Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

56
GAGAL GINJAL KRONIK Definisi Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006). Menurut Nursalam (2006), gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal. Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk

Transcript of Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

Page 1: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

GAGAL GINJAL KRONIK

Definisi

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan

etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi

ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal.

Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai

dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu

derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap,

berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Perhimpunan Dokter

Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).

Menurut Nursalam (2006), gagal ginjal kronis

(chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif

yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan

limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta

komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi

ginjal. Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir

merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan

ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan

elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah

nitrogen lainnya dalam darah) (Smeltzer and Bare, 1997 dalam

Suharyanto dan Madjid, 2009).

Gagal ginjal kronis menurut The Kidney Outcomes

Quality Initiative (K/DOQI) of National Kidney Foundation

(NKF) pada tahun 2009 adalah kerusakan ginjal yang terjadi

selama atau lebih tiga bulan dengan laju filtrasi glomerulus

kurang dari 60 ml/men./1,73 m2 (Perhimpunan Nefrologi

Indonesia, 2003).

Page 2: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni
Page 3: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

2. Kalsifikasi Gagal Ginjal Kronis

Menurut Suharyanto dan Madjid (2009), gagal ginjal

kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan sebabnya, yaitu :

Tabel 1. Gagal Ginjal Berdasarkan Penyebab

Klasifikasi Penyakit PenyakitPenyakit infeksi dan peradangan Pielonefritis kronik

Penyakit vaskuler hipertesif Nefrosklerosis benigna

Nefrosklerosis malignaGangguan jaringan penyambung Lupus eritematosus sistemik

Poliartritis nodusaGangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik

Penyakit metabolik Diabetes Melitus

Gout DiseaseNefropati toksi Penyalahgunaan analgesik

Nefropati obstruksi Saluran kemih bagian atas : kalkuli,

neoplasma, fibrosis retroperineal.

Saluran kemih bagian bawah :

hipertropi prostat, striktur uretra, (Suharyanto dan Madjid, 2009)

Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi

menjadi tiga stadium (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu :

a. Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal

Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN

normal, dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi

ginjal hanya dapat diketahui dengan tes pemekatan kemih

dan tes GFR yang teliti.

Page 4: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

b. Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal

Pada stadium ini dimana lebih dari 75 % jaringan yang

berfungsi telah rusak. GFR besarnya 25 % dari normal.

Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari

normal. Gejala-gejala nokturia atau seting berkemih di

malam hari sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari

kegagalan pemekatan) mulai timbul.

c. Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia

Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur atau rusak,

atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh.

Nilai GFR hanya 10 % dari keadaan normal. Kreatinin

serum dan BUN akan meningkat dengan mencolok.

Gejala-gejala yang timbul karena ginjal tidak sanggup

lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit

dalam tubuh, yaitu : oliguri karena kegagalan glomerulus,

sindrom uremik.

Menurut The Kidney Outcomes Quality Initiative

(K/DOQI) (dalam Desita, 2010), gagal ginjal kronis dapat

diklasifikasikan berdasarkan tahapan penyakit dari waktu ke

waktu sebagai berikut :

Stadium1 : kerusakan masih normal (GFR > 90

ml/min/1,73m2)

Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2)

Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2)

Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2)

Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 ml/min/1,73 m2)

Page 5: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan

tanda-tanda kerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang

abnormal atau urin yang abnormal (Arora, 2009; dalam Desita,

2010).

3. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia

(2006) patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya

tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam

perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih

sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi

struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving

nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh

molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor. Hal ini

mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses

adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan

penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit

dasarnya sudah tidak aktif lagi.

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-

aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap

terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.

Aktivasi jangka panjang aksis renin- angiotensin-aldosteron,

sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming

growth factor β (TGF-β). Beberapa hal juga yang dianggap

berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik

adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.

Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis

dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial (Price and

Page 6: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

Wilson, 2005).

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik,

terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada

keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.

Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan

fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan

peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada

LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan

keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar

urea dan kreatinin serum.

Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi

keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan

kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang

30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang

nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan

metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain

sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi

saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran

cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo

atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain

natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi

gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah

memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)

antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini

pasien dikataan sampai pada stadium gagal ginjal (Price and

Wilson 2005).

4. Etiologi Gagal Ginjal Kronis

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun

2000 (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Indonesia, 2006) mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani

Page 7: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

hemodialisa di Indonesia,

yaitu :

Tabel 2 Penyebab Gagal Ginjal Menurut Pernefri

Penyebab InsidenGlomerulonefritis 46, 39 %Diabetes Melitus 18,65 %Obstruksi dan infeksi 12,85 %Hipertensi 8,46 %Sebab lain 13,65 %

(Pernefri, 2009)

5. Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kroni

Pada gagal ginjal kronis, setiap sistem tubuh

dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan

memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda

dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal,

kondisi lain yang mendasari dan usia pasien (Brunner

& Suddarth, 2002).

Menurut Nursalam (2006), manifestasi klinis yang terjadi :

a. Gastrointestinal : ulserasi saluran pencernaan dan

perdarahan.

b. Kardiovaskuler :hipertensi, perubahan EKG,

perikarditis, efusi perikardium,

tamponade pericardium.

c. Respirasi : edema paru, efusi pleura, pleuritis.

Page 8: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

d. Neuromuskular : lemah, gangguan tidur, sakit kepala,

letargi, gangguan muskular, neuropati

perifer, bingung dan koma.

e. Metabolik : inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan

hormon seks menyebabkan penurunan

libido, impoten dan ammenore.

f. Cairan-elektrolit : gangguan asam basa menyebabkan

kehilangan sodium sehingga terjadi

dehidrasi, asidosis, hiperkalemi,

hipermagnesemia.

g. Dermatologi : pucat, hiperpigmentasi, pruritus,

ekimosis, uremia frost.

h. Abnormal skeletal : osteodistrofi ginjal menyebabkan

osteomalasia.

i. Hematologi : anemia, defek kualitas platelet,

perdarahan meningkat.

j. Fungsi psikososial : perubahan kepribadian dan perilaku serta

gangguan proses kognitif.

Page 9: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

GAGAL JANTUNG KONGESTIF

PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala)

ditandai oleh sesak nafas dan fatik(saat istirahat atau saat aktivitas) yang

disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.

Harapan hidup yang meningkat disertai semakin tingginya angka selamat (

survival) dari serangan infark jantung akut akibat kemajuan pengobatan dan

penatalaksanaannya, mengakibatkan semakin banyak orang yang hidup dalam

disfungsi ventrikel kiri, yang selanjutnya masuk ke dalam kondisi gagal jantung

kongestif dan semakin banyak yang dirawat akibat gagal jantung kongestif ..

DEFINISI

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah

jantung (cardiacoutput = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.

Penurunan CO mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang.

Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat maka di dalam

tubuh terjadi suatu refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui

perubahan-perubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel. Salah satu respon

hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling

pressure) dari jantung atau preload.

Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema

paru dan bendungan di sistem vena maka keadaan ini disebut gagal jantung

kongestif. Apabila tekanan pengisian meningkat dengan cepat sekali seperti yang

sering terjadi pada infark miokard akut sehingga dalam waktu singkat

Page 10: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

menimbulkan berbagai tanda-tanda kongestif sebelum jantung sempat

mengadakan mekanisme kompensasi yang kronis maka keadaan ini disebut gagal

jantung kongestif akut.

Berdasarkan gejala sesak nafas NewYork Heart Association (NYHA) membagi

gagal jantung kongestif menjadi 4 klas yaitu:

Klas I : Aktivitas sehari-hari tidak terganggu. Sesak timbul jika melakukan

kegiatan fisik yang berat.

Klas II : Aktivitas sehari-hari terganggu sedikit

Klas III :Aktivitas sehari-hari sangat terganggu. Merasa nyaman pada waktu

istirahat

Klas IV : walaupun istirahat terasa sesak.

EPIDEMIOLOGI

Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada

usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal

jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua

dari pasien gagal jantung akan meninggal dunia dalam 4 tahun sejak diagnosis

ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50 % akan meninggal

pada tahun pertama.

ETIOLOGI

Penyebab gagal jantung kongestif dapat dibagi menjadi dua, yaitu penyakit

miokard sendiri dan gangguan mekanik pada miokard.

a.Penyakit pada miokard sendiri antaralain:

-Penyakit jantung koroner

-Kardiomiopati

-Miokarditis dan penyakit jantung reumatik

Page 11: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

-Penyakit infiltratif

-Iatrogenik akibat obat-obat seperti adriamisin dan diisopiramid atau

akibat radiasi.

b.Gangguan mekanik pada miokard, jadi miokard sendiri sebenarnya tidak

ada kelainan.

Golongan ini dapat dibagi menjadi:

- kelebihan beban tekanan (pressure overload)

o hipertensi

o stenosis aorta

o koartasio aorta

o hipertrofi kardiomiopati

- kelebihan beban volume (volumeoverload)

o insufisiensi aorta atau mitral

o left to right shunt

o transfusi berlebihan

- Hambatan pengisian

o constrictive pericarditis

o tamponade

PATOFISIOLOGI:

Pada awal gagal jantung, akibat CO yang rendah di dalam tubuh terjadi

peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron, serta

penglepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme

kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat.

Respon neurohumoral ini akan membawa keuntungan untuk sementara

waktu. Namun setelah beberapa saat, kelainan sistem neurohumoral ini akan

memacu perburukan gagal jantung, tidak hanya karena vasokontriksi

Page 12: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

serta retensi air dan garam yang terjadi akan tetapi juga karena adanya efek toksik

langsung dari noradrenalin dan angiotensin terhadap miokard.

Apabila keadaan ini tidak segera teratasi peninggian afterload, peninggian

preload dan hipertrofi/dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung

sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi.

Diagnosis:

Anamnesis: Dispnead’effort

orthopnea

paroxysmal nocturnal dispnea

lemas

anoreksia dan mual

gangguan mental pada usia tua

Pemeriksaan fisik:

Takikardia, gallop bunyi jantung ketiga, peningkatan/ekstensi vena

jugularis, refluks hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegali, ronkhi basah

halus di basal paru dan bisa meluas di kedua lapang paru bila gagal jantung berat,

edema pretibial pada pasien yang rawat jalan, edema sakral pada pasien tirah

baring. Efusi pleura lebih sering pada paru kanan daripada paru kiri. Asites sering

terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitraldan perikarditis konstriktif,

hepatomegali, nyeri tekan, dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dengan

hipertensi vena sistemik, ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk

bilirubin, ekstremitas dingin, pucat dan berkeringat.

Kriteria diagnosis:

Kriteria Framingham: Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu

kriteria mayor dan dua kriteria minor.

Kriteria mayor

Page 13: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

Paroksismal nocturnal dispnea

Distensi vena-vena leher

Peningkatan vena jugularis

Ronki

Kardiomegali

Edema paru akut

Gallop bunyi jantung III

Refluks hepatojugular positif

Kriteria minor

Edema ekstremitas

Batuk malam

Sesak pada aktivitas

Hepatomegali

Efusi pleura

Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal

Takikardia (>120 denyut/menit)

Mayor atau minor

Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Diagnosis banding

Penyakit paru: pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru

berat misalnya ARDS, emboli paru

Penyakit ginjal: gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik

Penyakit hati: sirosis hepatik

Pemeriksaan penunjang

Foto rontgen dada: pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan

redistribusinya ke apeks paru(opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks),

peningkatan tekanan vascular pulmonary, kadang-kadang ditemukan efusi

pleura.

Page 14: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

Elektrokardiografi: membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark,

iskemia, hipertrofi dll) dapat ditemukan low voltage, T inverse, QS,

depresi st dll.

Laboratorium

Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin,

tes fungsi tiroid, tes fungsi hati, dan lipid darah

Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria

Ekokardiografi

Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang funsi dan

struktur jantung, katup dan perikard.

Upaya pencegahan:

Pencegahan gagal jantung harus selalu menjadi objektif primer terutama pada

kelompok dengan resiko tinggi:

Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, factor resiko jantung

koroner.

Pengobatan hipertensi yang agresif.

Koreksi kelainan congenital serta penyakit jantung katup.

Bila sudah ada disfungsi miokard upayakan eliminasi penyebab yang

mendasari selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi

gagal jantung.

Terapi:

Non farmakologi

Anjuran umum:

1. edukasi: terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan

Page 15: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

2. aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan

seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang

masih bisa dilakukan

3. gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang

tindakan umum:

1. diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 gram pada gagal jantung

ringan dan 1 gram pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada

gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.

2. hentikan rokok

3. aktivitas fisik ( latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama 20-

30menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan

beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan

dan sedang)

4. istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut

Farmakologi

1. diuretik

kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit

diuretik regular dosis rendah tujuanuntuk mencapai tekanan vena jugularis

normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop

diuretik atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat

dinaikkan, berikan diuretic intravena, atau kombinasi loop diuretic dan

tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton dengan dosis 25 -50 mg/hari

dapat mengurangi mortalitas pada paien dengan gagal jantung sedang

sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik

2. Penghambat ACE

Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan

pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.

3. Penyekat beta

Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Penyekat beta

yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan

dengan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.

Page 16: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

4. Antagonis penyekat reseptor angiotensin II

Masih merupakan alternatif bila pasien tidak toleran terhadap penyekat

enzim konversi angiotensin

5. glikosida jantung (digitalis)

Digitalis merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat

gagal jantung.

6. kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat

Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan penghambat

ACE.

7. antikoagulan dan antiplatelet.

Aspirin dindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada

penderitadengan fibrilasi atrialdengan fungsi ventrikel yang buruk.

Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan

riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attacks, trombus

intrakardiak dan aneurisma ventrikel.

Page 17: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI

PENDAHULUAN

Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak

sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.

Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%.

Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai

hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil

hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).1

Tekanan darah tingi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke.

Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik (menurunnya

suplai darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan

serangan jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot

jantung yang menebal.2

Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang

melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik,

struktural, neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor

ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi

lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor

tersebut.3

Diagnosis penyakit jantung hipertensi didasarkan pada riwayat,pengkuran tekanan

darah, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan awal pasien

hipertensif harus menyertakan riwayat lengkat dan pemeriksaan fisis untuk

mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-faktor risiko penyakit

kardiovaskular lain, menyaring penyebab-penyebab sekunder hipertensi,

mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain,

memeriksa gaya hidup terkait-tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.

Pengukuran tekanan darah yang terpercaya tergantung pada perhatian terhadap

detail mengenai tekhnik dan kondisi pengukuran. Karena peraturan terkini yang

melarang penggunaan merkuri karena perhatian mengenai toksisitas potensialnya,

Page 18: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

sebagian besar pengukuran dibuat menggunakan instrumen aneroid. Akurasi

instrumen pengukur tekanan darah terotomatisasi harus dikonfirmasi. Pada

pemeriksaan fisis, Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat.

Pada pemeriksaan awal, tekanan harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik

pada posisi terlentang, duduk dan berdiri untuk mengevaluasi keberadaan

hipotensi postural. Pada pemeriksaan laboratorium meliputi Urinalisis

mikroskopik, ekskresi albumin, BUN atau kreatinin serum, Natrium, kalium,

kalsium, dan TSH serum, Hematokrit, elektrokardiogram, Glukosa darah puasa,

kolesterol total, HDL dan LDL, trigliserida.

Penatalaksanaan penyakit jantung hipertensi meliputi perubahan gaya hidup (non

farmakologi) dan terapi farmakologi (Diuretik,penyekat sistem renin angiotensin,

antagonis aldosteron,penyekat beta, penyekat adrenergik, agen simpatolitik,

penyekat kanal kalsium, vasodilator direk (langsung).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa  obat-obatan tertentu seperti ACE-

Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi  hipertropi

ventrikel kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal

jantung akibat penyakit jantung hipertensi.

Page 19: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

1.    Definisi

Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak

sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.

Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%.

Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai

hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik).  Sejumlah 85-90 %

hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer

(hipertensi esensial atau Idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat

ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).

Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat

tergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien

hipertensi sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%.

Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan

sekresi hormon dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal

dini karena komplikasi jantung (yang disebut sebagai penyakit jantung hipertensi).

Juga dapat menyebabkan strok, gagal ginjal, atau gangguan retina mata.1,6

2.    Etiologi

Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung,  dan seiring dengan

berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena

jantung memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah

yang meningkat, ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung

setiap menitnya (cardiac output) berkurang. Tanpa terapi, gejala gagal jantung

akan makin terlihat.

Tekanan darah tinggi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke.

Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik ( menurunnya

suplai darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan

Page 20: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

serangan jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot

jantung yang menebal.

Tekanan darah tinggi juga berpenaruh terhadap penebalan dinding pembuluh

darah yang akan mendorong terjadinya aterosklerosis (peningkatan kolesterol

yang akan terakumulasi pada dinding pembuluh darah). Hal ini juga

meningkatkan resiko seangan jantung dan stroke. Penyakit jantung hipertensi

adalah penyebab utama penyakit dan kematian akibat hipertensi. Hal ini terjadi

pada sekitar 7 dari 1000 orang.2

3.    Patofisiologi

Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang

melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik,

struktural, neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor

ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi

lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor

tersebut. Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan yang merugikan

pada struktur dan fungsi jantung melalui 2 cara: secara langsung melalui

peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui nuerohormonal terkait

dan perubahan vaskular. Peningkatan perubahan tekanan darah dan tekanan darah

malam hari dalam 24 jam telah dibuktikan sebagai faktor yang paling

berhubungan dengan berbagai jenis patologi jantung, terutama bagi masyarakat

Afrika-Amerika. Patofisiologi berbagai efek hipertensi terhadap jantung berbeda-

beda dan akan dijelaskan pada bagian ini.

Hipertrofi ventrikel kiri

Pada pasien dengan hipertensi, 15-20% mengalami hipertrofi ventrikel kiri

(HVK). Risiko HVK meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. Prevalensi

HVK berdasarkan penemuan lewat EKG(bukan merupakan alat pemeriksaan yang

sensitif) pada saat menegakkan diagnosis hipertensi sangatlah

bervariasi.Penelitian telah menunjukkan hubungan langsung antara derajat dan

lama berlangsungnya peningkatan tekanan darah dengan HVK.

Page 21: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

HVK didefinisikan sebagai suatu penambahan massa pada ventrikel kiri, sebagai

respon miosit terhadap berbagai rangsangan yang menyertai peningkatan tekanan

darah. Hipertrofi miosit dapat terjadi sebagai  kompensasi terhadap peningkatan

afterload. Rangsangan mekanik dan neurohormonal yang menyertai hipertensi

dapat menyebabkan aktivasi pertumbuhan sel-sel otot jantung, ekspresi gen

(beberapa gen diberi ekspresi secara primer dalam perkembangan miosit janin),

dan HVK. Sebagai tambahan, aktivasi sistem renin-angiotensin melalui aksi

angiotensin II pada reseptor angiotensin I mendorong  pertumbuhan sel-sel

interstisial dan komponen matrik sel. Jadi, perkembangan HVK dipengaruhi oleh

hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan struktur interstisium

skeleton cordis.

Berbagai jenis pola HVK telah dijelaskan, termasuk remodelling konsentrik, HVK

konsentrik, dan HVK eksentrik. HVK konsentrik adalah peningkatan pada

ketebalan dan massa ventrikel kiri disertai peningkatan tekanan dan volume

diastolik ventrikel kiri, umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi.

Bandingkan dengan HVK eksentrik, di mana penebalan ventrikel kiri tidak merata

namun hanya terjadi pada sisi tertentu, misalnya pada septum. LVH konsentrik

merupakan pertanda prognosis yang buruk pada kasus hiperetensi. Pada awalnya

proses HVK merupakan kompensasi perlindungan sebagai respon terhadap

peningkatan tekanan dinding ventrikel untuk mempertahankan cardiac output

yang adekuat, namun HVK kemudian  mendorong terjadinya disfungsi diastolik

otot jantung, dan akhirnya menyebabkan disfungsi sistolik otot jantung.

Abnormalitas Atrium Kiri

Sering kali tidak terduga, perubahan struktur dan fungsi atrium kiri sangat umum

terjadi pada pasien dengan hipertensi. Peningkatan afterload membebani atrium

kiri lewat peningkatan tekanan end diastolik ventrikel kiri sebagai tambahan

untukmeningkatkan tekanan darah yang menyebabkan gangguan pada fungsi

atrium kiri ditambah peningkatan ukuran dan penebalan tarium kiri. Peningkatan

ukuran atrium kiri pada kasus hipertensi yang tidak disertai penyakit katup

jantung atau disfungsi sistolik menunjukkan kronisitas hipertensi dan mungkin

berhubungan dengan beratnya disfungsi diastolik ventrikel kiri. Sebagai

Page 22: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

tambahan, perubahan struktur ini menjadi faktor predisposisi terjadinya atrial

fibrilasi pada pasien-pasien tersebut. Atrial fibrilasi, dengan hilangnya kontribusi

atrium pada disfungsi diastolik, dapat mempercepat terjadinya gagal jantung.

Penyakit Katup

Meskipun penyakit katup tidak menyebabkan penyakit jantung hipertensi,

hipertensi yang kronik dan berat dapat menyebabkan dilatasi cincin katup aorta,

yang menyebabkan terjadinya insufisiensi aorta signifikan. Beberapa derajat

perubahan perdarahan secara signifikan akibat insufisiensi aorta sering ditemukan

pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah

yang akut dapat menentukan derajat insufisiensi aorta, yang akan kembali ke

dasar bila tekanan darah terkontrol secara lebih baik. Sebagai tambahan, selain

menyebabkan regurgitasi aorta, hipertensi juga diperkirakan dapat mempercepat

proses sklerosis aorta dan menyebabkan regurgitasi mitral.

Gagal Jantung

Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah yang

kronik. Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif seringkali tidak

diketahui, sebagian karena saat gagal jantung terjadi, ventrikel kiri yang

mengalami disfungsi tidak mampu menghasilkan tekanan darah yang tinggi, hal

ini menaburkan penyebab gagal jantung tersebut. Prevalensi disfungsi diastolik

yang asimtomatik pada pasien dengan hipertensi dan tanpa HVK (Hipertensi

Ventrikel Kiri) adalah sekitar 33%. Peningkatan afterload yang kronis dan

terjadinya HVK dapat memberi pengaruh buruk terhadap fase awal relaksasi dan

fase komplaien lambat dari diastolik ventrikel.

Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan hipertensi. Disfungsi

diastolik biasanya, namun tidak tanpa kecuali, disertai dengan HVK. Sebagai

tambahan, selain peningkatan afterload, faktor-faktor lain yang ikut berperan

dalam proses terjadinya disfungsi diastolik adalah penyakit arteri koroner,

penuaan, disfungsi sistolik, dan abnormalitas struktur seperti fibrosis dan HVK.

Disfungsi sistolik yang asimtomatik biasanya juga terjadi. Pada bagian akhir

penyakit, HVK gagal mengkompensasi dengan meningkatkan cardiac output

Page 23: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

dalam menghadapi  peningkatan tekanan darah, kemudian ventrikel kiri mulai

berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output. Saat penyakit ini memasuki

tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri menurun. Hal ini menyebabkan

peningkatan lebih jauh pada aktivasi neurohormonal dan sistem renin-angiotensin,

yang menyebabkan peningkatan retensi garam dan cairan serta meningkatkan

vasokontriksi perifer. Apoptosis, atau program kematian sel, distimulasi oleh

hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara stimulan dan penghambat,

disadari sebagai pemegang peran pentingdalam transisi dari tahap kompensata

menjadi dekompensata. Pasien menjadi simptomatik selama tahap asimtomatik

dari disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri, menerima perubahan pada

kondisi afterload atau terhadap kehadiran gangguan lain bagi miokard (contoh:

iskemia, infark). Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dapat menyebabkan

edema paru akut tanpa perlu perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri. Secara

umum, perkembangan dilatasi atau disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik

maupun yang simtomatik melambangkan kemunduran yang cepat pad status klinis

dan menandakan peningkatan risiko kematian. Sebagai tambahan, selain disfungsi

ventrikel kiri, penebalan dan disfungsi diastolik ventrikel kanan juga terjadi

sebagai hasil dari penebalan septum dan disfungsi ventrikel kiri.

Iskemik Miokard

Pasien dengan angina memiliki prevalensi yang tinggi terhadap hipertensi.

Hipertensi adalah faktor risiko yang menentukan perkembangan penyakit arteri

koroner, bahkan hampir melipatgandakan risiko. Perkembangan iskemik pada

pasien dengan hipertensi bersifat multifaktorial.

Hal yang penting pada pasien dengan hipertensi, angina dapat terjadi pada

ketidakhadiran penyakit arteri koroner epikardium. Penigkatan aferload sekunder

akibat hipertensi menyebabkan peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri dan

tekanan transmural,   menekan aliran darah koroner selama diastole. Sebagai

tambahan, mikrovaskular, diluar arteri koroner epikardium, telah terlihat

mengalami disfungsi pada pasien dengan hipertensi dan mungkin tidak mampu

mengkompensasi peningkatan metabolik dan kebutuhan oksigen.

Page 24: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

Perkembangan dan progresifitas aterosklerosis, merupakan tanda penyakit arteri

koroner, di eksaserbasikan pada arteri yang menjadisubjek peningkatan tekanan

darah kronis mengurangi tekanan yang terkait dengan hipertensi dan disfungsi

endotelial menyebabkan gangguan pada sintesis dan pelepasan nitrit oksida yang

merupakan vasodilator poten. Penurunan kadar nitrit oksida menyebabkan

perkembangan dan makin cepatnya pembentukan arteriosklerotis dan plak.

Gambaran morfologi plak identik dengan plak yang ditemukan pada pasien tanpa

hipertensi.

Arimia kardiak

Arimia kardia umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang

mengalami arterial fibrilasi kontraksi ventrikel yang prematur dan ventrikuler

takikardi.

Resiko henti jantung mendadak meningkat. Berbagai metabolismedipekirakan

memegang peranan dalam patogenesis aritmia termasuk perubahan struktur dan

metabolisme sel, ketidakhomogen miokard, perfusi yang buruk, fibrosis miokard

dan fluktuasi pada afterload. Semua faktor tersebut dapat menyebabkan

peningkatanan resiko ventrikel takiaritmia.

Artrial fibrilasi (paroksisimal, kronik rekuren, atau kronik persisten), sering

ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan tekanan darah

merupakan faktor umum bagi artrial fibrilasi. Pada suatu penelitian hampir 50%

pasien dengan artrial fibrilasi mengidap hipertensi walaupun etiologi yang pasti

tidak diketahui, abnormalitas struktur atrium kiri, penyakit arteri koroner, dan

HVK telah dianggap sebagi faktor yang mungkin berperan. Perkembangan artrial

fibrilasi dapat menyebabkan disfungsi sistolik dekompensata, dan yang lebih

penting, disfungsi diastolik, menyebabkan hlangnya kontraksi atrium, dan juga

meningkatkan resiko komplikasi tromboembolik, khususnya stroke.

Kontraksi ventrikuler prematur, ventrikuler aritmia dan henti jantung mendadak

ditemukan lebih sering pada pasien dengan HVK daripada pasien tanpa HVK.

Penyebab arimitmia tersebut dianggap  terjadi bersama-sama dengan penyakit

arteri koroner dan fibrosis miokard.3,5,7,9,10

Page 25: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

4.    Diagnosis

Riwayat

Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan riwayat lengkat dan

pemeriksaan fisis untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-

faktor risiko penyakit kardiovaskular lain, menyaring penyebab-penyebab

sekunder hipertensi, mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan

komorbiditas lain, memeriksa gaya hidup terkait-tekanan darah, dan menentukan

potensi intervensi.

Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang dapat

dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun popular dianggap

sebagai gejala peningkatan tekanan arterial, sakit kepala lazim terjadi hanya pada

pasien dengan hipertensi berat. Suatu sakit kepala hipertensif khas terjadi pada

waktu pagi dan berlokasi di regio oksipital. Gejala nonspesifik lain yang dapat

berkaitan dengan peningkatan tekanan darah antara lain adalah rasa pusing,

palpitasi, rasa mudah lelah, dan impotensi. Ketika gejala-gejala didapati, mereka

umum berhubungan dengan penyakit kardiovaskular hipertensif atau dengan

manifestasi hipertensi sekunder. Tabel berikut mendaftarkan fitur-fitur nyata yang

harus diselidiki dalam perolehan riwayat dari pasien hipertensif.

Page 26: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

Tabel Riwayat yang relevan

Durasi hipertensi

Terapi terdahulu: respon dan efek samping

Riwayat diet dan psikososial

Faktor-faktor risiko lain: perubahan berat badan, dislipidemia, kebiasaam

merokok, diabetes, inaktivitas fisik

Bukti-bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal; perubahan penampilan;

kelemahan otot; palpitasi, tremor; banyak berkeringan, sulit tidur, perilaku

mendengkur, somnolens siang hari; gejala-gejala hipo atau hipertiroidisme;

penggunaan agen-agen yang dapat meningkatkan tekanan darah

Bukti-bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, kebutaan transien;

angina, infark miokardium, gagal jantung kongestif; fungsi seksual

Komorbiditas lain

Pengukuran tekanan darah

Pengukuran tekanan darah yang terpercaya tergantung pada perhatian terhadap

detail mengenai teknik dan kondisi pengukuran. Karena peraturan terkini yang

melarang penggunaan merkuri karena perhatian mengenai toksisitas potensialnya,

sebagian besar pengukuran kantor dibuat menggunakan instrumen aneroid.

Akurasi instrumen pengukur tekanan darah terotomatisasi harus dikonfirmasi.

Sebelum pengukuran tekanan darah, individu harus didudukkan selama 5 menit

dalam kondisi hening dan dengan privasi yang terjaga serta temperatur yang

nyaman. Bagian tengah cuff harus berada sejajar jantung, dan lebar cuff harus

setara dengan sekurang-kurangnya 40% lingkar lengan. Penempatan cuff,

penempatan stetoskop, dan kecepatan deflasi cuff (2 mmHg/detik) penting untuk

diperhatikan. Tekanan darah sistolik adalah yang pertama dari sekurang-

kurangnya dua ketukan suara Korotkoff regular, dan tekanan darah diastolik

adalah titik di mana suara Korotkoff regular terakhir didengar. Dalam praktik saat

Page 27: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

ini, diagnosis hipertensi umumnya dilandasi oleh pengukuran dalam kondisi

duduk di tempat praktik.

Monitor ambulatorik yang tersedia sekarang adalah sepenuhnya otomatis,

menggunakan tekhik osilometrik, dan umumnya diprogram untuk membuat

pembacaan setiap 15-30 menit. Namun pengawasan tekanan darah ambulatorik

tidaklah sering digunakan secara rutin di praktik klinis dan lazim disimpan bagi

pasien yang dicurigai mengalami white coat hypertension. JNC 7 juga telah

merekomendasikan pengawasan ambulatorik untuk resistensi terhadap

penanganan, hipotensi simptomatik, kegagalan otonom, dan hipertensi episodik.

Pemeriksaan fisik

Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada pemeriksaan

awal, tekanan harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada posisi

terlentang, duduk dan berdiri untuk mengevaluasi keberadaan hipotensi postural.

Bahkan jika nadi femoral teraba normal, tekanan arterial harus diukur

sekurangnya sekali pada ekstremitas inferioir pada pasien di mana hipertensi

ditemui sebelum usia 30 tahun. Kecepatan detak jantung juga harus dicatat.

Individu hipertensif memiliki peningkatan prevalensi untuk mengalami fibrilasi

atrial. Leher harus dipalpasi untuk mencari pembesaran kelenjar tiroid, dan para

pasien harus diperiksa untuk tanda-tana hipo dan hipertiroidisme. Pemeriksaan

pembuluh darah dapat menyediakan petunjuk mengenai penyakit vakular yang

mendasari dan harus menyertakan pemeriksaan funduskopik, auskultasi untuk

bruit di arteri karotid dan femoral, dan palpasi denyut nadi femoral dan pedal

(pedis). Retina adalah satu-satunya jaringan di mana arteri dan arteriol dapat

diamati secara langsung. Seiring peningkatan tingkat keparahan hipertensi dan

penyakit atherosklerotik, perubahan funduskopik progresif antara lain seperti

peningkatan refleks cahaya arteriolar, defek perbandingan arteriovenous,

hemorrhagi dan eksudat, dan, pada pasien dengan hipertensi maligna, papiledema.

Pemeriksaan pada jantung dapat mengungkapkan bunyi jantung kedua yang

menguat karena penutupan katup aorta dan suatu gallop S4 yang dikarenakan

kontraksi artrium terhadap ventrikel kiri yang tidak seiring. Hipertropi ventrikel

kiri dapat terdeteksi melalui keberadaan impuls apikal yang menguat, bertahan,

Page 28: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

dan bertempat di lateral. Suatu bruit abdominal, terutama bruit yang berlateralisasi

dan terjadi selama sistole ke diastole, meningkatkan kemungkinan hipertensi

renovaskular. Ginjal pasien dengan penyakit ginjal polikistik dapat dipalpasi di

abdomen. Pemeriksaan fisis harus menyertakan pemeriksaan tanda-tanda CHF

dan pemeriksaan neurologis.

Tes laboratorium

Tabel dibawah ini mencantumkan tes-tes laboratorium yang direkomendasikan

dalam evaluasi awal pasien hipertensif. Pengukuran fungsi ginjal berulang,

elektrolit serum, glukosa puasa, dan lipid dapat dilakukan setelah pemberian agen

antihipertensif baru dan kemudian tiap tahun, atau lebih sering bila diindikasikan

secara klinis. Tes laboratorium yang lebih ekstensif dapat dilakukan bagi pasien

dengan hipertensi resistan-pengobatan yang nyata atau ketika evaluasi klinis

menunjukkan bentuk hipertensi sekunder.4

Tabel Tes laboratorium dasar untuk evaluasi awal

Sistem Tes

Ginjal Urinalisis mikroskopik, ekskresi albumin,

BUN atau kreatinin serum

Endokrin Natrium, kalium, kalsium, dan TSH

serum

Metabolik Glukosa darah puasa, kolesterol total,

HDL dan LDL, trigliserida

Lain-lain Hematokrit, elektrokardiogram

5.    Penatalaksanaan

Perubahan gaya hidup

Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki pengaruh

baik pada pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup

yang meningkatkan kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan

prehipertensi dan sebagai tambahan untuk terapi obat pada individu hipertensif.

Page 29: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

Intervensi-intervensi ini harus diarahkan untuk mengatasi risiko penyakit

kardiovaskular secara keseluruhan. Walaupun efek dari intervensi gaya hidup

pada tekanan darah adalah jauh lebih nyata pada individu dengan hipertensi, pada

uji jangka-pendek, penurunan berat badan dan reduksi NaCl diet juga telah

terbukti mencegah perkembangan hipertensi. Pada individu hipertensif, bahkan

jika intervensi-intervensi ini tidak menghasilkan reduksi tekanan darah yang

cukup untuk menghindari terapi obat, namun jumlah pengobatan atau dosis yang

diperlukan untuk kontrol tekanan darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang

secara efektif mengurangi tekanan darah adalah penurunan berat badan, reduksi

masukan NaCl, peningkatan masukan kalium, pengurangan konsumsi alkohol,

dan pola diet sehat secara keseluruhan.

Tabel Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi

Reduksi berat badan Memperoleh dan mempertahankan BMI

<25 kg/m2

Reduksi garam < 6 g NaCl/hari

Adaptasi rencana diet jenis-DASH Diet yang kaya buah-buahan, sayur-

sayuran, dan produk susu rendah-lemak

dengan kandungan lemak tersaturasi dan

total yang dikurangi

Pengurangan konsumsi alkohol Bagi mereka yang mengkonsumsi

alkohol, minumlah 2 gelas/hari untuk

laki-laki dan 1 gelas/hari untuk wanita

Aktivitas fisik Aktivitas aerobik teratur, seperti jalan

cepat selama 30 menit/hari

Pencegahan dan penatalaksanaan obesitas adalah penting untuk mengurangi

tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Pada uji jangka-pendek, bahkan

penurunan berat badan yang moderat dapat mengarah pada reduksi tekanan darah

dan peningkatan sensitivitas insulin. Reduksi tekanan darah rata-rata sebesar

6.3/3/1 mmHg telah diamati terjadi dengan reduksi berat badan rata-rata sebesar

9.2 kg. Aktivitas fisik teratur memudahkan penurunan berat badan, mengurangi

tekanan darah, dan mengurangi risiko keseluruhan untuk penyakit kardiovaskular.

Page 30: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

Tekanan darah dapat dikurangi oleh aktivitas fisik intensitas moderat selama 30

menit, seperti jalan cepat, 6-7 hari per minggu, atau oleh latihan dengan intensitas

lebih dan frekuensi kurang.

Terdapat variasi individual dalam sensitivitas tekanan darah terhadap NaCl, dan

variasi ini mungkin memiliki dasar genetis. Berdasarkan hasil dari metaanalisis,

penurunan tekanan darah dengan pembatasan masukan NaCl harian menjadi 4.4-

7.4 g (75-125 mEq) menghasilkan reduksi tekanan darah sebesar 3.7-4.9/0.9-2.9

mmHg pada individu hipertensif dan reduksi yang lebih rendah pada individu

normotensif. Diet yang kurang mengandung kalium, kalsium, dan magnesium

berkaitan dengan tekanan darah yang lebih tinggi dan prevalensi hipertensi yang

lebih tinggi. Perbandingan natrium-terhadap-kalium urin memiliki hubungan yang

lebih kuat terhadap tekanan darah dibanding natrium atau kalium saja.

Suplementasi kalium dan kalsium memiliki efek antihipertensif moderat yang

tidak konsisten, dan, tidak tergantung pada tekanan darah, suplementasi kalium

mungkin berhubungan dengan penurunan mortalitas stroke. Penggunaan alkohol

pada individu yang mengkonsumsi tiga atau lebih gelas per hari (satu gelas

standar mengandung ~14 g etanol) berhubungan dengan tekanan darah yang lebih

tinggi, dan reduksi konsumsi alkohol berkaitan dengan reduksi tekanan darah.

Mekanisme bagaimana kalium, kalsium, atau alkohol dapat mempengaruhi

tekanan darah masihlah belum diketahui.

Uji DASH secara meyakinkan mendemonstrasikan bahwa pada periode 8 minggu,

diet yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk susu rendah-lemak

mengurangi tekanan darah pada individu dengan tekanan darah tinggi-normal atau

hipertensi ringan. Reduksi masukan NaCl harian menjadi <6 g (100 mEq)

menambah efek diet ini pada tekanan darah. Buah-buahan dan sayur-sayuran

merupakan sumber yang kaya akan kalium, magnesium, dan serat, dan produk

susu merupakan sumber kalsium yang penting.

Terapi farmakologis

Terapi obat direkomendasikan bagi individu dengan tekanan darah 140/90 mmHg.

Derajat keuntungan yang diperoleh dari agen-agen antihipertensif berhubungan

Page 31: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

dengan besarnya reduksi tekanan darah. Penurunan tekanan darah sistolik sebesar

10-12 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 5-6 mmHg bersama-sama

memberikan reduksi risiko sebesar 35-40% untuk stroke dan 12-16% untuk CHD

dalam 5 tahun dari mula penatalaksanaan. Risiko gagal jantung berkurang sebesar

>50%. Terdapat variasi yang nyata dalam respon individual terhadap kelas-kelas

agen antihipertensif yang berbeda, dan besarnya respon terhadap agen tunggal

apapun dapat dibatasi oleh aktivasi mekanisme counter-regulasi yang melawan

efek hipotensif dari agen tersebut. Pemilihan agen-agen antihipertensif, dan

kombinasi agen-agen, harus dilakukan secara individual, dengan pertimbangan

usia, tingkat keparahan hipertensi, faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular

lain, kondisi komorbid, dan pertimbangan praktis yang berkenaan dengan biaya,

efek samping, dan frekuensi pemberian obat.

Diuretik

Diuretik thiazide dosis-rendah sering digunakan sebagai agen lini pertama, sendiri

atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensif lain. Thiazide menghambat

pompa Na+/Cl- di tubulus konvultus distal sehingga meningkatkan ekskresi

natrium. Dalam jangka panjang, mereka juga dapat berfungsi sebagai vasodilator.

Thiazide bersifat aman, memiliki efikasi tinggi, dan murah serta mengurangi

kejadian klinis. Mereka memberikan efek penurunan-tekanan darah tambahan

ketika dikombinasikan dengan beta blocker, ACE inhibitor, atau penyekat

reseptor angiotensin. Sebaliknya, penambahan diuretik terhadap penyekat kanal

kalsium adalah kurang efektif. Dosis biasa untuk hydrochlorothiazide berkisar

dari 6.25 hingga 50 mg/hari. Karena peningkatan insidensi efek samping

metabolik (hipokalemia, resistansi insulin, peningkatan kolesterol), dosis yang

lebih tinggi tidaklah dianjurkan. Dua diuretik hemat kalium, amiloride dan

triamterene, bekerja dengan menghambat kanal natrium epitel di nefron distal.

Agen-agen ini adalah agen antihipertensif yang lemah namun dapat digunakan

dalam kombinasi dengan thiazide untuk melindungi terhadap hipokalemia. Target

farmakologis utama untuk diuretik loop adalah kotransporter Na+-K+-2Cl- di

lengkung Henle ascenden tebal. Diuretik loop umumnya dicadangkan bagi pasien

hipertensif dengan penurunan kecepatan filtrasi glomerular [kreatinin serum

refleksi >220 mol/L (>2.5 mg/dL)], CHF, atau retensi natrium dan edema karena

Page 32: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

alasan-alasan lain seperti penatalaksanaan dengan vasodilator yang poten, seperti

monoxidil.

Penyekat sistem renin-angiotensin

ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II, meningkatkan kadar

bradikinin, dan mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis. Penyekat reseptor

angiotensin II menyediakan blokade reseptor AT1 secara selektif, dan efek

angiotensin II pada reseptor AT2 yang tidak tersekat dapat menambah efek

hipotensif. Kedua kelas agen-agen ini adalah agen antihipertensif yang efektif

yang dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau dalam kombinasi dengan

diuretik, antagonis kalsium, dan agen-agen penyekat alfa. Efek samping ACE

inhibitor dan penyekat reseptor angiotensin antara lain adalah insufisiensi ginjal

fungsional karena dilatasi arteriol eferen ginjal pada ginjal dengan lesi stenotik

pada arteri renalis. Kondisi-kondisi predisposisi tambahan terhadap insufisiensi

ginjal yang diinduksi oleh agen-agen ini antara lain adalah dehidrasi, CHF, dan

penggunaan obat-obat antiinflamasi non steroid. Batuk kering terjadi pada ~15%

pasien, dan angioedema terjadi pada <1% pasien yang mengkonsumsi ACE

inhibitor. Angioedema paling sering terjadi pada individu yang berasal dari Asia

dan lebih lazim terjadi pada orang Afrika Amerika dibanding orang Kaukasia.

Hiperkalemia yang disebabkan hipoaldosteronisme merupakan efek samping yang

kadang terjadi baik pada penggunaan ACE inhibitor maupun penyekat reseptor

angiotensin.

Antagonis aldosteron

Spironolakton adalah antogonis aldosteron nonselektif yang dapat digunakan

sendiri atau dalam kombinasi dengan diuretik thiazide. Ia adalah agen yang

terutama efektif pada pasien dengan hipertensi esensial rendah-renin, hipertensi

resistan, dan aldosteronisme primer. Pada pasien dengan CHF, spironolakton

dosis rendah mengurangi mortalitas dan perawatan di rumah sakit karena gagal

jantung ketika diberikan sebagai tambahan terhadap terapi konvensional dengan

ACE inhibitor, digoxin, dan diuretik loop. Karena spironolakton berikatan dengan

reseptor progesteron dan androgen, efek samping dapat berupa ginekomastia,

Page 33: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

impotensi, dan abnormalitas menstruasi. Efek-efek samping ini dihindari oleh

agen yang lebih baru, eplerenone, yang merupakan antagonis aldosteron selektif.

Eplerenone baru-baru ini disetujui di US untuk penatalaksanaan hipertensi

Beta blocker

Penyekat reseptor adrenergik mengurangi tekanan darah melalui penurunan curah

jantung, karena reduksi kecepatan detak jantung dan kontraktilitas. Mekanisme

lain yang diajukan mengenai bagaimana beta blocker mengurangi tekanan darah

adalah efek pada sistem saraf pusat, dan inhibisi pelepasan renin. Beta blocker

terutama efektif pada pasien hipertensif dengan takikardia, dan potensi hipotensif

mereka dikuatkan oleh pemberian bersama diuretik. Pada dosis yang lebih rendah,

beberapa beta blocker secara selektif menghambat reseptor 1 jantung dan kurang

memiliki pengaruh pada reseptor2 pada sel-sel otot polos bronkus dan vaskular;

namun tampak tidak terdapat perbedaan pada potensi antihipertensif beta blocker

kardio selektif dan non kardio selektif. Beta blocker tertentu memiliki aktivitas

simpatomimetik intrinsik, dan tidaklah jelas apakah aktivitas ini memberikan

keuntungan atau kerugian dalam terapi jantung. Beta blocker tanpa aktivitas

simpatomimetik intrinsik mengurangi tingkat kejadian kematian mendadak

(sudden death), mortalitas keseluruhan, dan infark miokardium rekuren. Pada

pasien dengan CHF, beta blocker telah dibuktikan mengurangi risiko perawatan di

rumah sakit dan mortalitas. Carvedilol dan labetalol menyekat kedua

reseptor 1 dan 2 serta reseptor adrenergik perider. Keuntungan potensial dari

penyekatan kombinasi dan adrenergik dalam penatalaksanaan hipertensi masih

perlu ditentukan.

Penyekat adrenergik

Antagonis adrenoreseptor selektif postsinaptik mengurangi tekanan darah melalui

penurunan resistansi vaskular perifer. Mereka adalah agen antihipertensif yang

efektif, yang digunakan sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi dengan

agen-agen lain. Namun dalam uji klinis pada pasien hipertensif, penyekatan alfa

tidak terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular ataupun

menyediakan perlindungan terhadap CHF sebesar kelas-kelas agen antihipertensif

Page 34: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

lain. Agen-agen ini juga efektif dalam menangani gejala tractus urinarius bawah

pada pria dengan hipertropi prostat. Antagonis adrenoreseptor nonseletif berikatan

dengan reseptor postsinaptik dan presinaptik dan terutama digunakan untuk

penatalaksanaan pasien dengan pheokromositoma.

Agen-agen simpatolitik

Agonis simpatetik yang bekerja secara sentral mengurangi resistansi perifer

dengan menghambat aliran simpatis. Mereka terutama berguna pada pasien

dengan neuropati otonom yang memiliki variasi tekanan darah yang luas karena

denervasi baroreseptor. Kerugian agen ini antara lain somnolens, mulut kering,

dan hipertensi rebound saat penghentian. Simpatolitik perifer mengurangi

resistansi perifer dan konstriksi vena melalui pengosongan cadangan norepinefrin

ujung saraf. Walaupun merupakan agen antihipertensif yang potensial efektif,

kegunaan mereka dibatasi oleh hipotensi orthostatik, disfungsi seksual, dan

berbagai interaksi obat.

Penyekat kanal kalsium

Antagonis kalsium mengurangi resistansi vaskular melalui penyekatan L-channel,

yang mengurangi kalsium intraselular dan vasokonstriksi. Kelompok ini terdiri

dari bermacam agen yang termasuk dalam tiga kelas berikut: phenylalkylamine

(verapamil), benzothiazepine (diltiazem), dan 1,4-dihydropyridine (mirip-

nifedipine). Digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan agen-agen lain

(ACE inhibitor, beta blocker, 1-adrenergic blocker), antagonis kalsium secara

efektif mengurangi tekanan darah; namun, apakah penambahan diuretik terhadap

penyekat kalsium menghasilkan penurunan lebih lanjut pada tekanan darah adalah

tidak jelas. Efek samping sepertiflushing, sakit kepala, dan edema dengan

penggunaan dihydropyridine berhubungan dengan potensi mereka sebagai dilator

arteriol; edema disebabkan peningkatan gradien tekanan transkapiler, dan bukan

karena retensi garam dan cairan.

Page 35: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

Vasodilator Langsung

Agen-agen ini mengurangi resistensi perifer, lazimnya mereka tidak dianggap

sebagai agen lini pertama namun mereka paling efektif ketika ditambahkan dalam

kombinasi yang menyertakan diuterik dan beta blocker. Hydralazine adalah

vasodilator direk yang poten yang memiliki efek antioksidan dan penambah NO,

dan minoxidil merupakan agen yang amat poten dan sering digunakan pada pasien

dengan insufisiensi ginjal yang refrakter terhadap semua obat lain. Hydralazine

dapat menyebabkan sindrom mirip-lupus, dan efek samping minoxidil antara lain

adalah hipertrikosis dan efusi perikardial.

II.6     PROGNOSIS

Resiko komplikasi tergantung pada seberapa besar hipertropi ventrikel kiri.

Semakin besar ventrikel kiri, semakin besar kemungkinan kompilkasi terjadi.

Pengobatan hipertensi dapat mengurangi kerusakan pada ventrikel kiri. Beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa  obat-obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor,

Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi  hipertropi ventrikel kiri

dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat

penyakit jantung hipertensi. Bagaimanapun juga, penyakit jantung hipertensi

adalah penyakit yang serius yang memiliki resiko kematian mendadak.2

Page 36: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

DAFTAR PUSTAKA

1. Marulam M Panggabean, Daulat M, Gagal jantung. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Aru W Sudoyo (Editor), Balai Penerbit UI. Jakarta, 2006.

2. PAPDI, gagal jantung kronik. Panduan pelayanan medik PB PAPDI.Jakarta

2006.

3. Karim S, Peter K. EKG dan Penanggulangan beberapa penyakit jantung

untuk dokter umum, FK UI 2005.

4. Panggabean, Marulam. Penyakit jantung hipetensi, Dalam: Sudoyo AW,

Setyohadi B, Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi

IV. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.p.1654-55

5. Miller. Hypertensive heart disease-treatment. (Serial Online: Desember

2008). Available from: http://www.umm.edu/ency/article/000153.htm.

accessed at Desember 3, 2008

6. Riaz, Kamran. Hypertensive heart disease. (Serial Online: Desember 2008).

Available from: http://www.emedicine.com/MED/topic3432.htm.  Accessed

at Desember 3, 2008

7. Baim, Donald S. Hypertensive vascular disease in: Harrison’s Principles of

Internal Medicine. 7th Ed. USA. The Mcgraw-Hill Companies, Inc. 2008. p.

241

8. Price SA, Wilson LM. Fisiologi sistem kardiovaskular, Dalam: Patofisiologi

Konsep Klinis    Proses-Proses Penyakit. Jakarta:EGC; 2006.p.530-543.

9. Yogiantoro, mohammad. Hipertensi esensial, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi

B, Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV.

Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.p.610-614.

10. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta:

Media Aesculapius FK UI: 2001. H. 441-442

11. Katzung, betram.Farmakologi dasar dan klinik.Edisi VI. Jakarta : EGC. 1997.

h. 245

Page 37: Tinjauan Pustaka Dr Juspeni

12. Robbins, S.L, Kumar, V. Buku Ajar Patologi. Edisi ke-4. Jakarta : EGC.

1995. h.45

13. Robbin, SL, Kumar, V, Cotran, RS. Dasar Patologi Penyakit. Edisi ke-5.

Jakarta: EGC. H.322-323