TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP METODE REASURANSI
Transcript of TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP METODE REASURANSI
ii
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
METODE REASURANSI
TREATY NON PROPORTIONAL EXCESS OF LOSS
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh:
EDVAN NIM : 106046201725
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Hasanuddin, M.Ag Ir. Ela Patriana, MM., AAAIJ
NIP : 196103041955031001 NIP : 196905282008012010
KONSENTRASI ASURANSI SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
v
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, termasuk pencabutan Gelar Akademik.
Jakarta, 22 November 2010
Edvan
iv
ABSTRAK
EDVAN. NIM : 106046201725. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Metode
Reasuransi Treaty Non Proportional Excess of Loss. Skripsi. Konsentrasi Asuransi
Syariah, Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam), Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syariaf Hidayatullah Jakarta, 2010.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menjelaskan bagaimana implementasi program
reasuransi syariah treaty non proportional excess of loss pada PT. XYZ; (2)
Menjelaskan faktor-faktor apa yang membuat perusahaan asuransi syariah memilih
menggunakan metode reasuransi treaty non proportional excess of loss; (3) Menjelaskan
bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty non proportional
excess of loss.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dengan pendekatan
kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan merupakan perpaduan antara penelitian
kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research) yakni penelitian
yang mengumpulkan data-data di lapangan. Teknik pengumpulan data yaitu penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan Data primer yang digunakan adalah data mengenai
metode reasuransi treaty non proportional excess of loss yang didapatkan melalui
wawancara langsung dengan karyawan PT. Reindo Divisi Syariah. Data sekunder
bersumber dari buku-buku, koran, majalah, website, penelitian terdahulu, dan sumber-
sumber tertulis lainnya.
Kesimpulan penelitian ini secara singkat adalah sebagai berikut: (1) Dalam
menjalankan program reasuransi, perusahaan mempunyai kebijakan dalam menyusun
sebuah program reasuransi seperti phase persiapan, negosiasi treaty, administrasi dan
evaluasi. (2) Adapun faktor-faktor yang membuat perusahaan asuransi syariah memilih
metode excess of loss adalah administrasi lebih simple, limit per risk / per event to a
known limit, reinsurance cost lebih murah, asuradur bisa bebas menentukan deductible,
term and conditions lebih luas dan lebih bebas berkreasi dalam produk. (3) Jika ditinjau
dari konsep ekonomi Islam pada prinsip keadilan (al-adl) hal ini tidaklah sesuai karena
pembayaran minimum deposit (premi) yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi
syariah (asuradur) tidak sesuai dengan besaran uang pertanggungan yang akan didapat
oleh asuradur. Di excess of loss cara kerjanya berdasarkan kerugian bukannya risiko.
Besarnya kerugian ini dihitung menggunakan statistic tahun-tahun sebelumnya. Data
statistik ini sebenarnya sangat penting untuk menghindari terjadinya gharar.
.
Kata kunci : Reasuransi Syariah, Excess of Loss, Minimum Deposit.
Pembimbing : 1. Dr. Hasanuddin, M.Ag
2. Ir. Ela Patriana, MM., AAAIJ
Buku Rujukan : Tahun 1997 s.d Tahun 2009.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Azza wa Jalla Yang Maha Kuasa atas segala
sesuatu, yang telah memberikan rahmat, kasih dan sayangnya sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada manusia
agung Nabi besar Muhammad saw. serta keluarga, sahabat dan para penerus
perjuangan dinul Islam. Atas nikmatnya dan karunianya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul.
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP METODE REASURANSI
TREATY NON PROPORTIONAL EXCESS OF LOSS
Skripsi ini pun tak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk membantu penulis
dalam menyelesaikannya. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak berikut :
1) Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
2) Dr. Ibu Euis Amalia, M.Ag, ketua Prodi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum
dan Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H, sekretaris Prodi Muamalat
Fakultas Syariah dan Hukum.
3) Dr. Hasanuddin, M.Ag., dan Ir. Ela Patriana, MM., AAAIJ. Selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktunya, memberikan ilmu pengetahuan,
vii
dan pengalamannya dalam mengarahkan dan membimbing penulis hingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
4) Bapak Fahmi Basyah, ST., AAIK., AIIS., QIP dan Abdul Mulki, SE., ACII.,
AIIS., yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan segala ilmu
pengetahuan, arahan, koreksi, saran, dan pengalamannya, baik terkait pembahasan
dalam skripsi ini maupun tidak, serta telah bersedia memberikan data-data yang
penulis butuhkan, sehingga penelitian ini terselesaikan.
5) Para dosen yang telah mendidik dengan baik hingga penulis dapat menyelesaikan
studi di Program Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah.
6) Kedua Orang tua penulis yang terhormat yaitu Bapak Jos Rosihan Lutfi dan Ibu
Erniyati, terima kasih atas cinta dan kasih sayangnya yang selama ini mengasuh
dan membesarkan dengan penuh kasih sayang, serta mendidik penulis dengan
segala curahan hati dan doa restu yang diberikannya serta segala upaya dan jerih
payahnya penulis dapat menyelesaikan berbagai jenjang pendidikan sehingga
selesainya skripsi ini. Untuk adikku Edo dan Esya Fitri, terima kasih atas doa nya.
7) Seluruh keluarga besar Hj. Kartini (nenek) dan Ibu Maryati (nenek) yang
senantiasa memberikan perhatian penuh kepada penulis baik materil maupun
moril.
8) Temen-temen sekelas, seangkatan dan seperjuangan Asuransi Syariah 2006.
Terutama untuk genk semur (Anita, Jami, Eva, Iis, Dinda, Erfan, Diqin, Pian)
kalian adalah sahabat terbaik gw dan pastinya gw bakal kangen sama kalian
viii
semua. makasih atas bantuan dan dukungannya selama penulis mengerjakan
skripsi ini.
9) Untuk ikhwan-ikhwan At-Tijani dan anak-anak barakhs, terima kasih untuk doa
dan dukungannya.
10) Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dorongan, semangat dan motivasi dalam kehidupan penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Demikianlah, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah
diberikan dan memberkahi hidup kita sehingga dapat memberikan manfaat bagi
kehidupan ini.
Akhir kata, semoga sekecil apapun kebaikan yang telah kita lakukan, akan
menjadi investasi kekal di akhirat nanti. Amiin...
Jakarta, 23 November 2010
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................. iii
ABSTRAK ……………………………………………………………………. iv
LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………….. v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………... vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………….......... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………124
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………..… 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………… 9
D. Review Studi Terdahulu …………………………………….. 11
E. Kerangka Teori dan Kerangka Pemikiran …………………… 13
F. Metodologi Penelitian ………………………………………. 17
G. Sistematika Penulisan ……………………………………….. 21
xii
BAB II TINJAUAN TEORITIS PRINSIP-PRINSIP ASURANSI
SYARIAH DAN REASURANSI SYARIAH
A. Sekilas Tentang Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah …. 24
B. Prinsip-prinsip Asuransi Syariah …………………………….. 26
1. Tauhid (Ketakwaan) ………………………………………. 27
2. Al-‘Adl (sikap adil) ………………………………………... 29
3. At-Ta’awun (Tolong Menolong) ………………………….. 30
4. Al-Amanah (Terpercaya / Jujur) …………………………... 31
5. Larangan Maisir (Judi) ……………………………………. 33
6. Larangan Gharar (Ketidakpastian) ……………………….. 34
7. Larangan Riba …………………………………………….. 36
C. Reasuransi Syariah .………………………………………….. 38
1. Landasan Hukum Reasuransi Syariah …………………..... 38
2. Prinsip Reasuransi ………………………………………… 41
3. Kebutuhan Reasuransi …………………………………….. 50
4. Tujuan dan Fungsi Reasuransi …………………………….. 53
5. Hubungan Antara Peserta, Operator Asuransi Syariah
dan Operator Reasuransi Syariah …………………………. 55
xiii
BAB III TINJAUAN TEORITIS MEKANISME REASURANSI
SYARIAH
A. Metode Reasuransi Syariah
1. Reasuransi Syariah Proportional ………………………… 57
2. Reasuransi Syariah Non Proportional …………………… 58
B. Tipe Reasuransi Syariah …………………………………….. 61
C. Bentuk – Bentuk Reasuransi Syariah ……………………….. 63
D. Kontribusi Reasuransi Syariah ………………………………. 94
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP METODE
REASURANSI TREATY NON PROPORTIONAL EXCESS OF
LOSS
A. Analisis Implementasi Program Reasuransi Syariah
Excess of Loss Pada PT. XYZ ……………………………… 98
1. Phase Persiapan …………………………………………... 99
2. Negosiasi Treaty ………………………………………….. 105
3. Administrasi dan Evaluasi ………………………………... 107
B. Analisis Faktor-faktor yang Membuat Perusahaan Asuransi
Syariah Memilih Menggunakan Metode Reasuransi
Treaty Non Proportional Excess of Loss ………………......... 114
C. Analisis Tinjauan Hukum Islam Terhadap Metode Reasuransi
Treaty Non Proportional Excess of Loss ……………………. 117
xiv
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………. 121
B. Saran ………………………………………………………... 123
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Prinsip Follow The Fortune of Ceding Company …………... 51
Gambar 2.2 Hubungan Antara Peserta, Operator Asuransi Syariah, dan
Operator Reasuransi Syariah ……………………………….. 58
Gambar 3.1 Struktur Retakaful Non Proportional ………………………... 61
Gambar 3.2 Bentuk-bentuk Reasuransi Syariah …………………………... 65
Gambar 3.3 Alokasi risiko antara pool Asuransi Syariah dan pool
Reasuransi Syariah B untuk risiko kendaraan bermotor
dengan harga pertanggungan Rp 500.000.000 ………………. 67
Gambar 3.4 Bagan Aliran Kontribusi untuk risiko kendaraan bermotor
dengan harga pertanggungan Rp 500.000.000 yang di
reasuransi Syariahkan secara fakultatif proportional ………… 68
Gambar 3.5 Alokasi klaim antara Pool Asuransi Syariah dan Pool
Reasuransi Syariah B untuk Kerugian Sebesar
Rp 80.000.000 ……………………………………………….. 71
xvi
Gambar 3.6 Alokasi risiko dengan Treaty Quota Share untuk
portofolio Asuransi kebakaran Pool Asuransi Syariah A ……. 77
Gambar 3.7 Alokasi Risiko dengan Treaty Quota Share untuk beberapa
risiko dengan harga pertanggungan yang berbeda …………… 78
Gambar 3.8 Alokasi Kerugian sebesar Rp 200.000.000 untuk Treaty
Quota Share 60% antara Pool Asuransi Syariah A dan
Pool Reasuransi Syariah B …………………………………... 80
Gambar 3.9 Alokasi risiko dengan Treaty Surplus untuk portofolio
asuransi kebakaran Pool Asuransi Syariah Z dengan
retensi maksimum Rp 200.000.000 dan Limit
Treaty Rp 800.000.000 ………………………………………. 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Asuransi Syariah merupakan salah satu industri syariah yang mengalami
perkembangan yang pesat di Indonesia. Perkembangan industri syariah ini dimulai
sejak tahun 1994, yang dipelopori oleh PT Asuransi Takaful Keluarga. Kendati
demikian, industri asuransi syariah ini baru mengalami peningkatan yang pesat sejak
tahun 2001, yang ditandai dengan lahirnya perusahaan asuransi syariah yaitu PT.
Asuransi Syariah Mubarokah dan PT. MAA Life Assurance, keduanya termasuk jenis
asuransi keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Ahli Manajemen
Asuransi Indonesia (AAMAI), Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Dewan Syari‟ah
Nasional (DSN) jumlah perusahaan yang menyelenggarakan usaha dengan prinsip
syariah mengalami perkembangan seperti terlihat pada tabel dibawah ini1
1 Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, current Issues Lembaga Keuangan Syariah
(Jakarta: Kencana, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, 2006) , h.347.
2
Tabel 1.1
Perkembangan Jumlah Perusahaan Asuransi
yang Menyelenggarakan Usaha dengan Prinsip Syariah
Tahun 2002 - 2009
No Keterangan 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah 2 2 2 2 2 2 2 2
2 Perusahaan Asuransi Kerugian
Syariah
1 1 1 1 1 1 1 1
3 Perusahaan Asuransi Jiwa yang
Memiliki Kantor Unit Syariah
1 2 3 8 9 13 13 17
4 Perusahaan Asuransi Kerugian yang
memiliki Kantor Unit Syariah
1 6 11 13 15 19 19 19
5 Perusahaan reasuransi yang
memiliki Kantor Unit Syariah
- - 1 2 3 3 3 3
Total 5 11 18 26 30 38 38 42
Sumber : Maulan, 2006
Seperti halnya asuransi konvensional, asuransi syariah juga menawarkan
proteksi dari setiap kerugian. Selain itu asuransi syariah juga menawarkan skim
investasi selain fasilitas proteksi. Hanya saja, berbeda dengan asuransi konvensional,
sistem operasional asuransi syariah menggunakan prinsip-prinsip sesuai syariah.
Apabila dilihat dari besaran dana masyarakat yang dihimpun dalam bentuk
premi, besaran aset dan ekuitas, dan bahkan aspek regulasinya sekalipun, sampai saat
ini, industri asuransi syariah jauh tertinggal dibanding perbankan syariah. Kendati
demikian, memandang pertumbuhan industri asuransi syariah dari hari ke hari terus
3
berkembang pesat, bahkan sejumlah asuransi konvensional pun mulai melakukan
konversi ke sistem syariah, bisa dikatakan, prospek dan potensi industri asuransi
syariah untuk ke depannya cukup menjanjikan.2
Salah satu cara yang ditempuh setiap orang ataupun badan usaha untuk
memperkecil risiko yang mereka hadapi adalah dengan membeli polis-polis asuransi,
khususnya mengenai risiko-risiko yang dapat dipertanggungjawabkan. Satu-satunya
cara yang harus ditempuh oleh para penanggung dalam rangka memperkecil risiko
tanggung gugat yang timbul akibat perjanjian pertanggungan yang telah mereka
adakan dengan pihak tertanggung adalah dengan mempertanggungkan ulang/kembali
kepentingan atas kelebihan tanggung gugat yang tidak mungkin mereka tanggung
sendiri.
Dengan demikian, pertanggungan ulang pada kenyataannya mempunyai
peranan yang sangat penting dalam dunia industri asuransi. Peranan dan/atau fungsi
pertanggungan ulang tidak hanya memberikan atau memenuhi kebutuhan akan
proteksi atas tanggung gugat pihak penanggung pertama yang timbul karena
perikatan pertanggungan yang telah mereka adakan dengan pihak tertanggung, tetapi
juga masih memiliki peranan dan / atau fungsi lain yang kalah pentingnya dari
pemberian proteksi.3
2 Reasuransi Syariah. Artikel diakses pada tanggal 11 Februari 2010. Dari
http://www.scribd.com/doc/3957094
3 A.J.Marianto, REASURANSI (Jakarta: Ghalia Indonesia,1997), h.10.
4
Berkembangnya berbagai macam produk asuransi dengan ragam jenis risiko
yang dijamin (yang pada kenyataannya masih tetap berkembang dan ditemukan jenis-
jenis risiko baru hingga saat ini) menyebabkan berkembangnya teknik-teknik
reasuransi untuk mengatasi beban risiko yang berat karena makin majunya ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah dengan makin banyaknya
penemuan produk dengan teknologi yang tinggi dan canggih maka akan ditemukan
pula berbagai macam risiko yang semakin komplek dan rumit serta menyebabkan
tingginya nilai atau harga pertanggungan, yang tidak mungkin diserap seluruhnya
oleh pasaran domestik. Oleh sebab itu, diperlukan teknik-teknik underwriting yang
sehat dan teknik reasuransi yang makin baik serta memadai.4
Fenomena dan kondisi perkembangan perasuransian syariah di Indonesia
tersebut yang menjadi faktor pemicu dan pendorong PT Reasuransi Internasional
Indonesia atau lebih dikenal dengan Reindo memelopori industri reasuransi syariah di
Indonesia, dengan menempatkan reasuransi syariah ini sebagai salah satu divisi yang
dinamakan Divisi Khusus Syariah, yang selanjutnya menggunakan nama PT. Reindo
Syariah Unit (2004). Kebijakan dan strategi ini menjadi lokomotif terhadap
mobilisasi dan pergerakan beberapa perusahaan lain untuk menjadi perusahaan
4A.J.Marianto, REASURANSI, Ibid., h.11.
5
reasuransi syariah, seperti: PT. Reasuransi Nasional Indonesia (2005), PT. Maskapai
Reasuransi Indonesia, serta Tbk (Marein) (2006).5
Faktor lain secara makro yang juga menjadi pemicu pertumbuhan industri
asuransi syariah adalah dicabutnya fatwa darurat reasuransi konvensional. Hal ini
berarti bahwa seluruh produk asuransi yang masih berbasis bunga (seperti yang
ditawarkan oleh reasuransi konvensional) menjadi terlarang. Sehingga industri
asuransi syariah hanya diperkenankan memperoleh dukungan kapasitas atas risiko-
risiko yang melebihi kemampuannya hanya dari reasuransi yang berbasis syariah
juga.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa perusahaan asuransi syariah diwajibkan
hanya menggunakan reasuransi syariah untuk memenuhi tambahan kapasitasnya itu.
Sehingga dicabutnya status darurat bagi fatwa darurat reasuransi konvensional, maka
keberadaan dan ketersediaan, serta eksistensi perusahaan reasuransi menjadi penting
kiranya bagi perkembangan industri asuransi di Indonesia.
Reasuransi syariah merupakan pengembangan dari industri asuransi syariah
yang memiliki tujuan yang sama dengan asuransi syariah, yaitu untuk menciptaan
kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak yang terlibat, dimana satu
pihak bertindak sebagai penanggung beban kerugian (insurer) yang memungkinkan
akan menimpa pihak yang tertanggung (insured/policy holder). Pihak insurer dalam
konteks asuransi syariah adalah perusahaan asuransi syariah itu sendiri, sedangkan
5 Hendroyono, Property and Pocuniary Insurance (AAMAI 220, 2005), Chapter 5, h.22
6
pihak insured adalah individu pemegang polis. Dalam konteks reasuransi syariah,
pihak insurer dalam konteks reasuransi syariah adalah perusahaan reasuransi syariah,
sedangkan pihak insured adalah perusahaan asuransi syariah.
Berbicara tentang reasuransi ada metode dan tipe-tipe reasuransi, harus di
bedakan arti antara istilah metode reasuransi dan tipe reasuransi untuk menghindari
kerancuan dan kesalahpahaman. “Metode reasuransi” hendaknya diartikan sebagai
cara bagaimana para pelaku pasar reasuransi itu melakukan kerja sama reasuransi,
sedang “tipe reasuransi” hendaknya kita artikan sebagai bentuk pelaksanaan dari cara
melakukan transaksi reasuransi. Dalam reasuransi syariah ada dua metode inti, yaitu
proporsional (membagi risiko atau partisipasi risiko secara pro rata) dan non-
proporsional (excess of loss).6
Sebagaimana telah disebut di atas, salah satu kategori metode reasuransi
adalah metode reasuransi non proportional. Adapun yang dimaksud dengan metode
reasuransi non proportional adalah suatu perjanjian reasuransi yang menetapkan
bahwa para penanggung ulang dengan menerima sejumlah premi yang telah
disepakati bersama beredia membayar kepada penanggung pertama semua kerugian
yang melampaui limit retensi (underlying net retention) sampai pada batas jumlah
atau persentase tertentu yang terjadi karena peristiwa-peristiwa yang diperjanjikan
bersama.
6 A.J.Marianto, REASURANSI, ibid., h.56
7
Menurut teori maupun praktek, dalam kategori metode reasuransi non
proportional terdapat metode reasuransi treaty excess of loss. Disebut non
proportional treaty excess of loss karena jumlah risiko tidak sebanding / tidak
membagi proporsi setiap kerugian (klaim) dengan premi dan liability, dalam suatu
perbandingan yang tetap, oleh sebab itu sistem ini disebut sistem excess of loss,
karena reasuradur hanya bertanggung jawab atas kerugian untuk limit setelah retensi
dari ceding company.7 Pada umumnya ceding company diwajibkan membayar premi
muka (premi minimum) kepada reinsurer, yaitu sejumlah premi yang perhitungannya
didasarkan atas perkiraan penghasilan premi bersih yang diterima oleh ceding
company dalam jangka waktu tertentu. Misalkan operator asuransi syariah telah
menentukan retensi sendiri dalam skema yang dikelolanya sebesar: Rp 100.000.000.
Kemudian untuk selanjutnya proteksi excess of loss untuk nilai sebesar
Rp250.000.000 di atas retensinya. Dalam bahasa reasuransi hal ini diungkapkan
dengan Rp 250.000.000 in excess of Rp 100.000.000. Dengan contoh tersebut, dalam
hal terjadi suatu kerugian sebesar Rp 350.000.000, maka yang menjadi tanggung
jawab reasuransi adalah sebesar Rp 250.000.000. Apabila terjadi suatu kerugian yang
menjadi beban penanggung semula hanya sebesar lebih kecil atau sama dengan
Rp100.000.000, maka penanggung ulang bebas dari tuntutan ganti kerugian.
Dalam hal ini akan terjadi ketidakadilan antara pihak asuransi dan reasuransi.
Dengan diwajibkan membayar premi muka (premi minimum) kepada reinsurer ini
7 Hendroyono, Property and Pocuniary, h.48
8
juga akan mengandung unsur ketidakpastian (gharar). Karena tertanggung dan
penanggung sama-sama tidak mengetahui kapan klaim terjadi. Walaupun penanggung
memiliki pengalaman dalam menangani kerugian dengan menggunakan metode
statistik sebagai pegangan yang dapat membantu untuk memperkirakan kerugian-
kerugian berikut besarnya, namun tetap tidak ada kepastian apa yang nanti akan
terjadi. Oleh karena itu apakah metode reasuransi treaty excess of loss sesuai
diterapkan di asuransi syariah?
Berdasarkan uraian di atas , penulis tertarik untuk mengangkat pembahasan
mengenai “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Metode Reasuransi Treaty Non
Proportional Excess Of Loss“ sebagai judul skripsi.
9
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka pembahasan
permasalahan penelitian ini, penulis hanya membatasi pada metode reasuransi treaty
excess of loss untuk asuransi kerugian. Untuk lebih memperjelas fokus dalam
penelitian ini, akan dirumuskan beberapa pertanyaan berikut ini :
1. Bagaimana implementasi program reasuransi syariah treaty non proportional
excess of loss pada PT. XYZ?
2. Faktor-faktor apa yang membuat perusahaan asuransi syariah memilih
menggunakan metode reasuransi treaty non proportional excess of loss?
3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty non
proportional excess of loss?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan Bagaimana implementasi program reasuransi syariah treaty non
proportional excess of loss pada PT. XYZ.
2. Menjelaskan faktor-faktor apa yang membuat perusahaan asuransi syariah
memilih menggunakan metode reasuransi treaty non proportional excess of loss.
10
3. Menjelaskan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty
non proportional excess of loss.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis pada khususnya dapat menambah wawasan pengetahuan dan
mengembangkan pikiran yang berupa gagasan atau pendapat yang diturunkan
melalui laporan ini dan bagi mahasiswa program studi muamalat pada umumnya
diharapkan dapat memperoleh pengetahuan yang lebih dalam khususnya
mengenai metode reasuransi treaty excess of loss.
2. Untuk mahasiswa dan mahasiswi khususnya program studi asuransi syariah
dengan adanya skripsi ini dapat menjadi referensi di dalam memahami tentang
metode reasuransi treaty excess of loss.
3. Bagi program studi, diharapkan mampu memperluas informasi dalam rangka
menambah dan meningkatkan khasanah pengetahuan, khususnya dibidang
reasuransi syariah.
4. Bagi masyarakat, diharapkan menambah pengetahuan tentang reasuransi syariah
khususnya metode reasuransi treaty excess of loss.
11
D. Review Studi Terdahulu
Setelah membuka daftar skripsi tahun sebelumnya, maka dapat disimpulkan
bahwa belum banyak skripsi yang membahas mengenai metode reasuransi treaty
excess of loss. Namun, ada beberapa skripsi yang membahas mengenai reasuransi,
adapun skripsi tersebut adalah :
1. Euis Rohilah.S,2004 dengan judul skripsi “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Reasuransi Perusahaan Asuransi Syariah (Studi Kasus pada PT. Asuransi Takaful
Keluarga)”. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa system reasuransi yang
digunakan oleh asuransi Takaful Keluarga masih sama dengan system reasuransi
yang dilakukan oleh perusahaan asuransi konvensional. Hal ini dikarenakan
perusahaan asuransi Takaful Keluarga mereasuransikan ke perusahaan Reindo
yang tidak berlandaskan prinsip syariah, sehingga segala kebijakan yang
diterapkan oleh Reindo kepada asuransi Takaful Keluarga menggunakan system
konvensional, mulai dari akad sampai dengan pembagian keuntungan.
Perbedaannya dengan skripsi yang akan dilakukan oleh penulis adalah penulis
meneliti tentang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi
treaty excess of loss.
2. Triyono Utomo dan Praptono Djunedi, 2005 dengan judul penelitian “Analisis
Beberapa Metode Reasuransi (Studi Kasus Pada Asuransi PT. XYZ). Dapat
disimpulkan Metode excess of loss digunakan untuk jenis asuransi kendaraan
bermotor, pengangkutan, rekayasa, aneka, dan rangka kapal. Metode excess of
12
loss memberikan proteksi kepada perusahaan dari klaim-klaim dengan jumlah
yang besar, sehingga metode ini tepat untuk diterapkan pada jenis asuransi yang
mempunyai jumlah pertanggungan yang besar, seperti pengangkutan dan rangka
kapal. Untuk asuransi pengangkutan, metode ini sudah tepat, namun untuk jenis
asuransi kendaraan bermotor, rekayasa, dan aneka, penggunaan metode ini kurang
tepat. Untuk jenis asuransi rangka kapal yang pada umumnya nilai
pertanggungannya besar, penerapan metode ini juga kurang tepat, karena
perusahaan hanya menggunakan dua layer dan masing-masing nilainya relatif
kecil. Perbedaannya dengan skripsi yang akan dilakukan oleh penulis adalah
penulis meneliti tentang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode
reasuransi treaty excess of loss.
3. Eki Alfiani., 2006 dengan judul skripsi “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek
Reasuransi pada PT. Tripakarta cabang Syariah”. Dapat disimpulkan bahwa
skripsi tersebut hanya membahas mengenai praktek reasuransi yang dilakukan
oleh PT. Tripakarta Cabang Syariah menurut penulis sudah sejalan dengan hokum
Islam karena PT. Tripakarta Cabang Syariah sudah mereasuransikan
perusahaannya ke perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah.
Perbedaannya dengan skripsi yang akan dilakukan oleh penulis adalah penulis
meneliti tentang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi
treaty excess of loss.
13
E. Kerangka Teori dan Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teori
Secara harfiah dan / atau pengertian yang sederhana, reasuransi dapat
diartikan sebagai pertanggungan (asuransi) yang dipertanggungkan ulang atau
kembali kepada penanggung lain yang selanjutnya disebut sebagai penanggung ulang
(reasuradur). Dari pengertian ini timbullah istilah perusahaan pemberi sesi (ceding
company) dan penanggung ulang (Reinsurer). Pengertian semacam ini tersimpul
dalam KUHD Pasal 271 yang berbunyi, “Si penanggung selamanya berkuasa untuk
sekali lagi mempertanggungkan apa yang telah ditanggung olehnya”.
Pengertian reasuransi sebagaimana tersimpul dalam KUHD Pasal 271 tersebut
tampak sejiwa dan seirama dengan yang dikemukakan oleh pakar reasuransi Robert I
Mehr dan E. Cammack dalam buku yang berjudul Principles of Insurance yang
menyatakan : “Reinsurance is the insurance of insurance” (Ref. page no. 723), artinya
reasuransi adalah asuransi dari asuransi atau “asuransinya asuransi”.
Dengan kata lain, sesuai dengan atau berdasarkan prinsip kepentingan yang
dapat dipertanggungkan, perusahaan asuransi yang telah menutup suatu
pertanggungan atas risiko atau risiko-risiko di suatu daerah tertentu dapat
mempertanggungkan kembali kelebihan tanggung gugat (excess liability) yang
melampaui daya tampungnya sendiri (own retention) kepada penanggung lain.
14
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa reasuransi mempunyai
peranan yang sangat penting dalam industri asuransi. Karena telah kita ketahui
bersama bahwa salah satu tujuan daripada asuransi adalah penyebaran risiko. Dengan
penyebaran risiko ini maka seseorang akan merasa aman, karena mereka akan
mengetahui bahwa sebenarnya akan terjadi musibah atas diri mereka atau
perusahaannya yang bias mengakibatkan kerusakan / kerugian maka mereka akan
mendapatkan ganti rugi atas kejadian tersebut.
Dalam hal yang sama, maka perusahaan asuransipun memerlukan proteksi
atas tanggung jawab yang dipikulnya dari kemungkinan kerugian keuangan yang
mungkin akan mempengaruhi kelangsungan hidup atas perusahaan yang
bersangkutan.
Dengan mengasuransikan kembali perusahaan asuransi akan lebih stabil lebih
aman, kapasitasnya bertambah, mempunyai financial back up dan memungkinkan
untuk lebih berkembang berkat informasi serta dukungan dari pihak lain yang
mempunyai reputasi internasional.
Dalam reasuransi kita mengenal beberapa metode reasuransi diantaranya yang
paling banyak digunakan perusahaan-perusahaan asuransi adalah metode reasuransi
secara fakultatif dan metode reasuransi secara kontrak (treaty).
Metode reasuransi secara fakultatif adalah suatu penempatan reasuansi secara
bebas, dimana ceding bebas untuk menawarkan atau tidak menawarkan, dan reinsurer
bebas untuk menerima atau menolak resiko yang ditawarkan.
15
Sedangkan metode reasuransi secara kontrak (treaty) adalah perjanjian antara
pihak penanggung pertama dan para penaggung lain atau para penanggung ulang
professional yang dalam perjanjian tersebut pihak penanggung pertama, yang
selanjutnya disebut pemberi sesi (ceding company), setuju memberikan bagian
(share) dan para penanggung ulang, yang selanjutnya disebut pihak kedua, setuju dan
wajib menerima bagian atau sesi dari tanggung jawab atas asuransi yang telah ditutup
oleh penanggung pertama sesuai dengan pembagian yang telah disepakati oleh
masing-masing penanggung ulang sampai dengan batas-batas tanggung gugat/jawab
tertinggi adri tiap kelas resiko berdasarkan persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang
disebutkan dalam kontrak reasuransi.
Metode treaty dibagi lagi menjadi metode proportional dan non proportional.
Bentuk reasuransi proportional ini adalah, masing-masing menanggung risiko
menurut persentase yang tetap yang telah ditentukan dalam kontrak reasuransi.
bilamana terjadi klaim, maka masing-masing pihak menaggung sesuai dengan
persentase yang telah ditetapkan. Sedangkan non proportional jumlah resiko tidak
sebanding / tidak membagi proporsi setiap kerugian dengan premi dan liability, dalam
suatu perbandingan yang tetap, oleh sebab itu sistem ini disebut system excess of
loss, karena reasuradur hanya bertanggung jawab atas kerugian untuk limit setelah
retensi dari ceding.
16
2. Kerangka Pemikiran
Reasuransi
Facultative
Treaty
Proportional
Non Proportional
Proportional
Non
proportio
nal
Risk XOL
Cat XOL
Stop Loss
17
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif, yaitu jenis pendekatan yang berdasarkan kata-kata atau berdasarkan tata
cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh
narasumber secara lisan.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Jenis penelitian ini dirancang untuk mengumpulkan informasi, tentang
keadaan-keadaan nyata sekarang. Tujuan dari menggunakan jenis penelitian
deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara
berjalan pada saat penelitian dilakukan. Jenis penelitian deskriptif adalah sebagai
kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menjawab pertanyaan
yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu
penelitian. Dari penjelasan di atas maka penelitian yang dilakukan oleh penulis
termasuk jenis penelitian deskriptif karena penulis menentukan dan melaporkan
keadaan sekarang yang sedang terjadi dengan mengumpulkan, menyusun, dan
mendeskripsikan berbagai dokumen, data, dan informasi yang aktual, yang
bertujuan untuk menjelaskan permasalahan sampai menemukan jawaban yang
diharapkan.
18
3. Jenis Data dan Sumber Data
a. Jenis Data
Data ini bersifat kualitatif. Data kualitatif ini didasarkan pada isi atau
mutu suatu fakta, seperti data-data yang berdasarkan buku-buku, majalah, Koran
serta artikel yang yang dikumpulkan penulis yang berhubungan dengan masalah
yang terkait pada pembahasan skripsi ini yang kemudian di analisa supaya bisa
menjawab permasalahan yang ada.
b. Sumber Data
1) Data Primer, yaitu data mengenai metode reasuransi treaty excess of loss yang
didapatkan melalui wawancara langsung dengan karyawan PT. ReIndo
Syariah.
2) Data Sekunder, yaitu data yang bersumber dari buku-buku, koran, majalah,
website, penelitian terdahulu, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang
mengandung informasi yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan metode sebagai berikut :
a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penulis mengadakan
penelitian terhadap literatur-literatur yang brkaitan dengan penelitian skripsi
19
ini, berupa skripsi terdahulu, buku-buku, majalah, surat kabar, artikel, buletin,
brosur, internet dan sebagainya.
b. Penelitian lapangan (field research), yakni penulis mengumpulkan data secara
langsung ke tempat objek penelitian. Teknik pengumpulan data dengan
melalui dua cara , yaitu :
1) Wawancara (interview), yaitu penulis menggunakan wawancara untuk
memperoleh informasi berkenaan dengan hal-hal dan data-data tentang
metode reasuransi treaty excess of loss pada karyawan PT. ReIndo
Syariah, khususnya pihak yang dianggap paling berkompeten dan
representative dengan masalah terebut.
2) Observasi, yaitu dengan observasi ke perusahaan Asuransi Syariah dan
perusahaan Reasuransi Syariah untuk mendapatkan data yang sesuai
bagi penelitian ini.
5. Teknik Analisis Data
a. Content analisis (riset dokumentasi), karena pengumpulan data dan informasi
akan dilakukan melalui pengujian arsip dan dokumen.
b. Deskriptif analisis, yaitu data dikerjakan, dideskripsikan dan dianalisis
sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang
20
dapat digunakan untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian
yaitu :
1. Bagaimana implementasi program reasuransi syariah treaty non
proportional excess of loss pada PT. XYZ?
2. Faktor-faktor apa yang membuat perusahaan asuransi syariah memilih
menggunakan metode reasuransi treaty non proportional excess of loss?
3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty non
proportional excess of loss?
6. Pedoman Penulisan Laporan
Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2007.
21
G. Sistematika Penulisan
Penulis membagi penulisan skripsi ini menjadi ke dalam 5 (lima) bab dan
terdiri atas beberapa sub bab. Susunan Bab tersebut secara sistematis adalah
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang penulis mengangkat tema yang
akan dibahas dalam skripsi, perumusan masalah dan pembatasan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
teori dan kerangka pemikiran, dan metode penelitian serta sistematika
penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS ASURANSI SYARIAH
Tinjauan teoritis ini memuat deskripsi mengenai teori – teori yang
digunakan dalam proses penelitian dan pembahasan. Dalam hal ini,
teori – teori yang diuraikan antara lain prinsip-prinsip asuransi syariah
dalam bermuamalah, serta pengertian reasuransi syariah, landasan
hukum reasuransi syariah, prinsip reasuransi syariah, kebutuhan
reasuransi syariah, tujuan dan fungsi reasuransi syariah, dan hubungan
antara peserta, operator asuransi syariah dan operator reasuransi
syariah.
22
BAB III TINJAUAN TEORITIS MEKANISME REASURANSI
SYARIAH
Tinjauan teoritis ini memuat deskripsi mengenai teori-teori yang
digunakan dalam proses penelitian dan pembahasan. Dalam hal ini,
teori-teori yang diuraikan antara lain metode reasuransi syariah
proporsional, tipe-tipe reasuransi syariah, bentuk reasuransi syariah,
pengertian metode reasuransi treaty non proportional excess of loss,
manfaat dan tujuan metode reasuransi treaty non proportional excess
of loss, jenis-jenis metode reasuransi treaty non proportional excess of
loss.
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP METODE
REASURANSI TREATY EXCESS OF LOSS
Dalam bab ini akan membahas mengenai implementasi program
reasuransi syariah treaty non proportional excess of loss pada PT.
XYZ, menjelaskan faktor-faktor apa yang membuat perusahaan
asuransi syariah memilih menggunakan metode reasuransi treaty non
proportional excess of loss, dan bagaimana tinjauan hukum Islam
terhadap metode reasuransi treaty non proportional excess of loss.
23
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran atas penelitian yang dilakukan
oleh penulis.
24
BAB II
TINJAUAN TEORITIS PRINSIP-PRINSIP
ASURANSI SYARIAH DAN REASURANSI SYARIAH
A. Sekilas tentang Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
1. Pengertian Asuransi Syariah
Kata asuransi menurut Yafie dan Simanjutak (Sula, 2004) berasal dari bahasa
belanda, yang dalam hukum Belanda disebut Verzekering yang artinya
pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi
penanggung dan geassureerdee bagi tertanggung.
Sedangkan definisi Asuransi Syariah diberikan oleh Zarqa adalah “cara atau
metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya
yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan hidupnya atau
dalam aktivitas ekonominya.”8
AAOIFI No. 12 (Karim, 2005) memberikan definisi Asuransi Syariah sebagai
berikut “Islamic Insurance is a system through which the participants donate part or
all of their contributions which are used to pay claims for damages suffered by some
of the participants.”9
8 M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional,
(Jakarta: Gema Insani), 2004, Cet. I, h. 26 dan 29
9 Adiwarman Karim, Dasar-Dasar Fiqh Asuransi Dan Reasuransii Syariah, (Jakarta:
Program Pendidikan dan Pelatihan Lembaga Keuangan Syariah),2005
25
Dari definisi AAOIFI tersebut dapat disimpulkan bahwa Asuransi Syariah
adalah sebuah sistem dimana peserta mendonasikan sebagian kontribusinya untuk
digunakan membayar klaim atas musibah yang diderita oleh peserta lainnya.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam Fatwa
No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah mendefinisikan
Asuransi Syariah sebagai “usaha saling melindungi dan saling menolong atas dasar
ukhuwah islamiyah antara anggota sesama peserta Asuransi Syariah dalam
menghadapi resiko.”
2. Pegertian Reasuransi Syariah
Menurut Arbouna (1990) sebagaimana dikutip oleh Ma‟sum Billah dalam
tulisannya ”Retakaful (Islamic Reinsurance) Paradigm”, Retakaful adalah: “Retakaful
is a form of insurance whereby the takaful operators pays an agreed upon premium
from the takaful fund to the reinsurance company or retakaful operator and in return
the reinsurance company or retakaful operator will provides security for the risk
reinsured”.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwasanya Retakaful merupakan
bentuk asuransi dimana Operator Takaful (Asuransi Syariah) membayar premi yang
disepakati dari dana takaful kepada perusahaan Reasuransi (konvensional:red) atau
Operator Retakaful dan sebagai timbal baliknya perusahaan Reasuransi atau Operator
Retakaful akan membayar sejumlah uang bila terjadi kerugian.
26
Reasuransi syariah bisa diartikan juga sebagai suatu proses saling
menanggung antara pemberi sesi (ceding company) dengan penanggung ulang
(reasuradur), dimana ada proses suka sama suka (saling menyepakati) risiko dan
persyaratannya yang ditetapkan dalam akad. Dalam operasionalnya, menggunakan
prinsip-prinsip syariah, terbebas dari praktek gharar, maisir, dan riba.
B. Prinsip-prinsip Asuransi Syariah
Sebuah bangunan hukum akan tegak secara kokoh, jika dan hanya jika di
bangun atas pondasi dan dasar yang kuat. Ibarat sebuah rumah, jika dibangun dengan
pondasi yang rapuh maka cepat ataupun lambat rumah itu akan mengalami
kehancuran dan roboh diterpa badai. Sebaliknya, bangunan rumah yang didasari
dengan pondasi yang kuat akan menghasilkan sebuah rumah yang kokoh dan tahan
terhadap badai.
Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh berbeda dengan
prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomika islami secara komprehensif dan
bersifat major. Hal ini disebabkan karena kajian asuransi syariah merupakan turunan
dari konsep ekonomika islami. Biasanya literatur ekonomika islami selalu melakukan
penurunan nilai pada tataran konsep atau institusi yang ada dalam lingkup kajiannya,
seperti lembaga perbankan dan asuransi. Begitu juga dengan asuransi, harus dibangun
di atas fondasi dan prinsip dasar yang kuat serta kokoh.
27
1. Tauhid (Ketakwaan)
Jika kita mencermati ayat-ayat Al-Qur‟an tentang muamalah, maka akan
terlihat dengan jelas bahwa Allah selalu menyeru kepada umat-Nya agar muamalah
yang dilakukan membawanya kepada ketakwaaan kepada Allah. Hal ini misalnya
dapat dilihat dalam beberapa ayat berikut ini.
Artinya:“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian
Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Al-Munafiquun :9)
Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam salah satu kitabnya Daurul qiyam wal akhlaq
fil Iqtishadil Islami mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiah,
karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah, dan cara-caranya
tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Kegiatan ekonomi baik produksi, konsumsi,
penukaran, maupun distribusi, diikatkan pada prinsip Ilahiah dan pada tujuan Ilahi.10
Allah meletakkan prinsip Tauhid (ketakwaan) sebagai prinsip utama dalam
muamalah. Oleh karena itu, segala aktivitas dalam muamalah harus senantiasa
mengarahkan para pelakunya dalam rangka untuk meningkatkan ketakwaaan pada
10 Muhammad Yusuf al-Qaradhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishodil Islami (Peran Nilai
dan Moral dalam Perekonomian Islam), Rabbani Press, Jakarta (terj.), hlm. 25-26
28
Allah. Inilah bagian dari hikmah mengapa dalam konsep muamalah yang Islami
diharamkan beberapa hal berikut.11
1. Diharamkan muamalah yang mengandung maksiat kepada Allah. Sehingga
yang dihasilkan dari perbuatan maksiat pun diharamkan.
2. Diharamkan memperjualbelikan barang-barang yang diharamkan, baik barang
yang haram dikonsumsi (seperti:khamar dan babi), maupun haram untuk
dibuat dan diperlakukan secara tidak proporsional (misalnya patung-patung).
3. Diharamkan berbuat kecurangan, penipuan, dan kebohongan dalam
muamalah. Kecurangan dalam timbangan, kebohongan dalam jual beli yang
kadang-kadang disertai dengan sumpah palsu, penipuan dan manipulasi data
maupun rekayasa laporan keuangan dalam suatu perusahaan merupakan
keniscayaan dan perbuatan haram dalam praktik muamalah yang Islami.
4. Diharamkan mempertuhankan harta. Korupsi, kolusi, nepotisme adalah buah
dari sikap manusia yang mempertuhankan harta dan jabatan. Sikap
mempertuhankan harta akan berakibat menghalalkan segala cara untuk
memperolehnya. Dan sikap ini juga akan menjadikan manusia (bias semena-
mena mengambil hak orang lain secara tidak sah).
11 M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional,
ibid., h. 725-726
29
2. Al – ‘Adl (Sikap Adil)
Prinsip kedua dalam muamalah adalah al-„Adl „sikap adil‟.cukuplah bagi kita
bahwa Al-qur‟an telah menjadikan tujuan semua risalah langit adalah melaksanakan
keadilan. Implementasi sikap adil dalam bisnis merupakan hal yang sangat berat baik
dalam industri perbankan, asuransi, maupun dalam bentuk-bentuk muamalah lainnya.
Mungkin karena itulah, maka Allah demikian sering menekankan sikap adil ini ketika
berbicara muamalah, demikian pula dalam hadits-hadits Nabi. Allah berfirman,
Artinya :“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS. An-Nahl : 90)
Keadilan dalam asuransi dan reasuransi dipahami sebagai upaya dalam
menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi
atau asuradur dan reasuradur. Sikap adil dibutuhkan ketika menentukan nisbah
mudharabah, musyarakah, wakalah, wadiah, dan sebagainya, dalam bank syariah.
Sikap adil juga diperlukan ketika asuransi syariah menentukan bagi hasil dalam
surplus underwriting, dan bagi hasil investasi antara perusahaan dan peserta. Karena
itulah, transparansi dalam perbankan dan asuransi syariah menjadi sangat penting.
30
Pertama, nasabah asuransi harus memosisikan pada kondisi yang mewajibkan
untuk selalu membayar iuran uang santunan (premi) dalam jumlah tertentu kepada
perusahaan asuransi dan mempunyai hak untuk mendapatkan sejumlah dana santunan
jika terjadi peristiwa kerugian. Kedua, perusahaan asuransi yang berfungsi sebagai
lembaga pengelola dana mempunyai kewajiban membayar klaim (dana santunan)
kepada nasabah
Di sisi lain, keuntungan (profit) yang dihasilkan oleh perusahaan asuransi dari
hasil investasi dana nasabah harus dibagi sesuai dengan akad yang disepakati sejak
awal. Jika nisbah disepakati antara kedua belah pihak 40:60, maka realita pembagian
keuntungan juga harus mengacu pada ketentuan tersebut.12
3. A t - Ta’awun (Tolong-Menolong)
Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus
didasari dengan semangat tolong-menolong (ta‟awun) antara anggota (nasabah).
Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk
membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan
musibah atau kerugian.
12 A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta : Prenada Nedia, 2004), Edisi I, h. 127
31
Dalam hal ini, Allah SWT. Telah menegaskan dalam firmannya
Artinya: “tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya.”(QS. Al-Maidah:2).
4. Al-Amanah (Terpercaya / Jujur)
Al-Qaradhawi mengatakan bahwa di antara nilai transaksi yang terpenting
dalam bisnis adalah al-Amanah „kejujuran‟. Ia merupakan puncak moralitas iman dan
karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang yang beriman. Bahkan kejujuran
merupakan karakteristik para Nabi. Tanpa kejujuran, kehidupan agama tidak akan
berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan baik.
Al-Qur‟an memerintahkan pada manusia untuk jujur, tulus/ikhlas, dan benar
dalam semua perjalanan hidupnya, dan ini sangat dituntut dalam bidang bisnis. Pada
saat penipuan dan tipu daya dikutuk dan dilarang, bahkan hamper mendekati titik
nadir, kejujuran bukan hanya diperintahkan. Ia dinyatakan sebagai keharusan yang
mutlak dan absolut.
32
Sikap jujur akan terlihat dalam kemampuan dalam menjalankan amanah-
amanah yang diberikan. Orang yang jujur sudah pasti amanah dalam setiap
kepercayaan yang diberikan kepadanya.13
Firman Allah SWT,
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-
amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.” (Q.S.
Al-Anfaal:27)
Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai
akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan
tiap periode. Dalam hal ini perusahaan harus member kesempatan yang besar bagi
nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang
dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan
keadilan dalam bermuamalah dan melalui auditor public.
Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi dan reasuransi.
Seseorang yang menjadi nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi
yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan tidak memanipulasi
kerugian (peril) yang menimpa dirinya. Jika seorang nasabah tidak memberikan
13 M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional., h.
739
33
informasi yang benar dan memanipulasi data kerugian yang menimpa dirinya, berarti
nasabah tersebut telah menyalahi prinsip amanah dan dapat dituntut secara hukum.14
5. Larangan Maisir (Judi)
Allah SWT. telah member penegasan terhadap keharaman melakukan
aktivitas ekonomi yang mempunyai unsure maisir (judi):
Firman Allah dalam QS al-Maidah :90
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan.”
Zarqa mengatakan bahwa adanya unsure gharar menimbulkan al-qumar.
Sedangkan al-qumar sama dengan al-maisir, gambling, dan perjudian. Artinya, ada
salah satu pihak yang untung tetapi ada pula pihak lain yang rugi. Husain ahmid
Hasan berkomentar mengenai akad judi. Menurutnya akad judi adalah akad gharar,
karena masing-masing pihak yang berjudi dan bertaruh menentukan pada waktu akad
jumlah uang yang diambil atau jumlah yang ia berikan itu bias ditentukan nanti,
tergantung pada suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu jika menang maka ia
mengetahui jumlah yang diambil, dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang ia
berikan.
14 A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis, dan Praktis, ibid., h. 130
34
Syafi‟i Antonio mengatakan bahwa unsure maisir judi artinya adanya salah
satu pihak yang untung namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini
tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan
kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga maka yang
bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali
sebagian kecil saja. Juga adanya unsure keuntungan yang dipengaruhi oleh
pengalaman underwriting, di mana untung-rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan.
6. Larangan Gharar (Ketidakpastian)
Gharar dalam pengertian bahasa adalah al-khida‟ (penipuan), yaitu suatu
tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsure kerelaan. Wahbah al-
Zuhaili member pengertian tentang gharar sebagai al-khatar dan al-taghrir, yang
artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang
tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian. Oleh karena
itu dikatakan: al-dunya mata‟ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang
menipu.15
Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak (misalnya: peserta asuransi,
pemegang polis dan perusahaan) saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi,
kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya.
Ini adalah salah satu kontrak yang dibuat berdasarkan pengandaian (ihtimal) semata.
15 A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis, dan Praktis, ibid h. 134 - 135
35
Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga
kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan
gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang begitu hebat dalam menjamin
keadilan.
Jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi secara zatnya tetap
termasuk dalam kategori bay‟ al-gharar yang diharamkan. Walaupun nisbah /
persentase atau kadar bayar telah ditentukan agar peserta asuransi / pemegang polis
maklum, ia tetap juga tidak tahu, kapankah musibah akan terjadi? Di sinilah gharar
terjadi.
Selanjutnya pada bagian manakah gharar „ketidakpastian‟ terjadi pada
asuransi konvensional yang kita kenal selama ini? H.M. Syafi‟i Antonio pakar
ekonomi syariah menjelaskan bahwa gharar atau ketidakpastian dalam asuransi
konvensional ada dua bentuk.
1. Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis.
2. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar‟I penerimaan uang klaim
itu sendiri.
Secara konvensional, kata Syafi‟i, kontrak / perjanjian dalam asuransi jiwa
dapat dikategorikan sebagai aqad tabaduli atau akad pertukaran, yaitu pertukaran
pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara syariah, dalam akad
pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Keadaan ini
akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah
uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan (jumlah sseluruh
36
premi) karena hanya Allah SWT. yang tahu kapan seseorang akan meninggal.
Disinilah gharar terjadi pada asuransi konvensional.16
7. Larangan Riba
Dalam setiap transaksi, seorang muslim dilarang memperkaya diri dengan
cara yang tidak dibenarkan:
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”
Ada beberapa bagian dalam al-Qur‟an yang melarang pengayaan diri dengan
cara yang tidak dibenarkan. Islam menghalalkan perniagaan dan melarang riba.
Artinya : “Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(QS. Al-
Baqarah : 275)
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,
secara linguistic riba berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan untuk istilah teknis
riba berarti pengambilan penambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalahh pengambilan tambahan baik dalam
16 M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional,
ibid., h. 47-48
37
transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan
prinsip muamalah dalam Islam.17
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa pengertian riba dari sisi syara‟ ialah
penambahan dalam perkara-perkara tertentu. Definisi ini merupakan definisi ulama
mazhab Hambali. Kitab al-Kanz (mahzab Hanafi) mendefinisikan riba sebagai
“kelebihan suatu harta tanpa penggantian di dalam suatu kontrak pertuakaran harta
dengan harta”. Maksudnya ialah kelebihan harta walaupun kelebihan itu dalam
bentuk hukum saja.
Lebih lanjut az-Zuhaili mengatakan, ada dua jenis riba yang diharamkan
dalam Islam. Pertama, riba an-nasi‟ah yang satu-satunya diketahui oleh orang Arab
Jahiliah. Yaitu, riba yang diambil karena si peminjam yang tidak mampu membayar
utangnya yang telah jatuh tempo, kemudian ditetapkan tempo baru, tidak terkecuali
apakah utang tersebut berupa harga barang yang dijual ataupun utang uang (qard).
Kedua, riba al-fadl yaitu jual beli yang terdapat dalam enam jenis, yaitu emas, perak,
gandum, syair (sejenis gandum) garam, dan buah tamar. Riba ini diharamkan atas
dasar sad adh-dharai‟ yaitu untuk menghindar dari sampai kepada riba an-nasi‟ah.
Contohnya seperti seorang menjual emas dengan emas untuk suatu waktu tertentu
kemudian dibayar dengan perak dengan kadar yang lebih mengandung unsur riba.18
17 A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis, dan Praktis, ibid., h. 131-132
18
M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, ibid., h. 54
38
C. Reasuransi Syariah
1. Landasan Hukum Reasuransi Syariah
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan
legalitasnya pada UU. No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang
sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena tidak
mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Dengan kata
lain, UU No. 2 Tahun 1992 tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi
asuransi syariah.19
Dalam menjalankan usahanya, perusahaan dan reasuransi syariah masih
menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No.
21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa tersebut
dikeluarkan karena regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk
menjalankan asuransi syariah. Fatwa dari DSN-MUI tidak mempunyai kekuatan
hukum dalam hukum nasional karena tidak termasuk dalam jenis peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Tetapi sekarang sudah ada Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) No. 18 2010 yang menjelaskan penerapan prinsip dasar
penyelanggaraan usaha asuransi dan reasuransi dengan prinsip syariah.
19 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana), 2006, Edisi Revisi, h. 142
39
Jenis dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia
berdasarkan UU No. 10/2004 :
1) UUD – RI
2) TAP MPR
3) Undang-Undang (UU)
4) Peraturan Pemerintah (PP)
5) Peraturan Presiden (PP)
6) Peraturan Menteri (Permen)
7) Peraturan Kepala LPND/Komisi/Badan/Peraturan Ditjen suatu Departemen
8) Peraturan daerah Propinsi
9) Peraturan Gubernur Propinsi
10) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
11) Peraturan Bupati/Walikota
12) Peraturan Desa (Perdesa)20
Agar ketentuan dalam Fatwa DSN MUI tersebut memiliki kekuatan hukum,
maka perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan asuransi
syariah.21
Ketentuan mengenai asuransi syariah di Indonesia untuk saat ini baru diatur
dalam beberapa Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang kedudukannya
berdasarkan gambar di atas adalah berada di bawah Peraturan Presiden (Perpres)
berdasarkan UU No. 10/2004 mengenai jenis dan tata urutan peraturan perundang-
20 Artikel diakses pada tanggal 11 Februari 2010. Dari http:/www.djpp.depkumham.go.id 21 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, ibid., h. 142
40
undangan Republik Indonesia. Jika dikelompokkan maka ketentuan yang telah ada
untuk asuransi dan reasuransi syariah yang masih bercampur dengan asuransi
konvensional termuat dalam:
a. Keputusan Menteri Keuangan :
1) Tentang Penyelenggaraan Usaha (KMK No. 442/KMK.06/2003)
2) Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan (KMK No.424/KMK.06/2003)
3) Tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan (KMK
No.426/KMK.06/2003).
4) Tentang penerapan prinsip dasar penyelanggaraan usaha asuransi dan
reasuransi dengan prinsip syariah (PMK No. 18/PMK.10/2010
b. SK Dirjen Lembaga Keuangan, yaitu :
1) Tentang Pedoman Perhitungan Bebas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (Kep-3607/LK/2004)
2) Tentang Bentuk dan Susunan Laporan Usaha Perasuransian serta bentuk
dan Susunan Pengumuman Laporan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi (Kep-4033/LK/2004)22
22 Media Informasi Asuransi dan Reasuransi Reinfokus, Reasuransi Syariah (Retakaful)
dengan Akad wakalah Bil Ujrah, Ibid., h. 24
41
2. Prinsip Reasuransi
Oleh karena reasuransi syariah adalah asuransi syariah yang diasuransikan
kembali, maka logislah jika prinsip-prinsip yang berlaku dalam asuransi syariah juga
berlaku dalam reasuransi syariah. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan daripada
penerapan prinsip-prinsip asuransi adalah untuk melindungi para penanggung dari
kerugian-kerugian yang tidak semestinya mereka terima. Demikian juga dalam
hubungan reasuransi dimana para reasuradur dapat melindungi dirinya dengan
prinsip-prinsip reasuransi terhadap kemungkinan kerugian yang tidak seharusnya
mereka pikul.
a. Prinsip Berserah Diri dan Ikhtiar
Allah adalah pemilik mutlak atau pemilik sebenarnya seluruh harta kekayaan.
Ia adalah pencipta alam semesta dan Dia pula Yang Maha Memilikinya. Kalimat
tauhid laa ilaaha illallaah (tidak ada Tuhan selain Allah) juga mengandung
pengerian, tidak ada pemilik mutlak atas seluruh ciptaan kecuali Allah.
Karena Allah yang menjadi pemilik mutlaknya, maka menjadi hak-Nya pula
untuk memberikannnya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya atau merenggutnya
dari siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allahlah pula yang memutuskan seorang
menjadi miskin.
Atas sumber daya yang dititipkan oleh allah kepadanya, manusia dilarang
untuk mengambil risiko yang melebihi kemampuan yang wajar untuk mengatasi
risiko tersebut . walaupun risiko tersebut mempunyai probabilita untuk membawa
42
manfaat, namun bila probabilitas untuk membawa kerugian lebih besar dari
kemampuan menanggung kerugian tersebut, maka tindakan usaha tersebut adalah
sama dengan mengeluarkan yang lebih dari keperluan sehingga harus dihindari.
Pengambilan risiko yang melebihi kemampuan untuk menanggulangi adalah
tidak sama dengan menghadapi ketidakpastian. Karena pada dasarnya tidak ada
seorang manusia pun yang dapat dengan pasti mengetahui apa yang akan terjadi.
Sehingga, semua aspek kehidupan di dunia ini pada dasarnya adalah ketidakpastian
bagi manusia. Namun, kemampuan yang dikembangkan manusia dapat membantu
manusia dalam menghadapi ketidakpastian atau risiko tersebut dengan
memperkirakan kemungkinan terjadinya hal-hal yang merugikan, tentunya dalam
batas-batas kemampuan manusia. Sehingga, secara umum dapat dikatakan bahwa
manusia dapat berusaha untuk menghindari pengambilan risiko yang melebihi
kemampuan yang wajar untuk menanggulanginya.
b. Prinsip Tolong-Menolong (Ta’awun)
Prinsip yang paling utama dalam konsep asuransi syariah adalah prinsip
tolong menolong baik untuk life insurance atau general insurance. Ini adalah bentuk
solusi bagi mekanisme operasional untuk asuransi syariah. Tolong menolong atau
dalam bahasa Al‟Qur‟an disebut ta‟awun adalah inti dari semua prinsip dalam
asuransi syariah. Ia adalah pondasi dasar dalam menegakkan konsep asuransi syariah.
Dari prinsip ta‟awun tolong-menolong ini muncullah beberapa prinsip-prinsip
lain yang melandasi operasional asuransi syariah.
43
c. Prinsip Saling Bertanggung Jawab
Para peserta asuransi setuju untuk saling bertanggung jawab satu sama lain.
Memikul tanggung jawab dengan niat ihklas adalah ibadah. Rasa tanggung jawab
terhadap sesama insan. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling
menyayangi, saling mencintai, saling mambantu, dan merasa mementingkan
kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam mewujudkan
masyarakat yang beriman, takwa, dan harmonis.
Dalam banyak hal, Rasulullah menegaskan kewajiban individu dan
masyarakat dalam melaksanakan tanggung jawab social, dasar penetapannya ialah
karena kemaslahatan umum. Asuransi syariah bertujuan untuk melaksanakan masalah
ini. Kalau rasa ini tidak lagi hidup dikalangan masyarakat Islam, berarti kehilangan
suatu ruh agama yang menjadikan umat Islam baik kuat baik secara individu maupun
secara kemasyarakatan.
Seandainya masyarakat miskin tidak mampu untuk membayarkan ta‟awun
atau tabarru‟, maka orang kaya berkewajiban untuk membayarkan iuran ini untuk
mereka.
d. Prinsip Saling Kerja Sama dan Bantu-Membantu
Salah satu keutamaan umat Islam adalah saling membantu sesamanya dalam
kebajikan. Karena, bantu-membantu itu merupakan gambaran sifat kerja sama
44
sebagai aplikasi dari ketakwaan kepada Allah. Di antara cerminan ketakwaan itu ialah
sebagai berikut.
1) Melaksanakan fungsi harta dengan betul, di antaranya untuk kebajikan social.
2) Menepati janji.
3) Sabat ketika mengalami bencana
Firman Allah dalam QS al-Maidah :2
Artinya : “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa,dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya”.
Islam adalah agama jama‟I, artinya banyak hal mesti dikerjakan secara
bersama. Tanpa kebersamaan, sangat tipis kemungkinan diraihnnya kesuksesan.
Asuransi merupakan bagian dari usaha untuk dapatnya umat Islam bekerja sama
membesarkan dana, guna saling membantu di antara umat Islam kalau terjadi suatu
perisitiwa yang merugikan harta dan jiwa umat Islam. Sekaligus ia berfungsi untuk
mengumpulkan dana guna diinvestasikan pada berbagai sektor.
e. Prinsip Saling Melindungi dari Berbagai Kesusahan
Para pesera asuransi Islam setuju untuk saling melindungi dari kesusahan,
bencana, dan sebagainya. Kenapa saling melindungi? Karena keselamatan dan
keamanan merupakan keperluan azas untuk semua orang, maka semua orang perlu
45
dilindungi. Masalahnya, apakah perusahaan asuransi mampu mengemban tugas yang
berat ini. Tentu saja tidak mungkin ia akan laksanakan secara sempurna. Namun,
dengan aturan yang jelas, sebagian prinsip di atas tentu akan dapat dijalankan oleh
perusahaan.
f. Prinsip Kepentingan Terasuransikan (Insurable Interest)
Untuk dapat mengasuransikan barangnya, tertanggung harus mempunyai
suatu kepentingan dalam barang tersebut. Dalam asuransi tanggung gugat,
kepentingan yang diasuransikan ialah kekayaan tertanggung. Risikonya adalah
terkenanya kekayaan tersebut oleh kewajiban membayar ganti rugi karena suatu
kejadian atau perbuatan yang merugikan pihak ketiga, untuk mana ia bertanggung
gugat.
Jadi yang dimaksudkan dengan kepentingan terasuransikan adalah pihak yang
ingin mengasuransikan suatu objek pertanggungan seperti rumah tinggal, stok barang
dagangan, atau lainnya harus mempunyai kepentingan atas objek tersebut.
Kepentingan tersebut harus diakui secara hukum. Jika kepentingan itu tidak ada,
maka harus dikategorikan sebagai kegiatan perjudian. Sementara perjudian
diharamkan dalam syariat Islam.
Karena itu, pengakuan terhadap hak milik dan tanggung jawab atas hak milik
seseorang yang dikuasakan kepada kita, diatur dan diakui dalam Islam. Kepemilikan
manusia atas harta adalah kepemilikan yang bersifat perwalian (amanat). Islam
mengakui hak-hak individu manusia atas kekayaan yang dianugerahkan Allah kepada
46
mereka. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk berusaha mendapatkan harta,
memeliharanya, menyelamatkannya, menggunakannya, memanfaatkannya, serta
mempertanggungjawabkannya di hadapan pemilik mutlak-Nya, Allah. Karena itulah,
kita memiliki tanggung jawab untuk melindunginya. Kita mempunyai kepentingan
untuk sharing of risk dengan pihak lain agar harta tadi dapat terpelihara. Dengan
demikian, kepentingan terasuransikan (insurable interest) secara syar‟I dapat
dipertanggungjawabkan bahwa ia adalah salah satu prinsip asuransiyang baik dan
maslahah di mana pada saat yang sama ia juga tidak bertentangan dengan kaidah-
kaidah syara‟.
g. Prinsip Itikad Baik (Utmost Good Faith)
Dalam kontrak asuransi, untuk pelaksanaan polis, pihak-pihak yang terlibat
harus memiliki niat baik. Oleh karena itu, tidak adanya pengungkapan fakta penting,
keterlibatan tindakan penipuan, kesalahpahaman atau pernyataan salah adalah semua
elemen yang dapat membuat tidak berlakunya polis asuransi.
Kedua belah pihak yang melakukan kontrak asuransi, baik pihak yang
mengajukan objek untuk dipertanggungkan (peserta) maupun perusahaan asuransi
(pengelola), harus menerapkan prinsip itikad yang baik yang direpresentasikan
dengan keterbukaan atas semua informasi mengenai pertanggungan. Pihak
tertanggung (peserta) harus memberikan semua informasi yang material, baik diminta
maupun tidak. Informasi tersebut ialah mengenai objek pertanggungan yang akan
mempengaruhi opini penanggung. Yaitu, apakah akan menerima atau tidak objek
47
pertanggungan, dan jika pertanggungan diterima dengan kondisi tertentu. Hal ini
berbeda dengan prinsip jual beli, dimana penjual hanya memberikan informasi jika
diminta oleh pembeli.
Karena itu, hal yang sangat penting bagi kedua belah pihak dalam prinsip
utmost good faith ini adalah adanya informasi yang benar dari masing-masing pihak.
Artinya, informasi yang diberikan tidak mengandung unsur kebohongan, penipuan,
dan kecurangan. Dalam transaksi muamalah, adanya salah satu pihak yang
mengingkari perjanjian dapat mengakibatkan batalnya kontrak tersebut.
h. Prinsip Ganti Rugi (indemnity)
Fungsi asuransi adalah mengalihkan atau membagi risiko yang kemungkinan
diderita atau dihadapi oleh tertanggung karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak
pasti. Oleh karena itu, besarnya ganti kerugian yang diterima oleh tertanggung harus
seimbang dengan kerugian yang dideritanya.
Prinsip ganti rugi dalam fiqih Islam dapat dilihat dalam praktek ad-diyah „ala
al-„aqilah, al-„aqil adalah orang yang membayar denda. Dalam beberapa kasus, Islam
membebankan denda asuransi kepada orang lain. Namun di dalam ad-diyah, yang
menjadi sebab bukanlah kesengajaan. Para ulama mengatakan, wajib membayar
denda (pertanggungan) terhadap sebagian kerusakan yang disebabkan kekeliruan,
seperti pembunuhan, melukai karena kekeliruan, atau kerusakan karena kelalaian.
Prinsip ganti rugi (indemnity) merupakan hal wajar dalam rangka untuk
memelihara hak dan tanggung jawab terhadap harta benda yang dititipkan Allah
48
kepada hamba-Nya. Karena Allah adalah pemilik mutlak atau pemilik sebenarnya
seluruh harta kekayaan. Dia adalah pencipta alam semesta dan Dia pula Yang Maha
Memilikinya.
i. Prinsip Penyebab Dominan (Proximate Cause)
Jika terjadi suatu peristiwa yang bias menimbulkan tuntutan ganti rugi dari
pihak tertanggung, kerugian bias dijamin jika penyebab dari kejadian tersebut dijamin
atau tidak dikecualikan dengan polis. Prinsip penyebab terdekat mensyaratkan bahwa
suatu penyebab bahwa merupakan rantai yang tidak terputus dengan peristiwa yang
menimbulkan kerugian. Apabila terjadi penyebab lain yang menyebabkan rantai
sebab akibat terputus, dan sebab baru ini dominan terhadap terjadinya kerugian, maka
polis akan menganggap penyebab baru ini adalah penyebab terjadinya kerugian.
Islam mengajarkan kepada kita agar memberikan hukuman kepada siapapun
yang bersalah sesuai dengan kadar kesalahannya. Dalam hal peristiwa yang termasuk
dalam kategori proximate cause penyebab dominan, maka tentu hukuman atau yang
bertanggung jawab atas akibat kerugian yang muncul adalah yang paling dominan
dalam penyebab terjadinya hal tersebut. Karena itu, di sini dituntut keadilan dan
kearifan dalam melihat duduk persoalan suatu peristiwa, harus bisa melihat secara
jernih dan bersikap “tengah-tengah”, dan mampu melihat siapa yang sebenarnya
paling bertanggung jawab atas terjadinya musibah.
49
j. Prinsip Subrogasi (Subrogation)
Merupakan hal yang pantas dan adil dalam hukum jika perusahaan sudah
membayar kliam kepada pemegang sertifikatnya dan pihak lain (ketiga) dalam hukum
dikenai biaya kerugian, pihak ketiga seharusnya tidak menghindari tanggung
jawabnya. Akan menjadi tidak adil jika dia menghindari tanggung jawab finansialnya
karena kebijaksanaan peserta dalam mengatur ganti rugi takaful (asuransi syariah).
Bentuk keadilan ini berhubungan dengan prinsip subrogasi.
Dengan adanya sobrogasi tersebut, tercegahlah pula bahwa pihak yang
bersalah menjadi bebas. Barangsiapa menurut hukum bertanggung jawab atas suatu
musibah, tetap terkena sanksinya. Hal tersebut penting bagi ketertiban masyarakat.
Dengan demikian, tidak akan terjadi adanya satu pihak menzalimi pihak lain
atau suatu pihak harus memberi ganti rugi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh
pihak ketiga. Islam secara tegas melarang sikap saling menzalimi dalam muamalat.
k. Prinsip Kontribusi (contribution/al-Musahamah)
Al-Musahamah „kontribusi‟ adalah suatu bentuk kerja sama mutual dimana
tiap-tiap peserta memberikan kontribusi dana kepada suatu perusahaan dan peserta
tersebut berhak memperoleh kompensasi atas kontribusinya tersebut berdasarkan
besarnya saham (premi) yang ia miliki (bayarkan)
Polis takaful adalah perjanjian yang mengikat. Karena itu, pemberlakuan
pertimbangan dari kedua pihak (peserta dan pengelola) melalui pembayaran
50
kontribusi (oleh peserta) dan penggantian rugi (oleh pengelola) adalah kewajiban
yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, disarankan bahwa dalam polis asuransi syariah
jika peserta tidak dapat membayar kontribusi yang disepakati pada waktunya, peserta
tidak boleh dikenakan denda atau ketentuan dikurangi kontribusi yang sudah dibayar.
Tapi peserta harus diberikan waktu yang diperlukan untuk penyelesaian kontribusi
yang belum dibayar dan pemberlakuan polis harus dilanjutkan berdasarkan syarat dan
ketentuan yang terdapat dalam sertifikat.
Kontribusi yang sudah dibayar adalah amanah (al-amanah) bagi pengelola,
dank arena itu harus diperuntukkan bagi peserta. Hal ini karena berdasarkan hukum
Islam, tidak ada justifikasi bagi yang dipercayakan untuk menolak menerjemahkan
ketentuan yang disetujui oleh pemilik mereka ketika yang mendepositkan berhak
menginginkannya dari yang diberi amanah,
3. Kebutuhan Reasuransi
Alasan mengapa reasuransi itu dibutuhkan, beberapa pakar mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut :
1. Pertanggungan itu melampaui kapasitas atau daya serapnya sendiri
Sebagaimana yang telah terjadi dalam industry asuransi, setiap
perusahaan asuransi, bahkan seluruh pasaran asuransi di dalam negeri
manapun memiliki keterbatasan kapasitas untuk menampung seluruh
51
pertanggungan dengan harga pertanggungan yang tinggi dan memiliki kualitas
risiko yang komplek serta berbahaya, bahkan ada pula yang sangat berbahaya.
Di dalam era teknologi yang sangat maju akan didapati suatu hasil
karya seseorang atau tim kerja yang sangat mengagumkan dan bernilai sangat
tinggi. Dewasa ini bukan hanya terdapat bangunan-bangunan pencakar langit
yang bernilai tinggi yang menghadapi risiko gempa bumi atau tanah longsor.
Selain itu tercipta pula produk teknologi tinggi, misalnya satelit komunikasi,
alat peluncur satelit, pesawat radar dan lain-lain. Produk-produk canggih
semacam ini tidak hanya beresiko tinggi, tidak semua pertanggungan dapat
diserap 100% oleh sebuah perusahaan karena berbagai alasan dan sebab,
antara lain faktor permodalan dan berbagai macam jenis pertanggungan yang
dapat mereka tawarkan, tingginya harga dan tingkat risiko atas objek /
kepentingan yang dipertanggungkan, faktor likuiditas perusahaan, dan sebab-
sebab lain yang tidak kalah pentingnya dari alasan yang telah disebut
terdahulu.
Dari segi kualitas risikonya sendiri, meskipun harganya tidak begitu
tinggi dan masih dalam batas daya tamping, penanggung masih memerlukan
proteksi atas sebagian risiko yang ditanggungnya karena objek yang
dipertanggungkan merupakan risiko yang jelek atau berisiko sangat tinggi.
Sebagai contoh, risiko kios-kios yang berada di komplek pasar yang apabila
dijamin seluruhnya akan merupakan risiko yang berakumulasi sangat besar.
52
Demikian pula risiko komplek pertokoan atau pasar swalayan dan plaza besar.
Bila ditinjau satu persatu risiko memang mungkin sekali masih dalam batas
kapasitas atau daya tamping dan serap suatu perusahaan asuransi, tetapi bila
mereka menutup atau menerbitkan banyak polis dalam satu temapt tersebut,
maka jumlah keseluruhan harga pertanggungan akan menjadi sangat besar dan
tidak mampu ditanggung sendiri.
2. Mengubah atau mengganti ketidakpastian menjadi pasti
Dengan menutup pertanggungan atas berbagai macam risiko objek /
kepentingan yang dipertanggungkan, para penanggung akan menghadapi dan
atau terlibat dalam ketidakpastian, dalam arti bias saja menghadapi risiko
kerugian besar bila terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan banyak
kerugian atas bangunan-bangunan, kekayaan atau kepentingan lain yang
dipetanggungkan padanya, atau sebaliknya, bisa saja penanggung memperoleh
laba atau keuntungan bila tidak terjadi klaim dan atau bila klaim yang terjadi
jumlahnya lebih kecil dari jumlah premi yang didapat dihimpunnya.
3. Memberikan kelenturan underwriting maupun manajemen.
Perusahaan asuransi akan dapat berkembang lebih maju karena telah
memperoleh proteksi reasuransi. Dengan dukungan proteksi reasuransi yang
kuat, perusahaan asuransi akan lebih dapat berani menutup berbagai jenis
pertanggungan atau jenis pertanggungan baru. Biasanya setiap perusahaan
53
asuransi akan mengatur lebih dahulu penempatan reasuransi kepada
penanggung lain, termasuk perusahaan reasuransi professional, bila ingin
mengembangkan usahanya dengan jenis pertanggungan baru maupun yang
berupa modifikasi atas jenis pertanggungan yang lama.
Kelenturan underwriting yang dapat diperoleh para penanggung pada
prakteknya juga pada jenis pertanggungan dengan jumlah uang pertanggungan
yang tinggi, minimal sampai dengan batas limit jaminan reasuransi yang telah
mereka peroleh.23
5. Tujuan dan Fungsi Reasuransi
Tujuan Reasuransi :
a) Perusahaan asuransi dapat menutup risiko untuk pertanggungan yang melebihi
batas kemampuannya atau objek pertanggungan yang melebihi batas
kemampuannya atau objek pertanggungan yang tingkat risikonya cukup
tinggi.
b) Operasional perusahaan asuransi akan semakin lebih baik, khususnya yang
berkaitan dengan pemenuhan prinsip “The Law of Large Number”
23 Media Informasi Asuransi dan Reasuransi Reinfokus, Reasuransi Syariah (Retakaful)
dengan Akad wakalah Bil Ujrah, Ibid.,, h. 20-22
54
Fungsi Reasuransi :
a) Menaikkan kapasitas akseptasi perusahaan asuransi atas risiko-risiko yang
melampaui batas kemampuannya karena kelebihan tanggung gugat yang tidak
bisa mereka tamping sendiri akan dijamin oleh penanggung ulang yang telah
bersedia menampungnya.
b) Bila kerja sama reasuransi atas sebagian risiko dilakukan antar sesama
perusahaan asuransi, akan terdapat dua fungsi di dalamnya, yaitu sebagai
penyebaran risio dan sebagai sarana pertukaran bisnis yang mampu
meningkatkan pendapatan premi yang dapat ditahan karena disamping adanya
pengeluaran terdapat pula pemas6.ukkan premi.
c) Secara tidak langsung reasuransi dapat berfungsi membantu membiayai
kegiatan usaha perusahaan, khususnya disesikan berdasarkan kontrak
reasuransi, karena pembayaran sesi premi baru dilaksanakan setelah setiap
triwulan berakhir, bahkan adakalanya setelah setiap enam bulan terakhir.24
24 Media Informasi Asuransi dan Reasuransi Reinfokus, Reasuransi Syariah (Retakaful)
dengan Akad wakalah Bil Ujrah, Ibid.,, h. 23
55
6. Hubungan Antara Peserta, Operator Asuransi Syariah, dan Operator
Reasuransi Syariah
Operator reasuransi syariah memiliki kontrak dengan operator asuransi
syariah. Sementara itu, operator asuransi syariah memiliki kontrak baik dengan
peserta asuransi syariah maupun dengan operator reasuransi syariah.
Agar pengaturan seperti ini dapat dilakukan tentu kontrak asuransi syariah
antara peserta dengan operator asu ransi syariah haruslah menyatakan dengan jelas
bahwa operator asuransi syariah diperbolehkan untuk membuat kontrak reasuransi
syariah atas risiko tersebut tanpa perssetujuan lebih lanjut dari peserta sepanjang
tujuannya untuk melindungi pool asuransi syariah dan kepentingan para peserta
dalam pool tersebut.
Reasuransi syariah sesungguhnya merupakan salah satu kegiatan utama yang
dilakukan oleh operator asuransi syariah dalam menjalankan amanah pengelolaan
portofolio risiko yang ia terima dari setiap peserta. Pengelolaan portofolio risiko
merupakan obyek dari akad wakalah bil ujrah. Adapun hubungan antara peserta,
operator asuransi syariah, dan operator reasuransi syariah dapat digambarkan sebagai
berikut :
56
Gambar 2.1
Hubungan Antara Peserta, Operator Takaful dan Operator Retakaful25
Akad Wakalah Akad Tabarru‟
Bil Ujrah
Akad Wakalah Akad Tabarru‟
Bil Ujrah
Dari keterangan gambar tersebut, ada dua akad yang terpisah yaitu akad
takaful antara peserta dan operator takaful serta akad retakaful antara operator takaful
dan operator retakaful. Sama sekali tidak ada akad antara peserta dan operator
retakaful. Konsekuensi dari skema ini adalah bahwa peserta dan operator retakaful
tidak memiliki hubungan kontrak sehingga tidak dapat saling menuntut. Seandainya
setelah terjadi kerugian operator retakaful tidak membayar kewajibannya kepada
operator takaful, maka operator takaful tidak dapat mengurangi pembayarannya
kepada peserta dengan alasan tersebut. Operator takaful berkewajiban untuk
membayar klaim secara penuh, kemudian menagih pool retakaful tanpa sama sekali
melibatkan peserta takaful. Dengan alasan yang sama, peserta sama sekali tidak
punya hak untuk mendatangi operator retakaful untuk menuntut pembayaran
bagiannya. Peserta hanya dapat menuntut haknya kepada operator takaful.
25 Delil Khairat, Makalah Pengantar Retakaful, h. 3
Operator Takaful A
Peserta
Takaful
Pool Takaful
A
Operator Retakaful
B
Pool
Retakaful B
Retakaful
57
BAB III
TINJAUAN TEORITIS MEKANISME REASURANSI SYARIAH
A. Metode Reasuransi Syariah
Pada dasarnya ada dua metode reasuransi syariah yaitu reasuransi syariah
proportional dan reasuransi non proportional.
1. Reasuransi Syariah Proporti onal
Reasuransi proportional adalah pembagian risiko (risk sharing) secara
proportional antara pool yang dikelola oleh operator takaful dengan pool yang
dikelola oleh operator reasuransi syariah. Risiko atau liability, kontribusi dan
kerugian akan dibagi dengan proporsi yang sama
Dalam hal terjadi klaim, bagian klaim yang menjadi tanggungan para
penanggung ulang juga akan dihitung menurut perbandingan yang seimbang
antara tanggung jawab penanggung ulang dan jumlah tanggung jawab seluruhnya
dikali jumlah kerugian yang terjadi. Untuk lebih jelasnya, dapatlah diuraikan
dengan angka-angka sebagai berikut.
a) Bila terdapat pertanggungan yag dipertanggungkan kembali kepada
penanggung ulang berdasarkan kontrak pertanggungan ulang proportional
sebesar 80% dari jumlah uang yang pertanggungan yang dijamin oleh
penanggung pertama, bagian premi para penanggung ulang juga dihitung
sebesar 80% x tariff (suku premi) x jumlah uang pertanggungan.
58
b) Seperti contoh diatas, dalam hal terjadi klaim dengan jumlah kerugian
seluruhnya sebesar Rp 100 juta bagian tanggung jawab para penanggung
ulang juga dihitung sebesar 80% dari jumlah kerugian tersebut atau sama
dengan Rp 80 juta.26
2. Reasuransi Syariah Non Proportional
Berbeda dengan Reasuransi syariah proporsional, metode Reasuransi
syariah Non proporsional tidak dikenal pembagian risiko, kontribusi dan kerugian
secara proporsional antara Operator Asuransi Syariah dan Operator Reasuransi
syariah.
Metode non proporsional bekerja berdasarkan besarnya kerugian, lebih
tepatnya dengan first loss basis, bukan besarnya risiko. Pool yang dikelola oleh
Operator Asuransi Syariah akan membayar klaim sampai batas tertentu, dan
sisanya dibayar oleh Operator Reasuransi syariah sampai batas tertentu pula. Oleh
karena itu, Reasuransi syariah Non Proporsional dikenal pula sebagai Excess of
Loss.
Batas besarnya kerugian yang menjadi tanggung jawab Pool Asuransi
Syariah disebut Deductible atau Excess Point atau Retention atau First Loss.
Istilah deductible lebih sering digunakan dari pada yang lain.
26 M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional,
ibid., hal. 272 - 273
59
Batas kerugian diatas deductible yang menjadi tanggung jawab Pool
Reasuransi syariah disebut sebagai limit. Dalam kebanyakan kasus, limit dibagi-
bagi kedalam lapisan-lapisan (layer). Banyaknya layer dan lebar setiap layer
disesuaikan dengan kebutuhan dan kesepakatan antara Operator Asuransi Syariah
dan Operator Reasuransi syariah.
Besar kerugian yang ditunjukkan garis horizontal pada gambar 3.1 adalah
kerugian yang ditahan oleh Operator Asuransi Syariah atau disebut dengan
deductible, sisanya diberikan kepada Operator Reasuransi syariah pada layer
pertama dan kedua dan seterusnya.
Dalam Excess of Loss, pool asuransi syariah harus siap untuk membayar
semua kerugian sampai sebatas deductible. Pool reasuransi syariah layer pertama
hanya akan terlibat apabila nilai kerugian telah melebihi deductible, Pool
Reasuransi syariah layer kedua baru akan terlibat bila nilai kerugian telah
melewati batas atas layer Pertama, demikian seterusnya. Berikut ini gambar 3.1
mengenai simulasi pada Metode reasuransi syariah Non proporsional.
60
Gambar 3.1
Struktur Reasuransi Syariah Non-proportional27
Lapisan terbawah merupakan bagian kerugian yang harus ditanggung oleh
pool operator asuransi syariah dengan dana tabarru‟ yang dikelola oleh operator
operasi asuransi syariah. Banyak istilah digunakan untuk lapisan ini mulai dari
Deductible, Excess Point, Retention, atau First Loss. Namun demikian, istilah
deductible lebih populer dan lebih banyak dipakai dari pada yang lain. Seperti
namanya, lapisan ini memang bekerja seperti deductible yang dikenal dalm polis-
polis asuransi, baik konvensional maupun syariah, dimana setiap kerugian yang
terjadi pada objek pertanggungan yang besarnya di bawah atau sama dengan
deductible akan menjadi tanggung jawab tertanggung peserta sendiri tanpa ada
27 Delil Khairat, Makalah Retakaful Non Proportional, h. 5
n th Layer
2nd Layer
1st Layer
Deductible /
excess / point
/ retention /
first loss
61
pembayaran klaim dari perusahaan asuransi/pool takaful. Bila kerugian terjadi
melebihi deductible, maka tertanggung/peserta tetap akan menanggung sendiri
bagian sebesar deductible itu dan sisanya ditanggung oleh perusahaan
asuransi/pool takaful.
Demikian pula dengan deductible pada retakaful non-proportional, ia
merupakan bagian dari setiap kerugian yang harus ditanggung oleh pool takaful.
Bila klaim-klaim dari risiko mana saja dalam portofolio besarnya tidak menembus
deductible, pool takaful harus menahan besar deductible dan sisa di atasnya akan
ditanggung oleh pool retakaful. Deductible sesungguhnya adalah jumlah
maksimum yang harus ditahan oleh pool takaful pada setiap kerugian. Pada
hakikatnya deductible excess of loss merupakan retensi bagi pool takaful.
Sementara itu lapisan di atas deductible merupakan bagian yang menjadi
tanggung jawab pool retakaful. Bagian itu bisa terdiri dari satu lapisan saja, tetapi
bisa juga disusun atas beberapa lapisan sesuai kebutuhan.28
B. Tipe Reasuransi Syariah
Berdasarkan hubungan antara pool takaful dan pool retakaful dan bagaimana
retakaful itu direalisasikan dan diadministrasikan, ada dua tipe retakaful yaitu
Fakultatif dan Treaty.
28Delil Khairat, Makalah retakaful, Ibid, h. 2
62
1. Fakultatif
Fakultatif adalah reasuransi syariah yang kontrak atau akadnya dilakukan
per risiko dan sifatnya tidak wajib bagi kedua belah pihak. Tidak ada kewajiban
dipihak operator takaful untuk mensesikan sebagian risiko kepada pool reasuransi
syariah dan tidak ada pula kewajiban bagi operator reasuransi syariah untuk
menerima sesi risiko yang ditawarkan oleh operator takaful. Dalam fakultatif
reasuransi syariah, proses penawaran, akkseptasi, administrasi, dan klaim antara
operator takaful dan operator reasuransi syariah dilakukan risiko per risiko.
Operator reasuransi syariah memiliki akses penuh pada semua informasi detail
dari setiap risiko yang ditawarkan.29
2. Treaty
Treaty adalah kontrak atau akad antara pool asuransi syariah (diwakili
oleh operator reasuransi syariah) dan pool reasuransi syariah (diwakili oleh
operator reasuransi syariah) dimana pool reasuransi syariah yang memberikan
proteksi atau kapasitas otomatis atas suatu portofolio risiko asuransi syariah.
Treaty bersifat wajib bagi kedua belah pihak. Operator asuransi syariah wajib
mensesikan setiap risiko ke dalam pool reasuransi syariah dengan ketentuan dan
syarat-syarat yang telah disepakati sepanjang risiko tersebut tidk bertentangan
dengan ketentuan treaty. Demikian pula operator reasuransi syariah tidak
29 Reinfokus Media Informasi Asuransi dan Reasuransi, Reasuransi Syariah (Retakaful)
dengan Akad Wakalah Bil Ujrah, Edisi 39 Khusus Indonesia Syariah Expo, h.11
63
memiliki pilihan kecuali diwajibkan menerima sesi risiko tersebut. Dalam treaty
operator reasuransi syariah tidak selalu memiliki kesempatan untuk mengetahui
informasi detail suatu risiko kecuali treaty yang disepakati mensyaratkan agar
operasi asuransi syariah membuat daftar risiko-risiko yang disesikan untuk
diberikan kepada operator reasuransi syariah. Treaty diperuntukkan bagi suatu
portofolio atau kumpulan risiko-risiko untuk jangka waktu tertentu yang
disepakati.
C. Bentuk—bentuk Reasuransi Syariah
Dua metode dan dua bentuk reasuransi syariah menghasilkan empat
kombinasi pada reasuransi syariah yaitu proportional fakultatif, proportional treaty,
non proportional fakultatif, non proportional treaty. Selanjutnya dari empat
kombinasi ini diturunkan bentuk-bentuk reasuransi syariah.30
30 Reinfokus Media Informasi Asuransi dan Reasuransi, Reasuransi Syariah (Retakaful)
dengan Akad Wakalah Bil Ujrah, ibid., h. 11
64
Gambar 3.2
Bentuk-bentuk Reasuransi Syariah31
1. Proportional Fakultatif
Ciri paling esensial dari fakultatif proportional adalah adanya penawaran
sebagian risiko oleh operator asuransi syariah yang dilanjutkan dengan keputusan
operator reasuransi syariah apakah dapat menerima atau menolak penawaran
tersebut. Sesuai dengan namanya, fakultatif yang berarti bebas, tidak wajib. Maka,
tidak ada kewajiban yang mengikat kedua pihak. Artinya, tidak ada kewajiban
disisi operator asuransi syariah untuk menawarkan risiko kepada operator
reasuransi syariah. Demikian pula, disisi operator reasuransi syariah, sama sekali
tidak ada kewajiban untuk menerima penawaran. Bila menurut analisis dan
31Reinfokus, Edisi Khusus Indonesia Syariah
Retakaful
Proportional
Fakultatif Treaty
Proportional
Fakultatif
Quota
Share
Surplus
Non Proportional
Retakaful
Retakaful
Non
Proportional
Fakultatif
Excess
Of Loss
Stop
Loss
65
standar underwriting operator reasuransi syariah bahwa suatu risiko dengan
karakter tertentu tidak dapat diterima, maka ia bebas untuk menolaknya.
Selain itu, reasuransi syariah fakultatif adalah penanganan bisnis secara
individual, risiko per risiko, mulai dari proses penawaran, negosiasi, pembayaran
klaim reasuransi syariah.
Kebebasan operator reasuransi syariah untuk menerima atau menolak
suatu risiko serta penanganan proses bisnis secara individual memungkinkan
operator reasuransi syariah untuk mengakses semua detail fakta dan informasi
seputar risiko seolah-olah ia merupakan operator asuransi syariah yang langsung
berhubungan dengan peserta atau pemilik risiko. Ia diperbolehkan misalnya
meminta laporan survei atas risiko tersebut. Bahkan bila dipandang perlu,
operator reasuransi syariah dapat melakukan survei bersama-sama dengan
operator asuransi syariah.32
Contoh reasuransi syariah proportional fakultatif, misalkan pool asuransi
syariah A memiliki retensi sebesar Rp 250.000.000 untuk setiap risiko kendaraan
bermotor. Suatu hari seorang pengusaha sukses ingin mengasuransikan mobil
BMW dengan harga pertanggungan Rp 500.000.000. Suku kontribusi 1% dan
ujrah asuransi syariah 30%. Untuk BMW ini terdapat kelebihan Rp 250.000.000
yang tidak dapat ditahan oleh pool asuransi syariah A sehingga harus ditempatkan
ke pool lain, katakanlah kelebihan itu ditempatkan secara reasuransi syariah
32 Reinfokus, Edisi Khusus Indonesia Syariah
66
dengan metode fakultatif proportional kepada pool reasuransi syariah B dengan
ujrah untuk operator reasuransi syariah B sebesar 15% dari kontribusi tabarru‟
yang disesikan.
Gambar 3.3
Alokasi risiko antara pool Asuransi Syariah dan pool Reasuransi Syariah B
untuk risiko kendaraan bermotor dengan harga pertanggungan Rp
500.000.00033
Harga pertanggungan = Rp 500.000.000
Retensi Pool Takaful Saham Pool Retakaful
Total kontribusi yang harus dibayar oleh pengusaha tersebut adalah sebesar
Rp500.000.000 X 1% = Rp 5.000.000. Adapun aliran kontribusi diperlihatkan
oleh gambar 3.4 sebagai berikut:
33 Delil Khairat, Makalah Retakaful Proportional Fakultatif, ibid., h. 2
Harga Pertanggungan yang Harga Pertanggungan yang
Ditahan oleh pool Asuransi Ditahan oleh pool
Syariah A Reasuransi Syariah B
50 % X Rp 500.000.000 = 50 % X Rp 500.000.000 =
Rp 250.000.000 Rp 250.000.000
67
Gambar 3.4
Bagan aliran kontribusi untuk risiko kendaraan bermotor dengan harga
pertanggungan Rp 500.000.000 yang diretakafulkan secara fakultatif proportional
Total Kontribusi
KONTRIBUSI UJRAH
TABARRU‟ TAKAFUL
70% X 5 juta 30% X 5 juta
KONTRIBUSI KONTRIBUSI UJRAH TAKAFUL setelah UJRAH RETAKAFUL
TABARRU‟ TABARRU‟ dikurangi UJRAH 15% X kontribusi
(RETENSI) RETAKAFUL RETAKAFUL tabarru‟ yang disesikan
50 % X 3.5 juta 50 % X 3.5 juta 1.500.000 – 262.500 = 15% X 1.750.000
Dari aliran kontribusi sebagaimana ditunjukkan oleh gambar tersebut.
Kontribusi total yang dibayar oleh pengusaha sukses sebesar Rp 5.000.000 dipilah
menjadi dua komponen yaitu kontribusi tabarru‟ dan ujrah takaful. Operator
takaful A mengambil ujrah sebesar Rp 1.500.000 atau 30% dari kontribusi total.
Uang sebesar Rp 1.500.000 tersebut harus mencukupi untuk membayar urah
untuk agen, menutup biaya operasional, wakalah fee serta biaya retakaful (ujrah
untuk operator retakaful).34
Proporsi kontribusi tabarru‟ yang diterima oleh setiap pool takaful /
retakaful yang terlibat dalam menanggung risiko sama dengan proporsi risiko
34 Delil Khairat, Makalah Retakaful Proportional Fakultatif, Ibid, h. 3
5.000.000
3.500.000 1.500.000
1.750.000 1.750.000 1.237.500 262.500
68
yang ditanggungnya. Pada contoh di atas, baik operator takaful maupun operator
retakaful sama-sama menerima 50% dari kontribusi tabarru‟ karena mereka
sama-sama bertanggung jawab untuk 50% risiko. Kenyataan ini tentu sangat
sejalan dengan prinsip keadilan yang sangat dijunjung tinggi oleh syariat Islam.
Proporsi yang adil ini tidak selalu dapat dicapai oleh mekanisme reasuransi
konvensional dimana transparansi sebagaimana diuraikan dalam contoh ini, dalam
sebagian besar kasus, tidak pernah terjadi.
Ujrah untuk operator reakaful hampir selalu lebih rendah dari pada ujrah
untuk operator takaful karena biaya-biaya yang mereka keluarkan juga lebih kecil.
Bagi operator retakaful dalam kasus ini, uang sebesar Rp 262.500 haruslah
mencukupi untuk biaya operasional wakalah fee.
Besarnya ujrah takaful maupun ujrah retakaful tentu tidak harus sama
untuk semua risiko. Beberapa faktor yang mempengaruhinya adalah bagaimana
risiko itu diperoleh (metode pemasaran), tingkat efisiensi operator takaful maupun
operator retakaful, perlu tidaknya retrosesi serta tingkat wakalah fee. Risiko yang
diperoleh melalui perantara baik agen maupun broker tentu membutuhkan biaya
yang lebih tinggi dari pada risiko yang dibawa langsung oleh peserta ke kantor-
kantor Operator Takaful. Semakin efisien operasional suatu operator, semakin
kecil pula biaya.
Semua operator yang terlibat dalam pengelolaan suatu risiko berkewajiban
untuk mengusahakan ujrah yang serendah mungkin. Dengan demikian kontribusi
total yang harus dibayar peserta dapat pula ditekan. Atau bila peserta setuju
69
membayar kontribusi total yang sama, maka ujrah yang kecil akan memperbesar
komponen kontribusi tabarru‟. Hal ini jelas memberi manfaat kepada seluruh
peserta pool.35
Katakanlah suatu waktu sang pengusaha sukses menghabiskan akhir
pekan bersama keluarganya di Bandung. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta
tiba-tiba mobil di depan berhenti mendadak, sang pengusaha terkejut dan secara
spontan menginjak rem sedalam-dalamnya. Jarak antar kendaraan terlalu dekat,
dan mobil pun menghantam bagian belakang sedan didepannya.
Tidak itu saja, sang pengusaha juga harus bertanggung jawab atas
kerusakan yang dialami oleh sedan didepannya. Dari kronologis kejadian, tidak
bisa dibantah, sang pengusaha merupakan pihak yang bersalah karena tidak
menjaga jarak aman dan memacu mobil dengan kecepatan di atas batas yang
diperbolehkan oleh peraturan di jalan tol. Katakanlah total klaim kepada pool
takaful A atas biaya perbaikan kedua mobil adalah Rp 80.000.000. Alokasi klaim
tersebut dapat digambarkan oleh gambar 3.5.
Jadi, karena sejak awal pool takaful dan pool retakaful berbagi risiko ini
dengan bagian yang sama besar, maka kerugian pun dibagi dengan proporsi yang
sama besar, maka kerugian pun dibagi dengan proporsi yang sama besar, sehingga
masing-masing harus bertanggung jawab sebesar Rp 40.000.000. Bagian pool
35 Delil Khairat, Makalah Retakaful Proportional Fakultatif, Ibid, h. 4
70
retakaful di transfer ke operator takaful untuk disatukan dengan bagian pool
takaful dan selanjutnya dibayarkan kepada peserta.36
Gambar 3.5
Alokasi klaim antara Pool Takaful dan Pool Retakaful B
Untuk kerugian sebesar Rp 80.000.000
Harga pertanggungan = Rp 500.000.000
Kerugian
Rp 80 juta
Retensi Cedant Saham Pool Retakaful
2. Non – Proportional Fakultatif
Retakaful yang akad atau kontraknya terdapat adanya penawaran sebagian
risiko oleh operator takaful (perusahaan asuransi syariah) yang dilanjutkan
dengan keputusan operator retakaful (perusahaan reasuransi syariah) apakah dapat
menerima atau menolak penawaran tersebut. Letak perbedaan dengan fakultatif
proportional adalah dalam pembagian risikonya dibagi secara proportional,
sedangkan pada bentuk retakaful fakultatif non proportional pembagian risikonya
berdasarkan besarnya kerugian bukan berdasarkan risiko. Pool yang dikelola oleh
operator takaful akan membayar klaim sampai batas tertentu dan sisanya dibayar
36 Delil Khairat, Makalah Retakaful Proportional Fakultatif, Ibid, h. 5
50% X Rp 80 Juta = 40 juta 50% X 80 Juta = 40 juta
71
oleh pool yang dikelola oleh operator retakaful sampai batas tertentu pula. Oleh
karena itu, retakaful non proportional dikenal pula sebagai Excess Of Loss.37
Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, batas besarnya
kerugian yang menjadi tanggung jawab pool takaful disebut deductible atau
excess point atau retention. Batas kerugian di atas deductible yang menjadi
tanggung jawab pool retakaful disebut sebagai limit. Dalam kebanyakan kasus,
limit dibagi-bagi kedalam lapisan-lapisan (layer). Banyaknya layer dan lebar
setiap layer disesuaikan dengan kebutuhan dan kesepakatan antara operator
takaful dan operator retakaful.
Dalam Excess Of Loss, pool takaful harus siap untuk membayar semua
kerugian sampai sebatas deductible. Pool retakaful layer pertama hanya akan
terlihat apabila nilai kerugian telah melebihi deductible, pool retakaful layer
kedua baru akan terlihat bila nilai kerugian telah melewati batas atas layer
pertama, demikian seterusnya. Lihat gambar 3.1.
3. Proportional Treaty
Dengan digunakan metode ini, dibuat perjannjian antara operator asuransi
syariah dan operator reasuransi syariah. Operator reasuransi syariah secara
otomatis menerima tanggung jawab tertentu untuk semua risiko yang berada
dalam cakupan perjanjian. Ini adalah kontrak yang mengikat kedua belah pihak.
Operator reasuransi syariah tidak dapat menolak risiko dan operator asuransi
37 Reinfokus Media Informasi Asuransi dan Reasuransi, ibid., h. 11
72
syariah harus memberikan semua risiko yang dikelolanya yang berada dalam
cakupan perjanjian.
Kedua pihak yang terikat kontrak, operator asuransi syariah dan operator
reasuransi syariah, telah menyepakati hak dan kewajiban masing-masing di
bawah treaty tersebut dan kedua belah pihak itu secara otomatis terikat untuk
transaksi bisnis yang akan dilakukan oleh operator takaful, kedua pihak tidak
boleh memilih yang berada di luar perjanjian tersebut. Untuk treaty, berlaku
otomatis secara langsung ketika risiko sudah diaksep dalam skema asuransi
syariah oleh operator.
Treaty diperuntukkan bagi suatu portofolio atau kumpulan risiko-risiko
untuk jangka waktu tertentu yang disepakati. Treaty proportional merupakan
kontrak yang bersifat terus-menerus (continuing contract) dengan ketentuan
adanya peninjauan atas ketentuan dan syarat-syarat setahun sekali.
Proportional treaty yaitu sebuah tipe takaful yang mengikatkan dua pihak
atau lebih pihak, yaitu operator takaful dan operator retakaful. Dimana operator
takaful wajib mensesikan setiap risikonya ke dalam pool retakaful dengan
ketentuan-ketentuan serta syarat-syarat yang telah disepakati sepanjang risiko
tersebut tidak dikecualikan oleh treaty atau ketentuan polis risiko tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan treaty. Demikian pula retakaful tidak memilki
pilihan kecuali diwajibkan menerima sesi risiko tersebut. Dan bila terjadi hal
klaim, pembagian kerugiannya dibagi secara proportional antara operator takaful
dengan operator retakaful.
73
Berdasarkan gambar 3.2 tipe proportional treaty dibagi menjadi 2 yaitu
quota share dan surplus :
a. Quota Share
Quota share merupakan metode treaty proportional yang paling
sederhana. Dengan quota share, operator takaful dan operator retakaful membuat
kesepakatan jangka panjang untuk membagi setiap risiko yang dimiliki oleh pool
takaful kepada pool retakaful dimana proporsi atau pesentase pembagiannya
tetap atau sama untuk setiap risiko. Risiko sebesar atau sekecil apapun akan
dibagi dengan pesentase yang sama sampai batas maksimal yang telah disepakati.
Batas maksimal besarnya risiko yang dapat ditampung oleh retakaful quota share
ini disebut sebagai limit treaty (treaty limit).
Selain persentase pembagian risiko, pada perjanjian quota share operator
takaful dan operator retakaful juga menyepakati ketentuan-ketentuan lain yang
secara detail mengatur realisasi bisnis antara kedua pihak. Ketentuan-ketentuan
itu antara lain meliputi beberapa ujrah untuk operator takaful, ujrah untuk
operator retakaful, risiko apa saja yang tidak boleh disesikan (pengecualian),
pelaporan realisasi bisnis (statement of account), mekanisme pembagian surplus
underwriting (bila ada) dan sebagainya.
Misalkan operator takaful A mengelola pool takaful A, kali ini untuk kelas
bisnis takaful kebakaran dengan retensi sebesar Rp 200.000.000. Setiap risiko
yang nilai risikonya diatas nilai retensi ditempatkan secara retakaful fakultatif
74
proportional. Sepanjang tahun lalu operator A ternyata mendapat banyak properti
yang nilai risikonya di atas Rp 200.000.000 hingga Rp 700.000.000. Akibatnya
operator A kewalahan menangani proses retakaful fakultatif. Selain menyebabkan
pembengkakan biaya operasional, terjadi pula beberapa keterlambatan pelayanan
kepada nasabah yang berdampak negatif bagi citra perusahaan yang dibangun
dengan susah payah.
Kenyataan tersebut telah cukup untuk menjadi alasan bagi manajemen
Operator Takaful A untuk mencoba menggunakan metode lain yang lebih efisien
namun tetap efektif dalam melakukan retakaful. Setelah mempelajari statistik dan
profil portofolio beberapa tahun terakhir, manajemen Operator Takaful A sampai
pada keputusan bahwa program yang paling ideal bagi mereka adalah memiliki
treaty quota share dengan treaty limit hingga Rp 800.000.000 dimana mereka
akan menahan 20% maksimum Rp 200.000.000 sebagai retensi dan memberikan
80% risiko kepada pool-pool retakaful. Format ini yang dirasa ideal bagi operator
takaful A, dimana semua portofolio mereka dapat diserap oleh treaty, biaya
operasional ditekan dan pelayanan kepada para peserta atau calon peserta menjadi
lebih cepat dan pasti. Volume pertanggungan dan pendapatan kontribusi
diperkirakan akan meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya dimana
belum ada kepastian treaty otomatis.
Berbekal proposal itu, manajemen operator takaful A menemui operator
retakaful B yang dipilih sebagai Leading Retakaful Operator. Operator retakaful
B selanjutnya akan mempelajari proposal tersebut dan bukan tidak mungkin
75
mereka berbeda pendapat dengan operator takaful A. Setelah melalui diskusi
antara kedua perusahaan, tercapailah kesepakatan untuk menggunakan Treaty
Quota Share 60% dengan 100% Treaty Limit Rp 500.000.000.
Ini artinya pembagian untuk setiap risiko adalah 40% ditahan oleh Pool
Takaful A (retensi) dan 60% akan diberikan kepada pool-pool retakaful. Adapun
maksimum besarnya risiko yang dapat ditampung secara otomatis adaah sebesar
Rp 500.000.000. Bila ada risiko yang ternyata nilainya melebihi batas maksimum
Rp 500.000.000, maka kelebihannya akan ditempatkan dengan cara lain, misalnya
dengan retakaful fakultatif. Aturan ini diterapkan pada setiap risiko. Pembagian
risiko dengan treaty quota share ini dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Gambar 3.6
Alokasi risiko dengan Treaty Quota Share untuk portofolio
Asuransi kebakaran Pool Takaful A38
100% Treaty Limit: Rp 500 juta
38 Delil Khairat, Makalah Quota Share and Surplus, h. 1-4
RETENSI
40%
maksimum
Rp 200 juta
Pool
Takaful A
QUOTA SHARE
60% maksimum
Rp 300 juta
Pool Retakaful B
76
Misalkan pada suatu hari seorang agen berhasil mendapatkan lima
nasabah baru dengan nilai risiko masing-masing sebagai berikut:
Properti 1 Rp 500.000.000
Properti 2 Rp 200.000.000
Properti 3 Rp 300.000.000
Properti 4 Rp 50.000.000
Properti 5 Rp 800.000.000
Alokasi risiko untuk setiap properti akan terlihat sebagai berikut:
Gambar 3.7
Alokasi Risiko dengan Treaty Quota Share untuk beberapa risiko
Dengan Harga Pertanggungan yang berbeda39
39 Delil Khairat, Makalah Quota Share and Surplus, ibid., h. 5
Alokasi Risiko dengan Treaty Quota Share
200
80
120
20
200
300
120
180
30
300 300
0 200 400 600 800 1000
Properti 1
Properti 2
Properti 3
Properti 4
Properti 5
Retansi Quota Share Sisa
77
Dapat dilihat dari gambar diatas bahwa untuk properti 1 sampai 4,
alokasinya tetap, retensi 40% dan quota share 60%. Perbedaan terdapat pada
properti ke 5 dimana harga pertanggungan melebihi limit 100% quota share
sehingga ada sisa sebesar Rp 300.000.000. Misalkan semua sisa risiko
ditempatkan secara fakultatif, maka alokasi risikonya menjadi Retensi
Rp200.000.000 (25%), quota share Rp 300.000.000 (37.5%) dan fakultatif
Rp300.000.000 (37.5%). Akan tetapi kalau kita abaikan dulu sisa sebesar
Rp300.000.000, dapat dilihat bahwa perbandingan antara retensi dan quota share
tidak berubah yaitu 40% dan 60%.
Katakanlah pada properti 3 terjadi kerugian sebesar Rp 200 juta, maka
pembagian tanggung jawab atas klaim antara operator takaful dan operator
retakaful adalah
78
Gambar 3.8
Alokasi Kerugian Sebesar Rp 200.000.000 untuk Treaty Quota Share 60%
Antara Pool Takaful A dan Pool Retakaful B
Harga Pertanggungan: Rp 300 juta
b. Surplus
Sama dengan quota share, surplus termasuk metode treaty proportional
dimana risiko, kontribusi tabarru‟ dan klaim dibagi secara proportional antara
retensi pool takaful dan pool retakaful. Perbedaan paling mendasar adalah bahwa
dengan treaty surplus, operator takaful mendapatkan yang tidak dinikmati dengan
quota share, yaitu keleluasaan menetapkan retensi.
Alokasi risiko dalam treaty surplus didasarkan pada penetapan besarnya
retensi pool takaful oleh operator takaful dan kemudian bagian retakaful
dinyatakan sebagai kelipatan dari retensi tersebut. Retensi dalam surplus dikenal
sebagai a line atau satu line dan bagian pool retakaful juga dinyatakan dalam line,
bisa 1 line, 2 lines, 10 lines dan seterusnya.
RETENSI
= 40% x Rp 200
juta
=Rp 80 Juta
Pool Takaful A
QUOTA SHARE
= 60% x Rp 200 juta
= Rp 120 Juta
Operator Retakaful B
79
Misalkan sebuah Pool Takaful Z memiliki retensi untuk takaful kebakaran
sebesar Rp 200.000.000 untuk setiap risiko. Pengalaman beberapa tahun terakhir
menunjukkan bahwa harga pertanggungan tertinggi yang pernah diterima adalah
Rp 1.100.000.000, tetapi hanya 2% risiko yang memiliki harga pertanggungan
diatas Rp 1.000.000.000. Treaty Surplus dengan kapasitas otomatis sebesar
Rp1.000.000.000 dianggap sudah mencukupi dan sisa risiko di atas itu akan
ditempatkan secara fakultatif. Treaty Surplus Pool Takaful Z dapat digambarkan
seperti di bawah ini
Gambar 3.9
Alokasi Risiko dengan Treaty Surplus untuk portofolio asuransi kebakaran Pool
Takaful Z dengan retensi maksimum Rp 200.000.000
dan limit treaty Rp 800.000.00040
40Delil Khairat, Makalah Quota Share and Surplus.
RETENSI
Maksimum
Rp 200 juta
Pool Takaful Z
SURPLUS
4 Lines Maksimum Rp 800 juta
Pool Retakaful X
100% Treaty Limit: Rp 800 juta
Total Kapasitas Otomatis: Rp 1.000 juta
80
4. Non-Proportional Treaty
Dalam tipe retakaful non-proprtional treaty merupakan kontrak yang
mengikatkan diri antara operator takaful dengan operator retakaful. Dimana
operator takaful wajib mensesikan setiap risikonya ke dalam pool retakaful
dengan ketentuan-ketentuan serta syarat-syarat yang telah disepakati sepanjang
risiko tersebut tidak dikecualikan oleh treaty atau ketentuan polis risiko tersebut
tidak bertentangan dengan ketentuan treaty. Demikian pula retakaful tidak
memiliki pilihan kecuali diwajibkan menerima sesi risiko tersebut.
Yang membedakan dengan proportional treaty adalah dalam hal terjadi
kerugian, dalam proportional treaty dibagi secara proportional sedangkan pada
non proportional pembagiannya dibagi secara non proportional sebagaimana
yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa pool takaful hanya
menahan kerugian sampai batas tertentu dan sisanya di atas jumlah itu akan
ditanggung oleh pool retakaful. Dengan kata lain, pada retakaful non
proportional, pool retakaful bertanggung jawab untuk bagian kerugian di atas
jumlah tertentu.
a. Manfaat Serta Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan pihak penanggung pertama membeli atau memerlukan
proteksi berdasarkan kontrak reasuransi non proportional tidak lain adalah untuk
memperbesar atau meningkatkan daya tampung sendiri atas setiap beban risiko
yang ditanggungnya, baik yang bersifat risiko khusus dari tiap-tiap objek atau
81
kepentingan-kepentingan yang berdiri sendiri atau terpisah maupun terhadap
risiko-risiko yang terletak dalam satu komplek / wilayah yang lazimnya
dikategorikan sebagai satu risiko serta risiko-risiko lain yang dapat terjadi secara
beruntun dan / atau merupakan satu rangkaian peristiwa yang dapat menimbulkan
kerugian akumulatif dan masih dikategorikan sebagai satu kejadian.
Dari sisi pihak penanggung ulang, tujuan memberikan proteksi kontrak
reasuransi non proportional kepada penanggung pertama adalah memberikan
suatu perlindungan keuangan perusahaan dalam rangka mengubah ketidapastian
demi kelangsungan kehidupan usaha pihak penanggung pertama. Dengan proteksi
semacam ini pihak penanggung pertama paling tidak telah berusaha memperkecil
terjadinya beban besar yang harus ditanggung, bahkan mereka akan dapat
terhindar dari ancaman kebangkrutan.
Dari uraian tersebut di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa
penggunaan metode reasuransi dengan jenis atau tipe kontrak reasuransi non
proportional dapat memberikan manfaat bagi penanggung pertama antara lain
mengatasi keterbatasn kapasitas daya tampung sendiri (OR), penempatan
reasuransi dengan biaya yang ekonomis, premi yang diahan penanggung pertama
menjadi lebih besar, memperoleh proteksi yang baik, dapat memperkecil risiko,
dan memperoleh perlindungan untuk menjaga kestabilan atau kelestarian usaha.
82
b. Jenis-jenis atau Tipe Kontrak Reasuransi Non Proportional
Menurut teori maupun praktek, dalam kategori kontrak reasuransi non
proportional terdapat tiga jenis atau tipe kontrak reasuransi sebagaimana tersebut
dibawah ini.
1) Excess of loss
Jika ditinjau dari definisi kontrak reasuransi non proportional
sebagaimana disebut di muka, jaminan jumlah kerugian yang menjadi beban
penanggung ulang setelah underlying net retention maupun underlying net
retention itu sendiri selalu dinyatakan dalam sejumlah uang tertentu, misalnya
Rp250.000.000 in excess of Rp 100.000.000.
Dengan contoh tersebut, dalam hal terjadi suatu kerugian sebesar
Rp350.000.000, maka yang menjadi tanggung jawab penanggung ulang adalah
sebesar Rp 250.000.000. Apabila terjadi suatu kerugian yang menjadi beban
penanggung semula hanya sebesar lebih kecil atau sama dengan Rp 100.000.000,
penanggung ulang bebas dari tuntutan ganti kerugian. Sebaliknya, apabila jumlah
kerugian yang harus ditanggung penanggung semua melebihi dari jumlah
Rp350.000.000, katakanlah Rp 400.000.000, pihak penanggung harus
menanggungnya sendiri sebesar Rp 100.000.000 (U.N.R) ditambah Rp50.000.000
83
atau Rp 150.000.000 karena batas tanggung jawab tertinggi pihak penanggung
ulang untuk setiap kali kejadian atau peristiwa hanyalah sebesar Rp250.000.000.41
Sistem excess of loss treaty lazimnya diterapkan dalam menghadapi
”Catastrophic risk” atau ”Accumulation of risk” yaitu kemungkinan terjadinya
suatu klaim dalam jumlah yang sangat besar dalam satu perisitiwa (in one event),
misalnya:
a) Pertanggungan kecelakaan pribadi terhadap penumpang pesawat terbang.
b) Tertimbunnya muatan barang secara terus menerus dalam gudang
pelabuhan (asuransi pengangkutan laut dengan klausa 15 hari)
c) Kendaraan bermotor pribadi yang di pool dalam suatu tempat tertentu
(resiko kebakaran).
d) Risiko bencana alam (gempa bumi, letusan gunung berapi)
Underlying Retention (U/R)
Berbeda dengan ”Own retention” dalam quota share atau surplus treaty,
yang mana erat hubungannya dengan ”kemampuan” ceding company, maka
jumlah ”underlying retention” pada hakikatnya tidak ada kaitannya dengan
kemampuan termaksud di atas.
41 A.J. Marianto, Reasuransi, ibid., h. 87-89
84
Besarnya jumlah yang ditetapkan sebagai U/R tergantung pada
pengalaman klaim yang diperoleh selama tahun-tahun silam (5 s/d 10 tahun) dan
perhitungan didasarkan atas berbagai metode, antara lain:
a. Variation in loss ratio method (variasi dalam persentasi kerugian)
b. Loss frequency method (frekuensi terjadinya kerugian)
c. Integrated cost method (perbandingan biaya dengan bentuk reasuransi
lain)
Di dalam praktek biasanya diadakan pengelempokkan dari besarnya
jumlah-jumlah klaim, sehingga penetapan underlying retention akan lebih
sempurna dan wajar bagi pihk-pihak yang bersangkutan.
Contoh penetapan U/R untuk asuransi kendaraan bermotor:
Kerugian dalam persentase daripada penghasilan premi bersih
(Gross Net Premium Income per year)
Kel Besarnya claim (Rp) 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-2
1
2
3
4
5
6
7
Kurang dari 1.000.000
1.000.001 s/d 3.000.000
3.000.001 s/d 5.000.000
5.000.001 s/d 7.000.000
7.000.001 s/d 9.000.000
9.000.001 s/d 11.000.000
Lebih dari 11.000.001
18%
12%
8%
3%
1%
1%
0%
20%
10%
7%
4%
2%
0%
1%
15%
12%
6%
4%
2%
1%
0%
21%
7%
7%
5%
0%
1%
0%
17%
9%
10%
4%
2%
2%
1%
18.2%
10%
7.6%
4%
1.4%
1%
0.4%
Annual Claim Ratio 43% 44% 40% 41% 45% 42.6%
85
Dalam perhitungan yang sederhana, jika dikehendaki U/R sebesar
Rp5.000.000 (lihat kelompok 3), maka claim ratio bagi perusahaan penyalur
(ceding company) itu sendiri (claim O/R) minimal berjumlah rata-rata (18.2 + 10
+ 7.6)% = 35.8%.
Dengan demikian premi persentase (premium rate) yang akan ditetapkan
terhadap reinsurer tidak akan melebihi 42.6% - 30% = 12.6% oleh karena dalam
”kelompok 4 s/d 7” masih ditanggung oleh ceding company, bagian jumlah-
jumlah claim sebesar Rp 5.000.000.
Premi
Seperti telah diuraikan di atas bahwa ”Excess of loss treaty” tergolong
pada ”non proportional reinsurance” yaitu bahwa tidak terdapat perimbangan
yang tetap antara premi yang diterima dan bagian yang menjadi tanggungan dari
masing-masing pihak.
Pada prinsipnya reinsurer menanggung keadaan (underwriting policy) dari
ceding company, seperti halnya ceding company menanggung tertanggungnya.
Oleh karena itu penentuan ”Premium rate” atau bagian premi yang harus dibayar
oleh ceding company kepada reinsurer tergantung pada keadaan ceding company,
teristimewa pangalaman klaim-klaimnya selama tahun-tahun lalu.
”Premium rate” biasanya diucapkan dalam persentase dan diperhitungkan
dari seluruh penghasilan premi bersih atau Gross Net Premium Income (GNPI)
atau ada kalanya disebut pula ”Net Retained Premium”.
86
Yang dimaksud dengan GNPI adalah premi bruto (tidak termasuk biaya)
dikurangi dengan premi restitusi / pembatalan (jika ada) bonus (dividen), dan
premi reasuradur (misalnya reasuransi fakultative atau obligatory yang lain).
Pada umumnya ceding company diwajibkan membayar premi muka
(premi minimum) kepada reinsurer, yaitu sejumlah premi yang perhitungannya
didasarkan atas perkiraan penghasilan premi bersih yang diterima oleh ceding
company dalam jangka waktu tertentu.
Pada akhir tahun kontrak akan diadakan perhitungan kembali, dalam arti
kata apakah ceding company akan membayar premi tambahan atau tidak
sedangkan premi minimum menjadi hak sepenuhnya daripada reinsurer.
Contoh:
Perusahaan Asuransi A mempunyai ”Excess Of Loss Treaty” untuk jenis asuransi
kendaraan bermotor dengan data-data sbb:
Underlying Retention sebesar Rp 400.000
1st layer Rp 3.000.000
Perkiraan GNPI (Penghasilan Premi bersih setahun) Rp 100.000.000
Persentase premi (premium rate) 6.5%
Premi minimum yang harus dibayar muka biasanya ditetapkan antara (50 s/d
70)% x rate x GNPI, misalnya : 60% x 6.5% x Rp 100.000.00 = Rp 3.900.000
Seandainya penghasilan premi bersih pada akhir tahun berjumlah Rp 150.000.000
maka premi yang seharusnya dibayar adalah: 6.5% x Rp 150.000.000 =
87
Rp9.750.000 sehingga dengan demikian ceding company harus membayar premi
tambahan sebesar Rp 5.850.000.
Jika terjadi sesuatu klaim sebesar Rp 540.000 → ceding company menanggung
Rp 400.000 dan reinsurer menanggung Rp 140.000.42
Excess Of Loss, yang bila ditinjau dari sisi proteksi dan cara kerjanya terdapat
dua bentuk yaitu:
1. Working Excess of Loss
Yang disebut dengan working cover adalah kontrak-kontrak excess of
loss (X-loss) saat kedua pihak, pemberi sesi dan penanggung ulang, menerima
dan sepakat bahwa akan selalu terjadi kerugian-kerugian secara berkala.
Karenanya mereka memberi proteksi jumlah bisnis harian yang dijamin. Titik-
titik kelebihan / sisa adalah rendah dan mudak sekali dicapai karena kerugian-
kerugian yang terjadi sehingga mereka dapat memberi perlindungan, baik
untuk setiap polis (anyone policy) maupun terbentang untuk setiap risiko
(anyone risk).
Dalam rangka memperjelas tentang cara kerja kedua jenis working X-
loss cover seperti yang telah disebutkan di atas, dibawah ini akan diberikan
suatu contoh dengan angka-angka sebagai berikut:
42 Hendroyono, Property and Pocuniary Insurance, ibid., h. 49 - 50
88
a) Sebuah penanggung telah memiliki X-loss cover yang menjamin bisnis
kebakaran untuk Rp 300.000.000 i.e.o Rp 50.000.000. Suatu saat terjadi
kebakaran yang menimbulkan kerusakan-kerusakan atas 3 risiko atau
bangunan yang berdekatan. Biaya perbaikan atas setiap kerusakan dari
ketiga bangunan tersebut masing-masing sebesar Rp 30.000.000,
Rp20.000.000, Rp 15.000.000. Dalam satu peristiwa ini penanggung
membayar seluruh kerugian dari ketiga gedung termaksud sebesar
Rp65.000.000, (jumlah gabungan atau kerugian akumulatif = aggregate
loss). Karena kejadian atau peristiwa ini penanggung ulang wajib
membayar bagian yang menjadi tanggung jawabnya sebesar
Rp15.000.000, bila jaminan (cover) dari pihak penanggung ulang telah
diatur dan disepakati atas dasar setiap kejadian atau perisitiwa.
b) Namun, apabila jaminan yang diberikan oleh penanggung ulang dalam
working X-loss cover diatur dan disepakati untuk setiap risiko, harus
diperhatikan lebih dahulu jumlah kerugian dari setiap bangunan yang
mengalami kerugian dalam satu kejadian atau peristiwa termaksud.
Dengan contoh angka-angka kerugian seperti yang telah dikemukakan di
atas, maka penanggung ulang bebas dari tanggung jawab atas ketiga
bangunan yang mengalami kerugian karena jumlahnya masih di bawah
U.N.R untuk setiap risiko atau bangunan tersebut.
89
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perhitungan atau penetapan
premi untuk kontrak reasuransi non proportional adalah berbeda dengan
perhitungan atau penetapan premi pada kontrak reasuransi proportional.
Untuk X-loss treaties metode penetapan premi pada working X-loss pada
dasarnya sangat tergantung pada sistem burning cost berdasarkan pada
statistik lima tahun.
Di bawah ini akan disajikan dasar perhitungan premi untuk working X-
loss treaty dengan angka-angka statistik sebagai berikut.
Tahun Jumlah Premi
(1 Tahun)
Jumlah Kerugian Kejadian Jumlah Kerugian
2005
2006
2007
2008
2009
1.500.000.000
1.750.000.000
2.000.000.000
3.250.000.000
4.500.000.000
665.000.000
595.000.000
295.000.000
475.000.000
770.000.000
14
14
8
10
15
95.000.000
80.000.000
30.000.000
55.000.000
110.000.000
Total 13.000.000.000 2.800.000.000 61 370.000.000
Metode perhitungan burning cost didasarkan pada kerugian yang
melampaui excess point selama jangka waktu tertentu lima tahun dibagi
dengan premi untuk jangka waktu yang sama dan dikaitkan dengan seratus
persen. Berdasarkan contoh seperti tersebut di atas, maka:
370.000.000
Burning costs = x 100% = 2,846%
13.000.000.000
90
Burning cost murni ini biasanya ditambah faktor beban (loading
factor) yang lazimnya sebesar 100/70 atau 100/75 untuk biaya-biaya dengan
memperhatikan naik turunnya bisnis dimasa depan dan sedikti keuntungan
yag diharapkan bagi penanggung ulang.
Bila faktor beban yang diterapkan 100/75, burning cost akhir menjadi
2,846% x 100/75 = 3,795% dan tarif ini akan digunakan untuk perhitungan
premi working X-loss covers tahun 1991. Dalam praktek, biasanya ditetapkan
pula tarif minimum dan maksimum agar terdapat kelenturan (fleksibilitas)
bukan ditetapkan suatu tarif tetap.
Contoh lain dapat dikemukakan bahwa adakalanya penanggung ulang akan
menggunakan tarif minimum dan maksimum yang didasarkan pada
pengalaman yang sebenarnya dari tahun 2009 dan diperhitungkan pada akhir
tahun 2009. Apabila jumlah premi untuk tahun 2009 mencapai Rp
4.800.000.000 dan jumlah kerugian yang melampaui U.N.R. seluruhnya
sebesar Rp 150.000.000 burning cost untuk tahun itu adalah
150.000.000
x 100% = 3,125%
4.800.000.000
Metode perhitungan suku premi working X-loss covers
Selanjutnya, bila faktor beban tambahan yang dikenakan adalah
100/75 tarif premi menjadi 100/75 x 3,125% = 4,167% dan dalam jumlah
uang premi yang harus dibayar kepada penanggung ulang adalah 4,167% x
Rp4.800.000.000 = Rp 200.016.000. Dengan metode perhitungan premi akhir
91
untuk working X-loss covers seperti yang telah dikemukakan di sini, premi
yang sebenarnya harus dibayar baru dapat diketahui pada akhir tahun 2009.
Dengan kenyataan ini penanggung ulang harus menunggu demikian lama
untuk menerima pembayaran premi meskipun dapat saja terjadi kemungkinan
bahwa para penanggung ulang sewaktu-waktu sudah harus membayar ganti
kerugian selama jangka waktu satu tahun yang sedang berjalan. Metode
pembayaran premi demikian jelas tidak menguntungkan pihak penanggung
ulang.
Untuk mengatasi hal yang demikian, lazimnya pihak penanggung
ulang akan menetapkan suatu jumlah minimum deposit yang diperkirakan
jumlahnya lebih kecil dari jumlah premi yang diperkirakan akan diperoleh
setelah akhir tahun 2009, pada saat jumlah pendapatan premi secara
keseluruhan telah diketahui.
Apabila minimum deposit untuk tahun 2009 tersebut ditetapkan
Rp150.000.000 dan dengan perkiraan pendapatan premi sebesar
Rp4.800.000.000 serta jumlah pemi yang harus dibayarkan kepada
penanggung ulang sebesar Rp 200.016.000. pada saat perhitungan
penyesuaian pihak penanggung pertama selaku tertanggung yang
bersangkutan harus membayar lagi sejumlah Rp 50.016.000.
Berbicara tentang minimum deposit, pada umumnya pihak
penanggung ulang menganggap atau mengartikan sebagai jumlah premi yang
paling kecil (minimum premium) yang harus dibayar oleh pemberi
92
sesi/tertanggung. Jadi, bila perhitungan akhir dari jumlah premi yang harus
diterima oleh penanggung ulang lebih kecil dari minimum deposit (M.D),
premi yang harus dibayar pihak tertanggung / penanggung pertama adalah
sebesar jumlah minimum deposit yang telah ditetapkan.
Minimum deposit lazimnya dibayar setiap triwulan dan paling banyak
dilakukan empat kali angsuran, dengan pembayaran pertama pada tanggal
awal berlakunya masa pertanggungan (katakanlah 1 Januari), pembayaran
kedua pada tanggal 1 April, ketiga pada tanggal 1 Juli, dan yang keempat pada
tanggal 1 Oktober dari tahun yang bersangkutan.
Contoh perhitungan premi yang harus dibayar lebih kecil dari
minimum deposit adalah sebagai berikut.
data : 1. Jumlah premi seluruhnya selama satu tahun Rp 4.000.000.000
2. Jumlah klaim yang dibayar setelah U.N.R. Rp 60.000.000
3. Faktor loading = 100/75 dan M.D. = Rp 150.000.000
60.000.00
Tarif premi = x 100% = 1,50%
4.000.000.000
100
Tarif premi plus faktor loading = x 1,50% = 2,00%
75
Perhitungan premi dalam jumlah uang = 2,00% x Rp 4.000.000.000
adalah Rp 80.000.000. Hasil perhitungan akhir ini ternyata lebih kecil dari
jumlah minimum deposit yang ditetapkan Rp 150.000.000. Dalam hal seperti
93
ini pihak penanggung ulang tidak perlu mengembalikan kelebihan minimum
deposit yang telah mereka terima.43
2. Catastrophical Excess of Loss
Lain halnya dengan working X-loss cover, jaminan yang dijanjikan
dalam catastrhopical excess of loss adalah untuk risiko kerugian yang terjadi
dalam satu kejadian dan / atau serangkaian peristiwa yang masih ada
kaitannya akibat bencana besar sampai dengan jumlah jaminan tertentu
setelah U.N.R dilampaui. Peristiwa atau bencana besar yang dimaksud antara
lain akibat:
a) Air bah dan / atau banjir bandang yang dapat melanda wilayah yang luas.
b) Topan atau siklun yang sering diikuti banjir besar.
c) Gempa bumi dan letusan gunung berapi, dan
d) Huru-hara atau kerusuhan yang bisa meliuas ke daerah lain.
Peristiwa tersebut diatas umumnya dapat menimbulkan kerugian besar
pada bangunan-bangunan, ternak, pertanian/perkebunan, dan lain-lainnya di
suatu kota atau beberapa tempat yang dilandanya. Lazimnya risiko atau
bahaya-bahaya semacam ini dipertegas dalam kontrak reasuransi yang
bersangkutan. Dengan demikian, apabila peristiwa tersebut terjadi jelas akan
43 A.J. Marianto, Reasuransi, ibid., h. 91 - 95
94
menimbulkan kerugian akumulatif yang meliputi jumlah besar dan tidak
mungkin dapat ditanggung sendiri oleh para penanggung.
Metode perhitungan suku premi untuk catastrophe X-loss covers
lazimnya tidak sama dengan metode perhitungan suku premi yang
dipergunakan untuk working X-loss. Penetapan suku premi untuk catastrophe
X-loss covers biasanya lebih menitikberatkan dan / atau didasarkan pada
pengalaman tentang klaim-klaim yang telah terjadi dan yang telah dibayar
pada tahun-tahun sebelumnya. Untuk jenis kontrak reasuransi semacam ini
ditetapkan tarif premi tetap (flate rate) dan tidak terdapat perhitungan
penyesuaian dengan apa yang disebut premi minimum atau maksimum
deposit.
Apabila kita bicarakan tentang peluang terjadinya bencana, dapat
dikatakan bahwa kemungkinan terjadinya kerugian besar ditinjau dari
frekuensi memang lebih kecil. Namun, dalam bentuk kuantitas, bila bencana
ini terjadi, penanggung ulang kemingkinan besar akan membayar ganti
kerugian yang cukup besar, bahkan bisa mencapai limit jaminan yang
diberikan.
D. Kontribusi Reasuransi Syariah
Pada saat Operator Asuransi Syariah memutuskan untuk melakukan retakaful
maka yang terjadi adalah pemindahan pengelolaan sebagian risiko kepada Operator
Retakaful yang diikuti oleh pemindahan sebagian kontribusi tabarru‟ dari rekening
dana peserta Pool Asuransi Syariah ke rekening dana tabarru‟ Retakaful serta
95
sebagian dari ujrah Operator Asuransi Syariah ke rekening Operator Retakaful.
Pemindahan sebagian kontribusi tabarru‟ dilakukan sesuai dengan bentuk
Retakaful yang digunakan dan ketentuan-ketentuan yang disepakati antara Operator
Asuransi Syariah dan Operator Retakaful. Sementara itu sebagian dari ujrah takaful
yang ditransfer dari rekening Operator Asuransi Syariah ke rekening Operator
Retakaful selanjutnya disebut ujrah Retakaful. Besarnya ujrah Retakaful dikaitkan
dengan besarnya risiko atau liability yang dipindahkan pengelolaannya dari Pool
Operator Asuransi Syariah ke Pool Retakaful. Besarnya risiko atau liability
berbanding lurus dengan kontribusi tabarru‟. Dengandemikian besarnya ujrah
Retakaful dapat diekspesikan sebagai persentase dari kontribusi tabarru‟ yang
dipindahkan ke Pool Retakaful (ceded retakaful contribution). Jadi,
Ujrah Retakaful = x% of Ceded Retakaful Contribution
Selanjutnya, berapa besarnya x diserahkan pada negoisasi antara Operator
Asuransi Syariah dan Operator Retakaful. Pemilahan menjadi dua komponen tetap
dipertahankan sehingga tercampurnya komponen kontribusi tabarru‟ dengan ujrah
dapat dihindari.
Untuk lebih jelasnya, aliran kontribusi dari peserta Pool Operator Asuransi
Syariah ke Operator Retakaful pada gambar berikut:
96
Surplus underwriting terjadi bila jumlah premi kumpulan dan hasil
investasinya lebih besar daripada biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya serta
klaim. Sebagaimana diketahui bahwa asuransi konvensional pada Retakaful yang
beroperasi diatas konsep risk transfer maka metode surplus operasional Retakaful44
adalah:
a. Memberikan surplus secara penuh kepada peserta tanpa memperhatikan apakah si
peserta tersebut sudah atau belum melakukan klaim.
b. Hanya memberikan surplus kepada peserta yang belum menerima klaim ganti rugi.
c. Membagi surplus operasional kepada peserta dengan mempertimbangkan besarnya
klaim yang telah dibayarkan.
44 Adiwarman Karim, Dasar-dasar Fiqh Asuransi dan Reasuransi Syariah
97
d. Surplus dibagi antara peserta pool dan operator.
e. Membagi surplus operasional dengan metode lain.
Deficit underwriting terjadi apabila jumlah premi kumpulan dan hasil
investasinya lebih kecil dari biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya serta klaim.
metode penanggulangan deficit underwriting pada Operasional Asuransi Syariah
adalah:
a. Untuk menutup defisit, diambil dari dana cadangan apabila masih tersedia.
b. Meminjam kepada pihak ketiga dan akan dibayarkan kembali apabila terjadi
surplus underwriting di masa yang akan datang.
c. Ditanggung oleh peserta secara proporsional.
d. Meningkatkan premi asuransi di masa yang akan datang.
Sebagai implikasi dari adanya pembagian surplus underwriting ini
mensyaratkan dipenuhinya hal-hal sebagai berikut45
:
a. Adanya dukungan system informasi yang baik dan transparan untuk
memungkinkan pemisahan pencatatan antara Dana Peserta dan Pengelola
b. Tersedianya pencatatan yang memungkinkan diketahuinya transaksi secara tunai
untuk penerimaan premi Dana Peserta. Hal ini penting untuk dasar perhitungan
besarnya penerimaan riil premi Dana Peserta. Mengingat surplus akan dibagi
berdasarkan penerimaan yang benar-benar telah diterima dan diperhitungkan
dengan seluruh kewajiban yang telah terjadi
c. Perlu adanya pencatatan akuntansi yang memungkinkan untuk mengetahui dana
per masing - masing peserta
45 Widyawati, Operating Aspect/Practical Issues of Syariah Accounting, h. 89
98
BAB IV
ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP METODE
REASURANSI TREATY NON PROPORTIONAL EXCESS OF LOSS
A. Analisis Implementasi Program Reasuransi Syariah Excess Of Loss Pada
Perusahaan PT. XYZ
Program pertanggungan ulang atau reasuransi merupakan suatu program
yang sangat penting bagi perusahaan asuransi dalam menanggulangi beban
tanggung gugat/jawab yang timbul karena akseptasi atas permohonan asuransi
yang diajukan oleh pihak tertanggung. Penyusunan program semacam ini juga
dilaksanakan oleh perusahaan reasuransi professional dan program yang mereka
susun disebut program retrosesi. Program retrosesi ini mempunyai tujuan untuk
menanggulangi beban risiko yang tinggi ataupun beban akumulasi risiko yang
telah mereka terima dari penanggung pertama (pemberi sesi), baik yang diterima
melalui metode kontrak reasuransi.
Program reasuransi yang telah lazim dilakukan oleh para penanggung
pada dasarnya dapat mereka susun sendiri atau dilaksanakan oleh pialang (broker)
reasuransi dalam hal penanggung tersebut telah menunjuk salah satu pialang
perusahaan / asuransi untuk bertindak selaku pialang dan konsultan mereka dalam
hal penempatan reasuransi.
Menurut praktek yang berlaku, pada umumnya program reasuransi
mencakup beberapa kebijakan, antara lain:
99
1. Phase Persiapan
Traktat atau treaty reasuransi berdasarkan underwriting year, mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember sehingga negosiasi
treaty biasanya dilaksanakan sekitar enam sampai sepuluh minggu sebelum
tanggal 1 Januari, atau sekitar bulan Desember. Semakin awal dilakukan
negosiasi Treaty akan lebih baik, karena kapasitas perusahaan reasuransi masih
penuh (jika diibaratkan pedagang, persediaan barang dagangan masih banyak).
Sebelum dilaksanakan negosiasi treaty dengan reasuradur, perlu
dipersiapkan hal-hal sebagai berikut:
a. Penentuan Retensi Sendiri
Berdasarkan pengalaman selama 9 bulan sejak bulan Januari akan
dapat dirasakan dan diketahui, apakah retensi sendiri tersebut terlalu besar,
terlalu kecil, apakah cukup. Hal tersebut dapat dilihat jika terjadi klaim,
apakah pembayaran klaim dapat mengganggu arus keuangan (cash flow),
sampai seberapa jauh gangguan tersebut.
Besarnya retensi sendiri tersebut tidak perlu harus sama untuk setiap
jenis asuransi, dan peningkatan jumlah/besarnya retensi sendiri harus sesuai
dengan pengalaman perusahaan. Hasil yang baik pada tahun ini, belum tentu
akan lebih baik pada tahun berikutnya, sehingga jangan terburu-buru
meningkatkan retensi sendiri.
100
b. Limit Treaty
Apakah limit treaty yang sudah ada memadai sehingga bisnis yang ada
dapat terserap dalam treaty. Limit Treaty yang kurang memadai (kurang
besar) dapat terlihat antara lain, dengan terlalu banyaknya premi reasuransi
facultative (untuk nilai pertanggungan yang melampaui limit treaty). Dapat
juga terjadi bahwa limit treaty terlalu besar karena “Size of Business” yang
ada pada umumnya tidak terlalu besar.
c. E.P.I (Estimate Premium Income)
Pencapaian premi yang diestimasikan merupakan salah satu cirri
keberhasilan dalam perencanaan program treaty. Namun demikian, oleh
karena data-data perolehan premi baru diperoleh sampai dengan bulan
September (Kwartal III) teoritis perolehan premi baru ¾ atau 75% dari
perolehan premi tahunan. Adakalanya secara persentase masih agak rendah,
mungkin baru sekitar 60%. Namun pada akhir tahun banyak polis-polis yang
akan jatuh tempo dengan premi yang relatif besar sehingga E.P.I dapat
dicapai.
d. Panel of Reinsurer’s
Apakah reasuradur yang sudah ada perlu ditambah atau dikurangi
jumlahnya?. Apakah share masing-masing reasuradur perlu ditinjau?.
101
Oleh karena hubungan reasuransi dapat dikatakan sebagai hubungan
jangka panjang (long time relationship), dalam jangka waktu satu atau dua
tahun asuradur belum dapat secara lengkap dan baik menilai reasuradur
demikian pula sebaliknya. Sebelum memberikan penilaian atas pelayanan
reasuradur (seperti misalnya kecepatan pelayanan klaim baik berupa
konfirmasi dan ataupun pembayaran klaim yang melampaui cash loss limit),
asuradur terlebih dahulu harus menilai diri sendiri seperti misalnya :
- Apakah semua laporan kepada reasuradur sudah tepat waktu (misalnya
bordero).
- Apakah tata cara pelaporan sesuai ketentuan?
- Apakah pembayaran premi reasuransi sudah tepat waktu?
Dalam melaksanakan penilaian terhadap reasuradur, perlu diperhatikan
beberapa hal penting antara lain :
a) Kemampuan keuangan
Oleh karena reasuransi adalah asuransinya asuransi, kemampuan
keuangan merupakan faktor terpenting, tidak hanya jumlah atau besarnya
akan tetapi kemampuan membayar klaim secara tepat waktu dan
berkesinambungan selama bertahun-tahun akan merupakan hal penting
yang perlu diketahui.
102
b) Fleksibilitas yang tinggi dalam berbagai aspek merupakan hal yang sangat
penting dalam rangka memilihara hubungan reasuransi yang
berkelanjutan.
c) Tingkat pelayanan yang baik, dengan motto “nasabah adalah raja”,
merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh pada reasuradur dalam
berhadapan dengan perusahaan asuransi.
Perlu juga dipertimbangkan peranan Broker Reasuransi dalam penempatan
salah satu atau beberapa jenis asuransi, karena dalam beberapa hal Broker
Reasuransi dapat berperan sangat positive (broker reasuransi yang
berpengalaman dan atau mempunyai reputasi yang baik dari dalam
maupun dari luar negeri)
Beberapa peran positif Broker reasuransi antara lain :
- Membantu penyusunan program reasuransi yang lebih baik.
- Memberikan konsultasi dan informasi mengenai “International
Reinsurance Market”.
- Membantu pengurusan klaim kepada reasuradur.
- Dan pelayanan-pelayanan lain yang kadang-kadang sulit diperoleh dari
Reasuradur, seperti misalnya informasi lengkap dan evaluasi terhadap
reasuradur.
103
e. Jenis Treaty
Berdasarkan pengalaman yang sudah diperoleh paling tidak selama
tiga kwartal dari tahun yang sedang berjalan dapat dipelajari bagaimana hasil
underwriting dari setiap jenis treaty yang ada.
Seandainya digunakan metode quota share, mengingat kerugian dan
keuntungannya, apakah perlu dirubah menjadi surplus, atau kombinasi antara
quota share dan surplus, berbagai kemungkinan jenis/metode reasuransi dan
kombinasi yang dapat dipergunakan antara lain :
- Quota Share
- Surplus
- Excess of Loss
- Quota Share + Surplus
- Quota Share + Excess of Loss
- Surplus + Excess of Loss
Memang tidak mudah untuk menentukan pilihan akan tetapi
underwriter yang jeli dan lincah, berdasarkan pengalaman dan “underwriting
result” selama beberapa tahun terakhir akan diperoleh suatu bentuk treaty
yang ideal bagi perusahaan untuk tahun mendatang. Semua line manager dan
bagian klaim harus dilibatkan untuk membicarakannya, demikian pula bagian
104
keuangan. Keputusan terakhir harus dilaksanakan oleh Direktur Tekhnik, dan
jika menyangkut masalah pembayaran Mindep untuk Excess of Loss program,
sebaiknya juga dibicarakan dengan bagian keuangan dan Direktur Keuangan.
f. Risk and Loss Profile
Dalam Risk and Loss Profile akan dapat dilihat jumlah perolehan
premi dan kewajiban klaim yang harus dibayar kepada tertanggung untuk
setiap jenis asuransi berdasarkan struktur atau skala pertanggungan.
Angka-angka yang tercantum dalam Risk and Loss Profile merupakan
data pendukung utama yang memperlihatkan kekuatan dan kelemahan bagian
pemasaran dalam upaya memperoleh premi, demikian pula akan terlihat
kekuatan dan kelemahan seleksi risiko (underwriting) dalam upaya
memperoleh hasil underwriting yang bermutu dengan tingkat “Claim Ratio”
yang rendah.
Risk and Loss Profile ini harus sudah selesai dikirimkan kepada
“Leading Reinsurer” sebelum “Negosiasi Treaty”
g. Statistic
Sebagai pendamping da pendukung “Risk and Loss Profile” juga
harus dipersiapkan “Statistic-Position” pada tanggal 30 September tahun
berjalan yang akan memperlihatkan :
105
- Perkembangan perolehan premi
- Klaim yang sudah berjalan
- Klaim yang belum dibayar
Selama lima tahun terakhir berturut-turut.
h. Underwriting Policy
Perlu disusun suatu kebijakan tekhnik/underwriting policy untuk tahun
yang akan dating antara lain dengan :
- Mengurangi akseptasi untuk bisnis-bisnis yang kurang menguntungkan
(karena jumlah dan atau frekuensi klaim yang cukup banyak).
- Memberikan insentif yang lebih besar kepada Brokers/agent untuk bisnis-
bisnis yang menguntungkan.
2. NEGOSIASI TREATY
Dalam praktek Negosiasi Treaty di Indonesia, sampai saat ini hampir
semua perusahaan asuransi kerugian nasional menunjuk salah satu dari empat
perusahaan reasuransi yang ada untuk menjadi “Reinsurance Leader” dalam
program penyusunan treatynya.
Untuk menghindari persaingan yang kurang sehat diantara sesame
reasuradur tersebut sudah sejak lama terjalin kerjasama yang erat, terutama sejak
106
terbentuknya Forum Re lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kerjasama tersebut
tercermin antara lain dalam penyusunan “term and condition” program reasuransi
yang seragam dikenal sebagai FORUM RE-WORDING, walaupun dalam
pelaksanaannya masih terlihat perbedaan-perbedaan yang tidak terlalu prinsip.
Sebelum dilaksakannya Negosiasi Treaty pada asuradur terlebih dahulu
harus mengirimkan dokumen-dokumen antara lain :
- Risk and Loss Profit
- Statistic
- Estimate Premium Income
- Rencana program Treaty untuk tahun mendatang
Berdasarkan jadwal yang ditentukan, para asuradur secara bergantian
mengirimkan “Team Negosiator” nya ke kantor perusahaan asuransi yang
menjadi leadernya.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh para Negosiator dari
perusahaan asuransi antara lain adalah :
- Angka-angka atau data-data yang tercantum dalam Risk and Loss Profit harus
diteliti kebenarannya, karena “Leading – Reinsurer” mempunyai data
pembanding berdasarkan Bordero dan Statement of Account yang diterimanya
dari Reasuradur. Terutama jika sudah ada hubungan dari tahun-tahun
sebelumnya.
107
- Reasuradur harus dapat diyakinkan bahwa E.P.I untuk tahun sedang berjalan
maupun untuk tahun yang akan datang dapat tercapai.
- Kapasitas yang diusulkan untuk masing-masing jenis asuransi tidak
“Oversize” atau melebihi kemampuan asuradur, dan tidak terlalu kecil
sehingga bisnis yang ada terlalu banyak dibuang ke facultative.
- Semua kewajiban yang dipersyaratkan dalam treaty tahun berjalan telah
dilaksanakan dengan baik, antara lain berupa laporan AdministrasiTreaty
(Bordero dan atau S.O.A., kewajiban pembayaran premi asuransi dan
sebagainya.
- Penentuan retensi sendiri yang wajar.
- Program yang diusulkan harus mencerminkan “Mutual Benefits” (untuk
kepentingan dan keuntungan bersama) antara asuradur dan reasuradur.
3. ADMINISTRASI dan EVALUASI
Tugas-tugas Administrasi yang harus dilaksanakan antara lain :
- Entry data untuk semua jenis polis-polis yang diterbitkan sesuai jenis
asuransinya masing-masing (Nomor Polis, Nilai Pertanggungan, Jenis Risiko,
Tarif Premi, Jaminan tambahan, dan Tarif Preminya).
- Membagi-bagi premi (Share Asuradur dan Share Reasuradur)
- Penyusunan dalam bentuk “Bordero Premi” sesuai dan dikirimkan kepada
Leading Reinsurers setiap bulan.
- Penyusunan Bordero Klaim
108
- Pembuatan Rekapitulasi setiap tiga bulan dalam bentuk Statement of Account.
- Laporan klaim. Disamping itu secara bertahap harus dilakukan evaluasi,
sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan Treaty untuk tahun yang akan
datang.
Sebaliknya untuk Non Proportional Treaty Excess of Loss tidak
memerlukan administrasi tersebut di atas. Satu-satunya laporan adalah apabila
terjadi klaim dengan jumlah pembayaran melebihi retensi sendiri, karena
keterlibatan reasuradur untuk membayar klaim.
Berikut ini akan dijelaskan isi dari perjanjian Reasuransi Syariah dengan
menggunakan Metode Treaty Non Proportional Excess of Loss.
1) Takaful Operator
Pihak pemberi sesi (ceding company), yaitu perusahan asuransi syariah
yang menyatakan kesepakatannya untuk memberikan porsi reasuransi kepada
pihak penerima sesi yang dalam hal ini disebut reasuradur atau penanggung
ulang.
2) Class dan Type
Bila dalam suatu perjanjian reasuransi disebutkan class dan type,
maksudnya adalah jenis asuransi yang termasuk dalam suatu perjanjian, misalnya:
- Asuransi Kebakaran
- Asuransi Pengangkutan
109
- Asuransi Rangka Kapal
- Asuraansi Gempa bumi
3) Period
Period yang dimaksud dalam perjanjian ini adalah masa perjanjian antara
pihak operator asuransi syariah dengan operator reasuransi syariah. Misalnya 1
Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2010.
4) Territorial Scope
Dalam setiap traktat reasuransi baik yang proportional maupun non
proportional, ketentuan tentang “Territorial Scope” biasanya diberlakukan.
Contoh 1:
Territorial Scope : Republik Indonesia
Berlaku atas objek pertanggungan yang berada dalam wilayah Negara Republik
Indonesia. Seperti misalnya untuk Asuransi Kebakaran, Asuransi Kendaraan
Bermotor, Asuransi Alat-alat Berat dan lain-lain.
Ketentuan tentang “Territorial Scope” seperti di atas tidak berlaku untuk jenis-
jenis asuransi tertentu. Seperti misalnya untuk Asuransi Aviasi, Asuransi
Pengangkutan Barang, Asuransi Kecelakaan Diri, Asuransi Tanggung Gugat
Profesi dan lain-lain.
110
5) Retakaful Limit
Yang dimaksud dengan retakaful limit dalam metode treaty non proportional
excess of loss adalah batas kemampuan perusahaan asuransi syariah menanggung
beban tanggung jawab sendiri atas kerugian tunggal atau kerugian akumulatif.
Contoh 2 :
To pay up to IDR 4,700,000,000 or equivalent in other currency Ultimate Net
Loss each and every Loss, each and every risk or series of losses arising out of
one event
in excess of
IDR 300,000,000 or equivalent in other currency Ultimate Net Loss each and
every Loss, each and every risk or series of losses arising out of one event.
Penjelasannya, retensi sendiri perusahaan asuransi syariah adalah sebesar Rp
300.000.000 berarti bahwa semua klaim dengan jumlah kerugian sampai dengan
Rp 300.000.000 akan ditanggung sendiri oleh perusahaan asuransi syariah, dan
apabila terjadi klaim dengan jumlah kerugian lebih dari Rp 300.000.000 akan
tetapi tidak lebih dari Rp 4.700.000.000 maka perusahaan reasuransi syariah akan
bertanggung jawab untuk membayar kerugian tersebut setelah dikurangi retensi
sendiri.
111
6) Reinstatement
Istilah ini biasanya dipakai dalam Excess of Loss Treaty. Yang dimaksud
dengan Reinstatement adalah pemulihan limit reasuransi yaitu mengembalikan
limit reasuransi setelah terpakai untuk membayar klaim yang terjadi.
Contoh 3 :
Motor Motor Excess of Loss Programme PT. Asuransi XYZ.
Ceding Company Retention Rp. 50.000.000 / a.a.c
Reinstatement Limit Rp 150.000.000
(Reinsurer‟s share = Rp 200.000.000 – Rp 50.000.000 = Rp 150.000.000)
Rate 6.5% (flat)
Terj adi klaim sebesar Rp 150.000.000
Share Asuradur / Deductible Rp 50.000.000
Share Reasuradur Rp 100.000.000
Oleh karena share reasuradur any one occurance adalah sebesar Rp 150.000.000
karena terpakai untuk membayar klaim Rp 100.000.000 = Sisa Rp 50.000.000.
Jumlah Rp 50.000.000 harus dikembalikan (di reinstatement) menjadi Rp
150.000.000 dengan kekurangan sebesar Rp 100.000.000.
112
Premi Reinstatement = 6.5% x Rp 100.000.000 = Rp 6.500.000. Sehingga
perhitungan pembayaran klaim kepada reasuradur menjadi sebagai berikut:
Jumlah klaim Rp 150.000.000
Deductible (share asuradur) Rp 50.000.000
Premi Reinstatement 6.5% x Rp 100.000.000 = Rp 6.500.000.
Klaim dibayar kepada asuradur :
= Rp 100.000.000 – Rp 6.500.000 = Rp 93.500.000
7) Minimum & Deposit Premium (Mindep)
Adakalanya penanggung ulang akan menggunakan tarif minimum dan
maksimum yang didasarkan pada pengalaman yang sebenarnya dari tahun
sebelumnya dan diperhitungkan pada akhir tahun sebelumnya. Dengan metode
perhitungan excess of loss, premi yang sebenarnya harus dibayar baru dapat
diketahui pada akhir tahun berjalan. Dengan kenyataan ini penanggung ulang
harus menunggu demikian lama untuk menerima pembayaran premi meskipun
dapat saja terjadi kemungkinan bahwa para penanggung ulang sewaktu-waktu
sudah harus membayar ganti kerugian selama jangka waktu satu tahun yang
sedang berjalan.
Metode pembayaran premi demikian jelas tidak menguntungkan pihak
penanggung ulang. Untuk mengatasi hal yang demikian, lazimnya pihak
113
penanggung ulang akan menetapkan suatu jumlah minimum deposit yang
diperkirakan jumlahnya lebih kecil dari jumlah premi yang diperkirakan akan
diperoleh setelah akhir tahun berjalan, pada saat jumlah pendapatan premi secara
keseluruhan telah diketahui.
Contoh 4 :
Apabila jumlah premi untuk tahun sebelumnya mencapai Rp 4.700.000.000 dan
jumlah kerugian yang melampaui U.N.R seluruhnya sebesar Rp 350.000.000,
burning cost untuk tahun itu adalah
350.000.000
x 100% = 7.447%
4.700.000.000
Selanjutnya, bila faktor beban tambahan yang dikenakan adalah 100/75, tariff
premi menjadi 100/75 x 7.447% = 9.93% dan jumlah uang premi yang harus
dibayar kepada penanggung adalah 9.93% x 4.700.000.000 = Rp 466.710.000
dibayar dimuka.
Apabila minimum deposit untuk tahun itu tersebut ditetapkan Rp 300.000.000 dan
dengan perkiraan pendapatan premi sebesar Rp 4.700.000.000 serta jumlah premi
yang harus dibayarkan kepada penanggung ulang sebesar Rp 466.710.000, pada
saat perhitungan penyesuaian pihak penanggung pertama selaku tertanggung yang
bersangkutan harus membayar lagi sejumlah Rp 166.710.000. Sebaliknya jika
premi yang harus dibayar kepada penanggung lebih kecil dari minimum deposit
tidak ada pengembalian premi.
114
B. Analisis Faktor-faktor Yang Membuat Perusahaan Asuransi Syariah
Memilih Menggunakan Metode Reasuransi Treaty Non Proportional Excess
of Loss.
Berikut akan dijelaskan faktor-faktor apa saja yang membuat perusahaan
asuransi syariah lebih memilih metode Treaty Non Proportional Excess of Loss dari
pada metode reasuransi lainnya:
1. Administrasi Lebih Simple
Dalam metode reasuransi proportional itu ada kondisi yang namanya harus
melaporkan proporsinya setiap kuartal. Seperti setiap produksi, klaim, laporan
akumulasi control dan lain-lain. Itu semua harus wajib dilaporkan setiap kuartal.
Sedangkan untuk non proportional tidak ada kewajiban untuk laporan setiap
kuartal. Dalam non proportional langsung bayar di depan dan jika ada klaim baru
ada pembayaran administrasi.
2. Limits Per Risk / Per Event to a Known Limit
Dalam non proportional ada yang namanya limit. Di non proportional sesi masuk
bisa unlimited risk, jadi bisa 100.000 polis, 200.000 polis, 300.000 polis, bahkan
1.000.000 polis bisa masuk. Polis itu tentunya berimplikasi terhadap klaim, bisa
masuk 1.000.000 polis berarti ada kemungkinan 1 juta klaim terjadi dan
ditotalkan semua polis itu dan unlimitednya tidak akan pernah tahu jika terjadi
115
satu catastrophe loss. Di excess of loss mau berapapun lossnya maksimalnya
unlimited.
3. Reinsurance Cost Lebih Murah
Jika kita bandingkan biaya reasuransi antara metode proportional dengan metode
non proportional ternyata metode non proportional mempunyai biaya reasuransi
yang lebih murah. Ini dikarenakan metode reasuransi non proportional dalam
menghitung premi menggunakan sistem burning cost yaitu menghitung premi
berdasarkan klaim yang dialami dari tahun-tahun sebelumnya. Metode
perhitungan burning cost didasarkan pada kerugian yang melampaui excess point
selama jangka waktu tertentu lima tahun dibagi dengan premi untuk jangka waktu
yang sama dan dikalikan dengan seratus persen.
Contoh 5 :
Misalkan asuransi A mempunyai data statistic dari tahun 2005 sampai dengan
tahun 2009. Dari data tersebut diketahui jumlah kerugian dari tahun 2005 sampai
tahun 2009 adalah Rp 400.000.000 dan jumlah premi dari tahun 2005 sampai
dengan tahun 2009 adalah Rp 16.000.000.000.
400.000.000
Burning cost x 100% = 2.5%
16.000.000.000
116
Burning cost murni biasanya di tambah faktor beban (loading factor) yang
lazimnya sebesar 100/70 atau 100/75 untuk biaya-biaya dengan memperhatikan
naik turunnya bisnis dimasa depan dan sedikit keuntungan yang diharapkan bagi
penanggung ulang.
Bila faktor beban yang diterapkan 100/75, burning cost akhir menjadi :
100
2.5% = 3.333%
75
Dan tarif ini akan digunakan untuk perhitungan premi.
4. Asuradur bisa bebas menentukan deductible
Maksud dari asuradur bisa bebas menentukan deductible yaitu jika di dalam
metode non proportional terjadi klaim sebesar 11 miliar, sedangkan retensi yang
ditahan oleh asuradur Rp 1.000.000.000 x Rp 1.000.000. Maka perusahaan
asuransi bisa bebas menentukan sisa deductiblenya. Jadi seberapa besar klaim
gempa bumi di Indonesia perusahaan asuransi hanya bisa menahan sampai Rp
1.000.000. Misalkan perusahaan asuransi mempunyai cover 600 juta, jika terjadi
satu klaim besar (catasthrope) sebesar 1 juta maka perusahaan asuransi hanya
bisa menahan sebesar 600 ribu. Jika terjadi kebakaran di perusahaan asuransi
maka perusahaan asuransi hanya membayar 600 ribu, besarnya 600 ribu ini
ditentukan sendiri oleh perusahaan asuransi tetapi konsekuensinya premi.
Perusahaan asuransi bisa tahan sampai 2 juta akan tetapi perusahaan asuransi bisa
membayar premi yang lebih murah atau perusahaan asuransi bisa menahan lebih
kecil tetapi dengan konsekuensi bayar premi lebih mahal. Karena prinsip
117
deductible adalah semakin besar deductible maka ratenya semakin kecil,
sedangkan semakin kecil deductible maka ratenya akan semakin besar
5. Term and Condition Lebih Luas, Dan Lebih Bisa Berkreasi Dalam Produk
Pada metode non proportional covernya bisa lebih luas jadi perusahaan asuransi
bisa lebih bebas berkreasi dalam memilih produk. Sedangkan pada metode non
proportional ada batasan dalam memilih cover.
C. Analisa Tinjauan Hukum Islam Terhadap Metode Reasuransi Treaty Non
Proportional Excess of Loss.
Disebuah bangunan hukum akan tegak secara kokoh, jika dan hanya jika
dibangun atas pondasi dan dasar yang kuat, seperti pada praktek bermuamalat di
perasuransian haruslah didasari oleh konsep ekonomika Islam yang berprinsip pada
ketakwaaan (tauhid), keadilan (al-adl), tolong-menolong (at-taawun), terpercaya atau
jujur (al-amanah), larangan maysir, larangan gharar, dan larangan riba.
Berdasarkan pembahasan di atas metode yang digunakan oleh intitusi
keuangan syariah sesuai dengan konsep prinsip-prinsip ekonomika Islam,
sebagaimana konsep metode yang digunakan oleh reasuransi haruslah juga sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam.
Pada metode reasuransi treaty non proportional excess of loss, bekerja
berdasarkan besarnya kerugian, lebih tepatnya dengan first loss basis, bukan besarnya
risiko. Pool yang dikelola oleh Operator Asuransi Syariah akan membayar klaim
sampai batas tertentu, dan sisanya dibayar oleh Operator Retakaful sampai batas
118
tertentu pula. Oleh karena itu, Retakaful Non Proporsional dikenal pula sebagai
Excess of Loss.
Pada contoh 2 bab IV Sub 1, yang mana telah ditentukan minimum deposit
(premi) dan besaran uang pertanggungan yang akan dibebankan oleh perusahaan
asuransi syariah. Jika ditinjau dari konsep ekonomi Islam pada prinsip keadilan (al-
adl) hal ini tidaklah sesuai karena pembayaran minimum deposit (premi) yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi syariah (asuradur) tidak sesuai dengan besaran
uang pertanggungan yang akan didapat oleh asuradur. Jadi, bila perhitungan akhir
dari jumlah premi yang harus diterima oleh penanggung lebih kecil dari minimum
deposit, premi yang harus dibayar pihak tertanggung / penanggung pertama adalah
sebesar jumlah minimum deposit yang ditetapkan. Dalam hal seperti ini pihak
penanggung ulang tidak perlu mengembalikan kelebihan minimum deposit yang telah
mereka terima. Sedangkan perusahaan asuransi harus menanggung risiko jika risiko
tersebut lebih dari maksimum pertanggungan yang ditanggung oleh reasuransi.
Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (Q.S. An-Nissa :
58)
119
Dalam metode treaty non proportional bekerja berdasarkan besarnya
kerugian, lebih tepatnya dengan first loss basis, bukan besarnya risiko. Jika dihitung
berdasarkan kerugian, hal ini sangatlah merugikan pihak perusahaan asuransi syariah
(asuradur) karena besarnya kerugian masih dapat diprediksi dengan cara perhitungan
statistic tahun-tahun sebelumnya.
Operator reasuransi syariah harus menggunakan data statistik yang credible
sehigga semakin luas data yang digunakan maka estimasi-estimasi terhadap
kemungkinan di masa mendatang akan semakin akurat. Jika data yang digunakan
sangat sedikit, maka estimasi-estimasi terhadap kemungkinan di masa mendatang
akan tidak akurat dan akan seperti gambling. Perjudian sangat dilarang oleh Islam
sebagaimana tertulis pada surat al-Maidah ayat 90 berikut ini :
الشيطا عمل مه رجس والأسلام والأوصاب والميسز الخمز إوما ءامىىا الذيه ياأيها فاجتىبىي ن
تفلحىن لعلكم
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah [5]: 90)
Hal ini akan muncul maysir (judi/untung-untungan). Dimana pengertian
maysir dalam terminologi agama diartikan sebagai suatu transaksi yang dilakukan
oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu
pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan
120
suatu tindakan atau kejadian tertentu. Hal maysir semacam ini sangat ditentang oleh
Islam dan tidak boleh ada dalam ratemaking syariah.
Apabila metode ini ditetapkan berdasarkan besarnya risiko yang mana risiko
ini tidak bisa diprediksi dari awal. Tentunya ini akan memperkecil kerugian yang
akan ditanggung oleh perusahaan. Sehingga dapat menjalin prinsip tolong menolong
(ta‟awun) antara perusahaan asuransi syariah dengan perusahaan reasuransi syariah.
Karena ta‟awun merupakan salah satu prinsip utama dalam interaksi muamalah.
Bahkan, ta‟awun dapat menjadi fondasi dalam membangun sistem ekonomi yang
kokoh dan kuat, agar pihak yang kuat dapat membantu yang lemah. Sebagaimana
firman Allah SWT :
….
Artinya :“tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”(QS. Al-
Maidah:2).
Pada dasarnya prinsip perekonomian Islam menghimbau agar segala praktek
muamalah haruslah saling menguntungkan tidak saling merugikan satu dengan yang
lainnya. Peranan reasuransi sebaiknya menjadi institusi yang mana dapat mengcover dan
meminimalisir segala kerugian yang dialami oleh perusahaan asuransi syariah. Prinsip yang
paling utama dalam muamalah khususnya untuk Lembaga Keuangan Syariah adalah prinsip
gharar, maysir, dan riba. Ketiga hal inilah yang secara hakiki menjadi dasar para ulama
mengharamkan Lembaga Keuangan Syariah yang tidak menggunakan prinsip-prinsip yang
sesuai syariah.
121
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan berkenaan dengan analisis tinjauan
hukum Islam terhadap metode reasuransi treaty non proportional excess of loss, dapat
disimpulkan suatu jawaban dari permasalahan yang ada, yaitu :
1. Dalam menjalankan program reasuransi, perusahaan mempunyai kebijakan dalam
menyusun sebuah program reasuransi, yaitu :
a. Phase Persiapan
Phase persiapan yang dimaksud disini bahwa sebelum dilaksanakan negosiasi
treaty dengan pihak asuradur perlu dipersiapkan hal-hal seperti penentuan
retensi sendiri, limit treaty, estimated premium income, panel of reinsurers,
jneis treaty, risk and loss profile, statistic, underwriting police.
b. Negosiasi Treaty
Sebelum dilaksakannya Negosiasi Treaty pada asuradur terlebih dahulu harus
mengirimkan dokumen-dokumen antara lain risk and loss profit, statistic,
estimated premium income, dan rencana program treaty untuk tahun
mendatang.
122
c. Administrasi dan evaluasi
Yang dimaksud administrasi adalah bahwa tugas dari administrasi adalah
mengentry data, membagi premi (share asuradur dan share reasuradur),
penyusunan bordero klaim, Pembuatan Rekapitulasi setiap tiga bulan dalam
bentuk Statement of Account, dan laporan klaim.
2. Adapun faktor-faktor yang membuat perusahaan asuransi syariah memilih metode
excess of loss adalah :
a. Administrasi lebih simple
b. Limit per risk / per event to a known limit
c. Reinsurance cost lebih murah
d. Asuradur bisa bebas menentukan deductible
e. Term and condition lebih luas dan lebih bisa berkreasi dalam produk
3. Tinjauan hukum Islam terhadap metode excess of loss
Jika ditinjau dari konsep ekonomi Islam pada prinsip keadilan (al-adl) hal ini
tidaklah sesuai karena pembayaran minimum deposit (premi) yang dibayarkan
oleh perusahaan asuransi syariah (asuradur) tidak sesuai dengan besaran uang
pertanggungan yang akan didapat oleh asuradur. Di excess of loss cara kerjanya
berdasarkan kerugian bukannya risiko. Besarnya kerugian ini dihitung
menggunakan statistic tahun-tahun sebelumnya. Data statistik ini sebenarnya
sangat penting untuk menghindari terjadinya gharar.
123
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah :
1. Dalam penentuan biaya administrasi reasuransi seharusnya ada proses
pengelolaan dana premi yang telah dibayarkan perusahaan asuransi sehingga
ketika terdapat perjanjian baru di kemudian hari dapat meringankan besaran
premi dan administrasi. Karena kenyataannya selama ini metode yang dipakai
excess of loss adalah administrasi baru dibayar jika terjadi klaim.
2. Untuk pembayaran premi yang menggunakan minimum deposit (premi minimum)
seharusnya dikaji kembali karena metode pembayaran premi seperti ini tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi islam. Karena di dalam minimum deposit
ada unsure ketidakadilan dimana jika pada akhirnya estimate premium income
tidak tercapai tidak ada pengembalian premi akan tetapi jika estimate premium
income lebih maka pihak perusahaan asuransi syariah selaku tgertanggung harus
membayar tambahan premi.
3. Apabila metode yang awalnya berbasis kerugian diganti dengan berbasis risiko
mungkin akan lebih baik karena risiko ini tidak bisa diprediksi dari awal.
Tentunya ini akan memperkecil kerugian yang akan ditanggung oleh perusahaan.
Sehingga dapat menjalin prinsip tolong menolong (ta‟awun) antara perusahaan
asuransi syariah dengan perusahaan reasuransi syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim, dan Terjemahnya. Bandung : PT. Syamil Cipta Media.
Ali, AM Hasan, MA, “Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jakarta : Prenada
Media, Edisi Pertama, 2005.
Artikel Berita, “Reasuransi Syariah”. Diakses pada tanggal 11 Februari 2010 dari
http://www.scribd.com/doc/3957094.
Ayat, Safri. Pengantar Reasuransi. Cet I. Jakarta : Giani Duta Utama. 2000.
Dewan syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Ed.
Revisi Tahun 2006. Jakarta : CV. Gaung Persada, 2006.
Fatwa Dewan syariah Nasinal No.21/DSN/-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah.
Fatwa DSN-MUI No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru Pada Asuransi
Syariah.
Hendroyono, Property and Pocuniary Insurance Chapter 5. (AAMAI 220, 2005).
Iqbal, Muhaimin. Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik Upaya Menghilangkan
Gharar, Maisir, dan Riba. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Khairat, Delil. Konsep dan Operasional (General) Buku Pedoman Program
Sertifikasi Asuransi Syariah Tingkat Dasar. Jakarta: AASI. 2005.
Khairat, Delil. Makalah Retakaful Non Proportional. Disampaikan pada Pelatihan
Asuransi Syariah Tingkat Dasar. 2006.
Marianto, A.J. Reasuransi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1997.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010, Tentang Dasar
Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip
Syariah, Pasal 7.
Reinfokus Media Informasi Asuransi dan Reasuransi, Reasuransi Syariah (Retakaful) dengan
Akad Wakalah bil Ujrah, Edisi 39 Khusus Indonesia Syariah Expo 2006.
Salim, Abbas. Asuransi dan Manajemen Resiko, Edisi 2. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.
Sevila, Consuelo G., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta : UI-Press, 1993.
Soeisno, Djojosoedarso. Prinsip-prinsip Manajemen Risiko dan Asuransi. Jakarta:
Salemba Empat. 2003.
Sula, M. Syakir. Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem
Operasional. Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
Suma, Muhammad Amin. Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional Sistem,
Konsep, Aplikasi, dan Pemasaran. Ciputat: Kholam Publishing, 2006.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992, Tentang Perasuransian, Pasal 1 Ayat (5).
Yusuf al-Qaradhawi, Muhammad. Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishodil Islami
(Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam), Rabbani Press, Jakarta
(terj.)
www.djpp.depkumham.go.id.
DAFTAR PERTANYAAN
“ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP METODE
REASURANSI TREATY NON PROPORTIONAL EXCESS OF LOSS”
1. Bagaimana implementasi program reasuransi syariah dengan menggunakan
metode excess of loss?
2. Apa saja yang ada di dalam isi sebuah perjanjian antara pihak asuransi syariah
dengan pihak reasuransi syariah?
3. Faktor-faktor apa saja yang membuat perusahaan Asuransi Syariah memilih
menggunakan metode reasuransi excess of loss?
Nama : Abdul Mulki, SE, ACII, FIIS
Jabatan : Head of Department Reasuransi Umum Syariah
Perusahaan : PT. Reasuransi Internasional Indonesia
1. Bagaimana implementasi program reasuransi syariah dengan menggunakan
metode excess of loss?
Sebelum melakukan perjanjian antara pihak perusahaan asuransi syariah dan
pihak perusahaan reasuransi syariah terlebih dahulu pihak perusahaan asuransi
syariah membuat program reasuransi. Dimana program reasuransi tersebut
mempunyai beberapa kebijakan, antara lain :
a. Phase Persiapan
Pada dasarnya perjanjian antara pihak asuransi syariah dengan reasuransi
syariah mulai berlaku pada tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Oleh karena itu, sebaiknya sebelum dilaksanakan negosiasi treaty dengan
perusahaan reasuransi perlu disiapkan hal-hal semacam penentuan retensi
ssendiri, limit treaty, EPI, panel of reinsurers, jenis treaty, risk dan loss
profile, statistic, underwriting policy,
b. Negosiasi Treaty
Dalam praktek Negosiasi Treaty di Indonesia, sampai saat ini hampir semua
perusahaan asuransi kerugian nasional menunjuk salah satu dari empat
perusahaan reasuransi yang ada untuk menjadi “Reinsurance Leader” dalam
program penyusunan treatynya.
Sebelum dilaksanakan Negosiasi Treaty pada asuradur terlebih dahulu harus
mengirimkan dokumen-dokumen antara lain seperti risk and loss profit,
statistic, EPI, dan rencana program treaty untuk tahun mendatang.
c. Administrasi dan Evaluasi
Yang dimaksud administrasi dan evaluasi disini adalah tugas dari bagian
administrasi dalam penyusunan program reasuransi syariah seperti entry data,
membagi-bagi premi, penyusunan bordero claim, pembuatan rekapitulasi
setiap tiga bulan, dan laporan klaim
2. Apa saja yang ada di dalam isi sebuah perjanjian antara pihak perusahaan
asuransi syariah dengan pihak perusahaan reasuransi syariah?
Biasanya di dalam sebuah perjanjian reasuransi syariah di jelaskan :
- Takaful Operator
- Class dan Type
- Period
- Territorial Scope
- Retakaful Limit
- Reinstatement
- Minimum Deposit
3. Faktor-faktor apa yang membuat perusahaan Asuransi Syariah memilih
menggunakan metode reasuransi excess of loss?
a. Administrasi lebih simple
b. Limit per risk / per event to a known limit
c. Reinsurance cost lebih murah
d. Asuradur bisa bebas menentukan deductible
e. Term and Condition lebih luas, dan lebih bisa berkreasi dalam produk
a. Administrasi Lebih Simple
Dalam metode reasuransi proportional itu ada kondisi yang namanya harus
melaporkan produksinya setiap kuartal. Seperti setiap premi kontribusi, ujrah,
claim of account, kecuali laporan akumulasi control yang dilaporkan per 6
bulan. Sedangkan untuk non proportional tidak ada kewajiban untuk laporan
setiap kuartal. Dalam non proportional premi reasuransi (kontribusi) langsung
bayar di depan dan jika ada klaim baru diterbitkan dokumen pelaporan klaim.
b. Limits Per Risk / Per Event to a Known Limit
Dalam treaty baik proportional maupun non proportional memiliki limit of
liability. Di proportional risiko yang dijamin (polis yang disesikan) bisa
number of risk, jadi bisa 100.000 polis, 200.000 polis, 300.000 polis, bahkan
1.000.000 polis bisa masuk. Polis itu tentunya berimplikasi terhadap
kemungkinan terjadinya klaim, bisa masuk 1.000.000 polis berarti ada
kemungkinan 100 juta klaim terjadi dan ditotalkan semua polis itu dan
unlimitednya tidak akan pernah tahu jika terjadi satu catastrophe loss. Di
excess of loss, limit of liability reasuradur bisa dibatasi dengan limit per risk
atau per event to a known limit.
c. Reinsurance Cost Lebih Murah
Jika kita bandingkan biaya reasuransi antara metode proportional dengan
metode non proportional ternyata metode non proportional mempunyai biaya
reasuransi yang lebih murah. Ini dikarenakan metode reasuransi non
proportional dalam menghitung premi berdasarkan persentasi rate yang
dikalikan dengan OGNPI (premi dari risiko yang diproteksi). Rate bisa
diperoleh dengan menggunakan metode burning cost yaitu menghitung premi
berdasarkan klaim yang dialami dari tahun-tahun sebelumnya.
d. Asuradur bisa bebas menentukan deductible
Maksud dari asuradur bisa bebas menentukan deductible yaitu misalkna di
metode treaty non proportional ada program treaty sebesar Rp10.000.000.000
x Rp 1.000.000.000. Jadi perusahaan asuransi bisa menentukan deductiblenya
yakni sebesar Rp 1.000.000. Dalam proportional premi reasuransi berdasarkan
proporsi risiko yang ditahan oleh asuradur dan reasuradur. Misalkan limit 100
miliar, O/R 10 Miliar maka persentase untuk asuransi 10/100. Sedangkan
reasuransi persentasenya menjadi 100/110. Karena prinsip deductible adalah
semakin besar deductible maka ratenya semakin kecil, sedangkan semakin
kecil deductible maka ratenya akan semakin besar.
e. Term and Condition Lebih Luas, Dan Lebih Bisa Berkreasi Dalam Produk
Pada metode non proportional covernya bisa lebih luas (exclusion lebih sedikit)
jadi perusahaan asuransi bisa lebih bebas berkreasi dalam memilih produk.
Sedangkan pada metode proportional exclusion lebih besar dari non
proportional jadi ada batasan dalam memilih cover.
Jakarta, 18 November 2010
(Abdul Mulki)