TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERJUDIAN...
Transcript of TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERJUDIAN...
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERJUDIAN
(Kajian Perbandingan Qanun Maisir di Aceh dan Perda Perjudian di Kota
Bekasi)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
RENIATI SUMANTANIM: 1110045100004
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah dicantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Sya’ban 1435 H9 Juni 2014 M
Reniati Sumanta
ABSTRAK
Reniati Sumanta. NIM 1110045100004. TINJAUAN HUKUM ISLAMTERHADAP PERJUDIAN (KAJIAN PERBANDINGAN QANUN MAISIR DIACEH DAN PERDA PERJUDIAN DI KOTA BEKASI). Program Studi JinayahSiyasah, Konsentrasi Kepidanaan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. vi + 81halaman + 16 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaanpengaturan perjudian di Aceh dan Kota Bekasi serta untuk mengetahui keduaperaturan tersebut sudah sesuai atau belum dengan hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif denganpendekatan yuridis normatif. Pendekatan normatif terutama mempergunakanbahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitiannya. Sumber data yangdipergunakan penulis adalah sumber data sekunder, yaitu terdiri dari bahan hukumprimer berupa Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir dan Perda BekasiNo. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi dan bahanhukum sekunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenaibahan primer, berupa Al-Qur’an, Al-Hadist, buku-buku fiqih. Teknikpengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (Research Library).Teknik analisis data menggunakan analisis perbandingan yang dilakukan denganmengadakan studi perbandingan hukum. Studi perbandingan hukum merupakankegiatan untuk membandingkan hukum yang ada di satu daerah dan daerahlainnya dalam kasus perjudian.
Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah bahwa pengaturanperjudian dari aspek definisi/pengertian, perbuatan yang dilarang, pelaku/subyekhukum, sanksi pidana dan pelaksanaan hukuman di Aceh dan Kota Bekasi tidakbertentangan dengan hukum Islam. Karena ketentuan-ketentuan pidana perjudianmenurut hukum Islam adalah bentuk jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk kedalam jarimah ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yangtidak memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harusdita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau hakmanusia.
Kata kunci: Maisir, Perjudian, Qanun Aceh, Perda Bekasi, Ta’zir, Hukum Islam.
Pembimbing : Dr. Khamami Zada, MA dan Qosim Arsyadani, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1987 sampai Tahun 2013
i
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الّرحمن الّرحیم
Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT yang telah senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada
penulis, sehingga skripsi ”TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PERJUDIAN (KAJIAN PERBANDINGAN QANUN MAISIR DI ACEH DAN
PERDA PERJUDIAN DI KOTA BEKASI)” dapat terselesaikan. Shalawat dan
salam dimohonkan untuk Nabi dan Rasul akhir zaman, Muhammad SAW, berikut
keluarga, sahabat, dan umatnya.
Penulisan skripsi ini bukan hal mudah, namun dengan iringan doa dan
semangat yang tinggi serta juga dengan bantuan dari berbagai pihak yang secara
langsung maupun tidak langsung, telah memberikan kontribusi terhadap
penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. H. JM. Muslimin, MA Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Afwan Faizin,
MA Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah.
3. Dr. Khamami Zada, MA dan Qosim Arsyadani, MA Pembimbing Skripsi
penulis, yang telah tulus ikhlas dalam mengorbankan waktu, tenaga dan
pikiran serta petunjuk dan pengarahannya untuk membimbing penulis.
ii
4. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum serta Staff Karyawan
Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang
telah membantu penulis dalam mencari buku-buku referensi guna mendukung
penulisan skripsi ini.
5. Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua yang penulis
banggakan dan paling penulis cintai Ayahanda dan Ibunda (Sumanta dan
Sunarti) dengan jerih payah, tetes keringat dan air mata membesarkan,
mendidik dan memotivasi serta memberikan kasih sayang dan pengorbanan
baik berupa dukungan moril dan finansial serta doa restunya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada adikku tersayang Rian yang
telah mewarnai hari-hari penulis dengan canda tawanya.
6. Keluarga besar Pidana Islam Angkatan 2010 yang menjadi teman
seperjuangan penulis: Imas, Amanah, Khodijah, Lulu, Siska, Azizah, Ayu,
Ika, Ello, Sahuri, Jajat, Ilham, Ade, Edo, Gerardin, Asmui, Rizal, Farid F,
Awal, Rodhi dan seluruh teman-teman penulis yang tidak bisa penulis sebut
satu persatu. Terima kasih atas kesetiaan dalam pencarian ilmu di Jurusan
kebanggan kita.
7. Komunitas Musik Mahasiswa Ruang Inspirasi Atas Kegelisahan (KMM
RIAK), UKM yang tak pernah absen masuk Tabloid Institut. Penulis ucapkan
terima kasih terutama kepada Muhammad Saddam Husein ZA. Juga kepada
Ipang, Ka Sa’du, Ka Umam, Ka Iqy, Ka Minda, Gustia, dan Ka Dewi.
Mereka mempunyai jiwa sosial, solidaritas, dan tanggung jawab yang sangat
tinggi, mereka rela mengesampingkan hak-haknya demi tanggung jawab yang
iii
diembannya, tanggung jawab yang bisa saja mereka tinggalkan. Sungguh,
penulis banyak belajar dari kalian. Terima kasih support, motivasi, saran serta
nasihatnya. Penulis doakan kalian menjadi orang yang sukses dan tetap
rendah hati.
Di balik sedikit kekurangan bahkan mungkin kesalahan di sana sini, insya
Allah skripsi ini bisa bermanfaat. Ganbarema dekiru yo~ Kalau kita berusaha,
kita pasti mampu.
Jakarta, 11 Sya’ban 1435 H
9 Juni 2014 M
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................... 7
D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu.............................. 8
E. Metode Penelitian............................................................... 9
F. Sistimatika Pembahasan..................................................... 11
BAB II PERJUDIAN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
A. Posisi Perjudian dalam Jarimah Ta’zir............................... 13
B. Macam-Macam Hukuman Ta’zir....................................... 18
1. Hukuman Mati.............................................................. 18
2. Hukuman Cambuk........................................................ 19
3. Hukuman Penjara.......................................................... 23
4. Hukuman Pengasingan.................................................. 24
5. Hukuman Denda (Al-gharamah)................................... 25
v
C. Pengertian, Pelaku, Unsur-unsur Perjudian dalam Hukum
Islam…………………………………………………….... 25
1. Pengertian Perjudian...................................................... 25
2. Pelaku Perjudian............................................................ 28
3. Unsur-unsur Perjudian................................................... 29
BAB III PENGATURAN PERJUDIAN DI ACEH DAN KOTA BEKASI
A. Pengaturan Perjudian di Aceh............................................. 33
1. Kondisi Sosial Politik Aceh.......................................... 33
2. Materi Pengaturan Perjudian di Aceh........................... 36
a. Pengertian................................................................ 36
b. Perbuatan yang Dilarang......................................... 37
c. Pelaku Tindak Pidana............................................. 38
d. Sanksi Pidana.......................................................... 39
e. Pelaksanaan Hukuman............................................ 40
B. Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi................................. 41
1. Kondisi Sosial Politik Kota Bekasi…........................... 41
2. Materi Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi................ 45
a. Pengertian................................................................ 45
b. Perbuatan yang Dilarang......................................... 45
c. Pelaku Tindak Pidana……………………….….… 47
d. Sanksi Pidana.......................................................... 48
vi
BAB IV PERBANDINGAN PENGATURAN PERJUDIAN DI ACEH DAN
KOTA BEKASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengaturan Perjudian di Aceh dalam Perspektif Hukum
Islam………………………………………………………. 50
1. Pengertian....................................................................... 50
2. Perbuatan yang Dilarang................................................ 51
3. Sanksi Pidana................................................................. 53
4. Pelaksanaan Hukuman................................................... 55
B. Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi dalam Perspektif Hukum
Islam……………………..………………………..…….… 62
1. Pengertian....................................................................... 62
2. Perbuatan yang Dilarang................................................ 63
3. Sanksi Pidana................................................................. 67
C. Perbandingan Pengaturan Qanun Aceh dan Perda Bekasi.. 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................... 77
B. Saran................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 80
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, perjudian sudah dalam tahap yang menghawatirkan.
Perkembangan perjudian semakin cepat dan bervariasi sejalan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Meskipun tindak pidana perjudian merupakan
kegiatan terlarang dan dapat dikenakan sanksi, namun kenyataanya tindak
pidana ini sangat sulit untuk diberantas. Hal ini berkaitan dengan mental
masyarakat untuk mengejar materi dengan cara cepat dan mudah. Sampai
saat ini, sebagian orang masih tidak bisa lepas dari permainan judi. Mereka
masih menggemari perjudian sebagai permainan yang dipilih.1
Jika Islam memperbolehkan bermacam-macam hiburan dan
permainan bagi orang Muslim, namun ia mengharamkan setiap permainan
yang dibarengi dengan judi. Seorang Muslim tidak menjadikan permainan
judi sebagai alat untuk menghibur diri dan mengisi waktu senggang,
sebagaimana tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai cara mencari
uang, dengan alasan apapun.2 Para ulama fikih mendefinisikan judi atau
maisir sebagai “suatu permainan yang menjanjikan keuntungan tanpa
melalui cara yang wajar sebagaimana yang dituntunkan syara’ (hukum
1 Umi Sarah Dhiba, “Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Terlibat Kasus Perjudian”,Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012,hal. 1, t.d.
2 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur RafiqShaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 2010), Cet. 9, h. 350-351.
2
Islam)”. Judi merupakan praktek untung-untungan, yang membuat orang
yang bermain berharap akan mendapatkan keuntungan dengan mudah.3
Perbuatan judi dilarang oleh Allah karena tidak sesuai dengan
ajaran Islam yang senantiasa memotivasi umatnya untuk melakukan kreasi
yang positif dalam menunjang kehidupannya. Salah satu bentuk permainan
yang menjurus kepada judi atau maisir adalah undian yang berlaku di
beberapa Negara, seperti Porkas dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah
(SDSB) di Indonesia pada era tahun 1980-an pemerintah dalam hal ini
Departemen Sosial mengadakan Porkas dan Sumbangan Dana Sosial
Berhadiah (SDSB).4 Porkas dan SDSB pada hakikatnya mengandung
unsur-unsur maisir, oleh sebab itu mayoritas ulama di Indonesia
menganggap porkas dan SDSB sebagai permainan judi yang merugikan
umat Islam.5 Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja tidak
boleh malas, oleh karena itu Islam menyuruh untuk menjauhi judi, karena
dengan adanya permainan judi itu akan membuat seseorang berangan-
angan, apabila ia menang maka akan menjadi kaya-raya tanpa usaha dan
kerja keras. Sedangkan apabila ia kalah, maka kerugiannya mendorong
pihak yang kalah untuk mengulangi lagi dengan ulangan yang kedua,
sehingga dapat menutup kerugiannya yang pertama. Sedangkan yang
3Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1996), h. 297.
4 Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), (Jakarta: PT GunungAgung, 1996), Cet. 9, h. 146.
5 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 288-289.
3
menang karena didorong lezatnya menang, maka ia tertarik untuk
mengulangi lagi kemenangannya yang sedikit itu mengajak untuk dapat
lebih banyak.6
Sama sekali dia tidak ada keinginan untuk berhenti dan makin
berkurang pendapatannya, makin dimabuk oleh kemenangan sehingga dia
beralih dari kemegahan kepada suatu kesusahan yang mendebarkan.
Begitulah berkaitnya putaran dalam permainan judi, hampir kedua putaran
ini tidak pernah berpisah. Inilah rahasia terjadinya pertumpahan darah
antara pemain-pemain judi, padahal belum pernah tercatat dalam sejarah
ada orang kaya karena judi dan perjudian itu sendiri dapat mengakibatkan
roda kehidupan menjadi terbengkalai, karena selamanya pemain judi sibuk
dengan sesamanya.7
Seorang pejudi selamanya sibuk dengan permainannya sehingga
lupa terhadap kewajibannya kepada Tuhannya, kewajibannya terhadap
dirinya, kewajibannya kepada keluarganya, dan kewajibannya kepada
bangsanya.8 Dilihat dari bahaya perjudian maka dapat dikatakan bahwa
salah satu tindakan kriminal yang membawa dampak negatif, di antaranya,
yaitu 1) merusak ekonomi keluarga, 2) mengganggu keamanan
masyarakat, 3) melumpuhkan semangat berkreasi, 4) menghabiskan
6Abul A’la Almaududi, “Perjudian Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP (Studi AnalisisKomparasi Unsur-Unsur dan Sanksi Pidana Perjudian)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan HukumUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 2-3, t.d.
7Ibid., h. 2-3.
8 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, h. 352.
4
waktu, dan lain-lain.9 Tidak mustahil orang yang asyik dengan “hidangan
hijau” (sebagaimana mereka istilahkan) akan menjual agama, kehormatan,
dan tanah airnya. Kecintaannya terhadap “hidangan” ini akan mencabut
kecintaannya kepada apa saja atau kepada nilai mana pun.10
Judi juga dapat menjadikan orang yang bersangkutan
mengorbankan segala sesuatu, hingga terhadap kehormatan, keyakinan,
dan bangsanya demi terlaksananya pekerjaan yang sia-sia ini.11 Khamr dan
maisir/judi diharamkan sebagai tindak preventif agar tidak terjadi
“’Adawah/permusuhan dan Baghdla’/saling membenci, Washaddun ‘an
zikrillah/lalai kepada Allah dan Anisshalah/meninggalkan shalat”. Itulah
yang menjadi tujuan inti larangan tersebut.12
Walaupun pelaku tindak pidana perjudian telah ditangkap dan
dihukum, tetapi perjudian masih tetap ada. Hal ini merupakan persoalan
yang rumit dan perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk
dicarikan solusi terbaik. Perkembangan perjudian tidak terlepas dari peran
institusi penegak hukum yang saat ini semakin banyak dipertanyakan,
mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.13
9 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. 2, h. 93.
10 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, h. 352.
11 Ibid., h. 352.
12 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, (Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ), 1987), h. 24.
13 Umi Sarah Dhiba, “Penjatuhan Pidana Terhadap Anak...”, h. 1-2.
5
Tidak hanya terbatas pada institusi hukum, tetapi perundang-
undangan itu sendiri juga tidak kalah penting. Di setiap daerah hampir
semua mempunyai peraturan perjudian salah satunya yaitu Qanun Aceh
No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11
Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi. Tindak pidana
maisir/judi termasuk ke dalam jarimah ta’zir sebab setiap orang yang
melakukan perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi had dan tidak
ada kewajiban membayar kafarat harus dita’zir.14 Sanksi di dalam Perda
Bekasi itu pidana kurungan,15 sedang di dalam Qanun Aceh sanksinya
pidana cambuk,16 dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia
pidana cambuk memang merupakan jenis pidana baru, dan masyarakat
hanya memiliki pemahaman bahwa pidana cambuk merupakan pidana
yang telah ditetapkan di dalam hukum Islam.
Sanksi pidana cambuk ini dalam penekanan pelanggaran qanun
dibidang Syariat Islam yang terjadi di wilayah hukum kota Madya Banda
Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagai produk baru pada
sistem hukum pidana Indonesia.17 Berangkat dari permasalahan di atas,
penulis memandang perlu memperhatikan serta membahas lebih jauh
mengenai permasalahan tersebut, serta dapat dijadikan sebagai skripsi
14Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), h. 359.
15 Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi.
16 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian).
17 Ferdiansyah, “Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap PelanggaranQanun Di Bidang Syariat Islam Di Wilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi NanggroeAceh Darussalam”, Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 2008, t.d.
6
dengan judul: ”TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PERJUDIAN (Kajian Perbandingan Qanun Maisir di Aceh dan Perda
Perjudian di Kota Bekasi)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Penulis hanya membatasi Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003
tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005
tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi.
Pokok masalah dalam penelitian ini adalah perbandingan
pengaturan perjudian di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003
tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005
tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi dalam hukum Islam.
2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang penulis sajikan, tertuang
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana perjudian diatur di dalam hukum Islam ?
b. Bagaimana maisir/perjudian diatur di dalam Qanun Aceh dan
Perda Bekasi ?
c. Bagaimana perbandingan pengaturan perjudian di Aceh dan Kota
Bekasi ?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
persamaan dan perbedaan pengaturan perjudian di Aceh dan Kota
Bekasi.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
a. Untuk mendeskripsikan perjudian dalam hukum Islam.
b. Untuk mendeskripsikan perjudian dalam Qanun Aceh No. 13
Tahun 2003 dan Perda Kota Bekasi No. 11 Tahun 2005.
c. Menganalisis pengaturan Qanun Maisir di Aceh dan Perda
Perjudian di Kota Bekasi dalam tinjauan hukum Islam.
2. Manfaat Penelitian
a. Menyumbangkan pemikiran berupa gagasan buah pikir sebagai
hasil kegiatan penelitian berdasarkan prosedur, ilmiah, serta
melatih kepekaan penulis sebagai mahasiswa terhadap masalah-
masalah yang berkembang dilingkungan sekitarnya.
b. Memberikan sumbangan wacana pemikiran dan motivasi kepada
Pemda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kota Bekasi
dalam menerapkan atau menjalankan peraturan daerah atau qanun
tersebut, serta memberikan informasi kepada masyarakat luas
mengenai perjudian dalam konsep hukum Islam.
8
D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian yang membahas tentang perjudian. Di
antaranya adalah:
Pertama, buku karangan Ahmad Hanafi yang berjudul “Asas-asas
Hukum Pidana Islam” yang diterbitkan oleh Bulan Bintang tahun 2005 di
Jakarta. Dalam buku ini menjelaskan tentang macam-macam jarimah yang
ada di dalam hukum Islam, baik itu jarimah hudud, qishash/diat, maupun
ta’zir, akan tetapi untuk permasalahan “Tindak Pidana Perjudian” tidak
ditemukan pembahasannya.
Kedua, buku karangan Zaenuddin Ali yang berjudul “Hukum
Pidana Islam” yang diterbitkan oleh Sinar Grafika tahun 2009 di Jakarta.
Di dalam buku ini masih menjelaskan masalah hukum dalam koridor
hukum Islam, yang mana pembidangannya dari pidana Islam (jinayah)
membahas tentang jarimah-jarimah hudud, qishash diat, dan ta’zir.
Ketiga, karya ilmiah mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2010 yang ditulis oleh
Nasori yang berjudul “Perjudian Pandangan Hukum Islam dan KUHP
(Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)”. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa dalam hukum Islam tindak pidana
perjudian dikenakan hukuman ta’zir. Dalam perspektif hukum positif,
tindak pidana perjudian dihukum penjara sesuai dalam Pasal 303 KUHP
9
dan Pasal 303 bis KUHP jo. Undang-undang No. 7 Tahun 1974 tentang
penertiban perjudian.
Keempat, karya ilmiah mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2007 yang ditulis
oleh Mailiani yang berjudul “Pengaruh Pelaksanaan Hukuman Cambuk
Terhadap Moral Generasi Muda Aceh (Studi di Kecamatan Johan
Pahlawan, Meulaboh-Aceh Barat)”. Penelitian ini menemukan bahwa
pemberlakuan hukuman cambuk di NAD, sangat berpengaruh terhadap
moral generasi muda dan masyarakat di sana terutama di Kec. Johan
Pahlawan-Meulaboh. Perubahan mereka lebih ke arah yang positif, baik
dari segi berpakaiannya maupun pergaulan mereka sehari-hari, walau
masih ada pelanggaran-pelanggaran moral yang dilakukan oleh remaja
maupun masyarakat tetapi angka pelanggarannya sudah bisa diminalisir.
E. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis
normatif pada hakikatnya menekankan pada metode deduktif sebagai
pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata kerja penunjang.
Pendekatan normatif terutama mempergunakan bahan-bahan kepustakaan
sebagai sumber data penelitiannya. Meskipun tidak empiris, akan tetapi
kegiatan-kegiatannya tetap merupakan penelitian ilmiah, karena mencakup
10
kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan dengan
mempergunakan metodologi serta teknik-teknik tertentu.18
Adapun sumber data yang dipergunakan penulis adalah sumber
data sekunder, yaitu terdiri dari bahan hukum primer berupa Qanun Aceh
No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11
Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi dan bahan
hukum sekunder berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan primer, berupa Al-Qur’an, Al-Hadist, buku-buku fiqih
serta sumber-sumber yang ada korelasinya dengan pembahasan ini.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan (Research Library). Artinya pengumpulan data-
data diperoleh dengan merujuk pada karya-karya mendukung
(komplementer) yang memiliki relevansi dengan pembahasan skripsi ini.
Teknik analisis data dalam penelitian penulis menggunakan
analisis perbandingan yang dilakukan dengan mengadakan studi
perbandingan hukum. Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan
untuk membandingkan hukum yang ada di satu daerah dan daerah lainnya
dalam kasus perjudian.19 Dalam kasus ini, penulis membandingkan Qanun
Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No.
11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi.
18 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004) h. 166-167.
19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. 3, h. 132-133.
11
Teknik penulisan dalam skripsi ini penulis menggunakan buku
pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2012.
F. Sistimatika Pembahasan
Dalam pembahasan skripsi ini penulis membagi uraian
pembahasan menjadi lima bab yang terdiri dari:
BAB I : Menampilkan Bab Pendahuluan, yang di dalamnya membahas
tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka/penelitian terdahulu, metode penelitian, dan
sistimatika pembahasan.
BAB II : Menjelaskan secara deskriptif mengenai posisi perjudian dalam
jarimah ta’zir, macam-macam hukuman ta’zir, serta
pengertian, pelaku, unsur-unsur perjudian dalam hukum Islam.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan
bagaimana posisi perjudian di dalam hukum Islam.
BAB III : Mengkaji materi Qanun Maisir di Aceh dan Perda Perjudian di
Kota Bekasi, di mulai dengan menjelaskan kondisi sosial
politiknya dan menjelaskan materi pengaturan perjudian, di
antaranya pengertian perjudian, perbuatan yang dilarang,
pelaku tindak pidana, sanksi pidana, dan pelaksanaan hukuman
12
di dalam Qanun Maisir di Aceh dan Perda Perjudian di Kota
Bekasi.
BAB IV : Bagian paling subtantif ada di dalam Bab IV, di dalam Bab IV
ini penulis menganalisis secara tajam perbandingan pengaturan
perjudian di Aceh dan Kota Bekasi dalam perspektif hukum
Islam, dimulai dengan pengaturan perjudian di Aceh dalam
perspektif hukum Islam, pengaturan perjudian di Kota Bekasi
dalam perspektif hukum Islam, dan perbandingan pengaturan
Qanun Aceh dan Perda Bekasi.
BAB V : Bab ini merupakan bab penutup atau terakhir yang mencangkup
kesimpulan yang merupakan pemadatan dari seluruh uraian
yang lebih bersifat luas dan abstrak kemudian dilanjutkan
saran-saran.
13
BAB II
PERJUDIAN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
A. Posisi Perjudian dalam Jarimah Ta’zir
Di dalam kajian fiqh jinayah ada tiga jarimah, yaitu sebagai
berikut: Pertama, jarimah qishash yang terdiri atas jarimah pembunuhan
dan jarimah penganiayaan. Kedua, jarimah hudud yang terdiri atas jarimah
zina; jarimah qadzf; jarimah syurb al-khamr; jarimah al-baghyu; jarimah
al-riddah; jarimah al-sariqah; dan jarimah al-hirabah. Ketiga, jarimah
ta’zir yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur oleh
Al-Qur’an atau Hadist. Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaannya
ditentukan oleh penguasa setempat. Bentuk jarimah ini sangat banyak dan
tidak terbatas, sesuai dengan kejahatan yang dilakukan akibat godaan setan
dalam diri manusia.1 Tindak pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah
ta’zir.
Alangkah tepat dan indahnya Al-Qur’an ketika mengumpulkan
antara khamr dan judi dalam ayat-ayat dan hukum-hukumnya, karena
sama bahayanya terhadap pribadi, keluarga, tanah air, dan akhlak. Tidak
ada bedanya orang yang mabuk karena judi dengan orang mabuk karena
khamr, bahkan jarang dijumpai salah satunya saja tanpa yang satunya lagi.
1 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 3-4.
14
Sungguh tepat Al-Qur’an ketika memberitahukan bahwa khamr dan judi
termasuk perbuatan syetan.2
Dalil hukum yang mengatur tentang sanksi hukum peminum khamr
diungkapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an secara bertahap tentang status
hukum. Hal itu diungkapkan sebagai berikut.
Surah Al-Baqarah ayat 219
)/219 ): ٢البقرة
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapamanfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar darimanfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang merekanafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allahmenerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 219).
Surah Al-Maa’idah ayat 90-91
)٩٠- ٥:٩١الما ى دة/(
2 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur RafiqShaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 2010), Cet. 9, h. 352.
15
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib denganpanah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Makajauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhandan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudiitu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Makaberhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Q.S. Al-Maa’idah[5]: 90-91).
Kata maisir dijumpai dalam Al-Qur’an sebanyak 3 kali, yaitu
dalam surah Al-Baqarah ayat 219 dan surah Al-Maa’idah ayat 90 dan 91.
Dari kandungan surah Al-Baqarah ayat 219 dan surah Al-Maa’idah ayat
90 dan 91 diketahui bahwa judi merupakan perbuatan keji yang
diharamkan Islam. Keharaman judi dalam surah Al-Baqarah ayat 219 tidak
begitu jelas. Allah SWT secara tegas menyatakan dalam surah Al-
Maa’idah ayat 90 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keuntungan.” Penyebab diharamkannya perbuatan judi
dijelaskan Allah SWT dalam ayat 91 yang artinya, “Sesungguhnya setan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingati Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu).”3
3 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1996), h. 297-298.
16
Dari ketiga ayat tersebut, para mufasir/ulama ahli tafsir
menyimpulkan beberapa hal. 1) Judi merupakan dosa besar. 2) Judi
merupakan perbuatan setan. 3) Judi sejajar dengan syirik. 5) Judi
menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia.
6) Judi membuat orang malas berusaha. 7) Judi juga akan menjauhkan
orang dari Allah SWT. Selain lebih banyak mudharat daripada
manfaatnya, perbuatan judi dilarang oleh Allah SWT karena tidak sesuai
dengan ajaran Islam yang senantiasa memotivasi umatnya untuk
melakukan kreasi yang positif dalam menunjang kehidupannya di dunia
dan akhirat.4
Imam Ghazali menjelaskan seluruh permainan yang di dalamnya
terdapat unsur perjudian, maka permainan itu hukumnya haram,5 di mana
pemain tidak lepas dari untung atau rugi. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Yusuf Qardlawy dalam buku “Halal dan Haram”, dia mengutip
sebuah hadist Rasulullah SAW mengenai hal itu yang artinya:
“barangsiapa berkata kepada kawannya: ‘Marilah berjudi’, maka
hendaklah ia bersedekah.” Dengan demikian, seorang Muslim tidak
menjadikan permainan judi sebagai alat untuk menghibur diri dan mengisi
4 Ibid.,, h. 298-299.
5Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1994), Cet. 1, h. 70.
17
waktu senggang, sebagaimana tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai
cara mencari uang, dengan alasan apapun.6
Ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam
adalah bentuk jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah
ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak
memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus
dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau
hak manusia.7
Tindak pidana ta’zir adalah tindak pidana yang bentuk dan jumlah
hukumannya tidak ditentukan oleh syara’. Tindak pidana yang masuk
dalam jenis ini yaitu semua tindak pidana yang hukumannya berupa ta’zir.
Tindak pidana ini terdiri atas tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1. Tindak pidana ta’zir yang asli (pokok), yakni setiap tindak pidana yang
tidak termasuk dalam kategori tindak pidana hudud, qishash, dan diat.
2. Tindak pidana hudud yang tidak dijatuhi dengan hukuman yang
ditentukan, yakni tindak pidana hudud yang tidak sempurna dan yang
hukuman hadnya terhindar dan dihapuskan.
6 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, h. 350-351.
7 Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), h. 359-360.
18
3. Tindak pidana qishash dan diat yang tidak diancamkan hukuman yang
ditentukan, yakni tindak pidana-tindak pidana yang tidak dikenai
hukuman qishash dan diat.8
Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman–hukuman yang
sesuai dengan macam tindak pidana ta’zir serta keadaan si pelaku.
Singkatnya, hukuman-hukuman tindak pidana ta’zir tidak mempunyai
batasan-batasan tertentu. Meskipun demikian, hukum Islam tidak memberi
wewenang kepada penguasa atau hakim untuk menentukan tindak pidana
setengah hati, tetapi harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan
masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash (ketentuan)
serta prinsip umum hukum Islam. Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa
tidak ada satu kejahatanpun yang tidak dikenakan sanksi atau hukuman.9
Para ulama sepakat bahwa bentuk dan kualitas hukuman ta’zir tidak boleh
menyamai hukuman diat atau hudud.10
B. Macam-Macam Hukuman Ta’zir
Adapun bentuk-bentuk hukuman ta’zir yaitu:
1. Hukuman Mati
8 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-IslamyMuqaranan bil Qonunil Wad’iy), Penerjemah: Tim Tsalisah-Bogor, (Jakarta: PT Karisma Ilmu,2007), Jilid III, h. 24.
9 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-IslamyMuqaranan bil Qonunil Wad’iy), Penerjemah: Tim Tsalisah-Bogor, (Jakarta: PT Karisma Ilmu,2007), Jilid I, h. 100.
10 H.E. Hassan Saleh Ed.1, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: RajawaliPers, 2008), h. 465.
19
Pada dasarnya menurut syari’at Islam hukum ta’zir adalah untuk
memberikan pengajaran (Al-ta’dib) dan tidak sampai membinasakan, oleh
karena itu dalam hukuman ta’zir tidak boleh pemotongan anggota badan
atau penghilangan nyawa, akan tetapi kebanyakan fuqaha membuat suatu
pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkannya
hukuman tersebut jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau
jika pemberantasan kejahatan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan
membunuhnya; seperti mata-mata, pembuat fitnah, dan residivis yang
berbahaya.11 Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman
mati sebagai ta’zir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan
boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan boleh dengan alat
yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang
sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak
menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih
cepat.12
2. Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk cukup efektif dalam menjerakan pelaku jarimah
ta’zir. Hukuman ini dalam jarimah hudud telah jelas jumlahnya bagi
pelaku jarimah zina ghairu muhsan dan jarimah qadzf. Namun dalam
jarimah ta’zir, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah
11 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet.6, h. 299.
12 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika), Cet. 2, h. 260.
20
cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat
kejahatan.13 Alat yang digunakan untuk hukuman cambuk ini adalah
cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu
kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibnu
Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara adalah
pertengahan.14
Adapun mengenai jumlah maksimal cambuk dalam jarimah ta’zir,
ulama berbeda pendapat:
Menurut Mazhab Hanafi tidak boleh melampaui batas hukuman
had. Menurut Abu Hanifah tidak boleh lebih dari 39 kali, karena had bagi
peminum khamr adalah dicambuk 40 kali. Menurut Abu Yusuf tidak boleh
lebih dari 79 kali, karena had bagi pelaku qadzf adalah dicambuk 80 kali.
Menurut Ulama Malikiyah sanksi ta’zir boleh melebihi had selama
mengandung maslahat. Mereka berpedoman kepada keputusan Umar bin
Al-Khaththab yang mencambuk Ma’an bin Zaidah 100 kali karena
memalsukan stempel baitul mal. Ali pernah mencambuk peminum khamr
pada siang hari di bulan Ramadhan sebanyak 80 kali dan ditambah 20 kali
sebagai ta’zir.
Kemudian pendapat ulama mengenai jumlah minimal cambukan
dalam jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
13 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 149.
14 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 260.
21
Menurut Ulama Hanafiyah batas terendah ta’zir harus mampu
memberi dampak preventif dan represif. Batas terendah satu kali
cambukan. Menurut Ibnu Qudamah batas terendah tidak dapat ditentukan,
diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai tindak pidana, pelaku, waktu, dan
pelaksanaannya. Pendapat Ibnu Qudamah lebih baik, tetapi perlu
tambahan ketetapan ulil amri sebagai pegangan semua hakim. Apabila
telah ada ketetapan hakim, tidak ada lagi perbedaan pendapat.15
Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman cambuk masih
diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, cambuk sebagai
ta’zir harus dicambukkan lebih keras daripada cambuk dalam had agar
dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, di samping karena
jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah
bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi,
ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat cambuk dalam ta’zir dengan
sifat cambuk dalam hudud.16 Ta’zir untuk tindak kejahatan seksual adalah
dicambuk kurang dari 100 kali, untuk tindak kejahatan fitnah adalah
dicambuk kurang dari 80 kali, atau hukuman lain yang setara dengan itu.
Ta’zir untuk tindak pencurian dalam jumlah kecil dikenai hukuman yang
setara dengan tahanan. Ta’zir untuk peminum minuman khamr adalah di
bawah 40 kali cambuk atau yang setara.17
15 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 150-151.
16 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 260.
17 H.E. Hassan Saleh Ed.1, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, h. 466.
22
Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang
menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi,
apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak boleh
dibuka, karena jika demikian akan terbukalah auratnya. Pukulan atau
cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan
diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak
boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena pukulan ke bagian
tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum.18
Apabila pelaku adalah seorang wanita dalam keadaan hamil maka
pelaksanaan hukuman cambuk ditunda sampai dia melahirkan anak dan
anak itu telah berhenti menyusui (disapih) serta telah memakan makanan
lain misalnya roti. Hal ini untuk menjaga agar anak dalam kandungan atau
yang sedang menyusu pada ibunya itu tidak turut meninggal atau tidak
turut mengalami penderitaan karena ibunya dikenai hukuman. Apabila si
pelaku dalam keadaan sakit yang dipandang tidak kuat untuk menahan
rasa sakit maka pelaksanaan hukuman cambuk diundurkan sampai
dipandang kesehatan si terhukum memungkinkan. Jika si terhukum sakit
yang tidak membahayakan jiwanya maka hukuman cambuk tetap
dilaksanakan.19
18 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 260.
19 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina: Pandangan Hukum Islam dan KUHP,(Jakarta, Bulan Bintang, 2003), h. 154-155.
23
3. Hukuman Penjara
Hukuman penjara dalam syari’at Islam dibagi kepada dua bagian,
yaitu:
a. Hukuman Penjara Terbatas
Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama
waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan
untuk jarimah penghinaan, penjualan khamr, pemakan riba, melanggar
kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa
uzur, mengairi ladang dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci
mencaci antara dua orang yang berperkara di depan sidang pengadilan, dan
saksi palsu. Batas tertinggi untuk hukuman penjara terbatas ini juga tidak
ada kesepakatan di kalangan fuqaha. Menurut Syafi’iyah batas tertinggi
untuk hukuman penjara terbatas ini adalah satu tahun. Adapun pendapat
yang dinukil dari Abdullah Az-Zaubairi adalah ditetapkannya masa
hukuman penjara dengan satu bulan, atau enam bulan.20
b. Penjara Tidak Terbatas
Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya,
melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum meninggal
dunia atau sampai ia bertaubat. Dalam istilah lain bisa disebut hukuman
penjara seumur hidup. Hukuman seumur hidup ini dalam hukum pidana
20 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 262-263.
24
Islam dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya. Misalnya,
seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga.
Hukuman penjara tidak terbatas macam yang kedua (sampai ia bertaubat)
dikenakan antara lain untuk orang yang dituduh membunuh dan mencuri,
melakukan homoseksual, atau penyihir, mencuri untuk yang ketiga kalinya
menurut Imam Abu Hanifah, atau mencuri untuk kedua kalinya menurut
imam yang lain.21
4. Hukuman Pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan
untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan). Meskipun hukuman
pengasingan itu merupakan hukuman had, namun di dalam praktiknya,
hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuman ta’zir. Di antara
jarimah ta’zir yang dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang
yang berprilaku mukhannats (waria), yang pernah dilaksanakan oleh Nabi
dengan mengasingkannya ke luar dari Madinah. Hukuman pengasingan ini
dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada
orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk
menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.22
Lamanya (masa) pengasingan juga tidak ada kesepakatan di
kalangan para fuqaha. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, masa
21Ibid., h. 263.
22Ibid., h. 264.
25
pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun. Menurut Imam Abu
Hanifah, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan
di sini merupakan hukuman ta’zir, bukan hukuman had.23
5. Hukuman Denda (Al-gharamah)
Hukuman denda bisa merupakan hukuman pokok yang berdiri
sendiri dan dapat pula digabungkan dengan hukuman pokok lainnya.
Penjatuhan hukuman denda bersama-sama dengan hukuman yang lain
bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang mengadili
perkara jarimah ta’zir, karena hakim diberi kebebasan yang penuh dalam
masalah ini. Dalam hal ini hakim dapat mempertimbangkan berbagai
aspek, baik yang berkaitan dengan jarimah, pelaku, situasi, maupun
kondisi tempat dan waktunya.24
C. Pengertian, Pelaku dan Unsur-unsur Perjudian dalam Hukum Islam
1. Pengertian Perjudian
Maisir dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian di
antaranya ialah: lunak, tunduk, keharusan, mudah, gampang, kaya,
membagi-bagi, dll. Ada yang mengatakan bahwa kata maisir berasal dari
kata yasara ( َرَسَی ) yang artinya keharusan. Keharusan bagi siapa yang
kalah dalam bermain maisir/judi untuk menyerahkan sesuatu yang
23 Ibid., h. 265.
24 Ibid., h. 267.
26
dipertaruhkan kepada pihak yang menang. Ada yang mengatakan bahwa
kata maisir berasal dari kata yusrun ( ٌرْسُی ) yang artinya mudah, dengan
analisa bahasa karena maisir/judi merupakan upaya dan cara untuk
mendapatkan rezeki dengan mudah, tanpa susah payah.25
Ada lagi yang mengatakan bahwa kata maisir berasal dari kata
yasaar ( اٌرَسَی ) yang artinya kaya, dengan analisa bahasa karena dengan
permainan itu akan menyebabkan pemenangnya menjadi kaya. Adapula
yang berpendapat bahwa kata maisir berasal dari kata yusrun ( ٌرْسَی ) yang
artinya membagi-bagi daging onta. Hal ini sejalan dengan sifat maisir/judi
yang ada pada masa Jahiliyyah yang karenanya ayat Al-Qur’an itu
diturunkan; di mana mereka membagi-bagi daging onta menjadi dua puluh
delapan bagian. Dalam bahasa Arab maisir sering juga disebut qimar, jadi
qimar dan maisir artinya sama. Qimar sendiri asal artinya taruhan atau
perlombaan.26
Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan judi dengan segala bentuk
permainan yang ada wujud kalah-menangnya; pihak yang kalah
memberikan sejumlah uang atau barang yang disepakati sebagai taruhan
kepada pihak yang menang. Syekh Muhammad Rasyid Ridha menyatakan
bahwa maisir itu suatu permainan dalam mencari keuntungan tanpa harus
25 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, (Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ), 1987), h. 24-25.
26 Ibid.,, h. 25.
27
berpikir dan bekerja keras. Menurut at-Tabarsi, ahli tafsir Syiah Imamiah
abad ke-6 Hijriah, maisir adalah permainan yang pemenangnya
mendapatkan sejumlah uang atau barang tanpa usaha yang wajar dan dapat
membuat orang jatuh ke lembah kemiskinan. Permainan anak-anak pun
jika ada unsur taruhannya, termasuk dalam kategori ini.27
Menurut Yusuf Qardlawy dalam kitabnya “Al-Halal Wal-Haram
Fil-Islam”, judi adalah setiap permainan yang mengandung taruhan.
Definisi maisir/judi menurut pengarang Al-Munjid, maisir/judi ialah setiap
permainan yang disyaratkan padanya bahwa yang menang akan
mendapatkan/mengambil sesuatu dari yang kalah baik berupa uang atau
yang lainnya.28
Menurut Imam Syafi’i di dalam kitabnya Al-Iqna’ juz II hal 286,
apabila kedua orang yang berlomba pacuan kuda itu mengeluarkan
taruhannya secara bersama-sama (artinya, siapa yang kalah harus memberi
kepada yang menang) maka dalam kondisi semacam itu tidak boleh.
Kecuali apabila keduanya tadi memasukkan muhallil, maka hal itu
diperbolehkan apabila kuda yang dipakai oleh muhallil itu sepadan dengan
kuda kedua orang yang berpacu tersebut. Pihak ketiga menjadi penengah
27Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 297-298.
28 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, h. 28-34.
28
tadi dinamakan muhallil karena ia berfungsi untuk menghalalkan aqad,
dan mengeluarkannya dari bentuk judi yang diharamkan.29
Berdasarkan definisi-definisi yang diutarakan para ulama tersebut
di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa judi ialah segala macam
bentuk permainan yang di dalamnya terdapat taruhan dan ada praktek
untung-untungan, yang membuat orang yang bermain berharap akan
mendapatkan keuntungan dengan mudah tanpa bekerja keras.
2. Pelaku Perjudian
Ta’zir berlaku atas semua orang yang melakukan kejahatan.
Syaratnya adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan, baik laki-laki
maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, atau kafir maupun
muslim. Setiap orang yang melakukan kemungkaran atau mengganggu
pihak lain dengan alasan-alasan yang tidak dibenarkan, baik dengan
perbuatan, ucapan, atau isyarat. Perlu diberi sanksi ta’zir agar tidak
mengulangi perbuatannya.30
Ulama Zahiriyah berpendapat bahwa anak di bawah umur, orang
gila, dan orang mabuk yang kehilangan akalnya tidak dikenai hukuman
hudud dan qishash. Meskipun anak di bawah umur, orang gila, dan orang
mabuk tidak dikenai hukuman hudud dan qishash, mereka harus dihukum
ta’zir. Jika salah satu dari mereka melakukan tindak pidana, ia harus diberi
29 Ibid., h. 35.
30 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 143.
29
pelajaran agar berhenti merugikan orang lain; orang yang mabuk sampai ia
bertobat, yang gila sampai ia sadar, dan anak di bawah umur sampai ia
dewasa. Mendidik mereka berarti saling menolong dalam kebaikan dan
takwa, sedangkan membiarkan mereka berarti membantu dalam dosa dan
pelanggaran.31 Allah SWT berfirman:
… ) )٢: ٥الما ى دة/…
“..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikandan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa danpelanggaran…” (Q.S. Al-Maa’idah [5]: 2).
3. Unsur-unsur Perjudian
Dalam menetapkan sanksi atau hukuman terhadap suatu
pelanggaran harus diketahui terlebih dahulu unsur-unsur delik dalam
jarimah. Unsur-unsur ini ada pada suatu perbuatan, maka perbuatan
tersebut dipandang sebagai suatu delik jarimah. Unsur-unsur delik itu ada
dua macam yaitu unsur umum dan unsur khusus. 32 Unsur umum tersebut
adalah:
a. Adanya nash yang melarang dan mengancam perbuatan (unsur
formiil).
31 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 227.
32 Abul A’la Almaududi, “Perjudian Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP (StudiAnalisis Komparasi Unsur-Unsur dan Sanksi Pidana Perjudian)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah danHukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 34, t.d.
30
b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan
nyata atau sikap tidak berbuat (unsur materiil).
c. Pelaku adalah mukallaf (unsur moril).33
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perjudian, apabila telah
memenuhi unsur-unsur khusus, menurut H.S. Muchlis, ada dua unsur yang
merupakan syarat khusus untuk dinamakan seseorang telah melakukan
jarimah perjudian, ialah:
a. Harus ada dua pihak yang masing-masing terdiri dari satu orang atau
lebih yang bertaruh: yang menang (penebak tepat atau pemilik nomor
yang cocok) akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan
rumusan tertentu.
b. Menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan suatu peristiwa yang
berada di luar kekuasaan dan di luar pengetahuan terlebih dahulu dari
para petaruh.34
Rasyid Ridha dan at-Tabarsi sepakat menyatakan bahwa segala
bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan termasuk ke dalam
pengertian maisir yang dilarang syara’. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy
permainan yang mengandung unsur untung-untungan, termasuk judi,
dilarang syara’.35
33 Ibid., h. 34.
34 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), h. 148.
35 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 297-298.
31
Berdasarkan rumusan judi di atas, maka jika ada dua kesebelasan
sepak bola yang bertanding yang oleh sponsor akan diberikan hadiah
kepada yang menang, ini bukan judi, karena tidak ada dua pihak yang
bertaruh. Contoh lain: dua pemain catur yang mengadakan perjanjian,
siapa yang kalah membayar kepada yang menang suatu jumlah uang, juga
tidak dapat dinamakan berjudi, sebab pertandingan itu merupakan adu
kekuatan/keterampilan/kepandaian.36
Pada prinsipnya lomba berhadiah seperti bergulat, lomba lari,
badminton, sepak bola, atau catur diperbolehkan oleh agama, asal tidak
membahayakan keselamatan badan dan jiwa. Dan mengenai uang hadiah
yang diperoleh dari hasil lomba tersebut diperbolehkan oleh agama, jika
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Jika uang/hadiah itu disediakan oleh pemerintah atau sponsor
nonpemerintah untuk para pemenang.
b. Jika uang/hadiah lomba itu merupakan janji salah satu dari dua orang
yang berlomba kepada lawannya, jika ia dapat dikalahkan oleh
lawannya itu.
c. Jika uang/hadiah lomba disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka
disertai muhallil, yaitu orang yang berfungsi menghalalkan perjanjian
lomba dengan uang sebagai pihak ketiga, yang akan mengambil uang
36 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), h. 150.
32
hadiah itu, jika jagonya menang; tetapi ia tidak harus membayar, jika
jagonya kalah.37
Para ulama membolehkan balapan kuda, sapi, dan sebagainya,
dengan syarat uang/hadiah yang diterimanya itu berasal dari pihak ketiga
(sponsor lomba) atau dari sebagian peserta lomba. Islam membolehkan
balapan kuda dan sebagainya itu adalah untuk mendorong umat Islam
mempunyai keterampilan dan keberanian menunggang kuda yang sangat
diperlukan untuk peperangan dahulu. Tetapi sekarang orang melatih diri
agar menjadi joki yang hebat. Apabila uang/hadiah itu berasal dari semua
peserta lomba, untuk bertaruh: siapa yang kalah, membayar Rp.
100.000,00 dan peserta yang diajak mau bertanding, maka lomba ini
haram, karena masing-masing menghadapi untung rugi.38
37 Ibid., h. 150.
38 Ibid., h. 151.
33
BAB III
PENGATURAN PERJUDIAN DI ACEH DAN KOTA BEKASI
A. Pengaturan Perjudian di Aceh
1. Kondisi Sosial Politik Aceh
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah sebuah Daerah
yang terletak di Pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di
Indonesia, Ibukota Provinsi NAD adalah Banda Aceh. Secara geografis
dan keluasan, kawasan ini terbentang di ujung pulau Sumatera yang
berbatasan sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan
Lautan Hindia serta sebelah barat dengan Lautan Hindia dan Teluk
Benggala (India), sayang tidak disebutkan perbatasan sebelah timur.
Sangat strategis baik dari sudut ekonomi, politik, maupun geografis.
sehingga menjadi jalur perniagaan internasional yang paling sibuk di
kawasan Asia Tenggara.1 Berdasarkan data sensus penduduk 2012 Badan
Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Provinsi Aceh sebanyak
4.726.001 jiwa dan tersebar diseluruh kabupaten/kota. Selama periode
Maret 2012-September 2012, persentase penduduk miskin di daerah
perkotaan menurun 0,60 persen (dari 13,07 persen menjadi 12,47 persen),
1 Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh,(Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h.21.
34
sementara di daerah perdesaan menurun 1,00 persen (dari 21,97 persen
menjadi 20,97 persen).2
Secara geografis terletak pada 2°-6° LU dan 95°-98° BT. Provinsi
NAD merupakan Provinsi yang berbatasan (laut) dengan India, Myanmar,
Thailand dan Malaysia. Di sebelah timur, Provinsi NAD berbatasan laut
dan darat dengan Provinsi Sumatera Utara. Provinsi NAD memiliki
wilayah seluas 57.736,557 km², didalamnya terdapat kawasan hutan seluas
3.335.613 Ha atau 62 % dari luas daratan terdiri dari hutan lindung dan
konservasi 2.697.113 Ha dan kawasan budidaya hutan 638.580 Ha.
Puncak tertinggi pada 4.446 m diatas permukaan laut, wilayah laut yang
merupakan Zona Ekonomi Exclusif (ZEE) seluas 534.520 km². Provinsi
NAD memiliki 119 buah pulau, 73 sungai yang besar, 35 gunung dan 2
buah danau.3 Kabupaten dan kota di provinsi Aceh yaitu Kabupaten Aceh
Barat, Kabupaten Aceh Barat daya, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten
Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten
Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara,
Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Bener
Meriah, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Nagan
Raya, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Simeulue, Kota
2 “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2014 darihttp://www.dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee1058.pdf.
3 “Gambaran Umum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)”, artikel diakses pada 7Maret 2014 dari http://www.profilkabupaten.com/gambaran-umum-provinsi-nanggroe-aceh-darussalam-nad/.
35
Banda Aceh, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, Kota Sabang, dan Kota
Subulussalam.4
Bangsa Aceh seluruhnya beragama Islam, bangsa Aceh telah
identik dengan agama Islam. Sejak permulaan masuknya Islam ke Asia
Tenggara, Aceh adalah tempat pertama berlabuhnya agama Islam dan
sejak saat itulah bangsa Aceh telah memeluk agama ini tepatnya pada awal
abad lahirnya agama Islam. Bersatunya agama Islam dengan penduduk
Aceh telah menjadikan bangsa ini sebagai yang mempelopori agama Islam
ke wilayah-wilayah di sekitar Asia Tenggara, seperti semenanjung
Malaya, wilayah Sumatera lainnya, Pulau Jawa dan lain-lain. Bumi Aceh
yang telah menyatu dengan agama Islam yang dianut oleh penduduknya,
sehingga sesuailah Aceh dijuluki dengan ‘Serambi Mekkah’.5 Agama lain
yang di anut oleh penduduk di Aceh adalah Agama Kristen yang dianut
oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang
kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut
agama Khonghucu.6
Provinsi Aceh memiliki 13 buah asli yaitu Bahasa Aceh, Bahasa
Gayo, Bahasa Aneuk Jamee, Bahasa Singkil, Bahasa Alas, Bahasa
4 “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2014 darihttp://www.dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee1058.pdf.
5 Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik dalam..., h. 22-23.
6 “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2014 darihttp://www.dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee1058.pdf.
36
Tamiang, Bahasa Kluet, Bahasa Devayan, Bahasa Sigulai, Bahasa Pakpak,
Bahasa Haloban, Bahasa Lekon dan Bahasa Nias. Rumah Adat di Provinsi
Aceh di sebut Rumoh Aceh.7
Provinsi Aceh dalam perkembangannya telah mengalami beberapa
kali pemekaran wilayah administratif dan saat ini terdiri dari 18 kabupaten
dan 5 kota. Untuk pemerintah di bawah kabupaten/kota, selain memiliki
Kecamatan dan Gampong (wilayah setingkat Desa) berdasarkan Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 dibentuk
Mukim yang berkedudukan langsung dibawah Camat dan wilayahnya
terdiri atas beberapa gampong. Hingga saat ini Provinsi Aceh memiliki
284 Kecamatan, 755 Mukim dan 6.450 Gampong.8
2. Materi Pengaturan Perjudian di Aceh
a. Pengertian
Definisi maisir (perjudian) menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun
2003 diatur dalam Pasal 1 ayat (20) yang berbunyi:
“Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang
bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang
mendapat bayaran.” Jadi yang dimaksud perjudian di dalam pasal ini
adalah setiap kegiatan atau perbuatan yang di dalamnya terdapat unsur
7 Ibid.
8 Ibid.
37
taruhan antara dua pihak atau lebih dan pihak yang menang akan dibayar
oleh yang kalah menurut perjanjian dan rumusan tertentu.
b. Perbuatan yang Dilarang
Adapun perbuatan yang dilarang menurut Qanun Aceh No. 13
Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 5, 6 dan 7, antara lain:
Pertama, melakukan perbuatan maisir. Maksudnya setiap orang
dilarang melakukan perbuatan maisir; Kedua, menyelenggarakan dan/atau
memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir.
Maksudnya dilarang dan akan dikenakan hukuman bagi setiap orang atau
badan hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan dan/atau memberi
fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir. Dengan
menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan
melakukan perbuatan maisir maka itu akan memberi kemudahan bagi
pelaku perjudian dalam melaksanakan perbuatannya. Bila tetap dilakukan
pelanggaran maka akan dikenakan hukuman bagi pelakunya; Ketiga,
menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir. Maksudnya setiap orang
atau badan hukum atau badan usaha dilarang melindungi terhadap
perbuatan maisir. Melindungi di sini maksudnya antara lain menutup-
nutupi dari usaha penyidik melakukan penggrebekan orang yang sedang
melakukan perjudian atau menghalang-halangi pekerjaan penyidik untuk
melakukan penangkapan terhadap pelaku perbuatan judi; Keempat,
38
memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir. Maksudnya instansi
pemerintah dilarang memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir.
c. Pelaku Tindak Pidana
Yang termasuk pelaku menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003
seperti yang tercantum dalam Pasal 5, 6 dan 7, antara lain:
Pertama, setiap orang yang melakukan perbuatan maisir (pemain).
Kedua, setiap orang, badan hukum atau badan usaha yang
menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan
melakukan perbuatan maisir. Kedua kategori pelaku tersebut adalah orang
yang beragama Islam yang melakukan tindak pidana di bidang maisir
(perjudian) di wilayah hukum Nanggroe Aceh Darussalam. Pidana cambuk
hanya diberikan terhadap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana
perjudian dan dikenakan pidana cambuk di muka umum. Tujuan
penerapan Syariat Islam dan penerapan sanksi pidana cambuk adalah
untuk memberikan pencerahan dan kesadaran bagi masyarakat dan untuk
memberikan kesadaran dan rasa malu untuk mengulangi perbuatannya lagi
serta menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan
pelanggaran Syariat Islam dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi
keluarganya. Serta untuk menciptakan masyarakat yang bermoral dan
berjiwa Islam yang berakhlak mulia.
39
d. Sanksi Pidana
Sanksi pidana menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 seperti
yang tercantum dalam Pasal 23, 26 dan 27, antara lain:
Pertama, setiap pemain judi yang terbukti melakukan tindak
pidana perjudian dan dikenakan pidana cambuk di muka umum paling
banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.
Kedua, pemberian fasilitas atau menyelenggarakan perjudian yang
dilakukan baik oleh perorangan, badan usaha atau badan hukum yang
berdomisili atau beralamatkan di wilayah hukum Nanggroe Aceh
Darussalam, hanya dikenakan pidana dengan pidana denda sebesar paling
banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) dan paling sedikit
Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Dan jika berkaitan dengan
kegiatan usaha maka akan dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan izin usaha.
Dalam qanun maisir ini juga mengatur tentang pengulangan
(residivist), yaitu terdapat dalam Pasal 26 yang menyebutkan, bahwa
pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan qanun tersebut, ‘uqubatnya
dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal. Sedangkan
perbuatan dapat disebut pelanggaran apabila: (1) Dilakukan oleh badan
hukum atau badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung
jawab. (2) Apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain
40
sanksi ‘uqubat dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan
mencabut dan membatalkan izin usaha yang telah diberikan.
e. Pelaksanaan Hukuman
Pelaksanaan hukuman menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003
seperti yang tercantum dalam Pasal 29, 30 dan 31, antara lain:
‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk
oleh Jaksa Penuntut Umum, Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman
pada ketentuan yang diatur di dalam Qanun Maisir.
‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan
orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang
ditunjuk. Pencambukan dilakukan dengan Rotan yang berdiameter antara
0, 75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak
mempunyai ujung ganda atau dibelah. Pencambukan dilakukan pada
bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar
pukulan atau cambukannya tidak sampai melukai si terhukum. Terhukum
laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan
memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan, jika terhukumnya
adalah seorang perempuan maka posisinya duduk dan ditutup kain di
atasnya. Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60
(enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan. Apabila selama
pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukum, yang dapat
41
membahayakan nyawanya berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk,
maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.
B. Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi
1. Kondisi Sosial Politik di Kota Bekasi
Kota Bekasi secara administratif termasuk dalam Provinsi Jawa
Barat dengan batas-batas: sebelah utara dengan Kabupaten Bekasi; sebelah
selatan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok; sebelah barat dengan
Provinsi DKI Jakarta; dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten
Bekasi. Kota yang luas wilayahnya sekitar 210,49 Km² dengan titik
koordinat 106°48'281"-107°27'29" Bujur Timur dan 6°10'6"-6°30'6"
Lintang Selatan.9 Pada perkembangannya kini sesuai dengan Perda No. 4
tahun 2004, Kota Bekasi mempunyai 12 kecamatan, yang terdiri dari 56
kelurahan, yaitu : Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Selatan,
Kecamatan Bekasi Timur, Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Pondok
Gede, Kecamatan Jatiasih, Kecamatan Bantar Gebang, kecamatan
Jatisampurna, Kecamatan Medan Satria, kecamatan Rawalumbu,
kecamatan Mustika Jaya dan kecamatan Pondok Melati.10
Topografi Kota Bekasi bervariasi, namun sebagian besar berada
pada dataran rendah dengan kemiringan antara 0-2% dan ketinggian antara
9“Kondisi Geografis Wilayah Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret2014 dari http://www.bekasikota.go.id/read/5456/kondisi-geografis-wilayah-kota-bekasi.
10 “Profil Daerah Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 darihttp://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1062.
42
11-81 meter di atas permukaan air laut. Dataran rendah yang ketinggannya
kurang dari 25 meter dari permukaan air laut sebagian besar berada di
Kecamatan Medan Satria, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Timur,
dan Pondok Gede. Sedangkan, daerah berketinggan antara 25-100 meter
dari permukaan air laut sebagian besar berada di Kecamatan
Bantargebang, Pondok Melati, dan Jatiasih (Pemkot Bekasi, 2009).11
Jumlah penduduk Kabupaten Bekasi tahun 2014 sebanyak 2. 811. 000
jiwa.12
Salah satu hal yang membuat Kota Bekasi berkembang dengan
pesat adalah karena adanya perkembangan dalam bidang industri, terutama
industri pengolahan, perdagangan, hotel, dan restoran. Hal ini membuat
mata pencaharian penduduknya pun semakin beragam dan tidak hanya
bertumpu pada sektor pertanian. Menurut data dari BPS Kota Bekasi tahun
2012, dari luas secara keseluruhan yang mencapai 21.049 ha, hanya
sebagian kecil saja yang saat ini masih digunakan sebagai lahan pertanian
yaitu sekitar 505 ha atau 3,15%. Selebihnya, merupakan lahan kering yang
digunakan untuk bangunan dan halaman (15.072 ha), kebun (4.285 ha),
dan kolam atau empang seluas (69 ha).13
11 “Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://uun-halimah.blogspot.com/2014/01/kota-bekasi.html.
12 “Puluhan Ribu E-KTP Baru Turun Lagi”, artikel yang diakses pada tanggal 7 Maret 2014dari http://poskotanews.com/2014/03/05/puluhan-ribu-e-ktp-baru-turun-lagi/.
13 “Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://uun-halimah.blogspot.com/2014/01/kota-bekasi.html.
43
Sektor industri dan perdagangan merupakan sektor yang
diunggulkan, ini sesuai dengan Visi Kota Bekasi, yaitu unggul dalam jasa
dan perdagangan, kini berkembang sangat pesat. Selain itu, banyak juga
industri kecil yang berkembang dan telah dapat membuka pasar
internasional. Perdagangan ikan hias yang ada di Kota Bekasi saat ini
merupakan komoditi terbesar di Asia Tenggara. Dieksport ke berbagai
negara Australia, Belanda dan Selandia Baru. Sektor industri besar juga
telah menetapkan Kota Bekasi sebagai kawasan perindustrian yang dapat
memberikan keuntungan bagi pengusaha lokal maupun internasional.14
Dengan lahan yang relatif kecil tersebut, tanaman pangan, buah-
buahan dan hasil kebun lain yang dihasilkan hanyalah berupa padi, jagung,
ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, sawi, kacang panjang, bayam, mentimun,
cabe, terong, kangkung, rambutan, jambu biji, duku, sawo, pisang, pepaya,
jahe, pandan, dan kencur. Pada tahun 2012, produksi tanaman padi
menghasilkan sekitar 5.950,79 ton, kangkung 4.348 ton, sawi 3.614,4 ton,
bayam 3.556,65 ton, rambutan 2.006,87 ton, jambu biji 987,74 ton, jahe
366,47 kwintal per ha, dan selebihnya berupa sawo, pisang, dan pepaya
sekitar 600 ton. Selain pertanian dan perkebunan, Kota Bekasi juga
menghasilkan tambahan dari sektor perikanan dan peternakan. Pada tahun
2011 hasil perikanan Kota Bekasi mencapai 1.310,05 ton dengan jenis
ikan lele yang paling banyak diproduksi yaitu sekitar 531,85 ton.
14 “Profil Daerah Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 darihttp://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1062.
44
Sedangkan dari sektor peternakan menghasilkan 1.104.525 ekor ayam ras
pedaging, 172.358 ekor ayam buras, 118.500 ekor ayam petelur, dan 7.294
ekor itik.15
Agama yang dianut oleh Masyarakat Kota Bekasi sangat beragam,
yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan aliran Kepercayaan. Ada
korelasi positif antara jumlah pemeluk suatu agama dengan jumlah sarana
peribadatan. Hal itu tercermin dari banyaknya sarana peribadatan yang
berkaitan dengan agama Islam (masjid, musholla dan langar). Berdasarkan
data yang tertera pada Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, jumlah masjid
yang ada di sana mencapai 1.032 buah, musholla 695 buah, dan langgar
mencapai 957 buah. Sarana peribadatan yang berkenaan dengan penganut
agama Kristen dan Katolik mencapai 97 buah, agama Budha mencapai 11
buah (10 buah vihara dan 1 buah kelenteng), dan agama Hindu hanya ada
satu buah pura. Sementara data yang berkaitan dengan sarana peribadatan
atau gedung pertemuan bagi penganut aliran kepercayaan belum ada.16
Dan Walikota Bekasi tahun 2014 adalah Dr. H. Rahmat Effendi.17
15 “Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://uun-halimah.blogspot.com/2014/01/kota-bekasi.html.
16 Ibid.
17 “Walikota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 darihttp://www.bekasikota.go.id/read/53/walikota-bekasi.
45
2. Materi Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi
a. Pengertian
Definisi judi menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 diatur
dalam Pasal 1 ayat (12) yang berbunyi:
“Judi adalah tiap-tiap permainan, yang kemungkinannya akan
menang pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga
kalau kemungkinan itu bertambah besar karena pemain lebih pandai atau
lebih cakap. Judi mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan
perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang
turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhan lain.” Jadi
yang dimaksud perjudian di dalam pasal ini adalah setiap permainan yang
mengandalkan untung-untungan dalam kemenangannya dan bertambah
besar kemungkinan menangnya karena pemain lebih pandai atau lebih
cakap. Judi juga mengandung segala pertaruhan keputusan perlombaan
atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang berlomba atau
bermain itu, dan juga segala pertaruhan lain.
b. Perbuatan yang Dilarang
Adapun perbuatan yang dilarang menurut Perda Bekasi No. 11
Tahun 2005 seperti yang tercantum dalam Pasal 7, antara lain:
Pertama, memberikan izin perjudian. Maksudnya instansi
pemerintah dilarang memberikan izin usaha perjudian; Kedua,
46
menggunakan tempat usaha atau tempat tinggal sebagai tempat perjudian.
Maksudnya setiap orang atau sekelompok orang dilarang tempat usaha
atau tempat tinggal digunakan sebagai tempat perjudian.
Ketiga, membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan
sarana untuk perbuatan perjudian. Maksudnya setiap orang maupun
sekelompok orang dilarang membiarkan tempat usahanya dan/atau
menyediakan sarana untuk perbuatan perjudian yang mengakibatkan
terjadinya perbuatan perjudian. Dengan membiarkan tempat usahanya
dan/atau menyediakan sarana kepada orang yang akan melakukan perbuatan
perjudian maka itu akan memberi kemudahan bagi pelaku perjudian dalam
melaksanakan perbuatannya. Bila tetap dilakukan pelanggaran maka akan
dikenakan hukuman bagi pelakunya.
Keempat, menjadi pelindung dalam bentuk apapun terhadap kegiatan
perjudian maupun memberikan kesempatan untuk perjudian. Maksudnya
setiap orang atau sekelompok orang dilarang menjadi pelindung dalam bentuk
apapun terhadap kegiatan perjudian, maupun memberikan kesempatan untuk
perjudian. Melindungi di sini maksudnya antara lain menutup-nutupi dari
usaha penyidik melakukan penggrebekan orang yang sedang melakukan
perjudian atau menghalang-halangi pekerjaan penyidik untuk melakukan
penangkapan terhadap pelaku perbuatan judi; Kelima, membiarkan di
lingkungannya terjadi perjudian. Maksudnya setiap penanggung jawab
dan/atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swasta serta pemerintahan
47
dilarang memberikan kesempatan, membiarkan di lingkungannya terjadi
perbuatan perjudian.
Keenam, mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan. Maksudnya
pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan diwajibkan mencegah
penyalahgunaan rumah/bangunan, sehingga pihak pemakainya tidak
menggunakan sebagai tempat perjudian; Ketujuh, pemilik rumah/bangunan
atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana. Maksudnya
pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan
sarana maupun alat yang dapat digunakan untuk perjudian.
c. Pelaku Tindak Pidana
Yang termasuk pelaku menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005
seperti yang tercantum dalam Pasal 7, antara lain:
Pelaku dalam Perda Bekasi adalah setiap orang atau sekelompok
orang, penanggung jawab atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga
swasta, pemerintahan, instansi, pemilik rumah/bangunan atau pihak yang
dikuasakan baik sebagai penyedia sarana/fasilitas perjudian adalah seluruh
masyarakat yang melakukan tindak pidana di bidang perjudian di wilayah
hukum Kota Bekasi. Pidana kurungan hanya diberikan terhadap pelaku
yang terbukti melakukan tindak pidana perjudian.
48
d. Sanksi Pidana
Sanksi pidana menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 seperti
yang tercantum dalam Pasal 14 dan 13, antara lain:
Pertama, setiap orang atau sekelompok orang yang menyediakan
tempat usaha atau tempat tinggal, membiarkan tempat usahanya dan/atau
menyediakan sarana, menjadi pelindung dalam bentuk apapun. Setiap
penanggung jawab dan/atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swasta
serta pemerintahan memberikan kesempatan, membiarkan di lingkungannya
terjadi perbuatan perjudian. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang
dikuasakan menyalahgunakan rumah/bangunan, menyediakan sarana maupun
alat yang dapat digunakan untuk perjudian. Yang berdomisili atau
beralamatkan di wilayah hukum Kota Bekasi, hanya dikenakan pidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-
tingginya Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Kedua, setiap orang atau sekelompok orang yang menyediakan
tempat usaha atau tempat tinggal, membiarkan tempat usahanya dan/atau
menyediakan sarana. Setiap penanggung jawab dan/atau pimpinan lembaga
pendidikan, lembaga swasta serta pemerintahan memberikan kesempatan,
membiarkan di lingkungannya terjadi perbuatan perjudian. Pemilik
rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan menyalahgunakan
rumah/bangunan, menyediakan sarana maupun alat yang dapat digunakan
49
untuk perjudian maka akan dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan izin usaha.
Di dalam Perda Bekasi ini belum secara spesifik melarang
seseorang melakukan perbuatan perjudian, tidak jelasnya pelaku perjudian
di Perda Bekasi karena sudah diatur di dalam KUHP Pasal 303 dan Pasal
303 bis.
50
BAB IV
PERBANDINGAN PENGATURAN PERJUDIAN DI ACEH DAN KOTA
BEKASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengaturan Perjudian di Aceh dalam Perspektif Hukum Islam
1. Pengertian
Definisi maisir (perjudian) menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun
2003 diatur dalam Pasal 1 ayat (20) yang berbunyi: “Maisir (perjudian)
adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua
pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapat bayaran.”
Menurut Yusuf Qardlawy dalam kitabnya “Al-Halal Wal-Haram
Fil-Islam”, judi adalah setiap permainan yang mengandung taruhan.1
Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan judi dengan segala bentuk permainan
yang ada wujud kalah-menangnya; pihak yang kalah memberikan
sejumlah uang atau barang yang disepakati sebagai taruhan kepada pihak
yang menang.2
Pada dasarnya pengertian maisir (perjudian) di atas sama dengan
persetujuannya dengan hukum Islam. Jadi, pengertian maisir (perjudian)
menurut Qanun Aceh tidak bertentangan dengan pengertian perjudian
1 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, (Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ), 1987), h. 28.
2 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1996), h. 297.
51
menurut hukum Islam karena sesuai dengan pendapat Yusuf Qardlawy dan
Hasbi as-Shiddieqy.
2. Perbuatan yang Dilarang
Adapun perbuatan yang dilarang menurut Qanun Aceh No. 13
Tahun 2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 5, 6 dan 7, antara lain:
Pertama, melakukan perbuatan maisir. Kedua, menyelenggarakan
dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan
memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir.
Dalam menetapkan sanksi atau hukuman terhadap suatu
pelanggaran harus diketahui terlebih dahulu unsur-unsur delik dalam
jarimah. Unsur-unsur ini ada pada suatu perbuatan, maka perbuatan
tersebut dipandang sebagai suatu delik jarimah. Unsur-unsur delik itu ada
dua macam yaitu unsur umum dan unsur khusus.3 Unsur umum tersebut
adalah:
a. Adanya nash yang melarang dan mengancam perbuatan (unsur
formiil).
b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan
nyata atau sikap tidak berbuat (unsur materiil).
3 Abul A’la Almaududi, “Perjudian Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP (StudiAnalisis Komparasi Unsur-Unsur dan Sanksi Pidana Perjudian)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah danHukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 34, t.d.
52
c. Pelaku adalah mukallaf (unsur moril).4
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perjudian, apabila telah
memenuhi unsur-unsur khusus, menurut H.S. Muchlis, ada dua unsur yang
merupakan syarat khusus untuk dinamakan seseorang telah melakukan
jarimah perjudian, yaitu:
a. Harus ada dua pihak yang masing-masing terdiri dari satu orang atau
lebih yang bertaruh: yang menang (penebak tepat atau pemilik nomor
yang cocok) akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan
rumusan tertentu.
b. Menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan suatu peristiwa yang
berada di luar kekuasaan dan di luar pengetahuan terlebih dahulu dari
para petaruh.5
Rasyid Ridha dan at-Tabarsi sepakat menyatakan bahwa segala
bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan termasuk ke dalam
pengertian maisir yang dilarang syara’. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy
permainan yang mengandung unsur untung-untungan, termasuk judi,
dilarang syara’.6
4 Ibid., h. 34.
5 Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), (Jakarta: PT GunungAgung, 1996), Cet. 9, h. 148.
6 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 297-298.
53
Perbuatan maisir yang dilarang dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun
2003. Ketentuan pelarangan ini sesuai dengan pendapat Jumhur Ulama
yang melarang melakukan perbuatan maisir.
Menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas yang dilarang
dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003. Ketentuan pelarangan ini tidak
diatur dalam hukum Islam tetapi juga tidak bertentangan, penyusun Qanun
melakukan ijtihad dalam penyusunan Qanun ini.
Pelindung terhadap perbuatan maisir yang dilarang dalam Qanun
Aceh No. 13 Tahun 2003. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur dalam
hukum Islam tetapi juga tidak bertentangan, penyusun Qanun melakukan
ijtihad dalam penyusunan Qanun ini.
Memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir yang dilarang
dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003. Ketentuan pelarangan ini tidak
diatur dalam hukum Islam tetapi juga tidak bertentangan, penyusun Qanun
melakukan ijtihad dalam penyusunan Qanun ini.
3. Sanksi Pidana
Adapun sanksi pidana menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003
seperti yang tercantum dalam Pasal 23 dan 26, antara lain: Pertama, setiap
pemain judi yang terbukti melakukan tindak pidana perjudian dan
dikenakan pidana cambuk di muka umum paling banyak 12 (dua belas)
kali dan paling sedikit 6 (enam) kali. Kedua, pemberian fasilitas atau
menyelenggarakan perjudian yang dilakukan baik oleh perorangan, badan
54
usaha atau badan hukum yang berdomisili atau beralamatkan di wilayah
hukum Nanggroe Aceh Darussalam, hanya dikenakan pidana dengan
pidana denda sebesar paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta
rupiah) dan paling sedikit Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Dan
jika berkaitan dengan kegiatan usaha maka akan dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan izin usaha.
Ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam
adalah bentuk jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah
ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak
memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus
dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau
hak manusia.7
Tindak pidana ta’zir adalah tindak pidana yang bentuk dan jumlah
hukumannya tidak ditentukan oleh syara’. Tindak pidana yang masuk
dalam jenis ini yaitu semua tindak pidana yang hukumannya berupa
ta’zir.8 Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman–hukuman yang
sesuai dengan macam tindak pidana ta’zir serta keadaan si pelaku.9
7 Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), h. 359-360.
8Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-IslamyMuqaranan bil Qonunil Wad’iy), Penerjemah: Tim Tsalisah-Bogor, (Jakarta: PT Karisma Ilmu,2007), Jilid III, h. 24.
9 H.E. Hassan Saleh Ed.1, Kajian sFiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: RajawaliPers, 2008), h. 465.
55
Dengan demikian, kehadiran Qanun Aceh sama sekali tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Karena tindak pidana maisir
(perjudian) bukan merupakan tindak pidana had atau qishash/diat tetapi
tindak pidana ta’zir, yang ukuran sanksinya diserahkan pada ijtihad ulil
amri atau hakim.
4. Pelaksanaan Hukuman
Adapun pelaksanaan hukuman menurut Qanun Aceh No. 13 Tahun
2003 seperti yang tercantum dalam Pasal 29, 30 dan 31, antara lain:
Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa
Penuntut Umum.
‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan
orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang
ditunjuk. Pencambukan dilakukan dengan Rotan yang berdiameter antara
0, 75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak
mempunyai ujung ganda atau dibelah. Pencambukan dilakukan pada
bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar
pukulan atau cambukannya tidak sampai melukai si terhukum. Terhukum
laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan
memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan, jika terhukumnya
adalah seorang perempuan, maka posisinya duduk dan ditutup kain di
atasnya. Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60
(enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan. Apabila selama
56
pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukum berdasarkan
pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai
dengan waktu yang memungkinkan.10
Dalam jarimah ta’zir, hakim diberikan kewenangan untuk
menetapkan jumlah cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku, situasi,
dan tempat kejahatan.11 Alat yang digunakan untuk hukuman cambuk ini
adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak
terlalu kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibnu
Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara adalah
pertengahan.12
Adapun mengenai jumlah maksimal cambuk dalam jarimah ta’zir,
ulama berbeda pendapat:
Menurut Mazhab Hanafi tidak boleh melampaui batas hukuman
had. Menurut Abu Hanifah tidak boleh lebih dari 39 kali, karena had bagi
peminum khamr adalah dicambuk 40 kali. Menurut Abu Yusuf tidak boleh
lebih dari 79 kali, karena had bagi pelaku qadzf adalah dicambuk 80 kali.
Menurut Ulama Malikiyah sanksi ta’zir boleh melebihi had selama
mengandung maslahat. Mereka berpedoman kepada keputusan Umar bin
Al-Khaththab yang mencambuk Ma’an bin Zaidah 100 kali karena
10 Ibid., Pasal 31.
11 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 149.
12 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika), Cet. 2, h. 260.
57
memalsukan stempel baitul mal. Ali pernah mencambuk peminum khamr
pada siang hari di bulan Ramadhan sebanyak 80 kali dan ditambah 20 kali
sebagai ta’zir.
Kemudian pendapat ulama mengenai jumlah minimal cambukan
dalam jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
Menurut Ulama Hanafiyah batas terendah ta’zir harus mampu
memberi dampak preventif dan represif. Batas terendah satu kali
cambukan. Menurut Ibnu Qudamah batas terendah tidak dapat ditentukan,
diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai tindak pidana, pelaku, waktu, dan
pelaksanaannya. Pendapat Ibnu Qudamah lebih baik, tetapi perlu
tambahan ketetapan ulil amri sebagai pegangan semua hakim. Apabila
telah ada ketetapan hakim, tidak ada lagi perbedaan pendapat.13
Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman cambuk masih
diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, cambuk sebagai
ta’zir harus dicambukkan lebih keras daripada cambuk dalam had agar
dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, di samping karena
jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah
bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi,
ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat cambuk dalam ta’zir dengan
sifat cambuk dalam hudud.14 Apabila orang yang dihukum ta’zir itu laki-
13 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 150-151.
14 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 260.
58
laki maka baju yang menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus
dibuka. Akan tetapi, apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka
bajunya tidak boleh dibuka, karena jika demikian akan terbukalah
auratnya. Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji,
dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf
menambahkan tidak boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena
pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang
terhukum.15
Apabila pelaku adalah seorang wanita dalam keadaan hamil maka
pelaksanaan hukuman cambuk ditunda sampai dia melahirkan anak dan
anak itu telah berhenti menyusui (disapih) serta telah memakan makanan
lain misalnya roti. Hal ini untuk menjaga agar anak dalam kandungan atau
yang sedang menyusu pada ibunya itu tidak turut meninggal atau tidak
turut mengalami penderitaan karena ibunya dikenai hukuman. Apabila si
pelaku dalam keadaan sakit yang dipandang tidak kuat untuk menahan
rasa sakit maka pelaksanaan hukuman cambuk diundurkan sampai
dipandang kesehatan si terhukum memungkinkan. Jika si terhukum sakit
yang tidak membahayakan jiwanya maka hukuman cambuk tetap
dilaksanakan.16
15 Ibid., h. 260.
16 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina: Pandangan Hukum Islam dan KUHP,(Jakarta, Bulan Bintang, 2003), h. 154-155.
59
Di dalam hukum Islam dan Qanun Aceh ada yang berbeda, yaitu
pelaksanaan hukuman di dalam hukum Islam pelaku tidak dihadiri oleh
Jaksa Penuntut Umum dan dokter tetapi di dalam Qanun Aceh
pelaksanaan hukuman dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum dan dokter.
Alat yang digunakan untuk mencambuk di dalam hukum Islam ialah
cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu
kecil) atau tongkat tetapi di dalam Qanun Aceh alat cambuknya yang
berdiameter antara 0, 75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu)
meter. Pencambukan terhadap wanita hamil di dalam hukum Islam ditunda
sampai dia melahirkan anak dan anak itu telah berhenti menyusui (disapih)
serta telah memakan makanan lain misalnya roti tetapi di dalam Qanun
Aceh pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam
puluh) hari yang bersangkutan melahirkan. Di dalam hukum Islam apabila
si pelaku dalam keadaan sakit yang dipandang tidak kuat untuk menahan
rasa sakit maka pelaksanaan hukuman cambuk diundurkan sampai
dipandang kesehatan si terhukum memungkinkan sedangkan di dalam
Qanun Aceh apabila selama pencambukan timbul hal-hal membahayakan
terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa
cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.
Peraturan pelaksanaan hukuman yang ada di dalam Qanun Aceh
ada yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, yaitu pencambukan
dilakukan dengan Rotan. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh
kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Kadar pukulan atau
60
cambukannya tidak sampai melukai si terhukum. Terhukum laki-laki
dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan
memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan, jika terhukumnya
adalah seorang perempuan, maka posisinya duduk dan ditutup kain di
atasnya.
Matrik 1
Perbandingan Perjudian di Aceh dan Fiqih
PengaturnPerjudian
Aceh Fiqih
Pengertian Kegiatan dan/atauperbuatan yang bersifattaruhan antara dua pihakatau lebih di mana pihakyang menang mendapatbayaran.
Sesuai dengan pendapat YusufQardlawy dan Hasbi as-Shiddieqy.
PerbuatanyangDilarang
Melakukan perbuatanmaisir (perjudian).
Perbuatan maisir yang dilarangdalam Qanun Aceh sesuai denganpendapat Jumhur Ulama yangmelarang melakukan perbuatanmaisir.
Menyelenggarakan dan/ataumemberikan fasilitas, pelindungterhadap perbuatan maisir,memberikan izin usahapenyelenggaraan maisir yangdilarang dalam Qanun. Ketentuanpelarangan ini tidak diatur dalamhukum Islam tetapi juga tidakbertentangan, penyusun Qanunmelakukan ijtihad dalampenyusunan Qanun ini.
Menyelenggarakan ataumemberikan fasilitaskepada orang yang akanmelakukan perjudian,menjadi pelindungperbuatan perjudian,memberi izin usahapenyelenggaraan perjudian.
SanksiPidana
Ta’zir bagi pemain:Cambuk maksimal 12 kali,minimal 6 kali.
Qanun Aceh sama sekali tidakbertentangan dengan hukumIslam. Karena tindak pidana
61
Ta’zir bagi penyelenggaradan/atau memberi fasilitas:Denda maksimal Rp.35.000.000,- minimal15.000.000,-
maisir (perjudian) bukanmerupakan tindak pidana hadatau qishash/diat tetapi tindakpidana ta’zir, yang ukuransanksinya diserahkan pada ijtihadulil amri atau hakim.
PelaksanaanHukuman
‘Uqubat cambuk dilakukandi suatu tempat yang dapatdisaksikan orang banyakdengan dihadiri JaksaPenuntut Umum dan dokteryang ditunjuk.Pencambukan dilakukandengan Rotan yangberdiameter antara 0, 75 cmsampai 1 (satu) senti meter,panjang 1 (satu) meter dantidak mempunyai ujungganda atau dibelah.Pencambukan dilakukanpada bagian tubuh kecualikepala, muka, leher, dadadan kemaluan. Kadarpukulan atau cambukannyatidak sampai melukai siterhukum. Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisiberdiri tanpa penyangga,tanpa diikat, dan memakaibaju tipis yang menutupaurat. Sedangkan, jikaterhukumnya adalahseorang perempuan, makaposisinya duduk danditutup kain di atasnya.Pencambukan terhadapperempuan hamil dilakukansetelah 60 (enam puluh)hari yang bersangkutanmelahirkan. Apabila selamapencambukan timbul hal-hal membahayakanterhukum berdasarkanpendapat dokter yangditunjuk, maka sisacambukan ditunda sampaidengan waktu yangmemungkinkan.
Di dalam hukum Islam danQanun Aceh ada yang berbeda,yaitu pelaksanaan hukuman didalam hukum Islam pelaku tidakdihadiri oleh Jaksa PenuntutUmum dan dokter tetapi di dalamQanun Aceh pelaksanaanhukuman dihadiri oleh JaksaPenuntut Umum dan dokter. Alatyang digunakan untukmencambuk di dalam hukumIslam ialah cambuk yangpertengahan (sedang, tidak terlalubesar dan tidak terlalu kecil) atautongkat tetapi di dalam QanunAceh alat cambuknya yangberdiameter antara 0, 75 cmsampai 1 (satu) senti meter,panjang 1 (satu) meter.Pencambukan terhadap wanitahamil di dalam hukum Islamditunda sampai dia melahirkananak dan anak itu telah berhentimenyusui (disapih) serta telahmemakan makanan lain misalnyaroti tetapi di dalam Qanun Acehpencambukan terhadapperempuan hamil dilakukansetelah 60 (enam puluh) hari yangbersangkutan melahirkan. Didalam hukum Islam apabila sipelaku dalam keadaan sakit yangdipandang tidak kuat untukmenahan rasa sakit makapelaksanaan hukuman cambukdiundurkan sampai dipandangkesehatan si terhukummemungkinkan sedangkan didalam Qanun Aceh apabilaselama pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukumberdasarkan pendapat dokteryang ditunjuk, maka sisa
62
cambukan ditunda sampai denganwaktu yang memungkinkan.
Peraturan pelaksanaan hukamanyang ada di dalam Qanun Acehada yang tidak bertentangandengan hukum Islam, yaitupencambukan dilakukan denganRotan. Pencambukan dilakukanpada bagian tubuh kecuali kepala,muka, leher, dada dan kemaluan.Kadar pukulan atau cambukannyatidak sampai melukai siterhukum. Terhukum laki-lakidicambuk dalam posisi berdiritanpa penyangga, tanpa diikat,dan memakai baju tipis yangmenutup aurat. Sedangkan, jikaterhukumnya adalah seorangperempuan, maka posisinyaduduk dan ditutup kain diatasnya.
B. Pengaturan Perjudian di Kota Bekasi dalam Perspektif Hukum Islam
1. Pengertian
Definisi judi menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 diatur
dalam Pasal 1 ayat (12) yang berbunyi: “Judi adalah tiap-tiap permainan,
yang kemungkinannya akan menang pada umumnya tergantung pada
untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan itu bertambah besar
karena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Judi mengandung juga
segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain,
yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau main itu,
demikian juga segala pertaruhan lain.”
63
Menurut Yusuf Qardlawy dalam kitabnya “Al-Halal Wal-Haram
Fil-Islam”, judi adalah setiap permainan yang mengandung taruhan.17
Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan judi dengan segala bentuk permainan
yang ada wujud kalah-menangnya; pihak yang kalah memberikan
sejumlah uang atau barang yang disepakati sebagai taruhan kepada pihak
yang menang.18
Pada dasarnya pengertian perjudian di atas sama dengan
persetujuannya dengan hukum Islam. Jadi, pengertian perjudian menurut
Perda Bekasi tidak bertentangan dengan pengertian perjudian menurut
hukum Islam karena sesuai dengan pendapat Yusuf Qardlawy dan Hasbi
as-Shiddieqy.
2. Perbuatan yang Dilarang
Adapun perbuatan yang dilarang menurut Perda Bekasi No. 11
Tahun 2005 seperti yang tercantum dalam Pasal 7, antara lain: Pertama,
memberikan izin perjudian. Kedua, menggunakan tempat usaha atau
tempat tinggal sebagai tempat perjudian. Ketiga, membiarkan tempat
usahanya dan/atau menyediakan sarana untuk perbuatan perjudian.
Keempat, menjadi pelindung dalam bentuk apapun terhadap kegiatan
perjudian maupun memberikan kesempatan untuk perjudian. Kelima,
membiarkan di lingkungannya terjadi perjudian.
17 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, h. 28-34.
18 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 297.
64
Keenam, mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan. Ketujuh,
pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan
sarana.
Dalam menetapkan sanksi atau hukuman terhadap suatu
pelanggaran harus diketahui terlebih dahulu unsur-unsur delik dalam
jarimah. Unsur-unsur ini ada pada suatu perbuatan, maka perbuatan
tersebut dipandang sebagai suatu delik jarimah. Unsur-unsur delik itu ada
dua macam yaitu unsur umum dan unsur khusus.19 Unsur umum tersebut
adalah:
a. Adanya nash yang melarang dan mengancam perbuatan (unsur
formiil).
b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan
nyata atau sikap tidak berbuat (unsur materiil).
c. Pelaku adalah mukallaf (unsur moril).20
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perjudian, apabila telah
memenuhi unsur-unsur khusus, menurut H.S. Muchlis, ada dua unsur yang
merupakan syarat khusus untuk dinamakan seseorang telah melakukan
jarimah perjudian, ialah:
a. Harus ada dua pihak yang masing-masing terdiri dari satu orang atau
lebih yang bertaruh: yang menang (penebak tepat atau pemilik nomor
19 Abul A’la Almaududi, “Perjudian Menurut Hukum Pidana…”, h. 34.
20 Ibid., h. 34.
65
yang cocok) akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan
rumusan tertentu.
b. Menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan suatu peristiwa yang
berada di luar kekuasaan dan di luar pengetahuan terlebih dahulu dari
para petaruh.21
Rasyid Ridha dan at-Tabarsi sepakat menyatakan bahwa segala
bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan termasuk ke dalam
pengertian maisir yang dilarang syara’. Menurut Hasbi ash-Shiddieqy
permainan yang mengandung unsur untung-untungan, termasuk judi,
dilarang syara’.22
Ulama fiqih tidak berpendapat tentang pemberian izin judi, tetapi
Perda Bekasi yang melarang pemberi izin judi. Ketentuan pelarangan ini
tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Ulama fiqih tidak berpendapat tentang menggunakan tempat usaha
atau tempat tinggal sebagai tempat judi, tetapi Perda Bekasi yang melarang
menggunakan tempat usaha atau tempat tinggal sebagai tempat judi.
Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
Ulama fiqih tidak berpendapat tentang membiarkan tempat
usahanya dan/atau menyediakan sarana untuk judi, tetapi Perda Bekasi
21 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), h. 148.
22 Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedia Islam, h. 297-298.
66
yang melarang membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan
sarana untuk judi. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Ulama fiqih tidak berpendapat tentang menjadi pelindung terhadap
judi, tetapi Perda Bekasi yang melarang menjadi pelindung terhadap judi.
Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
Ulama fiqih tidak berpendapat tentang membiarkan di lingkungannya
terjadi perjudian, tetapi Perda Bekasi yang melarang membiarkan di
lingkungannya terjadi perjudian. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi
juga tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Ulama fiqih tidak berpendapat tentang mencegah penyalahgunaan
rumah/bangunan sebagai tempat perjudian, tetapi Perda Bekasi yang melarang
mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan sebagai tempat perjudian.
Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi juga tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
Ulama fiqih tidak berpendapat tentang pemilik rumah/bangunan
atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana judi, tetapi Perda
Bekasi yang melarang pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan
dilarang menyediakan sarana judi. Ketentuan pelarangan ini tidak diatur tetapi
juga tidak bertentangan dengan hukum Islam.
67
3. Sanksi Pidana
Adapun sanksi pidana menurut Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005
seperti yang tercantum dalam Pasal 14 dan 13, antara lain: Pertama, setiap
orang atau sekelompok orang yang menyediakan tempat usaha atau tempat
tinggal, membiarkan tempat usahanya dan/atau menyediakan sarana,
menjadi pelindung dalam bentuk apapun. Setiap penanggung jawab dan/atau
pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swasta serta pemerintahan
memberikan kesempatan, membiarkan di lingkungannya terjadi perbuatan
perjudian. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan
menyalahgunakan rumah/bangunan, menyediakan sarana maupun alat yang
dapat digunakan untuk perjudian. Yang berdomisili atau beralamatkan di
wilayah hukum kota Bekasi, hanya dikenakan pidana dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya
Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Kedua, setiap orang atau sekelompok orang yang menyediakan
tempat usaha atau tempat tinggal, membiarkan tempat usahanya dan/atau
menyediakan sarana. Setiap penanggung jawab dan/atau pimpinan lembaga
pendidikan, lembaga swasta serta pemerintahan memberikan kesempatan,
membiarkan di lingkungannya terjadi perbuatan perjudian. Pemilik
rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan menyalahgunakan
rumah/bangunan, menyediakan sarana maupun alat yang dapat digunakan
untuk perjudian maka akan dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan izin usaha.
68
Ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam
adalah bentuk jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah
ta’zir sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak
memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus
dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau
hak manusia.23
Tindak pidana ta’zir adalah tindak pidana yang bentuk dan jumlah
hukumannya tidak ditentukan oleh syara’. Tindak pidana yang masuk
dalam jenis ini yaitu semua tindak pidana yang hukumannya berupa
ta’zir.24 Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman–hukuman yang
sesuai dengan macam tindak pidana ta’zir serta keadaan si pelaku.25
Dengan demikian, kehadiran Perda Bekasi sama sekali tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Karena tindak pidana perjudian bukan
merupakan tindak pidana had atau qishash/diat tetapi tindak pidana ta’zir,
yang ukuran sanksinya diserahkan pada ijtihad ulil amri atau hakim.
23 Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, h. 359-360.
24 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-IslamyMuqaranan bil Qonunil Wad’iy), h. 24.
25 H.E. Hassan Saleh Ed.1, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: RajawaliPers, 2008), h. 465.
69
Matrik 2
Perbandingan Perjudian di Kota Bekasi dengan Fiqih
PengaturnPerjudian
Kota Bekasi Fiqih
Pengertian Tiap-tiap permainan, yangkemungkinannya akanmenang pada umumnyatergantung pada untung-untungan saja, juga kalaukemungkinan itu bertambahbesar karena pemain lebihpandai atau lebih cakap.Judi mengandung jugasegala pertaruhan tentangkeputusan perlombaan ataupermainan lain, yang tidakdiadakan oleh mereka yangturut berlomba atau mainitu, demikian juga segalapertaruhan lain.
Sesuai dengan pendapat YusufQardlawy dan Hasbi as-Shiddieqy .
PerbuatanyangDilarang
Memberikan izin perjudian,menggunakan tempatusaha/tempat tinggalsebagai tempat perjudian,membiarkan tempatusahanya dan/ataumenyediakan sarana untukperbuatan perjudian,pelindung dalam bentukapapun terhadap kegiatanperjudian, maupunmemberikan kesempatanuntuk perjudian,membiarkan dilingkungannya terjadiperbuatan perjudian,mencegah penyalahgunaanrumah/bangunan, pemilikrumah/bangunan atau pihakyang dikuasakan dilarangmenyediakan sarana.
Ulama fiqh tidak berpendapattentang pemberian izin perjudian,menggunakan tempat usaha atautempat tinggal sebagai tempatperjudian, membiarkan tempatusahanya dan/atau menyediakansarana untuk perbuatan perjudian,menjadi pelindung terhadapperjudian, membiarkan dilingkungannya terjadi perjudian,mencegah penyalahgunaanrumah/bangunan, pemilikrumah/bangunan atau pihak yangdikuasakan dilarang menyediakansarana tetapi Perda Bekasi yangmelarang pemberi izin perjudian,menggunakan tempat usaha atautempat tinggal tempat perjudian,membiarkan tempat usahanyadan/atau menyediakan saranauntuk perbuatan perjudian,menjadi pelindung terhadapperjudian, membiarkan di
70
lingkungannya terjadi perjudian,mencegah penyalahgunaanrumah/bangunan, pemilikrumah/bangunan atau pihak yangdikuasakan dilarang menyediakansarana. Ketentuan pelarangan initidak diatur tetapi juga tidakbertentangan dengan hukumIslam.
SanksiPidana
Hukuman kurungan palinglama 6 (enam) bulandan/atau denda setinggi-tingginya Rp.50.000.000.-(lima puluh juta rupiah).
Perda Bekasi sama sekali tidakbertentangan dengan hukumIslam. Karena tindak pidanaperjudian bukan merupakantindak pidana had atauqishash/diat tetapi tindak pidanata’zir, yang ukuran sanksinyadiserahkan pada ijtihad ulilamri.atau hakim.
PelaksanaanHukuman
Di dalam Perda KotaBekasi tata carapelaksanaan hukumanmengikuti KUHAP.
Alat yang digunakan untukmencambuk adalah cambuk yangpertengahan (sedang, tidak terlalubesar dan tidak terlalu kecil) atautongkat. Pendapat ini jugadikemukakan oleh Imam IbnuTaimiyah, dengan alasan karenasebaik-baiknya perkara adalahpertengahan.Adapun sifat atau carapelaksanaan hukuman cambukmasih diperselisihkan oleh parafuqaha. Menurut Hanafiyah,cambuk sebagai ta’zir harusdicambukkan lebih kerasdaripada cambuk dalam had agardengan ta’zir orang yangterhukum akan menjadi jera, disamping karena jumlahnya lebihsedikit daripada dalam had.Alasan yang lain adalah bahwasemakin keras cambukan itusemakin menjerakan. Akan tetapi,ulama selain Hanafiyahmenyamakan sifat cambuk dalamta’zir dengan sifat cambuk dalamhudud. Apabila orang yangdihukum ta’zir itu laki-laki makabaju yang menghalangi
71
sampainya cambuk ke kulit harusdibuka. Akan tetapi, apabilaorang terhukum itu seorangperempuan maka bajunya tidakboleh dibuka, karena jikademikian akan terbukalahauratnya. Pukulan atau cambukantidak boleh diarahkan ke muka,farji, dan kepala, melainkandiarahkan ke bagian punggung.Imam Abu Yusuf menambahkantidak boleh mencambuk bagiandada dan perut, karena pukulanke bagian tersebut bisamembahayakan keselamatanorang yang terhukum.
C. Perbandingan Pengaturan Qanun Aceh dan Perda Bekasi
Dari aspek definisi, perjudian yang diatur di dalam Qanun Aceh
No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11
Tahun 2005 Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi sesuai dengan
pendapat Yusuf Qardlawy dan Hasbi as-Shiddieqy.
Perjudian yang diatur di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003
Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang
Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi sama-sama dilarang. Hal ini sesuai
dengan pendapat Jumhur Ulama yang mengatur bahwa perjudian adalah
perbuatan haram.
Di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir
(Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang Pencegahan
Perjudian di Kota Bekasi seseorang dilarang melakukan perbuatan
perjudian. Hal ini sesuai dengan pendapat Jumhur Ulama.
72
Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha di dalam Qanun
Aceh No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) dilarang
menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan
melakukan perbuatan maisir, menjadi pelindung terhadap perbuatan
maisir, memberikan izin usaha penyelenggaraan maisir. Aturan ini tidak
dibahas oleh ulama fiqih namun bukan berarti bertentangan dengan hukum
Islam karena pengaturan judi termasuk ke dalam jarimah ta’zir.
Memberikan izin perjudian, menggunakan tempat usaha atau
tempat tinggal sebagai tempat perjudian, membiarkan tempat usahanya
dan/atau menyediakan sarana untuk perbuatan perjudian, menjadi
pelindung dalam bentuk apapun terhadap kegiatan perjudian maupun
memberikan kesempatan untuk perjudian, membiarkan di lingkungannya
terjadi perjudian, mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan, pemilik
rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan sarana di
dalam Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang Pencegahan Perjudian di
Kota Bekasi. Aturan ini tidak dibahas oleh ulama fiqih namun bukan
berarti bertentangan dengan hukum Islam karena pengaturan judi termasuk
ke dalam jarimah ta’zir.
Dari aspek perbuatan yang dilarang di dalam Qanun Aceh No. 13
Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun
2005 Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi ada yang sama, yaitu:
Pertama, perbuatan menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada
orang yang akan melakukan perbuatan judi. Kedua, menjadi pelindung
73
terhadap bentuk apapun terhadap kegiatan perjudian. Ketiga, memberikan
izin usaha penyelenggaraan perjudian. Pengaturan ini juga tidak dibahas
oleh ulama fiqih namun bukan berarti bertentangan dengan hukum Islam
karena pengaturan judi termasuk ke dalam jarimah ta’zir.
Perbuatan yang dilarang di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003
Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang
Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi juga ada yang berbeda, yaitu: di
dalam Qanun Aceh aspek yang dilarang adalah melakukan perbuatan
maisir berbeda dengan aspek yang dilarang di dalam Perda Bekasi yaitu
menggunakan tempat usaha atau tempat tinggal sebagai tempat perjudian,
membiarkan di lingkungannya terjadi perjudian, mencegah penyalahgunaan
rumah/bangunan, pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan
dilarang menyediakan sarana.
Dari aspek subyek hukum di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun
2003 Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005
Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi berbeda, yaitu di dalam
Qanun Aceh subyek hukumnya adalah orang yang beragama Islam yang
melakukan tindak pidana di bidang maisir di wilayah hukum Nanggroe
Aceh Darussalam sedangkan di dalam Perda Bekasi subyek hukumnya
adalah semua orang yang melakukan tindak pidana di bidang judi di
wilayah hukum Bekasi.
74
Dari aspek sanksi pidana di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003
Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang
Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi berbeda, yaitu di dalam Qanun Aceh
sanksinya berupa cambuk dan denda sedangkan di dalam Perda Bekasi
sanksinya berupa pidana kurungan dan/atau denda.
Dari aspek pelaksanaan hukuman di dalam Qanun Aceh No. 13
Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun
2005 Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi berbeda, yaitu di
dalam Qanun Aceh diatur masalah pelaksanaan hukuman bagi pelaku judi,
sedangkan di dalam Perda Bekasi pelaksanaan hukuman mengikuti
KUHAP.
Penerimaan uang denda dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003
Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang
Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi berbeda, yaitu di dalam Qanun Aceh
diserahkan kepada baitul mal sedangkan di dalam Perda Bekasi diserahkan
kepada pemerintah.
Di dalam Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir
(Perjudian) diatur pengulangan pelanggaran maka hukumannya dapat
ditambah 1/3 (sepertiga) dari hukuman maksimal sedangkan di Perda
Bekasi No. 11 Tahun 2005 Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi
tidak tiatur masalah pengulangan pelanggaran.
75
Matrik 3
Perbandingan Perjudian di Aceh dengan Kota Bekasi
PengaturnPerjudian
Aceh Kota Bekasi
Pengertian Kegiatan dan/atauperbuatan yang bersifattaruhan antara dua pihakatau lebih di mana pihakyang menang mendapatbayaran.
Tiap-tiap permainan, yangkemungkinannya akan menangpada umumnya tergantung padauntung-untungan saja, juga kalaukemungkinan itu bertambah besarkarena pemain lebih pandai ataulebih cakap. Judi mengandungjuga segala pertaruhan tentangkeputusan perlombaan ataupermainan lain, yang tidakdiadakan oleh mereka yang turutberlomba atau main itu, demikianjuga segala pertaruhan lain.
PerbuatanyangDilarang
Melakukan perbuatanmaisir (perjudian).
Memberikan izin perjudian,menggunakan tempatusaha/tempat tinggal sebagaitempat perjudian, membiarkantempat usahanya dan/ataumenyediakan sarana untukperbuatan perjudian,pelindung dalam bentuk apapunterhadap kegiatan perjudian,maupun memberikan kesempatanuntuk perjudian,membiarkan di lingkungannyaterjadi perbuatan perjudian,mencegah penyalahgunaanrumah/bangunan, pemilikrumah/bangunan atau pihak yangdikuasakan dilarang menyediakansarana.
Menyelenggarakan ataumemberikan fasilitaskepada orang yang akanmelakukan perjudian,menjadi pelindungperbuatan perjudian,memberi izin usahapenyelenggaraan perjudian.
SanksiPidana
Ta’zir bagi pemain:Cambuk maksimal 12 kali,minimal 6 kali.
Hukuman kurungan paling lama 6(enam) bulan dan/atau dendasetinggi-tingginyaRp.50.000.000,- (lima puluh jutarupiah).Ta’zir bagi penyelenggara
dan/atau memberi fasilitas:Denda maksimal Rp.
76
35.000.000,- minimal15.000.000,-
PelaksanaanHukuman
‘Uqubat cambuk dilakukandi suatu tempat yang dapatdisaksikan orang banyakdengan dihadiri JaksaPenuntut Umum dan dokteryang ditunjuk.Pencambukan dilakukandengan Rotan yangberdiameter antara 0, 75 cmsampai 1 (satu) senti meter,panjang 1 (satu) meter dantidak mempunyai ujungganda atau dibelah.Pencambukan dilakukanpada bagian tubuh kecualikepala, muka, leher, dadadan kemaluan. Kadarpukulan atau cambukannyatidak sampai melukai siterhukum. Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisiberdiri tanpa penyangga,tanpa diikat, dan memakaibaju tipis yang menutupaurat. Sedangkan, jikaterhukumnya adalahseorang perempuan, makaposisinya duduk danditutup kain di atasnya.Pencambukan terhadapperempuan hamil dilakukansetelah 60 (enam puluh)hari yang bersangkutanmelahirkan. Apabila selamapencambukan timbul hal-hal membahayakanterhukum berdasarkanpendapat dokter yangditunjuk, maka sisacambukan ditunda sampaidengan waktu yangmemungkinkan.
Di dalam Perda Kota Bekasi tatacara pelaksanaan hukumanmengikuti KUHAP.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbedaan dan persamaan pengaturan perjudian di dalam Qanun
Aceh No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian) dan Perda Bekasi
No. 11 Tahun 2005 Tentang Pencegahan Perjudian di Kota Bekasi dapat
dilihat dari aspek-aspek perjudian, di antaranya definisi/pengertian,
perbuatan yang dilarang, pelaku/subyek hukum, sanksi pidana,
pelaksanaan hukuman:
1. Dari aspek definisi, perjudian yang diatur di dalam Qanun Aceh dan
Perda Bekasi sesuai dengan pendapat Yusuf Qardlawy dan Hasbi as-
Shiddieqy.
2. Dari aspek perbuatan yang dilarang di dalam Qanun Aceh dan Perda
Bekasi ada yang sama, yaitu: Pertama, perbuatan menyelenggarakan
dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan
perbuatan judi. Kedua, menjadi pelindung terhadap bentuk apapun
terhadap kegiatan perjudian. Ketiga, memberikan izin usaha
penyelenggaraan perjudian. Pengaturan ini juga tidak dibahas oleh
ulama fiqh namun bukan berarti bertentangan dengan hukum Islam
karena pengaturan judi termasuk ke dalam jarimah ta’zir.
Perbuatan yang dilarang di dalam Qanun Aceh dan Perda Bekasi juga
ada yang berbeda, yaitu: di dalam Qanun Aceh aspek yang dilarang
78
adalah melakukan perbuatan maisir berbeda dengan aspek yang
dilarang di dalam Perda Bekasi yaitu menggunakan tempat usaha atau
tempat tinggal sebagai tempat perjudian, membiarkan di lingkungannya
terjadi perjudian, mencegah penyalahgunaan rumah/bangunan, pemilik
rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakan
sarana.
3. Dari aspek subyek hukum, di dalam Qanun Aceh subyek hukumnya
adalah orang yang beragama Islam yang melakukan tindak pidana di
bidang maisir di wilayah hukum Nanggroe Aceh Darussalam
sedangkan di dalam Perda Bekasi subyek hukumnya adalah semua
orang yang melakukan tindak pidana di bidang judi di wilayah hukum
Bekasi.
4. Dari aspek sanksi pidana, di dalam Qanun Aceh sanksinya berupa
cambuk dan denda sedangkan di dalam Perda Bekasi sanksinya berupa
pidana kurungan dan/atau denda.
5. Dari aspek pelaksanaan hukuman, di dalam Qanun Aceh diatur
masalah pelaksanaan hukuman bagi pelaku judi, sedangkan di dalam
Perda Bekasi pelaksanaan hukuman mengikuti KUHAP.
6. Pengaturan perjudian dari aspek definisi/pengertian, perbuatan yang
dilarang, pelaku/subyek hukum, sanksi pidana dan pelaksanaan
hukuman tidak bertentangan dengan hukum Islam. Karena ketentuan-
ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam adalah bentuk
jarimah ta’zir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah ta’zir
79
sebab setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak
memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar kafarat harus
dita’zir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah
atau hak manusia.
B. Saran-saran
1. Kepada aparat Pemerintah
Agar bertindak lebih tegas terhadap warga yang terlibat perjudian dan
bekerjasama dengan aparat kepolisian untuk menindak oknum-oknum
yang berjudi agar diberi hukuman. Peranan tokoh masyarakat
sangatlah mendukung untuk memberikan pendekatan pada masyarakat
persuasif.
2. Kepada masyarakat Aceh dan Kota Bekasi
Ingatlah bahwa perjudian sangat berakibat buruk, tidak hanya pada diri
sendiri tetapi juga terhadap orang lain dan belum pernah tercatat dalam
sejarah ada orang kaya karena judi dan perjudian itu sendiri dapat
mengakibatkan roda kehidupan menjadi terbengkalai.
80
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Tarmidzi, Ed. Hukum Pidana Islam. Cet. 2. Jakarta: SinarGrafika, 2009.
Ambary, Hasan Muarif, Abdul Aziz Dahlan, Ed. Suplemen Ensiklopedi Islam.Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2004.
Audah, Abdul Qadir. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islamy Muqaranan bil Qonunil Wad’iy). Jilid I. Penerjemah: TimTsalisah-Bogor. Jakarta: PT Karisma Ilmu, 2007.
__________ Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-IslamyMuqaranan bil Qonunil Wad’iy). Jilid III. Penerjemah: Tim Tsalisah-Bogor. Jakarta: PT Karisma Ilmu, 2007.
Bakry, Nazar. Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam. Cet. 1. Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1994.
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Cet. 6. Jakarta: Bulan Bintang,2005.
Hosen, Ibrahim. Apakah Judi Itu ?. Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut IlmuAl-Quran (IIQ), 1987.
Irfan, M. Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah, 2013.
Malik, Muhammad Abduh. Perilaku Zina: Pandangan Hukum Islam dan KUHP.Jakarta, Bulan Bintang, 2003.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Kencana, 2007.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram. Cet. 9. Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi danAunur Rafiq Sholeh Tamhid. Jakarta: Robbani Press, 2010.
Saleh, H.E. Hassan. Ed.1, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta:Rajawali Pers, 2008.
Usman, Abdullah Sani. Krisis Legitimasi Politik dalam Sejarah Pemerintahan diAceh. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan DiklatKementrian Agama RI, 2010.
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i. Penerjemah: Muhammad Afifi dan AbdulHafiz. Jakarta: Almahira, 2010.
81
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam) Cet. 9. Jakarta:Toko Gunung Agung, 1996.
REFERENSI DARI UNDANG-UNDANG
Peraturan Daerah Bekasi No. 11 Tahun 2005 tentang Pencegahan Perjudian diKota Bekasi.
Qanun Nanggroe Aceh Darussalam No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir(Perjudian).
REFERENSI DARI INTERNET
“Gambaran Umum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)”, artikel diaksespada 7 Maret 2014 dari http://www.profilkabupaten.com/gambaran-umum-provinsi-nanggroe-aceh-darussalam-nad/.
“Kondisi Geografis Wilayah Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18Maret 2014 dari http://www.bekasikota.go.id/read/5456/kondisi-geografis-wilayah-kota-bekasi.
“Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 dari http://uun-halimah.blogspot.com/2014/01/kota-bekasi.html.
“Profil Daerah Kota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014dari http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1062.
“Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, artikel diakses pada tanggal 6 Maret 2014darihttp://www.dephut.go.id/uploads/files/4e58087e6c859194b5dfae4f6aee1058.pdf.
“Puluhan Ribu E-KTP Baru Turun Lagi”, artikel yang diakses pada tanggal 7Maret 2014 dari http://poskotanews.com/2014/03/05/puluhan-ribu-e-ktp-baru-turun-lagi/.
“Walikota Bekasi”, artikel yang diakses pada tanggal 18 Maret 2014 darihttp://www.bekasikota.go.id/read/53/walikota-bekasi.
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAMNOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
MAISR (PERJUDIAN)
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIMDENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Menimbang : a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untukDaerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamberdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, arlara lain di bidang penyelenggaraankehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan dan peran Ulamadalam penetapan kebijakan daerah;
b. bahwa Maisir termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarangdalam Syari’at Islam dan agama lain serta bertentangan pula denganadat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perhuatantersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan maksiatlainnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan bperlu membentuk Qanun tentang Maisir;
Mengingat : 1. Al - Qur’an;2. Al-hadist3. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah
Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan PembentukanPropinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1955 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103)
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 54,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3040);
6. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undangHukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintanan Daerah(Lembaran Negara republic Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
8. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang PenyelenggaraanKeistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun Nomor 172, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3893).
9. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagiProvinsi Daerah lstimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe AcehDarussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP (Lembaran Negara Tahun 1983Nomor 36, TambahanLembaran Negara Nomor 3258)
11. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang PelaksanaanPenertiban Perjudian (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 10,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3192);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang KoordinasiKegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang KewenanganPemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan LembaranNegara Nomor 3953);
14. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang teknikPenyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk RancanganUndang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan RancanganKeputusan Presiden (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 70);
15. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1966 tentangKetentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil diLingkungan Pemerintah Daerah;
16. Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh DarussalamNomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam (LembaranDaerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);
17. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002tentang Peradilan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Provinsi NanggroeAceh Darussalam Tahun 2000 Nomor 2 Seri E Nomor 2, TambahanLembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);
18. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan SyiarIslam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam Nomor 5);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAHPROVINSI NANGGROE ACEH
MEMUTUSKAN
Menetapkan : QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAMTENTANG MAISR (PERJUDIAN)
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal I
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:1. Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.2. Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah GUBERNUR beserta
perangkat lain Pemerintah Daerah Istimewa Aceh sebagai badan eksekutif Provinsi NanggroeAceh Darussalam.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta perangkat lain pemerintahKabupaten/Kota sebagai badan eksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.4. GUBERNUR adalah GUBERNUR Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.5. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.6. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan.7. Imeum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang
terdiri atas gabungan beberapa gampong.8. Keuchik adalah Kepala pemerintahan terendah dalam suatu kesatuan masyarakat hukum di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak menyelenggarakan rumah tangganyasendiri.
9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam.
10. Mahkamah adalah Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/kota dan Mahkamah Syar’iyah ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam.
11. Wilayatui Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina, mengawasi dan melakukanadvokasi terhadap pelaksanaan amar makruf nahi mungkar.
12. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas dan wewenang khususmenangani pelaksanaan penegakan Syari’at Islam.
13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau penyidik Pegawai Negeri Sipil,14. Penyidik pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh
GUBERNUR yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaranSyari’at Islam,
15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam diberi tugas dan wewenang menjalankan tugaskhusus dibidang Syari’at Islam;
16. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakanpenuntutan di bidang Syari’at dan melaksanakan penetapan dan putusan hakim Mahkamah;
17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi Nanggroe Aceh Darussalam dari/atau pejabatlain di lingkungan yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
18. Jarimah adalah perbuatan yang diancam dengan Uqubah qishasil-diat, hudud, dan ta’zir.19. Uqubat adalah ancaman ‘uqubat terhadap pelanggaran jarimah.20. Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak
atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.
BAB IIRUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
Ruang lingkup larangan maisir dalam Qanun ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatanserta keadaan yang mengarah kepada taruhan dan dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihak-pihak yang bertaruh dan orangorang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut.
Pasal 3
Tujuan larangan maisir (perjudian) adalah untuk:(1) Memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan;(2) Mencegah anggota mayarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada maisir;(3) Melindungi masyarakat dan pengaruh buruk yang timbul akibat kegiatan dan/atau perbuatan
maisir;(4) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan
maisir.
BAB IIILARANGAN DAN PENCEGAHAN
Pasal 4
Maisir hukumnya haram.Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir.
Pasal 6
(1) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menyelenggarakan dan/ataumemberikan fasititas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir.
(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menjadi pelindung terhadapperbuatan maisir.
Pasal 7
Instansi Pemerintah, dilarang memberi izin penyelenggaraan maisir.
Pasal 8
Setiap orang atau kelompok atau institusi masyarakat berkewajiban mencegah terjadinya perbuatanmaisir.
BAB IVPERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 9
(1) Setiap anggota masyarakat berperan serta dalam membantu upaya pencegahan danpemberantasan maisir
(2) Setiap anggota masyarakat diharuskan melapor kepada pejabat yang berwenang baik secaralisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya perbuatan maisir.
Pasal 10
Dalam hal pelaku pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, dan 7 tertangkap tangan olehwarga masyarakat, maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yangberwenang
Pasal 11
Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan keamanan bagi pelaporsebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau orang yang menyerahkan pelaku sebagaimanadimaksud dalam Pasal 10.
Pasal 12
Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 apabila lalai dan/atau tidakmemberikan perlindungan/jaminan keamanan kepada pelapor dapat dituntut oleh pihak pelapordan/atau pihak yang menyerahkan tersangka.
Pasal 13
Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diajukan ke Mahkamah.
BAB VPENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 14
a. Gubernur, Bupati/Walikota, camat, imum Mukim dan keuchik berkewajiban melakukanpengawasan dan pembinaan terhadap penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal5, 6, dan 7.
b. Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Qanun ini, Gubernur, danBupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah.
c. Susunan dan Kedudukan Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernursetelah mendengar pendapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
Pasal 15
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimanadimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) yang menemukan pelaku pelanggaran sebagaimanadimaksud dalam Pasal 5, 6, dan 7, menyerahkan persoalan itu kepada Penyidik.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukanpelaku jarimah maisir dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahuu kepadapelaku sebelum menyerahkannya kepada Penyidik.
Pasal 16
Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan pra-peradilan kepada Mahkamah apabila Iaporannyasebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasanyang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.
BAB VIPENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 17
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran maisir dilakukan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini.
Pasal 18
Penyidik adalah:a. Pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam;b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan
bidang Syari’at lslam
Pasal 19
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a mempunyai wewenang:a. menerima laporan atau pengaduan dan seseorang tentang adanya janimah Maisir;b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian;c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka;d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan;e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;f. mengambii sidik jari dan memotret seseorang;g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa, sebagai tersangka atau saksi;h. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah dan memberitahukan haltersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluanganya dan Wilayatul Hisbah
j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang berlaku.(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b mempunyai wewenang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan berada di bawah koordinasi penyidik umum.
Pasal 20
Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan telah terjadi pelanggaran terhadaplarangan maisir wajib segera melakukan penyidikan sesuai Peraturan Perundang-undangan yangberlaku.
Pasal 21
Penuntut umum menuntut perkara jarimah maisir yang terjadi dalam daerah hukumnya menurutperaturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 22
Penuntut umum mempunyai wewenang:a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dan penyidik;b. mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dan penyidik;c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;d. membuat surat dakwaan;e. menumpahkan perkara ke Mahkamah;f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara
disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut hukum yang berlaku;i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim.
BAB VIIKETENTUAN ‘UQUBAT
Pasal 23
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, diancamdengan ‘uqubat cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit
6 (enam) kali.(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha Non Instansi Pemerintah yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dan 7 diancam dengan ‘uqubat atau dendapaling banyak Rp. 35.000.000.(tiga puluh Lima juta rupiah), paling sedikit Rp 15.000.000.(Lima belas juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, 6 dan 7 adalahjarimah ta’zir.
Pasal 24
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) merupakan penerimaan Daerah dan disetorlangsung ke Kas Baital Mal.
Pasal 25
Barang-barang/benda-benda yang digunakan dan/atau diperoleh dan jarimah maisir dirampas untukDaerah atau dimusnahkan.
Pasal 26
Pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7 ‘uqubatnya dapat ditambah1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal
Pasal 27
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada
penanggung jawab;b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabutatau membatalkan izin usaha yang telah diberikan;
BAB VIIPELAKSANAAN ‘UQUBAT
Pasal 28
(1) ‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum.(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum
harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akandiatur dalam Qanun tentang hukum formil.
Pasal 29
(1) Pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukumtetap.
(2) Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dan KepalaKejaksaan Negeri apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah rnendapatketerangan dokter yang berwenang.
Pasal 30
(1) ‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengandihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk.
(2) Pencambukan dilakukan dengan Rotan yang berdiameter antara 0.75 cm sampai 1 (satu) sentimeter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda/dibelah.
(3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan.(4) Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai.(5) Terhukum laki-Iaki dicmbuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai
baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan terhukum perempuan dalam posisi duduk danditutup kain di atasnya.
(6) Pencambukan terhadap perempuan hamil setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutanmelahirkan.
Pasal 31
Apabila selama pencambukan timbul hal-hal membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokteryang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.
BAB IXKETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam Qanun tersendiri, maka Kitab Undang-undangHukum Acara Pidana (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981), dan Peraturan Perundang-undanganlainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam Qanun ini.
BAB XKETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 34
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memeririntahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannyadalam Lembaran daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Disahkan di Banda AcehPada tanggal, l5 Juli 2003 M
7 Jumadil Awal 1424 H
GUBERNURPROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
ABDULLAH PUTEH
Diundangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Acehpada tanggal 16 Juli 2003 M
16 Jumadil Awal 1424 H
SEKRETARIS DAERAHPROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
THANTAWI ISHAK
LEMBARAN DAERAH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2003 NOMOR26 SERI D NOMOR 13
PERATURAN DAERAH KOTA BEKASINOMOR 11 TAHUN 2005
TENTANGPENCEGAHAN PERJUDIAN DI KOTA BEKASIDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA BEKASI
Menimbang : a. bahwa Kota Bekasi daerah bernuansa ihsan yang membutuhkan keamanan,ketertiban dan ketentraman.
b. bahwa untuk mendukung terwujudnya keamanan, ketertiban dan ketentraman perludibangun kehidupan sosial masyarakat yang bersih dari perjudian dan berbagaibentuk kemaksiatan.
c. bahwa untuk membangun kehidupan sosial masyarakat yang bersih dari perjudiandan berbagai bentuk kemaksiatan perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentangPencegahan Perjudian di Kota Bekasi.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk SeluruhWilayah Republik Indonesia dan Mengubah KUHP (Lembaran Negara Tahun1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (LembaranNegara Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3040);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LembaranNegara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya DaerahTingkat II Bekasi (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 111, TambahanLembaran Negara Nomor 3663);
5. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara YangBersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Tahun1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);
6. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (LembaranNegara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
7. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RepublikIndonesia (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan LembaranNegara Nomor 4168);
8. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (LembaranNegara Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358);
9. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, TambahanLembaran Negara Nomor 4389);
10. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor4401);
11. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LembaranNegara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PegawaiNegeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan LembaranNegara Nomor 3176);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan PenertibanPerjudian (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 10, Tambahan LembaranNegara Nomor 3192);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan InstansiVertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, TambahanLembaran Negara Nomor 3373);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara PelaksanaanPeran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara (Lembaran NegaraTahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3866);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahdan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
17. Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 37 Tahun 1998 tentang Penyidik PegawaiNegeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi(Lembaran Daerah Tahun 1998 Nomor 39 Seri D);
18. Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 06 Tahun 2003 tentang Rencana StrategikPemerintah Kota Bekasi Tahun Anggaran 2003-2008 (Lembaran Daerah Tahun2003 Nomor 6 Seri E).
Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BEKASI
danWALIKOTA BEKASI
MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN PERJUDIAN DI KOTA BEKASI
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Bekasi;2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah;3. Walikota adalah Walikota Bekasi;4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi;5. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Pencegahan Perjudian di
Kota Bekasi;6. Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat POLRI adalah Kepolisian Negara Republik
Indonesia di wilayah kerja Daerah;7. Kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di
bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang;
8. Pengadilan Negeri adalah pengadilan negeri di dalam wilayah Daerah;9. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukanPenyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah;
10. Pencegahan adalah tindakan awal merintangi, antisipasi, menolak atau melarang agartidak terjadi suatu perbuatan yang berkaitan dengan tindakan perjudian;
11. Satuan Polisi Pamong Praja adalah Perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara danmenyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakan Peraturan Daerah danKeputusan Walikota ;
12. Judi adalah tiap-tiap permainan, yang kemungkinannya akan menang pada umumnyatergantung pada untung-untungan saja, juga kalau kemungkinan itu bertambah besarkarena pemain lebih pandai atau lebih cakap. Judi mengandung juga segala pertaruhantentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh merekayang turut berlomba atau main itu, demikian juga segala pertaruhan lain;
13. Instansi vertikal adalah perangkat dari Departemen atau Lembaga Pemerintah nonDepartemen yang mempunyai lingkungan kerja di wilayah yang bersangkutan;
14. Koordinasi adalah upaya yang dilaksanakan oleh Walikota guna mencapai keselarasan,keserasian, dan keterpaduan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan tugas sertakegiatan semua Instansi Vertikal, dan antara Instansi Vertikal dengan Dinas Daerah agartercapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya;
15. Pihak yang berwajib adalah Kepolisian Metro Bekasi.BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUANPasal 2
(1) Ruang lingkup pencegahan perjudian dalam Peraturan Daerah ini adalah segala bentukkegiatan pencegahan dan/atau perbuatan yang berhubungan dan/atau mengarahpencegahan pada perjudian.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud ayat (1) berisikan ketentuan–ketentuan yang mengaturkewenangan dan Kewajiban Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam melaksanakanpencegahan perjudian.
(3) Dalam hal ketentuan-ketentuan yang mengatur kewenangan dan kewajiban PemerintahDaerah dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, maka segalabentuk akibat hukum yang ditimbulkan termasuk ancaman hukumannya tunduk padaketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 3Pencegahan perjudian ini bertujuan :a. melindungi masyarakat terhadap adanya berbagai bentuk kegiatan perjudian;b. meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan perjudian;c. mendukung penegakan hukum yang optimal terhadap ketentuan peraturan dan perundang-
undangan yang berhubungan dengan kegiatan dan/atau perbuatan judi.BAB III
JENIS PERJUDIANPasal 4
Jenis perjudian yang harus dicegah adalah (setiap permainan yang mendasarkan pengharapanbuat menang pada umumnya bergantung untung-untungan saja dan juga kalau pengharapan itujadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain) antara lain terdiri atas :1. Perjudian yang biasa dilakukan di kasino, seperti :
a. Roulette;b. Blackjack;c. Baccarat;d. Creps;e. Keno;
f. Tombola;g. Super Ping-pong;h. Lotto Fair;i. Satan;j. Paykyu;k. Slot machine (jackpot)l. Ji Si Kie;m. Big Six Wheel;n. Chuc a luck;o. Lempar panser/bulu ayam pada sasaran atau apapun yang berputar (Paseran)p. Pachinko;q. Poker;r. Twenty one;s. Hwa-Hwe;t. Kiu-kiu.
2. Perjudian di tempat-tempat keramaian yang harus dicegah, antara lain terdiri dari perjudiandengan :
a. Lempar panser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak;b. Lempar gelang;c. Lempar uang (coin);d. Kim;e. Pancingan;f. Menembak sasaran yang tidak berputar;g. Lempar bola;h. Adu ayam;i. Adu kerbau;j. Adu domba/kambing;k. Pacu Kuda;l. Karapan sapi;m. Pacu anjing;n. Hailai;o. Mayong/macak;p. Erek-erek;q. Toto gelap (Togel).
3. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara lain perjudian yang berkaitan dengankebiasaan :
a. Adu ayam/Sabung ayam;b. Adu sapi;c. Adu kerbau;d. Pacu kuda;e. Karapan sapi;f. Adu domba/kambing.
4. Dan jenis-jenis kegiatan yang diindikasikan sebagai judi.BAB IV
PERAN SERTA MASYARAKATPasal 5
Peran serta masyarakat dalam pencegahan perjudian merupakan kewajiban dan tanggungjawab untuk ikut mewujudkan kehidupan yang aman dan tenteram bebas dari perjudian, yangmeliputi:a. memberi peringatan agar setiap orang tidak melakukan perjudian dan tindakan yang
mengarah pada perjudian;
b. membantu mengawasi lingkungan agar tidak terjadi perbuatan yang mengarah padaperjudian;
c. mencegah dibukanya lokasi-lokasi atau tempat-tempat yang digunakan untuk perbuatanperjudian;
d. melaporkan kepada Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) dan Perangkat PemerintahanDaerah, apabila terjadi perbuatan perjudian atau mengarah pada perbuatan perjudian;
e. melaporkan atau mengadukan kepada pihak berwajib apabila mengetahui diduga adanyaperbuatan perjudian.
Pasal 6Pihak berwajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor sebagaimanadimaksud Pasal 5 huruf e.
BAB VPENCEGAHAN PERJUDIAN
Pasal 7(1) Pemerintah Daerah dilarang memberikan izin perjudian dalam bentuk apapun.
(2) Setiap orang dan/atau sekelompok orang dilarang menggunakan tempat usaha/tempattinggal sebagai tempat perjudian.
(3) Setiap orang maupun sekelompok orang dilarang membiarkan tempat usahanyadan/atau menyediakan sarana untuk perbuatan perjudian yang mengakibatkanterjadinya perbuatan perjudian.
(4) Setiap orang dan/atau sekelompok orang dilarang menjadi pelindung dalam bentukapapun terhadap kegiatan perjudian, maupun memberikan kesempatan untukperjudian.
(5) Setiap penanggung jawab dan/atau pimpinan lembaga pendidikan, lembaga swastaserta pemerintahan dilarang memberikan kesempatan, membiarkan di lingkungannyaterjadi perbuatan perjudian.
(6) Setiap penanggung jawab dan/atau pemimpin lembaga pendidikan, lembaga swasta,pemerintahan serta instansi wajib mencegah terjadinya perbuatan perjudian dilingkungannya.
(7) a. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan diwajibkan mencegahpenyalahgunaan rumah/bangunan, sehingga pihak pemakainya tidakmenggunakan sebagai tempat perjudian;
b. Pemilik rumah/bangunan atau pihak yang dikuasakan dilarang menyediakansarana maupun alat yang dapat digunakan untuk perjudian.
BAB VIPEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 8Pemerintah Daerah bersama masyarakat melakukan pembinaan yang diarahkan untuk :a. mencegah terjadinya dan meluasnya perbuatan perjudian;b. melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan
gangguan dan/atau bahaya atas meluasnya perbuatan perjudian;c. mencegah seluruh lapisan masyarakat terlibat dalam kegiatan perbuatan perjudian;d. mendidik, mensosialisasikan, penyuluhan nilai-nilai moral, agama dan hukum kepada
seluruh lapisan masyarakat.
Pasal 9
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan pencegahan perjudian ini dilakukan oleh Walikotadan pejabat lain yang berwenang dalam penegakan hukum sesuai dengan ketentuanperundang-undangan yang berlaku;
(2) Pengawasan terhadap kegiatan yang potensial mengarah pada perbuatan perjudian,dapat dilakukan oleh :
a. Pemerintah Daerah dan DPRD;b. Penegak Hukum;c. Warga masyarakat.
(3) Penegak hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b pasal ini, meliputi :a. Kepolisian;b. Polisi Militer;c. Kejaksaan;d. Penyidik Pegawai Negeri Sipil;e. Satuan Polisi Pamong Praja.
(4) Pemerintah Daerah dan/atau Instansi Vertikal wajib mengawasi perjudian di perbatasandan pintu-pintu masuk Kota Bekasi.
BAB VIIKOORDINASI KEGIATAN DENGAN INTANSI VERTIKAL
Pasal 10Walikota wajib menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan pencegahan danpemberantasan perjudian dengan Instansi Vertikal.
Pasal 11(1) Dalam melaksanakan koordinasi, Walikota melakukan :
a. perencanaan dan pengorganisasian kegiatan bersama instansi vertikal terhadapmasalah sosial yg terkait dengan masalah pencegahan dan pemberantasanperjudian;
b. Evaluasi bersama dengan instansi vertikal dalam 6 (enam) bulan sekali terhadapmasalah sosial yg terkait dengan masalah pencegahan dan pemberantasanperjudian.
(2) Dalam melaksanakan koordinasi Walikota memperhatikan prinsip fungsionalisasi danperaturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIIIPENYIDIKAN
Pasal 12(1) Penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan oleh penyidik
sebagaimana diatur Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik Pegawai Negari Sipil (PPNS) diberikan kewenangan penyidikan sesuaiperaturan yang berlaku pada instansinya.
(3) Dalam melaksanakan tugas penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)pasal ini, penyidik berwenang :a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang, kelompok atau lembaga
tentang adanya perbuatan perjudian;b. melakukan tindakan pertama pada saat ini ditempat kejadian serta melakukan
penyelidikan dan penyidikan atas dugaan setelah terjadi perbuatan perjudian;c. menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai tersangka dari kegiatan
perjudian dan memeriksa tanda pengenalnya;d. melakukan penggeledahan, penyitaan benda dan/atau surat yang diduga berkaitan
dengan perbuatan perjudian;e. mengambil sidik jari dan photo yang diduga sebagai tersangka;f. memanggil seseorang atau beberapa orang untuk didengar dan diperiksa yang
diduga sebagai tersangka atau saksi;
g. menghentikan penyidikan setelah tidak terdapat cukup bukti atau setelah diketahuiperistiwa yang disidik bukan merupakan perbuatan perjudian;
h. mengadakan tindakan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
(4) Penyidik dimaksud ayat (2) pasal ini membuat Berita Acara untuk setiap tindakan :a. pemeriksaan yang diduga tersangka;b. penggeledahan;c. penyitiaan barang;d. pemeriksaan surat;e. pemeriksaan saksi;f. pemeriksaan tempat kejadian;g. penyimpanan dan penyisihan barang bukti.
BAB IXSANKSI ADMINISTRASI
Pasal 13(1) Barang siapa yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
7 ayat (2), (3), (5), (6) dan (7) Peraturan Daerah ini diancam dengan sanksiadministratif.
(2) Sanksi sebagaimana ayat (1) pasal ini berupa pencabutan izin.(3) Ketentuan pencabutan izin sebagaimana ayat (2) pasal ini diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Walikota.BAB X
KETENTUAN PIDANAPasal 14
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (2) sampai dengan (7) PeraturanDaerah ini diancam dengan hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/ataudenda setinggi-tingginya Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud ayat 2 pasal ini adalah pelanggaran.BAB XI
KETENTUAN PENUTUPPasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan Peraturan Daerah ini akan diaturdengan Peraturan dan/atau Keputusan Walikota.
Pasal 16Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah inidengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Bekasi.
Ditetapkan di Bekasipada tanggal 22 Nopember 2005
WALIKOTA BEKASITtd/CapAKHMAD ZURFAIHDiundangkan di Bekasipada tanggal 22 Nopember 2005SEKRETARIS DAERAH KOTA BEKASITtd/CapTJANDRA UTAMA EFFENDIPembina Utama MudaNIP. 010 081 186LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI TAHUN 2005 NOMOR 13 SERI E