TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG...
Transcript of TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG...
TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA
YANG BELUM MEMPUNYAI KEPUTUSAN HUKUM
DARI PERCERAIAN PERTAMA
(Studi Analisis Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.)
Oleh :
AHMAD NURDIYANSHAH
NIM. 1113043000038
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
Ahmad Nurdiyanshah. NIM 1113043000038. TINDAK PIDANA TERHADAP
PERKAWINAN YANG BELUM MEMPUNYAI KEPUTUSAN HUKUM DARI
PERCERAIAN PERTAMA (STUDI ANALISIS PUTUSAN NO.
729/PID.B/2014/PN.TNG). Program Studi Perbandingan Madzhab, Konsentrasi
Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan tindak pidana terhadap
perkawinan yang belum mempunyai keputusan hukum dari perceraian pertama,
masalah perkawinan yang terhalang oleh perkawinan-perkawinan sebelumnya,
status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif,
pemidanaan dalam kasus perdata, pertimbangan putusan hakim dalam tindak
pidana perkawinan, bentuk pertanggungjawaban pidana, prinsip kesetaraan dan
keadilan gender dalam perceraian dan keabsahan perkawinan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap
peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka
(library research), dokumentasi dan wawancara (interview). Studi pustaka,
dokumentasi dan wawancara dalam penelitian ini dilakukan guna mengeksplorasi
teori-teori, peraturan perundang-undangan, buku-buku, kitab-kitab fikih dan
pemahaman yang terkait dengan tema penelitian penulis yaitu tindak pidana
terhadap perkawinan kedua yang belum mempunyai keputusan hukum dari
perceraian pertama (studi analisis putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG).
Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk pertanggungjawaban pidana
bagi pelaku tindak pidana perkawinan dalam hukum Islam menurut penulis adalah
termasuk kedalam sanksi jarimah ta'zir dan menurut hukum positif
pertanggungjawaban bagi pelaku dijatuhkan dengan pidana penjara. Kemudian
perkawinan baru terdakwa dapat dinyatakan fasakh karena adanya penghalang
yang sah dan adanya indikasi pemalsuan identitas.
Kata kunci : Tindak Pidana, Perkawinan, Perceraian, Diluar
Pengadilan, Penghalang Perkawinan, Pertimbangan
Hakim, Gender, Kesetaraan Gender.
Pembimbing : 1. Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., M.H.
2. Sri Hidayati, M. Ag.
Daftar Pustaka : 1958 s.d. 2019
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan rasa syukur yang mendalam penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT. Karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik. Salam cinta dan mahabbah selalu tercurahkan
pada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Selanjutnya penulis ingin sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik berupa
dorongan moril maupun materiil. Penulis yakin jika tanpa bantuan dan dukungan
tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Oleh karena itu, penulis secara khusus ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Bapak Hidayatulloh, M.H. selaku Sekretaris
Program Studi Perbandingan Madzhab.
3. Bapak Dr. H. Abdul Halim M.Ag., selaku Dosen Penasehat Akademik
Penulis.
4. Bapak Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., M.H. dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag.
selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu sabar dan istiqomah dalam
membimbing penulis serta memberikan nasihat-nasihat hingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Dr. K.H. A. Juaini Syukri, Lc., MA dan Ibu Ria Safitri, M. Hum.
selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan
ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan ‘Ilmu dan
vii
Akhlaq yang tidak ternilai harganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Kedua orang tua tercinta Ayah dan Mamah serta kakak dan adik, yang telah
mencintai penulis dengan segenap jiwa dan raga, baik doa maupun dukungan
sehingga dengan ridha mereka penulis mampu berada pada titik seperti saat
ini.
9. Keluarga Besar Pondok Pesantren Tarbiyatul Mubtadiin, yang telah
memberikan nasehat-nasehat moral terkait ibadah dan kehidupan sehingga
penulis mampu menghadapi lika-liku kehidupan dengan tegar dan ikhlas.
10. Keluarga Besar PMH angkatan 2013 yang telah menemani serta memberi
dukungan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
11. Sahabat-sahabat tercinta khususnya kepada teman-teman satu atap dimana
selalu memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi secepatnya.
Khususnya kepada Rasid Aryandi, Muhammad Haikal, Ariq Laode, Fariz
Rifaldi, Lana Fuadi, Nabila Salsabila, Muhammad Kosasih, Ndah Oktaviani,
Wawan Setiawan, Safina Mutiara dkk. Sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini dengan baik.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan
balasan yang berlimpah atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Amin.
Jakarta, 10 Mei 2019
Ahmad Nurdiyanshah
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 7
C. Pembatasan Masalah ............................................................................ 7
D. Rumusan Masalah ................................................................................ 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 8
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu................................................... 9
G. Metode Penelitian................................................................................. 10
H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 12
BAB II. TINDAK PIDANA TERHADAP ASAL USUL PERKAWINAN
........................................................................................................... 14
A. Pemidanaan Dalam Asal Usul Perkawinan .......................................... 14
1. Hakikat Perkawinan ....................................................................... 14
2. Pengertian Tindak Pidana .............................................................. 18
3. Teori Pemidanaan........................................................................... 25
4. Unsur-Unsur Tindak Pidana ........................................................... 30
5. Tindak Pidana dalam Kasus Perdata .............................................. 33
6. Unsur Tindak Pidana Perkawinan dalam Pasal 279 KUHP ........... 39
B. Teori Gender atau Aliran Feminisme ................................................... 41
ix
C. Konsep Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Islam ...................... 50
1. Pengertian Sex dan Gender dalam Islam ....................................... 51
2. Kesetaraan Gender dalam Al-Qur'an ............................................. 52
3. Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perkawinan .................... 56
D. Landasan Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam ........................ 58
BAB III. TINDAK PIDANA PERKARA PERKAWINAN PUTUSAN
NO.729/Pid.B/2014/PN.TNG ........................................................ 61
A. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Perkara Putusan No.
729/Pid.B/2014/PN.TNG ..................................................................... 61
1. Kronologi Perkara .......................................................................... 61
2. Dakwaan ......................................................................................... 62
3. Tuntutan Penuntut Umum (Requisitoir) ........................................ 62
4. Amar Putusan ................................................................................. 63
B. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Putusan No.
729/Pid.B/2014/PN.TNG ..................................................................... 64
1. Pembuktian Pasal yang Didakwakan ............................................. 64
2. Hal-Hal yang Memberatkan dan Meringankan .............................. 65
BAB IV. ANALISIS KOMPARATIF PUTUSAN NO. 729/Pid.B/2014/
PN.TNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, HUKUM
POSITIF DAN GENDER .............................................................. 67
A. Tinjauan Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG tentang Tindak
Pidana Terhadap Asal Usul Perkawinan dalam Perspektif
Hukum Pidana Islam ............................................................................ 67
B. Tinjauan Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG tentang Tindak
Pidana Terhadap Asal Usul Perkawinan dalam Perspektif
Hukum Positif ...................................................................................... 77
C. Analisis Penulis Tentang Korelasi Equality dan Equity Gender dalam
Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG ................................................ 85
D. Analisis Komparatif ............................................................................. 89
x
BAB V. PENUTUP ......................................................................................... 94
A. Kesimpulan .......................................................................................... 94
B. Saran-saran ........................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 98
LAMPIRAN .................................................................................................... 106
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara
Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
xii
koma terbalik di atas hadap kanan ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Qo ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ه
Apostrop ء
y Ya ي
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ــــــَــــ
I Kasrah ــــــِــــ
U Dammah ــــــُــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي_َ__ Ai a dan i
و_َ__ Au a dan u
xiii
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi diatas ـــــَا
î i dengan topi atas ـــــِى
û u dengan topi diatas ــــُـو
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf
alif dan lam( ال ), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:
الإجثهاد = al-ijtihâd
الرخصة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah = الشفعة
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh
1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
xiv
No. Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شزيعة .1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشزيعة الإسلامية .2
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب .3
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun
dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan
bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
kata sandangnya. Misalnya, البخاري = al-Bukhâri, tidak ditulis Al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf),
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No. Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح المحظورات .1
al-iqtisâd al-islâmî الإقتصاد الإسلامي .2
usûl al-fiqh أصول الفقه .3
al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah الأصل في الأشياء الإباحة .4
al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة .5
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan1 adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
membentuk keluarga yang kekal, santun menyantun, kasih mengasihi,
tenteram, dan bahagia.2
Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah untuk
menjamin adanya kepastian hukum terhadap kelangsungan hidup berumah
tangga, maka pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang perkawinan
yang berlaku secara unifikasi atau secara nasionalisme yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Baik pelaksanaan perkawinan
maupun putusnya perkawinan itu harus didasarkan kepada Undang-Undang
tersebut.3
Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip sejauh mungkin
menghindari dan mempersukar terjadinya perceraian, perceraian hanya dapat
dilakukan apabila cukup alasan bahwa antara suami isteri tersebut tidak ada
kemungkinan untuk hidup rukun sebagai suami isteri, dengan demikian
perceraian hanyalah merupakan suatu pengecualian saja dari suatu perkawinan
yang sudah tidak mungkin dipertahankan lagi.4
1 Pasal 1 ayat 1 Undang_Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2 Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), h.,
3.
3 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h., 6.
4 Soedharyo Soemin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.,
63.
2
Perkawinan dapat diputuskan tanpa melalui pengadilan atau diluar
pengadilan. Akan tetapi setelah keluarnya Undang-Undang Perkawinan, hal
yang demikian tidak dibenarkan lagi. Sebab dalam Undang-Undang
Perkawinan, setiap perceraian harus melalui pengadilan sebagaimana diatur
dalam:
1. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan5
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan
kedua belah pihak”.
2. Pasal 65 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak”.
3. Pasal 115 Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”.
Meskipun secara hukum Islam perceraian sah dilakukan diluar
Pengadilan, namun akan lebih baik jika dilakukan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Perceraian yang dilakukan
didepan sidangpengadilan mempunyai pengaruh dan dampak positif
diantaranya tidak mudahnya perceraian dapat mengurangi tingkat perceraian
yang terjadi di masyarakat, dan hakim yang mengadili perceraian dapat
mengatur masalah nafkah bagi istri dan anak pasca perceraian, termasuk hak
asuh anak.6
Perceraian yang dilakukan diluar Pengadilan sangat merugikan pihak
perempuan, karena perceraian dengan mantan suaminya tersebut tidak dapat
memberikan kepastian hukum terhadap perempuan itu sendiri dan anak-
5 Vivi Hayati, “Dampak Yuridis Perceraian Diluar Pengadilan (Penelitian di Kota
Langsa)”, Samudra Keadilan, X, 2 (Juli-Desember, 2015), h., 215.
6 Ibid, h., 224.
3
anaknya. Hak-haknya perempuan dan anak yang ditinggalkan pun tidak
terjamin secara hukum dan bagi laki-laki yang menikahi perempuan yang
diceraikan diluar Pengadilan. Oleh karena itu, perlu adanya campur tangan
pemerintah yang sepenuhnya diserahkan kepada Pengadilan guna mencegah
hal-hal yang tidak diinginkan. Status tidak sah bagi perkawinan baru yang
dilakukan pasca perceraian diluar pengadilan juga berlaku bagi pihak isteri,
status tidak sah tersebut tidak lain karena pihak isteri secara tidak langsung
telah melangsungkan model poliandri (satu isteri dengan suami lebih dari satu
orang) karena masih adanya ikatan perkawinan yang sah dengan suaminya
terdahulu dalam konteks KHI. Poliandri sendiri merupakan bentuk perkawinan
yang dilarang dalam ajaran Islam.7
Begitupun akan menjadi sulit bagi pihak suami untuk melakukan
perkawinan selanjutnya, karena tidak mempunyai surat cerai yang mempunyai
kekuatan hukum, sehingga apabila ingin melakukan perkawinan selanjutnya
akan mengalami kesulitan, karena calon suami harus menunjukan akta
perceraian sebagai bukti otentik sebagai salah satu syarat untuk
melangsungkan perkawinan selanjutnya.8
Apabila pihak suami melakukan perkawinan baru pasca perceraian
diluar pengadilan, maka status perkawinannya dinyatakan tidak sah karena
didalam Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1974 telah diatur bahwa: “Barang siapa
karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan
yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-undang ini ”. dan telah melanggar Pasal 279 ayat (1)KUHP
yang berbunyi: “Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui
7 Titik Triwulan Tutik, “Poligami Perspektif Perikatan Nikah Telaah Kontekstual
Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974”, (Jakarta:
Prestasi Pustakarya, 2007), h., 55-57.
8 Dedi Winoto, “Kajian Terhadap Perceraian Yang Dilakukan Diluar Sidang
Pengadilan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Di
Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten Seluma)”, (Bengkulu: skripsi Universitas
Bengkulu, 2014), h., 73, t.d.
4
bahwa perkawinan atau perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang
yang sah untuk itu”, jugatidak terpenuhinya syarat dan prosedur poligami
yang telah ditentukan dalam KHI, dimana poligami ini menjadi dasar untuk
menentukan status perkawinan baru yang dilakukan oleh pihak suami pasca
perceraian diluar pengadilan (ilegal). Tetapi perkawinan baru yang dilakukan
pihak suami pasca perceraian ilegal tidak dapat disebut poligami karena pihak
suami telah memutuskan hubungan – baik lahir maupun batin – dengan isteri
yang lama (yang diceraikan diluar pengadilan).9
Selain itu praktek perceraian diluar pengadilan banyak diwarnai oleh
pelanggaran hak perempuan, antara lain suami menceraikan tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan dan setelah bercerai suami tidak melaksanakan
kewajibannya sebagai bekas suami, misalnya memberikan nafkah selama
masa iddah, memberikan kompensasi, melunasi hutang maskawin dan
memberikan hak bekas isteri atas harta bersama.10
Sebaliknya, isteri yang
bermaksud cerai dari suaminya harus mengalami berbagai kesulitan yang
cukup berat, sehingga seringkali terjadi ada orang yang secara hukum masih
berstatus sebagai isteri tetapi pada kenyataannya tidak lagi mendapatkan hak
sekaligus tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana layaknya seorang
isteri.11
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan kaum wanita boleh berlega sedikit hati sebab peraturan perceraian
ini adalah salah satu usaha untuk melindungi kesewenang-wenangan dari
9 Fifin Niya Pusyakhois, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Cerai Diluar Pengadilan
Agama dan Implikasinya pada Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten
Kendal”, (Semarang: skripsi Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2010), h., 74-
75, t.d.
10 Anshari MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, Masalah-Masalah Krusial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h., 83.
11 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia, (Jakarta: SInar Grafika, 2008), h., 400.
5
kaum pria.12
Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
salah satu tujuannya adalah untuk mengembalikan harkat dan derajat kaum
perempuan Indonesia. Dimana salah satu prinsip azasnya adalah menempatkan
kedudukan yang seimbang antara laki-laki (suami) dan perempuan (isteri) baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami dan istrinya. Hal tersebut berbeda dengan kedudukan
kaum perempuan (isteri) dalam KUHPerdata, dimana seorang isteri tidak
dapat tampil didepan pengadilan tanpa bantuan suaminya, meskipun dia kawin
tidak dengan harta bersama atau dengan harta terpisah, atau meskipun dia
secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas.13
Dengan demikian salah satu azas Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan adalah “pro-gender” (berpihak kepada kepentingan kaum
perempuan) daripada peraturan-peraturan perkawinan dalam KUHPerdata
yang terlalu “bias-gender” (berpihak kepada kepentingan kaum laki-laki).
Namun demikian dalam proses peradilannya yang diatur dalam PP Nomor 9
Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, ternyata hukum acara yang mengatur tata cara mengadili
masalah-masalah perkawinan masih mengandung “bias-gender”. Karena, jika
seorang suami akan mengajukan permohonan cerai talak, maka permohonan
tersebut harus diajukan di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggalnya, sedangkan jika seorang isteri akan mengajukan gugat cerai kepada
suaminya, maka surat gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal tergugat (suaminya), kecuali suaminya dalam
keadaan ghoib.14
12
Happy Marpaung, Masalah Perceraian, (Bandung: Tonis, 1983), Cet Ke 1, h., 60.
13 Ahmad Choiri “Stereotip Gender dan Keadilan Gender Terhadap Perempuan
sebagai Pihak dalam Kasus Perceraian” (Semarang: WKPTA), h., 10.
14 Ibid, h., 11.
6
Namun dalam kenyataannya masih ditemukan terjadinya perceraian
tanpa melalui proses pengadilan. Keadaan yang demikian tentunya terjadi
persepsi yang berbeda antara hukum agama dengan Undang-Undang
Perkawinan, terutama bagi mereka yang beragama Islam.15
Seperti pada kasus berikut, seorang suami melakukan tindak pidana
terhadap perkawinan yang diatur dalam Pasal 279 ayat 1 KUHP, karena
melakukan perkawinan yang kedua pasca perceraian diluar pengadilan dengan
isteri pertamanya, dan telah diterbitkan surat keterangan telah menikah. Hal
tersebut tidak lain karena keyakinannya bahwa perceraian yang ia lakukan
adalah benar secara agama dan dianggap perceraian yang sah. Tetapi jika
ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI maka perceraian
mereka tidaklah sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Disamping
itu setelah terjadinya perceraian si isteri tidak mendapatkan haknya, seperti
nafkah selama masa iddah, tempat untuk tinggal, pakaian dan pangan, dan ia
(suami) tidak memberi nafkah secara teratur dan dalam jumlahnya yang tetap
kepada anaknya.
Kemudian beranjak dari hal perkawinan diatas, terdapat indikasi
tentang masalah keabsahan hukum perkawinan yang kedua setelah perceraian
diluar pengadilan. Perkawinan yang dilaksanakan diatas pernikahan yang sah
sebelumnya baik dalam sudut perspektif Hukum Positif (perdata) dan
perspektif Hukum Islam
Peristiwa yang terjadi pada kasus ini merupakan salah satu masalah
hukum yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal inilah yang mendasari
penulis untuk melakukan sebuah penelusuran secara ilmiah terkait dengan
fenomena yang terjadi tersebut. Berdasarkan permasalahan diatas, maka
penulis tertarik untuk memilih judul tentang “Tindak Pidana Terhadap
Perkawinan Kedua Yang Belum Mempunyai Keputusan Hukum Dari
15
Vivi Hayati, “Dampak Yuridis Perceraian Diluar Pengadilan”, h., 217.
7
Perceraian Pertama (Studi Analisis Putusan No.
729/Pid.B/2014/PN.TNG)”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang dikemukakan diatas, penulis dapat
mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Perceraian diluar Pengadilan.
2. Tindak Pidana terhadap Perkawinan.
3. Perlindungan hukum bagi perempuan dalam perceraian
4. Keabsahan Perkawinan
5. Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang sanksi hukum tindak
Pidana terhadap Perkawinan.
C. Pembatasan Masalah
Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Pengadilan Negeri
Tangerang sebagai objek penelitian. Mengingat banyaknya perkara yang
diputus oleh Pengadilan Negeri tersebut, maka penulis melakukan pembatasan
yakni hanya pada putusan mengenai tindak pidana terhadap asal-usul
perkawinan dengan perkara No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG.
Sehubungan dengan beraneka ragamnya kasus tindak pidana terhadap
asal-usul perkawinan, maka dalam skripsi ini penulis membatasi hanya pada
kasus diatas yang difokuskan pada tindak pidana dalam perkawinan karena
telah melanggar KUHP.
Dari pembahasan masalah diatas, rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis
menarik rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana bagi yang melakukan
tindak pidana perkawinan menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum
Positif?
8
2. Bagaimana keabsahan perkawinan kedua terdakwa menurut Hukum Islam
dan Hukum Positif?
3. Bagaimana bentuk kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan dalam
perceraian?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Untuk mengetahui ketentuan hukum tindak pidana terhadap
perkawinan.
b. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi perempuan dalam
perceraian.
c. Untuk mengetahui tentang tindak pidana terhadap perkawinan
perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.
2. Adapun manfaat penulisan dalam melaksanakan penulisan ini adalah:
a. Memberikan wawasan khususnya kepada penulis dan khususnya
kepada mahasiswa lain mengenai penerapan hukum pidana terhadap
tindak pidana perkawinan.
b. Sebagai bahan pengetahuan masyarakat tentang pelaksanaan
perceraian dan dapat dijadikan pertimbangan dalam melaksanaan
perceraian.
c. Memberikan informasi dalam perkembangan ilmu hukum pada
umumnya yang berkaitan dengan masalah didalam penelitian.
d. Sebagai literatur tambahan bagi yang berminat untuk meneliti lebih
lanjut tentang masalah yang dibahas di dalam penelitian ini.
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
No. Nama
Penulis/Judul/Tahun Substansi Pembeda
1. Muhammad Salman
Farisi/Kedudukan Hukum
Pengucapan Ikrar Thalaq
Skripsi ini
menjelaskan
pengucapan ikrar
Skripsi yang
penulis bahas
menitik beratkan
9
di Luar Pengadilan
Agama (Studi Kasus di
Pengadilan Agama
Jakarta Timur)/Fakultas
Syariah dan Hukum/2004
thalaq di luar sidang
pengadilan itu sah
menurut hukum Islam
selama tidak
bertentangan dengan
syari’at Islam, tetapi
tidak mempunyai
hukum tetap
pada akibat
perceraian diluar
pengadilan
terhadap hak-hak
perempuan, dan
anak yang
ditinggalkan juga
status perkawinan
baru setelah
perceraian diluar
pengadilan
2. Salamul Huda/Analisis
Hukum Pidana Islam
Terhadap Sanksi Hukum
Tentang Kejahatan
Terhadap Asal-Usul
Pernikahan Menurut
Pasal 279 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana
(KUHP)/Universitas
Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya/Fakultas
Syariah dan Hukum/2016
Skripsi ini membahas
tindak pidana
perkawinan yang
menitikberatkan
terhadap pandangan
pidana Islam terikat
tindak pidana dalam
hukum positif.
Skripsi yang
penulis bahas tidak
menitiberatkan
pada satu
pandangan hukum
saja, tetapi
mengkomparatifkan
antara hukum Islam
dan hukum positif
dan melibatkan
tema tentang
perspektif gender.
G. Metode Penelitian
Guna mendapatkan data dan pengolahan data yang diperlukan dalam
kerangka penyusunan penulisan penelitian ini, penyusun menggunakan
metode penelitian sebagai berikut:
10
1. Pendekatan Penelitian
Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis
normatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Menurut
Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran
terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.16
Sedangkan metode deksriptif analisis yaitu
metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan
dilapangan.17
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam mengolah dan
menganalisa data adalah penelitian kualitatif. Penulis menggunakan
metode kualitatif dengan cara menganalisa dengan menggunakan
penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi rasional.18
Dalam
hal ini objeknya ialah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dan sebuah putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG.
3. Sumber Data
Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber
penelitian yang berupa data primer, data sekunder, dan data tersier.19
Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h., 13-14.
17 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet, ke-2,
(Jakarta: Bayu Media Publishing, 2006),
18 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta:PUAJ, 2007), h.,
29.
19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian HUkum, (Jakarta: Kencana Prenada media
Group, 2008), h., 141.
11
Data primer yang penulis pergunakan dalam penulisan hukum
ini adalah:
1) Al-Qur’an dan Al-Hadits
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
4) Kompilasi Hukum Islam
5) Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari hasil-hasil kajian hukum terhadap
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) terhadap putusan hakim Pengadilan
Negeri Tangerang dalam perkara No.729/Pid.B/2014/PN.TNG.
c. Data Tersier
Data tersier yang penulis pergunakan dalam hasil penulisan
penelitian ini meliputi:
1) Kamus Hukum.
2) Media Internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang diambil oleh penulis dalam
penulisan penelitian ini adalah
a. Teknik studi kepustakaan, yaitu: Teknik pengumpulan data dengan
mempelajari, membaca, dan mencatat buku-buku, literatur, catatan-
catatan, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel penting
dari media internet dan erat kaitannya dengan pokok-pokok masalah
yang digunakan untuk menyusun penulisan penelitian ini yang
kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokan yang tepat.
b. Teknik dokumentasi, yaitu: Teknik yang digunakan untuk memperoleh
data dan informasi dalam bentuk buku, arsip, dokumen, tulisan dan
gambar yang berupa laporan serta keterangan yang dapat mendukung
penelitian. Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data
12
kemudian ditelaah. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi Al-Qur'an dan Hadits, KUHP, Undang-Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, KHI dan Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG.
5. Teknik Analisis Data
Setelah semua data terkumpul, dalam penulisan data yang
diperoleh baik data primer, data sekunder, maupun data tersier maka data
tersebut diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan
menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus serta
menafsirkan data berdasarkan teori sekaligus menjawab permasalahan
dalam penulisan ini.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika
penulisan pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata
pengantar, daftar isi, dan dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan
kesimpulan dan saran. Untuk lebih jelasnya pembagian bab-bab sebagai
berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab II membahas tentang Tindak Pidana Terhadap Asal Usul
Perkawinan yang terdiri dari, Hakikat Perkawinan, Pengertian Tindak Pidana,
Teori Pemidanaan, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Tindak Pidana dalam Kasus
Perdata, dan Unsur Tindak Pidana Perkawinan dalam Pasal 279 KUHP.
Kedua, Teori Gender atau Aliran Feminisme. Ketiga, Konsep Kesetaraan dan
Keadilan Gender yang terdiri dari Pengertian Sex dan Gender dalam Islam,
Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Quran, Kesetaraan dan Keadilan
Gender dalam Perkawinan. Keempat, Kesetaraan Gender sebagai Landasan
Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam.
13
Bab III merupakan Deskripsi Dakwaan dan Putusan Perkara No.
729/Pid.B/2014/PN.TNG. Menjelaskan mengenai Penerapan Hukum Pidana
Terhadap Perkara Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG yang terdiri dari,
Deskripsi Kasus Perkara No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG, Dakwaan, Tuntutan
Penuntut Umum (Requesitoir) dan Amar Putusan. Kedua, Pertimbangan
Hakim dalam Memutuskan Perkara Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG,
yang terdiri dari Pembuktian Pasal Yang Didakwakan dan Hal-hal Yang
Memberatkan Dan Meringankan.
Bab IV membahas tentang Analisis Komparatif Putusan No.
729/Pid.B/2014/PN.TNG dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Positif dan
Gender. Menjelaskan mengenai Tinjauan Putusan No.
729/Pid.B/2014/PN.TNG Tentang Tindak Pidana Terhadap Asal Usul
Perkawinan dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Tinjauan Putusan No.
729/Pid.B/2014/PN.TNG tentang Tindak Pidana Terhadap Asal Usul
Perkawinan dalam Perspektif Hukum Pidana Positif, Analisis Penulis Tentang
Korelasi Equality dan Equity Gender dalam Putusan No.
729/Pid.B/2014/PN.TNG dan Analisis Komparatif.
Bab V merupakan bab Penutup dalam skripsi ini yang berisi
kesimpulan serta saran-saran. Dalam bab penutup ini penulis menyimpulkan
semua yang telah dibahas dalam skripsi ini.
14
BAB II
TINDAK PIDANA TERHADAP ASAL USUL PERKAWINAN
A. Pemidanaan dalam Asal Usul Perkawinan
1. Hakikat Perkawinan
a. Makna dan Tujuan Perkawinan
Perkawinan1 adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, dan kokoh
untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih
mengasihi, tenteram dan bahagia.2 Sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai oleh pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum
terhadap kelangsungan hidup berumah tangga, maka pemerintah telah
mengeluarkan peraturan-peraturan tentang perkawinan yang berlaku
secara unifikasi atau secara nasionalisme yaitu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan).3 Baik
pelaksanaan perkawinan maupun putusnya perkawinan itu harus
didasarkan kepada Undang-Undang tersebut. Oleh sebab itu, untuk sahnya
suatu perceraian dapat terwujud atau tercapai dengan baik.
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan
hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan dengan laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar
cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh
1 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
2 Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, (Bandung, Mandar Maju: 1997), h.3
3 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h., 6.
15
syari'ah. Rumusan tujuan perkawinan tersebut dapat diperinci sebagai
berikut: a) menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi hajat tabiat
kemanusiaan; b) mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta dan kasih;
c) memperoleh keturunan yang sah.4
Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip sejauh mungkin
menghindari dan mempersukar terjadinya perceraian, perceraian hanya
dapat dilakukan apabila cukup alasan bahwa antara suami isteri tersebut
tidak ada kemungkinan untuk hidup rukun sebagai suami isteri, dengan
demikian perceraian hanyalah merupakan suatu pengecualian saja dari
suatu perkawinan yang sudah tidak mungkin dipertahankan lagi.5
b. Keabsahan Perkawinan
Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat
penting karena berkaitan dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang
menyangkut dengan anak (keturunan), maupun yang berkaitan dengan
harta. Kriteria keabsahan suatu perkawinan telah dirumuskan dalam Pasal
2 Undang-Undang Perkawinan. sebagai berikut:
1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu;
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangannya berlaku.6
Pasal 2 Undan-Undang Perkawinan tersebut menetapkan 2 (dua)
garis hukum yang harus dipatuhi dalam melaksanakan suatu perkawinan.
Ayat (1) mengatur secara jelas tentang keabsahan suatu perkawinan adalah
bila perkawinan itu dilakukan menurut ketentutan agama dari mereka yang
melangsungkan perkawinan tersebut. Ketentuan agama untuk sahnya suatu
4 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 2005), h., 73.
5 Soedharyo Soemin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika: 2002), h.,
63.
16
perkawinan bagi umat Islam dimaksud adalah yang berkaitan dengan
syarat dan rukun nikah.
Ayat (2) mengatur masalah pencatatan perkawinan, bahwa suatu
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Mengenai tujuan pencatatan ini, dalam Undang-Undang
Perkawinan tidak dijelaskan lebih lanjut. Hanya didalam penjelasan umum
dikatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya
dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-
surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan tidak menentukan sah
atau tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa
perkawinan benar-benar terjadi. Pencatatan ini semata-mata bersifat
administratif, yang menjadi bukti otentik telah dilangsungkannya suatu
perkawinan.7
c. Perceraian
"Putusnya Perkawinan" adalah istilah hukum yang digunakan
dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan "perceraian" atau berakhirnya
hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang
selama ini hidup sebagai suami isteri.8
Perceraian berasal dari Bahasa Arab yaitu Thalaq yang berarti
membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau tawanan
ataupun ikatan ma'nawi seperti ikatan pernikahan. Sedangkaan thalaq
menurut istilah adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu. Secara spesifik
7 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), h., 139.
8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawina Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006) h., 189.
17
menurut syara, thalaq adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri
tali pernikahan suami isteri.9
Dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan diterangkan bahwa
perkawinan dapat putus karena:
1) Kematian;
2) Perceraian; dan
3) Putusan Pengadilan
Dalam kalimat tersebut Nampak jelas bahwa putusnya perkawinan
karena perceraian adalah berbeda dengan putusnya perkawinan karena/atas
putusan pengadilan. Mengenai putusnya perkawinan karena kematian
adalah jelas karena tidak perlu dijelaskan lagi.
Dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan diterangkan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan. Kalimat itu
cukup gamplang, yaitu "di depan sidang pengadilan" dan tidak "dengan
putusan pengadilan" pasal ini dimaksud untuk mengatur talak pada
perkawinan agama Islam.
Perceraian dalam Islam memang dibolehkan kalau rumah tangga
yang didirikan sulit dirajut kembali, tetapi menjatuhkan talak mempunyai
muatan hukum yang berbeda-beda. Hukum perceraian adalah:10
1) Wajib
Sebuah rumah tangga yang selalu ribut dan terjadi pertengkaran
(syiqaq) yang sangat memuncak antara suami dan isteri, serta sudah
diusahakan intervensi pihak ketiga yang berfungsi sebagai
pendamaian. Namun usaha ini tidak membawa hasil maka sudah
seharusnya talak itu dijatuhkan.
2) Sunnah
9 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Cet. Ke-1, (Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1987), h., 94.
10 Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam Perum Griya Suryo, 2004), h., 232.
18
Seorang isteri yang kurang menjaga kehormatannya seperti
mudah mengundang kecemburuan suaminya, bergaul terlalu dekat
dengan orang lain dan sebagainya, dan setelah diberikan peringatan
oleh suaminya tentang perilaku dan sikapnya itu agar dihentikan tetapi
dia tetap tidak menghiraukan, maka sebaiknya (sunnah) talak itu
dijatuhkan.
3) Mubah
Hubungan rumah tangga antara suami dan isterinya cenderung
tertutup, pergaulah seharinya-harinya kurang harmonis, ada
ketidakcocokan dan sebagainya, maka suasana rumah tangga semacam
ini dibolehkan terjadi perceraian.
4) Haram
Seorang isteri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci
dan hari-hari yang dilalui antara suami dan isterinya biasa mengadakan
hubungan badan, tahu-tahu suaminya mau menjatuhkan talak.
5) Makruh
Sebuah rumah tangga yang berjalan sebagaimana biasanya dan
tidak terjadi badai sedikitpun yang dianggap bisa meretakkan
keharmonisan rumah tangganya yang didirikan, maka menjatuhkan
talak pada suasana semacam ini hukumnya makruh.
2. Pengertian Tindak Pidana
a. Tindak Pidana menurut Hukum Islam
Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah
jinayah atau jarimah. Jinayah merupakan bentuk masdar dari kata jana.
Hukum pidana atau fiqh jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang
oleh syara‟ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan,
dan akal (intelegensi). Sebagian dari fuqaha’ menggunakan kata jinayah
untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti
19
membunuh, melukai, menggugurkan kandungan dan lain sebagainya.
Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama dengan hukum pidana.11
Pengertian jarimah juga dikemukakan oleh Ahmad Wardi Muslich
yang mengatakan bahwa, jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau
ta,zir.12
Sedangkan menurut Ahmad Hanafi, yang dimaksud dengan kata
jarimah ialah larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan
hukuman had. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.
Menerangkan juga bahwa suatu perbuatan dipandang jarimah apabila
perbuatan tersebut bisa merugikan tata aturan yang ada dalam masyarakat
atau kepercayaannya, merugikan kehidupan anggota masyarakat atau
bendanya, atau merugikan nama baiknya atau perasaannya atau
pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara.13
Suatu perbuatan dianggap sebagai jarimah karena perbuatan
tersebut merugikan kepada tata aturan masyarakat, kepercayaan dan
agamanya, harta benda, nama baiknya, serta pada umumnya merugikan
kepentingan dan ketentraman masyarakat. Jadi suatu perbuatan dianggap
jarimah jika dampak dari perilaku tersebut menyebabkan kerugian kepada
pihak lain, baik dalam bentuk material maupun non-materi atau gangguan
non-fisik, seperti ketenangan, ketentraman, harga diri, adat istiadat dan
sebagainya.14
Tanpa acaman sanksi hukum, pelanggaran selamanya akan menjadi
preseden buruk pada kemudian hari. Pelaku kejahatan akan bercermin
11
Mahkrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, (Sleman: Logung Pustaka,
2004), h., 2.
12 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-asas Hukum Pidana Islam Fiqih
Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h., 9.
13 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
Cet. Ke-5, h., 1.
14 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h., 17.
20
kepada pelaku kejahatan yang sama yang lolos dari sanksi. Apalagi jika
kembali pada pandangan bahwa manusia cenderung berbuat demi
keuntungan diri sendiri, ketiadaan sanksi yang jelas dapat mengundang
seorang melakukan kejahatan tanpa ada rasa takut dan menyesal.15
Pada umumnya para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek
berat dan rintangan hukum serta ditegaskan atau tidak oleh Al-Qur‟an atau
Al-Hadits. Atas dasar ini, mereka membagi menjadi tiga macam:16
1) Jarimah Hudud
Jarimah hudud yaitu perbuatan melanggar hukum dan jenis
ancaman hukumannya ditentukan oleh nash, yaitu hukuman had.
Hukuman had yang dimaksudkan tidak mempunyai batas terendah dan
tertinggi dan tidak dihapuskan oleh perorangan (si korban atau
wakilnya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).17
Ciri khas jarimah hudud itu aadalah sebagai berikut:
a) Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya
ditentutkan oleh syara‟ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
b) Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau
ada hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih
menonjol.18
Karena beratnya sanksi yang akan diterima terhukum terbukti
bersalah melakukan jarimah, maka penetapan asas legalitas bagi
pelaku jarimah harus berhati-hati, ketat dalam penerapannya.19
Meliputi: perjinahan, qadzaf (menuduh berzina), minum khamr,
15
Mustofa Hasan dan Beni Ahmadi Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah,
(Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2013), h., 34.
16 Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h., 3.
17 Mahkrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, h., 18.
18 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-asas Hukum Pidana Islam Fiqih
Jinayah, h., 18.
19 Rahman Hakim, Hukum Pidana Islam, h., 29.
21
(meminum-minuman keras), pencurian, perampokan, pemberontakan,
dan murtad.20
2) Jarimah Qisas atau Diyat
Maksud dari jarimah qishash atau diyat ialah merupakan
perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman qishash atau
hukuman diyat. Baik qishash maupun diyat adalah hukuman-hukuman
yang telah ditentutkan batasnya, dan tidak mempunyai batas terendah
ataupun tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian
bahwa si korban bisa merugikan si pembuat, dan apabila dimaafkan
maka hukuman tersebut menjadi hapus.21
Menurut arti, qishash adalah akibat yang sama yang dikenakan
kepada orang yang dengan sengaja menghilangkan jiwa atau melukai
atau menghilangkan anggota badan orang lain.22
Firman Allah
menjelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 178-179
)٨٧١-٨٧١ : ةلبقرا(
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
20
Djazuli, Fiqh Jinayah, h., 11.
21 Mahkrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, h., 12.
22 Rahman Hakim, Hukum Pidana Islam, h., 29.
22
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula), yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih.(178) Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”.(179)
(QS. Al-Baqarah: 178-179).
Jarimah yang termasuk ke dalam jarimah qishash atau diyat ini
ada lima macam:
a) Pembunuhan sengaja (al-qatlul-amdu)
b) Pembunuhan semi sengaja (al-qatlu syibhul amdi)
c) Pembunuhan karena kesilapan (tidak sengaja, al-qatlul khatha)
d) Penganiayaan sengaja (al-jarkhul-amdu)
e) Penganiayaan tidak sengaja (al-jarkhul-khatha)
3) Jarimah Ta’zir
Jarimah ta’zir menurut arti kata adalah at-ta’dib artinya
memberi pengajaran. Dalam fiqh jinayah, ta’zir adalah suatu bentuk
jarimah, yang bentuk atau macam jarimah serta hukumna dan
sanksinya ditentukan oleh penguasa.23
Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak
ditentukan oleh Al-Qur‟an dan Hadits yang berkaitan dengan kejahatan
yang melanggar hak Allah SWT dan hak hamba yang berfungsi
sebagai pelajaran bagi terhukum dan pencegahannya untuk tidak
mengulangi kejahatan serupa. Hukuman ta’zir boleh dan harus
diterapkan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan. Para ulama membagi
jarimah ta’zir yakni yang berkaitan dengan hak Allah SWT dan hak
hamba. Sehingga dapat dibedakan bahwa untuk ta’zir yang berkaitan
dengan hak hamba disamping harus ada gugatan, tidak dapat
diberlakukan teori tadakhul yakni sanksi dijumlahkan sesuai dengan
banyak kejahatan, Ulil Amri tidak dapat memaafkan, sedangkan ta’zir
23
Ibid, h., 31.
23
yang berkaitan dengan hak Allah SWT, tidak harus ada gugatan dan
ada kemungkinan Ulil Amri memberi pemaafan bila hal itu membawa
kemaslahatan sehingga semua orang wajib mencegahnya.24
b. Tindak Pidana menurut Hukum Positif
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini
terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia
Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasaan resmi tentang apa yang
dimaksud dengan strafbaarfeit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum
berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Dan sayangnya
sampai kini belum ada keseragaman pendapat.25
Strafbaarfeit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti
diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa
pidana mauppun perbuatan yang dapat dipidana. Kata strafbaarfeit
terdiri dari tiga kata yakni, straf, baar,dan feit. Berbagai istilah yang
digunakan sebagai terjemahan dari strafbaarfeit itu, ternyata straf
diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar
diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.26
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan
dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan
dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana
akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia
mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada
24
Djazuli, Fiqh Jinayah, h., 167
25 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), h., 67.
26 Ibid, h.,69.
24
waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.27
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah
perbuatan yang pelakunya seharusnya dipidana. Tindak pidana
mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang
konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana
haruslah diberikan arti yang bersifat alamiah dan ditentukan dengan
jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari
dalam kehidupan masyarakat.28
Menurut D. Simons, tindak pidana (strafbaar feit) adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat
melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (eene strafbaar
gestelde onrechtmatige, met schuld in verband staaande handeling van
een toerekeningsvatbaar person).29
Teguh Prasetyo merumuskan bahwa:30
“Tindak pidana adalah
perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan
pidana. Pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat
aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) dan
perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya
diharuskan oleh hukum)”.
Sedangkan menurut G.A. van Hamel, sebagaimana yang
dikutip oleh Moeljatno, strafbaar feit adalah kelakuan orang
(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat
27 Andi Hamzah, Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2001), h., 22.
28 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rangkang Education, 2012),
h., 18.
29 D. Simons, “Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht”, Eerste Deel Vierde
druk, P. Noordhoff, Groningen, h., 101. Dalam Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan
Tertulis di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h., 58.
30 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011), h., 49.
25
melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan
dengan kesalahan.31
Sementara itu, Moeljatno meyatakan bahwa tindak pidana
berarti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap
siapa saja yg melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus
juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan
yang dicita-citakan oleh masyarakat.32
Jadi tindak pidana (strafbaar feit), peristiwa yang dapat
dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Sementara delik yang
dalam bahasa asing disebut delict artinya suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman.
3. Teori Pemidanaan
Pemidanaan biasa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan
juga terhadap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada
umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan
sebagai penghukuman.
Pemidanaan itu bukan untuk dimaksudkan sebagai upaya balas
dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku
kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan
serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat terwujud apabila melihat
beberapa tahap perencanaan sebagai berikut:33
1. Pemberian pemidanaan oleh pembuat Undang-Undang.
2. Pemberian pemidanaan oleh badan yang berwenang.
3. Pemberian pemidanaan oleh instansi pelaksana yang berwenang.
31
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara,1984), cetakan ke-2,
h., 56.
32 Ibid, h., 54.
33 Amir Ilyas,Asas-Asas Hukum Pidana, h., 96.
26
Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokan
dalam tiga golongan pokok, yaitu teori absolut atau teori
pembalasan(vergeldings theorien), teori relative atau teori tujuan (doel
theorien), dan teori gabungan (verenigings theorien).34
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
yang telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan. Immanuel
Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatif” yakni
seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan
kejahatan sehingga pidana menunjukan suatu tuntutan keadilan.
Tuntutan keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat pada pendapat
Immanuel Kant didalam bukunya “Philosophy of Law” sebagai
berikut:
“Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana
untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si
pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat tapi dalam semua
hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah
melakukan sesuatu kejahatan”.35
Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan
sebagai berikut:
“Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah
bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.
Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk
dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan
suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat
penjatuhan pidana.36
Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidaklah perlu
dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau
34
E. Utrecht, Hukum Pidana I,(Jakarta: Universitas Jakarta, 1958) h., 157.
35 Muladi dan Arief Barda Nawawi, “Teori-Teori dan Kebijakan Pidana”, Bandung:
Alumni, 1998), h., 11.
36 Andi Hamzah, “Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia”, (Jakarta: Pradnya
Paramitha, 1993), h., 26
27
teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini
adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori ini pembalasan
yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu
akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori
pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku
kejahatan.37
Teori pembalasan atau teori absolut ini terbagi atas pembalasan
subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah
pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah
pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.38
2. Teori Tujuan (relatif)
Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir
sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana
menurut teori relatif bukalah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk
mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.39
Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok
dari pemidanaan yaitu:
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van
de maatschappelijke orde);
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat
sebagai akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het doer de
misdaad onstane maatschappelijke nadeel);
3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);
4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de
misdadiger);
37
Andi Hamzah, “Asas-asas Hukum Pidana”, (Jakarta: Rinneka Cipta, 1994), h., 31.
38 Ibid. h., 31.
39 Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, h,.
70.
28
5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).40
Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief
menjelaskan bahwa, pidana bukan sekedar untuk melakukan
pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan
suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan –tujuan tertentu yang
bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori
tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana
menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan
bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan)
melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan
kejahatan).41
Filosof Inggris Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan
tokoh yang pendapatnya dapat dijadilan landasan dari teori ini.
Menurut Jeremy Bantham yang dikutip oleh Muladi dan Barda
Nawawi Arief bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang
akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan.
Oleh karena itu suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan
sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat dari pada
kesenganan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai tujuantujuan
dari pidana adalah:
1. Mencegah semua pelanggaran;
2. Mencegah pelanggaran yang paling jahat;
3. Menekan kejahatan;
4. Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.42
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi
dua yaitu:
40
Koeswadji, ”Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), cet-1, h., 12.
41 Muladi dan Arief Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h., 16.
42 Ibid, h., 30-31.
29
a) prevensi umum (generale preventie),
b) prevensi khusus (speciale preventie).
Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht
menuliskan sebagai berikut: “Prevensi umum bertujuan untuk
menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar.
Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader)
tidak melanggar”.43
Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat.
Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat
lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi
khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar
narapidana jangan mengulangi perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana
itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar
menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.44
3. Teori Gabungan
Dasar pemikiran teori gabungan adalah bahwa pemidanaan
bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk masa yang akan datang,
karnanya pemidanaan harus dapat memberi kepuasaan bagi hakim,
penjahat itu sendiri maupun kepada masyarakat.
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan
besar, yaitu sebagai berikut:45
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi
pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu
dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.
43
E. Utrecht, Hukum Pidana I, h., 157.
44 Ibid. h., 157.
45 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, h., 166.
30
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.
4. Unsur-unsur Tindak Pidana
Untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur
tindak pidana. Jadi seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan
yang dilakukan memenuhi syarat-syarat tindak pidana apabila perbuatan
yang dilakukan memenuhi syarat-syarat tindak pidana (strafbaarfeit).46
Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP
pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam,
yaitu unsur-unsur subyektif dan obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-
unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu
segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Sedangkan yang
dimaksud dengan unsur obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan dimana tindakan
dari sipelaku itu harus dilakukan.47
Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poggingseperti
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terapat dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan
lain-lain;
46
Sudarto,Hukum Pidana 1A, (Semarang: Yayasan Soedarto 1990), h., 43.
47 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984),
h., 183.
31
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti
misalnya terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340
KUHP;
e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana adalah:
a. Sifat melanggar hukum;
b. Kualitas si pelaku;
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.48
Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana
(strafbaarfeit) ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian
unsur-unsur tindak pidana, yaitu:
a. D. Simons, sebagai penganut pandangan monistis, Simons mengatakan
bahwa pengertian tindak pidana (Strafbaarfeit) adalah “Een strafbaar
gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van
een toerekeningsvatbaar person” (tindakan yang dapat dihukum dan
bersifat melanggar hukum oleh orang yang mampu bertanggung
jawab.49
Atas dasar pandangan tentang tindak pidana tersebut diatas, unsur-
unsur tindak pidana menurut Simons adalah:50
1) Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3) Melawan hukum (onrechtmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);
48
Ibid. h., 184
49 D. Simons, Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht, h., 101. dalam
Sudarto,Hukum Pidana 1A, h., 32.
50 Ibid, h., 32.
32
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar
person).
b. Van hamel, yang dikutip oleh Mulyatno dalam Azas-azas Hukum
Pidana menyatakan Strafbaarfeitadalah een wterlijk omschre en
mensschelijke gedrading onrechmatig, strafwardig en aan schuld te
wijten.51
Jadi menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana adalah:52
1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
2) Bersifat melawan hukum;
3) Dilakukan dengan kesalahan, dan
4) Patut dipidana.
c. Moeljatno, memberikan arti tentang strafbaarfeit, yaitu sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar
larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-
unsur:
1) Perbuatan (manusia);
2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan
syarat formil) dan
3) Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang
tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat materiil pun harus
ada pula karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut
dilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat
tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan
oleh masyarakat.
Dengan demikian pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini
ada pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility.53
51
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara,1984), cetakan ke-2,
h., 56.
52 Sudarto,Hukum Pidana 1A, h., 33.
53 Ibid, h., 27.
33
Menurut Sudarto, baik aliran monistis maupun dualistis, tidak
mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan adanya pidana.
Apabila orang menganut pendirian yang satu, hendaknya memegang
pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekcauan pengertian.
Bagi orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan
tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan
dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena
masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada
pada si pembuat atau pelaku pidana. Jadi menurut pandangan dualistis
semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan
5. Tindak Pidana dalam Kasus Perdata
Dalam teori hukum umum, menyatakan bahwa setiap orang,
termasuk pemerintah, harus mempertanggungjawabkan setiap
tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa kesalahan. Dari teori
hukum umum, munculah tanggung jawab hukum berupa tanggung jawab
pidana, tanggung jawab perdata, dan tanggung jawab administrasi.54
Pertanggungjawaban hukum berhubungan dengan perbuatan
melawan hukum. Dalam hukum perdata, perbuatan melawan hukum dapat
ditemukan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disingkat KUHPer). Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum
perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban
perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan
didalam pergaulan masyarakat, dan pelaksanaannya diserahkan kepada
masing-masing pihak. Sementara menurut Asis Safioedin, hukum perdata
adalah hukum yang memuat peraturan dan ketentuan hukum yang meliputi
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara
54
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern(Rechtstaat), (Bandung: Refika
Aditama, 2009), h., 147.
34
subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain didalam
masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan perorangan.55
Berkaitan dengan konsep perbuatan melawan hukum, pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi: “tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”. Dalam ketentuan pasal tersebut, terdapat
unsur-unsur perbuatan melawan hukum, yaitu adanya perbuatan, adanya
unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, serta adanya hubungan
kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Dengan adanya unsur perbuatan
melawan hukum dalam bidang hukum perdata, Pasal 1366 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa: “setiap orang
bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau
kurang hati-hatinya”.56
Melawan hukum (onrechtmatig) dapat diartikan secara sempit
maupun luas. Pengertian sempit dari melawan hukum adalah tindakan
yang melanggar hak subjektif yang diatur oleh undang-undang (wettelijk
subjektiefrecht) atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
yang ditentukan oleh undang-undang.57
Makna melanggar kewajiban
hukum si pelaku, adalah bertindak atau mengambil sikap yang
bertentangan dengan suatu undang-undang yang bersifat memerintah atau
melarang. Jadi, normanya dapat dibaca dalam undang-undang yang
55
Sudikno Mertokusumo, “Bahan Ajar Hukum Perdata”, (Manado: makalah
Fakultas HukumUniversitas Sam Ratulangi, 2009:1)
56 Mody Gregorian Baurch, “Pertanggungjawaban Hukum Dewan Perwakilan Rakyat
dalam Proses Legislasi Terhadap Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pengujian
Undang-Undang”, Tesis, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2013), h., 24.
57 J. Satrio, Hukum Perikatan, Peikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian
Pertama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h., 142 dalam Siti Anisah dan Trisno Raharjo,
“Batasan Melawan Hukum dalam Perdata dan Pidana Pada Kasus Persekongkolan Tender”,
Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Vol. 25, No. 1,
Januari 2018, h., 29.
35
bersangkutan. Undang-undang diartikan, baik undang-undang dalam arti
formil maupun materiil. Dengan demikian, semua perbuatan yang
melanggar ketentuan hukum pidana – ditinjau dari sudut pandang hukum
perdata – adalah melawan hukum. Namun, untuk perbuatan-perbuatan
melawan hukum tertentu untuk dapat dikenakan hukum pidana, seringkali
harus dipenuhi syarat adanya “kesengajaan (opzet)”.58
Sebagai tambahan, selain perbuatan melawan hukum, hal perdata
yang dapat diajukan sebagai gugatan adalah ingkar janji (wanprestasi).
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur
dengan debitur.59
Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi
baik karena disengaja maupun tidak sengaja.60
Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi
kewajibannya atau terlambat memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah
diperjanjikan.61
Wanprestasi terdapat dalam Pasal 1243 KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa:
“penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”62
Sedangkan menurut A. Qirom Syamsudin Meliala wanprestasi itu
dapat berupa:
58
Ibid, h., 172.
59 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: SInar Grafika,
2008), h., 180.
60 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers,
2007), h., 74.
61 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Arga Printing,
2007), h., 146.
62 Ahmad Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h.,
12.
36
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasi
maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan
pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi teteapi
tidak tepat waktu, sehingga dapat dikatakan wanprestasi.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi
keliru tersebut dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak
memenuhi prestasi sama sekali.63
Kelalaian atau kealpaan debitur untuk melakukan sesuatu
sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian akan mempunyai
akibat-akibat yang merugikan bagi pihak debitur sebagaimana berikut ini:
1. Debitur harus membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh
kreditur (Pasal 1234 KUHPerdata).
2. Perikatan tetap ada, kreditur masih menuntut kepada debitur
pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di
samping itu, kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi akibat
keterlambatan melaksanakan prestasinya, hal ini disebabkan kreditur
akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat
pada waktunya.
3. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadi wanprestasi (Pasal
1237 ayat (2) KUHPerdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi
perikatan untuk memberikan sesuatu.
4. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi
dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata.64
63
A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Yogyakarta:
Liberty, 1985), h., 26.
37
Dalam Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan, bahwa “Tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”,
ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena
dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan/perjanjian yang
secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti
perikatan atau perjanjian adalah hubungan hukum antara dua atau lebih
orang (pihak) dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan
kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.65
Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat
berupa:66
1. Putusan condemnatoir, yakni putusan yang bersifat menghukum pihak
yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya). Misalnya
salah satu pihak dihukum untuk membayar kerugian, pihak yang kalah
dihukum untuk membayar biaya perkara.
2. Putusan declaratoir, yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu
keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini hanya bersifat
menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
Misalnya putusan yang menyatakan bahwa pengugat sebagai pemilik
yang sah atas tanah sengketa.
3. Putusan constitutif, yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan
hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Misalnya, putusan yang
memutuskan suatu ikatan perkawinan.
64
Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h., 108.
65 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003), h., 17.
66https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-
%28pidana,-perdata,-dandan-administratif%29: 2018/09/30.
38
Pada dasarnya, dalam hukum perdata bentuk sanksi hukumnya
dapat berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban) serta
hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan munculnya suatu
keadaan hukum baru. Pertanggungjawaban hukum dibidang perdata
merupakan pertanggungjawaban hukum yang didasari oleh adanya
hubungan keperdataan antara subyek hukum.
Dalam hukum administrasi, pertanggungjawaban hukum berupa
sanksi administrasi/administratif. Sanksi administrasi/administratif adalah
sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administratif atau ketentuan
undang-undang yang bersifat administratif. Pada umumnya sanksi
administrasi/administratif berupa denda, pembekuan hingga pencabutan
sertifikat dan/atau izin, penghentian sementara pelayanan administrasi
hingga pengurangan jatah produksi, serta tindakan administratif lainnya.67
Ada 4 (empat) Pasal yang berhubungan dengan tindak pidana
pelanggaran dalam kedudukan perdata, yaitu sebagaimana diatur dalam
Pasal 277, 278, 279 dan Pasal 180 KUHP.
Pasal 277 KUHP disebut dengan tindak pidana “penggelapan
terhadap kedudukan” yang dirumuskan adalah: “dengan suatu perbuatan
sengaja menjadi keturunan orang tidak tertentu”, dan diancam dengan
kemungkinan hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak yang dimuat
dalam Pasal 35 No. 1-4. Perbuatan ini berupa memberi keterangan palsu
agar menjadi tidak tentu, apakah seorang tertentu adalah keturunan dari
seorang bapak atau ibu, kakek atau nenek, begitu seterusnya. Dengan
demikian akan hampir selalu ada gabungan tindak pidana ini dengan
tindak pidana pemalsuan surat, yang dijadikan tidak tentu ini tidak hanya
keturunan seorang yang masih hidup tetapi juga dapat mengenai seseorang
yang sudah meninggal.68
67
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-
%28pidana,-perdata,-dandan-administratif%29: 2018/09/30
68 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur
Bandung, 1981), h., 92
39
Pasal 278 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan
bahwa: Barang siapa mengakui seorang anak sebagai anaknya menurut
peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, padahal diketahuinya
bahwa dia bukan ayah dari anak tersebut, diancam karena melakukan
pengakuan anak palsu dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan
bahwa:
1. Diancam dengan pidana 5 (lima) tahun:
a. Barang siapa yang mengadakan perkawinan padahal mengetahui
bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada
menjadi penghalang yang sah untuk itu.
b. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi
penghalang untuk itu.
2. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1
menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada
menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidan penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun
Dalam Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
menyebutkan bahwa: Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal
sengaja tidak memberitahu kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang
sah, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, apabila
kemudian berdasarkan penghalang tersebut, perkawinan lalu dinyatakan
tidak sah.
6. Unsur Tindak Pidana Perkawinan dalam Pasal 279 Ayat (1) KUHP
Yang dimaksud dengan tindak pidana mengadakan perkawinan
yang dilarang terdapat dalam Pasal 279 Ayat (1) ke-1 KUHPidana
berbunyi:69
69
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bogor: Politeia, 1995), h., 203.
40
(1) Dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun:
1. Barang siapa yang kawin yang sedang diketahuinya, bahwa
perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah
baginya akan kawin lagi
Uraian unsur-unsur didalam Pasal 279 Ayat (1) ke-1e sebagai
berikut:
a. Barang siapa
Merupakan suatu istilah orang yang melakukan yaitu
memperlihatkan sipelaku adalah manusia. Sebagian pakar lagi
berpendapat bahwa “barang siapa” tersebut adalah manusia, tetapi
perlu diuraikan manusia siapa dan beberapa orang.
b. Yang kawin sedang diketahuinya, bahwa perkawinannya yang sudah
ada menjadi halangan yang sah baginya akan kawin lagi
Dalam unsur ini syarat agar orang dapat dihukum dalam Pasal 279
Ayat (1) ke-1, ialah orang itu harus mengetahui bahwa ia dulu pernah
kawin dan perkawinan ini belum dilepaskan. Menurut Pasal 199 B.W.
(hukum sipil) perkawinan itu menjadi lepas:
a. Karena mati
b. Karena seseorang meninggalkannya selama 10 tahun dan diikuti
dengan perkawinan salah seorang itu dengan orang lain
c. Karena ada vonis perceraian oleh hakim
d. Karena perceraian biasa menurut peraturan dalam B.W.70
Yang tunduk kepada peraturan pernikahan dalam B.W. ialah orang
Eropa, Indonesia, Tionghoa dan sebagainya. Bagi mereka yang tunduk
pada peraturan B.W. maka adanya suatu perkawinan sudah merupakan
suatu halangan untuk mengadakan perkawinan lagi (kawin dua kali
dinamakan bigami dan dihukum menurut pasal ini).
70
Ibid. h., 203.
41
Dahulu sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) seorang pria beragama Islam di
Indonesia dapat kawin sampai dengan empat orang istri, yang berarti
bahwa adanya perkawinan lebih dari 4 kali itu barulah akan merupakan
pelanggaran terhadap Pasal 279 Ayat 1 ke-1.
B. Teori Gender Dan Aliran Feminisme
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin.71
Dalam
Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat.72
Secara terminologis, gender oleh Hilary M. Lips didefinisikan sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.73
Elaine Showalter
mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih menekankan gender sebagai
konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.74
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa gender adalah
suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-
laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya. Gender dalam
71
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Cet. I; Jakarta:
Gramedia, cet. XII, 1983), h., 265.
72 Helen Tiemey (ed.), Women’s Studies Encyclopedia, Vol. I (New York: Green
Word Press), h., 153 dalam Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur‟an dan
Implikasinya Terhadap Hukum Islam”, Jurnal Al-Ulum, XIII, 2 (Desember, 2013), h., 376.
73 Hilary M. Lips, Sex and Gender: An Introduction, (London: Myfield Publishing
Company, 1993), h., 4 dalam Mansour Fakih dkk, Membincang Feminisme: Diskursus
Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti 1996), h., 6.
74 Elaine Showalter, Speaking Of Gender, (New York & London: Routledge, 1989),
h., 3, dalam Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, (Jakarta:
Paramadina, 1999), h., 33-34.
42
arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social construction),
bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.75
Sedangkan feminisme dalam buku Encyclopedia of Feminism, yang
ditulis Lisa Tuttle pada tahun 1986, feminism berasal dari bahasa latin, yaitu
femina (woman), secara harfiah artinya “having the qualities of females”.
Istilah ini awalnya digunakan merujuk pada teori tentang persamaan seksual
dan gerakan hak-hak asasi perempuan, menggantikan womanism pada tahun
1980-an.76
Feminisme yang memiliki artian dari femina tersebut, memiliki arti
sifat keperempuan, sehingga feminisme diawali oleh persepsi tentang
ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki di masyarakat. Akibat
persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan
tersebut untuk mengeleminasi dan menemukan formula penyetaraan hak
perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka
sebagai manusia (human being).77
Bagi Bhasin dan Nighat dalam bukunya “Some Question of Feminism
and its Relevance in South Asia” pada tahun 1986 mendefinisikan feminisme,
ialah an awareness of women’s oppression and exploitation in society, at work
and within the family, and conscious action by women to change this
situation.78
Maka hakikat dari feminisme masa kini adalah perjuangan untuk
mencapai kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih
75
Marzuki, “Studi Tentang Kesetaraan Gender dalam Berbagai Aspek” (Yogyakarta:
makalah dalam Sosialisasi Kesetaraan Gender kegiatan KKN Mahasiswa UNY di PKBM
Sleman, 2008), h., 3, t.d.
76 Lisa Tuttle, Encyclopedia of Feminism, (New York, Facts on File Publication,
1986), h., 107 dalam Arimbi Heroepoetri dan R Valentina, Percakapan Tentang Feminisme
VS Neoliberalisme, (Jakarta: debtWACH Indonesia, 2004), h., 8.
77 Aida Fitalaya S. Hubis, “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan”, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1997), h., 19.
78 Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, Some Question of Feminism and its
Relevance in South Asia, (New Delhi: Kali For Women, 1986), h., 2 dalam Arimbi
Haroepoetri dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS Neoliberalisme, h., 10.
43
dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik didalam maupun diluar rumah
tangga.79
Pemikiran Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan yang dikutip oleh
Wardah Hafid, terhadap feminisme tersebut tentunya memiliki alasan kuat,
sebab keduanya menyaksikan banyak perempuan tertindas dalam berbagai hal
dalam masyarakatnya sejak berabad-abad. Sebagian dari perempuan
mengalami langsung penindasan terhadap dirinya, mungkin oleh tradisi yang
mengutamakan laki-laki, mungkin sikap egois dan sikap macho laki-laki,
mungkin oleh pandangan bahwa perempuan adalah objek seks. Sehingga dari
kesemua kemungkinan tersebut telah melahirkan penindasan terhadap
perempuan.80
Seiring berjalannya waktu, feminisme bukanlah sekedar sebuah
wacana melainkan sebuah ideologi yang hakikatnya perlawanan, anti, dan
bebas dari penindasan, dominasi, hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan
yang dialami perempuan.81
Dengan dipahami dari ideologi tentang
perlawanan, ini mengindikasikan bahwa dalam feminisme harus ada aksi
untuk membebaskan perempuan dari semua ketidakadilan, sehingga
feminisme juga memiliki artian gerakan-gerakan intelektual yang muncul dan
tumbuh secara akademis maupun bentuk upaya-upaya politik dan sosial
perempuan untuk mengakhiri penindasan yang dialami.82
Mansour fakih juga menjelaskan bahwa feminisme merupakan gerakan
yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada
dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan
79
Ibid. h., 10.
80 Wardah Hafid, Feminisme sebagai Budaya Tandingan, dalam Dadang Anshori,
dkk, Membincangkan Feminisme, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h., 37.
81 Arimbi Haroepoetri dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS
Neoliberalisme, h., 5.
82 Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.,
5.
44
dan eksploitasi tersebut.83
Dengan beragamnya arti feminisme, maka akan
sulit mendapatkan definisi feminisme dalam semua ruang dan waktu. Hal ini
terjadi karena feminisme tidak mengusung teori tunggal, akan tetapi
menyesuaikan kondisi sosiokultural yang melatarbelakangi munculnya paham
itu serta adanya perbedaan tingkat kesadaran, persepsi, dan tindakan yang
dilakukan oleh para feminis.84
Gerakan feminisme muncul dari adanya suatu anggapan bahwa
terdapat suatu kesalahan masyarakat didalam memperlakukan perempuan
sebagai wujud ketidakadilan gender. Oleh karena itu para feminis berusaha
untuk menganalisa sebab-sebab penindasan perempuan dan berusaha untuk
memperoleh kebebasan bagi perempuan, memperoleh kesetaraan sosial (social
equality) dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan.85
Sejalan dengan gerakan feminisme, muncul berbagai teori feminisme
dan corak gerakannya sebagai akibat adanya berbagai macam pendapat yang
bersumber dari beberapa disiplin ilmu. Walaupun sulit untuk mencari titik
temu dari beberapa teori feminisme tersebut akan tetapi semua bertolak pada
asumsi bahwa ideologi patriarkhi adalah negatif karena telah menempatkan
perempuan pada posisi suborfinat, yaitu dibawah laki-laki.86
Berikut beberapa
teori-teori yang akan dikemukakan.
1. Teori Struktural-Fungsional
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori
sosiologi yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini
83
Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h., 82.
84 Ummul Barorah, Feminisme dan Feminis Muslim, dalam Sri Suhandjati Sukri,
“Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender”, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h.,
183-184.
85 S. Herlina, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, h., 5.
diterjemahkan dariKamla Bhasin dan Nighat Said Khan,Some Question of Feminism and its
Relevance in South Asia, (New Delhi: Kali For Women, 1986)
86 Mundir, Perempuan dalam Al-Qur’an: Studi Tafsir al-Manar, (Semarang:
Walisongo Press, 2010), h., 73-77.
45
berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian
yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang
berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap
unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam
masyarakat.87
Terkait dengan peran gender, pengikut teori ini menunjuk
masyarakat pra industri yang terintegrasi di dalam suatu sistem sosial.
Laki-laki berperan sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai
peramu (gatherer). Sebagai pemburu, laki-laki lebih banyak berada diluar
rumah dan bertanggung jawab untuk membawa makanan kepada keluarga.
Peran perempuan lebih terbatas disekitar rumah dalam urusan reproduksi,
seperti mengandung, memelihara, dan menyusui anak. Pembagian kerja
seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan
kelangsungan masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi
peran gender sangat ditentukan oleh jenis kelamin (sex).
Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum
feminis, karena dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan
peran sosial dengan jenis kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan
publik dan perempuan diposisikan dalam urusan domestik, terutama dalam
masalah reproduksi.88
Meskipun teori ini banyak memperoleh kritikan dan kecaman, teori
ini masih tetap bertahan terutama karena didukung oleh masyarakat
industri yang cenderung tetap mempertahankan prinsip-prinsip ekonomi
industri yang menekankan aspek produktivitas. Jika faktor produksi
diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak lebih dari sekedar alat
produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung diabaikan.
Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat
87
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender, (Bandung: Mizan, 1999), h., 56.
88 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, h., 53.
46
diterima secara wajar. Yang juga memperkuat pemberlakuan teori ini
adalah karena masyarakat modern-kapitalis,cenderung mengakomodasi
sistem pembagian kerja berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Akibatnya,
posisi perempuan akan tetap lebih rendah dan dalam posisi marginal,
sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi sentral.89
2. Teori Feminisme Liberal
Feminisme liberal mulai berkembang pada abad ke-18, didasari
pada prinsip-prinsip liberalisme, yaitu semua orang (laki-laki dan
perempuan) dengan kemampuan rasionalitasnya diciptakan dengan hak
yang sama dan setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk
memajukan dirinya.90
Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan.91
Karena itu perempuan harus mempunyai
hak yang sama dengan laki-laki. Bahkan dalam tulisan Niken Savitri
dalam buku Feminist Legal Theory dalam Teori Hukummenjelaskan bahwa
setiap orang memiliki otonomi, termasuk perempuan. Lebih lanjut karena
aliran ini sangat menekankan pada adanya kesetaraan maka aliran ini
berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki secara rasional setara, jadi
mereka harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk menerapkan
pilihan rasional mereka.92
Feminisme liberal juga melihat sumber penindasan bagi
perempuan karena belum terpenuhinya hak-hak perempuan, seperti
diskriminasi hak, kesempatan, dan kebebasan hanya karena berjenis
89
Ibid, h., 60.
90 Arimbi Haroepoetri dan R. Valentina, “Percakapan Tentang Feminisme VS
Neoliberalisme”, h., 16.
91 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender, h., 228.
92 Niken Savitri, Feminist Legal Theory dalam Teori Hukum, dalam Sulistyowati
Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h., 43.
47
kelamin perempuan. Namun aliran ini tetap menolak persamaan secara
keseluruhan antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal, aliran ini
masih tetap memandang perlu adanya pembedaan antara laki-laki dan
perempuan, seperti yang berhubungan dengan fungsi reproduksi.93
Untuk menghapus stigma miring tentang perempuan tersebut perlu
diperjuangkan perubahan hukum dan pandangan, serta mereformasi
keadaan sosial yang ada agar membuka kesempatan yang seluas-luasnya
bagi perempuan. Sebagaimana akar munculnya feminism liberal adalah
karena persoalan nalar, yakni bahwa manusia dalam kapasitasnya memiliki
nalar sebagai pembeda dengan makhluk lain, maka manusia baik laki-laki
dan perempuan meimiliki kapasitas dan kemampuan yang sama. Sehingga
masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan seperti juga
kepada laki-laki karena semua manusia berhak mendapatkan kesempatan
yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya.
Sehingga perempuan dapat menjadi manusia yang utuh.94
3. Teori Feminisme Marxis-Sosialis
Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturiasi masyarakat
agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh
system kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour,
termasuk didalam keluarga. Gerakan ini mengadopsi teori praxis
Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum
perempuan sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak diuntungkan.
Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para
perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan.95
93
Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.,
5.
94 Rosemarie Pytnam Tong, Feminist Thought: Pengantar paling Komprehensif
kepada Aliran Utama Pemikiran Feminisme, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h., 21.
95 Ratna Megawangi, “Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender”, h., 225.
48
Dalam buku “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Timbangan Islam” disebutkan:
Dari karya Frederick Engels yang berjudul “The Origin of the
Family: Private Property dan The State” mengulas jatuhnya status
perempuan, yakni saat munculnya era hewan piaraan dan petani
menetap. Di masa ini merupakan awal kondisi penciptaan surplus
yang menjadi dasar private property. Surplus kemudian menjadi
dasar bagi perdagangan dan produksi untuk xchange mendominasi
for use. Karena laki-laki mengontrol produksi untuk exghange,
maka mereka dapat menguasai sosial politik masyarakat, dan
akhirnya perempuan direduksi menjadi bagian kepemilikan.96
Perempuan bagi aliran ini dalam keluarga di tempatkan hanya
dalam sektor domestik untuk mengurus rumah tangga. Perempuan dalam
rumah tanggapun dalam pekerjaannya tidak diperhitungkan dalam
perhitungan ekonomi, sosial, dan politik. Dengan tidak adanya nilai
ekonomis, sosial, dan politik dalam kehidupan berumah tangga maka
perempuan dianggap tidak lebih bernilai dibanding laki-laki. Laki-laki
dianggap lebih bernilai karena memiliki pekerjaan yang ekonomis dan
memberi masukan nafkah kepada keluarga.97
Kontribusi ekonomi yang
dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak
diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang,
perempuan sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi
dibandingkan laki-laki dari sektor domistik yang dikerjakannya.98
Oleh karena itu, perjuangan feminis marxis adalah menuntut agar
pekerjaan rumah tangga dihargai dan bernilai ekonomis. Sebab pekerjaan
rumah tangga adalah produktif dan menciptakan surplusvalue atau nilai
tambah dalam kehidupan berumah tangga. Dengan cara itu, laki-laki dan
96
Siti Muslikatin, “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan
Islam”, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h., 33.
97 A. Sonny Keraf, “Etika Lingkungan Hidup”, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2010), h., 149.
98 Ratna Megawangi, “Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender”, h.,143.
49
perempuan berkedudukan sama karena secara ekonomis keduanya
mempunyai pekerjaan yang sama nilai ekonomis99
4. Teori Feminisme Radikal
Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu
1960-an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori
feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada
keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya
sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga
perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai
individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu
keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan.
Bagi aliran ini, penindasan pada perempuan sejak awal adalah
karena peran dominasi laki-laki atas perempuan. Sistem kekuasaan pada
keluarga merupakan bagian kecil dari penindasan dan menyebabkan
keterbelakangan perempuan. Hal ini mengindikasikan penindasan terhadap
perempuan terjadi karena sistem seks atau gender. Sehingga untuk dapat
dikualifikasikan sebagai seorang feminis radikal, maka seorang feminis
harus yakin bahwa sistem seks atau gender adalah penyebab fundamental
dari penekanan perempuan.100
Rekontruksi sosial feminis radikal bukan hanya dilatar belakangi
oleh sikap kepemimpinan dan kekuasaan laki-laki selama ini, namun
jelmaan dari kehendak otoritas perempuan untuk menjadi “penguasa” yang
sejajar dengan laki-laki. Gerakan ini ditandai dengan gerakan kemandirian
oleh kelompok perempuan dalam segala segmentasi kehidupan.
Pembongkaran radikal dilakukan pula terhadap norma-norma keluarga
antara suami dan isteri. Suami tidak harus menjadi kepala rumah tangga
dalam pandangan aliran ini. Bahkan keluarga tidak harus didefinisikan
99
A. Sonny Keraf, “Etika Lingkungan Hidup”, h., 150.
100 Rosemarie Pytnam Tong, “Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif
kepada Aliran Utama Pemikiran Feminisme”, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h., 69.
50
sebagai organisasi yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, melainkan bisa
terdiri atas ibu dan anak. Kehadiran ayah tidak menjadi keharusan. Dalam
posisi inilah praktik-praktik aborsi dihalalkan, melainkan memandang
bahwa mengandung dan melahirkan adalah hak preogatif seorang
perempuan dan perempuan berhak menentukan sikap untuk menolak.101
Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam,
bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis
sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini.
Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan
merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah
reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari
bebas ini.102
C. Konsep Kesetaraan Dan Keadilan Gender dalam Islam
Kesetaraan gender (gender equality) adalah posisi yang sama antara
laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan
manfaat dalam aktifitas kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat maupun
berbangsa dan bernegara. Keadilan gender (gender equity) adalah suatu proses
menuju setara, selaras, seimbang, serasi tanpa diskriminasi.103
Salah satu misi Nabi MuhammadSAW sebagai pembawa Islam adalah
mengangkat harkat dan martabat perempuan, karena ajaran yang dibawanya
memuat misi pembebasan dari penindasan. Perempuan merupakan bagian dari
kelompok tertindas, termarjinalkan dan tidak mendapatkan hak-haknya dalam
kehidupan.104
101
Engkos Kosasih, dkk “ed”, “Membincangkan Feminisme”, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1997), h., 6-7.
102 Marzuki, “Studi Tentang Kesetaraan Gender dalam Berbagai Aspek”, h., 11, t.d.
103 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN-
MALANG PRESS, 2008), h., 18.
104 Ibid, h., 19.
51
1. Pengertian Sex dan Gender dalam Islam
Dalam bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran tidak disebutkan kata
yang sama dengan kata gender, namun terdapat kata al-dzakar dan untsa,
dengan kata al-rijal dan al-nisa’ yang biasa digunakan untuk menunjuk
pada laki-laki dan perempuan. Kata al-rijal merupakan bentuk jamak dari
kata al-rajul yang berasal dari akar kata ra-ja-la yang derivasinya
membentuk beberapa kata seperti rajal (mengikat), rajila (berjalan kaki),
al-rijl (telapak kaki), al-rijlah (tumbuh-tumbuhan), dan kata al-rajul
sendiri yang berarti laki-laki.105
Sedangkan kata al-dzakar sendiri dalam Al-Munjid disebutkan
berasal data dza-ka-ra yang berarti “menyebutkan, mengingat”. Dari akar
kata ini terbentuk beberapa derivasi seperti dzakirah (mempelajari) dan al-
dzakar itu sendiri dengan bentuk jamaknya al-dzukur dan al-dzukran yang
artinya laki-laki atau jantan.106
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa lawan kata atau
pasangan dari kata al-rajul/al-rijal adalah al-nisa yang merupakan bentuk
jamak dari al-mar’ah. Dalam Lisan al-Arab, kata al-mar’ah/al-nisa berarti
perempuan yang sudah matang atau dewasa (yang telah mengalami
menstruasi).107
Pada umumnya al-nisa digunakan untuk perempuan yang
sudah matang atau dewasa, berkeluarga atau janda bukan pada perempuan
dibawah umur dan lebih banyak digunakan dalam konteks tugas-tugas
yang berkaitan dengan reproduksi perempuan. Sedangkan al-untsa,
menurut Kamus al-Munawwir mengandung arti lemah, lunak, dan
lembek.108
105
Louis Makluf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyiq,
1998), 251.; lihat juga Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab
Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996), h., 961.
106 Louis Makluf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, h., 236.
107 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Juz VI, (t.t.:, Dar-al-Ma‟arif, t.th.), h., 4403.
108 Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h.,
46.
52
Kata gender, secara persis tidak didapati dalam Al-Qur‟an, namun
kata yang dipandang dekat dengan kata gender jika ditinjau dari peran
fungsi dan relasi adalah kata al-rijal dan al-nisa’. Kata rajul mempunyai
kriteria tertentu, bukan hanya mengacu pada jenis kelamin, tetapi juga
kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat kejantanan (masculinity). Oleh
karena itu tradisi bahasa Arab menyebut perempuan yang memiliki sifat-
sifat kejantanan dengan rijlah. Kata al-rujul dalam Al-Qur‟an disebutkan
sebanyak 55 kali. Mempunyai berbagai makna, antara lain berarti gender
laki-laki tertentu dengan kapasitas tertentu pula, seperti; pelindung,
pemimpin, orang laki-laki maupun perempuan. Sedangkan kata al-nisa
dalam Al-Qurandengan berbagai pecahannya terulang sebanyak 59 kali.
Penggunaan kata al-nisa’ lebih terbatas dibandingkan dengan kata al-rijal.
Dengan demikian al-rajul dan al-nisa’ berkonotasi laki-laki dan
perempuan dalam relasi gender.109
2. Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an
Dalam kaitannya dengan persoalan relasi laki-laki dan perempuan,
prinsip dasar Al-Qur‟an sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang
egaliter. Menurut Asghar, Al-Qur‟an lah yang pertama kali memberikan
mereka (perempuan) hak-hak yang sebelumnya tidak pernah mereka
dapatkan dalam aturan yang legal.110
Merujuk pada Al-Qur‟an banyak ayat menjelaskan tentang prinsip-
prinsip kesetaraan gender. Nasaruddin Umar mencoba mengkompilasinya
sebagai berikut: pertama, prinsip kesetaraan gender mengacu pada suatu
realitas antara laki-laki dan perempuan, dalam hubungannya dengan
109
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, h., 147-
172.
110 Asghar Ali Engineer, “Islam dan Teologi Pembebasan”, terj. Agung Prihantoro,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h., 50.
53
Tuhan, sama-sama seorang hamba. Tugas pokok hamba adalah mengabdi
dan menyembah.111
Ini dapat dipahami dalam firman-Nya:
)٦٥: تيارالذ٘ا)
Artinya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali
untuk menyembah-Ku.” (QS. Al-Dzariyat: 56)
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang dijadikan ukuran untuk
memuliakan atau merendahkan derajat mereka hanyalah nilai
ketaqwaannya. Prestasi ketaqwaan dapat diraih oleh siapapun, tanpa
memperhatikan perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis
tertentu. Al-Qur‟an menegaskan bahwa hamba yang paling ideal ialah
muttaqun, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.112
)۳۱ : تالحجرا(
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.(QS. Al-Hujurat: 13)
Kedua, adalah fakta bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan
sebagai khalifah. Jika dicermati, Allah SWT sama sekali tidak menegaskan
jenis kelamin seorang khalifah. Jadi dalam Islam prinsip kesetaraan gender
111
Nasaruddin Umar, “Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an”, h., 248.
112 Huzaemah Tahido Yanggo, Pandangan Islam Tentang Gender, dalam Mansour
Fakih dkk, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah
Gusti 1996), h., 152.
54
telah dikenal sejak zaman azali. Dalam surat Al-Baqarah ayat 30
ditegaskan:
... )۱۳ :ةلبقرا(
Artinya: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
dimuka bumi…” (QS. Al-Baqarah: 30)
Menurut Nasaruddin Umar, kata khalifah pada ayat diatas tidak
menunjukan kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu.
Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah,
yang akan mempertanggung jawabkan ke-khalifahan-nya di bumi,
sebagiamana halnya mereka bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.113
Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah
dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Saat itu jenis kelamin
bayi belum diketahui apakah laki-laki atau permpuan. Oleh karena itu,
Allah telah berbuat adil dan memberlakukan kesetaraan gender dengan
terlebih dahulu ia harus menerima perjanjian dengan Tuhannya,114
sebagaimana disebutkan dalam firmannya:
)۳۷۱: فالأعرا(
Artinya: ”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfiman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang
113
Nasaruddin Umar, ”Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an”, h., 252-
253
114 Ibid, h., 253-254
55
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al-„Araf: 172).
Keempat, prinsip kesetaraan gender dalam Al-Qur‟an dapat dilihat
pada kenyataan antara Adam dan Hawa adalah aktor yang sama-sama aktif
terlibat dalam drama kosmis. Kisah kehidupan mereka di surga, karena
beberapa hal, harus turun ke muka bumi, menggambarkan adanya
kesetaraan peran yang dimainkan keduanya.115
Hal ini dapat dilihat dengan
penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk
Adam dan Hawa.116
Seperti yang terdapat dalam ayat berikut:
)۱۱: فالأعرا(
Artinya: “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buat
itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu
itu, tampaklah bagi keduanya menutupinya dengan daun-daun
surge. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: “Bukankah Aku
telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan
kepadamu: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagi kamu berdua.” (QS. Al-Araf: 22).
Kelima, sejalan dengan prinsip kesetaraan, maka laki-laki maupun
perempuan sama-sama berhak meraih prestasi dalam kehidupannya.117
Seperti ditegaskan dalam ayat berikut:
)۷۷ : لنحلا(
115
M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur’an”, (Bandung: Mizan, 1997), h., 302.
116 Nasaruddin Umar, ”Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an”, h., 260.
117 Ibid, h., 263-264.
56
Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
kami berikan kepadanya kehidupan yang baik…” (QS. An-Nahl: 97)
Deskripsi tersebut dapat memberi gambaran kepada kita bahwa Al-
Qur‟an menjungjung tinggi kesetaraan gender. Kesetaraan gender adalah
merupakan bagian dari nilai Islam yang berlaku universal.118
Analisis
gender yang memperjuangkan kehidupan yang adil dan lebih manusiawi
tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam. Oleh karena itu,
tindakan yang diskriminatif terhadap perbedaan-perbedaan tersebut dalam
bentuk apapun tidak dapat dibenarkan. Termasuk di dalamnya
pemahaman-pemahaman keagamaan yang mengarah kepada dehumanisasi
dan tindak diskriminasi tentu sangat tidak dibenarkan, karena agama
sejatinya diperuntukan bagi kesejahteraaan seluruh umat manusia tanpa
memandang perbedaan dalam bentuk apapun.
3. Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perkawinan
Dalam konteks perkawinan yang berkesetaraan dan berkeadilan
gender mengacu pada empat indikator, yaitu suami istri sama-sama
memiliki akses dalam kehidupan rumah tangga, memperoleh peran-peran
yang seimbang dalam rumah tanggga, menerima wewenang dan tanggung
jawab yang sama termasuk dalam pengambilan keputusan, serta sama-
sama mendapatkan manfaat dalam kehidupan rumah tangga.119
Perbedaan cara pandang seringkali mengarah pada perasaan
su‟udzan/buruk sangka, saling menuduh dan melempar tanggung jawab.
Gender stereotype atau memberikan label negatif atas dasar perbedaan
jenis kelamin merupakan salah satu penyebab buruk sangka pada
pasangannya. Disadari atau tidak, gender stereotype ini telah dikonstruk
118
Masdar F. Mas‟udi, “Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih
Perempuan”, (Bandung: Mizan, 1997), h., 29-31.
119 Ch Mufidah, Psikologi Keluarga Berwawasan Gender (Malang: UIN MALANG
PRESS, 2008) cet. 1, h. 238.
57
setiap anak dalam lingkungan keluarga dan di masyarakat luas, misalnya
persepsi negatif terhadap laki-laki secara kodrat berkarakter kasar, keras,
egois, penghianat.
Sebaliknya perempuan secara fitri (nature) dipandang lemah,
penakut, kurang tanggung jawab, cerewet, perayu dan sebagainya.
Menghilangkan gender stereotype suami istri merupakan langkah positif
agar dapat menumbuhkan rasa saling menghargai, saling percaya dan
memandang positif pasangannya. Sikap positif terhadap pasangan menjadi
pintu masuknya komunikasi efektif, dimana suami istri dapat
mengemukakan apa saja yang sedang dirasakan agar mudah
menyelesaikan masalah tanpa ada perasaan yang mengganjal, sama-sama
mengikhlaskan dan meridhai.120
Untuk mengetahui apakah laki-laki dan perempuan telah
berkesetaraan dan berkeadilan sebagaimana capaian pembangunan
berwawasan gender adalah seberapa besar akses dan partisipasi atau
keterlibatan perempuan terhadap peran-peran sosial dalam kehidupan baik
dalam keluarga masyarakat, dan dalam pembangunan, dan seberapa besar
kontrol serta penguasaan perempuan dalam berbagai sumber daya manusia
maupun sumber daya alam dan peran pengambilan keputusan dan
memperoleh manfaat dalam kehidupan.121
Dengan demikian sejatinya masing-masing pasangan tidak ada
yang lebih dan tidak ada yang kurang dalam kadar pemenuhan hak dan
pelaksanaan kewajiban. Kesetaraan dan keadilan dalam sebuah
perkawinan, sesungguhnya sudah dimulai pada masa pra-nikah, yang oleh
Islam disebut dengan “sekufu”. Ditetapkannya “sekufu” yang berarti
seimbang dan setara sebagai salah satu syarat untuk melangsungkan
perkawinan menunjukan bahwa sesungguhnya modal penting dalam
mewujudkan perkawinan yang ideal dengan kenyataan perkawinan yang
120
Ibid, h., 191-192.
121 Ibid, h., 192.
58
dijalani oleh suami dan isteri (laki-laki dan perempuan) adalah tergantung
pada adanya kesetaraan.
D. Landasan Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam pandangan Al-Qur‟an, salah satu tujuan pernikahan adalah
untuk menciptakan sakinah, mawaddah, dan rahmah antara suami, istri, dan
anak-anaknya. Hal ini ditegaskan dalam QS. Ar-Rum: 21
)١٨ : وملرا(
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang berpikir”.(QS. Ar-Rum: 21)
Dari ayat ini kita menemukan ajaran Islam tentang keluarga sakinah
yang penuh dengan mawaddah dan rahmah. Kata-kata ini tertuang dengan
jelas dalam KHI Pasal 3.122
Kata sakinah, dalam QS. Al-Rum ayat 21 diatas,
dalam Al-Qur‟an dan Terjemahnya Departemen Agama diterjemahkan dengan
"cenderung dan tenteram".123
Penafsiran ini tidak jauh berbeda dengan
penafsiran yang dikemukakan oleh mufassir lainnya. Mufassir Indonesia
Quraish Shihab, menjelaskan bahwa kata sakinah yang tersusun dari huruf-
huruf sin, kaf, dan nun mengandung makna “ketenangan” atau antonim
kegoncangan dan pergerakan. Menurutnya pakar-pakar bahasa menegaskan
bahwa kata itu tidak digunaan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan
ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak.124
Dalam istilah lain bisa disebut
122
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah”.
123 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya… Jilid 7, 481.
124 Quraish Shihab, “Keluarga Sakinah”, Jurnal Bimas Islam, Vol. 4, No. 1 (2011),
h., 4
59
sebagai keluarga sejahtera. Dikatakan keluarga sejahtera manakala seluruh
anggotanya merasa terpenuhi hak-haknya atau setiap anggota memahami
secara sadar hak dan tanggung jawabnya masing-masing.125
Mawaddah bukan sekedar cinta terhadap lawan jenis dengan keinginan
untuk selalu berdekatan tetapi lebih dari itu, mawaddah adalah cinta plus,
karena cinta disertai dengan penuh keikhlasan dalam menerima keburukan dan
kekurangan orang yang dicintai. Dengan mawaddah seseorang akan menerima
kelebihan dan kekurangan pasangannya sebagai bagian dari dirinya dan
kehidupannya. Mawaddah dicapai melalui proses adaptasi, negosiasi, belajar
menahan diri, saling memahami, mengurangi egois untuk sampai pada
kematangan.
Rahmah merupakan perasaan saling simpati, menghormati,
menghargai antara satu dengan yang lainnya, saling mengagumi, memiliki
kebanggaan pada pasangannya. Rahmah ditandai dengan adanya usaha-usaha
untuk melakukan yang terbaik pada pasangannya sebagaimana ia
memperlakukan terbaik untuk dirinya. Untuk mencapai tingkatan rahmah ini
perlu ada ikhtiar terus menerus hingga tidak ada satu di antara lainnya
mengalami ketertinggalan dan keterasingan dalam kehidupan keluarga.
Keduanya sama-sama mendapatkan akses, partisipasi, pengambilan keputusan
dan dalam memperoleh manfaat dalam rumah tangga.
Adapun sakinah diambil dari kata sa-ka-na yang berarti
diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Sakinah dalam perkawinan,
bersifat aktif dan dinamis. Sakinah merupakan kata kunci yang amat penting,
dimana pasangan suami istri merasakan kebutuhan untuk mendapatkan
kedamaian, keharmonisan, dan ketenangan hidup yang dilandasi oleh
keadilan, keterbukaan, kejujuran, kekompakan dan keserasian, serta berserah
diri kepada Allah.126
Untuk menuju kepada sakinah terdapat tali pengikat yang
125
Siti Musdah Mulia, Muslim Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan
(Bandung: Mizan, 2005), h. 228.
126 Ch Mufidah, Psikologi Keluarga Berwawasan Gender (Malang: UIN MALANG
PRESS, 2008) cet. 1, h., 49.
60
dikaruniakan oleh Allah kepada suami isteri setelah melalui perjalanan sakral,
yaitu berupa mawaddah, rahmah, dan amanah. Amanah merupakan sesuatu
yang disertakan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari
pemberiannya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanahkan akan
terpelihara dengan baik.127
Kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga dewasa ini telah
menjadi sebuah kebutuhan setiap pasangan suami isteri, sebab prinsip-prinsip
membina keluarga sakinah sama dan sebangun dengan prinsip-prinsip dasar
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Dengan demikian keluarga
sakinah berwawasan gender merupakan keluarga idaman bagi setiap keluarga
karena tujuan perkawinan dapat diraih sesuai dengan harapan dalam
membangun rumah tangga bahagia.128
127
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 208-209 dalam
Ch Mufidah, Psikologi Keluarga Berwawasan Gender (Malang: UIN MALANG PRESS,
2008) cet. 1, h. 50.
128 Ch Mufidah, Psikologi Keluarga Berwawasan Gender, h. 51.
61
BAB III
TINDAK PIDANA PERKARA PERKAWINAN PUTUSAN NO.
729/Pid.B/2014/PN.TNG
A. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Perkara Putusan No.
729/Pid.B/2014/PN.TNG
1. Kronologi Perkara
Pada hari Rabu tanggal 12 Desember 2007 terdakwa GS menikah
dengan saksi korban Ns (istri pertama) dengan nomor di buku nikah No.
1289/33/XII/2007 di KUA Pamulang, Kota Tangerang Selatan dan telah
dikarunia 1 (satu) orang anak perempuan. Pada bulan Juli 2009, Ns
bertengkar dengan saudara GS, karena Ns merasa GS tidak pernah
memberikan nafkah kepadanya dan anaknya. Tahun 2010, GS mengajukan
pernyataan cerai secara sepihak yang ditandatangani oleh orang tuanya,
karena merasa tidak senang lalu Ns meminta perceraian secara sah, namun
tidak pernah ada tanggapan dari GS. Pada bulan November 2011, Ns
mendengar informasi dari tetangganya bahwa saudara GS sudah menikah
lagi secara sah di daerah Pondok Aren. Lalu saudari Ns mencari tahu
kebenaran kabar tersebut dan mendapat keterangan secara tertulis dari
kepala KUA Pondok Aren yang isinya menerangkan bahwa benar saudara
GS telah menikah dengan Ly secara sah di KUA Pondok Aren pada hari
Minggu tanggal 04 Desember 2011 dirumah mempelai Ly. Terdakwa GS
bersama Ly telah melakukan perkawinan tanpa adanya pemberitahuan atau
ijin terlebih dahulu dari Ns selaku istri sah pertama GS, sehingga saudari
Ns merasa dirugikan secara moril dan materiil.
Pada hari Minggu tanggal 04 Desember 2011, bertempat di KUA
Kec. Pondok Aren kota Tangerang Selatan, GS (terdakwa) telah
melakukan perkawinan dengan Ly (saksi), dengan Kutipan Akta Nikah
Nomor: 1707/19/XII/2011. GS (terdakwa) menikah tanpa seijin Ns selaku
isteri yang sah, dan dari pernikahan GS dengan Ns telah dikarunia 1 (satu)
62
orang anak. Kemudian perkawinannya GS (terdakwa) yang terdahulu
dengan Ns menjadi penghalang yang sah untuk melakukan perkawinan
lagi, karena secara Undang-Undang status perceraian mereka tidak sah.
Artinya hubungan GS (terdakwa) dengan Ns masih terikat perkawinan.
2. Dakwaan
Adapun isi dakwaan penuntut umum terhadap tindak pidana
menikah lagi tanpa izin dari isteri sebelumnya yang dilakukan oleh
terdakwa GS yang dibacakan pada persidangan dihadapan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Tangerang yang pada pokoknya mengatakan sebagai
berikut:
Bahwa terdakwa bersama-sama dengan saksi Ly telah melakukan
perkawinan tanpa adanya pemberitahuan atau ijin terlebih dahulu dari
saksi Ns selaku istri sah pertama dari terdakwa sehingga saksi Ns merasa
dirugikan secara moril dan materiil.
Maka Pengadilan Negeri Tangerang yang berwenang memeriksa
dan mengadili perkara terdakwa tersebut, menyatakan terdakwa sebagai
orang yang melakukan, menyuruh, melakukan atau turut serta
melakukan, mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi
penghalang yang sah untuk itu. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur
dan diancam pidana sesuai ketentuan Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP JO
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
3. Tuntutan Penuntut Umur (Requesitoir)
Mengenai tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap tindak pidana
menikah lagi tanpa izin dari isteri sebelumnya yang dilakukan oleh
terdakwa, maka penuntut umum mengajukan kepada Hakim Pengadilan
Negeri Tangerang yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar
memutuskan antara lain sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa GS bersalah melakukan tindak pidana
Mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan-
63
perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 279 ayat (1) ke-1
KUHP sebagaimana dalam dakwaan kami.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama
5 (lima) bulan dengan dikurungi selama terdakwa berada dalam
tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan di Rutan.
3. Menyatakan barang bukti berupa:
- 2 (dua) buah buku kutipan Akta Nikah Asli Nomor:
1707.19.XII.2011 tentang pernikahan antara GS dan Ly,
Dipergunakan dalam perkara lain atas nama terdakwa Ly
4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
2000,- (dua ribu rupiah).
4. Amar Putusan
Adapun yang menjadi amar putusan dalam perkara ini adalah
sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa GS tersebut diatas telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Mengadakan
perkawinan padahal mengetahui perkawinannya terdahulu menjadi
penghalang yang sah untuk itu”.
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 3 (tiga) bulan 7 (tujuh) hari.
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurungkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
5. Menetapkan barang bukti berupa:
- 2 (dua) buah buku kutipan Akta Nikah Asli Nomor:
1707.19.XII.2011 tentang pernikahan antara GS dan Ly.
Dipergunakan dalam perkara lain atas nama terdakwa Ly.
6. Membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,-
(dua ribu rupiah).
64
5. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Putusan No.
729/Pid.B/2014/PN.TNG
1. Pembuktian Pasal yang Didakwakan
Mengenai pertimbangan Hakim, terdakwa yang telah melakukan
perbuatan itu, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa telah memenuhi unsur-unsur
dari pasal yang telah didakwakan tersebut diatas. Adapun pertimbangan
hukum Majelis Hakim adalah sebagai berikut:
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan
mempertimbangkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yakni melanggar
Pasal 279 Ayat (1) Ke-1 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Menimbang, bahwa sesuai dengan fakta-fakta persidangan baik
dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, bukti surat dan barang bukti,
Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan melanggar Pasal 279
Ayat (1) Ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1) Setiap orang;
2) Mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang
sah untuk itu;
Unsur 1. Setiap orang.
Bahwa pengertian barang siapa tidak diatur secara tegas dalam
Undang-undang Hukum Pidana, namun dalam praktek peradilan
pidana di Indonesia barang siapa diartikan sebagai siapa saja dimana
setiap orang baik laki-laki atau perempuan tanpa membedakan jenis
kelamin dapat merupakan subyek hukum atau pelaku tindak pidana
yang sehat akal pikirannya serta mampu dipertanggungjawabkan atas
perbuatan yang didakwakan, bahwa dalam perkara ini orang yang
didakwa dan diajukan dipersidangan adalah terdakwa GS yang cakap
secara hukum.
65
Unsur 2. Mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi
penghalang yang sah untuk itu.
- Bahwa sekira tahun 2010 terdakwa mengajukan pernyataan cerai
secara sepihak yang di tandatangani oleh orang tua terdakwa yaitu
saksi GY, karena merasa tidak senang lalu saksi Ns meminta
perceraian secara sah kepada tedakwa namun tidak pernah ada
tanggapan dari terdakwa;
- Bahwa terdakwa bersama-sama dengan saksi Ly telah melakukan
perkawinan tanpa adanya pemberitahuan atau ijin terlebih dahulu
dari saksi Ns selaku istri sah pertama dari terdakwa sehingga saksi
Ns merasa dirugikan secara moril dan materiil.
Menimbang, bahwa dengan telah terbuktinya terdakwa tersebut
melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang telah dipertimbangkan
diatas dan di persidangan ternyata tidak dapat ditemukan/diperoleh tentang
adanya hal-hal yang dapat menghapuskan sifat perbuatan melawan hukum
dari terdakwa, oleh sebab mana atas diri terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka terdakwa dinyatakan
bersalah dan dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya itu.
Menimbang, bahwa tentang lamanya terdakwa berada dalam
tahanan, akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,
sebagaimana maksud dari ketentuan Pasal 22 ayat (4) KUHAP.
2. Hal-Hal yang Memberatkan dan Meringankan
- Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa merugikan saksi Ns
- Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa berlaku sopan dalam menjalani proses persidangan
2. Terdakwa belum pernah dihukum
3. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya
4. Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya
66
Menimbang, bahwa hukuman yang dijatuhkan atas diri terdakwa
seperti tercantum dalam amar putusan menurut pendapat Majelis Hakim,
telah sesuai dan setimpal dengan kesalahan terdakwa.
Menimbang, bahwa lagi pula asas umum pemidanaan yang dianut
dalam hukum positif, bukan merupakan pembalasan akan tetapi
merupakan pembinaan sebagaimana maksud dari ketentuan perundang-
undangan.
Memperhatikan Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP serta pasal-pasal
lain yang berkaitan dengan perkara ini.
67
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF PUTUSAN NO. 729/Pid.B/2014/PN.TNG
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM,
HUKUM POSITIF DAN GENDER
A. Tinjauan Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG Tentang Tindak Pidana
Terhadap Asal Usul Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam Islam ketika seseorang melakukan kejahatan maka harus ada
pertanggung jawaban pidana. Islam membagi tiga dalam mengatur hukuman
pidana, pertama jarimah hudud, yaitu hukuman yang diberikan terhadap
pelaku pidana sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Kedua jarimah qisas, yaitu
hukumannya sudah tertentu terbatas, dalam artian bahwa hukumannya telah
ditentukan oleh syara, dan tidak ada batas minimal dan maksimal. Ketiga
jarimah ta‟zir, yaitu sanksi pidana yang diberlakukan untuk pelaku pidana
tidak terdapat dalam Al-Quran dan hadits, hukuman ini ditentukan oleh
penguasa. Dalam hal ini Pasal 279 KUHP merupakan tindak pidana
perkawinan yang tidak diatur dalam Al-Quran dan hadits.
Maka pasal tersebut termasuk hukum ta‟zir yang digunakan dalam
sanksi pidana hukuman ta‟zir. Dalam hal ini hukumannya tidak ditentukan
oleh syara‟ dan penentuan hukumnya ditentukan oleh penguasa. Dasar untuk
melakukan hukuman ta‟zir sudah dijelaskan dalam Al-Quran dan hadits.1
Dalam Al-Qur‟an surat Al-Fath ayat 8-9:
)٩-٨ : لفتحا(
Artinya: “Sungguh, Kami mengutus engkau (Muhammad) sebagai saksi,
pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan.(8) Agar kamu semua
1 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009),
Cet 1, h., 182.
68
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya,
membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya pagi dan petang. (9) (QS. Al-
Fath: 8-9)
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim:
في ناسا حبس سلمو عليه صلى الله لسور أ ن جده عن بيهأ عن حكيم بن بهز عن
2(لحاكما صححهو لنسائىا هروا) تهمة
“Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW
menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan”. (H.R. An-
Nasa‟i, serta dishahihkan oleh Hakim).
Sebagian ulama mengartikan ta‟zir sebagai hukuman yang berkaitan
dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak ditentukan
Al-Qur‟an dan Hadits. Ta‟zir berfungsi memberikan pengajaran kepada si
terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatannya.3
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum sanksi ta‟zir,4 diantaranya yakni:
1. Menurut golongan Malikiyah dan Hanabilah, ta‟zir hukumnya wajib
sebagaimana hudud karena merupakan teguran yang disyari‟atkan untuk
menegakkan hak Allah dan seorang kepala Negara atau kepala daerah
tidak boleh mengabaikannya.
2. Menurut Syafi‟i, ta‟zir hukumnya tidak wajib. Seorang kepala Negara atau
kepala daerah boleh meninggalkannya jika hukum itu tidak menyangkut
hak adami.
3. Menurut Hanafiyah, ta‟zir hukumnya wajib apabila berkaitan dengan hak
adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak
dapat digugurkan, kecuali oleh orang yang memiliki hak itu. adapun jika
berkenaan dengan hak Allah, keputusannya terserah hakim. Jika hakim
2 Ahmad bin Su'aib Abu Abdurrahman Annasa'i, Sunan Nasa'i, Al-Mujtaba min al-
Sunan, (Halab: al-Mathbu'at al-Islamiyah, 1986-1406), Cet. Ke-II, Juz. 8, No. 4875, h., 66
3 Jail Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), h., 8.
4 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h., 145.
69
berpendapat ada kebaikan dalam penegakkannya maka ia melaksanakan
keputusan itu. Akan tetapi, jika menurut hakim tidak ada maslahat maka
boleh meninggalkannya, artinya si pelaku mendapat ampunan dari hakim.
Sanksi ta‟zir dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh
kemaslahatan umum, meskipun perbuatannya bukan perbuatan maksiat,
melainkan pada awalnya mubah. Perbuatan-perbuatan yang termasuk
kelompok ini tidak bisa ditentukan, karena perbuatan tersebut tidak
diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut
ada maka perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tertentu tidak ada maka
perbuatannya mubah. Sifat yang menjadi alasan (ilat) dikarenakan hukuman
atas perbuatan tersebut adalah membahayakan atau merugikan kepentingan
umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan
umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenakan
hukuman.5
Teori mengenai filosofi syari‟ah (maqashid as-syari‟ah), bila dilihat
dari asas-asas fundamental pembinaan hukum Islam, pendekatan teori
maslahah paling cocok untuk menerapkan sanksi hukum. Fungsi maslahah
adalah melindungi lima hak dasar yaitu, agama, jiwa, harta, akal dan
keturunan. Sanksi hukum dalam hukum perkawinan dapat melindungi para
pihak-pihak yang menjadi korban baik itu istri dan anak-anak dari pelaku yang
beritikad tidak baik dalam masalah perkawinan dan perceraian.6
Tindak pidana perkawinan dalam Pasal 279 KUHP merupakan
perbuatan yang merugikan hak perorangan dengan sengaja. Sehingga ada yang
dikorbankan oleh pelaku yang melakukan kejahatan sesuai dengan pasal
tersebut. Perbuatan pada pasal ini memiliki dampak yang merugikan hak
orang lain diantaranya, isteri yang sah (korban) dan keturunan. Pasal 279
5 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.,
251.
6 Hadi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
1987), h., 58.
70
KUHP menjelaskan sebagai berikut, diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun:
1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi
penghalang yang sah untuk itu.
2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang
untuk itu.
Pasal ini menjelaskan seseorang dijerat pidana ketika melakukan
perkawinan terdapat penghalang yang sah. Dalam perspektif hukum pidana
Islam, melakukan perkawinan mengetahui dan menyembunyikan penghalang
yang sah atau tanpa izin dari isteri pertama merupakan tindak pidana yang
mengakibatkan pelakunya mendapatkan hukuman ta‟zir karena merupakan
bagian dari jarimah yang merugikan hak perorangan (individu). Sanksi ta‟zir
yang diberikan dalam pelaku tindak pidana tersebut ialah penjara yang
ditentukan oleh penguasa.
Dalam hukum pidana Islam, untuk mengetahui suatu perbuatan itu
dapat dipandang sebagai perbuatan jarimah dan pelakunya dapat dikenai
pertanggungjawaban pidana apabila telah terpenuhi beberapa unsur, yaitu:
1. Unsur Formil (adanya Undang-Undang atau nash)
Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang
disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan diatas. Unsur ini
dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah al-rukn al-syar‟i.7
Dalam hukum positif lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) atau dikenal juga dengan asas legalitas.
2. Unsur Materil (sifat melawan hukum)
Salah satu aturan pokok dalam hukum pidana Islam adalah
mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah hal yang
7 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h., 3.
71
dilarang.8 Setelah mengetahui bahwa yang dilakukannya merupakan hal
yang dilarang, tetapi perbuatan dilarang itu tetap dikerjakan atas kemauan
sendiri atau adanya niat dari pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut.
Dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah al-rukn al-maddiy.
3. Unsur Moril (pelakunya mukallaf)
Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima kitab atau
dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf,
sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.
Unsur ini dikenal dengan istilah al-rukn al-adabi.9 Artinya orang yang
melakukan bukan orang gila dan anak-anak.
Dengan demikian jika dilihat dari unsur-unsur tersebut, maka ketiga
unsur pertanggungjawaban dalam hukum pidana Islam sudah terpenuhi.
Tujuan memberikan sanksi kepada pelaku ta‟zir mengandung aspek
kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat, yakni:10
1. Sebagai preventif, yaitu bahwa sanksi ta‟zir harus memberikan dampak
positif bagi orang lain (orang yang tidak dikenai hukuman ta‟zir),
sehingga orang lain selain pelaku tidak melakukan perbuatan yang sama.
2. Sebagai represif, yaitu bahwa sanksi ta‟zir harus memberikan dampak
positif bagi pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatan yang
menyebabkan pelaku dikenakan sanksi (jera). Oleh karena itu, sanksi
ta‟zir, baik dalam tujuan sanksi preventif dan represif harus sesuai dengan
keperluan, tidak lebih dan tidak kurang dengan menerapkan prinsip
keadilan.
3. Sebagai kuratif, yaitu sanksi ta‟zir harus mampu membawa perbaikan
sikap dan perilaku terhukum dikemudian hari.
8 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syaamil, 2000),
h., 171.
9 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), h.,
3. 10
Ibid, h., 186.
72
4. Sebagai edukatif, yaitu sanksi ta‟zir harus mampu menumbuhkan hasrat
pelaku ataupun orang lain untuk mengubah pola hidupnya sehingga pelaku
akan menjauhi perbuatan maksiat bukan karena takut hukman melainkan
karena tidak senang terhadap kejahatan. Dalam hal ini pendidikan agama
sebagai sarana memperkuat keimanan dan ketakwaannya, sehingga ia
menjauhi segala macam maksiat untuk mencari keridhaan Allah SWT.
Didalam putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG pelaku memang tidak
murni melakukan poligami karena telah bercerai dengan isteri pertamanya
diluar pengadilan. Dimana perceraian diluar pengadilan ini hanya sah menurut
hukum agama tetapi belum sah secara hukum negara karena belum dilakukan
di depan sidang Pengadilan Agama. Sebagaimana disebutkan pada pasal 39
ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi: “Perceraian
hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Bagi Islam, perkawinan itu dapat diputuskan tanpa melalui pengadilan atau
diluar pengadilan. Akan tetapi setelah keluarnya Undang-Undang Perkawinan,
hal yang demikian tidak dibenarkan lagi. Akibat dari perceraian yang
dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami isteri
tersebut belum putus secara hukum atau dengan kata lain, baik suami atau
isteri tersebut masih sah tercatat sebagai suami-isteri. Maka pengadilan
menjatuhkan hukuman pada Pasal 279 karena pelaku belum bercerai secara
sah namun sudah melakukan perkawinan baru, dimana perkawinan barunya
ini mempunyai penghalang yang sah.
Mengenai perceraian yang menjadi sebab pada masalah ini, memang
dalam fikih klasik suami diberi hak yang luas untuk menjatuhkan talak,
sehingga kapan dan dimanapun ia mengucapkannya, talak itu jatuh seketika.
Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-„Arba‟ah
kecuali al-Nasa‟i sebagai berikut:
73
هن جد ثثلا لاق سلمو عليه الله صلى الله لسور أ ن عنه الله ضير ةهرير بىأ عن
11لحاكم(ا صححهو لنسائيا لاٳ بعةرلأا ه)روا لرجعةوا قلطلاوا حلنكاا جد لهن هزو جد
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada
tiga perkara apabila diucapkannya dengan sungguh-sungguh maka hukumnya
adalah sungguh-sungguh dan apabila diucapkannya dengan main-main
(bukan sungguh-sungguh) maka hukumnya juga adalah sungguh-sungguh,
yaitu nikah, thalaq, dan rujuk” (Diriwayatkan oleh al-„Arba‟ah kecuali al-
Nasa‟i dan di-shahih-kan oleh hakim).
Walaupun dalam hukum Islam tidak ditentukan bahwa perceraian
harus di depan sidang Pengadilan seperti yang dikehendaki Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), namun karena
lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak, maka sudah
sepantasnya umat Islam mengikuti ketentuan ini karena hukum Islam tidak
membenarkan apabila perceraian itu dilakukan secara sembarangan, apalagi
sampai berdampak pada pihak-pihak yang harus dilindungi.
Mengenai perceraian yang dilakukan di pengadilan ulama madzhab
fiqh berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya perceraian di pengadilan
sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.12
Imam Malik, Syafi‟i, dan
Ahmad ibnu Hambal membolehkan perceraian dengan putusan pengadilan,
jika isteri menuntutnya karena tidak diberikannya nafkah pokok dan suami
tidak mempunyai simpanan harta. Alasan-alasan bagi pendapat ini sebagai
berikut:
1. Suami berkewajiban memelihara isterinya dengan baik atau mencerainya
dengan baik, karena Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 229:
11
Abi 'Isa Muhammad bin 'Isa at-Turmudzi, Sunan Al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-
Gharib al-Islamiyah, 1998), Jilid. 2, Juz. 6, h., 481.
12 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj. Moh. Abidun, dkk, Fiqih Sunnah, Juz III Cet. IV,
(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2012) h., 87-89.
74
)٢٢٩ : اةلبقرا(
Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak
ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah: 229)
2. Jika diakui bahwa pengadilan boleh menjatuhkan thalaq karena cacat
suami, maka karena alasan nafkah sebenarnya dapat dikatakan lebih
membahayakan dan menyakitkan isteri daripada cacar tersebut.
Imam Hanafi berpendapat bahwa tidak boleh pengadilan menjatuhkan
thalaq karena alasan nafkah, baik dikarenakan suami tidak mau memberinya
atau karena berat dan tidak mampu. Pendapat ini didasarkan pada firman
Allah dalam surat Al-Thalaq ayat 7 yang berbunyi:
)٧: قلط٘لاا(
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.
(QS. Al-Thalaq: 7)
75
Jika mengamati aturan-aturan fiqh berkenaan dengan talak, terkesan
seolah-olah fiqh memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat
tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah
talak menjadi hak prerogatif laki-laki sehingga bisa saja seorang suami
bertindak otoriter, misalnya mencerai isteri secara sepihak.13
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengharuskan talak yang dijatuhkan
suami haruslah melewati proses persidangan sekalipun talak merupakan hak
mutlak yang dimiliki oleh suami. Dengan kata lain, pasal 115 dan 117 KHI14
menjelaskan lebih rinci tentang proses pelaksanaan talak, yaitu talak sebagai
salah satu sebab perceraian tidak serta merta jatuh kecuali setelah diperiksa
dan diterima oleh Pengadilan Agama, barulah ikrar talak dapat diucapkan dan
seketika itulah jatuhnya talak terhadap isteri.15
Menurut Al-Haddad, ada empat alasan yang terpenting dari pentingnya
talak didepan pengadilan, yaitu: 1; kehadiran Pengadilan adalah untuk
meluruskan segala tindakan yang melenceng untuk disesuaikan dengan ajaran
Islam. Dalam kasus talak seorang suami sebelum menjatuhkan talak harus
berpikir mendalam dampak yang ditimbulkan oleh keputusannya itu sehingga
ia menjadi lebih hati-hati dan rasional. 2; dengan melalui proses pengadilan
diharapkan penggunaan hak talak agar dilakukan secara benar dan diterapkan
hanya dalam kondisi darurat. 3; pengadilan sebenarnya berfungsi sebagai
hakam seperti yang dianjurkan oleh syari‟at Islam. 4; pengadilan diharapkan
13
Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terfikirkan: Tentang Isu-Isu Keperempuan
dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h., 170.
14 Pasal 115 KHI, Peceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan
Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak. Pasal 117 KHI, Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 129, 130, dan 131.
15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1990), h., 114.
76
dapat berperan menjamin hak-hak masing-masing pihak sebagai akibat dari
perceraian, misalnya jaminan ganti rugi dalam talak mut‟ah.16
Selanjutnya dari pernyataan Ahmad Syafwat sebagaimana yang
dikutip oleh Khairuddin Nasution, menyatakan keharusan izin dari Pengadilan
untuk poligami dan talak pada pemikiran bahwa ada hukum yang
membolehkan tindakan tertentu. Hukum seperti ini harus dipertahankan
kecuali kalau ternyata kehadirannya bertentangan dengan maslahat.
Pencatatan harus adanya izin untuk poligami dan talak bukan saja bersifat
anjuran tetapi lebih dari itu memberikan maslahat yang cukup besar bagi
pihak-pihak yang lahir akibat perceraian.17
Pengaruh dan dampak positif
perceraian di depan sidang Pengadilan diantaranya tidak mudahnya
perceraian, dapat mengurangi tingkat perceraian, dan hakim dapat mengatur
masalah nafkah bagi isteri dan anak pasca perceraian, termasuk hak asuh anak,
dan dengan perceraian di pengadilan dapat menimbulkan keadilan bagi suami
isteri, seperti adanya jalan bagi pihak lain untuk menikah secara resmi.
Bagi umat Islam aturan mengenai perceraian ini merupakan ganjalan
yang relatif masih besar atau sekurang-kurangnya masih menjadi tanda tanya
yang belum terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan kesadaran hukum
yang selama ini berkembang yaitu aturan fikih. Aturan fikih mengizinkan
perceraian atas dasar kerelaan kedua belah pihak, atau atas insiatif suami atau
juga inisiatif isteri secara sepihak, bahkan perceraian boleh dilakukan tanpa
campur tangan lembaga peradilan.18
Sehubungan dengan sahnya perkawinan kedua terdakwa GY dengan
saudari LY, menurut hukum Islam perkawinannya dapat dinyatakan tidak sah
16
Tahir al-Haddad, Wanita dalam Syari‟at dan Masyarakat, terj. M. Adib Bisri,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h., 87.
17 Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Seri INIS XXXIX,
(Jakarta: 2002), h., 203.
18 Alyasa Abubakar, Ihwal Perceraian di Indonesia Perkembangan Pemikiran dari
Undang-Undang Perkawinan sampai Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA Islam, 1998), h., 57.
77
karena adanya indikasi dengan cara yang tidak ma'ruf yaitu penipuan dalam
pemalsuan identitas menggunakan dokumen palsu yaitu dengan membuat
keterangan identitas baru dimana statusnya masih menjadi jejaka. Hal tersebut
telah menimbulkan ke mudharatan bagi isteri pertama. Berdasarkan hukum
Islam dan sesuai dengan dasar hukum, perkawinan tersebut dapat dibatalkan
walaupun mereka melakukan perkawinan menurut hukum agamanya masing-
masing dan dicatat perkawinannya.
Menurut hukum Islam, suatu hukum dapat dilaksanakan dengan
berdasarkan tata urut keabsahan sumber hukum Islam. Dalam hukum Islam
sendiri tata urut keabsahan sumber hukum Islam bersumber pada Al-Qur‟an,
Hadits dan Ijma-Qiyas. Penjelasan mengenai tata urut sumber hukum ini
adalah apabila suatu hukum yang berhubungan dengan perkembangan
kehidupan umat manusia tidak ditemukan atau kurang jelas mengenai
penjelasannya dalam Al-Qur‟an, maka diperbolehkan menggunakan sumber
hukum Hadits yang berkenaan dengan hukum tersebut. Jika didalam hadits
juga ditemukan hukum yang jelas maupun kurang jelas dalam mejelaskannya,
maka umat Islam diperbolehkan membangun hukum tentang sesuatu hal
tersebut melalui metode ijtihad dalam bentuk ijma‟ maupun qiyas.19
Apabila
pemerintah merasa perlu aturan mengenai sesuatu hal baru yang tidak ada
konsekuensinya dalam nash maupun sumber hukum lainnya, maka penguasa
berkewajiban membuat hukum yang berkepentingan kemaslahatan
keseluruhannya. Termasuk penetapan sanksi bagi pelaku yang tidak taat pada
hukum.20
Perlu diingat bahwa bersumber kepada landasan Al-Qur‟an yang
menyatakan bahwa selain kita patuh kepada Allah dan Rasulnya, kita juga
harus patuh kepada para pemimpin, dalam hal perceraian pemimpin negara
19
M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembanganya
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
h., 109-110.
20 Dedi Iskandar, “Sanksi Pidana dalam Hukum Keluarga”, (Tesis S-2 Program
Pascasarjana Magister Al-Ahwal Al-Syakhsiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang, 2013), h., 24.
78
telah mempercayakan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berhak
menyelesaikan perceraian bagi orang Islam sehingga perceraian harus
mengikuti aturan dari Undang-Undang yaitu harus melalui persidangan.
B. Tinjauan Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG Tentang Tindak Pidana
Terhadap Asal Usul Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif
Tindak pidana perkawinan diatur dalam Pasal 279 KUHP tentang
tindak pidana terhadap asal-usul perkawinan, dalam pasal tersebut seseorang
dipenjara ketika melakukan perkawinan mengetahui atau menyembunyikan
penghalang yang sah. Tindak pidana perkawinan termasuk kepada tindak
pidana pelanggaran terhadap kedudukan perdata. Pasal 279 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa:
1. Diancam dengan pidana 5 (lima) tahun:
a. Barang siapa yang mengadakan perkawinan padahal mengetahui
bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada
menjadi penghalang yang sah untuk itu.
b. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa
perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi
penghalang untuk itu.
2. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1
menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada
menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda menyebutkan tindak
pidana tersebut dinamakan dubble huwalijke atau bigami, karena di negara
Belanda diantara seluruh warganya menganut prinsip monogami, maka tindak
pidana semacam ini selalu mengakibatkan adanya 2 (dua) perkawinan. Di
Indonesia diantara para penganut agama Islam, ada kemungkinan seorang
laki-laki secara sah mempunyai 2 (dua), 3 (tiga), atau 4 (empat) isteri. Oleh
karena itu, diantara mereka seorang laki-laki barulah melakukan tindak pidana
dari Pasal 279 KUHP ini, apabila ia melakukan perkawinan yang ke 5 (lima)
79
setelah 4 (empat) kali melakukan perkawinan secara sah. Bagi si isteri, kawin
kedua kali sudah merupakan tindak pidana ini.21
Unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 279 Ayat (1) KUHP yaitu:
1. Unsur Subyektif, yaitu unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas
hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”
(An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus
non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksudkan disini
adalah kesalahan yang seluas-luasnya yang berarti mengenai
pertanggungjawaban pidana, dalam hukum pidana yang didalamnya
terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya.22
Agar
pelaku dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur-unsur dengan
sengaja disidang Pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara,
hakim dan penuntut umum harus dapat membuktikan:23
1) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya
bertentangan dengan hukum.
2) Ia dapat menentukan sesuai kehendaknya tersebut dengan
kesadarannya.
Dilihat dari aspek materil, dicantumkannya unsur khusus itu
berupa fungsi sebagai penekanan dari pihak pembuat Undang-Undang
mengenai unsur tertentu dari kesengajaan yang harus dipenuhi, yaitu
menekankan pada unsur mengetahui (bukan unsur kehendak atau
menghendaki yang juga merupakan unsur kesengajaan). Dilihat dari
formal/prosedural, jaksa dan hakim harus membuktikan unsur-unsur
kesengajaan secara tegas dalam hal unsur mengetahui.24
21
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: PT. Eresco,
1981), h., 76.
22 Soedarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip
Semarang, 2009) h., 151.
23 Ibid, h., 156-157.
24 Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana,
2011), h., 92.
80
2. Unsur Obyektif, yaitu unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:25
1) Perbuatan manusia berupa:
a) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif
b) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
2) Akibat (result) perbuatan manusia
Akibat perbuatan tersebut membahayakan atau merusak, bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh
hukum (nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan
sebagainya).
3) Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:
a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan
b) Keadaan setetlah perbuatan dilakukan
4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum
adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum yakni,
berkenaan dengan larangan atau perintah.
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 279 KUHP,
dapatlah diketahui bahwa Pasal 279 KUHP tidak melarang atau mengancam
seseorang untuk melakukan poligami. Tetapi hanya mengancam perbuatan
poligami yang dilakukan secara ilegal. Apabila unsur adanya penghalang yang
sah tidak terbukti dengan adanya izin berpoligami dari pengadilan maka batal
lah ancaman pidana tersebut.
Dalam unsur ini syarat agar orang dapat dihukum dalam Pasal 279
Ayat (1) ke-1, ialah orang itu harus mengetahui bahwa ia dulu pernah kawin
25
Leden Marpaung,Asas Teori Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
h., 9-10.
81
dan perkawinan ini belum dilepaskan. Menurut Pasal 199 B.W. (hukum sipil)
perkawinan itu menjadi lepas disebabkan:26
a. Karena mati
b. Karena seseorang meninggalkannya selama 10 tahun dan diikuti dengan
perkawinan salah seorang itu dengan orang lain
c. Karena ada vonis perceraian oleh hakim
d. Karena perceraian biasa menurut peraturan dalam B.W.
Jika dilihat dari sudut pandang Pasal 279 KUHP maka perbuatan
menyembunyikan atau mengetahui penghalang yang sah dalam perkawinan
akan terpandang sebagai perbuatan pidana kejahatan kategori ringan dengan
ancaman penjara maksimal 5 (lima) tahun, namun jika perbuatan tersebut
didasari atas kebohongan maka ancaman pidana maksimal 7 (tujuh) tahun.
Menurut Moeljatno, “Perbuatan pidana hanya merujuk kepada dilarang
dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang
melakukan perbuatan pidana kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana
telah diancamkan, hal ini tergantung pada soal apakah dalam melakukan
tindak pidana tersebut dia mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab, asas dalam
pertanggung jawaban dalam hukum pidana “ialah tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan”.27
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, selama ini kita
menganut asas “kesalahan”. Artinya, untuk dapat memidana pelaku pidana,
selain dibuktikan unsur-unsur perbuatan pidana juga pada pelaku harus ada
unsur kesalahan. Ini adalah suatu yang wajar, karena tidaklah adil apabila
menjatuhkan pidana terhadap orang yang tidak mempunyai kesalahan.28
Dasar
pertanggung jawaban pidana adalah kesalahan. Dalam arti sempit kesalahan
dapat berbentuk sengaja atau lalai.
26
Soedarto, Hukum Pidana, h., 203.
27 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet. Ke-9, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2015),
h., 165.
28 Hasan Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggung Jawaban Pidana
Perkembangan dan Penerapan, cet. ke-1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015), h., 117.
82
Dengan demikian pertanggungjawaban pidana merupakan dasar
fundamental hukum pidana, sehingga kesalahan merupakan jantungnya
hukum pidana.29
Hal ini menunjukan bahwa dasar dipertanggungjawabkannya
perbuatan seseorang, ditempatkan di dalam konsep pemikiran kepada terbukti
tidaknya unsur-unsur tindak pidana. Jika terbukti unsur-unsur tindak pidana,
maka terbukti pula kesalahannya dan dengan sendirinya dipidana. Ini berarti
pertanggungjawaban pidana diletakkan kepada unsur-unsur tindak pidana.
Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukalah sekedar
pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.30
Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari
pemidanaan yaitu:
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de
maatschappelijke orde);
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat
dari terjadinya kejahatan (het herstel van het doer de misdaad onstane
maatschappelijke nadeel);
3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);
4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);
5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).31
Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan
bahwa, pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan –tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering
juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya
pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan
29
M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, cet. Ke-2, (Malang: Setara
Press, 2016), hlm 205.
30 Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, h,.
70.
31 Koeswadji, ”Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), cet-1, h., 12.
83
bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan
“nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).32
Berkaitan dengan perkara No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG, terdakwa
dijerat Pasal 279 karena telah melakukan perceraian diluar pengadilan dengan
isteri pertamanya, kemudian setelah perceraian tersebut ia melakukan
perkawinan kedua dengan orang lain. Dengan perbuatan terdakwa tersebut
maka status perceraian dengan isteri pertamanya menurut Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak sah, dan status mereka masih terikat
perkawinan. Artinya menurut Undang-Undang Perkawinan, seseorang tidak
dapat melakukan perkawinan untuk kedua kalinya apabila masih terikat
dengan perkawinan sebelumnya, kecuali adanya ijin dari Pengadilan.
Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan
secara efektif yaitu sejak tanggal 1 Oktober 1975 tidak dimungkinkan
terjadinya perceraian diluar prosedur pengadilan. Untuk perceraian harus ada
cukup alasan bahwa suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami isteri. Pengaturan tentang hal tersebut termuat dalam banyak pasal,
antara lain:33
Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975:
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada
Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya
serta memintanya kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk
keperluan itu.
Pasal 16:
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang Pengadilan
untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14 apabila
32
Muladi dan Arief Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h., 16.
33 Mona Eliza, Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Perkawinan dan Akibat
Hukumnya, (Jakarta: Adelina Bersaudara, 2009), h., 123.
84
memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam pasal 19
Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara
suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 18:
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di
depan sidang Pengadilan.
Namun faktanya, dengan ditetapkannya Undang-Undang Perkawinan
tersebut tidak begitu berpengaruh bagi sebagian masyarakat yang sudah
terbiasa melakukan perceraian diluar pengadilan, padahal perceraian tersebut
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pihak suami dan isteri. Hal dasar
sebagai dampak negatif dari perceraian diluar pengadilan adalah tidak adanya
kepastian hukum untuk percerainnya, maka dianggap tidak ada perceraian
bagi suami isteri yang bercerai diluar pengadilan tersebut karena tidak ada
legal formalnya, padahal legal formal mengenai perceraian bagi orang Islam
itu hanya dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Suami yang melakukan
perceraian diluar pengadilan akan mengalami kesulitan ketika hendak
menikah lagi dengan perempuan lain. Status tidak sah bagi perkawinan baru
yang dilakukan pasca perceraian diluar pengadilan juga berlaku bagi pihak
isteri. Perkawinan selanjutnya yang dilakukan oleh pasangan yang bercerai
diluar Pengadilan adalah tidak sah atau ilegal. Status tidak sah tersebut tidak
lain karena suami atau isteri secara tidak langsung telah melaksanakan
perkawinan poligami/poliandri dan tidak akan mendapatkan hak apapun bagi
suami isteri yang melakukan perceraian tersebut.
Dalam hal status perkawinan baru yang dilakukan terdakwa pasca
perceraian diluar pengadilan menurut bapak Indra Cahya (salah satu hakim) di
Pengadilan Negeri Tangerang, dapat dinyatakan tidak sah karena adanya
penghalang yang sah untuk melakukan perkawinan lagi yaitu dari isteri
pertama dimana statusnya masih terikat perkawinan dengan terdakwa, selain
itu terdakwa telah melakukan pemalsuan identitas menggunakan dokumen
palsu dengan membuat keterangan identitas baru yang statusnya masih jejaka.
85
Beliau menilai perbuatan itu merupakan suatu perbuatan tindak pidana tentang
sumpah palsu dan keterangan palsu, dan dicatat perkawinannya sebagaimana
ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 Ayat (2)
tanpa adanya bukti atau akta cerai dari perkawinan sebelumnya.34
Didalam perkawinan apabila terdapat adanya penghalang yang sah dan
terjadinya pemalsuan identitas maka itu akan berdampak pada timbulnya
pembatalan perkawinan, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24 dan
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan
keduanya ini telah fasakh dan dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada,
dan suami isteri yang perkawinannya batal dianggap tidak pernah kawin
sebagai suami isteri.35
Ketentuan sahnya perkawinan terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang
Perkawinan, yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa sebuah perkawinan telah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan, maka perkawinan
tersebut telah sah di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya
perkawinan di mata agama dan kepercayaan masyarakat ini perlu disahkan
lagi oleh negara dengan dicatatkannya sesuai peraturan perundangan-
undangan yang berlaku tanpa adanya unsur penghalang dan keterangan palsu.
C. Analisis Penulis Terhadap Korelasi Equality dan Equity Gender dalam
Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG
34
Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Interview Pribadi, Tangerang,
25 Pebruari 2019.
35 Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Interview Pribadi, Tangerang,
25 Pebruari 2019.
86
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami memiliki
kewajiban yang dijelaskan dalam Pasal 149 KHI, bahwa suami yang
menceraikan isterinya dengan mejatuhkan talak wajib memberikan mut‟ah
yang layak kepada isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri
tersebut qabla al-dukhul. Talak yang dijatuhkan suami kepada isteri wajib
memberikan hak kepada isteri pula untuk diberikan nafkah, maskan dan
kiswah kepada bekas isteri. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya,
dan separuh apabila qabla al-dukhul dan memberikan biaya hadhanah untuk
anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.36
Oleh karena itu demi
terwujudnya kemaslahatan, agar hak-hak isteri dan anak pasca perceraian
terpenuhi maka perceraian harus diproses melalui pengadilan. Karena apabila
perceraian tidak dilakukan didepan sidang Pengadilan maka hakim tidak dapat
mengatur hak-hak untuk isteri dan anak-anaknya. Jadi disini ada perubahan
hukum, yaitu dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan dimanapun
menjadi keharusan menjatuhkannya di depan sidang pengadilan. Perubahan
hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
37نمازلأابتغير م لاحكااكر تغير نلا ي
Artinya: “Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman”.
Dalam perkara perceraian diluar pengadilan, akan menimbulkan
permasalahan ketidakadilan gender bagi perempuan. Ketidakadilan tersebut
terlihat dari keadaan isteri yang ditelantarkan oleh suaminya yang tidak
memberikan hak nafkah untuknya bahkan anaknya setelah perceraian. Seolah-
olah perempuan mendapatkan hukuman dari praktek perceraian diluar
pengadilan, ini terkesan menunjukan tidak memberikan keadilan bagi
perempuan. Keadilan bagi perempuan dalam perceraian dapat terjadi jika
36
Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, h., 39.
37 Abdullah Najib Salim, al-Ta'rifu bi Ba'di 'Ulum al-Islami al-Khanif, (Ku ait:
aj rat al-Auqafa wa al-Su uni al-Islamiyah, t.th), Juz. I, h., 71.
87
suami telah menjalankan kewajibannya memberikan hak-hak nafkah kepada
isteri dan anak pasca perceraian. Namun ketidakadilan ini hanya untuk
perceraian yang dilakukan tanpa kesepakatan, dimana suami akan
menceraikan isterinya secara sepihak tanpa dimusyawarahkan dengan
isterinya, apabila suami isteri telah sepakat untuk melangsungkan perceraian
maka ketidakadilan gender ini tidak berlaku karena perceraiannya pun juga
atas keinginan bersama tetapi tetap dilaksanakan di depan sidang pengadilan.
Menurut para feminis hak menjatuhkan talak bagi suami membuka
peluang kesewenangan suami yang tidak bertanggung jawab.38
Untuk itu, hal
tersebut perlu digugat, mengingat banyaknya kasus kesewenang-wenangan
suami menceraikan isterinya, maka untuk melindungi hak isteri ditetapkanlah
hukum bahwa perceraian dinilai tidak sah dan tidak berlaku kecuali apabila
disahkan oleh pengadilan. Ketetapan hukum tersebut diambil untuk menutup
pintu terjadinya kezaliman dan menjaga kesetaraan antara suami dan isteri,39
serta sebagai salah satu bentuk kesetaraan gender. Terjadinya perceraian
diluar pengadilan akan menimbulkan masalah diskriminasi berbasis gender,
dimana perempuan menjadi pihak yang mengalami pembatasan hak, dan laki-
laki cenderung mendapatkan keleluasaan menikmati hak-haknya.40
Hukum perkawinan di Indonesia telah menetapkan hak-hak harta isteri
yang dicerai berupa nafkah „iddah, mut‟ah dan harta gono-gini seperti yang
tercantum dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut, yaitu
Pasal 81 ayat (1), Pasal 136 ayat (2) huruf a dan b, Pasal 149 huruf a dan b,
Pasal 158 dan Pasal 160. Hak-hak isteri tergugat cerai yang diadopsi
Kompilasi Hukum Islam ini termasuk hak-hak yang disepakati oleh jumhur
38
Amina Wadud Muhsin, Wanita Didalam Al-Qur‟an, Terj. Yaziar Radianti,
(Bandung: Pustaka, 1994), h., 106.
39 Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir Al-Sya‟rawi,
(Jakarta: Teraju, 2004), h., 58.
40 M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq, Wajah Sosial Masyarakat Sasak, (Mataram:
LEPPIM, 2008), h., 108.
88
fuqaha, yang keseluruhannya yaitu, 1). Hak nafkah „iddah, 2). Hak mut‟ah, 3).
Hak atas hadhanah, 4). Hakatas upah hadhanah.41
Hak nafkah dan mut‟ah bagi isteri yang di talak yang dikemukakan
oleh berbagai ulama klasik diatas hanya akan efektif atau dapat dipenuhi bila
si isteri tidak diklaim nusyuz. Semua madzhab sepakat bahwa kondisi nusyuz
akan menghalangi isteri mendapatkan hak nafkah, baik nafkah dalam
perkawinan apalagi nafkah „iddah walaupun isteri tersebut sedang hamil.
Mengenai isteri yang hamil, madzhab Maliki berbeda sendiri dengan
mengatakan bahwa isteri hamil yang nusyuz tetap mendapatkan nafkah karena
nafkahnya tersebut diperuntukkan untuk bayinya dan bukan untuk yang
mengandungnya.42
Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan salah
satu tujuannya adalah untuk mengembalikan martabat dan derajat perempuan
Indonesia. Dimana salah satu prinsip atau azasnya adalah menempatkan
kedudukan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga
segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama
oleh suami dan isterinya.43
Dalam Pasal 41 c Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan mewajibkan mantan suami memberikan nafkah
kepada isteri pasca perceraian, seperti yang berbunyi: ”Akibat putusnya
perkawinan karena perceraian ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan
sesuatu ke ajiban bagi bekas isteri”. Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui
bahwa kewajiban mantan suami menafkahi mantan isteri itu ditentukan oleh
Pengadilan. Ini artinya jika perceraian dilakukan diluar pengadilan maka
pengadilan tidak dapat mengatur pemberian nafkah kepada suami untuk istri.
41
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, jilid 2 (Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-
Azhariyyah, 1969), h., 102-105.
42 Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, terj.
Masykur A.B., Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007) h., 101.
43 Baca Penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
89
Untuk menghindari kesewenang-wenangan dari pihak suami yang
tidak memenuhi hak-hak isteri dan juga demi kepastian hukum, maka
perceraian harus melalui lembaga Pengadilan.44
Selain itu ada beberapa
bentuk upaya perlindungan hukum untuk menjaga kesetaraan dan keadilan
gender bagi perempuan diantaranya adalah dengan dilakukannya
penyempurnaan Undang-Undang Perkawinan, menetapkan sanksi pidana bagi
pelaku perceraian sepihak dapat berupa denda atau hukuman penjara dan para
praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat yang tergabung dalam lembaga
swadaya masyarakat melakukan penyuluhan kepada masyarakat agar
mengetahui hak-haknya di muka hukum, khususnya kaum perempuan. Selain
itu dengan menggugatnya isteri kepada Pengadilan itu sudah merupakan
bentuk kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan untuk mendapatkan
kembali hak-haknya.45
Pada dasarnya Peradilan Agama merupakan salah satu sarana yang
efektif untuk mewujudkan pengaturan atas hak-hak material maupun non-
material yang berkeadilan gender. Dari ketentuan diatas jelas bahwa seorang
suami tidak dapat semaunya menceraikan isterinya meskipun ia mempunyai
hak talak. Ketentuan undang-undang tidak menarik hak talak itu dari
kekuasaan suami, tetapi demi kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan,
pelaksanaan hak talak itu harus dibatasi oleh hukum dengan cara suami harus
meminta izin kepada Pengadilan Agama sebagai bentuk perlindungan
terhadap isteri.
D. Analisa Komparatif
44
Sebagaimana pasal 39 (1) yang berbunyi “perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun
1974.
45 Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Interview Pribadi, Tangerang,
25 Pebruari 2019.
90
Menurut analisis penulis bila dilihat dari tindakan yang dilakukan
terdakwa terdapat kesalahan. Dia belum bercerai secara sah dengan isteri
pertamanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
terdakwa dijerat Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP dimana tindak pidana yang
dilakukan terdakwa sesuai dengan apa yang dituntukan oleh jaksa penuntut
umum. Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak
pidana perkawinan dimana perkawinan terdahulu menjadi penghalang untuk
melakukan perkawinan lagi.
Penulis dapat melihat penerapan hukum pidana materiil dalam kasus
tersebut sudah tepat, ini diperkuat dengan hasil wawancara penulis dengan
Bapak Indra Cahya (salah satu hakim) di Pengadilan Negeri Tangerang yang
mengatakan bah a: “Penerapan hukum pidana yang diterapkan oleh Jaksa
Penuntut Umum sudah sesuai. Dengan dakwaan Pasal 279 ayat (1) ke-1
KUHP, dimana terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari pasal 279 KUHP
yaitu melakukan perkawinan dengan sengaja mengetahui adanya penghalang
dalam melakukan perkawinan tersebut.46
Tujuan diterapkannya Pasal 279 KUHP ini adalah untuk melindungi
isteri atau suami yang menjadi pasangan sebelumnya, juga melindungi
kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan dalam mendapatkan hak-
haknya dan mengembalikan derajatnya. Pasal 279 KUHP ini tidak melarang
untuk menikah lagi, tetapi jika seseorang ingin menikah lagi maka pertama, ia
harus melakukannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu dengan
seizin isteri sebelumnya. Kedua, apabila telah bercerai maka harus
memperhatikan apakah perceraiannya tersebut telah dilakukan didepan sidang
Pengadilan atau sebaliknya agar perkawinan selanjutnya tidak memiliki
penghalang.
Dasar hukum pelaksanaan cerai diluar Pengadilan yang dilakukan oleh
terdakwa adalah dasar hukum yang dijelaskan dalam hukum Islam, yakni
dapat dilakukan didepan orang yang memiliki pemahaman dalam bidang
46
Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Interview Pribadi, Tangerang,
25 Pebruari 2019.
91
hukum perkawinan Islam. Menurut penulis, dasar hukum Al-Qur‟an telah
menjadi dasar dari segala hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia,
termasuk dalam hal proses perceraian. Namun jika dikaitkan dengan adanya
lembaga yang telah disediakan oleh pemerintah, maka praktek perceraian
diluar pengadilan tersebut kurang tepat karena telah adanya pengadilan yang
disediakan oleh pemerintah sebagai tempat untuk menyelesaikan
permasalahan yang berkaitan dengan proses perceraian yang bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan terhadap keluarga dan
kepastian hukum dalam hal perkawinan. Dengan demikian, perceraian yang
dilakukan diluar Pengadilan Agama dinyatakan tidak sah menurut perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia karena tidak berdasar dan tidak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan dapat
merugikan hak-hak perempuan beserta anak. Sebagai warga negara yang baik
sudah seharusnya mentaati aturan pemerintah yang berlaku selagi tidak
bertentangan dengan Hukum Islam.
Pada prinsipnya, hukum perceraian yang diberlakukan oleh negara
Indonesia telah cukup memberikan keadilan bagi perempuan. Negara telah
berusaha memikirkan pengalaman perempuan yang pada masa lalu mudah
menjadi korban kesewenang-wenangan suami untuk melakukan
penyimpangan hukum, yakni dengan cara membenarkan beberapa hal, seperti:
perceraian yang dilakukan diluar Pengadilan. Hukum telah berusaha
memenuhi kepentingan perempuan agar tidak diceraikan secara sepihak oleh
suaminya, dimana perceraian sepihak rentan diliputi kesewenang-wenangan.
Dapat dikatakan, rumusan hukum ini sangat responsif terhadap kebutuhan
perlindungan hukum perempuan. Rumusan hukum ini dapat disebut sebagai
salah satu keberhasilan perjuangan perempuan, khususnya yakni kelompok
yang memperjuangkan kesetaraan gender dengan menuntut persamaan di
muka hukum.
Kemudian jika terdakwa dikatakan melakukan poligami, hal ini tidak
tepat dan tidak bisa dikatakan demikian. Sebab terdakwa telah menceraikan
isterinya secara sepihak, dalam hal ini status perkawinan mereka telah putus
92
secara hukum agama, walaupun dalam hukum perundang-undangan hubungan
terdakwa dengan isterinya masih terikat perkawinan. Terdakwa juga tidak
memenuhi persyaratan untuk berpoligami, dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 pada Pasal 4 menyatakan: (1) Dalam hal seorang suami akan
beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (1) Pengadilan dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila: (a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri; (b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; (c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.47
Selanjutnya, pada
pasal 5 ayat (1) ditegaskan syarat-syarat seorang suami yang memenuhi
kriteria untuk melakukan poligami, syarat tersebut yaitu: Untuk dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut; (a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; (b) adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka; (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Bapak Indra Cahya berpendapat bahwa sudah selayaknya masyarakat
sadar dan taat hukum, kalau masyarakat tau dan taat kepada Agama dan
hukum, seseorang itu harus menyelesaikan perceraiannya dengan baik dan
bijak. Jikalau kenyataannya masih ada yang bercerai di luar Pengadilan
Agama secara syariat telah sah dan gugur pernikahannya, tapi secara Hukum
Tata Negara belum sah bercerai dan harus mengurusnya ke Pengadilan Agama
setempat untuk mendapatkan akta cerai yang sah agar tidak ada penghalang
perkawinan dan mantan isteri bisa mendapatkan hak-haknya.48
47
Mustafa al-Siba‟i, Adil Sebagai Syarat Poligami dalam Perspektif Fiqh dan
Kompilasi Hukum Islam, Analitica Islamica, Vol. 3, No. 1, 2001, h., 21.
48 Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Interview Pribadi, Tangerang,
25 Pebruari 2019.
93
Dengan demikian diharapkan kepada masyarakat untuk sadar dan taat
hukum dengan melaksanakan perceraian di depan sidang pengadilan. Kepada
aparatur dan tokoh masyarakat untuk selalu mengawasi masyarakatnya dalam
melaksanakan proses perkawinan dan perceraian, juga kepada Pengadilan
Agama untuk mengadakan penyuluhan hukum tentang proses perceraian di
pengadilan agar tidak ada lagi masyarakat melakukan tindak pidana
perkawinan dan melaksanakan perceraian di luar pengadilan.
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang penulis sudah paparkan dalam penelitian. Penulis
menyimpulkan kepada tiga jawaban rumusan masalah. Berikut adalah
jawaban dari perumusan masalah:
1. Menurut penulis, dalam hukum fiqh Islam bentuk
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana perkawinan
dapat ditarik dari maqashid syariah maka dapat dikatakan
hukumannya adalah termasuk ke dalam sanksi jarimah ta’zir, yaitu
sanksi pidana yang hukumannya tidak diatur dalam Al-Qur’an dan
Hadits tetapi hukumannya ditentukan oleh penguasa. Sanksi ta’zir
dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh kemaslahatan
umum dan sifatnya membahayakan atau merugikan kepentingan
umum. Sedangkan dalam hukum positif, bentuk
pertanggungjawaban bagi pelaku ialah dengan pidana penjara.
Dalam pasal 279 KUHP terdapat dua ancaman apabila pelaku
melakukan tindak pidana tersebut, pertama diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun ketika seseorang melakukan
perkawinan mengetahui adanya penghalang yang sah, kedua
diancam penjara paling lama 7 (tujuh) tahun ketika seseorang
melakukan perkawinan dengan menyembunyikan penghalang yang
sah. Secara unsur pertanggungjawaban pidana, terdakwa GY sudah
dapat dimintai pertanggungjawaban karena ia memiliki kesalahan.
Kesalahannya ialah dalam melakukan perkawinan dengan saudari
LS, terdakwa GY mengetahui bahwa perkawinannya dengan NS
secara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 29 Ayat (1) belum
sah bercerai dan masih terikat perkawinan yang sah. Karena
perceraian itu hanya dapat dilakukan melalui sidang di Pengadilan
95
Agama bagi orang yang beragama Islam dan diluar Islam
dilakukan di Pengadilan Negeri sesuai dengan Pasal 38 Ayat (1).
Dalam putusan ini sanksi pidana yang diberikan kepada terdakwa
ialah penjara selama 3 (tiga) bulan 7 (tujuh) hari.
2. Perkawinan yang dilakukan terdakwa GY dengan saudari LS
menurut hukum Islam dinyatakan fasakh karena adanya indikasi
dengan cara yang tidak ma’ruf yaitu penipuan dalam pemalsuan
identitas menggunakan dokumen palsu dengan mengganti
statusnya menjadi jejaka. Pembatalan perkawinan bisa terjadi
karena melanggar ketentutan agama tentang larangan perkawinan
dan adakalanya dapat dibatalkan karena beberapa hal yang bersifat
administratif. Sedangkan menurut hukum positif pun sama dengan
hukum Islam, status perkawinan baru terdakwa dinyatakan tidak
sah karena adanya penghalang yaitu dari isteri pertama, kemudian
terdakwa telah memalsukan identitasnya dengan mengaku belum
pernah melakukan perkawinan sebelumnya. Ini telah sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 24 dan Pasal 27 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adanya penghalang yang sah dan
pemalsuan identitas menurut hukum positif perkawinannya dapat
dinyatakan batal demi hukum karena sebab tidak memenuhi
syara’, dan dapat dibatalkan sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku. Namun akibat hukum yang ditimbulkan
dari pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak
yang dilahirkan. Jadi anak tetap menjadi tanggunggan orangtua.
3. Ditinjau dari perspektif gender, perlindungan hukum terhadap
perempuan yang dicerai diluar pengadilan oleh suaminya
menunjukan masih adanya ketimpangan. Penulis memandang
penting dilakukannya upaya perbaikan hukum agar di masa depan
hukum perceraian lebih memberikan perlindungan kepada kedua
belah pihak, terutama pihak perempuan. Bentuk kesetaraan dan
96
keadilan gender bagi perempuan dalam hal perceraian adalah
dengan dilakukannya penyempurnaan Undang-Undang
Perkawinan, khususnya dalam hal akibat hukum perceraian diluar
pengadilan karena suami telah atau akan menikah dengan
perempuan lain berhak menuntut ganti rugi dari suaminya atas
dasar perbuatan melawan hukum. Namun ketidakadilan ini hanya
untuk perceraian yang dilakukan tanpa kesepakatan, dimana suami
akan menceraikan isterinya secara sepihak tanpa dimusyawarahkan
dengan isterinya, apabila suami isteri telah sepakat untuk
melangsungkan perceraian maka ketidakadilan gender ini tidak
berlaku karena perceraiannya pun juga atas keinginan bersama
tetapi tetap dilaksanakan di depan sidang pengadilan. Upaya
perbaikan hukum yang kedua adalah penetapan sanksi pidana bagi
pelaku perceraian sepihak dapat berupa denda atau hukuman
penjara. Hal ini agar pelaku jera sehingga tidak mengulanginya
lagi, begitupun untuk orang lain agar tercegah dari melakukan
tindakan ini. Upaya lainnya yaitu dengan melakukan penyuluhan
kepada masyarakat oleh praktisi hukum, akademisi, dan
masyarakat yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat
agar mengetahui hak-haknya di muka hukum, khususnya kaum
perempuan.
B. Saran-saran
Setelah penulis mengemukakan kesimpulan yang diambil dari
pembahasan penulisan ini, maka penulis menyimpulkan beberapa saran yang
mungkin akan dibutuhkan pada penelitian selanjutnya khususnya kepada:
1. Peneliti selanjutnya untuk menjelaskan secara detail beberapa
kekurangan data yang ditemukan dalam penelitian ini. Diantaranya
adalah kekeliruan dalam penetapan hakim atas tindak pidana
pemalsuan identitas yang tertera dalam kasus ini. Dengan adanya
97
data yang kurang dalam pembatalan perkawinan yang tidak dibahas
yaitu adanya indikasi fasakh yang tidak dijelaskan secara detail.
2. Kepada masyarakat dalam melakukan perkawinan maupun
perceraian, hendaknya menjalankan sesuai dengan aturan agama
dan juga mentaati peraturan negara, agar tidak ada permasalahan
dikemudian hari yang dapat merugikan semua pihak. Dan
pemerintah perlu menerapkan aturan dalam Pasal 279 KUHP
secara tegas dan melakukan pencegahan agar tidak terjadi tindak
pidana perkawinan sehingga apabila terjadi kasus-kasus tindak
pidana perkawinan makan akan dapat diselesaikan secara tuntas,
pelaku tindak pidana perkawinan akan menjadi jera dan mendapat
kepastian hukum.
3. Kepada para pegawai Kantor Urusan Agama kiranya dalam
pelaksanaan perkawinan perlu diperhatikan mengenai identitas
kedua calon mempelai, untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan
tugasnya agar tidak terjadi kekeliruan terhadap kedua mempelai
dan tidak ada penyelundupan terhadap sesuatu yang dapat merusak
perkawinan. Pengecekan identitas tidak hanya mengutamakan
kebenaran secara adminsitratif saja, namun diupayakan untuk dapat
dilakukan pengecekan lapangan. Sehingga tidak mudah tertipu dan
tidak akan menyesal dikemudian hari.
Demikian beberapa saran yang penulis tujukan kepada beberapa pihak
yang memilki kaitan khusus pada penilitan ini, sehingga pada penilitian
selanjutnya dapat lebih disempurnakan dari kekurangan yang penulis cantumkan.
Besar harapan penulis agar penulisan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat pada
umumnya.
98
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia.
Abu Abdurrahman Annasa'i, Sunan Nasa'i, Ahmad bin Su'aib, Al-Mujtaba min al-
Sunan, Halab: al-Mathbu'at al-Islamiyah, 1986-1406.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 2010.
Abu bakar, Alyasa, Ihwal Perceraian di Indonesia Perkembangan Pemikiran dari
Undang-Undang Perkawinan sampai Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:
Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, 1998.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996.
Ali Engineer, Asghar, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Prihantoro, Agung,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Amrani, Hasan dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggung Jawaban Pidana
Perkembangan dan Penerapan, cet. 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2015.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta:
Kencana, 2011.
Arief, Barda Nawawi dan Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, 1998.
Ariman, M. Rasyid dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, cet. 2, Malang: Setara
Press, 2016.
Asmawi, Mohammad Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta:
Darussalam Perum Griya Suryo, 2004.
Azami, Abdul Aziz Muhammad, Qawaid al-Fiqh, Darul Hadits al-Qahirah,
al-Kahlany, Muhammad Ibnu Isma’il, Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram
min Adillah al-Ahkam, Terj., Bandung: Dahlan, t.th.
al-Haddad, Tahir, Wanita dalam Syari’at dan Masyarakat, terj. Bisri, M. Adib,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
99
al-Siba’i, Mustafa, Adil Sebagai Syarat Poligami dalam Perspektif Fiqh dan
Kompilasi Hukum Islam, Vol. 3, No. 1, Analitica Islamica, 2001.
Barorah, Ummul, Feminisme dan Feminis Muslim, dalam Sukri, Sri Suhandjati,
Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender, Yogyakarta: Gama
Media, 2002.
Baurch, Mody Gregorian, Pertanggungjawaban Hukum Dewan Perwakilan
Rakyat dalam Proses Legislasi Terhadap Implikasi Putusan Mahkamah
Konstitusi atas Pengujian Undang-Undang, Tesis, Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya, 2013.
Bhasin, Kamla dan Nighat Said Khan, Some Question of Feminism and its
Relevance in South Asia, New Delhi: Kali For Women, 1986, dalam
Haroepoetri, Arimbi dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS
Neoliberalisme, Jakarta: debtWACH Indonesia, 2004.
Ch, Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN-
MALANG PRESS, 2008.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005.
Choiri, Ahmad, Stereotip Gender dan Keadilan Gender Terhadap Perempuan
sebagai Pihak dalam Kasus Perceraian, Semarang: WKPTA.
Djazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
, Fiqh Jinayah, (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Jakarta: Universitas Jakarta, 1958.
Echols, John m. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet. 1 Jakarta:
Gramedia, cet. XII, 1983.
Eliza, Mona, Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Perkawinan dan Akibat
Hukumnya, Jakarta: Adelina Bersaudara, 2009.
Fakih, Mansour, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Fuady, Munir, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Bandung: Refika
Aditama, 2009.
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rinneka Cipta, 1994.
100
, Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,
2001.Hafid, Wardah, Feminisme sebagai Budaya Tandingan, dalam
Anshori, Dadang, dkk, Membincangkan Feminisme, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1997. dalam Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan
Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1993.
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. 5, Jakarta: Bulan Bintang,
1993.
Haroepoetri, Arimbi dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS
Neoliberalisme, Jakarta: debtWACH Indonesia, 2004.
Hasan, Mustofa dan Beni Ahmadi Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh JInayah,
Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2013.
Hasyim, Syafiq, Hal-hal yang Tak Terfikirkan: Tentang Isu-Isu Keperempuan
dalam Islam, Bandung: Mizan, 2001.
Hayati, Vivi, "Dampak Yuridis Perceraian Diluar Pengadilan (Penelitian di Kota
Langsa"), Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol. X, 2 Juli-Desember,
(2015): 215-224.
Herlina, S. Persoalan Pokok mengenai Feminisme dan Relevansinya,
diterjemahkan dari Bhasin, Kamla dan Nighat Said Khan,Some Question
of Feminism and its Relevance in South Asia, New Delhi: Kali For
Women, 1986, Hubis, Aida Fitalaya S. Feminisme dan Pemberdayaan
Perempuan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.Hidayatullah, Syarif,
Teologi Feminisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
HS, Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. cet. 2,
Jakarta: Bayu Media Publishing, 2006.
Ilyas, Amir, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rangkang Education, 2012.
Irfan, Nurul dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013.
Iskandar, Dedi, "Sanksi Pidana dalam Hukum Keluarga (Pandangan pakar Hukum
Islam di Kota Banda Aceh)", Tesis S2 Program Pascasarjana Magister Al-
Ahwal Al-Syakhsiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang, 2013.
101
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi,
Jakarta: Teraju, 2004.
Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana, cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995.
Kosasih, Engkos, dkk, Membincangkan Feminisme, Bandung: Pustaka Hidayah,
1997.
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984.
Lips, Hilary M., Sex and Gender: An Introduction, London: Myfield Publishing
Company, 1993. dalam Fakih, Mansour, dkk, Membincang Feminisme:
Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti 1996.
MK, Anshari, Hukum Perkawinan di Indonesia, Masalah-Masalah Krusial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Makluf, Louis, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyiq, 1998.
Manan, Abdul dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, .
Mandzur, Ibnu, Lisan al-Arab, Juz VI, t.t.:, Dar-al-Ma’arif, t.th.
Marpaung, Happy, Masalah Perceraian, Bandung: Tonis, 1983.
Marpaung, Leden, Asas Teori Politik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008.
Marzuki, Studi Tentang Kesetaraan Gender dalam Berbagai Aspek, Yogyakarta:
makalah dalam Sosialisasi Kesetaraan Gender kegiatan KKN Mahasiswa
UNY di PKBM Sleman, 2008.
Mas’udi, Masdar F., Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih
Perempuan, Bandung: Mizan, 1997.
Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender, Bandung: Mizan, 1999.
Meliala, A. Qirom Syamsuddin, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, Yogyakarta:
Liberty, 1985.
102
Mertokusumo, Sudikno, Bahan Ajar Hukum Perdata, Manado: makalah Fakultas
Hukum Universitas Sam Ratulangi, 2009.
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali
Pers, 2007.
Miru, Ahmad dan Sakka Pati, Hukum Perikatan, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, cet. 2, Jakarta: Bina Aksara,1984.
, Asas-Asas Hukum Pidana, cet. 9, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2015.
Mubarok, Jail, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000.
Muchtar, Kamal Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. 1, Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1987.
Mughniyyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khamsah,
diterjemahkan oleh Masykur A.B., Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera,
2007.
Muhammad, Abi 'Isa bin 'Isa at-Turmudzi, Sunan Al-Tirmidzi, Beirut: Dar al-
Gharib al-Islamiyah, 1998.
Muhsin, Amina Wadud, diterjemahkan oleh Yaziar Radianti, Wanita Didalam Al-
Qur’an, Bandung: Pustaka, 1994.
Mulia, Siti Musdah, Muslim Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan,
Bandung: Mizan, 2005.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003.
Munajat, Mahkrus, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, Sleman: Logung Pustaka,
2004.
, Hukum Pidana Islam di Indonesia, cet. 1, Yogyakarta: Teras, 2009.
Mundir, Perempuan dalam Al-Qur’an: Studi Tafsir al-Manar, Semarang:
Walisongo Press, 2010.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
, Pengantar dan Asas-asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
103
Muslikatin, Siti, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan
Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
Nasution, Bahder Johan, Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju, 1997.
Nasution, Khairuddin, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi terhadap
Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia, Seri INIS XXXIX, Jakarta: 2002.
Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Sumur
Bandung, 1981.
Purwaka, Tommy Hendra, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PUAJ, 2007.
Ramilyo, M. Idris, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembanganya
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2004.
Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid, jilid 2 Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-
Azhariyyah, 1969.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, terj. Abidun, Mohammad. dkk, Fiqih Sunnah, Juz III
cet. IV, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2012.
Salim, Abdullah Najib, al-Ta'rifu bi Ba'di 'Ulum al-Islami al-Khanif, u ait
aj rat al-Auqafa wa al-Su uni al-Islamiyah, t.th.
Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: Asy-Syaamil, 2000.
Satrio, J., Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian
Pertama, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Savitri, Niken, Feminist Legal Theory dalam Teori Hukum, dalam Irianto,
Sulistyowati Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berspektif
Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Shiddieqy, Hadi Ash, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
1987.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.
Showalter, Elaine, Speaking Of Gender, New York & London: Routledge, 1989.,
dalam Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-
Quran, Jakarta: Paramadina, 1999.
104
Simons, D., Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht, Eerste Deel, Vierde druk,
P. Noordhoff, Groningen, dalam Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum
dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.
Soedarto, Hukum Pidana, Semarang: Yayasan Soedarto, Fakultas Hukum Undip
Semarang, 2009.
, Hukum Pidana 1A, Semarang: Yayasan Soedarto 1990.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
Soemin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Yogyakarta: Liberty,
2005.
Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia, 1995.
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Arga Printing,
2007.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawina Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006.
Tiemey, Helen, (ed.), Women’s Studies Encyclopedia, Vol. I New York: Green
Word Press, dalam Suhra, Sarifa, Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-
Qur’an dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam, Jurnal Al-Ulum, XIII, 2
(Desember, 2013.
Tong, Rosemarie Pytnam, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif
Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminisme, Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
dalam Tutik, Titik Triwulan, Poligami Perspektif Perikatan Nikah Telaah
Kontekstual Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2007.
Tuttle, Lisa, Encyclopedia of Feminism, New York, Facts on File Publication,
1986., dalam Heroepoetri, Arimbi dan R. Valentina, Percakapan Tentang
Feminisme VS Neoliberalisme, Jakarta: debtWACH Indonesia, 2004.
Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Warson, Ahmad, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984.
105
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pandangan Islam Tentang Gender, dalam Fakih,
Mansour, dkk, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif
Islam, Surabaya: Risalah Gusti 1996.
Zuhdi, M. Harfin, Praktik Merariq, Wajah Sosial Masyarakat Sasak, Mataram:
LEPPIM, 2008.
Sumber Perundang-Undangan
Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Sumber Skripsi
Pusyakhois, Fifin Niya, "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Cerai Diluar
Pengadilan Agama dan Implikasinya pada Masyarakat Desa Penaruban
Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal.", Skripsi S1 Fakultas Syariah,
Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2010.
Winoto, Dedi, "Kajian Terhadap Perceraian Yang Dilakukan Diluar Sidang
Pengadilan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
(Studi Kasus Di Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten Seluma)",
Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Bengkulu, 2014.
Sumber Jurnal
Usman, Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana, Jurnal Ilmu Hukum.
Shihab, M. Quraish, Keluarga Sakinah, Jurnal Bimas Islam, Vol. 4, No. 1, 2011.
Anisah, Siti dan Trisno Raharjo, “Batasan Mela an Hukum dalam Perdata dan
Pidana Pada asus Persekongkolan Tender”, Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Vol. 25, No. 1, 2018.
Interview
Interview Pribadi dengan Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, ,
Tangerang, 25 Pebruari 2019.
Internet
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-
%28pidana,-perdata,-dandan-administratif%29: 2018/09/30
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-
%28pidana,-perdata,-dandan-administratif%29: 2018/09/30
106
L A M P I R A N
107
108
Nama : Indra Cahya, S.H., M.H.
Jabatan : Hakim Ketua Majelis
Tempat : Pengadilan Negeri Tangerang
Hari/Tanggal : Senin / 25 Pebruari 2019
INSTRUMEN WAWANCARA
1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan
putusan kepada terdakwa terhadap perkara tindak pidana terhadap
perkawinan tersebut?
Jawab: Dalam mempertimbangkan putusan tersebut, kita melihat dengan
ketentuan yang ada dalam Undang-Undang dan fakta-fakta yang
terjadi dipersidangan. Kemudian berdasarkan surat dakwaan dan
keterangan para saksi, juga keterangan terdakwa dengan adanya
barang bukti yang ditunjukan dipersidangan. Selain itu ia (terdakwa)
telah memenuhi unsur-unsur dari Pasal 279 KUHP, yaitu unsur
mengadakan perkawinan dan unsur mengetahui bahwa perkawinan
sebelumnya atau yang sudah ada itu menjadi penghalang yang sah
untuk melakukan perkawinan lagi. Jadi perkawinan yang dilakukan
terdakwa tidak memenuhi persyaratan dalam Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jadi ia (terdakwa)
bisa dipidana jika memenuhi unsur dari pasal 279 itu. Artinya ketika
dia kawin lagi, sebelumnya ia telah mengetahui adanya penghalang
atau hubungan dengan isteri pertamanya belum bercerai secara hukum
Undang-Undang.
2. Apakah penerapan pasal 279 KUHP pada perkara ini telah sesuai?
Jawab: Telah sesuai, karena terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah
telah melakukan tindak pidana perkawinan, dimana perkawinannya
yang terdahulu menjadi penghalang untuk melakukan perkawinan lagi.
3. Mengapa terdakwa dapat mencatatkan perkawinan keduanya di KUA,
sedangkan terdakwa tidak memiliki akta cerai, apakah ada pemalsuan
data?
Jawab: Karena ia telah mengatakan belum pernah menikah dengan
menggunakan dokumen palsu yaitu membuat identitas baru yang
109
statusnya masih bujang, dan ini termasuk pemalsuan data dalam
membuat surat palsu artinya membuat sebuah surat yang sebelumnya
tidak ada. Jadi surat itu tidak ada sebelumnya seakan-akan dibuatnya
itu benar isinya bahwasannya dia belum pernah melakukan
perkawinan.
4. Bagaimana status keabsahan perkawinan baru terdakwa menurut Hukum
Islam dan Hukum Positif.?
Jawab: Perkawinannya tidak sah, secara agama perkawinannya juga tidak sah
karena ia (terdakwa) telah berbohong, dan secara administrasi negara
batal demi hukum karena sejak awal perkawinan itu tidak ada karena
adanya penghalang untuk melakukan perkawinan lagi dan terdakwa
telah memalsukan identitasnya. Kalau perkawinan yang keduanya ini
sah maka ia (terdakwa) tidak dihukum.
5. Apakah terdakwa ini dapat dikatakan melakukan poligami?
Jawab: Tidak bisa dikatakan poligami, karena terdakwa sudah menceraikan
isteri sebelumnya walaupun dalam hukum perundang-undangan
hubungan terdakwa dengan isterinya masih terikat perkawinan.
6. Menurut bapak apakah dalam perceraian diluar pengadilan, akan
menimbulkan diskriminasi/ketimpangan gender bagi perempuan?
Jawab: Iyah pasti karena dengan perceraian diluar Pengadilan ini perempuan
akan menjadi korban. Perempuan dan laki-laki itu hak dan
kewajibannya sama/setara, dengan dihukumnya terdakwa itu sudah
memperlihatkan kesetaraan gender. Artinya ia tidak bisa sewenang-
wenangnya menceraikan isterinya. Kemudian jika mereka mempunyai
anak dan anaknya ikut kepada ibunya maka ia akan menjadi single
parent, kemudian tidak bisa mendapatkan hak-haknya setelah bercerai,
seperti nafkah, tempat tinggal, nafkah untuk anaknya, dan lain-lain
dan batinnya bisa tertekan juga. Untuk para laki-laki atau suami tidak
boleh merendahkan derajat isterinya hanya karena ia perempuan laki-
laki bisa seenak perutnya saja menceraikan isterinya secara sepihak.
7. Bagaimana menurut bapak agar perempuan/isteri yang menjadi korban
perceraian diluar pengadilan mendapatkan hak-haknya?
Jawab: Yaitu perempuan/isteri yang menjadi korban dari perceraian harus
menuntut, ada upaya penuntutan kepada Pengadilan. Kemudian dari
Pengadilan harus mengadakan sosialisasi kepada masyarakat-
masyarakat yang berada di pelosok terutama agar tidak terjadi kejadian
yang seperti ini.
110
111