Tia Agnes Astuti-fdk

download Tia Agnes Astuti-fdk

of 148

description

education

Transcript of Tia Agnes Astuti-fdk

  • ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA

    SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT

    DI MAJALAH PANTAU

    Skripsi

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I)

    Oleh

    Tia Agnes Astuti

    NIM: 106051101943

    KONSENTRASI JURNALISTIK

    JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

    FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1432 H./2011 M.

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

    salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

    merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Ciputat, 14 Maret 2011

    Tia Agnes Astuti

  • ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA

    SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT

    DI MAJALAH PANTAU

    Skripsi

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I)

    Oleh

    Tia Agnes Astuti NIM: 106051101943

    Pembimbing

    Dr. Arief Subhan, M.A NIP. 196601101993031004

    KONSENTRASI JURNALISTIK

    JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

    FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1432 H./2011 M.

  • PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Skripsi berjudul ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP

    BERITA SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT DI MAJALAH

    PANTAU telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan

    Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada. Skripsi ini telah diterima

    sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Kom.I.)

    pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Konsentrasi Jurnalistik.

    Jakarta, 18 Maret 2011

    Sidang Munaqasyah

    Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota,

    Wahidin Saputra, M.A

    NIP 19700903 199603 1 001

    Ade Rina Farida, M.Si

    NIP 19770513 200701 2 018

    Anggota,

    Penguji 1

    Rully Nasrullah, M.Si

    NIP 19750318 200801 1 008

    Penguji 2

    Rubiyanah, M.A

    NIP 19730822 199803 2 001

    Pembimbing

    Dr. Arief Subhan, M.A

    NIP 19660110 199303 1 004

  • i

    ABSTRAK

    Tia Agnes Astuti/ 106051101943

    Analisis Wacana Van Dijk Terhadap Berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft Pada Majalah Pantau

    Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama untuk genre atau

    gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat, di mana

    reportase dilakukan secara mendalam, dan penulisannya dengan gaya sastrawi.

    Tom Wolfe pun menyebutnya sebagai new journalism (jurnalisme baru). Di

    Indonesia, Majalah Pantau adalah majalah pertama di Indonesia yang secara sadar

    menerapkan jurnalisme sastrawi ini dari tahun 2000. Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft karya Chik Rini ini diakui Andreas Harsono (penanggung jawab Majalah Pantau) sebagai salah satu naskah terbaik yang dimiliki oleh Pantau.

    Untuk mengetahui pengemasan berita dalam teks Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah Pantau maka diperlukan rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya yaitu Bagaimanakah wacana teks dalam berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah Pantau dikonstruksikan? Bagaimanakah dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah Pantau? Wacana teks dalam berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft dikonstruksikan dapat dilihat dari penggunaan kata atau bahasa dalam teks,

    penggunaan narasumber yang dipakai oleh penulis, serta konstruksi dari segi

    kognisi dan konteks sosial penulis yang ikut mengkonstruksi teks tersebut.

    Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan paradigma

    konstruktivisisme. Paradigma itu ada tiga, paradigma positivisme-empiris,

    paradigma konstruktivisme, dan paradigma kritis. Peneliti menggunakan

    konstruktivisme karena dengan pola berpikir konstruksitivis ini menekankan pada

    politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang

    realitas.

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau analisis

    wacana model Teun van Dijk. Van Dijk membagi wacananya ke dalam tiga

    dimensi yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Van Dijk tidak

    hanya meneliti perihal wacana teks yang dikonstruksikan saja tapi juga mental

    dari pengarang serta menganalisa wacana yang berkembang di masyarakat.

    Chik Rini mengambil perspektif dari sudut pandang atau angle wartawan

    yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa Simpang Kraft pada Mei 1999.

    Teks Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft tidak semata diambil dari realitas apa adanya. Tapi, ada beberapa pihak di belakang wacana teks tersebut yang turut

    mengkonstruksi teks tersebut. Teks tidak lahir secara positivis namun

    konstruktivis.

    Dari penjelasan singkat di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa teks tidak

    lahir dari realitas yang diambil apa adanya namun realitas dari peristiwa tersebut

    dikonstruksi oleh pihak di belakang wacana teks tersebut. Sama halnya seperti

    peristiwa Simpang Kraft yang direportase oleh Chik Rini. Peristiwa Simpang

    Kraft itu tidak terjadi karena alamiah bentrokan belaka, namun dibangun oleh

    pihak GAM dan militer Indonesia yang menorehkan satu kali lagi peristiwa

    berdarah di Aceh.

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Segala puji serta syukur, saya panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan

    semesta alam yang telah memberikan limpahan karunia, ridho-Nya, dan ribuan

    nikmat kepada semua makhluk di bumi ini. Shalawat serta salam senantiasa kita

    curahkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa ummatnya menuju jalan

    kebenaran.

    Atas berkat kenikmatan itulah, saya masih diberikan nikmat sehat dan

    bernafas, menghirup udara sampai detik ini sehingga saya bisa menyelesaikan

    skripsi ini guna mendaparkan gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I). Dalam

    menyelesaikan skripsi ini, tentunya masih terdapat banyak kekurangan namun

    skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.

    Maka dari itu, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih

    sebesar-besarnya kepada:

    1. Dr. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

    Komunikasi sekaligus sebagai pembimbing dalam skripsi ini.

    2. Rubiyanah, M.A. sebagai Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Ade Rina

    sebagai sekretaris Konsentrasi Jurnalistik. Terima kasih atas bantuan dan

    dukungannya.

    3. Siti Nurbaya Ruslan sebagai pembimbing kedua, tempat konsultasi skripsi

    saya. Makasih banyak atas bantuan dan dukungannya selama penyusunan

    skripsi ini.

    4. Para dosen, karyawan, dan staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan

    Ilmu Komunikasi, dan juga seluruh staf pengurus UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta selama peneliti kuliah di kampus UIN.

  • iii

    5. Kepada Yayasan Pantau yang telah membantu peneliti, Andreas Harsono,

    Imam Sofwan serta Chik Rini yang bersedia meluangkan waktunya untuk

    wawancara selama dua jam.

    6. Secara khusus dan paling utama adalah kepada kedua orang tua, Sri

    Wiratno dan Nurzullah yang telah memberikan kasih sayang, motivasi,

    dukungan, tekanan untuk segera cepat menyelesaikan, dan bersikap

    demokratis kepada saya atas pilihan dan apa yang saya inginkan dalam

    hidup ini. Jasa kalian tidak akan sanggup saya ganti dengan apa pun.

    Kepada kedua orang tua saya, skripsi ini dipersembahkan.

    7. Kepada kakak dan adik laki-laki saya, Tyo Zulfan Amri dan Muhamad

    Faiz Al Magribhi.

    8. Untuk seseorang yang peneliti kenal dari awal Propesa UIN 2006 hingga

    kini, yang membuat bahagia sekaligus sedih dalam waktu bersamaan.

    Untukmu semangat terus, melajulah perahu kertasku, dan gapai impianmu!

    9. Sahabat saya, Mimi Fahmiyah yang rela mendengarkan curahan peneliti

    selama di kampus ini, yang rela berbagi kosannya jika peneliti menginap,

    yang sudah mencoba memahami peneliti kala sedih. Kamu berarti sob!

    Kita wisuda April. Horeeeeeee!!!

    10. Kepada teman-teman sekelas seperjuangan Jurnalistik Angkatan 2006

    makasih atas kebersamaannya selama lima tahun ini (Lisa, Yuni, Yikki,

    Jendral, Novita, Dita, Ira, Ina, Yanti, Caca, Putri, Aida, Sarah, Rere, Nina,

    Ardi, Gesta, Deden, Wage, Irham, Abi, Jaka, Topan, Deros) khususnya

    bagi kalian pada masa akhir ini, Danang, Rara, Eka, Jose, Eki, Meler, Ben,

  • iv

    Ogi, Edi Mahmud, Risni yang belum wisuda, ayo semangat terus, nyusul

    wisuda cepetan!

    11. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Jakarta, kepada

    organisasi ini peneliti mengenal dunia persma dan wartawan kampus,

    memberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin redaksi (pemred), dan

    mengajarkan beragam ilmu dari awal masuk menjadi reporter magang

    tahun 2006 hingga akhir ada di kampus. Apa pun yang terjadi, terima

    kasih INSTITUT.

    12. Kepada KKN Kelompok 100 tahun 2009 lalu, makasih atas sebulan

    kenangannya di Malang.

    Akhirnya, peneliti hanya mampu mengucapkan terima kasih yang

    sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu

    peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT

    semakin menambah rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Peneliti

    mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini,

    Harapan peneliti, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk para

    pembacanya, Aamiin Yaa Robbal Aalamiin.

    Wassalam

    Jakarta, 15 Maret 2011

    Peneliti

  • v

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK ......................................................................................................... i

    KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

    DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

    DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii

    DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

    B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 6

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 6

    D. Metodologi Penelitian ................................................................ 8

    E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 14

    F. Sistematika Penulisan ................................................................ 15

    BAB II KAJIAN TEORETIS

    A. Analisis Wacana .......................................................................... 17

    1. Pengertian Analisis Wacana .................................................. 17

    2. Analisis Wacana Model Teun Van Dijk ............................... 20

    3. Kerangka Analisis van Dijk .................................................. 25

    a. Dimensi Teks .................................................................. 25

    b. Dimensi Kognisi Sosial .................................................. 28

    c. Dimensi Konteks Sosial .................................................. 29

    B. Konseptualisasi Berita ................................................................ 30

    1. Pengertian Berita .................................................................. 30

    2. Nilai-Nilai Berita .................................................................. 31

    3. Jurnalisme Naratif ................................................................ 32

    C. Jurnalisme Sastrawi ..................................................................... 35

    1. Konstruksi Adegan Demi Adegan ....................................... 38

    2. Pencatatan Dialog Secara Utuh ............................................ 39

    3. Sudut Pandang Orang Ketiga ............................................... 39

    4. Mencatat Secara Detil .......................................................... 40

    BAB III GAMBARAN UMUM

    A. Majalah Pantau ........................................................................... 41

    1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya ............................... 41 2. Visi dan Misi Majalah Pantau ............................................. 55 3. Struktur Organisasi Majalah Pantau ..................................... 57 4. Rubrikasi Majalah Pantau ................................................... 58

  • vi

    5. Alur Kinerja Redaksi Majalah Pantau ................................. 60

    B. Biografi Penulis dan Sinopsis Berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah Pantau ............................................................ 62

    1. Biografi Chik Rini ............................................................... 62 2. Sinopsis Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft ................... 64

    BAB IV HASIL PENELITIAN

    A. Hasil Penelitian Berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah Pantau ....................................................................... 71

    1. Analisis Teks Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft ........... 71 a. Analisis Teks Adegan 1 ................................................... 73

    b. Analisis Teks Adegan 2 ................................................... 77

    c. Analisis Teks Adegan 3 ................................................... 81

    d. Analisis Teks Adegan 4 ................................................... 85

    e. Analisis Teks Adegan 5 ................................................... 88

    f. Analisis Teks Adegan 6 ................................................... 91

    g. Analisis Teks Adegan 7 ................................................... 95

    h. Analisis Teks Adegan 8 ................................................... 98

    i. Analisisis Teks Adegan 9 ................................................. 105

    j. Analisis Teks Adegan 10 .................................................. 109

    k. Analisis Teks Adegan 11 ................................................. 114

    2. Analisis Kognisi Sosial Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft ................................................................................... 119 a. Strategi dalam Memahami Peristiwa ............................... 121

    b. Kognisi Penulis dalam Memahami Peristiwa .................. 124

    3. Analisis Konteks Sosial Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft ................................................................................... 127 a. Praktik Kekuasaan ........................................................... 128

    b. Akses Memengaruhi Wacana .......................................... 128

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ................................................................................ 131

    B. Saran ............................................................................................ 132

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 133

    LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 136

  • vii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk .............................................. 24

    Tabel 2. Struktur Teks Van Dijk ........................................................................ 25

    Tabel 3. Elemen Teks Wacana Van Dijk ........................................................... 25

    Tabel 4. Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk .............................................. 29

    Tabel 5. Proses Keredaksian Majalah Pantau .................................................... 60

    Tabel 6. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 1 .............................................. 76

    Tabel 7. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 2 .............................................. 80

    Tabel 8. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 3 .............................................. 84

    Tabel 9. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 4 .............................................. 87

    Tabel 10. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 5 ............................................ 90

    Tabel 11. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 6 ............................................ 94

    Tabel 12. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 7 ............................................ 97

    Tabel 13. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 8 ............................................ 103

    Tabel 14. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 9 ............................................ 108

    Tabel 15. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 10 .......................................... 112

    Tabel 16. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 11 .......................................... 117

    Tabel 17. Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk ............................................ 126

  • viii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1. Diagram Model Analisis Van Dijk ................................................... 24

    Gambar 2. Struktur Organisasi Yayasan Pantau ................................................ 58

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG MASALAH

    Asep Saeful Muhtadi dalam buku Jurnalistik Pendekatan Teori

    dan Praktik mengemukakan bahwa secara umum, medium jurnalistik baik

    media cetak maupun elektronik, keduanya memiliki fungsi yang sama

    yaitu menyiarkan informasi. Ini merupakan fungsi utama media massa.

    Sebab masyarakat membeli media tersebut karena memerlukan informasi

    tentang berbagai hal yang terjadi di dunia ini.

    Fungsi kedua dari media massa yaitu mendidik. Karena media

    massa menyajikan pesan-pesan atau tulisan-tulisan yang mengandung

    pengetahuan dan dijadikan media pendidikan massa.

    Ketiga, menghibur. Media massa biasanya menyajikan rubrik-

    rubrik atau program-program yang bersifat hiburan. Dan fungsi yang

    keempat yaitu memengaruhi. Dalam hal ini, pers memegang peranan

    penting dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pers dapat melakukan

    kontrol sosial secara bebas dan bertanggung jawab.

    Penerbitan pers khususnya surat kabar, hampir semuanya

    menyediakan kolom atau rubrik untuk berita meski dengan kapasitasnya

    masing-masing. Ini merupakan perwujudan dari institusi pers sebagai

    lembaga kontrol sosial. Berita dalam penerbitan pers dapat berasal dari

  • 2

    masyarakat luas, wartawan yang meliput dan menuliskannya maupun

    manajemen redaksi yang mengkonstruksi berita-berita tersebut.1

    Serta keberadaan jurnalistik atau pers yang dianggap sebagai the

    fourth estate (kekuatan keempat) dalam sistem kenegaraan, setelah

    legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagai pilar keempat itu, media massa

    cetak maupun elektronik dapat dimanfaatkan sebagai penyalur aspirasi

    rakyat, pembentuk opini umum atau publik, alat penekan yang dapat ikut

    memengaruhi dan mewarnai kebijakan politik negara, dan pembela

    kebenaran dan keadilan.2

    Sebab media, selain berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan

    pesan-pesan seperti dinyatakan oleh Marshall Mc Luhan, media tersebut

    juga telah menjadikan dirinya sendiri sebagai pesan. Apa yang diterima

    publik dari media adalah sesuatu yang akan menjadi miliknya. Apa yang

    dianggap penting oleh media, karena keampuhannya, juga akan dianggap

    penting oleh publik.3

    Bill Kovach, Ketua Commitee of Concerned Journalist yaitu

    lembaga kewartawanan yang peduli kepada publik di Amerika Serikat, ia

    menyatakan bahwa setidaknya ada sembilan elemen jurnalime dalam

    media massa. Ia mengutarakan hal ini dalam buku Sembilan Elemen

    Jurnalisme, di antaranya; media harus mengungkapkan kebenaran dalam

    pemberitaannya, media harus loyal kepada masyarakat, media harus

    menjunjung disiplin verifikasi, media harus bisa menjaga independensi

    terhadap sumber berita, media harus bisa menjadi pemantau pemerintah,

    1 Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, (Bandung: Rosda, 2004), h. 67

    2 Zaenuddin HM, The Journalist, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 5-6

    3 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, (Jakarta: Logos, 1999), h. 3

  • 3

    media harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan

    warga, media harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan

    relevan, media harus menjaga agar berita tetap komprehensif dan

    proporsional, serta menulis berita dengan hati nurani.4 Kesembilan elemen

    dalam jurnalisme inilah yang menjadi pedoman bagi pekerja media dalam

    menjalankan tugasnya.

    Sesuai dengan fungsi pers tersebut, pers bergerak sesuai dengan

    jalur idealisme jurnalistik. Namun, pers juga memiliki daya saing dalam

    perusahan media yang mengakibatkan harus memiliki visi misi yang

    berbeda, konten atau isi media yang berbeda serta gaya penulisan yang

    menarik pula.

    Pada umunya, gaya penulisan berita konvensional terdapat dua

    yaitu straight news dan feature. Namun, sesuai dengan perkembangan

    media massa baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, narrative

    reporting atau penulisan narasi mulai diterapkan, khususnya dalam media

    cetak. Tapi tidak semua media cetak menggunakannya kecuali majalah.

    Seperti Majalah Tempo, Gatra, Trust dan sebagainya yang menerapkannya

    karena memiliki halaman yang lebih luas dan reportase lebih mendalam

    dibandingkan surat kabar harian. Sama halnya dengan Majalah Pantau.

    Sejak tahun 2000, Majalah Pantau mencoba menerapkan tulisan dengan

    genre literary journalism (jurnalisme sastrawi).

    Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama buat

    genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di

    4 Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, (Yogyakarta: ANDI, 2005), h. 68-

    69

  • 4

    Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan secara mendalam, penulisan

    dilakukan menggunakan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca.

    Tom Wolfe, wartawan cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre

    ini dengan nama new journalism (jurnalisme baru).5

    Jurnalisme baru sebenarnya bukan fiksi. Perbedaannya dengan

    fiksi, kalau fiksi imajinatif sementara jurnalisme baru tetap mendasarkan

    pada fakta-faka di lapangan. Jurnalisme baru bisa dikatakan berhasil dan

    mencapai tujuannya jika pembaca mengatakan, Saya membaca

    laporanmu enak seperti tulisan fiksi. Elemen-eleman yang selama ini ada

    dalam jurnalisme lama adalah kesetiaan total. Artinya, jurnalis tetap

    mengandalkan proses peliputan seperti dia meliput berita, hanya menuntut

    keterlibatan total dalam tulisannya. Jurnalisme baru mencoba membongkar

    isi kepala narasumber sebanyak mungkin. Sementara itu, untuk

    memberikan deskripsi dan data lain, membutuhkan sisi lain peliputan,

    misalnya orang ketiga.6

    Oleh karena itu, pada 2008 lalu, Yayasan Pantau menerbitkan

    kumpulan naskah terbaik jurnalisme sastrawi yang pernah terbit di

    Majalah Pantau. Dengan judul, Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan

    Mendalam dan Memikat yang diterbitkan Yayasan Pantau dan

    Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan penyunting Andreas

    Harsono dan Budi Setiyono.

    Dalam kumpulan laporan jurnalisme sastrawi tersebut, terdapat

    peristiwa menarik yang diambil menjadi studi kasus analisis dalam

    5 Andreas Harsono dan Budi Setiyono. ed, Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam

    dan Memikat, (Jakarta: KPG, 2008), h. VII 6 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 182

  • 5

    penelitian ini yaitu tulisan berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft

    karya Chik Rini. Chik Rini adalah wartawan freelance di Banda Aceh

    yang mencoba merekam kembali peristiwa yang terjadi di Simpang Kraft

    atau Simpang KAA, dekat Lhokseumawe, sejak Desember 2001 lalu.

    Ia mewawancarai banyak narasumber dari saksi-saksi mata yang

    sudah sulit terlacak keberadaannya. Dari Jakarta, Medan, Lhokseumawe,

    dan Banda Aceh. Selama lima bulan, ia meliput dan mengerjakan laporan

    ini, namun ia mendapati banyak versi baik itu dari segi wartawan,

    masyarakat sipil, serta pihak militer Indonesia. Tidak bisa disangka

    provinsi Banda Aceh yang terkenal sebagai kota Serambi Mekkah ini

    pernah mengalami sejarah peristiwa berdarah kelam yang terjadi di

    Simpang Kraft antara militer, masyarakat sipil, serta Gerakan Aceh

    Merdeka (GAM).

    Rini yang mengadopsi naskah Hiroshima karya John Hersey ke

    dalam tulisannya dapat dikatakan berhasil melaporkan kembali peristiwa

    tersebut dengan menggunakan genre jurnalisme sastrawi. Andreas

    Harsono, editor dari naskah tersebut juga mengatakan bahwa Sebuah

    Kegilaan di Simpang Kraft adalah salah satu naskah jurnalisme sastrawi

    terbaik yang dimiliki oleh Majalah Pantau sepanjang masa hidup Pantau.

    Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas, maka

    peneliti tertarik meneliti dengan judul, Analisis Wacana Van Dijk

    Terhadap Berita Sebuah Kegilaan Di Simpang Kraft Di Majalah

    Pantau.

  • 6

    B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

    Agar batasan masalah ini lebih terarah dan fokus maka

    permasalahan yang dikaji dibatasi terhadap analisis wacana teks yang

    terdapat dalam pemberitaan Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft karya

    Chik Rini di Majalah Pantau Tahun III Edisi 025-Mei 2002 kemudian

    dibukukan pada tahun 2008 dalam bentuk antologi berjudulJurnalisme

    Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat edisi revisi dengan

    penyunting Andreas Harsono dan Budi Setiyono, diterbitkan oleh Yayasan

    Pantau. Penelitian ini dengan menggunakan paradigma konstruktivis

    dengan pisau analisis wacana model Teun van Dijk.

    Adapun rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:

    1. Bagaimanakah wacana teks dalam berita Sebuah Kegilaan di

    Simpang Kraft di Majalah Pantau dikonstruksikan?

    2. Bagaimanakah dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat

    dalam wacana Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah

    Pantau?

    C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

    Tujuan Penelitian

    Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka penelitian

    ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui wacana teks yang dikonstruksi oleh penulis yang

    terdapat dalam pemberitaan Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di

    Majalah Pantau.

  • 7

    2. Untuk mengetahui dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang

    terdapat dalam wacana pemberitaan Sebuah Kegilaan di Simpang

    Kraft di Majalah Pantau.

    Manfaat Penelitian

    1. Manfaat Teoritis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif

    bagi pengembangan wacana keilmuan tentang gejala sosial yang terjadi

    sehari-hari di sekitar kita. Seperti, peristiwa-peristiwa yang luput dari

    perhatian kita dan hilang begitu saja dari sejarah, sama halnya seperti

    peristiwa Simpang Kraft ini.

    2. Manfaat Praktis

    Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi

    akademisi, praktisi, mahasiswa jurnalistik dan kepada pembaca pada

    umumnya serta dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.

    Khususnya bagi mahasiswa/i jurnalistik yang ingin mempelajari

    jurnalisme sastrawi. Dengan membaca Sebuah Kegilaan di Simpang

    Kraft karya Chik Rini ini kita dapat mempelajari empat elemen

    jurnalisme sastrawi yang dikemukakan oleh Tom Wolfe.

  • 8

    D. METODOLOGI PENELITIAN

    1. Paradigma Penelitian

    Lexy J. Moleong yang mengutip pernyataan Bogdan dan Bilken

    menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan proposisi yang

    mengarahkan cara berpikir dalam penelitian.7 Maksudnya, paradigma

    merupakan salah satu metode atau cara berpikir yang digunakan oleh

    peneliti dalam melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca penelitian.

    Paradigma ini dilakukan supaya peneliti tidak keluar dari jalur cara

    berpikir penelitiannya.

    Dalam studi mengenai bahasa, ada beberapa paradigma dalam

    analisisnya yaitu paradigma positivisme-empiris, paradigma

    konstruktivisme dan paradigma kritis.

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma

    konstruktivisme. Dalam paradigma konstruktivisme, bahasa tidak lagi

    hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan

    yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan.

    Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam

    kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.8

    Paradigma konstruksionis memperhatikan interaksi kedua belah

    pihak, komunikator dan komunikan untuk menciptakan pemaknaan atau

    tafsiran dari suatu pesan. Paradigma konstruktivis menekankan pada

    politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran

    7 Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda karya,

    Cetakan kedelapan 1997) h. 30 8 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS,Cet VII

    Februari 2009), h. 5

  • 9

    tentang realitas. Paradigma ini memandang kegiatan komunikasi sebagai

    proses yang dinamis. Titik perhatian tidak terletak pada bagaimana

    seseorang mengirimkan pesan, melainkan bagaimana masing-masing

    pihak yang terlibat dalam lalu lintas komunikasi produksi pesan tersebut

    dan mempertukarkan maknanya. Dalam paradigma konstruktivisme ini

    adalah cara berpikir bagi peneliti dalam penelitiannya, bahwa segala

    peristiwa maupun berita yang ada tidak lahir sebagai realitas murni saja

    namun di balik realitas peristiwa yang dibangun terdapat orang-orang

    tertentu yang turut mengkonstruksi berita.

    Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu

    analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.

    Maka, dalam penelitian ini ingin mengetahui lebih jauh dari wacana yang

    terbentuk dalam peristiwa Simpang Kraft tersebut.

    2. Metode Penelitian

    Sebagai karya ilmiah, setiap pembahasan menggunakan metode

    untuk menganalisa dan mendeskripsikan suatu masalah. Metode itu sendiri

    berfungsi sebagai landasan dalam mengelaborasi suatu masalah, sehingga

    suatu masalah dapat diuraikan dan dijelaskan dengan gamblang dan dapat

    dipahami.

    Bogdan dan Taylor yang dikutip Lexy J.Moleong mendefinisikan

    metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

    deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

    yang dapat diamati.9

    9 Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 3

  • 10

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau

    analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk. Pendekatan

    kualitatif ini memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang

    mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam

    masyarakat.10

    Sedangkan analisis wacana didefinisikan sebagai suatu upaya

    pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan

    suatu pernyataan. Metode analisis wacana berbeda dengan analisis isi

    kualitatif yang lebih menekankan pada pertanyaan apa (what), analisis

    wacana lebih melihat kepada bagaimana (how) dari suatu pesan atau teks

    komunikasi.

    Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana

    isi teks berita, tetapi bagaimana juga pesan itu disampaikan. Lewat kata,

    frase, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan

    melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana

    lebih bisa 11

    3. Tahapan Penelitian

    a. Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan berbagai cara, di

    antaranya:

    a) Observasi Teks

    Observasi atau pengamatan langsung dilakukan kepada teks

    yang akan diteliti. Dalam pengertian psikologik, observasi atau disebut

    10

    Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2007), h.23 11

    Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h.68

  • 11

    dengan pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap

    sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera.12

    Maka

    kegiatan observasi ini dilakukan dengan cara mencari dan

    menghimpun berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.

    b) Wawancara

    Wawancara dilakukan sebagai metode pengumpulan data yang

    digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari

    narasumbernya.13

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik

    wawancara terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan dengan

    terstruktur atau tersusun sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang

    telah disiapkan terlebih dahulu. Wawancara ini dilakukan sebagai

    pendukung bagi kognisi sosial serta konteks sosial dalam analisis

    wacana van Dijk.

    Dalam hal ini, wawancara dilakukan kepada tiga orang yang

    berkepentingan dalam skripsi ini. Pertama, kepada Chik Rini selaku

    wartawan sekaligus penulis Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.

    Wawancara ini sangat diperlukan karena untuk mengetahui unsur

    kognisi sosial atau mental dari wartawan dalam memilih isu tersebut

    serta situasi ketika ia menuliskannya. Kedua, Andreas Harsono sebagai

    penanggung jawab dari Majalah Pantau dan editor dari naskah Sebuah

    Kegilaan di Simpang Kraft. Ketiga, Imam Sofwan selaku redaksi dari

    12

    Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Cet Ke-5, (Jakarta:

    PT. Rineka Cipta, 2002), h. 133 13

    Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu Komunikasi dan

    Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: Rosdakarya, 2006), h. 35

  • 12

    Yayasan Pantau untuk mengetahui sejarah perkembangan Majalah

    Pantau hingga menjadi Yayasan Pantau seperti sekarang ini.

    c) Dokumentasi

    Dokumentasi dapat dilakukan dengan mengumpulkan,

    membaca dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku,

    majalah, atau jurnal) yang terdapat di perpustakaan, internet atau

    instansi lain yang dapat dijadikan analisis dalam penelitian ini. Peneliti

    mengumpulkan data yang berhubungan dengan analisis wacana.

    b. Teknik Pengolahan Data

    Setelah data terkumpul dan dikelompokkan sesuai dengan

    tujuan penelitian untuk dianalisis dan diberikan interpretasi dengan

    cara mengklasifikasikannya dengan kerangka teori kemudian

    disimpulkan.

    a). Analisis Data

    Setelah data diperoleh, maka selanjutnya adalah melakukan

    analisis data. Setelah diperoleh wacana yang akan dianalisis, maka

    sebagai rujukan adalah dengan menggunakan analisis wacana model

    Teun van Dijk yang terdiri dari tiga elemen yaitu dimensi teks, kognisi

    sosial, dan konteks sosial.

    Dari beberapa teknik analisis data, peneliti merasa perlu

    meneliti wacana dengan menggunakan teknik van Dijk. Karena selain

    menganalisis dari struktur teks, analisa ini juga menukik kepada

    elemen kognisi sosial (mental wartawan dalam memahami peristiwa)

  • 13

    serta konteks sosial (menganalisa wacana yang berkembang di

    masyarakat). Teknik ini dirasa cocok dibandingkan dengan analisis

    wacana (discourse analysis) lainnya yang lebih mengarah kepada

    ideologi yang dikemukakan oleh Norman Fairclough atau tentang

    kekuasaan kaum mayoritas kepada kaum minoritas oleh Theo Van

    Leewen dkk.

    Karena dalam penelitian ini, lebih ingin membongkar mengenai

    konstruksi realitas dalam dimensi wacana teks berita tersebut, serta

    dengan kedua unsur wacana van Dijk lainnya.

    Dalam teknik analisis wacana van Dijk ini, terdapat tiga elemen

    ini yaitu, pertama, dimensi teks yang terdiri dari struktur makro, yaitu

    makna global dari suatu teks yang dapat diamati dati topik atau tema

    yang diangkat oleh suatu teks, elemennya adalah tematik.

    Superstruktur, yaitu kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan,

    isi, penutup, dan kesimpulan, elemennya adalah skematik. Struktur

    mikro, makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan

    kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks, elemennya adalah

    semantik, sintaksis, stalistik dan retoris.

    Kedua, yaitu kognisi sosial yaitu bagaimana wartawan atau

    penulis mengetahui dan memahami peristiwa yang sedang digarapnya.

    Ketiga, konteks sosial yaitu mengetahui apa yang sedang terjadi di

    masyarakat, dan dampak di masyarakat setelah adanya pemberitaan

    tersebut.

  • 14

    E. TINJAUAN PUSTAKA

    Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman

    Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi

    dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and

    Assurance) Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, sebelum peneliti

    menyusunnya lebih lanjut maka terlebih dahulu, peneliti menelusuri

    koleksi skripsi-skripsi di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

    Komunikasi (FIDKOM) dan Perpustakaan Utama UIN Jakarta. Maksud

    pengkajian ini adalah agar data diketahui bahwa apa yang diteliti sekarang

    tidak sama dengan skripsi-skripsi sebelumnya.

    Di kedua perpustakaan tersebut, banyak skripsi yang menggunakan

    analisis wacana van Dijk sebagai pisau analisisnya. Namun, tidak banyak

    yang menggunakan paradigma konstruktivis sebagai cara berpikir. Selain

    itu, tidak ada objek penelitian yang menggunakan teks genre jurnalisme

    sastrawi. Adapun beberapa tinjauan pustaka tersebut ialah:

    1. Skripsi karya Sofwan Tamami (104051101959), mahasiswa

    Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

    (FIDKOM) UIN Jakarta Angkatan 2004 dengan judul Analisis

    Wacana Pemberitaan Film FITNA Karya Geert Wilders di Harian

    Umum Republika (Edisi 29-4 April 2008). Perbedaan skripsi ini

    dengan yang diteliti terletak pada objek penelitiannya. Skripsi Sofwan

    meneliti pemberitaan Film FITNA karya Greert Wilders dan

    kelebihannya yaitu pada paradigma penelitian yang digunakan.

  • 15

    2. Skripsi karya Yul Shella K.A. (105051001992), mahasiswi jurusan

    Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

    Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta dengan judul Analisis Wacana

    Berita Pemilu 2009 Pada Harian Seputar Indonesia: Studi

    Pemberitaan KPU Sebelum Pemilu Legislatif. Perbedaannya terletak

    pada objek yang diteliti. Yul Shella meneliti berita Pemilu 2009 di

    Harian Seputar Indonesia.

    3. Skripsi karya Astri Putriyani (103051028444), mahasiswi jurusan

    Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

    Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta dengan judul Analisis Wacana

    Rubrik Media dan Kita Majalah UMMI Edisi Juli-Oktober 2009.

    Perbedaannya tetap pada objek yang diteliti yaitu Rubrik Media dan

    Kita Majalah UMMI. Kelebihannya, waktu penelitian dari Juli-

    Oktober (empat bulan) adalah waktu yang lama.

    F. SISTEMATIKA PENULISAN

    Secara sistematis penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab.

    Setiap bab terdiri dari sub-sub yang memiliki keterkaitan satu sama

    lainnya. Untuk lebih jelasnya peneliti uraikan sebagai berikut:

    Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah,

    pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

    metodologi penelitian, tinjaun pustaka, dan sistematika penulisan.

    Bab II Kajian Teoritis menguraikan mengenai kajian teoritis

    mengenai analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun van Dijk

  • 16

    dengan rincian pengertian dari discourse analysis (analisis wacana) serta

    skema model wacana van Dijk. Dilanjutkan dengan konseptualisasi berita

    dan penjelasan genre jurnalisme sastrawi.

    Bab III Gambaran Umum Majalah Pantau memaparkan

    mengenai sejarah berdiri dan perkembangan Majalah Pantau, visi dan

    misi Majalah Pantau, struktur organisasi Majalah Pantau dan Yayasan

    Pantau, rubrikasi Majalah Pantau, alur kinerja redaksi Majalah Pantau

    serta konsep-konsep umum pada Majalah Pantau yang ditemukan peneliti

    dalam sumber-sumber pendukung. Selain itu juga, peneliti memberikan

    gambaran umum mengenai profil Chik Rini dan sinopsis dari naskah

    Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.

    Bab IV Hasil Penelitian ini berisi mengenai penjelasan hasil

    penelitian yang diperoleh peneliti dalam penelitiannya.

    Bab V Penutup ini berisi kesimpulan dan saran dari peneliti

    mengenai hal-hal yang telah dibahas oleh peneliti dalam skripsi ini.

  • 17

    BAB II

    KAJIAN TEORITIS

    A. ANALISIS WACANA

    1. Pengertian Analisis Wacana

    Pengertian analisis wacana terdiri dari dua kata, yaitu analisis dan

    wacana. Analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

    penyelidikan terhadap suatu peristiwa, penjelasan sesudah dikaji sebaik-

    baiknya, penguraian suatu pokok atas berbagai bagian, serta penguraian

    karya sastra atau unsur-unsurnya untuk memahami pertalian antar unsur

    tersebut.1

    Secara etimologi istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta

    wac/wak/uak yang memiliki arti berkata atau berucap. Kemudian kata

    tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata ana yang berada di

    belakang adalah bentuk sufiks (akhiran) yang bermakna membendakan

    (nominalisasi). Dengan demikian, kata wacana dapat dikatakan sebagai

    perkataan atau tuturan.2

    Namun, istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para ahli

    linguis (ahli bahasa) di Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa

    Inggris, discourse. Kata deiscourse sendiri berasal dari bahasa Latin,

    1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet.Ke-1 1988),

    h.32 2 Deddy Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip Analisis

    Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h.3

  • 18

    discursus (lari ke sana lari ke mari). Kata ini diturunkan dari kata dis

    (dan/ dalam arah yang berbeda-beda) dan kata currere (lari).3

    Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, terdapat tiga makna

    dari istilah wacana. Pertama, percakapan, ucapan, dan tutur. Kedua,

    keseluruhan tutur atau cakapan yang merupakan satu kesatuan. Ketiga,

    satuan bahasa terbesar, terlengkap yang realisasinya pada bentuk karangan

    yang utuh, seperti novel, buku, dan artikel.4

    Definisi klasik wacana berasal dari asumsi-asumsi formalis (dalam

    istilah Hymes 1974b, struktural), mereka berpendapat bahwa wacana

    adalah bahasa di atas kalimat atau di atas klausa (Stubbs 1983:1).5

    Van Dijk (1985:4) mengamati bahwa karakteristik deskripsi

    struktural wacana pada beberapa perbedaan unit, kategori bentuk

    sistematik atau hubungan-hubungan yang berbeda. Lanjutnya, menurut

    van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya atas dasar dimensi teks

    semata, karena teks tersebut merupakan hasil praktik produksi yang harus

    diamati juga.

    Van Dijk menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah

    bangunan teoritis yang abstrak (the abstract theoritical construct) dengan

    begitu wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan wacana adalah

    teks.6

    3 Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, (Yogyakarta: Kanisius,

    1993), h.3 4 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:

    Modern English Press, Edisi Ke-3 2002), h.1709 5 Deborah Schiffrin, Ancangan Kajian Wacana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.

    28 6 Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajian, (Malang: Bayu Media, 2004), h. 4

  • 19

    Secara ringkas atau sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan

    terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau

    pernyataan. Wacana sebagai upaya untuk mengungkap makna yang tersirat

    dari subjek yang mengungkapkan pernyataan tersebut. Caranya, adalah

    dengan meletakkan posisi pada si pembicara dengan mengikuti struktur

    makna dari pembicara tersebut.

    Jika dicoba untuk merumuskan, analisis wacana adalah studi

    tentang struktur pesan dalam komunikasi. Dalam pandangan Littlejohn,

    bahwa menulis dan bahkan bentuk-bentuk non verbal dapat dianggap

    wacana.

    Menurutnya, terdapat beberapa untai analisis wacana, bersama-

    sama menggunakan seperangkat perhatian (Littlejohn: 1996). Pertama,

    seluruhnya mengenai cara-cara wacana disusun, prinsip yang digunakan

    oleh komunikator untuk menghasilkan dan memahami percakapan atau

    tipe-tipe pesan lainnya. Kedua, wacana dipandang sebaga aksi. Ia adalah

    cara melakukan segala hal, biasanya dengan kata-kata. Ahli analisis

    wacana berasumsi bahwa pengguna bahasa mengetahui bukan hanya

    aturan-aturan tata bahasa kalimat, namun juga aturan-aturan untuk

    menggunakan unit-unit yang lebih besar dalam menyelesaikan tujuan-

    tujuan pragmatik dalam situasi sosial. Ketiga, analisis wacana adalah suatu

    pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual dari

    perspektif mereka; ia tidak memerdulikan ciri atau sifat psikologis

  • 20

    tersembunyi atau fungsi otak, namun terhadap problema percakapan

    sehari-hari yang kita kelola dan kita pecahkan.7

    Littlejohn lebih mengarahkan wacana kepada aturan-aturan tata

    bahasa yang hadir dalam proses berkomunikasi. Secara otomatis, lebih

    terarah kepada makna pesan yang disampaikan oleh komunikator.

    Maka, tetap saja dalam penelitian lebih terarah kepada tokoh van

    Dijk, yang lebih memaksudkan bahwa analisis wacana sebagai suatu

    analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.

    2. Analisis Wacana Model Teun van Dijk

    Dalam buku Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media

    karangan Eriyanto, di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang

    mengembangkan analisis wacana. Tokoh-tokoh yang terkenal dan

    dikemukakan oleh Eriyanto tersebut, di antaranya Roger Fowler dkk

    (1979), Norman Fairclough (1998) yaitu mengenai wacana tentang

    ideologi, Sara Mills (1992) yang menitikberatkan perhatian kepada wacana

    mengenai feminisme, Theo van Leeuwen (1986) adalah analisis yang

    diperuntukkan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok

    atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Dari

    banyaknya tokoh yang mengembangkan analisis wacana, model van Dijk-

    lah yang paling sering dipakai dalam berbagai penelitian teks media.

    Meski penelitian-penelitian wacana yang sering diteliti oleh van Dijk

    adalah mengenai rasialisme namun tidak menutupkemungkinan terhadap

    7 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotik,

    dan Analisis Framing, h. 48-49

  • 21

    objek penelitian atau teks berita lainnya untuk diteliti. Sama halnya,

    seperti objek penelitian terhadap teks berita Sebuah Kegilaan di Simpang

    Kraft ini.

    Jika penelitian dalam skripsi ini memakai tokoh Teun A. van Dijk,

    maka harus diketahui terminologi analisis wacana dari van Dijk itu sendiri,

    yang dikutip dari buku Aims of Critical Discourse Analysis.

    Critical Discourse Analysis (CDA) has become the general

    label for a study of text and talk, emerging from critical linguistics,

    critical semiotics and in general from socio-politically conscious

    and oppositional way of investigating language, discourse and

    communication. As is the case many fields, approaches, and

    subdisciplines in language and discourse studies, however, it is not

    easy precisely delimit the special principles, practices, aims,

    theories or methods of CDA.8

    Atau terminologi lainnya, yang terdapat dalam buku Critical

    Discourse Analysis dalam pembahasan mengenai What is discouse?

    yaitu:

    Discourse analysis are tic, ked to define the concept of discourse. Such a definition would have to consist of the whole discipline of discourse studies, in the same of way as linguistic

    provide many deminitions of the definition of languages. In the may view, it hardly makes to define fundamental notions such as

    discourse, languange, cognition, interaction, power, or society. To understand these notions, we need whole theories or discipline of

    the objects or phenomena we are dealing with. Thus, discourse is a

    multidimentional social phenomenon. It is at the same tune in

    linguistic (verbal gramatical), object (meaningful sequences of

    word or sentences), an action (as an assertion or a threat), a form of

    social interaction (like conversation), a social practice (such as a

    lecture), a mental representation (a meening, a mental model, an

    opinion, knowledge), an interactional communicative event or

    activity (like a parliementary debate), a cultural product (like a

    telenovela), or even an economic commodity that is being sold and

    bought (like a novel). In other words, a more or less complete

    definition of the notion of discourse would involve many dimentions of consists of many other fundamental notions that

    8 Teun van Dijk, Aims of Critical Discours e Analysis, (Japan Discourse, 1995) Vol. 1,

    hal. 17

  • 22

    need definition, that is, theory, such as meaning, interaction, and

    cognition.9

    Studi wacana ini berasal dari analisis linguistik kritis. Merambah

    kepada ilmu sosial lainnya, seperti analisis semiotik kritis, bahasa,

    wacana, komunikasi, dan ilmu sosial lainnya. Meski awalnya berasal dari

    bahasan wacana linguistik, tapi tidak menutup kesempatan kepada ilmu

    sosial lainnya untuk diteliti.

    Van Dijk sendiri menyatakan dalam buku karangannya, Critical

    Discourse Analysis (CDA) bahwa ia lebih menyukai untuk berbicara

    mengenai Critical Discourse Studies (CDS) karena batasannya lebih

    umum, tidak hanya meliputi analisis kritis tapi juga teori kritis seperti

    penerapan kritis. Namun, dalam penelitian ini lebih tertuju kepada

    paradigma konstruktivis, bukan paradigma kritis atau Critical Discourse

    Analysis (CDA). Pengertian CDA dan wacana di atas hanya untuk

    menggambarkan apa itu wacana menurut tokoh van Dijk sendiri.

    Van Dijk juga memfokuskan kajiannya pada peranan strategis

    wacana dalam proses distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau

    kekuasaan tertentu. Salah satu elemen penting dalam proses analisa

    terhadap relasi kekuasaan atau hegemoni dengan wacana adalah pola-pola

    akses terhadap wacana publik yang tertuju pada kelompok-kelompok

    masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan, supaya relasi antara suatu

    hegemoni dengan wacana bisa terlihat dengan jelas, maka kita

    membutuhkan hubungan kognitif dari bentuk-bentuk masyarakat, ilmu

    pengetahuan, ideologi dan beragam representasi sosial lain yang terkait

    9 Teun van Dijk, Critical Discourse Studies: A Sociocognitive Approach, (London: Sage,

    2002), h. 66-67

  • 23

    dengan pola pikir sosial, hal ini juga mengaitkan individu dengan

    masyarakat, serta struktur sosial mikro dengan makro.10

    Menurut van Dijk, analisis wacana memiliki tujuan ganda: sebuah

    teoritis sistematis dan deskriptif yaitu struktur dan strategi di berbagai

    tingkatan dan wacana lisan tertulis, dilihat baik sebagai objek tekstual dan

    sebagai bentuk praktek sosial budaya, antar tindakan dan hubungan. Sifat

    teks ini berbicara dengan yang relevan pada struktur kognitif, sosial,

    budaya, dan sejarah konteks. Singkatnya, studi analisis teks dalam

    konteks. Momentum penting dari pendekatan tersebut terletak pada fokus

    khusus yang terkait pada isu sosial-politik, dan terutama membuat eksplisit

    cara penyalahgunaan kekuasaan kelompok dominan dan mengakibatkan

    ketidaksetaraan, legitimasi, atau ditantang dalam dan dengan wacana.11

    Model yang dipakai van Dijk ini kerap disebut sebagai kognisi

    sosial. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi

    sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya

    teks.12

    Wacana digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi

    sosial dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan

    ketiga dimensi tersebut dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks

    yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang

    dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial

    10

    Teun Van Djik,. Discourse and Society: Vol 4 (2). (London: Newbury Park and New

    Delhi: Sage, 1993), h. 249 11

    Teun Van Dijk, Menganalisis Rasisme Melalui Analisis Wacana Melalui Beberapa

    Metodologi Reflektif, artikel diakses pada 15 Oktober 2010 dari http://www.discourse.com 12

    Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Semiotik,

    dan Analisis Framing, h. 73

  • 24

    dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu

    penulis. Sementara itu aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana

    yang berkembang dalam masyarakat mengenai suatu masalah.13

    Dapat

    digambarkan seperti di bawah ini:

    Gambar 1.

    Diagram Model Analisis Van Dijk14

    Sedangkan skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan

    dalam kerangka van Dijk adalah sebagai berikut:15

    Tabel 1.

    Skema Penelitian dan Metode Van Dijk

    STRUKTUR METODE

    Teks

    Menganalisis bagaimana strategi wacana

    yang digunakan untuk menggambarkan

    seseorang atau peristiwa tertentu.

    Bagaimana strategi tekstual yang dipakai

    untuk memarjinalkan suatu kelompok,

    gagasan atau peristiwa tertentu

    Critical linguistic

    Kognisi Sosial

    Menganalisis bagaimana kognisi penulis

    dalam memahami seseorang atau

    peristiwa tertentu yang akan ditulis

    Wawancara mendalam

    13 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Ananlisis Teks Media, h. 224 14

    Ibid, h. 225 15

    Ibid, h. 275

    Konteks Sosial

    Konteks Sosial

    Kognisi Sosial

    Kognisi Sosial

    Teks

    Teks

  • 25

    Konteks Sosial

    Menganalisis bagaimana wacana yang

    berkembang dalam masyarakat, proses

    produksi dan reproduksi seseorang atau

    peristiwa digambarkan

    Studi pustaka, penelusuran sejarah,

    dan wawancara

    3. Kerangka Analisis Van Dijk

    a. Dimensi Teks

    Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat

    digunakan, untuk melihat suatu wacana yang terdiri dari berbagai

    tingkatan atau struktur dari teks. Van Dijk membaginya kepada tiga

    tingkatan, yaitu.

    Tabel 2.

    Struktur Teks Van Dijk16

    Struktur Makro

    Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema

    yang diangkat oleh suatu teks

    Superstruktur

    Kerangka suatu teks: bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun

    dalam teks secara utuh, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan

    kesimpulan

    Struktur Mikro

    Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat,

    dan gaya yang dipakai oleh suatu teks

    Sedangkan struktur atau elemen yang dikemukakan oleh van Dijk

    dapat digambarkan sebagai berikut:

    Tabel 3.

    Elemen Wacana Teks Van Dijk

    Struktur

    Wacana

    Hal yang diamati Elemen

    Struktur Makro TEMATIK

    Tema atau topik yang

    Topik

    16

    Ibid, h. 227

  • 26

    dikedepankan dalam suatu berita

    Superstruktur SKEMATIK

    Bagaimana bagian dan urutan

    berita diskemakan dalam teks

    berita utuh

    Skema atau Alur

    Struktur Mikro

    SEMANTIK

    Makna yang ingin ditekankan

    dalam teks berita. Misal, dengan

    memberi detil pada satu sisi atau

    membuat eksplisit satu sisi dan

    mengurangi sisi lain

    Latar, Detil,

    Maksud,

    Praanggapan,

    Nominalisasi

    Struktur Mikro SINTAKSIS

    Bagaimana kalimat (bentuk,

    susunan) yang dipilih

    Bentuk kalimat,

    Koherensi, Kata

    ganti

    Struktur Mikro STILISTIK

    Bagaimana pilihan kata yang

    dipakai dalam teks berita

    Leksikon

    Struktur Mikro RETORIS

    Bagaimana dan dengan cara

    penekanan dilakukan

    Grafis, Metafora,

    eskpresi

    Berbagai elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling

    berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Untuk memperoleh

    gambaran dari elemen-elemen yang harus diamati tersebut, berikut adalah

    penjelasan singkatnya, yaitu:

    a) Tematik (Tema atau Topik)

    Elemen ini menunjuk kepada gambaran umum dari teks, disebut

    juga sebagai gagasan inti atau ringkasan. Topik menggambarkan apa yang

    ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik

    menunjukkan konsep yang dominan, sentral, dan yang paling penting

    dalam sebuah berita.

    b) Skematik (Skema atau Alur)

    Teks umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan

    sampai akhir. Alur menunjukkan bagian-bagian dalam teks yang disusun

    dan diurutkan hingga membentuk kesatuan arti.

  • 27

    Menurut van Dijk, makna yang terpenting dari skematik adalah

    strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan

    dengan urutan tertentu.

    c) Semantik (Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi)

    Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna

    lokal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan

    antarkalimat, hubungan antarproposisi, yang membangun makna tertentu

    dari suatu teks. Analisis wacana memusatkan perhatian pada dimensi teks,

    seperti makna yang eksplisit maupun implisit.17

    Latar teks merupakan elemen yang berguna untuk membongkar

    apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan. Latar peristiwa itu

    dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana makna teks itu dibawa.

    Elemen detil berhubungan dengan kontrol informasi dari yang

    ingin ditampilkan oleh wartawan. Detil ini adalah strategi dari wartawan

    untuk menampilkan bagian mana yang harus diungkapkan secara detil

    lengkap dan panjang, dan bagian mana yang diuraikan dengan detil

    sedikit.

    Detil hampir mirip dengan elemen maksud, kalau detil itu

    mengekspresikan secara implisit sedangkan maksud yaitu secara eksplisit

    atau jelas atas maksud pengungkapan informasi dari wartawan. Kalau

    praanggapan (presuppotion) merupakan pernyataan yang digunakan untuk

    mendukung makna dari suatu teks. Dengan cara menampilkan narasumber

    yang dapat memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.

    17

    Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis

    Semiotik, dan Analisis Framing, h. 78

  • 28

    d) Sintaksis (Bentuk kalimat, Koherensi, Kata Ganti)

    Ramlan (Pateda 1994:85) mengatakan, Sintaksis ialah bagian atau

    cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat,

    klausa, dan frase18 Dalam sintaksis terdapat koherensi, bentuk kalimat

    dan kata ganti. Di mana, keriga hal tersebut untuk memanipulasi politik

    dalam menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif,

    dengan cara penggunaan sintaksis (kalimat).

    e) Stilistik (Leksikon)

    Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan

    pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Seperti kata

    meninggal yang memiliki kata lain seperti wafat, mati, dan lain-lain.

    f) Retoris (Grafis, Metafora, Ekspresi)

    Retoris ini mempunyai daya persuasif, dan berhubungan dengan

    bagaimana pesan ini ingin disampaikan kepada khalayak. Grafis,

    penggunaan kata-kata yang metafora, serta ekspresi dalam teks tertulis

    adalah untuk menyakinkan kepada pembaca atas peristiwa yang

    dikonstruksi oleh wartawan.

    b. Dimensi Kognisi Sosial

    Dalam kerangka analisis van Dijk, pentinya kognisi sosial yaitu

    kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap

    teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka,

    atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Di sini, wartawan tidak

    18

    Ibid, h. 80

  • 29

    dianggap sebagai individu yang netral tapi individu yang memiliki

    beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari

    kehidupannya.

    Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model. Skema

    dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara

    pandang terhadap manusia, peranan sosial dan peristiwa. Ada beberapa

    skema/model yang dapat digunakan dalam analisis kognisi sosial penulis,

    digambarkan sebagai berikut:19

    Tabel 4.

    Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk

    Skema Person (Person Schemas):

    Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan

    memandang orang lain

    Skema Diri (Self Schemas):

    Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang,

    dipahami, dan digambarkan oleh seseorang

    Skema Peran (Role Schemas):

    Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan

    menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat

    Skema Peristiwa (Event Schemas):

    Skema ini yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu

    ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu

    c. Dimensi Konteks Sosial

    Dimensi ketiga dari analisis van Dijk ini adalah konteks sosial,

    yaitu bagaimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik

    pentingnya adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati

    bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan

    legitimasi. Menurut van Dijk, ada dua poin yang penting, yakni praktik

    kekuasaan (power) dan akses (access).

    19 Eriyanto, Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media, h. 262

  • 30

    Praktik kekuasaan didefinisikan sebagai kepemilikan oleh suatu

    kelompok atau anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya.

    Hal ini disebut dengan dominasi, karena praktik seperti ini dapat

    memengaruhi di mana letak atau konteks sosial dari pemberitaan tersebut.

    Kedua, akses dalam mempengaruhi wacana. Akses ini maksudnya

    adalah bagaimana kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar

    dibandingkan kaum minoritas. Makanya, kaum mayoritas lebih punya

    akses kepada media dalam memengaruhi wacana.

    B. KONSEPTUALISASI BERITA

    1. Pengertian Berita

    Paul De Massener dalam buku Heres The News: Unesco Associate

    menyatakan, news atau berita adalah sebuah informasi yang penting dan

    menarik perhatian serta minat khalayak pendengar. Charnley dan James

    M. Neal menuturkan, berita adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini,

    kecendrungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih

    baru dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak (Errol Jonathans

    dalam Mirza, 2000:68-69).20

    Berita dapat didefinisikan sebagai peristiwa yang dilaporkan.

    Segala yang didapat di lapangan dan sedang dipersiapkan untuk

    dilaporkan, belum dapat disebut berita. Wartawan yang menonton dan

    menyaksikan peristiwa, belum tentu telah menemukan peristiwa.

    Wartawan harus bisa menemukan peristiwa setelah memahami proses atau

    20

    AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, (Bandung:

    Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 64

  • 31

    jalan cerita, yaitu harus tahu Apa (what) yang terjadi, Siapa (who) yang

    terlibat, Bagaimana kejadian itu terjadi (how), Kapan (when) terjadi, Di

    mana (where) peristiwa itu terjadi, dan Mengapa (why) sampai terjadi.

    Keenam hal tersebut merupakan unsur berita.21

    Secara ringkas dapat dikatakan bahwa berita adalah jalan cerita

    tentang peristiwa. Ini berarti bahwa suatu berita setidaknya mengandung

    dua hal, yaitu peristiwa dan jalan ceritanya. Jalan cerita tanpa peristiwa

    atau peristiwa tanpa jalan cerita tidak dapat disebut berita.22

    Setelah merujuk kepada beberapa definisi tersebut, maka dapat

    didefinisikan berita sebagai berikut; Berita adalah laporan tercepat

    mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi

    sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio,

    televisi, atau media online internet.23

    2. Nilai-Nilai Berita

    Nilai berita atau news values merupakan elemen-elemen dari berita

    sebagai dasar patokan bagi wartawan untuk memutuskan berita mana yang

    panats untuk diliput, dan mana yang tidak. Meski menurut Downie JR dan

    Kaiser, istilah tersebut tidak mudah didefinisikan.

    Kriteria nilai umum berita, menurut Brian S.Brooks, George

    Kennedy, Darly M. Moen, dan Don Ranly dalam News Reporting and

    Editing (1980: 6-17) menunjuk kepada sembilan hal. Beberapa pakar lain

    menyebutkan, ketertarikan manusiawi (humanity) dan seks (sex) dalam

    21

    Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, h. 18 22

    Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 55 23

    AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Teknik Menulis Berita dan Feature, h. 65

  • 32

    segala dimensi dan manifestasinya, juga termasuk ke dalam kriteria umum

    nilai berita yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para reporter dan

    editor media massa. Sehingga terdapat 11 nilai berita, menurut AS Haris

    Sumadiria dalam bukunya Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan

    Feature, yakni:

    a. Keluarbiasaan (unsualness)

    b. Kebaruan (newness)

    c. Akibat (impact)

    d. Aktual (timeliness)

    e. Kedekatan (proximity)

    f. Informasi (information)

    g. Konflik (conflict)

    h. Orang pentingg (prominence)

    i. Ketertarikan manusiawi (human interest)

    j. Kejutan (suprising)

    k. Seks (sex)24

    3. Jurnalisme Naratif

    Menurut Sudirman Tebba dalam Jurnalistik Baru, berita dapat

    dibedakan dari bentuk penyajiannya, seperti berita langsung (straight

    news), berita komprehensif (comprehensive news), dan feature.

    Berita langsung dan feature, adalah dua jenis berita yang sering

    dipakai pada umumnya. Narasi hadir sebagai salah satu bentuk feature

    24

    Ibid, h. 80

  • 33

    karena narasi memaparkan adegan demi adegan dengan memanfaatkan

    deskrispi, karakterisasi, dan plot.

    Istilah jurnalisme naratif ini dikembangkan oleh Mark Kramer

    sejak tahun 1998 dalam The Nieman Fellowship di University Harvard.

    Jurnalisme ini masuk ke dalam genre nonfiksi, narrative nonfiction. Meski

    penulisannya menggunakan gaya bercerita atau story telling tapi tetap saja

    fakta adalah unsur utamanya. Bergaya seperti seorang story teller atau

    pendongeng yang melaporkan peristiwa dengan nilai dramatis yang kuat

    dan tingkat immersion yang tinggi.

    Narrative journalism merupakan bentuk cangkokan, hasil

    perkawinan silang, antara keterampilan mengisahkan cerita dan

    kemampuan jurnalis dalam mendramatisir hasil observasinya terhadap

    berbagai orang, tempat, dan kejadian nyata di dunia, ungkap Robert Vare

    dalam diskusi dengan para jurnalis tentang narrative journalism yang

    dilaporkan Nieman Reports.25

    Jurnalisme narasi lebih ringkas dan simpel dibandingkan dengan

    jurnalisme sastrawi, model laporannya pun lebih linier, dan tidak serumit

    pengisahan berita literary journalism. Pekerjaan dari narasi ini tidak hanya

    menyampaikan peristiwa yang terjadi namun juga harus pandai

    mengisahkannya dalam rangkaian fakta yang dikisahkan.

    Cara pengisahan naratif memperhatikan awal, tengah, dan akhir

    laporan serta plot yang dibangun oleh action dan dialog serta cerita

    pendek. Selain itu, keringkasan kisah. Pembaca mengejar apa yang

    25

    Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

    2002), h. 148

  • 34

    dikisahkan, tegas Woo, dan reporter harus segera menyampaikannya.

    Riset juga diperlukan, ini menolong wartawan yang kehilangan ide untuk

    mengawali serta mengakhiri laporannya.

    Bentuk awal narasi ini dari feature dan di dalam narrative

    journalism berkembang istilah teknis seperti jurnalisme sastrawi (literary

    journalism), creative nonfiction, extended digressive narrative nonfiction.

    Oleh karena itu, diperlukan untuk membahas tentang jurnalisme narasi

    pada bab ini.

    Jurnalisme ini memang menyediakan halaman yang besar bagi

    wartawannya untuk mengeksplorasi kemampuan dalam mempresentasikan

    kisahnya. Tapi, menurut Kramer, pelaporan naratif akan tercapai bila

    antara editor dan reporter telah mencapai kesepahaman mengenai:

    Penggunaan teknik-teknik naratif dalam jenis kisah tertentu

    Proses reportase untuk laporan naratif

    Siapa yang seharusnya menulis dan menyunting laporan

    semacam itu26

    Unsur-unsur dalam naratif ini memang menambahkan banyak hal,

    yang berbeda daripada straight news maupun feature pada umumnya,

    karena naratif lebih mengacu kepada bagaimana (How) bukan apa (What).

    Karena naratif ini bukan sekedar melaporkan peristiwa dengan gaya

    penulisan yang biasa tapi terkait mengenai melaporkan kisah, yang artinya

    seperti dikatakan oleh Tom Wolfe bahwa naratif harus diistilah sebagai

    details life. Penggambaran hidup secara detil dan menyeluruh ini dapat

    26

    Ibid, h. 153

  • 35

    digambarkan seperti elemen-elemen emosi, karakter, deskriptif tempat,

    serta kelas sosial mereka.

    C. JURNALISME SASTRAWI

    Ia (jurnalisme sastrawi) seratus persen jurnalisme. Hanya saja ditulis dengan gaya sastra. Ia juga seratus persen fakta, bukan

    fiksi. Jurnalisme sastrawi merupakan sebuah metode penulisan

    dalam jurnalistik di samping metode penulisan yang sudah ada.

    Pada teknik penulisan dalam jurnalistik lama, umpamanya, dikenal

    beberapa jenis artikel seperti berita lurus dan karangan khas.27

    Pulitzer Prize menyebutnya eksplorative journalism. Apapun

    nama yang diberikan, genre ini menukik sangat dalam. Lebih dalam

    daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja

    melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi

    yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan itu. Ada

    karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya

    panjang dan utuh-tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan.

    Sedangkan Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter

    Institute Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H adalah

    singkatan dari Who (siapa), What (Apa), Where (di mana), When (kapan),

    Why (mengapa), dan How (bagaimana). Pada narasi menurut Clark dalam

    satu esei Nieman Reports, who berubah menjadi karakter, what menjadi

    plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why

    menjadi motif, dan how menjadi narasi. 28

    27

    Junarto Imam Prakoso, Eksperimen dengan Jurnalisme Sastrawi, artikel diakses pada 23

    Mei 2010 dari http://www.semesta.net 28

    Andreas Harsono dan Budi Setiyono, ed., Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam

    dan Memikat, h. VIII

  • 36

    Jurnalis Amerika waktu itu memang mendekati sastra karena

    dipojokkan oleh dua hal. Pertama, bentuk dan gaya penulisan novel yang

    tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua, keinginan untuk

    mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran

    televisi.29

    Karena perkembangan audio visual yang sangat signifikan, hal itu

    mengharuskan media cetak untuk membuat varian gaya penulisan yang

    terbaru. Meski para jurnalis kritis mengatakan, apanya yang baru? Namun,

    segi jurnalisme baru ini menuntut para wartawan untuk memerhatikan dan

    mengamati segala hal yang penting yang terjadi ketika peristiwa dramatis

    di lokasi. Seperti mengenai dialog orang-orang sekitar, sikap, ekspresi

    wajah, mimik, dan segala macam hal detil lainnya.

    Yang jelas, teknik penulisan ini memerlukan kedalaman informasi

    (depth information) yang lebih dibandingkan pelaporan biasa. Sebab

    dalam pekerjaan new journalism ada peliputan yang digarap di luar

    kebiasaan reporter koran atau penulis non-fiksi, yakni mengamati seluruh

    suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang orang ketiga (point of

    view), dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai.30

    Menurut Robert Vare dalam kumpulan buku antologi Jurnalisme

    Sastrawi Yayasan PANTAU, ada tujuh pertimbangan bila hendak

    menulis narasi atau jurnalisme sastra. Pertama, fakta. Jurnalisme

    menyucikan fakta. Walau memakai kata sastra tapi tetap saja harus

    29

    Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastrawi, h. 4 30

    Ibid, h. 5

  • 37

    berdasarkan fakta. Fakta tersebut harus diverifikasi, karena verifikasi

    adalah esensi dalam jurnalisme.

    Kedua, konflik. Bila ingin menulis laporan narasi, maka sebagai

    daya pikatnya adalah konflik. Konflik itu sendiri bisa bermacam-macam,

    entar konflik internal yang berada dalam diri maupun konflik eksternal

    yang berada di luar diri.

    Ketiga, karakter. Unsur karakter ini membantu untuk mengikat

    cerita. Karakter itu bisa sebagai peran utama dalam pengisahan tersebut,

    bisa juga peran pembantu. Baik peran utama dan pembantu memiliki

    fungsi yang penting dalam menghidupkan kisah.

    Keempat, akses. Akses ini dimaksudkan sebagai peluang untuk

    mendapatkan jaringan kepada narasumber supaya lebih mudah. Entah

    dengan cara wawancara, korespondensi, foto, catatan pribadi narasumber,

    kawan, dan sebagainya.

    Kelima, emosi. Unsur emosi ini untuk menghidupkan karakter

    dalam kisah tersebut. Emosi itu bisa saja dengan marah, tertawa,

    tersenyum, dan cinta. Keenam, perjalanan waktu atau series of time. Pada

    perjalanan waktu ini yang membedakan dari feature, jika feature itu sekali

    jepret foto dan narasi itu ibarat video. Terserah kepada si-penulis ingin

    menuliskannya yang mana lebih dahulu, apakah kronologis atau

    menggunakan alur flashback.

    Ketujuh, unsur kebaruan. Unsur kebaruan ini maksudnya adalah

    lebih mudah untuk mewawancarai narasumber dari orang biasa yang

    menjadi saksi mata bagi peristiwa besar. Dibandingkan mewawancarai

  • 38

    seorang panglima tinggi, yang pastinya hasil wawancara tersebut sudah

    dapat ditebak.

    Selain tujuh hal yang diutarakan oleh Robert Vare, jika ingin

    menulis narasi, maka Tom Wolfe juga membuat empat karakteristik

    jurnalisme baru yang membedakan dengan jurnalisme konvensional.

    Meski gaya dalam menulis narasi ini termasuk ke dalam jurnalisme baru.

    Empat alat atau karakteristik ini digunakan sebagai pegangan teori

    dalam penulisan gaya jurnalisme sastra, di antaranya yaitu pemakaian

    konstruksi adegan per adegan, pencatatan dialog secara utuh, dan

    pemakaian sudut pandang orang ketiga, dan mencatat secara detil. Jika

    diuraikan secara detil dari empat elemen dalam jurnalisme sastra, yakni:

    a. Konstruksi Adegan Demi Adegan

    Menurut kamus sastra yang disusun Dick Hartoko dan B.

    Rahmono, adegan ialah bagian dari suatu babak di dalam pementasan

    teater. Adegan berubah bila jumlah pelaku berubah atau latar berubah.

    Bagi pelaporan jurnalisme, hal itu berarti pembingkaian fakta-berita-yang

    mengilustrasikan pelbagai kejadian yang tengah berlangsung dan dicatat

    sebagai satu segmen pengisahan dari keseluruhan berita yang ingin

    dilaporkan.31

    Laporan ini disusun dengan menggunakan teknik bercerita adegan

    demi adegan, atau suasana demi suasana. Menurut Wolfe, jurnalisme ini

    menggunakan kelebihan dari teknik novel realisme dan roman, sehingga

    berusahan mendalami mengapa dan bagaimana. Setelah tersusun fakta

    31

    Ibid, h. 46

  • 39

    maka dibentuk menjadi news story, yang meliputi unsur-unsur sosial dan

    pelbagai ciri kemasyarakatan lainnya.

    b. Pencatatan Dialog Secara Utuh

    Encyclopaedia of Literature menyatakan bahwa dialog berasal

    dari bahasa Latin (dialogus) atau bahasa Yunanri (dialogus). Dialog ini

    merupakan elemen sebagai penghidup dari kisah serta sebagai saluran

    untuk merepresentasikan perubahan topik kepada gagasan penulis.

    Unsur dialog ini menguatkan keutuhan adegan dan memberikan

    sentuhan riil pada laporan news strory. Dialog ini lebih menggunakan

    kutipan langsung dibandingkan kutipan tidak langsung. Karena dengan

    kutipan langsung ini, lebih mengukuhkan kekuatan dari lorong-lorong

    peristiwa dan saat pembaca membacanya akan terasa lebih renyah.

    c. Sudut Pandang Orang Ketiga

    Pada karakteristik ini, sebagai representasi dari setiap suasana

    peristiwa atau berita melalui pandangan mata orang ketiga yang

    dimunculkan dalam kisah tersebut. Sudut pandang (points of view) ini

    ditulis layaknya seperti kita ada di sana, melukiskan seperti novelis atau

    penulis memoar.

    d. Mencatat Secara Detil

    Dalam elemen mencatat secara detil ini, sebagai perbedaan dati

    teknik gaya penulisan jurnalisme sastra dengan feature pada umumnya. Di

    mana dengan pencatatan secara detil ini menyeleuruh kepada perilaku,

    adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan

  • 40

    wisata, makanana, cara merawat rumah, serta hubungan kehidupan dengan

    orang sekitar.

    Perekaman secara detil ini akan memberikan kekuatan literer

    dalam pelaporannya. Secara otomatis, elemen terakhir ini memberi

    pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang kehidupan

    seseorang, dan mencatat lambang-lambang sosial.

    Pengamatan terhadap sudut pandang penulis tersebut, bisa lewat

    kata saya atau I. Bisa juga melalui tokoh-tokoh lainnya (sudut

    pandang dari orang ketiga). Namun, yang terpenting dalam deskripsi

    mengenai pencatatan secara detil ini dapat ditampilkan lebih tajam, detil,

    lengkap, dan bermakna.

  • 41

    BAB III

    GAMBARAN UMUM

    A. MAJALAH PANTAU

    1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya

    Pasca lengsernya Presiden Soeharto pada tampuk pemerintahan di

    Indonesia, beragam media massa mulai bermunculan. Dari media

    berlingkup kecil sampai media bertaraf nasional atau media mainstream.

    Seakan-akan gaung kemerdekaan pers baru terasa merdeka pasca

    reformasi ini, apalagi dengan tidak diberlakukannya lagi Surat Izin Usaha

    Penerbitan Pers (SIUPP) dari Departemen Penerangan.

    Perkembangan media massa yang signifikan ini bisa dilihat dari

    jumlah surat kabar yang dahulu berjumlah 200 penerbitan, kini naik

    menjadi 1500-2000 penerbitan setelah reformasi. 1

    Penerbitan maupun dunia pers yang kian menjamurnya tersebut,

    membuat masyarakat Indonesia dapat mengekspresikan pendapat dan

    menerbitkan produk jurnalistik melalui media masing-masing. Salah

    satunya, Yayasan Pantau yang dahulunya bernama Majalah Pantau.

    Pada awal berdiri, Majalah Pantau adalah sebuah majalah yang

    diterbitkan di bawah naungan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) pada

    Juli 1999. ISAI dan Article XIX adalah organisasi nirlaba untuk

    kebebasan berekspresi dari London yang juga ikut mengonsultani

    Rancangan Undang-Undang (UU) Pers No.40 Tahun 1999 dan bersama-

    1 Yayasan Pantau, artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 diakses pada pkl 22.00

    WIB dari http://www.lidahibu.com

  • 42

    sama memantau televisi serta menerbitkan penelitiannya lewat Pantau

    melalui sebuah newsletter.

    Pada Pemilu 1999, ISAI mengadakan program Pemantauan

    Televisi yang bekerjasama dengan Article XIX London. Hasil

    pemantauannya tersebut diterbitkan dalam bentuk newsletter yang

    bernama Pantau dan terbit setiap minggu selama masa kampanye Pemilu.

    Tujuannya, untuk memantau televisi-televisi Indonesia dalam meliput

    Pemilu pasca Orde Baru (Orba). Sesudah Pemilu, Pantau diubah menjadi

    majalah pemantauan media, dengan penekanan pada surat kabar dan

    analisis isi.

    Pada akhir 2000, muncul pemikiran untuk membuat newsletter

    lebih populer, tak hanya mengandalkan analisis isi. Pantau yang pada

    awalnya hanya berbentuk newsletter berubah menjadi majalah dan tidak

    hanya memantau permasalahan kampanye Pemilu belaka.

    Maka pada Maret 2001, Pantau diubah menjadi majalah bulanan.

    Partnership for Governance Reform in Indonesia dan Ford Foundation

    membantu pendanaan Pantau dengan hibah masing-masing sebesar

    US$65,000 (2001-2002) dan US$200,000 (2001-2003). Tujuannya,

    menjadikan Pantau sebagai majalah bulanan dengan liputan mendalam

    soal media dan jurnalisme. Beberapa perusahaan dan organisasi

    memberikan sumbangan sehingga total dana Pantau terpakai sekitar

    $350,000 dalam dua tahun (termasuk investasi awal).

    Majalah ini terbit tiap bulan dengan laporan-laporan panjang dan

    mendalam. Bisa soal media, wartawan, Aceh, terorisme, dan lain-lain.

  • 43

    Isinya, sekitar 60 persen mengenai media dan 40 persen non media.

    Majalah Pantau ini menjadi fenomena baru dalam jurnalisme Indonesia,

    karena untuk pertama kalinya media massa Indonesia diliput media lain

    dengan standar wajar-tanpa standar ganda karena khawatir saling

    mengganggu sesama wartawan.

    Andreas Harsono, seseorang yang aktif berkecimpung dari awal

    Majalah Pantau di bawah ISAI sampai diterbitkan oleh Yayasan Pantau,

    mengatakan bahwa di Indonesia Majalah Pantau adalah majalah pertama

    yang dengan sadar menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastrawi,

    dengan menggunakan elemen-elemen yang dikemukakan oleh Tom Wolfe.

    Kalau dilihat secara teoritis, dilakukan secara sadar dengan membaca Tom Wolfe, dengan memakai elemen-elemen yang

    diterangkan oleh Tom Wolfe dengan visi new journalismnya

    tampaknya yang muncul secara sadar dan dengan naratif yah baru

    Pantau.2

    Pantau terbit rutin pada setiap hari Senin pertama. Tiap bulan

    dicetak 3,000 eksemplar dan sirkulasi terjualnya naik hingga mencapai

    2,500 pada Februari 2003. Menurut survei Business Digest pada

    Oktober 2002, sebuah majalah Pantau rata-rata dibaca enam orang dan 62

    persen pembaca Pantau adalah wartawan (media cetak disusul wartawan

    televisi). Sisanya politisi, akademisi, orang public relation, dan

    mahasiswa. Contohnya seperti Ali Alatas, mantan Menteri Luar Negeri

    (Menlu) Indonesia, termasuk pelanggan Pantau dan menyukai majalah ini.

    Liem Sioe Liong dari organisasi Hak Asasi Manusia

    (HAM) Tapol London menyebut majalah ini sebagai majalah

    terbaik di Indonesia. Muchtar Buchori, seorang legislator dari

    2 Hasil wawancara by phone dengan Andreas Harsono, Penanggungjawab Yayasan

    Pantau pada Jumat, 4 Februari 2011 pukul 20.00 WIB

  • 44

    Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan kolumnis Jakarta Post,

    menyebutnya "majalah investigasi."3

    Seberapa pun banyak pembaca dari Majalah Pantau tersebut serta

    kekhasan jurnalisme sastrawi yang digunakan dalam teknik penulisannya,

    hal ini tidak membuat Pantau mempunyai nafas panjang dalam industri

    media. Pada tanggal 13 Februari 2003, melalui siaran pers ISAI kepada

    beberapa media melalui surat elektronik, Majalah Pantau resmi ditutup.

    Dirut ISAI Goenawan Mohamad mengatakan bahwa

    struktur pembiayaan majalah Pantau dengan liputan-liputan

    panjang, honor relatif tinggi, foto atau lukisan artistik, biaya

    liputan, sementara permintaan pasar tipis dan pemasukan iklan

    sedikit, mendorong manajemen ISAI untuk menutup majalah ini,

    setelah beroperasi selama dua tahun. "Saya berat sekali. Majalah

    ini bagus dan belum ada di Indonesia. Tapi majalah yang bagus

    kan butuh uang? Di Amerika, majalah seperti ini juga tidak hidup

    dari