tesis
-
Upload
lili-gtoehh -
Category
Documents
-
view
213 -
download
1
description
Transcript of tesis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Matematika
a. Pengertian Matematika
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:723) matematika diartikan
sebagai ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional
yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Pengertian tersebut
hanya memandang berdasarkan satu objek matematika saja, yaitu bilangan.
Sedangkan Clapham dan Nicholson dalam Kamus Matematika (2009:505)
mendefinisikan matematika tidak hanya mengenai bilangan, tetapi sebagai cabang
dari penyelidikan manusia yang menyangkut pembelajaran mengenai bilangan,
kuantitas, data, bangun dan ruang beserta hubungannya, khususnya
penggeneralisasian dan pengabstraksian serta aplikasinya pada situasi di dunia nyata.
Menurut Karso, dkk (1993:2), “sasaran matematika itu tidaklah konkrit, tetapi
abstrak. Matematika itu tidak hanya berkaitan dengan bilangan beserta operasi-
operasinya, namun berhubungan pula dengan unsur lain. Matematika tidak begitu
saja dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berhubungan dengan kuantitas, karena
dalam geometri kuantitas kurang mendapat penekanan dibandingkan dengan
kedudukan. Lebih-lebih pada abad ini, perkembangan matematika mengarah pada
hubungan, pola bentuk, dan struktur.”.
Lebih lanjut Karso, dkk (1993:3) mengungkapkan, meskipun matematika itu
sukar, abstrak, dan terasa kurang memiliki kaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Namun pada akhirnya ilmu-ilmu lain menggunakan konsep-konsep matematika.
Kline (1973) dalam Karso, dkk (1993:3) mengungkapkan bahwa matematika bukan
pengetahuan yang menyendiri, yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi
keberadaanya untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai
permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Tidak sedikit konsep dalam matematika
yang memiliki kaitan erat dengan kehidupan sehari-hari, misalnya tentang kesamaan,
lebih besar, lebih kecil, penjumlahan, pengukuran dan masih banyak lagi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Matematika telah memberikan banyak sumbangan dalam pengembangan IPA dan
teknologi bahkan ilmu sosial seperti ekonomi.
Soedjadi (2000:11) merinci enam definisi matematika, yaitu :
a. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan ekskak dan terorganisir secara
sistematik.
b. Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi
c. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan
dengan bilangan
d. Matematika adalah pengetahuan fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang
ruang dan bentuk
e. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik
f. Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.
Jadi, matematika adalah cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang
bilangan, kuantitas, data, bangun dan ruang beserta hubungannya berdasarkan
sehimpunan aturan yang terdefinisi dengan baik.
b. Matematika Sekolah
Matematika yang diajarkan pada jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah merupakan matematika sekolah. Menurut Tim MKPBM Jurusan
Pendidikan Matematika UPI (2001:54-55), matematika sekolah terdiri atas bagian-
bagian matematika yang dipilih guna mengembangkan kemampuan-kemampuan dan
membentuk pribadi serta berpandu pada perkembangan IPTEK. Senada dengan hal
tersebut, Soedjadi (2000:37) mendefinisikan matematika sekolah sebagai unsur-
unsur atau bagian-bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi
kepada kepentingan pendidikan dan perkembangan IPTEK.
Matematika sekolah tidak sepenuhnya sama dengan matematika sebagai ilmu
namun tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika, yaitu memiliki objek kajian
yang abstrak serta diarahkan pada pola pikir deduktif konsisten. Dikatakan demikian
karena:
a. Penyajian atau pengungkapan butir-butir matematika yang disampaikan
disesuaikan dengan perkiraan perkembangan intelektual siswa.
b. Dalam proses pembelajaran dapat digunakan pola pikir induktif. Pola pikir
induktif yang digunakan dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tahap
perkembangan intelektual siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
c. Katerbatasan semesta, dimana pengertian semesta pembicaraan tetap diperhatikan
namun sering kali dipersempit.
d. Sifat abstrak objek matematika tetap ada, tetapi kadarnya lebih rendah.
Jadi, matematika sekolah adalah bagian-bagian dari matematika yang dipilih
atas tujuan tertentu yakni berorientasi kepada kepentingan pendidikan termasuk di
dalamnya membentuk kepribadian dan pola pikir siswa serta perkembangan IPTEK.
2. Pembelajaran Matematika
Belajar adalah suatu proses yang membawa perubahan tingkah laku dalam
diri individu yang relatif tetap disebabkan oleh pengalaman dalam proses interaksi
dengan lingkungan. Belajar merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan
pendidikan termasuk dalam pendidikan menengah pertama. Ini berarti bahwa
berhasil atau gagalnya tujuan pendidikan, sangat tergantung pada proses belajar yang
dialami siswa.
Belajar dapat dilakukan oleh siswa sendiri ataupun dengan bantuan orang
lain. Apabila kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa melibatkan bantuan orang
lain, maka orang yang memberikan bantuan tersebut dinamakan sebagai pengajar dan
orang yang belajar disebut sebagai pembelajar. Sedangkan proses belajar yang terjadi
disebut pembelajaran.
Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidikan dan sumber
belajar pada lingkungan belajar. Interaksi siswa dengan lingkungan belajar dirancang
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran berupa kemampuan
bermakna dalam aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan
(psikomotorik) yang dimiliki siswa sebagai hasil belajar setelah mereka
menyelesaikan pengalaman belajarnya. Dengan kata lain, hasil belajar inilah yang
merupakan refleksi keberhasilan proses belajar siswa sekaligus menentukan
keberhasilan suatu pendidikan.
Berbicara mengenai pendidikan, terdapat empat pilar pendidikan yang
dikemukakan oleh UNESCO (dalam Depdiknas, 2007:3), yaitu learning to know,
learning to do, learning to live together, dan learning to be. Implementasi dalam
pembelajaran matematika terlihat dalam pembelajaran dan penilaian yang sifatnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
learning to know (fakta, skills, konsep, dan prinsip), learning to do (doing
mathematics), learning to be (enjoy mathematics), dan learning to live together
(cooperative learning in mathematics). Sebagai bentuk penerapan keempat pilar ini,
telah dikeluarkan Permen No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) (dalam Depdiknas, 2007:4). Adapun SKL untuk mata pelajaran matematika
adalah:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,
dalam pemecahan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika
dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan
pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e. Memiliki sifat menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dengan standar kompetensi lulusan di atas artinya tujuan dari pembelajaran
matematika adalah memenuhi standar tersebut. Namun sifat matematika yang abstrak
sering menjadi kendala untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang telah
dirumuskan. Oleh karen itu, dalam pembelajaran matematika masa kini, penyajian
matematika didasarkan pada teori psikologi pembelajaran.
Penyajian matematika dalam pembelajaran yang didasarkan pada psikologi
pembelajaran hanyalah salah satu karakteristik dari pembelajaran matemtika.
Menurut Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika UPI (2001:65) terdapat
empat karakteristik pembelajaran matematika di sekolah, yakni:
a. Pembelajaran matematika adalah berjenjang (bertahap).
Bahan kajian matematika diajarkan secara berjenjang atau bertahap, yaitu dimulai
dari hal konkrit dilanjutkan ke hal yang abstrak, dari hal yang sederhana ke hal
yang kompleks. Dengan kata lain, dari konsep yang mudah menuju konsep yang
lebih sukar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
b. Pembejalaran matematika mengikuti metode spiral.
Yang dimaksud dengan pembelajaran matematika mengikuti metode spiral adalah
dalam memperkenalkan suatu konsep atau bahan yang baru perlu memperhatikan
dan mempertimbangkan konsep atau bahan yang telah dipelajari siswa
sebelumnya agar siswa dapat menemukan kaitan antar konsep matematika
sekaligus mengingatkan kembali tentang konsep yang telah dipelajari. Cara
pengulangan seperti itu bertujuan untuk memperluas dan memperdalam konsep
dalam matematika.
c. Pembelajaran matematika menekankan pola pikir deduktif.
Matematika adalah ilmu deduktif, tersusun secara deduktif aksiomatik. Namun
demikian, guru harus dapat memilih pendekatan yang cocok dengan kondisi siswa
yang diajar. Misalnya, siswa SMP dengan rentang umur antara 11 sampai dengan
16 tahun di mana tahap perkembangan kognitif siswa akan beragam pada tahap
operasi konkrit dan operasi formal sehingga dalam pembelajaran matematika
belum seluruhnya menggunakan pendekatan deduktif, masih campur dengan
induktif.
d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsisten.
Kebenaran dalam matematika pada dasarnya merupakan kebenaran konsisten,
tidak ada pertentangan antara kebenaran suatu konsep dengan lainnya. Suatu
pernyataan dianggap benar bila didasarkan atas pernyataan-pernyataan terdahulu
yang telah diterima kebenarannya. Dalam pembelajaran matematika di sekolah,
meskipun ditempuh pola induktif, tetapi tetap bahwa generalisasi suatu konsep
haruslah bersifat deduktif.
Kesimpulan dari penjabaran di atas difokuskan pada definisi pembelajaran
matematika yang terjadi di dalam kelas, yakni pembelajaran matematika merupakan
proses belajar yang dilakukan oleh siswa dengan bantuan orang lain, baik guru
maupun teman untuk mengoptimalkan fungsi matematika sebagai ilmu/pengetahuan,
alat, dan pola pikir seperti yang telah dirumuskan sebagai standar kompetensi lulusan
di mana proses belajar tersebut memiliki karakteristik, yakni konsep matematika
dipelajari bertahap serta mengikuti metode spiral serta pola pikir yang disesuaikan
dengan tingkat kognitif siswa dan mengikuti kebenaran konsisten.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
3. Masalah Kontekstual
Ada beberapa saran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika.
Lipman menyarankan dalam proses pembelajaran sebaiknya siswa diperlakukan
sebagai seorang pemikir (Kuswana, 2011). Salah satu cara menerapkan saran ini
adalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan serta dalam
pembelajaran matematika. Berkaitan dengan keikutsertaan siswa, Carpenter (2003)
menyatakan bahwa kesempatan siswa untuk ikut serta dalam matematika tergantung
pada bagaimana guru menyusun dan mengembangkan kesempatan tersebut di ruang
kelas. Pokok dari kesempatan tersebut adalah tugas yang diajukan oleh guru dan apa
yang dilakukan oleh siswa.
Tugas yang diajukan oleh guru dapat berarti segala bentuk pekerjaan rumah
ataupun aktivitas yang dilakukan di kelas di mana tugas tersebut harus dikerjakan
oleh siswa baik secara individu maupun berkelompok. Menurut Mason dan Johnston-
Wilder dalam Breen O‟Shea (2010), tugas seharusnya didesain agar siswa dapat
berdiskusi dan membuat pilihan sehingga dapat mengarahkan siswa untuk
memandang matematika sebagai sesuatu yang dapat dikonstruk. Dalam penelitian
ini, tugas yang dimaksud adalah masalah kontekstual.
Stanick & Kilpatrick (dalam Iswahyudi, 2011) mendefinisikan masalah
sebagai suatu keadaan dimana seseorang melakukan tugasnya yang tidak ditemukan
pada waktu sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah
bergantung pada masing-masing individu dan waktu. Untuk persoalan yang sama
akan menjadi masalah bagi seseorang tetapi tidak bagi orang lain. Demikian pula
suatu persoalan akan menjadi masalah pada saat ini tetapi suatu saat persoalan
tersebut belum tentu menjadi masalah pada masa yang akan datang.
Menurut Woolfolk (2009:74), masalah adalah semua situasi yang menuntut
seseorang untuk berusaha mencapai tujuan tertentu dan harus menemukan sarana/
cara untuk melakukannya. Definisi ini memberikan penekanan pada bagaiaman
seseorang mencapai suatu tujuan.
Definisi masalah dalam kaitanya dengan mata pelajaran diberikan oleh
Cooney dalam Shadiq (2009:4) yakni:“…a question to be a problem, it must present
a challenge that can not be resolved by some routin procedure known to the
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
student”. Hal tersebut berarti suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika
pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan
dengan suatu prosedur rutin yang sudah diketahui orang yang memecahkan masalah
dan tidak semua pertanyaan merupakan masalah. Termuatnya “tantangan” serta
“belum diketahuinya prosedur rutin” pada suatu pertanyaan yang akan diberikan
kepada siswa akan menentukan terkategorikan atau tidaknya suatu pertanyaan
sebagai suatu “masalah”.
Dengan demikian dapat disimpulkan masalah adalah suatu keadaan di mana
seseorang melakukan tugas yang tidak ditemukan pada waktu sebelumnya dan
merupakan suatu tantangan yang belum dapat dipecahkan karena terjadi kesenjangan
antara tujuan yang ingin diselesaikan lalu berusaha mencari dengan sadar beberapa
tindakan yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang jelas, tetapi tujuan tidak dapat
segera dicapai.
Dalam penelitian ini, masalah yang dimaksud adalah masalah yang berkaitan
dengan matematika sekolah. Menurut Fung dan Roland (2004) masalah matematika
yang baik bagi siswa sekolah hendaknya memenuhi kriteria berikut:
a. Memerlukan lebih dari satu langkah penyelesaian.
b. Dapat diselesaikan dengan lebih dari satu cara/metode.
c. Menggunakan bahasa yang jelas dan tidak menimbulkan salah tafsir.
d. Menarik (menantang) serta relevan dengan kehidupan siswa.
e. Mengandung nilai (konsep) matematik yang nyata sehingga masalah tersebut
dapat meningkatkan pemahaman dan memperluas pengetahuan matematika siswa.
Selanjutnya, masalah kontekstual dalam matematika merupakan masalah
yang memuat konteks tertentu sehingga sebelum mendefinisikan masalah
kontekstual lebih lanjut, akan dibahas mengenai jenis-jenis konteks yang ada dalam
matematika. Konteks atau situasi dimaksudkan sebagai objek, peristiwa, fakta atau
konsep yang telah dikenal dengan baik oleh seseorang sehingga ia dapat
membangkitkan pengetahuan tentang hal tersebut dalam bentuk metode kerjanya
sendiri. Menurut de Lange (1987) ada empat macam konteks atau situasi yakni
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
a. Personal Siswa
Konteks berakaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa di rumah dengan
keluarga, dengan teman sepermainan, teman sekelas dan kesenangannya.
b. Sekolah/Akademik
Konteks yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah, di ruang kelas,
dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan proses pembelajaran.
c. Masyarakat/Publik
Konteks yang berkaitan dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar di
mana siswa tersebut tinggal. Beberapa soal kontekstual dapat dibuat mulai dari
bentuk, berat, harga, dan vitamin yang terkandung di dalamnya.
d. Saintifik/Matematik
Konteks yang berkaitan dengan fenomena dan substansi secara saintifik atau
berkaitan dengan matematika itu sendiri.
Dalam Program for International Student Assessment (PISA), konteks
matematika dibagi ke dalam empat situasi (Hayat & Yusuf, 2009) sebagi berikut:
a. Konteks pribadi yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan pribadi siswa
sehari-hari. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari tentu para siswa menghadapi
berbagai persoalan pribadi yang memerlukan pemecahan secepatnya. Matematika
diharapkan dapat berperan dalam menginterpretasikan permasalahan dan
kemudian memecahkannya.
b. Konteks pendidikan dan pekerjaan yang berkaitan dengan kehidupan siswa di
sekolah dan atau di lingkungan tempat bekerja. Pengetahuan siswa tentang konsep
matematika diharapkan dapat membantu untuk merumuskannya, melakukan
klasifikasi masalah, dan memecahkan masalah pendidikan dan pekerjaan pada
umumnya.
c. Konteks umum yang berkaitan dengan penggunaan pengetahuan matematika
dalam kehidupan bermasyarakat dan lingkungan yang lebih luas dalam kehidupan
sehari-hari. Siswa dapat menyumbangkan pemahaman mereka tentang
pengetahuan dan konsep matematikanya itu untuk mengevaluasi berbagai keadaan
yang relevan dalam kehidupan di dalam masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
d. Konteks keilmuan yang secara khusus berhubungan dengan kegiatan ilmiah yang
lebih bersifat abstrak dan menuntut pemahaman serta penguasaan teori dalam
melakukan pemecahan masalah matematika. Konteks ini dikenal sebagai konteks
intra-mathematical.
Secara garis besar, baik yang diungkapkan oleh de Lange maupun yang ada
dalam PISA, ada empat jenis konteks yang sama termasuk mengenai konteks
saintifik/matematik atau dalam PISA disebut sebagai konteks intra-mathematical di
mana subtasnsi dalam matematika itu sendiri bertindak sebagai objek, peristiwa,
fakta atau konsep yang telah dikenal dengan baik oleh seseorang sehingga ia dapat
membangkitkan pengetahuan tentang hal tersebut dalam bentuk metode kerjanya
sendiri.
Tujuan penggunaan konteks adalah untuk menopang terlaksananya proses
guided reinvention (pembentukan model, konsep, aplikasi, dan mempraktekkan skill
tertentu). Penggunaan konteks juga dapat memudahkan siswa untuk mengenali
masalah sebelum memecahkannya. de Lange (1987) mengelompokkan soal-soal
kontekstual ke dalam dua bagian yaitu:
a. Konteks Dress-up (kamuflase)
Pada kelompok ini, soal-soal biasa diubah menggunakan bahasa cerita sehingga
terasa bahwa soal tersebut memiliki konteks.
b. Konteks yang relevan dengan konsep
Di sini, soal memiliki konteks yang relevan dengan konsep matematika yang
sedang dipelajari.
Selain itu, kesulitan soal kontekstual matematika bagi siswa dibagi ke dalam
tiga level yaitu:
a. Level I: Mudah -Reproduksi, definisi, prosedur standar, fakta
Pada level ini, diperlukan hanya satu konsep matematika.
b. Level II: Sedang- Kombinasi, Integrasi, Koneksi
Soal pada level ini membutuhkan paling tidak dua konsep matematika. Tipe
soalnya cenderung merupakan suatu pemecahan masalah atau problem solving.
c. Level III: Sulit-Matematisasi, reasoning, generalisasi, modeling.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Konsep matematika yang dibutuhkan untuk menjawab soal pada level ini sama
dengan pada level 2. Hanya, pada level ini soal-soalnya mengarah kepada
generalisasi dan modeling.
Bila dikaitkan dengan ketiga level kesulitan soal matematika tersebut, maka
fungsi konteks dalam matematika adalah: (1) pada level ketiga: konteks berfungsi
sebagai karakteristik dari proses matematisasi; (2) pada level kedua: konteks
berperan sebagai alat untuk mengorganisasi, menstruktur, dan menyelesaikan suatu
masalah realitas; serta (3) pada level pertama: tidak ada konteks atau jika ada maka
hanya kamuflase, operasi matematika yang ditambahi konteks.
Berdasarkan apa yang telah diungkapkan de Lange, masalah kontekstual
merupakan soal-soal dengan konteks tertentu yang memiliki level kesulitan minimal
level dua. Sedangkan Menurut Wardhani (2004) masalah kontekstual adalah masalah
yang berisi tentang kehidupan siswa sehari-hari, baik yang aktual maupun yang tidak
aktual, namun dapat dibayangkan oleh siswa karena pernah dialaminya.
Jadi, masalah kontekstual dalam matematika adalah masalah yang memiliki
konteks tertentu, baik berupa objek-objek konkrit maupun objek-objek dalam pikiran
siswa seperti fakta, konsep, atau prinsip dalam matematika. Masalah kontekstual
yang memiliki konteks berupa objek-objek dalam pikiran siswa berhubungan dengan
konsep matematika itu sendiri dapat dikatakan bahwa masalah tersebut memiliki
konteks matematik.
4. Pemecahan Masalah
Menurut Polya (1973), pemecahan masalah merupakan usaha mencari jalan
keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan mudah dapat
dicapai. Pemecahan masalah juga didefinisikan sebagai pemikiran yang terarah
secara langsung untuk menemukan suatu solusi/jalan keluar untuk masalah spesifik
(Solso dkk, 2007:434). Ormord (2008:393) menyatakan bahwa pemecahan masalah
adalah menggunakan (yaitu mentransfer) pengetahuan dan keterampilan yang sudah
ada untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab atau situasi yang sulit.
Sedangkan Slavin (2011) menganggap pemecahan masalah merupakan penerapan
pengetahuan dan kemampuan untuk mencapai sasaran tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Menurut Branca dkk dalam Krulik & Reys (1980:3-6), istilah pemecahan
masalah sering digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan memiliki pengertian yang
berbeda-beda pula. Dalam matematika, makna pemecahan masalah memiliki
kekhasan tersendiri. Secara garis besar terdapat tiga macam interpretasi istilah
pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika, yaitu (1) pemecahan masalah
sebagai tujuan (problem solving as goal) (2) pemecahan masalah sebagai proses
(problem solving as a process) (3) pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar
(problem solving as a basic skill) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pemecahan masalah sebagai tujuan (problem solving as goal)
Para pendidik, matematikawan, dan pihak yang menaruh perhatian pada
pendidikan matematika seringkali menetapkan pemecahan masalah sebagai salah
satu tujuan pembelajaran matematika. Apabila pemecahan masalah ditetapkan
atau dianggap sebagai tujuan pembelajaran maka ia tidak tergantung pada soal
atau masalah yang khusus, prosedur atau metode, dan juga isi matematika.
Anggapan yang penting dalam hal ini tentang bagaimana menyelesaikan masalah
(solve problems) merupakan “alasan utama” (primary reason) belajar matematika.
b. Pemecahan masalah sebagai proses (problem solving as process)
Pengertian lain tentang pemecahan masalah adalah sebagai sebuah proses yang
dinamis. Dalam aspek ini, pemecahan masalah dapat diartikan sebagai proses
mengaplikasikan segala pengetahuan yang dimiliki pada situasi baru dan tidak
biasa. Yang perlu diperhatikan adalah metode, prosedur, strategi dan heuristik
yang digunakan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah. Pemecahan masalah
sebagai proses ini sangat penting dalam belajar matematika dan yang demikian ini
sering menjadi fokus dalam kurikulum matematika.
c. Pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar (problem solving as a basic skill)
Pengertian pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar lebih dari sekedar
menjawab tentang pertanyaan: apa itu pemecahan masalah?
Dalam penelitian ini, pemecahan masalah yang dimaksud adalah pemecahan
masalah sebagai proses. Jenis belajar tersebut merupakan suatu proses psikologi yang
melibatkan tidak hanya sekedar aplikasi dalil-dalil, hukum-hukum atau teorema-
teorema yang dipelajari, melainkan juga harus didasarkan atas struktur kognitif siswa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
agar masalah yang bermakna dapat dipecahkan. Dalam pemecahan masalah siswa
juga didorong dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berinisiatif dan berpikir
sistematis dalam menghadapi suatu masalah dengan menerapkan pengetahuan yang
didapat sebelumnya.
Jadi, pemecahan masalah dapat diartikan sebagai usaha mencari jalan keluar
untuk suatu masalah spesifik, mencapai tujuan yang tidak segera dapat dicapai, dan
merupakan kombinasi dari gagasan cemerlang untuk membentuk gagasan baru di
mana gagasan yang dimaksud berasal dari pengetahuan dan
kemampuan/keterampilan yang sudah ada.
5. Metakognisi
Metakognisi merupakan salah satu kajian dalam psikologi pendidikan di
mana pertama kali diperkenalkan oleh Flavell pada tahun 1976. Belakangan ini,
istilah metakognisi sudah tidak asing apalagi dalam dunia pendidikan. Dalam dunia
pendidikan, metakognisi sering kali dikaitkan dengan usaha untuk mengoptimalkan
kemampuan seseorang dalam pemecahan masalah (Gartman dan Freiberg, 1993),
mengoptimalkan hasil belajar yang dapat dicapai oleh peserta didik (Gama, 2004),
atau meningkatkan kemampuan seseorang menjadi pebelajar yang sukses
(Livingstone, 1997). Usaha melibatkan metakognisi dalam berbagai kegiatan belajar
diharapkan memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas belajar yang
dilaksanakan.
Dipandang penting dalam dunia pendidikan, metakognisi menjadi topik
hangat terkait Kurikulum 2013 meskipun sekolah yang merupakan lokasi penelitian
ini masih menggunakan KTSP namun telah ada persiapan ke arah penerapan
Kurikulum 2013. Garofalo dan Lester (JRME), dua ahli pendidikan matematika yang
terkenal dari Amerika Serikat telah menunjukkan pentingnya metakognisi dengan
menyatakan : “There is also growing support for the view that purely cognitive
analyses of mathematical performance are inadequate because they overlook
metacognitive actions.” Artinya, terdapat dukungan pada pendapat bahwa hanya
menggunakan analisis kognitif pada kemampuan matematis adalah tidak atau kurang
memadai karena mereka kurang memperhatikan prosedur yang berkaitan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
metakognisi. Itulah salah satu kelebihan kurikulum 2013 adalah pencantuman istilah
metakognisi dalam dokumennya (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,
2012:43).
Lalu, apakah sebenarnya metakognisi itu? Jawaban atas pertanyaan tersebut
menjurus kepada definisi metakognisi. Sampai saat ini, belum tampak adanya
kesamaan pendapat tentang definisi metakognisi. Namun secara umum terdapat
kesamaan hakikat diantara pendapat yang ada tentang metakognisi.
Menurut Flavell (1979) metakognisi adalah kesadaran seseorang tentang
bagaimana ia belajar, kemampuan untuk menilai kesukaran suatu masalah,
kemampuan untuk mengamati tingkat pemahaman dirinya, kemampuan
menggunakan berbagai informasi untuk mencapai tujuan, dan kemampuan menilai
kemajuan belajarnya sendiri. Metakognisi oleh Matlin (dalam Desmita, 2006:137)
didefinisikan sebagai “knowledge and awareness about cognitive processes or our
though about thinking” yang berarti pengetahuan dan kesadaran tentang proses
kognitif atau berpikir tentang berpikir. Sedangkan menurut Suherman, dkk (2001:95)
metakognisi adalah pengetahuan tentang dirinya sendiri sebagai individu yang
belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan perilakunya.
Jadi, metakognisi adalah kesadaran tentang proses kognitif diri sendiri
sebagai individu yang belajar dan karena ia sadar akan pentingnya kemajuan dalam
belajar tersebut sehingga berupaya mengetahui bagaimana kognitifnya bekerja dan
bagaimana mengaturnya. Metakognisi dapat diistilahkan sebagai “thinking about
thinking”.
6. Pengetahuan Metakognitif
Flavell (1979) mengungkapkan bahwa metakognisi terdiri dari dua
komponen, yaitu (a) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), dan (b)
pengalaman atau regulasi metakognitif (metacognitive experiences or regulation).
Brown dalam Gama (2004) menyatakan bahwa komponen metakognisi terdiri dari
(a) pengetahuan tentang kognisi (knowledge of cognition) sebagai aktivitas yang
mengandung kesadaran perefleksian kemampuan dan (b) regulasi kognisi (regulation
of cognition) sebagai aktivitas yang berkaitan dengan mekanisme pengaturan diri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
(self-regulation) selama berlangsungnya usaha belajar atau pemecahan masalah.
Sedangkan Hacker (2009), membagi komponen metakognisi menjadi tiga bagian
yaitu, (a) knowledge and beliefs about cognition, (b) monitoring cognition, (c)
regulating cognition. Sedangkan pada kesempatan lain, Flavell (1979) meyakini
bahwa pemantauan keragaman yang luas dari kegiatan kognitif berkaitan dengan aksi
dan interaksi dari (a) pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge), (b)
pengalaman metakognitif (metacognitive experiences), (c) tujuan atau tugas-tugas
(goals or tasks), (d) aksi atau strategi (actions or strategies). Namun dalam
penelitian ini, yang akan diteliti ialah mengenai pengetahuan tentang kognisi atau
lebih dikenal dengan pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge).
Pengetahuan metakognitif dicantumkan pada dimensi pengetahuan dalam
pendidikan karena hasil penelitian-penelitian terbaru mengungkapkan tentang
pentingnya pengetahuan siswa mengenai kognisi mereka sendiri dan kontrol mereka
atas kognisi itu dalam belajar. Dimensi pengetahuan tidak lagi terdiri dari tiga jenis
pengetahuan tetapi telah menjadi empat jenis pengetahuan yakni, pengetahuan
faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan
metakognitif. Seperti yang diungkapkan oleh Anderson & Krathwohl (2010), selain
terdapat tiga kategori pengetahuan, yaitu pengetahuan faktual (factual knowledge),
pengetahuan konseptual (conceptual knowledge), pengetahuan prosedural
(procedural knowledge), dan ditambahkan kategori yang keempat, yaitu pengetahuan
metakognitif (metacognitive knowledge).
Pengetahuan metakognitif berkaitan dengan pengetahuan faktual, konseptual,
dan prosedural di mana siswa perlu memiliki dan menyadari pengetahuan-
pengetahuan tersebut sebagai kognisi mereka. Oleh karena itu, sebelum lebih lanjut
membahas tentang pengetahuan metakognitif, diperlukan pembahasan tentang
pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, dan pengetahuan prosedural terlebih
dahulu:
a. Pengetahuan Faktual (Factual Knowledge)
Pengetahuan faktual meliputi elemen-elemen dasar yang digunakan dalam
menjelaskan, memahami, dan secara sistematis menata suatu disiplin ilmu.
Elemen-elemen dasar tersebut harus diketahui oleh siswa untuk mempelajari atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
menyelesaikan masalah dalam suatu disiplin ilmu. Pengetahuan faktual terdiri dari
abstraksi level rendah. Terdapat dua subtipe pengetahuan dalam pengetahuan
faktual, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pengetahuan mengenai istilah (knowledge of terminology)
Dalam setiap pokok bahasan pastilah terdapat batasan atau definisi istilah
yang telah disepakati, berisi sejumlah besar nama-nama dan simbol-simbol,
baik verbal maupun nonverbal.
2) Pengetahuan mengenai detail dan unsur-unsur yang spesifik (knowledge of
specific details and elements)
Setiap pokok bahasan berisi beberapa peristiwa, tempat-tempat, orang-orang,
tanggal, dan detail-detail lainnya yang diketahui dan dipercaya dapat
menggambarkan pengetahuan yang penting sekaligus mengenai masalah-
masalah atau topik-topik tertentu.
b. Pengetahuan Konseptual (Conceptual Knowledge)
Pengetahuan konseptual meliputi skema, model, mental, dan teori yang
mempresentasikan pengetahuan manusia tentang bagaimana suatu materi kajian
ditata dan distrukturkan, bagaimana bagian-bagian informasi saling berkaitan
secara sistematis, dan bagaimana bagian-bagian ini berfungsi bersama.
Pengetahuan ini mewakili pengetahuan individu tentang bagaimana suatu bagian
materi diorganisasikan dan disusun dalam suatu sistem. Pengetahuan konseptual
terdiri dari tiga subjenis yaitu
1) Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori (knowledge of classification and
category)
Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori meliputi kategori, kelas, divisi,
dan susunan yang spesifik dalam pokok bahasan yang berbeda. Seiring
berkembangnya pokok bahasan, serangkaian klasifikasi dan kategori dapat
digunakan untuk menemukan dan mengkaji elemen-elemen baru. Oleh karena
itu, pengetahuan ini lebih umum dan sering lebih abstrak daripada
pengetahuan terminologi dan fakta-fakta tertentu.
2) Pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi (knowledge of principles and
generalizations)
Prinsip dan generalisasi dibentuk oleh klasifikasi dan kategori. Prinsip dan
generalisasi merupakan bagian yang dominan dalam suatu disiplin ilmu dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
juga digunakan untuk mengkaji masalah-masalah dalam disiplin ilmu tersebut.
Dalam prinsip dan generalisasi terdapat banyak fakta dan peristiwa yang
spesifik, mendeskripsikan proses dan interelasi di antara detail-detail fakta dan
peristiwa, serta menggambarkan proses dan interelasi di antara klasifikasi dan
kategori.
3) Pengetahuan tentang teori, model, dan struktur (knowledge of theories, models
and structures)
Pengetahuan tentang teori, model, dan struktur mencakup pengetahuan tentang
berbagai paradigma, epistemologi, model yang digunakan dalam disiplin-
disiplin ilmu untuk mendeskripsikan, memahami, menjelaskan, dan
meprediksi suatu fenomena.
c. Pengetahuan Prosedural
Pengetahuan prosedural adalah “pengetahuan tentang bagaimana” melakukan
sesuatu, dapat berkisar dari melengkapi latihan-latihan yang cukup rutin hingga
memecahkan masalah-masalah baru. Pengetahuan ini mencakup pengetahuan
tentang keterampilan, algoritma, teknik, dan metode, yang semuanya disebut
dengan prosedur. Pengetahuan prosedural terdiri dari tiga subjenis pengetahuan
berikut:
1) Pengetahuan tentang keterampilan dan algoritma dalam bidang tertentu
(knowledge of subject specific skills and algorithms)
2) Pengetahuan tentang teknik dan metode dalam bidang tertentu (knowledge of
subject specific techniques and methods)
3) Pengetahuan tentang kriteria untuk menentukan kapan harus menggunakan
prosedur yang tepat (knowledge of criteria for determining when to use
appropriate procedures)
Sementara pengetahuan faktual dan konseptual menyajikan pengetahuan “apa”,
pengetahuan prosedural menekankan pada “bagaimana”. Dengan kata lain,
pengetahuan prosedural mencerminkan pengetahuan dari “proses”, sedangkan
pengetahuan faktual dan konseptual berkaitan dengan apa yang disebut “produk”.
Livingstone (1997) mendefinisikan pengetahuan metakognitif sebagai
pengetahuan seseorang secara umum tentang bagaimana ia belajar dan memproses
informasi, seperti pengetahuan seseorang tentang proses belajarnya sendiri. Menurut
Anderson & Krathwohl (2010:82), pengetahuan metakognitif merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
pengetahuan tentang kognisi secara umum dan kesadaran akan, serta pengetahuan
tentang kognisi diri sendiri. Sedangkan Nugrahaningsih (2011) berpendapat bahwa
pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan seseorang mengenai proses
berpikirnya yang merupakan perspektif pribadi dari kemampuan kognitifnya
dibandingkan dengan kemampuan orang lain.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
metakognitif adalah pengetahuan seseorang mengenai bagaimana ia belajar dan
memproses informasi atau dapat dikatakan sebagai pengetahuan seseorang tentang
proses berpikirnya.
Flavell (1979) membagi pengetahuan metakognitif ke dalam tiga kategori
variabel, yaitu (a) variabel individu, (b) variabel tugas, dan (c) variabel strategi.
Flavell menggunakana kata variabel pada setiap kategori dalam pengetahuan
metakognitif. Sedangkan Krathwohl (2002) mengemukakannya dengan (a)
pengetahuan strategis (strategic knowledge), (b) pengetahuan tentang tugas kognitif
(knowledge about cognitive task), dan (c) pengetahuan-diri (self knowledge). Berikut
penjelasan dari setiap sub tipe dari pengetahuan metakognitif:
a. Pengetahuan strategis (strategic knowledge)
Pengetahuan strategis oleh Krathwohl (2002) didefinisikan sebagai
pengetahuan mengenai strategi umum dalam belajar, berpikir, dan memecahkan
masalah. Terkait dengan strategi Flavell (1979) mendefinisikan sebagai teknik-teknik
perilaku, keterampilan-keterampilan belajar atau memecahkan masalah yang dapat
membantu pembelajaran lebih efektif dan efisien.
Pengetahuan strategis dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang bagaimana
melakukan sesuatu atau mengatasi kesulitan yang ada, berkaitan erat dengan
pemantauan kognitif (cognitive monitoring) karena meliputi beragam strategi yang
dapat digunakan oleh siswa untuk memperoleh hasil yang optimal dalam
pembelajaran, berpikir, dan pemecahan masalah.
b. Pengetahuan tentang tugas kognitif (knowledge about cognitive task)
Menurut Krathwohl (2002), pengetahuan tentang tugas kognitif mencakup
pengetahuan tentang jenis operasi kognitif yang diperlukan untuk mengerjakan tugas
tertentu serta strategi kognitif mana yang sesuai dalam situasi dan kondisi tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Pengetahuan tentang tugas kognitif mencakup pengetahuan kontekstual dan
pengetahuan kondisional. Pengembangan pengetahuan tentang strategi merupakan
hal yang penting untuk dilakukan oleh siswa namun strategi tersebut akan sia-sia
apabila siswa tidak mengetahui kapan dan mengapa strategi tersebut digunakan.
c. Pengetahuan-diri (self knowledge)
Menurut Krathwohl (2002), pengetahuan-diri mencakup pengetahuan tentang
kelebihan dan kekurangan diri sendiri dalam belajar. Salah satu syarat agar siswa
dapat menjadi pembelajar yang mandiri adalah kemampuannya untuk mengetahui di
mana kelebihan dan kekurangan serta bagaimana mengatasi kekurangan tersebut.
Jika siswa tidak menyadari bahwa mereka tidak mengetahui beberapa aspek
mengenai pengetahuan faktual atau konseptual atau bagaimana melakukan
pengetahuan prosedural, tidak mungkin mereka akan melakukan usaha apapun untuk
mempelajari materi baru. Suatu tanda keahlian adalah siswa mengetahui apa yang
mereka tahu dan tidak tahu serta tidak memiliki kesan yang salah atau berlebihan
terhadap pengetahuan mereka yang sebenarnya.
Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan seseorang mengenai
bagaimana ia belajar dan memproses informasi atau dapat dikatakan sebagai
pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya. Pengetahuan metakognitif
merupakan pengetahuan seseorang terkait pengetahuan faktual, konseptual, dan
prosedural yang ia miliki dan gunakan dalam pembelajaran ataupun pemecahan
masalah. Pengetahuan metakognitif terdiri dari tiga sub tipe pengetahuan yakni
pengetahuan strategis, pengetahuan tentang tugas kognitif, dan pengetahuan-diri.
7. Penggunaan Pengetahuan Metakognitif dalam Memecahkan Masalah
Kontekstual Berdasarkan Tahapan Polya
Masalah kontekstual merupakan masalah yang berkaitan tidak hanya dengan
objek-objek konkrit tetapi juga meliputi objek-objek dalam pikiran siswa seperti
fakta, konsep, atau prinsip dalam matematika. Di mana objek-objek yang dimaksud
menjadi konteks dari suatu masalah. Semakin meningkat level keabstrakan dari
matematika yang dipelajari oleh siswa, akan semakin sulit ditemukan konteks yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Namun sebaliknya, konteks yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
berhubungan dengan substansi dalam matematika itu sendiri akan semakin banyak
dan bervariasi.
Pemecahan masalah secara sederhana adalah proses penerimaan masalah
sebagai tantangan untuk memecahkannya. Pemecahan masalah dalam interpretasi
proses memerlukan tahap-tahap pemecahan masalah. Dalam memecahkan masalah
matematika, yang paling banyak dirujuk ialah tahapan Polya yang terdiri dari (1)
tahap I memahami masalah (understanding the problem), (2) tahap II menyusun
rencana (devising a plan), (3) tahap III melaksanakan rencana (carrying out the
plan), dan (4) tahap IV memeriksa kembali (looking back).
Tahapan Polya tersebut dikenal sebagai strategi heuristik di mana siswa dapat
mengembangkan strategi yang dimilikinya dengan luwes. Selain itu juga, tahapan
Polya dikenal sebagai “thinking of process” karena menghendaki kesadaran tentang
proses pada setiap tahap pemecahan masalah. Kesadaran juga timbul terkait dengan
tipe masalah yang dihadapi. Masalah kontekstual merupakan masalah yang
dipecahkan tidak hanya dengan menjalankan prosedur yang ada, tetapi juga tetap
menyadari konteks yang sedang berlaku dalam masalah.
Berikut penjabaran mengenai setiap tahapan Polya dalam memecahkan
masalah:
a. Tahap I Memahami Masalah (Understanding The Problem)
Dalam memahami masalah, Polya (1973) mengungkapkan bahwa siswa harus
mampu menunjukkan bagian utama dari masalah, yakni yang tidak diketahui, data,
dan kondisi yang ada. Untuk menunjukkan bagian utama dari suatu masalah, pastilah
siswa melalui proses identifikasi pengetahuan faktual dan pengetahuan konseptual
antara yang ia miliki dengan yang terkandung dalam teks masalah. Apakah teks
masalah mengandung pengetahuan faktual dan pengetahuan konseptual yang telah ia
miliki atau belum.
Penggunaan pengetahuan strategis dalam memahami masalah membuat siswa
senantiasa menyesuaikan langkah pada saat mengalami kesulitan dalam memahami
masalah. Siswa menyadari strategi apa saja yang digunakan untuk dapat menentukan
bagian utama dari suatu masalah (data, apa yang tidak diketahui, dan kondisi yang
ada). Indikator dari penggunaan pengetahuan strategis adalah siswa dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
menunjukkan strategi/cara-cara dalam memahami masalah termasuk menentukan
informasi penting dalam teks masalah.
Penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif membuat siswa senantiasa
mengetahui bagaimana ketepatan langkah dan arah dari apa yang ia lakukan. Siswa
menyadari alasan dari menggunakan strategi tertentu untuk memahami masalah.
Indikator dari penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif adalah siswa dapat
menjelaskan alasan dari menggunakan strategi tertentu dalam memahami masalah.
Penggunaan pengetahuan-diri dalam memahami masalah membuat siswa
mampu menunjukkan pemahaman masalah yang memadai untuk kelanjutan proses
pemecahan masalah. Siswa menyadari kelebihan dan kekurangan diri sendiri serta
dapat mengatasi kekurangan tersebut. Indikator dari penggunaan pengetahuan-diri
dalam memahami masalah adalah siswa dapat menunjukkan bahwa fakta/konsep
dalam teks masalah telah ada dalam skema pengetahuan yang ia miliki.
b. Tahap II Menyusun Rencana (Devising A Plan)
Menurut Polya (1973), pertanyaan dalam menyusun rencana adalah apakah
semua data dan seluruh kondisi telah digunakan. Dalam menyusun rencana
pemecahan masalah, siswa harus dapat menentukan hubungan antara data dengan
yang tidak diketahui sehingga memungkinkan untuk mengetahui bagaimana
gambaran umum proses menentukan variabel yang tidak diketahui. Sebagai langkah
awal, diperlukan suatu ide pemecahan. Ide dapat muncul secara bertahap, melalui uji
coba, atau muncul secara tiba-tiba sebagai “ide cemerlang”.
Penggunaan pengetahuan strategis dalam menyusun rencana membuat siswa
senantiasa menyesuaikan langkah pada saat mengalami kesulitan atau kebuntuan
dalam memperoleh gambaran umum tentang hubungan antara data dengan apa yang
tidak diketahui dalam kondisi tertentu. Siswa menyadari strategi apa saja yang dapat
digunakan dalam menemukan ide untuk rencana pemecahan masalah. Indikator dari
penggunaan pengetahuan strategis adalah siswa dapat mengungkapkan tentang dari
mana ia memperoleh ide awal untuk menyusun rencana pemecahan masalah.
Penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif dalam menyusun rencana
membuat siswa mengetahui tentang bagaimana arah dari apa yang ia rencanakan.
Indikator dari penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif dalam menyusun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
rencana adalah siswa dapat menjelaskan hubungan dari setiap tahap yang ia
rencanakan.
Penggunaan pengetahuan-diri dalam menyusun rencana membuat siswa
menyadari rencana pemecahan yang disusun telah memadai untuk menghubungkan
data dengan apa yang ditanya. Indikator dari penggunaan pengetahuan-diri adalah
siswa dapat menggunakan pengetahuan yang ia miliki untuk menyusun rencana
pemecahan.
c. Tahap III Melaksanakan Rencana (Carrying Out The Plan)
Menurut Polya (1973), rencana pemecahan masalah memberikan gambaran
umum sehingga kita harus memberikan rincian pada setiap garis besar rencana,
memperjelas setiap rencana. Maksudnya adalah dalam melaksanakan rencana
pemecahan masalah pada tahap sebelumnya, siswa menjalankan prosedur sesuai
dengan yang telah direncanakan. Siswa harus dapat menerapkan keterampilan
berhitung, manipulasi aljabar, serta membuat penjelasan dan argumentasi agar suatu
rencana pemecahan terlaksana dengan baik dan benar. Siswa juga harus berupaya
bekerja secara akurat.
Penggunaan pengetahuan strategis dalam melaksanakan rencana membuat
siswa senantiasa menyesuaikan langkah pada saat mengalami kesulitan atau
kebuntuan dalam mengoperasikan hitungan atau rumus tertentu. Siswa menyadari
apa saja yang dapat ia lakukan dalam melaksanakan pemecahan masalah. Indikator
dari penggunaan pengetahuan strategis adalah siswa dapat mengungkapkan tentang
apa saja yang ia lakukan untuk melaksanakan rencana pemecahan masalah.
Penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif dalam melaksanakan rencana
membuat siswa senantiasa mengetahui bagaimana ketepatan langkah dan arah dari
apa yang ia lakukan. Indikator dari penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif
adalah siswa dapat mengungkapkan alasan dari setiap langkah yang ia ambil dalam
melaksanakan rencana pemecahan masalah termasuk menunjukkan pemahaman
konsep yang terkait.
Penggunaan pengetahuan-diri dalam melaksanakan rencana pemecahan
membuat siswa menyadari kelebihan dan kekurangan diri sendiri serta dapat
mengatasi kekurangan tersebut sehingga dapat melaksanakan rencana pemecahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
dengan perhitungan yang paling efektif dan akurat. Indikator dari penggunaan
pengetahuan-diri adalah siswa dapat memperkirakan durasi waktu, baik yang ia
butuhkan maupun yang tersedia untuk melaksanakan rencana pemecahan yang telah
disusun.
d. Tahap IV Memeriksa Kembali (Looking Back)
Polya (1973) mengungkapkan bahwa dengan melihat kembali pada solusi
akhir, dengan mempertimbangkan kembali, pengkajian ulang terhadap hasil dan jalan
yang mengarah ke sana, siswa dapat mengkonsolidasikan pengetahuan mereka dan
mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Pemeriksaan kembali
prosedur dan hasil pemecahan masalah tidak hanya bermanfaat bagi terselesaikannya
masalah dengan baik, tetapi juga bagi pengembangan kemampuan pemecahan
masalah. Pada tahap ini, yang dilakukan siswa adalah menganalisis dan
mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar,
apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur yang dibuat dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat
generalisasinya.
Penggunaan pengetahuan strategis dalam memeriksa kembali membuat siswa
menyadari apa saja yang dapat ia lakukan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa
kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam memecahkan masalah telah teratasi.
Indikator dari penggunaan pengetahuan strategis adalah sebagai berikut siswa dapat
mengungkapkan tentang apa saja yang dilakukan dalam memeriksa kembali prosedur
dan hasil pemecahan masalah.
Penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif dalam memeriksa kembali
prosedur dan hasil pemecahan masalah membuat siswa senantiasa mengetahui
bagaimana ketepatan langkah dan arah dari pemeriksaan yang ia lakukan. Siswa
menyadari apa yang ia lakukan dengan menjelaskan alasan dari apa yang ia lakukan
dalam memeriksa kembali.
Penggunaan pengetahuan-diri dalam memeriksa kembali prosedur dan hasil
pemecahan masalah membuat siswa menyadari kelebihan dan kekurangan diri
sendiri serta dapat mengatasi kekurangan tersebut sehingga yakin bahwa prosedur
dan hasil pemecahan telah sesuai dengan yang dikehendaki. Indikator dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
penggunaan pengetahuan-diri dalam memeriksa kembali adalah siswa dapat
menjelaskan seberapa baik hasil kerjanya dalam memecahkan masalah.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disusun indikator penggunaan
pengetahuan metakognitif pada setiap tahapan Polya seperti pada Tabel 2.1a-2.1d.
Tabel 2.1a Indikator Penggunaan Pengetahuan Metakognitif dalam
Memahami Masalah (Understanding The Problem)
Sub Tipe Pengetahuan Indikator Penggunaan dalam
Memahami Masalah (Understanding The Problem)
Pengetahuan Strategis
Siswa dapat menunjukkan strategi/cara-cara dalam
memahami masalah termasuk menentukan informasi
penting dalam teks masalah.
Pengetahuan Tentang
Tugas Kognitif
Siswa dapat menjelaskan alasan dari menggunakan
strategi tertentu dalam memahami masalah.
Pengetahuan-Diri
Siswa dapat menunjukkan bahwa fakta/konsep dalam
teks masalah telah ada dalam skema pengetahuan yang
ia miliki.
Tabel 2.1b Indikator Penggunaan Pengetahuan Metakognitif dalam
Menyusun Rencana (Devising A Plan)
Sub Tipe Pengetahuan Indikator Penggunaan dalam
Menyusun Rencana (Devising A Plan)
Pengetahuan Strategis
Siswa dapat mengungkapkan tentang dari mana ia
memperoleh ide awal untuk menyusun rencana
pemecahan masalah.
Pengetahuan Tentang
Tugas Kognitif
Siswa dapat menjelaskan hubungan dari setiap tahap
yang ia rencanakan.
Pengetahuan-Diri Siswa dapat menggunakan pengetahuan yang ia miliki
untuk menyusun rencana pemecahan.
Tabel 2.1c Indikator Penggunaan Pengetahuan Metakognitif dalam
Melaksanakan Rencana (Carrying Out The Plan)
Sub Tipe Pengetahuan Indikator Penggunaan dalam
Melaksanakan Rencana (Carrying Out The Plan)
Pengetahuan Strategis
Siswa dapat mengungkapkan tentang apa saja yang ia
lakukan untuk melaksanakan rencana pemecahan
masalah.
Pengetahuan Tentang Siswa dapat mengungkapkan alasan dari setiap langkah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Tugas Kognitif yang ia ambil dalam melaksanakan rencana pemecahan
masalah termasuk menunjukkan pemahaman konsep
yang terkait.
Pengetahuan-Diri
Siswa dapat memperkirakan durasi waktu, baik yang ia
butuhkan maupun yang tersedia untuk melaksanakan
rencana pemecahan yang telah disusun.
Tabel 2.1d Indikator Penggunaan Pengetahuan Metakognitif dalam
Memeriksa Kembali (Looking Back)
Sub Tipe Pengetahuan Indikator Penggunaan dalam
Memeriksa Kembali (Looking Back)
Pengetahuan Strategis
Siswa dapat mengungkapkan tentang apa saja yang
dilakukan dalam memeriksa kembali prosedur dan hasil
pemecahan masalah.
Pengetahuan Tentang
Tugas Kognitif
Siswa dapat menjelaskan alasan dari apa yang ia
lakukan dalam memeriksa kembali.
Pengetahuan-Diri Siswa dapat menjelaskan seberapa baik hasil kerjanya
dalam memecahkan masalah.
B. Penelitian yang Relevan
Berikut merupakan penelitian yang telah ada dan relevan dengan penelitian
ini:
1. Penelitian Mahromah & Manoy (2013) tentang identifikasi tingkat
metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan
perbedaan skor matematika.
Penelitian dilakukan di SMP Muhammadiyah 6 Surabaya dengan materi
bangun datar segiempat (persegi dan persegi panjang). Hasil dari penelitian tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Siswa dengan skor matematika tinggi tergolong pada tingkat metakognisi
“strategic use”. Siswa dengan tingkat metakognisi “strategic use” mempunyai
aktivitas-aktivitas metakognisi, seperti siswa mampu memahami masalah karena
dapat mengungkapkan dengan jelas, mampu memberi alasan yang mendukung
pemikirannya, dan tidak melakukan evaluasi terhadap hasil pemikirannya.
b. Siswa dengan skor matematika sedang tergolong pada tingkat metakognisi “aware
use”. Siswa dengan tingkat metakognisi “aware use” mempunyai aktivitas-
aktivitas metakognisi, seperti siswa mampu memahami masalah karena dapat
mengungkapkan dengan jelas, mampu menyadari kesalahan konsep (rumus) dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
cara menghitung namun tidak dapat memperbaikinya, dan tidak melakukan
evaluasi terhadap hasil pemikirannya.
c. Siswa dengan skor matematika rendah tergolong pada tingkat metakognisi “tacit
use”. Siswa dengan tingkat metakognisi “tacit use” mempunyai aktivitas-aktivitas
metakognisi, seperti siswa tidak dapat menjelaskan apa yang diketahui dari
masalah, tidak menunjukan adanya kesadaran terhadap apa saja yang dipantau,
dan tidak melakukan evaluasi.
2. Penelitian Alfiyah & Siswono (2014) tentang identifikasi kesulitan
metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika.
Penelitian Alfiyah & Siswono (2014) tentang identifikasi kesulitan
metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika, dilakukan di SMP
Negeri 1 Puri pada tahun ajaran 2013/2014. Materi pelajaran yang digunakan dalam
penelitian tersebut adalah Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV). Dalam
penelitian tersebut digunakan indikator untuk kesulitan metakognisi pada komponen
pengetahuan metakognitif adalah tidak menyadari kelebihan atau kekurangan dirinya
dalam memecahkan masalah matematika, tidak menyadari pengetahuan apa yang
dapat digunakan untuk memecahkan masalah matematika, dan tidak mengetahui
alasan menggunakan suatu strategi dalam memecahkan masalah matematika. Dengan
hasil penelitian sebagai berikut:
a. Siswa yang memecahkan masalah matematika dengan benar mengalami kesulitan
metakognisi, yakni tidak menyadari kelebihan dirinya dalam memecahkan
masalah matematika.
b. Siswa yang melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah matematika
mengalami kesulitan metakognisi, yakni tidak menyadari kelebihan atau
kekurangan dirinya dalam memecahkan masalah matematika, tidak menyadari
pengetahuan apa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, dan tidak
mengetahui alasan menggunakan suatu strategi dalam memecahkan masalah
matematika.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Penelitian yang dilakukan oleh Mahromah & Manoy (2013) memberikan
informasi mengenai tingkat metakognisi siswa sekaligus memberikan gambaran
mengenai aktivitas-aktivitas metakognisi yang ditunjukkan subjek penelitian dari
kelompok siswa dengan skor matematika tinggi, sedang, dan rendah. Dengan kata
lain, terdapat gambaran penggunaan pengetahuan metakognitif siswa dalam
memecahkan masalah ditinjau dari skor matematika di mana dalam penelitian ini
tinjauan yang digunakan adalah siswa yang menjawab benar dan yang melakukan
kesalahan dalam memecahkan masalah. Sedangkan dari indikator yang digunakan
pada komponen metakognitif dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alfiyah &
Siswono (2014), peneliti memperoleh gambaran mengenai penggunaan metakognitif
dari tinjauan yang sama.
C. Kerangka Berpikir
Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang
bilangan, kuantitas, data, bangun dan ruang beserta hubungannya berdasarkan
sehimpunan aturan yang terdefinisi dengan baik. Matematika sebagai ilmu yang
sebenarnya tidak dapat diberikan begitu saja pada semua tingkatan kognitif siswa.
Namun kebutuhan akan matematika sangatlah tinggi, matematika mendasari ilmu-
ilmu lain yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari.
Matematika sekolah adalah bagian-bagian dari matematika yang dipilih atas
tujuan tertentu, yakni berorientasi kepada kepentingan pendidikan termasuk
didalamnya membentuk kepribadian dan pola pikir siswa serta perkembangan
IPTEK. Matematika sekolah tidak sepenuhnya sama dengan matematika sebagai
ilmu namun tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika, yaitu memiliki objek
kajian yang abstrak serta diarahkan pada pola pikir deduktif konsisten. Oleh karena
itu, matematika yang diajarkan di sekolah pun masih sukar dikuasai oleh sebagian
besar siswa. Bahkan menjadi “momok” terutama ketika musim ujian tiba.
Proses penerimaan objek kajian matematika yang abstrak dan pembentukan
pola pikir yang mengarah kepada deduktif konsisten, memanglah bukan hal yang
instan. Pembelajaran matematika di sekolah memegang peranan yang vital untuk hal
tersebut. Pembelajaran matematika merupakan proses belajar yang dilakukan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
siswa dengan bantuan orang lain, baik guru maupun teman untuk mengoptimalkan
fungsi matematika sebagai ilmu/pengetahuan, alat, dan pola pikir seperti yang telah
dirumuskan sebagai standar kompetensi lulusan di mana proses belajar tersebut
memiliki karakteristik, yakni konsep matematika dipelajari bertahap dan mengikuti
metode spiral serta menekankan kepada pola pikir deduktif dan mengikuti kebenaran
konsisten.
Terkait dengan belajar, salah satu kompetensi yang harus mampu ditunjukkan
siswa dari hasil belajar matematika, yakni kemampuan memecahkan masalah
(problem solving). Pemecahan masalah dapat diartikan sebagai usaha mencari jalan
keluar untuk suatu masalah spesifik, mencapai tujuan yang tidak segera dapat
dicapai, dan merupakan kombinasi dari gagasan yang cemerlang untuk membentuk
gagasan yang baru di mana gagasan yang berasal dari pengetahuan dan
kemampuan/keterampilan yang sudah ada.
Sebenarnya, bagaimana seseorang melakukan proses pemecahan masalah dan
bagaimana seseorang mengajarkannya tidak sepenuhnya dapat dimengerti. Akan
tetapi, usaha untuk membuat dan menguji beberapa teori tentang pemrosesan
informasi atau proses pemecahan masalah telah banyak dilakukan dan memberikan
beberapa prinsip dasar atau petunjuk dalam belajar pemecahan masalah. Salah satu
diantaranya adalah Lester (Gartman & Freiberg, 1993) yang mengemukakan bahwa
tujuan utama mengajarkan pemecahan masalah dalam matematika adalah tidak hanya
untuk melengkapi siswa dengan sekumpulan keterampilan atau proses, tetapi juga
lebih kepada memungkinkan siswa berpikir tentang apa yang dipikirkannya. Berpikir
tentang apa yang dipikirkan dalam hal ini, berkaitan dengan kesadaran siswa
terhadap kemampuannya untuk mengembangkan berbagai cara yang mungkin
ditempuh dalam memecahkan masalah dan sebagai cara untuk mengatasi kesulitan
yang dialami. Proses menyadari dan mengatur pikiran siswa sendiri dikenal sebagai
metakognisi.
Metakognisi adalah kesadaran tentang proses kognitif diri sendiri sebagai
individu yang belajar dan karena ia sadar akan pentingnya kemajuan dalam belajar
tersebut, sehingga berupaya mengetahui bagaimana kognitifnya bekerja dan
bagaimana mengaturnya. Metakognisi dapat diistilahkan sebagai “thinking about
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
thinking”. Terdapat dua komponen metakognisi, yakni (1) pengetahuan metakognitif
(metacognitive knowledge) merupakan pengetahuan seseorang mengenai bagaimana
ia belajar dan memproses informasi atau dapat dikatakan sebagai pengetahuan
seseorang tentang proses berpikirnya (2) pengalaman atau regulasi metakognitif
(metacognitive experiences or regulation) merupakan pengalaman kognitif atau
afektif yang menyertai dan berhubungan dengan semua kegiatan kognitif.
Seperti yang telah diungkapkan bahwa pengetahuan metakognitif merupakan
pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya. Pengetahuan metakognitif juga
merupakan pengetahuan seseorang yang terkait pengetahuan faktual, konseptual, dan
prosedural yang ia miliki dan gunakan dalam belajar ataupun pemecahan masalah.
Pengetahuan metakognitif terdiri dari tiga sub tipe pengetahuan yakni pengetahuan
strategis sebagai pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau mengatasi
kesulitan, pengetahuan tentang tugas kognitif mencakup pengetahuan tentang jenis
operasi kognitif yang diperlukan untuk mengerjakan tugas tertentu serta strategi
kognitif mana yang sesuai dalam suatu situasi dan kondisi, dan pengetahuan-diri
merupakan pengetahuan tentang kekurangan dan kelebihan diri sendiri dalam
memecahkan masalah.
Kembali pada proses pemecahan masalah, pemecahan masalah secara
sederhana adalah proses penerimaan masalah sebagai tantangan untuk
memecahkannya. Pemecahan masalah dalam interpretasi proses memerlukan tahap-
tahap pemecahan masalah. Dalam memecahkan masalah matematika, yang paling
banyak dirujuk ialah tahapan Polya yang terdiri dari tahap I memahami masalah
(understanding the problem), tahap II menyusun rencana (devising a plan), tahap III
melaksanakan rencana (carrying out the plan), dan tahap IV memeriksa kembali
(looking back).
Tahapan Polya tersebut dikenal sebagai strategi heuristik di mana siswa dapat
mengembangkan strategi yang dimilikinya dengan luwes. Selain itu juga, tahapan
Polya dikenal sebagai “thinking of process” karena menghendaki kesadaran tentang
proses pada setiap tahap pemecahan masalah. Berarti pada setiap tahapan Polya,
terdapat juga penggunaan pengetahuan metakognitif dalam melaksanakan proses
dengan sadar tersebut. Kesadaran juga timbul terkait dengan tipe masalah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
dihadapi. Masalah kontekstual merupakan masalah yang dipecahkan tidak hanya
dengan menjalankan prosedur yang ada, tetapi juga tetap menyadari konteks yang
sedang berlakuk dalam masalah.
Dalam memecahkan masalah, merupakan suatu hal yang wajar apabila
terdapat siswa yang mampu menjawab benar dan juga terdapat siswa yang
melakukan kesalahan. Selain dari karakteristik masalah itu sendiri, yakni tidak begitu
saja dapat diperoleh pemecahannya, juga karena kemampuan matematis siswa dalam
satu kelas beragam terutama dalam kemampuan pemecahan masalah.
Siswa yang secara konsisten menjawab benar dalam memecahkan masalah
matematika biasanya merupakan siswa yang memiliki kemampuan matematis yang
tinggi di mana skor matematika yang ia dapatkan termasuk dalam kategori tinggi.
Biasanya mereka telah melakukan banyak latihan pemecahan masalah sehingga
mampu mengatasi kesulitan serta mengetahui ketepatan dan arah dari langkah yang
ia ambil. Siswa yang menjawab benar dalam memecahkan masalah matematika
cenderung menggunakan pengetahuan strategis untuk mengatasi kesulitan yang ia
alami atau agar tujuannya tercapai, pengetahuan tentang tugas kognitif untuk
mengetahui ketepatan/arah dari setiap langkah yang ia lakukan, dan pengetahuan-diri
untuk pekerjaan yang lebih optimal atau hanya menggunakan pengetahuan strategis
dan pengetahuan tentang tugas kognitif. Siswa dalam kelompok ini akan
menggunakan pengetahuan metakognitif dalam setiap tahapan Polya kecuali tahap
memeriksa kembali karena belum terbiasa melakukan pemeriksaan kembali seperti
yang dikehendaki.
Sedangkan siswa yang secara konsistem melakukan kesalahan dalam
memecahkan masalah matematika biasanya merupakan siswa yang memiliki
kemampuan matematis yang sedang atau rendah dikarenakan konsep yang ia miliki
kurang tepat atau malah salah. Konsep yang siswa miliki tersebut menyebabkan
siswa tidak menyadari ketepatan dan arah dari apa yang ia lakukan serta tidak
mampu mengatasi kesulitan yang ada. Siswa yang melakukan kesalahan dalam
memecahkan masalah mungkin tidak dapat memahami masalah dengan tepat atau
jika dapat memahami masalah dengan tepat, siswa tidak melakukan hal yang tepat
untuk memecahkan masalah tersebut sehingga siswa cenderung tidak menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
pengetahuan metakognitifnya dengan baik atau hanya digunakan dalam memahami
masalah.
Penelitian ini mendeskripsikan penggunaan pengetahuan metakognitif siswa
yang menjawab benar dan yang melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah
kontekstual berdasarkan tahapan Polya. Diagram kerangka berpikir penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Diagram Kerangka Berpikir
Penggunaan pengetahuan metakognitif yang
terdiri dari penggunaan pengetahuan strategis,
penggunaan pengetahuan tentang tugas kognitif,
dan penggunaan pengetahuan-diri.
Kategori siswa:
1. Siswa yang menjawab benar dalam memecahkan masalah.
2. Siswa yang melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah.
Pemecahan masalah kontekstual dengan konteks
matematik terkait materi segitiga berdasarkan
tahapan Polya, yakni memahami masalah,
menyusun rencana, melaksanakan rencana, dan
memeriksa kembali.