TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG...

126
TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG BELUM MEMPUNYAI KEPUTUSAN HUKUM DARI PERCERAIAN PERTAMA (Studi Analisis Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.) Oleh : AHMAD NURDIYANSHAH NIM. 1113043000038 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Transcript of TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG...

Page 1: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA

YANG BELUM MEMPUNYAI KEPUTUSAN HUKUM

DARI PERCERAIAN PERTAMA

(Studi Analisis Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.)

Oleh :

AHMAD NURDIYANSHAH

NIM. 1113043000038

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan
Page 3: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan
Page 4: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan
Page 5: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

v

ABSTRAK

Ahmad Nurdiyanshah. NIM 1113043000038. TINDAK PIDANA TERHADAP

PERKAWINAN YANG BELUM MEMPUNYAI KEPUTUSAN HUKUM DARI

PERCERAIAN PERTAMA (STUDI ANALISIS PUTUSAN NO.

729/PID.B/2014/PN.TNG). Program Studi Perbandingan Madzhab, Konsentrasi

Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan tindak pidana terhadap

perkawinan yang belum mempunyai keputusan hukum dari perceraian pertama,

masalah perkawinan yang terhalang oleh perkawinan-perkawinan sebelumnya,

status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif,

pemidanaan dalam kasus perdata, pertimbangan putusan hakim dalam tindak

pidana perkawinan, bentuk pertanggungjawaban pidana, prinsip kesetaraan dan

keadilan gender dalam perceraian dan keabsahan perkawinan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder

sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap

peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan

yang diteliti. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi pustaka

(library research), dokumentasi dan wawancara (interview). Studi pustaka,

dokumentasi dan wawancara dalam penelitian ini dilakukan guna mengeksplorasi

teori-teori, peraturan perundang-undangan, buku-buku, kitab-kitab fikih dan

pemahaman yang terkait dengan tema penelitian penulis yaitu tindak pidana

terhadap perkawinan kedua yang belum mempunyai keputusan hukum dari

perceraian pertama (studi analisis putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG).

Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk pertanggungjawaban pidana

bagi pelaku tindak pidana perkawinan dalam hukum Islam menurut penulis adalah

termasuk kedalam sanksi jarimah ta'zir dan menurut hukum positif

pertanggungjawaban bagi pelaku dijatuhkan dengan pidana penjara. Kemudian

perkawinan baru terdakwa dapat dinyatakan fasakh karena adanya penghalang

yang sah dan adanya indikasi pemalsuan identitas.

Kata kunci : Tindak Pidana, Perkawinan, Perceraian, Diluar

Pengadilan, Penghalang Perkawinan, Pertimbangan

Hakim, Gender, Kesetaraan Gender.

Pembimbing : 1. Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., M.H.

2. Sri Hidayati, M. Ag.

Daftar Pustaka : 1958 s.d. 2019

Page 6: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur yang mendalam penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT. Karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka skripsi ini

dapat diselesaikan dengan baik. Salam cinta dan mahabbah selalu tercurahkan

pada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Selanjutnya penulis ingin sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga

kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik berupa

dorongan moril maupun materiil. Penulis yakin jika tanpa bantuan dan dukungan

tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Oleh karena itu, penulis secara khusus ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku Ketua Program Studi

Perbandingan Madzhab dan Bapak Hidayatulloh, M.H. selaku Sekretaris

Program Studi Perbandingan Madzhab.

3. Bapak Dr. H. Abdul Halim M.Ag., selaku Dosen Penasehat Akademik

Penulis.

4. Bapak Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., M.H. dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag.

selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu sabar dan istiqomah dalam

membimbing penulis serta memberikan nasihat-nasihat hingga dapat

menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Dr. K.H. A. Juaini Syukri, Lc., MA dan Ibu Ria Safitri, M. Hum.

selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan

ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan ‘Ilmu dan

Page 7: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

vii

Akhlaq yang tidak ternilai harganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

7. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Kedua orang tua tercinta Ayah dan Mamah serta kakak dan adik, yang telah

mencintai penulis dengan segenap jiwa dan raga, baik doa maupun dukungan

sehingga dengan ridha mereka penulis mampu berada pada titik seperti saat

ini.

9. Keluarga Besar Pondok Pesantren Tarbiyatul Mubtadiin, yang telah

memberikan nasehat-nasehat moral terkait ibadah dan kehidupan sehingga

penulis mampu menghadapi lika-liku kehidupan dengan tegar dan ikhlas.

10. Keluarga Besar PMH angkatan 2013 yang telah menemani serta memberi

dukungan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

11. Sahabat-sahabat tercinta khususnya kepada teman-teman satu atap dimana

selalu memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi secepatnya.

Khususnya kepada Rasid Aryandi, Muhammad Haikal, Ariq Laode, Fariz

Rifaldi, Lana Fuadi, Nabila Salsabila, Muhammad Kosasih, Ndah Oktaviani,

Wawan Setiawan, Safina Mutiara dkk. Sehingga penulis bisa menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan

balasan yang berlimpah atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Amin.

Jakarta, 10 Mei 2019

Ahmad Nurdiyanshah

Page 8: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 7

C. Pembatasan Masalah ............................................................................ 7

D. Rumusan Masalah ................................................................................ 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 8

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu................................................... 9

G. Metode Penelitian................................................................................. 10

H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 12

BAB II. TINDAK PIDANA TERHADAP ASAL USUL PERKAWINAN

........................................................................................................... 14

A. Pemidanaan Dalam Asal Usul Perkawinan .......................................... 14

1. Hakikat Perkawinan ....................................................................... 14

2. Pengertian Tindak Pidana .............................................................. 18

3. Teori Pemidanaan........................................................................... 25

4. Unsur-Unsur Tindak Pidana ........................................................... 30

5. Tindak Pidana dalam Kasus Perdata .............................................. 33

6. Unsur Tindak Pidana Perkawinan dalam Pasal 279 KUHP ........... 39

B. Teori Gender atau Aliran Feminisme ................................................... 41

Page 9: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

ix

C. Konsep Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Islam ...................... 50

1. Pengertian Sex dan Gender dalam Islam ....................................... 51

2. Kesetaraan Gender dalam Al-Qur'an ............................................. 52

3. Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perkawinan .................... 56

D. Landasan Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam ........................ 58

BAB III. TINDAK PIDANA PERKARA PERKAWINAN PUTUSAN

NO.729/Pid.B/2014/PN.TNG ........................................................ 61

A. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Perkara Putusan No.

729/Pid.B/2014/PN.TNG ..................................................................... 61

1. Kronologi Perkara .......................................................................... 61

2. Dakwaan ......................................................................................... 62

3. Tuntutan Penuntut Umum (Requisitoir) ........................................ 62

4. Amar Putusan ................................................................................. 63

B. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Putusan No.

729/Pid.B/2014/PN.TNG ..................................................................... 64

1. Pembuktian Pasal yang Didakwakan ............................................. 64

2. Hal-Hal yang Memberatkan dan Meringankan .............................. 65

BAB IV. ANALISIS KOMPARATIF PUTUSAN NO. 729/Pid.B/2014/

PN.TNG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, HUKUM

POSITIF DAN GENDER .............................................................. 67

A. Tinjauan Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG tentang Tindak

Pidana Terhadap Asal Usul Perkawinan dalam Perspektif

Hukum Pidana Islam ............................................................................ 67

B. Tinjauan Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG tentang Tindak

Pidana Terhadap Asal Usul Perkawinan dalam Perspektif

Hukum Positif ...................................................................................... 77

C. Analisis Penulis Tentang Korelasi Equality dan Equity Gender dalam

Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG ................................................ 85

D. Analisis Komparatif ............................................................................. 89

Page 10: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

x

BAB V. PENUTUP ......................................................................................... 94

A. Kesimpulan .......................................................................................... 94

B. Saran-saran ........................................................................................... 96

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 98

LAMPIRAN .................................................................................................... 106

Page 11: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan

asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama

bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah

Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih

penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara

Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

H ha dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

s es dengan garis bawah ص

d de dengan garis bawah ض

t te dengan garis bawah ط

z zet dengan garis bawah ظ

Page 12: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

xii

koma terbalik di atas hadap kanan ع

gh ge dan ha غ

f Ef ف

q Qo ق

k Ka ك

l El ل

m Em م

n En ن

w We و

h Ha ه

Apostrop ء

y Ya ي

b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,

memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk

vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fathah ــــــَــــ

I Kasrah ــــــِــــ

U Dammah ــــــُــــ

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih

aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي_َ__ Ai a dan i

و_َ__ Au a dan u

Page 13: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

xiii

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi diatas ـــــَا

î i dengan topi atas ـــــِى

û u dengan topi diatas ــــُـو

d. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf

alif dan lam( ال ), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf

syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya:

الإجثهاد = al-ijtihâd

الرخصة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

e. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf,

yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah = الشفعة

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh

1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah

tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan

menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

Page 14: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

xiv

No. Kata Arab Alih Aksara

syarî ‘ah شزيعة .1

al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشزيعة الإسلامية .2

Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب .3

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun

dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan

bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis

dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

kata sandangnya. Misalnya, البخاري = al-Bukhâri, tidak ditulis Al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih

aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama

tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis

Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf),

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan

berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No. Kata Arab Alih Aksara

al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح المحظورات .1

al-iqtisâd al-islâmî الإقتصاد الإسلامي .2

usûl al-fiqh أصول الفقه .3

al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah الأصل في الأشياء الإباحة .4

al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة .5

Page 15: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

xv

Page 16: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan1 adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, dan kokoh untuk

hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

membentuk keluarga yang kekal, santun menyantun, kasih mengasihi,

tenteram, dan bahagia.2

Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah untuk

menjamin adanya kepastian hukum terhadap kelangsungan hidup berumah

tangga, maka pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang perkawinan

yang berlaku secara unifikasi atau secara nasionalisme yaitu Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Baik pelaksanaan perkawinan

maupun putusnya perkawinan itu harus didasarkan kepada Undang-Undang

tersebut.3

Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip sejauh mungkin

menghindari dan mempersukar terjadinya perceraian, perceraian hanya dapat

dilakukan apabila cukup alasan bahwa antara suami isteri tersebut tidak ada

kemungkinan untuk hidup rukun sebagai suami isteri, dengan demikian

perceraian hanyalah merupakan suatu pengecualian saja dari suatu perkawinan

yang sudah tidak mungkin dipertahankan lagi.4

1 Pasal 1 ayat 1 Undang_Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menyebutkan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2 Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), h.,

3.

3 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h., 6.

4 Soedharyo Soemin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.,

63.

Page 17: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

2

Perkawinan dapat diputuskan tanpa melalui pengadilan atau diluar

pengadilan. Akan tetapi setelah keluarnya Undang-Undang Perkawinan, hal

yang demikian tidak dibenarkan lagi. Sebab dalam Undang-Undang

Perkawinan, setiap perceraian harus melalui pengadilan sebagaimana diatur

dalam:

1. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan5

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan

kedua belah pihak”.

2. Pasal 65 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak”.

3. Pasal 115 Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama

setelah Pengadilan Agama yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak”.

Meskipun secara hukum Islam perceraian sah dilakukan diluar

Pengadilan, namun akan lebih baik jika dilakukan sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Perceraian yang dilakukan

didepan sidangpengadilan mempunyai pengaruh dan dampak positif

diantaranya tidak mudahnya perceraian dapat mengurangi tingkat perceraian

yang terjadi di masyarakat, dan hakim yang mengadili perceraian dapat

mengatur masalah nafkah bagi istri dan anak pasca perceraian, termasuk hak

asuh anak.6

Perceraian yang dilakukan diluar Pengadilan sangat merugikan pihak

perempuan, karena perceraian dengan mantan suaminya tersebut tidak dapat

memberikan kepastian hukum terhadap perempuan itu sendiri dan anak-

5 Vivi Hayati, “Dampak Yuridis Perceraian Diluar Pengadilan (Penelitian di Kota

Langsa)”, Samudra Keadilan, X, 2 (Juli-Desember, 2015), h., 215.

6 Ibid, h., 224.

Page 18: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

3

anaknya. Hak-haknya perempuan dan anak yang ditinggalkan pun tidak

terjamin secara hukum dan bagi laki-laki yang menikahi perempuan yang

diceraikan diluar Pengadilan. Oleh karena itu, perlu adanya campur tangan

pemerintah yang sepenuhnya diserahkan kepada Pengadilan guna mencegah

hal-hal yang tidak diinginkan. Status tidak sah bagi perkawinan baru yang

dilakukan pasca perceraian diluar pengadilan juga berlaku bagi pihak isteri,

status tidak sah tersebut tidak lain karena pihak isteri secara tidak langsung

telah melangsungkan model poliandri (satu isteri dengan suami lebih dari satu

orang) karena masih adanya ikatan perkawinan yang sah dengan suaminya

terdahulu dalam konteks KHI. Poliandri sendiri merupakan bentuk perkawinan

yang dilarang dalam ajaran Islam.7

Begitupun akan menjadi sulit bagi pihak suami untuk melakukan

perkawinan selanjutnya, karena tidak mempunyai surat cerai yang mempunyai

kekuatan hukum, sehingga apabila ingin melakukan perkawinan selanjutnya

akan mengalami kesulitan, karena calon suami harus menunjukan akta

perceraian sebagai bukti otentik sebagai salah satu syarat untuk

melangsungkan perkawinan selanjutnya.8

Apabila pihak suami melakukan perkawinan baru pasca perceraian

diluar pengadilan, maka status perkawinannya dinyatakan tidak sah karena

didalam Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1974 telah diatur bahwa: “Barang siapa

karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah

pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan

yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) dan

Pasal 4 Undang-undang ini ”. dan telah melanggar Pasal 279 ayat (1)KUHP

yang berbunyi: “Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui

7 Titik Triwulan Tutik, “Poligami Perspektif Perikatan Nikah Telaah Kontekstual

Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974”, (Jakarta:

Prestasi Pustakarya, 2007), h., 55-57.

8 Dedi Winoto, “Kajian Terhadap Perceraian Yang Dilakukan Diluar Sidang

Pengadilan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Di

Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten Seluma)”, (Bengkulu: skripsi Universitas

Bengkulu, 2014), h., 73, t.d.

Page 19: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

4

bahwa perkawinan atau perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang

yang sah untuk itu”, jugatidak terpenuhinya syarat dan prosedur poligami

yang telah ditentukan dalam KHI, dimana poligami ini menjadi dasar untuk

menentukan status perkawinan baru yang dilakukan oleh pihak suami pasca

perceraian diluar pengadilan (ilegal). Tetapi perkawinan baru yang dilakukan

pihak suami pasca perceraian ilegal tidak dapat disebut poligami karena pihak

suami telah memutuskan hubungan – baik lahir maupun batin – dengan isteri

yang lama (yang diceraikan diluar pengadilan).9

Selain itu praktek perceraian diluar pengadilan banyak diwarnai oleh

pelanggaran hak perempuan, antara lain suami menceraikan tanpa alasan yang

dapat dipertanggungjawabkan dan setelah bercerai suami tidak melaksanakan

kewajibannya sebagai bekas suami, misalnya memberikan nafkah selama

masa iddah, memberikan kompensasi, melunasi hutang maskawin dan

memberikan hak bekas isteri atas harta bersama.10

Sebaliknya, isteri yang

bermaksud cerai dari suaminya harus mengalami berbagai kesulitan yang

cukup berat, sehingga seringkali terjadi ada orang yang secara hukum masih

berstatus sebagai isteri tetapi pada kenyataannya tidak lagi mendapatkan hak

sekaligus tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana layaknya seorang

isteri.11

Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan kaum wanita boleh berlega sedikit hati sebab peraturan perceraian

ini adalah salah satu usaha untuk melindungi kesewenang-wenangan dari

9 Fifin Niya Pusyakhois, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Cerai Diluar Pengadilan

Agama dan Implikasinya pada Masyarakat Desa Penaruban Kecamatan Weleri Kabupaten

Kendal”, (Semarang: skripsi Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2010), h., 74-

75, t.d.

10 Anshari MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, Masalah-Masalah Krusial,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h., 83.

11 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di

Indonesia, (Jakarta: SInar Grafika, 2008), h., 400.

Page 20: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

5

kaum pria.12

Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

salah satu tujuannya adalah untuk mengembalikan harkat dan derajat kaum

perempuan Indonesia. Dimana salah satu prinsip azasnya adalah menempatkan

kedudukan yang seimbang antara laki-laki (suami) dan perempuan (isteri) baik

dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,

sehingga segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan

bersama oleh suami dan istrinya. Hal tersebut berbeda dengan kedudukan

kaum perempuan (isteri) dalam KUHPerdata, dimana seorang isteri tidak

dapat tampil didepan pengadilan tanpa bantuan suaminya, meskipun dia kawin

tidak dengan harta bersama atau dengan harta terpisah, atau meskipun dia

secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas.13

Dengan demikian salah satu azas Undang-Undang No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan adalah “pro-gender” (berpihak kepada kepentingan kaum

perempuan) daripada peraturan-peraturan perkawinan dalam KUHPerdata

yang terlalu “bias-gender” (berpihak kepada kepentingan kaum laki-laki).

Namun demikian dalam proses peradilannya yang diatur dalam PP Nomor 9

Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, ternyata hukum acara yang mengatur tata cara mengadili

masalah-masalah perkawinan masih mengandung “bias-gender”. Karena, jika

seorang suami akan mengajukan permohonan cerai talak, maka permohonan

tersebut harus diajukan di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat

tinggalnya, sedangkan jika seorang isteri akan mengajukan gugat cerai kepada

suaminya, maka surat gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang

mewilayahi tempat tinggal tergugat (suaminya), kecuali suaminya dalam

keadaan ghoib.14

12

Happy Marpaung, Masalah Perceraian, (Bandung: Tonis, 1983), Cet Ke 1, h., 60.

13 Ahmad Choiri “Stereotip Gender dan Keadilan Gender Terhadap Perempuan

sebagai Pihak dalam Kasus Perceraian” (Semarang: WKPTA), h., 10.

14 Ibid, h., 11.

Page 21: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

6

Namun dalam kenyataannya masih ditemukan terjadinya perceraian

tanpa melalui proses pengadilan. Keadaan yang demikian tentunya terjadi

persepsi yang berbeda antara hukum agama dengan Undang-Undang

Perkawinan, terutama bagi mereka yang beragama Islam.15

Seperti pada kasus berikut, seorang suami melakukan tindak pidana

terhadap perkawinan yang diatur dalam Pasal 279 ayat 1 KUHP, karena

melakukan perkawinan yang kedua pasca perceraian diluar pengadilan dengan

isteri pertamanya, dan telah diterbitkan surat keterangan telah menikah. Hal

tersebut tidak lain karena keyakinannya bahwa perceraian yang ia lakukan

adalah benar secara agama dan dianggap perceraian yang sah. Tetapi jika

ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI maka perceraian

mereka tidaklah sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Disamping

itu setelah terjadinya perceraian si isteri tidak mendapatkan haknya, seperti

nafkah selama masa iddah, tempat untuk tinggal, pakaian dan pangan, dan ia

(suami) tidak memberi nafkah secara teratur dan dalam jumlahnya yang tetap

kepada anaknya.

Kemudian beranjak dari hal perkawinan diatas, terdapat indikasi

tentang masalah keabsahan hukum perkawinan yang kedua setelah perceraian

diluar pengadilan. Perkawinan yang dilaksanakan diatas pernikahan yang sah

sebelumnya baik dalam sudut perspektif Hukum Positif (perdata) dan

perspektif Hukum Islam

Peristiwa yang terjadi pada kasus ini merupakan salah satu masalah

hukum yang sangat penting untuk diperhatikan. Hal inilah yang mendasari

penulis untuk melakukan sebuah penelusuran secara ilmiah terkait dengan

fenomena yang terjadi tersebut. Berdasarkan permasalahan diatas, maka

penulis tertarik untuk memilih judul tentang “Tindak Pidana Terhadap

Perkawinan Kedua Yang Belum Mempunyai Keputusan Hukum Dari

15

Vivi Hayati, “Dampak Yuridis Perceraian Diluar Pengadilan”, h., 217.

Page 22: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

7

Perceraian Pertama (Studi Analisis Putusan No.

729/Pid.B/2014/PN.TNG)”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan diatas, penulis dapat

mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Perceraian diluar Pengadilan.

2. Tindak Pidana terhadap Perkawinan.

3. Perlindungan hukum bagi perempuan dalam perceraian

4. Keabsahan Perkawinan

5. Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang sanksi hukum tindak

Pidana terhadap Perkawinan.

C. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Pengadilan Negeri

Tangerang sebagai objek penelitian. Mengingat banyaknya perkara yang

diputus oleh Pengadilan Negeri tersebut, maka penulis melakukan pembatasan

yakni hanya pada putusan mengenai tindak pidana terhadap asal-usul

perkawinan dengan perkara No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG.

Sehubungan dengan beraneka ragamnya kasus tindak pidana terhadap

asal-usul perkawinan, maka dalam skripsi ini penulis membatasi hanya pada

kasus diatas yang difokuskan pada tindak pidana dalam perkawinan karena

telah melanggar KUHP.

Dari pembahasan masalah diatas, rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis

menarik rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana bagi yang melakukan

tindak pidana perkawinan menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum

Positif?

Page 23: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

8

2. Bagaimana keabsahan perkawinan kedua terdakwa menurut Hukum Islam

dan Hukum Positif?

3. Bagaimana bentuk kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan dalam

perceraian?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. Untuk mengetahui ketentuan hukum tindak pidana terhadap

perkawinan.

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi perempuan dalam

perceraian.

c. Untuk mengetahui tentang tindak pidana terhadap perkawinan

perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.

2. Adapun manfaat penulisan dalam melaksanakan penulisan ini adalah:

a. Memberikan wawasan khususnya kepada penulis dan khususnya

kepada mahasiswa lain mengenai penerapan hukum pidana terhadap

tindak pidana perkawinan.

b. Sebagai bahan pengetahuan masyarakat tentang pelaksanaan

perceraian dan dapat dijadikan pertimbangan dalam melaksanaan

perceraian.

c. Memberikan informasi dalam perkembangan ilmu hukum pada

umumnya yang berkaitan dengan masalah didalam penelitian.

d. Sebagai literatur tambahan bagi yang berminat untuk meneliti lebih

lanjut tentang masalah yang dibahas di dalam penelitian ini.

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

No. Nama

Penulis/Judul/Tahun Substansi Pembeda

1. Muhammad Salman

Farisi/Kedudukan Hukum

Pengucapan Ikrar Thalaq

Skripsi ini

menjelaskan

pengucapan ikrar

Skripsi yang

penulis bahas

menitik beratkan

Page 24: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

9

di Luar Pengadilan

Agama (Studi Kasus di

Pengadilan Agama

Jakarta Timur)/Fakultas

Syariah dan Hukum/2004

thalaq di luar sidang

pengadilan itu sah

menurut hukum Islam

selama tidak

bertentangan dengan

syari’at Islam, tetapi

tidak mempunyai

hukum tetap

pada akibat

perceraian diluar

pengadilan

terhadap hak-hak

perempuan, dan

anak yang

ditinggalkan juga

status perkawinan

baru setelah

perceraian diluar

pengadilan

2. Salamul Huda/Analisis

Hukum Pidana Islam

Terhadap Sanksi Hukum

Tentang Kejahatan

Terhadap Asal-Usul

Pernikahan Menurut

Pasal 279 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana

(KUHP)/Universitas

Islam Negeri Sunan

Ampel Surabaya/Fakultas

Syariah dan Hukum/2016

Skripsi ini membahas

tindak pidana

perkawinan yang

menitikberatkan

terhadap pandangan

pidana Islam terikat

tindak pidana dalam

hukum positif.

Skripsi yang

penulis bahas tidak

menitiberatkan

pada satu

pandangan hukum

saja, tetapi

mengkomparatifkan

antara hukum Islam

dan hukum positif

dan melibatkan

tema tentang

perspektif gender.

G. Metode Penelitian

Guna mendapatkan data dan pengolahan data yang diperlukan dalam

kerangka penyusunan penulisan penelitian ini, penyusun menggunakan

metode penelitian sebagai berikut:

Page 25: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

10

1. Pendekatan Penelitian

Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis

normatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Menurut

Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder

sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran

terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti.16

Sedangkan metode deksriptif analisis yaitu

metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan

dilapangan.17

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam mengolah dan

menganalisa data adalah penelitian kualitatif. Penulis menggunakan

metode kualitatif dengan cara menganalisa dengan menggunakan

penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi rasional.18

Dalam

hal ini objeknya ialah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, dan sebuah putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber

penelitian yang berupa data primer, data sekunder, dan data tersier.19

Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer

16

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h., 13-14.

17 Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet, ke-2,

(Jakarta: Bayu Media Publishing, 2006),

18 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta:PUAJ, 2007), h.,

29.

19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian HUkum, (Jakarta: Kencana Prenada media

Group, 2008), h., 141.

Page 26: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

11

Data primer yang penulis pergunakan dalam penulisan hukum

ini adalah:

1) Al-Qur’an dan Al-Hadits

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

3) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

4) Kompilasi Hukum Islam

5) Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari hasil-hasil kajian hukum terhadap

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) terhadap putusan hakim Pengadilan

Negeri Tangerang dalam perkara No.729/Pid.B/2014/PN.TNG.

c. Data Tersier

Data tersier yang penulis pergunakan dalam hasil penulisan

penelitian ini meliputi:

1) Kamus Hukum.

2) Media Internet.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diambil oleh penulis dalam

penulisan penelitian ini adalah

a. Teknik studi kepustakaan, yaitu: Teknik pengumpulan data dengan

mempelajari, membaca, dan mencatat buku-buku, literatur, catatan-

catatan, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel penting

dari media internet dan erat kaitannya dengan pokok-pokok masalah

yang digunakan untuk menyusun penulisan penelitian ini yang

kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokan yang tepat.

b. Teknik dokumentasi, yaitu: Teknik yang digunakan untuk memperoleh

data dan informasi dalam bentuk buku, arsip, dokumen, tulisan dan

gambar yang berupa laporan serta keterangan yang dapat mendukung

penelitian. Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data

Page 27: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

12

kemudian ditelaah. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi Al-Qur'an dan Hadits, KUHP, Undang-Undang Perkawinan

No. 1 Tahun 1974, KHI dan Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG.

5. Teknik Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, dalam penulisan data yang

diperoleh baik data primer, data sekunder, maupun data tersier maka data

tersebut diolah dan dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan

menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus serta

menafsirkan data berdasarkan teori sekaligus menjawab permasalahan

dalam penulisan ini.

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika

penulisan pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata

pengantar, daftar isi, dan dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan

kesimpulan dan saran. Untuk lebih jelasnya pembagian bab-bab sebagai

berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas latar belakang

masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab II membahas tentang Tindak Pidana Terhadap Asal Usul

Perkawinan yang terdiri dari, Hakikat Perkawinan, Pengertian Tindak Pidana,

Teori Pemidanaan, Unsur-Unsur Tindak Pidana, Tindak Pidana dalam Kasus

Perdata, dan Unsur Tindak Pidana Perkawinan dalam Pasal 279 KUHP.

Kedua, Teori Gender atau Aliran Feminisme. Ketiga, Konsep Kesetaraan dan

Keadilan Gender yang terdiri dari Pengertian Sex dan Gender dalam Islam,

Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Quran, Kesetaraan dan Keadilan

Gender dalam Perkawinan. Keempat, Kesetaraan Gender sebagai Landasan

Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam.

Page 28: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

13

Bab III merupakan Deskripsi Dakwaan dan Putusan Perkara No.

729/Pid.B/2014/PN.TNG. Menjelaskan mengenai Penerapan Hukum Pidana

Terhadap Perkara Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG yang terdiri dari,

Deskripsi Kasus Perkara No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG, Dakwaan, Tuntutan

Penuntut Umum (Requesitoir) dan Amar Putusan. Kedua, Pertimbangan

Hakim dalam Memutuskan Perkara Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG,

yang terdiri dari Pembuktian Pasal Yang Didakwakan dan Hal-hal Yang

Memberatkan Dan Meringankan.

Bab IV membahas tentang Analisis Komparatif Putusan No.

729/Pid.B/2014/PN.TNG dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Positif dan

Gender. Menjelaskan mengenai Tinjauan Putusan No.

729/Pid.B/2014/PN.TNG Tentang Tindak Pidana Terhadap Asal Usul

Perkawinan dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Tinjauan Putusan No.

729/Pid.B/2014/PN.TNG tentang Tindak Pidana Terhadap Asal Usul

Perkawinan dalam Perspektif Hukum Pidana Positif, Analisis Penulis Tentang

Korelasi Equality dan Equity Gender dalam Putusan No.

729/Pid.B/2014/PN.TNG dan Analisis Komparatif.

Bab V merupakan bab Penutup dalam skripsi ini yang berisi

kesimpulan serta saran-saran. Dalam bab penutup ini penulis menyimpulkan

semua yang telah dibahas dalam skripsi ini.

Page 29: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

14

BAB II

TINDAK PIDANA TERHADAP ASAL USUL PERKAWINAN

A. Pemidanaan dalam Asal Usul Perkawinan

1. Hakikat Perkawinan

a. Makna dan Tujuan Perkawinan

Perkawinan1 adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, dan kokoh

untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih

mengasihi, tenteram dan bahagia.2 Sesuai dengan tujuan yang hendak

dicapai oleh pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum

terhadap kelangsungan hidup berumah tangga, maka pemerintah telah

mengeluarkan peraturan-peraturan tentang perkawinan yang berlaku

secara unifikasi atau secara nasionalisme yaitu Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan).3 Baik

pelaksanaan perkawinan maupun putusnya perkawinan itu harus

didasarkan kepada Undang-Undang tersebut. Oleh sebab itu, untuk sahnya

suatu perceraian dapat terwujud atau tercapai dengan baik.

Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan

hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan dengan laki-laki dan perempuan

dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar

cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam

masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh

1 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

2 Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, (Bandung, Mandar Maju: 1997), h.3

3 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h., 6.

Page 30: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

15

syari'ah. Rumusan tujuan perkawinan tersebut dapat diperinci sebagai

berikut: a) menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi hajat tabiat

kemanusiaan; b) mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta dan kasih;

c) memperoleh keturunan yang sah.4

Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip sejauh mungkin

menghindari dan mempersukar terjadinya perceraian, perceraian hanya

dapat dilakukan apabila cukup alasan bahwa antara suami isteri tersebut

tidak ada kemungkinan untuk hidup rukun sebagai suami isteri, dengan

demikian perceraian hanyalah merupakan suatu pengecualian saja dari

suatu perkawinan yang sudah tidak mungkin dipertahankan lagi.5

b. Keabsahan Perkawinan

Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat

penting karena berkaitan dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang

menyangkut dengan anak (keturunan), maupun yang berkaitan dengan

harta. Kriteria keabsahan suatu perkawinan telah dirumuskan dalam Pasal

2 Undang-Undang Perkawinan. sebagai berikut:

1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu;

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangannya berlaku.6

Pasal 2 Undan-Undang Perkawinan tersebut menetapkan 2 (dua)

garis hukum yang harus dipatuhi dalam melaksanakan suatu perkawinan.

Ayat (1) mengatur secara jelas tentang keabsahan suatu perkawinan adalah

bila perkawinan itu dilakukan menurut ketentutan agama dari mereka yang

melangsungkan perkawinan tersebut. Ketentuan agama untuk sahnya suatu

4 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 2005), h., 73.

5 Soedharyo Soemin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika: 2002), h.,

63.

Page 31: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

16

perkawinan bagi umat Islam dimaksud adalah yang berkaitan dengan

syarat dan rukun nikah.

Ayat (2) mengatur masalah pencatatan perkawinan, bahwa suatu

perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Mengenai tujuan pencatatan ini, dalam Undang-Undang

Perkawinan tidak dijelaskan lebih lanjut. Hanya didalam penjelasan umum

dikatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya

dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan

seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-

surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar

pencatatan. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan tidak menentukan sah

atau tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa

perkawinan benar-benar terjadi. Pencatatan ini semata-mata bersifat

administratif, yang menjadi bukti otentik telah dilangsungkannya suatu

perkawinan.7

c. Perceraian

"Putusnya Perkawinan" adalah istilah hukum yang digunakan

dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan "perceraian" atau berakhirnya

hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang

selama ini hidup sebagai suami isteri.8

Perceraian berasal dari Bahasa Arab yaitu Thalaq yang berarti

membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau tawanan

ataupun ikatan ma'nawi seperti ikatan pernikahan. Sedangkaan thalaq

menurut istilah adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi

pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu. Secara spesifik

7 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), h., 139.

8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawina Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006) h., 189.

Page 32: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

17

menurut syara, thalaq adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri

tali pernikahan suami isteri.9

Dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan diterangkan bahwa

perkawinan dapat putus karena:

1) Kematian;

2) Perceraian; dan

3) Putusan Pengadilan

Dalam kalimat tersebut Nampak jelas bahwa putusnya perkawinan

karena perceraian adalah berbeda dengan putusnya perkawinan karena/atas

putusan pengadilan. Mengenai putusnya perkawinan karena kematian

adalah jelas karena tidak perlu dijelaskan lagi.

Dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan diterangkan bahwa

perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan. Kalimat itu

cukup gamplang, yaitu "di depan sidang pengadilan" dan tidak "dengan

putusan pengadilan" pasal ini dimaksud untuk mengatur talak pada

perkawinan agama Islam.

Perceraian dalam Islam memang dibolehkan kalau rumah tangga

yang didirikan sulit dirajut kembali, tetapi menjatuhkan talak mempunyai

muatan hukum yang berbeda-beda. Hukum perceraian adalah:10

1) Wajib

Sebuah rumah tangga yang selalu ribut dan terjadi pertengkaran

(syiqaq) yang sangat memuncak antara suami dan isteri, serta sudah

diusahakan intervensi pihak ketiga yang berfungsi sebagai

pendamaian. Namun usaha ini tidak membawa hasil maka sudah

seharusnya talak itu dijatuhkan.

2) Sunnah

9 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Cet. Ke-1, (Jakarta:

PT. Bulan Bintang, 1987), h., 94.

10 Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:

Darussalam Perum Griya Suryo, 2004), h., 232.

Page 33: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

18

Seorang isteri yang kurang menjaga kehormatannya seperti

mudah mengundang kecemburuan suaminya, bergaul terlalu dekat

dengan orang lain dan sebagainya, dan setelah diberikan peringatan

oleh suaminya tentang perilaku dan sikapnya itu agar dihentikan tetapi

dia tetap tidak menghiraukan, maka sebaiknya (sunnah) talak itu

dijatuhkan.

3) Mubah

Hubungan rumah tangga antara suami dan isterinya cenderung

tertutup, pergaulah seharinya-harinya kurang harmonis, ada

ketidakcocokan dan sebagainya, maka suasana rumah tangga semacam

ini dibolehkan terjadi perceraian.

4) Haram

Seorang isteri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci

dan hari-hari yang dilalui antara suami dan isterinya biasa mengadakan

hubungan badan, tahu-tahu suaminya mau menjatuhkan talak.

5) Makruh

Sebuah rumah tangga yang berjalan sebagaimana biasanya dan

tidak terjadi badai sedikitpun yang dianggap bisa meretakkan

keharmonisan rumah tangganya yang didirikan, maka menjatuhkan

talak pada suasana semacam ini hukumnya makruh.

2. Pengertian Tindak Pidana

a. Tindak Pidana menurut Hukum Islam

Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah

jinayah atau jarimah. Jinayah merupakan bentuk masdar dari kata jana.

Hukum pidana atau fiqh jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang

oleh syara‟ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan,

dan akal (intelegensi). Sebagian dari fuqaha’ menggunakan kata jinayah

untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti

Page 34: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

19

membunuh, melukai, menggugurkan kandungan dan lain sebagainya.

Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama dengan hukum pidana.11

Pengertian jarimah juga dikemukakan oleh Ahmad Wardi Muslich

yang mengatakan bahwa, jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang

dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau

ta,zir.12

Sedangkan menurut Ahmad Hanafi, yang dimaksud dengan kata

jarimah ialah larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan

hukuman had. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan

perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.

Menerangkan juga bahwa suatu perbuatan dipandang jarimah apabila

perbuatan tersebut bisa merugikan tata aturan yang ada dalam masyarakat

atau kepercayaannya, merugikan kehidupan anggota masyarakat atau

bendanya, atau merugikan nama baiknya atau perasaannya atau

pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara.13

Suatu perbuatan dianggap sebagai jarimah karena perbuatan

tersebut merugikan kepada tata aturan masyarakat, kepercayaan dan

agamanya, harta benda, nama baiknya, serta pada umumnya merugikan

kepentingan dan ketentraman masyarakat. Jadi suatu perbuatan dianggap

jarimah jika dampak dari perilaku tersebut menyebabkan kerugian kepada

pihak lain, baik dalam bentuk material maupun non-materi atau gangguan

non-fisik, seperti ketenangan, ketentraman, harga diri, adat istiadat dan

sebagainya.14

Tanpa acaman sanksi hukum, pelanggaran selamanya akan menjadi

preseden buruk pada kemudian hari. Pelaku kejahatan akan bercermin

11

Mahkrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, (Sleman: Logung Pustaka,

2004), h., 2.

12 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-asas Hukum Pidana Islam Fiqih

Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h., 9.

13 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),

Cet. Ke-5, h., 1.

14 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h., 17.

Page 35: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

20

kepada pelaku kejahatan yang sama yang lolos dari sanksi. Apalagi jika

kembali pada pandangan bahwa manusia cenderung berbuat demi

keuntungan diri sendiri, ketiadaan sanksi yang jelas dapat mengundang

seorang melakukan kejahatan tanpa ada rasa takut dan menyesal.15

Pada umumnya para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek

berat dan rintangan hukum serta ditegaskan atau tidak oleh Al-Qur‟an atau

Al-Hadits. Atas dasar ini, mereka membagi menjadi tiga macam:16

1) Jarimah Hudud

Jarimah hudud yaitu perbuatan melanggar hukum dan jenis

ancaman hukumannya ditentukan oleh nash, yaitu hukuman had.

Hukuman had yang dimaksudkan tidak mempunyai batas terendah dan

tertinggi dan tidak dihapuskan oleh perorangan (si korban atau

wakilnya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).17

Ciri khas jarimah hudud itu aadalah sebagai berikut:

a) Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya

ditentutkan oleh syara‟ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

b) Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau

ada hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang lebih

menonjol.18

Karena beratnya sanksi yang akan diterima terhukum terbukti

bersalah melakukan jarimah, maka penetapan asas legalitas bagi

pelaku jarimah harus berhati-hati, ketat dalam penerapannya.19

Meliputi: perjinahan, qadzaf (menuduh berzina), minum khamr,

15

Mustofa Hasan dan Beni Ahmadi Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah,

(Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2013), h., 34.

16 Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h., 3.

17 Mahkrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, h., 18.

18 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-asas Hukum Pidana Islam Fiqih

Jinayah, h., 18.

19 Rahman Hakim, Hukum Pidana Islam, h., 29.

Page 36: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

21

(meminum-minuman keras), pencurian, perampokan, pemberontakan,

dan murtad.20

2) Jarimah Qisas atau Diyat

Maksud dari jarimah qishash atau diyat ialah merupakan

perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman qishash atau

hukuman diyat. Baik qishash maupun diyat adalah hukuman-hukuman

yang telah ditentutkan batasnya, dan tidak mempunyai batas terendah

ataupun tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian

bahwa si korban bisa merugikan si pembuat, dan apabila dimaafkan

maka hukuman tersebut menjadi hapus.21

Menurut arti, qishash adalah akibat yang sama yang dikenakan

kepada orang yang dengan sengaja menghilangkan jiwa atau melukai

atau menghilangkan anggota badan orang lain.22

Firman Allah

menjelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 178-179

)٨٧١-٨٧١ : ةلبقرا(

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu

qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka

dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita.

Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,

hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan

20

Djazuli, Fiqh Jinayah, h., 11.

21 Mahkrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, h., 12.

22 Rahman Hakim, Hukum Pidana Islam, h., 29.

Page 37: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

22

hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi

maaf dengan cara yang baik (pula), yang demikian itu adalah suatu

keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang

melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat

pedih.(178) Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup

bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”.(179)

(QS. Al-Baqarah: 178-179).

Jarimah yang termasuk ke dalam jarimah qishash atau diyat ini

ada lima macam:

a) Pembunuhan sengaja (al-qatlul-amdu)

b) Pembunuhan semi sengaja (al-qatlu syibhul amdi)

c) Pembunuhan karena kesilapan (tidak sengaja, al-qatlul khatha)

d) Penganiayaan sengaja (al-jarkhul-amdu)

e) Penganiayaan tidak sengaja (al-jarkhul-khatha)

3) Jarimah Ta’zir

Jarimah ta’zir menurut arti kata adalah at-ta’dib artinya

memberi pengajaran. Dalam fiqh jinayah, ta’zir adalah suatu bentuk

jarimah, yang bentuk atau macam jarimah serta hukumna dan

sanksinya ditentukan oleh penguasa.23

Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak

ditentukan oleh Al-Qur‟an dan Hadits yang berkaitan dengan kejahatan

yang melanggar hak Allah SWT dan hak hamba yang berfungsi

sebagai pelajaran bagi terhukum dan pencegahannya untuk tidak

mengulangi kejahatan serupa. Hukuman ta’zir boleh dan harus

diterapkan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan. Para ulama membagi

jarimah ta’zir yakni yang berkaitan dengan hak Allah SWT dan hak

hamba. Sehingga dapat dibedakan bahwa untuk ta’zir yang berkaitan

dengan hak hamba disamping harus ada gugatan, tidak dapat

diberlakukan teori tadakhul yakni sanksi dijumlahkan sesuai dengan

banyak kejahatan, Ulil Amri tidak dapat memaafkan, sedangkan ta’zir

23

Ibid, h., 31.

Page 38: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

23

yang berkaitan dengan hak Allah SWT, tidak harus ada gugatan dan

ada kemungkinan Ulil Amri memberi pemaafan bila hal itu membawa

kemaslahatan sehingga semua orang wajib mencegahnya.24

b. Tindak Pidana menurut Hukum Positif

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam

hukum pidana Belanda yaitu strafbaarfeit. Walaupun istilah ini

terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia

Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasaan resmi tentang apa yang

dimaksud dengan strafbaarfeit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum

berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Dan sayangnya

sampai kini belum ada keseragaman pendapat.25

Strafbaarfeit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang

diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti

diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa

pidana mauppun perbuatan yang dapat dipidana. Kata strafbaarfeit

terdiri dari tiga kata yakni, straf, baar,dan feit. Berbagai istilah yang

digunakan sebagai terjemahan dari strafbaarfeit itu, ternyata straf

diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar

diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit

diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.26

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan

dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan

dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana

akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia

mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada

24

Djazuli, Fiqh Jinayah, h., 167

25 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2005), h., 67.

26 Ibid, h.,69.

Page 39: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

24

waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan

pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.27

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah

perbuatan yang pelakunya seharusnya dipidana. Tindak pidana

mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang

konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana

haruslah diberikan arti yang bersifat alamiah dan ditentukan dengan

jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari

dalam kehidupan masyarakat.28

Menurut D. Simons, tindak pidana (strafbaar feit) adalah

kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat

melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (eene strafbaar

gestelde onrechtmatige, met schuld in verband staaande handeling van

een toerekeningsvatbaar person).29

Teguh Prasetyo merumuskan bahwa:30

“Tindak pidana adalah

perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan

pidana. Pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat

aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) dan

perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya

diharuskan oleh hukum)”.

Sedangkan menurut G.A. van Hamel, sebagaimana yang

dikutip oleh Moeljatno, strafbaar feit adalah kelakuan orang

(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat

27 Andi Hamzah, Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2001), h., 22.

28 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rangkang Education, 2012),

h., 18.

29 D. Simons, “Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht”, Eerste Deel Vierde

druk, P. Noordhoff, Groningen, h., 101. Dalam Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan

Tertulis di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h., 58.

30 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011), h., 49.

Page 40: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

25

melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan

dengan kesalahan.31

Sementara itu, Moeljatno meyatakan bahwa tindak pidana

berarti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap

siapa saja yg melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus

juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan

yang dicita-citakan oleh masyarakat.32

Jadi tindak pidana (strafbaar feit), peristiwa yang dapat

dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Sementara delik yang

dalam bahasa asing disebut delict artinya suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan hukuman.

3. Teori Pemidanaan

Pemidanaan biasa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan

juga terhadap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada

umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan

sebagai penghukuman.

Pemidanaan itu bukan untuk dimaksudkan sebagai upaya balas

dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku

kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan

serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat terwujud apabila melihat

beberapa tahap perencanaan sebagai berikut:33

1. Pemberian pemidanaan oleh pembuat Undang-Undang.

2. Pemberian pemidanaan oleh badan yang berwenang.

3. Pemberian pemidanaan oleh instansi pelaksana yang berwenang.

31

Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara,1984), cetakan ke-2,

h., 56.

32 Ibid, h., 54.

33 Amir Ilyas,Asas-Asas Hukum Pidana, h., 96.

Page 41: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

26

Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokan

dalam tiga golongan pokok, yaitu teori absolut atau teori

pembalasan(vergeldings theorien), teori relative atau teori tujuan (doel

theorien), dan teori gabungan (verenigings theorien).34

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang

yang telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan. Immanuel

Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatif” yakni

seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan

kejahatan sehingga pidana menunjukan suatu tuntutan keadilan.

Tuntutan keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat pada pendapat

Immanuel Kant didalam bukunya “Philosophy of Law” sebagai

berikut:

“Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana

untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si

pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat tapi dalam semua

hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah

melakukan sesuatu kejahatan”.35

Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan

sebagai berikut:

“Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah

bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.

Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk

dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan

suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat

penjatuhan pidana.36

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidaklah perlu

dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau

34

E. Utrecht, Hukum Pidana I,(Jakarta: Universitas Jakarta, 1958) h., 157.

35 Muladi dan Arief Barda Nawawi, “Teori-Teori dan Kebijakan Pidana”, Bandung:

Alumni, 1998), h., 11.

36 Andi Hamzah, “Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia”, (Jakarta: Pradnya

Paramitha, 1993), h., 26

Page 42: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

27

teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini

adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori ini pembalasan

yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu

akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori

pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku

kejahatan.37

Teori pembalasan atau teori absolut ini terbagi atas pembalasan

subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah

pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah

pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.38

2. Teori Tujuan (relatif)

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir

sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana

menurut teori relatif bukalah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk

mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.39

Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok

dari pemidanaan yaitu:

1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van

de maatschappelijke orde);

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat

sebagai akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het doer de

misdaad onstane maatschappelijke nadeel);

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de

misdadiger);

37

Andi Hamzah, “Asas-asas Hukum Pidana”, (Jakarta: Rinneka Cipta, 1994), h., 31.

38 Ibid. h., 31.

39 Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, h,.

70.

Page 43: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

28

5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).40

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief

menjelaskan bahwa, pidana bukan sekedar untuk melakukan

pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan

suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan –tujuan tertentu yang

bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori

tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana

menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan

bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan)

melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan

kejahatan).41

Filosof Inggris Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan

tokoh yang pendapatnya dapat dijadilan landasan dari teori ini.

Menurut Jeremy Bantham yang dikutip oleh Muladi dan Barda

Nawawi Arief bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang

akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan.

Oleh karena itu suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan

sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat dari pada

kesenganan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai tujuantujuan

dari pidana adalah:

1. Mencegah semua pelanggaran;

2. Mencegah pelanggaran yang paling jahat;

3. Menekan kejahatan;

4. Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.42

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi

dua yaitu:

40

Koeswadji, ”Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan

Hukum Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), cet-1, h., 12.

41 Muladi dan Arief Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h., 16.

42 Ibid, h., 30-31.

Page 44: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

29

a) prevensi umum (generale preventie),

b) prevensi khusus (speciale preventie).

Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht

menuliskan sebagai berikut: “Prevensi umum bertujuan untuk

menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar.

Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader)

tidak melanggar”.43

Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk

mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat.

Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat

lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi

khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar

narapidana jangan mengulangi perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana

itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar

menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.44

3. Teori Gabungan

Dasar pemikiran teori gabungan adalah bahwa pemidanaan

bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk masa yang akan datang,

karnanya pemidanaan harus dapat memberi kepuasaan bagi hakim,

penjahat itu sendiri maupun kepada masyarakat.

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan

besar, yaitu sebagai berikut:45

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu

dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

43

E. Utrecht, Hukum Pidana I, h., 157.

44 Ibid. h., 157.

45 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, h., 166.

Page 45: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

30

b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh

lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.

4. Unsur-unsur Tindak Pidana

Untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat

tertentu. Syarat-syarat tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur

tindak pidana. Jadi seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan

yang dilakukan memenuhi syarat-syarat tindak pidana apabila perbuatan

yang dilakukan memenuhi syarat-syarat tindak pidana (strafbaarfeit).46

Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP

pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam,

yaitu unsur-unsur subyektif dan obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-

unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Sedangkan yang

dimaksud dengan unsur obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan dimana tindakan

dari sipelaku itu harus dilakukan.47

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poggingseperti

dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terapat dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan

lain-lain;

46

Sudarto,Hukum Pidana 1A, (Semarang: Yayasan Soedarto 1990), h., 43.

47 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984),

h., 183.

Page 46: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

31

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti

misalnya terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340

KUHP;

e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana adalah:

a. Sifat melanggar hukum;

b. Kualitas si pelaku;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab

dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.48

Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana

(strafbaarfeit) ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian

unsur-unsur tindak pidana, yaitu:

a. D. Simons, sebagai penganut pandangan monistis, Simons mengatakan

bahwa pengertian tindak pidana (Strafbaarfeit) adalah “Een strafbaar

gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van

een toerekeningsvatbaar person” (tindakan yang dapat dihukum dan

bersifat melanggar hukum oleh orang yang mampu bertanggung

jawab.49

Atas dasar pandangan tentang tindak pidana tersebut diatas, unsur-

unsur tindak pidana menurut Simons adalah:50

1) Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak

berbuat atau membiarkan);

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

3) Melawan hukum (onrechtmatig);

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);

48

Ibid. h., 184

49 D. Simons, Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht, h., 101. dalam

Sudarto,Hukum Pidana 1A, h., 32.

50 Ibid, h., 32.

Page 47: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

32

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar

person).

b. Van hamel, yang dikutip oleh Mulyatno dalam Azas-azas Hukum

Pidana menyatakan Strafbaarfeitadalah een wterlijk omschre en

mensschelijke gedrading onrechmatig, strafwardig en aan schuld te

wijten.51

Jadi menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana adalah:52

1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

2) Bersifat melawan hukum;

3) Dilakukan dengan kesalahan, dan

4) Patut dipidana.

c. Moeljatno, memberikan arti tentang strafbaarfeit, yaitu sebagai

perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar

larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-

unsur:

1) Perbuatan (manusia);

2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan

syarat formil) dan

3) Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang

tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat materiil pun harus

ada pula karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut

dilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat

tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan

oleh masyarakat.

Dengan demikian pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini

ada pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility.53

51

Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara,1984), cetakan ke-2,

h., 56.

52 Sudarto,Hukum Pidana 1A, h., 33.

53 Ibid, h., 27.

Page 48: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

33

Menurut Sudarto, baik aliran monistis maupun dualistis, tidak

mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan adanya pidana.

Apabila orang menganut pendirian yang satu, hendaknya memegang

pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekcauan pengertian.

Bagi orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan

tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan

dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena

masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada

pada si pembuat atau pelaku pidana. Jadi menurut pandangan dualistis

semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan

5. Tindak Pidana dalam Kasus Perdata

Dalam teori hukum umum, menyatakan bahwa setiap orang,

termasuk pemerintah, harus mempertanggungjawabkan setiap

tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa kesalahan. Dari teori

hukum umum, munculah tanggung jawab hukum berupa tanggung jawab

pidana, tanggung jawab perdata, dan tanggung jawab administrasi.54

Pertanggungjawaban hukum berhubungan dengan perbuatan

melawan hukum. Dalam hukum perdata, perbuatan melawan hukum dapat

ditemukan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(selanjutnya disingkat KUHPer). Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum

perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban

perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan

didalam pergaulan masyarakat, dan pelaksanaannya diserahkan kepada

masing-masing pihak. Sementara menurut Asis Safioedin, hukum perdata

adalah hukum yang memuat peraturan dan ketentuan hukum yang meliputi

hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, antara

54

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern(Rechtstaat), (Bandung: Refika

Aditama, 2009), h., 147.

Page 49: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

34

subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain didalam

masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan perorangan.55

Berkaitan dengan konsep perbuatan melawan hukum, pasal 1365

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi: “tiap perbuatan

melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut”. Dalam ketentuan pasal tersebut, terdapat

unsur-unsur perbuatan melawan hukum, yaitu adanya perbuatan, adanya

unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, serta adanya hubungan

kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Dengan adanya unsur perbuatan

melawan hukum dalam bidang hukum perdata, Pasal 1366 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa: “setiap orang

bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan

perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau

kurang hati-hatinya”.56

Melawan hukum (onrechtmatig) dapat diartikan secara sempit

maupun luas. Pengertian sempit dari melawan hukum adalah tindakan

yang melanggar hak subjektif yang diatur oleh undang-undang (wettelijk

subjektiefrecht) atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

yang ditentukan oleh undang-undang.57

Makna melanggar kewajiban

hukum si pelaku, adalah bertindak atau mengambil sikap yang

bertentangan dengan suatu undang-undang yang bersifat memerintah atau

melarang. Jadi, normanya dapat dibaca dalam undang-undang yang

55

Sudikno Mertokusumo, “Bahan Ajar Hukum Perdata”, (Manado: makalah

Fakultas HukumUniversitas Sam Ratulangi, 2009:1)

56 Mody Gregorian Baurch, “Pertanggungjawaban Hukum Dewan Perwakilan Rakyat

dalam Proses Legislasi Terhadap Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pengujian

Undang-Undang”, Tesis, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2013), h., 24.

57 J. Satrio, Hukum Perikatan, Peikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian

Pertama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h., 142 dalam Siti Anisah dan Trisno Raharjo,

“Batasan Melawan Hukum dalam Perdata dan Pidana Pada Kasus Persekongkolan Tender”,

Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Vol. 25, No. 1,

Januari 2018, h., 29.

Page 50: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

35

bersangkutan. Undang-undang diartikan, baik undang-undang dalam arti

formil maupun materiil. Dengan demikian, semua perbuatan yang

melanggar ketentuan hukum pidana – ditinjau dari sudut pandang hukum

perdata – adalah melawan hukum. Namun, untuk perbuatan-perbuatan

melawan hukum tertentu untuk dapat dikenakan hukum pidana, seringkali

harus dipenuhi syarat adanya “kesengajaan (opzet)”.58

Sebagai tambahan, selain perbuatan melawan hukum, hal perdata

yang dapat diajukan sebagai gugatan adalah ingkar janji (wanprestasi).

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban

sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

dengan debitur.59

Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi

baik karena disengaja maupun tidak sengaja.60

Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi

kewajibannya atau terlambat memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah

diperjanjikan.61

Wanprestasi terdapat dalam Pasal 1243 KUHPerdata, yang

menyatakan bahwa:

“penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu

perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah

dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau

jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat

diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam

tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”62

Sedangkan menurut A. Qirom Syamsudin Meliala wanprestasi itu

dapat berupa:

58

Ibid, h., 172.

59 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: SInar Grafika,

2008), h., 180.

60 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Pers,

2007), h., 74.

61 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Arga Printing,

2007), h., 146.

62 Ahmad Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h.,

12.

Page 51: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

36

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasi

maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan

pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi teteapi

tidak tepat waktu, sehingga dapat dikatakan wanprestasi.

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi

keliru tersebut dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak

memenuhi prestasi sama sekali.63

Kelalaian atau kealpaan debitur untuk melakukan sesuatu

sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian akan mempunyai

akibat-akibat yang merugikan bagi pihak debitur sebagaimana berikut ini:

1. Debitur harus membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh

kreditur (Pasal 1234 KUHPerdata).

2. Perikatan tetap ada, kreditur masih menuntut kepada debitur

pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di

samping itu, kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi akibat

keterlambatan melaksanakan prestasinya, hal ini disebabkan kreditur

akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat

pada waktunya.

3. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadi wanprestasi (Pasal

1237 ayat (2) KUHPerdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi

perikatan untuk memberikan sesuatu.

4. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat

membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi

dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata.64

63

A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Yogyakarta:

Liberty, 1985), h., 26.

Page 52: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

37

Dalam Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan, bahwa “Tiap-tiap

perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”,

ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena

dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan/perjanjian yang

secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti

perikatan atau perjanjian adalah hubungan hukum antara dua atau lebih

orang (pihak) dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan

kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.65

Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat

berupa:66

1. Putusan condemnatoir, yakni putusan yang bersifat menghukum pihak

yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya). Misalnya

salah satu pihak dihukum untuk membayar kerugian, pihak yang kalah

dihukum untuk membayar biaya perkara.

2. Putusan declaratoir, yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu

keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini hanya bersifat

menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.

Misalnya putusan yang menyatakan bahwa pengugat sebagai pemilik

yang sah atas tanah sengketa.

3. Putusan constitutif, yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan

hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Misalnya, putusan yang

memutuskan suatu ikatan perkawinan.

64

Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2011), h., 108.

65 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2003), h., 17.

66https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-

%28pidana,-perdata,-dandan-administratif%29: 2018/09/30.

Page 53: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

38

Pada dasarnya, dalam hukum perdata bentuk sanksi hukumnya

dapat berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban) serta

hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan munculnya suatu

keadaan hukum baru. Pertanggungjawaban hukum dibidang perdata

merupakan pertanggungjawaban hukum yang didasari oleh adanya

hubungan keperdataan antara subyek hukum.

Dalam hukum administrasi, pertanggungjawaban hukum berupa

sanksi administrasi/administratif. Sanksi administrasi/administratif adalah

sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administratif atau ketentuan

undang-undang yang bersifat administratif. Pada umumnya sanksi

administrasi/administratif berupa denda, pembekuan hingga pencabutan

sertifikat dan/atau izin, penghentian sementara pelayanan administrasi

hingga pengurangan jatah produksi, serta tindakan administratif lainnya.67

Ada 4 (empat) Pasal yang berhubungan dengan tindak pidana

pelanggaran dalam kedudukan perdata, yaitu sebagaimana diatur dalam

Pasal 277, 278, 279 dan Pasal 180 KUHP.

Pasal 277 KUHP disebut dengan tindak pidana “penggelapan

terhadap kedudukan” yang dirumuskan adalah: “dengan suatu perbuatan

sengaja menjadi keturunan orang tidak tertentu”, dan diancam dengan

kemungkinan hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak yang dimuat

dalam Pasal 35 No. 1-4. Perbuatan ini berupa memberi keterangan palsu

agar menjadi tidak tentu, apakah seorang tertentu adalah keturunan dari

seorang bapak atau ibu, kakek atau nenek, begitu seterusnya. Dengan

demikian akan hampir selalu ada gabungan tindak pidana ini dengan

tindak pidana pemalsuan surat, yang dijadikan tidak tentu ini tidak hanya

keturunan seorang yang masih hidup tetapi juga dapat mengenai seseorang

yang sudah meninggal.68

67

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-

%28pidana,-perdata,-dandan-administratif%29: 2018/09/30

68 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur

Bandung, 1981), h., 92

Page 54: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

39

Pasal 278 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan

bahwa: Barang siapa mengakui seorang anak sebagai anaknya menurut

peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, padahal diketahuinya

bahwa dia bukan ayah dari anak tersebut, diancam karena melakukan

pengakuan anak palsu dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan

bahwa:

1. Diancam dengan pidana 5 (lima) tahun:

a. Barang siapa yang mengadakan perkawinan padahal mengetahui

bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada

menjadi penghalang yang sah untuk itu.

b. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi

penghalang untuk itu.

2. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1

menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada

menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidan penjara

paling lama 7 (tujuh) tahun

Dalam Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

menyebutkan bahwa: Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal

sengaja tidak memberitahu kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang

sah, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, apabila

kemudian berdasarkan penghalang tersebut, perkawinan lalu dinyatakan

tidak sah.

6. Unsur Tindak Pidana Perkawinan dalam Pasal 279 Ayat (1) KUHP

Yang dimaksud dengan tindak pidana mengadakan perkawinan

yang dilarang terdapat dalam Pasal 279 Ayat (1) ke-1 KUHPidana

berbunyi:69

69

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bogor: Politeia, 1995), h., 203.

Page 55: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

40

(1) Dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun:

1. Barang siapa yang kawin yang sedang diketahuinya, bahwa

perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah

baginya akan kawin lagi

Uraian unsur-unsur didalam Pasal 279 Ayat (1) ke-1e sebagai

berikut:

a. Barang siapa

Merupakan suatu istilah orang yang melakukan yaitu

memperlihatkan sipelaku adalah manusia. Sebagian pakar lagi

berpendapat bahwa “barang siapa” tersebut adalah manusia, tetapi

perlu diuraikan manusia siapa dan beberapa orang.

b. Yang kawin sedang diketahuinya, bahwa perkawinannya yang sudah

ada menjadi halangan yang sah baginya akan kawin lagi

Dalam unsur ini syarat agar orang dapat dihukum dalam Pasal 279

Ayat (1) ke-1, ialah orang itu harus mengetahui bahwa ia dulu pernah

kawin dan perkawinan ini belum dilepaskan. Menurut Pasal 199 B.W.

(hukum sipil) perkawinan itu menjadi lepas:

a. Karena mati

b. Karena seseorang meninggalkannya selama 10 tahun dan diikuti

dengan perkawinan salah seorang itu dengan orang lain

c. Karena ada vonis perceraian oleh hakim

d. Karena perceraian biasa menurut peraturan dalam B.W.70

Yang tunduk kepada peraturan pernikahan dalam B.W. ialah orang

Eropa, Indonesia, Tionghoa dan sebagainya. Bagi mereka yang tunduk

pada peraturan B.W. maka adanya suatu perkawinan sudah merupakan

suatu halangan untuk mengadakan perkawinan lagi (kawin dua kali

dinamakan bigami dan dihukum menurut pasal ini).

70

Ibid. h., 203.

Page 56: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

41

Dahulu sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan

(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) seorang pria beragama Islam di

Indonesia dapat kawin sampai dengan empat orang istri, yang berarti

bahwa adanya perkawinan lebih dari 4 kali itu barulah akan merupakan

pelanggaran terhadap Pasal 279 Ayat 1 ke-1.

B. Teori Gender Dan Aliran Feminisme

Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin.71

Dalam

Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep

kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,

perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan

perempuan yang berkembang dalam masyarakat.72

Secara terminologis, gender oleh Hilary M. Lips didefinisikan sebagai

harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.73

Elaine Showalter

mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan

dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih menekankan gender sebagai

konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.74

Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa gender adalah

suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-

laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya. Gender dalam

71

John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Cet. I; Jakarta:

Gramedia, cet. XII, 1983), h., 265.

72 Helen Tiemey (ed.), Women’s Studies Encyclopedia, Vol. I (New York: Green

Word Press), h., 153 dalam Sarifa Suhra, “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur‟an dan

Implikasinya Terhadap Hukum Islam”, Jurnal Al-Ulum, XIII, 2 (Desember, 2013), h., 376.

73 Hilary M. Lips, Sex and Gender: An Introduction, (London: Myfield Publishing

Company, 1993), h., 4 dalam Mansour Fakih dkk, Membincang Feminisme: Diskursus

Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti 1996), h., 6.

74 Elaine Showalter, Speaking Of Gender, (New York & London: Routledge, 1989),

h., 3, dalam Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, (Jakarta:

Paramadina, 1999), h., 33-34.

Page 57: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

42

arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social construction),

bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.75

Sedangkan feminisme dalam buku Encyclopedia of Feminism, yang

ditulis Lisa Tuttle pada tahun 1986, feminism berasal dari bahasa latin, yaitu

femina (woman), secara harfiah artinya “having the qualities of females”.

Istilah ini awalnya digunakan merujuk pada teori tentang persamaan seksual

dan gerakan hak-hak asasi perempuan, menggantikan womanism pada tahun

1980-an.76

Feminisme yang memiliki artian dari femina tersebut, memiliki arti

sifat keperempuan, sehingga feminisme diawali oleh persepsi tentang

ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki di masyarakat. Akibat

persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan

tersebut untuk mengeleminasi dan menemukan formula penyetaraan hak

perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka

sebagai manusia (human being).77

Bagi Bhasin dan Nighat dalam bukunya “Some Question of Feminism

and its Relevance in South Asia” pada tahun 1986 mendefinisikan feminisme,

ialah an awareness of women’s oppression and exploitation in society, at work

and within the family, and conscious action by women to change this

situation.78

Maka hakikat dari feminisme masa kini adalah perjuangan untuk

mencapai kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih

75

Marzuki, “Studi Tentang Kesetaraan Gender dalam Berbagai Aspek” (Yogyakarta:

makalah dalam Sosialisasi Kesetaraan Gender kegiatan KKN Mahasiswa UNY di PKBM

Sleman, 2008), h., 3, t.d.

76 Lisa Tuttle, Encyclopedia of Feminism, (New York, Facts on File Publication,

1986), h., 107 dalam Arimbi Heroepoetri dan R Valentina, Percakapan Tentang Feminisme

VS Neoliberalisme, (Jakarta: debtWACH Indonesia, 2004), h., 8.

77 Aida Fitalaya S. Hubis, “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan”, (Bandung:

Pustaka Hidayah, 1997), h., 19.

78 Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, Some Question of Feminism and its

Relevance in South Asia, (New Delhi: Kali For Women, 1986), h., 2 dalam Arimbi

Haroepoetri dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS Neoliberalisme, h., 10.

Page 58: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

43

dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik didalam maupun diluar rumah

tangga.79

Pemikiran Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan yang dikutip oleh

Wardah Hafid, terhadap feminisme tersebut tentunya memiliki alasan kuat,

sebab keduanya menyaksikan banyak perempuan tertindas dalam berbagai hal

dalam masyarakatnya sejak berabad-abad. Sebagian dari perempuan

mengalami langsung penindasan terhadap dirinya, mungkin oleh tradisi yang

mengutamakan laki-laki, mungkin sikap egois dan sikap macho laki-laki,

mungkin oleh pandangan bahwa perempuan adalah objek seks. Sehingga dari

kesemua kemungkinan tersebut telah melahirkan penindasan terhadap

perempuan.80

Seiring berjalannya waktu, feminisme bukanlah sekedar sebuah

wacana melainkan sebuah ideologi yang hakikatnya perlawanan, anti, dan

bebas dari penindasan, dominasi, hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan

yang dialami perempuan.81

Dengan dipahami dari ideologi tentang

perlawanan, ini mengindikasikan bahwa dalam feminisme harus ada aksi

untuk membebaskan perempuan dari semua ketidakadilan, sehingga

feminisme juga memiliki artian gerakan-gerakan intelektual yang muncul dan

tumbuh secara akademis maupun bentuk upaya-upaya politik dan sosial

perempuan untuk mengakhiri penindasan yang dialami.82

Mansour fakih juga menjelaskan bahwa feminisme merupakan gerakan

yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada

dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan

79

Ibid. h., 10.

80 Wardah Hafid, Feminisme sebagai Budaya Tandingan, dalam Dadang Anshori,

dkk, Membincangkan Feminisme, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h., 37.

81 Arimbi Haroepoetri dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS

Neoliberalisme, h., 5.

82 Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.,

5.

Page 59: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

44

dan eksploitasi tersebut.83

Dengan beragamnya arti feminisme, maka akan

sulit mendapatkan definisi feminisme dalam semua ruang dan waktu. Hal ini

terjadi karena feminisme tidak mengusung teori tunggal, akan tetapi

menyesuaikan kondisi sosiokultural yang melatarbelakangi munculnya paham

itu serta adanya perbedaan tingkat kesadaran, persepsi, dan tindakan yang

dilakukan oleh para feminis.84

Gerakan feminisme muncul dari adanya suatu anggapan bahwa

terdapat suatu kesalahan masyarakat didalam memperlakukan perempuan

sebagai wujud ketidakadilan gender. Oleh karena itu para feminis berusaha

untuk menganalisa sebab-sebab penindasan perempuan dan berusaha untuk

memperoleh kebebasan bagi perempuan, memperoleh kesetaraan sosial (social

equality) dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan.85

Sejalan dengan gerakan feminisme, muncul berbagai teori feminisme

dan corak gerakannya sebagai akibat adanya berbagai macam pendapat yang

bersumber dari beberapa disiplin ilmu. Walaupun sulit untuk mencari titik

temu dari beberapa teori feminisme tersebut akan tetapi semua bertolak pada

asumsi bahwa ideologi patriarkhi adalah negatif karena telah menempatkan

perempuan pada posisi suborfinat, yaitu dibawah laki-laki.86

Berikut beberapa

teori-teori yang akan dikemukakan.

1. Teori Struktural-Fungsional

Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori

sosiologi yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini

83

Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h., 82.

84 Ummul Barorah, Feminisme dan Feminis Muslim, dalam Sri Suhandjati Sukri,

“Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender”, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h.,

183-184.

85 S. Herlina, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, h., 5.

diterjemahkan dariKamla Bhasin dan Nighat Said Khan,Some Question of Feminism and its

Relevance in South Asia, (New Delhi: Kali For Women, 1986)

86 Mundir, Perempuan dalam Al-Qur’an: Studi Tafsir al-Manar, (Semarang:

Walisongo Press, 2010), h., 73-77.

Page 60: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

45

berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian

yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang

berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap

unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam

masyarakat.87

Terkait dengan peran gender, pengikut teori ini menunjuk

masyarakat pra industri yang terintegrasi di dalam suatu sistem sosial.

Laki-laki berperan sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai

peramu (gatherer). Sebagai pemburu, laki-laki lebih banyak berada diluar

rumah dan bertanggung jawab untuk membawa makanan kepada keluarga.

Peran perempuan lebih terbatas disekitar rumah dalam urusan reproduksi,

seperti mengandung, memelihara, dan menyusui anak. Pembagian kerja

seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan

kelangsungan masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi

peran gender sangat ditentukan oleh jenis kelamin (sex).

Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum

feminis, karena dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan

peran sosial dengan jenis kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan

publik dan perempuan diposisikan dalam urusan domestik, terutama dalam

masalah reproduksi.88

Meskipun teori ini banyak memperoleh kritikan dan kecaman, teori

ini masih tetap bertahan terutama karena didukung oleh masyarakat

industri yang cenderung tetap mempertahankan prinsip-prinsip ekonomi

industri yang menekankan aspek produktivitas. Jika faktor produksi

diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak lebih dari sekedar alat

produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung diabaikan.

Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat

87

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi

Gender, (Bandung: Mizan, 1999), h., 56.

88 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, h., 53.

Page 61: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

46

diterima secara wajar. Yang juga memperkuat pemberlakuan teori ini

adalah karena masyarakat modern-kapitalis,cenderung mengakomodasi

sistem pembagian kerja berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Akibatnya,

posisi perempuan akan tetap lebih rendah dan dalam posisi marginal,

sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi sentral.89

2. Teori Feminisme Liberal

Feminisme liberal mulai berkembang pada abad ke-18, didasari

pada prinsip-prinsip liberalisme, yaitu semua orang (laki-laki dan

perempuan) dengan kemampuan rasionalitasnya diciptakan dengan hak

yang sama dan setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk

memajukan dirinya.90

Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan

antara laki-laki dan perempuan.91

Karena itu perempuan harus mempunyai

hak yang sama dengan laki-laki. Bahkan dalam tulisan Niken Savitri

dalam buku Feminist Legal Theory dalam Teori Hukummenjelaskan bahwa

setiap orang memiliki otonomi, termasuk perempuan. Lebih lanjut karena

aliran ini sangat menekankan pada adanya kesetaraan maka aliran ini

berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki secara rasional setara, jadi

mereka harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk menerapkan

pilihan rasional mereka.92

Feminisme liberal juga melihat sumber penindasan bagi

perempuan karena belum terpenuhinya hak-hak perempuan, seperti

diskriminasi hak, kesempatan, dan kebebasan hanya karena berjenis

89

Ibid, h., 60.

90 Arimbi Haroepoetri dan R. Valentina, “Percakapan Tentang Feminisme VS

Neoliberalisme”, h., 16.

91 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi

Gender, h., 228.

92 Niken Savitri, Feminist Legal Theory dalam Teori Hukum, dalam Sulistyowati

Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h., 43.

Page 62: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

47

kelamin perempuan. Namun aliran ini tetap menolak persamaan secara

keseluruhan antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal, aliran ini

masih tetap memandang perlu adanya pembedaan antara laki-laki dan

perempuan, seperti yang berhubungan dengan fungsi reproduksi.93

Untuk menghapus stigma miring tentang perempuan tersebut perlu

diperjuangkan perubahan hukum dan pandangan, serta mereformasi

keadaan sosial yang ada agar membuka kesempatan yang seluas-luasnya

bagi perempuan. Sebagaimana akar munculnya feminism liberal adalah

karena persoalan nalar, yakni bahwa manusia dalam kapasitasnya memiliki

nalar sebagai pembeda dengan makhluk lain, maka manusia baik laki-laki

dan perempuan meimiliki kapasitas dan kemampuan yang sama. Sehingga

masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan seperti juga

kepada laki-laki karena semua manusia berhak mendapatkan kesempatan

yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya.

Sehingga perempuan dapat menjadi manusia yang utuh.94

3. Teori Feminisme Marxis-Sosialis

Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturiasi masyarakat

agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh

system kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour,

termasuk didalam keluarga. Gerakan ini mengadopsi teori praxis

Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum

perempuan sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak diuntungkan.

Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para

perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan.95

93

Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.,

5.

94 Rosemarie Pytnam Tong, Feminist Thought: Pengantar paling Komprehensif

kepada Aliran Utama Pemikiran Feminisme, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h., 21.

95 Ratna Megawangi, “Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi

Gender”, h., 225.

Page 63: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

48

Dalam buku “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam

Timbangan Islam” disebutkan:

Dari karya Frederick Engels yang berjudul “The Origin of the

Family: Private Property dan The State” mengulas jatuhnya status

perempuan, yakni saat munculnya era hewan piaraan dan petani

menetap. Di masa ini merupakan awal kondisi penciptaan surplus

yang menjadi dasar private property. Surplus kemudian menjadi

dasar bagi perdagangan dan produksi untuk xchange mendominasi

for use. Karena laki-laki mengontrol produksi untuk exghange,

maka mereka dapat menguasai sosial politik masyarakat, dan

akhirnya perempuan direduksi menjadi bagian kepemilikan.96

Perempuan bagi aliran ini dalam keluarga di tempatkan hanya

dalam sektor domestik untuk mengurus rumah tangga. Perempuan dalam

rumah tanggapun dalam pekerjaannya tidak diperhitungkan dalam

perhitungan ekonomi, sosial, dan politik. Dengan tidak adanya nilai

ekonomis, sosial, dan politik dalam kehidupan berumah tangga maka

perempuan dianggap tidak lebih bernilai dibanding laki-laki. Laki-laki

dianggap lebih bernilai karena memiliki pekerjaan yang ekonomis dan

memberi masukan nafkah kepada keluarga.97

Kontribusi ekonomi yang

dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak

diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang,

perempuan sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi

dibandingkan laki-laki dari sektor domistik yang dikerjakannya.98

Oleh karena itu, perjuangan feminis marxis adalah menuntut agar

pekerjaan rumah tangga dihargai dan bernilai ekonomis. Sebab pekerjaan

rumah tangga adalah produktif dan menciptakan surplusvalue atau nilai

tambah dalam kehidupan berumah tangga. Dengan cara itu, laki-laki dan

96

Siti Muslikatin, “Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan

Islam”, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h., 33.

97 A. Sonny Keraf, “Etika Lingkungan Hidup”, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2010), h., 149.

98 Ratna Megawangi, “Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi

Gender”, h.,143.

Page 64: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

49

perempuan berkedudukan sama karena secara ekonomis keduanya

mempunyai pekerjaan yang sama nilai ekonomis99

4. Teori Feminisme Radikal

Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu

1960-an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori

feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada

keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya

sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga

perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai

individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu

keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan.

Bagi aliran ini, penindasan pada perempuan sejak awal adalah

karena peran dominasi laki-laki atas perempuan. Sistem kekuasaan pada

keluarga merupakan bagian kecil dari penindasan dan menyebabkan

keterbelakangan perempuan. Hal ini mengindikasikan penindasan terhadap

perempuan terjadi karena sistem seks atau gender. Sehingga untuk dapat

dikualifikasikan sebagai seorang feminis radikal, maka seorang feminis

harus yakin bahwa sistem seks atau gender adalah penyebab fundamental

dari penekanan perempuan.100

Rekontruksi sosial feminis radikal bukan hanya dilatar belakangi

oleh sikap kepemimpinan dan kekuasaan laki-laki selama ini, namun

jelmaan dari kehendak otoritas perempuan untuk menjadi “penguasa” yang

sejajar dengan laki-laki. Gerakan ini ditandai dengan gerakan kemandirian

oleh kelompok perempuan dalam segala segmentasi kehidupan.

Pembongkaran radikal dilakukan pula terhadap norma-norma keluarga

antara suami dan isteri. Suami tidak harus menjadi kepala rumah tangga

dalam pandangan aliran ini. Bahkan keluarga tidak harus didefinisikan

99

A. Sonny Keraf, “Etika Lingkungan Hidup”, h., 150.

100 Rosemarie Pytnam Tong, “Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif

kepada Aliran Utama Pemikiran Feminisme”, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h., 69.

Page 65: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

50

sebagai organisasi yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, melainkan bisa

terdiri atas ibu dan anak. Kehadiran ayah tidak menjadi keharusan. Dalam

posisi inilah praktik-praktik aborsi dihalalkan, melainkan memandang

bahwa mengandung dan melahirkan adalah hak preogatif seorang

perempuan dan perempuan berhak menentukan sikap untuk menolak.101

Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam,

bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis

sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini.

Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan

merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah

reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari

bebas ini.102

C. Konsep Kesetaraan Dan Keadilan Gender dalam Islam

Kesetaraan gender (gender equality) adalah posisi yang sama antara

laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan

manfaat dalam aktifitas kehidupan baik dalam keluarga, masyarakat maupun

berbangsa dan bernegara. Keadilan gender (gender equity) adalah suatu proses

menuju setara, selaras, seimbang, serasi tanpa diskriminasi.103

Salah satu misi Nabi MuhammadSAW sebagai pembawa Islam adalah

mengangkat harkat dan martabat perempuan, karena ajaran yang dibawanya

memuat misi pembebasan dari penindasan. Perempuan merupakan bagian dari

kelompok tertindas, termarjinalkan dan tidak mendapatkan hak-haknya dalam

kehidupan.104

101

Engkos Kosasih, dkk “ed”, “Membincangkan Feminisme”, (Bandung: Pustaka

Hidayah, 1997), h., 6-7.

102 Marzuki, “Studi Tentang Kesetaraan Gender dalam Berbagai Aspek”, h., 11, t.d.

103 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN-

MALANG PRESS, 2008), h., 18.

104 Ibid, h., 19.

Page 66: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

51

1. Pengertian Sex dan Gender dalam Islam

Dalam bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran tidak disebutkan kata

yang sama dengan kata gender, namun terdapat kata al-dzakar dan untsa,

dengan kata al-rijal dan al-nisa’ yang biasa digunakan untuk menunjuk

pada laki-laki dan perempuan. Kata al-rijal merupakan bentuk jamak dari

kata al-rajul yang berasal dari akar kata ra-ja-la yang derivasinya

membentuk beberapa kata seperti rajal (mengikat), rajila (berjalan kaki),

al-rijl (telapak kaki), al-rijlah (tumbuh-tumbuhan), dan kata al-rajul

sendiri yang berarti laki-laki.105

Sedangkan kata al-dzakar sendiri dalam Al-Munjid disebutkan

berasal data dza-ka-ra yang berarti “menyebutkan, mengingat”. Dari akar

kata ini terbentuk beberapa derivasi seperti dzakirah (mempelajari) dan al-

dzakar itu sendiri dengan bentuk jamaknya al-dzukur dan al-dzukran yang

artinya laki-laki atau jantan.106

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa lawan kata atau

pasangan dari kata al-rajul/al-rijal adalah al-nisa yang merupakan bentuk

jamak dari al-mar’ah. Dalam Lisan al-Arab, kata al-mar’ah/al-nisa berarti

perempuan yang sudah matang atau dewasa (yang telah mengalami

menstruasi).107

Pada umumnya al-nisa digunakan untuk perempuan yang

sudah matang atau dewasa, berkeluarga atau janda bukan pada perempuan

dibawah umur dan lebih banyak digunakan dalam konteks tugas-tugas

yang berkaitan dengan reproduksi perempuan. Sedangkan al-untsa,

menurut Kamus al-Munawwir mengandung arti lemah, lunak, dan

lembek.108

105

Louis Makluf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyiq,

1998), 251.; lihat juga Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab

Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996), h., 961.

106 Louis Makluf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, h., 236.

107 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Juz VI, (t.t.:, Dar-al-Ma‟arif, t.th.), h., 4403.

108 Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h.,

46.

Page 67: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

52

Kata gender, secara persis tidak didapati dalam Al-Qur‟an, namun

kata yang dipandang dekat dengan kata gender jika ditinjau dari peran

fungsi dan relasi adalah kata al-rijal dan al-nisa’. Kata rajul mempunyai

kriteria tertentu, bukan hanya mengacu pada jenis kelamin, tetapi juga

kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat kejantanan (masculinity). Oleh

karena itu tradisi bahasa Arab menyebut perempuan yang memiliki sifat-

sifat kejantanan dengan rijlah. Kata al-rujul dalam Al-Qur‟an disebutkan

sebanyak 55 kali. Mempunyai berbagai makna, antara lain berarti gender

laki-laki tertentu dengan kapasitas tertentu pula, seperti; pelindung,

pemimpin, orang laki-laki maupun perempuan. Sedangkan kata al-nisa

dalam Al-Qurandengan berbagai pecahannya terulang sebanyak 59 kali.

Penggunaan kata al-nisa’ lebih terbatas dibandingkan dengan kata al-rijal.

Dengan demikian al-rajul dan al-nisa’ berkonotasi laki-laki dan

perempuan dalam relasi gender.109

2. Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an

Dalam kaitannya dengan persoalan relasi laki-laki dan perempuan,

prinsip dasar Al-Qur‟an sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang

egaliter. Menurut Asghar, Al-Qur‟an lah yang pertama kali memberikan

mereka (perempuan) hak-hak yang sebelumnya tidak pernah mereka

dapatkan dalam aturan yang legal.110

Merujuk pada Al-Qur‟an banyak ayat menjelaskan tentang prinsip-

prinsip kesetaraan gender. Nasaruddin Umar mencoba mengkompilasinya

sebagai berikut: pertama, prinsip kesetaraan gender mengacu pada suatu

realitas antara laki-laki dan perempuan, dalam hubungannya dengan

109

Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, h., 147-

172.

110 Asghar Ali Engineer, “Islam dan Teologi Pembebasan”, terj. Agung Prihantoro,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h., 50.

Page 68: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

53

Tuhan, sama-sama seorang hamba. Tugas pokok hamba adalah mengabdi

dan menyembah.111

Ini dapat dipahami dalam firman-Nya:

)٦٥: تيارالذ٘ا)

Artinya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali

untuk menyembah-Ku.” (QS. Al-Dzariyat: 56)

Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan

antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang dijadikan ukuran untuk

memuliakan atau merendahkan derajat mereka hanyalah nilai

ketaqwaannya. Prestasi ketaqwaan dapat diraih oleh siapapun, tanpa

memperhatikan perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis

tertentu. Al-Qur‟an menegaskan bahwa hamba yang paling ideal ialah

muttaqun, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.112

)۳۱ : تالحجرا(

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan

kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling

kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara

kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Mengenal”.(QS. Al-Hujurat: 13)

Kedua, adalah fakta bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan

sebagai khalifah. Jika dicermati, Allah SWT sama sekali tidak menegaskan

jenis kelamin seorang khalifah. Jadi dalam Islam prinsip kesetaraan gender

111

Nasaruddin Umar, “Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an”, h., 248.

112 Huzaemah Tahido Yanggo, Pandangan Islam Tentang Gender, dalam Mansour

Fakih dkk, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah

Gusti 1996), h., 152.

Page 69: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

54

telah dikenal sejak zaman azali. Dalam surat Al-Baqarah ayat 30

ditegaskan:

... )۱۳ :ةلبقرا(

Artinya: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah

dimuka bumi…” (QS. Al-Baqarah: 30)

Menurut Nasaruddin Umar, kata khalifah pada ayat diatas tidak

menunjukan kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu.

Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah,

yang akan mempertanggung jawabkan ke-khalifahan-nya di bumi,

sebagiamana halnya mereka bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.113

Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah

dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Saat itu jenis kelamin

bayi belum diketahui apakah laki-laki atau permpuan. Oleh karena itu,

Allah telah berbuat adil dan memberlakukan kesetaraan gender dengan

terlebih dahulu ia harus menerima perjanjian dengan Tuhannya,114

sebagaimana disebutkan dalam firmannya:

)۳۷۱: فالأعرا(

Artinya: ”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan

keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah

mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfiman):

“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul

(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang

113

Nasaruddin Umar, ”Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an”, h., 252-

253

114 Ibid, h., 253-254

Page 70: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

55

“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang

lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al-„Araf: 172).

Keempat, prinsip kesetaraan gender dalam Al-Qur‟an dapat dilihat

pada kenyataan antara Adam dan Hawa adalah aktor yang sama-sama aktif

terlibat dalam drama kosmis. Kisah kehidupan mereka di surga, karena

beberapa hal, harus turun ke muka bumi, menggambarkan adanya

kesetaraan peran yang dimainkan keduanya.115

Hal ini dapat dilihat dengan

penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk

Adam dan Hawa.116

Seperti yang terdapat dalam ayat berikut:

)۱۱: فالأعرا(

Artinya: “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buat

itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu

itu, tampaklah bagi keduanya menutupinya dengan daun-daun

surge. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: “Bukankah Aku

telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan

kepadamu: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata

bagi kamu berdua.” (QS. Al-Araf: 22).

Kelima, sejalan dengan prinsip kesetaraan, maka laki-laki maupun

perempuan sama-sama berhak meraih prestasi dalam kehidupannya.117

Seperti ditegaskan dalam ayat berikut:

)۷۷ : لنحلا(

115

M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur’an”, (Bandung: Mizan, 1997), h., 302.

116 Nasaruddin Umar, ”Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an”, h., 260.

117 Ibid, h., 263-264.

Page 71: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

56

Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki

maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan

kami berikan kepadanya kehidupan yang baik…” (QS. An-Nahl: 97)

Deskripsi tersebut dapat memberi gambaran kepada kita bahwa Al-

Qur‟an menjungjung tinggi kesetaraan gender. Kesetaraan gender adalah

merupakan bagian dari nilai Islam yang berlaku universal.118

Analisis

gender yang memperjuangkan kehidupan yang adil dan lebih manusiawi

tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam. Oleh karena itu,

tindakan yang diskriminatif terhadap perbedaan-perbedaan tersebut dalam

bentuk apapun tidak dapat dibenarkan. Termasuk di dalamnya

pemahaman-pemahaman keagamaan yang mengarah kepada dehumanisasi

dan tindak diskriminasi tentu sangat tidak dibenarkan, karena agama

sejatinya diperuntukan bagi kesejahteraaan seluruh umat manusia tanpa

memandang perbedaan dalam bentuk apapun.

3. Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perkawinan

Dalam konteks perkawinan yang berkesetaraan dan berkeadilan

gender mengacu pada empat indikator, yaitu suami istri sama-sama

memiliki akses dalam kehidupan rumah tangga, memperoleh peran-peran

yang seimbang dalam rumah tanggga, menerima wewenang dan tanggung

jawab yang sama termasuk dalam pengambilan keputusan, serta sama-

sama mendapatkan manfaat dalam kehidupan rumah tangga.119

Perbedaan cara pandang seringkali mengarah pada perasaan

su‟udzan/buruk sangka, saling menuduh dan melempar tanggung jawab.

Gender stereotype atau memberikan label negatif atas dasar perbedaan

jenis kelamin merupakan salah satu penyebab buruk sangka pada

pasangannya. Disadari atau tidak, gender stereotype ini telah dikonstruk

118

Masdar F. Mas‟udi, “Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih

Perempuan”, (Bandung: Mizan, 1997), h., 29-31.

119 Ch Mufidah, Psikologi Keluarga Berwawasan Gender (Malang: UIN MALANG

PRESS, 2008) cet. 1, h. 238.

Page 72: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

57

setiap anak dalam lingkungan keluarga dan di masyarakat luas, misalnya

persepsi negatif terhadap laki-laki secara kodrat berkarakter kasar, keras,

egois, penghianat.

Sebaliknya perempuan secara fitri (nature) dipandang lemah,

penakut, kurang tanggung jawab, cerewet, perayu dan sebagainya.

Menghilangkan gender stereotype suami istri merupakan langkah positif

agar dapat menumbuhkan rasa saling menghargai, saling percaya dan

memandang positif pasangannya. Sikap positif terhadap pasangan menjadi

pintu masuknya komunikasi efektif, dimana suami istri dapat

mengemukakan apa saja yang sedang dirasakan agar mudah

menyelesaikan masalah tanpa ada perasaan yang mengganjal, sama-sama

mengikhlaskan dan meridhai.120

Untuk mengetahui apakah laki-laki dan perempuan telah

berkesetaraan dan berkeadilan sebagaimana capaian pembangunan

berwawasan gender adalah seberapa besar akses dan partisipasi atau

keterlibatan perempuan terhadap peran-peran sosial dalam kehidupan baik

dalam keluarga masyarakat, dan dalam pembangunan, dan seberapa besar

kontrol serta penguasaan perempuan dalam berbagai sumber daya manusia

maupun sumber daya alam dan peran pengambilan keputusan dan

memperoleh manfaat dalam kehidupan.121

Dengan demikian sejatinya masing-masing pasangan tidak ada

yang lebih dan tidak ada yang kurang dalam kadar pemenuhan hak dan

pelaksanaan kewajiban. Kesetaraan dan keadilan dalam sebuah

perkawinan, sesungguhnya sudah dimulai pada masa pra-nikah, yang oleh

Islam disebut dengan “sekufu”. Ditetapkannya “sekufu” yang berarti

seimbang dan setara sebagai salah satu syarat untuk melangsungkan

perkawinan menunjukan bahwa sesungguhnya modal penting dalam

mewujudkan perkawinan yang ideal dengan kenyataan perkawinan yang

120

Ibid, h., 191-192.

121 Ibid, h., 192.

Page 73: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

58

dijalani oleh suami dan isteri (laki-laki dan perempuan) adalah tergantung

pada adanya kesetaraan.

D. Landasan Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam pandangan Al-Qur‟an, salah satu tujuan pernikahan adalah

untuk menciptakan sakinah, mawaddah, dan rahmah antara suami, istri, dan

anak-anaknya. Hal ini ditegaskan dalam QS. Ar-Rum: 21

)١٨ : وملرا(

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia

menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia

menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi

kaum yang berpikir”.(QS. Ar-Rum: 21)

Dari ayat ini kita menemukan ajaran Islam tentang keluarga sakinah

yang penuh dengan mawaddah dan rahmah. Kata-kata ini tertuang dengan

jelas dalam KHI Pasal 3.122

Kata sakinah, dalam QS. Al-Rum ayat 21 diatas,

dalam Al-Qur‟an dan Terjemahnya Departemen Agama diterjemahkan dengan

"cenderung dan tenteram".123

Penafsiran ini tidak jauh berbeda dengan

penafsiran yang dikemukakan oleh mufassir lainnya. Mufassir Indonesia

Quraish Shihab, menjelaskan bahwa kata sakinah yang tersusun dari huruf-

huruf sin, kaf, dan nun mengandung makna “ketenangan” atau antonim

kegoncangan dan pergerakan. Menurutnya pakar-pakar bahasa menegaskan

bahwa kata itu tidak digunaan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan

ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak.124

Dalam istilah lain bisa disebut

122

“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, dan rahmah”.

123 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya… Jilid 7, 481.

124 Quraish Shihab, “Keluarga Sakinah”, Jurnal Bimas Islam, Vol. 4, No. 1 (2011),

h., 4

Page 74: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

59

sebagai keluarga sejahtera. Dikatakan keluarga sejahtera manakala seluruh

anggotanya merasa terpenuhi hak-haknya atau setiap anggota memahami

secara sadar hak dan tanggung jawabnya masing-masing.125

Mawaddah bukan sekedar cinta terhadap lawan jenis dengan keinginan

untuk selalu berdekatan tetapi lebih dari itu, mawaddah adalah cinta plus,

karena cinta disertai dengan penuh keikhlasan dalam menerima keburukan dan

kekurangan orang yang dicintai. Dengan mawaddah seseorang akan menerima

kelebihan dan kekurangan pasangannya sebagai bagian dari dirinya dan

kehidupannya. Mawaddah dicapai melalui proses adaptasi, negosiasi, belajar

menahan diri, saling memahami, mengurangi egois untuk sampai pada

kematangan.

Rahmah merupakan perasaan saling simpati, menghormati,

menghargai antara satu dengan yang lainnya, saling mengagumi, memiliki

kebanggaan pada pasangannya. Rahmah ditandai dengan adanya usaha-usaha

untuk melakukan yang terbaik pada pasangannya sebagaimana ia

memperlakukan terbaik untuk dirinya. Untuk mencapai tingkatan rahmah ini

perlu ada ikhtiar terus menerus hingga tidak ada satu di antara lainnya

mengalami ketertinggalan dan keterasingan dalam kehidupan keluarga.

Keduanya sama-sama mendapatkan akses, partisipasi, pengambilan keputusan

dan dalam memperoleh manfaat dalam rumah tangga.

Adapun sakinah diambil dari kata sa-ka-na yang berarti

diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Sakinah dalam perkawinan,

bersifat aktif dan dinamis. Sakinah merupakan kata kunci yang amat penting,

dimana pasangan suami istri merasakan kebutuhan untuk mendapatkan

kedamaian, keharmonisan, dan ketenangan hidup yang dilandasi oleh

keadilan, keterbukaan, kejujuran, kekompakan dan keserasian, serta berserah

diri kepada Allah.126

Untuk menuju kepada sakinah terdapat tali pengikat yang

125

Siti Musdah Mulia, Muslim Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan

(Bandung: Mizan, 2005), h. 228.

126 Ch Mufidah, Psikologi Keluarga Berwawasan Gender (Malang: UIN MALANG

PRESS, 2008) cet. 1, h., 49.

Page 75: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

60

dikaruniakan oleh Allah kepada suami isteri setelah melalui perjalanan sakral,

yaitu berupa mawaddah, rahmah, dan amanah. Amanah merupakan sesuatu

yang disertakan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari

pemberiannya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanahkan akan

terpelihara dengan baik.127

Kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga dewasa ini telah

menjadi sebuah kebutuhan setiap pasangan suami isteri, sebab prinsip-prinsip

membina keluarga sakinah sama dan sebangun dengan prinsip-prinsip dasar

mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Dengan demikian keluarga

sakinah berwawasan gender merupakan keluarga idaman bagi setiap keluarga

karena tujuan perkawinan dapat diraih sesuai dengan harapan dalam

membangun rumah tangga bahagia.128

127

Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 208-209 dalam

Ch Mufidah, Psikologi Keluarga Berwawasan Gender (Malang: UIN MALANG PRESS,

2008) cet. 1, h. 50.

128 Ch Mufidah, Psikologi Keluarga Berwawasan Gender, h. 51.

Page 76: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

61

BAB III

TINDAK PIDANA PERKARA PERKAWINAN PUTUSAN NO.

729/Pid.B/2014/PN.TNG

A. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Perkara Putusan No.

729/Pid.B/2014/PN.TNG

1. Kronologi Perkara

Pada hari Rabu tanggal 12 Desember 2007 terdakwa GS menikah

dengan saksi korban Ns (istri pertama) dengan nomor di buku nikah No.

1289/33/XII/2007 di KUA Pamulang, Kota Tangerang Selatan dan telah

dikarunia 1 (satu) orang anak perempuan. Pada bulan Juli 2009, Ns

bertengkar dengan saudara GS, karena Ns merasa GS tidak pernah

memberikan nafkah kepadanya dan anaknya. Tahun 2010, GS mengajukan

pernyataan cerai secara sepihak yang ditandatangani oleh orang tuanya,

karena merasa tidak senang lalu Ns meminta perceraian secara sah, namun

tidak pernah ada tanggapan dari GS. Pada bulan November 2011, Ns

mendengar informasi dari tetangganya bahwa saudara GS sudah menikah

lagi secara sah di daerah Pondok Aren. Lalu saudari Ns mencari tahu

kebenaran kabar tersebut dan mendapat keterangan secara tertulis dari

kepala KUA Pondok Aren yang isinya menerangkan bahwa benar saudara

GS telah menikah dengan Ly secara sah di KUA Pondok Aren pada hari

Minggu tanggal 04 Desember 2011 dirumah mempelai Ly. Terdakwa GS

bersama Ly telah melakukan perkawinan tanpa adanya pemberitahuan atau

ijin terlebih dahulu dari Ns selaku istri sah pertama GS, sehingga saudari

Ns merasa dirugikan secara moril dan materiil.

Pada hari Minggu tanggal 04 Desember 2011, bertempat di KUA

Kec. Pondok Aren kota Tangerang Selatan, GS (terdakwa) telah

melakukan perkawinan dengan Ly (saksi), dengan Kutipan Akta Nikah

Nomor: 1707/19/XII/2011. GS (terdakwa) menikah tanpa seijin Ns selaku

isteri yang sah, dan dari pernikahan GS dengan Ns telah dikarunia 1 (satu)

Page 77: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

62

orang anak. Kemudian perkawinannya GS (terdakwa) yang terdahulu

dengan Ns menjadi penghalang yang sah untuk melakukan perkawinan

lagi, karena secara Undang-Undang status perceraian mereka tidak sah.

Artinya hubungan GS (terdakwa) dengan Ns masih terikat perkawinan.

2. Dakwaan

Adapun isi dakwaan penuntut umum terhadap tindak pidana

menikah lagi tanpa izin dari isteri sebelumnya yang dilakukan oleh

terdakwa GS yang dibacakan pada persidangan dihadapan Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Tangerang yang pada pokoknya mengatakan sebagai

berikut:

Bahwa terdakwa bersama-sama dengan saksi Ly telah melakukan

perkawinan tanpa adanya pemberitahuan atau ijin terlebih dahulu dari

saksi Ns selaku istri sah pertama dari terdakwa sehingga saksi Ns merasa

dirugikan secara moril dan materiil.

Maka Pengadilan Negeri Tangerang yang berwenang memeriksa

dan mengadili perkara terdakwa tersebut, menyatakan terdakwa sebagai

orang yang melakukan, menyuruh, melakukan atau turut serta

melakukan, mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi

penghalang yang sah untuk itu. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur

dan diancam pidana sesuai ketentuan Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP JO

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

3. Tuntutan Penuntut Umur (Requesitoir)

Mengenai tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap tindak pidana

menikah lagi tanpa izin dari isteri sebelumnya yang dilakukan oleh

terdakwa, maka penuntut umum mengajukan kepada Hakim Pengadilan

Negeri Tangerang yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar

memutuskan antara lain sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa GS bersalah melakukan tindak pidana

Mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan-

Page 78: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

63

perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 279 ayat (1) ke-1

KUHP sebagaimana dalam dakwaan kami.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama

5 (lima) bulan dengan dikurungi selama terdakwa berada dalam

tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan di Rutan.

3. Menyatakan barang bukti berupa:

- 2 (dua) buah buku kutipan Akta Nikah Asli Nomor:

1707.19.XII.2011 tentang pernikahan antara GS dan Ly,

Dipergunakan dalam perkara lain atas nama terdakwa Ly

4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.

2000,- (dua ribu rupiah).

4. Amar Putusan

Adapun yang menjadi amar putusan dalam perkara ini adalah

sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa GS tersebut diatas telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Mengadakan

perkawinan padahal mengetahui perkawinannya terdahulu menjadi

penghalang yang sah untuk itu”.

2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan

pidana penjara selama 3 (tiga) bulan 7 (tujuh) hari.

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa

dikurungkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.

5. Menetapkan barang bukti berupa:

- 2 (dua) buah buku kutipan Akta Nikah Asli Nomor:

1707.19.XII.2011 tentang pernikahan antara GS dan Ly.

Dipergunakan dalam perkara lain atas nama terdakwa Ly.

6. Membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,-

(dua ribu rupiah).

Page 79: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

64

5. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Putusan No.

729/Pid.B/2014/PN.TNG

1. Pembuktian Pasal yang Didakwakan

Mengenai pertimbangan Hakim, terdakwa yang telah melakukan

perbuatan itu, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa telah memenuhi unsur-unsur

dari pasal yang telah didakwakan tersebut diatas. Adapun pertimbangan

hukum Majelis Hakim adalah sebagai berikut:

Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan

mempertimbangkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yakni melanggar

Pasal 279 Ayat (1) Ke-1 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Menimbang, bahwa sesuai dengan fakta-fakta persidangan baik

dari keterangan saksi, keterangan terdakwa, bukti surat dan barang bukti,

Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan melanggar Pasal 279

Ayat (1) Ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya sebagai berikut:

1) Setiap orang;

2) Mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau

perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang

sah untuk itu;

Unsur 1. Setiap orang.

Bahwa pengertian barang siapa tidak diatur secara tegas dalam

Undang-undang Hukum Pidana, namun dalam praktek peradilan

pidana di Indonesia barang siapa diartikan sebagai siapa saja dimana

setiap orang baik laki-laki atau perempuan tanpa membedakan jenis

kelamin dapat merupakan subyek hukum atau pelaku tindak pidana

yang sehat akal pikirannya serta mampu dipertanggungjawabkan atas

perbuatan yang didakwakan, bahwa dalam perkara ini orang yang

didakwa dan diajukan dipersidangan adalah terdakwa GS yang cakap

secara hukum.

Page 80: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

65

Unsur 2. Mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi

penghalang yang sah untuk itu.

- Bahwa sekira tahun 2010 terdakwa mengajukan pernyataan cerai

secara sepihak yang di tandatangani oleh orang tua terdakwa yaitu

saksi GY, karena merasa tidak senang lalu saksi Ns meminta

perceraian secara sah kepada tedakwa namun tidak pernah ada

tanggapan dari terdakwa;

- Bahwa terdakwa bersama-sama dengan saksi Ly telah melakukan

perkawinan tanpa adanya pemberitahuan atau ijin terlebih dahulu

dari saksi Ns selaku istri sah pertama dari terdakwa sehingga saksi

Ns merasa dirugikan secara moril dan materiil.

Menimbang, bahwa dengan telah terbuktinya terdakwa tersebut

melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang telah dipertimbangkan

diatas dan di persidangan ternyata tidak dapat ditemukan/diperoleh tentang

adanya hal-hal yang dapat menghapuskan sifat perbuatan melawan hukum

dari terdakwa, oleh sebab mana atas diri terdakwa dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka terdakwa dinyatakan

bersalah dan dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya itu.

Menimbang, bahwa tentang lamanya terdakwa berada dalam

tahanan, akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,

sebagaimana maksud dari ketentuan Pasal 22 ayat (4) KUHAP.

2. Hal-Hal yang Memberatkan dan Meringankan

- Hal-hal yang memberatkan:

1. Perbuatan terdakwa merugikan saksi Ns

- Hal-hal yang meringankan:

1. Terdakwa berlaku sopan dalam menjalani proses persidangan

2. Terdakwa belum pernah dihukum

3. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya

4. Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya

Page 81: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

66

Menimbang, bahwa hukuman yang dijatuhkan atas diri terdakwa

seperti tercantum dalam amar putusan menurut pendapat Majelis Hakim,

telah sesuai dan setimpal dengan kesalahan terdakwa.

Menimbang, bahwa lagi pula asas umum pemidanaan yang dianut

dalam hukum positif, bukan merupakan pembalasan akan tetapi

merupakan pembinaan sebagaimana maksud dari ketentuan perundang-

undangan.

Memperhatikan Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP serta pasal-pasal

lain yang berkaitan dengan perkara ini.

Page 82: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

67

BAB IV

ANALISIS KOMPARATIF PUTUSAN NO. 729/Pid.B/2014/PN.TNG

DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM,

HUKUM POSITIF DAN GENDER

A. Tinjauan Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG Tentang Tindak Pidana

Terhadap Asal Usul Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam Islam ketika seseorang melakukan kejahatan maka harus ada

pertanggung jawaban pidana. Islam membagi tiga dalam mengatur hukuman

pidana, pertama jarimah hudud, yaitu hukuman yang diberikan terhadap

pelaku pidana sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Kedua jarimah qisas, yaitu

hukumannya sudah tertentu terbatas, dalam artian bahwa hukumannya telah

ditentukan oleh syara, dan tidak ada batas minimal dan maksimal. Ketiga

jarimah ta‟zir, yaitu sanksi pidana yang diberlakukan untuk pelaku pidana

tidak terdapat dalam Al-Quran dan hadits, hukuman ini ditentukan oleh

penguasa. Dalam hal ini Pasal 279 KUHP merupakan tindak pidana

perkawinan yang tidak diatur dalam Al-Quran dan hadits.

Maka pasal tersebut termasuk hukum ta‟zir yang digunakan dalam

sanksi pidana hukuman ta‟zir. Dalam hal ini hukumannya tidak ditentukan

oleh syara‟ dan penentuan hukumnya ditentukan oleh penguasa. Dasar untuk

melakukan hukuman ta‟zir sudah dijelaskan dalam Al-Quran dan hadits.1

Dalam Al-Qur‟an surat Al-Fath ayat 8-9:

)٩-٨ : لفتحا(

Artinya: “Sungguh, Kami mengutus engkau (Muhammad) sebagai saksi,

pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan.(8) Agar kamu semua

1 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009),

Cet 1, h., 182.

Page 83: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

68

beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya,

membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya pagi dan petang. (9) (QS. Al-

Fath: 8-9)

Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim:

في ناسا حبس سلمو عليه صلى الله لسور أ ن جده عن بيهأ عن حكيم بن بهز عن

2(لحاكما صححهو لنسائىا هروا) تهمة

“Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW

menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan”. (H.R. An-

Nasa‟i, serta dishahihkan oleh Hakim).

Sebagian ulama mengartikan ta‟zir sebagai hukuman yang berkaitan

dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak ditentukan

Al-Qur‟an dan Hadits. Ta‟zir berfungsi memberikan pengajaran kepada si

terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatannya.3

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum sanksi ta‟zir,4 diantaranya yakni:

1. Menurut golongan Malikiyah dan Hanabilah, ta‟zir hukumnya wajib

sebagaimana hudud karena merupakan teguran yang disyari‟atkan untuk

menegakkan hak Allah dan seorang kepala Negara atau kepala daerah

tidak boleh mengabaikannya.

2. Menurut Syafi‟i, ta‟zir hukumnya tidak wajib. Seorang kepala Negara atau

kepala daerah boleh meninggalkannya jika hukum itu tidak menyangkut

hak adami.

3. Menurut Hanafiyah, ta‟zir hukumnya wajib apabila berkaitan dengan hak

adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak

dapat digugurkan, kecuali oleh orang yang memiliki hak itu. adapun jika

berkenaan dengan hak Allah, keputusannya terserah hakim. Jika hakim

2 Ahmad bin Su'aib Abu Abdurrahman Annasa'i, Sunan Nasa'i, Al-Mujtaba min al-

Sunan, (Halab: al-Mathbu'at al-Islamiyah, 1986-1406), Cet. Ke-II, Juz. 8, No. 4875, h., 66

3 Jail Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2000), h., 8.

4 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h., 145.

Page 84: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

69

berpendapat ada kebaikan dalam penegakkannya maka ia melaksanakan

keputusan itu. Akan tetapi, jika menurut hakim tidak ada maslahat maka

boleh meninggalkannya, artinya si pelaku mendapat ampunan dari hakim.

Sanksi ta‟zir dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh

kemaslahatan umum, meskipun perbuatannya bukan perbuatan maksiat,

melainkan pada awalnya mubah. Perbuatan-perbuatan yang termasuk

kelompok ini tidak bisa ditentukan, karena perbuatan tersebut tidak

diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut

ada maka perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tertentu tidak ada maka

perbuatannya mubah. Sifat yang menjadi alasan (ilat) dikarenakan hukuman

atas perbuatan tersebut adalah membahayakan atau merugikan kepentingan

umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan

umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenakan

hukuman.5

Teori mengenai filosofi syari‟ah (maqashid as-syari‟ah), bila dilihat

dari asas-asas fundamental pembinaan hukum Islam, pendekatan teori

maslahah paling cocok untuk menerapkan sanksi hukum. Fungsi maslahah

adalah melindungi lima hak dasar yaitu, agama, jiwa, harta, akal dan

keturunan. Sanksi hukum dalam hukum perkawinan dapat melindungi para

pihak-pihak yang menjadi korban baik itu istri dan anak-anak dari pelaku yang

beritikad tidak baik dalam masalah perkawinan dan perceraian.6

Tindak pidana perkawinan dalam Pasal 279 KUHP merupakan

perbuatan yang merugikan hak perorangan dengan sengaja. Sehingga ada yang

dikorbankan oleh pelaku yang melakukan kejahatan sesuai dengan pasal

tersebut. Perbuatan pada pasal ini memiliki dampak yang merugikan hak

orang lain diantaranya, isteri yang sah (korban) dan keturunan. Pasal 279

5 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.,

251.

6 Hadi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,

1987), h., 58.

Page 85: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

70

KUHP menjelaskan sebagai berikut, diancam dengan pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun:

1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi

penghalang yang sah untuk itu.

2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang

untuk itu.

Pasal ini menjelaskan seseorang dijerat pidana ketika melakukan

perkawinan terdapat penghalang yang sah. Dalam perspektif hukum pidana

Islam, melakukan perkawinan mengetahui dan menyembunyikan penghalang

yang sah atau tanpa izin dari isteri pertama merupakan tindak pidana yang

mengakibatkan pelakunya mendapatkan hukuman ta‟zir karena merupakan

bagian dari jarimah yang merugikan hak perorangan (individu). Sanksi ta‟zir

yang diberikan dalam pelaku tindak pidana tersebut ialah penjara yang

ditentukan oleh penguasa.

Dalam hukum pidana Islam, untuk mengetahui suatu perbuatan itu

dapat dipandang sebagai perbuatan jarimah dan pelakunya dapat dikenai

pertanggungjawaban pidana apabila telah terpenuhi beberapa unsur, yaitu:

1. Unsur Formil (adanya Undang-Undang atau nash)

Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang

disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan diatas. Unsur ini

dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah al-rukn al-syar‟i.7

Dalam hukum positif lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) atau dikenal juga dengan asas legalitas.

2. Unsur Materil (sifat melawan hukum)

Salah satu aturan pokok dalam hukum pidana Islam adalah

mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah hal yang

7 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h., 3.

Page 86: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

71

dilarang.8 Setelah mengetahui bahwa yang dilakukannya merupakan hal

yang dilarang, tetapi perbuatan dilarang itu tetap dikerjakan atas kemauan

sendiri atau adanya niat dari pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut.

Dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah al-rukn al-maddiy.

3. Unsur Moril (pelakunya mukallaf)

Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima kitab atau

dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf,

sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.

Unsur ini dikenal dengan istilah al-rukn al-adabi.9 Artinya orang yang

melakukan bukan orang gila dan anak-anak.

Dengan demikian jika dilihat dari unsur-unsur tersebut, maka ketiga

unsur pertanggungjawaban dalam hukum pidana Islam sudah terpenuhi.

Tujuan memberikan sanksi kepada pelaku ta‟zir mengandung aspek

kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat, yakni:10

1. Sebagai preventif, yaitu bahwa sanksi ta‟zir harus memberikan dampak

positif bagi orang lain (orang yang tidak dikenai hukuman ta‟zir),

sehingga orang lain selain pelaku tidak melakukan perbuatan yang sama.

2. Sebagai represif, yaitu bahwa sanksi ta‟zir harus memberikan dampak

positif bagi pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatan yang

menyebabkan pelaku dikenakan sanksi (jera). Oleh karena itu, sanksi

ta‟zir, baik dalam tujuan sanksi preventif dan represif harus sesuai dengan

keperluan, tidak lebih dan tidak kurang dengan menerapkan prinsip

keadilan.

3. Sebagai kuratif, yaitu sanksi ta‟zir harus mampu membawa perbaikan

sikap dan perilaku terhukum dikemudian hari.

8 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syaamil, 2000),

h., 171.

9 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), h.,

3. 10

Ibid, h., 186.

Page 87: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

72

4. Sebagai edukatif, yaitu sanksi ta‟zir harus mampu menumbuhkan hasrat

pelaku ataupun orang lain untuk mengubah pola hidupnya sehingga pelaku

akan menjauhi perbuatan maksiat bukan karena takut hukman melainkan

karena tidak senang terhadap kejahatan. Dalam hal ini pendidikan agama

sebagai sarana memperkuat keimanan dan ketakwaannya, sehingga ia

menjauhi segala macam maksiat untuk mencari keridhaan Allah SWT.

Didalam putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG pelaku memang tidak

murni melakukan poligami karena telah bercerai dengan isteri pertamanya

diluar pengadilan. Dimana perceraian diluar pengadilan ini hanya sah menurut

hukum agama tetapi belum sah secara hukum negara karena belum dilakukan

di depan sidang Pengadilan Agama. Sebagaimana disebutkan pada pasal 39

ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi: “Perceraian

hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.

Bagi Islam, perkawinan itu dapat diputuskan tanpa melalui pengadilan atau

diluar pengadilan. Akan tetapi setelah keluarnya Undang-Undang Perkawinan,

hal yang demikian tidak dibenarkan lagi. Akibat dari perceraian yang

dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami isteri

tersebut belum putus secara hukum atau dengan kata lain, baik suami atau

isteri tersebut masih sah tercatat sebagai suami-isteri. Maka pengadilan

menjatuhkan hukuman pada Pasal 279 karena pelaku belum bercerai secara

sah namun sudah melakukan perkawinan baru, dimana perkawinan barunya

ini mempunyai penghalang yang sah.

Mengenai perceraian yang menjadi sebab pada masalah ini, memang

dalam fikih klasik suami diberi hak yang luas untuk menjatuhkan talak,

sehingga kapan dan dimanapun ia mengucapkannya, talak itu jatuh seketika.

Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-„Arba‟ah

kecuali al-Nasa‟i sebagai berikut:

Page 88: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

73

هن جد ثثلا لاق سلمو عليه الله صلى الله لسور أ ن عنه الله ضير ةهرير بىأ عن

11لحاكم(ا صححهو لنسائيا لاٳ بعةرلأا ه)روا لرجعةوا قلطلاوا حلنكاا جد لهن هزو جد

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada

tiga perkara apabila diucapkannya dengan sungguh-sungguh maka hukumnya

adalah sungguh-sungguh dan apabila diucapkannya dengan main-main

(bukan sungguh-sungguh) maka hukumnya juga adalah sungguh-sungguh,

yaitu nikah, thalaq, dan rujuk” (Diriwayatkan oleh al-„Arba‟ah kecuali al-

Nasa‟i dan di-shahih-kan oleh hakim).

Walaupun dalam hukum Islam tidak ditentukan bahwa perceraian

harus di depan sidang Pengadilan seperti yang dikehendaki Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), namun karena

lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak, maka sudah

sepantasnya umat Islam mengikuti ketentuan ini karena hukum Islam tidak

membenarkan apabila perceraian itu dilakukan secara sembarangan, apalagi

sampai berdampak pada pihak-pihak yang harus dilindungi.

Mengenai perceraian yang dilakukan di pengadilan ulama madzhab

fiqh berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya perceraian di pengadilan

sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.12

Imam Malik, Syafi‟i, dan

Ahmad ibnu Hambal membolehkan perceraian dengan putusan pengadilan,

jika isteri menuntutnya karena tidak diberikannya nafkah pokok dan suami

tidak mempunyai simpanan harta. Alasan-alasan bagi pendapat ini sebagai

berikut:

1. Suami berkewajiban memelihara isterinya dengan baik atau mencerainya

dengan baik, karena Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 229:

11

Abi 'Isa Muhammad bin 'Isa at-Turmudzi, Sunan Al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-

Gharib al-Islamiyah, 1998), Jilid. 2, Juz. 6, h., 481.

12 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj. Moh. Abidun, dkk, Fiqih Sunnah, Juz III Cet. IV,

(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2012) h., 87-89.

Page 89: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

74

)٢٢٩ : اةلبقرا(

Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak

halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan

kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat

menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya

(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak

ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk

menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu

melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka

Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah: 229)

2. Jika diakui bahwa pengadilan boleh menjatuhkan thalaq karena cacat

suami, maka karena alasan nafkah sebenarnya dapat dikatakan lebih

membahayakan dan menyakitkan isteri daripada cacar tersebut.

Imam Hanafi berpendapat bahwa tidak boleh pengadilan menjatuhkan

thalaq karena alasan nafkah, baik dikarenakan suami tidak mau memberinya

atau karena berat dan tidak mampu. Pendapat ini didasarkan pada firman

Allah dalam surat Al-Thalaq ayat 7 yang berbunyi:

)٧: قلط٘لاا(

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut

kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi

nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan

beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan

kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.

(QS. Al-Thalaq: 7)

Page 90: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

75

Jika mengamati aturan-aturan fiqh berkenaan dengan talak, terkesan

seolah-olah fiqh memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat

tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah

talak menjadi hak prerogatif laki-laki sehingga bisa saja seorang suami

bertindak otoriter, misalnya mencerai isteri secara sepihak.13

Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengharuskan talak yang dijatuhkan

suami haruslah melewati proses persidangan sekalipun talak merupakan hak

mutlak yang dimiliki oleh suami. Dengan kata lain, pasal 115 dan 117 KHI14

menjelaskan lebih rinci tentang proses pelaksanaan talak, yaitu talak sebagai

salah satu sebab perceraian tidak serta merta jatuh kecuali setelah diperiksa

dan diterima oleh Pengadilan Agama, barulah ikrar talak dapat diucapkan dan

seketika itulah jatuhnya talak terhadap isteri.15

Menurut Al-Haddad, ada empat alasan yang terpenting dari pentingnya

talak didepan pengadilan, yaitu: 1; kehadiran Pengadilan adalah untuk

meluruskan segala tindakan yang melenceng untuk disesuaikan dengan ajaran

Islam. Dalam kasus talak seorang suami sebelum menjatuhkan talak harus

berpikir mendalam dampak yang ditimbulkan oleh keputusannya itu sehingga

ia menjadi lebih hati-hati dan rasional. 2; dengan melalui proses pengadilan

diharapkan penggunaan hak talak agar dilakukan secara benar dan diterapkan

hanya dalam kondisi darurat. 3; pengadilan sebenarnya berfungsi sebagai

hakam seperti yang dianjurkan oleh syari‟at Islam. 4; pengadilan diharapkan

13

Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terfikirkan: Tentang Isu-Isu Keperempuan

dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h., 170.

14 Pasal 115 KHI, Peceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan

Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua

belah pihak. Pasal 117 KHI, Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama

yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 129, 130, dan 131.

15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika

Pressindo, 1990), h., 114.

Page 91: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

76

dapat berperan menjamin hak-hak masing-masing pihak sebagai akibat dari

perceraian, misalnya jaminan ganti rugi dalam talak mut‟ah.16

Selanjutnya dari pernyataan Ahmad Syafwat sebagaimana yang

dikutip oleh Khairuddin Nasution, menyatakan keharusan izin dari Pengadilan

untuk poligami dan talak pada pemikiran bahwa ada hukum yang

membolehkan tindakan tertentu. Hukum seperti ini harus dipertahankan

kecuali kalau ternyata kehadirannya bertentangan dengan maslahat.

Pencatatan harus adanya izin untuk poligami dan talak bukan saja bersifat

anjuran tetapi lebih dari itu memberikan maslahat yang cukup besar bagi

pihak-pihak yang lahir akibat perceraian.17

Pengaruh dan dampak positif

perceraian di depan sidang Pengadilan diantaranya tidak mudahnya

perceraian, dapat mengurangi tingkat perceraian, dan hakim dapat mengatur

masalah nafkah bagi isteri dan anak pasca perceraian, termasuk hak asuh anak,

dan dengan perceraian di pengadilan dapat menimbulkan keadilan bagi suami

isteri, seperti adanya jalan bagi pihak lain untuk menikah secara resmi.

Bagi umat Islam aturan mengenai perceraian ini merupakan ganjalan

yang relatif masih besar atau sekurang-kurangnya masih menjadi tanda tanya

yang belum terjawab, karena dirasakan tidak sejalan dengan kesadaran hukum

yang selama ini berkembang yaitu aturan fikih. Aturan fikih mengizinkan

perceraian atas dasar kerelaan kedua belah pihak, atau atas insiatif suami atau

juga inisiatif isteri secara sepihak, bahkan perceraian boleh dilakukan tanpa

campur tangan lembaga peradilan.18

Sehubungan dengan sahnya perkawinan kedua terdakwa GY dengan

saudari LY, menurut hukum Islam perkawinannya dapat dinyatakan tidak sah

16

Tahir al-Haddad, Wanita dalam Syari‟at dan Masyarakat, terj. M. Adib Bisri,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h., 87.

17 Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi terhadap Perundang-

Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Seri INIS XXXIX,

(Jakarta: 2002), h., 203.

18 Alyasa Abubakar, Ihwal Perceraian di Indonesia Perkembangan Pemikiran dari

Undang-Undang Perkawinan sampai Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Al-Hikmah dan

DITBINBAPERA Islam, 1998), h., 57.

Page 92: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

77

karena adanya indikasi dengan cara yang tidak ma'ruf yaitu penipuan dalam

pemalsuan identitas menggunakan dokumen palsu yaitu dengan membuat

keterangan identitas baru dimana statusnya masih menjadi jejaka. Hal tersebut

telah menimbulkan ke mudharatan bagi isteri pertama. Berdasarkan hukum

Islam dan sesuai dengan dasar hukum, perkawinan tersebut dapat dibatalkan

walaupun mereka melakukan perkawinan menurut hukum agamanya masing-

masing dan dicatat perkawinannya.

Menurut hukum Islam, suatu hukum dapat dilaksanakan dengan

berdasarkan tata urut keabsahan sumber hukum Islam. Dalam hukum Islam

sendiri tata urut keabsahan sumber hukum Islam bersumber pada Al-Qur‟an,

Hadits dan Ijma-Qiyas. Penjelasan mengenai tata urut sumber hukum ini

adalah apabila suatu hukum yang berhubungan dengan perkembangan

kehidupan umat manusia tidak ditemukan atau kurang jelas mengenai

penjelasannya dalam Al-Qur‟an, maka diperbolehkan menggunakan sumber

hukum Hadits yang berkenaan dengan hukum tersebut. Jika didalam hadits

juga ditemukan hukum yang jelas maupun kurang jelas dalam mejelaskannya,

maka umat Islam diperbolehkan membangun hukum tentang sesuatu hal

tersebut melalui metode ijtihad dalam bentuk ijma‟ maupun qiyas.19

Apabila

pemerintah merasa perlu aturan mengenai sesuatu hal baru yang tidak ada

konsekuensinya dalam nash maupun sumber hukum lainnya, maka penguasa

berkewajiban membuat hukum yang berkepentingan kemaslahatan

keseluruhannya. Termasuk penetapan sanksi bagi pelaku yang tidak taat pada

hukum.20

Perlu diingat bahwa bersumber kepada landasan Al-Qur‟an yang

menyatakan bahwa selain kita patuh kepada Allah dan Rasulnya, kita juga

harus patuh kepada para pemimpin, dalam hal perceraian pemimpin negara

19

M. Idris Ramilyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembanganya

Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),

h., 109-110.

20 Dedi Iskandar, “Sanksi Pidana dalam Hukum Keluarga”, (Tesis S-2 Program

Pascasarjana Magister Al-Ahwal Al-Syakhsiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Ibrahim Malang, 2013), h., 24.

Page 93: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

78

telah mempercayakan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berhak

menyelesaikan perceraian bagi orang Islam sehingga perceraian harus

mengikuti aturan dari Undang-Undang yaitu harus melalui persidangan.

B. Tinjauan Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG Tentang Tindak Pidana

Terhadap Asal Usul Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif

Tindak pidana perkawinan diatur dalam Pasal 279 KUHP tentang

tindak pidana terhadap asal-usul perkawinan, dalam pasal tersebut seseorang

dipenjara ketika melakukan perkawinan mengetahui atau menyembunyikan

penghalang yang sah. Tindak pidana perkawinan termasuk kepada tindak

pidana pelanggaran terhadap kedudukan perdata. Pasal 279 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa:

1. Diancam dengan pidana 5 (lima) tahun:

a. Barang siapa yang mengadakan perkawinan padahal mengetahui

bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada

menjadi penghalang yang sah untuk itu.

b. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi

penghalang untuk itu.

2. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1

menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada

menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara

paling lama 7 (tujuh) tahun.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda menyebutkan tindak

pidana tersebut dinamakan dubble huwalijke atau bigami, karena di negara

Belanda diantara seluruh warganya menganut prinsip monogami, maka tindak

pidana semacam ini selalu mengakibatkan adanya 2 (dua) perkawinan. Di

Indonesia diantara para penganut agama Islam, ada kemungkinan seorang

laki-laki secara sah mempunyai 2 (dua), 3 (tiga), atau 4 (empat) isteri. Oleh

karena itu, diantara mereka seorang laki-laki barulah melakukan tindak pidana

dari Pasal 279 KUHP ini, apabila ia melakukan perkawinan yang ke 5 (lima)

Page 94: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

79

setelah 4 (empat) kali melakukan perkawinan secara sah. Bagi si isteri, kawin

kedua kali sudah merupakan tindak pidana ini.21

Unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 279 Ayat (1) KUHP yaitu:

1. Unsur Subyektif, yaitu unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas

hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”

(An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus

non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksudkan disini

adalah kesalahan yang seluas-luasnya yang berarti mengenai

pertanggungjawaban pidana, dalam hukum pidana yang didalamnya

terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya.22

Agar

pelaku dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur-unsur dengan

sengaja disidang Pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara,

hakim dan penuntut umum harus dapat membuktikan:23

1) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya

bertentangan dengan hukum.

2) Ia dapat menentukan sesuai kehendaknya tersebut dengan

kesadarannya.

Dilihat dari aspek materil, dicantumkannya unsur khusus itu

berupa fungsi sebagai penekanan dari pihak pembuat Undang-Undang

mengenai unsur tertentu dari kesengajaan yang harus dipenuhi, yaitu

menekankan pada unsur mengetahui (bukan unsur kehendak atau

menghendaki yang juga merupakan unsur kesengajaan). Dilihat dari

formal/prosedural, jaksa dan hakim harus membuktikan unsur-unsur

kesengajaan secara tegas dalam hal unsur mengetahui.24

21

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: PT. Eresco,

1981), h., 76.

22 Soedarto, Hukum Pidana, (Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip

Semarang, 2009) h., 151.

23 Ibid, h., 156-157.

24 Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana,

2011), h., 92.

Page 95: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

80

2. Unsur Obyektif, yaitu unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:25

1) Perbuatan manusia berupa:

a) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif

b) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu

perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.

2) Akibat (result) perbuatan manusia

Akibat perbuatan tersebut membahayakan atau merusak, bahkan

menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh

hukum (nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan

sebagainya).

3) Keadaan-keadaan (circumstances)

Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:

a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan

b) Keadaan setetlah perbuatan dilakukan

4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang

membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum

adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum yakni,

berkenaan dengan larangan atau perintah.

Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 279 KUHP,

dapatlah diketahui bahwa Pasal 279 KUHP tidak melarang atau mengancam

seseorang untuk melakukan poligami. Tetapi hanya mengancam perbuatan

poligami yang dilakukan secara ilegal. Apabila unsur adanya penghalang yang

sah tidak terbukti dengan adanya izin berpoligami dari pengadilan maka batal

lah ancaman pidana tersebut.

Dalam unsur ini syarat agar orang dapat dihukum dalam Pasal 279

Ayat (1) ke-1, ialah orang itu harus mengetahui bahwa ia dulu pernah kawin

25

Leden Marpaung,Asas Teori Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),

h., 9-10.

Page 96: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

81

dan perkawinan ini belum dilepaskan. Menurut Pasal 199 B.W. (hukum sipil)

perkawinan itu menjadi lepas disebabkan:26

a. Karena mati

b. Karena seseorang meninggalkannya selama 10 tahun dan diikuti dengan

perkawinan salah seorang itu dengan orang lain

c. Karena ada vonis perceraian oleh hakim

d. Karena perceraian biasa menurut peraturan dalam B.W.

Jika dilihat dari sudut pandang Pasal 279 KUHP maka perbuatan

menyembunyikan atau mengetahui penghalang yang sah dalam perkawinan

akan terpandang sebagai perbuatan pidana kejahatan kategori ringan dengan

ancaman penjara maksimal 5 (lima) tahun, namun jika perbuatan tersebut

didasari atas kebohongan maka ancaman pidana maksimal 7 (tujuh) tahun.

Menurut Moeljatno, “Perbuatan pidana hanya merujuk kepada dilarang

dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang

melakukan perbuatan pidana kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana

telah diancamkan, hal ini tergantung pada soal apakah dalam melakukan

tindak pidana tersebut dia mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab, asas dalam

pertanggung jawaban dalam hukum pidana “ialah tidak dipidana jika tidak ada

kesalahan”.27

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, selama ini kita

menganut asas “kesalahan”. Artinya, untuk dapat memidana pelaku pidana,

selain dibuktikan unsur-unsur perbuatan pidana juga pada pelaku harus ada

unsur kesalahan. Ini adalah suatu yang wajar, karena tidaklah adil apabila

menjatuhkan pidana terhadap orang yang tidak mempunyai kesalahan.28

Dasar

pertanggung jawaban pidana adalah kesalahan. Dalam arti sempit kesalahan

dapat berbentuk sengaja atau lalai.

26

Soedarto, Hukum Pidana, h., 203.

27 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet. Ke-9, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2015),

h., 165.

28 Hasan Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggung Jawaban Pidana

Perkembangan dan Penerapan, cet. ke-1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015), h., 117.

Page 97: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

82

Dengan demikian pertanggungjawaban pidana merupakan dasar

fundamental hukum pidana, sehingga kesalahan merupakan jantungnya

hukum pidana.29

Hal ini menunjukan bahwa dasar dipertanggungjawabkannya

perbuatan seseorang, ditempatkan di dalam konsep pemikiran kepada terbukti

tidaknya unsur-unsur tindak pidana. Jika terbukti unsur-unsur tindak pidana,

maka terbukti pula kesalahannya dan dengan sendirinya dipidana. Ini berarti

pertanggungjawaban pidana diletakkan kepada unsur-unsur tindak pidana.

Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukalah sekedar

pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.30

Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari

pemidanaan yaitu:

1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de

maatschappelijke orde);

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat

dari terjadinya kejahatan (het herstel van het doer de misdaad onstane

maatschappelijke nadeel);

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);

5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).31

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan

bahwa, pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan

kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuan –tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering

juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya

pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan

29

M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, cet. Ke-2, (Malang: Setara

Press, 2016), hlm 205.

30 Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, h,.

70.

31 Koeswadji, ”Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan

Hukum Pidana”, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), cet-1, h., 12.

Page 98: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

83

bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan

“nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).32

Berkaitan dengan perkara No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG, terdakwa

dijerat Pasal 279 karena telah melakukan perceraian diluar pengadilan dengan

isteri pertamanya, kemudian setelah perceraian tersebut ia melakukan

perkawinan kedua dengan orang lain. Dengan perbuatan terdakwa tersebut

maka status perceraian dengan isteri pertamanya menurut Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak sah, dan status mereka masih terikat

perkawinan. Artinya menurut Undang-Undang Perkawinan, seseorang tidak

dapat melakukan perkawinan untuk kedua kalinya apabila masih terikat

dengan perkawinan sebelumnya, kecuali adanya ijin dari Pengadilan.

Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Berdasarkan

ketentuan tersebut, maka sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan

secara efektif yaitu sejak tanggal 1 Oktober 1975 tidak dimungkinkan

terjadinya perceraian diluar prosedur pengadilan. Untuk perceraian harus ada

cukup alasan bahwa suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai

suami isteri. Pengaturan tentang hal tersebut termuat dalam banyak pasal,

antara lain:33

Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975:

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama

Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada

Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia

bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya

serta memintanya kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk

keperluan itu.

Pasal 16:

Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang Pengadilan

untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14 apabila

32

Muladi dan Arief Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h., 16.

33 Mona Eliza, Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Perkawinan dan Akibat

Hukumnya, (Jakarta: Adelina Bersaudara, 2009), h., 123.

Page 99: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

84

memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam pasal 19

Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara

suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk

hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 18:

Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di

depan sidang Pengadilan.

Namun faktanya, dengan ditetapkannya Undang-Undang Perkawinan

tersebut tidak begitu berpengaruh bagi sebagian masyarakat yang sudah

terbiasa melakukan perceraian diluar pengadilan, padahal perceraian tersebut

dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pihak suami dan isteri. Hal dasar

sebagai dampak negatif dari perceraian diluar pengadilan adalah tidak adanya

kepastian hukum untuk percerainnya, maka dianggap tidak ada perceraian

bagi suami isteri yang bercerai diluar pengadilan tersebut karena tidak ada

legal formalnya, padahal legal formal mengenai perceraian bagi orang Islam

itu hanya dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Suami yang melakukan

perceraian diluar pengadilan akan mengalami kesulitan ketika hendak

menikah lagi dengan perempuan lain. Status tidak sah bagi perkawinan baru

yang dilakukan pasca perceraian diluar pengadilan juga berlaku bagi pihak

isteri. Perkawinan selanjutnya yang dilakukan oleh pasangan yang bercerai

diluar Pengadilan adalah tidak sah atau ilegal. Status tidak sah tersebut tidak

lain karena suami atau isteri secara tidak langsung telah melaksanakan

perkawinan poligami/poliandri dan tidak akan mendapatkan hak apapun bagi

suami isteri yang melakukan perceraian tersebut.

Dalam hal status perkawinan baru yang dilakukan terdakwa pasca

perceraian diluar pengadilan menurut bapak Indra Cahya (salah satu hakim) di

Pengadilan Negeri Tangerang, dapat dinyatakan tidak sah karena adanya

penghalang yang sah untuk melakukan perkawinan lagi yaitu dari isteri

pertama dimana statusnya masih terikat perkawinan dengan terdakwa, selain

itu terdakwa telah melakukan pemalsuan identitas menggunakan dokumen

palsu dengan membuat keterangan identitas baru yang statusnya masih jejaka.

Page 100: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

85

Beliau menilai perbuatan itu merupakan suatu perbuatan tindak pidana tentang

sumpah palsu dan keterangan palsu, dan dicatat perkawinannya sebagaimana

ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 Ayat (2)

tanpa adanya bukti atau akta cerai dari perkawinan sebelumnya.34

Didalam perkawinan apabila terdapat adanya penghalang yang sah dan

terjadinya pemalsuan identitas maka itu akan berdampak pada timbulnya

pembatalan perkawinan, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24 dan

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan

keduanya ini telah fasakh dan dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada,

dan suami isteri yang perkawinannya batal dianggap tidak pernah kawin

sebagai suami isteri.35

Ketentuan sahnya perkawinan terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang

Perkawinan, yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-

tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa sebuah perkawinan telah sah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi

syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan, maka perkawinan

tersebut telah sah di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya

perkawinan di mata agama dan kepercayaan masyarakat ini perlu disahkan

lagi oleh negara dengan dicatatkannya sesuai peraturan perundangan-

undangan yang berlaku tanpa adanya unsur penghalang dan keterangan palsu.

C. Analisis Penulis Terhadap Korelasi Equality dan Equity Gender dalam

Putusan No. 729/Pid.B/2014/PN.TNG

34

Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Interview Pribadi, Tangerang,

25 Pebruari 2019.

35 Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Interview Pribadi, Tangerang,

25 Pebruari 2019.

Page 101: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

86

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami memiliki

kewajiban yang dijelaskan dalam Pasal 149 KHI, bahwa suami yang

menceraikan isterinya dengan mejatuhkan talak wajib memberikan mut‟ah

yang layak kepada isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri

tersebut qabla al-dukhul. Talak yang dijatuhkan suami kepada isteri wajib

memberikan hak kepada isteri pula untuk diberikan nafkah, maskan dan

kiswah kepada bekas isteri. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya,

dan separuh apabila qabla al-dukhul dan memberikan biaya hadhanah untuk

anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.36

Oleh karena itu demi

terwujudnya kemaslahatan, agar hak-hak isteri dan anak pasca perceraian

terpenuhi maka perceraian harus diproses melalui pengadilan. Karena apabila

perceraian tidak dilakukan didepan sidang Pengadilan maka hakim tidak dapat

mengatur hak-hak untuk isteri dan anak-anaknya. Jadi disini ada perubahan

hukum, yaitu dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan dimanapun

menjadi keharusan menjatuhkannya di depan sidang pengadilan. Perubahan

hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

37نمازلأابتغير م لاحكااكر تغير نلا ي

Artinya: “Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman”.

Dalam perkara perceraian diluar pengadilan, akan menimbulkan

permasalahan ketidakadilan gender bagi perempuan. Ketidakadilan tersebut

terlihat dari keadaan isteri yang ditelantarkan oleh suaminya yang tidak

memberikan hak nafkah untuknya bahkan anaknya setelah perceraian. Seolah-

olah perempuan mendapatkan hukuman dari praktek perceraian diluar

pengadilan, ini terkesan menunjukan tidak memberikan keadilan bagi

perempuan. Keadilan bagi perempuan dalam perceraian dapat terjadi jika

36

Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan

Agama, h., 39.

37 Abdullah Najib Salim, al-Ta'rifu bi Ba'di 'Ulum al-Islami al-Khanif, (Ku ait:

aj rat al-Auqafa wa al-Su uni al-Islamiyah, t.th), Juz. I, h., 71.

Page 102: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

87

suami telah menjalankan kewajibannya memberikan hak-hak nafkah kepada

isteri dan anak pasca perceraian. Namun ketidakadilan ini hanya untuk

perceraian yang dilakukan tanpa kesepakatan, dimana suami akan

menceraikan isterinya secara sepihak tanpa dimusyawarahkan dengan

isterinya, apabila suami isteri telah sepakat untuk melangsungkan perceraian

maka ketidakadilan gender ini tidak berlaku karena perceraiannya pun juga

atas keinginan bersama tetapi tetap dilaksanakan di depan sidang pengadilan.

Menurut para feminis hak menjatuhkan talak bagi suami membuka

peluang kesewenangan suami yang tidak bertanggung jawab.38

Untuk itu, hal

tersebut perlu digugat, mengingat banyaknya kasus kesewenang-wenangan

suami menceraikan isterinya, maka untuk melindungi hak isteri ditetapkanlah

hukum bahwa perceraian dinilai tidak sah dan tidak berlaku kecuali apabila

disahkan oleh pengadilan. Ketetapan hukum tersebut diambil untuk menutup

pintu terjadinya kezaliman dan menjaga kesetaraan antara suami dan isteri,39

serta sebagai salah satu bentuk kesetaraan gender. Terjadinya perceraian

diluar pengadilan akan menimbulkan masalah diskriminasi berbasis gender,

dimana perempuan menjadi pihak yang mengalami pembatasan hak, dan laki-

laki cenderung mendapatkan keleluasaan menikmati hak-haknya.40

Hukum perkawinan di Indonesia telah menetapkan hak-hak harta isteri

yang dicerai berupa nafkah „iddah, mut‟ah dan harta gono-gini seperti yang

tercantum dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut, yaitu

Pasal 81 ayat (1), Pasal 136 ayat (2) huruf a dan b, Pasal 149 huruf a dan b,

Pasal 158 dan Pasal 160. Hak-hak isteri tergugat cerai yang diadopsi

Kompilasi Hukum Islam ini termasuk hak-hak yang disepakati oleh jumhur

38

Amina Wadud Muhsin, Wanita Didalam Al-Qur‟an, Terj. Yaziar Radianti,

(Bandung: Pustaka, 1994), h., 106.

39 Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir Al-Sya‟rawi,

(Jakarta: Teraju, 2004), h., 58.

40 M. Harfin Zuhdi, Praktik Merariq, Wajah Sosial Masyarakat Sasak, (Mataram:

LEPPIM, 2008), h., 108.

Page 103: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

88

fuqaha, yang keseluruhannya yaitu, 1). Hak nafkah „iddah, 2). Hak mut‟ah, 3).

Hak atas hadhanah, 4). Hakatas upah hadhanah.41

Hak nafkah dan mut‟ah bagi isteri yang di talak yang dikemukakan

oleh berbagai ulama klasik diatas hanya akan efektif atau dapat dipenuhi bila

si isteri tidak diklaim nusyuz. Semua madzhab sepakat bahwa kondisi nusyuz

akan menghalangi isteri mendapatkan hak nafkah, baik nafkah dalam

perkawinan apalagi nafkah „iddah walaupun isteri tersebut sedang hamil.

Mengenai isteri yang hamil, madzhab Maliki berbeda sendiri dengan

mengatakan bahwa isteri hamil yang nusyuz tetap mendapatkan nafkah karena

nafkahnya tersebut diperuntukkan untuk bayinya dan bukan untuk yang

mengandungnya.42

Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan salah

satu tujuannya adalah untuk mengembalikan martabat dan derajat perempuan

Indonesia. Dimana salah satu prinsip atau azasnya adalah menempatkan

kedudukan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan baik dalam

kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga

segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama

oleh suami dan isterinya.43

Dalam Pasal 41 c Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan mewajibkan mantan suami memberikan nafkah

kepada isteri pasca perceraian, seperti yang berbunyi: ”Akibat putusnya

perkawinan karena perceraian ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada

bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan

sesuatu ke ajiban bagi bekas isteri”. Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui

bahwa kewajiban mantan suami menafkahi mantan isteri itu ditentukan oleh

Pengadilan. Ini artinya jika perceraian dilakukan diluar pengadilan maka

pengadilan tidak dapat mengatur pemberian nafkah kepada suami untuk istri.

41

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, jilid 2 (Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-

Azhariyyah, 1969), h., 102-105.

42 Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, terj.

Masykur A.B., Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007) h., 101.

43 Baca Penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Page 104: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

89

Untuk menghindari kesewenang-wenangan dari pihak suami yang

tidak memenuhi hak-hak isteri dan juga demi kepastian hukum, maka

perceraian harus melalui lembaga Pengadilan.44

Selain itu ada beberapa

bentuk upaya perlindungan hukum untuk menjaga kesetaraan dan keadilan

gender bagi perempuan diantaranya adalah dengan dilakukannya

penyempurnaan Undang-Undang Perkawinan, menetapkan sanksi pidana bagi

pelaku perceraian sepihak dapat berupa denda atau hukuman penjara dan para

praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat yang tergabung dalam lembaga

swadaya masyarakat melakukan penyuluhan kepada masyarakat agar

mengetahui hak-haknya di muka hukum, khususnya kaum perempuan. Selain

itu dengan menggugatnya isteri kepada Pengadilan itu sudah merupakan

bentuk kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan untuk mendapatkan

kembali hak-haknya.45

Pada dasarnya Peradilan Agama merupakan salah satu sarana yang

efektif untuk mewujudkan pengaturan atas hak-hak material maupun non-

material yang berkeadilan gender. Dari ketentuan diatas jelas bahwa seorang

suami tidak dapat semaunya menceraikan isterinya meskipun ia mempunyai

hak talak. Ketentuan undang-undang tidak menarik hak talak itu dari

kekuasaan suami, tetapi demi kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan,

pelaksanaan hak talak itu harus dibatasi oleh hukum dengan cara suami harus

meminta izin kepada Pengadilan Agama sebagai bentuk perlindungan

terhadap isteri.

D. Analisa Komparatif

44

Sebagaimana pasal 39 (1) yang berbunyi “perceraian hanya dapat dilakukan di

depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak. Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun

1974.

45 Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Interview Pribadi, Tangerang,

25 Pebruari 2019.

Page 105: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

90

Menurut analisis penulis bila dilihat dari tindakan yang dilakukan

terdakwa terdapat kesalahan. Dia belum bercerai secara sah dengan isteri

pertamanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

terdakwa dijerat Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP dimana tindak pidana yang

dilakukan terdakwa sesuai dengan apa yang dituntukan oleh jaksa penuntut

umum. Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak

pidana perkawinan dimana perkawinan terdahulu menjadi penghalang untuk

melakukan perkawinan lagi.

Penulis dapat melihat penerapan hukum pidana materiil dalam kasus

tersebut sudah tepat, ini diperkuat dengan hasil wawancara penulis dengan

Bapak Indra Cahya (salah satu hakim) di Pengadilan Negeri Tangerang yang

mengatakan bah a: “Penerapan hukum pidana yang diterapkan oleh Jaksa

Penuntut Umum sudah sesuai. Dengan dakwaan Pasal 279 ayat (1) ke-1

KUHP, dimana terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari pasal 279 KUHP

yaitu melakukan perkawinan dengan sengaja mengetahui adanya penghalang

dalam melakukan perkawinan tersebut.46

Tujuan diterapkannya Pasal 279 KUHP ini adalah untuk melindungi

isteri atau suami yang menjadi pasangan sebelumnya, juga melindungi

kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan dalam mendapatkan hak-

haknya dan mengembalikan derajatnya. Pasal 279 KUHP ini tidak melarang

untuk menikah lagi, tetapi jika seseorang ingin menikah lagi maka pertama, ia

harus melakukannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu dengan

seizin isteri sebelumnya. Kedua, apabila telah bercerai maka harus

memperhatikan apakah perceraiannya tersebut telah dilakukan didepan sidang

Pengadilan atau sebaliknya agar perkawinan selanjutnya tidak memiliki

penghalang.

Dasar hukum pelaksanaan cerai diluar Pengadilan yang dilakukan oleh

terdakwa adalah dasar hukum yang dijelaskan dalam hukum Islam, yakni

dapat dilakukan didepan orang yang memiliki pemahaman dalam bidang

46

Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Interview Pribadi, Tangerang,

25 Pebruari 2019.

Page 106: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

91

hukum perkawinan Islam. Menurut penulis, dasar hukum Al-Qur‟an telah

menjadi dasar dari segala hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia,

termasuk dalam hal proses perceraian. Namun jika dikaitkan dengan adanya

lembaga yang telah disediakan oleh pemerintah, maka praktek perceraian

diluar pengadilan tersebut kurang tepat karena telah adanya pengadilan yang

disediakan oleh pemerintah sebagai tempat untuk menyelesaikan

permasalahan yang berkaitan dengan proses perceraian yang bertujuan untuk

mewujudkan kemaslahatan berupa perlindungan terhadap keluarga dan

kepastian hukum dalam hal perkawinan. Dengan demikian, perceraian yang

dilakukan diluar Pengadilan Agama dinyatakan tidak sah menurut perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia karena tidak berdasar dan tidak sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan dapat

merugikan hak-hak perempuan beserta anak. Sebagai warga negara yang baik

sudah seharusnya mentaati aturan pemerintah yang berlaku selagi tidak

bertentangan dengan Hukum Islam.

Pada prinsipnya, hukum perceraian yang diberlakukan oleh negara

Indonesia telah cukup memberikan keadilan bagi perempuan. Negara telah

berusaha memikirkan pengalaman perempuan yang pada masa lalu mudah

menjadi korban kesewenang-wenangan suami untuk melakukan

penyimpangan hukum, yakni dengan cara membenarkan beberapa hal, seperti:

perceraian yang dilakukan diluar Pengadilan. Hukum telah berusaha

memenuhi kepentingan perempuan agar tidak diceraikan secara sepihak oleh

suaminya, dimana perceraian sepihak rentan diliputi kesewenang-wenangan.

Dapat dikatakan, rumusan hukum ini sangat responsif terhadap kebutuhan

perlindungan hukum perempuan. Rumusan hukum ini dapat disebut sebagai

salah satu keberhasilan perjuangan perempuan, khususnya yakni kelompok

yang memperjuangkan kesetaraan gender dengan menuntut persamaan di

muka hukum.

Kemudian jika terdakwa dikatakan melakukan poligami, hal ini tidak

tepat dan tidak bisa dikatakan demikian. Sebab terdakwa telah menceraikan

isterinya secara sepihak, dalam hal ini status perkawinan mereka telah putus

Page 107: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

92

secara hukum agama, walaupun dalam hukum perundang-undangan hubungan

terdakwa dengan isterinya masih terikat perkawinan. Terdakwa juga tidak

memenuhi persyaratan untuk berpoligami, dalam Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 pada Pasal 4 menyatakan: (1) Dalam hal seorang suami akan

beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)

Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada

Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (1) Pengadilan dimaksud dalam ayat

(1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri

lebih dari seorang apabila: (a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai isteri; (b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan; (c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.47

Selanjutnya, pada

pasal 5 ayat (1) ditegaskan syarat-syarat seorang suami yang memenuhi

kriteria untuk melakukan poligami, syarat tersebut yaitu: Untuk dapat

mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam

pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai

berikut; (a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; (b) adanya kepastian

bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan

anak-anak mereka; (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil

terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Bapak Indra Cahya berpendapat bahwa sudah selayaknya masyarakat

sadar dan taat hukum, kalau masyarakat tau dan taat kepada Agama dan

hukum, seseorang itu harus menyelesaikan perceraiannya dengan baik dan

bijak. Jikalau kenyataannya masih ada yang bercerai di luar Pengadilan

Agama secara syariat telah sah dan gugur pernikahannya, tapi secara Hukum

Tata Negara belum sah bercerai dan harus mengurusnya ke Pengadilan Agama

setempat untuk mendapatkan akta cerai yang sah agar tidak ada penghalang

perkawinan dan mantan isteri bisa mendapatkan hak-haknya.48

47

Mustafa al-Siba‟i, Adil Sebagai Syarat Poligami dalam Perspektif Fiqh dan

Kompilasi Hukum Islam, Analitica Islamica, Vol. 3, No. 1, 2001, h., 21.

48 Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Interview Pribadi, Tangerang,

25 Pebruari 2019.

Page 108: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

93

Dengan demikian diharapkan kepada masyarakat untuk sadar dan taat

hukum dengan melaksanakan perceraian di depan sidang pengadilan. Kepada

aparatur dan tokoh masyarakat untuk selalu mengawasi masyarakatnya dalam

melaksanakan proses perkawinan dan perceraian, juga kepada Pengadilan

Agama untuk mengadakan penyuluhan hukum tentang proses perceraian di

pengadilan agar tidak ada lagi masyarakat melakukan tindak pidana

perkawinan dan melaksanakan perceraian di luar pengadilan.

Page 109: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

94

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang penulis sudah paparkan dalam penelitian. Penulis

menyimpulkan kepada tiga jawaban rumusan masalah. Berikut adalah

jawaban dari perumusan masalah:

1. Menurut penulis, dalam hukum fiqh Islam bentuk

pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana perkawinan

dapat ditarik dari maqashid syariah maka dapat dikatakan

hukumannya adalah termasuk ke dalam sanksi jarimah ta’zir, yaitu

sanksi pidana yang hukumannya tidak diatur dalam Al-Qur’an dan

Hadits tetapi hukumannya ditentukan oleh penguasa. Sanksi ta’zir

dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh kemaslahatan

umum dan sifatnya membahayakan atau merugikan kepentingan

umum. Sedangkan dalam hukum positif, bentuk

pertanggungjawaban bagi pelaku ialah dengan pidana penjara.

Dalam pasal 279 KUHP terdapat dua ancaman apabila pelaku

melakukan tindak pidana tersebut, pertama diancam dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun ketika seseorang melakukan

perkawinan mengetahui adanya penghalang yang sah, kedua

diancam penjara paling lama 7 (tujuh) tahun ketika seseorang

melakukan perkawinan dengan menyembunyikan penghalang yang

sah. Secara unsur pertanggungjawaban pidana, terdakwa GY sudah

dapat dimintai pertanggungjawaban karena ia memiliki kesalahan.

Kesalahannya ialah dalam melakukan perkawinan dengan saudari

LS, terdakwa GY mengetahui bahwa perkawinannya dengan NS

secara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 29 Ayat (1) belum

sah bercerai dan masih terikat perkawinan yang sah. Karena

perceraian itu hanya dapat dilakukan melalui sidang di Pengadilan

Page 110: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

95

Agama bagi orang yang beragama Islam dan diluar Islam

dilakukan di Pengadilan Negeri sesuai dengan Pasal 38 Ayat (1).

Dalam putusan ini sanksi pidana yang diberikan kepada terdakwa

ialah penjara selama 3 (tiga) bulan 7 (tujuh) hari.

2. Perkawinan yang dilakukan terdakwa GY dengan saudari LS

menurut hukum Islam dinyatakan fasakh karena adanya indikasi

dengan cara yang tidak ma’ruf yaitu penipuan dalam pemalsuan

identitas menggunakan dokumen palsu dengan mengganti

statusnya menjadi jejaka. Pembatalan perkawinan bisa terjadi

karena melanggar ketentutan agama tentang larangan perkawinan

dan adakalanya dapat dibatalkan karena beberapa hal yang bersifat

administratif. Sedangkan menurut hukum positif pun sama dengan

hukum Islam, status perkawinan baru terdakwa dinyatakan tidak

sah karena adanya penghalang yaitu dari isteri pertama, kemudian

terdakwa telah memalsukan identitasnya dengan mengaku belum

pernah melakukan perkawinan sebelumnya. Ini telah sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 24 dan Pasal 27 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adanya penghalang yang sah dan

pemalsuan identitas menurut hukum positif perkawinannya dapat

dinyatakan batal demi hukum karena sebab tidak memenuhi

syara’, dan dapat dibatalkan sesuai dengan Peraturan Perundang-

undangan yang berlaku. Namun akibat hukum yang ditimbulkan

dari pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak

yang dilahirkan. Jadi anak tetap menjadi tanggunggan orangtua.

3. Ditinjau dari perspektif gender, perlindungan hukum terhadap

perempuan yang dicerai diluar pengadilan oleh suaminya

menunjukan masih adanya ketimpangan. Penulis memandang

penting dilakukannya upaya perbaikan hukum agar di masa depan

hukum perceraian lebih memberikan perlindungan kepada kedua

belah pihak, terutama pihak perempuan. Bentuk kesetaraan dan

Page 111: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

96

keadilan gender bagi perempuan dalam hal perceraian adalah

dengan dilakukannya penyempurnaan Undang-Undang

Perkawinan, khususnya dalam hal akibat hukum perceraian diluar

pengadilan karena suami telah atau akan menikah dengan

perempuan lain berhak menuntut ganti rugi dari suaminya atas

dasar perbuatan melawan hukum. Namun ketidakadilan ini hanya

untuk perceraian yang dilakukan tanpa kesepakatan, dimana suami

akan menceraikan isterinya secara sepihak tanpa dimusyawarahkan

dengan isterinya, apabila suami isteri telah sepakat untuk

melangsungkan perceraian maka ketidakadilan gender ini tidak

berlaku karena perceraiannya pun juga atas keinginan bersama

tetapi tetap dilaksanakan di depan sidang pengadilan. Upaya

perbaikan hukum yang kedua adalah penetapan sanksi pidana bagi

pelaku perceraian sepihak dapat berupa denda atau hukuman

penjara. Hal ini agar pelaku jera sehingga tidak mengulanginya

lagi, begitupun untuk orang lain agar tercegah dari melakukan

tindakan ini. Upaya lainnya yaitu dengan melakukan penyuluhan

kepada masyarakat oleh praktisi hukum, akademisi, dan

masyarakat yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat

agar mengetahui hak-haknya di muka hukum, khususnya kaum

perempuan.

B. Saran-saran

Setelah penulis mengemukakan kesimpulan yang diambil dari

pembahasan penulisan ini, maka penulis menyimpulkan beberapa saran yang

mungkin akan dibutuhkan pada penelitian selanjutnya khususnya kepada:

1. Peneliti selanjutnya untuk menjelaskan secara detail beberapa

kekurangan data yang ditemukan dalam penelitian ini. Diantaranya

adalah kekeliruan dalam penetapan hakim atas tindak pidana

pemalsuan identitas yang tertera dalam kasus ini. Dengan adanya

Page 112: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

97

data yang kurang dalam pembatalan perkawinan yang tidak dibahas

yaitu adanya indikasi fasakh yang tidak dijelaskan secara detail.

2. Kepada masyarakat dalam melakukan perkawinan maupun

perceraian, hendaknya menjalankan sesuai dengan aturan agama

dan juga mentaati peraturan negara, agar tidak ada permasalahan

dikemudian hari yang dapat merugikan semua pihak. Dan

pemerintah perlu menerapkan aturan dalam Pasal 279 KUHP

secara tegas dan melakukan pencegahan agar tidak terjadi tindak

pidana perkawinan sehingga apabila terjadi kasus-kasus tindak

pidana perkawinan makan akan dapat diselesaikan secara tuntas,

pelaku tindak pidana perkawinan akan menjadi jera dan mendapat

kepastian hukum.

3. Kepada para pegawai Kantor Urusan Agama kiranya dalam

pelaksanaan perkawinan perlu diperhatikan mengenai identitas

kedua calon mempelai, untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan

tugasnya agar tidak terjadi kekeliruan terhadap kedua mempelai

dan tidak ada penyelundupan terhadap sesuatu yang dapat merusak

perkawinan. Pengecekan identitas tidak hanya mengutamakan

kebenaran secara adminsitratif saja, namun diupayakan untuk dapat

dilakukan pengecekan lapangan. Sehingga tidak mudah tertipu dan

tidak akan menyesal dikemudian hari.

Demikian beberapa saran yang penulis tujukan kepada beberapa pihak

yang memilki kaitan khusus pada penilitan ini, sehingga pada penilitian

selanjutnya dapat lebih disempurnakan dari kekurangan yang penulis cantumkan.

Besar harapan penulis agar penulisan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat pada

umumnya.

Page 113: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

98

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia.

Abu Abdurrahman Annasa'i, Sunan Nasa'i, Ahmad bin Su'aib, Al-Mujtaba min al-

Sunan, Halab: al-Mathbu'at al-Islamiyah, 1986-1406.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika

Pressindo, 2010.

Abu bakar, Alyasa, Ihwal Perceraian di Indonesia Perkembangan Pemikiran dari

Undang-Undang Perkawinan sampai Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:

Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, 1998.

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,

Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996.

Ali Engineer, Asghar, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Prihantoro, Agung,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Amrani, Hasan dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggung Jawaban Pidana

Perkembangan dan Penerapan, cet. 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2015.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta:

Kencana, 2011.

Arief, Barda Nawawi dan Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:

Alumni, 1998.

Ariman, M. Rasyid dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, cet. 2, Malang: Setara

Press, 2016.

Asmawi, Mohammad Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta:

Darussalam Perum Griya Suryo, 2004.

Azami, Abdul Aziz Muhammad, Qawaid al-Fiqh, Darul Hadits al-Qahirah,

al-Kahlany, Muhammad Ibnu Isma’il, Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram

min Adillah al-Ahkam, Terj., Bandung: Dahlan, t.th.

al-Haddad, Tahir, Wanita dalam Syari’at dan Masyarakat, terj. Bisri, M. Adib,

Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

Page 114: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

99

al-Siba’i, Mustafa, Adil Sebagai Syarat Poligami dalam Perspektif Fiqh dan

Kompilasi Hukum Islam, Vol. 3, No. 1, Analitica Islamica, 2001.

Barorah, Ummul, Feminisme dan Feminis Muslim, dalam Sukri, Sri Suhandjati,

Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender, Yogyakarta: Gama

Media, 2002.

Baurch, Mody Gregorian, Pertanggungjawaban Hukum Dewan Perwakilan

Rakyat dalam Proses Legislasi Terhadap Implikasi Putusan Mahkamah

Konstitusi atas Pengujian Undang-Undang, Tesis, Yogyakarta: Universitas

Atma Jaya, 2013.

Bhasin, Kamla dan Nighat Said Khan, Some Question of Feminism and its

Relevance in South Asia, New Delhi: Kali For Women, 1986, dalam

Haroepoetri, Arimbi dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS

Neoliberalisme, Jakarta: debtWACH Indonesia, 2004.

Ch, Mufidah, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN-

MALANG PRESS, 2008.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2005.

Choiri, Ahmad, Stereotip Gender dan Keadilan Gender Terhadap Perempuan

sebagai Pihak dalam Kasus Perceraian, Semarang: WKPTA.

Djazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

, Fiqh Jinayah, (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

E. Utrecht, Hukum Pidana I, Jakarta: Universitas Jakarta, 1958.

Echols, John m. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet. 1 Jakarta:

Gramedia, cet. XII, 1983.

Eliza, Mona, Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Perkawinan dan Akibat

Hukumnya, Jakarta: Adelina Bersaudara, 2009.

Fakih, Mansour, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Fuady, Munir, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Bandung: Refika

Aditama, 2009.

Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rinneka Cipta, 1994.

Page 115: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

100

, Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,

2001.Hafid, Wardah, Feminisme sebagai Budaya Tandingan, dalam

Anshori, Dadang, dkk, Membincangkan Feminisme, Bandung: Pustaka

Hidayah, 1997. dalam Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan

Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1993.

Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. 5, Jakarta: Bulan Bintang,

1993.

Haroepoetri, Arimbi dan R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme VS

Neoliberalisme, Jakarta: debtWACH Indonesia, 2004.

Hasan, Mustofa dan Beni Ahmadi Saebani, Hukum Pidana Islam Fiqh JInayah,

Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2013.

Hasyim, Syafiq, Hal-hal yang Tak Terfikirkan: Tentang Isu-Isu Keperempuan

dalam Islam, Bandung: Mizan, 2001.

Hayati, Vivi, "Dampak Yuridis Perceraian Diluar Pengadilan (Penelitian di Kota

Langsa"), Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol. X, 2 Juli-Desember,

(2015): 215-224.

Herlina, S. Persoalan Pokok mengenai Feminisme dan Relevansinya,

diterjemahkan dari Bhasin, Kamla dan Nighat Said Khan,Some Question

of Feminism and its Relevance in South Asia, New Delhi: Kali For

Women, 1986, Hubis, Aida Fitalaya S. Feminisme dan Pemberdayaan

Perempuan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.Hidayatullah, Syarif,

Teologi Feminisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

HS, Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar

Grafika, 2011.

, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika,

2008.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. cet. 2,

Jakarta: Bayu Media Publishing, 2006.

Ilyas, Amir, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rangkang Education, 2012.

Irfan, Nurul dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013.

Iskandar, Dedi, "Sanksi Pidana dalam Hukum Keluarga (Pandangan pakar Hukum

Islam di Kota Banda Aceh)", Tesis S2 Program Pascasarjana Magister Al-

Ahwal Al-Syakhsiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Malang, 2013.

Page 116: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

101

Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi,

Jakarta: Teraju, 2004.

Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan

Hukum Pidana, cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995.

Kosasih, Engkos, dkk, Membincangkan Feminisme, Bandung: Pustaka Hidayah,

1997.

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984.

Lips, Hilary M., Sex and Gender: An Introduction, London: Myfield Publishing

Company, 1993. dalam Fakih, Mansour, dkk, Membincang Feminisme:

Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti 1996.

MK, Anshari, Hukum Perkawinan di Indonesia, Masalah-Masalah Krusial,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Makluf, Louis, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyiq, 1998.

Manan, Abdul dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang

Peradilan Agama, .

Mandzur, Ibnu, Lisan al-Arab, Juz VI, t.t.:, Dar-al-Ma’arif, t.th.

Marpaung, Happy, Masalah Perceraian, Bandung: Tonis, 1983.

Marpaung, Leden, Asas Teori Politik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,

2009.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2008.

Marzuki, Studi Tentang Kesetaraan Gender dalam Berbagai Aspek, Yogyakarta:

makalah dalam Sosialisasi Kesetaraan Gender kegiatan KKN Mahasiswa

UNY di PKBM Sleman, 2008.

Mas’udi, Masdar F., Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih

Perempuan, Bandung: Mizan, 1997.

Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi

Gender, Bandung: Mizan, 1999.

Meliala, A. Qirom Syamsuddin, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, Yogyakarta:

Liberty, 1985.

Page 117: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

102

Mertokusumo, Sudikno, Bahan Ajar Hukum Perdata, Manado: makalah Fakultas

Hukum Universitas Sam Ratulangi, 2009.

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali

Pers, 2007.

Miru, Ahmad dan Sakka Pati, Hukum Perikatan, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, cet. 2, Jakarta: Bina Aksara,1984.

, Asas-Asas Hukum Pidana, cet. 9, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2015.

Mubarok, Jail, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2000.

Muchtar, Kamal Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. 1, Jakarta:

PT. Bulan Bintang, 1987.

Mughniyyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khamsah,

diterjemahkan oleh Masykur A.B., Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera,

2007.

Muhammad, Abi 'Isa bin 'Isa at-Turmudzi, Sunan Al-Tirmidzi, Beirut: Dar al-

Gharib al-Islamiyah, 1998.

Muhsin, Amina Wadud, diterjemahkan oleh Yaziar Radianti, Wanita Didalam Al-

Qur’an, Bandung: Pustaka, 1994.

Mulia, Siti Musdah, Muslim Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan,

Bandung: Mizan, 2005.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2003.

Munajat, Mahkrus, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, Sleman: Logung Pustaka,

2004.

, Hukum Pidana Islam di Indonesia, cet. 1, Yogyakarta: Teras, 2009.

Mundir, Perempuan dalam Al-Qur’an: Studi Tafsir al-Manar, Semarang:

Walisongo Press, 2010.

Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

, Pengantar dan Asas-asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,

Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Page 118: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

103

Muslikatin, Siti, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan

Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Nasution, Bahder Johan, Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju, 1997.

Nasution, Khairuddin, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi terhadap

Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan

Malaysia, Seri INIS XXXIX, Jakarta: 2002.

Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Sumur

Bandung, 1981.

Purwaka, Tommy Hendra, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PUAJ, 2007.

Ramilyo, M. Idris, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembanganya

Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta:

Sinar Grafika, 2004.

Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid, jilid 2 Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-

Azhariyyah, 1969.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, terj. Abidun, Mohammad. dkk, Fiqih Sunnah, Juz III

cet. IV, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2012.

Salim, Abdullah Najib, al-Ta'rifu bi Ba'di 'Ulum al-Islami al-Khanif, u ait

aj rat al-Auqafa wa al-Su uni al-Islamiyah, t.th.

Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: Asy-Syaamil, 2000.

Satrio, J., Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian

Pertama, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Savitri, Niken, Feminist Legal Theory dalam Teori Hukum, dalam Irianto,

Sulistyowati Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berspektif

Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Shiddieqy, Hadi Ash, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,

1987.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.

Showalter, Elaine, Speaking Of Gender, New York & London: Routledge, 1989.,

dalam Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-

Quran, Jakarta: Paramadina, 1999.

Page 119: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

104

Simons, D., Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht, Eerste Deel, Vierde druk,

P. Noordhoff, Groningen, dalam Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum

dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.

Soedarto, Hukum Pidana, Semarang: Yayasan Soedarto, Fakultas Hukum Undip

Semarang, 2009.

, Hukum Pidana 1A, Semarang: Yayasan Soedarto 1990.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu

Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001.

Soemin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Yogyakarta: Liberty,

2005.

Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia, 1995.

Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Arga Printing,

2007.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawina Islam di Indonesia: Antara Fiqh

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006.

Tiemey, Helen, (ed.), Women’s Studies Encyclopedia, Vol. I New York: Green

Word Press, dalam Suhra, Sarifa, Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-

Qur’an dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam, Jurnal Al-Ulum, XIII, 2

(Desember, 2013.

Tong, Rosemarie Pytnam, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif

Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminisme, Yogyakarta: Jalasutra, 2009.

dalam Tutik, Titik Triwulan, Poligami Perspektif Perikatan Nikah Telaah

Kontekstual Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2007.

Tuttle, Lisa, Encyclopedia of Feminism, New York, Facts on File Publication,

1986., dalam Heroepoetri, Arimbi dan R. Valentina, Percakapan Tentang

Feminisme VS Neoliberalisme, Jakarta: debtWACH Indonesia, 2004.

Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di

Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Warson, Ahmad, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984.

Page 120: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

105

Yanggo, Huzaemah Tahido, Pandangan Islam Tentang Gender, dalam Fakih,

Mansour, dkk, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif

Islam, Surabaya: Risalah Gusti 1996.

Zuhdi, M. Harfin, Praktik Merariq, Wajah Sosial Masyarakat Sasak, Mataram:

LEPPIM, 2008.

Sumber Perundang-Undangan

Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Sumber Skripsi

Pusyakhois, Fifin Niya, "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Cerai Diluar

Pengadilan Agama dan Implikasinya pada Masyarakat Desa Penaruban

Kecamatan Weleri Kabupaten Kendal.", Skripsi S1 Fakultas Syariah,

Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2010.

Winoto, Dedi, "Kajian Terhadap Perceraian Yang Dilakukan Diluar Sidang

Pengadilan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

(Studi Kasus Di Kecamatan Semidang Alas Maras Kabupaten Seluma)",

Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Bengkulu, 2014.

Sumber Jurnal

Usman, Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana, Jurnal Ilmu Hukum.

Shihab, M. Quraish, Keluarga Sakinah, Jurnal Bimas Islam, Vol. 4, No. 1, 2011.

Anisah, Siti dan Trisno Raharjo, “Batasan Mela an Hukum dalam Perdata dan

Pidana Pada asus Persekongkolan Tender”, Jurnal Hukum Ius Quia

Iustum Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Vol. 25, No. 1, 2018.

Interview

Interview Pribadi dengan Indra Cahya, Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, ,

Tangerang, 25 Pebruari 2019.

Internet

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-

%28pidana,-perdata,-dandan-administratif%29: 2018/09/30

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-

%28pidana,-perdata,-dandan-administratif%29: 2018/09/30

Page 121: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

106

L A M P I R A N

Page 122: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

107

Page 123: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

108

Nama : Indra Cahya, S.H., M.H.

Jabatan : Hakim Ketua Majelis

Tempat : Pengadilan Negeri Tangerang

Hari/Tanggal : Senin / 25 Pebruari 2019

INSTRUMEN WAWANCARA

1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan

putusan kepada terdakwa terhadap perkara tindak pidana terhadap

perkawinan tersebut?

Jawab: Dalam mempertimbangkan putusan tersebut, kita melihat dengan

ketentuan yang ada dalam Undang-Undang dan fakta-fakta yang

terjadi dipersidangan. Kemudian berdasarkan surat dakwaan dan

keterangan para saksi, juga keterangan terdakwa dengan adanya

barang bukti yang ditunjukan dipersidangan. Selain itu ia (terdakwa)

telah memenuhi unsur-unsur dari Pasal 279 KUHP, yaitu unsur

mengadakan perkawinan dan unsur mengetahui bahwa perkawinan

sebelumnya atau yang sudah ada itu menjadi penghalang yang sah

untuk melakukan perkawinan lagi. Jadi perkawinan yang dilakukan

terdakwa tidak memenuhi persyaratan dalam Undang-Undang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jadi ia (terdakwa)

bisa dipidana jika memenuhi unsur dari pasal 279 itu. Artinya ketika

dia kawin lagi, sebelumnya ia telah mengetahui adanya penghalang

atau hubungan dengan isteri pertamanya belum bercerai secara hukum

Undang-Undang.

2. Apakah penerapan pasal 279 KUHP pada perkara ini telah sesuai?

Jawab: Telah sesuai, karena terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah

telah melakukan tindak pidana perkawinan, dimana perkawinannya

yang terdahulu menjadi penghalang untuk melakukan perkawinan lagi.

3. Mengapa terdakwa dapat mencatatkan perkawinan keduanya di KUA,

sedangkan terdakwa tidak memiliki akta cerai, apakah ada pemalsuan

data?

Jawab: Karena ia telah mengatakan belum pernah menikah dengan

menggunakan dokumen palsu yaitu membuat identitas baru yang

Page 124: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

109

statusnya masih bujang, dan ini termasuk pemalsuan data dalam

membuat surat palsu artinya membuat sebuah surat yang sebelumnya

tidak ada. Jadi surat itu tidak ada sebelumnya seakan-akan dibuatnya

itu benar isinya bahwasannya dia belum pernah melakukan

perkawinan.

4. Bagaimana status keabsahan perkawinan baru terdakwa menurut Hukum

Islam dan Hukum Positif.?

Jawab: Perkawinannya tidak sah, secara agama perkawinannya juga tidak sah

karena ia (terdakwa) telah berbohong, dan secara administrasi negara

batal demi hukum karena sejak awal perkawinan itu tidak ada karena

adanya penghalang untuk melakukan perkawinan lagi dan terdakwa

telah memalsukan identitasnya. Kalau perkawinan yang keduanya ini

sah maka ia (terdakwa) tidak dihukum.

5. Apakah terdakwa ini dapat dikatakan melakukan poligami?

Jawab: Tidak bisa dikatakan poligami, karena terdakwa sudah menceraikan

isteri sebelumnya walaupun dalam hukum perundang-undangan

hubungan terdakwa dengan isterinya masih terikat perkawinan.

6. Menurut bapak apakah dalam perceraian diluar pengadilan, akan

menimbulkan diskriminasi/ketimpangan gender bagi perempuan?

Jawab: Iyah pasti karena dengan perceraian diluar Pengadilan ini perempuan

akan menjadi korban. Perempuan dan laki-laki itu hak dan

kewajibannya sama/setara, dengan dihukumnya terdakwa itu sudah

memperlihatkan kesetaraan gender. Artinya ia tidak bisa sewenang-

wenangnya menceraikan isterinya. Kemudian jika mereka mempunyai

anak dan anaknya ikut kepada ibunya maka ia akan menjadi single

parent, kemudian tidak bisa mendapatkan hak-haknya setelah bercerai,

seperti nafkah, tempat tinggal, nafkah untuk anaknya, dan lain-lain

dan batinnya bisa tertekan juga. Untuk para laki-laki atau suami tidak

boleh merendahkan derajat isterinya hanya karena ia perempuan laki-

laki bisa seenak perutnya saja menceraikan isterinya secara sepihak.

7. Bagaimana menurut bapak agar perempuan/isteri yang menjadi korban

perceraian diluar pengadilan mendapatkan hak-haknya?

Jawab: Yaitu perempuan/isteri yang menjadi korban dari perceraian harus

menuntut, ada upaya penuntutan kepada Pengadilan. Kemudian dari

Pengadilan harus mengadakan sosialisasi kepada masyarakat-

masyarakat yang berada di pelosok terutama agar tidak terjadi kejadian

yang seperti ini.

Page 125: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

110

Page 126: TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN KEDUA YANG …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...status perceraian diluar pengadilan menurut hukum Islam dan hukum positif, pemidanaan

111