Metode riset kuanti dan kuali, Mix-Method. Research Method for Lecturers.
terbaru kuanti
-
Upload
syainisukijan31 -
Category
Documents
-
view
37 -
download
0
description
Transcript of terbaru kuanti
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kasus beredarnya video kekerasan sejumlah siswa di salah satu Sekolah Dasar
Swasta di Kota Bukit tinggi Sumatera Barat. Dalam video yang diunggah di jejaring
youtube tersebut tampak seorang siswi berpakaian seragam SD dan berjilbab berdiri di
pojok ruangan. Sementara beberapa siswa termasuk siswi lainnya secara bergantian
melakukan pemukulan dan tendangan. Sang siswi yang menjadi obyek kekerasan tersebut
tampak tidak berdaya/ pasrah dan menangis menerima perlakuan kasar teman-temannya
itu. Tampak pula adegan tendangan salah seorang siswa yang dilakukan sambil melompat
bak aktor laga. Di sela-sela penyiksaan, ada juga siswa yang tertawa-tawa sambil
menghadap kamera dan terdengar pula ungkapan dalam bahasa minang yang meminta agar
aksi tersebut dihentikan.
(sumber:http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan-pendidikan-karakter)
Kemudian Kasus bullying dengan kekerasan terjadi di Sumbar. Kali ini bullying
menimpa seorang siswa SMP di salah satu sekolah di Kota Padang pada hari kamis (12/3).
Akibat dari bullying yang ia terima, korban pun mengalami pecah pembuluh darah di
bagian kepala belakangnya sehingga mengalami pendarahan dan harus menjalani operasi.
Kejadian berawal saat sepulang sekolah korban bernama FA (14) dimintai uang sebesar Rp
1000 oleh KV (14). Namun FA menolak memberikan uang kepada KV. Kemudian KV pun
memukul FA, dan FA sempat membalasnya. Tidak terima dengan balasan tersebut KV
kembali menyerang FA dan memukul kepala belakangnya.
(http://www.infosumbar.net/berita/berita-sumbar/kasus-bullying-oleh-siswa-smp-terjadi-
di-kota-padang)
Kasus di atas merupakan kasus bullying atau kekerasan. Banyaknya kasus
mengenai kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan terutama pada anak-anak usia
sekolah akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Hal ini perlu adanya perhatian yang lebih
bagi pendidik maupun orang tua. Bullying sering terjadi di sekolah, sekolah yang
seharusnya menjadi tempat bagi anak untuk membina ilmu dan membantu membentuk
karakter pribadi yang positif (Wiyani 2012), namun kenyataannya sekolah menjadi tempat
tumbuhnya tindakan-tindakan bullying dan masih dijumpai siswa senior melakukan 1
tindakan bullying terhadap adik kelasnya dengan cara melakukan kekerasan fisik,
pemalakan atau pemerasan, menghina, membentak, sehingga dibeberapa sekolah tindakan
bullying menjadi suatu tradisi.
Bullying yang dimaksud adalah salah satu bentuk usaha berperilaku untuk
menyakiti yang dilakukan oleh sebuah kelompok atau seseorang. Bulllying sebagai sebuah
perilaku didefiniskan sebagai interaksi antara individu yang lebih dominan yang sering kali
berbentuk tindakan agresif kepada individu lain yang kurang dominan (korban) dengan
tujuan menyusahkan si korban (Olweus, 1991; Smith and Thompson,1991 dalam Craig
dkk, 2000). Seorang anak dapat dikatakan sebagai korban perilaku bullying jika ia sering
dan terus menerus diperlakukan buruk oleh murid yang lain. Perilaku buruk yang
dimaksud adalah jika seseorang secara dengan sengaja menimbulkan ataupun berusaha
menimbulkan ketidaknyamanan kepada orang lain. Bentuk perilaku buruk ini bisa secara
verbal, fisik, ataupun psikologis. Dengan kata lain bullying adalah perilaku kekerasan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan/kekuatan untuk
menyakiti orang lain secara fisik ataupun psikis melalui tindakan atau ucapan sehingga
korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya. Peristiwa ini mungkin terjadi berulang-
ulang.
Perilaku bullying termasuk dalam tindakan kekerasan yang merugikan orang lain.
Disebut kekerasan karena tindakan yang dilakukan untuk menyakiti orang lain, atau bisa
juga dengan tujuan tertentu, misalnya mencari perhatian, menginginkan kekuasaan di
sekolah, ingin dibilang jagoan, pamer atau menunjukkan kekayaan seperti motor baru.
Selama ini upaya mengidentifikasi tindakan bullying siswa mengalami hambatan. Perilaku
bullying terselubung dan para korban yang enggan atau takut melaporkan tindakan bullying
yang dialaminya membuat para guru dan orangtua siswa tidak dapat mendeteksi adanya
tindakan bullying di sekolah. Tidak hanya itu, selama ini kampanye anti-bullying di
sekolah dan masyarakat juga masih sedikit dan terbatas. Setiap perilaku agresif, apapun
bentuknya, pasti memiliki dampak buruk bagi korbannya.
Bullying yang terjadi di sekolah dinamakan school bullying. Para ahli menyatakan
bahwa perilaku bullying atau istilah lain school bullying mungkin merupakan bentuk
agresivitas antarsiswa yang memiliki dampak paling negatif bagi korbannya. Hal ini
disebabkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan di mana pelaku yang berasal dari
kalangan siswa/siswi yang merasa lebih senior melakukan tindakan tertentu kepada korban
2
yaitu siswa/siswi yang lebih yunior dan mereka merasa tidak berdaya karena tidak dapat
melakukan perlawanan.
Berdasarkan penelitian Basuki (2010) School bullying termasuk dalam tindakan
kekerasan yang merugikan orang lain. Disebut kekerasan karena tindakan yang dilakukan
untuk menyakiti orang lain, atau bisa juga dengan tujuan tertentu, misalnya mencari
perhatian, menginginkan kekuasaan di sekolah, ingin dibilang jagoan, pamer atau
menunjukkan kekayaan seperti motor baru. Sedangkan Budi (2010) menjelaskan mengenai
bullying di salah satu SMA di kota Yogyakarta (2010) mengemukakan bahwa siswa
menyatakan mendapatkan bullying di sekolah 69,03% dan di tempat bermain 35,4%.
Sedangkan di rumah yang seharusnya sebagai tempat yang paling aman karena ada
orangtua dan saudara-saudara ternyata 28,32% anak mengatakan bahwa mendapatkan
kekerasan dari orangtua maupun dari saudara. Di jalan menuju sekolah ketika anak
melakukan perjalanan sendiri ada 9,7% mengalami bullying.
Berdasarkan laporan mingguan salah satu lembaga pendidikan MTs di kota
Bangkalan tertanggal 25 Januari 2015 tercatat bahwa terdapat dua siswa bermasalah
terkait dengan perilaku mengejek, atas nama M.F dan M.I. Selain itu, dari hasil wawancara
dengan guru kelas (wali kelas) dan kepala sekolah, diketahui bahwa kedua subyek tadi
memang memiliki perilaku bermasalah. Subyek memiliki kecenderungan perilaku
mengejek yang terus menerus sehingga beberapa minggu yang lalu subyek mendapatkan
hukuman dari sekolah karena perilaku tersebut. Dalam hal ini kemungkinan besar
menunjukkan adanya kelompok senioritas yang masih menjadi sebuah fenomena yang
terjadi di sebuah lembaga pendidikan. Adanya ketidakseimbangan kekuatan baik fisik
maupun mental kemungkinan menjadi salah satu faktor penyebab terjadi perilaku bullying
di sekolah.
Pada Dasarnya Bullying memiliki dampak yang negatif bagi anak-anak yang
menjadi korban. Dampak tersebut dapat bersifat fisik maupun psikologis. Eratnya
hubungan antara kesejahteraan psikologis dan kesehatan fisik menyebabkan korban
bullying terkadang juga mengalami gangguan pada fisiknya. Dampak bullying pada
kesehatan fisik korban termanifestasi dalam bentuk sakit kepala (Williams dkk, dalam
Djuwita, 2005), sakit tenggorokan, flu, dan batuk (Wolke dkk, dalam Riauskina dkk,
2005), bibir pecah-pecah dan sakit dada (Rigby dalam Riauskina, 2005). Bullying yang
dilakukan secara fisik bisa berdampak pada kondisi fisik anak yang menurun, terkadang
merasa sakit pada bagian tubuh tertentu dan mengalami luka secara fisik. Dampak lain 3
yang tidak terlihat akan tetapi memiliki efek jangka panjang adalah penyesuaian sosial
yang buruk pada anak. Korban bullying akan merasakan emosi yang negatif dalam dirinya
seperti perasaan dendam, marah, hina, kecemasan, tertekan, takut, malu, sedih, tidak
nyaman dan terancam serta merasa tidak mampu untuk mengatasi permasalahan yang
dialaminya. Korban bullying biasanya mengalami berbagai macam gangguan yang
meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (low psychological well-being) di mana
korban akan merasa tidak nyaman, takut, rendah diri serta tidak berharga (Rigby dalam
Djuwita dkk, 2005), penyesuaian sosial yang buruk di mana korban merasa takut ke
sekolah bahkan tidak mau sekolah, menarik diri dari pergaulan, prestasi akademik yang
menurun karena mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dalam belajar bahkan buruknya
korban memiliki keinginan untuk bunuh diri daripada harus menghadapi tekanan-tekanan
berupa hinaan dan hukuman Dalam jangka waktu yang cukup panjang, emosi tersebut akan
menimbulkan perasaan rendah diri karena merasa dirinya tidak berharga di lingkungan.
Menurut Levianti (2008) bullying tidak hanya berdampak negatif bagi korban, namun juga
bagi pelakunya. Siswa pelaku bullying berpotensi menjadi pelaku kriminal sejak dini
ataupun di kemudian hari.
Pada usia remaja ini ketertarikan dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya
menjadi sangat kuat. Hal ini karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat
memahami mereka, sehingga hanya dengan seusianya ada kedekatan secara fisik ataupun
psikis. Mereka kadang-kadang bergurau melampaui batas kewajaran sehingga tidak
disadari membuat orang lain di sekitarnya menderita, dan bila diperingatkan biasanya tidak
mau menerima dan bahkan berbuat lebih dahsyat lagi. Hal yang demikian itu menyebabkan
remaja bangga dengan perbuatan yang dianggap tidak wajar. Tanpa disadari, tindakan
bullying sering terjadi di lingkungan remaja baik di sekolah, rumah bahkan di mana pun.
Oleh karena itu dukungan sosial dari guru, teman maupun masyarakat lingkungan
sekitar sangat dibutuhkan oleh individu itu sendiri. Dukungan sosial merupakan
kenyamanan, perhatian mapun bantuan yang diterima individu dari orang disekitaranya.
Dukungan sosial bisa bersumber dari orang-orang yang berada disekitarnya seperti teman
dekat, guru, sanak keluarga, pasangan hidup (suami-istri) dan lain-lain. Beberapa faktor
diyakini menjadi penyebab terjadinya perilaku bullying di sekolah salah satunya adalah
faktor dukungan sosial. Kurangnya dukungan sosial memberikan pengaruh terhadap
tumbuhnya perilaku bullying di sekolah. Dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang
dirasakan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diperoleh seseorang dari orang lain
4
atau kelompok (Sarafino, 1998 dalam Rohmah, 2006). Menurut Rohmah (2006) Dukungan
sosial bertujuan untuk memberikan kesejahteraan pada penerimanya. Bagaimana seseorang
menerima dukungan sosial tersebut lebih merupakan suatu pengalaman pribadi yang
melibatkan penghayatannya atas dukungan dari orang lainyang diterimanya.
Begitupun keterlibatan keluarga dimana individu yang kurang mendapat perhatian,
pola asuh yang kurang sehat atau pernah menjadi korban bullying kemungkinan
munculnya perilaku bullying. Keluarga merupakan bagian kecil dari masyarakat yang
terdiri dari bapak. Ibu dan anak serta saudara yang menempati sebuah rumah atau hunian.
Karekteristik keluarga yang sehat, bila anggota keluarganya berinteraksi satu dengan yang
lainnya, anggota keluarga terlibat dalam peran masing-masing secara flexsibel, anggota
keluarga selalu termotivasi untuk berkomunikasi dengan keluarga lainnya dan juga
masyarakat sekitar serta setiap anggota keluarga menguasai salah satu tugas seperti
pengembilan keputusan atau upaya pencarian informasi (Achjar, 2010 Sari dkk (...). Setiap
individu selalu mendambakan tinggal dengan keluarga yang hangat, harmonis dan damai.
Karena apabila fungsi keluarga itu berjalan dengan baik maka sedikit banyak individu
mampu menjalani hidup dengan baik dan terhindar dari hal-hal yang negatif seperti
perilaku bulllying. Keluarga yang selalu dipenuhi dengan kekerasaan (antar orang tua dan
anak) akan berdampak pada perkembangan anak. Seorang anak yang selalu mengalami
tindakan kekerasan tidak menutup kemungkinan bahwa ketika remaja atau dewasa akan
melakukan tindakan kekerasaan pula atau perilaku bullying. Menurut Sari dkk (...) bahwa
ditemukan rata-rata individu yang mendapat dukungan keluarga dengan yang tidak
mendapat dukungan keluarga lebih banyak yang tidak mendapat dukungan keluarga yang
melakukakn tindakan bullying.
Eskisu (2014) menyatakan ada beberapa faktor yang memicu terjadinya bullying
salah satunya faktor keluarga yaitu bahwa keluarga dari siswa yang mem-bully siswa lain
mempunyai hubungan keluarga yang tidak baik, kedisiplinan yang buruk, kasih sayang
yang tidak cukup antara orang tua dan anak, kurangnya kegiatan keluarga dan
ketidakefektifan pengawasan orang tua. Menurut Rothon dkk (2011) dukungan sosial
berupa dukungan dari teman dan keluarga dapat melindungi korban bullying dari
rendahnya performa akademik dan perasaan depressif. Meski demikian, dukungan dari
teman dan keluarga tidak dapat mencegah munculnya dampak negatif bullying pada
korban.
5
Terdapat dua alasan utama dalam penelitian ini. Pertama, data menunjukkkan
tingginya angka perilaku kekerasan atau bullying. Dua, telah banyak penelitian yang
dilakukan terkait dengan faktor-faktor yang membentuk perilaku bullying atau kekerasan.
Pada penelitian ini difokuskan pada dua hal pengaruh peer group (dukungan sosial) dan
faktor keluarga (family function). Kedua faktor tersebut merupakan hal yang terdekat
dengan anak-anak. Maka penelitian ini ingin menguji secara empirik apakah dukungan
sosial dan fungsi keluarga dapat dijadikan prediktor untuk memprediksi perilaku bullying
pada siswa MTs di Kota Bangkalan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis
mengajukan sebuah rumusan masalah yang akan diteliti yaitu “Apakah ada hubungan
perilaku bullying, peran keluarga, dan dukungan sosial pada remaja pelaku bullying?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji ada tidaknya hubungan perilaku bullying,
peran keluarga, dan dukungan sosial pada remaja pelaku bullying.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis berupa
pengetahuan dan wawasan mengenai kajian perilaku bullying serta hubungannya
dengan perceived sosial support dan fungsi keluarga pada ilmu psikologi,
khususnya bidang Pendidikan
2. Manfaat Praktis
Melalui penelitian mengenai perilaku bullying serta hubungannya dengan
perceived sosial support dan fungsi keluarga ini, diharapkan dapat menjadi arahan
bagi para orang tua, guru dan masyarakat, khususnya para murid dalam instansi
pendidikan MTS kota Bangkalan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Bullying
Bulllying sebagai sebuah perilaku didefiniskan sebagai interaksi antara individu
yang lebih dominan yang sering kali berbentuk tindakan agresif kepada individu lain yang
kurang dominan (korban) dengan tujuan menyusahkan si korban (Olweus, 1991; Smith and
Thompson,1991 dalam Craig dkk, 2000). Meski demikian bullying tidaklah sama dengan
kekerasan atau agresi, namun merupakan bagian dari keduanya, jadi kurang tepat jika
kemudian kita menggantikan istilah bullying ini dengan istilah kekerasan (Bauman & Rio,
2005).
Bullying merupakan perilaku-perilaku membahayakan dan disengaja dilakukan
berulang-ulang oleh satu atau beberapa siswa terhadap siswa yang lebih lewah (Olweus
dalam Eskisu, 2014). Adapun bullying didefinisikan sebagai tindakan bermusuhan,
berulang dari waktu ke waktu, yang sengaja merusak dan terjadi tanpa provokasi (Harris &
Petrie dalam Long & Alexander, 2010).
Perilaku bullying merujuk pada penggunaan fisik, psikologis dan verbal, baik
perorangan maupun berkelompok, untuk menyusahkan orang lain baik secara fisik maupun
psikologis. Terdapat 3 kunci pokok dalam memahami bullying, membedakannya dengan
perilaku yang lain, yaitu daya tahan, pengulangan dan adanya ketidak seimbangan
kekuatan antara korban dan pelaku. Karakteristik umum pelaku bullying adalah agresif,
keras, percaya diri, kuat, impulsif, dan lebih banyak ditemukan berjenis kelamin laki-laki.
Sedangkan karakteristik umum korban bullying adalah tidak populer, sendiri, dikucilkan,
pencemas, depresi, tidak berminat balas dendam dan kurang percaya diri. (Reynolds, 2004
dalam Zunic & Glumbić 2010).
Dari pengertian tentang bullying di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
mengenai bullying yaitu adanya motif atau keinginan untuk melukai baik fisik maupun
mental yang dilakukan individu atau kelompok kepada orang lain secara sengaja, berulang-
ulang, serta adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban bullying. Ada
beberapa hal penting mengenai bullying yang perlu kita garis bawahi, adanya perbedaan
dominasi, adanya pengulangan dan dilakukan dengan tujuan menyakiti, menyusahkan,
7
membuat tidak nyaman atau menekan korban. Tiga hal ini merupakan kunci utama dalam
memahami perilaku bullying.
Tipe-tipe perilaku bullying antara lain adalah sebagai berikut (Long &
Alexander, 2010) yaitu pertama, Physical bullying (bullying fisik), meliputi perilaku-
perilaku seperti, memukul, menendang, mengambil paksa ataupun menghancurkan
barang- barang korban. Bullying tipe ini termasuk tipe yang mudah untuk ditemukan
karena dapat dilihat secara langsung. Kedua, Verbal bullying (bullying verbal), adalah
perilaku bullying yang menggunakan kata-kata untuk menyakiti ataupun menghina
korban. Tipe ini meliputi perilaku-perilaku seperti, memberi julukan-julukan tertentu,
mengancam, menghina, mengungkapkan kata-kata yang rasis atupun menggoda atau
mengusik. Meski tidak menimbulkan bekas luka yang nampak, namun akibat dari tipe in
lebih membekas daripada tipe sebelumnya (fisik). Kedua jenis di atas (bullying fisik dan
verbal) oleh Long dan Alexander (2010) disebut juga sebagai direct bullying (bullying
langsung). Ketiga, Relational bullying (bullying relasi dengan orang lain), perilaku
ini meliputi menghancurkan hubungan-hubungan yang dimiliki oleh korban, mengucilkan
dan sejenisnya. Tipe ini sangat erat terkait dengan bullying verbal dan muncul ketika
tersebar rumor atau isu-isu tertentu mengenai korban. Tipe ini lebih sering ditemukan
pada anak-anak perempuan dibandingkan dengan anak-anak laki-laki. Akibat yang
dimunculkan juga akan sangat berbahaya, terlebih ketika anak pada tahapan
perkembangan dimana ia sangat membutuhkan hubungan sosial dengan teman sebaya.
Tipe ini juga biasa disebut sebagai indirect bullying (bullying tidak langsung).
Bentuk-bentuk Perilaku bullying meliputi lima kelompok yaitu pertama, Kontak
fisik langsung antara lain : memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang,
mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar juga termasuk memeras dan
merusak barang-barang yang dimiliki orang lain. Kedua, kontak verbal langsung antara
lain mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan
nama, sarkasme, merendahkan, mencela/ mengejek, mengintimidasi, memaki,
menyebarkan gosip. Ketiga, perilaku non-verbal langsung antara lain melihat dengan
sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau
mengancam, biasanya disertai bullying fisik atau verbal. Keempat, Perilaku non-verbal
tidak langsung dengan mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga
menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
8
Kelima, Pelecehan Seksual, kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal
(Riauskina dkk, 2005 dalam Budi, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan terkena Bullying Pepler dan
Craig, 1989 dalam Budi 2010) adalah pertama, faktor internal. Secara internal, anak-
anak yang rentan menjadi korban bullying biasanya memiliki temperamen pencemas,
cenderung tidak menyukai situasi sosial, atau memiliki karakteristik fisik khusus
pada dirinya yang tidak terdapat pada anak-anak lain, seperti warna rambut atau kulit
yang berbeda atau kelainan fisik lainnya. Kedua, faktor eksternal yaitu anak yang pada
umumnya berasal dari keluarga yang overprotektif, sedang mengalami masalah keluarga
yang berat, dan berasal dari strata ekonomi/kelompok sosial yang terpinggirkan atau
dipandang negatif oleh lingkungan.
Penelitian terdahulu terkait dengan bullying
Peneliti Metode Hasil Saran
Nenad Glumbic & Vesna Zunic-Palvovic (2010)
Metode Kuantitatif (Korelatif)
Subjek adalah 61 siswa dengan disabilitas intelektual
Meski dengan disabilitas, Sekitar 18% dari siswa dengan disabilitas ini juga terlibat dalam perilaku bullying (6 orang pelaku bullying, 4 orang korban bullying dan 1 orang pelaku/korban bullying)
Penanganan perilaku bullying perlu untuk dilakukan disemua sekolah tanpa memandang tipe sekolah (di sekolah umum, sekolah khusus, dan sekolah inklusif)
Hulya Karatas & Candan Ozturk (2011)
Metode Kuantitatif (Korelatif)
Siswa yang mempunyai skor tinggi sebagai korban bullying sering mengalami permasalahan kesehatan seperti sakit kepala, merasa tidak nyaman, menangis terus-terusan, grogi, gangguan tidur, pusing.
Sedangkan siswa yang memiliki skor tinggi sebagai pelaku bullying hanya mengalami gangguan nafsu makan saja
Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan berdasarkan tipe bullying dan jenis kelamin. Selain itu, siswa, orangtua dan guru sebaiknya dilibatkan secara bersamaan.
Penelitian dalam skala besar sebaiknya melibatkan sampel yang besar meliputi pelaku, korban, korban-pelaku dan by-standers (penonton).
Wendy M. Craig, Debra Pepler & Rona
Metode Kuantitatif
Perilaku bullying yang paling banyak muncul baik di kelas atau di tempat
Untuk memperkuat temuan ini dan mendalami mengenai faktor-faktor yang berhubungan
9
Atlas (2000) Pengumpulan data menggunakan metode observasi dan rating, sedangkan analisa data menggunakan inter-rater agreement
Sampel penelitian berjumlah 34 siswa kelas 1-6 (24 laki-laki, 10 perempuan).
bermain adalah verbal bullying.
Pelaku secara umum hanya melakukan bullying kepada siswa lain yang satu jenis kelamin.
Perilaku bullying yang terjadi di kelas lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, sedangkan di tempat bermain tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Teman sebaya dapat menjadi penguat dan juga pencegah munculnya perilaku bullying, terutama di luar kelas.
dengan bullying, penelitian selanjutnya dilakukan dapat dengan mengggabungkan metode observasi serta self-report.
Sharyn Burns, Bruce Maycock, Donna Cross & Graham Brown (2008)
Metode penelitian kualitatif.
Subjek penelitian berjumlah 51 orang siswa kelas 7 dari 15 sekolah di Perth Australia.
Tekanan dari sebaya untuk konformitas kelompok mendorong dan menguatkan perilaku bullying. Bahkan untuk tetap diterima dalam kelompoknya, beberapa siswa merasa perlu untuk melakukan bullying kepada siswa lain.
Untuk menurunkan munculnya perilaku bullying perlu dilakukan beberapa hal antara lain edukasi seputar bullying bagi guru dan orangtua, dan program pencegahan harus terencana dan evidence-based.
B. Perceived Social Support
Usia remaja secara umum adalah usia yang labil dan rentan, dimana pada usia
tersebut masa mereka berusaha untuk mencari identitas diri (jati diri) dan mudah menerima
serta menyerap informasi dari luar dirinya. Remaja sangat membutuhkan dukungan dari
lingkungannya. Dukungan dari luar yaitu dukungan sosial baik berupa perhatian, motivasi,
penghargaan, cinta dan kasih sayang sehingga individu akan merasa diterima, dihargai,
diperhatikan di lingkungan tempat tinggalnya. Dukungan sosial adalah informasi yang
diperoleh individu dipercayai bahwa dia dicintai, dihargai dan memiliki hubungan yang
saling keterikatan (Also Cobb, 1976 dalam Gulati 2010). Sedangkan menurut Gulati
(2010) bahwa dukungan sosial dapat didefinisikan sebagai dukungan yang didapatkan dari
10
keluarga, teman, tetangga dan lembaga yang bergerak di bidang psikologi yang membantu
individu dalam aspek afektif, fisik maupun kognitif. Dukungan sosial didefinisikan sebagai
keberadaan orang yang dapat diandalkan, orang yang peduli, menghargai dan mencintai
kita Sarason, dkk (1983). Karakus dkk (2014) menjelaskan dukungan sosial didefinisikan
sebagai bantuan yang didapatkan dari orang-orang yang berada di sekitar kita.
Dari beberapa definisi para tokoh diatas dapat disimpulkan dukungan sosial
merupakan kenyamanan fisik atau psikologis yang diterima individu, baik berupa bantuan,
kasih sayang, perhatian, penghargaan, cinta dan lain-lain dari orang lain maupun
kelompok.
Dalam penelitian Shahyad dkk (2011) menjelaskan dukungan sosial dibagi menjadi
dua bagian yaitu received social support dan preceived social support. Received sosial
support dianggap sebagai bagian perilaku dukungan sosial karena ketergantungan pada
interaksi dengan orang lain sedangkan preceived social support dianggap sebagai bagian
kognisi dukungan sosial dimana penerimaan individu apakah dia dicintai dan dihargai oleh
orang lain (Gulacti, 2010).
Menurut Adler dkk (2012) model preceived social support bisa berasal dari
dukungan sosial keluarga, teman, dan signifikan other yaitu guru atau teman kelas.
Dukungan sosial (perceived sosial support) terdiri dari tiga dimensi, dukungan sosial dari
keluarga, dukungan dari teman dan dukungan sosial dari significant others (orang-orang
terdekat). Dengan kata lain perceived social support merupakan persepsi atau penilaian
seseorang terhadap dukungan yang diperoleh dari orang lain atau kelompok.
Menurut Karakus dkk (2014) dukungan sosial terdiri dari empat jenis. Pertama,
dukungan emosional yaitu jenis dukungan dimana individu mengalami perasaan seperti,
dicintai, dihargai, empati, peduli, diterima dan diperhatikan. Kedua, Dukungan instrumen
yaitu jenis dukungan dimana individu mendapatkan sesuatu yang nyata, berupa finansial,
bantuan dan pendidikan. Ketiga dukungan informasi yaitu dukungan dimana individu
mendapatkan berupa saran, nasehat dan bimbingan dalam mengambil keputusan. Keempat,
dukungan umum yaitu dukungan dimana individu mengabiskan waktu luang dengan
bersenang-senang, santai dan mempererat hubungan sosialnya.
11
Peneiltian terkait perceived social support dengan perilaku Bullying:
Peneliti Metode Hasil Saran
Catherein Rothon, Jenny Head, Emily Klineberg, & Stephen Stansfeld (2011)
Metode Penelitian: Kuantitatif
Analisa Data:Multivariate Logistic Regression Analysis
Subjek Penelitian:2790 orang siswa kelas 7 dan kelas 9.
Pengumpulan data pertama pada tahun 2001 dan yang kedua pada tahun 2003.
Mereka yang memiliki dukungan sosial yang tinggi memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk terkena sindrom depresi.
Dukungan dari teman dan keluarga dapat melindungi korban bullying dari rendahnya performa akademik dan perasaan depressif.
Meski demikian, dukungan dari teman dan keluarga tidak dapat mencegah munculnya dampak negatif bullying pada korban.
Perlu disusun strategi untuk mengatasi masalah bullying sebelum berdampak pada hal-hal yang lebih serius. Selain itu juga perlu dilakukan intervensi sedari dini dan meluas.
Mustafa Eskisu (2014)
Metode Penelitian:Kuantitaif (Korelasi-Uji Perbedaan)
Subjek Penelitian:683 orang siswa sekolah menangah.
Pengumpulan data:Skala SARS, FAD & PSSS-R.
Pelaku bullying mempersepsikan diri mereka kurang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga. Tidak hanya dari keluarga, korban bullying merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga dan guru
Program pencegahan dan intervensi perilaku bullying harus mempertimbangkan faktor-faktor keluarga dan sosial, baik itu guru, teman sebaya maupun orangtua.
C. Family Function
Salah satu bentuk dukungan sosial yaitu dukungan sosial dari keluarga. Kondisi
keluarga yang harmonis akan memberikan dampak yang positif bagi anggota keluarga
untuk mencapai tujuan bersama. Keluarga yang berfungsi dengan baik sedikit banyak
akan mempengaruhi perkembangan mental dan kepribadian seseorang. Dengan memiliki
hubungan orang tua-anak yang baik dapat membantu anak mengembangkan diri dengan
positif dan baik, baik secara emosional, sosial ataupun kognitif. Dan sebaliknya, hubungan 12
orangtua-anak yang negatif dapat menyebabkan rendahnya kepercayaan diri pada anak,
munculnya karakter anti-sosial, dan ketidak puasan hidup Gulacia (2010)
Menurut Miller dkk (2000) fungsi keluarga dapat digambarkan dengan
kemampuan keluarga dalam enam dimensi. Pertama, penyelesaian masalah, komunikasi,
peran, reponsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku.
Penyelesaian Masalah adalah kemampuan keluarga untuk menemukan jalan keluar
dari masalah yang dihadapi sehingga efektifitas fungsi keluarga dapat terjaga. Masalah
keluarga dapat dibagi menjadi dua macam, instrumental dan afektif. Instrumental meliputi
permasalahan teknis sehari-hari seperti permasalahan keuangan dan pengambilan
keputusan renacana liburan. Sedangkan permasalahan afektif meliputi semua masalah
yang melibatkan perasaan dan emosi.
Komunikasi adalah pola pertukaran informasi dalam sebuah keluarga. Komunikasi
yang dimaksud terbatas pada komunikasi verbal. Komunikasi non-verbal diabaikan karena
besarnya kemungkinan kesalahpahaman yang muncul komunikasi model itu. Terdapat dua
aspek dalam komunikasi ini, kejelasan isi informasi dan kejelasan tujuan informasi
tersebut disampaikan (kepada siapa informasi tersebut ditujukan.
Peran adalah pola perilaku masing-masing anggota dalam melaksanakan fungsi
masing-masing keluarga, dalam bahas lain dapat disebut sebagai tugas-tugas rutin anggota
keluarga. Misalnya siapa yang bertugas memasak, menyapu, membersihkan rumah, dan
merawat taman.
Respon afektif adalah kemampuan keluarga untuk merespon berbagai stimulus
yang muncul dengan emosi atau perasaan yang tepat, baik secara kualitas maupun
kuantitas. Kualitas emosi terkait dengan kesesuaian emosi yang dimunculkan dengan
stimulus dan konteks. Kuantitas emosi terkait dengan tingkatan respon dari kurang
merespon, merespon dengan tepat dan merespon terlalu berlebihan.
Keterlibatan afektif adalah derajat dimana keluarga sebagai satu kesatuan
menunjukkan minat dan menghargai aktivitas dan minat anggota keluarga yang lain.
Keterlibatan ini tidak hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan bersama-sama tetapi
lebih kepada seberapa terlibat anggota keluarga dalam kegiatan yang dilakukan.
Kontrol perilaku adalah pola yang digunakan oleh keluarga untuk menangani
perilaku di tiga macam situasi; situasi yang berbahaya secara fisik, situasi yang 13
melibatkan pertemuan dan pengungkapan kebutuhan psikobiologis (makan, tidur, seks,
dan agresi), dan situasi yang melibatkan perilaku sosialisasi interpersonal baik antara
anggota keluarga atau dengan orang lain di luar anggota keluarga.
Peneliti Metode Hasil Saran
Spriggs, (2007) Metode Penelitian:Kuantitatif
Subjek Penelitian:11.033 orang siswa dari seluruh wilayah Amerika Serikan
Komunikasi orangtua-anak dan keterlibatan orangtua dalam urusan sekolah anak memiliki hubungan negatif dengan munculnya perilaku bullying (pelaku maupun korban), artinya semakian baik komunikasi dan keterlibatan orangtua maka semakin rendah kemungkinan munculnya perilaku bullying.
Salah satu sebab intervensi terhadap perilaku bullying kurang mendapatkan hasil yang memuaskan adalah karena selama ini intervensi yang dilakukan hanya berfokus pada hubungan sebaya saja tanpa memperhatikan faktor-faktor yang lain seperti faktor keluarga dan sekolah.
Untuk mengembangkan program pencegahan perilaku bullying harus mempertimbangkan faktor-faktor keluarga dan melibatkan populasi masyarakat secara umum.
Mustafa Eskisu (2014)
Metode Penelitian:Kuantitaif (Korelasi-Uji Perbedaan)
Subjek Penelitian:683 orang siswa sekolah menangah.
Jika keluarga tidak berfungsi dengan baik, terutama dalam komunikasi dan penyelesaian masalah, semakin besar kemungkinan anak menjadi pelaku
Program pencegahan dan intervensi perilaku bullying harus mempertimbangkan faktor-faktor keluarga dan sosial, baik itu guru, teman
14
Pengumpulan data:Skala SARS, FAD & PSSS-R.
maupun korban bullying.
Anak yang berada dalam keluarga yang berfungsi dengan baik dan merasa mendapatkan dukungan sosial memiliki kepercayaan diri yang baik dan menjauhi perilaku bullying.
Pelaku bullying memiliki keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan dukungan sosial yang kurang, sedangkan mereka yang menjadi pelaku sekaligus korban berada dalam keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan dukungan sosial yang sangat rendah.
sebaya maupun orangtua.
D. Hubungan perilaku bullying dengan fungsi keluarga dan social support pada remaja.
Perilaku bullying dan hubungan yang mempengaruhinya telah dilakukan uji
keabshannya dibeberapa negara. Kemungkinan individu berperilaku bullying atau menjadi
pelaku bullying dipengaruhi beberapa variable. Variable umum dari penelitian-penelitain
sebelumnya meliputi individu itu sendiri, hubungan keluarga, kelompok teman sebaya,dan
iklim sekolah, dimana memberikan kontribusi pada individu dalam melakukan perilaku
bullying.
Menurut Spriggs dkk (2007) Komunikasi orang tua-anak dan keterlibatan orangtua
dalam urusan sekolah anak memiliki hubungan negatif dengan munculnya perilaku
bullying (pelaku maupun korban), artinya semakian baik komunikasi dan keterlibatan
orangtua maka semakin rendah kemungkinan munculnya perilaku bullying. Salah satu
15
sebab intervensi terhadap perilaku bullying kurang mendapatkan hasil yang memuaskan
adalah karena selama ini intervensi yang dilakukan hanya berfokus pada hubungan teman
sebaya saja tanpa memperhatikan faktor-faktor yang lain seperti faktor keluarga dan
sekolah. Sedangkan Hayati (2012) menjelaskan bahwa latar belakang para pelaku bullying
memiliki kekhasan, banyak di antara mereka orang tuanya tidak memperikan panduan
atau bimbingan yang cukup mengenai perilaku positif. Pola asuh yang terlalu permisif,
terlalu keras, atau tidak konsisten dalam menjalankan disiplin juga berpengaruh dalam
pembentukan seorang anak memiliki kecenderungan melakukan bullying terhadap anak
lain.
Hal ini diperkuat dengan temuan penelitian Eskisu (2014) di negara turki yaitu
apabila keluarga tidak berfungsi dengan baik, terutama dalam komunikasi dan
penyelesaian masalah, semakin besar kemungkinan anak menjadi pelaku maupun korban
bullying. Anak yang berada dalam keluarga yang berfungsi dengan baik dan merasa
mendapatkan dukungan sosial memiliki kepercayaan diri yang baik dan menjauhi perilaku
bullying. Pelaku bullying memiliki keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan
dukungan sosial yang kurang, sedangkan mereka yang menjadi pelaku sekaligus korban
berada dalam keluarga yang kurang berfungsi dengan baik dan dukungan sosial yang
sangat rendah.
Kerangka konseptual
16
Dukungan sosial
Perilaku bullying
Fungsi keluarga
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan perilaku bullying dengan dukungan
sosial dan fungsi keluarga pada remaja pelaku bullying. Ada hubungan perilaku bullying
dengan dukung sosial pada remaja pelaku bullying. Ada hubungan perilaku bullying
dengan fungsi keluarga pada remaja pelaku bullying.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelatif. Penelitian kuantatif
korelatif adalah penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan hubungan dua atau lebih
variabel atau objek penelitian. Penelitian model ini dilakukan untuk membandingkan
persamaan dan perbedaan dari variabel-variabel penelitian. Pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif survei. Metode survei adalah
penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan
mencari keterangan-keterangan secara faktual. Baik tentang institusi sosial,ekonomi atau
politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nazir : 2005). Pada penelitian kuatitatif
survei memiliki ciri yaitu menitikberatkan pada penelitian korelasional yaitu mempelajari
hubungan-hubungan variabel-variabel, sehingga secara langsung atau tidak langsung
hipotesa penelitian senantiasa dipertanyakan (Singarimbun, 1988)
B. Variabel penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini :
1. Variabel bebas atau variabel independen adalah variabel yang dipandang
sebagai sebab kemunculan variabel terikat yang diduga merupakan akibatnya
(Kerlinger, 2006). Variabel bebas ini nilainya dapat dimanipulasi untuk
memprediksikan hubungan sebab akibat antara variabel independen dan
variabel dependen. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Dukungan sosial
(Perceived Social Support) (X1) dan juga Familly Function (Fungsi Keluarga)
(X2).
2. Variabel Variabel terikat atau variabel dependen adalah variabel yang diamati
variasinya sebagai hasil yang diasumsikan berasal dari variabel bebas
(Kerlinger, 2006). Variabel terikat yang didefinisikan sebagai variabel perilaku
ini, didesain untuk mengukur efek dari variabel bebas. Variabel ini tidak
dimanipulasi, melainkan bervariasi mengikuti perubahan atau mengikuti variasi
dari variabel bebas sebagai dampak dari manipulasi terhadap variabel tersebut
(Kerlinger, 2006). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku
bullying(Y).
18
Maka variabel-variabel dalam penelitian ini :
a) Variabel tergantung Y (Dependent Variable) adalah perilaku Bullying.
b) Variabel bebas X1 (Independent Variable) adalah Dukungan sosial (Perceived
Social Support)
c) Variabel bebas X2 (Independent Variable) adalah Familly Function (Fungsi
Keluarga)
C. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel Peneltian
1. Perilaku bullying
a) Definisi konseptual
Bullying merupakan perilaku-perilaku membahayakan dan disengaja
dilakukan berulang-ulang oleh satu atau beberapa siswa terhadap siswa yang
lebih lewah (Olweus dalam Eskisu, 2014).
b) Definisi operasional
Perilaku bullying merupakan skor total yang diperoleh oleh individu
dengan memberikan hasil self-report terhadap alat ukur Student relationship
attitude Scale (SRAS) dikembangkan oleh Koc (2006) Terdiri atas 21
pertanyaan dan 3 subskala tentang “bullying personality” (kepribadian
mem-bully), “self-confidence” (kepercayaan diri) dan “avoidance from
bullying” (menghindari bullying).
Blueprint
No
.
Dimensi Item Contoh item
1. Bullying Fisik 2, 4, 6, 9, 13, 15, 17, 20
Memukul teman dengan menggunakan
benda (2)
2 Bullying Verbal 1, 5, 8, 10, 12, 14, 18, 21
Membentak dan memaki-maki dengan
kasar (5)
3. Relational bullying 3, 7, 11, 16, 19 Mengucilkan orang yang tidak disukai
(7)
2. Dukungan Sosial (Perceived Social Support)
a) Definisi konseptual
Perceived social support dianggap sebagai bagian kognisi dukungan
sosial dimana penerimaan individu apakah dia dicintai dan dihargai oleh
orang lain (Gulacti, 2010). Menurut Adler dkk (2012) model perceived
19
social support bisa berasal dari dukungan sosial keluarga, teman, dan
signifikan other yaitu guru atau teman kelas
b) Definisi operasional
Perceived social support merupakan skor total yang diperoleh oleh
individu dengan memberikan hasil self report terhadap alat ukur MSPSS
yang telah digunakan oleh Chou, 2000; Lai et al., 1996. Terdiri atas 12
pertanyaan dan 3 poin dari subskala dukungan social yaitu keluarga, teman
dan guru.
Blue print MSPSS
No
.
Dimensi Item Contoh item
1. Keluarga 3, 4, 8, 11 Keluarga saya benar-benar mencoba
untuk membantu saya (3)
2 Teman 6, 7, 9, 12 Saya akan berbicara tentang masalah
saya dengan teman-teman saya (12)
3. Signifikan other
(orang spesial)
1, 2, 5, 10 Ada orang khusus (spesial) di sekitar
saya ketika saya membutuhkannya
3. Familly Function (Fungsi Keluarga)
a) Definisi konseptual
Menurut Miller dkk (2000) fungsi keluarga dapat digambarkan
dengan kemampuan keluarga dalam enam dimensi. Pertama, penyelesaian
masalah, komunikasi, peran, reponsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan
kontrol perilaku.
b) Definisi Operasional
Familly Function (Fungsi Keluarga) skor total yang diperoleh oleh
individu dengan memberikan hasil self report terhadap alat ukur Family
assessment devise (FAD) dikembangkan oleh Epstein, Boldwin dan Bishop
(1983) Terdiri atas 53 pertanyaan dan 7 subskala; penyelesaian masalah,
komunikasi, peran, reponsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol
perilaku.
20
Blue print FAD
No
.
Dimensi Item Contoh item
1. Penyelesaian masalah 1, 8, 15, 22, 29 Kami mencoba memikirkan berbagai
cara untuk menyelesaikan masalah (29)
2 Komunikasi 2, 9, 16, 23, 30,
37
Di dalam keluarga, kami berterus
terang terhadap satu sama lain (23)
3. Peran keluarga 3, 10, 17, 24, 31,
38, 44, 48
Kami memastikan setiap anggota
keluarga menjalankan tanggung jawab
masing-masing (10)
4. Responsivitas afektif 4, 11, 18, 25, 32,
40
Saya merasa, keluarga saya sulit
menunjukkan kasih sayang kepada satu
sama lain (4)
5. Keterlibatan afektif 5, 12, 19, 26, 33,
41, 45
Menurut saya, anggota keluarga saya
terlalu memikirkan diri sendiri (19)
6. Kontrol perilaku 6, 13, 20, 27, 34,
42, 46, 49, 51
Di dalam keluarga saya, kami dapat
dengan mudah melanggar aturan (6)
7. Fungsi Umum 7, 14, 21, 28, 35,
36, 39, 43, 47, 50,
52, 53
Dalam keluarga saya, setiap individu
diterima apa adanya (28)
D. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII MTsN Bangkalan, berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan dengan total 105 siswa.
E. Teknik Pengambilan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode survei dengan
menggunakan angket sebagai alat pengumpulan data. Pemberian angket dilakukan
dengan pertimbangan agar subjek bisa memberikan jawaban sendiri terkait dirinya
sendiri sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri, atau disebut juga self-
report.
Skala yang akan digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini
merupakan skala yang diadaptasi dari beberapa penelitian terdahulu. Skala-skala
tersebut adalah:
21
1. Student Relationship Attitude Scale (SRAS). Skala ini digunakan untuk
mengumpulkan data mengenai perilaku bullying subjek penelitian. Sakal ini
dikembangkan oleh Koc (2006) dan terdiri atas 21 pertanyaan dan 3
subskala tentang “bullying personality” (kepribadian mem-bully), “self-
confidence” (kepercayaan diri) dan “avoidance from bullying” (menghindari
bullying).
2. MSPSS merupakan skala Perceived social support yang diperoleh oleh
individu dengan memberikan hasil self report terhadap alat ukur MSPSS
yang telah digunakan oleh Chou, 2000; Lai et al., 1996. Terdiri atas 12
pertanyaan dan 3 poin dari subskala dukungan social yaitu keluarga, teman
dan guru.
3. Family Assessment Devise (FAD.) Skala ini digunakan untuk mengukur
fungsi keluarga (family function). Skala ini dikembangkan oleh Epstein,
Boldwin dan Bishop (1983) dan terdiri atas 63 pertanyaan dan 7 subskala;
penyelesaian masalah, komunikasi, peran, reponsivitas afektif, keterlibatan
afektif, dan kontrol perilaku.
Selain skala tersebut, untuk mendapatkan gambaran hasil penelitian yang lebih
baik dan untuk keperluan analisa hasil penelitian, data-data demografis subjek seperti
usia, jenis kelamin, dan keadaan keluarga juga dikumpulkan.
F. Uji Instrumen (Uji Validitas dan Reliabilitas Skala)
1. Validitas Alat Skala
Sebelum data dari angket diisi korelasinya, terlebih dahulu akan dilakukan
uji validitas angket dengan menggunakan inter-item correlation validity antara
dimensi-dimensi yang diukur dengan variabel masing-masing. Uji validitas ini
dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing aitem dari dimensi-dimensi
yang ada mengukur satu variabel yang sama atau tidak. Uji validitas ini dilakukan
dengan menggunakan bantuan software SPSS for Windows version 16.0.
2. Reliabilitas Alat Skala
Guna memastikan konsistensi, kemantapan dan stabilitas ukur skala
penelitian ini perlu dlakukan uji realibilitas alat ukur. Uji reliabilitas dilakukan
dengan menggunakan uji internal consistency atau Cronbach Alpha. Koefisien
alpha bergerak antara 0 hingga 1. Semakin besar koefisien alpha yang dihasilkan
artinya skala yang diuji semakin mantap dan stabil dalam mengukur variabel yang
22
dimaksud. Uji internal consistency dilakukan dengan bantuan SPSS for Windows
version 16.0.
G. Uji Asumsi dan Hipotesis
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
regresi berganda. Sebelum melakukan analisis data, terdapat beberapa uji asumsi yang
perlu dilakukan yaitu Normalitas, Multikolinieritas, Heteroskedastisitas, dan
Autokorelasi. Analisis data dan uji asumsi dilakukan dengan menggunakan bantuan
program komputer SPSS for Windows version 16.0.
23
Daftar Pustaka
Craig, W. M., Pepler, D., & Atlas, R. (2000). Observations of Bullying in the Playground and in the Classroom. School Psychology International , 21 (1), 22-36.
Hafsah, Budi Argiati. (2010). Studi Kasus Perilaku Bullying Pada Siswa SMA Di Kota Yogyakarta dalam jurnal Penelitian Bappabeda Kota Yogyakarta, Vol 5, 54-62.
Long, T., & Alexander, K. (2010). Bullying: Dilemmas, Definitions, and Solutions.Contemporary Issues in Education Research , 3 (2), 29-34.
Olweus, D. (1993). Bullying at School: What We Know and What We Can Do Understanding Children's Worlds. Malden, Massachusetts, USA: Blackwell Publisher Inc.
Bauman, S., & Del Rio, A. (2005). Knowledge and Beliefs about Bullying in School. School Psychology International , 26 (4), 428-442.
Levianti, (2008). Konformitas Dan Bullying Pada Siswa. Jurnal Psikologi Vol 6 No 1, 1-9.
Sari, Anita, Adi Heryanto & Spriyono M (...). Deskripsi Tentang Bullying Pada Remaja Di SMP Setiabudi Berdasarkan Dukungan Keluarga.
Rohmah, Siti Nurhayati, (2006). Pentingnya Dukungan Sosial Untuk Meningkatkan Kemampuan Menghadapi Masalah Bagi Korban. Dalam Seminar Nasional “Perempuan dan Isu Gender”
Eskisu, Mustafa (2014).The Relationship between Bullying, Family Functions and Perceived Social Support Among High School Students. Procedia - Social and Behavioral Sciences. (159), 492 - 496
Glumbic, Nenad & Zunic, Vesna (2010). Bullying behavior in children with intellectual disability. Procedia - Social and Behavioral Science. ( 2 ) 2784-2788.
Gülaçti, Fikret (2010) The Effect Of Perceived Social Support On Subjective Well-Being. Procedia - Social and Behavioral Science. ( 2 ) 3844-3849.
Singarimbun, M & Effendi, S. (1988). Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.Nizar, Moh (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.Shahyad, Shima (2011). Dimensions of using Short Message Service and Perceived
Social. Procedia - Social and Behavioral Science. (15) 2421-2425.Adler, Carmen dkk (2012). Perceived Social Support and Perceived Self-Efficacy
during Adolescence. Procedia - Social and Behavioral Science. (8) 275 - 279.
Karakus, Ozlem dkk (2014). The relationship between types of humor and perceived social support among adolescents. Procedia - Social and Behavioral Sciences. (152) 1194 – 1200.
Miller, Ivan dkk (2000). The Mcmaster Approach to families: theory, assesment, treatment and research. Journal of family therapi (22) 168-189.
Hidayati, Nurul (2012) Bullying pada Anak: Analisis dan Alternatif Solusi. INSAN Vol. No. 01
Kerlinger, F.N. (2006). Azas-Azas Penelitian Behavioural Edisi Ketiga (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
24