TESIS PROGRAM KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) DAN …
Transcript of TESIS PROGRAM KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) DAN …
i
TESIS
PROGRAM KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) DAN KINERJA TINGKAT KEMISKINAN DI WILAYAH SULAWESI DAN
WILAYAH KALIMANTAN
THE JOINT BUSINESS GROUP PROGRAM (KUBE) AND POVERTY LEVEL PERFORMANCE IN SULAWESI AND
KALIMANTAN REGIONS
Disusun dan diajukan oleh
TAMSIL JAYADI P0700215001
EKONOMI PEMBANGUNAN DAN PERENCANAAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
i
TESIS
PROGRAM KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) DAN KINERJA TINGKAT KEMISKINAN DI WILAYAH SULAWESI DAN
WILAYAH KALIMANTAN
THE JOINT BUSINESS GROUP PROGRAM (KUBE) AND POVERTY
LEVEL PERFORMANCE IN SULAWESI AND KALIMANTAN REGIONS
Disusun dan diajukan oleh
TAMSIL JAYADI
P0700215001
Kepada
EKONOMI PEMBANGUNAN DAN PERENCANAAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL .…………………………………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN …..………………………………………………. ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ……………………. iii
PRAKATA …..………………………………………………………………….. iv
ABSTRAK …………………………………………..…………………………. vi
ABSTRACT …………………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI ..........……………………………………………………….…. viii
DAFTAR TABEL, GRAFIK DAN GAMBAR ……………………………… x
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….. xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 11
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 12
1.5 Sistematika Penulisan ............................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis dan Konsep …………………….………………….. 15
2.2 Tinjauan Empiris …………..…………........................................... 49
2.3 Hubungan Antar Variabel ……………........................................... 61
ix
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran ................................................................... 66
3.2 Hipotesis ................................................................................ ....... 67
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian ................................................................. 69
4.2 Populasi, Sample dan Teknik Pengambilan Sample ……………….. 69
4.3 Lokasi Penelitian …………………………………………………………. 69
4.4 Sumber Data ……....................................................................... 69
4.5 Metode Analisis Data ……........................................................... 70
4.6 Definisi Operasional dan Variabel .……………………………………. 72
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Deskripsi Data ………………………………………………………....... 74
5.2 Hasil Analisis Statistik ………………………………………………….. 85
5.3 Pembahasan Analisis Statistik ………………………………………… 88
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ……………………………………………………………… 95
6.2 Saran …………………………………………………………………….. 96
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 97
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………………………. 103
x
DAFTAR TABEL, GRAFIK DAN GAMBAR
Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Miskin Berdasarkan Indeks Kedalaman (P1) ……… 5
Tabel 1.2 Daftar Penerima Bantuan KUBE Pulau Kalimantan dan Sulawesi …… 8
Grafik 5.1 Modal Awal Kelompok KUBE Pulau Kalimantan dan Sulawesi ………. 75
Grafik 5.2 Anggaran KUBE Setelah Mendapatkan Bantuan ……………………… 76
Grafik 5.3 Pengalaman Dalam Kelompok KUBE ………………………………….. 77
Grafik 5.4 Data Lama Sekolah Anggota Kelompok KUBE ……………………….. 78
Grafik 5.5 Data Fasilitasi Anggota Kelompook KUBE …………………………….. 79
Grafik 5.6 Pendapatan Anggota KUBE Sebelum Mendapatkan Bantuan ………. 80
Grafik 5.7 Pendapatan Anggota KUBE Setelah Mendapatkan Bantuan ………... 81
Grafik 5.8 Indeks Kedalaman (P1) Kemiskinan Kalimantan dan Sulawesi …….. 82
Tabel 5.1 Hasil Analisis olah Data …………………………………………………... 86
Gambar 5.1 Kerangka Hasil Penelitian ……………………………………………... 86
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Kelompok KUBE Setelah Mendapatkan Bantuan …………….. 103
Lampiran 2 Daftar Kelompok KUBE Sebelum Mendapatkan Bantuan …………… 104
Lampiran 3 Rata-Rata Pengalaman Anggota KUBE …........................................ 105
Lampiran 4 Rata-Rata Lama Sekolah Anggota KUBE ……………………………. 106
Lampiran 5 Jumlah Fasilitasi Anggota Kelompok KUBE ………………………….. 107
Lampiran 6 Pendapatan Sebelum Mendapatkan Bantuan Anggaran ………… 108
Lampiran 7 Pendapatan Setelah Mendapatkan Bantuan Anggaran ………… 109
Lampiran 8 Indeks Kedalaman Kemiskinan ………………………………………… 110
Lampiran 9 Data Logaritma Natural (LN) ………………………………………… 111
Lampiran 10 Data Base Pendapatan KUBE Sebelum dan Sesudah Anggaran .. 113
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan merupakan mimpi buruk yang sangat menakutkan bagi penduduk
dunia dan merupakan isu global disetiap Negara berkembang maupun sedang
berkembang. Bumi ini sebenarnya menyediakan makanan yang cukup banyak bagi
manusia. Masalahnya adalah orang-orang yang kelaparan umumnya terjebak pada
kemiskinan. Mereka kekurangan uang untuk membeli kebutuhan hidup mereka.
Karena kekurangan, umumnya mereka akan sakit dan semakin lemah. Hal ini
mengakibatkan mereka semakin tidak mampu bekerja dan menjadi semakin miskin
dan kelaparan. Ini seperti lingkaran setan kemiskinan yang tidak ada habisnya
hingga orang tersebut dan keluarganya pada akhirnya meninggal dunia.
Dalam Uni Sosial Demokrat (2017) PBB, mengeluarkan data sekitar 25.000
orang di seluruh dunia meninggal setiap hari karena kelaparan atau penyebab-
penyebab lain yang berhubungan dengan kelaparan. Dengan kata lain, setiap 5
detik satu orang meninggal dunia dan mayoritas yang meninggal adalah anak-anak.
Kemiskinan merupakan suatu kondisi di mana seseorang tidak memiliki cukup
sumber daya dan pendapatan. Kekurangan kebutuhan dasar manusia seperti
makanan bergizi, pakaian, rumah, air bersih, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan
kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang
mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan sebagai
warga negara. Orang-orang termiskin di dunia rata-rata hidup di kawasan yang
sedang berkembang seperti Afrika, Asia, Eropa Timur, dan Amerika Latin.
2
Sedangkan di kawasan yang cukup sejahtera seperti Amerika Serikat, Kanada,
Jepang, dan Eropa Barat, fenomena yang terjadi berupa kekurangan nutrisi,
penyakit mental, ketergantungan terhadap obat-obatan, dan penyakit tingkat tinggi.
Tidak ada Negara yang bisa berkembang apabila kebanyakan di antaranya
miskin dan tidak bahagia ini diperkuat dengan Teori Adam Smith dalam Bukunya ”An
Inquiry into the Wealth of Nationns”. Todaro (2000) pun menganggap bahwa
kemiskinan dan kesenjangan merupakan permasalahan utama dalam
pembangunan. Oleh sebab itu Juan Somavia menyatakan bahwa persoalan yang
menjadi agenda prioritas di abad 21 adalah bagaimana mengurangi kemiskinan.
Sekjen PBB Kofi Anand, membuat komitmen untuk memerangi kemiskinan di
dunia yang dikenal dengan “Global Call to Action Against Poverty”. Di Milenium
kedua PBB mempelopori pertemuan tingkat tinggi yang menghasilkan “Tujuan
Pembangunan Milenium (TPM)” atau dikenal dengan “Millenium Development
Goals” (MDGs).
Indikator lain yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan, yaitu indeks
kedalaman kemiskinan (poverty gap index) atau P1 dan indeks keparahan
kemiskinan (distributionally sensitive index) atau P2 yang dirumuskan oleh Foster-
Greer-Thorbecke (Tambunan, 2001). Metode penghitungan ini merupakan dasar
penghitungan persentase penduduk miskin untuk seluruh kabupaten/kota.
Berbagai program kemiskinan dengan strategi beragam telah dilaksanakan
dalam upaya menurunkan angka kemiskinan di Indonesia, namun fenomena
kemiskinan masih menjadi issue global di Indonesia. Menurut laporan Human
Development Report tahun 2014, jumlah penduduk miskin terbesar di Asia Tenggra
3
adalah Indonesia, yaitu sebesar 28,28 juta orang. Dari data Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Index/HDI), Indonesia menempati urutan 111, urutan
lebih rendah dibandingkan 4 Negara di Asia Tenggara lainnya seperti Singapura
(11), Brunei (31), Malaysia (62), Thailand (93), dan Filipina (115).
Seperti dirilis Berita Resmi Statistik BPS No.06/01/Th.XVIII, tanggal 2 Januari
2015 dalam portal www.bps.go.id., yang bertajuk Profil Kemiskinan Di Indonesia
September 2014, menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin September 2014
mencapai 27,73 juta orang atau 10,96 persen dan berkurang sebesar 0,55 juta
orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2014 yang sebesar 28,28
juta orang (11,25 persen), dan berkurang sebesar 0,87 juta orang dibandingkan
dengan penduduk miskin pada September 2013 yang sebesar 28,60 juta orang
(11,46 persen).
Penurunan ini terjadi sebelum pemerintah mengumumkan kenaikan harga
BBM pada Nopember 2014. Selama periode Maret 2014 – September 2014, jumlah
penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 0,15 juta orang ( dari 10,51
juta orang pada Maret 2014 menjadi 10,36 juta orang pada September 2014.
Sementara di daerah pedesaan turun sebanyak 0,40 juta orang (dari 17,77 juta
orang pada Maret 2014 menjadi 17,37 juta orang pada September 2014.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2014 sebesar
8,34 persen, turun menjadi 8,16 persen pada September 2014. Sementara
persentase penduduk miskin di daerah perdesaan turun dari 14,17 persen pada
Maret 2014, menjadi 13,76 persen pada Sepetember 2014.
4
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas (2015)
menyatakan sejumlah indikator kesejahteraan yang dicanangkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara pada Perubahan Tahun 2015 memang mengalami
perlambatan hingga periode menjelang tutup tahun ini. Ini disebabkan beberapa
perubahan dalam instrumen fiskal di APBN-P 2015, ditambah dengan tekanan
eksternal yang terus membayangi sepanjang tahun, cukup menyulitkan upaya
percepatan untuk mencapai target-target kesejahteraan. Namun demikian, program-
program penurunan angka kemiskinan, tingkat ketimpangan dan pengangguran
yang dijalankan pemerintah saat ini sudah sesuai jalur (on the track). Meskipun
dampaknya secara keseluruhan akan terasa pada jangka menengah dan panjang.
Penurunan target pendapatan negara pada APBN-P 2015 menjadi Rp 1.716,6
triliun dari Rp 1.793,6 triliun, cukup menjadi kendala untuk mengoptimalkan
program-program pemerintah. Berdasarkan APBN-P 2015, target penurunan
pendapatan dari APBN 2015 itu juga sejalan dengan perubahan asumsi makro,
yakni penurunan asumsi pertumbuhan ekonomi dari 5,8 menjadi 5,7 persen.
Sementara target kesejahteraan dalam APBN-P 2015 juga sudah mengalami
deviasi. Tingkat kemiskinan dari 9-10 persen disesuaikan menjadi 10,3 persen,
tingkat pengangguran dari 5,5-5,7 persen menjadi 5,6 persen, rasio gini 0,4 dan
Indeks Pembangunan Manusia 69,4.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015), tingkat kemiskinan hingga
Maret 2015 sebesar 11,22 atau sebanyak 28,59 juta orang termasuk dalam kategori
miskin. Sementara untuk Gini Rasio pada Maret 2015 tercatat sebesar 0,41. Untuk
jumlah pengangguran, per Agustus 2016, sebesar 7,56 juta orang atau 6,18 persen.
5
Berikut jumlah penduduk miskin yang ada di daerah Sulawesi dan Kalimantan
Berdasarkan data BPS Tahun 2017 yaitu dapat dilihat dari Tabel di bawah ini :
Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Miskin Berdasarkan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di
Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan
PROVINSI
DATA BADAN PUSAT STISTIK
INDEKS KEDALAMAN KEMISKINAN (P1) PROVINSI DALAM PERSEN
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan Tahunan
KALIMANTAN BARAT 1.18 1.24 1.24 1.3 1.26 1.09
KALIMANTAN TENGAH 1.02 0.99 1.08 1.02 0.97 1.02
KALIMANTAN SELATAN 0.69 0.81 0.76 0.61 0.65 0.98
KALIMANTAN TIMUR 1.27 0.92 0.99 1.25 0.79 0.69
SULAWESI UTARA 1.14 1.1 2.82 1.16 1.28 1.54
SULAWESI TENGAH 3.09 2.76 1.68 2.28 2.11 2.37
SULAWESI SELATAN 1.91 1.65 1.92 1.65 1.41 1.58
SULAWESI TENGGARA 3.18 2.61 3.21 1.83 2.09 2.05
GORONTALO 4.14 3.72 1.74 3.22 3.13 3.08
SULAWESI BARAT 1.55 2.32 4.38 1.3 1.94 1.54
Sumber : Badan Pusat Statistik (2017)
Isu utama tentang pemberdayaan dalam pembangunan Chambers (1983)
menyampaikan perangkap deprivasi (concept of deprivation trap) yang menganalisis
penyebab kemiskinan sebagai kompleksitas serta hubungan sebab akibat yang
saling berkaitan dari ketidakberdayaan (power lessness), kerapuhan (vernerability),
kelemahan fisik (phisycal weaknes), kemiskinan (poverty) dan keteransingan
(isolation). Ada keterkaitan antara ketidakberdayaan dan dimensi perangkap yang
lain. Ketidakberdayaan membatasi akses terhadap sumber daya negara,
memperumit keadilan hukum bagi penyelewengan (abuses), menyebabkan
hilangnya kekuatan tawar menawar (bargaining power), membuat masyarakat
6
semakin rapuh berhadapan dengan kekuasaan lain. Sehingga situasi
ketidakberdayaan ini dapat diatasi dengan enabling and empowering the poor, yang
merupakan upaya penting Karena kemiskinan bukan merupakan kondisi ilmiah
semata-mata melainkan suatu proses peningkatan pemberdayaan secara sosial,
ekonomi dan politis.
Dari segi sosial, ekonomi maupun politis dari segi penanganan pemerintah
terkait dengan pemberdayaan masyarakat, banyak program atau proyek pemerintah
yang sudah dilakukan untuk mendorong pembangunan perekonomian masyarakat.
Program tersebut dilakukan oleh masing-masing Kementerian dan Lembaga.
Misalnya Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Sosial, Kementeriaan
Pendidikan Nasional, Kementeriaan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri,
Kementeriaan Kesehatan dan lain-lain. Jenis program yang sudah dilaksanakan
misalnya : Program Kompensasi Bantuan Langsung Tunai, Bantuan Non Tunai
Beras untuk Rakyat Miskin (RASKIN), Asuransi Kesehatan Orang Miskin
(ASKESKIN), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Keluarga Miskin-Inpres
Delta (BKM IDT), Jaring Pengaman Sosial (JPS), PEMP, LUEB P2PK dan lain-lain.
Fokus utama dalam Tesis ini yaitu Program Kelompok Usaha Bersama
(KUBE) dan Kinerja Tingkat Kemiskinan di Wilayah Sulawesi dan Kalimantan dalam
hal ini penanganan kemiskinan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia
dilaksanakan melalui Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM-KUBE).
Implementasinya sejak tahun 1983 dikembangkan program KUBE hingga kini masih
menjadi ikon Kementerian Sosial Republik Indonesia. KUBE adalah kelompok usaha
binaan Kementerian Sosial RI yang dibentuk dari beberapa keluarga binaan untuk
7
melaksanakan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Usaha Kesejahteraan Sosial
(UKS) dalam rangka kemandirian usaha, meningkatkan kesejahteraan sosial
anggota memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya.
Penanganan kemiskinan melalui KUBE yang dikembangkan Kementerian
Sosial sejak tahun 1983, telah menghasilkan ribuan KUBE, sampai saat ini belum
pernah dilakukan evaluasi pelaksanaan P2FM-KUBE. Menurut catatan rekapitulasi
pada Direktorat Pemberdayaan Sosial jumlah KUBE dari tahun 2010-2015 mencapai
36.799 KUBE atau mencapai 367.078 KK dengan sasaran sekitar 1.003.420 jiwa
merata di 33 provinsi sedang dengan anggaran DEKON, tahun 2015 mencapai
95.564 KUBE atau 955.646 KK. Artinya sasaran P2FM-KUBE pada tahun 2015
mencapai 132.363 KUBE di 22 provinsi.
Upaya pemerintah dalam mempercepat penanggulangan kemiskinan dan
penciptaan lapangan kerja antara lain melalui program Kelompok Usaha Bersama
(KUBE). KUBE adalah kelompok warga atau keluarga binaan sosial yang dibentuk
oleh warga atau keluarga binaan sosial yang telah dibina melalui proses kegiatan
Program Kesejahteraan Sosial untuk melaksanakan kegiatan kesejahteraan sosial
dan usaha ekonomi dalam semangat kebersamaan sebagai sarana untuk
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. KUBE merupakan metode pendekatan
yang terintegrasi dan keseluruhan proses Program Kesejahteraan Sosial dalam
rangka Memantapkan Program Menghapus Kemiskinan (MPMK). Melalui
pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama
masyarakat miskin dapat ditumbuh kembangkan sehingga mereka bukan sebagai
obyek namun subyek dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Selanjutnya pada
8
konteks ini diperlukan suatu pemerintahan yang lebih menekankan dan memberikan
perhatian penuh pada aspirasi masyarakat. Selain itu juga pemenuhan hak dasar
masyarakat (Civil Society Service ) serta berupaya untuk menggerakkan roda
perekonomian daerah. Yakni dengan tetap memperhatikan setiap potensi dan hasil
– hasil produksi daerah yang memiliki keunggulan kompetitif ( Competitive
Adventive ), serta memiliki nilai jual yang tinggi ditengah persaingan yang semakin
kompetitif.
Tabel 1.2 Daftar Penerima Bantuan KUBE Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi
PROVINSI
DATA KELOMPOK KUBE / TAHUN
PULAU SULAWESI DAN KALIMANTAN
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Kalimantan Barat 1,815 2,136 2,513 2,957 3,479 4,094
Kalimantan Tengah 1,241 1,461 1,719 2,023 2,380 2,800
Kalimantan Selatan 1,638 1,928 2,269 2,670 3,142 3,697
Kalimantan Timur 1,523 1,792 2,109 2,482 2,921 3,437
Sulawesi Barat 1,320 1,554 1,829 2,152 2,532 2,979
Sulawesi Utara 2,601 3,060 3,600 4,236 5,016 5,902
Gorontalo 3,994 4,699 4,845 5,689 6,694 7,876
Sulawesi Tengah 1,907 2,244 2,640 3,106 3,655 4,300
Sulawesi Selatan 3,091 3,637 4,279 5,035 5,924 6,970
Sulawesi Tenggara 2,814 3,311 3,896 4,584 5,393 6,345
Salah satu program, Pemberdayaan Fakir Miskin adalah memberikan bantuan
UEP terhadap KUBE. KUBE adalah kelompok usaha binaan Kementerian Sosial
yang dibentuk dari beberapa keluarga Binaan Sosial (KBS) untuk melaksanakan
kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS)
dalam rangka kemandirian usaha meningkatkan kesejahteraan sosial anggotanya
dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya.
9
Tujuan KUBE adalah mempercepat penghapusan kemiskinan, melalui: (1)
Peningkatan kemampuan berusaha para anggota KUBE secara bersama dalam
kelompok; (2) Peningkatan pendapatan; (3) Pengembangan usaha; (4) Peningkatan
kepedulian dan kesetiakawanan sosial diantara para anggota KUBE dan dengan
masyarakat sekitar. Bentuk kegiatan KUBE adalah pelatihan keterampilan berusaha,
pemberian bantuan stimulant sebagai modal kerja atau berusaha dan
pendampingan.
Kajian tentang KUBE dalam penanganan kemiskinan menurut hasil penelitian
Mujiyadi dkk. Menguraikan bahwa dalam aspek konteks: Pedoman bagi
pelaksanaan program, pendamping dan warga binaan kurang mudah dipahami
sehingga pencapaian hasil KUBE belum optimal. Aspek input: Sebagian KUBE
dalam kondisi tidak produktif dan prospektif. Pelatihan pendamping sosial belum
mampu memberikan pengetahuan dalam pendampingan sosial sehingga
pelaksanaan pendampingan menghadapi kendala. Aspek proses: Seleksi KUBE
belum sesuai dengan pedoman, pengelolaan KUBE bervariasi, administrasi kegiatan
yang terdiri dari 10 buku dirasakan memberatkan, beberapa tahapan dalam proses
kegiatan KUBE belum dilaksanakan sesuai tujuan.
Pendapat serupa juga dikemukakan dalam hasil penelitian Suradi dkk. Pada
sisi konteks, panduan pelaksanaan tidak mudah (dipahami) dilaksanakan.
Disamping itu, (masih adanya ego sektoral internal Kementerian Sosial dan
eksternal (instansi sosial di daerah: provinsi, kab/kota) yang menyebabkan
penyelenggaraan program belum optimal. Faktor lain adanya intervensi (pemuka
formal masyarakat-kades) dalam penyelenggaraan program khusus pembentukan
10
KUBE, penentuan pendamping, dan pemilihan jenis bantuan. Dari sisi input,
sebagian besar KUBE tidak memenuhi kualifikasi karena penerima bantuan
pengembangan sudah tidak memiliki aset dari usaha sebelumnya, atau sudah tidak
produktif dari aspek pelatihan pendamping dirasakan belum memadai dengan
kebutuhan, belum memberikan pengetahuan dan keterampilan sosial dalam
pendampingan. Dari sisi proses, seleksi KUBE dan pendamping belum tepat, tidak
adanya dan kurangnya pengalaman kerja dalam mengelola kelompok KUBE,
proposal tidak sesuai potensi lokal, dan kurangnya sosialisasi program. Monev
program belum dilaksanakan dengan baik, dan tidak ada kejelasan bagaimana
tindak lanjut program. Dari sisi produk, aset maupun modal usaha anggota KUBE
belum bertambah, demikian juga iuran kesetiakawanan sosial belum dilaksanakan.
Tidak berbeda jauh hasil penelitian Irmayani dkk. Juga mengungkapkan bahwa
langkah-langkah dalam proses pemberdayaan keluarga melalui KUBE (belum)
dilaksanakan oleh tenaga pelaksana (khususnya) di lapangan, hal tersebut
menyebabkan KUBE gagal.
Mencermati hasil kajian diatas, dapatlah diasumsikan bahwa penelitian dan
kajian tentang penanganan kemiskinan melalui KUBE masih fokus pada input dan
proses pelaksanaan KUBE. Sedangkan analisa dampak KUBE yang mereduksi
kemiskinan terhadap anggota dan masyarakat belum pernah dilakukan. Oleh karena
itu untuk mengetahui pencapaian tujuan KUBE dalam mereduksi kemiskinan maka
peneliti tertarik mengambil judul penelitian : “Program Kelompok Usaha Bersama
(KUBE) dan Kinerja Tingkat Kemiskinan di Wilayah Sulawesi dan Wilayah
Kalimantan”.
11
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah alokasi anggaran KUBE berpengaruh terhadap pengurangan
tingkat kemiskinan provinsi di Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan, baik
secara langsung maupun secara tidak langsung melalui peningkatan
pendapatan terhadap kelompok KUBE ?
2. Apakah lama pengalaman anggota kelompok KUBE berpengaruh terhadap
pengurangan tingkat kemiskinan provinsi di Pulau Sulawesi dan Pulau
Kalimantan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui
peningkatan pendapatan terhadap kelompok KUBE ?
3. Apakah lama sekolah anggota kelompok KUBE berpengaruh terhadap
pengurangan tingkat kemiskinan provinsi di Pulau Sulawesi dan Pulau
Kalimantan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui
peningkatan pendapatan terhadap kelompok KUBE ?
4. Apakah intensitasitas fasilitasi anggota kelompok KUBE berpengaruh
terhadap Pengurangan tingkat kemiskinan provinsi di Pulau Sulawesi dan
Pulau Kalimantan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung
melalui peningkatan pendapatan terhadap kelompok KUBE ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini diharapkan dapat menjawab 4 pertanyaan rumusan
masalah yaitu ;
1. Untuk mengetahui apakah besarnya alokasi anggaran KUBE berpengaruh
terhadap pengurangan tingkat kemiskinan provinsi di Pulau Sulawesi dan
12
Pulau Kalimantan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung
melaui peningkatan pendapatan terhadap kelompok KUBE.
2. Untuk mengetahui apakah lama pengalaman anggota kelompok KUBE
berpengaruh terhadap pengurangan tingkat kemiskinan provinsi di Pulau
Sulawesi dan Pulau Kalimantan, baik secara langsung maupun secara
tidak langsung melalui peningkatan pendapatan terhadap kelompok KUBE.
3. Untuk mengetahui apakah lama sekolah anggota kelompok KUBE
berpengaruh terhadap pengurangan tingkat kemiskinan provinsi di Pulau
Sulawesi dan Pulau Kalimantan, baik secara langsung maupun secara
tidak langsung melalui peningkatan pendapatan terhadap kelompok KUBE.
4. Untuk mengetahui apakah intensitasitas fasilitasi anggota kelompok KUBE
berpengaruh terhadap Pengurangan tingkat kemiskinan provinsi di Pulau
Sulawesi dan Pulau Kalimantan, baik secara langsung maupun secara
tidak langsung melalui peningkatan pendapatan terhadap kelompok KUBE.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bahan perencanaan pembinaan KUBE bagi pemerintah daerah khususnya
lokasi penelitian di wilayah provinsi Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan.
2. Bahan masukan bagi pemerintah khususnya Kementerian Sosial dan Dinas
sosial provinsi/kota/kabupaten untuk mengevaluasi keberhasilan program
penanganan kemiskinan dengan model KUBE
3. Bagi Direktorat Fakir Miskin sebagai bahan untuk merumuskan dan
melakukan perencanaan program penanganan kemiskinan melalui KUBE
tahun 2018 selanjutnya.
13
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, sistematika penulisan yang digunakan adalah
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan. Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika
penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka. Bab ini mereview literatur tentang kemiskinan dan
kajian penanganan kemiskinan dan kajian kelompok KUBE. Pada tingkat
teoritis, digunakan konsep “people-centered, participatory, empowering, and
sustainable” untuk menjelaskan tingkat kemiskinan. Pada tingkat empiris,
dibahas temuan empiris mengenai dampak pemberdayaan masyarakat
terhadap kemiskinan.
BAB III Kerangka Pemikiran dan Hipotesis. Bab ini berisi gambaran kerangka
konsep yang menunjukkan arah hubungan variabel bebas terhadap variabel
terikat. Bab ini juga berisi mengenai hipotesis atau dugaan sementara
mengenai hubungan antara masing-masing variabel.
BAB IV Metode Penelitian. Bab ini menjelaskan mengenai metode penelitian
menyangkut jenis data, definisi operasional dan teknik serta instrument
penelitian. Bab ini juga menjelaskan tentang model Kuantitatif yang dipakai
untuk menjawab Hipotesis penelitian ini.
BAB V Hasil dan Pembahasan. Bab ini menjelaskan mengenai hasil dan
pembahasan peneliti terkait bagaimana pengaruh langsung dan tidak langsung
14
Anggaran, Pengalaman, Lama Sekolah, dan Fasilitasi terhadap Kemiskinan
Melalui Pendapatan.
BAB VI Kesimpulan dan Saran. Bab ini menjelaskan kesimpulan dari hasil
penelitian yang dilakukan dan saran-saran yang berhubungan dengan
penelitian serupa di masa yang akan datang.
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis dan Konsep
2.1.1 Konsep Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Kementerian Sosial dalam menyelenggarakan program Pemberdayaan Fakir
Miskin menetapkan kebijakan antara lain : Peningkatan akses Fakir Miskin terhadap
sumber daya sosial-ekonomi; Peningkatan Prakasa dan peran aktif warga
masyarakat dalam pemberdayaan fakir miskin, perlindungan hak-hak dasar fakir
miskin, peningkatan kualitas manajemen pemberdayaan kemiskinan.
Sejak tahun 1983 Kementerian Sosial Republik Indonesia menetapkan
kebijakan Penanganan Kemiskinan melalui pendekatan kelompok, dikenal dengan
P2FM-KUBE. Pada masa terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, Kementerian Sosial
Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan
melalui Program Memantapkan Program Menghapus Kemiskinan (MPMK) sesuai
dengan perubahan nama Departemen Sosial Republik Indonesia menjadi
Kementerian Sosial Republik Indonesia maka KUBE masih menjadi icon.
Definisi Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok usaha binaan
Kementerian Sosial Republik Indonesia yang dibentuk dari beberapa Keluarga
Binaan Sosial (KBS) dan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) dalam rangka
kemandirian usaha untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
KUBE merupakan upaya mempercepat penghapusan kemiskinan dengan tujuan
untuk :
16
1. Peningkatan kemampuan berusaha para anggota-anggota secara bersama
dalam kelompok
2. Peningkatan pendapatan dan tabungan
3. Pengembangan usaha
4. Peningkatan kepedulian dan kesetiakawanan sosial diantara para anggota
KUBE dengan masyarakat sekitar.
Pada buku petunjuk pengembangan usaha keluarga binaan sosial disebutkan syarat
anggota KUBE adalah :
1. Warga Negara Indonesia dibawah garis kemiskinan yang ditetapkan
SUSENAS/BPS tahun 2002,
2. Keluarga fakir miskin dengan penghasilan per orang per bulan Rp.49.000,-
(Rp.245.000/KK/perbulan) untuk pedesaan atau Rp. 62.000,-
(Rp.310.000/KK/perbulan) untuk perkotaan dan
3. Tingkat pendidikan tidak tamat SLTP dan tidak ada keterampilan tambahan.
Awalnya UEP dilakukan perorangan dan lokasi tersebar sehingga sulit dalam
Monitoring dan Evaluasi. Awalnya untuk mempermudah pembinaan maka kegiatan
usaha perseorangan tersebut disatukan dalam kelompok. Tujuannya agar para
anggota dapat saling kerjasama secara lebih mudah dibandingkan saling berpencar.
Melalui KUBE diharapkan timbul dampak lain yakni adanya kepedulian dan
kesetiakawanan sosial dengan cara melibatkan partisipasi masyarakat
dilingkungannya untuk ikut serta dalam produksi yang dilakukan oleh para anggota
KUBE. Dengan demikian bukan saja anggota KUBE yang meningkat
17
penghasilannya, masyarakat sekitar juga merasakan manfaatnya. Tujuan KUBE
adalah :
1. Meningkatkan taraf kesejahteraan sosial KBS melalui UEP dan UKS
2. Meningkatkan prinsip gotong-royong dalam melaksanakan pembangunan dan
mengumpulkan dana masyarakat melalui Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS).
3. Meningkatkan prinsip koperasi dalam meningkatkan UEP kelompok.
4. Mampu menyisihkan hasil usaha untuk ditabung sebagai modal usaha atau
keperluan mendadak.
5. Terbinanya kegiatan anggota KUBE.
6. Meningkatkan kesejahteraan sosial KBS dan terbinanya usaha jaminan
kesejahteraan sosial (JKS).
Panduan pengembangan KUBE diperlukan beberapa tahapan kegiatan sebagai
berikut :
1. Identifikasi masalah KUBE
2. Pengembangan usaha berdasarkan potensi yang dimiliki anggota KUBE
3. Agar kegiatan KBS dalam KUBE mampu berkembang maka perlu menyediakan
informasi lengkap dalam mendukung usaha mulai dari teknologi tepat guna
sampai pemasaran
4. Kegiatan KUBE tidak bisa terlepas dari dukungan instansi terkait baik pemerintah
maupun swasta.
5. Kegiatan KUBE bisa berkembang apabila ada investor (pengusaha) ikut
berpartisipasi mengembangkan usaha.
18
Dengan pembinaan melalui kelompok diharapkan terjadinya saling
membantu antara kelompok sehingga dapat meningkatkan kemampuan,
keterampilan dan modal. Diharapkan dengan KUBE, dapat menumbuhkan rasa
kebersamaan, kekeluargaan, kegotong-royongan, rasa kepedulian dan
kesetiakawanan sosial, baik diantara keluarga binaan sosial maupun kepada
masyarakat secara luas karena mereka hidup dalam kelompok. Tujuan kelompok
usaha bersama ekonomi yang sudah dijelaskan adalah meningkatkan kemampuan
anggota KUBE di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari, ditandai
dengan ; meningkatnya pendapatan dan tabungan keluarga; meningkatnya kualitas
pangan, sandang, papan, kesehatan, tingkat pendidikan; meningkatkan kemampuan
anggota KUBE dalam mengatasi masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam
keluarganya maupun dengan lingkungan sosialnya; meningkatkan kemampuan
anggota KUBE dalam menampilkan peran-peran sosialnya, baik dalam keluarga
maupun lingkungan sosialnya.
2.1.2 Konsep Kemiskinan
Fenomena kemiskinan merupakan sesuatu yang kompleks, artinya tidak hanya
berkaitan dengan dimensi ekonomi tetapi dimensi lain seperti pemenuhan kebutuhan
dasar manusia misalnya hak pangan, papan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan
sebagainya.
Konferensi Dunia untuk pembangunan Sosial, mendefinisikan Kemiskinan
sebagai rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin
kehidupan berkesinambungan; kelaparan; dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat
kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses pada pendidikan dan layanan-
19
layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar akibat penyakit yang terus meningkat;
kehidupan bergelandangan dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan
yang tidak aman, serta diskriminasi serta keterasingan sosial; serta dicirikan juga
oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam
kehidupan sipil, sosial dan budaya.
Terkait pernyataan diatas J. Friedmean (1993) Juga mengartikan Kemiskinan
itu adalah Ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan
sosial, sama halnya dengan yang dikemukakan World Bank (2005) mendefinisikan
bahwa masalah kemiskinan itu merupakan kondisi dimana seseorang tidak dapat
menikmati segala macam pilihan dan kesempatan dalam pemenuhan kebutuhan
dasarnya seperti tidak dapat memenuhi kesehatan, standar hidup layak, kebebasan,
harga diri, dan rasa dihormati seperti orang lain.
Namun lain halnya dengan Bappenas (2005) dalam Dokumen strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan mendefinisikan masalah kemiskinan bukan hanya
diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan dan kerawanan orang atau
sekelompok orang untuk menjadi Miskin.
Kemiskinan dapat dipandang sebagai kondisi sosial ekonomi seseorang atau
sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan
dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Berdasarkan beberapa konsep
tersebut diatas, nampaklah bahwa definisi yang terkandung dalam teori kemiskinan
mencakup seluruh aspek dimana definisi tersebut akan saling melengkapi satu
dengan yang lainnya.
20
Indikator lain yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskianan, yaitu
indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) atau P1 dan indeks keparahan
kemiskinan (distributionally sensitive index) atau P2 yang dirumuskan oleh Foster-
Greer-Thorbecke (Tambunan, 2001). Metode penghitungan ini merupakan dasar
penghitungan persentase penduduk miskin untuk seluruh kabupaten/kota.
Poverty Gap Index (P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran
masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Angka ini
memperlihatkan jurang (gap) antara pendapatan rata-rata yang diterima penduduk
miskin dengan garis kemiskinan. Semakin kecil angka ini menunjukkan secara rata-
rata pendapatan penduduk miskin sudah semakin mendekati garis kemiskinan.
Semakin tinggi angka ini maka semakin besar kesenjangan pengeluaran penduduk
miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata lain semakin tinggi nilai indeks
menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk.
Distributionally Sensitive Index (P2) memberikan gambaran mengenai
penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Angka ini memperlihatkan
sensitivitas distribusi pendapatan antar kelompok miskin. Semakin kecil angka ini
menunjukkan distribusi pendapatan diantara penduduk miskin semakin merata.
Kemiskinan menjadi salah satu ukuran terpenting untuk mengetahui tingkat
kesejahteraan suatu rumah tangga. Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat
kemiskinan di suatu wilayah lazim digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan
di wilayah tersebut. Dengan demikian, kemiskinan menjadi salah satu tema utama
pembangunan. Keberhasilan dan kegagalan pembangunan acapkali diukur
berdasarkan perubahan pada tingkat kemiskinan (Suryahadi dan Sumarto, 2001).
21
Kemiskinan terjadi karena kemampuan masyarakat pelaku ekonomi tidak
sama, sehingga terdapat masyarakat yang tidak dapat ikut serta dalam proses
pembangunan atau menikmati hasil-hasil pembangunan (Soegijoko, dkk (2005)
mengatakan kemiskinan merupakan masalah pembangunan yang ditandai dengan
pengangguran, keterbelakangan, dan keterpurukan. Masyarakat miskin lemah dalam
kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial
ekonomi (Undang Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Propenas. Permasalahan
kemiskinan sangat kompleks dan upaya penanggulangannya harus dilakukan
secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan
dilaksanakan secara terpadu.
Tantangan utama dalam jangka pendek untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk miskin tersebut melalui pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar,
peningkatan dan pengembangan usaha ekonomi produktif, serta penyediaan
jaminan dan perlindungan sosial. Perlu dilakukan penanggulangan kemiskinan
secara komprehensif dan terpadu agar terjadi perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan
budaya, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin (Undang Undang
Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Propenas).
Dalam upaya penanggulangan kemiskinan ada dua strategi utama yang
ditempuh. Pertama, melindungi keluarga dan kelompok masyarakat miskin melalui
pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Kedua, memberdayakan mereka agar
mempunyai kemampuan untuk melakukan usaha dan mencegah terjadinya
kemiskinan baru (UU No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas).
22
Menurut Remi dan Tjiptoherijanto (2002:32), program pengentasan kemiskinan
yang dijalankan mendapatkan kritik antara lain tentang transparansi program, dana
yang kebanyakan tidak diterima oleh kelompok yang ditargetkan. Program tersebut
masih merupakan kebijakan yang terpusat dan seragam dan memposisikan
masyarakat sebagai obyek dalam keseluruhan proses.
Pemerintah menyadari bahwa kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan tidak hanya tergantung kepada kebijakan ekonomi makro saja.
Kebijakan ekonomi mikro bahkan kebijakan ekonomi sosial harus dilakukan
bersama-sama dengan kebijakan ekonomi makro untuk menanggulangi kemiskinan
(Remi dan Tjiptoherijanto, 2002:44). Upaya pengentasan kemiskinan perlu tertuang
dalam tiga arah kebijaksanaan, yaitu kebijaksanaan tidak langsung untuk
menciptakan kondisi yang kondusif, kebijaksanaan langsung yang ditujukan kepada
masyarakat miskin dan kebijaksanaan khusus untuk memperluas upaya
penanggulangan kemiskinan (Soegijoko, 1997:148).
Pemikiran mengenai kemiskinan berubah sejalan dengan berlalunya waktu,
tetapi pada dasarnya berkaitan dengan ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar (Mikkelsen, 2003:194). Kemiskinan menunjukkan situasi serba
kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena
tidak bisa dihindari dengan kekuatan yang dimilikinya (Soegijoko,1997:137).
Kemiskinan sering dianalogkan dengan semua sifat kekurangan dan
ketidakberdayaan. Analog ini mengakibatkan definisi kemiskinan menjadi sangat
luas sehingga sulit untuk memahaminya dan kesulitan untuk menentukan langkah
kebijakan yang perlu dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan. Kemiskinan dapat
23
didefinisikan dalam berbagai versi. Ada batasan sederhana yang mengkaitkan
kemiskinan dengan standar minimal yang dihitung berdasarkan pendapatan (income
based poverty line). Mereka yang dinyatakan miskin adalah individu, rumah tangga,
masyarakat, atau kelompok sosial lainnya yang memperoleh pendapatan dibawah
standar minimal. Batasan ini mengabaikan sumber daya tunai (non cash) yang
tersedia di masyarakat dan sulit digunakan dalam situasi setempat yang terbatas.
Kemiskinan diartikan sebagai ketidak mampuan berpartisipasi dalam
bermasyarakat secara ekonomi, sosial budaya dan politik. Pengertian ini melihat
kemiskinan bersipat multidemensi yang mencakup kemiskinan insani dan martabat,
konsep kemiskinan multidemensi melihat kemiskinan menjadi berapa katagori yaitu
kemiskinan pendapatan, kesehatan, pendidikan, ketenaga kerjaan, ketimpangan
struktur usaha, ketidak berdayaan, penyandang masalah kesejahtraan sosial,
ketimpangan gender dan kesenjangan antar golongan dan wilayah.
Menurut Sar A. Levitan dalam Ala (1996:3) menyatakan kemiskinan adalah
kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk
mencapai suatu standar hidup yang layak. Sedangkan menurut Badan Pusat
Statistik dan Departemen Sosial (2002:3-4) kemiskinan adalah ketidakmampuan
individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimum untuk hidup layak.
Kemiskinan terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang, baik laki-laki dan
perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Perpres Nomor 7 Tahun 2005
tentang RPJMN). Definisi ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui
bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota
24
masyarakat lainnya. Ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis
kekuatan sosial yang meliputi: aset, sumber-sumber keuangan, organisasi dan
jaringan sosial, pengetahuan dan informasi untuk memperoleh pekerjaan
menjadikan seseorang menjadi miskin (John Friedman (1979) dalam Ridlo (2001:8)).
Definisi kemiskinan dapat ditinjau dari tinjauan ekonomi, sosial dan politik.
Secara ekonomi kemiskinan adalah kekurangan sumber daya yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan. Secara sosial kemiskinan diartikan kekurangan
jaringan sosial dan struktur untuk mendapatkan kesempatankesempatan
meningkatkan produktivitas. Sedangkan secara politik kemiskinan diartikan
kekurangan akses terhadap kekuasaan (Effendi, 1993:201-204).
Tinjauan yang sama dengan dengan penjelasan berbeda dikemukakan
Nugroho dan Dahuri (2004:165-166). Dari aspek ekonomi, kemiskinan merupakan
kesenjangan antara lemahnya daya pembelian (positif) dan keinginan untuk
memenuhi kebutuhan dasar (normatif). Dari aspek sosial, kemiskinan
mengindikasikan potensi perkembangan masyarakat yang rendah. Sedangkan dari
aspek politik, kemiskinan berhubungan dengan rendahnya kemandirian masyarakat.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2005:25) memberikan
definisi kemiskinan dengan basis keluarga. Keluarga yang termasuk kategori miskin
adalah keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi. Keluarga
Pra Sejahtera, yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara
minimal, seperti kebutuhan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan
kesehatan. Sedangkan Keluarga Sejahtera I, yaitu keluarga yang telah dapat
memenuhi kebutuhan dasar secara minimal tetapi belum memenuhi seluruh
25
kebutuhan sosio psikologinya seperti kebutuhan pendidikan, interaksi dalam
keluarga dan lingkungan dan transportasi.
Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena kondisi alamiah dan ekonomi,
kondisi struktural dan sosial, serta kondisi kultural (budaya). Kemiskinan alamiah
dan ekonomi timbul akibat keterbatasan sumber daya alam, manusia, dan
sumberdaya lain sehingga peluang produksi relatif kecil dan tidak dapat berperan
dalam pembangunan.
Kemiskinan struktural dan sosial disebabkan hasil pembangunan yang belum
merata, tatanan kelembagaan dan kebijakan dalam pembangunan. Sedangkan
kemiskinan kultural (budaya) disebabkan sikap atau kebiasaan hidup yang merasa
kecukupan sehingga menjebak seseorang dalam kemiskinan (Nugroho dan Dahuri,
2004:167-168; Soegijoko, 1997:137).
Penyebab kemiskinan dengan dimensi yang lebih luas dikemukakan oleh
Heredia dan Pueblo dalam Agussalim (2009). Menurutnya, kemiskinan struktural
disebabkan oleh hal-hal berikut: (i) kurangnya demokrasi hubungan kekuasaan yang
menghilangkan kemampuan warga negara atau suatu negara untuk memutuskan
masalah yang menjadi perhatian mereka (ii) kurangnya memperoleh alat-alat
produksi (lahan dan teknologi) dan sumber daya (pendidikan, kredit dan akses
pasar) oleh mayoritas penduduk (ii) kurangnya mekanisme yang memadai untuk
akumulasi dan distribusi (iv) disintegrasi ekonomi nasional, yang berorientasi
memenuhi pasar asing daripada pasar domestik. (v) pengikisan peran pemerintah
sebagai perantara dalam meminimalkan ketimpangan sosial, contohnya melalui
swastanisasi program-program sosial (vi) eksploitasi berlebihan terhadap sumber
26
daya alam dan tercemarnya ekosistem yang secara tidak proporsional berdampak
kepada orang miskin; dan (vii) kebijakan-kebijakan yang menyebabkan
monopolisasi ekonomi dan polarisasi masyarakat, yang memacu bertambahnya
penumpukan pendapatan dan kesejahteraan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas menyebutkan
berdasarkan penyebabnya kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kemiskinan kronis (chronic poverty) yang disebabkan: (1) sikap dan kebiasaan hidup
masyarakat yang tidak produktif; (2) keterbatasan sumber daya dan keterisolasian;
dan (3) rendahnya taraf pendidikan dan derajat kesehatan, terbatasnya lapangan
kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat, dan kemiskinan sementara (transit
poverty) yang disebabkan (1) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi
krisis ekonomi; (2) perubahan yang bersifat musiman seperti kasus kemiskinan
nelayan dan pertanian tanaman pangan; dan (3) bencana alam atau dampak dari
suatu kebijakan.
Penyebab kemiskinan yang lain menurut David Cox (2004:1-6) dalam Edi
Suharto (2006) berupa: (1) Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi berupa
dominasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang; (2) Kemiskinan
yang berkaitan dengan pembangunan berupa rendahnya partisipasi dalam
pembangunan dan peminggiran proses pembangunan; (3) Kemiskinan sosial yang
yang dialami oleh perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas karena
ketidakberdayaan mereka; dan (4) Kemiskinan karena faktor-faktor eksternal seperti
konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.
27
Sedangkan Sharp et. Al dalam Kuncoro Mudrajad (2006:157) mencoba
mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama,
ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi
pendapatan yang timpang. Kedua, perbedaan dalam kualitas sumber daya manusi
yang berkaitan dengan produktivitas dan upah yang rendah. Ketiga, kemiskinan
muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Penyebab kemiskinan menurut masyarakat miskin sendiri adalah kurangnya
modal, pendidikan, keterampilan, dan kesempatan kerja; dan rendahnya pendapatan
(Tim Studi KKP, 2004). Sahdan (2005) mengemukakan penyebab kemiskinan di
desa yang hingga saat ini tetap menjadi kantong utama kemiskinan dimana 60%
penduduk miskin di Indonesia tinggal di daerah perdesaan. Penyebab utama
kemiskinan desa adalah: (1) pendidikan yang rendah; (2) ketimpangan kepemilikan
modal dan lahan pertanian; (3) ketidakmerataan investasi di sektor pertanian; (4)
alokasi anggaran kredit yang terbatas; (5) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuha
dasar; (6) pengelolaan ekonomi secara tradisional; (7) rendahnya produktivitas dan
pembentukan modal; (8) budaya menabung yang belum berkembang; (9) tidak
adanya jaminan sosial bagi masyarakat desa; dan (10) rendahnya jaminan
kesehatan.
Paradigma baru studi kemiskinan sedikitnya mengusulkan empat poin yang
perlu dipertimbangkan Edi Suharto dalam Agussalim (2009) Pertama, kemiskinan
sebaiknya dilihat tidak hanya dari karakteristik si miskin secara statis, melainkan
dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam
merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya
28
tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau
rumah tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang
lebih lengkap daripada konsep pendapatan (income) dalam memotret kondisi
sekaligus dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga
miskin dapat difokuskan pada beberapa indikator kunci (key indicators) yang
mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencarian
(livelihood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
fulfillment), mengelola aset (asset management) menjangkau sumberdaya (access
to Tesources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (access to social
capital), serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan tekanan (cope with
shocks and stresses).
Definisi kemiskinan kemudian dikaji kembali dan diperluas berdasarkan
permasalahan-permasalahan kemiskinan dan faktor-faktor yang selanjutnya
menyebabkan menjadi miskin. Definisi kemiskinan yang dikemukakan oleh
Chambers (1983) adalah definisi yang saat ini mendapatkan perhatian dalam setiap
24 program pengentasan kemiskinan di berbagai negara-negara berkembang dan
dunia ketiga. Pandangan yang dikemukakan dalam definisi kemiskinan dari
Chambers menerangkan bahwa kemiskinan adalah suatu kesatuan konsep
(integrated concept) yang memiliki lima dimensi, yaitu:
1. Kemiskinan (Proper)
Permasalahan kemiskinan seperti halnya pada pandangan semula adalah
kondisi ketidakmampuan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan
pokok. Konsep atau pandangan ini berlaku tidak hanya pada kelompok yang
29
tidak memiliki pendapatan, akan tetapi dapat berlaku pula pada kelompok yang
telah memiliki pendapatan.
2. Ketidakberdayaan (Powerless)
Pada umumnya, rendahnya kemampuan pendapatan akan berdampak pada
kekuatan sosial (social power) dari seseorang atau sekelompok orang terutama
dalam memperoleh keadilan ataupun persamaan hak untuk mendapatkan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3. Kerentanan menghadapi situasi darurat (State of emergency)
Seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin tidak memiliki atau
kemampuan untuk menghadapi situasi yang tidak terduga di mana situasi ini
membutuhkan alokasi pendapatan untuk menyelesaikannya. Misalnya, situasi
rentan berupa bencana alam, kondisi kesehatan yang membutuhkan biaya
pengobatan yang relatif mahal, dan situasi-situasi darurat lainnya yang
membutuhkan kemampuan pendapatan yang dapat 25 mencukupinya. Kondisi
dalam kemiskinan dianggap tidak mampu untuk menghadapi situasi ini.
4. Ketergantungan (dependency)
Keterbatasan kemampuan pendapatan ataupun kekuatan sosial dari seseorang
atau sekelompok orang yang disebut miskin tadi menyebabkan tingkat
ketergantungan terhadap pihak lain adalah sangat tinggi. Mereka tidak memiliki
kemampuan atau kekuatan untuk menciptakan solusi atau penyelesaian
masalah terutama yang berkaitan dengan penciptaan pendapatan baru. Bantuan
pihak lain sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan terutama
yang berkaitan dengan kebutuhan akan sumber pendapatan.
30
5. Keterasingan (Isolation)
Dimensi keterasingan seperti yang dimaksudkan oleh Chambers adalah faktor
lokasi yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin.
Pada umumnya, masyarakat yang disebut miskin ini berada pada daerah yang
jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan sebagian besar
fasilitas kesejahteraan lebih banyak terkonsentrasi di pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi seperti di perkotaan atau kota-kota besar. Masyarakat yang tinggal di
daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh fasilitas-fasilitas kesejahteraan relatif
memiliki taraf hidup yang rendah sehingga kondisi ini menjadi penyebab adanya
kemiskinan.
2.1.3 Konsep Anggaran
Pengertian Anggaran menurut John F. Due dalam Rahardjo (2011) adalah
suatu pernyataan tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan negara yang
diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan atau yang akan datang,
serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa
lalu. Menurut M. Suparmoko dalam Rahardjo (2011), Pengertian anggaran ialah
suatu daftar atau pernyataan yang terinci tentang penerimaan dan pengeluaran
negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu, biasanya dalam satu tahun.
Dari pengertian diatas maka anggaran pemerintah atau Anggaran Pemerintah
Belanja Negara (APBN) secara lebih rinci dapat dikatakan bahwa:
1. Dengan APBN dapat diketahui tercapai atau tidaknya kebijakan pemerintah di
masa lalu dan maju atau mundurnya kebijakan yang hendak dicapai pemerintah
di masa yang akan datang.
31
2. Dengan APBN dapat diketahui realisasi pelaksanaan kebijakan pemerintah di
masa yang lalu.
3. APBN merupakan gambaran dari kebijakan pemerintah yang dinyatakan dalam
ukuran uang, baik kebijakan pengeluaran pemerintah untuk suatu periode di
masa depan maupun kebijakan penerimaan pemerintah untuk menutup
pengeluaran tersebut.
Dalam hal ini terkait anggaran pemerintah yang dikeluarkan terkhusus Kementerian
Sosial adalah Anggaran KUBE yang diberikan oleh masyarakat Miskin dimana
tujuan pemberian anggaran ini adalah untuk membantu usaha atau penambahan
modal usaha agar meningkatkan pendapatan masyarakat miskin. Pemberian
Anggaran KUBE ini dalam bentuk belanja modal
2.1.4 Konsep Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja adalah proses pembentukan pengetahuan atau
keterampilan tentang metode suatu pekerjaan karena keterlibatan karyawan tersebut
dalam pelaksanaan tugas pekerjaan (Manulang, 1984 : 15). Pengalaman kerja
adalah ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang
dapat memahami tugas – tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan
baik (Ranupandojo, 1984 : 71). Pengalaman kerja adalah pengetahuan atau
keterampilan yang telah diketahui dan dikuasai seseorang yang akibat dari
perbuatan atau pekerjaan yang telah dilakukan selama beberapa waktu tertentu
Trijoko, (2008).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pengalaman kerja adalah tingkat
penguasaan pengetahuan serta keterampilan seseorang dalam pekerjaannya yang
32
dapat diukur dari masa kerja dan dari tingkat pengetahuan serta keterampilan yang
dimilikinya.
Pengukuran Pengalaman Kerja Pengukuran pengalaman kerja sebagai sarana
untuk menganalisa dan mendorong efisiensi dalam pelaksanaan tugas pekerjaan.
Beberapa hal yang digunakan untuk mengukur pengalaman kerja seseorang adala :
1) Gerakannya mantap dan lancar. Setiap karyawan yang berpengalaman akan
melakukan gerakan yang mantap dalam bekerja tanpa disertai keraguan.
2) Gerakannya berirama Artinya terciptanya dari kebiasaan dalam melakukan
pekerjaan sehari – hari.
3) Lebih cepat menanggapi tanda – tanda Artinya tanda – tanda seperti akan terjadi
kecelakaan kerja
4) Dapat menduga akan timbulnya kesulitan sehingga lebih siap menghadapinya
Karena didukung oleh pengalaman kerja dimilikinya maka seorang pegawai yang
berpengalaman dapat menduga akan adanya kesulitan dan siap
menghadapinya.
5) Bekerja dengan tenang Seorang pegawai yang berpengalaman akan memiliki
rasa percaya diri yang cukup besar (Asri, 1986 : 131)
Selain itu ada juga beberapa faktor yang mempengaruhi pengalaman kerja
karyawan. Beberapa faktor lain mungkin juga berpengaruh dalam kondisi – kondisi
tertentu, tetapi adalah tidak mungkin untuk menyatakan secara tepat semua faktor
yang dicari dalam diri karyawan potensial. beberapa faktor tersebut adalah :
1) Latar belakang pribadi, mencakup pendidikan, kursus, latihan, bekerja. Untuk
menunjukkan apa yang telah dilakukan seseorang di waktu yang lalu.
33
2) Bakat dan minat, untuk memperkirakan minat dan kapasitas atau kemampuan
seseorang.
3) Sikap dan kebutuhan (attitudes and needs) untuk meramalkan tanggung jawab
dan wewenang seseorang.
4) Kemampuan – kemampuan analitis dan manipulatif untuk mempelajari
kemampuan penilaian dan penganalisaan.
5) Keterampilan dan kemampuan tehnik, untuk menilai kemampuan dalam
pelaksanaan aspek – aspek tehnik pekerjaan.
(Handoko, 1984 : 241)
Ada beberapa hal juga untuk menentukan berpengalaman tidaknya seorang
karyawan yang sekaligus sebagai indikator pengalaman kerja yaitu :
1) Lama waktu / masa kerja. Ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang
telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas – tugas suatu pekerjaan dan
telah melaksanakan dengan baik.
2) Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Pengetahuan merujuk
pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan atau informasi lain yang dibutuhkan
oleh karyawan. Pengetahuan juga mencakup kemampuan untuk memahami dan
menerapkan informasi pada tanggung jawab pekerjaan. Sedangkan
keterampilan merujuk pada kemampuan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai
atau menjalankan suatu tugas atau pekerjaan.
3) Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan. Tingkat penguasaan seseorang
dalam pelaksanaan aspek – aspek tehnik peralatan dan tehnik pekerjaan.
(Foster, 2001 : 43).
34
Dari uraian tersebut dapat diketahui, bahwa seorang karyawan yang berpengalaman
akan memiliki gerakan yang mantap dan lancar, gerakannya berirama, lebih cepat
menanggapi tanda – tanda, dapat menduga akan timbulnya kesulitan sehingga lebih
siap menghadapinya, dan bekerja dengan tenang serta dipengaruhi faktor lain yaitu :
lama waktu/masa kerja seseorang, tingkat pengetahuan atau keterampilan yang
telah dimiliki dan tingkat penguasaan terjadap pekerjaan dan peralatan. Oleh karena
itu seorang karyawan yang mempunyai pengalaman kerja adalah seseorang yang
mempunyai kemampuan jasmani, memiliki pengetahuan, dan keterampilan untuk
bekerja serta tidak akan membahayakan bagi dirinya dalam bekerja.
2.1.5 Konsep Lama Sekolah
Pendidikan berfungsi sebagai driving force atau daya penggerak transformasi
masyarakat untuk memutus rantai kemiskinan. Pendidikan membantu menurunkan
kemiskinan melalui efeknya pada produktivitas tenaga kerja dan melalui jalur
manfaat sosial, maka pendidikan merupakan sebuah tujuan pembangunan yang
penting bagi bangsa (World Bank, 2005). Pendidikan sebagai sarana untuk
memperoleh wawasan, ilmu pengetahuan dan keterampilan agar peluang kerja lebih
terbuka dan upah yang didapat juga lebih tinggi. Rahman (2006) menemukan
adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan upah/gaji yang diterima
oleh pekerja.
Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori oleh Lucas dan Romer
(1997), pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang
nantinya menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif. Tenaga kerja yang
35
mempunyai produktivitas tinggi akan menghasilkan output yang lebih banyak
sehingga secara agregat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Andersson et.al (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Determinants of
Poverty in Lao PDR menyatakan bahwa pendidikan seseorang sebagai salah satu
determinan konsumsi per kapita. Suparno (2010) menemukan bahwa rata-rata lama
sekolah yang menunjukkan tingkat pendidikan masyarakat mampu menurunkan
tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan
mempunyai keterampilan dan keahlian, sehingga dapat meningkatkan
produktivitasnya. Peningkatan produktivitas akan meningkatkan output perusahaan,
peningkatan upah pekerja, peningkatan daya beli masyarakat sehingga akan
mengurangi kemiskinan.
Frankel (1997) menyatakan bahwa pendidikan khususnya peningkatan
jumlah tahun belajar merupakan suatu syarat untuk tahap dari pembangunan
ekonomi. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka kualitas sumberdaya manusia
juga akan semakin baik dan akan memengaruhi produktifitas. Ketika produktifitas
meningkat maka penghasilan atau upah yang didapat juga akan meningkat sehingga
akan membantu masyarakat keluar dari jerat kemiskinan
2.1.6 Konsep Fasilitasi
Fasilitasi merupakan suatu kegiatan yang menjelaskan pemahaman,
tindakan, keputusan yang dilakukan seseorang dengan atau bersama orang lain
untuk mempermudah tugas merupakan proses. Sehingga bila diadaptasi dalam
proses pemberdayaan, fasilitasi mengandung pengertian membantu dan
menguatkan masyarakat agar dapat memecahkan masalah dan memenuhi
36
kebutuhannya sendiri sesuai potensi yang dimilikinya. Pengertian ini yang dirasa
tepat untuk menggambarkan pemahaman fasilitasi dalam program pemberdayaan
masyarakat. Khususnya dalam hal ini pendampingan yang dilakukan untuk anggota
Kelompok KUBE agar tujuan dari KUBE ini dapat tercapai.
Pola pendukungan dan bantuan dalam konteks pemberdayaan masyarakat
dikenal dengan istilah “pendampingan”. Secara harfiah pengertian ini merujuk pada
upaya memberikan kemudahan, kepada siapa saja untuk memecahkan masalah
yang dihadapinya. Biasanya tindakan ini diikuti dengan pengadaan personil, tenaga
pendamping, relawan atau pihak lain yang berperan memberikan penerangan,
bimbingan keterampilan, terapi psikologis, dan penyadaran agar masyarakat yang
tidak tahu menjadi tahu dan sadar untuk berubah.
Dalam situasi kritis, peran pendampingan tidak hanya memberikan
kemudahan terhadap berbagai akses bantuan saja tetapi secara proaktif melakukan
intervensi langsung kepada masyarakat. Di sisi inilah fasilitator mencoba mengambil
peran sebagai perantara atau katarsis untuk mempercepat proses belajar dan
peningkatan kesejahteraan.
Dalam konteks pembangunan masyarakat (civil society) kegiatan fasilitasi
dilakukan oleh tenaga khusus yang bertugas ; Pertama, membina kelompok
masyarakat yang terkena krisis sehingga menjadi suatu kebersamaan tujuan dan
kegiatan yang berorientasi pada upaya perbaikan kehidupan; Kedua, sebagai
pemandu atau fasilitator, penghubung dan penggerak (dinamisator) dalam
pembentukan kelompok masyarakat dan pembimbing pengembangan kegiatan
kelompok. Dalam upaya mewujudkan otonomi dan kemandirian masyarakat perlu
37
bimbingan atau pendampingan. Fasilitator biasanya identik dengan tugas
pendampingan tersebut.
Secara khusus fungsi fasilitasi atau pendampingan yang dilakukan oleh
pendamping KUBE tergambar dalam aspek kegiatan sebagai berikut :
1. Menggali potensi dan kebutuhan
Upaya pemberdayaan dilakukan melaui proses analisis awal terhadap situasi
dan kondisi masyarakat melalui observasi mendalam. Informasi yang
dikumpulkan mencerminkan kondisi nyata tentang jenis kebutuhan dan bentuk
dukungan yang diperlukan. Fasilitator akan banyak melibatkan berbagai elemen
masyarakat dalam menyusum rencana, menetapkan instrumen dan langkah-
langkah pengumpulan data. Kegiatan ini dilakukan agar masyarakat secara
mandiri mengenal potensi dan kebutuhan nyata yang dihadapinya. Dalam proses
ini, sebaiknya fasilitataor melibatkan peran aktif tokoh masyarakat, pimpinan
agama, organisasi kepemudaan, unit usaha dan lembaga terkait lainnya.
Menggali potensi baik sumber daya manusia dan sumber daya alam dapat
dilakukan melalui observasi langsung atau berdialog dengan masyarakat
setempat serta pemanfaatan data sekunder seperti demografi desa, statistik,
status kesehatan dan rencana tata ruang.
2. Memecahkan Masalah
Fasilitasi dilakukan untuk memberikan kemudahan belajar kepada masyarakat
untuk meningkatkan kapasitas berfikir ilmiah dan kemampuan mengantisipasi
perubahan. Fasilitator bukan sebagai penentu keputusan atas persoalan yang
dipilih, tetapi lebih pada upaya membantu secara sistematis proses belajar
38
masyarakat untuk menentukan sendiri kebutuhan dan memecahkan masalah
yang dihadapinya . Masyarakat diposisikan sebagai subjek sekaligus objek dari
proses penyelesaian masalah. Fasilitator berperan memberikan kesempatan
yang luas agar masyarakat secara mandiri menentukan keputusan. Hindari
dominasi fasilitator dalam mengambil solusi, melainkan sebagai penyeimbang
dan pengarah saja, agar solusi yang diambul efektif. Apabila dalam implementasi
program terjadi berbagai masalah, sebaiknya fasilitator selalu melibatkan
masyarakat melalui musyawarah serta koordinasi dengan pihak terkait.
Posisikan diri sebagai pihak yang mempermudah masyarakat menemukan
sendiri jawabanya.
3. Memposisikan Peran dan Tindakan
Ketika suatu komunitas tidak mampu melindungi dirinya akibat kelemahannya.
Dalam situasi ini, fasilitator akan lebih dominan memimpin dan berada di garis
depan. Masyarakat membutuhkan instruksi, arahan, aturan dan bimbingan
secara langsung. Namun demikian, fasilitator tetap memberikan peran yang
cukup kepada masyarakat untuk menentukan keputusan penting dan pola tindak
yang diperlukan. Pada saat masyarakat mulai menunjukan peningkatan
kapasitas dan mampu mengelolanya, maka fasilitator akan mengambil posisi
sebagai mitra atau pendamping untuk mempermudah kerja masyarakat. Hal ini
dapat dilakukan dengan memberikan kemudahan terhadap akses informasi,
melatih peran, pembagian tugas yang jelas dalam setiap kegiatan, menempatkan
orang sesuai dengan keahlian. Posisi ini akan berubah sesuai kebutuhan dan
kondisi masyarakat yang didampinginya.
39
4. Mengajak masyarakat untuk berfikir
Fasilitasi merupakan proses belajar masyarakat untuk menentukan pilihan dan
tindakan terukur terhadap perubahan yang dihadapinya. Landasan filosofis
fasilitasi adalah perubahan paradigma dan proses berfikir logis (logical
framework) dan terstruktur sebagai bentuk respon terhadap lingkungan. Oleh
karena itu, fasilitasi dilakukan untuk membantu individu, kelompok atau
organisasi agar menggunakan daya nalar dalam mencapai tujuan. Fasilitasi
merupakan suatu proses membangun masyarakat kritis dan rasional atau
dengan menggunakan tesis Paulo Freire bahwa pemberdayaan adalah strategi
pembebasan dari keterbelengguan. Masyarakat memahami berbagai fenomena
hidup dengan mengajak masyarkat untuk “berfikir”: menggunakan daya nalar
dan kreativitas untuk memecahkan masalah dan menyusun perencanaan ke
depan. Mengajak masyarakat berfikir tentang potensi, kebutuhan dan masalah
yang dihadapinya merupakan agenda penting dalam kegiatan fasilitasi. Ajaklah
masyarakat untuk melakukan pemetaan konsep, situasi dan kondisi secara kritis
menggunakan informasi dan sumber lain kemudian diwujudkan dalam bentuk
tindakan atau kegiatan nyata.
5. Memberikan kepercayaan
Kepercayaan merupakan salah satu kunci keberhasilan fasilitasi dan menjadi
indikator penting dalam proses pemberdayaan. Sebuah tatanan masyarakat
madani (civil society) dibangun diatas pilar transparansi, dimana masyarakat
dengan mudah mengakses dan memutuskan berbagai kebijakan menyangkut
40
nasib hidupnya. Tranparansi pelaku pembangunan dan distribusi kewenangan
antar pemerintah, legislatif, dan grassroot harus jelas dan terbuka.
Keterlibatan masyarakat dengan institusi yang ada dalam perencanaan,
melaksanakan sekaligus mengontrol berbagai keputusan yang telah dibuat
mencerminkan bentuk komunikasi dan interaksi stakeholders yang dibangun
atas dasar kepercayaan. Membangun kepercayaan kepada masyarakat tidak
sebatas sosialisasi strategi program saja, tetapi harus melibatkan peran aktif
masyarakat sebagai pelaku utama. Fasilitasi dilakukan untuk menempatkan
masyarakat sebagai pelaku sekaligus objek pembangunan. Fasilitator
hendaknya memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengambil
peran dan melaksanakan program sesuai dengan kemampuannya. Pada
dasarnya bantuan merupakan stimulan untuk merangsang pertumbuhan dan
rasa percaya diri bahwa masyarakat mampu memecahkan permasalahan yang
dihadapi.
6. Kemandirian dan Pengambilan Keputusan
Salah satu indikator keberhasilan dari kegiatan fasilitasi yaitu menumbuhkan
kemandirian (otonomi) dalam membimbing dan mengarahkan pada upaya
pencapaian tujuan. Kemandirian menjadi salah satu paradigma pembangunan
yang mengilhami upaya pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah Proses ini
perlu didukung oleh institusi lokal dan masyarakat sipil yang kuat, sehingga tidak
berakibat pada penyalahgunaan wewenang pemerintahan lokal tetapi lebih
meningkatkan keterlibatan institusi masyarakat dalam menentukan kebijakan di
daerahnya. Artinya masyarakat diberikan ruang cukup untuk menentukan pilihan
41
atas sejumlah alternatif dan menetapkan visi dirinya ke depan. Keputusan
sepenuhnya di tangan masyarakat sendiri sebagai perencana, pelaksana,
pengawas dan evaluator. Kemampuan masyarakat dalam mengambil keputusan
harus terus dikembangkan. Fasilitasi harus mampu mengurangi bentuk
intervensi yang tidak perlu yang dapat menghambat kemandirian masyarakat,
sehingga masyarakat benar-benar tahu dan ikut menentukan jenis kebijakan
yang dianggap tepat tentang dirinya sendiri.
7. Membangun Jaringan Kerja
Fasilitasi yang dilakukan oleh pendamping baik dikalangan pemerintah, LSM
atau institusi lain harus menyentuh aspek penguatan jaringan dari tingkat institusi
nasional hingga masyarakat. Penguatan jaringan sangat penting dalam
membangun kebersamaan, keberlanjutan dan kesiapan masyarakat
mengantisipasi perubahan. Jaringan yang dibangun harus mengacu pada
optimalisasi program, dimana keterlibatan organisasi masyarakat, LSM,
pemerintah, dan institusi lain berjalan secara sinergis. Berikan peran yang luas
kepada masyarakat untuk dapat menjalin hubungan kemitraan dengan pihak
terkait. Tugas pengembangan jaringan bukan saja menjadi tanggung jawab
fasilitator melainkan masyarakat sendiri. Jaringan yang dibangun oleh
masyarakat sendiri akan lebih optimal dan memiliki nilai strategis dalam proses
pemberdayaan. Fasilitasi atau Pendampingan, mempunyai peran sangat penting
bagi berhasil dan berkembangnya KUBE, mengingat sebagian besar PMKS
merupakan kelompok yang paling miskin dan penduduk miskin. Secara
fungsional pendampingan dilaksanakan oleh PSK yang dibantu oleh infrastruktur
42
kesejahteraan sosial di daerah seperti Karang Taruna (KT), Pekerja Sosial
Masyarakat (PSM), Organisasi Sosial (ORSOS) dan Panita Pemimpin Usaha
Kesejahteraan Sosial (WPUKS).
2.1.7 Konsep Pendapatan
Pendapatan Memiliki pengertian yang bermacam-macam tergantung dari sisi
mana kita meninjau pengertian pendapatan tersebut. Pendapatan merupakan hasil
yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan perusahaan dalam suatu periode. Pendapatan
timbul dari peristiwa ekonomi antara lain penjualan barang, penjualan jasa,
penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak lain yang menghasilkan bunga, royalty
dan dividen. Pendapatan merupakan jumlah yang dibebankan kepada langganan
atas barang dan jasa yang dijual, dan merupakan unsur yang paling penting dalam
sebuah perusahaan, karena pendapatan akan dapat menentukan maju mundurnya
sebuah perusahaan. Pada dasarnya pendapatan diperoleh dari hasil penjualan
produk atau jasa yang diberikan. Pengertian pendapatan terdapat penafsiran yang
berbeda-beda bagi pihak yang berkompeten disebabkan karena latar belakang
disiplin yang berbeda dengan penyusunan konsep pendapatan bagi pihak tertentu,
menurut John J. Wild (2004) secara garis besar pendapatan dapat ditinjau dari sisi
ekonomi yaitu ;
1. Pendapatan Menurut Ilmu Ekonomi
Menurut ilmu ekonomi, pendapatan merupakan nilai maksimum yang dapat
dikonsumsi oleh seseorang dalam suatu periode dengan mengharapkan
keadaan yang sama pada akhir periode seperti keadaan semula. Definisi
pendapatan menurut ilmu ekonomi menutup kemungkinan perubahan lebih dari
43
total harta kekayaan badan usaha pada awal periode dan menekankan pada
jumlah nilai statis pada akhir periode. Dengan kata lain, pendapatan adalah
jumlah kenaikan harta kekayaan karena perubahan penilaian yang bukan
diakibatkan perubahan modal dan hutang.
2. Menurut Kieso, Warfield dan Weygand (2011;955) menjelaskan definisi
pendapatan adalah sebagai berikut ; Gross inflow of economic benefits during
the period arising in the ordinary activities of an entity when those inflows result
in increases in equity, other than increases relating to contributions from equity
participants.
Dari keterangan di atas dapat di simpulkan bahwa pendapatan adalah arus
masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas
selama suatu periode, jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan equitas
yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.
3. Menurut Skousen, Stice dan Stice (2010;161) Pendapatan adalah arus masuk
atau penyelesaian (atau kombinasi keduanya) dari pengiriman atau produksi
barang, memberikan jasa atau melakukan aktivitas lain yang merupakan aktivitas
utama atau aktivitas centra yang sedang berlangsung.
4. Dyckman (2002 : 234) Pendapatan adalah arus masuk atau peningkatan lainnya
atas aktiva sebuah entitas atau penyelesaian kewajiban (atau kombinasi dari
keduanya) selama satu periode dari pengiriman atau produksi barang,
penyediaan jasa, atau aktivitas lain yang merupakan operasi utama atau sentral
entitas yang sedang berlangsung.
44
2.1.8 Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi
yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru dalam
pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and
sustainable” konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan
dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses
kemiskinan lebih lanjut (safety net). Pemikiran ini pada periode akhir-akhir ini banyak
dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep
pertumbuhan di masa yang lalu.
Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari
apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut alternative development, yang
menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality
and inter-generational equity”. Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup
pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan
yang bertumpu pada masyarakat (community based development). Pertama-tama
perlu terlebih dahulu dipahami arti dan makna keberdayaan dan pemberdayaan
masyarakat. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu
bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang
bersangkutan. Sumber keberdayaan masyarakat secara fisik (sehat fisik dan mental,
terdidik, kuat serta inovatif) dan nilai-nilai intrinsik (nilai kekeluargaan, kegotong
royongan, kejuangan). Pemberdayaan merupakan suatu sistem pembangunan yang
berorientasi pada manusia, dengan mengedepankan asas partisipasi (partisipatory),
jaringan kerja, kemandirian dan keadilan (equalty) yang dalam prosesnya
45
memberikan sesuatu kemudahan (akses) sehingga pada akhirnya dicapai kemajuan
dan kemandirian.
Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkat kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain
memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Meskipun
pemberdayaan masyarakat bukan semata-mata sebuah konsep ekonomi, dari sudut
pandang kita pemberdayaan masyarakat secara Implisit mengandung arti
menegakkan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi secara harfiah berarti
kedaulatan rakyat dibidang ekonomi, dimana kegiatan ekonomi yang berlangsung
adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Konsep ini menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal,
akses ke pasar dan kedalam sumber-sumber informasi, serta keterampilan
manajemen. Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan, maka aspirasi masyarakat
yang tertampung harus diterjemahkan menjadi rumusan-rumusan kegiatan yang
nyata. Untuk menerjemahkan rumusan menjadi kegiatan nyata tersebut, Negara
mempunyai birokrasi. Birokrasi ini harus dapat berjalan efektif, artinya mampu
menjabarkan dan melaksanakan rumusan-rumusan kebijaksanaan publik (public
policies) dengan baik, untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern
seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan tanggungjawab adalah bagian pokok
dari upaya pemberdayaan ini. Sungguh penting disini adalah peningkatan partisipasi
46
rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan
masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya
dengan pemantapan, pembudayaan dan pengalaman demokrasi.
Pemberdayaan juga mengandung pula arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah disebabkan
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan
dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep
pemberdayaan masyarakat. Melindungi diartikan sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang
lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin
tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya
setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat
dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah
memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk
memajukan diri kearah kehidupan yang lebih baik secara bersinambungan.
Mengutip pernyataan Margono (1986) dalam proseding pemberdayaan
sumberdaya manusia menuju terwujudnya masyarakat madani di IPB,
pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai upaya mengembangkan kondisi dan
situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk
mengembangkan kehidupannya tanpa adanya kesan bahwa perkembangan itu
adalah hasil kekuatan eksternal, masyarakat harus dijadikan subyek bukan obyek.
Sedangkan menurut Vidhyandika Moeljarto (2000) pemberdayaan masyarakat
banyak ditentukan oleh akses dan kontrol yang dimiliki subyek pembangunan itu
47
pada berbagai sumber daya. Sumber daya pembangunan yang utama adalah
modal, termasuk didalamnya kepintaran, keterampilan, informasi dan teknologi
disamping dana dan tanah.
Selanjutnya A.M.W. Pranarka dan Vidhyadika Moelyarto (1996)
menempatkan konsep pemberdayaan atau empowerment sebagai bagian dari
“upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat bangsa, pemerintah,
Negara dan tata dunia dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil
dan beradab sehingga konsep pemberdayaan pada dasarnya, upaya menjadikan
suasana kemanusiaan yang adil dan beradap”. Dengan demikian konsep
pemberdayaan pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan
yang adil dan beradab yang semakin efektif secara struktural dalam bidang politik,
sosial, budaya dan ekonomi baik didalam kehidupan keluarga, masyarakat, Negara,
regional maupun internasional.
Merujuk dari berbagai konsepsi diatas, maka pemberdayaan merupakan
suatu sistem pembangunan yang berorientasi pada manusia, dengan
mengedepankan asas partisipasi (participatory), jaringan kerja, kemandirian dan
keadilan (equality) yang dalam prosesnya memberikan sesuatu kemudahan (akses)
sehingga pada akhirnya dicapai kemajuan dan kemandirian.
Mengacu dari beberapa pendapat para pakar sebagaimana dijelaskan diatas,
maka konteks pemberdayaan mencakup :
a. Perubahan sikap, masyarakat miskin didorong, dibimbing dan dibantu kearah
perilaku prososial yang normatif
48
b. Peningkatan partisiasi sosial, masyarakat merupakan sasaran kebijakan diberi
kesempatan turut berpartisipasi, bukan hanya dalam pengambilan keputusan,
tetapi juga dalam hal merumuskan difinisi situasi yang merupakan dasar dalam
pengambilan keputusan. Sehingga arah pembangunan menjadi berpihak pada
masyarakat khususnya masyarakat miskin
c. Solidaritas sosial, pemberdayaan sosial mampu menciptakan suatu kondisi atau
keadaan hubungan antara individu/kelompok yang didasarkan pada perasaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama
d. Peningkatan kondisi ekonomi warga masyarakat, melalui pemberdayaan sosial
diharapkan terjadi peningkatan kondisi ekonomi dan peningkatan pendapatan
warga, khususnya warga miskin
e. Peningkatan pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga miskin, lembaga keluarga
miskin adalah juga sasaran pokok dalam pengentasan kemiskinan yang
tujuannya untuk mengembalikan fungsi keluarga, dimana fungsi ini semakin
memudar seiring dengan ketidakmampuan menampilkan fungsi sosial warga
miskin
f. Perubahan orientasi nilai budaya, dari keseluruhan aspek pemberdayaan dalam
rangka pengentasan kemiskinan, maka perubahan orientasi nilai budaya menjadi
muaranya yang tentunya memerlukan proses yang tidak mudah. Perubahan dari
sifat warga miskin seperti apatis, malas, masa bodoh, menghalalkan segala cara,
menuju pada orientasi nilai budaya yang proporsial menjadi tujuan utama pada
pengentasan kemiskinan.
49
2.2 Tinjauan Empiris
2.2.1 Kajian penanganan kemiskinan
Hasil kajian John Friedman dalam kajiannya pada tahun 1992
mengemukakan beberapa kosakata standar kemiskinan yaitu :
1. Poverty line (garis kemiskinan) yaitu tingkat konsumsi rumah tangga mminimum
dapat diterima secara sosial. Biasanya dihitung berdasarkan income, dimana
dua pertiganya digunakan untuk “keranjang pangan”. Perhitungan ahli statistik
kesejahteraan berdasarkan persediaan kalori dan protein utama yang paling
murah.
2. Absolut and relative poverty (kemiskinan absolut dan relative). Kemiskinan
absolut adalah kemiskinan yang jatuh dibawah standar konsumsi minimum dan
karenanya tergantung pada kebaikan (amal). Sedangkan kemiskinan relative
adalah kemiskinan yang eksis diatas garis kemiskinan absolut yang sering
dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan kelompok nonmiskin
berdasarkan income relative.
3. Desering pool adalah kaum miskin yang mau peduli dengan harapan orang-
orang nonmiskin, bersih, bertanggungjawab, mau menerima pekerjaan apa saja
demi memperoleh upah yang ditawarkan.
4. Target population. Populasi sasaran adalah kelompok orang tertentu yang
dijadikan sebagai objek dan kebijakan serta program pemerintah. Mereka dapat
berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak, buruh tani yang tak
punya lahan, petani tradisional kecil, korban perang dan wabah, serta penghuni
kampung kumuh perkotaan.
50
Penelitian Anne Booth (2002) tentang kemiskinan mengemukakan bahwa
penyebab dari kemiskinan adalah keterbatasan penduduk didalam : (1) mengakses
pasar untuk produk, (2) fasilitas Publik dan (3) fasilitas kredit. faktor yang
mempengaruhi keterbatasan penduduk miskin disebabkan karena faktor geografi,
faktor ekonomi, faktor sosial budaya, lingkungan, dan faktor personal serta fisik.
Studi Ridwan (2008) menyimpulkan bahwa kemiskinan disebabkan oleh
keterbatasan modal untuk memperbesar usaha, keterbatassan pendidikan
mengakibatkan kurangnya informasi, komunikasi dan wawasan pengetahuan yang
sempit. Rekomendasi yang diberikan adalah memberikan bantuan modal berupa
ternak, serta menambah keterampilan dan fasilitas perdagangan.
Studi Sarpan (2003), penelitian ini membahas mengenai “studi kasus
pemberdayaan pedagang kaki lima (PKL) di Tandes, Surabaya”. Hasilnya
menyimpulkan bahwa :
1. Mengkoordinir, menata paguyuban-paguyuban pedagang kaki lima dan
membentuk forum untuk mempermudah pelaksanaan pembinaan oleh
pemerintah.
2. Pembentukan badan pengurusan paguyuban PKL yang lebih dinamis seperti
pembentukan koperasi yang beranggotakan para PKL. Meningkatkan peran
ketua paguyuban dalam menyelesaikan permasalahan diantara mereka.
3. Pemerintah bekerjasama dengan pihak swasta dalam melaksanakan
keterampilan bagi pedagang kaki lima (PKL) di Tandes untuk mengembangkan
potensi mereka. Apabila perlu, dibentuk tim khusus untuk melatih dan
51
membimbing masyarakat miskin dengan pemberian honor atau upah oleh
paguyuban PKL.
Studi Rupelu (2005), tentang “pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap
kemiskinan masyarakat melalui aksesibilitas publik di Kabupaten Buru Provinsi
Maluku” kesimpulannya bahwa faktor keterbatasan modal, rendahnya pendidikan,
kondisi sosial budaya masyarakat, rendahnya tingkat kesehatan berpengaruh positif
terhadap keterbatasan mengakses fasilitas. Disisi lain kondisi sosial ekonomi
masyarakat misikin berpengaruh tidak langsung terhadap akses pasar dan koperasi,
kondisi sosial ekonomi berpengaruh langsung terhadap kemiskinan masyarakat,
aksesibilitas publik pada koperasi dan pasar berpengaruh terhadap kemiskinan,
kondisi sosial ekonomi berpengaruh langsung terhadap aksesibilitas publik, kondisi
sosial ekonomi tidak berpengaruh terhadap akses bank.
2.2.2 Kajian tentang Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE)
Mujiadi dkk (2009), dalam penelitian “pemberdayaan masyarakat miskin,
studi evaluasi penanggulangan kemiskinan di lima provinsi”. Mengemukakan
beberapa gambaran kegiatan kelompok usaha bersama antara lain :
1. Aspek Konteks : pedoman P2FM-KUBE kurang mudah dipahami oleh pelaksana
program dan pendamping, sehingga pencapaian tujuan KUBE belum optimal
2. Aspek Input : menemukan kenyataan bahwa sebagaian KUBE dalam kondisi
tidak produktif dan prospektif. Pelatihan pendampingan belum mampu
memberikan pengetahuan dalam pendampingan sosial sehingga dalam
pelaksanaan pendampingan masih menghadapi kendala.
52
3. Aspek proses : seleksi anggota KUBE belum sesuai dengan pedoman,
pengelolaan KUBE masih berfariasi, administrasi kegiatan yang terdiri dari 10
Buku dirasakan memberatkan, beberapa tahapan dalam proses kegiatan KUBE
belum dilaksanakan sesuai pedoman.
Suradi dkk (2007), mengemukakan hasil penelitian pelaksanaan dari sisi
konteks, panduan pelaksanaan P2FM-KUBE tidak mudah (difahami) dilaksanakan.
Sehingga penyelenggaraan program belum optimal. Faktor lainnya adalah masih
adanya ego sektoral di lingkungan Kementerian Sosial RI. Masih kurangnya
koordinasi dalam pelaksanaan Program secara eksternal antara Kementerian Sosial
dengan instansi sosial baik di Provinsi maupun di Kabupaten Kota ; penentuan jenis
bantuan, penyelenggaraan program, penentuan pendamping masih ada intervensi
dari pemerintah daerah khususnya pemuka formal masyarakat, kecamatan, kepala
desa atau kelurahan. Dari sisi input, sebagian besar KUBE tidak memenuhi
kualifikasi karena penerima bantuan pengembangan sudah tidak memiliki aset dari
usaha sebelumnya, atau tidak sudah produktif dan prospektif. Disamping itu,
pelatihan pendamping belum memadai sehingga belum mampu memberikan
pengetahuan dan keterampilan sosial dalam pendampingan. Dari Sisi Proses,
seleksi KUBE dan pendamping belum tepat, proposal tidak sesuai potensi lokal, dan
kurangnya sosialisasi program. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi program
belum dilaksanakan dengan baik sehingga tidak ada kejelasan tentang tindak lanjut
program. Dari sisi produk, aset maupun modal usaha anggota KUBE belum
bertambah, demikian juga iuran kesetiakawanan sosial belum dilaksanakan.
53
Irmayani dkk (2010), dalam penelitian “Efektivitas pelayanan KUBE, dalam
perspektif ketahanan sosial keluarga” menemukan fakta bahwa tahapan kegiatan
dalam proses pemberdayaan keluarga melalui kelompok usaha bersama ekonomis
(KUBE) belum semua dilaksanakan. Pengembangan KUBE dipengaruhi oleh
kesesuaian tahapan kegiatan KUBE dengan panduan. Pemahaman usaha kelompok
masih sebagai wacana, karena dalam temuan lapangan diketahui fakta bahwa
kegiatan usaha dilakukan sendiri-sendiri. Dampak program pemberdayaan keluarga
melalui KUBE terhadap ketahanan sosial keluarga dapat meningkatkan penghasilan
keluarga dalam pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, meningkatkan kemampuan
berorganisasi dan meningkatkan kesetiakawanan antara anggota kelompok,
meningkatkan rasa kebersamaan memelihara dan meningkatkan usaha keluarga.
Hermawati, dkk (2005), Studi evaluasi efektivitas KUBE dalam pengentasan
keluarga miskin di era otonomi daerah, menguraikan hasil temuannya bahwa
program KUBE sudah tepat sasaran karena anggota berasal dari petani, buruh tani,
penghasilan terbatas, berusia produktif, berpendidikan rendah, memiliki beban
tanggungjawab keluarga. Karakteristik anggota KUBE, terdapat dua jenis yaitu
KUBE memiliki anggota (1 atau 2 orang) tidak masuk kriteria BPS namun dipilih
dengan alasan memiliki keterampilan, pengetahuan, modal dan jiwa kewiraswastaan
(Pedoman P2FM-KUBE 2004) dan KUBE yang seluruh anggotanya dari keluarga
miskin, temuan fakta menyebutkan bahwa KUBE yang memiliki anggota tidak
termasuk kriteria lebih berhasil dalam mengembangkan usaha dibandingkan dengan
KUBE yang beranggotakan keluarga miskin semua.
54
Mencermati hasil kajian tentang kemiskinan dan program KUBE, terlihat
bahwa konsep tentang kemiskinan masih beragam dan berbeda, namun pada
prinsipnya didasarkan atas perkiraan kebutuhan dasar minimum. Sedangkan
penentuan garis kemiskinan secara obyektif sulit dilaksanakan karena banyak faktor
yang mempengaruhi. Penentuan garis kemiskinan hingga saat ini masih berbeda
antara satu tempat dengan tempat yang lain, sehingga tidak ada satu garis
kemiskinan yang berlaku. Kajian penanganan kemiskinan melaui KUBE masih fokus
pada proses pembentukan KUBE, dampak KUBE terhadap anggota, proses
perkembangan KUBE. Adapun evaluasi program KUBE masih fokus pada input dan
output program.
2.2.3 Pendekatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan
dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi,
budaya dan politik masyarakat. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses
yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan sesuatu yang dapat
dinikmati oleh masyarakat. Teori-teori ekonomi makro umumnya berpedoman pada
peran pasar dalam alokasi sumber daya, serta dengan pra anggapan bahwa
kebijaksanaan ekonomi makro yang tepat akan menguntungkan semua lapisan
masyarakat, namun dalam kenyataannya tidak dapat menghasilkan jawaban yang
memuaskan. Menurut Brown kekuatan sosial yang tidak berimbang, menyebabkan
kegagalan pasar dan menimbulkan kesenjangan.
Oleh karena itu, diperlukan intervensi yang tepat, agar kebijaksanaan pada
tingkat makro mendukung upaya mengatasi kesenjangan yang harus dilakukan
55
dengan kegiatan yang bersifat mikro dan langsung ditujukan pada lapisan
masyarakat terbawah. Pemberdayaan masyarakat dapat dipandang sebagai
jembatan bagi konsep-konsep pembangunan makro dan mikro.
Dalam kerangka pemikiran itu berbagai input seperti dana, prasarana dan
sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program
pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan untuk memacu percepatan
kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang
dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh
rakyat. Proses transformasi itu harus digerakkan oleh masyarakat sendiri.
Pengertian pemupukan modal seperti itu menunjukkan bahwa bantuan dana,
prasarana, dan sarana harus dikelola secara tertib dan transparan dengan
berpegang pada lima prinsip pokok yaitu :
a. Mudah diterima dan didayagunakan oleh masyarakat sebagai pelaksana dan
pengelola (acceptable)
b. Kedua, dapat dikelola oleh masyarakat secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan (accountable)
c. Ketiga, memberikan pendapatan yang memadai dan mendidik masyarakat untuk
mengelola kegiatan secara ekonomis (profitable)
d. Keempat, hasilnya dapat dilestarikan oleh masyarakat sendiri sehingga
menciptakan pemupukan modal dalam wadah lembaga sosial ekonomi setempat
(sustainable)
56
e. Pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat dengan mudah digulirkan dan
dikembangkan oleh masyarakat dalam lingkup yang lebih luas (replicable).
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat
tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek
dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka
pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut ;
Pertama, upaya itu harus terarah (targeted). Ini yang secara popular disebut
pemihakan. Ia ditujukan langsung sesuai kebutuhan kepada yang memerlukan,
dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai
kebutuhannya.
Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan
dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat
yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni supaya bantuan tersebut
efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan mereka.
Selain itu sekaligus meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan
pengalaman dan merancang, melaksanakan, mengelola, dan pertanggungjawabkan
upaya peningkatan diri dan ekonominya.
Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri
masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara
individu.
Mencermati uraian tersebut diatas, maka pendekatan kelompok dianggap
efektif. Dalam, penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Terjalinnya kemitraan
57
usaha antara kelompok dapat mengembangkan usaha, memudahkan pemasaran
hasil produk sehingga mampu bersaing.
Proses pemberdayaan memerlukan tindakan aktif subyek untuk mengakui
daya yang dimiliki obyek dengan memberinya kesempatan untuk mengembangkan
diri sebelum akhirnya obyek akan beralih fungsi menjadi subyek yang baru. Karena
proses tersebut didukung oleh faktor atau stimulus dari luar, maka subyek disebut
sebagai faktor eksternal. Selain itu, faktor internal yang mementingkan tindakan aktif
obyek atau masyarakat miskin sendiri juga merupakan prasyarat penting yang dapat
mendukung proses pemberdayaan yang efektif.
Proses pemberdayaan dapat dilakukan secara individual maupun kelompok
(kolektif). Puji Hadiyanti (2006) mengutip pendapat Fredmean bahwa proses wujud
perubahan sosial atau status hirarki yang dicirikan dengan adanya polarisasi
ekonomi, akan meningkatkan kemampuan individu “senasib” untuk saling berkumpul
dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling
efektif. Didalam kelompok terjadi suatu dialogical encounter yang menumbuhkan
dan memperkuat kesadaran dan solidaritas kelompok. Diantara anggota kelompok
dapat mengenali kepentingan bersama sehingga dapat menumbuhkan identitas
seragam.
Dalam pendekatannya, pemberdayaan memiliki dua aspek penting, yaitu
partisipatif dan desentralisasi. Aspek partisipatif melibatkan masyarakat, khususnya
kelompok sasaran dalam pengambilan keputusan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, sampai pemanfaatan hasil. Sedangkan aspek
desentralisasi mementingkan penurunan wewenang pembuatan keputusan
58
perencanaan dan pelaksana pembangunan kepada pemerintah desa yang terdekat
dengan penduduk miskin.
Penduduk miskinlah yang paling mengetahui usaha yang dapat mereka
lakukan dan kebutuhan mana yang paling mendesak. Disamping itu pembentukan
kelompok merupakan fase awal pemberdayaan artinya masyarakat miskin diberi
kebebasan untuk membentuk dan menuangkan kreatifitasnya dalam kelompok yang
diinginkan. Pembentukan kelompok menekankan pada prinsip kebersamaan demi
mewujudkan semangat dan kegiatan kooperatif.
Dalam kebersamaan, tiap-tiap anggota ikut bertanggungjawab, saling
mempercayai dan saling melayani. Kelompok dapat juga dipakai sebagai alat bagi
para anggota untuk mengembangkan aspirasi dan potensi mereka. Pembentukan
kelompok menyediakan suatu dasar (platform) bagi terciptanya kohesi sosial
anggota kelompok. Kohesi sosial akan terbentuk setelah diadakannya pertemuan
rutin untuk membahas pertemuan kelompok dan permasalahannya. Adanya
kedekatan dan mutual interest dari anggota kelompok membantu kelompok untuk
membentuk semangat sukarela. Kondisi ini akan membantu kelompok untuk
mengurangi kerentanan individu dalam menghadapi goncangan yang mendadak dan
kesengsaraan. Akibat sinergestik dari ikatan kelompok ini nantinya akan membantu
mengatasi masalah mereka.
Menurut Puji Hidayanti (2006) sudah banyak bukti bahwa pemberdayaan
melalui kelompok swadaya dipedesaan hanya sebatas slogan dan jargon yang
dipaksakan, bahkan terkesan hanya untuk memenuhi target pembangunan dan yang
seringkali terjadi adalah pemerataan bentuk-bentuk program yang seragam dimana
59
bukan merupakan kebutuhan masyarakat setempat. Idealnya suatu kelompok
adalah terbentuknya solidaritas kelompok secara bersama-sama mencapai suatu
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompoknya. Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan keberadaan kelompok dimasyarakat dapat berjalan dengan efektif
sesuai dengan tujuan pemberdayaan masyarakat asalkan ditangani secara
profesional.
Menurut Puji Hadiyanti (2006) pendekatan kelompok dalam bentuk usaha
bersama, memerlukan arah baru kebijaksanaan pembangunan yang memadukan
pertumbuhan dan pemerataan guna menunjang eksistensi kelompok yaitu suatu
proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik
masyarakat, yaitu yang menghasilkan harus menikmati. Proses transformasi ini
harus digerakkan oleh masyarakat sendiri. Ditambahkan pula bahwa kebijaksanaan
penanggulangan kemiskinan secara umum dapat dipilih menjadi 3 yaitu :
Pertama kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran
tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial
ekonomi. Kebijaksanaan tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi yang
menjamin kelangsungan setiap upaya peningkatan pemerataan pembangunan dann
penanggulangan kemiskinan, penyediaan sarana dan prasarana, penguatan
kelembagaan serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang
menunjang kegiatan sosial-ekonomi masyarakat.
Kedua kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan
ekonomi kelompok sasaran. Kebijaksanaan langsung diarahkan pada peningkatan
akses terhadap prasaran dan sarana yang mendukung penyediaan kebutuhan dasar
60
berupa pangan, sandang dan perumahan, kesehatan dan pendidikan, peningkatan
produktivitas dan pendapatan, khususnya masyarakat berpendapat rendah.
Ketiga kebijaksanaan khusus menjangkau masyarakat miskin melalui upaya
khusus. Kebijaksanaan khusus diutamakan pada penyiapan penduduk miskin untuk
dapat melakukan kegiatan sosial ekonomi sesuai dengan budaya setempat.
Berdasarkan uaraian diatas, maka kebijakan pemberdayaan masyarakat
dalam program penanganan kemiskinan harus dilaksanakan secara terpilih sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan misi pemberdayaan suatu program
pemberdayaan masyarakat antara lain :
1) Penyadaran. Penyadaran berlangsung dalam proses pengenalan diri akan
potensi diri dan lingkungan sebagai kekuatan yang dapat digerakkan secara
optimal untuk memenuhi kebutuhan sendiri dalam kontek sosio-budaya dan
struktur sosial.
2) Pengorganisasian. Penguatan organisasi masyarakat mutlak diperlukan dalam
upaya memberdayakan diri mereka, mengacu pada prinsip memanfaatkan
potensi kelembagaan yang berakar kuat dalam struktur masyarakat lokal
3) Kaderisasi. Setiap program pada hakekatnya memiliki keharusan
mempersiapkan kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang akan
mengambil alih tugas pendampingan setelah program berakhir.
4) Dukungan Teknis. Pembaharuan masyarakat setempat umumnya memerlukan
bantuan suatu lembaga dari luar yang menguasai sumber daya informasi dan
teknologi yang dapat membantu mempercepat pembaharuan itu menjadi
kenyataan.
61
5) Pengelolaan sistem. Pengelolaan sistem mempunyai sejumlah peranan penting :
koordinasi diperlukan dalam penjadwalan tahapan kegiatan, yaitu menyangkut
fungsi penyadaran, pelatihan, pengorganisasian dan penyediaan sumberdaya
pendukung.
Berdasarkan uraian teoritis diatas terlihat bahwa pemberdayaan merupakan salah
satu upaya dalam mengatasi kemiskinan. Selanjutnya secara praktis, pemerintah
melakukan penanganan kemiskinan melalui program reguler pemberdayaan
masyarakat miskin seperti bantuan Kelompok Usaha Bersama (KUBE).
2.3 Hubungan Antar Variabel
Kebijakan dalam membangun partisipasi publik berawal dari adanya
awareness of a problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu). Membangun
partisipasi publik yang bertujuan membangun prakarsa setiap orang atau kelompok
masyarakat berpartisipasi horizontal dalam suatu proses pembangunan. Kebijakan
pemerintah daerah dalam membangun prakarsa masyarakat merupakan aplikasi
nilai-nilai keadilan, kebebasan dan kesejahteraan. Nilai-nilai tersebut merupakan tiga
dari lima nilai kebaikan publik yang disebutkan oleh Fisterbusch (1983) diantaranya
nilai keamanan (security), hukum dan ketertiban umum (law and order), keadilan
(justice), kebebasan (liberty), dan kesejahteraan (welfare) sebagai upaya untuk
memaksimasi kebaikan sosial atau kemaslahatan umum bagi warga miskin.
Sehingga, dalam konsep pemberdayaan diidentifikasi beberapa hal yang
menjadi faktor yang dianggap penting dalam menciptakan keikut sertaan masyarakat
dalam pembangunan serta masyarakat yang sejahtera yaitu, ketersediaan anggaran
62
dan fasilitasi atau pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah serta pengalaman
dan pendidikan dari masyarakat.
Ketersediaan anggaran, untuk kelompok-kelompok agar mereka
berpartisipasi dalam melakukan kegiatan-kegiatan berdasarkan kebutuhan mereka.
Tujuan utama ketersediaan dana adalah membangun kemampuan masyarakat lokal
agar mereka dapat mandiri dan mampu mengidentifikasi, memecahkan, dan
melaksanakan kegiatan untuk mengatasi masalah yang dihadapi terutama dalam hal
modal kerja.
Pendidikan dan pengalaman kerja memberi pengetahuan langsung tentang
pelaksanaan tugas dan landasan untuk mengembangkan diri. Pendidikan dan
pengalaman akan meningkatkan keterampilan dan keahlian yang nantinya bisa
meningkatkan produktivitas. Pengalaman kerja tidak hanya dinilai dari lamanya
bekerja seseorang seseorang pada suatu bidang pekerjaan tertentu saja, akan tetapi
dapat dilihat dari keterampilan, keahlian, dan kemampuan yang dimiliki oleh pekerja
tersebut. Lamanya seseorang bekerja pada pekerjaan yang sama atau sejenis akan
mengakibatkan lebih tahu dan terampil dalam melaksanakan pekerjaannya.
Pengalaman kerja adalah banyaknya jenis pekerjaan yang pernah diemban
oleh seseorang, serta lamanya mereka bekerja pada tiap pekerjaan. Pengalaman
kerja sebagai keseluruhan waktu yang pernah dialami sehubungan dengan
pekerjaan tertentu, dengan mengacu pada lamanya seseorang bekerja pada
pekerjaan tertentu, dihitung dalam satuan waktu.
Pendampingan dapat dipahami sebagai kegiatan pemberdayaan masyarakat
dengan menempatkan tenaga pendamping sebagai fasilitator, komunikator,
63
motivator dan dinamisator. Pada dasarnya, pendampingan merupakan upaya untuk
menyertakan masyarakat dalam mengembangkan berbagai potensi sehingga
mampu mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Selain itu diarahkan untuk
memfasilitasi proses pengambilan keputusan yang terkait dengan kebutuhan
masyarakat, membangun kemampuan dalam meningkatkan pendapatan,
melaksanakan usaha yang berskala bisnis serta mengembangkan perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan partisipatif.
Pada dasarnya program pendampingan (tenaga pendamping) memiliki
peranan dasar antara lain : Penasehat Kelompok. Pendamping berperan
memberikan berbagai masukan dan pertimbangan yang diperlukan oleh kelompok
dalam menghadapi masalah. Pendamping tidak memutuskan apa yang perlu
dilakukan, akan tetapi kelompoklah yang nantinya membuat keputusan; Trainer
Participatoris. Pendamping memiliki peran memberikan berbagai kemampuan dasar
yang diperlukan oleh kelompok seperti mengelola rapat, pembukuan, administrasi,
memecahkan masalah, mengambil keputusan dan sebagainya; dan Link Person.
Pendamping berperan sebagai penghubung masyarakat dengan lembaga-lembaga
yang terkait (stakeholder) dan diperlukan bagi pengembangan kelompok.
Pendidikan, pengalaman dan pendampingan diyakini sangat berpengaruh
terhadap kecakapan, tingkah laku dan sikap seseorang, dan hal ini semestinya
terkait dengan tingkat pandapatan seseorang. Artinya secara rata-rata makin tinggi
tingkat Pendidikan, pengalaman serta pendampingan maka makin memungkinkan
orang tersebut memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.
64
Jika dikaitkan Kaitan antara kemiskinan dan ketimpangan pendapatan ada
beberapa pola yang bisa kita lihat yaitu dimana semua anggota masyarakat
mempunyai income tinggi (tak ada miskin) tetapi ketimpangan pendapatannya tinggi.
Semua anggota masyarakat mempunyai income tinggi (tak ada miskin) tetapi
ketimpangan pendapatannya rendah. (ini yang paling baik). Semua anggota
masyarakat mempunyai income rendah (semuanya miskin) tetapi ketimpangan
pendapatannya tinggi. Semua anggota masyarakat mempunyai income rendah
(semuanya miskin) tetapi ketimpangan pendapatannya rendah. Tingkat income
masyarakat bervariasi (sebagian miskin, sebagian tidak miskin) tetapi ketimpangan
pendapatannya tinggi. Tingkat income masyarakat bervariasi (sebagian miskin,
sebagian tidak miskin) tetapi ketimpangan pendapatannya rendah. Tingkat income
masyarakat bervariasi (sebagian miskin, sebagian tidak miskin) tetapi ketimpangan
pendapatannya tinggi.
Untuk mengatasi masalah ini tidak cukup hanya bicara mengenai subsidi
untuk masyarakat miskin maupun peningkatan pendidikan (keterampilan) tenaga
kerja di Indonesia. Sesungguhnya, persoalan yang terjadi adalah akibat kebijakan
pembangunan ekonomi yang kurang tepat dan bersifat struktural. Maksudnya,
kebijakan yang diambil tidak hanya menyokong satu sektor saja melainkan
pemerataan di seluruh sektor (pertanian, industri, pemabangunan) dan kebijakan itu
tidak terpusat di wilayah tertentu saja melainkan kesemua wilayah yang ada
sehingga ketimpangan pendapatan bisa dikurangi. Dari perspektif ini agenda
mendesak bagi Indonesia adalah memikirkan kembali secara serius model
pembangunan ekonomi yang secara serentak bisa memajukan semua sektor
65
dengan melibatkan seluruh rakyat sebagai partisipan. Sebagian besar ekonom
meyakini bahwa strategi pembangunan itu adalah modernisasi pertanian dengan
melibatkan sektor industri sebagai unit pengolahnya. Di samping itu upaya
minimalisasi ketimpangan pendapatan juga harus menyentuh aspek distribusi faktor
produksi.
Penghapusan kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan distribusi
pendapatan merupakan salah satu inti masalah pembangunan,terutama di Negara
Sedang Berkembang. Todaro dan Smith (2004), mengatakan penanggulangan
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan inti dari semua
masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di
banyak daerah.
Menurut Todaro (2000), Pengaruh antara ketimpangan distribusi pendapatan
terhadap kemiskinan dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah penduduk.
Pertambahan jumlah penduduk cenderung berdampak negatif terhadap penduduk
miskin, terutama bagi mereka yang sangat miskin. Sebagian besar keluarga miskin
memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak sehingga kondisi perekonomian
mereka berada di garis kemiskinan semakin memburuk seiring dengan
memburuknya ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan. Penyebab dari
kemiskinan adalah adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang
selanjutnya akan menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.