TINJAUAN PUSTAKA Komposisi Fisik Telur Ayam II... · sering dijumpai pula kelainan bentuk telur...
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA Komposisi Fisik Telur Ayam II... · sering dijumpai pula kelainan bentuk telur...
TINJAUAN PUSTAKA
Komposisi Fisik Telur Ayam
Struktur telur terdiri atas sel hidup yang dikelilingi oleh kuning telur
sebagai cadangan makanan terbesar. Kedua komponen tersebut dikelilingi oleh
putih telur yang mempunyai kandungan air tinggi, bersifat elastis dan dapat
mempertahankan goncangan yang mungkin terjadi pada telur. Komponen dalam
tersebut dilindungi oleh kulit telur yang berfungsi untuk mengurangi kerusakan
fisik maupun biologis. Adanya kulit ini memungkinkan dilakukan pernapasan dan
pertukaran gas dari dalam dan luar kulit. Persentase berat putih telur adalah 57%,
kuning telur 32% dan kulit 11% (Romanoff dan Romanoff, 1963). Struktur telur
diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur telur (Romanoff dan Romanoff, 1963)
Kerabang telur
Kerabang merupakan bagian telur paling keras dan kaku. Fungsi utamanya
ialah sebagai pelindung isi telur dari kontaminasi oleh mikroba (Hintono, 1984).
Kerabang telur yang baik adalah kelihatan bersih dan bila diraba terasa licin
(Heuser et al, 1990).
5
Santoso (1982) menyatakan bahwa pada kerabang telur utuh terdapat
beberapa ribu pori-pori yang digunakan untuk pertukaran gas. Pori-pori tersebut
sangat sempit, berukuran 0.01-0.07 mm dan tersebar diseluruh permukaan
kerabang telur. Pada bagian yang tumpul jumlah pori-pori persatuan luas lebih
besar dibandingkan dengan bagian lain. Oleh karena itu terjadi kantong udara di
daerah ini. Sebagaimana terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Lapisan kerabang telur (Austic dan Nesheim, 1990)
Telur yang masih baru, pori-porinya masih dilapisi dengan lapisan tipis
kutikula yang terdiri dari 90% protein dan sedikit lemak. Fungsi kutikula ini
mencegah penetrasi mikroba melalui kerabang telur, mengurangi evaporasi air
yang terlalu cepat dan mencegah masuknya cairan polar melalui kerabang telur
sehingga hanya udara dan air saja yang dapat masuk melalui sistem difusi
(Romanoff dan Romanoff, 1963).
Kerabang sebagian besar terdiri dari kalsium kurang lebih 98% karbonat
dan jumlah kecil phosphat dan magnesium. Rasio magnesium dengan kapur akan
meningkat secara logaritmik kearah bagian luar dari kerabang telur (Arka dan
Hartawan, 1977).
Tebal kerabang dipengaruhi oleh faktor genetik dari masing-masing
bangsa ayam yang berbeda. Orr dan Fletcher (1973) menyatakan bahwa
disamping faktor keturunan ada juga faktor lain yang mempengaruhi keterbalan
6
kerabang yakni perubahan musim, temperatur, makanan, umur dan kesehatan
ayam. Bila makanan kekurangan mineral Ca, P, dan vitamin D maka kerabang
yang dihasilkan akan kurang baik. Kerabang telur yang kurang baik adalah yang
tidak rata, berbintik-bintik sering pecah, tipis, lembek dan kotor (Heuser et al,
1952). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963) warna kerabang telur sebagian
besar tergantung dari produksi pigmen dari bangsa ayam. Warna tidak
berhubungan dengan nilai gizi telur dan tidak dipengaruhi oleh ransum yang
dimakan induk ayam.
Putih telur dan kuning telur
Putih telur dan kuning telur merupakan komponen yang berbeda sifat fisik
dan kimianya, namun kedua komponen tersebut dapat dipertahankan tidak
bercampur satu dengan yang lain karena adanya ’’Chalaza’’ dan membran vitelin
yang elastis. Lapisan tersebut terdiri dari lapisan encer luar, lapisan kental luar,
lapisan kental dalam atau chalazaferous dan lapisan encer dalam. Struktur putih
telur diperlihatkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur putih telur (Romanoff dan Romanoff, 1963)
Kuning telur merupakan bagian yang terpenting dalam telur. Letaknya
ditengah-tengah bila telur dalam keadaan normal atau masih segar (Romanoff dan
Romanoff, 1963). Keadaan ini dipertahankan oleh kalaza yang membentang dari
kanan ke kiri pada sumbu horizontal. Menurut Buckle et al. (1987), posisi kuning
7
telur akan bergeser bila telur mengalami penurunan kualitas. Struktur kuning telur
diperlihatkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur kuning telur (Romanoff dan Romanoff, 1963) Kuning telur merupakan bagian yang penting pada telur karena
mengandung zat-zat bernilai gizi tinggi berfungsi menunjang kehidupan embrio
(Syarief dan Irawati, 1989). Kuning telur berbatasan dengan putuh telur dan
dibungkus oleh suatu lapisan tipis yang disebut dengan membran viteline (Belitz
dan Grosch, 1999)
Menurut Orr dan Fletcher (1973) menyatakan bahwa makanan
berpengaruh langsung terhadap warna kuning telur, terutama makanan yang
mengandung pigmen kuning, Heuser et al. (1952) juga menyatakan bahwa jagung
kuning dapat menyebabkan warna pekat pada kuning telur. Ditambahkan oleh
Stadelman dan Cotterill (1977) menyatakan bahwa kuning telur mempunyai
kandungan bahan padat sebesar 50%, tetapi persentasi ini akan turun selama
penyimpanan karena migrasi air dari bagian putih telur. Bahan padat tersebut
terdiri dari lemak dan protei. Protein kuning telur yang berikatan dengan lemak
disebut lipoprotein dan yang berikatan dengan fosfor disebut dengan posfoprotein.
Pada Gambar 5, menunjukkan perbedaan telur segar yang masih baru
dengan telur yang sudah disimpan. Bagian putih telur yang masih segar terdiri dari
beberapa lapisan yang berbeda kekentalannya. Sedangkan telur yang sudah
8
mengalami penyimpanan cairan putih telur hanya terdiri satu lapis saja. Perbedaan
ini disebabkan oleh kandungan ovomucin yang berbeda pada telur yang utuh.
Gambar 5. Perbandingan antara (a) Telur segar dan (b) yang disimpan Bentuk dan berat telur
Bentuk telur yang sempurna sering disebut lonjong dan bulat telur. Namun
sering dijumpai pula kelainan bentuk telur yang disebabkan adanya kelainan
dalam proses pembentukan kulit telur karena adanya kondisi abnormal pada
bagian isthimus atau uterus (Card, 1972).
Sauter dan Petersen (1969) menyatakan bahwa berat jenis telur ayam tidak
tetap selama penelitian. Berat telur dipengaruhi ukuran telur, ukuran telur yang
ideal mempunyai poros panjang satu setengah kali poros pendek. Hasil penelitian
Fuah (1995) menunjukkan bahwa telur ayam kampung di Timor Barat memiliki
ukuran panjang lurus lebih dari 41 centimeter dan lebar 30 centimeter. Ukuran
telur ini sangat bervariasi dan banyak dipengaruhi olah faktor antara lain : variasi
individu, spesies, umur, suhu dan hereditas (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Menurut Leslie dan Card (1961), untuk telur yang lebih besar,
perbandingan putih telur dan kuning telur lebih besar dibandingkan dengan telur
yang lebih kecil. Ditambahkan oleh Romanoff dan Romanoff (1963), besar telur
dipengaruhi oleh umur unggas. Semakin tua umur unggas maka semakin besar
telur yang dihasilkan sampai umur tertentu, kemudian menurun dengan
bertambahnya umur. Dikatakan juga bahwa kekurangan protein, Kalsium, vitamin
D dan garam besi menyebabkan turunnya berat telur. Creswell dan Gunawan
(a) (b)
9
(1982), melaporkan rataan berat telur ayam kampung sebesar 40.7 gram, hasil
penelitian Mansjoer et al. (1989) 42.15 gram dan Fuah (1995) berkisar antara 36-
40 gram.
Tabel 1. Klasifikasi telur bedasarkan beratnya Klasifikasi Berat/Butir (g) Jumbo 70.5 Sangat besar 63.7-70.5 Besar 52.3-63.6 Sedang 42.9-52.3 Kecil 34.4-42.8 Sangat kecil 43.2 Sumber : Suharsono, 2002 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kualitas Telur
Kualitas telur merupakan kumpulan ciri-ciri telur yang mempengaruhi
selera konsumen (Stadelman dan Cotteril, 1973). Romanoff dan Romanoff (1963)
mendefenisikan kualitas sebagai ciri atau sifat yang sama dari suatu produk yang
menentukan derajat kesempurnaannya yang akan mempengaruhi penerimaan
konsumen.
Faktor kualitas dibagi menjadi dua faktor yaitu eksterior yang meliputi
warna, bentuk, tekstur, keutuhan, kebersihan kerabang telur dan faktor interior
meluputi keadaan putih telur yaitu kekentalan, bentuk kuning telur yaitu tidak ada
noda pada putih maupun pada kuning telur (USDA, 1964). Menurut Sirait (1986),
faktor kualitas yang dapat memberikan petunjuk terhadap kesegaran telur adalah
susut berat telur, keadaan diameter rongga udara, keadaan putih dan kuning telur,
bentuk dan warna kuning telur serta tingkat kebersihan kerabang. Faktor genetik dan umur induk ayam
Genetik merupakan unit hereditas yang dipindahkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya (Romanoff dan Romanoff, 1963). Sifat genetik berpengaruh
terhadap kualitas telur ayam yaitu tekstur, ketebalan kerabang telur, adanya noda
darah dan banyaknya putih telur kental (Gunardi et al, 1989). Romanoff dan
Romanoff (1963) menyatakan kualitas telur dipengaruhi oleh umur induk ayam,
10
dengan bertambahnya umur induk akan menurukan kualitas telur. Umur induk
ayam menyebabkan menurunnya kemampuan fungsi fisiologi alat reproduksi.
Faktor pakan
North (1984) menyatakan bahwa pakan dalam ransum mempengaruhi
kualitas telur yang dihasilkan oleh ayam petelur. Kandungan gizi pakan yang
rendah dalam ransum menghasilkan kualitas telur yang rendah dengan
komposisinya akan menghasilkan telur berkualitas. Menurut Romanoff dan
Romanoff (1963), pakan yang diberikan pada induk petelur merupakan faktor
yang menentukan kualitas telur. Pemberian hijaun segar atau kering yang unggul
akan membantu produksi warna kuning telur yang seragam. Sirait (1989)
menyatakan beberapa bahan baku yang digunakan untuk menyusun ransum
diketahui mempunyai pengaruh yang kurang baik terhadap telur yaitu minyak biji
kapas karena mengandung gossypol (tanin). Gossypol menyebabkan warna
albumen kemerah-merahan, kuning telur membesar dan berwarna kecoklat-
coklatan. Ransum yang kurang sempurna karena adanya kandungan Ca yang
menyebabkan kerabang tipis.
Faktor tatalaksana
Tatalaksana yaitu pengolahan dan penanganan telur agar produksi telur
yang dicapai dengan segala usaha dapat sampai ke konsumen dengan kualitas
yang masih baik dan segar. Tatalaksana antara lain meliputi suhu, transportasi,
pengepakan dan penyimpanan.
Menurut Gunardi et al, (1989) menyatakan bahwa suhu yang ada di badan
ayam adalah lebih tinggi dari suhu ruang. Pada waktu telur kelur dari badan ayam,
telur tersebut mengalami perubahan suhu lingkungan yang besar, yaitu dari 410 C
ke 250 C. Akibatnya terjadi pendinginan dan penyusutan isi telur sehingga
terbentuk kantong udara diantara dua lapisan selaput kulit, biasanya pada ujung
yang tumpul dari lapisan kulit telur.
Pada suhu lingkungan 200 C atau lebih akan terjadi penguapan air dan gas
CO2 dari dalam telur. Hal ini menyebabkan akan kantong udara semakin
membesar. Suhu yang tinggi menyebabkan penipisan kerabang. Menurut
11
Sunarlim (1988) kecepatan penurunan berat telur dapat diperbesar pada suhu
tinggi disertai dengan kelembaban relatif yang rendah. Hal ini disebabkan oleh
semakin tinggi suhu penyimpanan dan kelembaban relatif yang rendah, maka
semakin besar penguapan air dan pelepasan gas CO2 melalui pori-pori kerabang
telur.
Penyimpanan 16 hari pada suhu 160 C dan kelembaban relatif 71%
mengakibatkan penurunan kualitas dari AA menjadi A. Pada penyimpanan suhu
yang lebih tinggi 300 C dengan kelembaban 70% ternyata kualitas telur menjadi
kelas B selama periode penyimpanan yang sama. Persentase kehilangan berat telur
sebanyak 9.77% terjadi pada suhu 300 C dengan kelembaban relatif 72% selama
30 hari.
Perubahan Fisik
Perubahan selama penyimpanan dapat diperlambat dengan penanganan
yang baik tetapi tidak dapat dicegah secara keseluruhan. Jenis perubahan yang
secara langsung dengan mudah dapat diketahui dari luar adalah penurunan berat
telur, pembesaran diameter kantong udara, penambahan ukuran kuning telur,
penurunan tinggi putih telur, dan kenaikan pH sebagai akibat kehilangan gas CO2
(Buckle et al, 1985).
Penurunan berat akan lebih besar pada suhu lingkungan yang tinggi,
pergerakan udara di sekeliling telur yang lebih cepat dan jumlah pori-pori kulit
telur yang lebih banyak (Fardiaz, 1991). Perubahan selama penyimpanan
dipengaruhi oleh suhu, suhu penyimpanan tinggi maka perubahan kualitas telur
semakin tinggi. Semakin lama penyimpanan ukuran rongga udara meningkat,
kuning telur encer dan membran menjadi lemah, putih telur menjadi lebih encer,
telur banyak mengandung basa dan timbul bau busuk (Penfield dan Campbell,
1990).
Perubahan lain yang terlihat dari luar adalah timbulnya bintik hitam pada
permukaan kulit telur dan warna kulit berubah menjadi keruh. Hal ini disebabkan
oleh timbulnya kapang pada distribusi air yang tidak merata diseluruh
permuakaan kulit telur. Bekurangnya gas CO2 yang ada di dalam telur
12
menyebabkan peningkatan pH sehingga serabut ovomucin yang berfungsi sebagai
pengikat cairan putih telur menjadi rusak. Perubahan warna isi telur dapat
disebabkan adanya aktivitas bakteri tertentu dan perbedaan tekanan osmosis antara
putih dan kuning telur (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Menurut Lowe (1963) perubahan fisik selama kerusakan telur adalah (1)
putih telur kehilangan kekentalannya, (2) air bergerak dari putih telur ke kuning
telur sehingga kuning telur menjadi encer, (3) telur tidak disimpan pada
kelembaban yang lebih tinggi maka rongga udara semakin besar ukurannya.
Kondisi rongga udara yang terus membesar seiring terjadinya penguapan
air dari telur selama penyimpanan. Rongga udara tergantung pada temperatur
penyimpanan, kelembaban, dan pendinginan sampai 100 C serta perubahan
internal dari telur (Yuwanta, 2004). Pelapis Edibel
Pelapis edibel adalah lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang bisa
dimakan, digunakan di atas atau di antara produk pangan, dan berfungsi sebagai
barrier dalam perpindahan panas, uap air, gas CO2 atau sebagai pembawa bahan
tambahan makanan seperti zat antimikrobial dan antioksidan (Krochta et al,
1992). Gennadios dan Weller (1990) mendefenisikan pelapis edibel merupakan
lapisan tipis yang dapat dimakan yang digunakan pada makanan dengan cara
pembungkusan, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan untuk memberikan
penahanan yang selektif terhadap perpindahan gas, uap air dan bahan terlarut serta
perlindungan terhadap kerusakan.
Wong et al. (1994) menyatakan bahwa secara teoritis, bahan pelapis sdibel
harus memiliki sifat (1) menahan kehilangan kelembaban produk, (2) memiliki
permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, (3) mengendalikan perpindahan
padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi serta (4)
menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma
yang memperbaiki mutu.
Bahan dasar pembuatan pelapis edibel dapat digolongkan menjadi tiga
kelompok (Krochta et al, 1992) yaitu hidrokoloid (protein dan polisakarida),
13
lemak (asam lemak dan wax) dan campuran (hidrokoloid dan lemak). Protein
yang digunakan sebagai bahan dasar adalah jagung, kedele, wheat gluten, kasein,
kolagen, gelatin, corn zein susu dan pritein ikan. Sedangkan polisakarida yang
digunakan dalam pembuatan edibel adalah selulosa dan turunannya (metilselulosa,
karboksilmetilselulosa, hidroksipropiselulosa, hidroksilpropil laut (alginat,
karagenan, agar) gum (gum arab, gum karaya), xanthan, khitosan dan lain-lain.
Lemak yang umum digunakan adalah lilin alam (bees wax, carnauba wax,
paraffin wax), asam lemak (asam oleat dan asam laurat) dan emulsifier
(acetylated monoglyceride, glyseryl monostearat) dan lain-lain.
Bahan dasar pembentuk pelapis edibel sangat mempengaruhi sifat-sifat
pelapis edibel itu sendiri. Pelapis edibel yang berasal dari hidrokoloid memiliki
ketahanan yang bagus terhadap gas O2 dan CO2 , meningkatkan kekuatan fisik,
namun memuliki ketahanan terhadap uap air yang sangat rendah akibat
hidrofiliknya. Oleh karena itu protein dan polisakarida tidak dapat digunakan
sebagai barrier terhadap bahan yang mempunyai Aw permukaan tinggi (Wong et
al, 1994).
Efektivitas pelapis edibel pada buah diartikan sebagai kemampuan pelapis
edibel yang bersangkutan untuk memenuhi fungsinya sebagai artificial barrier
dalam menciptakan atmosfir internal buah yang sesuai dan potensinya dalam
memperlambat penurunan mutu. Oleh karena itu efektivitas pelapis edibel dapat
ditinjau dari perubahan gas internal, laju respirasi atau perubahan parameter mutu
buah (Wong et al, 1994).
Sudaryani (2000) menyatakan memperpanjang daya simpan telur segar
pada prinsipnya memberikan perlakuan terhadap telur utuh sehingga pori-porinya
tidak dimasuki oleh mikroba. Upaya untuk memperpanjang ketahanan simpan
telur segar dapat dilakukan dengan cara melapisi kulit telur, menutupi pori-pori
kulit telur bagian luar dan menyimpan telur pada ruang khusus. Kitosan
Kitosan diperoleh dari khitin setelah mengalami proses destilasi dengan
menggunakan suhu tinggi dan alkali berkonsentrasi tinggi. Kitosan memiliki nama
14
kimia (1-4)-2-1 mino-2-deoksi-ß-D-glukosa, berbentuk spesifik. Dengan gugus
amina yang dikandung dalam rantai karbonnya, kitosan bermuatan positif
sehingga berlawanan dengan polisakarida lainnya (Ormam, 1992).
Perbedaan kitosan dengan selulosa terletak pada gugus hidroksil C-2
selulosa yang digantikan dengan gugus NH3. Berat molekul kitosan tergantung
pada derajat destilasi yang dihasilkan saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil
yang hilang dari polimer khitin, semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan
hidrogennya (Ormam, 1992).
Kitosan dapat membentuk lapisan semipermeabel sehingga mampu
memodifikasi atmosfir internal pada buah, dengan demikian pematangan tertunda
dan laju transfirasi buah-buahan atau sayuran menurun (Nisperos-carriedo, 1994).
Penggunaan pelapis kitosan dengan konsentrasi 1.5% pada buah strawbery yang
disimpan pada suhu 130 C terbukti mampu menekan kerusakan buah selama
penyimpanan (EI Grauth et al, 1991). Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa strawbery yang diberi pelapis kitosan lebih tinggi tingkat kekerasannya,
produksi antosianin dan total asam daripada strawbery tanpa pelapis kitosan
maupun strawbery yang diberi fungisida.
Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat,
sedikit larut dalam HCl, HNO3, H3PO4 dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan tidak
beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrik (Hirano, 1986).
Ditambahkan oleh Baldwin (1994) yang mengemukakan pelapis kitosan dengan
konsentrasi 1-2% pada RH dibawah 70% bersifat impermeabel terhadap gas
sedangkan RH 100% terjadi penetrasi gas O2 dan CO2 masing-masing 44
µl/cm2/jam dan 3 µl/cm2/jam. Selanjutnya dikemukakan bahwa kitosan dapat
dilalui uap air dengan kecepatan 0.8 mg/cm2/jam. Ekstrak daun jambu biji
Zat penyamak atau tanin adalah senayawa organik yang terdiri dari
senyawa polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H dan O serat sering
membentuk molekul besar. Menurut Djuwadi et al. (1987) berat molekul tanin
berkisar antara 500-3000 dalton. Hampir semua tumbuh-tumbuhan terutama
15
golongan dikotiledon mengandung tanin. Tanin terkondensasi banyak terdapat
pada buah-buahan, biji-bijian dan tanam-tanaman lain yang dapat dimanfaatkan
manusia sebagai makanan, sedangkan tanin yang dapat dihidrolisa banyak
terdapat pada kelompok tanaman bukan makanan (non edible food).
Bahan penyamak nabati yang sering digunakan dalam pengawetan telur
diantaranya adalah daun jambu biji, kulit kayu akasia, daun teh dan kulit bawang
merah yang semuanya tergolong dalam tanin terkondensasi. Kadar tanin pada
daun jambu biji ± 7,59 persen, kulit bawang merah ± 6,24 persen dan pada daun
teh ± 5,85 persen. Karena mudah diperoleh dan memiliki kandungan tanin yang
lebih tinggi dibanding bahan penyamak lainnya, maka daun jambu biji dianggap
paling efektif digunakan untuk pengawetan telur. Telur hasil penyamakan dengan
menggunakan daun jambu biji menunjukknan laju penurunan berat dan
pertumbuhan bakteri paling kecil serta umur simpannya lebih lama dibandingkan
dengan bahan penyamak lainnya (Jasin, 1990).
Menurut Sirait (1986), selain mengurangi permeabilitas, penggunaan
bahan penyamak nabati juga memberikan variasi warna kulit telur menjadi
kecoklat-coklatan, namun rasanya telur tidak berpengaruh dengan penggunaan
bahan penyamak tersebut. Fardiaz dan Soekarto (1972) menambahkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi tanin yang digunakan maka semakin coklat warna kulit
telur hasil penyamakan.
Penyamakan pada membran kulit telur sangat dipengaruhi oleh besar dan
jumlah pori-pori kulit telur yang berhubungan langsung dengan membran kulit.
Lapisan kulit telur yang dapat disamak oleh tanin larutan penyamak meliputi
kutikula, sebagian matriks protein pada lapisan bagian kerabang dan membran
kulit telur yang berhubungan dengan pori-pori (Fardiaz, 1972).
Konsentrasi tanin dalam larutan bahan penyamak tidak boleh terlalu besar
karena dapat menyebabkan semua protein yang ada pada telur akan terikat oleh
gugus fenol dari tanin sehingga dapat merusak protein yang ada pada putih telur.
Tanin yang dapat digunakan dalam proses penyamakan hanya sebatas untuk
menyamak protein pada bagian kulit telur saja, jangan sampai protein pada bagian
putih telur juga ikut tersamak (Herawati, 1999). Konsentrasi tanin dalam larutan
16
bahan penyamak yang cukup baik ialah 0,75% atau lebih rendah yaitu 0,50%
(Budiman,1974). Fardiaz dan Soekarto (1972) menambahkan bahwa pengguanaan
larutan penyamak sampai 3% belum menyebabkan adanya difusi zat penyamak ke
dalam telur.
Lilin lebah (Bees Wax)
Lilin lebah C13H27CO2C26H53 adalah ester dari asam lemak berantai
panjang dengan alkohol monohidrat dan hidrokarbon. Sifat fisik lilin lebah murni
mempunyai titik didih berkisar antara 61-69 0C pada suhu kamar. Lilin lebah tidak
larut dalam api tetapi sedikit larut dalam alkohol dingin, benzen, kloroform,
karbon disulfida, eter dan beberapa minyak volatil dapat melarutkan lilin lebah
dengan baik (Bennet, 1963).
Menurut Winarno (1981) lilin lebah merupakan hasil sekresi dari kelenjar
lilin lebah madu Afis meliifera. Madu yang diekstrak dengan ekstraktor, sisir
madunya dapat digunakan lagi, sedangkan yang diekstrak dengan pengepresan
sarangnya hancur. Sarang yang hancur dapat dibuat lilin atau fondasi sarang baru.
Hasil sisa pengepresan sarang dicuci dan dikeringkan, kemudian dipanaskan
hingga menjadi lilin atau malam. Pemberian lilin pada kerabang telur dapat
dilakukan dengan pembusaan, penyemprotan, pencelupan dan pengolesan.
Pembuatan lilin lebah tidak boleh menggunakan air sadah karena garam-garam
yang terkandung dalam air tersebut akan merusak emulsi lilin, tetapi harus
menggunakan air suling. Bahan pembentuk emulsi (emulsifier) yang biasa
digunakan adalah trietanolamin dan asam oleat. Emulsi lilin yang belum terpakai
tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung dan cuaca dingin. Emulsi
dalam air lebih aman digunakan daripada pelarut-pelarut lain yang mudah sekali
terbakar. Distilat asap
Distilat asap adalah larutan asap hasil destilasi kering tempurung kelapa,
sabut kelapa atau kayu keras lainnya yang mengandung senyawa-senyawa kimia
antara lain metil alkohol, etil alkohol, asam aseta, folmaldehid, asetaldehida,
17
diasetil, fenol, tar dan air (Wijaya, 1980 di dalam Tampubolon, 1988). Distilat
asap atau asap cair tempurung kelapa mengandung lebih dari 400 komponen dan
memiliki fungsi sebagai penghambat perkembangan bakteri yang cukup aman
sebagai pengawet alami (http://disperindag-jabar.go.id/).
Cara memproduksi distilat asap seperti yang diamati Pzezola (1995)
adalah sebagai berikut : bahan pengasap dikeringkan agar kadar airnya konsisten,
kemudian dibakar dalam perapian dengan pengontrolan oksigen, kadar air, waktu
dan suhu. Asap kemudian dikondensasi da dicampur dengan air dingin. Produk
kasar ini didiamkan dalam tangki stainless stell selama kurang lebih 10 hari untuk
mengendapkan materi tak larut (seperti benzopirena yang merupakan pembentuk
senyawa PAH/poisiklik aromati hidrokarbon) melalui filtrasi multitahap. Produk-
produk adap sintetik misalnya distilat asap, konsentrat, minyak, bubuk distilat
asap terlarut dan distilat asap cair buffer.
Asap memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena
adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil. Distilat asap mengandung senyawa
fenol dengan titik didih tinggi yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri
sehingga dapat digunakan sebagai pengawet. Sokolov et al. (1972) di acuh oleh
Daun (1989) menyatakan bahwa mencelupkan pangan dalam distilat asap akan
mencegah pembentukan agregat protein pada saat pengeringan sehingga
meningkatkan nilai biologis dari produk yang dihasilkan. Disamping itu karena
asap memiliki efek antioksidan maka vitamin-vitamin larut dalam lemak yang ada
dalam bahan pangan juga dapat terhindar dari degradasi oksidasi (Haras, 2004).
Menurut Reinhold (1993), fenol merupakan senyawa antiseptik dan
disinfektan terhadap berbagai mikroba, akan lebih efektif bila terdapat pada
larutan asam organik. Komponen-komponen asap seperti folmaldehid, asam asetat
dan creosote menempel pada bagian permukaan bahan, maka dapat mencegah
pembentukan spora dan menghambat pembentukan beberapa jenis bakteri dan
jamur (Daun, 1979). Sifat antioksidan dan antimikroba terutama diperoleh dari
senyawa fenol yang merupakan salah satu komponen aktif dalam asap.
Antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau memperlambat kecepatan
18
oksidasi terhadap zat-zat yang dapat mengalami autooksidasi
(http://blog.lipi.go.id/).
Asap cair mempunyai beberapa kelebihan yaitu mudah di terapkan/ praktis
penggunaannya, flavor produk lebih seragam, dapat digunakan berulang-ulang,
lebih efisien dalm penggunaan bahan pengasap, dapat diaplikasikan pada berbagai
jenis bahan pangan, polusi lingkungan dapat diperkecil dan yang paling penting
senyawa karsinogen yang terbentuk dapat dieliminasi (Simon et al, 2005). Asap
memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena adanya
senyawa asam, fenolat dan karbonil.
Tempurung kelapa merupakan bagian yang paling keras pada buah kelapa.
Terletak di sebelah dalam sabut kelapa dengan ketebalan 3-5mm dan berfungsi
sebagai pelindung daging buah kelapa akibat pengaruh eksternal (Awang, 1991).
Tempurung kelapa seperti halnya kayu mempunyai sejumlah besar lignin dan
sejumlah kecil selulosa. Kandungan methoxyl tempurung kelapa hampir sama
dengan kayu, dan kandungan airnya bervariasi menurut lingkungan, varietas dan
kematangan buah. Tempurung kelapa yang berasal dari buah yang matang pada
keadaan kering udara berkadar air 6-9% (Djatmiko dan Ketaren, 1978). Seperti
yang dilaporkan Darmadji dkk (1996) yang menyatakan bahwa pirolisis
tempurung kelapa menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol
sebesar 4.13 %, karbonil 11.3 % dan asam10.2% (http://www.AsapCair.com).
Asap cair dapat diaplikasikan dengan berbagai cara seperti penyemprotan,
pencelupan atau dicampur langsung kedalam makanan (Pearson dan Tuber, 1984).
Pengemasan
Proses distribusi meliputi kegiatan pengemasan, penanganan,
penggudangan, dan pengangkutan. Selama proses tersebut, kemasan dan produk
yang dikemas menghadapi berbagai resiko, diantarannya resiko lingkungan
(environmental hazards) akibat suhu dan kelembaban, resiko fisik
(physical hazards) karena gesekan, dampak tekanan, distorsi, dan resiko lain
seperti masuknya organisme, kontaminasi dan pencurian (Syarief et al, 1989).
19
Pengepakan akan berpengaruh terhadap kerusakan telur, karena telur
pecah atau terjadi disintegrasi komponen fisik dalam telur akan mempercepat
kerusakan komponen dan sifat fisik kimia lainnya (Romanoff dan Romanoff,
1963). Beberapa cara pengepakan telur selama proses pemasaran pernah dibahas
oleh Orr dan Fletcher (1973) yang menunjukkan bahwa pengepakan telur dengan
folding box, molded pulp, molded plastic dan hermeticaly scaled plastic packages
akan dapat mengurangi evaporasi air dan absorpsi bau yang tidak diinginkan. Sifat
pengepak telur yang berguna dalam pengemasan antara lain dapat menghindari
kerusakan fisik, mengurangi evaporasi air, mengurangi kontaminasi kotoran dan
penyerapan bau (Winarno, 1993).
Pengemasan telur yang baik mempunyai banyak kegunaan. Kegunaan
yang paling penting adalah untuk mengurangi kerusakan selama pengangkutan
dan penjualan. Selain itu, kemasan juga berperan untuk memudahkan konsumen
dalam membawanya ( Sujionohadi et al, 2003).
Komodoti hasil pertanian seperti telur, buah-buahan segar, biskuit dan
produk-produk kering sangat memerlukan perlindungan terhadap faktor mekanis.
Tumpukan barang atau kemasan, jenis transportasi (darat, laut, udara) dan jenis
barang sangat memerlukan macam perlindungan yang harus diberikan untuk
mencegah hancurnya bahan. Selain itu, perlindungan terhadap debu, sengatan
panas dan serangga (Syarief, 1990).
Di Indonesia, bahan pembantu yang sering dipakai untuk mengemas buah-
buahan menggunakan keranjang dan peti. Daun-daun kering, pelapah batang
pisang, tikar atau kertas karton, potongan-potongan kertas, serbuk gergaji dan
lain-lain. Bahan-bahan tersebut berfungsi sebagai bahan pengisi pada dinding
kemasan untuk mencegah terjadinya gesekan antara produk dengan permuakaan
kemasan dan pergeseran letak komoditi, dan mengisi sela-sela antara produk yang
dikemas (Syarief et al, 1989).
Kemasan pengangkutan untuk tujuan lokal biasanya dibuat sederhana,
berupa peti kayu yang dilapisi jerami. Pengemasan yang baik, biasanya antar
lapisan telur diberi alas dibuat khusus untuk meletakkan telur (Sujionohadi et al,
2003). Pada prinsipnya, tidak ada spesifikasi jenis kayu yang harus digunakan
20
pada jenis kemasan tertentu. Pilihan jenis kayu ditentukan berdasarkan jumlah
yang tersedia dan harga, karakteristik kekuatan aktual dari jenis kayu, kualitas,
ketebalan, desain peti dan keahlian tenaga kerja dalam mengkontruksi dan merakit
kemasan. Kayu digunakan untuk membuat kerangka kemasan karena sifat kayu
yang kokoh dan kaku, sehingga dapat digunakan untuk memberi yang permanen
( Syarief at al, 1993). Transportasi
Transportasi merupakan faktor penunjang yang sangat penting dalam
ditribusi telur dari produsen ke konsumen, oleh sebab itu penanganan selama
pengankutan ini sangat penting. Getaran atau gerakan yang terjadi dapat
menyebabkan telur retak atau pecah dan dapat juga menyebabkan disintegrasi
komponen fisik (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Goncangan yang terjadi selama pengangkutan baik dijalan raya maupun di
rel kreta api dapat mengakibatkan memar, susut bobot dan memperpendek umur
simpan. Meskipun kemasan dapat meredam efek goncangan tetapi daya redamnya
tergantung jenis kemasan serta tebal bahan kemasan, susunan komoditas dalam
kemasan dan susunan kemasan di dalam alat pengangkutan (Purwadaria, 1992).
Menurut Soedibjo (1992), perlakuan yang kurang sempurna selama
pengangkutan dapat mengakibatkan jumlah kerusakan yang dialami oleh komoditi
pada waktu sampai di tempat tujuan mencapai 30-50%. Pada umumnya hambatan
yang menyebabkan penurunan mutu tersebut adalah kegiatan penanganan
pascapanen yang tidak sempurna walaupun mutu produk pada waktu panen sudah
baik. Kegiatan penanganan pascapanen meliputi masalah tempat pengumpulan,
grading atau sortasi, pengemasan, pengangkutan dan pemasaran.
Penyimpanan Telur
Bahan pangan terdapat sejumlah kecil mikroba yang dapat berkembang
biak dengan cepat bila kondisi penyimpanan memungkinkan untuk tumbuh.
Keadaan inilah yang dapat menyebabkan penurunan mutu atau kerusakan pangan
(Murhadi, 1994). Telur yang normal segera setelah dikelurkan oleh induknya pada
21
umumnya mempunyai kualitas baik. Hal ini berdasarkan keadaan kerabang telur,
besar kantong udara, kondisi putih telur dan kuning telur. Produk dikatakan
berada didalam kisaran umur simpannya, bila kualitas produk secara umum dapat
diterima oleh konsumen.
Waktu penyimpanan yang semakin lama menyebabkan pori-pori semakin
membesar dan lapisam mukosa jadi rusak. Air, gas dan bateri lebih mudah
melewati kerabang sehingga penurunan kualitas dan kesegaran telur semakin
cepat (Muchtadi, 1992). Telur segar yang disimpan pada suhu kamar akan
bertahan 10-14 hari, setelah waktu tersebut telur mengalami kerusakan (Syarief,
1993).
Menurut Syarief et al. (1989) gangguan yang paling umum terhadi pada
bahan pangan adalah kehilangan air atau perubahan kadar air serta pengaruh gas
dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk maka akan timbul
jamur dan bakteri, (pengerasan pada produk bubuk) dan pelunakan pada produk
kering. Suhu yang rendah menghambat penurunan kualitas telur, sedangkan suhu
yang tinggi tidak baik untuk penyimpanan karena penurunan kualitas telur akan
lebih cepat terjadi. Penutupan kulit telur juga akan menghambat kelurnya CO2
dari dalam telur. Kombinasi penutupan kulit telur dan suhu rendah akam
mempertahankan kualitas telur dalam waktu lama.
Menurut Lowe (1963), penurunan indek putih telur dapat diperlambat
dengan penyimpanan pada suhu -1,1 0 C. Cara untuk pengendalian kerusakan
yaitu dengan cara pelapisan lilin, penggunaan kantong dan karung plastik,
penggunaan sistem pengaturan komposisi O2 dan CO2 dalam wadah tidak dapat
dianjurkan terutama di negara-negara tropis, bila cara tersebut tidak
dikombinasikan dengan pendinginan (Pantastico, 1986).
Telur segar yang dibiarkan dalam udara terbuka (suhu ruang) hanya tahan
10-14 hari, setelah waktu tersebut maka telur mengalami perubahan-perubahan ke
arah kerusakan (Syarief et al, 1993). Waktu penyimpanan yang semakin lama
menyebabkan pori-pori semakin membesar dan rusaknya lapisan mukosa. Air, gas
dan bakteri lebih mudah melewati kerabang tanpa ada yang menghalangi sehingga
penurunan kualitas dan kesegaran telur semakin cepat terjadi (Muchtadi, 1992).
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan
dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian dan Laboratoriun
Ilmu Produksi Ternak IPB, Bogor. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan
Agustua-Oktober 2006.
Alat dan Bahan
Alat
Peralatan yang digunakan antara lain meja getar, Candler 60 Watt,
timbangan dygital untuk mengukur bobot telur, mikrometer tripot untuk
mengukur indeks putih dan kuning telur, meja kaca sebagai wadah
pengukuran serta jangka sorong untuk mengukur diameter putih dan
kuning telur.
Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah telur ayam buras
umur 1 hari 268 butir. Bahan lain yang digunakan kemasan peti kayu
(dimensi = 42 cm x 30 cm x 20 cm) tebal = 1.8 cm jenis (Battened End
Box) dengan bahan pengisi jerami padi dan kardus kotak (dimensi = 42
cm x 30 cm x 20 cm) tebal = 7.1 cm, Jenis RSC (Regular Sloted
Container) dengan bahan pengisi kertas koran, egg try, kitosan dengan
konsentrasi 1.5%, ekstrak daun jambu biji dengan konsentrasi 1.5%, lilin
lebah dengan konsentrasi 6% dan destilat asap.
23
Metode Penelitian
Metode penelitian yang telah dilakukan terdiri dari dua tahap. Tahap satu
yaitu pemilihan bahan pelapis meliputi :
1. Telur yang telah diambil dari kandang terlebih dahulu dilakukan candling
dan penimbangan setelah itu dibersihkan dengan diterjen untuk
menghilangkan kotoran kemudian ditiriskan lalu lakukan uji mikrobiologi
untuk mengetahui jumlah total mikroba sebelum pencelupan.
2. Kemudian telur ayam buras decelupkan ke dalam jenis bahan pelapis
(kitosan, ekstrak daun jambu biji, lilin lebah dan distilat asap) selama 5
menit dan ditiriskan lalu disimpan pada suhu ruang selama dua minggu
dengan bagian yang tumpul menghadap ke atas supaya rongga udara yang
digunakan sebagai pertukaran gas tidak tertutupi.
3. Pengukuran perubahan mutu telur tersebut dilakukan satu kali dalam satu
minggu. Peubah yang diamati susut bobot, uji mikrobiologi, indeks putih
telur, indeks kuning telur dan kantong udara.
4. Setelah didapatkan bahan pelapis yang terbaik kemudian dilanjutkan
kepada penelitian tahap II.
24
Gambar 6. Diagram alir prosedur penelitian tahap I
Penyimpanan pada suhu ruang (27 0C) dan Kelembaban relatif 65-70%
Telur Ayam Buras
Dicelupkan selama 5 menit
Ditiriskan sampai kering
Disusun pada egg try
Candling dan Timbang
Dibersihkan dengan diterjen
Uji Mikrobiologi
Khitosan (B2)
Ekstrak daun jambu biji (B3)
Lilin lebah (B4)
Kontrol (B1)
Distilat asap (B5)
25
Tahap ke dua meliputi :
1. Telur yang diambil dari kandang terlebih dahulu dilakukan candling dan
penimbangan selanjutnya dibersihkan dengan diterjen untuk
menghilangkan kotoran kemudian ditiriskan lalu lakukan uji mikrobiologi
untuk mengetahui jumlah total mikroba sebelum pencelupan.
2. Kemudian telur ayam buras dicelupkan ke dalam jenis bahan pelapis yang
terpilih pada penelitian tahap satu selama 5 menit dan ditiriskan.
3. Setelah kering telur tersebut dikemas pada peti kayu dengan bahan pengisi
jermai padi dan kardus karton dengan bahan pengisi koran cacah. Setiap
kemasan di isi dua lapis telur yaitu lapis atas dan bawah.
4. Kemudian setiap kemasan ditampatkan diatas meja getar dan digetarkan
selama 3 jam.
5. Penggetaran dilakukan selama 3 jam pada arah vertikal dengan Frekuensi
3.32 Hz dan Amplitudo 4.11 cm. Hal ini didasarkan pada kesetaraan alat
angkutan simulasi truk jika menggunakan diameter reducer < 27 cm
(Soedibyo, 1992). Reducer adalah instrumen pada alat angkut simulasi,
bentuknya seperti roda dan fungsinya adalah untuk mengurangi atau
meningkatkan kecepatan.
6. Setelah perlakuan goncangan, selanjutnya dihitung jumlah telur yang rusak
dan utuh. Kemudian susunan telur dibuka dan disusun ulang pada egg try
dengan bagian yang tumpul menghadap keatas, lalu disimpan pada suhu
ruang selama dua minggu.
7. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali untuk mengetahui
perubahan kualitas telur ayam buras. Selama penyimpanan dilakukan
pengamatan terhadap susut bobot, uji mikrobiologi, indeks putih telur,
indeks kuning telur dan kantung udara.
26
Gambar 7. Diagram alir prosedur penelitian tahap II
Telur dilapisi dengan pelapis yang terpilih pada penelitian tahap satu
Uji Mikrobiologi
Dibersihkan dengan Diterjen
Ditimbang dan Candling
Telur Ayam Buras
Pengamatan masa simpan : Susut bobot, uji mikrobiologi, pengukuran indeks putih, indeks
kuning telur dan kantung udara
Pengemasan : kemasan peti kayu (PK) dan kemasan kardus karton (KK) (masing-
masing dengan bahan pengisi)
Penyusunan di Meja Getar : Kemasan Peti Kayu dan Kemasan kardus karton
Penggetaran Diatas Meja getar (3 Jam) dengan Frekuensi = 3.32 Hz dan Amplitudo 4.11 cm
Pengamatan perubahan Mutu Fisik : Kerusakan mekanis (retak dan pecah) setelah penggetaran
Hasil : Persen Kerusakan Mekanis
Susunan telur dibuka dan disusun ulang pada egg try
27
Kitosan
Kitosan diperoleh dari khitin yang dideatilasi dengan menambahkan
sodium hidroksida pekat sesuai perlakuan yang terpilih dari penelitian terdahulu
yaitu 50 dan 60%, sedangkan perbandingan antara pelarut dan khitin adalah 20 : 1
lalu dipanaskan pada suhu 120 dan 140 0C sesuai perlakuan, selama 60 menit.
Padatan yang diperolah dicuci dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan
pada suhu 800 C selama 24 jam. Kitosan yang diperoleh ditimbang dan disimpan
dalam kantung plastik pada suhu kamar untuk selanjutnya dianlisis mutunya.
Digram alir proses pembuatan zat khitosan
Ekstrak Sumber Tanin
Proses pembuatan ekstrak ini pada prinsipnya yaitu sama dengan merebus
bahan sumber tanin (daun jambu biji) masing-masing 500 gram daun dalam
bentuk segar kemudian dicampur dengan 500 ml air bersih. Bahan tersebut
direbus sampai mendidih (1000 C) selama 1 jam. Setelah itu dibiarkan semalam
agar dingin kemudian disaring.
Bubuk khitin
NaOH 50 dan 60 % (20:1) →Deatilasi (pemanasan suhu 120 dan 1200 C, 60 menit)
Pencucian hingga pH netral
Pengeringan (suhu 800 C, selama 24 jam)
Kitosan
28
Diagram alir proses pembuatan ekstrak daun jambu biji
Emulsi Lilin
Pembuatan emulsi lilin dengan konsentrasi 12 % adalah dengan cara
mencampurkan dan mencairkan lilin dengan air. Air yang digunakan untuk
membuat emulsi lilin adalah air suling.
Diagram alir proses pembuatan emulsi lilin lebah
500 g daun jambu biji segar + 500 ml air bersih
Direbus sampai mendidih (1000C) selama 1 jam
Didiamkan selama satu malam
Disaring
Ekstrak tanin
120 g lilin ( Bees wax ) dan 100 cc air
Dipanaskan (70-100 0C)
Ditambahkan asam oleat 20 ml dan trietanolamin 60 ml Diaduk
(bahan yang telah diaduk) dengan air sampai volume campuran mencapai 1 liter
Emulsi lilin
29
Pengamatan
1. Tingkat Kerusakan Mekanik
Uji tingkat kerusakan mekanis dilakukan setelah telur ayam kampung
digoncang atau digetarkan. Kriteria rusak didasarkan pada terdapatnya luka gores
pada kulit. Uji ini dilakukan secara visual. Lembar pengujian yang digunakan
adalah seperti pada tabel 2.
Tabel 3. Contoh lembar pengujian kerusakan mekanis
UJI TINGKAT KERUSAKAN MEKANIS
Penggetaran Jenis Kemasan dan bahan
pengisi
Jumlah Rusak (butir)
Jumlah Tidak Rusak (butir)
Total sampel didalam
kemasan (butir)
PKLA
PKLB
KKLA
3 Jam
KKLB
Keterangan : PKLA = peti kayu dengan bahan pelapis jerami padi
PKLB = peti kayu dengan bahan pelapis jerami padi
KKLA = kotak kardus dengan bahan pelapis koran cacah
KKLB = kotak kardus dengan bahan pelapis koran cacah
Persamaan yang digunakan untuk menghitung persentase kerusakan
mekanis pada telur tersebut adalah :
% Rusak = lJumlahTotakJumlahRusa x 100 %
30
2. Susut Bobot
Penyusutan berat telur dilakukan dengan timbangan model kasar (Ohaus)
yang dapat dibaca sampai ketelitian 0,1 gram. Penyusutan berat telur diperoleh
dari selisih berat awal dengan berat sesuai dengan umur penyimpanan atau susut
berat.
Dimana :
W0 = Bobot awal bahan (gram)
Wt = Bobot akhir bahan (gram)
3. Uji Mikrobiologi
Pengamatan mikrobiologi ini dilakukan untuk mendeteksi apakah telur
yang diawetkan masih dapat dan layak konsumsi. Pengamatan dilakukan sebelum
pencelupan terhadap bahan atau zat pengawet. Selama masa penyimpanan telur
tersebut dilakukan pengamatan untuk melihat pertumbuhan mirobiologi apa yang
terjadi pada setiap perlakuan.
Cara :
1. Timbang bahan yang akan diperiksa (sampel kulit telur) berat antara 2 -3.5
gram
2. Masukkan dalam kantong plastik steril dan pecahkan kerabang hingga
lembut.
3. Kalikan berat bahan 9 kali sehingga diperoleh jumlah pelarut yang
dibutuhkan. Untuk standart 1: 10, atau 25 gram kulit telur dengan 225 ml
pelarut Buffered Depton Water (BPW).
% Susut Bobot = W0 – Wt
W0 x 100%
31
4. Setelah ditambahkan pelarut kemudian dilakukan homogenisasi. Siapkan
agar PCA yang sudah disterilkan, tunggu hingga aman dicampur lalu
dituangkan pada cawan petri dengan temperatur 50-55 0 C.
5. Siapkan tabung steril secara serial 1 atau 4 sesuai perkiraan total populasi
mikroba. Isi dengan 9 ml buffer depton water dan tambahkan 1 ml sampel
kemudian diaduk sampai rata.
6. Untuk kantong pelarut dan kerabang yang sudah dihomogenisasi dengan
baik sudah termasuk (101 ) siap dituangkan pada cawan.
7. Setelah dilakukan pengenceran 101, 102, 103. Ambil masing-masing
enceran dan tuang pada cawan 1 ml.
8. Biarkan cawan agar dan sampel mengeras, kemudian diinkubasi.
9. Baca atau hitung koloni yang muncul pada agar.
Perhitungan jumlah koloni, misalnya pengenceran awal 1:10 (101) dibuat
dengan cara mengencerkan 1 ml bahan kedalam 9 ml larutan pengencer,
dilanjutlkan dengan pengenceran lebih tinggi sampai 105 atau 106 . Semakin
tinggi jumlah mikroba yang terdapat dalam sel semakin tinggi pengenceran yang
harus dilakukan. Jika setelah inkubasi misalnya diperoleh 60 dan 64 koloni pada
masing-masing cawan duplo yang mengandung pengenceran 10-4 , maka jumlah
koloni dapat dihitung sebagai berikut (1 ml larutan pengencer dianggap
mempunyai berat 1 gram) : Perhitungannya ;
Faktor Pengenceran = Pengenceran X jumlah yang dibutuhkan
= 10 -4 X 1.0 ml
= 10 -4
Jumlah koloni = jumlah koloni per cawan X 1/ faktor pengenceran
= (60 + 64) X 1/10-4
= 6.2 x 10 -5
32
4. Indeks Putih Telur
Telur di pecah kemudian isinya dituangkan di atas meja kaca, selanjutnnya
tinggi putih telur diukur dengan menggunakan mikrometer sedangkan
diameternya diukur dengan jangka sorong. Kemudian indeks putih telur
ditentukan berdasarkan rumus berikut :
5. Indeks Kuning Telur
Telur di pecah kemudian isinya dituangkan di atas meja kaca, selanjutnnya
tinggi kuning telur diukur dengan menggunakan mikrometer sedangkan
diameternya diukur dengan jangka sorong. Kemudian indeks kuning telur
ditentukan berdasarkan rumus berikut :
6. Kantung Udara
Penentuan kualitas telur berdasarkan kantung udara dapat dilihat dengan
cara peneropongan yang dilakukan secara sederhana yaitu menyinari telur dengan
lampu 60 Watt melalui tabung slinder pada ruangan yang agak gelap.
Indeks Putih Telur = Tinggi Putih Telur
Diameter Putih Telur (terpanjang + terpendek) / 2
Indeks Putih Telur = Tinggi Kuning Telur
Diameter Kuning Telur (terpanjang + terpendek) / 2
33
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan model linier sebagai
berikut :
Yij = µ + άi + βj + (άβ)ij +ε ijk
Dimana : i = 1,2,....t dan 1,2,.....r
Yij = Pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j
dan ulangan ke-k
µ = Rataan umum
άi = Pengaruh utama faktor A
βj = Pengaruh utama faktor B
(άβ)ij = komponen interaksi dari faktor A dan B
εijk = Pengaruh acak dari interaksi AB yang menyebar normal (0, τ2)
Data yang diperoleh dianalisa dengan analisis sidik ragam menggunakan
SAS 9 pada tingkat kepercayaan 95%, jika terdapat pengaruh perlakuan dilakukan
uji lanjut Duncan.