Tinjauan Empiris Kebijakan Moneter melalui Jalur Nilai...

145
Tinjauan Empiris Kebijakan Moneter melalui Jalur Nilai Tukar dalam Mendorong Neraca Perdagangan dengan Pendekatan Vector Auto Regressive Periode 2007 - 2015 SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta Disusun Oleh : Ricky FajarAdiputra NIM : 1110084000011 Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1438 H/ 2017 M

Transcript of Tinjauan Empiris Kebijakan Moneter melalui Jalur Nilai...

Tinjauan Empiris Kebijakan Moneter melalui Jalur Nilai Tukar dalam Mendorong

Neraca Perdagangan dengan Pendekatan Vector Auto Regressive

Periode 2007 - 2015

SKRIPSI

Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi danBisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta

Disusun Oleh :

Ricky FajarAdiputra

NIM : 1110084000011

Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

1438 H/ 2017 M

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama Lengkap : Ricky Fajar Adiputra

2. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 1 Mei 1992

3. Alamat : Kampung Pulo, Cilangkap, Depok, Jawa Barat

4. Surel : [email protected]

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. TKIT Baitul Hikmah Jakarta (2000-2001)

2. SDIT Al-Ma’ruf Jakarta (2001-2007)

3. MTs PPMI Assalaam Surakarta (2004-2007)

4. SMAN 98 Jakarta (2007-2010)

5. Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2010-2017)

III. INFORMASI KELUARGA

1. Ayah : Sandy Setiawan

2. Ibu : Ira Setiawati

3. Alamat : Kampung Pulo, Cilangkap, Depok, Jawa Barat

4. Anak : I (pertama) dari 3(tiga) bersaudara

IV. PENGALAMAN ORGANISASI

1. OSIS MTs Assalaam Surakarta (2005-2006) - Sekretaris

2. Divisi Riset dan Pengembangan HMJ IESP (2013-2014) - Anggota

3. Program KKN GEMA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013) - Ketua

4. English Club FEB UIN Jakarta (2013) – Bendahara

V. PENGALAMAN BEKERJA

1. PT Prima Edu Internasional (2012-Sekarang) – Pengajar Bidang Ekonomi

2. PT Bintang Toedjoe (2013) – Freelance Salesman

3. Primagama Cirendeu (2015-Sekarang) – Staff Akademik

ABSTRACT

The aim of this research is to identify whether there is a strong relationship betweenvariables in monetary transmission mechanism through exchange rate channeltowards balance of trade as it was said in the theory. If there is, the important

questions need to be answered are : (1) How much is the magnitude for each variabletowards another and (2) How long is it needed for every variables in the system to

affect others. These questions are commonly found in monetary transmission topic asthe monetary transmission process itself is known familiar with time-lags to givedesirable outputs toward economy. If there is not, subjects that might need to be

answered are : (1) In what circumstances of economy should the monetary policywould affect the balance of trade performance, and (2) What is it needed from themonetary authority for its policies to provide such expected output to improve the

balance of trade.

The data used in this research are monthly data from January 2007 to December2015. Vector Auto Regressive in first difference is used to build Impulse Response

Function and Variance Decompositions analysis to see the dynamic effect frommonetary shocks, whereas Granger Causality test is used to legitimate the

relationships between variables.

In terms of magnitude, the result shows unsatisfactory connections between variablesinvolved in transmission mechanism, despite the time-lags needed are considered

quite fast. Granger Causality test shows discrepancy between the transmissionmechanism and its theory for the time period.

Keywords : Monetary Transmission, Balance of Trade, VAR, IRF, VD, GrangerCausality

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi apakah terdapat keterkaitanyang erat di antara variabel-variabel mekanisme transmisi moneter melalui jalur nilai

tukar terhadap neraca perdagangan sebagaimana yang terdapat dalam teori. Jikamemang ada, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah : (1) Berapa besaranmasing-masing variabel terhadap variabel lain dan (2) Berapa lama waktu yang

diperlukan bagi setiap variabel untuk mempengaruhi variabel lain yang terdapat didalam sistem Pertanyaan-pertanyaan tersebut umum ditemukan dalam topik transmisimoneter sebab transmisi kebijakan moneter itu sendiri dikenal tak asing dengan time-lag dalam memberikan stimulus yang diharapkan terhadap perekonomian. Jika tidak

terdapat keterkaitan, permasalahn yang perlu dijawab antara lain : (1) Asumsiperekonomian seperti apa yang harus dipenuhi agar kebijakan moneter dapat

mempengaruhi neraca perdagangan, dan (2) Apa yang diperlukan oleh otoritasmoneter agar kebijakan yang diimplementasikannya dapat mendorong neraca

perdagangan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan dari bulan Januari2007 hingga Desember 2015. Vector Autoregressive dalam first difference digunakan

untuk menghasilkan analisis Impulse Response Function dan VarianceDecompositions untuk melihat efek dinamis dari guncangan moneter, sementara

Granger Causality test digunakan untuk melegitimasi arah hubungan antar-variabel.

Dilihat dari besaran yang ditimbulkannya, terdapat keterkaitan yang lemah di antaravariabel-variabel dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter, meskipun time-lagyang diperlukan cukup cepat. Granger Causality test menunjukkan perbedaan antara

output dan teori pada periode penelitian.

Kata Kunci : Transmisi Kebijakan Moneter, Neraca Perdagangan, VAR, IRF, VD,Kausalitas Granger

KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Wr, Wb

Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah

SWT, yang telah memberikan limpahan nikmat, rahmat dan kasih sayang-Nya kepada

penulis selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta

salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sang pembawa risalah

Islam, pembawa syafaat bagi ummatnya di hari akhir kelak.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan

saran dan kritik yang dapat membangun dari berbagai pihak guna penyempurnaan

skripsi ini. Di samping itu, penulisan skripsi ini tentu tidak terlepas dari banyak pihak

yang secara tulus memberikan uluran tangan dalam bentuk materiil maupun non

materiil. Apresiasi dan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan

kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Semoga menjadi

manfaat dan dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang lebih baik. Secara khusus,

apresiasi dan terima kasih tersebut disampaikan kepada :

1. Kedua orang tua – Ayah dan Ibuku. Rabbighfirlii wali waalidayya

warhamhuma kamaa rabbayaanii saghiiraa. Setiap hal yang kalian lakukan

untuk mendidik kami tidak pernah mudah, oleh karenanya hal tersebut

merupakan pengorbanan yang luar biasa. Rasa kasih dan sayang kalian tak

akan pernah tergantikan dan akan selalu ada di setiap masa. Kalianlah alasan

penulis mampu mencapai berbagai macam hal hingga saat ini.

2. Kedua adik penulis, Ade Vito dan Alanda Nicolas yang menjadi dorongan

besar bagi penulis untuk tetap berusaha melakukan yang terbaik dalam banyak

hal, semoga Allah SWT memberikan kalian kekuatan dan keteguhan untuk

mencapai yang terbaik,

3. My fellow students – Salsabi Rolansyah, Alyssa Matindas, Syah Seputra,

Yasmin Nariswari, kalianlah yang selalu kembali mengingatkan penulis

bahwa belajar seharusnya adalah sebuah proses yang menarik. Terima kasih

telah mengizinkan penulis menjadi bagian dari proses dan perjuangan kalian.

My sincere thoughts and prayers for your success in your study and career,

4. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

5. Bapak Arief Fitrijanto, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi

Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa meluangkan

waktunya untuk memberikan pengarahan, motivasi, dan tidak pernah berhenti

untuk tetap yakin pada penulis dan kawan-kawan dalam proses penyusunan

skripsi ini,

6. Ibu Najwa Khairina, MA selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi

Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pembimbing tunggal yang

senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan, motivasi

serta bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis berterima kasih

sebesar-besarnya atas perhatian dan semangatnya dalam membimbing penulis,

7. Segenap civitas akademika (pengajar & tata usaha) Fakultas Ekonomi dan

Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan apresiasi

terbaik dalam segala hal,

8. Teman-teman mahasiswa IESP angkatan 2010 yang telah memberikan

pengalaman yang tak ternilai bagi penulis dalam menjalani hari – hari baik di

dunia akademik maupun keseharian. Special mention for Grup Oblax –

Acong, Along, Idung, Burhan, Isnan, Adi, Manto, Amif, Ncek, Agus dan

semuanya, kelakuan – kelakuan absurd kalian tetaplah yang terbaik. semoga

tetap solid dan absurd – apapun yang terjadi,

9. Teman – teman konsentrasi Ekonomi Syariah Oon, Dika, Agang, Drajad,

Amalia, Eva, Ipak, Hasyim, Kemal, Ali, Andis, dan semuanya. Thank you so

much for everything we had back then,

10. Terima kasih untuk semua teman-teman Suicide Squad – Dody, Parjo, Garry,

Windu, Luhut, Gusti – you guys are the ones who keep remind me that there’s

always something to achieve out there. Makasih banget buat kebersamaan,

tolong – menolong, motivasi, dan petualangan-petualangan serunya yang udah

di share bareng. Semoga Allah SWT berkenan ngasih kesempatan untuk terus

cari petualangan yang lebih seru ke depannya sebagai material ber tadabbur,

aamiin yaa Rabbal Aalamiin,

11. Rekan – rekan kerja Primagama Cirendeu – Mas Adjie, Kak Herlin, Kak Ita,

Kak Erta, Ka Atto, Ka Fajar, Pak Firman, Ka Lydia, Mr MJ a.k.a Mr Vice

Prez, dan semua rekan-rekan yang tidak bisa disebutkan satu-persatu karena

memang sungguh banyak sekali – Terima Kasih banyak atas bantuan dan

motivasi yang kalian berikan pada penulis, semoga Allah SWT membalas

dengan yang jauh lebih baik.

Penulis berharap skripsi ini menjadi kontribusi serta menambah pustaka dan

referensi bagi semua pihak yang membutuhkan. Saran dan masukan dari para

pembaca untuk perbaikan ketidaksempurnaan skripsi ini sangat diharapkan.

Jakarta, 23 Mei 2017

Penulis

Ricky Fajar Adiputra

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

A. Latar Belakang Penelitian..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 11

C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 12

D. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 14

A. Landasan Teori ................................................................................................... 14

1. Kebijakan Moneter .......................................................................................... 14

a. Definisi Kebijakan Moneter ........................................................................ 14

b. Tujuan Kebijakan Moneter.......................................................................... 14

c. Kerangka Kebijakan Moneter...................................................................... 15

1) Instrumen Kebijakan ........................................................................... 16

a) Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) .......................... 16

b) Cadangan Minimun (Reserve Requirement) ................................... 16

c) Kebijakan Diskonto (Discount Rate Policy) ................................... 17

2) Sasaran Operasional ............................................................................ 18

3) Sasaran Antara..................................................................................... 18

4) Sasaran Akhir ...................................................................................... 19

d. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ................................................. 19

e. Jalur Transmisi Kebijakan Moneter ............................................................ 21

1) Jalur Ekspektasi (Expectation Channel) .............................................. 22

2) Jalur Kredit (Credit Channel) .............................................................. 22

3) Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel) .......................................... 24

4) Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel)........................................ 25

5) Jalur Harga Aset (Price Rate Channel) ............................................... 27

f. Teori Kebijakan Moneter ............................................................................. 27

1) Teori Kuantitas Uang .......................................................................... 27

2) Teori Cambridge (Marshall-Pigou) ..................................................... 29

3) Teori Keynes ....................................................................................... 31

a) Motif Transaksi dan Berjaga-Jaga................................................ 32

b) Motif Spekulasi ............................................................................ 32

4) Paritas Suku Bunga (Uncovered Interest Parity) ................................ 35

5) Arus Modal (Capital Flow)................................................................. 36

a) Internal atau pull factors............................................................... 37

b) External atau push factors ............................................................ 37

g. Nilai Tukar dan Ekspor ............................................................................... 38

h. Kebijakan Moneter pada Perekonomian Terbuka....................................... 38

i. Kebijakan Moneter di Indonesia .................................................................. 40

B. Keterkaitan antar Variabel .............................................................................. 42

1. Suku Bunga, Interest Rate Differential, Capital Flow dan Nilai Tukar ..... 42

2. Nilai Tukar dan Neraca Perdagangan.......................................................... 43

C. Penelitian Terdahulu ....................................................................................... 44

D. Kerangka Pemikiran........................................................................................ 51

E. Hipotesis.......................................................................................................... 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 55

A. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................... 55

B. Metode Penentuan Sampel.............................................................................. 56

C. Metode Pengumpulan Data ............................................................................. 57

1. Internet ........................................................................................................ 57

2. Studi Kepustakaan....................................................................................... 58

3. Sumber Data................................................................................................ 58

a. Suku Bunga BI (BI Rate) ................................................................ 58

b. Nilai Tukar (Kurs) ........................................................................... 58

c. Paritas Suku Bunga.......................................................................... 58

d. Capital Flow .................................................................................... 59

e. Ekspor Neto ..................................................................................... 59

D. Metode Analisis Data...................................................................................... 59

1. Uji Stasioneritas Data.................................................................................. 62

2. Penentuan Lag Optimal............................................................................... 63

3. Uji Stabilitas Model (VAR) ........................................................................ 65

4. Uji Kointegrasi ............................................................................................ 65

5. VAR / VECM.............................................................................................. 67

6. Uji Kausalitas .............................................................................................. 68

7. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) dan Impulse ResponseFunction (IRF)................................................................................................. 69

E. Operasional Variabel Penelitian...................................................................... 70

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN................................................... 71

A. Hasil Estimasi dan Pembahasan...................................................................... 71

1. Hasil Uji Stasioneritas Data (Augmented Dickey Fuller) ........................... 71

2. Hasil Lag Optimal ....................................................................................... 73

3. Uji Stabilitas Model (VAR) ........................................................................ 74

4. Uji Kointegrasi (Johansen’s Cointegration Test) ........................................ 75

5. Model Empiris VAR ................................................................................... 76

6. Uji Kausalitas .............................................................................................. 78

7. Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error VarianceDecomposition (FEVD) .................................................................................. 81

B. Interpretasi dan Pembahasan........................................................................... 88

1. Hubungan antara Tingkat Suku Bunga dan Kurs........................................ 88

2. Hubungan antara Paritas Suku Bunga dan Capital Flow ............................ 90

3. Hubungan antara Capital Flow dan Kurs .................................................... 91

4. Hubungan antara Kurs dan Ekspor Neto..................................................... 92

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI ................................................. 97

A. Kesimpulan ..................................................................................................... 97

B. Implikasi.......................................................................................................... 97

DAFTAR TABEL

1. Neraca Nilai Perdagangan Indonesia, Jan-Jul 2013 (Miliar USD) ................ 10

2. Penelitian Terdahulu ....................................................................................... 47

3. Deskripsi Data Operasional Variabel ............................................................. 71

4. Uji Akar Unit .................................................................................................. 73

5. Uji Akar Unit (first difference) ...................................................................... 73

6. Output AIC ..................................................................................................... 74

7. Output Stabilitas Model .................................................................................. 75

8. Johansen’s Trace Statistic Test (first difference),(lag3) ................................. 76

9. Johansen’s Maximum Eigenvalue Test (first difference),(lag3) .................... 77

10. Output VAR ................................................................................................... 78

11. Granger Causality Test (lag3) ........................................................................ 80

12. Output Forecast Error Variance Decompositions ........................................... 88

DAFTAR GAMBAR

1. Kurs Rupiah terhadap USD dan Ekspor Neto Indonesia .................................. 7

2. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ..................................................... 20

3. Efek Kebijakan Moneter pada Perekonomian Terbuka ................................. 39

4. Hubungan antara Kurs dan Ekspor ................................................................. 43

5. Kerangka Pemikiran ....................................................................................... 53

6. Prosedur Penggunaan Model VAR/VECM .................................................... 61

7. Output Granger Causality Test (lag3) ............................................................. 81

8. Output Impulse Response Function ............................................................... 83

9. Output Forecast Error Variance Decompositions .......................................... 87

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Transmisi moneter merupakan terminologi yang digunakan untuk

menjelaskan bagaimana suatu kebijakan moneter dapat mempengaruhi

perekonomian secara umum serta output dan tingkat harga secara khusus. Dalam

pengertian yang lebih spesifik, Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme

transmisi kebijakan moneter adalah “The process through which monetary policy

decisions are transmitted into changes in real GDP and inflation.” Mekanisme

transmisi moneter dimulai sejak otoritas moneter atau bank sentral bertindak

menggunakan instrumen moneter dalam implementasi kebijakan moneternya

sampai terlihat pengaruhnya terhadap aktivitas perekonomian, baik secara

langsung maupun secara bertahap. Tantangan terkait kebijakan moneter adalah

bagaimana otoritas moneter dapat memiliki kontrol yang efektif dan efisien

terhadap sasaran akhir dari suatu kebijakan. Dalam konteks tersebut, hal yang

menjadi penentu dalam menentukan kebijakan yang tepat untuk mempengaruhi

perekonomian adalah pemahaman yang jelas atas mekanisme transmisi di

perekonomian.

Agar dapat mengenai indikator makroekonomi, kebijakan moneter bekerja

melalui saluran - saluran perantara (channels), yaitu saluran uang atau langsung,

saluran suku bunga, saluran kredit, saluran nilai tukar, saluran harga aset, dan

saluran ekspektasi. Kejelian otoritas moneter dalan melihat situasi ekonomi, serta

2

pemahamannya atas fakta – fakta moneter empiris menjadi penentu dalam

mempengaruhi perekonomian riil dan tingkat harga di waktu yang akan datang.

Subjek transmisi kebijakan moneter merupakan hal yang tetap menarik

untuk diperdebatkan, baik oleh kalangan akademisi maupun praktisi di bidang

keuangan dan pemerintahan. Sebab mekanisme yang bekerja selalu dikaitkan

dengan 2 pertanyaan penting. Pertama, apakah kebijakan moneter dapat

mempengaruhi ekonomi riil disamping pengaruhnya terhadap harga. Kedua, jika

jawabannya ya, melalui mekanisme transmisi apa pengaruh dari kebijakan

moneter dapat mengenai sasaran akhir dalam ekonomi (Bernanke dan Blinder,

1992) dan (Taylor, 1995).

Hampir 2 dekade setelah krisis 1998 dan reformasi, perubahan banyak

ditunjukkan dalam berbagai sektor ekonomi, salah satunya peran Indonesia dalam

perdagangan internasional. Beberapa kerjasama ekonomi dan keikutsertaan dalam

organisasi pada tingkat bilateral, seperti Tiongkok, Australia, dan Rusia maupun

regional seperti AFTA, APEC dan MEA terus berjalan. Ini menjadi indikasi

bahwa Indonesia semakin terintergrasi dalam perekonomian internasional. Bukti

lebih lanjut bahwa perekonomian Indonesia merupakan bagian dari sebuah sistem

yang lebih besar adalah bagaimana perubahan dalam perekonomian di negara lain

dapat memberikan widespread atau tekanan terhadap perekonomian domestik,

baik positif maupun negatif terhadap variable makroekonomi seperti kurs, agregat

moneter dan kondisi ketenagakerjaan, sehingga tantangan yang muncul terhadap

keterbukaan ekonomi domestik terhadap luar negeri adalah bagaimana para

3

pelaku usaha dalam negeri dapat jeli melihat kesempatan dan memanfaatkannya

untuk meningkatkan kapasitas perekonomian nasional. Untuk tujuan tersebut,

penting sekali bagi para pemegang kebijakan baik fiskal maupun moneter untuk

dapat bersama – sama merumuskan tujuan kebijakan yang tidak kontraproduktif,

sehingga sasaran akhir berupa peningkatan output nasional dan stabilisasi tingkat

harga domestik dapat tercapai.

Perubahan yang terjadi dalam perekonomian di negara – negara yang

merupakan mitra dagang Indonesia jelas memiliki keterkaitan dengan stance

moneter Indonesia, sebab semakin terbuka perekonomian suatu negara yang

disertai dengan sistem nilai tukar mengambang dan sistem devisa bebas, semakin

besar pula pengaruh nilai tukar dan aliran dana luar negeri terhadap perekonomian

dalam negeri (Firmansyah dkk, 2015).

Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter menggunakan sasaran

operasional suku bunga acuan dalam rangka menjalankan kebijakan moneter.

Perubahan suku bunga BI Rate dapat mempengaruhi berbagai indikator

perekonomian, salah satunya nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai

tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara

suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Hal ini disebut sebagai

interest rate differential. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut

mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-

instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan

tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal asing masuk ini pada

4

gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah

mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor di luar negeri

menjadi lebih mahal sehingga akan mendorong minat eksportir dari domestik.

Untuk menjawab pertanyaan bagaimana kebijakan moneter dapat

mempengaruhi output selain harga salah satunya dapat dianalisis melalui

pendekatan nilai tukar. Penelitian mengenai mekanisme transmisi kebijakan

moneter sudah banyak dilakukan, sebagian mencari tahu bagaimana kebijakan

bisa sampai ke sasaran pertumbuhan tingkat harga (inflasi), dan sebagian lain

ingin melihat bagaimana kebijakan bisa mepengaruhi output nasional atau GNP.

Pada tahun 2006, Ratnawati dan Mahatmi mencoba menganalisis efektivitas jalur

kredit dan jalur nilai tukar. Penelitian tersebut menggunakan alat analisis

Structural Equation Model. Dengan membandingkan output dari kedua jalur

tersebut, mereka menemukan bahwa jalur nilai tukar lebih efektif dalam

mentransmisikan kebijakan moneter untuk periode 1997 – 2004. Hal tersebut

sejalan dengan Penelitian yang dilakukan Sofyan pada tahun 2002, dimana ia

mencoba memetakan efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui jalur – jalur

yang sudah teridentifikasi sebelumnya. Penelitian tersebut menggunakan alat

analisis Vector Error Correction Model (VECM) dan memperoleh kesimpulan

bahwa jalur nilai tukar lebih dominan dalam mekanisme transmisi dibandingkan

dengan jalur – jalur yang lain.

Haryanto (2007) dalam disertasinya yang berjudul Dampak Instrumen

Kebijakan Moneter terhadap Perekonomian Indonesia, mendapati bahwa

5

mekanisme transmisi melalui jalur neraca atau Balance Channel dan jalur

ekspektasi memiliki peran penting dan paling efektif dalam mempengaruhi kinerja

perekonomian, yang diproksikan oleh nilai tukar, tingkat harga domestik dan

produk domestik bruto. Penelitian tersebut menggunakan data tahunan dari 1988

hingga 2005.

Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Restiyanto (2008) dimana ia

meneliti transmisi kebijakan moneter melalui sudut pandang aliran monetaris,

bagaimana peran jumlah uang beredar (JUB) dan kredit dalam proses transmisi

saat sebelum dan sesudah krisis moneter 1998. Dia menemukan fakta bahwa

sebelum 1998, intervensi moneter dalam mempengaruhi JUB lebih efektif dalam

mentransmisikan tujuan dari kebijakan moneter dibanding jalur – jalur yang lain.

Dari hasil penelitian - penelitian tersebut maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut : (1) Transmisi kebijakan moneter di Indonesia memiliki

efektivitas yang berubah – ubah seiring berubahnya kondisi perekonomian. Hal ini

sangat masuk akal, sebab efektivitas dari transmisi kebijakan moneter bukan

hanya ditentukan oleh faktor internal saja, tetapi faktor eksternal juga turut

berperan. Mengingat bahwa Indonesia merupakan perekonomian yang cukup

terbuka, maka shock yang terjadi pada tingkat regional maupun internasional

dapat ikut mempengaruhi proses transmisi yang sedang berlangsung, dengan

asumsi utama bahwa perekonomian tersebut terintegrasi secara erat dengan

perekonomian domestik. (2) Transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar

merupakan konsekuensi dari suatu sistem perekonomian terbuka. Dalam jalur ini

6

yang ditekankan adalah peranan nilai tukar terhadap terwujudnya tujuan akhir

kebijakan moneter, sehingga disebut jalur nilai tukar.

Pengaruh kebijakan moneter tidak saja terjadi pada perubahan nilai tukar,

tetapi juga pada aliran modal (capital flow) dalam neraca pembayaran. Dengan

tingginya suku bunga dalam negeri (dengan asumsi suku bunga luar negeri tidak

berubah), maka akan terjadi perbedaan suku bunga nominal domestik dan suku

bunga luar negeri yang disebut sebagai paritas suku bunga (interest rate

diffierential). Artinya, margin suku bunga domestik dan luar negeri akan

berpengaruh terhadap nilai tukar dan aliran modal dan selanjutnya perubahan nilai

tukar dan aliran dana akan berpengaruh terhadap output maupun inflasi di negara

yang bersangkutan., khususnya, negara yang perekonomiannya semakin terbuka

dan disertai dengan sistem devisa bebas.

Kebijakan moneter yang ditransmisikan melalui jalur nilai tukar dapat

diuraikan sebagai berikut: Pertama, transmisi di sektor moneter. Kebijakan

moneter berawal dari perubahan instrumen moneter (BI Rate) yang akan

berpengaruh terhadap paritas suku bunga domestik dan luar negeri (interest rate

differential). Selanjutnya, paritas suku bunga akan berpengaruh terhadap aliran

modal (capital flow). Semakin tinggi tingkat suku bunga akan menarik aliran

modal masuk (capital inflow) sehingga menambah persedian valas di dalam

negeri. Akibatnya nilai tukar Rupiah akan menguat. Sementara itu, jika suku

bunga turun lebih rendah dibanding luar negeri, maka akan terjadi capital outflow

dan akibatnya Rupiah akan terdepresiasi.

7

Kedua, transmisi dari sektor moneter ke sektor riil terjadi melalui

pengaruh perubahan nilai tukar terhadap inflasi baik secara langsung (direct pass-

through effect) maupun tidak langsung (indirect pass-through effect). Pengaruh

langsung terjadi karena perkembangan nilai tukar mempengaruhi pola

pembentukkan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi di masyarakat,

khususnya terhadap barang dan jasa yang diimpor. Sementara itu, pengaruh tidak

langsung terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi komponen ekspor

dan impor dalam permintaan agregat (Natsir, 2008).

Gambar 1.

Kurs Rupiah terhadap USD dan Ekspor neto Indonesia

( sumbu x kiri=Kurs, x kanan =Ekspor neto, Ekspor neto dalam Juta USD )

Sumber : Laporan Moneter Bank Indonesia dan Statistik IFS (2017), diolah.

Secara umum, teori yang mengemukakan atas keterkaitan nilai tukar

nominal dan output berupa ekspor neto adalah negatif. Nilai tukar yang

terapresiasi dapat direfleksikan atas lebih mahalnya produk dalam negeri

ketimbang produk yang sama di luar negeri, sehingga dari perspektif para pelaku

-3,000.00

-2,000.00

-1,000.00

0.00

1,000.00

2,000.00

3,000.00

4,000.00

5,000.00

6,000.00

0.00

2000.00

4000.00

6000.00

8000.00

10000.00

12000.00

14000.00

16000.00

1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85 92 99 106

113

Kurs

EksporNeto

8

eksportir akan lebih menguntungkan untuk menjual produknya di luar negeri

dibanding dalam negeri, hal ini berpotensi menyebabkan kenaikan pada volume

ekspor (Darwanto, 2007) Dengan asumsi laju pertumbuhan impor yang inelastis

dalam jangka panjang, maka laju ekspor diyakini memiliki predictive power yang

lebih kuat terhadap volatilitas ekspor neto.

Selama lebih dari 10 tahun, Gambaran aktivitas ekspor dan impor

Indonesia mengalami perubahan yang dinamis. Rupiah mengalami guncangan

pada nilai tukarnya di tahun 2008 (periode 15 dst) akibat krisis utang yang terjadi

di Amerika Serikat, tekanan tersebut merambat sampai ke postur neraca

perdagangan Indonesia. Sebagai salah satu dari 5 negara tujuan ekspor terbesar

Indonesia , Amerika Serikat mengindikasikan penurunan aktivitas perdagangan

dengan Indonesia, ditandai dengan merosotnya nilai ekspor neto dari 39 juta USD

per Desember 2007 (periode 14) hingga hanya ke kisaran 7 juta USD pada akhir

2008, atau menyusut sebesar 80 persen dari nilai tahun sebelumnya.

Meskipun demikian, lesunya aktivitas perdagangan pada periode tersebut

tidak memberikan dampak yang terlalu besar bagi makroekonomi Indonesia,

khususnya jika dilihat dari sisi permintaan agregat. Sebab konsumsi masyarakat

Indonesia masih kuat terhadap produk yang berbahan baku dalam negeri, yang

mana didominasi oleh produk dari Usaha Mikro dan Kecil Menengah (UMKM).

Hal tersebut semakin diperkuat dengan data pertumbuhan ekonomi yang hanya

merosot sebesar 0,2 persen, yaitu 6,3 persen pada tahun 2007 menjadi 6,1 persen

pada akhir 2008.

9

Namun kurang lebih 5 tahun pasca krisis global 2008, Rupiah kembali

mengalami depresiasi yang cukup dalam (periode 64). Kebijakan bank sentral

Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) mengeluarkan kebijakan

pelonggaran uang / Quantitative Easing atau disingkat QE. Rencana ini

dinyatakan oleh ketua The Fed, Ben Bernanke, di depan Kongres AS pada 22 Mei

2013. Yang dimaksud dengan QE di sini adalah program the Fed untuk mencetak

uang dan membeli obligasi atau aset-aset finansial lainnya dari bank-bank di AS.

Program ini dilakukan untuk menyuntik uang ke bank-bank di AS demi

pemulihan diri pasca krisis finansial 2008 (Zaki, 2013).

Rencana pengurangan QE memberikan pesan bahwa ekonomi AS

menyehat. Karenanya, nilai tukar obligasi dan aset-aset finansial lain di AS akan

naik. Adanya ekspektasi positif karena membaiknya perekonomian Amerika

Serikat membawa perubahan pada capital inflow dan neraca perdagangan

Indonesia. Aktivitas perdagangan terus terdorong ke level negatif, ditandai dengan

merosotnya nilai nett ekspor hingga di bawah nol seperti yang terlihat pada

periode ke 60-an di Gambar 1.

Faktor lain yang menyebabkan depresiasi Rupiah adalah neraca nilai

perdagangan Indonesia yang defisit. Artinya, ekspor lebih kecil daripada impor.

Dalam Tabel 1 di bawah, terlihat defisit neraca nilai perdagangan Indonesia

selama Januari-Juli 2013 adalah -5,65 miliar Dollar AS. Sektor nonmigas

sebenarnya mengalami surplus 1,99 miliar Dollar AS. Namun, surplus di sektor

nonmigas tidak bisa mengimbangi defisit yang sangat besar di sektor migas, yakni

sebesar -7,64 miliar Dollar AS.

10

Tabel 1Neraca Nilai Perdagangan Indonesia, Januari-Juli 2013

(Miliar US$)

Ekspor Impor NeracaBulan Migas Nonmigas Total Migas Nonmigas Total Migas Nonmigas Total

Januari 2,66 12,72 15,38 3,97 11,48 15,45 -1,31 1,24 -0,07

Februari 2,57 12,45 15,02 3,64 11,67 15,31 -1,07 0,78 -0,29

Maret 2,93 12,09 15,02 3,90 10,99 14,89 -0,97 1,10 -0,13

April 2,45 12,31 14,76 3,63 12,83 16,46 -1,18 -0,52 -1,70

Mei 2,92 13,21 16,13 3,44 13,22 16,66 -0,52 -0,01 -0,53

Juni 2,80 11,96 14,76 3,53 12,11 15,64 -0,73 -0,15 -0,88

Juli 2,28 12,83 15,11 4,14 13,28 17,42 -1,86 -0,45 -2,31

Jan-Juli 18,61 87,57 106,18 26,25 85,58 111,83 -7,64 1,99 -5,65

Sumber : BPS, Berita Resmi Statistik, No.58/09/Th.XVI, 2 September 2013

Volatilitas nilai tukar 3 hingga 4 tahun belakangan ini menimbulkan

pertanyaan penting apakah kebijakan moneter yang berjalan di Indonesia dapat

menjawab bagaimana kebijakan moneter dapat mendorong perubahan pada sektor

riil, yang dalam konteks ini adalah neraca perdagangan yang diproksikan dalam

bentuk ekspor neto melalui saluran tidak langsung nilai tukar. Kebijakan nilai

tukar yang akan dirumuskan tentunya selain untuk menjaga kestabilan harga juga

dilandasi oleh pertimbangan dampak nilai tukar terhadap kinerja perdagangan

internasional Indonesia, yang selanjutnya akan berdampak pada pertumbuhan

output dan kestabilan tingkat harga domestik.

Fakta bahwa Indonesia merupakan perekonomian yang cukup terbuka

secara langsung mengimplikasikan bahwa dinamika neraca perdagangan dan

pembayaran memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan kapasitas

perekonomian nasional dalam bentuk pembangunan yang berkelanjutan, sehingga

kebijakan ekonomi yang diimplementasikan oleh pemerintah seharusnya dapat

menjadi insentif untuk mencapai tujuan tersebut.

11

Meskipun penelitian tentang kebijakan moneter sudah banyak dilakukan,

namun sebagian besar dilakukan dalam kurun waktu yang cukup pendek dan

fokus penelitian merupakan komparasi efektivitas satu jalur dengan jalur

kebijakan yang lain. Dalam penelitian ini gambaran tentang relevansi kebijakan

moneter melalui jalur tukar terhadap dinamika neraca perdagangan dan mencari

tahu pola hubungan dinamisnya menjadi fokus utama sekaligus batasan dalam

ruang lingkup penelitian.

B. Rumusan Masalah

Kendati Indonesia menggunakan ITF sebagai kerangka kebijakan

moneternya, dinamika variabel makroekonomi yang menjadi komponen sasaran

akhir kebijakan bukan berarti tidak patut mendapat perhatian. Justru karena

kebijakan moneter merupakan alat pemerintah dalam mempengaruhi output riil

perekonomian, seharusnya terdapat integrasi yang kuat antara sasaran operasional

dan target kebijakan. Dalam konteks tersebut, komponen yang menjadi fokus

dalam penelitian ini adalah neraca perdagangan. Penelitian ini bertujuan untuk

mencari tahu secara spesifik bagaimana kebijakan moneter melalui jalur nilai

tukar bekerja dan dapat mempengaruhi ekspor neto sebagai proksi neraca

perdagangan Indonesia, apakah terjadi pola dinamis dan hubungan saling

mempengaruhi antar variabel dalam penelitian dan bagaimana keseimbangan

jangka pendek maupun jangka panjangnya (jika ada).

Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

12

1. Bagaimana efektivitas kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar

terhadap ekspor neto ?

2. Apakah terjadi hubungan yang saling mempengaruhi antara variabel

dalam penelitian?

3. Apakah terjadi keseimbangan jangka pendek dan panjang antara

kebijakan moneter dan ekspor neto ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui

jalur nilai tukar dalam mempengaruhi ekspor neto,

2. Untuk mengetahui apakah terjadi hubungan yang saling mempengaruhi

antara variabel dalam penelitian,

3. Untuk mengetahui apakah terjadi keseimbangan dalam jangka pendek

maupun panjang antara kebijakan moneter dan ekspor neto.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi pemerintah dan instansi terkait dapat memberikan informasi

tambahan dalam menentukan kebijakan yang bermanfaat bagi

pemerintah (BI) baik yang bersifat terapan maupun akademis. Serta

dapat juga dijadikan bahan pertimbangan bagi instansi terkait lainnya.

2. Bagi akademisi sebagai sumbangan informasi pengetahuan secara

teoritis dan praktis bagi dunia akademik dalam mendalami kembali

13

tentang peranan kebijakan moneter serta pengaruhnya terhadap

perekonomian Indonesia.

3. Bagi penulis untuk memperluas informasi dan wawasan mengenai

bagaimana berbagai hal dalam ekonomi bekerja dan saling berkaitan

satu sama lain, khususnya bidang moneter.

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Kebijakan Moneter

a. Definisi Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank

sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter (Monetary Aggregates)

untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan.

Kebijakan moneter merupakan bagian integral kebijakan ekonomi makro

yang dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat

perekonomian suatu negara, serta faktor -faktor fundamental ekonomi

lainnya. (Warjiyo, 2004).

Kebijakan moneter sebagai salah satu kebijakan ekonomi berperan

penting dalam suatu perekonomian. Peran tersebut tercermin pada

kemampuannya dalam mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan

ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan keseimbangan neraca pembayaran.

Oleh karena itu, seringkali hal – hal ini menjadi sasaran akhir kebijakan

moneter.

b. Tujuan Kebijakan Moneter

Bank Indonesia selaku otoritas moneter di Indonesia memiliki tujuan

untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini

sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank

15

Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain

adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada

inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia

menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran

utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut

sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).

Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas

harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga

menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar

yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk

melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter

(seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran

laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional,

pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-

instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah

maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib

minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.

c. Kerangka Kebijakan Moneter

Menurut Ascarya (2002), kerangka kebijakan moneter merupakan

kumpulan perangkat yang digunakan oleh otoritas moneter untuk dapat

16

mengimplementasikan kebijakannya. Kerangka tersebut terdiri atas instrumen

kebijakan, sasaran operasional, sasaran antara, dan sasaran akhir.

1) Instrumen Kebijakan

Dalam upaya mencapai tujuan moneter, Bank Indonesia menggunakan

beberapa instrument kebijakan yaitu operasi pasar terbuka (Open Market

Operation), cadangan minimum (Reserve Requirement), dan kebijakan

diskonto (Discount Policy).

a) Operasi Pasar Terbuka ( Open Market Operation)

Open Market Operation merupakan kebijakan yang dilakukan dengan

cara membeli ataupun menjual surat-surat berharga / aset dalam bentuk

obligasi dari dan kepada masyarakat melalui bank-bank umum. Penjualan

asset dilakukan jika terjadi kelebihan jumlah uang beredar di masyarakat,

khususnya dalam bentuk giral pada masa inflasi. Sebaliknya, pembelian aset

umum dilakukan pada saat perekonomian bergerak kearah recovery, dengan

cara membeli kembali asset yang pernah ditawarkan ke masyarakat melalui

bank-bank umum (Judisseno, 2005)

b) Cadangan Minimum ( Reserve Requirement)

Reserve Requirement merupakan kebijakan yang mengatur tinggi-

rendahnya tingkat cadangan minimal bank (legal reserve ratio), yang secara

tidak langsung juga mengatur besarnya kelebihan cadangan yang dapat

disalurkan dalam bentuk kredit ke masyarakat. Pemerintah dapat mengontrol

17

kelebihan uang beredar dengan menaikkan atau menurunkan Reserve

Requirement, karena semakin tinggi Reserve Requirement, akan

mengakibatkan cadangan yang dapat disalurkan kepada masyarakat menurun

jumlahnya, sebaliknya semakin rendah Reserve Requirement akan

menyebabkan bertambahnya jumlah cadangan yang dapat disalurkan ke

masyarakat dalam bentuk kredit. Kebijakan ini mempunyai pengaruh

langsung terhadap pelaksanaan kebijakan operasi pasar terbuka dan kebijakan

diskonto (Judisseno, 2005).

c) Kebijakan Diskonto (Discount Rate Policy)

Discount Rate Policy adalah kebijakan bank sentral dalam menentukan

suku bunga yang harus dibayar oleh perbankan jika meminjam dana dari bank

sentral. Terdapat tiga jenis fasilitas kebijakan diskonto, yaitu adjusted credit,

extended credit, dan seasonal credit (Mishkin, 2001). Di Indonesia, adjusted

credit dan extended credit dikenal dengan istilah Bantuan Likuiditas Bank

Indonesia (BLBI), sedangkan seasonal credit dikenal sebagai Kredit

Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). BLBI adalah berbagai bentuk fasilitas

likuiditas perbankan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran perbankan

agar tidak terganggu oleh adanya ketidakseimbangan (mismatch) likuiditas

antara penarikan dan penerimaan dana pada bank umum. KLBI adalah kredit

Bank Indonesia untuk membantu kegiatan atau sektor yang diprioritaskan

oleh pemerintah atau disebut juga sebagai kredit untuk program-program

pemerintah seperti pengadaan pangan melalui Bulog, kredit untuk koperasi

18

unit desa (KKUD), kredit untuk usaha tani (KUT), dan kredit usaha rakyat

(KUR), di mana suku bunganya mengandung unsur subsidi sehingga lebih

kompetitif dibanding suku bunga pasar (Hascaryo, 2003)

2. Sasaran Operasional

Sasaran operasional merupakan sasaran yang ingin segera yang dicapai

oleh Bank Sentral dalam operasi moneternya. Variabel sasaran operasional

digunakan untuk mengarahkan tercapainya sasaran antara. Kriteria sasaran

operasional antara lain: (1). Dipilih dari variable moneter yang memiliki

hubungan yang stabil dengan sasaran antara, (2). Dapat dikendalikan oleh

Bank Sentral, (3). Akurat dan tidak sering direvisi (Mishkin, 2004).

3. Sasaran Antara

Hubungan antara sasaran operasional dan sasaran akhir kebijakan

moneter bersifat tidak langsung dan kompleks serta membutuhkan time lag

yang panjang. Untuk alasan itu, para ahli moneter dan praktisi Bank Sentral

mendesain simple rule untuk membantu pelaksanaan kebijakan moneter

dengan cara menambahkan indikator yang disebut sebagai sasaran antara.

Sasaran tersebut merupakan indikator untuk menilai kinerja

keberhasilan kebijakan moneter, sasaran ini dipilih dari varibel-variabel yang

memiliki keterkaitan stabil dengan sasaran akhir, cakupannya luas, dapat

dikendalikan oleh bank sentral, tersedia relatif cepat, akurat dan tidak sering

19

direvisi. Variabel sasaran antara meliputi:: agregat moneter (M1dan M2),

kredit perbankan dan nilai tukar (Bofinger, 2001).

4. Sasaran Akhir

Sasaran akhir kebijakan moneter yang ingin dicapai oleh Bank Sentral

tergantung pada tujuan yang dimandatkan oleh UU bank sentral suatu negara.

Tujuan akhir kebijakan moneter di Indonesia mengacu pada Pasal 7 ayat (1)

UU Nomor 3 Tahun 2004 yang secara eksplisit mencantumkan bahwa tujuan

akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai

rupiah (stabilitas moneter).

d. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Secara spesifik Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme transmisi

kebijakan moneter adalah “the process through which monetary policy

decision are transmitted into changes in real GDP and inflation”. Artinya,

MTKM merupakan jalur-jalur yang dilalui oleh kebijakan moneter untuk

dapat mempengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter yaitu pendapatan

nasional dan inflasi. Menurut Warjiyo (2004), MTKM merupakan proses

yang sangat kompleks dan melibatkan banyak variable dalam perekonomian.

Pada Gambar 2, telah teridentifikasi jalur – jalur yang dapat digunakan untuk

melakukan pass-through atas kebijakan moneter.

20

Gambar 2.

Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Sumber : Warjiyo, 2003

Secara teoritis, penjelasan tentang konsep standar mekanisme transmisi

kebijakan moneter dimulai dari ketika bank sentral mengubah instrumen-

instrumennya yang selanjutnya mempengaruhi sasaran operasional, sasaran

antara dan sasaran akhir. Misalnya Bank Sentral (BI) menaikkan tingkat

suku bunga acuan (BI Rate). Peningkatan tersebut akan mendorong naiknya

suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (rSBI), Suku Bunga Pasar Uang Antar

Bank (rPUAB), suku bunga deposito, kredit perbankan, harga aset, nilai tukar

dan ekspektasi inflasi di masyarakat. Perkembangan ini mencerminkan

bekerjanya jalur-jalur transmisi moneter yang selanjutnya akan berpengaruh

terhadap konsumsi dan investasi, ekspor dan impor yang merupakan

komponen permintaan eksternal dan keseluruhan permintaan agregat.

21

Secara empiris, besarnya permintaan agregat tidak selalu sama dengan

penawaran agregat. Jika terjadi selisih antara permintaan dan penawaran atau

terjadi output gap maka akan memberi tekanan terhadap kenaikan harga-

harga (inflasi) dari sisi domestik. Proses ini yang disebut sebagai indirect

exchange rate passthrough. Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi luar negeri

terjadi melalui pengaruh langsung dan tidak langsung perubahan nilai tukar

terhadap perkembangan harga barang-barang yang diimpor. Karena

pengaruhnya tersebut, proses ini disebut sebagai direct exchange rate pass-

through.

Pada awalnya pelaksanaan kebijakan moneter hanya ditransmisikan

melalui Jalur Uang (money channel). Tapi, seiring dengan kemajuan di

bidang ekonomi dan keuangan serta perubahan struktural dalam

perekonomian, maka jalur-jalur MTKM berkembang menjadi enam jalur,

salah satu di antaranya adalah Jalur Suku Bunga (Mishkin, 2004) dan

Bofinger (2001).

e. Jalur Transmisi Kebijakan Moneter

Pada awalnya pelaksanaan kebijakan moneter hanya ditransmisikan

melalui Jalur Uang (money channel). Tapi, seiring dengan kemajuan di

bidang ekonomi dan keuangan serta perubahan struktural dalam

perekonomian, maka jalur-jalur MTKM berkembang menjadi enam jalur,

salah satu di antaranya adalah Jalur Suku Bunga (Mishkin, 2004) dan

Bofinger (2001).

22

Seperti yang sudah sedikit disinggung sebelumnya, pada dasarnya

terdapat 2 pendapat umum yang mengemukakan tentang jalur MTKM, yaitu

pendapat aliran monetarist dan aliran Keynesian. Dalam perspektif

monetarist yang ditekankan adalah jalur kuantitas (quantity channel),

sedangkan Keynesian menekankan jalur harga aset (price channel). Jalur

kuantitas terdiversifikasi atas jalur ekspektasi (expectation channel) dan jalur

kredit (credit channel), sementara jalur harga terdiversifikasi atas jalur suku

bunga (interest rate channel), jalur nilai tukar (exchange rate channel), dan

jalur harga aset (price rate channel) (Warjiyo dan Solikin, 2003). Berikut ini

adalah penjabaran mengenai jalur – jalur dalam MTKM tersebut.

1) Jalur Ekspektasi (Expectation Channel)

Pada jalur mekanisme transmisi ini menekankan bahwa kebijakan

moneter dapat diarahakan agar dapat mempengaruhi pembentukan ekspektasi

mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi

perilaku pelaku ekonomi dalam melakukan keputusan konsumsi dan

investasi, yang pada akhirnya akan mendorong perubahan permintaan agregat

dan inflasi (Warjiyo dan Solikin, 2003).

2) Jalur Kredit (Credit Channel)

Pada jalur kredit, mekanisme transmisi dapat dibedakan menjadi dua

jalur. Pertama, bank lending channel, yaitu jalur pinjaman bank yang

menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank,

23

khususnya sisi aset. Kedua, balance sheet channel, yaitu jalur neraca

perusahaan yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi

keuangan perusahaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi akses

perusahaan untuk mendapatkan kredit.

Menurut jalur pinjaman bank, selain sisi aset, sisi liabilitas bank juga

merupakan komponen penting dalam mekanisme transmisi kebijakan

moneter. Apabila Bank Sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif,

misalnya melalui peningkatan rasio cadangan minimum di bank sentral, maka

cadangan yang ada di bank akan turun, sehingga loanable fund akan

mengalami penurunan. Apanila hal tersebut tidak segera diatasi dengan

melakukan penambahan modal atau surat-surat berharga, maka kemampuan

bank untuk memberikan pinjaman akan menurun. Kondisi ini menyebabkan

penurunan investasi, yang selanjutnya akan mendorong menurunan output.

Sementara itu, jalur neraca perusahaan menekankan bahwa kebijakan

moneter yang dilakukan oleh bank sentral akan mempengaruhi kondisi

keuangan perusahaan. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter

ekspansif, maka suku bunga di pasar uang akan menurun, namun akan

mendorong apresiasi nilai saham. Sejalan dengan peningkatan tersebut, nilai

bersih perusahaan juga akan meningkat, yang selanjutnya akan mengurangi

tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan. Kondisi ini

mendorong peningkatan pemberian kredit oleh bank, yang selanjutnya akan

meningkatkan investasi, dan pada akhirnya akan meningkatkan output

(Warjiyo dan Solikin, 2003).

24

3) Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel)

MTKM melalui Jalur Suku Bunga menekankan peranan perubahan

struktur suku bunga di sektor keuangan. Pengaruh perubahan suku bunga

jangka pendek ditransmisikan kepada suku bunga menengah/panjang yang

selanjutnya mempengaruhi permintaan dan pada akhirnya berpengaruh

terhadap inflasi (Taylor, 1995) dan Bofinger (2001).

Kebijakan moneter yang ditransmisikan melalui Jalur Suku Bunga dapat

dijelaskan dalam dua tahap: Pertama, transmisi di sektor keuangan (moneter).

Perubahan kebijakan moneter berawal dari perubahan instrumen moneter (BI

Rate) akan berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga Sertifikat Bank

Indonesia (rSBI), suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Proses

transmisi ini memerlukan tenggat waktu (time lag) tertentu.

Kedua, transmisi dari sektor keuangan ke sektor riil tergantung pada

pengaruhnya terhadap konsumsi dan investasi. Pengaruh suku bunga

terhadap konsumsi terjadi karena suku bunga deposito merupakan komponen

dari pendapatan masyarakat (income effect) dan suku bunga kredit sebagai

pembiayaan konsumsi (substitution effect). Sedangkan pengaruh suku bunga

terhadap investasi terjadi karena suku bunga kredit merupakan komponen

biaya modal.

Pengaruh suku bunga terhadap konsumsi dan investasi selanjutnya

akan berdampak pada jumlah permintaan agregat. Jika peningkatan

permintaan agregat tidak dibarengi dengan peningkatan penawaran agregat,

maka akan terjadi output gap (OG). Tekanan OG akan berpengaruh terhadap

25

tingkat inflasi. Mengacu pada penjelasan di atas, maka dapat dikatakan

bahwa inflasi yang terjadi melalui jalur ini adalah inflasi akibat tekanan

permintaan (demand pull-inflation).

4) Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel)

Transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar merupakan

konsekuensi dari suatu sistem perekonomian terbuka. Dalam jalur ini yang

ditekankan adalah peranan nilai tukar terhadap terwujudnya tujuan akhir

kebijakan moneter, sehingga disebut jalur nilai tukar.

Pengaruh kebijakan moneter tidak saja terjadi pada perubahan nilai

tukar, tetapi juga pada aliran modal (capital flow) dalam neraca pembayaran.

Dengan tingginya suku bunga dalam negeri (dengan asumsi suku bunga luar

negeri tidak berubah), maka akan terjadi perbedaan suku bunga nominal

domestik dan suku bunga luar negeri atau paritas suku bunga domestik

dengan suku bunga luar negeri (interest rate diffierential). Artinya, paritas

suku bunga domestik dan luar negeri akan berpengaruh terhadap nilai tukar

dan aliran modal dan selanjutnya perubahan nilai tukar dan aliran dana akan

berpengaruh terhadap inflasi di negara yang bersangkutan., khususnya,

negara yang perekonomiannya semakin terbuka dan disertai dengan sistem

devisa bebas.

Kebijakan moneter yang ditransmisikan melalui jalur nilai tukar dapat

diuraikan sebagai berikut:

26

Pertama, transmisi di sektor moneter. Kebijakan moneter berawal dari

perubahan BI Rate yang akan berpengaruh terhadap paritas suku bunga

domestik dan luar negeri (interest rate differential). Selanjutnya, paritas suku

bunga akan berpengaruh terhadap aliran modal (capital flow). Semakin tinggi

tingkat suku bunga akan menarik aliran modal masuk (capital inflow)

sehingga menambah persediaan valas di dalam negeri, sehingga mendorong

apresiasi nilai tukar Rupiah. Sementara itu, jika suku bunga turun lebih

rendah dibanding luar negeri, maka akan terjadi capital outflow akibatnya

rupiah akan terdepresiasi.

Kedua, transmisi dari sektor moneter ke sektor riil terjadi melalui

pengaruh perubahan nilai tukar terhadap inflasi baik secara langsung (direct

pass-through effect) maupun tidak langsung (indirect pass-through effect).

Pengaruh langsung terjadi karena perkembangan nilai tukar mempengaruhi

pola pembentukkan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi di

masyarakat, khususnya terhadap barang dan jasa yang diimpor.

Sementara itu, pengaruh tidak langsung terjadi karena perubahan nilai

tukar mempengaruhi komponen ekspor dan impor dalam permintaan agregat.

Perubahan ini akan berpengaruh terhadap besarnya output riil dan pada

akhirnya akan menentukan besarnya inflasi dari sisi kesenjangan output.

Inflasi yang tercipta melalui jalur nilai tukar meliputi inflasi tekanan

permintaan dan inflasi yang berasal dari impor (Natsir, 2007).

27

5) Jalur Harga Aset (Price Rate Channel)

Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur aset menekankan

bahwa kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga aset dan

kekayaan masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pengeluaran

investasi dan konsumsi. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter

kontraktif, maka hal tersebut mendorong peningkatan suku bunga, dan pada

akhirnya akan menekan harga aset perusahaan. Penurunan nilai asset tersebut

berimplikasi pada 2 hal, pertama berpotensi mengurangi kemampuan

perusahaan untuk melakukan ekspansi, dan yang kedua, menurunkan nilai

kekayaan dan pendapatan, yang pada akhirnya akan mengurangi pengeluaran

konsumsi, secara keseluruhan kedua hal tersebut berdampak pada penurunan

pengeluaran agregat (Warjiyo dan Solikin, 2003).

f. Teori Kebijakan Moneter

Dalam perkembangannya, kebijakan moneter banyak mendapat kajian dari

para ekonom dan semua kajian tersebut menghasilkan paradigma / teori baru

yang memberi gambaran bagaimana kebijakan moneter bekerja di

perekonomian. Berikut adalah uraian dari teori – teori tersebut.

1) Teori Kuantitas Uang

Teori kuantitas dikemukakan oleh Irving Fisher, dimana dalam modelnya

ia melihat uang sebagai ekuivalen terhadap barang/jasa. Menurutnya, jika

dalam perekonomian terjadi pertukaran antara uang dengan barang atau jasa,

28

maka banyaknya uang sama dengan nilai barang atau jasa, ataupun keduanya

digabungkan. Secara matematis, pendapat Fisher dapat dituliskan sebagai

berikut :

. = .Dimana :

M = Money in circulation (Jumlah uang beredar)

V = Velocity of money (Kecepatan peredaran uang)

P = Price level (Tingkat harga)

T = Transactions number (Banyaknya transaksi)

Dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Jumlah uang yang

dibayarkan oleh pembeli harus sama dengan uang yang diterima oleh penjual.

Hal ini berlaku juga untuk seluruh perekonomian: didalam suatu periode

tertentu nilai dari barang-barang atau jasa-jasa yang dibeli harus sama dengan

nilai dari barang yang dijual. Nilai dari barang yang dijual sama dengan

volume transaksi (T) dikalikan harga rata-rata dari barang tersebut (P). Dilain

pihak nilai dari barang yang ditransaksikan ini harus sama dengan volume

uang yang ada dimasyarakat (M) dikalikan berapa kali rata-rata uang bertukar

dari tangan satu ke tangan yang lain, atau rata “perputaran uang”, dalam

periode tersebut (V). Dalam kenyataannya, jika bank sentral meningkatkan

jumlah uang beredar (JUB) maka terdapat kecenderungan kuat harga barang

secara umum akan mengalami kenaikan.

29

Dalam teori ini T ditentukan oleh tingkat output equilibrium masyarakat,

yang untuk Fisher dan para ahli ekonomi Klasik, adalah selalu pada posisi full

employment sebagaimana dikemukakan oleh J.B Say. Fisher mengatakan

bahwa permintaan akan uang timbul dari penggunaan uang dalam proses

transaksi. Besar-kecilnya V ditentukan oleh sifat proses transaksi yang berlaku

di masyarakat dalam suatu periode (Boediono, 2005).

2) Teori Cambridge (Marshall-Pigou)

Teori ini seperti halnya teori Fisher dan teori-teori klasik lainnya,

berpangkal pokok pada fungsi uang sebagai alat tukar umum (means of

exchange). Karena itu, teori-teori Klasik melihat kebutuhan uang atau

permintaan akan uang dari masyarakat sebagai kebutuhan akan alat tukar yang

likuid untuk tujuan transaksi.

Perbedaan utama antara teori ini dengan Fisher, terletak pada tekanan

dalam teori permintaan uang Cambridge pada perilaku individu dalam

mengalokasikan kekayaannya antara berbagai kemungkinan bentuk kekayaan,

yang salah satunya berbentuk uang. Perilaku ini dipengaruhi oleh

pertimbangan untung-rugi dari pemegang kekayaan dalam bentuk uang. Teori

Cambridge lebih menekankan faktor-faktor perilaku (pertimbangan untung-

rugi) yang menghubungkan antara permintaan akan uang seseorang dengan

volume transaksi yang direncanakannya. Cambridge mengatakan bahwa

permintaan akan uang selain dipengaruhi oleh volume transaksi dan faktor

30

kelembagaan, juga dipengaruhi oleh tingkat bunga, besar kekayaan warga

masyarakat, dan ramalan/harapan dari masyarakat mengenai masa mendatang.

Jadi dalam jangka pendek, Cambridge menganggap bahwa jumlah

kekayaan, volume transaksi dan pendapatan nasional mempunyai hubungan

yang proporsional-konstan satu sama lainnya. Teori Cambridge menganggap

bahwa, ceteris paribus permintaan akan uang adalah proporsional dengan

tingkat pendapatan nasional. Secara matematis, pemikiran Cambridge dapat

dijabarkan sebagai berikut :

= ……………………………………………………………..(1)

dimana Md adalah permintaan uang, k adalah koefisien atas tingkat harga

(P) dan Y adalah pendapatan nasional riil.

Supply akan uang (Ms) dianggap ditentukan oleh pemerintah. Dalam

posisi keseimbangan maka :

= ……………………………………….....................................(2)

sehingga :

= ……………………………………………………………..(3)

atau :

= 1/ ………………………………….....................................(4)

Jadi ceteris paribus tingkat harga umum (P) berubah secara proporsional

dengan perubahan volume uang yang beredar. Tidak banyak berbeda dengan

31

teori Fisher, kecuali tambahan ceteris paribus yang berarti tingkat harga,

pendapatan nasional riil, tingkat bunga dan harapan adalah konstan. Perbedaan

ini cukup penting, karena teori Cambridge tidak menutup kemungkinan bahwa

faktor-faktor seperti tingkat bunga dan ekspektasi berubah, walaupun dalam

jangka pendek. Dan kalau faktor-faktor berubah maka “k” juga berubah. Teori

Cambridge mengatakan kalau tingkat bunga naik, ada kecenderungan

masyarakat mengurangi uang yang ingin mereka pegang, meskipun volume

transaksi yang mereka rencanakan tetap. Demikian juga faktor ekspekstasi

mempengaruhi. Bila seandainya di masa datang tingkat bunga naik (yang

berarti penurunan surat berharga atau obligasi) maka orang akan cenderung

untuk mengurangi jumlah surat berharga yang dipegangnya dan menambah

jumlah uang tunai yang mereka pegang, dan ini pun bisa mempengaruhi

kofisien “k” dalam jangka pendek (Boediono, 2005).

3) Teori Keynes

Meskipun bisa dikatakan bahwa teori uang Keynes adalah teori yang

bersumber dari teori Cambridge, tetapi Keynes mengemukakan sesuatu yang

berbeda dengan teori moneter tradisi klasik. Pada hakekatnya perbedaan ini

terletak pada penekanan pada fungsi uang yang lain, yaitu sebagai store of

value dan bukan hanya sebagai means of exchange. Teori ini kemudian

dikenal dengan nama teori Liquidity Preference. Keynes melihat bahwa

terdapat beberapa motif yang menjadi alasan mengapa individu di dalam

perekonomian melakukan permintaan atas uang, motif tersebut antara lain

untuk bertransaksi dan berjaga-jaga.

32

a) Motif Transaksi dan Berjaga-jaga

Orang memegang uang guna memenuhi dan melancarkan transaksinya,

dan permintaan akan uang dari masyarakat untuk tujuan ini sangat

dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional dan tingkat bunga. Semakin

tinggi tingkat pendapatan semakin besar volume transaksi dan semakin besar

pula kebutuhan uang untuk tujuan transaksi. Permintaan uang untuk tujuan

transaksi ini pun bukan merupakan suatu proporsi yang selalu konstan, tetapi

dipengaruhi pula oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Hanya saja faktor

tingkat bunga untuk permintaan transaksi untuk uang ini tidak ditekankan oleh

Keynes, akan tetapi tingkat bunga ditekankan pada permintaan uang untuk

tujuan spekulasi.

Motif berjaga-jaga (precautionary motive), orang akan mendapat manfaat

dari memegang uang untuk menghadapi keadaan-keadaan yang tidak terduga,

karena sifat uang yang mudah ditukarkan dengan barang-barang lain. Menurut

Keynes permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga ini dipengaruhi oleh

faktor-faktor yang sama dengan faktor yang mempengaruhi permintaan uang

untuk transaksi, yaitu terutama dipengaruhi pula oleh tingkat penghasilan

orang tersebut, dan mungkin dipengaruhi pula oleh tingkat bunga, meskipun

tidak kuat pengaruhnya.

b) Motif Spekulasi

Sesuai dengan namanya , motif dari memegang uang ini adalah terutama

untuk tujuan memperoleh keuntungan yang bisa diperoleh dari seandainya si

33

pemegang uang tersebut meramal apa yang akan terjadi dengan benar. Pada

teori Cambridge faktor ketidaktentuan masa depan (uncertainty) dan faktor

harapan (expectation) dari pemilik kekayaan bisa mempengaruhi permintaan

akan uang dari pemilik kekayaan tersebut. Namun sayangnya teori ini tidak

pernah membakukan faktor-faktor ini ke dalam perumusan teori moneter

mereka. Perumusan permintaan uang untuk motif spekulasi dari Keynes

merupakan langkah “formalisasi” dari faktor-faktor ini ke dalam teori

moneter.

Pada garis besarnya teori Keynes membatasi pada keadaan dimana pemilik

kekayaan bisa memilih memegang kekayaannya dalam bentuk uang tunai atau

obligasi (bond). Uang tunai dianggap tidak memberikan penghasilan

sedangkan obligasi dianggap memberikan berupa sejumlah uang tertentu

setiap periode. Dalam teori Keynes dibicarakan khusus obligasi yang

memberikan suatu penghasilan berupa sejumlah uang tertentu setiap periode

selama waktu yang tak terbatas (perpetuity).

Secara umum bisa ditulis dengan persamaan sebagai berikut :

= . ……………………………………………………………...(1)

Dimana K adalah hasil per tahun yang diterima, R adalah tingkat bunga, dan P

adalah harga pasar atau nilai sekarang dalam obligasi “perpetuity” tersebut.

34

Persamaan tersebut bisa juga ditulis sebagai berikut :

= / …………………………………………………………….(2)

yang menunjukkan bahwa (karena K adalah konstan) harga pasar

obligasi (P) berbanding terbalik dengan tingkat bunga R bila tingkat bunga

turun, maka berarti harga pasar obligasi naik, dan sebaliknya bila tingkat

bunga naik maka harga pasar obligasi turun, atau dengan kata lain semakin

tinggi tingkat suku bunga semakin rendah permintaan uang tunai oleh

seseorang atau masyarakat. Karena, semakin tinggi tingkat suku bunga,

maka semakin besar ongkos memegang uang tunai sehingga seseorang

atau masyarakat lebih baik membeli obligasi. Sebaliknya apabila tingkat

suku bunga semakin rendah maka semakin rendah pula ongkos memegang

uang tunai dan semakin besar seseorang atau masyarakat untuk

menyimpan uang tunai. Bentuk yang sederhana dari fungsi permintaan

(total) akan uang dari teori Keynes adalah:

/ = [ + Ø ( , ) ]…………………………………………(1)

Md/P adalah permintaan uang total dalam arti riil, suku pertama

dalam kurung, yaitu k Y adalah permintaan uang untuk transaksi dan

berjaga-jaga, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi (k) dari pendapatan

nasional riil. Ø (r, W) adalah permintaan akan uang untuk motif spekulasi

yang dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat bunga yang berlaku (r) dan

nilai asset (kekayaan atau wealth) yang ada di masyarakat (W). Variable

W ini dimasukkan karena permintaan uang untuk motif spekulasi

35

dinyatakan sebagai bagian dari W yang dipegang dalam bentuk uang

tunai. Persamaan (1) tersebut bisa pula dinyatakan dalam bentuk

permintaan akan uang dalam satuan moneter sebagai berikut :

= [ + Ø ( , ) ] ……………………………………(2)

dalam analisa jangka pendek W biasanya dianggap konstan sehingga

fungsi (2) menjadi :

= [ + Ø ( ) ] …………………………………...…..(3)

dimana Ø (r) = Ø (r,W), dalam posisi equilibrium, supply uang (Ms),

yang dianggap juga oleh Keynes sebagai variable yang ditentukan oleh

pemerintah, sama dengan Md. Sehingga :

= [ + Ø ( ) ] ………………………………………..(4)

Teori permintaan uang Keynes mempunyai implikasi bahwa fungsi

permintaan akan uang (Liquidity Preference) adalah fungsi yang tidak

stabil, dalam arti bahwa fungsi ini bisa bergeser dari waktu ke waktu. Hal

ini karena Keynes menekankan faktor uncertainty dan expectation dalam

menentukan posisi permintaan uang untuk tujuan spekulasi (Boediono,

2005).

4). Paritas Suku Bunga (Uncovered Interest Parity)

Konsep uncovered interest parity menjelaskan hubungan antara

tingkat suku bunga domestik (i), tingkat suku bunga luar negeri (i*), dan

36

depresiasi mata uang domestik (x). konesp ini dapat menjelaskan perilaku

investor dalam mengambil keputusan apakah akan menanamkan modalnya

di dalam negeri atau di luar negeri. Secara matematis uncovered interest

parity dapat dijelaskan sebagai berikut :

= ∗ + …………………………………………………………(1)

Persamaan di atas dapat diubah menjadi :

− = ∗…………………………………..……………………..(2)

Sepanjang tingkat pengembalian/pendapatan investasi di dalam negeri

(setelah memperhitungkan tingkat depresiasi mata uang domestik) lebih besar

daripada pendapatan investasi di luar negeri, maka investor akan tertarik

untuk meningkatkan investasinya di dalam negeri, tetapi jika sebaliknya,

maka investasi domestik akan lari ke luar negeri.

5). Teori Arus Modal (Capital Flow)

Masuknya aliran dana (capital inflow) ke negara berkembang

disebabkan oleh beberapa faktor. Tingginya tingkat integrasi keuangan

seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi terutama teknologi

informasi dan komunikasi, memainkan peran yang besar dalam mempercepat

peningkatan mobilitas capital flow. Selain itu, pengembangan infrastruktur

pasar modal yang disertai dengan liberalisasi pasar modal seperti

penghapusan hambatan repatriasi, pengurangan hambatan pastisipasi dan

37

kepemilikan pihak asing, juga berkontribusi terhadap perluasan capital

flowke pasar negara berkembang.

Terdapat dua faktor penentu utama untuk capital inflow (Agenor,

2004; Calvo et al, 1994):

1. Internal atau pull factors

Faktor yang terkait dengan kebijakan dalam negeri, seperti tinggginya

tingkat produktivitas dan tingkat pertumbuhan, kuatnya fundamental

makroekonomi, stabilisasi makroekonomi, reformasi yang bersifat struktural

(contohnya liberasisasi kapital dan penurunan defisit fiskal), yang biasanya

akan terkompensasi dan terefleksi dengan peningkatan ratingsuatu negara.

2. External atau push factors

Faktor eksternal seperti tingkat suku bunga dunia yang rendah,

terutama di AS dan beberapa negara maju lainnya, yang akan menyebabkan

terjadinya penurunan premi risiko, sementara di sisi lain emerging markets

memberikan yield yang lebih tinggi. Faktor lain seperti resesi atau

perlambatan tingkat pertumbuhan di negara maju akan menghasilkan tingkat

return yang rendah dan mengurangi peluang keuntungan (profit opportunity)

sehingga akan menyebabkan terjadinya perpindahan capital dari negara maju

ke emerging markets.

38

Larrain et al. (1997) menemukan bahwa long term flows cenderung

dipengaruhi oleh fundamental ekonomi, sementara short term flows lebih

banyak dipengaruhi oleh interest rate differential.

g. Nilai Tukar dan Ekspor

Fluktuasi nilai tukar dipengaruhi oleh perdagangan internasional suatu

negara melalui permintaan dan penawaran mata uang negara tersebut (Lipsey,

Steiner dan Purvis, 1991: 379). Pada saat nilai tukar rupiah mengalami

depresiasi, maka harga barang ekspor akan lebih murah atau kompetitif

dibandingkan produk luar negeri, sehingga akan mendorong terjadinya

peningkatan ekspor. Sebaliknya pada saat nilai tukar rupiah mengalami

apresiasi, harga barang ekspor di luar negeri akan lebih mahal, sehingga

permintaan ekspor akan menurun (Darwanto, 2007).

h. Kebijakan Moneter pada Perekonomian Terbuka

Efek kebijakan moneter pada perekonomian terbuka dapat dijelaskan

dengan menggunakan model Mundell – Fleming, yang menggunakan asumsi

bahwa perekonomian yang sedang dipelajari adalah perekonomian dengan

mobilitas modal sempurna. Perekonomian bisa menjamin dan memberikan

pinjaman sebanyak yang ia inginkan di pasar keuangan dunia, namun tingkat

bunga domestik ditentukan oleh tingkat bunga dunia.

39

Gambar 3.

Efek Kebijakan Moneter Pada Perekonomian Terbuka

Sumber : Mankiw (2000)

Menurut model ini, perekonomian terbuka kecil dengan mobilitas

modal sempura dapat dijelaskan oleh dua persamaan :∶ = ( − ) + ( ) + + ( )…………………………….(1)∶ / = ( , )……………………………………………………(2)

Persamaan 1 menjelaskan keseimbangan di pasar barang, dan

persamaan 2 menjelaskan keseimbangan di pasar uang (Mankiw,2000).

Melalui model Mundell-Fleming dapat diketahui bagaimana efek

dari kebijakan moneter mempengaruhi output. Jika bank sentral

meningkatkan jumlah uang beredar, maka akan menurunkan nilai tukar,

akan tetapi berpotensi meningkatkan output. Sebagaimana termodelkan

40

pada Gambar 3, peningkatan pada jumlah uang beredar akan menggeser

kurva LM ke kanan. Sehingga kenaikan dalam penawaran jumlah uang

beredar tersebut akan menurunkan nilai tukar (karena akan menurunkan

rasio mata uang asing terhadap mata uang dalam negeri), namun akan

meningkatkan pendapatan.

Kenaikan dalam penawaran uang akan menekan tingkat bunga

domestik. Di mana hal ini akan menyebabkan modal mengalir ke luar

perekonomian, sebab investor lebih memilih peluang yang lebih

menguntungkan. Aliran keluarnya modal akan meningkatkan penawaran

mata uang domestik di pasar mata uang asing, sehingga mata uang

domestik mengalami depresiasi. Hal tersebut membuat barang domestik

relatif lebih murah dibandingkan barang – barang luar negeri, sehingga

akan meningkatkan volume ekspor netto, dan pada akhirnya akan

mendorong output.

i. Kebijakan Moneter di Indonesia

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No.

3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan

kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga

barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan

tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka

kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan

41

moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai

tukar yang mengambang (free floating) setelah sebelumnya menggunakan

kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai

sasaran kebijakan moneter. Peran kestabilan nilai tukar sangat penting

dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya,

Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi

volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai

tukar pada level tertentu (Firmansyah dkk, 2015).

Penerapan ITF tidak berarti bahwa kebijakan moneter tidak

memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Paradigma dasar kebijakan

moneter untuk menjaga keseimbangan (striking the optimal balance)

antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi tetap dipertahankan, baik dalam

penetapan sasaran inflasi maupun respon kebijakan moneter, dengan

mengarahkan pada pencapaian inflasi yang rendah dan stabil dalam

jangka menengah-panjang.

Walaupun UU nomor 23 Tahun 1999 memberikan landasan yang

kuat bagi penggunaan kerangka ITF dsan Bank Indonesia seduah

mengumumkan target inflasi secara eksplisit, praktik kebijakan moneter

Bank Indonesia pasca undang-undang ini masih menggunakan campuran

kerangka kebijakan. Pendekatan Kebijakan dengan multiple anchor yang

ditempuh oleh Bank Indonesia sering membuat para pelaku pasar bingung

karena kurangnya transparansi dalam implementasi kebijakan moneter

yang ditempuh (Firmansyah dkk, 2015).

42

B. Keterkaitan antar Variabel

1. Suku Bunga, Interest Rate Differential, Capital Flow dan Nilai

Tukar

Menurut pendapat Mishkin (1996), suku bunga dan nilai tukar tidak

memiliki hubungan yang langsung dapat mempengaruhi. Hubungan antar

variabel tersebut terjadi melalui interaksi beberapa variabel lainnya.

Dalam konteks kebijakan moneter, ketika bank sentral melakukan

kebijakan kontraktif ataupun ekspansif dengan menggunakan BI Rate,

maka muncul potensi adanya interest differential yang menyebabkan suku

bunga domestik berbeda dengan suku bunga dunia, hal tersebut dapat

mendorong terjadinya capital inflow ataupun outflow. Dengan asumsi

capital inflow = apresiasi kurs domestik dan sebaliknya, maka interaksi

tersebut menghasilkan hubungan tidak langsung antara suku bunga dan

nilai kurs domestik. Jika BI Rate naik, maka kurs domestik terapresiasi.

Sebaliknya, jika BI Rate ditekan, maka kurs domestik mengalami

depresiasi atas pasar. Yang penting untuk dicatat adalah, interaksi yang

terjadi semenjak terjadi perubahan suku bunga hingga terjadinya

perubahan nilai tukar itu sendiri tidak memiliki kelambanan nol, artinya

terdapat time lag yang tidak jelas antara implementasi kebijakan dan

sasaran yang terkena impact dari kebijakan tersebut.

43

2. Nilai Tukar dan Neraca Perdagangan

Nilai tukar suatu negara dibedakan atas nilai tukar nominal dan nilai

tukar riil. Nilai tukar nominal merupakan harga relatif mata uang dua

negara (Mankiw, 2003:127), sedangkan nilai tukar riil berkaitan dengan

harga relatif dari barang-barang di antara dua negara. Dengan kata lain,

nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana pelaku ekonomi dapat

memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang

dari negara lain.

Gambar 4.

Hubungan antara Kurs dan Ekspor

Sumber : Darwanto, 2007

Pada saat nilai tukar rupiah mengalami depresiasi, maka harga barang

ekspor akan lebih murah atau kompetitif dibandingkan produk luar

44

negeri, sehingga akan mendorong terjadinya peningkatan ekspor.

Sebaliknya pada saat nilai tukar rupiah mengalami apresiasi, harga barang

ekspor di luar negeri akan lebih mahal, sehingga permintaan ekspor akan

menurun (Darwanto, 2007).

Pengaruh ini dapat dirumuskan menjadi suatu hubungan antara nilai

tukar dengan ekspor. Jika Dengan mengasumsikan bahwa impor relatif

stabil, maka nilai tukar memiliki hubungan negatif terhadap ekspor neto.

C. Penelitian Terdahulu

Dhany dkk (2012), meneliti tentang dampak perubahan nilai tukar

mata uang terhadap ekspor Indonesia. Kesimpulan dari penelitiannya

menunjukkan terdapat keterkaitan antara ekspor dan nilai mata uang pada

seluruh model yang diidentifikasikan. Dalam model agregat, nilai mata

uang memiliki hubungan kausalitas dengan indeks produksi dan harga

relatif, sedangkan model komoditas nilai mata uang memiliki hubungan

terhadap indeks produksi. Dengan menggunakan alat analisis Vector Error

Correction Model (VECM), ditemukan bahwa pada model agregat nilai

tukar tidak berpengaruh secara signifikan pada ekspor baik pada jangka

pendek maupun jangka panjang. Variabel yang berpengaruh pada model

agregat dalam jangka panjang adalah ekonomi dunia dan harga relatif

terhadap dunia. Variabel yang mempengaruhi ekspor dalam jangka pendek

pada model CPO adalah ekspor itu sendiri. Dalam jangka panjang terdapat

hubungan positif antara volume ekspor dengan depresiasi rupiah dan

hubungan negatif antara volume ekspor dengan harga relatif.

45

Analisis lanjut dengan menggunakan Impulse Response Function

(IRF) menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar akan menyebabkan

penurunan volume ekspor pada semua model, kecuali pada model CPO.

Dugaan penyebabnya adalah pada model CPO berlaku kaidah Marshall –

Lerner, dimana perubahan nilai tukar tidak berpengaruh atau bersifat

inelastis dalam jangka pendek, melainkan elastis dalam jangka panjang,

sehingga jika digambarkan dalam kurva maka akan terbentuk kurva

berbentuk huruf ‘J’ (J-Curve). Meskipun demikian. hal ini memerlukan

penelitian lebih lanjut.

Ginting (2013) dalam studinya menganalisis pengaruh nilai tukar

Rupiah terhadap kinerja ekspor Indonesia. Dengan menggunakan alat

analisis Error Correction Model (ECM), hasilnya menunjukkan dalam

kurun waktu 2005:Q1 hingga 2012:Q3 ekspor Indonesia secara umum

menunjukkan perkembangan yang positif, walaupun pada tahun 2008 –

2009 dan tahun 2012 menunjukkan terjadinya penurunan ekspor

Indonesia. Berdasarkan hasil analisis regresi jangka panjang ternyata nilai

tukar memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap ekspor

Indonesia. Ini menunjukkan bahwa apresiasi atas nilai tukar domestik akan

menurunkan volume ekspor. Hasil yang senada juga ditunjukkan dalam

analisis jangka pendek. Hasil penelitian ini mendukung perspektif

pentingnya kebijakan untuk menjaga nilai tukar agar berada di kisaran

level yang tepat. Selain itu disarankan juga untuk mulai memformulasikan

pasar yang baru untuk komoditas ekspor domestik, sebab negara tujuan

46

ekspor besar seperti Eropa dan Amerika menunjukkan tren yang jenuh dan

menurun.

Pada tahun 2006, Ratnawati dan Mahatmi mencoba menganalisis

efektivitas jalur kredit dan jalur nilai tukar. Penelitian tersebut

menggunakan alat analisis Structural Equation Model. Dengan

membandingkan output dari kedua jalur tersebut, mereka menemukan

bahwa jalur nilai tukar lebih efektif dalam mentransmisikan kebijakan

moneter untuk periode 1997 – 2004. Hal tersebut sejalan dengan Penelitian

yang dilakukan Sofyan pada tahun 2002, dimana ia mencoba memetakan

efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui jalur – jalur yang sudah

teridentifikasi sebelumnya. Penelitian tersebut menggunakan alat analisis

Vector Error Correction Model (VECM) dan memperoleh kesimpulan

bahwa jalur nilai tukar lebih dominan dalam mekanisme transmisi

dibandingkan dengan jalur – jalur yang lain.

Haryanto (2007) dalam disertasinya yang berjudul Dampak

Instrumen Kebijakan Moneter terhadap Perekonomian Indonesia,

mendapati bahwa mekanisme transmisi melalui jalur neraca atau Balance

Channel dan jalur ekspektasi memiliki peran penting dan paling efektif

dalam mempengaruhi kinerja perekonomian, yang diproksikan oleh nilai

tukar, tingkat harga domestik dan produk domestik bruto. Penelitian

tersebut menggunakan data tahunan dari 1988 hingga 2005.

Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Restiyanto (2008) dimana

ia meneliti transmisi kebijakan moneter melalui sudut pandang aliran

47

monetaris, dengan menggunakan Partial Adjustment Model (PAM), ia

meneliti bagaimana peran jumlah uang beredar (JUB) dan kredit dalam

proses transmisi saat sebelum dan sesudah krisis moneter 1998. Hasil

penelitiannya menunjukkan fakta bahwa sebelum 1998, intervensi moneter

dalam mempengaruhi JUB lebih efektif dalam mentransmisikan tujuan

dari kebijakan moneter dibanding jalur – jalur yang lain.

Tabel 2.

Penelitian Terdahulu

No NamaPeneliti Judul Variabel

Y1,Y2…YnVariabel

X1,X2…XnAlat

Analisis Hasil

1

DhanySuryaRatana,Noer AzamAchsani,dan TriasAndati(2012)

DampakPerubahanNilai TukarMata UangterhadapEksporIndonesia

Volume EksporAgregat,Volume EksporCrude Palm Oil(CPO), Karetdan Batu Bara

PerubahanNilai TukarDomestik

VAR /VECM

Pada model agregatnilai tukar tidakberpengaruh secarasignifikan pada eksporbaik pada jangkapendek maupunjangka panjang.Variabel yangberpengaruh padamodel agregat dalamjangka panjang adalahekonomi dunia danharga relatif terhadapdunia. Variabel yangmempengaruhi ekspordalam jangka pendekpada model CPOadalah ekspor itusendiri.

48

2

AriMuliantaGinting(2013)

PengaruhNilai TukarTerhadapEksporIndonesia

Volume EksporIndonesia

Nilai Tukardan PDB

ECM

Nilai tukar dalamjangka panjang danjangka pendekmemiliki pengaruhyang negatif dansignifikan terhadapekspor Indonesia. Inimenunjukkanpentingnya kebijakannilai tukar untukmemicu peningkatanekspor Indonesia.

3FahmaMuttaqin(2013)

AnalisisTransmisiKebijakanMoneterJalur NilaiTukar EraInflationTargetingFrameworkdi Indonesia

Inflasi danOutput Gapterhadap Inflasi

SertifikatBankIndonesia,Paritas SukuBunga, KursRp/USD,IndeksHargaKonsumen,dan EksporNetto

VAR

Temuan penelitianadalah 5 dari 8hipotesis yangdiajukan dapatdibuktikan. Pengujianterhadap transmisipengaruh dari sukubunga SBI terhadapparitas suku bunga,suku bunga terhadapkurs Rupiah/USD,kurs terhadap indeksharga konsumen,indeks hargakonsumen terhadapekspor netto daninflasi, serta outputgap terhadap inflasimenyimpulkan bahwapengujian pada jalurtransmisi tersebutsignifikan hinggamencapai Inflasi.Sementara jalur yangtidak dapat dibuktikansignifikasinya dalamtransmisi antara lainpengaruh antaraparitas suku bungaterhadap capitalinflow, capital inflowterhadap kurs, danekspor netto terhadapoutput gap.

49

4

NirdukitaRatnawatidan SwastiMahatmiPutri(2004)

Perbandingan EfektifitasJalur Kreditdan JalurNilai TukardalamMekanismeTransmisiKebijakanMoneterMenggunakanStructuralEquationModel(SEM)1997.1 –2004.12

PDB dan IHK

JUB, TotalDeposit,Total Kredit,Investasi,Pasar UangAntar Bank(PUAB),kursRp/USD danEkspor Netto

SEM

Pada periodepenelitian, mekanismetransmisi kebijakanmoneter lebih efektifmenggunakan jalurnilai tukar.

5

Nafisah AlAli Daulay,AnthonyMayes danYusniMaulida(2013)

AnalisisJalurTransmisiBI RateterhadapNilai Tukardi Indonesia

Kurs Rp/USD

Nett ForeignAssets(NFA),Paritas SukuBungaDalam danLuar Negeri

VAR

Hasil penelitianmenunjukkan bahwaNFA dapat meresponshock dari paritas sukubunga selama 5 bulan,kemudian nilai tukarmembutuhkan timelag selama 1 bulanuntuk emrespon NFA.Jadi total time lagyang dibutuhkanvariabel moneterdalam penelitianuntuk bisa sampai kenilai tukar adalah 6bulan. Analisis denganmenggunakanVarianceDecompositionmenunjukkan bahwainovasi NFA sangatkecil dampaknyaterhadap Kurs (12%),paritas suku bungahanya mempengaruhisebesar 0.43%.Inovasi atas Kurspaling besardipengaruhi olehinovasi Kurs itusendiri, denganbesaran 87.67%.

50

6

Joseph E.Gagnondan JaneIhrig(2004)

MonetaryPolicy andExchangeRate Pass-Through

Inflasi CPI

KursUSD/(Matauang sampel20 NegaraIndustri) ,PermintaanAgregat,Ekspektasi,PremiResiko

VECM

Hasil penelitianmenunjukkan hasilyang bervariasi untuksampel 20 negaraindustri dalam halefektivitas transmisimelalui jalur nilaitukar terhadapmakroekonomi.Temuan penelitimenunjukkan padasaat otoritas monetermelakukan kebijakanyang berimplikasipada nilai tukar,pelaku pasarcenderung merespondengan tren yangsemakin menurunsepanjang waktu. Inimerupakan indikasibahwa kebijakan nilaitukar sudah memilikidampak yang inelastisterhadapmakroekonomi.Penjelasan yangpaling masuk akaladalah bergesernyaketergantungannegara-negara tersebutatas kegiatan imporyang merupakankomponen yangelastis terhadapperubahan nilai tukar.Asumsi utama yangmendasari efektivitaskebijakan melaluijalur nilai tukar adalahbahwa perekonomianyang menggunakanrezim kebijakantersebut memilikiketerkaitan yang kuatdengan aktivitasneracaperdagangannya.Kendati demikian,hasil ini masihmemerlukanpenelitian lebih lanjut.

51

7

Jon Faust,JosephGagnon,JaimeMarquez,RobertMartin,TrevorReeve, danJohnRogers(2005)

ExchangeRate Pass-Through toU.S ImportPrices:Some NewEvidence

HargaKomoditasImpor, CPI

Kurs, CPI,IndeksHargaKomoditas(dalamUSD)

VECM

Penelitian inimerupakan tindaklanjut dari hasilpenelitian Gagnonsebelumnya, yangmeninggalkanpertanyaan berupapenyebab yang tidakpasti mengapakebijakan nilai tukarmulai menunjukkanefektivitas yangmenurun terhadapkomoditas ekspor(selain minyak bumi,komputer dankomponen semikonduktor). Hasilpenelitianmenunjukkanbeberapa temuan baru,Salah satunya adalahmasuknyaperekonomianTiongkok dalam petakompetisiperdagangan A.S.Semenjak 1980an,kebijakan nilai tukarmulai menunjukkanefektivitas yangmenurun dan haltersebut terjadibersamaan dengankenaikan volumeimpor komoditas yangterus meningkat dariTiongkok.

D. Kerangka Pemikiran

Bagian ini merupakan upaya peneliti untuk mengartikulasikan ide

penelitian seperti apa yang akan dilakukan dan bagaimana variabel – variabel

dalam penelitian dijelaskan dalam satu kerangka yang terintegrasi dan dapat

52

lebih mudah dipahami oleh pembaca. Tentu saja kerangka pemikiran harus

memiliki isi yang konsisten dengan latar belakang.

Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian

dengan hanya mengkaji bagaimana efektivitas kebijakan moneter jalur nilai

tukar terhadap dinamika neraca perdagangan yang diproksikan oleh ekspor

neto, mengestimasi model jangka pendek dan panjangnya, serta mencari tahu

time lag dari kebijakan tersebut. Berkaca pada hasil penelitian sebelumnya

(Warjiyo dan Solikin, 2003, Gagnon dkk, 2004, dan Gagnon dkk, 2005),

asumsi dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa sistem nilai

tukar yang digunakan bersifat fleksibel dengan kondisi perekonomian terbuka.

Mekanisme kebijakan melalui nilai tukar (Exchange-rate passthrough)

beroperasi dengan menekankan bahwa volatilitas nilai tukar dapat

mempengaruhi perubahan permintaan dan penawaran agregat (AD & AS),

yang selanjutnya baru dapat mempengaruhi komponen output dan tingkat

harga. Gagnon (2005) menyatakan bahwa pada kasus – kasus tertentu

exchange-rate passthrough dapat menjadi tidak efektif jika struktur neraca

perdagangan didominasi oleh komoditas yang berasal dari perekonomian yang

menggunakan rezim nilai tukar tetap.

Berdasarkan uraian tersebut, penggunaan variabel dalam penelitian ini

antara lain suku bunga domestik (BI Rate), perbedaan suku bunga dalam dan

luar negeri (RDiff), capital flow (CFlow), kurs Rp/USD (XRate), dan ekspor

neto (NettX). Jika dijabarkan secara matematis, maka model untuk menjawab

rumusan masalah pada bab sebelumnya adalah :

53

= ( , , , )Di mana :

NettX = Ekspor Netto

rBI = BI Rate

RDiff = Paritas suku bunga dalam dan luar negeri

CFlow = Capital Flow

XRate = Kurs IDR/USD

Sedangkan gambaran umum mengenai kerangka pikir dalam

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5.

Kerangka Pemikiran

E. Hipotesis

Dengan memperhatikan teori, hasil penelitian dan temuan – temuan

terkait fenomena yang sedang diteliti, maka perumusan hipotesis untuk

penelitian ini adalah :

ExchangeRate

Passthrough

PerubahanBI Rate

SukuBunga

Domestik≠

SukuBunga Luar

Negeri

Inflowatau

Outflow

Apresiasiatau

DepresiasiKurs

Perubahanpada Ekspor

Netto

Sektor Finansial Sektor Riil

Interest Rate Differential

Kebijakan Moneter Capital Flow

54

Adanya fenomena ekonomi global yang tercermin dari perubahan suku

bunga internasional dan suku bunga domestik selama periode penelitian

memicu efektivitas yang menurun atas mekanisme transmisi kebijakan

moneter melalui jalur nilai tukar dibanding periode - periode sebelumnya.

Sehingga dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. H01 : Secara keseluruhan, indirect exchange rate passthrough tidak

efektif dalam mentransmisikan kebijakan terhadap output riil berupa

ekspor neto, yang diindikasikan dengan lamanya time lag transmisi dan

rendahnya predictive power dari variabel tersebut,

H11 : Secara keseluruhan, indirect exchange rate passthrough efektif

dalam mentransmisikan kebijakan terhadap output riil berupa ekspor neto,

yang diindikasikan dengan rendahnya time lag transmisi dan besarnya

predictive power dari variabel tersebut,

2. H02 : Tidak terdapat kausalitas 2 arah antara variabel-variabel dalam

model penelitian,

H12 : Terdapat kausalitas 2 arah antara variabel – variabel dalam model

penelitian,

3. H03 : Secara spesifik, ekspor neto merespon secara tidak signifikan atas

shock variabel yang dilalui oleh mekanisme transmisi kebijakan,

H13 : Secara spesifik, ekspor neto merespon secara signifikan atas

shock variabel yang dilalui oleh mekanisme transmisi kebijakan.

55

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian yang bersifat

kuantitatif terapan. Secara singkat, ini adalah penelitian yang bertujuan untuk

membuktikan hipotesa. Penelitian yang bersifat kuantitatif terapan pada

dasarnya berkenaan dengan kenyataan praktis serta pengembangan

pengetahuan yang didapatkan oleh penelitian sebelumnya. Penelitian ini

menggunakan data sekunder yang bersifat runtut waktu atau time-series,

dengan memanfaatkan data sebagai berikut : kurs Rp/USD, paritas suku

bunga, capital flow dan ekspor neto.

Kebijakan moneter merupakan ranah yang sangat luas untuk dikaji, oleh

sebab itu peneliti membangun batasan-batasan yang jelas untuk dapat

mengemukakan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Penulis

membagi penelitian ini menjadi 5 bagian utama. Pada bagian awal, penulis

memberikan gambaran dasar mengenai apa itu kebijakan moneter, bagaimana

mekanismenya hingga dapat menyentuh sasaran akhir seperti yang

dikemukakan dalam teori, dampak dinamika perekonomian luar negeri

terhadap mekanisme transmisi dan makroekonomi, serta gambaran umum

mengenai perkembangan variabel yang penulis gunakan.

Tahap selanjutnya ialah dengan mengkaji lebih dalam mengenai teori-teori

yang relevan dengan kebijakan moneter dan keterkaitannya dengan

56

makroekonomi, lalu membandingkannya dengan hasil-hasil penelitian empiris

sebelumnya.

Pada bagian ketiga dilakukan penghimpunan data terkait variabel-variabel

penelitian berupa data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia dan

Instansi terkait lainnya. Setelah data tersebut diperoleh, langkah selanjutnya

adalah melakukan estimasi secara prosedural sesuai dengan tahap yang

terstandar pada model VAR/VECM. Pada tahap terakhir penulis akan

memberikan analisa atas output penelitian, kemudian merumuskan penjelasan

yang relevan atas hasil tersebut dan diakhiri dengan saran dan atau kritik dari

penulis.

B. Metode Penentuan Sampel

Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah judgement sampling.

Judgement sampling adalah salah satu jenis purposive sampling selain quota

sampling dimana peneliti memilih sampel berdasarkan penilaian terhadap

beberapa karakteristik anggota sampel yang disesuaikan dengan maksud

penelitian (Mudrajat Kuncoro, 2009). Dalam konteks penelitian ini,

karakteristik yang data yang diinginkan adalah yang sesuai dengan indikator

penelitian. Contohnya untuk penentuan sampel neraca perdagangan, yang

digunakan adalah data ekspor neto Indonesia ke seluruh negara yang menjadi

mitra dagang Indonesia pada periode penelitian.

57

C. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penilitian ini adalah data sekunder yang

merupakan data bulanan dari Januari 2007 hingga Desember 2015. Pilihan

penulis atas data sekunder adalah karena ruang lingkup yang luas yaitu seluruh

wilayah Indonesia, sehingga jika penulis menggunakan data primer pada kasus

ini maka akan menjadi tidak efisien.

Ada beberapa cara yang penulis lakukan untuk melakukan pengumpulan

data, diantaranya :

1. Internet

Data yang penulis peroleh melalui internet ialah data yang berhubungan

dengan sumber-sumber penelitian terdahulu dan beberapa sumber bacaan

terkait penelitian ini, sumber tersebut antara lain stastistik moneter yang

terdapat pada laporan moneter Bank Indonesia (terpublikasi di situs, bukan

metadata), Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), dan laporan

statistik perdagangan Bank Dunia seperti World Integrated Trade Solutions

(WITS) dan Statistik Keuangan Internasional (IFS).

Fase data mining pada penelitian ini juga menggunakan akses ke situs

repository jurnal terbitan institusi akademik dalam negeri maupun luar negeri

seperti repository Universitas Airlangga (Unair), Institut Pertanian Bogor

(IPB), serta publikasi beberapa working paper dari World Bank dan Board of

Governors of the Federal Reserve System.

58

2. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan adalah data yang peneliti peroleh yang berkaitan secara

relevan dengan penelitian ini, jurnal, buku, dan material tertulis lainnya adalah

contoh dari beberapa kepustakaan yang dikaji penulis.

3. Sumber Data

Data yang digunakan seluruhnya ialah data sekunder yang diperoleh dari

laporan moneter Bank Indonesia (BI), sektor moneter Statistik Ekonomi dan

Keuangan Indonesia (SEKI), laporan statistik perdagangan World Integrated

Trade Solutions – World Bank (WITS), dan International Financial Statistics

(IFS) , dimana data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Suku Bunga BI (BIRate)

Data yang digunakan adalah suku bunga acuan bulanan BI yang didapat

melalui publikasi Bank Indonesia. Data ini berupa data bulanan dengan

periode 2007 – 2015.

b. Nilai Tukar (Kurs)

Data yang menjadi proksi atas kurs merupakan kurs tengah 1 USD dalam

rupiah (Julihah dan Insukrindo, 2004) yang didapat melalui kalkulator kurs

yang didasarkan pada data nilai penutupan Rupiah per 1 USD menurut Bank

Indonesia setiap bulannya yang diperoleh melalui laporan moneter situs resmi

Bank Indonesia. Data ini berupa data sekunder dalam interval bulanan periode

2007 – 2015.

59

b. Paritas Suku Bunga (Interest Rate Differential)

Paritas suku bunga diproksikan oleh selisih suku bunga domestik, yaitu BI

Rate terhadap suku bunga internasional (Fed Rate) (Natsir, 2008), dan

(Togatorop, 2013). Variabel paritas suku bunga diukur dalam satuan persen.

Data tersebut memiliki interval 1 bulan periode tahun 2007 – 2015 dan

diperoleh dari: SEKI dan laporan moneter BI serta IFS berbagai edisi

penerbitan.

c. Capital Flow

Proksi dari capital flow adalah total aliran modal yang masuk ke Indonesia

yang terdiri atas utang luar negeri, baik pemerintah maupun swasta, ditambah

dengan investasi langsung dari pihak asing yang dinyatakan dalam Juta USD

(Natsir, 2008). Data memiliki interval 1 tahun yang diinterpolasi ke bentuk

bulanan. Data bersumber dari International Financial Statistics (IFS) berbagai

edisi, laporan tahunan BI serta SEKI.

d. Ekspor Netto

Ekspor Netto diproksikan oleh selisih atas ekspor dan impor seluruh

barang yang keluar atau masuk wilayah teritori Indonesia yang dinyatakan

dalam juta USD. Data memiliki interval 1 bulan selama periode 2007 - 2015

dan diperoleh melalui SEKI dan IFS berbagai edisi penerbitan.

D. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan alat analisis Vector Auto Regressive (VAR).

Dalam ilmu ekonomi banyak sekali ditemukan data time series yang memiliki

60

unsur akar unit. Untuk time series yang memiliki property akar unit atau unit

root disebut sebagai time series yang non stasioner. Sejatinya, jika data time

series digunakan untuk keperluan penelitian dan pengambilan kebijakan maka

time series tersebut harus stasioner supaya tidak menghasilkan output regresi

yang lancung (spurious regression). Regresi lancung adalah suatu kondisi

dimana output dari estimasi sebuah persamaan menghasilkan taraf signifikansi

yang tinggi namun tidak memiliki arti.

Engle dan Granger (1987) mengemukakan bahwa kombinasi linier dari

dua atau lebih time series yang non stasioner mungkin saja stasioner. Jika

terdapat error term stasioner yang dihasilkan oleh kombinasi linier dari 2 time

series yang non stasioner tersebut, maka time series tersebut dikatakan

terkointegrasi.

Estimasi dengan menggunakan data yang stasioner pada level (0) dapat

dilakukan dengan model VAR, namun jika data tidak stasioner pada level (0)

maka perlu dilakukan pengujian ulang pada ordo (1) atau first difference.

Langkah selanjutnya dalam penentuan model untuk keperluan analisis adalah

uji kointegrasi. Jika data yang stasioner pada first difference memiliki

persamaan kointegrasi, maka penelitian akan dilakukan dengan menggunakan

model VAR yang dikombinasikan dengan model error correction atau EC.

Jika tidak terdapat persamaan yang terkointegrasi, penelitian akan dilanjutkan

dengan VAR dengan menggunakan data yang sudah stasioner pada first

difference.

61

Gambar 6.

Prosedur Penggunaan Model VAR/ VECM

Sumber : Ascarya, (2008)

Model VEC atau Vector Error Correction Model (VECM) adalah bentuk

VAR terestriksi yang memiliki unsur kointegrasi yang tertanam pada

spesifikasi modelnya, sehingga model ini memang didesain untuk penggunaan

variabel yang non stasioner namun terkointegrasi. Pada prakteknya, VECM

dapat digunakan untuk mengetahui pergerakan jangka pendek suatu variabel

terhadap output jangka panjangnya akibat adanya shock yang permanen

(Kostov dan Lingard, 2000).

Secara umum, bentuk model VAR adalah sebagai berikut := + + + … + + ε

Dimana :

Yt : Vektor variabel tak bebas (Y1,Y2,…Yn) berukuran n x 1

62

A0 : Vektor intersep berukuran n x 1

Ai : Matriks parameter berukuran n x n, untuk setiap i = 1,2, …, p

ε : Vektor residual (ε , ε , … , ε ) berukuran n x 1

Secara spesifik, metode penelitian dengan menggunakan VAR/VECM

sebagai alat analisis dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut :

1. Uji Stasioneritas Data

Uji stasioneritas dimaksudkan untuk menganalisis dan membuktikan

apakah masing-masing variabel mempunyai pola yang stabil/normal/stasioner

atau tidak, dimana secara spesifik kestasioneritasan digambarkan sebagai

proses stokastik pada data, yang mana hal tersebut diukur dari varian dan yang

konstan sepanjang waktu. Data time series di bidang ekonomi umumnya

merupakan data yang tidak stasioner, sehingga ketika dipergunakan sebagai

suatu variabel dalam regresi akan menghasilkan estimasi yang palsu atau

spurious regression, yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua

variabel atau lebih yang tampaknya signifikan secara statistik padahal

kenyataannya tidak sebesar sebagaimana yang tampak dari regresi tersebut.

Akibatnya, memberikan arahan yang keliru (misleading) dalam kesimpulan

dan implikasi kebijakan. Oleh karena itu, tahap awal sebelum melakukan

analisis lebih lanjut perlu dilakukan pengujian stasioneritas suatu data yaitu

dengan melakukan Uji Unit Root atau Unit Root Test.

Gujarati (2013) memformulasikan pengujian stasioneritas dengan Unit

Root Test yang diuraikan dengan model Augmented Dickey – Fueller (ADF)

63

pada derajat yang sama (level) atau ordo yang berbeda (1st level different, 2nd

level different,…..dst) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data

time series yang rata-rata variannya konstan, atau dengan kata lain data yang

fluktuasinya cenderung konstan di sekitar nilai rata-ratanya (Enders, 1995).

Model ADF tersebut dijabarkan sebagai berikut :

∆ = 1 + 2 + − 1 + ∆ − 1 +Dimana adalah stochastic error term yang mempunyai rata-rata sama

dengan nol, konstan varians, dan tidak terdapat autokorelasi. Error yang

demikian disebut juga white noise error term atau error ini muncul karena

proses white noise. Proses ini muncul karena Yt disebabkan (Yt = ),

dimana adalah variabel random yang terdistribusi secara independen

dengan rata-rata sama dengan 0 atau E( ) = 0. Dengan proses ini, peramalan

untuk setiap nilai Y menjadi nol (Y = 0) untuk semua lag (l) sehingga

memberikan bentuk simetris bahwa korelasi positif sama dengan korelasi

negatif. Dengan kata lain, perilaku data ini menunjukkan adanya sifat

stasioneritas data (Gujarati, 2003)

Jika output ADF menunjukkan nilai ADF statistik yang lebih kecil

daripada McKinnon critical value, maka dapat diketahui bahwa data tersebut

stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADF

statistik lebih besar daripada McKinnon critical value, maka dapat

disimpulkan data tersebut tidak stasioner pada level. Dengan demikian,

differencing data diperlukan untuk memperoleh data yang stasioner di ordo

64

selanjutnya, caranya adalah dengan mengurangi data tersebut dengan data

periode sebelumnya (Sochrul R. Ajija, dkk, 2011).

2. Penentuan Lag Optimal

Lag optimal merupakan jumlah lag yang memberikan pengaruh atau

respons yang signifikan. Isu tentang penentuan panjang lag optimal semakin

penting seiring anggapan bahwa pemilihan lag yang tepat akan menghasilkan

residual yang bersifat Gaussian, yaitu residual yang terbebas dari

permasalahan autokorelasi dan heterokedastisitas.

Dalam penentuan lag optimal perlu pula diperhatikan adanya trade-off

bahwa jika lag yang dipergunakan semakin panjang, maka akan semakin

banyak pula parameter yang harus diestimasi dan semakin sedikit derajat

kebebasannya. Maka dalam hal ini peneliti akan menghadapi trade-off antara

mempunyai lag yang memadai dan mempunyai derajat bebas yang cukup.

Karena, jika jumlah lag terlalu sedikit maka model akan mispesifikasi,

sementara jika lag terlalu banyak maka akan menyedot derajat bebas (Natsir,

2007).

Penetapan lag optimal dapat dibantu dengan menggunakan Akaike

Information Criteria (AIC). Dimana AIC ditentukan oleh :

= log ∑+ 2 ⁄

Dimana ∑ adalah residual kuadrat, sedangkan N dan k masing-masing

merupakan jumlah sampel dan jumlah variabel yang beroperasi dalam

persamaan itu. Untuk menetapkan lag yang paling optimal, model VAR harus

65

diestimasi pada lag yang berbeda-beda, kemudian dengan mengamati nilai

AIC nya, model dengan nilai AIC yang paling rendahlah yang lag nya paling

optimal (Febriansyah, 2005).

3. Uji Stabilitas Model (VAR)

Stabilitas VAR perlu diuji terlebih dahulu sebelum melakukan analisis

lebih jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang akan dikombinasikan dengan

model EC tidak stabil, maka penggunaan Impulse Response Function dan

Variance Decomposition akan menghasilkan output yang spurious sehingga

menjadi tidak valid (Setiawan, 2007). Untuk menguji stabil atau tidaknya

estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan pengecekan kondisi VAR

stability berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR

dikatakan stabil apabila seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari

satu (Gujarati, 2003).

4. Uji Kointegrasi

Pengujian kointegrasi dilakukan terhadap variabel-variabel untuk

mengkaji apakah residual regresi sudah mencapai stasioner atau belum.

Namun secara ekonomi, kointegrasi merupakan statistical expression dari

hubungan keseimbangan atau ekuilibrium jangka panjang. Thomas (1993)

menyebutkan bahwa bila terdapat dua variabel Yt dan Xt , maka kedua

variabel tersebut dikatakan memiliki hubungan jangka panjang apabila

terdapat error term yang stasioner dihasilkan oleh kombinasi linier dari kedua

66

variabel pada derajat integrasi yang sama. Sebaliknya bila error term tidak

stasioner maka dikatakan tidak terdapat kondisi ekuilibrium. Dengan

demikian, konsep kointegrasi berkaitan dengan adanya keseimbangan jangka

panjang dengan sistem ekonomi yang konvergen sepanjang waktu

sebagaimana disebutkan dalam teori selain juga untuk menguji keabsahan

teori tersebut. Maka, jika terjadi shock dalam suatu sistem perekonomian

dalam jangka panjang terdapat kekuatan pendorong ekonomi untuk pulih

kembali ke kondisi keseimbangannya. Atau bila terjadi ketidakseimbangan

dalam jangka pendek akan ada kekuatan pendorong perekonomian menuju

kondisi keseimbangan.

Pengujian kointegrasi dapat dilakukan dengan Engle-Granger Test atau

Johansen Cointegration Test. Pengujian kointegrasi Engle - Granger Test

mendasarkan pada keberadaan residual persamaan jangka panjang yang

stasioner, sedangkan pendekatan kointegrasi Johansen mendasarkan pada

kemungkinan maksimum (maximum likelihood) yang memberikan statistik

eigenvalue dan trace untuk menentukan jumlah vektor kointegrasi dalam suatu

persamaan. Selain itu, pengujian Johansen lebih dapat diandalkan untuk

mendeteksi multiple cointegration. Maka, pengujian kointegrasi Johansen

lebih powerful dibandingkan pengujian Engle-Granger yang berbasis residual.

Prosedur pengujian kointegrasi Johansen didasarkan atas model VAR (p) dari

sekumpulan variabel yang tidak stasioner (Gujarati, 2003).

67

5. VAR / VECM

Masalah yang diajukan dalam penelitian ini dianalisis dengan

menggunakan VAR / VECM Vector Error Correction Model (VECM). VAR

merupakan model yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier

dari konstanta (α) dan nilai lag (αt-1) dari variabel itu sendiri serta nilai lag dari

variabel lain yang ada di dalam sistem. Sedangkan VECM adalah bentuk

VAR terestriksi yang memiliki unsur kointegrasi yang tertanam pada

spesifikasi modelnya, sehingga model ini memang didesain untuk penggunaan

variabel yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Pada prakteknya, VECM

dapat digunakan untuk mengetahui pergerakan jangka pendek suatu variabel

terhadap output jangka panjangnya akibat adanya shock yang permanen

(Kostov dan Lingard, 2000).

Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

persamaan sebagai berikut :

a. = + ∑ XNett + ∑ rBI + ∑ rDiff +∑ CFlow + ε

b. = + ∑ XNett + ∑ rBI + ∑ rDiff +∑ CFlow + ε

c. = + ∑ XNett + ∑ rBI + ∑ rDiff +∑ CFlow + ε

d. = + ∑ XNett + ∑ rBI + ∑ rDiff +∑ CFlow + ε

68

e. = + ∑ XNett + ∑ rBI + ∑ rDiff +∑ CFlow + ε

Dimana :

XNett = Ekspor Neto

rBI = Suku Bunga BI

rDiff = Paritas Suku Bunga

XRate = Kurs Rp/USD

CFlow = Capital Flow

Beberapa alasan penggunaan model ini untuk menjawab hipotesis

penelitian antara lain :

1) Data tidak stasioner pada level, namun stasioner pada first difference

2) Pada kasus data yang digunakan sudah stasioner pada level (0), maka

penelitian akan dilanjutkan dengan VAR. Namun jika data stasioner

pada first difference (1) dan terkointegrasi, maka penelitian dilanjutkan

dengan menggunakan model VEC. Jika data tidak terkointegrasi, maka

penelitian dilanjutkan dengan menggunakan VAR in difference.

6. Uji Kausalitas

Untuk keperluan pengujian hipotesis ke 2 dalam penelitian ini, yaitu :

H02 : Tidak terdapat kausalitas 2 arah antara variabel-variabel dalam

model penelitian,

H12 : Terdapat kausalitas 2 arah antara variabel – variabel dalam model

penelitian

Maka uji kausalitas dilakukan untuk menentukan arah hubungan antar

variabel di dalam sebuah sistem. Jika ada dua variabel x dan y, maka apakah x

menyebabkan perubahan pada y atau y menyebabkan perubahan pada x, atau

berlaku keduanya atau hubungan dua arah (Gujarati, 2003). Sebuah variabel

69

endogen dikatakan memiliki hubungan kausalitas Granger terhadap variabel

eksogen jika semua koefisien dari nilai lag variabel eksogen tersebut memiliki

nilai yang signifikan dalam persamaan parsial variabel endogen

(Kristiawardani, 2002). Dalam penelitian ini, uji kausalitas digunakan untuk

memastikan arah hubungan antara suku bunga BI, paritas suku bunga, capital

flow, kurs, dan ekspor neto.

7. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) dan Impulse

Response Function (IRF)

Analisis FEVD menjelaskan seberapa besar perubahan suatu variabel

dalam model dapat dijelaskan oleh adanya guncangan dari variabel lain yang

terdapat dalam model, sehingga secara tdak langsung dapat diketahui kekuatan

dan kelemahan masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya

dalam kurun waktu yang panjang (Antonio, 2013)

IRF digunakan untuk melihat respon suatu variabel atas shock yang terjadi

atas variabel lainnya dalam model. Respon inilah yang menunjukkan adanya

pengaruh dari suatu shock variabel independen terhadap variabel dependen,

atau digunakan untuk melihat respon variabel endogen terhadap adanya

pengaruh shock variabel endogen yang lain (Boivin dkk dalam Kuncoro,

2010)

70

Penggunaan IRF dan FEVD ditujukan untuk membuktikan hipotesis I dan

III, yaitu :

H01 : Secara keseluruhan, indirect exchange rate passthrough tidak efektif

dalam mentransmisikan kebijakan terhadap output riil berupa ekspor

neto, yang diindikasikan dengan lamanya time lag transmisi dan

rendahnya predictive power dari variabel tersebut,

H11 : Secara keseluruhan, indirect exchange rate passthrough efektif dalam

mentransmisikan kebijakan terhadap output riil berupa ekspor neto,

yang diindikasikan dengan rendahnya time lag transmisi dan besarnya

predictive power dari variabel tersebut,

Dan

H03 : Secara spesifik, ekspor neto merespon secara tidak signifikan atas

shock variabel yang dilalui oleh mekanisme transmisi kebijakan,

H13 : Secara spesifik, ekspor neto merespon secara signifikan atas shock

variabel yang dilalui oleh mekanisme transmisi kebijakan

E. Operasional Variabel Penelitian

Bagian ini merupakan penjabaran dari variabel – variabel yang

diterapkan dalam suatu penelitian dan ditujukan untuk memastikan bahwa

variabel yang akan diteliti secara jelas dapat ditentukan indikatornya. Terdapat

lima variabel yang digunakan sebagai sumber utama untuk mendeskripsikan

hasil yang nantinya akan diperoleh dalam penelitian ini.

Data yang digunakan merupakan memiliki rentang 8 tahun, dimulai

dari Januari 2007 hingga Desember 2015. Pengambilan data tersebut

disesuaikan dengan tujuan penelitian dimana pada periode tersebut terjadi

beberapa fenomena ekonomi global yang menyebabkan perubahan stance di

kebijakan moneter Indonesia.

71

Tabel 3.

Deskripsi Data Operasional Variabel

Variabel Skala Sumber Deskripsi

XNett = EksporNeto

NominalIFS dan BI-

SEKISelisih Ekspor dan Impor non-Migas bulanan dalam Juta USD

rBI = BI Rate Rasio Bank IndonesiaSuku Bunga Bank Indonesia 1bulan dalam bentuk persentase.

rDiff = ParitasSuku Bunga

RasioBank Indonesia

dan FederalReserve

Selisih antara suku bunga BIRate dan Fed Fund Rate bulanandalam bentuk persentase.

CFlow = CapitalFlow

NominalInternational

Monetary Fund(IMF)

Jumlah seluruh aliran modaltermasuk dalam negeri dalambentuk investasi langsungataupun utang yang meliputiPortfolio Equity, Foreign DirectInvestment (FDI) sebagai proksiinvestasi, dan Utang JangkaPendek dan Jangka Panjang(bonds) sebagai proksi utang.Data memiliki interval tahunanyang diinterpolasi menjadi databulanan dalam juta USD

XRate = Kurs Nominal Bank Indonesia Kurs tengah Rupiah / 1 USD

72

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Estimasi dan Pembahasan

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai analisis dan hasil yang

dicapai dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam

penelitian ini untuk mencapai hasil tersebut adalah dengan Vector Auto

Regressive (VAR) / Vector Error Correction Model (VECM). Penentuan

model secara pasti akan diputuskan setelah melihat output dari hasil uji

akar unit. Jika data stasioner pada level, maka dilanjutkan dengan model

VAR. Jika data stasioner pada first difference dan data terkointegrasi,

maka penelitian akan dilanjutkan dengan menggunakan VECM. Namun

jika data stasioner pada first difference namun tidak terkointegrasi,

penelitian akan dilanjutkan dengan menggunakan VAR in difference.

1. Hasil Uji Stasioneritas Data (Augmented Dickey Fuller)

Untuk melihat kestasioneran data yang akan dianalisis maka perlu

dilakukan uji akar unit. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah koefisien

variabel tertentu dari model VAR yang ditaksir mempunyai akar unit atau

tidak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Augmented

Dickey Fuller (ADF). Hasil uji ADF ini untuk data time series setiap

variabel dalam tingkat level dapat dilihat pada Tabel 4.

73

Tabel 4. Uji Akar Unit (level)

Variabel t-stat ADF TandaMacKinnon5% Critical

ValueKesimpulan

BI Rate -1.839009 > -3.452674 Tidak stasionerrDiff -2.611977 > -3.452764 Tidak stasioner

CFlow -1.763809 > -3.453179 Tidak stasionerKurs -1.475646 > -3.453601 Tidak stasioner

ExNett -2.246680 > -3.453179 Tidak stasioner

Dari hasil pengujian unit root, tidak ada satupun variabel yang

mempunyai nilai ADF lebih kecil daripada nilai kritis 5% MacKinnon. Ini

berarti variabel tidak stasioner pada level. Untuk menyelesaikan

permasalahan ini, pengujian unit root akan dilakukan kembali pada derajat

satu (first difference). Pengujian stasioneritas data pada first difference

dilakukan sebagai konsekuensi atas tidak terpenuhinya asumsi

stasioneritas pada level atau derajat nol. Tabel 4.1 memperlihatkan hasil

unit root test pada first difference.

Tabel 4.1. Uji Akar Unit (first difference)

Variabel t-stat ADF TandaMacKinnon5% Critical

ValueKesimpulan

BI Rate -5.307030 < -3.452764 StasionerrDiff -5.063316 < -3.452764 Stasioner

CFlow -3.942238 < -3.453179 StasionerKurs -4.753269 < -3.453601 Stasioner

ExNett -13.62870 < -3.453179 Stasioner

Dari output uji stasioneritas pada first difference diperoleh nilai

ADF yang lebih kecil daripada nilai kritis 5% MacKinnon pada seluruh

variabel yang berarti data stasioner pada first difference.

74

2. Hasil Lag Optimal

Pada metode VAR/VECM penetapan lag yang optimal sangat

penting karena variabel lag merupakan variabel independen yang

digunakan pada persamaan VAR. Untuk menetapkan tingkat lag optimal

digunakan nilai Akaike Information Criteria (AIC) yang terkecil.

Perhitungan nilai AIC untuk setiap lag dapat dilihat pada Tabel 5. Dari

perhitungan nilai AIC tersebut diketahui bahwa nilai minimum terdapat

pada lag 3, sehingga dapat ditetapkan bahwa lag optimal adalah lag 3.

Dengan demikian maka uji kointegrasi, kausalitas, dan estimasi model

VAR/VECM akan dilakukan pada lag optimal ini.

Tabel 5. Output AIC

Lag AIC Value

0 22.37293

1 21.13827

2 20.87796

3 20.82088*

4 21.08774

5 21.32726

6 21.60122

7 21.78032

* mengindikasikan lag optimal

75

3. Uji Stabilitas Model (VAR)

Stabilitas VAR perlu diuji terlebih dahulu sebelum melakukan

analisis lebih jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang akan

dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan tidak stabil, maka

Impulse Response Function dan Variance Decomposition menjadi tidak

valid (Setiawan, 2007). Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR

yang akan dibentuk maka dilakukan pengecekan kondisi stabilitas VAR

berupa roots of characteristic polynomial. Ringkasan uji stabilitas VAR

dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Output Stabilitas Model (lag 3)

Root Modulus

0.849892 0.8498920.731315 - 0.218341i 0.7632130.731315 + 0.218341i 0.7632130.695336 0.695336

-0.479089 - 0.438990i 0.649799-0.479089 + 0.438990i 0.649799-0.076718 - 0.619495i 0.624227-0.076718 + 0.619495i 0.624227-0.328082 - 0.432089i 0.542530-0.328082 + 0.432089i 0.542530-0.197598 - 0.487426i 0.525956-0.197598 + 0.487426i 0.5259560.038171 - 0.341071i 0.3432010.038171 + 0.341071i 0.343201

-0.003955 0.003955

Tidak terdapat akar unit di luar lingkaran unitVAR memenuhi kondisi yang stabil.

76

Suatu sistem VAR dikatakan stabil apabila seluruh roots-nya

memiliki modulus lebih kecil dari satu. Berdasarkan uji stabilitas VAR,

dapat disimpulkan bahwa estimasi VAR yang akan digunakan untuk

analisis IRF sudah stabil untuk digunakan dalam analisis innovation

accounting.

4. Uji Kointegrasi (Johansen’s Cointegration Test)

Uji kointegrasi secara eksplisit digunakan untuk memperoleh

gambaran mengenai ada atau tidaknya hubungan jangka panjang antara

variabel – variabel dalam model. Konsep kointegrasi menyatakan bahwa

jika salah satu atau lebih variabel yang tidak stasioner terkointegrasi maka

kombinasi linier antara variabel – variabel tersebut dalam sistem akan

bersifat stasioner sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka

panjang yang stabil (Enders, 1995). Pengujian kointegrasi menggunakan

Johansen’s Cointegration Test dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7 dan

Tabel 7.1.

Tabel 7.

Johansen’s Trace Statistic Test (first difference), (lag 3)

HypothesizedNo. of CE(s)

Eigenvalue TraceStatistic

0.05 CriticalValue

Prob.**

None 0.207071 63.22640 69.81889 0.1499At most 1 0.180652 39.09621 47.85613 0.2565At most 2 0.094566 18.37464 29.79707 0.5385At most 3 0.070367 8.043153 15.49471 0.4608At most 4 0.004363 0.454699 3.841466 0.5001

Uji trace mengindikasikan tidak ada kointegrasi pada level 0.05*menolak hipotesis nol pada derajat 5%

77

Tabel 7.1.

Johansen’s Maximum Eigenvalue Test (first difference), (lag3)

HypothesizedNo. of CE(s)

Eigenvalue Max-EigenStatistic

0.05 CriticalValue

Prob.**

None 0.207071 24.13018 33.87687 0.4461At most 1 0.180652 20.72157 27.58434 0.2934At most 2 0.094566 10.33149 21.13162 0.7130At most 3 0.070367 7.588454 14.26460 0.4221At most 4 0.004363 0.45699 3.841466 0.5001

Uji Eigenvalue maksimum mengindikasikan tidak ada kointegrasi pada level 0.05*menolak hipotesis nol pada derajat 5%

Pengujian kointegrasi dilakukan pada lag optimal yaitu lag 3. Dari

perbandingan estimasi Trace Statistic dan Maximum Eigenvalue terhadap

nilai kritisnya (critical value) diketahui bahwa tidak terdapat variable yang

terkointegrasi pada sistem. Lutkepohl (2007) mengemukakan bahwa

ketika variabel-variabel yang diajukan menerima hipotesis nol (tidak

terkointegrasi) pada derajat yang sama, maka model VAR yang dapat

digunakan adalah VAR in first difference. Dengan demikian penelitian

akan dilanjutkan dengan menggunakan VAR in first difference.

5. Model Empiris VAR

Tahap selanjutnya setelah menentukan derajat kointegrasi adalah

mengestimasi model VAR. Model VAR tidak ditujukan untuk melihat

hubungan jangka panjang antar variabel dalam sistem, melainkan untuk

menghindari terjadinya spurious regession akibat data yang tidak

stasioner. Data yang telah ditransformasi ke dalam bentuk first difference

digunakan dalam model ini dan panjang lag yang digunakan dalam

78

estimasi VECM ini adalah lag 3 sesuai dengan penentuan lag yang

optimal.

Tabel 8. Output VAR

DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF

DBIRATE0.34487(-1)0.45639(-2)

-0.76116(-1)-0.45068(-2)

-106561(-1)166282(-2)

DCFLOW 0.32084(-1)

DEXNETT -3.16066(-3) -0.01900(-3)-5.59E-07

(-3)

DKURS 0.74720(-1)0.20513(-1)-0.3418(-2)0.21989(-3)

DRDIFF -190177(-2)86018(-1)-91231(-2)

0.80758(-1)

C -0.0000121 8.882599 -45.26466 27.40902 0.000262

(-1) signifikan pada lag 1, (-2) signifikan pada lag 2, dan (-3) signifikan

pada lag 3.

Tentunya, dengen beberapa lag di variabel yang sama, setiap

koefisien yang diestimasi tidak seluruhnya signifikan, dimungkinkan

karena adanya multikolinearitas (Gujarati, 2003). Oleh sebab itu,

persamaan untuk ekspor neto yang dihasilkan oleh output VAR di atas

adalah :

= −45.26( ) − 0.76( (−1) ) − 0.45( (−2) ) +0.74( (−1) ) − 190177( (−2))

79

Persamaan simultan dalam model ekonometrik terkadang

digunakan untuk membuat perkiraan tentang respon variabel endogen atas

perubahan yang terjadi pada variabel eksogen untuk membantu

menentukan kebijakan yang tepat dalam mengantisipasi situasi

perekonomian. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam model VAR

tidak terdapat variabel eksogen. Dalam model ini efek guncangan biasanya

dipelajari dan digunakan untuk menghubungkan kesesuaian dari model

VAR dan model ekonomi. Sebagai contoh, model VAR umumnya

digunakan untuk menginvestigasi efek dari shock atas variabel kebijakan

moneter yang dalam hal ini menyebabkan perubahan tak terduga kepada

pelaku ekonomi. Karena alasan tersebut, banyak praktisi yang

menggunakan teknik VAR melakukan estimasi untuk interpreasi modelnya

dengan Innovation Accounting berupa Impulse Response Function (IRF)

dan Forecast Error Variance Decomposition (VD) ((Lutkepohl (2007) dan

Gujarati (2003)).

6. Uji Kausalitas

Uji kausalitas yang digunakan pada penelitian ini adalah uji

kausalitas Granger. Uji tersebut dilakukan untuk memastikan arah

hubungan variabel variabel-variabel yang ada dalam model. Dalam

penelitian ini uji kausalitas yang digunakan adalah Granger Causality

Test, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9.

80

Tabel 9.Granger Causality Test (Lag 3)

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

DCFLOW does not Granger Cause DBIRATE 104 0.78502 0.5051DBIRATE does not Granger Cause DCFLOW 0.22149 0.8813

DEXNETT does not Granger Cause DBIRATE 104 3.70901 0.0142 *DBIRATE does not Granger Cause DEXNETT 0.53598 0.6587

DKURS does not Granger Cause DBIRATE 104 1.86383 0.1408DBIRATE does not Granger Cause DKURS 6.65924 0.0004 *

DRDIFF does not Granger Cause DBIRATE 104 1.11846 0.3455DBIRATE does not Granger Cause DRDIFF 0.96042 0.4147

DEXNETT does not Granger Cause DCFLOW 104 2.31724 0.0804DCFLOW does not Granger Cause DEXNETT 0.20009 0.8961

DKURS does not Granger Cause DCFLOW 104 1.63910 0.1854DCFLOW does not Granger Cause DKURS 0.08959 0.9656

DRDIFF does not Granger Cause DCFLOW 104 0.17562 0.9127DCFLOW does not Granger Cause DRDIFF 0.51019 0.6762

DKURS does not Granger Cause DEXNETT 104 1.29016 0.2822DEXNETT does not Granger Cause DKURS 0.19263 0.9012

DRDIFF does not Granger Cause DEXNETT 104 0.93574 0.4266DEXNETT does not Granger Cause DRDIFF 3.42956 0.0201 *

DRDIFF does not Granger Cause DKURS 104 3.20475 0.0266 *DKURS does not Granger Cause DRDIFF 2.06288 0.1102

*menandakan signifikan dengan menolak H0 pada derajat 0.05%

Output uji kausalitas menunjukkan terdapat beberapa pasang

variabel yang signifikan pada nilai kritis 0.05 persen Hipotesis nol dalam

uji kausalitas adalah tidak terdapat hubungan kausalitas antara variabel x

dan y, sehingga untuk menolak hipotesis nol maka perlu membandingkan

nilai probability dengan nilai kritisnya. Jika nilai probability < α, maka

hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima.

81

Dari hasil uji kausalitas di atas, ekspor neto mempengaruhi BI Rate

(0.01420 < 0.0500), namun BI Rate tidak signifikan mempengaruhi ekspor

neto, sehingga bisa dikatakan bahwa antara kedua variabel tersebut hanya

terjadi hubungan satu arah (unidirectional). Variabel yang secara

kausalitas Granger terbukti memiliki arah hubungan adalah BI rate

mempengaruhi kurs (0.0004 < 0.0500), ekspor neto mempengaruhi paritas

suku bunga (0.0201 < 0.0500), dan paritas suku bunga mempengaruhi kurs

(0.0266 < 0.0500). Ringkasan tentang arah hubungan variabel dalam

model terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Output Granger Causality (Lag 3)

Secara garis besar, dalam model periode penelitian ini tidak

terdapat variabel yang saling menyebabkan (bilateral causality) dan tidak

didapati kesesuaian arah hubungan yang diestimasi dengan yang hubungan

82

antar variabel yang dikemukakan dalam teori. Karena uji kausalitas

Granger hanya mengindikasikan arah hubungan dari suatu variabel

terhadap variabel lain dalam model, maka untuk mengetahui besaran serta

time lag dari interaksi setiap variabel dalam model dilakukan pada tahap

pengujian selanjutnya.

7. Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance

Decomposition (FEVD)

IRF digunakan untuk melihat respon suatu variabel atas shock yang

terjadi atas variabel lainnya dalam model. Respon inilah yang

menunjukkan adanya pengaruh dari suatu shock variabel independen

terhadap variabel dependen, atau digunakan untuk melihat respon variabel

endogen terhadap adanya pengaruh shock variabel endogen yang lain

(Boivin dkk dalam Kuncoro, 2010). IRF juga dapat menggambarkan

ekspektasi sebanyak k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu

variabel akibat inovasi dari variabel yang lain. Output IRF akan

membentuk pola garis yang menggambarkan besaran shock yang diterima

variabel tersebut dan sampai berapa lama variabel tersebut akan kembali

ke titik keseimbangannya. Hal ini bermanfaat untuk melihat apakah shock

suatu variabel dalam model dapat memberikan dampak yang permanen

atau tidak.

83

Gambar 8. Output Impulse Response Function

Analisis passthrough nilai tukar dengan menggunakan IRF

dilakukan untuk mengetahui efek tidak langsung dari adanya shock suku

bunga BI terhadap ekspor neto melalui variabel – variabel yang

terintegrasi dalam jalur lintas kebijakan. Karena dalam model ini

menggunakan variabel yang telah ditransformasi ke dalam bentuk first

difference , maka setiap variabel dalam model ini menggambarkan laju

pertumbuhan variabel tersebut.

Grafik pertama dari sebelah kiri atas menggambarkan respon arus

modal atas shock dari interest rate parity. Shock sebesar 1 standar deviasi

pada interest rate parity direspon secara positif pada bulan ke dua sebesar

4 persen dari paritas suku bunga itu sendiri. Angka tersebut meningkat

-2

-1

0

1

2

3

4

5

6

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Response of DCFLOW to CholeskyOne S.D. DRDIFF Innovation

-20

-10

0

10

20

30

40

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Response of DKURS to CholeskyOne S.D. DCFLOW Innovation

-150

-100

-50

0

50

100

150

200

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Response of DEXNETT to CholeskyOne S.D. DKURS Innovation

-40

-20

0

20

40

60

80

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Response of DKURS to CholeskyOne S.D. DBIRATE Innovation

84

menjadi 5 persen pada bulan ke 4, dan selama 12 bulan selanjutnya

pengaruh shock tersebut mulai menurun dan stagnan pada daerah negatif,

lalu mulai konvergen di bulan ke 24. Ini berarti shock interest rate parity

efektif dalam mempengaruhi arus modal dalam jangka waktu 2 bulan, dan

pengaruhnya akan mempengaruhi arus modal selama 6 bulan sejak interest

rate parity terjadi.

Dalam jangka pendek hubungan antara interest rate parity dan arus

modal adalah positif. Ini sesuai dengan teori interest rate parity dan teori

portfolio adjustment yang menyebutkan bahwa tingginya return yang

direfleksikan tingkat suku bunga dari luar negeri akan mendorong

terjadinya capital inflow ke Indonesia (Halwani, 2005). Begitupun

sebaliknya, tingginya tingkat suku bunga luar negeri dibanding tingkat

suku bunga domestik akan menyebabkan capital outflow karena investor

menilai lebih menguntungkan berinvestasi di luar negeri dibandingkan

berinvestasi di dalam negeri. Namun dalam jangka panjang, pengaruh

shock paritas suku bunga dan arus modal menjadi negatif. Ini bisa jadi

indikasi bahwa komposisi investasi yang berasal dari luar negeri

didominasi oleh investasi jangka pendek.

Grafik kedua dari sebelah kiri atas menggambarkan respon kurs

atas shock arus modal dalam 1 standar deviasi. Shock yang diterima kurs

atas deviasi arus modal belum menunjukkan respon di awal periode, hal

ini berarti shock arus modal tidak secara instan menyebabkan apresiasi

85

nilai tukar. Respon kurs baru terjadi pada bulan ke 2, dimana deviasi arus

modal sebesar 1 standar menyebabkan kurs terapresiasi sebesar 16 persen

dari bulan sebelumnya. Pengaruh ini masih efektif hingga bulan ke 10,

kemudian mulai menurun pada periode – periode setelahnya dan mulai

konvergen di bulan ke 24. Secara umum respon atas arus modal terhadap

kurs adalah positif.

Grafik pertama dari sebelah kiri bawah menggambarkan respon

ekspor neto atas shock yang terjadi pada nilai tukar rupiah sebesar 1

standar deviasi. Dari grafik di atas, ekspor neto merespon secara positif

adanya shock yang muncul dari kurs pada bulan ke 2. Ini sudah sesuai

dengan teori umum yang mengemukakan bahwa untuk kurs yang

terdepresiasi, harga barang dan jasa di negara tersebut secara relatif lebih

murah di negara lain, sehingga meningkatkan daya saing komoditas

ekspor, yang selanjutnya meningkatkan kinerja neraca perdagangan.

Dalam jangka 4 bulan, pengaruh shock nilai tukar berpengaruh positif

terhadap laju ekspor neto. Pengaruh tersebut perlahan menghilang dalam 8

bulan dan akan konvergen dalam waktu 12 - 24 bulan.

Output IRF yang terakhir menjelaskan tentang respon kurs

terhadap shock suku bunga BI sebesar 1 standar deviasi. Pada bulan

pertama kurs diprediksi masih belum menunjukkan respon atas kebijakan

moneter Bank Indonesia dalam bentuk perubahan tingkat suku bunga

sebagai stance atas kebijakan moneter. Dampak dari shock tersebut baru

86

efektif pada bulan ke 3 yang sebesar 69 persen dan menyentuh titik

tertingginya pada bulan ke 4 yaitu sebesar 70 persen. Shock kebijakan

moneter BI dalam hal ini adalah positif. Dalam proyeksi selama 24 bulan

ke depan, dalam 4 bulan setelah kurs merespon perubahan dalam laju

tingkat suku bunga BI perlahan pengaruh shocknya akan mulai

menghilang di sekitar bulan ke 6. Konvergensi nilai tukar akan terjadi

pada bulan ke 12.

Dampak kebijakan moneter berupa perubahan tingkat suku bunga

terhadap nilai tukar memang tidak sama antara satu negara dan negara

lain. Hakkio (1986) mengemukakan bahwa untuk kasus AS, efektivitas

kebijakan moneter The Fed dalam mengendalikan nilai tukar melalui

tingkat suku bunga mengalami perbedaan yang sangat kontras antara

dekade 70an dan 80an. Perubahan hubungan yang negatif antara tingkat

suku bunga dan nilai tukar pada dekade 70an yang menjadi positif pada

dekade 80an disebabkan karena adanya perubahan fundamental dalam

faktor yang menjadi underlying aspect pada tingkat suku bunga dan

pergerakan nilai tukar. Pada era 70an, faktor inflasi dan ekspektasi inflasi

ke depan menjadi penggerak utama atas laju tingkat suku bunga dan

kebijakan AS dalam mendevaluasi nilai tukarnya. Pada era 80an, justru

tingkat suku bunga lah yang menjadi determinan atas kuatnya korelasi

antara tingkat suku bunga dan nilai tukar.

87

Untuk kasus dalam penelitian ini, adanya hubungan yang positif

antara tingkat suku bunga dan nilai tukar dapat menjadi indikasi bahwa

nilai tukar yang terapresiasi merupakan refleksi atas kebijakan moneter

kontraktif yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Apresiasi nilai tukar

memang diketahui memiliki keterkaitan dengan arah kebijakan moneter,

jika BI meningkatkan suku bunga acuan, maka interest rate parity yang

lebih besar akan mendorong investor untuk berinvestasi di Indonesia, hal

ini dapat mendorong terapresiasinya rupiah.

Gambar 11. Output Forecast Error Variance Decompositions

FEVD menyajikan perkiraan tentang seberapa besar kontribusi

suatu variabel terhadap perubahan variabel itu sendiri dan variabel lainnya

pada beberapa periode mendatang, yang diukur dalam satuan persentase.

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

DBIRATE DCFLOW DEXNETTDKURS DRDIFF

Variance Decomposition of DEXNETT

88

Dengan demikian dapat diketahui variabel mana yang paling

mempengaruhi dan mana yang tidak.

Analisis FEVD dari variabel ekspor neto pada Tabel 9

menunjukkan bahwa perubahan ekspor neto diperkirakan akan didominasi

oleh inovasi ekspor neto itu sendiri. Selama 3 bulan pertama, komposisi

ekspor neto dalam mempengaruhi ekspor neto itu sendiri mencapai 93

persen lalu menurun hingga kisaran 89 persen seiring kebijakan moneter

mulai memberikan imbas melalui passthrough yang dilewatinya. Variabel

tercepat yang memberikan kontribusi atas inovasi ekspor neto adalah kurs,

dengan komposisi sebesar 2.5 persen pada 2 bulan pertama, kemudian

yang tercepat kedua adalah arus modal dengan komposisi sebesar 1.32

persen pada bulan ke 5.

Tabel 10. Output Forecast Error Variance Decomposition

Period S.E. DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF

1 0.001272 0.086835 0.054250 99.85892 0.000000 0.0000002 0.001420 0.113436 0.694416 96.58499 2.577101 0.0300533 0.001579 0.331480 0.703745 93.14397 3.869954 1.9508534 0.001731 0.326661 0.977102 91.05114 4.678789 2.9663075 0.001787 0.349431 1.327615 90.86842 4.565896 2.8886376 0.001819 0.398890 1.415807 90.26889 4.845983 3.0704317 0.001850 0.417835 1.442875 90.09744 4.910889 3.1309618 0.001865 0.454506 1.462082 90.04148 4.915217 3.1267179 0.001874 0.460096 1.495170 89.98393 4.927602 3.133203

10 0.001880 0.463772 1.499194 89.97829 4.925728 3.13301111 0.001885 0.467515 1.500726 89.96107 4.935084 3.13560812 0.001888 0.467542 1.508936 89.95261 4.934916 3.135998

Secara umum analisis FEVD tersebut memberikan gambaran

bahwa untuk 2 tahun ke depan ekspor neto akan dipengaruhi oleh inovasi

ekspor neto itu sendiri, sementara itu variabel lain memberikan kontribusi

89

yang kecil dan relatif stagnan. Variabel lain selain ekspor neto yang

diperkirakan berkontribusi paling besar selama 1 tahun ke depan adalah

kurs dengan rata – rata 4 hingga 5 persen per bulan, lalu diikuti paritas

suku bunga yang sebesar 3 persen per bulan. Variabel lain seperti BI Rate

dan arus modal diperkirakan berkontribusi pada kisaran yang lebih rendah

lagi, dengan rata – rata di bawah 4 persen per bulan. Hal ini menunjukkan

bahwa memang terdapat indikasi terjadinya passthrough yang tidak

sempurna, dalam artian bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter

memang memakan time lag yang relatif cepat namun signifikansinya

rendah pada nilai tukar, sehingga inovasi ekspor neto tidak bisa dijelaskan

dengan baik oleh nilai tukar pada periode penelitian ini.

B. Interpretasi dan Pembahasan

Setelah dilakukan serangkaian pengujian atas set variabel dengan

menggunakan data non stasioner yang ditransformasikan ke dalam bentuk

first difference serta pengujian arah hubungan variabel dan simulasi

dengan menggunakan innovation accounting, terdapat beberapa temuan

yang didapat terkait upaya menjawab permasalahan dalam penelitian ;

1. Hubungan antara tingkat suku bunga dan kurs

Setelah diperoleh model VAR dengan melakukan estimasi dengan

data first difference diperoleh hasil bahwa secara umum tingkat suku

bunga BI signifikan mempengaruhi nilai tukar. Uji kausalitas dengan

90

menggunakan level kritis 0.05% pun menunjukkan adanya hubungan yang

bersifat satu arah. Estimasi lebih lanjut dengan menggunakan IRF

menunjukkan bahwa nilai tukar baru akan merespon shock dari laju

tingkat suku bunga secara efektif pada lag ke 3. Ini berarti dalam 3 bulan

semenjak Bank Indonesia mengumumkan perubahan stance kebijakan

moneternya, kurs baru akan merespon secara positif perubahan tersebut.

Namun demikian, meski hanya memakan waktu yang relatif cepat , output

FEVD menunjukkan bahwa secara simultan, komposisi tingkat suku bunga

dalam menjelaskan variabilitas kurs hanya sebesar 6 persen dalam 3 bulan

pertama, lalu meningkat hingga ke kisaran 14 persen pada bulan-bulan

selanjutnya dan hal ini bersifat permanen untuk seluruh periode ke depan.

Secara ekonomi, hasil tersebut menandakan bahwa suku bunga

berhubungan positif signifikan dengan besaran sekitar 14 persen terhadap

nilai tukar (lihat lampiran). Besarnya komposisi nilai tukar itu terhadap

variabilitas nilai tukar itu sendiri menandakan bahwa pada periode

penelitian mungkin saja terdapat variabel yang lebih dapat menjelaskan

variabilitas nilai tukar yang tidak dimasukkan ke dalam model. Kendati

demikan, ini menunjukkan bahwa pada periode penelitian tingkat suku

bunga memiliki efektivitas yang relative besar dalam mentransmisikan

pengaruhnya terhadap nilai tukar disbanding variable lainnya.

91

2. Hubungan antara paritas suku bunga dan capital flow

Berdasarkan model VAR yang diperoleh, dapat diketahui bahwa

secara empiris paritas suku bunga tidak signifikan mempengaruhi arus

modal pada lag berapapun. Hal ini diperkuat oleh output uji kausalitas

granger yang tidak menunjukkan adanya hubungan saling mempengaruhi

maupun 1 arah. Namun dengan asumsi bahwa informasi yang terdapat

dalam data tidak berubah atau ceteris paribus maka akan ada potensi

terjadinya capital inflow dalam 2 hingga 5 bulan ke depan setelah terjadi

perubahan pada suku bunga dalam dan luar negeri maka akan terjadi

capital inflow sebesar 4 hingga 5 persen. Kondisi tersebut hanya terjadi

dalam jangka pendek, selanjutnya arus modal akan mulai bergerak

konvergen pada lag ke7 dan seterusnya.

Output FEVD juga menunjukkan kesimpulan yang serupa,

komposisi peritas suku bunga terhadap capital flow hanya mampu

mencapai kisaran 8 persen pada hampir seluruh lag. Ini berarti informasi

yang terdapat pada paritas suku bunga tidak mampu menjelaskan

variabilitas capital flow pada periode penelitian. Secara umum, asumsi

bahwa arus modal memiliki peran intermediary dalam jalur transmisi

kebijakan moneter melalui saluran nilai tukar tidak terbukti pada periode

penelitian.

92

3. Hubungan antara capital flow dan kurs

Persamaan untuk nilai tukar yang diperoleh melalui estimasi model

empiris VAR menunjukkan bahwa variabel capital flow tidak berpengaruh

signifikan terhadap kurs di seluruh lag yang digunakan (lag 3). Uji

kausalitas Granger juga menunjukkan hasil yang serupa. Dengan

menggunakan lag 3 dan 0.05% sebagai nilai kritis signifikansi, capital

flow dan kurs sama sama menerima hipotesis nol untuk hubungan

kausalitas 1 arah maupun 2 arah.

Meskipun model empiris menunjukkan hasil yang tidak signifikan,

peramalan sebanyak 24 periode ke depan dengan menggunakan IRF

menunjukkan bahwa capital flow diprediksi dapat mempengaruhi kurs

pada lag ke 2. Adanya capital inflow sebesar 1 standar deviasi dapat

menyebabkan kurs terapresiasi sebesar 5 persen pada bulan ke 2. shock

tersebut diperkirakan akan permanen dalam 12 bulan pertama, lalu pada

periode-periode selanjutnya pengaruh shock tersebut mulai menghilang,

sehingga kurs bergerak konvergen mencapai titik keseimbangannya

setelah periode ke 24. Analisis dengan menggunakan FEVD menunjukkan

bahwa variabilitas kurs hanya dapat dijelaskan oleh capital flow maksimal

sebesar 4.5 persen. Secara garis besar, capital flow memang berpengaruh

terhadap kurs, namun besarannya diprediksi sangatlah kecil. Dalam

konteks kebijakan moneter, mengingat tidak signifikan dan rendahnya

nilai prediktif atas capital flow terhadap variabel lain maka penggunaan

93

capital flow sebagai asumsi dalam jalur lintasan kebijakan menjadi tidak

disarankan.

4. Hubungan antara kurs dan ekspor neto

Hubungan kurs dan ekspor neto pada periode penelitian ini adalah

signifikan dan relatif cepat. Hal tersebut dibuktikan oleh output persamaan

VAR yang didapat menunjukkan bahwa variabel kurs signifikan positif

terhadap ekspor neto dalam lag 1, selain itu hasil analisis lebih lanjut

dengan menggunakan IRF menunjukkan bahwa pada lag ke 2, deviasi kurs

sebesar 1 standar akan menyebabkan ekspor neto merespon positif pad lag

2 dan negatif pada lag 3 dan 5.

Selama 3 bulan shock atas nilai tukar akan menyebabkan ekspor

neto berfluktuatif, kemudian dampak tersebut mulai menghilang dan

ekspor neto bergerak konvergen setelah periode ke 12 (lihat lampiran).

Hasil analisis dengan menggunakan FEVD menunjukkan bahwa variabel

kurs merupakan komponen terbesar kedua setelah ekspor neto itu sendiri

dalam kemampuannya memprediksi pergerakan ekspor neto. Dalam

jangka pendek, kurs hanya mampu menjelaskan sebanyak 2 persen atas

variabilitas ekspor neto, namun tentu saja besaran ini meningkat seiring

berjalannya waktu hingga stagnan di kisaran 5 persen pada periode ke 24.

Secara umum, dalam jangka pendek kurs menujukkan hubungan negatif

yang kurang kuat terhadap ekspor neto, hal ini diindikasikan oleh besarnya

volatilitas ekspor neto terhadap shock kurs pada 2 hingga 4 bulan pertama.

94

Namun dalam jangka menengah, respon tersebut mulai bergerak ke daerah

negatif dan perlahan konvergen di sekitar periode ke 24.

Meskipun temuan ini konsisten dengan teori, hal ini masih

menyisakan pertanyaan penting terkait apa persisnya yang menyebabkan

kontribusi nilai tukar terhadap ekspor neto sangat rendah (di bawah 5

persen). Rendahnya kontribusi nilai tukar dalam menjelaskan ekspor neto

bisa jadi disebabkan adanya variabel prediktif lain yang tidak dimasukkan

ke dalam model pada periode penelitian.

Beberapa hal yang dapat menjelaskan bagaimana laju nilai tukar

nominal tidak memiliki keterkaitan erat dengan neraca perdagangan

antara lain sebagai berikut :

a) Dalam kasus dimana komoditas yang di ekspor merupakan komoditas

yang ada substitusi sempurnanya di pasar dunia, maka kebijakan nilai

tukar tidak akan mampu memperbaiki neraca perdagangan. Hal

tersebut dapat terjadi dengan asumsi bahwa permintaan atas

komoditas ekspor tersebut bersifat elastis.

b) Masih tingginya permintaan masyarakat atas komoditas impor juga

dapat menjadi faktor yang menjelaskan minimnya pengaruh nilai tukar

terhadap kinerja ekspor neto. Pada situasi seperti ini, perubahan nilai

tukar tidak dapat merubah permintaan pasar atas komoditas impor

disebabkan sifatnya yang sudah inelastis.

95

c) Lesunya perekonomian dunia pada periode penelitian menyebabkan

turunnya permintaan komoditas ekspor Indonesia. Hal ini

menyebabkan merosotnya kinerja ekspor. Yang seharusnya terjadi

adalah saat rupiah terdepresiasi, ekspor mestinya mengalami kenaikan.

Tetapi karena terjadi penurunan pada permintaan barang komoditas,

maka pengaruhnya pada neraca perdagangan justru buruk dan hal ini

mendorong semakin lemahnya nilai rupiah. Jika dikaitkan dengan

keadaan perekonomian Indonesia, struktur ekspor Indonesia sebelum

tahun 2013 masih didominasi oleh bahan baku, akibatnya pada saat

negara tujuan ekspor Indonesia mengalami guncangan akibat krisis,

permintaan atas ekspor bahan baku ke negara tersebut menurun

dikarenakan lesunya aktivitas produksi. Ini terjadi pada saat Tiongkok

terkena dampak dari krisis global 2008 silam.

Kebijakan moneter yang dilalui nilai tukar belum tentu mampu

memperbaiki neraca perdagangan atau ekspor neto. Neraca perdagangan

akan meningkat saat nilai tukar terdepresiasi bila persyaratan kondisi

Marshall – Lerner yang terpenuhi, yaitu apabila jumlah elastisitas ekspor

dan elastisitas impor terhadap nilai tukar riil lebih besar dari 1 (Siswanto

dalam Hausman, 2005). Depresiasi nilai tukar itu sendiri pada dasarnya

akan mempengaruhi neraca perdagangan melalui dua cara yaitu melalui

perubahan volume dan perubahan nilai. Kondisi Marshall – Lerner

menyatakan bahwa perubahan volume akan mendominasi perubahan nilai,

sehingga meskipun nilai impor akan meningkat dan nilai ekspor akan

96

menurun namun peningkatan volume ekspor dan penurunan volume impor

akan lebih dominan sehingga secara total neraca perdagangan akan

membaik. Namun demikian, ada kecenderungan bahwa elastisitas akan

lebih rendah dalam jangka pendek sehingga kondisi Marshall – Lerner

kemungkinan hanya dapat terpenuhi pada jangka menengah dan jangka

panjang, fenomena ini dikenal sebagai J-Curve.

Temuan penelitian ini sekaligus menekankan bahwa perubahan

pada kinerja neraca perdagangan yang diproksikan melalui ekspor neto

tidak hanya dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar riil saja, melainkan

dapat juga dipengaruhi oleh struktur dan industri komoditas berbasis

ekspor itu sendiri juga diyakini memegang pengaruh yang dominan

terhadap daya saing ekspor Indonesia. Jika dilihat dari sisi impor,

tingginya ketergantungan Indonesia terhadap komoditas Impor juga dinilai

masih tinggi, khususnya untuk segmen keperluan bahan baku industri.

Secara keseluruhan, transmisi kebijakan moneter dengan

menggunakan jalur nilai tukar mampu mentransmisikan dampak kebijakan

tersebut hingga memengaruhi nilai tukar, hanya saja pengaruh tersebut

sangat kecil jika dilihat dari komposisi variannya, hal ini ditunjukkan

dengan nilai variance decomposition nilai tukar yang hanya sebesar 3 – 4

persen. Pemerintah khususnya otoritas moneter perlu mencermati sasaran

antara yang lain untuk digunakan dalam skema transmisi kebijakan

97

moneter melalui nilai tukar dalam mengantisipasi dampak gejolak

perekonomian global terhadap neraca perdagangan.

Beberapa argumen yang mendukung hal tersebut adalah temuan

bahwa exchange rate passthrough yang terjadi pada periode penelitian

memiliki efektivitas yang rendah. Hal ini ditandai oleh relatif cepatnya

transmisi kebijakan, namun jika dilihat dari komposisi variannya sangat

rendah dalam menjelaskan inovasi pada tiap variabel dalam model. Selain

itu terjadi rantai kebijakan yang putus disebabkan tidak signifikannya arus

modal dalam mentransmisikan pengaruh kebijakan.

98

BAB V

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

A. Kesimpulan

Secara parsial penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme

transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar terhadap sasaran

ekspor neto tidak tertransmisikan dengan baik pada variabel-variabel yang

disebutkan dalam teori. Output uji kausalitas Granger menunjukkan bukti

yang mendukung hipotesis tersebut. Dari 4 variabel yang dihipotesiskan

memiliki keterkaitan secara bertahap terhadap ekspor neto, justru variabel

ekspor neto lah yang memiliki hubungan satu arah terhadap suku bunga.

Hasil analisis prediktif dengan menggunakan IRF menunjukkan

bahwa untuk beberapa periode ke depan, transmisi kebijakan moneter

melalui jalur nilai tukar berjalan dengan relatif cepat,dengan rentang 4

hingga 5 bulan hingga mempengaruhi neraca perdagangan, namun

demikian pengaruhnya sangatlah kecil jika dilihat melalui output FEVD.

Suku bunga memiliki rank tertinggi sebagai variabel yang berkontribusi

terhadap variabilitas ekspor neto.

Hasil yang inkonsisten dengan teori ini meninggalkan pertanyaan

penting terkait apa yang menyebabkan mekanisme transmisi kebijakan

moneter dapat berlangsung relatif cepat namun tidak berdampak terhadap

neraca perdagangan. Peneliti menduga bahwa pada periode penelitian,

belum mampunya kebijakan moneter yang dilalui nilai tukar dalam

memperbaiki neraca perdagangan disebabkan oleh tidak terpenuhinya

99

asumsi Marshall-Lerner, yaitu kondisi di mana jumlah elastisitas ekspor

dan elastisitas impor terhadap nilai tukar riil lebih besar dari satu. Secara

sederhana, kondisi Marshall-Lerner menyiratkan bahwa kebijakan moneter

melalui nilai tukar dapat memperbaiki neraca perdagangan dengan asumsi

dasar bahwa struktur ekspor dan impor Negara tersebut sensitif terhadap

perubahan kurs. Dalam kasus Indonesia, sebagaimana Negara lain pada

umumnya – kondisi ekspor dan impor yang inelastis terhadap perubahan

kurs bisa jadi disebabkan karena struktur neraca perdagangan yang

dikuasai sebagian besar oleh kontrak jangka panjang, ataupun kontrak

perdagangan terhadap Negara yang menganut rezim tukar tetap. Kondisi

kedua serupa dengan yang ditemukan oleh penelitian Gagnon pada tahun

2003 untuk kasus Amerika Serikat. Meskipun demikian, hal ini masih

memerlukan penelitian lebih lanjut.

Dugaan lain yang mendukung hasil penelitian ini adalah bahwa

komoditas ekspor Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bahan

baku impor, sebab keuntungan ekonomis ekspor yang diperoleh melalui

perubahan nilai tukar justru segera tertutup oleh beban impor bahan baku.

Kondisi ini bukannya menambah insentif untuk para eksportir, justru

menjadi sebaliknya jika beban impor bahan baku yang didapat lebih besar

daripada keuntungan ekonomis dari perubahan nilai tukar.

100

B. Implikasi

Upaya untuk memperbaiki neraca perdagangan melalui kebijakan

moneter dengan saluran nilai tukar perlu dilakukan tinjauan akademis

lebih lanjut. Hasil yang menunjukkan besaran yang sangat kecil ( 3 hingga

4 persen) mengindikasikan bahwa terdapat variabel ekonomi lain yang

jauh lebih berperan dalam memperbaiki neraca perdagangan. Pemerintah

perlu melakukan koordinasi antara Bank Indonesia sebagai pemegang

otoritas moneter nasional dengan pemangku kebijakan lain dalam upaya

mencapai tujuan perekonomian nasional yang berkelanjutan dan non-

kontraproduktif.

DAFTAR ISI

Ascarya. 2012. Alur Transmisi dan Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda di

Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta

Gujarati. 2004. Basic Econometrics, Fourth Edition. New York City. The McGraw-

Hill Companies.

Luetkepohl, Helmut. 2011. Vector Autoregressive Models. European University

Institute. San Domenico di Fiesole. Italy

Luetkepohl, Helmut. 2007. Econometric Analysis with Vector Autoregressive Models.

European University Institute. San Domenico di Fiesole. Italy

Husman, Jardine A. 2005. Pengaruh Nilai Tukar Riil terhadap Neraca Perdagangan

Bilateral Indonesia : Kondisi Marshall-Lerner dan Fenomena J-Curve.

Rusydiana, A.S. 2009. Hubungan Antara Perdagangan Internasional, Pertumbuhan

Ekonomi dan Perkembangan Industri Keuangan Syariah di Indonesia.

Bogor. LPPM Tazkia.

Dison M.H. Batubara dan I.A. Nyoman Saskara. 2015. Analisis Hubungan Ekspor,

Impor, PDB, dan Utang Luar Negeri Indonesia Periode 1970 – 2013. Jurnal

Ekonomi Kuantitatif Terapan Vol. 8 No. 1. Universitas Udayana.

Elod Takats dan Judit Temesvary. 2007. The Currency Dimension of the Bank

Lending Channel in International Monetary Transmission. Finance and

Economics Discussion Series. Washington, D.C. Federal Reserve Board.

Mario Marazzi, dkk. 2005. Exchange Rate Pass-through to U.S. Import Prices: Some

New Evidence. International Finance Discussion Papers. Federal Reserve

Board.

Enny Sri Hartati. 2004. Analisis Dampak Pergerakan Nilai Tukar Terhadap Inflasi di

Indonesia : Pendekatan Exchange Rate Pass Through (Tesis). Bogor.

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Mishkin, Frederic S. 1996. The Channels of Monetary Transmission: Lessons for

Monetary Policy. Cambridge. National Bureau of Economic Research.

Boivin, dkk. 2010. How Has the Monetary Transmission Mechanism Evolved Over

Time?. Finance and Economics Discussion Series. Washington, D.C.

Federal Reserve Board.

Jaime Marquez dan John W. Schindler. 2006. Exchange-Rate Effects on China’s

Trade: An interim Report. International Finance Discussion Papers.

Washington, D.C. Federal Reserve Board.

Dhany, dkk. 2012. Dampak Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Terhadap Ekspor

Indonesia. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Erwin Hardianto. 2005. Mekanisme Transmisi Syariah di Indonesia. Surabaya.

Universitas Airlangga.

Ari Mulianta Ginting. 2013. Pengaruh Nilai Tukar erhadap Ekspor Indonesia. Buletin

Ilmiah Litbang Perdagangan. Jakarta. P3DI Bidang Ekonomi dan Kebijakan

Publik.

Natsir. 2007. Peranan Jalur Suku Bunga dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan

Moneter di Indonesia. Kendari. Universitas Halu Oleo.

Natsir. 2008. Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

di Indonesia melalui Jalur Nilai Tukar Periode 1990:2 – 2007:1. Kendari.

Universitas Halu Oleo.

Sugianto, dkk. 2015. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia melalui

Sistem Moneter Syariah. Human Falah: Volume 2. No. 1.

Joseph E. Gagnon dan Jane Ihrig. 2004. Monetary policy and Exchange-Rate Pass-

through. Division of International Finance. Federal Reserve Board.

Fizari, Fadli, dkk. 2011. A Vector Error Correction Model (VECM) Approach in

Explaining the Relationship Between Interest Rate and Inflation Towards

Exchange Rate Volatility in Malaysia.World Applied Sciences Journal 12.

IDOSI Publications.

Mankiw, N. Gregory. 2009. Macroeconomics : Seventh Edition. New York. Worth

Publishers.

Rayati Togatorop dan Wahyu Ario Pratomo. 2012. Analisis Perbandingan Peranan

Jalur Suku Bunga dan Jalur Nilai Tukar pada Mekanisme Transmisi

Kebijakan Moneter di ASEAN : Studi Komparatif (Indonesia, Malaysia,

Singapura). Jurnal Ekonomi dan Keuangan Vol.2 No.4

Antonio, Muhammad Syafii, dkk. 2013. The Islamic Capital Market Volatility : A

Comparative Study Between Indonesia and Malaysia. Buletin Ekonomi

Moneter dan Perbankan.

Ingrit Magdalena dan Wahyu Ario Pratomo. 2014. Analisis Efektivitas Transmisi

Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Vol.

2 No. 11

Iulian Ihnatov dan Bogdan Capraru. 2014. The Trilemma Policies and

Macroeconomic Volatility in Central and Eastern Europe. Romania.

Elsevier.

Dimitrios Serenis dan Nicholas Tsounis. 2013. Exchange Rate Volatility and Foreign

Trade : The Case for Cyprus and Croatia. Romania. Elsevier.

Dimitrios Serenis dan Nicholas Tsounis. 2013. A New Approach for Measuring

Volatility of The Exchange Rate. Romania. Elsevier.

Giovanni Dell dan Donald Mathieson. 1998. Exchange Rate Fluctuatuons and Trade

Flows : Evidence from the European Union. Working Paper of the

International Monetary Fund. IMF Working Paper.

Clark, Peter dkk. 2004. Exchange rate Volatility and Trade Flows – Some New

Evidence. International Monetary Fund.

Hakkio, S.Craig. 1986. Interest Rates and Exchange Rates – What is the

Relationship?. Economic Review. Federal Reserve Bank of Kansas City.

Ricardo J. C dan Vittorio Corbo. 1989. The Effect of Real Exchange Rate Uncertainty

on Exports : Empirical Evidence. The World Bank Economic Review Vol.

3, No. 2. The World Bank.

105

Lampiran 1. Data Penelitian (Asli)

Periode BIRATE CFLOW KURS RDIFF EXNETT2007M01 0.095 317 9567 0.0425 19102007M02 0.0925 324 9568 0.0399 21132007M03 0.09 331 9664 0.0374 19472007M04 0.09 337 9598 0.0375 21792007M05 0.0875 343 9344 0.0350 18142007M06 0.085 348 9484 0.0325 21732007M07 0.0825 353 9567 0.0299 21012007M08 0.0825 357 9867 0.0323 16972007M09 0.0825 361 9810 0.0331 16162007M10 0.0825 364 9607 0.0349 26902007M11 0.0825 367 9764 0.0376 13202007M12 0.08 369 9834 0.0376 33542008M01 0.08 295 9906 0.0406 19802008M02 0.08 300 9681 0.0502 11702008M03 0.08 307 9685 0.0539 19102008M04 0.08 316 9709 0.0572 -3862008M05 0.0825 328 9791 0.0627 17772008M06 0.085 343 9796 0.065 11182008M07 0.0875 360 9663 0.0674 432008M08 0.09 380 9649 0.0700 7372008M09 0.0925 403 9841 0.0744 20192008M10 0.095 428 10548 0.0853 592008M11 0.095 456 12211 0.0911 8662008M12 0.0925 487 11825 0.0909 8632009M01 0.0875 632 11581 0.0859 8682009M02 0.0825 663 12353 0.0803 22312009M03 0.0775 692 12350 0.0757 24262009M04 0.075 719 11525 0.0735 21072009M05 0.0725 744 10893 0.0707 26902009M06 0.0700 767 10707 0.0679 21642009M07 0.0675 788 10611 0.0659 14202009M08 0.065 806 10478 0.0634 25062009M09 0.065 823 10401 0.0635 30282009M10 0.065 837 9983 0.0638 28162009M11 0.065 850 9970 0.0638 23702009M12 0.065 860 9958 0.0638 46642010M01 0.065 837 9775 0.0639 13722010M02 0.065 844 9848 0.0637 22642010M03 0.065 851 9674 0.0634 23902010M04 0.065 857 9527 0.063 14732010M05 0.065 862 9683 0.063 25142010M06 0.065 866 9648 0.0632 17012010M07 0.065 870 9549 0.0632 1021

106

2010M08 0.065 872 9472 0.0631 18492010M09 0.065 874 9474 0.0631 34502010M10 0.065 875 9428 0.0631 26072010M11 0.065 876 9438 0.0631 24922010M12 0.065 875 9523 0.0632 25932011M01 0.065 782 9537 0.0633 22852011M02 0.0675 784 9413 0.0659 20112011M03 0.0675 789 9261 0.0661 21412011M04 0.0675 797 9151 0.0665 16122011M05 0.0675 808 9056 0.0666 29802011M06 0.0675 822 9064 0.0666 20152011M07 0.0675 839 9033 0.0668 10702011M08 0.0675 860 9032 0.0665 38842011M09 0.0675 883 9266 0.0667 20362011M10 0.065 910 9395 0.0643 15622011M11 0.06 939 9515 0.0592 11062011M12 0.06 972 9588 0.0593 11022012M01 0.06 999 9609 0.0592 5252012M02 0.0575 1038 9526 0.0565 -1092012M03 0.0575 1081 9665 0.0562 7532012M04 0.0575 1127 9676 0.0561 -6112012M05 0.0575 1176 9790 0.0559 -5272012M06 0.0575 1229 9951 0.0559 -8352012M07 0.0575 1286 9957 0.0559 -2672012M08 0.0575 1346 10000 0.0562 422012M09 0.0575 1409 10066 0.0561 7572012M10 0.0575 1476 10097 0.0559 -19302012M11 0.0575 1547 10128 0.0559 -6182012M12 0.0575 1621 10146 0.0559 -1882013M01 0.0575 1954 10187 0.0561 -752013M02 0.0575 2024 10187 0.056 -2982013M03 0.0575 2087 10209 0.0561 1382013M04 0.0575 2142 10224 0.056 -17032013M05 0.0575 2190 10261 0.0564 -5872013M06 0.06 2231 10382 0.0591 -8952013M07 0.065 2265 10573 0.0641 -23092013M08 0.065 2291 11073 0.0641 1492013M09 0.0700 2310 11846 0.0692 -6572013M10 0.0725 2322 11867 0.0716 422013M11 0.0725 2326 12113 0.0717 7762013M12 0.075 2323 12587 0.0741 15122014M01 0.075 2087 12680 0.0743 -4442014M02 0.075 2079 12435 0.0743 8432014M03 0.075 2073 11927 0.0742 6692014M04 0.075 2069 11936 0.0741 -19632014M05 0.075 2068 12026 0.0741 55

107

2014M06 0.075 2069 12393 0.074 -2822014M07 0.075 2072 12189 0.0741 972014M08 0.075 2078 12207 0.0741 -3182014M09 0.075 2085 12391 0.0741 -2702014M10 0.075 2095 12645 0.0741 232014M11 0.075 2107 12658 0.0741 -4262014M12 0.075 2121 12938 0.0738 1782015M01 0.0775 1797 13079 0.0764 7442015M02 0.0775 1830 13250 0.0764 6632015M03 0.0775 1879 13567 0.0764 10262015M04 0.075 1945 13448 0.0738 4782015M05 0.075 2027 13641 0.0738 11412015M06 0.075 2126 13813 0.0737 5362015M07 0.075 2242 13875 0.0737 13842015M08 0.075 2374 14282 0.0736 3272015M09 0.075 2522 14896 0.0736 10302015M10 0.075 2687 14296 0.0738 10132015M11 0.075 2869 14173 0.0738 -3972015M12 0.075 3067 14355 0.0726 -160

Lampiran 2. Data Penelitian (first difference)

Periode DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF2007M01 NA NA NA NA NA2007M02 -0.002500 7.000000 203.0000 1.000000 -0.0026002007M03 -0.002500 7.000000 -166.0000 96.00000 -0.0025002007M04 0.000000 6.000000 232.0000 -66.00000 0.0001002007M05 -0.002500 6.000000 -365.0000 -254.0000 -0.0025002007M06 -0.002500 5.000000 359.0000 140.0000 -0.0025002007M07 -0.002500 5.000000 -72.00000 83.00000 -0.0026002007M08 0.000000 4.000000 -404.0000 300.0000 0.0024002007M09 0.000000 4.000000 -81.00000 -57.00000 0.0008002007M10 0.000000 3.000000 1074.000 -203.0000 0.0018002007M11 0.000000 3.000000 -1370.000 157.0000 0.0027002007M12 -0.002500 2.000000 2034.000 70.00000 0.0000002008M01 0.000000 -74.00000 -1374.000 72.00000 0.0030002008M02 0.000000 5.000000 -810.0000 -225.0000 0.0096002008M03 0.000000 7.000000 740.0000 4.000000 0.0037002008M04 0.000000 9.000000 -2296.000 24.00000 0.0033002008M05 0.002500 12.00000 2163.000 82.00000 0.0055002008M06 0.002500 15.00000 -659.0000 5.000000 0.0023002008M07 0.002500 17.00000 -1075.000 -133.0000 0.0024002008M08 0.002500 20.00000 694.0000 -14.00000 0.0026002008M09 0.002500 23.00000 1282.000 192.0000 0.004400

108

2008M10 0.002500 25.00000 -1960.000 707.0000 0.0109002008M11 0.000000 28.00000 807.0000 1663.000 0.0058002008M12 -0.002500 31.00000 -3.000000 -386.0000 -0.0002002009M01 -0.005000 145.0000 5.000000 -244.0000 -0.0049002009M02 -0.005000 31.00000 1363.000 772.0000 -0.0057002009M03 -0.005000 29.00000 195.0000 -3.000000 -0.0046002009M04 -0.002500 27.00000 -319.0000 -825.0000 -0.0022002009M05 -0.002500 25.00000 583.0000 -632.0000 -0.0028002009M06 -0.002500 23.00000 -526.0000 -186.0000 -0.0028002009M07 -0.002500 21.00000 -744.0000 -96.00000 -0.0020002009M08 -0.002500 18.00000 1086.000 -133.0000 -0.0025002009M09 0.000000 17.00000 522.0000 -77.00000 0.0001002009M10 0.000000 14.00000 -212.0000 -418.0000 0.0003002009M11 0.000000 13.00000 -446.0000 -13.00000 0.0000002009M12 0.000000 10.00000 2294.000 -12.00000 0.0000002010M01 0.000000 -23.00000 -3292.000 -183.0000 0.0001002010M02 0.000000 7.000000 892.0000 73.00000 -0.0002002010M03 0.000000 7.000000 126.0000 -174.0000 -0.0003002010M04 0.000000 6.000000 -917.0000 -147.0000 -0.0004002010M05 0.000000 5.000000 1041.000 156.0000 0.0000002010M06 0.000000 4.000000 -813.0000 -35.00000 0.0002002010M07 0.000000 4.000000 -680.0000 -99.00000 0.0000002010M08 0.000000 2.000000 828.0000 -77.00000 -0.0001002010M09 0.000000 2.000000 1601.000 2.000000 0.0000002010M10 0.000000 1.000000 -843.0000 -46.00000 0.0000002010M11 0.000000 1.000000 -115.0000 10.00000 0.0000002010M12 0.000000 -1.000000 101.0000 85.00000 0.0001002011M01 0.000000 -93.00000 -308.0000 14.00000 0.0001002011M02 0.002500 2.000000 -274.0000 -124.0000 0.0026002011M03 0.000000 5.000000 130.0000 -152.0000 0.0002002011M04 0.000000 8.000000 -529.0000 -110.0000 0.0004002011M05 0.000000 11.00000 1368.000 -95.00000 0.0001002011M06 0.000000 14.00000 -965.0000 8.000000 0.0000002011M07 0.000000 17.00000 -945.0000 -31.00000 0.0002002011M08 0.000000 21.00000 2814.000 -1.000000 -0.0003002011M09 0.000000 23.00000 -1848.000 234.0000 0.0002002011M10 -0.002500 27.00000 -474.0000 129.0000 -0.0024002011M11 -0.005000 29.00000 -456.0000 120.0000 -0.0051002011M12 0.000000 33.00000 -4.000000 73.00000 0.0001002012M01 0.000000 27.00000 -577.0000 21.00000 -0.0001002012M02 -0.002500 39.00000 -634.0000 -83.00000 -0.0027002012M03 0.000000 43.00000 862.0000 139.0000 -0.0003002012M04 0.000000 46.00000 -1364.000 11.00000 -0.0001002012M05 0.000000 49.00000 84.00000 114.0000 -0.0002002012M06 0.000000 53.00000 -308.0000 161.0000 0.0000002012M07 0.000000 57.00000 568.0000 6.000000 0.000000

109

2012M08 0.000000 60.00000 309.0000 43.00000 0.0003002012M09 0.000000 63.00000 715.0000 66.00000 -0.0001002012M10 0.000000 67.00000 -2687.000 31.00000 -0.0002002012M11 0.000000 71.00000 1312.000 31.00000 0.0000002012M12 0.000000 74.00000 430.0000 18.00000 0.0000002013M01 0.000000 333.0000 113.0000 41.00000 0.0002002013M02 0.000000 70.00000 -223.0000 0.000000 -0.0001002013M03 0.000000 63.00000 436.0000 22.00000 0.0001002013M04 0.000000 55.00000 -1841.000 15.00000 -0.0001002013M05 0.000000 48.00000 1116.000 37.00000 0.0004002013M06 0.002500 41.00000 -308.0000 121.0000 0.0027002013M07 0.005000 34.00000 -1414.000 191.0000 0.0050002013M08 0.000000 26.00000 2458.000 500.0000 0.0001002013M09 0.005000 19.00000 -806.0000 773.0000 0.0050002013M10 0.002500 12.00000 699.0000 21.00000 0.0024002013M11 0.000000 4.000000 734.0000 246.0000 0.0001002013M12 0.002500 -3.000000 736.0000 474.0000 0.0024002014M01 0.000000 -236.0000 -1956.000 93.00000 0.0002002014M02 0.000000 -8.000000 1287.000 -245.0000 0.0000002014M03 0.000000 -6.000000 -174.0000 -508.0000 -0.0001002014M04 0.000000 -4.000000 -2632.000 9.000000 -0.0001002014M05 0.000000 -1.000000 2018.000 90.00000 0.0000002014M06 0.000000 1.000000 -337.0000 367.0000 -0.0001002014M07 0.000000 3.000000 379.0000 -204.0000 0.0001002014M08 0.000000 6.000000 -415.0000 18.00000 0.0000002014M09 0.000000 7.000000 48.00000 184.0000 0.0000002014M10 0.000000 10.00000 293.0000 254.0000 0.0000002014M11 0.000000 12.00000 -449.0000 13.00000 0.0000002014M12 0.000000 14.00000 604.0000 280.0000 -0.0003002015M01 0.002500 -324.0000 566.0000 141.0000 0.0026002015M02 0.000000 33.00000 -81.00000 171.0000 0.0000002015M03 0.000000 49.00000 363.0000 317.0000 0.0000002015M04 -0.002500 66.00000 -548.0000 -119.0000 -0.0026002015M05 0.000000 82.00000 663.0000 193.0000 0.0000002015M06 0.000000 99.00000 -605.0000 172.0000 -0.0001002015M07 0.000000 116.0000 848.0000 62.00000 0.0000002015M08 0.000000 132.0000 -1057.000 407.0000 -0.0001002015M09 0.000000 148.0000 703.0000 614.0000 0.0000002015M10 0.000000 165.0000 -17.00000 -600.0000 0.0002002015M11 0.000000 182.0000 -1410.000 -123.0000 0.0000002015M12 0.000000 198.0000 237.0000 182.0000 -0.001200

110

Lampiran 3. Uji Akar Unit pada Data Level

1. BI Rate

Null Hypothesis: BIRATE has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.839009 0.6787Test critical values: 1% level -4.046925

5% level -3.45276410% level -3.151911

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(BIRATE)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:18Sample (adjusted): 2007M03 2015M12Included observations: 106 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

BIRATE(-1) -0.025951 0.014111 -1.839009 0.0688D(BIRATE(-1)) 0.581470 0.079349 7.327963 0.0000

C 0.001734 0.001152 1.505223 0.1354@TREND(2007M01) 1.30E-06 4.83E-06 0.269047 0.7884

R-squared 0.389758 Mean dependent var -0.000165Adjusted R-squared 0.371810 S.D. dependent var 0.001700S.E. of regression 0.001347 Akaike info criterion -10.34458Sum squared resid 0.000185 Schwarz criterion -10.24407Log likelihood 552.2626 Hannan-Quinn criter. -10.30384F-statistic 21.71559 Durbin-Watson stat 2.218982Prob(F-statistic) 0.000000

2. Interest Rate Differential

Null Hypothesis: RDIFF has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.611977 0.2760

111

Test critical values: 1% level -4.0469255% level -3.452764

10% level -3.151911

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(RDIFF)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:20Sample (adjusted): 2007M03 2015M12Included observations: 106 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

RDIFF(-1) -0.043773 0.016759 -2.611977 0.0104D(RDIFF(-1)) 0.627765 0.075479 8.317055 0.0000

C 0.002629 0.000942 2.790809 0.0063@TREND(2007M01) 4.86E-06 6.94E-06 0.699919 0.4856

R-squared 0.421077 Mean dependent var 0.000308Adjusted R-squared 0.404049 S.D. dependent var 0.002425S.E. of regression 0.001872 Akaike info criterion -9.686244Sum squared resid 0.000358 Schwarz criterion -9.585737Log likelihood 517.3709 Hannan-Quinn criter. -9.645508F-statistic 24.72971 Durbin-Watson stat 2.094123Prob(F-statistic) 0.000000

3. Capital Flow

Null Hypothesis: CFLOW has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.763809 0.7153Test critical values: 1% level -4.047795

5% level -3.45317910% level -3.152153

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(CFLOW)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:22Sample (adjusted): 2007M04 2015M12Included observations: 105 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

112

CFLOW(-1) -0.042839 0.024288 -1.763809 0.0808D(CFLOW(-1)) 0.332281 0.097320 3.414332 0.0009D(CFLOW(-2)) 0.277433 0.100785 2.752720 0.0070

C -3.571573 12.06844 -0.295943 0.7679@TREND(2007M01) 1.233551 0.571794 2.157335 0.0334

R-squared 0.263670 Mean dependent var 26.05714Adjusted R-squared 0.234217 S.D. dependent var 68.13587S.E. of regression 59.62504 Akaike info criterion 11.06048Sum squared resid 355514.5 Schwarz criterion 11.18686Log likelihood -575.6750 Hannan-Quinn criter. 11.11169F-statistic 8.952179 Durbin-Watson stat 2.077076Prob(F-statistic) 0.000003

4. Kurs

Null Hypothesis: KURS has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 3 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.475646 0.8318Test critical values: 1% level -4.048682

5% level -3.45360110% level -3.152400

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(KURS)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:22Sample (adjusted): 2007M05 2015M12Included observations: 104 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

KURS(-1) -0.038224 0.025903 -1.475646 0.1432D(KURS(-1)) 0.328764 0.098951 3.322486 0.0013D(KURS(-2)) -0.245032 0.099615 -2.459789 0.0157D(KURS(-3)) 0.265028 0.103542 2.559623 0.0120

C 325.5960 239.3290 1.360454 0.1768@TREND(2007M01) 2.055257 1.214225 1.692649 0.0937

R-squared 0.167456 Mean dependent var 45.74038Adjusted R-squared 0.124980 S.D. dependent var 295.2246S.E. of regression 276.1605 Akaike info criterion 14.13580Sum squared resid 7473935. Schwarz criterion 14.28836Log likelihood -729.0618 Hannan-Quinn criter. 14.19761F-statistic 3.942311 Durbin-Watson stat 2.011381

113

Prob(F-statistic) 0.002672

5. Ekspor Neto

Null Hypothesis: EXNETT has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.246680 0.4588Test critical values: 1% level -4.047795

5% level -3.45317910% level -3.152153

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(EXNETT)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:23Sample (adjusted): 2007M04 2015M12Included observations: 105 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

EXNETT(-1) -0.207980 0.092572 -2.246680 0.0269D(EXNETT(-1)) -0.615099 0.108677 -5.659887 0.0000D(EXNETT(-2)) -0.349480 0.094648 -3.692406 0.0004

C 462.3409 278.4125 1.660633 0.0999@TREND(2007M01) -5.093005 3.487372 -1.460413 0.1473

R-squared 0.435898 Mean dependent var -20.06667Adjusted R-squared 0.413334 S.D. dependent var 1100.148S.E. of regression 842.6491 Akaike info criterion 16.35743Sum squared resid 71005751 Schwarz criterion 16.48381Log likelihood -853.7649 Hannan-Quinn criter. 16.40864F-statistic 19.31822 Durbin-Watson stat 1.932406Prob(F-statistic) 0.000000

114

Lampiran 4. Uji Akar Unit pada data first difference

1. DBI Rate

Null Hypothesis: DBIRATE has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.307030 0.0001Test critical values: 1% level -4.046925

5% level -3.45276410% level -3.151911

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(DBIRATE)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:25Sample (adjusted): 2007M03 2015M12Included observations: 106 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DBIRATE(-1) -0.425469 0.080171 -5.307030 0.0000C -0.000322 0.000281 -1.145317 0.2547

@TREND(2007M01) 4.87E-06 4.47E-06 1.088350 0.2790

R-squared 0.215147 Mean dependent var 2.36E-05Adjusted R-squared 0.199907 S.D. dependent var 0.001523S.E. of regression 0.001363 Akaike info criterion -10.33083Sum squared resid 0.000191 Schwarz criterion -10.25545Log likelihood 550.5338 Hannan-Quinn criter. -10.30027F-statistic 14.11739 Durbin-Watson stat 2.183196Prob(F-statistic) 0.000004

2. DInterest Rate Differential

Null Hypothesis: DRDIFF has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.063316 0.0003Test critical values: 1% level -4.046925

115

5% level -3.45276410% level -3.151911

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(DRDIFF)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:27Sample (adjusted): 2007M03 2015M12Included observations: 106 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DRDIFF(-1) -0.391038 0.077230 -5.063316 0.0000C 0.000371 0.000385 0.964292 0.3372

@TREND(2007M01) -4.44E-06 6.12E-06 -0.725506 0.4698

R-squared 0.200220 Mean dependent var 1.32E-05Adjusted R-squared 0.184690 S.D. dependent var 0.002131S.E. of regression 0.001925 Akaike info criterion -9.640367Sum squared resid 0.000381 Schwarz criterion -9.564987Log likelihood 513.9395 Hannan-Quinn criter. -9.609815F-statistic 12.89268 Durbin-Watson stat 2.010577Prob(F-statistic) 0.000010

3. DCapital Flow

Null Hypothesis: DCFLOW has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.942238 0.0136Test critical values: 1% level -4.047795

5% level -3.45317910% level -3.152153

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(DCFLOW)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:28Sample (adjusted): 2007M04 2015M12Included observations: 105 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DCFLOW(-1) -0.440524 0.111745 -3.942238 0.0001

116

D(DCFLOW(-1)) -0.244445 0.100064 -2.442884 0.0163C -2.851454 12.18693 -0.233976 0.8155

@TREND(2007M01) 0.286462 0.198577 1.442568 0.1522

R-squared 0.327645 Mean dependent var 1.819048Adjusted R-squared 0.307674 S.D. dependent var 72.40442S.E. of regression 60.24493 Akaike info criterion 11.07206Sum squared resid 366574.6 Schwarz criterion 11.17317Log likelihood -577.2834 Hannan-Quinn criter. 11.11303F-statistic 16.40605 Durbin-Watson stat 2.051815Prob(F-statistic) 0.000000

4. DKurs

Null Hypothesis: DKURS has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.753269 0.0010Test critical values: 1% level -4.048682

5% level -3.45360110% level -3.152400

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(DKURS)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:28Sample (adjusted): 2007M05 2015M12Included observations: 104 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DKURS(-1) -0.736377 0.154920 -4.753269 0.0000D(DKURS(-1)) 0.039509 0.123136 0.320856 0.7490D(DKURS(-2)) -0.228161 0.101078 -2.257269 0.0262

C -17.32390 57.56652 -0.300937 0.7641@TREND(2007M01) 0.908097 0.938268 0.967844 0.3355

R-squared 0.449940 Mean dependent var 2.384615Adjusted R-squared 0.427716 S.D. dependent var 367.2174S.E. of regression 277.7980 Akaike info criterion 14.13855Sum squared resid 7640004. Schwarz criterion 14.26568Log likelihood -730.2045 Hannan-Quinn criter. 14.19005F-statistic 20.24512 Durbin-Watson stat 1.992990Prob(F-statistic) 0.000000

117

5. DEkspor Neto

Null Hypothesis: DEXNETT has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.62870 0.0000Test critical values: 1% level -4.047795

5% level -3.45317910% level -3.152153

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(DEXNETT)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:29Sample (adjusted): 2007M04 2015M12Included observations: 105 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DEXNETT(-1) -2.173543 0.159483 -13.62870 0.0000D(DEXNETT(-1)) 0.418044 0.091371 4.575236 0.0000

C -32.29532 173.7973 -0.185822 0.8530@TREND(2007M01) -0.170958 2.767157 -0.061781 0.9509

R-squared 0.806745 Mean dependent var 3.838095Adjusted R-squared 0.801005 S.D. dependent var 1926.451S.E. of regression 859.3678 Akaike info criterion 16.38762Sum squared resid 74589816 Schwarz criterion 16.48872Log likelihood -856.3501 Hannan-Quinn criter. 16.42859F-statistic 140.5420 Durbin-Watson stat 1.961824Prob(F-statistic) 0.000000

118

Lampiran 5. Output Lag Optimal

VAR Lag Order Selection CriteriaEndogenous variables: DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFFExogenous variables: CDate: 06/01/17 Time: 16:31Sample: 2007M01 2015M12Included observations: 99

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -1102.460 NA 3581.547 22.37293 22.50400 22.425961 -1016.344 161.7935 1042.760 21.13827 21.92467* 21.45645*2 -978.4592 67.35127 806.8875 20.87796 22.31970 21.461293 -950.6337 46.65688* 769.5400* 20.82088* 22.91795 21.669364 -938.8431 18.57909 1023.575 21.08774 23.84014 22.201365 -925.6996 19.38337 1340.620 21.32726 24.73500 22.706046 -914.2603 15.71456 1845.773 21.60122 25.66428 23.245147 -898.1258 20.53477 2357.298 21.78032 26.49872 23.689398 -877.8040 23.81140 2835.650 21.87483 27.24856 24.04905

* indicates lag order selected by the criterionLR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)FPE: Final prediction errorAIC: Akaike information criterionSC: Schwarz information criterionHQ: Hannan-Quinn information criterion

Lampiran 6. Output Uji Stabilitas Model VAR

Roots of Characteristic PolynomialEndogenous variables: DBIRATE DCFLOW DEXNETTDKURS DRDIFFExogenous variables: CLag specification: 1 3Date: 06/01/17 Time: 16:34

Root Modulus

0.849892 0.8498920.731315 - 0.218341i 0.7632130.731315 + 0.218341i 0.7632130.695336 0.695336

-0.479089 - 0.438990i 0.649799-0.479089 + 0.438990i 0.649799-0.076718 - 0.619495i 0.624227-0.076718 + 0.619495i 0.624227-0.328082 - 0.432089i 0.542530-0.328082 + 0.432089i 0.542530-0.197598 - 0.487426i 0.525956-0.197598 + 0.487426i 0.5259560.038171 - 0.341071i 0.343201

119

0.038171 + 0.341071i 0.343201-0.003955 0.003955

No root lies outside the unit circle.VAR satisfies the stability condition.

Lampiran 7. Johansen’s Cointegration Test Output

Date: 06/01/17 Time: 16:36Sample (adjusted): 2007M05 2015M12Included observations: 104 after adjustmentsTrend assumption: Linear deterministic trendSeries: BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFFLags interval (in first differences): 1 to 3

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.207071 63.22640 69.81889 0.1499At most 1 0.180652 39.09621 47.85613 0.2565At most 2 0.094566 18.37464 29.79707 0.5385At most 3 0.070367 8.043153 15.49471 0.4608At most 4 0.004363 0.454699 3.841466 0.5001

Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.207071 24.13018 33.87687 0.4461At most 1 0.180652 20.72157 27.58434 0.2934At most 2 0.094566 10.33149 21.13162 0.7130At most 3 0.070367 7.588454 14.26460 0.4221At most 4 0.004363 0.454699 3.841466 0.5001

Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):

BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFF-54.85219 0.002565 0.000765 -0.000508 20.57881-182.6063 -0.003930 -0.000350 0.002197 -63.38251-14.51021 -0.001148 -0.000812 9.11E-05 84.0814122.23992 0.001026 -0.000857 -0.000290 -39.7261493.44806 0.001770 0.000502 6.93E-06 -5.868256

120

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(BIRATE) 0.000133 0.000157 -0.000147 0.000241 -2.00E-05D(CFLOW) -3.632893 16.84863 7.175591 -2.401279 1.881494D(EXNETT) -176.4694 62.47085 115.8620 12.01728 -37.08654

D(KURS) -27.99349 -46.87940 26.76558 35.64128 5.786616D(RDIFF) -0.000242 0.000156 -0.000352 0.000278 -3.39E-06

1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -983.8446

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFF1.000000 -4.68E-05 -1.39E-05 9.26E-06 -0.375168

(1.4E-05) (5.8E-06) (5.4E-06) (0.41542)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)D(BIRATE) -0.007318

(0.00684)D(CFLOW) 199.2721

(325.298)D(EXNETT) 9679.732

(4555.73)D(KURS) 1535.504

(1294.70)D(RDIFF) 0.013282

(0.00978)

2 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -973.4838

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFF1.000000 0.000000 -3.08E-06 -5.32E-06 0.119429

(1.8E-06) (1.5E-06) (0.16039)0.000000 1.000000 0.232385 -0.311775 10578.62

(0.07305) (0.05837) (6392.67)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)D(BIRATE) -0.036049 -2.76E-07

(0.02354) (5.8E-07)D(CFLOW) -2877.395 -0.075532

(1077.01) (0.02651)D(EXNETT) -1727.839 -0.698081

(15784.2) (0.38849)D(KURS) 10095.98 0.112445

(4397.18) (0.10823)D(RDIFF) -0.015248 -1.24E-06

(0.03383) (8.3E-07)

3 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -968.3180

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFF

121

1.000000 0.000000 0.000000 -3.52E-06 -0.392304(2.2E-06) (0.25451)

0.000000 1.000000 0.000000 -0.447216 49159.44(0.14369) (16567.6)

0.000000 0.000000 1.000000 0.582827 -166020.9(0.53369) (61534.2)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)D(BIRATE) -0.033920 -1.08E-07 1.66E-07

(0.02342) (5.9E-07) (1.4E-07)D(CFLOW) -2981.514 -0.083767 -0.014510

(1070.06) (0.02703) (0.00654)D(EXNETT) -3409.022 -0.831040 -0.250973

(15650.6) (0.39541) (0.09571)D(KURS) 9707.604 0.081730 -0.026721

(4375.62) (0.11055) (0.02676)D(RDIFF) -0.010146 -8.31E-07 4.55E-08

(0.03316) (8.4E-07) (2.0E-07)

4 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -964.5238

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFF1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -1.447248

(0.46666)0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 -84769.08

(28489.2)0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 8519.285

(29038.9)0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 -299471.7

(85288.7)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)D(BIRATE) -0.028558 1.39E-07 -4.07E-08 1.95E-07

(0.02304) (5.9E-07) (1.7E-07) (2.7E-07)D(CFLOW) -3034.919 -0.086230 -0.012452 0.040203

(1076.13) (0.02761) (0.00810) (0.01272)D(EXNETT) -3141.759 -0.818713 -0.261274 0.233909

(15754.2) (0.40417) (0.11865) (0.18617)D(KURS) 10500.26 0.118289 -0.057271 -0.096642

(4343.26) (0.11143) (0.03271) (0.05132)D(RDIFF) -0.003974 -5.47E-07 -1.92E-07 3.54E-07

(0.03289) (8.4E-07) (2.5E-07) (3.9E-07)

122

Lampiran 8. Output VAR in first difference

Vector Autoregression EstimatesDate: 04/03/17 Time: 21:11Sample (adjusted): 2007M05 2015M12Included observations: 104 after adjustmentsStandard errors in ( ) & t-statistics in [ ]

DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF

DBIRATE(-1) 0.344870 -5150.229 -28985.40 -106561.5 -0.350357(0.15992) (7576.81) (108596.) (30333.4) (0.22964)[ 2.15654] [-0.67974] [-0.26691] [-3.51301] [-1.52571]

DBIRATE(-2) 0.456399 5441.869 247338.3 166282.8 0.430880(0.18512) (8770.65) (125707.) (35112.9) (0.26582)[ 2.46548] [ 0.62046] [ 1.96758] [ 4.73566] [ 1.62096]

DBIRATE(-3) 0.060595 871.4405 -171259.2 -5921.014 0.162962(0.17534) (8307.42) (119067.) (33258.4) (0.25178)[ 0.34559] [ 0.10490] [-1.43834] [-0.17803] [ 0.64724]

DCFLOW(-1) -8.17E-07 0.320846 -1.121891 0.193939 -3.02E-06(2.2E-06) (0.10423) (1.49390) (0.41728) (3.2E-06)

[-0.37150] [ 3.07823] [-0.75098] [ 0.46477] [-0.95507]

DCFLOW(-2) -5.01E-07 0.227586 -0.533099 0.513891 -7.60E-08(2.3E-06) (0.10670) (1.52934) (0.42718) (3.2E-06)

[-0.22264] [ 2.13288] [-0.34858] [ 1.20298] [-0.02351]

DCFLOW(-3) 4.52E-06 0.141046 0.571006 0.061210 5.18E-06(2.3E-06) (0.10856) (1.55598) (0.43462) (3.3E-06)

[ 1.97389] [ 1.29922] [ 0.36698] [ 0.14083] [ 1.57421]

DEXNETT(-1) 6.28E-08 -0.011880 -0.761166 0.008338 2.51E-07(1.5E-07) (0.00724) (0.10376) (0.02898) (2.2E-07)

[ 0.41127] [-1.64091] [-7.33562] [ 0.28768] [ 1.14527]

DEXNETT(-2) -3.15E-07 -0.012328 -0.450680 0.010170 -8.68E-10(1.9E-07) (0.00881) (0.12633) (0.03529) (2.7E-07)

[-1.69273] [-1.39859] [-3.56738] [ 0.28820] [-0.00325]

DEXNETT(-3) -5.06E-07 -0.019006 -0.021523 -0.024195 -5.59E-07(1.6E-07) (0.00759) (0.10882) (0.03039) (2.3E-07)

[-3.16066] [-2.50343] [-0.19780] [-0.79603] [-2.43007]

DKURS(-1) -3.84E-07 -0.028331 0.747204 0.205136 -4.69E-07(5.4E-07) (0.02540) (0.36400) (0.10167) (7.7E-07)

[-0.71721] [-1.11555] [ 2.05274] [ 2.01758] [-0.60916]

DKURS(-2) -7.47E-07 0.034817 -0.105500 -0.341840 -1.31E-06(4.8E-07) (0.02291) (0.32834) (0.09171) (6.9E-07)

[-1.54534] [ 1.51982] [-0.32131] [-3.72727] [-1.89229]

DKURS(-3) -2.87E-07 0.017972 0.586286 0.219899 -9.12E-07

123

(5.1E-07) (0.02432) (0.34861) (0.09737) (7.4E-07)[-0.55874] [ 0.73888] [ 1.68179] [ 2.25828] [-1.23700]

DRDIFF(-1) 0.114504 3453.312 -16307.85 86018.60 0.807583(0.11465) (5431.86) (77853.1) (21746.2) (0.16463)[ 0.99876] [ 0.63575] [-0.20947] [ 3.95557] [ 4.90554]

DRDIFF(-2) -0.247736 -1927.988 -190177.2 -91231.63 -0.245166(0.13934) (6601.63) (94619.1) (26429.3) (0.20008)[-1.77798] [-0.29205] [-2.00992] [-3.45191] [-1.22534]

DRDIFF(-3) 0.057282 -2334.107 142510.6 24070.41 0.065999(0.11525) (5460.64) (78265.5) (21861.4) (0.16550)[ 0.49701] [-0.42744] [ 1.82086] [ 1.10105] [ 0.39879]

C 1.21E-05 8.882599 -45.26466 27.40902 0.000262(0.00015) (7.13592) (102.277) (28.5683) (0.00022)[ 0.08024] [ 1.24477] [-0.44257] [ 0.95942] [ 1.20948]

R-squared 0.521983 0.337512 0.478160 0.429409 0.518467Adj. R-squared 0.440503 0.224587 0.389210 0.332149 0.436387Sum sq. resids 0.000142 319593.3 65652629 5122330. 0.000294S.E. equation 0.001272 60.26394 863.7434 241.2640 0.001826F-statistic 6.406270 2.988835 5.375596 4.415063 6.316643Log likelihood 554.5067 -565.1511 -842.0555 -709.4155 516.8764Akaike AIC -10.35590 11.17598 16.50107 13.95030 -9.632238Schwarz SC -9.949068 11.58281 16.90790 14.35713 -9.225408Mean dependent -0.000144 26.25000 -22.49038 45.74038 0.000338S.D. dependent 0.001700 68.43702 1105.194 295.2246 0.002433

Determinant resid covariance (dof adj.) 329.6377Determinant resid covariance 142.9827Log likelihood -995.9097Akaike information criterion 20.69057Schwarz criterion 22.72472

Lampiran 9. Output Granger Causality Test

Pairwise Granger Causality TestsDate: 06/01/17 Time: 16:40Sample: 2007M01 2015M12Lags: 3

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

DCFLOW does not Granger Cause DBIRATE 104 0.78502 0.5051DBIRATE does not Granger Cause DCFLOW 0.22149 0.8813

DEXNETT does not Granger Cause DBIRATE 104 3.70901 0.0142DBIRATE does not Granger Cause DEXNETT 0.53598 0.6587

DKURS does not Granger Cause DBIRATE 104 1.86383 0.1408DBIRATE does not Granger Cause DKURS 6.65924 0.0004

124

DRDIFF does not Granger Cause DBIRATE 104 1.11846 0.3455DBIRATE does not Granger Cause DRDIFF 0.96042 0.4147

DEXNETT does not Granger Cause DCFLOW 104 2.31724 0.0804DCFLOW does not Granger Cause DEXNETT 0.20009 0.8961

DKURS does not Granger Cause DCFLOW 104 1.63910 0.1854DCFLOW does not Granger Cause DKURS 0.08959 0.9656

DRDIFF does not Granger Cause DCFLOW 104 0.17562 0.9127DCFLOW does not Granger Cause DRDIFF 0.51019 0.6762

DKURS does not Granger Cause DEXNETT 104 1.29016 0.2822DEXNETT does not Granger Cause DKURS 0.19263 0.9012

DRDIFF does not Granger Cause DEXNETT 104 0.93574 0.4266DEXNETT does not Granger Cause DRDIFF 3.42956 0.0201

DRDIFF does not Granger Cause DKURS 104 3.20475 0.0266DKURS does not Granger Cause DRDIFF 2.06288 0.1102

Lampiran 10. Impulse Response Function

Period DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF

1 -25.45253 20.11794 863.1338 0.000000 0.0000002 -27.12767 -89.81137 -658.1714 177.3040 -19.146973 53.62087 23.89690 136.1831 -135.2234 -157.15734 -12.06967 64.28935 175.9982 115.6094 122.19635 22.11732 -73.60891 -211.9037 29.28902 21.412166 27.82983 39.05882 100.6078 -70.11967 -56.355287 16.76976 20.64295 -12.43701 32.61204 30.824988 23.13659 -17.76958 -42.50462 -14.27392 -5.4750139 9.302858 22.22905 22.47709 -15.79030 -11.7780710 7.433224 8.146326 -21.27496 1.557659 3.97642911 7.402442 5.110896 -2.856542 -12.15064 -6.78055912 1.018078 10.92785 -1.826259 -2.099199 -3.14633313 0.289382 5.433706 -8.769078 -1.958971 -1.85177214 -0.545052 6.874516 0.254566 -3.701872 -3.09442015 -1.682762 5.611016 -3.377170 0.234451 -1.34391516 -1.612286 3.929096 -2.391781 -0.512140 -1.54217417 -1.757278 4.145377 -0.572843 -0.068306 -1.03858318 -1.477209 2.973324 -1.613570 0.504853 -0.61354119 -1.164757 2.453886 -0.655800 0.237617 -0.63584420 -0.972018 2.131634 -0.652111 0.472546 -0.31773721 -0.659692 1.624586 -0.663784 0.321290 -0.26372822 -0.448843 1.404951 -0.364221 0.228107 -0.22033523 -0.293910 1.140143 -0.458048 0.225666 -0.13506324 -0.161897 0.943787 -0.354188 0.101198 -0.137036

Cholesky Ordering: DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF

125

-2

-1

0

1

2

3

4

5

6

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Response of DCFLOW to CholeskyOne S.D. DRDIFF Innovation

-20

-10

0

10

20

30

40

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Response of DKURS to CholeskyOne S.D. DCFLOW Innovation

-150

-100

-50

0

50

100

150

200

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Response of DEXNETT to CholeskyOne S.D. DKURS Innovation

-40

-20

0

20

40

60

80

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

Response of DKURS to CholeskyOne S.D. DBIRATE Innovation

Lampiran 10.1 Impulse Response Function (Grafik)

Lampiran 11. Variance Decomposition (Tabel)

Period S.E. DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF

1 0.001272 0.086835 0.054250 99.85892 0.000000 0.0000002 0.001420 0.113436 0.694416 96.58499 2.577101 0.0300533 0.001579 0.331480 0.703745 93.14397 3.869954 1.9508534 0.001731 0.326661 0.977102 91.05114 4.678789 2.9663075 0.001787 0.349431 1.327615 90.86842 4.565896 2.8886376 0.001819 0.398890 1.415807 90.26889 4.845983 3.0704317 0.001850 0.417835 1.442875 90.09744 4.910889 3.1309618 0.001865 0.454506 1.462082 90.04148 4.915217 3.1267179 0.001874 0.460096 1.495170 89.98393 4.927602 3.13320310 0.001880 0.463772 1.499194 89.97829 4.925728 3.13301111 0.001885 0.467515 1.500726 89.96107 4.935084 3.13560812 0.001888 0.467542 1.508936 89.95261 4.934916 3.135998

Cholesky Ordering: DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF

126

Lampiran 11.2 Variance Decomposition (Grafik)

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

DBIRATE DCFLOW DEXNETTDKURS DRDIFF

Variance Decomposition of DEXNETT