupun bekas. Melihat pada adanya potensi untuk
mengembangkan usaha lebih lanjut, Adira Finance melakukan penawaran
umum perdana atas sahamnya pada tahun 2003, yang mana Bank Danamon
menjadi pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan saham sebesar
75%, dilanjutkan dengan melakukan akuisisi selanjutnya sebesar 20%
saham, menjadikan Bank Danamon memiliki kepemilikan saham sebesar
95% pada tahun 2009. Dengan demikian, Adira Finance menjadi bagian dari
Temasek Holdings, perusahaan investasi plat merah asal Singapura.
Memasuki tahun 2013, perekonomian Indonesia mulai mengalami
serangkaian tekanan. Pada kondisi ekonomi dunia di mana harga komoditas
masih melanjutkan tren penurunan yang memberikan indikasi telah
berakhirnya supercycle, ditambah lagi rencana pengurangan
stimulus(Quantitative Easing) oleh Federal Reserve, Amerika Serikat, yang
56
menimbulkan kepanikan pada perekonomian secara global dan berujung
pada aliran dana asing keluar dari Indonesia.
Tekanan pada ekonomi global kemudian berdampak pada neraca
perdagangan Indonesia sepanjang tahun 2013 yang mencatatkan defisit
sebesar USD 7,3 miliar. Kondisi inipun turut membuat nilai tukar rupiah
terdepresi hingga ditutup pada Rp12.160 per dollar AS. Inflasi melonjak
hingga hingga menyentuh tingkat 8,38% pada tahun 2013, dan sebagai
langkah pengendalian inflasi, Bank Indonesia mengerek suku bunga acuan
secara bertahap hingga ditutup pada tingkat 7,5% pada akhir tahun 2013.
Dengan demikian, pada tahun 2013, Indonesia mencatatkan pertumbuhan
sebesar 5,8%.
Walaupun kesemua kondisi di atas tidak terlihat kondusif, namun
sesungguhnya perekonomian Indonesia masih kuat secara fundamental. Hal
ini dapat dilihat dari industri otomotif Indonesia yang masih mencatatkan
pertumbuhan pada tahun 2013, yakni tumbuh 9% untuk penjualan sepeda
motor nasional menjadi 7,8 juta unit dan 10% untuk penjualan mobil
nasional menjadi 1,3 juta unit.
Saat ini, Adira Finance telah berhasil menjadi salah satu perusahaan
pembiayaan otomotif terbesar di Indonesia berdasarkan pencapaian laba,
pembiayaan baru dan piutang yang dikelola. Dengan didukung oleh lebih
dari 28 ribu karyawan dan 667 jaringan usaha yang tersebar di berbagai
daerah di Indonesia, Adira Finance melayani lebih dari 3,7 juta konsumen
dengan jumlah piutang yang dikelola sebesar Rp48,3 triliun dan menguasai
pangsa pasar 12,6% untuk sepeda motor baru dan 5,4% untuk mobil baru.
Dengan pencapaian tersebut, Adira Finance menjadi kontributor yang
signifikan terhadap total portofolio Danamon. Di tahun 2013, Adira Finance
telah menyumbang 34% dari total portofolio dan 65% kepada segmen
kredit mass-market Bank Danamon. Guna menghadapi meningkatnya
tantangan dan risiko pada tahun 2014 ini, Perusahaan telah mendefinisikan
strategi korporasinya dengan tagline “Together We Go To The Next Level
57
Through: Customer Engagement”, di mana strategi tersebut telah
dilakukan sosialisasi kepada seluruh karyawan Perusahaan.1
2. Visi, Misi dan Nilai PT Adira Dinamika Multi Finance2
a. Visi PT Adira Dinamika Multi Finance
Menciptakan nilai bersama demi kesinambungan Perusahaan dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
b. Misi PT Adira Dinamika Multi Finance
1) Menyediakan produk dan layanan yang beragam sesuai dengan siklus
kehidupan pelanggan;
2) Memberikan pengalaman yang menguntungkan dan bersahabat
kepada pemangku kepentingan;
3) Memberdayakan komunitas untuk mencapai kesejahteraan.
a. Nilai-Nilai Perusahaan
1) (Advance) Keunggulan
Satu langkah lebih baik dan lebih cepat dibandingkan orang lain
pada umumnya atau pesaing; Mempunyai gambaran ke depan yang
jelas dan terarah; dan Handal mengambil keputusan dengan cepat dan
tepat dalam segala keadaan.
2) (Discipline) Disiplin
Mengarah kepada sesuatu yang lebih baik melalui proses
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan perbaikan secara terus-
menerus; cara berpikir dan cara bersikap yang sesempurna mungkin;
dan bersikap disiplin sesuai dengan norma organisasi.
3) (Integrity) Integritas
Berkomitmen yang disertai dengan sikap yang konsisten; dapat
dipercaya (jujur dan tulus); Dapat menjaga etika usaha; Mempunyai
rasa memiliki yang tinggi; dan Menjadi panutan bagi karyawan
lainnya.
4) (Reliable) Dapat Diandalkan
1 https://adira.co.id/deskripsi-adira-finance/, diakses 12 April 2019.
2 https://adira.co.id/visi-misi-filosofi-dan-nilai/, diakses 12 April 2019.
58
Mempunyai mental seorang juara, yang tercermin dari perilaku
yang senantiasa berpikir positif dan cerdas; dan Rasa tanggung jawab
yang penuh terhadap segala sesuatu yang dilakukan. (Accountable)
Akuntabilitas Menyampaikan sesuatu berlandaskan pada data fakta;
dan Keterbukaan yang obyektif dan bijaksana.
5) (Teamwork) Kerjasama
Sinergi; Bersedia berkorban satu sama lain; dan Tidak saling
menyalahkan satu sama lain.
6) (Obsessed) Motivasi Tinggi
Bekerja dengan proses yang benar dan berorientasi pada hasil yang
optimal; Motivasi yang tinggi dalam bentuk bersedia melakukan
pekerjaan lebih dan bersikap proaktif, Meningkatkan keahlian; dan
Saling menjaga atau memelihara satu sama lain.
Perjanjian Pembiayaan Konsumen di PT Adira Dinamika Multi
Finance Pranata Hukum “Pembiayaan Konsumen” dipakai sebagai
terjemahan dari istilah “Consumer Finance”. Pembiayaan konsumen ini
tidak lain dari sejenis kredit konsumsi (Consumer Credit). Hanya saja, jika
pembiayaan konsumen dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara
kredit konsumsi diberikan oleh bank.3
Pembiayaan konsumen merupakan salah satu lembaga pembiayaan
yang dilakukan oleh suatu perusahaan finansial (consumer finance
company). Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh
konsumen.4
Pembiayaan konsumen adalah suatu pinjaman atau kredit yang
diberikan oleh suatu perusahaan kepada debitur untuk pembelian barang dan
3 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), h.162.
4 Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), 2001, h. 114.
59
jasa yang akan langsung dikonsumsi oleh konsumen, dan bukan untuk
tujuan produksi ataupun distribusi.5
B. Permasalahan Perjanjian Kredit Tanpa Agunan antara Karyawan dengan
PT. Adira Dinamika Multi Finance
Daniel Sahertina merupakan seorang pekerja swasta, dan dulunya adalah
merupakan mantan karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance. Yang mulai
bekerja pada tahun 2008 sampai dengan Desember 2011, saat Daniel Sahertina
bekerja di PT. Adira Dinamika Multi Finance jabatan terakhirnya adalah
sebagai Marketing Manager untuk wilayah kerja sulawesi. Pada waktu Daniel
Sahertina masih bekerja di PT. Adira Dinamika Multi Finance, yaitu pada
bulan Oktober 2011, Daniel Sahertina mengambil kredit lunak tanpa
jaminan/agunan di PT. Adira Dinamika Multi Finance sebesar Rp 75.000.000
dengan jangka waktu kredit selama 60 bulan dengan angsuran setiap bulannya
sebesar Rp 1.250.000 terhitung mulai tanggal 26 Oktober 2011.
Dalam angsuran tiap bulannya dari Daniel Sahertina pada saat masih
menjadi karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance berjalan lancar, namun
setelah Daniel Sahertina mengajukan permohonan mengundurkan diri sebagai
karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance tanggal 30 Desember 2011 dan
secara efektif pada bulan Januari 2012, Daniel Sahertina sudah tidak lagi
menjadi karyawan dari PT. Adira Dinamika Multi Finance, maka untuk
angsuran bulan Januari 2012 Daniel mulai tidak melakukan pembayaran
angsuran atas pinjamannya tersebut.
Bahwa terdapat perjanjian pengakuan utang yang ditandatangani antara
Daniel Sahertina dengan PT. Adira Dinamika Multi Finance tertanggal 26
Oktober 2011 yang menyebutkan secara jelas mengenai Atas Utang tersebut,
apabila Daniel Sahertina mengundurkan diri atau diputuskan hubungan kerja
dari perusahaan/ meninggal dunia maka saya/ahli waris saya bersedia
membayar lunas seluruh utang yang masih tersisa paling lambat 2 minggu
5 Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru, A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga KeuanganLain, (Jakarta: Salemba Empat, 2000), h. 149
60
sebelum resign atau dipotong langsung dari gaji dan insentif/bonus/uang pisah
pada bulan yang bersangkutan. Jika sampai dengan batas waktu yang telah
ditentukan, saya/ahli waris bersedia mengahadapi tuntutan dari perusahaan
sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Pada saat Daniel Sahertina mengajukan permohonan pengunduran diri dari
Karyawan pada tanggal 30 Desember 2011, Daniel Sahertina telah membayar 2
kali angsuran untuk periode bulan November dan bulan Desember 2011
sebesar Rp 2.500.000, dan ditambah dengan persetujuan dari Daniel Sahertina
untuk dipotong langsung dari Uang Pisah Sebesar Rp 12.432.000, dengan
demikian maka posisi utang Daniel Sahertina masih tersisa sebesar Rp
60.068.693.
Sejak Daniel Sahertina tidak lagi menjadi karyawan di PT. Adira
Dinamika Multi Finance, maka Daniel Sahertina sudah tidak lagi melakukan
pelunasan atas sisa utangnya kepada PT. Adira Dinamika Multi Finance
tersebut yang seharusnya Daniel Sahertina selesaikan dan dilunasi seluruhnya
dalam jangka waktu 2 minggu setelah Daniel Sahertina mengundurkan diri dan
tidak bekerja lagi di PT. Adira Dinamika Multi Finance sesuai dengan surat
perjanjian pengakuan utang yang telah ditandatangani oleh Daniel Sahertina.
Setelah tidak dilakukannya pembayaran pelunasan atas sisa utang yang
dilakukan oleh Daniel Sahertina, maka PT. Adira Dinamika Multi Finance
memberikan peringatan baik melalui telepon maupun peringatan secara tertulis
kepada Daniel Sahertina dan atas peringatan tertulis tersebut, kemudian Daniel
Sahertina pada tanggal 28 Februari 2012 via transfer telah membayar sebesar
Rp 20.000.000 sehingga dengan pembayaran transfer tersebut Daniel Sahertina
masih mempunyai kekurangan utang yang belum dibayar sebesar Rp
40.068.000.
Atas kredit pinjaman lunak yang diberikan oleh Daniel Sahertina kepada
PT. Adira Dinamika Multi Finance sebesar Rp 75.000.000, maka PT. Adira
Dinamika Multi Finance setelah melakukan perhitungan dengan Daniel
Sahertina telah disepakati utang sebesar Rp 75.000.000, angsuran pembayaran
Rp 34.932.000, sisa utang Daniel Sahertina adalah Rp 40.068.000. kemudian
61
setelah Daniel Sahertina melakukan pembayaran via transfer pada tanggal 28
Februari 2012 sampai dengan sekarang, Daniel Sahertina sudah tidak
melakukan pembayaran pelunasan atas sisa utang tersebut dengan demikian
maka Daniel Sahertina telah mengabaikan dan tidak menepati isi dari
perjanjian serta telah melanggar perjanjian.
PT. Adira Dinamika Multi Finance sudah memberikan surat peringatan
berkali-kali kepada Daniel Sahertina untuk menyelesaikan pelunasan atas sisa
utangnya kepada PT. Adira Dinamika Multi F inance, namun, Daniel
Sahertina hanya selalu berjanji baik lisan atau pun dengan pernyataan secara
tertulis kepada PT. Adira Dinamika Multi Finance dengan janji untuk
menyelesaikan, akan tetapi kenyataannya tidak pernah ada realisasinya, dengan
demikian Daniel Sahertina telah melalaikan terhadap kewajibannya dalam
melakukan pembayaran pelunasan utangnya, sehingga Daniel Sahertina telah
melakukan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi kepada PT. Adira Dinamika
Multi Finance. Pada saat Daniel Sahertina berupaya untuk menyelesaikan
masalah ini secara musyawarah kekeluargaan, namun agaknya PT. Adira
Dinamika Multi Finance tidak menyambut baik usaha penyelesaian secara baik
yang ditawarkan oleh Daniel Sahertina tersebut sehingga dengan terpaksa
Daniel Sahertina menempuh penyelesaian melalui jalur hukum supaya ada
kepastian hukum.
Dalam gugatan yang diajukan oleh PT. Adira Dinamika Multi Finance
untuk menjamin agar gugatan ini tidak sia-sia dikemudian hari, maka PT.
Adira Dinamika Multi Finance memohon kepada Pengadilan Negeri Salatiga
untuk meletakkan sita jaminan harta kekayaan milik Daniel Sahertina yang
berupa:
1. Tanah dengan sertifikat Hak Milik yang luasnya: 120 M2 berikut
bangunan rumah yang diatasnya dengan batas-batasnya:
a. Sebelah Utara : Jalan
b. Sebelah Timur : Rumah milik Bapak Sasongko
c. Sebelah Selatan : Rumah milik Bapak Irfan
d. Sebelah Barat : Jalan
62
Yang terletak di Jl. Merdeka Utara Blok G 15 RT.04/RW.14,
Kelurahan Sidorejo Lor, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga.
Satu buah bangunan bertingkat yang terbuat dari kerangka kayu,
dinding tembok, lantai keramik atap genteng.
Barang-barang yang diduga milik Daniel Sahertina baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, saham-saham, ijin-ijin usaha,
tanah-tanah kosong yang ada sekarang maupun yang ditemukan
dikemudian hari.
Menghukum kepada Daniel Sahertina untuk membayar uang
paksa/dwangsom sebesar Rp 500.000 setiap harinya atas keterlambatan
dalam pemenuhan pembayaran ini terhitung sejak perkara ini diputus oleh
Pengadilan Negeri sampai mempunyai kekuatan hukum tetap.
63
BAB IV
PERKARA PERJANJIAN KREDIT TANPA AGUNAN
A. Analisis Yuridis Pengakuan Utang dalam Perjanjian Kredit Tanpa
Agunan
Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara debitur dengan
kreditur yang melahirkan hubungan utang piutang, dimana debitur
berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh kreditur
dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.1
Secara implisit pernyataan tersebut, memberikan penjelasan bahwa yang
dituangkan dalam perjanjian kredit memuat hak dan kewajiban dari debitur dan
kreditur yang kemudian perjanjian kredit ini diharapkan akan membuat para
pihak yang terikat dalam perjanjian, memenuhi segala kewajibannya dengan
baik.
Kredit tanpa agunan merupakan salah satu produk perusahaan pembiayaan
konsumen dalam bentuk pemberian fasilitas pinjaman tanpa adanya suatu aset
yang dijadikan jaminan atas pinjaman tersebut. Oleh karena tidak adanya
jaminan yang menjamin pinjaman tersebut maka keputusan pemberian kredit
semata adalah berdasarkan pada riwayat kredit dari pemohon kredit secara
pribadi, atau dalam arti kata lain bahwa kemampuan melaksanakan kewajiban
pembayaran kembali pinjaman adalah merupakan pengganti jaminan.
Keuntungan kredit tanpa agunan persyaratan mudah dan proses yang cepat
tidak memakai agunan atau jaminan.2 Oleh karena itu, ketika terjadi
permasalahan dalam pembayaran kredit karena tidak adanya jaminan/agunan
sehingga membuat pihak debitur harus memberikan seluruh harta kekayaan
miliknya kepada pihak kreditur sebagai jaminan. Hal ini ditentukan
berdasarkan pada Pasal 1131 KUH Perdata, bahwa harta kekayaan milik
debitur seluruhnya menjadi jaminan terhadap jumlah utang yang harus
1 Gazali S Djoni, Usman, Rahmadi, Hukum Perbankan, (Jakarta: SinarGrafika, 2010),h. 1
2 Elisa Andriyani, Penyelesaian Kredit Macet Pada Kredit Tanpa Agunan di PT. BankCIMB Niaga, Tbk. Cabang Semarang, Diponegoro Law Review, Vol 1 No. 2 Tahun 2013, h. 3
64
dibayarkan olehnya. Hal ini tentu tidaklah diketahui secara umum oleh orang-
orang yang menerima Kredit Tanpa Agunan tersebut yakni debitur, karena
tidak dikemukakan secara transparan oleh pihak perusahaan sebagai pemberi
Kredit Tanpa Agunan, sehingga apabila terjadi wanprestasi dari pihak debitur,
maka pihak perusahaan akan melakukan exsekus berdasarkan Pasal 1131 KUH
Perdata.
Dalam pelaksanaan perjanjian tidak menutup kemungkinan terjadinya
pengingkaran perjanjian, yang lazimnya dalam bahasa hukum dikenal dengan
istilah wanprestasi yang diartikan sebagai kelalaian oleh debitur untuk
memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.3
Namun perlu diketahui bahwa penjelasan yang mengartikan wanprestasi belum
dapat dikatakan, saat debitur lalai memenuhi kewajibannya untuk
melaksanakan pelunasan. Hal tersebut baru dianggap terjadi, apabila sudah
diberikannya teguran berupa somasi pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada
debitur. Tenggang waktu tersebut berkaitan dengan asas itikad baik yang
tertulis dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi “suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Artinya adalah pihak
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan yang baik dari para
pihak.4 Ada empat akibat apabila terjadi wanprestasi
1. Perikatan tetap ada
2. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH
Perdata)
3. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur jika halangan itu timbul setelah
debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari
pehak kreditur, oleh karena itu debitur tidak dibenarkan untuk berpegang
pada keadaan memaksa.
3 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, Akhmad Budi Cahyono, Hukum PerdataSuatu Pengantar, (Jakarta: Gitama Jaya Jakarta 2005), h. 151
4 M. Muhtarom, Asas-asas Hukum Perjanjian:Suatu Landasan Dalam PembuatanKontrak, Jurnal Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, h. 50
65
4. Jika perikatan lahir dari perikatan timbal balik kreditur dapat membebaskan
diri dari kewajibannya memberi kontra prestasi dengan menggunakan Pasal
1266 KUH Perdata.
5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan perjanjian
yang disertai dengan pembayaran ganti rugi Pasal 1267 KUH Perdata.
Disamping debitur harus menanggung hal tersebut diatas, maka yang dapat
dilakukan kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima
kemungkinan sebagai berikut Pasal 1276 KUH Perdata.
1. Memenuhi/ melaksanakan perjanjian
2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi
3. Membayar ganti rugi
4. Membatalkan perjanjian dan
5. Membatalkan perjanjian disertai ganti rugi
Dari akibat-akibat hukum di atas, kreditur dapat memilih di antara
beberapa kemungkinan tuntutan terhadap debitur, apakah menurut pemenuhan
perikatan atau pemenuhan perikatan yang disertai ganti kerugian atau ganti
kerugian saja atau menuntut pembatalan perjanjian lewat hakim yang disertai
dengan ganti kerugian.5
Dalam Pasal-Pasal KUH Perdata yang telah disebutkan di atas mengatur
mengenai akibat hukum atau sanksi terhadap debitur yang telah melakukan
wanprestasi dengan tujuan untuk melindungi kepentingan kreditur yang telah
dirugikan oleh debitur.
Selain itu ada pula bentuk wanprestasi ini antara lain adalah:
1. Debitur Tidak Berprestasi
Artinya ialah bahwa debitur sama sekali tidak memberikan prestasi.
Penyebabnya timbul karena debitur memang tidak mau berprestasi atau bisa
juga disebabkan karena memang kreditur obyektif tidak mungkin
berprestasi lagi atau secara subyektif tidak ada gunanya lagi untuk
berprestasi.
2. Debitur Keliru Berprestasi
5 Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,.... h. 98
66
Debitur ini maksudnya adalah memang dalam pikirannya telah
memberikan prestasinya, tetapi dalam kenyataannya yang diterima kreditur,
prestasi itu lain atau berbeda dengan apa yang diperjanjikan. Misalnya,
Kreditur membeli bawang putih, ternyata yang dikirim bawang merah,
dalam hal demikian kita tetap beranggapan bahwa debitur tidak berprestasi.
Pada sub bagian ini jadi tidak berprestasi termasuk “Penyerahan prestasi
yang tidak sebagaimana mestinya” dalam arti tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan.6
3. Debitur Terlambat Berprestasi
Berbeda dengan ketentuan diatas, dalam hal ini debitur telah
berprestasi, serta obyek prestasinya sesuai dengan yang ada dalam
perjanjian, tetapi waktu pemenuhan prestasinya tidak sesuai dengan
sebagaimana yang telah diperjanjikan.
Penyelesaian sengketa dari adanya wanprestasi yang dilakukan oleh
debitur terhadap kreditur ini dapat dilakukan melalui beberapa alternatif
penyelesaian sengketa yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Apabila kita baca rumusan Pasal 1 Angka 10 dan alenia ke sembilan dari
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dikatakan bahwa
masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan
penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.7
Sementara itu yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu
pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Menurut
Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada dasarnya para
pihak dapat berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul di antara
mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus
dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak.
6 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global,.... h. 128
67
Dalam kasus Terjadinya wanprestasi pada kegiatan pembiayaan konsumen
oleh PT. Adira Dinamika Multi Finance ini merupakan wanprestasi dalam
bentuk debitur keliru berprestasi. Wanprestasi dalam perjanjian kredit tanpa
agunan dalam kegiatan pembiayaan konsumen antara PT. Adira Dinamika
Multi Finance dan Daniel Sahertina selaku mantan karyawan dari PT. Adira
Dinamika Multi Finance disebabkan oleh beberapa faktor yaitu karena
perbedaan prestasi yang dilakukan dengan apa yang diperjanjikan.
Berdasarkan pada perjanjian kredit dalam hal ini PT. Adira Dinamika
Multi Finance tidak menerapkan analisis, terhadap penilaian agunan kepada
seluruh karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance yang telah melakukan
perjanjian kredit, karena perjanjian kredit yang diberikan PT. Adira Dinamika
Multi Finance ini didasarkan atas kepercayaan serta kemampuan dari karyawan
untuk melakukan perjanjian kredit.
Dalam kasus dan perkara antara PT. Adira Dinamika Multi Finance
dengan Daniel Sahertina sebagai salah satu karyawan yang bekerja di PT.
Adira Dinamika Multi Finance dan melakukan pengambilan kredit lunak tanpa
jaminan/agunan sebesar Rp 75.000.000 dengan jangka waktu kredit selama 60
bulan dengan angsuran setiap bulannya sebesar Rp 1.250.000 yang dilakukan
dengan cara potong gaji dari karyawan terhitung mulai tanggal 26 Oktober
2011.
Dalam pelaksanaannya untuk angsuran tiap bulannya dari Daniel Sahertina
pada saat masih menjadi karyawan PT. Adira Dinamika berjalan dengan lancar,
namun pada waktu Daniel Sahertina mengajukan permohonan mengundurkan
diri sebagai karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance padal tanggal 30
Desember 2011 dan secara efektif pada bulan Januari 2012 Daniel Sahertina
sudah tidak menjadi karyawan dari PT. Adira Dinamika Multi Finance,
kemudian untuk angsuran bulan Januari 2012 Daniel Sahertina mulai tidak
melakukan pembayaran angsuran atas pinjamannya kepada PT. Adira
Dinamika Multi Finance. sehingga jelas dikatakan bahwa Daniel Sahertina
sebagai debitur telah melakukan wanprestasi terhadap kreditur.
68
Kemudian penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh PT. Adira Dinamika
Multi Finance pertama adalah meminta negosiasi kepada Daniel Sahertina
untuk menyelesaikan masalah wanprestasi dalam perjanjian kredit ini secara
musyawarah kekeluargaan. Karena menurut Joni Emirzon, negosiasi dapat
diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui
proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja
sama yang lebih harmonis dan kreatif. Di sini para pihak berhadapan langsung
secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi
dengan cara kooperatif dan saling terbuka.8 Dan kedua upaya penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh PT. Adira Dinamika Multi Finance adalah
mediasi oleh Majelis Hakim. Namun, Daniel Sahertina tidak menyambut baik
usaha penyelesaian secara baik yang ditawarkan oleh PT. Adira Dinamika
Multi Finance sehingga dengan terpaksa kreditur menempuh penyelesaian
melalui jalur hukum supaya ada kepastian hukum.
Kepastian hukum merupakan hal yang penting dalam perjanjian
pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa agunan, hal ini dilakukan sebagai
suatu bentuk perlindungan terhadap kreditur dan kepastian hukum terhadap hak
kreditur dalam pelunasan utang apabila debitur wanprestasi serta bagi pihak
debitur jika kreditur melanggar ketentuan yang telah disepakati. Bentuk dari
perlindungan hukum terhadap kreditur seperti yang tertera dalam Buku III
KUH Perdata Bab kesatu tentang perikatan-perikatan pada umumnya Pasal
1237 Ayat (2) KUH Perdata, Pasal 1243-1252, Pasal 1266, Pasal 1267, Pasal
1276 KUH Perdata yang mengatur apabila debitur melakukan wanprestasi
disertai juga pengaturan mengenai sanksi kepada debitur dari akibat hukum
wanprestasi yang dilakukan.
Bahwa dalam Perjanjian ini merupakan perbuatan hukum yang
menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan
hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang
8 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Jakarta: GramediaPustaka Utama, 2001), h. 44
69
merupakan tujuan para pihak.9 Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara
pihak-pihak yang membuat, yaitu hubungan hukum yang menimbulkan
kewajiban bagi para pihak.
Menentukan akibat hukum wanprestasi pada perjanjian pembiayaan
konsumen oleh Daniel Sahertina sebagai pihak debitur sehingga dapat
memutuskan bahwa Mantan Karyawan PT. Adira Dinamika Multi Finance ini
memang melakukan wanprestasi dan menghukum agar Daniel Sahertina selaku
debitur untuk melakukan pembayaran pelunasan utang. Pertama, Majelis
Hakim dalam mempertimbangkan dalil Pengugat telah terjadi perjanjian
pembiayaan konsumen antara Penggugat dengan Tergugat. Perjanjian
pembiayaan konsumen tersebut telah diikat dengan kesepakatan pembayaran
yang dilakukan dengan gaji/insentif/bonus yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak. Dalil Penguggat tersebut telah dinyatakan sah dan mengikat
perjanjian utang/pengakuan utang yang dibuat oleh penggugat dengan tergugat
tanggal 26 Oktober.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata yang berisi tentang
Perbuatan Melawan Hukum menyebutkan: “Setiap perbuatan melawan hukum
yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan
orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti
kerugian”. Bahwa perbuatan melawan hukum sesuai dengan Rumusan Hoge
Raad sebelum tahun 1919 adalah suatu perbuatan yang melanggar hak
subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si
pembuat sendiri yang telah diatur dalam Undang-Undang.
Pada perjanjian pengakuan utang yang dibuat oleh penggugat dan tergugat,
penggugat menerima permohonan pengunduran diri yang diajukan oleh
tergugat. Melalui diskusi dan pertimbangan pimpinan dari manajemen
perusahaan penggugat, agar tidak terjadi permasalahan setelah proses
pengunduran diri. Bahwa salah satu pertimbangan utama dari keputusan
pengajuan pengunduran diri tergugat adalah adanya pernyataan dari pimpinan
9 Harlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2009), hal. 67
70
tergugat yang menyatakan bahwa semua hak tergugat termasuk di dalamnya
adalah pemberian bonus akhir tahun akan diberikan.
Dalam hal ini pihak penggugat sudah melawan hak dan melanggar hak
subjektif dari pihak tergugat dengan menerima permohonan pengunduran diri
dari tergugat, namun meminta kepada tergugat untuk menyelesaikan dan
melunasi utang dalam jangka waktu 2 minggu setelah tergugat mengundurkan
diri dan tidak bekerja lagi kepada penggugat. Hal ini sangat bertentangan
dengan klausul dalam Surat Pengakuan Utang yang justru mewajibkan
pelunasan dan penyelesaian seluruh sisa utang dilakukan paling lambat 2
minggu sebelum resign. Seharusnya saat surat permohonan itu diterima, maka
ketentuan mengenai kewajiban untuk melakukan pelunasan dan penyelesaian
atas sisa utang dalam waktu 2 minggu sebelum resign menjadi tidak berlaku.
Serta penggugat melanggar hak dari tergugat untuk mendapatkan Bonus
Tahunan dan pengembalian biaya/ongkos pemulangan/pengembalian karyawan
ke tempat asal. Sehingga ini menjelaskan bahwa pihak penggugat telah
melakukan Perbuatan Melawan Hukum dan karena hal ini penggugat wajib
untuk membayar kerugian kepada pihak tergugat, dengan ganti kerugian yaitu:
1. Ganti kerugian atas bonus tahunan yang tidak diterima sebesar Rp
43.240.000.
2. Ganti kerugian atas biaya ongkos pemulangan/pengembalian karyawan ke
tempat asal termasuk biaya pindah barang sebesar Rp 7.500.000.
Dengan ini total ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh pihak
penggugat dalam perjanjian pembiayaan konsumen kepada pihak tergugat
adalah sebesar: Rp 50.740.000.
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1664 K/Pdt/2014
Wibawa, pengayoman, kepastian hukum dan keadilan merupakan syarat
mutlak bagi sebuah negara yang berdasarkan atas hukum. Seluruh hakim harus
berupaya mengharmonisasikan keadilan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang (legal justice), keadilan berdasarkan moralitas (moral justice) dan
71
keadilan berdasarkan keinginan masyarakat (social justice). Mahkamah Agung
Republik Indonesia sebagai pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan
yang berada di bawahnya, seyogyanya diisi oleh Para Hakim Agung yang
berperan sebagai pembaru hukum untuk mewujudkan pengadilan yang bersih.
Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar menuntut tanggungjawab yang
tinggi, sehingga putusan pengadilan diucapkan demi keadilan dan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.10
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014 merupakan putusan
atas perkara antara:
1. PT. Adira Dinamika Multi Fnance, yang diwakili oleh kuasa Direksi Ingrid
Setiadharma, berkedudukan di Gedung Landmark Center Tower A. Lantai
26-31, Jalan Jenderal Sudirman Kavling Nomor 1, Jakarta Selatan dalam
hal ini memberi kuasa kepada Sarkono, S.H., dan kawan, Para Advokat
pada Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Sarkono, S.H., dan Rekan
beralamat di Jalan Plamongan Raya A 348 Perumahan Plamongan Hijau,
Semarang, Jawa Tengah, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 30
April 2014, Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding.
2. DANIEL SAHARTIAN,S.E., bertempat tinggal di Jalan Merdeka, Utara
Blok G 15, RT. 04, RW. 14 Sidorejo Lor, Kelurahan Sidorejo, Kecamatan
Salatiga, Kota Salatiga, dalam hal ini memberi kuasa kepada Yudo
Praptono Kartodinoto,S.H., Advokat/Penasehat Hukum pada Kantor
Hukum Yudo Kartodinoto & Asc., beralamat di Jalan Cemara II/5,
Salatiga, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2013, Pemohon
Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding.
Sebelum perkara ini diajukan ke pengadilan, pihak penggugat telah
memberikan peringatan baik melalui telepon maupun peringatan secara tertulis
kepada Tergugat, atas peringatan tertulis dari penggugat kemudian tergugat
pada tanggal 28 Februari 2012 via transfer telah membayar sebesar Rp
20.000.000 sehingga dengan pembayaran transfer tersebut tergugat masih
10 Dudu Duswara, Mengembalikan Kewibawaan Mahkamah Agung Sebagai Peradilanyang Agung, Jakarta: MA RI, Jurnal Konstitusi, Vol. 10 Nomor 1, Maret 2013, h. 1
72
mempunyai kekurangan utang yang belum dibayar sebesar Rp 40.068.000.
setelah itu tergugat sudah tidak lagi melakukan pembayaran utang penggugat
atas sisa utang yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab dari tergugat
tersebut dengan demikian maka tergugat telah mengabaikan dan tidak menepati
isi dari perjanjian serta telah melanggar perjanjian.
Bahwa Penggugat sudah mengingatkan dan memberikan surat peringatan
berkali-kali kepada Tergugat untuk menyelesaikan pelunasan atas sisa
utangnya kepada Pengugat akan tetapi Tergugat hanya selalu berjanji baik lisan
atau pun dengan pernyataan secara tertulis kepada Penggugat dengan janji
untuk menyelesaikan, akan tetapi kenyataannya tidak pernah ada realisasinya,
dengan demikian Tergugat telah melalaikan terhadap kewajibannya dalam
melakukan pembayaran pelunasan utangnya, sehingga Tergugat telah
melakukan perbuatan ingkar janji atau wansprestasi kepada Penggugat. Karena
Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji kepada Penggugat, maka
Tergugat wajib untuk membayar pelunasan atas sisa utangnya sebesar Rp
40.068.000 secara tunai dan seketika kepada penggugat.
Walaupun Penggugat telah berupaya untuk menyelesaikan masalah ini
secara musyawarah kekeluargaan, namun Tergugat tidak menyambut baik
usaha penyelesaian secara baik yang ditawarkan oleh Penggugat tersebut
sehingga dengan terpaksa Penggugat menempuh penyelesaian melalui jalur
hukum supaya ada kepastian hukum.
Setelah perkara ini masuk ke pengadilan Majelis hakim pun, telah
mengupayakan perdamaian diantara para pihak berperkara yang hadir
dipersidangan melalui Lembaga Mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 dengan
difasilitasi Hakim Mediator, namun berdasarkan laporan upaya perdamaian
tersebut tidak berhasil atau gagal, sehingga oleh Majelis Hakim pemeriksaan
perkara ini dilanjutkan dengan gugatan dari Penggugat.
Di tingkat pertama, PN Salatiga telah mengambil putusan, di dalam
Putusan Nomor 23/Pdt.G/2013/PN.Sal tanggal 21 Maret 2013 yaitu
mengabulkan sebagian gugatan penggugat. PN Salatiga menyatakan sah dan
73
mengikat perjanjian utang/pengakuan utang yang dibuat oleh penggugat
dengan tergugat tanggal 26 Oktober 2011 dibuktikan dengan Fotocopy Surat
Pengakuan utang oleh Daniel Sahertina, menyatakan menurut hukum tergugat
telah melalaikan kewajibannya dengan tidak melakukan pembayaran pelunasan
atas sisa utangnya kepada Penggugat, sehingga tergugat dinyatakan telah
melakukan perbuatan ingkar janji, menghukum tergugat untuk membayar
pelunasan atas sisa utang/kewajiban yang belum diselesaikan oleh Tergugat
sebesar Rp 40.068.000, menghukum tergugat untuk membayar semua biaya
yang timbul dalam perkara ini.
Bahwa berdasarkan putusan PN Salatiga ini, dalam pertimbangan hakim
penggugat telah mengajukan surat-surat bukti berupa:
1. Fotocopy Formulir Permohonan Program Retention atas nama Daniel
Stevantus Sahertina,
2. Fotocopy Permohonan pinjaman Karyawan atas nama Daniel Stevanius
Sahertina,
3. Fotocopy blangko transfer melalui bank Danamon yang ditujukan ke
rekening tujuan Daniel S Sahertina sebesar Rp 75.000.000 tanggal 26
September 2011,
4. Fotocopy Surat Pengakuan Utang oleh Daniel Stevanus Sahertina,
5. Fotocopy Surat Pengunduran Diri dari Daniel Stevanus Sahertina tertanggal
30 Desember 2011 yang ditujukan kepada Bp. Simon Yauwinas,
6. Fotocopy surat jawaban dari Daniel Stevanus Sahertina kepada Pemimpin
PT. Adira Dinamika Multi Finance, tanggal 9 Februari 2012,
7. Fotocopy surat pernyataan Daniel Stevanus Sahertina tanggal 28 Februari
2012,
8. Fotocopy surat dari Swandajani Gunadi, HRDG Deputy Director, tanggal 29
Februari 2012 yang ditujukan kepada Daniel Stevanus Sahertina,
9. Fotocopy surat pernyataan oleh Daniel Stevanus Sahertina tanggal 10
September 2012,
10. Fotocopy surat dari Rina Ratna selaku Personal Dept. Head, tanggal 25
September 2012,
74
11. Fotocopy surat Somasi dari kantor Hukum Adhikoro Simanjutak &
Partner tanggal 5 November 2012,
12. Fotocopy Memo No. M-004/HRDGA/III/2012, Perihal Proses Bonus
tahun 2012, tertanggal 9 Maret 2012,
13. Fotocopy Peraturan Perusahaan & Adiratop tahun,
14. Fotocopy Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Bahwa surat-surat bukti fotocopy tersebut di atas telah diteliti dan
dicocokan dengan surat aslinya, dan telah sesuai aslinya. Sedangkan tergugat
tidak ditunjukan surat aslinya dan tidak pula didukung dengan alat bukti lain
yang dapat menjelaskan bukti tersebut. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa Tergugat telah melalaikan kewajibannya dan ingkar janji dengan tidak
melakukan pelunasan atas sisa utangnya kepada penggugat.
Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan
Putusan Nomor 441/Pdt/2013/PT Smg tanggal 6 Februari 2014.
Atas putusan judex facti tersebut, tergugat kemudian mengajukan
permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung Dalam memori kasasinya
Tergugat/Pemohon Kasasi mendalilkan judex facti telah salah dalam
menerapkan hukum, oleh karena dalam pertimbangan hukumnya diputus tanpa
pertimbangan hukum yang jelas dan layak yang sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku di Indonesia. Dasar yang salah yang digunakan untuk
memutus perkara oleh Judex Facti, mengakibatkan putusan perkara tingkat
banding ini juga menjadi salah. Hal ini terlihat dari keluarnya amar putusan
yang juga menjadi salah, dimana Pengadilan Tinggi Semarang menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri Salatiga yang tidak ada hubungannya dengan
Perkara yang diperiksa. dengan digunakannya dasar yang salah di dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini, maka berakibat bahwa
putusan dari Judex Facti, menjadi tidak bernilai dan menjadi putusan yang
kabur, tidak jelas dan tidak layak. Oleh karena itu sudah sepantasnya jika
Putusan dari Judex Facti untuk ditolak dan dibatalkan. Kemudian dari judex
facti dalam putusan PN Salatiga Nomor 23/Pdt.G/2012/PN Sal, tertanggal 27
75
Agustus 2013, tidak mencerminkan keadilan karena tidak mempertimbangkan
bukti-bukti dan argumen-argumen yang disampaikan oleh Pemohon Kasasi
semula tergugat/Pembanding di dalam persidangan.
Menurut Tergugat dalam pertimbangannya sebagaimana termuat dalam
putusan Pengadilan Negeri Salatiga yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Semarang, Judex Facti menyatakan dan menilai sebagai berikut:
1. Terhadap keadaan-keadaan tersebut Majelis menilai bahwa dalil gugatan
Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi dalam uraiannya didasarkan
kepada asumsi dan harapan atas haknya untuk menerima bonus tahunan
tahun 2011 atas pekerjaan yang telah dilakukan, yang untuk hal itu
dipersidangan tidak dihadirkan alat-alat bukti yang dapat menjelaskan
dalilnya tersebut, sementara menurut Majelis adalah menjadi kewenangan
pihak Tergugat Rekonvensi sebagai perusahaan untuk memberikan bonus
dan atau insentif bagi karyawannya yang berprestasi sebagaimana perjanjian
dan ketentuan-ketentuan yang berlaku, sehingga dengan demikian terhadap
petitum poin III, IV dan V Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi
haruslah di tolak;
2. Bahwa keadaan-keadaan yang dinilai oleh Judex Facti sebagai asumsi
semata untuk mendapatkan bonus adalah salah, keadaan-keadaan tersebut
terjadi berdasarkan hal-hal yang faktual dan dirasakan secara nyata oleh
pemohon Kasasi. Bonus tahunan dari perusahaan merupakan salah satu
elemen penghasilan yang dijanjikan oleh perusahaan pada saat awal
perekrutan Pemohon Kasasi untuk bekerja di Perusahaan Termohon Kasasi.
Hasil kerja luar biasa dari Pemohon Kasasi selama tahun 2011 juga telah
secara nyata keuntungannya dirasakan oleh Perusahaan Termohon Kasasi;
3. Dalam pertimbangan judex facti, yang menyatakan menjadi kewenangan
pihak Termohon Kasasi semula Penggugat/Terbanding sebagai perusahaan
untuk memberikan bonus dan atau insentif bagi karyawannya, didasarkan
kepada ketentuan Perusahaan sebagaimana tercantum di dalam Memo
Nomor M-004/HRDGA/III/2012, tertanggal 9 Maret 2012, perihal Proses
Bonus 2011 (lihat bukti surat P-15); Berdasarkan Memo ini, pihak
76
Termohon Kasasi menyatakan tidak ada kewajiban dari Termohon Kasasi
untuk memberikan bonus kepada Termohon Kasasi;
4. Secara faktual Pemohon Kasasi telah bekerja secara maksimal dan
berprestasi selama bulan Januari hingga Desember tahun 2011 bahkan
melebhi ekspektasi dan harapan dari perusahaan. Hal ini jelas ditunjukkan
dalam dokumen presentasi manajemen tentang performa nasional divisi
mobil PT. Adira Dinamika Multi Finance tahun 2011 (lihat bukti T.1);
Bahwa untuk membuktikan dalil-dalil di atas tergugat telah mengajukan
surat-surat bukti berupa:
1. Fotocopy, 1 bendel Chapter 1 New Car 1 Performance Review Jan – Sept.
2011;
2. Fotocopy, Record Blackberry Messenger Daniel Sahertian dengan Deputy
Director Adira;
3. Fotocopy, Payslip atas nama Daniel S. Sahertian, bulan Maret 2010 dan
bulan Maret 2011.
Disinilah sebenarnya dapat dilihat bahwa Pertimbangan yang digunakan
oleh Judex Facti untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini adalah
tidak layak karena tidak mempertimbangkan rasa keadilan yang hakiki yang
semestinya melekat kepada substansi putusan pengadilan. Di sini, Judex Facti
menggunakan dasar memo dari perusahaan Nomor M004/HRDGA/ III/2012,
tertanggal 9 Maret 2012, untuk menolak memberikan hak bonus prestasi kerja
kepada Pemohon Kasasi selama tahun 2011. Memo tersebut berlaku surut atas
hasil kerja pada tahun sebelumnya, dengan demikian perusahaan Termohon
Kasasi dapat dengan mudah dan sewenang-wenang secara subyektif
menentukan dan menyesuaikan dengan keadaan sesuai kehendak hati dari
pihak Termohon Kasasi sendiri untuk memberikan atau tidak memberikan
bonus akhir tahun kepada Pemohon Kasasi;
Dengan demikian pertimbangan Judex Facti yang lebih
mempertimbangkan dasar pertimbangan dari memo nomor M-
004/HRDGA/III/2012, tertanggal 9 Maret 2012, jelas tidak layak karena Memo
77
tersebut justru merupakan sumber dari ketidakadilan yang dirasakan oleh
Pemohon Kasasi;
Dari Alasan-alasan yang diajukan oleh Tergugat/Pembanding/pemohon
Kasasi tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan tersebut
tidak dapat dibenarkan, sehingga judex facti tidak salah menerapkan hukum,
judex facti sudah tepat dan benar dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Tergugat telah terbukti mempunyai utang kepada Penggugat dan Tergugat
masih belum melunasi utangnya
2. Alasan-alasan mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi
hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan
hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan, yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang
Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009,
Berdasarkan pertimbangan di atas, bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan
Tinggi Semarang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang,
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi: Daniel Sahertina tersebut harus ditolak dalam tingkat
kasasi ini dan diputuskan pada tanggal 1 April 2015.
Dalam hal formil permohonan, tidak ditemukan masalah formil dalam
permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon. Dalam kasus diatas, Daniel
Sahertina sebagai pemohon kasasi merupakan konsumen dari PT. Adira
Dinamika Multi finance sebagai termohon berdasarkan Perjanjian/Pengakuan
Utang yang ditanda tangani kedua belah pihak tertanggal 26 Oktober 2011.
78
Menurut peneliti berdasarkan pertimbangan Hakim tersebut, perjanjian
pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa agunan yang dibuat antara
Penggugat dan Tergugat benar adanya, sehingga perjanjian tersebut
mempunyai kekuatan hukum untuk mengikat para pihak yang membuatnya
juga terhadap pihak ketiga dan juga memiliki kekuatan/nilai pembuktian untuk
menyatakan Tergugat melakukan wanprestasi. Tujuan diadakan perjanjian
yaitu hasil akhir yang diperoleh pihak-pihak berupa pemanfataan, penikmataan
dan pemilikan benda atau hak kebendaan sebagai pemenuhan kebutuhan pihak-
pihak. Pemenuhan kebutuhan tidak akan tercapai jika dilakukan dengan
mengadakan perjanjian antara pihak-pihak. Tujuan perjanjian yang akan
dicapai oleh pihak-pihak tersebut harus halal, artinya tidak dilarang undang-
undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan
masyarakat.11 Dalam perjanjian pembiayaan konsumen antara Pengugat dengan
Tergugat, tujuan dari perjanjian tidak terpenuhi karena Tergugat melalaikan
kewajibannya untuk membayar angsuran dan telah terbukti didalam
persidangan sehingga penerapan ganti kerugian merupakan hal yang tepat
dalam perkara ini. Sehingga jelas bahwa akibat hukum debitur wanprestasi
pada perjanjian pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa agunan dapat
dimintakan pertanggung jawaban secara perdata yaitu menurut Pasal 1131
KUH Perdata,
Perjanjian atau persetujuan yang sah dapat melahirkan adanya kewajiban
atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang
(pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut. Konsekuensi hukumnya,
dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak yang mana pihak yang satu
wajib berprestasi, dan pihak yang lainnya pihak yang berhak atas suatu
prestasi. Berdasarkan apa yang disampaikan Penggugat, dalam perkara ini PT.
Adira Dinamika Multi Finance, suatu perjanjian harus dilakukan secara sah dan
sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Namun, Menurut Gunawan Widjaja
dan Ahmad Yani terdapat syarat-syarat lain yang harus dipenuhi selain
keempat syarat mutlak yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu
11 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian,.... h. 292
79
untuk suatu perjanjian-perjanjian tertentu, undang-undang mensyaratkan pula
dipenuhinya perbuatan tertentu agar perjanjian tersebut dapat membawa akibat
hukum (pada perjanjian rill) ataupun harus dipenuhinya suatu formalitas
tertentu agar perjanjian yang dibuat itu sah adanya (pada perjanjian formil).12
Selain itu dalam perjanjian tersebut terdapat tujuan bersama yang tidak
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan (kausa yang halal) karena
perjanjian pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa agunan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan yang berlaku. Berdasarkan pertimbangan
pertimbangan tersebut, maka dapat disimpulkan jika perjanjian pembiayaan
konsumen dengan kredit tanpa agunan antara PT. Adira Dinamika Multi
Finance dengan Daniel Sahertina telah memenuhi ketentuan dari Pasal 1320
KUH Perdata dengan demikian surat perjanjian pembiayaan konsumen tersebut
telah sah menurut hukum. Inti dari perjanjian menurut pendapat J. Satrio
sebenarnya adalah pada diri debitur ada kewajiban perikatan, ada kewajiban
untuk memenuhi isi perjanjian, dan di lain pihak ada kreditur, pihak yang
berhak atas perjanjian itu. Untuk adanya kewajiban prestasi pada pihak
kreditur, harus dibuktikan adanya perjanjian, yang mewajibkan debitur
berprestasi.13
Menentukan apakah ada suatu wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat
(Daniel Sahertina) sebagaimana yang dinyatakan oleh Penggugat (PT. Adira
Dinamika Multi Finance) dalam gugatannya, haruslah dilihat apakah ada
perjanjian yang dibuat antara Penggugat dengan Tergugat dan apakah salah
satu pihak tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati
dalam perjanjian pembiayaan konsumen tersebut.
Berdasarkan analisis putusan yang peneliti uraikan di atas, maka terkait
perjanjian pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa agunan yang dibuat oleh
kreditur dan debitur tidak dilaksanakan sebagaimana yang tercantum dalam
12 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001), h. 21
13 J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUHPerdata Doktrin, dan Yurisprudensi, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti), 2014, h. 28
80
perjanjian. Perjanjian yang berasaskan pada Kepercayaan dan kemampuan dari
debitur yang melakukan kredit serta dari perjanjian yang disepakati ini menurut
debitur adalah tidak sama sekali mencerminkan keadilan, karena berdasarkan
pada perjanjian pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa agunan dalam
klausula perjanjian yang menyatakan:
“Apabila saya mengundurkan diri atau diputuskan hubungan kerja dari
perusahaan/meninggal dunia maka saya/ahli waris saya bersedia membayar
lunas seluruh utang yang masih tersisa paling lambat 2 minggu sebelum resign
atau dipotong langsung dari gaji dan insentif/bonus/uang pisah pada bulan
yang bersangkutan. Jika sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan,
saya/ahli waris bersedia menghadapi tuntutan dari perusahaan sesuai dengan
hukum dan perundang-undangan yang berlaku”
Dalam uraian perjanjian di atas telah menjelaskan bahwa pembayaran
utang dapat dilakukan dengan dipotong langsung dari gaji dan
insentif/bonus/uang pisah. Serta pelunasan seluruh utang yang harus dilakukan
paling lambat 2 minggu sebelum resign. Sehingga jelas bahwa judex facti salah
dalam menerapkan hukum.
Bahwa dalam perjanjian pada perkembangannya ada yurisprudensi yang
mengatur alasan batal atau membatalkan suatu perjanjian yakni
penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan ini terdiri atas dua unsur
yaitu: sangat merugikan salah satu pihak (dari segi isinya) dan penyalahgunaan
kesempatan oleh pihak yang lain pada saat terjadinya perjanjian (dari segi
terjadinya). Sebagaimana tertera dalam Pasal 44 Ayat (1) Buku III KUH
Perdata yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum dapat dibatalkan jika
terjadi penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Keadaan ini
didasarkan pada adanya ketidakseimbangan posisi tawar para pihak. Saat
kontrak terbentuk atas dasar ketidakpatutan atau ketidakadilan yang terjadi
pada suatu hubungan para pihak yang tidak seimbang, maka hal itu dinamakan
hubungan yang berat sebelah, namun bila ketidakadilan terjadi pada suatu
keadaan maka hal ini dinamakan keadaan yang berat sebelah. J.M. Van Dunne
dan Gr.van Den Burght dalam sebuah diktat kursus hukum perikatan bagian III
81
mengajukan adanya keberatan yang diperinci sebagai berikut: ”Dalam ajaran
hukum, pengertian tentang sebab ini diartikan sedemikian, sehingga perjanjian
berhubungan dengan tujuan atau maksud bertentangan dengan undang-undang,
kebiasaan yang baik atau ketertiban. Pengertian “sebab yang tidak dibolehkan”
itu, dulu dihubungkan dengan isi perjanjian. Pada penyalahgunaan keadaan,
tidaklah sematamata berhubungan dengan isi perjanjian, tetapi berhubungan
dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yaitu
penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan
sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat.14
Jika ditinjau secara yuridis menurut hukum perdata penyalahgunaan
keadaan dalam perjanjian pembiayaan konsumen, Penggugat sebagai
perusahaan yang memberikan fasilitas pembiayaan konsumen, seharusnya
dapat melaksanakan perbuatan hukum yang sesuai dalam ruang lingkup hukum
perdata. Tindakan atau perbuatan perusahaan pembiayaan konsumen untuk
menyerahkan dana pembiayaan yang diperlukan oleh konsumen, serta
demikian pula tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh konsumen untuk
melakukan pembayaran kembali utang pembiayaan, tentunya hal itu
merupakan suatu perbuatan yang akan membawa akibat hukum. Oleh
karenanya, perbuatan tersebut perlu mendapatkan penanganan dari aspek
hukum perdata.
Dalam pertimbangan hakim, menurut peneliti Majelis Hakim menyatakan
bahwa dalam tingkat pengadilan negeri dalam hal pembuktian, tergugat tidak
dapat membuktikan dokumen keaslian dari bukti yang di berikan di
pengadilan, sedangkan penggugat dapat menghadirkan bukti ke dalam
pengadilan beserta dengan dokumen keasliannya. Hal ini menjadi dasar
kepastian dalam putusan di dalam tingkat banding hingga kasasi oleh majelis
hakim memutus perkara antara PT. Adira Dinamika Multi Finance dengan
Daniel Sahertina. Bahwa pembuktian di pengadilan ini merupakan penyajian
alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang berperkara
14 Fatmah Paparang, Misbruik Van Omstandigheden Dalam Perkembangan HukumKontrak, Jurnal Hukum Unsrat, Vol. 22 Nomor 6 Juli 2016,h. 50
82
kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat
kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga
hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan putusan.15 Pembuktian
yang diberikan oleh penggugat dan tergugat merupakan sesuatu yang dapat
membantu para pihak untuk membenarkan adanya permasalahan, M. Yahya
Harahap mengatakan bahwa pembuktian ini adalah kemampuan Penggugat
atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan
membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau
dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Kemudian setelah
adanya pembuktian yang dilakukan di pengadilan, majelis hakim memberikan
pendapat bahwa tergugat memang melakukan wanprestasi.
Menurut Penggugat berdasarkan pelaksanaan perjanjian pembiayaan
konsumen dengan kredit tanpa agunan dalam hal ini tergugat tidak
melaksanakan prestasinya untuk melunasi utang kepada penggugat, sehingga
tergugat dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi dalam perjanjian
pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa agunan, hal ini pun dikuatkan
dalam pertimbangannya sebagaimana termuat dalam putusan Pengadilan
Negeri Salatiga yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang. Bahwa
Penggugat yakni PT. Adira Dinamika Multi Finance, sebagai perusahaan yang
memberikan fasilitas pembiayaan konsumen dalam perjanjian kredit tanpa
agunan telah memberikan Jawaban dalam pembuktian di Pengadilan Negeri
Salatiga, bahwa Tergugat dalam memberikan pembuktiannya tidak
menunjukan keasliannya dari dokumen yang dihadirkan dan tidak pula
didukung dengan alat bukti lain yang dapat menjelaskan alat bukti tersebut.
Bahkan semua bukti dokumen yang dihadirkan oleh Tergugat hanya dengan
bermaterai cukup, untuk dapat dipergunakan dalam pembuktian perkara.
Sehingga membuktikan gugatan dari Pengadilan Negeri Salatiga sampai
dengan Kasasi oleh Tergugat dipandang tidak relevan dan tidak dapat diterima.
15 Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dkk, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian DalamPerkara Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, h. 50
83
Menurut peneliti dari uraian di atas, Disinilah letak kesalahan dari
Tergugat ketika melaksanakan pembuktian di pengadilan, karena tergugat tidak
dapat memberikan keaslian dokumen yang menjadi dasar bukti untuk disajikan
kepada majelis hakim, bahwa membuktikan dalam arti konvensional salah
satunya adalah membuktikan dalam arti yuridis, yang berarti memberikan
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Sehingga Majelis Hakim
menilai bahwa Tergugat tidak menghadirkan alat-alat bukti yang jelas untuk
dapat menjelaskan mengenai pemberian bonus/insentif oleh pihak perusahaan
kepada karyawannya yang berprestasi sebagaimana ketentuan perjanjian yang
berlaku. Sedangkan Penggugat memberikan bukti yang disertai dengan
keaslian dari dokumen dalam pembuktian tersebut bahwa memang tergugat
melakukan wanprestasi dari ketentuan perjanjian yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak.
Pada dasarnya terdapat bentuk pertanggungjawaban dari debitur yang
melakukan wanprestasi terhadap kreditur dalam pembiayaan konsumen, yaitu
dengan melakukan pembayaran pelunasan utang dalam perjanjian kredit tanpa
agunan tersebut sebesar Rp 40.068.000 sesuai dengan ketentuan dari
pengakuan utang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Melakukan ganti
rugi atas objek utang dari perjanjian kredit yang telah disepakati merupakan
sebuah tanggung jawab hukum yang diberikan oleh debitur. Tanggung jawab
ini tidak hanya dilakukan oleh debitur, kreditur sebagai pihak yang
memberikan fasilitas pinjaman kredit juga harus memenuhi ketentuan yang
terdapat dalam perjanjian. Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dikatakan
bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian pada
orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Maka berdasarkan
pernyataan dalam Pasal 1365 KUH Perdata pihak kreditur harus mengganti
sesuai dengan kerugian yang ditimbulkan berdasarkan ketentuan dalam
perjanjian kredit.
84
Ganti rugi dari debitur dapat dilakukan setelah debitur dinyatakan tidak
bisa melakukan kewajibannya untuk memenuhi perjanjian pembiayaan
konsumen dengan kredit tanpa agunan, sesuai dengan ketentuan Pasal 1243
KUH Perdata yang menyatakan:” Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena
tidak dipenuhinya suatu perjanjian barulah mulai diwajibkan apabila si debitur
setelah dinyatakan lalai memenuhi kewajibannya, masih tetap melalaikannya
atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan
atau dibuat tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. Adanya kewajiban
ganti rugi bagi debitur, maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus
terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebreke
stelling).16Kemudian apabila debitur lalai hal ini dapat dinyatakan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu bahwa debitur telah dinyatakan
lalai, dan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Ini terdapat
dalam ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata. Berdasarkan pasal tersebut maka
Daniel Sahertina sebagai pihak yang melakukan pinjaman kredit dari PT. Adira
Dinamika Multi Finance sebagai pihak yang memberikan fasilitas pinjaman
kredit apabila terjadi kelalaian dari kewajibannya dalam memenuhi perjanjian
kredit maka PT. Adira Dinamika dapat menuntut kepada Daniel Sahertina atas
adanya hak ganti rugi yang dimiliki oleh pihak pemberi fasilitas pinjaman
kredit,berdasarkan pada pasal 1234 KUH Perdata debitur diwajibkan
membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur, hal ini
dimaksudkan agar untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak
seimbang) akibat adanya penggunaan barang dan/atau jasa yang tidak
terpenuhi sesuai perjanjian.
Majelis hakim melalui putusannya yang mengadili sendiri dalam pokok
perkara menghukum Tergugat untuk membayar kerugian yang telah dialami
oleh penggugat, yaitu menghukum tergugat membayar ganti rugi dengan
pelunasan utang dari utang yang belum dibayarkan sebesar Rp 40.068.000
yang dimana dalam putusan tingkat kasasi ini, Majelis hakim tetap menolak
permohonan kasasi yang diajukan oleh tergugat untuk meminta hak bonus
16 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung:PT. Alumni, 2014, h. 10
85
prestasi kerja kepada penggugat yang kemudian dipergunakan untuk membayar
utang yang tersisa sehingga utang tersebut dapat dibayarkan. Dalam
pertimbangan hukum majelis hakim, Tergugat telah terbukti mempunyai utang
kepada Penggugat dan Tergugat belum melunasi utangnya; bahwa dalam
alasan-alasan mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan
tentang suatu kenyataan hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi
hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan
hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan,
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Sehingga menurut peneliti, mengenai penilaian hasil pembuktian yang
dipertimbangkan dalam tingkat kasasi, membuktikan dalam arti yuridis, yang
berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa
perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Dasar yang cukup ini dibuktikan dengan pemberian keaslian dokumen oleh
penggugat, untuk menguatkan bukti yang telah diberikan.
Selanjutnya mengenai pertimbangan putusan majelis hakim mengenai
biaya perkara, apa yang sudah Majelis Hakim putuskan sudah sangatlah adil
bahwa biaya perkara ditanggung oleh pihak Daniel Sahertina selaku pihak yang
kalah karena permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon ditolak. Hal ini
sudah sangat sesuai dengan ketentuan Pasal 181 HIR yaitu dimana biaya
perkara haruslah dibebankan kepada pihak yang kalah di dalam persidangan.
Jika dianalisis berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka
perjanjian kredit ini dapat dikatagorikan sebagai perjanjian pinjam meminjam
antara Daniel Sahertina dengan PT. Adira Dinamika Multi Finance
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1754 KUH Perdata, kemudian dalam
perjanjian mengenai pembayaran kredit dilakukan tanpa adanya
jaminan/agunan, ditentukan berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata.
Wanprestasi yang terjadi antara PT. Adira Dinamika sebagai pihak kreditur dan
Daniel Sahertina sebagai pihak debitur, maka yang dapat dilakukan kreditur
86
dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan katagori
sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 1276 KUH perdata. Pada dasarnya
terdapat bentuk pertanggungjawaban dari debitur yang melakukan wanprestasi
terhadap kreditur hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata dikatakan
bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian pada
orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Hal ini juga didasarkan pada
ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata bahwa debitur diwajibkan membayar ganti
kerugian yang telah diderita oleh kreditur.
Dalam perjanjian kredit yang terjadi antara PT. Adira Dinamika Multi
Finance dengan Daniel Sahertina adalah perjanjian pembiayaan konsumen
dengan kredit tanpa agunan. Dalam Pasal 1754 KUH Perdata menjelaskan
perjanjian kredit yang dikatagorikan sebagai perjanjian pinjam meminjam dan
ditentukan bahwa pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dengan dari
macam dan keadaan yang sama pula.17 Unsur-unsur dari perjanjian kredit
menurut pasal tersebut karena adanya perjanjian pinjam meminjam barang
berupa uang dengan ketentuan yang meminjam akan mengganti dengan jumlah
nilai yang sama seperti pada saat ia meminjam.
Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. Pada perjanjian kredit, kreditur memberikan
pinjaman berupa uang kepada debitur dengan dibuat dalam suatu perjanjian
kredit tanpa agunan yang sudah ditanda tangani dan disetujui oleh kedua belah
pihak. Ketidakmampuan Tergugat dalam mengembalikan pinjaman kepada
Penggugat sebagai pihak yang memberikan pinjaman, maka tergugat yang
dalam hal ini sebagai pihak yang melakukan pembayaran pelunasan terhadap
pinjamannya telah melalaikan kewajibannya dalam melakukan pelunasan
17 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), h. 20
87
utangnya, sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian kredit yang dibuat
untuk mengembalikan sesuai dengan yang telah dipinjamkan.
Pada Kasus ini Tergugat telah melakukan wanprestasi. Dari tidak
dilakukannya pelunasan utang dalam perjanjian kredit. Pada kasus yang
terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014., Daniel
Sahertina sebagai pihak debitur yang telah mengambil kredit lunak berupa
pinjaman uang kepada PT. Adira Dinamika Multi Finance telah lalai dalam
membayarkan pelunasan utangnya.
Dari peraturan yang berlaku dan mengatur mengenai Wanprestasi yang
terkait dengan kasus ini, tidak ada peraturan yang menyalahi aturan lainnya.
Hasil Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung, menurut peneliti, sudah
berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup dari aspek yuridis. Karena
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan asas hukum dalam kontrak yakni 5 (lima) asas yang dikenal
menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas
kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme
(concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik
(good faith), dan asas kepribadian (personality).18
Asas kebebasan berkontrak ini dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338
Ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”Artinya
perjanjian pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa agunan yang dilakukan
antara PT. Adira Dinamika Multi Finance dengan Daniel Sahertina merupakan
perjanjian yang dibuat secara sah dan berlaku serta menjadi sumber aturan
layaknya undang-undang bagi para pihak. Karena dari adanya asas ini yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya,
18 M. Muhtarom, Asas-asas Hukum Perjanjian:Suatu Landasan Dalam PembuatanKontrak, Jurnal Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, h. 50
88
4. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Dalam kasus antara PT. Adira Dinamika Multi Finance dengan Daniel
Sahertina bahwa perjanjian yang dibuat sudah memenuhi asas kebebasan di
atas. Seperti yang pertama adalah para pihak telah membuat perjanjian dengan
bentuk secara tertulis bahwa isi perjanjian ini adalah perjanjian kredit lunak
tanpa agunan sebesar Rp 75.000.000 yang dilakukan dengan jangka waktu
kredit selama 60 bulan dengan angsuran setiap bulannya sebesar Rp 1.250.000
dengan syarat dapat dibayarkan dengan cara potong gaji/insentif/bonus serta
uang pisah dari karyawan terhitung mulai tanggal 26 Oktober 2011.
Asas konsensualisme yang merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal artinya telah ditentukan
bentuknya, yaitu tertulis baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan.
Tetapi dapat diadakan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.
Dalam penerapannya, perjanjian pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa
agunan antara PT. Adira Dinamika Multi Finance dengan Daniel Sahertina
dapat dibuktikan kesepakatan, yang telah dibuat kedua belah pihak dengan
bukti penandatangan perjanjian ini.
Asas kepastian hukum atau disebut dengana asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. asas ini
menjelaskan bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, seperti sebuah Undang-Undang. Artinya
mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak. Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menyimpulkan
bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar kedua pihak dan
dikuatkan dengan sumpah. Namun hakim dalam perkara ini menilai dari segi
pembuktian yang dilakukan dalam persidangan, sehingga hal ini tidak
mempengaruhi substansi dari kontrak yang telah disepakat kedua belah pihak
antara PT. Adira Dinamika Multi Finance dengan Daniel Sahertina.
89
Asas itikad yaitu pihak yang melaksanakan substansi kontrak yakni
kreditur dan debitur harus berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh
maupun kemauan yang baik dari para pihak. Hal ini termuat dalam Pasal 1338
Ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan “ Perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik”. Dalam kasus ini PT. Adira Dinamika Multi Finance
sebagai kreditur telah melakukan negosiasi yang dilaksanakan secara
musyawarah kekeluargaan, namun pihak debitur yakni Daniel Sahertina tidak
menanggapi dengan baik dari negosiasi yang telah dilakukan. Karena memang
Daniel Sahertina menginginkan utang yang masih tersisa dibayarkan dengan
bonus yang belum dibayar oleh pihak PT. Adira Dinamika Multi Finance.
Kemudian dianalisa dari aspek filosofis bahwa Hukum mempunyai fungsi
untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia. Oleh karena
itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat
terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal
dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum
dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus
ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan.
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan :
kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan
keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap
orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa
konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat
mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang
diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian
hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan.19
19 Tri Saupa Angka Wijaya, Rechtsvinding Ditinjau Dari Hukum Acara Perdata, JurnalIlmu Hukum Legal Opinion Edisi 4, Vol 2, 2014.
90
Dalam pengadilan Hakim sebagai salah satu penegak hukum mempunyai
peran penting dalam mewujudkan keadilan melalui putusan-putusannya, dan
para pencari keadilan sangat percaya hakim akan memberikan keputusan yang
seadil-adilnya, karena mereka menganggap hakim sebagai wakil Tuhan di
dunia, sehingga apapun keputusan hakim harus dilaksanakan. Pada dasarnya,
penegakan hukum bukan hanya semata-mata tugas dari aparat penegak hukum,
tetapi menjadi kewajiban seluruh komponen bangsa.20 Hal ini sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa : “Segala warga bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai
bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum
adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa
memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap
orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan
hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan
dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Menurut analisis peneliti dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1664
K/Pdt/2014 atas perkara Perjanjian Kredit dari Daniel Sahertina sebagai
Mantan karyawan di PT. Adira Dinamika Multi Finance jika dilihat dalam
aspek filosofis, pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara dalam kasus
wanprestasi terhadap perjanjian kredit ini memiliki dasar dari pemikiran salah
satu mazhab yaitu mazhab aliran Sociological Jurisprudence yang salah satu
pemuka aliran ini adalah Roscou Pound (1870-1964).
Roscou Pound ingin mengubah hukum dari tatanan teoritis (law in book)
menjadi hukum dalam kenyataan (law in action). Karena hukum yang
sebenarnya adalah hukum yang dijalankan. Hukum bukan hanya yang tertulis
dalam Undang-Undang, melainkan apa yang dilakukan oleh aparat
20 Khaira Ummah, Penegakan Hhukum Oleh Hakim Dalam Putusannya Antara KepastianHukum dan Keadilan, Jurnal Hukum Vol. 13 No. 1 Maret 2018: h. 73
91
penyelenggara hukum dan siapa saja yang meaksanakan fungsi pelaksanaan
hukum dengan konsep hukumnya, sebagai sarana perubahan masyarakat.
Dengan demikian, Roscou Pound sampai dengan teorinya bahwa hukum adalah
alat untuk memperbaharui masyarakat (law as a tool of social engineering).21
Kemudian dari tanggung jawab dalam perkara wanprestasi perjanjian kredit ini,
peneliti menggunakan teori dari Hans Kelsen yang mengemukakan teori
tentang pertanggungjawaban dalam hukum terkait dengan konsep kewajiban
hukum (responsibility) adalah konsep tanggung jawab hukum (liability).
Seseorang dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan
tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan
yang berlawanan. Normalnya adalah dalam suatu kasus sanksi dikenakan
terhadap pelaku (deliquent) adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat
orang tersebut harus bertanggung jawab. Pada kasus ini debitur ditetapkan
sebagai pihak yang melakukan wanprestasi dan pertanggungjawaban yang
dilakukan oleh debitur dalam memenuhi prestasinya adalah dengan
melaksanakan pembayaran pelunasan sisa utangnya kepada kreditur sesuai
dengan perjanjian kredit yang disepakati kedua pihak. Menurut Munir Fuady,
Indonesia sebagai penganut sistem hukum Eropa Kotinental (civil law system).
Pada sistem ini, putusan pengadilan berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku, seperti UUD 1945, Tap MPR, UU, Peraturan
Pemerintah, Perpres/Keppres, MA, Kepmen sehingga hakim dalam putusan
pengadilan bersifat fleksibel (berubah-ubah) tergantung hakim yang
memutuskan berdasarkan fakta/bukti yang ada.22 Pertimbangan hakim dalam
putusan ini, peneliti menilai bahwa hakim telah menerapkan semua aspek
permasalahan dalam kasus ini berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
21 Atip Latipulhayat, Roscou Pound, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1 Nomor 2Tahun 2014. H. 414
22 Dhaniswara K. Harjono, Pengaruh Sistem Hukum Common Law Terhadap HukumInvestasi dan Pembiayaan di Indonesia, Lex Jurnalica Vol. 6 No.3, Agustus 2009, PascasarjanaFH UKI, h. 184
92
Dilihat dari aspek sosiologis, pertimbangan hakim sudah cukup memenuhi
nilai-nilai kehidupan di masyarakat, khususnya dalam tanggung jawab
perjanjian kredit. Antara debitur dan kreditur, sama-sama memiliki hak dan
kewajiban sesuai dengan perjanjian yang dibuat kedua pihak. Apabila hak dan
kewajiban tersebut dilanggar/diabaikan, maka menjadi tanggung jawab para
pihak yang melanggar untuk memenuhi prestasi dan pihak yang melakukan
wanprestasi harus memberikan ganti rugi. Oleh karena itu, pertimbangan
hakim yang mengabulkan pembayaran utang dari debitur kepada kreditur
selaku pemberi fasilitas pinjaman kredit merupakan tanggung jawab debitur
atas kelalaian kewajiban dari pembayaran pelunasan sisa utang.
Menurut Pendapat peneliti dalam analisis kasus putusan Nomor 1664
K/Pdt/2014 dalam pembuktiannya di pengadilan didasarkan pada bukti yang
dihadirkan kedua pihak dalam persidangan sudah sesuai dengan prinsip
pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1865 KUH Perdata bahwa
“Barangsiapa menyatakan mempunyai hak atas suatu barang, atau menunjuk
suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, ataupun menyangkal hak orang
lain, maka orang itu harus membuktikannya”. Menurut peneliti dari peristiwa
wanprestasi yang dilakukan debitur kepada kreditur dalam perjanjian
pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa agunan, kedua belah pihak baik
penggugat maupun tergugat telah dibebani dengan beban pembuktian oleh
hakim. Dan kreditur telah membuktikan kebenaran dari bukti yang dihadirkan
dengan adanya keaslian dokumen, sedangkan debitur tidak dapat membuktikan
bantahannya bahwa debitur tidak melakukan wanprestasi.
Dalam mempertimbangkan suatu permasalahan hukum yang tidak terlepas
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hakim dalam
mengambil sebuah keputusan harus mencapai tujuan hukum yaitu kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum dalam putusan yang diambil.
Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat), memiliki yurisprudensi dan
hal ini diterima sebagai salah satu sumber hukum, baik dalam sistem hukum
civil law maupun common law. Kemudian Yurisprudensi dijadikan sebagai
pedoman untuk hakim memutus suatu perkara. Dengan adanya pedoman atau
93
pegangan yang ada dalam yurisprudensi tersebut, maka akan timbul konsistensi
dalam sikap peradilan dan menghindari putusan-putusan yang kontroversial,
hal mana pada gilirannya akan memberikan jaminan kepastian hukum serta
kepercayaan terhadap peradilan dan penegakan hukumnya, baik di forum
nasional dan terutama tingkat internasional.
Pertimbangan hakim pada perkara ini, hakim dalam putusannya telah
mengikuti yurisprudensi dan norma yang berlaku mengenai kasus wanprestasi
melalui pertimbangannya dalam hal pertanggungjawaban oleh pihak debitur
kepada kreditur atas kelalaian kewajiban dalam pembayaran kredit tersebut.
Berdasarkan pertimbangan majelis hakim dalam putusan Mahkamah
Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014, peneliti berkesimpulan bahwa hakim telah
berdasarkan pada berbagai aspek yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan
hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi para pihak yang
berperkara. Pertimbangan ini didasarkan pada analisa secara sosiologis,
filosofis dan yuridis sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di
masyarakat dan dapat dijadikan acuan dalam penyelesaian wanprestasi antara
debitur dan kreditur terkhusus dalam hal wanprestasi akibat lalainya debitur
dalam melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran pelunasan utang.
Hasil dari putusan Mahkamah Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014, menurut
analisis peneliti merupakan putusan akhir yang bersifat tetap dan menghukum
(codemnatoir) yaitu dimana putusan hakim bersifat menghukum salah satu
pihak untuk memenuhi prestasi. Pihak yang menerima hukuman tersebut dalam
perkara ini adalah pihak debitur yakni Daniel Sahertina, yang terbukti
dinyatakan melakukan wanprestasi dan diwajibkan melakukan ganti rugi
kepada kreditur.
Dalam usaha memberikan putusan yang memenuhi rasa keadilan, Hakim
dalam membuat putusan tidak hanya melihat kepada hukum (system denken)
tetapi juga harus bertanya pada hati nurani dengan cara memperhatikan
94
keadilan dan kemanfaatan ketika putusan itu telah dijatuhkan.23 Dalam hal
tanggung jawab hukum dalam perjanjian kredit oleh debitur kepada kreditur
tersebut telah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat (social justice) yang
didasarkan pada putusan yang dilakukan menurut hakim sesuai dengan
pembuktian dari keaslian dokumen dalam perkara di Pengadilan Negeri
Salatiga. Sehingga debitur harus bertanggung jawab terhadap kreditur dalam
melakukan pembayaran pelunasan utangnya.
Menurut pendapat peneliti, analisis kasus putusan Nomor 1664 K/Pdt/2014
atas Perkara Perjanjian Kredit dari Daniel Sahertina sebagai Mantan karyawan
di PT. Adira Dinamika Multi Finance tentang wanprestasi dalam perjanjian
pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa agunan yang menjadi objek dalam
penelitian ini sudah memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan dapat
dijadikan acuan untuk kedepannya apabila terjadi suatu permasalahan hukum
yang substansinya sama di kemudian hari ataupun menjadi pelajaran agar tidak
terulang kembali masalah hukum yang sama/sejenis.
23 HM. Soerya Respationo, Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas Hukum Refleksif dalamPenegakan Hukum Jurnal HukumYustisia, No. 86 Th. XXII Mei-Agustus 2013, Surakarta:Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, h. 43
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka
peneliti memberikan kesimpulan bahwa:
1. Penyelesaian perkara antara debitur dan kreditur dalam perjanjian
pembiayaan dengan kredit tanpa agunan yaitu melalui pengadilan. Kreditur
berhak untuk menuntut pembayaran utang dari debitur yang lalai, dalam
melaksanakan kewajiban hukumnya untuk mengembalikan pinjaman.
Karena dalam perjanjian pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa
agunan, debitur tidak dapat membuktikan dokumen dari bukti yang diajukan
ke pengadilan untuk melunasi utangnya. Maka debitur dikatakan telah
melakukan wanprestasi dalam pembayaran utang. Dalam perjanjian
pembiayaan konsumen antara debitur dengan kreditur, apabila tujuan dari
perjanjian tidak terpenuhi maka penerapan ganti kerugian merupakan hal
yang tepat dalam perkara ini. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1243 KUH
Perdata penggantian biaya, rugi dan bunga dapat dilakukan setelah tidak
dipenuhinya suatu perjanjian, dalam hal ini debitur yang lalai dalam
melakukan kewajibannya sudah tidak memenuhi kesepakatan dalam
perjanjian pembiayaan konsumen. Dari adanya hak ganti rugi kepada
kreditur berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata debitur diwajibkan
membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur.
2. Dasar Pertimbangan Hakim yang memutuskan dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1664 K/Pdt/2014 atas Perkara Wanprestasi dalam Perjanjian
Kredit tanpa Agunan antara Daniel Sahertina dengan PT. Adira Dinamika
Multi Finance telah sesuai dengan ketentuan yang dilihat secara yuridis
dalam aspek hukum perdata, filosofis dalam teori keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan serta tanggung jawab dari pihak debitur yang lalai dalam
menjalankan kewajibannya, untuk memenuhi prestasi kepada pihak kreditur
yang memberikan fasilitas pinjaman kredit. Secara yuridis dalam aspek
96
Hukum Perdata Perjanjian pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa
agunan ini telah diatur sesuai dengan ketentuan Pasal 1754, 1131, 1276,
1365 KUH Perdata. Namun adanya debitur yang telah melakukan
wanprestasi dari perjanjian kredit yang dilakukan terhadap kreditur,
sehingga debitur harus bertanggung jawab secara hukum kepada kreditur
dalam memenuhi prestasinya dalam perjanjian pembiayaan konsumen
dengan kredit tanpa agunan. Pertanggungjawaban ini secara yuridis
didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata yang mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian karena kesalahannya, harus mengganti kerugian
tersebut. Secara filosofis mengenai pertimbangan hakim Mahkamah Agung
telah sesuai dengan teori pertanggungjawaban yang dikemukakan Hans
Kelsen bahwa secara hukum debitur harus bertanggung jawab dalam
perbuatan wanprestasi yang dilakukan, melalui pemenuhan prestasi dengan
pembayaran sisa utang dari perjanjian kredit tanpa agunan kepada kreditur.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kasus permasalahan dalam penelitian ini, agar prestasi dapat
dilakukan peneliti ingin memberikan rekomendasi yang tepat dalam perjanjian
pembiayaan konsumen dengan kredit tanpa agunan agar dapat dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku yaitu:
1. Debitur
Bagi debitur PT. Adira Dinamika Multi Finance, sebelum melakukan
perjanjian pembiayaan konsumen harus memahami dan mengetahui
terhadap klausul-klausul perjanjian pembiayaan sebelum ada kesepakatan
perjanjian, kemudian harus memperhatikan hak dan kewajibannya sebelum
membuat kesepakatan dalam perjanjian dengan kreditur, serta
menyelesaikan persoalan diluar perjanjian dari kedua pihak yang dapat
merugikan salah satu pihak nantinya, karena semua yang disepakati dalam
perjanjian harus memiliki dasar pertimbangan serta kemampuan dari kedua
pihak untuk memenuhi prestasi, agar terjadinya wanprestasi dapat
terhindarkan.
97
2. Kreditur
Pihak PT. Adira Dinamika Multi Finance Sebagai pemilik fasilitas
pembiayaan konsumen, harus lebih memperhatikan calon debiturnya dari
segi perekonomiannya, maupun dari segi kemampuannya untuk
melaksanakan perjanjian pembiayaan, serta harus mempertimbangkan apa
saja yang menjadi unsur gagalnya suatu perjanjian, agar perjanjian yang
dibuat tidak dapat terjadi kegagalan lagi. Sesuai dengan nilai-nilai PT. Adira
Dinamika Multi Finance untuk mengarah kepada sesuatu yang lebih baik
lagi dengan proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan perbaikan
secara terus menerus. Maka dalam membuat perencanaan perjanjian harus
dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan jika
terjadi kelalaian antara para pihak dalam perjanjian harus diberikan klausul-
klausul yang memiliki mekanisme pertanggungjawaban dalam perjanjian,
agar para pihak mendapatkan ganti rugi jika terjadi kerugian antara salah
satu pihak.
3. Pertimbangan Hakim
Dasar pertimbangan hakim menurut peneliti sudah tepat, namun
seharusnya hakim juga harus mempertimbangkan bahwa dalam perjanjian
pengakuan utang, kreditur menerima permohonan pengunduran debitur dan
meminta kepada debitur untuk menyelesaikan dan melunasi utang dalam
jangka waktu 2 minggu setelah pengunduran diri, padahal dalam perjanjian
pengakuan utang tersebut, debitur wajib melakukan pelunasan utang paling
lambat 2 minggu sebelum resign. Seharusnya saat surat permohonan itu
diterima, maka ketentuan mengenai kewajiban untuk melakukan pelunasan
dan penyelesaian atas sisa utang dalam waktu 2 minggu sebelum resign
menjadi tidak berlaku. Karena setiap hakim mempunyai kedudukan,
kewajiban dan sekaligus peran yang sangat penting dalam kerja hukum.
Dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang 4 Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya seorang Hakim harus
98
memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (Recht
vinding). Maka, seharusnya hakim sebagai penegak hukum harus
mempertimbangkan dari berbagai aspek termasuk keadaan sosial
masyarakat yang nyata (sosiale werkelijheid) dan bila perlu menambah
Undang-Undang disesuaikan dengan asas keadaan masyarakat.
99
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adonara, Firman Floranta, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Bandung: CV.
Mandar Maju, 2014.
Adjie Habib dkk, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan
Akta,Bandung: Mandar Maju, 2011.
Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
, Gunawan Widjaja, Jaminan Fidusia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001.
Agustina, Rosa, Perbuatan Melawan Hukum,Jakarta: Pasca Sarjana FH UI,
2003.
Ali, H. Zainuddin, Metode Penelitian Hukum. Cet. Ke-7, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence), Cet-ketiga, Jakarta: Kencana, 2010.
Ardiwisastra Yudha Bhakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung:
Alumni, 2000.
Asshiddiqie Jimly dkk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan Kedua,
Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya
di Indonesia, Bandung: Alumni, 1981.
, Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1991.
100
, Mariam Darus, Pembentukan Hukum Nasional dan
Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2000.
, Mariam Darus Aneka Hukum Bisnis, Bandung: PT. Alumni,
2014.
Budiono, Harlien, Ajaran Umum Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2009.
Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2008.
Emirzon, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Fauza, Primadewi Winne,Tesis: Tinjauan Yuridis Terhadap Pemberian Kredit
Tanpa Agunan Untuk Perorangan, Depok: UI, 2012.
Fuady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012.
, Hukum Tentang Pembiayaan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2014.
Gadaprawira. D, Perkembangan hukum perkreditan nasional dan
internasional, Jakarta: Badan pembinaan hukum nasional,1992.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
_______________, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: Zahir Trading,
1975.
H.S., Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta:
Sinar Grafika, 2003.
101
Kelsen, Hans, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, terjemahan Jimly
Asshiddiqie dkk, Cetakan Kedua, Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
, Teori Hukum Murni Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif,
Bandung: Nusamedia, 2014.
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung:Citra
Aditya Bakti, 2001.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cet Ke IV, Jakarta: Kencana,
2010.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 2008.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1992.
, Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Alumni, 2010.
Mutaqien Raisul dkk, Teori Hukum Murni, Bandung, Nuansa & Nusamedia,
2006.
M. Hadjon Philipus, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2015.
Moleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002.
Patrik, Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan Perikatan yang lahir dari
perjanjian dan dari Undang-Undang, Bandung: Mandar Maju, 1994.
Pound Roscou, Contemporary Juristic Theory, Claremont CA: Pamona
College, 1940.
Projodikoro, Wiryono R., Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur,
1993.
102
Raharjo Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2009.
Rahman, Hasanudin, Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis, Contract
Drafting, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003
Satrio, J., Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya) I,Bandung: Citra
Aditya, 1992.
, Wanprestasi Menurut KUHPerdata Doktrin, dan Yurisprudensi,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Cet. 1, Bandung:
Alumni, 1992.
Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia,
Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993.
Sembiring, Sentosa, Hukum Dagang, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
Simanjutak,Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Penerbit
Djambatan,1999.
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pres, 1986.
Sofwan, Sri Soedwi, Hukum Perdata Hukum Benda,Yogyakarta: Liberty,
2004.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa,1989.
, Aneka Perjanjian, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1995.
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Jakarta: PT. Alumni, 2014.
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
103
Suprapto, Hartono Hadi, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,
Yogyakarta, Liberty, 1984.
Syamsudin, Meliala A. Qiram, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Cet Pertama, Yogyakarta: Liberty, 1985.
Tasmin Masdari, Bahtiar Effendie, dkk, Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian
Dalam Perkara Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Umam, Khotbul, Hukum Lembaga Pembiayaan Hak dan Kewajiban Nasabah
Pengguna Jasa Lembaga Pembiayaan, Sleman: Pustaka Yustisia, 2010.
Usman, Rahmadi,dkk, Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar grafika, 2010.
Y. Sri Susilo, Sigit Triandru dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta:
Salemba Empat, 2000.
JURNAL HUKUM
Duswara, Dudu, Mengembalikan Kewibawaan Mahkamah Agung Sebagai
Peradilan yang Agung, Jakarta: MA RI, Jurnal Konstitusi, Vol. 10
Nomor 1, Maret 2013.
Fatmah Paparang, Misbruik Van Omstandigheden Dalam Perkembangan
Hukum Kontrak, Jurnal Hukum Unsrat, Vol. 22 Nomor 6 Juli 2016.
Harjono, Dhaniswara K., Pengaruh Sistem Hukum Common Law Terhadap
Hukum Investasi dan Pembiayaan di Indonesia, Pascasarjana FH UKI,
Lex Jurnalica Vol. 6 No.3, Agustus 2009.
Latipulhayat, Atip, Roscou Pound, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 1
Nomor 2 Tahun 2014.
104
M. Muhtarom, Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam
Pembuatan Kontrak, Universitas Muhammadiyah Surakarta, SUHUF,
Vol. 26 No. 1 Mei 2014.
Purwahid Patrik, “Peranan Perjanjian Baku dalam Masyarakat”, Makalah
dalam Seminar Masalah Standar Kontrak dalam Perjanjian Kredit,
Surabaya, 11 Desember 1993.
Respationo, Soerya H.M, Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas Hukum
Refleksif dalam Penegakan Hukum Jurnal HukumYustisia, No. 86 Th.
XXII Mei-Agustus 2013, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Septarina Budiwati, Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perspektif Pendekatan
Filosofis, Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Epistimologi
Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015.
Ummah, Khaira, Penegakan Hhukum Oleh Hakim Dalam Putusannya Antara
Kepastian Hukum dan Keadilan, Jurnal Hukum Vol. 13 No. 1 Maret
2018.
Wijaya, Tri Saupa Angka, Rechtsvinding Ditinjau Dari Hukum Acara Perdata,
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 4, Vol 2, 2014.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.01/2006 tentang Perusahaan
105
Pembiayaan.
Peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.
INTERNET
Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Pembiayaan, diakses 10 Mei 2019, Pukul
00.36 WIB. https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/Pages/Lembaga-
Pembiayaan.aspx
Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Jaminan Fidusia,
diakses 10 Mei 2019, Pukul 00.57 WIB.
http:/eprints.ums.ac.id/29114/7/NASKAH_PUBLIKASI.pdf
Putusan deklarator, constitutief dan condemnatoir, diakses 22 Juli 2019, Pukul
21.12 WIB.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt58ed9048160ee/arti-
putusan-deklarator--putusan-constitutief-dan-putusan-condemnatoir
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 1 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
P U T U S A NNomor 1664 K/Pdt/2014
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESAM A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutus sebagai berikut
dalam perkara:
DANIEL SAHARTIAN,S.E., bertempat tinggal di Jalan Merdeka,
Utara Blok G 15, RT. 04, RW. 14 Sidorejo Lor, Kelurahan Sidorejo,
Kecamatan Salatiga, Kota Salatiga, dalam hal ini memberi kuasa
kepada Yudo Praptono Kartodinoto,S.H., Advokat/Penasehat
Hukum pada Kantor Hukum Yudo Kartodinoto & Asc., beralamat di
Jalan Cemara II/5, Salatiga, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 29 Juli 2013;
Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding;
L a w a n
PT ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE, Tbk., diwakili oleh kuasa
Direksi Ingrid Setiadharma, berkedudukan di Gedung Landmark
Center Tower A. Lantai 26-31, Jalan Jenderal Sudirman Kavling
Nomor 1, Jakarta Selatan, dalam hal ini memberi kuasa kepada
Sarkono, S.H., dan kawan, Para Advokat pada Kantor Advokat dan
Konsultan Hukum Sarkono, S.H., dan Rekan beralamat di Jalan
Plamongan Raya A 348 Perumahan Plamongan Hijau,
Semarang, Jawa Tengah, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 30 April 2014;
Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat/Terbanding telah menggugat
sekarang Permohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat/Pembanding di muka
persidangan Pengadilan Negeri Salatiga pada pokoknya atas dalil-dalil:
1. Bahwa Tergugat dulunya adalah merupakan mantan karyawan dari
Penggugat (PT Adira Dinamika Multi Finance,Tbk. di Jakarta) yang mulai
bekerja pada tahun 2008 sampai Desember 2011;
2. Bahwa pada waktu Tergugat bekerja di Penggugat jabatan terakhirnya
adalah sebagai Marketing Manager untuk wilayah kerja Sulawesi;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 2 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
3. Bahwa pada waktu Tergugat masih bekerja pada Penggugat, yaitu pada
bulan Oktober tahun 2011 Tergugat telah mengambil kredit lunak tanpa
jaminan/agunan dari Penggugat sebesar Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima
juta rupiah) dengan jangka waktu kredit selama 60 (enam puluh) bulan
dengan angsuran setiap bulannya sebesar Rp1.250.000,00 (satu juta dua
ratus lima puluh ribu rupiah) dilakukan dengan cara potong gaji Tergugat
terhitung mulai tanggal 26 Oktober 2011;
4. Bahwa untuk angsuran tiap bulannya dari Tergugat pada waktu Tergugat
masih menjadi karyawan Penggugat berjalan lancar, namun pada waktu
Tergugat mengajukan permohonan mengundurkan diri sebagai karyawan
Penggugat pada tanggal 30 Desember 2011 dan secara efektif pada bulan
Januari 2012 Tergugat sudah tidak lagi menjadi karyawan dari Penggugat,
maka untuk angsuran bulan Januari 2012 Tergugat mulai tidak melakukan
pembayaran angsuran atas pijamannya tersebut kepada Penggugat;
5. Bahwa dalam perjanjian/pengakuan hutang yang ditandatangani antara
Penggugat dengan Tergugat tertanggal 26 Oktober 2011 telah disebutkan
secara jelas yaitu Atas hutang tersebut di atas, apabila saya mengundurkan
diri atau diputuskan hubungan kerja dari perusahaan/meninggal dunia maka
saya/ahli waris saya bersedia membayar lunas seluruh hutang yang masih
tersisa paling lambat 2 minggu sebelum resign atau dipotong langsung dari
gaji dan insentif/bonus/uang pisah pada bulan yang bersangkutan. Jika
sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan, saya/ahli waris bersedia
menghadapi tuntutan dari perusahaan sesuai dengan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku;
6. Bahwa pada waktu Tergugat mengajukan permohonan pengunduran diri dari
Karyawan Penggugat pada tanggal 30 Desember 2011, Tergugat telah
membayar 2 (dua) kali angsuran untuk periode bulan November dan bulan
Desember 2011 sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)
dan ditambah dengan persetujuan dari Tergugat untuk dipotong langsung
dari Uang Pisah sebesar Rp12.432.000,00 (dua belas juta empat ratus tiga
puluh dua ribu rupiah), dengan demikian maka posisi hutang Tergugat masih
tersisa sebesar Rp60.068.693,00 (enam puluh juta enam puluh delapan ribu
enam ratus sembilan puluh tiga rupiah;
7. Bahwa sejak Tergugat tidak lagi menjadi karyawan dari Penggugat, maka
Tergugat sudah tidak lagi melakukan pelunasan atas sisa hutangnya kepada
Penggugat tersebut yang seharusnya Tergugat selesaikan dan dilunasi
seluruhnya dalam jangka waktu 2 (dua) minggu setelah Tergugat
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 3 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
mengundurkan diri dan tidak bekerja lagi kepada Penggugat sesuai dengan
surat perjanjian pengakuan hutang yang telah ditanda tangani Tergugat;
8. Bahwa dengan tidak dilakukannya pembayaran pelunasan atas sisa hutang
yang dilakukan oleh Tergugat tersebut, maka Penggugat telah memberikan
peringatan baik melalui telpon maupun peringatan secara tertulis kepada
Tergugat dan atas peringatan tertulis dari Penggugat tersebut kemudian
Tergugat pada tanggal 28 Pebruari 2012 via transfer telah membayar
sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) sehingga dengan
pembayaran transfer tersebut Tergugat masih mempunyai kekurangan
hutang yang belum dibayar sebesar Rp40.068.000,00 (empat puluh juta
enam puluh delapan ribu rupiah);
9. Bahwa atas kredit pinjaman lunak yang diberikan oleh Penggugat kepada
Tergugat sebesar Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah), maka
Penggugat setelah melakukan perhitungan dengan Tergugat telah disepakati
sebagai berikut:
- Hutang Tergugat sebesar Rp75.000.000,00
- Angsuran/pembayaran Tergugat Rp34.932,000,00
- Sisa hutang Tergugat Rp40.068.000,00
10.Bahwa dengan demikian maka sisa hutang Tergugat yang belum dibayar
oleh Tergugat kepada Penggugat adalah sebesar Rp40.068.000,00 (empat
puluh juta enam puluh delapan ribu rupiah);
11.Bahwa kemudian setelah Tergugat melakukan pembayaran via transfer pada
tanggal 28 Pebruari 2012 sampai dengan sekarang Tergugat sudah tidak
melakukan pembayaran pelunasan kepada Penggugat atas sisa hutang
yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab dari Tergugat tersebut dengan
demikian maka Tergugat telah mengabaikan dan tidak menepati isi dari
perjanjian serta telah melanggar perjanjian;
12.Bahwa Penggugat sudah mengingatkan dan memberikan surat peringatan
berkali-kali kepada Tergugat untuk menyelesaikan pelunasan atas sisa
hutangnya kepada Pengugat akan tetapi Tergugat hanya selalu berjanji baik
lisan atau pun dengan pernyataan secara tertulis kepada Penggugat dengan
janji untuk menyelesaikan, akan tetapi kenyataannya tidak pernah ada
realisasinya, dengan demikian Tergugat telah melalaikan terhadap
kewajibannya dalam melakukan pembayaran pelunasan hutangnya,
sehingga Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji atau wansprestasi
kepada Penggugat;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 4 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
13.Bahwa oleh karena Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji kepada
Penggugat, maka Tergugat wajib untuk membayar pelunasan atas sisa
hutangnya sebesar Rp40.068.000,00 (empat puluh juta enam puluh delapan
ribu rupiah) secara tunai dan seketika kepada Penggugat;
14.Bahwa Penggugat telah berupaya untuk menyelesaikan masalah ini secara
musyawarah kekeluargaan, namun agaknya Tergugat tidak menyambut baik
usaha penyelesaian secara baik yang ditawarkan oleh Penggugat tersebut
sehingga dengan terpaksa Penggugat menempuh penyelesaian melalui jalur
hukum supaya ada kepastian hukum;
15.Bahwa untuk menjamin terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat
serta agar nantinya gugatan Penggugat ini tidak sia-sia dikemudian hari,
maka Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Salatiga untuk
meletakkan sita jaminan atas harta kekayaan milik Tergugat yang berupa
sebagai berikut:
- Tanah dengan sertifikat Hak Milik yang luasnya ± 120 m2 (seratus dua
puluh meter persegi) berikut bangunan rumah yang berdiri di atasnya
dengan batas-batasnya:
o Sebelah Utara Jalan;
o Sebelah Timur Rumah milik Bapak Sasongko;
o Sebelah Selatan Rumah milik Bapak Irfan;
o sebelah Barat Jalan;
Yang terletak di Jalan Merdeka Utara Blok G 15 RT.04/RW.14, Kelurahan
Sidorejo Lor, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga;
Satu buah bangunan rumah tinggal bertingkat yang terbuat dari
kerangka kayu, dinding tembok, lantai keramik, atap genteng;
- Barang-barang yang diduga milik Tergugat baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, saham-saham, ijin-ijin usaha, tanah-tanah kosong
yang ada sekarang maupun yang ditemukan dikemudian hari;
16.Bahwa karena kelalaian Tergugat tersebut maka sudah sepantasnya apabila
Tergugat dihukum dan dibebani untuk membayar uang paksa/dwangsom
sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) setiap harinya apabila
Tergugat lalai melaksanakan putusan ini sejak perkara diputus oleh
Pengadilan sampai ini mempunyai kekuatan hukum tetap;
17.Bahwa gugatan ini diajukan atas bukti-bukti yang kuat sehingga putusan
dalam perkara ini wajib dinyatakan mempunyai kekuatan hukum tetap
meskipun dilakukan upaya hukum banding dan kasasi;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 5 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
18.Bahwa karena adanya kelalaian dari Tergugat maka sudah sewajarnya
apabila Tergugat dibebani pula untuk membayar biaya perkara yang timbul
dalam perkara ini;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Penggugat mohon
kepada Pengadilan Negeri Salatiga agar memberikan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan oleh
Pengadilan Negeri Salatiga;
3. Menyatakan sah dan mengikat perjanjian hutang/pengakuan hutang yang
dibuat oleh Penggugat dengan Tergugat tanggal 26 Oktober 2011;
4. Menyatakan menurut hukum hutang Tergugat kepada Penggugat sebesar
Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);
5. Menyatakan menurut hukum Tergugat baru membayar/mengangsur kepada
Penggugat sebesar Rp34.932.000,00 (tiga puluh empat juta sembilan ratus
tiga puluh dua ribu rupiah);
6. Menyatakan menurut hukum Tergugat telah melalaikan kewajibannya tidak
melakukan pembayaran pelunasan atas sisa hutangnya kepada Penggugat;
7. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji kepada
Penggugat;
8. Menyatakan menurut hukum sisa hutang/kewajiban Tergugat yang masih
belum diselesaikan oleh Tergugat sebesar Rp40.068.000,00 (empat puluh
juta enam puluh delapan ribu rupiah);
9. Menghukum kepada Tergugat untuk membayar pelunasan atas sisa
hutang/kewajiban yang belum diselesaikan oleh Tergugat sebesar
Rp40.068.000,00 (empat puluh juta enam puluh delapan ribu rupiah) kepada
Penggugat secara tunai dan seketika;
10.Memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar pelunasan atas sisa
hutang/kewajiban yang belum diselesaikan oleh Tergugat sebesar
Rp40.068.000,00 (empat puluh juta enam puluh delapan ribu rupiah) kepada
Penggugat secara tunai dan seketika;
11.Menghukum kepada Tergugat untuk membayar uang paksa/dwangsom
sebesar Rp5.00.000,00 (lima ratus ribu rupiah) setiap harinya atas
keterlambatan dalam pemenuhan pembayaran ini terhitung sejak perkara ini
diputus oleh Pengadilan Negeri sampai mempunyai kekuatan hukum tetap;
12.Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini;
13.Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun dilakukan
upaya hukum banding maupun kasasi maupun upaya hukum lainnya;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 6 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
Atau, mohon putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan rasa keadilan;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat dalam Konvensi
(Penggugat Rekonvensi) gugatan rekonvensi yang pada pokoknya sebagai
berikut:
1. Bahwa, Penggugat Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi telah melakukan
dan menjalankan tugas dengan baik dan maksimal selama bekerja kepada
Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi. dan dalam rentang waktu
satu tahun terakhir antara bulan Januari 2011 sampai dengan Desember
2011, sebelum mengundurkan diri, Penggugat Rekonvensi/Tergugat dalam
Konvensi telah memberikan kontribusi dan benefit yang sangat baik bagi
perusahaan (Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi);
2. Bahwa, atas hal tersebut pihak Penggugat Rekonvensi/Tergugat dalam
Konvensi berhak untuk mendapatkan bonus tahunan atas hasil kerja selama
setahun tersebut. Dan hal ini menjadi kewajiban bagi pihak Tergugat
Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi untuk memberikan bonus tahunan
kepada karyawannya yang telah bekerja dengan baik selama setahun tersebut;
3. Bahwa, Penggugat Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi meskipun telah
bekerja baik dan memberikan kontribusi dan benefit kepada perusahaan,
namun demikian hingga saat ini pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat
dalam Konvensi belum juga melaksanakan kewajiban dan memberikan hak
Bonus Tahunan dari Penggugat Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi, yang
tentu saja hal ini merugikan Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam
Konvensi secara materiil;
4. Bahwa, besaran Bonus Tahunan yang menjadi hak dari Penggugat
Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi dan wajib diberikan oleh pihak
Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi adalah sebesar:
Gaji pokok + Tunjangan Transport: Rp8.648.000,00 (delapan juta enam ratus
empat puluh delapan ribu rupiah) Rp8.648.000,00 x 5 = Rp43.240.000,00
(empat puluh tiga juta dua ratus empat puluh ribu rupiah), sesuai dengan
kebijakan perusahaan dan yang selama ini diterima oleh Penggugat
Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi pada tahun-tahun sebelumnya;
5. Bahwa, atas pengunduran diri tersebut, Penggugat Rekonvensi/Tergugat
dalam Konvensi juga berhak atas biaya/ongkos pengembalian/pemulangan
karyawan ke tempat asal rekrut. Bahwa besaran biaya/ongkos yang sudah
dikeluarkan oleh pihak Penggugat Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi
yang belum diganti oleh pihak perusahaan (Tergugat Rekonvensi/Penggugat
dalam Konvensi) adalah biaya pengiriman barang ke tempat asal karyawan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 7 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah). dan biaya dan
ongkos yang telah dikeluarkan tersebut wajib diberikan penggantian oleh
Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi;
6. Bahwa, atas tidak diterimanya hak-hak dari Penggugat Rekonvensi/Tergugat
dalam Konvensi tersebut, maka pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat
dalam Konvensi telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana
dimaksud dalam dalam pasal 1365 KUHPerdata yang memuat ketentuan
sebagai berikut: "Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya
menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian";
7. Bahwa, perbuatan melawan hukum sesuai dengan Rumusan Hoge Raad
sebelum tahun 1919 adalah suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif
orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat
sendiri yang telah diatur dalam undang-undang;
8. Bahwa, dengan hal tersebut pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam
Konvensi telah secara melawan hak dan melanggar hak subjektif dari pihak
Penggugat Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi untuk mendapatkan Bonus
Tahunan dan pengembalian biaya/ongkos pemulangan/pengembalian
karyawan ke tempat asah;
9. Bahwa, karena pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi telah
melakukan Perbuatan Melawan Hukum, maka Tergugat Rekonvensi/
Penggugat dalam Konvensi wajib untuk membayar ganti kerugian kepada
pihak Penggugat Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi berikut ini:
- Ganti kerugian atas bonus tahunan yang tidak diterima sebesar
Rp43.240.000,00 (empat puluh tiga juta dua ratus empat puluh ribu rupiah);
- Ganti kerugian atas biaya/ongkos pemulangan/pengembalian karyawan
ke tempat asal termasuk biaya pindah barang sebesar Rp7.500.000,00
(tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
Dengan demikian total ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh pihak
Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi kepada pihak Penggugat
Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi adalah sebesar:
- Bonus Tahunan Rp43.240.000,00
- Biaya/Ongkos pulang Rp 7.500.000,00
Total Rp50.740.000,00
Terbilang (lima puluh juta tujuh ratus empat puluh ribu rupiah);
10.Bahwa, atas jumlah tersebut wajib diperhitungkan dan dipotongkan secara
langsung terhadap sisa hutang dari pihak Penggugat Rekonvensi/Tergugat
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 8 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
dalam Konvensi kepada pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam
Konvensi, sesuai dengan ketentuan dalam Surat Pengakuan Hutang
sebagaimana dimaksud dalam Konvensi;
11.Bahwa, atas perbuatan melawan hukum tersebut, maka pihak Tergugat
Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi sudah sepantasnya dihukum untuk
membayar uang paksa/dwangsom sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah), untuk setiap hari kelalaian pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat
dalam Konvensi melaksanakan putusan ini sejak perkara diputus oleh
pengadilan tingkat pertama sampai dengan keputusan ini mempunyai
kekuatan hukum tetap;
12.Bahwa, karena adanya perbuatan melawan yang telah dilakukan oleh pihak
Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi maka sudah sewajarnya
apabila pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi juga
dihukum dan dibebani untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul
dalam perkara ini;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat Rekonvensi
mohon kepada Pengadilan Negeri Salatiga untuk memberikan putusan sebagai
berikut:
1. Mengabulkan gugatan rekonvensi dari pihak Penggugat Rekonvensi/
Tergugat dalam Konvensi untuk seluruhnya;
2. Menyatakan pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi telah
melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menghukum pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi untuk
membayarkan ganti kerugian kepada pihak Penggugat Rekonvensi/Tergugat
dalam Konvensi sebesar Rp;
4. Memerintahkan kepada pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam
Konvensi untuk memperhitungkan dan memotongkan secara langsung atas
sisa hutang dari pihak Penggugat Rekonvensi/Tergugat dalam Konvensi
kepada pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi, sesuai
dengan ketentuan dalam Surat Pengakuan Hutang sebagaimana dimaksud
dalam Konvensi;
5. Menghukum pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi untuk
membayar uang paksa/dwangsom sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah), untuk setiap hari kelalaian pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat
dalam Konvensi melaksanakan putusan ini sejak perkara diputus oleh
pengadilan tingkat pertama sampai dengan keputusan ini mempunyai
kekuatan hukum tetap;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 9 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
6. Menghukum pihak Tergugat Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi untuk
membayar seluruh biaya perkara yang muncul;
Atau, mohon putusan yang seadil-adilnya (exaequo et bono);
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Salatiga telah
memberikan Putusan Nomor 23/Pdt.G/2013/PN.Sal., tanggal 27 Agustus 2013
dengan amar sebagai berikut:
Dalam Konvensi:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan sah dan mengikat perjanjian hutang/pengakuan hutang yang
dibuat oleh Penggugat dengan Tergugat tanggal 26 Oktober 2011;
3. Menyatakan menurut hukum hutang Tergugat kepada Penggugat sebesar
Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);
4. Menyatakan menurut hukum Tergugat baru membayar/mengangsur kepada
Penggugat sebesar Rp34.932.000,00 (tiga puluh empat juta sembilan ratus tiga
puluh dua ribu rupiah);
5. Menyatakan menurut hukum Tergugat telah melalaikan kewajibannya tidak
melakukan pembayaran pelunasan atas sisa hutangnya kepada Penggugat;
6. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji kepada
Penggugat;
7. Menyatakan menurut hukum sisa hutang/kewajiban Tergugat yang masih
belum diselesaikan oleh Tergugat sebesar Rp40.068.000,00 (empat puluh juta
enam puluh delapan ribu rupiah);
8. Menghukum kepada Tergugat untuk membayar pelunasan atas sisa
hutang/kewajiban yang belum diselesaikan oleh Tergugat sebesar
Rp40.068.000,00 (empat puluh juta enam puluh delapan ribu rupiah) kepada
Penggugat secara tunai dan seketika;
9. Memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar pelunasan atas sisa
hutang/kewajiban yang belum diselesaikan oleh Tergugat sebesar
Rp40.068.000,00 (empat puluh juta enam puluh delapan ribu rupiah) kepada
Penggugat secara tunai dan seketika;
10. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya;
Dalam Rekonvensi:
- Menolak seluruh gugatan Penggugat Rekonvensi;
Dalam konvensi dan rekonvensi:
- Menghukum Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk membayar
ongkos perkara sebesar Rp331.000,00 (tiga ratus tiga puluh satu ribu rupiah);
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 10 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat
Putusan Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri Salatiga Nomor
23/Pdt.G/2013/PN.Sal., tanggal 27 Agustus 2013 tersebut telah dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Semarang dengan Putusan Nomor 441/Pdt/2013/PT Smg.,
tanggal 6 Februari 2014;
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
Tergugat/Pembanding pada tanggal 20 Maret 2014 kemudian terhadap putusan
tersebut Tergugat/Pembanding melalui Kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tanggal 29 Juli 2013 mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 1
April 2014 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor
441/Pdt/2013/PT.Smg., juncto Nomor 23/Pdt.G/2013/PN.Sal., yang dibuat oleh
Wakil Panitera Pengadilan Negeri Salatiga, permohonan tersebut disertai
dengan memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 8 April 2014;
Bahwa memori kasasi dari Pemohon Kasasi/Tergugat/Pembanding
tersebut telah diberitahukan kepada Penggugat pada tanggal 23 April 2014;
Kemudian Termohon Kasasi/Penggugat/Terbanding mengajukan
tanggapan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Salatiga pada tanggal 6 Mei 2014;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, oleh
karena itu permohonan kasasi tersebut secara formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi/Tergugat/Pembanding dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya
sebagai berikut:
Tentang Putusan Judex Facti diputus tanpa Pertimbangan Hukum yang
jelas dan layak;
Bahwa Judex Facti dalam memeriksa dan mengadili perkara ini tidak
memberikan Pertimbangan Hukum yang jelas dan layak yang sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku di indonesia adalah sebagai berikut:
Bahwa, Judex Facti menggunakan dasar yang salah dalam memeriksa
dan mengadili perkara ini. Dasar yang digunakan untuk memeriksa dan
mengadili perkara pada Tingkat Banding adalah Putusan Pengadilan
Negeri Salatiga Nomor 23/Pdt.G/2012/PN Sal, Tertanggal 27 Agustus
2013, dimana putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri
Salatiga dengan Nomor 23/Pdt.G/2012/PN Sal. yang dijadikan dasar
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 11 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
untuk memutus oleh Judex Facti, tidak ada hubungannya dengan
perkara yang diperiksa dan diadili pada tingkat banding;
Dasar yang salah yang digunakan untuk memutus perkara oleh Judex
Facti, mengakibatkan putusan perkara tingkat banding ini juga menjadi
salah. Hal ini terlihat dari keluarnya amar putusan yang juga menjadi
salah, dimana Pengadilan Tinggi Semarang menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Salatiga yang tidak ada hubungannya dengan
Perkara yang diperiksa;
Bahwa, dengan digunakannya dasar yang salah di dalam memeriksa,
mengadili dan memutus perkara ini, maka berakibat bahwa putusan dari
Judex Facti, menjadi tidak bernilai dan menjadi putusan yang kabur,
tidak jelas dan tidak layak. Oleh karena itu sudah sepantasnya jika
Putusan dari Judex Facti untuk ditolak dan dibatalkan;
Bahwa Judex Facti Putusan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor
23/Pdt.G/2012/PN Sal., tertanggal 27 Agustus 2013, tidak mencerminkan
keadilan oleh karena tidak mempertimbangkan bukti-bukti dan argumen-
argumen yang disampaikan oleh Pemohon Kasasi semula Tergugat/
Pembanding di dalam persidangan.
Di dalam Pertimbangannya, sebagaimana termuat dalam putusan
Pengadilan Negeri Salatiga yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Semarang, Judex Facti menyatakan dan menilai sebagai berikut:
Menimbang, bahwa terhadap keadaan-keadaan tersebut Majelis menilai
bahwa dalil gugatan Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi dalam
uraiannya didasarkan kepada asumsi dan harapan atas haknya untuk
menerima bonus tahunan tahun 2011 atas pekerjaan yang telah
dilakukan, yang untuk hal itu dipersidangan tidak dihadirkan alat-alat
bukti yang dapat menjelaskan dalilnya tersebut, sementara menurut
Majelis adalah menjadi kewenangan pihak Tergugat Rekonvensi sebagai
perusahaan untuk memberikan bonus dan atau insentif bagi karyawannya
yang berprestasi sebagaimana perjanjian dan ketentuan-ketentuan yang
berlaku, sehingga dengan demikian terhadap petitum poin III, IV dan V
Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi haruslah di tolak;
Bahwa keadaan-keadaan yang dinilai oleh Judex Facti sebagai asumsi
semata untuk mendapatkan bonus adalah salah, keadaan-keadaan
tersebut terjadi berdasarkan hal-hal yang faktual dan dirasakan secara
nyata oleh pemohon Kasasi. Bonus tahunan dari perusahaan merupakan
salah satu elemen penghasilan yang dijanjikan oleh perusahaan pada
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 12 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
saat awal perekrutan Pemohon Kasasi untuk bekerja di Perusahaan
Termohon Kasasi. Hasil kerja luar biasa dari Pemohon Kasasi selama
tahun 2011 juga telah secara nyata keuntungannya dirasakan oleh
Perusahaan Termohon Kasasi;
Bahwa pertimbangan Judex Facti, yang menyatakan bahwa; menjadi
kewenangan pihak Termohon Kasasi semula Penggugat/Terbanding
sebagai perusahaan untuk memberikan bonus dan atau insentif bagi
karyawannya, didasarkan kepada ketentuan Perusahaan sebagaimana
tercantum di dalam Memo Nomor M-004/HRDGA/III/2012, tertanggal 9
Maret 2012, perihal Proses Bonus 2011 (lihat bukti surat P-15);
Berdasarkan Memo ini, pihak Termohon Kasasi menyatakan tidak ada
kewajiban dari Termohon Kasasi untuk memberikan bonus kepada
Termohon Kasasi;
Secara faktual Pemohon Kasasi telah bekerja secara maksimal dan
berprestasi selama bulan Januari hingga Desember tahun 2011 bahkan
melebhi ekspektasi dan harapan dari perusahaan. Hal ini jelas ditunjukkan
dalam dokumen presentasi manajemen tentang performa nasional divisi
mobil PT. Adira Dinamika Multi Finance tahun 2011 (lihat bukti T.1);
Disinilah sebenarnya dapat dilihat bahwa Pertimbangan yang digunakan
oleh Judex Facti untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini
adalah tidak layak karena tidak mempertimbangkan rasa keadilan yang
hakiki yang semestinya melekat kepada substansi putusan pengadilan.
Di sini, Judex Facti menggunakan dasar memo dari perusahaan Nomor M-
004/HRDGA/ III/2012, tertanggal 9 Maret 2012, untuk menolak memberikan
hak bonus prestasi kerja kepada Pemohon Kasasi selama tahun 2011.
Memo tersebut berlaku surut atas hasil kerja pada tahun sebelumnya,
dengan demikian perusahaan Termohon Kasasi dapat dengan mudah dan
sewenang-wenang secara subyektif menentukan dan menyesuaikan
dengan keadaan sesuai kehendak hati dari pihak Termohon Kasasi sendiri
untuk memberikan atau tidak memberikan bonus akhir tahun kepada
Pemohon Kasasi;
Dengan demikian pertimbangan Judex Facti yang lebih mempertimbangkan
dasar pertimbangan dari memo nomor M-004/HRDGA/III/2012, tertanggal 9
Maret 2012, jelas tidak layak karena Memo tersebut justru merupakan
sumber dari ketidakadilan yang dirasakan oleh Pemohon Kasasi;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat:
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 13 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena
Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum, Judex Facti sudah tepat dan
benar dengan pertimbangan sebagai berikut;
Bahwa Tergugat telah terbukti mempunyai hutang kepada Penggugat
dan Tergugat masih belum melunasi hutangnya;
Bahwa lagi pula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan hal mana tidak
dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan
atau ada kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku,
adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan, yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan
yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas
wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang Undang
Mahkamah Agung Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan
Judex Facti/Pengadilan Tinggi Semarang dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi DANIEL SAHARTIAN,S.E., tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
ditolak dan Pemohon Kasasi ada di pihak yang kalah, maka Pemohon Kasasi
dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
Memperhatikan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta
peraturan perundangan lain yang bersangkutan;
M E N G A D I L I:1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi DANIEL
SAHARTIAN,S.E., tersebut;
2. Menghukum Pemohon Kasasi/Tergugat/Pembanding untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim
pada hari Rabu tanggal 1 April 2015 oleh Prof. Dr. Takdir Rahmadi,S.H.,LL.M.,
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Halaman 14 dari 14 hal. Put. Nomor 1664 K/Pdt/2014
Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Majelis, Soltoni Mohdally,S.H., M.H., dan H. Mahdi Soroinda Nasution,S.H.,
M.Hum., Hakim-hakim Agung sebagai anggota dan diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan dihadiri para
anggota tersebut dan dibantu oleh Endah Detty Pertiwi, S.H., M.H., Panitera
Pengganti dan tidak dihadiri oleh Para Pihak.
Hakim Hakim Anggota, Ketua Majelis,
Ttd./ Ttd./
Soltoni Mohdally,S.H., M.H. Prof. Dr. Takdir Rahmadi,S.H.,LL.M.
Ttd./
H. Mahdi Soroinda Nasution,S.H., M.Hum.
Panitera Pengganti,
Ttd./
Endah Detty Pertiwi, S.H., M.H.
Biaya-biaya:
1. Meterai…….. Rp 6.000,00
2. Redaksi…….. Rp 5.000,00
3. Administrasi Kasasi…. Rp489.000,00+
Jumlah Rp500.000,00
Untuk Salinan:MAHKAMAH AGUNG RI
Atas Nama Panitera,Panitera Muda Perdata,
Dr. Pri Pambudi Teguh,S.H.,M.H.NIP. 1961 0313 1988 031 003
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14