Tinjauan Umum Dan Kebijakan Keamanan Pangan

download Tinjauan Umum Dan Kebijakan Keamanan Pangan

of 25

description

tinjauan pustaka kemanan pangan

Transcript of Tinjauan Umum Dan Kebijakan Keamanan Pangan

BAB 1

BAB 3TINJAUAN PUSTAKA DAN KEBIJAKAN3.1 KEAMANAN PANGANUntuk memenuhi kebutuhan akan keadaan bebas dari resiko kesehatan yang disebabkan oleh kerusakan, pemalsuan dan kontaminasi, baik oleh mikroba atau senyawa kimia, maka keamanan pangan merupakan faktor terpenting baik untuk dikonsumsi pangan dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor. Keamanan pangan merupakan masalah kompleks sebagai hasil interaksi antara toksisitas mikrobiologik, toksisitas kimia dan status gizi. Hal ini saling berkaitan, dimana pangan yang tidak aman akan mempengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya menimbulkan masalah terhadap status gizi (Seto, 2001). Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya perhatian terhadap hal ini, telah sering mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses penyimpanan dan penyajian sampai risiko munculnya penyakit kanker akibat penggunaan bahan tambahan (food additive) yang berbahaya (Syah, 2005).Keamanan pangan diartikan sebagai terbebasnya makanan dari zat-zat atau bahan yang dapat membahayakan kesehatan tubuh tanpa membedakan apakah zat itu secara alami terdapat dalam bahan makanan yang digunakan atau tercampur secara sengaja atau tidak sengaja kedalam bahan makanan atau makanan jadi (Moehyi, 2000). Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasan masyarakat (Saparinto, 2006). 3.2 BAHAN TAMBAHAN PANGAN

Makanan yang optimal akan berkontribusi optimal pula terhadap kesehatan. Hal ini memperlihatkan bahwa posisi strategis makanan dalam peradaban telah disadari sejak lama. Makanan yang kita makan sehari-hari tentu saja juga mempunyai risiko menjadi tidak aman untuk dikonsumsi, karena kemungkinan dicemari bahan bahan yang bebahaya seperti mikroba, bahan kimia atau benda-benda lainnya yang dapat meracuni, atau dapat mengakibatkan kecelakaan. Karena itu, tindakan-tindakan untuk mencegah timbulnya bahaya dalam makanan, bahan kimia, fisik maupun mikrobiologi, dalam seluruh rantai pangan harus dipahami sepenuhnya. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah bahan-bahan yang ditambahkan terhadap bahan pangan, yang kemudian dikenal dengan nama bahan tambahan pangan (Syah, 2005).

3.2.1 Pengertian Bahan Tambahan Pangan Bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dan minuman dalam proses pengolahann, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama (Hardinsyah dan Sumali, 2001). Berdasarkan Permenkes Repubik Indonesia Nomor: 722/Menkes/Per/IX/88 dengan revisi Nomor: 1168/Menkes/Per/X/1999 menyatakan bahwa bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan (Cahyadi, 2008). Defenisi lain mengatakan bahwa bahan tambahan pangan adalah bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan atau tidak dipakai sebagai campuran khusus makanan, mungkin bergizi mungkin juga tidak (Fardiaz, 2007). 3.2.2 Jenis Bahan Tambahan Pangan

Pada umumnya bahan tambahan Pangan dibagi mejadi dua golongan besar, yaitu dengan sengaja ditambahkan dan tidak sengaja ditambahkan (Cahyadi, 2008):

1. Dengan sengaja ditambahkan (Intentional Additives)

Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja kedalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti untuk meningkatkan nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa, sebagai contoh pengawet, pewarna dan pengeras.

2. Tidak sengaja ditambahkan

Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan pangan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi. Contoh bahan tambahan makanan dalam golongan ini adalah residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dan rodentisida), dan antibiotik.

3.2.3 Tujuan Penambahan Bahan Tambahan Pangan

Adapun tujuan penambahan bahan tambahan pangan secara umum adalah (Saparinto, 2006):

1. Meningkatkan nilai gizi makanan.

2. Memperbaiki nilai estetika dan sensori makanan.

3. Memperpanjang umur simpan makanan.

Pada umumnya bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila (Puspitasari, 2001):

1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan. 2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan. 3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang betentangan cara produksi yang baik untuk makanan. 4. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan makanan 3.2.4 Bahan Tambahan Pangan Yang Diizinkan

Berdasarkan Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 menyatakan bahwa tambahan pangan yang diizinkan digunakan dalam makanan adalah (Cahyadi, 2008):

1. Antioksidan dan anti oksidan sinergis

Bahan tambahan makanan yang digunakan untuk mencegah terjadinya proses oksidasi. Contoh: asam askorbat dan asam eritrobat serta garamnya untuk produk daging, ikan dan buah-buahan kaleng.

2. Antikempal0020Bahan tambahan makanan untuk mencegah atau mengurangi kecepatan pengempalan atau menggumpalnya makanan yang mempunyai sifat higroskopis atau mudah menyerap air. Bahan yang biasa ditambah bahan antikempal misalnya susu bubuk, krim bubuk, garam meja, dan kaldu bubuk.

3. Pengatur keasaman

Bahan tambahan makanan yang dapat mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat keasaman makanan. Contoh: Asam laktat, sitrat, dan malat digunakan pada jeli. Natrium bikarbonat, karbonat, dan hidroksi digunakan penetral pada mentega.

4. Pemanis buatan

Bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi. Contoh: sakarin, dan siklamat.

5. Pemutih dan pematang tepung

Bahan tambahan makanan yang dapat mempercepat proses pemutihan tepung dan atau pematangan tepung hingga dapat memperbaiki mutu penanganan.

6. Pengemulsi, pemantap dan pengental

Bahan tambahan makanan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan. Biasa digunakan pada makanan yang mengandung air atau minyak. Contoh: polisorbat untuk pengemulsi es krim dan kue, pektin untuk pengental pada jamu, jeli, minuman ringan dan es krim, gelatin pemantap dan pengental untuk sediaan keju, karagenen dan agar-agar untuk pemantap dan pengental produk susu dan keju.

7. Pengawet

Bahan tambahan makanan dapat mencegah fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Biasa ditambahkan pada makanan yang mudah rusak atau yang disukai sebagai medium pertumbuhan bakteri atau jamur. Contoh: asam benzoat dan garamnya serta ester para-hidroksi benzoat untuk produk buah-buahan, kecap, keju, dan margarin; asam propionat untuk keju dan roti. 8. Pengeras

Bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau mencegah lunaknya makanan. Contoh: Al sulfat, Al Na sulfat untuk pengeras pada acar ketimun dalam botol, Ca glukonat, dan Ca sulfat pada buah kaleng seperti tomat dan apel.

9. Pewarna

Bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Contoh: ponceau 4R, eritrosin warna merah, green FCF, green S warna hijau, kurkumin, karoten, yellow kuinolin, tartazin warna kuning, dan karamel warna coklat.

10. Penyedap rasa dan aroma serta penguat rasa

Bahan tambahan makanan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Contoh: monosodium glutamat pada produk daging.

11. Sekuestran

Bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion logam yang ada pada makanan sehingga dicegah terjadinya oksidasi yang dapat menimbulkan perubahan warna dan aroma. Biasa ditambahkan pada produk lemak dan minyak atau produk yang mengandung lemak atau minyak seperti daging dan ikan. Contoh: asam folat dan garamnya. Selain itu terdapat juga beberapa bahan tambahan makanan yang bisa digunakan dalam makanan antara lain:

1. Enzim

Bahan tambahan makanan yang berasal dari hewan, tanaman atau jasad renik yang dapat menguraikan makanan secara enzimatik. Biasa untuk mengatur proses fermentasi makanan. Contoh: amilase dari aspergillus niger untuk tepung gandum dan rennet dalam pembutan keju.

2. Penambahan gizi

Bahan tambahan makanan berupa asam amino, mineral atau vitamin, baik tunggal maupun campuran yang dapat memperbaiki atau memperkaya gizi makanan. Contoh: asam askorbat, feri fosfat, inositol, tokoferol, vitamin A, B12, dan vitamin D. 3. Humektan

Bahan tambahan makanan yang dapat menyerap lembab sehingga dapat mempertahankan kadar air dalam makanan. Contoh: gliserol untuk keju, es krim dan sejenisnya dan triaseti untuk adonan kue.

4. Antibusa

Bahan tambahan makanan yang dapat menghilngkan busa yang dapat timbul karena pengocokan dan pemasakan. Contoh: dimetil polisiloksan pada jeli, minyak dan lemak, sari buah dan buah nanas kalengan, silikon dioksida amorf pada minyak dan lemak. 3.2.5 Penggunaan Formalin untuk Pengawet Makanan

Formalin adalah salah satu bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan namun memiliki banyak kegunaan. Formalin banyak digunakan dalam industri mebel, konveksi, sebagai anti bakteri, dan dalam dunia kedokteran sebagai bahan pengawet mayat. Formalin yang mempunyai nama kimia formaldehyde HCHO memiliki ciri-ciri tidak berwarna, berbau menyengat, dalam suhu kamar berbentuk cairan serta mudah menguap (Schunack, 1990).

Penggunaan formalin pada bahan pakaian, bahan pembersih lantai, dan campuran bahan plastik sebagai tempat penyimpanan makanan sangat dibatasi. Hal ini dikarenakan formalin merupakan bahan kimia yang bersifat karsinogen (menyebabkan kanker) apabila masuk kedalam tubuh manusia. Misalnya pada pakaian, penggunaan formalin pada pakaian di atur dalam SNI 06-2569-1992. Kadar formalin yang diijinkan pada pakaian dewasa menurut International Programme on Chemical Safety (IPCS) adalah 100 mg (Fowler, 2003). Apabila melebihi batas tersebut akan menimbulkan gatal-gatal atau iritasi kulit pada pemakainya.Salah satu penggunaan formalin pada bahan makanan adalah pada buah-buahan dan sayuran. Penggunaan formalin banyak ditemukan sebagai pengawet buah-buahan dan sayuran. Pada buah-buahan dan sayuran formalin banyak berperan dalam menjaga kesegaran buah dan sayuran. Cara penambahan formalin pada buah dan sayuran adalah dengan penyemprotan langsung, diolesi maupun dengan formalin. Jumlah formalin yang digunakan tergantung selera pemakai (Tan Hoan Tjay, 2007).Penggunaan formalin pada buah-buahan dan sayuran jelas merugikan konsumen. Dampak dari mengkonsumsi buah dan sayuran berformalin dengan kadar yang rendah dapat menggangu kesehatan. Lebih lanjut, asupan formalin dalam tubuh yang berlangsung menahun dapat mengakibatkan gangguan pada sistem pernapasan, gangguan pada ginjal dan hati, sistem reproduksi dan kanker sedangkan bentuk gangguan yang ringan adalah rasa terbakar pada tenggorokan dan sakit kepala (Tan Hoan Tjay, 2007). Sedangkan dalam kadar tinggi adalah gangguan jantung,kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, koma dan kematian.

3.3 ZAT PEWARNA3.3.1 Definisi Zat Pewarna

Menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988, zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan bahan pewarna pada makanan bertujuan untuk memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan warna makanan menstabilkan warna, menutupi perubahan wana selama proses pengolahan dan mengatasi perubahan warna selama penyimpanan (Syah, 2005).

Kualitas bahan makanan ditentukan antara lain oleh cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizi. Akan tetapi sebagian besar konsumen sebelum mempertimbangkan cita rasa dan nilai gizi akan lebih tertarik pada tampilan atau warna makanan serta pengolahan bahan makanan (Saparinto, 2006). 3.3.2 Jenis Zat Pewarna

Berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis pewarna yang termasuk dalam golongan tambahan pangan yaitu (Hidayat, 2006):

1. Pewarna alami

Banyak warna cemerlang yang dipunyai oleh tanaman dan hewan dapat digunakan sebagai pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna alami ikut menyumbangkan nilai nutrisi (karetonoid, riboflavin, dan kolabamin), merupakan bumbu atau pemberi rasa ke bahan olahannya. Konsumen sekarang ini banyak menginginkan bahan alami yang masuk dalam daftar diet mereka. Banyak pewarna olahan yang tadinya menggunakan pewarna sintetik berpindah keperwarna alami. Pewarna makanan tradisional menggunakan bahan alami, misalnya kunyit untuk warna kuning, daun suji untuk warna hijau, dan daun jambu atau daun jati untuk warna merah. Pewarna alami ini aman untuk dikonsumsi namun mempunyai kelemahan, yakni ketersediaan bahannya yang terbatas dan warnanya tidak homogen sehingga tidak cocok digunakan industri makanan dan minuman. Penggunaan bahan alami untuk produk misal akan membuat biaya produksi menjadi lebih mahal dan lebih sulit karena sifat pewarna alami tidak homogen sehingga sulit menghasilkan warna yang stabil (syah, 2005). Menurut arief (2007), penggunaan pewarna alami mempunyai keterbatasan keterbatasan, antara lain:

1. Seringkali memberikan rasa dan flavor khas yang tidak diinginkan

2. Konsentrasi pigmen rendah

3. Stabilitas pigmen rendah

4. Keseragaman warna kurang baik

5. Spektrum warna tidak seluas seperti pewarna sintetis. Tabel 3.1 Daftar Zat Pewarna AlamiKELOMPOKWARNASUMBER

KaramelCoklatGula yang dipanaskan

AnthosianinJingga, Merah, BiruTanaman

FlavonoidTanpa kuningTanaman

Leucoantho sianinTidak berwarnaTanaman

TanninTidak berwarnaTanaman

BatalainKuning, merahTanaman

QuinonKuning, hitamTanaman

XanthonKuningTanaman

KarotenoidTanpa kuning merahTanaman/hewan

KlorofilHijau, cokelatTanaman

HemeMerah, cokelatHewan

Sumber:Tranggono dkk,1989 (dalam Yuliarti, 2007).

2. Pewarna Buatan

Di negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum digunakan sebagai pewarna makanan. Proses pembuatan zat warna sintetis biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk akhir, harus melalui suatu senyawa dulu yang kadang-kadang berbahaya dan sering kali tertinggal dalam hal akhir, atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya (Cahyadi, 2008). Namun sering sekali terjadi penyalahgunaan pemakaian pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna tekstil dan kulit untuk mewarnai bahan pangan. Bahan tambahan pangan yang ditemukan adalah pewarna yang berbahaya terhadap kesehatan seperti Amaran, Auramin, Methanyl Yellow dan Rhodamin B. Jenis-jenis makanan jajanan yang ditemukan mengandung bahan-bahan berbahaya ini antara lain sirup, saus, bakpau, kue basah, pisang goreng, tahu, kerupuk, es cendol, mie dan manisan (Yuliarti, 2007). Timbulnya penyalahgunaan bahan tersebut disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan juga disebabkan karena harga zat pewarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk pangan (Seto, 2001). Tabel 3.2 Daftar Zat Pewarna Sintetis yang Diizinkan di IndonesiaPEWARNANOMOR INDEKS WARNA (C.I.NO.)BATAS MAKSIMUM PENGGUNAAN

AmaranAmaranth :CL Food Red 916185Secukupnya

Biru berlian Briliant blue FCF : CL 42090Secukupnya

Eritrosin Food Red 2 Erithrosin : CL45430Secukupnya

Hijau FCF

Food red 14 fast green FCF : CL 42053

Secukupnya

Hijau S. Food Green 3 Green S : Cl.44090Secukupnya

Indigotin Food Green 4 Indigotin : Cl73015Secukupnya

Ponceau 4R Food Blue I Ponceau 4R : Cl16255Secukupnya

Kuning Food Red 7 Quineline yellow Cl74005

Secukupnya

Kuinelin Food Yellow 13 Sunset15980Secukupnya

Kuning FCF Yellow FCF Cl-Secukupnya

Riboflavina Tartrazine Food Yellow 3 Riboflavina Tartrazine19140

Secukupnya

Sumber: Peraturan Menkes RI, Nomor 722/Menkes/Per/IX/88

3.3.3 Tujuan Penambahan Zat Pewarna

Menurut Syah, dkk (2005), kemajuan teknologi pangan memungkinkan zat pewarna dibuat secara sintetis. Dalam jumlah yang sedikit, suatu zat kimia bisa memberi warna yang stabil pada produk pangan. Beberapa alasan utama menambahkan zat pewarna pada makanan:

1. Untuk menutupi perubahan warna akibat paparan cahaya, udara, atau temperatur yang ekstrim akibat proses pengolahan dan penyimpanan. 2. Memperbaiki variasi alami warna. Produk pangan yang salah warna akan diasosiasikan dengan kualitas rendah. Jeruk yang matang dipohon misalnya sering disemprotkan pewarna Citrus Red No. 2 untuk memperbaiki warnanya yang hijau burik atau orange kecoklatan. 3. Membuat identitas produk pangan. Identitas es krim strawberi adalah merah. Permen rasa mint akan berwarna hijau muda sementara rasa jeruk akan berwarna hijau yang sedikit tua. 4. Menarik minat konsumen dengan pilihan warna yang menyenangkan. 5. Untuk menjaga rasa dan vitamin yang mungkin akan terpengaruh sinar matahari selama produk disimpan. 3.3.4 Dampak Zat Pewarna Terhadap Kesehatan

Pemakaian zat pewarna sintetis dalam makanan dan minuman mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, diantaranya dapat membuat suatu makanan lebih menarik, meratakan warna makanan, mengembalikan warna bahan dasar yang telah hilang selama pengolahan ternyata dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan bahkan memberikan dampak yang negatif bagi kesehatan konsumen.Menurut Cahyadi (2008), ada hal-hal yang mungkin memberikan dampak negatif tersebut apabila:

1. Bahan pewarna sintetis ini dimakan dalam jumlah kecil namun berulang. 2. Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu yang lama. 3. Kelompok masyarakat yang luas dengan daya tahan yang berbeda-beda yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu makanan sehari-hari dan keadaan fisik. 4. Beberapa masyarakat menggunakan bahan pewarna sintetis secara berlebihan.

Tabel 3.3 Daftar Zat Pewarna Sintetis yang Dilarang di IndonesiaBahan PewarnaNomor Indeks Warna (C.l.No.)

Citrus red No.212156

Ponceau 3 R16155

Ponceau SX14700

Rhodamin B45170

Guinea Green B42085

Magenta42510

Chrysoidine11270

Butter Yellow11020

Sudan I12055

Methanil Yellow13065

Auramine41000

Oil Oranges SS12100

Oil Orange XO12140

Oil Yellow AB11380

Oil Yellow OB11390

Sumber: Peraturan Menkes RI, Nomor 722/Menkes/Per/IX/88

Berbagai jenis pewarna tekstil yang disalahgunakan sebagai pewarna makanan, yang paling banyak digunakan adalah Rhodamin B dan Metanyl Yellow. Padahal keduanya dapat mengakibatkan gangguan kesehatan yang mungkin baru muncul bertahun-tahun setelah kita mengkonsumsinya. Rhodamin B sebenarnya adalah pewarna untuk kertas, tekstil, dan reagensia untuk pengujian antimon, cobalt dan bismut. Zat warna sintetis ini berbentuk serbuk kristal, tidak berbau, berwarna merah keunguan, dalam larutan berwarna merah terang berpendar (berfluorescensi). Penggunaan rhodamin B pada makanan dalam waktu yang lama (kronis) akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati dan kanker. Bila terpapar rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan rhodamin B. Bila rhodamin B tersebut masuk melalui makanan maka akan mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan air kencing bewarna merah ataupun merah muda (Yuliarti, 2007). Methanyl Yellow adalah zat warna sintetis berbentuk serbuk berwarna kuning kecoklatan, larut dalam air. Methanyl Yellow umumnya digunakan sebagai pewarna tekstil dan cat serta sebagai indikator reaksi netralisasi asam-basa. Methanyl Yellow dapat menimbulkan tumor dalam berbagai jaringan hati, kandung kemih, saluran pencernaan atau jaringan kulit. 3.4 RESIDU PESTISIDA3.5.1 Pengertian Pestisida

Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama. Menurut Food Agriculture Organization (FAO) 1986 dan peraturan pemerintah RI No. 7 tahun 1973, Pestisida adalah campuran bahan kimia yang digunakan untuk mencegah, membasmi dan mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat, termasuk serangga penyebar penyakit, dengan tujuan kesejahteraan manusia. Pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh atau perangsang tumbuh, bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk perlindungan tanaman (PP RI No.6 tahun 1995). USEPA menyatakan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan, tanaman, dan mikroorganisme penggangu (Soemirat, 2003).3.5.2 Pengklasifikasian Pestisida

Menurut Sudarmo (1991) pestisida dapat di klasifikasikan kedalam beberapa golongan,dan diantara beberapa pengklasifikasian tersebut dirinci berdasarkan bentuk formulasinya, sifat penetrasinya, bahan aktifnya, serta cara kerjanya.

1. Berdasarkan bentuk formulasi a. Butiran (Granule=G)

Berbentuk butiran yang cara penggunaanya dapat langsung disebarkan dengan tangan tanpa dilarutkan terlebih dahulu.

b. Tepung (Dust=D)

Merupakan tepung sangat halus dengan kandungan bahan aktif 1-2% yang penggunaanya dengan alat penghembus (duster)

c. Bubuk yang dapat dilarutkan (wettable powder=WP)

Berbentuk tepung yang dapat dilarutkan dalam air yang penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot atau untuk merendam benih. Contoh Mipcin 50 WP

d. Cairan yang dapat dilarutkan

Berbentuk cairan yang bahan aktifnya mengandung bahan pengemulsi yang dapat digunakan setelah dilarutkan dalam air. Larutannya berwarna putih susu tapi berwarna coklat jernih yang cara penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot

e. Cairan yang dapat diemulsikan

Berbentuk cairan pekat yang bahan aktifnya mengandung bahan pengemulsi yang dapat digunakan setelah dilarutkan dalam air. Cara penggunaanya disemprotkan dengan alat penyemprot atau di injeksikan pada bagian tanaman atau tanah. Contoh : Sherpa 5 EC

f. Volume Ultra Rendah

Berbentuk cairan pekat yang dapat langsung disemprotkan tanpa dilarutkan lagi. Biasanya disemprotkan dengan pesawat terbang dengan penyemprot khusus yang disebut Micron Ultra Sprayer. Contoh : Diazinon 90 ULV

2. Ditinjau dari sifat penetrasinya, pestisida dapat diklasifikasikan kedalam :

a. Penetrasi pada permukaan

Pestisida ini hanya ada pada permukaan tanaman b. Penetrasi dalam

Apabila disemprotkan kedalam permukaan daun, pestisida dapat menembus/meresap ke seluruh jaringan tanaman yang tidak disemprotkan

c. Sistemik

Pestisida ini mudah diserap melalui daun, batang akar, dan bagian lain dari tanaman. Pestisida sisitemik efektif untuk membasmi bermacam-macam hama pengerek dan pengisap (Dperartemen Pertanian, 1998)

3. Berdasarkan bahan aktifnya pestisida dapat diklasifikasikan :

Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat pestisida, maka pestisida dapat dibedakan ke dalam empat golongan yaitu :

a. Pestisida Sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintesa kimia, contohnya organoklorin, organofospat, dan karbamat.

b. Pestisida Nabati, yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, contohnya neem oil yang berasal dari pohon mimba

c. Pestisida Biologi, yaitu pestisida yang berasal dari jasad renik atau mikrobia yaitu jamur, bakteri atau virus contohnya

d. Pestisida Alami, yaitu pestisida yang berasal dari bahan alami, contohnya bubur bordeaux (Sitompul, 1987).

4. Pestisida berdasarkan cara kerjanya

Berdasarkan cara kerjanya, pestisida dapat dibedakan kedalam beberapa golongan yaitu:

a. Pestisida Kontak

yaitu pestisida yang dapat membunuh OPT (organisme pengganggu tanaman) bila OPT tersebut terkena pestisida secara kontak langsung atau bersinggungan dengan residu yang terdapat di permukaan tanaman. Contoh : Mipcin 50 WP

b. Pestisida Sistemik

yaitu pestisida yang dapat ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman. OPT akan mati setelah menghisap/memakan tanaman, atau dapat membunuh gulma sampai ke akarnya.

c. Pestisida Lambung

yaitu pestisida yang mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran makanan pestisida. Contoh : Diazinon 60 EC

d. Pestisida pernapasan

Dapat membunuh hama yang menghisap gas yang berasal dari pestisida (Sudarmo, 1991).

5. Pestisida Berdasarkan Organisme Sasaran

Menurut Untung (1993), dari banyaknya jenis jasad penggangu yang bisa mengakibatkan fatalnya hasil petanian, pestisida dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam sesuai dengan sasaran yang akan dikendalikan, yaitu :

a. Insektisida

Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga.

b. Fungisida

Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk memberantas dan mencengah fungi/cendawan. Selain untuk mengendalikan serangan cendawan di areal pertanaman, fungisida juga banyak diterapkan pada buah dan sayur pascapanen.

c. Bakterisida

Bakterisida adalah senyawa yang mengandung bahan aktif beracun yang bisa membunuh bakteri.

d. Nematisida

Nematisida adalah racun yang dapat mengendalikan nematode e. Akarisida

Akarisida atau sering juga disebut dengan mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak dan laba-laba.

f. Rodentisida.

Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus.

g. Moluskida

Moluskida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu siput telanjang, siput setengah telanjang, sumpit, bekicot, serta trisipan yang banyak terdapat di tambak.

h. Herbisida

Herbisida adalah bahan senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan penggangu yang disebut gulma.

i. Pestisida lain

Selain beberapa jenis pestisida di atas masih banyak jenis pestisida lain. Namun karena kegunaanya jarang maka produsen pestisida belum banyak yang menjual, sehingga di pasaran bisa dikatakan sulit ditemukan. Pestisida tersebut adalah sebagai berikut :

Pisisida, adalah bahan senyawa kimia beracun untuk mengendalikan ikan mujair yang menjadi hama di dalam tambak dan kolam.

Algisida, merupakan pestisida pembunuh ganggang,

Avisida, pestisida pembunuh burung.

Larvisida, pestisida pembunuh ulat.

Pestisida di Indonesia adalah sebagai berikut insektisida 55,42%, herbisida 12,25%, fungisida 12,05%, repelen 3,61%, zat pengatur pertumbuhan 3,21%, nematisida 0,44%, dan 0,40% ajuvan serta lain-lain berjumlah 1,41%. Dari gambaran ini insektisida merupakan jenis pestisida yang paling banyak digunakan (Soemirat, 2005).

Pestisida juga diklasifikasikan berdasarkan pengaruh fisiologisnya, yang disebut farmakologis atau klinis, sebagai berikut:

1. Senyawa Organofospat

Racun ini merupakan penghambat yang kuat dari enzim cholinesterase pada syaraf. Asetyl cholin berakumulasi pada persimpangan-persimpangan syaraf (neural jungstion) yang disebabkan oleh aktivitas cholinesterase dan menghalangi penyampaian rangsangan syaraf kelenjar dan otot-otot. Organofosfat disintesis pertama kali di Jerman pada awal perang dunia ke-II.

Bahan tersebut digunakan untuk gas syaraf sesuai dengan tujuannya sebagai insektisida. Pada awal sintesisinya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida tetapi juga toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang tersebut dan ditemukan komponen yang paten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap manusia (misalnya : malathion).

Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan beberapa milligram untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah. Organofosfat dapat terurai di lingkungan dalam waktu 2 minggu (Yusniati, 2008).

2. Senyawa Organoklorin

Dari golongan ini paling jelas pengaruh fisiologisnya seperti yang ditunjukkan pada susunan syaraf pusat, senyawa ini berakumulasi pada jaringan lemak.

3. Senyawa Arsenat

Pada keadaan keracunan akut ini menimbulkan gastroentritis dan diarhoe yang menyebabkan kekejangan yang hebat sebelum menimbulkan kematian. Pada keadaan kronis menyebabkan pendarahan pada ginjal dan hati.

4. Senyawa Karbamat

Pengaruh fisiologis yang primer dari racun golongan karbamat adalah menghambat aktifitas enzym cholinesterase darah dengan gejala-gejala seperti senyawa organofospat5. Piretroid

Piretroid merupakan senyawa kimia yang meniru struktur kimia (analog) dari piretrin. Piretrin sendiri merupakan zat kimia yang bersifat insektisida yang terdapat dalam piretrum, kumpulan senyawa yang di ekstrak dari bunga semacam krisan piretroid memiliki beberapa keunggulan, diantaranya diaplikasikan dengan takaran relatif sedikit, spektrum pengendaliannya luas, tidak persisiten, dan memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik. Namun karena sifatnya yang kurang atau tidak selektif, banyak piretroid yang tidak cocok untuk program pengendalian hama terpadu (Djojosumarto, 1998).3.5.3 Residu Pestisida

Residu pestisida adalah pestisida yang masih tersisa pada bahan pangan setelah diaplikasikan ke tanaman pertanian. Tingkat residu pada bahan pangan umumnya diawasi dan ditetapkan batas amannya oleh lembaga yang berwenang di berbagai negara. Paparan populasi secara umum dari residu ini lebih sering terjadi melalui konsumsi bahan pangan yang ditanam dengan perlakuan pestisida, ditanam atau diproses di tempat yang dekat dengan area berpestisida.

Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak mengandung vitamin dan mineral, selain itu juga memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber pendapatan petani bahkan sumber devisa negara. Namun dalam kegiatan produksinya sering menghadapi kendala serangan hama dan penyakit yang menyebabkan gagal panen atau minimal hasilnya berkurang. Salah satu cara yang selama ini digunakan untuk mengatasinya adalah penggunaan pestisida.Di sisi lain pestisida merupakan bahan kimia, sehingga pemakaian yang berlebihan dapat menjadi sumber pencemar pada bahan pangan, air, dan lingkungan hidup. Lebih jauh residu yang ditinggalkan dapat secara langsung maupun tidak langsung sampai ke manusia.

Pestisida merupakan suatu substansi bahan kimia dan material lain (mikroorganisme, virus, dll.) yang tujuan penggunaannya untuk mengontrol atau membunuh hama dan penyakit yang menyerang tanaman, bagian tanaman, dan produk pertanian, membasmi rumput/gulma, mengatur, dan menstimulasi pertumbuhan tanaman atau bagian tanaman, namun bukan penyubur (Rianto 2006 dan Sanborn et al. 2002). Pestisida meliputi herbisida (untuk mengendalikan gulma), insektisida (untuk mengendalikan serangga), fungisida (untuk mengendalikan fungi), nematisida (untuk mengendalikan nematoda), dan rodentisida (racun vertebrata) (Sanborn et al. 2002, Anonymous 2006, dan Rianto 2006). Penggunaan pestisida dianggap menguntungkan untuk menekan kehilangan hasil sebelum dan setelah pemanenan (Gonzales et al. 2007). Terdapat 3 kelompok utama pestisida konvensional antara lain (1) chlorinated hydrocarbon (organoklorin), umumnya terurai sangat lambat dan memerlukan waktu yang relatif lama (dieldrin, chlordan, aldrin, DDT, dan heptaklor), (2) organophosphate (organofosfat), sangat toksik pada manusia, tetapi umumnya tidak lama terurai (diazinon, malation, dimetoat dan klorpirifos), dan (3) carbamat, sedikit toksik pada manusia, namun berpotensi mempengaruhi kekebalan dan sistem saraf pusat (karbaril, karbofuran, dan metomil) (Blanpied 1984).

Menurut penelitian yang dikemukakan oleh Zhang et al. (2007) pestisida kelompok organoklorin, organofosfat, dan piretroid merupakan jenis pestisida yang paling banyak digunakan secara ekstensif di pasar Cina, sedangkan menurut Yang dan Fang dalam Bai et al. (2006), penggunaan pestisida jenis organoklorin sudah dilarang sejak tahun 1983.Tuntutan mutu dan keamanan pangan pada perdagangan regional maupun internasional untuk komoditas pertanian saat ini dihadapkan pada aspek mutu dan keamanan pangan, sehingga kini menjadi masalah utama dalam produksi dan pemasaran sayuran. Usaha peningkatan keamanan pangan produk pertanian, khususnya sayuran, telah dilakukan. Melalui program pengendalian hama-penyakit terpadu (PHT) membuktikan bahwa produksi hasil pertanian dilakukan tidak hanya mempertimbangkan aspek tingginya tingkat produksi, tetapi juga aspek keberlanjutan produksi, kelestarian lingkungan, dan keamanan pangan. Namun sejauh ini belum mampu menjawab berbagai persoalan keamanan pangan. Hal ini dikarenakan adanya praktik produksi yang menyimpang dari anjuran. Beberapa hasil penelitian melaporkan adanya sejumlah residu insektisida permetrin pada tomat dan kubis, insektisida kartap hidroklorida dan endosulfan pada kubis, klorotanil dan maneb pada tomat, dan residu fungisida mankozeb pada tomat dan petsai (Harun et al. 1996). Adanya kasus penolakan produk ekspor Indonesia oleh beberapa negara juga menunjukkan bahwa penanganan aspek keamanan pangan di Indonesia masih belum optimal.

Aspek mutu dan keamanan pangan merupakan masalah utama dalam produksi dan pemasaran sayuran, hal ini juga terkait dengan semakin meningkatnya kepedulian konsumen terhadap mutu dan kesehatan. Sayuran Indonesia umumnya mempunyai masalah mutu yang tidak konsisten dan tingkat kontaminan yang cukup tinggi. Penerapan teknologi produksi dan penanganan pascapanen yang seadanya, mengakibatkan inkonsistensi mutu tersebut. Kedua faktor ini dan faktor penggunaan pupuk serta pestisida yang tidak proporsional telah membawa produk sayuran Indonesia pada status jaminan keamanan pangan yang rendah dan tingkat kontaminasi yang tinggi. Penelitian dilatarbelakangi oleh dugaan adanya sejumlah residu pestisida pada beberapa jenis sayuran, di mana konsumsi sayuran khususnya dalam bentuk segar cenderung tinggi, serta adanya kasus keamanan pangan akibat konsumsi sayuran. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui paparan dan mendeteksi residu pestisida pada sayuran segar (cabai merah, selada, dan bawang merah) yang diperoleh dari 2 sentra produksi sayuran.

3.5.4 Batas Maksimum Residu (BMR) PestisidaMenurut SNI 7313:2008, BMR Pestisida didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum residu pestisida yang secara hukum diizinkan atau diketahui sebagai konsentrasi yang dapat diterima pada hasil pertanian yang dinyatakan dalam miligram residu pestisida per kilogram hasil pertanian (ppm). Dengan adanya ketetapan tentang BMR Pestisida, suatu negara dapat melindungi kesehatan masyarakat dari produk pertanian/perkebunan yang membahayakan

Dalam penetapan BMR harus didukung dengan data yang berdasarkan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan/Scientific evidence dan mengutamakan keamanan dan kesehatan pada manusia. BMR ditetapkan melalui Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues (JMPR) yang bersidang setiap dua tahunnya untuk menentukan level residu yang dapat ditoleransi toxisitasnya.

Masih teringat peristiwa beberapa tahun terakhir, dimana Singapura mendapatkan klaim dari Jepang bahwa produk kakaonya yang berasal dari Indonesia mengandung residu herbisida yang melebihi ambang batas. Hal ini memicu Singapura melalui Cocoa Association of Asia mengklaim bahwa biji kakao yang diolah berasal dari Indonesia khususnya dari pulau Sulawesi. Klaim Singapura atas kualitas biji kakao Indonesia mendorong jajaran Direktorat

Jenderal Perkebunan melalui keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor: 87/Kpts/SR.140/03/2009, tanggal 25 Maret 2009 membentuk Tim Kajian Penggunaan Herbisida 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid pada Tanaman Kakao. Hasil analisis residu herbisida yang dilakukan oleh Prof. Dr. Sri Noegrohati, MSc di Laboratorium Farmasi UGM menunjukkan bahwa sampel biji kakao dan bubuk kakao dari Sulawesi Indonesia secara umum mengandung residu herbisida 2,4- D yang sangat rendah dan jauh di bawah Batas Maksimum Residu (Maximum Residue Limit) yang ditetapkan oleh Pemerintah Jepang yaitu 0,01 ppm. Kadar 2,4-D paling tinggi yang terdeteksi adalah 0,001 ppm.

Berdasarkan peristiwa di atas, BMR pestisida pada hasil perkebunan sangat penting terutama untuk hasil-hasil perkebunan untuk ekspor. Selain itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menerima persetujuan SPS (Sanitary and Phytosanitary) yang berkaitan dengan kandungan residu pestisida pada produk pertanian/perkebunan. Agar hasil pertanian/perkebunan dapat memasuki suatu negara harus mengandung residu pestisida di bawah nilai BMR Pestisida yang ditetapkan oleh suatu negara dengan mengacu ketentuan keamanan pangan/Codex Alimentarius dari WHO.

Selain itu, Negara-negara ASEAN juga telah menyepakati pembatasan residu pestisida untuk komoditas pertanian maupun kehutanan yang akan dipasarkan ke wilayah ASEAN. Keputusan ini dihasilkan pada Sidang Menteri Pertanian dan Kehutanan Asean (AMAF) ke-31 di Brunei Darussalam 10-11

November 2009. Sidang AMAF telah menandatangani pengesahan enam dokumen mengenai harmonisasi standar dan kriteria produk pertanian dan kehutanan. Di antaranya batas maksimum residu untuk lima jenis pestisida yakni carbendazim pada komoditas anggur dan jeruk, chlorpyrifos (buah longan dan leci), phosalone (durian), ethion (buah pamelo) dan deltamethrin (cabe). Saat ini Indonesia telah memiliki ketetapan tentang BMR Pestisida melalui SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor: 881/Menkes/SKB/VIII/1996 dan 711/Kpts/TP.270/8/96 tentang BMR Pestisida Pada Hasil Pertanian. Pasal 2 SKB tersebut menyatakan bahwa setiap hasil pertanian yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri tidak boleh mengandung residu pestisida melebihi batas yang ditetapkan. SKB Pasal 3 menetapkan bahwa hasil pertanian yang dimasukkan dari luar negeri yang mengandung residu pestisida melebihi BMR harus ditolak. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya SNI 7313:2008 tentang BMR Pestisida pada Hasil Pertanian yang memberikan lebih banyak jenis pestisida yang harus memenuhi BMR Pestisida sehingga perlindungan terhadap masyarakat Indonesia akan lebih maksimal.

Dampak lanjut dari penerapan BMR pestisida di Indonesia adalah dalam rangka pelaksanaan pasar bebas ASEAN (AFTA) dan pasar bebas China- ASEAN (ACFTA) serta penerapan pasar bebas dunia yang sudah mendekat. Indonesia perlu segera memulai dan melaksanakan kegiatan penerapan ketetapan mengenai BMR Pestisida dalam kegiatan perdagangan domestik dan global. Hal ini dilakukan untuk memenuhi syarat ekspor hasil pertanian yang biasanya disyaratkan oleh negara-negara pengimpor, maupun sebagai acuan dalam syarat keberterimaan impor hasil pertanian yang masuk ke Indonesia.

Untuk dapat memenuhi hasil pertanian dan perkebunan yang memenuhi syarat BMR Pestisida, perlu beberapa kegiatan atau program kerja yang dilaksanakan secara lintas sektoral dan lintas disiplin ilmu, diantaranya adalah:

1. Melakukan Revisi dan Perbaikan BMR Pestisida sesuai dengan ketentuan keamanan pangan/Codex Alimentarius dari WHO

2. Menyusun Mekanisme Pemeriksaan dan Pengambilan Keputusan mengenai BMR

3. Penyiapan Infrastruktur Jaringan Laboratorium Pemeriksa dan standardisasi Metode Analisis Residu Pestisida

4. Meningkatkan Kualitas Pemeriksa dan Peneliti Residu Pestisida

5. Pemasyarakatan BMR ke semua stakeholders yang terkait dengan proses produksi dan pemasaran hasil-hasil pertanian/perkebunan terutama pemerintah, petani, dan dunia industri.

Petani sebagai produsen terbesar hasil-hasil pertanian/perkebunan yang sebagian diolah dan dipasarkan oleh dunia industri harus ditingkatkan kemampuan profesionalismenya agar dalam mengelola lahan pertaniannya sehingga dapat menghasilkan produk pertanian/perkebunan yang tidak mengandung residu pestisida melebihi ketentuan BMR. Selain itu pula, agar petani dan pengusaha pertanian dapat memenuhi persyaratan tersebut, mereka harus menerapkan teknologi produksi yang hemat, ramah lingkungan dan tanpa menggunakan pestisida kimia. Sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, penerapan dan pengembangan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan alternatif terbaik yang perlu ditempuh oleh petani dan pelaku agribisnis lainnya agar tidak terkena hambatan non tarif BMR dalam era perdagangan bebas.3.5 TINJAUAN KEBIJAKAN3.6.1 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten TanggamusDalam RPJMD Kabupaten Tanggamus disebutkan bahwa struktur perekonomian Kabupaten Tanggamus masih berpola trasidional dimana masih dinominasi oleh 3 sektor, yaitu sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa. Pada tahun 2011 sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai kontribusi sebesar 59,54% atau tidak mengalami perubahan yang signifikan apabila dibandingkan dengan tahun 2010 yang mencapai

57,99%. Namun demikian laju pertumbuhan sektor ini pada tahun 2011 mengalami perningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan penuingkatan produksi sejumlah produksi tanaman pangan dan perkebunan.Sebagai salah satu sektor yang masih menjadi primadona dalam menyumbangkan kontribusi dalam PDRB Kabupaten Tanggamus, pembangunan bidang tanaman pangan dan hortikultura dilaksanakan dalam rangka mendukung terwujudnya cita-cita untuk mencapai masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Pembangunan bidang tanaman pangan dan hortikultura diharapkan mampu menjadikan sektor pertanian yang tangguh, yang mampu menduukung terciptanya struktur ekonomi yang seimbang serta meningkatkan kesejahteraan petani yang ditunjukkan dengan meningkatkan Nilai Tukar Petani.

Sampai dengan tahun 2011 luas areal sawah yang ada di Kabupaten Tanggamus mencapai 20.643 Ha, hal ini menunjukkan peningkatan seluas 453 Ha dibandingkan luas tahun 2010 yang hanya seluas 20.190 Ha.

Tabel 3.4 Luas Areal Sawah di Kabupaten Tanggamus Tahun 2011

NOPENGGUNAAN LAHAN SAWAHREALISASI DALAM SATU TAHUNSEMENTARA TIDAK DIUSAHAKANJUMLAH

Ditanami PadiTidak Ditanami Padi *)

Tiga

KaliDua

KaliSatu

Kali

1Irigasi Teknis2.3022.931---5.233

2Irigasi

Setengah

Teknis3.1374.717---7.854

3Irigasi

Sederhana7211.96463--2.748

4Irigasi Desa/

Non PU8123.15740--4.009

5Tadah Hujan27567205--799

6Pasang Surut------

7Lebak------

8Lainnya (polder,

embesan, dll.)------

JUMLAH6.99913.336308--20.643

Sumber : RPJMD kab. Tanggamus, 2013Sedangkan untuk Tegal/Kebun yang dimiliki sampai dengan tahun 2011 mencapai luas 33.400 Ha, hal ini sedikit menurun dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 34.583 Ha, sementara itu luas Ladang/Huma mengalami peningkatan menjadi 20.763 Ha pada tahun 2011 dari semula yang hanya seluas 17.288 di tahun 2010.3.6.2 Visi dan Misi RPJMD Kabupaten TangggamusVisi RPJMD adalah visi interim jangka menengah yang dipandu oleh visi jangka panjang. Adapun Visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Tanggamus Tahun 2005 2025, yaitu :

Terwujudnya Masyarakat Yang Sejahtera dan Tanggamus Sai TanggomDengan memperhatikan Visi RRJPD Kabupaten Tanggamus disertai dengan potensi dan kondisi yang berkembang serta memperhatikan kebijakan pada tingkat provinsi dan nasional, untuk menciptakan kondisi yang diinginkan kedepan, maka RPJMD Kabupaten Tanggamus mempunyai visi sebagai berikut :

Masyarakat Tanggamus yang Sejahtera, Agamis, Mandiri, Unggul dan Berdaya Saing Berbasiskan Ekonomi Kerakyatan

Visi ini memuat lima kata kunci yaitu sejahtera, agamis, mandiri, unggul dan berdaya saing serta ekonomi kerakyatan. Visi ini merupakan cita-cita dan komitmen Bupati dan Wakil Bupati Tanggamus periode 2013-2018.

Masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan hidupnya baik secara jasmani maupun rohani, dan hidup dalam kedamaian dan ketentraman.

Masyarakat yang agamis adalah masyarakat yang memiliki pemahaman dan kesadaran beragama sehingga tingkat ketaatan pada ajaran agama makin baik serta memiliki rasa toleransi antar umat beragama.

Mandiri memiliki arti bahwa Kabupaten Tanggamus harus mampu menjalankan pembangunan daerah secara mandiri yang ditopang oleh sumber daya alam yang dimiliki serta pendapatan daerah sebagai pendanaan pembangunan daerah

Unggul dan berdaya saing mempunyai konotasi lebih baik, lebih kuat, lebih tangguh, dan lebih ulet daripada lingkungannya, baik dalam skala kawasan maupun regional. Keunggulan dan daya saing mencakup domain perekonomian, sains, dan teknologi, pendidikan, dan civilazation (politik dan hukum).

Ekonomi kerakyatan berarti perekonomian yang tumbuh dan berkembang berbasis pertanian, anmun kemudian bergerak mengarah ke industri, perdagangan, dan jasa, yang ditopang oleh daya dukung infrastruktur yang memadai.Dalam salah satu misi RPJMD Kabupaten Tanggamus disebutkan pada misi ke dua Meningkatkan akses dan pemerataan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan; Misi ini adalah upaya untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, terjangkau, relevan, dan efisien serta penyediaan dan perluasan infrastruktur dasar masyarakat yang terdiri dari sarana prasarana umum

Sedangkan pada misi ke empat disebutkan Meningkatkan ketahanan pangan melalui revitalisasi pertanian, perternakan, perkebunan, kehutanan, kelautan dan perikanan; Misi ini adalah upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan melalui ravitalisasi pertanian yang menyeluruh dan bersinergi dengan sektor terkait untuk mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian, dan peningkatan pendapatan petani.Mengacu pada visi dan misi maka sasaran yang hendak dicapai atau dihasilkan dalam kurun waktu 5 tahun ke depan adalah berdasarkan misi ke dua dan ke empat adalah:Misi 2 : Meningkatkan akses dan pemerataan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan, dengan sasaran :

a) Peningkatan indeks pengetahuan masyarakat (indeks pendidikan).

b) Peningkatan kemampuan dan budaya baca masyarakat. c) Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat.

c) Revitalisasi Program Keluarga Berencana.

Misi 4 : Meningkatkan ketahanan pangan melalui revitalisasi pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, kelautan dan perikanan, dengan sasaran :

a) Peningkatan kontribusi sektor pertanian, perikanan, perkebunan dan kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Tanggamus.

13.1KEAMANAN PANGAN

23.2BAHAN TAMBAHAN PANGAN

23.2.1Pengertian Bahan Tambahan Pangan

33.2.2Jenis Bahan Tambahan Pangan

33.2.3Tujuan Penambahan Bahan Tambahan Pangan

43.2.4Bahan Tambahan Pangan Yang Diizinkan

63.2.5Penggunaan Formalin untuk Pengawet Makanan

73.3ZAT PEWARNA

73.3.1Definisi Zat Pewarna

73.3.2Jenis Zat Pewarna

93.3.3Tujuan Penambahan Zat Pewarna

103.3.4Dampak Zat Pewarna Terhadap Kesehatan

113.4RESIDU PESTISIDA

113.5.1Pengertian Pestisida

123.5.2Pengklasifikasian Pestisida

173.5.3Residu Pestisida

193.5.4Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida

213.5TINJAUAN KEBIJAKAN

213.6.1Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Tanggamus

223.6.2Visi dan Misi RPJMD Kabupaten Tangggamus

7Tabel 3.1 Daftar Zat Pewarna Alami

8Tabel 3.2 Daftar Zat Pewarna Sintetis yang Diizinkan di Indonesia

10Tabel 3.3 Daftar Zat Pewarna Sintetis yang Dilarang di Indonesia

Hal | 3-23