TEORI PEMBELAJARAN konstruktivisme
-
Upload
zulfahmi-yahaya -
Category
Documents
-
view
260 -
download
4
Transcript of TEORI PEMBELAJARAN konstruktivisme
TEORI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
A. PENGERTIAN DAN TUJUAN KONSTRUKTIVISME
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan)
dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa
ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai
skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan
merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi
untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema
(jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk
pengertian atau ……pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno,
1997).
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan,
Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang
berbudaya modern
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran
konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman
nyata.
Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar
yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-
pengalaman sendiri.sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori
yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau
mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau
kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain
Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini
memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri
kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna
mengembangkan dirinya sendiri.
Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu
sendiri.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan
mencari sendiri pertanyaannya.
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep
secara lengkap.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori
belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini
biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan
kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk
belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir
hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud
dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan.
Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau
perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar,
1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam
pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan
informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun
kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi
tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang
akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan
skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema
yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam
mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.
Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor,
1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of
Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial
yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang
lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama
tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan
memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin,
1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk
belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk,
dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah
pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang
memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis
sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial
memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan
mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan
pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam
pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya
dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi
dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman
informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah
yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat
sesuai dengan karakteristik RME.
B. HUBUNGAN KONSTRUKTIVISME DENGAN TEORI BELAJAR LAIN
Selama 20 tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi
pendidikan Sains dan Matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan
Australia. Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti teori
Perubahan Konsep, Teori Belajar Bermakna dan Ausuble, dan Teori Skema.
Teori Belajar Konsep
Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori petubahan konsep ini
dipengaruhi atau didasari oleh filsafat kostruktivisme. Konstruktivisme yang
menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar,
dan teori perubahan konsep yang menjelaskan bahwa siswa mengalami
perubahan konsep terus menerus, sangat berperan dalam menjelaskan
mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep
yang ia pelajari. Kostruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa
membentuk pengetahuan yang tidak tepat.
Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan sisiwa
dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan
konsep sangat membantu karena mendorong pendidik agar menciptakan
suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat
pada murid sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan ilmuan.
Konstrutivisme dan Teori Perubahan Konsep memberikan pengertian bahwa
setiap orang dapat membentuk pengertian yang berbeda tersebut bukanlah
akhir pengembangan karena setiap kali mereka masih dapat mengubah
pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuan. “Salah
pengrtian” dalam memahami sesuatu, menurut Teori Konstruktivisme dan
teori Perubahan Konsep, bukanlah akhir dari segala-galanyamelainkan justru
menjadi awal untuk pengembangan yang lebih baik.
Teori Bermakna Ausubel
Menurut Ausubel, seseorang belajar denga mengasosiasikan fenomena baru
ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat
memperkembangkan sekema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam
proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme.
Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman,
fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah
dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru
kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya
mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
Teori Skema.
Menurut teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau
sekema yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih
menunjukkan bahwa pengetahuan kita itu tersusun dalam suatu skema yang
terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang
ada sihingga dapa t menjadi lebih luas dan berkembang.
Konstrtivisme, Behaviorisme, dan Maturasionisme
Konstruktivisme berbeda dengan Behavorisme dan Maturasionisme. Bila
Behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran,
konstruktivime lebih menekankan pengembangan konsep dan pengertian
yang mendalam. Bila Maturasionisme lebih menekankan pengetahuan yang
berkembang sesuai dengan langkah–langkah perkembangan kedewasaan.
Konstruktivisme lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif
sibelajar. Dalam pengertian Maturasionisme, bila seseorang mengikuti
perkembangan pengetahuan yang ada, dengan sendirinya ia akan
menemukan pengetahuan yang lengkap. Menurut Konstruktivisme, bla
seseorang tidak mengkonstruktiviskan pengetahuan secara aktif, meskipun ia
berumur tua akan tetap tidakakan berkembang pengetahuannya.
Dalam teori ini kreatifitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk
berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu
menjadi orang yang kritis menganalisis sesuatu hal karena mereka berfikir
dan bukan meniru saja.
Kadang–kadang orang menganggap bahwa konstruktivisme sama dengan
Teori Pencarian Sendiri (Inguiry Approach) dalam belajar. Sebenarnya kalau
kita lihat secara teliti, kedua teori ini tidak sama. Dalam banyak hal mereka
punya kesamaan,seperti penekanan keaktifan siswa untuk memenuhi suatu
hal. Dapat terjadi bahwa metode pencarian sendiri memang merupakan
metode konstruktivisme tetapi tidak semua semua konstruktivis dengan
metode pencarian sendiri. Dalam konstruktivisme terlibih yang personal
sosial, justru dikembangkan belajar bersama dalam kelompok. Hal ini yang
tidak ada dalam metode mencari sendiri. Bahkan, dalam praktek metode
pencarian sendiri tidak memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan
sendiri, karena langkah-langkah pencarian dan bagaimana pencarian
dilaporkan dan dirumuskan sudah dituliskan sebelumnya.
B. CIRI-CIRI PEMBELAJARAN SECARA KONSTUKTIVISME
Adapun ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah
Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui
penglibatan dalam dunia sebenar
Menggalakkan soalan/idea yang dimul akan oleh murid dan menggunakannya
sebagai panduan merancang pengajaran.
Menyokong pembelajaran secara koperatif Mengambilkira sikap dan
pembawaan murid
Mengambilkira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide
Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid
Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru
Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan
hasil pembelajaran.
Menggalakkan proses inkuiri murid mel alui kajian dan eksperimen.
C. PRINSIP-PRINSIP KONSTRUKTIVISME
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam
belajar mengajar adalah:
Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya
dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep ilmiah
Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses
kontruksi berjalan lancar.
Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
Mmencari dan menilai pendapat siswa
Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak
boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa
harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru
dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat
informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan
sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan
menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya
dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
HAKIKAT ANAK MENURUT TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri
merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan
dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat
dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak
mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual
anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan
konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222)
mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai
sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan
seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan
sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4)
pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan
pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari,
melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir
yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan
asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar
merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga
pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun
secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas
yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar
dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan
tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap
perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa
jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133)
mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap
beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap
manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang
sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari
operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan
hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku
intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh
keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan
tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang
timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial
yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan
dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau
discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya
seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7)
mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek
internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam
belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak
(Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut
teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang
memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang
dihadapi, (b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi
yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh
peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan
melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan
sehari-hari dan (c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi
sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif
untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
E. HAKIKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT TEORI BELAJAR
KONSTRUKTIVISME
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar
konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari
pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kcil
yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak
guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga
penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama
adalahperan aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara
bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara
gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua
prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme.
Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif
oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan
membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan
anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan
pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara
spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah
mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui
orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi matematika yang
baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi
terjadinya proses belajar matematika tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam
teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah
aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa
mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide
yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa
mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai
kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler
(1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan
pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa
untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk
memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada
kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan
kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan
dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi.
F. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME
1. Kelebihan
Berfikir alam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk
menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
Faham :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina
pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya
dalam semua situasi.
Ingat :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan
ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina
sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan
menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
Kemahiran sosial :Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan
rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
Seronok :Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat,
yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok
belajar dalam membina pengetahuan baru.
2. Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam
proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang
begitu mendukung.
G. PROSES BELAJAR MENURUT KONSTRUKVISTIK
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifistik
dan dari aspek-aspek si belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi
belajar.
1.Proses belajar kontruktivistik secara konseptual proses belajar jika
dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang
berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa kepada pengalamannya
melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahiran
struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi rosesnya dari
pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.
2.Peranan siswa. Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses
pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar.
Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan
memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat
dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi
peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling
menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu
sendiri.
3.Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan
membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan
lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya,
melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sebdiri.
4.Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam
kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya
sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan
fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
5.Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat
mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap
realitas, kontruksi pengetahuan, serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan
pada pengalaman.
G. IMPLIKASI KONSTRUKTIVISME PADA PEMBELAJARAN
Beberapa model pembelajaran matematika yang dilandasi paham
kontruktivisme adalah adalah : (1) Model Pembelajaran Matematika Realistik
(PMR) dan (2) Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
1. Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan teori belajar
mengajar dalam pendidikan matematika. Teori PMR pertama kali
diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut
Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang
mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan
matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat
dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika
sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang
dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan
berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini
dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat
dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan kembali
dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan
proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu
matematisasi horisontal dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah
pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara
yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah
matematik. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-
hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik,
penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua
jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua
matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000) .
Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam
pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu
mekanistik, emperistik, strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan Mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan
pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang
sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan ini manusia
dianggap sebagai mesin. Kedua jenis matematisasi tidak digunakan.
Pendekatan Emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep
matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui
matematisasi horisontal.
Pendekatan Strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan
sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu
didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui
matematisasi vertikal.
Pendekatan Realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah
realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi
horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan
mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
Karakteristik PMR
Karakteristik PMR adalah menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-
model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan
(intertwinment) (Treffers,1991; Van den Heuvel-Panhuizen,1998).
Teori Belajar Konstruktivisme
\Pengertian Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan,
Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya
modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran
konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk
diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata.
2. Ciri-ciri Konstruktivisme
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah
4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi
berjalan lancar.
5. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
Selain itu yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan
pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya
sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang
membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi
mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana
tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat
pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang
memanjatnya.
3. Aplikasi dan Implikasi dalam Pembelajaran
a. Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-
jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak
mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang
guru dapat mengajar suatu materi kepada sisiwa dengan baik, namun seluruh atau
sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam
mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya
dengan usaha yangkeras para sisiwa sedirilah para siswa akan betul-betul
memahami suatu materi yang diajarkan.
b.Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang
dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirisan bukan ditanamkan oleh guru. Para
siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman
baru kedalam kerangka kognitifnya
c. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang
digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang
dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
d. Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing
konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan
atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi
menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat
konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
e. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
f. Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
g. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat
situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri peserta didik.
4. Kelebihan dan Kekurangan Konstruktivisme
a. Kelebihan
Murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat
keputusan.Faham kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan
baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
Selian itu murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama
semua konsep.
Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru
dalam membina pengetahuan baru; Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar
adalah tanggung jawab siswa itu sendiri; Mengembangkan kemampuan siswa untuk
mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya; Membantu siswa untuk
mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap;
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri; Lebih
menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
b.Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam
proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu
mendukung; siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya.
Implikasi teori konstruktivisme pada pembelajaran diantaranya :
a. Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-
jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak
mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru
dapat mengajar suatu materi kepada sisiwa dengan baik, namun seluruh atau sebagian
siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak
harus diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha
yangkeras para sisiwa sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi
yang diajarkan.
b. Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang
dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirisan bukan ditanamkan oleh guru. Para
sisiwa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman
baru kedalam kerangka kognitifnya.
c. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang
digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang
dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
d. Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing
konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan
atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi
menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat
konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
e. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
f. Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
g. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat
situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri peserta
didik.sedangkan Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar adalah sebagai berikut:
1) Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan non objektif, bersifat temporer,
selalu berubah dan tidak menentu.
2) Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari dari pengalaman konkrit, aktifitas
kolaboratif dan refleksi dan interpretasi.
3) Seseorang yang belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif yang didalam
menginterprestasikannya.
IMPLIKASI TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME PADA MATA PELAJARAN
KETERAMPILAN KOMPUTER DAN PENGOLAHAN INFORMASI (KKPI) PADA
SEKOLAH M
by Forum KKPI - SMK Bhakti Kencana Ciawi on Saturday, 26 February 2011 at 13:57 ·
IMPLIKASI TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME PADA MATA PELAJARAN
KETERAMPILAN KOMPUTER DAN PENGOLAHAN INFORMASI (KKPI) PADA
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)
Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi telah membawa
perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia. Laju perkembangan itu sangat
luas hingga hampir ...mencakup seluruh kehidupan manusia, khususnya di bidang
teknologi informasi dan komunikasi. Inilah yang melatarbelakangi perlunya penerapan
iptek di bidang pendidikan.
Meski demikian banyak permasalahan pendidikan yang harus dipecahkan bersama.
Berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan dengan upaya penguasaan dan
peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak permasalahan dan tantangan
yang berkaitan dengan dunia pendidikan di Indonesia di era globalisasi. Salah satu
permasalahan pendidikan mendasar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini
adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan,
khususnya pendidikan dasar dan menengah.
Profil pendidikan di Indonesia ternyata sangatlah kompleks, berbeda dengan
pendidikan di negara lain. Sebagai gambaran bahwa mutu pendidikan Indonesia
dianggap oleh banyak kalangan masih rendah. Agar mampu berperan dalam
persaingan global terutama dalam meningkatkan mutu pendidikan, maka perlu terus
mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya terlebih dahulu.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan
yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam
proses pembangunan. SDM yang sangat berperan dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia adalah guru sebagai pendidik dan siswa sendiri sebagai
generasi penerus dan harapan bangsa.
Berkaitan dengan kualitas SDM, pendidikan memegang peran yang sangat penting.
Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan
proses peningkatan kualitas SDM itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan
kualitas SDM, maka pemerintah bersama-sama dengan berbagai kalangan akan terus
berupaya mewujudkan amanat itu melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan
sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi
ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Bentuk penerapan penggunaan teknologi di bidang pendidikan tersebut berupa
pengenalan komputer dan perangkat TIK lainnya, pembelajaran tentang komputer dan
TIK, penggunaan komputer dan TIK untuk belajar dan pembelajaran, komputer dan
perangkat TIK digunakan sebagai media untuk membantu dan mempermudah kegiatan
pembelajaran. Bidang pendidikan yang utama menjadi perhatian adalah pendidikan
formal, yaitu pada jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah
Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan serta Perguruan Tinggi.
Untuk jenjang SMK nama mata pelajaran Tekonologi Informasi dan Komunikasi sama
dengan Keterampilan Komputer dan Pengolahan Informasi. Walaupun secara garis
besar substansi materi antara keduanya hampir sama, namun terdapat juga perbedaan
mendasar. Pembelajaran KKPI di SMK, lebih khususnya di jurusan Teknik Komputer
Jaringan lebih menekankan pada keahlian tertentu yang harus dikuasai siswa dengan
cara praktek menjadi teknisi (bongkar pasang hardware) serta pemahaman dan
pendalaman program software. Disamping itu, alokasi waktu yang disediakan untuk
mata pelajaran ini lebih banyak dibanding mata pelajaran lainnya.
Pandangan teori belajar konstruktivisme bukanlah hal yang baru, akan tetapi
merupakan penggabungan dari berbagai pendekatan (Bednar, dkk, dalam Duffy &
Jonassen, 1992). Dalam Khadijah, (2006: 69), Fosnot (1996) mengatakan
konstruktivisme adalah teori tentang pengetahuan dan belajar, yang menguraikan
tentang apa itu “mengetahui” (knowing) dan bagaimana seseorang “menjadi tahu”
(comes to know) . Kontruktivis memandang ilmu pengetahuan bersifat non-objective,
temporer, dan selalu berubah.
Belajar menurut konstruktivis sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman
kongkrit, melalui aktifitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi. Aktivitas yang demikian
memungkinkan pemelajar memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan
tergantung pada pengalamannya dan perspektf yang dipakai dalam
menginterpretasikannya. Sementara pembelajaran merupakan aktivitas pengaturan
lingkungan agar terjadi proses belajar, yaitu interaksi si pemelajar dengan
lingkungannya (Khadijah, 2006 : 70).
Dalam makalah ini akan disusun dan di bahas tentang implikasi teori belajar
konstruktivitasme pada mata pelajaran ketrampilan komputer dan pengolahan informasi
(KKPI) di sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan rumusan sebagai berikut : Apa
konsep teori belajar konstruktivisme? Bagaimana aplikasinya ? kemudian dari sini
muncul sub pertanyaan : Apa saja langkah-langkah strategi untuk mengidentifikasi teori
belajar konstruktivisme pada mata pelajaran ketrampilan komputer dan pengolahan
informasi (KKPI) di sekolah menengah kejuruan (SMK).
Pembahasan
Perspektif Konsep Teori Belajar Konstruktivisme
Konsep teori belajar konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan
pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang
menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran
konstruktivisme. Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan
lebih bersifat kontektual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran
jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa
“pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan
lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman,
dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting
(Bruninga, Schraw, dan Ronning, 1999 dalam Suciati, 2007 : 6.5).
Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih
menekankan proses daripada hasil. hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi
proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. dalam
proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar akan mempengaruhi
perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. sebagai upaya memperoleh
pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif (Suciati, 2007 : 6.6).
Perspekstif konstruktivisme pembelajaran di kelas dilihat sebagai proses konstruksi
pengetahuan oleh siswa. dimana mengharuskan siswa bersikap aktif. Dalam proses ini
siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan analisis dan pemikiran
ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu dan masa kini.
Pembelajaran konstruktivisme disusun berorientasi lebih pada kebutuhan dan kondisi
siswa dengan memicu rasa ingin tahu dan ketrampilan memecahkan masalah melalui
inquiry learning, reflective learning dan problem-based learning (Suciati, 2007 : 6.7).
Konsep teori belajar konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang
beragam. Belajar merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan
proses menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan
untuk membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan
pengetahuan (Suciati, 2007 : 6.7 dalam Cunningham & Duffy, 1996 : 172).
Konsep teori belajar konstruktivisme bukan merupakan pendekatan yang asing bagi
perspektif pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantoro, seorang tokoh pendidikan
nasional, sudah lama memperkenalkan pendekatan pendidikan yang diungkapkan
melalui tiga prinsip utama peran pendidik yaitu “ing ngarso sung tulodo” (bila berada di
depan anak didik, beri contoh tauladan), “ing madyo mbangun karso” (bila berada di
tengah-tengah siswa, bangunkan keinginan anak untuk belajar), dan “tut wuri
handayani” (bila berada di belakang siswa, beri dorongan semangat) (Suciati, 2007 :
6.12).
Dalam wawasan ini sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam
belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan
oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh,
atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin
tahundan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu
guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan
lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja (Suciati, 2007 : 6.12).
Aplikasi Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut
teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut
berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap
perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi
ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan
atau perbuatan (Ruseffendi,1988: 132 dalam
http/www.Akhmadsudrajat.wordpress.com, 2008).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran.
Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya
informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133).
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi
skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7
dalam http/www.Akhmadsudrajat wordpress.com, 2008).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif
oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61 dalam http/www.Akhmadsudrajat wordpress.com, 2008).
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme,
Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan
memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan
siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi
secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan
melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari,
melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai
dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk
mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan
bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998 : 5 dalam
http/www.Akhmadsudrajat wordpress.com, 2008). Dari pengertian di atas, dapat
dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif
antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga
melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap
perkembagan mental. Ruseffendi (1988 : 133 dalam http/www.Akhmadsudrajat
wordpress.com, 2008) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui
tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap
manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2)
tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental
(pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan
kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui
tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses
pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan
struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
.Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63 dalam http/www.ahmadsudrajat.wrdpress.com, 2008) adalah sebagai berikut:
(1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan
individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi
situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh
peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui
belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3)
peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
Aplikasi Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.
Dalam teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja
dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap
diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Tasker (1992: 30 dalam http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com, 2008)
mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut.
Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara
bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan
informasi baru yang diterima. Wheatley (1991 : 12 dalam
http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com,2008) mendukung pendapat di atas dengan
mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar
konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi
secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan
membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu
didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari
suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan
mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Tahap-tahap dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996 : 3 dalam
http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com,2008) mengemukakan sejumlah aspek
dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan
dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih
bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa
mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20
dalam http/www.akhmadsudrajat.wordpress.com,2008) mengajukan beberapa saran
yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
(2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan
yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan
mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan
siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam
refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
Implikasi Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran KKPI di SMK.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi
tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi
daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh
satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan
kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Kurikulum disusun untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan
kebutuhan dan potensi yang ada di sekolah . Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
sebagai unit penyelenggara pendidikan juga memperhatikan perkembangan dan
tantangan masa depan. Perkembangan dan tantangan itu menyangkut, antara lain: (1)
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) globalisasi yang memungkinkan
sangat cepatnya arus perubahan dan mobilitas antar dan lintas sektor serta tempat; (3)
era informasi, (4) pengaruh globalisasi terhadap perubahan perilaku dan moral
manusia; (5) berubahnya kesadaran masyarakat dan orang tua terhadap pendidikan;
serta (6) era pasar bebas atau AFTA. Adapun kurikulum yang diterapkan di Indonesia
secara umum untuk saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang
disingkat menjadi KTSP.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-
masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan
pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender
pendidikan, dan silabus.
Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata
pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi
pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan
sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan
kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan
indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Dalam menyusun silabus dapat menggunakan salah satu format yang sesuai dengan
kebutuhan satuan pendidikan. Pada dasarnya ada dua jenis, yaitu jenis kolom (format
1) dan jenis uraian (format 2). Dalam menyusun format urutan KD, materi
pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator dan seterusnya dapat ditetapkan
oleh masing-masing satuan pendidikan, sejauh tidak mengurangi komponen-komponen
dalam silabus.
Selanjutnya, silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar
ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi
untuk penilaian. Dengan demikian, silabus pada dasarnya menjawab pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
1) apa kompetensi yang harus dicapai siswa yang dirumuskan dalam standar;
2) bagaimana cara mencapainya yang dijabarkan dalam pengalaman belajarbeserta
alokasi waktu dan alat sera sumber belajar yang diperlukan; dan
3) bagaimana mengetahui pencapaian kompetensi yang ditandai dengan penyusunan
indikator sebagai acuan dalam menentukan jenis dan aspek yang akan dinilai.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran merupakan bagian dari perencanaan proses
pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar,
metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) merupakan penjabaran dari silabus yang telah disusun pada
langkah sebelumnya. RPP disusun untuk setiap kali pertemuan. Di dalam RPP
tercermin kegiatan yang dilakukan guru dan peserta didik untuk mencapai kompetensi
yang telah ditetapkan.
Adapun komponen minimal dari sebuah RPP sebagai berikut:
1. Identitas Sekolah
2. Kelas dan Semester
3. Alokasi Waktu
4. Standar Kompetensi
5. Kompetensi Dasar
6. Indikator
7. Tujuan Pembelajaran
8. Materi Ajar
9. Metode Pembelajaran
10. Media dan alat belajar
11. Sumber Belajar
12. Penilaian Hasil Belajar
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun dalam rangka memenuhi amanat
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Dalam penyusunannya, KTSP jenjang pendidikan dasar dan
menengah mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standae Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, serta Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi.
Selanjutnya, menurut Muslich (2008:12-13) ada empat komponen dalam KTSP yaitu:
(1) tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan
(2) struktur dan muatan KTSP
(3) kalender pendidikan
(4) silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Berkaitan dengan komponen KTSP khususnya struktur dan muatan KTSP, untuk
strukturnya sebagai berikut kelompok mata pelajaran agama dan akhlaq mulia,
kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi, kelompok mata pelajaran estetika, kelompok mata
pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan. Muatan KTSP meliputi sejumlah mata
pelajaran dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan
pendidikan. Disamping itu, materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri
termasuk ke dalam isi kurikulum.
Rumusan tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan mengacu pada tujuan umum
pendidikan. Adapun tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlaq mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Secara dokumentatif, komponen KTSP dikemas dalam dua dokumen yaitu Dokumen I
berisi acuan pengembangan KTSP, tujuan pendidikan, struktur dan muatan KTSP, dan
kalender pendidikan. Dokumen II memuat silabus dari SK/KD yang dikembangkan
sekolah (muatan lokal, mata pelajaran tambahan). Sebagai contoh struktur KTSP SMK
terdiri dari silabus mata pelajaran wajib dan silabus muatan lokal.
Substansi materi Keterampilan Komputer dan Pengolahan Informasi (KKPI) di SMK,
antara lain:
Kelas X
Semester Ganjil
Alokasi Waktu : 30 x 45 menit
1. Mengoperasikan PC stand alone
1.1 Mengoperasikan operasi berbasis teks
1.2 Mengoperasikan operasi berbasis Graphic User Interface (GUI)
2. Mengoperasikan sistem operasi software
2.1 Menginstal sistem operasi software
2.2 Mengoperasikan software pengolah kata
2.3 Mengoperasikan software spreadsheet
2.4 Mengoperasikan software presentasi
2.5 Mengoperasikan software aplikasi basis data
Semester Genap
Alokasi Waktu : 84 x 45 menit
3. Mengolah data aplikasi
3.1 Melakukan entry data aplikasi dengan keyboard
3.2 Melakukan update data dengan utilitas aplikasi
3.3 Melakukan delete data dengan utilitas aplikasi
3.4 Melakukan entry data dengan image scanner
3.5 Melakukan entry data dengan OCR (Optical Character Recognition)
4. Mengoperasikan PC dalam jaringan
4.1 Menginstal software jaringan
4.2 Mengoperasikan jaringan PC dengan sistem operasi
5. Mengoperasikan Web-Design (Internet)
5.1 Mengoperasikan Web-Browser
5.2 Mengoperasikan software e-mail client
Kelas XI
Semester Ganjil
Alokasi Waktu : 32 x 45 menit
1. Mengolah data aplikasi
1.1 Melakukan entry data aplikasi dengan keyboard
1.2 Update data dengan utilitas aplikasi
1.3 Melakukan delete data dengan utilitas aplikasi
1.4 Melakukan entry data dengan image scanner
Semester Genap
Alokasi Waktu : 16 x 45 menit
2. Mengoperasikan PC dalam jaringan
2.1 Menginstal software jaringan
2.2 Mengoperasikan jaringan PC dengan sistem operasi
Kelas XII
Semester Ganjil
Alokasi Waktu : 16 x 45 menit
1. Mengoperasikan Web-Desain (Internet)
2. Mengoperasikan Web-Browser
3. Mengoperasikan software email client Nama