tertawa dan cemas
-
Upload
septiyanisoewarno -
Category
Documents
-
view
189 -
download
3
description
Transcript of tertawa dan cemas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab II ini akan dijelaskan tentang : A. Konsep Teori yang terdiri dari
Kecemasan, Mahasiswa, Terapi Tertawa, dan Pengaruh Terapi Tertawa Terhadap
Kecemasan; B. Kerangka Konseptual; dan C. Hipotesa Penelitian.
A. Konsep Teori
1. Konsep Kecemasan
a. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang
menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut tidak tentram disertai
berbagai keluhan fisik. keadaan tersebut dapat terjadi dalam berbagai
situasi kehidupan maupun gangguan sakit. Selain itu kecemasan dapat
menimbulkan reaksi tubuh yang akan terjadi secara berulang, seperti
rasa kosong diperut, sesak nafas, jantung berdebar, keringat banyak,
sakit kepala, rasa keinginan buang air kecil dan buang air besar,
perasaan ini disertai perasaan ingin bergerak untuk lari menghindari
hal yang dicemaskan (Stuart dan Sundeen, 1998).
Menurut Sigmund freud mengatakan bahwa kecemasan adalah
fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan
datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang
sesuai. Kecemasan member sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan
jika tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan
7
8
meningkatkan ego dikalahkan (Alwisol, 2005). Kecemasan adalah
kondisi kejiwaan yang penuh dengan ke khawatiran dan ketakutan
akan apa yang mungkin terjadi, baik berkaitan dengan permasalahan
yang terbatas dan hal – hal yang aneh (Az-zahrani, 2005). Kecemasan
adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan
merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan,
perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta
dalam menemukan identitas diri dan arti hidup (Kaplan, Sadock, dan
Grebb, 1994 dalam Fausiah 2007).
Menurut pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
kecemasan adalah reaksi emosional yang timbul oleh sebab yang tidak
spesifik yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan merasa
terancam. Keadaan emosi ini biasanya merupakan pengalaman
individu yang subyektif yang tidak diketahui secara khusus
penyebabnya. Cemas berbeda dengan takut, seseorang yang
mengalami kecemasan tidak dapat mengidentifikasi ancaman. Cemas
dapat terjadi rasa takut namun ketakutan tidak terjadi tanpa kecemasan.
b. Teori Kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) teoriyang dikembangkan
untuk menjelaskan terjadinya kecemasan adalah :
1) Faktor predisposisi
a) Teori psikoanalitik
Menurut pandangan psikoanalitik, kecemasan
terjadi karena adanya konflik yang terjadi antara emosional
9
elemen kepribadian yaitu id, ego, dan super ego. Id
mewakili insting, super ego mewakili hati nurani,
sedangkan ego mewakili konflik yang terjadi anatara kedua
elemen yang bertentangan. Dan timbulnya merupakan
upaya dalam memberikan bahaya pada elemen ego.
b) Teori interpersonal
Menurut pandangan interpersonal, kecemasan
timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya
penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga
berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti
perpisahan dan kehilangan, yang menim,bulkan kelemahan
spesifik. Orang dengan harga diri rendah mudah mengalami
perkembangan kecemasan yang berat.
c) Teori perilaku
Berdasarkan teori perilaku, kecemasan merupakan
produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Pakar perilaku menganggap kecemasan sebagai
suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari
dalam untuk menghindari kepedihan.
d) Teori keluarga
Intensitas cemas yang dialami oleh inidividu
kemungkinan memiliki dasar genetik. Orang tua yang
memiliki gangguan cemas tampaknya memiliki resiko
10
tinggi untuk memiliki anak dengan gangguan cemas. Kajian
keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan
merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga.
e) Teori perspektif biologis
Kajian biologi menunjukkan bahwa otak
mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepines.
Reseptor ini mungkin membantu mengatur kecemasan.
Penghambat asam aminobutirik-gamma neroregulator
(GABA) dan endorphin juga memainkan peran utama
dalam mekanisme biologis berhubungan dengan
kecemasan.
f) Teori ketidak seimbangan kimia
Menurut teori biologis, gejala gangguan panik dapat
dikaitkan dengan ketidak seimbangan kimia di otak. Alami
utusan kimia, dikenal sebagai neurotransmitter yang
mengirim seluruh informasi ke otak. Otak manusia
diperkirakan memiliki ratusan jenis berbeda
neurotransmitter, dan teori – teori biologi menunjukkan
bahwa seseorang dapat menjadi lebih rentan untuk
mengembangkan gejala gangguan panik jika satu atau lebih
neurotransmitter ini tidak seimbang,
Neurotransmiter ini meliputi serotonin, dopamine,
norepinefrin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA)
secara khusus diyakini terkait gangguan mood dan
11
kecemasan. Neurotransmitter ini bertanggung jawab
mengatur berbagai fungsi tubuh dan emosi. Pertama
serotonin adalah neurotransmitter yang sebagian besar
terkait dengan suasana hati, tidur, nafsu makan dan fungsi
pengatur lain dalam tubuh. Para ahli telah menemukan
bahwa penurunan kadar serotonin yang terhubung ke
depresi dan kecemasan.
Neurotransmiter dopamine juga dapat menyebabkan
gejala. Pengaruh dopamine, antara fungsi lainnya, tingkat
energy seseorang,perhatian,penghargaan dan gerakan yang
dapat menyebabkan gejala kecemasan jika tidak seimbang.
Norepinefrin juga terkait dengan kecemasan karena
melibatkan respon fight or flight, atau bagaimana seseorang
bereaksi terhadap stress. Terakhir GABA berperan dalam
menyeimbangkan kegembiraan atau agitasi dan perasaan
tenang dan relaksasi
2) Faktor presipitasi
a) Faktor eksternal
(1) Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidak
mampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya
kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari – hari
(2) Ancaman terhadap system diri seseorang dapat
membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial
yang terintegritas.
12
b) Faktor internal
(1) Usia, seseorang yang mempunyai usia lebih muda
ternyata lebih mudah mengalami gangguan kecemasan
daripada seseorang yang lebih tua umurnya
(2) Jenis kelamin, gangguan panik merupakan gagasan
cemas yang ditandai dengan kecemasan yang spontan.
Perempuan memiliki tingkat kecemasan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan laki – laki. Dikarenakan
wanita lebih peka terhadap emosinya, yang pada
akhirnya peka juga terhadap perasaan cemasnya.
Perbedaan ini bukan hanya dipengaruhi oleh faktor
emosi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor kognitif.
Wanita cenderung melihat hidup atau peristiwa yang
dialaminya dari segi detail, sedangkan laki – laki cara
berfikirnya cenderung global atau tidak detail. Individu
yang melihat lebih detail akan juga lebih mudah
dirundung oleh kecemasan karena informasi yang di
miliki lebih banyak dan itu akhirnya bisa benar – benar
menekan perasaannya.
(3) Tipe kepribadian, orang yang berkepribadian A lebih
mudah mengalami gangguan akibat kecemasan
daripada orang dengan kepribadian B. Adapun ciri- ciri
orang dengan kepribadian A adalah tidak sabar,
pendiam, ambisius, ingin serba sempurna, merasa
13
diburu waktu, mudah gelisah, tidak dapat tenang,
mudah tersinggung, otot- otot mudah tegang. Sedang
orang dengan tipe kepribadian B mempunyai ciri- ciri
berlawanan dengan tipe kepribadian A. Karena tipe
keribadian B adalah orang yang penyabar, teliti, mudah
bergaul,tenang, bekerja keras dan rutinitas.
(4) Lingkungan dan situasi, seseorang yang berada
dilingkungan asing ternyata lebih mudah mengalami
kecemasan dibandingkan bila berada di lingkungan
yang biasa ditempati.
Selain faktor – faktor diatas tersebut, Ervita (laporan sarasehan,
2000) mengungkapkan faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan
pada mahasisiwa yang sedang mengerjakan skripsi, antara lain :
1) Faktor eksternal
a) Mahasiswa tidak jelas mengenai topik yang akan diteliti.
b) Mempunyai kekhawatiran terjadinya hambatan penelitian.
c) Tidak terbiasa dalam menulis skripsi.
d) Kurang paham terhadap metodologi.
e) Keterbatasan penguasaan bahasa asing.
f) Biaya penelitian dan pembuatan skripsi yang mahal.
g) Terbatas dan sulitnya mencari literatur.
2) Faktor internal
14
a) Malas, tampaknya ini merupakan momok terbesar dalam
menyelesaikan skripsi. Hal ini dapat berkaitan dengan
pemilihan judul yang tidak sesuai.
b) Bosan atau jenuh, kejunahan dalam mengerjakan skripsi
serimng terjadi, hal ini dikarenakan mahasiswa harus
mengulang bab yang sama sehingga menimbulkan
keengganan untuk menyelesaikannya.
c) Keengganan untuk bertemu dosen pembimbing, mahasiswa
yang tidak antusias dalam mengerjakan skripsi dapat
mengyebabkan dosen untuk memeriksa skripsi mahasiswa
tersebut dan dosen pembimbing menjadi acuh.
d) Kurangnya motivasi diri, motivasi dari dalam diri harus
ditumbuhkan dan dipelihara. Hal ini sebenarnya merupakan
salah satu kunci keberhasilan dalam menyelesaikan skripsi.
e) Pesimis, pesimis dengan kata lain adalah berfikir negatif.
Mahasiswa yang berfikir negatif mudah putus asa, dan
tidak berusaha untuk mencapai hasil yang terbaik dari
keadaan terburuk, sehingga mahasiswa tidak dapat
menghadapi hambatan - hambatan dalam membuat skripsi.
15
c. Tingkat kecemasan
Tarwoto dan Wartonah (2004) membagi kecemasan menjadi 4
tingkat, yaitu :
1) Kecemasan ringan
Kecemasan ini biasanya dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari – hari dan menyebabkan remaja menjadi
waspada serta meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan
dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta
kreatifitas. Respon cemas ringan seperti sesekali
bernafaspendek, nadi dan tekanan darah naik, bibir gemetar,
lapang persepsi meluas, kurangnya konsentrasi pada
penyelesaian masalah, dan tidak dapat duduk dengan tenang.
2) Kecemasan sedang
Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap masalah
menurun. Individu lebih memfokuskan hal – hal yang penting
saat itu dan mengesampingkan hal lain. Respon cemas sedang
seperti : sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik,
mulut kering, anoreksia, gelisah, lapang pandang menyempit,
rangsangan luar tidak mampu diterima, bicara banyak dan lebih
cepat, susah tidur dan perasaan tidak enak.
3) Kecemasan berat
Pada cemas berat lahan persepsi menjadi sempit.
Seseorang cenderung memikirkan hal – hal yang kecil saja dan
mengabaikan hal yang lain. Seseorang tidak mampu berfikir
16
berat lagi dan membutuhkan lebih banyak pengarahan atau
tuntunan. Respon cemas berat seperti : nafas pendek, nadi dan
tekanan darah meningkat, berkeringat dan sakit kepala,
penglihatan kabur, ketegangan, lapang persepsi sangat sempit,
tidak mampu menyelesaikan masalah, bicara cepat, dan
perasaan ancaman meningkat.
4) Panik
Pada tingkat panic dari kecemasan berhubungan dengan
terpengaruh, ketakutan dan terror. Karena mengalami
kehilangan kendali, seseorang yang mengalami panic tidak
mampu melakukan sesuatu walaupun pengan pengarahan.
Panic menyebabkan peningkattan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran
yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan
kehidupan, dan jika berlangsung pada waktu yang lama dapat
terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian (Stuart dan
Sundeen, 1998).
Respon panic seperti nafas pendek, rasa tercekik dan
palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, lapang persepsi sangat
sempit, tidak dapat berfikir logis, mengamuk, marah,ketakutan,
berteriak – teriak, kehilangan kendali, dan persepsi kacau
(Tarwoto dan Wartonah, 2004).
17
d. Rentang respon kecemasan
Respon adaptif Respon maladaptif
antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
Gambar 2.1 Rentang Respon Kecemasan (Stuart dan Sundeen, 1998)
e. Faktor yang mempengaruhi respon kecemasan
Menurut Rasmun (2004), kemampuan individu dalam
merespon kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1) Sifat stresor
Sifat stressor dapat berubah secara tiba – tiba atau
berangsur – angsur dan dapat mempengaruhi seseorang dalam
menghadapi kecemasan tergantung mekanisme koping
seseorang.
2) Jumlah stressor yang bersamaan
Pada waktu yang sama terdapat jumlah stresor yang
harus dihadapi bersama. Semakin banyak stresor yang dialami
seseorang, semakin besar dampaknya bagi fungsi tubuh
sehingga jika terjadi stresor yang kecil dapat mengakibatkan
reaksi yang berlebihan.
18
3) Lama stresor
Memanjangnya stresor dapat menyebabkan
menurunnya kemampuan individu mengalami stress, karena
individu sudah kehabisan tenaga untuk menghadapi stresor
tersebut.
4) Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu individu dalam menghadap
kecemasan dapat mempengaruhi individu ketika menghadapi
stresor yang sama karena individu memiliki kemampuan
beradaptasi atau mekanisme koping yang lebih baik, sehingga
tingkat kecemasan pun akan berbeda dan dapat menunjukan
tingkat kecemasan yang lebih ringan.
5) Tingkat perkembangan
Tingkat perkembangan inidividu dapat membentuk
kemampuan adaptasi yang semakin baik terhadap stresor yang
berbeda sehingga resiko terjadinya stress dan kecemasan akan
berbeda pula.
f. Respon terhadap kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon kecemasan
diklasifikasikan menjadi 4 respon antara lain :
1) Respon fisiologis
a) Kardiovaskuler meliputi : papitasi, jantung berdebar,
tekanan darah meninggi, rasa mau pingsan, pingsan, denyut
nadi menurun.
19
b) Pernafasan meliputi : nafas cepat, nafas pendek, tekanan
pada dada, pembengkakan pada tenggorok, sensasi
tercekik, terengah – engah
c) Neuromuskuler, meliputi : ttremor, insomnia, reflek
meningkat, reaksi kejutan mata berkedip kedip. Gelisah,
wajah tegang, kaki goyah, kelemahan umum.
d) Gastrointestinal, meliputi : kehilangan nafsu makan,
menolak makan, mual, diare, rasa tidak nyaman pada
abdomen.
e) Traktus urinarius, meliputi : tidak dapat menahan kencing,
sering berkemih.
f) Kulit, meliputi : wajah kemerahan, berkeringat pada telapak
tangan, gatal, rasa panas dan rasa dingin pada kulit, wajah
pucat.
2) Respon perilaku
Respon perilaku terhadap kecemasan meliputi : gelisah,
ketegangan fisik, tremor gugup, bicara cepat, kurang
koordinasi, menarik diri dari hubungan personal, melarikan diri
dari masalah, dan menghindari.
3) Respon kognitif
Respon kognitif terhadap kecemasan meliputi :
perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam
memberikan penilaian, hambatan berfikir, bidang persepsi
menurun, bingung, takut cedera, dan kematian.
20
4) Respon afektif
Respon afektif kecemasan meliputi : mudah terganggu,
tidak sabar, gelisah tegang, nervus, ketakutan, teror, dan gugup.
g. Pengukuran kecemasan
Kecemasan dapat diukur dengan skala HARS ( Hamilton
Anxiety Rating Scale ). Skala HARS merupakan pengukuran
kecemasan yang didasarkan pada munculnya symptom pada individu
yang mengalami kecemasan.
Skala HARS digunakan pertama kali pada tahun 1959, yang
diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standart
dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelirian trial clinic.
Skala Hars telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabelitas cukup
tinggi untuk melakukan pengukuran pada penelitian trial clinic yaitu
0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran
kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil
yang valid dan reliable.
Skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) yang dikutip
Nursalam (2008) penilaian kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi:
1) Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah
tersinggung.
2) Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan
lesu.
3) Ketakutan: takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal
sendiri dan takut pada binatang besar.
21
4) Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari,
tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
5) Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit
konsentrasi.
6) Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada
hobi, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
7) Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara
tidak stabil dan kedutan otot.
8) Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka
merah dan pucat serta merasa lemah.
9) Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi
mengeras dan detak jantung hilang sekejap.
10) Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering
menarik napas panjang dan merasa napas pendek.
11) Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan
menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah
makan, perasaan panas di perut.
12) Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing,
aminorea, ereksi lemah atau impotensi.
13) Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, muka merah,
bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala.
14) Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar,
mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot
meningkat dan napas pendek dan cepat.
22
Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan
kategori:
0 = tidak ada gejala sama sekali
1 = Satu dari gejala yang ada
2 = Sedang/ separuh dari gejala yang ada
3 = berat/lebih dari ½ gejala yang ada
4 = sangat berat semua gejala ada
Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item
1- 14 dengan hasil:
a. Skor kurang dari 6 = tidak ada kecemasan.
b. Skor 7 – 14 = kecemasan ringan.
c. Skur 15 – 27 = kecemasan sedang.
d. Skor lebih dari 27 = kecemasan berat.
2. Konsep Mahasiswa
a. Pengertian mahasiswa
Mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30 1990 adalah
peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu.
b. Kewajiban dan hak mahasiswa
1) Kewajiban mahasiswa, antara lain :
a) Menuntut ilmu.
b) Menguasai ilmu dengan sungguh – sungguh agar menjadi
seorang yang berguna yang mengaplikasikan atau
mengembangkan disiplin ilmunya bagi lingkungan tempat
dimana ia tinggal.
23
c) Mematuhi peraturan yang berlaku, sebuah peraturan yang tidak
menyimpang dari ketetapan hukum – hukum Allah dan nilai –
nilai, norma – norma yang ada.
d) Mahasiswa juga harus memainkan peranan penting sebagai
pencetus perubahan dab revolusi.
e) selain itu mahasiswa jugas wajib melaksanakan Tridharma
Mahasiswa yaitu :
(1) Melakukan penelitian.
(2) Pengabdian.
(3) Pengajaran yang diawali dengan proses belajar yang
sungguh – sungguh.
2) Berbicara tentang kewajiban mahasiswa juga berhak mendapatkan
hak yang diterimanya, yaitu :
a) Mendapatkan perlakuan yang sama dari pendidik tanpa
memandang status sosial dari mahasiswa tersebut, apakah
mahasiswa tersebut dari kalangan menengah atau darikalangan
menengah ke bawah.
b) Mendapatkan ilmu, menerima dan dapat menggunakan sarana
prasarana yang ada.
c) Mengemukakan aspirasinya tetap dengan “sopan”.
d) Mendapat pencerahan agama sebagai penyeimbang dalam
menjalani kehidupan.
24
3. Konsep Terapi Tertawa
a. Pengertian terapi tertawa
Terapi tertawa adalah suatu terapi untuk mencapai
kegembiraan di dalam hati yang dikeluarkan melalui mulut dalam
suara tawa, atau senyuman yang menghiasi wajah , perasaan hati yang
lepas dan gembira, dada yang lapang, peredaran darah yang lancar
sehingga dapat mencegah penyakit dan memelihara kesehatan.
Tertawa juga bisa merangsang dan menambah pelepasan hormon
endorphin di dalam tubuh manusia yang merupakan hormon gembira
di dalam tubuh (Adnol,2009).
Terapi Tawa merupakan metode terapi dengan menggunakan
humor dan tawa dalam rangka membantu individu menyelesaikan
masalah mereka, baik dalam bentuk gangguan fisik maupun gangguan
mental Penggunaan tawa dalam terapi akan menghasilkan perasan lega
pada individu. Ini disebabkan tawa secara alami menghasilkan pereda
stres dan rasa sakit .
Terapi tawa modern terjadi sekitar tahun 1930-an, dimana
beberapa rumah sakit mengundang badut untuk menghibur anak-anak
penderita polio. Tahun 1964, Norman Cousins menerbitkan Anatomy
of an Illness yang mendokumentasikan kasus nyata tentang dampak
positif penggunaan humor terhadap penyakit. Pada waktu itu, Norman
Cousins didiagnosa menderita Cousins Ankylosing Spondylitis, yaitu
sebuah penyakit mematikan yang meyebabkan disintegrasi pada
jaringan spinalis. Para dokter memberikan prognosis kesembuhan pada
25
Cousin sebesar 1 dibanding 500 kasus. Menghadapi tipisnya angka
peluang untuk sembuh, Cousins memutuskan untuk melakukan terapi
humor untuk menghibur dirinya sendiri. Dalam pelaksanaannya,
Cousins menemukan bahwa 15 menit tertawa terbahak-bahak dapat
menghasilkan tidur tanpa rasa sakit selama ± 2 jam. Sampel darah juga
menunjukkan bahwa tingkat penyebaran penyakit telah menurun
setelah menjalani terapi humor. Pada akhirnya, Cousins benar-benar
sembuh dari penyakitnya. Selanjutnya, dia menuliskan pengalaman
tersebut pada buku Anatomy of an Illness (Holistic online, 2005).
b. Konsep dasar terapi tertawa
Saat kita berbahagia, secara alamiah kita banyak tersenyum dan
tertawa. Kita tidak sadar membuat diri kita terlihat dan merasa riang.
Saat suasana hati kita baik, raut muka kita secara alami mencerminkan
jiwa kita yang riang. Saat kita merasa murung, secara alami kita
terlihat murung dan muram. Dengan kata lain, kita lebih dulu merasa
bahagia, atau sedih – dan raut muka yang tepat akan muncul sendiri.
Dari penelitian mutakhir soal ini tampaknya juga benar bahwa
jika memaksa munculnya raut tertentu pada kita, maka pikiran dan
tubuh kita akan menanggapinya, dan secara biokimia akan
mengenalinya. Jika kita merasa sedih karena alasan tertentu, dan
diminta tersenyum, ekspresi bahagia kita benar-benar akan membuat
perasaan kita menjadi lebih baik, sebab ia mempengaruhi hormon-
hormon yang mengalir dalam sistem tubuh (Hodkinson, 1991).
26
Waynabaum yang dikutip oleh Lewis et al (2004) menyebutkan
bahwa otot-otot muka bekerja seperti penjepit pembuluh darah yang
mengatur aliran darah ke otak. Aliran darah pada gilirannya
memengaruhi perasaan kita. Teori yang ia kembangkan menyatakan
bahwa emosi seringkali mengikuti ekpresi wajah, bukan
mendahuluinya. Waynbaum mengajukan hipotesa bahwa segala
tanggapan emosi yang tampak, seperti merona, terisak-isak, menangis,
dan seterusnya berkaitan dengan proses-proses vaskuler (pembuluh
darah). Menagis dan tertawa mempengaruhi sirkulasi darah, terutama
melalui kerja diafragma. Waynbaum berpendapat bahwa semua reaksi
emosi, entah positif atau negatif, mempengaruhi sirkulasi dan bahwa
ekspresi wajah memainkan peran penting dalam proses ini.
Waynbaum bertanya, mengapa tersenyum dan tertawa selalu
dikaitkan dengan kegembiraan dan sukacita? Ia menduga bahwa
peningkatan aliran darah ke otak – yang merupakan akibat fisologis
dari tersenyum dan tertawa – terkait dengan kesehatan tubuh dan
suasana hati yang positif. Sebaliknya, suasana hati dan ekpresi tertekan
menghasilkan penurunan aliran darah ke otak. Pada gilirannya hal ini
dapat mengakibatkan penyakit fisik yang sebenarnya. Jadi, orang
dengan wajah terus menerus terlihat murung menyebabkan penurunan
aliran darah ke otak secara permanen. Artinya, otaknya tidak mendapat
gizi yang memadai dan tidak bekerja pada taraf yang optimum
(Plutchik, 2002).
27
Otot zigomatik berkaitan erat dengan senyum dan kebahagiaan.
Menurut teori Waynbaum ini, otot ini secara langsung mengakibatkan
darah mengalir di seluruh otak. Pembuluh vena dipenuhi darah, dan hal
ini sendiri telah meringankan perasaan dan membuat merasa senang
(Plutchik, 2002).
Dalam bukunya, Waynbaum mengajukan gagasan bahwa
tertawa merupakan tindakan yang sehat karena peningkatan sirkulasi
itu bersifat baik. Tertawa itu seperti mandi oksigen –sel-sel dan
jaringan mendapat tambahan oksigen sehingga orang merasa lebih
segar. Sebaliknya, merasa dan berprilaku murung mengakibatkan
pengurangan oksigen dalam darah sehingga sel-sel kekurangan
oksigen. Sel-sel darah menjadi lapar dan kosong, menghasilkan
depresi, kecemasan, dan kemarahan (Plutchik, 2002).
Mengomentari teori Waynbaum ini, Zajonc menyatakan bahwa
darah arteri berdampak mendinginkan otak. Kemungkinan besar suhu
otak mempengaruhi neurotransmiter yakni hormon-hormon yang
membawa keadaan emosi dan perasaan keseluruh bagian tubuh.
Kemungkinan besar saat kita merasa sedih, dan aliran darah ke otak
terhambat, maka ini juga melemahkan proses pelepasan dan sintesis
neurotransmiter yang penting (Hodgkinson, 1991).
Saat otak dialiri darah beroksigen tinggi dengan baik, maka ia
akan bekerja lebih baik ketimbang saat ia kekurangan oksigen. Yang
lebih penting lagi, penyakit adalah hasil ketidakselarasan dalam tubuh.
Lebih dari masuk akal dikatakan bahwa kita akan cenderung merasa
28
sedih dan sakit jika jumlah darah ke otak membuat otak tidak dapat
bekerja secara optimal (Hodgkinson, 1991).
Otak mengingat sesuatu untuk kurun waktu yang sangat lama
dan agak mustahil ia sepenuhnya lupa hal-hal yang pernah ia alami.
Jadi, jika Anda mencoba tersenyum saat anda merasa sedih, otak akan
mengingat bahwa di masa lalu ekpresi ini berkaitan dengan
kebahgiaan, dan akan segera menanggapinya dengan cara melepaskan
neurotransmiter-neurotransmiter yang tepat. Hasilnya kita akan
menjadi lebih berbahagia dan merasa lebih positif (Plutchik, 2002).
Hasil-hasil penelitian ilmiah terbaru memperlihatkan bahwa
kebahagiaan bukan hanya terletak dalam pikiran, tetapi terkandung
dalam otot-otot dan hormon kita. Tindakan menggerakkan otot-otot
wajah membentuk ekspresi yang berkaitan dengan kesukacitaan dapat
menghasilkan efek positif yang berdampak besar pada sistem saraf.
Paul Ekman, peneliti utama dalam bidang ini, meyakini bahwa
mekanika gerakan otot-otot wajah sangat berkaitan dengan sistem saraf
otonom, yang mengatur denyut jantung, pernapasan, dan fungsi-fungsi
yang tidak bisa dikendalikan secara sadar.
c. Fisiologi tawa
Aspek-aspek emosi, termasuk tertawa, “diatur” oleh pusat
emosi di dalam struktur otak yang dinamakan sistem limbic (limbic
sistem). Sistem limbic berasal dari kata “limbus” yang berarti “batas”.
Nama ini dipilih karena menunjukkan daerah fungsional yang dibatasi.
Daerah itu sendiri dibentuk oleh beberapa komponen otak, antara lain
29
hippocampus, gyrus limbic, dan amiygdale. Sistem limbic ini
memainkan peranan dalam mengatur emosi manusia (Aswin, 2005.
Pasiak, 2004).
Sistem limbik yang juga berhubungan dengan aspek-aspek
tingkah laku tertentu ini bentuknya seperti lingkaran sehingga oleh
seorang ahli bernama Papez dinamai lingkaran bergema. Papez
menemukan hal ini karena ketika intinya dirusak, orang yang
bersangkutan menunjukkan suatu emosi yang tidak tepat atau kacau.
Artinya, secara tidak sengaja orang ini bisa mudah marah, tetapi
gampang pula tertawa terbahak-bahak meskipun tidak lucu. Itu karena
lingkaran yang juga merupakan pusat emosi manusia itu terputus.
Kalau salah satu bagian dari lingkaran ini rusak, memori orang itu juga
akan hilang. Hal ini terjadi pada orang yang sudah pikun.
Sementara itu, Ekman dan Friesen (1984, dalam Hasanat,
1996) membagi wajah ke dalam tiga bagian (a) alis/dahi (b)
mata/kelopak mata, pangkal hidung dan (c) wajah bagian bawah yaitu
bibir, mulut, sebagian besar hidung, dagu, pembagian ini didasarkan
fakta bahwa daerah ini secara motorik tidak saling tergantung.
Menurut Ekman dan Friesen (1984, dalam Hasanat, 1996)
ekpresi wajah bahagia tampak pada ekpresi senyum yang ditunjukkan
pada:
1) Sudut bibir tertarik kebelakang dan tertarik ke atas
2) Bibir merapat atau meregang dengan gigi terlihat atau tidak
3) Ada kerutan turun dari hidung sampai sudut luar bibir
30
4) Pipi terangkat
5) Ada kerutan dibawah kelopak mata bagian bawah
6) Ada kerutan disudut luar mata.
Selanjutnya Ekman dan Friesen (1984, dalam Hasanat, 1996)
mengatakan bahwa dalam ekspresi bahagia biasanya mata terlihat
”bersinar”. Intensitas bahagia terutama ditentukan oleh posisi bibir.
Apabila sudut bibir semakin kebalakang dan keatas disertai dengan
kerutan naso labial, dan kerutan dibawah kelopak mata bagian bawah,
maka ekspresi bahagia semakin kuat.
d. Kelebihan dan kekurangan terapi tertawa
Sebagai terapi dengan pendekatan yang holistik, terapi tawa
tidak terlepas dari adanya kelebihan dan kekurangan. Kelebihan terapi
tawa adalah, antara lain (Ariana, 2006).
1) Terapi tawa merupakan terapi yang tidak membutuhkan banyak
peralatan. Terapi ini dapat dilakukan dengan menggunakan media
VCD, majalah, televisi, atau tidak menggunakan peralatan sama
sekali, yaitu dengan saling berbagi cerita lucu dengan orang lain.
2) Terapi tawa tidak memiliki batasan ruang dan waktu dalam
pelaksanaannya. Ini dapat diterapkan di kamar, kelas, maupun
ruangan terbuka.
3) Terapi tawa tidak menuntut kehadiran seorang terapis profesional
dan dapat diterapkan secara mandiri oleh individu atau kelompok
yang menginginkanya.
31
4) Terapi tawa dapat dilakukan dalam kelompok maupun individual.
Namun, untuk mendapatkan manfaat yang lebih banyak, biasanya
cenderung dilakukan dalam kelompok kecil.
5) Tidak ada ketentuan mengenai materi yang digunakan sebagai
stimulus humor. Masing-masing individu bebas memilih jenis
humor sesuai dengan minat dan keinginannya.
Selain kelebihan-kelebihan di atas, penggunaan tawa dalam
terapi tawa juga memiliki beberapa keterbatasan yang menjadi
kekurangannya sebagai sebuah intervensi kesehatan, antara lain:
1) Terapi humor tidak dapat diterapkan pada individu dengan
beberapa gangguan kesehatan, seperti hernia, wasir parah, penyakit
jantung dengan sesak napas, pasca operasi, peranakan turun,
kehamilan, serangan pilek dan flu, tuberkulosis, dan komplikasi
mata (Kataria, 2004). Hal ini dikarenakan produksi tawa
dikhawatirkan akan mengganggu proses penyembuhan serta dapat
menularkan beberapa penyakit tertentu bila dilakukan dalam
kelompok. Namun, kekurangan ini dapat dikendalikan jika
individu yang bergabung dapat menguasai dirinya sendiri, sehingga
tidak melakukan aktifitas tertawa yang berlebihan selama sesi
terapi berlangsung.
2) Faktor lain yang dapat menjadi penghalang keberhasilan terapi
tawa adalah tingkat dan jenis sense of humor. Sense of humor
adalah bagaimana seseorang mempersepsikan sebuah stimulus
sebagai stimulasi humor sehingga dapat menghasilkan tawa.
32
Tingkat sense of humor mengacu kepada seberapa sering seseorang
mempersepsikan humor sebagai sebuah stimulus untuk
menghasilkan tawa; sedangkan jenis sense of humor mengacu
kepada jenis humor apa yang paling dapat membuat seseorang
tertawa. Menurut penelitian Hartanti (2002) hanya orang-orang
dengan tingkat dan jenis sense of humor tertentu yang mampu
merespon stimulasi humor sesuai dengan yang diharapkan.
e. Indikasi dan kontra indikasi terapi tertawa
Terapi tawa adalah terapi yang sangat ringan dan tidak
membatasi usia, setiap orang bsa melakukannya. Disamping
mempunyai manfaat besar, terapi juga mengandung sejumlah potensi
bahaya. Potensi ini dilarang untuk dilakukan oleh mereka yang
mempunyai beberapa jenis penyakit dan problem.
1) Indikasi
Terapi tawa merupakan teknik yang mudah dilakukan,
tetapi efeknya sangat luar biasa, bahkan dapat menyembuhkan
pasien dengan gangguan mental akibat stres berat. Humor dalam
bentuk tertawa dalam dunia medis, merupakan obat mujarab
gangguan stres, atau gangguan penyakit lainnya. Orang yang
mudah tertawa, akan lebih cepat sembuh dari sakitnya, daripada
mereka yang banyak mengeluh, apalagi menangis.
Tertawa membuat otak menekan kita untuk melakukan dua
hal yang simultan. Pertama adalah visual, yaitu gerakan muka
khusus. Yang kedua, adalah phonic, yaitu mengeluarkan bunyi
33
tertentu. Selama tertawa, ada banyak perubahan dalam bagian
tubuh termasuk tangan, kaki dan otot. Tertawa membantu
melepaskan emosi dan ketegangan. Orang sering menyimpan
emosi dari pada mengeluarkannya saat marah, takut, sedih, stres
atau bosan. Tertawa merupakan cara lain untuk menemukan jalan
keluar dari ketegangan-ketegangan tersebut.
Pada saat tertawa, lima belas otot muka berkontraksi dan
mendapatkan rangsangan efektif pada sebagian besar otot mulut.
Bahkan dalam keadaan tertentu, pembuluh air mata terangsang
sehingga selagi mulut terbuka dan tertutup, ada suatu dorongan
untuk mengisap udara yang cukup, sehingga muka memerah dan
mata berair.
Dari banyak pengalaman, telah terbukti bahwa tertawa
merupakan "mesin terbaik" untuk menghilangkan stres. Penelitian
medis menunjukkan adanya pengaruh psikologi pada tertawa
terhadap kesehatan. Rasa humor akan masuk dengan mudah
"mengobati" sakit, tekanan hidup sehari-hari, stres, atau rasa penat
setelah bekerja. Rasa humor dapat secara dramatis mengubah
kualitas dan pandangan hidup kita. Rasa humor merupakan suatu
cara yang mudah untuk mengenali perasaan, dan mengontrolnya
dalam situasi sulit.
34
Beberapa dampak psikologi tertawa terhadap tubuh, adalah
sebagai berikut (Simanungkalit, & Pasaribu, 2007)
a) Mengurangi stress atau cemas
Tertawa akan mengurangi tingkat stres tertentu dan
menumbuhkan hormon penyeimbang yang dihasilkan
saat stres. Dalam keadaaan stres, akan dihasilkan
hormon yang menekan sistem kekebalan, sehingga
meningkatkan jumlah platelet (sesuatu yang dapat
menyebabkan gangguan dalam arteri) dan
meningkatkan tekanan darah. Dengan tertawa, hormon
stres dapat diimbangi sampai tingkat tertentu.
b) Meningkatkan kekebalan
Tertawa dapat meningkatkan sistem kekebalan
karena tertawa pada dasarnya membawa keseimbangan
pada semua komponen dalam sistem kekebalan tubuh.
c) Menurunkan tekanan darah tinggi
Tertawa dapat meningkatkan aliran darah dan
oksigen dalam darah, yang dapat membantu
pernapasan.
d) Mencegah penyakit
Tertawa dipercaya mampu mencegah penyakit,
seperti penyakit jantung, karena marah dan takut yang
merupakan emosi penyebab serangan jantung dapat
diatasi dengan tertawa. Karena tertawa itu sehat,
35
tertawalah selagi kita masih bisa tertawa, tetapi tentu
saja tertawa yang ada sebabnya.
Secara lebih khusus manfaat terapi tawa untuk anak-anak
dapat dirumuskan sebagai berikut (Kataria, 2004):
a) Sesi tawa rutin akan meningkatkan pasokan oksigen
untuk memperbaiki fungsi mental dan prestasi akademis
mereka
b) Sesi tawa akan mengurangi stress saat ujian. Bahkan
sebelum memasuki ruang ujian, mereka perlu dibuat
tertawa selama sekitar sepuluh menit untuk mengurangi
kecemasan
c) Terapi tawa akan meningkatkan stamina dan kapasitas
pernapasan untuk membantu mereka unggul dalam
kegiatan olahraga. Kegiatan ini akan sangat
mengendurkan syaraf sebelum kegiatan olahraga
kompetitif.
d) Terapi tawa akan meningkatkan kadar relaksasi dan
mengurangi kegugupan serta demam panggung. Hal ini
juga membantu anak-anak menjadi lebih terbuka dan
mengembangkan rasa percaya diri
e) Mereka akan lebih jarang terserang penyakit batuk, pilek,
infeksi kerongkongan dan pernapasan, karena tawa
membantu meningkatkan kekebalan tubuh yang baik
melawan semua infeksi.
36
f) Jika pengambilan nafas dalam-dalam ala yoga
dipraktekkan di antara latihan tawa, hal ini akan
membantu mengembangkan stabilitas mental mereka.
Jika sikap keceriaan menjadi cara hidup, mereka akan
mempunyai sikap yang positif dalam menghadapi saat-
saat sulit. Tawa juga akan membantu mereka
meningkatkan kemampuan kreatif mereka.
g) Terapi tawa akan meningkatkan kemampuan kreativitas,
intelektual, emosional dan juga sosialisasi anak ketika
berada lingkunangan rumah dan disekolah (Mc. Ghee,
2006)
2) Kontra Indikasi
Tertawa adalah terapi yang sangat ringan dan tidak
membatasi usia, walaupun begitu, terapi ini dilarang untuk
dilakukan oleh mereka yang mempunyai beberapa jenis penyakit
dan problem. Pelarangan melakukan tawa ini dikarenakan
dikawatirkan berakibat buruk pada penyakitnya.
Mereka yang dilarang untuk melakukan terapi humor ini
adalah (Simanungkalit & Pasaribu, 2007).
Tabel 2.1 Kontra indikasi terapi tertawa
Kontra Indikasi Rasionalisasi
Penderita penyakit wasir Berbahaya karena otot di sekitar pinggul
dan perut mendapat tekanan lebih berat
sehingga dikhawatirkan memperparah
37
penyakit wasir
Penderita penyakit hernia Hal ini dapat memperparah penyakit
hernia karena membutuhkan kerja keras
otot dan kemungkinan isi perut akan
menonjol di sekitar saluran selangkangan.
Penderita penyakit jantung Memacu denyut jantung bekerja lebih
cepat, sehingga dikhawatirkan berakibat
fatal.
Penderita sesak nafas Mengganggu pernapasan
Baru selesai melakukan
operasi
Jahitan opersinya akan terlepas, apalagi
yang melakukan operasi besar atau perus
Sedang hamil Mengakibatkan kontraksi dan bisa terjadi
keguguran.
Peranakan turun Menurunkan tali ligamen yang menopang
peranakan menjadi lemah.
Penyakit TBC Bibit-bibit penyakitnya akan menular
kepada orang lain sekitarnya
Penyakit flu Bibit flu akan menyebar dan penderita flu
sebaiknya istirahat saja.
Penyakit pilek Akan menularkan bibi-bibit virusnya
kepada orang lain.
Komplikasi mata
(glaukoma)
Akan meningkatkan tekanan pada bola
mata karena bendungan aliran cairan
mata melalui terusan Schlemm dalam
38
pembuluh balik semakin meningkat,
mencekungnya pupil saraf mata, dan bisa
berakibat pada kebutaan.
f. Prosedur terapi tertawa
1) Lakukan pemanasan dengan cara menghirup napas melalui hidung,
tahan napas selama 15 detik dengan pernapasan perut. Lalu
hembuskan secara perlahan melalui mulut. Lakukan lima kali
berturut-turut.
2) Diusahakan ada seorang pemandu yang memimpin jalannya terapi.
Pertama perawat mengemukakan pada kelompok bahwa terapi
akan dimulai. Perawat kemudian tertawa lebar (haa – haa – haa)
dengan membuka mulut kira – kira 30°, sudut bibir tertarik keatas
dan tertarik kebelakang, kemudian pipi terangkat, ada kerutan
dibawah kelopak mata dan disudut luar mata dan diikuti oleh
anggota kelompok. Gerakan pemandu hendaknya luwes atau tidak
kaku. Tertawa ini bisa berlangsung selama 15 detik.
39
3) Setelah 5 menit, kembali tertawa (dengan menyuarakan hii – hii –
hii) sudut bibir tertarik kebelakang dan ke atas, bibir meregang
dengan gigi terlihat, ada kerutan dibawah kelopak mata dan disudut
luar mata.
4) Bila kurang kompak, lakukan kembali dengan menyuarakan (huu –
huu – huu) dengan memajukan bibir kedepan.
5) Terapi tertawa hendaknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari.
Siang merupakan waktu yang kurang baik untuk terapi tertawa.
Lakukan sehari 1 kali dan 3 kali seminggu. (Setyoadi, 2011)
40
4. Pengaruh Terapi Tertawa Terhadap Kecemasan
Tertawa terbukti dapat menurunkan kecemasan karena dengan
tertawa bisa merangsang dan menumbuhkan hormone endorphin didalam
tubuh yang merupakan hormon gembira didalam tubuh sehingga dapat
memperbaiki suasana hati. Tertawa juga dapat membentuk pola berfikir
yang positif. Dengan tertawa akan merelaksasikan otot – otot yang tegang.
Selain itu tertawa juga bisa melebarkan pembuluh darah sehingga
memperlancar aliran darah keseluruh tubuh. Disamping itu tertawa juga
berperan menurunkan kadar hormone stress epinephrine dan kortisol
sehingga dapat menurunkan kecemasan atau stress (Tarigan, 2009).
41
B. Kerangka Konseptual
Keterangan :
Terapi tertawa
Gambar 2.2 : Kerangka konseptual Pengaruh terapi tertawa terhadap kecemasan mahasiswa prodi sarjawa keperawatan semester VII dalam menghadapi skripsi di Stikes Satrtia Bhakti Nganjuk
Mahasiswa
kecemasanFaktor – faktor yang menyebabkan kecemasan :
Menurut Stuart dan Sundeen (1998).a. Faktor predisposisi.
1) Psikoanalitik.2) Interpersonal.3) Perilaku.4) Keluarga.5) Perspektif.
Biologis.
Tidak cemas Cemas beratCemas sedang
Mekanisme koping mahasiswa menjadi adaptif
Cemas ringan
Hipotalamus menghasilkan corticotropin relaxing factor (CRF)
CRF merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi
Merangsang endorphin
Hormone norepinefrin turun
Merespon relaksasi pada saraf otonom
System limbic menjadi seimbang
Pengaturan system emosi menjadi seimbang
Mahasiswa dapat menyelesaikan skripsi
b. Faktor presipitasi.1) Usia.2) Jenis kelamin.3) Tipe kepribadian.
: Yang diteliti : Yang tidak diteliti
42
C. Hipotesa Penelitian
Hipotesa adalah suatu asumsi tentang hubungan antara dua atau lebih
variabel yang diharapkan menjawab pertanyaan dalam riset (Nursalam,
2008).
Ha : Ada Pengaruh Terapi Tertawa Terhadap Kecemasan Mahasiswa
Prodi Sarjana Keperawatan Semester VII Dalam Menghadapi Skripsi di Stikes
Satria Bhakti Nganjuk.