TheLight Photography Magazine #7

59
EDISI VII / 2007 1 EDISI 7/2007 www.thelightmagz.com FREE

description

Enjoyy...

Transcript of TheLight Photography Magazine #7

Page 1: TheLight Photography Magazine #7

EDISI VII / 2007 1

EDIS

I 7/2

007

ww

w.th

elig

htm

agz.

com

FREE

Page 2: TheLight Photography Magazine #7

2 EDISI VII / 2007

THEEDITORIAL

EDISI VII / 2007 3

THEEDITORIAL

PT Imajinasia Indonesia, Jl. Pelitur No. 33A, www.thelightmagz.com, Pemimpin Perusahaan/Redaksi: Ignatius Untung, Technical Advisor: Gerard Adi, Redaksi: [email protected], Contributor: C Production, Public relation: Prana Pramudya, Marketing: mar-

[email protected] - 0813 1100 5200, Sirkulasi: Maria Fransisca Pricilia, [email protected], Graphic Design: ImagineAsia,

Webmaster: Gatot Suryanto

“Hak cipta foto dalam majalah ini milik fotografer yang bersangkutan, dan dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang menggunakan foto dalam ma-

jalah ini dalam bentuk / keperluan apapun tanpa seijin pemiliknya.”

ABOUT THE COVERPHOTOGRAPHER: KRISNA SATMOKO

Berguru dari seorang yang jauh lebih senior dari kita adalah satu hal yang menarik. Namun harus diingat hal yang kita pela-

jari kali ini ada hubungannya dengan teknologi. Jangan asal pilih mentor senior. Untuk itu kami pilihkan fotografer-fotografer

yang tergolong senior dan memiliki jam terbang cukup tinggi di bidangnya masing. Didukung sederet pencapaian yang

pernah didapat membuktikan bahwa barisan fotografer senior yang kami hadirkan kali ini bukan barisan senior yang luntur

oleh perkembangan teknologi. Luntur oleh perubahan style dan trend.

Dimulai dari Goenadi Harjanto, fotografer senior yang masih menyisakan idealisme dalam setiap fotonya. Budi Han, se-

orang fotografer komersil dengan jam terbang dan daftar klien yang tak terukur lagi panjangnya. Krisna Satmoko, seorang

fotografer wedding yang lahir bukan di jaman karbitan. dan Oscar Motuloh, seorang ikon dunia fotografi jurnalis. Semoga

kehadirannya menginspirasikan kita semua yang masih muda untuk tidak cepat “luntur” dan kadluwarsa termakan perkem-

bangan teknologi. Selalu up to date dengan perkembangan trend dan teknologi. Sehingga karya yang dihasilkan tidak teng-

gelam ditelan nama besar sendiri.

Salam,

Redaksi

BARISAN SENIOR ANTI LUNTUR

Page 3: TheLight Photography Magazine #7

4 EDISI VII / 2007

OUTDOORPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 5

OUTDOORPHOTOGRAPHY

Fotografi bertumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Nama-nama baru

bermunculan di khasanah dunia perfotografian. Namun di tengah nama-nama

fotografer muda yang sukses terlihat menonjol di tengah semakin banyaknya

pehobi fotografi tanah air masih tersisa beberapa nama fotografer senior yang

ternyata masih eksis dan tidak tergerus oleh perkembangan dunia fotografi. Salah

satunya adalah Goenadi Harjanto.

Goenadi mengaku mempelajari fotografi dari ayahnya yang kebetulan memiliki

bisnis jual beli kamera bekas. Sang ayah yang juga mengenalkannya kepada

kamera itu juga beberapa kali menerima pekerjaan pemotretan keluarga dan

bangunan atas permintaan kontraktor. “Dulu kalau ada acara di sekolah, ayah

suka datang untuk memotret dan pada akhirnya dijual.” Ungkapnya. “Tapi yang

jelas ayah saya nggak bisa motret model karena ibu saya keras sekali soal itu.

Hahahaha..” sambungnya sambil tertawa.

GOENADI HARJANTO, FEEL AT HOME DI FOTOGRAFI

Grand finale Tari Keris Barong, Tegaltamu, Batu Bulan, Bali

Page 4: TheLight Photography Magazine #7

6 EDISI VII / 2007

OUTDOORPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 7

OUTDOORPHOTOGRAPHY

Pada saat duduk di kelas 6 sekolah

dasar, Goenadi yang sering mengutak-

atik kamera disuruh ayahnya untuk

memotret. Padahal waktu itu Goenadi

belum pernah secara serius mem-

pelajari fotografi. Hasilnya dari 12 film

yang diberikan ayahnya itu, Goenadi

berhasil menjual 9 foto. “Kuncinya

adalah teknik the sunny eleven atau

sunny sixteen. Kalau di kemasan film ja-

man dulu ada itu asanya harus berapa

speed berapa.” Kenangnya.

Bakat fotografi Goenadi makin terli-

hat ketika saat duduk di bangku SMP,

sepolang sekolah Goenadi menemui

mobil yang sedang terbakar hebat. Ia

“Dulu profesi fotografi belum rewarding seperti seka-rang. Saya sering sekali motret nggak dibayar. Jadi saya lebih memilih jadi arsitek.”

Dimension – Taman Fatahilah, Jakarta Kota.

Page 5: TheLight Photography Magazine #7

8 EDISI VII / 2007

OUTDOORPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 9

OUTDOORPHOTOGRAPHY

pun segera pulang untuk mengambil

kamera dan kembali untuk memotret-

nya. Hasil fotonya pun ia cuci dan cetak

sendiri dan ternyata berhasil terjual ke

Koran Pikiran Rakyat. Hal yang sama

berulang ketika fotonya yang lain pada

saat ia duduk di bangku SMA dimuat

majalah JAYA.

Berbekal pengalaman yang cukup

memotret untuk media massa, Goe-

nadi memutuskan untuk bergabung

dengan majalah Aktuil. “Di Aktuil saya

benar-benar difasilitasi untuk lebih

mendalami fotografi, bahkan saya

disekolahkan khusus oleh mereka.”

Kenangnya bangga. “Setelah itu,

karena saya sudah mengerti betul

proses kamar gelap foto, saya mulai

berani mempush film dan slide setiap

saya melakukan prosesing film.” Tam-

bahnya.

Sepanjang tahun 1970 hingga 1972

Goenadi selalu memenangi juara

pertama lomba foto mahasiswa yang

diadakan oleh Institut Teknologi band-

ung tempatnya bersekolah. Namun

rentetan prestasi yang digapainya

sebelumnya ternyata tidak kunjung

menyeret Goenadi untuk berprofesi

sebagai fotografer. Sejak tahun 1975

hingga 2002 oenadi justru memilih

profesi arsitek sebagai jalan penghidu-

pannya. “Dulu profesi fotografi belum

rewarding seperti sekarang. Saya

sering sekali motret nggak dibayar.

Jadi saya lebih memilih jadi arsitek.”

Jelasnya.

Namun begitu kecintaannya terhadap

fotografi tidak pernah padam. Setelah

bergabung dengan LFCN (Lembaga

Fotografi Candra Naya) Goenadi diper-

caya menangani pelaksanaan Salon-

foto dan beberapa lomba dan pameran

sejenis. Bahkan pada tahun 1992 foto

hasil karyanya dipamerkan di Amerika

Serikat dan digunaka oleh Minolta.

“Herannya bahkan walaupun profesi

saya sebagai arsitek tergolong cu-

kup sukses dan berhasil menduduki

jabatan-jabatan prestisius namun

saya tidak pernah merasa at home.”

Kenangnya. Maka dari itu sejak tahun

2002 ia memutuskan untuk kem-

bali menekuni cinta sejatinya yaitu

fotografi. “Saya mulai lebih serius

“Herannya bah-kan walaupun

profesi saya sebagai arsi-

tek tergolong cukup sukses dan berhasil

menduduki ja-batan-jabatan prestisius na-

mun saya tidak pernah merasa

at home.”

“justru pengalaman

yang memper-kaya batin itu

yang membuat saya bertahan

dan makin cinta pada fotografi.”

“Intinya adalah memberikan nilai tambah. Memunculkan sesuatu yang tidak kelihatan tapi bisa dirasa-kan.”

Page 6: TheLight Photography Magazine #7

10 EDISI VII / 2007

OUTDOORPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 11

OUTDOORPHOTOGRAPHY

Embah Srie, 92 tahun, hidup dalam gubug pemulung. Gang Kenari, Kota Tua, Semarang

Page 7: TheLight Photography Magazine #7

12 EDISI VII / 2007

OUTDOORPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 13

OUTDOORPHOTOGRAPHY

membuat foto-foto yang memiliki roh. Ada perubahan sedikit, kalau dulu saya

senang menangkap momen sekarang saya lebih senan pengalaman memotret-

nya.” Ungkap fotografer yang pernah berguru pada Anwar Sanusi dan Setiadi

Yoeda Atmaja ini. “Seperti beberapa waktu yang lalu ketika saya sedang berada

memotret sebuah klenteng di semarang, tiba-tiba ada seorang wanita berjilbab

di depannya, saya justru menyukai hal itu. Begitu juga ketika saya mendatangi

Masjid Agung Jawa Tengah, waktu itu saya kaget ketika di dalam kompleks Masjid

tersebut pada bulan puasa masih ada orang yang berjualan minuman. Saya

Tanya, mengapa bulan puasa masih berjualan. Sang penjual minuman pun hanya

berkata “yang datang ke sini kan bukan semuanya muslim dan bahkan tidak

semua muslim yang ke sini berpuasa.” Sambungnya. Ia pun melanjutkan, “jus-

tru pengalaman yang memperkaya batin itu yang membuat saya bertahan dan

makin cinta pada fotografi.”

Berbicara mengenai fotografi outdoor Goenadi menganggapnya gampang-gam-

pang susah. “Makanya dikasih roh supaya lebih bernyawa.” Ujarnya. “Dan jangan

lupa belajar dari seni lain, misalnya musik. Coba lihat Samson dan Ungu kan

sama-sama group band dengan aliran yang mirip, tapi keduanya punya karakter

“Dengan kepekaan kita bisa terus berkem-bang, jangan setiap ikut lomba fotonya itu-

itu saja. Coba saja lihat lomba-lomba foto yang ada, kalau tahun ini yang menang ada cipratan air, tahun depan pasti foto dengan

cipratan air banyak sekali yang masuk. Orang hanya berpikir bagaimana supaya menang,

bukan uniknya apa foto saya. Akrhinya hanya bisa meniru, tapi nggak punya keunikan.

Wujud dan Bentuk, Plered, Purwakarta, Jawa Barat

Page 8: TheLight Photography Magazine #7

14 EDISI VII / 2007

OUTDOORPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 15

OUTDOORPHOTOGRAPHY

Beach Chalets – Brighton Beach, Melbourne, Victoria -Australia

Page 9: TheLight Photography Magazine #7

16 EDISI VII / 2007

OUTDOORPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 17

OUTDOORPHOTOGRAPHY

yang berbeda sehingga orang tahu oh ini lagunya Samsons, kalau yang itu lagu-

nya Ungu.” Tambahnya. “Intinya adalah memberikan nilai tambah. Memunculkan

sesuatu yang tidak kelihatan tapi bisa dirasakan.” Sambungnya lagi.

Goenadi melihat akar dari kemampuan mencipta foto yang memiliki nyawa

adalah kepekaan. “Dengan kepekaan kita bisa terus berkembang, jangan setiap

ikut lomba fotonya itu-itu saja. Coba saja lihat lomba-lomba foto yang ada, kalau

tahun ini yang menang ada cipratan air, tahun depan pasti foto dengan cipra-

tan air banyak sekali yang masuk.” Tegasnya. “Orang hanya berpikir bagaimana

supaya menang, bukan uniknya apa foto saya. Akrhinya hanya bisa meniru, tapi

nggak punya keunikan.” Sambungnya. Untuk itu Goenadi sangat selektif jika

diminta menjadi juri dalam sebuah lomba foto. “Pertama karena secara fisik

melelahkan, selain itu saya rasa waktunya untuk memberi kesempatan bagi yang

muda. Karena dengan adanya wajah baru, jadi ada pemikiran baru, warna baru

sehingga secara tidak langsung saya memberi kesempatan lomba tersebut untuk

eksplorasi.” Sambungnya.

Berbicara lebih dalam lagi mengenai fotografi goenadi menekankan bahwa

fotografer harus mengingat bahwa fotografi adalah cahaya. “Fotografi is light.

Maka dari itu prosesnya adalah calculating light, seeing light, dan feel the light.”

Ujarnya. “Tapi proses terebut idealnya harus dijalani satu persatu. Mulai dari cal-

culate light, biasanya kan orang menghitung dengan otak kiri. Selanjutnya belajar

see the light kali ini orang mulai bisa menggunakan otak kanan. Pada akhirnya

fotografer harus bisa merasakan cahaya. Merasakan dengan hati. Maka dari tu

banyak fotografer senior sering bilang memotretlah dengan hati.” Sambungnya.

Namun Goenadi melihat hal ini sering disalahartikan. Sehingga orang lagsung

melakukan improvisasi dan mengaku bisa merasakan cahaya. “Harus diingat

sebelum orang melakukan improvisasi dan menciptakan warnanya sendiri ia

harus tau pakemnya dulu. Untuk itu pelajari dulu teknis dasarnya baru improvisa-

Page 10: TheLight Photography Magazine #7

18 EDISI VII / 2007

OUTDOORPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 19

OUTDOORPHOTOGRAPHY

si. Jangan pernah berkilah bahwa karya

anda adalah karya seni. Bukan bagian

anda mengatakan hal itu, biar orang

lain yang mengatakan.”

Goenadi melihat perkembangan

teknologi membuat fotografi berkem-

bang pesat namun banyak hadir gen-

erasi instan. “Generasi muda banyak

yang bagus, kurang lebih 20% bisa jadi

fotografer bagus, sisanya sekitar 80%

hanya ikut-ikutan. Hahaha…” Ujarnya

sambil tertawa. “Tapi biarkan saja yang

80% itu tetap ikut, karena justru mer-

ekalah yang membuat fotografi tetap

hidup. Karena tanpa mereka fotografi

bisa jadi barang yang sangat mahal

karena peminatnya sedikit.” Tambah-

nya.

Dalam kategori fotografi outdoor,

Goenadi melihat banyak peminat

muda. “Fotografi adventure banyak

peminatnya, hal ini karena bersamaan

dengan minat kaum muda terhadap

outbond. Beberapa tempat yang

menarik untuk fotografer ini adalah

Desa CIpta Gelar dengan serentaunnya,

Kasodo di Bromo, Odalan di bali, Erau

“Harus diingat sebelum orang melakukan im-provisasi dan menciptakan warnanya sendiri ia harus tau pakemnya dulu. Untuk itu pelajari dulu teknis dasarnya baru impro-visasi. Jangan pernah berkilah bahwa karya anda adalah karya seni. Bu-kan bagian anda mengata-kan hal itu, biar orang lain yang mengatakan.”

Sebelum perang – Lembah Baliem, Wamena, Papua

Page 11: TheLight Photography Magazine #7

20 EDISI VII / 2007

OUTDOORPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 21

OUTDOORPHOTOGRAPHY

Bromo at dawn – Pananjakan Kawasan Tengger, Jawa Timur

Page 12: TheLight Photography Magazine #7

22 EDISI VII / 2007

OUTDOORPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 23

OUTDOORPHOTOGRAPHY

di Dayak, Festival lembah Baliyem pada

bulan agustus dan masih banyak lagi.”

Jelasnya.

Goenadi merasa potensi fotografi

outdoor cukup baik terutama jika di-

hubungkan dengan budaya, pariwisata

dan keelokan alam Indonesia. “Yang

paling menarik adalah karena fotografi

outdoor tidak menuntut investasi

pada lighting equipment yang mahal.”

Ungkapnya.

Namun untuk melakukan pemotretan

outdoor Goenadi menyarankan untuk

melakukan periapan yang tepat, misal-

nya mengetahui golden hour dan kara-

kternya. Penting juga untuk mengeta-

hui iklim dari daerah yang akan difoto

dan juga letak matahari. “Misalnya

kalau mau motret Bromo, bagusnya

hanya antara Juli sampai September, di

luar itu untung-untungan.” Terangnya.

“Contoh lain, kalau mau memotret

wildlife harus tau kapan musim kawin.”

Tambahnya.

Bagi mereka yang akan memotret di

pedalaman, Goenadi menyarankan

untuk membawa perlengkapan yang

tepat. “Dry Bag misalnya. Atau floating

“Fotografi is light. Maka dari itu prosesnya adalah calculating light, seeing light, dan feel the light. Tapi

proses terebut idealnya harus dijalani satu persatu. Mulai dari calculate light, biasanya kan orang menghitung

dengan otak kiri. Selanjutnya belajar see the light kali ini orang mulai bisa menggunakan otak kanan. Pada akhirnya

fotografer harus bisa merasakan cahaya. Merasakan dengan hati. Maka dari tu banyak fotografer senior sering

bilang memotretlah dengan hati.”

Railway tracks before utilization, Ciganea, Purwakarta, Jawa Barat.

Page 13: TheLight Photography Magazine #7

24 EDISI VII / 2007

OUTDOORPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 25

OUTDOORPHOTOGRAPHY

case kalau memang harus masuk air.

Intinya harus tau karakter obyek dan

lingkungan.

Di akhir pembicaraan kami Goenadi

pun menyampaikan pesan kepada

kaum muda yang sedang mendalami

fotografi, “Saat ini fotografi sudah bisa

dijadikan profesi karena sudah bisa

menghidupi tidak seperti dulu. Maka

dari itu jangan takut untuk terjun. Tapi

yang penting harus tau apa maunya

supaya jangan sekedar ikut-ikutan dan

akhirnya hanya bisa meniru.” Tutupnya.

“Saat ini fotografi sudah bisa dijadikan profesi karena sudah bisa menghidupi tidak seperti dulu. Maka dari itu jangan takut untuk terjun. Tapi yang penting harus tau apa mau-nya supaya jangan sekedar ikut-ikutan dan akhirnya hanya bisa meniru.”

A view to the East – Gunung Tilu, Ciwidey, Jawa Barat

Page 14: TheLight Photography Magazine #7

26 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 27

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Fotografi komersil dikenal sebagai fotografi yang tidak melulu mengedepankan

teknis fotografis, namun juga strategi bisnis, service klien hingga kedekatan den-

gan para pekerja kreatif perusahaan periklanan. Hal tersebut menjadi salah satu

hal yang menarik bagi para fotografer yang berkecimpung di dunia ini. Disukai

atau tidak, isu-isu seperti ini selalu menarik dibicarakan dari masa ke masa.

Salah satu fotografer yang diangap berhasil sukses di dunia fotografi komersil

adalah Budi Han. Nama Budi Han sudah bertahun-tahun menjadi pembicaraan

banyak orang baik dari kalangan sesama fotografer maupun pekerja kreatif

periklanan. Ada nada-nada miring dalam pembicaraan tentang Budi Han yang

beredar, seperti isu tentang harga, hingga kapasitas pengerjaan pemotretan tiap

harinya. Tidak sedikit pula nada-nada positif yang merupakan akumulasi dari

kepuasan service yang diberikan Budi Han.

BUDI HAN, EXIST DAN DIPERHITUNG-KAN DI DUNIA KOMERSIL

“Orang agency itu susah percaya, jadi portfolio kita bagus pun nggak menja-

min kita akan dipakai sama mereka. Mereka takut file hasil pemotretan

nggak cukup untuk keperluan komersil akibat penggunaan kamera apa adanya, belum lagi proses pemotretannya lama.

Jadi memang susah untuk mendapat kepercayaan dari mereka.”

Page 15: TheLight Photography Magazine #7

28 EDISI VII / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 29

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Dengan segala pro dan kontra yang

beredar tentag Budi Han, kami justru

makin tertarik untuk lebih menggali

lebih dalam lagi mengenai Budi Han.

Karena bagaimana pun, hingga saat ini

Budi Han masih menjadi salah satu fo-

tografer komersil dengan order terlaris

setiap bulannya.

Budi Han mengawali karirnya sebagai

fotografer dengan bergabung sebagai

inhouse fotografer di beberapa perusa-

haan periklanan kenamaan Indonesia

seperti Chuo Senko dan JWT. Ketika pe-

rusahaan tempatnya bekerja menggu-

nakan jasa fotografer luar negeri untuk

melakukan pemotretan-pemotretan

dengan tingkat kesulitan tinggi, Budi

Han pun memanfaatkan dengan

belajar dari fotografer-fotografer asing

itu. Hal itu ia lakukan selama beberapa

tahun.

Berbekal pengalaman membantu

pekerja kreatif periklanan Budi Han

akhirnya memutuskan untuk berpisah

dari perusahaan periklanan tempat

ia menimba ilmu selama ini. Ia pun

bergabung dengan seorang teman

yang kebetulan memiliki alat fotografi

yang tergolong lengkap. Bergabung

bersama temannya itu, Budi Han tidak

menyia-nyiakan kesempatan untuk

bisa lebih banyak lagi mengeksplorasi

kemampuan fotografinya. “Dulu waktu

masih kerja di agency (advertising

agency – red.) kan alatnya terbatas, jadi

ketika join bareng teman yang kebetu-

lan punya alat lengkap ya harus diman-

faatkan kesempatannya.” Ungkapnya.

Setelah beberapa saat menjalankan

usaha bisnis fotografi bersama teman-

nya itu, Budi Han akhirnya memutus-

kan untuk berdiri sendiri. Berbeda dari

fotografer lain yang ingin terjun ke

dunia komersil, Budi Han tidak per-

nah merasa kesulitan untuk mencari

klien, tidak seperti fotografer komersil

yang baru terjun ke dunia itu pada

umumnya. “Karena saya pernah di

agency, jadi cari klien nggak masalah

buat saya. Saya sudah lebih dulu kenal

mereka, dan mereka juga sudah tau

kemampuan saya jadi nggak susah cari

klien.” Jelasnya. Budi Han pun menya-

dari bahwa salah satu hambatan yang

akan dihadapi oleh fotografer yang

ingin terjun ke dunia komersil adalah

masalah kepercayaan klien. “Orang

agency itu susah percaya, jadi portfolio

kita bagus pun nggak menjamin kita

akan dipakai sama mereka. Mereka

takut file hasil pemotretan nggak

cukup untuk keperluan komersil akibat

penggunaan kamera apa adanya, be-

lum lagi proses pemotretannya lama.

Jadi memang susah untuk mendapat

kepercayaan dari mereka.” Tambahnya.

Sementara bagi mereka yang sudah

mendapat kesempatan untuk mem-

buktikan kemampuan dengan melaku-

kan pemotretan untuk keperluan iklan,

kesempatan itu harus dimanfaatkan

sebaik mungkin. “Harus diingat orang

agency networknya sangat kuat,

sesama pekerja iklan saling mengenal

dengan baik walaupun beda perusa-

haan, sehingga banyak info menyebar

dari mulut ke mulut. Jika kita bisa

membuktikan bahwa kita mampu,

maka kabar itu juga akan menyebar

dengan cepat dan tentunya mengun-

tungkan kita, tapi kalau gagal ya cepat

juga menyebarnya.” Ungkapnya.

Budi Han menyadari menjadi fo-

tografer komersil menuntut kita untuk

bisa menyediakan equipment yang

memenuhi standar. “Sekarang ini kalau

mau aman, pakailah kamera yang bisa

menghasilkan file yang cukup untuk

“Fotografer komersil harus

bisa semuanya, nggak ada kata

nggak bisa.”

“Banyak hal tidak terduga ketika kita me-motret outdoor. Jadi jangan sampai kita mengejutkan klien dengan ketidaksiapan kita menghada-pi kejutan tersebut.”

Page 16: TheLight Photography Magazine #7

30 EDISI VII / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 31

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“Harus diingat orang agency net-worknya sangat kuat, sesama

pekerja iklan saling mengenal dengan baik walaupun beda pe-rusahaan, sehingga banyak info menyebar dari mulut ke mulut.

Jika kita bisa membuktikan bah-wa kita mampu, maka kabar itu

juga akan menyebar dengan ce-pat dan tentunya menguntung-

kan kita, tapi kalau gagal ya cepat juga menyebarnya.”

keperluan cetak billboard. Karena

klien akan sangat kecewa jika sudah

memprcayakan pemotretan ke kita

tapi pada akhirnya file yang dihasil-

kan hanya cukup untuk cetak poster.”

Jelasnya. “lighting equipment juga

sama, terkadang ada saja klien datang

dengan layout yang menuntut

lighting equipment yang canggih,

misalnya memotret splash air, orang

loncat, dan lain sebagainya yang nggak

mungkin bisa dicapai oleh lighting

equipment apa adanya.” Tambahnya.

Menanggapi komentar untuk menye-

wa peralatan tanpa harus membelinya

Budi Han pun tidak keberatan namun

tetap ada catatan tertentu. “Sewa sih

boleh saja, banyak tempat yang me-

nyewakan equipment yang canggih-

canggih. Tapi kalau kita bisa punya

akan lebih baik lagi karena flexibilitas

dalam menservice klien juga akan

meningkat. Misalnya kalau ternyata

harus re-shoot, kaau sewa nggak

akan bisa semudah itu karena semua

costnya sudah dihitung pas, jadi kalau

ada re-shoot pasti nggak mau karena

harus sewa lagi, ada pengeluaran lagi.

Banyak yang bilang harga

saya murah sehingga meru-

sak pasar, saya bilang saya

nggak murah, tapi

flexible.”

Page 17: TheLight Photography Magazine #7

32 EDISI VII / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 33

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Begitu juga kalau kita salah perhitungan. Kita berhitung untuk menyewa equip-

ment hanya 1 hari ternyata pemotretannya molor hingga 2 hari, kan jadi tekor.”

Jelasnya. “Untuk itu kalau bisa punya, ya jauh lebih bagus.” Tambahnya.

Hal selanjutnya yang juga dianggap penting diperhatikan untuk menjadi fo-

tografer komersil adalah studio. Budi Han melihat akan sangat baik jika fotografer

komersil memiliki studio yang representatif. “Nyaman itu harus, kalau bisa mudah

terjangkau, parkir leluasa dan aman, ada ruang tamunya, ada tempat untuk

makan, ada tempat untuk santai. Ada TV dan kalau bisa ada TV cable supaya klien

juga betah, majalah juga sangat penting sehingga mereka nggak bosen menung-

gui pemotretan kita.” Jelasnya. “satu hal lagi yang saya perhatikan dan tidak

diperhatikan oleh banyak fotografer komersil adalah mobil outdoor dan keleng-

kapannya. Saya punya mobil L300 untuk pemotretan outdoor, dan di dalamnya

sudah ada alat-alat seperti tali tambang, gergaji, sapu, gunting, terpal, golok, dan

lain sebagainya. Ini sangat berguna ketika kita harus memotret di luar ruangan.”

Jelasnya. “Banyak hal tidak terduga

ketika kita memotret outdoor. Jadi

jangan sampai kita mengejutkan klien

dengan ketidaksiapan kita menghada-

pi kejutan tersebut.” Tambahnya.

Mengenai kemampuan fotografi, Budi

Han melihat ini sebagai hal yang tidak

bisa ditawar untuk menjadi fotografer

komersil. “Fotografer komersil harus

bisa semuanya, nggak ada kata nggak

bisa.” Tegasnya.

Inti dari segala usaha yang dijalankan

Budi Han dalam menjalankan bisnis

fotografi komersil adalah memberi rasa

aman. “Yang penting kita bisa kasih

rasa aman ke mereka. Kalau semua

usaha untuk mencapai hal itu dilaku-

kan klien akan bilang, Sudahlah, motret

sama Budi Han, aman deh. Bahkan

kadang mereka nggak supervisi karena

sudah merasa tenang.”

Saat ini Budi Han mungkin satu dari

sedikit sekali fotografer komersil yang

mau menerima pekerjaan pemotretan

lebih dari dua buah per harinya. Ban-

yak fotografer komersil menganggap

hal ini sebagai salah satu kesalahan, na-

“Yang penting kita bisa kasih rasa aman ke

mereka. Kalau semua usaha

untuk mencapai hal itu dilaku-

kan klien akan bilang, Sudahl-

ah, motret sama Budi Han, aman

deh. Bahkan kadang

mereka nggak supervisi karena

sudah merasa tenang.”

Page 18: TheLight Photography Magazine #7

34 EDISI VII / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 35

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

mun Budi Han beranggapan lain. “Se-

bagai fotografer kita harus bisa melihat

tingkat kesulitan. Amat disayangkan

jika pemotretan dibatasi sehari hanya

satu padahal motretnya hanya

packaging itupun hanya 1 layout.

Semuanya bisa diperkirakan, jadi kalau

pekerjaannya nggak banyak, ke-

napa nggak motret lebih dari satu per

harinya.” Tegasnya.

Satu hal lagi yang dianggap sebagai

keunggulannya dibanding fotografer

sejenis adalah fleksibilitasnya. “Banyak

yang bilang harga saya murah seh-

ingga merusak pasar, saya bilang saya

nggak murah, tapi flexible.” Jelasnya.

Khusus mengenai harga Budi Han

selalu melihat tingkat kesulitan dari

pekerjaan yang dilakukan. Tidak jarang

pula ia menerima pekerjaan pro bono

alias tidak dibayar. “Saya mengenal

baik klien-klien saya. Mereka saya

anggap sebagai teman. Masak iya

ketika mereka butuh bantuan dari saya

sementara mereka nggak ada budget

saya nggak Bantu. Mereka kan teman

saya. Jadi karena pertimbangan itu

sesekali saya mau menerima pekerjaan

“Sebagai fotografer kita harus bisa melihat ting-kat kesu-litan. Amat disayang-kan jika pe-motretan di-batasi sehari hanya satu padahal motretnya hanya packaging itupun hanya 1 layout. Semuanya bisa diper-kirakan, jadi kalau pekerjaan-nya nggak banyak, ke-napa nggak motret lebih dari satu per harinya.”

Page 19: TheLight Photography Magazine #7

36 EDISI VII / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 37

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

pro bono.” Jelasnya. Namun Budi Han

cukup pilih-pilih dalam melakukan

pekerjaan pro bono. “Kita bisa be-

dakan lah mana klien yang memang

butuh bantuan ketika sedang tidak ada

budget untuk motret dan klien yang

hanya memanfaatkan kebaikan kita.”

Tambahnya.

Flexibilitas lain yang dilakukan Budi

Han adalah soal waktu. “Kadang ada

klien telepon jam 7 malam bilang

mereka harus motret jam 11 malam itu

juga. Masak iya saya tolak? Jadi waktu

bekerja juga harus flexible, kalau harus

motret malam ya lakukan, kalau harus

motret dadakan ya lakukan asal me-

mang kita nggak ada pekerjaan lain.”

Ungkapnya.

Di tengah segala kebijakan bisnisnya

yang selalu masuk dalam perhitungan

bisnis, Budi Han terkadang melakukan

manuver-manuver bisnis yang secara

perhitungan bisnis tidak terlalu urgent.

“Misalnya saja genset. Genset itu ma-

hal, sementara mati lampu di Jakarta

tergolong jarang. Tapi saya nggak

mau ambil resiko ketika lagi motret di

“Kalau semua standarnya sudah dipenuhi, bahkan menghadapi persaingan seperti apapun kita nggak akan takut.”

Page 20: TheLight Photography Magazine #7

38 EDISI VII / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 39

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

depan klien tiba-tiba mati lampu. Jadi untuk yang satu ini biar nggak

ekonomis dari perhitungan bisnis tapi tetap saya lakukan. Karena cukup

fatal akibatnya.” Jelasnya.

Berbicara mengenai tantangan dan hambatan dalam menjalani pro-

fesinya sebagai fotografer komersil, Budi Han melihat isu yang sering

dibicarakan bahwa menghadapi pekerja kreatif periklanan terkadang

menyebalkan bukanlah hal yang tepat. “Satu-satunya hal yang me-

nyebalkan dari bekerja dengan agency adalah bayarannya lama. Yang

lainnya tidak masalah.” Jelasnya. Mengomentari pembicaraan banyak

fotografer yang menganggap pekerja kreatif periklanan sulit diajak

kerjasama Budi Han berkomentar, “yang penting komunikasi. Kalau

kita yakin yang mereka minta tidak lebih bagus dari yang kita lakukan,

ya dibuktikan saja jangan hanya dibilang bahwa itu akan lebih jelek.

Coba saja apa maunya mereka. Mereka juga tidak bodoh lah, mereka

bisa bedain mana yang bagus dan mana yang jelek, jadi kalau kita bisa

tunjukin bahwa yang mereka minta kurang bagus mereka juga akan

menuruti kita selanjutnya. Masalahnya banyak fotografer yang tidak

mau mencoba.”

Melihat perkembangan fotografi yang semakin pesat, Budi Han melihat

fotografer junior masih banyak yang hanya mengandalkan teknologi

“yang penting komunikasi. Kalau kita yakin yang mereka minta tidak lebih bagus dari yang kita lakukan, ya dibuktikan saja jangan hanya dibilang bahwa itu akan lebih jelek. Coba saja apa maunya mereka. Mereka juga tidak bodoh lah, mereka bisa bedain mana yang bagus dan mana yang jelek, jadi kalau kita bisa tunjukin bahwa yang mereka minta kurang bagus mereka juga akan menuruti kita selanjutnya. Masalahnya banyak fotografer yang tidak mau mencoba.”

Page 21: TheLight Photography Magazine #7

40 EDISI VII / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 41

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

“Dan jangan lupa, jangan memaksa-

kan keadaan, kalau harganya

nggak masuk jangan dipaksakan, karena nanti kuali-

tas yang jadi kor-ban. “

sementara kemampuannya tidak di-

upgrade. “Banyak yang motret dengan

kamera bagus, lighting equipment

bagus tapi pada akhirnya ketika motret

mereka sering sekali berkata: nanti di

DI saja. Padahal digital imaging juga

punya keterbatasan. Tidak semua bisa

dilakukan oleh digital imaging. Untuk

itu Budi Han menyarankan fotografer

muda untuk menjaga poin-poin seperti

yang sudah diungkapkan di atas. “Ka-

lau semua standarnya sudah dipenuhi,

bahkan menghadapi persaingan

seperti apapun kita nggak akan takut.”

Ungkapnya. “Dan jangan lupa, jangan

memaksakan keadaan, kalau harganya

nggak masuk jangan dipaksakan,

karena nanti kualitas yang jadi korban.

“ tutupnya.

Page 22: TheLight Photography Magazine #7

42 EDISI VII / 2007

THEEVENT

EDISI VII / 2007 43

LIPUTANUTAMA

Kemajuan teknologi fotografi dan komputer grafis sejatinya memang diperun-

tukkan demi kemudahan serta optimalisasi hasil dari fotografi itu sendiri. Sejak

teknologi digital diaplikasikan pada perangkat kamera digital, penggunaan

software pengolah foto seperti: Adobe Photoshop, Macromedia Xres, Corel Pho-

toPaint, Metacreation Live Picture dan software pengolah foto lainnya meningkat

drastis. Memang software pengolah foto sudah dipergunakan bahkan ketika fo-

tografi masih menggunakan media analog seperti slide & film. Namun pada masa

itu software pengolah foto hanya dipergunakan sebatas menghilangkan cacat-ca-

cat kecil pada foto. Cacat tersebut bisa karena debu yang tertangkap pada proses

scanning, atau memang sumber fotonya yang cacat. Namun perkembangan

teknologi fotografi rupanya juga menuntut penggunaan software pengolah foto

untuk bisa ambil bagian lebih banyak dari sebelumnya. Kini software pengolah

foto sudah menjadi piranti wajib bagi para fotografer.

Beberapa edisi yang lalu salah seorang nara sumber kami yang berprofesi sebagai

fotografer iklan pernah berkata, “tuntutan terhadap output fotografi sudah se-

makin tinggi. Sekarang fotografi bukan hanya berhenti pada proses pemotretan

saja, tapi ada proses pra produksi dan pasca produksi yang juga tidak kalah pent-

ing.” Proses pasca produksi inilah yang dianggapya sebagai proses enchanching

PHOTOGRAPHER ATAU PHOTOSHOPER?

Page 23: TheLight Photography Magazine #7

44 EDISI VII / 2007

LIPUTANUTAMA

EDISI VII / 2007 45

LIPUTANUTAMA

& digital imaging yang menggunakan

software pengolah foto. Jika kita lihat

iklan-iklan yang tayang di berbagai

media seperti surat kabar, majalah,

billboard dan media cetak lainnya

memang tidak bisa dipungkiri penggu-

naan software pengolah foto memang

semakin mendapat tempat dalam

proses penciptaan foto iklan. Hal ini da-

pat kita lihat dari kualitas output foto

yang hampir tidak mungkin dilakukan

oleh kamera seorang diri. Foto-foto

dalam iklan yang memang memiliki

tuntutan untuk memiliki striking power

dan sticking power rupanya berakibat

kepada tuntutan penggunaan software

pengolah foto pada proses digital

imaging untuk menghadirkan hal-hal

yang tidak mungkin atau sangat sulit

untuk dilakukan hanya dengan kamera.

Hal yang sama juga bisa kita temui

pada foto fashion. Foto fashion pada

halaman majalah pun mulai mengan-

dalkan bantuan software pengolah

foto. Ini untuk mencapai hal-hal yang

tidak bisa dilakukan oleh kamera.

Pertumbuhan penggunaan software

pengolah digital juga bisa dilihat dari

menjamurnya buku-buku tutorial

software pengolah foto tersebut. Jika

kita lihat dalam 10 tahun belakangan

ini rak buku di toko-toko buku ter-

nama di sekitar kita pun mulai dibanjiri

dengan buku-buku tutorial software

pengolah grafis. Bahkan dari satu versi

software pun bisa terdapat lebih dari

10 buku dengan topik bahasan yang

tidak terlalu jauh berbeda. Kursus-

kursus komputer grafis terutama yang

menawarkan pelatihan software pen-

golah foto pun membanjir. Peminatnya

seolah-olah tidak pernah habis.

Satu indikator otentik mengenai men-

jamurnya penggunaan software pen-

golah foto adalah foto-foto pada halaman photo blogger & galeri fotografi online.

Sedikitnya 5 dari 10 foto yang diupload dan bisa diakses pada ruang semacam

itu mengandalkan software pengolah foto. Bahkan forum fotografi online pun

menyediakan segmen khusus untuk berdiskusi masalah olah digital ini.

Yang menjadikan permasalahan ini menarik bagi kami adalah sebatas mana

penggunaan software pengolah foto masih bisa diterima dan dibenarkan oleh

pakem dan keyakinan fotografi modern?

Untuk menjawab hal ini kami telah melakukan interview dengan 20 orang pehobi

fotografi dari tingkat pemula hingga tingkat mahir. Hasilnya 12 dari 20 orang

tersebut menganut keyakinan penggunaan olah digital dalam fotografi sah-sah

saja tanpa harus ada batasan. 1 orang menolak penggunaan olah digital dalam

fotografi dan 7 orang menganggap olah digital masih bisa diterima sebatas tidak

“tuntutan terhadap output fotografi

sudah semakin tinggi. Sekarang fo-tografi bukan han-

ya berhenti pada proses pemotretan saja, tapi ada pros-

es pra produksi dan pasca produksi yang juga tidak ka-

lah penting.”

Foto-foto dalam iklan yang me-mang memiliki tuntutan untuk

memiliki striking power dan stick-ing power rupanya berakibat ke-pada tuntutan penggunaan soft-ware pengolah foto pada proses digital imaging untuk menghad-irkan hal-hal yang tidak mungkin atau sangat sulit untuk dilakukan

hanya dengan kamera.

Page 24: TheLight Photography Magazine #7

46 EDISI VII / 2007

LIPUTANUTAMA

EDISI VII / 2007 47

LIPUTANUTAMA

bisa didapatkan oleh kamera.

12 orang kelompok yang menerima

sebebas-bebasnya penggunaan olah

digital pada foto menganggap bahwa

penggunaan olah digital adalah bagian

penting dalam penciptaan sebuah

foto. “Kalau bisa lebih bagus kenapa

nggak dilakukan.” Ungkap Budi, salah

seorang dari kelompok ini. Budi adalah

pehobi fotografi yang sudah sekitar 3

tahun menekuni fotografi. Budi senang

sekali berpartisipasi dalam gallery foto

online dimana ia bisa mengupload

fotonya untuk dikomentari orang lain.

“coba kalau kita lihat galeri foto online,

hampir semua orang pakai photoshop.

Yang penting kan hasil akhirnya.”

Tegasnya.

Hal senada juga diungkapkan Djoko,

seorang fotografer wedding amatir. “di

wedding foto kalau tidak pakai olah

digital mana bisa dijual. Semua foto

wedding yang laku dijual selalu pakai

olah digital. Minimal untuk color cor-

rection dan push contrast.”

Hal menarik lain kami temui ketika

kami melihat sebuah foto dari salah

seorang kelompok ini. Kami melihat

foto ketika masih mentah tanpa olahan

sama sekali dan ketika sudah diolah.

Hasilnya jauh berbeda bagaikan bumi

dan langit. Hasil mentahnya menunjuk-

kan foto yang relatif terang walaupun

belum tergolong hi key. Namun foto

yang sama setelah terkena sentuhan

olah digital berubah 180 derajat men-

jadi low key dengan banyak kontras

yang dipaksa hingga kehilangan detail.

Fotografer yang membuatnya pun

merasa bangga akan keahliannya me-

nyulap foto tersebut.

Generasi yang lebih muda nampaknya

memang lebih terbuka terhadap peng-

gunaan olah digital. Lebih jauh lagi,

tidak sedikit yang terjerumus terlalu

dalam sehingga porsi olah digitalnya

jauh lebih berperan dibanding fo-

tografinya. Untuk melihat hal ini secara

lebih seimbang, kami pun berbincang-

bincang dengan beberapa nara sum-

ber yang berkompeten di bidang ini.

Bayu, salah seorang pehobi foto yang

juga bekerja sebagai art director di

sebuah perusahaan grafis berpenda-

pat bahwa harus ada pemisahan antara koridor hobby dan koridor komersil. Jika

foto yang dihasilkan sekedar hobby maka sah-sah saja untuk membuka batasan

penggunaan software olah digital. Namun jika foto yang dihasilkan untuk kep-

erluan komersil seperti wedding, jurnalistik, iklan, dll fotografer yang bersangku-

tan harus cerdik melihat kebutuhan dan tuntutan konsumen. “Di wedding ada

yang suka fotonya diolah habis-habisan tapi ada juga yang nggak suka. Berbeda

dengan di jurnalistik. Pengolahan software olah digital sangat dibatasi karena

yang ingin ditampilkan adalah keaslian dari foto tersebut, jadi kalau sudah masuk

dapur digital mana bisa dijual.” Ungkapnya.

Berbeda lagi dengan Nuki, seorang digital artis yang banyak melakukan proses

olah digital pada foto-foto iklan. Nuki berpendapat bahwa penggunaan olah digi-

tal harus proporsional. “Olah digital itu seperti make up, proporsional aja. Kalau

wanita nggak pakai make up kan terkesan begitu-begitu saja, tapi penggunaan

make up berlebihan dan menor pun juga membuatnya jadi tidak menarik. Foto

juga begitu, kalau olah digitalnya nggak ada sama sekali kadang terasa hambar,

walaupun tidak selalu. Tapi kalau olah digitalnya berlebihan juga nggak menarik.”

Ungkapnya. Untuk itu Nuki memandang perlu kedewasaan fotografer dalam bisa

melakukan porsi olah digital yang sesuai.

“Olah digital itu seperti make up, propor-sional aja. Kalau wanita nggak pakai make up

kan terkesan begitu-begitu saja, tapi peng-gunaan make up berlebihan dan menor pun

juga membuatnya jadi tidak menarik. Foto juga begitu, kalau olah digitalnya nggak ada

sama sekali kadang terasa hambar, walaupun tidak selalu. Tapi kalau olah digitalnya ber-

lebihan juga nggak menarik.”

Page 25: TheLight Photography Magazine #7

48 EDISI VII / 2007

LIPUTANUTAMA

EDISI VII / 2007 49

LIPUTANUTAMA

Pengamat fotografi Subakti juga

berpendapat pernggunaan olah digital

sah-sah saja, terutama jika foto yang

dihasilkan untuk koleksi pribadi. Hanya

saja idealnya porsinya sesuai. “Kalau

berani nyebut fotografer ya banyakin

di fotografinya dong, jangan di pho-

toshopnya.” Tegasnya. Hal in senada

dengan pernyataaan Hary Suwanto,

seorang fotografer wedding yang

menjadi nara sumber kami pada edisi

terdahulu. Hary juga merasa tidak ke-

beratan akan pernggunaan olah digital

yang dominan sejauh sang pembuat

tidak menyebut diri sebagai fotografer.

Hal yang sedikit bertentangan per-

nah diungkapkan oleh Suherry Arno,

seorang print maker yang menjadi

nara sumber kami di edisi sebelumnya.

Suherry menegaskan proses olah digi-

tal layaknya proses kamar gelap jadi

bukan hal yang tabu. Selain itu Suherry

juga berpendapat bahwa kemampuan

untuk menentukan cara mengolah

foto tersebut juga merupakan keahlian

khusus yang sudah pasti melibatkan

cita rasa seni yang baik.

Tapi dari sekian banyak pengamat dan

pelaku fotografi yang kami wawan-

carai, sebagian besar menganggap

penggunaan olah digital harus bijak-

sana. Artinya sesuai keperluan dan

untuk itu dituntut kebesaran hati dari

sang pencipta foto tersebut. Kebesaran

hati untuk bisa mengakui bahwa ada

hal yang seharusnya dicapai melalui

fotografi dan ada hal yang memang

hanya bisa dicapai melalui olah digital.

Bagaimana caranya untuk bisa mem-

bedakan hal tersebut. Di edisi perdana

kami, Irvan Arryawan, seorang fo-

tografer fashion pernah berkata bahwa

jika olah digitalnya baru diketahui

belakangan, artinya motretnya belum

benar. Artinya ketika seorag fotografer

memiliki kemampuan fotografi yang

cukup maka fotografer harus menge-

tahui mana foto yang memang perlu

olah digital mana yang tidak. Dan

prose situ pun harus diketahui di awal,

bukan secara tidak sengaja di tengah-

tengah atau akhir pemotretan.

Yuslino, seorang pehobi foto yang

sudah lebih dari 15 tahun menda-

lami fotografi berpendapat bahwa

“Kalau berani nyebut

fotografer ya banyakin di

fotografinya dong, jangan di photoshopnya.”

Page 26: TheLight Photography Magazine #7

50 EDISI VII / 2007

LIPUTANUTAMA

EDISI VII / 2007 51

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

dapat dimengerti jika seorang pemula melakukan olah digital lebih banyak

dari fotografinya. Namun seiring dengan bertambahnya jam terbang idealnya

fotografer bersangkutan harus berani menantang diri sendiri untuk mulai men-

gurangi porsi olah digital hingga pada titik benar-benar diperlukan saja. Yuslino

mengaku ketika sebuah foto dihasilkan dengan banyak olah digital padahal hal

tersebut bisa dicapai di fotografi artinya fotografer yang bersangkutan harus

lebih memperdalam fotografinya.

Untuk itu Ajie Lubis, seorang fotografer komersil yang juga mengajar mata kuliah

fotografi di berbagai perguruan tinggi selalu menekankan siswanya untuk men-

ganggap tidak ada teknologi olah digital ketika memotret. Hal ini untuk membia-

sakan fotografer yang bersangkutan untuk tidak bergantung dan manja terhadap

software olah digital.

Pada akhirnya, memang tidak ada aturan dan sanksi yang baku terhadap peng-

gunaan software olah digital pada penciptaan sebuah foto. Segala sesuatunya

dikembalikan kepada kita semua sebagai pencipta foto. Ada yang sangat puas

bila bisa menyulap foto jelek jadi bagus, ada yang justru puas ketika bisa meng-

hasilkan foto bagus dengan sentuhan olah digital seminim mungkin.

Bagaimana dengan Anda?

Page 27: TheLight Photography Magazine #7

52 EDISI VII / 2007

DIGITALPROCESS

EDISI VII / 2007 53

DIGITALPROCESS

Setelah pada edisi lalu kita mempelajari tentang teori warna, kali ini kita akan

membahas hal yang masih berhubungan erat dengan teori warna tersebut yaitu

tonal.

Tonal adalah skala ukur sebuah foto dinilai dari bagian gelap terangnya. Seperti

kita ketahui ketika sebuah foto dihasilkan, ia akan menghasilkan gradasi gelap

terang. Distribusi tonal bisa dilihat dari histogram dari suatu foto. Histogram da-

pat kita temui pada kamera digital keluaran terbaru dan juga software pengolah

foto seperti Adobe Photoshop.

Tiga titik poin yang biasanya menjadi tolak ukur koreksi tonal adalah Shadow,

Midtone, Highlight. Banyak sekali pehobi fotografi yang mengenal hal ini namun

tidak banyak yang mengerti benar arti ketiga elemen tersebut terutama shadow

dan highlight.

Highlight sering disalah artikan sebagai titik paling terang dalam sebuah foto.

Sementara Shadow disalah artikan sebagai titik paling gelap dalam sebuah foto.

Di mana letak kesalahannya dalam pengertian di atas? Ya Highlight memang titik

paling terang dalam sebuah foto, tapi dengan syarat titik tersebut masih menyim-

pan detail atau jika dilihat dengan color picker nilai warnanya bukan C: 0%, M:0%,

Y:0%, K:0%. Atau jika dalam skala RGB bukan R:255, G:255, B:255. Sementara

Shadow sebaliknya, adalah titik paling gelap dimana masih menyimpan detail

sehingga bukan 100% black atau pada skala RGB bukan R: 0, G: 0, B: 0.

Sementara Midtone adalah daerah dimana terdapat tingkat ke-terang-an menen-

gah.

Pertanyaannya selanjutnya yang muncul adalah apakah sebuah foto selalu

memiliki distribusi tonal yang lengkap atau merata? Jawabannya tidak selalu.

Ada foto dimana distribusi shadownya dominan, ada yang sebaliknya distribusi

highlightnya yang dominana. Foto dengan distribusi shadow dominan di area

Shadow sering disebut Low Key. Sementara foto dengan distribusi highlight yang

dominan disebut Hi Key.

Terkadang sebuah foto tidak memiliki distribusi highlight atau shadow pada skala

optimal. Untuk menyiasati hal ini sebagian kalangan melakukan koreksi dengan

menggeser titik highlight atau shadow (tergantung mana yang tidak terdapat

distribusi) ke kurva di mana terdapat distribusi tonal. Hasilnya distribusi highlight

dan shadownya terpenuhi walaupun resikonya dengan meregangkan kurva

distribusi tonal ada kemungkinan akan ada titik-titik kosong di tengah gambar.

Hasilnya kontras foto meningkat namun gradasinya kurang halus, atau dalam

bahasa komputer grafis disebut posterize. Fasilitas autolevel yang terdapa pada

software RAW development dan software pengolah foto melakukan hal tersebut.

Artinya ketika kita mengaplikasikan fasilitas autolevel software tersebut meng-

geser distribusi tonalnya sehingga titik shadow dan highlight terpenuhi.

Karena tonal identik dengan gradasi terang gelap sebuah foto yang digambarkan

TONAL, BIT DEPTH & DYNAMIC RANGE

Page 28: TheLight Photography Magazine #7

54 EDISI VII / 2007

DIGITALPROCESS

EDISI VII / 2007 55

DIGITALPROCESS

dengan warna hitam dan putih, banyak

pihak yang merasa tidak perlu mem-

pelajari tonal ketika tidak melakukan

pemotretan hitam putih. Hal ini tidak-

lah tepat karena bahkan foto warna

pun menyimpan distribusi tonal. Jika

kita lihat lebih lanjut, informasi warna

pada foto warna tersimpan pada chan-

nel. Jika mode warna yang digunakan

RGB maka channel yang terlihat Red,

Green & Blue. Jika mode warna yang

digunakan CMYK maka channel yang

terlihat adalah Cyan, Magenta, Yello, &

Black. Ketika kita ingin melakukan kore-

ksi warna, kita bisa melakukan koreksi

pada masing-masing channel yang

diinginkan, tidak harus semuanya. Dan

jika kita lihat informasi yang tersimpan

pada setiap channel, semuanya ditampilkan dalam black & white. Hal ini menun-

jukkan bahwa kemampuan koreksi tonal juga diperlukan ketika kita ingin melaku-

kan koreksi warna. Karena tiap channel tersimpan dalam informasi black & white.

Lebih jauh lagi, jika kita melihat proses pencetakan sebuah foto dengan teknologi

offset, maka sebelum foto tersebut dicetak, dibuatlah plat cetak yang isinya persis

seperti kita lihat pada channelnya. Persis seperti channel, plat cetak juga terbagi

dalam 4 lembar berisi informasi masing-masing Cyan, Magenta, Yellow dan Black.

Dan semuanya tersimpan dalam warna hitam dan putih.

Bit Depth & Dynamic Range

Sering kali sebuah pada sebuah kamera kita menemui keterangan; Dynamic

range: 12 bit. Sebenarnya apa arti Dynamic range? Dynamic range atau dalam

bahasa Indonesianya sering disebut rentang nada adalah banyaknya tingkatan

gradasi yang bisa ditampilkan oleh sebuah peralatan imaging atau foto yang diu-

kur dari highlight higga shadownya di setiap channel warnanya. Artinya semakin

Histogram terdistribusi dominan di midtone hingga highlight. Menunjukkan foto

cenderung hi key

Histogram terdistribusi domi-nan di shadow. Menunjukkan

foto cenderung low key

Histogram tidak full mengisi bidang. Fasilitas auto level secara otomatis akan menggeser slider yang tidak diisi histo-

gram ke posisi yang terdapat histogram.

Histogram hasil auto level. Kurva ter-disitribusi merata namun posterize. ada bagian yang kosong di tengah-tengah.

daerah tidak terisi histogram

Page 29: TheLight Photography Magazine #7

56 EDISI VII / 2007

DIGITALPROCESS

EDISI VII / 2007 57

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

banyak kemampuan menampilkan

warna sebuah alat atau foto, semakin

besar dynamic rangenya. Untuk itu

kamera yag memiliki dynamic range

yang lebih luas tentunya memberika

keleluasaan lebih dalam melakukan

reproduksi warna. Atau bisa dikata-

kan semakin luas dynamic range nya

semakin bagus sebuah kamera. Ini

karena keleluasaan untuk menangkap

warna dari obyek foto aslinya tanpa

terjadi distorsi warna sangat besar. Jika

iklan film jaman dulu pernah berkata

“menangkap warna seindah aslinya”

artinya memang tidak ada warna yang

tidak bisa ditangkap dan direproduksi

dengan benar menjadi sebuah foto

tanpa adanya pergeseran nilai warna.

Namun bukan berarti foto yang memi-

liki dynamic range adalah foto yang

baik. Karena tidak semua foto yang

dynamic rangenya sempit tidak bagus.

Satuan untuk menyatakan dynamic

range tersebut atau yang sering

disebut bit depth adalah bit. Rumus

penghitungannya adalah 2 pangkat n,

di mana n adalah besarnya angka bit

depth. Sehingga 2 bit artinya kemam-

puan menampilkan warnanya adalah 2

pangkat 2 atau = 4.

Beberapa peralatan imaging mencan-

tumkan bit depthnya dalam satuan per

channel, misalnya 8 bit per channel.

Artinya kemampuan menampilkan

warna pada alat itu adalah 256 value

dalam setiap channelnya.

Page 30: TheLight Photography Magazine #7

58 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 59

WEDDINGPHOTOGRAPHY

Beberapa tahun belakangan ini fotografi wedding tumbuh pesat. Kemudahan

menghasilkan gambar sebagai hasil perkembangan teknologi digital pada kam-

era sedikit banyak mempengaruhi perkembangan ini. Sayangnya, masih sangat

banyak pihak yang menganggap kualitas output bisnis fotografi wedding rata-

rata masih belum begitu menggembirakan. Banyak alasan yang muncul, mulai

dari ketatnya persaingan sehingga terjadi perang harga yang bermuara pada

menurunnya kualitas output hingga alasan-alasan klise seperti begitu banyaknya

fotografer yang terjun ke bisnis ini secara prematur. Seakan-akan merasa tidak

cukup dengan alasan-alasan tersebut, pemerhati fotografi wedding pun tidak

jarang mengkambing-hitamkan klien fotografi weding yang notabene adalah

orang awam yang rata-rata tidak melek seni sebagai salah satu alasn lain. Untuk

itu, kali ini kami mendapat kehormatan untuk boleh menghadirkan seorang

fotografer yang selain melakukan pemotrean produk juga cukup banyak melaku-

kan pemotretan wedding. Ia adalah Krisna Satmoko atau yang biasa dipanggil

KRISNA SATMOKO, MATANG DI JALUR OTODIDAK

Page 31: TheLight Photography Magazine #7

60 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 61

WEDDINGPHOTOGRAPHY

Cheese. Cheese memiliki jam terbang

yang cukup tinggi. Dan yang membuat

kami tertarik untuk menghadirkannya

di sini adalah ketertarikannya untuk

menspesialisasikan diri pada candid

wedding di tengah begitu banyaknya

fotografer wedding yang lebih tertarik

pada pre wedding.

Cheese mengenal fotografi dari ayah-

nya. Kebetulan saja ayahnya memiliki

kamera dan banyak buku referensi

foto. “ayah saya punya banyak coffee

table book dengan foto yang bagus-

bagus. Tapi tidak punya buku teknis

fotografi. Akhirnya saya banyak belajar

dari sana. Saya tidak mempelajari

teknis seperti kebanyakan orang tapi

saya biasa melihat-lihat foto yang ba-

gus di buku itu. Setiap ada kesempatan

saya coba mengira-ngira cara pembua-

tan foto tersebut lalu mempraktekan-

nya.” Ungkapnya. “pernah saya lihat

foto rim light yang bagus sekali. Saya

coba cari tahu bagaimana cara mem-

buatnya. Waktu itu saya masih pakai

lampu belajar. Tidak pakai lampu untuk

motret.” Tambahnya.

Cheese tergolong otodidak dalam

“ayah saya punya banyak coffee table book dengan foto yang bagus-bagus. Tapi tidak punya buku teknis fo-tografi. Akhirnya saya banyak bela-jar dari sana. Saya tidak mempelajari teknis seperti ke-banyakan orang tapi saya biasa me-lihat-lihat foto yang bagus di buku itu. Setiap ada kesempatan saya coba mengira-ngira cara pembuatan foto tersebut lalu mempraktekan-nya.”

Page 32: TheLight Photography Magazine #7

62 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 63

WEDDINGPHOTOGRAPHY

mempelajari fotografi “saya dulu

belajar motret waktu masih jamannya

analog. Setiap motret saya selalu bikin

log yang berisi keterangan exposure,

speed dari frame tersebut. Jadi ketika

saya cetak contact print saya bisa

lihat mana yang kurang dan kenapa.”

Ujarnya.

Awal keseriusan Cheese mendalami

fotografi sempat mendapat keraguan

dari keluarganya. Hal ini karena persep-

si fotografer bagi keluarganya adalah

orang yang berkelilng di tempat wisata

menawarkan jasa memotret. Namun

niat Cheese tidak perah surut. Ia pun

terus mendalami fotografi hingga

pada akhirnya ia bisa memeli kamera

dengan uangnya sendiri. Mulai saat itu

keluarganya mulai memperhitungkan

hobby Cheese.

Pada saat duduk di kelas 2 SMP,

Cheese ikut Alain Compost, seorang

fotografer nature & wild life ke dalam

hutan. Selama beberapa bulan Cheese

mempelajari fotografi nature & wild life

dari Alain Compost. Setelah beberapa

bulan ikut Alain Compost, Cheese

“Kerja sih butuh, tapi jangan

sampai diperbu-dak oleh

pekerjaan. Karena ketika

kita diperbudak pekerjaan

maka yang dipertaruhkan

adalah kuali-tas outputnya.

Motret terus-terusan setiap

hari justru akan memuat kita kayak mesin, produktifitas

tinggi tapi hasil-nya mirip-mirip saja. Nggak ada

yang baru dan segar.”

“Saya selalu menempatkan diri sebagai keluarga pengantin, walaupun mereka klien saya. Dengan begitu saya bisa ikut merasakan dan mengabadikan momen-momen menarik yang lebih da-lam, bukan sekedar membuat foto doku-mentasi.”

Page 33: TheLight Photography Magazine #7

64 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 65

WEDDINGPHOTOGRAPHY

kembali ke Bandung dan menyelesaikan sekolahnya

dengan ikut ujian persamaan.

Lulus dari SMA, Cheese mencoba mendaftar ke juru-

san sinematografi IKJ. Setelah melalui proses seleksi,

ia pun diterima. Ketika masih duduk di tingkat awal

kuliahnya, Cheese sudah ditawari salah seorang

dosen yang memiliki gelar master dark room untuk

menjadi asisten dosen. Cheese pun awalnya meno-

lak karena merasa belum mampu menjadi asisten

dosen. Namun dengan bujukan dosennya ia pun

akhirnya menerima tawaran itu. Melalui pertemuan

yang intens itupun akhirnya cheese memutuskan

untuk berhenti kuliah di jurusan sinematografi dan

terjun menjadi fotografer still life. “waktu itu dosan

saya nanya; “kamu mau jadi apa kuliah di sini”. Saya

jawab saya mau jadi director of photography.”

Kenangnya. “lalu dia bilang, menurut saya kamu

ngak cocok jadi director of photography, selain itu

sekarang masanya film Indonesia sedang susah,

jadi lebih baik kamu jadi still life photgrapher. Dan

setelah menimang-nimang, saya pun memutuskan

untuk berhenti dari kuliah saya dan memutuskan

untuk jadi still life photographer.” Tambahnya.

Menjalani hidupnya sebagai fotografer, Cheese

memiliki prinsip yang sedikit bertolak belakang

dengan fotografer pada umumnya. Jika banyak

fotografer yang menginginkan pekerjaan banyak

Cheese malah sebaliknya. “Kerja sih butuh, tapi

“Saya nggak pernah suka memotret yang dibuat. Jadi saya lebih suka menangkap momen daripada membuat momen. Nggak suka banyak mengatur. Karena buat saya momen asli

itu tidak bisa diulang. Jadi suatu saat mereka lihat foto-foto yang saya buat, mereka bisa tertawa, atau menangis. Karena

semuanya asli dan memang itu yang ingin saya tangkap.”

Page 34: TheLight Photography Magazine #7

66 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 67

WEDDINGPHOTOGRAPHY

“Banyak penga-nin yang orang tuanya terlalu banyak men-gatur fotonya harus bagaima-na. Memang sih orang tua yang ikut bayar pernikahan itu, tapi harus diingat bah-wa yang akan membawa foto itu sampai mati adalah pegan-tinnya bukan orang tuanya. Maka dari itu saya lebih banyak menu-ruti kemauan pengantin bukan orang tuanya.”

Page 35: TheLight Photography Magazine #7

68 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 69

WEDDINGPHOTOGRAPHY

jangan sampai diperbudak oleh peker-

jaan. Karena ketika kita diperbudak

pekerjaan maka yang dipertaruhkan

adalah kualitas outputnya. Motret

terus-terusan setiap hari justru akan

memuat kita kayak mesin, produkti-

fitas tinggi tapi hasilnya mirip-mirip

saja. Nggak ada yang baru dan segar.”

Terangnya.

Berbicara mengenai fotografi wed-

ding, Cheese mulai memotret wedding

karena keluarga. “karena ada keluarga

yang nikah jadi saya yang diminta

motret. Kebetulan karena saya bagian

dari keluarga jadi saya tahu lebih

dalam. Misalnya saya tahu betul paman

saya nggak betah pakai belangkon,

nah ekspresi ketidaknyamanan dia me-

makai belangkon itulah yang menarik

buat saya.” Ungkapnya.

Cara ini pula yang ia terapkan ketika

harus memotret upacara pernikahan

kliennya. “Saya selalu menempat-

kan diri sebagai keluarga pengantin,

walaupun mereka klien saya. Dengan

begitu saya bisa ikut merasakan dan

mengabadikan momen-momen me-

narik yang lebih dalam, bukan sekedar

membuat foto dokumentasi.” Jelasnya.

“Saya nggak pernah suka memotret

yang dibuat. Jadi saya lebih suka me-

nangkap momen daripada membuat

momen. Nggak suka banyak mengatur.

Karena buat saya momen asli itu tidak

bisa diulang. Jadi suatu saat mereka

lihat foto-foto yang saya buat, mereka

bisa tertawa, atau menangis. Karena

semuanya asli dan memang itu yang

ingin saya tangkap.” Tambahnya.

Sama seperti kebanyakan fotografer

Page 36: TheLight Photography Magazine #7

70 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 71

WEDDINGPHOTOGRAPHY

Page 37: TheLight Photography Magazine #7

72 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 73

WEDDINGPHOTOGRAPHY

wedding, Cheese pun menemui ban-

yak tantangan di fotografi wedding.

“Banyak penganin yang orang tuanya

terlalu banyak mengatur fotonya

harus bagaimana. Memang sih orang

tua yang ikut bayar pernikahan itu,

tapi harus diingat bahwa yang akan

membawa foto itu sampai mati adalah

pegantinnya bukan orang tuanya.

Maka dari itu saya lebih banyak menu-

ruti kemauan pengantin bukan orang

tuanya.” Jelasnya.

Tantangan lain yang ditemui Cheese

berhubungan dengan kemuda-

han yang dihadrikan oleh kemajuan

teknologi digital. “Digital ini kan enak

sekali. Jepret aja terus nggak akan ada

habisnya, karena kalau memory card

“Digital ini kan enak sekali. Jepret aja terus nggak akan ada habisnya, Akhirnya banyak fotografer yang asal hantam saja, jepret sebanyak-banyaknya kalau perlu pakai con-tinuous shoot yang bisa sampai 5 frame per second. Sayangnya mood dan ekspresinya nggak dperhatikan akhirnya foto yang dihasilkan banyak tapi nggak banyak yang kepakai. Harus diin-gat juga mensortir dan mengolahnya juga repot dan ma-kan waktu. ”

Page 38: TheLight Photography Magazine #7

74 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 75

WEDDINGPHOTOGRAPHY

penuh bisa dipindahin dan dipakai lagi. Akhirnya banyak fotografer yang asal

hantam saja, jepret sebanyak-banyaknya kalau perlu pakai continuous shoot yang

bisa sampai 5 frame per second. Sayangnya mood dan ekspresinya nggak dper-

hatikan akhirnya foto yang dihasilkan banyak tapi nggak banyak yang kepakai.”

Ungkapnya. “Harus diingat juga mensortir dan mengolahnya juga repot dan

makan waktu. Untuk itu saya nggak pernah jepret banyak-banyak. Seperlunya

saja yang penting tepat.” Tambahnya.

Orientasi Cheese pada kualitas rupanya juga terlihat dari bagaimana ia mengolah

fotonya. “banyak fotografer yang sudah punya team design, team album dan lain

sebagainya sehingga proses pengerjaan olah foto, layouting sampai cetak bisa

dilaukan dengan cepat karena dikerjakan beramai-ramai. Tapi saya biasa menger-

jakan sendiri. Karena saya yang motret jadi saya pasti tau betul mood di sana dan

mau dijadikan seperti apa. Menyusun album pun nggak asal pakai template. Tapi

disesuaikan dengan gaun sang pengantin, warna, property, dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan proses digital imagingnya. Kelemahannya memang proses

pengerjaannya lebih lama, tapi lebih personal hasilnya, jadi nggak mirip antar

satu dengan yang lain.” Jelasnya. Untuk itu Cheese hanya membatasi pekerjaan

memotret wedding paling banyak sampai 2 klien per bulannya, itupun harus

berjauhan jaraknya. “Kalau setiap hari motret wedding, kapan ide segarnya mau

keluar. Akhirnya hasilnya mirip-mirip deh.” Tegasnya.

Menyikapi persaingan di kalangan fotografer wedding yang semakin tidak

karuan, Cheese mengharapkan suatu saat ada asosiasi yang bisa menjadi wadah

para fotografer wedding dimana ada regulasi dan etika yang jelas. “Harusnya

ada pembagian mana fotografer yang kelasnya senior, mana yang intermediate,

mana yang beginner. Masing-masing punya harganya sendiri dan tidak boleh

naik atau turun harga seenaknya. Dengan begitu yang junior nggak akan mema-

kan pasar yang senior begitu juga sebaliknya.” Ujarnya.

Page 39: TheLight Photography Magazine #7

76 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 77

WEDDINGPHOTOGRAPHY

Page 40: TheLight Photography Magazine #7

78 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 79

WEDDINGPHOTOGRAPHY

Namun hingga saat ini Cheese merasa

tidak perlu ikut-ikut banting harga

seperti yang banyak dilakukan fo-

tografer wedding lain. “Harga yang

kita tetapkan adalah cara bagaimana

kita menghargai diri kita dan kemam-

puan kita. Kalau kita banting harga

artinya kita nggak menghargai diri

kita. Tapi kalau kita memasang harga

yang terlalu tinggi juga nggak benar,

kesannya kita terlalu sombong men-

empatkan harga diri lebih tinggi dari

sewajarnya.” Ungkapnya. “Sebenarnya

klien baru merasa harga fotografi fee

mahal ketika mereka melihat hasilnya

tidak senilai dengan harganya. Untuk

itu, sesuaikanlah harga dengan kualitas

kita.” Tambahnya.

Berbicara mengenai fotografer ju-

nior, Cheese melihat sesuatu yang

kurang menggembirakan. “Jujur saja,

saya melihat anak sekarang karbitan.

Mungkin karena dengan teknologi

digital memotret jadi jauh lebih mu-

dah. Padahal memotret bagus masih

susah.” Tegasnya. “Tidak heran banyak

fotografer muda yang latah. Mereka

hanya bisa meniru. Apa yang dibuat

“Harga yang kita tetapkan adalah cara bagaimana kita menghargai

diri kita dan ke-mampuan kita.

Kalau kita banting harga artinya kita

nggak menghargai diri kita. Tapi ka-

lau kita memasang harga yang terlalu tinggi juga nggak

benar, kesannya kita terlalu som-

bong menempat-kan harga diri lebih

tinggi dari sewajarnya.”

“Ketika kita meniru fotonya Artli kita

nggak jadi artli, kita hanya jadi peniru-

nya Artli.”

Page 41: TheLight Photography Magazine #7

80 EDISI VII / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 81

WEDDINGPHOTOGRAPHY

fotografer lain yang lebih senior atau yang selevel akan dibuat juga oleh mereka.

Sah-sah saja belajar motret dengan meniru foto orang lain. Tapi usahakan ketika

meniru foto orang lain kita harus kasih sesuatu yang beda yang bagus dan segar.

Kasih warna kita sendiri.” Tambahnya. “Ketika kita meniru fotonya Artli (fotografer

komersil- red.) kita nggak jadi artli, kita hanya jadi penirunya Artli.” Tegasnya.

Cheese merasa seharusnya setiap fotografer yang ingin belajar memotret

memulai dari kamera analog. Karena dengan belajar dari kamera analog setiap

fotografer bisa mengerti betul bagaimana menghasilkan foto yang benar. “Bagi

saya sendiri the real photography adalah analog fotografi itu sendiri. Puasnya

beda.” Ungkapnya.

Selain itu fotografer junior harus paham bahwa fotografer itu lahir melalui jam

terbangnya. Maka dari itu banyak-banyaklah berlatih. Berlatih melihat dunia dari

jendela yang kecil. Perhatikan momennya, jangan hanya teknisnya. “Motret yang

“Motret yang paling benar itu dengan feeling, bukan dengan hitung-hitungan teknis. Maka dari itu kalau memotret jangan hanya pakai mata, tapi juga hati.”

paling benar itu dengan feeling, bukan

dengan hitung-hitungan teknis. Maka

dari itu kalau memotret jangan hanya

pakai mata, tapi juga hati.” Tambahnya.

Kecanggihan teknologi sepertinya

memang cukup mengkhawatirkan

perkembangan kemampuan fotografi

pada fotografer junior setidaknya

bagi Cheese. “Harus diingat fotografer

bagus tidak ditentukan dari kamer-

anya. Justru banyak orang yang punya

kamera otomatis canggih tapi malah

jadi nggak kreatif, karena semuanya

serba ada, jadinya manja dan tidak

mau usaha.” Tegasnya.

Akhirnya Cheese juga berbagi tips

untuk mereka yang ingin mempelajari

fotografi wedding terutama candid

fotografi. “Cara melihat momen, jangan

menganggap diri sebagai fotografer,

tapi sebagai keluarga dari pengantin.

Dengan begitu kita bisa menangkap

momen-momen menarik yang asli, bu-

kan buatan. Selain itu, selalu berusaha

bikin yang beda dan lebih menarik.

Jangan hanya bisa meniru.” Tutupnya.

“Harus diingat fotografer ba-gus tidak di-tentukan dari kameranya. Justru banyak orang yang pu-nya kamera oto-matis canggih tapi malah jadi nggak kreatif, karena semuan-ya serba ada, jadinya manja dan tidak mau usaha.”

Thanks to: 1. KPH Wironegoro & GKR Pembayun

2. Mita & Bradly

Page 42: TheLight Photography Magazine #7

82 EDISI VII / 2007

THEINSPIRATION

EDISI VII / 2007 83

THEINSPIRATION

Dari sekian banyak fotografer yang pernah hadir di majalah ini, beberapa orang

menekankan hal senada dalam hal menjadi fotografer yang baik. Hal tersebut

adalah “peka”. Ya fotografer memang dituntut untuk peka. Peka terhadap hal-hal

menarik yang selalu terlewatkan dari radar kreatifitas kita. Peka terhadap pem-

baruan-pembaruan yang bisa membuat foto kita menjadi memiliki sesuatu yang

menarik tanpa harus menjai super aneh.

Saya mengartikan “peka” yang sering disebut beberapa nara sumber kami

tersebut mirip seperti kreatifitas. Orang yang peka artinya orang yang memiliki

kemampuan untuk menjadi kreatif. Dia bisa melihat hal-hal yang tidak terlihat

menarik dengan kacamata sehari-hari yang kita lihat, namun ketika dengan satu

angle tertentu, dengan satu pencahayaan tertentu, dengan satu tulisan essay

yang menyertai foto tersebut, segalanya jadi indah dan memiliki nilai tambah.

Yang akan saya bicarakan di sini bukanlah betapa pentingnya peka atau menjadi

kreatif, namun bagaimana caranya menjadi peka atau menjadi kreatif? Banyak

orang sangat ingin menjadi kreatif. Kreatif tidak pernah dan tidak akan pernah

menjadi monopoli pihak-pihak tertentu, semua orang bisa dan boleh menjadi

kreatif. Jika boleh dikatakan monopoli,

mungkin kreatif akan menjadi mo-

nopoli orang yang memeng memper-

juangkannya. Nah bagaimana mem-

perjuangkannya?

Beberapa tahun yang lalu saya pernah

membaca sebuah buku yang berisi ten-

tang interview beberapa orang tokoh

periklanan dunia. Ya buku itu memang

buku yang memuat perbincangan dan

pemikiran tentang iklan, tapi lagi-lagi

saya sangat yakin bahwa sama seperti

kreatifitas, buku itupun bukan

monopoli pekerja iklan.

Satu hal yang menarik dan masih saya

ingat dalam buku itu adalah satu per-

tanyaan yang ditanyakan penulis buku

itu ke semua nara sumbernya. Pertan-

yaannya kurang lebih sebagai berikut,

“bagaimana anda menghasilkan ide

untuk iklan-iklan anda? Apa saja yang

anda lakukan untuk menjadi kreatif?”

Nara sumber yang dihadirkan da-

lam buku itu bukanlah nara sumber

kacangan, melainkan tokoh-tokoh

yang bukan sekedar bekerja di indus-

tri periklanan namun bisa dikatakan

yang ikut “mendirikan” dan membuat

MERUMUSKAN FORMULA TO BE CRATIVE

“Saya berlatih menjadi kreatif dengan men-coba meng-gabungkan banyak hal. Menggabung-kan hal yang baru dengan yang lama, hal yang baik den-gan yang jelek, hal yang berla-wanan, hal yang sejalan, dan lain sebagainya. Dengan begitu saya menemukan banyak sekali kombinasi hal-hal baru dari hal-hal yang sudah pernah ada.”

Page 43: TheLight Photography Magazine #7

84 EDISI VII / 2007

THEINSPIRATION

EDISI VII / 2007 85

THEINSPIRATION

periklanan dikenal dunia. Di sana ada

nama-nama seperti David Ogilvy &

Leo Burnett serta nama-nama lainnya

yang pasti dikenal oleh pelaku industri

periklanan dimanapun di dunia ini.

Nara sumber yang pertama menjawab,

dia bercerita bahwa ide adalah sesuatu

hal yang mahal. Ia sering datang tanpa

diundang. Seringkali ketika kita sedang

berada di halte bis, di toilet, sedang

mengantar saudara ke rumah sakit

ide datang. Dan lebih kurang ajarnya

lagi ide yang datang itu benar-benar

brilian. Ya, ide bagus memang tidak

pernah mengenal tempat dan waktu.

Terkadang datang ketika kita baru saja

bersiap untuk tidur sehingga kita tidak

tertarik untuk menggalinya lebih da-

lam lagi. Nara sumber yang pertama ini

berkata, untuk mengatasai hal tersebut

saya selalu membawa sebuah buku

catatan kecil dan alat tulis sekedarnya.

Sehingga kapanpun dimanapun ide

itu datang, saya akan mencatatnya dan

mudah-mudahan suatu saat ketika

saya dihadapkan pada situasi dimana

saya harus mencari ide saya akan

mencoba membuka-buka lembaran

catatan kecil saya sambil berharap ada

ide yang cocok dan bisa dipakai. Yang

menarik adalah, teknik ini diyakininya

bukan sekedar membuat kita untuk

membuat bank ide, tapi juga men-

stimulus kita untuk menjadi lebih peka,

karena kita selalu siap akan ide-ide

yang akan datang.

Nara sumber yang selanjutnya memi-

liki jawaban yang lain. Dia berkata

“Saya berlatih menjadi kreatif dengan

mencoba menggabungkan banyak

hal. Menggabungkan hal yang baru

dengan yang lama, hal yang baik den-

gan yang jelek, hal yang berlawanan,

hal yang sejalan, dan lain sebagainya.

Dengan begitu saya menemukan

banyak sekali kombinasi hal-hal baru

dari hal-hal yang sudah pernah ada.”

Seorang teman saya yang kebetulan

juga membaca buku itu juga mencoba

menegaskan “coba saja kita lihat,

manusia dilahirkan melalui proses

kombinasi dari dua hal yang sudah ada,

dua hal yang bukan hal baru. Tapi yang

penting pada akhirnya dua hal yang

tidak baru lagi itu menghasilkan hal

yang baru.” Bahkan proses penggabun-

gan dua hal yang tidak baru pun bisa

dilakukan dengan berbagai macam

cara sehingga menghasilkan hal yang

berbeda tiap outputnya. Kita bisa me-

mainkan prosentase yang berbeda dari

masing-masing hal yang dikombinasi-

kan tersebut hingga akhirnya hal baru

yang didapat pun berbeda-beda.

Proses mengkombinasikan hal-hal

lama tersebut secara tidak sadar akan

menciptakan ruang di otak kita untuk

menjadi lebih terbuka pada hal yang

baru, atau dengan kata lain menjadi

coba saja kita lihat, manusia dilahirkan mela-lui proses kom-binasi dari dua hal yang sudah ada, dua hal yang bukan hal baru. Tapi yang penting pada akhirnya dua hal yang tidak baru lagi itu menghasilkan hal yang baru.”

Page 44: TheLight Photography Magazine #7

86 EDISI VII / 2007

THEINSPIRATION

EDISI VII / 2007 87

THEINSPIRATION

lebih peka. Bayangkan saja ketika rock digabungkan dengan keroncong, ketika

seni lukis digabungkan dengan fotografi, ketika warna coklat tua yang berkesan

klasik dikombinasikan dengan silver atau gold yang bernuansa modern,

semuanya akan menghasilkan warna baru, rasa baru dan juga pengalaman baru

yang membuka satu sekat lagi di otak kita untuk lebih terbuka sambil berkata “oh,

bisa jadi gini hasilnya.”

Beralih sebentar ke teknik menjadi kreatif yang dilakukan oleh seorang teman

saya. Dia memiliki teknik menjadi kreatif yang juga tidak kalah uniknya. Dia

berkata bahwa manusia menjadi tidak kreatif ketika berusaha menutup diri pada

kemungkinan-kemungkinan baru. Untuk itu dia selalu menjalankan gaya hidup

yang mencoba terbuka terhadap berbagai kemungkinan, terhadap pengalaman-

pengalaman baru. Dia selalu berkata, jika kamu biasa berangkat kerja jam 7 pagi,

coba berangkat jam 6 atau jam 9. Jika kamu biasa berangkat kerja naik kendaraan

umum, coba sesekali menyewa mobil dan menyetir sendiri ke kantor, atau coba

berjalan kaki atau naik sepeda. Jika kamu biasa berpakaian kemeja dan celana ba- han yang rapih ketika kerja, coba men-

genakan jeans dan kaos oblong. Jika

biasanya kamu mendengarkan musik

pop, coba jazz, dangdut, keroncong,

blues, dll. Jika biasanya makan nasi,

coba ganti dengan kentang atau roti,

dan lain sebagainya. Proses mencoba

hal-hal yang baru ini akan menghadir-

kan pengalaman baru buat kita, sudut

pandang yang baru, pola pikir yang

baru dan ini akan melatih otak kita un-

tuk lebih terbuka, lebih peka dan pada

akhirnya lebih kreatif.

Pada akhirnya, dari semua teknik unuk

menjadi kreatif yang diyakini orang,

justru ada satu jawaban dari satu nara

sumber pada buku yang saya ceritakan

di awal yang membuat saya menemu-

kan betul formula untuk menjadi kre-

atif. Ya memang banyak sekali orang

mencoba merumuskan rumus untuk

menjadi kreatif. Tapi jika memang bisa

Bayangkan saja ketika rock digabung-kan dengan keroncong, ketika seni lukis

digabungkan dengan fotografi, ketika warna coklat tua yang berkesan klasik

dikombinasikan dengan silver atau gold yang bernuansa modern,

semuanya akan menghasilkan warna baru, rasa baru dan juga pengalaman

baru yang membuka satu sekat lagi di otak kita untuk lebih terbuka sambil ber-

kata “oh, bisa jadi gini hasilnya.”

Proses mencoba hal-hal yang baru

ini akan menghad-irkan pengalaman

baru buat kita, sudut pandang yang baru, pola

pikir yang baru dan ini akan melatih otak kita untuk

lebih terbuka, lebih peka dan pada akh-

irnya lebih kreatif.Ya memang banyak sekali orang men-coba merumuskan rumus untuk men-jadi kreatif. Tapi jika memang bisa diru-muskan, bukankah semua orang pada akhirnya bisa men-jadi kreatif ketika mengetahui ru-musnya? Dan ke-tika semua orang sam kreatifnya bukan berarti se-mua orang menjadi sama tidak kreatif-nya?

Page 45: TheLight Photography Magazine #7

88 EDISI VII / 2007

THEINSPIRATION

EDISI VII / 2007 89

THEINSPIRATION

dirumuskan, bukankah semua orang

pada akhirnya bisa menjadi kreatif ke-

tika mengetahui rumusnya? Dan ketika

semua orang sama kreatifnya bukan

berarti semua orang menjadi sama

tidak kreatifnya?

Untuk itu saya benar-benar terse-

nyum dan menggeleng-gelengkan

kepala ketika membaca jawaban dari

nara sumber terakhir pada buku itu.

Karena menurut saya orang ini telah

berhasil merumuskan formula un-

tuk menjadi kreatif tanpa membuat

formula tersebut menjadi kadaluarsa.

Ia berkata “to rule to be creative is no

rule.” Yang kurang lebih artinya “aturan

untuk menjadi kreatif adalah tidak ada

aturan.” Artinya ketika kita mencoba

membuat aturan untuk menjadi kreatif,

semua orang akan mengikuti aturan itu

dan semua orang menajdi kreatif juga.

Untuk itu untuk menjadi kreatif adalah

no rule.Sebagian orang berhak untuk men-

gartikan perkataan ini sesuai dengan

teknik menjadi kreatif yang teman saya

utarakan, yaitu mencoba membuang

rutinitas, mencoba hal yang baru, jika

biasanya mendengarkan lagu pop kini

tidak ada aturan yang mengharuskan

kita untuk untuk mendengarkan lagu

pop, untuk itu cobalah dengarkan lagu dengan aliran lain. Tidak harus jazz, tidak

harus dangdut, apa saja seolah-olah tidak ada aturan yang menghadirkan harga

mati.

Ya dengan membatasi diri pada aturan-aturan tertentu mungkin kita telah mem-

batasi diri dari koridor kreatifitas dimana banyak hal dimungkinkan. Bagaimana

dengan hobi dan profesi kita di bidang fotografi? Apakah selama ini kita terlalu

dikekang dengan rumus-rumus yang menyimpan variable harga mati atau kita

sudah memberikan pikiran kita untuk terjun ke dunia kreatifitas yang seolah-olah

tidak memiliki harga mati. Memungkinkan segala kemungkinan terjadi, segala

pengalaman baru untuk hadir dan memperkaya diri sehingga pada akhirnya se-

cara tidak sadar pun diri kita sudah selangkah lebih maju untuk lebih peka, lebih

kreatif.

“to rule to be

creative is no

rule.” dengan mem-

batasi diri pada aturan-aturan

tertentu mung-kin kita telah

membatasi diri dari koridor

kreatifitas dima-na banyak hal

dimungkinkan.

Page 46: TheLight Photography Magazine #7

90 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 91

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Hampir semua pehobi fotografi di Indonesia pernah mendengar nama Oscar

Motuloh. Bagi mereka yang sudah cukup lama berkenalan dengan dunia fotografi

pasti mengetahui benar kharisma yang ditimbulkan dari nama besar dan foto-

foto bernyawa yang selalu ia hasilkan. Sementara bagi mereka yang belum lama

berkenalan dengan fotografi setidaknya pernah mendengar kedigjayaan naman-

ya. Pada edisi ini kami mendapat kehormatan untuk boleh diterima di ruangan

kantornya di sebuah gedung tua di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat untuk

sedikit “mencuri” ilmu dari salah satu maestro fotografi Indonesia ini.

“Saya mungkin bukan contoh yang tepat untuk belajar fotografi karena saya

kenal fotografi agak terlambat.” Ungkapnya membuka pembicaraaan kami. “saya

baru mempelajari fotografi secara teknis sekitar umur 30-an. Waktu itu saya ber-

gabung dengan (kantor berita) Antara sebagai reporter. Pada masa itu beberapa

orang fotografer senior banyak yang

pensiun dalam waktu relatif bersa-

maan. Maka dari itu saya dijebloskan

untuk belajar fotografi.” Tambahnya.

Pengalamannya sebagai reporter

dalam meliput berita dirasa cukup

membantunya memperdalam fo-

tografi. “Fotografer tugasnya mengo-

lah perpustakaan yang ada di kepala

kita menjadi gambar dalam bentuk riil

yang bisa kita lihat. Artinya waktu saya

menulis suatu artikel, ada gambaran di

kepala saya tentang berita itu. Itulah

yang membantu saya dalam memper-

dalam fotografi, karena saya mengerti

pemikiran dibalik penciptaan sebuah

foto.” Tegasnya. “Hal itu sangat mem-

bantu ketika saya harus memotret,

karena saya tahu kurang lebih tulisan-

nya akan seperti apa, jadi gambarnya

bagusnya seperti apa.” Tambahnya.

Berbicara mengenai profesi fotografer

terutama jurnalistik oscar melihat hal

terpenting dalam fotografi jurnalistik

adalah ketika fotografer dituntut untuk

menyingkirkan segala macam hal dan

menyisakan hanya esensi dari foto

tersebut. “Ketika itu dicapai, fotonya

BERGURU DARI ICON FOTOGRAFI JURNALISTIKAN INTERVIEW WITH OSCAR MOTULOH

“Fotografer tugasnya mengolah per-pustakaan yang ada di kepala kita menjadi gambar dalam bentuk riil yang bisa kita lihat. Artinya waktu saya menulis suatu artikel, ada gambaran di kepala saya tentang berita itu. Itulah yang membantu saya dalam mem-perdalam fo-tografi, karena saya mengerti pemikiran diba-lik penciptaan sebuah foto.”

Page 47: TheLight Photography Magazine #7

92 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 93

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

jadi “bunyi”.” Ungkapnya. “Untuk men-

capai hal itu hal paling mendasar yang

harus dilakukan adalah percaya diri.

Karena tanpa percaya diri semua itu

nggak akan bisa tercapai.” Lanjutnya.

Hal ini jadi jauh lebih menarik lagi keti-

ka kepercayaan diri seorang fotografer

jurnalistik harus bertemu dengan

karakter foto jurnalistik yang disebut

Oscar sebagai “bukan pemeran utama”.

“Fotografi jurnalistik adalah fotografi

yang bukan itu intinya. Fotografi

jurnalis tidak pernah jadi hi end karena

intinya adalah sarana menyampaikan

pesan, bukan tujuan.” Tegasnya.

Oscar memandang fotografi jurnalistik

hanya sebagai sarana untuk mengajak

pembaca membaca berita. “Ketika

seseorang membaca Koran, yang

membuat berita jadi menarik dibaca

selain tulisannya adalah fotonya. Dan

memang itu tugas fotografer jurnalis,

yaitu menarik perhatian pembaca un-

tuk membaca lebih jauh lagi. Untuk itu

hal paling penting dalam fotografi jur-

nalistik adalah eye catching. Semakin

foto tersebut eye catching semakin

ia berhasil menjalankan tugasnya.”

Ungkapnya.

Bagaimana caranya agar foto bisa men-

jadi eye catching, Oscar melihat banyak

cara untuk mencapai hal tersebut. “Bisa

dengan pengambilan angle yang unik,

komposisi yang striking, dan permain-

an teknis fotografi lainnya.” Jelasnya.

Untuk itu, bagi pemula yang ingin

terjun di dunia fotografi jurnalistik

Oscar berpesan agar anda menyadari

bahwa pewarta foto adalah wartawan

yang dilengkapi dengan kamera. Pada

akhirnya tugas pewarta foto adalah

menciptakan foto yang bisa menjadi

hal terpenting dalam fotografi

jurnalistik adalah ketika

fotografer dituntut untuk menyingkirkan segala macam

hal dan menyisakan

hanya esensi dari foto

tersebut. “Ketika itu dicapai, fo-tonya jadi “bu-

nyi”.”

“Fotografi jur-nalistik adalah fotografi yang

bukan itu intin-ya. Fotografi jur-

nalis tidak per-nah jadi hi end karena intinya adalah sarana

menyampaikan pesan, bukan

tujuan.”

“Ketika seseorang membaca Koran, yang membuat berita jadi menarik dibaca selain tu-lisannya adalah fotonya. Dan me-mang itu tugas fotografer jurnalis, yaitu menarik per-hatian pembaca untuk membaca lebih jauh lagi. Un-tuk itu hal paling penting dalam fo-tografi jurnalistik adalah eye catching. Semakin foto tersebut eye catching semakin ia berhasil men-jalankan tugasnya.”

Page 48: TheLight Photography Magazine #7

94 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 95

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

hook untuk menarik pembaca membaca lebih jauh lagi. Selain itu Oscar juga

berpesan agar pewarta foto tidak bermimpi menjadi artis atau selebriti. “Harus

diingat tugasnya di balik layar. Bahkan hanya menciptakan hook” Terangnya.

Pembicaraan kami pun berkembang jauh dari sekedar berbicara mengenai

fotografi jurnalistik. Mengingat reputasinya yang cukup baik sebagai kurator foto,

kami pun menggali lebih dalam tentang segala hal mengenai kurator foto.

“Kurator tidak sekedar mengedit foto, tapi bersama pembuatnya menghadirkan

yang tidak ada menjadi ada. Tugas kurator seperti menyusun puzzle, terkadang

harus menjahit, terkadang harus mempermak, intinya membuat foto yang ketika

disusun jadi bisa “bunyi”.” Jelasnya. “Ada pengalaman pribadi dari foto-foto terse-

but, dan pada akhirnya diapresiasi oleh orang lain.” Tambahnya.

Oscar melihat terkadang ide dari pencipta foto dan kuratornya bisa berbeda dan

itu sah-sah saja. “ide bisa berbeda karena pengalamannya berbeda. Yang pent-

ing jangan cuma bisa ikut-ikutan. Banyak orang yang hanya ikut-ikutan, kalau

kuratornya bilang bagus, jadi ikutan bilang bagus dengan segala macam alasan

komposisinya lah, garisnya lah, apalagi

kalau kuratornya terkenal.” Ungkapnya.

Hal ini menunjukkan masih minimnya

apresiasi masyarakat Indonesia terh-

adap fotografi. “Idealnya hasil lomba

selalu dipamerkan untuk menda-

pat feedback, jadi semua orang ikut

belajar untuk menilai dan mengapre-

siasi. Walaupun bisa beragam tapi itu

mencerdaskan.” Ungkapnya.

Edukasi media massa juga berperan

dalam melatih pembaca untuk men-

gapresiasi foto. Selain itu komunitas-

komunitas fotografi juga seharusnya

bertanggung jawab untuk membuat

orang menjadi kritis. “Jujur sama

diri sendiri nggak cuma ikut-ikutan.”

Tegasnya. “Kejujuran kritik adalah hal

yang paling diharapkan oleh semua

pencipta foto tapi memang kritik

dan sirik terkadang perbedaannya

tipis.” Sambungnya sambil tertawa.

Lanjutnya, “untuk itu kita harus selalu

bisa menerima kritik dengan lapang

dada, apalagi jika datangnya dari hati.

Masyarakat awam pun diajak untuk

belajar mengapresiasi.”

Banyak teknik untuk melihat dan men-

“Kurator tidak sekedar mengedit foto, tapi bersama pembuatnya menghadir-kan yang tidak ada menjadi ada. Tugas

kurator seperti menyusun puzzle, terka-dang harus menjahit, terkadang harus

mempermak, intinya membuat foto yang ketika disusun jadi bisa “bunyi”.

Ada pengalaman pribadi dari foto-foto tersebut, dan pada akhirnya diapresiasi

oleh orang lain.”

“ide bisa berbeda karena pengala-mannya berbeda. Yang penting jangan cuma bisa ikut-ikutan. Banyak orang yang hanya ikut-ikutan, kalau kuratornya bilang bagus, jadi ikutan bilang bagus dengan segala macam alasan komposisinya lah, garisnya lah, apalagi kalau kura-tornya terkenal.”

Page 49: TheLight Photography Magazine #7

96 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 97

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

gapresiasikan foto. “dulu ada 8 teknik

melihat Bauhauss. Teknik itu melibat-

kan emosi, rasa dan segala macam

pakem, namun karena segala sesuatu-

nya berkembang akhirnya banyak yang

ditabrak.” Ungkapnya. “Perkembangan

atau perubahan ini harus ditanggapi

positif, walaupun berusaha mendobrak

pakem yang sudah lama diyakini.”

Sambungnya. “Foto yang menarik buat

saya adalah yang simple, kesederha-

naan yang kuat namun menyentuh.”

Ungkapnya.

Dalam mengkuratori foto Oscar selalu

melihat nilai historisnya. “Siapa yang

membuat, mencoba membaca jejak

yang ditinggalkan foto tersebut.”

Selanjutnya Oscar mencoba membaca

semua nilai yang menjadi landasan

subyektif foto tersebut. Dengan begitu

ia bisa menggali “bunyi” dari foto

tersebut.

Pada akhirnya, Oscar juga menyempat-

kan diri untuk menulis sebuah essay

tentang beberapa fotonya sebagai

berikut.

GALANG BLUES

Penderitaan perang yang berkepanjangan ternyata belum cukup bagi sebagian

rakyat Vietnam. Setelah Saigon jatuh ke tangan Hanoi pada penghujung April

1975, perdamaian ternyata tak pernah kunjung datang. Apalagi bagi orang-orang

Vietnam Selatan yang dianggap menjadi pecundang dalam perang ciptaan Amer-

ika Serikat tersebut.

Dalam keputusasaan yang sangat, dan demi secuil harapan, mereka memutuskan

meninggalkan tanah tumpah darah mereka. Sejak itu lautan China Selatan diban-

jiri jutaan manusia perahu. Mereka berlayar dalam kepasrahan, membawa sanak

keluarga, mencoba menjauhkan trauma perang saudara dari memori mereka.

Hari itu, almanak menunjukkan 22 Mei 1975, sebentuk perahu kayu memasuki

perairan Indonesia. Membawa 25 penumpang berbagai usia, dengan wajah kuyu

dan tatapan hampa, mereka berhasil menyentuh pantai Pulau Laut di wilayah

Kep. Riau. Rombongan mereka tercatat sebagai gelombang pertama manusia

perahu pertama yang mendarat di Indonesia.

Dengan singkat rombongan manusia perahu datang mengalir bagai bah, dalam

waktu singkat jumlah mereka telah mencapai 45.000 jiwa, mereka mendarat di

Tanjung Unggat, Air Raja dan Bintan Timur.

Mereka berlayar dengan ”tiket” sekali jalan. Menyerahkan nasib pada takdir dan

membiarkan kemanapun kemudi membawa mereka. Tak dapat ditaksir berapa

puluh ribu jiwa yang melayang dalam pelayaran maut itu. Jika lolospun mereka

terkadang harus berhadapan dengan bajak laut China Selatan yang bengis.

“Kejujuran kritik adalah hal yang paling diharap-kan oleh semua

pencipta foto tapi memang kritik dan sirik

terkadang perbedaannya

tipis.”

“Foto yang me-narik buat saya

adalah yang simple,

kesederhanaan yang kuat

namun menyentuh,”

Page 50: TheLight Photography Magazine #7

98 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 99

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 51: TheLight Photography Magazine #7

100 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 101

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Seperti terbetik dalam sepenggal puisi pengungsi.

Somebody could safely anchor

Though we don’t mention pirates

Oh! My boat was robbed at times

Oh! How cruel the pirate were

Badai manusia perahu melanda dunia. Eksodus penderitaan terbesar dalam

sejarah bangsa-bangsa dunia. Diperkirakan 12 juta warga Vietnam dan Kamboja

(yang juga mengalami krisis politik akut) membanjiri samudra Pasifik dalam rasa

ketakutan yang luar biasa. Lagi-lagi, politik peperangan hanya mencoreng wajah

bumi dan mencemari sejarah peradaban umat manusia dimanapun kekerasan itu

meletup.

Ketika pulau Galang ditetapkan sebagai pusat penampungan sementara oleh

pemerintah Indonesia bekerjasama dengan badan pengungsi PBB (UNHCR), jum-

lah pengungsi Vietnam dan Kamboja telah mencapai 250.000 ribu jiwa. Mereka

bergotong royong membangun sarana ibadah, pelatihan bahasa, ketrampilan,

kuburan, serta lahan-lahan perkebunan dalam skala kecil. Kelompok mudanya

malah sempat menerbitkan koran berbahasa Vietnam bernama ”Tu Do” (ke-

merdekaan) bertiras 500 kopi.

Dalam duapuluh tahun sejak pendaratan pertama, UNHCR berhasil menyalurkan

170.000-249.000 pengungsi pulau Galang ke Negara ketiga. Hingga pendanaan

mereka habis pada 1996, maka pemeritah Indonesia yang mengambil inisiatif

mengembalikan 4,570 pengungsi yang masih bertahan di pulau itu kembali ke

tanah kelahirannya dengan menumpang KRI.

Siang terik itu, sebelas tahun kemudian, seorang perempuan berusia 27-an

berjalan perlahan di antara nisan-nisan dipemakaman Nghia Thrang. Pemakaman

khusus bagi para pengungsi. Dengan

cermat dia mengamati satu persatu

penanda nisan, sebelum berhenti di

dekat undakan ketiga areal kuburan

yang menyerupai bukit itu.

Dia melipat tangannya, membiarkan

kacamata hitam menempel di wajah-

nya untuk menutupi airmata yang

turun di antara ke dua pipinya. Perem-

puan Vietnam itu adalah salah seorang

mantan penghuni kamp pengungsi

Galang yang datang kembali ke pulau

tersebut untuk melakukan ziarah di

makam sang Ibu yang tak lagi sem-

pat menghirup udara bebas di tanah

harapan.

oscar motuloh

pewarta foto

Page 52: TheLight Photography Magazine #7

102 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 103

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 53: TheLight Photography Magazine #7

104 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 105

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 54: TheLight Photography Magazine #7

106 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 107

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 55: TheLight Photography Magazine #7

108 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 109

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 56: TheLight Photography Magazine #7

110 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 111

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 57: TheLight Photography Magazine #7

112 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 113

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 58: TheLight Photography Magazine #7

114 EDISI VII / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI VII / 2007 115

WHERETOFIND

JAKARTATelefikom FotografiUniversitas Prof. Dr. Moestopo (B), Jalan Hang Lekir I, JakPusIndonesia Photographer Organization (IPO)Studio 35, Rumah Samsara, Jl. Bunga Mawar, no. 27, Jakarta Selatan 12410Unit Seni Fotografi IPEBI (USF-IPEBI)Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Menara Sjafrud-din Prawiranegara lantai 4, Jl. MH.Thamrin No.2, JakartaUKM mahasiswa IBII, Fotografi Institut Bisnis Indonesia (FOBI)Kampus STIE-IBII, Jl Yos Sudarso Kav 87, Sunter, Jakarta UtaraPerhimpunan Penggemar Fotografi Garuda Indonesia (PPFGA)PPFGA, Jl. Medan Merdeka Selatan No.13, Gedung Garuda Indonesia Lt.18Komunitas Fotografi Psikologi Atma Jaya, JKTJl. Jendral Sudirman 51, Ja-karta.Sekretariat Bersama Fakultas Psikologi Atma Jaya Ruang G. 100Studio 51Unversitas Atma Jaya, Jl. Jendral Sudirman 51, JakartaPerhimpunan Fotografi Taru-manegaraKampus I UNTAR Blok M Lt. 7 Ruang PFT. Jl. Letjen S. Parman I JakBarPt. Komatsu Indonesia

Jl. Raya Cakung Cilincing Km. 4 Jakarta Utara 14140LFCN (Lembaga Fotografi Candra Naya)Komplek Green Ville -AW / 58-59, Jakarta Barat 11510HSBC Photo ClubMenara Mulia Lt. 22, Jl. Jendral Gatoto Subroto Kav. 9-11, JakSel 12930XL PhotographJl. Mega Kuningan Kav. E4-7 No. 1 JakSelKelompok Pelajar Peminat Fotografi SMU 28Jl. Raya Ragunan (Depan RS Pasar Minggu) JakSelFreePhot (Freeport Jakarta Photography Community)Masterlist Management Export Import Department PT Freport Indonesia Plaza 89 6th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6NothofagusPT Freport Indonesia Plaza 895th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6CybiLensPT Cyberindo Aditama, Manggala Wanabakti IV, 6th floor. Jl. Gatot Subroto, jakarta 10270FSRD TrisaktiFSRD Trisakti, Kampus A. Jl. Kyai Tapa, Grogol. Surat menyurat: jl. Dr. Susilo 2B/ 30, Grogol, JakbarSKRAF (Seputar Kamera Fikom)Universitas SAHID Jl. Prof. Dr. Soe-pomo, SH No. 84, Jak-Sel 12870One Shoot PhotographyFIKOM UPI YAI jl. Diponegoro no. 74,

JakPusLasalle CollegeSahid Office Boutique Unit D-E-F (komp. Hotel Sahid Jaya). Jl. Jend Sudirman Kav. 86, Jakarta 1220Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indo-nesiaJl. Sisingamangaraja, Kebayoran baru, Jak-Sel, 12110LSPR Photography ClubLondon School of Public RelationCampus B (Sudirman Park Office Complex)Jl. KH Mas Mansyur Kav 35Jakarta Pusat 10220FOCUS NUSANTARAJl. KH Hasyim Ashari No. 18, JakartaSUSAN + PROKemang raya No. 15 Lt.3, Jakarta 12730e-StudioWisma Starpage, Salemba Tengah No. 5, JKT 10440VOGUE PHOTO STUDIORuko Sentra Bisnis Blok B16-17, Tanjung Duren raya 1-38Shoot & Printjl. Boulevard Raya Blok FV-1 no. 4, Kelapa Gading Permai, jktQ FotoJl. Balai Pustaka Timur No. 17, Rawamangun, JktDigital Studio CollegeJl. Cideng Barat No. 21 A, Jak-PusDarwis Triadi School of Photography

Page 59: TheLight Photography Magazine #7

116 EDISI VII / 2007

WHERETOFIND

EDISI VII / 2007 117

WHERETOFIND

jl. Patimura No. 2, Kebayoran BarueK-gadgets centreRoxy Square Lt. 1 Blok B2 28-29, JktStyle PhotoJl. Gaya Motor Raya No. 8, Gedung AMDI-B, Sunter JakUt, 14330Neep’s Art InstituteJl. Cideng Barat 12BB, JakartaV3 TechnologyMall ambassador Lt.UG/47. Jl. Prof Dr. Satrio, Kuningan, JakartaCetakfoto.netKemang raya 49D, Jakarta 12730POIsongraphyConocoPhillips d/a Ratu Prabu 2 jl.TB.Simatupang kav 18Jakarta 12560

BEKASILubang MataJl. Pondok Cipta Raya B2/ 28, Bekasi Barat, 17134

BANDUNGPAF BandungKompleks Banceuy Permai Kav A-17, Bandung 40111JepretSekretariat Jepret Lt. Basement Labtek IXB Arsitektur ITB, Jl Ganesha 10, BandungSpektrum (Perkumpulan Unit Fotografi Unpad)jl. Raya Jatinangor Km 21 Sumed-ang, JabarPadupadankan PhotographyJl. Lombok No. 9S BandungStudio intermodelJl. Cihampelas 57 A, Bandung 40116

Lab Teknologi Proses Material ITBJl. Ganesha 10 Labtek VI Lt. dasar, BandungSatyabodhiKampus Universitas PasundanJl. Setiabudi No 190, Bandung

TASIKMALAYAEco Adventure CommunityJl. Margasari No. 34 Rt. 002/ 008, Rajapolah, Tasikmalaya 46155

SEMARANGPRISMA (UNDIP)PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) Joglo Jl. Imam Bardjo SH No. 1 Semarang 50243MATA Semarang Photography ClubFISIP UNDIPJl. Imam Bardjo SH. No.1, SemarangDIGIMAGE STUDIOJl. Setyabui 86A, SemarangJl. Pleburan VIII No.2, Semarang 50243Ady Photo Studiod/a Kanwil Bank BRI Semarang, Jln.Teuku Umar 24 SemarangPandawa7 digital photo studioJl. Wonodri sendang raya No. 1068C, SemarangKloz-ap Photo StudioJl. Kalicari Timur No. 22 Semarang

SOLOHSB (Himpunan Seni Ben-gawan)Jl. Tejomoyo No. 33 Rt. 03/ 011, Solo 57156

Lembaga pendidikan seni dan design visimedia collegeJl. Bhayangkara 72 Solo

YOGYAKARTAAtmajaya Photography clubGedung PUSGIWA kampus 3 UAJY, jl. babarsari no. 007 yogyakarta“UKM MATA” Akademi Seni Rupa dan Desain MSDJalan Taman Siswa 164 Yogyakarta 55151Unif Fotografi UGM (UFO)Gelanggang mahasiswa UGM, Bulak-sumur, YogyaFotografi Jurnalistik ClubKampus 4 FISIP UAJY Jl Babarsari YogyakartaFOTKOM 401gedung Ahmad Yani Lt.1 Kampus FISIPOL UPN “Veteran” yogyakarta. Jl Babasari No.1, Tambakbayan, Yogya-karta, 55281

SURABAYAHimpunan Mahasiswa Pengge-mar Fotografi (HIMMARFI)Jl. Rungkut Harapan K / 4, SurabayaAR TU PICUNIVERSITAS CIPUTRA Waterpark Boulevard, Citra Raya. Surabaya 60219FISIP UNAIRJL. Airlangga 4-6, SurabayaHot Shot Photo StudioPloso Baru 127 A, Surabaya, 60133Toko DigitalAmbengan Plasa B23. jl Ngemplak No. 30 SurabayaSentra Digital

Pusat IT Plasa Marina Lt. 2 Blok A-5. Jl. Margorejo Indah 97-99 SurabayaBW Camera-accessoriesRoyal Plaza 2nd Floor Jl. Ahmad Yani Surabaya

TRAWASVANDA Gardenia Hotel & VillaJl. Raya Trawas, Jawa Timur

MALANGMPC (Malang Photo Club)Jl. Pahlawan Trip No. 25 MalangJUFOC (Jurnalistik Fotografi Club)student Centre Lt. 2 Universitas Muhammadiyah Malang. Jl. Raya Tlogomas No. 246 malang, 65144UKM KOMPENI (Komunitas Mahasiswa Pecinta Seni)kampus STIKI (Sekolah Tinggi Informatika Indonesia) Malang, Jl. Raya Tidar 100

JEMBERUFO (United Fotografer Club)Perum Mastrip Y-8 Jember, Jawa TimurUniveritas Jember (UKPKM Tegalboto)Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa Universitas Jemberjl. Kalimantan 1 no 35 komlek ged. PKM Universitas Jember 68121

MEDANMedan Photo ClubJl. Dolok Sanggul Ujung No. 4 Samping Kolam Paradiso Medan, Sumatra Utara 20213

BATAMBatam Photo ClubPerumahan Muka kuning indah Blok C-3, Batam 29435

PEKANBARUCCC (Caltex Camera Club)PT. Chevron Pasific Indonesia, SCM-Planning, Main Office 229, Rumbai, Pekanbaru 28271

LAMPUNGMalahayati Photography ClubJl. Pramuka No. 27, Kemiling, Ban-dar Lampung, 35153. Lampung-Indonesia. Telp. (0721) 271114

BALIKPAPANFOBIAIndah Foto Studio Komplek Ruko Bandar Klandasan Blok A1, Balikpa-pan 76112

KALTIMBadak Photographer Club (BPC)ICS Department, System Support Section, PT BADAK NGL, Bontang, Kaltim, 75324KPC Click Club/PT Kaltim Prima CoalSupply Department (M7 Buliding), PT Kaltim Prima Coal, Sangatta

SAMARINDAMANGGIS-55 STUDIO (Samarinda Photographers Community)Jl. Manggis No. 55 Voorfo, Sa-marinda Kaltim

SOROWAKOSorowako Photographers SocietyGeneral Facilities & Serv. Dept - DP. 27, (Town Maintenance) - Jl. Sumantri Brojonegoro, SOROWAKO 91984 - LUWU TIMUR, SULAWESI SELATAN

GORONTALOMasyarakat Fotografi GorontaloGraha Permai Blok B-18, Jl. Rambu-tan, Huangobotu, Dungingi, Kota Gorontalo

AMBONPerforma (Perkumpulan Fo-tografer Maluku)jl. A.M. Sangadji No. 57 Ambon. (Depan Kantor Gapensi kota Ambon/ Vivi Salon)

ONLINE PICK UP POINTS:www.estudio.co.idhttp://charly.silaban.net/