tesis

30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Matematika a. Pengertian Matematika Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:723) matematika diartikan sebagai ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Pengertian tersebut hanya memandang berdasarkan satu objek matematika saja, yaitu bilangan. Sedangkan Clapham dan Nicholson dalam Kamus Matematika (2009:505) mendefinisikan matematika tidak hanya mengenai bilangan, tetapi sebagai cabang dari penyelidikan manusia yang menyangkut pembelajaran mengenai bilangan, kuantitas, data, bangun dan ruang beserta hubungannya, khususnya penggeneralisasian dan pengabstraksian serta aplikasinya pada situasi di dunia nyata. Menurut Karso, dkk (1993:2), “sasaran matematika itu tidaklah konkrit, tetapi abstrak. Matematika itu tidak hanya berkaitan dengan bilangan beserta operasi- operasinya, namun berhubungan pula dengan unsur lain. Matematika tidak begitu saja dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berhubungan dengan kuantitas, karena dalam geometri kuantitas kurang mendapat penekanan dibandingkan dengan kedudukan. Lebih-lebih pada abad ini, perkembangan matematika mengarah pada hubungan, pola bentuk, dan struktur.”. Lebih lanjut Karso, dkk (1993:3) mengungkapkan, meskipun matematika itu sukar, abstrak, dan terasa kurang memiliki kaitan dengan kehidupan sehari-hari. Namun pada akhirnya ilmu-ilmu lain menggunakan konsep-konsep matematika. Kline (1973) dalam Karso, dkk (1993:3) mengungkapkan bahwa matematika bukan pengetahuan yang menyendiri, yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi keberadaanya untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Tidak sedikit konsep dalam matematika yang memiliki kaitan erat dengan kehidupan sehari-hari, misalnya tentang kesamaan, lebih besar, lebih kecil, penjumlahan, pengukuran dan masih banyak lagi.

description

a

Transcript of tesis

Page 1: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Matematika

a. Pengertian Matematika

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:723) matematika diartikan

sebagai ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional

yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Pengertian tersebut

hanya memandang berdasarkan satu objek matematika saja, yaitu bilangan.

Sedangkan Clapham dan Nicholson dalam Kamus Matematika (2009:505)

mendefinisikan matematika tidak hanya mengenai bilangan, tetapi sebagai cabang

dari penyelidikan manusia yang menyangkut pembelajaran mengenai bilangan,

kuantitas, data, bangun dan ruang beserta hubungannya, khususnya

penggeneralisasian dan pengabstraksian serta aplikasinya pada situasi di dunia nyata.

Menurut Karso, dkk (1993:2), “sasaran matematika itu tidaklah konkrit, tetapi

abstrak. Matematika itu tidak hanya berkaitan dengan bilangan beserta operasi-

operasinya, namun berhubungan pula dengan unsur lain. Matematika tidak begitu

saja dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berhubungan dengan kuantitas, karena

dalam geometri kuantitas kurang mendapat penekanan dibandingkan dengan

kedudukan. Lebih-lebih pada abad ini, perkembangan matematika mengarah pada

hubungan, pola bentuk, dan struktur.”.

Lebih lanjut Karso, dkk (1993:3) mengungkapkan, meskipun matematika itu

sukar, abstrak, dan terasa kurang memiliki kaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Namun pada akhirnya ilmu-ilmu lain menggunakan konsep-konsep matematika.

Kline (1973) dalam Karso, dkk (1993:3) mengungkapkan bahwa matematika bukan

pengetahuan yang menyendiri, yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi

keberadaanya untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai

permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Tidak sedikit konsep dalam matematika

yang memiliki kaitan erat dengan kehidupan sehari-hari, misalnya tentang kesamaan,

lebih besar, lebih kecil, penjumlahan, pengukuran dan masih banyak lagi.

Page 2: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

Matematika telah memberikan banyak sumbangan dalam pengembangan IPA dan

teknologi bahkan ilmu sosial seperti ekonomi.

Soedjadi (2000:11) merinci enam definisi matematika, yaitu :

a. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan ekskak dan terorganisir secara

sistematik.

b. Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi

c. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan

dengan bilangan

d. Matematika adalah pengetahuan fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang

ruang dan bentuk

e. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik

f. Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.

Jadi, matematika adalah cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang

bilangan, kuantitas, data, bangun dan ruang beserta hubungannya berdasarkan

sehimpunan aturan yang terdefinisi dengan baik.

b. Matematika Sekolah

Matematika yang diajarkan pada jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan

Menengah merupakan matematika sekolah. Menurut Tim MKPBM Jurusan

Pendidikan Matematika UPI (2001:54-55), matematika sekolah terdiri atas bagian-

bagian matematika yang dipilih guna mengembangkan kemampuan-kemampuan dan

membentuk pribadi serta berpandu pada perkembangan IPTEK. Senada dengan hal

tersebut, Soedjadi (2000:37) mendefinisikan matematika sekolah sebagai unsur-

unsur atau bagian-bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi

kepada kepentingan pendidikan dan perkembangan IPTEK.

Matematika sekolah tidak sepenuhnya sama dengan matematika sebagai ilmu

namun tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika, yaitu memiliki objek kajian

yang abstrak serta diarahkan pada pola pikir deduktif konsisten. Dikatakan demikian

karena:

a. Penyajian atau pengungkapan butir-butir matematika yang disampaikan

disesuaikan dengan perkiraan perkembangan intelektual siswa.

b. Dalam proses pembelajaran dapat digunakan pola pikir induktif. Pola pikir

induktif yang digunakan dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tahap

perkembangan intelektual siswa.

Page 3: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

c. Katerbatasan semesta, dimana pengertian semesta pembicaraan tetap diperhatikan

namun sering kali dipersempit.

d. Sifat abstrak objek matematika tetap ada, tetapi kadarnya lebih rendah.

Jadi, matematika sekolah adalah bagian-bagian dari matematika yang dipilih

atas tujuan tertentu yakni berorientasi kepada kepentingan pendidikan termasuk di

dalamnya membentuk kepribadian dan pola pikir siswa serta perkembangan IPTEK.

2. Pembelajaran Matematika

Belajar adalah suatu proses yang membawa perubahan tingkah laku dalam

diri individu yang relatif tetap disebabkan oleh pengalaman dalam proses interaksi

dengan lingkungan. Belajar merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan

pendidikan termasuk dalam pendidikan menengah pertama. Ini berarti bahwa

berhasil atau gagalnya tujuan pendidikan, sangat tergantung pada proses belajar yang

dialami siswa.

Belajar dapat dilakukan oleh siswa sendiri ataupun dengan bantuan orang

lain. Apabila kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa melibatkan bantuan orang

lain, maka orang yang memberikan bantuan tersebut dinamakan sebagai pengajar dan

orang yang belajar disebut sebagai pembelajar. Sedangkan proses belajar yang terjadi

disebut pembelajaran.

Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidikan dan sumber

belajar pada lingkungan belajar. Interaksi siswa dengan lingkungan belajar dirancang

untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran berupa kemampuan

bermakna dalam aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan

(psikomotorik) yang dimiliki siswa sebagai hasil belajar setelah mereka

menyelesaikan pengalaman belajarnya. Dengan kata lain, hasil belajar inilah yang

merupakan refleksi keberhasilan proses belajar siswa sekaligus menentukan

keberhasilan suatu pendidikan.

Berbicara mengenai pendidikan, terdapat empat pilar pendidikan yang

dikemukakan oleh UNESCO (dalam Depdiknas, 2007:3), yaitu learning to know,

learning to do, learning to live together, dan learning to be. Implementasi dalam

pembelajaran matematika terlihat dalam pembelajaran dan penilaian yang sifatnya

Page 4: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

learning to know (fakta, skills, konsep, dan prinsip), learning to do (doing

mathematics), learning to be (enjoy mathematics), dan learning to live together

(cooperative learning in mathematics). Sebagai bentuk penerapan keempat pilar ini,

telah dikeluarkan Permen No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

(SKL) (dalam Depdiknas, 2007:4). Adapun SKL untuk mata pelajaran matematika

adalah:

a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,

dalam pemecahan masalah.

b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika

dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan

pernyataan matematika.

c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang

model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain

untuk memperjelas keadaan atau masalah.

e. Memiliki sifat menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu

memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,

serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dengan standar kompetensi lulusan di atas artinya tujuan dari pembelajaran

matematika adalah memenuhi standar tersebut. Namun sifat matematika yang abstrak

sering menjadi kendala untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang telah

dirumuskan. Oleh karen itu, dalam pembelajaran matematika masa kini, penyajian

matematika didasarkan pada teori psikologi pembelajaran.

Penyajian matematika dalam pembelajaran yang didasarkan pada psikologi

pembelajaran hanyalah salah satu karakteristik dari pembelajaran matemtika.

Menurut Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika UPI (2001:65) terdapat

empat karakteristik pembelajaran matematika di sekolah, yakni:

a. Pembelajaran matematika adalah berjenjang (bertahap).

Bahan kajian matematika diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu dimulai

dari hal konkrit dilanjutkan ke hal yang abstrak, dari hal yang sederhana ke hal

yang kompleks. Dengan kata lain, dari konsep yang mudah menuju konsep yang

lebih sukar.

Page 5: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

b. Pembejalaran matematika mengikuti metode spiral.

Yang dimaksud dengan pembelajaran matematika mengikuti metode spiral adalah

dalam memperkenalkan suatu konsep atau bahan yang baru perlu memperhatikan

dan mempertimbangkan konsep atau bahan yang telah dipelajari siswa

sebelumnya agar siswa dapat menemukan kaitan antar konsep matematika

sekaligus mengingatkan kembali tentang konsep yang telah dipelajari. Cara

pengulangan seperti itu bertujuan untuk memperluas dan memperdalam konsep

dalam matematika.

c. Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif.

Matematika adalah ilmu deduktif, tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun

demikian, guru harus dapat memilih pendekatan yang cocok dengan kondisi siswa

yang diajar. Misalnya, siswa SMP dengan rentang umur antara 11 sampai dengan

16 tahun di mana tahap perkembangan kognitif siswa akan beragam pada tahap

operasi konkrit dan operasi formal sehingga dalam pembelajaran matematika

belum seluruhnya menggunakan pendekatan deduktif, masih campur dengan

induktif.

d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsisten.

Kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsisten,

tidak ada pertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan lainnya. Suatu

pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan terdahulu

yang telah diterima kebenarannya. Dalam pembelajaran matematika di sekolah,

meskipun ditempuh pola induktif, tetapi tetap bahwa generalisasi suatu konsep

haruslah bersifat deduktif.

Kesimpulan dari penjabaran di atas difokuskan pada definisi pembelajaran

matematika yang terjadi di dalam kelas, yakni pembelajaran matematika merupakan

proses belajar yang dilakukan oleh siswa dengan bantuan orang lain, baik guru

maupun teman untuk mengoptimalkan fungsi matematika sebagai ilmu/pengetahuan,

alat, dan pola pikir seperti yang telah dirumuskan sebagai standar kompetensi lulusan

di mana proses belajar tersebut memiliki karakteristik, yakni konsep matematika

dipelajari bertahap serta mengikuti metode spiral serta pola pikir yang disesuaikan

dengan tingkat kognitif siswa dan mengikuti kebenaran konsisten.

Page 6: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

3. Masalah Kontekstual

Ada beberapa saran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika.

Lipman menyarankan dalam proses pembelajaran sebaiknya siswa diperlakukan

sebagai seorang pemikir (Kuswana, 2011). Salah satu cara menerapkan saran ini

adalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan serta dalam

pembelajaran matematika. Berkaitan dengan keikutsertaan siswa, Carpenter (2003)

menyatakan bahwa kesempatan siswa untuk ikut serta dalam matematika tergantung

pada bagaimana guru menyusun dan mengembangkan kesempatan tersebut di ruang

kelas. Pokok dari kesempatan tersebut adalah tugas yang diajukan oleh guru dan apa

yang dilakukan oleh siswa.

Tugas yang diajukan oleh guru dapat berarti segala bentuk pekerjaan rumah

ataupun aktivitas yang dilakukan di kelas di mana tugas tersebut harus dikerjakan

oleh siswa baik secara individu maupun berkelompok. Menurut Mason dan Johnston-

Wilder dalam Breen O‟Shea (2010), tugas seharusnya didesain agar siswa dapat

berdiskusi dan membuat pilihan sehingga dapat mengarahkan siswa untuk

memandang matematika sebagai sesuatu yang dapat dikonstruk. Dalam penelitian

ini, tugas yang dimaksud adalah masalah kontekstual.

Stanick & Kilpatrick (dalam Iswahyudi, 2011) mendefinisikan masalah

sebagai suatu keadaan dimana seseorang melakukan tugasnya yang tidak ditemukan

pada waktu sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah

bergantung pada masing-masing individu dan waktu. Untuk persoalan yang sama

akan menjadi masalah bagi seseorang tetapi tidak bagi orang lain. Demikian pula

suatu persoalan akan menjadi masalah pada saat ini tetapi suatu saat persoalan

tersebut belum tentu menjadi masalah pada masa yang akan datang.

Menurut Woolfolk (2009:74), masalah adalah semua situasi yang menuntut

seseorang untuk berusaha mencapai tujuan tertentu dan harus menemukan sarana/

cara untuk melakukannya. Definisi ini memberikan penekanan pada bagaiaman

seseorang mencapai suatu tujuan.

Definisi masalah dalam kaitanya dengan mata pelajaran diberikan oleh

Cooney dalam Shadiq (2009:4) yakni:“…a question to be a problem, it must present

a challenge that can not be resolved by some routin procedure known to the

Page 7: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

student”. Hal tersebut berarti suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika

pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan

dengan suatu prosedur rutin yang sudah diketahui orang yang memecahkan masalah

dan tidak semua pertanyaan merupakan masalah. Termuatnya “tantangan” serta

“belum diketahuinya prosedur rutin” pada suatu pertanyaan yang akan diberikan

kepada siswa akan menentukan terkategorikan atau tidaknya suatu pertanyaan

sebagai suatu “masalah”.

Dengan demikian dapat disimpulkan masalah adalah suatu keadaan di mana

seseorang melakukan tugas yang tidak ditemukan pada waktu sebelumnya dan

merupakan suatu tantangan yang belum dapat dipecahkan karena terjadi kesenjangan

antara tujuan yang ingin diselesaikan lalu berusaha mencari dengan sadar beberapa

tindakan yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang jelas, tetapi tujuan tidak dapat

segera dicapai.

Dalam penelitian ini, masalah yang dimaksud adalah masalah yang berkaitan

dengan matematika sekolah. Menurut Fung dan Roland (2004) masalah matematika

yang baik bagi siswa sekolah hendaknya memenuhi kriteria berikut:

a. Memerlukan lebih dari satu langkah penyelesaian.

b. Dapat diselesaikan dengan lebih dari satu cara/metode.

c. Menggunakan bahasa yang jelas dan tidak menimbulkan salah tafsir.

d. Menarik (menantang) serta relevan dengan kehidupan siswa.

e. Mengandung nilai (konsep) matematik yang nyata sehingga masalah tersebut

dapat meningkatkan pemahaman dan memperluas pengetahuan matematika siswa.

Selanjutnya, masalah kontekstual dalam matematika merupakan masalah

yang memuat konteks tertentu sehingga sebelum mendefinisikan masalah

kontekstual lebih lanjut, akan dibahas mengenai jenis-jenis konteks yang ada dalam

matematika. Konteks atau situasi dimaksudkan sebagai objek, peristiwa, fakta atau

konsep yang telah dikenal dengan baik oleh seseorang sehingga ia dapat

membangkitkan pengetahuan tentang hal tersebut dalam bentuk metode kerjanya

sendiri. Menurut de Lange (1987) ada empat macam konteks atau situasi yakni

sebagai berikut:

Page 8: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

a. Personal Siswa

Konteks berakaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa di rumah dengan

keluarga, dengan teman sepermainan, teman sekelas dan kesenangannya.

b. Sekolah/Akademik

Konteks yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah, di ruang kelas,

dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan proses pembelajaran.

c. Masyarakat/Publik

Konteks yang berkaitan dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar di

mana siswa tersebut tinggal. Beberapa soal kontekstual dapat dibuat mulai dari

bentuk, berat, harga, dan vitamin yang terkandung di dalamnya.

d. Saintifik/Matematik

Konteks yang berkaitan dengan fenomena dan substansi secara saintifik atau

berkaitan dengan matematika itu sendiri.

Dalam Program for International Student Assessment (PISA), konteks

matematika dibagi ke dalam empat situasi (Hayat & Yusuf, 2009) sebagi berikut:

a. Konteks pribadi yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan pribadi siswa

sehari-hari. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari tentu para siswa menghadapi

berbagai persoalan pribadi yang memerlukan pemecahan secepatnya. Matematika

diharapkan dapat berperan dalam menginterpretasikan permasalahan dan

kemudian memecahkannya.

b. Konteks pendidikan dan pekerjaan yang berkaitan dengan kehidupan siswa di

sekolah dan atau di lingkungan tempat bekerja. Pengetahuan siswa tentang konsep

matematika diharapkan dapat membantu untuk merumuskannya, melakukan

klasifikasi masalah, dan memecahkan masalah pendidikan dan pekerjaan pada

umumnya.

c. Konteks umum yang berkaitan dengan penggunaan pengetahuan matematika

dalam kehidupan bermasyarakat dan lingkungan yang lebih luas dalam kehidupan

sehari-hari. Siswa dapat menyumbangkan pemahaman mereka tentang

pengetahuan dan konsep matematikanya itu untuk mengevaluasi berbagai keadaan

yang relevan dalam kehidupan di dalam masyarakat.

Page 9: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

d. Konteks keilmuan yang secara khusus berhubungan dengan kegiatan ilmiah yang

lebih bersifat abstrak dan menuntut pemahaman serta penguasaan teori dalam

melakukan pemecahan masalah matematika. Konteks ini dikenal sebagai konteks

intra-mathematical.

Secara garis besar, baik yang diungkapkan oleh de Lange maupun yang ada

dalam PISA, ada empat jenis konteks yang sama termasuk mengenai konteks

saintifik/matematik atau dalam PISA disebut sebagai konteks intra-mathematical di

mana subtasnsi dalam matematika itu sendiri bertindak sebagai objek, peristiwa,

fakta atau konsep yang telah dikenal dengan baik oleh seseorang sehingga ia dapat

membangkitkan pengetahuan tentang hal tersebut dalam bentuk metode kerjanya

sendiri.

Tujuan penggunaan konteks adalah untuk menopang terlaksananya proses

guided reinvention (pembentukan model, konsep, aplikasi, dan mempraktekkan skill

tertentu). Penggunaan konteks juga dapat memudahkan siswa untuk mengenali

masalah sebelum memecahkannya. de Lange (1987) mengelompokkan soal-soal

kontekstual ke dalam dua bagian yaitu:

a. Konteks Dress-up (kamuflase)

Pada kelompok ini, soal-soal biasa diubah menggunakan bahasa cerita sehingga

terasa bahwa soal tersebut memiliki konteks.

b. Konteks yang relevan dengan konsep

Di sini, soal memiliki konteks yang relevan dengan konsep matematika yang

sedang dipelajari.

Selain itu, kesulitan soal kontekstual matematika bagi siswa dibagi ke dalam

tiga level yaitu:

a. Level I: Mudah -Reproduksi, definisi, prosedur standar, fakta

Pada level ini, diperlukan hanya satu konsep matematika.

b. Level II: Sedang- Kombinasi, Integrasi, Koneksi

Soal pada level ini membutuhkan paling tidak dua konsep matematika. Tipe

soalnya cenderung merupakan suatu pemecahan masalah atau problem solving.

c. Level III: Sulit-Matematisasi, reasoning, generalisasi, modeling.

Page 10: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Konsep matematika yang dibutuhkan untuk menjawab soal pada level ini sama

dengan pada level 2. Hanya, pada level ini soal-soalnya mengarah kepada

generalisasi dan modeling.

Bila dikaitkan dengan ketiga level kesulitan soal matematika tersebut, maka

fungsi konteks dalam matematika adalah: (1) pada level ketiga: konteks berfungsi

sebagai karakteristik dari proses matematisasi; (2) pada level kedua: konteks

berperan sebagai alat untuk mengorganisasi, menstruktur, dan menyelesaikan suatu

masalah realitas; serta (3) pada level pertama: tidak ada konteks atau jika ada maka

hanya kamuflase, operasi matematika yang ditambahi konteks.

Berdasarkan apa yang telah diungkapkan de Lange, masalah kontekstual

merupakan soal-soal dengan konteks tertentu yang memiliki level kesulitan minimal

level dua. Sedangkan Menurut Wardhani (2004) masalah kontekstual adalah masalah

yang berisi tentang kehidupan siswa sehari-hari, baik yang aktual maupun yang tidak

aktual, namun dapat dibayangkan oleh siswa karena pernah dialaminya.

Jadi, masalah kontekstual dalam matematika adalah masalah yang memiliki

konteks tertentu, baik berupa objek-objek konkrit maupun objek-objek dalam pikiran

siswa seperti fakta, konsep, atau prinsip dalam matematika. Masalah kontekstual

yang memiliki konteks berupa objek-objek dalam pikiran siswa berhubungan dengan

konsep matematika itu sendiri dapat dikatakan bahwa masalah tersebut memiliki

konteks matematik.

4. Pemecahan Masalah

Menurut Polya (1973), pemecahan masalah merupakan usaha mencari jalan

keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan mudah dapat

dicapai. Pemecahan masalah juga didefinisikan sebagai pemikiran yang terarah

secara langsung untuk menemukan suatu solusi/jalan keluar untuk masalah spesifik

(Solso dkk, 2007:434). Ormord (2008:393) menyatakan bahwa pemecahan masalah

adalah menggunakan (yaitu mentransfer) pengetahuan dan keterampilan yang sudah

ada untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab atau situasi yang sulit.

Sedangkan Slavin (2011) menganggap pemecahan masalah merupakan penerapan

pengetahuan dan kemampuan untuk mencapai sasaran tertentu.

Page 11: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

Menurut Branca dkk dalam Krulik & Reys (1980:3-6), istilah pemecahan

masalah sering digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan memiliki pengertian yang

berbeda-beda pula. Dalam matematika, makna pemecahan masalah memiliki

kekhasan tersendiri. Secara garis besar terdapat tiga macam interpretasi istilah

pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika, yaitu (1) pemecahan masalah

sebagai tujuan (problem solving as goal) (2) pemecahan masalah sebagai proses

(problem solving as a process) (3) pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar

(problem solving as a basic skill) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Pemecahan masalah sebagai tujuan (problem solving as goal)

Para pendidik, matematikawan, dan pihak yang menaruh perhatian pada

pendidikan matematika seringkali menetapkan pemecahan masalah sebagai salah

satu tujuan pembelajaran matematika. Apabila pemecahan masalah ditetapkan

atau dianggap sebagai tujuan pembelajaran maka ia tidak tergantung pada soal

atau masalah yang khusus, prosedur atau metode, dan juga isi matematika.

Anggapan yang penting dalam hal ini tentang bagaimana menyelesaikan masalah

(solve problems) merupakan “alasan utama” (primary reason) belajar matematika.

b. Pemecahan masalah sebagai proses (problem solving as process)

Pengertian lain tentang pemecahan masalah adalah sebagai sebuah proses yang

dinamis. Dalam aspek ini, pemecahan masalah dapat diartikan sebagai proses

mengaplikasikan segala pengetahuan yang dimiliki pada situasi baru dan tidak

biasa. Yang perlu diperhatikan adalah metode, prosedur, strategi dan heuristik

yang digunakan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah. Pemecahan masalah

sebagai proses ini sangat penting dalam belajar matematika dan yang demikian ini

sering menjadi fokus dalam kurikulum matematika.

c. Pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar (problem solving as a basic skill)

Pengertian pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar lebih dari sekedar

menjawab tentang pertanyaan: apa itu pemecahan masalah?

Dalam penelitian ini, pemecahan masalah yang dimaksud adalah pemecahan

masalah sebagai proses. Jenis belajar tersebut merupakan suatu proses psikologi yang

melibatkan tidak hanya sekedar aplikasi dalil-dalil, hukum-hukum atau teorema-

teorema yang dipelajari, melainkan juga harus didasarkan atas struktur kognitif siswa

Page 12: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

agar masalah yang bermakna dapat dipecahkan. Dalam pemecahan masalah siswa

juga didorong dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berinisiatif dan berpikir

sistematis dalam menghadapi suatu masalah dengan menerapkan pengetahuan yang

didapat sebelumnya.

Jadi, pemecahan masalah dapat diartikan sebagai usaha mencari jalan keluar

untuk suatu masalah spesifik, mencapai tujuan yang tidak segera dapat dicapai, dan

merupakan kombinasi dari gagasan cemerlang untuk membentuk gagasan baru di

mana gagasan yang dimaksud berasal dari pengetahuan dan

kemampuan/keterampilan yang sudah ada.

5. Metakognisi

Metakognisi merupakan salah satu kajian dalam psikologi pendidikan di

mana pertama kali diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976. Belakangan ini,

istilah metakognisi sudah tidak asing apalagi dalam dunia pendidikan. Dalam dunia

pendidikan, metakognisi sering kali dikaitkan dengan usaha untuk mengoptimalkan

kemampuan seseorang dalam pemecahan masalah (Gartman dan Freiberg, 1993),

mengoptimalkan hasil belajar yang dapat dicapai oleh peserta didik (Gama, 2004),

atau meningkatkan kemampuan seseorang menjadi pebelajar yang sukses

(Livingstone, 1997). Usaha melibatkan metakognisi dalam berbagai kegiatan belajar

diharapkan memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas belajar yang

dilaksanakan.

Dipandang penting dalam dunia pendidikan, metakognisi menjadi topik

hangat terkait Kurikulum 2013 meskipun sekolah yang merupakan lokasi penelitian

ini masih menggunakan KTSP namun telah ada persiapan ke arah penerapan

Kurikulum 2013. Garofalo dan Lester (JRME), dua ahli pendidikan matematika yang

terkenal dari Amerika Serikat telah menunjukkan pentingnya metakognisi dengan

menyatakan : “There is also growing support for the view that purely cognitive

analyses of mathematical performance are inadequate because they overlook

metacognitive actions.” Artinya, terdapat dukungan pada pendapat bahwa hanya

menggunakan analisis kognitif pada kemampuan matematis adalah tidak atau kurang

memadai karena mereka kurang memperhatikan prosedur yang berkaitan dengan

Page 13: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

metakognisi. Itulah salah satu kelebihan kurikulum 2013 adalah pencantuman istilah

metakognisi dalam dokumennya (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,

2012:43).

Lalu, apakah sebenarnya metakognisi itu? Jawaban atas pertanyaan tersebut

menjurus kepada definisi metakognisi. Sampai saat ini, belum tampak adanya

kesamaan pendapat tentang definisi metakognisi. Namun secara umum terdapat

kesamaan hakikat diantara pendapat yang ada tentang metakognisi.

Menurut Flavell (1979) metakognisi adalah kesadaran seseorang tentang

bagaimana ia belajar, kemampuan untuk menilai kesukaran suatu masalah,

kemampuan untuk mengamati tingkat pemahaman dirinya, kemampuan

menggunakan berbagai informasi untuk mencapai tujuan, dan kemampuan menilai

kemajuan belajarnya sendiri. Metakognisi oleh Matlin (dalam Desmita, 2006:137)

didefinisikan sebagai “knowledge and awareness about cognitive processes or our

though about thinking” yang berarti pengetahuan dan kesadaran tentang proses

kognitif atau berpikir tentang berpikir. Sedangkan menurut Suherman, dkk (2001:95)

metakognisi adalah pengetahuan tentang dirinya sendiri sebagai individu yang

belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan perilakunya.

Jadi, metakognisi adalah kesadaran tentang proses kognitif diri sendiri

sebagai individu yang belajar dan karena ia sadar akan pentingnya kemajuan dalam

belajar tersebut sehingga berupaya mengetahui bagaimana kognitifnya bekerja dan

bagaimana mengaturnya. Metakognisi dapat diistilahkan sebagai “thinking about

thinking”.

6. Pengetahuan Metakognitif

Flavell (1979) mengungkapkan bahwa metakognisi terdiri dari dua

komponen, yaitu (a) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan (b)

pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive experiences or regulation).

Brown dalam Gama (2004) menyatakan bahwa komponen metakognisi terdiri dari

(a) pengetahuan tentang kognisi (knowledge of cognition) sebagai aktivitas yang

mengandung kesadaran perefleksian kemampuan dan (b) regulasi kognisi (regulation

of cognition) sebagai aktivitas yang berkaitan dengan mekanisme pengaturan diri

Page 14: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

(self-regulation) selama berlangsungnya usaha belajar atau pemecahan masalah.

Sedangkan Hacker (2009), membagi komponen metakognisi menjadi tiga bagian

yaitu, (a) knowledge and beliefs about cognition, (b) monitoring cognition, (c)

regulating cognition. Sedangkan pada kesempatan lain, Flavell (1979) meyakini

bahwa pemantauan keragaman yang luas dari kegiatan kognitif berkaitan dengan aksi

dan interaksi dari (a) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), (b)

pengalaman metakognitif (metacognitive experiences), (c) tujuan atau tugas-tugas

(goals or tasks), (d) aksi atau strategi (actions or strategies). Namun dalam

penelitian ini, yang akan diteliti ialah mengenai pengetahuan tentang kognisi atau

lebih dikenal dengan pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge).

Pengetahuan metakognitif dicantumkan pada dimensi pengetahuan dalam

pendidikan karena hasil penelitian-penelitian terbaru mengungkapkan tentang

pentingnya pengetahuan siswa mengenai kognisi mereka sendiri dan kontrol mereka

atas kognisi itu dalam belajar. Dimensi pengetahuan tidak lagi terdiri dari tiga jenis

pengetahuan tetapi telah menjadi empat jenis pengetahuan yakni, pengetahuan

faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan

metakognitif. Seperti yang diungkapkan oleh Anderson & Krathwohl (2010), selain

terdapat tiga kategori pengetahuan, yaitu pengetahuan faktual (factual knowledge),

pengetahuan konseptual (conceptual knowledge), pengetahuan prosedural

(procedural knowledge), dan ditambahkan kategori yang keempat, yaitu pengetahuan

metakognitif (metacognitive knowledge).

Pengetahuan metakognitif berkaitan dengan pengetahuan faktual, konseptual,

dan prosedural di mana siswa perlu memiliki dan menyadari pengetahuan-

pengetahuan tersebut sebagai kognisi mereka. Oleh karena itu, sebelum lebih lanjut

membahas tentang pengetahuan metakognitif, diperlukan pembahasan tentang

pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, dan pengetahuan prosedural terlebih

dahulu:

a. Pengetahuan Faktual (Factual Knowledge)

Pengetahuan faktual meliputi elemen-elemen dasar yang digunakan dalam

menjelaskan, memahami, dan secara sistematis menata suatu disiplin ilmu.

Elemen-elemen dasar tersebut harus diketahui oleh siswa untuk mempelajari atau

Page 15: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

menyelesaikan masalah dalam suatu disiplin ilmu. Pengetahuan faktual terdiri dari

abstraksi level rendah. Terdapat dua subtipe pengetahuan dalam pengetahuan

faktual, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Pengetahuan mengenai istilah (knowledge of terminology)

Dalam setiap pokok bahasan pastilah terdapat batasan atau definisi istilah

yang telah disepakati, berisi sejumlah besar nama-nama dan simbol-simbol,

baik verbal maupun nonverbal.

2) Pengetahuan mengenai detail dan unsur-unsur yang spesifik (knowledge of

specific details and elements)

Setiap pokok bahasan berisi beberapa peristiwa, tempat-tempat, orang-orang,

tanggal, dan detail-detail lainnya yang diketahui dan dipercaya dapat

menggambarkan pengetahuan yang penting sekaligus mengenai masalah-

masalah atau topik-topik tertentu.

b. Pengetahuan Konseptual (Conceptual Knowledge)

Pengetahuan konseptual meliputi skema, model, mental, dan teori yang

mempresentasikan pengetahuan manusia tentang bagaimana suatu materi kajian

ditata dan distrukturkan, bagaimana bagian-bagian informasi saling berkaitan

secara sistematis, dan bagaimana bagian-bagian ini berfungsi bersama.

Pengetahuan ini mewakili pengetahuan individu tentang bagaimana suatu bagian

materi diorganisasikan dan disusun dalam suatu sistem. Pengetahuan konseptual

terdiri dari tiga subjenis yaitu

1) Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori (knowledge of classification and

category)

Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori meliputi kategori, kelas, divisi,

dan susunan yang spesifik dalam pokok bahasan yang berbeda. Seiring

berkembangnya pokok bahasan, serangkaian klasifikasi dan kategori dapat

digunakan untuk menemukan dan mengkaji elemen-elemen baru. Oleh karena

itu, pengetahuan ini lebih umum dan sering lebih abstrak daripada

pengetahuan terminologi dan fakta-fakta tertentu.

2) Pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi (knowledge of principles and

generalizations)

Prinsip dan generalisasi dibentuk oleh klasifikasi dan kategori. Prinsip dan

generalisasi merupakan bagian yang dominan dalam suatu disiplin ilmu dan

Page 16: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

juga digunakan untuk mengkaji masalah-masalah dalam disiplin ilmu tersebut.

Dalam prinsip dan generalisasi terdapat banyak fakta dan peristiwa yang

spesifik, mendeskripsikan proses dan interelasi di antara detail-detail fakta dan

peristiwa, serta menggambarkan proses dan interelasi di antara klasifikasi dan

kategori.

3) Pengetahuan tentang teori, model, dan struktur (knowledge of theories, models

and structures)

Pengetahuan tentang teori, model, dan struktur mencakup pengetahuan tentang

berbagai paradigma, epistemologi, model yang digunakan dalam disiplin-

disiplin ilmu untuk mendeskripsikan, memahami, menjelaskan, dan

meprediksi suatu fenomena.

c. Pengetahuan Prosedural

Pengetahuan prosedural adalah “pengetahuan tentang bagaimana” melakukan

sesuatu, dapat berkisar dari melengkapi latihan-latihan yang cukup rutin hingga

memecahkan masalah-masalah baru. Pengetahuan ini mencakup pengetahuan

tentang keterampilan, algoritma, teknik, dan metode, yang semuanya disebut

dengan prosedur. Pengetahuan prosedural terdiri dari tiga subjenis pengetahuan

berikut:

1) Pengetahuan tentang keterampilan dan algoritma dalam bidang tertentu

(knowledge of subject specific skills and algorithms)

2) Pengetahuan tentang teknik dan metode dalam bidang tertentu (knowledge of

subject specific techniques and methods)

3) Pengetahuan tentang kriteria untuk menentukan kapan harus menggunakan

prosedur yang tepat (knowledge of criteria for determining when to use

appropriate procedures)

Sementara pengetahuan faktual dan konseptual menyajikan pengetahuan “apa”,

pengetahuan prosedural menekankan pada “bagaimana”. Dengan kata lain,

pengetahuan prosedural mencerminkan pengetahuan dari “proses”, sedangkan

pengetahuan faktual dan konseptual berkaitan dengan apa yang disebut “produk”.

Livingstone (1997) mendefinisikan pengetahuan metakognitif sebagai

pengetahuan seseorang secara umum tentang bagaimana ia belajar dan memproses

informasi, seperti pengetahuan seseorang tentang proses belajarnya sendiri. Menurut

Anderson & Krathwohl (2010:82), pengetahuan metakognitif merupakan

Page 17: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

pengetahuan tentang kognisi secara umum dan kesadaran akan, serta pengetahuan

tentang kognisi diri sendiri. Sedangkan Nugrahaningsih (2011) berpendapat bahwa

pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan seseorang mengenai proses

berpikirnya yang merupakan perspektif pribadi dari kemampuan kognitifnya

dibandingkan dengan kemampuan orang lain.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan

metakognitif adalah pengetahuan seseorang mengenai bagaimana ia belajar dan

memproses informasi atau dapat dikatakan sebagai pengetahuan seseorang tentang

proses berpikirnya.

Flavell (1979) membagi pengetahuan metakognitif ke dalam tiga kategori

variabel, yaitu (a) variabel individu, (b) variabel tugas, dan (c) variabel strategi.

Flavell menggunakana kata variabel pada setiap kategori dalam pengetahuan

metakognitif. Sedangkan Krathwohl (2002) mengemukakannya dengan (a)

pengetahuan strategis (strategic knowledge), (b) pengetahuan tentang tugas kognitif

(knowledge about cognitive task), dan (c) pengetahuan-diri (self knowledge). Berikut

penjelasan dari setiap sub tipe dari pengetahuan metakognitif:

a. Pengetahuan strategis (strategic knowledge)

Pengetahuan strategis oleh Krathwohl (2002) didefinisikan sebagai

pengetahuan mengenai strategi umum dalam belajar, berpikir, dan memecahkan

masalah. Terkait dengan strategi Flavell (1979) mendefinisikan sebagai teknik-teknik

perilaku, keterampilan-keterampilan belajar atau memecahkan masalah yang dapat

membantu pembelajaran lebih efektif dan efisien.

Pengetahuan strategis dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang bagaimana

melakukan sesuatu atau mengatasi kesulitan yang ada, berkaitan erat dengan

pemantauan kognitif (cognitive monitoring) karena meliputi beragam strategi yang

dapat digunakan oleh siswa untuk memperoleh hasil yang optimal dalam

pembelajaran, berpikir, dan pemecahan masalah.

b. Pengetahuan tentang tugas kognitif (knowledge about cognitive task)

Menurut Krathwohl (2002), pengetahuan tentang tugas kognitif mencakup

pengetahuan tentang jenis operasi kognitif yang diperlukan untuk mengerjakan tugas

tertentu serta strategi kognitif mana yang sesuai dalam situasi dan kondisi tertentu.

Page 18: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

Pengetahuan tentang tugas kognitif mencakup pengetahuan kontekstual dan

pengetahuan kondisional. Pengembangan pengetahuan tentang strategi merupakan

hal yang penting untuk dilakukan oleh siswa namun strategi tersebut akan sia-sia

apabila siswa tidak mengetahui kapan dan mengapa strategi tersebut digunakan.

c. Pengetahuan-diri (self knowledge)

Menurut Krathwohl (2002), pengetahuan-diri mencakup pengetahuan tentang

kelebihan dan kekurangan diri sendiri dalam belajar. Salah satu syarat agar siswa

dapat menjadi pembelajar yang mandiri adalah kemampuannya untuk mengetahui di

mana kelebihan dan kekurangan serta bagaimana mengatasi kekurangan tersebut.

Jika siswa tidak menyadari bahwa mereka tidak mengetahui beberapa aspek

mengenai pengetahuan faktual atau konseptual atau bagaimana melakukan

pengetahuan prosedural, tidak mungkin mereka akan melakukan usaha apapun untuk

mempelajari materi baru. Suatu tanda keahlian adalah siswa mengetahui apa yang

mereka tahu dan tidak tahu serta tidak memiliki kesan yang salah atau berlebihan

terhadap pengetahuan mereka yang sebenarnya.

Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan seseorang mengenai

bagaimana ia belajar dan memproses informasi atau dapat dikatakan sebagai

pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya. Pengetahuan metakognitif

merupakan pengetahuan seseorang terkait pengetahuan faktual, konseptual, dan

prosedural yang ia miliki dan gunakan dalam pembelajaran ataupun pemecahan

masalah. Pengetahuan metakognitif terdiri dari tiga sub tipe pengetahuan yakni

pengetahuan strategis, pengetahuan tentang tugas kognitif, dan pengetahuan-diri.

7. Penggunaan Pengetahuan Metakognitif dalam Memecahkan Masalah

Kontekstual Berdasarkan Tahapan Polya

Masalah kontekstual merupakan masalah yang berkaitan tidak hanya dengan

objek-objek konkrit tetapi juga meliputi objek-objek dalam pikiran siswa seperti

fakta, konsep, atau prinsip dalam matematika. Di mana objek-objek yang dimaksud

menjadi konteks dari suatu masalah. Semakin meningkat level keabstrakan dari

matematika yang dipelajari oleh siswa, akan semakin sulit ditemukan konteks yang

berhubungan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Namun sebaliknya, konteks yang

Page 19: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

berhubungan dengan substansi dalam matematika itu sendiri akan semakin banyak

dan bervariasi.

Pemecahan masalah secara sederhana adalah proses penerimaan masalah

sebagai tantangan untuk memecahkannya. Pemecahan masalah dalam interpretasi

proses memerlukan tahap-tahap pemecahan masalah. Dalam memecahkan masalah

matematika, yang paling banyak dirujuk ialah tahapan Polya yang terdiri dari (1)

tahap I memahami masalah (understanding the problem), (2) tahap II menyusun

rencana (devising a plan), (3) tahap III melaksanakan rencana (carrying out the

plan), dan (4) tahap IV memeriksa kembali (looking back).

Tahapan Polya tersebut dikenal sebagai strategi heuristik di mana siswa dapat

mengembangkan strategi yang dimilikinya dengan luwes. Selain itu juga, tahapan

Polya dikenal sebagai “thinking of process” karena menghendaki kesadaran tentang

proses pada setiap tahap pemecahan masalah. Kesadaran juga timbul terkait dengan

tipe masalah yang dihadapi. Masalah kontekstual merupakan masalah yang

dipecahkan tidak hanya dengan menjalankan prosedur yang ada, tetapi juga tetap

menyadari konteks yang sedang berlaku dalam masalah.

Berikut penjabaran mengenai setiap tahapan Polya dalam memecahkan

masalah:

a. Tahap I Memahami Masalah (Understanding The Problem)

Dalam memahami masalah, Polya (1973) mengungkapkan bahwa siswa harus

mampu menunjukkan bagian utama dari masalah, yakni yang tidak diketahui, data,

dan kondisi yang ada. Untuk menunjukkan bagian utama dari suatu masalah, pastilah

siswa melalui proses identifikasi pengetahuan faktual dan pengetahuan konseptual

antara yang ia miliki dengan yang terkandung dalam teks masalah. Apakah teks

masalah mengandung pengetahuan faktual dan pengetahuan konseptual yang telah ia

miliki atau belum.

Penggunaan pengetahuan strategis dalam memahami masalah membuat siswa

senantiasa menyesuaikan langkah pada saat mengalami kesulitan dalam memahami

masalah. Siswa menyadari strategi apa saja yang digunakan untuk dapat menentukan

bagian utama dari suatu masalah (data, apa yang tidak diketahui, dan kondisi yang

ada). Indikator dari penggunaan pengetahuan strategis adalah siswa dapat

Page 20: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

menunjukkan strategi/cara-cara dalam memahami masalah termasuk menentukan

informasi penting dalam teks masalah.

Penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif membuat siswa senantiasa

mengetahui bagaimana ketepatan langkah dan arah dari apa yang ia lakukan. Siswa

menyadari alasan dari menggunakan strategi tertentu untuk memahami masalah.

Indikator dari penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif adalah siswa dapat

menjelaskan alasan dari menggunakan strategi tertentu dalam memahami masalah.

Penggunaan pengetahuan-diri dalam memahami masalah membuat siswa

mampu menunjukkan pemahaman masalah yang memadai untuk kelanjutan proses

pemecahan masalah. Siswa menyadari kelebihan dan kekurangan diri sendiri serta

dapat mengatasi kekurangan tersebut. Indikator dari penggunaan pengetahuan-diri

dalam memahami masalah adalah siswa dapat menunjukkan bahwa fakta/konsep

dalam teks masalah telah ada dalam skema pengetahuan yang ia miliki.

b. Tahap II Menyusun Rencana (Devising A Plan)

Menurut Polya (1973), pertanyaan dalam menyusun rencana adalah apakah

semua data dan seluruh kondisi telah digunakan. Dalam menyusun rencana

pemecahan masalah, siswa harus dapat menentukan hubungan antara data dengan

yang tidak diketahui sehingga memungkinkan untuk mengetahui bagaimana

gambaran umum proses menentukan variabel yang tidak diketahui. Sebagai langkah

awal, diperlukan suatu ide pemecahan. Ide dapat muncul secara bertahap, melalui uji

coba, atau muncul secara tiba-tiba sebagai “ide cemerlang”.

Penggunaan pengetahuan strategis dalam menyusun rencana membuat siswa

senantiasa menyesuaikan langkah pada saat mengalami kesulitan atau kebuntuan

dalam memperoleh gambaran umum tentang hubungan antara data dengan apa yang

tidak diketahui dalam kondisi tertentu. Siswa menyadari strategi apa saja yang dapat

digunakan dalam menemukan ide untuk rencana pemecahan masalah. Indikator dari

penggunaan pengetahuan strategis adalah siswa dapat mengungkapkan tentang dari

mana ia memperoleh ide awal untuk menyusun rencana pemecahan masalah.

Penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif dalam menyusun rencana

membuat siswa mengetahui tentang bagaimana arah dari apa yang ia rencanakan.

Indikator dari penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif dalam menyusun

Page 21: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

rencana adalah siswa dapat menjelaskan hubungan dari setiap tahap yang ia

rencanakan.

Penggunaan pengetahuan-diri dalam menyusun rencana membuat siswa

menyadari rencana pemecahan yang disusun telah memadai untuk menghubungkan

data dengan apa yang ditanya. Indikator dari penggunaan pengetahuan-diri adalah

siswa dapat menggunakan pengetahuan yang ia miliki untuk menyusun rencana

pemecahan.

c. Tahap III Melaksanakan Rencana (Carrying Out The Plan)

Menurut Polya (1973), rencana pemecahan masalah memberikan gambaran

umum sehingga kita harus memberikan rincian pada setiap garis besar rencana,

memperjelas setiap rencana. Maksudnya adalah dalam melaksanakan rencana

pemecahan masalah pada tahap sebelumnya, siswa menjalankan prosedur sesuai

dengan yang telah direncanakan. Siswa harus dapat menerapkan keterampilan

berhitung, manipulasi aljabar, serta membuat penjelasan dan argumentasi agar suatu

rencana pemecahan terlaksana dengan baik dan benar. Siswa juga harus berupaya

bekerja secara akurat.

Penggunaan pengetahuan strategis dalam melaksanakan rencana membuat

siswa senantiasa menyesuaikan langkah pada saat mengalami kesulitan atau

kebuntuan dalam mengoperasikan hitungan atau rumus tertentu. Siswa menyadari

apa saja yang dapat ia lakukan dalam melaksanakan pemecahan masalah. Indikator

dari penggunaan pengetahuan strategis adalah siswa dapat mengungkapkan tentang

apa saja yang ia lakukan untuk melaksanakan rencana pemecahan masalah.

Penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif dalam melaksanakan rencana

membuat siswa senantiasa mengetahui bagaimana ketepatan langkah dan arah dari

apa yang ia lakukan. Indikator dari penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif

adalah siswa dapat mengungkapkan alasan dari setiap langkah yang ia ambil dalam

melaksanakan rencana pemecahan masalah termasuk menunjukkan pemahaman

konsep yang terkait.

Penggunaan pengetahuan-diri dalam melaksanakan rencana pemecahan

membuat siswa menyadari kelebihan dan kekurangan diri sendiri serta dapat

mengatasi kekurangan tersebut sehingga dapat melaksanakan rencana pemecahan

Page 22: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

dengan perhitungan yang paling efektif dan akurat. Indikator dari penggunaan

pengetahuan-diri adalah siswa dapat memperkirakan durasi waktu, baik yang ia

butuhkan maupun yang tersedia untuk melaksanakan rencana pemecahan yang telah

disusun.

d. Tahap IV Memeriksa Kembali (Looking Back)

Polya (1973) mengungkapkan bahwa dengan melihat kembali pada solusi

akhir, dengan mempertimbangkan kembali, pengkajian ulang terhadap hasil dan jalan

yang mengarah ke sana, siswa dapat mengkonsolidasikan pengetahuan mereka dan

mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Pemeriksaan kembali

prosedur dan hasil pemecahan masalah tidak hanya bermanfaat bagi terselesaikannya

masalah dengan baik, tetapi juga bagi pengembangan kemampuan pemecahan

masalah. Pada tahap ini, yang dilakukan siswa adalah menganalisis dan

mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar,

apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur yang dibuat dapat

digunakan untuk menyelesaikan masalah sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat

generalisasinya.

Penggunaan pengetahuan strategis dalam memeriksa kembali membuat siswa

menyadari apa saja yang dapat ia lakukan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa

kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam memecahkan masalah telah teratasi.

Indikator dari penggunaan pengetahuan strategis adalah sebagai berikut siswa dapat

mengungkapkan tentang apa saja yang dilakukan dalam memeriksa kembali prosedur

dan hasil pemecahan masalah.

Penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif dalam memeriksa kembali

prosedur dan hasil pemecahan masalah membuat siswa senantiasa mengetahui

bagaimana ketepatan langkah dan arah dari pemeriksaan yang ia lakukan. Siswa

menyadari apa yang ia lakukan dengan menjelaskan alasan dari apa yang ia lakukan

dalam memeriksa kembali.

Penggunaan pengetahuan-diri dalam memeriksa kembali prosedur dan hasil

pemecahan masalah membuat siswa menyadari kelebihan dan kekurangan diri

sendiri serta dapat mengatasi kekurangan tersebut sehingga yakin bahwa prosedur

dan hasil pemecahan telah sesuai dengan yang dikehendaki. Indikator dari

Page 23: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

penggunaan pengetahuan-diri dalam memeriksa kembali adalah siswa dapat

menjelaskan seberapa baik hasil kerjanya dalam memecahkan masalah.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disusun indikator penggunaan

pengetahuan metakognitif pada setiap tahapan Polya seperti pada Tabel 2.1a-2.1d.

Tabel 2.1a Indikator Penggunaan Pengetahuan Metakognitif dalam

Memahami Masalah (Understanding The Problem)

Sub Tipe Pengetahuan Indikator Penggunaan dalam

Memahami Masalah (Understanding The Problem)

Pengetahuan Strategis

Siswa dapat menunjukkan strategi/cara-cara dalam

memahami masalah termasuk menentukan informasi

penting dalam teks masalah.

Pengetahuan Tentang

Tugas Kognitif

Siswa dapat menjelaskan alasan dari menggunakan

strategi tertentu dalam memahami masalah.

Pengetahuan-Diri

Siswa dapat menunjukkan bahwa fakta/konsep dalam

teks masalah telah ada dalam skema pengetahuan yang

ia miliki.

Tabel 2.1b Indikator Penggunaan Pengetahuan Metakognitif dalam

Menyusun Rencana (Devising A Plan)

Sub Tipe Pengetahuan Indikator Penggunaan dalam

Menyusun Rencana (Devising A Plan)

Pengetahuan Strategis

Siswa dapat mengungkapkan tentang dari mana ia

memperoleh ide awal untuk menyusun rencana

pemecahan masalah.

Pengetahuan Tentang

Tugas Kognitif

Siswa dapat menjelaskan hubungan dari setiap tahap

yang ia rencanakan.

Pengetahuan-Diri Siswa dapat menggunakan pengetahuan yang ia miliki

untuk menyusun rencana pemecahan.

Tabel 2.1c Indikator Penggunaan Pengetahuan Metakognitif dalam

Melaksanakan Rencana (Carrying Out The Plan)

Sub Tipe Pengetahuan Indikator Penggunaan dalam

Melaksanakan Rencana (Carrying Out The Plan)

Pengetahuan Strategis

Siswa dapat mengungkapkan tentang apa saja yang ia

lakukan untuk melaksanakan rencana pemecahan

masalah.

Pengetahuan Tentang Siswa dapat mengungkapkan alasan dari setiap langkah

Page 24: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Tugas Kognitif yang ia ambil dalam melaksanakan rencana pemecahan

masalah termasuk menunjukkan pemahaman konsep

yang terkait.

Pengetahuan-Diri

Siswa dapat memperkirakan durasi waktu, baik yang ia

butuhkan maupun yang tersedia untuk melaksanakan

rencana pemecahan yang telah disusun.

Tabel 2.1d Indikator Penggunaan Pengetahuan Metakognitif dalam

Memeriksa Kembali (Looking Back)

Sub Tipe Pengetahuan Indikator Penggunaan dalam

Memeriksa Kembali (Looking Back)

Pengetahuan Strategis

Siswa dapat mengungkapkan tentang apa saja yang

dilakukan dalam memeriksa kembali prosedur dan hasil

pemecahan masalah.

Pengetahuan Tentang

Tugas Kognitif

Siswa dapat menjelaskan alasan dari apa yang ia

lakukan dalam memeriksa kembali.

Pengetahuan-Diri Siswa dapat menjelaskan seberapa baik hasil kerjanya

dalam memecahkan masalah.

B. Penelitian yang Relevan

Berikut merupakan penelitian yang telah ada dan relevan dengan penelitian

ini:

1. Penelitian Mahromah & Manoy (2013) tentang identifikasi tingkat

metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan

perbedaan skor matematika.

Penelitian dilakukan di SMP Muhammadiyah 6 Surabaya dengan materi

bangun datar segiempat (persegi dan persegi panjang). Hasil dari penelitian tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Siswa dengan skor matematika tinggi tergolong pada tingkat metakognisi

“strategic use”. Siswa dengan tingkat metakognisi “strategic use” mempunyai

aktivitas-aktivitas metakognisi, seperti siswa mampu memahami masalah karena

dapat mengungkapkan dengan jelas, mampu memberi alasan yang mendukung

pemikirannya, dan tidak melakukan evaluasi terhadap hasil pemikirannya.

b. Siswa dengan skor matematika sedang tergolong pada tingkat metakognisi “aware

use”. Siswa dengan tingkat metakognisi “aware use” mempunyai aktivitas-

aktivitas metakognisi, seperti siswa mampu memahami masalah karena dapat

mengungkapkan dengan jelas, mampu menyadari kesalahan konsep (rumus) dan

Page 25: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

cara menghitung namun tidak dapat memperbaikinya, dan tidak melakukan

evaluasi terhadap hasil pemikirannya.

c. Siswa dengan skor matematika rendah tergolong pada tingkat metakognisi “tacit

use”. Siswa dengan tingkat metakognisi “tacit use” mempunyai aktivitas-aktivitas

metakognisi, seperti siswa tidak dapat menjelaskan apa yang diketahui dari

masalah, tidak menunjukan adanya kesadaran terhadap apa saja yang dipantau,

dan tidak melakukan evaluasi.

2. Penelitian Alfiyah & Siswono (2014) tentang identifikasi kesulitan

metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika.

Penelitian Alfiyah & Siswono (2014) tentang identifikasi kesulitan

metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika, dilakukan di SMP

Negeri 1 Puri pada tahun ajaran 2013/2014. Materi pelajaran yang digunakan dalam

penelitian tersebut adalah Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV). Dalam

penelitian tersebut digunakan indikator untuk kesulitan metakognisi pada komponen

pengetahuan metakognitif adalah tidak menyadari kelebihan atau kekurangan dirinya

dalam memecahkan masalah matematika, tidak menyadari pengetahuan apa yang

dapat digunakan untuk memecahkan masalah matematika, dan tidak mengetahui

alasan menggunakan suatu strategi dalam memecahkan masalah matematika. Dengan

hasil penelitian sebagai berikut:

a. Siswa yang memecahkan masalah matematika dengan benar mengalami kesulitan

metakognisi, yakni tidak menyadari kelebihan dirinya dalam memecahkan

masalah matematika.

b. Siswa yang melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah matematika

mengalami kesulitan metakognisi, yakni tidak menyadari kelebihan atau

kekurangan dirinya dalam memecahkan masalah matematika, tidak menyadari

pengetahuan apa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, dan tidak

mengetahui alasan menggunakan suatu strategi dalam memecahkan masalah

matematika.

Page 26: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Penelitian yang dilakukan oleh Mahromah & Manoy (2013) memberikan

informasi mengenai tingkat metakognisi siswa sekaligus memberikan gambaran

mengenai aktivitas-aktivitas metakognisi yang ditunjukkan subjek penelitian dari

kelompok siswa dengan skor matematika tinggi, sedang, dan rendah. Dengan kata

lain, terdapat gambaran penggunaan pengetahuan metakognitif siswa dalam

memecahkan masalah ditinjau dari skor matematika di mana dalam penelitian ini

tinjauan yang digunakan adalah siswa yang menjawab benar dan yang melakukan

kesalahan dalam memecahkan masalah. Sedangkan dari indikator yang digunakan

pada komponen metakognitif dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alfiyah &

Siswono (2014), peneliti memperoleh gambaran mengenai penggunaan metakognitif

dari tinjauan yang sama.

C. Kerangka Berpikir

Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang

bilangan, kuantitas, data, bangun dan ruang beserta hubungannya berdasarkan

sehimpunan aturan yang terdefinisi dengan baik. Matematika sebagai ilmu yang

sebenarnya tidak dapat diberikan begitu saja pada semua tingkatan kognitif siswa.

Namun kebutuhan akan matematika sangatlah tinggi, matematika mendasari ilmu-

ilmu lain yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari.

Matematika sekolah adalah bagian-bagian dari matematika yang dipilih atas

tujuan tertentu, yakni berorientasi kepada kepentingan pendidikan termasuk

didalamnya membentuk kepribadian dan pola pikir siswa serta perkembangan

IPTEK. Matematika sekolah tidak sepenuhnya sama dengan matematika sebagai

ilmu namun tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika, yaitu memiliki objek

kajian yang abstrak serta diarahkan pada pola pikir deduktif konsisten. Oleh karena

itu, matematika yang diajarkan di sekolah pun masih sukar dikuasai oleh sebagian

besar siswa. Bahkan menjadi “momok” terutama ketika musim ujian tiba.

Proses penerimaan objek kajian matematika yang abstrak dan pembentukan

pola pikir yang mengarah kepada deduktif konsisten, memanglah bukan hal yang

instan. Pembelajaran matematika di sekolah memegang peranan yang vital untuk hal

tersebut. Pembelajaran matematika merupakan proses belajar yang dilakukan oleh

Page 27: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

siswa dengan bantuan orang lain, baik guru maupun teman untuk mengoptimalkan

fungsi matematika sebagai ilmu/pengetahuan, alat, dan pola pikir seperti yang telah

dirumuskan sebagai standar kompetensi lulusan di mana proses belajar tersebut

memiliki karakteristik, yakni konsep matematika dipelajari bertahap dan mengikuti

metode spiral serta menekankan kepada pola pikir deduktif dan mengikuti kebenaran

konsisten.

Terkait dengan belajar, salah satu kompetensi yang harus mampu ditunjukkan

siswa dari hasil belajar matematika, yakni kemampuan memecahkan masalah

(problem solving). Pemecahan masalah dapat diartikan sebagai usaha mencari jalan

keluar untuk suatu masalah spesifik, mencapai tujuan yang tidak segera dapat

dicapai, dan merupakan kombinasi dari gagasan yang cemerlang untuk membentuk

gagasan yang baru di mana gagasan yang berasal dari pengetahuan dan

kemampuan/keterampilan yang sudah ada.

Sebenarnya, bagaimana seseorang melakukan proses pemecahan masalah dan

bagaimana seseorang mengajarkannya tidak sepenuhnya dapat dimengerti. Akan

tetapi, usaha untuk membuat dan menguji beberapa teori tentang pemrosesan

informasi atau proses pemecahan masalah telah banyak dilakukan dan memberikan

beberapa prinsip dasar atau petunjuk dalam belajar pemecahan masalah. Salah satu

diantaranya adalah Lester (Gartman & Freiberg, 1993) yang mengemukakan bahwa

tujuan utama mengajarkan pemecahan masalah dalam matematika adalah tidak hanya

untuk melengkapi siswa dengan sekumpulan keterampilan atau proses, tetapi juga

lebih kepada memungkinkan siswa berpikir tentang apa yang dipikirkannya. Berpikir

tentang apa yang dipikirkan dalam hal ini, berkaitan dengan kesadaran siswa

terhadap kemampuannya untuk mengembangkan berbagai cara yang mungkin

ditempuh dalam memecahkan masalah dan sebagai cara untuk mengatasi kesulitan

yang dialami. Proses menyadari dan mengatur pikiran siswa sendiri dikenal sebagai

metakognisi.

Metakognisi adalah kesadaran tentang proses kognitif diri sendiri sebagai

individu yang belajar dan karena ia sadar akan pentingnya kemajuan dalam belajar

tersebut, sehingga berupaya mengetahui bagaimana kognitifnya bekerja dan

bagaimana mengaturnya. Metakognisi dapat diistilahkan sebagai “thinking about

Page 28: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

thinking”. Terdapat dua komponen metakognisi, yakni (1) pengetahuan metakognitif

(metacognitive knowledge) merupakan pengetahuan seseorang mengenai bagaimana

ia belajar dan memproses informasi atau dapat dikatakan sebagai pengetahuan

seseorang tentang proses berpikirnya (2) pengalaman atau regulasi metakognitif

(metacognitive experiences or regulation) merupakan pengalaman kognitif atau

afektif yang menyertai dan berhubungan dengan semua kegiatan kognitif.

Seperti yang telah diungkapkan bahwa pengetahuan metakognitif merupakan

pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya. Pengetahuan metakognitif juga

merupakan pengetahuan seseorang yang terkait pengetahuan faktual, konseptual, dan

prosedural yang ia miliki dan gunakan dalam belajar ataupun pemecahan masalah.

Pengetahuan metakognitif terdiri dari tiga sub tipe pengetahuan yakni pengetahuan

strategis sebagai pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau mengatasi

kesulitan, pengetahuan tentang tugas kognitif mencakup pengetahuan tentang jenis

operasi kognitif yang diperlukan untuk mengerjakan tugas tertentu serta strategi

kognitif mana yang sesuai dalam suatu situasi dan kondisi, dan pengetahuan-diri

merupakan pengetahuan tentang kekurangan dan kelebihan diri sendiri dalam

memecahkan masalah.

Kembali pada proses pemecahan masalah, pemecahan masalah secara

sederhana adalah proses penerimaan masalah sebagai tantangan untuk

memecahkannya. Pemecahan masalah dalam interpretasi proses memerlukan tahap-

tahap pemecahan masalah. Dalam memecahkan masalah matematika, yang paling

banyak dirujuk ialah tahapan Polya yang terdiri dari tahap I memahami masalah

(understanding the problem), tahap II menyusun rencana (devising a plan), tahap III

melaksanakan rencana (carrying out the plan), dan tahap IV memeriksa kembali

(looking back).

Tahapan Polya tersebut dikenal sebagai strategi heuristik di mana siswa dapat

mengembangkan strategi yang dimilikinya dengan luwes. Selain itu juga, tahapan

Polya dikenal sebagai “thinking of process” karena menghendaki kesadaran tentang

proses pada setiap tahap pemecahan masalah. Berarti pada setiap tahapan Polya,

terdapat juga penggunaan pengetahuan metakognitif dalam melaksanakan proses

dengan sadar tersebut. Kesadaran juga timbul terkait dengan tipe masalah yang

Page 29: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

dihadapi. Masalah kontekstual merupakan masalah yang dipecahkan tidak hanya

dengan menjalankan prosedur yang ada, tetapi juga tetap menyadari konteks yang

sedang berlakuk dalam masalah.

Dalam memecahkan masalah, merupakan suatu hal yang wajar apabila

terdapat siswa yang mampu menjawab benar dan juga terdapat siswa yang

melakukan kesalahan. Selain dari karakteristik masalah itu sendiri, yakni tidak begitu

saja dapat diperoleh pemecahannya, juga karena kemampuan matematis siswa dalam

satu kelas beragam terutama dalam kemampuan pemecahan masalah.

Siswa yang secara konsisten menjawab benar dalam memecahkan masalah

matematika biasanya merupakan siswa yang memiliki kemampuan matematis yang

tinggi di mana skor matematika yang ia dapatkan termasuk dalam kategori tinggi.

Biasanya mereka telah melakukan banyak latihan pemecahan masalah sehingga

mampu mengatasi kesulitan serta mengetahui ketepatan dan arah dari langkah yang

ia ambil. Siswa yang menjawab benar dalam memecahkan masalah matematika

cenderung menggunakan pengetahuan strategis untuk mengatasi kesulitan yang ia

alami atau agar tujuannya tercapai, pengetahuan tentang tugas kognitif untuk

mengetahui ketepatan/arah dari setiap langkah yang ia lakukan, dan pengetahuan-diri

untuk pekerjaan yang lebih optimal atau hanya menggunakan pengetahuan strategis

dan pengetahuan tentang tugas kognitif. Siswa dalam kelompok ini akan

menggunakan pengetahuan metakognitif dalam setiap tahapan Polya kecuali tahap

memeriksa kembali karena belum terbiasa melakukan pemeriksaan kembali seperti

yang dikehendaki.

Sedangkan siswa yang secara konsistem melakukan kesalahan dalam

memecahkan masalah matematika biasanya merupakan siswa yang memiliki

kemampuan matematis yang sedang atau rendah dikarenakan konsep yang ia miliki

kurang tepat atau malah salah. Konsep yang siswa miliki tersebut menyebabkan

siswa tidak menyadari ketepatan dan arah dari apa yang ia lakukan serta tidak

mampu mengatasi kesulitan yang ada. Siswa yang melakukan kesalahan dalam

memecahkan masalah mungkin tidak dapat memahami masalah dengan tepat atau

jika dapat memahami masalah dengan tepat, siswa tidak melakukan hal yang tepat

untuk memecahkan masalah tersebut sehingga siswa cenderung tidak menggunakan

Page 30: tesis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

pengetahuan metakognitifnya dengan baik atau hanya digunakan dalam memahami

masalah.

Penelitian ini mendeskripsikan penggunaan pengetahuan metakognitif siswa

yang menjawab benar dan yang melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah

kontekstual berdasarkan tahapan Polya. Diagram kerangka berpikir penelitian ini

dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Diagram Kerangka Berpikir

Penggunaan pengetahuan metakognitif yang

terdiri dari penggunaan pengetahuan strategis,

penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif,

dan penggunaan pengetahuan-diri.

Kategori siswa:

1. Siswa yang menjawab benar dalam memecahkan masalah.

2. Siswa yang melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah.

Pemecahan masalah kontekstual dengan konteks

matematik terkait materi segitiga berdasarkan

tahapan Polya, yakni memahami masalah,

menyusun rencana, melaksanakan rencana, dan

memeriksa kembali.