TESIS APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITAS KEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA...
Transcript of TESIS APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITAS KEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA...
-
TESIS
APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITAS
KEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA DI YOGYAKARTA
Untuk memenuhi persyaratan mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Disusun oleh
Ando Harapan Gurning
156322008
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
i
TESIS
APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITAS
KEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA DI YOGYAKARTA
Untuk memenuhi persyaratan mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Disusun oleh
Ando Harapan Gurning
156322008
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
TESIS
APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITASKEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA DI YOGYAKARTA
oleh
Ando Harapan Gurning
E$22A08
TELAH DISETUJUI OLEH
Dr. Albertus Budi Susanto. SJPembimbing
/4fu1Tanggal: 7 AUru. Zo
^8
(nfvw
,e),6
i Program Magister IRB
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
- ------------]
PENGESAHAN
. -- -ifGsi*,,,. . l
APA DANSIAPA BATA(.TQBA Y@YAKARTA: DENTITAS EEWARGAAN
OIoh:
AndoHarapan'Gurnirrg ,' ,Nmn rxtzoog
Telah dipertdrar*an di depn Deuam Penguji Tesis padatanggal4 Juli 2018dan dinptakan b[ah memenuhi syamt
Pac@sariana
I
Sut r" S.J.
nt
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
a
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
NIM
Program
Institusi
Ando Harapan Gurning
156322008
Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis
Judul : APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITASKEWARGAAN BUDAYA BATAK TOBA DI YOGYAKARTA
Pembimbing : Dr. Albertus Budi Susanto, S.J.
Tanggal diuji : 4 Juli 2018
Adalah benar-benar karya saya
Di dalam sikripsi/karya tulis/ makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagianfulisan atau gagasan orang lain, yang saya ambil dengan cara menyalin atau menirudalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan
saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya temyata melakukan tindakan menyalin atau
meniru tulisan orang lain atau seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersediamenerima sanksi, sesuai peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religidan Budaya Univ. Sanata Dharma Yogyakarta termasuk pencabutan gelar MagisterHumaniora (M.Hum) yang telah saya peroleh.
uth^r !ol8
uming
IV
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH TINTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Ando Harapan Gurning
Nomor Mahasiswa : 156322008
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaanUniversitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
APA DAN SIAPA BATAK TOBA YOGYAKARTA: IDENTITAS KEWARGAANBUDAYA BATAK TOBA DI YOGYAKARTA
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikankepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkanke bentuk media lain mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikansecara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentinganakademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada sayaselama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 2l Juli2018
Harapan Gurning)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
viii
ABSTRAK
Tesis ini menggambarkan perjuangan komunitas Batak Toba di Jogja, dalam
merepresentasikan (identitas) komunitasnya - dalam gagasan liminal community Victor
Turner - ketika berhadapan dengan “harmonisasi” Yogya dalam arus globalisasi.
Meskipun (perlu) menjadi citizen of the world, komunitas warga “yang lain” dari
sesama “asli” Batak Toba maupun sesama warga Jawa Jogja, berdasar nasionalisme dan
solidaritas mereka, selalu jeli bernegosiasi atau bahkan berkontestasi untuk nyaman
dengan “harmonisasi’ tersebut. Bagi komunitas Batak Toba Jogja, kejelian menyadur
politik Dalihan Na Tolu (tungku berkaki tiga) adalah kejelian mengoperasionalkan
simbol, mitos dan ritus dengan efektif tanpa. Kemampuan menyadur juga tidak lepas
dari dinamika identitas terbayangkan dari jejak-langkah politik identitas di Jogja, bagi
Indonesia saat ini.
Dalam kaitannya dengan konteks sejarah nasionalisme (Medan, Jakarta, Bandung,
HKBP, PRRI, dll.), identitas merupakan sentimen dari rasa kepemilikian terhadap
simbol-simbol, keyakinan, dan cara hidup serta keinginan untuk menentukan politik
mereka sendiri. Rumusanm masalah yang dikembangkan dalam penelitian ini yakni:
1. Bagaimana masa lalu komunitas Batak Toba mengonstruksi identitas Ke-Batak-an di tengah kewargaan budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sampai masa kini.
Konstruksi identitas bermula dari situasi Yogyakarta yang terus-menerus menarik
dan menampung berbagai warga budaya. Poin ini akan dibahas dalam bab kedua.
2. Kedua, bagaimana komunitas Batak dengan tradisi dan “bahasa ibu”-nya mengekspresikan identitas ke-Batak-annya di dalam relasi sosialnya di masyarakat
Jogja (bahasa ibu Jawa); membangun dan memperkembangkan relasi sosialis
nasionalis. Perumusan ini akan didalami di bab ketiga
3. Ketiga, apa implikasi dan makna perubahan identitas budaya bagi Batak Toba di DIY ketika memanfaatkan lingua franca, “tidak saling mencerminkan dan ....tidak saling
menyebabkan rasa rikuh” (Siegel 2009: 342) sebagai syarat dasar membangun
“harmonisasi”. Poin ini akan dibahas pada bab keempat.
Penulis menggunakan kajian Oral History lewat metode wawancara dan
pengamatan langsung di lapangan untuk menangkap kata-kata si/apa yang
diucapkan/dicakapkan, gagasan si/apa dicita-citakan, dan kenyataan macam apa atau
dari siapa yang sukses/gagal dihasilkan. Oral history lebih terbuka ruang dialog antara
teks maupun konteks.
“Komunitas nasionalisme” terbayangkan membantu warga Batak Toba Jogja ikut
bersolidaritas meskipun ....” tidak bakal tahu dan takkan kenal...tidak akan bertatap
muka...bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka” (Anderson
2008:8). Analisa, kajian ulang dan paparan data-data temuan dalam penelitian lapangan
diolah dengan bantuan dari kerangka teori identitas kewargaan budaya Nick Stevenson.
Kewargaan budaya merupakan terbentuknya masyarakat demokratis yang membuka
ruang bagi munculnya warga yang beragam dengan kehidupan yang bermakna,
menghormati pembentukan identitas-identitas hibrid yang kompleks dengan
perlindungan dari negara secara sosial. Makna hamajuon memudahkan komunitas Batak
Toba Yogya ikut memperkembangkan imajinasi harmonisasi yang inklusif dalam
nasionalisme-kosmopolitan.
Kata kunci: Batak Toba, Imagined Communities, Kewargaan Budaya, Identitas
Nasional, Dalihan Na Tolu, Asosiasi Klan, adat, klan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
ix
ABSTRACT
This thesis describe the struggle of Batak Toba community in Jogja during this time,
to represent (the identity) of their community -in the concept of Victor Tunner’s liminal
community- who are confronted with the “harmonization” of Jogja in globalization.
Despite being citizen of the world, the other communities of original Batak Toba and
also the citizens of Java Jogja, based on their nationalism and solidarity, always
enthusiasm to negotiate or even to contribute to be comfortable with the harmonization.
For Batak Toba community, the foresight in adapting politics of Dalihan Na Tolu
(three-legged stove) is the foresight to operationalize the symbol, myths, and rites
effectively. This thesis intends to explain how the Batak Toba communities adapt an
imaginable identity according to the context of identity politics trace in Jogja, for
Indonesia nowadays. In relation to the historical context of nationalism (Medan, Jakarta,
Bandung, HKBP, PRRI, etc), the identity is a sentiment of belonging in a community
whose the members are identified with the symbols, the confidence, and the way of life
also there is a desire to determine their own politics.
There are three the formulations of problem which is developed in this research:
1. How the past of Batak Toba community constructed the identity of the Batak’s in the middle of cultural civility of Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) nowadays.
The constructions of this identity begin from the situation of Yogyakarta which
constantly attract and accommodate many kinds of cultural citizens and follow the
time. This point will be discussed in the second chapter.
2. Second, how the Batak community with the tradition and mother tongue of Batak express the identity of the Batak in their social relations in Jogja society (mother
tongue of Java); build and develop nationalist socialist relations. This formulation
will be explored in the third chapter.
3. Third, what is the implication and the meaning of the changing of the cultural identity to Batak Toba in DIY when need to utilize lingua franca as the basic
requirement to build harmonization. The main requirement lingua franca is “not
reflect …not causing the awkwardness” (Siegel 2009:342). This point will be
discussed in the fourth chapter.
In this research, the writer in the certain meaning use Oral History study where the
interview method and direct observation in the field able to capture the words who/what
is spoken/conversed, the concept of who/what aspired, and what kind of reality between
text or context.
The idea of Ben Anderson about the nationalist community to help Batak Toba Jogja
society to join solidarity with others, even though…they would not know and wouldn’t
know…would not meet face to face-might not never have heard about them (Anderson
2008:8). But in every minds of the members lives an image of togetherness.The analysis
of review and exposure of finding the data in the field research has processed by the
assistance of the theory of cultural citizenship of Nick Stevenson. The cultural
citizenship is the formation of a democratic society which opens the space for the
emergence of diverse citizens with the meaningfull lives, respecting the formation of the
complex hybrid identities with the protection of the state socially.
With the development of information technology today, imaginable nasionalism that
has built and promoted – according to hamajuon – by the Batak Toba community in
Yogyakarta, enabling them to participate in developing non-exclusive harmonization in
the concept of nationalism – cosmopolitan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……………………………………………..………………………. i
Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ..…………………..…………………… ii
Halaman Pengesahan ………………………………………………………………. iii
Halaman Pernyataan ……………………………………………………………….. iv
Halam Persetujuan Publikasi ………………………………………………………. v
Kata Pengantar …………………………………………………………..………… vi
Abstrak ……………………………………………………………..……………… viii
Abstract …………………………………………………………….……………… ix
Daftar Isi …………………………………………………………………..………. x
Daftar Gambar …………………………………………………………….……….. xii
Daftar Tabel ………………………………………………………………..………. xiii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………..…….. 1
1. Latarbelakang Penelitian ……………………………………………………… 1 2. Perumusan dan Pembatasan Tema ……………………………………………. 5 3. Tujuan Penelitian ……………………………………………………………… 5 4. Manfaat Penelitian …………………………………………………………….. 6 5. Kajian Pustaka ………………………………………………………………… 7 6. Landasan Teoritis ……………………………………………………………… 13
6.1.Imagined Communities dalam Nasionalisme-Kosmopolitan ……………… 13
6.2.Kewargaan Budaya ………………………………………………………… 18
6.2.1. Jaringan (network) ……………………………………………………... 22 6.2.2. Sistem Informasi ……………………………………………………….. 23 6.2.3. Globalisasi ……………………………………………………………... 24 6.2.4. Masyarakat Beresiko …………………………………………………… 25 6.2.5. Modernitas Refleksif (reflexive modernity) …………………………… 26 6.2.6. Konsumsi ………………………………………………………………. 27
7. Metode Penelitian……………………………………………………………….. 29 7.1.Pengamatan Terlibat ……………………………………………………….. 31
7.2.Wawancara ………………………………………………………………… 31
7.3.Informan dan Rapport……………………………………………………… 32
7.4.Pengumpulan data …………………………………………………………. 33
8. Sistematika Penyajian …………………………………………………………. 33
BAB II YOGYAKARTA MENUJUKOTA KEWARGAAN BUDAYA ……… 35
1. Yogyakarta: Peleburan Kampung dan Kota…………………………………… 36 2. Pendidikan untuk Kewargaan Budaya ………………………………………… 50 3. Dunia kuliner dari Lokal ke Global …………………………………………… 60 4. Batak Toba Yogyakarta ……………………………………………………….. 61
4.1. Koloni Hindia Belanda dan Jepang (1890-an – 1945) …………………… 61 4.2. Pemoeda Batak dalam Revolusi di Yogyakarta …………………………. . 69 4.3. Orde Baru ………………………………………………………………… 76 4.4. Reformasi ………………………………………………………………… 83
5. Batak Toba Melawan Prasangka demi Pengakuan ………………………….… 85
BAB III AMBANG KOMUNITAS BATAK TOBA DI YOGYAKARTA …… 92
1. Identitas Batak Toba di Tiga Kota Urban …………………………………..… 93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xi
2. Batak di Yogja: Rekonstruksi Identitas ……………………………………… 97 2.1. Berbahasa ………………………………………………………………… 104 2.2. Genealogi dan Identitas …………………………………………………… 111 2.3. Adat ……………………………………………………………………… 124 2.4. Dalihan Natolu…………………………………………………………… 132 2.5. Religi ……………………………………………………………………… 135
3. Kontekstualisasi Adat Dalihan Natolu dan Religi di Yogyakarta ……………. 138 3.1. Network di Pedukuhan …………………………………………………… 139 3.2. Network Kerja ………………………………………………………….… 143 3.3. Network Famili dan Media Sosial ……………………………………….. 146
BAB IV RE-IMAGINED KOMUNITAS KOSMOPOLITAN BATAK TOBA
YOGJA ……………………………………………………………………… 153
1. Nasionalisme Berbahasa ……………………………………………………… 153 2. Kapitalisme Cetak Lewat Pendidikan ………………………………………… 167 3. Yogya:Re-imagined Dalihan Na Tolu Communities …………………………. 177
3.1. Genealogi dalam Kapitalisme Cetak ………………………………………. 178
3.2. Mencari Tuhan-Tuhan Digital …………………………………………….. 184
3.3. Identitas Yang Hibrid ……………………………………………………… 190
4. Komunitas Dalam Kewargaan Budaya ……………………………………….. 203 4.1. Komunitas dan Konsumsi ………………………………………………… 203
4.2. Komunitas Virtual Network …………………………………………….… 217
4.3. “Rapat Online ma Hita”: Antara Komunitas dan Globalisasi ………….… 220 4.4. Aliansi Marga dalam Group Whatshap …………………………………... 225
5. Komunitas dalam Pasar dan Uang ……………………………………………. 227 6. Dinamika Network Sosial Batak Toba ………………………………………… 233
BAB V KESIMPULAN …………………………………………………………… 238
DAFTAR KEPUSTAKAAN ……………………………………………………… 243
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Penduduk Kota Yogyakarta tahun 1980-an …...……………………………. 37
Tabel 2: Penduduk Kota Yogyakarta tahun 2000-an …..……………………………. 38
Tabel 3: Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan Suku Bangsa ..…………………….….. 39
Tabel 4: Komposisi Grup Etnis berdasarkan Jenis Kelamin 2010………………..……39
Tabel 5: Perbandingan penduduk dengan kekurangan beras …………………..…….. 81
Tabel 6: Oposisi Biner Levi-Strauss …...…………………………………………… 127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Peta D.I. Yogyakarta …………………………………………………. 35
Gambar 2: Dua Tuan Pesta sama-sama memasuki Ruangan ……………………… 137
Gambar 3: Ziarah ke anggota asosiasi klan yang beragama islam…………………. 139
Gambar 4: Syukuran akhir tahun asosiasi Klan Parna 2016 …..…………………… 177
Gambar 5: Daftar Silsilah Elektronik …..…………………………………………. 181
Gambar 6:Screenshoot Whatsapp Group Batak Katolik …… …………………….. .. 189
Gambar 7: Screenshoot Whatsapp Group Batak Katolik ……. …………………….. 189
Gambar 8: Foto Famflet angkringan ….…………………………………………… 191
Gambar 9: Foto Framflet angkringan Lapo Hasian ……………………………….. 192
Gambar 10: Foto Perjamuan Makan Pestak Perkawinan Batak … ………………… 193
Gambar 11: Foto Keluarga Batak Berdansa ………………………………………… 195
Gambar 12: Foto Syukuran Ulangtahun Asosiasi Klan ……………………….......... 196
Gambar 13: Foto Keluarga Batak Berpakaian Jawa Yogja …….…………………… 197
Gambar 14: Foto Upacara Pengarakan Kain tenun Batak …………………………... 204
Gambar 15: Foto Pemain Keybord Batak Toba ……………………………………. 207
Gambar 16: Foto Pihak Pemberi Isteri (hulahula) memasuki ruangan ……………. 208
Gambar 17: Foto Syukuran Akhir Tahun dengan jenis minuman ……………. ….. 213
Gambar 18: Screenshoot BKY Rapat Online ……………………………………… 220
Gambar 18: Screenshoot Whatshapp berisi tentang doa …………………………… 221
Gambar 19: Penghormatan Hulahula, uang di atas daging penghormatan …………. 227
Gambar 20: Dua foto tempat jualan …...…………………………………………… 228
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian
Pada tanggal 17 September 2016, peneliti mengikuti peringatan seribu hari
(ritual nyewu) meninggalnya Bapak Giovanni Battista Saroha Sinaga di Mlati,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Hampir tujuh puluh lima persen peserta selamatan
berasal dari orang Batak, baik pihak marga1 Sinaga maupun Nainggolan sebagai pihak
pemberi isteri (Hulahula). Di dekat altar disediakan sepasang burung merpati putih.
Pada penutupan upacara, kedua burung merpati dibawa keluar dan di depan pintu
rumah, istri bapak Sinaga bersama dengan anaknya melepaskan burung tersebut. Salah
satu dari burung merpati itu tidak mau terbang, sedangkan yang satu langsung terbang.
Secara spontan orang yang ikut serta pada upacara berkata, “Ayahnya belum bersedia
pergi.”
Upacara di atas merupakan salah satu bagian dari selamatan, ritual nyewu
menjadi puncak peringatan kematian seseorang dalam budaya masyarakat Jawa.
Perayaan puncak ini membawa keyakinan bahwa roh manusia yang meninggal sudah
tidak akan kembali ke tengah-tengah keluarga. Dari pihak keluarga yang masih hidup,
sikap rela melepas pergi roh termasuk hal penting dari ritual sebagaimana disimbolkan
1Marga ialah nama persekutuan dari orang-orang bersaudara, seketurunan menurut garis bapak.
Marga menjadi landasan utama dalam mengatur ketertiban dalam masyarakat Batak Toba mengenai relasi
antarsesama. Nama-nama marga yang disebutkan dalam tesis ini adalah marga yang berasal dari Batak
Toba. [Lihat M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba (Jakarta: Balai Pustaka,
1987), hlm. 93-95.].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
2
oleh pelepasan burung merpati. Roh “diyakini” meninggalkan keluarga untuk
menghadap Tuhan.2
Sebagai pihak pemberi isteri, marga Nainggolan hadir atas nama asosiasi klan
marga. Tentang kehadiran asosiasi klan di perantauan, terdapat perbedaan pendapat di
antara para ahli.3 Edward Bruner melihat asosiasi marga di kota sebagai pengganti
keluarga dari kampung untuk menghadapi kontestasi yang keras di perkotaan, terutama
dalam perebutan sumber-sumber kehidupan ekonomi. Menurut Kartini, sebagai asosiasi
klan yang terkuat, perkumpulan marga Batak Toba di Jakarta bertujuan untuk
kepentingan adaptasi dan penguatan adat di tanah perantauan. Penguatan identitas ini
menjadi pemicu semakin eksklusifnya komunitas Batak Toba.4 Selama tinggal di
Yogyakarta, penulis cukup sering menjumpai keluarga Batak Toba yang tidak
bergabung dengan asosiasi klan mereka. Alasan yang sering muncul karena keluarga
tidak sanggup memenuhi persyaratan secara ekonomis.
Peringatan seribu hari meninggalnya orang Batak di Yogyakarta dibahas sebagai
pembuka latar belakang penelitian karena upacara tersebut merupakan bentuk
konstruksi identitas komunitas Batak Toba. Slametan sendiri dirayakan dengan
mengundang struktur sosial Batak Toba. Bagi orang Batak Toba yang sangat kuat
mempertahankan adat-istiadatnya (esensialis), praktik peringatan seribu hari tidak
termasuk bagian adat Batak, sedangkan bergabung dengan asosiasi klan merupakan
bagian dari adat marga. Adat merupakan salah satu kategori kebenaran yang
menunjukkan identitas sebagaimana dipraktikkan di Tapanuli. Para esensialis ini hadir
2 Bdk. Endraswara, Agama Jawa, Ajaran, Amalan, dan Asal-usul Kejawen (Yogyakarta: Narasi,
2015), hlm. 26-30. 3 Sitor Situmorang dan Kartini berbeda pendapat berkaitan dengan motif masyarakat Batak Toba
membentuk asosiasi klan di kota. Sitor melihat bahwa terbentuknya asosiasi klan dipengaruhi oleh tradisi
kampung, sedangkan Kartini melihatnya dari sudut ekonomi kapitalisme. 4 Sjahrir Kartini, “Asosiasi Klan Orang Batak Toba di Jakarta” dalam PRISMA I 1982, hlm. 75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
3
dalam diri para penatua adat (raja parhata) yang sering memimpin acara-acara adat dan
ketua perkumpulan marga. Tidak jarang para penatua dan pencinta adat
mempertahankan identitasnya tanpa melihat konteks keberadaannya.
Dengan predikat Jogja sebagai kota plural5, terdapat sejumlah besar manusia
yang hidup berdekatan tetapi semakin lama benar-benar tidak saling mengenal, yang
dalam kondisi tertentu terpaksa melakukan transaksi-transaksi dan perjumpaan
instrumental. Dalam kehidupan urban, semakin terjalin relasi yang bersifat superfisial,
sementara, dan kompetetif serta perasaan terasing dan tidak berdaya. Penghuni kota
membentuk asosiasi berdasarkan gaya hidup, budaya, dan etnisitas bahkan sesuai
dengan kebutuhan. Warga kota berkomunikasi dan berbagi pengalaman satu sama lain
dengan pelbagai cara, bahkan berusaha untuk mencipta ruang kultural baru.6
Pergerakan dan mobilitas warga kota berakibat pada proses pergeseran identitas
kultural sampai pada pembentukan identitas baru. Identitas diproduksi dalam dimensi
persamaan dan perbedaan, percampuran, keberagaman, dan keberadaban.7 Namun
cukup banyak kota seperti yang digambarkan Karl Marx, ada pertentangan kelas, ada
pihak-pihak yang mendistorsi realitas demi kepentingan sendiri tanpa peduli pihak lain.8
Akhirnya, kota sungguh menjadi simbol realitas terjadinya proses tarik-menarik, dalam
pengertian negosiasi antara pendatang dan daerah tujuan.9
5 Imam Subakhan, Hiruk-Pikuk Wacana Pluralisme Yogyakarta (Yogyakarta: Kanisius dan Impulse,
2007), hlm. 49-56. 6 Bdk. Geroge Ritzer, Teori Sosiologi Moder, Edisi ketujuh. Diterjemahkan Triwibowo B.S.,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2013) hlm. 285-289. 7 Chris Barker, Kamus Kajian Budaya. Diterjemahkan B. Hendar Putranto (Yogyakarta: Kanisius,
2014), hlm. 132-133. 8 Bagus Takwin, “Kota dan Kita” dalam Alfathri Adlin (ed.), Resistensi Gaya Hidup: Teori dan
Realitas (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hm. 133 9 Carola Suarez Orozco, “Formulating Identity in a Globalized World,” dalam Marcelo M. Suarez –
Orozco and Desire Baolian Qin-Hilliard (ed.), Globalization Culture and Education in The New
Millenium, (Los Angeles and London: University of California, 2004), hlm. 173-175.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
4
Integrasi sosial akan menjadi masalah baru bagi individu atau kelompok yang
berpindah ke Yogyakarta. Masalah ini juga terkait dengan apa yang dikatakan oleh
Anderson bahwa setiap individu memiliki ikatan dengan tanah kelahirannya sehingga
individu memiliki keinginan untuk kembali ke asalnya. Keinginan ini semakin diperkuat
oleh alat komunikasi dan transportasi sehingga dengan cepat dan mudah kembali ke
tanah airnya bahkan mendapatkan perkembangan-perkembangan tentang negara
asalnya. Bagi Anderson, keterikatan antara globalisasi dan nasionalisme disebut long
distance nasionalism yaitu berupa klaim identitas oleh individu maupun kelompok
terhadap wilayah lain yang diyakini sebagai asal-usulnya. Dengan demikian terjadi
suatu “kontestasi” antara perjuangan untuk berintegrasi secara sosial dengan keinginan
untuk kembali ke tanah asal.
Ketika masih berada di Tapanuli Utara, perubahan identitas tidak begitu kuat
disadari dan dilakukan karena ikatan primordialisme kesukuan dan kebudayaannya
secara sosio-kultural. Orang Batak Toba diikat oleh perasaan persaudaraan yang erat,
sebagaimana diurai Edward Bruner karena kesamaan identitas sebagai halak kita10
. Uli
Kozok sendiri melihat ikatan identitas sebagai halak hita dipengaruhi oleh dominasi
Gereja Protestan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang dari awal
melestarikannya karena keterkaitan antara bangsa dan bahasa.11
Namun, pada saat
10
Konsepsi halak hita cukup sering dipakai oleh orang Batak Toba untuk membedakan identitasnya
dengan etnis atau orang lain yang bukan Batak. Konsepsi ini memperkuat relasi psikologis dan sosial
sesama orang Batak dengan suasana empati [Lihat Ihromi (ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya
(Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), hlm. 213.] 11
Uli Kozok,Utusan Damai di Kemelut Perang (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010),
hlm. 73.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
5
memasuki kota seperti Yogyakarta, konstruksi identitas budaya Batak Toba semakin
kompleks karena berhadapan dengan situasi sosial yang baru.12
2. Perumusan dan Pembatasan Tema
Judul tesis ialah, Apa dan Siapa Batak Toba Yogyakarta: Identitas
Kewargaan Budaya Batak Toba di Yogyakarta. Identitas merupakan sebuah „entitas‟
yang dapat berubah menurut sejarah, waktu dan ruang, atau selalu dalam proses menjadi
yang dikonstruksi secara penuh dalam budaya dan masyarakat. Proses pembentukannya
berlangsung secara politis dalam sebuah komunitas yang ditempatkan dalam pandangan
kewarganegaraan.13
Merujuk pada pengertian identitas tersebut maka pertanyaan utama
yang akan dijawab dalam pengajuan tesis ini adalah:
1. Bagaimana migran Batak Toba merekonstruksi identitas komunitas ke-Batak-an
di tengah kewargaan budaya Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini?
2. Bagaimana komunitas Batak Toba mengekspresikan identitas ke-Batak-an di
dalam relasi sosial budaya?
3. Apa implikasi dan makna perubahan masa kini dari identitas budaya bagi etnis
Batak Toba di Daerah Istimewa Yogyakarta?
3. Tujuan Penelitian
Tesis ini mempunyai beberapa tujuan yakni:
1. Untuk mengetahui perubahan identitas migran Batak Toba di Daerah
Istimewa Yogyakarta yang plural.
12
Bdk. Ihromi (ed.), Pokok-pokok…, hlm. 214-218. Bdk. juga Daniel Perret, Kolonialisme dan
Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Diterjemahkan Saraswati Wardhany (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 17-18. 13
Chris Barker, Cultural…, hlm. 270-273
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
6
2. Untuk mengetahui cara komunitas terbayangkan masyarakat Batak Toba
mengekspresikan identitas ke-Batak-Toba-an dalam relasi sosial budaya
masa kini.
3. Untuk mengetahui strategi-strategi budaya yang dikembangkan masyarakat
Batak Toba dalam membangun identitas di Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Manfaat Penelitian
Terdapat point penting dari manfaat penelitian ini. Pertama, memberi sumbangan
pada kajian akademik ilmu sosial humaniora bagaimana konsep kewargaan budaya
(cultural citizenship) semakin berkembang dalam suatu daerah yang semakin plural.
Kedua, bagi komunitas/kelompok sosial yang diteliti, penelitian ini berguna untuk
mendalami secara teoritis bagaimana mereka hidup dalam suatu kota cultural
citizenship.
Ketiga, penelitian ini berguna bagi pengambil kebijakan di Yogyakarta dengan
melihat bagaimana komunitas merekonstruksi identitas seturut perkembangan
Yogyakarta yang hidup dalam cultural citizenships (kewargaan budaya). Keempat, bagi
penulis, dengan penelitian ini penulis akan semakin mendalami sebuah strategi yang
dipakai oleh komunitas tertentu yang “bertarung” di daerah yang semakin mendunia.
Ternyata ketika hendak survive, proses rekonstruksi identitas menjadi sangat penting
dalam menempatkan diri di daerah kewargaan budaya. Rekonstruksi menjadi jalan
untuk menempatkan diri yang semula sebagai migran berubah menjadi anggota
kewargaan budaya. Warga Jogja sendiri juga menggagas dan membayangkan “Batak
Jogja”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
7
5. Kajian Pustaka
Urbanisasi sangat berpengaruh pada pembentukan kewargaan budaya karena terkait
dengan mereka yang tinggal dan yang baru datang. Masri Singarimbun dalam artikelnya
Urbanisasi: Apakah itu suatu Problema? mengatakan bahwa salah satu dilema dalam
membendung urbanisasi adalah kenyataan perbedaan pendapatan antara desa dan kota.
Perbedaan itu menyebabkan ketidakmerataan fasilitas terutama penyediaan sarana dan
prasarana transportasi dan pertumbuhan industri yang membuka peluang kerja. Peluang
ekonomi menjadi faktor utama arus urbanisasi.14
Hanya saja Singarimbun tidak
mendalami lebih jauh dampak urbanisasi dalam aspek sosial budaya komunitas
pendatang.
Tentang perubahan identitas dalam konteks migrasi, cukup banyak ahli telah
melakukan penelitian orang Batak Toba di luar Tapanuli Utara15
. Sebut saja misalnya,
Edward Bruner. Ia telah melakukan penelitian kehidupan komunitas Batak Toba di Kota
Medan, Jakarta, dan Bandung. J. Hasselgren secara spesifik melakukan penelitian etno-
religius di daerah Provinsi Sumatera Utara. Jauh sebelum Bruner dan J. Hasselgren,
Daniel Perret telah melihat rekonstruksi idenitas masyarakat Batak Toba dalam
perspektif kolonialisme di Sumatera Timur. K. Sjahrir meneliti tentang masyarakat
Batak Toba dalam kaitannya dengan fungsi asosiasi klan di Jakarta. Togar Nainggolan
menempatkan penelitiannya dalam teori kontinuitas dan diskontinuitas kehidupan
masyarakat Batak Toba di Jakarta.16
Secara umum, para antropolog tersebut membagi
tiga tipe perubahan identitas.17
Pertama, tipe perubahan total yang dialami oleh para
migran dalam kultur lokal yang homogen yang terjadi pada masa kolonial. Dalam
14
Prisma, Mei 1977 hlm. 3-11 15
Sebutan Tapanuli Utara dalam tesis ini adalah wilayah administratif pemerintahan sebelum terjadi
pemekaran pada tahun 1998. 16
Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta, (Medan: Bina Media Perintis, 2006), hlm. 141-183.] 17
Togar Nainggolan, Batak Toba… hlm. 19-22.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
8
bukunya yang berjudul Kolonialisme dan Etnisitas, Daniel Perret mempertanyakan
identitas Batak yang mengingkari diri ketika ada bersama dengan masyarakat Melayu.18
Mereka melakukan perubahan identitas untuk meraih kemajuan. Resistensi yang cukup
tinggi berakibat pada migran Batak Toba yang mengambil alih kultur dan menjadikan
identitas Melayu sebagai identitas baru. Mereka tidak lagi menggunakan marga, sistem
perkawinan yang bersifat eksogami, dan tidak menjalankan sistem sosial masyarakat
Batak Toba (Dalihan Natolu19
) bahkan adat Batak Toba sendiri. Model perubahan
identitas seperti ini berlangsung saat kolonialisme masih menguasai Melayu.20
Hasselgren lebih mendalami perubahan identitas Batak Toba berdasarkan motif etnis
religius ke Sumatera Timur terutama pada tahun 1912-1965, sedangkan Anthony Reid
melihat migrasi Batak Toba secara besar-besaran ketika pemerintah menghapus
kerajaan-kerajaan di Medan dengan terciptanya tirani mutlak rasialisme.21
Hanya Reid
sendiri tidak menjelaskan apakah migrasi membawa perubahan di daerah migran.
Kedua, tipe perubahan identitas yang terbatas, yaitu tergantung pada kuat tidaknya
kultur lokal. Di sini tidak terjadi perubahan identitas secara total kepada hegemoni
kultur dominan setempat. Komunitas Batak Toba di Bandung menampilkan model
perubahan terbatas.22
Perubahan yang terbatas itu diakibatkan oleh patokan-patokan
yang diberlakukan oleh kultur dominan Sunda. Para migran mengambil posisi dalam
18
Daniel Perret, Kolonialisme…,hlm. 316-319. 19
Dalihan Na Tolu merupakan gabungan dari tiga kata bahasa Batak Toba, yakni Dalihan, Na dan
Tolu. Dalihan artinya tungku, Na artinya yang atau nan dan tolu artinya tiga. Jadi, Dalihan Na Tolu
berarti tungku nan tiga. Dalihan Na Tolu diserap menjadi sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba.
Dalihan Na Tolu terdiri dari pihak pemberi isteri (Hulahula), saudara semarga dari pihak penerima isteri
(Dongan Sabutuha) dan pihak penerima isteri (Boru). Ketiganya merupakan golongan fungsional
Masyarkaat Batak Toba yang berhubungan sangat erat, satu kesatuan yang tidak terpisahkan [Lihat M.A.
Marbun dan I.M.T. Hutapea, Kamus…, hlm. 37] 20
Daniel Perret, Kolonialisme…, hlm. 178-180 21
Anthony Reid, Sumatera, Revolusi dan Elite Tradisional. Diterjemahkan Tom Anwar (Depok:
Komunitas Bambu, 2011), hlm. 74-78. 22
Hasselgren, Batak Toba di Medan, Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di Medan
(1912-1965). Diterjemahkan Bina Media Perintis. (Medan: Bina Media Perintis, 2000) hlm. 19; E.M.
Bruner, „Batak ethnic associations in three Indonesian cities‟, dalam Southwestern Journal of
Anthropology 28, 1972, hlm. 211.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
9
sistem perkotaan di Bandung yang mengacu pada kehidupan sosial kebudayaan
dominan Sunda. Artinya, para migran mengadaptasi diri dengan kebudayaan dan
cenderung menjadi seperti Sunda (Suparlan).
Proses adapatasi terjadi dalam bentuk mekanisme identifikasi. Sumadi Dila dalam
dalam penelitiannya yang berjudul “Simbolisasi Muna di Bandung: Studi Identitas
Etnik Orang Muna” menggarisbawahi pentingnya partisipasi sosial, berorganisasi dan
lingkungan kerja yang meliputi: dialog diri, penyesuaian diri, dan penataan diri.23
Dila
melakukan penelitian dengan kerangka teori interaksi simbolik dan dramaturgi.
Tipe ketiga adalah perubahan identitas dengan penyesuaian kepada suatu
lingkungan yang heterogen dengan berbagai jenis kelompok etnis di mana tidak ada satu
kultur yang dominan. Di Jakarta tidak ada satu suku bangsa pun yang dominan secara
demografi sosial, dan tidak ada kebudayaan dominan seperti yang terdapat di Bandung.
Orang Jawa yang merupakan mayoritas di Jakarta bukanlah kelompok dominan karena
tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu, kebudayaannya
tidak merupakan model kebudayaan bagi kelompok-kelompok suku bangsa lainnya.
Masing-masing suku bangsa mempertahankan identitas etnis, hidup mengelompok di
antara sesama suku bangsanya. Para migran di Jakarta mengelompok bersama dengan
sesama warga suku bangsanya dan memperkuat posisi kelompok suku bangsanya dalam
hubungan antar suku bangsa dan dalam bersaing untuk posisi-posisi yang ada dalam
struktur kekuasaan kota Jakarta.24
Di Jakarta masing-masing kelompok etnis menciptakan keteraturan sosial dalam
lingkungan kehidupan masyarakat suku bangsanya. Di tempat-tempat umum mereka
23
Sumadi Dila, “Simbolisasi Etnik Muna di Bandung: Studi Identitas Etnik Orang Muda” dalam
MEDIATOR Vol. 9. No. 2 Desember 2008, hlm. 320-322. 24
https://etnobudaya.net/2011/01/02/kemajemukan-hipotesis-kebudayaan-dominan-dan-
kesukubangsaan/, Selasa, 27 Desember 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
10
saling berkompetisi menunjukkan identitas kultural. Tawar-menawar kekuatan dalam
bentuk konflik atau kerja sama di antara kelompok-kelompok suku bangsa dalam
memenangkan persaingan menyebabkan corak kesukubangsaan di Jakarta berbeda
dengan yang terdapat di Bandung.
Terhadap penelitian ini, peneliti mengikuti teori Bruner yang mendekati identitas
dari sudut kultur dominan.25
Penelitian Bruner berada di sekitar Jakarta dan Bandung
sementara penulis mencoba di kota Yogyakarta yang juga sedang mengalami
perubahan. Namun, hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Bruner dan
Nainggolan yakni menyangkut objek formal penelitian. Dengan metode kajian budaya,
penulis akan lebih melihat komunitas orang Batak Toba yang merekonstruksi
identitasnya karena identitas selalu bersifat dinamis dan diproduksi.
Berkaitan dengan teori Bruner, Suparlan26
memberi pandangan yang mengatakan
bahwa dalam hipotesis kebudayaan dominan tercakup tiga unsur yang masing-masing
berdiri sendiri, tetapi satu sama lainnya saling berhubungan, dan menentukan corak
kesukubangsaan atau produk dan hubungan antar suku bangsa yang terjadi. Unsur-unsur
tersebut yakni: Pertama, demografi sosial yang mencakup rasio populasi dan corak
heterogenitas serta tingkat percampuran hubungan di antara suku-suku bangsa yang ada
dalam sebuah konteks latar tertentu. Kedua, kemantapan atau dominasi kebudayaan
suku bangsa setempat, bila ada, dan cara-cara yang biasanya dilakukan oleh anggota-
anggota kelompok-kelompok suku bangsa pendatang dalam berhubungan dengan suku-
suku bangsa setempat, dan penggunaan kebudayaan masing-masing serta
pengartikulasiannya. Akhirnya, keberadaan dan kekuatan sosial dan pendistribusiannya
di antara berbagai kelompok suku bangsa yang hidup dalam konteks latar tersebut.
25
Togar Nainggolan, Batak Toba…, hlm. 2-6. 26
https://etnobudaya.net/2011/01/02/kemajemukan-hipotesis-kebudayaan-dominan-dan-
kesukubangsaan/,Selasa, 27 Desember 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
11
Empat puluh tahun setelah studi Bruner, Nainggolan melakukan penelitian di
Jakarta dengan konteks tanpa kultur yang dominan. Temuan Nainggolan mengatakan
bahwa perubahan identitas sangat jelas terjadi terutama orang Batak kelahiran Jakarta.
Titik berangkat dari perubahan itu yakni kesadaran diri dari dalam atau pengaruh dari
luar. Etnis yang heterogen tanpa kultur yang dominan membuat komunitas Batak Toba
di Jakarta semakin longgar terhadap norma dan nilai-nilai masyarakat Batak Toba.
Motif kehadiran orang Batak Toba di Bandung karena ekonomi. Motif ekonomi ini
dipengaruhi oleh budaya Sunda yang dominan. Berbeda dengan motif kedatangan orang
Batak Toba ke Yogyakarta yang semula untuk kepentingan kepentingan pendidikan.
Unsur budaya Jawa yang dominan membuat penelitian ini berbeda dengan apa yang
diteliti oleh Nainggolan.27
Yogyakarta sebagai daerah pendidikan tentu saja menjadi
penyebab utama kehadiran orang Batak Toba.
Mulder mendalami adaptasi budaya yang terjadi antara agama Islam dengan
budaya Jawa; antara agama Katolik dengan budaya Filipina, dan antara agama Budha
dengan budaya Thailand, sampai pada pernyataan bahwa antara ketiganya menunjukkan
persamaan-persamaan yang khas. Persamaan-persamaan itu adalah apa yang disebut
oleh Mulder dengan istilah lokalisasi. Konsep ini menyoroti inisiatif dan sumbangan
masyarakat lokal sebagai jawaban dan penanggung jawab atas hasil-hasil pertemuan
budaya. Dengan kata lain, budaya yang menerima pengaruh dari luar menyerap dan
menyatakan kembali unsur-unsur asing dengan cara menempa unsur-unsur asing itu
sesuai dengan pandangan hidup. Dalam proses lokalisasi, unsur-unsur asing perlu
menemukan akar-akar lokal, atau cabang asli daerah tersebut, di mana unsur-unsur
27
Togar Nainggolan, Batak Toba…, hlm. 268-281
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
12
asing itu dapat dicangkokkan. Melalui peresapan oleh getah budaya asli itu, cangkokan
itu akan berkembang dan berbuah.28
Hasil penelitian Mulder menjadi rujukan penting dalam penelitian ini karena
pada dasarnya terdapat kesamaan, meskipun cakupan wilayah penelitiannya lebih
sempit. Penelitian Mulder tentu bisa menjadi tuntunan dalam mengkaji persoalan-
persoalan adaptasi budaya orang Batak Toba di Yogyakarta, yakni bagaimana yang
lokal (Budaya Jawa Yogyakarta) memengaruhi budaya asing (Batak Toba) dan
sebaliknya. Lokalitas menjadi tempat terjadinya hubungan-hubungan sosial antarorang
dalam berbagai bentuk-bentuk komunikasi dan informasi yang melintasi ruang dan
waktu.
Orang-orang Cina di Surabaya menikah dengan perempuan Jawa sehingga hidup
seperti orang Jawa. Akar tradisi ajaran Hindu yang seperti pemujaan (Jawa: nyekar)
terhadap leluhur dan “tokoh-tokoh keramat” menjadi merk sekaligus menjadi trend di
berbagai lapisan kelas sosial.29
Apakah fenomena seperti ini juga terjadi pada
masyarakat Batak Toba di Yogyakarta sebagai salah satu usaha untuk mengurangi
resistensi? Bourdieu yang dikutip oleh Perret mengenai strategi kelompok-kelompok
kekerabatan mengatakan bahwa hubungan perkawinan sering merupakan hasil dari
strategi yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan materi dan simbolis, yang ditata
dengan merujuk pada suatu jenis keadaan ekonomi dan sosial terentu.30
Kajian ini
menjadi inspirasi dalam tesis ini untuk melihat bagaimana orang-orang Batak Toba
menunjukkan keinginannya mengonstruksi identitasnya sehingga dapat diterima oleh
28
Niels Mulder, Agama Hidup Sehari-hari dan Perubahannya: Jawa, Muangthai, dan Filipina
(Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 5. 29
Al Qurtuby, Sumanto, Arus Cina-Islam-Jawa, Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam
Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI, (Jakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003),
hlm. 175-185. 30
Daniel Perret, Kolonialisme…., hlm. 18.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
13
masyarakat Jawa-Yogyakarta tanpa memperhitungkan warisan biologis. Perkawinan
antara orang Batak dengan orang Jawa akan semakin menunjukkan suatu perubahan
identitas budaya bagi orang Batak Toba.
Setelah melakukan review terhadap penelitian tentang konstruksi pembentukan
identitas di atas, penelitian ini memiliki ciri khas dan urgensi tersendiri sehingga
menarik untuk diteliti. Alasan pertama adalah masih jarangnya studi-studi yang
mendalam tentang pembentukan identitas ke-Batak-Toba-an di Yogyakarta apalagi
dalam kajian budaya. Alasan kedua, studi ini diharapkan dapat menambah khasana
teoritik bagi pengembangan Kajian Kebudayaan identitas etnis di masa-masa
mendatang, yang berangkat dari realitas empirik komunitas Batak Toba yang
mengonstruksi identitasnya berdasarkan realitas Yogyakarta yang semakin
kosmopolitan.31
6. Landasan Teoritis
Dalam menganalisis kewargaan komunitas Batak di Yogyakarta, Penulis memakai
dua teori utama yang dikembangkan oleh dua tokoh yaitu Benedict Anderson dan Nick
Stevenson. Anderson mengembangkan Imagined Communities untuk membangun suatu
nasionalisme setelah suatu wilayah tertentu mengalami keterjajahan.Nick Stevenson
mengembangkan Cultural Citizenship. Kedua teori ahli mempunyai keterhubungan
dalam istilah cosmopolitan.
6.1. Imagined Communities dalam Nasionalisme-Kosmopolitan
Mengapa orang yang tidak saling mengenal bisa terikat dalam satu perasaan
bagian dari sebuah komunitas yang disebut bangsa? Apa yang membuat mereka merasa
senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa? Mengapa orang mau mati untuk sebuah
31
Benedict Anderson sangat menggarisbawahi peran print capitalism dalam mengembangkan
semangat kosmopolitanisme
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
14
bangsa, untuk anggota-anggota yang tidak dikenalnya? Sungguh suatu fenomena yang
tidak pernah terjadi sebelum masa imperialisme dan kolonialisme. Fenomena ini terlihat
saat terjadi kekompakan berdasarkan aliansi bahasa, etnis, latar belakang sejarah, dan
penderitaan menuju semangat “persatuan bangsa” melawan “kekuatan luar”.32
Anderson merumuskan semangat persatuan dengan konsep imagined community,
yaitu suatu bangsa yang imajiner karena “…para anggota terkecil sekalipun tidak bakal
tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain yang mengikutinya,” 33
tidak dalam
pikiran dan setiap kehidupan tetapi terhubung dalam kesamaan ide politik dan mengikat
diri dengan suatu perjanjian sekalipun tidak pernah berhadapan secara langsung atau
bahkan nama dan wajah masing-masing tidak pernah saling mengetahui. Komunitas
Imajiner terbentuk karena adanya rasa persamaan dan persekutuan berupa “horizontal
comradeship” (pertemanan horizontal dan mendalam). Faktor kolektivitas, atribut,
sejarah, ciri-ciri, keyakinan, sikap yang sama, teritorialisasi agama dan penurunan
ikatan kekerabatan. Bahasa sangat berperan dalam membentuk imagined communities
karena dapat memberi effect particular solidarities (efek solidaritas tertentu). Faktor
lain yang turut berperan di antaranya adalah karena adanya perubahan dalam birokrasi
pemerintahan kolonial, yang kemudian mulai diisi oleh orang-orang dari negeri jajahan.
Dengan menggunakan pisau analisis teori Marxist, Anderson membedah konsep
negara dan nasionalisme yang dibangun melalui gerakan perlawanan terhadap
kekuasaan absolut monarki, dan dengan implementasi kapitalisme. Menurutnya, negara
merupakan “an imagined political community and imagined as both inherently limited
and sovereign”. Semua anggota dari suatu negara tidak pernah mengenal dan
32
Teuku Kemal Fasya, Ritus Kekerasan dan Libido Nasionalisme (Yogyakarta: BukuBaik, 2005),
hlm. 118. 33
Benedict Anderson, Imagined Communities, Komunitas-komunitas Terbayang (Yogyakarta: Insist
Pers dan Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 8.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
15
memahami. Oleh karena itu, negara hanya sebuah komunitas politik yang imajinatif.
Unsur penting negara adalah bangsa. Sebanyak apa pun populasi masyarakatnya, negara
selalu “terbatas” yang secara lahiriah dapat dilihat. Bangsa merupakan sebuah
komunitas karena ikatan dalam mengabdi negara sampai mengorbankan diri. Anderson
melihat nasionalisme sebagai sistem budaya yang besar, tidak hanya level ideologi
politik yang akan bertumbuh apabila terdapat perubahan dalam: agama, dinasti, dan
konsep tentang waktu.34
Pertama, perubahan agama mengandaikan bahwa nasionalisme
semakin bertransformasi dalam arti mendunia. Kedua, sisi kereligiositasan (agama)
semakin berkurang. Ketiga, perubahan dinasti berarti nasionalisme mempertanyakan
semangat absolutisme, yang meyakini adanya kekuasaan pusat tertinggi. Akhirnya,
konsepsi feodal tentang waktu. Sebelumnya, di masa pra-modern, waktu selalu dilihat
secara simultan dan tanpa pengukuran yang pasti. Di masa modern, waktu diukur dalam
jam dan kalender. Dalam konstruksi identitas, konsep nasionalisme termasuk menjadi
penting untuk melihat perjuangan awal Batak Toba di Yogyakarta.
Terdapat tipe nasionalis baru yaitu Long-Distance Nationalism yang umumnya
dimiliki oleh kaum ekspatriat, seperti kaum Creole dari Amerika Utara dan Selatan pada
masa itu. Hal ini seperti soal dua model identitas modern dan posisi eksil (exile) dalam
nasionalisme di era kapitalisme global. Kaum ini tidak merasakan kedekatan dengan
negara yang ditinggali. Eksil politik bisa memainkan peran signifikan sebagai nasionalis
jarak jauh karena di satu sisi ia ''bebas" dari negaranya: tidak membayar pajak dan tidak
disiksa atau dipenjarakan rezim; tapi, di sisi lain, sebagai kelompok yang cukup mapan
di Dunia Pertama, ia bisa mengirimkan uang, senjata, dan pamflet serta membangun
sirkuit komunikasi internasional untuk ''mengobok-obok" negaranya. Oleh karena, itu
34
Benedict Anderson, Imagined Communities…,hlm. 17-54.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
16
kelompok ini akan memainkan politik identitas dengan berpartisipasi dalam konflik
yaitu melalui senjata, uang, dan propaganda.
Teuku Kemal Fasya menggarisbawahi poin penting sifat nasionalisme. Pertama,
nasionalisme adalah budaya tanding (counter-culture) terhadap kolonisasi sehingga
sanggup menyatakan hak terhadap seluruh sejarah komunitas. Dalam arti teritorial, sifat
nasionalisme tampak dalam perjuangan untuk mengembalikan bangsa yang terpenjara.
Kedua, nasionalisme adalah gagasan tentang perlawanan terhadap batas-batas
kebudayaan metropolitan dan feodalisme sehingga tercipta cerita baru dalam semangat
pembebasan, imajinasi dan kemerdekaan diri sendiri. Ketiga, nasionalisme selalu
terarah pada integrasi suatu komunitas menuju pembebasannya.35
Ketika membicarakan tentang pembentukan identitas pada masa modern (dalam
esai Nationalism, Identity and Logic of Seriality), Anderson tetap menekankan
pentingnya surat kabar yang bisa membawa kondisi keserentakan dalam pembentukan
imajinasi identitas tak terbatas. Identitas yang tidak terbatas dan tidak terikat itu seperti
pembentukan identitas kultural di atas, berlawanan dengan identitas yang cenderung
menyempit, yang tidak sama dengan kreasi modernitas. Identitas menyempit merupakan
jenis identitas yang dibentuk oleh sensus dan pemetaan, yang berpikir dalam kategori
numerik, dan melupakan adanya pecahan dan keragaman. Di sini identitas dikhayalkan
sebagai sesuatu yang utuh, anonim, dan total. Contohnya adalah identitas berdasarkan
etnisitas. Kategori mayoritas-minoritas dalam nomenklatur politik pada dasarnya adalah
ciptaan identitas berwatak sensus.
Lalu sejauh mana nasionalisme yang menempatkan komunitas berbasis teritorial
dan keterikatan emosional terhadap kolektivitas kompatibel dengan kosmopolitanisme
35
Teuku Kemal Fasya, Ritus Kekerasan dan Libido…,hlm. 139-141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
17
(prinsip politik dan komitmen kultural)? Terhadap persoalan ini, Anderson menegaskan
adanya korelasi antara nasionalisme dengan kosmopolitanisme dalam kehidupan sehari-
hari dan nilai-nilai budaya. Anderson membuktikan bahwa kosmopolitanisme dapat
timbul, bukan dari tradisi perjalanan atau filsafat yang terkenal, tetapi dari tempat yang
tak terduga, terluar, terjauh dari tempat wisata mewah. Anderson secara longgar
menggambarkan konsepnya melalui cerita tentang orang-orang, yang ia identifikasi
sebagai "secara tidak sadar kosmopolitan" (bdk. etnohistori.org.). Benedict Anderson
menemukan corak kosmopolitan dalam diri seorang keturunan Tionghoa bernama Kwee
Thiam Tjing yang memperluas pandangan humanitasnya tanpa bepergian.
Cynthia Foo dalam wawancaranya dengan Anderson merumuskan secara ketat
bahwa kosmopolitanisme adalah seseorang yang duniawi, bukan karena perjalanan
dunia, tetapi keterpaparan mereka terhadap budaya lain. Dengan pendekatan ini, kita
dapat melihat bahwa kosmopolitanisme dapat dipahami bukan sebagai teori politik
belaka, tetapi sebagai dinamika sosial budaya, pendekatan kemanusiaan untuk saling
memahami perbedaan satu sama lain. Kosmopolitanisme menjadi motivasi kaum
minoritas untuk bekerja sama, berjuang, tidak hanya untuk mendapatkan kembali
pengakuan tetapi juga kesejahteraan mereka.36
Dengan demikian, kosmopolitanisme
merupakan mobilisasi pemikiran dan pencapaian kebaikan bersama dengan hadirnya
pertukaran intrakultural.37
Mobilisasi pemikiran menjadi cikal bakal kosmopolitan
hibrid.
36
Fajar Ahmad Setiawan, “Cosmopolitanism as Experience: Global Imagined Solidarity in
Minorities Struggle,” dalam Budi Susanto, SJ., A. Windarto, & A. Harimurti (ed.), Proceeding of The
International Conference on Reviving Benedict Anderson: Imagined (Cosmopolitan) Communities
(Yogyakarta: Sanata Dharma dan Studi Lembaga Realino, 2017), hlm. 400-403. 37
Robert Holton, “Globalization's Cultural Consequences”, dalam Annals of the American Academy
of Political and Social Science, Vol. 570 TAHUN 2000, hlm. 140-152
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
18
Daerah Istimewa Yogyakarta akan mengolah semua pertarungan subjektivitas
mengenai identitas antara yang satu dengan yang lainnya. Di dalam ruang ketiga, daerah
Yogyakarta akan mengetahui sejauh mana identitas Batak Toba berkompetisi untuk
dapat menyatukan atau peleburan identitas. Bagi Barker, peleburan identitas menjadi
identitas hibrida yaitu berupa identitas baru karena percampuran antara identitas nenek
moyang seseorang dengan identitas di mana seserang lahir, tinggal, dan hidup. Keadaan
dunia yang bersifat globalisasi seperti sekarang ini segala sesuatunya bergerak dengan
cepat, persoalan identitas budaya hibrid banyak dibahas dibandingkan dengan identitas
budaya bangsa yang homogen. Pemaknaan kata-kata yang berbeda juga mendorong
manusia untuk memikirkan tentang budaya, identitas, dan identitas sebagai tempat
dengan batas-batas dan hibriditas, daripada kesatuan yang stabil dan baku.38
Teori ini
akan dipakai untuk menjawab rumusan pertanyaan nomor satu (bab dua) dan nomor dua
(bab tiga).
6.2. Kewargaan Budaya
Dahlgren yang dirujuk oleh Barker mengatakan bahwa kewargaan adalah suatu
bentuk identitas. Sebagai diri yang jamak, “identitas kewargaan” sipil berfungsi untuk
mengikat suatu nilai dan dunia-kewargaan secara demokratis. Kewargaan atau
citizenship mengartikulasikan masyarakat sipil dan negara secara terbuka dan tidak
determinatif.39
Sebagai sosiolog, T.H. Marshall mendefinisikan citizenship sebagai status yang
diberikan kepada semua anggota masyarakat sebagai penjamin atas hak dan kewajiban.
Dalam bukunya yang berjudul Citizenship and Social Class (1950), T.H. Marsall
38
Chris Barker, Cultural…,hlm. 263 39
Chris Barker, Cultural…,hlm. 481-482.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
19
merumuskan teori kewarganegaraan yang berfokus dalam sistem kelas. Citizenship
dalam konteks hak warganegaraan terdiri atas tiga hak dasar yakni: Kesamaan di depan
hukum (Rule of Law); Kesamaan dalam hak memilih (voting rights), dan Kesamaan hak
dalam memperoleh jaminan kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan, dan
pendapatan minimal, suatu tugas negara kesejahteraan (welfare state). Gagasan atas hak
sosial dan politik ini menjadi keterangan terhadap fungsi citizenship dalam
mempertahankan ide “keadilan sosial”. Artinya, bila pemerintah mengambil kebijakan
yang otoritarian atau menerapkan sistem ekonomi yang kapitalis-monetaristik maka ide
citizenship segera berakhir.
Kewargaan berkaitan dengan kewarganegaraan nasional yang berkontribusi
terhadap unversalisasi hak dan kewajiban pada abad pertengahan di Eropa. Pada masa
Perang Dunia Kedua, negara berorientasi pada kesejahteraan yang dipengaruhi oleh
sistem kapitalisme. Kapitalisme berkembang sebagai sistem sosial seiring dengan
struktur kelas yang berkembang sehingga kewargaan modern berubah dari sistem hak
menjadi hubungan pasar dalam hubungan antagonis. Bila ditempatkan dalam konteks
sejarah, T.H. Marsall mengatakan bahwa perjuangan prinsip hak-hak sipil dan hak
politik sudah berlangsung pada abad ke-18 dan ke-19, sedangkan abad ke-20
pemenuhan hak sosial40
. Abad ke-18 merupakan abad yang menekankan hak sipil
dengan prinsip utamanya kebebasan individu dalam bentuk: berpendapat, berpikir,
beriman, dan kebebasan untuk memasuki kontrak legal, sedangkan abad ke-19 lebih
menitik beratkan pada hak politik. Untuk abad ke-20 merupakan periode yang mengejar
kesejahteraan sosial misalnya: pendidikan gratis, pensiun, kesehatan, dan negara yang
sejahtera. Lord Acton yang dikuti Benedict Anderson dalam bukunya The Spectre of
40
Nick Stevenson, Cultural…, hlm. 6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
20
Comparisons memberi tiga kategori abad ke-20 yakni egalitarianisme, komunisme, dan
nasionalisme.41
Secara konseptual, citizenship mengandalkan beberapa kondisi seperti: budaya
kota (berpikir modern dan maju), sekularisasi (hal yang tidak berdasar pada ajaran
agama dan tradisi budaya tertentu), makin pudarnya nilai-nilai partikular (kepentingan
individu), munculnya konsep ruang publik (kebebasan berekspresi), dan bekerjanya
sistem adminsitrasi negara. Kondisi ini semakin membuka peluang bahwa citizenship
lebih luas dan bersifat universal. Universalitas yang dimaksud adalah peran aktif warga
negara dalam sebuah wilayah yang luas dan lintas tatanan pemerintahan lain. Hal ini
didasari oleh paradigma kesetaraan dan kesejahteraan yang berlandaskan pada prinsip
kemanusiaan. Sebagai warga negara dunia yang ikut serta menjaga dan mengatur
tatanan dunia yang lebih baik, seperti: kesetaraan, kesejahteraan, dan kedamaian dalam
masyarakat.
Lalu bagaimana kita membicarakan antara kewargaan (citizenship) dan budaya?
Renato Rosaldo (1994) mengatakan bahwa pintu masuk untuk membicarakan atau
memadukan kewargaan dan budaya terletak pada kesadaran bahwa dalam setiap warga
mempunyai „hak untuk berbeda‟, sambil menikmati kewargaan masyarakat secara
demokratis dan partisipatif. Arus demokrasi dan partisipasi membuat anggota warga
“keluar” dari kewargaannya untuk terhubung dengan persoalan yang melewati
kewargaannya. Rosaldo sendiri mendefinsikan kewargaan budaya sebagai “hak untuk
menjadi berbeda termasuk dalam pengertian demokratis partisipatif… bahkan ketika
perbedaan semacam itu… secara potensial dapat digunakan untuk membuat orang tidak
setara atau lebih rendah dari orang lain”. Stevenson yang merujuk pada Rosaldo (2001)
41
Benedict Anderson, The Spectre of Comparisons Nasionalism, Southeast Asia, and the World
(London: Verso, 1998), hlm. 58-59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
21
mengatakan bahwa kewargaan budaya adalah poliglot42
yang mampu berjalan dengan
nyaman di beberapa komunitas tanpa memikirkan identitas yang murni dan kurang
kompleks. Untuk mendukung teorinya, Stevenson juga mengutip pendapat Jhon Urry
(1995) yang mengatakan bahwa kita memiliki kewargaan budaya melalui pertumbuhan
kosmopolitanisme yang mendorong warga semakin terbuka lewat isu-isu global dan
konsumsi. Oleh karena itu, budaya dan kewarganegaraan atau kewargaan budaya sangat
terkait, baik dalam praktik politik maupun dalam kepentingan ekonomi.43
Kewargaan
budaya berarti upaya membangun kesadaran dan merumuskan identitas kultural, sosial,
dan individual di tengah transformasi sosial yang sedang berjalan. Identitas kultural
yang dimaksud bukan yang sudah distandarisasi, tetapi lebih pada kesadaran dan
subjektivitas masyarakat yang dipengaruhi oleh arus perubahan.44
Supratiknya45
memahami teori kewargaan budaya Nick Stevenson sebagai:
Sejenis kemampuan dalam konteks transnasional atau kosmopolitan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan publik seraya tetap dihargai sebagai subjek dan
tidak direduksi menjadi yang lain atau liyan, membutuhkan seperangkat nilai
sebagai pedoman atau panduan.
Proses pengakuan berlangsung dalam proses dalam status liminal (ambang) melalu
penanda-penanda seperti: bahasa, simbol, mitos, dan ritual. Unsur-unsur yang
memengaruhi dan terbentuknya kewargaan budaya, yakni: jaringan (networks),
informasi, globalisasi, risiko, refleksi, dan konsumsi. Dalam unsur tersebut, komunitas
Batak Toba menunjukkan identitasnya yang sedeang berada dalam liminal.
42
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa poliglot berarti dapat mengetahui,
menggunakan dan menulis dalam banyak bahasa. 43
Nick Stevenson (ed.), Culture and Citizenship (London: SAGE Publication, 2001), hlm. 2-3. 44
Nick Stevenson, Cultural…, hlm. 4-5; bdk. Alexander Koko Siswijayanto, Dilema Warga
Budaya, Transformasi di Era Informasi dan Pembentukan Kewargaan Budaya, (Seminar Setengah
Sehari: Universitas Sanata Dharma, 2014), hlm. 8 45
A. Supratiknya, “Pendidikan di Tengah Tantangan Kewargaan Budaya dan Ekstremisme Global”
dalam Anne Shakka dan A. Harimurti (ed.), Nasionalisme Di Tengah Kewargaan Budaya dan
Ekstremisme Global (Yogyakarta: Pusat Sejarah dan Etika Politik dan Sanata Dharma University Press,
2018), hlm. 130.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
22
6.2.1. Jaringan
Di manakah pusat kita sekarang ini? Pertanyaan ini bersumber dari perubahan
bentuk relasi yang tidak disadari oleh masyarakat. Jaringan (network) merupakan
sesuatu yang populer di kalangan masyarakat modern yang terdiri dari sebuah struktur
informatika berdasarkan relasi sosial di dalam sebuah web. Jaringan ini merupakan
kumpulan dari individu yang saling terhubungkan oleh berbagai ikatan sosial, seperti
afeksi, profesionalisme, keagamaan, budaya, dan politik.
Stevenson mengatakan bahwa dalam masyarakat informasi, gagasan jaringan sosial
(social network) menyiratkan suatu rute yang lebih dinamis layaknya seperti sirkuit
yang “tidak memiliki pusat tertentu”. Jaringan ada di seluruh “ruang” dan “waktu yang”
dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal. Oleh karena itu karakter kewargaan budaya
dalam masyarakat modern tidak didefinisikan melalui pusat atau ketunggalan seperti
yang berlangsung pada masyarakat industri yang menunjukkan pusat-pusat perusahaan.
Ketunggalan dibentuk dalam struktur yang mempunyai pusat pengorganisasian
sekaligus menentukan bentuk-bentuk relasi-relasi sosial dengan yang lain.
Dalam masyarakat informasi, imajinasi jejaring menjadikan suatu visi perputaran
yang dinamis yang tidak berpusat dan plural. Dibandingkan dengan masyarakat industri,
ada sebuah pergeseran paradigma dari memperhatikan massa kepada pembacaaan
sebuah psikologi evolutif hingga politik massa. Siapa pun yang memiliki pengaruh kuat
di jaringan, dia memiliki sebuah kekuatan dan kekuasaan massa. Kini, sangat tergantung
pada informasi dan usaha untuk mendapat sumber-sumber jaringan yang lebih tepat.
Kita mengetahui perkembangan ekonomi, gerakan sosial, politik, dan budaya melalui
jejaring yang terorganisir secara vertikal bukan secara horizontal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
23
6.2.2. Sistem Informasi
Pekerjaan merupakan merupakan kekuatan masyarakat industri, tetapi berbeda
dengan masyarakat modern yang menempatkan segala sesuatunya pada informasi.
Organisasi-organisasi dunia membangun suatu ideologi baru, seperti
“informasionisme”. Istilah ini mengacu pada suatu pengetahuan yang bersifat mandiri
dan kurang menanggapi pengetahuan yang datang dari suatu struktur yang hirarkis.
Perkembangan tehnologi menjadi alat yang secara cepat menyebarluaskan informasi,
lewat jaringan dan membentuk struktur-struktur yang lebih luas.46
Munculnya efek budaya yang disebut Castells „real virtuality‟ – di mana budaya
massa diproduksi oleh berbagai kepentingan manusia melalui jaringan internet hingga
menyentuh seluruh spektrum komunikasi antar manusia. Dalam bukunya yang berjudul
The Age of Information, Castell berpendapat bahwa digitalisasi pengetahuan menjadikan
informasi bisa diproses dan disebarluaskan melampaui batas-batas tertentu. Kapitalisme
menyandarkan diri pada kemampuan sistem informasi untuk menyebarluaskan
pengetahuan melampaui jaringan yang terpisah-pisah. Lingkungan media kini telah
melampaui gagasan suatu budaya massa, dan pesan-pesan secara eksplisit disesuaikan
terhadap bahasa-bahasa simbol dari audiens yang dituju. Suatu ekonomi yang bersandar
pada informasi ditandai dengan proses simultan perkembangan ekonomi. Jejaring dan
informasi mengalami transformasi raksasa yang luar biasa.47
Pertanyaan seputar sosial kemasyarakatan bisa muncul di sini. Dengan
kemampuannya untuk mengakses informasi, apakah orang akan semakin individualis
atau malahan melahirkan suatu bentuk solidaritas baru yang semakin tinggi?
46
Nick Stevenson, Cultural Citizenship…, hlm. 10-11. 47
Nick Stevenson, Cultural Citizenship…,hlm. 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
24
Pertanyaan ini juga semakin relevan ketika ditempatkan dalam konteks kewargaan
budaya yang banjir informasi. Orang semakin lebih banyak berhubungan dengan
internet daripada berelasi dalam dunia nyata. “Real virtual” yang menjadi ciri sistem
informasi akan ditelusuri melalui penggunaan media whatshapp group dari asosiasi klan
Batak Toba.
6.2.3. Globalisasi
Pokok pembicaraan di sini menyangkut akibat dari globalisasi yang tampak pada
ekonomi, politik dan budaya modern. Stevenson yang merujuk pada pandangan Giddens
mengatakan bahwa globalisasi menyangkut tehnologi komunikasi yang mampu
menanamkan gambaran dan informasi melampaui ruang, dan waktu. Dalam pandangan
Giddens, “mengosongkan” ruang dan waktu (dalam masyarakat modern)
memungkinkan terjadinya pemisahan hubungan sosial. Pemisahan ruang dan waktu
dapat dilihat secara nyata dalam kalender, jadwal-jadwal transportasi dan peta. Proses
ini merupakan sistem sosial yang tercerabut (disembedding of social system).48
Pada ranah globalisasi ini, kita bisa melihat pada awalnya bahwa penentuan diri
atas komunitas adalah tanggung jawab negara (nation-state). Transformasi kultural
bersamaan dengan ledakan budaya pada kehidupan sehari-hari telah membantu
menyebarluaskan sebuah dunia yang dihuni oleh orang-orang cerdas secara kultural.
Budaya modern menekankan demokrasi sebagai akibat dari “budaya keahlian” (expert
cultures). Sebut saja contoh globalisasi, yakni pengguna whatsapp yang membuat ruang
dan waktu tidak lagi berjarak. Bahkan batas-batas negara pun tidak lagi begitu jelas.
Media sosial membuat masyarakat menjadi warga global yang membentuk identitas
baru.
48
Nick Stevenson, Cultural Citizenship…hlm. 12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
25
Terdapat suatu kesadaran baru tentang efek dari globalisasi sebagaimana dikatakan
oleh Castell:
“Di seluruh dunia masyarakat menyesali betapa mereka kehilangan kontrol atas diri
mereka, atas lingkungan mereka, atas pekerjaan-pekerjaan mereka, atas
perekonomian mereka, atas pemerintahan mereka, atas negara-negara mereka, dan
terutama atas nasib bumi ini”.
Orang yang sudah merasa menjadi warga global bisa jatuh ke dalam ketidak-
pedulian terhadap segala keprihatian yang ada di sekitarnya. Kepedulian bukan dipicu
oleh kecuekan mentalitas personal maupun sosial, tetapi karena kekuatan penderitaan
terlalu masif terjadi dan di luar kontrol individu bahkan suatu kelompok masyarakat
sekalipun. Inilah akibat yang perlu diwaspadai.
6.2.4. Masyarakat Berisiko
Di zaman informasi, muncul suatu manajemen risiko secara luar biasa. Hal ini
dipicu oleh ambruknya tingkat kepercayaan atas gagasan kemajuan dan kepastian dan
diganti dengan risiko. Stevenson yang merujuk pada Beck (1992) membuat sebuah
patokan yang membedakan antara risiko yang menyertai modernitas dan nasib sebelum
masa industri. Pada zaman pra industri risiko didefinisikan sebagai nasib yang
menempatkan masyarakat sulit mengendalikan, seperti tulah, kelaparan, bencana alam.
Sebaliknya, bersama dengan masyarakat industri muncul gagasan risiko, yang secara
eksplisit memperhitungkan peradaban teknologi. Pengertian yang terakhir ini
melibatkan hukum, asuransi perusahaan dan perlindungan terhadap bahaya dari
masyarakat industri. Namun setelah abad keduapuluh, manusia tidak mampu
mengasuransikan risiko dari penghancuran planet bumi ini sebagai akibat dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
26
perkembangan rasionalitas ilmiah dan kemajuan ekonomi yang menghasilkan pelbagai
penghancuran.49
Pada masyarakat berisiko, dunia seolah-olah genting. Situasi ini membayangi
masyarakat, termasuk juga keluarga, gender, pekerjaan, keyakinan akan ilmu
pengetahuan dan kemajuan ekonomi, lingkungan hidup bahkan hidup itu sendiri. Ritzer
yang mengutip pendapat Beck menggarisbawahi bahwa “masyarakat berisiko” dapat
dilihat sebagai sejenis masyarakat industri karena kebanyakan risikonya itu berasal dari
industri yang mengeksploitasi sumber kekayaan.50
Ciri ini tidak terlalu mendapat
perhatian dalam tesis ini.
6.2.5. Modernitas Refleksif (Reflexive modernity)
Kalau masyarakat modern mempunyai kultur berisiko, bagaimanakah mencegah,
meminimalkannya atau menyalurkannya? Beck menggarisbawahi ciri dari masyarakat
berisiko yakni masyarakat modernitas refleksif. Bagi masyarkat modern, refleksivitas
mempunyai arti yang khusus terutama dalam konteks praktik sosial yang di dalamnya
selalu ada proses menguji dan mengubah seturut informasi yang diterima. Dalam
kaitannya dengan hubungan sosial, refleksivitas menjadi penting. Dengan jelas Beck
mengatakan51
:
“Bentuk baru relasi sosial dan jaringan sosial sekarang tergantung pada pilihan
orang secara individual; ikatan sosial pun makin refleksif sehingga ikatan sosial
itu dibentuk, dipelihara, dan secara tetap mendapat pembaharuan dari individu.”
Giddens yang dirujuk oleh Stevenson mengatakan bahwa keterlibatan dalam
produksi refleksi atas identitas membuat kita bertanggungjawab atas otobiografi hidup.
Dunia semakin kompleks menawarkan pilihan-pilihan yang sulit terutama menyangkut
49
Nick Stevenson, Cultural Citizenship…, hlm. 13-14. 50
George Ritzer, Teori…hlm. 515-516. 51
Ulric Beck, Risk Society Towords a New Modernity (London: SAGE Pulbications), hlm. 97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
27
gaya hidup. Habitus refleksi adalah bukti “praktik-praktik sosial secara terus-menerus
diuji dan diubah dalam cahaya informasi yang semakin muncul tentang praktik itu dan
dengan demikian sifatnya diubah”. Proses ini membantu untuk mendorong suatu
masyarakat baru di mana mereka hidup dalam proyek refleksif.52
Dalam proyek ini
manusia menentukan segala sesuatu dari dirinya, tidak ada lagi yang kemudian dianut.
Nilai-nilai menjadi semakin kabur dan pegangan menjadi tidak ada lagi.
Munculnya kemampuan untuk mengetahui kondisi saat ini akan membawa kita
ke batas jurang risiko. Bagi Melucci yang dikutip oleh Stevenson, keadaan ini dikenal
dengan “Integralisme”:
“Di bawah pengaruh integralisme, orang menjadi intoleran. Mereka mencari
kunci utama untuk membuka setiap pintu realitas, dan konsekuensinya mereka
menjadi tidak mampu membedakan berbagai level realitas yang ada. Mereka
lama untuk kesatuan. Mereka berhadapan dengan kompleksitas. Mereka menjadi
tidak mampu mengenali perbedaan dan dengan istilah personal dan politik
mereka menjadi fanatik (bigoted) dan berpikiran singkat (judgmental)”.53
Zaman mengarahkan orang untuk berpikir untuk menentukan segala sesuatu. Hal
ini mengarah pada integralisme yang dipahami sebagai pencaharian akan yang integral
(prinsip, spiritualitas, dan politik). Kecenderungan integralisme mengarah pada
intoleransi yang mengancam subjektivitas manusia. Apabila subjektivitas terpengaruh
maka refleksivitas pun akan sulit dibangun dan dibentuk. Poin ini tidak menjadi
orientasi dari tesis sekalipun ketika membahas poin tertentu akan terasa sisi integralisme
dalam praktik-praktik kehidupan orang Batak Toba Jogja.
6.2.6. Konsumsi
Konsumen adalah aktor sosial yang menggunakan gagasan, gambar, simbol, dan
produk komersial untuk (kembali) melakukan konfigurasi ke dalam proyek identitas
52
Nick Stevenson, Cultural Citizenship…,hlm. 14. 53
Nick Stevenson, Cultural Citizenship…, hlm. 15.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
28
yang berarti. Kapitalisme cetak menjadi alat konsumsi untuk membayangkan dan
membangun pengalaman konsumtif bagi konsumen atau warga. Dengan membaca,
orang menjadi bersatu dalam komunitas bahasa yang bersebelahan dengan batas-batas
geografis. Imajinasi pada tindakan mengonsumsi (membeli dan menguraikan teks
tertulis) menghasilkan konfigurasi identitas baru, industri baru, pasar baru, dan realitas
sosial baru (Anderson, 1983). Melanjutkan premis Anderson, Appadurai (1996)
mempertimbangkan fasilitas yang mengartikulasikan potensi dan keterbatasan manusia
melalui manipulasi tanda, simbol, produk komersial dengan masing-masing makna.
Dari perspektif Appadurai, imajinasi adalah milik semua orang dan merupakan praktik
sehari-hari dan proses sosial. Imajinasi sebagai cara memperoleh makna dan
menciptakan identitas dan komunitas (imagined comsumptive communities).54
Baudrillard (1998) yang dirujuk oleh Stevenson berpendapat bahwa tanda-tanda
dan makna dari benda-benda yang dikonsumsi merupakan hasil ciptaan untuk
menghubungkan emosi dengan produk konsumen. Hal ini menciptakan masyarakat
yang selalu mencoba segala sesuatu, manusia konsumtif yang dihantui oleh rasa takut
"hilang" sesuatu dalam berbagai bentuk kenikmatan.55
Simulasi tanda-tanda dan gambar
dalam masyarakat konsumen melampaui batas modernitas dengan informasi dan
perubahan dimensi budaya dan ekonomi. Melalui pengembangan sistem informasi
modern, masyarakat menjalani hidup dalam “badai salju” informasi. Lebih lanjut,
konsumsi tanda-tanda berarti bahwa politik dan ekonomi menjadi kebutuhan subjek
untuk merangsang sensasi dan kesenangan baru. Pertumbuhan ekonomi kapitalis pun
54
Hope Jensen Schau, “Consumer Imagination, Identity and Self-Expression", dalam NA -
Advances in Consumer Research Volume 27 (2000), eds. Stephen J. Hoch and Robert J. Meyer, Provo,
UT : Association for Consumer Research Tahun 2000, hlm. 50-56. Diakses dari acrwebsite.org, 16 Maret
2018. 55
Nick Stevenson, Cultural Citizenship… hlm. 14-15.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
29
tergantung pada konsumsi individu yang memiliki selera berlapis-lapis dengan produksi
sosial yang menyenangkan, tuntutan kebebasan, dan gaya hidup baru. Stimulasi
keinginan kini telah menjadi bagian sentral ekonomi budaya. Pengembangan jasa
keuangan dan kredit konsumen serta tingkat mempercepat omset desain telah
menciptakan sebuah masyarakat, di mana kesenangan konsumsi lebih sangat dihargai
dari tugas kewarganegaraan (Bourdieu, 1984). Komodifikasi kehidupan sehari-hari telah
memiliki keragaman efek pada budaya kontemporer dan kewarganegaraan.
Stevenson mengatakan bahwa kewargaan budaya terpenuhi ketika masyarakat
mencipta budaya semiotik dan material. Tujuan pencipta agar kehidupan sosial
bermakna, kritik terhadap praktik-praktik dominasi, dan terjadinya pengakuan
perbedaan dalam situasi yang toleran dan saling menghormati. Untuk mewujudkan
kewargaan budaya dibutuhkan perangkat institusi publik yang demokratis dan
terlindungi dari ekses pasar bebas.56
Teori kewargaan budaya akan dipakai untuk
menjawab rumusan pertanyaan nomor dua (bab tiga) dan terutama nomor tiga (bab
empat)
7. Metode Penelitian
Untuk meneliti konstruksi identitas Batak Toba, Penulis menggunakan metode
etnografi. Metode etnografi menggarisbawahi “hubungan reflektif antara peneliti dan
yang diteliti”.57
Kebudayaan bukan lagi dilihat sebagai sesuatu “yang ada di luar sana”,
melainkan lebih dilihat sebagai sesuatu yang dikonstruksi secara aktif lewat kegiatan
para etnografer. James Clifford dan Marcus menyatakan bahwa budaya bukanlah objek
untuk dilukiskan, bukan pula batang tubuh simbol-simbol dan makna-makna yang
56
Nick Stevenson (ed.), Culture and…, hlm. 3-4. 57
St. Sunardi, “Kajian Budaya: Pada Mulanya adalah Perlawanan…”, dalam RETORIK-VOL 2 No.
4 – OKTOBER 2003, hlm. 39.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
30
menyatu serta bisa diinterpretasikan secara definitif. Budaya itu dikompetisikan, bersifat
sementara dan tampil (hadir).58
Representasi baik oleh orang dalam atau orang luar
tercakup dalam penghadiran ini. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah studi
mengenai representasi identitas dan cara-cara membangun realitas yang ingin mereka
gambarkan dalam perubahan sosial. Kebudayaan kini bisa dilihat sebagai wilayah
kompetisi antara representasi dan wacana yang berjuang untuk mendapatkan
pengakuan, otoritas, dan suara.
Data tentang dinamika identitas komunitas Batak Toba di Yogyakarta tersebar di
dalam kehidupan komunitas Batak kini. Metode yang dikembangkan Paula Saukko
(2003) cukup memperhatikan aspek apa yang sedang diteliti dan yang akan menjadi
dasar untuk melihat konstruksi identitas yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba di
Yogyakarta. Dalam bukunya yang berjudul: Doing Research in Cultural Studies,
Saukko menekankan betapa pentingnya lived experience karena metode ini sangat tepat
untuk mengetahui pengalaman subjek dalam kaitannya dengan identitas.59
Senada
dengan Saukko, Nugroho juga menggarisbawahi pentingnya mendalami pengetahuan
keseharian yang dialami masyarakat sebagai interpretasi sosial. Mengutip pendapat dari
Berger dan Lukmann, Nugroho mengatakan,60
“Kehidupan sehari-hari mewakili dirinya
sendiri sebagai realitas yang diinterpretasikan oleh individu-individu yang memiliki
makna intersubjektif terhadap mereka”. Untuk menjalankan metodologi Saukko dan
Nugroho maka penulis melakukan metode berikut:
58
James Clifford dan Marcus, Writing Culture, The Poetic and Politic Ethnography (London:
Univeristy California Press, 1986), hlm. 10-19. 59
Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies (London: SAGE Publication,2003). 60
Heru Nugroho, Uang, Renternis dan Hutang Piutang di Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 42.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
31
7.1. Pengamatan Terlibat
Pasar termasuk salah satu tempat mata pencaharian masyarakat Batak Toba di
Yogyakarta. Ketika mencoba ikut ke pasar, cukup sering penulis dihindari oleh
responden. Rupanya, status saya sebagai pemimpin agama sering menjadi alasan untuk
menghindar. Tentu saja hal ini menjadi suatu tantangan dalam tehnik pengumpulan data
yang digagas oleh Saukko, proses etnografi dengan pengamatan terlibat atau participant
observation menjadi sentral dalam kajian budaya.
Penulis juga mengikuti upacara-upacara adat komunitas Batak Toba dan kegiatan
asosiasi klan yang ada di Yogyakarta. Kepada peserta undangan penulis mengajukan
pertanyaan yang berkaitan dengan tema tesis. Jawaban spontan mereka jauh lebih
menceritakan praktik kehidupan orang Batak Toba Yogja.
Satu hal yang perlu diwaspadai yakni menyangkut kedekatan emosional dan
psikologis (intimacy) karena akan membuat seorang peneliti menjadi tidak objektif dan
bias. Bahwa pada bagian-bagian tertentu peneliti tidak netral dan berpihak, misalnya
peneliti tidak setuju bahkan menentang hal-hal yang tidak sesuai dengan tradisi Batak
Toba, seperti menyambut pihak pemberi isteri (hulahula) dengan musik Maumere,
Gemu fa mi re. Untuk menjaga keokjektivan data, saya harus menggunakan kemampuan
analitis sekaligus berperan sebagai insider view. Peran sebagai insider tentu saja untuk
membuat distansi karena kedekatan identitas dengan masyarakat Batak Toba
Yogyakarta.
7.2. Wawancara
Siegel dalam “In Place of an Interview” begitu yakin bahwa wawancara membantu
seseorang memahami apa yang telah dibacanya. Wawancara itu bagaikan suara yang
dikatakan dari luar buku yang mempunyai posisi yang sama dengan pembaca, tetapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
32
lebih tahu. Oleh karena itu, catatan-catatan tentang kehidupan orang Batak Toba